Anda di halaman 1dari 10

Tarekat Rifa’iyah: Sejarah, Tokoh, dan Ajaran

Oleh Mohamad Khoirul Fata

A. Pendahuluan
Gerakan modern Islam di indonesia menurut Delier Noer pada umumnya
bermunculan pada abad ke-20, misalnya Syarekat Islam (1912), Muhammadiyah
(1912), Persyarikatan Ulama (1917), dan Persatuan Islam (1920). Bertolak belakang
dengan pendapat di atas menurut Sodiq Abdullah bahwa gerakan-gerakan modern
Islam pada abad ke-19 dipandang sebagai “masa hamil” bagi lahirnya sebuah gerakan,
baik yang berupa gerakan pemikiran, gerakan permulaan, anjuran baik dari perorangan
ataupun kelompok masyarakat.
Salah satu gerakan pemurnian ajaran Islam di Indonesia yang lahir pada abad ke-
19 adalah Gerakan Rifai’yah atau juga gerakan Santri Tarjumah yang digalang oleh
KH. Ahmad Rifa’i (1786-1870) di kalisalak, Batang, Jawa Tengah. Sartono Kartodirdjo
mentipologikan gerakan yang dimotori KH. Ahmad Rifa’i ini sebagai puritanical.
Gerakan dan protes sosial yang muncul dari kalangan pribumi, khususnya
kelompok Islam, sudah terjadi sejak awal abad ke 20. Hal ini merupakan respon atas
hegemoni kolonial Negara Barat (Westeren Countries) kepada negara-negara Muslim di
kawasan Asia.2 Menurut Susanto, gerakan dan protes sosial telah mengalami dinamika
atas persoalan yang dihadapi oleh setiap momen dan sejarah. Dinamika ini sebagai
bentuk protes yang dilakukan oleh sebagian kelompok karena merasa dirugikan.
Kerugian yang dihadapi, secara umum, terjadi karena hegemoni pemerintah yang tidak
mempertimbangkan tuntutan kelompok yang melakukan protes.
Dari berbagai kisah protes sosial telah menunjukkan bahwa Indonesia merupakan
negara yang memiliki segudang cerita tentang aksi pemberontakan dan aksi sosial yang
dilakukan oleh kelompok masyarakat. Cerita gerakan dan protes sosial ini selalu
diinisiasi oleh local strongman. Salah satu local strongman dalam kajian ini adalah Kiai
Haji (KH) Ahmad Rifa’i— akrab dengan sapaan Haji Rifa’i—di Pekalongan. Tokoh ini
merupakan sosok yang menggerakan masa untuk melawan Belanda melalui komunitas
yang bernama Tarekat Rifa’iyah. 4 Bentuk gerakan Haji Rifa’i merupakan wujud protes
sosial yang menggunakan pendekatan rasional-struktural.5 Untuk itu, gerakan model
pendekatan ini berbeda dengan masalah penelitian terdahulu yang telah disebutkan di
atas. Fenomena Haji Rifa’i perlu mendapatkan perhatian serius. Peneliti menelusuri
berbagai literatur belum ada yang sepadan dengan gerakan model yang menamakan diri
tarekat Rifa’iyah. Ini menarik untuk mengeksplorasi lebih mendalam tentang model
dakwah sebagai metode penyebaran Islam, di sisi lain juga menjadi alat ampuh
mendoktrin masyarakat untuk melawan hegemoni kolonial Belanda—di era modern
mereka menyebut pemerintah zalim

B. Pertanyaan
1. Bagaimana Sejarah Tarekat Rifa’iyah dan Tokoh yang berpengaruh?
2. Bagaimana ajaran Tarekat Rifa’iyah dalam dakwah Islam?

C. Pembahasan
1. Sejarah dan Tokoh Tarekat Rifa’iyah
Rifa’iyah pada mulanya adalah nama sebuah komunitas keagamaan yang
dipelopori oleh KH. Ahmad Rifa’i dan santri-santrinya. Nama Rifa’iyah
dinisbatkan kepada nama pendiri sekaligus pemimpin Jamaah tersebut, yakni KH.
Ahmad Rifa’i. Gerakan keagamaan ini lahir karena kesadaran KH. Ahmad Rifa’i
terhadap sinkritisme dan akulturasi kebudayaan Islam dengan Kejawen.
Sejarah munculnya Jamaah ini dimulai sejak kembalinya KH. Ahmad Rifa’i
dari menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Mekkah dan Mesir antara
tahun 1818-1841. Di mata pemerintah Belanda, sosok Rifa’i adalah ulama yang
dipandang dapat mengancam stabilitas politik karena dalam mengajarkan agama
sering bersinggungan dengan keberadaan pemerintah Belanda di Indonesia. Kata-
kata kafir fasik dan zalim sering dipakai oleh KH. Ahmad Rifa’i untuk memberi
predikat kepada penguasa Hindia Belanda untuk memberi legitimasi terhadap
sikap yang harus diambil oleh umat beragama agar tidak tunduk kepada
pemerintah, beliau juga tidak saja menentang pemerintah, tetapi juga para
pegawai pemerintah seperti penghulu, demang, dan bupati yang dianggapnya
telah tersesat karena telah mengikuti kemauan “raja kafir”.
Semenjak KH. Ahmad Rifa’i berada di Kendal, ia sering membeikan
gretakan terhadap Belanda, beliau juga pernah dipenjarakan di Semarang.
Kepindahannya dari kota Kendal ke wilayah baru di pedalaman Desa Kalisalak,
justru semakin menumbuhkan solidaritas di kalangan pengikutnya. Ia semakin
tajam menyerang Risma Sofiatil Ulya, Pergulatan Rifa’iyah Dalam Mencari
Legalitas Diri di Tengah Polemik Tuduhan Ajaran Sesat, Kabupaten Pekalongan
1965-19991.
Mengenai tahun kembalinya Rifa’i ke Indonesia sedikitnya ada 2 pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa Rifa’i kembali ke Indonesia pada tahun
1818. Hal ini sebagaimana ditulis Ahmad Adaby Darban dalam bukunya,
Rifa’iyah Gerakan Sosial Keagamaan di Pedesaan Jawa Tengah Tahun 1850-
19822. Pendapat kedua menyatakan tahun 1836, Sedangkan pendapat ketiga
dikemukakan Abdul Djamil dalam bukunya menyatakan bahwa Rifa’i kembali ke
Indonesia pada tahun 18413.
Menurut informasi yang beredar dikalangan anggota Jamaah Rifa’iyah,
jumlah santri KH. Ahmad Rifa’i pada generasi pertama mencapai 41 (empat
puluh satu) orang. Namun dari jumlah tersebut hanya enam orang yang berhasil
dilacak biografinya. Keenam orang santri KH. Ahmad Rifa’i pada generasi
pertama tersebut tersebar dibeberapa wilayah di Indonesia. Pada awal abad ke-20
jumlah santri atau pengikut Jamaah Rifa’iyah semakin berkembang pesat hingga
Batavia atau Jakarta.
Adapun keenam orang santri KH. Ahmad Rifa’i tersebut adalah; Pertama,
Kyai Abu Hasan, ia menyebarkan ajaran Rifa’iyah di wilayah Kabupaten
Wonosobo dan Purworejo. Kedua, Kyai Ilham. Ia berasal dari Kalipucang dan
dianggap sebagai mediator utama dalam penyebaran ajaran Tarajumah di
beberapa kabupaten di Jawa Tengah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang,
Tegal, dan Brebes. Ketiga, Kyai Muhammad Tubo. Ia berasal dari Kecamatan
Patebon Kendal dan menyebarkan ajaran Rifa’iyah di wilayahnya tempat
tinggalnya. Keempat, Kyai Muharrar dari Ambarawa, pendiri pesantren Ngasem.
Ketika pesantrennya dibubarkan oleh Belanda, ia pindah ke Purworejo dan
mendirikan pesantren di Kecamatan Mbayan. Kelima, Kyai Maufuro bin
Nawawi. Beliau berasal dari wilayah sekitar Kalisalak. Beliau menjadi plopor
penyebaran ajaran Rifa’iyah di wilayah Limpung, Batang. Perjuangan Kyai
Maufuro ini kemudian dilanjutkan santri-santrinya seperti Kiai Hasan Mubari dan
Kyai Abdul Djamil. Keenam, Kyai Idris. beliau lahir di Pekalongan pada tahun

1
Muhammad Khamdi, Gerakan Dakwah Rifa’iyah, Asian Journal of Dakwah Studies, Vl 10 no 29 Tahun 2009,
hlm 64.
2
Ahmad Adaby Darban (Yogyakarta: Tarawang Press, 2004); hlm. 21
3
Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa Pemikiran dan Gerakan Islam K. H. Ahmad Rifa’i Kalisalak Yogyakarta,
LKiS, 2001); hlm. xvi.
1810 dan wafat pada tahun 1895. Kyai Idris merupakan perintis penyebaran
ajaran Rifa’iyah di Jawa Barat, terutama di Kabupaten Cirebon, Indramayu,
Subang dan Karawang.
Dalam hal ini, anggota Jamaah Rifa’iyah yang ada di Desa Cikarang
Kabupaten Karawang adalah termasuk generasi dari santri-santri Kyai Idris. KH.
Ahmad Rifa’i termasuk ulama yang cukup produktif dalam menyusun kitab.
Beliau sangat mahir dalam menjelaskan substansi ajaran Islam dengan bahasa
yang sangat sederhana tanpa memakai idiom-idiom Arab. Tak kurang dari 65
(enam puluh lima) buah kitab berhasil ia susun baik ketika di Jawa maupun ketika
ia berada dalam pengasingan di Ambon. Semua kitabnya tersebut disusun tidak
menggunakan bahasa Arab namun berbahasa Jawa, sehingga kitab-kitab
karangannya biasa disebut dengan kitab Tarjumah. 8 Mengenai masuknya Jamaah
Rifa’iyah di Desa Cikarang, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang
pertama kali dibawa oleh santri-santri dan keturunan Kyai Idris, murid KH.
Ahmad Rifa’i, setelah terlebih dahulu mereka tinggal di Desa Sukalila,
Kabupaten Indramayu. Pada sekitar tahun 1860 M mereka mulai pindah dari Desa
Sukalila menuju Desa Sukawera, meski Kyai Idris sendiri dan Kyai Kayin (adik
Kyai Idris) tetap tinggal di Desa Sukalila, hingga kedua tokoh perintis Jamaah
Rifa’iyah di Jawa Barat ini meninggal dunia dan dimakamkan di desa tersebut.
Meskipun secara kelembagaan Jamaah Rifai’yah sudah tidak lagi
mengadakan gerakan politik, dan lebih kepada mempertahankan jamaahnya,
pengembangan jamaah Rifai’yah di luar pondok pesantren, sering dilakukan di
mushola atau masjid-masjid pedesaan adapun peserta pengajian ilmu Tarjumah
itu biasanya berasal dari desa setempat dan desa-desa sekitarnya. Disamping
pengikut baru, kebanyakan mustami pengajian terdiri dari penganut tradisional
faham Rifai’yah setempat. Mereka selalu mengadakan pengajian sendiri, juga
mempraktekan amalan-amalan kitab Tarjumah, termasuk sholat berjamaah sendiri
dalam rangka untuk memelihara kehidupan Jamaah Rifai’yah, diadakan
kaderisasi dengan mengirimkan anak-anak mudanya belajar ke pesantren
Rifai’yah dengan tujuan untuk pembaharuan dan mencetak ulama generasi
berikutnya. Meskipun ajaran Rifa’iyah masuk ke Desa Cikarang sejak tahun 1860
M, namun sebagai sebuah Jamaah yang memiliki struktur organisasi baru
dibentuk pada tahun 2009 M, berdasarkan instruksi dari pimpinan pusat Jamaah
Rifa’iyah. Sejak saat itu tokoh-tokoh Jamaah Rifa’iyah di Desa Cikarang mulai
membentuk kepanitiaan, menyusun struktur kepengurusan Jamaah Rifa’iyah.
2. Ajaran Tarekat Rifa’iyah
Tarekat Rifai’yah berdiri tidak hanya sebagai lembaga pendidikan Islam
namun juga forum pengajian masyarakat. Forum ini berkembang menjadi model
lembaga keagamaan yang memiliki ideologi perlawanan. Bentuk lembaga ini
menginterpretasikan makna kitab-kitab Tarojumah4. Sebuah kitab yang tidak
hanya menjelaskan tentang makna religius dan tauhid namun juga menjadi sumber
insprirasi dalam melakukan perlawanan kepada pemerintah yang dzalim. Istilah
dzalim dalam interpretasi ilmu sosial kontemporer memiliki kedekatan dengan
makna hegemoni.
Gerakan keagamaan tentang perlawanan terhadap pemerintahan Hindia-
Belanda, Ia tulis dalam beberapa kitab berbentuk syair dengan muatan ajaran
Islam seperti akidah, syariah dan tasawuf. Tidak ada yang dapat memastikan
berapa jumlah kitab hasil karya Haji Rifa’i. Pasalnya, gerakan Rifa’iyah dianggap
sebagai gerakan provokator dan mengancam pemerintahan Hindia-Belanda.
Hanya sebagian yang terdata karena disita oleh Belanda. Namun Ahmad Syadzirin
Amin mengatakan ada sekitar 63 karya Haji Rifa’i semasa hidupnya.20 Beberapa
kitab yang berhasil dilacak seperti Syarih alIman (mengajarkan tentang
keimanan), Ri’ayah al-Himmah (mengajarkan tiga masalah dalam Islam yakni
Ushul, Fiqh dan Tasawuf), Bayan (mengajarkan ketentuan orang menjadi guru),
Tasyriha al-Muhtaj (mengajarkan fiqh Muamalah), Nazham Tasfiyah
(mengajarkan tentang keabsahan shalat), Abyan al-Hawaij (membicarakan tentang
Ushul Fiqh dan Tasawuf), Asnal Miqsad (membicarakan Ushul, Fiqh dan
Tasawuf) dan tabyin al-Islah (membicarakan masalah perkawinan).
Dari kitab yang ditulisnya, hampir semua ada muatan penjelasan makna
kitab yang mengajarkan para pengikut untuk membenci Belanda dan sekutu.
Bahkan, Ia memberikan catatan penting tentang kebencian kepada warga pribumi
yang menjadi pekerja di pemerintah Hindia-Belanda. Misalnya, kitab Syarih al-
Iman yang membicarakan tentang keimanan. Namun isi kitab tersebut banyak
penuturan mengenai orang-orang kafir dan nasibnya. Sebagian muatan isi kitab ini
juga memberikan penekanan untuk menjauhi orang kafir tersebut. Pada konteks

4
Andi Kaprabowo, Beyond Studies Tarekat Rifa’iyah Kalisalak Doktrin, Jalan Dakwah, dan Perlawanan Sosial,
Jurnal Pemberdayaan Masyarakat: Media Pemikiran dan Dakwah Pembangunan, Vol. 3, no. 2 (2019), hal. 377.
dulu, orang kafir yang dimaksud adalah pemerintah Hindia-Belanda dan para
anteknya.
Pemikiran Haji Rifa’i terbagi dalam tiga kelompok besar, yakni:
Ushuluddin, Fiqh, Tasawuf. Ketiganya dibahas secara lengkap melaui kitab-
kitabnya, Tarojumah.
1) Ushuluddin
Ahmad Rifa'i menggunakan istilah Ushuluddin untuk menjelaskan bidang
ilmu keislaman yang berkaitan dengan masalah pokok agama Islam. Hal ini Ia
terangkan dalam kitabnya yang berbunyi:

Utawi ilmu Ushuluddin pertelane


Yaiku ngaweruhi bab iman tinemune
Lan barang kang ta’alluq ing iya wicaran
Lan ngawa.ru.hi ing Allah kewajibane
Lan muhale Ian jaize kinaweruhan
Lan kaya mangkono ngaweruhi kawajibane
Hake para rusul muhale Ian kawenangane
Iku nyata null aja kataq sirari

Artinya:
Adapun ilmu ushuluddin penjelasannya
Yaitu mengetahui bab iman jadinya
Dan hal-hal yang berkaitan pembicaraannya
Dan mengetahui Allah kewajibannya
Dan muhal Allah dan jaiz-Nya diketahui
Dan juga mengetahui kewajibannya
Haknya para rasul muhal-nya dan kebolehannya
Itu nyata kemudian jangan sampai kekurangan

Dalam pandangan Haji Rifa’i, ilmu Ushuluddin merupkan pondasi


seseorang dalam melaksanakan ibadah dan hubungan antar sesama, yakni
Muamalah. Selain itu, ajaran tentang ilmu Ushuluddin, Haji Rifa’i juga
menguraikan tentang rukun iman, syariat dan perusaknya, serta yang lainnya.
Haji Rifai menganggap bahwa Ushuluddin adalah ilmu yang menjadi dasar
pokok ajaran Islam. Ia juga menerangkan perihal sifat-sifat Allah dan para
Rasul-Nya.

2) Ilmu Fiqh
Dalam ilmu Fiqh, Haji Rifa’i dengan tegas menyatakan bahwa dirinya
merupakan penganut Mazhab Syafi’i. Dalam beberapa karyanya seperti
Ri’ayah al-Himmah, Haji Rifa’i menyatakannya sebagai berikut:

Ikilah bab nyataaken tinemune


Ing dalam ilmu ftgih ibadah wicarane
Atas mazhab Imam Syafi’i panutane
AM Mujtahid mutlak kadrajatane

Artinya:
Inilah bab menyatakan jadinya
Di dalam pembicaraan mengenai ilmu fiqh ibadah
Berdasarkan madzhab Syafi’i panutannya
Ahli mujtahid mutlak derajatnya

Dalam pembahasan ilmu Fiqh tersebut, Haji Rifa’i menekankan


dasardasar hukum Islam, seperti rukun dan syarat pelaksanaan ibadah
seharihari, mengenai hubungan antar manusia seperti jual beli, hutang
piutang, hukum waris, pernikahan dan persoalan fikih lainnya.

3) Ilmu Tasawuf
Sementara terkait ilmu Tasawuf, Haji Rifa’i mengajarkan akhlak
manusia yang terpuji dan tercela untuk memperoleh rida Allah. Dalam kitab
Ri’ayat al Himmah, Haji Rifa’i menjelaskan makna ilmu Tasawuf yang
berfungsi untuk mengetahui sifat-sifat tercela (madzmumah) yang ada pada
diri manusia.25 Selain itu, ajaran tasawuf menjadi nilai utama yang diajarkan
oleh Haji Rifa’i tentang berserah diri kepada Allah. Ajaran ini menekankan
pada pembinaan akhlak dengan mengajak umat untuk melakukan tindakan
yang terpuji dan meninggalkan yang tercela.
Di antara ajaran yang telah dilakuakn oleh Haji Rifa’i, terdapat
beberapa ajaran yang menimbulkan kontroversi saat itu, seperti rukun Islam,
salat Jum’at dan masalah pernikahan. Selebihnya, ajaran Haji Rifa’i banyak
yang sama dengan Imam Syafi’i tentang ahlusunnah wal jamaah. Tiga ajaran
yang kontroversial ini menjadi masalah bagi sebagian kalangan. Namun pada
kajian ini bukan untuk mempermasalahkan persoalan yang muncul, peneliti
mencoba untuk obyektif secara kontekstual. Pertama, rukun Islam satu,
yakni membaca dua kalimat syahadat, Haji Rifa’i menulis dalam kitab yang
berjudul Ri’ayah al Himmah. Syahadat menjadi rukun Islam sebagai
ejawantah seorang Muslim menghidmatkan diri untuk memeluk agama
Tauhid. Terangkum dalam kutipan berikut:
Rukune Islam sawiji kinaweruhan Yaiku ngucap syahadat loro ing
lisan. Artinya: Rukunnya Islam satu diketahui Yaitu membaca syahadat dua
di lisan.

Makna atas tafsir kitab tersebut bermaksud untuk menegaskan bahwa


kalimat syahadat sebagai prasyarat seorang Muslim yang memeluk agama
Islam. Jika kalimat syahadat ini terucap seorang Muslim maka tidak akan
gugur ke-Islaman seseorang jika tidak menjalankan salat, zakat, puasa, dan
ibadah haji. Tafsir ini menimbulkan pertentangan dari sejumlah ulama
karena dapat mengandung arti ganda. Pemaknaan orang yang baru mengenal
Islam cukup dengan mengucap dua kalimat syahadat tanpa menjalankan
ibadah lain sebagai tiangnya agama, yakni rukun Islam.
Namun dealektika tentang ibadah ini juga menjadi kisah yang menarik
dalam proses penyebaran Islam di Indonesia. Sebagaimana peran para wali
di tanah Jawa mengantarkan proses ajaran Islam yang damai. Begitu paparan
Waston tentang proses penyebaran Islam yang mengalami pemaknaan
interpretatif dari semua kalangan.28 Namun pada kajian ini tidak bermaksud
untuk mempertentangkan proses penyebaran Islam yang sudah terjadi di
masa lalu. Peneliti lebih menekankan pada proses upaya bagaimana Haji
Rifa’i menjelaskan Islam secara sederhana.
Daftar Pustaka

Darban, Ahmad Adaby. 2004. Yogyakarta: Tarawang Press.


Djamil, Abdul. 2001. Perlawanan Kiai Desa Pemikiran dan Gerakan Islam K. H. Ahmad
Rifa’i Kalisalak Yogyakarta, LKiS.
Kaprabowo, Andi. 2019. Beyond Studies Tarekat Rifa’iyah Kalisalak Doktrin, Jalan Dakwah,
dan Perlawanan Sosial, Jurnal Pemberdayaan Masyarakat: Media Pemikiran dan
Dakwah Pembangunan, Vol. 3, no. 2.
Khamdi, Muhammad. 2009. Gerakan Dakwah Rifa’iyah, Asian Journal of Dakwah Studies,
Vl 10 no 29.

Anda mungkin juga menyukai