MATA KULIAH
AKHLAK TASAWUF
Dosen pengampu:
Oleh:
NURAINI
NIM. 301.2021.006
Semester 3
Kelompok 5
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berisikan tentang
Al-Fana dan Al-Ittihad.
Adapun tujuan dan maksud dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai salah satu
pemenuhan tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf. Dengan harapan bahwa makalah ini dapat
membantu serta memberikan tambahan pengetahuan kepada pembacanya.
NURAINI
i
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR..................................................................................... i
A. Latar belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan masalah................................................................................. 1
C. Tujuan Masalah ................................................................................... 1
A. Kesimpulan........................................................................................... 12
B. Saran..................................................................................................... 12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), hlm 231.
1
BAB II
2
PEMBAHASAN
2 Taufikin. “Filsafat Etika Tasawuf Fana’, Baqa’, dan Ittihad Abu Yazid al-Busthomi.” Esoterik: Jurnal
Akhlak dan Tasawuf 4, no. 1 (2018): hlm 142.
3 amil Shaliba, Mu’jam Al-Falsafy, Jilid II, (Beirut : Dar Al-Kitab, 1979), hlm 167.
4 Mustafa Zuhri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Bina Imu, 1985), hlm 234.
3
Sebagai akibat dari fana adalah baqa.Secara harfiah baqa berarti kekal, hidup
selamanya.Sedang menurut para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan
sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia, term tersebut biasanya digunakan dengan
preposisi fana’an, yang artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak
menyadari sesuatu. Sedangkan baqa’ bi, berarti diisi dengan sesuatu.
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal.
Menurut para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam
diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-
sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan, sebagaimana
dinyatakan oleh ahli tasawuf :
ق نُ ْو ُرا ْلبَقَا ِء فَيَ ْفنَى َمنْ لَ ْم يَ ُكنْ َويَ ْبقَى َمنْ لَ ْم يَ ُز ْل ْ َاِ َذا ا
َ ش َر
apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yan kekal”.
Dalam pengalaman para sufi, fana selalu diiringi dengan baqa dimana
keduanya ini merupakan kembar yang tidak dapat dipisahkan.
Untuk mencapai tahap fana seorang sufi harus melalui berbagai tahap yaitu
sebagai berikut :
1. Kefanaan dari diri sendiri dan sifat-sifatnya, dan kekalan dalam sifat-sifat yang
Maha Benar.
2. Kefanaan dari sifat-sifat yang Maha Benar karena melihat yang Maha Benar.
3. Kefanaan dari penyaksian terhadap kefanaannya sendiri dalam mempergunakan
terhadap wujud yang Maha Benar.5
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa yang dinamakan fana adalah
lenyapnya sifat–sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan
maksiat dari diri manusia.
ِ ض ْو ِر قُلُ ْوبِ ِه ْم َم َع هّللا ِ ُص َّوفُ فَانُ ْونَ عَنْ اَ ْنف
ُ س ِه ْم قَاقُ ْونَ بِ َربِّ ِه ْم بِ ُح َ َّالت
Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya, karena
kehadiran hati mereka bersama Allah.
Kalau seorang sufi telah mencapai al-fana al-nafs, yaitu kalau wujud
jasmaniah tidak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal
ialah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara rohaniah.
Menurut Harun Nasution, kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung
5 Ibid, Abuddin, Akhlak..., hlm 233.
4
setelah tercapainya al-fana al-nafs. Tak ubahnya dengan fana yang terjadi ketika
hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk di atas. Dengan hancurnya hal-hal
ini yang langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana
dan baqa ialah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan,
sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.
Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak
terjadi terus-menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. Fana merupakan
keadaan di mana seseorang hanya menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, dan
kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan
rohani dengan Tuhan).
Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad, yakni
penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu
sendiri adalah ittihad itu. Hal yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zuhri
yang mengatakan bahwa fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan
paham ittihad. Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf yang dikatakan
oleh al-Baidawi, yang dilihat hanya satu wujud sesungguhpun sebenarnya yang ada
dua wujud yang berpisah dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu
wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai
(manusia) dengan yang dicintai (Tuhan).6
Ittihad dalam pengertian lain yaitu pengalaman batin akan kesatuan seorang
sufi. Seorang sufi akan mabuk dalam kenikmatan bersatu dengan Allah. Dalam
keadaan seperti ini tidak jarang muncul ucapan-ucapan yang sebagian orang dianggap
aneh seperti kata-kata; Ana Al-Haq=(Aku adalah Al-Haq), Aku adalah Yang Satu.
Kata-kata ini terlontar hanya seketika, karena merasa begitu menyatunya dengan
Yang Haq yaitu Allah SWT.7
Dalam situasi ittihad yang demikian itu, seorang sufi telah merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan. Suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai
telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu
dengan kata-kata: “Hai Aku”. Dalam teks Arabnya kata-kata tersebut berbunyi:
فيقول الواحد لالخر يا انا
6 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Akhlak Tasawuf,( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm 231.
7 Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme,( Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), hlm 146.
5
Maka yang satu dengan yang lainnya mengatakan “aku”
Dengan demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya mahasuci aku, maka
yang dimaksud aku disitu bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan
rohaninya dengan Tuhan, melalui fana dan baqa.
Hulul secara harfiah berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya
melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam Al-Luma’ yang dikutip
Harun Nasution, Hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh
manusia-manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah kemanusian
yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia bertolak dari
dasar pemikiran Al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua
sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). 8
Dengan demikian maka manusia memiliki sifat ketuhanan dalam dirinya. Hal
ini di fahami dari ayat yang berbunyi :
dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada
Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia
Termasuk golongan orang-orang yang kafir(Q.S Al-Baqarah:34).
Menurut Al-Hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar
bersujud kepada Nabi Adam, karena pada diri Adam Allah menjelma. Sebagaimana
telah di isyaratkan yang berbunyi :
َ َاِنَّ هّللا َ َخل
ُ ق ا َد َم َعلَى
ص ْو َرتِ ِه
Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan Bentuknya.(diriwayatkan dalam Shahih al-
Bukhri dan Sahih Muslim, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wa salam bersabda).
Dengan melihat ayat dan hadits tersebut Hallaj berkesimpulan bahwa dalam
diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan pada Tuhan juga terdapat sifat
kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan yang terdapat pada diri manusia bersatu
dengan sifat kemanusiaan yang terdapat pada diri Tuhan maka terjadilah hulul. Untuk
sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui proses Al-Fana.
Berdasarkan uraian diatas maka Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap
dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Tujuan dari hulul adalah
8 Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaannya, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984), hlm 120.
6
mencapai persatuan secara batin.9 Hamka mengatakan bahwa hulul adalah ketuhanan
(lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan
seorang insan telah suci bersih dalam menempuh jalan hidup kebatinan
Abu Yazid al-Bustami memandang bahwa fana dan baqa itu adalah
hancurnya perasaan kesadaran akan adanya tubuh kasar manusia,
kesadarannya bersatu dalam iradah Tuhan, tidak menyatu dengan Tuhan.
Persoalannya adalah bagaimana Abu Yazid al-Bustami sampai kesana? Ia pernah
bermimpi bertemu dengan Tuhan dan aku bertanya:“Ya Tuhanku bagaimana
cara untuk sampai kepada Engkau? Tuhan menjawab “Tinggalkan dirimu dan
datanglah”.
Sufi untuk masuk dalam dunia fana‟, maka ada empat hal yang harus
diperhatikan yang merupakan juziyyat(bagian-bagian) dari fana‟11 yaitu:
1. Al-Sukr
Al-Sukkar didahului oleh fase Ghaibah yaitu suatu keadaan
pertengahan antara hubb dan fana‟. Al-Sukkar tidak bisa dicapai
kecuali orang yang dalam keadaan “mencintai” (“mawajid”), ketika
itu seorang hamba dibukakan sifat-sifat keindahan sehingga al-sukr
itu tercapai yang ditandai dengan hati berdebar dari hati berdebar dan
9 Inid,hlm 121.
10 Danis, Rahmi. “Al-Ittihad dalam Tasawuf.” Jurnal Aqidah-Ta 3, no. 1 (2017): hlm 73.
11 Harun Nasution, “Tasawuf” dalam Budh Munawra Rachman (ed.), Kontektualisasi Doktrin Islam
Dalam Sejarah, hlm 168.
7
hati yang penuh rasa cinta terhadap Tuhan.12 Contoh ketika al-
Bustami dalam keadaan al-Sukr dia mengeluarkan kata-kata dari
mulutnya,
Subehani.
2. Al-Syathahat
Dari segi bahasa adalah gerakan yaitu: gerakan rahasia dari
orang yang sangat cinta, lalu mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang
aneh bagi pendengarnya, sehingga tidak ada orang yang dapat
memahami ungkapan itu kecuali orang yang diberikan kemuliaan dan
pemahaman yang luas. Contoh al-Bustami mengeluarkan ungkapan-
ungkapan yang aneh:13 “Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak.
Aku hanya mengucapkan tiada Tuhan selain Allah, Abu Yazid tobat
dengan syahadat, karena lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh
dari sufi dan berada dibelakang tabir, Abu Yazid ingin berada
dihadhirat Ilahi, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan
kepadaNya: “Tidak ada Tuhan selain Engkau”. Jadi dengan
kecintaannya itu, Abu Yazid berkata: “Aku tidak meminta dari Tuhan
selain Tuhan‟.14 Dari pernyataan di atas, nampaknya al-Bustami sudah
dekat dengan Tuhan, namun persatuan (ittihad) denganNya belum
terjadi dengan sempurna.
3. Zawal al-Hujab
Zawal al-hijab adalah suatu keadaan seorang sufi tidak ada lagi
yang diinginkan kecuali Allah, seperti halnya denga al-Hallaj Ketika
sudah mencapai kenikmatan bertemu dengan Tuhannya, dia berkata:
Aku ingi Engkau, aku tidak ingin dari Engkau suatu balasan, akan
tetapi aku inginkan dari Engkau adalah siksaan.
Hal ini juga terjadi pada diri Rabi‟ah al-Adawiyyah dengan
mahabbahny dengan ungkapan: “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan
karena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga,
tetapi aku mengabdi karena cintaku kepadaNya. Ia bermunajat:
“Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah
12 Ibn Qayyim al-Jauziyah, Raudah al-Muhbbin wa Nuzhat al-Musytaqin, hlm 248.
14 Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyah, Raudah al-Muhbbin wa Nuzhat al-Musytaqin, hlm 248.
8
mataku kare Engkau, janganlah sembunyikan keindahanMu yang itu
dari pandanganku.15 Dia beribadah bukan karena takut kepada Allah,
bukan
pula mengharapkan surga, tapi hanya karena cintanya kepada Tuhan.
Dalam pada itu al-Bustami menyatakan sebagai berikut: Ketika
ditanya tentang surga, dia menjawab: “Surga itu adalah permainan
anak-anak”. Karena surga baginya adalah hijab yang paing besar,
sesungguhnya penduduk surga itu tinggal di dalam surga, sementara
setiap orang berada dalam surga bererti berdiam kepada selain Tuhan,
dengan demikian dia mahjub.
4. Ghalbat al-Syuhud
Ini merupakan tempat di atas tempat, dan waktu diatas waktu,
disini tidak lagi menanyakan kenapa dan bagaimana. Hal ini terjadi
ketika perasaan, kesadaran dan penyaksian seorang sufi sampai kepada
puncak fana‟, lalu dia lupa dirinya dan tidak ada selain Allah,
sekiranya ditanya: dari mana? Dan hendak kemaan? Tidak ada
jawaban kecuali “Allah”.Dengan demikian, pada tingkat terakhir ini,
sudah sampai kepada tingkat terakhir dari proses fana‟, sehingga
sampailah kepada persatuan (ittihad) dengan Tuhan yaitu dimana
seorang sufi telah bersatu dengan Tuhan, yang menyatakan persatuan
antara yang mencintai dengan yang dicintai.
Dengan demikian keluarlah ungkapan-ungkapan yang aneh
seperti; subehani, subehani Ungkapan di atas, menggambarkan
bagaimana Tuhan hadir dalam diri Abu Yazud dengan wahdaniyyat,
anniyat, dan abadiyatNya, sehingga seseorang ingin melihat Tuhan
cukup hanya memandang al-Bustami dengan permintaannya untuk
dihiasi dengan permintaannya dikabulkan, maka terjadilah persatuan,
sebagai terungkap dalam kata-kata berikut: “Abu Yazid, semuanya
kecualai engkau adalah makhlukKu”. Akupun berkata aku adalah
Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.
Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baga maka dari mulutnya
keluarlah kata-kata yang ganjil yang jika tidak hati-hati memahami akan
menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan,
15 Ibid,hlm 257.
9
padahal yang sesungguhnya ia tetap manusia, yaitu manusia yang mengalami
pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Di antara ucapan ganjil yang keluar dari
dirinya, misalnya:
"Tidak ada Tuhan, melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya,
alangkah besarnya kuasaku."
Selanjutnya Abu Yazid mengatakan,
"Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. Maha suci Aku,
Maha Suci Aku, Maha Besar Aku."
Selanjutnya diceritakan yang berikut:
Seorang lewat di rumah Abu Yazid dan mengetok pintu. Abu Yazid
bertanya: "Siapa yang engkau cari?" Jawabnya: "Abu Yazid ". Lalu Abu Yazid
mengatakan: "pergilah". Di rumah ini tidak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa
dan Maha Tinggi.
Di lain waktu Abu Yazid berkata, "Yang ada dalam baju ini hanyalah
Allah." Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya
sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yang
dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikiansebenarnya Abu Yazid tidak
mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Bagi orang yang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai
penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama, itu
dipandang sebagai kekufuran. Falam ittihad ini selanjutnya dapat mengambil
bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Dengan demikian untuk mencapai hulul dan
wahdatul wujud pun sama dengan al-ittihad, yaitu melalui fana dan baqa.
2. Al-Junayd al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junayd bin Muhammad al-
Khazzaz al-Nihawandi. Dia adalah putera seorang pedagang barang pecah belah
dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab Haris al-Muhasibi. Dia meninggal
di Baghdad pada tahun 297 H/910 M. Dia termasuk seorang tokoh sufi yang luar
biasa, teguh dalam menjalankan sari’at agama, sangat mendalam jiwa
kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih (pengajar atau pemberi
nasehat, saran atau pun ilmu), sering memberi fatwa sesuai mashab yang
dianutnya, mashab Abu Sauri: serta teman akrab Imam al-Shafi’i.16
C. Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad Dalam Pandangan Al-Qur’an
16 Abdul Hadi WM, Tasawuf Yang Tertindas, (Jakarta: Paradigma, 2001), hlm 44.
10
Paham fana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai Ittihad dipandang oleh
sufi sebagai untuk dapat berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan Firman
Allah SWT :
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi : 110)
Paham Ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin
melihat Allah. Musa berkata : “ ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai pada-
Mu?” Tuhan berfirman : Tinggalkanlah dirimu baru kamu kemari (bersatu).
Ayat dan riwayat tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah SWT.
Telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah
atau batiniah, yang caranya antara lain dengan beramal shaleh, dan beribadat semata-
mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak buruk, menghilangkan
kesadaran sebagai manusia, meningalkan perbuatan dosa dan maksiat, dan kemudian
menghias diri dengan sifat-sifat Allah. Yang kesemuanya ini tercakup dalam konsep
fana dan baqa. Konsep fana dan baqa dapat di pahami dalam ayat sebagai berikut :
26. semua yang ada di bumi itu akan binasa.
27. dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan. (QS. Al-Rahman : 26-27)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud
dengan Al-fana adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau
dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri seseorang. Fana juga dapat diartikan
sebagai bergantinya sifat-sifat kemanusian dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat
berarti pula hilangnya sifat-sifat yang tercela.
baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri
manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat
ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan.
11
Al-Ittihad, yaitu penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan. Tujuan dari Al-
Fana dan Al-Baqa adalah Ittihad.
Dalam pandangan Al-Qur’an al-Fana, al-Baqa, dan Ittihad adalah Allah SWT
telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah
atau batiniah, yang caranya antara lain dengan beramal saleh, dan beribadat semata-
mata karena Allah SWT menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk,
menghilangkan kesadaran sebagai manusia, meninggalkan dosa dan maksiat, dan
kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kesemuanya ini mencakup
dalam konsep fana dan baqa.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca mengetahui Hak dan Kewajiban
manusia dalam Pembelajaran Akhlak Tasawuf. Kami menyadari bahwa makalah yang
disusun ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik, saran, dan
masukan yang sifatnya membangun sangatlah kami harapkan untuk baiknya makalah
ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
12
Taufikin. “Filsafat Etika Tasawuf Fana’, Baqa’, dan Ittihad Abu Yazid al-Busthomi.”
Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf 4, no. 1 (2018)
WM Abdul Hadi, Tasawuf Yang Tertindas, Jakarta: Paradigma, 2001
Zuhri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : Bina Imu, 1985.
13