Diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah Membahas Kajian Kitab
‘Ulumul Qur’an pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Disusun oleh:
KELOMPOK XI
LUTHFIYAH ANANDA
NIM. 762312020045
Dosen Pengampu:
Dr. Bunyamin M.Ag.
2021
A. Biografi Aksin Wijaya
kini menjadi Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo. Aksin Wijaya baru saja
mendapatkan gelar Guru Besar dibidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir, dan kini gelar
akademisinya sudah lengkap, Prof. Dr. Aksin Wijaya, M.Ag. Ia merupakan salah
satu alumni angkatan pertama Jurusan Syariah STAIN Jember tahun 2001. Saat
Universitas Islam Jember (UIJ) dan STAIN Jember (UIN KHAS). Berikutnya
tahun 2001 Aksin melanjutkan studi magisternya di Institut Agama Islam Negeri
Sunan Kalijaga (UIN Sunan Kalijaga) jurusan Filsafat Islam. Aksin lalu masih
Pada tahun 2005 dia resmi diangkat menjadi dosen Fakultas Ushuluddin
STAIN Ponorogo dan diangkat menjadi kepala P3M (Pusat Penelitian dan
Adapun hal-hal yang dibahas dalam buku Arah Baru Studi ‘Ulumul
BAB I. Pendahuluan
BAB III. Problem Ontologis Wahyu Tuha: Memaknai Ulang Konsep Wahyu
Tuhan
“Pra” al-Qur’an
Qur’an
BAB IV. Menguak Metode dan Pesan-pesan al-Qur’an dan Mushaf Usmani
A. Tafsir dan Takwil: Pergumulan memburu Pesan Tuhan yang Tak Kunjung
Usai
Kacamata Hermeneutika
Mushaf Usmani
Disini sengaja hanya disebut “al-Qur’an” dan “mushaf Usmani”, dan sama
sekali tidak melibatkan “wahyu”, tidak lain, karena esensi wahyu berada dalam
haribaan tuhan, dan sama sekali tidak berdialektika dengan realitas. Karena itu,
wahyu berada di luar wilayah kajian ini. Sebaliknya, yang menjadi wilayah kajian
ini adalah al-Qur’an dan mushaf Usmani, karena hanya keduanya lah yang
bahwa al-Qur’an turun sebagai respons atau realitas yang dihadap Muhammad,
dan bahwa ia acap kali berdialog dengan realitas. Untuk melihat tu, akan
digunakan “teori resepsi”, yakni bagaimana al-qur’an sebagai teks diresepsi atau
berubah wajah menjadi Mushaf Usmani, tahap wahyu tertulis, maka ada dua
bentuk relasi yang perlu dibahas: relasi dalam bentuk “bacaan (teks oral)” dan
“pendengar”, ketika masih dalam bentuk al-qur’an; dan relasi dalam bentuk “teks
Usmani.
wahyu terucap yang masih eksis ketika Muhammad masih hidup atau minimal
merupakan wahyu tertulis yang eksis ketika Muhammad sudah meninggal dunia,
dan terutama sejak dibukukan menjadi sebuah korpus resmi tertutup pada era
Usman bin Affan, khalifah ketiga. Karena itu, realitas yang menjadi mitra
relasinya juga berbeda. Masyarakat yang menjadi mitra relasi al-qur’an adalah
Karena itu, relasi itu secara urut meliputi dua hal: Pertama, respons al-
qur’an terhadap realitas masyarakat Mekkah dan Madinah; serta respons realitas
masyarakat di kedua tempat suci itu terhadap al-qur’an; Kedua, respons Mushaf
Usmani terhadap realitas, baik realitas era awal pembukuannya di dunia Arab,
maupun era kekinian, baik masyarakat Arab maupun masyarakat non-Arab; dan
tidak lain karena al-Qur’an turun sebagai "respons" Tuhan atas berbagai persoalan
yang dihadapi Muhammad di tengah-tengah masyarakat Arab, dan pada saat yang
sama, dalam merespons realitas itu, al-Qur'an acap kali memperhitungkan realitas
itu sendiri. Relasi ini dapat dilihat dari dua sisi: pertama, "respons” al-Qur'an
budaya dan agama masyarakat Mekkah dan Madinah. Sebagai respons atas
melalui Muhammad. Oleh karena perbedaan realitas dan sasaran, al-Qur'an pun
budaya Arab saat itu. Masyarakat Arab pra-Islam telah terbiasa berhubungan
dengan Jin, sosok makhluk halus yang diciptakan Tuhan. Hubungan itu terjadi
khususnya di kalangan para dukun dan sastrawan, yang waktu itu memang
menjadi satu fenomena budaya yang cukup terkenal di kalangan masyarakat
Arab."Bangsa Arab sebelum Islam telah mengenal fenomena syair (puisi) dan
praktik perdukunan sebagai dua fenomena yang memiliki asal usulnya sendiri
yang berakar di dunia lain di balik dunia yang kasat mata, yaitu dunia Jin yang
mereka gambarkan seperti dunia dan masyarakat mereka”, tutur Nasr Hamid.
“Jin”, karena diyakini Jin dapat menangkap fenomena alam, realitas alam ghaib
dari langit sehingga para sastrawan dan dukun mampu memberikan suatu
Keyakinan seperti ini menyiratkan adanya tiga unsur objek keyakinan masyarakat
Arab pra-al-Qur'an, yakni, keyakinan pada karisma figur, penyair dan kahin
yang bertugas menerima pesan dari alam ghaib dan al-Qur'an sebagai pesan ghaib
Hal yang sama juga menghadapi fenomena sastra yang berkembang kuat
mereka, yang kemudian menjadi dimensi i’jaz al-Qur'an. Ada banyak bukti
tentang kesastraan al-Qur'an. Daya magic syi'ir dan kahanah secara esensial
melekat pada al-Qur'an. Kisah-kisah kekuatan syi'ir dan kahanah al-Qur'an acap
“kitab sastra terbesar” yang mengalahkan sastra muallaqat yang beredar merata di
masyarakat Arab saat itu. Pandangan ini tentunya tidak dimaksudkan untuk
al-Qur'an sebagai kitab yang tidak lahir dari penyair dan penyihir, kendati ia
mengandung nilai sastra tinggi. Ia adalah “kitab sastra terbesar" yang lahir dari
menerima esensi syi'ir, dan bahkan menjadikannya sebagai salah satu unsur i’jaz
al-Qur'an yang berfungsi menantang manusia saat itu untuk membuat teks yang
serupa dengan al-Qur'an, kendati al-Qur'an tidak bisa disebut sebagai syi'ir, hanya
karena nilai seninya yang mengungguli syi’ir saat itu. Di sisi lain, al-Qur'an
menolak substansi kahanah dan menyebutnya sebagai perilaku setan yang harus
Selain itu, respons al-Qur'an juga berkaitan dengan ajaran atau tradisi
“ikutlah Millah Ibrahim yang hanif”. Dalam tradisi pemikiran Islam belakangan,
diambil para ahli ushul yang kemudian melahirkan kaidah ushul yang dikenal
diikuti al-Qur'an sangat bervariasi, dan paling tidak, terkait dengan tiga hal:
Syafiyy dan ritus-situs politik, seperti, khilafah dan syura, dan ketiga, ritus-ritus
etika, baik etika sosial maupun etika keagamaan, seperti, kemurahan hati,
kisah-kisah Israiliyat, selanjutnya diambil dan ditradisikan para ahli tafsir sebagai
muatan baru, Islamisasi” agar ia lepas dari kemusyrikan yang menjadi tradisi
Turun dalam tradisi seperti itu, tentu wahyu yang dibawa Muhammad pada
Ada yang menerima dan ada pula yang menolak. Kisah-kisah tentang respons al-
qur’an terhadap syi’ir dan kahanah dan juga respons masyarakat terhadap al-
sastrawi al-Qur’an. Kisah Umar bin Khaththab dan al-Walid Ibn al-Mughirah
contoh bukti respons tersebut. Jika Umar merespons positif, sebaliknya al-Walid
pesan yang ada di dalamnya. Penolakan mereka bukan pada eksistensi al-Qur'an,
melainkan pesan" al-Qur'an yang berbeda secara diametral dengan pesan penyair
dan kahin. Bahwa penolakan mereka lebih fokus pada esensi pesan yang dibawa
al-Qur'an, lantaran daya magic syi'ir dan kahanah yang biasanya menempel pada
turunnya al-Qur'an” adalah dalam arti relasi antara al-Qur'an dengan masyarakat
Arab yang “menerima” al-Qur'an sebagai kitab sucinya, dan Islam sebagai
terhadap para kahin dan penyair Arab saat itu, status dan posisi al-Qur'an mulai
berubah. Kendati muncul suara minor al-Qur'an sebagai sihir dan sya'ir yang
diminati banyak orang dan bahkan dijadikannya sebagai way of life dan
pandangan hidup masyarakat Arab saat itu. Sejak itulah, al-Qur'an sebagai sumber
asasi Islam yang dianut masyarakat Arab menduduki posisi “sentral” dalam
peradaban Arab.
hidup masyarakat Arab berpusat pada teks al-Qur'an, baik berkaitan dengan
berkaitan dengan ibadah mahdlah, umat Islam Arab menjalankan perintah al-
Qur’an dalam segala bentuk kehidupan, baik kehidupan sosial, politik, budaya
dan lain sebagainya yang melibatkan hubungan antara manusia dengan sesama
manusia, antara manusia dengan alam dan antara manusia dengan Tuhan.
Dari sini bisa diketahui bahwa kedua bentuk relasi di atas berbeda. Relasi
“dialog”, dalam arti, al-Qur'an berdialog dengan realitas masyarakat Arab: sedang
relasi kedua, “relasi al-Qur'an dengan realitas era turunnya al-Qur'an” mengambil
budaya yang mengalami perkembangan luar biasa tanpa ada kendala sedikit pun
karena itu perlu ada upaya purifikasi. Namun demikian, seiring dengan
perkembangan sosial budaya yang begitu cepat, ternyata model ini tidak
kehidupan umat Islam, bukan hanya menjadi kendala bagi kemurnian ajaran
tersebut sebab ajaran Islam model klasik yang melarang bid'ah atau inovasi
ternyata tidak mampu memberikan solusi alternatif bagi kebutuhan material dan
biasa ini, ada baiknya dipaparkan lebih dulu mengenai relasi Mushaf Usmani
dengan realitas. Ini tentu untuk mengetahui, bagaimana sejatinya Mushaf Usmani
merespons perkembangan realitas yang cukup cepat ini, baik realitas atau budaya
Arab Pasca-Al-Qur'an
dua arah dan dua bentuk: dialog dan membentuk budaya, kini relasi itu hanya
mengambil satu arah saja, yakni, respons masyarakat terhadap Mushaf Usmani.
Pada ranah ini, ada dua realitas yang merespons Mushaf Usmani: masyarakat
Arab “pasca” al-Qur'an adalah masyarakat Arab yang telah menerima al-Qur'an
sebagai sumber asasi pandangan hidupnya, dan terutama mereka yang hidup
hidup setelah pembukuan Mushaf Usmani inilah yang dimaksud masyarakat Arab
Penting dicatat bahwa Mushaf Usmani tidak lagi berfungsi sebagai sesuatu
Meminjam pernyataan Ali, kini ia menjadi teks yang mati. Ali bin Abi Thalib
(yatakallamu) bihi ar-Rijal” Atas kenyataan itu, maka diperlukan manusia untuk
dengan fokus persoalan tradisi dan modernitas.” Yang dimaksud tradisi dalam hal
ini adalah hasil pemikiran para ulama klasik terhadap al Qur'an (Mushaf Usmani)
yang cenderung memahaminya secara harfiah dan sakral, dan bahkan acap kali
sedang modernitas adalah seluruh fenomena alam yang hadir dari dunia Barat
modern, baik yang bersifat maknawi seperti sains maupun yang bersifat material,
seperti teknologi.
intelektual yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa
lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan Arab
berhaluan marxis, seperti Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, Adonis dan Shibly
Shumail.
dengan mereformasi tradisi yang selama ini digelutinya. Tradisi menurut mereka
masih mempunyai nilai tawar yang tinggi bagi dunia Arab, tetapi ada beberapa
sisi tradisi yang perlu direkonstruksi, bukan malah dibabat habis, karena tidak ada
negara yang bangkit dari tradisi orang lain. Kelompok intelektual ini menawarkan
kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali
mengambil secara total tradisi dunia luar, modernitas yang bukan dari dunia
Islam. Oleh karena itu, satu-satunya jalan memajukan dunia Arab adalah dengan
Kembali kepada sumber asasi Islam, al-Qur'an dan hadis. Kelompok intelektual
Ghazali, Sayyid Quthb, Anwar Jundi, Muhammad Quthb, Said Hawwa dan lain-
lain.
dengan budaya lokal Arab saat ini masih problematis, yakni antara mengikuti
masih dominan hingga saat ini, setidak-tidaknya, aliran lain mulai menanamkan
dengan relasi Mushaf Usmani dengan budaya Arab kekinian, karena kini tidak ada
pertama adalah masyarakat Arab, dan masyarakat Arab kala itu terpola menjadi
dan era al-Qur’an, yang dikenal dengan masyarakat tercerahkan. Kendati terdapat
perbedaan, mungkin hanya dari segi bentuknya, tergantung pada analogi masing-
dan non-Arab”, dengan dua model “relasi al-Qur'an dengan budaya Arab”
dengan realitas masyarakat Arab era turunnya al-Qur'an”, yang mengambil bentuk
“pembentuk budaya”.
masyarakat Arab harus menyesuaikan diri dengan Mushaf Usmani agar realitas
budaya tersebut tidak melenceng dari arahan dan petunjuk Mushaf Usmani. Dua
model pemikiran lahir dari bentuk ini, yakni, Arabisasi dan Islamisasi.
sehingga masyarakat luar yang mau memahami dan menjalankan ajaran Islam
harus mengikuti model yang lahir dari masyarakat Arab. Misalnya hukuman
tangan bagi pencuri, hukum berpakaian, hukum relasi laki-laki dan perempuan
dan sebagainya. Sedang model Islamisasi, kendati hampir tidak jauh berbeda
dengan Arabisasi, didasarkan pada asumsi, Islam lepas sama sekali dengan
budaya setempat semisal tradisi lokal yang berbau khurafat, bid'ah dan takhayyul.
Jika masyarakat Arab masih mengenal tiga budaya ini, berarti Islam yang mereka
anut masih belum murni Islam, melainkan Islam sinkretis, yang ditolak oleh Ibnu
Arab pra-al. Qur'an”, dia akan memandang relasi Mushaf Usmani dengan budaya
dibiarkan berjalan apa adanya selama tidak bertentangan dengan substansi Mushaf
universal Islam. Inilah unsur signifikansi Mushaf Usmani yang dimaksud Nasr