Anda di halaman 1dari 8

Konsep Ketuhanan Al-Ittihad (Abu Yazid Al-Busthami) dan Al-Hulul (Mansur Al-

Hallaj)
Hania Safitri

A. Pendahuluan
Secara umum, manusia yang dapat memahami dirinya secara utuh, akan sampai
pada kedekatannya dengan Tuhan. Demikian manusia mampu mengenal dirinya sendiri,
yang mengenal maupun mengetahui Tuhannya. Pada pembahasan ini tidak ada batasan
dalam menghalangi hubungan langsung antara manusia dengan Tuhan. Menurut Harun
Nasution “intisari dari mistisme, sufisme terdapat kesadaran komunikasi dialog antara
roh manusia dengan Tuhan yang mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran ini
ada dekat dengan Tuhan yang dapat mengambil bentuk ittihad Bersatu dengan Tuhan.
Al-Busthami, dalam spiritualnya memiliki formulasi yang dikenal dengan fana’,
baqa’ dan ittihad. Hal tersebut muncul setelah Al-Bustami mengungkapkan perkataan
ganjil yang seolah bententangan dengan kebiasaan sehari-hari dari banyak manusia.
Al-Hallaj, dalam spiritualnya menentukan sebuah formulasi komunikasi antara
manusia dengan Tuhan. Hal ini dibangun dengan perspsinya yang utuh antara manusia
dan Tuhan memiliki dua sifat yang sama, yaitu Al-Lahut dan Al-Nasut. Jika kedua sifat
tersebut melebur jadi satu, maka manusia dengan Tuhan bisa menyatu. Demikian dari dua
sifat tersebut dalam teori tasawuf Al-Hallaj disebut Al-Hulul.

B. Pembahasan
1. Biografi Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa Surusyan, jugadikenal dengan
Bayazid. Beliau dikenal sebagai salah seorang sufi di Persia abad ke-III dari Bistam
wilayah Qum.1 lahir pada tahun 874 M dan wafat ketika umur 73 tahun. 2 Ayahnya
seorang pemimpin di Bistam dan ibunya seorang yang zahid, sedangkan kakeknya
seorang Majusi yang memeluk Islam dan menganut madzhab Hanafi.3 
1
Team Penyusun Ensikopedia Islam. Ensikopedia Islam, Jilid I. (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 262.
2
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme Dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 81.
3
Team Penyusun Ensikopedia Islam. Ensikopedia Islam, Jilid I. (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 262.
Abu Yazid mengatakan “Dua belas tahun lamanya aku menjadipenempa besi bagiku.
Kulempar diriku dalam tungku riyadhah. Kubakar dengan api mujahadah. Kuletakkan
diatas alas penyesalan diri sehinggadapatlah kujumpai sebuah cermin diriku sendiri. Lima
tahun lamanya akumenjadi cermin diriku yang selalu kukilapkan dengan bermacam-
macamibadah dan ketaqwaan. Setahun lamanya aku memandang cermin diriku dengan
penuh perhatian, ternyata diriku kulihat terlilit sabuk takabbur, kecongkaan, ujub, riya’,
ketergantungan kepada ketaatan dan membanggaakan amal. Kemudian aku beramal
selama lima tahun sehinggasabuk itu putus dan aku merasa memeluk Islam kembali.
Kupandang para makhluk dan aku lihat mereka semua mati, sehingga aku kembali dari
jenazah. Aku sampai ke Allah dengan pertolongan-Nya tanpa perantara makhluk”.
2. Konsep I'ttihat Abu Yazid Al-Bustami
a. Al-Fana’ dan al-Baqa’

Keadaan fana’-baqa’ dan ittihad sebagaimana yang dialami oleh Abu Yazid dalam
pengalaman tasawufnya, merupakan tiga aspek dalam suatu pengalaman sufi yang
tejadi setelah tercapainya makam ma’rifat. hal ini tidak banyak sufi yang mencapai
tataran demikian, bahkankalaupun ada maka tidak akan pernah lepas dari dijumpainya
pro-kontradari kalangan umat Islam sendiri, terutama dari kalangan mutakallimun,
karena perjalanan para sufi pada maqam yang setelahmencapai tingkatan
ma’rifat hampir selalu dinyatakan sebaagai bertentangan dengan ajaran islam,
meskipun upaya demikian dilaakukan dalam rangka mendekatkan diri sedekat
mungkin pada Sang Pencipta.

Dalam perspektif sufi hal ini sangat penting, karena salah satu intitasawuf adalah
perasaan hilangnya seluruh sifat kemanusia yaang kemudian diganti dengan sifat-sifat
ketuhanan. Kondisi ini tercapai dengan sebuaah keyakinan bahwa seluruh sifat
kemakhlukan manusia merupakan bayangan semu yang tidak tetap, sedangkan sifat-
sifat tuhan adalah permanen, yang diproses melalui penghilangan kepribadian dan
perasaan terhadap semua yang ada disekitarnya terlebih dahulu. Dengan hilangnya
semua perasaan dan kehendak pada sesuatu itu, akan hilang pula berbagai keinginan
untuk memiliki benda duniawi. Seorang sufi yang hendak bersatu dengan tuhan,
ittihad terlebih dahulu harus melalui dengan dua keadaan yang tidak dapat
dipisahkan,yaitu keadaan fana', yakni, kesirnaan-peleburan, penghancuran perasaan
atau kesadaran seseorang tentang dirinya dan makhluk lain disekitarnya dan baqa'
tetap, kekal, yakni tetap dalam kebajikan dan kekal dalam sifat ketuhanan.4

Fana’-baqa’ merupakan pengetahuan atau pengalaman yang tidak bbsa diperoleh


melalui pemikiran, tetapi diberikan oleh Tuhan melalaui penerangan yang merupakan
rahasia tuhan. Dikatakan demikian karena perjalanan ini diidentikan dengan hancurnya
sifat jiwa, atau sirnanya sifat-sifat tercela, maka barang siapa fana’ dari sifat tercela,
maka pada dirinyaakan muncul sifat-sifat terpuji.

Fana’ dan baqa’ merupakan sesuatu yang kembar, karena ia terjadidldm waktu
yang bersamaan, sehingga jika terjadi fana', dimana padawaktu kesadaran dengan diri
dan alam sekelilingnya telah hilang makabersamaan dengan itu ia mengalami baqa’,
yaitu munculnya kesadaranakan kehadirannya disisi Tuhan. Abu Yazid mendapatkan
pengalaman ini setelah melalui perjalanan sangat berat yaitu ketika beliau melakukan
ibadah haji.

Fana’ di kalangan sufi merupakan kejadian yang temporal, tidakberlangsung


secara terus menerus, seandainya kejadian ini berlangsung, secara terus-menerus
niscaya akan merusak ibadah lain yang justru merupakan hal yang mengantar
keadaannya kepada tingkatan demikian. Sehingga dapat dikatakan bahwa akan ada
pro-kontra dengan ajaran syar’i yang merupakan pantangan pula bagi pelaku sufi. Abu
Yazid dikenal sebagai seorang sufi yang sangat memperhatikan syariat dan ajaran
agama, meskipun beliau hampir selalu dalam keadaan “mabuk” hingga saat shalat tiba,
ketika waktu shalat telah tiba, beliau kembali kepada kesadaran, seusai melaksanakan
shalatnya,apabila di kehendaki ia kembali kepada fana'.

Dengan demikian seorang sufi tidak meninggalkan syariat agama,bahkan ketaatan


menjalankan seluruh ajaran akan senantiasa di upayakan semaksimal mungkin dalam
rangka memenuhi standar untuk menjagakesucian jiwanya dari sifat-sifat tercela yang
akanmengganggukebersihan jiwanya.

b. Al-Ittihad
4
Abu Al-A’la Al- Afifi, Fi al-Tasawuf Islamiyah wa Tarikhi. (Kairo: Lajnah Taklif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr,
1969), h. 25.
Ittihad merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf, dimana seorang sufi merasakan
dirinya telah bersatu dengan Tuhan, saat yang mencintai dan yang dicintai telah
menyatu, sehingga salah satu darimereka dapat memanggil yang lain dengan kata
“hai aku”.Ittihad tidak muncul dengan begitu saja, tetapi harus setelah menempuh
tingkatan  fana’-baqa’ yang dapat ditempuh dengan menyadari keadaan dirinya
sebagai individu yang terpisah dari Tuhannya, dilanjutkan dengan memperjuangkan
tersingkapnya pembatas yang menghalangi pandangan mata hatinya, dengan mengikis
sifat-sifat tercela, yang dilakukan secara terus manerus.

Ittihad ada dengan perantara fana’-baqa’ sebagaimana telah dikemukakan,


digambarkan sebagai jiwa yang kehilangan semua hasrat, perhatian dan menjadikan
diri sebagai obyek Tuhan, dengan cinta di dalambatin, pikiran sifat-sifat kebaikan yang
menimbulkan kekaguman dalam dirinya. Sebagaimana diceritakan bahwa Abu Yazid
pernah mengatakan“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah
hambayang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku, karena EngkauRaya
Yang Maha Kuasa”. Dia juga menyatakan, “Manusia bertaubat daridosa-dosa mereka,
tetapi aku taubat dari ucapanku “Tidak ada Tuhanselain Allah”, karena dalam hal ini
aku memakai alat dan huruf, sedangkanTuhan tidak dapat dijangkau dengan alat dan
huruf.5

Semakin larutnya dalam ittihad, di suatu pagi setelah shalatshubuh, Abu Yazid
pernah melafalkan kalimat sampai orang lain menganggapnya orang gila dan
menjauhinya dengan kalimat, “Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan selain
aku, maka sembahlahaku, maha suci aku, maha suci aku, maha besar aku”. Ungkapan-
ungkapan yang dikeluarkan oleh Abu Yazid diatas tidakdapat dilihat secara harfiah,
tetapi harus dipandang sebagai ungkapan seorang sufi yang sedang dalam
keadaan fana’, seluruh pikiran, kehendakdan tindakannya telah baqa’ dalam Tuhan.
Pada dasarnya semua wujud,selain wujud Tuhan adalah fana’ artinya segala sesuatu
selain Tuhan, dipandang dari keberadaan dirinya, sudah tidak ada fana’. sehingga satu-
satunya wujud yang ada hanyalah wujud Tuhan.

5
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme Dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 84.
Meskipun Abu Yazid di pandang sebagai tokoh terpandang dalam bidangnya, ia
juga mendapat kritik. Misalnya al-Thusi yang digambarkan bahwa ittihad sebagaimana
yang di lakukan oleh AbuYazid, yang diawali oleh keadaan fana’, patut diwaspadai
bahaya-bahaya yang akan di timbulkannya, karena menurutnya, sifat-sifat
kemanusiaan tidak mungkin sirna dari manusia. Oleh karena itu persangkaan
bahwamanusia bisa fana', sehingga ia bersifat sebagaimana sifat ketuhanan,adalah
keliru. Akibat ketidak tahuannya, pendapat itu hanya akanmengantar mereka kepada
hulul atau pendapat orang nasrani tentang isaal-Masih. Tetapi juga tidak kurang dari
tokoh sufi lain yang memberikandukungan, sebagaimana di sampaikan oleh Al-
Junaidi, yang menyatakandapat memahami ungkapan yang di keluarkan Abu Yazid.
Bahkan Abd al-Qadir al-Jailani memberikan komentar, “Terhadap apa yang di
ucapkanpara sufi, tidak bisa dijatuhkan hukum, kecuali apa yang di
ungkapkannyadalam keadaan sadar”.  karena persoalannya tidak lebih dari psikis yang
sedang dialami oleh masing-masing pelaku sufi yang sedang melakukan tawajjuh
dengan Allah. Sehingga keadaan alam dan isinya tidak terlihat dari akal.

3. Biografi Manshur al-Hallaj

Manshur al-Hallaj lahir di Persia-Iran pada tahun 858 M, nama lengkapnya adalah
Abu Al-Mughist Al-Husain Ibn Mansur Ibn Mahma Al-Baidlawi Al-Hallaj. Ayahnya
bekerja sebagai pemital kapas. ketika Al-Hallaj masih kecil, ayahnya memindahkan Al-
Hallaj ke Tustar-Wasith dekat Baghdad, ayahnya pindah ke Tustar, kota kecil dikawasan
Wasith, dekat Baghdad. Karena pengembaraannya yang intens, ia dikenal sebagai
seorang sufi yang berkelana ke berbagai daerah. Ia yang memiliki hobby berkelana,
mengantarkan dirinya bertemu, berteman dan sekaligus berguru dengan para sufi ternama
pada masanya.

Pada usia 20 tahun, al-Hallaj meninggalkan Tustar dan menuju ke kota Basra
untuk berguru kepada Amr Makki dalam mendalami keilmuannya. Dilanjutkan ke kota
Baghdad untuk berguru dengan seterusnya pindah ke kota Bagdad untuk menemui Al-
Junaidi Al-Baghdadi. Selanjutnya, Al-Hallaj ketika mudanya pergi ke kota Makkah. Kota
suci yang menjadi tempat tinggal Al-Hallaj untuk melakukan praktek kesufiannya. Pada
kondisi dan situasi yang ada, ia merasakan sebuah spiritual Pada situasi dan kondisi
seperti ini lah, ia mengalamidan merasakan sebuah pengalaman spiritual yang luar biasa
yang dikenal sebagai hulul.

Pada proses merasakan dan mengalami pengalaman spiritual tersebut, al-Hallaj


memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad dan menetap di kota dan menyebarkan
ajaran tasawufnya.Namun demikian, keadaan memaksanya menjadi rakyat yang tertindas
dari kekejaman penguasa Baghdad. Pada tanggal 18 Dzulkadah 922 M, ia ditangkap dan
mendapatkan hukuman mati oleh pengusa Dinasti Abbasiyah yaitu Khalifah Al-Muktadir
Billah. Latar belakang tersebut muncul dari tuduhan bahwa Al-Hallaj membawa paham
hulul yang dianggap menyesatkan umat. Kemudian dituduh juga memiliki hubungan
dengan Syiah Qaramitah.

4. Konsep Al- Hulul Al-Hallaj


Konsep hulul Al-Hallaj dalam tasawufnya berpijak dari kedekatan dengan Tuhan.
Kedekatan yang nuansanya spiritualitas Islam. Spiritualitas Islam yang identik dengan
upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, mengenali Yang Satu, Tuhan
yang mutlak realitas-Nya melampaui segala manifestasi dan dimensi. Selanjutnya, ajaran
tasawuf Al-Hallaj terkenal dengan konsep al-Hulul. Tuhan dipahami sebagai mengambil
tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia tersebut betul-betul berhasil
melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya. Menurut Al-Hallaj bahwa
Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat ketuhanan) dan al-nasut (sifat
kemanusiaan).6
Demikian manusia juga memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu, antara
Tuhan dan manusia terdapat kesamaan sifat. Argumentasipemahaman ini dibangun
berdasarkan kandungan makna dari sebuahhadits yang mengatakan bahwa:
“Sesungguhnya Allah menciptakanAdam sesuai dengan bentukNya” sebagaimana
diriwayatkan oleh Bukhari,Muslim, dan Ahamad bin Hambal atau Imam Hambali. Hadits
menggambarkan bahwa di dalam diri Adam as terdapat bentuk Tuhan yang disebut al-
lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentuk manusia yang disebut al-nasut.
Berdasarkan pemahaman adanya sifat antara Tuhan dan manusiatersebut, maka integrasi
antara Tuhan dan manusia sangat mungkin terjadi. Proses bersatunya antara Tuhan dan

6
Azyumardi Azra, et. Al, Ensikopedia. (Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 75.
manusia dalam pemahaman ini adalah dalam bentuk hulul. 17
Bersatunya antara Tuhan dan manusia harus melalui proses, dimana manakala manusia
berkeinginan menyatu dengan Tuhannya, ia harus menghilangkan al-nasutnya.
Menghilangnya sifat al-nasut, secara otomatis akan dibarengi dengan munculnya sifat al-
lahut dan dalam keadaan seperti inilah yang dikatakan hulul.
Dalam menghilangkan sifat al-nasut, seorang hamba harus memperbanyak ibadah.
Demikian dengan membersihkan diri melalui ibadah akan berhasil menghilangkan sifat
al-nasut, maka yang tinggal dalam dirinya hanya ada sifat al-lahut. Pada saat itulah sifat
al-nasut Tuhan turun dan masuk kedalam tubuh seorang Sufi, sehingga terjadilah hulul. 7
Dalam syairnya Al-Hallaj, yang artinya “Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya
membukakan rahasiaketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi
makhluknya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”.
Syair tersebut menggambarkan Tuhan memiliki dua sifat dasar ke-Tuhanan, yaitu
“Lahut” dan “Nasut”. Dua istilah ini oleh Al-Hallaj diambil dari falsafah Kristen yang
mengatakan bahwa Nasut Allah mengandung tabiat kemanusiaan didalamnya. Dalam
konsep hulul al-Hallaj dimanaTuhan dengan sifat ketuhanan menyatu dalam dirinya,
berbaur sifat Tuhan itu dengan sifat kemanusiaan.
Ketika peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat(kata-kata aneh) dari
lidah al-Hallaj yang berbunyi "ana al-Haqq" (Akuadalah Yang Maha Benar). Kata al-
Haqq dalam istilah tasawuf, berartiTuhan. Sebagian masyarakat saat itu menganggap al-
Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya sebagai Tuhan. Padahal yang
sebenarnya,dengan segala kearifan dan kerendahan hati spiritualnya, al-Hallaj tidak
mengaku demikian. Perspektif ini dibangun berdasarkan ungkapan syairnya yang lain
dengan mengatakan bahwa "Aku adalah Rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang
Maha  Benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar, dibedakanlah antara kamiatau
aku dan Dia Yang Maha Benar".
Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yangkeluar dari mulut al-
Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya. Dengan ungkapan ini, semakin
tidak mungkin untuk memahami bahwa maksud al-Hallaj dengan hululnya dalam
berbagai syairnya adalah dirinya al-Haqq. Jadi karena sangat cintanya kepada Allah

7
Ibid., h. 75.
menjadikan tidak ada pemisah antara dirinya dengan kehendak Allah, seolah-olah
dirinyadan Tuhan adalah satu. Sebagaimana diungkapkan dalam syairnya: “Akuadalah
Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku”.
Jika apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution, tentang tafsiran al-Hallaj mengenai
perintah Tuhan agar sujud kepada Adam (QS.2: 34) adalah pendapat yang sebenarnya
yang dimaksud oleh al-Hallaj, maka pandangan ini bisa dikatakan sesat. Karena apabila
masuk ke jiwa seseorang misalnya Isa, maka jadilah Tuhan semisal Isa, ini bertentangan
denganfirman Allah “Laisa kamitslihi syaiun”. Apabila dengan masuknya Tuhan kedalam
diri manusia tidak dengan tidak mengurangi keberadaan Tuhan, maka berarti ada dua
Tuhan atau sekurang-kurangnya belahan Tuhan yang dapat dinamakan dengan anak
Tuhan sebagaimana yang disebut penganut Kristen sekarang, tentu ini sangat
bertentangan dengan Al-Qur’an Surat Al-Ikhlash. Namun pendapat al-Hallaj bahwa
dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan itu akan masuk kedalam diri manusia dengan
jalan fana’ yaitu dengan menghilangkan sifat kemanusiaan, hal ini dapat diterima.
Sebagaimana menurut al-Hallaj ia bukanlah Yang Maha Benar, tetapihanyalah satu
dari yang benar. Jadi menurutnya, ia bukan Tuhan. Dengan hal ini yang lebih tepat dalam
manafsirkan atau memahami ajaran al-Hallaj adalah bahwa menurutnya, Tuhan mengisi
diri manusia tertentu dengan sifat ketuhanan, maka jadilah manusia itu satu dari yang
benar, dialah manusia yang memiliki / dikaruniai sifat Tuhan.

C. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dalam perspektif al-Hallaj dan al-Bustami bahwa Tuhan
dan manusia dipahami memiliki dua sifat yang sama. Suatu saat apabilamanusia berhasil
menghilangkan sifat kemanusiaannya dengan membersihkannya lewat berbagai ibadah
yang tulus ikhlas hanya mencari keridhoan Allah, maka dipastikan ia akan bisa bertemu
dan menyatu dengan sifat Allah. Sebaliknya, apabila manusia tanpa mau berusaha
menghilangkan atau melenyapkan sifat kemanusiaannya, maka sulit untuk bisa dipastikan
akan bertemu dan menyatu dengan Allah.

Anda mungkin juga menyukai