Anda di halaman 1dari 11

Konsep Fana dan Baqa dalam Tasawuf

Oleh
Deswita Putri Salsabil / 2020010108027
Ummu Kalsum / 2020010108009
Restiani / 2020010108030
Muh. Amin / 18010107037
DOSEN PENGAMPU
Finsa Adhi Pratama. M. Ag

A. Pendahuluan

1. LATAR BELAKANG

Tasawuf merupakan disiplin ilmu yang lebih banyak berbicara persoalan-


persoalan batin, kondisi-kondisi rohani dan hal-hal lain yang bersifat esoteric.
Pengalaman-pengalaman yang dibentuk melalui proses imprementasi ajaran sufi bersifat
mistis dan hampir selalu mengarah kedalam, yang sangat pribadi dan sulit
dikomunikasikan kepada orang lain.
Tasawuf ini sendiri disebut juga sebagai “Mistisme dalam Islam”.Di kalangan
orientalis Barat lebih dikenal dengan sebutan “Sufisme”.Kata “Sufisme” merupakan
istilah khusus mistisme Islam. Sehingga kata “Sufisme” tidak ada pada mistisme agama-
agama lain.
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari
Tuhan.Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa
manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak
komunikasi dan dialog antara ruh manusia dan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa
manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaanya yang dekat dengan Tuhan akan
berbentuk “Ijtihad” (bersatu) dengan Tuhan yang kemudian berkelanjutan menjadi fana
dan baqa.
2. RUMUSAN MASALAH
 Apa yang di maksud Al-Fana dan Al- Baqa ?
 Bagaimana tujuan dan kedudukan Al-Fana dan Al-Baqa ?

3. Tujuan
 Untuk menyanggupi tugas yang telah di berikan mata kuliah” pemikiran
islam”
 Untuk memehami atau menambah ilmu pengetahuan mengenai konsep Al-
Fana dan Al- baqa dalam tasawuf

PENGERTIAN, TUJUAN DAN KEDUDUKAN AL-FANA’ DAN AL-BAQA’

Fana (‫ )الفناء‬artinya hilang, hancur. Fana adalah proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar
dapat bersatu dengan Tuhan. Sedangkan Baqa (‫ )البقاء‬artinya tetap, terus hidup. Baqa adalah sifat
yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran diri untuk mencapai ma’rifat.

Ibnu Arabi memberikan dua pengertian tentang fana, yaitu

 Fana’ dalam pengertian mistik, yaitu hilangya ketidaktahuan dan tinggalah pengetahuan
sejati yang diperoleh melalui instuisi tentang kesatuan esensial keseluruhan itu. Sufi tidak
menghilangkan dirinya, tetapi ia menyadari noneksistensi esensial itu sebagai suatu
bentuk. Atau hilangnya kesadaran atau perasaan, seorang (sufi) tidak merasakan lagi apa
yang terjadi dalam organismenya dan tidak pula merasakan ke-aku-annya serta alam
sekitarnya.
 Fana’ dalam pengertian metaisika, yang berarti hilangnya bentuk-bentuk dunia fenomena
dan berlangsungnya substansi universal yang satu. Menghilangnya suatu bentuk adalah
fana’-nya bentuk itu pada saat Tuhan memaniestasi (tajalli) dirinya dalam bentuk lain.

Beberapa guru sufi menjelaskan sebuah pemusnahan yang dikenal dengan fana al-fana’
(puncak segala pemusnahan). Dengan cara ini mereka bermaksud memusnahkan sama sekali
dirinya dihadapan keagungan Tuhan, melahirkan baqa yang benar-benar terlepas dari segala
keterikatan, menghilangkan seluruh kepribadiannya, demi untuk mencapai al-fana’ fillah
(pemusnahan diri menuu Tuhan). Baqa’ berasal dari baqiya yang berarti tetap. Atau menentap
dalam Allah SWT untuk selamanya.
Adapun dalam pemahaman dunia tasawuf adalah mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah.
Paham baqa tidak dapat dipisahkan dengan paham fana. Keduanya merupakan paham yang
berpasangan. Baqa merupakan tahap ketiga dan terakhir berupa fana diri (ta’alluq). Demikian
kondisi seorang hamba (al-abd) dan seorang wali (wali).
Baqa’merupakan istilah teknis dikalangan sufi. Menurut pandangan sufi, setelah melalui
kegiatan spiritual, penghayatan zikir, pencurahan terhadap segala sifat kebajikan, pengabdian
yang sebenarnya terhadap Tuhan, pemusnahan dan penghapusaan unsur-unsur kejiwaan (fana’)
maka yang tersisa dalam diri sufi adalah sesuatu yang hakiki dan sesuatu yang abadi dibalik
segala penampilan luaran.

Dalam jalan spiritual, sesudah tahap fana dalam Allah (fana’ fillah) Allah menetapkan
hamba-Nya dalam kedudukan segala kedudukan (maqam al-maqamat), atau Dia menyuruh
kembali kedunia untuk menyempurnakan mereka yang belum sempurna. Sehingga ada istilah al-
baqa’ ba’da al-fana’ (keabadian sesudah ke-fana’-an). Kaum arif menetapkan dalam Allah, tetapi
pergi kembali kepada makhluk dengan cinta, kemurahan, kehormatan, dan kemuliaan.

Al-baqa’ ba’da al-fana’ ditunjukkan kepada manusia paripurna yang harus bekerja dan
beramal di dunia supaya membimbing dan menyempurnakan mereka yang belum sempurna. Jika
tidak ada yang harus dikerjakan, Allah menyibukkan hamba-Nya dengan diri-Nya sendiri dalam
kedudukan segala kedudukan (maqam al-maqamat).
Sebagai akibat dari fana’ adalah baqa’ berarti kekal. Secara harfiah baqa’ berarti kekal,
sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat
Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya fana sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah
sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf fana dan baqa datang beriringan. Baqa adalah kekalnya
sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan
maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir,
beribadah, dan menghiasai diri dengan akhlak terpuji. Yang dituju oleh fana dan baqa adalah
mencapai persatuan secara rohaniah, dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya
hanya Tuhan dalam dirinya.

Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus-
menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. Fana’ merupakan keadaan seseorang hanya
menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan
atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan Tuhan).
Abu yajid menekankan dengan istilah fana’’an-nafs yaitu hilangnya kesadaran
kemanusiaannya dan menyatu kedalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu
dengan zat Allah. Jadi yang hilang adalah kesadarannya bukan jasadnya.

Dalam proses al-fana’ ada empat situasi getaran psikis yang dialami seseorang yaitu sebagai
berikut:

 As-sakar
Adalah situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia melihat dengan
perasaannya, seperti apa yang dialami oleh Nabi Musa as. Di tursina.

 As-sathahat
Secara bahasa berarti gerakan, sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai suatu
ucapan yang terlontar diluar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakar.

 Az-zawal al-hijab
Diartikan sebagai bebas dari dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah berada di
alam ilahiyat sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dari suara Tuhan.

 Ghalab asy-syuhud
Tingkat kesempurnaan musyahadah, pada tingkat mana ia lupa pada dirinya dan alam
sekitarnya, yang diingat dan dirasa hanya Allah seutuhnya.

Dalam perkembangan dunia tasawuf, terjadi adanya dua paham fana’ yaitu sebagai berikut:

1. fi tauhid, yaitu kalau seeorang telah larut dalam ma’rifatullah dan ia tidak menyadari
segala sesuatu selain Allah.
2. Fana’ sebagai penyatuan dirinya dengan Tuhan.

Pada saat seorang sufi mencapai ma’rifat, maka yang dilihat oleh seorang sufi sesampainya
ke tingkat ini adalah melihat Tuhan dengan hati sanubari, sehigga akhirnya ia bersatu dengan
Tuhan, yang dalam istilah sufi disebut dengan ittihad (mystical union). Akan tetapi sebelum
seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan ia harus terlebih dahulu menghancurkan dirinya.
Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tak
akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran ini dalam tasawuf disebut dengan fana.
Penghancuran dalam istilah sufi senantiasa diiringi dengan baqa’ (tetap, terus hidup). Fana’
dan baqa merupakan kembar dua yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat dari paham-
paham sufi’ berikut:
1. Jika kejahilan dari seorang hilang (fana’), maka yang akan ditinggal (baqa’) ialah
pengetahuannya.
2. Jika seorang dapat menghilangkan kemaksiatannya (fana’) maka yang akan tinggal
(baqa’) ialah taqwanya.
3. Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, ia akan mempunyai sifat-sifat Tuhan.
Kalau seorang sufi telah mencapai al-fana’ ‘an-al- nafs, yaitu kalau wujud jasmaninya sudah
tidak ada lagi (tak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal adalah wujud rohaninya dan ketika
itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. Dan kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi
langsung setelah tercapainya al-fana’ ‘an-al- nafs.
Tokoh yang dipandang telah memperkenalkan faham fana dan baqa ini adalah Abu Yazid Al-
Bustami. Hal ini dapat diketahui dari beberapa ungkapan ganjil yang keluar dari mulutnya ketika
ia mengalami fana.

A. Kemoderat Sufi dalam konsep Fana

Dalam perkembangannya yang awal, ada dua aliran al¬-Fana satu yang aliran yang paham
moderat yang diwakili oleh al-Junaid al-Baghdadi, biasanya
disebut selain Allah, maka ia telah fana dalam tauhid.
• Aliran fana yang kedua dipelopori oleh Abiu Yazid Al-Busthami yang mengartikan
fana sebagi sebagai penyatuan dirinya dengan Tuhan. Namun sebelum masa Busthami
fana diartikan sebagai pengabdian kualitas diri. Tetapi setelah mun culnya Ibnu Arabi
devenisi kemudian berubah.

B. Konsep Fana Menurut Ibnu Arabi.

Ibn Arabi telah mendefenisikan fana ke dalam dua pengertian yakni:


1). Fana dalam pengertian mistis, yaitu “ Hilangnya “ ketidaktahuan dan pengetahuan
sejati yang diperoleh melalui intuisi tentang kesatuan-kesatuan yang esensial secara
keseluruhan. sufi tidak menghilangkan dirinya, tetapi ia “menyadari” non esensial
esensial itu sebagai sutu bentuk

2). Fana dalam pengertian metafisika, yang menggambarkan bentuk-bentuk” dunia


fenomena dan berlangsungnya substansi universal yang satu”. Maksudnya disini adalah
menghilangnya suatu bentuk adalah “fananya” bentuk itu pada saat Tuhan memanifestasi
(tajalli) dirinya dalam bentuk lain. oleh karena itu kata Ibn arabi fana yang benar-benar
merupakan gambaran diri dalam keadaan pengetahuan dimana kesatuan-kesatuan dari
keseluruhan itu.

C. Relasi fana dengan Insan kamil

Menurut Ibn Arabi manusia adalah tempat tajalli yang paling sempurna karena manusia
kaun al-jami' merupakan sentral wujud, yaitu sebagai mikrokosmos yang merupakan sifat
ketuhanan pada manusia terhimpun rupa rupa Tuhan dan rupa alam, dimana substansi Tuhan
dengan segala sifat dan asmanya tempat mereka . Manusia disebut mikrokosmos karena dia
adalah roh semesta alam (makro kosmos). Insan kamil adalah hanya Nur Muhammad yaitu roh
Ilahi yang ditiupkan kepada Nabi Adam asIa adalah esensi kehidupan dan awal manusia, oleh
karena itu insan kamil adalah al-haqiqih Muhammadiyah. Dan untuk mencapai maqam ini harus
melalui dua tahap :
1. Fana fillah, sirna di wujud Tuhan hingga kaum sufi menjadi saru dengan-Nya.
2. Baqa' Kelanjutan wujud bersama Tuhan sehingga dalam pandangannya Tuhan ada pada
kesegalaan ini. yang diperoleh melalui pengembangan daya intuisi.

Ibnu arabi berpendapat bahwa proses gradual fana’ melalui enam tahap yaitu sebagai
berikut:

1. Fana’ ‘an ma’ashi, meniggalkan dosa.


2. Menjauhkan diri dari semua perbuatan apa pun. Artinya seorang sufi harus mampu
menyadari bahwa hanya Tuhan satu-satunya agen dan mutlak di alam ini, manusia tidak
berbuat apa-apa.
3. Menjauhkan diri dari sifat-sifat serta kualitas dari wujud-wujud kontingen (mumkimul
wujud). Sui harus menyadari bahwa segala macam-macam bentuk-bentuk yang ada,
sebenarnya adalah kepunyaan Tuhan. Pendengaran, penglihatan dan perasaan kita adalah
milik Tuhan. Artinya Tuhan melihat melihat diri-Nya sendiri melalui mata kita (sufi).
Sufi sejati adalah mereka yang dapat melihat Tuhan dari Tuhan di dalam Tuhan dan dari
mata Tuhan sendiri.
4. Menyingkir dari personalitas dirinya sendiri, menyadari noneksistensi dari fenomenal
dirinya sendiri serta ketuhanan dari substansi yang tidak bisa berubah.
5. Meninggalkan seluruh alam, yakni menghentikan penglihatan terhadap aspek enomena
dunia dan penyadaran terhadap aspek nyata (realita) yang merupakan hakikat dari
enomena.
6. Menghilangkan segala hal selain Tuhan, menghilangkan kesadaran terhadap diri sendiri
sebagai pelihat atau pemirsa, tetapi adalah Tuhan itu sendiri yang melihat dan dilihat. Ia
dilihat dari manifestasi-manifestasinya.
7. Memandang Tuhan sebagai Esensi alam melawan sebab dari alam itu. Sufi itu tidak
memandang alam ini sebagai suatu akibat dari sebab tetapi sebagi suatu realitas dari
penampakan.
Melalui pemjelasan tersebut ibn Arabi mempunyai tujuan akhir dari tasawuf yaitu melalui
“pengetahuan sejati” dan kebahagiaan puncaknya sebagai penyadaran melalui intuisi mistik,
yakni kesatuan esensialnya dengan Tuhan. Apa yang diperolehnya dari pengetahuan sejati (ilm
alyaqin) adalah esensi dari kepastian (ainul yaqin). dan pada saat dia mentrasendenkan tahap
dualitas dari pemberitahuan dan yang “diketahui” ia tiba di puncak kehidupan mistikal pada saat
mana ia saling berhadapan dengan Tuhan( haqqul Yaqin).

. Tingkatan Fana dalam Tasawuf


a. Ittihad
bila seorang Sufi telah sampai kepada fana yang paling di atas, maka pada saat itu ia telah
menyatu dengan Tuhan. sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa. Didalam perpaduan
itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah
yang dimaksud dengan Ittihad.
Menurut Bayazid menyebut ittihad sebagai tajrid Fana al Tauhid, yaitu perpaduan dengan
Tuhan tanpa di antarai sesuatu atau apapun. Bahkan beliau menjelaskan dengan puitis.
Kalimat Ittihad menunjuk- kan reklamasi yang terjadi( syariat), hilannya bagian jiwa dari
dunia dan keinginan-keinginan akhirat, sifat-sifat tercela dan sifat-sifat terpuji, kesalahan-
sifat keraguan dan tetpnya kesalahan kesalahan serta kesalahan kesalahan dan tetapnya
zikir kepadad Allah swt.
 PEMBAGIAN FANA

Fana’ fi Allah
Ini merupakan tahap terakhir dalam perjalanan kembali menuju Allah. Wujud sang
pencipta pun fana’ dan terserap dalam wujud kekasih

Fana’ fi mursyid
Terjadi ketika ajaran Nabi Muhammad yang diberikan melalui mursyid (syaikh) masuk
kedalam hati sang murid dan terhujam kuat. Sang murid pun terserap oleh ajaran itu
dengan terus-menerus merenungkan dan mengingat Allah.

Fana’ fi rasul
Pada tahap ini sang murid diliputi oleh cinta yang meluap-luap kepada Nabi Muhammad.
Ini adalah cinta yang lebih besar dari segala sesuatu lainnya yang dialaminya hingga kini.
Nabi lebih dicintai ketimbang dirinya sendiri.

Fana’ fi tauhid
Yakni hilangnya kesadaran kalbu tentang dirinya karena tersingkapnya hakikat realitas.
Ia tidak melihat, tidak mengetahui dan tidak merasakn apa-apa selain Allah

Fana’ ‘an al-mukhalafat (sirna dari segala dosa)

Fana’’an kull ma siwallah


Pada tahap ini sufi menyadari bahwa zat yang betul-betul ada hanya zat Allah.

Fana’ ‘an af’al al-ibad (sirna dari tindakan-tindakan hamba)


Pada tahap ini seorang sufi menyadari bahwa segala tindakan manusia pada hakikatnya
dikendalikan oleh Tuhan dari balik tabir alam semesta. Dengan demikian, sufi menyadari
adanya “satu agen mutlak” dalam alam ini yakni Tuhan.

Fana’ ‘an shifat al makhluqin (sirna dari sifat-sifat makhluk)


Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin
(contingent) tidak lain adalah milik Allah. Dengan demikian sufi menghayati segala
sesuatu dengan kesadaran ketuhanan, ia melihat dengan penglihatan Tuhan, mendengar
dengan pendengaran Tuhan dan seterusnya.

Fana’ ‘an adz-dzat (sirna dari personalitas diri)


Pada tahap ini sufi menyadari noneksistensi dirinya, sehingga yang benar-benar ada
dibalik dirinya adalah zat yang tidak bisa sirna selama-lamanya.

Fana’ ‘an kull ma siwallah (sirna dari segenap alam)


Pada tahap ini seorang sufi menyadari bahwa segenap aspek alam fenomenal ini pada
hakikatnya hanya khayal. Adapun yang benar-benar ada hanya realitas yang mendasari
fenomena.

 AL-FANA’ DAN AL-BAQA DALAM PANDANGAN AL QUR’AN

Paham fana’ dan baqa’ yang ditunjukkan untuk mencapai ittihat itu dipandang oleh sufi
sebagai sejalan dengan konsep liqa al-rabbi menemui Tuhan. Fana’ dan baqa’ merupakan jalan
menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah QS.Al Kahfi:110.
Paham ittihat ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika nabi musa ingin melihat Allah.
Musa berkata :” ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?”. Tuhan berfirman :
tinggallah dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).
Ayat dan riwayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT telah memberi peluang
kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau batiniah, yang caranya antara
lain dengan beramal shaleh, dan beribadat semata-mata karena Allah menghilangkan sifat-sifat
dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadarann sebagai manusia, meninggalkan dosa dan
maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kesemuanya ini tercangkup
dalam konsep fana’ dan baqa’. Adanya konsepfana’ dan baqa’ ini dapat dipahami dari isyarat
yang terdapat dalam QS. AR-RAHMAN :26-27.
KESIMPULAN

Fana’ adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala fenomena alam, dan bahkan terhadap
nama-nama dan sifat-siat Tuhan (fana’’an shifat al-haqq), sehingga yang betul-betul ada secara
hakiki dan abadi (baqa’) didalam kedasarannya adalah wujud mutlak.

Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan
kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa’ ini perlu dilakukan usaha-usaha
seperti bertaubat, berdzikir, beribadah, dan menghiasai diri dengan akhlak terpuji.

DAFTAR PUSTAKA

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo : AMZAH.
Nata, Abuddin. 2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA.
Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag, Kamus Ilmu Tasawuf,
(Wonosobo : AMZAH, 2005), Hlm.51.
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA,
2012), Hlm. 231.
Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag, op cit, Hlm.51.

Anda mungkin juga menyukai