Anda di halaman 1dari 4

Review How the Qur’an Shapes the Sunni Community – Ingrid Mattson, Huron University

College at the University of Western Ontario, Communities of the Qur’an


Dialogue, debate and diversity in the twenty-first century, (England : Oneworld Academic, 2019)
pp 179-194
Ilham Al-Qur’an Terhadap Komunitas Sunni
Oleh Hamim Mustofa
Tulisan Mattson ini dimulai dengan ceritanya bahwa dulu ketika di rumahnya ada makan
malam, datanglah cendekiawan dan penceramah Sunni tradisionalis untuk makan malam.
Mattson meletakkan berbagai makanan mulai nasi, roti, salad dan sup daging sapi di meja ruang
makan. Semua orang mengisi piring mereka dengan makanan dan duduk bersama di sekitar api
unggun yang ada di ruang makan dan mereka saling mengobrol disana. Setelah selesai
menghabiskan sajian, cendekiawan itu berdiri kemudian mengulurkan piringnya dan berkata, hal
min mazid ? Mattson, sebagai sesama mukmin dan sarjanawan Al-Qur’an, kemudian tertarik
dengan cara dimana umat Islam selalu melibatkan Al-Qur’an dalam setiap situasi dan kondisi.
Frasa hal min mazid tentunya berasal dari Al-Qur’an yang kemudian digunakan
cendekiawan untuk meminta tambahan makanan. Hal tersebut adalah kontras yang sangat
mencolok antara konteks makan malam (ramah tamah) dan konteks munculnya frasa tersebut
dalam Al-Qur’an 50:30. Ayat tersebut berbunyi, 'ketika pada hari itu Kami akan berkata kepada
Neraka, apakah kamu kenyang, dan dia akan berkata, "Apakah masih ada lagi?" ' Ayat Al-
Qur'an yang dikutip oleh cendekiawan itu menyuarakan api neraka, rakus untuk memakan jiwa-
jiwa bengis
Apakah konteks Al-Qur’an itu penting? Apa nilai tambah dalam mengutip Al-Qur’an
disini? Apakah itu performative, untuk menunjukkan penguasaan teksnya? Apakah itu lelucon
dan haruskah Al-Qur’an digunakan seperti itu? Apakah dia malu mengutarakan keinginananya
untuk meminta tambahan makanan, malah dia menyembunyikannya dalam firman Tuhan? Atau
jika setiap kata dalam Al-Qur’an adalah firman Tuhan, maka sebanyak kita berpaling padanya
untuk mendapatkan petunjuk kita juga bisa mengaplikasinya kedalam situasi apapun, kapan pun
dan dengan cara apapun, karena setiap kata dalam Al-Qur’an adalah istimewa.
Umat Islam menamai anak-anak mereka tidak hanya dengan nama para nabi dan orang-
orang sholeh, atau untuk menunjukkan hubungan dengan Tuhan seperti Abdullah atau Amatullah
(hamba Tuhan), tetapi juga nama-nama yang diadopsi dengan mengambil potongan ayat dalam
Al-Qur’an seperti Taha dan Yasin.
Jika setiap artikulasi Al-Quran – tidak peduli seberapa kecil, bahkan satu huruf –
menghasilkan makna suci, mungkin setiap masalah dapat ditemukan di dalamnya. Dalam hal ini,
Muslim Sunni sering mengutip penafsir awal Al-Qur’an – sepupu Nabi Muhammad – Abdullah
bin Abbas, yang mengatakan bahwa ‘jika saya kehilangan pijakan unta saya, saya akan
mencarinya dalam Kitab Allah’. Manfaat dari pendekatan ini adalah bahwa setiap kekacauan
hidup kita dapat dirajut secara bermakna melalui teks Al-Qur’an. Risiko dari pendekatan ini
adalah bahwa dengan mencari segala sesuatu di dalam Al-Qur’an, kita dapat dengan mudah
memaksakan diri kita kepadanya, menggunakanya untuk menandai kebajikan kita, untuk
merasionalisasi tindakan spontan, atau untuk mengakhiri perdebatan.
Mattson dalam bukunya The Story of the Qur’an, menceritakan sebuah anekdot yang
diceritakan oleh Reem Osman – seorang Suriah-Amerika dari pinggiran Chocago – sebagai
remaja yang bersertifikasi tajwid oleh mendiang ulama’ besar Al-Qur’an Sunni, yaitu Abu Hasan
Muhyiddin Al-Kurdi. Reem menggambarkan pertemuanya dengan Syekh Kurdi sebagai tahap
akhir dalam proses sertifikasi, setelah menjalani pengujian ekstensif oleh murid senior Syekh
yaitu Da’d Ali al-Husyaini, seorang sarjanawan ulung.
Pada hari ujian, Reem dibawa ke ruang tunggu di mana dia duduk dengan banyak wanita
muda lainnya. Kemudian satu per satu mendekati tirai privasi di belakang yang disana ada
sarjanawan yang lemah secara fisik, tetapi akut secara mental. Syekh meminta para wanita untuk
membaca dari berbagai bagian Al-Qur'an untuk menegaskan penguasaan bacaan mereka. Reem
menggambarkan keterkejutannya saat menyaksikan seorang remaja yang berhasil dalam ujiannya
kemudian membuka tirai dan berkata, 'O Syekh, aku hanya ingin melihatmu!'
Anekdot tersebut tercermin dalam redaksi Al-Qur’an tentang Musa yang mendaki
Gunung Sinai kemudian berkata, ‘Ya Tuhanku, tunjukkanlah dirimu kepadaku sehingga aku
dapat menatapmu (Q.S 7:143). Tampaknya sangat mungkin bahwa setelah mempelajari Al-
Qur’an secara ekstensif, emosi kuat wanita muda itu diekspresikan dalam bentuk wacana suci
yang telah dia internalisasikan. Hal yang mendorong teman Reem sangat ingin melihat Syekh
adalah baginya ia merupakan sumber kedua dari Al-Qur’an, karena sanad keilmuan
menghubungkan pengetahuanya tentang Al-Qur’an langsung dengan Tuhan.
Al-Qur’an dalam kehadiranya pada komunitas Sunni dinilai sebagai yang sacral, yang
paling karismatik. Hal tersebut terbukti dengan anak-anak mereka yang dinamai dengan frasa Al-
Qur’an atau mengatakan bismillahirrohmanirrohiim sebelum memulai suatu tindakan. Sunni
percaya bahwa Al-Qur’an adalah firman Tuhan yang hidup, yang mana hal tersebut nampak
ketika kata-kata diaplikasikan dengan ucapan secara realtime.
Jadi, apa yang menjadi ciri khas dari komunitas Sunni dengan komunitas lain, dalam
kaitanya tentang Al-Qur’an? Ini adalah pertanyaan yang sulit dijawab bagi orang Sunni yang
mengangap posisi mereka istimewa sehingga tidak tahu kekhasan komunitas lain. Komunitas
Sunni mempunyai kapasitas yang luar biasa dalam adaptasi ide dan praktik dari komunitas lain
yang menganggap praktik inovatif sebagai hal yang terkutuk, tapi kemudian hal itu menjadi
popular dan terbukti mempunyai kemanfaatan. Contoh sederhananya seperti mencetak Al-
Qur’an, Menghias dinding dengan kaligrafi, mengadakan lomba tilawah Al-Qur’an. Hal lain
yang lebih kontroversial adalah membaca Al-Qur’an secara metaforis, menggunakan tulisan-
tulisan Al-Qur’an (rajah) untuk penyembuhan dan menggunakan logika untuk membatasi
berbagai kemungkinan makna Al-Qur’an.
Al-Qur’an membentuk ritual dan kehidupan dunia. Hal itu dibuktikan dengan
pengalaman dari Mattson sendiri, bahwasanya dia adalah seorang muallaf. Ia mengatakan, saya
'hanya Muslim' dan menolak untuk menerima identitas sektarian apa pun. Saya menjadi seorang
Muslim karena Al-Qur'an, atau lebih tepatnya, terjemahan dari juz Al-Qur'an, membuka hati
saya sehingga cahaya Allah dapat meneranginya. Mattson telah meninggalkan tradisi
keagamaan masa kecilnya. Ketika Matson menahan diri untuk berkomitmen sebagai seorang
muslim, dia bermimpi tentang Nabi Muhammad Saw. Sejak saat itu, Nabi Muhammad Saw dan
ajaranya menjadi pondasi bagi pemahaman tentang Al-Qur’an dan pandangan dunia etis.
Keyakinan tersebut menempatkanya pada komunitas Sunni.
Membaca Al-Qur'an lebih lanjut membawa Mattson pada keyakinan bahwa ia harus
membuat perubahan gaya hidup. Ia percaya bahwa Al-Qur'an adalah pesan dari Tuhan untuknya.
Penafsiranya tersebut didorong oleh teman-teman Sunni nya, yang percaya bahwa Al-Qur'an
tidak hanya mengandung kebenaran spiritual dan teologis, tetapi juga memberikan bimbingan
dalam banyak aspek kehidupan.
Fitur kunci dari komunitas Sunni adalah bahwa Al-Qur'an merupakan sumber normative
yang paling penting untuk semua pengambilan keputusan, sebagai hasilnya, Al-Qur'an telah
mempengaruhi setiap sektor masyarakat Muslim secara signifikan. Hal tersebut didasari karena
kepercayaan mereka bahwa Al-Qur’an telah terpelihara secara sempurna, sehingga tidak perlu
memperdebatkan komposisi teksnya.
Apakah orang yang dibentuk dalam komunitas Sunni adalah orang dewasa yang pindah
agama (muallaf) atau anak-anak. Pendidikan agama biasanya mengikuti pola tertentu seperti
pengenalan Bahasa Arab, fokus membaca dan pengucapan serta hafalan surat-surat pendek Al-
Qur’an, juga kisah-kisah tentang Nabi Muhammad Saw. Anak-anak baru diajarkan terkait dasar-
dasar bersuci, doa-doa dan etiket Islam tradisionalis. Ritus, aturan dan konvensi ini didasarkan
pada Al-Qur’an dan perilaku Nabi Muhammad Saw.
Islam dalam dua abad pertama, pengetahuan tentang Nabi ditransmisikan dalam beberapa
cara, yakni melalui oral story dan teks (hadist). Namun kemudian para cendekiawan berdebat
tentang cara terbaik terkait transmisi ajaran Nabi. Imam Malik dan Imam Abu Hanifa lebih
percaya pada tradisi yang hidup – oral story melalui ulama’, sementara rekan-rekan mereka yang
lebih muda,Imam Syafi’i dan Imam Ibnu Hambal, lebih percaya pada laporan tekstual untuk
melestarikan Sunnah. Kompromi yang paling banyak dipegang sampai munculnya Salafi
radikal, bahwa keduanya diperlukan untuk mentransmisikan Sunnah.
Usaha para ulama’ Sunni dalam membantu menyeimbangkan penggunaan Al-Qur’an dan
hadist, sayangnya hal tersebut telah ditentang oleh gerakan Wahabi. Wahabisme berkembang
dari madzhab Hambali yang memiliki ketergantungan paling ekstrim pada hadits. Otoritas hadits
diatas sumber hukum lain diantara madzhab Sunni klasik. Musnad Ahmad ibnu Hambal berisi
sekitar 27.000 hadits. Banyak dari haditsnya yang dinilai lemah, dan Ibnu Hambal secara
eksplisit lebih menyukai hadits yang lemah daripada yang kuat, analogi yang kuat dari dalam hal
ini adalah Al-Qur’an. Oleh karena itu, kaum Wahabi secara intelektual tidak cenderung
mengurangi pengaruh hadits.
Hal yang lebih bermasalah sampai saat ini adalah minat Wahabisme dalam menegakkan
aturan monarki Saudi dan otoritas adat patriarki, yang kemudian membuat mereka semakin
berpegang teguh pada hadits lemah, terutama yang bersifat misoginis. Hal ini pada gilirannya
telah menyebabkan reaksi keras dari para reformis dan liberal, dengan pembelaan intelektual dan
spiritual.
Secara khusus, kelompok Sunni tradisionalis yang semakin berpengaruh, seperti Nuh Ha
Mim Keller, Gibril Haddad, Hisham Kabbani dan lainnya, berpendapat bahwa bergabung dengan
salah satu mazhab hukum pramodern, yang disahkan melalui ijazah , dan berafiliasi dengan jalan
Sufi, adalah praktik Sunni yang diperlukan saat ini. Jadi, kaitan etis terhadap hadits adalah tidak
boleh membaca teks hadits tanpa bimbingan seorang sarjana bersertifikat yang tahu bagaimana
menafsirkannya. Seorang muslim (awam) harus fokus pada teks-teks tradisional yang memuji
Nabi, sehingga mereka dapat mengembangkan karakter yang baik, dan mereka harus
menyerahkan teks hukum dan penalaran kepada para ahli.
Sebagaimana dicatat oleh Matthew Kuiper, dua 'warisan monumental' dari 'proto-Sunni'
ini adalah peningkatan dan penyebaran luas rangkuman hadis Nabi dan pergeseran yang
menentukan dari khalifah ke 'ulama' sebagai lokus utama otoritas keagamaan. Seorang ulama
dalam Islam Sunni adalah orang yang memiliki pengetahuan ('ilmu) tentang Al-Qur'an dan
Sunnah dan sarana yang tepat untuk menafsirkannya. Ketika Sunni menyatu antara abad kedua
dan keempat Hijriah, empat mazhab hukum (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali)
mendominasi karena sejumlah faktor, termasuk intervensi penguasa dalam berbagai cara, serta
pengaruh mereka – patronase institusi.
Pada periode pramodern, dan bahkan di banyak masyarakat saat ini, mereka sering
mendesak konsesi pragmatis terhadap kekuasaan politik, artinya tidak peduli bagaimana seorang
penguasa memperoleh kekuasaan, otoritasnya diakui selama dia adalah seorang Muslim dan
tidak mengganggu praktik Islam. Penguasa yang mengaku memerintah menurut Al-Qur'an dan
Sunnah menimbulkan harapan yang tidak realistis dan pasti mengecewakan, kadang-kadang
menyebabkan berbagai pemberontakan, seperti Nimeiry di Sudan, Taliban di Afghanistan, dan di
Arab Saudi. Masyarakat umum menderita karena kurangnya penyangga moral antara mereka dan
negara.
Muslim Sunni memanfaatkan kritik Al-Qur'an terhadap tirani dan penindasan politik
untuk mengklaim hak politik mereka. Sementara Setan muncul dalam Al-Qur'an sebagai musuh
spiritual umat manusia, peran penjahat super duniawi dimainkan oleh Firaun, dan sosok inilah
yang diproyeksikan oleh banyak orang Sunni kepada para diktator (kepala pemerintahan) yang
menindas mereka.

Anda mungkin juga menyukai