Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KONSEP ITTIHAD DAN HULUL

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu:

Dudung Abdul Razak

Disusun Oleh :

Kelompok 11

1. Tiara Rahmawati 3423120


2. Sitti Zahra Salsabilla 3423121

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH /AK-D

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SJECH M. DJAMIL DJAMBEK

BUKITTINGGI

TA: 2023/2024
BAB 1
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Konsep Ittihad


Ittihad secara secara bahasa berasal dari kata ittaḥada-yattaḥidu yang artinya
(dua benda) menjadi satu, yang dalam istilah Para Sufi adalah satu tigkatan dalam
tasawuf, yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan tuhan. Yang mana
tahapan ini adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui
tahapan fanâ’ dan baqâ’. Dalam tahapan ittiḥâd, seorang sufi bersatu dengan tuhan.
Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupaun
perbuatannya.
Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak
terjadi terus-menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. Fana merupakan
keadaan dimana seseorang hanya menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, dan
kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan
rohani dengan Tuhan).
Harun Nasution memaparkan bahwa ittihad adalah satu tingkatan ketika
seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan yang
menunjukkkan bahwa yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehinggga
salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku…”
Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihad
yang dilihat hanya satu wujud sunggguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah
satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam
ittihad telah hilang atau tegasnya antara sufi dan tuhan.
Dalam ittihad. Identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Sufi yang
bersangkutan, karena fanâ’-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan
nama tuhan.1
KONSEP ITTIHAD (THE MYSTICAL UNION) Ittihad (the mystical union)
secara historis dapat dikatakan sebagai bentuk tasawuf falsafi yang paling awal.
Sebagaimana telah terpetakan dalam sejarah tasawuf, pemikiran tasawuf falsafi baru
muncul sesudah para sufi (sunni) menetapkan puncak penghayatan spiritual dengan

1
Siti Rohmah, Akhlak Tasawuf Memahami esensi,upaya pakar dan ide suatu praktik yang berkembang dalam
tasawuf (Pekalongan,2021),hal 176-178

1
istilah ma'rifah. Oleh karena itu sungguh sangat beralasan kalau kemudian ittihad
diposisikan setelah ma’rifah, baik menyangkut sejarah kemunculannya maupun derajat
atau kualitas kedekatannya dengan Tuhan. Dengan posisinya yang semacam ini, dalam
konteks tasawuf falsafi sangat wajar kalau kemudian Abdul Qadir Mahmud
memposisikan ittihad sebagai muqaddimah bagi hulul Abu Mansur al-Hallaj dan
wahdah al-wujud Ibn 'Arabi. Dan dalam kapasitasnya sebagai tasawuf falsafi periode
awal,Harun Nasution,setelah melakukan identifikasi teoritis-konseptual, telah
menemukan adanya sisi-sisi tertentu dari bangunan konseptual ittihad yang relatif
kurang jelas elaborasi konsepsionalnya.
Di samping sebagai penggagas doktrin fana' dan baqa' sebagai diuraikan di atas,
Abu Yazid al-Busthami diapresiasi sebagai sufi pencetus ittihad. Memang tampaknya
Abu Yazid al-Busthami sendiri tidak pernah mempergunakan istilah ittihad untuk
menunjuk puncak capaian penghayatan spiritualnya; istilah yang dia pergunakan untuk
menyebut puncak pengalaman kesufiannya adalah “tajrid fana’ at-tauhid”,yakni
penyatuan hamba dengan Tuhan dengan tanpa diantarai oleh sesuatu pun. Oleh karena
demikian ini, maka penempatan Abu Yazid al-Busthami sebagai pencetus ittihad
tampaknya lebih didasarkan hasil "in terpretasi" subyektif pihak outsider terhadap
ungkapan-ungkapan mistik (syathahat / theopathical stammirings)-nya, yang dalam
tradisi tasawuf falsafi memang dipandang sebagai media yang absah untuk
mengekspresikan puncak-pengalaman spiritual para sufi. Dalam konteks ini,di antara
ungkapan mistis Abu Yazid al-Busthami sehingga dia diapresiasi sebagai pencetus itti-
had adalah sebuah riwayat yang mengurai dengan terminologi “mi'raj” al-Busthami
berikut ini. “pada suatu hari, ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan ia berkata “Abu
Yazid, makhluk-ku ingin melihat engkau. Aku menjawab kekasihku aku tidak ingin
melihat mereka. Tetapi jika ini kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya (kuasa) untuk
menentang kehendakmu. Oleh Karena itu, hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga
jika makhluk-Mu melihat aku mereka akan berkata, telah kami lihat engkau”. Karena
di ketika itu, aku tidak ada disana”. Tuhan Berkata “semua mereka kecuali engkau
adalah mahluk-Ku. Akupun berkata “Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku dan Aku
adalah Engkau”.
Dari riwayat mengenai mi’raj Abu Yazid al-Busthami tersebut, minimal ada
dua elemen penting berkaitan dengan bangunan teoritisnkonseptual ittihad, khususnya
menyangkut prasyarat terjadinya ittihad dan sekaligus makna ontologis dari konsep
ittihad itu sendiri. Dari penggalan teks “wala akun hunak” (aku tidak ada di sana),
2
kiranya dapat dipahami bahwa sesungguhnya fana’‘an nafs adalah merupakan prasyarat
atau prakondisi bagi ittihad. Simuh,dengan berpijak pada tipologi fana’ ‘an nafs al-
Qusyairi. menguraikan secara detail proses terjadinya ittihad. Ketika sufi mengalami
fana’ dari diri dan sifat-sifat pribadinya lan- taran kesadaranya terfokus pada realitas
lebih tinggi yakni sifat-sifat Tuhan, maka pada saat itu lanjut Simuh terjadi kasyf al-
hijab (ketersingkapan hijab atau tabir kegaiban) dan kemudian diikuti oleh baqa’dalam
bentuk penyaksian spiritual terhadap ciptaan atau karya-karya Tuhan di alam ruhani
(ma’rifah) dan setelah itu terhadap Tuhan (ma’rifatullah); dan akhirnya ketika pada
puncak ma’rifah itu sufi mengalami fana’ al-fana’ maka kesadaranya tercerap dan luluh
dalam kesadaran serba Tuhan, yang berarti tercapai ittihad.
Dari uraian tersebut dapat dipahami, bahwa ketika tercapai fana’ al-fana’
(puncak ke-fana’-an) yang diindikasikan oleh hilangnya kesadaran sufi terhadap diri
sendiri dan bahkan terhadap ke-fana’an-nya itu sendiri, maka akan berimplikasi
langsung kemunculan ittihad, yakni penyatuan hamba atau manunggalnya dengan
Tuhan. Sungguh pun al-Busthami tidak memberikan uraian rinci landasan epistomologi
ittihad, namun tampaknya ittihad tidak lepas dari kerangka dasar epistomologi tasawuf,
yang mengalami ittihad dengan Tuhan adalah ruh sufi, bukan dimensi jasmaninya”.
Namun, ada satu hal penting ditegaskan menyangkut karakteristik atau ciri khas ittihad,
yakni bahwa dalam proses terjadinya ittihad. ruh sufi yang mi'raj (naik) untuk menyatu
dengan ruh Tuhan, bukan ruh Tuhan yang tanazzul (turun) untuk menyatu dengan ruh
hamba sebagaimana terjadi pada hulul Abu Mansur al-Hallaj.
Ketika terjadi ittihad, diri sufi memang telah hancur (fana’), namun yang
dimaksudkan bukanlah diri sufi itu menjadi tiada. Sebenarnya pada saat terjadi ittihad,
diri kemanusiaan sufi masih ada, hanya saja tidak ia sadari dan yang sufi sadari atau
rasakan pada saat itu hanya satu wujud semata yakni Tuhan, al-fani la yutsbit syai'an
siway Allah li fana'ih `an kulli siwah (orang yang fana' tidak menetapkan sesuatu pun
selain Allah). Dengan demikian menjadi tepat kalau ittihad itu hanya berbentuk
kesadaran ruhani (bi as-syu'ur),bukan bersifat hakiki; karena masing-masing pihak
masih tetap berada pada esensinya, Tuhan tetap Tuhan dan makhluk (sufi) pun tetap
makhluk, keduanya tidak akan pernah benar-benar menjadi satu (hakiki) karena yang
demikian ini bertentangan dengan prinsip ketauhidan.
Mengingat dalam ittihad itu, yang pangkalnya sebagaimana terjadi pada segala
bentuk faham penyatuan hamba dengan Tuhan pada setiap tasawuf falsafi adalah cinta
rindu, dan yang disadari dan dirasakan oleh sufi pada saat itu hanyalah satu wujud,
3
maka pada saat demikian itu sampai dapat terjadi pertukaran peran antara sufi dengan
Tuhan; salah satu dari keduanya dapat memanggil yang lain dengan kata-kata “hai aku”
(ya ana). Karena memang suatu cinta itu belumlah dapat dikatakan benar- benar cinta
(hakiki) sampai salah satu dari kedua belah pihak memanggil dengan ungkapan “hai
aku” (ya ana). Hal yang demikian ini secara historis benar-benar pernah dialami dan
dicapai oleh Abu Yazid al-Busthami, sebagaimana terungkap dalam pernyataannya
berikutini: "Konversi pun terputus; kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu.
Ia pun berkata: "Hai engkau". Aku dengan perantaraan-Nya menjawab:" Wahai Aku".
Ia berkata: "Engkaulah yang satu". Aku menjawab: "Akulah yang satu". Ia berkata
selanjutnya: "Engkau adalah Engkau". Aku menjawab: "Aku adalah Aku".
Yang penting diperhatikan dari ungkapan tersebut adalah perkataan Abu Yazid
al-Busthami “fakultu bih", aku menjawab melalui diri-Nya. Kata “bih”, melalui diri-
Nya, menggambarkan bahwa pada saat itu al-Busthami sedang berada dalam kondisi
"menyatu" (ittihad) dengan Tuhan, ruhnya telah lebur dan menyatu ke dalam ruh Tuhan.
Dan ketika itu, sufi tidak sadar terhadap dirinya sendiri dan bahkan terhadap ke-fana'-
annya itu sendiri, sehingga yang disadari dan dirasakan olehnya saat itu hanyalah satu
wujud, yaitu wujud Tuhan semata, meskipun sebenarnya pada saat itu masih ada dua
wujud yang berpisah antara satu dengan lainnya. Dengan demikian, yang mengatakan
"hai Aku Yang Satu" bukan al-Busthami, melainkan Tuhan (bukan dzat Tuhan), yang
sedang menguasai atau meliputi diri sufi Abu Yazid al-Busthami.
Oleh karena itu, ketika dari lisan al-Busthami muncul syatha-hat, misalnya
berupa ungkapan "subhani, subhani, ma’azhamsya’ini (Maha suci Aku, Mahasuci Aku,
Mahabesar Aku), maka hal seperti itu sama bukanlah perkataan atau ucapan Abu Yazid
al- Busthami sendiri sebagai manusia untuk menyatakan dirinya sendiri sebagai Tuhan,
melainkan lebih merupakan perkataan Tuhan dengan melalui organ fisik "lisan" Abu
Yazid al-Busthami, yang pada saat itu seluruh kehendaknya telah diliputi dan dikuasai
oleh kehendak Tuhan, untuk mengekspresikan diri Tuhan sendiri sebagai Tuhan.
Implikasinya, Abu Yazid al-Busthami dengan melalui ucapan syathahat-nya tersebut,
atau yang senada dengannya, tentu saja tidak boleh dijustifikasi sebagai mengaku
dirinya sebagai Tuhan, melainkan harus lebih dimaknai bahwa Tuhan sendiri yang
mengaku diri-Nya sebagai Tuhan lewat ungkapan itu, hanya saja dengan melalui organ
fisik (lisan) Abu Yazid al-Busthami,yang pada saat itu ia sedang mengalami ittihad.
Dan bahkan menurut Abu Yazid al-Busthami, mengaku dirinya sebagai Tuhan
adalah termasuk dosa besar, dan bahkan terbesar (musyrik), yang justru akan semakin
4
menjauhkan dirinya dari Tuhan. Padahal, agar dekat dengan Tuhan, sang sufi bukan
saja harus suci dari dosa besar, melainkan lebih dari itu juga harus suci dari segala hal
yang syubhat. Karena itu, jika dosa besar itu dilakukan Abu Yazid al-Busthami, maka
hal itu justru akan menjauhkan dirinya dari Tuhan, dan hal yang demikian ini jelas
bertentangan dengan jiwa kesufiannya. Ringkasnya, sebagai tokoh sufi kenamaan, tidak
layak kalau Abu Yazid al-Busthami melakukan dosa besar, atau bahkan terbesar, yaitu
dengan cara mengaku atau menyatakan dirinya sebagai Tuhan.2

B. Pengertian dan Konsep Hulul


Kata Hulul berasal dari halla, yahullu, hululan. Kata ini memiliki arti
menempati, mistis, berinkarnasi. Hulul juga bermakna penitisan Tuhan ke makhluk atau
benda. Secara harfiah hulul mengandung arti bahwa Tuhan mengambil tempat dalam
tubuh manusia tertentu yang telah lenyap sifat kemanusiaannya melalui fana. Hulul
menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ adalah faham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di
dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hullul mempunyai dua bentuk, yaitu:
1 Al-Hulul Al-Jawari, yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada
yang lain(tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.

2. Al-Hulul As-Sarayani, yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir didalam yang
lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir didalam
bunga. Al-hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu
secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad
sebagaimana telah disebutkan diatas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan
secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al-hulul adalah ketuhanan (lahut)
menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang
insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.

Tokoh yang Mengembangkan Paham Hulul Nama lengkapnya adalah Abual-


Mughits al-Hasan Ibn Manshur Ibn Muhammad al-Baidhawi. Sebutan Al-Hallaj yang
berarti pemintal, dinisbatkan pada ayahnya yang bekerja sebagai pemintal benang
kapas dan wol yang berada di Kota Tustar, salah satu kota dekat Baidha, Persia. Julukan

2
Muniron, Ittihad&Hulul dalam pandangan Al-Ghazali, (Jember,2013) hal 35-42

5
lengkapnya adalah al-Hallaj al-Asar, Al-Hallaj lahir pada tahun 244 H/ 858 M, dan ada
yang mengatakan ia adalah keturunan Abu Ayyub, sahabat dekat Nabi Muhammad
Saw.3
KONSEP HULUL DALAM TASAWUF Sarah binti Abdul Muhsin.
Sarah,setelah mengedepankan analisisnya terhadap definisi al-Husaini,misalnya,
menyampaikan komentarnya bahwa di dalamnya terkandung "pembauran" ontologis
antara konsep hulul dengan wahdah al-wujud Ibn ‘Arabi. Begitu pula, pengidentikan
istilah hulul dengan ungkapan hululullah fi makhluqatih" ternyata juga membawa ekses
pengkaburan serupa dengan di atas. Sebenarnya, terkait dengan makna hulul ini sudah
ada penjelasan dari al-Hallaj sendiri, yaitu:"Siapa membiasakan dirinya dalam ketaatan,
sabar atas berbagai kenikmatan dan keinginan, maka ia telah naik ke Maqam
Muqarrabin. Kemudian senantiasa suci dan meningkatkan dalam derajat kesucian
dirinya hingga terbebas dari sifat-sifat kemanusiaannya. Apabila sifat-sifat
kemanusiaan dalam dirinya sudah tidak ada yang tinggal sedikitpun, maka ruh Tuhan
mengambil tempat dalam tubuhnya sebagaimana ia telah menempati diri Isa bin
Maryam. Dan ketika itu, sufi itu tidak menghendaki kecuali apa yang dikehendaki ruh
Tuhan itu, hingga seluruh aktivitasnya menjadi aktivitas Tuhan".
Pernyataan al-Hallaj tersebut mengindikasikan bahwa minimal ada tiga
pemikiran dasar yang merupakan elemen konsep dasar hulul, yaitu menyangkut
prakondisi hulul hakikat makna ontologisnya, serta nilai aksiologis berupa dampak
psikologis yang mengiringinya.
Identik dengan pengalaman ittihad al-Busthami, fana' ’an- nafs (peluruhan diri)
juga merupakan prakondisi atau pintu gerbang menuju hulul. Kalau fana’‘an-naf, kata
al-Taftazani, telah membuat al-Busthami sampai kepada pendapat terjadinya ittihad,
maka bagi al-Hallaj, hal tersebut mendorongnya sampai kepada pendapat tentang
terjadinya hulul. Berikut ini adalah ungkapan al-Hallaj tentang ke-fana'-annya: “Kini
dalam wujud diriku menjadi sirna Dengan-Mu aku Kau buat menjadi fana'”.
Fana’ 'an-nafs, yang secara praktis diindikasikan oleh luruh atau lenyapnya
natur kemanusiaan atau humanitas (nasut) dari dalam diri sufi, bukan berarti natur
humanitas atau kemanusiaan (nasut) sufi menjadi tiada, menurut al-Hallaj berpangkal
dari rasa "cinta-rindu" kepada Tuhan. Dengan kata lain, melalui pendalaman terhadap
rasa cinta-rindu, yang puncaknya adalah kemabukan cinta atau sakr (intoxication), akan

3
Siti Rohmah,Ibid,Hal 182-183

6
sampailah kepada pengalaman fana' 'an nafs, Terkait dengan hal ini, Annemarie
Schimmel menegaskan: Al-Hallaj tidak mengajarkan fana' demi fana' itu sendiri,
melainkan di dalamnya ia melihat adanya nilai positif yang dapat dipergunakan
manusia untuk memahami bahwa ‘isyq (cinta) adalah intisarinya intisari Allah dan
rahasia penciptaan. Kata ‘isyq, dengan konotasi "cinta birahi penuh gairah", menurut
al- Hallaj, berasal dari cinta 1lahi yang dinamis. Namun istilah itu dianggap berbahaya,
kalau tidak haram, bahkan oleh sufi moderat. Dalam teori al-Hallaj, imbalan bagi
penyerahan cinta tanpa syarat pada Tuhan itu adalah pandangan penuh kegembiraan,
tanpa adanya gangguan dari si "aku”.
Ketika fana' 'an nafs telah mencapai puncaknya, yang ditandai oleh luruhnya
sifat-sifat atau natur humanitas (nasut) sang sufi secara total sehingga dirinya dikuasai
oleh sifat atau natur ilahiah (lahut)-nya maka pada saat itu natur humanitas (nasut)
Tuhan ber-“tanazzul” (turun) dan kemudian mengambil tempat dalam diri sang sufi
untuk menyatu dengan sifat ilahiah atau lahut-nya. Inilah makna subtantif doktrin hulul
yang dikembangkan oleh Mansur al-Hallaj, sehingga menjadi benar kalau abu Nasr at-
Thusi merumuskan pengertian istilah hulul dengan ungkapan “Tuhan memilih tubuh-
tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat
humanitas (nasut) yang terdapat dalam tubuh sufi itu fana' atau lenyap". Meskipun
bukan dalam pengertian menjadi tiada. Berkaitan dengan hal ini, al-Hallaj menyatakan
dalam sebuah ungkapan terkenalnya berikut: “Ruh-Mu disatukan dengan ruhku
,sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh
Engkau, ia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam setiap hal Engkau adalah aku".4

4
Muniron,Ibid,hal 55-59

7
BAB 2

PENUTUP

A. KESIMPULAN
KONSEP ITTIHAD (THE MYSTICAL UNION) Ittihad (the mystical union)
secara historis dapat dikatakan sebagai bentuk tasawuf falsafi yang paling awal.
Sebagaimana telah terpetakan dalam sejarah tasawuf, pemikiran tasawuf falsafi baru
muncul sesudah para sufi (sunni) menetapkan puncak penghayatan spiritual dengan
istilah ma'rifah. Oleh karena itu sungguh sangat beralasan kalau kemudian ittihad
diposisikan setelah ma’rifah, baik menyangkut sejarah kemunculannya maupun derajat
atau kualitas kedekatannya dengan Tuhan. Dengan posisinya yang semacam ini, dalam
konteks tasawuf falsafi sangat wajar kalau kemudian Abdul Qadir Mahmud
memposisikan ittihad sebagai muqaddimah bagi hulul Abu Mansur al-Hallaj dan
wahdah al-wujud Ibn 'Arabi. Dan dalam kapasitasnya sebagai tasawuf falsafi periode
awal,Harun Nasution,setelah melakukan identifikasi teoritis-konseptual, telah
menemukan adanya sisi-sisi tertentu dari bangunan konseptual ittihad yang relatif
kurang jelas elaborasi konsepsionalnya.
Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ adalah faham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil
tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan.
Al-Hullul mempunyai dua bentuk, yaitu:
1 Al-Hulul Al-Jawari, yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada
yang lain(tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.
2. Al-Hulul As-Sarayani, yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir
didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang
mengalir didalam bunga.

B. SARAN
Demikian makalah ini penulis buat dengan tujuan agar pembaca diharapkan bisa
memahami makalah tentang Konsep Ittihad dan Hulul .

8
DAFTAR PUSTAKA

Rohmah,Siti Akhlak Tasawuf Memahami esensi,upaya pakar dan ide suatu praktik yang
berkembang dalam tasawuf ,Pekalongan: PT. Nasya Expanding, 2021
Muniron, Ittihad&Hulul dalam pandangan Al-Ghazali,Jember: STAIN Jember Pres,2013

Anda mungkin juga menyukai