Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AKHLAK TASAWUF

FANA DAN BAQO’


Dosen Pengampu : Dr. H. Darmuin, M.Ag.

Disusun oleh :

Febri Yuliana (1707026018)


Anjis Febriyanto (1707026019)
Arini Noor Khasanah (1707026020)

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SEMARANG
2019
KATA PENGANTAR

0
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan Makalah Fana dan Baqa’ guna
memenuhi tugas mata kuliah Ahlak Tasawuf. Shalawat serta Salam senantiasa tercurahkan
atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW serta Keluarga, Sahabat dan para penerus
risalahnya.
Harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca mengenai konsep Fana dan Baqa’ ini, untuk ke depannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, masih banyak kekurangan
dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Atas kelebihan dan
kekurangannya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Semarang, 13 Juni 2019

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................1
1
DAFTAR ISI..........................................................................................................................2

BAB I (PENDAHULUAN)

A. Latar Belakang..................................................................................................................3

B. Rumusan Masalah.............................................................................................................4

C. Tujuan ...........................................................................................................................4

BAB II (TINJAUAN PUSTAKA)

A. Pengertian Fana dan Baqa...............................................................................................5

B. Konsep Fana dan Baqa menurut para tokoh...................................................................5

C. Faham antara Fana seiring dengan Baqa.........................................................................8

D. Tujuan dan kedudukan Fana serta Baqa..........................................................................9

E. Tokoh yang mengembangkan Fana serta Baqa...............................................................9

F. Fana serta Baqa dalam pandangan Al Quran................................................................10

BAB III (PENUTUP)

A. KESIMPULAN.............................................................................................................11

Daftar Pustaka......................................................................................................................12

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhlak Tasawuf merupakan disiplin ilmu murni dalam Islam. Akhlak dan Tasawuf
mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebelum bertasawuf, seseorang harus berakhlak
sehingga bisa dikatakan bahwasanya At tashawwufu nihayatul akhlaq sedangkan al akhlaqu
bidayatut tashawwuf. Dalam tasawuf, digunakan pendekatan suprarasional yaitu dengan
intuisi / wijdan. Intuisi disini maksudnya adalah mengosongkan diri dari dosa. Ditinjau dari
paradigma pengalamannya, tasawuf terbagi menjadi tasawuf Salaf, tasawuf Suni, dan
tasawuf Falsafi. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Fana dan Baqa yang
merupakan salah satu komponen dari tasawuf Suni. Setelah melalui maqam Fana dan Baqa
maka Sufi akan menemui maqam ma’rifat.

Dalam ma’rifah dilihat bahwa seorang sufi dengan sampainya ke fana dan baqa ini
melihat Tuhan dengan mata yang ada dalam hati sanubarinya. Dengan sampainya ke tingkat
ini sufi itu telah dekat dengan Tuhan, sehingga akhirnya ia bersatu dengan Tuhan yang
disebut dalam istilah sufi ittihad (persatuan mistik). Tetapi sebelum seorang sufi dapat
bersatu dengan Tuhan ia harus terlebih dahulu menghancurkand dirinya. Selama ia belum
dapat menghancurkan dirinya, ia tak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri ini
dalam tasawuf disebut fana’. (Nasution, 1995).

B. Rumusan Masalah

Pembahasan tentang Fana dan Baqa amatlah luas. Namun dalam makalah in kami
hanya membatasi pembahasan kami pada:

1. Apa pengertian Fana dan Baqa?

2. Bagaimana konsep Fana dan Baqa menurut beberapa tokoh fana-dan-baqa?

3. Bagaimana faham antara Fana yang seiring dengan Baqa?

4. Apa tujuan dan kedudukan Fana serta Baqa?


3
5. Siapa saja tokoh yang mengembangkan Fana dan Baqa?

6. Bagaimana Fana dan Baqa dalam pandangan al-Qur’an?

C. Tujuan

Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah:

1. Mengetahui Pengertian Fana dan Baqa

2. Mengetahui konsep Fana dan Baqa menurut beberapa tokoh fana-dan-baqa

3. Mengetahui faham antara Fana seiring dengan Baqa

4. Mengetahui tujuan dan kedudukan Fana serta Baqa

5. Mengetahui Tokoh yang mengembangkan Fana dan Baqa

6. Mengetahui Fana dan Baqa dalam pandangan al-Qur’an.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Fana dan Baqa

Fana artinya hilang, hancur. Fana adalah proses menghancurkan diri bagi seorang
sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan. Sedangkan Baqa artinya tetap, terus hidup. Baqa
adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran diri untuk mencapai
ma’rifat. Seorang sufi untuk ma’rifat harus bisa menghancurkan diri terlebih dahulu, dan
proses penghancuran diri inilah di dalam tasawuf disebut “Fana” yang diiringi oleh “Baqa”.
(Mustofa, 2007)

Dalam ‘Risalatul Qusyairiyah’ dinyatakan bahwa Fana adalah menghilangkan sifat-


sifat yang tercela dan Baqa artinya mendirikan sifat-sifat yang terpuji. Barang siapa yang
menghilangkan sifat tercela maka timbullah sifat yang terpuji. Jika sifat tercela menguasai
diri maka tertutuplah sifat yang terpuji bagi seseorang. (Ibid)

Dari segi bahasa Al-Fana berarti hilangnya wujud sesuatu, sedangkan Fana menurut
kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu
yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain Fana berarti bergantinya sifat-sifat
kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang
tercela. (Abuddin, 2006)

B. Konsep Fana dan Baqa menurut beberapa tokoh

1. Al-Qusyairi

Fana adalah gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan Baqa adalah berdirinya sifat-sifat terpuji.

2. Junaid al-Baghdadi

Tauhid bisa dicapai dengan membuat diri Fana dari dirinya sendiri dan alam sekitarnya,
sehingga keinginannya dikendalikan oleh Allah.

3. Ibn ‘Arabi

5
Fana dalam pengertian mistik adalah hilangnya ketidaktahuan dan Baqa pengetahuan yang
pasti/ sejati yang diperoleh dengan intuisi mengenai kesatuan esensial dari keseluruhan ini.

Fana dalam pengertian metafisika adalah hilangnya bentuk-bentuk dunia fenomena dan
berlanjutnya substansi universal yang tunggal. Hal ini ia simpulkan dengan hilangnya
sesuatu bentuk pada saat Tuhan memanifestasikan (tajalli) diri-Nya dalam bentuk lain.

4. E. A. Affifi

Pemikiran tentang Fana dan Baqa dapat dibagi ke dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Si Sufi menjauhkan dirinya dari dosa (al-Fana’ ‘an al-Ma’asi)

b. Memfana’kan dirinya dari semua perbuatan (af’al) apapun, ia hanya menyadari bahwa
Tuhan sendirilah satu-satunya pelaku segala perbuatan (af’al) di alam ini.

c. Memfana’kan dirinya dari sifat-sifat dan kulitas wujud yang bersifat mungkin, sebab
semuanya merupakan kepunyaan Allah.

d. Memfana’kan personalitas atau dzat dirinya sendiri, ia menyadari dengan sungguh-


sungguh ketidakberadaan (non-eksistensi) dari fenomena dirinya serta baqa di dalam
substansi yang tidak berubah dan tidak hancur yang merupakaan esensinya.

e. Si Sufi melepaskan semua sifat-sifat Tuhan serta hubungannya, yaitu ia lebih memandang
Tuhan sebagai esensi dari alam ini daripada sebagai sebab, sebagaimana pendapat para
filosof. Maksudnya Si Sufi tidak menganggap alam ini sebagai akibat dari satu sebab,
melainkan sebagai suatu realitas dalam pemunculan Tuhan (Al-Haqq fid dzuhur).

Pada tahap kelima inilah sebagai tujuan akhir dari semua upaya para sufi di dalam latihan
mistik wahdatul wujud, yakni berupa kesadaran penuh terhadap esensi dari semua yang ada,
dan sekaligus sebagai pelaksanaan fana dan baqa. (Ahmadi, 2001)

6
5. Muhammad Nafis

Maqam Fana adalah musyahadah secara bertahap dari maqam ke maqam selanjutnya,
sebagai berikut:

a. Maqam Tauhid al-Af’al

b. Maqam Tauhid al-Asma’

c. Maqam Tauhid al-Shifat

d. Maqam Tauhid al-Dzat

Kemudian Muhammad Nafis menjelaskan bahwa maqam Baqa lebih tinggi dari maqam
Fana. Maqam Fana sirna di bawah Ahadiyat Allah, sedangkan maqam Baqa kekal dengan
Wahdiyat allah. Dengan kata lain, maqam Fana itu memandang bahwa yang maujud (ada)
hanya Allah, sedangkan maqam Baqa memandang ke-Dia-an Allah dan kemandirian-Nya
meliputi segala yang ada (zarrat al-wujud). Ia menyebut maqam Baqa sebagai maqam tajalli
atau dhuhur.

Dengan harmonis dia padukan pandangan wahdat al-Syuhud dengan wahdat al-Wujud, yaitu
memandang alam semesta yang serba majemuk ini sebagai penampakan dari wujud Tuhan.
Fana dan Baqa melalui proses yang berasal dari ma’rifat dapat menyampaikan pada Kasyaf,
yakni terbukanya hakikat sesuatu bagi sufi, kasyaf dapat menyampaikan Fana. Fana
menyampaikan pada Fana al-Fana, yaitu Sufi tidak melihat dan tidak merasakan bahwa dia
sendiri yang memfana’kan dirinya, yang dia lihat dan rasakan adalah Allah yang
memfana’kan dirinya. Dan Fana al-Fana inilah yang mengantarkan ke tingkat Baqa. (Ibid)

6. R. A. Nicholson dalam bukunya The Mystics of Islam.

Ia mengatakan tentang tiga tingkat Fana yaitu perubahan moral, penghayatan jiwa, dan
lenyapnya kesadaran. Dalam hal ini, Imam al-Ghazali yang membatasi sampai ke Fana
tingkat dua, masih mempertahankan adanya perbedaan yang fundamental antara hamba yang
melihat dengan Tuhan yang dilihatnya. Sebaliknya Husain bin Mansur al-Hallaj, yang
menekankan pencapaian Fana tingkat tiga cenderung ke paham Manunggaling kawula-gusti.
Dalam penghayatan ini manusia merasa mengalami sama dan jadi seperti Tuhan itu sendiri.
7
Adapun salah satu jalan untuk mencapai penghayatan Fana fillah (ecstasy) disamping
mendalamnya cinta rindu, adalah dengan meditasi (pemusatan kesadaran) dengan
perantaraan zikir. (Simuh, 1996)

7. Abu Bakar M. Kalabadzi

Keluruhan (Fana) adalah suatu keadaan yang di dalamnya seluruh hasrat meluruh darinya,
sehingga para Sufi tidak mengalami perasaan apa-apa, dan kehilangan kemampuan
membedakan. Dia telah luruh dari segala sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada suatu yang
menyebabkan dia luruh. Baqa mengandung arti bahwa para Sufi itu meluruh dari sesuatu
yang menjadi miliknya sendiri, dan tetap tinggal dikarenakan sesuatu yang menjadi milik
Tuhan. (Abu Bakk, 2002)

8. Abu Sa’id al-Kharraz

Tanda keluruhan sang Sufi adalah keluruhannya dari hasratnya akan dunia ini dan dunia
nanti, kecuali hasratnya akan Tuhan.

9. Abu al-Qasim Faris

Keluruhan adalah keadaan seseorang yang tidak menyaksikan sifatnya sendiri, tapi
menyaksikannya sebagai disembunyikan oleh Dia yang membuat sifat itu lenyap. Keluruhan
sifat manusia jangan ditafsirkan sebagai tidak ada, tetapi tafsirkan bahwa sifat itu tertutup
oleh suatu kesenangan yang menggantikan realisasi rasa sakit. (Ibid)

C. Faham antara Fana seiring dengan Baqa

Proses penghancuran diri (Fana) rupanya tidak dapat dipisahkan dari Baqa (tetap, terus
hidup), maksudnya adalah apabila proses penghilangan sifat manusia dari hasil
penghancuran diri manusia itu sendiri, maka yang muncul kemudian adalah sifat yang ada
pada manusia. Adapun salah satu paham Sufi yang menyatakan bahwa Fana seiring Baqa:

Artinya: “Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, maka yang akan tinggal ialah
takwanya”.

8
Ibnu Qayyim memberikan penjelasan tentang istilah Fana dan Baqa yaitu Fana dalam
pengertian tauhid bebarengan (beriringan) dengan Baqa adalah penetapan terhadap Tuhan
yang haq dalam hatimu dan menghilangkan Tuhan selain Allah. Disinilah bertemu antara
Nafi dan Istbat. Nafi adalah fana dan Istbat adalah baqa.

D. Tujuan dan kedudukan Fana dan Baqa

Setelah mengetahui pengertian Fana dan Baqa, perlu diketahui tujuan Fana dan Baqa adalah
mencapai penyatuan secara ruhaniyah dan bathiniyiah dengan Tuhan sehingga yang
disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.

Sedangkan kedudukan Fana dan Baqa merupakan hal, karena hal yang demikian itu terjadi
terus menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. Fana merupakan keadaan dimana
seseorang hanya menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, dan kelihatannya lebih
merupakan alat, jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan Rohani dengan Tuhan).
Tatkala Fana dan Baqa berjalan selaras dan sesuai dengan fungsinya maka seorang Sufi
merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan yang mencintai dan dicintai telah
menjadi satu. (Ibid)

E. Tokoh yang mengembangkan Fana dan Baqa

Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustami disebut-sebut sebagai Sufi yang pertama kali
memperkenalkan paham Fana dan Baqa. Nama kecilnya adalah Thaifur. Nama beliau sangat
istimewa dalam hati kaum Sufi seluruhnya. (Ibid)

Sebagai paham Abu Yazid yang dapat dianggap sebagai timbulnya Fana dan Baqa adalah:

Artinya: “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu
padanya melalui dirinya, maka aku pun hidup.” (Ibid)

Abu Yazid adalah salah satu tokoh sufi yang telah melewati ma’rifah melalui Fana dan Baqa.

Fana dan Baqa dalam pandangan Al-Qur’an

Fana dan Baqa merupakan jalan menuju Tuhan, hal ini sejalan dengan firman Allah yang
berbunyi:

9
‫ي أءننءماَ إل للءهججكرم إل للءهد ءواَلحدد ٌ فءءمرن ءكاَءن يءررججققوُ للقءققاَءء‬
‫قجرل إلننءماَ أءءناَ بءءشدر لمرثلججكرم جيوُءحلى إللء ن‬
َ‫صاَللححاَ ءوءل يجرشلررك بللعءباَءدلة ءرببله أءءححدا‬ ‫ءرببله فءرليءرعءمرل ءعءمحل ء‬
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh
dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.”( Q. S.
Al-Kahfi: 110)

Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah swt. telah memberi peluang kepada manusia
untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniyah atau bathiniyah, yang caranya antara lain
dengan beramal shaleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat
dan akhlak buruk (Fana), meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri
dengan sifat-sifat Allah, yang kemudian ini tercakup dalam konsep Fana dan Baqa, hal ini
juga dapat dipahami dari isyarat ayat di bawah ini:

٢٦ٌ ‫جكلُل ءمرن ءعلءريءهاَ ءفاَنن‬

٢٧ِ ‫ك جذو اَرلءجلللل ءواَ ء للركءراَلم‬


‫نويءربلقى ءورجهج ءربب ء‬
Artinya: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Q. S. Al-Rahman: 26-27)

10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Akhlak Tasawuf merupakan disiplin ilmu murni dalam Islam. Akhlak dan Tasawuf
mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebelum bertasawuf, seseorang harus berakhlak.
Ditinjau dari paradigma pengalamannya, tasawuf terbagi menjadi tasawuf Salaf, tasawuf
Suni, dan tasawuf Falsafi. Dalam makalah ini kami membahas tentang Fana dan Baqa yang
merupakan salah satu komponen dari tasawuf Suni. Setelah melalui maqam Fana dan Baqa
maka Sufi akan menemui maqam ma’rifat.

Fana adalah proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan
Tuhan. Sedangkan Baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran
diri untuk mencapai ma’rifat. Secara singkat, Fana adalah gugurnya sifat-sifat tercela,
sedangkan Baqa adalah berdirinya sifat-sifat terpuji. Adapun tujuan Fana dan Baqa adalah
mencapai penyatuan secara ruhaniyah dan bathiniyiah dengan Tuhan sehingga yang
disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Sedangkan kedudukan Fana dan Baqa merupakan
hal. Dalam sejarah tasawuf, Sufi yang pertama kali memperkenalkan paham Fana dan Baqa
adalah Abu Yazid al-Bustami.

Fana yang dicari orang Sufi ialah penghancuran diri al-fana ‘an al-nafs hancurnya
perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Kalau seorang sufi telah
mencapai al-fana ‘an al-nafs yaitu kalau wujud jasmaninya taka da lagi (dalam arti tak
disadarinya lagi) maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia,
bersatu dengan Tuhan,. Dan kelihatannya peratuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah
tercapainya al-fana ‘an al-nafs. Dengan hancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal ialah
pengetahuan taqwa dan kelakuan baik.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakr dan M. Kalabadzi. 2002. Menggapai Kecerdasan Sufistik. Jakarta Selatan:
Hikmah. hlm. 35-36.

Abuddin, Nata. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm. 231-
232.

Ahmadi, Isa. 2001. Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. hlm. 144-147.

Ibid, A. Mustofa, Akhlak tasawuf, hlm.

Ibid, Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 234-235.

Mustofa. A. 2007. Akhlak Tasawuf untuk Fakultas Tarbiyah komponen MKDK.


Bandung: Pustaka Setia, hlm. 259.

Nasution, Harun. 1995. Mistisisme Islam-Tasawwuf. Jakarta: Bulan Bintang.

Simuh. 1996. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam hlm. 105-109.

12

Anda mungkin juga menyukai