Anda di halaman 1dari 7

A.

LATAR BELAKANG

1. Korelasi akhlak dan tasawuf

Akhlak sendiri menjadi hal yang penting dalam ilmu tasawuf. Dapat disimpulkan bahwa
dalam pelaksanaannya, akhlak menjadi pengatur hubungan antara sesama manusia,
sedangan, Tasawuf menjadi pengatur hubungan antara manusia danIslam
Tuhan. Tasawuf dan akhlak merupakan istilah yang tidak lepas dari ajaran Islam.

2. Hubungan dan Persamaan ITTIHAD dan HULUL

1) ITTIHAD

kata Ittihad berasal dari kata ittahad-yattahid-ittahad (dari kata wahid) yang berarti
kebersatuan. Ittihad menurut Abu Yazid Al Busthami, secara komperhensif maupun
etimologis, berarti integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad memiliki arti "bergabung
menjadi satu". Paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih
dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan
baqa, bersatu dengan Allah. Ittihād dalam ajaran tasawuf kata Ibrahim Madkur adalah tingkat
tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Menurut Harun Nasution, ittihad
adalah satu tingkatan seorang sufi teah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan
ketika yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka
dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”.Dalam paham ini, seseorang
untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa'. Fana
merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia
mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya
Allah (baqa). Inilah inti ittihad, "diam pada kesadaran ilahi".Tokoh pembawa faham ittihad
adalah Abu Yazid Al-Busthami. Menurutnya manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena
itu manusia hilang kesadaranya [sebagai manusia] maka pada dasarnya ia telah menemukan
asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan
Tuhan.Dan Menurutnya zahid itu adalah seseorang yang mampu atau bisa mendo’akan
dirinya untuk selalu dekat dengan Allah. Menurutnya hal ini dapat dicapai melalui tiga fase
atau tahapan, yaitu: pertama zuhud terhadap dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan ketiga
zahid terhadap selain Allah. Dalam tahapan terakhir ini dia berada dalam kondisi mental yang
membuat dirinya tidak mengingat apa-apa selain Allah, yang hanya ada Allah belaka.
Dalam literatur klasik, Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah
melalui tahapan fana’ dan baqo’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan.
Antara yang mencintai dan yang dicintai, baik subtansi maupun perbuatannya.Dengan
mengutip AR Al-Baidawi, Harun Nasution juga menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang
dilihat hanya satu wujud, sungguhpun ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain.
Dalam ittihad, ‘identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu’. Karena yang dilihat dan
dirasakan hanya satu wujud, dalam hal itu bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan
yang dicintai.Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu,
terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata,
mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati.
Pada saat itu sering ucapan-ucapan yang aneh dan aneh yang disebut tasawuf dengan
syatahat. Ittihād itu akan tercapai jika seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya.
Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari
itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam faham ittihād kesadaran akan kesadaran Tuhan
adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihād yang pasti dengan adanya kesadaran
terhadap dirinya sebagai sesuatu. Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup
setelah kehancuran (“kediaman setelah meninggal”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan merupakan
kesadaran (fana’) yang awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian Tuhan
kepada seorang sufi. Sekarang jika memang fana yang merupakan prasyarat untuk mencapai
ittihād itu adalah mempersembahkan Tuhan,Faham ittihād ini dalam istilah Abu Yazid
disebut tajrīd fana’ fīal-tauhd,(Aboebakar Atheh, 1984: 136). Yaitu perpaduan dengan Tuhan
tampa diantarai sesuatu apapun. Perkataan Abu Yazid tentang peristiwami’raj-nya berikut ini
akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan : Pada suatu hari aku menyaksikan
kehadirat Tuhan dan Ia berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau,
AkuMenjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu adalah
kehendak-Mu,maka aku tidak berdaya untuk kehendak-Mu.Hiasilah aku dengan keesaan-Mu,
sehingga jika makhluk-Mu melihat-aku, mereka akan berkata: ‘Telah kami melihat Engkau.
Tetapi yang merasa melihat saya tidak ada di sana.’Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini
merupakan ilustrasi proses terjadinya ittihād pada bagian awal perkataan itulah alam ma’rifah
dan selanjutnya memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga sangat dekat dengan Tuhan dan
akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihād ini lebih jelas lagi dalam perkataan-nya,berkata :
semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Ataupun berkata: Aku adalah engkau,
engkau adalah aku dan aku adalah engkau (Harun Nasution, 1973: 85). Selanjutnya Abu
Yazid berkata: “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada selain Tuhan Aku, maka
sembahlah Aku”.Secara lahiriyah, perkataan Abu Yazid di atas itu seolah-akan ia mengaku
dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian. Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku”
bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena
Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid dalam ittihad
berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu
Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan : “Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku
sedang aku sendiri dalam keadaan fana”.Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan
ma’rifah adalah fana’ al-fana’, yakni lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya karena
telah terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya. Salah satu dalil tentang adanya
fana’ ini yang sering disitir dalam kitab tasawuf adalah firman Allah dalam surah Yusuf ayat
31 sebagai berikut:

”Maka katika (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita yang


disediakannya bagi mereka tempat duduk dan diberikannya kepada masing-masing mereka
sebuah pisau (untuk masing-masing jamuan), kemudian dia (kepada Yusuf): “Keluarlah
( nampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka
kagum kepada (keelokan rupa) nya dan melukai rupa (jari) melalui dan berkata: “Maha
sempurna Allah, ini adalah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang
mulia”. (Surat Yusuf/12: 31).

Dalam komentar di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini baru ketuhanan seorang makhluk
yang menyaksikan keindahan makhluk lain.sudah fana’. Bayangkan bagaimana seorang sufi
yang menghayati terbukanya tabir lalu menyaksikan keindahan wajah Ilahi. Jadi tidak
mengherankan bila dia fana’, tidak sadar dirinya dan akan makhluk serupa (Al-Qusyairi, t.th.:
68). Hanya dengan melihat wajah Nabi Yusuf yang tampan, mereka telah terpesona hingga
tak sadar, jari mereka dan tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona
melihat keelokan wajah Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Untuk
memahami pengalaman mistis seperti yang diuraikan di atas perlu diperhatikan pernyataan
William James dalam bukunya The Varieties of Religion Experience. Menurutnya ada empat
karakter khas pengalaman mistis; dan dengan cara menjelaskan keempat karakter tersebut
diharapkan mampu menghindari dari ucapan verbal dan sikap saling menyalahkan.Tidak bisa.
Orang yang mengalaminya mengataka bahwa pengalaman itu tidak bisa; tidak ada deskripsi
manapun yang memadai untuk menceritakannya dalam kata-kata. Ini berarti bahwa kualitas
ini harus dialami secara langsung dan tidak bisa dipindahkan atau dipindahkan kepada orang
lain.Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan, bagi orang yang
mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi berpengetahuan. Dalam situasi ini, orang
mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak dapat digali melalui intelek
yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan dab pewahyuan yang
penuh dengan makna dan arti yang hanya bisa dirasakan.Situasi sementara. Keadaan mistik
tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Ditayangkan pada kesempatan-
kesempatan yang jarang terjadi; batas-batas yang bisa dialami seseorang sebelum pulih
kekeadaan biasa adalah sekitar setengah jam, atau paling lama satu atau dua jam.Kefasifan.
Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan pendahuluan yang
dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran, gerakan tubuh tertentu, atau
menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam pelbagai buku panduan mistikime. Meskipun
demikian, saat kesadaran khas yang ada pada situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa
untuk sementara hasratnya menghilang dan ia merasa direngkuh dan dikuasai oleh kekuatan
yang lebih tinggi.Dengan mengikuti keterangan jaman diatas , maka situasi ittihad Abu Yazid
harus didekati dalam konteks pengalaman kejiwaan seorang sufi. Sebagai pengalaman
kejiwaan yang berdeminsi spiritual tentu sangat bersifat pribadi dan unik. Hal ini dapat dilihat
dari ciri-ciri: Sangat sulit, bahkan mungkin di ungkapkan dengan kata-kata; munculnya dan
kesadaran adanya Yang Mahakuasa yang menguasai ruang dan waktu, terjadi dalam waktu
singkat, dan berlakunya kepasifan total yang di awali dengan perasaan tertentu yang
meredakan keinginan dan diakhiri dengan perasaan yang dikuasai oleh suatu daya yang luar
biasa.

2) HULUL

Kata AL-HULUL adalah bentuk masdar dari kata kerja HALLA yang berarti tinggal atau
berdiam diri. Secara terminologis kata al-hulul diartikan dengan paham bahwa Tuhan dapat
menitis ke dalam makhluk atau benda. Di samping itu, al-hulul berasal dari kata halla yang
berarti suatu tempat (halla bi al-makani). Jadi pengertian hulul secara bahasa adalah suatu
tempat.Secara harfiah berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu
manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut
keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun Nasution, adalah
paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di bawah setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di
dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi: “Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad
(tertentu) dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaan”..Hulul atau juga sering disebut “peleburan antara Tuhan dan manusia” adalah
paham yang dipopulerkan Mansur al-Halla. Paham ini menyatakan bahwa seorang sufi dalam
keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini, aspek an-nasut Allah bersatu
dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut
adalah aspek kemanusiaan. Sehingga dalam memahami ini, manusia maupun Tuhan memiliki
dua aspek tersebut dalam diri masing-masing.Menurut al-Hallaj manusia memiliki sifat dasar
yang ganda, yaitu sifat ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian
juga halnya dengan tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan lahut dan sifat
Insaniyah atau nasut. Jika seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya
dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiya-tnya melalui fana, maka Tuhan akan mengambil
tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang
dimaksud dengan hulul.Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang
proses kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama
diciptakan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya – shurah minn nafsih – dengan menyatakan sifat
dan kebesarannya, sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya.Maha suci dzat yang
melaksanakan nasut-nya,

Bersama cemerlang bersama lahut-Nya,

Demikian padu makhluk-Nya pun terlihat nyata,

Seperti manusia yang makan dan minum layaknya .

Al Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan yang
didasarkan pada QS Al Baqoroh:34.

“Dan Ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada
Adam!’ Maka merekapun sujud, kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia
termasuk golongan yang kafir.”

Menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar para malaikat sujud kepada
Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah
sebagaimana meyembah Allah. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan
makhluk, tuhan melihat Dzat-Nya. Ia pun cinta kepada Dzat-Nya dan cinta inilah yang
menjadi sebab wujud. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy diri-Nya yang
memiliki segala sifat dan nama. Adam adalah bentuk copy tersebut. Pada diri Adam lah Allah
Swt muncul.Al hallaj menjelaskan bahwa tuhan memiliki dua sifat dasar, sifat ketuhanan-Nya
(lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah seperti manusia yang terdiri atas roh
dan jasad, lahut tidak dapat bersatu dengan manusia, kecuali dengan tubuh setelah
kemanusiaannya hilang. Seperti yang terjadi pada diri Isa.Persatuan tuhan dengan manusia
dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Agar bersatu, manusia harus meninggalkan
sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah kemanusiaannya hiang dan hanya berada pada sifat
ketuhanan, saat itulah tuhan dapat mengambi tempat dalam dirinya dan ketika itu roh tuhan
dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.Menurut Al Hallaj, hulul mengandung
kefanaan total. Kehendak manusia dalam kehendak illahi sehingga setiap kehendaknya dalah
kehendak tuhan. Demikian juga tindakannya.Bagaimana gambaran hulul itu dapat dipahami
dari ungkapan al-Hallaj berikut ini:

“Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi satu,Bagai anggur dan air bening
berpadu,Bila engkau ada, tertusuk pula aku,Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah
aku.Aku yang kurindu, dan yang kurindu Aku juga,Kami dua jiwa padu jadi satu raga,Bila
kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,Jika kau melihat Dia, kami dalam
penglihatanmu tampak nyata”.

Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak
hancur atau sirna. Dengan demikian, paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riel karena
berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Manusia
diciptakan Tuhan sesuai dengan citra-Nya, maka makna perpaduan itu adalah kemunculan
citra Tuhan ke dalam citraNya yang ada dalam diri manusia, bukan hubungan manusia
dengan Tuhan secara riel. Oleh karena itu, ucapan ana al-haqq yang meluncur dari lidah al-
Halaj, ucapan itu ia maksudkan sebagai pernyataan bahwa itu adalah Tuhan. Sebab, yang
mengucapkan itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah al-Hallaj. Al Hallaj
sebenarnya tidak mengakui dirinya ciptaan dan tidak juga sama dengan tuhan. Ia
mengatakan:

“Barang siapa yang mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan
ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah. Karena Allah Swt. Mandiri
dalam Dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali akan menyerupai
makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.Penafsiran ini sesuai dengan
pernyataan al-Hallaj dalam syair berikut:

“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,Aku Yang Maha Benar,Aku hanya yang
benar, bedakanlah antara Kami”.
Lagi pula, adalah sangat tidak logistik apabila seorang sufi yang sepanjang usianya dan
mencari Tuhan, mengaku dirinya sebagai Tuhan.

Ajaran Hulul al-Hallaj dan ajaran Ittihad Abu Yazid sama-sama mengajarkan tentang
persatuan antara Tuhan dan Hamba. Dalam ittihad dan hulul seorang sufi mengeluarkan
syatahat.Adapun letak perbedaannya adalah pada ittihad roh manusia naik dan menyatu ke
dalam diri Tuhannya (khaliq), sedangkan ajaran Hulu,l roh ketuhanan telah turun dan masuk
ke dalam tubuh atau jasad sang hamba (makhluk).

3. PERBEDAAN DAN PERSAMAAN MAHABBAH DAN MA’RIFAH

Mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (roh). Kalau
ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-Qalb).

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa perbedaannya ittihad dan hulul…?

2. Apa yang dimaksud tasawuf…….?

3. Bagaimana hububangan dari ittihad dan hulul……..?

C. TUJUAN

Tujuan makalah yang paling utama ialah menginformasikan,menganalisis,dan membujuk,


dengan cara lugas dan memungkinkan pembaca untuk terlibat secara kritis dalam suatu topik
ilmiah. Seperti yang sudah dijelaskan di atas,suatu topik tertentu dari suatu makalah
memiliki rumusan masalah yang berisi berbagai pertanyaan.

Anda mungkin juga menyukai