Anda di halaman 1dari 17

ARAH BARU STUDI ULUM AL-QUR’AN

Diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah Membahas Kajian Kitab
‘Ulumul Qur’an pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Disusun oleh:

KELOMPOK XI

LUTHFIYAH ANANDA
NIM. 762312020045

Dosen Pengampu:
Dr. Bunyamin M.Ag.

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

2021
A. Biografi Aksin Wijaya

Aksin Wijaya lahir di Sumenep 1 Juli 1974. Ia merupakan akademisi yang

kini menjadi Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo. Aksin Wijaya baru saja

mendapatkan gelar Guru Besar dibidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir, dan kini gelar

akademisinya sudah lengkap, Prof. Dr. Aksin Wijaya, M.Ag. Ia merupakan salah

satu alumni angkatan pertama Jurusan Syariah STAIN Jember tahun 2001. Saat

ini menjadi UNI KH Achmad Siddiq.

Saat S1, Aksin Wijaya menempuh kuliah di dua kampus. Yakni

Universitas Islam Jember (UIJ) dan STAIN Jember (UIN KHAS). Berikutnya

tahun 2001 Aksin melanjutkan studi magisternya di Institut Agama Islam Negeri

Sunan Kalijaga (UIN Sunan Kalijaga) jurusan Filsafat Islam. Aksin lalu masih

melanjutkan program Doktor (S3) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan

Kalijaga Yogyakarta pada tahun (2004-2008).

Pada tahun 2005 dia resmi diangkat menjadi dosen Fakultas Ushuluddin

STAIN Ponorogo dan diangkat menjadi kepala P3M (Pusat Penelitian dan

Pengabdian Masyarakat) STAIN Ponorogo. Pada tahun 2017, Aksin Wijaya

dipercaya menjadi Direktur Pasca Sarjana IAIN Ponorogo sekaligus menjadi

Wakil Rektor III IAIN Ponorogo.

Jabatan yang diperoleh berkat keuletan dan tekadnya semenjak muda

Aksin dijalankan dengan baik hingga sekarang.

Adapun karya-karya beliau diantaranya: Menatap Wajah Indonesia (2020),

Berislam di Jalur Tengah (2020), Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di


Indonesia (2019), Satu Islam Ragam Epistimologi (2014) dan masih banyak karya

literatur yang telah beliau buat.

B. Isi Buku Arah Baru Studi ‘Ulum al-Qur’an

Adapun hal-hal yang dibahas dalam buku Arah Baru Studi ‘Ulumul

Qur’an adalah sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan

A. Model-model Pemikiran Ulum al-Qur’an

B. Kerangka Baru Pembahasan Ulum al-Qur’an

1. Unsur-unsur Sekitar dan Seputar al-Qur’an

2. Mekanisme Pengungkapan Makna

C. Urutan Logis Nalar al-Qur’an

BAB II. Argumen Kehadiran Al-Qur’an

A. Muhammad Manusia yang Dibutuhkan Kaumnya

B. Muhammad Manusia Sempurna Berdimensi Ganda

C. Mukjizat: Penguat Utusan Muhammad

D. Fenomena Pengangkatan Kenabian Muhammad

E. Dimensi I’jaz al-Qur’an

BAB III. Problem Ontologis Wahyu Tuha: Memaknai Ulang Konsep Wahyu

Tuhan

A. Wahyu Dalam Bingkai Pemikiran Klasik

1. Asal Usul Kata al-Qur’an

2. Hadis dan Qadim

3. Lafadz dan Makna

4. Bahasa Arab dan non-Arab


B. Memahami Kembali Konsep Wahtu Tuhan

1. Wahyu Kalam Tuhan Tanpa Lafadz

2. Al-Qur’an: Wahyu Tuhan Terucap Menggunakan Bahasa Arab

3. Mushaf Usmani: Korpus Resmi Tertutup

C. Relasi al-Qur’an dan Mushaf Usmani dengan Realitas

1. Relasi al-Qur’an dengan Realitas Masyarakat Arab

a. Relasi al-Qur’an dengan Masyarakat Arab “Pra” al-Qur’an

1) Respons al-Qur’an terhadap Realitas Masyarakat Arab

“Pra” al-Qur’an

2) Respons Masyarakat Arab “Pra” al-Qur’an terhadap al-

Qur’an

b. Relasi al-Qur’an dengan Realitas Masyarakat Arab “Era” al-Qur’an

2. Relasi Mushaf Usmani dengan Masyarakat Arab dan Masyarakat

Non-Arab Pasca al-Qur’an

a. Respons Masyarakat Arab Kekinian terhadap Mushaf Usmani

b. Respons Masyaraka Non-Arab Kekinian terhadap Mushaf Usmani

BAB IV. Menguak Metode dan Pesan-pesan al-Qur’an dan Mushaf Usmani

A. Makkiyyah dan Madaniyyah: Pesan Islam Paripurna dn Islam Sekunder

B. Nasikh dan Mansukh: Menunda Penerapan Pesan Islam Paripurna

C. Asbab Nuzul: Metode Graduasi dalam Pemberlakuan Hukum

BAB Y. Arah Baru Studi Mushaf Usmani

A. Tafsir dan Takwil: Pergumulan memburu Pesan Tuhan yang Tak Kunjung

Usai

B. Fenomena Makna: Antara Pesan Pemilik Bahasa dan Pesan Tuhan

1. Melacak Jejak Perubahan Wahyu Tuhan dari Pesan ke Sistem Tanda


a. Pesan Tuhan Bersemayam di dalam Bahaa Arab

b. Pesan Tuhan Terperangkap di dalam Mushaf Utsmani

C. Menimbang Hermeneutika sebagai Mitra Tafsir

D. Mekanisme Kerja Hermeunitika

1. Hubungan Penggagas dengan Teks

2. Hubungan Pembaca dengan Teks dna Penggagas

E. Arah Baru Studi Mushaf Usmani: Mengungkap Pesan Tuhan dengan

Kacamata Hermeneutika

1. Interpretasi Berbasis Gerakan Ganda

2. Interpretasi Berbasis Konteks

3. Interpretasi Berbasis Signifikasi

4. Interpretasi Berbasis Negosiasi

F. Hermeneutika signifikasi: Mekanisme Pengungkapan Pesan Tuhan dalam

Mushaf Usmani

1. Memaknai Ulang Konsep Islam dalam Mushaf Usmani

2. Nilai-Nilai Islam Uniyersal Pijikan Menebar Kedamaian

D. Relasi al-Qur’an dan Mushaf Usmani dengan Realitas

Disini sengaja hanya disebut “al-Qur’an” dan “mushaf Usmani”, dan sama

sekali tidak melibatkan “wahyu”, tidak lain, karena esensi wahyu berada dalam

haribaan tuhan, dan sama sekali tidak berdialektika dengan realitas. Karena itu,

wahyu berada di luar wilayah kajian ini. Sebaliknya, yang menjadi wilayah kajian

ini adalah al-Qur’an dan mushaf Usmani, karena hanya keduanya lah yang

berhubungan dengan realitas.

Pembahasan pada subbab ini dimaksudkan untuk mempertegas asumsi

bahwa al-Qur’an turun sebagai respons atau realitas yang dihadap Muhammad,
dan bahwa ia acap kali berdialog dengan realitas. Untuk melihat tu, akan

digunakan “teori resepsi”, yakni bagaimana al-qur’an sebagai teks diresepsi atau

diterima oleh generasi pertama masyarakat Arab dan bagaimana mereka

memberikan reaksi terhadap al-qur’an. Namun, karena kini al-qur’an telah

berubah wajah menjadi Mushaf Usmani, tahap wahyu tertulis, maka ada dua

bentuk relasi yang perlu dibahas: relasi dalam bentuk “bacaan (teks oral)” dan

“pendengar”, ketika masih dalam bentuk al-qur’an; dan relasi dalam bentuk “teks

tulisan” dengan “pembaca, ketika ia telah berubah wajah menjadi Mushaf

Usmani.

Logika seperti ini didasarkan pada asumsi bahwa “al-qur’an” merupakan

wahyu terucap yang masih eksis ketika Muhammad masih hidup atau minimal

ketika ia belum dibukukan ke dalam sebuah mushaf; sedang “Mushaf Usmani”

merupakan wahyu tertulis yang eksis ketika Muhammad sudah meninggal dunia,

dan terutama sejak dibukukan menjadi sebuah korpus resmi tertutup pada era

Usman bin Affan, khalifah ketiga. Karena itu, realitas yang menjadi mitra

relasinya juga berbeda. Masyarakat yang menjadi mitra relasi al-qur’an adalah

masyarakat pendengar, sedang masyarakat yang menjadi mitra relasi Mushaf

Usmani adalah masyarakat pembaca.

Karena itu, relasi itu secara urut meliputi dua hal: Pertama, respons al-

qur’an terhadap realitas masyarakat Mekkah dan Madinah; serta respons realitas

masyarakat di kedua tempat suci itu terhadap al-qur’an; Kedua, respons Mushaf

Usmani terhadap realitas, baik realitas era awal pembukuannya di dunia Arab,

maupun era kekinian, baik masyarakat Arab maupun masyarakat non-Arab; dan

juga respons masing-masing era itu terhadap Mushaf Usmani.


1. Relasi al-Qur’an denga Realitas Masyarakat Arab

a. Relasi Al-Qur'an dengan Masyarakat Arab "Pra"-Al-Qur'an

Ketika wahyu masih berbentuk oral yang disebut al-Qur'an, al-Qur'an

berhubungan secara "relasional" dengan masyarakat Arab “pra-al-Qur'an". Itu

tidak lain karena al-Qur’an turun sebagai "respons" Tuhan atas berbagai persoalan

yang dihadapi Muhammad di tengah-tengah masyarakat Arab, dan pada saat yang

sama, dalam merespons realitas itu, al-Qur'an acap kali memperhitungkan realitas

itu sendiri. Relasi ini dapat dilihat dari dua sisi: pertama, "respons” al-Qur'an

(Tuhan) terhadap fenomena budaya Arab “pra-al-Qur'an"; kedua, “respons"

masyarakat Arab "pra-al-Qur'an" terhadap al-Qur'an.

1) Respons Al-Qur'an terhadap Realitas Masyarakat Arab "Pra"-Al-Qur'an

Sejarah mencatat bahwa dakwah yang dilakukan Muhammad acap kali

bergumul/melibatkan dirinya dengan realitas sosial, ekonomi, politik, suku,

budaya dan agama masyarakat Mekkah dan Madinah. Sebagai respons atas

pergumulan di kedua daerah tersebut, al-Qur'an turun memberikan jawaban solutif

melalui Muhammad. Oleh karena perbedaan realitas dan sasaran, al-Qur'an pun

memberikan jawaban dengan menggunakan strategi yang berbeda. Misalnya,

ketika turun di Mekkah, al-Qur'an menggunakan ungkapan "wahai manusia" dan

menggunakan metode persuasif; sebaliknya ketika turun di Madinah, al-Qur'an

menggunakan ungkapan “wahai kaum munafik" dan "wahai kaum mukminin",

dan menggunakan metode resiprositas.

Secara sosiologis, tedapat hubungan intim antara fenomena wahyu dan

budaya Arab saat itu. Masyarakat Arab pra-Islam telah terbiasa berhubungan

dengan Jin, sosok makhluk halus yang diciptakan Tuhan. Hubungan itu terjadi

khususnya di kalangan para dukun dan sastrawan, yang waktu itu memang
menjadi satu fenomena budaya yang cukup terkenal di kalangan masyarakat

Arab."Bangsa Arab sebelum Islam telah mengenal fenomena syair (puisi) dan

praktik perdukunan sebagai dua fenomena yang memiliki asal usulnya sendiri

yang berakar di dunia lain di balik dunia yang kasat mata, yaitu dunia Jin yang

mereka gambarkan seperti dunia dan masyarakat mereka”, tutur Nasr Hamid.

Dalam mencari inspirasinya, para sastrawan dan dukun bergantung pada

“Jin”, karena diyakini Jin dapat menangkap fenomena alam, realitas alam ghaib

dari langit sehingga para sastrawan dan dukun mampu memberikan suatu

informasi yang tidak dapat ditangkap pancaindra kepada manusia. Masyarakat

Arab meyakini keduanya mampu memberikan informasi akurat tentang berita

ghaib mengenai peristiwa yang akan dialami seseorang di hari-hari mendatang.

Keyakinan seperti ini menyiratkan adanya tiga unsur objek keyakinan masyarakat

Arab pra-al-Qur'an, yakni, keyakinan pada karisma figur, penyair dan kahin

(tukuang sihir), mediator dan pesan ghaib.

Fenomena di atas membawa implikasi pada bentuk penerimaan

masyarakat Arab terhadap wahyu yang dibawa Muhammad. Analog dengan

tradisi di atas, al-Qur'an yang diturunkan Tuhan pada Muhammad, secara

eksistensial Memenuhi tiga syarat tradisi keyakinan masyarakat Arab pra-al-

Qur'an. Muhammad merupakan cermin figur kharismatik; Jibril sosok mediator

yang bertugas menerima pesan dari alam ghaib dan al-Qur'an sebagai pesan ghaib

yang dibawa Jibril.

Hal yang sama juga menghadapi fenomena sastra yang berkembang kuat

di masyarakat Arab. Al-Qur'an pun menggunakan sastra dalam menghadapi

mereka, yang kemudian menjadi dimensi i’jaz al-Qur'an. Ada banyak bukti

tentang kesastraan al-Qur'an. Daya magic syi'ir dan kahanah secara esensial
melekat pada al-Qur'an. Kisah-kisah kekuatan syi'ir dan kahanah al-Qur'an acap

kali mengisi ruang sejarah perjalanan al-Qur'an di dunia Arab.

Benar kiranya ketika al-Khuli menyimpulkan bahwa al-Qur'an merupakan

“kitab sastra terbesar” yang mengalahkan sastra muallaqat yang beredar merata di

masyarakat Arab saat itu. Pandangan ini tentunya tidak dimaksudkan untuk

menghilangkan ke-ilahi-an al-Qur'an, sebaliknya untuk mempertegas ke-i’jaz-an

al-Qur'an sebagai kitab yang tidak lahir dari penyair dan penyihir, kendati ia

mengandung nilai sastra tinggi. Ia adalah “kitab sastra terbesar" yang lahir dari

Yang Maha Agung.

Dengan melihat daya magic al-Qur'an ini, bisa dinyatakan al-Qur'an

menerima esensi syi'ir, dan bahkan menjadikannya sebagai salah satu unsur i’jaz

al-Qur'an yang berfungsi menantang manusia saat itu untuk membuat teks yang

serupa dengan al-Qur'an, kendati al-Qur'an tidak bisa disebut sebagai syi'ir, hanya

karena nilai seninya yang mengungguli syi’ir saat itu. Di sisi lain, al-Qur'an

menolak substansi kahanah dan menyebutnya sebagai perilaku setan yang harus

dijauhi manusia, karena dengan posisinya sebagai kahanah membuat orang-orang

Arab saat itu menjauhi al-Qur'an

Selain itu, respons al-Qur'an juga berkaitan dengan ajaran atau tradisi

masyarakat pra-al-Qur'an. Salah satu bukti normatifnya adalah sikap al-Qur'an

yang menandaskan agar umat Muhammad mengikuti syari'at agama Ibrahim

“ikutlah Millah Ibrahim yang hanif”. Dalam tradisi pemikiran Islam belakangan,

pernyataan al-Qur'an ini, di samping ayat-ayat lain yang senada dengannya,

diambil para ahli ushul yang kemudian melahirkan kaidah ushul yang dikenal

dengan syar'u man qablana.


Sedang bukti-bukti empirik tradisi masyarakat Arab pra-al-Qur'an yang

diikuti al-Qur'an sangat bervariasi, dan paling tidak, terkait dengan tiga hal:

pertama, ritus-ritus peribadatan, seperti, penghormatan terhadap ka’bah,

menjalankan ibadah haji, menghormati bulan Ramadhan, menjalankan ibadah

puasa; kedua, ritus-ritus sosial politik, seperti, jampi-jampi, pemeliharaan unta,

poligami, perbudakan, ritus-ritus hukuman, seperti al-Aqilah dan al-Qosamah,

ritus-ritus peperangan, seperti, seperlima bagian rampasan perang, as-Salb, asy-

Syafiyy dan ritus-situs politik, seperti, khilafah dan syura, dan ketiga, ritus-ritus

etika, baik etika sosial maupun etika keagamaan, seperti, kemurahan hati,

keberanian, kesetiaan, kejujuran, kedermawanan dan kesabaran, dan lain-lain.

Tradisi-tradisi pra al-Qur’an seperti ini, yang populer dengan sebutan

kisah-kisah Israiliyat, selanjutnya diambil dan ditradisikan para ahli tafsir sebagai

salah satu sarana menafsiri al-Qur'an. Terhadap berbagai tradisi ritus-ritus

masyarakat Arab pra-al-Qur'an tersebut, al-Qur'an menerima dan memberinya

muatan baru, Islamisasi” agar ia lepas dari kemusyrikan yang menjadi tradisi

sebagian masyarakat Arab saat itu.

2) Respons Masyarakat Arab “Pra”- al-Qur’an terhadap al-Qur’an

Turun dalam tradisi seperti itu, tentu wahyu yang dibawa Muhammad pada

masyarakat Arab, secara eksistensial mendapat “respons yariatif” dari mereka.

Ada yang menerima dan ada pula yang menolak. Kisah-kisah tentang respons al-

qur’an terhadap syi’ir dan kahanah dan juga respons masyarakat terhadap al-

Qur'an menjadi bukti awal bentuk respons masyarakat terhadap fenomena

sastrawi al-Qur’an. Kisah Umar bin Khaththab dan al-Walid Ibn al-Mughirah

contoh bukti respons tersebut. Jika Umar merespons positif, sebaliknya al-Walid

Ibn al-Mughirah yang merespons negatif.


Tetapi, kendati terdapat penolakan, mungkin hal itu terkait dengan esensi

pesan yang ada di dalamnya. Penolakan mereka bukan pada eksistensi al-Qur'an,

melainkan pesan" al-Qur'an yang berbeda secara diametral dengan pesan penyair

dan kahin. Bahwa penolakan mereka lebih fokus pada esensi pesan yang dibawa

al-Qur'an, lantaran daya magic syi'ir dan kahanah yang biasanya menempel pada

penyair dan peramal secara esensial melekat pada al-Qur’an.

b. Relasi Al-Qur’an dengan Realitas Masyarakat Arab “Era” Al-Qur'an

Yang dimaksud dengan “relasi al-Qur'an dengan masyarakat Arab “era

turunnya al-Qur'an” adalah dalam arti relasi antara al-Qur'an dengan masyarakat

Arab yang “menerima” al-Qur'an sebagai kitab sucinya, dan Islam sebagai

agamanya. Relasi bentuk ini mengambil dua bentuk: bagaimana al-Qur'an

mendakwah masyarakat agar menjalankan ajarannya, dan bagaimana masyarakat

Arab menyikapi ajarannya.

Sejak al-Qur'an mengalahkan berbagai tantangan yang dilontarkannya

terhadap para kahin dan penyair Arab saat itu, status dan posisi al-Qur'an mulai

berubah. Kendati muncul suara minor al-Qur'an sebagai sihir dan sya'ir yang

diadopsi Muhammad dari para penyair Arab pra-al-Qur'an, al-Qur'an mulai

diminati banyak orang dan bahkan dijadikannya sebagai way of life dan

pandangan hidup masyarakat Arab saat itu. Sejak itulah, al-Qur'an sebagai sumber

asasi Islam yang dianut masyarakat Arab menduduki posisi “sentral” dalam

peradaban Arab.

Dengan menjadikan al-Qur'an sebagai pusat peradaban, seluruh pandangan

hidup masyarakat Arab berpusat pada teks al-Qur'an, baik berkaitan dengan

pandangan dunianya, keilmuan, filsafat, teknologi, etika maupun pandangan

keagamaannya. Setiap menghadapi persoalan, al-Qur'an selalu dijadikan rujukan


utama dan pertama sebelum mengacu pada akal dan lainnya. Tidak hanya

berkaitan dengan ibadah mahdlah, umat Islam Arab menjalankan perintah al-

Qur’an dalam segala bentuk kehidupan, baik kehidupan sosial, politik, budaya

dan lain sebagainya yang melibatkan hubungan antara manusia dengan sesama

manusia, antara manusia dengan alam dan antara manusia dengan Tuhan.

Dari sini bisa diketahui bahwa kedua bentuk relasi di atas berbeda. Relasi

pertama, “relasi al-Qur'an dengan realitas pra-al-Qur'an” mengambil posisi

“dialog”, dalam arti, al-Qur'an berdialog dengan realitas masyarakat Arab: sedang

relasi kedua, “relasi al-Qur'an dengan realitas era turunnya al-Qur'an” mengambil

posisi “membentuk”, dalam arti membentuk budaya atau realitas.

Dalam perjalanannya, model relasi al-Qur'an dengan realitas masyarakat

era al-Qur'an, yang berposisi sebagai “pembentuk budaya”, lebih besar

pengaruhnya dalam mengarahkan perjalanan umat Islam, sehingga realitas sosial

budaya yang mengalami perkembangan luar biasa tanpa ada kendala sedikit pun

dipandang sebagai perkembangan yang melenceng dari aturan-aturan Nabi dan

karena itu perlu ada upaya purifikasi. Namun demikian, seiring dengan

perkembangan sosial budaya yang begitu cepat, ternyata model ini tidak

selamanya berhasil mendukung model purifikasi. Itu tidak lain, karena

perkembangan sosial budaya yang begitu cepat merambah ke dalam jantung

kehidupan umat Islam, bukan hanya menjadi kendala bagi kemurnian ajaran

Islam. Sebaliknya, umat Islam justru merasa membutuhkan perkembangan

tersebut sebab ajaran Islam model klasik yang melarang bid'ah atau inovasi

ternyata tidak mampu memberikan solusi alternatif bagi kebutuhan material dan

rasional manusia di masa-masa mendatang.


Agar umat Islam mampu mengiringi perkembangan dunia yang sangat luar

biasa ini, ada baiknya dipaparkan lebih dulu mengenai relasi Mushaf Usmani

dengan realitas. Ini tentu untuk mengetahui, bagaimana sejatinya Mushaf Usmani

merespons perkembangan realitas yang cukup cepat ini, baik realitas atau budaya

masyarakat Arab maupun masyarakat non-Arab.

2. Relasi Mushaf Usmani dengan Masyarakat Arab dan Masyarakat Non-

Arab Pasca-Al-Qur'an

Relasi “Mushaf Usmani” dengan “realitas” berbeda dengan relasi “al-

Qur'an” dengan “realitas”. Jika relasi “al-Qur’an” dengan “realitas” mengambil

dua arah dan dua bentuk: dialog dan membentuk budaya, kini relasi itu hanya

mengambil satu arah saja, yakni, respons masyarakat terhadap Mushaf Usmani.

Pada ranah ini, ada dua realitas yang merespons Mushaf Usmani: masyarakat

Arab “pasca” al-Qur’an dan masyarakat non-Arab. Yang dimaksud masyarakat

Arab “pasca” al-Qur'an adalah masyarakat Arab yang telah menerima al-Qur'an

sebagai sumber asasi pandangan hidupnya, dan terutama mereka yang hidup

setelah ia dibukukan menjadi Mushaf Usmani. Jadi, masyarakat muslim yang

hidup setelah pembukuan Mushaf Usmani inilah yang dimaksud masyarakat Arab

“pasca” al-Qur'an dalam subbab ini.

Penting dicatat bahwa Mushaf Usmani tidak lagi berfungsi sebagai sesuatu

yang hidup sebagaimana masa-masa awal ketika masih berwujud al-Qur'an.

Meminjam pernyataan Ali, kini ia menjadi teks yang mati. Ali bin Abi Thalib

menyatakan, “al-Qur'an bayna daftay al-Mushaf la yantiq, innama yantigu

(yatakallamu) bihi ar-Rijal” Atas kenyataan itu, maka diperlukan manusia untuk

menghidupkan teks yang mati tersebut. Artinya, manusialah yang bertugas


menghidupkan teks yang mati itu. Di antara cara menghidupkan itu adalah melalui

interpretasi. Tujuannya adalah mengungkap pesan Tuhan yang tersimpan di dalam

Mushaf Usmani agar ia tetap hidup memberi petunjuk pada manusia.

a. Respons Masyarakat Arab Kekinian terhadap Mushaf Usmani

Relasi bentuk seperti ini kini sekarang ramai diperbincangkan di

masyarakat Arab. Tema utama mereka adalah persoalan kebangkitan Arab,

dengan fokus persoalan tradisi dan modernitas.” Yang dimaksud tradisi dalam hal

ini adalah hasil pemikiran para ulama klasik terhadap al Qur'an (Mushaf Usmani)

yang cenderung memahaminya secara harfiah dan sakral, dan bahkan acap kali

diyakini sebagai representasi kebenaran mutlak sebagaimana dimaksudkan Tuhan,

sedang modernitas adalah seluruh fenomena alam yang hadir dari dunia Barat

modern, baik yang bersifat maknawi seperti sains maupun yang bersifat material,

seperti teknologi.

Dalam menyikapi problem tradisi dan modernitas di dunia Arab, muncul

tiga kelompok intelektual dengan tiga model wacana. Pertama, kelompok

intelektual yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa

lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan Arab

kontemporer. Kelompok ini menganjurkan agar berubah haluan dan mengambil

modernitas sebagai acuan utama kehidupan mereka. Kelompok ini menawarkan

wacana transformatif. Wakil-wakilnya berasal dari kalangan Kristen yang

berhaluan marxis, seperti Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, Adonis dan Shibly

Shumail.

Kedua, kelompok intelektual yang menginginkan bersikap akomodatif,

dengan mereformasi tradisi yang selama ini digelutinya. Tradisi menurut mereka

masih mempunyai nilai tawar yang tinggi bagi dunia Arab, tetapi ada beberapa
sisi tradisi yang perlu direkonstruksi, bukan malah dibabat habis, karena tidak ada

negara yang bangkit dari tradisi orang lain. Kelompok intelektual ini menawarkan

wacana reformatif dengan tokoh-tokohnya: Hasan Hanafi, Muhammed Arkoun,

Al-Jabiri, M. Benis, Hasyim Saleh, Abdul Kebir Katibi, dan lain-lain.

Ketiga, Kelompok intelektual yang menginginkan agar dunia Arab

kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali

kepada “al-Qur'an” (Mushaf Usmani) dan hadis. Mereka berasumsi bahwa

kegagalan dunia Arab karena mereka meninggalkan al-Qur'an-Hadis dan

mengambil secara total tradisi dunia luar, modernitas yang bukan dari dunia

Islam. Oleh karena itu, satu-satunya jalan memajukan dunia Arab adalah dengan

Kembali kepada sumber asasi Islam, al-Qur'an dan hadis. Kelompok intelektual

ini menawarkan model wacana ideal-totalistik, dengan tokoh-tokohnya M.

Ghazali, Sayyid Quthb, Anwar Jundi, Muhammad Quthb, Said Hawwa dan lain-

lain.

Pertarungan tiga model pemikiran ini menyiratkan relasi Mushaf Usmani

dengan budaya lokal Arab saat ini masih problematis, yakni antara mengikuti

tradisi dan meninggalkan modernitas, mengambil salah satu saja atau

mendialogkan keduanya. Kendati aliran yang mencanangkan kembali pada tradisi

masih dominan hingga saat ini, setidak-tidaknya, aliran lain mulai menanamkan

pengaruhnya di kalangan intelektual Arab, khususnya di kalangan mudanya.

Sejarah akan membuktikan kemenangan salah satu dari ketiganya.

b. Respons Masyarakat Non-Arab Kekinian terhadap Mushaf Usmani

Relasi Mushaf Usmani dengan masyarakat non-Arab “tidak jauh berbeda”

dengan relasi Mushaf Usmani dengan budaya Arab kekinian, karena kini tidak ada

batas-batas wilayah yang menjadi sasaran khusus Mushaf Usmani (wahyu


tertulis), sebagaimana ketika ia masih dalam bentuk al-Qur'an (wahyu terucap).

Ketika masih berwujud al-Qur’an, masyarakat yang menjadi sasaran pewahyuan

pertama adalah masyarakat Arab, dan masyarakat Arab kala itu terpola menjadi

dua kategori: masyarakat pra-al-Qur'an yang dikenal dengan masyarakat jahiliyah,

dan era al-Qur’an, yang dikenal dengan masyarakat tercerahkan. Kendati terdapat

perbedaan, mungkin hanya dari segi bentuknya, tergantung pada analogi masing-

masing pemikir. Dalam arti, perbedaan itu tergantung pada “cara”

menganalogikan model “relasi Mushaf Usmani dengan realitas masyarakat Arab

dan non-Arab”, dengan dua model “relasi al-Qur'an dengan budaya Arab”

sebagaimana dibahas di atas, yakni, “relasi al-Qur'an dengan realitas masyarakat

Arab pra-al-Qur'an”, yang mengambil bentuk “dialog”, dan relasi al-Qur'an

dengan realitas masyarakat Arab era turunnya al-Qur'an”, yang mengambil bentuk

“pembentuk budaya”.

Seseorang yang mengambil analogi pada al-Qur'an sebagai “pembentuk

budaya”, berarti dia menganggap realitas budaya kekinian di luar budaya

masyarakat Arab harus menyesuaikan diri dengan Mushaf Usmani agar realitas

budaya tersebut tidak melenceng dari arahan dan petunjuk Mushaf Usmani. Dua

model pemikiran lahir dari bentuk ini, yakni, Arabisasi dan Islamisasi.

Model Arabisasi didasarkan pada argumen Islam identik dengan Arab,

sehingga masyarakat luar yang mau memahami dan menjalankan ajaran Islam

harus mengikuti model yang lahir dari masyarakat Arab. Misalnya hukuman

tangan bagi pencuri, hukum berpakaian, hukum relasi laki-laki dan perempuan

dan sebagainya. Sedang model Islamisasi, kendati hampir tidak jauh berbeda

dengan Arabisasi, didasarkan pada asumsi, Islam lepas sama sekali dengan

budaya setempat semisal tradisi lokal yang berbau khurafat, bid'ah dan takhayyul.
Jika masyarakat Arab masih mengenal tiga budaya ini, berarti Islam yang mereka

anut masih belum murni Islam, melainkan Islam sinkretis, yang ditolak oleh Ibnu

Taimiyyah dan Abdul Wahhab, sebagai payung pembaruan yang kemudian

dilanjutkan Muhammad Abduh di Mesir.

Sementara itu, seseorang yang mengambil analogi al-Qur’an mengambil

posisi “berdialog” dengan budaya, sebagaimana “relasi al-Qur'an dengan budaya

Arab pra-al. Qur'an”, dia akan memandang relasi Mushaf Usmani dengan budaya

kekinian di luar masyarakat Arab, mengambil bentuk “dialogis”. Jadi, Mushaf

Usmani tidak ditempatkan dalam posisi “mengadili” realitas budaya kekinian di

luar Arab, melainkan menempatkannya dalam posisi dialogis. Budaya setempat

dibiarkan berjalan apa adanya selama tidak bertentangan dengan substansi Mushaf

Usmani, kemudian ke dalamnya Mushaf Usmani memasukkan pesan moral

universal Islam. Inilah unsur signifikansi Mushaf Usmani yang dimaksud Nasr

Hamid,” yang dalam istilah Abdurrahman Wahid, disebut “Pribumisasi Islam”.

Anda mungkin juga menyukai