Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ITTIHAD DAN HULUL


Makalah ini dubuat untuk memenuhi mata kuliah akhlak tasawuf

Disusun
O
L
E
H

KELOMPOK :

RISKA FITRIANA (172023005)

SITI MUDRIKA (172023030)

MURNA (172023016)

Dosen Pengampu:

NURJHANNAH, M.A

KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH

TAHUN AJARAN 2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan hidayah untuk kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk
memenuhi tugas mata kuliah AKHLAK TASAWUF.
Kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Nurjhannah, M.A selaku dosen pembimbing mata
kuliah Akhlak Tasawuf, dan rekan-rekan yang telah ikut serta dalam menyelesaikan tugas
makalah ini. Alhamdulillah makalah ini telah selesai dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Adapun makalah ini berjudul “Ittihad Dan Hulul”.
Dengan terbentuknya makalah ini semoga bermanfaat untuk kita semua. Maka dari itu,
untuk para pembaca kami senantiasa menerima kritik dan saran dari Anda semua.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ..................................................................................................... 1
B. TUJUAN PENULISAN .................................................................................................. 1
C. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................ 1
BAB II ....................................................................................................................................... 2
LANDASAN TEORI ............................................................................................................... 2
A. PENGERTIAN ............................................................................................................... 2
B. PERSAMAAN ITTIHAD DAN HULUL...................................................................... 7
C. PERBEDAAN ITTIHAD DAN HULUL ...................................................................... 7
BAB III ...................................................................................................................................... 9
PENUTUP ................................................................................................................................. 9
A. KESIMPULAN …………………………………………………………....…………..9
B. DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….9

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
“Ittihad” merujuk pada konsep penyatuan atau kesatuan dengan Tuhan dalam
pemikiran Sufi. Ide ini muncul dalam tradisi Sufisme, cabang mistisisme Islam, yang
menekankan pencarian akan kesatuan atau penyatuan dengan Tuhan. Konsep ini
menekankan ide kesatuan antara pencari dan objek yang dicari (Tuhan), mengilustrasikan
cita-cita spiritual untuk mencapai kesatuan atau penyatuan dengan yang Ilahi. Ini sering
kali menjadi salah satu tujuan utama dalam praktik spiritual Sufi.
“Hulul” adalah konsep dalam pemikiran mistis Sufi yang menyatakan bahwa Tuhan
hadir atau menyatu dalam diri individu. Ide ini menunjukkan keyakinan bahwa aspek Ilahi
secara langsung atau manifestasi Tuhan ada dalam manusia. Konsep ini muncul dalam
konteks pencarian spiritualitas dan upaya untuk merasakan kehadiran Tuhan secara
internal, sering kali diperdebatkan dan dibahas dalam tradisi Sufi.

B. TUJUAN PENULISAN
Makalah ini ditulis untuk bisa memahami dengan mudah materi tentang Ittihad dan
Hulul dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah akhlak tasawuf.

C. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Ittihad?
2. Apa pengertian dari Hulul?
3. Apa perbedaan dan persamaan dari Ittihad dan Hulul?

1
BAB II
LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN
1. Ittihad adalah suatu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah
menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satunya lagi
dengan kata-kata : Hai Aku.
Menurut A.R. al-Badawi, dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud
sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang terpisah satu sama lain. Karena yang
dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran
peranan antara yang mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dan Tuhan.
Dalam ittihad, “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi yang
bersangkutan, karena fana‟nya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara
dengan nama Tuhan.1
Pencetus konsep al-ittihad adalah Abu Yazid al-Busthami. Nama lengkapnya
adalah Thaifur Ibn „isa ibnu Sarusyan. Dia berasal dari Bustham. Kakeknya, Sarusyan
sebelum masuk Islam adalah seorang pemeluk agama Majusi yang selanjutnya masuk
Islam. Abu Yazid meninggal tahun 261 H (ada juga yang berpendapat dia meninggal th.
264 H).2
Terdapat berbagai pendapat yang berbeda mengenai Abu Yazid al-Busthami.
Sebagian ahli mengatakan bahwa ungkapan-ungkapannya bisa dikategorikan sebagai
ungkapan-ungkapan yang dikenal dengan syathahat. Dalam kenyataannya, al-Busthami
begitu didominasi keadaan fana. Karena itu banyak ungkapan yang diriwayatkan dari
dia, seperti: “Makhluk mempunyai berbagai keadaan, tetapi seorang arif tidak
mempunyai keadaan. Sebab dia mengabaikan aturan-aturannya sendiri Identitasnya
sirna pada identitas lainnya, dan bekasbekasnya ghaib pada bekas-bekas lainnya”.
Hal ini mustahil terjadi kecuali dengan ketertarikan penuh seorang arif kepada
Allah, sehingga dia tidak menyaksikan selain-Nya. Seorang arif dalam tidurnya tidak
melihat selain Allah, dan dalam jaganya pun tidak melihat selain Allah. Dia tidak seiring
dengan selain Allah, dan tidak menelaah selain Allah. Ungkapan Abu Yazid al-
Busthami tentang kefanaan dan penyatuannya dengan kekasihnya memang terasa
berlebihan, antara lain sebagaimana ucapannya yang ganjil: Aku ini Allah, tidak ada
Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku. Katanya pula: betapa sucinya Aku, betapa
besarnya Aku”. “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular keluar dari kulitnya,
dan pandanganku pun terbuka, dan ternyata sang pecinta, Yang dicinta, dan cinta adalah
satu. Sebab manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu.
Suatu ketika Abu Yazid al-Busthami ditanya: “apa „Arsy itu? Maka jawabnya:
“Akulah Arsy itu”. Dia pun ditanya pula: “Apa Qursi itu?” jawabnya: “Akulah Qursi
itu.” Dan akhirnya dia ditanya: “Apa Lauh Mahfudz dan Qalam itu? Jawabnya: “Akulah

1
Harun Nasution, 2006, hlm. 66
2
A. R. Badawi, Syathahat al-Sufiyah, an-Nahdhah aL-Misriyah 1949, datam Harun Nasution Fitsafat don
Mistisisme dalam Islam, hlm. 34

2
keduanya.” Perlu dikemukakan bahwa ungkapan-ungkapan yang begini diucapkan
dalam kondisi psikis yang tidak normal, yang diakibatkan suatu derita. Al-Thusi
menekankan bahwa dalam kondisi trance, seorang sufi sepenuhnya tidak bisa
mengendalikan dirinya. Karena itu bisa dipahami, bahwa dalam kondisi begitu dia
mengucapkan ungkapan-ungkapan seperti itu.3
Al-Ittihad (kesatuan dengan Tuhan) sebagaimana pendapat Abu Yazid AlBustami
adalah hakikat tasawuf yang tertinggi. Untuk mencapai ittihad, seorang sufi harus
terlebih dahulu mengalami fana’ dan baqa’. Namun begitu, sebelum seorang sufi bisa
masuk ke tingkat fana’ dan baqa’ tersebut, terlebih dahulu ia harus melalui
tahapantahapan penyucian diri (tazkiyatun nafs), seperti: taubat, zuhud, wara’,
tawakkal, dan ridho, untuk kemudian naik ke tingkat ma’rifah, dan mahabbah dengan
segala maqam dan tangganya. Hal ini dapat dipahami berdasarkan ungkapan Abu Yazid
Al-Bustami, dalam Harun Nasution, ketika ditanya tentang perjuangannya untuk
mencapai ittihad, ia menjawab: “tiga tahun,” sedang umurnya waktu itu telah lebih dari
tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahun-lah ia baru
sampai ke “stasiun” ittihad.
Secara etimologis, kata fana’ berasal dari kata faniya yang artinya musnah atau
lenyap, juga berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana’ berbeda dengan fasad (rusak), fana’
artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan fasad adalah berubahnya sesuatu kepada
sesuatu yang lain . Menurut Al-Thusi, fana’ adalah sirnanya pandangan seseorang
terhadap tindakan-tindakannya karena Allah Menghendaki itu terhadapnya. Dari
keadaan fana’, ia menuju penyatuan atau kesatuan wujud dimana tidak ada perbedaan
antara manusia dan Allah atau antara alam dan Allah.4

Biografi Singkat Abu Yazid Al-Bustami


Abu Yazid memiliki nama lengkap Abu Yazid Taifur bin ‘Isa bin Surusyan
AlBustami. Dia dilahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, salah satu di daerah
Qumais, bagian Timur Laut Persia. Ia salah seorang tokoh sufi yang terkenal dalam abad
ketiga hijriah. Surusyan, kakeknya Abu Yazid, adalah seorang penganut Zoroaster yang
kemudian menganut Islam di Bustam. Keluarganya cukup berada, namun Abu Yazid
memilih hidup secara sederhana. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun
Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya sedikit tidur, makan, dan
juga minum.
Sebagaimana anak dan remaja muslim lainnya, ia pada masa mudanya mendalami
al-Qur’an dan hadits. Ia juga menekuni fiqih Hanafi, kemudian dia memperoleh pelajaran
tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat begitu juga tentang fana fari Abu Ali Sindhi,
sehingga tidak perlu diragukan bahwa di masa mudanya ia sudah memiliki pengetahuan
agama yang luar biasa.
Abu Yazid al-Bustami adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya zahid itu
adalah seseorang yang mampu atau bisa mendo’akan dirinya untuk selalu berdekatan
dengan Allah. Menurutnya hal ini dapat ditempuh melalui tiga fase atau tahapan, yaitu:
pertama zuhud terhadap dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan ketiga zahid terhadap

3
A.R. Badawi, Syathahat al-Sufiyah, an-Nahdhah al-Misriyah 1949, dalam Harun Nasution Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam, hlm.81
4
Abd. Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Pakistan, 1964. Dalam Abu at-Wafa at-Ghanimi, 2003, hal.115

3
selain Allah. Dalam tahapan terakhir ini dia berada dalam kondisi mental yang membuat
dirinya tidak mengingat apa-apa selain Allah, yang ada hanyalah Allah belaka. Abu Yazid
juga seorang sufi yang membawa paham yang berbeda dengan ajaran tasawuf yang
dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak di
tentang oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia keluar masuk penjara.5
Dia memiliki banyak pengikut yang percaya dengan ajaran-ajaran yang
diajarkannya. Pengikut-pengikutnya menamakan dirinya taifur. Sayang sekali bahwa al-
Bustami, yang berusia panjang dan kaya dengan pengalaman-pengalaman kesufian, tidak
meninggalkan karya tulis. Ajaran pandangannya hanya dapat diketahui melalui catatan-
catatan yang dibuat oleh para muridnya, atau oleh tokoh-tokoh sufi lainnya yang pernah
berjumpa dengannya. Jika tidak ada pengarang seperti al-Attar, orang tidak akan
mengenalnya sama sekali. Beberapa catatan mengenai hidupnya hanya berupa anekdot-
anekdot sufi belaka.
Beliau meninggal pada tahun 261 H / 875 M, dan makamnya masih ada hingga saat
ini. Makamnya yang terletak di tengah-tengah kota, menarik banyak pengunjung dari
berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri, Nasir Khusraw
dan Yaqut. Pada tahun 1313 M didirikan di atasnya sebuah kubah yang indah oleh
seorang sultan Mongol, Muhammad Khodabanda atas nasihat gurunya Syekh
Syafruddin, salah seorang keturunan dari Bustam.

Ajaran Ittihad

Dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad jarang bisa dijumpai. Mungkin
karena alasan keselamatan jiwa atau memang karena ajaran ini sulit dipraktikkan. Ittihad
adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan
baqa’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai
dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya.Dengan mengutip A. R.
Al-Baidhawi, Harun Nasution juga menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang dilihat hanya
satu wujud, sungguh pun ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Dalam ittihad,
identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Karena yang dilihat dan dirasakan
hanya satu wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang
dicintai.6
Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu,
terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh
mata, mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah
terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan aneh yang
disebut tasawuf dengan syatahat.
Ittihad itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan
kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya.
Namun lebih dari itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam paham ittihad hilangnya
kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihad yang sebenarnya dicapai
dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut
dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’
ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk memasuki

5
Blogspot, https://satriodatuak.com/konsep-tentang-ittihad-dan-hulul/
6
Abd. Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Pakistan, 1964. Dalam Abu at-Wafa at-Ghanimi, 2003, hal.90

4
pintu ittihād itu adalah pemberian Tuhan kepada seorang sufi. Sekarang kalau memang
fana’ yang merupakan prasyarat untuk mencapai Ittihad itu adalah pemberian Tuhan,
maka pemberian itu akan datang sendirinya setelah seorang sufi dengan kesungguhan
dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan jiwa sebagaimana
dikemukakan di atas.

2. Secara etimologis, kata al-hulul merupakan bentuk masdar dari fi’il : ‫ لي – لحي‬yang
berarti “bertempat di” atau “tinggal di”. Dikaitkan dengan konsep hulul tersebut, maka
tubuh manusia dapat disebut mahallun. Alhulul secara etimologis, juga berarti
menempati sesuatu tempat (inkarnasi). Alhulul adalah Tuhan mengambil tempat dalam
tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-
sifat kemanusiaannya melalui fana’ atau ekstase. Juga diartikan sebagai penitisan Tuhan
dalam diri manusia berupa masuknya sesuatu pada sesuatu lainnya. Selain itu, juga
diartikan sebagai paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada
telah dilenyapkan.
Senada dengan ungkapan di atas, konsep hulul menurut Abu Nasr Al-Thusi adalah
paham yang mengatakan bahwa Allah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh
itu dilenyapkan. Menurut paham al-hulul pertama kali dikemukakan oleh Husain Ibn
Mansur Al-Hallaj. Sedangkan Musthafa Hilmi beranggapan, bahwa Al-Hallaj
sebenarnya bukanlah orang pertama yang mengungkapkan pemikiran hulul-nya.
Sebelumnya, pada awal kemunculan Syi’ah ekstrim terdapat Kelompok Sabiyyah yang
mengatakan: “Ali menjadi Tuhan dengan menempatnya (hulul) Ruh Tuhan dalam
dirinya”. Walaupun begitu, berdasarkan catatan sejarah perkembangan tasawuf Islam,
tetap saja Al-Hallaj dianggap sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan paham
tersebut.7
Paham hulul seperti yang diperkenalkan oleh Al-Hallaj adalah perkembangan dan
bentuk lain dari paham ittihad Abu Yazid Al-Bustami. Dalam kaitannya dengan hal
tersebut, paham hulul adalah kelanjutan dan perkembangan atau bentuk lain dari ittihad.
Hal dapat dipahami berdasarkan konsep pemikiran atau ajaran pokok dalam hulul
serupa dengan konsep ajaran pokok ittihad, termasuk juga dengan jalan yang ditempuh
untuk sampai ke sana.
Al-Hallaj sebagai tokoh yang mengembangkan paham hulul, dilahirkan pada
tahun 244 H (858 M) di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia.
Kakeknya adalah seorang Majusi berkebangsaan Persia. Ia dibesarkan di Wasith dan
selanjutnya datang ke Baghdad dan mondarmandir pergi ke Mekkah. Ia berguru kepada
beberapa tokoh kaum sufi, seperti Al-Junaid, ‘Amar bin Utsman Al-Makki, dan Abu
Al-Husain An-Nawawi. Melihat biografi singkat Al-Hallaj tersebut, dapat disimpulkan
bahwa beliau memiliki pengetahuan yang mendalam tentang tasawuf. Namun begitu,
paham tasawuf yang dikembangkannya berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru-
gurunya tersebut.
Al-Khatib Al Baghdadi berkomentar mengenai Al-Hallaj, bahwa orang-orang sufi
berbeda pendapat berkenaan dengannya, namun mayoritas diantara mereka menolak
bahwa dia salah satu diantara mereka. Adapula diantara mereka yang mengakuinya

7
Fariduddin al-Aththar, hal. 140 dala Abu at-wafa at-Ghanimi, haL. 116

5
sebagai seorang sufi, seperti Al-‘Abbas Al-Baghdadi, Muhammad bin Khafif, dan
Ibrahim bin Muhammad, serta membenarkan sikap dan prikeadaannya.
Hulul, merupakan penyatuan kodrat ilahi dengan kodrat manusia. Dalam arti
harfiah, Hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu
manusia yang telah mampu menghilangkan sifat kemanusiaannya melalui fana.
Menurut pernyataan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma sebagaimana dikutip Harun
Nasution, yaitu pemahaman yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia
tertentu untuk terjadi di dalamnya setelah manusia di dalam tubuh itu dihilangkan.
Dimana sebelum Tuhan menciptakan makhluk, Dia hanya melihat dirinya sendiri, maka
Tuhan melihat substansinya sendiri dan dia cinta pada substansinya sendiri, dan cinta
inilah yang menjadi penyebab keberadaannya. Al-Hallaj menyimpulkan bahwa pada
manusia ada sifat ketuhanan (lahut) dan pada diri Tuhan ada sifat ketuhanan (nasut).
Jika kodrat ketuhanan manusia menyatu dengan kodrat manusiawi Tuhan, maka hulul
terjadi. Penjelasan di atas berarti bahwa al-hulul dapat dikatakan sebagai tahap dimana
manusia dan Tuhan bersatu secara spiritual. Dalam hal ini, Hulul pada hakikatnya
adalah istilah lain dari al-ittihad sebagaimana disebutkan di atas. Tujuan Hulul adalah
agar ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri manusia (nasut) dan ini terjadi ketika
spiritualitas seseorang murni dan bersih saat menempuh perjalanan kehidupan spiritual.
Demikian juga manusia memiliki sifat manusia (nasut) dan memiliki sifat ketuhanan
(lahut) dalam dirinya.8
Pemahaman tentang al-Hallaj ini dapat dilihat dari tafsirnya tentang peristiwa
Adam dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 34: Dan (ingatlah) ketika kami berkata
kepada para malaikat; sujudlah dirimu kepada Adam, lalu sujudlah mereka kecuali
setan; dia enggan dan angkuh; dan dia termasuk orang-orang kafir. (QS 2:34). Allah
memerintahkan para malaikat untuk sujud kepada Adam karena di dalam Adam, Allah
berinkarnasi sebagaimana Dia menjelma (hulul) dalam ‘Isa a.s. Allah SWT menjelma
dalam diri Adam, artinya Allah menciptakan Adam menurut bentuk-Nya. Dengan
pemahaman tersebut, dapat berakar pada sebuah hadits yang memiliki pengaruh besar
bagi para sufi: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut wujud-Nya.” Banyak
ulama berbeda pendapat tentang hakikat ajaran Hulul al-Hallaj. Al-Taftazani telah
mencoba menyimpulkan bahwa hululnya al-Hallaj adalah majazi, bukan dalam arti
yang sebenarnya. Pemahaman Hulul al-Hallaj, menurut al-Taftazani, merupakan
pengembangan dan bentuk lain dari pemahaman ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid.
Sebenarnya ada perbedaan antara ittihad dan Hulul. Dalam ittihad, diri Abu Yazid
dihancurkan dan hanya ada Allah, sedangkan hulul, hanya al-Hallaj yang tidak
dihancurkan.9
Dalam pengertian ittihad, yang dilihat hanya satu bentuk, sedangkan dalam
pengertian Hulul ada dua bentuk, tetapi bersatu dalam satu tubuh.

Biografi singkat Mansur Al-Hallaj

8
Fariduddin, at-‟Aththar, Todzkfrah at-Aulia, disunting oleh R.A. Nicholson (London: 1905- 190, hal. 160; dan
R.A. Nicholson, fi al-Tasawuf at-Islami wa tarikhuh, (Kairo: Lajnah al-ta‟lif wa al-Tarjamah, 1947, hal. 6 dalam
Abu al-Wafa al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke zaman, hal. 116
9
Abd Halim Mahmud dan Thaha Surur (Kairo:1951), Journal Ittihad, Hulul dan Wihdatul Wujud, vol 1 no. 2, hal.
117

6
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin
Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir pada tahun 244 H/855 M di Baidhah, sebuah kota
kecil di wilayah Persia. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal yaitu
Sahl bin Abdullah At-Tusturi di Ahwaz. 2 tahun kemudian ia pergi ke Basrah dan
berguru pada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M ia masuk ke
kota Baghdad dan belajar kepada Al Junaid. Melalui pengembaraannya ke berbagai
wilayah Islam, Al Hallaj mendapatkan banyak pengikut. Ia kembali lagi ke Baghdad
pada tahun 909 M. Pengikutnya pun bertambah banyak.
Al Hallaj bersahabat dengan Nashr Al Khusyairi, seorang kepala rumah tangga
istana. Ia selalu mendorong sahabatnya itu untuk melakukan perbaikan dalam
pemerintahan dan menyampaikan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan
“pemerintahan yang bersih” itupun dirasa berbahaya oleh pemerintah saat itu. Apalagi,
di sisi lain ajaran tasawuf dan aliran-aliran keagamaan tumbuh dengan subur.
Pemerintah menjadi khawatir akan kecaman-kecaman dan kritik yang ditunjukkan
padanya serta khawatir pada pengaruh sufi terhadap struktur politik. Maka, Al Hallaj
pun dipenjarakan. Karena ucapannya, “anna al haqq”, itu dianggap sebagai sebuah
kemurtadan dan tidak bisa dimaafkan oleh para ulama fiqh.
Setahun kemudian Al Hallaj berhasil meloloskan diri dari penjara, namun 4 tahun
kemudian ia kembali tertangkap. Setelah 8 tahun menjalani masa hukuman, Al Hallaj
dihukum gantung. Ia wafat pada tahun 922 M. Namun, ajarannya masih tetap
berkembang. Pengikutnya menamakan dirinya “Hallajiyah” Setelah 1 abad
kematiannya pengikutnya di Baghdad mencapai 4000 orang. 10

B. PERSAMAAN ITTIHAD DAN HULUL


Persamaan antara Ittihad dan Hulul adalah keduanya merupakan konsep teologis
atau filsafat yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dan Tuhan dalam pemikiran
keagamaan, terutama dalam konteks pemahaman dalam tradisi sufi Islam. Namun,
keduanya memiliki perbedaan dalam inti makna dan interpretasi.
Ittihad merujuk pada konsep penyatuan atau kesatuan di antara manusia dengan
Tuhan. Ini menekankan bahwa ada semacam penyatuan antara manusia dan Tuhan dalam
pengalaman spiritual tertentu.
Hulul adalah konsep yang menggambarkan bahwa aspek Tuhan hadir dalam diri
manusia. Pemahaman ini menganggap bahwa Tuhan secara harfiah hadir dalam diri
individu, menciptakan penggabungan yang lebih dekat antara manusia dan Tuhan.
Ajaran Hulul al-Hallaj dan ajaran Ittihad Abu Yazid sama-sama mengajarkan
tentang persatuan antara Tuhan dan Hamba. Dalam ittihad dan hulul seorang sufi
mengeluarkan syatahat.11

C. PERBEDAAN ITTIHAD DAN HULUL

10
Firmansyah, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner ANALISIS PAHAM AL-ITTIHAD DAN AL-HULUL DALAM TRADISI
TASAWUF ISLAM, Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Vol.01 No.02, 2021, hlm 211
11
Oom Mukkarromah, jurnal Ittihad, hulul, dan wahdat Alwujud, vol 1, no 2, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin
Banten, hlm 143

7
Perbedaan antara ittihad al-Bustami dengan hulul al-Hallaj adalah dalam hulul diri
al-hallaj tidak melebur atau hilang, sementara dalam ittihad diri Abu Yazid hancur dan
yang ada hanya diri Tuhan. Jadi dalam ittihad yang dilihat satu wujud, sedang dalam hulul
ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh. 12 pada ittihad roh manusia naik dan
menyatu kedalam diri Tuhannya (khaliq), sedangkan ajaran Hulul, roh ketuhanan telah
turun dan masuk ke dalam tubuh atau jasad sang hamba (makhluk).

12
Firmansyah, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner ANALISIS PAHAM AL-ITTIHAD DAN AL-HULUL DALAM TRADISI
TASAWUF ISLAM, Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Vol.01 No.02, 2021, hlm 213

8
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Jadi kesimpulan dari makalah ini adalah Ittihad dan Hulul adalah konsep-konsep
dalam pemikiran teologis Islam. Ittihad mengacu dalam kesatuan atau identifikasi Tuhan
dengan alam semesta, sementara Hulul melibatkan keyakinan bahwa Tuhan bisa menepati
tempat dalam makhluk ciptaaan-Nya. Kedua konsep ini kontroversial dalam sejarah Islam,
dan mayoritas ulama menolaknya karena dianggap bertentangan dengan konsep ketuhanan
yang murni dalam Islam.
Pencetus konsep al-ittihad adalah Abu Yazid al-Busthami. Nama lengkapnya
adalah Thaifur Ibn „isa ibnu Sarusyan. Dia berasal dari Bustham. Kakeknya, Sarusyan
sebelum masuk Islam adalah seorang pemeluk agama Majusi yang selanjutnya masuk
Islam. Abu Yazid meninggal tahun 261 H (ada juga yang berpendapat dia meninggal th.
264 H).
konsep hulul menurut Abu Nasr Al-Thusi adalah paham yang mengatakan bahwa
Allah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya,
setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Menurut paham al-
hulul pertama kali dikemukakan oleh Husain Ibn Mansur Al-Hallaj.

B. DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, 2006, hlm. 66

A.R. Badawi, Syathahat al-Sufiyah, an-Nahdhah aL-Misriyah 1949, datam Harun


Nasution Fitsafat don Mistisisme dalam Islam, hlm. 34

A.R. Badawi, Syathahat al-Sufiyah, an-Nahdhah al-Misriyah 1949, dalam Harun Nasution
Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, hlm.81

Abd. Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Pakistan, 1964. Dalam Abu at-Wafa at-
Ghanimi, 2003, hal.115

Blogspot, https://satriodatuak.com/konsep-tentang-ittihad-dan-hulul/

Abd. Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Pakistan, 1964. Dalam Abu at-Wafa at-
Ghanimi, 2003, hal.90

Fariduddin al-Aththar, hal. 140 dala Abu at-wafa at-Ghanimi, haL. 116

Fariduddin, at-‟Aththar, Todzkfrah at-Aulia, disunting oleh R.A. Nicholson (London:


1905- 190, hal. 160; dan R.A. Nicholson, fi al-Tasawuf at-Islami wa tarikhuh,
(Kairo: Lajnah al-ta‟lif wa al-Tarjamah, 1947, hal. 6 dalam Abu al-Wafa al-
Ghanimi, Sufi dari Zaman ke zaman, hal. 116

9
Abd Halim Mahmud dan Thaha Surur (Kairo:1951), Journal Ittihad, Hulul dan Wihdatul
Wujud, vol 1 no. 2, hal. 117

Firmansyah, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner ANALISIS PAHAM AL-ITTIHAD DAN AL-
HULUL DALAM TRADISI TASAWUF ISLAM, Universitas Islam Negeri Raden
Fatah Palembang, Vol.01 No.02, 2021, hlm 211

Oom Mukkarromah, jurnal Ittihad, hulul, dan wahdat Alwujud, vol 1, no 2, IAIN Sultan
Maulana Hasanuddin Banten, hlm 143

Firmansyah, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner ANALISIS PAHAM AL-ITTIHAD DAN AL-
HULUL DALAM TRADISI TASAWUF ISLAM, Universitas Islam Negeri Raden
Fatah Palembang, Vol.01 No.02, 2021, hlm 213

10

Anda mungkin juga menyukai