Dosen Pengampu :
Dr. Mohammad Ja`far Ashodiq, S. Kom., M.Pd.I
Disusun Oleh :
Kelompok 8 PAI-3E
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. ii
BAB I....................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
C. Tujuan Pembahasan........................................................................................ 1
BAB II ..................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ...................................................................................................... 2
A. KESIMPULAN ............................................................................................ 15
B. SARAN ........................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
C. Tujuan Pembahasan
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fana’
Secara etimologi fana` adalah turunan dari faniya yang berarti kehidupan atau
kebinasaan. Dalam bahasa indonesia fana sendiri memiliki arti dapat rusak, hilang,
mati, yang secara umum menunjukkan tidak kekal. Kata fana' sebenarnya kurang
tepat jika diartikan rusak, karena fana' artinya peniadaan sesuatu pada sesuatu,
sedangkan rusak adalah perubahan sesuatu menjadi sesuatu yang berbeda dan
tergolong lebih buruk dari sebelumnya. Fana’ berbeda dengan al-Fasad, fana’ artinya
tidak nampaknya sesuatu sedangkan fasad adalah berubahnya sesuatu menjadi
sesuatu yang lain. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W378H/988M)
mendefinisikannya “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang tidak ada
pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaanya dan
dapat membedakan sesuatu secara sadar dan ia telah menghilangkan semua
kepentingan ketika berbuat sesuatu”. 1
Dalam bahasa inggris, fana' lebih tepat
diungkapkan dengan kata annihilation, yang artinya penghancuran, pembinasaan,
pembasmian, penghapusan, atau pengikisan. Ibarat benda alam yang ada di dunia
merupakan benda yang tidak kekal, eksistensinya atas dasar permulaan bukanlah
bentuk dari benda satu ke perubahan benda lainnya yang artinya benda tersebut
menghilang bukan karena rusak, melainkan karena hukum alam. Cara tersebut yang
disebut dengan cara fana', yaitu upaya dalam penghapusan suatu hal dan
menimbulkan suatu hal yang lain, bukan menggantinya dengan suatu hal lain lagi. 2
1
Rujuk Al-Jurjani, “Al-Ta`rifat(Beriut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), 1/256; Muhammad Rowas
Qol`aji, Mu`jam Lughatul Fuqaha`, hal. 169.
2
Hans Wehr, Arabic-English Dictionary: The Wans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic, vol. 1,
no.2 (Urban: Spoken Language Services, 1994), hal. 239.
2
kebasyirahan, yakni sifat manusia yang suka pada syahwat dan hawa nafsu.
Sedangkan Abdurrauf Singkel mengungkapkan tentang fana’ dan ini menurut istilah
para sufi adalah berarti hilang dan lenyap, sedangkan lawan katanya adalah baqa’ dan
lebih jelasnya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jawahir, fana’ adalah
kemampuan seorang hamba memandang bahwa Allah ta’ala berada pada segala
sesuatu. Dalam menjelaskan pengertian fana’, al-Qusyairi menulis, “Fanannya
seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain. Sebenranya dirinya tetap ada demikian
pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya.
Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi kedalam diri Tuhan
dan terjadilah ittihad”. Dengan demikian, Fana’ bagi seorang sufi adalah
mengharapkan kematian, maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh dunia.
Sehingga yang tersisa hidup di dalam dirinya hanyalah Tuhan semata.
3
Ibrahim Basyuni, Nasy`at Tasawwuf al-Islami, (Mesir: Dar al-Ma`arif, 1969), hal. 239.
3
kemanusiaan. Fanā' dan baqā' datang secara beriringan. 4Konsep fana' merupakan
gerbang penting dalam menuju akhir perjalanan spiritual, akan tetapi cara untuk
mencapai dan melaluinya menjadi perbincangan tersendiri yang cukup panjang di
kalangan para sufi.
Tokoh pembawa paham fana’ adalah Abu Yazid Al-Bustami, pencapaian Abu
Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan
kepada Allah ta’ala, seperti tampak dalam ceritanya “Setelah Allah menyaksikan
kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap
dengan keridaan-Nya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan, kata-Nya.
"Engkaulah yang aku inginkan," jawabku, "karena Engkau lebih utama daripada
anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau, aku mendapat
kepuasan dalam diri-Mu...”. Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan
dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai
kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri nafsumu dan kemarilah. Abu Yazid
sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya “Aku
tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tau pada-Nya
melalui diri-Nya, maka aku pun hidup”.5
Ajaran Fana’
Tokoh pembawa paham fana’ adalah Abu Yazid Al-Bustami, pencapaian Abu
Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan
kepada Allah ta’ala, seperti tampak dalam ceritanya “Setelah Allah menyaksikan
kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap
dengan keridaan-Nya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan, kata-Nya.
"Engkaulah yang aku inginkan," jawabku, "karena Engkau lebih utama daripada
anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau, aku mendapat
kepuasan dalam diri-Mu...”. Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan
dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai
4
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT, Bina Ilmu, t.t), hal. 234
5
Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 160-161
4
kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri nafsumu dan kemarilah. Abu Yazid
sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya “Aku
tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tau pada-Nya
melalui diri-Nya, maka aku pun hidup”.6
B . Pengertian Baqa’
6
Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 160-161
7
Ahmad Bangun dkk, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada: 2013), hal. 94-95
5
usaha-usaha seperti bertaubat,berdzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak
yang terpuji.
Artinya:
"Semua yang ada di bumi itu akan binasa (26), tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki
kebesaran dan kemuliaan tetap kekal (27)."
Jika kita ambil hikmah dari ayat di atas, sudah sepatutnya manusia menyadari betapa
kecil dan lemahnya manusia itu. Betapa hinanya Ketika manusia bersifat sombong,
mengaku dirinya kuat sehingga melupakan Sang Penciptanya. Betapapun kuatnya
orang tersebut, pada akhirnya juga akan mati dan rusak, dan hanya amal
perbuatannya yang membuktikan bahwa dirinya sebagai orang yang mulia atau hina. 8
Oleh karena itu, sufi mengibaratkan fana’ dengan baqa’ seperti dua sisi mata
uang logam, yaitu di sisi satu adalah fana’ dan di sisi lainnya adalah baqa’. al-
8
Abu Husain Ahmad bin Faris Zakariyya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Juz 1, hal.276
6
Qusyairi menyatakan dalam kitabnya sebagai berikut: “Barangsiapa meninggalkan
perbuatan-perbuatan tercela. Maka ia sedang fana’ dari syahwatnya. Tatkala fana’
dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah. Barangsiapa yang zuhud
dari keduniaan, maka ia sedang fana’ dari keinginannya yang berarti pula sedang
baqa’ dalam ketulusan inabah (Kembali) kepada Allah. Barangsiapa yang
menumbuhkan akhlak mulia, kemudian dia menghilangkan hasad, dendam, bakhil,
pelit, sombong dan lain-lain dari kekotoran jiwa, dia dapat dikatakan fana’
(menghilangkan) budi pekerti yang buruk. Dan apabila dia telah menghilangkan
(fana’) budi pekerti yang buruk maka tetap (baqa’) lah dalam kebaikan dan
kebenaran. 9
Ajaran Baqa’
a. “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur kemudian aku tahu
pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”.
b. “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati kemudian ia membuat
aku gila pada-Nya, dan akupun hidup.. aku berkata: gila pada diriku adalah
kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup”.10
C. Pengertian Ittihad
Kata Ittihad berasal dari kata ijtahada yajttahidu ijtihadan yang berarti
kebersatuan. Ittihad menurut Abu Yazid Al Bustami, secara komperhensif maupun
etimologis, berarti integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad memiliki arti
9
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf (Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Press, 2012)
10
A. Mustofa, Drs. H., Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia 2010.
7
“bergabung menjadi satu”. Paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah
setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk
kemudian dalam keadaan baqa’, bersatu dengan Allah. Ittihād dalam ajaran tasawuf
kata Ibrahim Madkur adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan
jiwa manusia. Menurut Harun Nasution, ittihad adalah satu tingkatan seorang sufi
yang telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan ketika yang mencintai
dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat
memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”.11
Ajaran Ittihad
11
A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: 2022), hal. 83
8
mencintai dan yang dicintai. Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan
Tuhannya telah menjadi satu, terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu
yang tidak pernah dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar
oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-
ucapan yang ganjil dan aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat, ttihad itu akan
tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia tidak
mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari
itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam paham ittihad hilangnya kesadaran adalah
permulaan untuk memasuki tingkat ittihad yang sebenarnya dicapai dengan adanya
kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan
kesinambungan hidup setelah kehancuran , al-baqa’ ba’adal-fana’ dan hilangnya
kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah
pemberian Tuhan kepadaseorang sufi.
9
ungkapannya,Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku.
Atau pun berkata : Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.
Selanjutnya Abu Yazid berkata : “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada
Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”
10
kejiwaan sewaktu fana’, Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah
adalah fana’ al-fana’, yakni lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran
telah terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya. Salah satu dalil tentang
adanya fana’ ini yang sering disitir dalam kitab-kitab tasawuf adalah firman Allah
dalam surah Yusuf ayat 31 sebagai berikut: “Maka tatkala wanita itu (Zulaikha)
mendengar cercaan mereka, diundangnya lah wanita-wanita itu dan disediakannya
bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah
pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf) : “Keluarlah
(nampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya,
mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan
berkata: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain
hanyalah malaikat yang mulia”. (Surat Yusuf/12: 31).
Menurutnya ada empat karakter khas pengalaman mistis, dan dengan cara
menjelaskan keempat karakter tersebut diharapkan mampu menghindari dari
perselisihan verbal dan sikap saling menyalahkan. Empat karakter tersebut ialah
sebagai berikut :
11
kualitas semacam ini harus dialami secara langsung dan tidak bisa diberikan
atau dipindahkan kepada orang lain.
2) Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan, bagi orang
yang mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi berpengetahuan. Dalam
situasi ini, orang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang
tidak bisa digali melalui intelek yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan
peristiwa pencerahan dan pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang
hanya bisa dirasakan.
3) Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang
cukup lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi, batas-
batas yang bias dialami seseorang sebelum kemudian pulih kekeadaan biasa
adalah sekitar setengah jam, atau paling lama satu atau dua jam.
4) Kepasifan. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan
pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan
pikiran,gerakan tubuh tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan
dalam pelbagai buku panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran
khas yang ada pada situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk
sementara hasratnya menghilang dan ia merasa direngkuh dan dikuasai oleh
suatu kekuatan yang lebih tinggi.
Dengan mengikuti keterangan zaman diatas , maka situasi ittihad Abu Yazid
harus dipahami dalam konteks pengalaman kejiwaan seorang sufi. Sebagai
pengalaman kejiwaan yang berdimensi spiritual tentu sangat bersifat personal dan
unik.
Abu Yazid memiliki nama lengkap Abu Yazid Taifur bin ‘Isa bin Surusyan
Al-Bustami. Dia dilahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, salah satu di
daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia. Ia salah seorang tokoh sufi yang terkenal
12
dalam abad ketiga hijriah. Surusyan, kakeknya Abu Yazid, adalah seorang penganut
Zoroaster yang kemudian menganut Islam di Bustam. Keluarganya cukup berada,
namun Abu Yazid memilih hidup secara sederhana.Dalam menjalani kehidupan
zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya
sedikit tidur, makan, dan juga minum, Sebagaimana anak dan remaja muslim lainnya,
ia pada masa mudanya mendalami al-Qur’an dan hadits. Ia juga menekuni fiqih
Hanafi, kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat
begitu juga tentang fana fari Abu Ali Sindhi, sehingga tidak perlu diragukan bahwa di
masa mudanya ia sudah memiliki pengetahuan agama yang luar biasa.
Abu Yazid al-Bustami adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya zahid
itu adalah seseorang yang mampu atau bisa mendo’akan dirinya untuk selalu
berdekatan dengan Allah. Menurutnya hal ini dapat ditempuh melalui tiga fase atau
tahapan, yaitu: pertama zuhud terhadap dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan
ketiga zahid terhadap selain Allah. Dalam tahapan terakhir ini dia berada dalam
kondisi mental yang membuat dirinya tidak mengingat apa-apa selain Allah, yang ada
hanyalah Allah belaka, Abu Yazid juga seorang sufi yang membawa paham yang
berbeda dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya.
Ajaran yang dibawanya banyak di tentang oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang
menyebabkan dia keluar masuk penjara, Dia memiliki banyak pengikut yang percaya
dengan ajaran-ajaran yang diajarkannya. Pengikut-pengikutnya menamakan dirinya
taifur. Sayang sekali bahwa al-Bustami, yang berusia panjang dan kaya dengan
pengalaman-pengalaman kesufian, tidak meninggalkan karya tulis. Ajaran
pandangannya hanya dapat diketahui melalui
Catatan-catatan yang dibuat oleh para muridnya, atau oleh tokoh-tokoh sufi
lainnya yang pernah berjumpa dengannya. Jika tidak ada pengarang seperti al-Attar,
orang tidak akan mengenalnya sama sekali. Beberapa catatan mengenai hidupnya
hanya berupa anekdot- anekdot sufi belaka, Beliau meninggal pada tahun 261 H / 875
M, dan makamnya masih ada hingga saat ini. Makamnya yang terletak di tengah-
tengah kota, menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan
13
berdampingan dengan kuburan Hujwiri, NasirKhusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313
M didirikan di atasnya sebuah kubah yang indah oleh seorang sultan Mongol,
Muhammad Khodabanda atas nasihat gurunya Syekh Syafruddin, salah seorang
keturunan dari Bustam. Diantara sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu
dengan Tuhan adalah Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai
pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.
14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Secara etimologi fana` adalah turunan dari faniya yang berarti kehidupan atau
kebinasaan. Dalam bahasa indonesia fana sendiri memiliki arti dapat rusak,
hilang, mati, yang secara umum menunjukkan tidak kekal. Tokoh pembawa
paham fana’ adalah Abu Yazid Al-Bustami, pencapaian Abu Yazid ke tahap
fana’ terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada
Allah ta’ala. Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam
mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai
kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri nafsumu dan kemarilah. Abu
Yazid sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu
ucapannya “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian
aku tau pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup”.
2. baqa’ adalah kekalnya sifat terpuji dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia,
kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan
kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Fana’ dan baqa’ rupanya tidak dapat di
pisahkan. Fana’ merupakan permulaannya, sedangkan baqa’ akhir
perjalanannya. Dan selalu sambung-menyambung. Tokoh sufi pertama yang
memunculkan persoalan baqa’ adalah Abu Yazid Al-Bustami. Abu Yazid
merupakan salah satu tokoh sufi yang telah melewati ma’rifah. Beberapa
paham yang dapat dianggap sebagai timbulnya fana’ dan baqa’ adalah:
a. “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur kemudian aku
tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”.
b. “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati kemudian ia membuat
aku gila pada-Nya, dan akupun hidup.. aku berkata: gila pada diriku adalah
kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup”.
3. Ittihad memiliki arti “bergabung menjadi satu”. Paham ini berarti seorang sufi
dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran
rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa’, bersatu
dengan Allah. Tokoh dari ittihad adalah abu yazid albustomi yang telah
mencapai level ma'rifat dalam ajaran tasawuf nya. Dalam ittihad, identitas
telah hilang, identitas telah menjadi satu. Karena yang dilihat dan dirasakan
hanya satu wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai
dan yang dicintai. Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya
telah menjadi satu, terbukalah dinding baginya.
4. Abu Yazid memiliki nama lengkap Abu Yazid Taifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-
Bustami. Dia dilahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, salah satu di
15
daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia. Ia salah seorang tokoh sufi yang
terkenal dalam abad ketiga hijriah. Surusyan, kakeknya Abu Yazid, adalah
seorang penganut Zoroaster yang kemudian menganut Islam di Bustam. Abu
Yazid al-Bustami adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya hal ini
dapat ditempuh melalui tiga fase atau tahapan, yaitu: pertama zuhud terhadap
dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan ketiga zahid terhadap selain Allah.
Diantara sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan
adalah Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa
faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.
5. SARAN
Penulis menyadari bahwa penulis masih sangat jauh sekali dari kata-kata
sempurna, untuk kedepannya penulis akan lebih jelas dan lebih fokus lagi dalam
menerangkan penjelasan mengenai makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih
lengkap dan lebih banyak lagi, dan tentunya bisa untuk dipertanggung jawabkan.
Untuk saran yang akan kalian berikan kepada penulis, bisa berupa kritikan-kritikan
dan saran- saran kepada penulis guna untuk menyimpulkan kepada kesimpulan dari
pembahasan makalah yang sudah dijelaskan didalam makalah.
16
DAFTAR PUSTAKA
17