Anda di halaman 1dari 5

Teori Makrifatullah dalam Perspektif Tasawuf Falsafi

Bagi para sufi, mengenal Allah adalah tujuan utama, dan ajaran tasawuf merupakan
metode khusus untuk mencapai makrifat, yang dibangun melalui latihan spiritual dan olah
mental kejiwaan. Sufi sering merujuk pada "ma’rifat al-Haqq," yakni pengetahuan tentang
Yang Maha Benar dan Haq. Jika kalangan Sunni mengandalkan Al-Qur'an dan As-Sunnah,
dan kalangan falasifa bergantung pada akal sebagai sumber pengetahuan, sufi memandang
zawq (rasa) dan hadas (intuisi) sebagai panduan dalam mencapai makrifat.
Sufi juga memandang penyikapan tabir dan ilham sebagai dasar pengetahuan hakiki,
terutama dalam objek yang berkaitan dengan Dzat Ilahi. Bagi sufi falasifah, objek semacam
ini hanya dapat dicapai melalui pengetahuan langsung. Ibn Arabi menjelaskan bahwa ilmu
adalah pengenalan objek sesuai dengan apa yang ada padanya, sehingga usaha untuk
mengenal-Nya tidak terhalangi. Ketidakmampuan menyerap sesuatu dianggap sebagai bentuk
pengetahuan, seperti yang dikatakan oleh Abu Bakar As-Shidiq.
Seorang 'arif dalam perspektif Imam Al-Junaid Al-Baghdadi adalah seseorang yang
memiliki makrifat, seperti air yang mencerminkan warna dan rupanya. Metafora ini diartikan
oleh ulama tasawuf sebagai kondisi 'arif yang selalu berubah, menyesuaikan diri dengan
pengalaman dan perasaan yang sesuai. Ada pandangan bahwa kalangan sufi adalah anak
zamannya. Sementara Ibn Arabi mentafsirkan metafora tersebut sebagai perilaku sufi yang
mencerminkan akhlak atau karakter Allah, sehingga mencapai titik di mana ia adalah Dia,
namun bukan Dia, dan ia adalah Dia.
Dua interpretasi muncul, yang pertama menyatakan bahwa makrifat menambah
keyakinan dan ketaatan dari segi suluk dan keimanan. Yang kedua, makrifat membawa sufi
mendekati Sang Khaliq, melampaui aspek kehambaan menuju martabat keilahian,
mengarahkan hamba pada kesatuan dengan Dzat Ilahi.
Ma'rifatullah Menurut Dzu-n-Nun al-Mishri dalam Konteks Tasawuf Falsafi
Dalam merumuskan konsep ma'rifatullah, Dzu-n-Nun al-Mishri menciptakan
perbedaan yang tajam antara ma'rifat (pengetahuan batin) dan ilmu. Baginya, ma'rifat
dianggap sebagai pengetahuan sejati yang paling mulia, diperoleh melalui visi dan
kesaksian batin. Dzu-n-Nun berusaha dengan tegas membedakan metode dan hakikat
kebenaran antara kaum sufi dan ulama syariat. Bagi Dzu-n-Nun, ma'rifat hakiki
tentang Allah bukanlah sekadar keyakinan tentang keesaan Allah seperti yang
diyakini oleh umat beriman atau pengetahuan rasional yang digeluti oleh
mutakallimin dan falasifah.
Menurutnya, ma'rifat kaum sufi adalah pengetahuan hakiki tentang sifat-sifat
Allah yang Esa, khususnya dimiliki oleh para wali Allah. Para wali ini menyaksikan
Kehadiran Ilahi secara langsung, dan Allah menampakkan kebenaran-Nya kepada
mereka secara eksklusif. Dzu-n-Nun menggambarkan ma'rifat sebagai "cahaya Ilahi
yang dipancarkan Allah ke dalam jiwa kita," yang mirip dengan cahaya matahari yang
hanya bisa terlihat melalui sinarnya. Peningkatan ma'rifat terhadap Yang Haq
membawa seseorang pada tahap kebingungan dan kekaguman yang semakin
mendalam.
Dalam perspektif Dzu-n-Nun, kalangan sufi bukanlah individu yang berdiri
sendiri dalam kediriannya, melainkan mereka yang meniadakan diri, tenggelam dalam
kefanaan, dan bergantung sepenuhnya pada hakikat diri mereka pada Allah. Mereka
bergerak sesuai dengan kehendak Allah, mengungkapkan kata-kata Allah melalui
lisan mereka, dan melihat dunia dengan cahaya Allah yang bersinar di mata mereka.
Pemikiran Dzu-n-Nun sangat dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani,
khususnya teori "pengetahuan teosofis" yang hanya dapat dicapai oleh sufi. Bagi Dzu-
n-Nun, tujuan sufi adalah mencapai kedekatan dengan Allah melalui pengetahuan
tertinggi, seperti mendengarkan suara-suara Ruhaniyun dan melalui latihan spiritual
yang menghasilkan kondisi mentalitas yang disebut "ahwal" dan "maqamat."
Meskipun Dzu-n-Nun menekankan makrifat sebagai bentuk gnosis, ia tetap
menegaskan kewajiban pelaksanaan tugas keagamaan, seperti menunaikan ibadah
wajib dan sunnah, serta mengekang hawa nafsu untuk membersihkan diri dari dosa-
dosa. Dengan demikian, menurut Dzu-n-Nun, seseorang dapat layak menerima
anugerah ma'rifat dari Allah SWT.
Ma'rifatullah Menurut Abu Yazid al-Busthami : Pemisahan Antara Makrifat
dan Ritual Agama
Abu Yazid al-Busthami, dalam konsepsi makrifatullahnya, mengambil
pendekatan yang radikal dan memisahkan tajam antara makrifat (pengetahuan batin)
dan ritual agama. Baginya, orang yang hanya mendalami ibadah ritual agama tidak
akan dapat mencapai makrifat, bahkan dianggap tidak layak untuk memperolehnya.
Menurutnya, Allah mengamati kondisi hati para wali-Nya, dan beberapa di antara
mereka dianggap tidak layak untuk mencapai makrifat karena kesibukan mereka
dengan ibadah dan ritual agama semata.
Beberapa pandangan dan ucapan Abu Yazid al-Busthami yang mencerminkan
pemikirannya adalah:
1. "Manusia memiliki sejumlah kondisi spiritual; seorang sufi tidak mengenal hal,
karena ia sudah tidak mengenal lagi berbagai bentuk ibadah dan ritual. Tidak ada
yang ia saksikan baik dalam keadaan sadar maupun tertidur, kecuali Allah sendiri."
2. "Orang yang menekuni ibadah ritual adalah syirik."
3. "Orang yang paling banyak isyaratnya adalah yang paling jauh dari Allah."
4. "Setiap kali seorang 'arif berkata aku atau Engkau, maka Allah memanggilnya Aku
adalah Aku, dan tidak ada Engkau."
5. "Seorang 'arif adalah orang yang awalnya adalah Dia, pertengahannya adalah Dia,
dan akhirnya adalah Dia."
6. "Pahala dan ganjaran seorang arif dari Tuhannya adalah Dia sendiri."
7. "Makna bermakrifat kepada Allah: tiada yang haq kecuali aku adalah Dia."
8. "Sifat seorang 'arif yang paling rendah adalah yang menghiasi dirinya dengan sifat-
sifat Allah dan hakikat Rububiyah (Ketuhanan)-Nya."
Abu Yazid al-Busthami mengajukan bahwa pengetahuan makrifat yang hakiki
tidak dapat diperoleh melalui praktik ibadah, ritualisme, atau kegiatan keagamaan
lainnya. Dia menegaskan bahwa makrifat hanya mungkin dicapai melalui
pengungkapan hijab atau tirai, serta melalui kefanaan total. Hanya ketika seseorang
mencapai kefanaan diri pada Dzat Ilahi secara menyeluruh, dia dapat mencapai
kedekatan dan visi persaksian dengan Allah. Dalam pandangan Abu Yazid, makrifat
bukanlah hasil dari ahwal dan maqamat, tetapi suatu kondisi yang melibatkan
pemahaman mendalam tentang ke-Esa-an Allah dan penghapusan ke-"aku"-an diri
sendiri.
Abu Yazid al-Busthami mengajarkan bahwa pengetahuan makrifat seperti ini
memerlukan kesadaran akan diri yang menyatu dengan Sang Khaliq dan pengalaman
langsung dengan keberadaan Ilahi. Dengan pendekatan ini, Abu Yazid menunjukkan
bahwa penghayatan makrifat yang hakiki memerlukan lebih dari sekadar praktik
ibadah atau kepatuhan ritualistik; ia melibatkan pemahaman yang lebih dalam dan
penuh kesadaran akan keberadaan Ilahi.

Ma'rifatullah menurut al-Hallaj

Ma’rifatullah menurut al-Hallaj mengacu pada filsafat makrifat yang pertama


kali dibangun olehnya. Al-Hallaj memulai pendekatan ini dengan merujuk pada teori
al-hulul, di mana ia meyakini adanya Unsur Ilahi (lahut) yang bersemayam dalam
unsur manusia (nasut), atau sebagai manifestasi (tajalli) Allah di dalam alam ini.
Keyakinan ini mengarah pada pandangan bahwa segala garis memiliki titik asal, dan
semua garis dapat dianggap sebagai himpunan titik-titik yang saling bertemu. Dalam
perspektif al-Hallaj, titik tersebut mencerminkan tajalli Allah pada segala yang
terlihat dan disaksikan oleh indera manusiawi.

Menurut al-Hallaj, iman tidak memiliki nilai tersendiri dan tidak dapat
membawa seseorang menuju ma'rifatullah. Baginya, pencarian kebenaran dengan
cahaya iman hanya sebanding dengan mencari matahari dengan cahaya bintang.
Begitu pula dengan akal, al-Hallaj menilai bahwa akal memiliki kelemahan dan hanya
akan membawa kebingungan. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa akal tidak
memiliki tempat dan nilai dalam pandangannya.

Ibadah ritual juga tidak dianggap bernilai dalam pandangan al-Hallaj.


Baginya, orang yang terlalu sibuk dengan ibadah ritual akan tertutup aksesnya menuju
Allah, sedangkan mereka yang fokus pada Allah sendiri tidak akan melihat selain-Nya
dalam ibadah. Ibadah ritual dianggap sebagai hijab atau penghalang bagi seorang 'arif,
dan al-Hallaj menyarankan agar tidak menyibukkan diri dengan ritual ibadah.

Menurut al-Hallaj, jalan menuju ma'rifatullah adalah dengan bersatu


sepenuhnya dengan-Nya (bi-l-jam' ilaih). Seperti Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj
juga memohon kepada Allah untuk menghilangkan "inniyah" (wujud kedirian)-nya,
sehingga ia dapat bersatu secara total dengan Kedirian Allah. Dalam pandangannya,
seseorang yang masih mengingat orang lain tidak dapat dikatakan mengingat Allah
dan tidak layak mengaku bahwa ia mengenal Yang Maha Esa yang menciptakan
semua makhluk.

Al-Hallaj melihat pada diri manusia terdapat titik mendasar yang disebut
sebagai hati, dan di dalam hati terdapat ruang batin yang disebut sebagai sir. Hati ini
menjadi pusat spiritual manusia, dan dengan membersihkannya dari segala sesuatu
selain Allah, manusia dapat mencapai makrifat yang sejati. Dalam proses ini, al-Hallaj
menekankan pentingnya takhalli (pembersihan diri) dari segala yang bukan Allah.

Dalam pandangan al-Hallaj, Iblis dan Fir'aun dianggap sebagai contoh teladan
utama bagi mereka yang ingin mencapai makrifat yang sejati. Ia melihat ketaatan dan
keteguhan Iblis dalam menolak sujud kepada Adam sebagai bentuk pengkultusan
hakiki kepada Yang Haq. Fir'aun juga dianggap memiliki iman yang murni karena ia
menolak mediator atau perantara antara dirinya dan Allah. Dengan demikian, al-
Hallaj menganggap keduanya sebagai sahabat dan guru dalam perjalanan menuju
makrifatullah.

Anda mungkin juga menyukai