Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KONSEP FANA`, BAQA` DAN ITTIHAD


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu :
Dr. Mohammad Ja`far Ashodiq, S. Kom., M.Pd.I

Disusun Oleh :
Kelompok 8 PAI-3E

1. Vioka Deva Althaf R. (1860201222143)


2. Salma Agustin (1860201221001)
3. Imroatul Noviana Fitria (1860201222189)
4. Layyinah 'Aidi Lillah (1860201223227)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
OKTOBER 2023
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah Swt. atas selesainya
makalah berjudul “Bahan Ajar” ini tepat waktu. Sholawat dan salam semoga tetap
tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, para sahabat, dan
umatnya hingga akhir zaman.
Beberapa pihak telah membantu dan mendukung dalam menyusun makalah
ini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Rasa terima kasih disampaikan
pada pihak-pihak berikut ini :
1. Prof. Dr. H. Mafthukhin M.Ag. selaku Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung.
2. Prof. Dr. Hj. Binti Maunah M.Pd.I. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan.
3. Dr. Mohammad Ja`far Ashodiq, S. Kom., M.Pd.I. selaku Dosen Pengampu
Mata Kuliah Ilmu Akhlak Tasawuf
4. Kedua Orangtua kami yang sudah mendoakan kami.
5. Serta semua rekan dan pihak yang sudah membantu dalam pembuatan
makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa isi makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca mengenai isi
makalah ini.

Tulungagung, 19 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I....................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1

C. Tujuan Pembahasan........................................................................................ 1

BAB II ..................................................................................................................... 2

PEMBAHASAN ...................................................................................................... 2

A. Pengertian Fana’ ............................................................................................ 2

B. Pengertian Baqa' …………………………………………………………..….5

C. Pengertian Ijtihad ........................................................................................... 7

D. Biografi Abu Yazid Al-Bustami ........................................................................ 10

BAB III PENUTUP............................................................................................... 15

A. KESIMPULAN ............................................................................................ 15

B. SARAN ........................................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf merupakan disiplin ilmu yang lebih banyak berbicara persoalan-


persoalan batin, kondisi-kondisi rohani dan hal-hal lain. Pengalaman-pengalaman
yang dibentuk melalui proses ajaran sufi bersifat mistis dan hampir selalu
mengarah kedalam, yang sangat pribadi dan sulit dikomunikasikan kepada orang
lain.
Karena kecenderungan mereka dalam mengungkapkan dunianya yang lebih
mengarah kepada hal-hal mistis, maka pesan-pesan Al-Qur’an dan hadist oleh
mereka tidak dipahami dari sudut makna lahiriyah, tapi dari sisi tafsir batiniah dan
di ungkapkan dalam kata-kata kiasan dan pelambang seperti fana’,baqa’ dan
ittihad. Sehingga pada gilirannya mengalami benturan pemahaman yang memang
lebih banyak menekankan pemahaman keagamaan dari aspek bentuk makna
lahiryiah.
Pada bab ini kita akan mengkaji al-fana, al-baqa’ dan al- ittihad dari segi
pengertian. Kemudian Tokoh dan ajaran dari al-fana’, al-baqa’ dan al-ittihad.
Pemahaman terhadap fana’ dan baqa merupakan dasar untuk memahami
hakikat diri dan hakikat ketuhanan. Paham ajaran ini merupakan peningkatan dari
paham makrifat dan mahabbah. Paham ini mulai dikembangkan oleh Abu Yazid
Al-Bustami pada abad III Hijriyah yang di pandang sebagai cikal bakal timbulnya
ajaran kesatuan wujud atau ittihad.
B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian paham Fana’, baqa’, dan ittihad?


2. Siapakah tokoh-tokoh ajaran Fana’, baqa’, dan ittihad?
3. Bagaimana ajaran dari tokoh fana’, baqa, dan ajaran Ittihad?
4. Bagaimana Biografi dari tokoh fana’,baqa’, dan ittihad?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui pengertian Fana, baqa, dan ittihad


2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh Fana’, baqa, dan ittihad
3. Untuk mengetahui ajaran dari tokoh fana’, baqa, dan Ittihad
4. Untuk mengetahui Biografi dari tokoh fana’, baqa’, dan ittihad

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fana’

Secara etimologi fana` adalah turunan dari faniya yang berarti kehidupan atau
kebinasaan. Dalam bahasa indonesia fana sendiri memiliki arti dapat rusak, hilang,
mati, yang secara umum menunjukkan tidak kekal. Kata fana' sebenarnya kurang
tepat jika diartikan rusak, karena fana' artinya peniadaan sesuatu pada sesuatu,
sedangkan rusak adalah perubahan sesuatu menjadi sesuatu yang berbeda dan
tergolong lebih buruk dari sebelumnya. Fana’ berbeda dengan al-Fasad, fana’ artinya
tidak nampaknya sesuatu sedangkan fasad adalah berubahnya sesuatu menjadi
sesuatu yang lain. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W378H/988M)
mendefinisikannya “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang tidak ada
pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaanya dan
dapat membedakan sesuatu secara sadar dan ia telah menghilangkan semua
kepentingan ketika berbuat sesuatu”. 1
Dalam bahasa inggris, fana' lebih tepat
diungkapkan dengan kata annihilation, yang artinya penghancuran, pembinasaan,
pembasmian, penghapusan, atau pengikisan. Ibarat benda alam yang ada di dunia
merupakan benda yang tidak kekal, eksistensinya atas dasar permulaan bukanlah
bentuk dari benda satu ke perubahan benda lainnya yang artinya benda tersebut
menghilang bukan karena rusak, melainkan karena hukum alam. Cara tersebut yang
disebut dengan cara fana', yaitu upaya dalam penghapusan suatu hal dan
menimbulkan suatu hal yang lain, bukan menggantinya dengan suatu hal lain lagi. 2

Fana' dalam terminologinya dapat ditemukan pada pembahasan para sufi,


karena konsep fana' sendiri lahir dari tradisi tasawuf. Dalam sufisme dan syariah kata
fana’ berarti to die and disappear (mati dan menghilang). Selain itu, Mustafa Zuhri
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana’ adalah lenyapnya indrawi atau

1
Rujuk Al-Jurjani, “Al-Ta`rifat(Beriut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), 1/256; Muhammad Rowas
Qol`aji, Mu`jam Lughatul Fuqaha`, hal. 169.
2
Hans Wehr, Arabic-English Dictionary: The Wans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic, vol. 1,
no.2 (Urban: Spoken Language Services, 1994), hal. 239.

2
kebasyirahan, yakni sifat manusia yang suka pada syahwat dan hawa nafsu.
Sedangkan Abdurrauf Singkel mengungkapkan tentang fana’ dan ini menurut istilah
para sufi adalah berarti hilang dan lenyap, sedangkan lawan katanya adalah baqa’ dan
lebih jelasnya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jawahir, fana’ adalah
kemampuan seorang hamba memandang bahwa Allah ta’ala berada pada segala
sesuatu. Dalam menjelaskan pengertian fana’, al-Qusyairi menulis, “Fanannya
seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain. Sebenranya dirinya tetap ada demikian
pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya.
Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi kedalam diri Tuhan
dan terjadilah ittihad”. Dengan demikian, Fana’ bagi seorang sufi adalah
mengharapkan kematian, maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh dunia.
Sehingga yang tersisa hidup di dalam dirinya hanyalah Tuhan semata.

Secara definitif fana adalah kondisi hilangnya kesadaran pribadi terhadap


dirinya sendiri dan melepaskan diri sendiri dari alam materi dan nafsu duniawi. 3Fana
akan melenyapkan indrawi kemanusiaannya, hubungannya dengan alam materi dan
nafsu, sehingga di dalam dirinya hanya tersisa diri Tuhan. Dari sini fanā' merupakan
gambaran kondisi seorang sālik yang mampu mematikan dirinya dari nafsu dunia
maupun pengaruhnya. Pengaruh duniawi kadang membuat manusia menjadi buruk
dan tidak akan bisa bersatu dengan yang Maha Suci, jika masih ada keburukan dalam
diri. Dengan demikian, fanā bertujuan untuk menghilangkan keburukan dalam diri
manusia, termasuk di dalamnya sifat-sifat buruk secara lahir maupun batin.
Memperhatikan pembahasan pengertian fanā' seperti di atas, dapat dilihat bahwa fanā'
bukan hanya sebagai kondisi, melainkan juga maqam dan tahap yang wajib dilalui
oleh seorang sālik. Dalam kajian tasawuf, fana' selalu dikaitkan dengan baqa' yang
artinya kekal. Baqā' akan muncul sebagai akibat dari fanā', artinya menetapnya sifat-
sifat yang terpuji, yang merupakan pancaran dari sifat-sifat Tuhan dan mengekal
dalam manusia, karena fană 'nya sifat-sifat tercela yang bersumber dari diri

3
Ibrahim Basyuni, Nasy`at Tasawwuf al-Islami, (Mesir: Dar al-Ma`arif, 1969), hal. 239.

3
kemanusiaan. Fanā' dan baqā' datang secara beriringan. 4Konsep fana' merupakan
gerbang penting dalam menuju akhir perjalanan spiritual, akan tetapi cara untuk
mencapai dan melaluinya menjadi perbincangan tersendiri yang cukup panjang di
kalangan para sufi.

Tokoh pembawa paham fana’ adalah Abu Yazid Al-Bustami, pencapaian Abu
Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan
kepada Allah ta’ala, seperti tampak dalam ceritanya “Setelah Allah menyaksikan
kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap
dengan keridaan-Nya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan, kata-Nya.
"Engkaulah yang aku inginkan," jawabku, "karena Engkau lebih utama daripada
anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau, aku mendapat
kepuasan dalam diri-Mu...”. Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan
dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai
kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri nafsumu dan kemarilah. Abu Yazid
sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya “Aku
tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tau pada-Nya
melalui diri-Nya, maka aku pun hidup”.5

Ajaran Fana’

Tokoh pembawa paham fana’ adalah Abu Yazid Al-Bustami, pencapaian Abu
Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan
kepada Allah ta’ala, seperti tampak dalam ceritanya “Setelah Allah menyaksikan
kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap
dengan keridaan-Nya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan, kata-Nya.
"Engkaulah yang aku inginkan," jawabku, "karena Engkau lebih utama daripada
anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau, aku mendapat
kepuasan dalam diri-Mu...”. Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan
dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai

4
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT, Bina Ilmu, t.t), hal. 234
5
Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 160-161

4
kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri nafsumu dan kemarilah. Abu Yazid
sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya “Aku
tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tau pada-Nya
melalui diri-Nya, maka aku pun hidup”.6

Dalam kesempatan lain dijelaskannya pula bagaimana “perjalanannya dalam


menempuh fana’ itu: “Permulaan adanya aku di dalam Wahdan-Nya, aku menjadi
burung yang tubuhnya dari Ahdiyat, dan kedua sayap daripada daimunah (tetap dan
kekal) maka senantiasalah aku terbang dalam udara kaifiat 10 tahun lamanya,
sehingga aku dalam udara demi rupa 100 juga kali. Maka senantiasalah aku terbang
dan terbang lagi di medan azal. Maka kelihatanlah! Olehku pohon ahdiat” (lalu beliau
terangkan apa yang dilihatnya pada pohon itu, buminya, dahannya, buahnya dan
lainnya). Akhirnya beliau berkata: “Demi sadarlah aku dan tahulah aku bahwasannya
sama sekali itu hanyalah tipuan khayalan belaka”. Kata-kata yang demikian dinamai
oleh Syathathat, artinya ialah kata-kata yang penuh khayal, yang tidak dapat
dipegangi dan dikenakkan hukum. Karena orang yang berkata pada waktu itu sedang
“mabuk” (bukan mabuk alcohol). Mabuk oleh fana’nya, oleh tiada sadar pada diri ini
lagi, sebab tenggelam dalam lautan tafakkur. Sebab itu menurut penyelidikan,
beliaulah yang mula-mula sekali menciptakan suatu istilah dalam taswuf yang
bernama “As-sakar”, artinya mabuk. “Al-Isyq, artinya rindu-dendam. Shufi yang
besar ini meninggal di tahun 261 H. (877 M).7

B . Pengertian Baqa’

Baqa’ berasal dari kata baqiya-yabqa-baqa’an yang berarti tetap. Dalam


Bahasa inggris dikenal dengan kata to remain, persevere. Sedangkan berdasarkan
pada istilah tasawuf, baqa’ adalah kekalnya sifat terpuji dan sifat-sifat tuhan dalam
diri manusia, kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan
dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa’ ini perlu dilakukan

6
Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 160-161
7
Ahmad Bangun dkk, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada: 2013), hal. 94-95

5
usaha-usaha seperti bertaubat,berdzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak
yang terpuji.

Semua makhluk di alam semesta ini seperti manusia, binatang, tumbuhan,


planet, dengan segala isinya, pada saatnya nanti akan mengalami kerusakan dan
kehancuran. Manusia yang sewaktu hidupnya gagah perkasa, berharta, dan berkuasa,
akhirnya juga akan mati. Apapun wujudnya, seluruh ciptaan Allah di dunia ini akan
mengalami kerusakan dan kehancuran. Namun hanya ada satu yang kekal selamanya,
itulah Allah SWT, karena Allah mempunyai sifat kekal (Baqa’) hal ini dijelaskan
dalam Q.S Ar-Rahman ayat 26-27 :

‫علَي َها َمن كُل‬


َ ‫) فَان‬26

‫اۡلك َر ِّام ال َج ٰل ِّل ذُو َر ِّبكَ َوجهُ َّو َيب ٰقى‬


ِّ ‫ۚو‬
َ )27

Artinya:

"Semua yang ada di bumi itu akan binasa (26), tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki
kebesaran dan kemuliaan tetap kekal (27)."

Jika kita ambil hikmah dari ayat di atas, sudah sepatutnya manusia menyadari betapa
kecil dan lemahnya manusia itu. Betapa hinanya Ketika manusia bersifat sombong,
mengaku dirinya kuat sehingga melupakan Sang Penciptanya. Betapapun kuatnya
orang tersebut, pada akhirnya juga akan mati dan rusak, dan hanya amal
perbuatannya yang membuktikan bahwa dirinya sebagai orang yang mulia atau hina. 8

Fana’ dan baqa’ rupanya tidak dapat di pisahkan. Fana’ merupakan


permulaannya, sedangkan baqa’ akhir perjalanannya. Dan selalu sambung-
menyambung. Maksudnya adalah apabila telah terjadi proses penghilangan sifat
manusia dari hasil penghancuran tersebut, maka yang muncul kemudian adalah sifat-
sifat seperti halnya yang dimiliki oleh Allah.

Oleh karena itu, sufi mengibaratkan fana’ dengan baqa’ seperti dua sisi mata
uang logam, yaitu di sisi satu adalah fana’ dan di sisi lainnya adalah baqa’. al-
8
Abu Husain Ahmad bin Faris Zakariyya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Juz 1, hal.276

6
Qusyairi menyatakan dalam kitabnya sebagai berikut: “Barangsiapa meninggalkan
perbuatan-perbuatan tercela. Maka ia sedang fana’ dari syahwatnya. Tatkala fana’
dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah. Barangsiapa yang zuhud
dari keduniaan, maka ia sedang fana’ dari keinginannya yang berarti pula sedang
baqa’ dalam ketulusan inabah (Kembali) kepada Allah. Barangsiapa yang
menumbuhkan akhlak mulia, kemudian dia menghilangkan hasad, dendam, bakhil,
pelit, sombong dan lain-lain dari kekotoran jiwa, dia dapat dikatakan fana’
(menghilangkan) budi pekerti yang buruk. Dan apabila dia telah menghilangkan
(fana’) budi pekerti yang buruk maka tetap (baqa’) lah dalam kebaikan dan
kebenaran. 9

Ajaran Baqa’

Dalam tasawuf, yang dipandang sebagai tokoh sufi pertama yang


memunculkan persoalan baqa’ adalah Abu Yazid Al-Bustami. Abu Yazid merupakan
salah satu tokoh sufi yang telah melewati ma’rifah. Diapun telah mencapai fana’,
baqa’ kemudian ittihad bersatu dengan Tuhan. Beberapa paham yang dapat dianggap
sebagai timbulnya fana’ dan baqa’ adalah:

a. “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur kemudian aku tahu
pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”.
b. “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati kemudian ia membuat
aku gila pada-Nya, dan akupun hidup.. aku berkata: gila pada diriku adalah
kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup”.10

C. Pengertian Ittihad

Kata Ittihad berasal dari kata ijtahada yajttahidu ijtihadan yang berarti
kebersatuan. Ittihad menurut Abu Yazid Al Bustami, secara komperhensif maupun
etimologis, berarti integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad memiliki arti

9
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf (Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Press, 2012)
10
A. Mustofa, Drs. H., Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia 2010.

7
“bergabung menjadi satu”. Paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah
setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk
kemudian dalam keadaan baqa’, bersatu dengan Allah. Ittihād dalam ajaran tasawuf
kata Ibrahim Madkur adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan
jiwa manusia. Menurut Harun Nasution, ittihad adalah satu tingkatan seorang sufi
yang telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan ketika yang mencintai
dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat
memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”.11

Dalam pemahaman ini, seseorang untuk mencapai Ittihad harus melalui


beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa’. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk
manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua
kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa’). Inilah inti
ittihad, “diam pada kesadaran ilahi”. Tokoh pembawa paham ittihad adalah Abu
Yazid Al-Bustami. Menurutnya manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu
manusia hilang kesadarannya (sebagai manusia) maka pada dasarnya ia telah
menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia
menyatu dengan Tuhan.

Ajaran Ittihad

Dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad jarang bisa dijumpai.


Mungkin karena alasan keselamatan jiwa atau memang karena ajaran ini sulit
dipraktikkan, Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah
melalui tahapan fana’ dan baqa’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan
tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun
perbuatannya. Harun Nasution juga menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang dilihat
hanya satu wujud, sungguh pun ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain.
Dalam ittihad, identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Karena yang dilihat
dan dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang

11
A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: 2022), hal. 83

8
mencintai dan yang dicintai. Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan
Tuhannya telah menjadi satu, terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu
yang tidak pernah dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar
oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-
ucapan yang ganjil dan aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat, ttihad itu akan
tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia tidak
mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari
itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam paham ittihad hilangnya kesadaran adalah
permulaan untuk memasuki tingkat ittihad yang sebenarnya dicapai dengan adanya
kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan
kesinambungan hidup setelah kehancuran , al-baqa’ ba’adal-fana’ dan hilangnya
kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah
pemberian Tuhan kepadaseorang sufi.

Sekarang kalau memang fana’ yang merupakan prasyarat untuk mencapai


ittihad itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang sendirinya
setelah seorang sufi dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam
usaha memberikan jiwa sebagaimana dikemukakan di atas, Paham ittihad ini dalam
istilah Abu Yazid disebut tajrīd fana’ fīal-tauhīd, yaitu perpaduan dengan Tuhan
tanpa diantarai sesuatu apapun. Ungkapan Abu Yazid tentang peristiwa mi’rajnya
berikut ini akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan : Pada suatu hari aku
dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat
engkau, Aku Menjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi jika
itulah kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya untuk menentang kehendak- Mu.
Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat daku, mereka
akan berkata ‘Telah kami lihat Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak ada
di sana. Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini merupakan ilustrasi proses terjadinya
ittihad pada bagian awal ungkapan itu melukiskan alam ma’rifah dan selanjutnya
memasuki alam fana’ ‘annafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan
akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihad ini lebih jelas lagi dalam

9
ungkapannya,Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku.
Atau pun berkata : Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.
Selanjutnya Abu Yazid berkata : “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada
Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”

Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu seakan-akan ia


mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian maksudnya. Di sini Abu Yazid
mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi
sebagai gambaran Tuhan, karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan
kata lain Abu Yazid dalam ittihad berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat
lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid
menjelaskan ‘Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedangkan aku sendiri dalam
keadaan fana’, Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai
Tuhan. Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid sebagai kata-
katanya sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan ittihad, Proses
terjadinya fana’ hingga mencapai ittihad atau menyatu dengan wujud Allah
digambarkan sebagai berikut : Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan
sifat-sifat pribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya
kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah memulai
menyaksikan keindahan wajah Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan
terhadap sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-
sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan keindahan wajah Allah, kemudian
akhirnya lenyap kesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran telah merasa lebur
atau menyatu dalam wujud Allah.

Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihad, seorang sufi


harus melalui tiga tahapan, Yaitu pertama, lenyapnya kesadaran akan alam
sekelilingnya lantaran seluruh kesadarannya telah beralih dan terpusat ke alam batin.
Itulah baqa’ dalam penghayatan ghaib yang dalam tasawuf dinamakan kasyf. Pada
tingkat kedua mulai menyaksikan langsung apa yang mereka yakini sebagai zat Al-
Haqq (Tuhan). Itulah penghayatan ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam

10
kejiwaan sewaktu fana’, Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah
adalah fana’ al-fana’, yakni lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran
telah terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya. Salah satu dalil tentang
adanya fana’ ini yang sering disitir dalam kitab-kitab tasawuf adalah firman Allah
dalam surah Yusuf ayat 31 sebagai berikut: “Maka tatkala wanita itu (Zulaikha)
mendengar cercaan mereka, diundangnya lah wanita-wanita itu dan disediakannya
bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah
pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf) : “Keluarlah
(nampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya,
mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan
berkata: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain
hanyalah malaikat yang mulia”. (Surat Yusuf/12: 31).

Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini baru


ketuhanan seorang makhluk tatkala menyaksikan keindahan makhluk lain.sudah
fana’. Bayangkan bagaimana seorang sufi yang menghayati terbukanya tabir lalu
menyaksikan keindahan wajah Ilahi. Jadi tidak mengherankan bila dia fana’, tidak
sadar akan dirinya dan akan makhluk sejenisnya. Hanya dengan melihat wajah Nabi
Yusuf yang tampan, mereka telah terpesona hingga tak sadar, memotong jari mereka
dan tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona melihat keelokan
wajah Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata, Untuk memahami
pengalaman mistis seperti yang diuraikan di atas patut diperhatikan pernyatakan
William James dalam bukunya The VarietiesofReligionExperience.

Menurutnya ada empat karakter khas pengalaman mistis, dan dengan cara
menjelaskan keempat karakter tersebut diharapkan mampu menghindari dari
perselisihan verbal dan sikap saling menyalahkan. Empat karakter tersebut ialah
sebagai berikut :

1) Tidak bisa diungkapkan. Orang yang mengalaminya mengatakan bahwa


pengalaman itu tidak bisa diungkapkan, tidak ada uraian manapun yang
memadai untuk bisa mengisahkannya dalam kata-kata. Ini berarti bahwa

11
kualitas semacam ini harus dialami secara langsung dan tidak bisa diberikan
atau dipindahkan kepada orang lain.
2) Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan, bagi orang
yang mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi berpengetahuan. Dalam
situasi ini, orang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang
tidak bisa digali melalui intelek yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan
peristiwa pencerahan dan pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang
hanya bisa dirasakan.
3) Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang
cukup lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi, batas-
batas yang bias dialami seseorang sebelum kemudian pulih kekeadaan biasa
adalah sekitar setengah jam, atau paling lama satu atau dua jam.
4) Kepasifan. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan
pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan
pikiran,gerakan tubuh tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan
dalam pelbagai buku panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran
khas yang ada pada situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk
sementara hasratnya menghilang dan ia merasa direngkuh dan dikuasai oleh
suatu kekuatan yang lebih tinggi.

Dengan mengikuti keterangan zaman diatas , maka situasi ittihad Abu Yazid
harus dipahami dalam konteks pengalaman kejiwaan seorang sufi. Sebagai
pengalaman kejiwaan yang berdimensi spiritual tentu sangat bersifat personal dan
unik.

D. Biografi Abu Yazid Al-Bustami

Abu Yazid memiliki nama lengkap Abu Yazid Taifur bin ‘Isa bin Surusyan
Al-Bustami. Dia dilahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, salah satu di
daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia. Ia salah seorang tokoh sufi yang terkenal

12
dalam abad ketiga hijriah. Surusyan, kakeknya Abu Yazid, adalah seorang penganut
Zoroaster yang kemudian menganut Islam di Bustam. Keluarganya cukup berada,
namun Abu Yazid memilih hidup secara sederhana.Dalam menjalani kehidupan
zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya
sedikit tidur, makan, dan juga minum, Sebagaimana anak dan remaja muslim lainnya,
ia pada masa mudanya mendalami al-Qur’an dan hadits. Ia juga menekuni fiqih
Hanafi, kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat
begitu juga tentang fana fari Abu Ali Sindhi, sehingga tidak perlu diragukan bahwa di
masa mudanya ia sudah memiliki pengetahuan agama yang luar biasa.

Abu Yazid al-Bustami adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya zahid
itu adalah seseorang yang mampu atau bisa mendo’akan dirinya untuk selalu
berdekatan dengan Allah. Menurutnya hal ini dapat ditempuh melalui tiga fase atau
tahapan, yaitu: pertama zuhud terhadap dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan
ketiga zahid terhadap selain Allah. Dalam tahapan terakhir ini dia berada dalam
kondisi mental yang membuat dirinya tidak mengingat apa-apa selain Allah, yang ada
hanyalah Allah belaka, Abu Yazid juga seorang sufi yang membawa paham yang
berbeda dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya.
Ajaran yang dibawanya banyak di tentang oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang
menyebabkan dia keluar masuk penjara, Dia memiliki banyak pengikut yang percaya
dengan ajaran-ajaran yang diajarkannya. Pengikut-pengikutnya menamakan dirinya
taifur. Sayang sekali bahwa al-Bustami, yang berusia panjang dan kaya dengan
pengalaman-pengalaman kesufian, tidak meninggalkan karya tulis. Ajaran
pandangannya hanya dapat diketahui melalui

Catatan-catatan yang dibuat oleh para muridnya, atau oleh tokoh-tokoh sufi
lainnya yang pernah berjumpa dengannya. Jika tidak ada pengarang seperti al-Attar,
orang tidak akan mengenalnya sama sekali. Beberapa catatan mengenai hidupnya
hanya berupa anekdot- anekdot sufi belaka, Beliau meninggal pada tahun 261 H / 875
M, dan makamnya masih ada hingga saat ini. Makamnya yang terletak di tengah-
tengah kota, menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan

13
berdampingan dengan kuburan Hujwiri, NasirKhusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313
M didirikan di atasnya sebuah kubah yang indah oleh seorang sultan Mongol,
Muhammad Khodabanda atas nasihat gurunya Syekh Syafruddin, salah seorang
keturunan dari Bustam. Diantara sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu
dengan Tuhan adalah Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai
pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.

14
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Secara etimologi fana` adalah turunan dari faniya yang berarti kehidupan atau
kebinasaan. Dalam bahasa indonesia fana sendiri memiliki arti dapat rusak,
hilang, mati, yang secara umum menunjukkan tidak kekal. Tokoh pembawa
paham fana’ adalah Abu Yazid Al-Bustami, pencapaian Abu Yazid ke tahap
fana’ terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada
Allah ta’ala. Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam
mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai
kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri nafsumu dan kemarilah. Abu
Yazid sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu
ucapannya “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian
aku tau pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup”.
2. baqa’ adalah kekalnya sifat terpuji dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia,
kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan
kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Fana’ dan baqa’ rupanya tidak dapat di
pisahkan. Fana’ merupakan permulaannya, sedangkan baqa’ akhir
perjalanannya. Dan selalu sambung-menyambung. Tokoh sufi pertama yang
memunculkan persoalan baqa’ adalah Abu Yazid Al-Bustami. Abu Yazid
merupakan salah satu tokoh sufi yang telah melewati ma’rifah. Beberapa
paham yang dapat dianggap sebagai timbulnya fana’ dan baqa’ adalah:
a. “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur kemudian aku
tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”.
b. “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati kemudian ia membuat
aku gila pada-Nya, dan akupun hidup.. aku berkata: gila pada diriku adalah
kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup”.
3. Ittihad memiliki arti “bergabung menjadi satu”. Paham ini berarti seorang sufi
dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran
rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa’, bersatu
dengan Allah. Tokoh dari ittihad adalah abu yazid albustomi yang telah
mencapai level ma'rifat dalam ajaran tasawuf nya. Dalam ittihad, identitas
telah hilang, identitas telah menjadi satu. Karena yang dilihat dan dirasakan
hanya satu wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai
dan yang dicintai. Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya
telah menjadi satu, terbukalah dinding baginya.
4. Abu Yazid memiliki nama lengkap Abu Yazid Taifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-
Bustami. Dia dilahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, salah satu di

15
daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia. Ia salah seorang tokoh sufi yang
terkenal dalam abad ketiga hijriah. Surusyan, kakeknya Abu Yazid, adalah
seorang penganut Zoroaster yang kemudian menganut Islam di Bustam. Abu
Yazid al-Bustami adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya hal ini
dapat ditempuh melalui tiga fase atau tahapan, yaitu: pertama zuhud terhadap
dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan ketiga zahid terhadap selain Allah.
Diantara sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan
adalah Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa
faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.

5. SARAN

Penulis menyadari bahwa penulis masih sangat jauh sekali dari kata-kata
sempurna, untuk kedepannya penulis akan lebih jelas dan lebih fokus lagi dalam
menerangkan penjelasan mengenai makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih
lengkap dan lebih banyak lagi, dan tentunya bisa untuk dipertanggung jawabkan.
Untuk saran yang akan kalian berikan kepada penulis, bisa berupa kritikan-kritikan
dan saran- saran kepada penulis guna untuk menyimpulkan kepada kesimpulan dari
pembahasan makalah yang sudah dijelaskan didalam makalah.

16
DAFTAR PUSTAKA

A Mustofa, Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia,2010.


Ahmad, Abu Husain bin Faris bin Zakariyya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz 1,
(Mesir: Mustafa Al-Bab al-Halabi, 1972): 27.
Ahmad, Rayani. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.
Al-Jurjani, Rujuk. “Al-Ta’rifat (Beriut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 1/256;
Muhammad Rowas Qal’aji”, Mu’jam Lughatul Fuqaha’.
Ampel, Tim Penyusunan MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Press, 2012
Basyuni, Ibrahim. 1969, ”Nasy at Tasawwuf al-Islami, Mesir: Dar al-Ma’arif, nd.
Solihin. “Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Wehr, Hans. Vol. 1, no. 2. 1994, “Arabic-English Dictionary: The Hans Wehr
Dictionary of Modern Written Arabic”, Urbana: Spoken Language Services.
P. 3.
Zahri, Mustafa. Tt, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Zunaidi.Arif. “The Contribution of Abu-Hamid al-Ghazali to Shaping Business
People’s Personalites”. TSAQAFAH 18.1 (2022): 83-108.

17

Anda mungkin juga menyukai