Anda di halaman 1dari 3

Ciri-ciri tasawuf sunni antara laini:

a. Melandaskan diri pada al-Qur’an dan sunnah. Tasawuf jenis ini dalam
pengejawantahan (perwujudan) ajaran-ajarannya cenderung memakai
landasan al-Qur’an dan hadits sebagai kerangka pendekatannya. Mereka tidak
mau menerjunkan pahamnya pada konteks yang berada diluar pahamnya pada
konteks yang berada diluar pembahasan al-Qur’an dan hadits. Al-Qur’an dan
hadits yang mereka pahami, kalaupun ada penafsiran, sifatnya sekedarmya
dan tidak begitu mendalam.
b. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat
pada ungkapan-ungkapan syathahat (eksentrik: diluar kebiasaan) mereka tidak
menyebarkan pengalaman mistiknya kepada orang lain. Pengalaman yang
mereka rasakan itu, mereka anggap sebagai sebuah karomah atau keajaiban
yang mereka temui. Sejalan dengan ini, Ibn Khaldun -sebagaimana dikutip at-
Taftazaniy- memuji para pengikut al-Qusyairiy yang beraliran sunni. Karena
dalam aspek ini, mereka memang meneladani para sahabat.
c. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan abtara Tuhan dan
manusia. Dualisme yang dimaksudkan disini adalah ajaran yang mengakui
bahw “inti” ad meskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, namun
dalam hal esesinya, hubungan diantara keduanya tetap dalam keanka yang
berbeda. Sedekat apapun manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat
manusia menyatu dengan Tuhan. Al-Qur’a dan hadits dengan jelas
menyebutkan bahwa “ inti” adalah “bentu lain” dari Allah. Huungan antara
sang pencipta dan yang diciptakan bukanlah merupakansalah satu persamaan,
tetapi “bentuk lain”. Benda yang diciptakan adalah bentuk lain daripencipta-
Nya. Hal ini tentu berbeda ngan paham-paham asawuf filosofis ang terkenal
dengan ungkapan-ungkapan ganjil (syathahat), seperti teori fana, dan baqa’-
nya al-Hallaj, dan Ibnu Arabi dengan konsep wahdatul wujud-nya.
d. Ada kesinambungan antara hakikat dan syari’at. Kesinambungan itu dala
pengertian lebih khusus, diartikan sebagai wujudnya keterkaitan antara
tasawuf (sebagai aspek bathiniahnya) dengan fikih (sebahai aspek lahirnya).
Hal ini merupkan konsekuensi dari paham di atas. Karena berbeda dengan
Tuhan, manusia dalam berkomuniasi dengan-Nya tetap pada posisi atau
kedudukannya dimana manusia berperan sebagai objek penerima informasi
dari Tuhan. Kaum sufi dari kalangan Sunni tetap memandang penting
persoalan-persoalan lahiriah formal, seperti aturan yang dianut fuqaha (ahli
fiqih). Aturan-aturan itu bahkan dianggap sebagai jembatan untuk
berhubungan dengan Tuhan.
e. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan pengobatan
jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) langkah takhalli (pengosongan
dari perbuatan dan sifat tercela), tahalli (menghiasi dengan perbuatan dan sifat
terpuji) dan tajalli (illuminativ, penyingkapan tabir penyekat).
i
Tim Karya Ilmiah Purna Siswa 2011 RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren) Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Pon. Pes.
Lirboyo. Jejak Sufi: Membangun Moral Bebasis Spiritual. Kediri: Lirboyo Press, 2011) hlm 114-115

Anda mungkin juga menyukai