Anda di halaman 1dari 532

FIKIH KEDOKTERAN KONTEMPORER

(Analisis Produk Pemikiran Hukum Majma‘ al-Fiqh al-


Isla>mi> 1985 – 2010 dalam Bidang Kedokteran)

DISERTASI
Diajukan guna memenuhi syarat-syarat memperoleh
gelar Doktor (S3) Konsentrasi Syariah

Oleh :

Endy Muhammad Astiwara


NIM : 09.05.3.00.1.01.01.0073

Pembimbing:
Prof. Dr. Huzaemah T. Yanggo, MA
Prof. Dr. dr. M.K. Tajudin, Sp.And

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1436 H / 2014 M

i
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Endy Muhammad Astiwara


NIM : 09.05.3.00.1.01.01.0073
Program : Strata-3
Judul Disertasi : FIKIH KEDOKTERAN KONTEMPORER (Analisis
Produk Pemikiran Hukum Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> 1985 – 2010 dalam
Bidang Kedokteran)

Menyatakan bahwa Disertasi tersebut adalah karya orisinil hasil penelitian saya
sendiri dan tidak mengandung unsur-unsur plagiarisme sebagaimana yang
disebutkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.
17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan
Tinggi. Adapun tulisan atau pendapat orang lain, telah saya sebutkan kutipannya
secara jelas dan sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku. Saya pun telah
melakukan pengecekan melalui http://www.plagiarisma.net dengan hasil sebagai
berikut (bukti pengecekan terlampir):
1. Bab 1 : 94% originality
2. Bab 2 : 100% originality
3. Bab 3 : 95% originality
4. Bab 4 : 97% originality
5. Bab 5 : 98% originality
6. Bab 6 : 100% originality
7. Bab 7 : 100% originality
8. Bab 8 : 99% originality

Apabila di kemudian hari terbukti bahwa disertasi ini merupakan hasil plagiarisme,
maka saya bersedia untuk menerima sanksi pencabutan gelar yang saya terima
maupun sanksi akademik lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Jakarta, 28 Januari 2015


7 Rabi>‘ al-Tha>ni> 1436

Saya yang membuat pernyataan,

(Endy Muhammad Astiwara)

iii
HASIL UJI PLAGIARISME
Berikut ini ialah hasil uji naskah disertasi untuk mencegah
plagiarism. Nilai arbahwa setiap kutipan teks selalu disertai dengan catatan
kaki sebagai keterangan sumber. Dengan cara ini dapat dieliminir adanya
kemungkinan plagiat dalam suatu karya ilmiah.
Pengujian ini menggunakan Plagirisma.net sebagai Plagiarism
Checker, karena inilah metode yang paing valid dan dapat untuk menguji
karakter teks yang sangat banyak dan mampu menjangkau hingga kl 158
bahasa di dunia.
Pengujian dilakukan per Bab sesuai dengan Bab-bab dalam disertasi. Akan
tetapi telah dilakukan sejumlah perubahan hingga dalam bentuk buku ini.

Results generated by Plagiarisma.Net


http://plagiarisma.net
1. Total 42675 chars (2000 limit exeeded) , 263 words, 13 unique
sentences, 94% originality
2. Total 151644 chars (2000 limit exeeded) , 264 words, 1 unique
sentences, 100% originality
3. Total 37708 chars (2000 limit exeeded) , 276 words, 13 unique
sentences, 95% originality
4. Total 262069 chars (2000 limit exeeded) , 291 words, 28 unique
sentences, 97% originality
5. Total 52463 chars (2000 limit exeeded) , 303 words, 25 unique
sentences, 98% originality
6. Total 197999 chars (2000 limit exeeded) , 273 words, 17 unique
sentences, 100% originality
7. Total 170400 chars (2000 limit exeeded) , 284 words, 28 unique
sentences, 100% originality
8. Total 4731 chars (2000 limit exeeded) , 252 words, 13 unique sentences,
99% originality

iv
SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING

Disertasi yang berjudul "Fikih Kedokteran Kontemporer (Analisis Produk


Pemikiran Hukum Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> 1985 – 2010 dalam Bidang
Kedokteran)" yang disusun oleh Endy Muhammad Astiwara, NIM:
09.05.3.00.1.01.01.0073, telah dikomunikasikan dengan Pembimbing dan dinilai
layak untuk diajukan dalam Ujian Promosi Terbuka pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta..

Jakarta, 30 Januari 2015


Pembimbing:

Prof. Dr. Huzaemah T. Yanggo, MA ………………………….


Tanggal: ………………..

Prof. Dr. dr. M.K. Tajudin, Sp. And …………………………..


Tanggal: …………………

v
vi
SURAT PERSETUJUAN PENGUJI

Disertasi yang berjudul "Fikih Kedokteran Kontemporer (Analisis Produk


Pemikiran Hukum Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> 1985 – 2010 dalam Bidang
Kedokteran)" yang disusun oleh Endy Muhammad Astiwara, NIM:
09.05.3.00.1.01.01.0073, telah diperbaiki dan dikomunikasikan dengan Para Penguji
Ujian Pendahuluan serta dinilai layak untuk diajukan dalam Ujian Promosi Terbuka
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 30 Januari 2015


TIM PENGUJI:
Prof. Dr. SUWITO, MA (……………………)
(Ketua sidang merangkap Penguji)

Prof. Dr. H. M. ATHO MUDZHAR, MSPD (……………………..)


(Penguji)

Prof. Dr. dr. ICHRAMSJAH A. RACHMAN, SpOG (K) (……………………..)


(Penguji)

Prof. Dr. dr. M.K. TAJUDIN, SpAnd (……………………..)


(Pembimbing merangkap Penguji)

Prof. Dr. HUZAEMAH T. YANGGO, MA (…………………….)


(Pembimbing merangkap Penguji)

vii
viii
Kata Pengantar

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Alla>h Taba>raka wa Ta‘a>la>, karena


berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul
"FIKIH KEDOKTERAN KONTEMPORER (Analisis Produk Pemikiran Hukum
Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> 1985 – 2010 dalam Bidang Kedokteran)". Penyusunan
disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam
program studi Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam
Negeri (UIN) Jakarta.
Dalam penyusunan disertasi ini, berbagai pihak telah banyak memberikan
dorongan, bantuan serta masukan yang sangat berharga bagi penulis. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA atas semua kebijakannya dalam memudahkan
penulis menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA dan Direktur Sekolah
Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA atas semua kebijakannya
dalam memberikan fasilitas dan pelayanan maksimal yang mendukung
studi penulis selama menimba ilmu di Sekolah Pascasarjana (SPs)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Direktur Program Doktor Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; Bapak Prof. Dr. Suwito, MA
yang telah banyak meluangkan waktu kepada penulis untuk berdiskusi dan
memberi masukan yang sangat berharga.
4. Ibu Prof. Dr. Huzaemah T. Yanggo, MA dan Bapak Prof. Dr. dr. M.K.
Tajudin, Sp.And selaku promotor yang dengan penuh ketulusan dan
kesungguhan telah memberikan pengetahuan dan bimbingannya yang
sangat bermanfaat bagi penulisan hingga penyelesaian disertasi ini.
5. Bapak Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, MSPD dan Bapak Prof. Dr. Dr.
Ichramsjah A. Rachman, SPOG (K), yang telah berkenan meluangkan
waktu kepada penulis untuk berdiskusi dan memberi masukan yang sangat
berharga.
6. Direktur Program Magister Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA,
yang sebelumnya menjabat sebagai Deputi Direktur Bidang Administrasi,

ix
dan telah banyak membantu proses administrasi penulis sehingga dapat
menyelesaikan program Doktor ini.
7. Seluruh dosen dan staf pengajar serta karyawan Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan pelayanannya dengan sungguh-sungguh baik berupa ilmu
pengetahuan maupun proses administrasi selama penulis menimba ilmu di
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta ini.
8. Yang teramat mulia ibunda tercinta, Ibu Hj. Sriyatin Mulyati yang dengan
tulus ikhlas selalu mendo’akan keberhasilan penulis dalam menempuh dan
menyelesaikan studi ini.
9. Yang tercinta isteri penulis, Euis Nurmala, S.Pd, yang dengan penuh
kesetiaan mendampingi penulis dalam suka maupun duka selama
menempuh studi di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Tentu saja
yang paling istimewa kedua buah hati penulis; Fathiyyah Ash-Shafa dan
Mumtaz Arafah yang selalu menjadi pendorong motivasi penulis untuk
menyelesaikan studi ini.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis baik dalam studi maupun dalam
penyelesaian disertasi ini yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya
satu persatu. Semoga Alla>h Jalla wa ‘Ala> membalas semua kebaikan
mereka dengan balasan yang berlipat ganda. Amin.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan disertasi ini masih banyak


kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
konstruktif sangat penulis harapkan guna menyempurnakan penulisan disertasi ini.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga disertasi
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 28 Januari 2015


7 Rabi>‘ al-Tha>ni> 1436
Penulis,

Endy Muhammad Astiwara

x
ABSTRAK
Disertasi ini memperoleh temuan bahwa dalil sadd al-dhari>‘ah digunakan
dalam semua topik kedokteran dalam mu'tamar-mu'tamar Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>
al-Dawli> yang dibahas dalam penelitian ini. Masing-masing topik menggunakan
beberapa dalil atau metode, dengan satu metode utama, yaitu metode sadd al-
dhari>‘ah digunakan pada pembahasan Bank Sperma dan Rahim Titipan; al-istis}h}a>b
dan al-mas}lah}ah al-mursalah digunakan pada pembahasan Inseminasi Buatan dan
Bayi Tabung; al-istih}sa>n bi al-nas}s} dan sadd al-dhari>‘ah digunakan pada
pembahasan Bank Air Susu Ibu; al-istih}sa>n bi qa‘idah raf‘ al-h}araj wa al-
mashaqqah dan sadd al-dhari>‘ah digunakan pada pembahasan Alat Bantu Hidup dan
Penentuan Kematian; serta al-mas}lah}ah al-mursalah dan al-istih}sa>n bi al-mas}lah}ah
digunakan pada pembahasan Transplantasi Organ. Hal tersebut membuktikan
bahwa semakin suatu tindakan medis membawa kepada kerusakan (mafsadat) yang
lebih besar, maka lebih cenderung digunakan dalil yang bersifat preventif.
Disertasi ini mendukung hasil kajian Jam‘i>yah al-‘Ulu>m al-T{ibbi>yah al-
Isla>mi>yah al-Urduni>yah dalam buku Qad}a>ya> T{ibbi>yah Mu‘a>s}irah. Namun demikian
berbeda dengan hasil penelitian Mus}t}afa> Di>b al-Bugha> dalam bukunya Athar al-
Adillah al-Mukhtalaf fi>ha> fi> al-Fiqh al-Isla>mi> dan penelitian Mus}lih} Ibn ‘Abd al-
H{ayy al-Najja>r dalam bukunya Al-Adillah al-Mukhtalaf fi>ha> ‘inda al-Us}u>li>yyi>n wa
Tat}biqa>tuha> al-Mu‘a>s}irah.
Sumber primer disertasi ini ialah “Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>”>,
yang berisi kumpulan makalah penyaji, pembanding, dan notulen mu'tamar-
mu'tamar Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> al-Dawli> Munaz}z}amah al-Ta‘a>wun al-Isla>mi>
atau International Islamic Fiqh Academy of Organization of Islamic Cooperation
(IIFA – OIC). Hingga tahun 2010, Majallah Majma‘ berjumlah 36 jilid buku,
masing-masing setebal kurang lebih 500 halaman. Adapun bidang kedokteran
mencakup sekitar 10% dari seluruh topik pembahasan Majma‘. Selama kurun
waktu 1985 s.d. 2010 telah dibahas 23 masalah kedokteran dalam 29 kali mu'tamar.
Penelitian ini memilih 4 (empat) dari 23 topik di atas, dengan alasan bahwa topik-
topik tersebut merupakan tema yang penting dalam dunia kedokteran serta menjadi
acuan pokok dari topik-topik kedokteran berikutnya.
Penulis menganalisis cara pengeluaran hukum (t}ari>q al-istinba>t)} yang
dilakukan oleh Majma‘ al-Fiqh dari seluruh sumber-sumber hukum Islam yang ada.
Selanjutnya menguji dalil-dalil manakah yang paling relevan untuk digunakan
memecahkan persoalan kedokteran tersebut. Dengan demikian disertasi ini
menggunakan metode penelitian deskriptif analitis yang bersifat yuridis melalui
pendekatan us}u>l al-fiqh, al-qawa>‘id al-fiqhi>yah, fiqh, ilmu kedokteran, dan lain-lain.

xi
xii
ABSTRACT
This research is written on the basis of the fiqh contemporary issues on
medical field. Since medicine is not merely a science but also an implemented
knowledge which directly embraces every side of human life. Medicine has become
the example of contemporary problems which dynamically move along with human
notion about healthy and sickness, life and death, and aesthetical matters.
The main source of this research is “Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>”, a
series of books consists of selective papers (either of the presenters, discussants or
comparators) and minutes of meeting of conferences of Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>
al-Dawli> Munaz}z}amah al-Ta‘a>wun al-Isla>mi> or International Islamic Fiqh
Academy-Organization of Islamic Cooperation (IIFA –OIC). IIFA-OIC has released
36 volumes up to the year of 2010 and each volume consists of more than 500
pages whereas only 10% concerning medicine topics. During the year of 1985 to
2010, the conference has been discussing 23 medical topics concerning medical
issues in 29 conferences. However, only 4 topics of medical issues have been
chosen to be discussed in this research.
The author is to analyse medical problems from the point of view of all of
Islamic legal main resources.
This research concludes that even one of the medical treatment more carry
to make a damage (mafsadat), so it's the way through to be prevented.
The reason of its conclusion is that Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> has been
using several methods in each topic of contemporary medical issues. The main
method of sadd al-dhari>‘ah is used in Sperm Banking and Surrogacy; al-istis}h}a>b
and al-mas}lah}ah al-mursalah method are used in Artificial Insemination and Test
Tube Baby; al-istih}sa>n bi al-nas}s} and sadd al-dhari>‘ah are used in Breastmilk; al-
mas}lah}ah al-mursalah and al-istih}sa>n bi al-mas}lah}ah are used in Organ
Transplantation; al-istih}sa>n bi qa‘idah raf‘ al-h}araj wa al-mashaqqah and sadd al-
dhari>‘ah also used in Ventilator as well as Definition of Death. And last, the
research reveals that sadd al-dhari>‘ah method is used in all of the topics also.
The conclusion above is relatively equal to study of Jam‘i>yah al-‘Ulu>m al-
T{ibbi>yah al-Isla>mi>yah al-Urduni>yah in its book named Qad}a>ya> T{ibbi>yah Mu‘a>s}irah.
Nevertheless, it has been distinctiveness with the standpoint of Mus}t}afa> Di>b al-
Bugha> in his book named Athar al-Adillah al-Mukhtalaf fi>ha> fi> al-Fiqh al-Isla>mi>
and Mus}lih} Ibn ‘Abd al-H{ayy al-Najja>r in his book named Al-Adillah al-Mukhtalaf
fi>ha> ‘inda al-Us}u>li>yyi>n wa Tat}biqa>tuha> al-Mu‘a>s}irah.
Along with the more complexity of modern issues or problems, the more
demand for the scholar verdicts or fatwa> or decision for ijtiha>d deserves more
authoritative way among Muslim society in the form of collective ijtiha>d (al-ijtiha>d
al-jama>‘i>)) rather than individual ijtihad (al-ijtiha>d al-fardi>). Collective ijtiha>d
means that the opinion of Islamic laws or fata>wa> issued are based on the ijtiha>d of
the expert assembly which consists of Islamic jurists and medical doctors in various
related knowledge.

xiii
xiv
‫ملخص البحث‬
‫اختاات هذ ا هذالرسااتل ذقضاات تذالطبي ا ذضوعااولتذل ب ا ‪،‬ذل مااتذناالطذالط ا ذ ااوذ‬
‫نتحيتيذل ميذوتطبيقيذال يذ تع قذننواحيذل يتةالبشر ‪.‬ذذ‬
‫كثاارةذالمئااتلمذالمعتااارةذالشااتلو ذالم ا كو ةذتتط ا ذاللتااتومذالت ا ذالت ض ا ذض ا ذ‬
‫ضنهجذاإلسالمذضنذنتحي ‪،‬ذوضنذنتحي ذأخرمذتواك ذتطو اهذال يتة‪.‬ذ‬
‫ضرج ا ذ ا االب ذ ااوذضم ا ذالممم ا ذاللقااوذاإلسااالضيذال ا وليذلمن م ا ذالتعااتوطذ‬
‫اإلسالضيذالمطبوعذنئ ذوثالثينذضم اذوفيذخمسذضتل ذال ذفيذكمذضم ذتقر بت‪.‬ذأضاتذ‬
‫ضئتلمذالطبي ذالتيذن ثنتذلنهتذفتشممذلشرةذنتلمتلا ذضانذجميا ذالموعاولتهذالتايذن ا ذ‬
‫المممااا ذاللقاااوذلنهاااتذضااانذضااا ةذسااان ذ‪5891‬ذحتااا ذ‪0252‬ذون ااا ذالمممااا ذاللقاااوذ‪02‬ذ‬
‫ضوعولتهذفيذ‪08‬ذضؤتمراه‪،‬ذوضنذثمذ ختات ذ‪4‬ذلناتو نذضنهاتذل ب ا ذفايذ ا هذالرساتل ذ‬
‫ال كتو ة‪.‬ذ‬
‫ضمم ا ذاللقااوذال ا وليذ ااوذذت ا ذولا ةذوضئ ا ولي ذا ضتن ا ذالعتض ا ذل من م ا ذو ااوذ‬
‫ضنئ ا ذليوااوطذض اامذال اس ا ذفاايذ ا هذالرسااتل ‪،‬ذ نااوذالممم ا ذال ا وليذالمعاارو ذنقااوةذ‬
‫اإلستنبتطذواإلحتط ذنوامذالما ا ذالمتبعا ذفضاالذلانذالب اورذوال اساتهذالمق ضا ذضانذ‬
‫الع متذوذالبتحثين‪،‬ذكمتذأطذذلضو ذالممم ذتمثمذالب اطذا لضتءذنتلمن م ‪.‬ذ‬
‫أضتذضنذنتحي ذوستنبتطذالممم ‪،‬ذ رمذالبتح ذنلنوذالذنوتليذنتلمصاتل ذوا ااو ذ‬
‫المتلقذل يهتذف ئ ذولونذ تتجذول ذا او ذا خرمذوتئام ذا ااو ذالمخت افذفيهاتذ‬
‫أوذا لل ذالمخت فذفيهتذو ايذاإلست ئاتطذوالمصاتللذالمرسا ذوسا ذال عا ذو ارعذضانذ‬
‫قب نااااتذواإلستصاااا ت ذوأقااااوا ذالصاااا تن ذوالعاااار ‪.‬ذوضاااانذ نااااتذاط اااا ذالبتحاااا ذذكاااامذ‬
‫ضصااتل ا حوتمذوضبااتلحذا حوااتمذضاانذالمتلااقذل يهااتذوذالمخت اافذفيهااتذكثاارذوسااتخ اضهتذ‬
‫كمصتل ذالستنبتطذنلتتومذالممم ‪.‬‬
‫وخالا ذضتذتوامذوليوذالبتح ذ وذأطذك متذا لمت ذالطبي ذتميمذوليذضلئ ةذضنذ‬
‫أيذضلتس ذفهنتكذ نبغيذتمنبهت‪ .‬ذتؤخ ذالخالا ذضن ذأطذالممم ذ ذ ئتخ مذل ة ذا لل ذأوذ‬
‫المنهمي ذفيذكمذضوعوعذاللتوم‪.‬ذوأ مذا او ذ ت ققذفيذكمذالموعوعذكمتذذكرذفيذ‬
‫التتلي‪ .‬ذفتإلست ئتط ذاستخ م ذلن ذن ذننوك ذال ي ذوأجه ة ذاإلنعتش ذونهت ذال يتةذ‬
‫ذالت قيل ذالصنتلي ذوأطلت ذ‬ ‫اإلنئتني ‪ .‬ذوأضت ذالمصتلل ذالمرس ذاست خ ض ذلن ذن‬
‫ا نتني ذوونـتلتعذاإلنئـتطذنللضـتءذجئمذونئـتطذأخرذحيتذكتطذأوذضيتت‪.‬ذوأضتذس ذال ع ذ‬
‫ذننوك ذالمني ذوالرحم ذالمئتلجر‪ .‬ذوأ ضت ذضنهج ذس ذال ع ذ‬ ‫است خ ض ذلن ذن‬
‫است خ ض ذلن ذكمذضوعوعذالطبي ‪.‬ذ‬
‫ل ا‪،‬ذقرا اهذاللقهي ذالموثوقذضنذالمئتلمذالم ا ةذتتمثامذفايذاإلجتهاتلذالمماتليذ‬
‫ال يذا هذاللتتومذضممعول ذضنذاللقهتءذوالخبراءذنع ومذالطبي ذ‪.‬ذ‬
‫ذ‬

‫‪xv‬‬
xvi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama


‫ا‬ alif Tidak Tidak dilambangkan
dilambangkan
‫ب‬ ba b be
‫ت‬ ta t te
‫ث‬ sa th te dan ha
‫ج‬ Jim j je
‫ح‬ ha ḥ ha (titik di bawah)
‫خ‬ kha kh ka dan ha
‫د‬ dal d de
‫ذ‬ zal dh de dan ha
‫ر‬ ra r er
‫ز‬ zai z zet
‫س‬ sin s es
‫ش‬ shin sh es dan ha
‫ص‬ sad ṣ es (titik di bawah)
‫ض‬ dad ḍ de (titik di bawah)
‫ط‬ ta ṭ te (titik di bawah)
‫ظ‬ za ẓ zet (titik di bawah)
‫ع‬ ‘ain ...‘..... Koma terbalik di atas
‫غ‬ gain gh ge dan ha
‫ف‬ fa f ef
‫ق‬ qaf q qi
‫ك‬ kaf k ka
‫ل‬ lam l el
‫م‬ mim m em
‫ن‬ nun n en
‫و‬ wau w we
‫ه‬ ha h ha
‫ء‬ hamzah ...’ ... apostrof
‫ي‬ ya y ye

xvii
Catatan:
Huruf madd berupa alif dilambangkan dengan ā seperti qāla (‫)قال‬
Huruf madd berupa waw dilambangkan dengan ū seperti qālū (‫)قالوا‬
Huruf madd berupa ya dilambangkan dengan ī seperti qīla (‫)قيل‬
Huruf tā’ marbūṭah (‫ )ة‬yang terletak di akhir kata ditulis h, Sedangkan tā’
marbūṭah (‫ )ة‬yang menjadi mu«āf ditulis t seperti wazārat al-tarbiyah (‫)وزارة الرتبية‬.
Sedangkan kata yang di akhirnya tā marbūṭah (‫ )ة‬yang menjadi ṣifat dan mawṣūf
ditulis h seperti al-risālah al-qaṣīrah (‫)الرسالة القصرية‬
Kata-kata serapan dari bahasa Arab yang telah biasa digunakan, ditulis sesuai
dengan ejaan bahasa Indonesia, seperti: Islam, darurat, fikih.

xviii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI iii

HASIL UJI PLAGIARISME iv

PERSETUJUAN PEMBIMBING v

PERSETUJUAN PENGUJI vii

KATA PENGANTAR ix

ABSTRAK xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN xvii

DAFTAR ISI xix

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL xxv

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Permasalahan 9
1. Identifikasi Masalah 9
2. Pembatasan Masalah 11
3. Perumusan Masalah 12
C. Kajian Terdahulu yang Relevan 13
D. Kerangka Teori 14
E. Metodologi Penelitian 15
F. Tujuan dan Manfaat Penelitian 17
G. Sistematika Penulisan 18

BAB II TEORI ISTINBA<T{ DAN SUMBER-SUMBER HUKUM 19


ISLAM
A. Al-Qur'a>n 22
B. Al-Sunnah 29
C. Al-Ijma>‘ 36
D. Al-Qiya>s 41
E. Al-Istis}h}a>b 47

xix
F. Qawl al-S{ah}a>bi> 51
G. Shar‘u Man Qablana> 57
H. Al-Istih{sa>n 60
I. Al-Mas}a>lih{ al-Mursalah 64
J. Sadd al-Dhara>’i‘ 70
K. Al-‘Urf 75

BAB III PROFIL MAJMA‘ AL-FIQH AL-ISLA<MI>>< 85


A. Latar Belakang dan Sejarah 85
B. Struktur Organisasi 95
C. Pedoman dan Prosedur Mu'tamar Majma‘ 104

BAB IV REPRODUKSI DAN PERMASALAHANNYA 107


A. Teori Kromosom 109
B. Fertilisasi 115
C. Tahapan Perkembangan Embrio 116
D. Infertilitas 123
E. Macam-macam Terapi Infertilitas 130
F. Bayi Tabung 141
G. Pembahasan Fikih tentang Inseminasi Buatan 144
dan Bayi Tabung
1. Filosofi Pernikahan dalam Pandangan Islam 144
2. Inseminasi Buatan dalam Sejarah Kedokteran Islam 149
3. Proses Awal Kejadian Manusia 150
4. Keselarasan Wahyu dan Logika vs Materialisme Barat 152
5. Ruang Lingkup Terapi Fertilitas dan Problematikanya 154
6. Analisis ‘Illat Hukum Bayi Tabung 160
7. Obyek Hukum pada Kasus Bayi Tabung 166
8. Dasar Pertimbangan Majma‘ 171
H. Keputusan Majma‘ al-Fiqh tentang Inseminasi Buatan dan 177
Bayi Tabung
I. Pengantar Pembahasan Bank Sperma 178
J. Analisis Kualitas Sperma 182
K. Pembekuan dan Penyimpanan Sperma 184
L. Bank Sperma 191
M. Pembahasan Fikih tentang Bank Sperma 195
1. Pandangan dari Al-Qur'a>n dan al-H{adi>th 196
2. Pandangan dari Para Fuqaha>' 197
3. Nikah istibd}a>‘ Versi Kontemporer 200
4. Dasar Pertimbangan Majma‘ 202
N. Rahim dan Kehamilan dalam Pandangan Kedokteran 205
O. Rahim Titipan 217
P. Pembahasan Fikih tentang Rahim Titipan 222
1. Hukum Memiliki Anak 222
2. Pandangan Ulama tentang Rahim Titipan 223

xx
3. Perdebatan Ulama tentang Status Ibu dari Bayi yang 226
Dilahirkan
4. Perdebatan Ulama Seputar Alasan Keharaman Rahim 231
Titipan
5. Dasar Pertimbangan Majma‘ 234

BAB V BANK AIR SUSU IBU (BUNU<K AL-H{ALI<B) 241


A. Pembahasan tentang Air Susu Ibu (ASI) 241
B. Pembahasan Fikih tentang Bank ASI 248
1. Makna Rad}a>‘ (Pemberian ASI) 250
2. Keraguan dalam Persusuan 253
3. Ringkasan Diskusi Para Anggota Majma‘ 254
4. Dasar Pertimbangan Majma‘ 261
C. Keputusan Majma‘ al-Fiqh 265

BAB VI ALAT BANTU HIDUP (AJHIZAT AL-IN‘A<SH) 267


A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Pusat 268
B. Anatomi dan Fisiologi Jantung 279
C. Pandangan Islam tentang Jantung dan “Qalbu” 286
D. Definisi Kematian Menurut Ilmu Kedokteran 290
E. Diagnosis Mati Batang Otak (MBO) 293
F. Alat Bantu Hidup 297
G. Resusitasi Jantung Paru 300
H. Ventilator 306
I. Defibrilator 310
J. Kematian Batang Otak 313
K. Diagnosa Kematian Otak 321
L. Pembahasan Fikih tentang Kematian dan Alat Bantu 323
Hidup
1. Hukum Syariah Terkait Orang yang Hilang 324
Kesadaran
2. Al-Qur’a>n Mengabaikan Tidak Berfungsinya 325
Kesadaran sebagai Kematian
3. Hakikat Kematian dan Kehidupan dalam Al-Qur’a>n 328
4. Kemuliaan Jiwa Manusia 335
5. Pengertian tentang Jiwa, Kapan Seseorang Dikatakan 337
Hidup atau Mati Menurut Al-Qur'a>n
6. Kehidupan dan Kematian Menurut Para Fuqaha<’ 344
7. Ciri-ciri Kematian Menurut Fuqaha>’ 350
8. Penggunaan Alat Bantu Hidup 351
9. Dasar Pertimbangan Majma‘ 355
M. Keputusan Majma‘ al-Fiqh 361

xxi
BAB VII TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH DARI ORANG 363
HIDUP MAUPUN DARI JENAZAH (INTIFA<‘
AL-INSA<N BI A‘D{A<’ JISM INSA<N A<KHAR HAYYAN
KA<NA AW MAYYITAN)
A. Proses dan Definisi Transplantasi Organ 364
1. Jenis-Jenis Transplantasi 366
2. Transplantasi dari Sisi Resipien 367
3. Proses Tranplantasi Masing-Masing Organ, Jaringan 371
ataupun Sel
4. Transplantasi Organ Tubuh di Negara-negara Arab 376
5. Pengadaan Organ Transplantasi 378
B. Pembahasan Fikih tentang Transplantasi 382
1. Hukum Asal Transplantasi Organ Tubuh 382
2. Kewajiban Terapi dengan Metode dan Benda-benda 385
yang Halal
3. Larangan Terapi dengan Metode atau Benda-benda 387
yang Haram
4. Definisi Transplantasi Organ dari Para Fuqaha>' 390
5. Pokok Pandangan Syariat Islam Tentang 393
Transplantasi Organ Tubuh
6. Prinsip Perbuatan Mulia Mendahulukan Keperluan 400
Orang Lain (‫)اإليثار‬
7. Prinsip Larangan Menjerumuskan Diri dalam 401
Kebinasaan
8. Kaidah-Kaidah Fikih yang Relevan dengan 405
Transplantasi Organ Tubuh
9. Transplantasi Organ yang Berasal dari Organ Tubuh 409
Sendiri
10. Kesimpulan dari Perselisihan Fuqaha' 412
11. Transplantasi Organ yang Berasal dari Benda Tiruan 413
12. Transplantasi Organ yang Berasal dari Organ Tubuh 415
Mayat
13. Kebolehan Melakukan Bedah Mayat untuk Keperluan 423
Tertentu
14. Transplantasi Organ yang Berasal dari Jasad Orang 424
yang Terpelihara Darahnya
15. Transplantasi Organ yang Berasal dari Jasad Orang 426
yang Tidak Terpelihara Darahnya
16. Seputar Masalah Izin Eksplantasi Organ Tubuh Mayat 429
17. Asas Kemanusiaan dan Etika Profesi Dokter pada 430
Tindakan Tranplantasi Organ Tubuh
18. Dasar Pertimbangan Majma‘ 432
C. Kesimpulan Hukum Majma‘ al-Fiqh 437

xxii
BAB VIII PENUTUP 441
A. Kesimpulan 441
B. Saran-Saran 442

DAFTAR PUSTAKA 445


A. Jurnal dan Buletin Ilmiah 445
B. Buku-Buku 464
C. Kepustakaan dari Internet 476
D. Rujukan Utama untuk Takhri>j al-H{adi>th 485

GLOSARI 487

INDEKS 491

BIODATA PENULIS 503

xxiii
xxiv
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar 1. Tahapan Mitosis 109


Gambar 2. Struktur Spermatozoa 111
Gambar 3. Proses Oogenesis 113
Gambar 4. Fertilisasi Sperma Menuju Ovum 115
Gambar 5. Stadium Cleavage 116
Gambar 6. Bentuk Morula pada Embrio Manusia 117
Gambar 7. Throphoblast pada Endometrium 118
Gambar 8. Stadium Blastula 118
Gambar 9. Primordial Germ Cells and Yolk Sac 120
Gambar 10. Janin (Foetus) Usia 12 Minggu 121
Gambar 11. Ukuran Kepala Janin Dibandingkan dengan Tubuh 122
Gambar 12. Janin dalam Rahim pada Posisi Normal 123
Gambar 13. Prosentase Penyebab Infertilitas di Amerika Serikat 126
Gambar 14. Prosedur ART 131
Gambar 15. Perkembangan Ovum dari Ovarium 135
Gambar 16. Teknik Fertilisasi In Vitro dan Tranplantasi Embrio 136
Gambar 17. Potongan Sagital Organ Reproduksi Pria 178
Gambar 18. Potongan Testis dan Pembelahan Sel Sperma 181
Gambar 19. Potongan Sagital Organ Reproduksi Wanita 206
Gambar 20. Anatomi Uterus dan Cervix Uteri 209
Gambar 21. Anatomi Uterus dan Sekitarnya 211
Gambar 22. Sel Neuron 269
Gambar 23. Potongan Sagital Anatomi Otak 272
Gambar 24. Pembagian Area Fisiologi Otak 273
Gambar 25. Skema Area Fisiologi Otak dan Batang Otak 275
Gambar 26. Arah Kompresi Dada pada RJP 303
Gambar 27. Alat Ventilator 306
Gambar 28. Defibrilator Internal Terpasang 311
Gambar 29. Pemasangan Implantable Defibrillator 312
Gambar 30. Transplantasi yang Umum Dilakukan di AS 371

xxv
Tabel 1. Masalah Kedokteran yang Dibahas Majma‘ 1985-2010 10
Tabel 2. Organ Reproduksi Pria dan Fungsinya 179
Tabel 3. Kandungan Semen pada Pria 184
Tabel 4. Grafik Kadar Hormon pada Siklus Haid 213
Tabel 5. Tabel Keputusan Majma‘ tentang Reproduksi 240
Tabel 6. Cara Menegakkan Diagnosa Mati Batang Otak (MBO) 294
Tabel 7. Beberapa Kesukaran Dalam Diagnosa MBO 296
Tabel 8. Refleks untuk Menegakkan Diagnosa MBO 297
Tabel 9. Kesimpulan Majma‘ tentang Penghentian Alat Bantu Hidup 362
Tabel 10. Transplantasi Organ Tubuh yang Biasa Dilakukan 369
Tabel 11. Negara-Negara yang Menggunakan Sistem Opt-In 378
(Informed Consent) dan Opt-Out (Presumed Consent)
Tabel 12. Masa Hidup Pasien pada Berbagai Jenis Transplantasi 381
Tabel 13. Kesimpulan Majma‘ tentang Transplantasi dari Sisi 439
Pendonor
Tabel 14. Kesimpulan Penggunaan Dalil dalam Masalah Kedokteran 441

xxvi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Masalah-masalah Kontemporer dalam Bidang Kedokteran


Kedokteran merupakan salah satu cabang ilmu terapan ( applied science)
yang terpenting, kalau tidak dapat dikatakan yang terpenting. Hal tersebut karena
bidang ini menyentuh secara langsung ke dalam kehidupan setiap insan. Persoalan-
persoalan dalam bidang kedokteran merupakan suatu contoh problematika
kontemporer. Bidang tersebut selalu bergerak dinamis seiring cara pandang
masyarakat tentang sehat dan sakit, hidup dan mati, hasrat manusiawi untuk tetap
sehat dan bugar, estetika, serta perkembangan teknologi medis yang terus
berkembang pesat.
Demikian pula dari sisi klasifikasi sains, ilmu kedokteran terus maju dan
berkembang, yang mengerucut kepada fokus yang lebih detail, seperti bidang-
bidang subspesialisasi yang sebelumnya belum pernah ada. Misalnya bidang
radiologi intervensi, kardiologi anak non-invasive, rehabilitasi medik geriatri, dsb.
Ketatnya tuntutan spesialisasi dalam ranting disiplin ilmu tertentu membawa
pengaruh pula terhadap penguasaan seorang dokter terhadap ilmu pengetahuan
kedokteran secara umum.
Istilah kedokteran kontemporer mencakup semua masalah kedokteran yang
muncul pada akhir abad 20 dan awal abad 21 ini, dan oleh karenanya membutuhkan
penetapan hukum fikih untuk menerima, menolak, ataupun memodifikasinya agar
sesuai syariah islam. Bidang ini meliputi berbagai aspek yang saling berkaitan.
Diantaranya ialah timbulnya penyakit-penyakit degeneratif yang terkait dengan
gaya hidup,1 pekerjaan,2 maupun dampak pencemaran lingkungan.3 Kemudian
teknologi kedokteran yang berkembang pesat berikut penggunaannya yang semakin
merata, baik untuk diagnosa maupun terapi.4 Juga akibat berubahnya paradigma
masyarakat terhadap hal-hal yang mendasar dalam kehidupan umat manusia,
misalnya apa yang disebut sakit, konsep menjadi tua adalah masalah, pandangan
materialistik tentang apa yang disebut dengan baik dan sempurna.5
Adapun disertasi ini menjadikan sejumlah problema kedokteran
kontemporer sebagai obyek penelitiannya. Namun demikian, agar lebih fokus

1
Biasa diistilahkan dengan life style disease. Seperti penyakit gastritis kronis
akibat terlalu sibuk bekerja sehingga makan tidak teratur, atau atherosclerosis akibat terlalu
banyak memakan junk food.
2
Biasa disebut dengan occupational disease, yaitu penyakit akibat jenis pekerjaan
tertentu, seperti conjunctivitis kronis pada pekerja yang banyak terpapar bahan kimia.
3
Seperti dermatitis allergic pada penduduk yang menggunakan air sungai yang
tercemar limbah industri.
4
Seperti cryopreservasi pada penyimpanan sperma di Bank Sperma.
5
Bagi masyarakat yang semakin hedonistic, maka menjadi tua adalah sebuah
tragedi. Akibatnya tumbuh menjamur berbagai sentra terapi agar orang (tampak) lebih
muda, dari mulai terapi hormonal, botox, hingga bedah kosmetik.

1
kepada apa yang dituju dalam penelitian ini dan tidak melebar kepada hal-hal
lainnya, maka topik-topik yang dipilih ialah yang pada umumnya menjadi dasar
dari problema-problema kedokteran yang terus berkembang. Contohnya ialah
pembahasan tentang transplantasi organ. Kesimpulan hukum atas topik ini ini
menjadi dasar untuk pembahasan Majma‘ al-Fiqh selanjutnya, yaitu tentang stem
cell, kloning, transplantasi organ janin, dan lain-lain.

2. Urgensi Ijtihad dalam Mengatasi Problematika Kontemporer


Apabila kita menelaah nus}u>s} (teks-teks) Al-Qur'a>n atau sunnah Nabi, maka
akan dijumpai bahwa sebagian hukum telah diputuskan secara tegas dan jelas.
Namun sebagian lainnya, bahkan sebagian terbesar, belum atau tidak dinyatakan
demikian.6 Oleh karenanya Alla>h menyediakan indikasi (amara>t) dan sarana yang
memungkinkan manusia untuk memutuskannya melalui upaya intelektual yang
sungguh-sungguh, yaitu ijtihad.7 Hal inilah sebenarnya yang dapat menjadikan
hukum Islam mampu menjawab setiap persoalan umat manusia, yang semakin
banyak dan kompleks. Tanpa adanya ijtihad, seolah-olah hukum Islam tidak
berdaya menghadapi kemajuan zaman. Di sinilah tampak urgensi ijtihad.8
Namun demikian dalam sejarah intelektual umat Islam, telah terjadi
kebekuan berijtihad selama berabad-abad. Setelah melalui masa jumu>d yang cukup

6
Muhammad Shahru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi>, terj: Sahiron et al.
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2004) , 295-303.
7
Kata ‚ijtiha>d‛ diambil dari kata al-jahd dan al-juhd yang berarti kemampuan dan
kesungguhan, yaitu bersungguh-sungguh dalam menuntut sesuatu. Adapun secara
terminologis, terdapat beragam definisi yang berbeda-beda, namun memiliki inti pengertian
yang relatif sama, yaitu: ‚Ijtihad ialah segala daya upaya yang dicurahkan oleh seorang
faqi>h untuk menghasilkan suatu hukum shara‘ yang bersifat z}ann‛. Lihat: ‘Abd al-Ma>jid l-
Su>su>h, Dirasa>t fi> al-Ijtiha>d (Bayru>t: Da>r al-Bas}a’ir al-Islami>yah, 1423H-2003M), 11-12, 15.
‘Abd al-Rah}ma>n al-Bana>ni>, H}ashi>yah al-Bana>ni> (Bayrut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1418H-
1998M), j. II, 585-586. Abu> H}a>mid al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> (Bayrut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, t.t), j. II, 350.Al-T}ayyib Khud}ri> al-Sayyid, Al-Ijtiha>d fi>ma> La> Nas}s} fi>h (Al-Riya>d}:
Maktabah al-Haramayn, 1983), j. I, 11.
8
Menilik kepada perbincangan di atas mengenai ijtihad, maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat empat kriteria yang harus dipenuhi dalam definisi ijtihad, yaitu:
a. Mencurahkan semua kemampuan (istifra>gh al-wus‘), baik konsentrasi, kemampuan
intelektual, maupun komitmen moral dan akhlaq.
b. Seorang ahli fikih (al-faqi>h), meskipun tidak mencapai peringkat mujtahid. Diantara
syarat terpenting bagi seorang faqi>h ialah memahami situasi dan kondisi kontemporer,
serta memahami permasalahan yang akan difatwakan. Bahkan seorang faqi>h tidak boleh
berfatwa tentang sesuatu yang tidak faham tentang masalah tersebut dengan baik.
c. Menghasilkan kesimpulan hukum yang bersifat z}anni> ( li tah}s}i>l al-z}ann), tidak sampai
kepada peringkat qat}‘i>.
d. Hukum shara‘ (bi h}ukm shar‘i>), yaitu bidang yang dilakukan ijtihad ialah hanya pada
hukum-hukum shara‘ saja. Bukan pada topik-topik keimanan dan akhlak, dan bukan
pula pada perkara-perkara yang semata-mata bersifat empiris (h}issi>ya>t) dan rasional
(‘aqli>ya>t) saja.

2
lama, kemudian muncul para pembaharu (mujaddid) dan mujtahid untuk
menyelesaikan persoalan yang timbul pada masanya.9
Adapun bagi ulama dan pakar keislaman pada era kontemporer ini, dapat
dikatakan seluruhnya berpendapat bahwa tidak boleh dalam suatu periode terjadi
kekosongan dari keberadaan mujtahid. Mereka pun sepakat untuk menyatakan
bahwa keberadaan mujtahid dan ijtihad adalah wa>jib kifa>’i>.10
Ijtihad, tak dapat dipungkiri, diperlukan untuk masuk di relung-relung
kehidupan masyarakat yang semakin majemuk ini. Sejak generasi awal umat ini
sudah menggalakkan ijtihad dalam area yang memang tidak tersentuh Al-Qur'a>n
dan al-Sunnah secara rinci. Ini bisa disimak dari hadis yang sangat masyhur,
manakala Rasulullah SAW akan mengangkat Mu‘a>dh Ibn Jabal sebagai gubernur di
Yaman:
:"
:
:
11
".
Sesungguhnya tatkala Rasu>lulla>h SAW mengutus Mu‘a>dh ke Yaman, Beliau
bertanya: "Bagaimana engkau memutuskan hukum jika diajukan kepadamu suatu
masalah?". Dia menjawab:"Aku memutuskan dengan Kitab Alla>h". Beliau bertanya
lagi:"Lalu apabila engkau tidak dapati di dalam Kitab Alla>h?" Dia menjawab: "Aku
akan memutuskan dengan Sunnah Rasu>lulla>h SAW". Beliau pun bertanya lagi:" lalu
apabila tidak kau dapati dalam Sunnah Rasu>lulla>h?" Dia pun menjawab: "Aku akan
berijtihad dengan pikiranku dan tidak berpaling (lagi) darinya". Kemudian Nabi
SAW menepuk dadanya seraya berkata: "Segala puji bagi Alla>h yang telah
menepati Rasu>lulla>h SAW dengan apa yang Dia ridhai untuk Rasu>lulla>h".
Secara umum, para ulama mengklasifikasikan dalil-dalil Al-Qur’a>n dan al-
Sunnah, kepada al-Thawa>bit dan al-Mutaghayyira>t. Yang pertama berarti hal-hal
yang baku (qat}’i>) dan tetap sepanjang masa serta tidak memerlukan ijtihad,
sedangkan yang kedua ialah hal-hal yang dapat bahkan harus terus dilakukan
interpretasi dan reinterpretasi agar sesuai dengan kemaslahatan pada masa dan
tempat tertentu dalam sejarah.12
Di samping itu, ijtihad yang diperlukan pada masa kini ialah termasuk
bagaimana mempermudah penerapan syariah Islam di tengah masyarakat, serta
bagaimana mendorong mereka untuk melaksanakan perintah-perintah agama dan
menjauhkan diri dari larangan-larangannya.13 Hukum Islam (dalam arti fiqh) adalah

9
Lihat buku-buku tentang Ta>ri>kh al-Tashri>‘ (sejarah perkembangan hukum Islam).
10
Jama>l ‘At}i>yah, Al-Tajdi>d al-Fiqhi> al-Manshu>d (Dimashq: Da>r al-Fikr, 1422H-
2002M), 19.
11
Riwayat Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, Ah}mad, al-Da>rimi>, al-Bayhaqi>, ‘Abd Ibn
H{umayd, Abu> Da>wud al-T{aya>li>si>, Ibn Abi> Shaybah, al-T{abra>ni>, al-T{ah}a>wi>, Muh}ammad Ibn
Sa‘d al-Zuhri>, Ibn ‘Asa>kir, Yu>suf al-Mizzi>, dan al-Khat}i>b al-Baghda>di>.
12
Wahbah al-Zuh}ayli>, Tajdi>d al-Fiqh al-Isla>mi> (Dimashq: Da>r al-Fikr, 2002), 172.
13
Sali>m al-‘Awwa>, Al-Fiqh al-Isla>mi> fi> T}ari>q al-Tajdi>d (Dimashq: al-Maktab al-
Isla>mi>, 1998), 15.

3
hukum yang berkembang secara kontinyu. Perkembangan itu merupakan tabiat
hukum Islam yang terus hidup.14
Dalam pada itu sifat dinamis dari fikih tersebut, haruslah tetap mengacu
secara teguh kepada Al-Qur’a>n dan Hadis Sahih. Hal ini senantiasa diingatkan oleh
para ulama us}ul al-fiqh, diantaranya ialah ‘Abd al-Maji>d al-Su>su>h:
‚Fikih merupakan hasil ijtihad para ulama atas shari>’ah Isla>mi>yah, dimana
syariat Islam ini bersumber kepada wahyu Alla>h Ta‘a>la, baik berupa Al-Qur’a>n
maupun al-H{adi>th al-S}ah}i>h}. Oleh karenanya maka ijtihad bukanlah suatu keputusan
yang sama sekali baru (al-insha>’), melainkan merupakan uraian, prediksi, maupun
implementasi dari apa-apa yang diinginkan oleh Alla>h Jalla> wa ‘Ala> bagi ummat
manusia (al-kashf wa al-iz}}ha>r li mura>d al-Sha>ri‘).‛ 15
Dalam terminologi fikih, masalah-masalah kedokteran, termasuk dalam apa
yang disebut dengan na>zilah (jamak: nawa>zil), yaitu masalah-masalah baru yang
belum pernah dibahas oleh para fuqaha>' sebelumnya.16 Mengingat kompleksitas dan
keragaman masalah-masalah kontemporer,17 mujtahid18 dewasa ini dipandang
belum cukup memadai jika hanya memenuhi persyaratan-persyaratan ijtihad hukum
fikih terdahulu semata,19 sebagaimana telah dirumuskan oleh ulama terdahulu.20
Untuk masa sekarang ini persyaratan dan ilmu lain perlu juga dimiliki oleh faqi>h,
seperti epistemologi, sosiologi, antropologi budaya, dan pengetahuan tentang
masalah yang akan digali hukumnya.21 Ilmu-ilmu ini menjadi lebih penting, jika
masalah yang akan digali hukumnya adalah masalah-masalah kontemporer yang
bukan hanya tidak dimuat secara jelas dalam teks Al-Qur'an dan al-Sunnah, namun
juga masalah-masalah tersebut terus berkembang seiring kemajuan ilmu dan
teknologi. Jika masalah itu berkaitan dengan masalah kedokteran dan kesehatan
misalnya, maka dari seorang ulama dituntut pula untuk memahami kerangka
berfikir dan prinsip-prinsip ilmu kedokteran, terutama yang langsung berkaitan
dengan masalah yang sedang dibahas. Tidak terkecuali dalam hal ini ialah jtihad
dalam memformulasikan pandang-dunia Islam (Islamic world view) maupun fikih
Islam tentang kedokteran kontemporer.

14
Muhammad Shahru>r, Nah}w Us}ul Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi>, 44-45.
15
‘Abd al-Maji>d al-Su>su>h, Dira>sa>t fi> al-Ijtiha>d wa Fahm al-Nass}}, 136.
16
Yu>suf Ibn ‘Abdilla>h Ibn Ah}mad al-Ah}mad, Ah}ka>m Naql A‘d}a>' al-Insa>n fi> al-Fiqh
al-Isla>mi> (Al-Riyad}: Da>r Kunu>z Ishbi>li>ya, 1427H-2006M), 25.
17
Muh}ammad al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l (Bayru>t: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>,
1424H-2003M), j.II, 205-227.
18
Ta>j al-Di>n al-Subki>, Al-Ibha>j fi> Sharh} al-Minha>j (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 1404H-1984M), j.III, 254-256.
19
Ibn al-Qayyim al-Jawzi>yah, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n (Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1397H-
1977M), j.IV, 205-218.
20
Abu> al-Baraka>t Hafiz} al-Di>n al-Nasafi>, Kashf al-Asra>r (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, t.t.) j.II, 300-310. Muh}ammad Ibn al-Najja>r, Sharh} al-Kawkab al-Muni>r (Makkah
al-Mukarramah: Ja>mi‘ah Umm al-Qura>, 1408H-1987M) j.IV, 459-472.
21
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, Us}u>l al-Fiqh (Al-Kuwayt: Al-Da>r al-Kuwayti>yah,
1968), 17.

4
3. Ijtiha>d Jama>‘i> (Ijtihad Kolektif) dalam Bidang Kedokteran
Pada uraian di atas, tampak bahwa ajaran Islam tidak bisa diartikan
seluruhnya sebagai agama langit yang rigid, final, dan siap pakai. Kejumudan akan
membuat Islam segera usang dan kehilangan kemampuan untuk menghadapi
berbagai persoalan yang terus berkembang dengan pesat. Selain itu, eksistensi
manusia sebagai makhluk yang berakal, harus dihargai dengan cara memberinya
peluang untuk berpikir lebih maju. Oleh karena itu, berkenaan dengan bidang
hukum, Alla>h Ta‘a>la> tidak menjelaskan semua hukum secara rigid (qat}‘i>) dalam
setiap aspek kehidupan insani.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh individu faqi>h untuk berijtihad,
ialah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam al-Subki> dalam Jam‘ al-Jawa>mi‘ :22
a. Ba>ligh, yaitu telah sampai pada usia yang mampu mengidentifikasi hal-hal yang
baik dan buruk, serta berperilaku baik.
b. Berakal (‘a>qil), yaitu seorang faqi>h yang yang telah mumayyiz, dalam keadaan
sadar (alert) dan tanpa tekanan dari pihak manapun.
c. Mengetahui dalil ‘aqli> dan memiliki kecakapan hukum (mukallaf) dalam rangka
menerapkan keputusan tersebut.
d. Memiliki pengetahuan yang memadai dalam bidang bahasa, baik i‘ra>b, lughah,
maupun bala>ghah.
e. Memahami ayat-ayat Al-Qur’a>n dan al-Sunnah yang terkait dengan masalah-
masalah hukum, meskipun tidak menghafalnya.
f. Mengerti kaidah-kaidah syara’ secara global serta penggunaannya, yang
dikaitkan dengan maqa>s}id al-shari>‘ah.
g. Mengerti ilmu-ilmu Al-Qur’a>n, terutama al-na>sikh wa al-mansu>kh dan asba>b al-
nuzu>l.
h. Mengerti tentang hadis-hadis mutawa>tir dan a>ha>d, s}ahi>h dan d}a‘i>f, serta perihal
para periwayat hadits.

Hal yang penting dicatat ialah bahwa Imam Ibn al-Subki> tidak
mensyaratkan bagi mujtahid untuk mengerti Ilmu Kalam dan cabang-cabang fikih.
Selain Ibn al-Subki>, banyak ulama yang menyusun persyaratan bagi seseorang yang
akan berijtihad. Semuanya dilandasi pertimbangan agar klaim ijtihad tidak secara
gegabah disandarkan kepada siapa saja yang belum memiliki kapabilitas untuk itu.
Adapun persyaratan yang diajukan oleh Imam al-Ra>fi‘i> dan al-Nawawi> ialah:23
a. Memahami ayat-ayat Al-Qur’a>n yang berkaitan dengan bidang hukum, dan
tidak diharuskan memahami seluruh ayat Al-Qur’a>n. Demikian pula tidak
disyaratkan hafal Al-Qur’a>n.
b. Memahami hadis-hadis Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum.
c. Mengetahui pendapat para ulama dari kalangan sahabat Nabi serta generasi
sesudahnya, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan.
d. Memahami tentang qiya>s.

22
Al-Bana>ni>, H}a>shi>yah al-Bana>ni>, j. II, 589-594.
23
Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Taysi>r al-Ijtiha>d (Makkah al-Mukarramah: Al-Maktabah
al-Tija>ri>yah, t.t.), 33-34.

5
e. Memahami bahasa Arab dengan baik.

Pada sisi lain, para ulama era modern sekarang ini menambahkan sejumlah
kriteria bagi yang akan berijtihad, yaitu:24
a. Memiliki kapabilitas intelektual.
b. Memiliki kemampuan berpikir dan analisa yang cermat, sehingga relatif dapat
dikatakan ra>sikh fi> al-‘ulu>m.
c. Memahami isu-isu sentral pada zamannya.
d. Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan.

Kebutuhan akan seorang faqi>h dengan kapasitas yang memenuhi kualifikasi


di atas, juga disitir oleh Omar Hasan Kasule, guru besar dalam bidang fikih
kedokteran:
Religion, rationality and wisdom call us to employ our minds to look for the public
interest and to accurately evaluate the ensuing needs so that we can be fully aware
of the particularities of our present era. The ultimate goal is to acquire a thorough
understanding of our contemporary problems, issues and needs.25
‚Agama, rasionalitas, dan sikap bijaksana menuntut kita untuk menggunakan akal
pikiran dalam bidang kepentingan publik dan secara akurat menilai kebutuhan-
kebutuhan umat manusia, sehingga mampu menyadari karakteristik zaman kini.
Tujuan akhirnya ialah untuk memahami secara utuh tentang problem-problem
kontemporer, topik-topik, dan kebutuhannya‛.
Dengan demikian, persyaratan untuk berijtihad tidaklah mudah, namun
tidak terlalu sulit untuk dipenuhi. Para ulama memberikan motivasi kepada setiap
muslim untuk tetap membuka pintu ijtihad. Diantara keterangan yang mereka
sampaikan kepada kita ialah:
‚Ijtihad pada zaman kini adalah lebih mudah dibandingkan pada masa awal. Hal ini
disebabkan karena telah tersedianya pelbagai sarana untuk meneliti hadis-hadis dan
bidang-bidang lainnya yang telah dibukukan, sehingga lebih mudah untuk
mengambil referensi darinya. Ini berbeda dengan pada masa awal, dimana sarana-
sarana ijtihad belum dibukukan secara sistematis‛.26
Secara teoritis, berkat kemajuan sains dan teknologi, ketersediaan fasilitas
untuk menguasai ilmu-ilmu yang menjadi persyaratan ijtihad akan semakin mudah.
Akan tetapi, semakin kompleksnya persoalan modern, maka dituntut suatu
keputusan fatwa yang bukan hanya sesuai (comply) dengan ajaran nilai-nilai Islam,
namun juga dapat diterapkan (applicable) di dunia nyata.
Demikian pula dalam bidang ilmu-ilmu keislaman (al-‘ulu>m al-Isla>mi>yah),
seperti fikih. Bisa jadi seorang yang faqi>h dalam ilmu fiqh al-mu‘a>mala>t, namun
tidak sedalam itu pengetahuannya dalam fiqh al-‘iba>da>t. Belum lagi mungkin yang
bersangkutan mendalaminya dari sisi mazhab tertentu saja, dan tidak dari sisi

24
Bust}a>mi> Sa‘i>d, Mafhu>m Tajdi>d al-Di>n, 31-33.
25
Abdulaziz Othman Altawjiri, Ijtihad and Modernity in Islam, p.5,
http://www.isesco. org.ma/english/publications/Islamtoday/24/p1.php. Diakses pada 15
Nopember 2013.
26
Al-Suyu>t}i>, Taysi>r al-Ijtiha>d, 27.

6
mazhab yang lain. Termasuk dalam hal ini ialah penguasaan ilmu-ilmu yang
menjadi persyaratan mujtahid. Apalagi jika kategorisasi fikih dipandang dari sudut
ilmu pengetahuan modern, maka akan memunculkan pendekatan-pendekatan baru
dalam ilmu tersebut. Misalnya fikih ekonomi, fikih wanita, fikih pariwisata, dan
fikih kedokteran.
Ijtihad individual (ijtiha>d fardi>), lebih banyak menerima kritik dan bantahan
dibandingkan dengan hasil ijtihad kolektif (ijtiha>d jama>‘i>). Hal ini disebabkan
karena keterbatasan penguasaan ilmu-ilmu kontemporer dari seorang pemberi
fatwa.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa ijtiha>d fardi> pada era modern
nampaknya akan menemui banyak kendala untuk dapat diterima luas oleh
masyarakat. Oleh karena itu, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
kegiatan ijtihad yang lebih otoritatif ialah dengan mengambil bentuk ijtiha>d jama>‘i>.
Ijtihad jenis ini dalam implementasinya di bidang kedokteran ialah berupa
himpunan sejumlah pakar yang terdiri dari para ahli ilmu-ilmu Islam serta para ahli
dalam berbagai bidang kedokteran, sehingga kelompok tersebut telah memenuhi
persyaratan yang diperlukan dalam berijtihad. Dengan kata lain, segala persyaratan
ijtihad yang telah dirumuskan oleh para ahli us}u>l al-fiqh telah terpenuhi secara
kolektif oleh kelompok/lembaga yang melakukan ijtihad, dan bukan secara
individual. Dengan demikian, lembaga ijtihad kolektif inilah yang berperan
melakukan kegiatan ijtihad.
Salah Osman27 menjelaskan dengan ringkas akan kebutuhan terhadap
ijtihad kolektif tersebut:
Finally, given the complexity of contemporary issues and their distribution among
astronomy, medicine, law and economics, as well as morality and aesthetics, there
is no room for the individual absolute ijtihad in our time, in the sense that the
problems of today are not as those in the past time, which can be solved by one
jurist. But the efforts of scientists and experts from various fields must be
combined to reach the religious opinion that is suit variables of our era. That
requires that the jurist, or the jurisdiction, have experts in the various disciplines,
should be consulted, and they must be, naturally, from the people of piety and
devoutness, in addition to their expertise and specializations.28
"Akhirnya, untuk menghadapi kompleksitas masalah-masalah dalam bidang
astronomi, kedokteran, hukum, dan ekonomi, sebagamana juga problema moralitas
dan estetika modern, maka tidak ada ruang bagi ijtihad individual pada era kita ini.
Dengan suatu pemikiran bahwa problem-problem masa kini tidak sama dengan
problem-problem pada masa lalu, ketika dapat diselesaikan oleh seorang faqi>h.
Upaya para saintis dan para ahli dalam berbagai bidang harus dipadukan untuk
dapat menghasilkan opini syariah yang cocok dengan zaman sekarang. Semua hal
itu memerlukan ahli fikih, atau bahkan tata hukum, yang mempunyai keahlian

27
Salah Mahmoud Osman Mohamed. Guru besar ilmu logika dan filsafat sains pada
Munifiya university, Mesir. Menjadi pembicara dalam sejumlah seminar Kedokteran Islam
tingkat internasional.
28
Salah Osman, A Contemporary Reading of the Logic of Islamic Jurisprudential
Measurement (Paper, offprint, 2006), 35.

7
dalam sejumlah disiplin ilmu, diman mereka sepatutnya lahir dari kalangan
masyarakat yang tulus dan penuh pengabdian".
Pada saat ini terdapat banyak Lembaga Fatwa atau lembaga ijtihad kolektif
(ijtiha>d jama>‘i>) di berbagai negeri muslim. Lembaga-lembaga tersebut pada
umumnya lebih dapat dipercaya dan menjadi panutan bagi komunitasnya. Ada yang
berskala nasional dan lebih dikenal sehingga diikuti oleh komunitas mereka masing-
masing, seperti Majlis Tarjih Muhammadiyah, Bahtsul Masa-il Nahdlatul ’Ulama,
Dewan Hisbah Pusat Pimpinan Persatuan Islam (PERSIS). Ada pula yang bersifat
lokal, seperti Lajnah Mut}a>la’ah dari suatu Pesantren, MUI Kabupaten, ataupun Tim
Pengasuh rubrik fikih di sejumlah majalah atau web Islam.
Di samping itu terdapat pula lembaga fatwa berskala nasional yang
memiliki otoritas di pemerintah (regulator) dan masyarakat pada umumnya.
Lembaga dalam kategori ini di Indonesia ialah Majelis Ulama Indonesia, dimana
fatwa-fatwanya dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI, sedangkan fatwa dalam
bidang ekonomi dan keuangan dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional ” MUI.
Selain lembaga-lembaga tersebut di atas, terdapat pula sejumlah lembaga
fatwa, yang berskala nasional maupun internasional, yang tidak jarang dijadikan
sebagai referensi penting ataupun pembanding bagi banyak lembaga fatwa tingkat
nasional maupun lokal, termasuk dalam bidang kedokteran. Diantara lembaga-
lembaga tersebut ialah:
a. Majma‘ al-Buhu>th al-Isla>mi>, al-Azha>r al-Shari>f, Kairo.
b. Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> li Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi>, Makkah.
c. Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> Munaz}z}amah al-Mu’tamar al-Isla>mi>, Jeddah.
d. Jama>‘ah Ahl al-H{adi>th, Isla>ma>ba>d.
e. Hay’ah Kiba>r al-ulama, Riya>d}.
f. Hay’ah al-Muh}a>sabah wa al-Mura>ja‘ah li al-Mu’assasa>t al-Ma>li>yah al-
Isla>mi>yah (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institutions), Bah}rayn.
g. Ida>rah al-Da‘wah wa al-Irsha>d al-Di>ni>, Qat}r.
h. Lajnah al-Fatwa> bi al-Kuwa>yt.
i. Al-Hay'ah al-‘A<mmah li al-Shu'u>n al-Isla>mi>yah wa al-Awqa>f al-Ima>ra>t al-
‘Arabi>yah al-Muttah}idah, UAE.

Setelah dilakukan penyaringan (screening) sebagai analisa awal atas


lembaga-lembaga tersebut diatas, maka penelitian ini mengambil bahan dari salah
satu lembaga fatwa paling otoritatif di dunia muslim. Lembaga yang dimaksud
ialah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> al-Dawli> munaz}z}amah al-Ta‘a>wun al-Isla>mi> (dulu
bernama Mu’tamar al-Isla>mi>). Alasan dipilihnya sebagai bahan penelitian ini, ialah
karena Majma‘ merupakan suatu lembaga fatwa tingkat internasional terkemuka
yang memiliki acuan metodologis dalam pengambilan keputusan hukum; dilakukan
presentasi dan diskusi makalah dari para pakar dalam bidangnya. Selain itu
keanggotaan Majma‘ merupakan representasi dari para ulama negara-negara OKI
(Organisasi Kerjasama Islam, dulu bernama Organisasi Konperensi Islam).
Selanjutnya alasan dipilihnya topik-topik kedokteran dalam penelitian ini,
karena merupakan masalah-masalah kontemporer yang selalu bergerak dinamis

8
seiring cara pandang masyarakat tentang sehat dan sakit, hidup dan mati, estetika,
serta perkembangan teknologi medis yang terus berkembang pesat.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah
Disertasi ini berjudul "FIKIH KEDOKTERAN KONTEMPORER (Analisis
Produk Pemikiran Hukum Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> 1985 ” 2010 dalam Bidang
Kedokteran)". Ini menunjukkan bahwa penelitian ini menjadikan bidang fikih
sebagai acuan pokok. Lebih spesifik lagi ialah analisis terhadap produk hukum
hukum, sehingga ini berarti menitikberatkan kepada metodologi pengambilan
keputusan hukum, dan bukan kepada hasil keputusan hukumnya . Di samping itu
istilah kontemporer berarti bahwa masalah yang dibahas ialah problem kedokteran
yang berkembang dewasa ini.
Sebelum penulis masuk ke dalam pokok kajian, maka perlu diterangkan
bahwa terdapat beberapa lembaga di dunia Islam yang menggunakan nama Majma‘
al-Fiqh. Adapun Lembaga Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> yang dimaksud dalam
penelitian ini ialah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> al-Dawli> Munaz}z}amah al-Ta‘a>wun al-
Isla>mi> atau International Islamic Fiqh Academy of Organization of Islamic
Cooperation (IIFA ” OIC). Lembaga ini merupakan lembaga keulamaan yang
bersifat otonom di bawah kordinasi Sekretariat Jenderal OIC (Organisation of
Islamic Cooperation, dulu bernama Organisation of Islamic Conference.
Selanjutnya disebut: OKI ” Organisasi Kerjasama Islam). Untuk selanjutnya,
Majma‘ al-Fiqh yang dimaksud, akan cukup disebut dengan Majma‘. Kantor
Majma‘ berdekatan dengan kantor Sekretariat Jenderal OKI di ‘Imarah al-Qurayshi>,
Sha>ri‘ Filist}i>n, Jeddah, Saudi Arabia. Adapun sidang-sidang atau rapat-rapat
Majma‘ diselenggarakan berpindah-pindah di berbagai negara anggota OKI.
Sumber utama disertasi ini ialah makalah-makalah (penyaji, pembanding,
dan penyanggah) serta notulasi atas diskusi-diskusi pada mu'tamar-mu'tamar
Majma‘. Yang dimaksud dengan mu'tamar Majma‘ ialah rapat tahunan yang
dihadiri oleh seluruh anggota Majma‘ dan pakar-pakar yang diundang untuk
membahas suatu masalah. Sebagian besar masalah yang dibahas dalam mu'tamar
Majma‘ ialah bidang ekonomi dan keuangan. Selain itu bidang-bidang bahasan
berikutnya ialah penerapan suatu prinsip atau kaidah us}u>l al-fiqh, politik, budaya,
akidah, hak-hak sipil, hak dan peranan wanita, hukum perang dan damai, zakat, dan
‘iba>dah mah}d}ah.
Adapun penelitian ini berfokus pada topik bidang kedokteran dan
kesehatan. Pemilihan ini beralasan bahwa:
a. Bidang kedokteran termasuk bidang yang paling pesat perkembangannya,
seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, baik dari sisi diagnostik maupun
terapi, berikut berbagai perangkat penunjangnya.
b. Bidang tersebut bersifat urgen dan vital bagi keberlangsungan kehidupan
manusia.

9
Berikut ini adalah tabel daftar masalah-masalah kedokteraan yang dibahas
dalam mu'tamar Majma‘ pada periode 1985 s.d. 2010. Beberapa topik dibahas
sampai dua atau tiga kali mu'tamar. Hingga tahun 2014, tidak ada penambahan
masalah kedokteran yang dibahas oleh Majma‘.
TOPIK
1 Inseminasi Buatan dan Bayi Tabung
2 Bank Air Susu Ibu
3 Alat Bantu Hidup
4 Transplantasi Organ Tubuh Manusia
dari Orang Hidup atau dari Jenazah
5 Keluarga Berencana
6 Transplantasi Otak dan Sumsum
Tulang Belakang
7 Inseminasi In-Vitro ketika Sangat
Diperlukan
8 Penggunaan Janin untuk
Transplantasi Organ
9 Transplantasi Organ Reproduksi
10 Transplantasi Anggota Tubuh pada
Orang Cacat Akibat Hukum Qis}a>s}
11 Terapi Medik
12 Rahasia Profesi Dokter
13 Etika Kedokteran: Konsekuensi dan
Cakupannya
14 Diagnosa dan Terapi oleh Dokter
Pria pada Pasien Wanita
15 Penyakit AIDS
16 Penyakit AIDS dan Hukum-hukum
Fikih yang Terkait Dengannya
17 Pembatal-pembatal Puasa karena
Menjalani Terapi Medik
18 Kloning pada Manusia
19 Tanggung Jawab Profesi Medik
20 Batasan-batasan Syariat Islam
dalam Pembahasan Biologi Medik
pada Manusia
21 Diabetes dan Puasa Ramad}a>n
22 Operasi Kecantikan dan Hukum-
hukum Fikih Tentangnya
23 Izin pada Tindakan Operasi Gawat
Darurat
Tabel 1. Masalah Kedokteran yang Dibahas Majma‘ pada 1985-2010

10
Dari keseluruhan topik mu'tamar Majma‘ selama kurun waktu tersebut,
bidang kesehatan dan kedokteran mencakup hanya sekitar 10% (sepuluh persen)
dari keseluruhan topik pembahasan Majma‘. Dalam kurun waktu tahun 1985 s.d.
2010 telah dibahas 23 masalah kedokteran dalam 29 kali mu'tamar. Dari jumlah
tersebut dipilih 4 (empat) diantaranya. Adapun alasan pemilihannya ialah bahwa
topik-topik tersebut merupakan masalah kontemporer yang belum menjadi
pembahasan para ulama terdahulu, serta menjadi acuan berpikir (pokok) dalam
membahas topik-topik kedokteran lainnya. Topik-topik kedokteran yang dibahas
pada mu'tamar-mu'tamar berikutnya, pada umumnya adalah derivasi dari tema
pokok yang dibahas dalam disertasi ini.
Dengan demikian dapat diidentifikasi masalah pokok dalam penelitian ini,
ialah mengenai bagaimana prosedur dan proses berlangsungnya pembahasan topik-
topik kedokteran kontemporer dalam mu'tamar-mu'tamar Majma‘. Selain itu dapat
pula diidentifikasi bahwa dari seluruh sumber hukum Islam, maka sumber atau
metodologi us}u>l al-fiqh apa saja yang digunakan oleh Majma‘ untuk mengambil
keputusan fikih terhadapnya.

2. Pembatasan Masalah
Penulis berasumsi bahwa untuk memecahkan masalah-masalah kedokteran
kontemporer tidak cukup hanya berpedoman kepada sumber-sumber hukum Islam
klasik yang telah disepakati, yaitu Al-Qur’a>n, al-H{adi>th, al-Ijma>‘, dan al-Qiya>s.
Masing-masingnya, al-Qur’a>n dan al-Sunnah dikenal sebagai mas}a>dir al-ah}ka>m,
sedangkan al-Ijma>‘ dan al-Qiya>s dikenal sebagai maba>di’ al-ah}ka>m. Dikenal dengan
istilah al-us}u>l al-muttafaq ‘alayha>.
Untuk itu masih diperlukan lagi perangkat us}u>l al-fiqh yang cukup penting
yaitu sejumlah sumber pokok di luar yang empat tersebut, meskipun sumber-
sumber yang terakhir ini diperselisihkan oleh para ulama tentang penggunaannya.
Sumber-sumber hukum Islam jenis ini terdiri dari 7 (tujuh) pokok yang
biasa dijadikan acuan oleh para fuqaha>'. Acuan ini merupakan suatu cara berpikir
dalam memutuskan suatu hukum, yang oleh karenanya disebut pula sebagai
metodologi pokok dalam hukum Islam. Metode tertentu digunakan oleh sebagian
fuqaha>' dan sebagian lainnya menggunakan metode yang lain lagi. Oleh karena itu
metodologi hukum Islam ini biasa disebut dengan al-us}u>l al-mukhtalaf fi>ha> atau al-
adillah al-mukhtalaf fi>ha>, yaitu :
a. Al-Istis}h}a>b
b. Qawl al-S{ah}a>bi>
c. Shar‘ Man Qablana>
d. Al-Istih}sa>n
e. Al-Mas}lah}ah al-Mursalah
f. Sadd al-Dhari>‘ah
g. Al-‘Urf

11
Asumsi tersebut di atas didasarkan pada penelitian Mus}t}afa> Di>b al-Bugha>
dalam bukunya Athar al-Adillah al-Mukhtalaf fi>ha> fi> al-Fiqh al-Isla>mi>,29 dan
penelitian Mus}lih} Ibn ‘Abd al-H{ayy al-Najja>r dalam bukunya Al-Adillah al-
Mukhtalaf fi>ha> ‘inda al-Us}u>li>yyi>n wa Tat}biqa>tuha> al-Mu‘a>s}irah.30
Namun demikian, contoh-contoh kasus implementasi yang disebutkan
dalam kedua buku di atas bukanlah masalah-masalah kedokteran saja. Berbeda
dengan itu, penelitian ini mengambil kasus pada problematika kedokteran
kontemporer. Dengan demikian penelitian ini menggunakan seluruh sumber hukum
Islam yang ada sebagai pisau analisis terhadap masalah-masalah kedokteran yang
dibahas oleh Majma‘. Keseluruhan sumber hukum Islam yang dimaksud ialah empat
yang disepakati (Al-Qur'a>n, al-Sunnah, al-Ijma>‘, al-Qiya>s) dan tujuh yang
diperselisihkan (al-Istis}h}a>b, Qawl al-S{ah}a>bi>, Shar‘ Man Qablana>, al-Istih}sa>n, al-
Mas}lah}ah al-Mursalah, Sadd al-Dhari>‘ah, al-‘Urf).
Atas dasar itu, kemudian disusun sistematika pembahasan dalam penelitian
ini sebagai berikut:
a. Profil kelembagaan Majma‘. Berikut pedoman dan referensi kepustakaan
Majma‘ dalam pengambilan keputusan hukum fikih (qara>r), serta prosedur
penetapan fatwa Majma‘.
b. Pemaparan dari sisi ilmu kedokteran yang terkait dengan masalah yang akan
dibahas dalam mu'tamar.
c. Pemaparan dan analisis penulis terhadap makalah-makalah dan diskusi para
ulama anggota Majma‘.
d. Kesimpulan analisis penulis tentang t}ari>q al-istinba>t} dalam masalah kedokteran
terkait.

3. Perumusan Masalah
Penelitian ini mengkaji, menyusun, dan melakukan kategorisasi berbagai
dalil dan alur berpikir para anggota Majma‘ yang didiskusikan dalam mu'tamar-
mu'tamar hingga keputusan Majma‘. Rumusan masalah disertasi ini ialah dalil-dalil
atau metodologi us}u>l al-fiqh apa saja yang digunakan oleh Majma al-Fiqh al-Isla>mi>
al-Dawli> dalam fatwa-fatwanya (qara>ra>t) tentang masalah-masalah kedokteran, dan
bagaimana kecenderungan pengutamaan penggunaan dalil tertentu dibandingkan
dengan dalil lainnya. Rumusan masalah ini dapat dirinci ke dalam dua pertanyaan
pokok, yaitu:

29
Buku tersebut berasal dari disertasinya dalam bidang Us}u>l al-Fiqh pada
universitas al-Azhar Mesir, dan lulus dengan peringkat cum laude. Urgensi al-adillah al-
mukhtalaf fi>ha> disebutkan secara ringkas dalam pengantar bukunya, serta diuraikan panjang
lebar pada setiap babnya. Lihat: Mus}t}afa> Di>b al-Bugha>, Athar al-Adillah al-Mukhtalaf fi>ha>
fi> al-Fiqh al-Isla>mi> (Dimashq: Da>r al-Qalam, 1993), 7-9.
30
Dalam banyak bagian dari bukunya, al-Najja>r menguraikan urgensi keempat
pokok tersebut berikut implementasinya yang relevan dengan problematika kontemporer.
Mus}lih} Ibn ‘Abd al-Hayy al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf fi>ha> ‘inda al-Us}u>li>yi>n wa
Tat}bi>qa>tuha> al-Mu‘a>s}irah (Al-Riya>d}: Maktabah al-Rushd, 1424H-2003M), 13-15.

12
1. Dalil-dalil apa saja yang digunakan dan diutamakan oleh Majma‘ al-Fiqh al-
Isla>mi> al-Dawli> dalam fatwa-fatwanya (qara>ra>t) tentang masalah-masalah
kedokteran;
2. Bagaimana pola kecenderungan penggunaan dalil dalam fatwa-fatwa (qara>ra>t)
Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> al-Dawli> dalam masalah-masalah kedokteran.

C. Kajian Terdahulu yang Relevan

Penulis belum menjumpai tulisan dengan topik yang serupa ataupun yang
menganalisis Keputusan-keputusan Majma‘, khususnya dalam bidang kedokteran.
Akan tetapi penulis mendapati penelitian lain dengan obyek ijtihad secara
kolegial. Penelitian tersebut dilakukan oleh M. Atho Mudzhar, Fathurrahman
Djamil, Wahiduddin Adams,31 dan Hasanudin. Penelitian yang dilakukan oleh Atho,
membuktikan adanya pengaruh politik terhadap fatwa dan dinamika respon
masyarakat terhadap fatwa.32 Penelitian yang dilakukan oleh Djamil, membuktikan
penggunaan prinsip-prinsip maqa>s}id al-shari>ah dalam pengambilan keputusan
fatwa.33 Penelitian Wahiduddin menunjukkan proses transformasi fatwa dalam
peraturan perundang-undangan, serta membuktikan adanya pengaruh dan
sumbangsih fatwa dalam penyusunan perundang-undangan. Penelitian ini
menunjukkan adanya dialektika antara MUI (juga fatwa) dengan negara.
Disamping itu, terdapat disertasi Dede Rosyada di IAIN Jakarta (1998),
yang menelusuri ijtihad kolektif para ulama Dewan Hisbah Persis tentang proses
penetapan hukum dan metode-metode yang digunakan dalam penetapan hukum.
Penelitian berikutnya adalah disertasi Hasanudin tentang fatwa Dewan
Syariah Nasional, lembaga otonom di MUI yang berfungsi mengeluarkan fatwa
ekonomi syariah. Disertasi ini membuktikan adanya pergeseran pemikiran hukum
Islam ulama Indonesia (MUI) dengan mengadopsi konsep multi akad yang
sebelumnya ditolak oleh para ulama. Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN”MUI ini
menjadi rujukan bagi lembaga dan otoritas keuangan di Indonesia.34
Adapun kajian terdahulu yang berupa penelitian tentang pandangan fikih
terhadap bidang kedokteran tertentu, maka penulis mencermati empat karya ilmiah
yang cukup penting:
a. Ah}ka>m al-Jara>h}ah al-T{ibbi>yah wa al-A<tha>r al-Mutarattabah ‘Alayha> (Hukum-
hukum Pembedahan dan Berbagai Implikasi yang Terkait Dengannya), terdiri
dari 2 jilid, ditulis oleh Muh}ammad Ibn Muh}ammad al-Mukhta>r Ibn Ah}mad
Mazi>d al-Jakni> al-Shanqit}i> ini. Buku ini pada asalnya adalah disertasi Doktor

31
Lihat: Wahiduddin Adams, Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
MUI dalam Peraturan Perundang-undangan 1975 ” 1997 (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah),
Disertasi.
32
Lihat: M. Atho Mudzhar, Fatwas of the Council of Indonesia Ulama: a Study of
Islamic Legal Thought in Indonesia 1975 ” 1988 (INIS, t.t.), Disertasi.
33
Fathurrahman Djamil, Ijtihad Muhammadiyah dalam Masalah Fikih
Kontemporer, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1994), Disertasi.
34
Hasanudin, Konsep Multi Akad dalam Fatwa Dewan Syariah Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008), Disertasi.
13
bidang fikih di Universitas Madi>nah tahun 1414H. Diterbitkan oleh Maktabah
al-S}ah}a>bah, al-Shariqah, al-Ima>ra>t al-‘Arabi>yah al-Muttah}idah (Uni Emirat
Arab) tahun 2010.
b. Ah}ka>m Naql A‘d}a>' al-Insa>n fi> al-Fiqh al-Isla>mi> (Hukum-hukum Transplantasi
Organ Manusia dalam Pandangan Fikih Islam), yang ditulis oleh Yu>suf Ibn
‘Abdilla>h Ibn Ah}mad al-Ah}mad. Buku ini pada asalnya merupakan disertasi
Doktor pada Universitas Imam Muh}ammad Ibn Su‘u>d di Riyad} pada tahun
1425H. Diterbitkan oleh Da>r Kunu>z Ishbiliya>, Riya>d} tahun 1427H-2006M.
c. Qad}a>ya> T{ibbi>yah Mu‘a>s}irah (Keputusan-keputusan Masalah Kedokteran Masa
Kini), terdiri dari 2 jilid. Disusun oleh tim Jam‘i>yah al-‘Ulu>m al-T{ibbi>yah al-
Isla>mi>yah, suatu sindikasi (niqa>bah) dari Asosiasi Dokter Yordania. Diterbitkan
oleh Da>r al-Bashi>r, ‘Amma>n, Yordania pada tahun1415H-1995M.
d. Ikhtiya>r Jins al-Jani>n wa al-Intifa>‘ bi al-Ajinnah wa al-Khala>ya> al-Jidh‘i>yah wa
al-Ikhs}a>b al-T{ibbi> al-Musa>‘id min Manz}u>r al-Isla>mi> (Pemilihan Kelamin Janin
dan Penggunaan Organ Janin dan Otak Janin dan Sumsum Tulang Belakangnya
dan Fertilisasi Buatan dalam Pandangan Islam), yang ditulis oleh ‘Abd al-
Fatta>h Mah}mu>d Idri>s, Guru Besar dan Kepala Departemen Fikih Perbandingan,
Fakultas Syariah dan Perundang-Undangan, Universitas al-Azhar. Diterbitkan
oleh Da>r al-S{ami>‘i>, Riya>d} tahun 1433H-2012M.

Buku Ah}ka>m al-Jara>h}ah al-T{ibbi>yah berisi tentang pembedahan dan


berbagai masalah yang terkait dengannya dari sudut pandang fikih. Buku Ah}ka>m
Naql A‘d}a>' al-Insa>n membahas tentang transplantasi berbagai macam organ tubuh
dari sudut pandang fikih.
Adapun buku Ikhtiya>r Jins al-Jani>n wa al-Intifa>‘ merupakan pembahasan
fikih dalam masalah seputar janin. Yaitu meliputi proses embriologi dalam
pandangan Al-Qur'a>n, pemilihan jenis kelamin janin dan bagaimana status hukum
fikih tentang pemanfataan organ janin. Agak berbeda dengan buku-buku tersebut,
buku Qad}a>ya> T{ibbi>yah Mu‘a>s}irah membahas status hukum fikih terhadap banyak
masalah kedokteran, namun dengan pembahasan fikih yang jauh lebih ringkas
dibandingkan dengan paparan makalah dan pembahasan Majma‘ al-Fiqh.
Berbeda dengan karya-karya ilmiah di atas, hal terpenting dari disertasi ini
ialah fokus pada proses ataupun diskusi metodologi fikih yang digunakan, bukan
pada kesimpulan hukum fikihnya.

D. Kerangka Teori
Sebelum ini telah diuraikan bahwa pokok masalah yang hendak dijadikan
kajian dalam disertasi ini ialah uraian masalah kedokteran yang dijadikan materi
pembahasan. Mengingat bahwa mu'tamar Majma‘ terkait telah berlangsung cukup
lama, maka penulis merekonstruksi kembali dengan referensi kedokteran yang lebih
mutakhir. Referensi tersebut baik berupa buku teks maupun jurnal-jurnal
kedokteran. Di samping itu penulis pun meringkas pemaparannya dibandingkan
dengan teori kedokteran yang disajikan dalam mu'tamar Majma‘.
Selain itu teori us}u>l al-fiqh tentang metode istinba>t} yang diambil dari
kitab-kitab ulama periode klasik maupun periode modern, ditulis secara ringkas dan

14
dipilih yang relevan dengan penelitian ini. Sebagai pengantar pembahasan, uraian
ringkas tentang teori sumber hukum Islam dimuat dalam Bab II.

E. Metodologi Penelitian 35

1. Jenis Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analitis yang bersifat
yuridis, melalui ilmu interdisipliner. Ilmu-ilmu yang menonjol digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan us}u>l al-fiqh, qawa>‘id fiqhi>yah, fiqh, dan ilmu
kedokteran. Penggunaan pendekatan us}u>l al-fiqh dan qawa>‘id fiqhi>yah dimaksudkan
untuk membuat rekonstruksi secara sistematis dan objektif, dengan cara
mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensintesiskan data-data
untuk mendukung fakta memperoleh kesimpulan yang kuat. Dalam penelitian ini
penulis membatasi pada periode persidangan 1985 s.d. 2010. Periodisasi ini
diperlukan agar dapat dipetakan peran dan perkembangan ijtihad Majma‘ pada
kurun waktu tersebut.

2. Sumber, Teknik dan Proses Pengumpulan Data


Sumber utama disertasi ini ialah ‚Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi‛>,
yaitu serial buku yang berisi kumpulan makalah (penyaji, pembanding, dan
penyanggah) serta notulasi atas diskusi-diskusi pada mu'tamar-mu'tamar Majma‘.
Yang dimaksud dengan mu'tamar Majma‘ ialah rapat tahunan yang dihadiri oleh
seluruh anggota Majma‘ dan pakar-pakar yang diundang untuk membahas berbagai
masalah. Dengan demikian ‚Majallah‛ ialah judul dari rangkaian buku-buku yang
terus bertambah seiring dengan diadakannya rapat-rapat Majma‘. Hingga tahun
2010 telah dibukukan dalam 36 jilid, masing-masing setebal kurang lebih 450-520
halaman. Penelitian ini hanya mengambil masalah kedokteran dan kesehatan.
Di dalam sumber utama penelitian tersebut, tidak terdapat kata ataupun
istilah yang menunjukkan bahwa Majma‘ menggunakan metodologi fikih tertentu
dalam pengambilan keputusannya. Penulis yang menganalisis dan menarik
kesimpulan bahwa Majma‘ menggunakan metodologi fikih tertentu untuk setiap
topik kedokteran yang dibahas dalam disertasi ini.
Ada dua jenis data dalam penelitian ini, primer dan sekunder baik yang
bersumber dari kepustakaan, lembaga-lembaga atau individual. Data primer adalah
data yang berasal dari makalah-makalah para anggota Majma‘ yang disajikan pada
rapat-rapat (disebut dengan mu'tamar) Majma‘ berikut notulen atas diskusi yang
terjadi. Selain itu penulis melakukan studi kepustakaan, baik terhadap rujukan yang
mereka gunakan maupun referensi-referensi lainnya yang signifikan.
Data primer adalah data yang diperoleh dari literatur atau kepustakaan.
Penelitian ini berangkat dari referensi yang digunakan para pemakalah, kemudian

35
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang:
Bayumedia Publishing, 2006), 284-292. Mattulada, Studi Islam Kontemporer, dalam Taufik
Abdullah et.al., Metodologi Penelitian Agama (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), 3-8.

15
diperluas dengan kepustakaan yang relevan dengan masalah yang dibahas. Data
primer dari literatur terbagi menjadi sumber primer dan sumber sekunder.
a. Sumber primer adalah kumpulan makalah, notulasi rapat dan pernyataan
keputusan rapat (mu'tamar) Majma’, yang merupakan kajian dan pembahasan
yang berkaitan langsung dengan masalah penelitian.
b. Sumber sekunder adalah buku-buku referensi atau buku-buku teks. Penulis
mengkaji referensi dalam berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu kedokteran,
tafsi>r Al-Qur'a>n, sharh} al-h}adi>th, us}u>l al-fiqh dan fiqh. Ini semua dalam rangka
untuk memahami latar belakang, argumentasi, alur dan corak pemikiran para
anggota Majma‘ tersebut.
Demikian pula, penulis telah tiga kali berkunjung ke kantor sekretariat
Majma‘ al-Fiqh di Jeddah. Penulis sempat berdialog dengan Usta>dh Muh}ammad
‘Adna>n (sekretaris Majma‘) dan Shaykh Dr. ‘Abd al-H{ali>m (anggota Majma‘ yang
sering berada di kantor Majma‘).

3. Pengolahan dan Analisis Data


Karya tulis ini disusun secara teratur dan sistematis, sehingga penelitian ini
bersifat kualitatif deskriptif analitis. Untuk melakukan analisis terhadap data,
penulis mengelompokkan data-data tersebut dalam kategori-kategori tertentu
sesuai dengan pokok permasalahan yang ingin dijawab.
Pada tahap analisis ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif 36
kualitatif, dengan pendekatan analisis isi (content analysis).37 Analisis tersebut
mengikuti tahapan-tahapan berikut; reduksi data, display data, dan kesimpulan.
Adapun penjelasan tentang tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Reduksi Data. Data yang diperoleh melalui studi dokumen dan kepustakaan
akan dicek kelengkapannya dan kemudian dipilah-pilah berdasarkan satuan
konsep, kategori, atau tema tertentu. Konsep yang dimaksud ialah konsep
tentang ‚Sumber-sumber hukum Islam‛. Konsep berikutnya ialah tentang topik
masalah kedokteran yang dibahas Majma‘.
Tema yang diteliti ialah tema-tema kedokteran saja, dengan kategorisasi ilmu
kedokteran modern. Selanjutnya dikaji lebih jauh dari segi metodologi us}u>l al-
fiqh yang digunakannya. Sementara itu data yang tidak diperlukan disisihkan,
yaitu tema non-kedokteran, sehingga yang diperlukan saja yang akan dipakai.

b. Kesimpulan. Data yang telah dipolakan dan disusun secara sistematik, baik
melalui penentuan topik, tema maupun kategorisasi yang telah dibuat,
kemudian dianalisis sehingga makna data dapat ditemukan.

36
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:
Rineka Cipta, 1996), 243.
37
Sutrisno Hadi, Methodology Research (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), j.II, 12.

16
4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada ‚Pedoman Penulisan Bahasa
Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan Notes dalam Karya Ilmiah" Sekolah
Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
Februari 2014.

F. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini akan mengurai alur berpikir dalam pembahasan topik-topik
kedokteran oleh para anggota Majma‘. Setelah itu dapat ditarik kesimpulan
mengenai dalil-dalil atau metodologi us}u>l al-fiqh apa saja yang dominan digunakan
oleh Majma‘ dalam mengambil keputusan hukum Islam. Oleh karenanya tujuan dari
penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui apakah Majma‘ menggunakan dalil atau metode tersebut
sesuai dengan kaidah dan cara para ulama terdahulu.
b. Di antara metode-metode tersebut, metode yang mana saja yang lebih dominan
digunakan dalam pengambilan keputusan Majma‘

2. Manfaat Penelitian
Penulis memilih topik tersebut di atas, mengingat manfaat dan urgensinya
yang dapat ditinjau dari berbagai aspek, yaitu:
a. Keputusan-keputusan Majma‘ sering menjadi bahan pertimbangan yang sangat
penting bagi banyak lembaga-lembaga keulamaan (fatwa) di seluruh dunia.
Oleh karenanya dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
aplikatif tentang prosedur dan metode ijtihad bagi para pengambil keputusan
bidang hukum Islam.
b. Dengan ditelitinya cara pengambilan keputusan Majma‘, maka dapat menjadi
benchmark bagi lembaga-lembaga serupa di Indonesia, seperti Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Majlis Tarjih Muhammadiyah, Bahts al-Masa’il NU
(Nahdhatul Ulama), Dewan Hisbah PERSIS (Persatuan Islam), dan lain-lain.
c. Dapat memahami urgensi atas penguasaan dalil-dalil atau metodologi us}u>l al-
fiqh, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan, bagi pemecahan
masalah kedokteran kontemporer.
d. Pemahaman atas metode-metode tersebut, berikut aplikasinya dapat menjadi
bahan masukan bagi kurikulum serta studi lanjutan, baik untuk Fakultas
Kedokteran UIN maupun komunitas akademik profesi hukum Islam dan profesi
kedokteran.

17
G. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah,


Identifikasi dan Pembatasan serta Perumusan Masalah, Langkah-langkah
Penelitian, Tujuan dan Manfaat Penelitian, serta Sistematika Penulisan

BAB II : TEORI ISTINBA<T{ DAN SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM. Di


dalam bab ini dibahas tentang teori istinba>t} hukum, pengertian beberapa kata kunci
dalam us}u>l al-fiqh, dan sumber-sumber hukum Islam. Dalam setiap pembahasannya,
disertakan perdebatan ataupun perbedaan pendapat ulama tentang suatu sumber
hukum tertentu, namun dibuat secara ringkas dan dipilih yang relevan dengan
penelitian ini.

BAB III : PROFIL MAJMA‘ AL-FIQH AL-ISLA<MI<. Sesuai dengan judul bahwa
disertasi ini menganalisis tentang produk hukum Majma‘ al-Fiqh, maka telebih
dahulu perlu mengetahui tentang Majma‘ al-Fiqh, baik mengenai Sejarah, Struktur
Organisasi, serta Pedoman dan Prosedur Pengambilan Keputusan Hukum.

BAB IV : REPRODUKSI DAN PERMASALAHANNYA. Bab IV, V, VI dan VII


merupakan bab inti dalam disertasi ini. Dalam Bab III ini dibahas tentang
inseminasi buatan, bayi tabung, bank sperma, dan rahim titipan. Masing-masing
dari sudut pandang kedokteran ketika dibahas dalam mu'tamar Majma‘, maupun
kedokteran terkini, serta pandangan para ulama tentang masalah-masalah tersebut.

BAB V : BANK AIR SUSU IBU (BUNU<K AL-H{ALI<B). Di dalam bab ini
diuraikan tentang nilai lebih (advantageous) air susu ibu (ASI), definisi susuan,
serta bagaimana pandangan ulama tentang urgensi dan hukum Bank ASI.

BAB VI : ALAT BANTU HIDUP (AJHIZAT AL-IN‘A<SH). Diantara masalah


paling penting yang dibahas dalam bab ini ialah tentang definisi kematian, dan
kapan alat bantu hidup itu diperlukan dan kapan dihentikan.

BAB VII : TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH DARI ORANG HIDUP


MAUPUN DARI JENAZAH (INTIFA<‘ AL-INSA<N BI A‘D{A<’ JISM INSA<N
A<KHAR HAYYAN KA<NA AW MAYYITAN). Perbincangan tentang transplantasi
organ merupakan topik yang panjang lebar diperdebatkan para ulama. Untuk itu
dirangkumkan berbagai pandangan ulama masa klasik maupun ulama kontemprer
dalam masalah ini.

BAB VIII : PENUTUP. Bab ini berisi Kesimpulan dari hasil penelitian berikut
Saran-saran.

KEPUSTAKAAN, yang terdiri dari Kepustakaan dari Internet, Jurnal-jurnal,


Buku-buku, serta Rujukan Utama Takhri>j al-H{adit>h.

18
BAB II
TEORI ISTINBA<T{ DAN SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Pengertian Istinba>t} dan Dalil Hukum Islam 1


Kata istinba>t} secara etimologis berarti ‚mengeluarkan sesuatu dari
persembunyiannya‛, sedangkan secara terminologis berarti ‚upaya mengeluarkan
hukum dari sumbernya‛, yaitu pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari
sumber-sumber hukum Islam.
Secara garis besar terdapat ada dua pendekatan yang dikembangkan oleh
para ulama dalam melakukan istinba>t,} yakni melalui:
1. Analisa kaidah-kaidah linguistik ialah memahami bahasa teks ayat-ayat Al-
Qur’a>n dan al-Sunnah, menggunakan tata bahasa Arab. Diantaranya ialah
memahami makna amr, nahy, ‘am, khas, mutlaq, muqayyad, mufassar,
mubham, dll. Demikian pula termasuk analisa untuk menggali hukum melalui
makna suatu pernyataan hukum, yaitu analisa makna terjemah (‘iba>rah al-nas}s}),
analisa pengembangan makna (dila>lah al-nas}s}), analisa kata kunci dari suatu
pernyataan (isha>rah al-nas}s}), dan analisa relevansi makna (iqtid}a>’ al-nas}s}).2
2. Pemahaman tentang maksud dan tujuan syariat (maqa>s}id al-shari>‘ah).3

Kata "sumber" dalam terminologi us}u>l al-fiqh berarti rujukan yang pokok
atau utama dalam menetapkan hukum Islam. Adapun "dali>l" secara terminologis
berarti suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar untuk meraih
keputusan hukum syariat yang bersifat praktis, atau bisa pula berarti segala sesuatu
yang menunjukan kepada madlu>l. Madlu>l itu adalah hukum syariat yang
diaplikasikan berdasarkan dalil. Untuk sampai kepada madlu>l dibutuhkan
pemahaman atau tanda penunjuknya (dala>lah).4
Adapun kata istidla>l berarti upaya menemukan landasan hukum Islam atas
suatu kasus. Imam al-Dimyathi memberikan arti istidlâl secara umum, yaitu
mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta. Ada ulama yang bependapat
bahwa istilah istibat ialah mengeluarkan hukum dari nass, sedangkan istidlal ialah
mengeluarkan hukum dari selain nas}s}, ijma>‘ dan qiya>s, yaitu mengambilnya dari
sumber-sumber ijtiha>di>yah, seperti istis}h}a>b, istih}sa>n, dan lain-lain.5
Berikut ini adalah klasifikasi ringkas tentang dali>l:
1. Dali>l ditinjau dari segi asalnya:
a. Dali>l al-naqli>; yaitu dalil-dalil yang berasal langsung dari nas}s} Al-Qur'a>n
dan al-Sunnah.

1
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, (Dimashq: Da>r al-Fikr, 1406H-
1986M), j.I, 197-203.
2
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, Us}u>l al-Fiqh, 126-134. Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh
al-Isla>mi>, 249-356.
3
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, Us}u>l al-Fiqh, 173-181.
4
Abu> al-Qa>sim Muh}ammad Ibn Ah}mad al-Kalbi> al-Gharna>t}i>, Taqri>b al-Wus}u>l ila>
‘Ilm al-Us}u>l (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1424H-2003M), 145.
5
Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 172.

19
b. Dali>l al-‘aqli>, yaitu dalil-dalil yang berasal bukan dari nas}s} langsung,
melainkan dengan menggunakan akal pikiran (Ijtihad).
2. Dalil ditinjau dari ruang lingkupnya:6
a. Dali>l al-kulli>, yaitu dalil yang mencakup banyak satuan ataupun kaidah-
kaidah yang bersifat menyeluruh atau global.
b. Dalil al-juz'i>, atau tafs}i>li> yaitu dalil yang menunjukkan kepada suatu hukum
tertentu atau yang terperinci.
3. Dalil ditinjau dari sisi kekuatannya: 7
a. Dali>l al-qat}'i>., yang terdiri dari dua jenis, yaitu:
1) Dali>l qat}‘i> al-wuru>d, yaitu dalil yang meyakinkan dan tidak
mengandung keraguan sedikitpun akan keberadaannya. Dalil ini sampai
kepada umat Islam secara mutawa>tir, yaitu Al-Qur'a>n dan Hadis
Mutawa>tir.
2) Dali>l qat}‘i> al-dala>lah, yaitu dalil yang secara literal memiliki pengertian
dan maksud tertentu secara tegas dan jelas, sehingga tidak membuka
peluang multitafsir.
b. Dali>l al-z}anni>, yang terdiri dari dua jenis pula:
1) Z{anni> al-wuru>d, yaitu dalil yang memiliki asumsi kuat berasal dari
Nabi SAW. Dalam hal ini masuk kategori hadis a>h}a>d.
2) Z{anni> al-dala>lah, yaitu dalil yang secara literal dapat memiliki beberapa
alternatif pemahaman. Tidak menunjukan kepada satu arti dan maksud
tertentu.

Pertentangan diantara Dalil-dalil dan Penyelesaiannya


Pertentangan diantara dalil-dalil disebut dengan ta‘a>rud} al-adillah. Imam
al-Shawka>ni> mendefinisikannya dengan: ‚Suatu dalil menentukan hukum tertentu
terhadap satu kasus, sedangkan dalil yang lain menentukan hukum yang berbeda‛.
Para ulama menetapkan bahwa pertentangan antar dalil itu sebenarnya bersifat
superficial ( ), dan bukan pada hakekatnya. Demikian pula apabila
pertentangan itu terjadi pada dalil yang berbeda derajat, seperti pertentangan antara
dalil yang qat}‘i> dan dalil yang z}anni>, maka yang diunggulkan adalah dalil yang
qat}‘i>.8 Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa pertentangan itu tidak mungkin
muncul dari dalil-dalil fi‘li>yah (perbuatan). Misalnya, jika ada dalil yang
menunjukkan Rasu>lulla>h berpuasa pada hari tertentu, sementara ada dalil lain yang
menyatakan bahwa pada hari itu beliau juga berbuka (tidak berpuasa).9
Cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama kalangan
Ma>liki>yah, Sha>fi‘i>yah, H{anabilah, dan Z{a>hiri>yah ialah sebagai berikut:10

6
Abu> al-Qa>sim al-Gharna>t}i>, Taqri>b al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l, 146-147.
7
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, Us}u>l al-Fiqh, 21.
8
Contohnya ialah pertentangan antara penunjukkan dalil dari Al-Qur'a>n dan al-
Sunnah, maka didahulukan Al-Qur'an. Lihat: Abu> al-Ma‘a>li> al-Juwayni>, Al-Burha>n fi> Us}u>l
al-Fiqh (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 418H-1998M), j.II, 195-197.
9
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, j.II, 1173-1175.
10
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, j.II, 1182-1184.

20
Metode pertama: Al-Jam‘ wa al-Tawfi>q. Metode ini berarti mengumpulkan
dan mengkompromikan kedua dalil yang bertentangan, sekalipun hanya dari satu
sisi saja yaitu melalui tiga cara:
a. Apabila hukum yang saling bertentangan itu bisa dibagi, maka dilakukan
pembagian sebaik-baiknya. Hal ini seperti penyelesaian sengketa barang yang
bisa dibagi, dengan cara membaginya
b. Apabila hukum yang saling bertentangan itu sesuatu yang mengandung banyak
arti, maka mujtahid boleh mengambil salah satu pengertian asalkan didukung
oleh dalil lain.
c. Apabila hukum yang saling bertentangan itu bersifat umum dan bisa
diselesaikan melalui takhs}i>s} (pengkhususan), maka hukum tersebut
dikompromikan melalui takhs}i>s}.
Metode kedua: Al-Tarji>h}. Apabila metode pertama tidak bisa dilakukan,
maka seorang mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang
mendukungnya.
Metode ketiga: Al-Naskh. Apabila dengan metode pertama dan kedua
belum diperoleh penyelesaiannya, maka ditempuh cara al-naskh, yaitu dengan
membatalkan hukum yang dikandung oleh salah satu dalil tersebut, dengan syarat
harus diketahui mana dalil yang turun sebelumnya dan mana dalil yang turun
kemudian (terakhir). Dalil yang turun sebelumnya adalah mansu>kh (yang
dihapuskan). Dalil yang turun kemudian adalah na>sikh (penghapus), dan inilah yang
diambil dan diamalkan.
Metode keempat: Tasa>qut} al-Dali>layn. Apabila cara ketiga juga tidak bisa
ditempuh, maka seorang mujtahid boleh meninggalkan dalil-dalil yang saling
bertentangan dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua
dalil yang bertentangan.
Adapun cara menyelesaikan dalil-dalil yang saling bertentangan menurut
ulama kalangan H{anafi>yah ialah sebagai berikut:11
Metode pertama: Al-Naskh, yaitu membatalkan hukum pada suatu dalil
dengan dalil yang turun kemudian.
Metode kedua: Al-Tarji>h}, yaitu menguatkan salah satu dari dua dalil yang
bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukungnya. Ini dilakukan jika
masa turunnya kedua dalil tersebut tidak diketahui.
Metode ketiga: Al-Jam‘ wa al-Tawfi>q, yaitu menggabungkan dalil-dalil
yang saling bertentangan lalu mengkompromikannya. Metode ini dilakukan jika
metode prtama dan kedua tidak berhasil.
Metode keempat: Tasa>qut} al-Dali>layn, yaitu menggugurkan kedua dalil
yang bertentangan. Apabila ketiga metode di atas tidak bisa dilakukan oleh seorang
mujtahid, maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut, untuk kemudian
mengamalkan dalil lain yang kualitasnya di bawahnya.

11
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, j.II, 1176-1181.

21
Sumber-sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam yaitu al-Qur’a>n, al-Sunnah, al-Ijma>‘, dan al-Qiya>s.
Masing-masingnya, al-Qur’a>n dan al-Sunnah dikenal sebagai mas}a>dir al-ah}ka>m,
sedangkan al-Ijma>‘ dan al-Qiya>s dikenal sebagai maba>di’ al-ah}ka>m. Sumber-
sumber tersebut termasuk ke dalam kategori al-us}u>l al-muttafaq ‘alayha>.
Setelah sumber hukum Islam di atas, terdapat beberapa metodologi atau
dalil-dalil pokok dalam hukum Islam yang dijadikan acuan oleh para fuqaha>'. Dalil-
dalil ini hanya bersifat al-kashf wa al-iz}ha>r li al-h}ukm yaitu hanya menyingkap dan
menyajikan yang ada dalam Al-Qur'a>n dan al-Sunnah, sehingga tidak bersifat
independen terhadap nas}s}. Metode atau dalil-dalil tertentu digunakan oleh sebagian
fuqaha>' dan sebagian lainnya digunakan oleh fuqaha>' yang lain. Oleh karena itu
metodologi hukum Islam ini biasa disebut dengan al-us}u>l al-mukhtalaf fi>ha> atau al-
adillah al-mukhtalaf fi>ha>, yaitu :
1. Al-Istih}sa>n
2. Al-Mas}lah}ah al-Mursalah
3. Sadd al-Dhari>‘ah
4. Shar‘ Man Qablana
5. Al-Istis}h}a>b
6. Qawl al-S{ah}a>bi>
7. Al-‘Urf

A. Sumber Hukum Islam Pertama: Al-Qur'an al-Kari>m

Al-Qur’a>n adalah kalam Alla>h yang diturunkan melalui perantaraan


malaikat Jibril kepada Rasu>lulla>h SAW, dalam bahasa Arab sebagai h}ujjah
(argumentasi) kebenaran risalah, dan membacanya adalah ibadah bagi umat Islam,
serta untuk dijadikan pedoman hidup bagi seluruh ummat manusia.12
Al-Qur’a>n diriwayatkan dengan cara tawa>tur (mutawa>tir) dari generasi
13
sahabat ke generasinya selanjutnya terus hingga saat ini, melalui para penghafal
Al-Qur'a>n. Mereka saling mengkonfirmasi otentitas hafalan Al-Qur'a>n, dan
demikian pula dilakukan verifikasi terhadap Al-Qur'an yang dicetak secara manual
maupun elektronik.14 Para pihak yang membuat keraguan seputar otentitas dan
kebenaran Al-Qur'a>n, serta membenci Islam selalu berupaya menggugat nilai
keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan obyektifitas ilmiah selalu mampu

12
Terdapat perbedaan definisi Al-Qur'a>n dari para ulama, namun mengandung
pengertian yang hampir sama. Lihat: Mana>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m Al-Qur'a>n
(Manshu>ra>t al-‘As}r al-H{adi>th, 1393H-1972M), 21. Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zurqa>ni>,
Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n (Da>r al-Fikr, t.t.), j.I, 19. Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-
Fiqh al-Isla>mi> (Dimashq: Da>r al-Fikr, 1406H-1986M), j.I, 421.
13
Kebiasaan generasi sahabat ialah, tidak melanjutkan hafalan Al-Qur'an kecuali
apabila ayat yang mereka terima telah diimani dan diamalkan. Lihat:‘Abd al-Rah}ma>n al-
Sa‘di>, Al-Qawa>‘id al-H{isa>n al-Muta‘alliqah bi Tafsi>r Al-Qur'a>n (Al-Dama>m: Da>r Ibn al-
Jawzi>, 1421), 17-18.
14
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, j.I, 421.

22
membantah segala bentuk tuduhan mereka.15 Al-Qur’a>n adalah kala>m Alla>h, bukan
makhluk, bukan interpretasi, saduran, apalagi karangan Muh}ammad SAW. Al-
Qur’a>n tetap menjadi mu‘jizat terbesar sepanjang masa, dan sebagai bukti
keabadian risalah Islam bagi seluruh umat manusia. Berbagai argumentasi
menunjukkan bahwa Al-Qur’a>n adalah mu‘jizat yang mampu menundukkan
manusia dan tidak mungkin mampu ditiru.16 Salah satu yang yang menjadi
kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa
Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir bangsa Arab atau siapa pun.
Allah SWT berfirman:

‚Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia apabila berkumpul untuk


membuat yang serupa dengan Al-Qur’an ini. Pasti mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu
bagi sekalian yang lain‛. (QS al-Isra>' [17]: 88)
Dengan demikian menjadi jelas bahwa kehujjahan Al-Qur'a‘n tidak
seorangpun mampu membantahnya. Semua kandungannya tak satupun yang
bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan
seterusnya. Terlebih lagi pada abad modern ini, dimana perkembangan sains dan
teknologi modern sudah sangat maju, maka kebenaran Al-Qur'a>n semakin
terungkap secara ilmiah.17

Dala>lah Al-Qur'a>n
Dipandang dari sudut keberadaan atau kekuatan sebagai sumber hukum,
maka Al-Qur’a>n seutuhnya adalah qat}‘i> al-wuru>d atau qat}‘i> al-thubu>t. Ini karena
Al-Qur’a>n sampai kepada kita dengan cara mutawa>tir, sehingga tidak diragukan
kebenarannya. Namun apabila Al-Qur’a>n ditilik dari segi dalalahnya, maka terdiri
dari qat}‘i al-dala>lah dan z}anni> al-dala>lah.18 Ayat-ayat Al-Qur’a>n yang dikategorikan
qat}‘i al-dala>lah, pada umumnya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu,
ataupun sifat, nama dan jenis.19
Ayat-ayat Al-Qur'a>n yang menunjukkan z}anni> al-dala>lah biasanya
diungkapkan dalam kalimat yang bersifat ‘a>m, mushtarak, atau mut}laq.20 Pada

15
‘Abd al-‘Az}i>m al-Zurqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, j.I, 289, 296.
16
Abu> Bakr al-Sarakhsi>, Al-Muh}arrar fi> Us}u>l al-Fiqh (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 1417H-1996M), j.I, 210.
17
Mana>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m Al-Qur'a>n, 260.
18
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, Da>r al-Kutub al-Isla>mi>yah, 33-34.
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, j.I, 441-442.
19
Klasifikasi di atas adalah dari sisi para ulama us}u>l al-fiqh. Adapun dari sisi para
mufassiri>n dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, mereka biasa mengklasifikannya menjadi
dala>lah al-‘iba>rah, dala>lah al-‘isha>rah, dala>lah al-nas}s}, dan dala>lah al-iqtid}a>'. Lihat: Kha>lid
‘Abd al-Rah}ma>n al-‘Ak, Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>‘iduh (Bayru>t: Da>r al-Nafa>'is, 1406H-
1986M), 359-374.
20
‘Abd al-Rah}ma>n al-Sa‘di>, Al-Qawa>‘id al-H{isa>n al-Muta‘alliqah bi Tafsi>r Al-
Qur'a>n, 59-61.

23
ayat-ayat jenis inilah yang banyak menimbulkan perdebatan di kalangan ulama
tafsir dan us}u>l al-fiqh.

Al-Qur'a>n Sebagai Sumber Hukum21


Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa Al-Qur'a>n adalah sumber hukum
yang paling utama dari sumber-sumber lainnya, yang tidak boleh pindah kepada
yang lain kecuali tidak ditemukan didalamnya.22
Dengan demikian sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang
dari Al-Qur'a>n, karena pada dasarnya sumber-sumber yang lain itu akan kembali
pada Al-Qur'a>n. Al-Ghaza>li> bahkan mengatakan, bahwa pada hakikatnya sumber
hukum itu satu, yaitu firman Alla>h Ta‘a>la>. Hadis-hadis Nabi SAW dan sumber-
sumber hukum berikutnya, semuanya berpangkal kepada Al-Qur'a>n.

Tafsi>r dan Ta'wi>l


Untuk membantu dalam memahami Al-Qur'a>n dengan baik, maka tidak
hanya dibutuhkan pengetahuan bahasa Arab, melainkan perlu pula mengkaji buku-
buku tafsir dari para ulama dan menguasai ilmu tafsir berikut ilmu-ilmu
pendukungnya. Semakin baik pengetahuan dalam hal ini, maka akan semakin
terhindar dari kekeliruan dalam memahami Kitab Alla>h yang mulia tersebut.
Kata tafsi>r disebut satu kali dalam Al-Qur'a>n. Secara etimologis berarti
keterangan dan penjelasan ( ) atau pernyataan dan penyingkapan hal
yang tersembunyi ( ),23 sedangkan secara terminologis ialah:
--
24

Suatu ilmu untuk memahami Kitab Alla>h yang diturunkan kepada Nabi
Muh}ammad SAW, berikut penjelasan makna-maknaya, pengambilan hukum-hukum
dan hikmah-hikmahnya. Untuk itu diperlukan ilmu bahasa, nah}w dan tas}ri>f, ilmu
baya>n, us}u>l al-fiqh, qira>'a>t, juga pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat
serta na>sikh dan mansu>kh.
Sementara itu, Imam Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i> mengartikan tafsir ialah ilmu
tentang seputar turunnya ayat Al-Qur'a>n, sejarah yang terkandung di dalamnya,
sebab-sebab turunnya ayat, perihal Makki>yah dan Madani>yah, muh}kama>t dan
mutasha>biha>t, na>sikh dan mansu>kh, kha>s} dan ‘a>m, mut}laq dan muqayyad, mujmal
dan mufassar, halal dan haram, janji baik dan janji buruk, perintah dan larangan,
serta berbagai pelajaran yang dapat ditarik dari ayat-ayat tersebut.25

21
Al-Zurqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, j.I, 299-301.
22
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, j.I, 418.
23
Badr al-Di>n al-Zarkashi>, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n (Bayru>t: Da>r al-Fikr,
1408H-1988M), j.II, 162.
24
Ah}mad Ibn Muh}ammad al-Sharqa>wi>, Mana>hij al-Mufassiri>n (Al-Riya>d}:
Maktabah al-Rushd, 1425H-2004M), 9-10. Badr al-Di>n al-Zarkashi>, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-
Qur'a>n, j.I, 33.
25
Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n (Bayru>t: Da>r al-Fikr,1399-
1979), j.II, 173.

24
Selain itu masih banyak definisi-definisi lainnya dari para ulama, namun
pada umumnya memiliki pengertian yang mirip dengan definisi di atas.
Kata ta'wi>l disebut tujuh belas kali dalam Al-Qur'a>n. Secara etimologis
ialah kembali dan berulang kembali ( ), ataupun mengembalikan sesuatu
kepada bentuk asalnya. Adapun secara terminologis berarti:
26

Memalingkan suatu kata dari makna yang kuat kepada makna yang lemah, karena
adanya dalil yang memalingkannya tersebut.
Pengertian kedua kata tersebut dan derivasinya menjadi perdebatan
panjang para ulama ahli tafsir. Diantara makna-makna tersebut ada yang sinonim,
dan ada pula yang berbeda. Tafsir menunjukkan pemahaman yang berasal dari Al-
Qur'a>n dan Hadis, sedangkan apa yang dihasilkan dari hal-hal yang terkait dengan
akal pikiran maka itu disebut ta'wi>l.27
Ulama lain berpendapat bahwa tafsir adalah makna-makna dari ayat Al-
Qur’a>n yang menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Alla>h ‘Azza wa Jalla>
secara tegas berikut dala>lah di dalamnya. Adapun ta’wi>l menurut bahasa adalah
mengembalikan arti redaksional kepada salah satu atau makna yang sesuai dari
beberapa arti yang dikandungnya.28 Dapat pula dikatakan bahwa ta’wi>l secara luas
adalah berarti tafsir, yang meliputi penjelasan ayat, uraian maksud kandungannya,
dan istinba>t} hukum-hukumnya. Pada sisi lain, ta’wi>l dalam arti sempit ialah
menentukan salah satu arti dari beberapa arti redaksional ayat dari arti yang kuat
kepada arti yang kurang kuat, karena terdapat alasan yang mendorongnya.29
Adapun mengenai metode penafsiran Al-Qur'a>n, terdapat beberapa kategori
yang berbeda-beda tergantung dari sudut pandang analisisnya. Diantara yang sering
dikemukakan ialah kategorisasi ke dalam:30
1. Tafsi>r bi al-riwa>yah atau al-tafsi>r bi al-ma'thur
2. Tafsi>r bi al-dira>yah atau al-tafsir bi al-ra'y
3. Tafsi>r bi al-fayd} wa al-isha>rah atau al-tafsi>r al-isha>ri>.
Selain itu terdapat pula kategorisasi ke dalam metode Tah}li>li>, metode
Ijma>li>, metode Muqa>ran, dan metode Mawd}u>‘i>.31 Tafsir tentang hukum atau fikih,
disebut juga dengan al-tafsi>r al-fiqhi> atau tafsi>r al-ah}ka>m, termasuk ke dalam
kategori metode tah}li>li>.32

26
Mana>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m Al-Qur'a>n, 326.
27
Al-Zarkashi>, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, j.II, 164-166.
28
Ibra>hi>m ‘Abd al-Rah}ma>n Khali>fah, Dira>sa>t fi> Mana>hij al-Mufassiri>n (Al-Qa>hirah:
Ja>mi‘ah al-Azhar), 10-11.
29
Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, j.II, 173. Kha>lid ‘Abd al-
Rah}ma>n al-‘Ak, Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>‘iduh, 52-53. Mana>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m
Al-Qur'a>n, 327.
30
Ibra>hi>m Khali>fah, Dira>sa>t fi> Mana>hij al-Mufassiri>n, 45.
31
Musa>‘id Ibn Sulayma>n al-T{ayya>r, Maqa>la>t fi> ‘Ulu>m Al-Qur'a>n wa Us}u>l al-Tafsi>r
(Al-Riya>d}: Da>r al-Muh}addith, 1425H), 239. Zayd ‘Umar ‘Abdulla>h al-‘Ays}, Al-Tafsi>r al-
Mawd}u>‘i> (Al-Riya>d}: Maktabah al-Rushd, 1426H-2005M), 15-16.
32
‘Abdulla>h al-‘Ays}, Al-Tafsi>r al-Mawd}u>‘i> (Al-Riya>d}: Maktabah al-Rushd,
1426H-2005M), 53-54.

25
Tafsir Ayat-ayat Hukum
Salah satu tujuan terpenting dari diturunkannya Al-Qur'a>n adalah sebagai
pedoman dan sumber hukum bagi kehidupan manusia, baik ibadah maupun
muamalah. Tidaklah berlebihan jika Ibn H{azm berpendapat, bahwa tidak ada
satupun bab fikih yang tidak ada sandarannya dari Al-Qur'a>n maupun Hadis. Imam
al-Sha>fi‘i> juga pernah mengatakan:
33

‚Tidaklah ada satu peristiwa yang dialami pemeluk agama Alla>h, kecuali di dalam
kitab Alla>h pasti terdapat dalil yang menunjukkan jalan petunjuk atas status
hukumnya‛
Komentarnya tersebut dilandasi prinsip bahwa tidak ada satupun peristiwa di muka
bumi, kecuali terdapat sandaran hukumnya di dalam Al-Qur'a>n:

‚…Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur'a>n) sebagai penjelasan tentang


segala sesuatu..‛(QS al-Nah}l [16]: 89)

Dari ayat di atas, seluruh ulama sepakat untuk menjadikan Al-Qur'a>n


sebagai sumber pokok (al-mas}dar al-asa>si>) dan sumber pertama (al-mas}dar al-
awwal) dalam bidang hukum, termasuk hukum fikih. Oleh karena itu pengetahuan
tentang Al-Qur'a>n merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin intens dalam
bidang hukum. Tidak ada satupun ulama yang kembali kepada Al-Qur'a>n dalam
mensikapi suatu peristiwa, kecuali dia akan memperoleh pijakan di dalamnya. Oleh
karenanya tidaklah mengherankan bahwa Rasu>lulla>h SAW mengajarkan kepada
kita untuk memilih imam shalat diantara mereka yang paling faham tentang Al-
Qur'a>n. 34
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka penulis memberikan penekanan
secara singkat pada tafsir ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'a>n. Penafsiran ayat-ayat
Al-Qur'a>n yang bertemakan fikih ini disebut dengan Tafsi>r Fiqhi>, atau Tafsi>r
Ah}ka>m, atau Tafsi>r A<ya>t Ah}ka>m, atau Fiqh al-Kita>b. Tafsir jenis ini biasanya
ditulis oleh para ahli fikih, sehingga sering tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
mazhab yang diyakininya. Disamping itu, seperti pada semua ulama ahli tafsir, juga
dipengaruhi oleh tempat dan zaman mereka hidup.35
Tafsi>r Fiqhi>, merupakan keterangan atau penjelasan yang diberikan oleh
para fuqaha>’36 terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam Al-Qur’a>n. Apabila
ditujukan kepada tafsir berupa buku, maka tafsir fiqhi> adalah kitab tafsir yang
khusus berisi penjelasan terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam Al Qur’a>n. 37

33
Muh}ammad Ibn Idri>s al-Sha>fi‘i>, Ah}ka>m Al-Qur'a>n (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 1400H-1980M), 21.
34
Dalam hal ini terdapat sejumlah hadis yang masyhur tentang kriteria memilih
imam shalat.
35
Ada pula yang menyebutnya sebagai tafsi>r al-fuqaha>'. Lihat: Mana>‘ al-Qat}t}a>n,
Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m Al-Qur'a>n, 376-377.
36
Musa>‘id al-T{ayya>r, Maqa>la>t fi> ‘Ulu>m Al-Qur'a>n wa Us}u>l al-Tafsi>r, 233-234.
37
Fahd Ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Ru>mi>, Buh}u>th fi> Us}u>l al-Tafsi>r wa Mana>hijuh (Al-
Riya>d}: Maktabah al-Ma>lik Fahd al-Wat}ani>yah, 1424H), 91-95.

26
Sebagian ulama berpendapat bahwa Imam al-Sha>fi‘i> (150-204H) adalah
yang pertama kali menulis tafsir dengan corak fikih dalam kitabnya Ah}ka>m Al-
Qur'a>n. Namun ada pula yang berpendapat, bahwa penulis tafsir fiqhi> pertama ialah
Abu> al-H{asan ‘Ali> Ibn H{ajar al-Sa‘di> (w. 244 H) dalam kitabnya Ah}ka>m Al-Qur'a>n,
ataupun Abu> al-Nas}r Muh}ammad Ibn Sa>’ib (w. 144H) dalam kitabnya Ah}ka>m Al-
Qur'a>n.
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah ayat-ayat hukum dalam Al-
Qur'a>n. Ada yang menyatakannya berjumlah 150, 200, 228, 400, atau bahkan 500
ayat. ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f menyebutkan bahwa ayat-Ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan masing-masing topik fikih ialah: 38
1. Yang berhubungan dengan ibadah vertikal kepada Alla>h (‘ibada>h mah}d}ah),
sebanyak 140 ayat.
2. Yang mengatur hukum-hukum pribadi dan keluarga (al-ah}wa>l al-shakhs}i>yah),
sebanyak 70 ayat.
3. Yang berkaitan dengan hukum pidana (al-jina>yah), sebanyak 30 ayat.
4. Yang berkaitan dengan hukum perdata (al-madani>yah), sebanyak 70 ayat.
5. Yang berkaitan dengan hukum tata negara (al-dawli>yah), sebanyak 25 ayat.
6. Yang berkaitan dengan hukum-hukum acara (al-mura>fa‘a>t), sebanyak 13 ayat.
7. Yang berkaitan dengan perundang-undangan (al-dustu>ri>yah), sebanyak 10 ayat.
8. Yang berkaitan dengan ekonomi dan keuangan (al-iqtis}a>di>yah wa al- ma>li>yah),
sebanyak 10 ayat.

Sementara itu Wahbah al-Zuh}ayli> menyatakan bahwa klasifikasi hukum itu


sangat luas, sebagaimana disebutkan dalam bukunya Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>:39
1. Hukum keimanan (i‘tiqa>di>yah); yaitu yang berkaitan dengan kewajiban
mukallaf dalam hal keimanannya kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, para rasul-Nya, serta hari akhirat.
2. Hukum etika (khuluqi>yah); yaitu yang berkaitan dengan kewajiban mukallaf
dalam hal sikap dan tindakan yang membawa kepada kemuliaan ataupun
kehinaan, terutama dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Hukum implementatif (‘amali>yah); yaitu yang berkaitan dengan ucapan,
perbuatan, transaksi dan pelbagai jenis perbuatan. Jenis ini disebut juga fiqh al-
Qur’an dan inilah yang dimaksud dalam ilmu us}u>l al-fiqh. Hukum ini terbagi
dalam dua jenis:
a. Hukum ‘iba>da>t; yaitu kaitan langsung manusia dengan Rabbnya, sepeti
dhalat, shiyam, zakat, haji, sumpah, nadzar, dan lain-lain.
b. Hukum mu‘a>mala>t; yang dapat diklasifikasikan kepada:
1) Hukum rumah tangga dan keluarga; yaitu yang berkaitan dengan hubungan
internal keluarga, suami-istri, serta kekerabatan lainnya.
2) Hukum perdata; yaitu yang berkaitan dengan mu’amalah individual (mikro)
berikut hak dan kewajibannya (sanksinya), seperti pada jual beli, sewa
menyewa, gadai, kafalah, dan musyarakah.

38
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 31-32.
39
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, j. I, 438-440.

27
3) Hukum pidana; yaitu antara lain yang berkaitan dengan hak-hak atas harta
dan kehormatan, serta tindak pidana.
4) Hukum acara pidana dan perdata; yaitu yang berkaitan dengan peradilan,
persaksian, dan lain-lain.
5) Hukum perundang-undangan; yaitu yang berkaitan dengan pokok-pokok
hukum yang berlaku, baik individu maupun masyarakat.
6) Hukum ketatanegaraan; yaitu yang antara lain berkaitan dengan konstitusi,
serta hubungan muslimin dengan non-muslim.
7) Hukum ekonomi dan keuangan; yaitu yang membicarakan berbagai bidang
ekonomi dan ekonomi secara makro dan sistematis.

Oleh sebab itu hukum Islam, kalaupun diartikan secara pragmatis sebagai
fikih, tetap memiliki muatan sangat luas, dimana dalam kurun berabad-abad sejak
masa pembentukannya, telah mengalami dinamika yang beragam pada setiap
generasi di berbagai negeri muslim. Demikian pula halnya dengan klasifikasi ayat-
ayat hukum berikut penafsirannya yang terus berkembang.

Contoh Ayat-ayat Hukum


Cukup banyak ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur'a>n, baik yang disebutkan
secara global maupun yang relatif terperinci seperti hukum waris.40 Diantara
contohnya ialah:
1. Kaffa>ra>t, yaitu semacam denda yang bermakna ibadah, karena merupakan
penghapus bagi sebagian dosa. Ada 3 bentuk kaffa>ra>t, yaitu:
a. Kaffa>rat al-z}iha>r (seperti ungkapan suami kepada istrinya ‚kau bagiku
bagaikan punggung ibuku‛). Istri yang sudah di z}iha>r oleh suaminya, tidak
boleh digauli oleh suaminya kecuali setelah membayar kaffa>rat (QS al-
Muja>dilah ayat 3-4)
b. Kaffa>rat al-yami>n, yaitu tebusan yang diberikan apabila melanggar sumpah
(QS al-Ma>'idah ayat 89)
c. Kaffa>rat qatl al-khat}a' (membunuh mukmin secara tersalah) (QS al-Nisa>'
ayat 92)
2. Hukum mu‘a>mala>t. Al-Qur'a>n hanya memberikan prinsip-prinsip dasar, dan
Sunnah yang merincinya, kemudian ijtihad para ulama berperan dalam
mengembangkan perinciannya. Seperti larangan memakan harta orang lain
secara tidak sah (QS al-Nisa>' ayat 29), dan larangan memakan riba (QS al-
Baqarah ayat 275)
3. Hukum yang mengatur relasi dan komunikasi antara muslim dengan non-
muslim (QS al-Hujura>t ayat 13 dan al-Baqarah ayat 194).

Demikianlah penjelasan ringkas tentang tafsir ayat-ayat hukum dalam Al-


Qur'a>n. Selanjutnya, para ulama biasanya mengkategorikan tafsir jenis ini
berdasarkan mazhab yang dianut oleh penulis tafsir yang bersangkutan.

40
Fahd al-Ru>mi>, Buh}u>th fi> Us}u>l al-Tafsi>r wa Mana>hijuh, 93-94.

28
B. Sumber Hukum Islam Kedua: Sunnah Nabi Muh}ammad SAW

Sumber hukum Islam yang kedua ialah al-Sunnah atau al-H{adi>th.41 Pada
umumnya ulama us}u>l al- fiqh menggunakan istilah al-Sunnah (selanjutnya disebut
Sunnah dengan huruf besar).42 Kebiasaan ini terutama karena banyak hadis-hadis
Nabi SAW yang menyandingkan kata Al-Qur'a>n dengan al-Sunnah ataupun Kita>b
Alla>h dengan al-Sunnah (Sunnati>).43 Selain itu di dalam kitab-kitab us}u>l al-fiqh ada
pula yang menggunakan istilah al-Khabar atau al-Akhba>r. Meskipun demikian,
biasanya istilah khabar lebih merujuk kepada aspek periwayatannya.44

Hadis Sebagai Sumber Otoritatif Hukum Islam


Seluruh ulama, baik Sunni dan Syi‘ah maupun penganut aliran Islam
lainnya, dalam semua bidang ilmu keislaman menerima Sunnah atau Hadis Nabi
SAW sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua. Legitimasi otoritas ini
didasarkan atas keyakinan bahwa Nabi SAW selalu mendapat tuntunan wahyu
sehingga segala perkataan, perbuatan dan ketetapan Beliau, dijadikan pedoman dan
panutan oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari.45 Untuk itu terdapat
sejumlah argumentasi yang valid mengenai kehujjahan Hadis sebagai sumber
hukum Islam, yaitu sebagai berikut:
1. Dalil-dalil Al-Qur'a>n al-Kari>m.
Bila menyimak ayat-ayat al-Qur’an, setidaknya didapati lebih dari 40 ayat yang
secara tegas memerintahkan umat Islam untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketaatan kepada Nabi SAW merupakan tolok ukur ketaatan kepada-Nya.46
Demikian pula perselisihan diantara umat Islam wajib dikembalikan kepada
hukum-Nya dan hukum Rasul-Nya. Diantara ayat-ayat tersebut ialah:

41
Kalangan ulama ada yang membedakan hadis dari sunnah, terutama karena
memang kedua kata itu secara etimologis memang berbeda. Kata hadis lebih banyak
mengarah kepada ucapan Nabi; sedang sunnah lebih banyak mengarah kepada tindakan
Nabi yang sudah menjadi tradisi dalam beragama. Namun demikian, seluruh ulama Ahl al-
Sunnah sepakat bahwa kedua kata itu hanya merujuk kepada dan berlaku untuk Nabi SAW
dan tidak digunakan untuk selain dari Beliau. Lihat: Muh}ammad Mah}fu>z} al-Tarmasi>,
Manhaj Dhawi> al-Naz}ar (Da>r al-Fikr, 1401H-1981M), 8. Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Qawa>‘id
al-Tah}di>th min Funu>n Mus}t}alah} al-H{adi>th (Al-Qa>hirah: Da>r al-Kutub al-‘Arabi>yah, t.t.), 62.
42
Abu> al-Qa>sim al-Gharna>t}i>, Taqri>b al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l, 177. ‘Abd al-Muhdi>
Ibn ‘Abd al-Qa>dir Ibn ‘Abd al-Ha>di>, Al-Madkhal ila> al-Sunnah al-Nabawi>yah (Da>r al-
I‘tis}a>m, 1419H-1998M), 22. Muh}ammad al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l (Bayru>t: Da>r al-
Kita>b al-‘Arabi>, 1424H-2003M), j.I, 95.
43
‘Abd al-Muhdi>, Al-Madkhal ila> al-Sunnah al-Nabawi>yah, 23-24.
44
‘Abd al-Sala>m, ‘Abd al-H{ali>m, Ah}mad Ibn Taymi>yah, Al-Muswaddah fi> Us}u>l al-
Fiqh (Al-Riya>d}: Da>r al-Fad}i>lah, 1422H-2001M), j.I, 465. Al-Qa>simi>, Qawa>‘id al-Tah}di>th,
61-64.
45
‘Abd al-Rah}ma>n al-Bana>ni>, H{ashi>yah al-‘Alla>mah al-Bana>ni> ‘ala> Jam‘ al-Jawa>mi‘
(Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1418H-1998M), j.II, 144.
46
Sulayma>n Ibn Khalaf al-Ba>ji>, Al-Isha>rah fi> Us}u>l al-Fiqh (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 1424H-2003M), 21.

29
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alla>h dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri diantara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Alla>h (Al-Qur'a>n) dan Rasul (al-Sunnah), jika kalian
benar-benar beriman kepada Alla>h dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya". (QS al-Nisa>' [4]: 59)

"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, maka sungguh dia telah mentaati Alla>h.
Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka". (QS al-Nisa>' [4]: 80)

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muh}ammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya".
(QS al-Nisa>' [4]: 65)

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Alla>h dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa
mendurhakai Alla>h dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat dengan
kesesatan yang nyata". (QS al-Ah}za>b [33]: 36)

2. Dalil-dalil dari Hadis Nabi SAW.


47

"Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, yang kalian tidak akan sesat (selamanya)
ketika kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Alla>h dan Sunnah
Nabi-Nya".

48

"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Alla>h, serta patuh dan taat,
meskipun yang kalian diperintah oleh seorang hamba sahaya dari Etiopia.

47
Riwayat Ma>lik, al-H{a>kim, Ibn ‘Abd al-Barr, al-Jurja>ni>, al-Bayhaqi>, al-Rabi>‘ Ibn
H{abi>b, al-Haythami>, al-Khat}i>b al-Baghda>di>, Ibn Sha>hi>n, al-Wa>h}idi>, Hibat Alla>h al-La>lika>'i>.
48
Riwayat Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, Ibn Ma>jah, al-Da>rimi>, Ah}mad, Ibn H{ibba>n, al-
H{a>kim, al-Bayhaqi>, Abu> Nu‘aym, al-Bazza>r, al-T{abra>ni>, Ibn Jama>‘ah, Ibn ‘Asa>kir, al-A<jiri>,
‘Abd al-Mu'min Ibn Khalaf al-Dimya>t}i>, Abu> al-Qa>sim Ibn Bashra>n, al-Khat}i>b al-Baghda>di>,
Ibn Abi> ‘A<s}im, Muh}ammad Ibn Nas}r al-Marwazi>, ‘Uthma>n Ibn Sa‘i>d al-Da>ni>, Abu> al-Faraj
Ibn al-Jawzi>, al-T{ah}a>wi>, al-Baghawi>, Abu> H{a>tim.

30
Kemudian apabila diantara kalian ada yang berumur panjang, niscaya akan
menyaksikan perselisihan yang sangat banyak. Jagalah diri kalian dari mengada-ada
(dalam agama), karena itu merupakan perbuatan sesat. Oleh karenanya siapa saja
diantara kalian yang mengalami zaman itu, maka berpegang teguhlah kepada
Sunnahku dan sunnah para pemimpin yang terpimpin sesudahku".

3. Ijma>‘ al-S{ah}a>bah.
Para sahabat telah bermufakat tentang kewajiban mengamalkan Sunnah Rasu>lulla>h
SAW setelah Al-Qur'a>n al-Kari>m.49

4. Rasio (akal).
Secara logika tidak mungkin mampu mengamalkan hukum Al-Qur'a>n yang bersifat
mujmal, global tanpa penjelasan lebih detail dari Hadis Nabi SAW. Pada
prakteknya, tidak mungkin memisahkan salah satunya dari yang lain. Contohnya
seperti QS al-Baqarah [2]: 43 yang menerangkan kewajiban solat dan membayar
zakat; QS al-Baqarah [2]: 183 tentang perintah melakukan puasa; QS A<li ‘Imra>n
[3]: 97 tentang perintah wajib haji, dan sebagainya. Semua itu membutuhkan
keterangan lebih detail untuk dapat diimplementasikan dengan baik.
Dari petunjuk ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa Hadis atau Sunnah Nabi
SAW merupakan sumber ajaran Islam di samping Al-Qur’a>n. Orang yang menolak
hadis sebagai sumber ajaran Islam, berarti orang itu pada hakikatnya menolak Al-
Qur’a>n.
Sunnah Nabi SAW terbagi menjadi tiga macam, yaitu ucapan (aqwa>l),
perbuatan (af‘a>l), dan ketetapan (taqri>r) Beliau.
Perbuatan-perbuatan Nabi SAW terbagi menjadi dua kategori, yaitu ‘a>da>t
dan quruba>t. Yang dimaksud dengan ‘a>da>t ialah kebiasaan sehari-hari yang biasa
pula dilakukan manusia pada umumnya, seperti makan, minum, berdiri, duduk,
berjalan, berpakaian, dan sebagainya.50 Mengikuti Nabi SAW dalam perkara yang
demikian itu, terhitung merupakan suatu perbuatan baik. Adapun yang dimaksud
dengan quruba>t ialah berbagai bentuk ibadah atau pendekatan diri kepada Alla>h,
yang dalam hal ini terbagi menjadi tiga jenis:51
1. Perbuatan Nabi SAW yang berfungsi sebagai penjelasan (baya>n) bagi orang
lain, maka hukum mengikutinya ialah sama dengan yang dijelaskan tersebut.
Apabila yang dijelaskan dengan perbuatan Nabi tersebut adalah wajib, maka
perbuatan Nabi itu pun wajib diikuti. Apabila yang dijelaskan dengan
perbuatan Nabi tersebut hukumnya sunnah, maka perbuatan Nabi itu pun
sunnah untuk diikuti.

49
Ijma>‘ ini selain berdasarkan dalil-dalil di atas, juga berdasarkan hadis Nabi SAW
yang sangat terkenal ketika akan mengutus Mu‘a>dh Ibn Jabal ke Yaman, serta banyak
ucapan para sahabat tentang kewajiban taat kepada Rasu>lulla>h SAW.
50
Suatu perbuatan yang masuk dalam kategori ini pada asalnya hukum perbuatan
tersebut adalah diperbolehkan (jawa>z).
51
Abu> al-Qa>sim al-Kalbi> al-Gharna>t}i> >, Taqri>b al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l, 177-178.

31
2. Perbuatan Nabi SAW yang berfungsi sebagai bentuk implementasi dari suatu
perintah dari Al-Qur'a>n maupun al-H{adi>th. Hukum mengikutinya adalah setara
dengan hukum perintah itu sendiri, baik wajib maupun sunnah.52
3. Perbuatan Nabi SAW yang merupakan hal pertama kali dilakukan dengan tanpa
suatu sebab yang melatarbelakanginya. Para ulama berselisih pendapat dalah
hal ini, apakah hukumnya wajib ataukah sunnah.

Dari ketiga hal di atas, kemudian timbul cabang darinya yang berkaitan
dengan pengambilan hukum Islam, yaitu:
1. Apabila telah tegas hukum yang berlaku bagi Nabi SAW, maka tegas pula
hukum yang sama berlaku bagi umatnya, kecuali jika tegak dalil yang
menunjukkan bahwa hukum tersebut dikhususkan bagi Beliau.53
2. Semua perbuatan Nabi SAW terbagi menjadi penjelasan (baya>n) dari dalil yang
global (mujmal), ataupun pengkhususan dari dalil yang umum, ataupun ta'wil
dari dalil yang tekstual (z}a>hir), ataupun berarti penghapusan (naskh).
3. Apabila terjadi pertentangan antara sabda dan perbuatan Nabi SAW, maka para
ulama berselisih pendapat tentang mana yang harus dikuatkan. Pendapat yang
lebih valid ialah bahwa perkataan lebih kuat dibandingkan perbuatan, karena
perkataan menunjukkan redaksinya. Ketentuan ini berlaku jika tidak diketahui
mana yang lebih dahulu terjadi antara perkataan dan perbuatan tersebut.
Adapun apabila diketahui mana yang lebih dahulu, maka dalil yang belakangan
sebagai penghapus (na>sikh) dalil yang terdahulu.54

III. Fungsi Hadis dalam Pembentukan Hukum Islam


Dalam relasinya dengan Al-Qur'a>n, maka fungsi Hadis atau Sunnah ialah:55
1. Menegaskan dan menetapkan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur'a>n.
Ini dikenal dengan istilah fungsi ta'ki>d dan taqri>r.
2. Memberikan penjelasan (baya>n) terhadap maksud Al-Qur'a>n dalam hal:
a. Menjelaskan arti yang masih samar (mubham) atau global (mujmal).
b. Merinci (takhs}i>s}) dari garis besar (‘a>m) yang disebutkan dalam Al-Qur'a>n.
c. Membatasi (muqayyid) apa-apa yang dalam Al-Qur'a>n disebutkan terbebas
dari kaitan tertentu (mut}laq).
d. Memperluas maksud (baya>n tafsi>r) dari hal yang disebutkan dalam Al-
Qur'a>n. Misalnya Alla>h melarang seorang laki-laki memadu dua orang

52
‘Abd al-Rah}ma>n al-Bana>ni>, H{ashi>yah al-‘Alla>mah al-Bana>ni> ‘ala> Jam‘ al-
Jawa>mi‘, j.II, 148-149. Abu> al-Ma‘a>li> al-Juwayni>, Al-Burha>n fi> Us}u>l al-Fiqh (Bayru>t: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1418H-1997M),j.I, 184-185. Abu> al-Qa>sim al-Kalbi> al-Gharna>t}i> >,
Taqri>b al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l, 178.
53
Abu> al-Ma‘a>li> al-Juwayni>, Al-Burha>n fi> Us}u>l al-Fiqh, j.I, 186. Abu> al-Qa>sim al-
Kalbi> al-Gharna>t}i> >, Taqri>b al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l, 178.
54
Muh}ammad al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l (Bayru>t: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>,
1424H-2003M), j.II, 55. Sayf al-Di>n al-A<midi>, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m (Bayru>t: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmi>yah, t.t.), j.III, 106.
55
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 37.

32
wanita bersaudara, diperluas oleh Nabi bahwa bukan saja saudara seayah
tapi juga saudara seibu.
3. Menetapkan sesuatu hukum dalam hadis yang secara jelas tidak ada dalam Al-
Qur'a>n. Fungsi sunnah dalam bentuk ini dikenal dengan istilah ithba>t.56
Meskipun hukum-hukum tertentu disebutkan dalam Al-Qur'a>n secara garis
besar atau umum, namun hal itu dijelaskan oleh Nabi, sehingga hukum-hukum
tersebut menjadi jelas. Dalam hal ini terdapat dua kategori penjelasan Nabi SAW.
Pertama. Penjelasan Nabi SAW yang sedemikian jelas dan rinci, dipahami
dengan baik oleh para sahabat, sehingga tidak timbul perbedaan pendapat diantara
mereka. Dengan demikian penjelasan Nabi ini bersifat qat}‘i>, yaitu tidak ada lagi
kesamaran bagi para ulama dan karenanya tidak menimbulkan perbedaan mendasar
bagi mereka. Penjelasan yang bersifat qat}‘i> itu terdapat dalam bidang akidah dan
pokok-pokok ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji. Contohnya seperti
shalat frdhu lima kali sehari, waktu-waktu shalat, perhitungan zakat, dsb.
Kedua. Penjelasan Nabi SAW yang bersifat tidak tegas dan tidak rinci,
sehingga masih menimbulkan beberapa alternatif pemahaman. Penjelasan dalam
kategori ini bersifat z}anni>, dan pada umumnya terdapat pada bidang cabang-cabang
ibadah (furu>‘i>yah) dan mu‘a>malah dalam arti luas.57 Misalnya bacaan ketika sujud,
definisi mabit di Mina, dsb.

Kriteria Hadis dari Sisi Jumlah Sanadnya:


1. Hadis mutawa>tir; hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan cermat
dan dalam jumlah yang banyak dari awal hingga akhir sanad, sehingga mustahil
mereka keliru atau berdusta dalam meriwayatkan hadis.58 Ulama sepakat bahwa
hadis mutawa>tir dapat diterima sebaga h}ujjah, baik mutawa>tir lafz}i> maupun
mutawa>tir ma‘nawi>. Semua hadis mutawa>tir sudah pasti sahih.59
2. Hadis a>h}a>d; hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih pada setiap
tingkatannya. Peringkat hadis a>h}a>d inilah yang menjadi perbincangan para ahli
hadis, apakah peringkat mashhu>r, ‘azi>z, atau ghari>b. Hadis a>h}a>d ada yang
masuk kategori sahih, hasan, maupun mawd}u>‘.60

Kriteria Hadis dari Sisi Validitasnya:


1. Hadis s}ah}i>h}; hadis yang sanadnya bersambung dari awal hingga akhirnya,
diriwayatkan oleh orang yang adil (‘adil) dan cermat (d}a>bit}) pada setiap

56
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 38.
57
Mu‘a>mala>t dalam arti luas mencakup bidang-bidang jihad, sayembara,
muna>kaha>t, h}udu>d, jina>ya>t, qad}a>', perdagangan, dan ekonomi pada umumnya. Lihat: Abu>
Bakr al-Jaza>'iri>, Minha>j al-Muslim (Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1396H-1976M), 299.
58
Abu> Bakr al-Sarakhsi>, Al-Muh}arrar fi> Us}u>l al-Fiqh, j.I, 212.
59
Al-Qa>simi>, Qawa>‘id al-Tah}di>th, 146. Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.I, 128.
60
Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, Al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 1322), j.I, 145-146. Al-Qa>simi>, Qawa>‘id al-Tah}di>th, 146-147. Al-Shawka>ni>, Irsha>d
al-Fuh}u>l, j.I, 137-138.

33
tingkatan periwayatnya, tidak mengandung kejanggalan (sha>dh) dan tidak pula
kecatatan (‘illat).61
2. Hadis h}asan; hadis yang disepakati para ulama dapat dijadikan argumentasi,
namun kekuatannya di bawah sahih. Dinamakan hadis h}asan karena mereka
berprasangka baik (h}usn al-z}ann) terhadap para periwayatnya.62 Al-Tirmidhi>
mendefinisikannya sebagai hadis yang dalam sanadnya tidak ada orang yang
dituduh berdusta, bukan hadis sha>dh, dan diriwayatkan lebih dari satu sanad.63
3. Hadis d}a‘i>f; hadis yang sekurang-kurangnya tidak ada satu dari beberapa
persyaratan hadis sahih maupun hasan.64
4. Hadis mawd}u>‘; disebut pula hadis palsu, karena antara lain diriwayatkan oleh
para periwayat yang munkar, pendusta, atau pemalsu hadis. Sebenarnya hadis
palsu bukanlah hadis, meskipun terlihat seolah-olah dari Nabi SAW. Ada
kemungkinan hadis palsu memiliki makna yang sesuai dengan Al-Qur'a>n dan al-
H{adi>th al-S{ah}i>h}, karena bisa jadi hadis palsu merupakan ucapan sahabat,
ta>bi‘i>n, ta>bi‘ al-ta>bi‘i>n, ulama, atau kata-kata mutiara dalam bahasa Arab.
Meskipun demikian para ulama telah ijma>‘ mengharamkan berhujjah dengan
hadis palsu.65 Ini antara lain brdasarkan ancaman Nabi SAW:
66

"Siapa saja yang menyampaikan dariku dengan suatu hadis, dan dia dipandang
sebagai pendusta, maka sesunggguhnya dia adalah salah seorang pendusta".

Kriteria Hadis dari Sisi Persambungan Sanad:


1. Muttas}il: hadis yang sanadnya bersambung tanpa terputus-putus dari awal
sampai akhir.
2. Munqat}i‘: hadis yang gugur salah seorang periwayatnya pada satu tempat atau
lebih, atau diceritakan oleh rawi yang samar identitasnya (mubham).67
3. Mu‘d}al: hadis yang dari sanadnya gugur dua orang periwayat atau lebih secara
berturut-turut dari bagian awal atau dari tengah-tengahnya.68
4. Mu‘allaq: hadis yang dari awal sanadnya dibuang satu orang rawi atau lebih
secara berturut-turut. Hadits mu‘allaq ini banyak terdapat dalam sahih al-
Bukha>ri>.69

61
Ibn Kathi>r, Al-Ba>‘ith al-H{athi>th (Al-Riya>d}: Maktabah Da>r al-Sala>m, 1414H-
1994M), 32-33. Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Qawa>‘id al-Tah}di>th, 79.
62
Al-Qa>simi>, Qawa>‘id al-Tah}di>th, 102.
63
Ibn Kathi>r, Al-Ba>‘ith al-H{athi>th, 47.
64
Ibn Kathi>r, Al-Ba>‘ith al-H{athi>th, 53.
65
Al-Qa>simi>, Qawa>‘id al-Tah}di>th, 150-155.
66
Riwayat al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, Ibn H{ibba>n, Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>,
Abu> Da>wud al-T{aya>li>si>, al-Bazza>r, Muh}ammad Ibn Ha>ru>n al-Ru>ya>ni>, al-Khat}i>b al-
Baghda>di>, al-T{abra>ni>, Ibn ‘Asa>kir, Ibn Abi> al-Dunya>, Muh}ammad Ibn Ja‘far al-Khara>'it}i>.
67
Ibn Kathi>r, Al-Ba>‘ith al-H{athi>th, 59-60.
68
Ibn Kathi>r, Al-Ba>‘ith al-H{athi>th, 60-62.
69
Mah}fu>z} al-Tarmasi>, Manhaj Dhawi> al-Naz}ar, 55-57.

34
Kriteria Hadis dari Sisi Akhir Sanad:
1. Marfu>‘: hadis yang sanadnya sampai kepada Rasu>lulla>h SAW, baik itu muttas}il
(bersambung) ataupun munqat}i‘ (terputus).
2. Mawqu>f: hadis yang disandarkan kepada seorang sahabat, baik muttas}il
ataupun munqat}i‘.70
3. Maqt}u>‘: hadis yang disandarkan kepada seorang ta>bi‘i>n, baik muttas}il ataupun
munqat}i‘. Kategori ini ada pula yang memasukkannya ke dalam kelompok
mawqu>f, yaitu mawqu>f ta>bi‘i>.71
4. Mursal: hadis yang sanadnya sampai kepada sahabat. Adapun sanadnya
bersambung dari awal sampai ke ta>bi‘i>n, dan ta>bi‘i>n tersebut mengatakan
langsung diterima dari Nabi SAW, tanpa menyebutkan nama sahabat.

Hadis dan fikih adalah dua hal yang saling terkait erat, bahkan tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan karena fikih membahas
hukum-hukum yang bersifat z}anni>, yang seringkali mengambil dasar dari hadis
Nabi SAW. Oleh karenanya seorang ahli fikih harus memahami hadis dan ilmu
hadis, dan seorang ahli hadis harus memahami fikih.

Perdebatan Para Ulama Seputar Hadis


Perdebatan pendapat para ulama tentang hadis dapat dikategorikan
menjadi:
1. Penilaian tentang derajat suatu hadis, apakah sahih, hasan, atau d}a‘i>f. Masalah
ini merupakan pembahasan yang paling krusial bagi para ahli hadis.
2. Penempatan hadis dalam fungsi tertentu terhadap ayat-ayat Al-Qur'a>n.
perdebatan ulama dalam hal ini dapat dikaji pada berbagai kitab tafsi>r al-ah}ka>m
maupun tafsi>r bi al-ma'thu>r.
3. Mengumpulkan atau memisahkan antara satu hadis dengan hadis lainnya dalam
rangka mengambil dalil untuk suatu hukum tertentu. Contohnya ialah hadis
larangan menahan buang air dalam shalat, dikelompokkan oleh Ibn H{ajar al-
‘Asqalla>ni> dalam "Bab Perintah untuk Khusyu'" dan bukannya dalam bab syarat
sahnya shalat.72
4. Mendudukkan antara satu hadis dengan hadis lainnya dalam rangka mengambil
dalil untuk suatu hukum tertentu, yaitu apakah sebagai takhyi>r, takhs}i>s}, naskh,
dsb. Contohnya ialah perselisihan para ulama tentang hadis-hadis larangan
menagih kembali barang yang telah dihibahkan.
5. Perbedaan pemahaman dan penafsiran terhadap redaksi dan maksud satu atau
sekelompok hadis. Contohnya ialah perselisihan ulama tentang jenis atau
kriteria barang-barang ribawi (al-‘uru>d} al-ribawi>yah).
6. Bagaimana mensikapi secara hukum, terhadap perbedaan antara perbuatan
periwayat hadis dengan hadis yang dibawakannya.
70
Al-Qa>simi>, Qawa>‘id al-Tah}di>th, 130. Zayn al-Di>n al-‘Ira>qi>, Al-Taqyi>d wa al-I<d}a>h}
(Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1401H-1981M), 66.
71
Al-‘Ira>qi>, Al-Taqyi>d wa al-I<d}a>h}, 66-70.
72
Lihat sharh} hadis tersebut: S{a>lih} Ibn Fawza>n al-Fawza>n, Tashi>l al-Alma>m bi fiqh
al-Ah}a>di>th min Bulu>gh al-Mara>m (Mu'assasah Fu'a>d Bi‘aynu>, t.t.), j.II, 45-63.

35
C. Sumber Hukum Islam Ketiga: Al-Ijma>‘

Kata ijma>‘ secara etimologis memiliki dua arti. Pertama, upaya atau tekad
yang konsisten dalam suatu hal. Ini seperti perkataan ( ), yang
73
berarti "fulan berupaya sungguh-sungguh dalam suatu urusan". Pengertian ini juga
diambil dari firman Alla>h Ta‘a>la>:

‚Oleh karenanya bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu".


(QS Yu>nus [10]: 71)
Kedua, berarti kesepakatan suatu kelompok dalam suatu perkara. Dengan demikian
perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini ialah bahwa arti pertama
berlaku untuk satu orang, sedangkan arti kedua untuk lebih dari satu orang.74
Adapun pengertian ijma>‘ dalam terminologi para ahli us}u>l al-fiqh ialah:
75

‚Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi s}allalla>hu ‘alayhi
wa sallam dalam suatu hukum shar‘i>.‛

Argumentasi Ijma>‘ Dijadikan Sumber Hukum Islam


Ada banyak argumentasi dari Al-Qur'a>n,76 al-Sunnah maupun pendapat
para ulama tentang alasan bahwa ijma>‘ merupakan sumber hukum pokok yang
ketiga dari sumber-sumber hukum Islam. Diantara argumentasi tersebut ialah:

"Dan siapa saja yang membangkang kepada Rasulullah SAW (padahal) telah jelas
petunjuk itu baginya, dan dia mengikuti bukan jalannya orang-orang beriman". (QS
al-Nisa>' [4]: 115)

"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang adil
dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muh}ammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian". (QS al-Baqarah [2]: 143)

73
Wahbah al-Zuh}ayli>, Ush}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, j.I, 489.
74
Wahbah al-Zuh}ayli>, Ush}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, j.I, 490.
75
Definisi di atas dikemukakan oleh para ulama dalam berbagai redaksi yang
hampir sama. Misalnya Imam al-Shawkani menyebutkan bahwa ijma>‘ dibentuk untuk
berbagai masalah, seperti problem rasionalitas, kebiasaan masyarakat, dan bahasa. Pada sisi
lain, al-Ghaza>li> berpendapat bahwa ijma>‘ diimplementasikan pada masalah-masalah
keagamaan (al-umu>r al-di>ni>yah). Namun demikian secara operasional, istilah ijma>‘
digunakan hanya untuk problem-problem syariat saja. Lihat: Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l,
j.I, 193-194. Al-Ghaza>li>>, Al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l, j.I, 173.
76
Sulayma>n al-Ba>ji>, Al-Isha>rah fi> Us}u>l al-Fiqh, 21-22.

36
"Kalian adalah umat terbaik yang ditampilkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma‘ru>f, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Alla>h". (QS
A<li ‘Imra>n [3]: 110)

Argumentasi dari Sunnah Nabi SAW, antara lain ialah:


77

"Umatku tidak akan bersepakat dalam hal yang sesat".


Ada pula hadis yang serupa dengan riwayat di atas, namun terdapat
tambahan redaksi yang sangat penting:
78

"…, oleh karenanya apabila kalian menjumpai perselisihan, maka berpeganglah


kepada pendapat mayoritas ulama".
Sebagai tambahan, juga terdapat ucapan seorang sahabat terkemuka, yaitu
‘Abdulla>h Ibn Mas‘u>d dalam masalah ini:
79

"Apabila salah seorang kalian ditanya tentang suatu masalah, maka carilah
(dalilnya) di dalam Kitab Alla>h, dan jika engkau tidak mendapatinya maka (carilah)
dalam Sunnah Rasu>lulla>h, dan jika engkau tidak mendapati pula (dalilya di dalam
Sunnah, maka tiliklah di dalam apa-apa yang kaum muslimin telah berijma>‘
tentangnya. (Apabila engkau pun tidak memperolehnya), mak hendaklah engkau
berijtihad".
Dalam pada itu jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma>‘ merupakan hujjah
yang bersifat qat}‘i> (pasti). Artinya, ijma’ merupakan dasar penetapan hukum yang
bersifat mengikat dan wajib dipatuhi dan diamalkan. Itulah sebabnya, ijma’
menjadi sumber dan dalil hukum yang ketiga setelah Al-Qur’a>n dan al-Sunnah.
Selain definisi yang telah dikemukakan di atas, terdapat perbedaan
pendapat ulama dalam hal menentukan ijma>‘ yang dapat diterima sebagai sumber
hukum atau dalil. Kategori ijma>‘ dari sisi subyek atau mereka yang ber-ijma>‘
ialah:80

77
Hadis ini disebutkan dalam berbagai redaksi yang berbeda, namun memiliki
kemiripan dan mengandung makna yang sama. Diriwayatkan oleh Ah}mad, al-T{abra>ni>, Ibn
Abi> ‘A<s}im, al-H{a>kim, Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, al-La>lika>'i>, Ibn Mandah, Ibn Abi>
Khaythamah dalam Ta>ri>kh-nya.
78
Riwayat Ibn Ma>jah, al-D{iya>' al-Muqaddasi>, al-Bus}ayri>, al-T{abra>ni>, Muh}ammad
Ibn Ya‘qu>b al-As}am, ‘Abd Ibn H{umayd, Ibn Abi> ‘A<s}im, Ibn Bat}t}ah al-‘Akbari>, al-La>lika>'i,
Abu> Bishr al-Dawla>bi>, Ibn ‘Asa>kir, Yu>suf al-Mizzi>, al-Khat}i>b al-Baghda>di>.
79
Ucapan sahabat ini dapat diterima secara prinsipil, karena menyangkut masalah
pokok, yang apabila ada sahabat lain yang tidak sependapat, maka tentu sudah tercatat di
dalam banyak referensi sejarah maupun us}u>l al-fiqh. Lihat: ‘Abd al-Rah}ma>n al-Sakha>wi>, Al-
Maqa>s}id al-H{asanah fi> Baya>n Kathi>r min al-Ah}a>di>th al-Mushtahirah ‘ala> al-Alsinah (Da>r al-
Kutub al-‘Arabi>, t.t.), 717.
80
Wahbah al-Zuh}ayli>, Ush}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, j.I, 505-517.

37
1. Ijma>‘ Ahl al-Madi>nah (Kesepakatan Masyarakat Madinah)
Kategori ini dikemukakan oleh Imam Ma>lik Ibn Anas. Menurutnya yang menjadi
hujjah ialah ijma>‘ para sahabat atau tabi’in yang berada di Madinah, dan setelah
masa dua generasi tersebut, maka tidak lagi disebut ijma>‘ yang menjadi hujjah. 81

2. Ijma>‘ Ahl al-H{aramayn (Kesepakatan Masyarakat Makkah dan Madinah)


Pendapat sebagian ulama ini berasal dari keyakinan bahwa ijma>‘ terjadi hanya pada
masa sahabat, sementara domisili sebagian besar sahabat terkonsentrasi di Makkah
dan Madinah. Oleh karena itu kesepakatan yang lahir dari kedua wilayah tersebut
tentunya merupakan hujjah yang dapat menjadi sandaran.

3. Ijma>‘Ahl al-Mis}rayn (Kesepakatan Masyarakat Dua Kota ‚Bas}rah dan Ku>fah‛)


Dalam hal ini para ulama mengemukakan alasan bahwa Bas}rah dan Ku>fah
merupakan sentra tempat tinggal banyak sahabat, sedangkan ijma>‘ hanya dapat
terjadi khusus pada era sahabat. Namun alasan tersebut terbantahkan oleh realitas
bahwa banyak para sahabat juga bermukim di wilayah-wilayah lainnya, seperti di
Mesir, Yaman, dan Syam.82

4. Ijma>‘ al-Shaykhayn / Ijma>‘ al-Khali>fatayn (Kesepakatan Dua Khalifah Abu> Bakr


dan ‘Umar Ibn al-Khat}t}a>b)
Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama, berdasarkan hadis Nabi SAW :
83

‚Turutilah dua orang setelah (wafat)-ku, yaitu Abu> Bakr dan ‘Umar‛.

5. Ijma>‘ al-Khulafa>' al-Arba‘ah / al-Khulafa>' al-Ra>shidi>n (Kesepakatan Khalifah


yang Empat)
Ini merupakan pendapat ulama H{anafi>yah, yaitu al-Qa>d}i> Abu> H{a>zim, dan Ah}mad
Ibn H{anbal dalam salah satu riwayatnya. Pendapat mereka disandarkan kepada
sabda Nabi SAW yang sangat terkenal:

84

‚Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Alla>h, menyimak dan patuh
(kepada pimpinan) walaupun (pemimpin itu) seorang budak berkulit hitam.
Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang berumur panjang, niscaya akan

81
Sulayma>n al-Ba>ji>, Al-Isha>rah fi> Us}u>l al-Fiqh, 28-29.
82
Abu> al-Qa>sim al-Kalbi> al-Gharna>t}i> >, Taqri>b al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l, 184.
83
Riwayat al-Tirmidhi>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, al-H{a>kim, al-Bayhaqi>, Ibn H{ibba>n, al-
H{umaydi>, al-Bazza>r, Ibn Abi> Shaybah, al-T{abra>ni>, al-H{asan Ibn ‘Ali> al-Jawhari>, Ibn
Mardawayh, Muh}ammad Ibn ‘I<sa> al-Ba‘labaki>, Ibn Mandah, Ibn Abi> ‘A<s}im, al-A<jiri>, al-
T{ah}a>wi>, Ya‘qu>b Ibn Sufya>n, al-Khat}i>b al-Baghda>di>, Ibn ‘Asa>kir..
84
Riwayat al-Tirmidhi>, Abu> Da>wud, Ibn Ma>jah, Ah}mad, al-Da>rimi>, Ibn H{ibba>n, al-
H{a>kim, Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, al-Bazza>r, al-Bayhaqi>, al-T{abra>ni>, Ibn Jama>‘ah, Tama>m
Ibn Muh}ammad al-Ra>zi>, Ibn ‘Asa>kir, ‘Abd al-Mu'min Ibn Khalaf al-Dimya>t}i, Abu> al-Qa>sim
Ibn Bashra>n, Muh}ammad Ibn Nas}r al-Marwazi>, al-Baghawi>.

38
mengalami perselisihan yang hebat, maka kalian wajib berpegang kepada sunnahku
dan sunnah al-Khulafa>’ al-Ra>shidi>n yang (mereka itu senantiasa) mengikuti
petunjuk(ku). Gigitlah ia dengan gerahammu (berpegang teguhlah padanya).
Waspadailah hal-hal yang diada-adakan, sesungguhnya semua yang diada-adakan
adalah bid‘ah, dan sungguh setiap bid‘ah adalah kesesatan‛.

6. Ijma>‘ al-‘Itrah (Kesepakatan Ahl al-Bayt/Keluarga Nabi SAW)


Pendapat ini dipegang oleh kalangan Shi>‘ah al-Ima>mi>yah dan Zaydi>yah. Mereka
berprinsip bahwa kesepakatan keluarga Nabi SAW (‘Ali>, Fa>t}imah, H{asan dan
H{usayn) merupakan hujjah. Menurut mereka, ahl al-bayt telah dibersihkan dari
dosa, sehingga menjadi ma‘s}u>m.
Prinsip mereka ini tertolak, karena banyak riwayat yang sahih menunjukkan bahwa
ahl al-bayt tidak terbatas kepada empat orang saja, melainkan termasuk pula
keluarga Ja‘far, ‘Àqi>l, ‘Abba>s, dan istri-istri Nabi SAW. Demikian pula, surat al-
Ah}za>b ayat 33 menunjukkan Alla>h membersihkan mereka dari tuduhan bohong dan
perbuatan buruk lainnya, sama sekali tidak mengandung arti ma‘s}u>m dan
kepemimpinan. Selain itu, riwayat-riwayat tentang ‘itrah menunjukkan kemuliaan
mereka, dan bukan perintah untuk menjadikan mereka sebagai referensi pokok
dalam beragama. 85

7. Ijma>‘ Para Imam Mazhab


Pendapat ini berdasarkan realitas keluasan ilmu para imam mazhab, kekuatan dalil-
dalil yang mereka gunakan, serta relatif dapat dikatakan bahwa seluruh umat Islam
ahl al-sunnah wa al-jama>‘ah mengambil pedoman melalui para imam mazhab
tersebut.

8. Ijma>‘ Para Sahabat


Ijma>‘ yang dimaksud ialah sahabat secara umum, yang tinggal di berbagai tempat.
Prinsip ini antara lain dipegang oleh Da>wud Ibn ‘Ali> al-Z{a>hiri>, Ibn H{azm, dan Ibn
H{ibba>n. Pendapat ini didasarkan kepada banyaknya pujian kepada para sahabat
secara kolektif (jama>‘ah), seperti yang tercantum dalam Al-Qur'a>n surat al-Fath}
ayat 29, surat al-Tawbah ayat 100, dan surat al-H{asyr ayat 8.
Para sahabat tetap manusia yang tidak ma‘s}u>m, sehingga tidak mustahil jika
mereka melakukan kesalahan. Namun mustahil mereka ijma>‘ (bersepakat) atas
suatu kekeliruan/kesesatan. Berbagai dalil dari Al-Qur'a>n dan Hadis Nabi SAW
menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran para sahabat secara
kolektif. Dalil-dalil yang memuji para sahabat bersifat qat}‘i> sehingga kita bisa
menentukan bahwa ijma>‘ para sahabat dapat digunakan sebagai dalil shara‘.

Adakah Ijma>‘ Setelah Masa Para Sahabat?


Ijma>‘ para sahabat mudah untuk diketahui, dan karenanya diakui oleh
seluruh ulama pada setiap masa. Adapun ijma>‘ generasi setelahnya, biasanya sulit

85
Abu> al-Fida>' Ibn Kathi>r, Tafsi>r Al-Qur'a>n al-‘Az}i>m (Bayru>t: Da>r al-Kita>b al-
‘Arabi>, 1423H-2002M), j.V, 168-175.

39
terjadi dan sulit untuk mengetahuinya. Oleh sebab itu, para ulama sangat berhati-
hati dalam menukil ijma>‘. Ibn Taymiyah berpandangan bahwa, ijma>‘ secara umum
adalah perkara yang disepakati oleh kaum muslimin dari kalangan fuqaha>', kaum
sufi, ahli hadis, ahli kalam, dan yang lainnya, walaupun diingkari oleh sebagian ahli
bid‘ah dari kalangan Mu‘tazilah dan Shi>‘ah. Selanjutnya, para ulama berbeda
pendapat tentang ijma>‘ yang terjadi setelah para sahabat. Juga berbeda pendapat
tentang sejumlah masalah yang masuk dalam pembahasannya, seperti ijma>‘ ta>bi‘i>n
terhadap salah satu pendapat sahabat. Juga ijma>‘ yang terjadi sebelum berakhirnya
era para ahli ijma>‘ tersebut, kemudian sebagian dari mereka menyelisihinya.86
Demikian pula permasalaan ijma>’ suku>ti>, dan sebagainya.87
Adapun pendapat yang kuat dari jumhur ‘ulama ialah ketetapan adanya
ijma>‘ setelah zaman para sahabat, dan tidak disyaratkan berlalunya zaman dari
mereka yang bersepakat tersebut.88
Selanjutnya, apabila ditinjau dari segi eksistensinya, ijma’ dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu :89
1. Ijma>‘ S{ari>h} (Nut}qi>)
yaitu adanya kesepakatan pendapat para ulama, yang dinyatakan dalam secara
lisan atau perbuatan mengenai hukum dari suatu masalah tertentu. Dengan
demikian masing-masing dari mereka menyatakan pendapat dengan cara
memfatwakannya ataupun mengaplikasikannya. Ijma>‘ jenis ini disepakati para
ulama sebagai hujjah. Jumhur ulama menyebutnya pula sebagai ijma>‘ h}aqi>qi>.
2. Ijma>‘ Suku>ti>
Yaitu adanya sebagian ulama yang menyatakan dengan tegas suatu pendapat
hukum dan mengaplikasikannya,90 sementara sebagian ulama lainnya bersikap
diam dan tidak menyatakan menerima atau menolak pendapat tersebut. Mazhab
Sha>fi‘i>yah berpendapat bahwa ijma>‘ suku>ti> bukanlah ijma>‘ dan tidak dapat
menjadi hujjah. Akan tetapi mayoritas ulama H{anafi>yah dan Imam Ah}mad Ibn
H{anbal berpendapat bahwa ijma>‘ suku>ti> merupakan ijma>‘ dan menjadi hujjah.
Ijma‘ sukuti disebut pula sebagai ijma>‘ i‘tiba>ri>, dan untuk menerimanya sebagai
hujjah, H{anafi>yah dan Ma>liki>yah mengemukakan lima syarat sebagai berikut :
a. Diamnya para ulama tidak ditandai dengan isyarat setuju atau menolaknya.
b. Pendapat yang berkaitan dengan masalah yang menjadi objek ijma>‘ tersebar
sedemikian rupa, sehingga diketahui oleh semua ulama.
c. Terdapat waktu yang cukup bagi ulama yang diam itu untuk melakukan
kajian dan pembahasan masalah tersebut.
d. Masalah yang menjadi objek ijma>‘ ialah masalah yang bersifat ijtiha>di>yah.
e. Tidak terdapat halangan atau tekanan dan ancaman bagi mereka yang diam
untuk menyatakan pendapat mereka secara bebas.

86
Ibn Taymi>yah, Al-Muswaddah fi> Us}u>l al-Fiqh, j.II, 615-618.
87
Al-Ghaza>li>>, Al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l, j.I, 189-190.
88
Ibn Taymi>yah, Al-Muswaddah fi> Us}u>l al-Fiqh, j.II, 620. Sulayma>n al-Ba>ji>, Al-
Isha>rah fi> Us}u>l al-Fiqh, 44.
89
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 48.
90
Abu> al-Qa>sim al-Kalbi> al-Gharna>t}i> >, Taqri>b al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l, 184.

40
Adapun apabila ditinjau dari segi ketegasan hukum yang dihasilkannya,
maka ijma>‘ diklasifikasikan menjadi 2 macam, yaitu :91
1. Ijma>‘ Qat}‘i> al-Dala>lah, yaitu jadi tidak ada peluang untuk menetapkan hukum
suatu permasalahan berbeda dengan hukum hasil ijma>‘, sehingga tidak ada jalan
untuk berijtihad lagi terhadap peristiwa yang telah ditetapkan oleh Ijma>‘.
2. Ijma>‘ Z{a{ nni> al-Dala>lah, yaitu ijma>‘ suku>ti>, yang dipersepsikan sebagai
kesepakatan sebagian ulama dan bukan seluruh ulama, sehingga masih
memungkinkan untuk menjadi obyek ijtihad bagi mujtahid lainnya.

D. Sumber Hukum Islam Keempat: Al-Qiya>s

Secara etimologis, kata qiya>s berarti mengukur ( ), persamaan ( ),


dan mengetahui dengan anggapan ( ), seperti kalimat ‚Aku
mengukur tanah dengan satuan meter‛. Qiya>s mengharuskan adanya dua perkara,
yang salah satunya disandarkan kepada yang lain secara sama.92
Qiya>s menurut terminologi us}u>l al-fiqh ialah menyertakan suatu perkara
terhadap perkara yang lainnya dalam hukum syariat karena terdapat kesamaan
‘illat diantara keduanya.93 Yang dimaksud adalah adanya kesamaan antara al-
maqi>s (yang dibandingkan) dengan al-maqi>s ‘alayh (pembanding atau pengukur)
dalam satu perkara, melalui ‘illat (sifat yang menyamakan antara keduanya).94
Ada beberapa definisi tentang qiya>s dari para ulama us}u>l al-fiqh,95 yang
terkadang berbeda redaksi namun maksudnya tetap sama. Diantaranya ialah:
96

‚Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya oleh nas}s} dengan sesuatu
yang disebutkan hukumnya oleh nas}s}, disebabkan kesatuan ‘illat hukum antara
keduanya‛.

Dasar Hukum Qiya>s


Hampir semua ulama fikih sepakat bahwa qiya>s merupakan salah satu dalil
atau sumber hukum Islam, walaupun mereka berbeda pendapat dalam sejauh mana
bisa menggunakan qiya>s dan klasifikasi qiya>s apa saja yang boleh digunakan dalam

‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 48-49.


91
92
‘I<sa> Mannu>n al-Sha>mi> al-Azhari>, Nibra>s al-‘Uqu>l fi> Tah}qi>q al-Qiya>s ‘inda
‘Ulama>' al-Us}u>l (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘IImi>yah), 10-11.
93
Bisa pula berarti analogi, yaitu menerapkan hukum yang terkandung dalam Al-
Qur’a>n dan al-Sunnah kepada permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya. Lihat:
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l l-Fiqh al-Isla>mi>, j.I, 604.
94
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 49.
95
‘Abd al-Rah}ma>n al-Bana>ni>, H{ashi>yah al-‘Alla>mah al-Bana>ni> ‘ala> Jam‘ al-
Jawa>mi‘, j.II, 309-311. Ibn Taymi>yah, Al-Muswaddah fi> Us}u>l al-Fiqh, j.II, 720-722. Sayf al-
Di>n al-A<midi>, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, t.t.), j.III, 166.
‘Ali> Ibn ‘Abd al-Ka>fi> dan Ta>j al-Di>n al-Subki>, Al-Ibha>j fi> Sharh al-Minha>j (Bayru>t: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmi>yah, 1404H-1984M), j.III, 3.
96
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l l-Fiqh al-Isla>mi>, j.I, 603.

41
istinba>t} hukum. Diantara ulama yang tidak membolehkan penggunaan qiya>s
sebagai hujjah ialah salah satu cabang mazhab Z{a>hiri> dan Shi>‘ah.97
Adapun argumentasi bahwa qiya>s merupakan hujjah, antara lain ialah:

1. Al-Qur’a>n

‚Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Alla>h dan Rasu>l-Nya, dan uli> al-
amr diantara kalian, kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Alla>h dan Rasu>l, jika kalian benar-benar beriman kepada
Alla>h dan hari kiamat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS al-Nisa>’ [4]: 59)
Ayat di atas memerintahkan kaum muslimin, jika saling berselisih pendapat,
agar menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada Al-Qur’a>n dan al-
H{adi>th, dengan cara menghubungkan atau membandingkannya dengan yang
terdapat dalam Al-Qur’a>n dan al-H{adi>th.

‚… maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang”orang yang
mempunyai pandangan‛. (QS al-Hashr [59]: 2)
Pada akhir ayat di atas, Allah memerintahkan umat Islam untuk mengambil
pelajaran (i‘tiba>r) dari suatu peristiwa. Menurut jumhur ulama, secara impisit hal
tersebut menunjukkan qiya>s, sebagai salah satu dari pengertian i‘tiba>r.

2. Hadis Nabi SAW


Hadis Nabi SAW yang sangat terkenal, tatkala Beliau akan melantik
Mu‘adh Ibn Jabal sebagai gubernur Yaman, dimana Mu‘adh akan berijtihad apabila
tidak ditemukan dalil dari Al-Qur'a>n dan Hadis. Salah satu diantara metode ijtihad
ialah dengan menggunakan qiya>s.98

:"
99
"
Pada suatu hari ‘Umar Ibn al-Khat}t}a>b mendatangi Rasu>lulla>h SAW seraya berkata :
‚Hari ini saya telah melakukan kesalahan besar, saya telah mencium istri saya,
sedangkan saya sedang berpuasa‛. Lalu Rasu>lulla>h berkata kepada ‘Umar:
‚Bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur”kumur dalam keadaan berpuasa,
apakah puasamu batal?". ‘Umar menjawab: ‚Tidak‛. Lalu Beliau berkata: "Kalau
begitu kenapa engkau sampai menyesal?‛.

97
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 51. Al-Subki>, Al-Ibha>j fi> Sharh al-
Minha>j, j.III, 17. Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l l-Fiqh al-Isla>mi>, j.I, 609.
98
Al-Subki>, Al-Ibha>j fi> Sharh al-Minha>j, j.III, 11.
99
Riwayat al-Nasa>'i>, Ah}mad, al-Bayhaqi>, al-Sha>fi‘i>, al-H{a>kim, al-T{ah}a>wi>, al-D{iya>'
al-Muqaddasi>, Abu> al-Faraj Ibn al-Jawzi>.

42
3. Perbuatan Sahabat
Para sahabat Nabi SAW seringkali menggunakan qiya>s dalam menetapkan
hukum atas suatu perkara yang tidak ada nas}s padanya. Seperti alasan para sahabat
tatkala mengangkat Abu> Bakr sebagai khalifah, yaitu karena beliau dipandang lebih
utama dibandingkan semua sahabat lainnya.100

Rukun Qiya>s101
1. Al-As}l (asal, pokok); yaitu suatu perkara atau peristiwa yang telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nas}s}. Al-as}l disebut juga dengan maqi>s ‘alayh (yang
menjadi tolok ukur), mushabbah bih (yang diserupakan), atau mah}mu>l ‘alayh
tempat membandingkan).
2. Al-Far‘ (cabang, obyek qiya>s); yaitu obyek akan ditentukan hukumnya, yang
tidak ada nas}s} atau ijma>‘ yang tegas dalam menentukan hukumnya. Dalam hal
qiya>s, maka harus ada persamaan ‘illat antara as}l dan far‘.
3. Al-H{ukm; yaitu hukum shara‘ berupa nas}s} atau ijma>‘ yang berlaku pada as}l,
akan diberlakukan pula kepada far‘. Syarat hukum pada asal (as}l) antara lain:102
a. Harus merupakan hukum shara‘ berupa dalil dari Al-Qur'a>n, Sunnah atau
ijma>‘ sahabat.
b. Dalil yang menunjukkan hukum asal tidak boleh mencakup cabang.
c. Hukum asal harus mempunyai ‘illat tertentu yang jelas, tidak samar
d. Hukum asal harus terlebih dahulu ada dibandingkan hukum cabang, tidak
boleh lebih akhir keberadaannya.
e. Berupa hukum yang rasional (ma‘qu>l al-ma‘na>), yaitu suatu hukum yang
dapat dipahami alasan penetapannya, atau setidak-tidaknya mengandung
isyarat akan sebab-sebab itu. Sebaliknya hukum yang tidak rasional, tidak
mampu dipahami akal, seperti sebab hukum jumlah raka‘at salat dan
hitungan h}udu>d, maka tidak berlaku hukum qiya>s.
4. Al-‘Illat (sebab hukum); yaitu sesuatu yang karena keberadaannya, maka
hukum syariat menjadi ada. Definisi yang dikemukakan para ulama ialah:
103

Suatu sifat yang nyata yang kokoh yang dijadikan pergantungan (alasan) suatu
hukum yang ada korelasi antaranya dengan hukum tersebut.

‘Illat menduduki posisi yang sangat penting dalam qiya>s. Oleh karena itu
berikut ini diuraikan secara ringkas faktor-faktor penting dari ‘illat. Yang pertama
ialah untuk mengetahui ‘illat terbagi dalam beberapa macam cara:104

100
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 53. Al-Subki>, Al-Ibha>j fi> Sharh al-
Minha>j, j.III, 13.
101
Al-A<midi>, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m j.III, 173.
102
Al-A<midi>, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m j.III, 173-178.
103
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 56, 60.
104
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 68-69. Abu> al-Qa>sim al-Kalbi> al-
Gharna>t}i> >, Taqri>b al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l, 187-188.

43
1. Melalui nas}s} Al-Qur'a>n maupun al-Sunnah. Adakalanya ‘illat yang terkandung
di dalam nas}s} tersebut bersifat pasti dan jelas,. Adakalanya pula nas}s} itu cukup
jelas namun mengandung kemungkinan pengertian yang berbeda.
2. Melalui ijma>‘.105
3. Melalui al-i>ma>' wa al-tanbi>h ( ), yaitu penyertaan sifat dengan
hukum, yang disebutkan secara literal.106
Klasifikasi ‘illat jika ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (sha>ri‘)
tentang sifat sesuai atau tidak dengan hukum, maka dapat dibagi menjadi:107
1. Muna>sib Mu'aththir; yaitu persesuaian yang dinyatakan dengan sempurna oleh
shara‘, atau dapat dikatakan pula bahwa pencipta hukum (Sha>ri‘) telah
menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu.
2. Muna>sib Mula>'im; yaitu persesuaian yang dinyatakan oleh shara‘ pada salah
satu jalan saja. Persesuaian itu tidak diungkapkan shara‘ sebagai ‘illat hukum
pada masalah yang sedang dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai ‘illat hukum
dan disebutkan nas}s} dalam masalah lain yang sejenis.
3. Muna>sib Mursal; yaitu muna>sib yang tidak dinyatakan oleh shara‘, berupa
sesuatu yang nampak oleh ulama bahwa menetapkan hukum pada dasarnya
mendatangkan kemaslahatan, namun tidak ada dalil shara‘ yang membolehkan
atau melarangnya. Ini seperti khali>fah ‘Uthman Ibn ‘Affa>n membukukan
mus}h}af Al-Qur’a>n, tidak ada dalil yang membolehkan atau melarangnya. Beliau
melihat kemaslahatannya bagi seluruh kaum muslimin, yaitu untuk
menghindarkan mereka dari kemungkinan terjadinya perselisihan redaksi
amaupun cara membaca Al-Qur’a>n.
4. Muna>sib Mulgha>; yaitu muna>sib yang tidak diungkapkan oleh shara‘
sedikitpun, namun ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan pada
dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Oleh karena itu syara’ tidak
menyusun hukum sesuai dengan sifat atau ‘illat tersebut, bahkan syara’
memberi petunjuk atas pembatalan sifat tersebut.

Masa>lik al-‘illat
Masalikul ‘illat, ialah cara atau metode untuk mencari sifat atau ‘illat dari
suatu kasus atau masalah yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.108
Diantara cara tersebut ialah:109
1. Terdapat nas}s} yang menunjukkan ‘illat-nya,
2. Terdapat ijma>‘ yang menunjukkan ‘illat-nya,
3. Melalui kajian yang teliti, yang meliputi cara-cara:
a. Muna>sabah

105
‘I<sa> al-Sha>mi> al-Azhari>, Nibra>s al-‘Uqu>l fi> Tah}qi>q al-Qiya>s ‘inda ‘Ulama>' al-
Us}u>l, 281-292.
106
Al-Subki>, Al-Ibha>j fi> Sharh al-Minha>j, j.III, 45. ‘I<sa> al-Sha>mi> al-Azhari>, Nibra>s
al-‘Uqu>l fi> Tah}qi>q al-Qiya>s ‘inda ‘Ulama>' al-Us}u>l, 249-280.
107
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 65-68. Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l l-
Fiqh al-Isla>mi>, j.I, 680-690.
108
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l l-Fiqh al-Isla>mi>, j.I, 661.
109
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 68-71.

44
b. Al-Sabr wa al-Taqsi>m
c. Tanqi>h} al-Mana>t}
d. Tah}qi>q al-Mana>t}

1. Nas}s} yang menunjukkan ‘illat-nya


Dalam hal ini nas}s} yang menjelaskan bahwa suatu sifat menerangkan ‘illat
hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. ‘Illat ini disebut pula ‘illat mans}u>s}
‘alayh. Melakukan qiya>s berdasarkan ‘illat yang eksplisit di dalam nas}s} pada
hakikatnya adalah menetapkan hukum atas dasar nas}s}. Petunjuk nas}s} tersebut ialah
secara sharahah (jelas), dan i>ma>’ atau isha>rah (dengan isyarat). Dalalah al-sarahah
terbagi manjadi yang qat‘i dan yang zanni, sedangkan dalalah al-ima' .

2. Ijma>‘ yang menunjukkan ‘illat-nya


Yaitu adanya suatu ‘illat diektahui dan ditetapkan dengan ijma’. Realitas ini
telah disepakati oleh para ulama.

3. Dengan Kajian yang Teliti


Ada bermacam cara penelitian itu dilakukan, yaitu:
a. Muna>sabah,110 yaitu persesuaian antara suatu kasus, kondisi atau sifat dengan
perintah atau larangan. Persesuaian tersebut harus dapat diterima akal, karena
itu ada hubungannya dengan mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau
kemudharatan bagi manusia. Alla>h Ta‘a>la> menciptakan syariat Islam, demi
untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.
b. Al-Sabr wa al-Taqsi>m.111 Al-sabr berarti meneliti berbagai kemungkinan yang
ada, sedangkan al- taqsi>m ialah memilih atau memisah-misahkan. Dengan
demikian al-sabr wa al-taqsi>m ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-
sifat pada suatu peristiwa, lalu memilah atau memilih diantara sifat-sifat
tersebut yang paling tepat sebagai ‘illat hukum. Cara ini dilakukan apabila
terdapat nas}s} tentang suatu peristiwa, tetapi tidak ada nas}s} atau ijma>‘ yang
menjelaskan ‘illatnya.
c. Tanqi>h} al-mana>t},112 yaitu mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada far‘ dan
sifat-sifat yang ada pada as}l (pokok), lalu sifat-sifat ynag sama dijadikan
sebagai ‘illat, sedang sifat yang tidak sama, diinggalkan.
d. Tah}qi>q al-mana>t},113 yaitu menetapkan ‘illat. Para ulama sepakat menetapkan
‘illat pada as}l, baik berdasarkan nas}s} atau tidak, kemudian ‘illat itu disesuaikan
dengan ‘illat pada far‘.

110
Al-A<midi>, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, j.III, 237. Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l l-
Fiqh al-Isla>mi>, j.I, 676-678.
111
‘Abd al-Rah}ma>n al-Bana>ni>, H{ashi>yah al-‘Alla>mah al-Bana>ni> ‘ala> Jam‘ al-
Jawa>mi‘, j.II, 416-420. Abu> al-Ma‘a>li> al-Juwayni>, Al-Burha>n fi> Us}u>l al-Fiqh (Bayru>t: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1418H-1997M), j.II, 35-37.
112
‘Abd al-Rah}ma>n al-Bana>ni>, H{ashi>yah al-‘Alla>mah al-Bana>ni> ‘ala> Jam‘ al-
Jawa>mi‘, j.II, 451-453. Ibn Taymi>yah, Al-Muswaddah fi> Us}u>l al-Fiqh, j.II, 737.
113
Abu> al-Qa>sim al-Kalbi> al-Gharna>t}i> >, Taqri>b al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l, 188.

45
Klasifikasi Qiya>s114
Para ulama us}u>l al-fiqh mengklasifikasikan qiya>s ke dalam beberapa macam
berdasarkan aspek sudut pandang terhadapnya, yaitu sebagai berikut:
1. Apabila dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu>‘ dibandingkan
dengan yang terdapat pada as}l, maka qiya>s dibagi kepada tiga bentuk, yaitu:
a. Qiya>s al-Awlawi> ( ); hukum pada furu>‘ lebih kuat dari hukum as}l,
karena ‘illat yang terdapat pada furu>’ lebih kuat dari yang ada pada as}l.
b. Qiya>s al-Musa>wi> ( ); hukum pada furu>‘ sama kuatnya dengan hukum
yang ada pada as}l, karena kesetaraan kualitas ‘illat pada keduanya.
c. Qiya>s al-Adna> ( ); ‘illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan
dengan ‘illat yang ada pada as}l.
2. Dilihat dari segi kejelasan ‘illat, qiya>s dibagi menjadi:
a. Qiya>s al-Ja>li> ( ); ‘illatnya ditetapkan oleh nas}s} bersamaan dengan
hukum al-as}l, atau nas}s} tidak menetapkan ‘illatnya namun dipastikan bahwa
tidak ada pengaruh perbedaan antara as}l dengan furu>’. Qiya>s al-Ja>li> ini
mencakup Qiya>s al-Awlawi> dan Qiya>s al-Musa>wi>.
b. Qiya>s al-Kha>fi> ( ); ‘illatnya tidak disebutkan dalam nas}s}.
3. Dilihat dari keserasian ‘illat dengan hukum, qiya>s terbagi menjadi:
a. Qiya>s al-mu’aththir ( ); sebagai penghubung antara as}l dengan furu>‘
dan ditetapkan melalui nas}s} s}ari>h} atau ijma>‘, atau qiya>s yang berpengaruh pada
hukum itu sendiri.
b. Qiya>s al-Mula>’im ( ); ‘illat hukum asalnya mempunyai hubungan
yang serasi. Misalnya, mengqiya>skan pembunuhan dengan benda berat dengan
benda tajam.
4. Dilihat dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat, qiya>s diklasifikasikan menjadi:115
a. Qiya>s al-Ma’na ( ); tidak dijelaskan ‘illatnya, tetapi antara as}l dengan
furu>‘ tidak dapat dibedakan, karena furu>‘ seakan-akan as}l.
b. Qiya>s al-‘illat ( ); ‘illatnya dan ‘illat itu sendiri merupakan motivasi
bagi hukum as}l.
c. Qiya>s al-Dalalah ( ); ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum,
namun ‘illat itu sebagai keharusan yang memberi petunjuk adanya ‘illat.
5. Dilihat dari segi metode dalam menemukan ‘illat, qiya>s dapat dibagi menjadi:
a. Qiya>s al-Ikha>lah ( ); ‘illatnya ditetapkan melalui muna>sabah dan
ikha>lah.
b. Qiya>s al-Shibh ( ); ‘illatnya ditetapkan melalui metode shibh.116
c. Qiya>s al-Sabr ( ); ‘illatnya ditetapkan melalui metode al-sabr wa al-
taqsi>m.
d. Qiya>s al-T{ard ( ); ‘illatnya ditetapkan melalui metode t}ard.

114
Al-A<midi>, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, j.IV, 269- 271.
115
Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n (Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1397H-
1977M), j. I, 134-148.
116
Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n, j. I, 148-150.

46
E. Sumber Hukum Islam Kelima: Al-Istis}h}a>b

Istis}h}a>b secara etimologis berarti menjalin hubungan tanpa keterputusan.


Secara terminologis dari beberapa definisi yang berbeda dari para ahli us}u>l al-fiqh,
dapat disimpulkan bahwa istis}h}a>b adalah penetapan hukum berdasarkan dalil di
masa lalu atau tetap berpegang kepada hukum yang telah ditetapkan sebelumnya
selama tidak ada dalil yang mengubahnya.117 Ini disebut juga istis}h}a>b al-h}a>l karena
menjadikan hukum yang ditetapkan di masa lalu berlaku hingga sekarang.118
Sementara itu Ibn H{azm berpendapat bahwa istis}h}a>b al-h}a>l hanya satu
macam, yaitu Istis}h}a>b H{ukm al-Nas}s} al-Tha>bit fi> al-Kita>b aw al-Sunnah
(memberlakukan kelanjutan hukum sebelumnya hingga masa sekarang, dengan
syarat hukum tersebut ditetapkan oleh Al-Qur’a>n atau al-Sunnah), jadi
tanpa istis}h}a>b yang ditetapkan oleh ijma>‘ dan qiya>s.119

Perdebatan Ulama tentang Klasifikasi Istis}h}a>b 120


Para ulama berselisih pendapat mengenai pembagian istis}h}a>b, diantaranya
ialah seperti berikut ini:

1. Istis}h}a>b al-Nas}s}121
Artinya, memberlakukan kelanjutan hukum yang pernah ditetapkan masa
lalu hingga masa sekarang, dengan syarat hukum tersebut ditetapkan oleh Al-
Qur’a>n dan al-Sunnah. Secara implementatif, ia terbagi menjadi dua, yaitu:122
a. Memberlakukan keumuman hukum (‘a>m) yang dipaparkan oleh nas}s} dan
berlangsung hingga saat ini. Disyaratkan pula selama tidak ada dalil lain yang
mengkhususkan (takhshîish) hukum tersebut.
b. Memberlakukan hukum yang dipaparkan oleh nas}s} dan berlangsung hingga saat
ini, dan disyaratkan selama tidak ada dalil lain yang menghapus atau mengubah
(naskh) hukum tersebut. Demikian pula, memberlakukan hukum yang
ditetapkan oleh dalil mutlak selama tidak ada dalil yang lain yang
mengkaitkannnya (muqayyad).
Istis}h}a>b ini ditetapkan oleh Ibn H{azm dan disepakati para ulama sebagai
dalil hukum. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa istis}h}a>b jenis ini diterima
oleh jumhur ulama secara mutlak.

117
Abu> al-Qa>sim al-Kalbi> al-Gharna>t}i> >, Taqri>b al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l, 191.
Wahbah al-Zuh}ayli, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, j.II, 859.
118
Al-A<midi>, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, j.IV, 367. Abu> al-Ma‘a>li> al-Juwayni>, Al-
Burha>n fi> Us}u>l al-Fiqh, j.II, 171. Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 174.
119
Ibn H{azm, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1424H-2004M), j.II, 3.
120
Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 176-177. Wahbah al-Zuh}ayli, Us}u>l al-Fiqh
al-Isla>mi>, j.II, 860-865.
121
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, j.II, 866.
122
Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 176-177.

47
2. Istis}h}a>b Ma Dalla al-‘Aql aw al-Shar‘ ‘ala> Thubu>tih wa Dawa>mih
Artinya, hukum yang telah ditetapkan sebelumnya oleh syariat dan akal,
adalah berlaku hingga saat ini, karena tidak ditemukan dalil yang mengubahnya.
Contoh: kepemilikan harta melalui akad jual beli atau hak waris akan tetap
diberlakukan pada masa selanjutnya sampai ada dalil yang meniadakannya.
Dari istis}h}a>b jenis ini ditetapkan dua kaidah fikih, yaitu:
123

‚Hukum asal ditetapkan keberlangsungannya seperti sebelumnya‛.


124

‚Hal yang telah ditetapkan dengan keyakinan tidak dapat dihapuskan dengan
keraguan, kecuali dengan keyakinan yang semisalnya‛.
Selanjutnya para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
a. Al-Shawka>ni> mengatakan: ‛Istis}h}a>b semacam ini telah disepakati untuk
diamalkan hingga ada dalil yang mengubahnya‛. Ini sesuai dengan
pendapat Ibn al-Qayyim.125
b. Ada ulama yang berpendapat bahwa jenis istis}h}a>b ini tidak bisa
menjadi hujjah (dasar pengambilan hukum) secara mutlak.126
c. Menurut ulama H{anafi>yah, ia menjadi h}ujjah ketika memberlakukan
keberlangsungan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya, dan bukan
menetapkan sesuatu yang belum disyariatkan. Contoh: orang yang hilang
dihukumkan hidup atas dasar istis}h}a>b, agar hartanya dan istrinya tetap
diberlakukan hukum sebagai miliknya, hingga ada dalil yang menyatakan
bahwa dia telah wafat. Pada sisi lain, dia dihukumi telah wafat, sehingga
tidak menjadi ahli waris karena hak tersebut tidak dia miliki sebelum
hilang. Dengan demikian, menurut H{anafi>yah dia tidak diwarisi dan tidak
mewarisi.127
d. Imam Ma>lik tidak menyetujui sejumlah permasalahan yang timbul dari
istis}h}a>b jenis ini, karena adanya dua hukum asal yang saling
bertentangan.128

123
Ah}mad Ibn Muh}ammad al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah (Dimashq: Da>r
al-Qalam, 1414H-1993M), 87.
124
Al-Suyu>t}i> mengomentari kaidah ini dengan mengatakan:‛Jumlah permasalahan
fikih yang memakai kaidah ini mencapai tiga perempat bahkan lebih". Kaidah ini dimuat
dengan sedikit perbedaan redaksi pada kitab al-Suyu>t}i>. Lihat: Ah}mad al-Zarqa>, Sharh} al-
Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 79. Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir (Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t.), 37.
125
Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n, j. I, 340.
126
Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 175.
127
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, j.II, 863, 869.
128
Wahbah al-Zuh}ayli> menyebutkan tiga pendapat; Istis}h}a>b menjadi hujah secara
mutlak, tidak menjadi hujah secara mutlak, dan menjadi h}ujjah dalam pembelaan dan
penafian tapi tidak menjadi hujah dalam penetapan. Lihat: Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh
al-Isla>mi>, j.II, 863.

48
3. Istis}h}a>b al-Bara>’ah al-As}li>ya>h (al-‘Adam al-As}li>)129
Yaitu peniadaan hukum diasumsikan seperti sebelumnya berdasarkan dalil
akal atau ketiadaan hukum takli>f, sampai ada nas}s} yang menetapkannya. Contoh:
jika seseorang menuduh orang lain telah berhutang padanya, maka si pendakwa
wajib menunjukkan bukti atas dakwaannya. Jika dia tidak bisa melakukannya,
maka otomatis tertuduh dibebaskan dari tuduhan tersebut, sebab hukum asalnya
tertuduh dianggap tidak mempunyai hutang hingga si pendakwa menetapkan
tuduhannya dengan bukti konkrit.
Adapun kaidah fikih yang ditetapkan dari Istis}h}a>b jenis ini ialah:
130

‚Hukum itu secara asalnya terlepas dari tanggung jawab atau takli>f‛.
Jumhur ulama sepakat bahwa istis}h}a>b al-bara>’ah al-as}li>yah menjadi hujjah,
sehingga ada sebagian ulama yang menyatakannya diterima secara ijma>‘. Namun
menurut H{anafi>yah, ia menjadi hujjah dalam masalah yang sebelumnya telah
dinafikan, dan bukan sebaliknya.131

4. Istis}h}a>b al-H{ukm al-‘Aql ‘inda al-Mu‘tazilah


Yaitu bahwa segala sesuatu yang tidak ada dalil shar‘i> atasnya, maka akal
yang akan menghukumi baik buruk sebuah perbuatan. Istis}h}a>b jenis ini hanya
sebatas pendapat Mu’tazilah saja. Al-Shawka>ni> mengatakan bahwa ahl al-sunnah
sepakat tidak menjadikan istis}h}a>b ini sebagai hujjah dalam pengambillan hukum,
karena akal tidak punya peran dalam menetapkan hukum shar‘i>.132

5. Istis}h}a>b al-H{ukm al-Tha>bit bi al-Ijma>‘ fi> Mah}al al-Nuza>‘ 133


Yaitu pemberlakuan hukum yang diperselisihkan karena berubah atau
hilangnya salah satu sifat yang telah disepakati sebelumnya oleh ijma>‘ fuqaha>'.
Contohnya, menurut mazhab Z{a>hiri>yah bahwa hukum jual beli umm al-walad sama
seperti hamba sahaya lainnya, karena ijma>‘ membolehkan hukum jual beli hamba
sahaya sebelum dia menjadi umm al-walad.
Dalam pada itu, para ulama us}u>l al-fiqh berselisih pendapat apakah istis}h}a>b
jenis ini bisa dijadikan h}ujjah ataukah tidak, sebagai berikut:134
a. Imam Sha>fi‘i>, al-Muza>ni>, al-S{aira>fi>, Ibn Sam‘a>ni>, al-A<midi>, Ibn H{a>jib, Abu>
Thawr, dan Da>wud al-Z{a>hiri> berpendapat bahwa ini bisa dijadikan h}ujjah.
Bahkan al-Shawka>ni> mengatakan bahwa inilah pendapat yang ra>jih} karena
berarti tetap memberlakukan hukum seperti sebelumnya, dan tidak wajib
berpindah kepada hukum selainnya kecuali ada dalil yang mengubahnya.
Mereka beralasan bahwa perubahan waktu, tempat, dan subyek tidak

129
Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n, j. I, 339.
130
Uraian kaidah tersebut dan kaitan serta implemenasi prinsip istis}h}a>b, dapat
dibaca pada: Ah}mad al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 105-115.
131
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 83. Al-Subki>, Al-Ibha>j fi> Sharh al-
Minha>j, j.III, 168-169.
132
Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 176.
133
Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 177.
134
Al-A<midi>, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, j.IV, 374-375.

49
mempengaruhi pemberlakuan hukum yang telah disepakati sebelumnya atas
dasar istis}h}a>b.
b. Menurut jumhur ulama H{anafi>yah, Ma>liki>yah, dan Sha>fi‘i>yah bahwa ini tidak
bisa dijadikan h}ujjah, karena kesepakatan atas sebuah sifat tidak menunjukkan
disepakatinya pada sifat yang lain. Pendapat tersebut disepakati oleh Qa>d}i> al-
Ba>qilla>ni>, Abu> Ish}aq al-Shira>zi>, Ibn S{abba>gh, dan al-Ghaza>li>. Contoh: ijma>‘
menyatakan sahnya shalat seseorang dengan tayammum selama tidak
mendapati air, namun jika didapatinya ketika shalat maka saat itu juga hukum
ijma>‘ tidak berlaku lagi. Shalat tersebut dinyatakan batal karena salah satu
sifat yang telah disepakati tersebut telah berubah.135

6. Istis}h}a>b al-Maqlu>b136
Yaitu memberlakukan hukum pada masa lalu atas dasar penetapannya pada
saat ini karena tidak ada dalil yang meniadakannya. Istis}h}ab> jenis ini dipegang oleh
sejumlah ulama. Contoh implementasinya ialah apabila seseorang membeli barang
kepada penjual, kemudian datang orang ketiga mengambil barang tersebut dengan
alasan bahwa dialah pemiliknya, maka Sha>fi‘i>yah sepakat bahwa si pembeli harus
mengembalikan barang tersebut kepada orang ketiga. Ini berarti menetapkan
hukum adanya orang ketiga yang telah memiliki barang tersebut di masa
sebelumnya, atas dasar alasan (bukti) kepemilikan yang dia kemukakan pada saat
ini. Sementara itu, si penjual pun wajib mengembalikan hak (uang) si pembeli.137
Para fuqaha>' Ma>liki>yah juga berpegang kepada istis}h}a>b ini dalam sejumlah
masalah, antara lain adalah wakaf. Yaitu apabila setelah diteliti, masih tidak
ditemukan sumber wakaf dan syarat-syarat pewakaf pada masa lalu, maka
berdasarkan istis}h}a>b al-maqlu>b, masalah ini dihukumkan seperti masa sekarang,
dimana wakaf telah diatur sedemikian rupa sehingga ada dalil yang menentangnya.

7. Istis}h}a>b H{ukm al-Iba>h}ah al-As}li>yah li al-Ashya>’ al-lati> Lam Yarid Dali>l bi


Tah}ri>miha>138
Yaitu memberlakukan hukum asal dengan asumsi bahwa segala sesuatu
adalah halal, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Contohnya ialah
seperti hukum asal keharaman khamar, jika ia berubah menjadi cuka menjadi
diperbolehkan, karena hilangnya sifat yang diharamkan, yaitu memabukkan.

Signifikansi Istis}h}a>b dalam Keputusan Hukum Fikih


Istis}h}a>b merupakan pemberlakuan hukum saat ini seperti yang diberlakukan
pada masa sebelumnya berdasarkan probabilitas zhan. Oleh karenanya tidak bisa
menjadi dalil yang kuat sebagai konklusi hukum, bahkan jika bertentangan dengan

135
‘Abdulla>h Ibn Quda>mah, Rawd}ah al-Na>z}ir wa Jannah al-Mana>z}ir (Al-Riya>d}:
Maktabah al-Rushd, 1425H-2004M), j.II, 509-510.
136
‘Abd al-Rah}ma>n al-Bana>ni>, H{ashi>yah al-‘Alla>mah al-Bana>ni> ‘ala> Jam‘ al-
Jawa>mi‘, j.II, 541-542.
137
Al-Subki>, Al-Ibha>j fi> Sharh al-Minha>j, j.III, 170.
138
Ibn Taymi>yah, Al-Muswaddah fi> Us}u>l al-Fiqh, j.II, 886.

50
dalil lain, maka dalil lain tersebut harus lebih didahulukan. Al-Khawa>rizmi>
mengatakan bahwa istis}h}a>b adalah metode terakhir dalam berfatwa. Jika seorang
mufti ditanya tentang hukum suatu peristiwa atau kondisi yang tidak tertuang di
dalam Al-Qur’a>n, al-Sunnah, Ijma>‘, maupun Qiya>s, maka kejadian tersebut
dihukumi berdasarkan istis}h}a>b al-h{a>l, baik bersifat afirmasi ataupun negasi. Apabila
ada keraguan dihapuskan atau tidaknya hukum sebelumnya, maka hukum tersebut
tetap diberlakukan pada masa sekarang seperti hukum asal. Sebaliknya, jika ragu-
ragu ditetapkan atau tidaknya hukum sebelumnya, maka ia dinegasikan seperti
hukum asal.139
Metode istis}h}a>b dibangun atas dasar dalil shar‘i> dan akal. Dikatakan
dibangun melalui dalil shar‘i> karena sesuai dengan pernyataan-pernyataan dalam
syariat Islam yang menguatkan eksistensi istis}h}a>b itu sendiri. Juga dikatakan
dibangun melalui dalil akal karena logika dan intuisi tidak bisa memungkiri
perannya dalam memberlakukan hukum asal.
Dengan demikian istis}h}a>b secara substantif bukanlah dalil dan sumber
hukum, karena ia hanya suatu metode pemberlakuan hukum di zaman sekarang
seperti zaman sebelumnya hingga ada dalil yang mengubahnya. Adapun secara
operasional, ia dianggap sebagai dalil hukum karena atas dasar dalil istis}h}a>b itulah
hukum sebelumnya bisa diberlakukan di zaman sekarang.140

F. Sumber Hukum Islam Keenam: Qawl al-S{ah}a>bi>

Secara terminologis, para ulama ahli hadis (muh}addithi>n) mendefinisikan


sahabat (tunggal: s}ah}a>bi>; jamak: s}ah}a>bah) ialah orang yang bertemu dengan Nabi
SAW, beriman kepadanya dan mati dalam keadaan Islam.141 Adapun menurut para
ahli us}u>l al-di>n bahwa sahabat adalah setiap orang yang beriman kepada Nabi
SAW, bergaul dengannya dalam waktu lama dan mati dalam keadaan Islam.
Sementara itu menurut al-Ba>qilla>ni> dan lainnya, seperti Ibn Fawrak dan Ibn
Sam‘a>ni> bahwa sahabat adalah orang yang lama bergaul dengan Nabi SAW dan
banyak berguru kepada Beliau dengan cara mengikutinya dan mengambil
pengajarannya. 142
Dari definisi di atas dapat kita lihat bahwa para muh}addithi>n danus}u>li>yi>n
berbeda pendapat dalam lama-tidaknya pertemuan antara seseorang yang dianggap
sahabat dengan Nabi Saw. Hal ini karena para ahli hadis memandang para sahabat
sebagai periwayat bagi hadis-hadis Nabi SAW, sehingga tidak menuntut harus
sering bertemu dan bergaul dengan Beliau. Adapun para ulama us}u>li>yi>n
memandang bahwa para sahabat adalah generasi yang akan menyampaikan hukum-
hukum dalam Islam, sehingga menuntut adanya pergaulan yang lama dengan
Beliau, untuk bisa menghasilkan ilmu dan pemahaman yang mendalam.143

139
Ibn Taymi>yah, Al-Muswaddah fi> Us}u>l al-Fiqh, j.II, 885-886.
140
Al-A<midi>, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, j.IV, 367.
141
Al-Qa>simi>, Qawa>‘id al-Tah}di>th, 200.
142
Al-Ashqar, Al-Wa>d}ih} fi> Us}u>l al-Fiqh (Bayru>t: Da>r al-Nafa>'is, 2001), 131.
143
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l l-Fiqh al-Isla>mi>, j.II, 850.

51
Oleh karena itu fatwa mengenai hukum dan ibadah tidak diriwayatkan
kecuali dari seratus orang sahabat lebih, baik dari laki-laki atau perempuan.
Diantara mereka yang banyak mengeluarkan fatwa ialah ‘Umar Ibn al-Khat}t}a>b, ‘Ali>
Ibn Abi> T{a>lib, ‘Abdulla>h Ibn Mas‘u>d, Zayd Ibn Tha>bit, ‘Abdulla>h Ibn ‘Abb>as,
‘Abdulla>h Ibn ‘Umar dan ‘A'ishah Umm al-Mu'mini>n.
Generasi para sahabat Nabi SAW adalah generasi yang paling patut
dijadikan teladan, baik dari segi keteguhan iman, aplikasi ajaran Islam dalam
keseharian, hingga karakter para sahabat yang selalu berupaya memperbaiki diri
sendiri dan orang lain. Oleh karena itu para ulama us}u>l al-fiqh menjadikan ucapan
mereka sebagai salah satu sumber hukum Islam. Diantara dalil-dalil Al-Qur'a>n yang
menunjukkan keutamaan mereka ialah surat A<li ‘Imra>n ayat 110 dan surat al-
Tawbah ayat 100.
Adapun diantara dalil-dalil al-Sunnah yang menunjukkan keutamaan
sahabat ialah:

."
:"
144

Dari Ibn Mas‘u>d yang berkata:"Sesungguhnya Alla>h melihat kepada kalbu hamba-
hamba-Nya, maka Dia mendapati kalbu Muh}ammad AW adalah sebaik-baik kalbu
dari hamba-hamba-Nya, maka Dia pun memillihnya untuk mengutusnya sebagai
Rasul dengan Risalah-Nya. Kemudian Dia pun melihat kepada kalbu hamba-
hamba-Nya selain kalbu Muh}ammad SA, maka Dia mendapati bahwa kalbu para
sahabatnya adalah sebaik-baik kalbu, maka Dia menjadikan mereka sebagai
pembantu-pembantu Nabi-Nya dan mereka pun berperang membela agamanya". Al-
Suddi> meriwayatkan dari Abi> Ma>lik dari Ibn ‘Abba>s perihal firman Alla>h
"Katakanlah (wahai Muh}ammad, bahwa) segala puji milik Alla>h dan kesejahteraan
bagi hamba-hamba-Nya yang terpilih" (QS al-Naml [27]: 59), dia pun
berkata:"(yang dimaksud ayat tersebut ialah) para sahabat Nabi SAW". Penjelasan
itu diriwayatkan dari al-Suddi>, al-H{asan al-Bis}ri>, Ibn ‘Uyaynah, dan al-Thawri>.

145

"Alla>h Alla>h beserta para sahabatku, Alla>h Alla>h beserta para sahabatku. Janganlah
kalian jadikan mereka sasaran celaan sesudahku. Siapa saja yang mencintai mereka,
maka demi cintaku (pada mereka) akupun mencintai (orang yang mencintai
sahabatku). Siapa saja yang membenci mereka, maka demi kemarahanku, aku pun
membenci (orang yang membenci sahabatku). Siapa saja yang melukai sahabat-
sahabatku, maka sungguh dia telah melukai hatiku, dan orang yang melukaiku

144
Riwayat Ah}mad, al-Bayhaqi>, al-Bazza>r, al-Bus}ayri>, al-Haythami>, al-T{abra>ni>, al-
A<jiri>, Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, Ibn Abi> Shaybah.
145
Riwayat al-Bukha>ri> dalam al-Ta>rikh al-Awsat}, Ah}mad, al-T{irmidhi>, al-Ru>ya>ni>,
Abu> Bakr al-Khala>l, Ibn Abi> ‘A<s}im, al-A<jiri>, Ibn ‘A<sakir, al-Qa>d}i> ‘Iya>d}, Yu>suf al-Mizzi>.

52
berarti dia telah melukai Alla>h Taba>raka wa Ta‘a>la>. Siapa saja yang melukai Alla>h
maka Dia pun akan menyiksanya".
146

"Janganlah kalian mencerca para sahabatku. Demi Dia yang diriku berada di
tangan-Nya, apabila salah seorang kalian berinfak emas sebesr gunung uhud, maka
perbuatan itu tidak akan sampai separuh apalagi menyamai (tingginya derajat para
sahabatku)".

147
.
"Sebaik-baik manusia ialah pada masaku, kemudian mereka yang hidup
sesudahnya, kemudian mereka yang hidup sesudahnya. Setelah itu akan datang
generasi yang sumpah mereka dapat melanggar syahadat mereka".
148

"Muliakanlah para sahabatku, karena sesungguhnya mereka adalah sebaik-baik


generasi dari kalangan kalian (orang-orang mu'min), kemudian setelah itu akan
datang generasi peringkat berikutnya, kemudian setelah itu akan datang generasi
peringkat berikutnya".

":
"
149

Dari Anas yang berkata, bahwa para sahabat Rasu>lulla>h SAW berkata:"Wahai
Rasu>lulla>h, sesungguhnya kami dicerca". Kemudian Rasu>lulla>h SAW
menjawab:"Siapa saja yang mencerca sahabat-sahabatku, maka baginya laknat
Alla>h, para malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima al-s}arf dan
al-‘adl". (Anas) berkata bahwa makna "al-‘adl" ialah ibadah-ibadah fard}u, dan "al-
s}arf" ialah ibadah-ibadah sunnah.
Diantara dalil-dalil yang memerintahkan umat Islam untuk mengikuti jalan
para sahabat Nabi SAW ialah:

146
Riwayat al-Bukha>ri, Muslim, al-Tirmidhi>, Abu> Da>wud, al-Nasa>'i, Ibn Ma>jah,
Ah}mad, Ibn H{ibba>n, al-Bayhaqi>, Abu> Da>wud al-T{aya>lisi>, Abu> al-Ju‘d, Abu> Ya‘la> al-
Maws}ili>, ‘Abd Ibn H{umayd, Ibn Abi> Shaybah, al-T{abra>ni>, Ibn ‘Asa>kir, al-Khat}i>b al-
Baghda>di>, al-Baghawi>, Abu Nu‘aym al-As}bahani>.
147
Riwayat Ah}mad, Ibn H{ibba>n, al-Bazza>r, Ibn Abi> Shaybah, al-T{ah}a>wi>, Ibn Abi>
‘A<s}im, al-T{abra>ni>, Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, Ibn Abi> Shaybah.
148
Riwayat Ah}mad, al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ibn H{ibba>n, al-H{a>kim, al-D{iya>' al-
Muqaddasi>, Abu> Da>wud al-T{aya>lisi>, al-Sha>fi‘i>, al-Bazza>r, al-H{umaydi>, Abu> Ya‘la> al-
Mawsili>, al-Haythami>, al-Qada>‘i>, ‘Abd Ibn H{umayd, ‘Abdulla>h ibn al-Muba>rak, Ibn Abi>
Shaybah, al-Azdi>, al-T{abra>ni>, al-H{usayn Ibn Isma>‘i>l al-Mah}a>mili>, Ibn Bat}ah al-‘Akbari>, Ibn
Mandah, al-T{ah}a>wi>, Ibn ‘Asa>kir.
149
Riwayat Ah}mad, al-Mah}a>mili>, al-A<jiri>, al-Khat}i>b al-Baghda>di>, al-T{abra>ni>, Abu>
Bakr al-Khala>l.

53
150

"Kalian (wajib berpegang teguh kepada) sunnahku dan sunnah Khulafa' Rashidin
yang terpimpin sesudahku, (gigitlah prinsip) itu dengan seligi geraham kalian".

151

"Umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, dan umat Nasrani akan terpecah
kepada 72 golongan, sedangkan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan yang
semuanya di dalam neraka kecuali satu (golongan)". Dalam redaksi yang lain
disebutkan,"tepecah menjadi 73 jalan hidup (millah)". Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa para sahabat bertanya: "Wahai Rasu>lulla>h, siapakah golongan
yang selamat (al-firqah al-na>ji>yah) tersebut?" Beliau menjawab:"Siapa saja yang
menempuh jalan dengan mengikuti apa yang ada padaku hari ini dan (apa yang ada
pada) para sahabatku".

Perdebatan Para Ulama tentang Qawl al-S{ah}a>bi>152


Sementara itu para ulama membagi qawl al-s}ah}a>bi> ke dalam beberapa
kategori, diantaranya ialah:
1. Perkataan sahabat dalam hal-hal yang bukan termasuk objek ijtihad. Kategori
ini bisa termasuk dalam h}adi>th mawqu>f atau bahkan h}adi>th mursal, karena
kemungkinan besar sahabat tersebut mendengar dari Nabi SAW. Para ulama
sepakat bahwa kategori ini merupakan h}ujjah. Pendapat ini dikuatkan oleh
Imam al-Sarakhshi>. Contohnya ialah seperti perkataan ‘Ali> Ibn Abi> T{a>lib
bahwa nilai mahar yang terkecil ialah 10 dirham, dan perkataan Anas Ibn Ma>lik
bahwa masa haid paling sedikit tiga hari dan paling banyak sepuluh hari.
Akan tetapi contoh di atas ditolak oleh sejumlah ulama Sha>fi‘i>yah, karena pada
kenyataannya nilai mahar dan masa haid wanita berbeda-beda, dikembalikan
kepada ‘urf (kebiasaan) masing-masing.
2. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Kategori ini
menjadi h}ujjah, karena termasuk ijma>‘.
3. Perkataan seorang sahabat yang tersebar diantara mereka, dan tidak diketahui
ada sahabat lain yang menentangnya. Kategori ini menjadi h}ujjah dan
merupakan ijma>‘ suku>ti>, bagi ulama yang berpendapat bahwa ijma>‘ suku>ti> bisa
menjadi h}ujjah.

150
Riwayat al-Tirmidhi>, Abu> Da>wud, Ibn Ma>jah, al-Da>rimi>, Ah}mad, Ibn H{ibba>n,
al-H{a>kim, Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, al-Bazza>r, al-T{abra>ni>, Ibn Jama>‘ah, al-Harawi>, al-
Khat}i>b al-Baghda>di>, Ibn Abi> ‘A<s}im, al-Baghawi>, al-Qurt}ubi>, Ibn al-Jawzi>, al-La>lika>'i>, al-
Bayhaqi>, dan Ya‘qu>b Ibn Sufya>n.
151
Riwayat al-Tirmidhi>, al-H{a>kim, al-Sha>fi‘i>, al-Khat}i>b al-Baghda>di>, Ibn Abi>
‘A<s}im, Muh}ammad Ibn Nas}r al-Marwazi>, al-A<jiri>, Ibn Bat}ah al-‘Akbari>, Ibn al-Jawzi>, Ibn
‘Asa>kir.
152
` Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 187-189.

54
4. Perkataan atau fatwa seorang sahabat dalam permasalahan ijtiha>di>yah.
Kategori ini menjadi perselisihan para ulama mengenai validitasnya
sebagai h}ujjah dalam fikih.
5. Mazhab sahabat dalam suatu masalah yang termasuk objek ijtihad.

Dari sisi validitas qawl al-s}ah}a>bi> untuk menjadi salah satu dari mas}a>di>r al-
tashri>‘, terdapat perbedaan pendapat para ulama, diantaranya ialah:
Pertama. Menurut Imam Ma>lik dan Ah}mad dalam satu riwayatnya, al-
Sha>fi‘i> dalam pendapatnya terdahulu (al-qawl al-qadi>m), dan sebagian H{anafi>yah,
bahwa qawl al-s}ah}a>bi> dapat dijadikan hujjah secara mutlak, didahulukan daripada
qiya>s, dan dapat menjadi takhs}i>s} dari yang ‘umu>m.153 Selain dalil-dalil Al-Qur'a>n
dan al-Sunnah yang mereka pegang ialah:
1. Ijma>‘. Contohnya ialah ketika ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn ‘Awf menjadi ketua panitia
pemilihan khalifah setelah ‘Umar. Pertama kali ia tawarkan kepada ‘Ali> untuk
menjadi khalifah dengan syarat mengikuti sunah kedua khalifah sebelumnya,
namun ‘Ali> menolaknya. Kemudian ia tawarkan kepada ‘Uthma>n dengan syarat
yang sama, ‘Uthma>n pun menerimanya. Pada saat itu tidak ada seorang
sahabatpun yang mengingkari syarat yang diajukan ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn’Awf
itu, sehingga sampai pada derajat ijma>‘.
2. Dalil Akal.154
a. Perkataan sahabat memiliki probabilitas yang sangat tinggi berpangkal dari
sima>‘ dan tawqi>f dari Nabi SAW. Dapat diasumsikan bahwa para sahabat
tidak berfatwa berdasarkan pendapatnya semata kecuali darurat.
b. Meskipun perkataan sahabat bersumber dari akal (ijtihad), ijtihadnya lebih
kuat dibandingkan selain mereka. Ini karena para sahabat menyaksikan
langsung turunnya Al-Qur’a>n, dan memahami maksud Nabi SAW dalam
menyampaikan dan menjelaskan berbagai hukum individu maupun sosial.
c. Bahwa qawl al-s}ah}a>bi> bisa diasumsikan pula sebagai ijma>‘, karena apabila
terjadi perbedaan atau perselisihan pendapat dari kalangan sahabat lainnya,
maka akan mudah diketahui oleh para ulama.
Kedua. Imam al-Sha>fi‘i> dalam pendapatnya yang terkemudian (al-qawl al-
jadi>d), al-Ghaza>li>, mayoritas mutakallimi>n dari al-‘Asha>'irah, Abu> al-Khit}a>b, al-
Karkhi>, Mu‘tazilah dan selain mereka, menolak qawl al-s}ah}a>bi> sebagai h}ujjah.155
Adapun dalil-dalil yang mereka pegang antara lain ialah:
1. Al-Qur’a>n al-Kari>m:
a. ‛Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Alla>h (Al-Qur’a>n) dan Rasu>l-Nya (al-Sunnah),
jika memang kalian benar-benar beriman kepada Alla>h dan hari kemudian.
Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya‛. (QS al-Nisa>' [4]: 59)

153
Ibn Quda>mah, Rawd}ah al-Na>z}ir wa Jannah al-Mana>z}ir (Al-Riya>d}: Maktabah al-
Rushd, 1425H-2004M), j.II, 525.
154
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l l-Fiqh al-Isla>mi>, j.II, 856.
155
Ibn Quda>mah, Rawd}ah al-Na>z}ir wa Jannah al-Mana>z}ir, j.II, 525.

55
b. ‛Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang
yang mempunyai pandangan‛.(QS al-H{ashr [59]: 2)
Dalam ayat di atas, Alla>h Ta‘a>la> memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk
mengambil pelajaran, dan itu adalah ijtihad. Berbeda dengan taklid, ijtihad
upaya untuk mencari dalil dalam suatu problema, sedangkan taklid ialah
mengekor pendapat pihak lain tanpa dalil. Oleh karenanya mengambil qawl al-
s}ah}a>bi> termasuk dalam kategori taklid.
2. Fatwa sahabat ijtihad dalam suatu masalah. Kemungkinan salah dalam
ijtihadnya tetap ada, karena mereka bukanlah orang-orang yang ma‘s}u>m dari
kesalahan. Oleh karena itu tidak boleh mengikuti mazhab para sahabat tanpa
dalil nas}s} (secara taklid).156
3. Apabila qawl al-s}ah}a>bi> bisa diterima karena asumsi bahwa mereka lebih
mengetahui dan lebih utama dari yang lainnya, maka perkataan seseorang yang
lebih mengetahui terhadap suatu permasalahan selain dari para sahabat dapat
pula dijadikan h}ujjah.
4. Para sahabat telah bersepakat bahwa ijtihad yang mereka lakukan, boleh
disanggah jika tidak sesuai nas}s}. Ini sebagaimana Abu> Bakr dan ‘Umar Ibn al-
Khat}t}a>b tidak menyalahkan orang yang menolak ijtihad mereka.157
Ketiga. Apabila bertentangan dengan qiya>s, maka qawl al-s}ah}a>bi> bisa
menjadi h}ujjah. Dengan kata lain, qawl al-s}ah}a>bi> didahulukan daripada qiya>s jika
keduanya bertentangan. Adapun dalil mereka ialah bahwa tidak mungkin seorang
sahabat berkata atau berfatwa berlandaskan hawa nafsu atau berdusta atau
mengada-ada. Pasti qawl al-s}ah}a>bi> berlandaskan langsung kepada dalil nas}s} (h}ujjah
as}li>yah), meskipun mereka tidak secara tegas menunjukkan dalil tersebut. Adapun
qiya>s berlandaskan ‘illat yang diambil dari nas}s} sebagai al-as}l, sehingga qiya>s
disebut sebagai h}ujjah muttabi‘ah.158
Keempat. Pendapat Imam al-Sha>fi‘i> yang tidak menerima ataupun menolak
qawl al-s}ah}a>bi> secara mutlak. Beliau menjadikan qawl al-s}ah}a>bi> sebagai
h}ujjah apabila para sahabat bersepakat dalam suatu permasalahan yang tidak ada
dalil dalam Al-Qur’a>n atau al-Sunnah. Dalam hal ini qawl al-s}ah}a>bi> termasuk
dalam kategori ijma>‘. Selain itu apabila terjadi perbedaan pendapat diantara para
sahabat, maka diambil pendapat yang terdekat dengan Al-Qur’a>n, al-Sunnah, ijma>‘
atau qiya>s, atau pendapat yang didukung oleh dalil yang lain.159 Contohnya ialah al-
Sha>fi‘i> mengambil qawl al-s}ah}a>bi> dalam menentukan kapan terakhir talbiyah
dikumandangkan saat umrah. Adapun jika qawl al-s}ah}a>bi> tersebut munfarid (tidak
ada yang menyepakati juga tidak ada yang menyalahi), maka al-Sha>fi‘i>
mendahulukan qiya>s. Namun ini amat jarang terjadi, karena qawl al-s}ah}a>bi>
biasanya terkenal sebagai ijma>‘ atau ikhtila>f di kalangan sahabat. Pendapat al-
Sha>fi‘i> yang paling banyak dijumpai ialah yang menjadikan qawl al-s}ah}a>bi> sebagai

156
Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 187.
157
‘Abd al-Rah}ma>n al-Bana>ni>, H{ashi>yah al-‘Alla>mah al-Bana>ni> ‘ala> Jam‘ al-
Jawa>mi‘, j.II, 309-311. Ibn Taymi>yah, Al-Muswaddah fi> Us}u>l al-Fiqh, j.II,
158
Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 187.
159
Al-Subki>, Al-Ibha>j fi> Sharh al-Minha>j, j.III, 192.

56
penjelas dalam memahami Al-Qur’a>n dan al-Sunnah. Seperti penjelasan sahabat
tentang kewajiban zakat pada harta anak kecil dan orang gila, dan lain sebagainya.

Implikasi Perbedaan Pendapat Para Ulama Mengenai Qawl al-S{ah}a>bi>


Perbedaan pendapat para ulama di atas, membawa implikasi bagi
implementasinya dalam menghukumi suatu masalah yang tidak ada nas}s} s}ari>h}
tentangnya. Contohnya ialah seperti hukum potong tangan bagi seorang pembantu.
Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang pembantu yang mencuri harta tuannya,
tidak dipotong tangannya. Dalilnya ialah riwayat Ma>lik, bahwa ‘Umar Ibn al-
Khat}t}a>b tidak memotong tangan pembantu yang mencuri harta tuannya. Juga
pendapat Ibn Mas‘u>d yang membebaskan budak dari hukum potong tangan karena
mencuri harta tuannya.
Namun demikian Da>wud al-Z{a>hiri> berpendapat bahwa potong tangan tetap
berlaku secara mutlak, berdasarkan firman Alla>h,‛Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari
apa yang mereka kerjakan, dan sebagai siksaan dari Alla>h. Dan Alla>h Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana". (QS al-Ma>'idah [5]: 38).

G. Sumber Hukum Islam Ketujuh: Shar‘u Man Qablana>

Kata shar‘u man qablana> berasal dari kata shar‘u/shir‘ah yang berarti
syariat agama, sebagaimana dalam Al-Qur'a>n surat al-Ma>'idah ayat 48. Pengertian
terminologisnya ialah:
160

Tatanan yang dituju oleh Alla>h Ta‘a>la> ialah yang berkaitan dengan perbuatan
hamba-hamba-Nya, baik itu perintah, larangan, maupun kebolehan atas sesuatu.
Termasuk pula apa-apa yang menyertainya, baik itu adalah syarat, sebab, ataupun
penghalang. Sama saja apakah semua hal tersebut disebutkan secara eksplisit
maupun implisit.
Kata qablana> berarti sebelum Islam, sehingga shar‘u man qablana> berarti
syariat-syariat para Nabi terdahulu sebelum syariat Islam yang dibawa oleh Nabi
Muh}ammad SAW.161 Terdapat perbedaan pandangan ulama dalam memahami
shar‘u man qablana>, antara lain ialah sebagai takhs}i>s} (pembatas), na>sikh maupun
sebagai manhaj. Semua perbedaan tersebut terkait dengan validitas syariat umat
terdahulu, yaitu apakah ia masih berlaku atau sudah dibatalkan berdasarkan dalil
normatif Al-Qur’a>n.
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f berpendapat bahwa shar‘u man qablana> berarti
‚ ‛ (apa yang Allah syariatkan kepada umat-umat

160
‘Àbdulla>h Ibn ‘Umar al-Shanqi>ti>, Mawqi‘ Shar‘ Man Qablana> (Al-Madi>nah al-
Munawwarah: Da>r al-Bukha>ri>, 1414H-1994M), 58.
161
Al-Shanqi>ti>, Mawqi‘ Shar‘ Man Qablana>, 61.

57
terdahulu),162 sedangkan Abu> Zahrah membatasi bahwa syariat-syariat terdahulu
tersebut ialah syariat sama>wi>yah.
Pada dasarnya syariat Alla>h Ta‘a>la> bagi umat-umat dahulu memiliki asas
yang sama dengan syariat yang diturunkan kepada umat Nabi Muh}ammad SAW,
yaitu mengenai konsep keesaan Tuhan, adanya akhirat, perbuatan baik dan buruk,
dan sebagainya. Adapun detailnya disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat
masing-masing umat. Oleh karena itu, terdapat penghapusan dan perubahan
terhadap sebagian dari hukum umat-umat sebelum datangnya syariat Islam,
sedangkan sebagian lagi terus tetap berlaku.
Ulama us}u>l al-fiqh telah bersepakat bahwa secara umum syariat yang
diturunkan Alla>h sebelum Islam telah dibatalkan. Syariat terdahulu yang masih
tetap berlaku ialah sejauh yang dapat dibaca dalam Al-Qur’a>n atau dinukilkan dari
Nabi Muh}ammad SAW.
Mayoritas ulama H{anafi>yah, Ma>liki>yah, Sha>fi‘i>yah dan Mutakallimi>n
berpendapat bahwa syariat umat-umat terdahulu yang tidak dihapuskan (mansu>kh),
sehingga dapat kita gunakan atau amalkan hingga saat ini.

Kategorisasi Shar‘u Man Qablana>


Pertama. Hukum-hukum yang dijelaskan dalam Al-Qur’a>n maupun Hadis
Nabi SAW bahwa itu disyariatkan untuk umat terdahulu dan selanjutnya untuk
umat Islam. Contohnya ayat Al-Qur'a>n yang memerintahkan berpuasa:
             

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan bagi kalian berpuasa sebagaimana


diwajibkan bagi orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang
bertakwa". (QS al-Baqarah [2]: 183)

Juga dari Hadis Nabi SAW tentang kurban, sebagaimana telah dijelaskan bahwa
kurban yang disyariatkan bagi Nabi Ibrahim AS, juga disyariatkan untuk umat
Islam. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Muh}ammad SAW:
163

‚Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, Ibrahim‛.


Dalam hal ini pemberlakuan hukum tersebut bukan karena ‚shara‘ sebelum kita‛
yang harus berlaku untuk umat Islam, tetapi karena kewajiban tersebut ditetapkan
dalam Al-Qur’a>n maupun Hadis.
Kedua. Para ulama sepakat bahwa suatu bagian dari syariat terdahulu yang
dijelaskan dalam Al-Qur’a>n atau Hadits Nabi SAW yang telah dihapus (mansu>kh),
maka itu tidak berlaku lagi bagi umat Islam. Demikian pula tatkala dijelaskan
dalam nas}s} bahwa suatu bentuk syariat yang tidak ada atau tidak halal pada umat
terdahulu, kemudian menjadi ada dalam syariat Nabi Muh}ammad, maka itulah yang

162
‘Àbd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 93.
163
Hadis diringkas dari berbagai redaksi yang mirip. Diriwayatkan oleh Ibn Ma>jah,
al-Bayhaqi>, Ibn H{ibba>n, al-H{a>kim, ‘Abd Ibn H{umayd, al-T{abra>ni>. Hadis ini d}a‘i>f menurut
para ahli hadis.

58
berlaku. Ini sebagaimana dalam Al-Qur'a>n surat al-An‘a>m ayat 146, bahwa Alla>h
mengharamkan lemak dari binatang seperti sapi dan domba.
Sabda Nabi SAW berikutnya antara lain ialah:
164

‚Dihalalkan untukku harta rampasan yang tidak pernah dihalalkan untuk orang
sebelumku‛.
Ketiga. Hukum yang dijelaskan dalam Al-Qur’a>n atau Hadis Nabi SAW
bahwa itu berlaku bagi umat terdahulu, namun tidak jelas dinyatakan apakah itu
juga berlaku ataukah di-nasakh untuk kita. Contohnya seperti firman Alla>h Ta‘a>la>
yang artinya:
"Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain,
atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Juga barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka
sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka
bumi". (QS al-Ma'idah [5]: 32)
Merujuk kepada ayat-ayat di atas, jumhur ulama H{anafi>yah, sebagian ulama
Ma>liki>yah dan Shafi‘i>yah memandangnya sebagai syariat yang harus diikuti oleh
kaum muslimin, sepanjang tidak ada dalil yang membatalkannya. Ini karena tidak
ada dalil yang menghapuskan hukum Ila>hi> yang telah disyariatkan melalui para
Rasu>l-Nya. Atas alasan tersebut, menurut jumhur H{anafi>yah, orang Islam yang
membunuh orang dhimmi> atau laki-laki yang membunuh wanita, harus dihukum
qis}a>s}, berdasarkan hukum yang telah disyariatkan Alla>h Ta‘a>la> kepada Bani
Israil.165 Syariat yang berlaku bagi Bani Israil tersebut, tetap berlaku bagi ummat
Islam, manakala tidak terdapat dalil yang membatalkan atau mengkhususkannya.
Sementara itu menurut al-Bazdawi> dan sejumlah ulama lainnya, syariat terdahulu
yang tidak ditemukan dalil yang jelas untuk diamalkan oleh kaum muslimin, maka
itu tidak berlaku bagi mereka sampai ditemukannya dalil yang mewajibkannya.
Dari ketiga kategori di atas, jenis pertama sudah jelas kedudukannya, yaitu
tetap terus berlaku bagi umat Nabi Muh}ammad. Pada sisi lain, jenis kedua di atas
adalah yang disepakati ulama tidak menjadi hukum Islam. Adapun yang menjadi
bahan kajian ulama us}u>l al-fiqh ialah jenis ketiga di atas, dan inilah yang disebut
dengan ‚syariat sebelum kita‛.

Perdebatan Ulama tentang Validitas Shar‘u Man Qablana>


Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa jenis shar‘u man qablana>
yang menjadi kajian utama para ulama adalah hukum umat terdahulu yang

164
Riwayat al-Bukha>ri, Muslim, al-Nasa>'i>, Ah}mad, al-Da>rimi>, Ibn H{ibba>n, al-
Bayhaqi>, Abu> ‘Awa>nah, Abu> Nu‘aym, ‘Abd Ibn H{umayd, Ibn Abi> Shaybah, al-Baghawi>,
Abu> Zur‘ah al-‘Ira>qi>, Abu> al-Faraj Ibn al-Jawzi>, Ibn ‘Abd al-Barr, Ibn H{azm.
165
‘Àbd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 94.

59
disebutkan dalam Al-Qur’a>n atau Hadis, namun tidak ada penjelasan apakah hukum
tersebut telah di-naskh ataukah tidak. Tidak adanya kejelasan tersebut
menimbulkan pertanyaan di kalangan para ahli us}u>l al-fiqh, sehingga mereka
berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum kita ini menjadi dalil dalam
menetapkan hukum bagi umat Islam. Perselisihan pendapat mereka ini dapat
dirangkum sebagai berikut:166
1. Para ulama Asha>‘irah, Mu‘tazilah, Shi>‘ah, dan pendapat yang lebih kuat dari
kalangan Sha>fi‘i>yah, serta Ah}mad dalam salah satu riwayatnya, mereka
berpendapat bahwa hukum-hukum shara‘ umat terdahulu tidak berlaku lagi,
selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Islam. Alasannya adalah
bahwa syariat umat terdahulu itu berlaku secara khusus untuk umat ketika itu
dan tidak berlaku secara umum. Lain halnya dengan syariat yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW sebagai rasul terakhir yang berlaku secara umum dan
menghapus syariat sebelumnya. Pendapat ini dipilih oleh al-Ghaza>li>, al-A<midi>,
al-Ra>zi>, Ibn H{azm, serta banyak dari para ulama.
2. Jumhur ulama H{anafi>yah, Ma>liki>yah, dan sebagian Sha>fi‘i>yah, juga Ah}mad
dalam salah satu riwayatnya menyebutkan bahwa hukum-hukum yang tertera
dalam Al-Qur’a>n atau Sunnah, meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi
Muh}ammad, selama tidak ada selainnya atau tidak dibantah oleh Al-Qur'a>n
dan al-Sunnah, maka berlaku pula untuk umat Islam ini. Bersandar kepada hal-
hal tersebut, muncul kaidah:

‚Syariat untuk umat sebelum kita berlaku pula untuk syariat kita‛.
Sandaran pendapat ini ialah pada wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muh}ammad SAW, dan bukan pada kitab-kitab suci terdahulu.
3. Diriwayatkan bahwa Ibn al-Qushayri> dan Ibn Burha>n bersikap menahan diri
(tawaqquf) hingga jelas ada dalil yang sahih tentangnya. Sementara itu al-
A<midi> mengomentari bahwa pendapat mereka ini jauh dari kebenaran.

H. Sumber Hukum Islam Kedelapan: Al-Istih{sa>n

Menurut H{anafi>yah, setidaknya istih}sa>n memiliki dua makna. Pengertian


istih}sa>n yang pertama ialah:
167

‛Suatu dalil yang muncul (dipertimbangkan) oleh seorang mujtahid yang ia sulit
menjelaskannya.‛
Ulama yang berpendapat bahwa inqida>h} ialah keraguan dan angan-angan,
maka mereka menolak menggunakan istih}sa>n.168 Di antara mereka ialah al-Ghaza>li>,
al-Bayd}a>wi>,169 dan Ibn Quda>mah.170

166
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l l-Fiqh al-Isla>mi>, j.II, 843-844.
167
Sayf al-Di>n al-A<midi>, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, j.IV, 391.
168
‘Abd al-Rah}ma>n al-Bana>ni>, H{ashi>yah al-‘Alla>mah al-Bana>ni> ‘ala> Jam‘ al-
Jawa>mi‘, j.II, 545.
169
Al-Subki>, Al-Ibha>j fi> Sharh al-Minha>j, j.III, 188.

60
Selain itu ada pula ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu inqida>h}
berarti sesuatu yang telah jelas dan meyakinkan, maka tentu mereka menerima
istih}sa>n. Di antara mereka ialah al-A<midi>,171 Ibn al-H{a>jib dan al-Bana>ni>.172
Pengertian istih}sa>n yang kedua ialah:
173

Artinya : ‛(Istih}sa>n ialah) apa-apa yang dipandang baik oleh akal pikiran seorang
mujtahid.‛ 174
Sejumlah pakar sejarah fiqh (ta>ri>kh al-tashri>‘) menyatakan bahwa
menisbatkan definisi yang kedua ini kepada Imam Abu> H{ani>fah dan para
pengikutnya adalah suatu hal yang tidak benar.175
Bagi mazhab Ma>liki>yah, istih}sa>n lebih dikaitkan pada penggunaan dalil al-
Qur’an dan al-Sunnah, al-Qiya>s, ataupun Mas}lah}ah al-Mursalah.
1. Istih}sa>n menurut imam al-Ba>ji> dan Ibn al-‘Arabi>:
176

‛Beralihnya (mujtahid) kepada salah satu dalil yang lebih kuat.‛


2. Istih}sa>n menurut Ibn al-Anba>ri>:
--
177

‛Yang nyata dalam mazhab Ma>lik ialah bahwasanya istih{sa>n berarti mengamalkan
mas}lah}ah juz’i>yah ketika berhadapan dengan qiya>s kulli>, maka itulah
mendahulukan istidla>l mursal daripada qiya>s.‛

Macam-Macam Istih{sa<n Menurut Mazhab Ma>liki>


1. Al-istih}sa>n bi al-‘urf
Yaitu meninggalkan qiya>s z}a>hir dan mengambil ‘urf ketika terjadi pertentangan
antara qiya>s dan ‘urf. Al-Sha>t}ibi> memberikan contoh, yaitu seseorang yang
bersumpah tidak akan memasuki rumah (apa saja). Imam Ma>lik beristihsan bahwa
itu dikecualikan dengan masjid, karena secara ‘urf, masjid tidak dikatakan
rumah.178

2. Al-istih}sa>n bi al-mas}lah}ah
Yaitu pertentangan antara qiya>s za>hir dengan mas}lah}ah yang dibenarkan oleh nas}-
nas} shara‘ (mas}lah}ah mursalah). Contohnya ialah kebolehan menyingkap aurat

170
Ibn Quda>mah, Rawd}ah al-Na>z}ir wa Jannah al-Mana>z}ir, j.II, 536.
171
Al-A<midi>, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, j.IV, 392.
172
Al-Bana>ni>, H{ashi>yah al-‘Alla>mah al-Bana>ni>, j.II, 546.
173
Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, Al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l, j.I, 274.
174
Definisi ini juga dikutip dari kalangan H{ana>bilah. Lihat: Ibn Quda>mah, Rawd}ah
al-Na>z}ir, j.II, 532.
175
Usa>mah al-H{amwi>, Naz}ari>yah al-Istih}sa>n, 26.
176
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>‘ah, j.IV, 207-208.
177
Al-Sha>tibi>, Al-Muwa>faqa>t, j.IV, 205-206.
178
Al-Sha>t}ibi>, Al-I‘tis}a>m, j.II, 141.

61
untuk keperluan diagnosa dan terapi, serta keberlangsungan kehidupannya. Ini
disebut juga mas}lah}ah d}aru>ri>yah.179

3. Al-istih}sa>n bi al-ijma>‘
Substansinya adalah terjadinya ijma>‘ yang dihadapkan dengan hukum qiya>s z}a>hir
dalam suatu masalah yang sama.

4. Al-istih}sa>n bi qa>‘idah raf‘ al-h}araj wa al-mashaqqah


Yaitu meninggalkan penunjukan kaidah-kaidah qiya>s pada sejumlah masalah demi
menghilangkan kesempitaan dan menumbuhkan kelapangan bagi masyarakat.
Contohnya ialah menjama‘ s}ala>t maghrib dan ‘Isya karena hujan, musafir yang
menjama‘ dan qas}r salatnya, berbuka dari puasa ketika dalam perjalanan jauh.180

Ada persepsi bahwa mazhab Sha>fi‘i> menentang istih}sa>n,181 antara lain


karena ucapan yang dinisbatkan kepada al-Sha>fi‘i>:
182

‛Siapa yang beristihsan, maka sungguh dia telah membuat-buat syariat baru.‛
183

‛Istihsan adalah (suatu metode semata untuk mengambil) senangnya saja.‛


Al-Ghaza>li> menegaskan Sha>fi‘i>yah mengamalkan istih}sa>n, tetapi tidak
menyebut istih}sa>n, melainkan kembali kepada penamaan sejumlah dalil-dalil yang
lain.184 Imam al-Shayra>zi> mengatakan bahwa meninggalkan dalil yang lebih lemah
kepada yang lebih kuat adalah wajib hukumnya, serta meninggalkan qiya>s kepada
dalil yang lebih kuat adalah wajib pula.185
Imam al-A<midi> dalam akhir uraiannya tentang istih}sa>n menyatakan:
186

‚Dan tidak ada perselisihan pendapat mengenai keabsahan argumentasi


dengan istih}sa>n. Kalaupun pemberian istilah istih}sa>n itu digugat, maka perselisihan
itu kembali kepada penggunaan kata.‛
Sementara itu Imam Majd al-Di>n Ibn Taymi>yah dari kalangan H{ana>bilah
berkata:
187

179
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, j.IV, 207.
180
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, j.IV, 207.
181
Al-A<midi>, Al-Ih}ka>m, j.IV, 390.
182
Al-Ghaza>li>, Al-Mustas}fa>, j.I, 274.
183
Muh}ammad Ibn Idri>s al-Sha>fi‘i>, Al-Risa>lah (Bayru>t: Al-Maktabah al-‘Ilmi>yah,
t.t.), 507.
184
Al-Ghaza>li>, Al-Mustas}fa>, j.I, 282.
185
Usa>mah al-H{amwi>, Naz}ari>yah al-Istih}sa>n, 83.
186
Al-A<midi>, Al-Ih}ka<m fi> Us}u>l al-Ah}ka<m, j.IV, 393.

62
‛(Istih}sa>n) ialah meninggalkan qiya>s jali> dan selainnya, karena adanya nas}s} dari
h}adi>th a>h}a>d atau selainnya, ataupun meninggalkan qiya>s karena adanya ucapan
sahabat Nabi tentang hal tersebut yang tidak terdapat qiya>s dalam hal tersebut.‛

Pendapat Para Ulama Kontemporer


‘Abd al-Wahha>b Khalla>f mengatakan bahwa bisa jadi dalam suatu masalah
perlu dihukumi dengan keumuman nas}s} atau hukum yang bersifat global, namun
justru akan menghilangkan maslahat dan mengundang mafsadat. Ketika itulah
perlu berpindah dari suatu hukum kepada hukum yang lain, sebagai kekhususan dari
yang umum atau perkecualian dari yang global atau qiya>s khafi.
Abu> al-H{asan al-Karkhi> berpendapat bahwa istih}sa>n berarti beralihnya
mujtahid dari menghukumkan suatu persoalan dengan hukum yang serupa kepada
(hukum lain) karena terdapat argumentasi yang lebih kuat dibandingkan dengan
pendapat yang terdahulu.188 Ya‘qu>b al-Ba>h}usayn menambahkan bahwa hal itu
dilakukan, karena alasan untuk meringankan dan menghilangkan kesulitan atau
kesempitan. 189
Contoh penerapan metode istih}sa>n ialah pada hukuman bagi pencurian
berkelompok. Para ulama berselisih pendapat, apakah yang dihukum (potong
tangan) adalah semua pelakunya atau hanya orang yang berhasil membawa keluar
barang curiannya. Abu> H}ani>fah dan para pengikutnya,190 serta Ah}mad Ibn H}anbal
berpendapat bahwa yang dihukum ialah seluruh tim tersebut, karena keberhasilan
pencurian merupakan buah dari kerjasama mereka.191 Demikian pula jika barang
curian tersebut dimuat dalam satu kendaraan, maka seluruh pelakunya harus
dihukum potong tangan.192

Konklusi
Al-Sarakhshi> mengatakan: ‚Istih}sa>n bukanlah takhs}i>s} al-‘illat dalam suatu
masalah, namun upaya menjelaskan (sesuatu masalah yang sudah tetap) dalam
rangka mengikuti Al-Qur’a>n, Sunnah Nabi SAW, dan pendapat para ulama
terdahulu. Pandangan ini dipegang oleh hampir seluruh fuqaha>’.193 Mereka
mendasarkan pendapatnya kepada sabda Nabi SAW:

187
‘Abd al-Sala>m, ‘Abd al-H{ali>m, Ah}mad Ibn Taymi>yah, Al-Muswaddah fi> Us}u>l al-
Fiqh, j.II, 832.
188
Pendapatnya ini didasarkan kepada terminologi istih}sa>n dari para ulama periode
klasik. Lihat: Abu> Bakr al-Sarakhsi>, Al-Muh}arrar fi> Us}u>l al-Fiqh, j.II, 149. Ibn Taymi>yah,
Al-Muswaddah, j.II, 836. Muh}ammad Ibn Ah}mad,Sharh al-Kawkab al-Muni>r (Makkah al-
Mukarramah: Ja>mi‘ah Umm al-Qura>, 1408H-1987M), j.IV, 429-430.
189
Ya‘qu>b al-Ba>h}usayn, Qa>‘idah al-Mashaqqah Tajlib al-Taysi>r (Al-Riya>d}:
Maktabah al-Rushd), 318.
190
Jama>l al-Di>n Ibn Yu>suf al-Zayla‘i>, Nas}b al-Ra>yah Takhri>j al-Ah}a>di>th al-Hida>yah
(Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1422H-2002M), j.III, 551.
191
‘Abdulla>h Ibn Quda>mah, Al-Mughni> (Al-Qa>hirah: Da>r al-Hadi>th, 1425H-
2004M), j.XII, 346-347.
192
Al-H{amwi>, Naz}ari>yah al-Istih}sa>n, 169-170.
193
Al-A<midi>, Al-Ih}ka>m., j.IV, 391. Ibn Taymi>yah, Al-Muswaddah, j.II, 838.

63
‚Apa yang dipandang oleh (seluruh) kaum muslimin sebagai baik, maka (niscaya)
baik pula dalam pandangan Allah.‛194

I. Sumber Hukum Islam Kesembilan: Al-Mas}a>lih{ al-Mursalah

Najm al-Di>n al-T{u>fi> (w. 716 H./1316 M), berpendapat bahwa kemaslahatan
adalah sebab yang dapat mendorong kepada sesuatu yang baik dan bermanfaat.195
Diantara ulama kontemporer, ‘Abdulla>h al-Turki>, berpendapat bahwa
kemaslahatan adalah sifat yang keberadaan atau kondisinya ada dalam urutan
kerusakan yang ada pada mereka.196 Sementara itu al-Bu>t}i> mendefinisikannya
sebagai manfaat yang Sha>ri‘ kehendaki untuk hamba-hamba-Nya, seperti menjaga
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, dalam berbagai kondisi secara berurutan.197
Muh}ammad Shalabi> berpandangan bahwa kemaslahatan menunjukkan
adanya faidah mutlak dalam maslahat yang paling tidak disebabkan oleh dua hal: 198
1. Maja>zi> yaitu sebab yang dapat menghubungkan kepada suatu manfaat
2. H{aqi>qi> yaitu inti dari suatu musabbab yang berurutan pada perbuatan tertentu
seperti baik dan manfaat, ungkapan perbuatan dengan kesenangan, manfaat,
kebaikan, atau kebajikan.

Jenis-Jenis Mas}lah}ah
1. Al-Mas}a>lih} al-Mu‘tabarah
Al-Mas}a>lih} al-Mu‘tabarah ialah kemaslahatan yang didukung oleh shara‘,
yaitu melaksanakan sebagian dalil untuk menjaga kemaslahatan.199,200
Mas}lah}ah mu‘tabarah memiliki tiga peringkat, yaitu d}aru>ri>yah (primer),
h}a>ji>yah (sekunder), dan tah}si>ni>yah (tersier). Al-Sha>t}ibi> menjelaskan pengertian
mas}lah}ah primer adalah:
201

194
Riwayat Ah}mad, al-Bazza>r, al-T{aya>lisi>, al-T{abra>ni>, dan Abu> Nu‘aym.
195
H{usayn H{a>mid H{isa>n, Fiqh al-Mas}lah}ah wa Tat}bi>qa>tuh al-Mu‘a>s}irah (Jiddah:
Al-Ma‘had al-Isla>mi> li al-Buhu>th wa al-Tadri>b ” Al-Bank al-Isla>mi> li al-Tanmi>yah, 1414H-
1993M), 12. Muh}ammad Mus}t}afa> Shalabi>, Ta‘li>l al-Ah}ka>m (Bayru>t: Da>r al-Nahd}ah al-
‘Arabi>, 1401H-1981M), 278.
196
‘Abdulla>h al-Turki>, Us}u>l Mazhab al-Ima>m Ah}mad (Bayru>t: Mu’assasah al-
Risa>lah, 1410H-1990M), 459.
197
Sa‘i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i>, D{awa>bit} al-Mas}lah}ah fi Shari>‘ah al-Isla>mi>yah (Bayru>t:
Mu’assasah al-Risa>lah, 1402H-1982M), 23.
198
Shalabi>, Ta‘li>l al-Ah}ka>m, 278-279.
199
Al-Ghaza>li>, Al-Mustas}fa>, j.I, 284.
200
Al-Ba>h}usayn, Al-Mashaqqah Tajlib al-Taysi>r, 283.
201
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, j.II, 8. Definisi yang hampir sama juga dikemukakan
oleh sejumlah ulama kontemporer. Lihat: Al-Bu>t}i>, D{awa>bit} al-Mas}lah}ah, 61. Mus}t}afa> Sa‘i>d
al-Khinn, Athar al-Ikhtila>f fi> al-Qawa>‘id al-Us}u>li>yah fi> Ikhtila>f al-Fuqaha>’ (Bayru>t:
Mu’assasah al-Risa>lah, 1427H-2006M), 489.

64
‚Sesuatu yang mesti ada dalam menegakkan kemashlahatan agama dan dunia; jika
ia tidak ada, kemashlahatan dunia tidak ada dan tidak dapat ditegakkan, bahkan
menuju kepada kerusakan, kekacauan, dan kesempitan hidup; sedangkan di sisi lain,
ketiadaannya juga mengakibatkan ketiadaan keberuntungan dan kenikmatan,
sehingga menjadi benar-benar merugi.‛
Mas}lah}ah primer mencakup pemeliharaan terhadap lima bidang yang
dikenal dengan maqa>s}id al-shari>‘ah, yaitu pemeliharaan agama ( ),
pemeliharaan jiwa ( ), pemeliharaan akal ( ), pemeliharaan keturunan
( ), dan pemeliharaan harta ( ).202 Selanjutnya al-Sha>t}ibi> menjelaskan
bahwa pemeliharaan agama berpangkal pada bidang ibadah, seperti iman, syahadat,
shalat, zakat, dan haji; pemeliharaan jiwa dan akal berpangkal pada bidang adat
seperti dengan memperhatikan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal;
dan pemeliharaan keturunan dan harta berpangkal pada bidang mu‘a>mala>t.203
Adapun mas}lah}ah sekunder (h}a>ji>yah) ada dalam bidang ibadat, adat,
mu‘a>mala>t, dan jina>ya>t. definisinya ialah:
204

‚Ia diperlukan oleh manusia untuk meniadakan kesulitan saja; apabila mas}lah}ah ini
tidak ada, susunan kehidupan manusia tidak mad}a>ra>t, tetapi manusia akan
mengalami kesengsaraan dan kesulitan.‛
Selain itu terdapat mas}lah}ah tersier (tah}si>ni>yah), yang berarti:
205

‚Mengambil sesuatu yang dapat memperindah kebiasaan dan menjauhi situasi yang
ternodai (tercemar) yang dimulai berdasarkan pemikiran yang kuat (ra>jih}).‛

2. Al-Mas}a>lih} al-Mulghah
Al-Mas}a>lih} al-Mulghah adalah kemaslahatan yang keberadaannya
dibatalkan oleh shara‘ dan tidak adanya keterangan berupa nas}s} ataupun qiya>s.
Sa‘i>d al-Khinn menjelaskan Al-Mas}a>lih} al-Mulghah :
206

‚Kemaslahatan yang diabaikan oleh Sha>ri‘.‛

3. Al-Mas}a>lih} al-Mursalah
Imam al-Shawka>ni>, menukil pendapat Ibn Burha>n:
207

202
Al-Sha>thibi>, Al-Muwa>faqa>t, j.II, 10. Wahbah al-Zuh}ayli>, Naz}ari>yah al-D{aru>rah
al-Shar‘i>yah: Muqa>ranah ma‘a al-Qa>nu>n al-Wad}‘i> (Dimashq: Maktabah al-Fara>bi>, t.t.), 49.
203
Al-Bugha>, Athar al-Adillah, 29-30. Al-Sha}t}ibi>, Al-Muwafaqat, j.II, 8-9.
204
Sa‘i>d al-Khinn, Athar al-Ikhtila>f, 489.
205
Al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t, j.II,11. Sa‘i>d al-Khinn menambahkan definisi
tersebut, bahwa h}a>ji>yah tersier ialah untuk meninggikan perilaku ( ). Lihat:
Sa‘i>d al-Khinn, Athar al-Ikhtila>f, 489.
206
Kata Sha>ri‘ dalam hal ini ialah para ulama. Lihat: Sa‘i>d al-Khinn, Athar al-
Ikhtila>f, 490.

65
‚Sesuatu yang tidak disandarkan kepada ayat Al-Qur’a>n (dan hadis) tertentu, baik
yang bersifat global maupun yang bersifat 66okum66ativ.‛
Istilah mursalah dinamakan pula dengan muna>sib mursal, istis}la>h,} istidla>l,
dan al-istis}la>h}, yaitu t}alab al-is}la>h} (pencarian kedamaian atau manfaat).208
Setiap hukum didasarkan atas kemaslahatan, yang sekurang-kurangnya
bertumpu pada tiga hal: 209
a. Sifat yang layak yang mendorong tertibnya hukum untuk mewujudkan
kemaslahatan (al-Muna>sib al-Mursal)210
b. Kemaslahatan yang mengarah kepada tertibnya hukum itu sendiri (al-Mas}a>lih}
al-Mursalah)211
c. Suatu bangunan hukum hendaknya sesuai dengan sifat layak atau sumber
kemaslahatan tersebut, yang dapat pula dinamakan dengan istis}la>h} atau istidla>l.
Di antara ulama yang menggunakan istilah istis}la>h} ialah al-Khawa>rizmi> dan al-
Ghaza>li> dalam Al-Mustas}fa>.212 Ulama yang menggunakan istilah istidla>l ialah
Imam al-H{aramayn dan Ibnu al-Sam‘a>ni>.213 Diantara ulama yang menggunakan
istilah al-istidla>l al-mursal dan al-mas}a>lih} al-mursalah ialah al-Zarkashi>.214

Perdebatan tentang al-Mas}a>lih} al-Mursalah


Para ahli fikih berbeda pendapat dalam melihat kemaslahatan, baik
ungkapan dalil yang dipakai, kaidah yang digunakan sebagai dasar, pemahaman
hukum, pemikiran maupun orientasinya:

1. Perdebatan tentang Penggunaannya sebagai Dasar Hukum


a. Pendapat Ulama H{ana>fi>yah
Kama>l Ibn Huma>m mengatakan bahwa golongan H{ana>fi>yah tidak
menyebutkan al-mas}a>lih} al-mursalah. Ini diikuti oleh A<mir Ba>disha>h, yang
mengatakan bahwa al-mas}a>lih} al-mursalah adalah sesuatu yang pada asalnya tidak
bisa dilihat keberadaan maupun ketiadaannya dengan ungkapan shara‘ semata,
meskipun hal itu sesuai dengan tindakan kemaslahatan dan akalpun menerimanya.
Pengertian ini juga oleh Imam Ma>lik dan Sha>fi‘i> dalam qawl qadi>m, namun
sebagian ulama H{an>afi>yah dan yang lain melarangnya. Sebagian besar yang
melarangnya kemudian ialah para ulama pengikut al-Sha>fi‘i>215 dan generasi
terkemudian (muta’a>khiri>n) dari para ulama H{ana>bilah (pengikut Ah}mad ibn

207
Kata mursalah atau mursal berarti yang dilepaskan. Lihat: Madku>r, Mana>hij al-
Ijtiha>d fi> al-Isla>m (Al-Kuwayt: Ja>mi‘ah al-Kuwayt, 1974), 554.
208
Al-Bugha>, Athar al-Adillah., 41.
209
Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (Al-Qa>hirah: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1973), 277.
Muh}ammad al-Khud}ari>, Us}u>l al-Fiqh (Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1389H-1969M), 310.
210
Al-Ra>zi>, Al-Mah}s}u>l, j.II, q.III, 219-220. Al-Subki>, Al-Ibha>j, j.III, 178.
211
Ibn Badra>n, Al-Madkhal ila> Mazhab al-Ima>m Ah}mad, 136. Ibn al-Najja>r, Sharh}
Al-Kawkab al-Muni>r, j.IV, 432.
212
Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh, 277. Al-A<midi>, Al-Ih}ka>m, j.IV, 394.
213
Abu> al-Ma‘a>li> al-Juwayni>, Al-Burha>n fi> Us}u>l al-Fiqh, j.II, 161.
214
Al-Bana>ni>, H{ashi>yah al-Bana>ni>, j.II, 528.
215
Al-A<midi>, Al-Ih}ka>m, j.IV, 394.

66
H{anbal). Mereka tidak dapati suatu kemaslahatan yang terlihat (yang diungkapkan)
dan tidak pula terdapat qiya>s di dalamnya.216

b. Pendapat Ulama Ma>liki>yah


Yang terkenal dari mazhab Ma>liki>yah adalah bahwa merekalah pelopor
pemikiran tentang al-Mas}a>lih} al-Mursalah. Menurut al-Qara>fi>, al-Mas}a>lih} al-
Mursalah antara lain ialah hal apapun yang dipandang oleh shara‘ sebagai baik
tetapi tidak diungkapkan.

c. Pendapat Ulama Sha>fi‘i>yah


Terjadi perbedaan pandangan dalam masalah ini. Al-A<<midi> menolak teori
mas}lah}ah, dengan asumsi bahwa para ahli fikih dari kalangan Sha>fi‘i>yah,
H{ana>fi>yah, dan golongan lainnya melarang berpegang teguh kepada kemaslahatan
ini (al-muna>sib al-mursal).217 Pada sisi lain, al-Ra>zi> menerima kemaslahatan ini
setelah mengumpulkan dalil-dalil naqli> dan ijma>‘, sebagaimana ucapannya:‛Semua
dalil yang telah kami sebutkan menunjukkan tentang kebolehan berpegang teguh
kepada al-mas}a>lih} al-mursalah‛.218
Adapun sebagian ulama Sha>fi‘i>yah ”seperti al-Ghaza>li>, al-Bayd}a>wi>, dan al-
Subki>” berpendapat bahwa boleh menerima al-mas}a>lih} al-mursalah dengan syarat
harus bersifat d}aru>ri>yah kulli>yah qat}‘i>yah. Menurut al-Subki>, al-muna>sib al-mursal
ialah kemaslahatan yang bersifat d}aru>ri>yah kulli>yah qat}‘i>yah.

d. Pendapat Ulama H{ana>bilah


Pertama; keterangan Ibn Quda>mah dalam kitabnya Rawd}ah al-Na>z}ir Ba‘d}
al-Us}u>l al-Mukhatalaf fi>ha>, yang mencakup di dalamnya penamaan al-Mas}a>lih} al-
Mursalah menjadi al-Istis}la>h}. Ibn Quda>mah membagi kemaslahatan ini menjadi tiga
bagian, yaitu:
1) Syara‘ mengakui keberadaannya. Disebut qiya>s.
2) Apa yang dibatalkan oleh syara‘.
3) Apa yang syara‘ tidak membatalkannya dan tidak pula memberi pengakuan
tertentu atau menerimanya.

Kedua; Pendapat Ibn Badra>n,‛Menurut saya pendapat yang terpilih ialah al-
mas}a>lih} al-mursalah dapat diterima, meskipun tetap diperlukan analisa yang cermat
dan mendalam.‛219

2. Perdebatan tentang Syarat-syarat dan Bidang Penggunaannya


Mayoritas ulama tidak membolehkan istis}la>h} dalam hukum-hukum ibadah,
karena ia bersifat ta‘abbudi>. Ibn Quda>mah menerangkan bahwa mereka tidak
membolehkan membangun hukum-hukum berlandaskan al-mas}a>lih} al-mursalah
216
A<mir Ba>disha>h, Taysi>r al-Tah}ri>r, j.IV, 171.
217
Al-A<midi>, Al-Ih}ka>m, j.IV, 394.
218
Al-Ra>zi>, Al-Mah}s}u>l, j.II, q.III, 225.
219
‘Abd al-Qa>dir Ibn Badra>n, Nuzhah al-Kha>t}ir al-‘A<t}ir Sharh} Rawd}ah al-Na>z}ir
(Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t.), j.I, 415

67
dalam urusan-urusan yang berada pada peringkat h}a>ji>ya>t dan tah}si>ni>ya>t. Dalam hal
ini dikecualikan pada urusan-urusan yang termasuk peringkat d}aru>ri>ya>t. Peringatan
tersebut disebabkan karena tidak memungkinkan dilakukan analisa yang teliti dan
cermat untuk membedakan antara d}aru>ri>ya>t dengan h}a>ji>ya>tt.220
Selain itu pula, al-Subki> mengutip al-Ghaza>li> bahwa kemaslahatan harus
memenuhi syarat d}aru>ri>yah qat}‘i>yah kulli>yah.

Al-Mas}a>lih} al-Mursalah yang Disepakati


Setelah dijelaskan tentang mazhab-mazhab para ulama di atas, maka
sesungguhnya mereka sepakat menggunakan al-mas}a>lih} al-mursalah. Di antara
ulama yang mengutip kesepakatan mazhab dalam memberlakukan al-mas}a>lih} al-
mursalah adalah:
1. Al-Qara>fi> dalam kitab Sharh}{ Tanqi>h{ al-Fus{u>l berkomentar, ‚Al-Ghaza>li> dalam
kitab Shifa>’ al-Ghali>l dapat menerima al-mas}a>lih} al-mursalah, meski mereka
(kalangan Ma>liki>yah dan al-Ghaza>li>) pada mulanya mengkritik keras
penggunaannya."221
2. Ibn Daqi>q al-‘I<<d mengatakan,‚Tidak saya ragukan bahwa Ma>lik memiliki
keunggulan 68okum68ativ fuqaha>’ lain di bidang al-mas}a>lih} al-mursalah, dan
disusul kemudian oleh Ah}mad Ibn H<{anbal. Selain keduanya, nyaris tidak
meninggalkan al-mas}a>lih} al-mursalah secara keseluruhan."
3. Shaykh Muh}ammad Faraj Sulaym mengatakan, ‚Dipastikan bahwa tidak ada
perbedaan antara Sha>fi‘i>, Ma>lik, Imam al-H{aramayn, dan mayoritas pengikut
Abu> H{ani>fah, yaitu bahwa mereka berpendapat boleh mengikuti al-mas}a>lih} al-
mursalah yang sesuai dengan syariat.‛222

Shaykh al-Shinqi>t}i> mengatakan,‚Imam Ma>lik sangat mempertimbangkan


al-mas}a>lih} al-mursalah dalam perkara-perkara h}a>ji>ya>t dan d}aru>ri>ya>t sebagaimana
dinyatakan para ulama mazhab Ma>liki>. Mereka berdalil bahwa pemberlakuan al-
mas}a>lih} al-mursalah adalah ijma>‘ sahabat.
Apabila maslahat pada saat tertentu dipandang bertenturan dengan nus}u>s}
shar‘i>, maka jumhur ulama lebih mengedepankan nas}s} Al-Qur’a>n dan Sunnah
meskipun yang bersifat z}anni> dari segi validitas dan periwayatannya. Bahkan Imam
Ah}mad lebih mengedepankan ucapan sahabat dan hadis mursal dibandingkan
maslahat. Oleh karena nus}u>s} Al-Qur’a>n dan Sunnah itu berpijak pada pemeliharaan
maslahat, maka tidak mungkin bertentangan dengan maslahat. Apabila ditemukan
pertentangan antara nas}s} dengan maslahat, maka itu menunjukkan bahwa maslahat
tersebut bersifat wahmi> (asumtif), bukan haqi>qi> (substantif).223
‘Abdulla>h al-Turki> mengatakan bahwa, Ah}mad Ibn H{anbal tidak berpaling
kepada sumber lain yang bertentangan dengan nas}s}, dan tidak pula kepada ulama

220
Sa‘d Ibn Na>s}ir al-Shashri>, Al-Mas}lah}ah ‘inda al-H{ana>bilah (Dar al-Muslim,
1418H-1997M), 44-46.
221
Al-Bu>t}i>, D{awa>bit} al-Mas}lah}ah, 352.
222
‘Abd al-Rah}ma>n, Gha>yah al-Wus}u>l ila> Daqa>’iq ‘Ilm al-Us}u>l (Al-Qa>hirah:
Mat}ba‘ah al-Jabala>wi>), 69.
223
Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 55.

68
yang menentang nas}s}. Ia memberlakukan apa yang ditunjukkan nas}s} tersebut, baik
Al-Qur’a>n atau al-Sunnah. Sekalipun menurut Imam Ah}mad bahwa maslahat itu
tercakup ke dalam qiya>s, namun ia tidak berpendapat berdasarkan qiya>s kecuali
pada kondisi darurat. Nas}s} itu terlalu mulia bagi para ulama yang mumpuni untuk
mereka kalahkan dengan sesuatu yang dipandang sebagai maslahat.224
Sebenarnya Imam Ma>lik pun tidak mengedepankan maslahat daripada nas}s}
ataupun melakukan takhs}i>s} terhadap nas}s} yang umum dengan maslahat. Diantara
fatwa-fatwa yang dinisbatkan kepadanya tidak satu pun yang bertopang pada
maslahat yang lebih dikedepankan daripada nas}s}. Dalam hal ini yang mentakhs}i>s}
makna umum ini bukan maslahat semata, melainkan nus}u>s} lain yang banyak
jumlahnya yang menguatkan pemberlakuan maslahat jenis tersebut. Dengan
demikian setiap maslahat yang diberlakukan Ma>lik dalam menetapkan hukum
adalah maslahat yang sesuai dengan ketetapan Sha>ri‘.225
Sikap mazhab Ma>liki>yah, Sha>fi‘i>yah dan H{ana>bilah dalam masalah ini
adalah sama. Manakala Ma>lik tampak mengedepankan suatu maslahat daripada
sebagian nas}s}, maka sesungguhnya itu bukan tanpa sandaran dalil, melainkan
karena adanya dalil-dalil kuat yang menurutnya lebih kuat daripada dalil-dalil yang
ada. Sementara itu kalangan mazhab Sha>fi‘i>yah, H{ana>bilah dan selainnya ketika
mengedepankan khabar ah}a>d, dalil-dalil yang bersifat z}anni>, hadis mursal dan
perkataan sahabat bagi yang mengedepankan keduanya, itupun karena maslahat
yang ada dalam benak mereka tidak bersandar pada dalil-dalil yang sebanding
dengan dalil-dalil yang mereka miliki. Seandainya maslahat yang ada didukung
oleh dalil-dalil yang lebih kuat daripada dalil-dalil yang ada, tentulah mereka tidak
mengambil dalil-dalil yang ada.226
Yang menjadi pemicu perdebatan dan dinilai janggal, ialah pendapat yang
dipelopori oleh Najm al-Di>n at}-T}u>fi>, karena mendahulukan maslahat daripada nas}s}
dan ijma>‘ melalui jalan takhs}i>s} dan baya>n. Ini dengan syarat bahwa hukum yang
diijtihadi termasuk kategori muamalah, politik atau semacamnya, bukan kategori
ibadah atau muqaddara>t (perkara-perkara yang telah ditetapkan) dan sejenisnya.227
Prinsip dalam ibadah adalah hak prerogatif Sha>ri‘, tidak diketahui secara persis
kuantitas, cara, waktu dan tempatnya kecuali dari keterangan Sha>ri‘, sehingga
setiap hamba menjalankan sesuai yang digariskan-Nya.228
Al-T}u>fi> mengatakan: ‚Ada kalanya nas}s} dan ijma>‘ sejalan dengan maslahat,
tetapi ada kalanya bertentangan. Jika sejalan, maka tidak ada yang diperdebatkan
karena ketiga jenis dalil tersebut menyepakati nas}s}, ijma>‘ dan pertimbangan
maslahat yang dipahami dari hadis la> d}arara wa la> d}ira>r. Apabila bertentangan,
maka pertimbangan maslahat wajib didahulukan dibandingkan nas}s} dan ijma>‘

224
Al-Turki>, Us}u>l Mazhab al-Ima>m Ah}mad, 482.
225
Al-Zuh}}ayli>, Us}u>l al-Fiqh, j. II, 812.
226
Al-Zuh}}ayli>, Us}u>l al-Fiqh, j. II, 802-806.
227
Al-Zuh}}ayli>, Us}u>l al-Fiqh, j. II, 817. Mus}t}afa> Zayd, Al-Mas}lah}ah fi> al-Tashri>‘ al-
Isla>mi> wa Najm al-Di>n al-T{u>fi> (Al-Qa>hirah: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1384H), 16.
228
Ah}mad Ibn Muh}ammad al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 176-177.

69
dengan jalan takhs}i>s} dan baya>n terhadap keduanya, bukan dengan jalan
menyalahkan dan membatalkan keduanya.‛229
Menurut al-Najja>r bahwa maslahat yang harus didahulukan daripada nas}s}
yang z}anni> „seandainya diasumsikan demikian„, bukan maslahat yang ghari>b
(janggal) ataupun diputuskan oleh akal semata.230 Adapun maslahat yang diklaim
al-T{u>fi> sebagai hujjah adalah maslahat yang bersandar pada hukum akal dan tidak
dikuatkan oleh nas}s} sedikit pun. Artinya, maslahat disejajarkan dengan nas}s}, dan ini
bukanlah h}ujjah sama sekali.231

J. Sumber Hukum Islam Kesepuluh: Sadd al-Dhara>’i‘

Akar makna kata sadd ialah menutup sesuatu dan membuatnya serasi.
Setiap sekat di antara dua benda disebut sadd. Kata al-sadd dan al-sudd biasa
berarti ‚kumpulan belalang dalam jumlah yang sangat besar sehingga menutupi
cakrawala‛. Kata al-suddah berarti pintu, dan disebut demikian karena ia ditutup.232
Kata al\-dhara>’i‘ (tunggal: dhari>‘ah) berarti memanjang dan bergerak ke
depan. Perempuan yang cekatan dalam menenun disebut dharra>‘.233 Kata dhari>‘ah
juga bisa dimaknai ‚penyebab dan media sesuatu‛. Kalimat fula>n dhari>‘ati> ilayka
berarti ‚fulan menjadi mediator yang mempertemukanku denganmu‛.234
Diantara definisi terpenting dari para ulama tentang kata dhari>‘ah ialah:
1. Definisi dh\ari>‘ah menurut al-Ba>ji> ialah:
235

‚Masalah yang secara lahir hukumnya boleh, tetapi ia bisa menjadi perantara
terjadinya perbuatan yang dilarang.‛ 236
2. Ibn al-‘Arabi> mendefinisikan dhari>‘ah dalam dua terminologi berbeda. Pertama,
dhari>‘ah adalah setiap akad yang secara lahir boleh namun berpotensi
mengakibatkan perkara yang dilarang.237 Kedua, dhari>‘ah berarti setiap
perbuatan yang secara lahir boleh namun bisa menjadi perantara terjadinya
perbuatan haram.238

229
Mus}t}afa> Zayd, Al-Mas}lah}ah fi> al-Tashri>‘, 17.
230
Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 60.
231
Al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh, j. II, 819.
232
Ibn Fa>ris, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lughah, 455. Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, j. III,
207-211.
233
Ibn Fa>ris, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lughah, 364-365.
234
Al-Bugha>, Athar al-Adillah, 566. Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, j.VIII, 96.
235
Sulayma>n Ibn Khalaf al-Ba>ji>, Ih}ka>m al-Fus}u>l fi> Ah}ka>m al-Us}u>l (Bayru>t:
Mu’assasah al-Risa>lah, 1`409H-1989M), j.II, 567.
236
Definisi ini mirip dengan terminologi dari al-Shawka>ni>. Lihat: Al-Shawka>ni>,
Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 193.
237
Yaitu tatkala Ibn al-‘Arabi> menafsirkan QS al-An‘a>m [6]:108. Lihat: Ibn al-
‘Arabi>, Ah}ka>m al-Qur‘a>n (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah,1416H-1996M), j. II, 265.
238
Yaitu ketika Ibn al-‘Arabi> menafsirkan QS al-A‘ra>f [7]:163. Lihat: Ibn al-‘Arabi>,
Ah}ka>m al-Qur’a>n, j.II, 331.

70
3. Al-Qara>fi> mendefinisikannya sebagai:

‚Perantara kepada sesuatu;239 maknanya adalah menghentikan perkara yang


menjadi perantara kerusakan untuk mencegah terjadinya kerusakan. Manakala
perbuatan yang bersih dari kerusakan itu menjadi perantara kepada kerusakan,
maka kami melarangnya. Ini adalah mazhab Ma>lik.‛ 240

Apabila diamati, tampak bahwa definisi-definisi di atas saling berdekatan.


Meskipun sebagian definisi mudah dikritik karena tidak komprehensif, yaitu
terbatas pada perantara-perantara perkara yang diharamkan. Padahal kata dhari>‘ah
itu mencakup semua perantara, baik perantara perkara haram, atau wajib, atau
hukum-hukum yang lain. Al-Qara>fi> mengatakan, ‚Dhari>‘ah itu sebagaimana wajib
ditutup juga wajib dibuka, dimakruhkan, disunnahkan atau dibolehkan. Dhari>‘ah
berarti perantara. Sebagaimana perantara perbuatan haram wajib ditutup, maka
perantara perbuatan wajib itu wajib dibuka, seperti penyediaan fasilitas prasarana
pelaksanaan shalat Jum‘at dan haji."241
Demikian pula sejumlah ulama kontemporer berpendapat bahwa defisini
dhari>‘ah yang paling sesuai adalah perantara yang mengantar kepada hukum-hukum
syariah yang lima, baik perantara tersebut mengantar kepada mas}lah}ah atau
mafsadah atau keduanya.242 Definisi lainnya ialah ‚jalan (perbuatan) yang secara
substansi boleh, tetapi ia bisa berujung pada sesuatu yang dilarang. Jadi, ia bukan
tujuan, tetapi yang dituju adalah ujung yang ia capai,243 atau kuat dugaan bahwa ia
dapat menjatuhkannya ke dalam perbuatan yang diharamkan.‛244
Dengan kata lain, terminologi sadd al\-dhara>’i‘ ialah ‚penghalang bagi
sampainya kepada kerusakan apabila suatu perbuatan berujung kepada
kerusakan‛245. Maksudnya, tatkala ada wasi>lah atau jalan yang pada dasarnya
disyariatkan, namun dalam suatu kondisi atau kejadian atau bagi satu individu akan
berujung kepada akibat yang berlawanan atau berbenturan dengan tujuan Sha>ri‘,
maka ketika itu seorang mujtahid harus menghukumi kejadian atau wasi>lah yang
mengakibatkan hasil akhir semacam ini batal atau dilarang, demi mencegah
timbulnya kerusakan dan menjaga tujuan-tujuan Sha>ri‘ dari kontradiksi antara hulu
dan hilir, atau antara wasi>lah (perantara) dan maqa>s}id (tujuan).246

239
Definisi ini mirip pula dengan terminologi dari Ibn Taymi>yah dan Ibn al-
Qayyim. Lihat: Ibn al-Qayyim, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n, j. III, 147.
240
Al-Qara>fi>, Sharh} Tanqi>h} al-Fus}u>l, 352.
241
Al-Qara>fi>, Sharh} Tanqi>h} al-Fus}u>l, 352
242
Sa>lih} Ibn ‘Abd al-‘Azi>z al-Mans}u>}r, Us}u>l al-Fiqh wa Ibn Taimi>yah (Al-Qa>hirah:
Da>r al-Nas}r, 1405H-1985M), j. II, 481.
243
Al-Turki>, Us}u>l Mazhab al-Ima>m Ah}}mad, 498.
244
Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 103.
245
Al-Mans}u>}r, Us}u>l al-Fiqh, j. II, 481.
246
Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 104.

71
Kedudukan Sadd Al-Dhara>’i‘ dalam Usu>l al-Fiqh
Kaidah sadd al-dhara>’i‘ merupakan salah satu kaidah tashri>‘ yang aplikatif,
yang menyelaraskan antara wasi>lah dan maqa>s}id, atau hukum-hukum dan makna-
maknanya, sehingga tidak terjadi benturan atau saling meniadakan. Jika wasi>lah
telah melenceng dari realisasi tujuannya, maka pertimbangannya gugur, sesuai
dengan kaidah ‚Setiap kali pertimbangan maqa>s}id gugur, maka gugur pula
pertimbangan wasi>lah.‛247
Jka dikaji secara teliti, akan didapati dalam kitab-kitab Us}u>l bahwa prinsip
sadd al-dhara>’i‘ diterapkan oleh para ulama pada umumnya, tidak hanya kalangan
Ma>liki>yah dan H{ana>bilah saja, sebagaimana keterangan berikut:
1. Al-Qara>fi> mengatakan: ‚Kami memberlakukan prinsip al-dhari>‘ah, meskipun
ulama lain berbeda pendapat dengan kami. Kami menerapkan prinsip sadd al-
dhara>’i‘ dengan porsi yang lebih besar daripada ulama lain, tetapi bukan
merupakan keistimewaan yang membedakan kami dari yang lain.‛248
2. Al-Qurt}ubi> mengatakan: ‚Prinsip sadd al-dhara>’i‘ diterapkan oleh Ma>lik dan
para sahabatnya. Ini memang ditentang oleh mayoritas ulama pada tataran
pokok, namun mereka sebenarnya memprakteknnya di sebagian besar masalah
pada tataran rinci.‛ Kemudian al-Qurt}ubi> menengarai letak perbedaan itu dan
mengatakan bahwa sesuatu yang mengakibatkan terjadinya perbuatan yang
dilarang, ada kalanya memiliki probabilitas untuk berujung kepada sesuatu
yang dilarang, atau jauh dari sesuatu yang dilarang, atau seimbang di antara
keduanya. Jadi, yang pertama wajib dipertimbangkan, sedangkan yang kedua
dan ketiga diperselisihkan oleh para ulama mazhab. Barangkali kelompok
kedua ini disebut dengan istilah al-tuhmah al-ba‘i>dah (kecurigaan yang jauh)
dan al-dhara>’i‘ ad}-d}a‘i>fah (perantara yang lemah).249
3. Ibn Jaza> mengatakan: ‚Para ulama mengutip dari Ma>lik yang memberlakukan
prinsip ‘a>dah, al-mas}a>lih dan al-dhara>’i‘. Padahal tidak demikian, karena ‘a>dah
sama dengan ‘urf, dipakai dalam berbagai mazhab. Mengenai al-dhara>’i‘, ada
sebagian yang diterapkan dalam berbagai mazhab, sedangkan sebagian yang
lain diterapkan oleh Ma>lik saja. Kesimpulannya, Ma>lik menerapkan prinsip
mas}lah}ah dan dhari>‘ah dengan porsi lebih besar dibanding ulama lain, tetapi
Ma>lik bukan satu-satunya ulama yang menerapkan kedua prinsip tersebut.‛250
4. Al-Sha>t}ibi> menganggap sadd al-dhara>’i‘ sebagai salah satu kaidah yang
dibangun di atas prinsip menimbang akibat dari suatu perbuatan, dan disepakati
berlakunya secara global. Perbedaan pendapat hanya pada perkara-perkara
cabang yang terperinci.251 ‘Abdulla>h Ibn Darra>z mengomentari pernyataan al-

247
Al-Qara>fi>, Sharh} Tanqi>h} al-Fusu>l, 353. Al-Qara>fi>, Al-Furu>q, j. II, 61.
248
Al-Qara>fi>, Sharh} Tanqi>h} al-Fus}u>l, 353.
249
Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 112.
250
Muh}ammad Ibn Ah}mad Ibn Jaza>, Taqri>b al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l (Jiddah:
Maktabah al-‘Ilm, 1414H), 418.
251
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, j. IV, 199.

72
Sha>t}ibi252 bahwa perbedaan itu termasuk persoalan tah}qi>q al-mana>t} yang di
dalamnya diterapkan prinsip sadd al-dhara>’i‘….253

Dari analisa terhadap kutipan-kutipan di atas, maka dapat disimpulkan


bahwa secara garis besar prinsip sadd al-dhara>’i‘ diterapkan oleh para ulama, bukan
khusus kalangan Ma>liki>yah dan H{ana>bilah saja.254 Hanya saja kalangan Ma>liki>yah
menerapkan pada lebih banyak kasus dibanding kalangan lain. Apa yang ditengarai
al-Sha>t}ibi> itu sebenarnya bukan perbedaan pada pokok kaidah, melainkan pada
sebagian jenis al-dhara>’i‘, yaitu al-dhara>’i‘ yang kemungkinan besar mengakibatkan
kerusakan yang diharamkan tetapi tidak nyata kesengajaan pelakunya.255
Dengan demikian prinsip sadd al-dhara>’i‘ adalah koridor yang mengarahkan
jalan bagi ijtiha>d bi al-ra‘y, atau melindunginya dari kekeliruan pemahaman dan
implementasi pada problematika parsial yang selalu terbarukan. Itulah makna
pernyataan Abu> Zahrah, ‚Sesungguhnya prinsip sadd al-dhara>’i‘ itu meneguhkan
pokok yang menjadi fondasi semua aspek tashri>‘.‛256

Klasifikasi Sadd al-Dhara>’i‘


Para ulama Us}u>l al-Fiqh menyusun klasifikasi Sadd al-Dhara>’i‘ berdasarkan
dua aspek, yaitu:

Aspek pertama: berdasarkan aspek hukum dan pendapat ulama terhadapnya.


Imam al-Qara>fi menjelaskan bahwa kaidah sadd al-dhara>’i‘ tidak berarti
menolak setiap dhari>‘ah yang berujung kepada sesuatu yang dilarang.257 Selain itu,
Ibn Rif‘ah pun menjelaskan bahwa sadd al-dhara>’i‘ bukan monopoli mazhab Ma>liki>.
Secara implisit Ibn Rif‘ah mengisyaratkan adanya pengakuan al-Sha>fi‘i> bahwa sadd
al-dhara>’i‘ terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:258
a. Dhari>‘ah yang dipastikan berujung pada keharaman, maka hukumnya haram
menurut mazhab Sha>fi‘i>yah dan Ma>liki>yah.
b. Apa yang dipastikan tidak berujung pada keharaman, tetapi bercampur dengan
dhari>‘ah yang berujung pada keharaman, maka dituntut agar pintunya ditutup
berdasarkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini juga menuntut agar dhari>‘ah yang
dipastikan tidak berujung pada keharaman itu disatu-kelompokkan dengan
dhari>‘ah yang besar kemungkinannya berujung kepada keharaman.

252
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, j.IV, 200.
253
Tah}qi>q al-Mana>t} ialah kesepakatan untuk menetapkan ‘illah pada as}l, baik
berdasarkan nas}s} ataupun tidak. Kemudian ‘illah tersebut disesuaikan dengan ‘illah yang
ada pada far‘. Tah}qi>q al-mana>t} merupakan salah satu tahapan pada penetapan ‘illah
(masa>lik al-‘illah). Lihat: ‘Abd al-H{aki>m al-Sa‘di>, Maba>hith al-‘Illah fi> al-Qiya>s ‘inda al-
Us}u>li>yi>n (Bayru>t: Da>r al-Basha>’ir al-Isla>mi>yah, 1421H-2000M), 517-518.
254
Al-Turki>, Us}u>l Maz\hab al-Ima>m Ah}mad, 511.
255
Al-Bu>t}i>, D{awa>bit} al-Mas}lah}ah, 239.
256
Abu> Zahrah, Ma>lik, 331.
257
Al-Qara>fi>, Sharh} Tanqi>h} al-Fus}u>l, 353. Ibn Jaza>, Taqri>b al-Wus}u>l, 416.
258
Al-Zarkashi>, Al-Bah}r al-Muh}i>t}, j.VI, 85.

73
c. Dhari>‘ah dengan tingkat kemungkinan setengah-setengah, atau tak tentu, maka
tarji>h} mereka pun berbeda lantaran perbedaan tingkatan tersebut.
Selanjutnya Ibn Rif‘ah mengatakan, ‚Kami menentang mereka pada semua
bagian dhari>‘ah kecuali bagian yang pertama, karena bagian pertama tersebut
sistematis dan ada dalil yang menunjukkannya.‛259

Aspek kedua: berdasarkan implikasinya terhadap kerusakan.


Berdasarkan aspek ini, sadd al-dhari>‘ah terbagi menjadi dua bagian, yaitu
berkaitan dengan hasil-hasil yang ditimbulkannya secara umum, dan berkaitan
dengan tingkat implikasi dhari>‘ah terhadap kerusakan.
Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa perbuatan atau ucapan yang
berimplikasi kerusakan itu terbagi menjadi dua macam, yaitu:260
a. Perbuatan atau ucapan yang berimplikasi kepada kerusakan, seperti zina yang
mengakibatkan tercampurnya nasab dan rusaknya fira>sh, dan lain sebagainya.
Perbuatan tersebut tidak memiliki realitas implikasi yang lain selain kerusakan.
b. Perbuatan atau ucapan yang berimplikasi kepada yang dibolehkan (mustah}ab),
namun ia dijadikan sarana kepada sesuatu yang diharamkan, baik sengaja atau
tidak. Ini seperti orang yang melangsungkan akad nikah dengan tujuan tah}li>l,261
atau bertransaksi jual-beli dengan maksud riba, atau melakukan khulu>‘‘262
dengan maksud melanggar sumpah, dan semisalnya. Adapun implikasi
perbuatan yang tidak disengaja ini terdiri dari dua macam, yaitu:
1) Maslahatnya lebih dominan daripada kerusakannya, seperti memandang
wanita yang akan dipinang, berkata benar di hadapan penguasa zalim, dsb.
2) Kerusakannya lebih dominan daripada maslahatnya, seperti mencaci
berhala orang-orang musyrik di hadapan mereka, wanita cerai mati yang
berdandan di masa ‘iddah, dan lain sebagainya.

Sementara itu al-Sha>t}ibi> membaginya menjadi dua macam menurut


kekuatan implikasi kerusakannya, dan menurut konsekuensi serta bahaya yang
mengikutinya. Klasifikasinya ini disampaikan saat membahas masalah kelima dari
maqa>s}id mukallaf, yaitu perbuatan yang mengandung maslahat bagi diri sendiri
tetapi mengandung mudarat bagi orang lain. Adapun dalam hal mengukur
probabilitas dari suatu perbuatan yang berimplikasi kepada kerusakan, al-Sha>t}ibi>
membaginya kepada: 263

259
Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 196.
260
Ibn al-Qayyim, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n, j. III, 172.
261
Maksud tah}li>l ialah nikah} muh}allil, yaitu istri yang telah ditalak tiga, akan tetapi
mereka ingin bersatu kembali dalam ikatan pernikahan. Untuk mencapai tujuan tersebut,
mantan suami mencarikan pria lain untuk dinikahkan dengan mantan istrinya sebagai
formalitas belaka, untuk kemudian secepatnya menceraikannya. Setelah itu mantan suami
pertama dapat menikahi janda dari pria kedua tadi.
262
Khulu>‘ dalam istilah fikih ialah permintaan cerai yang diminta (gugat cerai) oleh
istri kepada suaminya dengan memberikan uang atau lain-lain kepada sang suami, agar ia
menceraikannya.
263
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, j.II, 363-367.

74
1. Gha>lib (lazim, umum terjadi), seperti menjual senjata kepada ahl al-h}arbi>.
2. Banyak tetapi tidak sampai gha>lib, seperti problem dalam jual-beli tangguh.264
Al-Sha>t}ibi> mendefinisikan gha>lib sebagai ‚sesuatu yang implikasinya
terhadap kerusakan bersifat z}anni> sehingga memungkinkan timbulnya perbedaan
pendapat‛. Kemudian ia menyaring prinsip sadd al-dhara>’i‘ dan pertimbangan z}ann
(dugaan kuat) karena beberapa alasan, yaitu:
1. Z{ann dalam masalah-masalah praktis memiliki kedudukan yang sama dengan
‘ilm (pengetahuan). Jadi, menurut pendapat yang kuat z}ann berlaku di sini.
2. Yang dinyatakan dengan jelas secara tekstual (mans}u>s}) dari sadd al-dhara>’i‘ itu
tercakup ke dalam bagian ini, seperti firman Allah, ‚Dan janganlah kalian
mencaci orang-orang yang menyeru selain Allah, sehingga mereka nanti akan
mencaci Allah dengan melampaui batas tanpa didasari pengetahuan.‛ 265
3. Perbuatan yang termasuk kategori kerjasama untuk melakukan dosa dan
permusuhan yang hukumnya dilarang.

K. Sumber Hukum Islam Kesebelas: Al-‘Urf

‘Abdulla>h Ibn Ah}mad al-Nasa>fi> dalam al-Mustas}fa> mendefinisikan ‘urf


adalah sesuatu yang telah duduk mantap dalam jiwa manusia yang bersumber dari
akal dan diterima dengan baik oleh watak yang bersih.266 Definisi tersebut diikuti
oleh al-Jurja>ni> dalam al-Ta‘ri>fa>t yang menyebutkan, ‚‘Urf adalah sesuatu yang
padanya jiwa berdiam dengan mantap, didukung oleh kesaksian akal, dan diterima
dengan baik oleh watak.‛267
Ibn al-Najja>r meriwayatkan dari Ibn ‘At}i>yah mengenai definisi ‘urf, yaitu
‚setiap sesuatu yang telah dikenali jiwa dan tidak ditolak oleh syariat‛.268 Selain
itu, ‘Abd al-‘Azi>z al-Khayya>t} dalam bukunya Naz}ari>yah al-‘Urf mendefinisikan
‘urf sebagai ‚sesuatu yang telah dibiasakan dan diikuti manusia dalam menjalankan
berbagai urusan kehidupan mereka.‛269
Setelah menganalisa definisi-definisi di atas, maka didapati bahwa ia tidak
terlepas dari dua kritik utama. Pertama, bahwa sebagian definisi tersebut tidak
komprehensif karena tidak mencakup al-‘urf al-fa>sid (kebiasaan negatif). Kedua,
sebagian ulama membatasi definisi hanya pada bidang muamalah. Padahal
pembatasan ini tidak beralasan, karena ‘urf sebagaimana berlaku pada muamalah,
juga berlaku pada bidang ibadah, pidana dan tradisi.270

264
Probabilitas kerusakan tersebut terjadi pada masa kehidupan para ‘ulama>'
tersebut. Adapun pada masa sekarang, probabilitas tersebut telah dapat dieliminir dengan
adanya berbagai peraturan yang diberlakukan untuk jual beli tangguh.
265
QS al-An‘a>m [6]: 108.
266
Al-Jurja>ni>, Al-Ta‘ri>fa>t, 193.
267
Abu> Sanah, Al-‘Urf wa al-‘A<dah, 10.
268
Ibn Najja>r, Sharh}} al-Kawkab al-Muni>r, j. IV, 448.
269
Definisi ini mirip dengan terminology dari Abu> Zahrah. Lihat: Abu> Zahrah, Us}u>l
al-Fiqh, 273. Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 168.
270
Al-Muba>raki>, Al-‘Urf wa Atharuh fi> al-Shari>‘ah wa al-Qa>nu>n, 34.

75
Definisi terbaik adalah yang dirumuskan oleh Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>
pada muktamar ke-5 di Kuwayt. Definisi ‘urf tersebut adalah ‚sesuatu yang
manusia telah membiasakannya dan mengikutinya, baik ucapan, perbuatan maupun
tindakan, atau membiasakan meninggalkan sesuatu, baik diakui oleh shara‘ ataupun
tidak.‛271

Klasifikasi ‘Urf
1. Pembagian‘urf dipandang dari bentuknya dibagi menjadi ‘urf qawli> dan ‘urf
‘amali>.
‘Urf qawli> adalah penerimaan masyarakat terhadap suatu makna yang
berbeda dari makna yang digunakan pada asalnya, dimana makna tersebutlah yang
segera dipahami pada saat mendengarnya, bukan qari>nah-nya.272 Makna inilah yang
segera terlintas dalam pikiran saat mendengar kata atau kalimat demikian. Al-
Qara>fi> menjelaskan, ‚‘Urf qawli> adalah kebiasaan orang-orang yang mengikuti ‘urf
tersebut untuk menggunakan suatu kata untuk makna tertentu yang bukan makna
kebahasaannya.‛273 Berikut ini adalah beberapa contohnya:
a. Menurut kebiasaan bahasa bangsa Arab, kata walad menunjukkan anak laki-
laki, bukan anak wanita. Padahal secara semantik kata tersebut mencakup anak
laki-laki dan wanitam seperti dalam Al-Qur’a>n, ‚bagian seorang anak lelaki
sama dengan bahagian dua orang anak wanita.‛ (QS al-Nisa>’ [4]: 11)
b. Menurut kebiasaan bahasa masyarakat Arab, kata lah}m berarti daging selain
daging ikan, meskipun pada awalnya kata tersebut juga mencakup daging ikan.
Padahal daging ikan disebut dengan kata lah{m dalam Al-Qur’a>n, ‚Dan Dia-lah,
Alla>h yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan
daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu
perhiasan yang kamu pakai.‛ (QS al-Nah}l [16]: 14)
‘Urf ‘amali> adalah pengakuan masyarakat terhadap suatu perbuatan yang
diterima secara umum.274

2. Pembagian ‘urf menurut cakupan subyeknya terbagi menjadi ‘urf umum dan
‘urf khusus.
‘Urf umum adalah sesuatu yang dikenal dan diterima baik di masyarakat
pada berbagai masa. Ibn ‘A<bidi>n mendefinisikannya sebagai ‚sesuatu yang menjadi
cara berinteraksi bagi seluruh penduduk negeri, baik di masa lalu maupun di masa
sekarang.‛275 Artinya, mayoritas manusia di semua negara telah sama-sama
mengenali dan menerimanya meskipun berbeda-beda masa, lingkungan,
kebudayaan dan tingkat sosial mereka. ‘Urf semacam ini sering terbentuk dari
fenomena sosial yang merata di berbagai belahan dunia. Contohnya seperti akad
istis{na>‘ untuk pembelian dan pemesanan barang sehari-hari seperti sepatu, pakaian,
dan peralatan rumah tangga. Manusia membutuhkannya dan tergantung pada
271
Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>, vol. V, j. IV, 2921.
272
Al-Turki>, Us}u>l Mazhab al-Ima>m Ah}mad, 585.
273
Al-Qara>fi>, Al-Furu>q, j. I, 312-313.
274
Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 197.
275
Ibn ‘A<bidi>n, Majmu>‘ah Rasa>’il , j. II, 125.

76
benda-benda tersebut. Tiada hari tanpa muamalah dengan benda-benda tersebut.
Demikian pula kelaziman penggunaan kata t}ala>q untuk memutus tali pernikahan.276
‘Urf khusus, yaitu ‘urf yang berlaku khusus untuk satu negeri atau tempat,
tidak berlaku di negeri dan tempat lain; atau berlaku dalam satu komunitas saja,
dan tidak berlaku di komunitas yang lain. ‘Urf khusus ini sangat beragam karena
berkembangnya berbagai cara untuk meraih kemaslahatan masyarakat seiring
kebutuhan mereka yang terus berkembang. Misalnya kebiasan untuk tidak
menerima uang receh dalam satu kali transaksi yang bernilai besar.277
Sebagian ulama menambahkan jenis ‘urf ketiga berdasarkan subyeknya,
yaitu ‘urf shar‘i>. Mereka mendefinisikannya sebagai kata yang digunakan Sha>ri‘
untuk makna khusus. Contohnya adalah kata ‚s}alat‛ yang asalnya bermakna doa,
lalu Sha>ri‘ menggunakannya untuk ibadah tertentu yang di dalamnya terkandung
rukuk dan sujud.278 Demikian pula kata ‚haji‛ yang semula berarti menuju atau
bermaksud, lalu Sha>ri‘ menggunakannya untuk makna ritual mengunjungi Ka‘bah
di bulan-bulan tertentu dan dengan perbuatan-perbuatan tertentu.279

3. Klasifikasi ‘urf juga dapat ditinjau dari segi implementasinya, sebagaimana


klasifikasi para fuqaha>’ yang mengkategorikannya kepada tiga jenis, yaitu:
a. ‘Urf yang diterapkan oleh semua fuqaha>’, yaitu ‘urf yang diisyaratkan oleh
suatu nas}s} di suatu tempat. ‘Urf yang seperti ini sepakat diterapkan dan
merupakan hukum syariat yang permanen, tidak berubah dan tidak
berganti. Perubahan dan pergantiannya mengakibatkan naskh terhadapnya,
dan tidak ada lagi naskh sepeninggal Rasu>lulla>h SAW. 280
b. ‘Urf yang mengandung hal-hal yang oleh Sha>ri‘ diharamkan secara pasti,
atau diabaikannya suatu kewajiban yang ditetapkan nas}s} dan tidak bisa di-
takhs}i>s}. Berdasarkan ijma>‘, maka ‘urf semacam ini tidak boleh diamalkan,
bahkan merupakan kerusakan umum yang harus dihentikan.
c. ‘Urf yang tidak ada larangan, tidak ada petunjuk yang mengarahkan, dan
tidak ada isyarat nas}s} terkait pengamalannya. ‘Urf semacam ini familiar
dan berlaku bagi masyarakat, berupa gaya bahasa dan tutur, pekerjaan-
pekerjaan yang mereka saling mengerti dan terbiasa, baik di bidang
muamalah atau selainnya, yang tidak ada dalil shar‘i> yang menafikan atau
menyatakan keberadaannya.281

Perdebatan Ulama tentang Makna ‘Urf dan ‘A<dah


1. ‘Urf dan ‘a>dah adalah dua kata yang sinonim. Imam Ibn ‘A<bidi>n dari kalangan
H{anafi>yah mengatakan, ‚Kata ‘a>dah terbentuk dari kata mu‘a>wadah yang
berarti mengulang berkali-kali hingga menjadi dikenal, melekat mantap pada
jiwa dan akal, serta diterima apa adanya tanpa keterkaitan pada sesuatu

276
Al-Bugha>, Athar al-Adillah, 247.
277
Al-Zarqa>', Al-Madkhal al-Fiqh al-‘A<m, j. II, 848.
278
Abu> Sanah, Al-‘Urf wa al-‘A<dah, 25.
279
Al-Bugha>, Athar al-Adillah, 248.
280
Abu> Zahrah, Ma>lik, 336.
281
Al-Bugha>>, Athar al-Adillah, 245.

77
(‘ala>qah wa qari>nah), sehingga menjadi h}aqi>qah al-‘urfi>yah. Jadi, ‘a>dah dan ‘urf
itu memiliki makna yang sama secara konotatif, meskipun berbeda dari segi
denotatif.‛282 Demikian pula pendapat ‘Abd Al-Wahha>b Khallaf, 283 yang
mengatakan, ‚‘Urf dan ‘a>dah menurut ahli syariah adalah sinonim‛.284
2. Kata ‘Urf digunakan untuk perkataan dan ‘a>dah untuk perbuatan, sebagaimana
definisi dari kitab Fus}u>l al-Bada>’i‘ fi> Us}u>l al-Shara>’i‘ yang dikutip oleh Sayyid
S}a>lih ‘Iwad}, ‚Para ulama membatasinya dalam lima hal, yaitu sesuatu yang
didasari ‘urf dalam bentuk perkataan, dan ‘a>dah dalam bentuk perbuatan.‛285
Muh}ammad Fahmi> Abu> Sanah mengkritik pendapat ini dengan mengatakan,
‚Pembatasan ini tidak signifikan, karena para ulama fikih salaf dan khalaf
memberlakukan ‘a>dah pada perkataan dan perbuatan secara bersamaan.‛286
3. Antara ‘urf dan ‘a>dah itu ekuivalen dengan relasi yang bersifat umum dan
khusus. ‘A<dah lebih umum karena berarti kebiasaan kolektif dan ‘urf untuk
kebiasaan individu. Jadi ‘urf lebih khusus dan ‘a>dah lebih umum. Setiap ‘urf
adalah ‘a>dah, tetapi tidak setiap ‘a>dah adalah ‘urf. Pendapat ini dipakai oleh al-
Zarqa> dan Abu> Sanah. 287
Pendapat terakhir ini diunggulkan oleh Ah}mad al-Muba>raki> karena dua
alasan, yaitu dari segi makna konotatif dan segi realitas fikih. Realitas praktis dan
implementasi fikih yang dimaksud ialah ada hal yang diulang-ulang secara individu
namun tidak mungkin disebut dengan kata ‘urf, melainkan dengan kata ‘a>dah.
Contohnya ialah ‘a>dah atau kebiasaan haid seorang wanita dan kebiasaan qa>’if288
dalam menetapkan hasil penyidikannya, yang diakui setelah terbukti bahwa
firasatnya sering benar. Di sisi lain, ‘a>dah jama>‘i>yah dalam bentuk perkataan atau
perbuatan itu boleh disebut ‘urf, sebagaimana bisa juga disebut dengan ‘a>dah. 289

Perbedaan Makna ‘Urf dan Ijma>‘


Perbedaan esensial antara ‘urf dan ijma>‘ ada pada aspek-aspek berikut ini:
1. ‘Urf terbentuk dari mayoritas masyarakat yang sejalan atas sesuatu yang akrab
dikenali (familiar) sehingga mencakup kalangan umum dan khusus, literal dan
illiteral, mujtahid dan masyarakat awam. Adapun ijma>‘ tidak terbentuk kecuali
dari kesepakatan para ulama atau mujtahid saja, tidak selain mereka.
2. ‘Urf tidak dibentuk dan tidak dijadikan sebagai faktor penentu hukum
(tah}ki>m). Adapun ijma>‘ terjadi hanya atas kesepakatan para ulama dalam suatu
perkara tanpa membutuhkan praktik yang berulang-ulang. 290
3. Ijma>‘ harus memiliki sandaran nas}s}, qiya>s, atau dalil-dalil yang dikategorikan
kepada keduanya. Adapun ranah ‘urf, sandaran dan stimulusnya adalah

282
Ibn ‘A<bidi>n, Majmu>‘ah Rasa>’il, j. II, 114.
283
Khallaf, Mas}a>dir al-Tashri>‘, 145.
284
Al-Fa>si>, Maqa>s}id al-Shari>‘ah, 152.
285
Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 171.
286
Abu> Sanah, Al-‘Urf wa al-‘A<dah, 13.
287
Abu> Sanah, Al-‘Urf wal-‘A<dah, 13.
288
Ahli ginealogi masyarakat Arab.
289
Al-Muba>raki>, Al-‘Urf wa Atharuh, 50.
290
Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 172.

78
kebutuhan-kebutuhan manusia, upaya realisasi maslahat mereka dan upaya
menghilangkan beban sulit dari mereka.
4. Hukum yang bersandar pada ijma>‘ itu seperti hukum yang bersandar pada nas}s},
tidak boleh diubah atau diganti. Ijma>‘ juga menjadi argumentasi bagi generasi
sesudah generasi para pelaku ijma>‘, sedangkan hukum yang disandarkan pada
‘urf itu berubah-ubah mengikuti perubahan masyarakat, dan ia tidak mengikat
kecuali terhadap orang yang telah akrab dengan ‘urf itu.
5. ‘Urf dijadikan faktor penentu hukum apabila telah akrab bagi mayoritas atau
semua elemen masyarakat, sehingga implementasinya tidak terbatalkan atau
terhalangi oleh penyangkalan sebagian orang terhadapnya. Ini berlaku pada ‘urf
umum dan khusus. Sementara itu ijma>‘ tidak tercapai kecuali atas kesepakatan
semua ulama atau mujtahid yang semasa.
6. ‘Urf ada kalanya negatif, seperti seandainya manusia sama-sama akrab dengan
suatu perkara yang diharamkan dan berbenturan dengan nas}s}.291 Lain halnya
dengan ijma>‘ yang tidak mungkin negatif292 karena umat yang dirahmati Allah
ini tidak mungkin menyepakati suatu kesesatan.293 Misalnya adalah ‘urf
muamalah riba seperti yang terjadi dewasa ini. Ia dianggap sebagai ‘urf fa>sid
dan tidak diamalkan karena berbenturan dengan syariat.

Perdebatan Ulama Seputar Syarat-syarat Pemberlakuan ‘Urf


Para fuqaha>’ mensyaratkan sejumlah kriteria pemberlakuan ‘urf sebagai
tuntunan bagi umat Islam, agar tetap pada koridor untuk kemaslahatan mereka.
Pertama. ‘Urf tidak bertentangan dengan nas}s} shar‘i> atau pokok yang qat}‘i>.
Ini memiliki dua kondisi sebagai berikut:
a. Tidak berbenturan dengan syariat pada tataran pokok, seperti manusia telah
sama-sama memaklumi berbagai kebiasaan dalam bisnis, kebijakan politik, dan
proses peradilan. Agar sistem sosial seluruhnya sejalan dengan watak syariat,
dituntut adanya tata kelola yang baik serta berbagai upaya perbaikannya.
b. Diantara ‘urf dan dalil-dalil shara‘ terdapat kontradiksi lahiriah, tetapi bisa
dikompromikan dengan salah satu metode kompromi yang diakui ulama. Juga
nas}s} bisa didudukkan pada ‘urf, dimana nas}s} itu sendiri menjadi mu‘allil
(penyebab hukum) bagi ‘urf, sehingga ‘urf memiliki tempat untuk direnungkan
serta dianalisis keberlakuannya. 294
Contoh kasusnya ialah hadis yang menyatakan bahwa Nabi SAW melarang
jual beli h}as}s}ah dan jual beli gharar. 295 Jadi setiap jual-beli yang tidak diketahui
ukuran obyek jual-belinya itu tidak sah. Akan tetapi jual beli air dalam bejana
adalah sah meskipun tidak diketahui ukurannya, lantaran berlaku ‘urf. Pelarangan

291
Al-Muba>raki>, Al-‘Urf wa Atharuh, 52.
292
Al-Mans}u>r, Us}u>l al-Fiqh, j. II, 512.
293
Al-Turki>, Us}u>l Mazhab al-Ima>m Ah}mad, 584.
294
‘A<dil Qu>tah, Al-‘Urf wa Atharuh, j. I, 244.
295
Riwayat Muslim, Ah}mad, Abu> Dawu>d, al-Tirmidhi>, al-Nasa>’i>, Ibn Ma>jah, al-
Da>rimi>, al-Da>ruqut}ni>, al-T{abra>ni>, Ibn Abi> ‘A<s}im, al-Bayhaqi>, Ibn H{ibba>n, Ma>lik, dan al-
Sha>fi‘i>. Lihat: Ah}mad Ibn ‘Ali> Ibn H{ajar al-‘Asqalla>ni>, Talkhi>s} al-H{abi>r fi> Takhri>j Ah}a>di>th
al-Ra>fi‘i> al-Kabi>r (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1419H-1998M), j.III, 12-13.

79
dalam dua masalah cabang tersebut kembali kepada ijma>‘.296 Jadi, sebenarnya ‘urf
itu bukan berkedudukan sebagai mukhas}s}is} dan muqayyid, melainkan yang menjadi
mukhas}s}is} dan muqayyid adalah ijma>‘ yang menjadi sandaran ‘urf.
Kedua. ‘Urf harus bersikap konstan atau gha>lib (dominan). Konstan ialah
pengamalan ‘urf harus terus-menerus di semua kejadian, tidak boleh ditinggalkan
dalam satu kejadian pun. Dominan ialah pengamalannya berlangsung di sebagian
besar kejadian, tidak mesti seluruhnya.297
Al-Suyu>t}i> berpendapat bahwa ‘A<<>dah diberlakukan tatkala konstan. Apabila
berubah-ubah, maka tidak boleh diberlakukan. Jika terjadi kesimpangsiuran tentang
keberadaannya, maka itu disebabkan terdapat ikhtilaf di dalamnya. Imam al-
H{aramayn dalam bab Us}u>l wa al-Thama>r mengatakan bahwa setiap hal yang di
dalamnya tampak jelas kontinuitas dan konstanitas ‘a><dah, maka ia muh}akkam.
Yang mud}mar (intrinsik) sama kedudukannya dengan yang madhku>r (ekstrinsik).
Setiap hal yang diperselisihkan mengenai hukumnya apakah sebagai ‘a><dah atau
bukan, maka itu memicu ikhtilaf.298
Makna ini ditegaskan oleh al-Sha>t}ibi> dalam pendapatnya, ‚Jika kebiasaan-
kebiasaan telah berlaku secara shara‘, maka itu tidak tercederai oleh peristiwa
anomali selama kebiasaan tersebut secara global tetap menjadi kebiasaan.‛299
Makna ini juga diisyaratkan oleh kaidah fiqhi>yah, ‚Yang menjadi patokan adalah
yang dominan,300 sedangkan yang jarang itu tidak memiliki hukum.‛301
Ketiga. ‘Urf bersifat umum dan berlaku di seantero negeri, tidak
sebagiannya. Ada kalanya ‘urf bersifat umum namun praktiknya tidak terus-
menerus, sehingga ia bukan konstan. Bisa jadi pula ‘urf bersifat khusus bagi suatu
kelompok, profesi tertentu, atau penduduk negeri tertentu. Bisa jadi yang umum itu
tidak konstan, dan yang konstan tidak umum. Syarat ini tidak disepakati oleh para
ulama, sebagaimana pendapat mereka:
a. Sebagian kalangan H{ana>fi>yah dan Sha>fi‘i>yah mensyaratkan ‘urf harus bersifat
umum. Maknanya, dalam pandangan mereka ‘urf yang bersifat khusus menjadi
tidak berlaku.
b. Mayoritas ulama dari kalangan Ma>liki>yah, sebagian kalangan H{ana>fi>yah dan
Sha>fi‘i>yah tidak mensyaratkan ‘urf bersifat umum, sehingga ‘urf khusus pun
berlaku sama seperti ‘urf umum.
Ibn Nujaym menjelaskan perbedaan pendapat ulama tentang syarat ini,
‚Kesimpulannya, mazhab (kami) tidak memberlakukan ‘urf khusus, tetapi banyak
ulama yang memfatwakan berlakunya ‘urf khusus.‛302

296
Abu> Sanah, Al-‘Urf wa al-‘A<dah, 83.
297
Al-Bugha>, Athar al-Adillah, 280.
298
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, 185.
299
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, j. II, 288.
300
Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naz{a>’ir (Kara>tshi>: Ida>rah al-Qur’a>n wa al-‘Ulu>m
al-Isla>mi>yah, t.t.), j.I, 128.
301
Ah}mad al-Zarqa>’, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 235-236. Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h
wa al-Naz{a>’ir, 122.
302
Al-Muba>raki>, Al-‘Urf wa Atharuh, 95.

80
Keempat. ‘Urf yang hendak dijadikan faktor penentu hukum dan dijadikan
acuan tindakan, diakui eksistensinya dan dipraktikkan pada waktu tindakan itu
dimunculkan, sehingga ‘urf hanya berdampak pada yang sesudahnya, bukan yang
berlangsung sebelumnya. Dalam hal ini ‘urf qawli> dan ‘urf ‘amali> adalah sama.
Mengenai hal ini al-Suyu>t}i> dan Ibn Nujaym menegaskan, ‚Para ulama
mengatakan bahwa ‘urf yang insidentil adalah tidak berlaku.303 Oleh karena itu ‘urf
berlaku dalam muamalah,304 bukan pada ta‘li>q, sehingga ta‘liq itu tetap pada sifat
umumnya, tidak bisa ditakhs}is} oleh ‘urf.‛305
Kelima. ‘Urf tidak berbenturan dengan pernyataan tegas tentang hal yang
sebaliknya. Artinya, tidak boleh terdapat pernyataan tegas yang menyatakan
adanya kebiasaan masyarakat yang berlawanan dengan ‘urf, ataupun adanya juga
perbuatan yang menunjukkan sesuatu yang kontra dengan kandungan ‘urf.
Apabila ada pernyataan tekstual yang secara jelas dan tegas berlawanan
dengan ‘urf, maka ‘urf dalam perkara tersebut menjadi batal. Hal ini karena ‘urf
lebih lemah daripada pernyataan tekstual yang tegas, sehingga sisi tekstual (lafz}i>)
lebih diunggulkan ketika terjadi benturan.306
Keenam. ‘Urf harus bersifat mulzim (mengikat). Apabila kelima syarat ‘urf
di atas telah terhimpun, maka ‘urf menjadi mulzim dan berlaku dalam penetapan
hukum syariat. Makna mulzim adalah kepastian praktik sesuai ‘urf dalam
pandangan manusia. Makna ini diisyaratkan oleh pernyataan fuqaha>’,
307

‚‘Urf itu sama kedudukannya dengan syarat.‛


308

‚Sesuatu yang menjadi ‘urf di antara pada pedagang itu seperti sesuatu yang
disyaratkan di antara mereka.‛
309
,,
‚Kebiasaan masyarakat itu (dapat) dijadikan patokan 81okum.‛
Syarat bahwa ‘urf bersifat mulzim ini diasumsikan sebagai konsekuensi
dari terealisirnya syarat-syarat ‘urf sebelumnya. Di antara definisi ‘urf, yaitu
sesuatu yang telah melekat mantap pada jiwa dengan bersumber dari akal dan
diterima oleh watak yang bersih. Ini tidak lain merupakan bukti bahwa ‘urf tersebut
bersifat mulzim. 310

Dinamika Pendapat Para Ulama terhadap Argumentasi ‘Urf


Imam al-Qara>fi> menyatakan, ‚‘A<dah mengandung kelaziman suatu makna
di antara makna-makna yang lain. Terkadang kelaziman ini berlaku di semua

303
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, 68.
304
Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, j.I, 133.
305
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, 68-71.
306
Muh}ammad ‘Ali>, Al-‘Urf wa Atharuh fi> al-Ah}ka>m (Al-Qa>hirah: Da>r Ibn
Luqma>n, 1418H-1998M), 55.
307
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h wa al-Naz{a>’ir, 63.
308
Al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 237, 239, 219.
309
Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, j.I, 126.
310
‘A<dil Qu>tah, Al-‘Urf wa Atharuh, j. I, 246.

81
wilayah seperti kebutuhan terhadap makanan dan menghirup nafas. Ada kalanya
berlaku khusus di negeri tertentu seperti mata uang, atau berlaku khusus bagi
kelompok tertentu seperti azan bagi umat Islam dan lonceng bagi umat Kristen.
Ada pendapat bahwa di antara ciri khas mazhab kami adalah memberlakukan ‘a>dah,
al-mas}a>lih} al-mursalah dan sadd az\-z\ara>’i‘. Padahal tidak demikian. Adapun ‘urf
berlaku umum di berbagai mazhab. Siapapun yang menyelidiki masalah ‘urf ini,
akan menjumpai bahwa para ulama mazhab berbicara dengan jelas tentangnya.‛311
Mengenai pemberlakuan ‘urf terhadap syariat, Ibn ‘A<bidi>n menyatakan
dalam sebuah syair rajaz sebagai berikut:
312

‘Urf berlaku dalam syariat, karenanya hukum dikisarkan padanya

Al-Bukha>ri>, dalam al-S}ah}i>h} kitab tentang Jual Beli, menulis Bab tentang
‘Urf yang sah dan tidak berbenturan dengan syariat. Judul bab tersebut adalah
‚Bab: Orang yang Menjalankan Urusan yang Menjadi Kebiasaan Diantara Mereka
dalam Perkara Jual Beli, Sewa Menyewa, Takaran dan Timbangan; serta Aturan
yang Berlaku bagi Mereka adalah Sesuai Niat dan Mazhab Mereka yang Masyhur.‛
Di dalam bab ini al-Bukha>ri> mencantumkan perkataan Shurayh} kepada para tukang
tenun kain, ‚Aturan yang berlaku adalah aturan kalian di antara kalian.‛
‘Abd al-Wahha>b menceritakan dari Ayyu>b dari Muh}ammad Ibn Si>ri>n:
‚Tidak ada larangan menjual barang senilai sepuluh dengan harga sebelas, dan
boleh mengambil untung untuk nafkah.‛ Nabi SAW bersabda kepada Hindun Bint
‘Utbah, ‚Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma‘ruf.‛
Alla>h Ta‘a>la berfirman, ‚Dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta
itu menurut yang patut‛ (Qs. Al-Nisa>’ [4]: 6). Pada suatu hari H{asan al-Bis}ri>
menyewa seekor keledai dari ‘Abdulla>h Ibn Mirda>s. H{asan bertanya, ‚Berapa
sewanya?‛ ‘Abdulla>h menjawab, ‚Dua da>niq.‛ Lalu H{asan menaikinya. Di lain
kesempatan, H{asan datang dan berkata, ‚Aku sewa keledai!‛ Lalu ia menaikinya
tanpa mensyaratkan sewanya, lalu ia mengirimkan uang setengah dirham kepada
‘Abdulla>h.‛313
Ibn H{ajar mengomentari judul Bab tersebut, bahwa Ibn Muni>r dan
selainnya berpendapat bahwa maksud dari judul Bab ini adalah mengakui sandaran
‘urf, dan bahwa ia dipahami secara tekstual. Seandainya seseorang mewakilkan
orang lain untuk menjualkan sebuah barang, lalu orang lain itu menjualnya dengan
pembayaran berupa uang yang tidak dikenal masyarakat maka hukumnya tidak
boleh. Begitu juga seandainya ia menjualkan barang yang ditakar atau ditimbang
dengan takaran dan timbangan yang tidak biasa berlaku. Al-Qa>dhi> H{usayn dari
kalangan Sha>fi‘iyah menyebutkan bahwa kembali kepada ‘urf merupakan salah satu
dari lima kaidah yang menjadi fondasi fikih, diantaranya adalah:

311
Al-Qara>fi>, Sharh} Tanqi>h} al-Fus}u>l, 352-353.
312
Ibn ‘A<bidi>n, Majmu>‘ah Rasa>’il, j. I, 44.
313
Ibn H{ajar al-‘Asqalla>ni>, Fath} al-Ba>ri> fi> Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Bayru>t: Da>r al-
Fikr, 1411H-1991M), j.V, 155.

82
1. Kembali kepada ‘urf dalam mengetahui sebab-sebab hukum berupa sifat
tambahan, seperti besar kecilnya uang perak, kelaziman tebal dan tipisnya
jenggot, dekat dan jauhnya rumah, banyak sedikitnya perbuatan dan ucapan
dalam shalat, kompensasi dalam jual-beli, harga standar, mahar standar,
kesetaraan dalam pernikahan, pemberian nafkah, tempat tinggal, serta hal-hal
yang sepantasnya untuk kondisi seseorang, dan lain-lain.
2. Kembali kepada ‘urf dari segi ukuran seperti masa haid dan masa suci,
maksimal masa haid dan usia menopause.
3. Kembali kepada ‘urf pada perbuatan yang belum diatur tetapi berdampak
hukum, seperti menghidupkan lahan mati, ijin perjamuan, masuk rumah
kerabat, penitipan, hadiah, ghasab, wadi>‘ah, dan pemanfaatan pinjaman.
4. Kembali kepada ‘urf dalam perkara tertentu seperti kata-kata sumpah, wakaf,
wasiat, tafwi>d}, ukuran takaran dan timbangan, mata uang, dan lain-lain.314

Ah}mad Fahmi> Abu> Sanah menegaskan makna tersebut, ‚Para fuqaha>’


mempertimbangkan ‘urf kendati berbeda-beda mazhab mereka. Mereka menjadikan
‘urf sebagai fondasi bangunan sebagian besar hukum-hukum fikih.‛315
Abu> Zahrah menyimpulkan bahwa ‘urf adalah bagian us}u>l fiqhi>yyah yang
berlaku di berbagai mazhab, ‚Fikih Ma>likiyah> sama seperti fikih H}anafi>yah,
menerapkan ‘urf dan menganggapnya sebagai salah satu us}u>l fiqhiyyah dalam
perkara yang tidak ada nas}s} qat}‘i> di dalamnya. Bahkan mazhab Ma>liki>yah lebih
mengapresiasi ‘urf daripada mazhab H}anafiyah> karena faktor mas}a>lih} menjadi
penopang fikih Ma>liki> dalam istidla>l. Tidak diragukan bahwa perhatian terhadap
‘urf yang tidak mengandung kerusakan adalah salah satu bentuk maslahat yang
tidak boleh diabaikan oleh seorang pun ulama fikih.‛316
Di tempat lain Abu> Zahrah mengatakan: ‚Mazhab H{anbali>yah sama seperti
mazhab Ma>liki>yah dan H{anafi>yah; di lebih dari satu tempat mereka menundukkan
nas}s} dan athar kepada ‘urf, sehingga pemberi fatwa merasa tenang lantaran
fatwanya berjalan sesuai kebiasaan manusia apabila tidak ada athar pendukung atau
pendorong maslahat. Jadi, kata-kata sumpah, wasiat dan akad-akad lainnya
didudukkan sesuai kebiasaan manusia.‛317
Berkaitan dengan penggunaan ‘urf sebagai metode dalam berijtihad, Ibn al-
Qayyim mengatakan: ‚Barangsiapa memberi fatwa kepada masyarakat dengan
berpegang semata kepada kitab-kitab fikih secara tekstual ”padahal tradisi,
kebiasaan, waktu, tempat, kondisi serta hal-hal yang melingkupi kondisi mereka itu
berbeda„ maka ia telah sesat dan menyesatkan. Kejahatannya terhadap agama
lebih besar daripada kejahatan orang yang mengobati tubuh semua manusia dari
berbagai negara, kebiasaan, waktu dan tabiat mereka dengan berpegang pada satu
kitab medis. Bahkan tabib dan mufti yang bodoh ini lebih membahayakan bagi
agama dan tubuh manusia.‛318
314
Ibn H{ajar al-‘Asqalla>ni>, Fath} al-Ba>ri>, j.V, 153-156.
315
Abu> Sanah, Al-‘Urf wa al-‘A<dah, 29.
316
Abu> Zahrah, Ma>lik, 336.
317
Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 178.
318
Al-Muba>raki>, Al-‘Urf wa Atharuh, 187.

83
Al-Sha>fi‘i> dalam mengeluarkan berbagai pendapatnya yang masyhur pada
periode qawl qadi>m, ternyata dipengaruhi oleh lingkungan Irak. Namun setelah
pindah ke Mesir, ia pun menarik sebagian pendapatnya, karena terkait oleh
lingkungan Mesir yang berbeda. Pendapat-pendapatnya yang terakhir ini biasa
disebut qawl jadi>d. 319
Demikianlah, perubahan zaman dan problema serta kondisi yang baru,
berpengaruh terhadap hukum-hukum ijtiha>di> . Ini karena ijtihad dibangun antara
lain di atas kebiasaan-kebiasaan dan faktor-faktor maslahat. Semua ini menjadi
keharusan bagi para mufti dan hakim untuk merevisi pendapat para ulama terdahulu
dan redaksi kitab-kitab fikih yang menjelaskan masalah-masalah cabang dan
masalah-masalah yang didasarkan pada kebiasaan dan tradisi masa lalu.320

319
Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 205.
320
Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 232.

84
BAB III
PROFIL MAJMA‘ AL-FIQH AL-ISLA<MI>><

Dari uraian pada Bab Pendahuluan tentang topik penelitian ini, maka hal
pertama yang perlu diketahui ialah tentang Majma‘ al-Fiqh. Untuk itu pada Bab II
ini akan disampaikan secara ringkas profil Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>.1 Hal ini
diperlukan untuk dapat memahami:
1. Sasaran dan tujuan didirikannya Majma‘
2. Kegiatan-kegiatan intelektual yang pokok dalam meraih tujuan tersebut
3. Cakupan pembahasan masalah dan fatwa yang dikeluarkan oleh Majma‘
4. Acuan dan prinsip-prinsip ijtihad yang diterapkan dalam rapat-rapat
Majma‘
5. Prosedur pengambilan keputusan (qara>r)2

Sesuai dengan tujuan penulisan karya ilmiah ini, maka penulis


mencukupkan diri dengan menguraikan Sub-Bab dan butir-butir yang dipandang
relevan dengan pembahasan pada bab-bab berikutnya.

Latar Belakang dan Sejarah

Di dunia Islam terdapat dua lembaga keulamaan yang bersifat internasional


yang menggunakan kata ‛Majma‘ al-Fiqh‛, yaitu Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> li
Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi> yang dimiliki oleh Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi> (Muslim
World League)3 dan berkedudukan di Makkah al-Mukarramah, serta Majma‘ al-
Fiqh al-Isla>mi> munaz}z}amah al-Ta‘a>wun al-Isla>mi>.
Adapun organisasi Majma‘ yang dimaksud dalam penelitian ini ialah
Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> al-Dawli> Munaz}z}amah al-Ta‘a>wun al-Isla>mi> atau
International Islamic Fiqh Academy of Organization of the Islamic Cooperation
(IIFA ” OIC) . Untuk selanjutnya cukup disebut dengan Majma‘. Lembaga ini
4
didirikan oleh Mu’tamar al-Isla>mi> (Organization of Islamic Conference) atau

1
Majma‘ merupakan kata benda yang menunjukkan tempat. Diambil dari kata
jama‘a ” yajma‘u ” jam‘an yang berarti berkumpul dan sekumpulan, sehingga majma‘
berarti tempat berkumpul atau berhimpun. Lihat: Louis Ma’lu>f, Al-Munjid fi> al-Lughah
(Bayru>t: Da>r al-Mashriq, 1977), 101.
2
Qara>r merupakan kata benda abstrak (mas}dar) dari kata qarra ” yaqirru/yaqarru ”
qara>ran, quru>ran, qarran, taqra>ran, yang berarti menetapkan, ketetapan. Lihat: Ma’luf, Al-
Munjid, 616.
3
Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi> (Muslim World League) ialah sebuah lembaga
kerjasama Islam non-pemerintah tingkat internasional yang para anggotanya dipilih dan
diangkat secara individu, bukan ex-officio dari negara atau organisasi Islam tertentu.
Didirikan pada 14 Dhu al-Hijjah 1381H atau bertepatan dengan 18 Mei 1962. Dengan
demikian para ‘ulama dalam Majma‘ al-Fiqh ini diangkat secara pribadi pula. Berkantor
pusat di Umm al-Ju>d, Makkah al-Mukarramah.
4
Mu’tamar al-Isla>mi> (Organization of Islamic Conference), sekarang berganti nama
menjadi al-Ta‘a>wun al-Isla>mi> (Organization of Islamic Cooperation), merupakan wadah

85
Organisasi Konperensi Islam (OKI)5 pada tahun 1981 berdasarkan Keputusan
Mu’tamar al-Qimmah al-Isla>mi> (KTT OKI) yang ketiga dengan tema mu’tamar
‛Pembahasan tentang Tanah Suci Yerusalem di Palestina‛ (Dawrah Filist}i>n al-
Quds) yang berlangsung di Makkah al-Mukarramah pada tanggal 19-22 Rabi>‘ al-
Awwal 1401 H atau bertepatan dengan 25-28 Januari 1981 M. 6
Deklarasi pendirian Majma‘ dilakukan pada tanggal 25 Januari 1981.
Adapun keputusan mu’tamar tersebut yang berkaitan dengan Majma‘ ialah:
1. Pembentukan Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> dengan anggota yang terdiri dari para
fuqaha>’, ‘ulama>’, dan para pemikir dalam berbagai disiplin ilmu yang berasal
dari berbagai negeri muslim untuk mengkaji persoalan-persoalan kehidupan
manusia melalui ijtihad dengan sungguh-sungguh.
2. Menunjuk Sekretaris Jenderal Majma‘ untuk meletakkan dasar dan membangun
pilar-pilar sistem organisasi dan pemikiran Majma‘ bersama-sama dengan
Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi>, yang akan dipresentasikan pada mu’tamar para
menteri luar negeri yang akan datang.7
Rapat tersebut dihadiri oleh perwakilan dari 39 negara anggota OKI dan 8
organisasi Islam tingkat internasional. Wakil dari Republik Indonesia yang hadir
pada saat pendirian tersebut ialah Dr. Anton Timur Jaelani dan Zaini Dahlan dari
Departemen Agama Republik Indonesia.
Kantor Majma‘ pada mulanya berada dalam satu gedung dengan kantor
Sekretariat Jenderal OKI. Akan tetapi saat ini Majma‘ telah menempati gedung
tersendiri di ‘Imarah al-Qurayshi>, Sha>ri‘ Filist}i>n, Jeddah, Arab saudi. Sedangkan
rapat-rapat (selanjutnya disebut mu'tamar) Majma‘ diselenggarakan berpindah-
pindah di berbagai negara anggota OKI.8
Selama kurun waktu antara 1985 s.d. 2010, Majma‘ telah mengalami
pergantian sekretaris jenderal (al-ami>n al-‘a>m) dari Dr. Muh}ammad al-H{abi>b Ibn al-
Khawjah9 kepada Dr. ‘Abd al-Sala>m Da>wu>d al-‘Abba>di>>.10

bagi 57 negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim. Didirikan di Rabat, Maroko pada 12


Rajab 1389H (25 September 1969). Pada waktu itu para pemimpin dunia Islam mengadakan
pertemuan untuk melawan penjajah Zionis Israel yang menduduki kota al-Quds seraya akan
membakar Masjid al-Aqs}a> pada 21 Agustus 1969. Berkantor pusat di Jeddah, Arab Saudi.
Lihat: http://www.oic-un.org/about_oic.asp. Diakses pada 15 Pebruari 2014.
5
Sekarang berganti nama menjadi Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
6
"Al-Taqri>r al-‘A<m wa al-Qara>ra>t li al-Mu’tamar al-Ta’si>si> li Majma‘ al-Fiqh al-
Isla>mi>", dalam Watha>’iq wa Qara>ra>t al-Majlis al-Ta’si>si> wa al-Mu’tamar al-Awwal li al-
Majma‘ (1407H-1986M), 43.
7
Dilakukannya kerjasama dengan Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi> tampaknya dengan
pertimbangan bahwa Ra>bit}ah merupakan lembaga muslim internasional yang dikenal luas
dan cukup berpengaruh di negeri-negeri muslim, serta letak kantor pusat masing-masing
yang tidak terlalu jauh.
8
Sejumlah Negara-negara muslim pernah menjadi tuan rumah mu'tamar Majma‘,
kecuali Indonesia. Bahkan sebagai negeri muslim terbesar, Indonesia tidak memiliki wakil
dalam organisasi Majma‘.
9
Dr. Ibn al-Khawjah adalah seorang faqi>h berkebangsaan Tunisia.
10
http://www.fiqhacademy.org.sa/. Diakses pada 15 Pebruari 2014.

86
Sementara Ketua (ra’i>s) Majma‘ dipegang oleh Dr. Bakr Ibn ‘Abdilla>h Abu>
Zayd11 sejak berdirinya hingga selama kurang lebih 20 tahun. Pada tahun 2007,
karena kondisi kesehatan beliau yang tidak memungkinkan, posisinya digantikan
oleh Dr. S{a>lih} Ibn H{umayd. Adapun Shaykh Bakr Abu> Zayd wafat pada 5 Pebruari
2008 di Riya>d}. Shaykh Ibn H{umayd, Ra’i>s Majma‘ saat ini, pernah menjadi Imam
dan Khat}i>b di Masjid al-H{ara>m12 serta Ketua Majlis Shu>ra> Kerajaan Arab Saudi.
Sedangkan sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Ima>mah Masjid al-
H{ara>m dan Masjid al-Nabawi>.
Majma‘ merupakan lembaga yang terdiri dari penasehat, dewan
kehormatan, dewan pengurus harian, sekretariat dan komisi (shu‘bah). yaitu :
1. Komisi Perencanaan dan Transliterasi (Shu‘bah al-Takht}i>t} wa al-Tarjamah)
2. Komisi Kajian dan Penelitian (Shu‘bah al-Dira>sa>t wa al-Buhu>th)
3. Komisi Fatwa (Shu‘bah al-Ifta>’)

1. Susunan Anggota pada Saat Didirikan


Susunan anggota Majma‘ Komisi Perencanaan dan Transliterasi ( Shu‘bah
al-Takht}i>t} wa al-Tarjamah) ketika pertama kali didirikan ialah :13
No Nama Asal Jabatan
1 Dr. Muh}ammad ‘Abd al-Lat}i>f S{a>lih} Asisten Menteri Waqaf untuk
al-Farfu>r Urusan Ulama, Suriah
2 Dr. Ibra>hi>m Bashi>r al-Ghuwayl Pejabat pada Majlis al-‘A<lami> li al-
Da‘wah al-Isla>mi>yah, Libya
3 Shaykh Tija>ni> S{a>bu>n Muh}ammad Direktur Pengajaran Bahasa Arab,
Chad
4 Sayyid Ru>ha>n Muba>y Direktur Lembaga Kajian Islam,
Senegal
5 Sayyid Muh}ammad Sa>lim Ketua Mahkamah Agung,
Muh}ammad ‘Ali> ‘Abd al-Wadu>d Mauritania
6 Dr. ‘Abd al-Rah}ma>n Shayba>n Menteri Urusan Agama, Aljazair
7 Dr. ‘Abd al-Sala>m Da>wu>d al- Wakil Menteri Waqaf dan Kesucian
‘Abba>di>> Islam, Yordania
8 Shaykh Muh}ammad ‘Abduh ‘Umar Direktur Pengadilan Publik di
Kementerian Kehakiman, Yaman
9 Dr. ‘Abd al-Satta>r Abu> Ghuddah Pejabat di Kementerian Waqaf,

11
Shaykh Bakr Ibn ‘Abdulla>h Abu> Zayd Ibn Muh}ammad Ibn ‘Abdulla>h Ibn Bakr
Ibn ‘Uthma>n Ibn Yah}ya>, berkebangsaan Arab Saudi, berasal dari suku Bani> Zayd al-
Qad}a>’i>yah. Dilahirkan pada tahun 1365H-1944M. Seorang faqi>h terkenal di Timur Tengah,
dan telah menghasilkan 66 buah buku. Lihat: http://www.ahlalhdeeth.com/vbe/archive/
index.php/t-1534.html. Diakses pada 15 Pebruari 2013.
12
Ima>m dan Khat}i>b di Masjid al-H{ara>m berbentuk Dewa>n Ima>mah untuk Masjid
Nabawi> di Madi>nah al-Munawwarah dan Masjid al-Hara>m di Makkah al-Mukarramah.
Keanggotaan Dewan tersebut diangkat oleh Raja Kerajaan Arab Saudi.
13
‚Qa>’imah bi Asma>’ A‘d}a>’ Shu‘bah al-Takht}i>t} wa al-Tarjamah‛, dalam Watha>’iq
wa Qara>ra>t al-Majlis al-Ta’si>si> wa al-Mu’tamar al-Awwal li al-Majma‘ (1407H-1986M),
199.

87
Kuwait
10 Dr. Must}afa> Ah}mad al-Zarqa>’ Guru Besar Fakultas Syariah
Universitas Yordania, Yordania
11 Dr. ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d al- Anggota Majma‘ al-Buhu>th al-
Jundi> Isla>mi>yah, Mesir14
12 Shaykh Muh}ammad Ibn Ah}mad Menteri Waqaf dan Urusan Agama,
H{asan al-Khazraji> Uni Emirat Arab
13 Prof. ‘Abd al-Ha>di> Bu> T{a>lib Direktur Utama Lembaga
Pendidikan, Ilmu, dan Peradaban
Islam, Maroko
14 Shaykh ‘Abd al-‘Azi>z Muh}ammad Anggota Majma‘ al-Buhu>th al-
‘I<sa> Isla>mi>yah, Mesir
15 Dr. Ta>ha> Ja>bir al-‘Ulwa>ni> Direktur Riset dan Kajian di Institut
Internasional Pemikiran Islam (IIIT),
Amerika Serikat15

Susunan anggota Komisi Kajian dan Penelitian (Shu‘bah al-Dira>sa>t wa al-


Buhu>th) ketika pertama kali didirikan ialah :16
No Nama Asal Jabatan
1 Dr. Muh}ammad Shari>f Ah}mad Penasehat di Kementerian Urusan
Agama, Irak
2 Sayyid Sayyidi> Muh}ammad Yu>suf Duta Besar Mali untuk Negara-
H{ayri> Negara Teluk , berkedudukan di Abu
Dhabi
3 Shaykh Dr. ‘Abdulla>h Ibra>hi>m Dekan Fakultas Syariah Universitas
Kebangsaan Malaysia, Malaysia
4 Mawla>na> Muh}ammad ‘Abd al- Anggota Bidang Kajian Lembaga
Rah}i>m Islam, Bangladesh
5 Sa‘a>dah Mu>sa> Fath}i> Ketua Mahkamah Agung, Maladewa
6 Fad}i>lah al-Shaykh Rajab al- Anggota Organisasi Pemerdekaan
Tami>mi> Palestina (PLO), Palestina
7 Dr. S{a>lih Tu>g Dekan Fakultas Ketuhanan (Ila>hi>ya>t)

14
Majma‘ al-Buh}u>th al-Isla>mi>yah adalah lembaga riset Islam tertinggi dalam
institusi al-Azhar, Mesir. Di antara produknya yang terkenal ialah kumpulan fatwa yang
dikeluarkannya. Buku tersebut dijadikan salah satu rujukan penting bagi banyak lembaga
keulamaan di dunia Islam. Lihat: http://www. sunnah.org/history/Scholars/mashaykh
azhar.htm. Diakses pada 15 Pebruari 2014.
15
IIIT (International Institute of Islamic Thought) merupakan lembaga riset Islam
yang terkenal di dunia. Memiliki misi untuk berperan aktif dalam kebangkitan pemikiran
Islam, yang berwujud dalam ide Islamisasi ilmu pengetahuan. Didirikan pada tahun 1401H-
1981M dan berkantor pusat di Herndon, Virginia, Amerika Serikat. Di antara tokoh
pentingnya ialah al-shahi>d Prof. Dr. Isma>‘i>l al-Fa>ruqi>. Lihat: http://www.iiit.org/
AboutUs/AboutIIIT/tabid/66/Default.aspx. Diakses pada 15 Pebruari 2014.
16
‚Qa>’imah bi Asma>’ A‘d}a>’ Shu‘bah al-Dira>sa>t wa al-Buh}u>th‛, dalam Watha>’iq wa
Qara>ra>t al-Majlis al-Ta’si>si> wa al-Mu’tamar al-Awwal li al-Majma‘ (1407H-1986M), 200.

88
Universitas Marmara, Turki
8 Shaykh Muh}ammad ‘Ali> ‘Abdulla>h Wakil Pemerintah Niger
9 Dr. ‘Abd al-Ha>di> Bu> T{a>lib Direktur Utama Lembaga
Pendidikan, Ilmu, dan Peradaban
Islam, Maroko
10 Dr. ‘Umar Ja>h Duta Besar Gambia untuk Arab
Saudi
11 Dr. Muh}ammad Mus}t}afa> Shalbi> Universitas al-Azhar, Mesir

Susunan anggota Majma‘ Komisi Fatwa (Shu‘bah al-Ifta>’) ketika pertama


kali didirikan ialah :17
No Nama Asal Jabatan
1 Shaykh ‘Abd al-‘Azi>z Muh}ammad Anggota Majlis al-Buhu>th al-
‘I<sa> Isla>mi>yah dan Majlis Shu>ra>, Mesir
2 Usta>dh Muh}ammad Mi>ku> Direktur al-Shu’u>n al-Di>ni>yah dan
Ketua Lajnah al-Khubara>’ al-
Mukallafi>n, Maroko
3 Al-Ha>jj ‘Abd al-Rah}ma>n Ba>h Menteri Urusan Keislaman dan
Imam Masjid al-Ma>lik Fays}al, Kenya
4 Shaykh Muh}ammad Taqi> ‘Uthma>ni> Qa>d}i> Mahkamah Tinggi, Pakistan
5 Shaykh Ah}mad Ibn Ah}mad al- Wakil Menteri Kehakiman dan Mufti
Khali>li> Umum Kesultanan Oman
6 Shaykh Muh}ammad ‘Abd al- Mufti dan Penasehat Presiden
Rah}ma>n Komoro
7 Shaykh Muh}ammad al-Mukhta>r Mufti Tunisia
Ibn Ah}mad al-Sala>mi>
8 Shaykh A<dam Shaykh ‘Abdulla>h Imam Masjid al-Tad}a>mun al-Isla>mi>
Moghadishu, Somalia
9 Shaykh Muh}ammad ‘Abd al-Lat}i>f Wakil Pengadilan Syariah Bahrain
‘Ali> Sa‘d
10 Shaykh Muh}ammad Isma>‘i>l al- Ketua Lajnah ‘Ilmi>yah li Tat}bi>q al-
H{a>jji> Shari>‘ah al-Isla>mi>yah S{an‘a’, Yaman
11 Dr ‘Umar Ja>h Duta Besar Gambia di Arab saudi
12 Shaykh Khali>l Muhyi> al-Din al-Mis Direktur Fakultas Da‘wah dan Da>r
al-Ifta>’ Libanon
13 Shaykh ‘Abdulla>h al-Bassa>m Anggota Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> li
Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi>, Makkah
al-Mukarramah, Arab Saudi
14 Shaykh Mus}t}afa> al-Zarqa>’ Fakultas Syariah, Yordania
15 Shaykh al-S{iddi>q al-D{ari>r Fakultas Hak-hak Sipil, Sudan
16 Dr ‘Abd al-Satta>r Abu> Ghuddah Al-Mawsu>‘ah al-Fiqhi>yah, Kuwait18

17
‚Qa>’imah bi Asma>’ A‘d}a>’ Shu‘bah al-Ifta>’‛, dalam Watha>’iq wa Qara>ra>t al-
Majlis al-Ta’si>si> wa al-Mu’tamar al-Awwal li al-Majma‘ (1407H-1986M), 201-202.

89
17 Dr ‘Abd al-‘Azi>z al-Khayya>t} Menteri Waqaf dan Kesucian Islam,
Yordania

Seiring perjalanan waktu, terjadi penambahan dan/atau pergantian


keanggotaan Majma‘. Dalam proses penggantian tersebut, sebagian di antara
mereka sebelumnya telah menjadi anggota Majma‘ dalam bidang atau komisi yang
lain. Sedangkan sebagian lainnya dengan pengangkatan anggota baru, yang di
antara mereka ialah:19
1 Dr. Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr Anggota Da>r al-Ifta>’ wa al-Irsha>d, Arab
Saudi20
2 Shaykh Muh}ammad Fawza>n al- Anggota Hay’ah Kiba>r al-‘Ulama>’,
Fawza>n Arab Saudi21
3 Shaykh Yu>suf al-Qard}a>wi> Mufti Masyarakat Muslim Eropa
4 Usta>dh Ah}mad al-Azhar Bashi>r Dekan Fakultas Kajian Keislaman
IAIN, Indonesia
4 Dr. Satria Effendi Fakultas Syariah IAIN Jakarta,
Indonesia
5 H{ujjah al-Isla>m Muh}ammad Penasehat Kepresidenan Urusan
‘Ali> al-Taskhi>ri> Penerangan Keislaman, Iran

2. Rencana Topik-Topik yang Akan Dibahas Majma‘


Pada mu'tamar Majma‘ yang pertama di Makkah al-Mukarramah pada 26-
29 S{afar 1405 yang bertepatan dengan 19-22 Nopember 1984, dihadiri pula oleh
perwakilan dari al-Bank al-Isla>mi> li al-Tanmi>yah (Islamic Development Bank).22
Dalam mu'tamar tersebut, Majma‘ mengeluarkan keputusan antara lain tentang
sejumlah topik yang akan dibahas dalam mu'tamar-mu'tamar berikutnya, yaitu:23
a. Tema-tema Umum
1) Islam dan Perdamaian Dunia
2) Islam dan Sistem Ekonomi Global Kontemporer
3) Islam dan Masalah Konflik Antar Bangsa
4) Islam dan Transparansi Komunikasi dan Informatika

18
Al-Mawsu>‘ah al-Fiqhi>yah Kuwayt merupakan lembaga fatwa yang
beranggotakan para ulama Kuwait. Di antara produknya yang banyak menjadi referensi
ialah kumpulan fatwanya yang dibukukan dalam 45 jilid tebal.
19
Majma‘, Watha>’iq wa Qara>ra>t, 197.
20
Da>r al-Ifta>’ wa al-Irsha>d adalah lembaga pemberi fatwa dan bimbingan Islam
yang bersifat semi pemerintah Arab Saudi.
21
Hay’ah Kiba>r al-‘Ulama>’ yaitu Dewan para ulama besar Arab Saudi, yang
beranggotakan para ulama terkenal di Arab Saudi.
22
Islamic Development Bank berpusat di Jeddah, Arab Saudi. Merupakan
Investment Banking yang dimiliki secara bersama oleh Negara-negara anggota OKI dan
memberikan pembiayaan kepada berbagai proyek pemerintah dan swasta. Di samping itu
juga memberikan beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa dari negeri-negeri minoritas muslim.
23
Majma‘ al-Fiqh, ‚Wasa>’il al-‘Amal al-Majma‘i> al-Masha>ri>‘ al-‘Ilmi>yah‛, dalam
Watha>’iq wa Qara>ra>t al-Majlis al-Ta’si>si> (Jiddah: Majma‘, 1407H-1986M), 215-219.

90
5) Jihad, Perang Kemerdekaan, dan Perang Membela Kaum yang Tertindas
6) Kesetaraan, Keadilan, dan Kerjasama Ekonomi yang Saling Mencukupi
7) Kerukunan dan Konflik dengan Paham Sektarian24
8) Dialog dan Musyawarah dalam Menghadapi Kelompok Ekstrimisme Islam

b. Tema-tema Khusus25
1) Membedakan antara Perselisihan Fikih dengan Perbandingan Fikih, serta
Mengambil yang Lebih Kuat (Tarji>h}) dari Berbagai Pendapat Mazhab
2) Syariah dan Fiqh Islam
3) Analisis Kaidah-kaidah Pokok (al-Qawa>‘id al-Us}u>li>yah) melalui Kajian al-
Qiya>s, Qawl al-S{ah}a>bi>, al-Mas}lah}ah al-Mursalah, al-Istih}sa>n, serta
Penjelasan Konsekuensi Metode-metode Tersebut dalam Ijtihad dan Kajian
Sebab Hukum (Ta‘li>l al-Ah}ka>m)

c. Tema-tema Ekonomi
1) Tinjauan tentang Ekonomi Islam
2) Prosedur Pengelolaan Investasi Ekonomi yang Sesuai dengan Aturan
Syariah di Dunia Muslim
3) Perdagangan Internasional, Hukum Peredaran Narkoba dan Minuman Keras
4) Aktifitas Perbankan Ribawi>>
5) Cara-cara Investasi pada Perbankan Ribawi>
6) Mura>bah}ah li al-A<mir bi al-Shira>’ pada Keuangan Islam26
7) Perdagangan Valuta Asing dalam Pandangan Syariah Islam
8) Kertas-kertas Berharga dan Kebolehannya
9) Pernyataan Garansi Produk
10) Perjanjian Kurs Valuta Asing yang Ditetapkan untuk Dua Waktu yang
Berbeda (Forward Agreement)
11) Perjanjian Sewa Beli pada Bangunan dan Peralatan
12) Investasi Properti dalam Bentuk Pembangunan dan Jual Beli Gedung

d. Tema-tema Perdagangan dan Keuangan


1) Kajian tentang Riba dan Qard}}, serta Surat Berharga yang Berbasis Qard}}

24
Secara umum, Majma‘ cukup toleran dalam memahami dan mensikapi berbagai
paham sektarian tersebut. Akan tetapi terhadap kelompok yang secara nyata memiliki
keyakinan yang berseberangan dengan dalil-dalil yang kuat dan disepakati bersama
(muttafaq ‘alayha), Majma‘ menegaskannya sebagai telah keluar dari Islam, seperti
kelompok Ahmadiyah Qadiyan. Lihat: Qara>ra>t wa Taws}i>ya> t Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> no. 4
(4/2) tentang al-Qa>diya>ni>yah.
25
Yang dimaksud dengan ‚Tema-tema Khusus‛ ialah topik-topik pembahasan yang
tidak termasuk ke dalam kategori tema-tema yang lain.
26
Untuk di Indonesia, akad mura>bahah merupakan transaksi yang paling banyak
digunakan oleh Bank-bank Syariah di Indonesia. Lihat: Mulya E. Siregar et.al., Outlook
Perbankan Syariah 2011 (Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2011), 37.

91
2) Kajian tentang Emas & Perak Sebagai Komoditas dan Bukan Alat Tukar.
Bagaimana Batasan Jual Belinya serta Penggunaannya Sebagai Surat
Berharga Tunai
3) Uang Kertas dan Hukum-hukumnya
4) Al-Qard}} yang Disertai Perubahan Nilai Tukar
5) Penggantian terhadap Penyewa pada Pembelian Aset
6) Penjualan Merk Dagang dan Lisensi Dagang
7) Sisem Perasuransian, Jenis-jenisnya, dan Pandangan Islam Tentangnya
8) Kaidah-kaidah Syariah yang Harus Dijaga dalam Persoalan Saham dan
Pasar Modal
9) Pengikatan (Binding) Keuntungan dalam Perdagangan
10) Hak Kepemilikan Atas Dasar Kepemilikan Sebelumnya
11) Hak Paten
12) Hak Paten Software Komputer

e. Persoalan Seputar Kerjasama Bisnis


1) Bentuk-bentuk Perusahaan Modern dan Perseroan
2) Pemegang Saham yang Bekerja di Perusahaan Miliknya
3) Batasan Tanggungjawab Aset Perseroan dari Asset Pemegang Saham
4) Penggabungan antara Perkongsian dan Penjaminan (Kafa>lah)
5) Penggabungan antara Perkongsian dan Waka>lah pada Hal yang Sama

f. Persoalan Kontemporer Khusus


1) Perselisihan dan Penyelesaian dalam Kajian Komparasi antara Perundang-
undangan dan Syariah Islam
2) Pandangan Syariah tentang Hukum Internasional Seputar Wilayah
Teritorial Udara dan Laut
3) Pandangan Syariah Islam tentang Ruang Angkasa, Satelit-satelit, Saluran
TV Satelit, serta Batasan Syariah tentang Pendayagunaan Ruang Angkasa

g. Tema-tema Kedokteran27
1) Keluarga Berencana
2) Bayi Tabung
3) Bank Susu
4) Alat Penunjang Hidup

h. Hukum-hukum Zakat
1) Tanah Kelolaan dan Penentuan Pemberi Zakatnya antara Pengelola dengan
Pemilik Tanah
2) Zakat atas Kepemilikan Saham dalam Perseroan
3) Nishab Zakat dalam Valuta Asing (‘umula>t mutada>wilah)

27
Pada saat awal pendiriannya, Majma‘ hanya menjadwalkan empat topik
kedokteran tersebut. Namun demikian seiring perjalanan waktu dan perkembangan masalah
kedokteran, maka topik-topik tersebut terus bertambah dari tahun ke tahun.

92
4) Zakat atas Aset-aset Perusahaan
5) Zakat atas Hutang Piutang
6) Zakat atas Properti dan Tanah Non-Pertanian
7) Zakat atas Aset Tetap dan Alat Produksi
8) Zakat atas Barang Sewaan
9) Zakat atas Penghasilan dan Komisi (Fee)
10) Investasi terhadap Harta Zakat
11) Penempatan Dana Zakat dalam Berbagai Proyek yang Belum Dimiliki oleh
Salah Satu Pihak Mustahiq

i. Hukum-hukum Pidana
1) Denda atas Pembunuhan Tidak Disengaja Setelah Tidak Ada Perbudakan
dan Tidak Adanya Pilihan Urutan Hukumnya

j. Persoalan-persoalan Politik
1) Masa Jabatan Pemerintah di Dunia Islam
2) Kewarganegaraan dan Kepindahan Kewarganegaraan kepada Negara Asing
3) Klasifikasi Pajak Properti
4) Zakat atas Barang Tambang, Sumber Daya Alam, Air, Hutan, dan atas
Sumber-sumber Tambang di Tengah Laut
5) Distribusi Harta Rampasan Perang dan Pengaturan ‚Khumus‛ Sepeninggal
Rasulullah SAW
6) Pencabutan Hak Kepemilikan dengan Alasan Kemaslahatan Umum
7) Dasar-dasar Syariah dan Pokok-pokok Ekonomi dalam Kepegawaian
Bidang Keuangan
8) Posisi Ahli Kitab dan Perwujudannya dalam Akad Dhimmah
9) Hak-hak Anak Zina dalam Konteks Keagamaan, seperti Kepemimpinan
(Ima>mah), dll.

k. Persoalan-persoalan Sosial dan Keagamaan Secara Umum


1) Penerapan Syariah di Negeri Islam
2) Aliran dan Berbagai Pemahaman dalam Umat Islam
3) Dzikir dan Wirid Kelompok Sufi
4) Masalah furu>‘ seperti Memanjangkan Jenggot, Meninggikan Batas Celana
Panjang, Shalat Sunnah Sebelum Shalat Jum’at, Membaca Qur’an untuk
Orang Mati, Penjualan Minuman Keras dan Barang-barang Menjijikkan
5) Hukum Menikah dengan Wanita Budha, Ahmadiyah, dan Syi‘ah
6) Wanita Muslimah Menikah dengan Pria Non-Muslim
7) Analisis Komparasi antara Pergundikan dengan ‚Ja>ri>yah‛ pada Masa Kini
8) Dokter Pria yang Membantu Persalinan Ketika Tidak Adanya Kekuatiran
dan Ketika Terdapat Dokter Wanita28
9) Orang-orang Non-Muslim Berhukum kepada Pengadilan Non-Islam

28
Topik pembahasan ini kemudian dimasukkan dalam kategori Tema-tema
Kedokteran.

93
10) Penyatuan Penghitungan Bulan dan Musim
11) Berdiri Ketika Shalat Meluruskan Tangan atau Meletakkannya di Dada
12) Shalat dan Puasa di Tempat-tempat yang Tidak Bisa Membedakan antara
Malam dengan Siang
13) Tempat dan Waktu Shalat Jum‘at serta Bahasa yang Digunakan dalam
Berkhuthbah
14) Pemanfaatan Daging Hadyu di Mina
15) Ibadah Haji Berkali-kali pada Saat Banyaknya Jumlah Kaum Muslimin dan
Kemudahan Transportasi
16) Wasiat Wajib dalam Hukum Waris

Apabila ditelaah kepada materi mu'tamar dan qara>r Majma‘ sejak tahun
1984 hingga tahun 2010,29 maka materi-materi tersebut mengalami perubahan serta
terus bertambah jumlahnya. Pertambahan tersebut, seiring dengan perkembangan
masalah-masalah aktual di masyarakat maupun karena pertanyaan-pertanyaan para
pihak yang masuk ke sekretariat Majma‘. Sebagai contoh ialah masalah-masalah
kedokteran yang hingga tahun 2010 telah berjumlah 23 topik.
Sampai dengan tahun 2010, Majma‘ telah melakukan 19 kali mu'tamar,
dimana setiap mu'tamar berlangsung sekitar 5 hari dan membahas beberapa topik.
Mu'tamar-mu'tamar tersebut diadakan berpindah-pindah di berbagai Negara OKI.
Demikian pula Majma‘ telah melakukan sekitar 15 kali simposium
(nadwah). Setiap kali nadwah biasanya berlangsung antara 2 s.d. 4 hari, yang
membahas satu besaran topik tertentu, kemudian para pembahas akan menyajikan
presentasi dari berbagai sudut pandang atas topik tertentu. Contoh topik tersebut
ialah tentang ‚Pasar Modal‛, ‚Hak-Hak Anak dalam Islam‛, dsb.
Selain itu Majma‘ telah melakukan 15 kali forum kajian (muntada>) tentang
pemikiran Islam, dan disampaikan oleh para pakar dalam bidang mereka masing-
masing. Forum ini membahas konsep-konsep penting dari sudut pandang Islam,
misal tentang ‚Metode Pemikiran Ekonomi Islam‛, ‚Pengaruh Ilmu Us}u>l al-H}adi>th
terhadap Rasionalitas Muslim‛, dll. Baik nadwah maupun muntada> kebanyakannya
dilaksanakan di kantor Majma‘ di Jeddah.
Dalam pada itu Majma‘ telah mengeluarkan 41 pernyataan sikap (baya>n)
dalam menanggapi berbagai masalah yang berkembang di dunia Islam.30

29
Kumpulan pembahasan Majma‘ tersebut dibukukan dalam buku berjudul
Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> dengan jumlah jilid yang terus bertambah. Kumpulan
fatwa Majma‘ dibukukan dengan judul Qara>ra>t wa Taws}i>ya>t.
30
‚Baya>na>t al-Majma‘‛, dalam http://www.fiqhacademy.org.sa/. Diakses pada 15
Pebruari 2013.

94
Struktur Organisasi

1. Tujuan Didirikannya Majma‘ al-Fiqh:31

‚Sesungguhnya tujuan utama Majma‘ dan peranan penting yang


menyertainya ialah menampilkan syariah Islam dengan benar. Menjelaskan dengan
baik tentang solusi berbagai problema masyarakat modern, serta (mengajak)
manusia untuk hidup bahagia di dunia dan di akhirat melalui pengamalan ajaran
Islam yang utuh, yaitu dalam prinsip-prinsip agama, pedoman pokoknya, kaidah-
kaidahnya, dan hukum-hukumnya, di atas landasan berhukum hanya kepada syariah
Islam, sebagai buah dari fikih Isla>m yang pada gilirannya menjadi sistem dan
penuntun bagi manusia modern pada semua aspek kehidupannya.‛

2. Susunan Organisasi Majma‘ Saat Ini: 32

31
‚Ahda>f al-Majma‘‛, dalam http://www.fiqhacademy.org.sa/. Diakses pada 15
Pebruari 2013.
32
‚Tanz}i>m al-Majma‘‛, dalam http://www.fiqhacademy.org.sa/. Diakses pada 15
Pebruari 2013.

95
Dari organigram di atas tampak bahwa terdapat lima ‛shu‘bah‛, yaitu:
a. Komisi Perencanaan (shu‘bah al-takht}i>t})
b. Komisi Pengkajian dan Penelitian (shu‘bah al-dira>sah wa al-bah}th)
c. Komisi Fatwa (shu‘bah al-ifta>’)
d. Komisi Kerukunan Antar Aliran (shu‘bah al-taqri>b bayn al-madha>hib)
e. Komisi Transliterasi dan Publikasi (shu‘bah al-tarjamah wa al-nashr)
Dalam operasional sehari-hari, Majma‘ didukung oleh 20 orang staf tingkat
manajerial yang berasal dari berbagai negara. Adapun jumlah negara yang menjadi
anggota Majma‘ pada waktu pendiriannya ialah 41 (empat puluh satu) negara dari
59 ( lima puluh sembilan) negara anggota OKI, yaitu :33

No Nama yang Mewakili Negara Negara


1 Dr. Kama>l Bu>zaydi> Aljazair
2 Prof. Dr. Muh}ammad Ali>f Wisa>m Muh}ammad ‘Ali> Azerbaijan
3 Dr. Fari>d Ya‘qu>b Mifta>h} Bahrain
4 Shaykh Abu> al-Kala>m Azad Bangladesh
5 Prof. Fatiyu> Seto Benin
6 Prof. Suhayli> Ibn H{a>jj Muh}yi al-Di>n Brunai
7 Dr. Abu> Bakr Do>ko>ri Burkina Faso
8 Prof. Tija>ni> S{a>bu>n Muh}ammad Chad
9 Dr. ‘Umar Ja>h Gambia
10 Dr. Qut}b Must}afa> Sa>no Guinea
11 Ayatulla>h Muh}ammad ‘Ali> al-Taskhi>ri> Iran
12 Shaykh Ha>ru>n Khali>f Ji>li> Jibouti
13 Shaykh Muh}ammad Ma>l Bakri> Kamerun
14 Shaykh Dr. Ah}mad Ibn Muh}ammad Ibn Sulayma>n Kesultanan Oman
al-Khali>li>
15 Prof. T{a>hir Ah}mad Mawla>na> Komoro
7 Dr. ‘A<jil Ja>sim al-Nashmi> Kuwait
17 Shaykh Khali>l Muh}yi al-Di>n al-Mi>s Lebanon
18 Dr. Ibra>hi>m Bashi>r al-Ghuwayl Libya
19 Datuk ‘Abd al-Shaku>r H{a>jj H{usayn Malaysia
20 Shaykh Muh}ammad Rashi>d Ibra>hi>m Maladewa
21 Sayyidi> Muh}ammad Yu>suf Ji>ri> Mali
22 Dr. H{amdati> Sha>bihna> Ma>’ al-‘Aynayn Maroko
23 Dr. ‘Ali> Jum‘ah34 Mesir
24 Prof. Muh}ammad ‘Ali> ‘Abdulla>h Niger
25 Shaykh Ah}mad Sa‘i>d Qaldanshi> Nigeria
26 Al-Qa>dhi> Muh}ammad Taqi> al-‘Uthma>ni>35 Pakistan

33
‚Al-A‘d}a>’‛. dalam http://www.fiqhacademy.org.sa/. Diakses 15 Pebruari 2013.
34
Shaykh Dr. ‘Ali> Jum‘ah mantan Mufti Mesir.
35
Shaykh Taqi> al-‘Uthma>ni>, mufti Republik Islam Pakistan. Putra dari Mawla>na>
Mufti> Muh}ammad Sha>fi>, mantan Mufti Pakistan.

96
27 Prof. Muh}ammad Ah}mad H{usayn Palestina
28 Shaykh Thaqi>l Ibn Sa>yir Zayd al-Shamri> Qatar
29 Shaykh Dr. S{a>lih} Ibn H{umayd Arab saudi
30 Prof. Ru>h}a>n Muba>y Senegal
31 Shaykh Muh}ammad H{a>jj Yu>suf Ah}mad Somalia
32 Dr. Ah}mad Kha>lid Ba> Bikr Sudan
33 Dr. Muh}ammad ‘Abd al-Lat}i>f S{a>lih} al-Farfu>r Suriah
34 Dr. Ha>midof Dhikrulla>h Sofi>f Tajikistan
35 Shaykh Dr. ‘Uthma>n Bat}i>kh Tunisia
36 Prof. Dr. Ibra>hi>m Ka>fi> Donmaz Turki
37 Prof. Anad ‘Abd al-Nu>r Khali>sah Uganda
38 Dr. Sayf al-Ja>biri> Uni Emirat Arab
39 Shaykh ‘Azi>z Ja>n Mansu>rof Uzbekistan
40 Shaykh Muh}ammad ‘Abduh ‘Umar Yaman
41 Dr. ‘Abd al-Sala>m Da>wu>d al-‘Abba>di>> Yordania

Selain itu terdapat 16 negara yang tidak memiliki wakil di Majma‘.


Ironisnya, Indonesia, sebagai negeri muslim terbesar di dunia dengan sejarah Islam
yang panjang serta memiliki sangat banyak SDM yang handal dalam bidang
syariah, justru tidak memiliki wakil di Majma‘.
Indonesia pernah mengirim ulama ahli fikih untuk menjadi anggota tetap
Majma‘, yaitu KH Ahmad Azhar Bashir, MA36 yang dilanjutkan oleh Dr. Satria
Effendi, MA.37 Namun sangat disayangkan, setelah beliau wafat, tidak ada lagi
perhatian serius dari Pemerintah Indonesia terhadap keterwakilan negeri muslim
terbesar ini pada sebuah lembaga keulamaan terkemuka seperti Majma‘ al-Fiqh.
Negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam yang tidak memiliki
wakil di Majma‘ tatkala Majma‘ didirikan ialah Afghanistan, Albania, Cote
d’Ivoire, Gabon, Guinea Bissau, Guyana, Indonesia, Irak, Kazakhstan, Kirghizia,
Mauritania, Mozambique, Sierra Leone, Suriname, Togo, Turkmenistan.
Sedangkan saat ini yang menjadi anggota Majma‘ terdiri dari 43 negara.
Selain para anggota yang mewakili berbagai negara OKI tersebut, Majma‘ juga
memiliki sejumlah anggota yang ditunjuk, yaitu berjumlah 17 orang. Para anggota
tersebut ketika Majma‘ didirikan ialah :38
No Nama Negara
1 Dr. T{a>ha> Ja>bir al-‘Ulwa>ni> Irak
2 Shaykh Hujjah al-Isla>m Muh}ammad Wa>‘iz} Za>dah Iran

36
KH Ahmad Azhar Bashir, alumnus Fakultas Syariah Universitas al-Azhar Mesir.
Pernah menduduki berbagai jabatan penting, a.l. Ketua Umum Majlis Tarjih PP
Muhammadiyah hingga sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah.
37
Dr Satria Effendi, alumnus Fakultas Syariah Universitas Umm al-Qura> di
Makkah al-Mukarramah, pernah menjadi Dekan Fakultas Syariah IAIN (sekarang UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
38
Majma‘,Watha>’iq wa Qara>ra>t, 202. Nama-nama tersebut ialah ketika Majma‘
didirikan.

97
3 Dr. Nazi>h Kama>l H{amma>d Kindah
4 Shaykh ‘Abdulla>h Ibn Mah}fu>z} Ibn Bi>h Mauritania
5 Dr. Ah}mad Raja>’i> al-Jundi> Mesir
6 Dr. Muh}ammad Sali>m al-‘Awwa>’ Mesir
7 Dr. Muh}ammad al-Basha>ri> Perancis
8 Dr. ‘Ali> Ah}mad al-Sa>lu>s Qatar
9 Dr. Yu>suf ‘Abdulla>h al-Qard}a>wi> Qatar
10 Shaykh ‘Abdulla>h Sulayma>n Ibn Mani>‘ Arab saudi
11 Dr. ‘Abd al-‘Azi>z al-Tuwayjiri> Arab saudi
12 Dr. ‘Abd al-Wahha>b Abu> Sulayma>n Arab saudi
13 Dr. Sadi>q Muh}ammad al-Ami>n al-D{ari>r Sudan
14 Dr. ‘Abd al-Satta>r Abu> Ghuddah Suriah
15 Prof. Dr. Wahbah Must}afa> al-Zuh}ayli> Suriah
16 Shaykh Muh}ammad al-Mukhta>r al-Sala>mi> Tunisia
17 Dr. ‘Abd al-‘Azi>z al-Khayya>t} Yordania

Selain itu terdapat Anggota Pakar yang berjumlah 114 orang dan berasal
dari berbagai negara pula. Keanggotaan jenis ini lebih kepada penghormatan bagi
yang bersangkutan. Keterlibatan mereka relatif kecil dalam setiap kali mu'tamar
Majma‘. Oleh karenanya posisi ‛Anggota Pakar‛ merupakan dewan kehormatan
yang lebih bersifat konsultatif apabila diperlukan.

3. Susunan Anggota Majma‘ Saat Ini ialah:39


Sekretaris Jenderal Majma‘ al-Fiqh sejak 1 Ramadan 1432 atau bertepatan
dengan 1 Agustus 2011 ialah Prof. Dr. Ahmad Khalid Ba Bikr. Sebelumnya beliau
menjabat sebagai Sekjen Majma‘ al-Fiqh Sudan tahun 2002-2011.

No Nama yang Mewakili Negara Negara


1 Dr. Kama>l Bu>zaydi> Aljazair
2 Shaykh Dr. S{a>lih} Ibn H{umayd Arab Saudi
3 Prof. Dr. Muh}ammad Ali>f Wisa>m Muh}ammad ‘Ali> Azerbaijan
4 Dr. Fari>d Ya‘qu>b Mifta>h} Bahrain
5 Shaykh Abu> al-Kala>m Azad Bangladesh
6 Prof. Fatiyu> Seto Benin
7 Prof. Suhayli> Ibn H{a>jj Muh}yi al-Di>n Brunai
8 Dr. Abu> Bakr Do>ko>ri Burkina Faso
9 Prof. Tija>ni> S{a>bu>n Muh}ammad Chad
10 Dr. ‘Umar Ja>h Gambia
11 Dr. Qut}b Must}afa> Sa>no Guinea
12 Ayatulla>h Muh}ammad ‘Ali> al-Taskhi>ri> Iran
13 Shaykh Ha>ru>n Khali>f Ji>li> Jibouti
14 Shaykh Muh}ammad Ma>l Bakri> Kamerun

39
Al-A‘d}a>', http://www.fiqhacademy.org.sa/. Diakses pada 15 Pebruari 2013.

98
15 Shaykh Dr. Ah}mad Ibn Muh}ammad Ibn Sulayma>n Kesultanan Oman
al-Khali>li>
16 Dr. ‘A<jil Ja>sim al-Nashmi> Kuwait
17 Shaykh Khali>l Muh}yi al-Di>n al-Mi>s Lebanon
18 Dr. H{amzah Abu> Fa>ris Libya
19 Datuk ‘Abd al-Shaku>r H{a>jj H{usayn Malaysia
20 Shaykh Muh}ammad Rashi>d Ibra>hi>m Maladewa
21 Sayyidi> Muh}ammad Yu>suf Ji>ri> Mali
22 Dr. H{amdati> Sha>bihna> Ma>’ al-‘Aynayn Maroko
23 Shaykh Muh}ammad Mukhta>r Walad Muba>lah Mauritania
24 Dr. ‘Ali> Jum‘ah Mesir
25 Dr. ‘Abdulla>h Idri>s Abu> Bakr Mi>qa> Niger
26 Shaykh Ah}mad Sa‘i>d Qaldanshi> Nigeria
27 Al-Qa>dhi> Muh}ammad Taqi> al-‘Uthma>ni> Pakistan
28 Prof. Muh}ammad Ah}mad H{usayn Palestina
29 Prof. T{a>hir Ah}mad Mawla>na> Qamar al-
Ittih}a>di>yah
30 Shaykh Thaqi>l Ibn Sa>yir Zayd al-Shamri> Qatar
31 Prof. Ru>h}a>n Amba>y Senegal
32 Shaykh Muh}ammad H{a>jj Yu>suf Ah}mad Somalia
33 Prof. Dr. ‘Is}a>m al-Bashi>r Sudan
34 Dr. Muh}ammad ‘Abd al-Lat}i>f S{a>lih} al-Farfu>r Suriah
35 Sama>h}at al-Shaykh Sayyid Mukrim ‘Abd al-Qa>dir Tajikistan
Za>ddah
36 Ma>ma>du> Adu>bachi> Togo
37 Shaykh Dr. ‘Uthma>n Bat}i>kh Tunisia
38 Prof. Rashi>d Ku>shu>k Turki
39 Prof. Anas ‘Abd al-Nu>r Kali>sah Uganda
40 Dr. Sayf al-Ja>biri> Uni Emirat Arab
41 Shaykh ‘Azi>z Ja>n Mansu>rof Uzbekistan
42 Shaykh Muh}ammad ‘Abduh ‘Umar Yaman
43 Dr. ‘Abd al-Sala>m Da>wu>d al-‘Abba>di>> Yordania
44 Dr. ‘Abd al-Razi>q Wardak Afghanistan

Terdapat satu Negara yang keterwakilannya di Majma‘ tidak ditentukan


orangnya, yaitu dari Irak, yang hanya disebutkan Wakil Sunni> atau Shi>‘i> dari
kemeterian Wakaf Pemerintah Irak. Sedangkan Negara-negara anggota Organisasi
Konferensi Islam yang tidak memiliki wakil di Majma‘ pada saat ini ialah40
Albania, Coute de Fiore, Gabon, Guinea Bissau, Guyana, Indonesia, Kazakhstan,
Kirghiziya, Mozambique, Sierra Leone, Suriname, Turkmenistan.
Adapun anggota Majma‘ yang ditunjuk ( ), yaitu keanggotaan
yang ditetapkan oleh Sekretariat Jenderal Majma‘ langsung atas nama pribadi yang

40
Al-A‘d}a>', http://www.fiqhacademy.org.sa/. Diakses pada 15 Pebruari 2013.

99
bersangkutan dan bukan berdasarkan utusan dari negaranya. Para anggota tersebut
berjumlah 17 orang, dan pada saat ini ialah :41

No Nama Negara
1 Dr. T{a>ha> Ja>bir al-‘Ulwa>ni> Irak
2 Shaykh Hujjah al-Isla>m Muh}ammad Wa>‘iz} Za>dah Iran
3 Dr. ‘Abd al-‘Azi>z al-Khayya>t} Yordania
4 Shaykh ‘Abdulla>h Ibn Mah}fu>z} Ibn Bi>h Mauritania
5 Dr. Ah}mad Raja>’i> al-Jundi> Mesir
6 Dr. Muh}ammad Sali>m al-‘Awwa>’ Mesir
7 Dr. Muh}ammad al-Bisha>ri> Perancis
8 Dr. ‘Ali> Ah}mad al-Sa>lu>s Qatar
9 Dr. Yu>suf ‘Abdulla>h al-Qard}a>wi> Qatar
10 Shaykh ‘Abdulla>h Sulayma>n Ibn Mani>‘ Arab Saudi
11 Dr. ‘Abd al-‘Azi>z al-Tuwayjiri> Arab Saudi
12 Dr. ‘Abd al-Wahha>b Abu> Sulayma>n Arab Saudi
13 Dr. Sadi>q Muh}ammad al-Ami>n al-D{ari>r Sudan
14 Dr. ‘Abd al-Satta>r Abu> Ghuddah Suriah
15 Prof. Dr. Wahbah Must}afa> al-Zuh}ayli> Suriah
16 Shaykh Muh}ammad al-Mukhta>r al-Sala>mi> Tunisia
17 Dr. Nazi>h} Kama>l H{amma>d Kindah

Penerbitan Karya-Karya Tulis Ulama Terdahulu (al-Kutub al-Tura>thi>yah)


Selain pembahasan dan pengambilan keputusan hukum fikih, Majma‘ pun
memiliki kegiatan inti untuk menghidupkan warisan fikih Islam. Fokus kegiatan
dalam hal ini ialah menerbitkan banyak karya tulis yang sebelumnya masih berupa
manuskrip-manuskrip (makht}u>ta} >t).42 Penerbitan buku-buku tersebut setelah melalui
analisa otentisitas (tah}qi>q) yang dilakukan oleh :
1. Shaykh Muh}ammad Sa>lim Muh}ammad ‘Ali> ‘Abd al-Wadu>d
2. Shaykh Muh}ammad Hisha>m al-Burha>ni>
3. Dr. ‘Abd al-Satta>r Abu> Ghuddah

Adapun karya tulis yang diprioritaskan untuk diterbitkan antara lain:43


1. Buku-buku bidang Fikih Perbandingan, baik yang masih berupa manuskrip
maupun yang telah diterbitkan,44 kemudian oleh Majma‘ diterbitkan kembali
yang disertai dengan kupasan tah}qi>q-nya. Buku-buku tersebut antara lain ialah:

41
Al-A‘d}a>' al-Mu‘ayyanu>n, http://www.fiqhacademy.org.sa/. Diakses pada 15
Pebruari 2013.
42
‚Ijtima>‘a>t al-Shu‘bah wa Khit}t}ah al-‘Amal al-Muqtarih}ah‛, dalam Watha>’iq wa
Qara>ra>t al-Majlis al-Ta’si>si> wa al-Mu’tamar al-Awwal li al-Majma‘ (1407H-1986M), 232.
43
‚Ijtima>‘a>t al-Shu‘bah wa Khit}t}ah‛, Watha>’iq wa Qara>ra>t, 233-234.
44
Karya para ulama yang berupa manuskrip disebut dengan " " dan yang
telah diterbitkan disebut dengan " ". Manuskrip atas suatu judul kitab tertentu dapat
berbeda-beda detail isinya. Ini tergantung dari sedekat mana manuskrip tersebut dengan

100
a. Taqwi>m al-Naz}ar, karya Ibn al-Diha>n
b. Sharh al-Manz}u>mah al-Nasafi>yah fi> al-Fiqh al-Muqa>rin
c. Al-Ishra>f ‘ala> Masa>’il al-Khila>f, karya al-Qa>d}i> ‘Abd al-Wahha>b
d. Al-Bah}r al-Zikha>r, karya Ibn al-Murtad}a>
e. Al-Khila>fiya>t, karya al-Bayhaqi>
f. T{ari>qah al-Khila>f bayna H{anafi>yah wa Sha>fi‘i>yah, karya al-Q{a>d}i> H{asan
g. Al-Jam‘ wa al-Firaq, karya al-Ima>m al-Haramayn al-Juwayni>.
2. Buku-buku bidang Kaidah-Kaidah Fikih, antara lain:
a. Al-Furu>q, karya al-Qara>fi>
b. Al-Qawa>‘id, karya al-Wanshari>si>
c. Al-Qawa>‘id, karya al-Muqri>
d. Al-Qawa>‘id wa al-Fawa>’id al-Us}u>li>yah, karya Ibn Lih}a>m al-Ba‘li>
e. Al-Manhaj al-Muntakhab wa Sharh}uh, karya al-Manju>r
f. Al-Qawa>‘id, karya al-‘Ala>’i>
g. Al-Qawa>‘id al-Fiqhiyah, karya al-H{imza>wi>
h. Sharh} al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, karya Ibn al-Ba‘li>
i. Sharh} al-Qawa>‘id, karya Ibn Rajab
j. Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, karya al-Subki>
k. Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, karya al-Suyu>t}i>
l. Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, karya Ibn al-Waki>l
Dalam rangka itu pula Majma‘ menelusuri berbagai naskah kuno dari
indeks Perpustakaan Mesir berupa himpunan buku-buku ringkas dalam satu topik
tertentu, dikenal dengan istilah al-Maja>mi‘, dimana sebagian besar darinya masih
berupa manuskrip. Demikian pula yang dapat digali melalui indeks Perpustakaan
al-Azhar,45 Perpustakaan Z{a>hiri>yah,46 Perpustakaan al-Qarawiyyi>n,47 Perpustakaan
al-Ah}madi>yah di Tunisia,48 dll. Di samping itu tentu saja bekerjasama dengan
lembaga-lembaga riset yang peduli dengan penelitian dan penerbitan manuskrip,
seperti Ma‘had al-Makht}u>ta} >t al-‘Arabi>yah di Kuwait.
Selain buku-buku di atas, Majma‘ juga menerbitkan kembali sejumlah
buku-buku referensi dalam fikih masing-masing mazhab. Buku-buku tersebut
sebagian berupa manuskrip, dan sebagian lainnya sudah diterbitkan, namun masih
perlu untuk diterbitkan kembali dengan edisi tah}qi>q yang lebih tajam. Buku-buku
yang dimaksud ialah :49

Mazhab H{ana>fi>yah :
1. Yang masih berupa manuskrip, untuk diterbitkan dengan dilengkapi tah}qi>q :
a. Al-As}l, karya Imam Muh}ammad Ibn al-H{asan al-Shayba>ni>

ulama penulisnya, dan apakah ulama tersebut mendiktekan atau langsung menulisnya, serta
dari perbedaan jalur periwayatan tertulis ( ) dari murid-murid ulama tersebut. Bidang
penelusuran terhadap teks kuno ini dikenal dengan nama filologi.
45
Perpustakaan terletak di Kairo.
46
Perpustakaan terletak di Damascus, Syria.
47
Perpustakaan Universitas Qarawiyyin terletak di Maroko.
48
Dinamakan pula sebagai Perpustakaan Ja>mi‘ al-Zaytu>ni>yah.
49
‚Ijtima>‘a>t al-Shu‘bah wa Khit}t}ah‛, Watha>’iq wa Qara>ra>t, 235-236.

101
b. Al-Muhi>t} al-Burha>ni>
c. Rasa>’il al-Shiranbila>li>
d. Rasa>’il al-Na>bulsi>
e. Sharh} al-Wahba>ni>yah, karya Ibn al-Shuh}nah
f. Fath} Ba>b al-‘Ina>yah Sharh} al-Niqa>yah, karya ‘Ali> al-Qa>ri>
g. Al-Ta‘li>q al-Mumajjid Sharh} Muwat}t}a Muh}ammad, karya al-Laknawi>
h. Al-H{a>wi> al-Qudsi>, karya al-Ghazna>wi>
i. Al-Muh}i>t}, karya Rid}a> al-Di>n al-Sarakhsi>
j. Rasa>’il al-‘Alla>mah Qa>sim Ibn Qatluwi>gha>

2. Yang berupa buku, namun perlu diterbitkan ulang dengan dilengkapi tah}qi>q :
a. Majma‘ al-Abh}ur Sharh} Multaqa> al-Anha>r
b. Hashi>yah Ibn ‘A<bidi>n (berdasarkan naskah asli penulisnya)
c. Bada>’i‘ al-S{ana>’i‘, karya al-Kasa>ni>
d. Al-Mabsu>t}
e. Fath} al-Qadi>r, karya Ibn al-Huma>m
f. Sharh} al-Hada>ya>, karya al-Laknawi>
g. Al-Fata>wa> al-Hindi>yah
h. Al-Fata>wa> al-Bazza>zi>yah
i. Fata>wa> Qa>d}i> Kha>n
j. Majma‘ al-H{aqa>’iq fi> al-Us}u>l wa al-Qawa>‘id
k. Us}u>l al-Fiqh, karya al-Bazdawi>
l. Majmu>‘ah Rasa>’il Ibn ‘A<bidi>n

Mazhab Ma>liki>yah :
1. Yang masih berupa manuskrip, untuk diterbitkan dengan dilengkapi tah}qi>q :
a. Al-Wa>d}ih}ah, karya Ibn H{abi>b
b. Al-Mawa>zi>yah, karya Ibn al-Mawa>z
c. Al-Tabs}irah, karya al-Khummi>
d. Al-Ja>mi‘, karya Ibn al-Mu>nis
e. Al-Jawa>hir al-Thami>nah, karya Ibn Sha>s
f. Al-T{ara>z, karya al-Sindi>
g. Al-Sha>mil, karya al-Bahra>m
h. Al-Tawd}i>h Sharh} Mukhtas}ar Ibn al-H{a>jib, karya Khali>l
i. Mukhtas}ar Ibn ‘Arafah
j. Al-Nawa>dir, karya Ibn Abi> Zayd
k. Al-Tanbiha>t, karya al-Qa>d}i> ‘Iya>d}
l. Al-Fakhi>rah, karya al-Qara>fi>
m. Sharh} al-Qalsha>ni> li al-Risa>lah
n. Sharh} Zaru>q li al-Irsha>d, karya Ibn ‘Askar
o. Sharh} al-Talaqqayn, karya al-Qa>d}i> ‘Abd al-Wahha>b al-Baghda>di>
p. Shifa>’ al-Ghali>l fi> Lugha>t Khali>l, karya Abu> al-H{asan al-Sha>dhili>> al-Ma>liki>
q. Tanbi>h al-T{a>lib li Alfa>z} Ibn H{{a>jib, karya al-Tu>nisi>
r. Gharar al-Maqa>lah fi> Sharh} Ghari>b al-Risa>lah, karya al-S{afra>wi
s. Al-Istidhka>r, karya Ibn ‘Abd al-Barr

102
2. Yang berupa buku, namun perlu diterbitkan ulang dengan dilengkapitah}qi>q :
a. Sharh} al-Mawa>q li Mukhtas}ar Khali>l
b. Sharh} al-Khit}a>b li Mukhtas}ar Khali>l (Mawa>hib al-Jali>l)
c. Al-Muntaqa>, karya al-Ba>ji>
d. Al-Mudawwanah
e. T{uh}fah Ibn ‘A<s}im, beserta kitab-kitab sharh}-nya
f. Tabs}irah al-H{ukka>m, karya Ibn Farh}u>n
g. Al-Tanqi>h}, karya al-Qara>fi>
h. Al-Jawa>hir al-Munaz}z}am, karya Ibn Salmu>n
i. La>mi>yah al-Ziqa>q wa Sharh} Miya>rah
j. Sharh} al-Zurqa>ni>, beserta H{a>shi>yah al-Buna>ni>, al-Rah}u>ni>, Kanu>n, dan
Tawu>di>
k. Al-Qawa>ni>n al-Fiqhi>>yah, karya Ibn Jaza>

Mazhab Sha>fi>‘i>yah :
1. Yang masih berupa manuskrip, untuk diterbitkan dengan dilengkapi tah}qi>q :
a. Al-H{a>wi>, karya al-Ma>wardi>
b. Al-Kawkab al-Sa>ti‘, dengan Sharh} fi> Us}u>l al-Fiqh karya al-Suyu>t}i>
2. Yang berupa buku, namun perlu diterbitkan ulang dengan dilengkapi tah}qi>q :
a. Asna> al-Mat}a>lib Sharh} Rawd}ah al-T{a>lib, karya al-Qa>d}i> Zakari>ya al-Ans}a>ri>
b. Tuh}fah al-Muh}ta>j Sharh} al-Minha>j, karya Ibn H{ajar al-Haytha>mi>
c. Sharh} al-Minha>j dengan H{{ashi>yah al-Qalyu>bi> wa ‘Umayrah, karya al-
Mah}alli<

Mazhab H{anbali>yah :
1. Yang masih berupa manuskrip, untuk diterbitkan dengan dilengkapi tah}qi>q :
a. Al-Ja>mi‘ al-Kabi>r, karya al-Khala>l
2. Yang berupa buku, namun perlu diterbitkan ulang dengan dilengkapi tah}qi>q :
a. Al-Mughni>, karya Ibn Quda>mah
b. Al-T{uru>q al-H{ukmi>yah
c. Al-Qawa>‘id al-Nu>ra>ni>yah, karya Ibn Taymi>yah

103
Pedoman dan Prosedur Pembahasan Muktamar Majma‘ al-Fiqh

1. Pedoman (Mi‘ya>r) Pembahasan Majma‘


Komisi Pengkajian dan Penelitian (shu‘bah al-dira>sah wa al-bah}th)
memiliki metodologi yang disusun berupa panduan (mi‘ya>r) dalam setiap
pembahasan ilmiah yang dilakukannya:50
a. Komparasi (al-muqa>ranah); yaitu menggunakan metode fikih perbandingan
dalam pembahasan untuk menghasilkan keputusan-keputusan hukumnya51
b. Tematis (al-mawd}u>‘i>yah); yaitu fokus kepada tema yang dibahas, dan metode
analisis masalah harus bebas dari kepentingan kelompok tertentu\, fanatisme
mazhab, tujuan politis atau kekuasaan, maupun kepentingan negatif lainnya
c. Kekinian (al-wa>qi‘i>yah); yaitu prioritas pembahasan pada masalah-masalah
kekinian berdasarkan signifikansinya dalam memberikan solusi bagi berbagai
kesulitan yang dihadapi umat Islam dewasa ini
d. Ijtihad (al-ijtiha>d); yaitu berijtihad dengan berpegang kepada penalaran yang
didasarkan kepada pokok-pokok Islam dengan tujuan-tujuannya dan maslahat
yang dikandungnya, menimbang warisan fikih para ulama terdahulu, serta
memperhatikan konteks kekinian
e. Toleransi (al-sama>h}ah); yaitu bersikap lapang dada dan toleran terhadap
perbedaan pendapat fikih yang terjadi, seraya mengambil pendapat yang lebih
dapat diterima akal sehat
f. Memiliki dasar (al-ta’s}i>l); yaitu menerangkan bahwa semua pemikiran dan
kajian memiliki landasan dalil-dalil yang sahih dari pokok-pokok Islam maupun
warisan karya para ulama besar terdahulu.

Komisi ini juga bertukar pikiran dalam berbagai topik yang


direkomendasikan ke dalam forum-forum diskusi-diskusi mereka, melalui
kerjasama dengan berbagai lembaga lain. Komunikasi tersebut dilakukan oleh
Sekretariat Jenderal Majma‘, antara lain dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Masalah-masalah kedokteran kontemporer;
Bekerjasama dengan Lembaga Islam untuk Kajian Ilmu Kedokteran di Kuwait,
serta sejumlah lembaga lainnya.
b. Penyusunan peraturan perundangan syariah;
Bekerjasama dengan Kementerian-kementerian Kehakiman dan lembaga-
lembaga Islam terkait.
3. Masalah-masalah keuangan kontemporer;
Bekerjasama dengan pelbagai lembaga ekonomi dan keuangan Islam

50
Majma‘ al-Fiqh, ‚Taqa>ri>r Shu‘bah al-Takht}i>t} wa al-Dira>sa>t wa al-Buh}u>th wa al-
Ifta>’‛, dalam Watha>’iq wa Qara>ra>t al-Majlis al-Ta’si>si> (Jeddah: Majma‘, 1407H-1986M),
162-163.
51
Kajian perbandingan hukum Islam dikenal dengan istilah fiqh muqa>rin, yang
menganalisis berbagai pendapat para fuqaha>’ berikut argumentasi-argumentasi yang mereka
gunakan. Diantara buku yang cukup penting dalam bidang ini ialah al-Muhadhdhab fi> ‘Ilm
Us}u>l al-Fiqh al-Muqa>rin karya ‘Abd al-Kari>m al-Namlah dan Ru’u>s al-Masa>’il al-Khila>fi>yah
bayn Jumhu>r al-Fuqaha>’ karya al-H{usayn Ibn Muh}ammad al-‘Akbari>.

104
4. Topik-topik terkait yang disepakati bersama, misalnya dengan Departemen
Urusan Agama Aljazair.

2. Prosedur Pembahasan Majma‘


Adapun urutan prosedur pembahasan yang biasa dilakukan dalam setiap
rapat Majma‘ ialah sebagai berikut:52
a. Sesi sajian makalah (al-‘arad}).
Beberapa anggota Majma‘ menyajikan makalah untuk dipresentasikan, masing-
masing makalah membahas topik bahasan rapat dari sudut pandang bidang
keilmuan ataupun metode pegeluaran hukum (t}ari>q al-stinba>t}) tertentu.
b. Sesi tanggapan (al-ta‘qi>b).
Beberapa anggota Majma‘ ditunjuk sebagai penanggap terhadap makalah yang
telah disajikan. Tanggapan bisa dalam bentuk lisan maupun tulisan. Sesi ini
dapat pula tidak dilakukan, sehingga makalah penyaji langsung didiskusikan
bersama.
c. Sesi diskusi (al-muna>qashah).
Para anggota Majma‘ saling berdiskusi dan berdebat dalam masalah yang
dibahas. Masing-masing anggota Majma‘ memiliki hak yang sama untuk
berpendapat.
d. Keputusan rapat (al-qara>r).
Rapat mengambil keputusan hukum atas masalah yang dibahas.
e. Rekomendasi rapat (al-taws}i>yah).
Rapat dapat pula membuat keputusan berupa rekomendasi, yaitu berupa:
1) rekomendasi untuk dikaji lebih lanjut oleh anggota yang ditunjuk atau oleh
seluruh anggota dan akan dibahas dalam rapat berikutnya
2) rekomendasi kepada pimpinan rapat (Majma‘) untuk melakukan
pendalaman masalah, biasanya hal ini berupa kajian dari sisi non-fiqh
3) rekomendasi kepada pimpinan negara atau pimpinan lembaga terkait untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar sesuai dengan keputusan
fatwa (qara>r) Majma‘
4) rekomendasi atau himbauan kepada kelompok profesi atau masyarakat
pada umumnya untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan qara>r Majma‘.

Keputusan (qara>r) Majma‘ al-Fiqh dapat pula diartikan sebagai fatwa>,


dimana fatwa berarti jawaban dari pertanyaan, atau hasil ijtihad atau ketetapan
hukum. Sedangkan secara terminologis, fatwa adalah menerangkan hukum agama
dari suatu persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta
fatwa (mustafti>), baik perseorangan maupun kolektif, baik dikenal ataupun tidak
dikenal. Dengan demikian fatwa dalam penelitian ini adalah jawaban hukum (qara>r)
yang dibuat oleh Majma‘ atas berbagai persoalan yang diajukan kepadanya.
Persoalan tersebut sebagian besar termasuk dalam bidang ekonomi dan keuangan.
Sedangkan persoalan atau bahasan lainnya ialah penerapan suatu prinsip atau

52
Tata urutan seperti ini dapat diikuti pada hampir setiap rapat-rapat Majma‘, serta
secara ringkas dapat dilihat pada Watha>’iq wa Qara>ra>t halaman 52.

105
kaidah us}u>l al-fiqh, politik, budaya, ‘aqi>dah, hak-hak sipil, hak dan peranan wanita,
hukum perang dan damai, zakat, ‘iba>dah mah}d}ah, dan teknologi modern.
Pada bab-bab berikutnya akan memuat topik-topik kedokteran yang
dibahas oleh Majma‘, yang disertai dengan analisa penulis terhadap metodologi
hukum (t}ari>q al-istinba>t}) dalam mengambil keputusan hukum atas masing-masing
problema tersebut.

106
B A B IV
REPRODUKSI DAN PERMASALAHANNYA

Pembahasan Majma‘ al-Fiqh yang pertama dan termasuk kategori


Reproduksi ialah tentang Bayi Tabung (al-Talqi>h} al-Si>na>‘i> wa At}fa>l al-Ana>bi>b).
Pokok bahasan ini merupakan salah satu topik dalam rangkaian Mu'tamar Majma‘
al-Fiqh ke-2 di Jeddah, Saudi Arabia, pada tanggal 10 s.d.16 Rabi>‘ al-Tha>ni> 1406 H
atau bertepatan dengan tanggal 22 s.d. 28 Desember 1985 M. Dalam Mu’tamar
tersebut, Majma‘ hanya mengeluarkan rekomendasi (taws}i>yah) dan belum
mengambil keputusan. Oleh karenanya masalah yang sama dibahas untuk kedua
kalinya pada Mu’tamar ke-3 di Amman, Jordania, pada tanggal 8 s.d. 13 Shafar
1407 H atau bertepatan dengan tanggal 11 s.d. 16 Oktober 1986 M.1
Makalah-makalah yang dipresentasikan dalam pembahasan ini ialah:
1. Shaykh ‘Abdulla>h al-Bassa>m, Atfal al-Anabib
2. Dr. Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr, al-Talqi>h} al-S{ina>‘i> wa At}fa>l al-Ana>bi>b
3. Shaykh Rajab al-Tami>mi>, At}fa>l al-Ana>bi>b
4. Shaykh ‘Abdulla>h Ibn Zayd A<lu Mah}mu>d, al-H{ukm al-Iqna>‘i> fi> Ibt}a>l al-
Talqi>h} al-S{ina>‘i> wa Ma> Yusamma> bi Shatl al-Jani>n

Dengan pembahas dan pembicara aktif dalam diskusi ini ialah:


1. Dr. Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr
2. Dr. ‘Abdulla>h Ba>salamah
3. Shaykh ‘Abdulla>h al-Bassa>m
4. Shaykh Rajab al-Tami>mi>
5. Shaykh Must}afa> al-Zarqa>’
6. Shaykh ‘Ali> al-Sa>lu>s
7. A<yatulla>h Muh}ammad ‘Ali> al-Taskhi>ri>
8. Shaykh al-Mukhta>r al-Sala>mi>
9. Shaykh Muh}ammad Shari>f Ah}mad
10. Shaykh Muh}ammad ‘Abduh ‘Umar
11. Shaykh ‘Abd al-Sala>m al-‘Abba>di>>
12. Shaykh Muh}yi> al-Di>n Qa>di>
13. Shaykh Ah}mad H{amd al-Khali>li>
14. Shaykh ‘Abd al-Lat}i>f al-Farfu>r
15. Shaykh ‘Abd al-‘Azi>z ‘I<sa>

Sebelum kita membahas masalah inseminasi buatan dan bayi tabung, maka
perihal infertilitas dan embriologi perlu dipahami dengan baik oleh para ulama. Hal
yang demikian itu dibutuhkan agar keputusan yang diambil Majma‘ ialah
keputusan yang didasari pemahaman yang benar dan relevan dalam perihal terkait.
Dari topik Inseminasi Buatan dan Bayi Tabung, penulis membahas pula
tentang Bank Sperma dan Rahim Titipan. Meskipun dua topik terakhir itu
termasuk bahasan Bayi Tabung, dan tidak dibahas khusus oleh Majma‘. Pemilahan

1
Majma‘ al-Fiqh, Qara>ra>t wa Taws}i>ya>t (Dimashq: Da>r al-Qalam, t.t.), 15, 34-35.

107
tersebut, dengan pertimbangan bahwa masalah Bank Sperma dan Rahim Titipan
semakin mengemuka dewasa ini. Sementara itu ketiga masalah tersebut terkait
dengan reproduksi manusia, sehingga dikompilasi ke dalam Bab Reproduksi.
Secara umum reproduksi atau pembiakan berarti perbanyakan diri atau
berketurunan. Ini bertujuan untuk mempertahankan kehadiran spesies di alam.
Individu dalam populasi suatu spesies suatu saat pasti akan mati, dan ini
merupakan ciri kehidupan. Bila tidak berkembang biak, maka makhluk hidup akan
susut, dan jika terus demikian maka spesiesnya akan punah.2
Ada 2 macam cara bereproduksi yaitu secara seksual dan aseksual. Yang
aseksual, reproduksi tanpa kawin; sedang yang seksual, reproduksi dengan kawin.
Manusia adalah salah satu jenis makhluk hidup yang bereproduksi secara seksual.
Reproduksi seksual dilengkapi dengan proses perkawinan antara dua jenis kelamin,
jantan (pria) dan betina (wanita). Masing-masing jenis kelamin menghasilkan sel
gamet (sel benih). Gamet itulah yang mengalami pembuahan (fertilisasi) yang
akhirnya menjadi zigot, lalu mengalami perkembangan embriologis sehingga
akhirnya menjadi individu baru.3
Untuk selanjutnya penjelasan dari sisi ilmu kedokteran akan diuraikan pada
tempatnya masing-masing sesuai dengan tema masalah yang dibahas, yaitu tentang
Pembuahan Buatan dan Bayi Tabung, Rahim Titipan, dan Bank Sperma. Penjelasan
medis tersebut ialah dari sisi anatomi dan fisiologi. Pada beberapa tempat, sedikit
disinggung tentang keadaan patologis, sebagai contoh atau penjelasan seputar
resiko-resiko yang mungkin terjadi dari suatu tindakan medis. Dengan demikian
penulis tetap menghindari pembahasan patofisiologi4 maupun patogenesa5 dari
suatu penyakit tertentu.
Tata urutan penulisan tersebut dilakukan, agar menjadi jelas tas}awwur
(perihal apa) yang akan diputuskan hukumnya dari segi fikih. Hal ini karena
kejelasan suatu masalah adalah salah satu syarat terpenting bagi para ulama,
sehingga tidak keliru dalam mengambil keputusan yang disebabkan semata-mata
karena ketidakpahaman tentang masalah tersebut.

2
http://www.shmoop.com/animal-reproduction/reproduction-basics.html. Diakses
pada 5 Mei 2013.
3
http://www.biotopiks.co.uk/genes1/asexual_and_sexual_reproduction.html.
Diakses pada 5 Mei 2013.
4
Pathophysiology ialah fisiologi dari suatu penyakit, atau gangguan fungsi, atau
pengurangan koordinasi fungsi tubuh yang tampak sebagai sebuah penyakit yang
diakibatkan oleh agen etiologis atau kerentanan pada jaringan atau organ. William F.
Ganong, Jack D. Lange, et al., Pathophysiology of Disease (Stamford: Appleton & Lange,
2nd ed., 1997), 1.
5
Pathogenesis berasal dari bahasa Yunani. Pathos berarti penyakit, dan genesis
berarti penciptaan. Yaitu mekanisme penyebab penyakit berikut proses perkembangan
penyakit, termasuk setiap tahap perkembangan, rantai yang menuju terjadinya patogen
tersebut dan serangkaian perubahan struktur dan fungsi setiap komponen yang terlibat di
dalamnya, seperti sel, jaringan tubuh, dan organ, oleh stimulasi faktor-faktor eksternal
seperti faktor mikrobial, kimiawi dan fisis. Istilah ini juga dapat digunakan untuk
menggambarkan asal-usul dan perkembangan penyakit dan apakah akut, kronis atau
berulang. Ganong et al., Pathophysiology of Disease, 1.

108
Setelah itu dipaparkan pembahasan fikih dan diskusi para anggota Majma‘
terkait masalah tersebut. Kemudian diakhiri dengan analisis tentang metodologi
fikih (t}ari>q al-istinba>t}) yang digunakan Majma‘.
Untuk itu terlebih dahulu diuraikan secara ringkas tentang Gametogenesis
dan Embriologi. Ini sebagai pengantar sebelum masuk kepada uraian berikutnya
yang lebih relevan dalam masing-masing tema.

A. Teori Kromosom6
Keberadaan setiap individu yang baru ditentukan oleh gen-gen yang
spesifik dari kromosom pria dan wanita. Manusia memiliki kurang lebih 35,000 gen
dalam 46 kromosom. Sebelum sebuah sel memasuki tahap mitosis, setiap
kromosom melakukan replikasi DNA (deoxyribonucleic acid). Pada sel-sel somatis,
kromosom berjumlah 23 pasang yang homolog untuk membentuk jumlah diploid
yaitu 46. Terdapat 22 pasang kromosom yang sepadan, yaitu autosom, dan
sepasang sex kromosom. Apabila pasangan kromosom sex ialah XX, maka individu
tersebut wanita secara genetis. Apabila pasangan kromosom sex ialah XY, maka
individu tersebut ialah pria secara genetis.7

Gambar 1. Tahapan Mitosis 8


1. Gametogenesis
Gametogenesis adalah proses pembentukan gamet atau sel kelamin, yaitu
proses pematangan sel primordial secara genetis dan fenotip menjadi sel gamet
yang matur. Sel gamet adalah sel reproduksi haploid (oosit atau spermatozoa) yang
penyatuannya diperlukan dalam reproduksi seksual untuk mengawali

6
Langman et.al., Langman’s Medical Embryology (Montana: --, 9th ed., t.t.), 9.
7
Jessie Szalay,Chromosomes: Definition & Structure. http://www.livescience.
com/ 27248-chromosomes.html. Diakses pada 24 Juli 2014. Diakses pada 15 Mei 2014
8
Langman et al., Langman’s Medical Embryology, 5-6.

109
perkembangan individu baru. Sel gamet terdiri dari gamet jantan (spermatozoa)
yang dihasilkan di testis dan gamet betina (ovum) yang dihasilkan di ovarium.
Gametogenesis ada dua yaitu spermatogenesis dan oogenesis.
Gametogenesis terjadi melalui pembelahan sel secara meiosis,9 yang seperti
halnya mitosis10 didahului oleh replikasi kromosom.11 Namun, replikasi tunggal ini
diikuti oleh dua pembelahan sel yang berurutan yang disebut meiosis I dan meiosis
II.12 Pembelahan ini menghasilkan empat sel anak, masing ” masing hanya
mempunyai setengah dari jumlah kromosom sel induk. Gametogenesis terdiri 4
tahap : perbanyakan, pertumbuhan, pematangan dan perubahan bentuk. 13

2. Spermatogenesis14
Spermatogenesis adalah proses pembentukan sel spermatozoa (tunggal:
spermatozoon) yang bersifat haploid (n).15 Spermatogenesis mencakup pematangan
sel epitel germinal dengan melalui proses pembelahan dan diferensiasi sel.16
Pematangan sel terjadi di tubulus seminiferus yang kemudian disimpan dalam
epididimis. Tubulus seminiferus terdiri dari sejumlah besar sel germinal yang
disebut spermatogonia (jamak).
Spermatogonia terletak di dua sampai tiga lapis luar sel”sel epitel tubulus
seminiferus. Spermatogonia berdiferensiasi melalui tahap”tahap perkembangan
tertentu untuk membentuk sperma. Ini terjadi di organ kelamin (gonad) jantan yaitu
testis, tepatnya di tubulus seminiferus selama masa seksual aktif akibat stimulasi
oleh hormon gonadotropik hipofisis anterior. Ini dimulai rata-rata pada umur 13
tahun dan terus berlanjut, kemudian menurun pada usia tua.17
Selama spermatogenesis, sperma menerima makanan dari sel”sel sertoli di
dalam tubulus seminiferus.18 Keseluruhan proses spermatogenesis membutuhkan
waktu sekitar 64 hari.19 yang dipengaruhi oleh beberapa hormon, yaitu:20

9
Yaitu setiap inti sel anak menerima separuh jumlah kromosom sel spesiesnya.
10
Mitosis ialah pembelahan sel dari induk menjadi 2 anakan tetapi tidak terjadi
reduksi kromosom, contoh apabila sel tubuh manusia ada yang rusak maka akan terjadi
proses penggantian dengan sel baru melalui proses pembelahan mitosis. Pada pembelahan
mitosis menghasilkan sel baru yang jumlah kromosomnya sama persis dengan sel induk
yang bersifat diploid (2n) yaitu 23 pasang/ 46 kromosom, sedangkan pada meiosis jumlah
kromosom pada sel baru hanya bersifat haploid (n) yaitu 23 kromosom.
11
http://embryology.med.unsw.edu.au/embryology/index.php?title=Cell_Division_-
_Meiosis. Diakses 24 Juli 2014.
12
Langman et al., Langman’s Medical Embryology, 10.
13
Eberhard Passarge, Color Atlas of Genetics (Stuttgart: Thieme, 3rd ed., 2007),
449.
14
S.W. L'Hernault, Spermatogenesis (Research Community, WormBook 2006),
www.wormbook.org. Diakses pada 24 Juli 2014.
15
Langman et al., Langman’s Medical Embryology, 12.
16
Danton O'Day, Formation of the Male Sex Cells: Male Anatomy and
Spermatogenesis (Toronto: Universty of Toronto, 2010), 4-6.
17
Produksi sperma terus dilakukan hingga relatif sepanjang hayat. Tidak ada data
yang pasti kapan produksi sperma berhenti pada pria usia lanjut.
18
http://www.histology.leeds.ac.uk/male/sertoli_cells.php. Diakses 18 Juni 2014.

110
a. Hormon GnRH, yang berfungsi untuk merangsang lobus anterior pituitary
untuk produksi hormon gonadotropin FSH dan LH.
b. Testosterone. Hormon ini dihasilkan oleh sel”sel leydig yang terdapat diantara
tubulus seminiferus testis. Hormon ini bertanggung jawab terhadap pembelahan
sel”sel epitel germinal untuk membentuk sperma, terutama pembentukan
spermatosit sekunder.
c. Hormon FSH (Follicle Stimulating Hormone), yang berfungsi untuk
merangsang pembentukan sperma secara langsung. Serta merangsang sel sertoli
untuk menghasilkan ABP (Androgen Binding Protein) guna memacu
spermatogonium untuk melakukan proses spermatogenesis.
d. Hormon LH (Luteinizing Hormone), yang berfungsi merangsang sel leydig
untuk memperoleh sekresi testosterone (yaitu suatu hormone sex yang penting
untuk perkembangan sperma).

Gambar 2. Struktur Spermatozoa

Spermatozoa terbagi atas 3 bagian utama, 21 yaitu :22

19
http://www.embryology.ch/anglais/cgametogen/spermato03.html. Diakses pada
18 Juni 2014.
20
Guyton, Textbook of Medical Physiology (Philadelphia: Elesevier Saunders, 11th
ed., 2006), 906-910.
21
Dante O'Day, Formation of the Male Sex Cells: Male Anatomy and
Spermatogenesis, 5.

111
a. Kepala.23 Pada bagian kepala spermatozoon terdapat inti tebal dengan sedikit
sitoplasma yang diselubungi oleh selubung tebal dan terdapat 23 kromosom.
Selubung tebal tersebut adalah akrosom, yang berfungsi sebagai pelindung dan
menghasilkan enzim.
b. Badan. Di sini terdapat mitokondria24 yang berbentuk spiral dan berukuran besar,
berfungsi sebagai penyedia ATP atau energi untuk pergerakan ekor.
c. Ekor. Di sini terdapat Axial Filament pada bagian dalam dan membran plasma di
bagian luar yang berfungsi untuk pergerakan sperma.

3. Oogenesis25
Adalah proses pembentukan sel telur (ovum) di dalam ovarium. Oogenesis
dimulai dengan pembentukan bakal sel”sel telur yang disebut oogonia (tunggal:
oogonium). Pembentukan sel telur pada manusia dimulai sejak di dalam kandungan,
yaitu di dalam ovari fetus wanita. Pada akhir bulan ketiga usia foetus, semua
oogonia yang bersifat diploid (2n) telah selesai dibentuk dan siap memasuki tahap
pembelahan.26 Semula oogonia membelah secara mitosis menghasilkan oosit
primer. Pada perkembangan fetus selanjutnya, semua oosit primer membelah secara
meiosis, tetapi hanya sampai fase profase. Pembelahan meiosis tersebut berhenti
hingga bayi wanita tersebut lahir. Ovariumnya mampu menghasilkan sekitar 2 juta
oosit primer, yang mengalami kematian setiap hari sampai masa pubertas.
Memasuki masa pubertas, oosit melanjutkan pembelahan meiosis I, yang
hasilnya berupa dua sel haploid (n), satu sel yang besar disebut oosit sekunder dan
satu sel berukuran lebih kecil disebut badan polar primer. Oosit primer membesar,
dan sel folikuler berubah dari gepeng menjadi kuboid. Berproliferasi menjadi folikel

22
Sarah Mary Costello, Hyperactivation Of Human Sperm By 4-Aminopyridine:
Key Role for Mobilisation of Stored Ca 2+ in the Sperm Neck (Birmingham: School of
Biosciences, The University of Birmingham, 2010), 6-7.
23
Alaa A. El-Ghobashy, Christopher R. West, "The Human Sperm Head: A Key for
Successful Fertilization", Journal of Andrology, vol. 24, no. 2 (March-April 2003): 232.
24
Mitokondria ialah organ di dalam sel yang berfungsi untuk respirasi sel makhluk
hidup, selain fungsi selular lain, seperti metabolisme asam lemak, biosintesis pirimidin,
homeostasis kalsium, transduksi sinyal selular & penghasil energi berupa adenosina trifosfat
pada lintasan katabolisme. Mitokondria mempunyai dua lapisan membran, yaitu lapisan
membran luar dan lapisan membran dalam. Lapisan membran dalam ada dalam bentuk
lipatan-lipatan yang sering disebut dengan cristae. Di dalam mitokondria terdapat 'ruangan'
yang disebut matriks, dimana beberapa mineral dapat ditemukan. Sel yang mempunyai
banyak mitokondria dapat dijumpai di jantung, hati, dan otot. Lihat: Regina Bailey,
Mitochondria, http://biology.about.com/od/ cellanatomy/ss/mitochondria.htm. William F.
Martin, Marek Mentel, The Origin of Mitochondria, © 2010 Nature Education.
http://www.nature.com/scitable/topikpage/the-origin-of-mitochondria-14232356. Diakses
pada 21 Juni 2014.
25
Sarah Mary Costello, Hyperactivation of Human Sperm By 4-Aminopyridine:
Key Role for Mobilisation of Stored Ca 2+ in the Sperm Neck (Birmingham: School of
Biosciences, The University of Birmingham, 2010), 9-10.
26
Dawn A. Tamarkin, Oogenesis (Massachusetts: STCC Foundation Press, 2011),
1-3.

112
primer. Sel granulosa dan oosit mengeluarkan lapisan glikoprotein dan membentuk
zona pelusida. Folikel semakin berkembang menjadi folikel de graaf.27
Pada tahap pembelahan meiosis II, oosit sekunder akan membelah menjadi
dua sel, yaitu satu sel berukuran normal disebut ootid dan satu lagi berukuran lebih
kecil disebut badan polar sekunder. Badan polar tersebut bergabung dengan dua
badan polar sekunder lainnya yang berasal dari pembelahan badan polar primer,
sehingga diperoleh tiga badan polar sekunder. Ootid mengalami perkembangan
lebih lanjut menjadi ovum matang, sedangkan ketiga badan polar mengalami
degenerasi (hancur). Sehingga oogenesis hanya menghasilkan satu ovum dan dapat
hidup 24 jam. Jika ovum yang telah matang tidak dibuahi, maka sel telur tersebut
akan mati dan luruh bersama dengan dinding rahim pada awal siklus menstruasi.

Gambar 3. Proses Oogenesis

Adapun rangkaian proses oogenesis dipengaruhi oleh beberapa hormon yaitu:28


a. FSH (Follicle Stimulating Hormone) yang berfungsi untuk merangsang
pertumbuhan sel”sel folikel sekitar sel ovum.
b. LH (Luteinizing Hormone) yang berfungsi merangsang terjadinya ovulasi
(yaitu proses pematangan sel ovum).
c. Estrogen. Dihasilkan oleh folikel graff dan dirangsang oleh FSH di dalam
ovarium. Estrogen berfungsi menimbulkan sifat kelamin sekunder.

27
Mary Jo Carabatsosa et al., Characterization of Oocyte and Follicle Development
in Growth Differentiation, Journal of Developmental Biology Vol. 204, Issue 2 (15
December 1998): 373”384.
28
Anastasios Argyriou, Hormonal Control of Gametogenesis. Paper dalam
http://www.biogenesis.ro/. Diakses pada 21 Juni 2014.

113
d. Progesteron. Dihasilkan juga oleh korpus luteum yang berfungsi untuk
menghambat sekresi FSH dan LH. Hormon progesteron berfungsi juga untuk
menebalkan dinding endometrium.

Ovum memiliki beberapa lapisan pelindung, antara lain :29


a. Membrane Vitellin yaitu lapisan transparan dibagian dalam ovum.
b. Zona Pellusida, yaitu lapisan pelindung ovum yang tebal dan terletak dibagian
tengah. Terdiri dari protein dan mengandung reseptor untuk spermatozoa.30
c. Corona Radiata, yaitu merupakan sel-sel granulose yang melekat di sisi luar
oosit dan merupakan mantel terluar ovum yang paling tebal.31

4. Perbedaan Spermatogenesis dan Oogenesis32


Spermatogenesis adalah proses pembentukan sperma sedangkan oogenesis
adalah proses pembentukan ovum. Spermatogenesis terjadi di lumen tubulus
seminiferus testis sedangkan oogenesis terjadi di ovarium dan berlanjut saat terjadi
fertilisasi.33 Proses spermatogenesis baru aktif saat pubertas. Pada pria sebelum
puber, di dalam testis belum terjadi pembentukan sperma walaupun terdapat sel
spermatogonium sebagai bakal sperma. Saat puber terjadi peningkatan kadar
hormon FSH dan testosteron memicu dimulainya proses spermatogenesis
menghasilkan sperma. 34
Pada wanita, oogenesis sudah dimulai dari periode dalam kandungan (fetal)
yaitu perkembangan oogonium menjadi oosit primer di dalam folikel primer
ovarium (proses meiosis I). Setelah lahir proses meiosis I berhenti pada tahap
profase I. Pada saat puber terjadi proses rekruitmen folikel primer dan akan terpilih
satu folikel berisi oosit primer yang melanjutkan meiosis I menjadi 1 oosit sekunder
setiap bulannya. Oosit sekunder masuk pada meiosis II namun berhenti pada tahap
metafase II dan akan berlanjut jika terjadi pembuahan (fertilisasi). Bila terjadi
fertilisasi meiosis II akan sempurna sehingga dihasilkan ovum.35

29
"Ovum: Definition, Function & Structure", Education Portal, http://education-
portal.com/academy/lesson/ovum. Diakses pada 24 Juli 2014.
30
Paul M. Wassarman, "Zona Pellucida Glycoproteins", The Journal Of Biological
Chemistry, vol. 283, no. 36 (September 2008): 24285”24289.
31
Arthur T. Hertig, Eleanor C. Adams, "Ultrastructural and Histochemical
Observations on the Primordial Follicle Stage - Studies on the Human Oocyte and Its
Follicle", The Journai of Cell Biology, vol. 4 (1967): 647-648.
32
Gametogenesis Process, Spermatogenesis and Oogenesis, http://www.
biogenscience.com/2014/03/gametogenesis-process-spermatogenesis. Diakses 24 Juli 2014.
33
http://www.s-cool.co.uk/a-level/biology/reproduction/revise-it/sexual-
reproduction-in-humans-the-first-stages. Diakses pada 21 Juni 2014.
34
Hye-Won Song, Miles F. Wilkinson, "In Vitro Spermatogenesis", Landes
Bioscience Journal 2:4 (October/November/December 2012): 1.
35
Linda L. Rice, Overview of Human Fertilization and Egg Activation, American
Medical Writers Association Vol. 27, No. 3 (2012): 107.

114
B. Fertilisasi36

Pada saat ovulasi, ovum yang telah masak dilepaskan dari ovarium. Ovum
dilempar ke infundibulum, selanjutnya masuk ke dalam ampula sebagai hasil
gerakan silia dan kontraksi otot. Ovum biasanya dibuahi dalam 12 jam setelah
ovulasi, dan mati bila dalam 24 jam tidak segera dibuahi. Pada saat koitus,
spermatozoa yang berjumlah 300-500 juta masuk ke dalam kanalis servikalis. Satu
jam setelah koitus, sebagian spermatozoa telah mencapai ampula karena mati
sebagai akibat kondisi keasaman vagina atau mati dalam perjalanan. Spermatozoa
dapat bertahan sampai empat hari.
Dalam rangka fertilisasi, spermatozoa melakukan penetrasi ke cumulus
oophorus dan corona radiata pada acrosome yang masih utuh, lalu diikat dengan
permukaan zona pellucida oleh membrane plasma di atas acrosome. Reaksi
pengikatan tersebut menstimulasi reaksi acrosome yang terjadi di permkaan zona
pellucida dan terus berlangsung hingga tahap awal penetrasi sperma-zona pellucid.
Ini akan sempurna pada saat sperma mencapai lapisan ketiga dari zona pellucida.
Kemudian sperma melintasi ruang perivitelline dan berikatan dengan oolemma.
Terjadilah kontak pertama antara proses dari fusi oocyte dengan membran plasma
dari segmen equatorial segment sperma.37
Fertilisasi adalah peristiwa bersatunya spermatozoa dengan ovum, yaitu
dengan masuknya spermatozoa tunggal (23,X atau 23,Y) di tuba falopii dalam
beberapa jam pasca ovulasi. Hasil penyatuan ini disebut zigot (zygote).

Gambar 4. Fertilisasi Sperma Menuju Ovum

36
Langman et.al., Langman’s Medical Embryology, 48.
37
R. Yanagimachi, "Mammalian Fertilization", dikutip dari Knobil E and Neill J,
The Physiology of Reproduction (New York: Raven Press, 2nd ed., 1994), 189-317.

115
C . T a h a p a n P e r k e m b a n g a n E m b r i o 38

Perkembangan embrio dimulai dari pembelahan zygote (cleavage), stadium


morula (morulasi), stadium blastula (blastulasi), stadium gastrula (gastrulasi), dan
stadium organogenesis. Tahapan perkembangan embrio s.d. gastrula ialah:

1. Stadium Cleavage (Pembelahan)39


Cleavage adalah pembelahan zygote secara cepat menjadi unit-unit yang
lebih kecil, dan dinamakan pula dengan blastomer.40 Stadium cleavage merupakan
rangkaian mitosis yang berlangsung berturut-turut segera setelah terjadi
pembuahan yang menghasilkan morula dan blastomer.

Gambar 5. Stadium Cleavage

Sel telur dibuahi di tuba falopii sewaktu bergerak ke arah uterus. Setelah
itu pembelahan-pembelahan awalnya berlangsung kurang dari 24 jam dan bersifat
meridional tidak ekual. Pembelahan mitotik pada zygote (disebut juga sebagai
segmentasi atau pembelahan) akan menghasilkan dua sel anak, yaitu blastomere.41
Pembelahan awal menghasilkan tahap ‚dua sel‛ yang selanjutnya menghasilkan
tahap ‚empat sel‛ dan tahap ‚delapan sel‛.42 Ini terus berlangsung selama embrio
berada dalam tuba falopii. Selanjutnya terjadi pembelahan sel terus menerus
sehingga terbentuk bola sel padat yang disebut morula.43

38
Langman et.al., Langman’s Medical Embryology, 51-52.
39
"Human Embryo ” A Biological Definition", Discussion Paper National Health
and Medical Research Council (Canberra: NHMRC Australian Government, December
2005), 9.
40
http://www.britannica.com/EBchecked/topik/69084/blastomere. Diakses pada 16
Juni 2014.
41
Robert G. Edwards, Christoph Hansis, "Initial Differentiation of Blastomeres in
4-Cell Human Embryos and Its Significance for Early Embryogenesis and Implantation",
Reproductive BioMedicine Online, Vol. 11 (2005): 94-95, http://edwards. elsevierresource.
com/article/RB1794/fulltext. Diakses pada 24 Juli 2014.
42
P. Braude, V. Bolton, S. Moore, "Human Gene Expression First Occurs between
the 4- and 8-Cell Stages of Preimplantation Development", Nature 332 (1988): 459”461.
43
http://www.britannica.com/EBchecked/topik/69084/morula. Diakses pada 10 Juni
2014.

116
2. Stadium Morula44
Morula adalah hasil pembelahan setelah sel berjumlah 32, lalu berakhir
bila sel sudah menghasilkan sejumlah blastomer yang berukuran s a m a
dengan ukura n yang lebih kecil. Sel tersebut memadat untuk
m e n j a d i blastodisk kecil yang membentuk dua lapisan sel. Pada saat
ini ukuran sel mulai beragam. Sel membelah secara melintang dan mulai
membentuk formasi lapisan kedua secara samar . Blastomer kemudian
memadat menjadi blastodisk kecil membentuk dua lapis sel. Morula
memasuki uterus pada hari ke 3 ” 4 pasca fertilisasi.
Pada akhir pembelahan akan dihasilkan dua kelompok sel. Pertama
kelompok sel-sel utama (blastoderm), yang meliputi sel-sel formatik atau gumpalan
sel-sel dalam (inner mass cells), yang kelak akan membentuk tubuh embrio. Kedua
adalah kelompok sel-sel pelengkap, yang meliputi trophoblast, periblast, dan
auxilliary cells. Fungsinya melindungi dan men ghubungi antara embryo
dengan induk atau lingkungan luar.

Gambar 6. Bentuk Morulla pada Embrio Manusia

Implantasi biasanya terjadi di uterus bagian atas dan lebih sering pada
dinding posterior. Sebelum peristiwa implantasi, kumpulan sel yang mengelilingi
blastokis (zona pellucida) menghilang dan kemudian blastokista menempel pada
endometrium.45 Peristiwa ini disebut aposisi.

44
Langman et al., Langman’s Medical Embryology, 51-52.
45
"Human Embryo ” A Biological Definition", Discussion Paper National Health
and Medical Research Council (Canberra: NHMRC Australian Government, December
2005), 10.

117
Gambar 7. Thropoblast pada Endometrium

Tropoblast melekat di dinding uterus. Sel-selnya memperbanyak


diri dengan cepat dan memasuki epitelium uterus pada tahap awal implantasi.
Akumulasi cairan diantara blastomere menyebabkan terbentuknya rongga berisi
cairan yang mengubah bentuk morula menjadi blastokis. Blastokista kemudian
menginvasi endometrium. Implantasi selesai pada hari ke 24 ” 25 (10 ” 11 hari
pasca konsepsi).46 Ketika proses ini berlangsung, sel-sel yang berada di sebelah
bawah dari inner cell mass47 menyusun diri menjadi suatu lapisan endoderm
primer48 yang akan membentuk saluran pecernaan makanan (tractus
gastrointestinalis). Sel-sel sisa dari inner cell mass memipih membentuk suatu
diskus embrio. Antara diskus embrio dan trophoblast yang menutupi timbulnya
suatu rongga (rongga amnion) berisi carian. D i n d i n g r o n g g a a m n i o n
m e l u a s m e n g e l i l i n g i e m b r i o d a n d i i s i cairan amnion yang berfungsi
antara lain sebagai bantalan pelindung terhadap benturan dari luar.

Gambar 8. Stadium Blastula

46
P. Vigano, S. Mangioni, et al., "Maternal-Conceptus Cross Talk ” A Review",
Placenta 24 (2003): S56-S61.
47
"Inner Cell Mass (ICM)", Embryonic Development & Stem Cell Compendium -
LifeMap Discovery, http://discovery.lifemapsc.com/in-vivo-development/inner-cell-
mass/inner-cell-mass. Diakses pada 24 Juli 2014.
48
E.R. Norwitz, D.J. Schust, S.J. Fisher, "Implantation and the Survival of Early
Pregnancy", The New England Journal of Medicine 345 (2001): 1400-1408.

118
3. Stadium Blastula
Blastula dihasilkan dari proses blastulasi, yang berisi campuran sel-
sel blastoderm yang membentuk rongga penuh cairan sebagai blastocoel.49 Pada
akhir blastulasi, sel-sel blastoderm akan terdiri dari neural, epidermal,
notochordal, mesodermal, dan endodermal yang merupakan bakal
pembentuk organ-organ. 50 Dicirikan dua lapisan yang sangat nyata dari
sel-sel datar membentuk blastocoels dan blastodisk yang berada di
lubang vegetal berpindah menutupi sebagian besar kuning telur. Pada
blastula sudah terdapat daerah yang berdiferensiasi mem bentuk organ-
organ tertentu seperti saluran pencernaan, notochord saraf, eksoderm,
ectoderm, mesoderm, dan endoderm. 51

4. Stadium Gastrula52
Setelah embrio menjalani tahap pembelahan dan tahap blastula, embrio
akan masuk ke dalam tahapan yang paling kritis selama tahap perkembangannya,
yaitu stadium grastula. Grastulasi53 ditandai dengan terjadinya perubahan susunan
yang sangat signifikan serta sangat rapi dari sel-sel didalam embrio.
Proses perkembangan sel bakal organ ada dua, yaitu epiboli dan emboli.
Epiboli adalah proses pertumbuhan sel yang bergerak ke arah depan, belakang, dan
ke samping dari sumbu embrio dan akan membentuk epidermal, sedangkan emboli
adalah proses pertumbuhan sel yang bergerak ke arah dalam terutama di ujung
sumbu embrio. Embrio akan menempel dan menetap pada dinding uterus untuk
periode waktu tertentu, dan mendapatkan makanan sampai dilahirkan.
Pada stadium gastrula ini terjadi perpindahan ektoderm, mesoderm,
endoderm, dan notochord menuju tempat yang definitif. Periode ini erat
hubungannya dengan proses pembentukan susunan saraf. Proses grastulasi terjadi
pada blastokista yang terdiri dari tropoblast dan inner mass cells yang merupakan
bakal tumbuh embrio. Pemisahan pertama dari sel-sel pada inner mass cells adalah
untuk pembentukan hipoblast, yang membatasi rongga blastula dan yang akan
mejadi endoderm kantung yolk. Sisa dari inner mass cells yang terletak di atas
hipoblast membentuk keping embrio. Sementara itu epiblast memisahkan diri
membentuk rongga amnion, dan sel-sel ekstra embrio mulai membentuk jaringan
khusus agar embrio dapat hidup dalam uterus induk. Sel-sel tropoblast membentuk
suatu populasi sel dan membentuk syncytiotrophoblast.54

49
Langman et al., Langman’s Medical Embryology, 52.
50
Ronan O'Rahilly, Fabiola Muller, Developmental Stages in Human Embryos
(Connecticut: Carnegie Institution of Washington, 1987), 44-46.
51
Langman et al., Langman’s Medical Embryology, 66-71.
52
Langman et al., Langman’s Medical Embryology, 51-52.
53
Yaitu proses perkembangan embrio, di mana sel bakal organ yang telah terbentuk
pada stadium blastula mengalami perkembangan lebih lanjut. Lihat: Langman et al.,
Langman’s Medical Embryology, 72.
54
H. Kliman, J. Nestler, et al., "Purification, Characterization, and In Vitro
Differentiation of Cytotrophoblasts from Human Term Placentae", Endocrinology 118
(1996): 1567”1582.

119
Syncytiotrophoblast55 memasuki permukaan uterus sehingga tertanam
dalam uterus. Sebaliknya, uterus membentuk banyak pembuluh darah yang
berhubungan dengan syncytiotrophoblast. Tidak lama sesudah ini, mesoderm
meluas keluar embrio. Pembuluh ini merupakan pembuluh darah dari tali pusat
(umbilicus).56 Gastrula adalah bentukan lanjutan dari blastula yang pelekukan
tubuhnya sudah semakin nyata dan mempunyai lapisan dinding tubuh embrio serta
rongga tubuh. Organ yang dibentuk ini berasal dari masing-masing lapisan dinding
tubuh embrio pada fase gastrula. Yaitu:57
a. Lapisan Ektoderm akan berdiferensiasi menjadi cor (jantung), otak (sistem
saraf), integumen (kulit), rambut dan mata.
b. Lapisan Mesoderm akan berdiferensiasi menjadi dermis, otot, tulang rangka
(osteon), alat reproduksi (testis dan ovarium), sistem vaskular dan alat ekskresi
seperti ren.
c. Lapisan Endoderm akan berdiferensiasi menjadi saluran gastrointestinal,
pankreas, hepar, tiroid, dan alat respirasi seperti pulmo.
d. Embrio pada akhir minggu ke tiga, tampak posisi sel-sel primordial germ di
dinding yolk sac yang berdekatan dengan bakal tali pusat (umbilical cord).58

Gambar 9. Primordial Germ Cells dan Yolk Sac

Setelah periode tersebut, embrio tumbuh menjadi janin (foetus). Secara


singkat hal-hal utama dalam perkembangan organ59 dan fisiologi60 janin ialah:61

55
Ronan O'Rahilly, Muller, Developmental Stages in Human Embryos, 23-43.
56
Ronan O'Rahilly, Muller, Developmental Stages in Human Embryos, 48.
57
Langman et al., Langman’s Medical Embryology, 112-113.
58
Langman et al,, Langman’s Medical Embryology, 8.

120
a. Usia 4 minggu, sudah tampak diverticulum respiratorius sebagai pertumbuhan
dari dinding ventral dari foregut.62
b. Usia 8 minggu, sudah terbentuk janin yang mirip bentuk manusia, mulai
tampak tangan, jari tangan, hidung, kaki, dan mulai pembentukan genitalia
eksterna. Sirkulasi melalui tali pusat dimulai. Tulang mulai terbentuk.
c. Usia 9-10 minggu, panjang janin lebih kurang 5-8 cm, berat 10-45 g, dan sudah
terlihat seperti bayi. Ukuran kepalanya lebih besar dari pada ukuran badan,
terbentuk muka, kelopak mata namun tak akan membuka sampai 28 minggu.
d. Usia 13-16 minggu: Fetus berukuran 9-14 cm, berat 60-200 g. Merupakan awal
trimester kedua. Kulit janin masih transparan, telah mulai tumbuh lanugo.63
Janin bergerak aktif, yaitu menghisap dan menelan air ketuban. Telah terbentuk
mekonium (feses) dalam usus. Jantung berdenyut 120-150/menit.
e. Usia 17-24 minggu: Fetus berukuran 15-23 cm, berat 250-820 g. Komponen
mata terbentuk penuh, juga sidik jari. Seluruh tubuh diliputi oleh verniks
kaseosa (lemak). Janin telah mempunyai refleks.

Gambar 10. Janin (foetus) Usia 12 Minggu. Tampak jelas kulit


sangat tipis yang di bawahnya terdapat pembuluh darah. Wajah
sudah memiliki karateristik manusia, namun telinga masih primitif.
Gerakan-gerakan janin sudah dimulai pada periode ini, tapi
biasanya belum dirasakan oleh ibunya.64

59
F.G. Cunningham, K.J. Leveno, S.L. Bloom, et al., "Fetal Growth and
Development". Dikutip dari: Cunningham, et al., Williams Obstetrics (New York:
McGraw-Hill 23rd ed., 2010), chapter 4.
60
M.G. Ross, M.G. Ervin, D. Novak, "Placental and Fetal Physiology". Dikutip
dari: S.G. Gabbe, J.R. Niebyl, J.L. Simpson, et al., Obstetrics: Normal and Problem
Pregnancies (Philadelphia: Saunders Elsevier, 6th ed., 2012), chapter 2.
61
Langman et al., Langman’s Medical Embryology, 117-124.
62
Langman et.al., Langman’s Medical Embryology, 275.
63
Lanugo ialah rambut halus yang tumbuh di tubuh janin.
64
Langman et.al., Langman’s Medical Embryology, 121.

121
f. Usia 25-28 minggu: Fetus berukuran 24-27 cm, berat 900-1300 g. Saat ini
disebut permulaan trimester ketiga, dimana terdapat perkembangan otak yang
cepat. Sistem saraf mengendalikan gerakan dan fungsi tubuh, mata sudah
terbuka. Apabila bayi lahir pada periode ini, maka probabilitas kelangsungan
hidup bayi akan sangat sulit.
g. Usia 29-32 minggu: Fetus berukuran 28-30 cm, berat 1400-2100 g. Apabila
bayi dilahirkan pada periode ini, probabilitas untuk hidup ialah 50-70%. Tulang
telah terbentuk sempurna, gerakan napas telah reguler, suhu relatif stabil.
h. Usia 33-36 minggu: Fetus berukuran 31-34 cm, berat 2200-2900 gram. Bulu
kulit janin (lanugo) mulai berkurang, pada saat 35 minggu paru-paru telah
matur. Janin akan dapat hidup tanpa kesulitan.

Gambar 11. Ukuran Kepala Janin Dibandingkan dengan Tubuh pada


3 bulan, 5 bulan, dan Ketika Siap Dilahirkan.65

i. Usia 37-38 minggu: Fetus berukuran 35-36 cm, berat 3000-3400 g. Sejak 38
minggu kehamilan disebut aterm,66 dimana bayi akan memenuhi uterus. Air
ketuban mulai berkurang, tetapi masih dalam batas normal.

Dengan demikian telah diuraikan di atas tentang gametogenesis,


spermatogenesis, oogenesis, dan fertilisasi normal. Begitu pula telah dipaparkan
secara ringkas tentang anatomi, fisiologi dan perkembangan embrio dan janin di
dalam rahim ibunya, hingga kelahiran bayi.
Materi paparan di atas telah ditapis menjadi yang sekiranya relevan dengan
penelitian ini, sebagai tas}awwur terhadap apa-apa yang akan menjadi dasar
pertimbangan pengambilan Keputusan Fikih (qara>r).

65
Langman et.al., Langman’s Medical Embryology, 118.
66
Aterm ialah usia janin cukup bulan untuk lahir dalam keadaan normal, yaitu lebih
dari 37 minggu.

122
Gambar 12. Janin (foetus) dalam Rahim pada Posisi Normal

Adapun di dalam Mu'tamar Majma‘ al-Fiqh disampaikan beberapa makalah


dari sisi kedokteran yang jauh lebih lengkap dari itu. Kemudian dari presentasi
makalah-makalah tersebut, didiskusikan dan dibahas dengan lebih mendalam oleh
para hadirin. Seiring dengan itu pula dipresentasikan dan didiskusikan beberapa
makalah topik terkait dari sisi pandangan fikih. Dengan demikian para ulama
Majma‘ yang menghadiri mu'tamar tersebut, memperoleh sajian ilmiah yang jelas
untuk mengambil Keputusan Fikih (qara>r).
Adapun penulis menyusun masalah kedokteran yang akan dibahas tersebut
dengan leih ringkas, serta melalui pengkinian (updating) sumber-sumber ilmiah,
seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran yang sangat pesat.
Di bawah ini adalah uraian dari sisi fikih, yaitu mengenai perdebatan dan
diskusi para ulama anggota Majma‘, termasuk analisis penulis atas diskusi tersebut,
Sebagai penutup dari Bab ini, disampaikan analisa tentang metodologi hukum yang
dipakai oleh Majma‘ dalam pengambilan keputusan mereka. Kemudian ditutup
dengan topik-topik derivatif dari topik yang dibahas dalam penelitian ini.

D. Infertilitas

1. Definisi Infertilitas67
Infertilitas atau yang sering disebut ‚kemandulan‛ merupakan suatu
kondisi dimana pasangan suami istri (pasutri) tidak mampu untuk mendapatkan
keturunan setelah 12 bulan pernikahan, meskipun melakukan senggama secara
teratur (2-3 X/minggu), tanpa memakai metode pencegah kehamilan.

67
Arif Mansjoer, dkk., Kapita Selekta Kedokteran (Jakarta: Media Aesculapius
FKUI, 2005), j. 1, 389.

123
Infertilitas terbagi menjadi infertilitas primer dan sekunder. Infertilitas
primer adalah bila pasangan tersebut belum pernah mengalami kehamilan sama
sekali. Adapun infertilitas sekunder ialah apabila terdapat riwayat kehamilan,
termasuk pernah abortus ataupun hamil ektopik,68 kemudian memakai kontrasepsi.
Namun setelah dilepas, belum juga hamil selama satu tahun pada wanita usia
kurang dari 35 tahun dan enam bulan pada wanita berusia 35 tahuan atau lebih.69
Secara umum, banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
infertilitas pada pasutri. Infertilitas pada pria biasanya disebabkan oleh rendahnya
jumlah sel sperma yang terdapat dalam semen dan kualitas sel sperma yang di
bawah standar. Berdasarkan jumlah dan kualitas sel sperma yang terkandung dalam
satu mililiter semen,70 infertilitas pada pria dapat dikelompokkan menjadi:71
a. oligozoospermia (sel sperma hanya ada beberapa ratus sel saja)
b. kriptozoospermia (sel sperma hanya dapat dijumpai beberapa puluh atau
kurang)
c. asthenospermia (sel sperma tidak memiliki kemampuan bergerak secara
leluasa untuk ‚mencari‛ sel telur), sel sperma yang ada memiliki kelainan
pada ekor namun kondisi kepala sperma (pembawa gen) masih baik
d. azoospermia (tidak terdapatnya sperma yang matang).

Adapun infertilitas pada wanita dapat disebabkan oleh:72


a. Tersumbatnya saluran tuba falopii akibat infeksi berulang pada alat
kelamin dalam
b. Kerusakan lapisan tuba falopii
c. Ovulasi yang tidak normal
d. Endometriosis73
Keadaan lain yang menimbulkan infertilitas adalah kecenderungan pasutri
untuk menunda kehamilan74 sampai wanita berusia 30 tahun. Secara umum, wanita

68
Kehamilan ektopik ialah kehamilan abnormal yaitu yang terjadi di luar rongga
rahim (cavum uteri).
69
Jani R. Jensen, "Why Does Secondary Infertility Happen?", http://www.
mayoclinic.org/diseases-conditions/infertility/expert-answers/secondary-infertility/faq-
20058272. Diakses pada 25 Juli 2014.
70
Sekresi cairan yang berisi sel-sel sperma yang dihasilkan selama ejakulasi.
Jumlah sel sperma normal ialah 2-5 cc semen atau 40-100 juta sperma pada setiap ejakulasi.
71
Jonathan S. Berek, Berek & Novak's Gynecology (Lippincott Williams &
Wilkins 14th Ed., 2007), 67.
72
http://www.nhs.uk/Conditions/Infertility/Pages/Causes.aspx. Diakses pada 1 Juni
2014.
73
Kondisi dimana jaringan endometrium (jaringan yang melapisi rahim) tumbuh
menebal dan membentuk kista (jaringan abnormal) pada organ-organ lain, misalnya:
ovarium dan saluran Fallopi, sehingga menimbulkan rasa sakit selama menstruasi, hubungan
intim dan memicu terjadinya infertilitas.
74
H. Leridon and R. Slama, "The Impact of a Decline in Fecundity and of
Pregnancy Postponement on Final Number of Children and Demand for Assisted
Reproduction Technology", Oxford Journals of Medicine, Human Reproduction, vol.
23, Issue 6 (2008): 1312-1319.

124
mencapai puncak kesuburan pada usia 18 atau 19 tahun, dan mulai menurun secara
perlahan pada usia 35 tahun, bahkan menurun secara tajam pada usia 49 tahun dan
pada akhirnya terjadi menopause. Menopause bahkan dapat berlangsung lebih awal,
yaitu pada usia 40 tahun. Di sisi lain, pria yang berusia 50 tahun, fertilitasnya tidak
jauh berbeda dengan ketika berusia 25 atau 30 tahun.
Kondisi infertil terjadi pada 5 (lima) juta lebih pasutri per tahun yang
disertai implikasi medis, ekonomi, dan psikologis. Terapi pasangan infertil harus
didasarkan pada penilaian (assessment) yang akurat mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi pasangan tersebut. Dari hasil penelitian infertilitas, penundaan usia
menikah dan penundaan kehamilan pada generasi setelah Perang Dunia ke-2
menunjukkan peningkatan yang berarti.75
Perbedaan distribusi statistik antara infertilitas primer dengan sekunder
berdampak kepada jenis pelayanan penanggulangan infertilitas. Hal ini karena
wanita dengan infertilitas primer lebih banyak yang datang ke sentra pelayanan
terapi infertilitas dibandingkan dengan yang mengalami infertilitas sekunder.
Secara umum sekitar setengah dari pasutri infertil akan mencari pengobatan,
meskipun hanya 25% yang benar-benar membutuhkan bantuan spesialis infertilitas.
Adapun peluang keberhasilan terapi infertilitas dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti lamanya infertil, penyebab infertil, serta usia wanita pada saat terapi.

2. Etiologi Infertilitas76
Apabila ditinjau dari segi etiologi infertilitas, maka dari faktor suami
sebesar 25-40%, istri 40-55%, keduanya 10%, dan idiopatik77 10%. Penyebab yang
paling sering terjadi ialah kelainan pada semen, gangguan ovulasi, cedera tuba,
hambatan atau perlengketan tuba,78 endometriosis, gangguan interaksi sperma-
sekret cervix.79 Juga bisa disebabkan oleh kelainan yang jarang terjadi seperti
kelainan uterus, gangguan immunologi, infeksi, dan idiopatik.80

75
Michele G Curtis et.al., Glass' Office Gynecology (Lippincott Williams &
Wilkins , 6th Ed., 2006), 384.
76
Arif Mansjoer, dkk., Kapita Selekta Kedokteran, j. 1, 389.
77
Yang tidak diketahui penyebabnya.
78
E. Confino, E. Radwanska, "Tubal Factors in Infertility", Current Opinion in
Obstetrics and Gynecology, 4(2) (April 1992): 197-202.
79
Sotrel Ginter, "Is Surgical Repair of the Fallopian Tubes Ever Appropriate?", Review
of Obstetrics and Gynecology, vol. 2, no. 3 (2009): 176-185.
80
Mohammed Abdelgafoor Abdelgadir, Hussain Gadelkarim Ahmed, "A Successful
Treatment of Blocked Fallopian Tubes Following Short Wave Diathermy", Management in
Health, vol. 17, no. 1 (2013): 1-2.

125
Gambar 13. Prosentase Penyebab Infertilitas di Amerika Serikat81

Menurut Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr,82 faktor-faktor penyebab terpenting


infertilitas, sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai artikel dan literatur
medis, adalah sebagai berikut:
a. Penyebaran berbagai jenis penyakit seksual akibat maraknya perzinaan. Di
antara penyakit seksual yang banyak diderita ialah infeksi chlamydia, yang
mengakibatkan tertutupnya saluran tuba falopii dan peradangan pada rahim.83
Atlanta Center Institute, sebuah lembaga yang bergerak di bidang pengendalian
penyakit menular, memperkirakan jumlah penderita infeksi chlamydia di
Amerika Serikat adalah 6 juta jiwa setahun.84
Di negara-negara Skandinavia ditemukan antara 5”10 % remaja di bawah usia
20 tahun dan mengikuti program KB adalah penderita chlamydia.85
Di Inggris, radang saluran kemih karena penyakit seksual non-gonorrhea yang
diakibatkan oleh chlamydia jauh lebih berbahaya daripada kasus-kasus
gonorrhea.86 Selain itu, jumlah kasus penderita infeksi chlamydia lebih banyak
hingga berlipat ganda dibandingkan kasus gonorrhea.87

81
Michele G. Curtis et al., Glass' Office Gynecology, 385.
82
Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas London,
Glasgow, dan Edinburgh. Penasehat bidang Kedokteran Islam pada King Fahd Centre for
Medical Studies, King Fahd University, Jeddah, Arab Saudi. Pendapatnya di atas
merupakan kutipan makalah ‘Ali> al-Ba>rr dalam mu’tamar Majma‘ ke-2 di Jeddah. Lihat:
Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.1, 276-281.
83
Apa yang dikemukakan oleh Dr. ‘Ali> al-Ba>rr masih tetap relevan. Terbukti bahwa
hingga penelitian tahun 2010, Chlamydia merupakan faktor penting atas terjadinya resiko tinggi
pada PID. Lihat: V. Akande, et al., "Impact of Chlamydia Trachomatis in the Reproductive
Setting: British Fertility Society Guidelines for Practice", Human Fertility (Cambridge), 13(3)
(2010): 115-125.
84
Mandel, Douglas & Bennet: Principles & Practice of Infection Disease, 1979.
85
Konferensi Skandinavia tentang Chlamydia, tahun 1981.
86
Harrison, Wilson, Petersdorf, Fauci, Harison's Principles of Internal Medicine
(New York: McGraw-Hill, 16th ed., 2005), 1012.
87
Wilcox, Medicine Digest, April 1980. I.

126
b. Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR)88dianggap sebagai penyebab
kedua bagi peradangan dalam rahim dan pelvic inflammatory disease yang
banyak menyebar khususnya di Barat.89 Oleh karena jutaan wanita memakai
jenis kontrasepsi ini untuk mencegah kehamilan, maka terdapat ribuan wanita
yang mengalami pelvic inflammatory disease, yang pada gilirannya akan
mengakibatkan tertutupnya saluran tuba falopii90 hingga terjadinya
kemandulan.91
c. Penundaan usia perkawinan hingga melewati 25 tahun, yaitu usia kesuburan
yang paling ideal, dianggap sebagai salah satu penyebab penting kemandulan.92
d. Aborsi, merupakan fenomena yang mengerikan di dunia.93 Aborsi dianggap
sebagai penyebab ketiga dari tertutupnya saluran tuba falopii dan peradangan
rahim.94 MajalahTime edisi 6 Agustus 1984 menyebutkan bahwa jumlah kasus
aborsi ilegal95 di dunia meningkat hingga lebih dari 50 juta, dimana lebih dari
separuhnya terjadi di negara-negara berkembang.96 Majalah Medicine Digest97

88
AKDR ialah alat kontrasepsi yang dipasang di dalam rongga rahim, dan
merupakan salah satu bentuk kontrasepsi mantap (kontap). Sering pula disebut dengan IUD
(Intra Uterine Device) yang antara lain berbentuk spiral, T atau lingkaran. Peradangan
dalam rahim atau implikasinya yang lebih luas berupa PID (pelvic inflammatory disease)
antara lain disebabkan pemasangan dan ukuran IUD yang tidak tepat.
89
Data terkini menunjukkan bahwa intrauterine device (IUD) atau alat kontrasepsi
dalam rahim (AKDR) merupakan metode kontrasepsi yang paling banyak dipakai wanita di
seluruh dunia. Tingkat prevalensi penggunaan AKDR di masing-masing negara bisa
mencapai 80% dari penggunaan semua metode kontrasepsi. Selama 5 tahun penggunaan
AKDR, tingkat kehamilan ialah kurang dari 2 per 100 pemasangan AKDR. Perdarahan dan
nyeri merupakan alasan utama melepas AKDR dengan tingkat prevalensi 10% pada tahun
pertama, hingga 50% dalam 5 tahun penggunaan. Lihat: The European Society of Human
Reproduction and Embryology (ESHRE) Capri Workshop Group, "Intrauterine Devices and
Intrauterine Systems", Human Reproduction Update, vol.14, no. 3 (2008): 197”208,.
90
L. Muzii, M.I. Sereni, C. Battista, et al., "Tubo-Peritoneal Factor of Infertility:
Diagnosis and Treatment", La Clinica Terapeutica (English version), 161(1) (2010): 77-85.
91
‘Ali> Al-Ba>rr, Al-Amra>dh al-Jinsi>yah Asba>buha> wa ‘Ila>juha> (Da>r al-Mana>rah,
1985), 195.
92
Hubungan penundaan usia perkawinan dengan kemandulan. Lihat: Al-Zawjayn
al-‘Aqi>mayn (Shirkah Siba, 1985), j. XXVIII, no. 5
93
"The After Effects of Abortion", http://www.abortionfacts.com/reardon/the-
after-effects-of-abortion. Diakses pada 26 Juli 2014.
94
Anastasia Tzonou, et al., "Induced Abortions, Miscarriages, and Tobacco
Smoking as Risk Factors for Secondary Infertility", Journal of Epidemiology and
Community Health, vol. 47 (1993): 36.
95
Aborsi ilegal disebut pula abortus provocatus, yaitu aborsi yang dilakukan
dengan sengaja tanpa alasan yang dapat dibenarkan secara medis.
96
Diperkirakan sebanyak 19”20 juta kasus aborsi non-medis setiap tahun di seluruh
dunia, dimana 97% kasus terjadi di negara-negara berkembang. Lihat: David A. Grimes,
Janie Benson, Susheela Singh, et al., "Unsafe Abortion: the Preventable Pandemic", The
Lancet Sexual and Reproductive Health Series, vol. 368, issue 9550 (November 2006):
1908 ”1919.
97
Wilcox, Medicine Digest, Maret, 1981.

127
menyebutkan bahwa 13.700.000 kasus aborsi ilegal terjadi setiap tahunnya di
negara-negara berkembang.98 Di Spanyol dan Portugal terjadi lebih dari 1 juta
kasus aborsi setiap tahunnya. Di Eropa Barat juga terjadi lebih dari 1 juta
kasus. Sejak Mahkamah Agung (Supreme Court) AS membolehkan aborsi pada
tahun 1973, telah terjadi lebih dari 15 juta kasus aborsi hingga tahun 1983.
Kondisi ini memaksa Presiden AS pada waktu itu, Ronald Reagan, untuk
melakukan kampanye menuntut pembatalan undang-undang ini.99
Uni Soviet adalah negara pertama di dunia yang melegalkan aborsi pada tahun
1920. Joseph Stalin100 pun menghapus keputusan ini pada tahun 1936, namun
diberlakukan kembali pada tahun 1955. Kasus aborsi di Uni Soviet mencapai 3
juta kasus dalam setiap tahunnya.
Demikian pula di Jepang terjadi 3 juta kasus aborsi dalam setiap tahunnya.101
e. Ada jenis-jenis penyakit lain yang dianggap jarang di Barat, tetapi berjangkit di
negara-negara berkembang seperti penyakit tuberculosis (TBC) yang
menyerang organ reproduksi, dan sejumlah penyakit-penyakit lainnya. Semua
ini dapat mengakibatkan pelvic inflammatory disease.102
f. Melakukan senggama pada saat menstruasi. Padahal Alla>h telah
memperingatkan dalam firman-Nya,
‚Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah
kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sehingga mereka suci. Apabila
mereka telah bersuci (mandi janabah ”pen.), maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Alla>h kepadamu. Sesungguhnya Alla>h menyukai
orang-orang yang selalu taubat dan menyukai orang-orang yang selalu
menyucikan diri.’‛ (QS. al-Baqarah [2]: 222)
Senggama pada saat menstruasi akan mengakibatkan berbagai macam
gangguan dan penyakit. Di antara bahaya yang ditimbulkannya adalah pelvic
inflammatory disease, radang saluran rahim, tertutupnya saluran rahim, dan
endometriosis.
g. Sterilisasi dengan cara memotong dan mengikat saluran tuba falopii. Hal ini
tampak aneh, namun memang seperti itulah realitanya. Tidak sedikit wanita
yang meminta dokter untuk melakukan sterilisasi terhadap mereka, atau karena
politik suatu negara memberlakukan sterilisasi massal (seperti India, Mesir dan

98
Data tahun 2004 menunjukkan bahwa sekitar separuh dari kematian akibat aborsi
non-medis adalah terjadi di Asia, sementara sisanya (44%) terjadi di Afrika. Lihat: Unsafe
Abortion: Global and Regional Estimates of the Incidence of Unsafe Abortion and
Associated Mortality in 2000 (Geneva: World Health Organization, 4th ed., 2004).
99
‘Ali> al-Ba>rr, Mushkila>t al-Ijha>d} (Al-Riya>d}: Da>r al-Su‘u>di>yah, t.t.), 5-7.
100
Joseph Stalin (1878-1953), berkuasa di Uni Soviet pada tahun 1924-1953.
101
‘Ali> al-Barr, Mushkila>t al-Ijha>d} (Al-Riya>d}: Da>r al-Su‘u>di>yah, t.t.) 5-7.
102
S.K. Mondal, T.K. Dutta, "A Ten Year Clinicopathological Study of Female
Genital Tuberculosis and Impact on Fertility", Journal of Nepal Medical Association,
48(173) (Jan-Mar 2009): 52-57.

128
Cina).103 Sterilisasi permanen ini dapat dipulihkan dengan operasi, namun
tingkat keberhasilannya berkisar antara 30-40%.104

Dari uraian di atas, maka faktor terpenting penyebab kemandulan menurut


‘Ali> al-Ba>rr ialah seks bebas (zina), penggunaan AKDR (IUD),105 dan aborsi.106

3. Usia dan Infertilitas107


Kesuburan wanita akan menurun setelah usia 35 tahun. Diperkirakan antara
tahun 1980 sampai 2010 di Amerika Serikat, jumlah wanita usia 35-45 tahun akan
bertambah dari 13 juta kepada 19 juta orang.
Studi terdahulu di Montana, serta wilayah Utara dan Selatan Dakota, juga
sebagian Kanada, telah memberikan data demografis terkait usia dan tingkat
kesuburan alami, di mana tingkat infertilitas hanya 2,4% dari populasi. Penurunan
fertilitas terus terjadi terkait pertambahan usia wanita, sehingga tingkat infertilitas
meningkat menjadi 11% pada usia 34 tahun, 33% pada usia 40, dan 87% pada usia
45 tahun. Usia rata-rata kehamilan terakhir terjadi pada usia 41 tahun. Adapun jika
dilihat dari sudut pandang pertambahan usia,108 maka ini berkaitan dengan penyakit
ginekologis dan penyakit sistemik lainnya, seperti endometriosis, infeksi pelvis,
leiomyoma,109 merokok, diabetes, dan obesitas.
Sementara itu Swartz dan Mayaux melaporkan data 2193 wanita dengan
suami azoopermia, diterapi dengan cara inseminasi dari donor. Tingkat kehamilan
kumulatif dari metode tersebut ialah 73%, 74%, 62%, dan 54% dari grup yang lebih
muda dari 25 tahun (n=371), 26 sampai 30 tahun (n=1079), 31 sampai 35 tahun
(n=599), dan lebih tua dari 35 tahun (n=144). Penurunan fertilitas tampak
signifikan pada wanita dari grup usia lebih dari 35 tahun, serta kehamilan jarang
sekali dilaporkan terjadi pada usia 45 tahun.
Sementara itu perubahan fisiologis di ovarium dan uterus terjadi secara
signifikan pada usia 35 tahun ke atas. Di antara alasannya ialah mulai hilangnya
integritas oocyt dan menurunnya kemampuan uterus setelah usia 30 tahun….

103
Nadwah al-Inja>b (Kuwayt, t.t.), 369.
104
Akan tetapi data saat ini tentang tingkat keberhasilan rekanalisasi tuba pasca
tubektomi ialah sekitar 69,5-83%, tergantung dari panjang tuba, jenis sterilisasi, jarak
antara tubektomi dengan rekanalisasi, dll.
105
Sebagai salah satu metode KB, tentunya sangat diperlukan edukasi yang jelas
dan benar kepada calon pengguna AKDR, serta pemasangan yang tepat, sehingg hal
tersebut sehingga dapat mencedag terjadinya infertilitas. Lihat: Ruth Monchek, "The Whole
Truth About IUDs", American Journal of Nursing, vol. 110, no. 6 (June 2010): 53-56.
106
Anastasia Tzonou, et al., "Induced Abortions, Miscarriages, and Tobacco
Smoking as Risk Factors for Secondary Infertility", Journal of Epidemiology and
Community Health, vol. 47 (1993): 36.
107
Michele G Curtis et.al., Glass' Office Gynecology, 386.
108
American Society For Reproductive Medicine, "Age and Fertility", A Guide for
Patients, Patient Information Series, Booklet revised 2012.
109
Suatu jenis tumor jinak pada otot polos uterus. Disebut pula uterine fibroids.
Lihat: Definition of Leiomyoma, MedicineNet.com . http://www.medterms.com/
script/main/art. asp?articlekey=6238. Diakses pada 18 Mei 2014.

129
Seiring dengan itu, aborsi spontan diketahui meningkat hingga 30% pada usia 35
tahun. Semantara itu diantara kehamilan yang berhasil baik, terjadi kelainan
trisomi110 dan gangguan kromosom lainnya pada bayi yang dilahirkan.

E. Macam-macam Terapi Infertilitas

Seiring peningkatan infertilitas pada populasi penduduk dunia, khususnya


wanita, mendorong berkembangnya berbagai metode terapi untuk mengatasinya.
Oleh karenanya teknologi medis untuk fertilisasi terus berkembang dengan pesat.
Infertilitas dapat diterapi dengan cara konvensional, misalnya: induksi
ovulasi dengan terapi hormon, inseminasi buatan dan operasi.111 Akan tetapi
apabila upaya tersebut tidak berhasil, maka pasutri dapat diterapi dengan sistim
Assisted Reproductive Technology (ART),112 yaitu sejumlah prosedur medis yang
digunakan dalam menyatukan sel telur dan sel sperma sehingga dapat membantu
pasutri yang infertil untuk memperoleh keturunan.
ART saat ini merupakan salah satu metode penatalaksanaan yang utama
(mainstream therapy) untuk mengatasi infertiitas, dengan estimasi sekitar 4,3 juta
anak dilahirkan dengan metode ART di seluruh dunia dalam tiga dekade terakhir.113
Berdasarkan teknik yang digunakan, ART dapat dikelompokkan menjadi 4
(empat) metode, yaitu In Vitro Fertilization (IVF), Zygote IntraFallopian Transfer
(ZIFT), Intra Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI) dan Gamete IntraFallopian
Transfer (GIFT). Pada IVF, ZIFT dan ICSI peleburan sel telur dan sel sperma
diinduksi secara buatan pada laboratorium sebelum diimplantasikan ke dalam rahim
pasien, sedangkan pada GIFT campuran sel telur dan sel sperma yang belum
mengalami fertilisasi dimasukkan ke dalam saluran tuba falopii pasien, sehingga
fertilisasi terjadi secara alami. Beberapa diantara yang terpenting, dipaparkan
secara ringkas di bawah ini.

110
Trisomi ialah kelainan herediter berupa kelebihan kromosom berupa kelebihan
satu kromosom (2N+1). Manifestasi kelainannya ialah Kleinefelter Syndrome (47, XXY),
Jacobson Syndrome (47, XYY), Super Woman Syndrome (47, XXX), Down Syndrome (47,
XX/XY), Ewards Syndrome (47, XX/XY), atau Syndrome (47, XX/XY).
111
Operasi tersebut antara lain berupa operasi pengangkatan myoma, kista ovary,
melepas perlengketan tuba falopi, dll.
112
R.G. Edwards, "A Decade of In Vitro Fertilization", Research in Reproduction
22 (1990):1.
113
Georgina M Chambers, "Assisted Reproductive Technology: Public Funding and
the Voluntary Shift to Single Embryo Transfer in Australia", Medical Journal of Australia
195 (10) (November 2011): 594-599.

130
Gambar 14. Prosedur ART114

1. In Vitro Fertilization (IVF)


Dari keempat metode ART tersebut, In Vitro Fertilisation (IVF)
merupakan metode yang paling banyak diaplikasikan untuk membantu pasutri yang
infertil.115 IVF digunakan untuk terapi infertilitas yang terutama disebabkan oleh
kerusakan maupun tersumbatnya saluran falopii karena penyakit endometriosis atau
sterilisasi. Sebelum IVF dilaksanakan, pasutri harus berkonsultasi dengan sungguh-
sungguh untuk mengambil keputusan tersebut, mengingat pertimbangan tingkat
keberhasilan, faktor finansial (biaya) dan tekanan emosional116 yang besar, serta
alternatif lain yang mungkin dapat digunakan untuk menggantikan teknik IVF.
In vitro fertilisation (IVF) secara literal berarti ‚pembuahan di dalam kaca‛
yang mengingatkan kita pada ungkapan terkenal ‚tes bayi tabung‛.117 Dalam
bahasa Indonesia biasa disebut dengan inseminasi buatan.
Selama proses IVF berlangsung, sel telur dikeluarkan dari ovarium lalu
dibuahi oleh sperma di laboratorium. Sel telur yang telah dibuahi dan berkembang
menjadi embrio, kemudian ditempatkan di dalam rahim seorang wanita.

a. Kegunaan IVF
Dokter dapat merekomendasikan perlunya dilakukan IVF sebagai alternatif
solusi terbaik, apabila :

114
Microsoft® Encarta® Reference Library 2003. © 1993-2002 Microsoft
Corporation. Internet.
115
European Society of Human Reproduction and Embryology." European IVF
Monitoring (EIM) Consortium", Focus on Reproduction (Sep 2010): 17.
116
Faktor psikis, seperti keinginan kuat untuk terapi dan ketenangan emosi akan
sangat berpengaruh terhadap keseimbangan sekresi hormone maupun metabolism tubuh.
117
http://www.hfea.gov.uk/IVF. Diakses pada 16 Januari 2014.

131
1) Seseorang memperoleh diagnosa mengalami infertilitas dengan sebab yang
tidak diketahui.
2) Tuba falopii untuk sampai ke dalam rongga rahim (cavum uteri) telah tertutup.
3) Mengalami kegagalan pada berbagai metode terapi sebelumnya, seperti obat-
obatan kesuburan ataupun intrauterine insemination (IUI).
4) Terdapat subfertilitas pria pada tingkat yang rendah. Pada problem yang lebih
berat, akan diterapi dengan injeksi sprema intra-cystoplasma (intra-cytoplasmic
sperm injectionor ICSI).118

Teknik-teknik IVF dapat berbeda antara satu klinik terapi infertilitas


dengan klinik lainnya, yang sering tergantung pada kondisi individual yang
bersangkutan. Secara tipikal, IVF melibatkan pria dan wanita.119

b. Teknik IVF bagi wanita


Langkah 1. Menekan siklus hormon bulanan yang alami. Sebagai langkah
pertama dari proses IVF, pasien diberi obat untuk menekan siklus alaminya.120 Ini
dapat berupa suntikan harian (yang bisa saja dilakukan oleh diri sendiri, kecuali
apabila tidak mampu melakukannya) atau dengan nasal spray,121 yang dilakukan
secara berkesinambungan selama kurang lebih dua minggu.
Langkah 2. Memperkuat suplai sel telur. Setelah siklus alami ditekan,
pasien diberi hormon kesuburan (Follicle Stimulating Hormone).122 Ini biasanya
berupa suntikan harian selama 12 hari. Dengan bertambahnya jumlah ovum, klinik
memiliki kesempatan lebih besar untuk memilih embrio yang akan digunakan.
Langkah 3. Memantau kemajuan yang dicapai. Selama diberikan terapi
obat-obatan, klinik akan memonitor kemajuannya melalui pemeriksaan berkala
dengan vaginal ultrasound scans dan pemeriksaan darah. Dalam waktu 34-38 jam
sebelum sel-sel telur diambil/dikumpulkan, harus diberikan suntikan hormon agar
sel-sel telur tersebut matang.
Langkah 4. Mengambil dan mengumpulkan sel-sel telur. Sel-sel telur
biasanya dikumpulkan dengan petunjuk USG, sementara pasien diberi obat tidur.

118
G. Palermo, H. Joris, et al., "Pregnancies After Intracytoplasmic Injection of
Single Spermatozoon into an Oocyte", The Lancet 340 (1992): 17-18.
119
Untuk menjaga agar pelaksanaan IVF dilakukan sesuai prosedur dan etika, maka
European Society of Human Reproduction and Embryology (ESHRE) menerbitkan
pedoman bagi para penyedia layanan terapi infertilitas. Lihat: Luca Gianaroli, Michelle
Plachot, Roelof van Kooij, et al., "ESHRE Guidelines for Good Practice in IVF
Laboratories", Human Reproduction, vol.15 no.10 (2000): 2241”2246.
120
Siklus alami haid ialah periode antara hari pertama haid sampai dengan hari
pertama haid berikutnya. Periode ini dapat berbeda-beda pada masing-masing wanita.
121
Metode terapi dengan pemberian obat melalui nasal spray ”obat yang
disemprotkan ke rongga hidung„ merupakan salah satu pilihan yang terbaik. Hal tersebut
karena alasan kemudahan, kepraktisan, dan banyaknya pembuluh kapiler di mukosa dalam
hidung, sehingga absorpsi dan efektifitas obat lebih maksimal.
122
Hormon FSH berfungsi untuk meningkatkan produksi ovum di dalam ovarium,
sehingga semakin banyak ovum yang dapat dibuahi.

132
Prosedur ini menggunakan jarum halus yang diinsersikan ke dalam probe scanning
dan dimasukkan ke dalam tiap ovarium. Setelah prosedur ini, kemungkinan dapat
terjadi kramp dan sedikit perdarahan melalui vagina.
Langkah 5. Pembuahan sel-sel telur. Sel-sel telur disatukan dengan sel-sel
sperma, lalu dikultur di laboratorium selama 16-20 jam. Kemudian dimonitor
apakah ada sel-sel telur yang telah dibuahi hingga menjadi embrio. Embrio tersebut
disimpan dan tumbuh di dalam inkubator laboratorium dalam 1-2 hari, untuk
dimonitor kembali. Berikutnya 1-2 embrio terbaik akan dipilih untuk ditransfer.
Sementara itu, pasien perlu diberi obat-obatan untuk mempersiapkan dinding rahim
yang akan menerima transfer embrio.
Langkah 6. Transfer embrio. Untuk wanita di bawah usia 40 tahun, dapat
menerima transfer 1-2 embrio. Namun apabila telah berusia 40 tahun atau lebih,
dapat ditransfer maksimum tiga embrio. Jumlah embrio yang ditransfer harus
diperhitungkan secara ketat, mengingat resiko janin kembar. Sisa embrio disimpan
dalam lemari pembeku (freezer) untuk IVF yang akan datang.123
Langkah 7. Terapi-terapi lainnya. Sejumlah klinik sentra fertilitas di
Negara-negara Barat juga menawarkan transfer blastocyst, di mana sel-sel telur
yang telah dibuahi dibiarkan matang selama 6-9 hari, baru kemudian ditransfer.

c. Teknik IVF untuk pria


Hanya satu langkah saja, yaitu menampung sperma. Sperma segar
ditampung bersamaan waktunya dengan dikumpulkannya sel telur dari wanita.
Sperma ini disimpan dalam waktu singkat sebelum dicuci dan diputar (centrifuge)
dalam kecepatan tinggi,124 sehingga dapat diseleksi mana sperma yang paling sehat
dan paling aktif.125

d. Peluang keberhasilan IVF


Kemampuan wanita untuk memiliki anak berkurang seiring dengan
bertambahnya usia. Data penelitian di Eropa pada tahun 2010 tentang bayi lahir
hidup dari wanita yang menggunakan metode IVF dari ovum mereka sendiri, ialah:
32.2% pada wanita berusia di bawah 35 tahun
27.7% pada wanita berusia di antara 35”37 tahun
20.8% pada wanita berusia di antara 38”39 tahun

123
J.X. Wang, Y.Y. Yap, C.D. Matthews, "Frozen-Thawed Embryo Transfer:
Influence of Clinical Factors on Implantation Rate and Risk of Multiple Conception",
Human Reproduction, vol. 16, no.11 (2001): 2316-2319.
124
Alat centrifuge biasa digunakan di dalam laboratorium. Cara bekerjanya ialah,
preparat yang akan dianalisa berupa cairan atau liquid (dapat pula dicampurkan terlebih
dahulu dengan reagen tertentu) dimasukkan di dalam tabung, kemudian tabung diletakkan
pada salah satu lubang di alat ventrifuge. Selanjutnya alat centrifuge akan berputar pada
porosnya dengan kecepatan dan lama berputar yang disesuaikan dengan tujuan pemeriksaan.
Setelah selesai diputar, maka masing-masing kandungan liquid di dalam tabung akan
terpisah sesuai dengan Berat Jenisnya.
125
R.R. Henkel, W.B. Schill, "Sperm Preparation for ART", Reproductive Biology
and Endocrinology 14 (2003): 108-30.

133
13.6% pada wanita berusia di antara 40”42 tahun
5.0% pada wanita berusia di antara 43”44 tahun
1.9% pada wanita berusia 45 tahun ke atas

2. Transfer Embrio126
Transfer embrio dilakukan setelah sel-sel telur dikumpulkan dan dibuahi di
laboratorium. Kemudian dipilih satu sampai tiga embrio berkualitas terbaik yang
akan ditransfer ke dalam uterus. Tindakan IVF yang dilanjutkan dengan transfer
embrio ini, dibagi menjadi 4 (empat) tahap secara prinsip sebagaimana berikut ini.

a. Tahapan Transfer Embrio


Tahap pertama, yaitu tahap induksi ovulasi. Pada tahap ini dilakukan
stimulasi terhadap ovarium sehingga diproduksi sel-sel telur sebanyak mungkin,
yaitu melalui pemberian Follicle Stimulating Hormone (FSH).127 Saat ini, FSH
telah dimurnikan dan diperbanyak dengan teknologi rekombinasi DNA,128 misalnya
nama dagang Gonal-f®,129 yang dapat digunakan untuk membantu stimulasi
pertumbuhan sel telur pada wanita yang kekurangan hormon FSH.130 Setelah
dihasilkan cukup banyak sel telur, kemudian diberikan hormon human Chorion
Gonadotropin (hCG)131 untuk menstimulasi pelepasan sel telur yang matur
(matang). Seperti halnya FSH, hCG juga telah diproduksi dengan teknologi
rekombinasi DNA, misalnya Ovidrel®132 yang dapat diinjeksikan langsung ke
jaringan di bawah kulit. Jika tidak terdapat sel telur yang matang, maturasi satu
atau lebih sel telur dapat dilakukan dengan menggunakan metode OS ( Ovarian
Stimulation).
Tahap kedua, yaitu tahap pengambilan sel telur. Pada tahap ini, hasil
pematangan sel telur dari ovarium diamati, misalnya dengan menggunakan metode

126
http://www.hfea.gov.uk/ivf-embryo-transfer.html. Diakses pada 16 Januari 2014.
127
FSH : Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari pada otak yang
bertanggung jawab untuk merangsang perkembangan folikel yang berisi sel telur pada
perempuan dan sel sperma pada laki-laki.
128
E. Loumaye E, R. Campbell R, J. Salat-Baroux, "Human Follicle-Stimulating
Hormone Produced by Recombinant DNA Technology: A Review for Clinicians", Human
Reproduction Update, vol. 1, issue 2 (1995): 188-199.
129
Generik: Follitropin Alfa ” injection. Obat ini digunakan sebgai terapi problem
fertikitas pada wanita. Fungsinya menstimulasi hormon FSH, sehingga ovarium
memproduksi lebih banyak ovum. Obat ini biasa digunakan secara bersama dengan hormon
lain (hCG). http://www.medicinenet.com/follitropin_alfa-injection/article.htm.
130
http://www.seronofertility.com/to_ht_gonalF.jsp. Diakses pada 18 Juni 2014.
131
hCG : Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitary pada otak yang berfungsi
untuk menstimulasi pelepasan sel telur yang matang (menginduksi ovulasi). Diakses pada
18 Junii 2014.
132
Choriogonadotropin alfa injection, yang disuntikkan secara subcutaneous.
Terapi fertilitas ini bekerja dengan menstimulasi pelepasan ovum yang telah matang
(ovulasi). http://www.webmd.com/drugs/mono-503-CHORIOGONADOTROPIN+ALFA+
INJECTION+-+PREFILLED+ SYRINGE.aspx?drugid=20307&drugname=Ovidrel. Diakses
pada 18 Juni 2014.

134
laparoskopi133 atau metode vaginal ultrasonik.134 Sel telur yang telah matang akan
diambil dari ovarium dengan menggunakan jarum yang halus, kemudian
dipindahkan ke dalam cawan petri (petri dish) yang telah berisi media
pertumbuhan.

Gambar 15. Perkembangan Sel Telur Dimulai dari Proses


Pematangan dalam Ovarium

Tahap ketiga, yaitu fertilisasi sel telur. Pada tahap ini, sel sperma motil
aktif yang telah diperoleh dari metode swim-up,135 kemudian dimasukkan ke dalam
cawan petri yang telah berisi sel telur, lalu disimpan di dalam inkubator.
Pemeriksaan gamet dilakukan pada interval waktu antara fertilisasi dan maturasi.
Setelah terjadi fertilisasi, embrio dibiarkan di dalam inkubator selama 3 ” 5 hari.
Tahap keempat, yaitu transfer embrio. Tahap ini merupakan tahap akhir,
berupa penempatan embrio hasil fertilisasi yang telah mencapai tahap blastula.
Embrio ditransplantasikan ke dalam rahim melalui kateter Teflon136 tanpa

133
Laparoskopi: Pemeriksaan bagian dalam perut dengan menggunakan laparoskop,
yaitu suatu alat berbentuk tabung atau pipa kecil dan elastis dengan inti serat optik yang
dapat memancarkan cahaya, yang dimasukkan ke dalam dinding perut untuk melihat organ-
organ di dalamnya.
134
Vaginal ultrasonik: Pemeriksaan organ bagian dalam melalui vagina dengan
menggunakan gelombang ultrasonik.
135
Swim-up: Metode pemisahan yang digunakan untuk mendapatkan sel sperma
motil dengan cara menginkubasi spermatozoa selama 60 menit dalam medium pemisah. Sel
sperma motil berada di lapisan atas medium. Lihat: M. Mahadevan, G. Baker, Assessment
and Preparation of Semen for In Vitro Fertilization. In: C. Wood, A. Trounson, et al.,
Clinical In Vitro Fertilization (Berlin: Springer, 1985).
136
Kateter Teflon: Sebuah tabung tipis dari bahan plastik anti-lengket yang
dimasukkan ke dalam bagian tubuh tertentu untuk memasukkan atau mengeluarkan cairan.

135
pembiusan. Dengan cara ini pasien dapat kembali ke rumah segera setelah transfer
embrio. Untuk meningkatkan peluang terjadinya kehamilan, maka lebih dari satu
embrio yang ditransplantasikan ke dalam rahim.
Secara statistik, metode Transfer Embrio dapat meningkatkan angka
kehamilan secara signifikan pada pasien yang mengalami masalah infertilitas
karena penyumbatan tuba falopii, yaitu jika dibandingkan dengan teknik terapi
konvensional lainnya.137 Kehamilan spontan yang terjadi pada pasien dengan
penyumbatan tuba falopii memiliki tingkat kelahiran hidup 1,4%, sedangkan
dengan metode ini dapat mencapai sekitar 8% - 12% per siklus perawatan.138

Gambar 16. Teknik Fertilisasi In Vitro dan Transplantasi Embrio139

b. Problem pada Terapi dengan Metode Transfer Embrio


Permasalahan yang cukup penting dari terapi dengan metode Transfer
Embrio ialah meningkatnya probabilitas kehamilan kembar.140 Ini disebabkan oleh
penggunaan hormon untuk merangsang ovarium, serta implantasi lebih dari satu
embrio, yang semula ditujukan untuk meningkatkan peluang terjadinya kehamilan.
Prevalensi kehamilan kembar berkisar antara 17,3% - 38%. Angka tersebut lebih
besar secara signifikan jika dibandingkan dengan prevalensi kehamilan kembar
pada kehamilan spontan yaitu sebesar 1%.

137
Tahereh Madani, Nadia Jahangiri, "Increasing Pregnancy by Improving Embryo
ITransfer Techniques", In Tech Europe, http://www.intechopen.com/books/advances-in-
embryo-transfer/increasing-pregnancy-by-improvingembryo-transfer-techniques. Diakses
pada 28 Juli 2014.
138
I.V. Auwera, S. Debrock, C. Speissens, et al.. "A Prospective Randomized
Study: Day 2 Versus Day 5 Embryo Transfer", Human Reproduction 17 (2002):1507-1512.
139
http://www.justeves.com/ipl/ivf_et.shtml. Diakses pada 24 Juni 2014.
140
A. Templeton, J. Morris, "Reducing the Risk of Multiple Births by Transfer of
Two Embryos after In Vitro Fertilization", New England Journal of Medicine 339 (1998):
573-577.

136
Kehamilan kembar merupakan faktor risiko penting yang memicu kelahiran
prematur, kelahiran dengan berat badan yang rendah (BBLR), dan masa kehamilan
yang singkat.141 Bayi yang lahir dengan kondisi tersebut membutuhkan perawatan
medis intensif lebih lama, jika dibandingkan dengan bayi dari proses kehamilan
spontan. Selain itu, juga berakibat pada kelahiran dengan penyakit penyerta
(misalnya infeksi kelahiran, hipoglikemia, hiperbilirubinemia, gangguan
pernapasan, pertumbuhan paru-paru yang tidak normal, dan pendarahan otak), serta
kelahiran bayi dengan kelainan organ tubuh bawaan.
Sebagai contoh, metode IVF di Finlandia dipantau melalui MBR (Medical
Birth Register) yang dikelola oleh STAKES,142 suatu badan yang sejak tahun 1987
bergerak dalam bidang pengembangan kesejahteraan dan kesehatan dalam skala
nasional. MBR mendata angka kelahiran bayi yang berhasil dilahirkan dengan
bantuan teknik IVF. Dari hasil penelitian Gissler dkk diperoleh data dari kehamilan
tunggal ialah sebagai berikut:
Bayi lahir prematur sebesar 17%
Bayi dengan berat badan lahir rendah sebesar 19%
Kelahiran dengan masa kehamilan yang singkat sebesar 6,9%
Kematian janin pada sekitar masa kelahiran (perinatal mortality) sebesar
1,2%

Adapun data untuk kehamilan kembar ialah, bayi lahir prematur sebesar
49% dan bayi dengan berat badan lahir rendah sebesar 46%. Tingginya angka
tersebut di atas antara lain disebabkan karena terjadinya kasus kembar tiga
(triplet), kembar empat (quadriplet), dan seterusnya.143
Kelainan organ tubuh bawaan yang tercatat oleh MBR dalam penelitian
Gissler adalah sebesar 422 kasus dalam 10.000 kelahiran. Angka tersebut lebih
besar secara signifikan jika dibandingkan dengan tingkat cacat bawaan pada
populasi secara umum bayi lahir hidup yaitu sebesar 288 kasus dalam 10.000
kelahiran. Cacat bawaan yang mungkin terjadi misalnya trisomi 21, bibir sumbing,
dan kerusakan sel-sel saraf.144
Apabila dibandingkan dengan populasi secara umum bayi lahir hidup, maka
pada kehamilan dengan metode IVF terjadi peningkatan risiko bayi lahir prematur
hampir 6 kali lipat lebih besar, bayi dengan berat badan lahir rendah hampir 10 kali

141
Michael S. Cooperstock, et al., " Twin Birth Weight Discordance and Risk of
Preterm Birth", American Journal of Obstetrics & Gynecology, vol. 183, issue 1 (July
2000): 63”67.
142
STAKES dalam bahasa Inggris berarti the National Research and Development
Centre for Welfare and Health, berkedudukan di Helsinki, Finlandia. Hasil riset STAKES
sering menjadi referensi dan komparasi para peneliti bidang kedokteran, khususnya di
Eropa.
143
S. Sannoh, K. Demissie, "Risk Factors for Intrapair Birth Weight Discordance in
Twins", Journal of Maternal-Fetal and Neonatal Medicine, vol. 13, no. 4 (2003): 230-236.
144
Mika Gissler, Reija Klemetti, Tiina Sevón, Elina Hemminki, "Monitoring of IVF
Birth Outcomes in Finland: A Data Quality Study", BMC Medical Informatics and
Decision Making, vol. 4, no. 3 (2004): 1-9.

137
lipat lebih tinggi, dan bayi lahir dengan penyakit tertentu lebih dari 2 kali lipat
lebih tinggi. Oleh sebab itu, jumlah dan kualitas embrio yang ditransplantasikan
kembali ke dalam rahim harus dibatasi agar risiko tersebut dapat dikurangi.

c. Tujuan metode IVF ” ET


Pada awalnya, teknik IVF dikembangkan untuk menolong pasutri yang
mengalami infertilitas agar dapat memperoleh keturunan. Namun pada
perkembangannya, teknik IVF memungkinkan manusia untuk memanipulasi sifat-
sifat genetik bahkan menentukan jenis kelamin keturunannya.145
Sejauh teknik IVF dilaksanakan hanya untuk menolong pasutri yang
sungguh-sungguh membutuhkan pertolongan dalam masalah reproduksinya, teknik
ini dapat diterima secara etis. Dengan memperoleh keturunan, sisi kemanusiaan
pasutri yang bersangkutan akan semakin dihormati dan dihargai, di samping itu
teknik tersebut sama sekali tidak mengurangi nilai kemanusiaan anak yang akan
dilahirkan.

d. Sumber Sel Telur & Sel Sperma, dan Tempat Transplantasi Embrio
Teknik IVF memungkinkan sumber sel telur dan sel sperma tidak hanya
berasal dari pasutri yang bersangkutan, melainkan dapat berasal dari donor sel telur
dan donor sel sperma. Demikian pula dengan tempat transplantasi embrio. Jika
rahim istri tidak memungkinkan untuk pertumbuhan embrio, maka embrio dapat
ditransplantasikan ke rahim wanita lain (surrogate mother). Hal ini menimbulkan
masalah etika. Dipandang dari sisi etis, teknik IVF yang dilakukan dengan sel telur
dan sel sperma dari pasutri itu sendiri dapat diterima secara etis, terlebih jika
embrio yang dihasilkan itu ditransplantasikan kembali ke dalam rahim pemilik sel
telur. Donor sel telur, donor sel sperma atau gabungan keduanya dapat
menghasilkan individu baru yang tidak jelas garis keturunanya, dan jika donor
gamet tersebut diperoleh dari bank sperma maupun pihak-pihak lain yang tidak
jelas asal usulnya, maka secara etis sulit untuk diterima. Demikian
pula transplantasi embrio ke rahim wanita lain, kelak akan menimbulkan banyak
problem, terutama dari sisi hak kepemilikan dan hak asuh anak.146

e. Jumlah Embrio Tansplantasi dan Aborsi


Untuk meningkatkan peluang terjadinya kehamilan, maka jumlah embrio
yang ditransplantasikan biasanya lebih dari satu. Kebanyakan prosedur IVF yang
telah dilaksanakan, mentransplantasikan empat embrio ke dalam rahim. Jika dari
keempatnya berhasil lebih dari satu yang berimplantasi ke dinding rahim lalu
berkembang, maka akan memicu terjadinya kehamilan kembar. Hal ini akan
menimbulkan masalah, antara lain kondisi kesehatan ibu yang bersangkutan

145
http://www.hfea.gov.uk/ivf-embryo-transfer.html. Diakses pada 16 Januari 2014.
146
Sue A. Meinke, "Surrogate Motherhood: Ethical and Legal Issues", Scope Note
6, National Reference Center for Bioethics Literature (Washington:, The Joseph and Rose
Kennedy Institute of Ethics, Georgetown University, 1984), 1-12.

138
maupun janin yang dikandungnya. Biasanya untuk meningkatkan peluang tumbuh
embrio terbaik, dokter melakukan aborsi terhadap embrio lain.
Ada kelompok yang berpendapat bahwa pengguguran embrio yang
dilakukan sebelum 14 hari sejak terjadinya fertilisasi masih dianggap etis. Pendapat
itu seperti pernyataan ESHRE Task Force on Ethics and Law 147 dalam jurnal The
Moral Status of the Pre-Implantation Embryo, bahwa pengguguran tersebut dapat
diterima secara umum, karena pada umur tersebut belum terjadi diferensiasi
jaringan embrio. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Hadiwardoyo, bahwa embrio
yang berumur kurang dari 14 hari belum memiliki otak dan jantung. Dengan
demikian, aborsi pada embrio yang berumur kurang dari 14 hari tidak akan
mengurangi hak hidup seseorang.148

f. Peluang untuk Hamil melalui Metode Transfer Embrio


Data pada tahun 2011 tentang tingkat kehamilan melalui metode transfer
embrio dengan ovum yang berasal dari wanita itu sendiri ialah:149
1) 40.6% pada wanita berusia di bawah 35 tahun
2) 35.5% pada wanita berusia di antara 35-37 tahun
3) 28.1% pada wanita berusia di antara 38-39 tahun
4) 21.2% pada wanita berusia di antara 40-42 tahun
5) 11.2% pada wanita berusia di antara a 43-44 tahun
6) 3.4% (0/81) pada wanita berusia 45 tahun ke atas

3. Transfer Blastocyst150
Blastocyst ialah embrio yang terbentuk pada 5 sampai 6 hari pertama
setelah fertilisasi. Transfer blastocyst ialah embrio-embrio yang dikultur dalam alat
inkubator di laboratorium sampai dengan tahap blastocyst untuk kemudian
ditransfer ke dalam rahim.
Pada periode tersebut, dipilih satu atau dua blastocyst dengan kualitas
terbaik untuk diimplantasikan ke dalam rahim. Kehamilan akan terjadi apabila
sebuah blastocyst berhasil melekatkan dirinya di dinding rahim.
Dewasa ini banyak klinik di Eropa dan Amerika yang menawarkan transfer
blastocyst,151 sebagai upaya untuk memperbesar peluang hamil, khususnya pada
wanita muda yang memiliki prognosis bagus dengan metode IVF.152

147
ESHRE ialah ‚The European Society of Human Reproduction and Embryology",
suatu lembaga internasional yang bersifat non-profit, berkedudukan di Grimbergen, Belgia.
Lembaga ini memiliki tujuan utama memajukan studi, riset dan terapi kedokteran,
reproduksi manusia dan embriologi di seluruh Eropa.
148
Pernyataan tersebut bertentangan dengan sumpah Hippocrates yang kemudian
menjadi sumpah dokter selama berabad-abad hingga kini, di mana seorang dokter harus
menghormati kehidupan sejak pembuahan.
149
http://www.hfea.gov.uk/ivf-embryo-transfer.html. Diakses pada 16 Januari 2014.
150
Mark Perloe, et al., "Fewer Risks, New Hope: The Reality of Blastocyst
Transfers", ObGyn.net (October 2011), http://www.obgyn.net/blogs/infertility/fewer-risks-
new-hope-reality-blastocyst. Diakses pada 27 Juli 2014.

139
Dokter biasanya menyarankan untuk menggunakan metode tranfer
blastocyst pada wanita yang mampu menghasilkan embrio berkualitas pada siklus
IVF sebelumnya, namun gagal berimplantasi pada dinding uterus. Ini pun biasa
direkomendasikan bagi wanita yang memproduksi sel-sel telur yang sehat, tetapi
jumlahnya di bawah normal.

a. Resiko-resiko Transfer Blastocyst153


Tidak semua zigot tumbuh menjadi blastocyst di laboratorium, yang dapat
berhenti pada tahap empat sel (hari kedua setelah pembuahan). Oleh karenanya,
seorang dokter ahli embriologi mungkin saja menganjurkan transfer embrio pada
hari ke 2-3 setelah pembuahan untuk mengurangi resiko berhentinya perkembangan
embrio di laboratorium.154 Demikian pula bahwa Transfer Blastocyst adalah untuk
mengurangi resiko kehamilan kembar dan kehamilan ektopik.155,156

b. Peluang untuk hamil dari metode Transfer Blastocyst


Hasil penelitian sepanjang 2008 di Eropa menunjukkan bahwa bayi lahir
hidup dari metode ini dengan ovum yang berasal dari wanita itu sendiri ialah:157
1) 47.9% (325/679) pada wanita usia di bawah 35 tahun
2) 44.6% (190/426) pada wanita berusia di antara 35-37 tahun
3) 34.1% (79/232) pada wanita berusia di antara 38-39 tahun
4) 26.8% (60/224) pada wanita berusia di antara 40-42 tahun
5) ** (1/33) pada wanita berusia di antara 43-44 tahun
6) **(0/2) pada wanita berusia di atas 44 tahun

4. Kriopreservasi, Donasi dan Penelitian Embrio Pra-Implantasi


Pada sisi lain, metode standar IVF dapat dimodifikasi dalam bentuk
kriopreservasi (cryopreservation),158 yang memungkinkan kelebihan embrio dapat

151
D.K. Gardner, W.B. Schoolcraft, L. Wagley, et al., "A Prospective Randomized
Trial of Blastocyst Culture and Transfer in In-Vitro Fertilization", Human Reproduction, b,
13 (1998): 3434-3440.
152
M. Henman M, J.W. Catt, T. Wood T, et al., "Elective Transfer of Single Fresh
Blastocysts and Later Transfer of Cryostored Blastocysts Reduces the Twin Pregnancy
Rate and Can Improve the In Vitro Fertilization Live Birth Rate in Younger Women",
Fertility and Sterility 84 (2005): 1620-1627.
153
A.M. Mangalraj, K. George, et al., "Blastocyst Stage Transfer vs Cleavage Stage
Embryo Transfer", Journal of Human Reproduction Science 2 (2009): 23-26.
154
R.G. Edwards, H.K. Beard, "Blastocyst Stage Transfer: Pitfalls and Benefits",
Human Reproduction 14 (1999): 1-6.
155
"Frozen Blast Transfer Reduces Ectopik Pregnancy Risk",
http://journal.pomafertility .com/frozen. Diakses pada 27 Juli 2014.
156
Osamu Ishihara, Akira Kuwahara, Hidekazu Saitoh, "Frozen-Thawed Blastocyst
Transfer Reduces Ectopik Pregnancy Risk: An Analysis of Single Embryo Transfer Cycles
in Japan", Fertility and Sterility, vol. 95, Issue 6 (May 2011): 1966”1969.
157
http://www.hfea.gov.uk/blastocyst-transfer.html. Diakses pada 16 Januari 2014.
158
Kriopreservasi : Pengawetan embrio dengan menggunakan metode pembekuan
pada suhu yang sangat rendah, misalnya dengan menggunakan Nitrogen cair.

140
disimpan dalam suhu rendah dan ditangguhkan pada siklus IVF berikutnya. Dengan
demikian dapat dilakukan lebih dari satu kali transfer embrio dari proses stimulasi
ovarium yang sama. Kriopreservasi ini dimaksudkan untuk meminimalisasi risiko
pembelahan ganda yang dapat memicu kehamilan kembar jika digunakan lebih dari
empat embrio. Juga antara lain dimaksudkan apabila wanita tersebut ingin punya
anak di usia yang lebih lanjut.159
Dari hasil penelitian, kriopreservasi tidak memicu kelainan mayor maupun
penyakit lainnya pada embrio yang tadinya dibekukan, bahkan ketika embrio
tersebut diimplantasikan ke dalam rahim, lalu dilahirkan hingga menjadi dewasa.
Tidak ada bukti-bukti konkrit yang menunjukkan bahwa kriopreservasi adalah
prosedur yang membahayakan masa depan embrio tersebut.160
Pertimbangan untuk melaksanakan pembekuan embrio pra-implantasi
bukan sepenuhnya berasal dari sisi peneliti atau tenaga medis saja, melainkan harus
mendapat persetujuan dari pasutri pemilik embrio. Pembekuan embrio yang belum
ditransplantasikan, dilakukan dengan tujuan untuk mengawetkan embrio yang
dianggap memiliki kondisi baik setelah melewati hasil evaluasi genetik yang
digunakan sebagai cadangan. Masalah etika yang muncul adalah apakah embrio
cadangan tersebut akan dibekukan dan disimpan begitu saja?
Embrio yang telah dikriopreservasi tersebut dapat didonasikan kepada
pasutri lain atau digunakan sebagai bahan penelitian. Dilihat dari sudut etis,
sangatlah sulit jika embrio yang merupakan calon manusia tersebut didonasikan
kepada pasutri lain, sekalipun keduanya masih memiliki hubungan saudara. Hal ini
juga didasarkan pada alasan bahwa embrio manusia bukan merupakan barang yang
dapat dengan mudah diberikan kepada orang lain.161
Ada yang berpendapat bahwa secara etis, penelitian terhadap embrio masih
mungkin untuk dilaksanakan, sejauh mendapat persetujuan dari pasutri pemilik
embrio dan embrio mempunyai umur tidak lebih dari 14 hari setelah fertilisasi
(tanpa memperhitungkan lamanya waktu pembekuan). Meskipun embrio
merupakan calon manusia, namun pengguguran embrio yang belum mengalami
diferensiasi jaringan, dan belum memiliki otak serta jantung tidak mengurangi hak
hidup dan nilai kemanusiaan.

F. Bayi Tabung

Bayi tabung merupakan salah satu metode inseminasi buatan, dimana hasil
pembuahan (zygote) ditempatkan di dalam tabung sampai dengan tahapan
perkembangan tertentu dari embrio ataupun janin, kemudian diimplantasikan ke

159
Practice Committees of American Society for Reproductive Medicine, Society
for Assisted Reproductive Technology , "Mature Oocyte Cryopreservation: A Guideline",
Fertility and Sterility 99 (2013): 37”43.
160
Jeffrey Boldt, Donald Cline, David McLaughlin, "Human Oocyte
Cryopreservation as an Adjunct to IVF-Embryo Transfer Cycles", Human Reproduction,
vol. 18, no. 6 (2003): 1250-1255.
161
ESHRE Task Force on Ethics and Law. "The Cryopreservation of Human
Embryos", Human Reproduction, vol.16, no.5 (2001): 1049”1050.

141
dalam rahim. Oleh karenanya inseminasi buatan dan bayi tabung dijadikan sebagai
satu topik bahasan dalam Mu’tamar Majma‘. Untuk itu penulis jelaskan secara
ringkas tentang bayi tabung dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti berikut ini.

1. Freezing and Storing Embryos162


Selama terapi IVF ataupun ICSI,163 digunakan obat-obat kesuburan guna
merangsang ovarium untuk memproduksi sel-sel telur lebih banyak dari biasanya.
Sel-sel telur ini kemudian dibuahi oleh sperma hingga terbentuk embrio.
Dari proses tersebut biasanya terbentuk beberapa embrio yang tidak
dipakai semuanya pada saat itu juga. Di klinik-klinik fertilitas di Eropa dan
Amerika dilakukan seleksi terlebih dahulu sebelum membekukan dan menyimpan
embrio, sehingga hanya embrio-embrio yang berkualitas baik yang dibekukan dan
disimpan. Embrio-embrio yang disimpan di dalam tabung khusus tersebut akan
digunakan bila proses kehamilan kali ini mengalami kegagalan, atau akan
digunakan di kemudian hari, atau akan didonasikan kepada pasangan/wanita lain.
Dalam pada itu, sebelum dilakukan proses pembekuan dan penyimpanan
embrio, klinik kesuburan mengajukan lembaran formulir persetujuan (consent form)
untuk ditandatangani oleh pasien. Secara prosedur HFEA,164 formulir tersebut akan
memuat:
a. Berapa lama embrio tersebut akan disimpan di lemari pembeku (standar waktu
yang biasa ialah 10 tahun)
b. Apa yang akan dilakukan terhadap embrio-embrio tersebut, apabila pasien atau
pasangannya meninggal atau apabila suatu saat berada dalam kondisi
sedemikian rupa sehingga tidak dapat mengambil keputusan
c. Apakah embrio-embrio tersebut hanya digunakan untuk diri sendiri, ataukah
dapat didonasikan kepada orang lain, ataukah dapat digunakan untuk riset
d. Adanya kemungkinan penggunaan embrio-embrio itu untuk hal-hal lainnya.

2. Donasi Embrio,165
Di negara-negara Eropa dan Amerika166 yang membolehkan donasi embrio,
terdapat sejumlah peraturan terkait hal tersebut. Di antaranya ialah:167

162
http://www.hfea.gov.uk/45.html. Diakses pada 16 Januari 2014.
163
ICSI (Intra-cytoplasmic sperm injection) ialah sebuah metode dengan cara
menyuntikkan satu sperma secara langsung ke dalam sel telur dengn tujuan fertilisasi.
Embrio yang terjadi, kemudian ditransfer ke dalam rahim.
164
HFEA ialah The Human Fertilisation and Embryology Authority (HFEA)
merupakan badan resmi (statutory body) di Inggris yang mengatur dan mengawasi seluruh
klinik-klinik di Inggris yang melayani fertilisasi in vitro, inseminasi buatan (artificial
insemination), dan penyimpanan sel telur, sperma maupun embrio manusia. HFEA juga
membuat regulasi tentang riset embrio manusia.
165
Jaime E. Conde, "Embryo Donation: The Government Adopts a Cause", William
& Mary Journal of Women and the Law, vol. 13, issue 1, article 7 (2006): 273-303.
166
Naomi Cahn, Jennifer Collins, "Health Law - Fully Informed Consent for
Prospective Egg Donors", American Medical Association Journal of Ethics, vol. 16, no. 1
(January 2014): 49-56.

142
a. Apabila embrio didonasikan embrio kepada orang lain untuk tujuan terapi bagi
orang tersebut, maka peraturan yang berlaku sama dengan yang diberlakukan
pada donasi sperma atau donasi ovum. Untuk itu harus lulus tes screening168
untuk cystic fibrosis, karyotype (analisa kromosom), cytomegalovirus, syphilis
and gonorrhoea. Juga harus dicek ulang golongan darah. 169
b. Apabila anak yang dilahirkan dari embrio ini telah mencapai usia 18 tahun,
maka diperbolehkan mengetahui orang yang mendonorkan embrio tersebut.
c. Apabila embrio didonasikan kepada wanita lajang yang setuju untuk
bertanggungjawab sebagai orangtua tunggal, maka pemilik sperma akan
berstatus sebagai ayah secara hukum bagi anak tersebut. Ini adalah aspek yang
krusial, oleh karenanya perlu diskusi lebih mendalam dengan konsultan hukum
yang bersangkutan.
d. Apabila embrio didonasikan untuk tujuan proyek riset,170 seperti pengembangan
teknologi IVF atau studi tentang stem cell, maka harus kepada proyek-proyek
riset yang mendapatkan lisensi dari HFEA.
e. Apabila embrio didonasikan untuk training (pelatihan teknis), maka ini boleh
dipergunakan oleh embriologis dalam hal pelatihan teknis seperti bagaimana
membekukan embrio ataupun mengambil sel-sel dari embrio tersebut.171

3. Sumber Bayi Tabung


Para dokter ahli dari banyak sentra pelayanan medis di Barat mendapatkan
janin melalui program-program bayi tabung. Dalam program-program tersebut,
wanita diberi suntikan, seperti klomedia, sehingga bisa menghasilkan sejumlah sel
telur yang matang dalam sekali waktu. Dokter ahli kemudian mengambil sejumlah
sel telur dari ovarium pada saat ovulasi (keluarnya ovum) dengan cara laparoskopi.
Lalu setiap sel telur diletakkan pada cawan (petri dish) dalam larutan media khusus,
untuk kemudian dibuahi oleh spermatozoa dari suami atau orang lain.
Dengan demikian terbentuklah sejumlah zigot, sebagai hasil pembuahan
tersebut. Ia dibiarkan berkembang dan membelah diri. Satu sel menjadi dua sel, dua
sel menjadi empat sel, demikian seterusnya hingga mencapai fase morula.172 Saat
itulah ia diimplantasikan ke dalam rahim.

167
http://www.hfea.gov.uk/47.html. Diakses pada 18 Januari 2014
168
"New Guidelines for Screening of Sperm, Egg and Embryo Donors in the UK",
British Fertility Society, http://www.fertility.org.uk/news/pressrelease/09_01-Screening
Guidelines.html. Diaakses pada 29 Juli 2014.
169
Beth D. Motto, et al.,"Embryo Donation/Adoption", National Embyo Donation
Academy Reference Manual (2011): 43.
170
Catherine A. McMahon, Frances L.Gibson, Garth I. Leslie, et al., "Embryo
Donation for Medical Research: Attitudes and Concerns of Potential Donors", Human
Reproduction, vol.18, no.4 (2003): 871-877.
171
Tindakan ini menjadi diskusi ilmiah yang intens dalam bidang bioetika dan etika
medis. Lihat: Andrea D. Gurmankin, Dominic Sisti, Arthur L. Caplan, "Embryo Disposal
Practices in IVF Clinics in the United States", Politics and the Life Sciences, vol. 22, issue
2 (August 2004): 4-8.
172
Merupakan fase pertama pembelahan sel embrio.

143
Zigot ini berkembang dan dianalisa secara cermat proses pembelahan dan
perkembangbiakannya, serta aspek genetika, penyakit turunan, maupun penyakit
kromosom. Komite Warnack Inggris yang terdiri dari para ahli hukum, dokter dan
agamawan mengajukan ijin untuk mengembangkan zigot hingga empat belas hari.
Komite tersebut mengambil langkah hati-hati karena sistem saraf mulai berbentuk
secara primitif pada hari ke-14.
Demikianlah pembahasan tentang inseminasi buatan dan bayi tabung dari
sudut pandang kedokteran dan etika kedokteran, baik yang menyangkut definisi,
macam-macam metode penerapannya, resiko maupun tingkat keberhasilannya.
Berikutnya, hal-hal tersebut akan dianalisis dari sudut pandang fikih, sehingga
menjadi jelas status hukumnya dalam pandangan syariat Islam.

G. Pembahasan Fikih tentang Inseminasi Buatan dan Bayi Tabung

Pembahasan fikih dalam hal ini tidak bisa dilepaskan dari sudut pandang
seputar pernikahan. Untuk hal tersebut, penelitian ini memulainya dengan
bagaimana pandangan Islam tentang pernikahan.

1. Filosofi Pernikahan dalam Pandangan Islam


Pernikahan merupakan suatu ikatan yang kokoh dan lembaga yang
disucikan dalam masyarakat Islam, sebagai wadah untuk menenteramkan jiwa,
tempat berteduh yang tenang dan damai, sebagaimana firman Alla>h Ta‘a>la>. 173
Hukum pernikahan ialah ibadah menurut Abu> H{ani>fah, sedangkan menurut al-
Sha>fi‘i> bukan ibadah.174 Ibn H{ajar al-‘Asqalla>ni> menyatakan bahwa dalil yang lebih
kuat ialah ibadah.175

a. Tujuan dan Manfaat Pernikahan:


1). Saki>nah, yaitu sebagaimana firman Alla>h Ta‘a>la>:

"Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian


dari (jenis) diri kalian, istri-istri untuk kalian merasa tenteram dengannya…". (QS
al-Rum [30]: 21)
Sebagian mufassiri>n berpendapat bahwa saki>nah merupakan tujuan atau manfaat
suatu pernikahan yang darinya akan tumbuh saling mendekat dan

173
Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni>, Al-Zawa>j al-Isla>mi> al-Mubakkir (Dimashq: Da>r al-
Qalam, 1411H-1991M), 43.
174
Maksud ibadah dalam hal ini ialah suatu perbuatan yang tidak dilakukan apabila
tidak ada perintah agama atasnya. Dengan demikian, menurut al-Sha>fi‘i> bahwa secara
implisit pernikahan itu dilakukan juga oleh orang yang tidak beragama sekalipun.
175
Ibn H{ajar al-‘Asqalla>ni>, Fath} al-Ba>ri>, j.X, 130.

144
melunaknya qalbu.176 Sementara Abu> H{ayya>n mengatakan bahwa al-saki>nah adalah
diantara sebab-sebab (‘ilal) yang harus terpenuhi dengan adanya pernikahan.177

2). Memelihara diri (‘iffah). Sebagaimana dinyatakan oleh ayat-ayat Al-Qur’a>n,


antara lain:
-
"(Yaitu) orang-orang yang (senantiasa mampu) menjaga kemaluan mereka, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau (terhadap) budak-budak yang mereka miliki, maka
(perbuatan) itu tidaklah tercela". (QS al-Mu'minu>n [23]: 5-6)

Demikian pula ayat Alla>h tentang atau menundukkan


pandangan dalam surat al-Nu>r ayat 30-31, serta beberapa hadis Nabi SAW seperti
riwayat berikut ini:178

"Ada tiga golongan manusia yang Alla>h pasti menolong mereka…. Orang yang
menikah karena menginginkan untuk dapat memelihara kehormatan diri".

3). Memiliki keturunan. Ayat-ayat Al-Qur’a>n lebih bersifat khabari>yah dan targhi>b
tatkala menjelaskan tentang perlunya atau adanya keturunan dalam sebuah
pernikahan:

"… dan Dia menjadikan untuk kalian melalui istri-istri kalian (untuk memperoleh)
anak-anak dan cucu-cucu…". (QS al-Nah}l [16]: 72)

Al-Qurt}ubi>179 menafsirkan ayat ini ke dalam lima pokok, antara lain ialah
menunjukkan besarnya nikmat Allah dengan sebab keberadaan anak dalam rumah
tangga, serta disyariatkannya suami untuk (juga) melayani istri, seperti
dicontohkan Nabi Muh}ammad SAW yang menjahit (sendiri) pakaiannya dan
membersihkan (sendiri) sepatunya.180
Namun demikian, Islam mengingatkan pula bahwa memiliki keturunan
haruslah diniatkan untuk memperbanyak generasi umat Islam yang baik, dan bukan
untuk tujuan-tujuan duniawi yang lain. Ini sebagaimana firman Alla>h Ta‘a>la>:

"Harta dan anak-anak merupakan perhiasan kehidupan dunia…". (QS al-Kahf


[18]:46)

176
Muh}ammad ‘Ali> al-Shawka>ni>, Fath} l-Qadi>r (Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t.), j.IV, 219.
177
Abu> H{ayya>n al-Andalu>si>, Al-Bah}r al-Muhi>t} (al-Riya>d}: Maktabah al-Nas}r al-
Hadi>thah, t.t.), j.VII, 166,
178
Riwayat al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, Ibn H{ibba>n, al-H{a>kim, ‘Abd al-Razza>q,
Ibn Abi> ‘A<s}im, dan al-Tirmidhi> yang berkata bahwa ini hadis hasan,. Al-H{a>kim berkata
bahwa hadis ini sahih sesuai syarat Muslim, dan al-Dhahabi> menyetujuinya.
179
Abu> ‘Abdilla>h al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur'a>n (al-Qa>hirah: Da>r al-
Kutub al-‘Arabi>, 1387H-1967M), j.X, 143-145.
180
Ibn al-‘Arabi>, Ah}ka>m al-Qur'a>n (Bayru>t: Nu>r al-Thaqafah al-Isla>mi>yah, 1387H-
1968M), j.III, 1149.

145
Ayat khabari>yah ini merupakan penolakan halus terhadap ‘Uyaynah Ibn
H{us}ayn yang berbangga-bangga dengan anak dan harta. Dengan ayat yang bersifat
khabari>yah tersebut, secara implisit dimaklumi bahwa keduanya merupakan
perwujudan harapan dan salah satu unsur kebahagiaan manusia. Akan tetapi,
manusia dilarang berbangga-bangga dengan banyaknya harta maupun anak-anak.
Selain itu terdapat pula hadis-hadis sahih yang memerintahkan untuk
memilih istri yang dicintai (al-wadu>d) dan berpotensi untuk melahirkan banyak
anak (al-walu>d), karena Beliau SAW akan merasa bahagia (muba>hi>n) dengan
banyaknya umatnya tersebut.181
Dalam pandangan agama Islam, ilmu kedokteran maupun psikologi
modern, hubungan seksual (coitus) antara suami istri mempunyai tujuan (sasaran)
sebagai kenikmatan seksual (sexual orgasm).182 Ajaran Islam mengakui bahwa hal
ini adalah kenikmatan yang diinginkan oleh ghari>zah insa>ni>yah. Demikian pula
tinjauan medis, psikologi, anthpologi dan sosiologi, bahwa hal ini merupakan
kebutuhan dasar manusiawi, serta pemenuhannya akan membawa ketentraman dan
keseimbangan psikis, fisik, dan kehidupan sosial. Ini sebagaimana diisyaratkan
dalam Al-Qur’a>n:

"Dihalalkan bagi kalian pada malam (bulan) puasa untuk menggauli istri-istri
kalian, (karena) mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi
mereka. Alla>h Maha Mengetahui bahwasanya kalian tidak mampu menahan diri
kalian sendiri, maka Dia pun menerima taubat kalian dan memberi maaf kepada
kalian. Oleh karenanya sekarang (pada malam hari ”pen.) bersenang-senanglah
dengan mereka dan raihlah apa yang Allah tetapkan untuk kalian". (QS al-Baqarah
[2]: 187)
Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>183 menjelaskan kata dalam ayat di atas
bahwa hubungan seksual adalah sesuatu yang sangat didambakan, serta merupakan
kesenangan dalam rumah tangga .
Sementara itu al-Ra>ghib al-Asfaha>ni> berpendapat bahwa potongan ayat ini
merupakan suatu motivasi untuk menikah (tah}arri> ‘ala> al-nika>h)}. Hal ini merupakan
tujuan berikutnya dari senggama, seperti ayat berikut ini:

"Istri-istri kalian adalah (bagaikan) ladang bagi kalian, maka datangilah ladang
kalian dengan cara yang kalian sukai". (QS al-Baqarah [2]:223)
Istilah al-h}arth merupakan ‘ibrah184 sebagai tempat untuk menyemai keturunan.185

181
Hadis tentang hal tersebut diriwayatkan dalam berbagai redaksi yang berbeda
dengan makna yang sama. Diriwayatkan oleh Abu> Da>wud, al-Nasa>'i, Ah}mad, al-T{abra>ni>, al-
H{a>kim, Ibn H{ibba>n,al-Bayhaqi>, Abu> ‘Awa>nah, al-Mah}a>mili>, Sa‘i>d Ibn Mans}u>r, dan al-
Khat}i>b al-Baghda>di>.
182
‘Ali> al-S{a>bu>ni>, Al-Zawa>j al-Isla>mi> al-Mubakkir, 24-26.
183
Al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta'wi>l (al-Qa>hirah: Da>r al-H{adi>th, t.t.), j.II, 82.
184
Ibn Kathi>r, Tafsi>r Al-Qur'a>n al-‘Azhi>m (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Arabi>, 1423H-
2002M), j.I, 523.

146
b. Fungsi Hubungan Seksual Suami Istri
Selanjutnya Shaykh ‘Abdulla>h al-Bassa>m berpendapat bahwa fungsi
hubungan seksual suami-istri ialah:186
1) Hubungan seksual (sexual intercourse) merupakan salah satu tujuan utama
dalam pernikahan. Di dalamnya ada kesenangan dan kenikmatan yang diberikan
Alla>h kepada pria dan wanita. Juga karena hubungan seksual dalam pernikahan
mencegah kemaluan terjatuh dalam perbuatan zina, untuk menundukkan
pandangan, serta memelihara diri dari perbuatan haram. Setiap indra dan
anggota tubuh memiliki zina, yang semua itu dibuktikan atau didustakan oleh
kemaluan. Selain itu, hubungan seksual juga merupakan hubungan yang shar‘i>
antara suami-istri.
2) Hubungan seksual antara suami-istri merupakan metode alami yang
dipersiapkan dan ditunjukkan oleh Alla>h untuk tujuan regenerasi, pemeliharaan
ras manusia, dan pemakmuran bumi. Ia sesuai dengan watak manusia dan
kesenangan insani guna merealisasikan tuntutan psikologis serta insting alami.
Apapun yang menyimpang darinya, berbenturan dengan watak tersebut.187
3) Hubungan seksual antara suami-istri merupakan sarana yang paling efektif
dalam memelihara keberlangsungan rumah tangga. Tidak diragukan bahwa
tersingkapnya aurat bagi selain suami-istri itu hukumnya haram, dapat
menyebabkan keretakan dalam rumah tangga, serta tentu saja dihindari oleh
watak manusia yang mulia.
4) Alla>h Ta‘a>la> sangat keras dalam menjaga nasab dan melaknat orang yang
menghubungkan nasab kepada selain ayahnya. Dia juga melarang pria mengairi
ladang milik pria lain dengan air maninya.
5) Sebelumnya telah diisyaratkan bahwa hubungan seksual merupakan salah satu
tujuan utama dalam pernikahan, dan bahwa hubungan perkawinan tidak bisa
berjalan tanpanya. Sha>ri‘ pun telah menetapkan batasan bagi pria yang
melakukan i>la>',188 yaitu ia harus kembali menggauli istrinya atau mencerainya.
Para mujahid di medan perang pun diperkenankan pulang ke rumah istri mereka

185
Al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta'wi>l, j.II, 161.
186
‘Abdulla>h al-Bassa>m, "At}fa>l al-Ana>bi>b", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I,
241-242.
187
Islam mengharamkan kerahiban dan berbagai bentuk pemasungan terhadap
naluri seksual. Sebagai solusinya, Islam memerintahkan umatnya untuk menikah.
188
i>la>' ialah adalah sumpah suami untuk tidak mengauli istrinya dalam jangka waktu
tertentu. Para ulama menetapkan batas waktu maksimal 4 bulan, kemudian suami harus
menentukan apakah meneruskan pernikahan atau cerai. Ila’ merupakan budaya Arab
jahiliyah. Dalam tradisi jahiliyah, seorang suami biasa bersumpah tidak mensetubuhi
isterinya setahun, atau lebih lama lagi. Ini mengakibatkan kesengsaraan istri, karena
dibiarkan terkatung-katung tidak diceraikan tapi juga tidak dikumpuli. Pada era jahiliyah,
ila’ merupakan salah satu bentuk demonstratif kebencian suami kepada isterinya. Setelah
Islam datang, tradisi tersebut diperbaiki dengan pembatasan waktu, dengan harapan selama
kurun waktu tersebut, baik suami maupun isteri mampu menyadari kesalahan dan
kekurangan diri mereka masing-masing.

147
dalam jangka waktu tertentu. Pria dibolehkan melakukan fasakh189 terhadap
pernikahannya dengan wanita yang cacat. Demikian pula wanita berhak
melakukan fasakh terhadap pernikahannya dengan pria yang impoten (dan
mandul). Semua ini untuk menjamin terlaksananya kewajiban hubungan
seksual di antara suami-istri.
6) Para ahli medis berpendapat bahwa lapar ada dua macam: a) lapar perut yang
distimulasi adanya keinginan bertahan hidup dalam tubuh; dan b) lapar seksual
yang distimulasi oleh harapan terhadap kelangsungan hidup dan adanya
keturunan. Kedua insting lapar tersebut sama bernilainya karena merupakan
ilham Alla>h untuk memelihara kelestarian dan keberlangsungan ras manusia.
Pemuasan lapar seksual tidak bisa tercapai kecuali melalui hubungan seksual.
7) Panggilan seksual merupakan panggilan yang natural dan menuntut untuk
dipenuhi dan dipuaskan. Menekan atau menutup telinga dari panggilan tersebut
adalah tindakan melawan hukum alam yang telah diletakkan Alla>h dengan ilmu
dan hikmah-Nya. Selain itu, tindakan menekan dan menghalangi kebutuhan
seksual dapat mengakibatkan berbagai jenis penyakit, mengganggu vitalitas
dan otaknya untuk melakukan berbagai kreativitas yang produktif.
8) Tidak ada satu pun bentuk interaksi yang bisa menggantikan daya tarik seksual
di antara suami-istri. Hubungan seksual merupakan satu-satunya interaksi yang
bisa menyatukan dua hati, menyatukan dua orientasi, dan menguatkan
kesalingpemahaman dan kerja sama. Apabila hubungan ini tidak ada, maka
akan terurai ikatan perkawinan. Ia tidak bisa digantikan dengan hubungan lain
seperti komunikasi verbal atau interaksi finansial.
9) Hubungan seksual antara suami-istri merupakan ekspresi cinta yang aktif dan
bersifat mutual di antara keduanya. Ia merupakan indikasi praktis tentang
kecenderungan dan orientasi jiwa antara yang satu dengan yang lain. Makna
inilah yang digunakan para ulama untuk menafsirkan firman Alla>h, ‚Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian.‛ (QS al-Nisa>’ [4]: 129)
Jadi, manakala seorang suami lebih condong kepada salah seorang istrinya,
maka ia akan lebih senang untuk berhubungan intim dengannya. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa keinginan masing-masing untuk melakukan
aktivitas seksual dengan pasangannya merupakan bukti keharmonisan di antara
keduanya serta adanya timbal balik perasaan cinta di antara keduanya.
10) Kebahagiaan perkawinan tidak bisa dicapai kecuali melalui hubungan seksual.
Apabila dokter dan psikolog menyatakan bahwa seseorang mendapati suami-
istri bahagia, maka bisa dipastikan bahwa kebahagiaannya itu didasari pada
keharmonisan dalam hubungan seksual. Akan tetapi jika hubungan di antara
keduanya tidak mesra dan renggang, maka bisa dipastikan tidak ada
keharmonisan dalam hubungan seksual. Fenomena ini adalah keniscayaan.
Oleh karena hubungan seksual memiliki arti yang sangat penting dalam
ikatan perkawinan, maka memiliki keturunan adalah sesuatu yang sangat

189
Fasakh dalam pernikahan ialah putusnya atau batalnya pernikahan yang telah
terjadi, karena tidak memenuhi salah satu syarat atau diharamkan oleh agama.

148
didambakan pasangan suami-istri. Dengan kata lain, kesuburan suami dan/atau istri
merupakan faktor penting untuk mewujudkan harapan berumah tangga, sehingga
ketika salah satu atau keduanya mengalami ketidaksuburan, berbagai upaya pun
dilakukan agar tetap dapat memperoleh keturunan.

2. Inseminasi Buatan dalam Sejarah Kedokteran Islam


Al-‘Alla>mah Ibn Khaldu>n190 dan para filosof Islam sebelumnya seperti Ibn
Si>na>', al-Fara>bi>192 dan selainnya pada era kurang lebih seribu tahun yang lalu,
191

telah mengisyaratkan metode rekayasa reproduksi manusia. Pandangan mereka


dalam hal ini tidak hanya ilmiah, tetapi juga futuristik. Ibn Khaldu>n dalam kitabnya
yang masyhur, al-Muqaddimah, mengisyaratkan tema ini saat berbicara aspek
kimiawi dari reproduksi manusia, menurut para ilmuwan pendahulunya: 193
‚Menurut pendapat yang dikemukakan Ibn Si>na>', al-Fara>bi> dan al-
T{ughra>'i>,194 dapat dikatakan bahwa manusia diciptakan dari sperma di rumahnya
yang alami.195… Apabila kita menerima bahwa setiap unsurnya, komposisinya,
perkembangan dan proses penciptaannya dalam rahim bisa diketahui secara
terperinci sehingga tidak ada sedikit pun yang luput darinya, maka kita juga
menerima bahwa bisa dilakukan rekayasa terhadap reproduksi manusia.‛
Ibn Khaldu>n adalah ilmuwan Arab muslim yang menerima teori penciptaan
makhluk hidup dari sperma, dan itu terjadi setelah ia menyelidiki secara cermat
bagian-bagian dan komposisi unsur-unsur alam yang darinya manusia terbentuk.
Kemudian ia mengatakan, ‚Dari mana semua ini?‛ Ungkapan keherananannya itu
muncul akibat keterbatasan ilmu pengetahuan pada zaman itu. Oleh karenanya ia
mengatakan, ‚Kesulitan di dalamnya bukan bersumber dari alam, melainkan karena
ketidakmampuan manusia untuk mengetahui semua sisinya.‛
Jadi, Ibn Khaldu>n menetapkan bahwa rekayasa penciptaan manusia atau
hewan dari benih selain sperma, bukanlah perkara mustahil secara substansial.
Yang menjadi kendala adalah sains dan teknologi yang masih terbatas untuk
menganalisa rasio komposisi kimiawi zygote, serta menemukan lingkungan yang

190
Abu> Zayd ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn Muh}ammad Ibn Khaldu>n al-H{ad}rami> (
), lahir pada 27 Mei 1332M/732H di Tunis dan wafat pada 19 Maret
1406/808H di Kairo.
191
Abu> ‘Ali al-H{usayn Ibn ‘Abdilla>h Ibn Si>na>'. Barat mengenalnya dengan nama
Latin: Avicenna. Lahir pada tahun 980M/370H di sebuah kota kecil wilayah Uzbekistan,
meninggal tahun 1037M/427H di Hamedan, Iran. Ibn Si>na>' telah menulis sekitar 450 karya
dalam berbagai disiplin ilmu, namun hanya sekitar 240 yang masih dapat dijumpai hingga
kini, 40 diantaranya dalam bidang kedokteran.
192
Abu> Na>s}ir Muh}ammad Ibn al-Fara>kh al-Fa>ra>bi> (870-950M), berasal dari Farab,
Kazakhstan. Ia juga dikenal dengan nama Abu> Nas}r Muh}ammad Ibn Muh}ammad Ibn
Tarkha>n Ibn ‘Uza>lah al-Fa>ra>bi>.
193
‘Abdulla>h al-Bassa>m, At}fa>l al-Ana>bi>b, Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 243.
194
Mu'ayyad al-Din Abu Isma‘il al-Husayn Ibn ‘Ali al-Tughra'i, seorang ilmuwan
ternama dalam bidang kimia, sastra, dan ilmu politik. Dilahirkan di Isfahan pada tahun
1061M dan wafat tahun 1121. Lihat: F.C. de Blois, al-Tughra'i, Encyclopaedia of Islam
(Leiden: E.J. Brill, 1960-2002), j.X, 599-600.
195
Rumah yang alami yang dimaksud adalah rahim.

149
proporsional untuk melakukan rekayasa penciptaan manusia dan perkembangannya,
yaitu penyediaan media dan suhu untuk perkembangannya.
Artinya, inseminasi buatan merupakan tindakan yang dapat ditolerir oleh
para pemikir Islam sejak zaman klasik. Dapat diasumsikan bahwa pertimbangan
mereka sudah termasuk pertimbangan hukum Islam. Sebagaimana dimaklumi
bersama, mereka adalah para ulama ensklopedik, yang menguasai filsafat, ilmu
kedokteran, fisika, matematika, kimia, sosiologi, hingga akidah dan fikih. 196

3. Proses Awal Kejadian Manusia


‘Abdulla>h al-Bassa>m dalam makalah ilmiahnya,At}fa>l al-Ana>bi>b, menyoroti
masalah ini dari segi filosofis.197 Beliau berpendapat bahwa persoalan tentang Bayi
Tabung ini merupakan contoh revolusi ilmu pengetahuan yang menghancurkan
tembok-tembok yang mengungkungnya, sehingga seolah terjadi rivalitas antara
agama dan sains, antara para agamawan dan saintis. Namun demikian, kendati
rivalitas tersebut ditemukan antara ilmu pengetahuan dan agama-agama lain secara
substantif, tentu saja sama sekali tidak akan ditemukan antara Islam dengan sains.
Itu semua karena kitab suci Al-Qur’a>n menitikberatkan pengamatan kepada
alam semesta berikut keajaiban penciptaan dan keindahan strukturnya. Selain itu,
Al-Qur'a>n juga menyitir banyak fakta kawni>yah dengan bahasa isyarat dan
simbolik. Semua ini tampak samar dan tersembunyi di masa awal perkembangan
Islam. Makna, hakikat maupun rahasianya tidak diketahui oleh manusia pada saat
diwahyukan, akan tetapi Alla>h akan menyingkapnya di kemudian hari untuk
menjelaskan tanda-tanda kekuasaan tersebut. Ini dibuktikan dalam firman Alla>h:
‚Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami
di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
Al-Qur'a>n itu adalah benar.‛ (QS Fus}s}ilat [41]: 53)
Oleh karena itu, adalah keliru jika ada yang mengira bahwa sains berasal
dari Barat, karena sebenarnya isyarat-isyarat ilmiahnya telah disebutkan dengan
turunnya Al-Qur’a>n sejak empat belas abad yang lalu. Kebenaran-kebenaran Al-
Qur’a>n tidak berubah secara esensinya. Yang berubah dan berkembang adalah
pemikiran dan akal manusia. Ketika pemikiran manusia berkembang dalam
naungan Al-Qur’a>n, maka akal mereka diterangi cahaya dan pengetahuan
merekapun makin meluas, sehingga mereka mengimani bahwa Al-Qur’a>n bukanlah
buatan manusia, melainkan Kitab yang ayat-ayatnya tertata rapi yang diturunkan
dari sisi Alla>h yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Di antara nas}s} Al-Qur'a>n yang menerangkan penciptaan manusia ialah:
‚Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).‛ (QS al-Sajdah [32]: 7-9)

196
‘Abdulla>h al-Bassa>m, At}fa>l al-Ana>bi>b, Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 244.
197
Makalah tersebut disajikan dalam Mu’tamar Majma‘ ke-2.

150
‚Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sula>lah198 (yang
berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu nut}fah199 (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian nut}fah itu Kami jadikan benda yang
menggantung (pada dinding rahim),200 lalu benda yang menggantung itu Kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Alla>h, Pencipta Yang Paling
Baik.‛ (QS al-Mu'minu>n [23]: 12-14)
‚Dia (manusia) diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara
tulang sulbi dan tulang dada.‛ (QS al-T{a>riq [86]: 6-7)
‚Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina? Kemudian Kami
letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan, lalu
Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.‛ (QS
al-Mursala>t [77]: 20-22)
‚Dan Alla>h telah menciptakan semua jenis hewan dari air.‛ (QS al-Nu>r
[24]: 45)
‚Bukankah dia dahulu nut}fah dari air mani yang ditumpahkan (ke dalam
rahim), kemudian menjadi benda yang menggantung (pada dinding rahim),201 lalu
Alla>h menciptakannya dan menyempurnakannya, lalu Alla>h menjadikan
daripadanya sepasang: pria dan wanita.‛ (QS al-Qiya>mah [75]: 37-39)
‚Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang
bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena
itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.‛ (QS al-Insa>n [76]: 2)
‚Dan dari air, Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.‛ (QS al-Anbiya>'
[21]: 30)

198
Kata sula>lah biasa diterjemah sebagai ‚saripati‛. Menurut penulis, lebih tepat
jika diartikan sebagai sperma atau ovum. Lihat: Abdul-Majeed A. Zindani, et al.., Human
Development as Described in the Qur’an and Sunnah (Bridgeview: Islamic Academy for
Scientific Research, 1992), 17.
199
Kata nut}fah biasa diterjemah sebagai ‚air mani‛. Penulis tidak sependapat
dengan terjemahan atau penafsiran tersebut. Kata ‚nut}fah‛ berarti satuan kecil benda yang
mengandung cairan, yang dapat berarti sperma atau sel telur. Kemudian apabila dikatakan
bahwa nut}fah tersebut diletakkan dalam tempat yang kokoh (rahim), maka ini secara jelas
menunjukkan bahwa nut}fah ialah zigot atau tahap awal fase embrio. Lihat: A. Zindani, et
al., Human Development as Described in the Qur’an and Sunnah , 15-29.
200
Kata ‘alaqah sering diterjemah sebagai segumpal darah. Menurut penulis,
terjemahan tersebut tidak tepat, karena dengan teknologi medis modern dapat dibuktikan
bahwa secara embriologis, proses kejadian manusia pada tahap awal tidak pernah melalui
fase segumpal darah. Selain itu kata ‘alaqah berarti sesuatu yang menggantung atau
melekat. Oleh karenanya lebih tepat diartikan sebagai benda yang melekat, yaitu fase awal
embrio sejak dimulainya implantasi pada endometrium (dinding bagian dalam rahim).
Selanjutnya lihat: ‘Abd al-Fatta>h Mah}mu>d Idri>s, Ikhtiya>r Jins al-Jani>n wa al-Intifa>‘ bi al-
Ajinnah wa al-Khala>ya> al-Jidh‘i>yah wa al-Ikhs}a>b al-T{ibbi> al-Musa>‘id min Manz}u>r al-Isla>mi>
(al-Riya>d}: Da>r al-S{ami>‘i>, 1433H-2012M), 80-82.

151
Adapun di antara hadis-hadis yang berbicara tentang masalah ini adalah
yang diriwayatkan oleh al-Bukha>ri> dan Muslim dari Ibn Mas‘u>d r.a., bahwa
Rasu>lulla>h SAW bersabda:
‚Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dihimpun penciptaannya
dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nut}fah. Kemudian ia
menjadi ‘alaqah dalam masa yang seperti itu. Kemudian ia menjadi mud}ghah dalam
masa yang seperti itu. Kemudian Alla>h mengutus satu malaikat kepadanya untuk
meniupkan ruh padanya.‛ 202
Dalam kitab al-S{ah}i>h}ayn juga terdapat riwayat dari Umm Salamah r.a.
bahwa Umm Sulaym r.a. bertanya kepada Rasu>lulla>h Saw., ‚Ya Rasu>lalla>h,
sesungguhnya Alla>h tidak malu kepada kebenaran. Apakah wanita wajib mandi jika
ia bermimpi?‛ Beliau menjawab, ‚Ya.‛ Umm Salamah bertanya lagi, ‚Apakah
wanita bisa bermimpi?‛ Rasulullah SAW menjawab, ‚Kalau tidak bisa, dalam hal
apa anaknya mirip dengannya?‛ Lalu beliau bersabda, ‚Tidak dari semua air (yang
dipancarkan akan) terjadi anak. Apabila Alla>h berkehendak untuk menciptakan
sesuatu, maka tidak ada sesuatu pun yang menghalangi-Nya.‛ 203

4. Keselarasan Wahyu dan Logika versus Materialisme Barat


Sementara itu para ahli biologi molekuler menyatakan bahwa sel adalah
komponen terkecil pembentuk kehidupan.204 Semua makhluk hidup tidak lain
merupakan kumpulan sel. Orang pertama yang mengetahui bahwa tubuh tersusun
dari sel-sel adalah Robert Hooke melalui pengamatan mikroskop pada tahun 1660
M.205 Akan tetapi Al-Qur'a>n al-Kari>m telah menyebutkan sel sekitar sepuluh abad
sebelum penemuan tersebut. Alla>h berfirman, ‚Tidak luput dari pengetahuan
Tuhanmu biar pun sebesar zarrah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang
lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat)
dalam kitab yang nyata (Lauh} Mah}fuz})." (QS Yu>nus [10] : 61)
Pada titik inilah terjadi keselarasan antara wahyu dengan logika, karena
akal manusia itu terbatas. Penemuan-penemuan ilmiah yang dicapai hari demi hari
menunjukkan ketidakmampuan dan keterbatasan akal, sebagaimana diakui oleh
nus}u>s} agama seperti dalam firman Alla>h Ta‘a>la>:
‚Dan tidaklah kalian diberi ilmu pengetahuan melainkan sedikit (saja).‛
(QS al-Isra>’ [17]: 85)
‚Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Alla>h melainkan apa yang
dikehendaki-Nya.‛ (QS al-Baqarah [2]: 255)

202
Hadis tersebut menjelaskan tentang periodisasi perkembangan embrio tahap
demi tahap, meski kata ‚empat puluh hari‛ secara embriologis tidak persis menunjukkan
jumlah hari tersebut. Lihat penjelasan tahapan embrio pada Pengantar Bab ini.
203
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, Ma>lik,
al-Sha>fi‘i>, Ibn H{ibba>n, Ibn Khuzaymah, al-T{ah}a>wi>, al-T{abra>ni>, al-Bayhaqi>, Abu> ‘Awa>nah,
al-H{umaydi>, Ish}a>q Ibn Ra>hawayh, Ibn al-Ja>ru>d al-Naysa>bu>ri>, Abu> Ya‘la> al-Maws}u>li>, ‘Abd
al-Razza>q, dan Ibn Abi> Shaybah.
204
William Bechtel, "The Cell: Locus or Object of Inquiry?" Studies in History and
Philosophy of Biological and Biomedical Sciences 41 (2010): 172”182.
205
Robert Hooke, seorang ilmuwan dan filosof asal Inggris (1635 ” 1703).

152
‚Dan manusia pun memikul amanat itu. Sesungguhnya manusia itu amat
aniaya dan amat bodoh.‛ (QS al-Ah}za>b [33]: 72)

Pada sisi lain, para ilmuwan Barat menolak alasan-alasan dan pandangan
tentang hal yang ghaib, seraya menganggapnya sebagai imajinasi manusia dan
pemikiran mitologi semata.206 Mereka menilai pandangan wahyu sebagai
penghalang kemajuan ilmu pengetahuan dan penafsirannya terhadap fenomena-
fenomena alam.
Prinsip Barat ini bertopang pada beberapa hal, yaitu:
Pertama, ketidakpercayaan mereka terhadap adanya Tuhan yang
menciptakan segala sesuatu, yang apabila Dia berfirman kepada sesuatu, ‘Jadilah!’
maka jadilah ia, yang pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Alla>h berfirman
tentang diri-Nya, ‚(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak
memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu kecuali kepada rasul
yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat)
di muka dan di belakangnya. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-
rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-
Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu
persatu.‛ (QS al-Jinn [72]: 26-28)
Kedua, pandangan materialisme yang menjadi fondasi tesis dan sains
mereka, yang menolak faktor determinan selain alam yang rasional dan empirik.
Ketiga, kedua pandangan di atas bermula dari limitasi pandangan manusia
dan tidak adanya sains yang mampu mencakup seluruh fenomena dan
keterkaitannya dengan fenomena yang lain. Oleh karenanya, para ilmuwan yang
obyektif secara tegas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan mendorong kepada
iman, dan bahwa setiap kali pengetahuan manusia tentang alam dan sifatnya
bertambah, maka iman mereka pun semakin bertambah dan keyakinan mereka
semakin kokoh.207
Ini seperti pernyataan Yu>suf Marwah, seorang saintis kimia dan fisika. Ia
mengatakan bahwa dari data-data dan analisa ilmiah modern, mulai mikrokosmos
hingga makrokosmos dan teori relativitas, maka yng dilakukan para saintis tidak
lain hanyalah menyingkap sistem Ila>hi, berusaha memahaminya, menafsirkannya,
dan menggunakannya. Hukum-hukum ini telah eksis, baik manusia ada atau tidak
ada, karena ia telah ada sejak penciptaan alam semesta.‛208
Selanjutnya kembali kepada masalah nut}fah, yaitu nut}fah yang telah
bercampur dari sperma pria di antara sekian juta sel sperma yang berenang dalam
air yang hina, lalu masuk dan bersatu ”atas dasar kekuasaan Alla>h„ dengan sel

206
Pandangan rasionalisme Barat berasumsi bahwa agama dan hal-hal yang ghaib
dipandang sebagai imajinasi dan kreasi pikiran manusia. Hal-hal tersebut ada, karena
dianggap ada oleh manusia. Ini seperti ucapan Rene De Cartes yang sangat terkenal ‚cogito
ergo sum‛.
207
Sangat banyak karya tulis tentang pengalaman intelektual para filosof dan
saintis yang berujung kepada keimanan. Antara lain, dapat dibaca dalam serial buku ‚Why
We Embrace Islam‛ .
208
‘Abdulla>h al-Bassa>m, At}fa>l al-Ana>bi>b, Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 240.

153
telur wanita yang menunggunya untuk dibuahi. Setelah pertemuan dan pembuahan
tersebut, ia berpindah kepada tempat yang digambarkan Allah dengan, ‚Kemudian
Kami jadikan nut}fah (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh.‛ (QS al-
Mu’minu>n [23]: 13)
Kalimat tempat yang kokoh (qara>r maki>n) ialah rahim wanita. Suatu organ
yang terjaga dari semua sisinya, dalam rongga panggul yang dilindungi oleh
struktur tulang panggul secara kokoh. Juga ditahan dari berbagai guncangan oleh
struktur pengikat.209
Ayat tersebut menerangkan sistem yang dijadikan Alla>h sebagai cara alami
dalam regenerasi. Oleh karenanya sebagian ulama fikih memberi fatwa bahwa
pembuahan buatan melalui media tabung bagi pasutri dengan kerelaan keduanya
dan syarat-syarat yang mereka sebutkan, adalah tidak memiliki sandaran nas}s} atau
dalil yang qat}‘i>, melainkan hanya untuk memenuhi perasaan keibuan dan keayahan.
Namun demikian perasaan sama sekali tidak boleh dijadikan dasar hukum syariat
karena mengandung resiko mudharat yang mengakibatkan rusaknya masyarakat.

5. Ruang Lingkup Terapi Fertilitas dan Problematikanya


Berbagai metode pembuahan buatan yang dilakukan dewasa ini di klinik-
klinik fertilitas di Barat, dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

a. Metode Pembuahan Buatan Internal (In Vivo Fertilization)210


Metode Pertama: Sperma diambil dari suami lalu disuntikkan ke dalam
tempat yang tepat dalam organ reproduksi istrinya, agar bertemu secara alami
dengan sel telur yang diproduksi oleh ovarium istrinya. Setelah terjadi pembuahan,
zigot menempel di dinding rahim dengan seizin Alla>h. Metode ini ditempuh jika
suami mengalami ketidakmampuan melakukan penetrasi penis ke dalam vagina
istrinya.
Metode Kedua: Sperma diambil dari seorang pria lalu disuntikkan ke organ
reproduksi istri pria lain hingga terjadi pembuahan secara internal. Setelah itu zigot
menempel pada rahim sebagaimana yang terjadi pada metode pertama. Metode ini
ditempuh ketika suami infertil; benihnya tidak mengandung sel sperma. Mereka
mengambil sperma dari pria lain.
Fertilisasi in vivo merupakan metode alami yang terjadi pada manusia dan
mamalia, yaitu dengan memasukkan organ reproduksi pria ke dalam vagina wanita.
Pembuahan melalui cara ini kemudian dikembangkan dan banyak digunakan pada
hewan, seperti cukup satu atau dua ekor sapi jantan diambil spermanya untuk
digunakan membuahi ratusan bahkan ribuan sapi betina.

209
Letak rahim di dalam rongga abdomen, dilindungi oleh tulang panggul depan,
samping, dan belakang, serta disangga kuat oleh otot-otot dan sejumlah jaringan pengikat
ligament.
210
Abyholm et al., "In Vivo Fertilization Procedures in Infertile Women with
Patent Fallopian Tubes: A Comparison of Gamete Intrafallopian Transfer, Combined
Intrauterine and Intraperitoneal Insemination, and Controlled Ovarian Hyperstimulation
Alone", Journal Of Assisted Reproduction And Genetics, vol. 9, issue1 (Feb, 1992): 19-23.

154
Penerapan cara ini pada manusia dikenal dengan istilah istidkha>l,211 yaitu
penetrasi penis ke dalam vagina wanita Para ahli fikih telah mendeskripsikan dan
membicarakannya secara rinci dalam kitab-kitab fikih. Cara ini diterapkan pada
manusia untuk tujuan-tujuan sebagai berikut:
a. Jika jumlah sel sperma pada suami sedikit, sehingga sperma dari beberapa kali
orgasme dikumpulkan, lalu dimasukkan ke dalam vagina istri.
b. Jika kadar keasaman sangat tinggi di dalam vagina, sehingga bisa membunuh
sel-sel sperma.212
c. Jika terdapat anomali antara sel-sel vagina dan sel-sel sperma sehingga bisa
mengakibatkan kematian sel-sel sperma.
d. Jika suami mengalami penyakit yang mengakibatkan impotensi,213 yaitu tidak
mampu untuk melakukan penetrasi, padahal ia memiliki kemampuan untuk
memproduksi sel sperma yang sehat.214
Untuk tujuan-tujuan ini, tidak dilarang pembuahan antara sperma suami dan
ovum istri. Namun harus diupayakan semaksimal mungkin agar aurat istri tidak
terbuka, kecuali di hadapan dokter muslimah. Apabila ini tidak memungkinkan,
maka boleh di hadapan dokter wanita non-muslimah. Apabila ini pun tidak bisa,
maka boleh dokter pria muslim yang terpercaya. Jika hal ini pun sulit, maka boleh
dengan dokter non-muslim yang profesional dalam pekerjaannya.
Para ahli fikih, baik klasik ataupun kontemporer, menyatakan bahwa proses
semacam pembuahan buatan hukumnya boleh apabila dilakukan pasutri yang masih
berada dalam status pernikahan antara keduanya. Hal yang demikian itu telah
difatwakan oleh Mufti Mesir, Mufti Tunisia, Majma‘ al-Fiqh di Makkah al-
Mukarramah dalam sidangnya yang ke-7 pada tahun 1404 H,215 dan Nadwah al-
Inja>b216 di Kuwayt yang menghimpun sejumlah pakar fikih terkemuka di dunia dan
para dokter ahli di bidangnya.

211
Ada pula istilah lain yang menunjukkan hubungan seksual, yaitu dukhu>l atau
dukhlah. Disebut demikian sebagai kiasan penetrasi penis ke dalam lubang vagina. Malam
pertama dalam pernikahan, biasa disebut dengan istilah laylah al-dukhlah.
212
Derajat keasaman normal dalam vagina ialah pada pH 3,5-4,5. Tingkat keasaman
tersebut akibat adanya lingkaran ekosistem vagina yang dipengaruhi oleh dua unsur utama,
yaitu estrogen dan bakteri Lactobacillus. Estrogen berperan penting dalam menentukan
kadar glikogen dalam sel tubuh.
213
Ketidakmampuan yang menetap dalam mencapai atau menjaga ereksi yang
cukup (adequate) untuk kepuasan aktifitas seksual. Lihat: National Institute of Health
Consensus Development Panel on Impotence, "NIH Consensus Conference: Impotence",
Journal of American Medical Associaton 270 (1993): 83-90.
214
Data di AS menunjukkan bahwa impotensi atau disfungsi ereksi merupakan
gangguan seksual yang terbanyak setelah ejakulasi prematur. Lihat: H.A. Feldman, I.
Goldstein, D.G. Hatzichristou, et al., "Impotence and Its Medical and Psychosocial
Correlates: Results of the Massachusetts Male Aging Study", Journal of Urology 151
(1994): 54”61.
215
Maksudnya ialah lembaga Majma‘ al-Fiqh yang dimiliki oleh Ra>bit}ah al-‘A<lam
al-Isla>mi> dan berkantor pusat di Makkah.
216
Dalam sidangnya pada 11 Sya'ban 1403 yang bertepatan dengan 24 Mei 1983.

155
Adapun diantara penggunaan metode in vivo fertilization yang diharamkan
ialah memasukkan sperma ke dalam vagina yang bukan istrinya. Metode ini
digunakan pada masa lalu dan dikenal dengan istilah s}adafah. Inti dari metode
klasik ini adalah istri mengeluhkan kemandulan suami, lalu ada seorang wanita
yang datang membawa secawan sperma pria. Setelah itu sperma dimasukkan ke
dalam vagina istri tersebut.
Metode semacam ini banyak digunakan masyarakat pedesaan di Mesir.
Pernah terjadi kasus sampai ke pengadilan Mesir, di mana suami melakukan
sterilisasi sehingga cairan semennya tidak mengandung spermatozoa. Ketika
istrinya mengandung dengan cara tersebut di atas, sang suami mengingkari anak
yang dilahirkannya hingga masalah ini sampai ke pengadilan. Di pengadilan
istrinya mengakui terjadinya s}adafah, sebagaimana wanita yang memberinya
s}adafah itu juga mengakuinya.

b. Metode Pembuahan Eksternal (In Vitro Fertilization)217


Metode Ketiga: Diambil sperma dari suami dan sel telur dari ovarium
istrinya, lalu kedua sel tersebut diletakkan dalam cawan petri di laboratorium,
sehingga sperma suami membuahi sel telur istrinya pada cawan tersebut. Setelah
embrio mulai membelah dan berkembang, maka embrio dipindahkan pada waktu
yang tepat dari cawan laboratorium ke rahim istri pemilik ovum tersebut supaya
menempel di dinding rahimnya, berkembang dan menjadi janin.218 Pada akhir masa
kehamilan normal, istri tersebut melahirkan bayi pria atau wanita. Ini merupakan
bayi tabung yang telah diwujudkan oleh kemajuan teknologi medis. Hingga saat ini
telah sangat banyak bayi yang dilahirkan dari metode tersebut, baik pria ataupun
wanita, tunggal maupun kembar.
Cara ketiga ini ditempuh ketika istri infertil karena tertutupnya saluran
(tuba falopii)219 yang menghubungkan ovarium dan rahimnya.220
Metode Keempat: Pembuahan eksternal pada cawan laboratorium
dilakukan antara sperma yang diambil dari seorang suami dan sel telur yang diambil
dari wanita yang bukan istrinya (disebut pula donor), kemudian embrio ditanam
dalam rahim istrinya.
Mereka menempuh metode ini ketika ovarium istri diangkat atau
mengalami disfungsi, tetapi rahimnya sehat dan bisa dilekati embrio.
Metode Kelima: Pembuahan eksternal dilakukan pada cawan laboratorium
antara sperma pria dan ovum wanita yang bukan pasangan suami istri (disebut pula
donor), kemudian embrio ditanam dalam rahim wanita lain yang menikah.

217
‘Abdulla>h al-Bassa>m, At}fa>l al-Ana>bi>b, Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 263-264.
218
Michael M.Alper, et al., "Is Your IVF Programme Good?" Human Reproduction,
vol.17, no.1 (2002): 8”10.
219
L.A. Jacobs, "Tubal Disease and Infertility", Fertility Centers of Illinois, http://
fcidiagnosis.com/infertility-diagnosis/tubal-disease-and-infertility. Diakses 29 Juli 2014.
220
Taimoora Al Subhi, Ruqaiya Nasser Al Jashnmi, et al., "Prevalence of Tubal
Obstruction in the Hysterosalpingogram of Women with Primary and Secondary
Infertility", Journal of Reproduction and Infertility , vol.14, issue 4 (2013): 214-216.

156
Mereka menempuh metode ini ketika wanita yang bersuami yang ditanami
embrio itu infertil karena ovariumnya mengalami disfungsi, demikian pula
rahimnya tidak dapat mengandung janin.221 Selain itu suaminya pun mandul, namun
keduanya menginginkan anak.
Metode Keenam: Pembuahan eksternal dilakukan pada cawan laboratorium
dengan benih milik pasutri, kemudian embrio ditanam di rahim wanita lain yang
mendonorkan dirinya untuk mengandung embrio.
Mereka menempuh cara ini ketika istri tidak mampu mengandung karena
suatu faktor dalam rahimnya, tetapi ovariumnya sehat dan produktif, atau ia tidak
ingin mengandung semata untuk kenyamanan, lalu ada wanita lain yang
mendonorkan dirinya untuk mengandung embrio.
Metode Ketujuh: Sperma dan ovum diambil dari pasutri dan setelah
dilakukan pembuahan pada cawan laboratorium, embrio ditanam pada rahim istri
yang lain dari suami yang sama.
Ini dilakukan sukarela atas pilihan wanita donor rahim untuk mengandung
bagi madunya yang telah diangkat rahimnya.
Metode-metode di atas telah terjadi di Eropa dan Amerika untuk berbagai
tujuan. Ada yang sifatnya bisnis.222 Ada yang bertujuan untuk memperbaiki ras
manusia.223 Ada yang bertujuan untuk memenuhi keinginan sebagian wanita, baik
yang sudah menikah atau belum menikah, untuk menjadi ibu, namun mereka tidak
bisa mengandung karena faktor pada diri mereka atau pasangan mereka.

c. Problem Terapi Infertilitas


Menurut Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr, terapi problem infertilitas ini sayangnya
hanya terfokus pada terapi kuratif, yaitu bagaimana caranya agar seorang wanita
atau pasutri dapat memiliki anak. Jadi bukan pada menghilangkan penyebabnya,
yaitu mengapa terjadi infertilitas, kemudian bagaimana mengatasi atau
mencegahnya. Akibatnya kedokteran Barat selalu gagal dalam menangani masalah
ini secara komprehensif.224
Masalah penyumbatan tuba falopii225 dialami oleh jutaan wanita,226 dan ini
tidak dapat diselesaikan hanya dengan program bayi tabung. Meskipun operasi

221
C.M. Arquhar, S.A. Harvey, et al., "A Prospective Study of 3 Years of Outcomes
After Hysterectomy with and without Oophorectomy", American Journal of Obstetrics and
Gynecology 194 (2006): 711”717.
222
Yaitu dengan menjual sperma/ovum, atau dengan menyewakan rahim.
223
Yaitu dengan memilih alternatif sperma dari pria yang memenuhi kualifikasi
sesuai kehendak wanita yang ingin dibuahi sel telurnya.
224
Hal ini lebih tepat disebut sebagai terapi preventif dan promotif.
225
Sekitar 25-35% penyebab infertilitas pada wanita ialah faktor tuba. Lihat:
Shraddha K. Shetty, Harish Shetty, Supriya Rai, "Laparoscopic Evaluation of Tubal Factor
in Cases of Infertility", International Journal of Reproduction, Contraception, Obstetrics
and Gynecology, vol 2, issue 3 (2013): 410-413.
226
Hingga penelitian mutakhir menunjukkan bahwa sumbatan tuba merupakan
penyebab yang umum terjadi sebagai penyebab infertilitas pada wanita. Lihat: J. Banu, S.R.

157
yang mutakhir mampu menjadikan seratus atau dua ratus wanita (dalam kurun
waktu tujuh tahun terakhir) untuk mengandung dan melahirkan dengan metode ini,
namun solusi tersebut masih jauh dari angka jutaan wanita yang infertil.
Dunia benar-benar mengalami paradoks berpikir. Pada saat dimana aborsi
mengakibatkan kematian 50 juta anak di setiap tahunnya di seluruh penjuru dunia,
uang jutaan dolar dihabiskan untuk melakukan tindakan terapi terhadap ratusan
wanita melalui bayi tabung.
Pada sisi lain, ratusan juta wanita menggunakan alat-alat kontrasepsi atas
anjuran dan dorongan dari negara tempat mereka tinggal, bahkan melalui paksaan
di sebagian negara (seperti Cina, India dan Mesir).227
Kejadian itu serupa dengan operasi mutakhir transplantasi jantung dari
mayat atau menggunakan jantung buatan kepada individu-individu yang hampir
sekarat.228 Operasi ini menghabiskan jutaan bahkan ratusan juta dolar, sementara
pada saat yang sama lebih dari sepuluh juta anak setiap tahunnya meninggal dunia
karena kelaparan dan diare!!
Seandainya dana sebesar itu disalurkan untuk menyelamatkan anak-anak
tersebut, maka hal itu sangat mungkin untuk menjauhkan teror kematian dari
jutaan anak di setiap tahunnya. Padahal masa depan mereka masih panjang dan
mereka akan menjadi sumber daya yang produktif.
Oleh karenanya, dalam sudut pandang ‘Ali> al-Ba>rr, terapi infertilitas
seharusnya lebih difokuskan kepada penanganan atas etiologi yang substansial
bahkan esensial, yaitu:229
1) Zina dan kebebasan seksual.
2) Tindakan aborsi.230
3) Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim sebagai alat kontrasepsi.
4) Larangan hubungan seksual saat menstruasi.
5) Pengobatan terhadap penyakit-penyakit menular dan endemik seperti TBC,
serta meningkatkan kemampuan dan kapasitas rumah sakit untuk menegakkan
diagnosa serta mengobati berbagai penyakit infeksi.231

Begum, P. Fatima, "Association of Pelvic Tuberculosis with Tubal Factor Infertility",


Mymensingh Medical Journal 18 (1), (2009): 52-55.
227
Pemerintah Mesir, India dan Cina memandang bahwa telah terjadi pertumbuhan
populasi yang berlebihan di negeri mereka, sehingga kepesertaan dalam program
pembatasan kelahiran (birth control) merupakan kewajiban bagi setiap Warga Negara.
228
Transplantasi jantung yang pertama dilakukan oleh Dr. Christian Barnard
terhadap pasien bernama Louis Washkansky pada 3 Desember 1967 di umah Sakit Groote
Schuur, Cape Town, Afrika Selatan. Saat ini operasi tersebut telah mencapai tingkat
keberhasilan 87% pasien dapat bertahan hidup selama 1 tahun dan 50% dapat bertahan
hidup hingga 10 tahun. Lihat: http://www.webmd.com/heart-disease/heart-transplant-
15646. Diakses pada 20 Mei 2014.
229
Al-Ba>rr, Al-Talqi>h} al-S{ina>‘i> wa At}fa>l al-Ana>bi>b, Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 279.
230
Aborsi yang dimaksud ialah tindakan abortus provocatus criminalis, yaitu aborsi
yang tanpa didasari alasan medis yang valid.
231
Penyakit-penyakit infeksi masih merupakan penyebab dominan dari berbagai
penyakit yang diderita masyarakat di dunia ketiga.

158
Tindakan aborsi dapat dieliminir dengan cara mencegahnya dan
menerangkan keharamannya, khususnya di lingkungan umat Islam dan umat
beragama lainnya yang meyakini keharaman aborsi. Sebagaimana pelarangan atau
minimalisasi perzinaan juga dapat mengurangi terjadinya aborsi. Aborsi tidak
dibolehkan kecuali dengan alasan darurat medis, dan itu pun harus dilakukan
sebelum usia janin ditiupkan ruh. Adapun sesudah peniupan ruh, aborsi tidak boleh
dilakukan kecuali jika terdapat probabilititas resiko yang hampir pasti mengancam
nyawa ibu.232
Sepatutnya AKDR tidak direkomendasikan untuk digunakan sebagai salah
satu alternatif utama233 keluarga berencana.234
Demikian pula seharusnya umat Islam khususnya dan umat lain pada
umumnya, mendapatkan sosialisasi dan edukasi yang benar tentang resiko-resiko
akibat hubungan seksual ketika sedang haidh.235 Adapun sterilisasi sama sekali
tidak dibolehkan, kecuali apabila didasarkan pada situasi-situasi medis yang
mengharuskan pencegahan kehamilan secara permanen. Sementara itu situasi medis
tersebut pada kenyataannya sangat amat jarang terjadi.
Dengan menangani faktor-faktor penyebab,236 kita bisa menurunkan jumlah
wanita mandul237 akibat penyumbatan pada tuba falopii238 dari puluhan juta di

232
Tentang usia janin ditiupkannya ruh. Lihat: ‘Ali> al-Ba>rr, Mushkila>t al-Ijha>d} (al-
Riya>d}: Da>r al-Su‘u>di>yah, t.t.), 37-45.
233
Dalam studi kasus di AS, para penyedia layanan kesehatan ( health care
providers) biasanya menganjurkan untuk menggunakan kontrasepsi oral (pil) untuk program
Keluarga Berencana. Lihat: W.D. Mosher, et al., "Use of Contraception and Use of Family
Planning Services in the United States: 1982-2002", Advance Data United States Health
Resources Administration National Center for Health Statistics (US) 350 (2004):1-36.
234
Dari sudut pandang ilmu kesehatan masyarakat, intrauterine device (IUD) atau
alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) merupakan metode kontrasepsi yang paling banyak
digunakan di seluruh dunia. Tingkat prevalensi penggunaan AKDR di masing-masing
negara bisa mencapai 80% dari penggunaan semua metode kontrasepsi. Selama 5 tahun
penggunaan AKDR, tingkat kehamilan ialah kurang dari 2 per 100 pemasangan AKDR.
Perdarahan dan nyeri merupakan alasan utama melepas AKDR dengan tingkat prevalensi
10% pada tahun pertama, hingga 50% dalam 5 tahun penggunaan. Lihat: The European
Society of Human Reproduction and Embryology (ESHRE) Capri Workshop Group,
"Intrauterine Devices and Intrauterine Systems", Human Reproduction Update, vol.14, no.
3 (2008): 197”208,.
235
Demikian pula sangat diperlukan edukasi yang jelas dan benar kepada calon
pengguna dan pengguna AKDR, agar tidak terjadi masalah di kemudian hari bagi pasien
maupun suaminya. Lihat: Ruth Monchek, "The Whole Truth About IUDs", American
Journal of Nursing, vol. 110, no. 6 (June 2010): 53-56.
236
Penyakit peradangan pinggul atau Pelvic inflammatory disease (PID) dan infeksi
saluran genital atas yang menyebabkan endometritis, salpingitis, abses tubo-ovarian dan
peritonitis di pinggul kecil dapat mengakibatkan infertilitas tuba. Lihat: C. Schippert, U.
Hille, C. Bassler, "Organ-Preserving and Reconstructive Microsurgery of the Fallopian Tubes in
Tubal Infertility: Still an Alternative to In Vitro Fertilization (IVF)", Journal of Reconstructive
Microsurgery, vol. 26, no. 5 (2010): 317-323,
237
Sekuel pasca PID yang menyebabkan perubahan tuba secara permanen, dapat
terjadi akibat reaksi immuno-allergi. Ini dapat membawa kepada nyeri kronis pada pelvis

159
dunia menjadi ribuan atau ratusan ribu saja. Mereka itu bisa diterapi dengan suatu
metode, asalkan biaya operasi yang sangat mahal itu dapat diturunkan.
Hingga saat ini dunia selalu mengeluhkan tingkat insidensi yang tinggi dari
berbagai fenomena ini. Lima puluh juta anak lebih dibunuh dalam setiap tahunnya
melalui aborsi.239 Sebagaimana juga ratusan juta wanita memakai berbagai obat dan
alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan atau mencegahnya.240 Meskipun
demikian patut diakui bahwa wanita yang mandul pasti tetap ada, karena mustahil
mencegah infertilitas secara total di dunia. Ini sebagaimana firman Alla>h Ta‘a>la>:
‚Kepunyaan Alla>h-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang
Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak wanita kepada siapa yang Dia
kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau
Dia menganugerahkan kedua jenis pria dan wanita (kepada siapa yang dikehendaki-
Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia
Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.‛ (QS al-Shu>ra> [42]: 49-50)
Jadi, menghilangkan kasus infertilitas secara total di seluruh dunia
merupakan tindakan yang tidak mungkin secara ilmiah, bertentangan dengan
hukum alam, dan membahayakan struktur demografi. Lebih baik ada beberapa
individu yang mengalami kemandulan daripada kita membunuh anak hidup-hidup
atau mengaborsi mereka dengan tujuan agar mereka tidak menyaingi kita dalam
masalah rezeki.

6. Analisis ‘Illat Hukum Bayi Tabung


Dalam hal ini, ada sejumlah anggota Majma‘, seperti ‘Abdulla>h al-Bassa>m
dan Must}afa> al-Zarqa>’, yang meninjau masalah medis tersebut dari sisi filosofis.
Mereka memandang bahwa inseminasi buatan merupakan salah satu jalan keluar
dalam masalah reproduksi, yang pada gilirannya akan memperbanyak regenerasi
umat Islam. Dengan demikian tindakan medis ini mengandung kemaslahatan yang
sangat dirasakan oleh pasutri yang mengalami problem fertilitas.

dan kemandulan. Lihat: Mohammed Abdelgafoor Abdelgadir, Hussain Gadelkarim Ahmed,


"A Successful Treatment of Blocked Fallopian Tubes Following Short Wave Diathermy",
Management in Health, vol. 17, no. 1 (2013): 1-2.
238
Terdapat banyak penyebab infertilitas tuba lainnya, seperti efek samping dari
suatu pembedahan, kehamilan ektopik sebelumnya, abnormalitas kongenital, endometriosis
dan hydrosalpinx. Lihat: Sotrel Ginter, "Is Surgical Repair of the Fallopian Tubes Ever
Appropriate?", Review of Obstetrics and Gynecology, vol. 2, no. 3 (2009): 176-185.
239
Data hingga tahun 2006, di seluruh dunia diestimasikan sebanyak 19”20 juta
kasus aborsi non-medis setiap tahun, dimana 97% kasus terjadi di negara-negara
berkembang. Lihat: David A. Grimes, Janie Benson, Susheela Singh, et al., "Unsafe
Abortion: the Preventable Pandemic", The Lancet Sexual and Reproductive Health Series,
vol. 368, issue 9550 (November 2006): 1908 ”1919.
240
Data tahun 2006, di seluruh dunia diperkirakan sekitar 68.000 wanita meninggal
akibat aborsi non-medis. Jutaan dari mereka mengalami cedera pasca aborsi, dan banyak
diantaranya yang mengalami cedera permanen. Lihat: David A. Grimes, Janie Benson,
Susheela Singh, et al., "Unsafe Abortion: the Preventable Pandemic", The Lancet Sexual
and Reproductive Health Series, vol. 368, issue 9550 (November 2006): 1908 ”1919.

160
Pada sisi lain, ketika masalah ini dibahas oleh Majma‘, terdapat sejumlah
dokter muslim terpercaya yang menentang pembuahan buatan, baik secara internal
ataupun eksternal (dalam hal ini ialah bayi tabung), karena dari segi ilmiah
mengandung resiko. Namun demikian, dewasa ini terapi terhadap infertilitas sudah
dapat dilakukan dengan metode-metode yang yang lebih mudah. Oleh karenanya
metode ini telah dapat diterima secara luas oleh kalangan medis.
Apa yang mereka kemukakan tentang pembuahan in vivo, sesungguhnya
itu juga bisa terjadi pada rahim wanita yang menerima sperma dari pria lain,
padahal sperma pria itulah sumber dari penciptaan janin. Alla>h berfirman,
‚Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim). kemudian
mani itu menjadi benda yang melekat (di dinding rahim), lalu Alla>h
menciptakannya, dan menyempurnakannya.‛ (QS al-Qiya>mah [75]: 37-38)
Peristiwa yang sama juga terjadi pada eksperimen reproduksi hewan ternak,
di mana setiap sapi betina bisa hamil hanya dengan dimasukkan sperma sapi jantan
ke dalam vaginanya, tanpa perlu melewati media lain.241
Dengan demikian, pembuahan dengan cara in vivo dalam kasus seperti di
atas, mengandung ‘illat (penyebab hukum) yang sama dengan cara in vitro, karena
inti masalahnya adalah memindahkan sperma seorang pria ke dalam vagina seorang
wanita yang bukan istrinya. Tindakan ini akan menimbulkan percampuran nasab
yang merupakan alasan terbesar dari pengharaman zina,242 serta menisbatkan
hubungan nasab anak kepada selain ayah dan ibunya. Padahal wanita tersebut wajib
memelihara rahimnya dari pencampuran sperma pria asing.

a. Penelaahan ‘Illat
Apabila diteliti dari proses pembuahan bayi tabung sampai dengan lahirnya
bayi, maka terdapat beberapa aspek yang kiranya patut menjadi kajian fikih. Dari
aspek medis ada beberapa tahapan yang cukup penting. Demikian pula dari sisi
fikih, terdapat beberapa aspek untuk dicermati, apakah dari asurupek tersebut dapat
menjadi permasalahan fikih, yang pada gilirannya akan berdampak kepada
keputusan hukum fikih tentang bayi tabung. Aspek-aspek tersebut ialah:
1) Alasan menggunakan metode bayi tabung, yaitu apakah alasan infertilitas
ataukah yang lainnya. Aspek ini ternyata tidak cukup signifikan untuk menjadi
bahasan fikih. Hal ini karena relatif seluruh metode ini dilakukan dengan alasan
infertilitas. Disamping itu, adalah sulit bagi fikih untuk menelusuri motivasi
seseorang untuk kemudian menetapkan keputusan fikih. Ini sebagaimana
pernyataan kaidah fikih:
243

241
Dalam kasus peternakan sapi, ini merupakan salah satu cara untuk pemuliaan
keturunan, agar mendapatkan keturunan sapi-sapi dari ras yang terbaik, baik dari sisi bobot
dan dagingnya maupun dari segi air susunya yang banyak.
242
Ini merupakan pendapat ‘Abd al-Rah}ma>n al-Bassa>m. Adapun yang benar adalah
bahwa pengharaman zina memiliki ‘illah terbesar yang hanya diketahui oleh Alla>h. Manusia
kemudian meneliti apa yang menjadi hikmah, rahasia, maupun filosofi dari pengharaman
tersebut. Lihat: Al-Jurja>ni>, H{ikmah al-Tashri>‘ wa Falsafatuh.
243
Ah}mad al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 361.

161
"Tidak ada (yang dapat dijadikan) argumentasi (yang didasarkan) pada hal yang
meragukan (mengandung beberapa kemungkinan)"
2) Sumber sperma dan sumber ovum, yang bisa jadi bukan pasangan suami istri
yang sah, yang masih hidup dan masih dalam ikatan pernikahan. Kerancuan
dalam hal ini akan menimbulkan problematika nasab.
3) Terbukanya aurat vital pasien wanita bagi para tenaga medis dan paramedis244
yang berlainan jenis dan bukan mahram.
Dari ketiga aspek di atas, tampak bahwa para ulama Majma‘ kemudian
memandang aspek kedua dan ketiga adalah signifikan untuk dibahas lebih lanjut.

a. Hubungan Nasab dari Ayah


Selanjutnya para ulama berbeda pendapat mengenai penyebab hubungan
nasab anak kepada ayahnya. Sebagian ulama mengatakan penyebabnya semata-
mata karena akad nikah yang sah dengan ibunya. Jadi, anak yang dikandung dan
dilahirkan oleh seorang istri dinasabkan kepada suaminya, baik persetubuhannya itu
diketahui atau tidak, sebagai langkah kehati-hatian untuk menjaga nasab. Ini adalah
pendapat yang kuat dalam madzhab H{anbali>, Ma>liki> dan Sha>fi‘i>. Mereka
mensyaratkan keabsahan nasab245 dengan berlalunya waktu enam bulan atau lebih
sejak akad nikah.246 Mereka bersepakat247 bahwa persalinan yang dapat melahirkan
bayi hidup248 ialah usia kehamilan sekurang-kurangnya249 6 (enam) bulan.250
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa nasab tidak dihubungkan kepada
pria tersebut kecuali setelah ia melakukan hubungan seksual secara meyakinkan
dengan istrinya, sehingga menjadi ibu dari anaknya. Pendapat ini dipilih oleh Ibn
Taymi>yah dan Ibn al-Qayyim. Ini dipandang sebagai pendapat yang benar dan kuat
alasannya oleh ‘Abdulla>h Ibn Zayd.251
Setelah dipastikan terjadinya hubungan seksual dengan istrinya, maka
setiap bayi yang dikandung si istri itu dihukumi sebagai anak suaminya. Hukum
inipun didasarkan pada prinsip kehati-hatian untuk menjaga nasab. Seandainya
diasumsikan istrinya itu mengandung dari perzinaan, atau dengan cara ghas}ab, atau
karena persetubuhan yang shubhat, maka anak tetap dinasabkan kepada ayahnya

244
Kata "paramedis" (paramedic) ditulis sambung, tidak dipisah. Banyak kalangan
masyarakat masih rancu menganggap paramedis adalah para (sejumlah) tenaga medis
(dokter). Padahal paramedis merupakan suatu istilah tersendiri yang menunjukkan profesi
pembantu dokter (perawat, bidan, dll.).
245
Al-Jas}a>s}, Ah}ka>m al-Qur'a>n, j.V, 218-219.
246
Al-Qurt}u>bi>, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, j.XVI, 128-29.
247
Al-Sarakhshi>, Al-Mabsu>t} (Bayru>t: Da>r al-Ma‘rifah, t.t.), j.VI, 44. Al-Sharbi>ni>,
Mughni> al-Muh}ta>j (Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t.), j.III, 387.
248
Al-Nawawi>, Rawd}ah al-T{a>libi>n (Bayru>t: al-Maktab al-Isla>mi>, 1405H), j.VI, 150.
Ibn Taymi>yah, Fata>wa> Ibn Taymi>yah fi> al-Fiqh, j.XXXIV, 10.
249
Al-Ma>wardi>, Al-H{a>wi> al-Kabi>r (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1414H-
1994M), j.XI, 204.
250
Ibn Muflih}, Al-Mubdi‘ fi> Sharh} al-Muqni‘ (Bayru>t: al-Maktab al-Isla>mi>, 1400H),
j.VIII, 104. Kama>l Ibn Huma>m, Fath} al-Qadi>r (Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t.), j.IV, 362.
251
‘Abdulla>h Ibn Zayd A<lu Mah}mu>d, Al-H{ukm al-Iqna>‘i> fi> Ibt}a>l al-Talqi>h} al-S{ina>‘i>
wa Ma> Yusamma> bi Shatl al-Jani>n, Majma‘ al-Fiqh, vol.2, j.I, 318.

162
yang merupakan suami dari ibunya. Dalam hal ini tidak dipertimbangkan hal-hal
yang berbeda darinya.252
Dari sini dapat dipahami alasan jka pembuahan buatan dengan dua jenis di
atas (yaitu fertilisasi in vitro dan in vivo) disatukategorikan dengannya. Dengan
demikian, anak tersebut adalah anak ayahnya, yaitu suami ibunya yang
mengandung dan melahirkannya. Hukum ini tidak berubah dari kaidah pokok:
253

"Kita menghukumkan pada aspek lahiriah, sedangkan Alla>h menghukumi aspek-


aspek yang tersembunyi".254
Rasu>lulla>h SAW pernah memutuskan hukum itu dalam kasus serupa,
sehingga tidak berlaku hukum seorang pun sesudah hukum Beliau. Ini sebagaimana
sabda Nabi SAW, ‚Anak itu milik fira>sh, sedangkan pezina dihalangi‛.255
Yang dimaksud dengan fira>sh256adalah istri yang berada dalam ikatan
pernikahan dengan suami. Jika ia mengandung, maka janin tersebut dihukumi
sebagai anak suaminya, sebagai upaya untuk menjaga nasab dan kehormatan
pernikahan yang shar‘i>.
Hadis tersebut di atas merupakan nas}s} hukum dalam masalah ini, dan
merupakan landasan bagi kaidah-kaidah fikih yang bersifat umum. Dengan hadis ini
kehormatan pernikahan dan jalur nasab dapat dipelihara. Perselisihan pun selesai
dan mengembalikan perbedaan pendapat kepada ranah ijma>‘ dalam kasus semacam
ini. Tatkala seorang wanita yang bersuami mengandung melalui inseminasi buatan,
implantasi, zina, atau ghas}ab, atau persetubuhan secara shubhat, maka bayi yang
dikandungnya itu milik suami dan istrinya yang mengandung dan melahirkannya. Ia
tidak punya hubungan apapun dengan pria yang melakukan ghas}ab, berzina
dengannya, dan yang diambil spermanya.257
Hadis ini diperjelas maknanya dengan kejadian yang melatarbelakanginya.
Imam al-Bukha>ri> meriwayatkan, bahwa Sa‘d Ibn Abi> Waqqa>s} dan ‘Abd Ibn Zum‘ah
bersengketa di hadapan Nabi SAW mengenai anak budak wanita Zum‘ah. Sa‘d
berkata, ‚Dia anak saudaraku, yaitu ‘Utbah Ibn Abi> Waqqa>s}. Ia bersumpah
kepadaku, ‘Anak budak wanita Zum’ah berasal dariku. Ambillah ia!’‛ Maka aku

252
Ini berdasarkan dalil "al-walad li al-fira>sh", sebagaimana dibahas terdahulu, serta
akan dibahas panjang lebar pada Sub Bab Bank Sperma.
253
Ibn H{ajar al-‘Asqalla>ni>, Talkhi>s} al-H{abi>r fi> Takhri>j Ah}a>di>th al-Ra>fi‘i> al-Kabi>r
(Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1419H-1998M), j.IV, 465.
254
Ini berasal dari beberapa riwayat yang d}a‘i>f, namun terdapat shawa>hid yang
disepakati kesahihannya. Nabi SAW mencontohkan seperti dalam mensikapi kaum
munafiqin adalah berdasarkan yang lahiriyah saja, sedangkan urusan hati diserahkan kepada
Alla>h. Lihat: al-Shawka>ni>, Nayl al-Awt}ar> . Bayru>t (Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t.), j.I, 369.
255
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ah}mad, ‘Abd
al-Razza>q, al-T{abra>ni>, Abu> Ya‘la>, dan al-Bazza>r dari ‘A<’ishah r.a.
256
Istri dalam bahasa Arab disebut fira>sh (pembaringan) karena suami berbaring
padanya saat memenuhi keinginannya, sebagaimana Alla>h mengistilahkan istri dengan
h}arth (ladang) dalam firman-Nya, ‚Istri-istrimu adalah (seperti) ladang tempat kamu
bercocok-tanam.‛ (QS al-Baqarah [2]: 223).
257
‘Abdulla>h Ibn Zayd, Al-H{ukm al-Iqna>‘i> fi> Ibt}a>l al-Talqi>h} al-S{ina>‘i> wa Ma>
Yusamma> bi Shatl al-Jani>n, Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 321.

163
pun mengambilnya. Sementara itu ‘Abd Ibn Zum‘ah berkata, ‘Dia adalah
saudaraku, dan anak budak wanita ayahku. Ia dilahirkan di atas fira>sh ayahku.
Maka Rasu>lulla>h SAW bersabda, ‘Dia milikmu, wahai ‘Abd Ibn Zum‘ah. Anak itu
milik fira>sh, dan pelaku zina dibatasi. Berhijablah darinya, wahai Sawdah!‛ Beliau
SAW memutuskan demikian meskipun terlihat kemiripan wajah anak tersebut
dengan ‘Utbah. Beliau tahu bahwa anak tersebut adalah saudara seayah Sawdah
berdasarkan tampilan fisik.258 Al-Bukha>ri> mencantumkan hadis ini dalam Bab
Menjaga Diri dari Shubhat. Jadi, persetubuhan ‘Utbah terhadap wanita tersebut
tidak mengubah hukum anak.
Sesungguhnya pokok yang keliru akan menghasilkan cabang yang keliru. Ia
tidak bisa diqiyaskan dengan implantasi pohon sesudah ia tumbuh dan besar lalu
dipindahkan ke tempat lain. Keduanya merupakan dua hal yang berbeda.
Inseminasi buatan hanya patut dilakukan pada hewan, dimana sapi betina
dibuahi dengan sperma sapi jantan dengan cara modern, yaitu sperma diletakkan
pada tempat semacam tabung, lalu dimasukkan ke vagina sapi. Apa yang baik
dilakukan pada hewan, belum tentu dianggap baik untuk dilakukan pada manusia,
meskipun perkembangan embrio dari satu fase ke fase berikutnya mirip dengan
embrio manusia. Alla>h berfirman,
‚Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam
tiga kegelapan.‛ (QS al-Zumar [39]: 6)
‚Hai manusia, jika kalian dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur),
maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kalian dari tanah,
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal daging yang menggantung,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak
sempurna, agar Kami jelaskan kepada kalian dan Kami tetapkan dalam rahim, apa
yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan.‛ (QS al-Hajj [22]: 5)
Ayat-ayat Al-Qur’a>n di atas, semakna dengan hadis Nabi SAW yang
diterima dari ‘Abdulla>h Ibn Mas‘u>d:
259

‚Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dihimpun penciptaannya


dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nut}fah. Kemudian ia
menjadi ‘alaqah dalam masa yang seperti itu. Kemudian ia menjadi mud}ghah dalam
masa yang seperti itu. Kemudian Alla>h mengutus satu malaikat kepadanya untuk
meniupkan ruh kepadanya.‛
Pembuahan dengan cara transplantasi embrio tersebut dianggap sebagai
upaya yang zhalim. Ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu> Da>wud dan para
penghimpun kitab al-Sunan, bahwa ada dua orang yang mengajukan gugatan
kepada Nabi Saw. terkait sebidang tanah; yaitu ada seseorang yang menanam

258
Keputusan Nabi SAW dalam hal ini menunjukkan bahwa Beliau berpegang
kepada tetapnya hukum yang sedang berlaku, yaitu status pernikahan antara keduanya atau
staus hamba sahaya dari tuannya.
259
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah,
Ah}mad, al-H{umaydi>, al-T{abra>ni>, Ibn Abi> H{a>tim, Ibn Mandah, dan Ibn Jari>r al-T{abari>.

164
pohon kurma di suatu areal tanah milik orang lain. Rasu>lulla>h SAW memutuskan
bahwa hasil bumi menjadi milik empunya tanah. Beliau bersabda:
260

‚Jerih payah yang zhalim itu tidak menghasilkan hak apa-apa.‛


Pendapat tersebut juga sesuai dengan Al-Qur’a>n al-Kari>m, di mana Alla>h
Ta‘a>la> menyebut istri sebagai tempat bercocok tanam, ‚Istri-istrimu adalah
(seperti) tanah tempat kalian bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kalian kehendaki.‛ (QS al-Baqarah [2]: 223)
Jadi, setiap bayi dinasabkan kepada suami dari ibu yang mengandungnya, karena
bayi tersebut merupakan hasil dari tempatnya bercocok tanam dan dilahirkan di
atas fira>sh (dipan) milik suaminya.
Pada suatu kesempatan, Nabi SAW melewati seorang pria yang sedang
duduk di pintu sebuah tenda, lalu Beliau diberitahu, ‚Pria ini memiliki seorang
budak wanita yang mengandung dari pria lain, lalu ia menikahinya.‛ Nabi SAW
pun bersabda, ‚Aku benar-benar ingin melaknatnya dengan laknat yang ia bawa
masuk kubur. Bagaimana mungkin ia menggauli budaknya itu sedangkan budak itu
tidak halal baginya? Bagaimana mungkin ia menjadikan anak budak itu sebagai
pelayan, sedangkan ia tidak halal baginya? Bagaimana mungkin ia menjadikan anak
budak itu sebagai ahli warisnya, sedangkan ia tidak halal baginya?‛261 Kemudian
Beliau melarang pria tersebut mengairi tanaman orang lain.

b. Hubungan Nasab dari Ibu


Kesimpulannya, seandainya embrio dipindah dengan cara implantasi dalam
fase nut}fah, atau ‘alaqah, atau mud}ghah, lalu ia berkembang dalam perut seorang
wanita yang bersuami hingga ditiupkan ruh padanya dan hingga sempurna masa
kehamilannya lalu ia melahirkan, maka anak tersebut adalah anaknya dan anak
suaminya. Rasu>lulla>h SAW sesungguhnya telah melindungi kita dari kesesatan
pikiran yang banyak dibicarakan orang, sesuai dengan makna umum hadis, ‚Anak
itu milik fira>sh.‛
Ini adalah kaidah umum, sehingga seandainya ibu yang mengandung dan
ayahnya rela untuk memberikan anak tersebut kepada ibu yang tidak mengandung
dan tidak melahirkannya, maka hal itu tidak boleh karena anak tersebut statusnya
merdeka sehingga tidak boleh dihibahkan. Juga karena tindakan itu mengakibatkan
terputusnya anak dari nasab ayah, terutama ibunya yang telah menanggung
kesulitan dan beban berat, mengandungnya dalam keadaan payah dan
melahirkannya dalam keadaan payah. Tindakan ini termasuk tindakan memutus apa
yang diperintahkan Alla>h untuk disambung, dan bisa dikategorikan sebagai
tindakan menghubungkan nasab seorang anak kepada selain ayahnya. Padahal

260
Riwayat Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, al-Nasa>’i>, Ma>lik, al-Da>ruqut}ni>, al-T{abra>ni>, al-
Bazza>r, Abu> Da>wud al-T{aya>li>si>, Ish}a>q Ibn Ra>hawayh, ‘Abdulla>h Ibn Ah}mad, dan Ish}a>q Ibn
Yah}ya>.
261
Hadis ini diterangkan dalam Sub Bab Bank Sperma.

165
dalam hal ini Nabi SAW bersabda, ‚Barangsiapa yang bernasab kepada selain
ayahnya, maka haram surga baginya.‛262
Maksudnya, hubungan seksual tidak memiliki kekuatan apapun ketika
berada di luar status pernikahan, baik itu zina, atau persetubuhan yang syubhat,
atau pemerkosaan, atau transplantasi embrio, atau bentuk-bentuk inseminasi buatan
lainnya. Apapun yang terjadi dari semua itu, anak tetap menjadi milik suami yang
memiliki fira>sh-nya. Sementara itu ibunya yang sebenarnya adalah yang
mengandung dan melahirkannya.
Dalam kasus lain, Nabi SAW mengharamkan adopsi, meskipun Beliau
pernah melakukannya, namun mengharamkan seseorang menghubungkan nasab
dirinya kepada selain ayahnya.263

7. Obyek Hukum pada Kasus Bayi Tabung


Dalam kasus bayi tabung ini yang menjadi obyek hukum bukan pada fisik
janin, melainkan pada sperma yang membuahi ovum, sehingga ia tidak dinamakan
janin, melainkan setelah dibuahi. Ini sebagaimana firman Alla>h, ‚Dia diciptakan
dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.‛ (QS
al-T{a>riq [86]: 6-7)
Alla>h juga berfirman, ‚Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan
begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? Bukankah dia dahulu setetes mani yang
ditumpahkan (ke dalam rahim),kemudian mani itu menjadi ‘alaqah, lalu Alla>h
menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Alla>h menjadikan daripadanya
sepasang: pria dan wanita.‛ (QS al-Qiya>mah [75]: 37-39)
Namun demikian ada kalanya ia gugur, baik dalam tahap nut}fah, atau
‘alaqah, atau mud}ghah, sebagaimana firman Alla>h, ‚Yang sempurna kejadiannya
dan yang tidak sempurna.‛ (QS al-Hajj [22]: 5) Jadi, ia tidak disebut janin sampai
ditiupkan ruh kepadanya.
Secara terminologis dijelaskan bahwa janin adalah anak dalam perut. Akar
makna kata ‚janin‛ ialah tertutup dan tersembunyi. Ia disebut demikian karena ia
tersembunyi. Sebelum mengalami tiga fase perkembangan, embrio dihukumi
seperti mayat hingga ditiupkan ruh padanya. Berkenaan dengan hal itu, kaidah fikih

262
Dalam beberapa riwayat disebutkan pula, bahwa yang bernasab kepada bukan
ayah kandungnya, maka yang bersangkutan mejadi kafir, atau ingkar dengan apa yang
diturunkan kepada Muhammad SAW. Hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bukha>ri>,
Muslim, Ibn Ma>jah, Ah}mad, Abu> ‘Awa>nah, al-Bazza>r, Abu> Ya‘la>, al-Da>su>qi>, ‘Abd al-
Razza>q, Ibn Abi> Shaybah, al-Baghawi>, al-T{ah}a>wi> dalam Mushkil al-A<tha>r, Ibn ‘Asa>kir, al-
Da>rimi>, dan al-T{abra>ni>.
263
Ini berkaitan dengan Nabi SAW yang mengadopsi Zayd Ibn H{a>rithah. Pada
awalnya, para sahabat memanggil Zayd anak angkat Nabi Saw dengan sapaan Zayd Ibn
Muh}ammad, hingga syariat melarang seseorang dinasabkan kepada bukan ayah kandungnya.
Bahkan kemudian turun surah al-Ah}za>b ayat 37 yang membolehkan Nabi SAW menikahi
Zaynab Binti Jah}sh, yaitu janda dari Zayd.

166
menyatakan bahwa barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah
mati itu menjadi miliknya.264
Ada pula yang berpendapat bahwa masalah ini dapat disamakan dengan
kata had}i>nah (pengasuh) sebagai penyebutan terhadap wanita hamil. Akan tetapi
penyebutan ini sama dengan membalikkan fatwa, karena had}a>nah digunakan untuk
obyek bayi atau anak kecil setelah ia lahir dalam keadaan hidup. Adapun selama ia
berada di perut ibunya, maka itu disebut h}aml (kehamilan), sementara ibunya
disebut h}a>mil (wanita yang mengandung), bukan had}i>nah.
Shaykh Mah}mu>d Shaltu>t265 mengatakan yang intinya sebagai berikut:266
"Regenerasi manusia terjadi dari cairan sperma yang keluar lalu sampai di
rahim wanita sehingga memiliki kesiapan untuk berreaksi. Ini sebagaimana firman
Alla>h Ta‘a>la>:‚Dia (manusia) diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari
antara tulang sulbi dan tulang dada.‛ (QS al-T{a>riq [86]: 6-7) dan ‚Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur.‛ (QS al-Insa>n
[76]: 2)
Selanjutnya para ahli fikih menyatakan bahwa kehamilan bisa terjadi
dengan memasukkan sperma ke dalam vagina tanpa melakukan hubungan seksual
yang lazim. Dalam kondisi ini para ulama berpendapat bahwa tetap terdapat
implikasi kewajiban ‘iddah dari hal tersebut, karena hubungan jasmani tidak lain
hanyalah media yang lazim, dimana penciptaan manusia dari cairan yang sempurna
potensi alaminya itu tidak tergantung pada proses yang lazim tersebut.
Inseminasi buatan telah menjadi solusi demi mewujudkan keinginan pasutri
untuk memperoleh anak, sehingga dapat tersalurkan naluri keibuan dan keayahan,
asalkan tidak keluar dari batas. Selain itu, inseminasi buatan juga menjadi cara
untuk memperbanyak jumlah umat Islam.
Dari sini kita dapat menetapkan, bahwa jika pembuahan dilakukan dengan
sperma dari suaminya, maka tindakan ini masih tercakup dalam ranah etika dan
hukum syariat yang dianut oleh masyarakat insani yang utama. Oleh karenanya
dengan kelahiran anak tersebut, kedua orang tua merasa bahwa kehidupannya
berlanjut, sempurna kebahagiaan psikologis dan sosialnya.
Akan tetapi apabila pembuahan dilakukan antara sperma pria dengan ovum
wanita yang tidak terikat pernikahan, maka praktek tersebut justru menjatuhkan
manusia dari derajat manusia ke derajat hewan dan tumbuhan. Setidaknya tiga
ulama besar Mesir memberikan pendapat yang sama dalam hal ini.267
Ah}mad al-Sharbas}i>268 mengatakan:"Syariat membolehkan pembuahan
buatan antara pasutri, tetapi syariat tidak membolehkannya antara wanita dan pria
yang bukan pasangan suami istri."

264
Para ulama telah ijma>‘ tentang disyariatkannya menghidupkan tanah yang mati.
Pada umumnya mereka menghukumkan kepemilikan tanah kepada siapa saja yang
menghidupkan tanah tersebut.
265
Shaykh Mah}mu>d Shaltu>t (23 April 1893”13 December 1963), pernah menjadi
Shaykh al-Azhar pada tahun 1958 s.d. 1963 pada era pemerintahan Gamal Abdel Nasser.
266
‘Abdulla>h al-Bassa>m, At}fa>l al-Ana>bi>b, Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 252.
267
‘Abdulla>h al-Bassa>m, At}fa>l al-Ana>bi>b, Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 254.
268
Guru besar akidah, filsafat, dan syariah di Universitas Al-Azhar.

167
Muh}ammad ‘Abdulla>h269 mengatakan:"Pembuahan buatan bertentangan
dengan kaidah us}u>l dan etika yang bertumpu pada agama. Agama tidak
memperkenankan rahim seorang wanita ditempati benih selain benih suaminya.
Namun pada sisi lain, bayi yang lahir dari inseminasi buatan dianggap sebagai anak
yang sah secara shar‘i> sesuai dengan kaidah yang mengatakan bahwa anak itu milik
pria yang memiliki tali pernikahan. Inseminasi buatan tidak dianggap sebagai zina
dari segi kejahatannya karena di dalamnya tidak ada unsur hubungan seksual yang
merupakan merupakan faktor utama dalam pidana zina, meskipun inseminasi
buatan tersebut bisa dianggap sebagai tindakan merusak kehormatan."
Shaykh H{asanayn Makhlu>f270 mengatakan: "Sejak beberapa tahun ini aku
sering ditanya tentang sperma pria yang diambil lalu diletakkan dalam rahim
istrinya yang sah, bukan melalui cara persetubuhan. Beberapa lama kemudian,
wanita tersebut merasakan adanya janin dalam perutnya, hingga berlalu sembilan
bulan dan beberapa hari sampai ia pun melahirkan seorang anak yang sempurna
secara fisik dan gerakannya. Apakah anak ini dihubungkan nasabnya kepada pria
tersebut?‛
Jawabnya: "Janin ini berasal dari sperma suaminya yang sah secara shar‘i>
dan diciptakan dalam rahimnya hingga ia melahirkannya dalam keadaan hidup.
Dengan demikian, anak tersebut dihubungkan nasabnya secara syariat kepada
ayahnya, yaitu suami tersebut, sebagaimana anaknya itu dihubungkan kepada
wanita tersebut sebagai ibunya. Tidak ada perbedaan antara anak tersebut dengan
anak yang dihasilkan melalui hubungan seksual dan tumbuh di rahimnya hingga
masa persalinan."
Pertanyaan dan jawaban tersebut telah dimuat di berbagai media massa
Mesir sejak bayi tabung ramai dibicarakan masyarakat. Jawaban ini tidak
menyoroti hakikat bayi tabung serta berbagai penelitian dan pemberitaan di
seputarnya. Yang utama dalam berbagai pemberitaan itu ialah menjelaskan hukum
syariat terkait nasab.
Yu>suf al-Qarad}a>wi> mengatakan: "Islam sangat memelihara nasab, oleh
karena itu mengharamkan zina dan adopsi.271 Dengan demikian keluarga terjaga
dari unsur-unsur asing. Apa yang dikenal dengan istilah inseminasi buatan
hukumnya haram, bilamana pembuahan dilakukan dengan sperma selain suaminya.
Bahkan ini dianggap sebagai kejahatan yang keji dan dosa besar. Ia satu kategori
dengan zina karena substansi dan hasilnya sama, yaitu menaruh sperma pria dengan
sengaja pada kemaluan wanita yang antara keduanya tidak ada hubungan
perkawinan yang shar‘i. Seandainya bukan karena ketidaklengkapannya sebagai
satu bentuk kejahatan, maka hukum pembuahan dalam kasus tersebut sama dengan
hukum zina yang telah diharamkan syariat Ila>hi> dan kitab-kitab sama>wi>.
Pembuahan buatan yang dilakukan dengan sperma pria yang bukan suami,
maka tidak diragukan lagi bahwa tindakan tersebut lebih mungkar daripada adopsi.
269
Mantan Jaksa Agung Mesir.
270
Shaykh H{asanayn Makhlu>f, mantan Mufti Mesir.
271
Namun demikian, adopsi secara sah diakui oleh banyak negeri-ngeri muslim.
Para pemerintahan Negara-negara tersebut mengambil dari sistem etika dan peradilan
Barat, sehingga mensahkannya secara hukum positif.

168
Hal ini karena anak hasil pembuahan buatan itu menyatukan dua aspek. Yaitu
memasukkan unsur yang asing ke dalam nasab, serta keserupaannya dengan zina,
yaitu sama-sama tidak diakui oleh syariat dan undang-undang. Selain itu pula
menjatuhkan manusia dari derajat insani yang utama kepada derajat hewani yang
tidak memiliki perasaan terhadap hubungan sosial yang mulia."272
Sementara itu Mus}t}afa> al-Zarqa>' memberikan dua catatan penting dalam
hal ini, yaitu:273
Pertama, seputar hubungan pencapaian ilmiah dalam inseminasi buatan
dengan iman dan atheisme. Pada sekitar akhir tahun 60-an dilansir berita pertama
tentang keberhasilan beberapa dokter Inggris melakukan pembuahan pada ovum
dengan sel sperma dalam sebuah cawan laboratorium, yang kemudian hasil
pembuahan ini memperbanyak diri dan berkembang dengan cara pembelahan sel
seperti biasa. Pada saat itu kaum atheis di berbagai tempat bersorak sorai
menyambut keberhasilan ini. Mereka mengira bahwa ini merupakan kemenangan
telak atheisme atas iman dengan bukti-bukti empirik dan eksperimen ilmiah.
Padahal pembuahan di laboratorium tersebut belum sampai kepada fase
menanam embrio ke dalam rahim. Apa yang telah dicapai dalam hal ini bukanlah
suatu keberhasilan menakjubkan yang dapat menjadi argumen kelompok atheis dan
materialis274 untuk meniadakan keberadaan Alla>h yang menciptakan kematian dan
kehidupan. Sampai batas yang paling jauh, ia hanya menyerupai kasus telur ayam
yang dieram di bawah kedua sayapnya lalu menetas. Jadi, manusia sebenarnya
hanya diberi media lain yang sesuai untuk melakukan ‘penetasan’. Perbedaan utama
antara dua kasus tersebut adalah telur ayam dibuahi ayam jantan dengan cara yang
normal di organ seks ayam betina sebelum ia menelurkannya. Dalam keberhasilan
saintis yang baru ini, pembuahan terhadap sel ovum oleh sel sperma terjadi di luar
tubuh wanita, yaitu pada media artifisial yang kondusif untuk terjadinya
pembuahan dan memulai perkembangan. Permulaan kehidupan akan tetap
tergantung pada perbuatan Sang Pemberi kehidupan.
Kedua, wajib digarisbawahi bahwa kasus-kasus pembuahan buatan secara
in vivo maupun ex vivo,275 semua penerapannya mengharuskan penyingkapan aurat
wanita di hadapan dokter yang bukan mahramnya, baik pria maupun wanita.
Hal ini memunculkan pertanyaan berikutnya: Apakah terapi untuk
mengatasi kemandulan pada wanita membolehkannya untuk membuka aurat? Di
antara kaidah shar‘i>yah yang disepakati276 para imam fikih adalah bahwa keadaan

272
‘Abdulla>h Ibn Zayd, Al-H{ukm al-Iqna>‘i> fi> Ibt}a>l al-Talqi>h} al-S{ina>‘i> wa Ma>
Yusamma> bi Shatl al-Jani>n, Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 313-314.
273
Pendapat Shaykh Mus}t}afa> al-Zarqa>' yang disampaikannya pada diskusi (al-‘arad}
wa al-muna>qashah) dalam Mu'tamar Majma‘ ke-2. Lihat: Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II,
j.I, 360-362.
274
Ungkapan kelompok materialis di sini merujuk kepada prinsip bahwa segala
sesuatu yang ada hrus rasional dan empirik, dan tidak ada sesuatupun di luar yang empirik
tersebut.
275
Ex vivo sama artinya dengan in vitro.
276
Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, j.I, 118. Al-Suyu>t}i, Al-Ashba>h wa al-
Naz}a>’ir, 60.

169
darurat mengakibatkan larangan-larangan menjadi boleh.277 Demikian pula
kesepakatan berikutnya dari para ahli us}u>l al-fiqh278 ialah bahwa kebutuhan itu
sama kedudukannya dengan darurat.279 Salah satu bentuk penerapan kaidah ini
adalah pemeriksaan dan terapi yang sedemikian rupa sehingga membolehkan untuk
membuka aurat sebatas kebutuhan saja.280 Hal itu telah dinyatakan secara tegas
oleh para ulama fikih281 dari berbagai mazhab. 282
Mayoritas ulama kontemporer yang mengkaji dan menjawab masalah
inseminasi buatan dengan metode bayi tabung ini adalah para guru besar dari
fakultas syariah atau para mufti. Mereka semua sepakat bahwa cara ini dibolehkan.
Hanya sedikit ulama yang terlalu berhati-hati dan ragu dalam membolehkannya.
Yang dilarang ialah kasus-kasus dimana kedua benih atau salah satunya berasal dari
donor.
Adapun Mus}t}afa> al-Zarqa>' masih meragukan kebolehannya, meskipun
tampaknya secara prinsipil dibolehkan shara‘. Keraguan tersebut berawal dari tiga
aspek, yaitu:
a. Aspek kesamaran hasil-hasil eksperimen tersebut dalam hal kondisi masa depan
anak yang dihasilkannya. Ada kemungkinan meningkatnya angka kelainan
bawaan akibat metode inseminasi buatan yang di luar cara kehamilan alami.
Hal ini tidak bisa diungkap sebelum dilakukannya banyak eksperimen dalam
jangka panjang.283 Selain itu, ada kemungkinan metode ini mengakibatkan
resiko-resiko penyakit lain yang tidak bisa dijamin keamanannya.
b. Probabilitas metode ini akan menjadi sarana untuk merusak dan menimbulkan
keraguan terhadap nasab, yang dalam Islam dijadikan fondasi pembentukan
keluarga dan hak-hak shar‘i> secara individu, serta status mahram berdasarkan
pertalian darah dan perbesanan. Hal itu karena dengan metode pembuahan
buatan eksternal, maka nasabnya mengikuti pernyataan dokter bahwa ia
melakukan pembuahan yang bersumber dari benih pasutri. Ini tentu saja
memperluas ruang keraguan, karena bisa jadi dokter keliru membedakan antara
satu cawan dengan cawan lain.284 Atau karena ia menuruti keinginan seorang

277
Kaidah tersebut ialah " ". Lihat: Ah}mad Ibn Muh}ammad
al-Zarqa>', Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 185.
278
Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, j.I, 126. Al-Suyu>t}i, Al-Ashba>h wa al-
Naz}a>’ir, 62.
279
Kaidah tersebut ialah " ". Lihat: Ah}mad al-Zarqa>', Sharh}
al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 209.
280
Tindakan tersebut merujuk kepada kaidah fikih " ". Lihat:
Ah}mad Ibn Muh}ammad al-Zarqa>', Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 187.
281
Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, j.I, 119.
282
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, 60.
283
Eksperimen dalam bidang medis maupun suatu metode diagnostik dan terapi
medis, kadang-kadang baru diketahui efek sampingnya setelah 20 tahun atau satu generasi.
284
Saat ini adalah sangat kecil sekali kemungkinan tertukar antara cawan petri yang
satu dengan yang lain di laboratorium. Hal ini karena ketatnya quality control serta SOP
yang ada, baik secara manual maupun komputerisasi.

170
wanita yang ingin menjadi ibu karena suatu alasan,285 lalu dokter itupun
menyiapkan untuknya embrio yang tersedia dalam laboratorium dari individu
wanita lain. Dan masih banyak lagi kemungkinan lain, yang semua itu
bergantung kepada kejujuran dokter.
c. Bahwa setiap inseminasi buatan mengharuskan penyingkapan aurat wanita.
Hanya saja dalam analisa al-Zarqa>' tentang hal ini, sampai kepada kesimpulan
bahwa larangan ini bisa dikesampingkan karena kebutuhan wanita untuk
menjadi ibu dan maslahat yang disyariatkan. sehingga menjadikan larangan ini
diperbolehkan.

Kendati pertimbangan terhadap larangan ketiga ini dapat dikesampingkan,


namun masih ada dua faktor sebelumnya yang cukup untuk mengambil sikap hati-
hati serta menimbulkan keraguan yang besar mengenai kebolehan metode
pembuahan buatan ini. Oleh karena itu, sisi yang kuat adalah yang secara
substansial melarangnya. Metode ini tidak boleh diterapkan kecuali dalam tingkat
darurat yang paling maksimal, atau karena adanya kebutuhan yang sangat manakala
pasutri tidak memiliki anak. Selain itu, dokter yang menangani harus terpercaya.

8. Dasar Pertimbangan Majma‘


Penulis telah menganalisa pembahasan fikih secara panjang lebar di atas
berikut alasan dari keputusan Majma‘ dalam hal ini. Para anggota Majma‘ maupun
notulen mu'tamar tidak menyebutkan sama sekali metodologi us}u>l al-fiqh apa yang
mereka gunakan dalam pembahasan masalah ini. Menurut penelitian penulis, paling
tidak ada tiga determinan yang menjadi pertimbangan Majma‘ sejak pembahasan
fikih hingga keputusan (qara>r) Majma‘:

a. Status hukum asal inseminasi buatan dan bayi tabung.


Keputusan Majma‘ diambil setelah melalui serangkaian diskusi yang
mendalam. Diantaranya ialah mendengar uraian ‘Ali al-Ba>rr, ‘Abdulla>h Ba>salamah
dan sejumlah dokter lainnya. Para anggota Majma‘ memandang adanya manfaat
dalam tindakan medis tersebut yang tidak dapat dipungkiri. Kemajuan teknologi
kedokteran dalam bidang inseminasi buatan, khususnya bayi tabung adalah hal
yang layak untuk disambut positif oleh para ulama.286 Program bayi tabung menjadi
solusi bagi pasutri yang sangat merindukan anak namun mengalami kendala-
kendala pada organ reproduksi wanita.287 Oleh karena itu mereka sepakat

285
Kemungkinan ini hampir mustahil terjadi, mengingat bahwa tindakan tersebut
melanggar etika kedokteran dan termasuk tindak pidana.
286
Majma‘ al-Buh}u>th al-Isla>miya>h bi al-Azhar al-Shari>f mensyaratkan bahwa
keputusan untuk menggunakan metode bayi tabung harus diputuskan oleh minimal 3 (tiga)
dokter yang terpercaya. Lihat: "At}fa>l al-Ana>bi>b", Ama>nah Mawqi>‘ al-Fiqh al-Isla>mi>.
http://islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=3206. Diakses pada 29 Juli 2014.
287
Shaykh S{a>lih} Ibn Fawza>n al-Fawza>n lebih memilih alternatif solusi dengan
berpasrah kepada Alla>h atau (seraya dengan cara) berpoligami. Lihat:
http://forum.z4ar.com/ f8/t215087.html. Diakses pada 29 Juli 2014.

171
membolehkan bayi tabung, apabila sumber sperma dan ovum berasal dari pasutri
yang masih dalam ikatan pernikahan yang sah.
Kebolehan dalam masalah keduniaan seperti di atas mengacu kepada
kaidah bara>’ah al-as}li>yah, yaitu sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya, maka
perbuatan tersebut tetap diperbolehkan.288 Kaidah tersebut merupakan bagian dari
metode al-istis}h}a>b. Kebolehan tersebut didasari oleh status hukum ja>'iz bagi
tindakan medis ini, bahkan bisa menjadi sunnah yang sangat dianjurkan bagi setiap
muslimin yang mengalami problem infertilitas.

b. Utilitas inseminasi buatan dan bayi tabung.


Patut diakui bahwa tampak jelas terdapat kemaslahatan pada program bayi
tabung. Dalam hal ini kemaslahatan didefinisikan sebagai sebab yang dapat
mendorong kepada sesuatu yang baik dan bermanfaat,289 sebagaimana pendapat
Najm al-Di>n al-T{u>fi> (w. 716 H./1316 M).290 Kemaslahatan tersebut ialah berupa
terwujudnya keinginan memiliki anak dari pasutri yang selama ini mereka
menderita karena belum punya keturunan setelah bertahun-tahun dalam pernikahan.
Dalam pada itu, terdapat sejumlah anggota Majma‘, seperti ‘Abdulla>h al-
Bassa>m dan Must}afa> al-Zarqa>’, yang meninjau masalah medis tersebut dari sisi
filosofis. Mereka memandang bahwa inseminasi buatan merupakan salah satu jalan
keluar dalam masalah infertilitas, selain bahwa salah satu tujuan utama dan kunci
kebahagiaan pernikahan ialah adanya anak. Hal ini pada gilirannya akan
memperbanyak regenerasi umat Islam.
Namun demikian kemaslahatan yang dimaksud dalam inseminasi buatan
dan program bayi tabung, tidak dapat disandarkan kepada suatu nas}s} yang tegas
tentang perintah untuk mempunyai anak, baik dalam Al-Qur’a>n maupun Hadis
Nabi SAW. Sebagian nas}s} menunjukkan bahwa memiliki anak adalah karunia dan
harapan sesorang. Akan tetapi terdapat pula nas}s} yang menujukkan bahwa anak-
anak merupakan batu ujian, bahkan fitnah bagi kedua orangtuanya. Selain itu
memiliki anak bukanlah kewajiban suatu rumah tangga.
Oleh karenanya, kemaslahatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai
mas}lah}ah mu‘tabarah, juga tidak termasuk mas}lah}ah mulghah. Penulis
berkesimpulan bahwa t}ari>q al-istinba>t} yang mereka gunakan ialah dengan cara
mas}lah}ah mursalah, yaitu suatu metode us}u>l al-fiqh yang digunakan tatkala seorang
mujtahid memandang suatu perbuatan tertentu dapat diambil manfaat yang lebih
utama, sementara itu tidak ada satu aspekpun yang dapat menafikannya dari segi
shara‘.291

c. Faktor dan alasan pengharaman inseminasi buatan dan bayi tabung.


Kemaslahatan yang ingin diraih tersebut, dibatasi oleh beberapa faktor
yang telah sepakat diharamkan oleh para ulama anggota Majma‘, dan kemudian

288
Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>'ir, j.I, 89.
289
Muh}ammad Mus}t}afa> Shalabi>, Ta‘li>l al-Ah}ka>m, 278.
290
H{usayn H{a>mid H{isa>n, Fiqh al-Mas}lah}ah wa Tat}bi>qa>tuh al-Mu‘a>s}irah, 12.
291
Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 35.

172
menjadi keputusan Majma‘. Larangan tersebut ialah inseminasi buatan yang
menggunakan sperma dan/atau ovum dari bukan pasangan suami istri yang sah,
termasuk cerai hidup ataupun cerai mati. Termasuk diantara yang secara tegas
mengharamkannya ialah Zakari>ya al-Birri> dan Nu‘aym Ya>si>n dari Nadwah al-Inja>b
Kuwayt, yang memberikan masukan dalam mu'tamar Majma‘ tersebut.292
Adapun alasan keharaman tersebut menjadi bahan perbincangan ulama
Majma‘. Ada ulama yang mengkategorikannya sebagai zina, sebagaimana pendapat
Yu>suf al-Qarad}a>wi>.293 Pendapat tersebut perlu dikritisi lebih lanjut. Hal ini karena
apabila dianalisa lebih lanjut, maka ‘illat294 berzina berbeda dengan kasus
inseminasi buatan ini. ‘Illat hukum zina ialah bertemunya kelamin laki-laki dan
wanita yang tidak halal baginya, sebagaimana ditunjukkan oleh hadis Nabi SAW:
295

"…maka zina mata ialah melihat, zina lisan ialah pembicaraannya, (zina) psikologis
ialah angan-angan dan keinginan, sedangkan kemaluanlah yang akan membuktikan
kebenaran atau kedustaannya".
Peristiwa dalam hadis di atas tidak terjadi pada kasus ini, sehingga tidak
ada ‘illat yang tepat untuk bisa dilakukan qiya>s terhadap perbuatan zina.296 Para
ulama memandang ada faktor-faktor lain yang merupakan hikmah diharamkannya
zina, yaitu antara lain menjaga kebersihan fitrah manusia, menjaga keutuhan rumah
tangga, memuliakan wanita, mencegah penyakit kelamin, dan menjaga kejelasan
nasab.
Dari faktor-faktor di atas, maka yang kiranya relevan dengan kasus ini ialah
adanya ketidakjelasan atau percampuran nasab, yang pada gilirannya akan
membawa kerusakan nasab dan kesimpangsiuran sahnya pernikahan dari generasi
ke generasi.297 Hal ini karena tidak diketahui apakah kelak seorang pria menikahi
wanita yang memang halal untuknya. Di sinilah perlunya tindakan preventif agar
prosedur inseminasi buatan dan bayi tabung tidak melenceng ke arah yang negatif.
Pengambilan keputusan fikih secara preventif, dikenal dalam us}u>l al-fiqh sebagai
metode sadd dhari>‘ah.
Oleh karena tidak bisa dikenakan hukum zina, maka ada sejumlah ulama
yang memandangnya sebagai dosa besar, namun tidak setara dengan zina, seperti

292
‘Ali> al-Ba>rr, Al-Talqi>h} al-S{ina>‘i wa At}fa>l al-Ana>bi>b, Majallah Majma‘ al-Fiqh,
vol.II, j.I, 284.
293
Diantara ulama kontemporer yang berpendapat bahwa perbuatan tersebut zina,
ialah Shaykh ‘At}i>yah S{aqr dalam Fata>wa> al-Azhar j.X, 32 tahun 1997. Lihat: Lihat: "At}fa>l
al-Ana>bi>b", Ama>nah Mawqi>‘ al-Fiqh al-Isla>mi>. http://islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?
NewsItemID=3206. Diakses pada 29 Juli 2014.
294
Lihat halaman 45.
295
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, Ah}mad, Ibn Khuzaymah, Ibn H{ibba>n,
al-H{a>kim, al-Bayhaqi>, Ish}a>q Ibn Ra>hawayh, Abu> Ya‘la>, al-Khat}i>b al-Baghda>di>, Ibn Abi>
‘A<s}im, al-Bagha>wi>, al-T{ah}a>wi>, Abu> Zur‘ah, ‘Abd al-Razza>q al-S{an‘a>ni>, al-Khara>'it}i>, Abu> al-
Faraj Ibn al-Jawzi>, al-Wa>h}idi>, Ibn Jari>r al-T{abari>, ‘Ali> Ibn Ja‘d al-Jawhari>, Ibn al-A‘ra>bi>,
Abu> al-Qa>sim Ibn Bashra>n.
296
Lihat halaman 43.
297
Lihat halaman 162-166.

173
pendapat Muh}ammad ‘Abdulla>h. Kesimpulan mereka dalam hal ini paling tidak
bersandar kepada tiga t}ari>q al-istinba>t}, yaitu:
1) Berdasarkan nus}u>s} yang jelas dan tegas dalam Al-Qur’a>n maupun Hadis
tentang nasab bagi keturunan yang dihasilkan dari suatu pernikahan. Darinya
para fuqaha>’ mengambil jalan qiya>s dengan ‘illat hukum pada benih keturunan
yang bersumber dari pasutri ataukah bukan. Benih keturunan proses
embriologis manusia disebutkan dalam Al-Qur’a>n dengan istilah mani>, ma>’
da>fiq, nut}fah, ataupun nut}fah amsa>j.
2) Berpegang kepada metode sadd al-dhari>‘ah298 dengan berpedoman kepada
kaidah dar‘ al-mafa>sid muqaddam ‘ala> jalb al-mas}a>lih},299 di mana pertimbangan
menghindari mafsadat didahulukan daripada mengambil manfaat.300 Secara
sosiologis, inseminasi buatan yang berasal dari sperma dan ovum yang bukan
pasutri, akan sangat merusak tatanan keluarga. Padahal keluarga merupakan
penopang kejayaan suatu bangsa.
3) Berdasarkan qiya>s kepada penyusuan, meskipun penggunaan metode qiya>s
dalam kasus ini dibantah oleh sebagian anggota Majma‘. Akan tetapi apabila
metode berpikir tersebut dapat diterima, maka ini termasuk kepada qiya>s khafi>,
yang dimaknai oleh sebagian ahli us}u>l sebagai salah satu pengertian dari
istih}sa>n.301
Konklusinya ialah mereka sepakat akan keharamannya, namun tidak dapat
dikenakan sanksi fisik (h}add) perzinaan bagi pelakunya.

d. Problematika inseminasi buatan pada rumah tangga poligami.


Selanjutnya para ulama berselisih pendapat tentang penerapan inseminasi
buatan dan bayi tabung pada rumah tangga poligami. Tepatnya ialah mengenai bayi
tabung yang bersumber dari sperma dan ovum dari pasutri, yang kemudian
diimplantasikan ke dalam rahim istri yang lain dari suami yang sama. Ulama yang
melarangnya antara lain beralasan bahwa jika si ibu yang mengandung tersebut
juga mengandung anak dari ovumnya sendiri. Lalu lahirlah anak kembar, maka
masing-masing bayi itu menjadi rancu dinasabkan kepada ibu yang mana. Majma‘
akhirnya memutuskan bahwa ini merupakan salah satu cara yang dilarang. Dari hal
itu tampak bahwa kekuatiran akan kerancuan nasab ibu yang menjadi penyebab
keharamannya. Cara pengambilan keputusan yang bersifat preventif semacam ini,
disebut pula dengan metode sadd al-dhari>‘ah.302

298
Fatwa-fatwa para ulama kontemporer berpedoman kepada metode sadd al-
dhari>‘ah, ketika mengharamkan bayi tabung yang bersumber bukan dari bibit pasutri.
Diantara mereka ialah Shaykh Muhammad Ratib al-Nabulsi. Lihat:
- , http://www.nabulsi.com/blue/ar/art.php?art=9077&id=1249&sid=
1251 1&ssid=1341&sssid=1342. Diakses pada 29 Juli 2014.
299
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, j.II, 386-391.
300
Al-Qara>fi>, Al-Furu>q, j. II, 61. Al-Qara>fi>, Sharh}} Tanqi>h} al-Fus}u>l, 352.
301
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, Mas}a>dir al-Tashri>‘ al-Islami> fi>ma> La> Nas}s} fi>h, 70.
302
Pengertian terminologis kata sadd al\-dhara>’i‘ ialah ‚penghalang bagi sampainya
kepada kerusakan apabila suatu perbuatan berujung kepada kerusakan‛. Lihat: Al-Mans}u>}r,
Us}u>l al-Fiqh, j. II, 481.

174
Seiring dengan kemajuan teknologi medis, kesimpulan Majma‘ dalam hal
ini perlu dikritisi dan dilakukan peninjauan kembali (i‘a>dah al-naz}ar). Hal ini
karena sekarang ini melalui pemeriksaan DNA, sudah dapat diketahui asal usul
seorang bayi dari keturunan siapa, sehingga dapat dieliminir adanya kekuatiran
percampuran nasab ibu pada kasus bayi kembar dalam pernikahan poligami.
Pada sisi lain, mereka pun sepakat bahwa anak yang dilahirkan dalam suatu
ikatan pernikahan, dinasabkan kepada pasutri tersebut, meskipun bisa jadi anak
tersebut mirip orang lain. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh para fuqaha>’
mazhab H{anbali>, Ma>liki> dan Sha>fi‘i>, serta oleh para fuqaha>’ masa kini seperti
Ah}mad al-Sharbas}i>, Muh}ammad ‘Abdulla>h, dan H{asanayn Makhlu>f berdasarkan
kepada nas}s} Al-Qur’a>n dan Hadis.

e. Tenaga medis dan paramedis pria pada penatalaksanaannya.


Problem berikutnya yang dibahas Majma‘ ialah tentang tenaga medis dan
paramedis laki-laki yang berperan pada prosedur inseminasi buatan dan bayi
tabung. Sebagian anggota Majma‘, seperti Must}afa> al-Zarqa>’, berpendapat bahwa
antara terapis dan pasien haruslah berjenis kelamin sama. Dengan perkataan lain,
perbedaan jenis kelamin antara terapis dan pasien adalah haram.303 Oleh karenanya
untuk menghukumkan kebolehannya, harus terpenuhi unsur-unsur yang menjadi
penghalang (ma>ni‘)304 diberlakukannya hukum asal tersebut. Untuk itu, adanya
kebutuhan yang harus dijalani dalam rangka terapi infertilitas ini menjadi ma>ni‘
atas keharamannya, dimana para fuqaha>’ mempertimbangkan sejumlah kaidah
fikih, seperti :
305

"Apabila telah tidak ada lagi penghalang (yang membolehkan sesuatu yang
tadinya terlarang ”pen.), maka hukumnya kembali menjadi dilarang".306
Al-Zarqa>’ dan yang sependapat dengannya, menekankan pentingnya
memperhatikan perbedaan jenis kelamin antara dokter dengan pasiennya. Hal ini
karena terapi pembuahan buatan haruslah membuka aurat vital wanita. Mereka
berpendapat bahwa diwajibkan untuk mendahulukan dokter wanita dibandingkan
dengan dokter pria. Namun apabila ini tidak dapat dihindari, maka para fuqaha>’
sepakat membolehkannya karena ada kebutuhan mendesak yang lebih penting (al-
h}a>jah), yaitu ditanganinya proses oleh tenaga medis yang profesional dan proses
berjalan sesuai prosedur yang berlaku. Metodologi us}u>l al-fiqh yang digunakan

303
Membuka aurat pasien dalam hal ini oleh dokter pria tanpa danya keperluan
yang mendesak, merupkan perkara yang ditekankan keharamannya sejumlah ulama
kontemporer. Diantara meeka ialah Shaykh Muh}ammad Ibn al-‘Uthaymi>n. Lihat: -- Majmu>‘
Fata>wa> al-Shaykh al-‘Uthaymi>n j.XVII, 27-28. Dikutip dari "At}fa>l al-Ana>bi>b", Ama>nah
Mawqi>‘ al-Fiqh al-Isla>mi>. http://islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=3206.
Diakses pada 29 Juli 2014.
304
Ma>ni‘, yaitu suatu keadaan yang menghalangi diberlakukannya suatu hukum
fikih. Dalam ilmu us}u>l al-fiqh, kategori ma>ni‘ termasuk dalam hukum wad}‘i>.
305
Ah}mad al-Zarqa>', Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 191.
306
Terdapat pula kaidah dengan redaksi yang berbeda, yaitu " ",
namun memeiliki arti yang sama. Lihat: Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, j.I, 119.

175
dalam penentuan semacam ini ialah mas}lah}ah mursalah. Dalam hal ini dengan
alasan untuk meraih kemaslahatan sekunder (al-mas}lah}ah al-h}a>ji>yah).307
Dari kaidah-kaidah di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum melihat aurat
lain jenis tersebut akan kembali haram, setelah tidak ada lagi keperluan yang
mendesak, yang dalam hal ini ialah rangkaian terapi infertilitas.
Akan tetapi, apabila kita menilik dari aspek sejarah kedokteran dan
kesehatan, maka hal tersebut telah dimaklumi oleh para fuqaha>', sehingga
berlangsung dari dari generasi ke generasi dan dari zaman ke zaman. Bahkan sejak
era sahabat Nabi SAW yang merupakan generasi pertama umat ini, para wanita
yang dapat diekuivalenkan dengan perawat pada masa kini, membantu perawatan
para mujahidin yang terluka ketika peperangan.308 Secara umum, perbedaan jenis
kelamin antara terapis dengan pasien tersebut, dapat dikategorikan sebagai al-‘urf
atau lebih tepatnya ‘urf ‘amali>, yang berlaku di dunia medis dan diterima
masyarakat secara luas. 309
Secara umum dapat disimpulkan bahwa, metode penetapan hukum yang
digunakan Majma‘ dalam masalah ini, ialah mendahulukan atau membolehkan
mengambil kemanfaatan sepanjang hal tersebut tidak mengandung kerusakan atau
kerugian. Kerusakan yang dimaksud ialah mencakup kerusakan akidah, terjatuh
kepada syubhat atau haram, ataupun kerusakan yang bersifat fisik dan material.
Selain itu juga digunakan pertimbangan preventif terhadap tindakan-tindakan
medis yang diprediksikan akan membawa kerusakan lebih besar dibanding
manfaatnya.

307
Para ulama mendefinisikan maslahat peringkat kedua ini sebagai:

‚Ia diperlukan oleh manusia untuk meniadakan kesulitan saja; apabila mas}lah}ah ini tidak
ada, susunan kehidupan manusia tidak mad}a>ra>t, tetapi manusia akan mengalami
kesengsaraan dan kesulitan.‛ Lihat: Sa‘i>d al-Khinn, Athar al-Ikhtila>f, 489.
308
Diantara mereka ialah Umm Kulthu>m Binti ‘Ali> Ibn Abi> T{a>lib dan istri ‘Umar
Ibn al-Khat}t}a>b, S{afi>yah Binti ‘Abd al-Mut}t}alib, Rumays}a Umm Sulaym Binti Milh}an,
Rufaydah Binti Sa‘d al-Aslami>yah al-Khazraji>yah.
309
Al-‘Urf dalam hal ini ialah sebagaimana yang didefinisikan oleh Abu> Zahrah dan
al-Khayya>t}. Abu> Zahrah mendefinisikan ‘urf sebagai ‚muamalah yang telah dibiasakan di
kalangan masyarakat dan urusan mereka berjalan dengan mengikutinya‛. Adapun ‘Abd al-
‘Azi>z al-Khayya>t} dalam bukunya Naz}ari>yah al-‘Urf mendefinisikan ‘urf sebagai ‚sesuatu
yang telah dibiasakan dan diikuti manusia dalam menjalankan berbagai urusan kehidupan
mereka‛. Lihat: Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh, 273. Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 168.

176
H. Keputusan Majma‘ al-Fiqh tentang Inseminasi Buatan dan Bayi Tabung310

Menghadapi berbagai sudut pandang dalam pembahasan bayi tabung ini,


maka keputusan (qara>r) Majma‘ al-Fiqh pada Mu'tamar Majma‘ al-Fiqh ke-2,
dalam hal ini ialah berupa Rekomendasi (taws}i>yah) no.5 (2/5) yang berbunyi:311
1. Mensegerakan untuk melanjutkan pembahasan lebih mendalam pada rapat
Majma‘ berikutnya.
2. Menugaskan kepada Shaykh Dr. Bakr Abu> Zayd, Ketua Majma‘, untuk
mempersiapkan pembahasan, baik dari sisi fiqh maupun medis.
3. Mengingatkan kepada seluruh anggota untuk mempersiapkan diri paling tidak 3
(tiga) bulan sebelum pertemuan berikutnya.

Adapun keputusan final baru diambil dalam Mu'tamar Majma‘ al-Fiqh ke-3
di Amman, yaitu Keputusan (qara>r) no.16 (3/4) yang berbunyi:312
1. Lima langkah berikutnya ini adalah diharamkan secara shar‘i> dan dilarang keras
secara substansial, yang disebabkan bercampurnya nasab, hilangnya naluri
keibuan dan lain-lainya yang termasuk larangan shar‘i> :
a. Mencampur dua benih dari sperma suami dan sel telur dari wanita yang
bukan istrinya, kemudian menanamkan zigot (benih perpaduan) tersebut di
rahim istrinya.
b. Mencampur dua benih dari sperma seorang pria yang bukan suaminya dan
sel telur dari istrinya, kemudian menanamkan zigot tersebut di rahim
istrinya.
c. Mencampur dua benih dari sperma suami dan sel telur dari istrinya,
kemudian menanamkan zigot tersebut di rahim wanita lain.
d. Mencampur dua benih dari sperma seorang pria dan sel telur dari seorang
wanita yang yang diantara keduanya tidak ada ikatan pernikahan, kemudian
menanamkan zigot tersebut di rahim istrinya.
e. Mencampur dua benih dari sperma suami dan sel telur dari istri, kemudian
menanamkan zigot tersebut di rahim istrinya yang lain.313
2. Adapun cara yang keenam dan ketujuh adalah metode yang dibolehkan ketika
benar-benar diperlukan untuk mengambil cara ini :
a. Mengambil benih dari sperma suami dan sel telur istri, lalu
menyempurnakan pembuahan di luar rahim, kemudian menanamkannya di
dalam rahim istri.
b. Mengambil benih dari sperma suami, lalu memasukkannya ke vagina istri.

310
Keputusan (qara>r) Majma‘ dalam hal ini sama dengan Fatwa Komisi Fatwa MUI
no.5 tahun 1979. Fatwa MUI menggunakan metode sadd al-dhari>‘ah dalam jenis tindakan
yang diharamkannya, dan mempersamakan antara sperma dan ovum yang bukan suami istri
sebagai perzinaan.
311
Majma‘ al-Fiqh, Qara>ra>t wa Taws}i>ya>t Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> (Dimashq: Da>r
al-Qalam, 1418H-1998M), 15.
312
Majma‘ al-Fiqh, Qara>ra>t wa Taws}i>ya>t Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>, 34-35.
313
Masalah ini dibahas lebih lanjut dalam tema Rahim Titipan.

177
I. Pengantar Pembahasan Bank Sperma
Sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa tema yang juga diteliti
berkaitan dengan reproduksi manusia ialah tentang Bank Sperma. Ini disajikan
secara terpisah dari topik Inseminasi Buatan dan Bayi Tabung dengan
pertimbangan sebagai berikut:
1. Terdapat makalah dan diskusi yang spesifik mengarah kepada Bank Sperma
2. Menyesuaikan dengan perkembangan kedokteran saat ini, dimana Sperm
Banking314 telah menjadi tema tersendiri dalam bidang medis, baik sebagai
metode terapi, teknologi, bioetika, maupun etika medis.
3. Ketika Mu’tamar tersebut dilaksanakan, yaitu tahun 1985-1986, inovasi
tentang Bank Sperma belum mengemuka secara mandiri, sedangkan pada saat
sekarang ini hal tersebut telah menjadi isu global. 315
Sebagai acuan untuk memahami persoalannya sebelum dibahas secara fikih,
maka di bawah ini diuraikan tentang sel kelamin jantan (sperma), spermatogenesis,
alat genitalia pria, dan Bank Sperma, serta berbagai hal yang terkait dengannya. 316

Gambar 17. Potongan Sagittal Organ Reproduksi Pria

314
Bayi pertama hasil frozen sperm dilahirkan pada 1963. Lihat: J.K. Sherman,
"Research on Frozen Human Semen. Past, Present and Future", Fertility and Sterility
(1964): 485-499.
315
Bank Sperma terus berkembang pesat dan bahkan diakui legalitasnya setelah
tahun 90-an hingga saat ini. Lihat:Sonia Fader, " Sperm Banking History", dikutip dari
Sperm Banking: A Reproductive Resource, California CryoBank, http://www.cryobank.
com/ Learning-Center/Sperm-Banking-101/Sperm-Banking-History/. Diakses 31 Juli 2014.
316
C. Barratt, I.D. Cooke, "Sperm Transport in the Human Female Reproductive
Tract: a Dynamic Interaction", Internatioanl Journal of Andrology 14 (1991): 394.

178
1. Alat Reproduksi Pria
Sistem reproduksi pria berfungsi untuk menghasilkan sel kelamin jantan
(sperma). Pria memiliki sepasang testis, di mana masing-masingnya mengandung
saluran”saluran tubulus seminiferus. Tubulus seminiferus menghasilkan gamet
yang disebut sperma. Pada saat embrio, testis dibentuk di dalam rongga perut pria.
Setelah seorang bayi laki”laki dilahirkan, testis turun dalam skrotum. Skrotum
merupakan kulit pelindung testis yang berada di luar tubuh.

ORGAN FUNGSI
1 TESTIS Menghasilkan sel sperma dan hormon seks
2 SKROTUM Kantung yang di dalamnya terdapat testis,
sebagai pelindung agar terpelihara suhu yang
cocok bagi kehidupan sperma
3 TUBULUS SEMINIFERUS Saluran yang terdapat di testis, berfungsi
sebagai tempat pembentukan sperma
4 SEL INTERSTISIAL Sel yang berfungsi untuk menghasilkan hormon
kelamin pria dan terdapat di testis
5 SEL SERTOLI Sel yang terdapat di testis, berfungsi untuk
member nutrisi bagi sperma317
6 PENIS Alat kopulasi
7 VASA DEFERENSIA Menyalurkan sperma ke kantong sperma
8 DUKTUS EPIDIDIMIS Kantong tempat pematangan dan penyimpanan
sementara sperma
9 VESIKULA SEMINALIS Tempat menampung sperma
10 KELENJAR PROSTAT Menghasilkan cairan semen yang memberi
DAN COWPER nutrisi dan mempermudah gerak sperma
Tabel 2. Organ Reproduksi Pria dan Fungsinya

Sperma dari testis bergerak menuju epididimis. Di dalam epididimis inilah


sperma disimpan. Dari epididimis, sperma menuju vas deverens dan selanjutnya
uretra. Vas deferens merupakan saluran yang menghubungkan testis dengan uretra,
dalam perjalanan menuju uretra, sperma bercampur dengan larutan yang dihasilkan
oleh vesikula seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar cowper’s.318 Sperma dan

689
Fungsi sel sertoli antara lain ialah mensupport dan memberi nutrisi spermatozoa
pada proses pematangannya, mensekresi inhibitor ductus Muller, menskresi protein
pengikat androgen sebagai respon atas pelepasan FSH oleh kelenjar hipofisi anterior,
menskresi inhibin, mensekresi antigen H-Y. Lihat: C.W. Bardin, C.Y. Cheng, N.A. Musto,
G.L. Gunsalus, ‚The Sertoli Cell.‛ In: The Physiology of Reproduction , eds: E. Knobil, J.
Neill, et al. (New York: Raven Press, 1998), vol I, 933”974.
318
Disebut juga glandula bulbourethra. Merupakan dua gugusan kelenjar yang
berlokasi di bawah prostat, befungsi mengeluarkan salah satu komponen dari cairan seminal
ke saluran urethra. Kelejar-kelenjar ini homolog dengan kelenjar Bartholini pada wanita.
Lihat: B. Chughtai, A. Sawas, O'malley, et al., "A Neglected Gland: A Review of Cowper's
Gland", International Journal of Andrology, vol. 28, issue 2 (April 2005): 74”77.

179
larutan ini disebut semen. Semen selanjutnya menuju penis untuk dikeluarkan.
Penis merupakan organ kopulasi pada pria. Fungsi penis antara lain untuk
memasukkan sperma ke dalam vagina wanita.

2. Proses Pembentukan Sperma319


Struktur sperma terdiri dari kepala, badan dan ekor (flagella). Pada bagian
kepala terdapat inti sel dan akrosom yang dibentuk dari apparatus golgi,320 dan
menghasilkan enzim yang berfungsi membantu sperma menembus sel telur.321
Pada bagian tengah terdapat mitokondria322 tempat berlangsungnya oksidasi sel
yang menghasilkan energi yang digunakan untuk pergerakan aktif sperma. 323
Mula”mula sel induk sperma (spermatogonium) membelah diri secara
mitosis beberapa kali sehingga dihasilkan lebih banyak spermatogonium. Sebagian
dari sel”sel spermatogonium tersebut terus membelah secara mitosis, sedangkan
sebagian yang lain membesar menjadi spermatosit primer. Oleh karena pembelahan
terjadi secara mitosis maka spermatogonium dan spermatosit primer mempunyai 2n
kromosom, kemudian spermatosit primer membelah secara meiosis (tahap 1)
menghasilkan spermatosit sekunder. Selanjutnya pembelahan secara meiosis,
sehingga spermatosit sekunder mempunyai n kromosom (haploid), spermatosit
sekunder membelah lagi secara meiosis (tahap II) menghasilkan 2 sel yang juga
haploid (n). Hasil pembelahan tersebut disebut spermatid dan diperoleh 4

319
D.M. de Kretser, "Spermatogenesis", Human Reproduction, vol. 13, supplement
1 (1998): 1-8.
320
British Society for Cell Biology, Golgi Apparatus, http://bscb.org/learning-
resources/ softcell-e-learning/golgi. Diakses pada 30 Mei 2014.
321
Apparatus Golgi (badan Golgi, kompleks Golgi, atau diktiosom) adalah organel
yang dikaitkan dengan fungsi ekskresi sel. Struktur ini dapat dilihat dengan mikroskop
cahaya biasa. adan golgi berfungsi untuk memproses protein dan molekul lain yang akan
dibawa keluar sel atau ke membran sel. Organel ini terdapat hampir di semua sel eukariotik
dan banyak dijumpai pada organ tubuh yang melaksanakan fungsi ekskresi, misalnya ginjal.
Lihat: Pamela L. Connerly, How Do Proteins Move Through the Golgi Apparatus?,
© 2010 Nature Education, http://www.nature.com/scitable/topikpage/how-do-proteins-
move-through-the-golgi-14397318. Diakses pada 30 Mei 2014.
322
Regina Bailey, Mitochondria, http://biology.about.com/od/cellanatomy/ss/
mitochondria.htm. Diakses pada 30 Mei 2014.
323
Mitokondria ialah organ di dalam sel yang berfungsi untuk respirasi sel makhluk
hidup, selain fungsi selular lain, seperti metabolisme asam lemak, biosintesis pirimidin,
homeostasis kalsium, transduksi sinyal selular & penghasil energi berupa adenosina trifosfat
pada lintasan katabolisme. Mitokondria mempunyai dua lapisan membran, yaitu lapisan
membran luar dan lapisan membran dalam. Lapisan membran dalam, membentuk lipatan-
lipatan yang sering disebut dengan cristae. Di dalam mitokondria terdapat 'ruangan' yang
disebut matriks, dimana beberapa mineral dapat ditemukan. Sel yang mempunyai banyak
mitokondria dapat dijumpai di jantung, hati, dan otot. Lihat: William F. Martin, Marek
Mentel, The Origin of Mitochondria, © 2010 Nature Education. http://www.nature.
com/scitable/topikpage/the-origin-of-mitochondria-14232356. Diakses pada 30 Mei 2014.

180
spermatid. Sel”sel spermatid akan mengalami diferensiasi menjadi sel spermatozoa
atau sperma yang meliputi kepala, badan (bagian tengah) dan ekor (flagella).

Gambar 18. Potongan Testis dan Pembelahan Sel Sperma (Spermatogenesis)

3. Definisi dan Kandungan Semen


Semen (mani) merupakan cairan ejakulat yang dikeluarkan seorang pria
saat ejakulasi berupa cairan kental dan putih keruh. Cairan semen yang normal
berwarna keputih-putihan dan berisi sekret dari kelenjar prostat, vesikula seminalis
dan spermatozoa. Cairan semen yang berbau busuk menandakan cairan tersebut
terkena infeksi. Epididimis mensintesa komposisi tertentu yang disekresikan ke
dalam semen. Semen ini mengandung protein, carnitine, lipid, carbohydrates,
neutral a-glucosidase, glycerylphosphorylcholine, steroid dan molekul-molekul
kecil lainnya.324 Semen terdiri dari dua kompartemen, yaitu kompartemen selular
(spermatozoa), dan kompartemen non-selular (seminal plasma). Semen mani berisi
sperma dan sejumlah kecil garam, protein, fruktosa, asam sitrat, dan subtstansi-
subtansi lainnya.325 Sel-sel sperma yang dihasilkan dalam saluran-saluran halus
testis sebanyak 10-30 ribu milyar per bulan. Kadar pH semen normal berkisar
antara 7,2 - 7,8. Kualitas cairan semen dipengaruhi antara lain oleh kadar hormon,
ras dan riwayat keluarga. Selain itu terdapat pula sejumlah faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap jumlah dan kualitas sperma, seperti pestisida, polusi udara,
menaruh handphone di saku celana, merokok, dll.326

324
I. Vaclav, L. Bruno, Infertility: Male and Female (London: Charchill
Livingstone, 2nd ed., 1993), 739.
325
B.P. Setchell, G.M.H. Waites, "Changes in the Permeability of Testicular
Capillaries and of Blood-Testis Barrier After the Injection of Cadmium Chloride in Rat",
Journal of Endocrinology 47 (1970): 81-86.
326
Jurewicz, W. Hanke, Radwan M, Bonde, "Environmental Factors and Semen
Quality", International Journal of Occupational Medicine & Environment Health , vol. 22,
issue 4 (2009): 305-329.

181
J. Analisis Kualitas Sperma

Pemeriksaan semen secara laboratoris merupakan salah satu langkah utama


untuk menegakkan diagnosa infertilitas. Hasil pemeriksaan yang didapat
menunjukkan kapasitas produksi sperma oleh testis serta memberikan informasi
mengenai potensi dan fungsi saluran kelamin pria. Beberapa hal yang diperiksa
pada analisis semen antara lain ialah volume, viskositas, pH, warna dan bau semen.
Selain itu dilakukan pula pemeriksaan mikroskopis yang meliputi pemeriksaan
konsentrasi, motilitas dan aglutinasi sperma, serta pemeriksaan zat lain yang
mungkin terdapat pada cairan semen. Sebelum analisis semen dilakukan, orang
yang akan diperiksa sebaiknya tidak melakukan hubungan seksual (atau lebih
khusus ejakulasi) 48 ” 72 jam sebelum pengambilan contoh. Semen yang akan
dianalisis dapat diperoleh dengan cara masturbasi ke dalam wadah tertentu atau
dapat pula menggunakan kondom khusus.327 Pengambilan semen dapat dilakukan di
rumah atau di laboratorium tempat pemeriksaan. Perlu diperhatikan apabila
pengambilan semen dilakukan di rumah, jangka waktu pengiriman contoh semen
sebaiknya tidak lebih dari 1 jam. Tempat penyimpanan semen di laboratorium harus
bebas dari zat-zat yang bersifat racun terhadap semen dan memiliki suhu yang tidak
merusak sperma. Kontrol kualitas analisis sperma diperlukan untuk mendeteksi dan
mengoreksi kesalahan sistematik serta variabilitas yang tinggi melalui metode-
metode sebagai berikut: Analisis Makroskopik; Analisis Mikroskopik; Uji
Biokimiawi; Uji Imunologi; Uji Mikrobiologi; Proses Otomatisasi; Prosedur ART;
Simpan Beku Sperma (frozen sperm).328
Seiring dengan perkembangan teknologi medis, metode-metode di atas
berkembang menjadi lebih canggih. Metode-metode tersebut antara lain:329

1. Metode Swim-Up
Metode Swim-Up merupakan metode sederhana, yang dikembangkan oleh
Mahadevan.330 Teknik (metode) swim-up digunakan untuk analisa ketidaksuburan
atau kemandulan (bergerak aktifnya spermatozoa). Pengambilan sampel dilakukan
pada saat ejakulasi, kemudian dilakukan pencucian menggunakan larutan asam.
Langkah-langkah analisis metode swim-up:

327
Yaitu kondom yang bagian dalamnya tidak mengandung zat kimia yang dapat
mematikan sperma.
328
S.S. Vasan, Semen Analysis and Sperm Function Tests: How Much to Test? ,
Indian Journal of Urology. 2011 Jan-Mar; 27(1): 41”48.
329
Shyam S.R. Allamaneni, et al., "Comparative Study on Density Gradients and
Swim-Up Preparation Techniques Utilizing Neat and Cryopreserved Spermatozoa", Asian
Journal of Andrology, vol. 7, issue 1 (2005): 86-92.
330
Metode ini dilakukan oleh Mahadevan dalam disertasinya di Monash University
di bawah bimbingan Prof. Alan Trounson. Lihat: M. Mahadevan, G. Baker, "Assessment
and Preparation of Semen for In Vitro Fertilization". In: Clinical In Vitro Fertilization, eds:
C. Wood, A. Trounson (Berlin:. Springer, 1985).

182
a. Pendonor yang telah mengalami ejakulasi, semennya dimasukkan ke dalam
tabung kaca. Kemudian sampel diambil dengan pipet dan dicuci dengan
menggunakan larutan asam untuk menghilangkan sel virus, bakteri dan jamur.
b. Sampel sperma dilakukan sentrifuge selama 15 menit.
c. Kemudian supernatant331 yang terbentuk dibuang, pellet332 dipisahkan dalam
2,5 ml medium, kemudian disentrifuge lagi.
d. Setelah supernatant dipisahkan, pellet dilapisi dengan medium dan diinkubasi
selama 60 menit dengan suhu 370 C.
e. Sesudah diinkubasi, cairan semen diukur dengan alat untuk mengetahui aktif
tidaknya sel-sel sperma. Setelah melewati beberapa proses, maka sel sperma
yang aktif yang akan dipergunakan.
Metode ini memberikan beberapa keuntungan dibandingkan metode lain:
a. Cepat dan hemat biaya
b. Tidak menyebabkan kerusakan atau perubahan sel sperma
c. Mengisolasikan sel motil spermatozoa (sel sperma yang aktif)
d. Dapat dideteksi adanya sel-sel kuman penyakit

2. Metode Pengendapan Migrasi (Migration Sedimentation) 333


Metode ini lebih canggih dan merupakan metode swim-up dengan
penambahan sedimentasi (pengendapan). Langkah-langkah yang dilakukan mulai
dari pengambilan sampel, pada umumnya hampir sama dengan swim-up. Alat-alat
yang digunakan pada metode migration sedimentation ini, adalah tabung plastik
atau gelas kaca yang berbentuk kerucut di bagian dalamnya. Spermatozoa secara
langsung dari cairan semen dicairkan ke dalam medium supernatant, kemudian
sedimen dimasukan ke dalam tabung plastik atau gelas kaca tersebut selama 1 jam.
Sanchez334 menunjukkan bahwa setelah konsentrat spermatozoa bereaksi di
dalam tabung, maka spermatozoa motil (yang aktif bergerak) dapat terisolasi oleh
suntikan semen Intra Cytoplasmic (ICS) setelah 2”3 jam pengeraman.

3. Metode Kepadatan (Gradient Centrifugation) 335


Metode ini merupakan suatu teknik yang menggunakan keseluruhan
volume, sehingga terjadi peningkatan kepadatan berangsur-angsur dari puncak

331
Material yang mengambang pada permukaan cairan ( liquid), atau berarti pula
liquid yang berada di atas sedimen dan hasil presipitasi.
332
Partikel-partikel kecil yang terjadi akibat hasil kompresi dari material aslinya.
333
Metode ini dikembangkan oleh Tea dkk pada tahun 1984. Lihat: N.T. Tea, M.
Jondet, R. Schorell, "‘Migration-Gravity Sedimentation’ Method for Collecting Motile
Spermatozoa from Human Semen". In: In Vitro Fertilizȧ tion, Embryo Studies in Fertility
and Sterility, eds: R.F. Harrison, et al., vol. 1 (1984): 117-120.
334
Professor Raul Sanchez dari La Frontera University, Temuco, Chile dan timnya
adalah ang mengembangkan teknik ini, kemudian dipresentasikan pada the World Congress
of Fertility and Sterility di Munich, Jerman.
335
Carmen López-Fernández, "Inter-Center Variation in the Efficiency of Sperm
DNA Damage Reduction Following Density Gradient Centrifugation", Natural Science,
vol. 5, no. 7A (2013): 15-20>

183
secara gradual menghasilkan total jumlah spermatozoa motil lebih tinggi. Metode
ini menggunakan prinsip kepadatan gradient configuration yaitu menggunakan
material gradient untuk menyiapkan spermatozoa. Tabel berikut ini
menggambarkan standar hasil analisis semen menurut WHO:336

Tabel 3. Kandungan Semen pada Pria

K. Pembekuan dan Penyimpanan Sperma337

Sperma dapat dibekukan (frozen) untuk dipergunakan di masa depan, baik


dengan cara inseminasi buatan atau cara terapi kesuburan lain atau untuk
didonasikan. Sperma tersebut harus disimpan selama 6 (enam) bulan sebelum dapat
digunakan. Ini untuk penapisan (screening) apakah sperma tersebut terinfeksi atau
tidak, serta apakah mengandung sperma yang sehat ataukah tidak.338 Adapun
sperma yang disimpan sesuai prosedur, masih dapat digunakan hingga lebih dari 40
tahun kemudian. Prosedur pembekuan sperma adalah sebagai berikut:

336
Michelle G. Curtis, et. al., Glass’ Office Gynaecology, 401.
337
http://www.hfea.gov.uk/74.html. Diakses pada 30 Mei 2014.
338
T. Navarrete, et al., "The Relationship Between Fertility Potential
Measurements on Cryobanked Semen and Fecundity of Sperm Donors", Human
Reproduction, vol. 15, issue 2 (2000): 344-350.

184
Langkah 1. Sebelum seorang pria menyetujui spermanya dibekukan dan disimpan,
petugas medis akan menerangkan rangkaian proses yang akan terjadi.
Langkah 2. Yang bersangkutan akan ditapis apakah terinfeksi penyakit-penyakit
tertentu, termasuk HIV serta Hepatitis B dan C.339
Langkah 3. Yang bersangkutan harus membaca dan menandatangani penjelasan
tertulis sebagai bukti persetujuan (inform consent)340 bahwa spermanya akan
dibekukan dan disimpan.
Langkah 4. Sperma yang segar dikeluarkan di tempat khusus di klinik tersebut.
Langkah 5. Sperma yang telah dibekukan kemudian disimpan dalam tempat
penyimpanan (storage tank) yang mengandung cairan nitrogen.
Setelah sperma disimpan, yang bersangkutan harus mengetahui batasan
waktu penyimpanan dan seyogyanya memelihara komunikasi dengan klinik terkait.
Standar masa penyimpanan biasanya selama 10 tahun. Periode ini dapat
diperpanjang hanya pada keadaan tertentu, yaitu maksimum 55 tahun. Pihak klinik
akan menjelaskan pada kondisi bagaimana perpanjangan itu dapat dilakukan, dan
berapa lama sperma tersebut dapat disimpan. Pria yang bersangkutan harus
memberi informasi apabila dia pindah alamat. Dengan demikian pihak klinik dapat
menghubunginya ketika periode penyimpanan akan berakhir. Apabila pihak klinik
tidak dapat mengontak pria tersebut, maka pihak klinik berhak mengeluarkan
spermanya dari tempat penyimpanan untuk kemudian dimusnahkan.
Berikut ini adalah metode-metode fertilisasi buatan yang menggunakan
sperma donor, dan kebanyakannya diambilkan dari Bank Sperma.

1. Intra-Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI)341


Di antara metode fertilisasi buatan dengan sperma yang berasal dari Bank
Sperma ialah injeksi sperma intra sitoplasma atau biasa dikenal dengan Intra-
cytoplasmic sperm injection (ICSI). Prosedurnya ialah dengan menyuntikkan satu
sperma secara langsung ke dalam sel telur. Embrio dari hasil pembuahan yang
berumur 3-6 hari kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita. Ini merupakan
prosedur yang relatif baru dikembangkan oleh Palermo and Assocites di Belgia.342
Perkembangan terkini dari metode ICSI menunjukkan bahwa selama bisa
diperoleh sejumlah sperma, meskipun sangat sedikit, fertilisasi dengan cara ini

339
Virus hepatitis B dan C menjadi perhatian dalam screening ini, karena virus
tersebut dapat ditularkan melalui sperma.
340
Pengisian formulir inform consent sebelum dilakukannya suatu tindakan medis
yang signifikan (terutama tindakan medis invasif), merupakan prosedur baku yang harus
dilakukan oleh RS atau dokter dengan pasien atau keluarga pasien.
341
http://www.hfea.gov.uk/ICSI.html. Diakses pada 30 Mei 2014.
342
G. Palermo, H. Joris, P. Devroey, A. Van Steirteghem, "Pregnancies After
Intracytoplasmic Injection of Single Spermatozoon into an Oocyte", The Lancet 340
(1992): 17”18.

185
adalah memungkinkan untuk dilakukan.343 Metode ICSI ini sering
direkomendasikan apabila:
344
a. Suami memiliki jumlah sperma yang sangat sedikit
b. Masalah-masalah lain terkait sperma telah dapat diidentifikasi, seperti bentuk
sperma yang abnormal atau pergerakan yang buruk
c. Pada upaya sebelumnya secara IVF terjadi kegagalan pembuahan atau tingkat
keberhasilan di bawah dari ekspektasi semula
d. Suami telah menjalani vasectomi dan sperma pun telah dikumpulkan dari testis
atau epididimis (sebagai reservoir sperma)
e. Situasi-situasi lain di mana jumlah sperma adalah nol dan upaya inseminasi
melalui donor sperma orang lain juga tidak diinginkan
f. Tidak ada sperma yang dikeluarkan dalam ejakulasi, akan tetapi sperma telah
dikumpulkan dari testis
g. Suami menderita problem seputar ereksi dan ejakulasi. Termasuk akibat dari
cedera tulang belakang, diabetes serta gangguan-gangguan lainnya.

Prosedur ICSI hampir sama dengan IVF, namun pada ICSI pembuahan
dilakukan pada cawan petri (petri dish). Kemudian dokter melakukan seleksi
sperma yang terbaik, lalu disuntikkan secara langsung ke dalam sel telur.

Prosedur ICSI bagi Wanita:


Langkah 1. Pasien diberi obat-obat kesuburan untuk menstimulasi ovarium agar
menghasilkan lebih banyak ovum (sel telur). Prosedur ini sama dengan pada IVF.
Langkah 2. Sel-sel telur dikumpulkan dan setiap sel telur disuntik dengan satu
sperma dari suami atau donor. Setelah dua atau tiga hari disimpan di laboratorium,
hasil fertilisasi tersebut dimasukkan ke dalam rahim dengan cara yang persis sama
dilakukan pada metode konvensional IVF. Adapun embrio-embrio yang bagus,
dapat dibekukan dan disimpan untuk keperluan di masa mendatang.
Langkah 3. Klinik-klinik tertentu di Barat juga menawarkan metode blastocyst
transfer,345 yaitu sel-sel telur yang telah dibuahi dibiarkan matang dan berkembang
selama 5 sampai 6 hari, barulah kemudian dimasukkan ke dalam rahim.
Langkah 4. Pihak klinik akan mengatur jadwal untuk dilakukan tes kehamilan.

Prosedur ICSI bagi Pria:


Langkah 1. Dokter akan menilai kualitas sperma di bawah mikroskop, kemudian
memutuskan apakah metode ICSI dapat meningkatkan peluang memiliki anak.

343
Jane Squires, Paul Kaplan, "Developmental Outcomes of Children Born After
Assisted Reproductive Technologies", Infants & Young Children , vol. 20, no. 1 (January-
March 2007): 2”10.
344
Istilah ‚suami‛ dalam poin-poin penjelasan di atas merupakan transliterasi
penulis dalam konteks syariat Islam. Teks aslinya hanya menggunakan istilah "partner"
yang berarti ‚pasangan pria‛ dalam literatur Barat.
345
D.K. Gardner, W.B. Schoolcraft, L. Wagley, et al., "A Prospective Randomized
Trial of Blastocyst Culture and Transfer in In-Vitro Fertilization", Human Reproduction, b,
13 (1998): 3434-3440.

186
Langkah 2. Langkah berikutnya tergantung apakah pasien mengeluarkan sperma
tanpa intervensi medis. Jika memungkinkan, pasien dapat mengeluarkan sperma
segar pada hari yang sama dengan dikumpulkannya sel telur istrinya.346
Sperma dapat pula dikumpulkan secara langsung dari epididimis dengan
menggunakan jarum halus. Cara ini dikenal sebagai ‘percutaneous epididymal
sperm aspiration’ atau PESA.347 Selain itu, sperma dapat pula diperoleh dari testis,
melalui metode yang disebut dengan ‘testicular sperm aspiration’ atau TESA.348
Juga dimungkinkan untuk mengambil sebagian kecil jaringan testis untuk kemudian
dilakukan ekstraksi sperma darinya. Prosedur ini disebut pula dengan ‘testicular
sperm extraction’ atau TESE. Namun demikian, terdapat peningkatan resiko
terjadinya devaskularisasi permanen pada testis setelah TESE. Juga dilaporkan
adanya pertambahan tingkat kegagalan recovery sperma jika TESE dilakukan
dalam rentang waktu kurang dari 6 bulan.349 Dalam pemeriksaan USG, didapati
adanya lesi fokal testikuler pada 54% pria yang telah menjalani prosedur TESE.350
Prosedur yang mana yang dilakukan dari alternatif PESA, TESA351 atau TESE
tersebut di atas, adalah tergantung hasil analisa dokter ahli yang memeriksanya.
Masing-masing dokter ahli embriologi ataupun sentra fertilitas berbeda-beda dalam
memilih salah satu dari alternatif tersebut, 352 antara lain berdasarkan etiologi,353
insidensi, 354 dan hasil riset mereka.355

346
Istilah ‚istri‛ dalam poin-poin penjelasan di atas merupakan transliterasi penulis
dalam konteks syariat Islam. Teks aslinya hanya menggunakan istilah "partner" yang berarti
‚pasangan wanita‛ dalam literatur Barat.
347
Godwin I. Meniru, Amin Gorgy, Safira Batha, "Studies of Percutaneous
Epididymal Sperm Aspiration (PESA) and Intracytoplasmic Sperm Injection", Human
Reproduction Update, vol. 4, no. 1 (1998): 57”71.
348
Goran Westlander, et al., "Sperm Retrieval, Fertilization, and Pregnancy
Outcome in Repeated Testicular Sperm Aspiration", Journal of Assisted Reproduction and
Genetics, vol. 18, no. 3 (2001): 171-177.
349
P.N. Schlegel, L.M. Su, "Physiological Consequences of Testicular Sperm
Extraction", Human Reproduction 12 (1997): 1688”1692.
350
R. Ron-El, S. Strauss, S. Friedler, et al., "Serial Sonography and Colour Flow
Doppler Imaging Following Testicular and Epididymal Sperm Extraction", Human
Reproduction 13 (1998): 3390”3393.
351
Amin Gorgy, Barbara T.Podsiadly, Susan Bates, Ian L.Craft, "Testicular Sperm
Aspiration (TESA): The Appropriate Technique", Human Reproduction, vol. 13, no. 4
(1998):.1111”1114.
352
Gianni Forti, Csilla Krausz, "Clinical Review 100: Evaluation and Treatment of
the Infertile Couple", Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism , vol. 83, no. 12
(1998): 4177-4188.
353
Mohamed C Ashraf, et al., "Micro-Dissection Testicular Sperm Extraction as an
Alternative for Sperm Acquisition in the Most Difficult Cases of Azoospermia: Technique
and Preliminary Results in India", Journal of Human Reproductive Sciences, vol. 6, no. 2
(April-June 2013): 111-123.
354
C.M. Ashraf, et al., "Microdissection Testicular Sperm Extraction (Micro-
TESE): Results of a Large Series from India", Andrology, vol. 3, no. 1 (2014): 1-8.

187
Langkah 3. Setiap sel telur disuntikkan dengan satu sperma. Ini tidak lantas berarti
bahwa sel telur tersebut telah dibuahi, karena prosedur ICSI tidak menjamin
keberhasilan akan hal itu.
Langkah 4. Setelah itu dipilih 1 sampai 3 embrio terbaik untuk ditempatkan di
dalam rahim.
Sementara itu, prosedur ICSI dapat menimbulkan tiga potensial resiko bagi
anak yang dihasilkannya. Pertama, setiap sperma ICSI diseleksi oleh dokter di
laboratorium dan bukan secara gamet normal yang turut dalam suatu proses seleksi
alami. Kedua, prosedur ICSI melibatkan manipulasi fisik berupa jarum yang
menembus membran sel dan sitoplasma, sehingga dapat mencederai oosit dan
pertumbuhan embrio, yang pada gilirannya akan meningkatkan resiko
perkembangan anak yang abnormal.356 Ketiga, wanita mandul yang memperoleh
terapi ICSI memiliki probabilitas kromosom-Y yang abnormal pada anak mereka.357
Persoalan di atas menjadi argumentasi untuk selalu melakukan monitor
terhadap perkembangan anak hasil ICSI. Betapapun, sekitar 47% (atau hampir
separuh) dari seluruh prosedur IVF di AS menggunakan prosedur ICSI.358

2. Donor Insemination (DI)359


Inseminasi dari donor atau yang dalam istilah medis dikenal dengan Donor
insemination (DI) ialah penggunaan sperma dari pria donor untuk membantu
wanita yang ingin mempunyai anak. Sperma dari para donor ditapis dari penyakit
hubungan seksual360 serta beberapa potensi kelainan genetik. Pada prosedur DI ini,
sperma dari donor ditempatkan di leher rahim (cervix uteri) pada saat wanita
mengalami ovulasi.361 Dengan demikian prosedur DI dapat diterapkan pada metode

355
Edson Borges Júnior, "Testicular Sperm Results in Elevated Miscarriage Rates
Compared to Epididymal Sperm in Azoospermic Patients", Sao Paulo Medical Journal, vol.
120, issue 4 (2002): 122-126.
356
W. Buckett, S. Tan, "Congenital Abnormalities in Children Born After Assisted
Reproductive Techniques: How Much is Associated with the Presence of Infertility and
How Much Wth its Treatment?" Fertility and Sterility, vol. 84. issue 5 (2005): 1318”1319.
357
M. Bonduelle, U. Wennerholm, A. Loft, et al., "A Multi-Centre Cohort Study of
the Physical Health of 5-Year-Old Children Conceived After Intracytoplasmic Sperm
Injection, In Vitro Fertilization and Natural Conception", Human Reproduction, vol. 20, no.
2 (2005): 413”419.
358
American Society for Reproductive Medicine/Society for Assisted Reproductive
Technology Registry (ASRM/SART), "Assisted Reproductive Technology in the United
States: 2000 Results Generated from the American Society for Reproductive
Medicine/Society for Assisted Reproductive Technology Registry", Fertility and Sterility,
vol. 81, no. 5 (2004): 1207”1220.
359
http://www.hfea.gov.uk/fertility-treatment-options-donor. Diakses 30 Mei 2014.
360
Penyakit-penyakit infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual. Disebut
pula STD (Sexually Transmitted Diseases).
361
Hal ini bertujuan agar sperma dapat sampai di tuba falopii pada waktu yang
bersamaan dengan sampainya sel telur di tuba tersebut. Dengan demikian terjadi
pembuahan di dalam tuba falopii.

188
pembuahan di dalam rahim atau intrauterine insemination (IUI)362 maupun pada in
vitro fertilisation (IVF).363
Dokter atau klinik kesuburan dapat merekomendasikan terapi ini apabila:
a. Suami tidak dapat memproduksi sperma
b. Jumlah sperma suami yang sangat sedikit atau kualitas sperma yang buruk
sedemikian rupa sehingga tidak dapat membuahi sel telur, meskipun telah
dilakukan melalui metode intra-cytoplasmic sperm injection (ICSI)
c. Suami memiliki resiko tinggi akan menurunkan penyakit keturunan yang tidak
dapat ditolerir
d. Seorang wanita ingin mempunyai anak, namun tidak ingin punya suami

Prosedur DI bagi wanita:


Langkah 1. Sebelum dilakukan rangkaian prosedur DI, harus dilakukan tes
kelayakan tuba falopi untuk dapat dilalui sel telur dengan baik.
Langkah 2. Tes screening golongan darah,364 HIV, hepatitis B & C, syphilis dan
gonorrhoea. Sebagai tambahan, biasanya diperlukan pula tes screening untuk
memastikan adanya imunitas terhadap Rubella (German Measles)365 serta
pemeriksaan hitung jenis darah.
Selain itu, profil hormon perlu pula diketahui untuk mendeteksi apakah terdapat
ketidakseimbangan hormon.
Langkah 3. Setelah dipilih donor sperma yang layak, maka di Bank Sperma
disediakan sperma-sperma yang layak secara medis. Resipien tidak diharuskan
menerima sperma donor yang ditawarkan oleh Bank Sperma. Dia dapat memilih
mana di antaranya yang diinginkan dan cocok untuk diambil. Apabila kriteria
sperma donor yang diinginkan belum tersedia, maka calon resipien dipersilakan
menunggu sampai tersedianya sperma tersebut.

362
Pramila Koli, "Intrauterine Insemination: A Retrospective Review on
Determinants of Success", International Journal of Reproduction, Contraception, Obstetrics
and Gynecology, vol. 2, no. 3 (September 2013): 311-314.
363
Petra De Sutter, Liv Veldeman, Pascale Kok, "Comparison of Outcome of
Pregnancy After Intra-Uterine Insemination (IUI) and IVF", Human Reproduction, vol. 20,
no. 6 (2005): 1642”1646.
364
Tes golongan darah terdiri dari tes golongan A, AB, O, serta golongan Rhesus
(+) atau (-). Ini diperlukan antara lain untuk mendeteksi kesesuaian antara benih dan anak
yang dihasilkan, serta apakah embrio dapat terus berkembang dan bertahan hidup.
365
Pemeriksaan darah termasuk tes berkala untuk surface antigen Hepatitis B
(HBV), anti human immunodeficiency virus (HIV)-1 and -2, anti-hepatitis C virus (HCV),
anti-herpes simplex virus (HSV)-1 & -2, anti-syphilis, anti-Chlamydia dan anti-
cytomegalovirus (CMV). Selain itu, untuk wanita juga termasuk pemeriksaan antigen-
antibodies HIV (DUO) dan antibody terhadap Rubella dan Toxoplasma. Diperlukan pula
kultur mikrobiologi untuk mengecek keberadaan Neisseria gonorrhoea, Chlamydia
trachomatis, Ureaplasma urealyticum dan Mycoplasma hominis. Lihat: N. Garrido, J.L.
Zuzuarregui, M. Meseguer, "Sperm and Oocyte Donor Selection and Management:
Experience of a 10 Year Follow-Up of More Than 2100 Candidates", Human Reproduction,
vol. 17, no. 12 (2002): 3142-3148.

189
Langkah 4. Klinik fertilitas harus menginformasikan secara gamblang semua yang
dibutuhkan. Resipien (wanita, dan jika ada, disertai suami atau partner prianya)
diharuskan menandatangani persetujuan tindakan inseminasi melalui sperma donor.
Langkah 5. Wanita yang bersangkutan diberi obat-obat kesuburan untuk
merangsang indung telur (ovarium) memproduksi sel-sel telur (ovum).
Langkah 6. Klinik fertilitas melakukan tes darah dan tes urin untuk menentukan
kapan waktu yang paling subur bagi wanita itu. Biasa pula dilakukan pemeriksaan
pemindaian (ultrasound scanning) untuk memastikan bahwa tidak lebih dari dua sel
telur matang yang diovulasikan.
Langkah 7. Sperma donor dimasukkan ke dalam rahim menggunakan prosedur
intrauterine insemination (IUI). Prosedur ini biasanya tidak menimbulkan nyeri,
meskipun pada sebagian kecil wanita dapat timbul kejang otot temporer yang
serupa dengan nyeri haid.
Langkah 8. Sepekan setelah selesai dilaksanakannya DI/IUI, dilakukan pemeriksaan
laboratorium sampel darah untuk mengukur tingkat hormon progesterone. Hal ini
guna mengkonfirmasi bahwa telah terjadi ovulasi.

Prosedur DI bagi pria:


Langkah 1. Jika seorang pria memutuskan untuk menjadi donor sperma, dia harus
menghubungi klinik kesuburan yang telah mendapat lisensi dari The National
Gamete Donation Trust.366
Langkah 2. Semen yang segar dan sampel darah diambil untuk dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan tersebut untuk mengetahui golongan
darah, caryotype (chromosome analysis), cystic fibrosis367 screening, HIV,
Hepatitis B &C , syphilis, gonorrhoea dan CMV (cytomegalovirus).
Langkah 3. Pria calon donor diperiksa oleh dokter ahli urologi untuk memastikan
bahwa tidak ada tanda-tanda nyata dari penyakit kelamin.
Langkah 4. Pria calon donor diminta menandatangani form yang mengizinkan
klinik kesuburan untuk menghubungi dokter pribadinya dalam rangka
mengkonfirmasi apakah yang bersangkutan memang layak menjadi donor sperma.
Langkah 5. Staf administrasi klinik menerangkan tentang proses donas}s}i sperma
beserta berbagai aspek legal yang berkaitan dengannya. Calon donor harus
dipastikan mengerti hak-hak donor, hak-hak (para) wanita penerima sperma donor,
serta hak-hak anak yang yang akan dihasilkannya..
Langkah 6. Jika seseorang dapat diterima sebagai donor, dia harus menandatangani
form keterangan tentang penyimpanan sperma berikut pemanfaatannya. Sperma-
sperma tersebut akan disimpan sampai dengan 10 tahun, namun pendonor boleh
menentukan waktu yang lebih pendek dari itu. Bank Sperma menyimpan data-data
tentang kondisi dan penampilan fisik donor, yang akan digunakan untuk

366
The National Gamete Donation Trust (NGDT) merupakan badan nasional di
Inggris yang memberikan layanan donasi benih keturunan. Fungsi lembaga ini antara lain
memberikan dukungan dan pemberdayaan para pendonor sperma, sel telur, maupun embrio.
367
Ini merupakan penyakit autosom resesif terbanyak pada ras Kaukasia. Lihat:
D.I.Lewis-Jones, M.R.Gazvani, R.Mountford, "Cystic Fibrosis in Infertility: Screening
Before Assisted Reproduction", Human Reproduction, vol. 15, no. 11 (2000): 2415”2417.

190
mencocokkan karakteristiknya dengan persyaratan yang diminta oleh calon
resipien. Pendonor boleh pula memberikan deskripsi singkat tentang dirinya, karir
dan prestasinya, serta boleh meninggalkan pesan bagi anak yang kelak akan
dihasilkan melalui prosedur donasi ini.
Langkah 7. Data-data donor secara detail disimpan di bank data yang diregistrasi
oleh HFEA.368 Donor yang telah diregistrasi tidak memiliki tanggungjawab hukum
maupun financial terhadap anak yang akan dihasilkan program ini.
Langkah 8. Sperma segar dikeluarkan dan disimpan untuk kebutuhan masa depan.
Klinik memiliki ruang privasi untuk mengeluarkan sperma, yang dilakukan atas
seizin pihak klinik. Sperma-sperma dikarantina selama 6 bulan hingga dalam
pemeriksaan laboratorium dinyatakan negatif HIV dan negatif Hepatitis B & C.
Langkah 9. Pendonor boleh terus menjadi donor sperma bagi 10 keluarga yang
berbeda. Juga boleh membatasi batas terendah kondisi keluarga resipien. Bagi
wanita yang telah mempunyai bayi dari sperma seorang pendonor, dia boleh
mengajukan permintaan untuk mendapatkan sperma dari pendonor yang sama (jika
tersedia) untuk periode berikutnya. Dengan demikian anak-anak wanita tersebut
adalah saling bersaudara secara genetis.
Langkah 10. Seorang pendonor sewaktu-waktu dapat membatalkan pemanfataan
spermanya, dan dapat meliputi pemanfataan embrio-embrionya di Bank Sperma.

L. Bank Sperma

1. Fenomena Bank Sperma di Negara-Negara Barat369


Seiring perkembangan zaman modern dewasa ini, cairan semen memiliki
nilai komersil. Hal ini dibuktikan terutama di negara-negara Eropa dan Amerika
dengan semakin banyaknya pengangguran yang berlomba-lomba menjual semennya
sebagai sumber penghasilan mereka setiap bulan. Meskipun perbuatan itu
menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan, tapi penjualannya semakin
marak karena mereka dapat meraih penghasilan hingga 90 poundsterling tiap pekan.
Oleh karenanya jual beli semen ini ‚diasumsikan‛ bisa menolong kalangan
tertentu, yaitu masyarakat lapis ekonomi bawah sebagai penjual dan golongan
masyarakat pembeli atau pengguna sperma dari kalangan yang membutuhkannya.
Di antara mereka yang memerlukan sperma donor ialah:

a. Pasangan dengan pihak pria yang infertil


Infertilitas pria dapat disebabkan oleh sumbatan pada saluran epididimis,
ataupun testis tidak dapat memproduksi sperma atau kalaupun bisa, maka

368
HFEA ialah The Human Fertilisation and Embryology Authority (HFEA)
merupakan badan resmi (statutory body) di Inggris yang mengatur dan mengawasi seluruh
klinik-klinik di Inggris yang melayani fertilisasi in vitro, inseminasi buatan (artificial
insemination), dan penyimpanan sel telur, sperma maupun embrio manusia. HFEA juga
membuat regulasi tentang riset embrio manusia.
369
Sonia Fader, " Sperm Banking History", dikutip dari Sperm Banking: A
Reproductive Resource, California CryoBank, http://www.cryobank.com/Learning-
Center/Sperm-Banking-101/Sperm-Banking-History/. Diakses pada 31 Juli 2014.

191
sperma yang diproduksi tidak utuh (cacat). Selain faktor-faktor tersebut,
infertilitas juga dapat disebabkan oleh faktor genetik. Penyebab
ketidaksuburan ini menjadikan pasangan ini tidak memiliki anak, sehingga
mereka pun mengandalkan jasa penyedia sperma.

b. Pasangan impoten
Impoten atau disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan ereksi yang cukup untuk
hubungan seksual, sehingga mendorong pasangan untuk membeli sperma agar
mempunyai keturunan. Ini merupakan masalah utama gangguan seksual pria.370

c. Pasangan lesbian
Di negara-negara Barat, perkawinan wanita dengan wanita (lesbian) kian marak
dilakukan dan mulai dipandang sebagai perbuatan yang dapat ditolerir secara
budaya. Pasangan lesbian ini bahkan mempunyai anak dan membesarkannya
dalam sebuah keluarga lesbian. Kehamilan-kehamilan pada kaum lesbian ini
diperoleh dari pelayanan Bank Sperma. 371

d. Wanita lajang372
Keberadaan Bank Sperma juga menarik perhatian para wanita lajang. Oleh
karena itu wanita yang tidak ingin menikah, tetap dapat memiliki keturunan

370
Contohnya ialah pada The Massachusetts Male Aging Study melaporkan bahwa
tingkat prevalensi disfungsi ereksi (Erectile Dysfunction/ED) mencapai 52%. Kasus-kasus
ED meningkat seiring bertambahnya usia. Pada usia 40 tahun, sekitar 40% pria mengalami
ED. Angka tersebut terus meningkat hingga mendekati 70% pada pria usia 70 tahun. Lihat:
H.A. Feldman, I. Goldstein, D.G. Hatzichristou, et al., "Impotence and Its Medical and
Psychosocial Correlates: Results of the Massachusetts Male Aging Study", Journal of
Urology 151 (1994):54”61.
371
Banyak Gereja yang mengakui dan memberikan pemberkatan bagi perkawinan
sejenis. Diantara gereja Katolik ialah beberapa Keuskupan di Kanada (New Westminster,
Ottawa, Montreal, Niagara, Toronto), Old Catholic Church of the Netherlands, Christian
Catholic Church of Switzerland, Catholic Diocese of the Old Catholics in Germany, The
Old Catholic Church of Austria, the Polish National Catholic Church (USA).
Diantara Gereja Protestan (Lutheran and Reformed Churches) ialah: The Danish
Church di Buenos Aires, Austria (Evangelical Lutheran Free Church dan Reformed Church
in Austria), The Evangelical Lutheran Church di Kanada, The Church of Denmark, Jerman
(Hesse and Nassau, Bremen, Protestant Lutheran State Church of Brunswick, Evangelical
Lutheran Church of Hanover, Evangelical Church in Central Germany, Evangelical
Reformed Church in Bavaria and Northwestern Germany), Iceland (Church of Iceland),
Belanda (Protestant Church in the Netherlands), Norwegia (Church of Norway), Filipina
(Metropolitan Community Church of Quezon City / MCCQC, Metropolitan Community
Church Makati / MCCMPH, Metropolitan Community Church of Metro Baguio / MCCMB,
Ekklesia Tou Theou / Church of God), Swedia (Church of Sweden), Inggris (The United
Reformed Church), Amerika Serikat (The Evangelical Lutheran Church in America)>.
372
S. Graham, "Choosing Single Motherhood?: Single Women Negotiating the
Nuclear Family Ideal". In: D. Cutas, S. Chan, Science, Ethics and Society (London:
Bloomsbury Academic, 2012) 97”109.

192
dari darah dagingnya sendiri.373 Fenomena ini juga menimbulkan perdebatan
pro dan kontra di Barat,374 karena mengubah paradigma keluarga dan sendi-
sendi peradaban dari yang paling dasar.375

e. Penyakit kanker prostat


Kanker prostat adalah keganasan yang terjadi pada kelenjar prostat. Dalam
proses ini terjadi pertumbuhan yang tidak normal (berlebihan) dari sel-sel
prostat sehingga mendesak sel-sel normal sekitarnya.

2. Probabilitas Memiliki Anak Melalui Bank Sperma


Sejumlah sperma mungkin saja tidak dapat bertahan atau rusak selama
periode penyimpanan. Ini berarti bahwa setelah pembekuan, terjadi penurunan
kualitas sperma. Sperma-sperma yang memiliki kualitas rendah tersebut, hanya
dapat digunakan untuk fertilisasi melalui metode injeksi sperma intra sitoplasma
atau lebih dikenal dengan Intra-Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI).
Tingkat keberhasilannya rata-rata di atas metode DI dan semua metode
IVF yang menggunakan sperma donor. Pada sisi lain, variasi tingkat keberhasilan
tersebut juga tergantung usia dari wanita yang menerima sperma seperti berikut ini:
A. Usia di bawah 35 tahun, tingkat keberhasilan sekitar 19%
B. Usia antara 35”39 tahun, tingkat keberhasilan sekitar 15%
C. Usia antara 40”42 tahun, tingkat keberhasilan sekitar 7%

3. Problematika dan Resiko Bank Sperma376


Keberadaan Bank Sperma, ternyata bukan hanya memberikan solusi bagi
kalangan tersebut di atas yang ingin memiliki anak. Akan tetapi justru
menimbulkan problem dan resiko yang tidak kecil, bahkan lebih besar. Diantara
problematika dan resiko Bank Sperma tersebut ialah:
a. Adanya kemungkinan data pria pendonor tidak akurat. Bisa jadi pula terjadi
kesalahan hasil pemeriksaan laboratorium, misalnya tentang salah satu jenis
penyakit kelamin,377 lalu penyakit tersebut menular kepada wanita yang dibuahi
dengan spermanya. Majalah al-Sharq al-Awsat} dalam kutipan dari Wakalah al-

373
Sophie Zadeh, "New Conceptions: Single Mothers by Sperm Donation",
Research, University of Cambridge, 25 April 2013, http://www.cam.ac.uk/research/
discussion/new-conceptions-single-mothers-by-sperm-donation. Diakses pada 2 Agustus
2014.
374
Jim Eckman, "Donor Sperm and Parenthood: A Crisis in the Making", Issues in
Perspective, 15 October 2011, http://graceuniversity.edu/iip/2011/10/11-10-15-1/. Diakses
pada 2 Agustus 2014.
375
Kay S. Hymowitz, "A Growing Culture of Fatherlessness", Los Angeles Times,
16 April 2007, http://www.latimes.com/la-oe-hymowitz16apr16-story.html. Diakses pada 2
Agustus 2014.
376
‘Ali> al-Ba>rr, Al-Talqi>h} al-S{ina>‘i> wa At}fa>l al-Ana>bi>b, Majallah Majma‘ al-Fiqh,
vol.II, j.I, 290-291.
377
Penyakit kelamin yang dimaksud ialah berbagai penyakit infeksi yang dapat
ditularkan melalui sperma.

193
Anba>’ pada edisi 9/11/1405 H (26/7/1985) melansir berita yang isinya,
‚Inseminasi Buatan dapat Menularkan Penyakit Mematikan AIDS: Rumah
sakit yang paling modern di Australia mengakui, bahwa empat wanita yang
dilakukan inseminasi buatan terjangkit virus AIDS, setelah berhasil dilakukan
inseminasi buatan dari sperma donor pada tahun 1982. Terbukti bahwa pria
tersebut terkena penyakit AIDS‛.
b. Terjadi pembuahan terhadap ribuan wanita yang tidak menikah dengan sperma
yang mereka peroleh dari Bank Sperma.378 Martabat wanita pun turun menjadi
seperti sekumpulan sapi betina yang dibuahi dengan sperma seekor sapi jantan.
c. Resiko ketidakjelasan nasab bagi anak yang dihasilkan dari inseminasi buatan
yang berasal dari sperma donor.
d. Setidaknya ada seperempat juta anak, menurut laporan Newsweek (edisi
18/3/1985), yang tidak diketahui ayahnya sama sekali karena mereka lahir dari
proses pembuahan dengan sperma donor.
e. Pembuahan dengan sperma seorang pria379 ataupun suami yang sudah lama
meninggal.380 Kasus ini terjadi di Amerika Serikat, khususnya ketika
berkecamuk Perang Vietnam. Kasus lain seperti yang terjadi di Perancis pada
tahun 1984, yaitu kasus gugatan seorang wanita ke pengadilan yang menuntut
haknya untuk bisa dibuahi oleh sperma suaminya yang sudah lama meninggal.
f. Di Amerika dan Eropa mulai banyak berdiri perusahan-perusahaan besar yang
bergerak di bidang penyimpanan dan perdagangan sperma. Newsweek (edisi
18/3/1985) melaporkan bahwa Bank-bank Sperma tumbuh bak jamur di musim
hujan dan meraih laba yang fantastis.
g. Newsweek (edisi 18/3/1985) menyajikan liputannya bahwa terdapat Bank
Sperma yang menggunakan sperma dari satu pria untuk membuahi seratus
wanita. Dr. George David, Direktur salah satu Bank Sperma di Perancis
mengatakan, ‚Oleh karena semakin bertambahnya jumlah wanita yang dibuahi
oleh sperma satu pria, maka besar kemungkinan wanita yang dibuahi itu adalah
ibu, saudari, bibi, atau anak wanitanya sendiri.‛
Oleh sebab itu Bank Sperma kemudian mengeliminir kemungkinan ini, yaitu
dengan membatasi wanita yang dibuahi oleh sperma satu pria hanya berjumlah
lima wanita saja. Akan tetapi hal ini tidak menafikan apa yang dikemukakan
oleh George David, yaitu kemungkinan seorang pria membuahi ibunya, atau
anak wanitanya, atau saudarinya, atau mahramnya yang lain. Bagaimana pun,
pernikahan antar mahram bukanlah perkara yang tabu di Barat.381

378
S. Graham, "Choosing Single Motherhood?: Single Women Negotiating the
Nuclear Family Ideal". In: D. Cutas, S. Chan, Science, Ethics and Society (London:
Bloomsbury Academic, 2012) 97”109.
379
R.D. Orr, M. Siegler, "Is Posthumous Semen Retrieval Ethically Permissible?",
Journal of Medical Ethics 28 (2002)::299”303.
380
G. Bahadur, "Death and Conception", Human Reproduction, vol. 17, no. 10
(2002): 2769”2775.
381
Pada sisi lain, Dr. George David merasa bangga karena Bank Sperma yang
dipimpinnya telah berperan dalam menghasilkan puluhan ribu anak yang lahir di Perancis
sejak didirikan pada tahun 1972.

194
h. Di sebagian besar Bank Sperma, wanita yang dibuahi tidak mengetahui sedikit
pun informasi tentang pria yang memberikan spermanya. Sebagian bank
membuka akses informasi tentang golongan darah, warna kulit dan rambut,
tetapi tanpa nama. Bahkan pernah terjadi suatu kasus di mana seorang wanita
berkulit putih yang mengambil sperma pria berkulit putih, tetapi saat
persalinan ternyata ia salah diberi sperma pria berkulit hitam.
i. Adanya kemungkinan menderita penyakit herediter bagi anak yang dihasilkan
dari inseminasi buatan ini. Kasus-kasus semacam ini bisa terjadi, karena pria
pendonor berbohong kepada klinik dan/atau kurang akuratnya pemeriksaan
terhadap riwayat medis yang bersangkutan.
j. Kontrol terhadap jenis kelamin janin. Inseminasi buatan memberi kesempatan
untuk memilih jenis kelamin anak yang diinginkan, pria atau wanita.382
Prinsipnya adalah sperma pria terdiri dari gen pria (kromosom Y) dan gen
wanita (kromosom X) dengan perbandingan 50%. Apabila sperma pria
dikeluarkan di luar vagina istrinya, maka kromosom X dapat dipisahkan dari
kromosom Y meskipun tidak secara sempurna, karena karakteristik kromosom
pria dapat dibedakan dari kromosom wanita. Yaitu, spermatozoa yang
membawa gen pria lebih cepat. Ia juga memiliki sifat-sifat lain yang
membedakannya dari spermatozoa yang mengandung gen wanita, seperti massa
dan kemampuannya untuk menembus cairan di saluran leher rahim, serta daya
tahannya dalam cairan basa.383

Itulah di antara problematika dan resiko Bank Sperma yang dirangkum oleh
‘Ali> al-Ba>rr selaku dokter ahli dan anggota Majma‘ al-Fiqh. Tentu saja sebagian
dari data yang disampaikannya pada tahun 1985-1986 tersebut sudah tidak akurat
lagi pada saat ini. Namun penulis kemukakan sebagai bagian dari dinamika
pertimbangan dalam diskusi para fuqaha>' dalam mu'tamar Majma‘. Demikian pula,
hal itu menjadi pertimbangan fikih Islam yang bersifat prospektif dan futuristik
dalam menentukan hukum Bank Sperma.

M. Pembahasan Fikih tentang Bank Sperma

Fenomena pembekuan dan penyimpanan sperma merupakan salah satu


pencapaian teknologi medis modern. Para ulama anggota Majma‘ al-Fiqh
mendiskusikannya dengan sangat serius hingga membutuhkan waktu dua kali

382
Seleksi gender terhadap anak yang diinginkan merupakan masalah bioetika yang
menjadi perdebatan. Di Inggris hingga saat ini, seleksi gender diatur sangat ketat secara
legal, dimana hal itu hanya boleh dilakukan pada keadaan tertentu saja. Lihat: Heather
Strange, "Non-Medical Sex Selectio: Ethical Issue", British Medical Bulletin, vol. 94, no. 1
(2010): 7-20.
383
Sperma kromosom Y (laki laki) memiliki karakteristik berenang lebih cepat
namun tidak tahan asam, sedangkan sperma kromosom X (perempuan) memiliki
kemampuan berenang lebih lambat namun lebih tahan asam.

195
Mu’tamar dalam jeda waktu satu tahun.384 Oleh karenanya notulen rapat tersebut
berisi diskusi yang panjang lebar dan memiliki bobot ilmiah yang tinggi. Namun
mengingat fokus dari disertasi ini, maka penulis mensarikannya secara ringkas yang
relevan dengan alur berpikir tulisan ini.
Dalam bahasan kitab-kitab fikih klasik belum dipilah secara spesifik
apakah persoalan benih janin itu terletak pada pria (yang bukan suami dari pasutri
yang bersangkutan) ataukah pada wanita (yang bukan istri dari pasutri yang
bersangkutan). Namun demikian prinsip-prinsip fikih dan alur berpikir mereka
dapat dijadikan acuan dalam memutuskan problematika kedokteran kontemporer
seperti Bank Sperma ini.

1. Pandangan dari Al-Qur'a>n dan al-H{adi>th


Para ulama memandang bahwa inseminasi buatan dengan benih dari
pria/wanita yang tidak dalam ikatan pernikahan, adalah diasumsikan sama dengan
jerih payah yang mengandung kezhaliman.385 Pendapat tersebut antara lain
didasarkan kepada riwayat Abu> Da>wud dan para penulis kitab al-Sunan,386 yaitu
tatkala terdapat dua orang yang mengajukan gugatan kepada Nabi SAW terkait
sebidang tanah; yang satu menanam pohon kurma di suatu areal tanah yang dimiliki
orang yang kedua. Rasu>lulla>h SAW memutuskan bahwa hasil bumi menjadi milik
yang empunya tanah. Beliau SAW bersabda,
387

‚Jerih payah yang zhalim itu tidak menghasilkan hak apa-apa.‛

Pendapat ini juga sesuai dengan Al-Qur’a>n al-Kari>m, di mana Alla>h Ta‘a>la>
menyebut istri sebagai tempat bercocok tanam, ‚Istri-istrimu adalah (seperti) tanah
tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu
itu bagaimana saja kamu kehendaki.‛ (QS al-Baqarah [2]: 223) Jadi, setiap bayi
dinasabkan kepada suami dari ibu yang mengandungnya, karena bayi tersebut
merupakan hasil dari tempat suami bercocok tanam dan dilahirkan di atas fira>sh
(dipan) milik suaminya.
Pada suatu kesempatan lain, Nabi SAW melewati seorang laki-laki yang
sedang duduk di pintu sebuah tenda, lalu Beliau SAW diberitahu, ‚Laki-laki ini
memiliki seorang budak perempuan yang mengandung dari (sebab) laki-laki lain,
lalu ia menikahinya.‛ Nabi SAW pun bersabda:

384
Yaitu mu’tamar Majma‘ al-Fiqh tahun 1985 di Jeddah dan 1986 di Amman.
385
Yaitu dari sperma yang bukan suami dari pemilik ovum dan/atau implantasi
pada ovum wanita yang bukan istri dari pemilik sperma.
386
Yaitu Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, al-Nasa>’i>, dan Ibn Ma>jah. Terdapat banyak
ulama lainnya yang menulis kitab Sunan, namun biasanya mereka tidak dimasukkan dalam
istilah as}h}a>b al-sunan oleh para ahli hadis. Diantara ulama tersebut ialah al-Sha>fi‘i>, Abu>
Da>wu>d al-T{aya>li>si>, al-Bayhaqi>, al-Da>ruqut}ni>, dan al-Da>rimi>.
387
Riwayat Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, al-Nasa>’i>, Ma>lik, al-Da>ruqut}ni>, al-T{abra>ni>, al-
Bazza>r, Abu> Da>wud al-T{aya>lisi>, Ish}a>q Ibn Ra>hawayh, ‘Abdulla>h Ibn Ah}mad, dan Ish}a>q Ibn
Yah}ya>.

196
‚Aku benar-benar ingin melaknatnya dengan laknat yang ia bawa masuk
kubur. Bagaimana mungkin ia menggauli budaknya itu sedangkan budak itu tidak
halal baginya? Bagaimana mungkin ia menjadikan anak budak itu sebagai pelayan,
sedangkan ia tidak halal baginya? Bagaimana mungkin ia menjadikan anak budak
itu sebagai ahli warisnya, sedangkan ia tidak halal baginya?‛ Kemudian beliau
melarang laki-laki tersebut untuk mengairi dengan air tanaman orang lain.388
Kesimpulannya, seandainya embrio diimplantasikan ke dinding rahim
dalam bentuk nut}fah, atau ‘alaqah, atau mud}ghah, lalu ia berkembang dalam perut
seorang wanita yang bersuami hingga ditiupkan ruh padanya dan hingga sempurna
masa kehamilannya lalu ia melahirkannya, maka anak tersebut adalah anaknya dan
anak suaminya, sesuai dengan makna umum hadis, ‚Anak itu milik fira>sh.‛
Ini adalah kaidah umum, sehingga seandainya ibu yang mengandung dan
ayahnya rela untuk memberikan anak tersebut kepada ibu yang tidak mengandung
dan tidak melahirkannya, maka hal itu tidak boleh karena anak tersebut statusnya
merdeka sehingga tidak boleh dihibahkan. Juga karena tindakan ini mengakibatkan
terputusnya anak dari nasab ayah, terutama ibunya yang telah menanggung
kesulitan dan beban berat, mengandungnya dalam keadaan payah dan
melahirkannya dalam keadaan payah. Tindakan ini termasuk tindakan memutus apa
yang diperintahkan Allah untuk disambung, dan bisa dikategorikan sebagai
tindakan menghubungkan nasab seorang anak kepada selain ayahnya. Berkaitan
dengan hal itu, Nabi SAW bersabda: ‚Barangsiapa yang bernasab kepada selain
ayahnya, maka surga haram baginya.‛389

2. Pandangan dari Para Fuqaha>'


Para ulama fikih juga menyebutkan suatu kasus yang dapat diasosiasikan
dengan transfer sperma, yaitu seorang wanita yang bersuami terpercik sperma laki-
laki asing, atau ia memakai sarung yang ada sperma pria lain lalu ia mengandung
akibat sperma tersebut.
Akan tetapi kasus di atas sudah melebar ke arah yang tidak realistis. Kalau
pun itu terjadi, sperma akan rusak tatkala terkena udara.390 Jadi, pengakuan seorang
perempuan dengan kejadian seperti ini tidak bisa diterima.

388
Riwayat Muslim, Abu> Da>wud, dan al-Tirmidhi>.
389
Terdapat sejumlah hadis dengan lafaz yang berbeda, namun memiliki makna
yang sama. Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bukha>ri>, Muslim, Ibn Ma>jah, Ah}mad, Abu>
‘Awa>nah, al-Bazza>r, Abu> Ya‘la>, al-Da>su>qi>, ‘Abd al-Razza>q, Ibn Abi> Shaybah, al-Baghawi>,
al-T{aha>wi> dalam Mushkil al-A<tha>r, Ibn ‘Asa>kir, al-Da>rimi>, dan al-T{abra>ni>.
390
Lama hidup sperma di luar tubuh dengan suhu kamar, hanya sekitar 20 menit
sampai satu jam. Waktu tersebut tergantung kepada faktor lingkungan dan paparan udara.
Pada permukaan yang kering seperti di baju atau sprei, sel sperma akan langsung mati
begitu cairan mani (semen) kering. Setelah semen mengering, maka tidak mengandung
sperma aktif (motil). Apabila sperma berada di air, seperti di bath tub atau kolam hangat,
usia hidup sperma dapat lebih lama lagi karena mereka bisa bertahan di lingkungan yang

197
Rasu>lulla>h SAW sesungguhnya telah melindungi kita dari kesesatan
berpikir yang banyak dibicarakan orang, dimana Beliau bersabda, ‚Anak itu milik
fira>sh.‛ 391
Salah satu kaidah fikih mengatakan bahwa tidak ada kesamaran bersamaan
dengan adanya fira>sh. Maksudnya, status anak akibat hubungan seksual di luar
nikah tidak memiliki kekuatan apapun ketika berada dalam status pernikahan, baik
itu zina, persetubuhan yang syubhat, pemerkosaan, ataupun pembuahan buatan.
Apapun yang terjadi, anak tetap menjadi milik suami yang memiliki fira>sh-nya,
sedangkan ibunya yang sebenarnya adalah yang mengandung dan melahirkannya.
Para ahli fikih berpendapat bahwa yang sebenarnya menjadi obyek hukum
adalah sperma yang membuahi ovum. Tidaklah janin terbentuk, melainkan
bersumber dari sperma, sebagaimana firman Alla>h Ta‘a>la>, ‚Dia (manusia)
diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang
dada.‛ (QS al-T{a>riq [86]: 6-7)
Alla>h juga berfirman, ‚Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan
begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? Bukankah dia dahulu setetes mani yang
ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi ‘alaqah, lalu Alla>h
menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Alla>h menjadikan daripadanya
sepasang: laki-laki dan perempuan.‛ (QS al-Qiya>mah [75]: 37-39)

Berikutnya adalah rangkuman beberapa pendapat yang penting dari para


ulama anggota Majma‘ dalam masalah Bank Sperma ini.

a. Pendapat Shaykh Rajab al-Tami>mi>392


Keberadaan seorang anak merupakan akibat dari hubungan seksual yang
normal antara suami-istri, sebagaimana dijelaskan dalam ayat:
‚Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok-tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanam kalian itu bagaimana saja kalian
kehendaki.‛ (QS al-Baqarah [2]: 223)
Maksud ayat ini adalah,"Istri-istri kalian merupakan tempat untuk
menanam benih keturunan kalian. Di rahim merekalah terbentuk anak. Oleh karena
itu, gaulilah mereka di tempat terciptanya keturunan, jangan beralih ke tempat
lain". Jadi, maksud ayat ini adalah bahwa pembuahan ovum dari sperma suami itu
hanya berlangsung melalui hubungan seksual, sedangkan pembuahan dengan cara
lain melalui metode tabung atau selainnya bertentangan dengan nas}s} ayat dan
syariat yang mulia.
Kaidah shar‘i>yah mengatakan bahwa pencegahan merupakan suatu
keharusan dengan tujuan untuk menjaga masyarakat. Menolak kerusakan lebih
dikedepankan daripada upaya mendatangkan maslahat.

hangat atau basah. Adapun jika sperma berada di dalam tuba falopii ataupun rahim seorang
wanita, maka sperma dapat bertahan rata-rata selama 3 sampai 5 hari.
391
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ah}mad, ‘Abd
al-Razza>q, al-T{abra>ni>, Abu> Ya‘la>, dan al-Bazza>r.
392
"Al-‘Arad} wa al-Muna>qashah", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.1, 359.

198
b. Pendapat Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr393
Seiring kemajuan teknologi kedokteran pada era kontemporer ini,
keberadaan Bank Sperma digunakan di Barat antara lain tatkala suami infertil
sedangkan istrinya fertil. Pada kasus ini kemampuan seksual suami normal, hanya
saja cairan semennya tidak mengandung spermatozoa. Saat itulah spermatozoa
diambil dari Bank Sperma.
Metode ini tidak diragukan keharamannya bagi umat Islam. Jika hal itu
terjadi, maka setiap pihak yang terlibat di dalamnya wajib dikenai sanksi ta’zir. Si
istri tidak dikenai sanksi h}add karena itu bukan zina.394 Tetapi jika istri
mengandung dan suaminya rela dan tidak mengingkari anak tersebut, maka anak
dihubungkan nasabnya kepadanya sesuai dengan ketentuan bahwa anak itu milik
fira>sh. Tetapi jika suami mengingkari anak, maka suami dan istri diceraikan seperti
yang berlaku dalam kasus li‘a>n, sementara anak dihubungkan nasabnya kepada
ibunya saja.395
Pendapat para ulama dalam hal ini bercermin kepada jenis-jenis
‚pernikahan‛ yang lazim berlaku di masyarakat Arab jahiliyah, dan kemudian
dihapus oleh ajaran Islam.
Dalam riwayat yang sahih}, umm al-mu'mini>n ‘A<'ishah r.a. berkata, ‚Nikah
di zaman jahiliyah terdiri dari empat macam:
Yang pertama adalah nikah seperti yang dilakukan masyarakat hari ini.
Yaitu, pria melamar kepada pria lain untuk menikahi anak wanitanya atau wanita
yang diwalikannya, lalu ia memberi wanita tersebut mahar dan menikahinya.396
Pernikahan jenis kedua adalah pria berkata kepada istrinya yang telah suci
dari haidhnya, ‚Pergilah ke rumah fulan dan berhubungan intimlah dengannya!‛
Setelah itu suaminya menjauhinya dan tidak menyentuhnya sedikit pun hingga
nyata kehamilannya dari hubungannya dengan fulan. Setelah kehamilannya nyata,
maka suaminya boleh menggaulinya jika ia mau. Ia melakukan hal itu karena
menginginkan keturunan yang unggul. Inilah yang disebut nikah istibd}a>‘.
Pernikahan jenis ketiga adalah sekumpulan pria yang jumlahnya di bawah
sepuluh berkumpul, lalu mereka semua menggauli seorang wanita. Jika wanita
tersebut mengandung, maka beberapa hari setelah melahirkan, dia memanggil
mereka semua. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang menolak hadir, hingga
mereka semua berkumpul di tempat wanita tersebut. Setelah itu si wanita berkata

393
"Al-‘Arad} wa al-Muna>qashah", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 357-358.
394
Hukum h}add pada kasus perzinaan ialah dicambuk seratus kali bagi yang belum
menikah, dan dirajam hingga meninggal bagi yang sudah (pernah) menikah.
395
Li>‘a>n menurut bahasa berrti "al-la‘n" artinya jauh dan laknat atau kutukan.
Menurut istilah yaitu sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa
isterinya telah berzina, dengan tanpa mempunyai empat orang saksi kecuali dirinya sendiri.
Juga disertakan dalam sumpah tersebut ‚bahwa dia adalah orang yang benar‛ sebanyak
empat kali dan pada kali kelimanya ‚bahwa dia akan dilaknat Alla> h jika dia berdusta‛.
Sekiranya isteri menolak tuduhan tersebut, maka dia pun bersumpah sebanyak empat kali
‚bahwa suaminya itu berdusta‛ dan pada kali kelimanya ‚bahwa dia akan dilaknati Allah
jika suaminya benar".
396
Hanya pernikahan jenis ini yang dibenarkan dalam Islam.

199
kepada mereka, ‚Kalian telah mengakui apa yang kalian perbuat, dan aku sekarang
telah melahirkan. Ini adalah anakmu, hai fulan!‛ Ia menyebut nama pria yang ia
sukai, lalu anaknya itu dihubungkan nasabnya kepada pria tersebut, dan ia tidak
bisa menolak hal itu.
Pernikahan jenis keempat adalah pria dalam jumlah yang banyak menggauli
seorang wanita, dan ia tidak menolak berhubungan dengan setiap pria yang
mendatanginya. Mereka itu adalah para pelacur. Mereka biasanya memasang
bendera di pintu rumah mereka sebagai tanda bahwa siapapun yang menginginkan
mereka bisa menggauli mereka. Jika salah seorang di antara mereka telah
mengandung dan melahirkan, maka semua semua pria yang pernah menggaulinya
dikumpulkan lalu dipanggilkan seorang qa>fah (ahli ginealogi masyarakat Arab).
Setelah itu ia menghubungkan nasab anak tersebut kepada pria yang dilihatnya
sebagai sumber benih dari anak tersebut, dan pria tersebut tidak bisa menolak.‛397

3. Nikah istibd}a>‘ Versi Kontemporer


Bagaimana pun ternyata nikah istibd}a>‘ dewasa ini mengambil bentuknya
yang baru, yaitu diambilnya sperma dari para pria yang jenius, profesional dan kuat.
Sperma tersebut diletakkan dalam sebuah botol yang ditulisi nama pria pemiliknya,
lalu disimpan di Bank Sperma. Setelah itu dibuatlah katalog untuk ditawarkan
kepada kaum wanita (dan keluarganya) dengan promosi, ‛Apakah Anda
menginginkan sperma pria jenius bernama fulan? Dia memperoleh hadiah Nobel di
bidang tertentu. Ataukah Anda menginginkan sperma seorang pria perkasa bernama
fulan? Dia sekarang menjadi panglima militer yang handal. Atau Anda
menginginkan seorang peneliti dan penemu? Apakah Anda menginginkan seorang
anak berkulit putih, coklat, dan seterusnya…?‛398
Katalog tersebut menjelaskan karakteristik pendonor sperma, dan harganya
hanya lima ratus poundsterling saja.399

397
Riwayat al-Bukha>ri>, Ah}mad, al-Da>ruqut}ni>, Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, dan Ibn
Jari>r al-T{abari>.
398
Shiro Namekata and Ryoko Takeishi, "REPRODUCTIVE MEDICINE: China in
Quest for Genius Genes", The Asahi Shimbun Globe, 20 June 2014. http://ajw.asahi.com/
article/globe/feature/birth/AJ201406200008. Diakses pada 2 Agustus 2014.
399
Saat ini di AS, harga sperma berkisar antara USD 255-315 untuk satu vial
regular yang diinseminasikan sendiri oleh konsumen secara intracervical di rumah. Bisa
sedikit lebih mahal, jika diinseminasikan secara intrauterine oleh tenaga kesehtan
professional, serta mendapat informasi tentang identitas pendonor sperma. Apabila sperma
dikirim paket (shipping) tentunya lebih mahal lagi.
Adapun pendonor sperma alah para pria yang mendepositkan spermanya untuk
antisipasi infertilitas di masa depan, atau karena rencana ikut perang. Akan tetapi sebagian
besar dari mereka ialah semata menjual cairan semen (sperma) sendiri seharga USD 40-60
untuk sekali "donasi". Semen dari kalangan terdidik akan lebih laku, sehingga Bank-bank
sperma pun memasang iklan di majalah dan buletin universitas. Lihat: Jeff Stryker,
"Regulation or Free Markets? An Uncomfortable Question for Sperm Banks", Bioethics ”
Science Progress, 7 November 2007, http://scienceprogress.org/2007/11/regulation-or-free-
markets/. Diakses pada 2 Agustus 2014.

200
Bank Sperma merupakan lahan bisnis yang sangat menguntungkan saat ini
di Barat. Dr. Graham dari California pernah memilih sekitar lima orang wanita dan
melakukan uji coba ini terhadap mereka, yaitu membuahi mereka dengan sperma
beberapa pria populer. Diantara wanita tersebut ialah Blick yang memperoleh gelar
doktor di bidang filsafat. Ia tidak menikah, meskipun sudah berusia 40 tahun. Ia
memilih dari katalog Bank Sperma tersebut, sperma seorang guru besar kenamaan.
Dan benar saja, ia melahirkan seorang anak. Ia sangat bahagia dengan kehadian
anak tersebut, dan menyatakan bahwa ia akan menginformasikan berita tentang
anaknya saat dewasa kelak….
Kasus berikutnya ialah tentang seorang prajurit militer Amerika Serikat
yang menyimpan spermanya di Bank Sperma. Setelah itu ia dikirim ke Vietnam,
hingga terbunuh di sana. Lalu istrinya dibuahi dengan sperma dari mendiang
suaminya melalui jasa Bank Sperma. Salah satu pertimbangan utama penyimpanan
sperma suami di Bank Sperma ialah agar diperoleh sperma yang berasal dari suami
ketika masih muda dan bugar…
Demikianlah terjadi ratusan kasus yang sejenis. Dalam masyarakat Barat,
hal itu tidak dianggap memalukan, bahkan sebaliknya dianggap sebagai tindakan
mulia dan layak mendapatkan pujian.
Adapun dalam Islam, kematian merupakan bukti putusnya tali pernikahan,
dan sperma suami tidak boleh diambil untuk membuahi istrinya setelah kematian
suami tersebut.400 Pemanfaan sperma dalam kondisi seperti di atas itu adalah jelas
diharamkan dalam Islam. Ini sebagaimana difatwakan oleh Majma‘ al-Fiqh al-
Isla>mi> di Makkah dalam sidangnya ke-7 tahun 1404 H, dan oleh para ulama yang
hadir dalam Nadwah al-Inja>b pada tanggal 11 Sha‘ba>n 1403 H di Kuwayt, di bawah
koordinasi Menteri Kesehatan Dr. ‘Abd al-Rah}ma>n al-‘Awa>d}i>. Tindakan itu juga
diharamkan oleh Mufti Mesir dan Mufti Tunisia. 401
Sperma suami tidak boleh pula digunakan ketika tali pernikahan telah
terputus akibat cerai ba>’in.402 Demikian pula pada kasus cerai raj‘i>, kecuali jika
suami rujuk kepada istrinya dan wanita tersebut telah menjadi istrinya kembali
melalui akad pernikahan yang baru di antara keduanya.403
Penghubungan nasab tergantung pada ada atau tidaknya akad perkawinan.
Apabila akad tersebut terhapus karena kematian atau perceraian, dan istri tidak
dalam keadaan mengandung sebelum kematian atau cerai, maka kehamilan sesudah
kematian suami atau setelah cerai adalah menggugurkan nasab.

400
Ini dibuktikan dengan adanya hukum ‘iddah400 bagi wanita yang ditinggal mati
suaminya, yaitu selama 4 bulan dan 10 hari.
401
‘Ali> al-Ba>rr, Al-Talqi>h} al-S{ina>‘i> wa At}fa>l al-Ana>bi>b, Majallah Majma‘ al-Fiqh,
vol.II, j.I, 287.
402
Talak ba>'in adalah talak yang dijatuhkan suami, yang berakibat bekas suami
tersebut tidak boleh merujuk kembali kecuali dengan akad nikah yang baru dan harus
memenuhi seluruh syarat dan rukunnya.
403
Talak raj‘i> ialah cerai yang pertama dan kedua, dan masih terbuka pintu untuk
ruju‘ bagi keduanya pada masa ‘iddah, serta masih terbuka kesempatan bagi mantan suami
istri tersebut untuk menikah kembali

201
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli fikih mengenai jangka
waktu kehamilan tampak samar. Mayoritas madzhab menetapkan dua tahun.
Sementara itu Ibn H{azm dan ulama madzhab Z{a>hiri>yah mengingkari adanya
kehamilan lebih dari sembilan bulan.

4. Dasar Pertimbangan Majma‘


Penulis telah menganalisa pembahasan fikih secara panjang lebar di atas
berikut alasan dari keputusan Majma‘ dalam masalah bank sperma. Para anggota
Majma‘ maupun notulen mu'tamar tidak menyebutkan sama sekali metodologi us}u>l
al-fiqh apa yang mereka gunakan hingga sampai pada keputusan terdahulu.404
Selain itu, penulis mengembangkan topik tersebut dengan menambahkan tema
Bank Sperma, dengan alasan bahwa tema ini mengemuka dalam masyarakat
dewasa ini, sehingga perlu analisis fikih tersendiri. Menurut penelitian penulis,
paling tidak ada tiga faktor yang melatarbelakangi keputusan Majma‘ tersebut:

a. Fertilisasi dari sperma dan ovum pasangan suami istri yang sah.
Dari pembahasan terdahulu tentang inseminasi buatan, tampak bahwa para
ulama sepakat mengenai kebolehan menggunakan sperma dan ovum dari pasangan
suami istri yang sah, yang keduanya masih hidup serta masih berada dalam ikatan
perkawinan. Dalam hal ini tidak ada persoalan fikih, sebagaimana dibahas
terdahulu bahwa kebolehannya termasuk al-bara>'ah al-as}li>yah.

b. Fertilisasi dari sperma yang bukan suami dari pemilik ovum.


Para ulama juga sepakat mengharamkan inseminasi buatan dengan
menggunakan sperma pria lain yang tidak ada ikatan pernikahan dengan wanita
pemilik sel telur yang dibuahi, atau dari mantan suami cerai hidup, atau dari
mantan suami yang telah meninggal dunia. Dalam hal ini para ulama tidak
membedakan apakah cerai hidup itu t}ala>q raj‘i> ataukah t}ala>q ba>’in.
Keharaman menggunakan sperma salah satu dari ketiga sumber di atas,
berdasarkan kepada dalil-dalil yang jelas (s}ari>h}) tentang keharaman bernasab
kepada pria selain ayah (kandung)nya. Dalil-dalil tersebut menunjukkan status
hukum keharamannya, namun tidak dapat dijadikan sebagai ‘illat hukum. Dalil-
dalil tersebut tidak cukup jelas (z}a>hir) dan kokoh (mund}abit}) untuk menjadi ‘illat,
sehingga tidak bisa dipersamakan secara langsung antara kasus dalam dalil-dalil
tersebut dengan kasus Bank Sperma. Oleh karena itu tampaknya yang paling dekat
ialah menggunakan metode istih}sa>n,405 yang dalam hal ini diambil dengan metode
istih}sa>n bi al-nas}s}.406 Dengan demikian hukum tersebut dapat diimplementasikan

404
Lihat halaman 171-176.
405
Lihat halaman 62.
406
Ini merupakan salah satu cabang dari metode istih}sa>n yang digunakan oleh para
ulama H{anafi>yah. Yaitu seorang mujtahid berpaling dari hukum yang dikehendaki oleh
kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh nas}s}. Contohnya ialah pengharaman
jual beli barang yang tidak ada atau belum dimiliki. Namun para fuqaha>’ membolehkan jual
beli sala>m, karena adanya hadis Nabi SAW yang sahih yang menerangkan hal itu. Nabi
SAW mensyaratkan jual beli sala>m (salaf) dengan spesifikasi yang jelas, berat yang jelas,

202
dalam teknologi kedokteran modern mengenai Bank Sperma. Menurut para
fuqaha>’, cara pertimbangan semacam ini secara umum masuk dalam kategori
istih}sa>n dalam pengertian qiya>s khafi>, yaitu memperbandingkan hukum haramnya
bernasab kepada selain ayahnya dengan hukum sperma donor.407 Adapun apabila
akan diqiya>skan dengan perzinaan, maka hal inipun tidak memenuhi persyaratan
‘illat hukumnya.

c. Status hukum Bank Sperma.408


Shaykh Rajab al-Tami>mi> mengakui adanya aspek positif pada metode
pembekuan sperma (frozen sperm), sehingga sperma dapat diambil dan disimpan
beku-kering ketika pria masih muda dan sehat. Akan tetapi al-Tami>mi> dan ulama
lainnya anggota Majma‘ menolak pelembagaan metode penyimpanan sperma
menjadi institusi Bank Sperma atau yang semacamnya. Mereka beralasan bahwa
dampak negatif yang ditimbulkannya akan jauh lebih besar dan akan sulit dikontrol
oleh para pihak yang berkepentingan. Diantara dampak negatif yang paling
menonjol ialah terjadinya percampuran nasab antara anak-anak yang dilahirkan
melalui Bank Sperma.
Sikap preventif tersebut memang beralasan, mengingat saat ini dapat
disaksikan bagaimana tidak terkendalinya penelusuran nasab bagi para donor
sperma maupun para wanita pengguna produk Bank Sperma. Dengan demikian
tampak bahwa para ulama menggunakan metode preventif, yaitu sadd al-dhari>‘ah,
dalam hal pendirian Bank Sperma, agar tidak terjatuh kepada bencana yang sangat
besar.
Atas dasar pertimbangan tersebut, maka tidak mengherankan jika akhirnya
Majma‘ mengambil keputusan (qara>r) haramnya menggunakan sperma donor.
Keputusan ini pun diambil dengan menggunakan metode sadd al-dhari>‘ah, di mana
pertimbangan menghindari mafsadat didahulukan daripada mengambil manfaat.409
Ini sesuai dengan kaidah:
410

"Menolak kerusakan lebih diprioritaskan dibandingkan dengan meraih


kemaslahatan".

Secara umum dapat disimpulkan bahwa, metode penetapan hukum yang


digunakan Majma‘ dalam masalah ini ialah pertimbangan preventif. Dengan
perkataan lain, dilarang melakukan tindakan-tindakan medis yang diprediksikan
akan membawa kerusakan lebih besar dibanding manfaatnya. Kerusakan yang

dan berlaku untuk waktu yang jelas pula. Pada persoalan ini, para fuqaha>’ berpindah dari
qiya>s kepada istih}sa>n dengan dasar adanya nas}s} tentang itu.
407
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, Mas}a>dir al-Tashri>‘ al-Islami> fi>ma> La> Nas}s} fi>h, 70.
408
Fatwa MUI no.5 tanggal 13 Juni 1979, secara tidak langsung menghukumkan
keharaman Bank Sperma.
409
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, j.II, 386-391.
410
Al-Qara>fi>, Sharh}} Tanqi>h} al-Fus}u>l, 352. Al-Qara>fi>, Al-Furu>q, j. II, 61.

203
dimaksud ialah mencakup kerusakan akidah, terjatuh kepada syubhat atau haram,
ataupun kerusakan yang bersifat fisik dan material.
Demikianlah kesimpulan tentang metode pengambilan hukum yang
digunakan Majma‘ al-Fiqh dalam hal Bank Sperma. Berikutnya akan dibahas tema
terakhir dari rangkaian bab Reproduksi, yaitu tentang Rahim Titipan.

204
N. Rahim dan Kehamilan dalam Pandangan Kedokteran

Setelah mu'tamar Majma‘ tentang bayi tabung, kasus-kasus penyewaan


rahim (surrogacy) semakin menyebar dalam masyarakat luas. Oleh karenanya
penelitian ini memandang penting untuk membahasnya dalam satu tema tersendiri.
Tercatat bahwa awal booming penyewaan rahim ialah di Amerika Serikat (AS) dan
kemudian di Eropa, antara tahun 1976 hingga awal 1988. Pada kurun waktu
tersebut tercatat 600 anak-anak lahir dari hasil penyewaan rahim, walaupun
nyatanya di saat itu pemerintah AS belum pernah membuat aturan pelaksanaan
yang baku.411 Namun demikian penyewaan rahim secara komersial dilakukan secara
luas di AS karena diakui secara legal.
Adapun di Inggris, satu dari sedikit Negara di Eropa yang membolehkan
penyewaan rahim,412 terjadi peristiwa kontroversi menyusul lahirnya bayi pada
tahun 1985 melalui satu perjanjian penyewan rahim. Ini perbuatan ilegal, meski
pada prakteknya tidak dapat dicegah dengan Surrogacy Arrangements Act 1985.
Setelah perdebatan yang alot, akhirnya the British Medical Association (1990)
menyetujui bahwa "adalah tidak mungkin atau tidak perlu mencari-cari alasan
untuk menghalangi keterlibatan para dokter dalam perjanjian penyewaan rahim,
juga pemerintah pada khususnya tidak berniat untuk menjadikannya sebagai
praktek illegal". Pernyataan tersebut menjadi landasan bagi para dokter yang akan
menerapkan metode penyewaan rahim bagi pasien mereka, setelah melalui
argumentasi, investigasi medik dan non-medik, serta dan konsultasi yang matang.
Pada tahun yang sama, Parlemen Inggris meloloskan the Human Fertilisation and
Embryology Act (1990), sehingga penyewaan rahim tidak lagi dilarang.
Oleh karenanya tema ini diuraikan dan dianalisa secara terpisah dari topik
Inseminasi Buatan dan Bayi Tabung, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Terdapat diskusi yang spesifik mengarah ke pembahasan Rahim Titipan
2. Menyesuaikan dengan perkembangan kedokteran saat ini, dimana surrogate
mother telah menjadi tema tersendiri dalam bidang medis, baik sebagai metode
terapi, teknologi, bioetika, maupun etika medis.
3. Ketika Mu’tamar tersebut dilaksanakan, yaitu tahun 1985-1986, inovasi
tentang Rahim Titipan belum mengemuka secara mandiri, sedangkan pada saat
sekarang ini hal tersebut telah menjadi isu global.

Sebagai acuan untuk memahami persoalan rahim titipan (rahim sewaan)


sebelum dibahas secara fikih, maka di bawah ini diuraikan secara ringkas tentang
rahim dan kehamilan dari sisi medis.

411
W.H. Utian, L. Sheean, J.M. Goldfarb, et al., "Successful Pregnancy After In
Vitro Fertilization and Embryo Transfer from an Infertile Woman to a Surrogate", New
England Journal of Medicine 313 (1985): 1351-1352.
412
J. Cohen, H. Jones, "Assisted Reproduction. Rules and Laws. International
Comparisons", Contraception Fertilité Sexualité 27 (1999): I-VII.

205
1. Anatomi dan Fisiologi Rahim 413
Alat genitalia wanita terdiri dari dua bagian yaitu bagian luar dan bagian
dalam. Alat genitalia bagian luar terdiri dari mons pubis (mons veneris), labia
mayora, labia minora, klitoris, vestibulum dan himen/selaput dara.
Gambar potongan sagital pelvis viseral yang menggambarkan alat genitalia
& reproduksi wanita dewasa:414

Gambar 19. Potongan Sagital Organ Reproduksi Wanita

Adapun alat genitalia wanita bagian dalam terdiri dari :


a. Vagina (Liang Senggama)
Vagina merupakan saluran muskulo membranous yang menghubungkan
rahim pada bibir rahim dengan vulva. Secara embriologis, bagian atas vagina
tumbuh dari ductus Muller dan bagian bawahnya terbentuk dari sinus urogenital. 415
Ukuran panjang vagina bervariasi, pada umumnya antara 7-10 cm. Ukuran diameter
vagina pun berbeda pada setiap wanita, namun memiliki kekuatan dan kelenturan

413
Gary Cunningham, et al., Williams Obstetrics (London: Mc.Graw Hill, , 23nd ed.,
2010), 14-34.
414
Berek, Jonathan S., et al., Berek & Novak's Gynecology (New York: Lippincott
Williams & Wilkins, 14th ed., 2007), 105.
415
Disebut juga ductus paramesonephricua yang secara embriologis berasal dari
mesoderm. Lihat: Yasmin Sajjad, "Development of the Genital Ducts and External
Genitalia in the Early Human Embryo", The Journal of Obstetrics and Gynaecology
Research, vol. 36, issue 5 (2011): 929”937.

206
luar biasa sehingga dapat dilewati kepala dan badan bayi ketika persalinan.416 Sel
dinding vagina mengandung banyak glikogen yang menghasilkan asam laktat
dengan pH 4,5. Keasaman vagina memberikan proteksi terhadap infeksi, namun
jika terlalu asam, akan dapat membunuh sperma yang melaluinya.417
Selain itu, terdapat sepasang kelenjar glandula Bartholini (diameter kl 0,5-
1cm), yang terletak di vestibulum pada kedua sisi di luar pintu vagina.418 Demikian
pula terdapat kelenjar-kelenjar vestibular, dengan saluran sepanjang 1,5-2 cm yang
terbuka pada sisi-sisi vestibulum di tepi mulut vagina. Pada saat terjadi rangsangan
seksual yang kuat (sexual arousal) kelenjar-kelenjar ini akan mengeluarkan lendir
untuk membasahi vagina.419 Kelenjar-kelenjar tersebut dapat menjadi tempat
bersarangnya Neisseria gonorrhoeae ataupun bakteri-bakteri lainnya, yang dapat
menyebabkan infeksi dan abses pada kelenjar Bartholini.
Fungsi utama dari vagina yaitu :420
1) Saluran untuk mengeluarkan lendir uterus dan darah menstruasi
2) Alat hubungan seks
3) Jalan lahir pada waktu persalinan

b. Anatomi Rahim atau Uterus421


Uterus yang tidak sedang hamil terletak di rongga pelvis minor diantara
kandung kemih dan rectum. Dinding belakang dan dinding depan rahim dan bagian
atas rahim tertutup peritoneum, sedangkan bagian bawahnya berhubungan dengan
vagina. Posisi rahim disangga dengan kokoh oleh beberapa ligamentum, jaringan
ikat dan parametrium. Pada kondisi tidak hamil, rahim tidak teraba pada
pemeriksaan palpasi.422 Dinding rahim dibentuk dari jaringan otot yang sangat
kuat. Hampir seluruh dinding belakang rahim ditutup oleh jaringan serosa atau
peritoneum, yang bagian bawahnya membentuk batas anterior dari recto-uterine
cul-de-sac atau cavum Douglasi.423 Dinding anterior bagian bawah dipisahkan
dengan dinding posterior vesica urinaria oleh jaringan penyangga yang kuat.

416
Ketika dilahirkan melalui jalan keluar pada mulut rahim dan vagina, bagian
badan bayi yang terbesar ialah kepala dan pundak.
417
Derajat keasaman normal vagina antara 3,5 hingga 4,5. Sejumlah bakteri dan
jamur akan mati pada media atau lingkungan yang bersifat asam.
418
Kelenjar Bartholini merupakan salah sat organ kewanitaan yang sering
mengalami penyakit, biasanya berupa kista atau abses yang terjadi pada wanita usia
produktif/ Lihat: J. Pundir, B.J. Auld, "A Review of the Management of Diseases of the
Bartholin's Gland", Journal of Obstetrics & Gynaecology, vol. 28, no. 2 (2008): 161-165.
419
http://www.netdoctor.co.uk/sex_relationships/facts/femalesexualresponse.htm.
Diakses pada 25 Mei 2014.
420
http://women.webmd.com/picture-of-the-vagina. Diakses pada 25 mei 2014.
421
Cunningham, et. al., Williams Obstetrics, 21-22.
422
Hal ini karena posisi rahim berada di belakang tulang kemaluan (os. pubis).
423
Kantong yang terbentuk defleksi peritoneum dari rectum hingga uterus. Disebut
juga excavatio rectouterina atau cavum rectovaginouterin. Cavum ini menjadi salah satu
tempat pelebaran endometrium tersering dalam kasus endometriosis. Lihat: Aditya Shetty,
Natalie Yang, et al., "Endometriosis", http://radiopaedia.org/articles/endometriosis. Diakses
pada 29 Juli 2014.

207
Uterus terdiri dari dua bagian yang tidak sama besarnya. Bagian atas
berbentuk triangular disebut dengan badan rahim (corpus uteri), dan bagian bawah
berbentuk silindris atau fusiform disebut dengan cervix uteri. Di dinding atas
disebut dengan fundus, yang di sisi kiri dan kanan terdapat lubang saluran tuba
falopii. Bagian berikutnya yang cukup penting bagi obstetri ginekologi ialah
isthmus uteri, yang merupakan kelanjutan dari cervix, karena ini akan menjadi
batas bawah rahim ketika hamil.
Pada bagian bawah tuba falopii di sisi anterior terdapat ligamentum latum.
Kedudukan uterus dalam tulang panggul ditentukan oleh otot rahim sendiri, otot
tonus ligamentum yang menyangga dan tonus otot-otot dasar panggul.
Ligamentum yang menyangga uterus adalah ligamentum latum, ligamentum
rotundum, dan ligamentum infundibulopelvikum.
Uterus pada masa prepubertas memiliki ukuran panjang antara 2,5 hingga
3,5 cm. Pada wanita dewasa yang belum pernah hamil (nullipara) berukuran 6-8 cm
dan berat 50-70 g, sedangkan pada wanita yang telah hamil beberapa kali
(multipara) memiliki ukuran 9-10 cm dan berat 80 g. Pada anak wanita periode
premenarche, ukuran corpus uteri hanya separuh dari cervix uteri. Pada wanita
nullipara, ukuran panjang corpus dan cervix uteri relatif sama. Pada wanita
multipara, ukuran cervix hanya lebih kecil dari sepertiga dari keseluruhan panjang
uterus. Sementara setelah menopause, ukuran uterus mengecil, sebagai konsekuensi
dari atrofi myometrium dan endometrium.
Kehamilan menyebabkan uterus membesar sangat signifikan karena terjadi
hipertrofi jaringan ototnya. Berat uterus bertambah dari sekitar 50 g menjadi
sekitar 1100 g dan total volume sekitar 5 liter pada akhir masa kehamilan.424
Sementara itu fundus uteri yang sebelumnya datar agak cembung, kini menjadi
bentuk kubah.425 Kedua tuba falopii mengalami elongasi, namun kedua ovarium
relatif tidak berubah.
Batas atas cervix ialah internal os dari uterus, sedangkan segmen bawah
dari cervix disebut dengan portio vaginalis. Mukosa dari kanal cervix tersusun dari
selapis epithelium columnar yang ber-cilia sangat tinggi, yang terletak di atas
membran basal yang tipis. Sejumlah glandula cervix memanjang dari permukaan
mukosa endocervical langsung ke dalam di bawah jaringan penyangga. Bagian
(segmen) bawah dari cervix uteri juga dikenal dengan istilah portio vaginalis.
Dinding corpus uteri tersusun dari serosa, otot, dan lapisan-lapisan mukosa.
Lapisan serosa dibentuk dari peritoneum yang menutupi uterus secara sempurna,
kecuali di tempat-tempat di atas vesica urinaria dan pada batas pinggir, yaitu di
mana peritoneum mengalami defleksi untuk membentuk ligamen-ligamen.

424
E.M. Ramsey, "Anatomy of the Human Uterus". Dikutip dari T. Chard, J.G.
Grudzinskas, et al., The Uterus (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 18”40.
425
Khurram S. Rehman, et al., "Human Myometrial Adaptation to Pregnancy:
cDNA Microarray Gene Expression Profiling of Myometrium from Non-Pregnant and
Pregnant Women", Molecular Human Reproduction, vol.9, no.11 (2003): 681-700.

208
Gambar 20. Anatomi Uterus dan Cervix Uteri

Bagian lain dari uterus yang sangat penting ialah endometrium (selaput
lendir cavum uteri), yang tersusun dari epithelium, glandula-glandula, dan jaringan
interglandular mesenchym yang banyak pembuluh darah.426 Pada endometrium
terdapat lubang kecil, muara dari kelenjar endometrium. Variasi tebal tipisnya dan
fase pengeluaran lendir endometrium ditentukan oleh perubahan hormonal dalam
siklus menstruasi. Lapisan mukosa tipis dan warna pink membatasi rongga uterus
pada wanita yang tidak hamil. Ketebalannya bervariasi antara 0,5 mm ” 5 mm.
Epithel permukaan endometrium tersusun dari satu lapis sel cilia columnar
yang sangat rapat. Adapun jaringan penyangga endometrium berupa stroma
mesenchym, ialah antara epithelium pada permukaan dengan myometrium.427
Jaringan ini secara histologis akan berubah-ubah mengikuti siklus ovarium.428
Arsitektur vaskular uterus dan endometrium adalah tanda sangat penting dalam
kehamilan. Dinding pembuluh-pembuluh darahnya bersifat respon sensitif terhadap
aktifitas sejumlah hormon, khususnya vaso konstriksi yang kemungkinan besar
berperan penting dalam mekanisme menstruasi. Adapun arteri-arteri pada basal
endometrium tidak bersifat responsif terhadap aktifitas hormon. Setelah
menopause, endometrium mengalami atrofi dan epitheliumnya mendatar.429
Glandula-glandula menghilang secara bertahap, dan jaringan interglandula menjadi
lebih fibrous.430

426
Cunningham, et al., Williams Obstetrics, 24-25.
427
N. Auersperg, I.A. MacLaren, P.A. Kruk, "Ovarian Surface Epithelium:
Autonomous Production of Connective Tissue-Type Extracellular Matrix", Biology of
Reproduction 44 (1991): 717”724.
428
J.F. Woessner Jr, N. Morioka, C. Zhu, et al., "Connective Tissue Breakdown in
Ovulation", Steroids 54 (1989): 491”499.
429
D.F. Archer, K. McIntyre-Seltman, W.W. Wilborn, et al., "Endometrial
Morphology in Asymptomatic Postmenopausal Women", American Journal of Obstetrics
and Gynecology 165 (1991): 317”322.
430
D.R. Grow, "Metabolism of Endogenous and Exogenous Reproductive
Hormones", Obstetrics and Gynecology Clinics Of North America 2002, 29:425-436.

209
Bagian uterus yang juga tidak kalah pentingnya ialah myometrium.431
Myometrium merupakan porsi terbesar dari uterus, yang dibentuk dari kumpulan-
kumpulan otot halus yang menyatu dengan jaringan penyangga yang banyak
mengandung serat-serat elastis. Pada bagian dinding dalam corpus uteri lebih
banyak mengandung otot dibandingkan pada lapisan luarnya. Demikian pula di sisi
anterior dan posterior, otot-otot ini lebih banyak dibandingkan pada sisi lateral.
Selama kehamilan, myometrium bagian atas uterus akan menjadi hipertrofi, namun
tidak ada perubahan yang signifikan pada otot-otot cervix.

c. Tuba Falopii432
Tuba ini memanjang dari uterus sepanjang 8 hingga 14 cm, di mana pada
setiap tuba terdiri dari portio interstisial, isthmus, ampulla, dan infundibulum. Pada
portio interstisial menyatu dengan dinding otot uterus. Isthmus dari tuba falopii
bersama dengan uterus, memanjang secara gradual menjadi lebih luas dari diameter
2-3 mm menjadi 5-8 mm pada bagian lateral, atau disebut juga dengan ampulla.
Sedangkan infundibulum merupakan bagian ujung ber-fimbria dan terbuka ke arah
rongga abdomen.
Kedua tuba adalah organ yang kaya dengan jaringan elastis, pembuluh
darah, dan pembuluh lympha. Demikian pula secara extensif terdapat inervasi saraf
simpatis, dan sedikit saraf parasimpatis.
Fungsi tuba sangat penting yaitu :433
1) Untuk menangkap ovum yang dilepaskan saat ovulasi.
2) Sebagai saluran dari spermatozoa, ovum dan hasil konsepsi.
3) Tempat pertumbuhan dan perkembangan hasil konsepsi sampai membentuk
blastula.

d. Ovarium
Ovarium terdapat dua buah yaitu terletak pada kanan dan kiri. Ovarium ke
arah uterus tergantung pada ligamentum infundibulopelvicum dan melekat pada
ligamentum latum melalui mesovarium.
Posisi ovarium bervariasi, tetapi pada umumnya terletak di bagian atas
rongga pelvis dan sedikit menurun pada dinding lateral pelvis. Fossa ovari
Waldeyer ini terletak di antara cekungan pembuluh darah iliacus interna dan
externa. Ovarium melekat ke ligamentum latum oleh mesovarium. Ligamen utero-
ovarian memanjang dari lateral dan posterior uterus, persis di bawah insersi tuba.
Dibungkus oleh peritoneum dan dibangun dari otot dan jaringan ikat. Ovarium
terdiri dari cortex dan medulla. Bagian cortex mengandung oocyt dan folikel-folikel

431
Cunningham, et al., Williams Obstetrics, 25.
432
Cunningham, et al., Williams Obstetrics, 28-29.
433
Ovrang Djahanbakhch, Ertan Saridogan, M. Ertan Kervancioglu, et al.,
"Secretory Function of the Fallopian Tube Epithelial Cells In Vitro", Trophoblast Research
13 (1999): 87-104.

210
yang berkembang.434 Bagian medulla terletak di bagian tengah ovarium,
mengandung banyak sekali arteri dan vena, serta sedikit otot halus. Ovarium
disuplai oleh saraf simpatis maupun parasimpatis.435

e. Parametrium/ Jaringan Ikat Penyangga


Jaringan ikat ini terletak antara kedua lembar ligamentum latum.

Gambar 21. Anatomi Uterus dan Sekitarnya436

2. Fisiologi Uterus
Uterus dengan lapisan lendirnya (endometrium) merupakan organ akhir
proses siklus mentruasi, dimana hormon estrogen dan progesteron mempengaruhi
pertumbuhananya. Selama pertumbuhan dan perkembangan, folikel primodia
mengeluarkan hormon estrogen yang mempengaruhi endometrium ke dalam proses
proliferasi sejak akhir mentruasi sampai terjadi ovulasi.437
Pada ovarium, korpus rubrum yang segera menjadi korpus luteum
mengeluarkan hormon estrogen dan progesteron yang makin lama makin tinggi

434
Chiarella Sforza, Laura Vizzotto, Virgilio F. Ferrario, Antonino Forabosc,
"Position of Follicles in Normal Human Ovary During Definitive Histogenesis", Early
Human Development, vol. 74, issue 1 (October 2003): 27”35.
435
Hassen Chaabani, "A Theoretical Ovary Position in Link with the Global
Anatomical Structure of Each Human Female Body", International Journal of Modern
Anthropology 6 (2013): 78-84.
436
Berek, Jonathan S., et al., Berek & Novak's Gynecology, 107.
437
Phillip Kezele, Michael K. Skinner, "Regulation of Ovarian Primordial Follicle
Assembly and Development by Estrogen and Progesterone: Endocrine Model of Follicle
Assembly", Endocrinology, vol. 144, issue 8 (August 2003): 3329”3337.

211
kadarnya. Hormon estrogen dan progesteron menyebabkan endometrimum pada
fase sekresi.438 Korpus luteum selanjutnya akan mengalami regresi hingga
pengeluaran hormon estrogen dan progesteron makin berkurang. Akibat
pengeluaran estrogen dan progesteron turun, terjadi vasokonstriksi pembuluh darah
darah dan segera diikuti vasodilatasi. Situasi demikian menyebabkan pelepasan
lapisan endometrium dalam bentuk serpihan dan perdarahan yang disebut
menstruasi.439
Kira-kira setiap 28 hari, hormon gonadotropik dari kelenjar hipofisis
anterior menyebabkan sekitar 8 sampai 12 folikel yang baru mulai tumbuh di dalam
ovarium. Satu dari folikel ini akhirnya menjadi matur dan berovulasi pada hari ke-
14 siklus seksual. Selama pertumbuhan folikel, akan disekresi banyak estrogen.440
Setelah ovulasi, sel-sel sekretorik pada folikel berkembang menjadi corpus
luteum yang mensekresi sebagian besar hormon wanita utama, progesteron dan
estrogen. Sesudah 2 minggu kemudian, corpus luteum akan berdegenerasi,
sedangkan hormon ovarium yaitu estrogen dan progesteron akan sangat berkurang
jumlahnya dan akan terjadi menstruasi. Keadaan ini diikuti dengan siklus ovarium
yang baru.441
Terjadi perubahan fisiologis yang sangat besar selama kehamilan, yang bisa
jadi tidak tampak nyata secara klinis. Dengan demikian perubahan kadar metabolik
adalah lebih nyata, sebagai contoh, dibandingkan dengan perubahan-perubahan
sistim renin angiotensin.442 Meskipun demikian, perubahan-perubahan fisiologis
mengharuskan adanya perubahan-perubahan pada konsumsi energi berikut
penggunaannya. Kebutuhan energi pada kehamilan diakibatkan karena:
a. Proses fisiologis yang mendasar, seperti pernapasan, sirkulasi darah,
pencernaan, sekresi, regulasi suhu, pertumbuhan dan regenerasi sel-sel
membutuhkan sekitar 1440 kcal/hari atau 66% dari total energi pada keadaan
tidak hamil. Adapun dalam keadaan hamil, maka kebutuhan proses-proses
tersebut akan semakin bertambah seiring dengan kebutuhan foetus, plasenta,
membesarnya uterus serta payudara, dll.
b. Aktifitas kehidupan sehari-hari pada wanita yang tidak hamil membutuhkan
energi sekitar 360 kcal/hari atau 17% dari penggunaan total energi. Adapun jika
dalam keadaan hamil, kebutuhan ini relatif menurun secara variatif, terkait
dengan berkurangnya aktifitas sehari-hari.

438
R.L. Stouffer, "Progesterone as a Mediator of Gonadotrophin Action in the
Corpus Luteum: Beyond Steroidogenesis", Human Reproduction Update, Vol.9, No.2
(2003): 99-117.
439
Kristen Johnson, "The Female Hormonal Cycle and Mathematical Difference
Equations", http://itech.fgcu.edu/&/issues/vol1/issue2/hormone.htm. Diakses 30 Juli 2014.
440
Kevin P. Hanretty, et.al., Obstetrics Illustrated (Edinburgh: Churchill
Livingstone, 6th ed., 2004), 19. Guyton & Hall, Textbook of Medical Physiology
(Philadelphia: Elsevier Saunder, 11th ed., 2006), 1021-1022.
441
Kristen Johnson, "The Female Hormonal Cycle and Mathematical Difference
Equations", http://itech.fgcu.edu/&/issues/vol1/issue2/hormone.htm. Diakses 30 Juli 2014.
442
G. Valdes, et al., "Distribution of Angiotensin-(1”7) and ACE2 in Human
Placentas of Normal and Pathological Pregnancies", Placenta 27 (2006): 200”207.

212
c. Pekerjaan rutin atau periodik. Kebutuhan energi yang terkait dengan pekerjaan
adalah berbeda-beda, namun berkisar pada 150-200 kcal/hari atau 10%. Ini akan
menurun seiring pertambahan usia kehamilan, terutama pada trimester terakhir.
d. Metabolisme makanan yang distimulasi oleh asupan makanan yang
mengandung 150 kcal/hari atau 7%. Realita ini seharusnya terpenuhi dengan
bertambahnya konsumsi selama kehamilan, dimana kebutuhan pertumbuhan
energi secara umum ialah sebesar 14%. Adapun selama masa laktasi, kebutuhan
ini meningkat menjadi 3000 kcal/hari untuk memproduksi ASI.

Tabel 4. Grafik Kadar Hormon pada Siklus Haid

3. Fertilisasi 443
Fertilisasi terjadi di tuba falopii, yaitu tempat bersatunya sperma dan ovum
untuk membentuk zigot. Zigot ini terus membelah diri berulang-ulang sambil
berlalu di tuba falopii menuju rongga uterus. Sel-sel yang terus menerus membelah
diri tersebut, berkembang menjadi embryo, yang terus menjadi foetus, placenta dan
foetal membran.
Precursor primitif dari chorionic membran menghasilkan Human Chorionic
Gonadotrophin (HCG). hCG memiliki aksi biologis sangat mirip dengan LH. Pada
14 hari pertama setelah pertumbuhan fertilisasi uterin dan perkembangan decidua
(endometrium dalam keadaan hamil), adalah diatur oleh corpus luteum di bawah
pengaruh pituitari, sehingga kemudian kadar LH pituitary berkurang sebagai respon
dari meningkatnya kadar HCG.444
Di bawah pengaruh HCG, corpus luteum terus tumbuh dan mengeluarkan
sekret ovarian steroid untuk memelihara pertumbuhan uterus. Kadar HCG akan
mencapai puncaknya sekitar 10-12 minggu, kemudian turun ke kadar rendah yang
konstan selama kehamilan. Respon terhadap penurunan ini adalah berkurangnya

443
Kevin P. Hanretty, et.al., Obstetrics Illustrated, 5.
444
Y. Ilkka, Jarvela, Aimo Ruokonen, Aydin Tekay, "Effect of Rising hCG Levels
on the Human Corpus Luteum During Early Pregnancy", Human Reproduction, vol.23,
no.12 (2008): 2775 ” 2781.

213
keluaran oestrogen dan progesteron ovarii. Tatkala kontribusi ovarium untuk
memelihara kehamilan ini berkurang, maka placenta menambah produksi steroid.
Produksi steroid placenta adalah sangat impresif dan sebanding dengan hormon-
hormon yang diproduksi oleh hypothalamus dan pituitary. Kapasitas produksi
hormon-hormon ini bertambah pada periode awal pertumbuhan placenta.445

4. Pertumbuhan dan Perkembangan Janin Dalam Rahim


Pertumbuhan dan perkembangan janin dipengaruhi beberapa faktor dan
subfaktor sebagai berikut :446
a. Faktor ibu
1) Keadaan kesehatan ibu saat hamil
2) Penyakit yang menyertai kehamilan
3) Kelainan pada uterus
4) Kehamilan tunggal atau ganda
5) Kebiasaan ibu seperti merokok, alkohol dan narkoba
b. Faktor janin
1) Jenis kelamin janin
2) Kelainan herediter
3) Kelainan kongenital
4) Infeksi intrauterin
c. Faktor plasenta
Plasenta adalah akarnya janin untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik dalam rahim. Oleh karena itu plasenta sangat penting artinya untuk
menjamin kesehatan janin dalam rahim. Plasenta berfungsi sebagai mediator
nutritif yaitu alat untuk menyalurkan bahan nutrisi dari ibu ke janin.

Fisiologi Pertumbuhan Janin: 447


a. Pembentukan darah janin. Pembentukan darah janin memerlukan persediaan Fe
dalam hati, limpa dan sumsum tulang ibu. Pada mulanya, sel darah janin
dibentuk oleh kantung yolk dalam bentuk megaloblast. Selanjutnya darah janin
dibentuk oleh hati dan sumsum tulang janin itu sendiri dalam bentuk megalosit
dan makrosit.
b. Pernapasan janin. Sesaat setelah kelahiran, paru”paru bayi mulai berkembang
dengan sendirinya karena rangsangan mekanis saat membersihkan jalan
pernapasan dan juga terdapatnya lesitin dan spingomielin yang memberikan
peluang berkembangnya paru”paru.
c. Peredaran darah janin. Sistem peredaran darah janin berbeda dengan sistem
peredaran darah orang dewasa karena paru”paru janin belum berkembang
sehingga O2 diambil melalui perantaraan plasenta.

445
V.E. Murphy, R.J. Fittock, P.K. Zarzycki, et al., " Metabolism of Synthetic
Steroids by the Human Placenta", Placenta, vol. 28, issue 1 (January 2007): 39-46.
446
http://www.sciencedaily.com/articles/f/fetus. Diakses pada 27 Mei 2014.
447
A. Henry Sathananthan, Introduction To Human Embryology (Melbourne:
Monash Institute of Reproduction & Development, Monash University, t.t.), 17-18.

214
d. Pencernaan makanan. Pencernaan makanan mulai tumbuh pada minggu ke -16.
Secara rutin janin minum air ketuban sebanyak 450 ml dalam 24 jam. 448

5. Konsekuensi Penggunaan Uterus yang Intensif


Wanita yang telah melahirkan lebih dari 5 kali disebut grande multipara.
Hal ini dapat mengakibatkan jaringan penyangga uterus menjadi longgar dan
kontraksi uterus melemah.449 Dengan adanya kelemahan tersebut berpotensi
terjadinya pendarahan, syok pendarahan, anemia dan abortus.450

a. Pendarahan
Kontraksi uterus yang lemah dan jaringan penyangga yang longgar mengakibatkan
pendarahan tidak berhenti. Hal tersebut terjadi karena fungsi kontraksi uterus
adalah mengurangi dan menghentikan pendarahan dengan cara vasokontriksi
pembuluh-pembuluh darah pada rahim. Pendarahan yang banyak akan
mengakibatkan syok pendarahan.

b. Syok pendarahan (haemorrhagic shock)451


Pendarahan dalam jumlah yang banyak dan terjadi secara akut dapat menyebabkan
syok hipovolemik, dimana volume cairan darah intravaskuler berkurang secara
drastis dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang singkat. Penyebab
utamanya ialah pendarahan akut lebih dari 20 % volume darah total. Penanganan
syok pendarahan yaitu dengan pemberian infus intravena452 dan tranfusi darah.
Pendarahan yang hebat berpotensi menyebabkan anemia pada kehamilan.

c. Anemia
Pada saat kehamilan terjadi peningkatan volume plasma darah, sehingga kadar
Haemoglobin relatif menjadi lebih rendah. Kriteria anemia pada kehamilan jika
kadar hemoglobin di bawah 11 gr % pada trimester 1 dan 3 atau kadarnya kurang
dari 10,5 gr % pada trimester 2. Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan
oleh defisiensi Fe dan pendarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling
berinteraksi. Kebutuhan zat besi pada ibu selama kehamilan yaitu sebesar 800 mg,
diantaranya 300 mg untuk janin dan plasenta, sedangkan 500 mg untuk
pertambahan eritrosit ibu. Dengan demikian ibu hamil membutuhkan sekitar 2-3

448
Rudolf Cardinal, Reproduction”Fetal Development, Placenta & Maternal
Physiology, 22/24 Nov 1998.
449
"Health Encyclopaedia", University of Rochester Medical Centre.
http://www.urmc.rochester.edu/Encyclopedia/Content.aspx?ContentTypeID=85&ContentI
D=P08021. Diakses pada 26 Mei 2014.
450
"Complications in a Multiples Pregnancy, 2014". http://americanpregnancy.org/
multiples/complications.htm. Diakses pada 26 Mei 2014.
451
Syok (Shock) secara medis ialah keadaan insufiensi aliran darah dan oksigen ke
organ-organ vital. Syok dapat mengakibatkan kerusakan pada banyak organ tubuh. Syok
memerlukan penanganan secepatnya, karena dapat cepat berakibat fatal bagi pasien.
452
Biasa diberikan infus cairan isotonik, seperti Ringer Lactat atau Natrium
Chlorida untuk menjaga stabilitas volume darah dan permeabilitas pembuluh darah.

215
mg besi per hari. Terapi anemia yang disebabkan kekurangan zat besi ialah dengan
pemberian preparat besi (Fe) secara oral, seperti ferro sulfat, ferro glukonat, atau
Na-ferro bisitrat. Pemberian preparat Fe 60 mg per hari dapat menaikan kadar Hb
sebanyak 1 gr % per bulan.453

d. Abortus
Kehamilan yang berulang kali dan dalam interval yang pendek, akan dapat
mengakibatkan serviks uteri menjadi longgar dan kendur, sehingga terjadi serviks
incompetent.454 Kondisi ini berpotensi untuk terjadinya persalinan prematur,
bahkan dapat menyebabkan abortus.455 Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan
pada usia kehamilan sebelum 22 minggu atau berat janin di bawah 500g. Selain itu,
serviks incompetent juga berpotensi terhadap infeksi dari luar yang berkembang
menjadi infeksi kandungan.

e. Bayi dengan retardasi mental


Lemahnya fungsi rahim menyebabkan lingkungan dalam rahim menjadi buruk
untuk pertumbuhan dan perkembangan janin. Hal ini menyebabkan persalinan
prematur dan bayi yang lahir mengalami retardasi mental.456 Retardasi mental atau
keterbelakangan mental merupakan gangguan pertumbuhan (ukuran janin dan
perkembangan) psikologi mulai dalam kandungan sampai dengan lahir.457

f. Prolaps uteri
Prolaps uteri adalah kondisi dimana uterus lepas dari kedudukan yang semestinya,
yaitu turun keluar melalui vagina, karena jaringan penyangga yang sangat
kendur.458 Prolaps uteri merupakan kondisi ginekologis yang sering dijumpai,

453
Anemia ringan merupakan kondisi yang banyak terjadi pada ibu hamil. Untuk
mencegahnya, biasa dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung
zat besi atau diberikan suplemen yang mengandung zat besi.
454
Vidyadhar B. Bangal, et al., "Pregnancy Outcome Following Cervical
Encerclage Operation", International Journal of Biomedical Research , vol. 3, issue 04
(2012): 205‐208.
455
Barbara Luke, "Cervical Incompetence and Abortion", A New Zealand Resource
for Life Related Issues. http://www.life.org.nz/abortion/abortionmedicalkeyissues/
riskcervical damage/. Diakses pada 30 Juli 2014.
456
John Hilhorst, "Consequences of Prematurity", Learn Pediatrics, University of
British Columbia. http://learnpediatrics.com/body-systems/neonate/consequences-of-
prematurity/. Diakses pada 30 Juli 2014.
457
Retardasi mental ialah suatu kondisi psikologis dengan fungsi intelektual di
bawah rata-rata umum masyarakat dan adanya ketidakmampuan melakukan ketrampilan
yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari. Diagnosa ditegakkan atas kondisi ini sebelum
usia 18 tahun, bahkan biasanya pada usia bayi, atau dapat diprediksikan sebelum lahir.
Retardasi mental terjadi pada 1-3% dari populasi. Lihat: http://www.psychologytoday.com/
conditions/mental-retardation. Diakses pada 28 Mei 2014.
458
Sarah Ringold, "Uterine Prolapse", Journal of the American Medical
Association, vol. 293, no. 16 (April 2005): 2054.

216
namun jarang terjadi pada masa kehamilan dengan estimasi insidensinya 1 dari
10.000-15.000 persalinan.459

Atas alasan proses fisiologis, patologis dan resiko-resiko bagi ibu hamil
seperti di atas, maka para wanita di Negara-negara Barat merasa enggan untuk
hamil. Bahkan sebagian dari mereka enggan untuk menikah dan hamil. Dari sisi
wanita pemilik ovum, bukan hanya faktor biologis yang tidak memungkinkan,
namun juga pada kasus-kasus untuk mengeliminir faktor resiko, atau bahkan demi
faktor kesibukan, keengganan, atau sekedar estetika. Adapun bagi pihak wanita
yang mengandung, terjadi perubahan paradigma dari sekedar rahim titipan (non
profit) berubah menjadi profesi yang menguntungkan. Faktor-faktor tersebut turut
menambah berkembang pesatnya modus penyewaan rahim. Hal ini menjadi
perbincangan yang serius dari sisi hukum, etika, dan pandangan dari semua agama.

O. Rahim Titipan

Rahim titipan (surrogate womb, surrogate mother)460 ialah wanita yang


setuju untuk mengandung janin ”baik dengan transaksi sewa ataukah tidak-- dari
suatu pasangan,461 dimana istrinya infertil dan/atau secara fisik tidak dapat
mengandung. Terkadang wanita pemilik rahim titipan adalah ibu biologis dari anak
tersebut, yaitu melalui in-vitro-fertilization dengan sperma suaminya. Dapat pula
berupa mengandung hasil pembuahan yang berasal dari sprema dan ovum pasutri
lain. 462
Rahim titipan ini diakui menimbulkan masalah etik dan legal yang rumit.
Meskipun demikian di beberapa negara Eropa dan sejumlah negara bagian AS
membolehkan rahim titipan dengan menggunakan transaksi bisnis.463
Metode pembuahan sebelum ke rahim titipan ialah dengan cara:
1. In-vitro-fertilization (IVF); yaitu pembuahan ovum oleh sel sperma di dalam
cawan petri yang dilakukan oleh petugas medis. Setelah terjadi pembuahan
(zygote), maka zygote tersebut ditanamkan ke dalam rahim.
2. Inseminasi buatan (artificial insemination); yaitu suatu teknologi reproduksi
berupa teknik menempatkan sperma di dalam vagina wanita. Pertama kali

459
L. Guariglia, et al., "Uterine Prolapse in Pregnancy", Gynecologic and Obstetric
Investigation 60 (2005): 192-194.
460
Ada beberapa istilah dalam bahasa Arab yang menyatakan tentang rahim titipan,
dan semuanya berkonotasi persewaan. Istilah tersebut ialah " ", atau " "
atau " " atau " ".
461
Dalam sudut pandang Islam, ‚pasangan‛ yang dimaksud ialah pasangan suami
istri. Dalam definisi yang berlaku internasional, tidak disebut suami istri ( husband & wife),
tapi dicukupkan dengan couple atau spouse, karena dalam budaya Barat juga bisa berarti
pasangan hidup bersama tanpa menikah (living together).
462
Makalah disampaikan sebagai standing paper untuk Komisi B pada Ijtima’
‘Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia, Pondok Modern Gontor, 2006.
463
The Columbia Encyclopedia, 6th ed., 2006.

217
berhasil dipraktekkan pada tahun 1970. Ini antara lain bermula dari
ditemukannya teknik pengawetan sperma, yang mampu bertahan hidup lama
bila dibungkus dalam gliserol yang dibenamkan dalam cairan nitrogen pada
temperatur -321 derajat Fahrenheit.
Dalam melakukan fertilisasi-in-vitro (IVF), transfer embrio dilakukan
dalam tujuh tingkatan dasar yang dilakukan oleh petugas medis, yaitu :464
1. Istri diberi obat pemicu ovulasi yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid
dan baru dihentikan setelah sel-sel telurnya matang. Obat ini berfungsi untuk
merangsang indung telur mengeluarkan sel telur.
2. Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari melalui pemeriksaan darah istri
dan pemeriksaan ultrasonografi.
3. Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum (punksi) melalui
vagina dengan tuntunan ultrasonografi.
4. Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut dibuahi oleh
sel sperma suaminya yang telah diproses sebelumnya dan dipilih yang terbaik.
5. Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam cawan petri kemudian
dibiakkan di dalam lemari pengeram. Pemantauan dilakukan 18-20 jam
kemudian, dan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembelahan sel
6. Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini. Kemudian
diimplantasikan ke dalam rahim wanita yang akan mengandungnya. Pada
periode ini tinggal menunggu terjadinya kehamilan.
7. Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak terjadi
menstruasi, dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu
kemudian dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi.

1. Pemanfaatan Surrogate Mother 465

a. Inseminasi buatan (Artificial Insemination /AI)


Sperma suami diinjeksikan pada rahim titipan. Ovum berasal dari wanita pemilik
rahim yang dititipkan untuk hamil. Wanita tersebut adalah bukan istri pria pemilik
sperma. Kemudian embrio terus tumbuh dan berkembang di rahim wanita tersebut.
Secara genetik si anak berhubungan darah dengan wanita pemilik rahim titipan. 466
Akan tetapi secara hukum si istri harus mengadopsi anak tersebut.467

464
HFEA ialah Human Fertilization & Embryology Authority. Sebuah lembaga
yang memberikan lisensi dan memonitor klinik-klinik fertilitas dan semua riset-riset terkait
embrio manusia di Inggris, serta memberikan informasi yang otoritatif kepada publik.
Lihat: http://www.hfea.gov.uk/IVF. Diakses pada 30 Mei 2014.
465
"Options Available", Surrogate Mothers Inc., Indiana. http://www.
surrogatemothers.com/options.html. Diakses pda 2 Juni 2014.
466
G.N.Clarke, H. Bourne, P. Hill, "Artificial Insemination and In-Vitro
Fertilization Using Donor Spermatozoa: A Report on 15 Years of Experience", Human
Reproduction, vol.12, no.4 (1997):.722”726.
467
Linda J. Lacey, "The Law of Artificial Insemination and Surrogate Parenthood
in Oklahoma: Roadblocks to the Right to Procreate", Tulsa Law Journal, vol. 22, no. 3
(Spring 1987): 281-324.

218
b. Fertilisasi in-vitro/transfer embrio (in-vitro fertilization/ IVF atau Embryo
Transfer/ET)
Embrio yang merupakan hasil kombinasi sel telur dan sperma dari pasutri
diimplantasikan pada rahim wanita lain pemilik rahim titipan. Anak yang
dilahirkan tidak memiliki hubungan darah dengan wanita pemilik rahim titipan.
Nama pasangan suami istri tersebut dapat ditulis pada akte kelahiran si anak.

c. Fertilisasi in-vitro/donor sel telur (In-vitro fertilization/IVF with Egg Donor/EG)


Sel telur berasal dari pendonor dan sperma berasal dari suami. Setelah dilakukan
pembuahan di laboratorium dan sel-sel terus membelah diri hingga tahap embrio,
kemudian embrio ditanam di rahim titipan. Secara genetik anak tersebut tidak
berhubungan darah dengan wanita pemilik rahim titipan. Secara hukum hanya
nama sang ayah (suami) saja yang dicantumkan pada akte kelahiran anak. Si istri
mengadopsi anak tersebut.

d. Inseminasi buatan dengan donor (Artificial Insemination by Donor/AID)


Sel telur berasal dari wanita pemilik rahim titipan, sedangkan sperma berasal dari
pendonor. Setelah dilakukan pembuahan di laboratorium, kemudian embrio
diinjeksikan ke dalam rahim titipan. Program ini dilakukan karena pasangan suami
istri mandul. Secara genetik si anak berhubungan darah dengan wanita pemilik
rahim titipan. Pasutri tersebut dapat mengadopsi anak tersebut.468

e. Donor Sel Telur (Egg Donor)469


Seorang wanita mendonorkan sel telurnya dan dibuahi oleh sel sperma dari sang
suami. Setelah dilakukan pembuahan di laboratorium, embrio tersebut ditanamkan
pada rahim istrinya. Janin memiliki hubungan darah dengan wanita pendonor sel
telur, namun istri yang mengandung dalam rahimnya. Maka si istri tidak perlu
mengadopsi anak tersebut.

f. Embrio Somatik470
Berbagai teknologi reproduksi telah berkembang dewasa ini dan mengalami
kemajuan pesat yaitu mulai diterapkannya inseminasi buatan, perlakuan hormonal,
donor sel telur dan sel sperma, kultur telur dan embrio, pembekuan sperma dan

468
G.N.Clarke, H. Bourne, P. Hill, "Artificial Insemination and In-Vitro
Fertilization Using Donor Spermatozoa: A Report on 15 Years of Experience", Human
Reproduction, vol.12, no.4 (1997):.722”726.
469
Robert Steinbrook, "Egg Donation and Human Embryonic Stem-Cell Research",
New England Journal of Medicine 354 (January 2006): 324-326.
470
Jose B. Cibelli, "Somatic Cell Nuclear Transfer in Humans: Pronuclear and Early
Embryonic Development", The Journal of Regenerative Medicine, vol. 2 (November 2001):
25-31.

219
embrio, GIFT (Gamet Intrafallopian Transfer),471 ZIFT (Zygote Intrafallopian
Transfer),472 IVF (In vitro Fertilization), parthenogenesis473 dan kloning.474

2. Syarat-Syarat Surrogate Mother


Istilah surrogate mother dikenal pula dengan sewa rahim, di mana hasil
pembuahan suami isteri ditempatkan di dalam rahim wanita lain yang menyewakan
rahimnya. Untuk menjadi surrogate mother, diperlukan syarat-syarat berikut:475
a. Wanita berumur antara 18-35 tahun; idealnya ialah 28 tahun
b. Sudah menikah dan memiliki anak
c. Memiliki pekerjaan
d. Berasal dari kelas menengah
e. Wanita yang sehat secara fisik maupun psikis
f. Memiliki sifat senang membantu orang lain
g. Murah hati atau dermawan; memiliki perhatian (emphaty)
h. Memiliki tujuan untuk membantu pasangan untuk memiliki anak
i. Tidak termotivasi oleh uang
476
j. Bertanggung jawab dalam membesarkan janin dalam kandungannya

Wanita pemilik rahim titipan (surrogate mother) tersebut harus memeriksa


kesehatan janinnya secara teratur. Laporan riwayat medis tentang kondisi
kesehatan wanita pemilik rahim titipan dan laporan psikologi secara lengkap
diberikan pada pasutri yang menginginkan program rahim titipan. 477
Kesuksesan dari program rahim titipan ini bergantung dari banyaknya
sperma yang diproduksi dari suami dan kemampuan rahim menerima sperma.
Sebanyak 85 % dari pasutri yang menggunakan jasa rahim titipan biasanya
menginginkan 1 anak saja.

471
I.N. Hiduja, A.K. Gupta, J.P. Shah, "Gamete Intra Fallopian Transfer: A
Preliminary Experience", The National Medical Journal of India, Vol.4, No.2 (1991): 55-58.
472
G. Palermo, P. Devroey, M. Camus, "Zygote Intra-Fallopian Transfer as an
Alternative Treatment for Male Infertility", Human Reproduction, vol. 4, issue 4 (1989):
412-415.
473
Ursula Mittwoch, "Parthenogenesis", Journal of Medical Genetics, vol. 15, issue
3 (June 1978): 165”181.
474
Francaoise Baylis, "Human Cloning: Three Mistakes and an Alternative",
Journal of Medicine and Philosophy, vol. 27, no. 3 (2002): 319-337.
475
"Surrogate Mother Requirements", The Surrogacy Source, New York.
http://www.thesurrogacysource.com/ requirements_surrogate_mother.htm. Diakses pada 2
Juni 2014.
476
"Surrogate Mother Requirements", Surrogacy in Canada Online. http://www.
surrogacy.ca/resources/articles/93-surrogate-mother-requirements.html. Diakses pada 5 Juni
2014.
477
"Typical Surrogate Mom Profile", Centre for Surrogate Parenting Inc. ,
Annapolis, Maryland. https://www.creatingfamilies.com/surrogate-mothers/default.aspx?
id=&type= 131.U7M_zCj_NjQ. Diakses pada 2 Juni 2014.

220
Hubungan antara wanita pemilik rahim titipan dengan pasutri berlanjut
terus sejak masa mengandung sampai kelahiran anak. Biasanya hubungan tersebut
berakhir setelah bayi lahir.
Hingga tahun 1988 terdapat kurang lebih 26 negara bagian Amerika Serikat
telah memiliki undang-undang mengenai program surrogate mother, seperti: New
York, Miami, Columbia, dll. Sebelum bayi lahir, pengacara ke pengadilan untuk
menetapkan bahwa suami (dari pasangan suami istri) tersebut merupakan ayah
kandung dari anak yang akan dilahirkan. Serta nama ayah tersebut dicantumkan
pada nama bayi di akte kelahiran. Setelah bayi lahir, si wanita pemilik rahim
titipan mengisi kontrak persetujuan yang berisi mengenai hak-hak pengasuhan anak
pada pasutri tersebut dan memberikan hak kepada pasutri (khususnya istri) untuk
mengadopsi anak tersebut.
Pada sisi lain, Desriza Ratman478 berpendapat bahwa ‚surrogate mother
adalah perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu
perjanjian dengan pihak lain (suami-isteri) untuk menjadi hamil terhadap hasil
pembuahan suami isteri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah
melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami isteri
berdasarkan perjanjian yang dibuat‛. Perjanjian ini lazim disebut gestational
agreement. Intinya, surrogate mother adalah perempuan yang menampung
pembuahan suami isteri dan diharapkan melahirkan anak dari hasil pembuahan
tersebut. Dengan kata lain bisa disebut sebagai ‘ibu pengganti’ atau ‘ibu wali’.479
Dari sisi hukum, wanita penampung pembuahan dianggap ‘menyewakan’ rahimnya.
Kasus sewa rahim merupakan suatu dilema. Di satu sisi masyarakat membutuhkan,
namun di sisi hukum belum ada aturan yang mengatur sewa menyewa rahim
sehingga bisa menimbulkan suatu masalah di kemudian hari yang penyelesaiannya
sangat sulit. Kenyataannya di Indonesia, surrogate mother ini dibutuhkan dan
sudah dilakukan oleh masyarakat secara diam-diam atau secara kekeluargaan.480

478
Dr. H. Desriza Ratman, MH.Kes., Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan
Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia? (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012), 3.
479
Dezriza Rahman, Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum, 35.
480
Selanjutnya lihat Sofwan Dahlan, pakar hukum kesehatan Undip, dalam Perlu
Payung Hukum Sewa Rahim, suaramerdeka.com. Mengenai peraturan di Indonesia dalam
masalah ini dapat dilihat dalam Pasal 127 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (‚UU Kesehatan‛), yang diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah
hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :
a) hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan
dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Jadi, sejauh ini yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia ialah metode pembuahan sperma
dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum
berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung. Lihat: http://www.hukumonline.
com/klinik/detail/lt514dc6e223755/status-hukum-anak-hasil-sewa -rahim. Diakses pada 16
Juni 2014.

221
P. Pembahasan Fikih tentang Rahim Titipan

1. Hukum Memiliki Anak


Apakah memiliki anak merupakan tuntutan d}aru>ri> dari suatu pernikahan,
atau hukumnya mustah}ab, ataukah hanya mubah saja. Untuk itu baiklah kita
melihat kepada beberapa ayat Al-Qur’a>n yang berkaitan dengan itu.
Tampaknya ayat-ayat Al-Qur’a>n tentang menghasilkan keturunan dalam
sebuah pernikahan, adalah lebih bersifat khabari>yah dan targhi>b, seperti berikut:

"… Dan Dia menjadikan untuk kalian melalui istri-istri kalian, berupa anak-anak
dan cucu-cucu…" (QS al-Nahl [16]: 72)
Imam al-Qurt}ubi> menafsirkan ayat ini ke dalam lima pokok, antara lain
ialah menunjukkan besarnya nikmat Alla>h dengan sebab keberadaan anak dalam
rumah tangga, serta disyariatkannya suami untuk (juga) melayani istri,481 seperti
dicontohkan Nabi Muh}ammad SAW yang menjahit (sendiri) pakaiannya dan
membersihkan (sendiri) sepatunya.482

"Harta dan anak-anak merupakan perhiasan dunia…" (QS al-Kahfi [18]: 46)
Ayat di atas merupakan penolakan halus terhadap ‘Uyaynah Ibn H{us}ayn
yang berbangga-bangga dengan anak dan harta. Dengan demikian pernyataan
tentang anak-anak di sini adalah bersifat khabari>yah, sekaligus larangan untuk
berbangga-bangga dengan keduanya.483
Selain itu terdapat hadis sahih yang memerintahkan untuk memilih istri
yang dicintai (al-wadu>d) dan berpotensi untuk melahirkan banyak anak (al-walu>d),
karena Beliau SAW akan merasa bahagia dengan banyaknya (muka>thir) umatnya:
484

"Nikahilah wanita-wanita yang kalian cintai dan (wanita-wanita tersebut)


berpotensi untuk memiliki banyak anak, karena sesungguhnya aku (akan merasa
bahagia) karena banyaknya umatku dibandingkan umat-umat lainnya".
Oleh karenanya mempunyai anak485 adalah salah satu naluri utama
manusia,486 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Al-Qur'a>n dan Hadis untuk
berupaya sekuat tenaga agar dapat memiliki anak.487

481
Ibn al-‘Arabi>, Ah}ka>m al-Qur’a>n, j.III,1149.
482
Al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, j.X, 143-145.
483
Al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, j.X, 413-414.
484
Riwayat Abu> Da>wud, al-Nasa>'i>, al-Bayhaqi>, Ibn H{ibba>n, al-H{a>kim, al-T{abra>ni>,
Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, Abu> ‘Awa>nah, al-H{usayn Ibn Isma>‘i>l al-Mah}a>mili>, dan Yu>suf al-
Mizzi>.
485
Ruut Veenhoven, "Is There an Innate Need for Children?"European Journal of
Social Psychology, vol. 1 (1975): 495-501.
486
Luther Lee Bernard, "Instincts and the Psychoanalysts", Journal of Abnormal
Psychology and Social Psychology, XVII (1922): 350-366.

222
2. Pandangan Ulama tentang Rahim Titipan
a. Kasus-Kasus Rahim Titipan
Dalam mu'tamar Majma‘ telah mengemuka tentang tiga kasus rahim
488
titipan. Secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut.
Kasus pertama yaitu di mana ovum diambil dari istri dan dibuahi dengan
sperma suaminya dalam cawan (petri dish), kemudian embrio diletakkan pada
perempuan lain yang disewa untuk itu. Ini benar-benar terjadi, antara lain yang
menjadi kasus menghebohkan, yaitu tatkala Rita Parker setuju untuk menjadi ibu
pengganti dengan menyewakan rahimnya kepada sepasang suami-istri yang
bernama Paulin dan Harry Taylor dengan imbalan materi.
Rita Parker mengandung embrio yang terbentuk dari ovum Paulin Taylor
dengan spermatozoa suaminya, Harry Taylor. Meskipun pada mulanya Harry
Taylor ragu terhadap perempuan yang mengandung anaknya itu, namun akhirnya
keduanya saling jatuh cinta dan melakukan perselingkuhan. Tentu saja istrinya
menjadi sangat marah dan cemburu sehingga terjadilah perpecahan dalam rumah
tangga yang sebelumnya stabil dan bahagia. Setelah melahirkan, Rita Parker
menolak untuk mengembalikan anak yang dikandungnya kepada pemilik ovum.
Perasaannya berubah setelah kehamilan dan persalinan. Ia merasa bahwa dialah ibu
anak tersebut, sehingga tidak tega menyia-nyiakannya. Akhirnya ia mengajukan
masalah ini ke pengadilan, dan pengadilan pun gamang dalam membuat keputusan.
Para anggota parlemen kemudian mengusulkan untuk membuat perjanjian
yang kokoh dengan pemilik rahim sewaan agar menyerahkan anak saat kelahiran
dengan menerima honor yang dibayarkan oleh pasangan suami-istri pemilik ovum.
Dewasa ini di Los Angeles, berdiri organisasi Surrogate Mothers
Community.489 Organisasi tersebut dibanjiri oleh para pasangan yang mengalami
infertilitas dan mencari rahim sewaan. Selain itu di Amerika pun banyak berdiri
perusahaan-perusahaan penyewaan rahim. Kegiatan ini menyebar hingga ke Inggris,
namun peradilan dan opini publik di sana menolak penyewaan rahim.
Perusahaan-perusahaan tersebut tidak henti-hentinya mempromosikan
pemikiran mereka melalui media massa! Publik pun mulai mendengarkan argumen-
argumen yang diindoktrinasi oleh sebagian kolumnis dan jurnalis yang opportunis
di berbagai media. Akhirnya pendulum pemikiran pun berayun ke arah sebaliknya.
Para pendukung program ini bertambah dari waktu ke waktu.
Kasus kedua adalah pembuahan eksternal di laboratorium antara sperma
seorang laki-laki dan ovum seorang perempuan yang bukan istrinya, mereka sebut
dengan istilah pendonor. Setelah itu embrio ditanam dalam rahim seorang

487
Gamal I. Serour, "Religious Perspectives of Ethical Issues in ART 1. Islamic
Perspectives of Ethical Issues in ART", Middle East Fertility Society Journal, vol. 10, no. 3
(2005): 185-190.
488
‘Ali> al-Ba>rr, Al-Talqi>h} al-S{ina>‘i> wa At}fa>l al-Ana>bi>b, Majallah Majma‘ al-Fiqh,
vol.II, j.I, 298.
489
Lembaga-lembaga serupa saat ini telah menjamur di seantero dunia, terutama di
dunia Barat. Di samping berfungsi sebagai komunitas seminat dan/atau seprofesi, juga
untuk dapat memenuhi permintaan surrogate mother antar Negara, bahkan antar benua.

223
perempuan yang bersuami. Perempuan tersebut pun hamil dan melahirkan. Bentuk
ini tidak menyebabkan masalah apapun bagi masyarakat Barat, karena kedua
pendonor (baik pendonor ovum maupun pemilik rahim) terkadang tidak diketahui
identitasnya. Biasanya mereka menerima bayaran dari Bank Sperma.
Kasus ketiga adalah pembuahan eksternal dilakukan dalam cawan (petri
dish) laboratorium antara sperma yang diambil dari suami dan ovum yang diambil
dari seorang wanita yang bukan istrinya, disebut pendonor,490 kemudian embrio
ditanam dalam rahim istrinya. Kasus inipun tidak menimbulkan masalah di Barat,
karena wanita pemilik ovum bisa jadi mendonorkan ovumnya secara sukarela atau
menerima kompensasi. Demikian pula ada kalanya ia diketahui identitasnya oleh
pasutri, dan terkadang tidak. Yang terakhir inilah yang paling banyak terjadi.
Selain itu ‘Ali> al-Ba>rr menyampaikan sejumlah kasus lainnya, yaitu :491
1) Mahkamah tinggi Australia pada bulan November 1984 menemukan implantasi
dua janin beku yang ditinggalkan oleh pasangan kaya dari California yang mati
dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang. Suami-istri tersebut sedang
menjalani terapi bayi tabung. Setelah terapi tersebut gagal, maka embrio yang
diambil dari pasangan tersebut dibekukan dalam ruangan pendingin492 untuk
ditanam kembali saat keduanya kembali ke Australia. Namun takdir
mendahului keduanya sehingga kedua embrio yang dibekukan itu menunggu
ijin untuk ditanam dalam rahim donor untuk mengandungnya. Akhirnya terbit
dari keputusan mahkamah yang menyetujui penanaman kedua embrio tersebut
pada rahim seorang wanita pendonor.
2) Terdapat suatu kasus seorang wanita Jerman yang setuju untuk mengandung
embrio dari dua orang infertil. Ia menjadi surrogate mother. Embrio tersebut
berhasil diletakkan dalam rahimnya dan ia pun mengandung. Akan tetapi, di
tengah kehamilannya itu ditemukan bukti bahwa sebenarnya ia mengandung
dari benih suaminya, dan bahwa embrio yang diletakkan dalam rahimnya itu
tidak menempel pada rahim. Namun karena ia telah menerima uang 8.000 dolar
sebagai kompensasi untuk menjadi ibu wali, maka ia setuju untuk memberikan
anaknya kepada mereka saat persalinan untuk mereka adopsi. Inilah peradaban
abad 20, dimana seseorang menjual anaknya dengan sejumlah uang!
3) Di Inggris, terjadi kasus seorang wanita warga negara Inggris (bernama Kim
Couton) yang meminjamkan rahimnya kepada sepasang suami-istri kaya dari
Amerika dengan imbalan sejumlah uang. Mahkamah Inggris pada Januari 1985
memerintahkan wanita tersebut saat persalinan agar menjaga anak tersebut.
Kemudian suami-istri tersebut mengajukan gugatan lagi ke mahkamah tinggi,
dan akhirnya keduanya memperoleh keputusan untuk mengambil anak tersebut.
Keduanya pun mengambil anak karena telah memberi imbalan sejumlah uang

490
Robert Steinbrook, "Egg Donation and Human Embryonic Stem-Cell Research",
The New England Journal of Medicine 354 (January 2006): 324-326.
491
‘Ali> al-Ba>rr, Al-Talqi>h} al-S{ina>‘i> wa At}fa>l al-Ana>bi>b, Majallah Majma‘ al-Fiqh,
vol.II, j.I, 302.
492
Andres Salumets, Anne-Maria Suikkari, Sirpa Mäkinen, et al., "Frozen Embryo
Transfers: Implications of Clinical and Embryological Factors on the Pregnancy Outcome",
Human Reproduction, vol. 21, no. 9 (2006): 2368”2374.

224
kepada Kim Couton. Tetapi parlemen Inggris menolak keputusan ini,
khususnya setelah sekumpulan anggota parlemen melawan keputusan tersebut.
Maka dibentuklah satu panitia kerja yang terdiri dari sejumlah dokter, ahli
hukum, dan agamawan. Panitia kerja ini mengeluarkan keputusan untuk
melarang setiap jenis penyewaan rahim.
4) Di Amerika Serikat dan sebagian negara Eropa banyak berdiri perusahaan yang
menyewakan rahim. Harga sewa rahim berkisar antara 5.000 hingga 1.000 ribu
dolar Amerika. Storkes Company merupakan perusahaan yang berhasil di
bidang penyewaan rahim. Seorang remaja bernama Dominique Guerrers yang
bekerja sebagai pendonor rahim pada perusahaan Storkes menyatakan
keyakinannya bahwa ibu dari anak yang ia kandung dan lahirkan bukan sekedar
wanita yang memberinya uang melainkan adalah ibunya secara biologis.493

b. Kasus Rahim Titipan pada Pernikahan Poligami


Metode keempat di atas masih berupa teori, belum terjadi sampai dengan
Mu'tamar Majma‘ ke-2. Shaykh Mus}t}afa> al-Zarqa>’ mendeskripsikannya sebagai
pembuahan ekternal dalam cawan laboratorium antara benih suami-istri. Setelah itu
embrio ditempatkan ke dalam rahim istri yang lain yang secara sukarela mau
mengandungnya lantaran madunya tidak bisa mengandung karena suatu penyakit
dalam rahimnya.
Metode ini belum terjadi sampai sekarang, karena di Barat tidak ditemukan
pernikahan poligami,494 meskipun marak dengan kasus pembuahan buatan, bayi
tabung, dan rahim sewaan. Poligami dilarang oleh semua hukum Barat, masyarakat
memandangnya dengan sinis, dan menganggapnya sebagai perbuatan tidak beradab
dan terbelakang.495 Akan tetapi pada waktu yang sama justru mereka berhubungan
seksual secara bebas tanpa ikatan pernikahan.
Adapun di dunia Islam, syariat Islam memperkenankan pernikahan sampai
dengan empat orang istri. Pada sisi lain, pembuahan buatan, rahim donor dan bayi
tabung, seluruhnya merupakan perkara baru, belum menjadi fenomena. Meskipun
demikian, hal ini lambat laun akan menjadi fenomena. Bahkan saat ini di Jeddah
terdapat sebuah rumah sakit yang membuat statement bahwa mereka akan
menjalankan program bayi tabung sesuai dengan syariat Islam!496
Sebagai perbandingan dan bahan pertimbangan mu’tamar Majma‘ terkait,
disajikan pula keputusan (qara>r) al-Majma‘ al-Fiqhi> al-Isla>mi> li Ra>bit}ah al-‘A<lam
al-Isla>mi> dalam sidangnya ke-8 di kantor pusat Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi>, Makkah

493
Peristiwa semacam ini kemudian sering terjadi dan menjadi problema etika dan
hukum di Barat. Lihat: Bryn Williams-Jones, "Commercial Surrogacy and the Redefinition
of Motherhood", The Journal of Philosophy, Science & Law, vol. 2 (February 2002): 1-15.
494
Paul Belien, "Polygamy All Over the Place", The Brussel Journal ” The Voice of
Conservatism in Europe, http://www.brusselsjournal.com/node/480. Diakses pada 1 Agustus
2014.
495
Gregg Strauss, "Is Polygamy Inherently Unequal?", Ethics, vol. 122, no. 3 (April
2012): 516-544.
496
‘Ali> al-Ba>rr, Al-Talqi>h} al-S{ina>‘i> wa At}fa>l al-Ana>bi>b, Majallah Majma‘ al-Fiqh,
vol.II, j.I, 299.

225
al-Mukarramah, mulai hari Sabtu 28 Rabi>‘ al-Akhi>r 1405 H hingga Senin 7 Juma>di>
al-U<la> 1405 H, bertepatan dengan 19-28 Januari 1985 M. Antara lain lain mereka
membahas tentang sperma dan ovum diambil dari pasutri, yang setelah dilakukan
pembuahan pada cawan laboratorium, embrio ditanam pada rahim istri yang lain
dari suami yang sama. Ini dilakukan sukarela atas pilihannya sendiri untuk
mengandung bagi madunya yang telah diangkat rahimnya.
Sementara itu istri lain yang ditanami embrio dari ovum istri pertama
mengandung pula embrio dari ovumnya sendiri akibat hubungan seksual dengan
suaminya pada masa yang berdekatan dengan penanaman embrio tersebut. Tatkala
ia melahirkan anak kembar, tidak bisa dibedakan antara anak dari embrio yang
ditanam dengan anak dari embrio ovumnya sendiri. Bisa jadi pula salah satu dari
dua embrio tersebut mati pada fase ‘alaqah atau mud}ghah,497 tetapi ia tidak gugur
kecuali bersamaan dengan kelahiran embrio yang juga tidak diketahui apakah itu
dari embrio yang ditanam ataukah bukan. Hal itu menimbulkan percampuran nasab
dari pihak ibu pada masing-masing kehamilan dan kesamaran hukum yang
ditimbulkannya. Dalam hal ini al-Majma‘ al-Fiqhi> li Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi>
menunda (tawaqquf) penetapan hukum kasus tersebut.498
Bagaimana pun juga, kasus rahim titipan dari istri yang satu untuk
mengandung embrio madunya memicu perdebatan yang panjang di antara para
ulama fikih. Bukan dari segi keharamannya, karena mereka telah menyepakati
kebolehannya dengan sejumlah syarat.
Hal berikutnya yang menjadi perhatian para ulama adalah kehati-hatian
penuh agar tidak terjadi percampuran sperma. Selain itu, aurat perempuan tidak
boleh tersingkap kecuali di hadapan dokter muslimah. Jika tidak ada, maka diganti
dengan dokter perempuan non-muslimah. Jika tidak ada, maka diganti dengan
dokter laki-laki muslim. Jika tidak ada, maka diganti dengan dokter laki-laki non-
muslim yang amanah.

3. Perdebatan Ulama tentang Status Ibu dari Bayi yang Dilahirkan


Perdebatan menjadi tajam dan panjang terkait siapa yang menjadi ibu bagi
anak tersebut. Apakah pemilik ovum, ataukah yang mengandung dan melahirkan?
Shaykh Mus}t}afa> al-Zarqa>’ berpendapat bahwa ibunya adalah pemilik ovum.
Pendapatnya ini diikuti oleh sedikit saja ulama fikih. Namun mayoritas ulama fikih
menentang pendapat tersebut, mereka berpendapat bahwa ibu yang kepadanya
nasab anak dihubungkan adalah yang mengandung dan melahirkan. Mereka
berargumen dengan ayat-ayat Al-Qur’a>n sebagai berikut:

497
Kata ‘alaqah sering diterjemah sebagai segumpal darah. Menurut penulis,
terjemahan tersebut tidak tepat, karena dengan teknologi medis modern dapat dibuktikan
bahwa secara embriologis, proses kejadian manusia pada tahap awal tidak pernah melalui
fase segumpal darah. Selain itu kata ‘alaqah berarti sesuatu yang menggantung atau
melekat. Oleh karenanya lebih tepat diartikan sebagai benda yang melekat, yaitu fase awal
embrio sejak dimulainya implantasi pada endometrium (dinding bagian dalam rahim).
498
"Al-Qara>r al-Ra>bi‘ al-Majma‘ al-Fiqhi> li Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi>", Majallah
Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 330-331.

226
a. ‚Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.‛ (QS al-
Muja>dilah [58]: 2) Dalam ayat ini Alla>h menafikan status ibu dari perempuan
yang tidak melahirkan.
b. ‚Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya.‛ (QS al-
Baqarah [2]: 233) Ibu yang sebenarnya adalah yang melahirkan.
c. ‚Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak.‛ (QS al-Nisa>’
[4]: 7) Yang mewarisi perempuan adalah anak yang dilahirkan perempuan
tersebut.
d. ‚Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah
payah (pula).‛ (QS al-Ah}qa>f [46]: 15)

Demikianlah ringkasan bantahan ‘Ali> al-T{ant}a>wi>499 yang dimuat dalam


majalah al-Sharq al-Awsat}, dan dimuat ulang dalam buku al-Inja>b fi> D{aw’ al-Isla>m
yang diterbitkan oleh al-Munaz}z}amah al-Isla>mi>yah li al-‘Ulu>m al-T{ibbi>yah,
Kuwayt.
Adapun Badr al-Mutawalli> keluar dari kedua pendapat tersebut, dan
menetapkan bahwa pemilik ovum tidak diberi hak apapun. Sementara kelompok
ulama fikih yang lain condong kepada pendapat bahwa ia sama kedudukannya
dengan ibu yang menyusui.
Selanjutnya bagi kelompok yang berpendapat bahwa ibu si anak adalah
pemilik ovum, mereka menetapkan pemilik rahim donor sebagai ibu yang serupa
dengan ibu yang menyusui dalam hal kemahraman, tetapi tidak memiliki nasab,
tidak terjadi waris-mewarisi di antara keduanya, dan tidak pula berbagai hak dan
kewajiban seperti hak dan kewajiban ibu yang sebenarnya.
Dari pendapat-pendapat tersebut, kemudian Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>
mmutuskan untuk melarangnya.500 Namun demikian fenomena masalah ini terus
berkembang dalam masyarakat, sehingga penulis memandang bahwa tidak mustahil
Majma‘ akan membahasnya kembali di masa mendatang, seiring dengan kemajuan
teknologi kedokteran yang dapat membedakan secara genetik antara anak yang
berasal dari sel telurnya sendiri atau yang berasal dari sel telur madunya.
Dengan demikian, apabila kita kelompokkan masing-masing pendapat para
ulama di atas, maka pendapat ulama tersebut terbagi menjadi:
Kelompok pertama yang berpendapat bahwa ibu yang dapat disandarkan
nasab kepadanya ialah wanita yang memiliki ovum yang dibuahi tersebut. Adapun
ibu yang mengandungnya adalah serupa dengan ibu susu.
Kelompok kedua yang berpendapat bahwa ibu dari si anak ialah wanita
yang mengandung dan melahirkannya.

499
Shaykh ‘Ali> al-T{ant}a>wi>, seorang faqi>h, sastrawan, pernah menjadi Qa>d}i> di Syria,
mengajar di Universitas Umm al-Qura>, mengajar dan member fatwa di Masjid al-H{ara>m.
Lahir di Damaskus pada tanggal 23 Juma>di> al-Ula> 1327 H bertepatan dengan 19 Juni 1909
M. Keluarganya berasal dari T{anta>', Mesir. Wafat pada tanggal 4 Rabi>‘ al-Awwal 1420 H
bertepatan dengan 18 Juni 1999 di Jeddah dan dishalatkan di Masjid al-H{ara>m.
500
Keputusan (qara>r) no.16 (3/4) pada Mu'tamar Majma‘ al-Fiqh ke-3 di Amman.

227
Kelompok ketiga yang menetapkan bahwa anak tersebut tidak dapat
dinasabkan kepada ibunya sama sekali, seraya menambahkan bahwa wanita yang
memiliki ovum yang dibuahi tersebut tidak memiliki hak apa-apa terhadap anak.
Kelompok pertama berhujjah dengan sejumlah ayat Al-Qur’a>n dan Hadis,
yaitu sebagai berikut:
‚Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan.‛ (QS. al-Baqarah [2]: 233)
Sabda Nabi SAW: ‚Tidak ada persusuan kecuali persusuan yang bisa
menegakkan tulang dan menumbuhkan daging.‛ 501
Sabda Nabi SAW: ‚Lima persusuan yang mengenyangkan dan diketahui
(dengan pasti) itu mengakibatkan kemahraman.‛ 502
Adapun keharaman karena alasan sepersusuan adalah sama dengan alasan
nasab. Ini sebagaimana sabda Nabi SAW:
503

‛Diharamkan (orang yang dengan) sebab penyusuan, (sama dengan) apa yang
diharamkan (orang dengan) sebab hubungan nasab‛.
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa persusuan bertujuan untuk
menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan anak, sebagaimana janin
tumbuh dan berkembang dalam kandungan ibu yang hamil.. Oleh karenanya wanita
hamil dianalogikan dengan ibu susu. Qiyas ini sebenarnya kurang tegas apabila
ditinjau dari rukun dan masa>lik al-qiya>s.
Keduanya memiliki kesamaan hanya dalam hal menumbuhkan dan
membesarkan organ-organ tubuh agar dapat survive terus hidup. Akan tetapi organ
tubuh seorang bayi adalah organ tubuh yang sudah lengkap, sedangkan organ tubuh
embrio ialah dalam fase pertumbuhan dari zigot, terus membelah diri sampai
membentuk janin. Sementara itu dari berbagai segi yang lain, tampak tidak
mungkin dijadikan sebagai ‘illat hukum yang sama. Oleh karena itu kita melihat
bahwa cara istinba>t} yang diambil oleh kelompok ini tidak dapat diterima oleh
mayoritas ulama dewasa ini.
Adapun kelompok kedua ialah para ulama yang berpendapat bahwa ibu dari
si anak ialah wanita yang mengandung dan melahirkannya. Para ulama yang
berpendapat demikian, mengembalikan istilah ‚umm‛ kepada makna yang biasa
dipakai, baik secara etiomologis maupun secara terminologis yang digunakan oleh
para fuqaha>’ terdahulu.504 Mereka berhujjah dengan ayat-ayat Al-Qur’a>n seperti
berikut ini:

501
Hadis ini diriwayatkan dalam beberapa redaksi yang berbeda, namun memiliki
makna yang sama. Riwayat Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, Ah}mad Ibn H{anbal, al-Da>ruqut}ni>, al-
Bayhaqi>, Ibn ‘Abd al-Barr, al-H{a>kim, dan Ibn ‘Adi>.
502
Hadis ini diriwayatkan dalam berbagai jalan dengan sedikit perbedaan redaksi,
namun mempunyai makna yang sama. Riwayat Muslim, al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah,
al-T{ah}a>wi>, al-Da>rimi>, dan al-Bayhaqi>.
503
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, al-Nasa>’i>, Ah}mad, Ma>lik, dan al-Bayhaqi>.
504
Terdapat istilah lain yang tidak menunjukkan "ibu" secara fisik, namun juga
menunjukkan sifat atau naluri "keibuan", yaitu " ". Lihat: Dr. ‘Ali al-Qa'imi, "Ma

228
Firman Alla>h Ta‘a>la>: ‛... ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah.‛ (QS Luqma>n [31]: 14)
Firman Alla>h Ta‘a>la>: ‛... ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula).‛ (QS al-Ah}qa>f [46]: 15)
Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa ‚ibu‛ yang dimaksud dalam ayat-
ayat di atas ialah wanita yang mengandung dan melahirkannya.
Para ulama dari kelompok kedua mengambil pengertian ‚ibu" dari yang
biasa dipahami oleh masyarakat, atau disebut pula dengan ‘urf. Ini didasari oleh
pandangan masyarakat bahwa yang disebut ibu dari seorang anak ialah yang
mengandung dan melahirkannya. Pandangan ini didasari oleh pemahaman terhadap
nas}s} Al-Qur’a>n maupun Hadis, sehingga tidak bertentangan dengan keduanya.
‘Urf505 yang seperti ini dapat dipakai sebagai argumentasi hukum, sebagaimana
dikemukakan oleh Ibn al-Najja>r yang meriwayatkan dari Ibn ‘At}i>yah tentang
definisinya ‘urf, yaitu ‚setiap sesuatu yang telah dikenali jiwa dan tidak ditolak
oleh syariat‛. 506
Sementara itu kelompok ketiga menetapkan bahwa anak tersebut tidak
dapat dinasabkan kepada ibunya sama sekali. Pandangan ini bisa jadi didasari
metode sadd al-dhara>‘i’, sebagai keputusan preventif agar para wanita
menghindarkan diri dari praktek rahim titipan ini. Namun demikian, pendapat
ulama kelompok ketiga ini sangat sedikit dianut oleh para ulama.
Salah seorang anggota Majma‘, Shaykh Badr al-Mutawalli> ‘Abd al-Ba>sit}
berpendapat bahwa anak tersebut adalah milik wanita yang melahirkannya, bukan
pemilik indung telur. Ini sesuai dengan firman Alla>h, ‚Ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka.‛ (QS al-Muja>dilah [58]: 2)507
Ini adalah nas}s} yang pasti validitas dan indikasinya, apalagi redaksi ayat
berpola has}r. Demikian pula dapat dipahami dari firman Alla>h, ‚Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.‛ (QS
Luqma>n [31]: 14) Apakah wanita pemilik ovum mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah? Juga firman Alla>h, ‚Kami perintahkan kepada
manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya
mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula).‛ (QS al-Ah}qa>f [46]: 15)
Ini dari sisi nas}}s}. Sementara dari sisi makna bahwa embrio berkembang dan
menerima asupan dari darah wanita yang mengandungnya dan menanggung derita

Hiya al-Ummumah". http://www.zainealdeen.com/osra/nabeel%20up/women/makalat/What


%20mom.htm. Diakses pada 1 Agustus 2014.
505
Adapun definisi terbaik tentang al-‘urf adalah yang dirumuskan oleh Majma‘ al-
Fiqh al-Isla>mi> pada muktamar ke-5 di Kuwayt pada tanggal 1-6 Juma>di> al-U<<la> yang
bertepatan dengan tanggal 10-15 Desember 1988. Definisi ‘urf tersebut adalah ‚sesuatu
yang manusia telah membiasakannya dan mengikutinya, baik ucapan, perbuatan atau
tindakan, meninggalkan sesuatu, serta diakui oleh shara‘ ataupun tidak‛. Lihat: Majallah
Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>, vol. V, j. IV, 2921.
506
Ibn Najja>r, Sharh}} al-Kawkab al-Muni>r, j. IV, 448.
507
Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>, vol.II, j.I, 283.

229
persalinan, apakah masuk akal sekiranya anak dihubungkan nasabnya kepada selain
wanita tersebut! Atas dasar itu, anak yang dilahirkan adalah anak wanita yang
mengandung dan melahirkannya. Dengan wanita inilah hukum-hukum anak
dihubungkan terkait dengan pewarisan, kewajiban nafkah, pengasuhan, serta status
mahram hingga kepada us}u>l dan furu>‘-nya, dan lain-lain.
Di tempat lain Badr al-Mutawalli> menerangkan bahwa wanita pemilik
indung telur tidak disebut ibu. Ia berargumen dengan kisah anak pria dari budak
wanita Zam‘ah. Rasu>lulla>h SAW menetapkannya sebagai anak Zum‘ah, padahal
jelas bahwa anak tersebut tidak dilahirkan oleh Zam‘ah. Beliau menerapkan hukum
‚anak adalah milik fira>sh‛. Jadi, syariat menetapkan hukum berdasarkan aspek
lahiriah, sedangkan pengetahuan tentang hakikat yang sebenarnya ada di tangan
Alla>h. Rasu>lulla>h Saw. juga memerintahkan istri beliau yang bernama Sawdah
untuk bertabir dari saudaranya karena adanya syubhat yang kuat sebagai bentuk
kehati-hatian.
Zakari>ya> al-Ba>rri> dan Nu‘aym Ya>sin, dan pakar lainnya yang terlibat dalam
seminar tentang reproduksi menyatakan bahwa penanaman janin (bayi tabung)
dalam rahim wanita yang tidak memiliki hubungan perkawinan dengan pria pemilik
sperma dan wanita pemilik individu itu hukumnya haram. Seandainya tindakan ini
terlanjur terjadi, maka setiap pihak yang terlibat di dalamnya dikenai sanksi
diberlakukan ta‘zi>r, bukan h}add, termasuk dokter yang menanganinya.508
Adapun hukum anak yang dilahirkan, dihubungkan kepada wanita yang
mengandung dan melahirkannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa ibunya adalah
pemilik ovum. Di antara mereka adalah Nu‘aym Ya>sin dan ‘Abd al-H{a>fiz} al-H{ilmi>.
Sementara pendapat mayoritas condong untuk menetapkan ibunya adalah wanita
yang mengandung dan melahirkannya.509
Ah}mad Shawqi> menambahkan sebuah komentar yang menurut hemat kami
perlu disampaikan.510 Inti dari komentarnya adalah bahwa setiap fase penciptaan
manusia dalam rahim ibunya, mulai dari sperma yang bercampur hingga persalinan,
terjadi dalam rahim. Wanita mana yang dalam rahimnya terjadi proses tersebut,
maka Al-Qur’a>n menyebutnya sebagai ibu. Alla>h berfirman, ‚Dan Dia lebih
mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan
ketika kamu masih janin dalam perut ibumu.‛ (QS al-Najm [53]: 32)
‚Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam
tiga kegelapan.‛ (QS al-Zumar [39]: 6)
‚Dan Alla>h mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun.‛ (QS al-Nah}l [16]: 78)
Dengan demikian status ibu diberikan kepada wanita yang dalam janinnya
berlangsung proses penciptaan janin dari satu fase ke fase selanjutnya. Dalam hadis
Rasu>lulla>h SAW juga bersabda:

508
Sanksi ta‘zi>r ialah sanksi hukum berupa denda yang bersifat untuk mendidik
atau membuat jera si pelaku, dan bukan untuk bermaksud mengganti kerugian yang
diakibtakan oleh perbuatan pelaku.
509
Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>, vol.2, j.1, 284-285.
510
Nadwah al-Inja>b (Kuwayt: al-Munaz}z}amah al-Isla>mi>yah li al-‘Ulu>m al-T{ibbi>yah,
1403), 220.

230
511

‚Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dihimpun penciptaannya


dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nut}fah. Kemudian ia
menjadi ‘alaqah dalam masa yang seperti itu."
Jadi, status ibu tidak hanya tergantung pada faktor-faktor genetika saja,
meskipun faktor-faktor tersebut memiliki urgensi yang besar dalam sifat-sifat
ciptaan. Status ibu lebih luas dan lebih komprehensif dari itu, baik secara keilmuan
maupun syariat.

4. Perdebatan Ulama Seputar Alasan Keharaman Rahim Titipan


Seorang ulama anggota Majma‘, Yu>suf al-Qarad}a>wi menulis sebuah
artikel512 yang berisi permintaan fatwa kepada ulama mengenai implantasi janin,
yaitu seorang pria menggauli istrinya yang tidak bisa hamil, kemudian spermanya
dipindahkan dari wanita tersebut kepada wanita lain yang bersuami dengan cara
tertentu, lalu janin tersebut berkembang hingga masa persalinan. Janin tersebut
adalah anak dari pria yang spermanya digunakan untuk membuahi, dan anak dari
istrinya. Di sisi lain, ibu yang mengandung dan melahirkan, demikian pula dengan
suami yang memegang tali pernikahan saat bayi dilahirkan, keduanya dianggap
tidak memiliki hubungan dengan anak, sehingga keduanya dan anak tersebut tidak
memiliki hak waris-mewarisi. Ibunya yang hakiki adalah yang memberikan embrio
dengan sperma suaminya.
Yu>suf al-Qarad}a>wi> dalam kritiknya dan pengantar jawabannya menyatakan
pembuahan buatan tersebut adalah ilegal. Yaitu sperma pria asing diambil lalu
diletakkan dalam vagina wanita yang bersuami. Beliau mengatakan, ‚Ini hukumnya
haram secara pasti, karena ia memiliki satu kesamaan dengan zina, yaitu
mengakibatkan percampuran nasab.‛
Kemudian beliau memulai bahasannya dan menghujaninya dengan berbagai
kecaman, seraya memaparkan kejahatan yang ditimbukannya sehingga masalah ini
dimasukkan ke dalam hukum haram. Juga karena syariat Islam tidak mengakui
tujuan tindakan tersebut sesuai dengan hukum-hukum syariat.
Menurut ‘Abdulla>h Ibn Zayd A<lu Mah}mu>d,513 bahwa seandainya al-
Qarad}a>wi> berhenti sampai di sini, dan tidak mengeluarkan pendapat yang
kebalikannya, maka sesungguhnya dia sudah tepat. Beliau telah mengatakan,
‚Menurutku, fikih Islam tidak menyambut baik perkara bid’ah ini dan tidak pula
merestui perbuatannya dan akibat-akibatnya". Namun sayangnya al-Qarad}a>wi>
justeru merusak apa yang telah ia bangun dan menghapus keindahan tulisannya

511
Riwayat al-Bukha>ri, Muslim, Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah,
Ah}mad, dan al-H{umaydi>.
512
Majallah al-‘Arabi>, Kuwayt, edisi 232, Rabi>‘ al-Awwal 1398/Maret 1978.
Artikel Yu>suf al-Qarad}a>wi merupakan tanggapan atas pendapat Shaykh H{asan Hat}u>t} dalam
hal rahim titipan.
513
Shaykh ‘Abdulla>h Ibn Zayd adalah anggota Majma‘.

231
yang pertama, yaitu dengan pendapat berikutnya yang membolehkan praktek
tersebut, dalam kapasitasnya sebagai salah seorang pakar fikih Islam yang menjadi
tempat bertanya bagi umat Islam. Ia menulis sebuah artikel dengan judul "D{awa>bit}
wa Ah}ka>m". Ia kembali kepada pendapat yang membolehkannya setelah
memastikan keharamannya. Alasan yang ia kemukakan adalah manakala janin
tumbuh dari sperma ini, maka ia menjadi anak dari pria yang spermanya diambil,
dan istrinya yang tidak mengandung dan tidak melahirkan itulah ibu janin yang
sebenarnya. Sementara ibunya yang mengandung dan melahirkan tidak disebut
sebagai ibu, sehingga ia tidak bisa waris-mewarisi dengan anak tersebut. Demikian
pula dengan suami dari wanita yang mengandung tersebut, karena menurut
anggapan al-Qarad}a>wi> ia bukan ayah janin.514
Yu>suf al-Qarad}a>wi> telah mencampuradukkan hukum serta perkara-perkara
halal dan haram tanpa didasari argumentasi dan keterangan, bahkan dengan
pernyataan yang dianggap lemah. Pendapatnya berseberangan dengan nas}s} dan
pokok-pokok syariat. Dengan keputusan terakhirnya ini ia telah menganulir
kesimpulan hukum yang telah ia kukuhkan, lalu kembali kepada pendapat yang
berlawanan.515 Alla>h Ta‘a>la> berfirman: ‚Dan janganlah kamu seperti seorang wanita
yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai
kembali.‛ (QS al-Nah}l [16]: 92)
Perkara ini berefek domino, di mana ketika al-Qarad}a>wi> membuka pintu
ini, maka kelak akan ada orang yang berpijak pada hukumnya untuk membolehkan
praktik pembuahan buatan kepada wanita yang masih perawan dan kepada janda
yang ditinggal mati suaminya, karena hukum untuk semuanya adalah sama.
Akibatnya ialah kerusakan dan kebatilan akan merajalela.516
Sebagai kritik terhadap pendapat al-Qarad}a>wi>, ‘Abdulla>h Ibn Zayd merasa
perlu menjelaskan pembuahan dalam kedua cara tersebut adalah ilegal, yaitu:
1) Pembuahan dengan sperma pria asing tanpa perantara.517
2) Implantasi embrio ke dalam rahim wanita lain.
Jadi, kedua cara tersebut sama-sama ilegal, karena inti dari kedua cara
tersebut adalah memindahkan sperma pria asing ke dalam rahim wanita yang bukan
istrinya, padahal wanita tersebut wajib memelihara dirinya dari tercampur oleh
sperma pria yang bukan suaminya.

514
Kritiknya terhadap al-Qarad}a>wi> tersebut disampaikan dalam Mu’tamar Majma‘.
Lihat: ‘Abdulla>h Ibn Zayd A<lu Mah}mu>d, al-H{ukm al-Iqna>‘i> fi> Ibt}a>l al-Talqi>h} al-S{ina>‘i> wa
Ma> Yusamma> bi Shatl al-Jani>n, Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>, vol.II, j.I, 315.
515
‘Abdulla>h Ibn Zayd A<lu Mah}mu>d, al-H{ukm al-Iqna>‘i> fi> Ibt}a>l al-Talqi>h} al-S{ina>‘i>
wa Ma> Yusamma> bi Shatl al-Jani>n, Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>, vol.II, j.I, 315.
516
‘Abdulla>h Ibn Zayd A<lu Mah}mu>d, al-H{ukm al-Iqna>‘i> fi> Ibt}a>l al-Talqi>h} al-S{ina>‘i>
wa Ma> Yusamma> bi Shatl al-Jani>n, Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>, vol.II, j.I, 316.
517
Fenomena menggunakan donor sperma, telah menjadi hal yang lazim di Barat,
bahkan dipandang sebagai kemajuan teknologi kedokteran yang sangat berarti. Lihat: G.N.
Clarke, H. Bourne, P. Hill, "Artificial Insemination and In-Vitro Fertilization Using Donor
Spermatozoa: A Report on 15 Years of Experience", Human Reproduction, vol.12, no.4
(1997):.722”726.

232
Selanjutnya Yu>suf al-Qarad}a>wi> merinci apa yang telah dijelaskan
hukumnya dengan asumsi bahwa kasus tersebut benar-benar terjadi. Ia menjelaskan
bahwa di antara syarat-syarat yang berlaku bagi wanita yang dibuahi adalah:
1) Memiliki suami;
2) Atas persetujuan suami;
3) Harus menjalani ‘iddah dari suaminya karena dikhawatirkan adanya embrio
yang telah melekat pada rahimnya, sehingga harus dijamin rahimnya bersih
untuk mencegah percampuran nasab.
4) Nafkah wanita yang mengandung, pengobatan dan perawatannya selama masa
kehamilan dan nifas ditanggung oleh bapak anak, yaitu yang spermanya
digunakan untuk membuahi ovum, atau ditanggung walinya sesudah itu, karena
ia memberi asupan ke janin dari darahnya. Apa yang hilang darinya itu harus
diganti. Setelah itu al-Qarad}a>wi> menyitir dalilnya, yaitu firman Alla>h, ‚Dan
jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.‛ (QS al-T{ala>q [65]: 6)
5) Semua hukum pemberian ASI dan dampaknya diberlakukan di sini berdasarkan
qiya>s kepada kasus yang lebih kuat. Maksudnya adalah diqiyaskan kepada
wanita asing pemilik rahim. Sedangkan suami dari istri yang mengandung dan
melahirkan tidak memiliki hubungan apapun dengan janin.

Demikianlah penjelasan al-Qarad}a>wi>. Sementara itu ‘Abdulla>h Ibn Zayd


A<lu Mah}mu>d menegaskan bahwa pernyataan al-Qarad}a>wi> tersebut menetapkan
keabsahan praktik rahim titipan, padahal beliau adalah seorang ulama yang
pendapatnya diikuti oleh mayoritas orang. Pendapat ini ambigu, karena berlawanan
dengan ketetapannya sebelum ini.
Ketetapan hukum yang didasarkan pada qiya>s tersebut adalah keliru karena
tidak memenuhi syarat-syarat qiya>s.518 Pokok yang batil519 tidak bisa dijadikan
dasar qiya>s, karena qiya>s terhadap hal yang tidak benar menghasilkan hukum yang
tidak benar pula.520 Sesungguhnya kesimpulan hukum itu muncul akibat tidak
adanya perenungan, melainkan hanya lintasan pemikiran yang tidak memiliki dasar
untuk disandari, dan tidak ada pula kasus serupa untuk dijadikan qiya>s. Ini
berlawanan dengan kebenaran, padahal Nabi SAW bersabda, ‚Barangsiapa yang
mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka ia
ditolak‛.521Ini adalah hadis mutawa>tir. Hukum tersebut hanya didasari nalar al-

518
Lihat halaman 45-46.
519
Yaitu keharaman fertilisasi dari benih yang bukan pasutri.
520
Kaidah yang memperingatkan akan hal ini berbunyi:
". "
521
Riwayat al-Bukha>ri, Muslim, Abu> Da>wud, Da>wud al-T{aya>li>si>, Ibn Ma>jah, al-
Bayhaqi>, Abu> Ya‘la>, Abu> ‘Awa>nah, Ibn H{ibba>n, Ibn ‘Adi>, al-Da>ruqut}ni>, al-La>lika>'i>, al-
Qad}a>‘i>, dan al-Baghawi>. Penulis berpendapat bahwa istidla>l Shaykh ‘Abdulla>h Ibn Zayd
dengan hadis ini tampaknya kurang tepat, karena hadis tersebut berkonotasi tentang
perbuatan-perbuatan yang termasuk ke dalam kelompok ibadah mah}d}ah yang bersifat
tawqi>fi>yah. Di sisi lain, topik bahasan rahim titipan termasuk dalam wilayah ijtiha>di>yah.
Walla>h a‘lam.

233
Qarad}a>wi> semata, dan bukan bersandar pada riwayat yang kuat, sedangkan
pendapat nalar semata itu bisa salah dan bisa benar.
Yu>suf al-Qarad}a>wi> mengisyaratkan dalam pengantar artikelnya bahwa
H{asan H{at}u>t} bersikap terlalu lunak dalam membolehkan rahim titipan karena
didasari rasa iba kepada wanita yang tidak memiliki anak. Akan tetapi jutru al-
Qarad}a>wi> jatuh pada hal yang ia kritik sebelumnya, padahal sebelumnya ia
memastikan keharamannya. Seolah-olah pendapat ini semata didasari rasa iba
terhadap wanita dengan kondisi tersebut, dan untuk satu kelompok orang yang
ingin mengikuti pendapat keliru semacam ini. Jadi, al-Qarad}a>wi> mengemukakan
satu pendapat yang membolehkannya untuk memotivasi mereka dalam melakukan
hal yang lebih besar dan lebih munkar daripadanya. Sementara itu ‘Abdulla>h Ibn
Zayd menduga bahwa sebelumnya tidak ada seorang ulama pun yang membolehkan
dalam masalah ini. 522
Betapa cepatnya al-Qarad}a>wi> melupakan pernyataannya sebelumnya,
bahwa jika Islam mengharamkan adopsi dan penghubungan nasab seseorang kepada
selain ayahnya, maka lebih pantas lagi sekiranya pembuahan tersebut diharamkan
karena ia memiliki kesamaan dengan zina pada satu hal, yaitu percampuran nasab.
Demikianlah ringkasan diskusi dan perdebatan seputar masalah rahim
titipan. Masing-masing pihak mempunyai alur pikirannya berikut dalil-dalil yang
mereka gunakan. Namun demikian perdebatan mereka berujung kepada kesimpulan
yang sama, yaitu pengharaman rahim titipan dapabila benih yang dikandungnya
berasal dari sperma dan/atau ovum yang bukan pasutri, juga wanita yang
mengandung adalah bukan istri dari suami pemilik sperma.

5. Dasar Pertimbangan Majma‘


Dalam hal ini para anggota Majma‘ maupun notulen mu'tamar tidak
menyebutkan sama sekali metodologi us}u>l al-fiqh apa yang mereka gunakan dalam
pembahasan mereka. Penulis berupaya menganalisa pembahasan fikih secara
panjang lebar di atas.
Dari hasil diskusi dan perdebatan para ulama anggota Majma‘mengenai
rahim titipan (surrogate mother), mereka berkesimpulan tentang keharamannya.523
Hal ini pula yang menjadi Keputusan (qara>r) pada mu’tamar Majma‘ yang ke-3 di
Amman, Jordania. Status hukum haram tersebut, menurut penulis didasarkan atas
metode sadd al-dhari>‘ah, yaitu tindakan preventif untuk mencegah terjadinya
kesimpangsiuran nasab dari ayah maupun ibu.524

Selain dari hal itu, para ulama anggota Majma‘ berbeda pandangan dalam
sejumlah hal berikut:

522
‘Abdulla>h Ibn Zayd, al-H{ukm al-Iqna>‘i> fi> Ibt}a>l al-Talqi>h} al-S{ina>‘i, Majallah
Majma‘ al-Fiqh >, vol.II, j.I, 316.
523
Keharaman rahim titipan ini juga difatwakan oleh sejumlah ulama kontemporer.
Diantaranya ialah Shaykh Ah}mad Ibn H{amd al-Khali>li>. Lihat: http://avb.s-oman.net/
showthread.php?t=1244961. Diakses pada 29 Juli 2014.
524
MUI memfatwakan haram sewa rahim pada Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa MUI
ke-2 tanggal 25-28 Mei 2006 di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

234
a. Apakah wanita pemilik rahim titipan dapat diqiya>skan dengan ibu susu?
b. Apakah bayi yang dilahirkan itu dinasabkan kepada wanita pemilik sel telur
yang dibuahi ataukah kepada wanita yang mengandung dan melahirkannya?
c. Apakah diperbolehkan wanita mengandung embrio yang berasal dari sperma
suaminya dan sel telur dari madunya?

Jawaban dan analisa penulis terhadap pertanyaan-pertanyaan fuqaha>'


Majma‘ seperti di atas, ialah sebagai berikut:

a. Analogi wanita pemilik rahim titipan dengan ibu susu.


Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang memiliki rahim titipan
dapat dianalogikan dengan ibu susu, karena kehamilan tersebut sebanding dengan
persusuan (rad}a>‘). Apakah memang terdapat persamaan atau kemiripan
antara keduanya, sehingga dapat dijadikan ‘illat hukum?
Jumhur fuqaha>’ berpendapat bahwa persusuan tidak dapat disamakan
dengan kehamilan. Diantara ulama kontemporer yang berpendapat demikian ialah
Shaykh ‘Abd al-‘Az}i>m al-Mut}‘ini> dari Universitas Al-Azhar,525 Firman Alla>h
tentang kehamilan disebut sebagai pekerjaan yang amat berat ( ) dan
(QS Luqma>n : 14 dan al-Ah}q>af : 15). Tingkat kepayahan dan keberatan dalam
kehamilan tidak dapat dibandingkan dengan menyusui. Demikian pula faktor-faktor
lainnya, dimana karakteristik hamil dengan menyusui jelas berbeda apabila ditilik
dari beberapa sudut pandang:526
1). Dari sudut pandang ibu yang hamil dan ibu menyusui:
a) Terjadi persatuan atau perlekatan yang sangat erat antara tubuh ibu
(endometrium) dengan janin melalui placenta dan umbilicus. Berbeda pada
peristiwa menyusui, yang tidak ada persatuan fisik tersebut, bahkan ASI
dapat diberikan melalui botol dot.
b) Adanya resiko kehamilan yang cukup besar, dari mulai resiko yang
berkaitan dengan penyakit ibu, resiko pada rahim, organ-organ lain di
sekitar rahim, dan resiko jalan hair (persalinan).527 Adapun resiko pada ibu
menyusui jauh lebih kecil dibandingkan resiko ibu hamil.528
c) Kondisi psikis dan fisik ibu langsung berpengaruh terhadap janin, contoh;
stress, asthma, hipertensi, minum obat-obatan tertentu yang berdampak
pada kelainan bayi (teratogenik). Sedangkan pada ibu menyusui, hanya

525
"Isti'ja>r al-Arh}a>m H{ara>m", Ha>m Fatwa> al-‘Ulama>' al-Muslimi>n, http://www.
dafatiri. com/vb/showthread.php?t=174401. Diakses pada 29 Juli 2014.
526
Endy M. Astiwara, Rahim Titipan, makalah disampaikan pada Ijtima’ ‘Ulama
Komisi Fatwa MUI se-Indonesia tahun 2006.
527
Resiko berkaitan dengan penyakit ibu, seperti hipertensi, asthma, diabetes, dll.
Resiko pada rahim seperti myoma, placenta praviae, placenta accreta, dll. Resiko pada
organ lain selain rahim, seperti kehamilan ektopik, infeksi pelvis, kista bartholini, dll.
Resiko persalinan seperti kelelahan ibu, panggul sempit, ketuban pecah lebih dahulu, dll.
528
Resiko pada ibu menyusui seperti kurang asupan gizi, ASI kurang, perlukaan
pada puting susu, dll.

235
beberapa kondisi fisik yang berpengaruh, seperti jenis makanan ibu dan
obat-obatan tertentu, akan tetapi tidak ada yang bersifat teratogenik.
d) Penghentian masa kehamilan secara sengaja (abortus, persalinan dini, dll.)
adalah atas pertimbangan kedaruratan medis. Adapun penghentian masa
susuan dapat karena pertimbangan hal-hal yang diperbolehkan (muba>h)} .
e) Terdapat masa nifas bagi wanita yang telah melahirkan, dan tidak ada masa
tersebut bagi wanita yang selesai menyusui
f) Terdapat perbedaan masa ‘iddah bagi wanita yang dicerai ketika hamil dan
wanita yang dicerai ketika masa menyusui.

2). Dari sudut pandang janin atau bayi:


a) Pada menyusui; bayi telah memiliki fisik yang sempurna, menghirup udara
bebas, bernapas dengan paru-paru, dan merasakan berbagai sensasi seperti
yang dirasakan manusia biasa. Berbeda dengan kehamilan, janin yang
dikandung masih dalam proses pembentukan (sejak multiplikasi sel diploid
hingga menjadi janin yang siap untuk lahir), belum lahir ke dunia, tinggal di
dalam rahim dalam lingkungan yang berbeda dengan manusia biasa, dst….
b) Janin secara otomatis menerima nutrisi dari darah ibu dan minum air
ketuban, sedangkan bayi dapat tetap hidup meskipun sama sekali tidak
diberi ASI.
c) Bayi meminum susu ASI yang komposisinya mirip susu lain yang diminum
juga oleh manusia. Berbeda dengan kehamilan, janin memperoleh sari
makanan melalui plasenta dan umbilicus serta minum air ketuban.
d) Pemberian ASI dapat disempurnakan hingga dua tahun, atau dapat
dihentikan sebelum itu. Akan tetapi pada kehamilan; mengakhiri kehamilan
sebelum waktunya berisiko sangat amat besar bagi janin, serta perbuatan
yang dilarang, kecuali atas indikasi darurat medis yang kuat.
e) Terdapat resiko kelainan kongenital dan kelainan herediter pada janin,
sedangkan pada bayi yang menyusui tidak terdapat resiko tersebut.529
f) Apabila ibu tidak dapat menyusui, baik sewaktu-waktu ataupun selama
masa penyusuan, maka dapat digantikan dengan pemberian susu formula
untuk bayi sesuai usianya. Akan tetapi pada kehamilan, tidak ada tempat
yang dapat menggantikan rahim.

Oleh karena itu qiya>s kepada persusuan tidak dapat diterima karena tidak
terpenuhinya kesamaan ‘illat antara pokok (al-as}l) yaitu persusuan dan cabang (al-
far‘) yaitu kehamilan, sebagai salah satu rukun qiya>s.530 Termasuk juga apabila

529
Resiko janin antara lain kelainan kongenital akibat obat atau paparan radiasi
pada ibu, infeksi air ketuban, pasenta accreta, letak sungsang pada akhir kehamilan. Adapun
resiko pada bayi menyusui seperti berat badan bayi rendah (BBLR), alergi, jumlah ASI yang
kurang, dll.
530
Disebut juga qiya>s ma‘a al-fa>riq. Yaitu mengqiyaskan antara hal-hal yang
sebenarnya saling berbeda karkateristiknya, sehingga sesungguhnya tidak dapat diqiya>skan.

236
istinba>t} menggunakan al-istih}sa>n bi al-qiya>s al-khafi atau qiya>s al-mustah}sin,531
tetap tidak dapat diterima, mengingat faktor-faktor yang berbeda di atas justru
mengeliminasi argumentasi faktor kesamaannya.

b. Apakah anak dinasabkan kepada ibu pemilik sel telur ataukah ibu yang
mengandungnya.
Dalam masalah ini para ulama sepakat tentang definisi ibu (al-umm) ialah
wanita yang mengandung dan melahirkan anak, dan bukan wanita yang menjadi
sumber benih bagi anak tersebut. Mereka mengambil pengertian langsung dari
dalil-dalil Al-Qur’a>n. Alur berpikir seperti ini disebut dengan mafhu>m
muwa>faqah532 dalam us}u>l al-fiqh mazhab Sha>fi‘i> dan disebut pula dila>lah al-nas}s}
dalam mazhab H{anafi>yah.533 Istilah dila>lah al-nas}s} pada umumnya diakui kalangan
H{anafi>yah sebagai padanan dari mafhu>m muwa>faqah.534 Dengan demikian dalam
menetapkan definisi ibu, para ulama langsung ber-istidla>l dari Al-Qur'a>n
menggunakan mekanisme linguistik bahasa Arab.535
Disamping itu para fuqaha>' Majma‘ mengambil kesimpulan tentang definisi
"ibu" melalui pemahaman masyarakat atas dalil-dalil tersebut maupun kebiasaan
mereka. Adat kebiasaan masyarakat Arab menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan istilah ‚ibu‛ ialah wanita yang mengandung dan melahirkan anak. Tampak

531
Lebih lanjut al-Sarakhshi> mengatakan bahwa qiya>s dapat dibagi kepada dua
bagian, yaitu:
a. Qiya>s yang lemah pengaruh (a>tha>r) nya, yaitu dalam hal qiya>s z}a>hir yang jali>.
b. Qiya>s yang kuat tampak fasadnya dan tersembunyi wajah s}ih}a>h} dan
pengaruhnya.
Dari kedua macam ini qiya>s di atas, salah satunya adalah istih}sa>n, yaitu yang kuat
pengaruhnya meskipun qiya>s ini tersembunyi ( khafi>). Ini dinamakan juga qiya>s al-
mustah}sin. Para ulama H{ana>fi>yah memberikan contoh dengan status hukum air sisa minum
burung buas. Menurut qiya>s, air tersebut adalah najis karena tercelupnya paruh burung buas
ke dalam air. Namun menurut istih}sa>n, sisa air minum burung buas tersebut tidak najis,
karena paruh burung buas bukanlah sesuatu yang diharamkan pemanfaatannya. Zat paruh
burung buas bukan najis. Sementara itu jika hanya paruh burung yang tercelup di air, tidak
ada air liur di situ, maka hukumnya boleh.
532
"Mafhu>m" menurut istilah ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz
tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut (tersirat).
Mafhu>m muwa>faqah (pengertian kesesuaikan) yaitu penunjukan hukum yang tidak
disebutkan untuk memperkuat hukum yang disebutkan karena terdapat kesamaan antara
keduanya dalam meniadakan dan menetapkan, atau jika hukum yang ditetapkan sesuai
dengan hukum dari lafaz yang disebutkan ( mant}u>q). Mafhu>m muwa>faqah ini dibagi menjadi
dua, yaitu fah}wa> al-khit}a>b yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada
yang diucapkan. Seperti hukum haramnya memukul orang tua, berdasarkan larangan dalam
Al-Qur'a>n tentang kata-kata yang keji terhadap kedua orangtua. Kata-kata yang keji saja
tidak boleh apalagi memukulnya. Kemudian lah}n al-khit}a>b yaitu apabila yang tidak
diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan.
533
Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 37-38.
534
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, 148.
535
Lihat halaman 19.

237
dalam hal ini mereka menggunakan metode ‘urf,536 yang dalam hal ini ialah ‘urf
qawli>.537

c. Status hukum wanita yang mengandung janin dari hasil pembuahan sperma
suaminya dengan ovum dari madunya.
Para ulama mengharamkan wanita yang hamil dari hasil pembuahan
madunya pada kasus kehamilan kembar. Hal ini didasari kekuatiran akan kerancuan
antara bayi hasil pembuahan antara dirinya dengan suaminya, ataukah hasil
pembuahan madunya dengan suaminya. Dalam hal ini tampak mereka
menggunakan metode sadd al-dhari>‘ah,538 suatu tindakan preventif untuk mencegah
akibat-akibat negatif yang mungkin ditimbulkannya, yaitu kerancuan nasab ibu dari
bayi yang dilahirkan.
Oleh karena itu pada mu’tamar ke-3 di Amman, akhirnya Majma‘ pun
memutuskan melarang rahim titipan dari madunya tersebut. Larangan ini kembali
kepada kaidah umum diharamkannya mengandung janin yang berasal dari sel telur
orang lain.
Meskipun demikian, bagi ulama yang membolehkan, seperti Must}afa> al-
Zarqa>’, mengemukakan argumentasi bahwa janin tersebut dibuahi oleh sperma
yang berasal suaminya sendiri, sebagai pemilik fira>sh. Tidak ada alasan untuk
mengharamkannya, sepanjang madunya sebagai pemilik sel telur tidak mungkin
mengandung.
Dari dua perbedaan pendapat di atas, penulis memandang bahwa masalah
ini akan terus mengemuka sehingga memungkinkan untuk dibahas kembali di masa
mendatang. Hal tersebut mengingat bahwa kekuatiran dispute nasab ibu pada
kehamilan kembar, dapat ditepis dengan teknologi kedokteran modern.539 Apalagi
kasus kehamilan kembar hanya 1% hingga 3% dari populasi, sehingga apabila
ditinjau dari sisi fikih, maka keputusan hukum ditegakkan atas kasus yang sering
atau biasa terjadi dan bukan pada kasus yang langka. Cara penalaran ini
sebagaimana dinyatakan dalam kaidah:
540

536
‘Urf dalam pengertian ‚sesuatu yang manusia telah membiasakannya dan
mengikutinya, baik ucapan, perbuatan atau tindakan, meninggalkan sesuatu, serta diakui
oleh shara‘ ataupun tidak‛. Definisi tersebut merupakan rumus Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>
pada muktamar ke-5 di Kuwayt pada tanggal 1-6 Juma>di> al-U<<la> yang bertepatan dengan
tanggal 10-15 Desember 1988. Lihat: Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>, vol. V, j. IV,
2921.
537
Lihat halaman 76.
538
Diantara pengertian sadd al-dhari>‘ah yang ringkas ialah definisi yang
disampaikan oleh Imam al-Shawka>ni>, ,‚Masalah yang secara lahir boleh tetapi bisa
menyebabkan perbuatan yang dilarang‛. Lihat: Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 193.
539
Yaitu antara lain dengan pemeriksaan golongan darah dasar dan rhesus, hingga
pemeriksaan DNA.
540
Ah}mad Muh}ammad al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 235.

238
"Yang diakui sebagai topik (kasus) ialah hal yang sering terjadi (yang
terjadi secara luas), dan bukan hal yang langka".

Dengan demikian penulis berpendapat bahwa apabila topik ini diteliti ulang
(i‘a>dah al-naz}ar) pada saat ini, maka terbuka kemungkinan status hukumnya akan
berubah dari haram menjadi tidak haram. Hal ini dimungkinkan karena hilangnya
kekuatiran kerancuan nasab, dengan adanya teknologi kedokteran untuk
menentukan nasab ibu. Disamping itu, seperti pendapat Must}afa> al-Zarqa>’ di atas,
pemilik firash adalah suami dari wanita pemilik ovum dan wanita yang
mengandung, sekaligus ayah bagi bayi tersebut. Pendekatan yang bisa digunakan
ialah dengan metode al-istih}sa>n bi qa>‘idah raf‘ al-h}araj wa al-mashaqqah541 dalam
memutuskan masalah wanita yang mengandung janin hasil pembuahan suaminya
dengan madunya tersebut. Metode us}u>l al-fiqh tersebut digunakan, mengingat
bahwa tindakan ini merupakan solusi atas kondisi darurat bagi madunya, yang
apabila mengandung janin akan menyebabkan madharat bagi dirinya maupun
janinnya, atau bahkan dia tidak dapat hamil karena rahimnya telah diangkat.542
Hal penting yang patut dicermati ialah, meskipun tidak sependapat dengan
keputusan Majma‘ dalam hal rahim titipan pada pernikahan poligami, Mus}t}afa> al-
Zarqa>' tidak menyatakan dissenting opinion.
Dalam pada itu, para ulama anggota Majma‘ juga tetap memberikan
peringatan terhadap interaksi pasien wanita dengan dokter pria, mengingat
keumuman larangan membuka aurat, kecuali pada keadaan tertentu yang sangat
dibutuhkan dan sekadar keperluan itu saja. Para ulama kontemporer pun
menjadikan hal ini sebagai salah satu alasan diharamkannya rahim titipan. Diantara
mereka ialah sejumlah ulama Arab Saudi, seperti Shaykh ‘Abdulla>h Ibn ‘Abd al-
Rah}ma>n al-Jabri>n,543 Shaykh Muh}ammad Ibn al-‘Uthaymi>n.544
Sementara para ulama lainnya mengganggap hal tersebut sebagai h}a>jah
yang bermakna d}aru>rah dalam hal pasien wanita tidak mendapati dokter wanita
spesialis kebidanan dan kandungan. Selain itu, sebagaimana dikemukakan di atas,
sepanjang sejarah masyarakat muslim, bahkan populasi dunia, selalu saja dokter
pria spesialis kebidanan dan kandungan jauh lebih banyak dibandingkan dokter
wanita. Dengan demikian hal ini merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa, metode penetapan hukum yang
digunakan Majma‘ dalam masalah ini ialah pertimbangan preventif. Dengan
perkataan lain, ialah dilarang melakukan tindakan-tindakan medis yang

541
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, j.IV, 207.
542
Yaitu kondisi resiko tinggi dari sisi medis jika seseorang hamil, seperti
endometriosis, myoma, riwayat abortus berkali-kali, riwayat eklampsi atau pre-eklampsi
berkali-kali, dll. Juga kondisi tidak mungkin hamil, seperti seorang wanita yang telah
dilakukan histerectomy.
543
"Isti'ja>r al-Arh}a>m H{ara>m", Ha>m Fatwa> al-‘Ulama>' al-Muslimi>n, http://www.
dafatiri.com/vb/showthread.php?t=174401. Diakses pada 29 Juli 2014.
544
Majmu>‘ Fata>wa> al-Shaykh al-‘Uthaymi>n j.XVII, 27-28. Dikutip dari "At}fa>l al-
Ana>bi>b", Ama>nah Mawqi>‘ al-Fiqh al-Isla>mi>. http://islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?
NewsItemID=3206. Diakses pada 29 Juli 2014.

239
diprediksikan akan membawa kerusakan lebih besar dibanding manfaatnya.
Kerusakan yang dimaksud ialah mencakup kerusakan akidah, terjatuh kepada
syubhat atau haram, ataupun kerusakan yang bersifat fisik dan material.
Demikianlah hasil analisa penulis terhadap metodologi hukum Islam yang
digunakan oleh para fuqaha>’ anggota Majma‘ dalam mengambil kesimpulan hukum
terhadap persoalan rahim titipan.
Menurut hasil penelitian penulis, para ulama Majma‘tidak mendapati dalil
Al-Qur'a>n, al-Sunnah, al-Ijma>‘, maupun al-Qiya>s yang secara langsung atau spesifik
dapat dijadikan sandaran dalil dalam masalah reproduksi ini. Oleh karena itu
kemudian mereka beralih kepada dalil-dalil peringkat selanjutnya, sebagaimana
dibahas di atas.
Apabila dirangkumkan, qara>r Majma‘ dalam masalah reproduksi, memiliki
karakteristik yang sama. Masalah reproduksi yang dimaksud ialah inseminasi
buatan, bayi tabung, bank sperma, dan rahim titipan. Oleh karena itu, keputusan
Majma‘ dalam masalah tersebut dapat digambarkan dalam bentuk tabel berikut ini:

Sperma suami suami suami suami suami donor Donor


Ovum istri istri istri donor donor Istri Donor
Rahim istri titipan madu** istri titipan Istri Istri
Hukum Boleh Haram Haram* Haram Haram Haram Haram
Tabel 5. Tabel Keputusan Majma‘ tentang Reproduksi
Keterangan:
* : Majma‘ al-Fiqh memutuskan haram, namun Mus}t}afa> al-Zarqa>' memiliki
pendapat yang berbeda.
** : yang dimaksud dengan "madu" ialah istri yang lain dari suami yang sama
dalam rumah tangga poligami.

Pembahasan Terkait
Dalam mu'tamar-mu'tamar Majma' selama kurun waktu sampai dengan
2010, terdapat beberapa topik pembahasan terkait dengan topik-topik Reproduksi
yang dibahas dalam Disertasi ini. Topik-topik tersebut merupakan derivasi dan
karenanya tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip yang telah dibahas pada
Topik Reproduksi ini, sehingga dapat menjadi pembuka jalan bagi peneliti
selanjutnya untuk menganalisa t}ari>q al-istinba>t} Majma‘ al-Fiqh dalam topik-topik
terkait tersebut. Topik-topik pembahasan yang dimaksud ialah:
1. Diagnosa dan Terapi oleh Dokter Pria pada Pasien Wanita ( )
2. Inseminasi In-Vitro Ketika Sangat Diperlukan (
)
3. Keluarga Berencana ( )
4. Transplantasi Organ Reproduksi ( )
5. Kloning Manusia ( )

240
BAB V
BANK AIR SUSU IBU (BUNU<K AL-H{ALI<B)

Topik Bank Air Susu Ibu (ASI) secara fisiologis masih terkait dengan
sistem reproduksi wanita. Namun demikian penulis memisahkannya dalam bab
tersendiri. Hal ini karena Majma‘ membahasnya secara terpisah, serta dari sisi fikih
pun memiliki karakteristik yang berbeda dengan tema reproduksi di atas.
Pembahasan Majma‘ al-Fiqh tentang Bank ASI merupakan salah satu topik
dalam rangkaian Mu'tamar Majma‘ al-Fiqh ke- 2 yang dilaksanakan di Jeddah, Arab
Saudi pada tanggal 10 s.d. 16 Rabi>‘ al-Tha>ni> 1406 H atau bertepatan dengan 22 s.d.
28 Desember 1985 M. Adapun makalah-makalah yang disajikan dalam pembahasan
topik ini ialah:
1. Shaykh Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Bunu>k al-H{ali>b
2. Dr. Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr, Bunu>k al-H{ali>b

Pembahas dan pembicara aktif dalam mu'tamar ini ialah:


1. Shaykh Yu>suf al-Qarad}a>wi>
2. Dr. Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr
3. Shaykh ‘Abdulla>h al-Bassa>m
4. Shaykh ‘Ali> al-Taskhi>ri>
5. Shaykh Taqi> al-Uthma>ni>
6. Dr. Mamdu>h} Jabr
7. Shaykh Muh}ammad ‘Abduh ‘Umar
8. Shaykh Mus}t}afa> al-Zarqa>’
9. Shaykh ‘Abd al-‘Azi>z ‘I<sa>
10. Shaykh al-Mukhta>r al-Sala>mi>
11. Shaykh ‘Abd al-H{ali>m al-Jundi>
12. Shaykh Rajab al-Tami>mi>

Untuk memperoleh gambaran yang utuh, dalam Bab ini penulis


memaparkan tentang Air Susu Ibu (ASI) dari sisi medis, intisari makalah dan
diskusi Majma‘ dalam topik terkait, kemudian ditutup dengan analisa t}ari>q al-
istinba>t} yang digunakan oleh para anggota maupun keputusan Majma‘ itu sendiri.

A. Pembahasan tentang Air Susu Ibu (ASI)

1. Definisi dan Kandungan ASI


Air Susu Ibu (ASI)1 adalah sekresi dari kelenjar mamae ibu berupa suatu
emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam anorganik yang
berguna sebagai makanan bagi bayinya. Adapun ASI Eksklusif adalah perilaku

1
Joy Noel-Weiss, et al.,"Questioning Current Definitions for Breastfeeding
Research", International Breastfeeding Journal, vol. 7, no. 9 (2012); 1-4.

241
dimana hanya memberikan ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa
makanan dan ataupun minuman lain. 2
Pemberian ASI, khususnya ASI eksklusif, merupakan suatu cara paling
efektif untuk menjaga kesehatan bayi. Secara statistik, pemberian ASI terbukti
menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi.3
ASI memiliki kombinasi nutrisi yang sempurna dan merupakan sumber
nutrisi terbaik bagi bayi.4 Komposisi ASI akan berubah-ubah menyesuaikan secara
tepat seiring dengan perubahan kebutuhan bayi. Sekedar contoh, bahwa bayi yang
baru lahir memerlukan lemak dengan kadar yang lebih tinggi dibandingkan ketika
ia sudah berusia enam bulan.5
ASI mirip dengan susu sapi dalam hal kandungan airnya (88%), namun
berbeda dalam hal Berat Jenis (1.030), kandungan lemak (3.5%), nilai energi (0.67
kcal/ml) dan tipe alktosa. ASI memiliki mineral tertentu yang lebih sedikit (thiamin
and riboflavin), demikian pula protein (1.0”1.5% vs. 3.3%) dibandingkan susu sapi.
ASI memiliki kandungan yang lebih dalam hal karbohidrat (6.5”7.0% vs. 4.5%),
vitamin C dan D, serta kandungan yang hampir sama dalam hal vitamin A, B dan
niacin. ASI juga mengandung bradykinin, EGF, gonadotropin-releasing hormone,
IGF-I, melatonin, mammotropic growth factor, NGF, dan oxytocin. ASI biasanya
steril, mengandung IgA, lebih mudah dicerna bayi, serta pemberian ASI memiliki
respon yang lebih baik terhadap vaksin dibandingkan susu formula. 6
Berikut ini adalah kandungan ASI secara garis besar:7
a. Protein. ASI terdiri dari dua tipe protein, yaitu whey dan casein. Sekitar 60%
adalah whey8, dan 40% adalah caseine9. Keseimbangan diantara berbagai jenis

2
Ini disepakati dalam dunia medis. http://www.medterms.com/script/main/art.asp?
articlekey=38691. Last Editorial Review: 9/20/2012. Diakses pada 12 April 2014.
3
G. Jones, R.W. Steketee, et al., "Bellagio Child Survival Study Group: How Many
Child Deaths Can We Prevent This Year?", The Lancet, vol. 362, issue 9377 (2003): 65-71.
4
J.L. Mathew, "Effect of Maternal Antibiotics on Breast Feeding Infants",
Postgraduate Medical Journal 80 (2004): 196-200.
5
http://www.breastmilk.com/benefits-of-breastfeeding.php. Diakses 18 April 2014.
6
Segen's Medical Dictionary. © 2012 Farlex, Inc. http://medical-dictionary.
thefreedictionary.com /Breast+Milk. Diakses pada 18 April 2014.
7
http://americanpregnancy.org/firstyearoflife/whatsinbreastmilk.html. Diakses 22
April 2014.
8
Whey adalah salah satu protein utama pada susu, baik susu ibu, susu sapi ataupun
susu formula. Protein pada ASI terdiri dari 65% protein whey. Whey ASI mengandung
substansi penting yaitu alpha-lactalbumin, immunoglobulin, albumin, enzym (lysozyme),
faktor pertumbuhan, dan hormon. Protein whey adalah protein lengkap, yang terdiri dari
asam amino esensial dan non-esensial. Sebaliknya, susu sapi hanya mempunyai protein
whey 18%.
9
Caseine atau kasein merupakan proteida fosfor yang dijumpai dalam endapan
koloida air susu, berfungsi sebagai stabilisator emulsi air susu. Kasein. Protein kasein
mengandung asam amino glutamin dosis tinggi. Glutamin berfungsi membantu menjaga
massa otot, membantu pemulihan otot setelah berolahraga maupun bekerja, serta
meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Kasein merupakan jenis protein yang lambat
dicerna, sehingga tubuh mampu menggunakannya secara efisien.

242
protein pada ASI memungkinkannya untuk lebih cepat dan lebih mudah
dicerna. Adapun pada susu formula mengandung casein lebih banyak, sehingga
lebih sulit dicerna bayi. Di antara komponen protein yang cukup signifikan dan
terkandung di dalam ASI ialah:
1) Lactoferrin; berfungsi antara lain mencegah pertumbuhan bakteri yang
bersifat dependen besi (iron-dependen bacteria) dalam saluran
pencernaan.10
2) Immunoglobulin A; berfungsi melindungi bayi dari berbagai macam virus
dan bakteri, membantu melawan E. Coli dan mencegah kemungkinan
terjadinya reaksi alergi. Immunoglobulin lainnya yang terkandung di dalam
ASI, termasuk IgG dan IgM, juga membantu melawan berbagai infeksi
bakteri dan virus. Oleh karenanya bagi ibu menyusui dianjurkan untuk
memakan ikan, karena akan meningkatkan jumlah protein di dalam ASI.11
3) Lysozyme; suatu jenis enzim yang melindungi bayi dengan cara melawan
infeksi E. Coli dan Salmonella.12 Selain itu berguna pula dalam merangsang
pertumbuhan flora intestinal yang sehat dan fungsi-fungsi anti inflamasi.13
4) Bifidus factor; berfungsi merangsang pertumbuhan lactobacillus.
Lactobacillus adalah jenis bakteri bermanfaat yang melindungi bayi dari
bakteri jahat dengan cara membentuk lingkungan asam, sehingga bakteri
jahat tidak dapat bertahan hidup.14

b. Lemak. ASI juga mengandung lemak, yang sangat penting bagi kesehatan bayi.
Lemak diperlukan untuk perkembangan otak, absorpsi vitamin-vitamin yang
larut dalam lemak, serta sebagai sumber utama kalori. Asam lemak rantai
panjang dibutuhkan untuk perkembangan otak, retina, dan saraf. Lemak jenis
ini disimpan di dalam otak selama trimester akhir masa kehamilan, serta
ditemukan pula di dalam ASI.15

10
E.E. Ella, et al., "Lactoferrin Levels in Human Breast Milk among Lactating
Mothers with Sick and Healthy Babies in Kaduna State, Nigeria", International Journal of
Medicine and Medical Science, vol. I, issue 11 (2009): 495-500.
11
Álvaro Koenig, "Immunologic Factors in Human Milk: The Effects of
Gestational Age and Pasteurization", Journal of Human Lactation, vol. 21, issue 4 (2005):
439-443.
12
Merupakan jenis-jenisbakteri yang dapat menyebabkan penyakit saluran cerna.
13
Álvaro Koenig, "Immunologic Factors in Human Milk: The Effects of
Gestational Age and Pasteurization", Journal of Human Lactation, vol. 21, issue 4 (2005):
439-443.
14
Lactobacillus casei adalah bakteri Gram-positif, anaerob, tidak memiliki alat
gerak, tidak menghasilkan spora, berbentuk batang. Lactobacillus adalah bakteri yang dapat
memecah protein, karbohidrat, dan lemak dalam makanan, dan membantu absorps elemen
penting dan nutrisi seperti mineral, asam amino, dan vitamin yang dibutuhkan manusia.
15
Gwen Dewar, "Nutrients and Calories in Breast Milk: A Guide for the Science-
Minded", Parenting Science, http://www.parentingscience.com/calories-in-breast-milk.html.
Diakses pada 27 Juli 2014.

243
c. Vitamin. Jumlah dan jenis vitamin di dalam ASI terkait secara langsung dengan
asupan vitamin ibu. Inilah mengapa sangat penting bagi ibu untuk mendapat
asupan nutrisi yang cukup, termasuk vitamin. Vitamin-vitamin yang larut
dalam lemak, yaitu vitamin A, D, E dan K, adalah sangat vital bagi kesehatan
bayi. Sementara itu sangat penting pula vitamin-vitamin yang larut dalam air,
seperti vitamin C, riboflavin, niacin, dan asam panthothenat. Oleh karena
pentingnya pemenuhan terhadap vitamin-vitamin ini, maka banyak sentra
kesehatan dan konsultan ASI yang mengharuskan para ibu menyusui untuk
mengkonsumsi vitamin prenatal secara kontinyu.16

d. Karbohidrat. Laktosa merupakan karbohidrat primer yang mencapai sekitar


40% dari total kalori di dalam ASI. Laktosa membantu mengurangi jumlah
bakteri pathogen di dalam lambung, serta meningkatkan absorpsi kalsium,
fosfor, dan magnesium. Dengan demikian karbohidrat berfungsi untuk
membantu melawan penyakit dan membantu meningkatkan pertumbuhan
bakteri sehat di dalam lambung.17

2. Larangan Pemberian ASI


Sekalipun upaya untuk memberikan ASI digalakkan, tetapi pada beberapa
kasus pemberian ASI tidak dibenarkan, yaitu bila terjadi:
a. Penyakit pada ibu:18
1) Ibu dengan penyakit jantung yang berat karena akan menambah beratnya
penyakit ibu.
2) Ibu dengan pre eklampsi dan eklampsi karena banyaknya obat-obatan yang
diberikan sehingga dapat mempengaruhi bayinya.19
3) Penyakit infeksi berat pada payudara, sehingga kemungkinan menular pada
bayinya.
4) Karsinoma payudara mungkin dapat menimbulkan menimbulkan
metastasis.
5) Ibu dengan psikosis, dengan pertimbangan kesadaran ibu sulit diperkirakan
sehingga dapat membahayakan bayi.20
6) Ibu dengan infeksi virus.
7) Ibu dengan TBC atau lepra.

16
Carol J. Lammi-Keefe, Robert G. Jensen, "Fat-Soluble Vitamins in Human
Milk", Nutrition Reviews, vol. 42, issue 11 (November 1984): 365”371.
17
Gwen Dewar, "Nutrients and Calories in Breast Milk: A Guide for the Science-
Minded", Parenting Science, http://www.parentingscience.com/calories-in-breast-milk.html.
Diakses pada 27 Juli 2014.
18
Larangan-larangan tersebut, dapat disebabkan karena kondisi atau penyakit si
ibu, namun dapat pula disebabkan pemakaian obat-obatan dalam rangka terapi ibu. Lihat;
Jeanne P. Spencer, et al., "Medications in the Breast-Feeding Mother", American Family
Physician, vol. 64, issue 1 (July 2001): 119-127.
19
Obat-obatan yang diberikan disamping antihipertensi, juga dari jenis tranquilizer.
20
Hal ini karena psikosis termasuk penyakit jiwa atau gangguan jiwa berat, yang
mnyebabkan pasien kehilangan kesadaran akan lingkungannya.

244
b. Penyakit pada bayi:
1) Bayi dalam keadaan kejang-kejang yang dapat menimbulkan bahaya
aspirasi ASI.
2) Bayi yang menderita sakit berat dengan pertimbangan dokter anak tidak
dibenarkan untuk mendapatkan ASI.
3) Bayi dengan berat badan lahir rendah, karena refleks menelannya sulit
sehingga bahaya aspirasi mengancam.
4) Bayi dengan cacat bawaan yang tidak mungkin menelan.
5) Bayi yang tidak menerima ASI, penyakit metabolisme seperti alergi ASI.21

c. Kondisi Patologis Payudara:


Pada rawat gabung dapat diharapkan bahwa kemungkinan stagnasi pemberian
ASI yang dapat menimbulkan infeksi dan abses, masih dapat dihindari. Sekalipun
demikian, terdapat beberapa keadaan patologis payudara yang memerlukan
konsultasi dokter sehingga tidak merugikan ibu dan bayinya. Keadaan patologis
yang memerlukan konsultasi adalah :
1) Infeksi payudara.
2) Terdapat abses yang memerlukan insisi.
3) Terdapat benjolan payudara yang membesar saat hamil dan menyusui.
4) ASI yang bercampur dengan darah.

3. Manfaat ASI bagi Ibu dan Bayi


ASI mengandung manfaat yang sangat luar biasa bagi bayi. ASI memang
didesain oleh Alla>h untuk bayi manusia, sehingga merupakan makanan terbaik bagi
bayi. Susu formula merupakan substitusi yang hanya layak diberikan jika seorang
wanita tidak dapat menyusui atau ketika ada alasan medis yang mencegahnya.
Diantara manfaat terbaik ASI bagi bayi ialah: 22
a. ASI memiliki sangat banyak antibodi, yang akan sangat membantu
perkembangan sistem imunitas bayi dalam melawan penyakit. Antibodi tersebut
khususnya jenis IgA, yang merupakan faktor penting dalam menjaga sistem
pencernaan dan sistem pernafasan. Bayi-bayi yang disusui ASI dengan baik,
menunjukkan tingkat insidensi yang rendah dari sejumlah penyakit seperti:
asthma, pneumonia, diarrhea, infeksi telinga, alergi, kanker pada anak-anak,
multiple sclerosis, penyakit Crohn, diabetes, appendisitis, dan obesitas.23
b. Tidak menimbulkan alergi pada bayi, bukan seperti yang kadang terjadi pada
susu sapi dan susu kambing.

21
"Lactose Intolerance". http://raisingchildren.net.au/articles/lactose intolerance.
html. Diakses pada 27 Juli 2014.
22
J. Raisler, C. Alexander, P. O'Campo, "Breast-feeding and Infant Illness: a Dose-
Response Relationship?", American Journal of Public Health January, vol. 89, no. 1 (1999):
25-30.
23
Untuk mengontrol perkembangan berat badan bayi, perlu dilakukan penimbangan
bayi secara teratur. Pada saat ini telah tersedia table usia, tinggi badan, dan berat badan.
Dengan demikian orangtua dapat mencocokkan berat badan bayi dengan table tersebut.

245
c. ASI mengandung zinc dalam kadar yang cukup, sementara susu sapi dan susu
formula lainnya tidak mengandung kadar zinc yang cukup.24 Bayi yang diberi
susu selain ASI beresiko mengalami kekurangan zinc yang dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan kulit, baik akut atau kronis. Gejala penyakit kulit yang
sering terjadi ialah ruam yang cepat sekali berisi nanah atau darah, khususnya di
sekitar mulut, anus dan ujung-ujung jari. Keadaan ini bisa disertai diare yang
terkadang sangat parah.
d. Berbagai hormon yang terkandung di dalam ASI akan mendorong suasana jiwa
yang tenang dalam tidur bayi, serta membantu untuk membaguskan gigi dan
pencernaannya. Dengan demikian akan memperbaiki seluruh keadaan bayi.
e. ASI juga membantu pertumbuhan otak dengan lebih baik. Bayi-bayi yang diberi
ASI, memiliki IQ enam angka lebih tinggi dibandingkan dengan bayi-bayi yang
diberi susu formula.25
f. Proses menyusui adalah sangat baik bagi psikologis bayi dan akan membangun
keterikatan batin dengan ibunya. Menyusui melalui botol tidak dapat
menggantikan suasana psikologis ini. Bahkan apabila seorang ibu menyusui
sambil membaca atau mengecek email, bayi pun tetap memperolah kehangatan
dan rasa aman dari ibunya.

Berikutnya, diantara manfaat terbaik ASI bagi ibu yang menyusui ialah:
a. Merupakan cara menurunkan berat badan yang paling mudah. Tindakan
menyusui akan membakar kalori berlebih, yaitu sekitar 200-500 kalori per hari.
Sementara wanita lain harus memeras keringat di sarana fitness, maka seorang
ibu cukup dengan menyusui bayinya.
b. Menyusui bayi adalah bebas biaya. Susu formula memiliki harga beli, belum lagi
botol, dot, alat takaran dan lain-lain yang harus dibeli dan harus dicuci.
c. ASI selalu tersedia apa adanya sesuai kebutuhan. Tidak perlu mencampur susu
formula, menakar komposisinya dibandingkan dengan air yang digunakan,
ataupun menunggu agar suhu formula cocok untuk diminumkan ke bayi. Tidak
perlu ada kekuatiran pengaturan waktu, bahkan ketika tengah malam sekalipun.
d. Pemberian ASI merupakan salah satu cara pengaturan kehamilan secara alami,
tanpa alat atau obat kontrasepsi.
e. Bersamaan dengan proses menyusui, tubuh mengeluarkan hormon oxytocin,
yang akan menimbulkan perasaan tenang, tenteram, dan menumbuhkan rasa
kasih sayang kepada bayinya.26

24
Konsentrasi zink dalam ASI berkisar 4-5 mg/l di dalam ASI yang keluar lebih
awal, 1-2 mg/l pada 3 bulan postpartum, hingga 0,5 mg/l pada 6 bulan postpartum.
Konsentrasi ini tidak dipengaruhi oleh suplementasi zink ibu. Zink dalam ASI ditemukan
dalam bentuk zinc-binding molecule, picolinic acid, sehingga lebih mudah diabsorpsi.
25
James W. Anderson, Bryan M. Johnstone, Daniel T. Remley, "Breast-Feeding and
Cognitive Development: a Meta-Analysis", American Journal of Clinicl Nutrition, vol. 70,
no. 4 (October 1999): 525-535.
26
Uvnäs Moberg, D.K. Prime, "Oxytocin Effects in Mothers and Infants During
Breastfeeding", Infant, vol. 9, issue 6 (November 2013): 201-206.

246
f. Menyusui bayi adalah baik untuk kesehatan, yaitu akan mengembalikan uterus
kepada ukuran normal dengan lebih cepat seraya mencegah perdarahan uterus.
Wanita yang menyusui memiliki tingkat insidensi yang lebih rendah untuk
penyakit osteoporosis, serta beberapa jenis kanker seperti kanker payudara dan
kanker ovarium. Semakin lama sorang wanita menyusui ketika usia subur, maka
semakin rendah resiko terjadinya kanker payudara pada fase pre-menopause.27

Di antara manfaat terbaik ASI bagi lingkungan hidup ialah:28


a. Susu formula dibuat dari susu sapi atau susu kedelai. Terdapat sejumlah isu
terkait sapi overgrazing29 dan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk
menumbuhsuburkan kedelai.
b. Susu formula dan botol susu dibuat dan dikemas di pabrik, kemudian diangkut
dengan alat transportasi ke toko-toko. Sementara itu konsumen mengkonsumsi
BBM untuk membeli susu formula di toko.
30
c. Plastik yang digunakan untuk botol dan alat penakar, serta bahan kaleng
31
wadah susu formula, mengandung bahan-bahan kimia, yang bisa jadi
berpengaruh terhadap susu formula tersebut. 32
d. Botol dan kemasan yang telah usang harus dibuang dan menjadi sampah
kimia.33
Dari uraian di atas, dapatlah dipahami mengenai keutamaan ASI
dibandingkan susu formula serta keutamaan menyusui bagi si ibu, terutama dari
aspek medis. Berdasarkan analisa medis tersebut, kemudian berkembang inovasi
tentang perlunya Bank ASI, yaitu suatu tempat dikumpulkannya ASI yang berlebih
dari para ibu menyusui, untuk selanjutnya dapat diberikan kepada bayi-bayi yang
membutuhkan. Dengan cara ini kebutuhan nutrisi bagi banyak bayi di muka bumi
ini dapat dicukupi, meskipun berbeda waktu antara pengambilan ASI dengan

27
Laufey Tryggvadóttir, et al., "Breastfeeding and Reduced Risk of Breast Cancer
in an Icelandic Cohort Study", American Journal of Epidemiology, vol. 154, issue 1 (2001):
37-42.
28
http://www.breastmilk.com/benefits-of-breastfeeding.php#sthash.aoGg8Rtl.dpuf.
Diakses pada 22 Maret 2014.
29
Arti overgrazing ialah kegagalan untuk memindahkan atau merotasi hewan-
hewan ternak dengn lingkungan yang harmonis di tumbuhan hijau pangan ternak. Grazing
management yang baik ialah pergerakan ternak dimana ternak memliki peluang yang cukup
terhadap sirkulasi pertumbuhan di kehijauan ladang pangan mereka. http://beefmagazine.
com/mag/beef_overgrazing. Diakses pada 27 Juli 2014.
30
Resiko jika dipanaskan atau terpapar panasnya sinar matahari.
31
Resiko karat, dll.
32
G. Henderson, M. Anthony, W. McGuire, "Formula Milk Versus Maternal Breast
Milk for Feeding Preterm or Low Birth Weight Infants", Coachrane Neonatal Reviews,
2007. https://www.nichd.nih.gov/cochrane_data/hendersong_01/hendersong_01.html.
Diakses pada 27 Juli 2014.
33
Oleh karena sebagian besar alat-alat tersebut terbuat dari plastikc. Sampah
plastik akan terurai dalam waktu 50-100 tahun. Kaleng alumunium akan terurai dalam
waktu 80-100 tahun, sedangkan sterofoam tidak dapat terurai.

247
pemberian ASI, atau terbentang jarak yang amat jauh antara ibu sebagai sumber
ASI dengan bayi sebagai konsumen ASI.

B. Pembahasan Fikih tentang Bank ASI

Eksistensi dan urgensi Bank ASI di negara-negara Barat membawa dampak


kepada pemikiran dalam hal yang sama di negara-negara Muslim. Oleh karena itu,
sebagai lembaga ulama berskala internasional, Majma‘ al-Fiqh membahasnya
dalam topik tersendiri dalam mu’tamar Majma‘ yang ke-2 di Jeddah.
Mu’tamar tersebut berlangsung antara tanggal 10 s.d. 16 Rabi>‘ al-Tha>ni>
1406 H atau bertepatan dengan 22 s.d. 28 Desember 1985 M. Adapun pembahasan
tentang Bank ASI (Bunu>k al-H{ali>b) dilakukan pada tanggal 11 Rabi>‘ al-Tha>ni> 1406
H atau bertepatan dengan 23 Desember 1985 M. Di dalamnya dipresentasikan
sejumlah makalah dan dilanjutkan dengan diskusi antar sejumlah anggota Majma‘.
Berikut ini penulis sajikan secara ringkas yang relevan dengan topik disertasi ini.
Sebelum membahas seputar persusuan dari sudut pandang hukum Islam,
maka perlu diketahui bahwa yang sangat membutuhkan ASI ialah bayi-bayi dengan
tiga kriteria seperti di bawah ini.
1. Bayi prematur. Semakin bayi dilahirkan kurang dari 9 bulan, maka semakin dia
membutuhkan ASI.34 Dalam pandangan medis dinyatakan bahwa bayi yang
dilahirkan lewat dari umur enam bulan, bisa bertahan hidup. Hal ini menjadi
dasar pula dari segi fikih, sebagaimana hukum yang disimpulkan oleh ‘Ali> Ibn
Abi> T{a>lib r.a. tatkala seorang perempuan melahirkan setelah enam bulan sejak
perkawinannya. Peristiwa tersebut diadukan kepada ‘Uthma>n Ibn ‘Affa>n r.a.,
lalu ia bermaksud menuduhnya zina lantaran suaminya juga menuduhnya
berzina.35 Akan tetapi ‘Ali> r.a.36 menjelaskan bahwa kelahiran pada bulan
keenam adalah mungkin terjadi.37 Para fuqaha>' bersepakat38 bahwa persalinan
yang dapat melahirkan bayi hidup39 ialah minimal usia kehamilan 6 (enam)
bulan.40 Kesimpulan ini sesuai dengan firman Alla>h, ‚Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan.‛ (QS. al-Ah}qa>f [46]: 15) Di ayat lain
Alla>h berfirman, ‚Dan menyapihnya dalam dua tahun.‛ (QS. Luqma>n [31]: 14)
Juga firman Alla>h, ‚Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.‛ (QS. al-
Baqarah [2]: 233)

34
"Premature Babies Benefit from Breast Milk, Study Says", University of Toronto
(November 2003). http://www.sciencedaily.com/releases/2003/11/031104063548.htm.
Diakses pada 27 Juli 2014.
35
Al-Sarakhshi>, Al-Mabsu>t}, j.VI, 44.
36
Al-Nawawi>, Rawd}ah al-T{a>libi>n, j.VI, 150.
37
Al-Ma>wardi>, Al-H{a>wi> al-Kabi>r, j.XI, 204.
38
Kama>l Ibn Huma>m, Fath} al-Qadi>r, j.IV, 362.
39
Ibn Taymi>yah, Fata>wa> Ibn Taymi>yah fi> al-Fiqh, j.XXXIV, 10.
40
Al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.III, 387. Ibn Muflih}, Al-Mubdi‘ fi> Sharh} al-
Muqni‘, j.VIII, 104.

248
Dari ayat-ayat tersebut tampak jelas bahwa usia minimal bayi lahir hidup41
ialah enam bulan.42
2. Bayi yang kurang bobot tubuhnya saat dilahirkan (small for date), meskipun
telah genap berusia sembilan bulan dalam kandungan (280 hari sejak haidh
terakhir, atau 266 hari sejak pembuahan, terkadang kurang dan terkadang
lebih.43
3. Infeksi akut maupun kronis yang menyerang bayi, sehingga membuatnya
sangat membutuhkan ASI,44 karena ASI mengandung banyak antibodi dalam
kadar yang sesuai kebutuhan bayi.45

Dalam pandangan ajaran Islam terkait hubungan sesama manusia, maka


pemberian ASI memberikan dampak yang signifikan. Yaitu timbulnya hubungan
batin antara bayi dengan ibu susu dan antara bayi dengan saudara sepersusuan
lainnya. Para pakar hukum Islam sejak dulu telah memperbincangkannya. Salah
satu yang menjadi pokok pembicaraan yang sangat penting ialah apakah definisi
rad}a>‘ah yang dengannya menimbulkan hubungan saudara sepersusuan, dan pada
gilirannya akan menjadi mahram yang dilarang untuk melakukan pernikahan antar
mereka. Perbedaan pendapat di antara para ulama berpangkal kepada tiga hal, yaitu
tentang:
1. Apa definisi pemberian ASI
2. Apakah menyusui ASI melalui alat lain (seperti dot) itu termasuk dalm
pengertian rad}a>‘ah
3. Berapa lama periode atau frekuensi menyusui yang menimbulkan dampak
kemahraman tersebut

41
Al-Jas}a>s}, Ah}ka>m al-Qur'a>n, j.V, 218-219.
42
Al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, j.XVI, 128-129.
43
Yaitu bayi yang lahir dari kondisi Small-for-Gestational (SGA) atau Light-for-
Date, dan memiliki dua pengertian:
a. Janin yang pertumbuhannya di bawah dari yang seharusnya. Janin-janin tersebut lebih
ringan dari berat seharusnya pada usia terkait, namun mereka dalam kondisi sehat. 50”
70% dari janin SGA berukuran lebih kecil dari normal, namun tumbuh wajar bagi ukuran
tubuh ibu dan etnik yang bersangkutan.
b. Pertumbuhan janin normal pada periode awal kehamilan, tapi kemudian melambat
dalam sekurang-kurangnya dua alat ukur dan USG normal. Kondisi berkaitan dengan
intrauterine growth restriction (IUGR). Mereka memiliki tampilan yang tidak baik
dengan sedikit sekali lemak subkutan. Mereka berada pada resiko tinggi untuk
mengalami kematian.
Lihat: Hayley Willacy, Colin Tidy, "Small for Gestational Age Babies", Patient.co.uk (May
2013), http://www.patient.co.uk/doctor/small-for-gestational-age-babies. Diakses 28 Juli
2014.
44
http://www.breastmilk.com/benefits-of-breastfeeding.php#sthash.aoGg8Rtl.dpuf.
Diakses pada 22 Maret 2014.
45
Álvaro Koenig, "Immunologic Factors in Human Milk: The Effects of
Gestational Age and Pasteurization", Journal of Human Lactation, 21(4) (2005): 439-443.

249
1. Makna Rad}a>‘ (Pemberian ASI)
Menurut mayoritas ulama, di antara mereka adalah Abu> H{ani>fah, Ma>lik dan
al-Sha>fi‘i>, makna rad}a>‘ yang berimplikasi kepada kemahraman ialah setiap air susu
yang sampai ke perut bayi melalui tenggorokannya, sebagaimana waju>r, yaitu
memasukkan susu langsung ke tenggorokannya. Bahkan sa‘u>t} juga disatu-
kategorikan dengan rad}a>‘, yaitu memasukkan air susu melalui hidungnya. Bahkan
sebagian ulama mengambil pendapat yang lebih jauh, yaitu mempersamakan
asupan susu melalui anus dengan waju>r dan sa‘u>t}.46
Semua pendapat tersebut dibantah oleh Imam Layth Ibn Sa‘d47 yang hidup
sezaman dengan Imam Ma>lik. Juga disanggah oleh para ulama mazhab Z{a>hiri>yah.
Pendapat ini juga merupakan salah satu dari dua pendapat Imam Ah}mad.
Pendapat yang paling kuat, yaitu riwayat yang masyhur dari Ah}mad dan
disepakati oleh mayoritas ulama adalah bahwa kemahraman ditentukan dengan
rad}a>‘ dan waju>r. Waju>r ditetapkan sebagai faktor penyebab kemahraman karena ia
mengakibatkan pertumbuhan daging dan tulang sehingga disejajarkan dengan rad}a>‘.
Sementara itu sa‘u>t} tidak dianggap sebagai tindakan yang membatalkan puasa,
sehingga tidak dianggap sebagai faktor penyebab kemahraman.
Menurut riwayat lain, waju>r dan sa‘u>t} tidak menyebabkan kemahraman,
karena keduanya bukan rad}a>‘.48
Ibn Quda>mah dalam kitab al-Mughni> mengatakan, ‚Ini adalah pendapat
yang dipilih Abu> Bakr, mazhab Da>wu>d, dan pendapat ‘Atha>’ al-Khurasa>ni> terkait
sa‘u>t}, yang bukan termasuk rad}a>‘ (pemberian ASI). Alla>h dan Rasul-Nya
menetapkan kemahraman hanya karena rad}a>‘. Juga karena ASI tersebut masuk
bukan dengan cara menetek, sehingga serupa dengan memasukkan susu melalui
luka pada tubuhnya.‛ 49
Ibn Quda>mah mengunggulkan riwayat pertama berdasarkan hadis dari
‘Abdulla>h Ibn Mas‘u>d dari Nabi SAW:
50

46
Disebut juga dengan sonde hidung, yaitu memasang selang makanan ke saluran
pencernaan melalui hidung, kemudian makanan/susu disuntikkan ke dalam selang tersebut.
Di sini tampak bagaimana para ulama sejak ratusan tahun yang lalu telah memikirkan
kemungkinan intake makanan (nutrisi) melalui hidung, pembuluh darah, dan anus.
47
Abu> al-H{a>rith Layth Ibn Sa‘d Ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Fahmi>. Seorang ulama, ahli
fikih, dan perawi hadits dari generasi ta>bi‘ al-ta>bi‘i>n. Dilahirkan pada bulan Sya'ban tahun
93 H di Qalqasyandah di Mesir, dan wafat sekitar tahun 175 H. Imam al-Bukha>ri> dan
Mulim banyak meriwayatkan hadis darinya. Imam al-Sha>fi‘i> mengatakan bahwa ‛Al-Layth
lebih ahli ketimbang Ma>lik dalam bidang fikih‛. Imam Ma>lik sendiri setiap kali
menyebutkannya dalam kitabnya:‛Telah diceritakan kepadaku oleh orang ahli ilmu‛. Para
Ulama telah menetapkan bahwa sanad paling sahih di Mesir adalah yang diriwayatkan oleh
al-Layth Ibn Sa‘d, dari Yazi>d Ibn Abi> H{abi>b. Diantara yang meriwayatkan darinya ialah
Imam ‘Abdulla>h Ibn al-Muba>rak dan ‘Abdulla>h Ibn Wahb.
48
Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Bunu>k al-H{ali>b, Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 386.
49
Ibn Quda>mah, Al-Mughni>, j.XI, 142.
50
Hadis ini diriwayatkan dalam beberapa redaksi yang berbeda, namun memiliki
makna yang sama. Riwayat Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, Ah}mad Ibn H{anbal, al-Da>ruqut}ni>, al-
Bayhaqi>, Ibn ‘Abd al-Ba>rr, al-H{a>kim, dan Ibn ‘Adi>.

250
‚Tidak ada persusuan kecuali persusuan yang bisa menegakkan tulang dan
menumbuhkan daging.‛
Hadis ini menjadi argumen untuk membantah pendapat mereka, karena
pemberian ASI yang berimplikasi kemahraman ialah yang memiliki pengaruh
terhadap pertumbuhan fisik bayi. Jadi, hadis ini menafikan pemberian ASI dalam
kadar yang sedikit dan yang tidak berpengaruh pada pembentukan fisik, seperti satu
atau dua isapan. Pemberian ASI seperti ini tidak mengakibatkan pertumbuhan
tulang dan daging.
Selanjutnya Ibn Quda>mah mengatakan, ‚Waju>r bisa menyalurkan susu ke
lambung seperti halnya rad}a>‘, serta menyebabkan pertumbuhan tulang dan daging.
Oleh karenanyawaju>r harus disamakan dengan rad}a>‘ dalam hal mengakibatkan
kemahraman. Selain ituwaju>r dapat membatalkan puasa, sehingga ia
mengakibatkan kemahraman, sama seperti menetek dengan mulut.‛ 51
Namun demikian, seandainya alasan pertumbuhan dan perkembangan tubuh
(antara lain tulang dan daging) ”dengan cara intake apapun„ dapat diterima, maka
donor darah dari seorang perempuan kepada seorang anak pun dapat mengakibatkan
kemahraman dan menjadikan perempuan tersebut sebagai ibunya, karena suplai
nutrisi yang terkandung dalam darah itu lebih cepat dan lebih kuat pengaruhnya
daripada susu. Akan tetapi, hukum-hukum agama tidak ditetapkan dengan
persangkaan, karena persangkaan merupakan tutur kata yang paling dusta. Hal ini
sebagaimana firman Alla>h Ta‘a>la>:‚Sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna
sedikit pun untuk menyatakan kebenaran.‛ (QS Yu>nus [10]: 36)
Selanjutnya al-Qarad}a>wi> berpendapat bahwa Sha>ri‘ menetapkan dasar
kemahraman berupa ‘umu>m al-murd}i‘ah, yaitu kasih sayang keibuan dalam
memberikan air susu kepada anak, sebagaimana dijelaskan dalam firman Alla>h
tentang perempuan-perempuan mahram, ‚…Ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan….‛ (QS al-Nisa>’ [4]: 23)
Karakter keibuan yang diterangkan secara gamblang dalam Al-Qur’a>n itu
tidak terjadi hanya dengan cara diambil air susunya, melainkan harus ada isapan
dan sentuhan kulit yang mengekspresikan rasa belas kasih seorang ibu, sebagai
jawaban atas ketergantungan seorang anak kepada ibunya. Dari keibuan inilah
muncul persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan itulah yang menjadi pokoknya,
sedangkan yang lain mengikutinya.
Semua redaksi Al-Qur’a>n dan Sunnah menyebut kata rad}a>‘, yaitu
menghisap (puting) susu ibu, bukan sekedar memasukkan air susu dengan suatu
cara.
Pernyataan Imam Ibn H{azm cukup argumentatif dan jelas dalilnya, karena
ia berhenti pada makna yang ditunjukkan nas}s} dan tidak melewati batasan-
batasannya, sehingga ia sampai kepada pendapat yang benar. Ia mengatakan: 52
‚Adapun sifat persususan yang mengakibatkan kemahraman adalah bayi
(usia menyusui) yang menyusu dengan cara menghisap payudara perempuan.
Adapun seseorang yang minum ASI dari suatu wadah, atau ASI diperas dan

51
Ibn Quda>mah, Al-Mughni>, j.XI, 142.
52
Ibn H{azm, Al-Muh}alla>, j.X, 185.

251
ditumpahkan ke mulutnya lalu ia menelannya, atau diberi makan roti yang
dicampur ASI, atau ASI dituangkan ke dalam mulut, hidung dan telinganya, atau
disuntikkan, maka semua itu tidak mengakibatkan kemahraman sama sekali,
meskipun ASI itu menjadi makanannya dalam jangka waktu yang lama.
Argumennya adalah firman Alla>h, ‚…Ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan….‛ (QS al-Nisa>’ [4]: 23). Selain itu Rasu>lulla>h SAW
bersabda, ‚Haram akibat persusuan (rad}a>‘ah) apa yang haram akibat nasab.‛ 53 Jadi,
Alla>h dan Rasul-Nya tidak mengharamkan pernikahan kecuali alasan susuan dengan
cara menetek saja.‛
‚Suatu perbuatan tidak disebut sebagai menyusui kecuali jika perempuan
yang menyusui meletakkan payudaranya ke mulut anak yang disusui. Adapun
semua cara selain yang saya jelaskan ini tidak disebut ibu persusuan sama sekali,
melainkan pemerahan, atau pemberian makan, atau pemberian minum, atau selain
itu. Alla>h tidak mengharamkan pernikahan dengan sebab semua itu sama sekali.‛54
‚Abu> Muh}ammad mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini. Menurut Layth Ibn Sa‘d, sa‘u>t} dengan air susu seorang perempuan
tidak mengakibatkan kemahraman. Memberi minum anak dengan ASI yang
dicampur ke dalam obat juga tidak mengakibatkan kemahraman, karena hal itu
tidak disebut sebagai persusuan. Yang disebut rad}a>‘ah adalah menghisap ASI
langsung dari payudara.‛
Itulah pendapat Layth, dan pendapat Abu> Sulayma>n (Da>wu>d al-Z{a>hiri>)
serta para ulama mazhab Z{a>hiri>yah.
Abu> Sulayma>n membantah mereka yang berargumen dengan hadis,
‚Persususan itu harus mengakibatkan kenyang dari rasa lapar.‛ Di antara
sanggahannya adalah:
‚Justru hadis ini menjadi argumen yang menguatkan pendapat kami, karena
Nabi SAW menetapkan kemahraman semata berdasarkan persususan dalam kadar
yang bisa mengenyangkan dari rasa lapar. Beliau tidak menetapkan dengan ukuran
selain itu. Dengan demikian, menurut kami, pendapat yang paling menentramkan
hati adalah yang sejalan dengan makna teksual nas}s} yang menjadi acuan setiap
hukum persususan. Selain itu, pendapat ini sejalan dengan hikmah dalam penetapan
kemahraman akibat persusuan, yaitu adanya (sifat) keibuan yang menyerupai ibu
kandung. Dari sinilah muncul persaudaraan persusuan dan kekerabatan lainnya.‛ 55
Pendapat ini diunggulkan oleh al-Qarad}a>wi>, meskipun bukan merupakan
pendapat yang masyhur dari kalangan empat mazhab. Terkadang para fuqaha>’
mengunggulkan sebuah pendapat yang bukan pendapat yang masyhur, dan

53
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, al-Nasa>'i, Ibn Ma>jah, Ma>lik, al-
Da>rimi>, al-Bayhaqi>, Ah}mad, al-T{abra>ni>, al-Baghawi>, dan al-Zayla‘i>.
54
Pendapat ini dikemukakan oleh para ulama pada masa dahulu. Seandainya pada
masa itu telah ada botol dot susu, tentu silang pendapat tersebut akan berbeda dengan apa
yang bias dibaca di dalam kitab-kitab fikih terdahulu.
55
Ibn H{azm, Al-Muh}alla>, j.X, 186.

252
seyogianya hal ini menjadi metodologi al-Majma‘ al-Fiqh. Dengan demikian fikih
bisa diambil dari pintunya yang paling luas.56
Selanjutnya al-Qarad}a>wi> berpendapat bahwa persusuan dalam pengertian
tersebut, tidak ditemukan dalam kasus Bank ASI, oleh karenanya ia tidak
berimplikasi kepada kemahraman.57

2. Keraguan dalam Persusuan


Problem berikutnya ialah tentang kadar atau jumlah susu yang
menimbulkan kemahraman serta tentang percampuran ASI dari ibu-ibu susu yang
berbeda.
Majma‘ mengasumsikan bahwa seandainya dapat diterima pendapat
mayoritas ulama yang tidak mensyaratkan persusuan langsung dan isapan, karena
ada faktor lain yang mengakibatkan kemahraman. Yaitu, tidak diketahui
perempuan mana yang menyusui seorang bayi? Berapa ukuran air susu yang
diberikannya? Apakah sejumlah air susu yang setara dengan lima kali sususan yang
mengenyangkan?
Menurut pendapat yang terpilih dan didukung oleh a>tha>r ialah kadarASI
haruslah (cukup untuk sekedar) menumbuhkan daging dan tulang. Ini adalah
pendapat mazhab Sha>fi‘i>yah dan H{anbali>yah.
Apakah ASI campuran dari beberapa orang ibu susu itu memiliki hukum
yang sama dengan ASI yang bersumber dari seorang ibu susu? Abu> Yu>suf
berpendapat „dan itu merupakan riwayat dari Abu> H{ani>fah„ bahwa jika ASI
seorang perempuan dicampur dengan ASI perempuan lain, maka hukumnya milik
ASI yang lebih banyak, karena manfaat dari ASI yang lebih sedikit itu tidak
tampak, ketika dibandingkan dengan ASI yang lebih banyak. Akan tetapi kesulitan
berikutnya ialah, bahwa dalam kasus yang meragukan ini tidak diketahui ASI
perempuan mana yang lebih banyak.
Dari sisi lain, ulama mazhab H{ana>fi>yah„sebagaimana dalam kitab al-
Ikhtiya>r karya Ibn Mawdu>d„,58 salah satu kitab yang dipelajari pada tingkat dua di
al-Azhar, menyebutkan bahwa seandainya ada seorang perempuan di suatu desa
yang menyusui seorang bayi (tanpa bisa diketahui siapa orangnya), maka semua
perempuan desa tersebut tidak menjadi mahram anak tersebut, karena keraguan
dalam kasus ini tidak berdampak. Atas dasar itu, al-Qarad}a>wi> berpendapat bahwa
selama masalah ini masih mengandung keraguan, maka tidak bisa ditetapkan
kemahraman.
Sebagai patokan bahwa keraguan terkait masalah persusuan tidaklah
mengakibatkan kemahraman, karena hukum asalnya adalah mubah (boleh menikah)

56
Pandangan al-Qarad}a>wi> tersebut menunjukkan wawasannya yang luas tentang
elastisitas fikih serta anjuran untuk berijtihad. Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Bunu>k al-H{ali>b, Majallah
Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 388.
57
Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Bunu>k al-H{ali>b, Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 389.
58
Shaykh al-Ima>m Abu> al-Fad}l ‘Abdulla>h Ibn Mah}mu>d Ibn Mawdu>d Ibn Mah}mu>d
Ibn Baldaji> al-Maws}u>li> al-H{anafi>. Lahir di Mosul pada tahun 599H/1203M dan wafat pada
tahun 638H/1284M. Seorang ‘a>lim, faqi>h dan ahli h}adi>th, menghabiskan sebagian besar
usianya di Baghdad.

253
sehingga hukum tersebut tidak bisa dipalingkan kepada hukum lain kecuali dengan
hal yang pasti dan yakin. 59
Al-‘Alla>mah Ibn Quda>mah dalam kitab al-Mughni> mengatakan: ‚Apabila
terjadi keraguan tentang adanya persususan atau kadar persususan yang
mengakibatkan kemahraman; apakah ia telah sempurna atau tidak, maka hal itu
tidak mengakibatkan kemahraman, karena menurut ketentuan awalnya
kemahraman itu tidak ada. Hukum awal ini tidak hilang dengan adanya keraguan.
Seperti halnya seseorang ragu tentang adanya cerai dan jumlah kalimat cerai yang
ia ucapkan.‛ 60
Dalam kitab al-Ikhtiya>r (salah satu kitab fikih mazhab H{anafi>) dijelaskan:61
‚Jika seorang perempuan memasukkan puting susunya ke mulut seorang anak,
tetapi tidak diketahui apakah air susu telah masuk ke tenggorokannya atau tidak,
maka hal itu tidak mengharamkan pernikahan. Disamping itu pula dengan seorang
bayi perempuan yang disusui oleh sebagian penduduk desa tanpa diketahui siapa
orangnya, lalu ia dinikahi oleh seorang laki-laki dari desa tersebut, maka hukumnya
boleh, karena kebolehan nikah merupakan ketentuan awal sehingga ketentuan
tersebut tidak hilang dengan keraguan.‛
Namun demikian hendaknya kaum perempuan dilarang menyusui bayi
tanpa ada faktor darurat. Jika mereka melakukannya, maka hendaklah mereka
menghafal namanya, atau mencatatnya sebagai langkah kehati-hatian.62
Selanjutnya yang menjadi topik bahasan ini bukan persususan dalam arti
tekstualnya. Seandainya bisa diterima bahwa pemberian susu dari Bank ASI
dianggap sebagai persusuan, maka hendaklah itu dilakukan karena alasan darurat.
Selain itu harus dicatat dalam rekam medis yang baik, agar ASI tersebut dapat
diidentifikasi sumbernya dan tidak bercampur satu sama lain.
Menurut al-Qarad}a>wi>, orientasi yang lebih kuat dalam masalah persususan
adalah mempersempit kemahraman, sama seperti mempersempit jatuhnya cerai.
Meskipun ada banyak ulama yang memperluas dalam kedua masalah tersebut. 63

3. Ringkasan Diskusi Para Anggota Majma‘


a. Pendapat Yu>suf al-Qarad}a>wi>
Al-Qarad}a>wi> berpandangan bahwa tidak ada hal yang menghalangi
pendirian Bank ASI selama bisa mewujudkan maslahat yang diakui syariat dan
menutupi kebutuhan yang wajib, seraya berpegang pada pendapat para ulama fiqh
yang didukung dengan berbagai dalil dan tarji>h.}
Sebagian orang bertanya, ‚Mengapa kita tidak mengambil jalan yang lebih
hati-hati dan keluar dari perbedaan pendapat, sedangkan sikap seperti itu lebih
menunjukkan sikap wara’ dan lebih jauh dari syubhat?‛ 64

59
Kaidah yang masyhur di kalangan ahli fikih menyebutkan " ".
Lihat: Ah}mad al-Zarqa>', Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 79.
60
Ibn Quda>mah, Al-Mughni>, j.XI, 136.
61
Yu>suf al-Qarad}a>wi>, "Bunu>k al-H{ali>b", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 389.
62
Yu>suf al-Qarad}a>wi>, "Bunu>k al-H{ali>b", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 390.
63
Yu>suf al-Qarad}a>wi>, "Bunu>k al-H{ali>b", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 390.
64
"Al-‘Arad} wa al-Muna>qashah", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 409.

254
Al-Qarad}a>wi> menjawab, bahwa ketika seseorang berbuat untuk dirinya
sendiri, maka tidak ada salahnya jika ia mengambil langkah yang paling hati-hati
dan wara’. Bahkan ia bisa lebih dari itu, yaitu meninggalkan perkara yang
dibolehkan untuk menghindari hal yang dilarang. Namun demikian ketika
masalahnya terkait dengan umum dan maslahat sosial yang diakui dalam agama,
maka sebaiknya ahli fatwa memberi kemudahan, tidak mempersulit, tetapi tentu
saja tidak melewati nus}u>s} yang pasti atau kaidah-kaidah yang mapan.65
Di samping itu perlu diperhatikan di sini bahwa orientasi kepada pendapat
yang lebih berhati-hati dalam setiap urusan (bukan kepada yang paling mudah,
paling sesuai dengan keadaan dan paling adil), justru bisa berujung pada keringnya
hukum agama dari spirit kemudahan dan toleransi yang menjadi fondasi berdirinya
agama ini. Rasu>lulla>h SAW bersabda, ‚Aku diutus untuk membawa agama yang
hanif lagi toleran.‛ 66 Beliau juga bersabda:
67

‚Sesungguhnya kalian diutus untuk memberikan kemudahan, dan kalian


tidak diutus untuk mempersulit.‛
Jalan yang dipilih dalam masalah ini adalah jalan tengah dan moderat
antara mereka yang terlalu ketat dan mereka yang terlalu memudahkan. Alla>h
berfirman, ‚Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan.‛ (QS al-Baqarah [2]: 143)
Dalam sebuah hadis sahih disebutkan, ‚Lima persusuan yang
mengenyangkan dan diketahui (dengan pasti) itu mengakibatkan kemahraman.‛ 68
Dalam hadits ini disebut kata " "(lima susuan yang diketahui).
Adapun dalam kasus ini terjadi keraguan, sehingga al-Qarad}a>wi> condong
mempersempit dalam hal-hal yang mengakibatkan kemahraman akibat persusuan,
sebagaimana kecenderungan untuk mempersempit dalam hal keharaman yang
mengakibatkan cerai.69 Hal ini didasari asumsi pada pendapat kalangan dokter
bahwa keberadaan Bank ASI benar-benar dibutuhkan. Tetapi ada juga sebagian
dokter yang mengatakan bahwa bank semacam ini tidak dibutuhkan, alhamdulillah.
Tetapi, jika kebutuhan itu memang ada, atau bank tersebut benar-benar berdiri,
apakah dapat diharamkan gadis di negeri ini untuk menikah dengan seorang
pemuda (yang sama-sama disusui dari bank ASI) atau tidak? Inilah masalahnya.
Al-Qarad}a>wi> adalah termasuk orang yang membela mazhab Ibn Taymi>yah
dalam masalah ini, yang berpendapat bahwa yang paling kuat adalah tidak ada dalil
yang menunjukkan terjadinya kemahraman. Terhadap hal ini, sebagian koleganya

65
"Al-‘Arad} wa al-Muna>qashah", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 409.
66
Riwayat Ah}mad, al-T{abra>ni>, al-Khat}i>b al-Baghda>di>.
67
Riwayat al-Bukha>ri>, Abu> Da>wud, al-Nasa>'i>, Ah}mad, Ibn Khuzaymah, Ibn H{ibba>n,
al-Bayhaqi>, al-T{abra>ni>, al-Sha>fi‘i>, Ibn al-Ja>ru>d, al-H{umaydi>, Ibn Mandah, al-Wa>h}idi>, dan
Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>.
68
Hadis ini diriwayatkan dalam berbagai jalan dengan sedikit perbedaan redaksi,
namun mempunyai makna yang sama. Riwayat Muslim, al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah,
al-T{ah}a>wi>, al-Da>rimi>, dan al-Bayhaqi>.
69
Maksudnya adalah agar tidak dengan mudah begitu saja berpendapat bahwa suatu
perbuatan tertentu akan mengakibatkan jatuhnya talak.

255
bertanya: Mengapa kita tidak mengambil jalan yang paling hati-hati, malah justeru
mengambil jalan yang paling mudah? Di sinilah terletak metodologi yang ditempuh
al-Qarad}a>wi>, yaitu jika ada dua pendapat yang setara, di mana yang satu lebih hati-
hati dan yang lain lebih mudah, maka beliau memfatwakan kepada masyarakat
awam dengan yang paling mudah. Argumentasinya dalam hal ini adalah bahwa
Nabi SAW tidaklah diberi pilihan dengan dua hal melainkan beliau memilih yang
paling mudah.70
Memang benar bahwa terkadang seseorang mengambil jalan yang lebih
hati-hati untuk dirinya sendiri, atau memberi fatwa dengan yang lebih hati-hati
kepada kalangan yang memiliki semangat keagamaan yang tinggi. Akan tetapi bagi
masyarakat awam, khususnya di zaman sekarang, ketika agama telah lemah dan
keyakinan telah menipis, maka dalam kondisi seperti ini beliau memfatwakan
hukum yang lebih mudah, karena syariat itu bersifat toleran. Di antara pendapat
para imam terdahulu, al-Qarad}a>wi> sangat tertarik dengan pendapat Imam al-
Nawawi> dalam kitab Muqaddimah al-Majmu>‘ dari Sufya>n al-Thawri>.71 Imam
Sufya>n al-Thawri> mengatakan:

‚Fikih adalah keringanan dari seorang yang terpercaya. Jika fikih adalah
penyikapan yang memberatkan, maka itu bisa dilakukan oleh setiap orang.‛

b. Pendapat Dr. Mamdu>h} Jabr72


Mamdu>h} Jabr mengatakan, ‚Konsep (Bank ASI) ini tidak implementatif
karena tidak ada urgensinya. Kaum ibu secara umum masih menyusui anak mereka.
Kendati kaum ibu tidak bisa menyusui anak mereka, maka masih ada solusi
berikutnya, yaitu mendatangkan ibu susu, baik dengan dibiayai negara atau dengan
dibiayai oleh keluarga itu sendiri jika mereka mampu. Atau setidaknya masih ada
susu formula yang komposisinya sudah mendekati ASI.

c. Pendapat Shaykh Taqi>} ‘Uthma>ni>73


Yu>suf al-Qarad}a>wi> telah memaparkan pendapat yang kuat di kalangan para
imam, bahwa kemahraman akibat persususan tidak mensyaratkan terjadinya isapan
dari payudara. Taqi> Uthma>ni> menambahkan bahwa pendapat ini tidak hanya kuat
dari segi banyaknya imam, melainkan juga dari segi dalil, karena ada banyak hadis
tentang kemahraman akibat persusuan juga.
Di antara hadis yang masyhur adalah bersumber dari Ibn Mas‘u>d dari Nabi
SAW yang bersabda: ‚Tidak berlaku persusuan kecuali yang mengakibatkan

70
Hadisnya berbunyi "
". Diriwayatkan oleh al-Bukha>ri> dan Muslim.
71
Sufya>n Ibn Sa‘i>d Ibn Masru>q Ibn H{abi>b Ibn Rafi>‘ Ibn ‘Abdulla>h. Lahir di Ku>fah
pada tahun 96 H/716 M dan wafat di Bas}rah pada bulan Sha‘ba>n tahun 161 H/778 M.
seorang faqi>h dan ahli h}adi>th yang wara‘. Tingkat keilmuannya dipandang setara dengan
para imam mazhab.
72
"Al-‘Arad} wa al-Muna>qashah", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 412-414.
73
"Al-‘Arad} wa al-Muna>qashah", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 416-417.

256
tersusunnya tulang dan menumbuhkan daging.‛74 Hadis ini menjadi dalil bahwa
alasan kemahraman adalah berkembangnya tulang dan tumbuhnya daging, bukan
isapan langsung dari payudara. Adapun berkembangnya tulang dan tumbuhnya
daging itu bukan hanya terjadi dari isapan langsung, melainkan juga dari ASI yang
telah diperas terlebih dahulu. Selain itu, Ibn Sa‘d75 dalam kitab al-T{abaqa>t 76
menerangkan bahwa Sa>lim mantan sahaya Abu> H{udhayfah r.a. pernah meminum
ASI yg telah diperas dan ditempatkan dalam satu wadah. Kemudian Rasu>lulla>h
SAW menjadikan dia berstatus mahram. Riwayat ini terdapat dalam kitab T{{abaqa>t
Ibn Sa‘d, dan Ibn H{ajar mengutipnya tanpa mengomentari kekuatan hadisnya, di
mana hal ini menunjukkan bahwa riwayat ini bisa diterima olehnya.
Jadi, kemahraman Sa>lim dengan ibu susunya terjadi karena ia meminum ASI
yang telah diperas, bukan karena ia meminumnya secara langsung dari payudara.
Ini menjadi dalil bahwa status mahram itu terjadi akibat meminum susu, tidak
mesti dengan isapan langsung pada payudara. Para Imam menyepakati pendapat ini,
dimana pendapat yang dikemukakan Ibn H{azm dan kalangan Z{a>hiri>yah telah
ditentang oleh seluruh imam.

d. Pendapat Shaykh Muh}ammad ‘Abduh ‘Umar 77


Hadis di atas memberi gambaran yang utuh tentang topik ini, yaitu para
imam sepakat bahwa kemahraman Sa>lim bukan karena isapan langsung dari
payudara istri Abu> H{udhayfah, melainkan dari meminum air susu yang telah
diperas di wadah. Hal itu karena Sa>lim sudah remaja, bahkan telah berjenggot.
Tidak logis sekiranya Sa>lim yang sudah dewasa itu meminum langsung dari
payudara istri Abu> H{udhayfah.
‘Abduh ‘Umar lebih condong kepada pendapat ‘Abdulla>h al-Bassa>m, yaitu
bahwa manusialah yg menciptakan masalah untuk diri manusia itu sendiri.
Maksudnya, kita menciptakan keraguan, lalu kita berusaha mencari hukum syariat
melalui keraguan yang kita letakkan di hadapan kita. Jadi, masalah ini memiliki
urgensi tersendiri. Kaidah fiqhi>yah mengatakan bahwa upaya menghindarkan
kerusakan lebih dikedepankan daripada upaya mendatangkan maslahat.

e. Pendapat Shaykh Mus}t}afa> al-Zarqa>’78


Yang harus digarisbawahi ialah bahwa masing-masing mengklaim bahwa
dalil-dalilnyalah yang paling kuat, dan masing-masing mengadopsi pendapatnya
sendiri. Dalam konteks ini, al-Zarqa>’ tidak ingin memasuki tarji>h} di antara mazhab.

74
Riwayat Abu> Da>wud, Ah}mad Ibn H{anbal, al-Da>ruqut}ni>, al-Bayhaqi>, dan Ibn
‘Abd al-Barr.
75
Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad Ibn Sa‘d Ibn Mani>‘ al-Qurayshi> al-Bis}ri> al-Baghda>di>.
Seorang imam ahli hadis, faqi>h, dan ahli sejarah yang terpercaya ( thiqah). Dilahirkan di
Bas}rah pada tahun 168 H dan wafat pada tahun 230 H di Baghda>d.
76
Al-T{abaqa>t al-Kubra> merupakan salah satu karya historiografi paling terkenal
dalam sejarah Islam. Berisi sejarah Nabi SAW dan sejarah para ulama sejak generasi
sahabat hingga pada periode penulisnya.
77
"Al-‘Arad} wa al-Muna>qashah", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 417-418.
78
"Al-‘Arad} wa al-Muna>qashah", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 418-419.

257
Saat menghadapi suatu masalah, dan terdapat banyak pendapat dari berbagai
mazhab yang dapat diterima ijtihad mereka, maka seseorang tidak perlu memasuki
perincian dalil-dalilnya, melainkan cukup memilih di antara mazhab-mazhab ini;
mana yang bisa mengatasi persoalannya. Beliau menegaskan prinsip ini agar
menjadi metodologi di masa mendatang. Oleh karenanya adalah tidak pantas untuk
membela satu madzhab atas madzhab lain manakala madzhab-madzhab tersebut
berlaku, diterima, dan para ulamanya memiliki kapabilitas untuk berijtihad.79
Siapapun yang bertaklid kepadanya, maka ia akan berjumpa dengan Allah dalam
keadaan selamat.80 Saat itu seseorang boleh mengambil mazhab yang bisa
mengatasi persoalannya.81 Bukan konteksnya lagi untuk melakukan tarji>h} terhadap
berbagai dalil dan madzhab.
Yang berikutnya adalah, tidak cukup mengatakan bahwa pendirian Bank ASI
mengakibatkan manfaat atau mudharat, lalu dari sini dihukumkan boleh ataupun
haram. Jadi, apakah dianggap baik pendirian Bank ASI dalam tatanan sosial seperti
ini? Bank semacam ini telah tersebar di sebagian negara, lalu ingin didirikan di
negara muslim tanpa ada kemauan dari rakyatnya. Siapapun bisa mendirikannya.
Pemerintah juga bisa melakukannya tanpa meminta pendapat rakyat.

f. Pendapat Dr. Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr82


‘Ali> al-Ba>rr mengemukakan bahwa konsep Bank ASI pada prinsipnya ialah
mengumpulkan ASI yang surplus atau tidak diinginkan oleh para ibu donor. ASI
tersebut disimpan dengan baik dalam ruang pendingin untuk diberikan kepada bayi-
bayi yang sangat membutuhkan sedangkan ibu mereka tidak bisa menyusui mereka.
Akan tetapi tinjauan hukum dan etik tentang Bank ASI menimbulkan pro
dan kontra. Misalnya, Muh}ammad Fu’a>d Isma>‘i>l, seorang ahli di bidang
penyimpanan dan pembekuan susu di Mesir, mengatakan, ‚Alla>h memuliakan
manusia di atas makhluk-Nya yang lain…. Dengan menerapkan sistem Bank ASI
(dengan segenap penghormatan saya kepada kaum ibu), menurut saya hal itu
menjadikan ibu seperti sapi perah yang dikumpulkan susunya lalu diberi berbagai
macam penangangan seperti mendinginkan dan mengeringkan. Cara ini tidak
mungkin diterima manusia.‛
Selain itu, ‘Ali> al-Ba>rr pernah mengajukan keberatan tentang pendirian
Bank ASI kepada sejumlah ahli, yaitu kepada Mah}mu>d H{asan, guru besar ilmu
kesehatan anak dan direktur instalasi kesehatan anak di sebuah Rumah Sakit Ibu
dan Anak di Jeddah; dan kepada Muh}ammad Ami>n S{a>fi>, associate professor pada

79
Yu>suf al- Qarad}a>wi>, Al-Ijtiha>d fi> al-Shari>‘ah al-Isla>mi>yah ma‘a Naz}ara>t al-
Tah}li>li>yah fi> al-Ijtiha>d al-Mu‘a>shir (Kuwayt: Da>r al-Qalam, 1999), 229-235.
80
Prinsip untuk bertaqlid bagi masyarakat awam dalam soal fikih, merupakan
bahasan yang selalu mengemuka dari para ahli us}u>l al-fiqh maupun fuqaha>' hingga masa
sekarang ini. Referensi-referensi kontemporer yang menarik untuk dikaji antara lain: ‘Abd
al-Maji>d al- Su>su>h, Dira>sa>t fi> al-Ijtiha>d wa Fahm al-Nas}s} (Bayru>t: Da>r al-Basha>’ir al-
Isla>mi>yah, 1423H-2003M), 89-111.
81
Al-T}ayyib Khud}ri> al- Sayyid, Al-Ijtiha>d fi>ma> La> Nas}s} fi>>h (Al-Riya>d}: Maktabah
al-Haramayn, 1983), 55-62.
82
"Al-‘Arad} wa al-Muna>qashah", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 414.

258
jurusan Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas King ‘Abd al-‘Azi>z, yang
juga penulis sejumlah riset tentang susu dan karakteristik antibodinya; juga kepada
Ah}mad Kha>lid H{a>midah, associate professor ilmu kesehatan anak Universitas King
‘Abd al-‘Azi>z. Mereka sependapat dengannya dalam poin-poin berikut:83
1) Tidak ada kebutuhan yang esensial terhadap Bank ASI di negara-negara Islam
pada khususnya, dan negara-negara berkembang pada umumnya, karena
kegiatan menyusui di negara-negara ini masih lazim dilakukan. Kalaupun ASI
sulit diberikan oleh ibu bayi, maka masih banyak ibu-ibu persusuan.
Masyarakat Islam masih hidup dalam solidaritas dan kekeluargaan. Dalam
keluarga besar yang biasanya terdapat bibi dari jalur ayah dan ibu, ada lebih
banyak perempuan yang bisa menyusui dalam keluarga. Apabila salah satu dari
mereka berhalangan untuk menyusui anaknya, maka ada kerabat, tetangga, atau
teman yang mau melakukan perbuatan kemanusiaan yang agung ini. Ketika
mereka semua tidak bisa, dan kejadian ini sangat langka, maka masih ada
perempuan-perempuan yang menyusui, baik dengan menerima bayaran atau
semata mencari ridha Alla>h.
2) Meskipun bayi prematur harus menjalani rawat inap di Rumah Sakit (bisa
sampai satu bulan), sementara ibunya tidak bisa menemaninya selama waktu
tersebut karena ada kebutuhan anak-anak yang lain dan suaminya, namun
rumah sakit biasanya menerapkan sistem modern yang saat ini diterapkan di
Barat.84 Di Kerajaan Arab Saudi, ibu diperkenankan datang ke rumah sakit
pada waktu yang tepat beberapa kali dalam sehari untuk menyusui anaknya.
Apabila hal itu tidak bisa dilakukan, maka bisa digantikan bibinya, atau
kerabatnya, atau pendonor susu yang dikenal untuk menyusui bayi tersebut.
Dengan demikian, bayi memperoleh manfaat-manfaat ASI secara sempurna dan
terhindari dari resiko susu formula atau ASI yang dikumpulkan dan disimpan di
Bank ASI.85 Sebagaimana perempuan yang menyusuinya dapat diidentifikasi
sehingga ia menjadi ibu bagi anak yang disusuinya, dan suaminya menjadi
ayahnya karena dialah pemilik air susu tersebut. Dengan demikian dapat
diketahui siapa saja yang menjadi mahramnya akibat persusuan ini.
3) Pendirian Bank-bank ASI, bahkan di Barat sekalipun, dihadang oleh kendala
yang sangat berat, yaitu biaya yang tinggi. Bagi negara-negara berkembang dan

83
"Al-‘Arad} wa al-Muna>qashah", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 413.
84
Terdapat banyak riset yang menunjukkan betapa pentingnya menyusui bayi,
terutama pada enam bulan pertama usia bayi, yaitu dengan pemberian ASI eksklusif. Lihat:
Naeem Zafar, Irma Bustamante-Gavino, "Breastfeeding and Working Full Time",
International Journal of Caring Sciences, vol. 1, issue 3 (Sept-Dec 2008): 132”139.
85
Terdapat sejumlah riset yang meneliti kandungan susu formula dengan susu ASI.
Studi komparatif tersebut menyimpulkan bahwa kandungan ASI lebih sesuai dan jauh lebih
baik bagi bayi. Lihat: G. Henderson, M. Anthony, W. McGuire, "Formula Milk Versus
Maternal Breast Milk for Feeding Preterm or Low Birth Weight Infants", Coachrane
Neonatal Reviews, 2007, https://www.nichd.nih.gov/cochrane_data/ hendersong_01/
hendersong_01.html. Diakses pada 27 Juli 2014.

259
miskin, pendirian Bank ASI justru sangat menyusahkan jika hendak meraih
tingkat kesehatan sesuai yang dicanangkan.86
4) Ada resiko tambahan yang dikhawatirkan terjadi di negara-negara berkembang.
Selain kemungkinan tidak tersedianya alat yang cukup steril dan sebagian
unsur penting terkait penyimpanan dan pengawetannya, ada pula kemungkinan
ASI berubah menjadi komoditas perdagangan. Ibu-ibu yang miskin akan
terpaksa menjual ASI mereka dan membiarkan anak-anak mereka kelaparan
atau meminum susu formula.
5) Tindakan mengganti sesuatu yang bernilai tinggi dengan sesuatu yang bernilai
rendah itu serupa dengan tindakan Bani> Isra>’i>l ketika mereka meminta bawang,
mentimun dan kacang adas dengan meninggalkan manna> dan salwa>.
6) Ada kemungkinan lain yang mungkin terjadi ketika Bank ASI tersebar luas,
yaitu adanya keengganan kaum ibu yang mampu menyusui dan sehat ASI-nya,
khususnya dari kalangan menengah ke atas dan wanita karir. Mereka akan
memilih meninggalkan kewajiban menyusui dan menggantinya dengan ASI
yang dibeli dari Bank ASI. Mereka dapat beralasan bahwa ASI jauh lebih baik
daripada susu sapi dan susu kambing. Pada gilirannya hal ini mengakibatkan
ancaman-ancaman sebagai berikut:87
a) Hilangnya berbagai manfaat bagi ibu di dalam pemberian ASI. Padahal
pemberian ASI sangat bermanfaat bagi ibu,88 karena proses pengisapan
puting dapat menstimulasi produksi zat oxytocin89 yang membantu
mengembalikan uterus ke posisi normalnya setelah persalinan dan
mencegah kekenduran. Ini sepenuhnya berlawanan dengan informasi yang
beredar selama ini bahwa pemberian ASI dapat mengakibatkan tubuh
kendur. Sebagaimana pemberian ASI dapat membantu ibu untuk kembali
langsing, pemberian ASI secara normal juga mencegah kehamilan tanpa
harus mengkonsumsi pil pencegah kehamilan ataupun menggunakan alat
kontrasepsi lainnya. Selain itu juga masih ada manfaat psikologis penting,
karena aktivitas pemberian ASI dan sentuhan bayi pada kulit dada ibu
dapat memberi ibu berbagai manfaat besar, baik secara fisik ataupun
psikologis, serta dapat meningkatkan hubungannya dengan anak.
b) Berbagai manfaat dari pemberian ASI secara langsung kepada anak tidak
bisa dicapai dengan cara ASI diambil, karena aktivitas pemberian ASI itu
sendiri bermanfaat bagi perkembangan psikologis dan fisik anak. Ketika
anak menghisap payudara ibunya, maka ia terhindar dari serangan mikroba,
sebagaimana ia akan terlindung dari gangguan stres di masa mendatang dan

86
Saat ini justru disosialisasikan oleh Rumah Sakit ” Rumah Sakit untuk selalu
menyusui bayi dengan ASI. Lihat: Sheryl W Abrahams, Miriam H Labbok, "Exploring the
Impact of the Baby-Friendly Hospital Initiative on Trends in Exclusive Breastfeeding",
International Breastfeeding Journal, vol. 4, issue11 (2009): 1-19.
87
"Al-‘Arad} wa al-Muna>qashah", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 413-414.
88
American Academy of Pediatrics, "Work Group on Breastfeeding: Breastfeeding
and the Use of Human Milk", Pediatrics 100 (1997): 1035-1039.
89
Uvnäs Moberg, D.K. Prime, "Oxytocin Effects in Mothers and Infants During
Breastfeeding", Infant, vol. 9, issue 6 (November 2013): 201-206.

260
menjadikannya seimbang secara psikologis dan sosial. Anak-anak yang
tidak menetek ASI dari ibu mereka, ternyata lebih beresiko untuk
mengalami penyimpangan psikologis, penyakit-penyakit mental dan
perilaku nakal.
c) Tidak dikeluarkannya ASI justru mengakibatkan berkurangnya produksi
ASI. Penyedotan ASI dari payudara tidak bisa menggantikan isapan bayi.
Hal itu karena produksi hormon prolaktin yang meningkat bersamaan
dengan produksi ASI itu terkait dengan isapan bayi tersebut.
d) ASI yang disimpan di Bank ASI beresiko terkontaminasi, baik pada saat
pengadaan, atau karena proses sterilisasi yang kurang baik, atau
kontaminasi terjadi saat diberikan kepada bayi melalui botol yang
terkadang membutuhkan sterilisasi tingkat tinggi. Hal ini terkadang
disepelekan oleh ibu yang memberikan ASI atau susu formula kepada
anaknya melalui dot di botol.

4. Dasar Pertimbangan Majma‘


Dalam topik Bank ASI ini, para anggota Majma‘ maupun notulen mu'tamar
tidak menyebutkan metodologi us}u>l al-fiqh apa yang mereka gunakan dalam
pembahasan mereka. Menurut hasil penelitian penulis, para ulama Majma‘tidak
mendapati dalil Al-Qur'a>n, al-Sunnah, al-Ijma>‘, maupun al-Qiya>s yang secara
langsung atau spesifik dapat dijadikan sandaran dalil dalam masalah bank ASI ini.
Mereka menggunakan dalil-dalil Al-Qur'a>n dan al-Sunnah pada saat akan
mendudukkan definisi susuan (rad}a>‘), namun setelah itu mereka pun tidak
mensepakati tentang problema takaran susuan yang mengaibatkan hukum saudara
sepersusuan. Demikian pula pada persoalan-persoalan berikutnya yang timbul dari
pokok masalah bank ASI, mereka beralih dari dalil-dalil yang disepakati (muttafaq
‘alayha>) kepada kepada dalil-dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf fi>ha>).
Dari hasil penelitian penulis terhadap pembahasan fikih dan keputusan
Majma‘ dalam masalah ini, maka dapat dirangkum seperti di bawah ini.

a. Pandangan ulama anggota Majma‘ tentang definisi rad}a>‘.


Dari paparan diskusi di atas, tampak bahwa para ulama berbeda pendapat
mengenai definisi rada>‘. Sebagian di antara mereka mengambil pengertian
denotatif, yaitu menetek dari puting susu ibu. Dalam definisi ini pun masih timbul
perbedaan pendapat, yaitu seberapa banyak batasan yang menimbulkan hubungan
persusuan. Sebagian ulama yang lain menitikberatkan pada pengertian konotatif,
yaitu asupan ASI dalam cara apapun dan dengan media apapun. Sebagian besar
ulama mengambil pengertian yang lebih luas ini, yaitu konotatifnya.
Tampak mayoritas ulama lebih berhati-hati dalam hal ini, mereka
mengumpulkan semua nas}s} yang berisi keterangan tentang susuan. Setelah itu
mereka tidak melakukan tarji>h} ataupun cara-cara lainnya, betapapun diantara dalil-
dalil tersebut ada yang nampak saling bertentangan (ta‘a>rud}). Cara penalaran
seperti ini disebut dengan al-jam‘ wa al-tawfi>q, dan ini merupakan langkah pertama

261
dilakukan mayoritas fuqaha>' tatkala menjumpai dalil-dalil yang tampak saling
bertentangan.90
Sementara itu dalam hal takaran susuan yang menimbulkan hubungan
kemahraman, tampaknya para anggota Majma‘ tidak mengambil kesimpulan yang
tegas. Baik takaran itu dihitung dari jumlah isapan maupun jumlah porsi ketika
susu ASI tersebut tercampur dengan ASI atau minuman yang lain.
Dari cara pengambilan keputusan mereka, tampak bahwa metode us}u>l al-
fiqh yang digunakan ialah istih}sa>n bi al-nas}s91 dalam menetapkan definisi rad}a>‘ah.

b. Pandangan ulama anggota Majma‘ tentang Bank ASI.


Apabila dianalisa dari alur berpikir Al-Qarad}a>wi> dalam makalahnya dan
pendapat-pendapatnya dalam mu'tamar, maka tampak bahwa dia menggunakan
metode mas}lah}ah mursalah dalam hal pendirian Bank ASI. Metode tersebut
tampak pada pendapatnya bahwa pendirian Bank ASI patut diakui akan
mendatangkan banyak manfaat, dan kaum muslimin harus mengesampingkan
kekuatiran tentang percampuran nasab. Artinya pendapat al-Qaradawi tersebut
didasarkan pada asumsi bahwa memang ada h}a>jah (keperluan) dari masyarakat
muslim untuk mendirikan Bank ASI. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa
dalam kondisi tertentu, para fuqaha bahkan menempatkan h}a>jah (keperluan) setara
dengan d}aru>rah (kemestian). 92 Mereka berpedoman kepada kaidah:
93

"Keperluan (akan sesuatu) dapat menempati posisi (setara dengan) darurat"

Adapun mengenai akibat hukum menjadi saudara sepersusuan dalam kasus


sumber ASI yang meragukan, al-Qarad}a>wi> pun tidak terlalu kuatir. Dalam hal ini
dia menggunakan metode istis}h}a>b,94 yaitu serangkaian kaidah95 yang
mengasumsikan sesuatu keadaan tetap dalam keadaan semula hingga terdapat hal
yang meyakinkan yang mengubah keadaan tersebut.96 Istis}h}a>b merupakan salah

90
Lihat halaman 21.
91
Ini merupakan salah satu cabang dari metode istih}sa>n yang digunakan oleh para
ulama H{anafi>yah. Yaitu seorang mujtahid berpaling dari hukum yang dikehendaki oleh
kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh nas}s}. Contoh lainnya ialah
pengharaman jual beli barang yang tidak ada atau belum dimiliki. Akan tetapi Nabi SAW
membolehkan jual beli sala>m, yaitu membeli sesuatu dengan harga dan pembayaran saat ini
dengan penyerahan barang yang ditangguhkan. Para fuqaha>’ membolehkan jual beli sala>m,
karena adanya hadis Nabi SAW yang sahih yang menerangkan hal itu. Nabi SAW
mensyaratkan jual beli sala>m (salaf) dengan spesifikasi yang jelas, berat yang jelas, dan
berlaku untuk waktu yang jelas pula.
92
Ah}mad al-Zarqa>', Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 209.
93
Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naza>'ir, 126.
94
Subki>, ‘Ali> Ibn ‘Abd al-Ka>fi>, Ta>j al-Di>n al-, Al-Ibha>j fi> Sharh} al-Minha>j (Bayru>t:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1404H-1984M), j.III, 168-172.
95
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h wa al-Naza>'ir, 62.
96
Al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l, j.II, 174-176.

262
satu97 dari t}ari>q al-istinba>t} yang diperselisihkan.98 Namun demikian dapat
dikatakan bahwa ini dipakai oleh para ahli fikih pada umumnya.99 Metode ini patut
diakui memberikan banyak keleluasaan dan kemudahan bagi para fuqaha>'100 dalam
hal-hal yang hukumnya meragukan.101
Berbeda dengan itu, Shaykh Mamdu>h} Jabr, Muh}ammad ‘Abduh ‘Umar, dan
‘Abdulla>h al-Bassa>m tampak menggunakan metode sadd al-dhari>‘ah dalam hal
pendirian Bank ASI. Penulis berkesimpulan demikian, karena mereka serta merta
menampik hal-hal positif yang terkandung di dalam Bank ASI. Mereka menolaknya
dengan argumentasi probabilitas timbulnya berbagai akibat-akibat negatif dalam
operasional Bank ASI. Dampak negatif tersebut akan sulit dikontrol oleh para
pihak yang berkepentingan. Dengan digunakannya metode sadd al-dhari>‘ah, maka
berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa depan, terutama dampak buruk,
ditutup secara preventif.102
Demikian pula Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr tampak menggunakan metode sadd
al-dhari>‘ah ini. Dia lebih mendasarkan pendapatnya kepada analisa para pakar
sosiologi dan pakar kedokteran, dimana mereka menyimpulkan bahwa masyarakat
Muslim tidak membutuhkan Bank ASI .
Sementara itu Mus}t}afa> al-Zarqa>’ tampak lebih toleran dalam hal ini,
bahkan cenderung tidak mengambil sikap tegas untuk berpihak kepada salah satu
pendapat fuqaha>’. Al-Zarqa>’ memilih untuk menyerahkan kepada pendapat para
ulama mazhab, seraya tidak perlu melakukan tarji>h} tentang pendapat mana yang
lebih kuat.
Penulis tidak sependapat dalam hal ini dengan Shaykh al-Zarqa>'. Oleh
karena pendapat tersebut mendorong kepada kejumudan, padahal pintu ijtihad tidak
pernah tertutup.103 Masalah-masalah kontemporer terus bermunculan menanti
jawaban para fuqaha>'.104 Jawaban para fuqaha>' tersebut sekaligus menjadi bukti
bahwa Islam senantiasa up to date dengan masa dan tempat seraya tetap berpegang

97
Al-A<midi>, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, j.IV, 367-371.
98
Al-Ghaza>li>,, Al-Mustas}}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l, j.I, 217-231.
99
Ibn Quda>mah, Rawd}ah al-Na>z}ir wa Jannah al-Mana>z}ir, j.II, 504-510.
100
‘Abd al-Sala>m, ‘Abd al-H{ali>m Ibn ‘Abd al-Sala>m, Ah}mad Ibn ‘Abd al-H{ali>m Ibn
Taimi>yah, Al-Muswaddah fi> Us}u>l al-Fiqh (Al-Riya>d}: Da>r al-Fad}i>lah, 1422H-2001M), j.II,
885-888.
101
Disebut demikian karena adanya kewajiban berpegang kepada yang diasumsikan
sejak awal adalah tetap demikian sebagai kepastian, sehingga untuk mengubah asumsi
tersebut pun harus dengan hal yang pasti pula. Lihat: Mus}t}afa> Di>b al-Bugha>, Athar al-
Adillah al-Mukhtalaf fi>ha> fi> al-Fiqh al-Isla>mi>,185-198.
102
Hal tersebut antara lain dapat dipahami dari definisi sad al-dhari‘ah yang
dkemukakan oleh Imam al-Ba>ji> al-Ma>liki>:"
(Masalah yang secara lahiriyah hukumnya boleh, tetapi ia bisa menjadi perantara terjadinya
perbuatan yang dilarang). Lihat: Al-Ba>ji>, Ih}ka>m al-Fus}u>l fi> Ah}ka>m al-Us}u>l, j.II, 567.
103
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, j.II, 1085-1090.
104
Diantara ulama terdahulu yang membahas khusus tentang pentingnya ijtihad
setiap masa terhadap problema yang terjadi pada era tersebut, ialah Imam Jala>l al-Di>n al-
Suyut}i> dalam bukunya Taysi>r al-Ijtiha>d.

263
kepada prinsip-prinsipnya yang suci.105 Dalam rangka ini para ulama harus mampu
mengambil dalil-dalil syariat, serta menelaah kembali dengan kritis106 pendapat-
pendapat ulama terdahulu apakah masih relevan dengan kekinian ataukah tidak.107
Bahkan sebagian ulama kontemporer mengingatkan tentang perlunya
108
tajdi>d. Dengan demikian ini tidak hanya berarti fikih harus mampu memecahkan
persoalan modern, 109 akan tetapi lebih luas lagi, yaitu pada revitalisasi metodologi
(manhaj) pengambilan keputusan tersebut.110
Selanjutnya dalam hal pendirian Bank ASI, al-Zarqa>’ lebih melihat kepada
realitas yang ada, apakah hal itu memang diperlukan. Cara pertimbangan semacam
ini secara umum masuk dalam kategori al-mas}a>lih} al-mursalah, di mana seorang
faqi>h memandang apakah sesuatu tersebut memberikan kebaikan dan manfaat yang
besar bagi umumnya masyarakat, ataukah justru sebaliknya akan menimbulkan
resiko sosial yang tidak sedikit.111 Tentu saja kesemuanya ini tetap berpedoman
kepada prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Al-Qur’a>n dan al-H{adi>th.112
Akhirnya, Majma‘ mengambil keputusan (qara>r) untuk melarang berdirinya
Bank ASI di negara-negara Muslim. Keputusan ini pun diambil dengan
menggunakan metode sadd al-dhari>‘ah, di mana pertimbangan menghindari
mafsadat didahulukan daripada mengambil manfaat. Berbagai dalil dan
argumentasi para pihak yang mendukung Bank ASI dipandang tidak bisa
mengungguli argumentasi pihak yang menolaknya. Secara kategoris, mafsadat yang
ditimbulkannya dapat terjadi dari sisi:
1. Problematika fikih terkait hubungan persusuan dan kemahraman antara bayi
dengan ibu susu
2. Problematika fikih yang dapat berupa kesimpangsiuran nasab generasi muslim
yang akan datang
3. Problematika psikologis antara ibu dengan anak
4. Dekadensi moral yang ditimbulkannya, antara lain berupa kemalasan wanita
karir untuk menyusui anaknya, dan kecenderungan wanita golongan bawah
untuk mengkomersilkan air susunya
5. Problematika teknis operasional Bank ASI

Secara umum dapat disimpulkan bahwa, metode penetapan hukum yang


digunakan Majma‘ dalam masalah ini ialah pertimbangan preventif, yaitu sadd al-

105
‘Abd al-Maji>d al-Su>su>h, Dira>sa>t fi> al-Ijtiha>d wa Fahm al-Nas}s} (Bayru>t: Da>r al-
Basha>’ir al-Isla>mi>yah, 1423H-2003M), 15-21.
106
Sali>m al-‘Awwa>, Al-Fiqh al-Isla>mi> fi> T}ari>q al-Tajdi>d, 14.
107
Na>di>yah Shari>f al-‘Umri>, Al-Ijtiha>d fi> al-Isla>m (Bayru>t: Mu'assasah al-Risa>lah,
1406H-1986M), 255-268.
108
Wahbah al-Zuh}ayli>, Tajdi>d al-Fiqh al-Isla>mi>, 168.
109
Al-Qarad}a>wi>, Al-Ijtiha>d wa al-Tajdi>d fi> al-Fiqh al-Isla>mi> (Bayru>t: al-Mu’assasah
al-Dawli>yah, 1419H-1999M), 81-82.
110
Jama>l ‘At}i>yah, Al-Tajdi>d al-Fiqh al-Manshu>d, 15-19.
111
S{{afi> al-Di>n al-Baghda>di>, Qawa>‘id al-Us}u>l wa Mu‘a>qid al-Fus}u>l, 32.
112
Al-Bugha>, Athar al-Adillah., 41.

264
dhari>‘ah. Dengan perkataan lain, ialah dilarang melakukan tindakan-tindakan medis
yang diprediksikan akan membawa kerusakan lebih besar dibanding manfaatnya.
Demikianlah kesimpulan penulis tentang metode pengambilan hukum yang
digunakan oleh para fuqaha>' anggota Majma‘ al-Fiqh mengenai topik Bank ASI.

C. Keputusan Majma‘ al-Fiqh113

Setelah mendengar presentasi dari para ulama, sudut pandang para dokter,
dan diskusi yang telah dilakukan, Sidang merangkum butir-butir sebagai berikut:
1. Masalah yang dilontarkan di hadapan peserta sidang hanya soal Bank ASI.
2. Masalah ini benar-benar terjadi, dan telah banyak dilakukan penelitian tentang
ini, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Dr. Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>r,
berikut tentang jumlah Bank ASI di dunia.
3. Hukum kasus yang telah terjadi merupakan masalah kasuistik. Masalah-
masalah yang sifatnya kasuistik harus ditanyakan oleh orang yang
mengalaminya kepada ulama di zamannya.

Keputusan (Qara>r) Majma‘ al-Fiqh No. 6 tentang Bank ASI114


Setelah menelaah berbagai kajian serta mendiskusikannya seraya melihatnya
dari berbagai sudut pandang, maka tampak jelas bahwa:
a. Bank ASI merupakan eksperimen yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat.
Setelah melakukan eksperimen, tampak sejumlah kekurangan dari sisi ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga keberadaan Bank ASI menjadi tenggelam
dan kurang diperhatikan.
b. Islam menganggap pemberian ASI seperti sepotong daging dari tubuh nasab.
Dengan persusuan itu terjadi kemahraman seperti yang ditimbulkan oleh nasab
berdasarkan kesepakatan umat Islam. Diantara tujuan syariat Islam adalah
menjaga nasab, sedangkan keberadaan Bank ASI justru mengakibatkan campur-
aduknya kemahraman serta menimbulkan keraguan.
c. Hubungan sosial di dunia Islam menjamin ketersediaan ASI bagi bayi prematur,
atau kurang bobotnya, atau yang membutuhkan ASI dalam kondisi-kondisi
khusus. Oleh karenanya, kondisi seperti ini tidak membutuhkan keberadaan
Bank ASI.
Atas dasar itu, maka Majma‘ al-Fiqh memutuskan:
a. Larangan pendirian Bank ASI di dunia Islam.
b. Keharaman memberikan ASI yang diambil dari Bank ASI.

Setelah penulis menelusuri judul topik mu'tamar-mu'tamar Majma‘ dalam


bidang kedokteran pada periode 1985-1020, maka tidak didapati topik-topik lain
yang terkait dengan Bank ASI.
113
MUI pernah mengeluarkan fatwa tentang ASI, yaitu Fatwa MUI no.28 tahun
2013 tentang Seputar Masalah Donor Air Susu Ibu ( Istirda>‘). MUI membolehkan
memberikan dan menerima (mengkonumsi ”pen.) ASI dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
114
Diputuskan pada penutupan Mu’tamar ke-2 di Jeddah, Arab Saudi pada tanggal
16 Rabi>‘ al-Tha>ni> 1406H yang bertepatan dengan 28 Desember 1985M.

265
266
B A B VI
ALAT BANTU HIDUP (AJHIZAT AL-IN‘A<SH)
DAN PENETAPAN KEMATIAN (NIHA<YAT AL-H{AYA<H)

Apabila dibandingkan dengan tema Reproduksi dan Bank ASI yang dibahas
terdahulu dalam penelitian ini dan relatif masih berkaitan, maka topik ‚Ajhizat al-
In‘a>sh‛ (Alat Bantu Hidup) sama sekali memiliki karakteristik yang berbeda. Topik
ini membahas seputar definisi kematian dan penggunaan peralatan kedokteran
modern, guna membantu pasien dalam kondisi terminal1 agar dapat ‚tetap hidup‛.
Kata ajhizat adalah bentuk jamak dari kata jiha>z yang berarti perlengkapan,
peralatan, persediaan. Kata in‘a>sh dari wazan infa‘ala-yanfa‘ilu-infi‘a>l yang bersifat
transitif, dan asal katanya berarti hidup atau kehidupan,2 kemudian berarti
menghidupkan kembali, menegakkan, menjadikannya cukup.3
Topik ini merupakan salah satu pokok bahasan dalam mu’tamar ke-2
Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> pada 10-16 Rabi>‘ al-Tha>ni> 1406 H ” 22-28 Desember
1985 M di Jeddah, Arab Saudi. Kemudian dilanjutkan dalam mu’tamar ke-3 pada 8-
13 S{afar 1407 H ” 11-16 Oktober 1986 M di Amman, Jordania.
Makalah-makalah yang disajikan dalam mu'tamar tersebut ialah:
1. Dr. Bakr Ibn ‘Abdilla>h Abu> Zayd, Ajhizat al-In‘a>sh wa H{aqi>qat al-Wafa>t bayn
al-Fuqaha>’ wa al-At}ibba>’
2. Dr. Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr, Mawt al-Dima>gh
3. Dr. Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr, Ajhizat al-In‘a>sh
4. Shaykh Muh}ammad al-Mukhta>r al-Sala>mi>, Al-In‘a>sh

Dalam mu’tamar yang ke-2, diputuskan untuk tawaqquf,4 karena


diperlukan pemahaman ilmiah yang lebih mendalam tentang proses kematian dan
penggunaan alat bantu hidup. Untuk itu sebelum Mu’tamar yang ke-3, Sekretariat
Jenderal Majma‘ telah menghimpun sejumlah pembahasan berupa makalah-
makalah pada Mu’tamar Kedokteran Islam (al-T{ibb al-Isla>mi>) di Kuwayt tentang
masalah kematian (niha>yat al-h{aya>h) dan alat bantu kehidupan (ajhizah al-in‘a>sh).
Makalah-makalah tersebut ialah:
1. Dr. Mukhta>r al-Mahdi>, Niha>yah al-H{aya>h al-Insa>ni>yah
2. Dr. ‘Is}a>m al-Di>n al-Sharbi>ni>, Al-Mawt wa al-H{aya>h bayn al-At}ibba>’ wa al-
Fuqaha>’
3. Dr. Ah}mad Shawqi> Ibra>hi>m, Niha>yah al-H{aya>h al-Bashari>yah
4. Dr. H{isa>n Hat}u>t}, Mata> Tantahi> al-H{aya>h

1
Kondisi terminal ialah kondisi ‚akhir‛ dari suatu perjalanan penyakit seseorang,
yang sangat sulit diharapkan dapat terus hidup atau dapat pulih kembali.
2
Berakar kata dari ‘a>sha. Lihat: Abu> al-H{usayn Ah}mad Ibn Fa>ris Ibn Zakari>ya>,
Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lughah (Bayru>t; Da>r Ih}ya>' al-Tura>th al-Àrabi>, 1422H-2001M), 697.
Ma’lu>f, Al-Munjid fi> al-Lughah, 540.
3
Al-Mukhta>r al-Sala>mi>, "Al-In‘a>sh", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 481.
4
Suatu istilah dalam fikih yang berarti mengambil sikap abstain dalam keputusan
hukum fikih sampai dengan diperoleh informasi dan argumentasi yang kuat untuk
mengambil keputusannya.

267
5. Dr. Ah}mad al-Qa>d}i,> Al-Qalb wa ‘Ala>qatuh bi al-H{aya>h
6. Dr. Mus}t}afa> S{abri> Ardu>ghdu>, Niha>yat al-H{aya>t al-Insa>ni>yah
7. Dr.‘Abdulla>h Muh}ammad ‘Abdulla>h, Niha>yat al-H{aya>t al-Insa>ni>yah
8. Dr. Muh}ammad Nu‘ay>m Ya>si>n, Niha>yat al-H{aya>t al-Insa>ni>yah fi> D{aw’ Ijtiha>d
al-ulama al-Muslimi>n wa al-Mu‘t}aya>t al-T{ibbi>yah
9. Dr. Muh}ammad Sulayma>n al-Ashqar, Niha>yat al-H{aya>h
10. Dr. Muh}ammad Sulayma>n al-Ashqar, Naz}rat fi> H{adi>th Ibn Mas‘u>d
11. Shaykh Badr al-Mutawalli> ‘Abd al-Ba>sit}, Niha>yat al-H{aya>t al-Insa>ni>yah fi>
Naz}ar al-Isla>m
12. Shaykh Muh}ammad al-Mukhta>r al-Sala>mi>, Mata> Tantahi> al-H{aya>h
13. Dr. Tawfi>q al-Wa>‘i>, H{aqi>qat al-Mawt wa al-H{aya>h fi> al-Qur’a>n wa al-Ah}ka>m
al-Shar‘i>yah
14. Usta>dh ‘Abd al-Qa>dir Ibn Muh}ammad al-‘Amma>ri>, Niha>yat al-H{aya>h
15. Shaykh Mu>sa> Sharaf, Niha>yat H{aya>t al-Insa>n

Selain itu terdapat paper kajian dari Kementrian Kesehatan Kerajaan Arab
Saudi, dan kertas kerja dari Dr. Ashraf al-Kurdi> dan Dr. H{ilmi> H{ija>zi> dari Yordania.
Adapun para pembahas dan pembicara aktif dalam mu’tamar ini ialah:5
1. Dr. Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr
2. Shaykh Mus}t}afa> al-Zarqa>’
3. Shaykh ‘Abdulla>h al-Bassa>m
4. Dr. Ashraf al-Kurdi>
5. Shaykh Muh}ammad ‘Abduh ‘Umar
6. Shaykh al-Mukhta>r al-Sala>mi
7. Shaykh Ibra>hi>m al-Ghawi>l
8. Shaykh ‘Abd al-Sala>m al-‘Abba>di>>
9. Shaykh Muh}ammad ‘Umar al-Zubayr
10. A<yatulla>h ‘Ali> al-Taskhi>ri>

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Pusat6

Berikut ini ialah uraian tentang anatomi dan fisiologi Sistem Saraf Pusat,
yang berfokus mengenai Otak dan Batang Otak berikut fungsinya yang terkait
penentuan kematian seseorang.
Seluruh sistem saraf merupakan rangkaian organ yang kompleks dan saling
bersambungan, dan terutama terdiri dari jaringan saraf (neuron). Dalam mekanisme
sistem saraf, lingkungan internal dan stimulus eksternal dimonitor dan
diorganisasikan. Kemampuan khusus seperti irritabilitas atau sensitivitas terhadap

5
"Al-‘Arad} wa al-Muna>qashah", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 485-514.
6
Apabila tidak disebutkan sumber referensi lainnya, maka sumber bacaan dari sub
topik Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Pusat dikutip dari Reinhard Rohkamm, Color
Atlas of Neurology (Stuttgart: Thieme, 2004).

268
stimulus, serta konduktivitas atau kemampuan untuk mentransmisi suatu respons
terhadap stimulus, diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama:7
1. Input sensorik. Sistem saraf menerima sensasi atau stimulus melalui reseptor di
tubuh, baik eksternal (reseptor somatis) maupun internal (reseptor viseral).
2. Aktifitas integratif. Reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik yang
menjalar sepanjang neuron sampai ke otak dan medulla spinalis, lalu
menginterpretasi dan mengintegrasi stimulus, sehingga timbul respon terhadap
informasi.
3. Output motorik. Otak dan medulla spinalis memberi respon yang sesuai melalui
otot dan kelenjar tubuh, yang disebut sebagai efektor.

1. Organisasi Struktural Sistem Saraf


Sistem saraf pada manusia terdiri dari:
a. Sistem Saraf Pusat (SSP) atau Central Nervous System (CNS). Terdiri dari
otak dan medulla spinalis yang dilindungi tulang kranium dan tulang
vertebrae mulai dari cervix hingga sacrum.
b. Sistem Saraf Tepi (SST) atau Peripheral Nervous System (PNS), yang
meliputi seluruh jaringan saraf lain dalam tubuh. Sistem ini terdiri dari
saraf yang menghubungkan otak dan medulla spinalis dengan reseptor dan
efektor.

Gambar 22. Sel Neuron

Sel-sel saraf terdiri dari:


a. Neuron.
Neuron merupakan sel fungsional pada sistem saraf, yang menghasilkan
potensi aksi dan menjalarkan impuls dari satu sel ke sel berikutnya. Potensial aksi

7
Mary Ann Watson, F. Owen Black, The Human Balance System, 2-3. The
Vestibular Disorders Association, www.vestibular.org.

269
adalah cara sistim saraf dalam memindahkan informasi, melaksanakan fungsi
kendali dan koordinasi tubuh.
Dari segi fungsi, neuron dapat dibedakan menjadi tiga macam, sebagai
berikut:8
1) Neuron sensorik; yaitu sel saraf yang berfungsi untuk membawa impuls elektrik
dari daerah perifer tubuh ke saraf pusat (otak dan medulla spinalis).
2) Neuron motorik; yaitu sel saraf yang berfungsi membawa impuls elektrik dari
saraf pusat ke daerah perifer tubuh.
3) Interneuron atau saraf penghubung ialah sel saraf yang terdapat di pusat saraf,
yang menjadi penghubung antara neuron sensorik dan motorik.
Dalam melakukan fungsi tersebut, sel neuron didukung oleh sel glia. Sel
glia merupakan pendukung struktur dan fungsi neuron, namun tidak terlibat dalam
fungsi penjalaran impuls.

b. Glia.9
Sel non-neuronal didalam sel saraf pusat adalah Glia, yang terdiri dari tipe
sel astrosit, oligondendrosit, sel ependimal dan makroglia. Sel glia mengandung
reseptor untuk banyak neurotransmitter. Perbandingan antara jumlah sel glia dan
neuron ialah 10:1, sehingga jumlah sel glia jauh lebih besar daripada jumlah neuron.
Sel glia berfungsi utuk menjamin kondusifitas lingkungan ionic di sekitar neuron
agar selalu tepat. Selain itu, sel glia juga berfungsi untuk membuang zat-zat sisa
dari sekitar neuron.
Salah satu sel glia yang sangat dikenal ialah sel schwan, yang berfungsi
sebagai pembungkus akson dan membentuk selubung mielin. Mielin berperan
dalam memelihara neuron.
Proses fagositosis di sistim saraf pusat melibatkan astrosit dan
oligodendrosit.10 Sel ependimal melapisi ventrikel otak dan kanalis sentralis medula
spinalis. Permukaan ependima biasanya dilapisi oleh silia. Silia berfungsi
mempermudah pergerakan cairan serebrospinalis.

Selain neuron dan glia, terdapat pula Blood Brain Barrier (Sawar Darah
Otak). Lapisan ini bersifat semi permeabel, yang menapis sehingga beberapa
material dapat menembusnya, seraya menghalangi material-material lainnya.11
Selain keterangan anatomis tersebut di atas, secara fisiologis sistem saraf
mempunyai fungsi sebagai berikut:12
1. Menerima informasi dari dalam maupun dari luar melalui afferent sensory
pathway.

8
Dawn A. Tamarkind, Neurons (STCC Foundation Press, 2011), 5.
9
Richard Hall, The Neuron (1998), 1, http://web.mst.edu/~rhall/neuroscience/01_
fundamentals/neuron.pdf. Diakses pada 6 Juni 2014.
10
Allan H. Ropper, Robert H Brown, Adams and Victor's Principles of Neurology
(New York: McGraw-Hill, 8th ed., 2005), 772.
11
Rohkamm, Color Atlas of Neurology, 8.
12
Gregory Budiman, Basic Neuroanatomical Pathways (Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2nd ed., 2009), 1-2, 4, 14.

270
2. Komunikasi informasi antara sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat.
3. Mengolah informasi yang diterima, baik di tingkat saraf (refleks) maupun di
otak untuk menentukan respon yang tepat dengan situasi yang dihadapi.
4. Menghantarkan informasi secara cepat melalui efferent motoric pathway ke
organ-organ tubuh sebagai kontrol atau modifikasi tindakan, yang terbagi
menjadi dua kelompok:
a. Sistem pyramidal
b. Sistem extrapyramidal

2. Lapisan Pelindung
Pelindung otak terdiri dari rangka tulang bagian luar dan tiga lapisan
jaringan ikat meninges. Lapisan meningeal terdiri dari:13,14
a. Piamater, yaitu lapisan terdalam yang halus, tipis dan penuh dengan pembuluh
darah, serta melekat erat pada otak.
b. Arakhnoidmater, yang berbentuk seperti sarang laba-laba. Terletak di bagian
eksternal piamater dan mengandung sedikit pembuluh darah. Rongga arakhnoid
memisahkan lapisan arakhnoid dari piamater dan mengandung cairan
cerebrospinalis, pembuluh darah, jaringan penghubung, serta selaput yang
mempertahankan posisi arakhnoid terhadap piameter di bawahnya. Fungsi
selaput araknoid adalah sebagai bantalan untuk melindungi otak dari bahaya
kerusakan mekanik.
c. Duramater, yaitu lapisan terluar yang tebal dan terdiri dari dua lapisan. Lapisan
ini biasanya terus bersambungan tetapi terputus pada beberapa sisi spesifik.
Lapisan periosteal luar pada duramater melekat di permukaan dalam kranium
dan berperan sebagai periosteum dalam pada tulang tengkorak. Lapisan
meningeal dalam pada dura mater tertanam sampai ke dalam fisura otak dan
terlipat kembali di arahnya untuk membentuk falks serebrum, falks serebelum,
tentorium serebelum dan sela diafragma.

Ruang subdural memisahkan duramater dari araknoid pada regia cranial dan
medulla spinalis. Ruang epidural adalah ruang potensial antara periostal luar dan
lapisan meningeal dalam pada durameter di regia medulla spinalis.

3. Cairan Cerebrospinalis15
Cairan serebrospinalis mengelilingi ruang sub arakhnoid di sekitar otak dan
medulla spinalis. Cairan ini juga mengisi ventrikel dalam otak. Ventrikel lateral
dari masing-masing hemisfer otak dibagi menjadi kornu anterior, bagian sentral,
kornu posterior, dan kornu tempolaris. Kedua ventrikel lateral bersatu dalam
ventrikel ketiga tunggal melalui foramen interventrikularis munro. Ventrikel ketiga
berhubungan dengan ventrikel keempat melalui aquaduktus serebral.

13
Rohkamm, Color Atlas of Neurology, 6.
14
Ben Greenstein, Adam Greenstein, Color Atlas of Neuroscience (Stuttgrat:
Thieme, 2000), 2.
15
Rohkamm, Color Atlas of Neurology, 8.

271
Cairan cerebrospinalis menyerupai plasma darah dan cairan interstisial,
tetapi tidak mengandung protein.
Cairan serebrospinalis dihasilkan oleh pleksus koroid dan sekresi oleh sel-
sel ependimal yang mengitari pembuluh darah serebral dan melapisi kanal sentral
medulla spinalis. Fungsi cairan cerebrospinalis adalah sebagai bantalan otak dan
medulla spinalis, serta sebagai media pertukaran nutrient dan zat lainnya antara
darah dan otak serta medulla spinalis.16

4. Anatomi dan Fisiologi Otak


Otak dan medulla spinalis mempunyai 3 materi esensial yaitu:17
a. badan sel yang membentuk bagian materi kelabu (substantia grissea)
b. serabut saraf yang membentuk bagian materi putih (substantia alba)
c. sel-sel neuroglia, yaitu jaringan ikat yang terletak di antara sel-sel saraf di
dalam sistem saraf pusat.
Meskipun otak dan medulla spinalis mempunyai materi sama tetapi
susunannya berbeda. Pada otak, substantia grissea terletak di bagian luar atau
kulitnya (korteks), sedangkan substantia alba terletak di tengah. Pada medulla
spinalis, bagian tengah berupa substantia grissea berbentuk kupu-kupu, dan bagian
korteks berupa substantia alba.18 Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:19
a. Cerebrum (Otak Besar)
b. Cerebellum (Otak Kecil)
c. Brainstem (Batang Otak)
d. Limbic System (Sistem Limbik)

Gambar 23. Potongan Sagital Anatomi Otak


16
Greenstein, Color Atlas of Neuroscience, 48.
17
Greenstein, Color Atlas of Neuroscience, 24, 40.
18
Greenstein, Color Atlas of Neuroscience, 24.
19
Reinhard Rohkamm, Color Atlas of Neurology, 4.

272
a. Cerebrum (Otak Besar)20
Cerebrum (Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan) merupakan bagian
terbesar dari otak manusia. Forebrain atau prosencephalon (bagian supratentorial
dari otak) terdiri dari telencephalon (dua hemisfer serta struktur midline yang
menghubungkan keduanya) dan diencephalon. Cerebrum merupakan pusat berpikir,
analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual.
Kecerdasan intelektual atau IQ ditentukan oleh kualitas bagian ini. Cerebrum
adalah bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang.
Cerebrum terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus, yaitu:
1) Lobus Frontal, yaitu lobus yang berada di paling depan dari cerebrum. Lobus
ini berhubungan dengan kemampuan beragumentasi, kemampuan gerak,
kognisi, perencanaan, menyusun solusi, memberi penilaian, kreativitas, kontrol
perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
2) Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensoris perasa
seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
3) Lobus Temporal berada di bagian bawah, berhubungan dengan kemampuan
mendengar, memahami informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
4) Lobus Occipital berada di bagian paling belakang, berhubungan dengan
stimulus visual sehingga dapat menginterpretasikan obyek yang ditangkap oleh
retina mata.

Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang
menyerupai parit disebut sulcus. Setiap lobus dapat dibagi menjadi beberapa area
dengan fungsi masing-masing, seperti tampak pada gambar di bawah ini.

Gambar 24. Pembagian Area Fisiologi Otak

20
Joseph Carey et.al., Brain Facts, a Primer on the Brain and Nervous System
(Washington: The Society for Neuroscience, 2002), 3, 7.

273
Di samping terbagi menjadi 4 lobus, cerebrum juga dapat dibagi menjadi
dua belahan (hemisphere) oleh suatu fisura longitudinal vertikal yang dalam, yaitu
hemisfer otak kanan dan hemisfer otak kiri. Kedua belahan itu terhubung oleh
neuron-neuron di bagian bawahnya. Sebuah hemisfer serebrum adalah setengah
bagian otak depan. Hemisfer serebrum meliputi struktur telensefalon seperti
korteks serebrum yang mengandung subtansia grisea, substansia alba pada bagan
dalam, ganglia basal, dan korpus kalosum. Secara umum, hemisfer otak kanan
mengontrol sisi kiri tubuh, dan hemisfer otak kiri mengontrol sisi kanan tubuh.
Otak kanan terlibat dalam kreativitas dan kemampuan artistic, sedangkan otak kiri
untuk logika dan berpikir rasional.
Bagian yang tidak kalah pentingnya ialah korteks serebri, yang merupakan
lapisan tipis substantia grissea dan menutupi permukaan hemisfer serebral. Jalur
masuk utama ke korteks serebri membawa informasi visual, auditoris, dan somato
sensoris. Masing-masing mengarah ke korteks oksipitalis, temporalis dan parietalis.
Fungsi keluar utama dan dapat diobservasi adalah dari area motorik primer, area
premotorik, serta area broca untuk pergerakan otot spesifik dan terkoordinas}s}i.
Korteks serebri mengandung sekitar 70% neuron di sistem saraf pusat.

b. Cerebellum (Otak Kecil)21


Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan pangkal leher.
Cerebellum terdiri dari:22
1) Vestibulocerebellum, yang berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan
dan mengontrol gerakan.
2) Spinocerebellum, yang berfungsi untuk mengatur tonus otot dan gerakan
volunter yang trampil dan terkoordinasi.
3) Neocerebellum, yang berfungsi dalam perencanaan dan inisiasi gerakan
volunter dengan memberikan masukan ke daerah motorik korteks.
Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya mengatur
sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan
volunteer tubuh. Cerebellum juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian
gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan
tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.23
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada
sikap dan koordinasi gerak otot.24 Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya
orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak
mampu menulis.

21
James Knierim, "Cerebellum", Neuroscience Online, Department of
Neurobiology and Anatomy, The University of Texas Medical School at Houston,
http://neuroscience.uth.tmc. edu/s3/chapter05.html. Diakses pada 6 Juni 2014.
22
Rand Swenson, "Chapter 8B: Cerebellar Systems", Review of Clinical and
Functional Neuroscience, Dartmouth Medical School, 2006, http://www.dartmouth.
edu/rswenson/ NeuroSci/chapter_8B.html. Diakses pada 6 Juni 2014.
23
Joseph Carey et al., Brain Facts, a Primer on the Brain and Nervous System , 19.
24
Greenstein, Color Atlas of Neuroscience, 16.

274
c. Brainstem (Batang Otak)
Hindbrain atau rhombencephalon (bagian infratentorial dari otak) terdiri
dari pons, medulla oblongata, dan cerebellum. Midbrain, pons, and medulla
oblongata secara bersama-sama membentuk brainstem.25
Batang otak berada di rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai
ke medulla spinalis, serta mengandung nuclei saraf kranial III sampai XII. Batang
otak berfungsi sebagai berikut:26
1) Penyalur asenden dan desendens yang menghubungkan medulla spinalis
dengan pusat yang lebih tinggi.
2) Pusat-pusat refleks penting yang mengatur sistem vital bagi tubuh, yaitu
respirasi, kardiovaskuler, pengaturan suhu tubuh, proses pencernaan, dan
kendali tingkat kesadaran.
3) Memodulasi rasa nyeri.
4) Pusat yg bertanggungjawab untuk tidur.
5) Mengatur refleks-refleks otot yang terlibat dalam keseimbangan dan postur.

Gambar 25. Skema Area Fisiologi Otak dan Batang Otak

Batang otak dijumpai pula pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh
karena itu batang otak sering disebut dengan otak reptil. Otak reptil mengatur
‚perasaan teritorial‛ sebagai insting primitif. Misalnya perasaan tidak nyaman atau

25
Greenstein, Color Atlas of Neuroscience, 10.
26
Ropper, Brown, Adams and Victor's Principles of Neurology, 313.

275
terancam ketika dekat dengan orang yang tidak dikenal. Batang Otak terdiri dari
tiga bagian, yaitu:27
1) Mesencephalon (Midbrain atau Otak Tengah) adalah bagian teratas dari batang
otak yang menghubungkan cerebrum dengan cerebellum. Mengandung nuklei
saraf cranial III, IV dan V (sebagian). Midbrain atau mesencephalon terletak di
antara forebrain dan hindbrain, yang langsung melewati tentorium cerebelli.
Otak tengah berfungsi dalam mengontrol respon penglihatan, gerakan mata,
dilatasi pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
2) Medulla oblongata adalah titik awal medulla spinalis, dari sebelah kiri badan
menuju bagian kanan badan, demikian pula sebaliknya. Panjang sekitar 3‐4 cm,
dan berawal dari pons ” foramen magnum. Bagian depan medulla berupa
pyramid (tonjolan substantia alba, yg merupakan lanjutan dari akson pada
pedunkulus cerebri. Bagian belakang medulla sebagian lanjutan traktus
sensorik.
3) Pons, merupakan stasiun pemancar pengirim data ke pusat otak bersama
dengan formasi reticular.28 Terdiri dari substansi alba, serta menghubungkan
medulla dgn berbagai bagian otak melalui pedunkulus cerebralis Terdapat
nuklei saraf kranial V, VI, VII & VIII. Pons merupakan pusar respiratori,
mengatur frekuensi & kedalaman pernapasan. Pons yang menentukan apakah
kita terjaga atau tertidur.

Teori tentang kematian batang otak sebagai tanda kematian seseorang,


ialah berdasarkan kepada fungsi batang otak sebagai pusat fungsi alat-alat yang
vital bagi hidup manusia, seperti yaitu respirasi, kardiovaskuler, pengaturan suhu
tubuh, proses pencernaan, dan kendali tingkat kesadaran.29

d. Limbic System (Sistem Limbik) 30


Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak
ibarat kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak
ini terdapat pula pada mamalia, sehingga sering disebut dengan otak mamalia.
Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan
korteks limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi
hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa
senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang.
Bagian terpenting dari system limbik adalah Hipotalamus yang berfungsi
sebagai berikut:31
1) Memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana yang tidak.

27
Rohkamm, Color Atlas of Neurology, 26.
28
Formasi retikularis: Merupakan jaring2 serabut saraf & badan sel yang tersebar di
keseluruhan bagian MO, pons & mesencephalon. Berfungsi untuk memicu dan
mempertahankan kewaspadaan serta kesadaran.
29
Ropper, Brown, Adams and Victor's Principles of Neurology, 306.
30
Rohkamm, Color Atlas of Neurology, 144.
31
Rohkamm, Color Atlas of Neurology, 142.

276
2) Mengatur fungsi homeostatik seperti kontrol suhu, rasa haus, pengeluaran urin
dan asupan makanan.
3) Pusat primer dari sistem saraf otonom perifer.
4) Mengontrol emosi dan pola perilaku.

Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh oleh indra,
sehingga lazim disebut sebagai otak emosi atau tempat bersemayamnya rasa cinta
dan kejujuran. Carl Gustav Jung32 menyebutnya sebagai alam bawah sadar atau
ketidaksadaran kolektif, yang diwujudkan dalam ketulusan dan perbuatan baik
seperti menolong orang lain. LeDoux33 mengistilahkan sistem limbik ini sebagai
tempat duduk bagi semua nafsu manusia, tempat bermuaranya cinta, penghargaan
dan kejujuran.

5. Medulla Spinalis34
Medulla spinalis (spinal cord) dimulai dari medulla oblongata sampai
lumbal pertama. Berjalan melalui kanalis vertebralis dan dihubungkan dengan saraf
spinalis. Medulla spinalis dilindungi oleh 33 ruas vertebra, yaitu 7 ruas cervical, 12
ruas thoracal, 5 ruas lumbal, 5 ruas sakral dan 4 ruas yang membentuk coksigis.
Di antara ruas vertebrae terdapat discus intervertebralis yang
memungkinkan vertebra dapat bergerak. Setiap discus terdiri dari kapsul tipis yang
mengelilingi substansia gelatinosa dan disebut nucleus pulposus. Selain itu terdapat
foramen intervertebra, yaitu ruangan antar vertebrae tempat akar saraf spinal
lewat.35
Medulla spinalis terdiri dari :
a. Substansia Grisea; berbentuk seperti kupu-kupu (H) terdiri dari badan sel saraf
dan dendritnya, antar neuron pendek dan sel-sel glia
b. Substansia Alba; tersusun menjadi traktus, yaitu :
1) Traktus asendens (dari medulla spinalis ke otak), menyalurkan sinyal dari
aferen ke otak.
2) Traktus desendens (dari otak ke medulla spinalis), menyampaikan pesan-
pesan dari otak ke neuron eferen.

Medulla Spinalis bertanggung jawab untuk integrasi banyak refleks dasar,


serta memiliki 2 fungsi utama:

32
Carl Gustav Jung (1875-1961). Seorang psikiater Swiss dan sering disebut
sebagai pelanjut Sigmund Freud (1865-1939). Namun Jung kemudian mengembangkan
sendiri teorinya dalam bidang psikologi analitik.
33
Joseph E. LeDoux dilahirkan pada 7 Desember 1949 di Eunice, Louisiana.
Seorang neuroscientist dan menjadi guru besar neuroscience dan psikologi di New York
University. Juga sebagai Direktur the Center for the Neuroscience of Fear and Anxiety,
sebuah sentra multi-universitas di New York City. Lembaga ini dikenal melakukan riset
untuk memahami gejala patologis berupa ketakutan dan kecemasan pada manusia.
34
Rohkamm, Color Atlas of Neurology, 2, 30-31.
35
Rohkamm, Color Atlas of Neurology, 30.

277
a. Sebagai penghubung untuk menyalurkan informasi antara otak dan bagian
tubuh lainnya.
b. Mengintegrasikan aktifitas refleks antara masukan aferen dan keluaran eferen
tanpa melibatkan otak. Jenis aktifitas refleks ini dikenal sebagai refleks spinal.

6. Peran Batang Otak Dalam Mengatur Fungsi Motorik36


Batang otak terdiri dari medula, pons, dan mesensefalon. Ada pendapat
yang menyatakan bahwa batang otak merupakan perluasan dari medula spinalis ke
arah atas menuju rongga kranial, karena batang otak juga mengandung nuklei
sensorik dan motorik yang membentuk fungsi sensorik dan motorik untuk regio
wajah dan kepala, dimana fungsi ini juga dilakukan dalam cara yang sama oleh
medula spinalis dalam membentuk fungsi-fungsi untuk leher ke bawah. Namun
pendapat lain mengatakan bahwa batang otak justru merupakan master itu sendiri,
karena batang otak memiliki banyak fungsi kendali khusus, seperti :
a. Mengatur pernapasan
b. Mengatur sistem kardiovakular
c. Mengatur sebagian fungsi gastrointestinal
d. Mengatur banyak gerakan tubuh yang stereotipi
e. Mengatur keseimbangan
f. Mengatur gerakan mata

Akhirnya, batang otak merupakan tempat simpangan (way station) untuk


‚sinyal perintah‛ dari pusat-pusat saraf yang lebih tinggi. Selain itu, batang otak
berperan penting dalam mengatur gerakan seluruh tubuh dan keseimbangan, yaitu
terutama dari nuklei retikular dan nuklei vestibular batang otak.
Bila sebagian besar daerah sistem saraf simpatis melepaskan impuls pada
saat yang bersamaan (massal) dengan berbagai cara, keadaan ini akan
meningkatkan kemampuan tubuh untuk melakukan aktifitas otot yang besar, yaitu
melalui :37
a. Peningkatan tekanan arteri
b. Peningkatan aliran darah untuk mengaktifkan otot-otot bersamaan dengan
penurunan aliran darah ke organ-organ, seperti traktus gastrointestinal dan
ginjal, dimana tidak diperlukan untuk aktifitas motorik yang cepat
c. Peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh
d. Peningkatan konsentrasi glukosa darah
e. Peningkatan proses glikolisis di hati dan otot
f. Peningkatan kekuatan otot
g. Peningkatan aktifitas mental
h. Peningkatan kecepatan koagulasi darah

36
Arthur C. Guyton, John E. Hall, Textbook of Medical Physiology (Philadelphia:
Elsevier Saunders, 11th ed., 2006), 691.
37
Guyton & Hall, Textbook of Medical Physiology, 758.

278
Adapun jika terjadi lesi pada cerebrum atau pada batang otak, maka
terdapat perbedaan menifestasi klinis hemiparese yang berbeda:38
a. Cerebrum: spastic hemiparese, kemungkinan besar melibatkan otot-otot wajah,
yang ditandai dengan peningkatan tonus otot, peningkatan refelks-refleks,
tanda-tanda kelainan tractus piramidalis, tidak ada atrofi. Juga selalu disertai
defisit sensoris.
b. Brainstem (batang otak): spastic hemiparese seperti pada cerebrum, wajah
dapat terkena ataupun tidak tergantung dari tingkat lesi, terdapat deficit saraf
cranial yang kontralateral terhadap hemiparese.

B. Anatomi dan Fisiologi Jantung

Jantung adalah organ utama dalam system kardiovaskuler. Secara


fisiologis, jantung merupakan salah satu organ tubuh yang paling vital
dibandingkan dengan organ tubuh vital lainnya. Apabila fungsi jantung mengalami
gangguan, maka akan sangat berpengaruh terhadap organ-organ vital lainnya,
terutama otak dan ginjal.39
Posisi jantung terletak di tengah rongga dada dan di antara kedua paru, di
atas diaphragma thoracis dan + 5 cm di atas processus xiphoideus. Tepi kanan
cranial jantung berada pada ujung cranialis pars cartilaginis costa III dextra, 1 cm
dari tepi lateral sternum. Tepi kanan caudal jantung berada pada tepi cranialis pars
cartilaginis costa VI dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Tepi kiri cranial jantung
berada pada tepi caudal pars cartilaginis costa II sinistra di tepi lateral sternum.
Tepi kiri caudal jantung berada pada ruang intercostalis 5, kira-kira 9 cm di kiri
linea medioclavicularis.40
Organ jantung tersusun dari bagian-bagian muscular, apex dan basis cordis,
atrium dextra dan atrium sinistra serta ventrikel dextra sinistra. Panjang jantung +
12 cm, lebar + 8-9 cm, tebal + 6 cm. Berat jantung + 7-15 ons atau 200 sampai 425
gram, serta sedikit lebih besar dari kepalan tangan. Denyut jantung 100.000
kali/hari, dan dalam periode tersebut jantung memompa + 2000 galon darah atau
setara dengan 7.571 liter darah.41

1. Ruang Jantung
Jantung manusia terdiri dari 4 ruang dengan septum (sekat) dan valvula
(katup) yang sempurna. Ruang-ruang di organ jantung ialah sebagai berikut: 42
a. Atrium dextra (right atrium/serambi kanan)
Terletak pada jantung bagian kanan atas. Berfungsi untuk menampung darah
sebagai tempat penyimpanan sementara menerima darah de-oksigen dari sirkulasi

38
Mark Numenthaler, Neurology (Stuttgart: Thieme, 4th ed., 2004), 4.
39
Harold Ellia, Clinical Anatomy (Malden: Blackwell Publishing Ltd., 11th ed.,
2006), 29-30.
40
Sobotta, Atlas of Human Anatomy (Jakarta: EGC, 21st edition, 2003) vol.II, 76,
80-82.
41
A. Faller, M. Schuenke, The Human Body (Stuttgart: Thieme, 2004), 207.
42
Harold Ellis, Clinical Anatomy, 31-32.

279
sistemik melalui vena cava superior (dari kepala dan tubuh bagian atas) dan vena
cava (dari kaki sampai dada bagian bawah). Simpul sinoatrial mengirimkan impuls
yang menyebabkan jaringan otot jantung dari atrium berkontraksi dengan cara yang
terkoordinasi seperti gelombang.
b. Ventrikula dextra (right ventricle/bilik kanan)
Menerima darah deoksigen dan kaya CO2 dari atrium kanan melalui valvula
tricuspidalis. Katup ini menutup sehingga mencegah darah kembali ke atrium
kanan. Valvula semilunaris terbuka, sehingga darah mengalir ke sirkulasi pulmonal
(ke arteri pulmonalis terus menuju paru-paru).
c. Atrium sinistra (left atrium/serambi kiri)
Atrium kiri adalah ruang jantung yang menerima darah yang kaya oksigen dari
sirkulasi pulmonal (dari paru-paru melalui vena pulmonalis sinistra). Darah tersebut
kemudian disalurkan ke ventrikel sinistra melalui valvula bikuspidalis atau disebut
juga valvula mitral.
d. Ventrikula sinistra (left ventricle/bilik kiri)
Ventrikel kiri menerima darah yang kaya oksigen dari atrium kiri. Darah melewati
valvula mitralis/bikuspidalis ke ventrikel kiri. Kemudian katup mitral menutup
dengan sempurna, yang mencegah darah mengalir kembali ke atrium kiri, sehingga
ventrikel kiri terisi penuh. Lalu katup aorta membuka, sehingga darah mengalir ke
aorta dan seterusnya mengalir ke seluruh bagian tubuh. Oleh karena dibutuhkan
tekanan darah yang lebih besar untuk memompa darah yang ke sirkulasi sistemik,
maka ventrikel kiri lebih besar dan dindingnya lebih tebal dari pada ventrikel
kanan. kontraksi ventrikel dextra dan sinistra berlangsung serentak.

2. Katup Jantung43
Fungsi valvula (katup) jantung adalah untuk mempertahankan agar aliran
darah selalu satu arah. Katup-katup jantung terdiri dari:
a. Valvula trikuspidalis (katup trikuspid)
Katup trikuspid berada diantara atrium kanan dan ventrikel kanan. Bila katup ini
terbuka, maka darah akan mengalir dari atrium kanan menuju ventrikel kanan.
Sesuai dengan namanya, katup trikuspid terdiri dari 3 daun katup.
b. Valvula Semilunaris Pulmonalis (Katup Pulmonal)
Setelah katup trikuspid tertutup, darah akan mengalir dari dalam ventrikel kanan
melalui trunkus pulmonalis. Trunkus pulmonalis bercabang menjadi arteri
pulmonalis dextra dan sinstra menuju paru kanan dan kiri. Pada pangkal trunkus
pulmonalis terdapat katup pulmonalis yang terdiri dari 3 daun katup yang terbuka
bila ventrikel kanan berkontraksi dan menutup bila ventrikel kanan relaksasi,
sehingga memungkinkan darah mengalir dari ventrikel kanan menuju arteri
pulmonalis.
c. Valvula Mitralis/Bikuspidalis (Katup Mitral/Bikuspid)
Pada saat katup bikuspid/mitral membuka, darah mengalir dari atrium kiri menuju
ventrikel kiri.. Seperti katup trikuspid, katup bikuspid menutup pada saat kontraksi
ventrikel. Katup bikuspid terdiri dari dua daun katup.

43
Harold Ellis, Clinical Anatomy, 31-32.

280
d. Valvula Semilunaris Aorta (Katup Aorta)
Katup aorta terdiri dari 3 daun katup yang terdapat pada pangkal aorta. Katup ini
akan membuka pada saat ventrikel kiri berkontraksi sehingga darah akan mengalir
ke sirkulasi sistemik. Sebaliknya katup akan menutup pada saat ventrikel kiri
relaksasi, sehingga mencegah darah masuk kembali kedalam ventrikel kiri.

3. Lapisan Jantung44

a. Epikardium (Pericardium visceral)


Lapisan bagian luar jantung ini terdiri dari 2 lapisan, yaitu perikardium fibrosa dan
serosa. Perikardium fibrosa, yaitu lapisan luar yang melekat pada tulang dada,
diafragma dan pleura. Perikardium serosa, yaitu lapisan dalam dari perikardium. Di
antara keduanya terdapat rongga rongga perikardium yang berisi + 10-30 ml cairan
yang berguna untuk memudahkan gerakan dan mengurangi gesekan jantung
terhadap jaringan sekitarnya.
b. Myocardium
Myocardium merupakan jaringan utama organ jantung untuk kontraksi jantung.
Kemampuan berkontraksi otot jantung secara otomatis pada saat sistole maupun
diastole, baik ritme maupun kekuatan gelombangnya, tidak bergantung pada
rangsangan saraf. Aktifitas kontraksi jantung selalu didahului oleh aktifitas listrik,
yaitu nodus sinoatrial (nodus SA)45 yang mengawali gelombang depolarisasi secara
spontan, sehingga timbul potensial aksi yang disebarkan melalui sel-sel otot atrium,
nodus atrioventrikuler (nodus AV), berkas His, serabut Purkinje dan akhirnya ke
seluruh otot ventrikel. Dengan demikian jantung tidak pernah istirahat untuk
berkontraksi selama hidup orang tersebut.
c. Endokardium
Endocardium merupakan pembungkus bagian dalam otot jantung yang terdiri dari
jaringan endotel atau selaput lendir yang melapisi permukaan rongga jantung.

4. Arteri Koroner
Arteri koroner berfungsi untuk suplai darah ke otot-otot jantung, sehingga
sangat amat penting bagi kelangsungan hidup sel-sel jantung. Arteri koroner
berawal dari aorta, bercabang keluar melingkari dan memasuki miokardium. Arteri
koroner terisi darah saat relaksasi ventrikel, membawa darah yang kaya oksigen ke
miokardium.
Arteri koroner terbagai menjadi dua, yaitu:
a. Arteri coronaria dextra (koroner kanan) ; memiliki dua cabang utama:

44
B. R. Mackenna, R. Callander, Illustrated Physiology (New York: Churchill
Livingstone, 6th ed., 1997), 102.
45
Merupakan bundle neuron berbentuk kepingan sabit dari otot yang mengalami
spesialisasi khusus, berukuran 3x15x1 mm. Simpul ini terletak pada dinding posterior
atrium dextra, tepat di bawah dan medial dari vena cava superior, serabut-serabut simpul ini
masing-masing begaris tengah 3-5 mikron. Ditemukan secara anatomis oleh Keith & Flack.

281
1) Arteri interventrikular posterior (desenden), untuk suplai darah ke kedua
dinding ventrikel.
2) Arteri marginalis dextra, untuk suplai darah ke atrium kanan dan ventrikel
kanan.
b. Arteri coronaria sinistra (koroner kiri) ; memiliki dua cabang utama:
1) Arteri interventrikular anterior (desenden), untuk suplai darah ke bagian
anterior ventrikel kiri dan kanan serta membentuk cabang arteri marginalis
sinistra untuk suplai ke ventrikel kiri.
2) Arteri circumflexa, untuk suplai darah ke atrium kiri dan ventrikel kiri.

5. Frekuensi Jantung
Frekuensi denyut jantung normal berkisar antara 60-100 kali per menit,
dengan rata-rata 75 kali per menit. Perubahan frekuensi tersebut dipangaruhi oleh
aktifitas tubuh, stimulus eksogen (jenis minuman tertentu, terkejut, dsb.), serta
stimulus endogen (suhu badan, dehidrasi, dll). Peningkatan frekuensi denyut
jantung lebih dari 100 kali per menit disebut takikardia (tachycardia). Sementara
itu penurunan frekuensi denyut jantung yang kurang dari 60 kali per menit disebut
bradikardia (bradycardia).

6. Curah Jantung
Curah jantung (cardiac output) adalah volume darah yang dipompa oleh
tiap-tiap ventrikel permenit (bukan jumlah total darah yang dipompa oleh jantung).
Dua faktor penentu cardiac output, yaitu kecepatan denyut jantung (denyut
jantung/menit) dan volume sekuncup (volume darah yang dipompa perdenyut).
Jantung berdenyut rata-rata 70 kali/menit, dengan volume sekuncup rata-rata 70
ml/denyut. Rumus cardiac output = kecepatan denyut jantung x volume sekuncup,
sehingga curah jantung rata-rata adalah 4.900ml/menit atau mendekati 5
liter/menit.

7. Siklus Jantung
Secara umum, siklus jantung dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:46
Sistole adalah kontraksi ventrikel. Yaitu ventrikel kiri dikosongkan ke
aorta dan ventrikel kanan ke arteri pulmonal. Peningkatan tekanan pada kontraksi
ventrikel biasa disebut tekanan sistolik. Tekanan systole lebih jelas pada tekanan
arteri maksimum pada kontraksi ventrikel kiri.
Diastole adalah relaksasi ventrikel untuk menerima darah dari atrium.
Penurunan tekanan untuk relaksasi dari ventrikel-ventrikel disebut tekanan
diastolik.

8. Sistem Konduksi Jantung


Sistem Konduksi merupakan suatu system yang mentransmisi dan
menggerakkan impuls listrik. Sistem konduksi terdiri dari:47

46
Guyton & Hall, Textbook of Medical Physiology, 106-107.
47
A. Faller, M. Schuenke, The Human Body, 214-215.

282
a. Nodus SA (Sino-Atrial Node) yang berada di batas atrium kanan dan vena cava
superior. Sel-sel dalam SA Node ini bereaksi secara otomatis dan teratur
mengeluarkan impuls (rangsangan listrik) dengan frekuensi 60”100 kali/menit
kemudian menjalar ke atrium, sehingga menyebabkan seluruh atrium
terangsang.48
b. Nodus AV (Atrio-Ventricular Node) berada di septum internodal dextra, di atas
katup trikuspid. Sel-sel dalam AV Node dapat juga mengeluarkan impuls
dengan frekuensi lebih rendah dibandingkan impuls SA Node, yaitu : 40”60
kali/menit. AV Node berfungsi sebagai back up apabila SA Node mengalami
gangguan.
c. Bundle of His (berkas His/berkas atrioventrikel) terletak di septum
interventrikular dan bercabang 2, yaitu :49
1) Cabang berkas kiri (Left Bundle Branch)
2) Cabang berkas kanan ( Right Bundle Branch )
Setelah melewati kedua cabang ini, impuls akan diteruskan lagi ke cabang-
cabang yang lebih kecil yaitu serabut purkinye.
d. Purkinje Fibers (Serabut Purkinje), yang akan mengadakan kontak dengan sel-
sel ventrikel. Dari sel-sel ventrikel, impuls dialirkan ke sel-sel yang terdekat
sehingga seluruh sel akan dirangsang. Pada ventrikel juga tersebar sel-sel
pacemaker (impuls) yang secara otomatis mengeluarkan impuls dengan
frekuensi 20”40 kali/menit.50

9. Henti Jantung (Cardiac Arrest)


Terdapat beberapa definisi tentang Cardiac Arrest, yang masing-masingnya
saling melengkapi:
a. Cardiac Arrest adalah terhentinya sirkulasi normal darah akibat kegagalan
jantung untuk berkontraksi secara efektif.
b. Cardiac arrest ialah kegagalan secara tiba-tiba dari fungsi jantung memompa
darah, yang hal tersebut dapat pulih apabila cepat ditangani, namun dapat
membawa kematian apabila terlambat ditangani.51
c. Cardiac Arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak,
yang bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa telah atau belum
diketahui menderita penyakit jantung. Waktu kejadiannya tidak bisa
diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat dengan gejala maupun tanpa gejala.52

48
Harold Ellis, Clinical Anatomy, 32.
49
Harold Ellis, Clinical Anatomy, 33.
50
Silbernagl, Lang, Color Atlas of Pathophysiology, 180.
51
Robert J. Myerburg, Agustin Castellanos, "Chapter 256: Cardiovascular Collapse,
Cardiac Arrest, And Sudden Cardiac Death", Harrison's Principles of Internal Medicine,
1618.
52
"About Cardiac Arrest", American Heart Association, http://www.heart.org/
HEARTORG/Conditions/More/CardiacArrest/About-Cardiac-Arrest_UCM_307905_
Article.jsp. Diakses pada 25 Mei 2014.

283
d. Cardiac arrest disebut juga cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary arrest,
atau circulatory arrest,53 merupakan suatu keadaan darurat medis dengan tidak
ada atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung, sehingga dengan
seketika langsung menyebabkan kegagalan sirkulasi.54

Terdapat empat jenis ritme yang menyebabkan cardiac arrest, yaitu


ventricular fibrilasi (VF), ventricular takikardia yang sangat cepat (VT), pulseless
electrical activity (PEA), dan asistole. Penyebab yang paling sering ialah VF, yaitu
mencapai 65-80% dari cardiac arrest.55 Untuk dapat bertahan hidup dari empat
ritme patologis ini, memerlukan kedua bantuan hidup dasar (Basic Life Support)
dan bantuan hidup lanjutan (Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS)).56
Pada orang yang mengalami henti jantung dapat ditemukan gejala-gejala
berikut secara tiba-tiba:
a. Tidak sadar secara tiba-tiba (collapse)
b. Nadi tidak teraba, hipotensi (tekanan darah turun drastis/hampir tidak ada)
c. Tidak bernapas

Hilangnya kesadaran secara tiba-tiba merupakan tanda terjadinya


kekurangan oksigen di otak (cerebral hipoksia). Cardiac arrest akan diikuti oleh
respiratory arrest dalam beberapa detik. Sangat jarang terjadi respiratory arrest
terjadi terlebih dahulu. Bila ini terjadi, jantung dapat berdenyut sampai dengan 30
menit. Kejadiannya tidak bias diduga, yakni segera setelah timbul keluhan.
Meskipun tidak seluruh prevalensi cardiac arrest memberikan tanda
peringatan, tetapi kadang kala bisa ditemukan warning yang dapat menunjukkan
akan terjadi cardiac arrest, yaitu rasa lelah, lemah, pandangan kabur dan berkunang-
kunang, pusing, nyeri dada, napas dangkal dan pendek, berdebar-debar (palpitasi),
atau muntah.57
Adapun gejala-gejala pada penderita cardiorespiratory arrest adalah
pingsan, stres, sakit dada, penurunan kesadaran, nyeri pada tangan, punggung, dan
perut, tidak ada denyut jantung, serta napas dangkal dan cepat.
Kejadian yang menyebabkan kematian mendadak terjadi ketika sistem
kelistrikan jantung menjadi tidak berfungsi dengan baik, dan menghasilkan irama
jantung yang tidak normal. Dengan perkataan lain, hasil akhir henti jantung yang
berlangsung lebih lama disebut mati mendadak (sudden death). Diagnosis mati
jantung (irreversible cardiac arrest) ditegakkan bila telah terjadi asistole atau garis

53
Sudden Cardiac Arrest Association, 2008.
54
Ali A. Sovari, Abraham G. Kocheril, "The Epidemiology, Incidence and
Prevention of Sudden Cardiac Death", Carle Selected Papers, vol..54, no.1 (2011): 17-22.
55
Robert J. Myerburg, Agustin Castellanos, "Chapter 256: Cardiovascular Collapse,
Cardiac Arrest, And Sudden Cardiac Death", Harrison's Principles of Internal Medicine,
1618.
56
Saat ini ACLS merupakan standar sertifikasi bagi dokter untuk bekerja di bagian
emegernsi dan rung perwatan intensif (Intensive Care Unit).
57
Ali A. Sovari, Abraham G. Kocheril, "The Epidemiology, Incidence and
Prevention of Sudden Cardiac Death", Carle Selected Papers, vol..54, no.1 (2011): 17-22.

284
datar pada EKG (intractable) selama paling sedikit 30 menit,58 walaupun telah
dilakukan RJP dan terapi obat-obatan gawat darurat yang optimal.59
WHO menerangkan bahwa penyakit jantung, bersama-sama dengan
penyakit infeksi dan kanker masih tetap mendominas}s}i peringkat teratas penyebab
utama kematian di dunia. Serangan jantung dan problem seputarnya masih menjadi
pembunuh nomor satu, atau sebanyak 29 % kematian global setiap tahun.60

a. Etiologi
Penyebab cardiac arrest yang paling umum adalah gangguan listrik di
dalam jantung. Jantung memiliki sistem konduksi listrik yang mengontrol irama
jantung tetap normal. Masalah dengan sistem konduksi dapat menyebabkan irama
jantung yang abnormal (disebut juga aritmia). Ketika terjadi aritmia, jantung
memompa sedikit atau bahkan tidak ada darah ke dalam sirkulasi.

b. Cardiac Arrest (Henti Jantung) vs Heart Attack (Serangan Jantung)61


Istilah "heart attack" sering disalahpahami dengan cardiac arrest. Serangan
jantung dapat disebabkan oleh cardiac arrest, sehingga mengakibatkan sudden
death. Heart attack disebabkan oleh blokade yang menyebabkan berhentinya alran
darah ke jantung. Heart attack (atau myocardial infarction) menunjukkan kematian
jaringan otot jantung karena kehilangan suplai darah. Juga tidak berarti setiap
penderita heart attack akan berujung kepada kematian.
Berlainan dengan hal di atas, cardiac arrest terjadi akibat gangguan fungsi
elektrik jantung. Kematian akibat cardiac arrest dapat terjadi jika jantung tiba-tiba
berhenti berdenyut dengan baik. Ini dapat disebabkan oleh irama abnormal, atau
irregular pada ritme jantung.62
Henti jantung mendadak (sudden cardiac arrest/ SCA) berbeda dengan
serangan jantung (cardiac arrest). SCA adalah kondisi yang muncul apabila jantung
berhenti memompa darah ke sirkulasi sistemik yang diakibatkan oleh gangguan
elektrifitas internal jantung yang mengatur denyut jantung. Sedangkan serangan
jantung (heart attack) disebabkan karena kurang adekuatnya vaskularisasi otot
jantung akibat tersumbatnya pembuluh darah koroner jantung. Pada serangan

58
Fu Shan Xue, Xu Liao, Yi Cheng, "Duration of Resuscitation Efforts and
Survival After In-Hospital Cardiac Arrest", The Lancet, vol. 381, issue 9865 (February
2013): 445 ” 446.
59
Samuel J. Camarata, "Cardiac Arrest in the Critically Ill: I. A Study of
Predisposing Causes in 132 Patients", Circulation 44 (1971): 688-695.
60
WHO Annual Report, 2008.
61
American Heart Association, Cardiac Arrest vs Heart Attack, 2013, http://www.
heart.org/HEARTORG/General/Cardiac-Arrest-versus-Heart-Attack-Infographic_UCM_
450698_SubHomePage.jsp. Diakses pada 27 Mei 2014.
62
American Heart Association, About Cardiac Arrest, http://www.heart.org/
HEARTORG/Conditions/More/CardiacArrest/About-Cardiac-Arrest_UCM_307905_
article.jsp. Diakses pada 27 Mei 2014.

285
jantung, oksigen tidak adekuat untuk mencukupi kebutuhan sel-sel otot jantung
sehingga otot jantung menjadi iskemia.63
Walaupun henti jantung dan serangan jantung berbeda, namun terdapat
hubungan antara keduanya. Pada serangan jantung, kerusakan otot jantung akibat
iskemia sel jantung dapat mengganggu sistem elektrik internal jantung. Gangguan
sistem elektrik internal ini dapat menyebabkan gangguan ritme jantung menjadi
melambat atau menjadi lebih cepat dan bisa menjadi henti jantung. Dengan kata
lain, orang yang memiliki riwayat serangan jantung memiliki resiko yang lebih
besar henti jantung mendadak dibandingkan orang yang tidak memiliki riwayat. 64

c. Cardiac Arrest (Henti Jantung) vs Heart Failure (Gagal Jantung)


Terdapat pula gejala lain yang mungkin menjadi rancu bagi kalangan
awam, yaitu heart failure (Gagal Jantung). Gagal jantung adalah suatu keadaan
patofisiologis di mana jantung tidak lagi mampu memompa darah ke seluruh
jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, walaupun darah vena
masih normal. Kemampuan jantung hanya ada kalau disertai peninggian volume
diastolik secara abnormal. Gejala-gejala pada penderita gagal jantung adalah sesak
nafas tengah malam, merasa lelah, jantung berdebar cepat, sakit dada,
pembengkakan pada kaki, susah bernafas pada saat tidur, penurunan berat badan,
dan batuk pada malam hari.
Dalam penelitian ini, penulis sampaikan pengertian tentang jantung,
fisiologi dan patofisiologi secara ringkas, agar dapat dipahami kaitannya dengan
definisi kematian serta penggunaan alat bantu hidup. Berikut ini dibahas mengenai
pengertian konsep "qalb" dalam bahasa Arab dan dalil-dalilnya, agar dapat lebih
dipahami mengenai konsep dasar hidup dan mati secara psikis dan fisik.

C. Pandangan Islam tentang Jantung dan ‚Qalbu‛

Pengertian etimologis dari kata ‚jantung‛ adalah sepadan dengan kata


‚qalb‛ dalam bahasa Arab.65 Dalam Al-Qur’a>n dan al-Sunnah banyak disebut kata
‚qalb‛, yang kalau dipahami secara anatomis, menjadi perlu dikritisi apakah
memang berarti jantung.66 Sedangkan apabila diartikan secara metaforis ataupun
‘urf yang ada selama ini, "qalb" sering diterjemah dengan ‚hati‛ dalam arti emosi,
perasaan. Namun jika diterjemahkan kembali secara literal ke dalam bahasa Arab,

63
U.S> National Heart, Lung, and Blood Institute, What is a Heart Attack,
December 17, 2013, http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topiks/topiks/heartattack/.
Diakses pada 27 Mei 2014.
64
Ali A. Sovari, Abraham G. Kocheril, "The Epidemiology, Incidence and
Prevention of Sudden Cardiac Death", Carle Selected Papers, vol..54, no.1 (2011): 17-22.
65
Ma‘lu>f, Al-Munjid fi al-Lughah, 648.
66
Sebagai kata benda diartikan sebagai organ jantung. Istilah " " diartikan
sebagai heart disease . Lihat: Ruhi al-Ba‘labaki, Al-Mawrid (Bayrut: Dar al-‘Ilm li al-
Malayin, 1995), 870.

286
akan didapati kata ‚kabid‛. Padahal kata ‚kabid‛ secara anatomis berarti organ hati
(hepar, liver).67
Pada sisi lain, apabila ditelaah dari sisi fisiologi, jantung (Inggris: heart;
Latin: cor) berfungsi memompa darah sebagai sentral peredaran darah, sedangkan
hati (Inggris: lever; Latin: hepar) merupakan organ sentral dalam metabolisme
tubuh. Dalam ilmu kedokteran hingga saat ini, organ jantung maupun hati tidak
mempunyai fungsi psikologis maupun rasionalitas.
Oleh karena itu apa yang dimaksud dengan ‚qalb‛ dalam artian
terminologis sebagai suatu organ tubuh yang memiliki fungsi rasio dan psikologis,
bahkan yang sering disebut sebagai ukuran hidup dan matinya seseorang?
Ternyata dari bahasan para ahli bahasa sejak masa dahulu, mereka sudah
mengartikan "qalb" bukan dalam definisi fisik atau anatomis. Ini seperti menurut
Ibn Manz}u>r:
68
.
"Qalbu ialah mengubah sesuatu dari bentuknya yang asal."
Sedangkan dari ulama mufassiri>n maupun muh}addithi>n, terungkap bahwa
qalb bukanlah berarti jantung yang berdenyut di dalam dada itu yang dimaksud.69
Kata ‚qalb‛ disebutkan dengan makna kesadaran akal. Imam al-Ghaza>li>
menyebutkan bahwa qalb memiliki dua pengertian.70
Makna pertama adalah organ tubuh yang memompa darah. Berada di
tengah dan memanjang ke sisi kiri dada. Ini berhubungan dengan tujuan dunia
kedokteran dan tidak berhubungan dengan tujuan-tujuan agama. Qalbu pada
pengertian ini ialah jantung, yang juga terdapat pada binatang, dan pada mayit.
Jantung adalah sepotong daging yang tidak memiliki kemampuan spiritual maupun
psikologis.71
Makna kedua adalah substansi yang bersifat lembut, nurani, ruhani, yang
dengannya menjadi satu kesatuan dalam diri manusia hidup. Sesuatu yang lembut
itulah hakikat manusia. Qalbu dalam makna ini lebih dekat disebut ‚hati‛, karena
hatilah yang memahami, mengetahui, dapat diberi perintah dan dituntut… Jika
disebut lafaz "qalbu", maka yang dimaksud adalah jasad halus Rabba>ni>, serta
dimungkinkan untuk menyebutkan sifat-sifat dan keadaannya, namun kita tidak
mampu menyebutkan hakikat zatnya. Mungkin juga bahwa hati itu adalah akal
manusia dan fikirannya.

67
Al-Ba‘labaki>, Al-Mawrid, 885.
68
Abu> al-Fad}l Muh}ammad Ibn Makram Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab (Bayru>t: Da>r
S{a>dir, 2003), j.XII, 170.
69
Kata "qalb" juga menunjukkan bersihnya (kha>lis}) sesuatu dan kemuliannya atau
membalikkan sesuatu dari suatu arah ke arah yang lain. Lihat: Ibn Fa>ris, Mu‘jam Maqa>yi>s
al-Lughah, 828.
70
Abu> H{amid al-Ghaza>li>, Ih}ya>' ‘Ulu>m al-Di>n (Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t.), j.III, 3.
71
Pemahaman secara fisik tersebut, juga dikemukakan oleh sejumlah kamus Arab
modern, seperti Qa>mu>s al-Ma‘a>ni> dan Qa>mu>s al-Mu‘jam al-Wasi>t}. http://www.almaany
.com/home.php?language=arabic&lang_name=%D8%B9%D8%B1%D8%A8%D9%8A&wo
rd=%D9%82%D9%84%D8%A8. Diakses pada 27 Mei 2014.

287
Di dalam kamus al-S{ih}a>h72 } disebutkan bahwa qalb berarti akal. Ini
sebagaimana firman Alla>h Ta‘a>la> dalam surat Qa>f ayat 37: ‛Sungguh, pada yang
demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati (qalb)
atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya‛.73
Fayru>z A<ba>di> dalam kamus al-Muhi>t} berkata: ‛Qalbu adalah hati dan akal,
dimana ini adalah inti segala sesuatu‛.74 Pengertian tersebut sebagaimana firman
Alla>h Ta‘a>la> dalam surat al-Baqarah ayat 10: ‛Dalam hati (qulu>b) mereka ada
penyakit, lalu Alla>h menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang
pedih, karena mereka berdusta‛. Maksudnya adalah mereka yang memiliki penyakit
dalam akal dan fikiran mereka. Juga sebagaimana firman Alla>h dalam surat al-
Shu‘ara>’ ayat 192 ” 194:‛Dan sungguh, (Al-Qur'a>n) ini benar-benar diturunkan oleh
Tuhan seluruh alam. Yang dibawa turun oleh al-Ru>h} al-Ami>n (Jibri>l), ke dalam
qalbumu (Muh}ammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan‛.
Dalam surat al-Kahf ayat 27 juga disebutkan: ‛Dan janganlah engkau
mengikuti orang yang qalbunya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta
menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas‛.
Dalam surat al-Tagha>bu>n ayat 11 Alla>h berfirman: ‛Dan barangsiapa
beriman ke-pada Alla>h, niscaya Alla>h akan memberi petunjuk kepada qalbunya. Dan
Alla>h Maha Mengetahui segala sesuatu‛.
Dalam surat A<li ‘Imra>n ayat 7 Alla>h berfirman:‛(Mereka berdoa),’Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati (qulu>b) kami kepada kesesatan
setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami
rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi’‛.
Kata qalbu juga bisa berarti rasio (pola pikir) maupun jiwa,75 sebagaimana
dalam surat al-Ah}za>b ayat 32: ‛Jika kalian (istri-istri Nabi) bertakwa, maka
janganlah kamu rendahkan (melemah lembutkan) dalam berbicara sehingga bangkit
nafsu orang yang ada penyakit dalam qalbunya, dan ucapkanlah perkataan yang
baik‛. Maksud dalam ayat ini ialah jiwanya yang sakit.76

72
Disebutkan dalam Mukhta>r al-S{ih}a>h} sebagai:
: "
Qalbu ialah "hati" (psikis), dan dapat diartikan pula dengan "akal". Al-Farra>' berkata, ketika
menafsirkan firman Alla>h "bagi siapa saja yang dia memiliki qalb", bahwa maksudnya ialah
"akal". Lihat: Muh}ammad Ibn Abi> Bakr Ibn ‘Abd al-Qa>dir al-Ra>zi>, Mukhta>r al-S{ih}a>h}
(Bayru>t: Maktabah Lubna>n Na>shiru>n, 1415H-1995M), 560.
73
Al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m Al-Qur'a>n, j.XVII, 17.
74
Disebutkan dalam al-Muh}i>t}: " ".
Pengertian dasarnya adalah mirip dengan apa yang didefinisikan oleh Ibn Manz}u>r, yaitu
" ". Lihat: Ma>j al-Di>n Muh}ammad Ibn Ya‘qu>b al-Fayru>z A<ba>di>, Al-Qa>mu>s al-
Muh}i>t} (Bayru>t: Da>r al-Ji>l, t.t.), j.I, 131.
75
Al-Zamakhsha>ri>, Al-Kashsha>f (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1424H-
2003M), j.III, 521.
76
Juga berarti pola pikir yang tidak baik, khususnya berupa kecurigaan, prasangka
buruk dan karakter untuk bersikap durhaka. Lihat: Abu> H{ayya>n , Tafsi>r al-Bah}r al-Muhi>t},
j.VII, 302.

288
Dalam ayat lain berarti ‚dada‛, seperti dalam surat al-Na>s ayat 4: ‛Yang
membisikkan (perkara-perkara yang tidak baik) ke dalam dada manusia‛.
Maksudnya adalah ke dalam hati manusia.77
Dalam surat Yu>nus ayat 57 Alla>h berfirman: ‛Wahai manusia! Sungguh,
telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur'a>n) dari Tuhanmu, penyembuh bagi
penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman .
Maksudnya adalah sebagai penyembuh apa yang dalam hati.78
Sedangkan dalam surat al-H{ajj ayat 46, kata hati dan dada disebutkan
secara bersamaan dalam satu ayat: ’’Maka tidak pernahkah mereka berjalan di
bumi, sehingga hati/akal (qulu>b) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat
mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati
(qulu>b) yang di dalam dada‛. Hati yang biasa mereka gunakan untuk berfikir
maksudnya adalah akal yang digunakan untuk berfikir.79
Kalimat ‘tetapi yang buta ialah hati (qulu>b) yang di dalam dada’
maksudnya adalah jiwa.
Dalam menjelaskan ayat ini, Muja>hid berkata: ‛Sesungguhnya setiap
manusia memiliki empat mata: dua mata berada pada kepalanya untuk kehidupan
dunianya, dua mata pada hatinya untuk kehidupan akhiratnya. Jika kedua mata
kepalanya buta dan kedua mata hatinya terbuka, maka kebutaannya itu tidak
memudharatkannya sama sekali. Namun bila sebaliknya, kedua mata kepalanya
melihat sementara kedua mata hatinya buta, maka penglihatannya sama sekali
tidak bermanfaat baginya‛. Selain itu, Ibn ‘Abba>s juga berkata: ‛Ketika firman
Alla>h Ta‘a>la> ‘Dan barang siapa dalam kehidupan dunia ini buta, maka dia pada hari
kiamat juga buta dan jalannya paling tersesat’‛.80
Demikian pula diriwayatkan bahwa Ibn Umm Maktu>m pernah bertanya:
‛Wahai Rasu>lulla>h, saya adalah orang yang buta, apakah di akhirat kelak saya juga
akan buta?‛ Kemudian turunlah firman Alla>h Ta‘a>la>: ‛Sesungguhnya bukan mata
itu yang buta melainkan yang buta adalah hati yang ada di dalam dada‛.
Maksudnya adalah barangsiapa yang buta mata hatinya untuk mengenal Islam di
dunia ini, maka pada hari akhirat kelak ia berada di neraka.
Maka ‘hati’ yang berada dalam dada itulah yang bersifat lembut, yang
mengontrol tubuh manusia. Dalam menjelaskan ayat tersebut, Ibn Kathi>r berkata:
‛Kebutaan bukanlah buta penglihatan jika mata hati masih sehat. Sesungguhnya

77
Kata s}adr (jamak: s}udu>r) berarti dada. Pada ayat-ayat tersebut diartikan sebagai
fungsi psikis atau mental. Tampak bahwa penggunaan kata "s}udu>r" dalam pengertian
"qulu>b" menunjukkan adanya korelasi antara definisisecara ‘urf dengan definisi anatomis.
78
Dalam ayat ini pun "s}udu>r" diartikan sebagai tempat adanya organ dengan fungsi
psikis, emosi, bahkan rasio.
79
Para mufassirin dari masa klasik menerangkan bahwa yang dimaksud adalah akal
dan bertempat di qalb. Lihat: Abu> H{ayya>n al-Andalu>si>, Tafsi>r al-Bah}r al-Muhi>t}, j.VI, 458.
80
Istilah a‘ma> (buta) merujuk kepada malfungsi penglihatan. Dalam ayat ini yang
dimaksud ialah buta mata hati untuk menerima kebenaran hujjah-hujjah Allah, ayat-ayat-
Nya dan bukti kebenaran-Nya. Demikian menurut Ibn ‘Abba>s, Muja>hid, Qata>dah, dan Ibn
Zayd. Lihat: Ibn Kathi>r, Tafsi>r Al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, j.IV, 165.

289
jika mata hati yang buta ia tidak akan biasa mengimpelementasikannya dan tidak
mampu memahami berita‛.81
Sedangkan al-Zamakhsha>ri>, dalam menjelaskan ayat ‘mereka memiliki
hati’, berpendapat bahwa maksudnya adalah mereka memiliki akal untuk
merenungi apa-apa yang wajib diketahui tentang Tauhid dan mendengar apa yang
wajib ia dengar tentang wahyu. Dengan demikian maka maknanya adalah bahwa
penglihatan mereka baik, sehat dan tidak buta, hanya saja disebut kebutaan hati
sebagai maja>z (metafora). 82
Hal di atas menunjukkan bahwa makna kata qalb dalam Al-Qur’a>n al-
Kari>m dan Sunnah bukanlah organ jantung yang terletak di dada bagian tengah kiri.
Akan tetapi, yang dimaksud dengan qalb adalah hati yang bersifat spiritual dan
kelembutan Ila>hi>, atau sarana manusia untuk memahami dan mengetahui hakikat
segala sesuatu, sebagaimana dijelaskan Imam al-Ghaza>li> dalam bab ‘Aja>'ib al-Qalb
dari kitab Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n.
Melalui sejumlah ayat, Al-Qur’a>n mengisyaratkan bahwa berhentinya qalbu
termasuk tanda kematian. Di antaranya ialah firman Alla>h Ta‘ala:

‚Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan


dalam qalbu mereka, kecuali bila qalbu mereka itu telah hancur.‛ (QS al-Tawbah
[9]: 110)
Demikianlah pembahasan para ulama mengenai makna qalb, yang apabila
ditilik dari fungsinya, maka secara anatomis tampak lebih mengena bahwa organ
tersebut sinonim dengan otak.

D. Definisi Kematian Menurut Ilmu Kedokteran

Dahulu definisi kematian adalah apneu (henti napas) dan circulatory arrest
(henti sirkulasi) dimana aktivitas cerebral terhenti sebentar (reversible).83 Pada saat
itu masih mungkin dilakukan cardiopulmonary and brain resuscitation,84 sehingga
kemungkinan fungsi otak dapat kembali normal.85 Kematian seperti ini disebut
clinical death (mati klinis).86 Apabila mati klinis terus berlanjut tanpa resusitasi

81
Yang dimaksud buta, bukanlah buta mata (‘ama> al-bas}ar), melainkan mata hati
(‘ama> al-bas}i>rah). Lihat: Ibn Kathi>r, Tafsi>r Al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, j.IV, 447.
82
Al-Zamakhsha>ri>, Al-Kashsha>f, j.III, 159.
83
Peter Safar, "Reversibility of Clinical Death", Journal of World Association on
Emergency and Disaster Management, 1987, vol.3, no.2.
84
Erwin Mulia, Bambang B. Siswanto,"Cardiocerebral Resuscitation: Advances in
Cardiac Arrest Resuscitation", Medical Journal of Indonesia, November 2011, Vol. 20, No.
4, 306-309.
85
https://www.princeton.edu/~achaney/tmve/wiki100k/docs/Clinical_death.html.
Diakses pada 27 Mei 2014.
86
DeSpelder LA, Strickland, The Last Dance: Encountering Death and Dying (New
York: McGraw- Hill, 6th ed., 2005), 211.

290
akan terjadi nekrosis seluruh jaringan tubuh yang dimulai dari otak. Ini disebut
dengan biological death (mati biologis).87
Dalam tanatologi88 dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati
somatis (mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak (mati
batang otak).89
Mati somatis (somatic death, systemic death, clinical death)90 ialah suatu
keadaan dimana oleh karena sesuatu sebab terjadi gangguan pada ketiga sistem
utama (sistim persarafan, sistim kardiovaskular, sistim pernapasan) yang bersifat
menetap (irreversible). Pada kejadian mati somatis ini secara klinis tidak ditemukan
adanya refleks, elektro ensefalografi (EEG) mendatar, nadi tidak teraba, denyut
jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan suara napas tidak terdengar
saat auskultasi.
Mati suri (suspended animation, apparent death)91 ialah suatu keadaan yang
mirip dengan kematian somatis, akan tetapi gangguan yang terdapat pada ketiga
sistem bersifat sementara. Kasus seperti ini sering ditemukan pada kasus keracunan
obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.
Mati seluler (mollecular death)92 ialah suatu kematian organ atau jaringan
tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup
masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian
seluler pada tiap organ tidak bersamaan. 93
Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan (nekrosis) kedua
hemisfer cerebrum yang irreversible terutama neokortikal. Adapun kedua sistem
lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan
bantuan alat.
Mati batang otak ialah kematian dimana bila telah terjadi kerusakan
seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk batang otak dan
serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat
dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga
alat bantu dapat dihentikan.94
Selain istilah-istilah di atas, terdapat pula istilah mati jantung dan mati
sosial. Mati jantung ialah suatu kondisi di mana jantung seseorang tidak berdenyut

87
Princeton University, "WordNet Search - 2.1.Death", Cognitive Science
Laboratory, http://wordnet.princeton.edu/perl/webwn?s=death. Diakses pada 27 Mei 2014.
88
Tanatologi adalah cabang dari ilmu kedokteran forensik, yang mempelajari
tentang kematian dan perubahan fisik dan kimiawi yang terjadi setelah kematian, serta
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan tersebut.
89
Husni, GM. Hukum Kesehatan Ilmu Kedokteran Forensik, bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Andala (Padang: FKUNAND, 2007),15-26.
90
Nageshkumar G. Rao, Textbook of Forensic Medicine and Toxicology (New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd., 2006), 115.
91
Nageshkumar, Textbook of Forensic Medicine and Toxicology , 123.
92
Nageshkumar, Textbook of Forensic Medicine and Toxicology , 116.
93
Husni, Hukum Kesehatan Ilmu Kedokteran Forensik , 15-26.
94
Nageshkumar, Textbook of Forensic Medicine and Toxicology, 117.

291
meskipun sudah dilakukan resusitasi jantung paru selama 30 menit, yang ditandai
dengan tidak adanya kompleks QRS pada EKG.95
Sedangkan istilah social death (mati sosial) ialah suatu kondisi persistent
vegetative state atau sindroma apalika, yang disebabkan oleh kerusakan otak yang
irreversible, dimana pasien tetap tidak sadar atau tidak responsif, tetapi mempunyai
gambaran EEG yang masih aktif dan masih terdapat beberapa refleks.96
Pada sisi lain, banyak kalangan yang berwenang dalam kedokteran dan
hukum pada era modern ini mendefinisikan kematian dalam pengertian mati otak
(MO) walaupun jantung mungkin masih berdenyut dan ventilasi buatan
dipertahankan. Akan tetapi banyak pula yang memakai konsep mati batang otak
(MBO) sebagai pengganti mati otak dalam penentuan mati.97
Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang pernyataan kematian,
disebutkan dalam Surat Keputusan PB IDI No.336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 Maret
1988 yang disusulkan dengan Surat Keputusan PB IDI No.231/PB.A.4/07/90.
Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan mati bila a) fungsi
spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau b) telah terbukti
terjadi mati batang otak.
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi
sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya perkembangan
teknologi, ada alat yang bisa menggantikan fungsi sirkulasi dan respirasi secara
buatan, sehingga definisi kematian berkembang menjadi kematian batang otak.
Brain death is death.98 Mati adalah kematian batang otak .99
Definisi kematian otak dibahas oleh beberapa organisasi seperti American
Bar Association, American Medical Association, dan National Conference of
Commissioners on Uniform State Laws. Pada tahun 1981 kematian otak
didefinisikan sebagai tidak berfungsinya sirkulasi dan pernapasan secara
irreversibel, atau tidak berfungsinya semua fungsi otak secara irreversibel termasuk
batang otak. Definisi ini berdasarkan fakta bahwa fungsi otak tidak bisa kembali
sesudah 6 jam tidak berfungsi, berdasarkan pemeriksaan fisik dan EEG. Bila tidak
ada tes-tes konfirmasi, observasi dilakukan sedikitnya selama 12 jam. Pada kasus
jejas anoksia, observasi dilakukan sampai 24 jam. Pedoman ini tidak melibatkan
kriteria usia penderita.100
Pada panduan Australian and New Zealand Intensive Care Society
(ANZICS) yang dipublikasikan pada tahun 1993, kematian otak didefinisikan

95
http://hnz11.wordpress.com/2009/06/04/mati-koma-danvegetative-state/.Diakses
pada 27 Mei 2014.
The Multi-Society Task Force on PVS, "Medical Aspects of the Persistent
Vegetative State", The New England Journal of Medicine 330 (May 1994): 1499-1508.
97
Sunatrio S, Penentuan Mati, Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM,
http://www.freewebs.com/penentuanmati/definisimati.htm. Diakses pada 27 Mei 2014.
98
Mumenthaler, Mattle, Neurology, 234.
99
Tim Penulis Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Ilmu Kedokteran Forensik (Jakarta: FKUI, 1997), 25-36.
100
Handi Suyono, dr., MKed, Brain Death. 12 Juni 2010, dikutip dari
www.emedicine. medscape.com /article/1177999-overview;. Diakses pada 27 Mei 2014.

292
sebagai berikut: ‚Istilah kematian otak harus digunakan untuk merujuk pada
berhentinya semua101 fungsi otak secara irreversibel. Kematian otak terjadi saat
terjadi hilangnya kesadaran yang irreversibel, dan hilangnya respon refleks batang
otak dan fungsi pernapasan pusat secara irreversibel, atau berhentinya aliran darah
intrakranial secara irreversibel‛. 102
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak
diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan
refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Apabila
temuan klinis yang sesuai dengan kriteria kematian batang otak atau
pemeriksaan konfirmatif yang mendukung diagnosis kematian batang otak
tidak dapat diperoleh, diagnosis kematian batang otak tidak dapat ditegakkan.103

E. Diagnosis Mati Batang Otak (MBO)104

Diagnosis MBO barangkali merupakan diagnosis paling penting yang


ditegakkan oleh dokter, karena bila telah dipastikan, normalnya ventilator akan
dilepaskan dari pasien dan akan terjadi henti jantung (cardiac arrest) tidak lama
kemudian. Jadi, diagnosis ini merupakan ramalan yang terlaksana dengan
sendirinya (self-fulfilling prophecy). Kebanyakan dokter yang merawat dapat
membenarkan dilepaskannya ventilator dari pasien, karena meneruskan
pemasangan ventilasi mekanis memberikan stres bagi famili pasien dan staf
perawatan. Selain itu, dilanjutkannya ‚terapi‛ secara tidak langsung menyatakan
bahwa pemulihan masih dimungkinkan dan memberi harapan palsu kepada famili
pasien. Namun ventilator yang terus diaktifkan dalam waktu singkat sesudah
diagnosis MBO, memungkinkan untuk memperoleh organ yang berkualitas baik
untuk tujuan transplantasi.
Orang awam sangat sulit untuk dapat memahami dan menerima bahwa
batang otak adalah sumber kehidupan dan bahwa penggunaan ventilator dihentikan
sebagai akibat diagnosis MBO. Tidaklah mudah untuk memberitahu famili pasien,
bahwa pasien telah mati, meskipun kelihatan bernapas dengan nyaman pada
ventilator. Bahkan lebih sulit lagi jika famili pasien melihat gerakan pasien yang
dinyatakan dokter timbul pada tingkat spinal dan tidak mengindikasikan fungsi
otak. Masyarakat di negara maju seperti Inggris sangat mempercayai dokter dan
biasanya tidak dijumpai kesulitan tatkala dibuat diagnosis MBO.

101
Ini menunjukkan bahwa yang berhenti berfungsi ialah cerebrum, brainstem, dan
cerebellum.
102
"The ANZICS Statement on Death and Organ Donation", Ed. 3.2, 2013, 17.
103
John Oram, Paul Murphy, "Diagnosis of Death", Continuing Education in
Anaesthesia, Critical Care & Pain, Vol. 11, No. 3, 2011. Published by Oxford University
Press on behalf of the British Journal of Anaesthesia, http://ceaccp.oxfordjournals.
org/content/11/3/77.full. Diakses pada 27 Mei 2014.
104
Sunatrio, Penentuan Mati, Anaesthesiologi, FKUI-RSCM. http://www.freewebs.
com /penentuanmati/definisimati.html. Diakses pada 27 Mei 2014.

293
Sekarang ini sudah dapat diterima bahwa batang otak, dan bukan seluruh
otak, adalah pengatur respirasi dan stabilitas kardiovaskular. Untuk mendapatkan
kesadaran harus ada kontinyuitas neuronal antara sistem saraf periferal dan korteks.
Bila batang otak yang menghubungkan keduanya mati, kontinyuitas sistem yang
diaktifkan oleh retikular terganggu dan tidak dapat timbul kesadaran.
Diagnosis MBO dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI tentang
MBO. Diagnosis MBO mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama
terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinik
fungsi batang otak.

Prasyarat Pasien koma dengan ventilator


Diagnosis dan kerusakan struktural otak yang menyebabkan
koma
Eksklusi Obat-obatan, hipotermia, gangguan metabolik
Tes Refleks batang otak negatif

Tabel 6. Cara Menegakkan Diagnosa MBO

Prasyarat. Sebelum melakukan tes klinis, dokter harus menetapkan tanpa


keraguan bahwa pasien komatous, bergantung pada ventilator dan mempunyai
kondisi yang konsisten dengan koma irreversibel dan hilangnya fungsi batang otak.
Pasien dengan MBO tidak dapat bernapas. Dokter-dokter yang tidak familiar
dengan diagnosis MBO, kadang-kadang menyarankan dokter seniornya untuk
melakukan testing pada pasien dengan cedera berat yang tidak bergantung pada
ventilator. Fenomena ini menonjolkan tiga hal:
Pertama, dokter-dokter yang bekerja di ICU perlu lebih dahulu mengkaji langkah-
langkah untuk menegakkan diagnosis MBO sesuai fatwa IDI yang memang belum
tersosialisasikan dengan baik, agar jangan sampai melewatkan langkah-langkah
yang harus dijalani sebelum melakukan testing arefleksia batang otak.
Kedua, adanya kenyataan bahwa beberapa pasien menderita cedera otak berat yang
akhirnya inkompatibel dengan kehidupan yang lama, namun kausa kematiannya
bukanlah MBO. Beratnya cedera otak pada kondisi ini dapat mengindikasikan
keputusan untuk menghentikan terapi aktif atau membatasi terapi aktif.
Ketiga, perlunya tanpa keraguan memantapkan diagnosis cedera otak irreversibel
yang cukup untuk menyebabkan koma apneik. Diagnosis yang kompatibel adalah
cedera kepala, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intraserebral, tenggelam dan
henti jantung. Penegakan diagnosis memerlukan anamnesis yang cukup,
pemeriksaan klinis dan investigasi (biasanya CT Scan). Kausa koma yang reversibel
yang menyulitkan diagnosis primer harus pula disingkirkan. Khususnya sedatif,
analgetik dan pelumpuh otot hendaknya disingkirkan, sebagai kausa ketidaksadaran
atau arefleksia.105 Pasien hendaknya mempunyai suhu sentral lebih dari 35°C.
Intoksikasi obat, hipotermia, gangguan metabolik atau endokrin, semua dapat

105
Kemungkinan-kemungkinan tersebut harus disingkirkan, karena untuk
menghindari kesamaran (masking effect) dalam menegakkan diagnosa.

294
menyebabkan perubahan berat pada fungsi batang otak, namun reversibel. MBO
tidak boleh dipertimbangkan bila terdapat kondisi-kondisi ini, baik sebagai
penyebab koma primer ataupun faktor penunjang.
Elektrolit, gula darah dan gas darah arterial hendaknya diperiksa dan
hendaknya diatasi gangguan yang dapat menyebabkan koma. Selain itu, upaya yang
sungguh-sungguh harus sudah dilakukan untuk mengatasi efek-efek edema serebri,
hipoksia dan syok. Untuk memenuhi prasyarat-prasyarat, diperlukan waktu dan
tidaklah biasa untuk menegakkan diagnosis MBO sebelum 24 jam perawatan di
rumah sakit. Seringkali pasien sudah dirawat di rumah sakit jauh lebih lama.
CT Scan bermanfaat tidak saja untuk mengetahui kausa MBO, tetapi juga
untuk memperlihatkan efek herniasi lewat tentorium dan foramina magnum.
Kompresi arteri dan vena mengakibatkan edema sitotoksik dan tekanan intrakranial
dapat meningkat akibat terhalangnya drainase cairan serebrospinal oleh sumbatan
aquaduktus atau ruang subarakhnoid. Perubahan”perubahan ini menyebabkan
herniasi berlanjut dan posisi otak menurun. Penurunan ini begitu besar sehingga
cabang-cabang arteri basilaris (yang mendarahi batang otak) teregang dan
mengakibatkan perdarahan intraparenkimal dan memperparah edema.
Dalam membuat diagnosis MBO kadang-kadang dijumpai kesukaran (lihat
tabel 2). Apabila dokter yang bertugas masih ragu-ragu mengenai diagnosis primer,
atau kausa disfungsi batang otak yang reversibel (obat atau gangguan metabolik),
atau kelengkapan tes klinis, maka hendaknya tidak ditegakkan diagnosis MBO.

Tes klinis. Sebelum melakukan tes formal, harus dipastikan bahwa pasien
tidak menunjukkan postur abnormal (deserebrasi dan dekortikasi) dan tidak
mempunyai refleks okulo-sefal aktif (fenomena mata kepala boneka) atau aktivitas
konvulsi. Jika terdapat salah satu gejala tersebut, pasti terjadi hantaran impuls saraf
lewat batang otak dan selanjutnya tes tidak diperlukan dan tidak tepat untuk
dilakukan. Batang otak berarti masih hidup. Tes formal fungsi batang otak
dilaksanakan di samping tempat tidur dan memerlukan demonstrasi apneu dalam
keadaan hiperkarbia dan tidak adanya refleks batang otak. Peralatan canggih tidak
diperlukan selain analisis gas darah. Tes ini sendiri mudah dilakukan, hanya
memerlukan waktu beberapa menit dan hasilnya jelas. Bila memang tanda-tanda
fungsi batang otak yang hilang di atas ada semua, maka hendaknya secara
sistematis diperiksa 5 refleks batang otak (lihat tabel 4). Kelima refleks harus
negatif sebelum diagnosis MBO ditegakkan. Tes terhadap refleks-refleks batang
otak dapat menilai integritas fungsional batang otak. Tidak ada daerah otak lainnya
yang dapat diperiksa sepenuhnya seperti ini. Ini menguntungkan karena konsep
mati yang baru secara tak langsung menyatakan bahwa semua yang berarti bagi
kehidupan manusia bergantung pada integritas jaringan yang hanya beberapa cm3
ini. Tes ini mencari ada atau tidak ada respons, dan bukan gradasi fungsi. Ini mudah
dilakukan dan dapat dimengerti oleh setiap dokter atau perawat yang terlatih. Ini
tidak bergantung pada mesin, ataupun dokter subspesialis.

295
HASIL PEMERIKSAAN KEMUNGKINAN KAUSA
Pupil terfiksasi106 Obat anti kolinergik
Obat pelumpuh otot
Penyakit sebelumnya
Refleks okulo-vestibular negatif Obat ototoksik
Obat penekan vestibular
Penyakit sebelumnya
Tidak ada napas Henti napas pasca hiperventilasi
Obat pelumpuh otot
Tidak ada aktivitas motor Obat pelumpuh otot
Locked in state 107
Obat sedativa
EEG: iso-elektrik108 Obat sedativa
Anoksia
Hipotermia
Ensefalitis
Trauma
Tabel 7. Beberapa Kesukaran dalam Diagnosis MBO

Tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti
napas, yaitu dengan cara:109
1) Preoksigenasi dengan 100% O2 selama 10 menit
2) Beri 5% CO2 dalam 95% O2 selama 5 menit berikutnya untuk menjamin
PaCO2 awal 53 kPa (40 torr)
3) Lepaskan pasien dari ventilator. Insuflasikan trakea dengan 100% O2 6 L/menit
melalui kateter intratrakeal lewat karina
4) Lepas dari ventilator selama 10 menit. Jika mungkin periksa PaCO2 akhir.

106
Kasus seperti pada keracunan organofosfat. Lihat: Peter JV, Prabhakar AT,
Pichamuthu K, "In-Laws, Insecticide and a Mimic of Brain Death", The Lancet 371
(2008):622.
107
Suatu gangguan neurologis yang jarang terjadi. Gejala utamanya ialah
quadriplegia dan paralysis dari saraf-saraf cranial, kecuali adanya respon pada pergerakan
vertical bola mata. Differential diagnosis meliputi persistent vegetative state, kematian
otak, transseksi pada medulla spinalis C3, dan lain-lain. Etiologinya meliputi keadaan-
keadaan hemorrhagic dan thrombotic, tumor-tumor yang berpengaruh pada ventral pons,
infeksi, penyebab-penyebab iatrogenik, trauma, metabolism abnormal, dan berbagai
penyebab lainnya. Lihat: Michael S. Cardwell, "Locked-In Syndrome", The Journal of
Texas Medicine, vol. 109, issue 2 (February 2013): e1.
108
Report of the Ad Hoc Committee of the Harvard Medical School to Examine the
Definition of Brain Death, "A Definition of Irreversible Coma", The Journal of American
Medical Association 205 (1968): 337”40.
109
Intensive Care Society of Ireland, "Diagnosis of Brain Death & Medical
Management of the Organ Donor", Guidelines for Adult Patients, 2010, 4, http://www.hse.
ie/eng/about/who/clinical/natclinprog/criticalcareprogramme/icsiguide.pdf. Diakses pada 28
Mei 2014.

296
Namun, apneu dan arefleksia saraf kranial juga terjadi pada keadaan non-
fatal lain seperti ensefalitis batang otak dan sindroma Guillain-Barre. Oleh
karenanya perlu ditekankan bahwa tes-tes jangan dilakukan bila prasyarat-prasyarat
belum dipenuhi. Ini perlu diperhatikan agar jangan sampai terjadi kesalahan
prosedur, karena masih terjadi laporan kasus yang menggambarkan keadaan serupa
MBO, namun ternyata dapat pulih kembali. Dengan demikian, apabila setiap kasus
dilakukan diagnosis dengan cermat dan pemeriksaan secara sistematis, maka
diharapkan tidak akan terjadi kesalahan.

No Respon/Refleks
1 Tidak ada respons refleks cahaya pupil, namun ini bisa menjadi samar
karena penggunaan obat antikolenergik (Nervus II, III)
2 Tidak ada refleks kornea (N V, VII)
3 Tidak ada respons refleks okular bila telinga diirigasi dengn 50 cc
air es (tak ada gerakan mata, reflex oculovestibular). Namun ini bisa
menjadi samar karena penggunaan obat ototoksik dan penekan vestibular
(N III, VIII)
4 Tidak ada respons motorik dalam distribusi saraf cranial terhadap
stimulus adekuat pada area somatik, seperti tekanan pada supra orbital
(N V, VII)
5 Tidak ada refleks mandibula. Penekanan kuat pada sudut rahang mulut
tidak diikuti respons nyeri (N IX)
6 Tak ada refleks muntah (gag reflex) atau refleks batuk terhadap stimulus
jalan napas bagian atas dan bawah, seperti oleh kateter hisap endotrakeal
atau pharyngeal (N X)
7 Tak ada gerakan bola mata bila kepala diputar (reflex oculocephalic).
Tabel 8. Refleks untuk Menegakkan Diagnosa MBO110

F. Alat Bantu Hidup

Seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran, khususnya teknologi untuk


pasien dalam kondisi gawat darurat (emergency) maupun dalam kondisi kritis
sehingga butuh perawatan intensif (di ruang Intensive Care Unit), maka peralatan
untuk mengatasi kebutuhan itu pun terus berkembang semakin canggih.
Media stimulus life support terdiri dari beberapa alat dan obat-obatan.
Yang lebih penting dari itu adalah sejumlah pelatihan111 yang harus dijalani para

110
Minimal lima refleks negatif. Lihat: Niranjan, Mike Duffy, "Brainstem Death",
Anaesthesia Tutorial of the Week, no. 115, 6th October 2008, Plymouth, UK. http://www.
frca.co.uk/Documents/115%20 Brainstem%20death.pdf. Diakses pada 28 Mei 2014.
111
Pelatihan-pelatihan untuk para dokter yang ada di Indonesia antara lain ATLS
(Advanced Trauma Life Support), ACLS (Advanced Cardiac Life Support), GELS (General
Emergency Life Support), PTC (Primary Trauma Care), CPR (Cardio Pulmonary
Rescucitation). Pada umumnya unit-unit gawat darurat dan unit perawatan intensif di
Rumah Sakit mempersyaratkan salah satu dari sertifikat tersebut.

297
dokter dan tenaga paramedis agar bisa mengoperasikan alat-alat tersebut dengan
baik. Peralatan tersebut adalah sebagai berikut:112
1. Respirator atau ventilator. Alat ini banyak jenisnya. Ketika dokter memeriksa
bahwa pernapasan pasien telah berhenti atau ditegakkan prognosa113 bahwa
pasiennya mungkin dapat bernapas kembali, maka dipasang selang kateter ke
trachea dan dihubungkan ke ventilator. Ada jenis ventilator yang dioperasikan
dengan tangan, seperti ambulatoir. Alat ini biasanya tersedia di kotak P3K
yang dibawa oleh perawat dan dokter. Bahkan ada di kabin pesawat dan alat
transportasi lain. Ada pula ventilator yang bekerja dengan listrik atau baterai.
Ventilator tidak mengambil alih fungsi sistem pernapasan, melainkan
membantunya saja. Misalnya adalah bennett respirator.114Alat ini digunakan
secara khusus untuk penyakit emphysema, asma kronis, dan radang bronchial
yang akut. Namun sebagian besar ventilator adalah jenis yang mengambil alih
sistem pernapasan. Ia menggerakkan paru-paru dengan gerakan yang mirip
dengan menarik napas dan membuang napas secara normal.
Ventilator juga dipakai pada operasi yang menuntut kewaspadaan penuh.
Ketika pasien kehilangan kesadaran maka dokter langsung memasukkan selang
ke trachea dengan cara memasang guedel dan tracheal tube di mulut pasien,
sehingga dapat bernapas dengan normal selama operasi hingga beberapa jam.115
Dalam kondisi yang sangat kritis dimana terjadi penyumbatan pada larynx
(tenggorokan), maka terkadang dokter melakukan tracheostomy, lalu
memasukkan selang langsung dari belahan tersebut untuk membantu
pernapasan. 116

112
Klasifikasi alat-alat tersebut ialah menurut Dr. Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr, seorang
faqi>h yang juga pakar dalam bidang kedokteran, anggota Majma‘. Lihat: ‘Ali> al-Ba>rr,
Ajhizah al-In‘a>sh, Majallah Majma ‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 436-438.
113
Ramalan perjalanan penyakit, apakah semakin memburuk, ragu-ragu ke arah
buruk, meragukan, ragu-ragu ke arah baik, atau semakin baik.
114
Bennett ventilator merupakan salah satu jenis ventilator mekanik, yaitu
ventilator yang sebagian atau seluruhnya dilaksanakan dengan bantuan mekanis.
115
Alat yang dipasang pada rongga mulut pasien yang dilakukan anestesi umum.
Alat ini ditemukan oleh Guedel pada 1934 yang pertama kalinya memperkenalkan nafas
terkendali (controled respiration) dalam dunia anestesi. Oleh karenanya problema
pneumothorak pada kasus-kasus thoracotomi yang berpuluh tahun menjadi penyulit bagi
ahli bedah dan anestesi kini telah dapat diatasi dengan pernafasan terkendali.
116
Trakheostomi adalah tindakan pembedahan dengan membuat insisi pada dinding
anterior trachea untuk memasukkan pipa trakheostomi (tracheostomy tube), sehingga udara
dapat masuk ke paru-paru dan pasien dapat bernafas melalui pipa tersebut.
Trakheostomi adalah prosedur penyelamatan hidup (life-saving procedur) yang
hanya dilakukan ketika semua pilihan penatalaksanaan jalan napas (airway management)
tidak mungkin dilaksanakan Prosedur ini dilakukan ketika pemasangan pipa endotrakheal
(endotracheal tube) melalui hidung maupun mulut tidak mungkin atau sulit dilakukan.
Lihat: Black, Jacobs, Medical Surgical Nursing Clinical Management for Continuity of Care
(Pensylvania: WB. Sauders Company, 4th ed., 1997), 1067.

298
2. Defibrillator atau DC Shock. Alat ini memberikan kejutan listrik terhadap
jantung sehingga dapat berfungsi kembali.117 Jika upaya ini tidak berhasil,
maka jantung akan berhenti bekerja secara total, dan itu berarti kematian. Hal
ini karena dengan berhentinya jantung berarti berhentinya asupan oksigen ke
otak, yang apabila asupan berhenti selama dua menit, khususnya pada batang
otak, maka itu mengakibatkan kematian otak yang permanen.
3. Pace maker atau alat pacu jantung.118 Alat ini digunakan ketika denyut jantung
sangat lemah atau irama jantung yang sangat tidak stabil, sehingga darah tidak
sampai ke otak dalam jumlah yang cukup, atau terhenti selama beberapa detik
atau satu menit, kemudian kembali bekerja. Kondisi tersebut dapat
menyebabkan pingsan dan kehilangan kesadaran yang berulang-ulang. Alat ini
banyak jenisnya. Ada yang digunakan secara temporer di luar tubuh pada
kasus-kasus yang bersifat sementara, dan ada pula yang permanen. Yang
bersifat permanen itu ada yang memakai baterai lithium dan dapat berfungsi
selama sepuluh tahun. Jenis yang permanen ditanam di bawah kulit dan
kabelnya dihubungkan ke jantung. Selain itu masih ada jenis-jenis baru yang
berkembang setiap hari. Di dunia kedokteran, apa yang baru hari ini akan
menjadi kuno dalam beberapa tahun saja.
4. Sejumlah obat-obatan yang digunakan dokter untuk menstimulasi pernapasan
atau jantung, serta mengatur irama jantung.

Dari klasifikasi yang dibuat oleh ‘Ali al-Ba>rr tersebut di atas, penulis tidak
menjelaskan tentang alat pacu jantung dan obat-obatan. Sebagai gantinya, penulis
menjelaskan secara ringkas tentang resusitasi jantung paru (RJP), karena tindakan
ini berkaitan langsung dengan upaya untuk ‚menghidupkan‛ pasien pada saat kritis.
Adapun pacemaker dan obat-obatan tampaknya kurang relevan jika dihubungkan
dengan topik bahasan ajhizat al-in‘a>sh pada mu’tamar Majma‘. Untuk itu penulis
akan menjelaskan beberapa hal terpenting dari RJP, kemudian spesifikasi serta
fungsi alat-alat ventilator dan defibrillator. Masing-masing berikut hal-hal yang
terkait dengan pertolongan gawat darurat untuk menyelamatkan pasien, penentuan
kematian, serta penghentian penggunaan peralatan tersebut.

117
Alat ini berfungsi menghentikan aritmia jantung, biasanya ventricular
fibrillation (VF) atau ventricular tachycardia (VT). Cara kerja defibrillator adalah tenaga
medis, atau paramedis atau orang yang terlatih meletakkan defibrillator pada dada,
mengalirkan arus listrik ke defibrillator, dan mengembalikan denyut jantung normal.
Jantung yang berhenti dapat dibuat berdenyut kembali dengan cara mengalirkan arus listrik.
118
Patricia Toth, Jerusha Knecht, et al., "Pacemakers", LPN Journal, vol. 5, no. 1
(February 2009): 40.

299
G. Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR)

Resusitasi jantung paru, atau yang sekarang diperluas dengan resusitasi


jantung paru otak (RJPO) merupakan metode untuk mengembalikan fungsi
pernapasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti napas dan henti jantung
yang tidak diharapkan mati pada saat itu. Metode ini merupakan kombinasi
pernapasan buatan dan bantuan sirkulasi yang bertujuan mencukupi kebutuhan
oksigen otak dan substrat lain sementara jantung dan paru tidak berfungsi. Dalam
definisi RJPO sudah lebih diperluas, tidak hanya sirkulasi darah (jantung) dan
sirkulasi napas (paru-paru), namun juga organ otak yang merupakan sentral fungsi-
fungsi vital tubuh. 119
Oleh karena itu RJP termasuk terapi simptomatis medis, guna melanjutkan
berfungsinya organ-organ vital hingga pulihnya fungsi jantung.120

1. Tujuan RJP
Tindakan RJP sebagai sebuah tindakan penyelamatan hidup pasien,
mempunyai tujuan utama yang harus segera terpenuhi dalam waktu yang sangat
singkat:
a. Mengembalikan fungsi pernapasan atau sirkulasi pada henti napas (respiratory
arrest) atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang dimana fungsi tersebut
gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal
selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali.
b. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi (napas).
c. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi (fungsi jantung) dan ventilasi
(fungsi pernapasan/paru) pada pasien/korban yang mengalami henti jantung
atau henti napas.

Probabilitas tingkat keberhasilan121 RJPO ditentukan oleh interval waktu


antara mati klinis dan mati biologis, yaitu sekitar 4-6 menit. Selama periode
tersebut mulai terjadi kerusakan sel-sel otak yang kemudian diikuti organ-organ
tubuh. Oleh karenanya RJPO memiliki tujuan utama untuk memelihara perfusi
serebral.122
Mati klinis adalah periode awal suatu kematian, yang ditandai dengan henti
napas dan henti jantung atau sirkulasi, serta terhentinya aktivitas otak yang bersifat
sementara (reversibel). Mati biologis mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan
RJPO atau bila RJPO tidak berhasil. Pada mati biologis terjadi proses nekrotisasi

119
Dr. Rudy Permady, Sp. An, Resusitasi Jantung Paru (Padang: Universitas
Andalas, 2003).
120
Paul Barash, Bruce Cullen, Robert Stoelting, Clinical Anaesthesy (Baltimore:
Lippincott Williams & Wilkins, 2006), 3120.
121
Donald J. Murphy, David Burrows, et al., "The Influence of the Probability of
Survival on Patients' Preferences Regarding Cardiopulmonary Resuscitation", The New
England Journal of Medicine 330 (February 1994): 545-549.
122
American AED/CPR Association, "Clinical Death vs. Biological Death", Online
CPR Certification, http://www.aedcpr.com/bls_class_2102.asp. Diakses pada 28 Mei 2014.

300
semua jaringan. Proses ini dimulai dari neuron-neuron serebral yang seluruhnya
akan rusak dalam waktu kurang lebih satu jam dan diikuti organ-organ lain seperti
jantung, ginjal dan hati yang akan rusak dalam waktu kurang lebih dua jam. 123

2. Indikasi Resusitasi
Indikasi dilakukannya resusitasi adalah terjadinya henti napas (apneu atau
respiratory arrest) dan henti jantung (cardiac arrest).

a. Henti Napas (Apneu atau Respiratory Arrest)


1) Henti napas dapat disebabkan oleh sumbatan jalan napas atau akibat depresi
pernapasan, baik sentral maupun perifer. Bila terjadi henti napas primer,
jantung dapat terus memompa darah selama beberapa menit selama ada sisa
oksigen di dalam paru yang beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan
dini pada pasien dengan henti napas dapat mencegah henti jantung.124
2) Jika disebabkan oleh sumbatan jalan napas, maka dapat dikenali dengan cara:
a) Sumbatan jalan napas lokal
i. Aliran udara di mulut atau hidung tidak dapat didengar atau dirasakan
ii. Pada gerakan napas spontan terlihat retraksi supraklavikula dan sela iga
tetapi tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
iii. Ada kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan
iv. Pada bayi, sering ditemukan napas paradoksal125
b) Sumbatan jalan napas parsial
i. Terdengar suara napas tambahan, yaitu bunyi mendengkur (snoring)
yang menandakan sumbatan parsial hipofaring karena jaringan lunak,
misalnya karena jatuhnya dasar lidah, hipertrofi tonsil, dsb. Bunyi
lengking (crowing) yang menandakan laringospasme; bunyi kumur
(gargling) yang menandakan adanya benda asing berupa cairan; dan
bunyi mengi (wheezing) yang menandakan sumbatan jalan napas
bawah setelah bronkiolus respiratorius.
ii. Dapat juga disertai retraksi
3) Gejala akibat sumbatan jalan napas dapat segera diketahui dari keadaan klinis:

123
M.L. Weisfeldt, et al., "Survival After Application of Automatic External
Defibrillators Before Arrival of the Emergency Medical System: Evaluation in the
Resuscitation Outcomes Consortium Population of 21 Million", The Journal of American
College Cardiology, vol. 55, issue 16 (April 2010): 1713-1720.
124
"Adult Basic Life Support", Journal of American Medical Association, vol. 268,
no. 16 (October 1992).
125
Napas paradoxal ialah pergerakan napas dimana dinding dada bergerak ke dalam
ketika menghirup napas dan bergerak ke luar ketika mengeluarkan napas. Ini dapat terjadi
pada anak-anak yang mengalami respiratory distress, atau pada pasien-pasien dengan
obstruksi udara kronik, yang berkaitan dengan penekanan dan pendataran diafragma. Ini
dapat terjadi pada trauma dada dengan fraktur iga dan sternum. http://www.
oxfordreference.com/view/10.1093/oi/authority.20110803100305151. Diakses pda 28 Mei
2014.

301
a) Hiperkapnia, dengan simtom penurunan kesadaran. Dipastikan dengan
peninggian PCO2 arteri.
b) Hipoksemia, dengan simtom takikardi, gelisah, berkeringat atau sianosis.
Pada hipoksemia, terjadinya sianosis tergantung Hb reduksi 5g% akan
terjadi sianosis. Keadaan hipoksemia dipastikan dengan penurunan PO2
arteri.

b. Henti Jantung (Cardiac Arrest)


1) Bila terjadi henti jantung primer, oksigen tidak beredar dan oksigen yang
tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik.
2) Henti jantung dapat disebabkan oleh faktor intrinsik atau ekstrinsik. Faktor
intrinsik dapat berupa penyakit kardiovaskuler seperti asistol, fibrilasi
ventrikel, dan disosiasi elektromekanik. Faktor ekstrinsik adalah kekurangan
oksigen akut (henti napas sentral/perifer, sumbatan jalan napas, dan inhalasi
asap); kelebihan dosis obat (digitalis, kuinidin, antidepresan trisiklik,
propoksifen, adrenalin dan isoprenalin); gangguan elektrolit (hipo/hiperkalemia,
hipo/hipermagnesia, hiperkalsemia, dan asidosis); kecelakaan (syok listrik,
tenggelam, cedera akibat petir); refleks vagal; anestesi dan pembedahan; terapi
dan tindakan diagnostik medik dan syok.
3) Tanda-tanda henti jantung
a) Hilang kesadaran dalam waktu 15-20 detik setelah henti jantung
b) Henti napas (apneu) atau megap-megap (grasping) yang muncul 15-30
detik setelah henti jantung
c) Terlihat seperti mati (death like appearance) dengan warna kulit pucat
sampai kelabu
d) Dilatasi pupil dalam waktu 45 detik setelah henti jantung
e) Tidak teraba arteri besar (A. Femoralis dan A. Carotis pada orang dewasa
atau A. Brachialis pada bayi dan anak kecil) yang segera muncul setelah
henti jantung.

c. Indikasi Tidak Dilakukannya RJPO


1) Kematian normal yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronis yang
berat. Pada keadaan ini denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali
pada suatu saat stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat
disembunyikan lagi.
2) Bila hampir dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu
setelah ½-1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJPO.

American Health Association (AHA) telah mempublikasikan Pedoman


Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) dan Perawatan Darurat Kardiovaskular 2010
yang baru di dalam Jurnal Circulation edisi 2 November 2010.126 Seperti kita

126
American Heart Association ,"2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science", Circulation,
vol. 122, issue 18 (November 2010): suppl 3.

302
ketahui, para ilmuwan dan praktisi kesehatan terus mengevaluasi CPR dan
mempublikasikannya setiap 5 tahun. Evaluasi dilakukan secara komprehensif
meliputi urutan dan prioritas langkah-langkah CPR, yang disesuaikan dengan
kemajuan ilmiah mutakhir.

Gambar 26. Arah Kompresi Dada pada RJP

3. Tindakan RJP Menurut American Heart Assocation (AHA)


Setelah mengevaluasi berbagai hal, AHA mengeluarkan Panduan RJP 2010
yang memiliki fokus utama pada kualitas kompresi dada. Berikut ini adalah
beberapa perbedaan antara Panduan RJP 2005 dengan RJP 2010:127

a. Mengganti ABC (Airway, Breathing Circulation) dengan CAB


AHA 2005 (old) AHA 2010 (new)
The sequence of adult CPR began with A change in the 2010 AHA Guidelines
opening of the airway, checking for for CPR and ECC is to recommend the
normal breathing, and then delivering 2 initiation of chest compression before
rescue breaths followed by cycles of 30 ventilation
chest compressions and 2 breaths
Prioritas utama dalam pedoman CPR 2010 ialah Circulation, baru setelah
itu Airway dan selanjutnya Breathing. Satu-satunya pengecualian adalah hanya
untuk bayi baru lahir (neonatus), karena penyebab tersering pada neonatus yang
tidak sadarkan diri dan tidak bernapas adalah asfiksia.

b. Tidak ada lagi Look, Listen, and Feel


AHA 2005 (old) AHA 2010 (new)
Look, listen, and feel Look, listen, and feel for breathing was removed from
for breathing was the sequence for assessment of breathing after opening
used to assess the airway. The healthcare provider briefly checks for
breathing after the breathing when checking responsiveness to detect signs
airway was opened of cardiac arrest. After delivery of 30 compressions, the
home rescuer opens the victim’s airway and delivers 2
breaths

127
2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation & Emergency Cardiovascular Care. www.heart.org. Diakses 28 Mei 2014.

303
Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung adalah
Bertindak bukan Menilai. Telepon ambulan segera ketika melihat korban tidak
sadar dan tidak bernapas dengan baik (gasping).

c. Tidak ada lagi Rescue Breath


AHA 2005 (old) AHA 2010 (new)
Beginning CPR with 30 compressions rather than 2
ventilations leads to a shorter delay to first compression
Rescue breath128 adalah tindakan pemberian napas buatan sebanyak dua
kali setelah kita mengetahui bahwa korban henti napas (setelah Look, Listen, and
Feel). Pada AHA 2010, hal ini sudah dihilangkan karena terbukti menyita cukup
banyak waktu sehingga menunda pemberian kompresi dada.129

d. Kompresi dada lebih dalam lagi


AHA 2005 (old) AHA 2010 (new)
The adult sternum should The adult sternum should be depressed at least 2
be depressed 11/2 to 2 inches (5 cm)
inches (appr. 4 to 5 cm)

e. Kompresi dada lebih cepat lagi


AHA 2005 (old) AHA 2010 (new)
Compress at a rate of about It is reasonable for lay rescuers and healthcare
100x/min providers to perform chest compressions at a rate
of at least 100x/min
Pedoman RJP 2010 merekomendasikan untuk kompresi dada minimal 100
kompresi/ menit. Pada kecepatan ini, 30 kompresi membutuhkan waktu 18 detik.

f. Hands only CPR


AHA 2005 (old) AHA 2010 (new)
Hands-Only (compression-only) by stander CPR
substantially improves survival following adult
out-of-hospital cardiac arrests compared with no
by stander CPR

g. Pengaktivasian Emergency Response System (ERS)


AHA 2005 (old) AHA 2010 (new)
Activated the emergency Check for response while looking at the patient to
response syst. after finding determine if breathing is absent or not normal.
unresponsive victim, then Suspect cardiac arrest if victim is not breathing or

128
Thomas Rea, Carol Fahrenbruch, et al., "CPR with Chest Compression Alone or
with Rescue Breathing", The New England Journal of Medicine 363 (July 2010): 423-433.
129
Robert Berg, Arthur B. Sanders, "Adverse Hemodynamic Effects of Interrupting
Chest Compressions for Rescue Breathing During Cardiopulmonary Resuscitation for
Ventricular Fibrillation Cardiac Arrest", Circulation 104 (2001): 2465-2470.

304
opened the airway and only gasping
checked for breathing or
abnormal breathing
Langkah ERS seperti meminta pertolongan orang di sekitar, menelepon
ambulans, ataupun menyuruh orang untuk memanggil bantuan tetap menjadi
prioritas.130 Akan tetapi sebelum itu lakukan pemeriksaan kesadaran dan ada
tidaknya napas (terlihat tidak ada napas/ gasping) secara simultan dan cepat.

h. Jangan berhenti melakukan kompresi sampai korban batuk


AHA 2005 (old) AHA 2010 (new)
The preponderance of efficacy data suggests that
limiting the frequency and duration of interruptions
in chest compressions may improve clinically
meaningful outcomes in cardiac arrest patients
Setiap penghentian kompresi dada berarti menghentikan aliran darah ke
otak yang mengakibatkan kematian jaringan otak. Pedoman RJP 2010
merekomendasikan untuk terus melakukan kompresi atau sampai alat defibrilator
otomatis datang dan siap untuk menilai keadaan jantung korban. Lakukan segera
pernapasan dari mulut ke mulut jika waktunya tiba, lalu segera kembali melakukan
kompresi dada. Tetap pegang prinsip push hard, push fast, allow complete chest
recoil, and minimize interruption, serta avoiding excessive ventilation.131

Melakukan tindakan RJP dengan baik bukanlah jaminan penderita akan


selamat. RJP dapat dihentikan apabila korban pulih kembali, atau penolong
kelelahan, atau diambil alih oleh tenaga lain (atau dengan peralatan canggih), atau
jika telah ada tanda pasti kematian.132 Selain itu, terdapat komplikasi atau bahaya
yang mungkin terjadi akibat tindakan RJP, yaitu antara lain:133
1. Fraktur iga dan sternum sering terjadi pada orang tua. Meskipun demikian, bisa
terjadi pula apabila posisi salah ketika meletakkan tangan pada kompresi dada.
Sementara itu RJP tetap harus diteruskan walaupun terasa ada fraktur iga.134
2. Pneumothorax

130
Keiko Hirose, Miki Enami, "Basic Life Support Training for Single Rescuers
Efficiently Augments Their Willingness to Make Early Emergency Calls with no Available
Help: A Cross-over Questionnaire Survey", Journal of Intensive Care 2 (2014): 28.
131
Taylor, T. Nicole, "For New CPR Guidelines, Think 30", Nursing Journal, vol.
36 (Spring 2006): 21.
132
L.J. Morrison, et al., "Part 3: Ethics: 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care",
Journal of American Heart Association, Circulation , vol. 122, no.18, suppl. 3 (2010): S665-
675.
133
L. White, et al., "Dispatcher-Assisted Cardiopulmonary Resuscitation: Risks for
Patients Not in Cardiac Arrest". Journal of American Heart Association, Circulation, vol.
121, issue 1 (2010): 91-7.
134
J.P. Krischer, et al., "Complications of Cardiac Resuscitation", Chest Journal,
vol. 92, issue 2 (1987): 287-291.

305
3. Hemothorax135
4. Kontusio paru
5. Laserasi hati dan limpa. Posisi tangan yang terlalu rendah ke arah diafragma
akan menekan processus xipoideus ke arah hepar/limpa136
6. Emboli lemak137
7. Muntah dan aspirasi
8. Cedera hingga distensi lambung.138

H. Ventilator

Gambar 27. Alat Ventilator

Ventilator adalah suatu alat sistem bantuan napas secara mekanik yang
digunakan untuk menggantikan/menunjang/membantu sebagian atau seluruh proses
ventilasi untuk mempertahankan fungsi pernapasan. Biasa digunakan untuk jangka
pendek, misalnya selama operasi dengan anestesi umum (general anesthesia),139
karena obat-obatan anestesi dapat mengganggu pernapasan normal. Ventilator
adalah untuk memastikan bahwa pasien dapat terus bernapas normal selama
operasi. Ventilator juga digunakan dalam jangka panjang bahkan seumur hidup
pasien-pasien tertentu. Namun demikian ventilator bukanlah terapi atas suatu
penyakit atau keadaan patologis. Secara prinsipil ventilator berfungsi untuk:140

135
K. Deogaonkar, K. Shokrollahi, W.A. Dickson, "Haemothorax: A Potentially
Fatal Complication of Subclavian Cannulation - A Case Report", Resuscitation Journal, vol.
72, issue 1 (January 2007): 161-163.
136
J. Rosen, J.M. Tuchek, J.R. Hartmann, "Liver Laceration in the
Haemodynamically Unstable Post-Cardiac Massage Patient Early Recognition and
Management ” Case Report", Journal of Trauma 47 (1999): 408-409.
137
J.P. Krischer JP et al., "Complications of Cardiac Resuscitation". Chest Journal,
vol. 92, issue 2 (1987): 287”291.
138
S.G. Atcheson, H.L. Fred, "Letter: Complications of Cardiac Resuscitation",
American Heart Journal, vol. 89, issue 2 (1975): 263-265.
139
Paul Barash et al., Clinical Anaesthesy , 14.
140
Selengkapnya lihat situs National Heart, Lung, and Blood Institute pada
National Institute of Health, Department of Health and Human Services, USA, https://
www.nhlbi.nih.gov/health/health-topiks/topiks/vent/links.html. Diakses 30 Mei 2014.

306
a) Membawa oksigen ke dalam paru-paru
b) Menarik karbondioksida dari tubuh pasien
c) Membantu pasien untuk bernapas lebih mudah
d) Membantu pernapasan bagi pasien yang kehilangan kemampuan untuk
bernapas sendiri.

1. Indikasi Medis Penggunaan Ventilator141


a. Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit
b. Hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang dari 70 mmHg
c. PaCO2 lebih dari 60 mmHg
d. AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg
e. Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB
Ventilator lebih sering digunakan pada operasi, tatkala pasien tidak sadar
selama operasi karena mendapat anestesi umum. Juga digunakan pada penyakit
atau kondisi tertentu yang menyebabkan gangguan fungsi paru-paru. 142

a. Selama Operasi
Pasien yang menerima anestesi umum dalam operasinya, akan dihubungkan
dengan ventilator selama operasi, karena obat-obatan anestesi dapat mengganggu
pernapasan normal. Ventilator membantu pasien untuk bernapas secara normal.
Setelah operasi, pasien tidak pernah menyadari bahwa sebelumnya dia
terpasang dengan ventilator. Satu-satunya yang diketahuinya ialah masih
terpasangnya tube intubasi di mulutnya yang akan segera dilepas. Bahkan tuba
inipun biasanya sudah dibuka sebelum pasien sadarkan diri. Melalui tuba inilah
ventilator dihubungkan dengan pasien.

b. Pada Kerusakan Fungsi Pernapasan


Ventilator dibutuhkan oleh penderita penyakit atau kondisi lain yang
mengganggu pernapasan, meski ia dapat bernapas sendiri namun itu hanya dapat
dilakukannya dengan susah payah. Ventilator akan membantu mempermudah
pernapasannya. Diantara penyebab gagal napas (respiratory failure) ialah:143
1) Penyebab sentral
a) Trauma kepala : Contusio cerebri
b) Radang otak : Encephalitis
c) Gangguan vaskuler : Perdarahan otak, infark otak, perlukaan medulla
spinalis bagian atas

141
Patrick Leger, et al., "Clinical Indications for Noninvasive Positive Pressure
Ventilation in Chronic Respiratory Failure Due to Restrictive Lung Disease, COPD, and
Nocturnal Hypoventilation„A Consensus Conference Report", Chest Journal, vol. 116,
issue 2 (1999): 521-534.
142
National Heart, Lung, and Blood Institute, Who Needs a Ventilator?,
Department of Health and Human Services, USA gov., https://www.nhlbi.nih.gov/health/
health-topiks/topiks/vent/links.html.
143
http://emedicine.medscape.com/article/810126-overview#showall. Diakses pada
30 Mei 2014.

307
d) Obat-obatan : Narkotika, Obat anestesi
2) Penyebab perifer144
a) Kelainan Neuromuskuler; seperti Polio, Amyotrophic lateral sclerosis
(ALS), Myasthenia gravis, Guillian Bare syndrome, Tetanus.
b) Obat perelaksasi otot (muscle relaxant).
c) Kelainan jalan napas; seperti asma bronchiale, obstruksi jalan napas.145
d) Kelainan di paru;146 seperti Pneumonia atau penyakit paru-paru lainnya,
COPD (chronic obstructive pulmonary disease), edema paru, atelektasis,
ARDS, kelainan anatomis tulang iga/thorak, fraktur costae, pneumothorax,
haemothorax.
e) Kelainan jantung: kegagalan jantung kiri.

2. Tingkat Kelembaban dan Suhu


Ventilasi mekanis meniadakan mekanisme pertahanan tubuh untuk
pelembaban dan penghangatan. Dua proses ini harus digantikan dengan alat
humidifier. Semua udara yang dialirkan dari ventilator melalui air dalam humidifier
dihangatkan dan dijenuhkan. Suhu udara diatur kurang lebih sama dengan suhu
tubuh. Pada kasus hipotermi berat, pengaturan suhu udara dapat ditingkatkan. Suhu
yang terlalu tinggi dapat menyebabkan luka bakar pada trachea. Apabila suhu
terlalu rendah bisa mengakibatkan kekeringan jalan napas dan sekresi menjadi
kental sehingga sulit dilakukan penghisapan.

3. Fisiologi Pernapasan Melalui Ventilasi Mekanik


Pada pernapasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot
intercostalis berkontrkasi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan negatif
sehingga aliran udara masuk ke paru, sedangkan fase ekspirasi berjalan secara pasif.
Pada pernapasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara
dengan memompakan ke paru pasien, sehingga tekanan sselama inspirasi adalah
positif dan menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada akhir inspirasi
tekanan dalam rongga thorax paling positif.

4. Komplikasi Penggunaan Ventilator


Apabila penggunaan ventilator dan pengawasannya tidak tepat,147 maka
dapat menimbulkan sejumlah komplikasi, seperti: 148

144
National Heart, Lung, and Blood Institute, What Causes Respiratory Failure?,
Department of Health and Human Services, USA gov., http://www.nhlbi.nih.gov/health/
health-topiks/ topiks/ rf/ causes.html. Diakses pada 30 Mei 2014.
145
A.P. Fishman et al., Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders (New York:
McGraw-Hill, 4th ed., 2008), vol. I, 846.
146
A.P. Fishman et al., Fishman’s Pulmonary Diseases, vol. I, 403, 730.
147
T Kendirli, et al., "Mechanical Ventilation in Children", The Turkish Journal of
Pediatrics 48 (2006): 323-327.
148
Prashant Prakash, Kavita Krishna, Deepansh Bhatia, "Complications of
Mechanical Ventilation", Journal, Indian Academy of Clinical Medicine, vol. 7, no. 3 (July-
September, 2006): 199-201.

308
a. Pada paru;149 berupa baro trauma, yaitu pada tension pneumothorax, empisema
sub cutis, dan emboli udara vaskuler; atelektasis/kolaps alveoli diffuse; infeksi
paru150; keracunan oksigen; jalan napas buatan, yaitu pada king-king (tertekuk),
terekstubasi, dan tersumbat; aspirasi cairan lambung; tidak berfungsinya
penggunaan ventilator; kerusakan jalan napas bagian atas.

b. Pada sistem kardiovaskuler;151 berupa hipotensi, menurunnya cardiac output


dikarenakan menurunnya aliran balik vena akibat meningkatnya tekanan intra
thorakal pada pemberian ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi.

c. Pada sistem saraf pusat; berupa vasokonstriksi cerebral, yang dapat terjadi
karena penurunan tekanan CO2 arteri (PaCO2) dibawah normal akibat dari
hiperventilasi; oedema cerebral; terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri
diatas normal akibat dari hipoventilasi; peningkatan tekanan intra cranial;
gangguan kesadaran; gangguan tidur.

d. Pada sistem gastrointestinal;152 berupa distensi lambung153 atau ileus; perdarahan


lambung.154

5. Kriteria Penghentian Penggunaan Ventilator


Pasien yang mendapat bantuan ventilasi mekanik dapat dilakukan
penyapihan bila memenuhi kriteria sebagai berikut:155
1. Kapasitas vital 10-15 ml/kg BB
2. Volume tidal 4-5 ml/kg BB
3. Kekuatan inspirasi 20 cm H2O atau lebih besar
4. Frekwensi pernapasan kurang dari 20 kali/menit.

149
C. Edibam, "Ventilator-Induced Lung Injury and Implications for Clinical
Management", Critical Care and Resuscitation, Journal of the Australasian Academy of
Critical Care Medicine 2 (2000): 269-277.
150
Klevens, Edwards, Richards, et al., "Estimating Health Care Associated
Infections and Deaths in U.S. Hospitals 2002", Public Health Reports, Journal of U.S.
Government 122 (2007): 160-166.
151
G. J. Duke, "Cardiovascular Effects of Mechanical Ventilation", Critical Care
and Resuscitation, Journal of the Australasian Academy of Critical Care Medicine 1 (1999):
388-399.
152
G. Mutlu, E. Mutlu, P. Factor, "GI Complications in Patients Receiving
Mechanical Ventilation", Chest Journal 119 (2001): 1222-1241.
153
M.A. Ritz, R. Fraser, et al., "Impacts and Patterns of Disturbed Gastrointestinal
Function in Critically Ill Patients", American Journal of Gastroenterology 95 (2000): 3044-
3052.
154
Mutlu, et al., "Prevention and Treatment of Gastrointestinal Complications in
Patients on Mechanical Ventilation", American Journal of Respiratory Medicine 2 (2003):
395-411.
155
Fernando Frutos-Vivar, Andrés Esteban, "When to Wean From a Ventilator: An
Evidence-Based Strategy", Cleveland Clinic Journal of Medicine, vol. 70, no. 5 (May 2003):
390-393.

309
I. Defibrilator

Defibrilator adalah alat yang digunakan untuk memberikan terapi kejut


bagi jantung pasien dengan dosis tertentu, melalui energi listrik yang disalurkan
melalui electrode (pedal) yang ditempelkan di permukaan dada pasien. Defibrilasi
adalah penatalaksanaan darurat dengan menggunakan alat untuk disritmia yang
mengancam keberlangsungan fungsi jantung, fibrilasi ventrikel, dan pulseless
takikardia ventrikel sehingga menjadi denyut jantung normal kembali.156
Defibrilator merupakan alat resusitasi jantung pada saat jantung pasien
mengalami fibrilasi, dengan cara menyalurkan energi kejut listrik untuk
mengaktifkan kembali aktivitas jantung. Defibrilator dapat eksternal, transvenous,
atau implan, tergantung pada jenis perangkat yang digunakan atau dibutuhkan.157
Beberapa unit eksternal, yang dikenal sebagai defibrilator eksternal otomatis
(AED: automatic external defibrillator), dapat digunakan oleh orang yang bahkan
tidak pernah memperoleh pelatihan sama sekali.158

1. Jenis-Jenis Defibrilator
a. Manual eksternal defibrilator159
Unit jenis ini digunakan harus dalam pengawasan ketat pembaca
elektrokardiogram,160 serta sepatutnya bagi seorang dokter untuk mendiagnosa
kondisi jantung (paling sering fibrilasi atau tachycardia meskipun ada beberapa
irama lain dengan gambaran EKG yang berbeda yang dapat diobati).
b. Manual internal defibrillator161
Alat ini hampir identik dengan versi eksternal, kecuali bahwa muatan disampaikan
melalui pole internal kontak langsung dengan jantung. Ini hampir secara eksklusif
ditemukan di ruang operasi (kamar), di mana dada cenderung terbuka, atau dapat
dibuka dengan cepat oleh dokter bedah.
c. Defibrilator eksternal otomatis (AED: Automatic External Defibrillator)162
Awalnya AED digunakan di sebuah stasiun kereta api di Jepang. Kotak AED
memiliki informasi tentang bagaimana menggunakannya dalam bahasa Jepang,
Inggris, Cina dan Korea. Penggunaannya didasarkan pada teknologi komputer yang
menganalisis irama jantung, kemudian memberi advis kepada pengguna apakah

156
L. L. Bossaert, "Fibrillation and Defibrillation of the Heart", British Journal of
Anaesthesia 79 (1997): 204.
157
L. L. Bossaert, "Fibrillation and Defibrillation of the Heart", British Journal of
Anaesthesia 79 (1997): 205-206.
158
Paul Barash et al., Clinical Anaesthesy, 1507.
159
Care Medical Equipment, "Defibrillator, External, Manual", World Health
Organization, http://www.who.int/medical_devices/innovation/defibrillator_manual.pdf.
Diakses pda 30 Mei 2014.
160
Elektrokardiogram biasanya dibaca oleh dokter spesialis jantung.
161
Paula J. Crocket, et al., Defibrillation What Should You Know (Washington:
Physio-Control Corporation, 1996), 8-9.
162
L. L. Bossaert, "Fibrillation and Defibrillation of the Heart", British Journal of
Anaesthesia 79 (1997): 206.

310
kejutan diperlukan. 163 Alat ini dirancang untuk bisa digunakan oleh orang awam,
melalui pelatihan untuk mampu mengoperasikannya dengan benar. Unit jenis ini
juga membutuhkan waktu (biasanya 10-20 detik) untuk mendiagnosis gangguan
irama, sehingga seorang profesional medis dapat mendiagnosa dan mengobati
kondisi jauh lebih cepat. Sejumlah institusi kardiologi menyarankan agar AED
tidak digunakan ketika defibrillator manual dan operator terlatih tersedia.164
Defibrilator eksternal otomatis umumnya dioperasikan oleh paramedik
terlatih yang selalu siap menghadapi insiden, atau unit akses publik. Demikian pula
harus diperhitungkan jarak lokasi AED dengan akses publik tempat berkumpulnya
orang banyak. Layanan kendaraan darurat di banyak daerah, sudah dilengkapi
dengan alat AED. Sejumlah ambulans dilengkapi dengan AED disamping unit
manual. Bahkan beberapa kendaraan patroli polisi, pemadam kebakaran, dan moda
transportasi publik, seperti penerbangan komersial dan kapal pesiar, juga membawa
AED untuk pertolongan pertama keadaan darurat. Kehadiran AED dapat menjadi
faktor penentu dalam kelangsungan hidup pasien penderita serangan jantung,
karena bantuan profesional medis sangat mungkin masih memakan waktu.
Ada 2 jenis AED: Otomatis dan Semi Otomatis. Kebanyakan AED ialah
yang semi otomatis. Disamping itu beberapa jenis AED yang memiliki fitur-fitur
canggih, seperti manual override atau tampilan EKG.

Gambar 28. Defibrillator Internal Terpasang

d. Implantable cardioverter defibrillator (ICD)165


Alat ini juga dikenal sebagai defibrilator otomatis internal jantung (AICD:
Automatic Internal Cardioconvereter Defibrillator). Perangkat ini adalah implan,
mirip dengan alat pacu jantung (dan memang dapat melakukan fungsi sebagai

163
Paula J. Crocket, et al., Defibrillation What Should You Know, 11-12.
164
J. Soar, et al., "Immediate Life Support: Second Edition", Resuscitation Council
(UK), 2006.
165
Johannes Holzmeister, Christophe Leclercq, "Implantable Cardioverter
Defibrillators and Cardiac Resynchronisation Therapy", The Lancet, vol. 378, issue 9792
(August 2011): 722 ” 730.

311
pacemaker).166 Alat ini terus-menerus memonitor irama jantung pasien, dan secara
otomatis mengelola guncangan pada berbagai jenis aritmia yang mengancam jiwa,
dan berfungsi sesuai yang diprogramkan dalam alat tersebut. Banyak perangkat
modern dapat membedakan fibrilasi ventrikel, takikardia ventrikel, atau aritmia
dengan lebih detail seperti pada takikardia supraventricular dan atrial fibrilasi.167

Gambar 29. Pemasangan Implantable Defibrilator

Seiring dengan perkembangan teknologi kedokteran, maka penggunaan alat


bantu kehidupan berkembang pesat. Alat ini mampu membantu pasien untuk
mempertahankan hidupnya ketika denyut jantung dihentikan sementara pada
pelaksanaan operasi jantung, sehingga menggantikan fungsi jantung dan paru-paru
pada saat bersamaan.168
Dan telah terbukti dalam sejarah kedokteran modern, bahwa alat bantu
tersebut mampu membantu seorang pasien untuk hidup selama beberapa waktu
tanpa jantung, atau hidup dengan jantung orang lain selama beberapa tahun, atau
hidup dengan jantung buatan selama beberapa bulan169.

166
"Implantable cardioverter defibrillator (ICD)", British Heart Foundation,
http://www.bhf.org.uk/heart-health/treatment/implantable-cardioverter-defib.aspx. Diakses
pada 31 Mei 2014.
167
Health Library, "Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD) Insertion", John
Hopkins Medicine, http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/cardio
vascular/implantable_cardioverter_defibrillator_icd_insertion_92,P08774/. Diakses pada 31
Mei 2014.
168
Sistem alat bantu berupa mesin, disebut dengan ventricular assist device (VAD)
yang digunakan untuk membantu sirkulasi secara temporer. Masukan ( inflow) alat ini
melalui atrium kiri atau apex dari ventrikel kiri, dan keluarannya (outflow) ke aorta.
Fungsinya adalah menggantikan fungsi jantung dalam jangka pendek pada bedah jantung
atau jangka panjang sebagai jembatan pada transplantasi jantung. Lihat: F. Charles
Brunicardi et al., Schwart's Manual Surgery (New York: McGraw-Hill, 8th ed., 2006), 470.
169
Alat tersebut ada pula yang digunakan selamanya berupa jantung buatan
(artificial heart). Lihat: F. Charles Brunicardi et al., Schwart's Manual Surgery, 470.

312
Pemahaman tentang kematian masih terkait erat dengan masalah jantung,
terutama pada kondisi-kondisi parah yang menimpa batang otak akibat kecelakaan,
pendarahan pada bagian otak, atau terjadinya edema pada otak.

J. Kematian Batang Otak


Pada era kontemporer ini, jika jantung atau napas berhenti akibat insiden
pada otak, atau jika jantung atau napas berhenti akibat insiden lain (seperti
tenggelam, tercekik, dll.), maka peralatan medis modern seperti ventilator dan
defibrilator, dapat mengembalikan denyut jantung dan pernapasan, bahkan
menyadarkan seseorang, jika Alla>h menghendaki hal itu, dan orang itu pun bisa
hidup lagi. Dalam hal ini terjadi salah satu dari kondisi berikut:170
1. Jika seseorang kembali bernapas secara normal tanpa dibantu alat ventilator,
jantungnya kembali berdenyut, dan kondisi tersebut berlangsung lama, baik
dalam keadaan sadar atau tidak, maka tidak diragukan lagi ia dianggap masih
hidup.
2. Apabila alat ventilator tidak bisa dihentikan meski beberapa detik saja,
sehingga tampak jelas bahwa pernapasannya masih tergantung pada alat bantu,
sedangkan pasien masih kehilangan kesadaran secara total. Dalam kasus ini
harus ditemukan kriteria-kriteria baru untuk menyatakan kematiannya, karena
jantung masih terdenyut dan pernapasan masih berjalan dengan bantuan alat.
3. Jantung berhenti secara total meskipun ditopang dengan alat bantu.
Dalam kasus yang pertama, seseorang dianggap hidup meskipun ia hilang
kesadaran dan terus pingsan dalam jangka waktu setahun atau beberapa tahun,
seperti yang terjadi pada kasus171 Karen Ann Quinlan yang populer.172

170
‘Ali> al-Ba>rr, Ajhizah al-In‘a>sh, Majallah Majma ‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 432.
171
Karen Ann Quinlan (March 29, 1954 ” June 11, 1985) adalah sosok penting
dalam sejarah kontroversi hak untuk mati ( right o die) di Amerika Serikat. Pada 15 April
1975 jam 2:00 dinihari, Quinlan (usia 21 tahun) tidak sadarkan diri setelah pulang dari
sebuah pesta. Dia telah mengkonsumsi diazepam, dextropropoxyphene, dan alcohol. Setelah
mengalami pingsan dan henti napas dua kali selama 15 menit atau lebih, dia dibawa oleh
tenaga paramedis ke Newton Memorial Hospital New Jersey. Namun segera setelah
ditegakkan diagnosa dalam keadaan koma yang bersifat irreversible, Quinlan dipindahkan
ke St. Clare’s Hospital di Denville tempat dimana dia terus dalam kondisi persistent
vegetative state. Hidupnya kemudian dipertahankan dengan ventilator selama beberapa
bulan tanpa ada kemajuan yang berarti, sehingga orangtuanya memohon untuk melepas
peralatan tersebut dan mengizinkannya untuk mati. Rumah sakit menolak melakukan
tindakan tersebut, dan kasusnya menjadi kontroversi yang luas di berbagai media massa.
Lihat: http://www.karenannquinlanhospice.org/history/. Diakses pada 31 Mei 2014.
172
Akhirnya the New Jersey Supreme Court pada 31 Maret 1976 memutuskan
bahwa ayahnya adalah wali (guardian) yang berhak untuk menghentikan alat bantu hidup
tersebut. Meskipun demikian, Quinlan yang telah dilepaskan dari alat bantu hidup pada
tahun 1976, dapat terus hidup dalam status persistent vegetative state hingga hampir
sepuluh tahun sampai meninggalnya pada tahun 1985 karena pneumonia. Kasus Quinlan
terus menjadi tema penting menyangkut moral teologis, bioetika, euthanasia, hak perwalian
hukum, dan hak-hak sipil. Kasusnya berpengaruh kepada dunia kedokteran dan hukum di

313
Dalam kasus kedua di atas, merupakan kasus yang kompleks dan
menimbulkan perdebatan yang luas di Barat, meskipun terdapat kemajuan yang
pesat di bidang teknologi kedokteran. Selain itu, masalah tersebut menimbulkan
masalah pemanfaatan organ tubuh yang masih hidup dari orang mati atau dari
orang yang hampir mati, untuk dicangkok pada penderita penyakit ginjal atau
jantung. Sedangkan pada kasus ketiga, seseorang dianggap telah mati tanpa ada
perbedaan pendapat.
Untuk menjawab kasus-kasus tersebut, kemudian berdirilah berbagai
komite medik yang bekerja khusus untuk mengkaji kematian otak. Yang pertama
kali memunculkan isu kematian otak adalah sebuah universitas di Perancis pada
tahun 1959. Mereka menyebutnya dengan istilah coma de passé (fase pasca koma).
Sekelompok dokter Perancis (Mollaret dan Goulon) mulai mendefinisikan indikasi
kematian otak saat jantung masih berdenyut. 173
Selanjutnya terbentuklah panitia adhoc dari School of Medicine Harvard
University pada tahun 1968 untuk membuat definisi-definisi yang jelas tentang
kematian otak.174 Mereka fokus pada lima kriteria yang diasumsikan sebagai
indikasi kematian otak, yaitu:175
1. Hilangnya kesadaran secara total
2. Tidak adanya respon terhadap berbagai stimulus.
3. Tidak ada gerak (dilihat setidaknya selama satu jam).
4. Tidak ada pernapasan.
5. Tidak ditemukan suatu aktivitas melalui electroenchepalography (EEG).
Keputusan komisi Harvard ini memunculkan perhatian yang luas di
berbagai belahan dunia. Pada tahun yang sama, Kongres Kesehatan Dunia yang ke-
2 di Sydney, Australia, mengangkat topik definisi kematian dan kematian otak.
Pada tahun 1971, tim dokter dari Minnesota membuat kriteria-kritera yang
serupa namun berbeda pada perinciannya, dikenal dengan istilah Minnesota
Criteria, 176 sebagai berikut:177
1. Penyebab kematian otak harus bisa diidentifikasi. Pada 20 dari 25 kasus,
mereka deskripsikan sebagai akibat dari insiden yang menyebabkan kerusakan
otak irreversible. Adapun 5 kasus lainnya terjadi akibat insiden internal pada
otak yang dapat diketahui dan didiagnosa sebelum divonis terjadi kematian
otak. Manfaat syarat ini akan tampak jelas saat diketahui bahwa berhenti
bekerjanya otak secara total dalam jangka waktu tertentu, bisa diakibatkan oleh
penggunaan obat tidur, zat barbiturat, dan zat-zat penenang lainnya.
2. Tidak adanya gerakan mandiri.

seluruh dunia. Lihat: https://www.princeton.edu/~achaney/tmve/wiki100k/docs/ Karen


_Ann_Quinlan.html. Diakses pada 31 Mei 2014.
173
Mollaret, Goulon, "Le Coma de Passe", Review of Neurology 101 (1959): 3-15.
174
Ad Hoc Committee of the Harvard School of Medicine, "A Definition of
Irreversible Coma", Journal of American Medical Association 205 (1968): 85-88.
175
‘Ali> al-Ba>rr, Ajhizah al-In‘a>sh, Majallah Majma ‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 454-455.
176
R.E. Cranford, "Minnesota Medical Association Criteria. Brain Death: Concept
and Criteria I", Missouri Medicine Journal 61 (1978): 561-563..
177
‘Ali al-Ba>rr, Ajhizah al-In‘a>sh, Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 456.

314
3. Terhentinya pernapasan setelah dihentikannya ventilator selama empat menit
dengan syarat-syarat tersebut sebelumnya.
4. Tidak adanya gerakan refleks dari area batang otak. Hal itu menunjukkan
kematian otak.
5. Semua syarat ini tidak berubah selama 12 jam.
6. Pemeriksaan Electroenchepalography (EEG) bukan hal yang urgen. Ini
dianggap faktor sekunder yang membantu dan menguatkan.

Selain itu di Inggris178 didirikan komisi yang beranggotakan para dokter


ahli dari sejumlah fakultas kedokteran, dan telah menetapkan definisi kematian
otak pada tahun 1976179 dan 1979.180 Demikianlah, tampak jelas masalahnya bagi
kalangan akademik di Inggris bahwa konsep kematian telah berubah dari kematian
jantung menjadi kematian otak (seluruh otak), kemudian dari kematian seluruh otak
menjadi kematian batang otak.181
Pada tahun 1981, Presiden AS Ronald Reagan mengeluarkan perintah
untuk membentuk komisi yang terdiri dari pada dokter terkemuka, pakar hukum
dan agamawan untuk mengkaji masalah kematian otak. Komisi ini mengeluarkan
ketetapannya tentang kematian otak pada bulan Juli 1981. Sebanyak 25 negara
bagian menyetujui definisi kematian otak, dan jumlah tersebut bertambah menjadi
33 negara bagian pada tahun 1982. Negara bagian Kansas merupakan wilayah
pertama yang mengakui legalitas kematian otak pada tahun 1970. Walaupun 25
negara bagian tidak mengakui secara legal kematian otak, namun para hakim di
wilayah tersebut secara umum mengakuinya. Masalahnya menjadi aneh, seperti
yang dilaporkan jurnal JAMA, 182 karena seseorang bisa divonis mati di satu negara
bagian, tetapi divonis hidup di negara bagian tetangganya.
Dr. Weckr memandang sinis terhadap regulasi yang aneh itu, karena
seseorang dianggap mati di satu wilayah, tetapi dianggap masih hidup di wilayah
tetangganya.183
Kematian batang otak dijadikan tolok ukur kematian seseorang, ialah
karena ada batang otak terletak pusat-pusat fundamental dan vital dari kehidupan
seperti pusat kontrol pernapasan, aktifitas jantung dan sirkulasi darah. Apabila
batang otak telah mati, maka manusia tidak mungkin hidup. Dengan demikian,
tanda-tanda kematian batang otak dapat disimpulkan sebagai berikut:

178
Conference of Medical Royal Colleges in U.K., "Diagnosis of Death", British
Medical Journal 1 (1979): 3320.
179
Conference of Medical Royal Colleges in U.K., "Diagnosis of Death", British
Medical Journal (1976): 1187-1188.
180
R.A. Joynet, "New Look at Death", Journal of American Medical Association,
vol. 252, issue 5 (1984): 680-682.
181
Christopher Pallis, "Brainstem Death -- the Evolution of a Concept", Medico-
Legal Journal 55 (1987): 84-107.
182
Cristopher Pallis, "ABC of Brain Stem Death", British Medical Journal 285
(1981): 1409-1412.
183
A.E Walker, Cerebral Death (Munich: Urban and Schwarzenberg, 2 nd ed., 1981).

315
1. Hilangnya kesadaran secara total dan tidak adanya respon terhadap stimulus
untuk membangunkan pasien meskipun alat-alat untuk menstimulasinya sangat
kuat. Seandainya muncul satu gerakan dari pasien meskipun sangat sederhana,
atau bunyi dengkur sekarat, maka itu menunjukkan hidupnya pasien.
2. Tidak adanya gerakan spontan atau akibat sengatan terhadap pasien. Kondisi
tersebut terjadi setidaknya dalam periode waktu satu jam, dengan observasi
penuh yang sangat teliti.
3. Tidak adanya pernapasan selama tiga menit (menurut kelompok Harvard)184
atau empat menit (menurut kelompok Minnesota) atau sepuluh menit
(kelompok Inggris) setelah ventilator dilepaskan.185 Syarat pencabutan
ventilator adalah pasien menghirup 95% oksigen dan 5% karbon dioksida
selama 10 menit dengan perantara alat tersebut sebelum dicabut, dalam 6 liter
per satu menit dengan perantara selang yang dimasukkan ke dalam trachea.
Karbon dioksida merupakan faktor penting dalam membangunkan pusat-pusat
kontrol pernapasan. Berbagai komite medik berbeda pendapat mengenai durasi
yang dibutuhkan untuk menetapkan tidak adanya pernapasan setelah
dicabutnya ventilator. Kelompok Harvard mengusulkan 3 menit, kelompok
Minnesota mengusulkan 4 menit, dan kelompok Inggris mengusulkan 10 menit
setelah penghentian pernapasan dengan perantara alat bantu.186
4. Tidak adanya gerakan refleks (brainstem reflexes) atau gerakan-gerakan yang
menunjukkan hidupnya batang otak seperti:187
a. Tidak ada respon pupil mata terhadap cahaya terang (pupil tetap dilatasi)
b. Pasien tidak berkedip sedikitpun walaupun secarik kain diletakkan pada
kornea matanya
c. Biji mata tidak bergerak sedikitpun meskipun air dingin dimasukkan ke
dalam telinga
d. Pasien tidak mengerutkan dahinya sedikitpun walaupun dahinya ditekan
dengan jempol
e. Pasien tidak mampu berbuat apa-apa atau batuk ketika mulut atau
tenggorokan dalamnya disentuh dengan menggunakan sendok.
5. Tidak ada bukti darah yang mengalir ketika kepala digerakkan (no dolling)
pada pemeriksaan ulang EEG setelah beberapa saat (6 jam menurut kriteria
Inggris dan 24 jam menurut aliran Harvard).
6. Foto scan otak tidak dianggap sebagai hal mendasar dalam menetapkan
kematian batang otak. Namun jika hal tersebut ada, maka hanya sebagai bukti

184
Ad Hoc Committee of the Harvard School of Medicine, "A Definition of
Irreversible Coma", Journal of American Medical Association 205 (1968): 85-88.
185
Christopher Pallis, "From Brain Death to Brain Stem Death", British Medical
Journal 285 (1982): 1486-1490.
186
Christopher Pallis, "Diagnosis of Brain Stem Death II", British Medical Journal
(1982); 1641-1644.
187
David Gallimore, "The Diagnosis of Brainstem Death and Its Implications",
Nursing Times, vol. 102, no. 13 (March 2006), http://www.nursingtimes.net/Journals/
2013/04/02/b/ n/b/060328The-diagnosis-of-brainstem. Diakses pada 24 Juli 2014.

316
pelengkap yang bermanfaat dari sisi perundang-undangan yang berlaku,
khususnya di negara-negara persemakmuran.
Syarat terakhir ini dianggap tidak urgen karena diagnosa kematian otak
bisa dilakukan dengan keempat syarat pertama. Alat ini hanya digunakan sebagai
faktor penguat (confirmatory value). Sebaiknya semua diagnosa diulangi setelah 24
jam dan tidak ada perubahan apapun padanya.
Disamping itu terdapat beberapa hal yang menyebabkan gelombang fungsi
otak terhenti, sehingga mengakibatkan pernapasan terhenti (apneu) yang diiringi
dengan pingsan (syncope) dan tidak adanya respon terhadap rangsangan yang
diberikan. Oleh sebab itu semua penyebab yang bersifat temporer harus dihilangkan
terlebih dahulu sebelum menyatakan keputusan matinya batang otak. Adapun
sebab-sebab yang dapat mengakibatkan terhentinya sementara fungsi batang otak
antara lain adalah:188
1. Obat-obat golongan psikofarmaka; di antaranya ialah alkohol, obat berefek
sedasi189 seperti golongan barbiturat,190 obat minor tranquiliser191 seperti
valium,192 golongan narkotika seperti morfin dan heroin, obat anti epilepsi193
seperti phenytoin dan carbamazepine, obat anti ansietas seperti tarbitlin, obat
major tranquiliser194 seperti stellazine195 dan chlorpromazine.196
Terkadang ada orang yang mengkonsumsi jenis obat-obatan ini sebagai jalan
bunuh diri sehingga mengakibatkan terhentinya fungsi batang otak. Oleh sebab
itu seorang dokter tidak tergesa-gesa dalam menetapkan kematian batang otak
dalam keadaan seperti ini, sampai semua pengaruh obat-obatan tersebut hilang
dari tubuh pasien. Ini dapat dilakukan melalui tes laboratorium klinik dengan
sampel darah dan urin. Jika darah telah bersih dari pengaruh obat-obatan
terlarang, maka ini menunjukkan hilangnya pengaruh obat-obatan tersebut dari
tubuh dan otak dalam waktu beberapa jam.197
2. Suhu badan dingin; sebagaimana yang terjadi pada saat cuaca terlalu dingin
dimana hal ini mengakibatkan pingsan, pernapasan terhenti dan suhu badan

188
‘Ali al-Ba>rr, Ajhizah al-In‘a>sh, Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 469-470.
189
Diantara obat-obatan sedatives yang banyak digunakan ialah nitrazepam.
190
Kompossi persenyawaan yang digunakan ialah Amobarbital, Butobarbital,
Phenobarbital.
191
Diantara jenis minor transquiliser yang juga banyak digunakan ialah
Chlordiazepoxide HCl, Buspirone HCl, dan Clinidium Bromide.
192
Valium adalah merek obat, berisi diazepam 2mg dan 5 mg.
193
Disebut juga antikonvulsants, dan diantara jenis lainnya yang juga banyk
digunakan ialah Valproat dan Clonazepam.
194
Diantara jenis major tranquiliser yang juga banyak digunakan ialah Fluphenazine
dan Haloperidol.
195
Stellazine adalah merek obat, berisi Trifluoperazine 1mg, 2mg, dan 5 mg.
196
Tourtchaninoff, et al., "Brain Death Diagnosis in Misleading Conditions", QJM:
An International Journal of Medicine 92 (1999): 407”414.
197
M.C. Kennedy, J.L. Moran, et al., "Drugs and Brain Death", Medical Journal of
Australia 165 (1996):394”398.

317
menurun (hypothermia).198 Dalam kondisi seperti ini alat ventilator tetap harus
terpasang sampai terjadi peningkatan suhu badan hingga mencapai derajat yang
semestinya; dan kematian batang otak tidak dinyatakan kecuali setelah hal ini
dilakukan.199
3. Keracunan akibat gas beracun200 dan gas karbon monoksida dapat menyebabkan
terhentinya fungsi batang otak. Oleh karena itu, pertama kali yang dilakukan
adalah membersihkan racun-racun yang ada dalam tubuh,201 sementara alat
ventilator harus tetap terpasang sampai jelas betul bahwa pengaruh zat-zat
kimia dan gas-gas beracun telah bersih dari dalam tubuh; barulah setelah itu
memungkinkan untuk menyatakan kematian batang otak.202
4. Peningkatan kadar BUN yang sangat tinggi dalam darah, dapat menyebabkan
koma dan sampai pada terhentinya fungsi pernapasan.203 Untuk itu kadar

198
J.M. Guérit, M. Meulders, "Clinical Applications of the Quantification of the
Relationship between Body Temperature and Brain-stem Auditory Evoked Potentials",
Electroencephalogy Clinic Neurophysiology 52 (1981): S39”40.
199
R. Dwyer, F. Colreavy, D. Phelan, "Diagnosis of Brain Death & Medical
Management of the Organ Donor ” Guidelines for Adult Patients", Intensive Care Society
of Ireland (2010): 3.
200
Diantara zat-zat beracun yang dapat menyebabkan kematian ialah asam
hidrosianida, kalium klorat, dan fosfor.
201
Simon Thomas, "Poisons", Clinical Medicine Journal, vol. 8, no. 1 (February
2008): 86-88.
202
J.B. Harris, P. Blain, "Neurotoxicology: What the Neurologist Needs to Know",
Journal of Neurology Neurosurgery Psychiatry , vol. 75, suppl. III (2004): iii29”iii34.
203
Blood Urea Nitrogen (BUN) ialah jumlah nitrogen urea yang ada dalam darah,
yang diukur dengan metode kolorimetri menggunakan fotometer atau analyzer kimiawi.
Urea merupakan produk limbah yang dibentuk dalam tubuh selama proses metabolisme
protein, yang diubah menjadi asam amino yang juga menghasilkan amonia. Urea adalah
substansi yang dibentuk oleh beberapa molekul ammonia, juga diproduksi oleh hati, karena
metabolisme protein terjadi pula di hati, sehingga tes BUN harus dilakukan bersamaan
dengan tes fungsi hati dan kreatinin (untuk melihat fungsi ginjal). Ginjal yang sehat
memfiltrasi urea dari darah dan mengeluarkannya ke urin. Jika terjadi penurunan GFR
(glomerular filtration rate), urea akan tetap ditahan dalam darah. Oleh karena itu setiap
bentuk disfungsi ginjal akan menyebabkan kadar tinggi atau rendah BUN dalam darah.
Nilai normal BUN pada dewasa: 5 ” 25 mg/dl; Anak-anak: 5 ” 20 mg/dl;bayi: 5 ”
15 mg/dl; lanjut usia: kadar sedikit lebih tinggi daripada dewasa. Rasio normal BUN-
kreatinin adalah antara 10:1 hingga 20:1, sedangkan rasio BUN- kreatinin pada anak-anak
berusia kurang dari 12 bulan mencapai 30:1.
Tingginya kadar ureum dalam darah disebut dengan uremia. Uremia prarenal
terjadi pada gagalnya mekanisme sebelum filtrasi oleh glomerulus, yang meliputi penurunan
aliran darah ke ginjal seperti pada syok, kehilangan darah, dehidrasi, dan peningkatan
katabolisme protein seperti pada perdarahan gastrointestinal disertai pencernaan
hemoglobin dan penyerapannya sebagai protein dalam makanan, perdarahan ke dalam
jaringan lunak atau rongga tubuh, hemolisis, leukemia (pelepasan protein leukosit), cedera
fisik berat, luka bakar, dan demam.
Uremia renal terjadi pada renal failure (gagal ginjal) yang menyebabkan gangguan
ekskresi urea. Acute renal failure (ARF) dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, hipertensi

318
BUN204 dalam darah hendaklah ditekan, antara lain dengan hemodialisa205
sebelum menetapkan kematian batang otak.
5. Hipoglikemik dan hiperglikemik (kekurangan atau kelebihan kadar gula dalam
darah),206 terutama pada penderita diabetes, dapat menyebabkan koma
diabetikum dan sampai pada terhentinya fungsi pernapasan.207 Untuk itu
hendaklah dilakukan pengecekan ulang kadar gula dalam darah sampai pada
kadar semestinya sebelum menetapkan kematian batang otak.
6. Kekurangan atau kelebihan hormon tertentu dalam darah; dapat menyebabkan
terhentinya fungsi pernapasan sementara.208 Untuk itu hendaklah hormon-
hormon ini dikembalikan sampai pada kadar semestinya sebelum menetapkan
kematian batang otak.209
7. Kondisi-kondisi tertentu, seperti tenggelam dan jantung berhenti mendadak.
Penyelamatan pasien seperti ini harus dilakukan. Pernyataan kematian fungsi

maligna, obat atau logam nefrotoksik, nekrosis korteks ginjal. Chronic renal failre (CRF)
dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, pielonefritis, diabetes mellitus, arteriosklerosis,
amiloidosis, penyakit tubulus ginjal, penyakit kolagen-vaskular.
Uremia pascarenal terjadi pada obstruksi di distal ureter, vasic urinaria, atau
urethra. Obstruksi ureter bisa oleh batu, tumor, peradangan, atau kesalahan pembedahan.
Obstruksi cervical vesica urin atau uretra bisa karena prostat, batu, tumor, atau peradangan.
Urea yang tertahan di urin dapat berdifusi masuk kembali ke dalam darah.
Penyebab uremia lainnya ialah akibat beberapa jenis obat, seperti : obat
nefrotoksik; diuretik (hidroklorotiazid, asam etakrinat, furosemid, triamteren); antibiotik
dosis tinggi (basitrasin, sefaloridin, gentamisin, kanamisin, kloramfenikol, metisilin,
neomisin, vankomisin); obat antihipertensi (metildopa, guanetidin); sulfonamide;
propanolol, morfin; litium karbonat; salisilat.
204
Kadar Blood Urea Nitrogen sebagai patokan criteria untuk dilakukan
hemodialisa ialah : 100 ” 120 mg %.
205
Dialisa adalah suatu proses dimana difusi melalui membran semi permeable dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya, berdasarkan prinsip difusi, osmosis dan
ultra filtrasi untuk mengeluarkan cairan dan limbah dari dalam tubuh. Hemodialisa adalah
pengeluaran zat sisa metabolisme seperti ureum dan zat beracun lainnya, dengan
mengalirkan darah melalui alat dializer yang berisi membran yang selektif-permeabel.
Hemodialisa dilakukan pada pasien penderita penyakit yang akut dan memerlukan
terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan
renal failure (gagal ginjal) yaitu yang menunjukkan stadium ESRD (end-stage renal disease,
penyakit ginjal stadium terminal), serta beberapa bentuk keracunan lainnya yang
membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen.
206
R.N. Auer, B.K. Siesjo, "Hypoglycaemia: Brain Neurochemistry and
Neuropathology", Baillière's Clinical Endocrinology and Metabolism , vol. 7, issue 3 (July
1993): 611”625.
207
Cathy M. Helgason, "Blood Glucose and Stroke", Stroke -The American Heart
Association Journal 19 (1988): 1049-1053.
208
M.S. Cooper, P.M. Stewart, "Adrenal Insufficiency in Critical Illness", Journal
of Intensive Care Medicine 22 (2007): 348”62.
209
S.S. Bajwa, R. Jindal, "Endocrine Emergencies in Critically Ill Patients:
Challenges in Diagnosis and Management, Indian Journal of Endocrinology and Metabolism
16 (2012): 722”727.

319
batang otak tidak bisa ditetapkan kecuali setelah dilakukan peningkatan
oksigen dalam darah dalam waktu tidak kurang dari 24 jam.210
8. Situasi-situasi yang dilakukan padanya operasi besar pada otak; seperti edema
otak atau pecahnya pembuluh darah pada subarachnoid haemorrhage atau
munculnya aneurysma211 dalam otak. Dalam kondisi seperti ini terhentinya
fungsi batang otak kadang mengakibatkan terjadinya pingsan dan pernapasan
terhenti. Oleh karena itu, tidak mungkin ditetapkan kematian batang otak
kecuali minimal setelah 24 jam.
9. Terjadinya infeksi otak; selain dari beberapa bagian otak yang sakit, terkadang
hal ini mengakibatkan terhentinya fungsi-fungsi batang otak. Dalam kondisi
seperti ini, alat bantu pernapasan hendaklah tetap terpasang walaupun fungsi-
fungsi batang otak terhenti, sampai dapat diketahui dengan pasti dan jelas
bahwa fungsi batang otak berhenti tidak sementara.
10. Dalam kondisi-kondisi meragukan, khususnya pada bayi, dilakukan
pemeriksaan tambahan yang meliputi:
a. Penyuntikan zat kontras ke dalam pembuluh darah otak. Jika tidak
terdeteksi adanya aliran darah pada batang otak, maka hal ini sebagai bukti
kuat tentang matinya batang otak.
b. Keistimewaan pemeriksaan ini adalah pelaksanaannya yang relatif mudah.
Pemeriksaan mungkin dilakukan tanpa harus memindahkan pasien ke ruang
radiologi dari kamar yang sudah terpasang alat ventilator.

Ini berarti bahwa penghentian alat bantu di atas terhadap orang yang telah
mati otaknya, tidak dianggap sebagai kejahatan terhadap hak asasi manusia. Ini
karena kematian otak itu berarti berakhirnya hidup seseorang. Kehidupan otak itu
terpisah dari kehidupan organ tubuh yang dipelihara oleh alat-alat tersebut. Apabila
dokter membiarkan alat tersebut bekerja pada tubuh pasien sesudah itu, maka ia
tidak melakukan hal yang dapat lebih memperlama kehidupan organ dengan metode
buatan. Maksudnya adalah memperlama kesegarannya, dan itu merupakan tindakan
yang sia-sisa. Selama tidak ada manfaatnya bagi seseorang, maka tindakan tersebut
harus dihindari.
Akan tetapi pemasangan ventilator harus terus dilakukan manakala organ
tubuh mayat tersebut akan diambil untuk digunakan pada orang yang masih hidup.
Di antara hak keluarga dari sudut pandang kemanusiaan adalah meminta dokter
untuk menghentikan alat ventilator,212 sebagaimana hak dokter untuk
menghentikannya.213 Inilah yang diserukan oleh Hak Asasi Manusia.214

210
B.C. White, J.G. Wiegenstein, "Brain Ischemic Anoxia", Journal of American
Medical Association, vol. 251, issue 12 (1984): 1586-1589.
211
‘Ali> al-Ba>rr, "Ajhizah al-In‘a>sh", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 464.
212
George Zdenkowski, "Human Rights and Euthanasia", An Occasional Paper of
the Human Rights and Equal Opportunity Commission , Sydney, December 1996.
213
G.L. Snider, "The Do-Not-Resuscitate Order. Ethical and Legal Imperative or
Medical Decision?", American Review of Respiratory Disease 143 (1991): 665-674.
214
J. Scherer, R. Simon, Euthanasia and the Right to Die: A Comparative View
(Lanham: Rowman & Littlefiled Publishers, 1999), 2.

320
Kemudian bisa muncul pertanyaan: jika transplantasi organ tubuh telah
dapat dilakukan, bagaimana dengan pemindahan otak kepada orang yang otaknya
rusak? Maka jawaban terhadap pertanyan ini adalah aksiomatis, sebab kaidahnya
adalah memindahkan anggota tubuh yang masih hidup. Namun bagi otak yang
masih hidup, maka tidak terdapat kecuali pada orang yang masih hidup, dan
memindahkan otak yang masih hidup sama dengan membunuh pemilik otak itu
sendiri. Belum lagi ketidakmungkinan melakukan operasi dari sisi teknologi,
dimana operasi tersebut mengharuskan pemindahan otak, susunan saraf tulang
belakang bersama bagian saraf lainnya seperti kedua mata, hidung, dan lain-lain.
Misalnya kita berasumsi bahwa hal itu memungkinkan, maka kemungkinan
yang bisa dilakukan adalah memindahkan jasad orang yang mati otaknya kepada
otak yang masih hidup, sebab otak yang hidup akan selalu bersama tubuh
pemiliknya. Adapun zat jasad yang telah mati otaknya, maka ia telah selesai dari
dunia ini dan hanya Alla>h yang Maha Kekal. Ingatlah apa yang disebutkan oleh
Alla>h berikut ini: ‚Alla>h memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan
nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur; maka Dia tahan nyawa (orang)
yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan nyawa yang lain sampai
waktu yang ditentukan‛. (QS al-Zumar [39]: 42)
Pada ayat di atas Alla>h Ta‘a>la mensifatkan tidur dengan mati yang
merupakan salah satu fase dari beberapa fase kehidupan, sama seperti keadaan
orang yang terbius yang kita sebut dengan kehidupan jasadi. Jadi kematian adalah
akhir dari kehidupan badan dan kejiwaan manusia.

K. Diagnosa Kematian Otak


1. Langkah-langkah Dasar Diagnosa Kematian Otak215
Ada tiga langkah utama untuk menegakkan diagnosa kematian otak, yaitu:
Pertama, pra-kondisi, mencakup:
a. Seseorang mengalami koma dan tidak bisa bernapas kecuali dengan perantara
ventilator.
b. Status koma disebabkan karena suatu penyakit atau trauma pada batang otak
yang tidak bisa ditangani (irreversible).216
Kedua, tidak adanya salah satu penyebab koma yang sifatnya temporer dan
diakibatkan oleh:
a. Alkohol dan obat-obatan.217
b. Rendahnya suhu tubuh.218
Ketiga, tindakan medis yang menegaskan:

215
‘Ali> al-Ba>rr, Ajhizat al-In‘a>sh, Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 467.
216
Report of the Ad Hoc Committee of the Harvard Medical School to Examine the
Definition of Brain Death, "A Definition of Irreversible Coma", Journal of American
Medical Association 205 (1968): 337”340.
217
E.F. Wijdicks, "The Diagnosis of Brain Death", The New England Journal of
Medicine 344 (2001): 1215-1221.
218
J.M. Guérit, M. Meulders, "Clinical Applications of the Quantification of the
Relationship between Body Temperature and Brain-stem Auditory Evoked Potentials",
Electroencephalogy Clinic Neurophysiology 52 (1981): S39”40.

321
a. Tidak adanya reaksi dari batang otak.219
b. Tidak adanya pernapasan dari selain bantuan ventilator.

Tindakan ini diulang beberapa lama kemudian, serta dilakukan oleh dokter
ahli, antara lain ahli neurologi dan ahli anestesi. Juga dengan syarat di antara
dokter-dokter tersebut tidak ada seorang dokter yang akan menangani transplantasi
dari tubuh pasien ke tubuh orang lain. Hampir tidak ditemukan kesulitan dalam
mendiagnosa kematian kecuali pada perkara-perkara yang sangat jarang sekali
terjadi. Oleh karenanya betapa banyak orang yang terlahir ke dunia kemudian
meninggal dunia tanpa pengakuan dan kesaksian seorang dokter.
Namun demikian pada zaman modern ini, kehidupan seseorang dari lahir
sampai meninggal dunia diserahkan kepada para dokter. Masalah penentuan status
kematian oleh dokter adalah sangat penting. Demikian pula ketetapan dokter
forensik tentang sebab kematian, sebab kalau tidak demikian betapa banyak
pembunuhan dalam bentuk yang sangat rapi dan tidak diketahui oleh orang lain.220

2. Pernyataan Kematian
Ketika kematian batang otak telah jelas dan sebab-sebab temporer
terhentinya fungsi batang otak sudah dapat disingkirkan, maka dokter akan
membuat sertifikat kematian pasien tersebut. Alat bantu hidup pun segera dilepas,
kecuali jika pasien (dan keluarganya) telah sepakat untuk mendonorkan organnya.
Dalam kondisi seperti ini alat bantu tetap dipakai sehingga sistem peredaran darah
tetap mengalir. Dengan demikian organ yang akan didonorkan tersebut berada
dalam kondisi yang terbaik.
Adapun organ jantung sangat cepat rusak dan tidak ada manfaatnya
memindahkan jantung yang rusak kepada orang lain yang membutuhkan.221 Oleh
karenanya alat bantu hidup masih digunakan untuk beberapa jam kemudian, sampai
pengangkatan jantung (dan organ lain) selesai dengan sempurna. Dengan demikian
organ tersebut dalam kondisi baik ketika ditransplantasikan ke tubuh orang lain.222
Setelah diangkat dari jenazah, organ yang akan ditransplantasikan
ditempatkan pada cairan pada suhu tertentu, sehingga organ tersebut tetap dalam
kondisi baik. Bahkan memungkinkannya untuk diterbangkan dari satu Negara ke
Negara lain, demi untuk menyelamatkan seseorang yang sangat membutuhkan.
Dalam keadaan darurat seperti ini pernyataan kematian batang otak dan selanjutnya
kematian pasien telah disahkan, namun jantung tetap berdenyut dan pernapasan
tetap berhembus dengan menggunakan alat bantu.
Kondisi inilah yang membuat para ahli fikih dan ahli hukum merasa ragu
dalam menyatakan kematian pasien. Namun jika sudah jelas bahwa diagnosa
219
American Academy of Neurology,"Practice Parameters: Determining Brain
Death in Adults", Neurology 45 (1995): 1012-1014.
220
‘Ali> al-Ba>rr, Ajhizat al-In‘a>sh, Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 468.
221
Robert M. Veatch, "Donating Hearts after Cardiac Death „ Reversing the
Irreversible", The New England Journal of Medicine 359 (August 2008): 672-673.
222
Robert D. Truog, Franklin G. Miller, "The Dead Donor Rule and Organ
Transplantation", The New England Journal of Medicine 359 (August 2008): 674-675.

322
batang otak adalah sebagai dasar, maka kematian otak atau batang otak dapat
diterima dari sisi syar’i, dengan catatan jika semua kemungkinan lain dapat
disingkirkan, seperti fungsi batang otak terhenti untuk sementara waktu.
Ada pula pendapat sebagian dokter yang memandang bahwa kematian ialah
hilangnya persepsi, berpikir dan merasa. Diantaranya ialah Dr. Steward Younger
dan Dr. Edward Barlette dalam artikel yang dimuat jurnal Annals of Internal
Medicine pada tahun 1983.223 Dalam artikel tersebut, mereka memfokuskan bahwa
hilangnya kesadaran dan kognisi yang tidak ada harapan untuk kembali, sebagai
dasar yang cukup untuk menetapkan hilangnya kehidupan seseorang. Definisi yang
menimbulkan kontroversi pada sejumlah kasus, seperti kasus Karen Ann Quinlan
dan Cecilia Blondey. Yang pertama hidup selama 10 tahun, dan yang kedua hidup
selama 12 tahun, setelah kehilangan semua unsur kehidupan insani.
Oleh sebab itu, berbagai konferensi kedokteran dan hukum menolak
definisi kematian ini. Sebaliknya, dibolehkan menghentikan alat-alat bantu dalam
kasus-kasus dimana seseorang telah kehilangan semua unsur kehidupan insani.
Inilah keputusan mahkamah tinggi (Supreme Court) Amerika Serikat dalam kasus
Karen Ann Quinlan dan memerintahkan dokter yang menangani untuk
menghentikan alat-alat tersebut. Keputusan ini dikeluarkan pada bulan Maret 1976,
dan alat-alat pun dicabut pada bulan Mei 1977. Meskipun demikian, Karen tetap
hidup secara vegetatif hingga tahun 1985.224
Sementara itu Syarafuddin berkomentar dari aspek hukum dan syariat,
‚Apakah pencabutan alat bantu hidup dianggap sebagai tindakan pembunuhan?
Tidak sulit untuk mengatakan bahwa penghentian alat-alat tersebut dianggap
sebagai pembunuhan apabila dilakukan sebelum kematian otak pasien. Dan
sebaliknya, ia tidak dianggap sebagai pembunuhan apabila pelepasan alat-alat
tersebut dilakukan setelah kematian otak, karena kehidupannya tidak hakiki.
Kesulitan yang sebenarnya terjadi dalam kasus ketika alat-alat ini telah terpasang
pada pasien sebelum kematian otaknya, atau pada waktu ia dipastikan hidup dan
alat-alat tersebut dihentikan setelah dipastikan kematian otaknya. Jadi, pasien
dalam kasus ini meskipun telah kehilangan kehidupan yang alami dalam pandangan
medis, namun ia masih hidup dalam pandangan fikih dan hukum (di negara-negara
yang tidak mengakui kematian otak) selama tidak ditempuh proses legal untuk
memvonis kematiannya.‛

L. Pembahasan Fikih tentang Kematian dan Alat Bantu Hidup

Dari semua uraian di atas, kiranya dapat tergambar tentang berbagai hal
yang berkaitan dengan definisi kematian, berikut tahapan dan ciri-cirinya, serta
penatalaksanaan dari sisi medis untuk mempertahankan hidup. Setelah masing-

223
S. Younger, E. Barlette, "Human Death and High Technology: the Failure of the
Whole Brain Formulation", Annals of Internal Medicine 299 (1983): 252-258.
224
https://www.princeton.edu/~achaney/tmve/wiki100k/docs/Karen_Ann_Quinlan.ht
ml. Diakses pada 31 Mei 2014.

323
masing tas}awwur dari topik-topik di atas telah dapat dipahami, maka penelitian ini
melanjutkan kepada kajian pokok masalah tersebut dari sisi fikih.

1. Hukum Syariah Terkait Orang yang Hilang Kesadaran


Kadang terdapat seseorang yang kehilangan kesadarannya, sehingga ia
kehilangan kemampuannya. Ini seperti halnya seorang anak yang masih kecil, atau
orang yang gila. Masing-masing dari keduanya tidak memiliki akal pikiran,
sehingga ia tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan sengaja,
dan tidak terkena tanggung jawab syariah (pahala dan dosa) pada ucapan maupun
perbuatannya. Nabi SAW bersabda:
225

‚Pena diangkat dari tiga orang: dari orang yang tidur hingga terjaga, dari orang
yang kena musibah hingga sembuh, dan dari anak kecil hingga ia dewasa.‛

Abu> Da>wud juga meriwayatkan dari hadis ‘Ali> dan ‘Umar dengan redaksi:
226

‚… dari orang gila hingga ia sembuh, dan dari orang yang tidur hingga ia sadar.‛
Juga diriwayatkan dari keduanya dengan redaksi: ‚… dan dari orang yang gila
hingga ia sadar.‛ Dan dalam redaksi lain: ‚… dari anak kecil hingga ia ih}tila>m.‛
Oleh karena itu orang gila tidak wajib shalat, puasa dan haji. Jika ia
melakukannya, maka amalnya tidak diterima. Ketika ia sembuh, maka tidak perlu
meng-qad}a>’ (mengganti) shalat dan puasa yang luput darinya. Selain ia tidak
dibebani hukum syariah dalam hal ibadah, akad dan perbuatannya juga dianggap
batal. Paling jauh adalah apabila orang gila atau anak kecil melakukan pelanggaran
terhadap jiwa atau harta, maka ia dikenai sanksi harta (materi), namun ia tidak
terkena sanksi fisik. Jika ia membunuh dan merusak harta orang lain, maka ia
dikenai sanksi diya>t, bukan qis}a>s}, dan ia wajib mengganti harta yang dirusaknya
itu. Inilah makna ucapan ahli fikih:

‚Kesengajaan anak kecil atau orang gila merupakan kekeliruan


(ketidaksengajaan).‛ Sebab, selama tidak ada akal pikiran maka tidak terdapat niat,
sehingga tidak ada kesengajaan.
Disamping itu, hak-haknya tetap terjaga. Sah baginya untuk menerima
hadiah. Ia mewarisi serta mewariskan. Ia berhak dinafkahi. Ia pun wajib menafkahi
istrinya, anak-anaknya, atau orang yang menjadi kewajiban tanggungannya, atau
mengganti harta orang lain yang dirusaknya, yaitu dengan cara diambilkan dari
harta yang menjadi haknya.
Adapun hak dan kewajiban tetap berlaku bagi setiap insan sejak dilahirkan,
baik dari masa balita yang ia belum dapat membedakan (tamyīz) maupun
sesudahnya, baik pada masa ia sadar dan berakal maupun tidak. Pada seluruh fase

225
Hadis dengan redaksi dari ‘A<’ishah Binti Abi> Bakr r.a. Diriwayatkan oleh Abu>
Da>wud, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, al-H{a>kim, Ibn al-Ja>ru>d, al-Bayhaqi>, Abu> Da>wud al-
T{aya>li>si>, Ish}aq Ibn Ra>hawayh, Abu> Ya‘la>, dan Ibn Abi> Shaybah.
226
Riwayat al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, al-Da>rimi>, al-H{a>kim, dan
Abu> Da>wud al-T{aya>li>si>.

324
hidup berlaku kemampuan wajib yang sempurna (ahli>yah wuju>b ka>milah), selama ia
masih disebut manusia, baik pria maupun wanita. Apapun kondisinya, apakah
sehat, cacat, idiot, balita, dan lain sebagainya. Lebih jelasnya, hal itu tetap berlaku
selama tubuh manusia masih hidup, meskipun kesadarannya tidak demikian.
Intinya, tubuh yang hidup itulah yang menjadi patokan untuk kondisi
dimaksud, dan bukan pikiran (kesadaran) yang dijadikan patokan. Pikiran yang
hidup menjadi patokan untuk ibadah dan pembebanan syariah, yakni berkaitan
dengan hubungan seorang hamba dan Alla>h. Jika demikian, lantas bagaimana
mungkin ada orang yang menyatakan bahwa tubuh yang hidup tidak menjadi
patokan dan tidak mendapat penghormatan. Sungguh yang demikian itu telah
menyelisihi Al-Qur’a>n, Sunnah dan konsensus (ijma>‘) kaum Muslimin.

2. Al-Qur’a>n Mengabaikan Tidak Berfungsinya Kesadaran sebagai Kematian


Tidak berfungsinya indra tidaklah menunjukkan hilangnya kehidupan,
kecuali dalam kiasan dan metafora. Tak ada orang berakal yang menyatakan bahwa
orang yang tidur itu mati. Tidak pula dikatakan bahwa orang gila itu kehilangan
daya hidupnya. Begitu pula halnya dengan orang yang kurang kemampuannya,
seperti anak kecil yang belum memiliki kemampuan membedakan. Tak ada yang
mengatakan bahwa mereka itu diperlakukan sebagaimana layaknya orang mati. Hal
yang sama juga berlaku untuk orang sakit dalam kondisi koma, baik dalam jangka
waktu yang panjang maupun sebentar. Ia tidak diperlakukan layaknya orang mati.
Diagnosis kematian ini hanya bisa ditegakkan secara cermat dan seksama.
Ada sejumlah penyakit yang dapat menyamarkan diagnosis tersebut. Diantaranya
ialah salah satu jenis epilepsi yang dikenal dengan nama Jacksonian fits.227 Ia
dimulai dari pusat kontrol motorik. Ibu jari kiri bergerak terlebih dahulu, misalnya,
disusul dengan tangan, lengan, lalu sisi kanan tubuh secara total. Setelah itu
penderita kehilangan kesadaran dan terserang epilepsi dan kram di seluruh tubuh.
Penyebab epilepsi jenis ini adalah adanya lompatan listrik lantaran adanya
tumor atau jejas pada area tertentu di dalam otak. Aktivitas listrik merembet dari
area gerak yang terbatas dalam otak hingga mencapai area kesadaran, yaitu
jaringan otak sampai ke otak tengah.228
Lain halnya dengan peristiwa tidurnya As}h}a>b al-Kahf, sebagaimana
diabadikan dalam Al-Qur’a>n. Tidurnya para pemuda tersebut selama 309 tahun
bukanlah tidur pingsan (syncope) dan bukan tidur mati, melainkan tidur normal.
Kasus tidur ini adalah penon-aktifan aktivitas pusat kesadaran dalam sel-sel

227
Disebut juga Jacksonian seizure (epilepsi lobus temporalis). Merupakan salah
satu jenis dari epilepsi fokal/parsial motorik. Gejla epilepsi menjalar dimulai satu bagian
tubuh dan menjalar luas ke daerah lain. Umumnya hampir terjadi pada semua pasien dengan
struktur otak, serangan umumnya dimulai pada tangan, kaki, dan muka, lalu diakhiri dengan
seizure grandmal. Lihat: MedicineNet,com, Definition of Jacksonian Seizure, http://www.
medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=7453. Diakses pada 2 Juni 2014.
228
M Fox, A Snyder, et al., "The Human Brain is Intrinsically Organized into
Dynamic, Anticorrelated Functional Networks", Proceedings of the National Academy of
Sciences USA, vol. 102, issue 9673 (2005): 2.

325
jaringan dalam otak tengah.229 Anehnya, tidurnya mereka berlangsung selama
beberapa abad lamanya. Alla>h jadikan tidur yang panjang itu menjadi mukjizat bagi
para pemuda yang beriman kepada Alla>h dan lari ke dalam goa dari raja mereka
yang sewenang-wenang. Alla>h mengisahkan mereka dalam surat al-Kahf:
‚Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang
mempunyai) raqi>m itu,230 mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang
mengherankan?231 (Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung
ke dalam gua lalu mereka berdoa, ‘Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada
kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan
kami (ini).’ Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu,
kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara
kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka
tinggal (dalam gua itu).‛ (QS al-Kahf [18]: 9-12)
Kemudian Alla>h berfirman: ‚Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal
mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing
mereka menjulurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu
menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan
(diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka.‛
(QS al-Kahf [18]: 18)
Al-Qur’a>n mengisahkan tentang ‚koma‛232 yang sangat panjang yang
dialami sekelompok manusia dengan jasad yang tetap utuh, yaitu selama tiga ratus
sembilan tahun. Kemudian mereka sadar kembali. Al-Qur’a>n tidak menamakan hal
itu sebagai kematian. Padahal, adalah mudah untuk menyebutnya sebagai kematian.
Ini menunjukkan mukjizat pemeliharaan jasad agar tetap hidup.

229
Diantara fungsi otak tengah (midbrain) ialah memperkuat informasi sensorik
yang spesifik dari organ-organ sensorik ke otak. Wolfram Schultz,"Review Dopamine
Signals for Reward Value and Risk: Basic and Recent Data", Behavioral and Brain
Functions Journal 6 (2010): 24.
230
Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan "al-raqi>m".
Imam Ibn ‘At}i>yah dan Abu> H{ayya>n al-Andalusi> berpendapat bahwa itu adalah nama sebuah
bangunan (masjid) yang diabadikan sebagai situs As}h}a>b al-Kahf di kota tua Daqyus, sebuah
dataran tinggi yang hijau di sebelah atas kota Granada, Spanyol. Lihat: Abu> H{ayya>n, Al-
Bah}r al-Muh}i>t}, j.VI, 126.
231
Ibn ‘Abba>s, ‘At}i>yah al-‘Awfi>, Qata>dah dan al-Dah}h}a>k mengatakan bahwa "al-
raqi>m" ialah lembah. Dalam riwayat yang lain, Ibn ‘Abba>s mengatakan bahwa itu adalah
nama gunung. Sa‘i>d Ibn Jubayr mengatakannya sebagai prasasti di Gua al-Kahf, dan lain-
lain pendapat lagi. Intinya ialah bahwa al-raqi>m merupakan salah satu ayat-ayat kebenaran
Alla>h yang mengagumkan. Lihat: Ibn Kathi>r, Tafsi>r Al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, j.IV, 197-198.
232
Para ulama anggota Majma‘, seperti Shaykh Bakr Abu> Zayd dan Shaykh al-
Mukhta>r al-Sala>mi mengistilahkan dengan "koma". Ini merupakan istilah umum yang
berbeda dengan definisi kedokteran. Secara medis istilah "coma" berarti seseorang yang
tampak tidur dan pada saat yang sama tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar serta
tidak menunjukkan kebutuhan yang dibutuhkan dari dalam tubuhnya sendiri (seperti
kebutuhan makan, minum, b.a.k., dll.). Lihat: Allan, Robert, Adams and Victor's Principles
of Neurology, 304.

326
Para ahli tafsir,233 sepakat bahwa kata ‚ba‘athna>hum‛ berarti ‚Kami
bangunkan mereka‛,234 karena saat itu jasad mereka hidup.235 Artinya seluruh
mekanisme metabolisme fisik mereka berlangsung seperti biasa. Dalilnya adalah
kelanjutan ayat di atas:

‚Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke
sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang
mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu... dan Kami balik-balikkan
mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka menjulurkan kedua kaki
depannya di muka pintu gua. Jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan
berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan
dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.‛ (QS al-Kahf [18]:17 ” 18)

Selanjutnya apabila kita amati kisah tentang penghuni goa di atas, maka
dapat disimpulkan hal-hal berikut:
Pertama. Al-Qur’a>n menyebutkan kisah penghuni goa dengan kalimat:
‚Maka Kami tutup telinga mereka,‛ bukan dengan kalimat misalnya: ‚Maka Kami
matikan mereka,‛ atau: ‚Maka Kami timpakan kematian kepada mereka.‛ Kisah
tersebut tidak menyebutkan kata kematian, karena para penghuni goa hanya
kehilangan kesadaran dan kemampuan sensorik,236 sedangkan hidup mereka tetap
berjalan. Jasad mereka utuh dan tidak hancur. Bahkan, Al-Qur’a>n menyebutkan
bahwa rambut dan kuku mereka tetap tumbuh selama jangka waktu: ‚tiga ratus
tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).‛ (QS al-Kahf [18]:25) Kondisi ini
diisyaratkan dalam kisah di atas dengan kalimat: ‚Jika kamu menyaksikan mereka
tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati)
kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.‛ (QS al-Kahf [18]:18)
Ketakutan itu timbul karena panjangnya rambut mereka, begitu pula kuku, jenggot
dan sebagainya, di luar dari yang umum dan biasa dikenal.
Kedua. Melalui kisah para penghuni goa tersebut, Al-Qur’a>n ingin
mengajarkan kepada kita tentang bagaimana cara memelihara jasad manusia, yaitu
ketika akal pikiran sedang tidak berfungsi, agar jasad itu tidak rusak yang dapat
mengakibatkan hilangnya kesadaran, sampai kemudian ia sadar kembali atau Alla>h
menetapkan lain. Secara umum, pemeliharaan jasad tersebut dengan dua hal.
Pertama: Suhu dan kelembaban udara yang sesuai. Kedua: gerak dinamis secara
berkesinambungan selama mereka tidur tersebut.

233
Abu> H{ayya>n, Al-Bah}r al-Muh}i>t}, j.VI, 128.
234
Al-Shawka>ni>, Fath} al-Qadi>r, j.III, 272.
235
Ibn al-Jawzi> menyebutkan bangunnya tersebut berarti telah hilang dari apa yang
telah menguncinya selama ini dalam hal perilaku dan kesadaran menusiawi. Lihat: Ibn al-
Jawzi>, Za>d al-Masi>r, j.III, 69.
236
Nava Levit-Binnun, Michael Davidovitch, Yulia Golland, "Sensory and Motor
Secondary Symptoms as Indicators of Brain Vulnerability", Journal of Neurodevelopmental
Disorders 5 (2013): 26.

327
Kisah tersebut seolah mengajarkan kepada kita tentang suatu proses
biologis, bahwa seseorang dapat terus hidup meskipun kehilangan kemampuan
berpikir dalam jangka waktu lama.237 Syaratnya adalah adanya keseimbangan
kimiawi dan biologis yang tepat dan sesuai. Saat ini, pengaturan keseimbangan
tersebut telah dilakukan secara modern, seperti infus, pemeliharaan kulit,
pengubahan posisi dan tempat tidur secara periodik,238 ekskresi urin dan feses, dan
lain sebagainya.
Dalam kisah Al-Qur’a>n di atas, adalah Alla>h yang memberikan asupan
makanan kepada tubuh penghuni goa. Makanan tersebut tentunya tidak
menyebabkan keluarnya kotoran dan air seni. Berikutnya yang diperlukan adalah
penghangatan dan penggerakkan tubuh yang berkesinambungan. Terkait
penghangatan, Al-Qur’a>n menyebutkan: ‚Dan kamu akan melihat matahari ketika
terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam
menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas
dalam gua itu.‛ (QS al-Kahf [18]: 17)
Adapun tentang pengubahan posisi tidur, Al-Qur’a>n menyatakan: ‚Dan
Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri.‛ (QS al-Kahf [18]: 18)

3. Hakikat Kematian dan Kehidupan dalam Al-Qur’a>n


Hidup dan mati memiliki berbagai macam makna. Bahasa Arab dan
petunjuk Al-Qur’a>n mencakup makna-makna tersebut. Hidup merupakan antonim
dari mati. Demikian pula sebaliknya. Jika kita mendefinisikan hidup, maka mati
akan keluar dari definisi tersebut. Begitu pula sebaliknya. Sebagaimana hidup
merupakan salah satu rahasia Alla>h, maka demikian pula kematian. Masing-masing
ditakdirkan dan dijanjikan. Kita wajib mengilmui dan mengimani bahwa kehidupan
dan kematian berada di Tangan Alla>h Ta‘a>la>, sebagaimana Firman-Nya:

‚(Dialah) yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di
antara kalian yang lebih baik amalnya.‛ (QS al-Mulk [67]: 2)

a. Definisi Mati239
Secara etimologis, huruf mim, wa>w dan ta>’ (mati: mawt) mengisyaratkan
kondisi hilangnya kekuatan dari sesuatu, baik hewan atau tumbuhan.240
Nabi SAW bersabda:241

237
Tawfi>q al-Wa>‘i>, Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.II, 573.
238
Tidur terlentang dalam waktu lama dapat mengakibatkan lebam di punggung
(decubitus). Oleh karena itu Alla>h Ta‘a>la> membolak-balikkan tidur mereka, agar tidak
membebani satu sisi saja dari tubuh mereka, sebagaimana diternagkan dalam surat al-Kahf.
239
Definisi mati yang diakui di dunia medis dan legal ialah mati batang otak,
sebagaimana terdahulu pembahasannya. Dalam sub bab ini dibahas tentang definisi mati
dari sisi dalil-dalil Al-Qur'a>n dan Hadis Nabi SAW.
240
Ibn Fa>ris, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lughah, 933.
241
Riwayat Muslim, Ibn Ma>jah, Ah}mad, Ibn H{ibba>n, Abu> ‘Awa>nah, al-Bayhaqi>,
Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, Abu> Ya‘la>, ‘Abd al-Razza>q, al-Bazza>r, dan al-Baghawi>.

328
‚Siapa yang makan dari pohon yang keji ini (yakni: bawang putih) maka janganlah
sekali-kali ia mendekati tempat shalat kami. Kecuali ia telah mematikannya dengan
memasak(nya).‛
Dengan demikian, kata ‚mati‛ dalam bahasa Arab pada asalnya menunjukkan
‚hilangnya kekuatan tumbuh‛. Terkadang ia juga digunakan untuk ‚hilangnya
kekuatan indera atau jiwa‛. Atas hal inilah kata ‚mati‛ memiliki penunjukan
makna yang beraneka ragam, antara lain sebagai berikut:
1) Diam. Setiap benda yang diam maka ia disebut mati. Orang berkata, ‚Api itu
mati,‛ jika bara api telah menjadi dingin dan tiada lagi yang tersisa. Demikian
pula dikatakan: ‚Angin itu mati,‛ jika ia diam dan tidak berhembus.
2) Tidur. Kata ‚mati‛ digunakan juga untuk tidur, sebagaimana disebutkan dalam
doa ketika bangun tidur yang telah umum dikenal:

‚Segala puji bagi Alla>h yang telah menghidupkan kami setelah mematikan
kami, dan kepada-Nya kami dibangkitkan.‛242
3) Hilangnya kemampuan untuk tumbuh, khususnya bagi hewan dan tumbuhan.
Contohnya adalah Firman Alla>h Ta‘a>la>:

‚Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Alla>h, bagaimana Alla>h


menghidupkan bumi yang sudah mati.‛ (QS al-Rūm [30]: 50)

‚Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati
dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah
kalian akan dikeluarkan (dari kubur).‛ (QS al-Rūm [30]: 19)
4) Hilangnya kekuatan indera,243 seperti pada Firman Alla>h tentang ucapan
Maryam:

‚Aduhai, alangkah baiknya aku mati 244sebelum ini, dan aku menjadi barang
yang tidak berarti, lagi dilupakan.‛ (QS Maryam [19]: 23)
5) Kebodohan. Kata ‚mati‛ juga berarti kebodohan, seperti pada firman Alla>h:245

242
Riwayat al-Bukha>ri>, al-Tirmidhi>, Abu> Da>wud, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, al-
Da>rimi>, Ibn H{ibba>n, Ibn Abi>a Shaybah, Abu> al-H{usayn Ibn Bashra>n, ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn
Ish}a>q, Abu> ‘Abdilla>h Ibn Mandah, al-Bayhaqi>, al-La>lika>'i>, al-Baghawi>, al-T{abra>ni>, al-Khat}i>b
al-Baghdadi>, Ibn al-Sunni>, Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, dan Ibn Abi> Shaybah.
243
Abu> H{ayya>n, Al-Bah}r al-Muh}i>t}, j.VI, 227.
244
Kata "mittu" yang berasal dari kata "mawt" berarti tidak merasakan apa-apa
bagaikan pada masa sebelum dilahirkan ke muka bumi. Kata tersebut juga berarti suatu
perbuatan hina dan tercela dengan melupakan sesuatu yang sangat penting. Lihat: Abu> Bakr
al-Jaza>'iri>, Aysar al-Tafa>si>r (Al-Madi>nah al-Munawwarah: al-T{ab‘ah al-Kha>s}s}ah bi al-
Mu'allif, 1414H-1993M), j.III, 302.
245
Disebut kebodohan karena "mayta" dalam ayat ini berarti hilangnya ruh
keimanan. Lihat: Abu> Bakr al-Jaza>'iri>, Aysar al-Tafa>si>r, j.II, 113.

329
‚Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami
berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat
berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang
keadaannya berada dalam gelap gulita.‛ (QS al-An‘a>m [6]:122)

Juga sebagaimana perkataan penyair:

Tidaklah seorang mati lantas ia istirahat dengan kematiannya


orang mati yang sebenarnya adalah ia hidup namun mati
Orang mati adalah yang hidup dalam kondisi hina
pikirannya carut marut dan sedikit ketenteramannya

6) Permulaan kematian atau datangnya tanda-tanda kematian, seperti pada firman


Alla>h Ta‘a>la>:

‚Adakah kamu hadir ketika Ya‘qūb kedatangan (tanda-tanda) kematian.‛ (QS


al-Baqarah [2]: 133)
7) Kata ‚mati‛ juga digunakan dengan mengasumsikan kondisi ke masa depan
yang akan terjadi, seperti dalam firman Alla>h Ta‘a>la>:

‚Sesungguhnya engkau (akan) mati dan mereka pun (akan) mati.‛ (QS al-
Zumar [39]: 40)

‚Semua yang ada di bumi itu (akan) binas}s}a.‛ (QS al-Rah}mān [55]: 26) 246
8) Hilangnya kehidupan. Kata ‚mati‛ digunakan untuk menunjukkan hilangnya
kehidupan dan berpisahnya roh dari jasad insan, seperti pada firman Alla>h:

‚Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu


selalu lari darinya.‛ (QS Qāf [50]:19)

‚Di mana saja kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian, kendatipun
kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.‛ (QS al-Nisā’ [4]: 78)

b. Pengertian Roh
Secara etimologis, kata ‚roh‛ (ejaan Arab: ru>h}) memiliki sejumlah makna
yang berbeda terkait dengan penggunaan kata tersebut. Al-Qur’a>n al-Kari>m
menyebut kata ‚ru>h}‛ pada dua puluh tempat dan memiliki makna yang berbeda-
beda, antara lain:
1) Kata ‚roh‛ digunakan untuk Jibri>l, berdasarkan firman Alla>h Ta‘a>la>:

246
Pengertian "fa>n" yang diambil dari kata "fana>'" dalam ayat ini memberikan
pelajaran bahwa siapa saja di muka bumi ini kelak akan binasa. Lihat: Al-Qa>simi>, Mah}a>sin
al-Ta'wi>l, j.VIII, 563.

330
‚Dia (Qur’a>n) dibawa turun oleh al-Rūh al-Amīn (Jibri>l), ke dalam hatimu
(Muh}ammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan.‛ (QS al-Shu‘ara>’ [26]: 193 ” 194)
2) Kata tersebut juga digunakan untuk Al-Qur’a>n, berdasarkan firman-Nya:

‚Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’a>n) dengan


perintah Kami.‛ (QS al-Shu>ra> [42]: 52)
3) Kata itu juga digunakan untuk rahasia247 yang Alla>h tanamkan pada A<dam,
berdasarkan firman-Nya:

‚Dan Aku telah meniupkan ke dalamnya (A<dam) roh (ciptaan)-Ku.‛ (QS al-H{ijr
[15]: 29)
4) Kata itu juga bermakna suatu zat halus dari Alla>h yang ditanamkan kepada
manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:

‚Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.’‛
(QS al-Isra>’ [17]: 85)

Demikianlah di antara sekian banyak pengertian ‚roh‛. Namun, untuk


pembahasan di dalam Bab ini, dicukupkan dengan definisi yang dipegang oleh
kalangan ulama yang patut menjadi rujukan. Definisi tersebut ialah: ‚Roh adalah
suatu ibarat tentang tubuh cahaya yang tinggi dan bergerak, yang esensinya
berbeda dari tubuh yang empirik (indrawi).‛248
Roh tersebut mengalir di dalam jasad, sebagaimana aliran air pada bunga,
atau lemak pada minyak, atau api pada batu bara, yang keduanya tidak mungkin
dipisahkan atau disubstitusikan. Roh memberi kehidupan berikut segala atributnya
kepada jasad, ketika jasad telah siap untuk menampung roh.
Roh memberi kehidupan kepada jasad, sementara jasad adalah sesuatu yang
dengannya seorang insan menjadi manusia yang mampu bergerak dan berlaku
padanya hukum-hukum agama. Tanpa jasad, atau tanpa kelayakan jasad, maka
tidak terdapat roh dan kehidupan. Roh senantiasa menyertai jasad selama jasad
tersebut layak untuk menerimanya, yaitu selama tidak terjadi kondisi atau
peristiwa yang mencegah aliran roh tersebut, seperti terjadinya kecelakaan atau
rusaknya jasad. Jika hal itu terjadi, maka akan terjadi kematian, karena jasad
menjadi tidak mampu lagi untuk menampung roh. Inilah pendapat Ibn Si>na>’, al-
Fakhr al-Ra>zi>, Ibn al-Qayyim dan mayoritas ulama.
Seorang insan tidaklah menjadi manusia kecuali dengan adanya roh dan
jasad secara bersamaan. Tidaklah Alla>h memerintahkan para Malaikat untuk sujud
kepada A<dam melainkan setelah penciptaannya telah sempurna secara jasad
maupun roh. Hal ini berdasarkan firman Alla>h Ta‘a>la>:

247
Kata "ru>h}i>" menunjukkan kemuliaan dan kekuasaan Alla>h atas "ru>h}" tersebut.
Lihat: Abu> H{ayya>n, Al-Bah}r al-Muh}i>t}, j.V, 582.
248
Abu> H}a>mid Muh}ammad al-Ghaza>li>, Ih}ya>' ‘Ulu>m al-Di>n, j.III, 3.

331
‚Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya (A<dam), dan telah
meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya
dengan bersujud.‛ (QS al-H{ijr [15]: 29)
Dengan demikian kata ‚ru>h}‛ dapat bermakna apa saja, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Alla>h ‘Azza Wa Jalla>, sebagaimana disebutkan dalam Al-
Qur’a>n surat al-Isra>’ ayat 85 di atas. Imam Abu> H{a>mid al-Ghaza>li> berkata:‛Roh
adalah zat lembut yang diketahui dan difahami ada pada manusia. Ia merupakan
urusan Alla>h yang sangat menakjubkan, semua akal tidak mampu untuk
menerawang hakikat keberadaannya‛.249
Imam al-Sha‘ra>ni> berkata:‛Rasu>lulla>h SAW tidak pernah memberitahukan
kepada kita tentang hakikat roh, padahal beliau ditanya tentang itu. Maka sebagai
etika kita terhadap Beliau SAW, kita pun menahan diri untuk
membicarakannya‛.250
Imam al-Junayd berkata:‛Sesungguhnya roh adalah sesuatu yang hanya
diketahui oleh Alla>h Ta‘a>la> saja dan tidak boleh bagi seseorang untuk melakukan
penelitian tentang itu lebih banyak dari apa adanya‛.251
Roh tidak pernah tunduk sama sekali kepada ilmu eksperimental dan tidak
dapat diketahui secara empirik, sehingga tidak ada rujukan untuk mempelajari dan
mengetahui tentangnya secara saintifik. Tidak ada sumber pengetahuan tentang roh
kecuali satu sumber, yaitu yang datang dari Alla>h ‘Azza wa Jalla> berupa wahyu
dalam Al-Qur’a>n dan al-Sunnah. Oleh karena itu, sudah seyogyanya untuk
menimba ilmu tentang roh dari wahyu Ila>hi> tanpa perdebatan, sebab ilmu
pengetahuan kita tidak mampu untuk menjadi pembanding dalam perdebatan ini.
Muh}ammad al-Mukhta>r al-Sala>mi> berpendapat bahwa penggunaan alat
bantu hidup bagi pasien adalah bagaikan menolong orang yang tenggelam
bertarung mati-matian melawan ombak yang menggunung, sedangkan ia tidak
pandai berenang. Juga seperti menolong orang yang tertimpa reruntuhan.
Menyelamatkan orang seperti itu hukumnya fard}u kifa>'i>.252
Maksud wa>jib kifa>'i> dalam hal ini ialah bahwa perintah ini diberikan kepada
setiap individu yang ahli untuk melakukan pekerjaan tersebut. Apabila sebagian
telah melakukannya dan maslahat telah dicapai, maka gugurlah tuntutan bagi
masyarakat. Pendapat ini memiliki konsekuensi sebagai berikut:

249
Abu> H}a>mid Muh}ammad al-Ghaza>li>, Ih}ya>' ‘Ulu>m al-Di>n, j.III, 4.
250
Ah}mad Shawqi> Ibra>hi>m, "Niha>yat al-H{aya>t al-Bashari>yah", Majallah Majma‘ al-
Fiqh, vol.III, j.II, 594.
251
Ah}mad Shawqi> Ibra>hi>m, "Niha>yat al-H{aya>t al-Bashari>yah", Majallah Majma‘ al-
Fiqh, vol.III, j.II, 594.
252
Pendapat al-Mukhtar al-Salami tersebut didasarkan atas kewajiban untuk
menyelamatkan nyawa seseorang yang sakit kritis, namun kewajiban tersebut cukup dipikul
oleh pihak yang berkompeten dan berwenang untuk melakukan hal tersebut.

332
1) Hukumnya wajib menyiapkan para dokter dengan keahlian emergensi dan life
support. Seluruh umat Islam berdosa apabila tidak berusaha untuk
menghasilkan dokter dengan keahlian ini. 253
2) Pengadaan alat-alat tersebut dan obat-obatan yang terkait dalam jumlah sesuai
kebutuhan, hukumnya juga fard} kifa>'i>. Bahkan biaya pengadaannya sepatutnya
ditanggung oleh pemerintah.254
3) Kewajiban dokter dan tenaga paramedis untuk merawat pasien sedemikian rupa
sehingga dicapai tujuannya. Setiap kelalaian yang disengaja harus dikenai
sanksi terhadap pihak yang melakukan keteledoran tersebut. 255

c. Kolerasi antara Jasad dan Roh256


Ketika mendefiniskan manusia, Fakhr al-Rāzī berkata, ‚Manusia adalah
jasad berkarakter yang lahir dari pencampuran berbagai unsur dengan kadar yang
spesifik‛. Imam Fakhr al-Rāzī mendefinisikan manusia dengan jasad fisiknya yang
ia lihat dan rasakan. Ia menamakannya dengan jasad bumi, sebagaimana orang
sekarang menamakannya dengan jasad organik.
Selanjutnya ia memberikan tambahan penjelasan tentang definisi jasad. Ia
berkata, ‚Jasad adalah sesuatu yang dominan padanya sifat bumi, yaitu: organ yang
keras dan padat seperti tulang keras, tulang rawan, persarafan, persendian,
pembuluh darah, lemak, daging, kulit dan darah. Dan tidak ada orang berakal yang
menyatakan bahwa jasad adalah hanya organ tertentu dari organ-organ tadi.‛
Sekte Mu‘tazilah257 menyatakan bahwa manusia adalah jasad yang
memiliki spesifikasi khusus, dengan syarat bahwa jasad tersebut bersifat hidup,
ilmu dan kemampuan. Manusia dibedakan dari seluruh hewan dalam hal bentuk
jasad dan kondisi organ berikut atributnya, serta dalam hal kemampuan untuk

253
Saat ini telah diakukan sertifiasi kelayakan bagi tenaga dokter yang enangani
kasus-kasus serupa, antara lain ialah ATLS dan ACLS
254
Peralatan tersebut disediakan di IGD dan ruang perawatan intensif.
255
Pasal tentang kecerobohan dokter dan bedanya dengan malpraktek
256
Ah}mad Shawqi> Ibra>hi>m, Niha>yah al-H{aya>h al-Bashari>yah, Majallah Majma‘ al-
Fiqh, vol.III, j.II, 599-603.
257
Aliran Mu‘tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam Islam yang dapat
diidentikkan sebagai kaum rasionalis dalam Islam. Muncul di kota Bas}rah (Ira>q) pada abad ke
2 Hijriyah, yaitu sekitar tahun 105 - 110 H, pada era pemerintahan khalifah ‘Abd al-Ma>lik
Ibn Marwa>n dan khalifah Hisha>m Ibn ‘ Abd al-Ma>lik. Istilah dan kemudian ajaran Mu‘tazilah
timbul berkaitan dengan peristiwa Wa>s}il Ibn ‘At}a>’ al-Makhzu>mi> al-Ghazzal (80-131H) dan
temannya, ‘Amr Ibn ‘Ubayd, ketika mendebat guru mereka, Imam al-H{asan al-Bis}ri>, dalam
hal kedudukan orang yang berbuat dosa besar ( murtakib al-kaba>'ir).
Prinsip ajaran kaum Mu‘tazilah terdiri dari lima pokok ( al-us}u>l al-khamsah). Pokok
ajaran tersebut ialah al-Tawh}i>d, al-‘Adl, al-Wa’d wa al-Wa‘i>d, al-Manzilah bayn al-
Manzilatayn, dan al-Amr bi al-Ma‘ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar.
Secara umum, aliran Mu‘tazilah mengalami dua fase kekhalifahan. Yaitu era
‘Abba>si>yah (100-237H) dan era Bani> Buwayh (334H). Selain itu, sikap kelompok
Mu‘tazilah di Bas}rah lebih menjaga jarak dengan percaturan politik, tetapi kelompok
Mu‘tazilah di Baghda>d lebih melibatkan diri dalam lingkaan kekuasaan.

333
membedakan yang baik dan yang buruk dengan akal pikirannya. Sedangkan hidup
adalah karakter yang terdapat di dalam jasad. Yang dimaksud dengan karakter
adalah roh. Dengan demikian, mereka menjadikan roh sebagai zat yang tidak
terpisahkan dari tubuh, dan ia tidak berdiri sendiri.
Adapun Ahl al-Sunnah menyatakan bahwa manusia terdiri dari jasad dan
roh yang menempatinya, selama jasad itu layak untuk menampung roh. Jika
kelayakan itu hilang, maka jasad manusia kehilangan rohnya.
Titik persamaan kedua pendapat itu adalah bahwa manusia terdiri dari
jasad yang terbedakan dengan hewan. Hal ini karena pada manusia terdapat
kemampuan merasakan, akal pikiran, ilmu pengetahuan, kemampuan dan karakter
yang tinggi.
Letak perbedaan kedua pendapat adalah tentang roh. Mu‘tazilah
berpendapat bahwa roh adalah karakter yang melekat pada jasad dan tidak
terpisahkan darinya. Jasad dan roh adalah hal yang satu. Tidak ada keterpisahan
antar keduanya. Sedangkan Ahl al-Sunnah menyatakan bahwa jasad adalah suatu
hal, dan roh adalah hal lain yang terpisah (berbeda) dari jasad, dengan dalil firman
Alla>h Ta‘a>la> (yang artinya): ‚Setiap jiwa (pasti akan) merasakan mati.‛ (QSA<li
‘Imra>n [3]: 185)
Ayat di atas menjadi dalil bahwa jiwa tidak mati dengan kematian jasad,
karena jiwa merasakan mati. Sesuatu yang merasa pastilah hidup pada saat
merasakan. Sehingga maknanya, setiap jiwa akan merasakan kematian badan. Ini
menunjukkan bahwa jiwa bukanlah badan, dan bahwa jiwa tidak mati dengan
kematian badan. Ini juga mengandung peringatan bahwa kematian itu khusus
terkait dengan kehidupan jasad, berdasarkan firman Alla>h Ta‘a>la> (yang artinya):
‚Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya (Adam), dan telah
meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku.‛ (QS al-H{ijr [15]: 29)258
Ketika bicara tentang manusia, terkadang Al-Qur’a>n menunjuk jasadnya,
seraya mengabarkan bahwa jasad itu tidak kekal. Contohnya adalah firman-Nya
tentang para Nabi ‘alayhim al-salām :

‚Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan,
dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal.‛ (QS al-Anbiyā’ [21]: 8)
Merupakan hikmah Alla>h untuk menjadikan para Rasul dari kalangan
manusia yang memiliki jasad. Hanya saja mereka menerima wahyu. Oleh karena
itu, tidak mungkin Alla>h membuat mereka berjasad namun mereka tidak makan dan
minum. Mengkonsumsi makanan termasuk konsekuensi jasad, sedangkan jasad
termasuk konsekuensi manusia. Mati juga termasuk konsekuensi dari jasad. Oleh
karenanya, para Rasul tidak kekal di kehidupan ini.
Al-Qur’a>n juga menunjuk manusia dengan roh dan jiwanya:

‚Dan (ingatlah), ketika kalian membunuh seorang manusia lalu kalian saling tuduh
menuduh tentang itu.‛ (QS al-Baqarah [2]: 72)

258
Fakhr al-Di>n al-Rāzī, Mafa>t}i>h al-Ghayb (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah,
1425H-2004M), j. IX, 198-189.

334
‚Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Alla>h
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.‛ (QS al-Shams
[91]: 7”8)
Dengan demikian, terkadang Al-Qur’a>n menunjuk manusia dengan
jasadnya dan terkadang dengan rohnya. Ini merupakan dalil yang jelas bahwa
manusia terdiri dari jasad dan roh. 259

4. Kemuliaan Jiwa Manusia


Islam secara gamblang menetapkan kemuliaan jiwa manusia, serta
menegaskan tentang haramnya berbuat aniaya terhadap jiwa manusia. Manusia dan
kemanusiaan itu ditinggikan dan diangkat kedudukannya. Alla>h Ta‘a>la> berfirman:

‚Dan sesungguhnya telah Kami muliakan keturunan A<dam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna dibandingkan kebanyakan
makhluk yang telah Kami ciptakan.‛ (QS al-Isra>’ [17]: 80)

‚Siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)
orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan
dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan siapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya.‛ (QS al-Ma>’idah [5]: 32)
Selain itu, Islam tidak cukup hanya dengan menyebutkan ancaman akhirat
yang keras, seperti dosa yang berlipat, azab yang pedih, serta kekal di Neraka.
Islam menetapkan hukuman keras di dunia sebagai langkah preventif agar
seseorang tidak melakukan kejahatan. Alla>h Ta‘a>la> berfirman:

‚Dan siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya
adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dan Alla>h murka kepadanya, serta
melaknatnya dan menyediakan baginya azab yang sangat dahsyat.‛ (QS al-Nisa>’
[4]: 93)
Hukuman dunia itu berbeda-beda, namun ia tetap merupakan hukuman
yang keras untuk setiap kondisinya, dan disertai dengan hukuman qis}a>s}260 atau

259
Ah}mad Shawqi> Ibra>hi>m, "Niha>yah al-H{aya>h al-Bashari>yah‛, Majallah Majma‘
al-Fiqh, vol.III, j.II, 589-590.
260
Menurut Imam al-Nasafi>, qis}a>s} ialah:

Qis}a>s} ialah (hukum) bunuh atas (kejahatan) pembunuhan atau (hukum) penghilangan dari
suatu bagian tubuh atas (kejahatan) penghilangan suatu bagian tubuh. (Hukum qis}a>s}
diberlakukan) atas persetujuan wali yang terbunuh, maka hukum qis}a>s} pun dilakukan oleh

335
membayar diya>t.261 Semua ini dalam rangka memelihara jiwa manusia, yang
padanya terdapat kehormatan, hak dan kemuliaan.
Para ahli fikih telah sepakat bahwa janin yang telah memiliki roh berarti
telah memiliki kemuliaan, sehingga haram untuk dilanggar tanpa alasan yang
dibenarkan. Hal tersebut bahkan diberlakukan oleh sebagian ahli fikih untuk
zygote, meskipun sebelum ditiupkan roh kepadanya, dengan alasan itu merupakan
benih manusia yang memiliki kemuliaan dan kehormatan.
Hidup penuh dengan misteri. Hal yang mustahil pada hari ini boleh jadi
merupakan realita pada esok hari, meski terselimuti oleh kekaburan. Namun
demikian ilmu pengetahuan mulai menyingkap sebagian tirai ketidaktahuan
tersebut. Setiap waktu muncul inovasi baru dalam bidang teknologi kedokteran.
Oleh karenanya, penetapan hidup dan mati manusia tanpa adanya pengecekan dan
penelitian yang mendalam merupakan vonis yang gegabah dan sangat riskan.
Di samping itu termasuk kaidah syariah yang umum dikenal adalah
istis}h}a>b,262 yaitu hukum terhadap sesuatu berdasarkan kondisi sebelumnya
sepanjang belum ada dalil (bukti) yang pasti yang menunjukkan perubahan kondisi
tersebut.263 Jika diketahui seseorang itu hidup, maka ia dihukumi tetap hidup
sampai ada dalil pasti yang menunjukkan kematiannya. Sama halnya dengan
seorang wanita yang diketahui sebagai istri pria tertentu, maka ia tetap dihukumi
sebagai istrinya sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa pernikahannya itu telah
berakhir. Kaidah shar‘i>yah menyatakan:
264

‚Pada dasarnya sesuatu itu tetap pada kondisinya, sampai ada bukti yang
menunjukkan perubahan kondisi tersebut.‛
265

‚Sesuatu yang ditetapkan dengan keyakinan tidak dapat dihilangkan (diubah)


dengan keraguan.‛

pemerintah. http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option= Fatwa


Id&Id =23034. Diakses pada 7 Agustus 2014.
261
Pengertian "diya>t" ialah:

Diya>t merupakan bentuk jamak dari kata diyah, yaitu harta (tebusan) yang diberikan oleh
pihak korbana atau keluarganya dalam kasus tindak pidana. http://majles.alukah.net/
t103065/#ixzz39ft5XdW0. Diakses pada 7 Agustus 2014.
262
Abu> al-Ma‘a>li> al-Juwayni>, Al-Burha>n fi> Us}u>l al-Fiqh, j.II, 171-173.
263
‘Abd al-Rah}ma>n al-Bana>ni>, H{a>shi>yah al-‘Alla>mah al-Bana>ni> ‘ala> Jam‘ al-
Jawa>mi‘, j.II, 535, 541.
264
Ah}mad al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 87. Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-
Fiqh al-Isla>mi>, j.II, 871.
265
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashbah wa al-Naz}a>'ir, 37.

336
5. Pengertian tentang Jiwa, Kapan Seseorang Dikatakan Hidup atau Mati266
Menurut Al-Qur'a>n
Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan jiwa
(nafs) manusia. Apakah ia zat yang terpisah dari badan dan roh? Ataukah ia zat
yang tumbuh dari pertemuan jasad dan roh?
Sebenarnya jiwa manusia bukan roh, sebab roh ditiupkan ke dalam tubuh
dan ini tidak disebut dengan jiwa. Pengertian ini sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’a>n dan al-Sunnah. ‚Ru>h‛} adalah kebaikan semata, sebab ia datang dari
Alla>h Ta‘a>la>. Adapun jiwa (nafs) memerintahkan kepada yang baik dan kepada
yang buruk, maka dengan demikian jiwa manusia bukanlah roh.
Imam Abu> H{a>mid al-Ghaza>li> berkata tentang roh, bahwa jiwa adalah
sumber sifat-sifat yang tercela pada manusia. Demikian pula Imam al-Bayhaqi>
meriwayatkan dari Ibn ‘Abba>s r.a. bahwa Rasu>lulla>h SAW bersabda:
267

‛Seberat-berat musuhmu adalah jiwa yang ada di antara kedua sisi tubuhmu
(di dalam dirimu)‛.
Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat sebuah hadis yang diterima dari
Fad}a>lah Ibn ‘Ubayd bahwa Rasu>lulla>h SAW bersabda:
268

‛Orang yang berjuang di jalan Alla>h adalah siapa saja yang melawan hawa
nafsunya dalam (rangka) ketaatan kepada Alla>h‛.
Jiwa manusia merupakan rahasia hidup yang ada padanya. Hewan pun
hidup dengan jiwa kebinatangannya, namun terkadang manusia memiliki jiwa
kebinatangan dan jiwa kemanusiaan.
Jiwa manusia disifati dengan berbagai sifat yang berberbeda-beda sesuai
dengan keadaannya. Jika ia mampu mengatasi gangguan yang disebabkan syahwat,
maka disebut dengan jiwa yang tenang (nafs al-mut}ma’innah). Apabila jiwanya
terjerumus pada ketidaktaatan kepada Alla>h, disebut dengan nafs al-lawwa>mah.
Jika jiwa tersebut tunduk kepada syahwatnya, maka ia disebut dengan nafsu yang
mengajak pada keburukan (inna al-nafs la amma>rah bi al-su>’).269
Adapun kata ‚nafsu‛ (jiwa) disebutkan dalam Al-Qur’a>n di 295 tempat, a.l.
firman Alla>h Ta‘a>la>: "Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya" (QS al-Fajr : 27 ” 28). Juga dalam surat
A<li ‘Imra>n ayat 145 Alla>h Ta‘a>la> berfirman: "Dan setiap yang bernyawa tidak akan
mati kecuali dengan izin Alla>h, keputusan yang telah ditetapkan".

266
Ah}mad Shawqi> Ibra>hi>m, Niha>yah al-H{aya>h al-Bashari>yah, Majallah Majma‘ al-
Fiqh, vol.III, j.II, 591 ” 602
267
Hadis yang semakna dengannya diriwayatkan oleh al-T{abra>ni>, al-Khara>'it}i>, dan
Ibn Bashra>n.
268
Riwayat al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, Ibn H{ibba>n, al-H{a>kim, al-
Bayhaqi>, al-Bazza>r, dan al-T{abra>ni>.
269
QS Yu>suf [12]: 53.

337
Berhentinya denyut jantung bukanlah hakikat kematian, namun ia adalah
tanda-tanda kematian;270 sebab sangat mungkin terjadi jantung berhenti berdenyut
kemudian kembali lagi berdenyut, baik dengan alat bantu atau tanpa sebab
apapun.271 Demikian pula bahwa terhentinya batang otak adalah tanda atau ciri
kematian, bukan merupakan kematian yang sebenarnya. Terdapat kasus-kasus yang
menunjukkan bahwa dokter telah memutuskan pasien meninggal, namun tiba-tiba
ia hidup kembali.
Oleh karenanya dapatlah dipahami apa yang telah ditulis oleh para ulama,
a.l. kitab " " (Orang yang Hidup Sesudah Mati) karya Imam Ibn Abi>
272
al-Dunya>. Selain itu terdapat pula sejumlah kisah dalam karya tulis para ulama,
bahwa seseorang hidup setelah ia mati atau berbicara setelah ia mati. Dengan
demikian, hakikat kematian yang sebenarnya adalah apa yang disebutkan oleh para
ulama fikih yaitu berpisahnya roh dengan badan.

a. Mati Menurut Al-Qur’a>n


Al-Qur’a>n menyebutkan tentang kematian dengan berbagai maknanya yang
berbeda-beda, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya. Namun, fokus
pembahasan di sini dari makna-makna tersebut adalah penyebutan Al-Qur’a>n
tentang kematian manusia, berikut sifat kematian tersebut dan kondisi manusia
setelahnya.
Kita dapati bahwa fokus penyebutan Al-Qur’a>n senantiasa pada kematian
jasad, kemudian selanjutnya disebutkan sifat jasad yang telah mati tersebut, baik
diiringi dengan penyebutan roh maupun tidak. Misalnya, Al-Qur’a>n menyebutkan
tentang sifat kebinasaan bagi para pendurhaka:

‚Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara saja; maka tiba-tiba
mereka semuanya mati.‛ (QS Ya>sīn [36]: 29)
Kata ‚khumu>d‛ artinya adalah diamnya jasad dan kosong dari gerakan, atau
napas, atau apapun tanda kehidupan tubuh.273
Al-Qur’a>n juga menyebutkan dalam ayat yang lain:

270
Diagnosa kematian didasarkan atas tanda-tanda berhentinya fungsi batang otak
secara irreversible.
271
Secara medis, henti jantung disebut dengan cardiac arrest yang kemungkinan
diakibatkan oleh sebab-sebab yang bersifat reversible, sehingga dapat berdenyut kembali.
Lihat: M. Grzeskowiak, "Knowing Potentially Reversible Causes of Cardiac Arrest Does
Not Influence Adequate Treatment in PEA (Pulseless Electrical Activity): A‐ 814",
Resuscitation and Emergency Medicine, European Journal of Anaesthesiology , vol. 23,
issue 2 (June 2006): 210”211.
272
Abu> Bakr ‘Abdulla>h Ibn Muh}ammad Ibn ‘Ubayd Ibn Abi> al-Dunya>, lahir di
Baghda>d pada tahun 201 H/823 M dan wafat pada tahun 281 H/894 M. Beliau hidup pada
masa kekhalifahan ‘Abba>si>yah dan mengajarkan etika kepada khalifah al-Mutawakkil. Ibn
Abi> al-Dunya> merupakan salah satu ulama salaf yang mengumpulkan berbagai hadis yang
berkaitan dengan etika dan moral.
273
Abu> al-Faraj Ibn al-Jawzi>, Za>d al-Masi>r (Bayru>t: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1422H-
2001M), j.III, 522.

338
‚Maka kamu lihat kaum ‘A<d pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan
mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).‛ (QS al-Hāqqah [69]: 7)

‚Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat


kencang pada hari nahas yang terus menerus, yang menggelimpangkan manusia
seakan-akan mereka pohon korma yang tumbang.‛ (QS al-Qamar [54]: 19-20)
Al-Qur’a>n mensifati jasad orang-orang yang binas}s}a itu dengan
bergelimpangan, tidak bergerak, tidak tersisa kecuali bentuk tubuhnya, seolah-olah
mereka pohon kurma yang tumbang. Tidak bergerak dan tidak ada tanda kehidupan.
Selanjutnya kita dapati274 bahwa Al-Qur’a>n memberikan gambaran lain
tentang mati,275 yaitu kosongnya tanda kehidupan, indra, jiwa dan gerakan, bisikan,
denyut nadi, dan desah napas, bahkan sirna sama sekali.276

‚Dan berapa banyak telah Kami binasakan umat-umat sebelum mereka. Adakah
kamu melihat seorangpun dari mereka atau kamu dengar suara mereka yang samar-
samar?‛ (QS Maryam [19]: 98)

Dalam ayat lain, Al-Qur’a>n mengisahkan tentang kematian dan


pemandangan yang disaksikan manusia pada saat perpisahan terakhir. Pertama,
tentang hal yang tidak dapat disaksikan oleh manusia namun diketahui oleh Alla>h.
Kedua, tentang hal yang disaksikan dan diketahui oleh manusia, yang dengannya
dibedakan antara kematian dan kehidupan.

‚Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kalian ketika itu
melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kalian. Akan tetapi kalian tidak
menyadari.‛ (QS al-Wa>qi‘ah [56]: 83 ” 85)
Orang-orang tidak dapat melihat keluarnya roh padahal mereka duduk di
sekitar jenazah. Lalu dengan apa mereka mengetahui kematian? Jawabannya adalah
melalui tanda-tanda fisik yang disebutkan pada ayat berikut:

‚Sekali-kali jangan. Apabila napas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke


kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya): "Siapakah yang dapat menyembuhkan?"
277
Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia).

274
Abu> H{ayya>n al-Andalusi>, Al-Bah}r al-Muh}i>t}, j.VI, 276.
275
Penafsiran tersebut a.l. menukil pendapat al-Zuja>j, Ibn Qutaybah dan Abu> S{a>lih}.
Lihat: Ibn al-Jawzi>, Za>d al-Masi>r, j.III, 149.
276
Riwayat Sa‘i>d Ibn Mans}u>r, ‘Abd Ibn H{umayd, Ibn al-Mundhir, dan Ibn Abi>
H{a>tim. Pendapat tersebut a.l. dinukil dari Sa‘i>d Ibn Jubayr, Ibn ‘Abba>s, dan al-H{asan al-
Bis}ri>. Lihat: Al-Shawka>ni>, Fath} al-Qadi>r, j.III, 354.
277
Kedahsyatan hari itu, menyebabkan orang-orang pun saling bertanya tentang
siapa yang dapat memberikan terapi atas penderitaan berat tersebut. Demikian penafsiran
Ibn ‘Abba>s, ‘Ikrimah, al-D{ah}h}a>k, Abu> Qila>bah, Qata>dah, Ibn Zayd, Abu> ‘Ubaydah, Ibn
Qutaybah, dan al-Zuja>j. Lihat: Ibn al-Jawzi>, Za>d al-Masi>r, j.IV, 372.

339
Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan), kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu
dihalau.‛ (QS al-Qiyāmah [75]:26 -30)
Para ahli tafsir278 berkata, ‚Betisnya menjadi dingin,279 kehilangan suhu
hangat tubuhnya, dan tidak bergerak.‛280 Sementara itu Imam Fakhr al-Rāzī
berkata, ‚Kedua betisnya mengering dan saling bertaut serta tidak dapat
bergerak.‛281

b. Mukjizat Al-Qur’a>n tentang Kehidupan dan Kematian


Al-Qur’a>n selalu mengingatkan mukjizat luar biasa dalam penciptaan dan
proses pembentukan manusia dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini Alla>h
berfirman:

‚Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu zigot (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kemudian zigot itu Kami jadikan sesuatu yang
melekat (di dinding rahim), lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang
itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha Suci Alla>h, Pencipta Yang Paling Baik. Kemudian,
sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian,
sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari alam kubur) pada hari
kiamat.‛ (QS al-Mu’minu>n [23]: 12 ” 16)
Ayat di atas mengajarkan bahwa jasad yang demikian indah penciptaannya,
akan hancur dan sirna. Kemudian Alla>h akan menghidupkannya kembali pada hari
kiamat. Kematian dan penghidupan kembali itu berkaitan dengan hancur dan
sirnanya jasad. Al-Qur’a>n menegaskan hal itu dalam banyak ayat:

‚Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang
belulang, apakah benar-benar kami akan dibangkitkan (kembali)?‛ (QS al-S{a>ffa>t
[37]: 16)

‚Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang,
apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi
pembalasan?" (QS al-S{a>ffa>t [37]: 53)

278
Al-Shawka>ni>, Fath} al-Qadi>r, j.V, 341.
279
Demikian pula kata " " berarti tempat kembali dan tempat berkumpul,
berasal kata dari "su>q", yaitu tempat keramaian dan berkumpulnya orang. Lihat: Abu>
H{ayya>n, Al-Bah}r al-Muh}i>t}, j.VIII, 544.
280
Demikian antara lain menurut al-H{asan al-Bis}ri>. Ini menunjukkan dahsyatnya
peristiwa kematian, sebagaimana penjelasan Ibn ‘Abba>s, ‘Ikrimah, dan Muja>hid. Lihat: Ibn
Kathi>r, Tafsi>r Al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, j.VI, 356.
281
Al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta'wi>l, j.IX, 282.

340
‚Dan mereka selalu mengatakan: ‘Apakah bila kami mati dan menjadi tanah dan
tulang belulang, apakah sesungguhnya kami akan benar-benar dibangkitkan
kembali?’‛ (QS al-Wa>qi‘ah [56]: 47)

‚Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia
berkata: ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur
luluh?’ Katakanlah: ‘Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali
yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang semua makhluk.‛ (QS Yasi>n
[36]: 78 ” 79)
Kehidupan jasad, baik diam maupun bergerak, menunjukkan keindahan dan
keagungan penciptaan Alla>h. Berfungsinya jantung, limpa, hati, dan seluruh organ
tubuh lainnya merupakan mukjizat yang sempurna, meskipun yang bersangkutan
hidup dalam kondisi koma atau diam. Apakah ia dianggap hidup atau mati?
Berfungsinya organ tubuh dari Alla>h apakah merupakan buatan manusia atau
buatan-Nya? Kalaupun para dokter memberikan penyokong bagi jasad, baik dengan
infus dan lain sebagainya, maka yang demikian adalah untuk kelangsungan hidup,
dan bukan menafikan hidup untuk kelangsungan kematian.

c. Perbedaan Jasad Hidup dan Jasad Mati dalam Kisah Al-Qur’a>n


Ketika mengkisahkan tentang kehidupan dan kematian, kita cermati bahwa
Al-Qur’a>n berjalan di atas kaidah yang berlaku general. Al-Qur’a>n menjelaskan
tentang perbedaan antara seseorang yang mati kemudian ia dibangkitkan, dan
seseorang yang hilang inderanya kemudian ia terjaga. Perbedaan keduanya hanya
satu, yang pertama jasadnya hancur dalam kematian, sedangkan yang lain jasadnya
masih utuh. Ini sebagaimana permisalan dari kisah-kisah Al-Qur’a>n yang berbicara
tentang kematian dan kehidupan jasad:
Pertama: Kisah seorang pria yang melewati sebuah negeri yang telah hancur.
Kedua: Kisah permohonan Ibra>hi>m ‘alayhi> al-sala>m kepada Alla>h agar
diperlihatkan bagaimana proses menghidupkan yang mati.
Kisah pertama adalah kisah ‘Uzayr, sebagaimana dinyatakan oleh sebagian
ahli tafsir. Alla>h Ta‘a>la> berfirman:

‚Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang
(temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: ‘Bagaimana Alla>h
menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?’ Maka Alla>h mematikan orang
itu seratus tahun, kemudian membangkitkannya kembali. Alla>h bertanya: ‘Berapa
lama kamu tinggal di sini?’ Ia menjawab:’Saya tinggal di sini sehari atau setengah
hari’. Alla>h berfirman:’Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun

341
lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum berubah; dan
lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan
menjadikan kamu (sebagai) tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah
kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali,
kemudian Kami membalutnya dengan daging.’ Maka tatkala telah nyata kepadanya
(bagaimana Alla>h menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: ‘Saya yakin
bahwa Alla>h Maha Kuasa atas segala sesuatu.’‛ (QS al-Baqarah [2]: 259)
Ibn Kathi>r mengatakan bahwa ketika menghidupkan orang tersebut,
pertama kali yang Alla>h hidupkan adalah kedua matanya, agar ia melihat
bagaimana kehidupan mengaliri jasadnya, sehingga ia melihat sendiri bagaimana
Alla>h menyusun proses penciptaan tubuh manusia untuk menjadikannya hidup
(kembali). Kemudian Alla>h memerintahkan untuk mengalihkan pandangannya pada
proses penghidupan keledainya. Ia melihat bagaimana tulang dikumpulkan dan
kemudian daging membalutnya.282
Fakhr al-Ra>zi> mengatakan bahwa bagian-bagian tulang satu dengan yang
lain saling menggabung. Tiap organ menempatkan diri sesuai dengan posisinya.
Rusuk bergabung dengan rusuk. Tulang panjang berkonfigurasi ke tempatnya.
Demikian pula halnya dengan kepala, saraf, dan pembuluh darah. Setelah itu daging
tumbuh menyelimuti organ-organ tersebut, lalu dilapisi dengan kulit, dan kemudian
rambut (bulu) tumbuh di atas kulit. Selanjutnya ditiupkan kepadanya (roh), maka ia
pun bangkit.
Kisah kedua adalah tentang diperlihatkannya kepada Ibra>hi>m ‘alayhi al-
sala>m bagaimana Alla>h menghidupkan yang mati.

‚Dan (ingatlah) ketika Ibra>hi>m berkata: ‘Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku


bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.’ Alla>h berfirman: ‘Belum
yakinkah kamu?’ Ibra>hi>m menjawab: ‘Aku telah yakin, akan tetapi agar hatiku
tetap mantap (dengan imanku).’ Alla>h berfirman: ‘Kalau demikian) ambillah empat
ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. Kemudian letakkan di atas tiap-
tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka.
Niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.’ Dan ketahuilah bahwa Alla>h
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.‛ (QS al-Baqarah [2]: 260)
Para ahli tafsir mengatakan bahwa Ibra>hi>m mencincang tubuh empat
burung tersebut, kemudian memisah-misahkannya di atas empat gunung yang
berbeda, seraya memegang masing-masing kepala dari keempat burung tersebut di
tangannya. Kemudian Ibra>hi>m memanggil burung-burung tersebut, dan
bergabunglah potongan-potongan tubuh mereka, lalu menuju Ibra>hi>m untuk
menyatu dengan kepala mereka. Masing-masing mengetahui kepalanya. Maka
berkatalah Ibra>hi>m, ‚Ketahuilah bahwa Alla>h Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.‛

282
Ibn Kathi>r, Tafsi>r Al-Qur'a>n al-‘Azhi>m, j.I, 621.

342
Dari kisah di atas dapat diketahui bahwa kehidupan jasad merupakan hidup
itu sendiri. Al-Qur’a>n menitikberatkan perhatian terhadap jasad karena ia
merupakan tempat mukjizat yang menunjukkan kekuasaan Alla>h.
Seseorang akan bertanya kepada dirinya sendiri, ‚Jika kehidupan jasad itu
bukan hidup itu sendiri, lalu akan disebut apakah ia?! Jika otak yang hidup itu
memberikan efek terhadap seluruh tubuh. Demikian pula halnya dengan jantung,
paru-paru, limpa, usus, dan organ-organ lainnya, yang tanpanya hidup seseorang
tidak lagi berlanjut, maka mengapa harus fokus pada organ tertentu dan
mengabaikan organ yang lain? Kenapa hidup dan mati hanya disandarkan pada
organ tertentu saja?‛
Di sinilah hakikat besar yang harus difahami sejak awal; yaitu walau satu
sel tubuh manusia sekalipun, maka itu sudah menggambarkan tentang kehidupan ”
dimana hal ini adalah salah satu tanda-tanda kekuasaan Alla>h ‘Azza wa Jalla.283
Namun demikian, kehidupan dari masing-masing organ tubuh, bahkan kehidupan
yang integral dan sistemik dari seluruh sel-sel tubuh manusia, adalah memiliki
kehidupan tersendiri, terlepas dari kehidupan manusia itu sendiri. Ia bagaikan
hakikat yang mutlak yang kehidupannya tidak tergantung pada kehidupan yang
lain. Dengan kata lain yang lebih jelas, bahwa sel-sel tubuh manusia dan bagian-
bagiannya tidak berkaitan dengan ruhnya. Dasarnya ialah bahwa kita bisa
mengambil sebagian sel dari tubuh seseorang, lalu kita letakkan pada tubuh lain,
atau kita pelajari di laboratorium, maka sel ini tidak mati dengan keluarnya ia dari
tubuh orang tersebut.
Oleh karenanya di salah satu kitab fikih kontemporer dikatakan bahwa
untuk menyatakan kematian harus dilakukan oleh dokter atau orang-orang yang
memahami hal ini dengan baik selain mereka.284

6. Kehidupan dan Kematian Menurut Para Fuqaha<’


Syariat telah memberikan peluang bagi ijtihad manusia dan pengalaman
ilmiahnya untuk menjelaskan definisi ‚hidup‛ dan ‚mati‛.285
Beberapa isyaratnya telah terdapat dalam kitab-kitab fikih, seperti dalam
bab waris, dimana Rasu>lulla>h SAW bersabda:
286

‚Jika seorang anak lahir, maka dia berhak dishalatkan (jika meninggal) dan
berhak memperoleh waris.‛
Demikian pula sabda Beliau SAW tentang bayi yang lahir hidup:
287

283
Mukhta>r al-Mahdi>, Niha>yah al-H{aya>h al-Insa>ni>yah, vol.III, j.II, 560 ” 566 .
284
Penetapan kematian yang menjadi konsensus di dunia medis saat ini ialah
kematian batang otak. Lihat: M. Smith, "Brain Death: Time for an International
Consensus", British Journal of Anaesthesia, vol. 108, suppl. 1 (2012): i6-i9.
285
‘Is}a>m al-Di>n al-Sharbi>ni>, Al-Mawt wa al-H{aya>h bayn al-At}ibba>’ wa al-Fuqaha>’,
vol.III, j.II, 575.
286
Riwayat al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, Ibn H{ibba>n, al-H{a>kim, al-Bayhaqi>, al-Khat}i>b al-
Baghdadi>, Abu> al-Faraj Ibn al-Jawzi>, dan Ibn Abi> al-Dunya>.
287
Riwayat al-Tirmidhi> dan Abu> al-Faraj Ibn al-Jawzi>.

343
‛Seorang bayi tidak dishalati (jika dia meninggal), dan tidak berhak waris,
dan tidak berhak mewarisi, hingga dia (sempurna) lahir ke dunia.‛
Hidup tidak diketahui kecuali dengan tanda-tandanya. Oleh karenanya para
ahli fikih merasa perlu untuk mendefinisikan hidup dan mati, berdasarkan tanda-
tanda kehidupan yang tampak pada tubuh janin, baik pada geraknya, diamnya,
suaranya, dan lain sebagainya.
Dalam ayat Al-Qur’a>n, secara gamblang dipaparkan fakta sejarah yang
menunjukkan bahwa bangsa jin sekalipun tidak mengetahui tanda-tanda kematian
Nabi Sulayma>n. Padahal salah satu tanda kematian telah ada pada Sulayma>n, yaitu
diam tidak bergerak dan tidak merespon stimulus yang ada di sekitarnya. Ini
sebagaimana firman Alla>h Ta‘a>la>:

‚Maka tatkala Kami telah menetapkan kematiannya (Sulayma>n), tidak ada yang
menunjukkan kepada mereka tentang kematiannya itu kecuali rayap yang memakan
tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya
mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang
menghinakan.‛ (QS Saba>’ [34]: 14)
Sebagaimana dimaklumi, para ahli fikih telah membahas tentang mati dan
hidup dalam sejumlah bab dari kitab-kitab fikih, antara lain pada pembahasan
jenazah, waris, pidana, jihad, mati syahid, dan pada bab-bab terkait lainnya.288
Misalnya mereka membahas tentang batasan hidup dan mati pada awal mula
kehidupan manusia, karena ini terkait dengan hak-haknya, seperti warisan.
Oleh karena itu Imam Ma>lik Ibn Anas berpendapat bahwa bayi yang lahir
dalam keadaan tidak menangis tidak dianggap hidup meskipun ia bernapas atau
mengompol dan bergerak. Maksudnya, ia tidak dianggap hidup hanya berdasarkan
pernapasan saja, kecuali disertai dengan tangisan. Sedangkan Ibn Majishu>n289
mengatakan bahwa bersin itu bermula dari angin, sedangkan air seni berasal dari
keadaan rileks pada otot penahan kemih.290 Jadi, apabila suatu perbuatan bukan
bersifat sengaja sebagai respon terhadap koordinasi otak, 291 maka ia tidak dianggap
sebagai tanda kehidupan.

288
Karena pada bab-bab tersebut harus jelas status kematiannya.
289
‘Abd al-Ma>lik Ibn ‘Abd al-‘Azi>z Ibn ‘Abdilla>h Ibn Abi> Salamah al-Maji>shu>n al-
Taymi>. Seorang ahli hadis dan fikih mazhab Ma>liki>yah, dan menjadi mufti> Madinah pada
zamannya. Banyak meriwayatkan hadis dari Imam Ma>lik dan dari ayahnya sendiri (yakni
Ibn Abi> Salamah). Wafat tahun 212 H (menurut versi lain tahun 214 H).
290
Yaitu otot-otot yang rileks pada sphinkter vesica urinaria, sehingga urin dapat
keluar.
291
Pendapat ulama periode klasik ini sekarang sudah tidak relevan lagi. Oleh karena
gerak yang tidak dikoordinir secara sadar, seperti gerak refleks dan persarafan otonom,
keduanya di bawah kendali batang otak dan medulla spinalis. Jadi meskipun tidak ada
gerakan yang dilakukan dengan kesadaran, tidak berarti bahwa seseorang telah mengalami
kematian.

344
Sementara itu dalam kitab al-Mawsu>‘ah al-Fiqhi>yah disebutkan antara lain
sebagai berikut:‛...dan kehidupannya diketahui dengan ia lahir dalam keadaan
menangis, dan para ahli fikih berbeda pendapat jika ia tidak menangis ..., sebab
tangisan tidak akan keluar kecuali dari seorang bayi yang hidup, sementara gerakan
bisa saja terjadi selain dari orang hidup..., dst‛. Juga disebutkan dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ah}mad bahwa jika diketahui (tanda) hidupnya dengan
suara, gerakan, susuan, atau yang lain maka ia berhak mendapat warisan; dan sudah
tetap baginya hukum orang yang hidup. Inilah pendapat yang dipegang oleh Imam
al-Nawawi>, al-Awza>‘i>, al-Sha>fi‘i>, Abu> H{ani>fah dan murid-muridnya.292

a. Tanda-Tanda Hidup
Dari paparan di atas tampak bahwa para fuqaha>’ telah membahas tentang
tanda-tanda hidup, seperti tangisan bayi, bersin, serta gerak organ dalaman tubuh,
seperti denyut jantung, napas. Demikian pula pergerakan anggota tubuh. Dari
tanda-tanda tersebut, ada dua tanda yang diterima oleh mayoritas ulama, yaitu:
1) Napas:
Mazhab H{ana>fi>yah,293 Sha>fi‘i>yah dan H{anbali>yah294 menetapkan bahwa napas
menempati hukum gerakan dalam penetapan kehidupan. Sebab napas merupakan
salah satu tanda vital yang menunjukkan kehidupan, yang dengannya dada bergerak
dan jantung berdenyut secara sistemik. Ini merupakan tanda hidup dari pemilik
tubuh.
2) Gerakan:
Seluruh mazhab sepakat bahwa gerak tubuh merupakan tanda hidup. Namun,
sebagian mereka menilai bahwa yang menjadi patokan adalah gerak yang panjang,
yaitu yang berlangsung satu detik atau lebih, sedangkan sebagian mazhab lain
menjadikan patokan adanya gerak mutlak (gerakan apapun) dari tubuh. Para
fuqaha>’ tidak pernah menjadikan akal atau indra sebagai sumber kehidupan. Sebab
jika demikian halnya, tentu kita tidak menentukan kehidupan pada bayi sampai ia
mampu berkata.

b. Pendapat Fuqaha>’ tentang Akhir Hidup


Sesungguhnya kematian bukanlah suatu perkara yang instant (seperti
membuat satu titik) atau suatu hal yang langsung terjadi. Kematian adalah sebuah
proses yang memiliki rentang waktu tertentu, apakah panjang atau pendek. Sejak
zaman dahulu dimungkinkan untuk mengetahui kondisi seseorang yang sedang
memasuki gerbang kematian, atau bagaimana terjadinya proses kematian, atau
seseorang yang dalam keadaan sekarat.
Kitab-kitab fikih juga telah membahas tentang hal-hal yang disunnahkan
ketika seseorang mengalami sakaratul maut. Apa yang disebutkan dalam kitab-
kitab tersebut bersumber dari Al-Qur’a>n al-Kari>m: ‚Apakah kamu menjadi saksi
saat maut akan menjemput Ya‘qu>b , ketika dia berkata kepada anak-

292
Al-Mawsu>‘ah al-Fiqhi>yah, juz III, bayt 112, halaman 66.
293
Al-Sarakhshi>, Al-Mabsūth, j. XVI, 114.
294
‘Ali> al-Marda>wi>, Al-Ins}āf fi> Ma‘rifah al-Ra>jih} min al-Khila>f, j.VII, 331.

345
anaknya….‛ 295 Juga firman Alla>h Ta‘a>la>: ‚Diwajibkan bagi kalian, apabila maut
hendak menjemput seseorang di antara kalian, jika dia meninggalkan harta,
(hendaklah) berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat‛.296
Tidak diragukan lagi bahwa kedua ayat di atas berbicara tentang proses
kematian. Selain itu terdapat pula penjelasan proses kematian, yang taubat di
dalamnya tidak diterima karena seseorang sedang menjalani proses tersebut. Ini
sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut: ‚Dan tobat itu tidaklah (diterima Alla>h)
dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang
di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, ‚Saya benar-benar bertobat sekarang.‛297
Sedangkan hadis Nabi SAW menyatakan:
298

‛Tuntunlah orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dengan


kalimat ‘La> Ila>ha Illalla>h’‛>.

Dalam hadis lain juga disebutkan:


299

‚Sesungguhnya Alla>h ‘Azza wa Jalla senantiasa menerima taubat seorang


hamba selama hamba tersebut belum sampai sakaratul maut‛.
Di kedua hadis ini terdapat dua fase proses kematian yang berbeda.
Adapun pengalaman kedokteran tidak berbeda dari hal itu. Proses kematian
dapat dianalisa dari proses atau perjalanan penyakit maupun kelainan organ yang
diderita seorang pasien. Masing-masing organ berbeda-beda dalam hal cepat atau
lambatnya kerusakan yang terjadi akibat kekurangan oksigen sampai ia rusak secara
sempurna.300 Disamping itu setiap organ bergantung pada organ yang lain. Jika
salah satu kerja organ terganggu, maka akan mempengaruhi kinerja kerja organ-
organ lainnya. Ini sebagaimana sabda Nabi SAW yang mengumpamakan orang-
orang mukmin sebagai satu tubuh:
301

‚...yang jika salah satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh lainnya
akan terganggu dan demam‛
Sebagai contoh ialah jika seseorang mengalami pendarahan otak, dimana
kemampuan sel-sel otak untuk bertahan hidup tanpa oksigen hanya sekitar empat
menit, belum lagi pengaruh tekanan dalam rongga kepala akibat perdarahan

295
QS al-Baqarah [2] : 133.
296
QS al-Baqarah [2] : 180.
297
QS al-Nisa>' [4] : 18.
298
Riwayat Muslim, Ibn Ma>jah, Ibn H{ibba>n, al-Bayhaqi>, al-T{abra>ni>, Abu> Ya‘la>,
Ibn Abi> Shaybah, Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, Ibn al-Ja>ru>d, Ibn Mandah, dan Ibn ‘Asa>kir.
299
Riwayat al-Tirmidhi>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, Ibn H{ibba>n, al-H{a>kim, al-Bayhaqi>,
Abu> Ya‘la>, ‘Abd Ibn H{umayd, al-T{abra>ni>, dan al-Bazza>r.
300
Otak merupakan organ yang paling cepat rusak secara irreversible apabila tidak
mendapat pasokan oksigen.
301
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, Ibn H{ibba>n, Ibn ‘Asa>kir, dan al-Khat}i>b al-
Baghda>di>.

346
tersebut.302 Contoh lainnya ialah pada penyakit ginjal, yang dapat mengganggu
sekian banyak fungsi organ-organ tubuh. Bahkan terus merambat mengakibatkan
kelainan pada organ-organ lainnya sampai pasien meninggal dunia.303
Pada contoh-contoh di atas dapat diatasi apabila ditangani dokter pada
waktu yang tepat. Hal ini disebabkan karena gangguan pada suatu organ tertentu
jika tidak ditangani sebelum habisnya waktunya, maka organ tersebut akan terus
terancam oleh gangguan demi gangguan, kekurangan demi kekurangan sampai
terjadi kematian organ.
Tubuh pun selalu berupaya secara langsung mengobati diri sendiri ( self
healing) atau recovery dengan apa yang Alla>h Ta‘a>la> telah ciptakan di dalamnya.
Satu organ dengan organ lainnya memiliki kemampuan berbeda dalam hal ini.
Para fuqaha>’ pun membahas tentang batas akhir hidup manusia, berikut
tindakan-tindakan spesifik yang menyertainya, yaitu penyelenggaraan jenazah,
seperti memandikan jenazah, mengkafani, menshalatkan, dan menguburkannya. Hal
tersebut sebagaimana firman Alla>h Ta‘a>la>:

‚Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur.‛ (QS ‘Abasa


[80]: 21)
Prosesi jenazah dilakukan jika hadirin telah yakin (pasti) tentang kematian
yang bersangkutan. Tandanya adalah hilangnya napas, kedua bibirnya menganga
(mulutnya setengah terbuka), dan berbagai tanda lainnya yang disebutkan oleh
sebagian ahli fikih.304 Mereka juga menambahkan syarat-syarat lain selain tanda-
tanda tersebut.305 Imam al-Nawawi> berkata: ‚Jika terdapat keraguan terhadap
kematian seseorang, baik karena penyakit, kemungkinan mati suri, atau tampak
tanda shock, dan lain sebagainya, yang menyebabkan adanya kemungkinan sekedar
koma atau benar-benar mati, maka prosesi jenazah ditunda sampai didapatkan
kepastian tentang hal itu, baik dengan perubahan bau jasad atau selainnya.‛306
Mereka sangat concern untuk tidak tergesa-gesa menetapkan kematian
kecuali setelah dipastikan jasad telah kehilangan daya hidupnya. Yakni, kehilangan
daya hidup secara total. Mereka mensyaratkan keyakinan (kepastian) dalam
penetapan tersebut, serta pengecekan untuk menghilangkan keraguan. Jika terdapat
sedikit keraguan, jasad itu dibiarkan, sampai berubah baunya, sehingga hilanglah
seluruh bentuk keraguan terhadap kematian yang bersangkutan. Inilah konsensus
(ijma>‘) para fuqaha>’ dari generasi pertama sampai dengan era kontemporer ini.
Hukum-hukum Islam senantiasa dibangun di atas kehati-hatian, bukan di
atas keraguan. Khususnya dalam kondisi yang demikian. Kita cermati bahwa

302
Seperti pada kasus haemorrhagic stroke, dimana pecahnya perdarahan di dalam
otak menyebabkan tekanan intra cranial meninggi, sehingga mengakibatkan kelumpuhan
saraf motorik maupun sensorik yang dipersarafi oleh area lesi tersebut.
303
Seperti pada kasus-kasus yang mengakibatkan kerusakan glomerulus ginjal,
sehingga menyebabkan ureum dan kreatinin masuk ke dalam peredaran darah, lalu menjadi
toksik bagi organ-organ tubuh serta merusaknya.
304
Niz}a>m al-Balkhi>, al-Fata>wa> al-Hindi>yah, j I, 154.
305
Ibn ‘A<bidi>n, Ha>shi>yah Ibn ‘A<bidi>n, j.I, 189.
306
Al-Nawawi>, Rawd}ah al-T{a>libi>n, j. II, 98.

347
penetapan kematian bagi orang yang hilang dalam perjalanan, jihad, perang atau
semisalnya, harus melewati masa tertentu yang ditetapkan oleh para ahli fikih, agar
dapat diyakini bahwa yang bersangkutan memang benar-benar telah wafat. Juga
apabila kuat dugaan (ghalabah al-z}ann) bahwa sangat kecil kemungkinan masih
hidup menurut kebiasaan umum yang berlaku, setelah melewati masa tertentu.
Setelah itu, barulah diumumkan kematiannya. Istrinya menjalani ‘iddah, hartanya
dibagikan kepada ahli waris, para pelayat datang, dan lain sebagainya.

c. Hakikat Kematian Menurut Para Fuqaha>’ 307


Yang dimaksud dengan kematian adalah: maut, terputus, ajal, mati, wafat
dan yang lainnya seperti terhentinya denyut jantung dan tidak terabanya denyut
nadi leher.308 Semuanya adalah sebutan untuk penamaan suatu peristiwa
berpisahnya ruh dari jasad.
Inilah hakikat kematian menurut jumhur ahli fikih. Bahkan belum
ditemukan adanya perbedaan pendapat mereka dalam hal bahwa kematian adalah
berpisahnya roh dari jasad. Sedangkan mengenai roh, Alla>h berfirman: "Dan mereka
bertanya kepadamu (Muh}ammad) tentang roh. Katakanlah, ‚Roh itu termasuk
urusan Tuhanku, sedangkan kalian tidaklah diberi pengetahuan melainkan hanya
sedikit‛" (QS al-Isra>’ [17]:85). Maka Dia membatasi kemampuan akal untuk
memikirkannya, kemudian Dia menjelaskan tentang ruh dengan berita yang tidak
bisa dibantah.
Oleh sebab itu, sebagian ulama berpendapat tidak boleh memperbincangkan
roh karena ia merupakan salah satu perkara yang hanya diketahui oleh Alla>h saja,
sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat tersebut. Akan tetapi mayoritas mereka
berpendapat boleh. Mereka mengatakan roh adalah substansi yang bersifat nurani,
lembut, menyatu dengan badan sebagaimana bersatunya air dengan batang kayu
yang masih basah. Alla>h Ta‘a>la> berfirman, ‛Lalu Kami tiupkan (roh) dari Kami ke
dalam (tubuh)nya‛(QS al-Anbiya>’ [21]: 91) dan dalam ayat yang lain,‛Maka Kami
tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami‛(QS al-Tah}ri>m
[66]:12). Peniupan tidak akan bisa terjadi kecuali pada zat yang lembut. 309
Dalam hal ini terdapat sebuah hadis dalam Musnad Ah}mad, yang sanadnya
dikompilasi oleh al-Da>ruqut}ni> dalam satu jilid tersendiri. Kemudian hadis tersebut
dibahas oleh Ibn al-Qayyim al-Jawzi>yah secara panjang lebar dalam kitabnya Al-
Ru>h}. Hadis yang dikenal karena panjangnya tersebut, diterima dari al-Barra>’ Ibn
‘A<zib r.a. yang berkata:
‛Suatu hari kami keluar bersama Rasu>lulla>h SAW mengantar jenazah
seorang dari golongan Ans}a>r. Ketika kami sampai di tempat pemakaman, ia
berkata: ‘Kemudian Rasu>lulla>h Saw berbicara tentang peristiwa pencabutan roh
seorang mukmin, ‘maka jiwanya (roh) keluar seperti mengalirnya air dari
tempatnya, lalu ia diambil oleh malaikat maut’…. Adapun tentang pencabutan roh

307
Bakr Ibn ‘Abdilla>h Abu> Zayd, "Ajhizah al-In‘a>sh wa H{aqi>qat al-Wafa>t bayn al-
Fuqaha>’ wa al-At}ibba>’", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.III, j.II, 532 ” 552.
308
Nadi leher yang dimaksud ialah Arteri Carotis Eksterna.
309
Al-Bazda>wi>, Us}u>l al-Di>n, 222.

348
orang kafir, maka Beliau berkata,’Maka malaikat itu mencabutnya dengan keras
sebagaimana dicabutnya besi pembakar daging (ujungnya berjeruji) dari dalam wol
yang basah, lalu malaikat maut mengambilnya.’‛310
Selain itu, Alla>h berfirman dalam Al-Qur’a>n, ‛Dan sekiranya dia
(Muh}ammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami
pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya‛ .
(QS al-H{a>qqah [69]: 44 ” 46)
Para ahli tafsir berpendapat bahwa ‚al-wati>n‛ adalah tangkai (tempat
bergantungnya) jantung.311 Jika ia dipotong maka kematian pasti akan terjadi.
Inilah pendapat Ibn ‘Abba>s dan mayoritas ulama.312
Demikian juga disebutkan dalam riwayat yang diterima dari ‘A<’ishah r.a.
yang berkata,‛Menjelang wafatnya Rasu>lulla>h SAW, Beliau bersabda:
313

"Wahai ‘A<’ishah, aku masih merasakan sakit (akibat racun) yang aku
makan di Khaybar, maka saat ini aku merasakan terputusnya urat nadi di leherku
akibat racun itu’."
Al-H{a>fiz} Ibn H{ajar al-‘Asqalla>ni> dalam kitab Fath} al-Ba>ri> berkata, bahwa
al-abhar adalah urat nadi yang terletak di dalam rongga dada yang bersambung
dengan jantung. Jika ia terputus maka akan mengakibatkan terjadinya kematian.
Ditambahkan juga oleh al-Khat}t}a>bi> yang berkata bahwa jantung bersambung
dengannya. Al-Abhar dalam ilmu kedokteran modern disebut dengan aorta, yaitu
pembuluh nadi yang besar sebagai saluran peredaran darah menuju otak dan
anggota tubuh lainnya.
Sementara itu Imam al-Ghaza>li> menjelaskan tentang hakikat kematian:
‚Ketahuilah, ... bahwa makna kematian adalah perubahan keadaan saja, roh
tetap ada setelah berpisah dengan jasad dalam keadaan tersiksa atau mendapatkan
nikmat.... Dan kematian diibaratkan sebagai pembelotan semua organ tubuh
terhadap roh. Semua organ tubuh adalah alat. Roh yang menggunakan organ
tubuh....‛ 314
Ibn Taymi>yah berkata,‛Telah banyak sekali hadis dari Rasu>lulla>h SAW
yang menjelaskan bahwa roh itu dicabut (dari jasad), yang (kelak) diberi nikmat
atau ditimpa azab, sebagaimana telah dikatakan kepadanya: ‘Keluarlah wahai roh
yang mulia’.‛

310
Riwayat al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, al-H{a>kim, al-Bayhaqi>, ‘Abd al-Razza>q,
Muh}ammad Ibn Ha>ru>n al-Ru>ya>ni>, Ibn Abi> Shaybah, al-T{abra>ni>, Abu> al-Shaykh al-As}baha>ni>,
Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, Muh}ammad Ibn ‘Amr al-Bakhtari>, al-Khat}i>b al-Baghda>di>, Ibn
Abi> H{a>tim, dan Abu> Zur‘ah.
311
Apabila secara anatomis dikaitkan dengan pembuluh besar yang deat jantung,
maka yang dimaksud ialah aorta. Namun al-Kalbi> mengartikannya sebagai pembuluh darah
besar yang ada di leher, maka ini berrti arteri carotis.
312
Al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m Al-Qur'a>n, j.XVIII, 179.
313
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, al-H{a>kim, al-Bayhaqi>, al-T{abra>ni>, al-
Bazza>r, Ibn al-Sunni>, dan ‘Abd al-Razza>q.
314
Al-Ghaza>li>, Ih}ya>' ‘Ulu>m al-Di>n, j.IV, 493.

349
Sesungguhnya para dokter sepakat dengan para ahli fikih dalam memahami
secara garis besar tentang makna kematian yaitu berpisahnya roh dari badan. Dan
penelitian kedokteran yang menyatakan bahwa akhir kehidupan manusia adalah
dengan matinya batang otak,315 merupakan definisi yang dapat dikaitkan dengan
upaya tertentu, seperti penggunaan alat bantu hidup.316

7. Ciri-ciri Kematian Menurut Fuqaha>’


Disebutkan dalam S{ah}i>h} Muslim dari Umm Salamah r.a. bahwa Rasu>lulla>h
SAW bersabda:
317

‛Sesungguhnya roh, jika dicabut akan diikuti oleh arah pandangan mata‛.

Demikian pula dalam hadis yang diterima dari Shida>d Ibn Aws r.a., bahwa
Rasu>lulla>h SAW bersabda:
318

‛Jika kalian menghadiri jenazah seseorang, maka pejamkanlah matanya,


karena sesungguhnya pandangan itu mengikuti kemana roh pergi. Ucapkanlah hal-
hal yang baik saja, karena sesungguhnya (malaikat) mengaminkan apa-apa yang
dikatakan oleh keluarga jenazah".
Imam al-Ghaza>li> secara tepat telah mendefinisikan kematian sebagai
‚bentuk pembangkangan organ tubuh terhadap roh sampai tidak satupun organ
tubuh manusia itu bercampur dengan roh.‛319
Kesimpulannya bahwa kematian dapat ditetapkan dengan hilangnya tanda-
tanda kehidupan. Tanda-tanda tersebut merupakan bukti nyata yang dapat dilihat
dengan mata dan perasaan, semua orang dapat mengetahuinya.
Imam al-Nawawi> menambahkan klausul penting jika terdapat keraguan
dalam hal ini:
320

‛Jika terjadi keraguan disebabkan karena tidak adanya tanda-tanda


kematian dan kemungkinan masih tahap koma, atau terlihat tanda-tanda

315
M. Smith, "Brain Death: Time for an International Consensus", British Journal
of Anaesthesia, vol. 108, suppl. 1 (2012): i6”i9.
316
Mark Hilberman, Jean Kutner, et al.,"Marginally Effective Medical Care: Ethical
Analysis of Issues in Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)", Journal of Medical Ethics 23
(1997): 361-367.
317
Riwayat Muslim, Abu> Da>wud, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, Ibn H{ibba>n, al-
Bayhaqi>, al-T{abra>ni>, Abu> Ya‘la>, al-Baghawi>, Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, Abu> al-Qa>sim Ibn
Bashra>n, dan Yu>suf al-Mizzi>.
318
Riwayat Ibn Ma>jah, Ah}mad, al-Bazza>r, al-T{abra>ni>, Abu> Bakr al-Isma>‘i>li>, dan al-
Khat}i>b al-Baghda>di>.
319
Bakr Ibn ‘Abdilla>h Abu> Zayd, "Ajhizah al-In‘a>sh wa H{aqi>qat al-Wafa>t bayn al-
Fuqaha>’ wa al-At}ibba>’", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.III, j.II, 534.
320
Al-Nawawi>, Rawd}at} al-T{a>libi>n, j.II, 98.

350
mengkhawatirkan atau yang lainnya, maka tundalah sampai terjadinya perubahan
aroma atau (tanda meyakinkan) yang lainnya.‛

8. Penggunaan Alat Bantu Hidup

a. Alasan Penghentian Alat Bantu Hidup


Poin terakhir adalah pandangan kita terhadap alat-alat bantu hidup.
Alh}amdulilla>h, umat Islam menyadari bahwa alat-alat tersebut tidak bisa
memajukan dan memundurkan kematian, karena ia hanya sebuah sarana seperti
halnya pengobatan. Ketika peralatan itu dipasang, lalu pasien mampu bertahan
hidup selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, maka itu bukan berarti
bahwa kehidupan pasien telah berakhir. Akan tetapi, maknanya adalah Alla>h
mentakdirkannya hidup hingga waktu yang tidak kita ketahui dengan adanya alat-
alat tersebut. Jadi, yang menciptakan akibat itu juga menciptakan penyebabnya.
Alla>h berfirman (yang artinya):
‚Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu
ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu
tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Alla>h)? Kamu tidak
(mampu) mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-
orang yang benar?‛ (QS al-Wa>qi‘ah [56]: 83-87)
‚Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat
mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan (nya).‛ (QS
Yu>nus [10]: 49)
‘Ali> al-Ba>rr bisa memahami bahwa kematian menurut syariat adalah
berpisahnya roh dari jasad. Sedangkan tidak seorangpun yang mengetahui esensi
roh. Hanya Alla>h yang mengetahuinya. Berpisahnya roh dari jasad itulah kematian
yang sebenarnya. Kematian yang telah dipastikan secara syariat maupun medis
inilah satu-satunya alasan yang dapat dibenarkan untuk menghentikan atau melepas
alat bantu hidup.321

b. Kapan Alat Bantu Hidup Berhenti Digunakan


Naluri kemanusiaan dokter tetap lebih dominan daripada kepuasan akal.
Terlebih lagi jika keputusan atas kasus hidup matinya seseorang, dilakukan oleh
dokter yang menangani langsung pasien tersebut. Telah banyak dibuktikan bahwa
para dokter yang berpengalaman dan memiliki kemampuan tinggi, mereka seolah-
olah tidak pernah berhenti berupaya memberikan bantuan, baik berupa penggunaan
alat bantu hidup atau bahkan resusitasi, meskipun kematian sudah jelas. Mereka
hanya menyerah setelah berusaha keras, dan menerima nasehat sejawat mereka.322

321
M.D. O'Brien, "Criteria for Diagnosing Brain Stem Death", British Medical
Journal 301 (July 1990): 108-109.
322
M. Mohr, D. Kettler, "Ethical Aspects of Resuscitation", British Journal of
Anaesthesia 97 (1997): 253-259.

351
Pada sisi lain, penggunaan alat bantu hidup dan pemberian obat adalah dua
hal yang berbeda, sehingga hukum keduanya juga berbeda. Pemberian obat disikapi
ulama klasik dengan sikap yang berbeda. Imam al-Ghaza>li> menyebutkan tentang
sebagian ulama salaf yang tidak menyukai pengobatan, berdasarkan salah satu dari
enam alasan yang dirinci al-Ghaza>li> dalam kitab al-Ih}ya>’.
Pendapat yang kuat dan masyhur adalah pengobatan itu hukumnya wajib
setiap kali kehidupan dan organ tubuh terancam resiko besar, dan bahwa
pengobatan itu dianjurkan (mandu>b) jika kekritisannya di bawah itu.323 Sedangkan
alat bantu hidup, menurut saya hukumnya wajib, karena kondisi darurat324 yang
bahkan bisa mengubah hukum haram menjadi wajib untuk mempertahankan hidup.
Membiarkan seseorang mati karena tidak digunakannya alat bantu hidup,
atau karena alat-alat tersebut sedang dipasang pada seseorang yang otaknya telah
mati merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan.325
Untuk itu kalangan medis telah menyusun kriteria-kriteria spesifik untuk
mendefinisikan kematian otak. Hal itu karena prosedur transplantasi organ
membutuhkan pemindahan organ dari tubuh mayat saat ia dalam keadaan baik.
Maksudnya, sel-selnya masih hidup. Oleh karena kematian organ tubuh tidak selalu
terjadi berbarengan dengan kematian seseorang, maka organ tubuh ini akan tetap
hidup untuk jangka waktu tertentu sesudah kematiannya.326
Demikian halnya dengan jantung, ginjal, kornea, atau organ tubuh manusia
lainnya yang dibutuhkan dalam transplantasi. Semua organ itu bisa hidup setelah
kematian pemiliknya. Kerusakan merambati organ tubuh lalu menjadi tidak
berguna setelah berhentinya sirkulasi darah. Pengambilan organ tubuh harus
dilakukan dalam keadaan sirkulasi darah masih berjalan atau beberapa saat setelah
berhentinya, yang untuk itu membutuhkan pemasangan alat bantu hidup secara
kontinu. Pengambilan organ tubuh dilakukan setelah ada pernyataan tentang
kematian orang tersebut. 327
Seperti juga peristiwa yang makin banyak terjadi, yaitu memindahkan
ginjal seseorang dari suatu benua ke benua lainnya. Itu adalah ginjal hidup milik
pasien yang sudah mati, bahkan mungkin pendonor tersebut telah dikuburkan,

323
Pemberian obat pada kondisi kritis dilakukan parenteral, baik langsung
disuntikkan ke tubuh pasien maupun melalui infus.
324
Bahkan kondisi pasien yang tidak sadar, menuntut penandatanganan inform
consent dilakukan oleh keluarganya. Hal tersebut menunjukkan akan pentingnya dan
mendesaknya suatu tindakan medis untuk menyelamatkan nyawa pasien, serta menunjukkan
tanggungjawab profesi medis atas tindakan tersebut.
325
George Zdenkowski,"Human Rights and Euthanasia", An Occasional Paper of
the Human Rights and Equal Opportunity Commission , December 1996.
326
I.H. Kerridge, P. Saul, "Death, Dying and Donation: Organ Transplantation and
the Diagnosis of Death", Journal of Medical Ethics 28 (2002): 89”94.
327
Antonia J. Cronin, "Directed and Conditional Deceased Donor Organ Donations:
Laws and Misconceptions", Medical Law Review 18 (Autumn 2010): 275”301.

352
sebelum ginjal tersebut dipindahkan ke pasien lain.328 lmu pengetahuan
memungkinkan untuk menyimpan organ tertentu di laboratorium setelah diangkat
dari pemiliknya.
Persoalan berikutnya ialah ketika pasien telah diberi perawatan intensif,
lalu kapan penggunaan alat bantu kehidupan tersebut dihentikan? Jika tersedia
biaya, alat dan ahli yang menangani pasien, apakah alat tersebut boleh tetap
digunakan untuk melanjutkan perawatan intensif sampai terjadi kerusakan total
pada semua organ vital, ataukah perawatan dihentikan seketika diyakini kematian
otak?
Para dokter berpendapat bahwa jika otak sudah menolak aliran darah, maka
seseorang dianggap telah mati. Yaitu jika alat-alat dihentikan, maka jantung tidak
akan terus berdenyut, paru-paru tidak akan bergerak, dan ginjal tidak akan
membersihkan darah kecuali dalam waktu yang tidak lebih dari lima menit. Dalam
kondisi ini kematian boleh divonis manakala dipastikan otaknya telah mati.
Hukum-hukum yang ditimbulkan dari kematian itu dimulai dari detik tersebut.
seperti pewarisan, ‘iddah dan selainnya.
Selanjutnya para ulama dan kalangan dokter ahli329 berpendapat bahwa
dalam hal-hal tersebut di atas, harus diperhatikan tiga kondisi di bawah ini, yang
terkait dengan hukum fikih.
Kondisi pertama. Organ-organ vital pasien kembali berfungsi normal,
sehingga dokter yang menangani merasa yakin bahwa kondisi kritis telah hilang
dan tidak ada faktor yang mengharuskan alat tersebut terus dipasang. Pernapasan,
irama jantung dan tanda-tanda vital lainnya kembali kepada kondisi normal. Di sini
pendapat dokter ahli wajib dihormati terkait penghentian alat bantu hidup.330
Kondisi kedua. Organ vital berhenti berkerja dan kematian telah terjadi,
sehingga otak dan jantung tidak berfungsi. Jantung tidak berdenyut untuk
menerima dan memompa darah, pernapasan berhenti, dan otak tidak menerima
asupan yang sampai kepadanya. 331 Bahkan upaya resusitasi pun tidak berhasil.
Pada situasi ini dokter memutuskan untuk melepas semua peralatan dan akan
menyatakan kematian pasien secara sempurna.332
Kondisi ketiga. Otak telah berhenti menerima asupan, tetapi organ-organ
lain tetap bekerja melalui alat bantu hidup dan perawatan yang intensif di ruang
ICU. Jadi, alatlah yang menggerakkan paru-paru untuk selanjutnya mengalirkan
darah. Terkadang kondisi seperti ini berlangsung selama sebulan atau dua bulan.

328
Panduranga S. Rao, Akinlolu Ojo, "The Alphabet Soup of Kidney
Transplantation: SCD, DCD, ECD„Fundamentals for the Practicing Nephrologist",
Clinical Journal of the American Society of Nephrology 4 (2009): 1827”1831.
329
Antara lain ialah Shaykh Mukhta>r al-Sala>mi> dan Dr. ‘Ali> al-Ba>rr dari anggota
Majma‘.
330
M. Mohr, D. Kettler, "Ethical Aspects of Resuscitation", British Journal of
Anaesthesia 97 (1997): 253-259.
331
Calixto Machado, "Diagnosis of Brain Death", Neurology International, vol. 2,
e. 2 (2010): 7-14.
332
M.D. O'Brien, "Criteria for Diagnosing Brain Stem Death", British Medical
Journal 301 (July 1990): 108-109.

353
Akan tetapi, kehidupan itu sendiri telah pergi, tidak bisa dikembalikan. Kehidupan
seperti itu telah rusak secara total, dan yang tersisa adalah kehidupan buatan.
Bekerjanya sebagian organ vital ialah karena dukungan alat, sedangkan sebagian
yang lain berhenti secara total; tidak ada pengaruhnya intervensi dokter untuk
memulihkannya. Kondisi yang tampak sebagai hidup namun tidak ada tanda-tanda
kehidupan vital, telah dibahas oleh para ulama fikih. Terdapat tanda-tanda
kematian otak seperti tidak ada refleks fisiologis, dan tidak tampak sedikit pun
gerakan kehidupan otak pada layar monitor. Namun dengan penatalaksanaan yang
terfokus dan pemasangan alat-alat bantu (life support) seperti alat bantu
pernapasan, alat pemompa jantung dan yang lainnya, dapat diketahui bahwa
jantung senantiasa berdenyut dan napas senantiasa berhembus. Pada situasi ini
dokter akan menyatakan kematian pasien dengan kematian batang otak.333 Dokter
akan menyatakan bahwa hanya dengan melepas alat bantu hidup pada pasien, maka
jantung dan napas akan berhenti.

Hukum penghentian alat bantu hidup dalam kasus ketiga tersebut di atas,
menurut al-Mukhta>r al-Sala>mi> tidak bisa ditetapkan secara mutlak, melainkan ada
beberapa pertimbangan sebagai berikut:
a. Jika alat-alat yang digunakan pada orang yang otaknya sudah mati itu
dibutuhkan oleh pasien lain, maka diharuskan melepaskan alat-alat tersebut
darinya untuk dipasang pada orang yang masih hidup secara sempurna. 334
b. Jika biaya yang dibutuhkan untuk terus menerus memasang alat-alat tersebut
sedemikan besar sehingga berdampak terhadap pengobatan bagi pasien lain.
Dalam kondisi ini, alat tersebut dilepas dan selanjutnya perhatian harus
diarahkan kepada pasien lain yang masih hidup. Ini seperti yang terjadi di
negara-negara yang tidak memiliki kekuatan financial.

Adapun pandangan fikih dari sisi prognosa perjalanan penyakit pasien yang
menggunakan alat bantu hidup, ialah sebagai berikut:
a. Jika dokter menetapkan bahwa pasien tidak ada harapan untuk sembuh, alat
bantu pernapasan boleh (ja>’iz) dilepaskan; sebab keberadaan alat tersebut tidak
akan banyak membantu kesembuhan pasien. Alat tersebut hanya menahan
sesuatu yang tidak ada manfaatnya bagi pasien, bahkan sebaliknya alat tersebut
tidak seharusnya berada pada pasien karena hal itu akan memperpanjang
penderitaannya.335
Dalam kondisi seperti ini pasien tidak dihukumi telah meninggal dunia yang
menyebabkan berlakunya hukum waris dan lainnya, atau mentransplantasi
sebagian organnya. Pasien tidaklah dihukumi meninggal hanya dengan

333
Calixto Machado, "Diagnosis of Brain Death", Neurology International, vol. 2,
e. 2 (2010): 7-14.
334
American Academy of Hospice and Palliative Medicine. Position Statement on
Artificial Nutrition and Hydration Near the End of Life . Approved December 2006,
http://www.hpccr.org/about-resource-library.cfm. Diakses pada 24 Juli 2014.
335
George Zdenkowski, "Human Rights and Euthanasia", An Occasional Paper of
the Human Rights and Equal Opportunity Commission , December 1996.

354
mengangkat alat bantu, melainkan harus berdasarkan keyakinan bahwa ruh
telah benar-benar berpisah dengan semua organ tubuh.
b. Adapun jika dokter menetapkan bahwa pasien masih bisa diharapkan sembuh
atau memiliki kemungkinan yang sama besar antara selamat dan meninggal,
maka yang dilakukan adalah tidak melepaskan alat bantu sampai kondisi pasien
benar-benar tidak bisa diharapkan lagi atau sebaliknya.

9. Dasar Pertimbangan Majma‘


Penulis telah meneliti pembahasan fikih secara panjang lebar dalam bab ini
berikut alasan dari keputusan Majma‘ tentang penentuan kematian dan alat bantu
hidup. Adapun para anggota Majma‘ maupun notulen mu'tamar tidak menyebutkan
sama sekali metodologi us}u>l al-fiqh apa yang mereka gunakan hingga sampai pada
keputusan tersebut di atas.
Menurut hasil penelitian penulis, para ulama Majma‘tidak mendapati dalil
Al-Qur'a>n, al-Sunnah, al-Ijma>‘, maupun al-Qiya>s yang secara langsung atau spesifik
dapat dijadikan sandaran dalil dalam memutuskan fatwa tentang alat bantu hidup
dan penentuan kematian ini. Oleh karena itu mereka pun beralih dari dalil-dalil
yang disepakati (muttafaq ‘alayha>) kepada dalil-dalil pada peringkat selanjutnya,
yaitu dalil-dalil atau metodologi us}u>l al-fiqh yang tidak disepakati (mukhtalaf fi>ha>).
Dari hasil diskusi para anggota Majma‘ hingga pada Keputusan Majma‘
dalam persoalan ini, maka dapat penulis simpulkan bahwa paling tidak terdapat
tiga determinan yang menjadi dasar prtimbangan Majma‘:

a. Penentuan kematian.
Keputusan di atas ditetapkan setelah melalui serangkaian perdebatan dan
diskusi hingga dua kali mu'tamar. Ringkasan dari penerapan metode penetapan
hukum (t}ari>q al-istinba>t}) tentang penentuan kematian adalah sebagai berikut.
Pada penentuan kematian seseorang, terdapat perbedaan cara penentuan
kematian antara dokter dengan fuqaha>’. Dalam ilmu kedokteran didasarkan pada
analisis eksperimental dan terukur, yang pada mulanya berdasarkan henti jantung
(cardiac arrest) permanen,336 kemudian berkembang hingga dewasa ini menjadi
matinya batang otak (MBO).337 Adapun dalam ilmu fikih, kematian berarti
lepasnya roh yang bersifat non-empirik. Kesimpulan ini langsung diambil dari nas}s}
Al-Qur'a>n maupun al-Sunnah. Dalil-dalil tentang kematian merupakan dalil yang
sepakat dipahami dengan cara yang sama. Ditambah pula dengan pengamatan
empirik para ulama periode klasik tentang tanda-tanda kematian.
Para fuqaha’ menyajikan definisi kematian yang bertumpu pada
berpisahnya roh dengan jasad berdasarkan Al-Qur’a>n dan al-Sunnah. Tentu saja ini
bersifat non-empirik, dan semata sebagai guidance yang wajib diimani. Sebagai
bukti empirik, mereka mengajukan beberapa pengetahuan dan pengalaman dari
336
Erwin Mulia, Bambang B. Siswanto, "Cardiocerebral Resuscitation: Advances in
Cardiac Arrest Resuscitation", Medical Journal of Indonesia, vol. 20, no. 4 (November
2011): 306-309.
337
` Smith, "Brain Death: Time for an International Consensus", British Journal of
Anaesthesia, vol. 108, suppl. 1 (2012): i6”i9.

355
ulama klasik. Akan tetapi pengamatan mereka pun bersifat superficial338 dan tidak
cukup kuat untuk dijadikan sebagai dasar ilmiah pada era modern ini. Dari sisi
fikih, pemahaman para ulama tersebut merupakan mafhu>m muwa>faqah339 dari
sejumlah dalil-dalil shar‘i>,340 yaitu nalar sillogisme atas suatu pernyataan.341
Sebagai tambahan, para fuqaha>’ mengingatkan tentang kepastian tanda-
tanda kematian yang bersifat irreversible. Mereka berpegang kepada metode
istis}h}a>b, yaitu bahwa seseorang diasumsikan tetap hidup sampai ada alasan kuat
untuk menyatakannya tidak hidup. Dalam hal ini kaidah yang dijadikan sandaran
ialah:
342

"Yang menjadi pokok pegangan ialah sesuatu yang tetap pada masa lalu
maka diasumsikan dalam keadaan tetap seperti itu".
Para ahli fikih telah sepakat bahwa janin yang telah memiliki roh berarti
telah memiliki kemuliaan, sehingga haram untuk dilanggar tanpa alasan yang
dibenarkan. Hal tersebut bahkan diberlakukan oleh sebagian ahli fikih untuk
zygote, meskipun sebelum ditiupkan roh kepadanya, dengan alasan itu merupakan
benih manusia yang memiliki kemuliaan dan kehormatan.
Dalam rangka mencari titik temu dan pemahaman yang jelas tentang
fenomena kematian secara ilmiah berikut konsekuensinya pada penggunaan alat
bantu hidup, maka sejumlah pakar kedokteran menyampaikan paper mereka untuk
dibahas para ulama anggota Majma‘. Para pakar kedokteran (yang juga memahami
ilmu fikih) seperti Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr, Mukhta>r al-Mahdi>, ‘Is}a>m al-Di>n al-
Sharbi>ni>, Ah}mad Shawqi> Ibra>hi>m, Ah}mad al-Qa>d}i,> dan Mus}t}afa> S{abri> Ardu>ghdu>
telah memaparkan paper mereka, baik langsung dengan presentasi maupun tidak
langsung dengan ara pengiriman makalah tersebut.
Dalam ilmu kedokteran modern, disepakati bahwa definisi kematian ialah
kematian batang otak. Pendapat sejumlah dokter yang berbeda dengan itu, dapat
dipatahkan secara ilmiah. Oleh karenanya, kesimpulan MBO tersebut menjadi
semacam ‘urf di kalangan medis.
Dalam diskusi selama mu’tamar, para anggota Majma‘ bisa menerima
argumentasi kalangan medis bahwa acuan definisi kematian ialah kematian batang
otak. Di sini tampak mereka menggunakan metode al-‘urf. Dalam hal ini ialah ‘urf
profesi medis yang didasarkan pada analisa ilmiah dan terukur.
Dari sisi subyek hukum dalam us}u>l al-fiqh, maka konsensus tentang brain
stem death di kalangan medis, bioetika, maupun hukum kedokteran ini termasuk
criteria ‘urf khusus.343 Adapun dari sisi implementasinya yang kemudian diterima
oleh semua kalangan, maka dapat disebut sebagai ‘urf ‘amali>. Definisi ‘urf ‘amali>
ialah sesuatu yang manusia sama-sama mengetahuinya berlaku seara

338
Yaitu hanya berdasarkan pengamatan mata telanjang, hanya melihat kepada
gejala-gejala fisik yang tampak, tanpa bantuan alat analisa lainnya.
339
‘Al-Bana>ni>, H{ashi>yah al-Bana>ni> ‘ala> Jam‘ al-Jawa>mi‘, j.I, 383-390.
340
Al-Subki>, Al-Ibha>j fi> Sharh} al-Minha>j, j.I, 364-367.
341
Al-Amidi, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, j.II, 63-67.
342
Ah}mad al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 87-88.
343
Lihat halaman 77.

356
implementatif, bukan sekedar ucapan verbal. Atau dengan kata lain, sesuatu yang
menjadi referensi aktifitas.344
Posisi hukum ‘urf ini menjadi mulzim (mengikat) karena diberlakukan
secara legal formal agar tidak terjadi dispute dalam soal ini. diberlakukan dalam
penetapan hukum syariat. Makna mulzim adalah kepastian praktik sesuai ‘urf
dalam masyarakat.345 Makna ini diisyaratkan oleh pernyataan fuqaha>’:
346

‚‘Urf itu sama kedudukannya dengan syarat.‛


Ini tidak lain merupakan bukti bahwa ‘urf tersebut bersifat mulzim.347

b. Penggunaan alat bantu hidup.


Para ulama tidak menganggap ‚kehidupan‛ organ tertentu sebagai tanda
bahwa orang tersebut masih hidup, karena organ tersebut mungkin saja masih bisa
menerima aliran darah dan oksigen semata karena dipasangnya alat bantu hidup.
Demikian pula pada tingkat kehidupan sel, dimana sel-sel tubuh manusia yang telah
mati masih mungkin diisolasi dan ditempatkan pada media yang kondusif, sehingga
tetap hidup.
Adapun mengenai alat bantu hidup, terdapat dua pokok penting, yaitu
kapan mulai digunakannya alat tersebut dan apa hukumnya, serta kapan atau
dengan alasan apa dilepasnya alat tersebut dan apa hukumnya.
Mengenai penggunaan alat bantu hidup, anggota Majma‘ sepakat bahwa
hukumnya wajib hanya atas indikasi medis yang kuat, yaitu untuk menanggulangi
resiko kematian pasien. Lebih jauh lagi, Shaykh al-Mukhta>r al-Sala>mi> berpendapat
bahwa pemasangan alat bantu hidup pada kasus-kasus seperti di atas, hukumnya
adalah fard} kifa>'i>. Dalam arti bahwa tindakan tersebut harus semata dilakukan oleh
mereka yang ahli di bidangnya.
Para ulama tersebut berpindah dari perselisihan tentang hukum pengobatan
dalam kasus non-darurat, yaitu antara wajib, mandub, dan mubah, kepada hukum
wajib dalam kasus darurat. Hukumnya berubah karena perbedaan ‘illat,348 yaitu
dimana kemudaratan atau bahkan resiko kematian harus dieliminir. Yang dimaksud
‘illat dalam hal ini ialah mempertahankan hidup pasien. Namun demikian ‘illat
tersebut kurang tepat apabila diterapkan pada qiyas dalam masalah ini, karena
"mempertahankan hidup" tidaklah spesifik (mund}abit}) dari sisi fikih. Oleh karena
itu tampaknya yang lebih dekat ialah menggunakan mas}lah}ah mursalah, karena
adanya mas}lah}ah d}aru>ri>yah, yaitu mempertahankan hidup.

c. Penghentian penggunaan alat bantu hidup.

344
Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 197.
345
Ah}mad al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 237, 239, 219.
346
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h wa al-Naz{a>’ir, 63. Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir,
j.I, 126.
347
‘A<dil Qu>tah, Al-‘Urf wa Atharuh, j. I, 246.
348
Kaidah mengatakan: ‚al-h}ukm yadu>ru ma‘a ‘illatih‛. Artinya bahwa hukum itu
beredar (ditetapkan) berdasarkan sebab hukum yang dapat dijasikan alasan penetapan
tersebut.

357
Adapun mengenai kapan dilepaskannya alat tersebut, para ulama sepakat
bahwa itu boleh dilakukan apabila pasien telah dipastikan meninggal dunia. Pada
sisi lain, mereka berbeda pendapat dalam kasus tatkala pasien masih hidup, namun
tidak bisa diharapkan kondisinya membaik. Tentu saja ramalan penyakit yang tidak
mungkin membaik tersebut adalah berdasarkan diagnose dokter yang ahli dalam
bidang terkait.
Mukhta>r al-Sala>mi> membolehkan melepas alat bantu hidup dengan alasan
menghilangkan penderitaan pasien, alasan biaya penggunaan alat yang sangat besar
sehingga amat memberatkan pihak penyandang dana, ataupun alasan bahwa alat
akan digunakan oleh pasien yang lebih membutuhkan ketika terjadi kelangkaan
alat. Tindakan semacam ini dikenal dengan istilah euthanasia.
Pandangan seputar euthanasia di atas sempat mengemuka dalam diskusi
para anggota Majma‘. Adalah menarik untuk dikemukakan bahwa diantara para
anggota Majma‘ ada yang berijtihad membolehkan tindakan euthanasia karena
pertimbangan prognosa medis dan penderitaan pasien.349
Bagi ulama yang membolehkan euthanasia, tampak bahwa mereka
menggunakan metode al-istih}sa>n bi qa>‘idah raf‘ al-h}araj wa al-mashaqqah.350 Yaitu
beralih dari penunjukan kaidah-kaidah qiya>s pada sejumlah masalah demi untuk
menghilangkan kesempitaan seraya menumbuhkan kelapangan bagi masyarakat
(bagi orang lain). Istilah tersebut merupakan salah satu kategori yang digunakan
oleh para ahli us}u>l Ma>liki>yah.
Dalam praktek medis kontemporer, maka metode al-istih}sa>n bi qa>‘idah raf‘
al-h}araj wa al-mashaqqah diimplemetasikan pada kondisi yang apabila alat bantu
hidup terpasang terus, justru akan mengakibatkan penderitaan bagi pasien dan
beban berat bagi keluarganya. Pada saat yang sama, secara medis sudah tidak
mungkin diharapkan perbaikan pada kondisi pasien.
Akan tetapi karena euthanasia tidak menjadi topik bahasan, maka hal
tersebut tidak muncul dalam Keputusan Majma‘. Adapun yang diputuskan oleh
Majma‘ adalah bersifat normatif, yaitu kebolehan melepaskan alat bantu jika pasien
telah dipastikan mati batang otak.
Keputusan ini menunjukkan bahwa para peserta mu'tamar mengambil
kesimpulan hukum dengan metode sadd al-dhari>‘ah. Yaitu menghindari pro-kontra
euthanasia dalam hal penghentian alat bantu, serta menghindari kontroversi tentang
penetapan kematian dengan menetapkan kematian batang otak sebagai hasil kajian
ilmiah dunia kedokteran mutakhir.351

349
Al-Mukhta>r al-Sala>mi>, "Al-In‘a>sh", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.II, j.I, 490-
491.
350
Contoh yang sering dicantumkan oleh para fuqaha>' periode klasik ialah
menjama‘ shalat maghrib dan ‘Isya karena hujan, musafir yang menjama‘ dan qas}r salatnya,
ataupun berbuka dari puasa ketika dalam perjalanan jauh. Ini semua hakekatnya ialah
melapangkan bagi manusia seraya menghilangkan kesempitan di dalamnya. Lihat: Al-
Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, j.IV, 207.
351
Smith, "Brain Death: Time for an International Consensus", British Journal of
Anaesthesia, vol. 108, suppl. 1 (2012): i6”i9.

358
Pada sisi lain, apabila argumentasi keputusan Majma‘ ditilik dari sudut
pandang semata keputusan dokter untuk melepas alat bantu, maka tampaknya
Majma‘ menggunakan metode al-mas}lah}ah al-mursalah. Yang dimaksud dengan al-
mas}lah}ah al-mursalah dalam konteks ini seperti yang didefinisikan oleh al-Najja>r,
yaitu tatkala seorang faqi>h melihat suatu perbuatan dapat mengambil manfaat yang
lebih utama, sementara itu tidak ada satu aspekpun yang dapat menafikannya dari
segi shara‘.352 Juga al-mas}lah}ah al-mursalah dalam pengertian S{afi> al-Di>n al-
Baghda>di>, yaitu mengambil manfaat atau menolak kemudaratan dengan tanpa
melihat (menyandarkan kepada) pokok syariatnya.353
Secara umum dapat disimpulkan bahwa, metode penetapan hukum yang
digunakan Majma‘ dalam masalah ini ialah tidak dilarang untuk melakukan suatu
tindakan medis atas pertimbangan keterpaksaan. Demikian pula suatu tindakan
medis itu diperbolehkan, sepanjang terdapat kemaslahatan yang lebih bisa
diharapkan, dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkannya.
Selain itu, Majma‘ menggunakan pula metode pengambilan hukum yang
bersifat preventif. Dengan perkataan lain, dilarang melakukan tindakan-tindakan
medis yang diprediksikan akan membawa kerusakan lebih besar dibanding
manfaatnya. Kerusakan yang dimaksud ialah mencakup kerusakan akidah, terjatuh
kepada syubhat atau haram, ataupun kerusakan yang bersifat fisik dan material.
Demikianlah hasil analisa penulis terhadap metodologi hukum Islam yang
digunakan oleh para fuqaha>’ anggota Majma‘ dalam mengambil kesimpulan hukum
terhadap persoalan penentuan kematian dan alat bantu hidup (ajhizat al-in‘a>sh).

M. Keputusan Majma‘ al-Fiqh

Keputusan al-Majma‘ no. 7 (2/4) tentang Alat Bantu Hidup (Ajhizat al-
In‘a>sh) ialah sebagai berikut:354
1. Menunda keputusan akhir tentang masalah ini hingga sidang al-Majma‘
berikutnya.
2. Menyerahkan amanah umum untuk menghimpum berbagai kajian dan
ketetapan dari Kongres Kedokteran Islam di Kuwayt.

Adapun Komite Fatwa di Kementerian Wakaf Kuwayt pada tanggal 14


Desember 1981 membolehkan pencabutan alat bantu hidup dari pasien yang
diyakini akan segera meninggal. Kemudian alat tersebut dipasang kepada pasien
lain yang diyakini dapat bertahan hidup dengan alat tersebut, atas dasar analisa
medis yang kuat. Pendapat tersebut antara lain didasari oleh pendapat Ibn
Taymi>yah.

352
Al-Najja>r, Al-Adillah al-Mukhtalaf, 35.
353
S{{afi> al-Di>n al-Baghda>di>, Qawa>‘id al-Us}u>l wa Mu‘a>qid al-Fus}u>l, 32.
354
Mu’tamar al-Majma‘ ke-2 pada 10-16 Rabi’ al-Akhir 1406 H ” Desember 1985
M di Jeddah, Saudi Arabia.

359
Sedangkan Keputusan al-Majma‘ no.17 (3/5) ialah sebagai berikut:355
1. Seseorang yang dinyatakan telah meninggal secara shar‘i> dan oleh karenanya
diberlakukan semua hukum-hukum tentang mayat adalah jika telah jelas dua
tanda berikut ini :
a. Apabila jantung dan napasnya telah berhenti secara sempurna, dan para
dokter telah menetapkan bahwa berhentinya tidak akan bergerak kembali.
b. Apabila seluruh fungsi otak telah berhenti, dan para dokter ahli telah
menetapkan bahwa berhentinya itu tidak akan kembali lagi (irreversible).
2. Pada kondisi tersebut di atas, diizinkan melepas berbagai alat bantu kehidupan
pada seseorang, meskipun sebagian organ tubuh, seperti jantung, masih bisa
berfungsi selama ditopang oleh bekerjanya alat bantu hidup.

Dari hasil penelitian terhadap makalah-makalah dan pembahasan para


fuqaha>' Majma‘ sampai dengan keputusan di atas, tampak bahwa topik bahasan ini
tidak hanya mengenai alat bantu hidup. Bahkan makalah-makalah yang disajikan
dalam mu'tamar ini sebagian besarnya ialah mengenai hal-hal yang terkait dengan
penentuan kematian. Oleh karena itu menuliskan judul bab di atas sebagai Alat
Bantu Hidup dan Penetapan Kematian.

355
Mu’tamar al-Majma‘ ke-3 pada 8-13 Shafar 1407 H ” 11-16 Oktober 1986 M di
Amman, Jordania.

360
Tabel berikut ini merupakan rangkuman dari rangkaian pembahasan para
fuqaha>' anggota Majma‘ dan hasil keputusan Majma‘ dalam hal Alat Bantu Hidup
dan Penentuan Kematian:

Boleh 1. Kematian batang otak


2. Henti jantung dan napas secara sempurna dan irreversible
3. Patogenesa penyakit irreversible, prognosis infaust*
4. Prognosis infaust, menyengsarakan pasien, menyulitkan keluarga
pasien**

Dilarang 1. Pasien masih hidup, patogenesa penyakit reversible, prognosis in


dubia, atau dubia ad malam356
2. Henti jantung dan napas yang bersifat reversible
3. Permintaan keluarga pasien tanpa alasan medis yang kuat

Tabel 9. Kesimpulan Majma‘ tentang Penghentian Alat Bantu Hidup

Keterangan:
* : kesimpulan pernyataan Komite Fatwa Kementerian Wakaf Kuwayt, yang
disampaikan dalam mu'tamar Majma‘.
** : kesimpulan pendapat Shaykh Mukhta>r al-Sala>mi>, anggota Majma‘, namun
tidak menjadi keputusan Majma‘.

Pembahasan Terkait
Dalam mu'tamar-mu'tamar Majma' selama kurun waktu sampai dengan
2010, terdapat beberapa topik pembahasan terkait dengan topik-topik Alat Bantu
Hidup yang dibahas dalam Disertasi ini. Topik-topik tersebut merupakan derivasi
dan karenanya tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip yang telah dibahas pada
Topik Alat Bantu Hidup ini. Dengan demikian penelitian ini dapat menjadi
pembuka jalan bagi peneliti selanjutnya untuk menganalisa t}ari>q al-istinba>t} Majma‘
al-Fiqh dalam topik-topik terkait tersebut. Topik-topik pembahasan yang dimaksud
ialah:
1. Jenis-jenis Terapi yang Membatalkan Puasa ( )
2. Penyakit Diabetes dan Puasa pada Bulan Ramadhan
( )
3. Penyakit AIDS dan Hukum Fikih yang Terkait Dengannya
( )
4. Tanggungjawab Profesi Dokter ( )

356
Prognosis in dubia ialah ramalan penyakit yang meragukan apakah akan
membaik atau akan memburuk. Prognosis dubia ad malam ialah ramalan penyakit yang
meragukan, tapi cenderung ke arah buruk. Prognosis infaust ialah ramalan akan akhir suatu
penyakit yang sangat amat buruk.

361
362
B A B VII
TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH DARI ORANG HIDUP MAUPUN DARI
JENAZAH (INTIFA<‘ AL-INSA<N BI A‘D{A<’ JISM INSA<N A<KHAR HAYYAN
KA<NA AW MAYYITAN)

Di dalam bab sebelumnya, yaitu tentang Alat Bantu Hidup dan Penentuan
Kematian, terdapat pembahasan yang keterkaitan erat secara medis dengan bab ini.
Hal tersebut karena pemanfaatan organ jenazah, tidak dapat dipisahkan dari kapan
seseorang dinyatakan masih hidup atau telah meninggal dunia.
Adapun pembahasan tentang Transplantasi Organ Tubuh merupakan salah
satu topik dalam rangkaian Mu'tamar Majma‘ al-Fiqh ke- 4. Mu'tamar tersebut
dilaksanakan pada tanggal 18 s.d. 23 Juma>di> al-A<khirah 1408 H atau bertepatan
dengan tanggal 6 s.d. 11 Pebruari 1988 M di Jeddah, Arab Saudi.
Makalah-makalah yang disajikan dalam pembahasan topik ini ialah:
1. Dr. Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr, Intifa>‘ al-Insa>n bi A‘d}a>’ Jism Insa>n A<khar H{ayyan
aw Mayyitan.
2. Shaykh Bakr Ibn ‘Abdilla>h Abu> Zayd, Al-Tashri>h} al-Jathma>ni> wa al-Naql wa
al-Ta‘wi>d} al-Insa>ni>.
3. Dr. ‘Abd al-Sala>m Da>wud al-‘Abba>di>>, Intifa>‘ al-Insa>n bi A‘d}a>’ Jism Insa>n
A<khar H{ayyan aw Mayyitan.
4. Shaykh A<dam ‘Abdulla>h ‘Ali>, Intifa>‘ al-Insa>n bi A‘d}a>’ Jism Insa>n A<khar
H{ayyan aw Mayyitan.
5. Dr. Muh}ammad Ayman S{a>fi>, Intifa>‘ al-Insa>n bi A‘d}a>’ Jism Insa>n A<khar H{ayyan
aw Mayyitan Ghars al-A‘d}a>’ fi> Jism al-Insa>n Masha>kiluhu al-Ijtima>‘i>yah wa
Qad}a>ya>hu al-Fiqhi>yah.
6. Prof. Dr. H{asan ‘Ali> al-Sha>dhili>,> Intifa>‘ al-Insa>n bi A‘d}a>’ Jism Insa>n A<khar
H{ayyan aw Mayyitan fi> al-Fiqh al-Isla>mi>.
7. Dr. Muh}ammad Sa‘i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i,> Intifa>‘ al-Insa>n bi A‘d}a>’ Jism Insa>n
A<khar H{ayyan aw Mayyitan.

Adapun pembahas dan pembicara aktif dalam mu'tamar ini ialah:1


1. Dr. Muh}ammad ‘Ali> al-Ba>rr
2. Dr. Muh}ammad Sa‘i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i>
3. Shaykh A<dam Shaykh ‘Abdulla>h ‘Ali>
4. Dr. Muh}ammad Ayman S{a>fi>
5. Shaykh Bakr Ibn ‘Abdilla>h Abu> Zayd
6. Dr. H{asan ‘Ali> al-Sha>dhili>>
7. Shaykh Khali>l Muh}yi> al-Di>n al-Mi>s
8. Dr. ‘Abd al-Sala>m Da>wud al-‘Abba>di>>
9. Shaykh Muh}ammad Ibn ‘Abd al-Rah}ma>n
10. Dr. Ah}mad Raja>'i> al-Jundi>
11. Shaykh Wahbah Mus}t}afa> al-Zuhayli>>
12. Shaykh Ah}mad Muh}ammad Jama>l

1
"Muna>qashah", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.IV, j.I, 435-490.

363
13. Shaykh Muh}ammad al-Mukhta>r al-Sala>mi>
14. Shaykh Muh}ammad Ibra>hi>m Saqrah
15. Shaykh Rajab al-Tami>mi>
16. Shaykh Muh}ammad Sayyid T{ant{a>wi>
17. Shaykh Ah}mad Ba>zi>gh al-Ya>si>n
18. Shaykh Muh}ammad Shari>f Ah}mad
19. Shaykh ‘Umar Ja>h
20. Shaykh T{a>ha> Ja>bir al-‘Ulwa>ni>

Sebagai suatu persyaratan dalam mengambil keputusan fikih atas suatu


masalah ialah adanya pemahaman yang baik terhadap masalah tersebut. Untuk itu
perlu diperoleh gambaran yang utuh tentangnya. Dalam Sub Bab ini penulis
memaparkan tentang Transplantasi Organ Tubuh Manusia dari sisi ilmu
kedokteran. Selanjutnya dipaparkan intisari makalah dan diskusi para anggota
Majma‘, lalu diakhiri dengan analisa t}ari>q al-istinba>t} berikut Keputusan Majma‘
dalam topik tersebut.

A. Proses dan Definisi Transplantasi Organ

Kata ‚transplantasi‛ berasal dari Middle English transplaunten, yang


diambil dari bahasa Latin Kuno transplantare, yang artinya to plant.2 Menurut
kamus Webster Medical Dictionary, kata ‚transplantation‛ (to transplant) berarti:
The grafting of a tissue from one place to another, just as in botany a bud from one
plant might be grafted onto the stem of another. The transplanting of tissue can be
from one part of the patient to another (autologous transplantation), as in the case
of a skin graft using the patient's own skin; or from one patient to another
(allogenic transplantation), as in the case of transplanting a donor kidney into a
recipient. 3
"Transplantasi jaringan ialah memindahkannya dari satu tempat ke tempat lainnya,
seperti tunas tanaman dari dipindahkan ke batang atau tanaman lain. Transplantasi
jaringan dapat dari suatu bagian tubuh pasien ke bagian tubuh lainnya (autologous
transplantation), seperti pada kasus transplantasi kulit. Juga dapat dari satu pasien
ke pasien lainnya (allogenic transplantation), seperti pada transplantasi ginjal".
Adapun definisi transplantasi menurut WHO ialah:‚Transplantation is the
transfer (engraftment) of human cells, tissues or organs from a donor to a recipient
with the aim of restoring function(s) in the body‛.4
"Transplantasi ialah pemindahan (pencangkokan) sel manusia, jaringan atau
organnya dari donor kepada resipien dengan tujuan untuk memulihkan fungsi
bagian tubuh tersebut".
2
Merriam Webster Online Search, Online Dictionary, http://www.merriam-
webster. com/netdict/ transplant. Diakses pada 11 Juli 2014.
3
Merriam Wesbter, Medical Dictionary, http://www.medterms.com/script/
main/art. asp?articlekey=6290. Diakses pada 11 Juli 2014.
4
World Health Organization, Transplantation, http://www.who.int/topiks/
transplantation/en/. Diakses pada 11 Juli 2014.

364
Sedangkan definisi ‚transplantasi‛ menurut Undang-Undang Kesehatan RI
pasal 1 ayat 5 ialah: ‚Transplantasi Organ adalah rangkaian tindakan medis untuk
memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang
lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ atau
jaringan tubuh‛. Pengertian lain mengenai transplantasi organ adalah berdasarkan
UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, dimana "transplantasi adalah tindakan
medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari
tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk mengganti
jaringan dan atau organ tubuh yang tidak berfungsi dengan baik".
Secara lebih spesifik, transplantasi organ didefinisikan sebagai berikut:
"Organ transplant, defined as the transfer of a living tissue or organ to an injured or
ill person to restore health or reduce disability," 5
"Transplantasi organ ialah memindahkan organ atau jaringan yang hidup kepada
seseorang yang sakit atau terluka untuk memulihkan kesehatannya atau
mengurangi kecacatanya".
Ada dua istilah mendasar yang cukup penting dalam tindakan transplantasi:
1. Eksplantasi, yaitu tindakan pengambilan jaringan atau organ dari manusia yang
hidup atau yang sudah meninggal
2. Implantasi, yaitu tindakan penempatan jaringan atau organ tersebut pada
bagian tubuh sendiri atau tubuh orang lain
Adaptasi tubuh dalam menentukan keberhasilan tindakan transplantasi,
terdiri dari dua pihak, yaitu:
1. Adaptasi pendonor, yaitu upaya dan kemampuan menyesuaikan diri dari orang
hidup yang diambil jaringan atau organ tubuhnya, baik secara fisik maupun
psikis, untuk dapat melanjutkan hidup dalam keadaan kekurangan
jaringan/organ yang dieksplantasi dari tubuhnya.
2. Adaptasi resipien, yaitu upaya dan kemampuan diri penerima jaringan/organ
yang diimplantasikan padanya, sehingga secara biologis maupun psikologis
dapat menerima jaringan/organ tersebut untuk berfungsi dengan baik,
menggantikan jaringan/organ yang sudah tidak dapat berfungsi lagi.
Tranplantasi (pencangkokan) jaringan/organ tubuh merupakan tindakan
pilihan, tatkala suatu jaringan/organ tubuh yang vital mengalami kerusakan, serta
tidak dapat diperbaiki (irreversible) atau tidak dapat berfungsi lagi (disfunction)
akibat suatu kecelakaan atau penyakit.6 Saat ini teknik transplantasi sudah semakin
maju dengan ditemukannya metode-metode pencangkokan mutakhir.
Sejak kesuksesan transplantasi ginjal yang pertama kali dilakukan pada 23
Desember 1954, maka teknologi medis transplantasi mengalami perkembangan
yang luar biasa.7 Riset dan pengembangan terus menerus mengalami kemajuan,

5
P.K. Linden, "History of Solid Organ Transplantation and Organ Donation",
Critical Care Clinics Journal, vol. 25, issue 1 (2009): 165-184.
6
Kriteria kerusakan organ yang bersifat irreversible dan/atau disfungsi ini sangat
penting sebagai salah satu patokan dasar dalam memutuskan tindakan transplantasi.
7
Albert R. Jonsen, "History of Medicine: The Ethics of Organ Transplantation: A
Brief History", American Medical Association Journal of Ethics, vol. 14, no. (3March
2012): 264-268.

365
sehingga saat ini tersedia teknologi yang memungkinkan pengawetan organ,
penemuan obat-obatan immunosupresan8 yang semakin baik. Dengan demikian
dimungkinkan transplantasi berbagai organ manusia dari donor yang tidak hanya
berasal dari kalangan keluarga sedarah saja, tetapi siapapun dapat menjadi donor.
Akan tetapi tingginya kebutuhan transplantasi yang sekaligus berarti
tingginya permintaan organ, tidak diikuti dengan tingginya tingkat persediaan
organ. Menurut data WHO, tranplantasi organ telah dilakukan di 91 negara di
dunia. Pada tahun 2005 terdapat sekitar 66.000 transplantasi ginjal, 21.000
transplantasi hati,9 dan 6000 transplantasi jantung10 yang dilakukan di seluruh
dunia.11 Tercatat bahwa 19 orang meninggal setiap hari dalam penantian untuk
mendapatkan donor organ.12 Angka-angka tersebut terus meningkat setiap tahun
seiring meningkatnya kebutuhan akan transplantasi dan masih kurang tersedianya
organ yang akan ditransplantasikan.

1. Jenis-Jenis Transplantasi
Transplantasi merupakan suatu penemuan modern yang luar biasa dalam
dunia kedokteran. Donasi organ dari satu manusia kepada manusia lain, telah
menjadikan ribuan orang terselamatkan jiwanya di seluruh dunia setiap tahunnya.
Apabila ditinjau dari segi pendonor jaringan atau organ tubuh, maka transplantasi
dapat dibedakan menjadi:13

a. Transplantasi dari Pendonor yang Masih Hidup


Transplantasi dengan donor hidup adalah pemindahan jaringan atau organ tubuh
seseorang yang hidup kepada orang lain atau ke bagian lain dari tubuhnya sendiri.
Yang sering dilakukan ialah transplantasi ginjal, karena memungkinkan seseorang
untuk terus hidup dengan satu ginjal saja.14 Juga dimungkinkan bagi donor hidup
ntuk memberikan sepotong/sebagian dari organ tubuhnya misalnya paru,15 hati,16
pancreas, usus, kulit, kornea, sumsum tulang dan darah.17

8
Yaitu jenis obat-obatan untuk menekan reaksi imunitas berupa penolakan tubuh
terhadap adanya benda asing yang masuk ke tubuhnya.
9
Data pada 15 Juni 2012, lebih dari 99.000 orang menanti donor ginjal dan lebh
dari 16.773 orang menanti donor hati. Lihat: J.M. Smith, S.W. Biggins, et al.,"Kidney,
Pancreas and Liver Allocation and Distribution in the United States", American Journal of
Transplantation 12 (2012): 3191.
10
Babichan K Cand, "World Health Organization: Fact Sheet", Kuwait Journal,
vol. 39, no. 2 (2007): 203-208.
11
Yusuke Shimazono; http://www.who.int/bulletin/volumes/85/12/06-039370.
Diakses pada 11 Juli 2014.
12
http://www.mayoclinic.org/transplant/organ-donation.html. Diakses 11 Juli 2014.
13
C. Rudge, R. Matesanz, F. L. Delmonico, J. Chapman, "International Practices of
Organ Donation", British Journal of Anaesthesia, vol. 108, suppl. 1 (2012): i48-i55.
14
K. Ota, "Current Status of Organ Transplants in Asian Countries",
Transplantation Proceedings, vol. 36, issue 9 (2004): 2535-2538.
15
J.R. Maurer, J. Ryu, G. Beck, et al., "Lung Transplantation in the Management of
Patients with Lymphangioleiomyomatosis: Baseline Data from the NHLBI LAM Registry",
Journal of Heart Lung Transplantation, vol. 26, issue 12 (2007): 1293-1299.

366
b. Transplantasi dari Pendonor yang Telah Meninggal Dunia (Organ Jenazah)18
Transplantasi dengan donor mayat atau jenazah adalah pemindahan jaringan atau
organ dari tubuh orang yang baru saja meninggal, kepada tubuh orang lain yang
masih hidup. Jenazah tersebut biasanya adalah seseorang yang baru saja meninggal
akibat kecelakaan, atau penyakit kritis (dread diseases)19 yang dideritanya. Pasien
mungkin meninggal di ruang emergency atau ruang ICU. Dalam kasus ini, donasi
organ akan dipertimbangkan setelah usaha resusitasi mengalami kegagalan. Organ
tubuh yang didonorkan biasanya adalah organ yang tidak memiliki kemampuan
untuk regenerasi misalnya jantung, kornea, ginjal, pankreas, jantung dan hati.20

2. Transplantasi dari Sisi Resipien21


Sedangkan apabila ditinjau dari segi resipien atau penerima jaringan/organ
tubuh, maka transplantasi dapat dibedakan menjadi:22

a. Autograft (Autotransplantation)
Autotransplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain
dalam tubuh orang itu sendiri. Biasanya transplantasi ini dilakukan pada jaringan
yang berlebih atau pada jaringan yang dapat beregenerasi kembali. Sebagai contoh
ialah tindakan skin graft pada penderita luka bakar, dimana kulit donor berasal dari
kulit paha yang kemudian dipindahkan pada bagian kulit yang rusak akibat
mengalami luka bakar. Juga seperti mengambil pembuluh darah di bagian tubuh
lain pada operasi bypass karena penyakit jantung koroner. 23

b. Isograft (Syngeneic)
Termasuk dalam autograft adalah "syngraft" atau isograft yang merupakan
prosedur transplantasi yang dilakukan antara dua orang yang secara genetik identik.

16
V. Mazzaferro, E. Regalia, R. Doci, et al., "Liver Transplantation for the
Treatment of Small Hepatocellular Carcinomas in Patients with Cirrhosis". New England
Journal of Medicine 334 (1996): 69.
17
Institute of Medicine (IOM), Organ Donation: Opportunities for Action
(Washington, D.C.: The National Academies Press, 2006), 56.
18
Robert D. Truog, Franklin G. Miller,"The Dead Donor Rule and Organ
Transplantation", New England Journal of Medicine 359 (August 2008): 674-675.
19
Penyakit kritis ialah penyakit yang bersifat akut maupun kronis yang mengancam
jiwa seseorang. Contohnya ialah jantung koroner, haemorrhagic stroke, hipertensi maligna,
cirrhosis hepatis, gagal ginjal, dll.
20
J.M. Smith, S.W. Biggins, et al., "Kidney, Pancreas and Liver Allocation and
Distribution in the United States", American Journal of Transplantation 12 (2012): 3191-
3212.
21
Karnen Garna Baratawidjaja, Iris Rengganis, Imunologi Dasar (Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, edisi X, 2012), 621.
22
Patricia Soetjipto, Naskah Akademik Transplantasi Organ (Jakarta: Program
Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, 2010), 4.
23
M.N. Susan Smith, Immunologic Aspects of Organ Transplantation ,
June 17, 2002, http://www.medscape.com/viewarticle/436533_2. Diakses pada 11 Juli 2014.

367
Misalnya antara kembar yang monozigot (genetik identik). Transplantasi model
seperti ini juga selalu berhasil, kecuali jika ada permasalahan teknis selama operasi.
Operasi transplantasi ginjal yang pertama kali dilakukan pada tahun 1954
merupakan operasi transplantasi syngraft antara kembar identik.

c. Allograft
Allograft adalah pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke
tubuh orang lain. Dulu dikenal dengan istilah homograft. Misalnya pemindahan
jantung dari seseorang yang telah dinyatakan meninggal pada orang lain yang
masih hidup. Kebanyakan sel dan organ manusia adalah Allografts.24

d. Xenotransplantation (Xenograft/Xenogeneic)
Xenotransplantation adalah pemindahan suatu jaringan atau organ dari species
bukan manusia kepada tubuh manusia. Dulu dikenal dengan istilah heterograft.
Contohnya pemindahan organ jantung hewan primata ke tubuh manusia. 25

e. Transplantasi Domino (Domino Transplantation)


Merupakan multiple transplantation yang dilakukan sejak tahun 1987. Donor
memberikan organ jantung dan parunya kepada penerima donor, dan penerima
donor ini memberikan jantungnya kepada penerima donor yang lain. Biasanya
dilakukan pada penderita cystic fibrosis (hereditary disease) dimana kedua parunya
perlu diganti dan secara teknis lebih mudah untuk mengganti jantung dan paru
sebagai satu kesatuan.26 Dalam kasus-kasus semacam ini, biasanya jantung pasien
masih sehat, sehingga dapat didonorkan kepada orang lain yang membutuhkan.27

f. Transplantasi Dibagi (Transplantation Split)


Kadangkala donor mayat khususnya donor hati, hatinya dapat dibagi setiap lobus
untuk dua penerima, khususnya dewasa dan anak.28 Akan tetapi transplantasi
dengan cara ini bukanlah pilihan yang baik, karena transplantasi keseluruhan organ
secara utuh adalah lebih baik bagi resipien.29

24
M.G. Azekamp, H.A. Huysmans, "Human Aortic and Pulmonary Homografts:
History, Procurement, Sterilization and Preservation, Cellular Viability and Clinical
Results", in A Piwnika, Westaby S: Surgery of Acquired Aortic Disease (London: Isis
Medica,1st ed, 1997), 211.
25
Ruth SoRelle, "Xenotransplantation", Circulation 97 (1998): 1431-1432.
26
B.P. Madden, K. Kamalvand, "The Medical Management of Patients with Cystic
Fibrosis Following Heart-Lung Transplantation", Europian Respiratory Journal 6 (1993):
965-970.
27
John Pope, Susanna McColley, Lung Transplant for Cystic Fibrosis, June 2011,
http://www.webmd.com/children/lung-transplantation-for-cystic-fibrosis. Diakses pada 11
Juli 2014.
28
E. Nesher, E. Island, P. Tryphonopoulos, et al., "Split Liver Transplantation",
Transplantation Proceedings 43 (2011): 1736-1741.
29
John F. Renz, Hasan Yersiz, "Split-Liver Transplantation: A Review", American
Journal of Transplantation 3 (200): 1323”1335.

368
Transplan Keterangan
Ginjal Asal dari orang hidup atau dari jenazah, makin sedikit
ketidaksesuaian MHC30 maka angka keberhasilannya
meningkat, harus ABO kompatibel
Jantung Matching penting, namun seringkali waktu yang terbatas
menjadi penyulit
Hati Tidak ada bukti bahwa matching mempengaruhi masa hidup
tandur,31 penolakan tidak seagresif organ lainnya
Kulit Kebanyakan bersifat autologus, tetapi allograft dapat digunakan
pada penderita luka bakar
Kornea Matching (MHC II) hanya diperlukan bila tandur sebelumnya
tervaskularisasi
Stem cell Respon Host vs Graft atau Graft vs Host mungkin terjadi.
Transplant harus dicocokkan dengan baik dan diberikan terapi
anti penolakan. Sel imun pejamu dirusak oleh irradiasi sebelum
transplantasi (mencegah Host vs Graft). Sel T dihilangkan dari
tandur (mencegah respon Graft vs Host) dengan menggunakan
antibody monoclonal dan komplemen
Tabel 10. Transplantasi Organ Tubuh yang Biasa Dilakukan32

Sejumlah pemeriksaan harus dilakukan dengan cermat, untuk memperoleh


hasil transplantasi yang baik. Seleksi donor dan resipien yang terpenting ialah:33
1. Asal orang hidup:
a. Donor memiliki dua ginjal yang berfungsi baik
b. Tidak menularkan penyakit
c. Tidak ada kelainan pembuluh darah
2. Asal orang mati:
a. Fungsi ginjal baik
b. Tidak ada infeksi (sepsis klinis, HIV)
c. Tidak ada keganasan atau penyakit sistemik (diabetes, hipertensi)
3. Seleksi resipien:
a. ABO34 kompatibel (tidak identik)

30
MHC. Major Histocompatibility Complex. Lokus genetic (kromosom 6 pada
manusia dan kromosom 17 pada tikus) termasuk gen sangat polimorfik yang menyandi
molekul untuk mengikat peptide yang dikenal sel T. dalam lokus MHC termasuk juga gen
yang menyandi sitokin dan protein komplemen.
31
Tandur ialah organ atau jaringan yang ditransplantasikan, atau juga terkadang
berarti transplantasi itu sendiri.
32
Karnaen, Iris, Imunologi Dasar, 638.
33
Karnaen, Iris, Imunologi Dasar, 638.
34
ABO. Antigen golongan darah. Antigen glikosfingolipid ditemukan pada banyak
jenis sel, seperti sel darah merah yang berbeda pada berbagai individu, tergantung dari allele
yang diturunkan yang menyandi enzim yang diperlukan dalam sistim antigen. Antigen ABO
bekerja sebagai alloantigen yang berperan dalam transfusi darah dan reaksi hiperakut
allograft.

369
b. Reaksi silang serum dengan sel T donor negatif
c. HLA35 mirip sebanyak mungkin

Dalam pada itu, bisa dikatakan bahwa hampir semua organ, jaringan dan
sel manusia dapat ditransplantasikan. Berikut ini adalah organ, jaringan maupun sel
yang dapat ditransplantasikan:36
1. Organ dalam rongga dada:
a. Jantung (hanya donor jenazah)
b. Paru (donor hidup dan jenazah)
c. En bloc Jantung/Paru (donor jenzah dan Transplantasi Domino)
2. Organ dalam rongga perut:
a. Ginjal (donor hidup dan jenazah)
b. Hati (donor hidup dan jenazah)
c. Pankreas (hanya donor jenazah)
d. Usus (donor hidup dan jenazah)
3. Jaringan, Sel dan Cairan:
a. Tangan (hanya donor jenazah)
b. Kornea (hanya donor jenazah)
c. Kulit termasuk face replant (autograft) dan transplantasi wajah (sangat
amat jarang dilakukan)
d. Islets of Langerhans (merupakan bagian dari pankreas yang mengandung
endokrin) (donor hidup dan jenazah)
e. Sumsum tulang/sel induk dewasa (donor hidup dan Autograft)
f. Transfusi Darah/Transfusi Komponen Darah (donor hidup dan Autograft)
g. Pembuluh darah (Autograft dan donor jenazah)
h. Katup Jantung (donor jenazah, donor hidup dan Xenograft yang berasal dari
babi atau sapi)
i. Tulang (donor hidup dan jenazah)
4. Stem cell (sel punca):
a. Stem cell asal janin
b. Stem cell asal donor dewasa.

35
HLA. Human Leucocyte Antigen. Molekul di dalam makrofag yang mengikat
peptide antigen, dikontrol oleh gen dalam kromosom 6, dapat meningkatkan respon imun
tertentu dan inflamasi.
36
New York Organ Donor Network, Which Organs Can Be Donated for
Transplantation? http://www.donatelifeny.org/transplant/organ_which.html. Diakses pada
11 Juli 2014.

370
Gambar 30. Transpantasi yang Umum Dilakukan di AS 37

3. Proses Tranplantasi Masing-Masing Organ, Jaringan ataupun Sel:38

a. Pencangkokan Ginjal39
Bagi pasien yang ginjalnya sudah tidak berfungsi, pencangkokan ginjal
merupakan alternatif terapi, selain hemodialisa, dan telah berhasil dilakukan pada
semua golongan umur.40 Ginjal yang dicangkokkan kadang berfungsi sampai lebih
dari 30 tahun. Mereka yang telah berhasil menjalani transplantasi ginjal biasanya
dapat hidup secara normal dan aktif. Transplantasi termasuk operasi besar, karena
ginjal dari donor harus disambungkan dengan pembuluh darah dan saluran kemih
resipien. Lebih dari duapertiga transplantasi berasal dari donor yang sudah
meninggal, biasanya adalah dari orang sehat yang meninggal karena kecelakaan.
Ginjal dikeluarkan dari tubuh donor, didinginkan dan segera dibawa ke rumah sakit
untuk dicangkokkan kepada seseorang yang memiliki jenis jaringan yang sama dan

37
Sumber data dari United Network for Organ Sharing (UNOS). Dikutip dari
Karnen, Imunologi Dasar, 640.
38
Patricia, Naskah Akademik Transplantasi Organ, 18-24.
39
Panduranga S. Rao, Akinlolu Ojo, "The Alphabet Soup of Kidney
Transplantation: SCD, DCD, ECD„Fundamentals for the Practicing Nephrologist",
Clinical Journal of the American Society of Nephrology 4 (2009): 1827”1831.
40
Shirley W., "Health Disparities in Kidney Transplantation: An Equity Analysis",
Journal of Health Disparities Research and Practice, vol. 3, no. 2 (Fall 2009): 1-12.

371
serum darahnya tidak mengandung antibodi terhadap organ implant. Meskipun
telah digunakan obat-obatan untuk menekan sistem imun, namun segera setelah
pembedahan dilakukan, dapat terjadi satu atau beberapa episode penolakan.
Penolakan tesebut bisa menyebabkan peningkatan berat badan akibat penimbunan
cairan, demam, dan nyeri serta pembengkakan di daerah tempat ginjal
dicangkokkan.
Pemeriksaan darah mungkin menunjukkan adanya kemunduran fungsi
ginjal. Untuk memperkuat diagnosis penolakan, bisa dilakukan biopsi jarum.41
Reaksi penolakan biasanya bisa diatasi dengan menambah dosis atau jumlah obat
immunosupresan. Jika penolakan tidak dapat diatasi, berarti transplantasi telah
gagal. Ginjal yang ditolak bisa dibiarkan di dalam tubuh resipien, kecuali jika
terjadi demam terus menerus, air kemih mengandung darah, atau tekanan darah
tetap tinggi.
Jika transplantasi gagal, maka harus segera kembali dilakukan hemodialisa,
serta analisa yang cermat terhadap penyebab kegagalannya dan terapi yang lebih
tepat. Upaya pencangkokkan berikutnya bisa dilakukan setelah penderita benar-
benar pulih dari pencangkokkan yang pertama. Kebanyakan episode penolakan dan
komplikasi lainnya terjadi dalam waktu 3-4 bulan setelah transplantasi. Obat
immunosupresan tetap diminum, karena jika dihentikan dapat menimbulkan reaksi
penolakan. Pemberian obat immunosupresan dihentikan jika timbul efek samping
atau infeksi yang berat.42
Resiko terjadinya kanker pada resipien ginjal adalah 10-15 kali lebih besar
bila dibandingkan dengan populasi umum. Resiko terjadinya kanker kelenjar getah
bening adalah sekitar 30 kali lebih besar daripada normal, yang kemungkinan
disebabkan oleh terjadinya penekanan terhadap sistem kekebalan.43

b. Pencangkokan Hati
Bagi para penderita penyakit ginjal, mereka masih memiliki alternatif
terapi, yaitu hemodialisa. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan penderita
penyakit hati yang berat. Jika hati sudah tidak berfungsi lagi, maka satu-satunya
pilihan terapi adalah transplantasi hati. Angka keberhasilan transplantasi hati lebih
rendah dibandingkan transplantasi ginjal. Tansplantasi hati sebagai terapi kanker
hati, jarang berhasil. Meskipun demikian 70-80% resipien mampu bertahan hidup
minimal selama 1 tahun. Mereka yang bertahan hidup kebanyakan adalah resipien
yang mengalami kerusakan hati akibat sirosis bilier primer, hepatitis atau
pemakaian obat yang bersifat hepatotoksik. Kanker biasanya kembali tumbuh pada
hati yang dicangkokkan atau pada organ lainnya, oleh karenanya kurang dari 20%
resipien yang bertahan hidup selama 1 tahun.

41
Pengambilan contoh jaringan ginjal dengan bantuan sebuah jarum untuk
kemudian diperiksa dengan mikroskop di laboratorium Patologi Klinik.
42
P.I. Terasaki, "Humoral Theory of Transplantation", American Journal of
Transplantation 3 (2003): 665-673.
43
Wai H. Lim, Robin M. Turner, et al., "Acute Rejection, T-Cell”Depleting
Antibodies, and Cancer After Transplantation", Transplantation Journal, vol. 97, no. 8
(2014): 817-825.

372
Reaksi penolakan pada transplantasi hati tidak sehebat reaksi penolakan
pada transplantasi organ lainnya (seperti ginjal dan jantung). Meskipun demikian,
setelah pembedahan harus diberikan obat immunosupresan. Jika resipien
mengalami pembesaran hati, mual, nyeri, demam, ikterik, atau terdapat kelainan
fungsi hati (yang diketahui dari hasil pemeriksaan kimia darah), maka bisa
dilakukan biopsy jarum. Hasil biopsi akan membantu menentukan apakah hati yang
dicangkokkan telah ditolahk dan apakah dosis obat immunosupresan harus
ditingkatkan.44

c. Pencangkokan Jantung
Saat ini sekitar 95% pasien pasca transplantasi jantung bisa lebih baik
dalam melakukan olah raga serta kegiatan sehari-hari, dan lebih dari 70% resipien
yang kembali bekerja. Transplantasi jantung dilakukan pada penderita penyakit
jantung yang paling serius dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan atau
pembedahan lainnya. Setelah pembedahan, kepada resipien perlu diberikan obat
immunosupresan. Reaksi penolakan terhadap jantung biasanya berupa demam,
lemah dan denyut jantung yang cepat atau abnormal. Jantung yang tidak berfungsi
dengan baik bisa menyebabkan tekanan darah rendah, edema dan penimbunan
cairan di dalam paru-paru.
Penolakan yang sifatnya sangat ringan mungkin tidak menunjukkan gejala
sama sekali, tetapi bisa terlihat adanya perubahan pada EKG. Jika diduga telah
terjadi penolakan, biasanya dilakukan biopsi. Jika ternyata terbukti telah terjadi
penolakan, maka dilakukan penyesuaian dosis obat immunosupresan.45 Hampir
separuh kematian pada resipien jantung disebabkan oleh infeksi. Komplikasi
lainnya adalah aterosklerosis di arteri koroner pada 25% resipien.46

d. Pencangkokan Paru-Paru & Jantung-Paru


Beberapa tahun terakhir ini, transplantasi paru-paru telah menunjukkan
kemajuan yang pesat. Meskipun biasanya hanya satu paru-paru yang
ditransplantasikan, tetapi dapat pula dilakukan transplantasi kedua paru-paru.
Apabila penyakit paru-paru tersebut juga telah menyebabkan kerusakan pada
jantung, maka terkadang transplantasi paru-paru digabungkan dengan transplantasi
jantung. Transplantasi paru-paru harus segera dilakukan setelah paru-paru
dieksplantasi dari tubuh donor, ini karena proses pengawetannya sulit. Paru-paru
bisa berasal dari donor hidup maupun donor yang baru meninggal. Dari donor
hidup, hanya 1(satu) paru-paru yang bisa diambil dan biasanya hanya 1 lobus yang

44
Marco Carbone, James M. Neuberger, "Autoimmune Liver Disease,
Autoimmunity and Liver Transplantation", Journal of Hepatology, vol. 60 (2014): 210”223.
45
Howard Eisen, R. Heather, "Optimizing the Immunosuppressive Regimen in
Heart Transplantation", The Journal of Heart and Lung Transplantation , vol. 23, issue 5
(May 2004): S207-S213.
46
Jon A. Kobashigawa, "Strategies in Immunosuppression After Heart
Transplantation: Is Less Better?", Circulation: Heart Failure 4 (2011): 111-113.

373
didonorkan.47 Sejumlah 80-85% resipien bertahan hidup minimal selama 1 tahun
dan sekitar 70% bertahan hidup selama 5 tahun. Beberapa komplikasi yang
mungkin terjadi pada resipien, yaitu:
1) Infeksi
2) Penyembuhan yang buruk pada titik persambungan saluran udara
3) Penyumbatan saluran udara akibat pembentukan jaringan parut
4) Penutupan saluran kapiler udara (merupakan komplikasi lanjut yang bisa
menjadi pertanda adanya penolakan yang terjadi secara bertahap).

Penolakan terhadap transplantasi paru-paru sulit untuk diketahui, dinilai


dan diobati. Pada lebih dari 80% resipien, penolakan terjadi dalam beberapa bulan
setelah pembedahan. Penolakan bisa menyebabkan demam, sesak nafas dan lemah
(kelemahan terjadi akibat berkurangnya oksigen dalam darah). Penolakan diatasi
dengan melakukan penyesuaian dosis obat immunosupresan.48

e. Pencangkokan Pankreas49
Transplantasi pankreas hanya dilakukan pada penderita diabetes tertentu.
Tujuannya untuk mencegah terjadinya komplikasi diabetes, dan terutama untuk
mengontrol kadar gula darah secara lebih efektif. Penelitian telah menunjukkan
bahwa transplantasi pankreas dapat memperlambat atau menghilangkan komplikasi
dari diabetes. Akan tetapi kebanyakan pasien tidak cocok menerima transplantasi.
Transplantasi biasanya hanya dilakukan pada pasien yang kadar gula darahnya
sangat sulit dikendalikan, namun pasien tersebut belum mengalami komplikasi
yang serius.50 Lebih dari 50% resipien memiliki kadar gula darah normal dan
seringkali tidak perlu menggunakan insulin lagi. Resipien harus mengkonsumsi
obat immunosupresan, yang sekaligus dapat berakibat buruk pula, yaitu mereka
memiliki resiko menderita infeksi dan komplikasi-komplikasi lainnya.51

f. Pencangkokan Sumsum Tulang52


Transplanbtasi sumsum tulang pertama kali digunakan sebagai bagian dari
pengobatan leukemia, limfoma jenis tertentu dan anemia aplastik. Oleh karena

47
Margaret E. Hodson, "Transplantation Using Lung Lobes from Living Donors",
Journal of Medical Ethics 26 (2000): 419-421.
48
C. Knoop, et al., "Immunosuppressive Therapy After Human Lung
Transplantation", European Respiratory Journal 23 (2004): 159”171.
49
Steve A. White, James A. Shaw, David E.R. Sutherland, "Pancreas
Transplantation", The Lancet, vol. 373, issue 9677 (May 2009): 1808 ” 1817.
50
Michelle Fung, David Thompson, Garth Warnock, "Pancreatic Islet
Transplantation: A Review", British Columbia Medical Journal, vol. 46, no. 9 (November
2004): 457-460.
51
Kimelman, Gerald, "Trends in Immunosuppression after Pancreas
Transplantation: What is in the Pipeline?", Current Opinion in Organ Transplantation, vol.
18, issue 1 (February 2013): 76”82.
52
Z. Steven Pavletic, James O. Armitage, et al., "Bone Marrow Transplantation for
Cancer „ An Update", The Oncologist, vol. 1 no. 3 (June 1996): 159-168.

374
teknik operasi dan angka keberhasilannya semakin meningkat, maka tindakan
transplantasi sumsum tulang sekarang ini semakin meluas. Pencangkokkan sumsum
tulang, antara lain dilakukan pada wanita penderita kanker payudara dan anak-anak
yang menderita kelainan genetik tertentu. Jika penderita kanker menjalani
kemoterapi dan radioterapi, maka sel-sel penghasil darah yang normal di dalam
sumsum tulang juga terkena, yaitu bisa dihancurkan bersamaan dengan sel-sel
kanker. Namun demikian terkadang pada saat menerima kemoterapi dosis tinggi,
sumsum tulang penderita bisa dikeluarkan dan kemudian disuntikkan kembali
setelah kemoterapi selesai. Oleh karenanya, pasien kanker bisa menerima
radioterapi dan kemoterapi dosis tinggi untuk menghancurkan sel-sel kanker.
Selain itu jenis HLA resipien harus menyerupai jenis HLA donor, maka
sering donor berasal dari keluarga dekat. Prosedurnya ialah, biasanya dengan
anestesi umum, sumsum tulang diambil dari tulang panggul donor melalui sebuah
jarum. Kemudian sumsum tulang tersebut disuntikkan ke dalam vena resipien.
Sumsum tulang donor berpindah dan berakhir di dalam tulang resipien, hingga sel-
selnya mulai membelah. Pada akhirnya, jika semua berjalan lancar, seluruh sumsum
tulang resipien akan tergantikan dengan sumsum tulang yang baru.53
Akan tetapi prosedur transplantasi sumsum tulang memiliki resiko, karena
sel darah putih resipien telah dihancurkan oleh terapi radiasi dan kemoterapi.
Sumsum tulang yang baru, memerlukan waktu sekitar 2-3 minggu untuk
menghasilkan sejumlah sel darah putih yang diperlukan, guna melindungi resipien
terhadap infeksi. Resiko lainnya adalah terjadinya penyakit graft-versus-host,
dimana sumsum tulang yang baru menghasilkan sel-sel aktif yang secara
imunologis menyerang sel-sel resipien.

g. Transplantasi Organ Lainnya


Pasien yang mengalami luka bakar yang sangat luas54 atau kerusakan kulit
luas lainnya, bisa dilakukan terapi dengan pencangkokkan kulit (skin graft). Cara
terbaik untuk melakukan skin graft adalah dengan mengambil kulit yang sehat dari
bagian tubuh lainnya, lalu mencangkokkannya ke bagian tubuh yang memerlukan.
Apabila hal tersebut tidak mungkin dilakukan, untuk sementara waktu bisa diambil
kulit dari donor atau hewan sampai tumbuhnya kulit baru yang normal.55 Tulang
rawan kadang dicangkokkan pada anak-anak, biasanya untuk memperbaiki kelainan

53
E. Donnall Thomas, "Bone Marrow Transplantation", CA: A Cancer Journal for
Clinicians, vol. 37, issue 5 (September/October 1987): 291”301.
54
Luasnya luka bakar, secara klinis merujuk kepada total luas permukaan tubuh
yang terbakar. Terdapat beberapa metode untuk mengukur luasnya luka bakar, yang paling
sering ialah teori ‚rule of nines‛. Metode ini menghitung kepala dan leher sebagai 9%,
setiap lengan sampai telapak tangan 9%, setiap tungkai sampai telapak kaki 18%, setiap sisi
badan (punggung, dada, perut) 18%. Metode ‚rule of nines‛ digunakan pada orang dewasa
dan anak-anak di atas usia 10 tahun. Lihat: J. Walton, A.R. Mandara, "Burns and Smoke
Inhalation", Anesthesia and Intensive Care Medicine Journal 6 (2005): 317”321.
55
Jo Jo Leung, Joel Fish, "Skin Grafts", University of Toronto Medical Journal, vol.
86, no. 2 (March 2009): 61-64.

375
pada telinga atau hidung. Kartilago donor jarang diserang oleh sistem kekebalan
tubuh resipien.56
Pada transplantasi tulang, biasanya tulang diambil dari bagian tubuh
lainnya untuk dicangkokkan pada bagian tubuh yang memerlukan. Transplantasi
tulang dari donor orang lain, tidak dapat bertahan, namun bisa merangsang
pertumbuhan tulang baru, sehingga merupakan jembatan serta stabilisator yang
baik sampai terbentuknya tulang yang baru.57
Transplantasi usus halus masih bersifat eksperimental dan bisa dilakukan
pada pasien yang menderita kerusakan parah pada ususnya, yang terjadi akibat
penyakit atau ususnya sudah tidak dapat berfungsi dengan baik.58
Berikut gambaran mengenai kegiatan berkaitan dengan transplantasi di
Inggris dari tanggal 1 April 2008 hingga 31 March 2009:59
1) Telah dilakukan 3,513 transplantasi organ, dan terdapat 1,853 pendonor.
Sebanyak 977 nyawa dapat diselamatkan melalui transplantasi jantung, paru-
paru, hati, atau kombinasi antara hati/jantung, paru-paru, hati/ginjal,
hati/pankreas, jantung/ginjal atau hati/ginjal/pankreas.
2) Sebanyak 2,536 pasien menerima transplantasi ginjal, pancreas dan kombinasi
dari ginjal/prancres.
3) Sebanyak 2,712 orang telah memperoleh penglihatannya kembali setelah
menjalani transplantasi kornea.
4) Donor hidup ialah sejumlah 954 orang. Donor hidup merepresentasikan lebih
dari separuh total pendonor. Donor hidup ginjal menunjukkan peningkatan dari
589 orang pada tahun 2005-2006, menjadi 690 orang pada tahun 2006-2007,
lalu 831 orang tahun 2007-2008, hingga 927 orang pada tahun 2008-2009. Saat
ini 1/3 dari seluruh donor ialah donor transplantasi ginjal.
5) Sampai dengan akhir Maret 2009, sejumlah 7,877 pasien berada dalam daftar
tunggu transplantasi.
6) Hampir sejuta lebih orang menjanjikan akan menolong orang lain setelah
meninggal dunia, dengan mendaftarkan keinginannya di NHS Organ Donor
Register. Total jumlah mereka hingga 31 Maret 2009 adalah 16,124,871 orang.

4. Transplantasi Organ Tubuh di Negara-negara Arab


Dalam pada itu, Arab Saudi adalah negara Islam yang terbanyak melakukan
transplantasi ginjal dari donor jenazah sampai dengan tahun 1996.60 Berbagai

56
Charles H. Thorne, et al., Grabb and Smith’s Plastic Surgery (Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 6th ed., 2007), 56.
57
Charles H. Thorne, et al., Grabb and Smith’s Plastic Surgery, 55.
58
L. Beyer-Berjot, F. Joly, "Intestinal Transplantation: Indications and Prospects",
Journal of Visceral Surgery, vol. 149, issue 6 (December 2012): 380-384.
59
NHS Blood and Transplant, Transplant Activities in UK, http://www.
uktransplant.org.uk/ukt/statistics/transplant_activity_report/current_activity_reports/ukt/2
008_09/transplant_activity_uk_2008-09.pdf, 8-14. Diakses pada 11 Juli 2014.
60
W. K. al-Khudair, S. O. Huraib , Kidney transplantation in Saudi Arabia: a
unique experience, http://www.springerlink.com/content/r363663207u63j25/. Diakses pada
11 Juli 2014.

376
macam sebanyak 3759 orang, yang berasal dari 1267 orang donor jenazah, dan 2492
orang donor hidup. Transplantasi hati sebanyak 279 orang dengan 225 orang donor
jenazah, 54 orang donor hidup. Transplantasi jantung 92 orang. Transplantasi
kornea 421 orang. Transpantasi paru-paru 8 orang. Transplantasi gabungan ginjal
dan pankreas sejumlah 5 orang. Sedangkan operasi katup jantung sebanyak 264
orang, kulit, dan tulang. 61
Pada sisi lain, Arab Saudi pun mengalami kesulitan akibat defisit donor
organ, sama seperti negara-negara lainnya. Menurut ‚Saudi Center for Organ
Transplantation‛ (SCOT), dengan antrian lebih dari 10,000 orang, maka banyak
pasien yang meninggal sebelum memperoleh organ yang dibutuhkan. Untuk itu,
tidak sedikit orang Arab yang melakukan perjalanan jauh ke luar negeri, untuk
membeli62 dan melakukan transplantasi organ. Bahkan menurut World Health
Organization, Saudi Arabia merupakan salah satu negara pengimpor organ
terbesar.63
Sedangkan pada perkembangan terakhir di Uni Emirat Arab, yaitu negara
yang bersama dengan Saudi Arabia tergabung dalam GCC (Gulf Cooperation
Council), Menteri Kesehatan Haneef Hassan Ali pada tanggal 22 April 2010 telah
menyetujui Hukum Federal yang mengatur tentang Transplantasi Organ. Peraturan
tersebut diolah oleh Komite Nasional Transplantasi Organ (NOTC-National Organ
Transplant Committee), yang beranggotakan para dokter ahli dan para pakar
syariah Islam.64 Komite ini telah mengkaji berbagai praktek yang dilakukan di
seluruh dunia, dan aturan-aturan yang berlaku di Negara-negara GCC (Uni Emirat
Arab, Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, Kesultanan Oman dan Republik
Yaman), serta negara Arab lainnya. Peraturan tersebut secara garis besar mengatur:
1. Membolehkan orang yang sehat secara mental dan fisik, dan telah berumur
diatas 21 tahun untuk menjadi donor. Organ yang didonorkan tersebut tidak
boleh membahayakan pendonor.
2. Kebolehan menggunakan donor jenazah, pada organ ginjal, paru, pankreas dan
jantung, demi menyelamatkan nyawa orang lain. Untuk itu pendonor harus
membuat surat wasiat secara tertulis dengan didampingi oleh dua orang saksi.
Aturan ini juga membolehkan pendonor mengubah pendiriannya.

61
F.A.M. Shaheen, M.Z. Souqiyyeh, Increasing organ donation rates from Muslim
donors: Lessons from a successful model, Saudi Center for Organ Transplantation, Riyadh,
Saudi Arabia, October. 2004. http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_
udi=B6VJ0-4DN28PS7&_user=10&_coverDate=09%2F01%2F2004&_rdoc=1&_fmt=high
&_orig=browse&_sort=d&view=c&_acct=C000050221&_version=1&_urlVersion=0&_use
rid=10&md5=4f8321b7e4e2b8b95ae84c39e141bd8b. Diakses pada 11 Juli 2014.
62
Jual beli organ tubuh merupakan tindakan illegal berdasarkan peraturan
perundangan di sejumlah Negara.
63
"The State of the International Organ Trade: a Provisional Picture Based on
Integration of Available Information", WHO International Bulletin, vol. 85, no. 12
(December 2007): 901-980.
64
Gulf News, Organ Transplant Law To Help Improve Lives, Wednesday, May 19,
2010. http://gulfnews.com/news/gulf/uae/health/organ-transplant-law-to-help-improve-lives
-1.628704. Diakses pada 11 Juli 2014.

377
3. Kebolehan donasi multi organ pada tahun yang berbeda, dalam rangka
memenuhi kekurangan donasi organ internasional.

5. Pengadaan Organ Transplantasi


Adapun cara perolehan organ secara legal dari sisi pendonor, terdapat dua
sistem, yaitu sebagai berikut:65
a. Opt-in (Informed Consent)
Yaitu dimana seseorang secara sukarela mendaftarkan dirinya untuk menjadi donor.
Akan tetapi, dalam perkembangan terakhir ini banyak negara berpikir untuk
mengubah ke sistem opt-out, demi meningkatnya ketersediaan organ.66
b. Opt-out (presumed consent)
Yaitu dimana semua orang dianggap mau menjadi donor, kecuali yang menyatakan
diri tidak mau (opt-out). Singapura adalah negara yang pertama kali menerapkan
sistem ini.67

Tabel 11. Negara-Negara yang Menggunakan Sistem Opt-In


(Informed Consent) dan Opt-Out (Presumed Consent)68

Berdasarkan hasil Sidang WHA (World Health Assembly) no.40.13, WHA


42.5 and WHA 44.25 tentang transplantasi organ dan pengadaannya, serta WHA
57.18 tentang organ trafficking (perdagangan organ tubuh manusia), maka pada
Sidang ke 62 bulan Mei 2009, Petunjuk Prinsip WHA diperbaiki dan disesuaikan

65
R.M.R. Taylor, "Opting In or Out of Organ Donation", British Medical Journal
305 (December 1992): 1380.
66
Liva Jacoby, "Solidarity: An Important Aspect of the ‚Opting In‛ Paradigm",
The American Journal of Bioethics, vol. 4, issue 4 (2004): 16-17.
67
C.A. Erin, J. Harris, "Presumed Consent or Contracting Out", Journal of Medical
Ethics 25 (1999): 365”366.
68
Alberto Abadie, Gay Sebastien, The Impact of Presumed Consent Legislation on
Cadaveric Organ Donation: A Cross Country Study, Harvard University and NBER-”
University of Chicago, December 2005. http://www.hks.harvard.edu/fs/aabadie/ pconsent.
pdf. Diakses pada 11 Juli 2014.

378
dengan perkembangan dan laporan transplantasi organ mutkahir. Petunjuk prinsip
tersebut merupakan pedoman bagi negara-negara anggota dalam menyusun
ketentuan mengenai transplantasi organ, dan agar memasukkan prinsip tersebut ke
dalam aturan nasional masing-masing. Petunjuk prinsip tersebut meliputi:69

Petunjuk Prinsip 1:
Sel, jaringan dan organ dapat dipindahkan dari tubuh orang yang telah meninggal
untuk kepentingan transplantasi jika:
(a) adanya persetujuan sebagaimana disyaratkan oleh Undang-undang, dan (b) tidak
ada alasan yang diyakini bahwa orang yang meninggal tersebut keberatan terhadap
pemindahan tersebut.

Petunjuk Prinsip 2:
Dokter, yang menentukan bahwa seorang pendonor potential telah meninggal, tidak
boleh terlibat secara langsung dalam pemindahan sel, jaringan dan organ atau
terlibat prosedur transplantasi yang akan datang, dan juga bertanggungjawab
terhadap perawatan resipien dari donor berupa sel, jaringan atau organ.

Petunjuk Prinsip 3:
Orang dewasa yang masih hidup, dapat mendonasikan organ jika diperbolehkan
oleh hukum negaranya. Secara umum donor hidup seyogyanya memiliki hubungan
genetis, hubungan hukum maupun hubungan emosional dengan resipien. Donor
hidup dapat disetujui jika terdapat persetujuan secara sukarela. Donor hidup harus
diinformasikan secara lengkap dan mudah dimengerti mengenai kemungkinan
resiko, keuntungan dan konsekwensi dari donasi. Donor hidup tersebut harus cakap
hukum70 dan mampu mencerna informasi, serta mampu bertindak menurut
kemauannya dan terbebas dari pengaruh maupun tekanan dari manapun.

Petunjuk Prinsip 4:
Tidak ada sel, jaringan dan organ yang dapat ditransplantasikan dari tubuh anak
kecil hidup, selain sedikit pengecualian di bawah hukum nasional. Sebaiknya dibuat
kriteria yang spesifik demi melindungi anak kecil, dan apabila mungkin untuk
dilakukan transplantasi, harus dengan persetujuan sebelum donasi dilakukan. Hal
yang berlaku untuk anak kecil, juga berlaku bagi orang yang kurang cakap hukum.

World Health Organization Guiding Principles On Human Cell, Tissue And


69

Organ Transplantation. http://www.searo.who.int/LinkFiles/BCT_WHO_guiding principles


organ_transplantation.pdf. Diakses pada 11 Juli 2014.
70
Cakap hukum ialah kemampuan subyek hukum untuk melakukan perbuatan yang
dipandang sah secara hukum. Syarat”syarat cakap hukum:
a. Seseorang yang berusia 18 tahun
b. Seseorang yang berusia dibawah 18 tahun tetapi pernah menikah
c. Seseorang yang tidak sedang menjalani hukuman
d. Berjiwa sehat / berakal sehat

379
Petunjuk Prinsip 5:
Sel, jaringan dan organ didonasikan secara cuma-cuma, tanpa imbalan dalam
bentuk moneter atau penghargaan lain yang dapat dinilai dengan uang. Pembelian
atau penawaran untuk membeli sel, jaringan dan organ untuk transplantasi atau
penjualan organ jenazah oleh orang hidup atau saudaranya adalah dilarang.
Larangan terhadap penjualan atau pembelian sel, jaringan dan organ, tidak berlaku
bagi penggantian yang masuk akal dan pengeluaran yang timbul yang dapat
diverifikasi kebenarannya, termasuk hilangnya pendapatan, atau adanya biaya
penyembuhan, proses penyimpanan dan penyediaan sel, jaringan dan organ.

Petunjuk Prinsip 6:
Promosi donasi kemanusiaan atas sel, jaringan dan organ berupa iklan atau
tayangan kepada publik, hanya dapat dilakukan sesuai dengan aturan hukum
nasional. Iklan tentang tersedianya sel, jaringan dan organ dengan menyebutkan
penawaran atau mencari pembayaran kepada seseorang untuk sel, jaringan, atau
organ, atau kepada saudara pendonor adalah dilarang. Menjadi perantara yang
melibatkan pembayaran kepada individu atau pihak ketiga juga dilarang.

Petunjuk Prinsip 7:
Apabila transplantasi dilakukan dengan cara eksploitasi atau paksaan,71 ataupun
dengan imbalan kepada donor atau saudara dari donor jenazah, maka dokter
maupun tenaga paramedis sepatutnya tidak terlibat dalam prosedur transplantasi.
Demikian pula asuransi kesehatan maupun pembayar lain sepatutnya tidak
mengganti pembayarannya.

Petunjuk Prinsip 8:
Seluruh fasilitas pelayanan kesehatan dan profesional medis yang terlibat dalam
pengadaan dan prosedur transplantasi sel, jaringan dan organ, dilarang menerima
pembayaran apapun melebihi biaya yang dapat dibenarkan atas pelayanannya.72

Petunjuk Prinsip 9:
Alokasi dari organ, sel dan jaringan harus berdasarkan pada kriteria norma etika,
dan bukan kepada uang atau pertimbangan lainnya. Pengaturan mengenai alokasi
ini ditentukan oleh komite terkait yang sah, dengan berasaskan keadilan,
kebenaran dan transparansi.73

Petunjuk Prinsip 10:


Prosedur yang berkualitas tinggi, aman dan kompeten merupakan hal pokok yang
harus diterima secara sama oleh donor dan resipien. Hasil dalam jangka panjang
dari jaringan, sel dan organ dapat dievaluasi oleh donor hidup dan resipien. Tingkat
71
Thomas Douglas, Pieter Bonte, "Coercion, Incarceration, and Chemical
Castration: An Argument From Autonomy", Bioethical Inquiry Journal 10 (2013): 393”405.
72
Alex M. Davison, "Commercialization in Organ Donation", Nephrology Dialysis
Transplantation Journal 9 (1994): 348-349.
73
J. Harvey, "Paying Organ Donors", Journal of Medical Ethics 16 (1990): 117-119.

380
keamanan, khasiat dan kualitas sel, jaringan dan organ manusia untuk transplantasi
sebagai produk kesehatan, harus dipelihara dan dioptimalkan secara terus menerus.
Ini memerlukan penerapan sistem kualitas, termasuk investigasi terhadap situasi
yang merugikan, laporan secara nasional maupun ekpor organ tubuh manusia.

Petunjuk Prinsip 11:


Organisasi dan pelaksana dari kegiatan donasi dan transplantasi, termasuk juga
hasil klinis harus transparan dan terbuka bagi pengamatan, dengan tetap menjamin
kerahasiaan dan privasi dari donor dan resipien untuk tetap terjaga. 74

Organ 1 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun


Hati 70% - - - 50%
Paru tunggal 75% - Lebih 50% - -
Jantung dan paru 65% - 55% - -
Pankreas 90-95% - 65% - -
75
Tabel 12. Masa Hidup Pasien pada Berbagai Jenis Transplantasi

Selain dari jaringan dan organ yang telah diuraikan di atas, terdapat satu
jenis transplantasi yang tengah mengemuka dewasa ini. Yaitu tranplantasi yang
berasal dari sel induk (stem cell, atau biasa disebut sel punca). Dari sisi tindakan
medis pemindahan sel dari orang ke orang, maka ini termasuk transplantasi.
Stem cell adalah sel yang tidak/belum terspesialisasi dan memiliki potensi
untuk berkembang menjadi berbagai jenis sel-sel yang spesifik (pluripotent) yang
membentuk berbagai jaringan tubuh, organ,sistem organ, bahkan organisme. Ketika
membelah diri, stem cell berdiferensiasi menjadi salah satu dari 220 sel yang
berbeda dalam tubuh manusia, serta mampu mereplikasi diri berkali-kali. Contoh:
stem cell di kulit dapat menciptakan lebih banyak stem cell kulit atau dapat
membuat sel kulit terdiferensiasi dan memiliki tugas spesifik seperti membuat
pigmen melanin.76 Oleh karena keistimewaan tersebut, stem cell menjadi tumpuan
harapan baru untuk terapi berbagai penyakit, seperti gagal ginjal, leukemia,
diabetes mellitus, Alzheimer, penyakit kanker jenis tertentu, termasuk multiple
myeloma,77 Hodgkin disease, and non-Hodgkin lymphoma,78 bahkan AIDS.79

74
Uraian prinsip-prinsip tersebut, terdapat pada dasar-dasar etika transplantasi oleh
Universitas Minnesota. Lihat: University of Minnesota Center for Bioethics, Ethics of
Organ Transplantation (2004): 13.
75
Karnen, Iris, Imunologi Dasar, 641.
76
D. Schmidt, P. Blum, et al., "Plant Stem Cell Extract for Longevity of Skin and
Hair", International Journal for Applied Science, vol. 134, no. 5 (2008): 30-35.
77
B Barlogie, S Mattox, et al.,"Total Therapy with Tandem Transplants for Newly
Diagnosed Multiple Myeloma", Blood Journal 93 (1999): 55”65.
78
O. Fitoussi, D. Simon, P. Brice, et al., "Tandem Transplant of Peripheral Blood
Stem Cells for Patients with Poor-Prognosis Hodgkin's Disease or Non-Hodgkin's
Lymphoma. Bone Marrow Transplant Journal 24 (1999): 747-755.
79
M. Stadtfeld, M. Nagaya, "Induced Pluripotent Stem Cells Generated without
Viral Integration", Science, vol. 322, issue 5903 (2008): 945”949.

381
Problem fikih terapi stem cell ialah pada sumbernya, yaitu pada jenis
embryonic stem cell. Disertasi ini tidak membahas tentang stem cell, karena hal
tersebut merupakan derivasi dari pembahasan transplantasi organ, dan dibahas
dalam topik tersendiri dari mu'tamar Majma‘.
Demikianlah pembahasan tentang transplantasi sel, jaringan, maupun organ
tubuh manusia dari sudut pandang kedokteran dan etika kedokteran, baik yang
menyangkut definisi, macam-macam metode penerapannya, resiko maupun tingkat
keberhasilannya. Berikutnya, hal-hal tersebut akan dianalisis dari sudut pandang
fikih, sehingga menjadi jelas status hukumnya dalam pandangan syariat Islam.

B. Pembahasan Fikih tentang Transplantasi Organ Tubuh

Transplantasi organ tubuh manusia merupakan salah satu bentuk terapi


kedokteran modern yang terpenting. Namun demikian, krtieria penggunaannnya
dan sumber organ tubuh tersebut, merupakan masalah masalah etis dan agama yang
perlu dipecahkan. Ditambah lagi saat ini terdapat jenis terapi transplantasi stem
cell, yang merupakan sel multipoten, sehingga menambah lagi agenda pembahasan
para ulama tentangnya.
Islam, sebagai satu-satunya agama yang bersifat universal dan sistemik,
tentunya harus bisa memberikan panduan dalam persoalan ini. Bahkan para ulama
pada periode klasik telah berpikir futuristik tentang kemungkinan akan adanya
terapi berupa transpantasi sel, jaringan, maupun organ tubuh manusia. Untuk itu
penulis sajikan di bawah ini, pembahasan dari para ulama anggota Majma‘ al-Fiqh
yang disertai dengan analisis penulis terhadap pendapat-pendapat mereka.

1. Hukum Asal Transplantasi Organ Tubuh


Pada periode klasik, para ulama berbeda pendapat mengenai status hukum
tindakan transplantasi organ tubuh manusia, baik yang berasal dari diri sendiri,
orang lain, binatang, benda-benda artifisial, maupun yang berasal dari mayat.
Dari sisi tindakannya, maka tranplantasi organ dapat diqiya>skan dengan
sejumlah perilaku pada masa jahiliyah, yaitu menyambung rambut, menyambung
kuku, dsb. Tindakan-tindakan tersebut disumsikan memiliki motivasi kosmetik,
termasuk pada era modern ini dengan metode yang lebih canggih, seperti
tranplantasi rambut pada alopecia ataupun pemasangan kawat gigi.
Apabila transplantasi tersebut semata bertujuan kosmetika atau estetika,
maka Al-Qur’a>n mengingatkan umat Islam tentang ucapan setan kepada manusia:

‚…dan aku benar-benar akan menyuruh mereka (memotong telinga binatang


ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan aku akan suruh mereka
(mengubah ciptaan Alla>h), lalu mereka pun benar-benar mengubahnya. Siapa saja
yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Alla>h, maka sungguh dia
menderita kerugian yang nyata‛ (QS al-Nisa>’ [4]: 119)

382
Ayat ini di samping menerangkan perbuatan manusia sebagaimana
tekstualnya, juga berarti tindakan pencangkokan, seperti transplantasi kornea,
transplantasi hidung dan sebagainya. Bahkan tindakan haram itu juga mencakup
apabila orang yang eksplantasikan organnya tersebut tidak menimbulkan kesusahan
(la> yad}urr) baginya, seperti memotong rambut untuk kemudian disambungkan di
kepala orang lain. Sedangkan Imam al-Qurt}u>bi> menafsirkannya sebagai keharaman
sterilisasi pada manusia.80 Ibn ‘Abd al-Barr berpendapat bahwa para fuqaha>’
wilayah H{ija>z dan fuqaha>’ al-Ku>fah tidak berbeda pendapat bahwa sterilisasi
manusia tidak diperbolehkan,81 karena itu (perbuatan yang harus) dikenai sanksi,
dan merupakan perbuatan mengubah-ubah ciptaan Alla>h.82
Demikianlah bahwa ayat di atas dapat diartikan secara eksplisit maupun
implisit. Disamping itu, kaidah menyatakan:
83

‚Yang diambil sebagai pengertian ialah pada keumuman teks dan tidak dikaitkan
dengan suatu sebab tertentu‛.
Sebagai penjelasan terhadap ayat yang bersifat umum di atas, terdapat
hadis Nabi SAW yang diterima dari Ibn Mas‘u>d menyebutkan secara lebih spesifik:

84

Rasu>lulla>h SAW bersabda: ‛Alla>h melaknat (para wanita) pembuat tato dan yang
minta dibuatkan tato, dan yang minta dicabut alisnya, dan yang minta diratakan
agar tampak indah, dan (siapa saja) yang mengubah-ubah ciptaan Alla>h Ta‘a>la>‛.
(Kemudian Ibn Mas‘u>d berkata): ‛Maka bagaimana mungkin saya tidak (turut)
melaknat apa-apa yang dilaknat oleh Rasu>lulla>h SAW yang (bahkan) itu terdapat
dalam Kita>b Alla>h‛.85
Juga sebagaimana hadis Nabi SAW berikut ini:

86

Al-Bukha>ri dan Muslim meriwayatkan dari Asma>’ binti Abi> Bakr r.a. yang berkata:
‛Seorang wanita menemui Nabi SAW lalu berkata,’Wahai Rasu>lalla>h,
sesungguhnya putri saya akan menjadi mempelai, namun dia pernah menderita
campak sehingga rambutnya rontok, maka apakah saya boleh menyambung

80
Al-Qurt}ubi>, Ah}ka>m al-Qur'a>n, j.2, 102.
81
Al-Khat}i>b al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.10, 348.
82
Ibn H{azm, Al-Muh}alla>, j.1, 1118.
83
Kaidah tersebut pada umumnya diterima oleh para ulama ahli us}u>l dan ahli tafsi>r,
namun mereka memperbincangkan penerapannya ketika memahami suatu ayat tertentu.
Lihat: Musa>‘id Ibn Sulayma>n Ibn Na>s}ir al-T{ayya>r, Maqa>la>t fi> ‘Ulu>m Al-Qur'a>n wa Us}u>l al-
Tafsi>r (Al-Riya>d}: Da>r al-Muh}addith, 1425H), 26-32.
84
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, al-
Da>rimi>, Ibn Khuzaymah, Ibn H{ibba>n, al-H{a>kim, Abu> ‘Awa>nah, al-Bayhaqi>, Abu> Da>wud al-
T{aya>li>si>, al-H{umaydi>, Ibn Abi> Shaybah, al-Bazza>r, dan Abu> Ya‘la>.
85
Ucapan Ibn Mas‘u>d tersebut menunjukkan ketaatan sahabat kepada Nabi SAW.
86
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, dan Ah}mad.

383
rambutnya (dengan rambut orang lain)?’ Beliau SAW menjawab,’Alla>h melaknat
orang yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan rambutnya’.‛

Dari dalil-dalil di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:


a. Sesungguhnya berobat dengan cara transplantasi organ tubuh adalah tidak
diperbolehkan, berdasarkan ancaman-ancaman dari Alla>h dan Nabi-Nya.
b. Siapa saja yang menderita sakit, maka tidak boleh berobat dengan
menggantinya dari tubuh manusia lain, karena ini termasuk mengubah ciptaan
Alla>h.
Sependapat dengan Ibn H{a>zm, Imam al-Nawawi> berpendapat berdasarkan
dalil-dalil di atas:87 ‛Sesungguhnya menyambung rambut dengan rambut orang lain
adalah diharamkan dan tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam hal itu, baik
dilakukan oleh pria maupun wanita, serta apakah berasal dari rambut mah}ram,
suami/istri, maupun dari yang bukan mah}ram… Dan demikianlah diharamkan
memanfaatkan rambut seseorang maupun organ tubuh lainnya. Hal itu karena
kemuliaan derajat manusia. Bahkan rambut, kuku dan anggota tubuh potongannya
harus dikuburkan‛.
Adapun dalam kaitan dengan transplantasi organ tubuh manusia, ‘Abd al-
Sala>m Da>wud al-‘Abba>di>> menyebutkan tentang keharamannya.88 Ini merupakan
hukum asal bagi transplantasi berdasarkan kepada dalil-dalil yang ada. Nabi SAW
telah menegaskan tentang haramnya menumpahkan darah manusia, mengganggu
harta mereka, ataupun menodai kehormatan mereka. Beliau SAW bersabda:
89

‚Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah harus
dihormati, sebagai kehormatan hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian
ini‛.
90

‚Seorang muslim bagi muslim yang lain harus saling menghormati dan
memuliakan, dalam perkara darah, harta, dan kehormatan‛.

Oleh karena itu metode pengobatan dengan cara transplantasi organ, baik
yang berasal dari manusia hidup maupun dari mayat, adalah pengobatan yang
diharamkan. Inilah hukum asal tentang keharaman transplantasi organ dan
penjualannya. Akan tetapi untuk diterapkan secara mutlak, maka terdapat kaidah

87
Al-Nawawi>, Al-Majmu>‘, j.II, 23.
88
‘Abd al-Sala>m Da>wud al-‘Abba>di>, Intifa>‘ al-Insa>n bi A‘d}a>’ Jism Insa>n A<khar
H{ayyan aw Mayyitan, Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.IV, j.I, 408.
89
Maksud kata ‚h}ara>m‛ ialah kehormatan atau kemuliaan, atau sesuatu yang harus
dijaga dan dipelihara. Hadis di atas diucapkan Nabi SAW ketika khut}bah ‘Arafah. Hari
yang dimaksud ialah hari ‘Arafah. Bulan yang dimaksud ialah Dhu al-H{ijjah. Negeri yang
dimaksud ialah negeri yang terdapat Tanah H{ara>m. hadis tersebut diriwayatkan oleh al-
Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, al-Bayhaqi>, Ibn Abi> Shaybah, al-T{abra>ni>, Ibn Abi> ‘A<s}im, al-
T{ah}a>wi>, Ibn Abi> H{a>tim, Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, Ibn ‘Asa>kir, dan ‘Ali> Ibn al-Athi>r.
90
Riwayat Muslim, Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, al-Qad}a>‘i>, dan
Ibn Abi> al-Dunya>.

384
" " serta kaidah-kaidah lainnya tentang kedaruratan. Oleh karenanya,
tindakan semacam melukai atau memotong atau mengambil potongannya pada
asalnya adalah haram. Hal tersebut bisa jadi menjadi tidak haram apabila dilakukan
dalam kondisi darurat, demi meraih tujuan lain yang lebih urgen dan lebih mulia.
Menqiyaskan haramnya " "91 dengan haramnya transplantasi dan
mengganti organ tubuh, adalah tidak tepat. Berdasarkan kaidah al-umu>r bi
maqa>s}idiha>, maka tamthil yang diharamkan adalah tamthil yang dilakukan karena
iri dan dendam.
Berbeda dengan qis}a>s} terhadap jiwa atau bentuk yang lainnya, atau otopsi
(bedah mayat) untuk menemukan alat bukti kejahatan tertentu, atau transplantasi
oragan tubuh. Ketiga bentuk ini bukan termasuk tamthi>l, melainkan ih}sa>n dan i>tha>r.
Contoh kasus mengambil mata itu bisa memberikan akibat hukum yang
berbeda-beda. Mencabut bola mata itu termasuk tamthi>l yang diharamkan.
Sedangkan mengambil kornea untuk kemaslahatan orang hidup, bukanlah termasuk
tamthi>l yang diharamkan, akan tetapi termasuk ih}sa>n. Demikian pula mencabut
mata sebagai qis}a>s} itu adalah keadilan.

2. Kewajiban Terapi dengan Metode dan Benda-benda yang Halal


Islam mengajarkan prinsip keyakinan bahwa penyakit merupakan taqdir
Allah kepada seseorang, sehingga harus disikapi dengan sabar. Namun pada saat
yang sama, diperintahkan pula untuk berobat. Dengan demikian berobat merupakan
bagian dari melaksanakan perintah agama, sehingga oleh karenanya harus dengan
cara yang halal. Kehalalan tersebut mencakup metode terapi, obat-obatan, maupun
bahan pembantu yang digunakan. Terdapat cukup banyak dalil-dalil sahih dari Nabi
SAW tentang hal tersebut. Diantaranya dalil-dalil tersebut dikutip dalam makalah
‘Abd al-Sala>m Da>wud al-‘Abba>di>>:

92

Dari Usa>mah Ibn Shurayk bahwa dia berkata:‛Seseorang datang dan


bertanya:’Wahai Rasu>lulla>h, apakah kita (harus) berobat?’ Beliau SAW bersabda:
’Iya benar, karena sesungguhnya Alla>h tidaklah menurunkan suatu penyakit kecuali
Dia pun menurunkan penawarnya. (Penawar tersebut) diketahui oleh orang yang
tahu, dan tidak diketahui oleh orang yang tidak tahu’.‛

93

91
Memotong anggota tubuh, lengan dan kaki secara bersilangan.
92
Riwayat Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, Ibn H{ibba>n, al-
H{a>kim, al-Bayhaqi>, Abu> Da>wud al-T{aya>li>si>, al-H{umaydi>, al-T{abra>ni>, Ibn Abi> Shaybah, al-
Bazza>r, Ibn Abi> ‘A<s}im, al-D{iya>' al-Muqaddasi>, Abu> al-Qa>sim Ibn Bashra>n, dan Abu> Zur‘ah
al-‘Ira>qi>.
93
Riwayat al-Bukha>ri, Muslim, Abu> Da>wud, dan al-Tirmidhi>.

385
Dalam redaksi yang lain disebutkan bahwa seseorang bertanya: ‛Wahai Rasu>lulla>h,
apakah kita (harus) berobat?‛ Beliau SAW menjawab: ‛Iya benar. Wahai hamba-
hamba Alla>h, berobatlah kalian, karena sesungguhnya Alla>h tidaklah meletakkan
suatu penyakit kecuali Dia letakkan pula penawarnya atau obatnya, kecuali satu
penyakit‛. Para sahabat pun bertanya: ‛Wahai Rasu>lulla>h, apakah yang satu
penyakit itu?‛ Beliau menjawab: ‛Tua renta‛.94 Dalam riwayat yang lain
disebutkan bahwa suatu penyakit (yang tidak dapat diobati) ialah kematian.
95

Dari Ja>bir, bahwa Nabi SAW bersabda: ‛Bagi setiap penyakit ada obatnya. Apabila
suatu obat cocok untuk suatu penyakit, maka orang itupun sembuh dengan seizin
Alla>h Ta‘a>la>‛.
96

Dari Abu> Hurayrah dari Nabi SAW yang bersabda: ‛Tidaklah Alla>h menurunkan
suatu penyakit kecuali Dia turunkan pula penawarnya‛.

97

Dari Abu> Khuza>mah yang bertanya: ‛Wahai Rasu>lulla>h, bagaimana pendapatmu


tentang ruqyah yang kami lakukan, dan obat-obatan yang kami gunakan, serta
pelindung yang kami melindungi diri dengannya. Apakah itu dapat menolak sesuatu
dari qadar Alla>h?‛ Beliau SAW pun menjawab: ‛Semua (yang engkau sebutkan itu)
juga termasuk qadar Alla>h‛.
Imam al-Shawka>ni> menyatakan bahwa hadis-hadis tentang pengobatan itu
seluruhnya menunjukkan adanya hukum alam bahwa untuk menghilangkan sesuatu
maka harus dihilangkan pula penyebabnya (ithba>t al-asba>b). Hal itupun tidak
meniadakan keharusan bertawakkal kepada Alla>h, karena siapapun juga wajib
meyakini bahwa hal itu terjadi dengan izin Alla>h dan merupakan taqdir-Nya, serta
bahwasanya bukanlah terapi semata yang menyelamatkan, melainkan dengan taqdir
Alla>h padanya. Bahwasanya obat dapat menyembuhkan jika terdapat qadar Alla>h
terhadapnya. Ini sebagaimana diisyaratkan dalam hadis Ja>bir di atas. Sekali lagi
bahwa pengobatan tidaklah menafikan tawakkal, sebagaimana makan dan minum
tidaklah menafikan tawakkal ketika lapar dan dahaga. Demikian pula halnya
dengan menghindarkan diri dari hal-hal yang membinasakan, berdoa utuk
memperoleh ‘a>fiyah, mencegah kemadaratan, dan sebagainya.98

94
Riwayat Ibn Ma>jah, Abu> Da>wud, dan al-Tirmidhi> yang sekaligus
mensahihkannya.
95
Riwayat Muslim, al-Nasa>'i>, Ah}mad, al-H{a>kim, Ibn H{ibba>n,. Al-Bayhaqi>, Abu>
Ya‘la>, al-T{ah}a>wi>, al-Khat}i>b al-Baghda>di>, Abu> Zur‘ah al-‘Ira>qi>, Muh}ammad Ibn Ish}a>q Ibn
Mandah, dan Ta>j al-Di>n al-Subki>.
96
Riwayat al-Bukha>ri>, Ah}mad, dan Ibn Ma>jah.
97
Riwayat Ah}mad, Ibn Ma>jah, dan al-Tirmidhi> yang berkata:‛Ini hadis h}asan, dan
Abu> Khuza>mah tidak diketahui pernah meriwayatkan hadis, kecuali pada hadis ini‛.
98
Al-Shawka>ni>, Nayl al-Awt}a>r, j.VIII, 201.

386
Adapun kalimat dalam hadis Usa>mah, ‚tidaklah mengetahuinya bagi orang
yang tidak tahu‛. Ini menunjukkan bahwa tidak apa-apa berobat (dengan cara lain)
untuk jenis penyakit yang para dokter pun mengakui bahwa belum ada obatnya.99
Sementara terdapat pandangan sebagian ulama yang memandang berobat
bukanlah suatu kewajiban. Bahkan lebih utama menerima kenyataan apabila
menderita sakit dan tidak perlu berobat. Pendapat tersebut didasari oleh
pemahaman terhadap hadis Nabi SAW yang diterima dari Ibn ‘Abba>s, ‚Di antara
umatku terdapat 70.000 orang yang akan masuk surga tanpa hisab, yaitu mereka
yang tidak berobat (ruqyah), tidak berperuntungan (tat}ayyur), dan tidak berobat
dengan kayy,100 serta merekapun senantiasa bertawakkal kepada Rabb mereka…‛101
Al-Shawka>ni> menyanggahnya dengan berkata bahwa yang benar ialah bagi
siapa yang percaya penuh kepada Alla>h dan meyakini bahwa qad}a>’-Nya telah
ditetapkan. Setiap upaya untuk mengangkat sebab-sebab merupakan bukti
mengikuti sunnah Rasu>l-Nya, sehingga tidak akan mencederai tawakkal kepada-
Nya, karena itu berarti memenuhi sunnah-Nya.102
Dalam peperangan, Nabi SAW menangkupkan dua belahan baju besinya
dan mengenakan topi besi, seraya mengatur posisi pasukan pemanah untuk siap
siaga melontarkan panah dari atas bukit. Sedangkan pada perang Ah}za>b, dibuat
parit (khandaq) di seputar Madinah agar musuh tidak dapat menyerbu ke dalam
kota. Juga Beliau SAW mengizinkan para sahabat untuk hijah ke Habashah dan ke
Madi>nah, bahkan Beliau sendiri pun berhijrah. Demikian pula mengangkat sebab
lapar dan dahaga dengan cara makan dan minum, serta mengerti betul kondisi
keluarganya untuk menguatkan mereka, dan Beliau tidak menunggu diturunkannya
makanan dari langit. Padahal Beliau adalah makhluk-Nya yang paling berhak untuk
memperoleh semua itu (tanpa upaya). Bahkan Beliau pun bersabda:‛Apakah sudah
engkau ikat kuat untamu atau bertawakkal? Ikatlah untamu lalu bertawakkal‛. Ini
semua menunjukkan bahwa menjaga diri tidaklah menghalangi tawakkal. 103

3. Larangan Terapi dengan Metode atau Benda-benda yang Haram


Dalam pada itu, terdapat pula sejumlah dalil yang menunjukkan larangan
berobat dengan yang haram. Hal ini menjadi prinsip dasar bagi para fuqaha>' dan
dokter-dokter muslim dalam menjalankan profesi mereka. Diantara dalil-dalil
tersebut ialah:

99
Pengakuan dokter tentang belum adanya suatu obat untuk penyakit tertentu,
didasari atas belum adanya obat atau terapi yang teruji secara klinis atau memiliki evidence
base yang dapat dipercaya.
100
Al-Kayy ialah suatu metode terapi sejak zaman Arab jahiliyah, yaitu dengan
menggunakan besi yang dipanaskan, lalu ditempel pada area tertentu di kulit pasien. Area
yang ditempel tersebut, sesuai dengan area dermatome pada ilmu kedokteran modern.
101
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, al-Tirmidhi>, Ah}mad, al-Bayhaqi>, al-T{abra>ni>, Ibn
H{ibba>n, Sa‘i>d Ibn Mans}u>r, dan Ibn Abi> ‘A<s}im. Di antara riwayat-riwayat tersebut ada yang
diterima dari Abu> Hurayrah dan Abu> Bakr al-S{iddi>q.
102
Sunnah Alla>h ialah hukum-hukum yang berlaku secara rasionil, obyektif, dan
universal. Dengan perkataan lain, biasa disebut sebagai hukum alam.
103
Al-Shawka>ni>, Nayl al-Awt}a>r, j.VIII, 201.

387
104

Dari Wa>’il Ibn H{ujr al-H{ad}rami>, bahwasanya T{a>riq Ibn Suwayd al-Ju‘fi> bertanya
kepada Nabi SAW tentang khamr, maka Beliau SAW pun melarang (untuk
menggunakannya). T{a>riq berkata: ‛Aku menggunakannya hanya sebagai obat‛.
Nabi SAW pun menjawab: ‛Sesungguhnya khamr itu bukan obat, melainkan
penyakit‛.

105

Dari Abu> al-Darda>’, Rasu>lulla>h SAW bersabda: ‛Sesungguhnya Alla>h telah


menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia menjadikan setiap penyakit ada
obatnya, maka berobatlah kalian, dan jangan kalian berobat dengan yang haram‛.
106

Ibn Mas‘u>d berkata tentang benda yang memabukkan: ‛Sesungguhnya Alla>h tidak
menjadikan penawar penyakit kalian dari apa yang diharamkan kepada kalian‛.
107

Dari Abu> Hurayrah yang berkata: ‛Rasu>lulla>h SAW melarang berobat dengan
benda yang menjijikkan (al-khabi>th), yaitu yang dapat mematikan (al-samm)‛.
108

Al-Zuhri> berpendapat tentang air kencing unta: ‛Kaum muslimin telah


menggunakan air kencing unta sebagai obat, dan mereka pun memandangnya
sebagai hal yang biasa‛.
Ibn Rusla>n berkata, "Yang benar menurut mazhab kami (Sha>fi‘i>yah) ialah
boleh berobat dengan semua benda-benda najis, kecuali benda yang memabukkan
(muskir), berdasarkan hadis tentang mereka yang berpenyakit pada kaki mereka

104
Riwayat Ah}mad, Muslim, Abu> Da>wud, Ibn Ma>jah, Ibn H{ibba>n, dan al-Tirmidhi>
yang juga mensahihkannya.
105
R. Abu> Da>wud. Dalam sanad hadis ini terdapat Isma>‘i>l Ibn ‘Iya>sh. Imam al-
Mundhiri> berkata,‛ dia menjadi bahan pembicaraan‛. Namun sudah diketahui bersama
bahwa apabila Isma>‘i>l meriwayatkan dari penduduk Sha>m, maka dia dapat dipercaya
(thiqah). Adapun dalam hadis ini dia meriwayatkan dari orang Sha>m yaitu Tha‘labah Ibn
Muslim al-Khath‘ami>. Demikian menurut Ibn H{ibba>n dalam kitab al-Thiqa>t dari Abu>
‘Imra>n al-Ans}a>ri> mawla> Abu> al-Darda>’, dan dia pun orang dari Sha>m. Lihat: Nayl al-Awt}a>r,
j.VIII, 204.
106
Riwayat al-Bukha>ri>, al-Tirmidhi>, Ah}mad, al-Da>rimi>, al-Bayhaqi>, Ibn H{ibba>n, al-
H{umaydi>, Abu> Da>wud al-T{aya>li>si>, ‘Abd al-Razza>q, Ibn al-Ja>ru>d, Abu> Ya‘la>, al-T{ah}a>wi>, al-
Da>ruqut}ni>, dan al-Baghawi>.
107
Riwayat Ah}mad, Muslim, Abu> Da>wud, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah, dan al-Tirmidhi>.
108
Riwayat al-Bukha>ri>.

388
( ), Nabi pun memerintahkan mereka untuk meminum air kencing unta
sebagai obat".109
Imam al-Bayhaqi> berkata bahwa hadis Wa>’il dan hadis Abu> al-Darda>’,
apabila memang sahih, menunjukkan kepada haramnya berobat dengan benda yang
memabukkan serta berobat dengan yang haram ketika dalam kondisi tidak darurat..
Kemudian al-Shawka>ni> mengomentari, bahwa menyatukan pendapat-
pendapat di atas, jelas dipaksakan. Oleh karena sesungguhnya air kencing unta
tidak bisa disifati sebagai haram atau najis. Jika penggabungan pendapat tersebut
diterima, maka seharusnya digabung antara yang umum (haramnya berobat dengan
yang haram) dengan yang khusus (bolehnya berobat dengan air kencing unta).
Maksudnya berobat itu diharamkan menggunakan sesuatu yang haram kecuali air
kencing unta. Inilah kaidah dasarnya.
Akan tetapi ‘Abd al-Sala>m al-‘Abba>di>> mengkritisi pendapat al-Shawka>ni>
ini, yaitu bahwa benda-benda yang haram dan najis yang tidak boleh dijadikan obat,
diqiyaskan dengan khamr. Juga bisa berarti bahwa keharaman tersebut khusus
untuk khamr, yang disebabkan antara lain karena bahaya kecanduan ( ). Hal ini
berbeda dengan penyebab benda-benda lainnya yang diharamkan, sehingga berobat
dengan selain khamr itu dibolehkan.
Selain itu dapat pula berarti bahwa hukum boleh itu hanya untuk air
kencing unta. Adapun berobat dengan selain kencing unta diharamkan sesuai
dengan dua hadis yang berkenaan dengan khamr.
Pada akhirnya al-Shawka>ni> memandang bahwa pendapat mazhab
Sha>fi‘i>yah adalah pendapat yang kuat, yaitu kebolehan berobat dengan semua
benda najis, kecuali benda yang memabukkan. Kesimpulan tersebut setelah
dihimpun dan diamalkan hadis-hadis tersebut seluruhnya, kemudian ditakar ‘illat
keharaman pada setiap benda yang diharamkan tersebut. Hal itu diperbolehkan
ketika tidak ada obat lain yang dapat mengobatinya, sehingga benda-benda najis
itupun menempati posisi seperti benda suci. Bahkan ketika tidak ditemukan obat
selain yang memabukkan, maka dibolehkan berobat dengannya dalam keadaan
darurat, sebagai upaya menyelamatkan nyawa manusia.110 Ini berdasarkan firman
Alla>h Ta‘a>la>:

‚Maka siapa saja yang dalam keadaan terpaksa dengan tidak (bermaksud)
membangkang (aturan Alla>h), dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya….‛ (QS al-Baqarah [2]:173)
Sebagai implementasi dari ayat tersebut, maka dibolehkan berobat dengan
apa-apa yang dihalalkan Alla>h untuk menggunakannya, sebagaimana dibolehkan
pula dengan yang diharamkan jika diyakini oleh dokter muslim yang dapat
dipercaya bahwa itu merupakan obat.

109
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, Ah}mad, Ibn al-Mundhir, al-
Da>ruqut}ni>, al-T{ah}a>wi>, Abu Nu‘aym, Sa‘i>d Ibn Mans}u>r , al-T{abra>ni>, dan Ibn al-Sunni>,
110
Al-S{an‘a>ni>, Subul al-Sala>m, j.IV, 52.

389
Demikian pula ulama berpendapat111 bahwa tidak apa-apa dilakukan injeksi
atau infus sebgai bagian dari terapi, akan tetapi bukan menggunakan zat yang
diharamkan seperti khamr atau yang lainnya. Ini karena berobat dengan zat yang
haram adalah haram hukumnya, kecuali ketika tidak ada obat lain. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa keharaman itu dapat ditepis ketika sangat
diperlukan saja ( ).
Contohnya ialah seperti apa yang ditulis oleh Ibn ‘A<bidi>n,112 yaitu
dibolehkan menjual (daging dan bisa) ular jika itu memang bermanfaat untuk obat,
dan apabila diketahui bahwa tidak ditemukan obat selainnya.
Dalam kitab al-Niha>yah dan al-Muhadhdhab dibolehkan bagi pasien untuk
minum air kencing, darah, maupun bangkai untuk pengobatan, dengan syarat jika
dokter muslim yang terpercaya mengatakan bahwa padanya ada obat dan belum
ditemukan ada obat yang setara yang terbuat dari zat yang mubah. Apabila dokter
ahli mengatakan bahwa dengan obat tersebut akan lebih cepat sembuh, maka dalam
hal ini ada dua pendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam al-Tamruta>shi>
dan demikian pula dalam kitab al-Dhakhi>rah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berobat dengan yang haram tidak
berlaku haram secara mutlak. Berobat dengan yang haram tidak dibolehkan ketika
tidak diketahui bahwa di dalamnya mengandung obat. Adapun jika diketahui itu
mengandung obat dan tidak didapati selainnya, maka dibolehkan.113
Selanjutnya Ibn Rusla>n berkata, bahwa para dokter bersepakat bahwa
mereka akan memberikan terapi seakurat mungkin dengan cara yang paling ringan.
Sebagai contoh, mereka tidak akan bergeser dari terapi diet apabila itu sudah
mencukupi dan tidak perlu obatm sehingga terapi yang lebih sederhana didahulukan
daripada terapi yang lebih kompleks.
Demikian pula apabila telah mencukupi dengan obat, maka tidak akan
dilakukan terapi bedah, dst. Hal ini secara implisit ditunjukkan pada riwayat Ibn
‘Adi> dalam kitab al-Ka>mil yang diterima dari ‘Abdilla>h Ibn Jawa>d, bahwa
memotong pembuluh darah adalah perbuatan yang menyakitkan .
Selain itu pada periode klasik, dilakukan tindakan al-kayy pada bekas sayatan
bedah. Ini dimaksudkan untuk menghentikan perdarahan yang terjadi. Oleh
karenanya menjadi jelas bahwa terapi dengan pembedahan merupakan jalan terakhir
yang dibenarkan syariat apabila tidak dapat digunakan terapi lain.114

4. Definisi Transplantasi Organ dari Para Fuqaha>'


Para fuqaha>' anggota Majma‘` berupaya mencari kata dalam Al-Qur'a>n, al-
Sunnah, maupun kitab-kitab klasik para ulama terdahulu yang sepadan dengan
"transplantasi" dalam dunia kedokteran modern. Hal ini diperlukan agar dapat
mendudukkan pandangan hukum Islam terhadap transplantasi organ tubuh manusia.

111
Al-Ba>burti>, al-‘Ina>yah Ha>mish Takmilah Fath} al-Qadi>r j.VIII, 134.
112
Ibn ‘A<bidi>n, Radd al-Mukhta>r, j.IV, 224.
113
Ibn ‘A<bidi>n, Radd al-Mukhta>r, j.V, 283.
114
Al-Shawka>ni>, Nayl al-Awt}a>r, j.8, 205. Prinsip ini digunakan pula dalam
kedokteran modern, dimana terapi non-invasif lebih didahulukan daripada terapi invasif.

390
Diantara yang dapat dijasikan sandaran dalam mencari definisi tersebut ialah hadis-
hadis Nabi SAW berikut ini.
Hadis Rasu>lulla>h SAW yang diterima dari Ja>bir r.a.:

115

‚Tidaklah seorang muslim menanam (ghars) suatu pohon kecuali apa yang
dimakan darinya merupakan sedekah, dan apa yang dicuri darinya adalah sedekah
(bagi penanamnya), dan tidaklah seseorang mengakibatkan pohon itu berkurang
melainkan menjadi sedekah bagi penanamnya.‛

Hadis Nabi SAW yang diterima dari Anas r.a.:


116

‚Tidaklah seorang muslim melakukan ghars (penanaman) atau zar‘ (penyemaian),


lalu dimakan oleh burung atau manusia, melainkan menjadi sedekah baginya.‛

Hadis Nabi SAW yang diterima dari ‘Abdulla>h Ibn ‘Amr Ibn al-‘A<s} r.a.:
117

‚Tidaklah seorang muslim melakukan ghars (penanaman) atau zar‘ (penyemaian),


lalu dimakan oleh manusia, atau burung, atau apapun, melainkan menjadi sedekah
baginya.‛
Dari hadits di atas, jelas bahwa zar‘ (penyemaian) bukanlah ghars
(penanaman), serta bahwa ghars berkaitan dengan bibit seperti pepohonan dan
kurma. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas r.a., bahwa Nabi SAW
bersabda:

118

‚Tujuh hal yang mendatangkan pahala bagi seorang hamba, sementara ia dalam
kuburnya setelah wafat: Siapa yang mengajarkan ilmu; atau membebaskan sungai
(untuk digunakan bagi kepentingan umum); atau menanam (ghars) pohon kurma;

115
Riwayat Muslim, Ah}mad, Abu> ‘Awa>nah, Ibn H{ibba>n, al-Bayhaqi>, Abu> Da>wud
al-T{aya>li>si>, Abu> Ya‘la>, ‘Abd Ibn H{umayd, al-Baghawi>, Ta>j al-Di>n al-Subki>, Ma‘mar Ibn
Rashi>d al-Azdi>, Abu> ‘Abdilla>h Ibn Mandah, dan ‘Ali> Ibn al-Athi>r.
116
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, al-Tirmidhi>, Ah}mad, Abu> ‘Awa>nah, al-Bayhaqi>,
al-Bazza>r, Abu> Ya‘la>, al-Baghawi>, Ibn ‘Asa>kir, Ibn al-Najja>r, dan Ibn Sha>hi>n.
117
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, al-Tirmidhi>, Ah}mad, dan al-T{abra>ni> dalam Mu‘jam
al-Awsat} dengan isna>d yang h}asan.
118
Riwayat al-Bazza>r, al-Bayhaqi>, Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, al-Daylami>, Ibn Abi>
Da>wud al-Sijista>ni>, dan Abu> al-Faraj Ibn al-Jawzi>. Hadis ini terdapat Muh}ammad Ibn
‘Ubaydilla>h al-‘Arzami> al-Ku>fi> dan ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn Ha>ni>' al-Nakha‘i> yang dianggap
d}a‘i>f oleh Imam al-Mundhiri>, al-H{a>kim, Ibn ‘Adi>, al-Bayhaqi>, Abu> H{a>tim al-Ra>zi>, Ah}mad,
dan al-Tirmidhi>.

391
atau membangun masjid; atau mewariskan mus}h}af Al-Qur’a>n; atau meninggalkan
anak yang beristighfar untuknya setelah wafatnya.‛119

Nabi SAW juga bersabda:


120

‚Jika kiamat terjadi, sementara di tangan kalian terdapat bibit pohon maka
hendaklah ia tetap menanamnya.‛
Banyak sekali hadis yang menjelaskan bahwa ghars (penanaman) bukanlah
zar‘ (penyemaian), serta bahwa kata zar‘ itu terkait dengan benih, sementara ghars
terkait dengan pohon atau bibitnya. Sebagaimana juga terdapat riwayat dari Nabi
SAW pada perang Uhud, yaitu tatkala mata Qata>dah Ibn al-Nu‘ma>n cedera parah
(sampai terlepas), beliau mendatangi Nabi SAW. Selanjutnya Nabi SAW pun
mengembalikan mata tersebut pada posisinya dengan tangan beliau. Keduanya
matanya pun pulih kembali dan berfungsi sangat baik. Kisah ini diriwayatkan oleh
al-Da>ruqut}ni>, Ibn Sha>hi>n dan al-Bayhaqi>.121
Oleh karena itu, padanan kata "transplantasi" lebih dekat kepada kata
"ghars". Secara operasional medik, pemindahan organ tubuh manusia lebih tepat
disebut dengan penanaman organ (ghars al-a‘d}a>’)122. Tindakan ini memiliki peran
yang sangat besar dalam dunia kedokteran.
Adapun realisasi transplantasi organ tubuh manusia harus sesuai
persyaratan kaidah fikih, yaitu untuk tujuan mulia dan mendatangkan manfaat. Hal
ini seperti untuk menyelamatkan nyawa orang yang sakit keras atau
menyembuhkannya dari penyakit kronis (dengan izin Allah), yang hal itu tidak bisa
dilakukan kecuali dengan jalan transplantasi organ tersebut.
Proses pemilihan dilakukan terhadap organ tubuh yang akan dieksplantasi.
Yaitu organ tersebut harus dalam kondisi baik, bukan yang buruk; yang layak,
bukan yang rusak; yang memberi kemanfaatan, bukan yang memudaratkan; sesuai
kaidah fikih yang telah disepakati: 123
a. Kewajiban memelihara jiwa dan menolak mafsadat lebih diutamakan
dibandingkan mencari kemaslahatan.

119
Terdapat shahi>d dari jalan periwayatan yang lain, sehingga hadis tersebut dapat
dipakai. Yaitu yang diriwayatkan oleh Ibn Ma>jah, Ibn Khuzaymah, dan al-Bayhaqi>.
Sanadnya dihasankan oleh al-Mundhiri>.
120
Riwayat Ah}mad, al-D{iya>' al-Muqaddasi>, Abu> Da>wud al-T{aya>li>si>, al-Bus}ayri>, dan
‘Abd Ibn H{umayd.
121
Para ahli hadis berselisih pendapat tentang validitas riwayat tersebut. Namun
apabila dipandang sebagai suat momen atau peristiwa dalam si>rah Nabi SAW, maka
riwayat ini dapat dipakai. Lihat: Za>d al-Ma‘a>d, j. III, 198.
122
Penyebutan yang banyak beredar adalah zar‘ al-a`dhaa’ (penyemaian organ), dan
ini penyebutan yang keliru.
123
Dr. Muh}ammad Ayma>n S{a>fi>. Dosen Bakteriologi dan Imunologi, Fakultas
Kedokteran Universitas al-Malik ‘Abd al-‘Azi>z.

392
b. Terdapat kondisi-kondisi darurat yang menyebabkan hal-hal yang dilarang
menjadi diperbolehkan.
c. Kemudaratan yang lebih parah dapat dihilangkan dengan kemudaratan yang
lebih ringan.
d. Dipilih yang terbaik dari dua skenario buruk.
e. Jika terdapat kontradiksi antara dua kerusakan, dicegah kemudaratan yang
lebih parah dengan melakukan mudarat yang paling ringan.
f. Segala sesuatu yang haram diambil, maka haram pula diberikan. Dan segala
sesuatu yang haram untuk dilakukan maka haram pula mengupayakannya.

Misalnya, mayoritas ahli fikih memperbolehkan pembedahan perut ibu


yang sedang dalam kondisi kritis menjelang kematian, demi untuk menyelamatkan
janin yang hidup, atau masih bisa diharapkan hidupnya. Begitu pula mereka
memperkenankan pembelahan perut seseorang yang telah meninggal untuk
mengeluarkan benda berharga yang tertelan olehnya pada saat masih hidup, seperti
emas, perhiasan dan sebagainya.
Pada kondisi pertama, jelas bahwa kemudaratan pembedahan perut ibu
lebih ringan dibandingkan kematian janin. Oleh karena itu dilakukan pencegahan
terhadap mudarat yang lebih parah dengan melakukan mudarat yang lebih ringan.
Pembedahan perut ibu adalah hal buruk yang lebih ringan.
Adapun pada kondisi kedua, kebutuhan darurat untuk mengeluarkan benda
berharga, yang bisa jadi itu adalah milik orang lain, menyebabkan bolehnya
dilakukan hal yang pada dasarnya terlarang, yaitu pembedahan perut seseorang.
Demikian pula halnya pembedahan itu dibolehkan apabila mudarat dari adanya
benda berharga dalam perut seseorang lebih ringan jika dilakukan pembedahan.
Oleh karenanya bahkan para ahli fikih memperkenankan transplantasi
organ jenazah kepada orang yang masih hidup yang membutuhkan organ tersebut.
Demikianlah bunyi Ketetapan Fatwa ( ) dari Hay’ah Kiba>r al-ulama No. 99 pada
tanggal 6 Dhu al-Qa‘dah 1402 H di Riya>d}.

5. Pokok Pandangan Syariat Islam Tentang Transplantasi Organ Tubuh


a. Urgensi Tujuan Syariat Islam
Sebagaimana diketahui bersama bahwa tujuan syariat Islam ialah untuk
kebaikan, kemaslahatan dan kemanfaatan manusia selama di dunia, untuk
kemudian meraih kebahagiaan di akhirat. Teori tentang tujuan syariat Islam
(maqa>s}id al-shari>‘ah) ini diplopori oleh Imam al-H{aramayn al-Juwayni>, lalu Imam
Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, dan kemudian dipopulerkan oleh Imam al-Sha>t}ibi>. Hingga
kini bisa dikatakan semua ahli us}u>l al-fiqh merujuk kepada teori al-Sha>t}ibi> tersebut.
Dalam pembahasan topik transplantasi organ tubuh manusia pada mu'tamar
Majma‘, Muh}ammad Sa‘i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i> menganalisis persoalan tersebut dari
sudut pandang maqa>s}id al-shari>‘ah. Berikut ini penulis penulis ringkas dari alinea
terpenting dalam makalahnya.
Kaidah yang pertama: Perlu memahami kaidah-kaidah fikih serta
bagaimana mendudukkannya dengan dalil-dalil yang sesuai dengan topik bahasan,
yaitu yang berkaitan dengan sebagian masalah implementatif parsial untuk

393
kemudian dijelaskan hukumnya. Adapun kaidah-kaidah terpenting ialah yang
bersifat universal dan mencakup semua aspek dalam tujuan syariat Islam yang
mulia yaitu agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta.
Yang menarik adalah bahwa tidak sedikit ulama lebih memilih "perangai
yang terpuji atau harga diri" ( ) daripada membawanya kepada keturunan
( ). Yang demikian itu karena adanya hak kemuliaan, bahkan kesucian harkat
manusia ( ) dalam keseluruhan tujuan syariat Islam.124 Namun demikian
bagi kita sama saja, apakah memilih harga diri ( ) ataukah keturunan ( )
atau bahkan menggunakan keduanya secara bersamaan. Hal tersebut karena maksud
ajaran Islam ialah untuk memuliakan manusia dalam seluruh tata aturan syariatnya
secara hakiki dan tidak diragukan oleh seorang ulama pun.
Kaidah yang kedua: Hak-hak shar‘i>yah terbagi menjadi dua, yaitu hak
Alla>h dan hak hamba. Adapun yang dapat dikelola ialah hak hamba atau hak yang
porsi besarnya adalah hak hamba. Ini merupakan hak murni dan langsung jika
ditinjau dari segi yang memperoleh hak tersebut pada asalnya. Sama saja apakah ini
dipandang berstatus kepemilikan atau hanya untuk menikmatinya saja. Pada sisi
lain, hak ini merupakan cabang dan ada kebergantungan, dari sisi bahwa yang
memiliki hak itu adalah pengganti (wali>) ataupun penerima kuasa (waki>l).
Kaidah yang ketiga: Disyariatkannya ‚ ‛ ialah untuk semua hak-hak
fisik dan duniawi yang termasuk kategori hak-hak hamba.125 Di samping itu sudah
jelas bahwa memelihara pokok kehidupan merupakan bagian dari hak-hak Alla>h.
Kaidah yang keempat: Tidak ada perselisihan para fuqaha>’ tentang hak-hak
intangible ( ) itu termasuk dalam hak-hak hamba yang dapat diwariskan
sebagaimana hak-hak material ( ). Ini bertolak belakang dengan sejumlah
masalah yang diperselisihkan para fuqaha>’, seperti apakah hukuman potong tangan
bagi tindak pidana pencurian itu merupakan hak Alla>h ataukah hak hamba.126,127
Keempat kaidah tersebut di atas akan terus terpakai sampai kini, bahkan
hingga abad-abad mendatang, sehingga dapat digunakan untuk memecahkan
persoalan transplantasi organ buatan pada manusia. Ini merupakan warisan emas
dari para fuqaha>’ dengan kasus-kasus yang diajukan kepada mereka di masa lalu,
yang dapat diterapkan pada kasus-kasus kedokteran kontemporer dengan bersandar
kepada nas}s} dan kaidah-kaidah fikih sebagai asas berijtihad.

124
Al-Bana>ni>, H{a>shi>yah al-Bana>ni>, j.II, 179.
125
Kata i>tha>r, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, lebih mendekati kepada
altruism atau perilaku altruistic. Altruism didefinisikan sebagai sifat mementingkan
kepentingan orang lain, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan
diri sendiri. Tindakan tersebut ditujukan pada orang lain dan memberi manfaat secara
positif bagi orang lain atau orang yang dikenai tindakan tersebut, dilakukan dengan suka
rela tanpa mengharapkan imbalan apa pun, atau hanya sekedar untuk persahabatan. Sikap
ini tidak berdasarkan tekanan, bahkan terkadang dapat merugikan bagi si penolong. Lihat:
Stephen G. Post, "Altruism, Happiness, and Health: It’s Good to Be Good", International
Journal of Behavioral Medicine, vol. 12, no. 2 (2005): 66”77.
126
Al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.I, 391.
127
Al-Marghi>na>ni>, Al-Hida>yah, j.IV, 61.

394
Oleh karena itu, transplantasi organ tubuh apabila ditinjau dari sudut
pandang tujuan syariat atau kemaslahatan yang akan diraihnya, dapat
diklasifikasikan menjadi:
1) Transplantasi pada peringkat d}aru>ri>yah. Tindakan invasif transplantasi organ
tubuh karena alasan kondisi keterpaksaan yang mengharuskan seseorang
mempertahankan hidupnya. Organ yang ditranplantasikan dapat berasal dari
orang hidup, mayat, binatang, ataupun dari benda pengganti artificial.
Contohnya seperti transplantasi jantung, hati, ataupun ginjal.
2) Transplantasi pada peringkat h}a>jah, yaitu yang dilakukan karena alasan
keperluan yang mendesak untuk berfungsinya organ tersebut secara normal.
Apabila tindakan ini tidak dilakukan, tidak akan berakibat kematian pasien,
namun akan menyulitkannya menjalani hidupnya. Contohnya seperti operasi
cangkok kornea mata, atau pemasangan kaki palsu.
3) Transplantasi pada peringkat tah}si>ni>yah, yaitu yang dilakukan karena alasan
kosmetika atau estetika semata, seperti pemasangan prothesa gigi ataupun
meratakan gigi.

b. Status Kepemilikan Manusia terhadap Tubuhnya Sendiri


Bakr Ibn ‘Abdilla>h Abu> Zayd berpendapat bahwa ilmu kedokteran itu
seperti ilmu syara’, yang diletakkan padanya kemaslahatan, keselamatan dan
‘a>fiyah untuk menghilangkan akibat negatif dari suatu penyakit. Oleh karena itu
hukum asal dalam masalah-masalah seperti ini ialah jawa>z.128 Para ulama telah
ijma>‘ bahwa hukum berobat adalah jawa>z,129 dan dapat menjadi wajib130 ketika
memang ada kedaruratan yang membutuhkan untuk berobat.131
Terdapat perbedaan pendapat tentang manusia secara biologis, baik
pendapat para ulama itu sendiri maupun yang diambil dari kaidah-kaidah fikih.
Perbedaan tersebut berkisar pada: apakah fisik manusia itu dimiliki oleh manusia
itu sendiri ataukah ‚manusia‛ hanya sebagai pemegang amanah yang diberi wasiat
untuk menjaga badan? Juga apakah bahwa badan manusia itu hak manusia ataukah
hak Allah, atau hak bersama, dan apabila hak bersama maka hak siapakah yang
lebih dominan? Kemudian apabila dikatakan bahwa kepemilikan manusia atas
badannya adalah juga berarti memiliki hak atas badan itu, maka apakah
kepemilikannya itu seperti kepemilikan harta atau perhiasan, dimana terkandung di
dalamnya hak kepemilikan absolut untuk memperjualbelikan, atau menghibahkan,
atau mendonas}s}ikannya kepada pihak lain.132
Dalam pada itu apabila kepemilikannya adalah sepadan dengan hal-hal
tersebut di atas, maka tentu pengelolaannya harus dilandasi maslahat dan tidak
boleh mubazir.

128
‘Izz al-Di>n Ibn ‘Abd al-Sala>m, Qawa>‘id al-Ah}ka>m, j.I, 4.
129
Ibn Taymi>yah, Majmu>‘ al-Fata>wa>, j.XXXVIII, 92.
130
Niz}a>m al-Di>n al-Balkhi>, Al-Fata>wa> al-Hindi>yah, j.V, 355.
131
Ah}mad Ibn H{ajar al-Haytami>, Tuh}fah al-Muh}ta>j, j.III, 182.
132
A.J. Cronin, D. Price, "Directed Organ Donation: Is the Donor the Owner?",
Clinical Ethics 3 (2008): 127 ” 131.

395
Namun apabila badan adalah hak Alla>h, maka apakah hak Alla>h itu berupa
sifat pengabdian kepada-Nya (al-isti‘ba>d) sedangkan hak hamba adalah
mempergunakan, menikmati dan memanfaatkan (al-isti‘ma>l wa al-istimta>‘ wa al-
intifa>‘)? Hal ini antara lain berkaitan dengan hukum pidana (jina>ya>t), yaitu adanya
hak melepaskan tuduhan dan menerima ganti rugi (‘iwad}). Pada setiap sudut
pandang ini ada tempatnya masing-masing dan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri,
karena sedemikian besarnya masalah ini. Meskipun secara literal merupakan
gabungan dari hak Alla>h dan hak manusia, namun sesungguhnya gugurnya hak
hamba tidak berarti gugurnya hak Alla>h. Ini karena hak Alla>h merupakan tujuan
sejati dengan diciptakannya umat manusia, sehingga manusia tidak berhak untuk
begitu saja mengelola badannya yang justru akan membawa kepada kerusakan.
Prinsip ini sebagaimana firman Alla>h Ta‘a>la>:

"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku"
(QS al-Dha>riya>t [51]:56)
Adapun dari sisi kepemilikan seseorang terhadap tubuhnya sendiri, maka
H{asan ‘Ali> al-Sha>dhili>133
> mengutip pendapat Ibn ‘Arafah134:

‛Kepemilikan yang hakiki ialah milik Alla>h yang Maha Memiliki, Dia pencipta
semua zat dan semua karakter, maka tidak ada pemilik yang sebenar-benarnya
kecuali Alla>h Ta‘a>la>‛.
Ini juga sebagaimana ucapan Imam al-Sha>t}ibi>:

135

‛Sesungguhnya ulama berpendapat bahwa sesungguhnya setiap individu ”atau


secara umum setiap benda tidak ada yang memiliki kecuali Alla>h Ta‘a>la>- dan
bahwasanya yang dimaksud dengan kepemilikan secara shar‘i> adalah sekedar
memanfaatkan diri. Ini karena memanfaatkan fisik adalah kembali kepada hamba
yang bersangkutan atas dasar kemaslahatan, dan bukan semata kepada fisiknya".

Demikian pula disebutkan dalam kaidah:

136

133
Dr. H{asan ‘Ali> al-Sha>dhili>, seorang ulama Mesir, mantan Dekan Fakultas
Syariah Universitas Al-Azhar.
134
Ibn ‘Arafah ialah Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad Ibn Muh}ammad Ibn Muh}ammad
Ibn ‘Arafah al-Waraghmi>, seorang faqi>h dari kalangan Malikiyah. Dilahirkan pada tahun
716H-1316M dan wafat tahun 803H-1400M.
135
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, j.III, 110.
136
Shiha>b al-Di>n Ah}mad Ibn Idri>s al-Qara>fi>, Anwa>r al-Buru>q fi> Anwa>‘ al-Furu>q 194
pada Sharh} al-Farq 30, j.I.

396
"Bahwasanya yang pokok ialah (masih) tetapnya kepemilikan kepada yang
memilikinya (sejak sebelumnya), sedangkan perpindahan atau dipindahkannya
kepemilikan tersebut merupakan hal yang berbeda dengan kondisi awalnya. Oleh
karenanya ketika kita meragukan tentang peringkat perpindahan, kita berpendapat
dengan peringkat terendah, sebagai bentuk istis}h}a>b terhadap pokok yaitu pemilik
yang awal".

137

Diriwayatkan dari Ibn ‘Abba>s bahwa dia berkata:‛Apabila Rasu>lulla>h SAW


mengirim pasukan-pasukannya, Beliau bersabda:’Berangkatlah kalian dengan nama
Alla>h Ta‘a>la> untuk berperang di jalan Alla>h, jangan desersi, jangan melampaui
batas, jangan tamaththul,138 serta jangan membunuh anak-anak dan para biarawan
dan biarawati’‛.
Atas dasar hal tersebut, maka Alla>h mengharamkan bagi manusia untuk
mencampakkan diri mereka sendiri ke dalam kebinasaan, karena hal yang demikian
itu akan menyebabkannya diazab dengan azab yang sangat pedih.

139

Diriwayatkan pula dari Jundab al-Bajli> dari Nabi SAW bahwa Beliau bersabda:
‛Pernah terjadi di masa lalu seseorang yang mengalami luka lalu dia mengambil
pisau dan memotong tangannya yang luka tersebut, lalu darahpun mengucur deras
hingga menyebabkannya meninggal dunia. Alla>h Ta‘a>la> pun berfirman:’hamba-Ku
telah mendahului (ketetapan-Ku) dengan bunuh diri, maka Aku pun mengharamkan
surga baginya’.‛
‘Abd al-Sala>m Da>wud al-‘Abba>di>> menjelaskan maksud frasa "mendahului
Aku", ialah bahwa Alla>h mencintainya dalam bentuk disediakannya berbagai sarana
dan prasarana serta berbagai jalan untuk meraih jalan keluar yang mengandung
kemaslahatan baginya. Namun yang bersangkutan tidak mensyukurinya dengan
memilih jalan yang justru akan menyengsarakannya.
Dari bahasan di atas tampak bahwa status kepemilikan manusia terhadap
fisiknya sendiri, bagaimanapun juga bukanlah status mandiri yang terlepas dari hak
Alla>h atasnya, yaitu untuk mempergunakannya sesuai dengan aturan-Nya Yang
Maha Memiliki.

137
Riwayat Ah}mad, al-Bayhaqi>, al-Bazza>r, Abu> Ya‘la>, al-Bus}ayri>, Ibn Abi>
Shaybah, Abu> Nu‘aym al-As}baha>ni>, al-T{abra>ni>, Ya‘qu>b Ibn Ibra>hi>m, al-T{ah}a>wi>, dan Nu>r al-
Di>n al-Haythami>.
138
Tamaththul yaitu pemenggalan tangan dan kaki musuh secara bersilangan.
Misalnya memotong tangan kanan dan kaki kiri, atau tangan kiri dan tangan kanan.
139
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, Ah}mad, Abu> ‘Awa>nah, Abu> Nu‘aym, Abu> Ya‘la>,
al-Bayhaqi>, al-T{abra>ni>, al-Khat}i>b al-Baghda>di>, al-Baghawi>, Muh}ammad Ibn al-Muz}affar,
Muh}ammad Ibn Ish}a>q Ibn Mandah, dan Muh}ammad Ibn Ha>ru>n al-Ru>ya>ni>.

397
c. Kriteria Darurat Medik Terkait Transplantasi Organ Tubuh
Islam mengajarkan kepada manusia untuk memuliakan dan memelihara
kehidupan dalam kemaslahatan, dalam siklus kehidupan umat manusia yang terus
menerus dari generasi ke generasi. Bentuk penghormatan sejak awal periode
persiapan untuk kehidupan misalnya ialah adanya larangan sterilisasi, larangan
aborsi, dst. Penghormatan ini sampai kepada periode akhir bahkan setelah
kehidupan manusia, sepert larangan membunuh, berangan-angan untuk mati, dan
larangan merusak jenazah.
Terkait hal tersebut, Ibn H{azm al-Andalu>si> berpendapat:140
1) Diwajibkan memelihara dan menjunjung tinggi aturan shara‘ sejak sebelum
manusia dilahirkan. Prinsip ini berimplementasi pada diwajibkannya diya>t dan
hukum pidana bagi pembunuh janin, serta pelakunya dipandang telah
melakukan dosa. 141
2) Diharamkannya aborsi. Apabila seorang wanita melakukan aborsi ( )
maka wajib dikenai sanksi (‘uqu>bah) berupa diyat yang dibayarkan oleh ahli
warisnya.142
3) Dilarang mengharapkan mati karena tidak tahan ditimpa kesengsaraan dan
penderitaan yang berat. Dalam hal ini terdapat sejumlah hadis s}ah}i>h} yang
diterima dari Anas, Abu> Hurayrah, dan lain-lain, seperti hadis Khabba>b yang
diriwayatkan oleh Ah}mad, Ibn Ma>jah dll.: ("Janganlah kalian
berangan-angan untuk mati").
4) Perintah bagi setiap muslim untuk menyelamatkan diri dari kebinasaan, dan
bahwasanya upaya ini adalah termasuk perbuatan yang utama dalam
mendekatkan diri kepada Alla>h, dan setinggi-tingginya ketaatan kepada Alla>h.
Ini sebagaimana firman Alla>h Ta‘a>la>:

‚Dengan hal yang demikian itu (maka) Kami tetapkan bagi Bani> Isra>’i>l
bahwasanya siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya….‛ (QS al-
Mā’idah [5]: 32)

Diantara sebab kebinasaan (kematian) ialah sakit. Oleh karenanya


pengorbanan seorang muslim kepada orang lain dalam menghilangkan sebab
kebinasaan, sebagai upaya menyelamatkannya dari penyakit, sekaligus berarti
menyelamatkannya dari kebinasaan dengan sebab penyakit apapun.
Dalam kondisi darurat seperti itu, sebagian ulama Shafi‘iyah berpendapat
boleh mengganti tulang yang remuk dengan tulang manusia lain, bahkan
dibolehkan pula diganti dengan tulang binatang yang najis berat ( ). Ini
apabila diketahui tidak ada alternatif lain selain melalui cara tersebut.

140
Buh}u>th Da>r al-Ifta>' bi al-Riya>d}, j.I, 25-26; j.II, 18-19; j.III, 24, 42. Majallah al-
Ba‘th al-Isla>mi>, no.432-2, 45-55.
141
Ibn H{azm, Al-Muh}alla>, j.XI, 39.
142
Ibn Quda>mah, Al-Mughni>, j.VII, 816.

398
Tindakan-tindakan tersebut antara lain bersandar kepada apa yang telah
disebutkan oleh para ulama dalam masalah ini, sebagaimana apa yang dinukil dari
referensi-referensi sejarah, diantaranya ialah tentang kisah Qata>dah Ibn Nu‘ma>n
yang bola matanya terlepas pada saat perang Badar, dan kemudian ditempatkan lagi
pada tempatnya oleh Rasu>lulla>h SAW.
Kedaruratan dapat dipahami dalam konteks penyelamatan tersebut. Yaitu
berupa seseorang yang dalam kondisi kritis dan harus diselamatkan nyawanya,
ataupun berupa menghidupkan kembali anggota tubuh yang hilang (menyambung
kembali anggota tubuh yang lepas). Oleh karenanya adalah sangat penting untuk
memutuskan apakah suatu kondisi tertentu masuk ke dalam kriteria darurat ataukah
bukan. Batasan-batasan berikut ini sangat penting untuk diketahui, karena ini
menyatakan kondisi-kondisi yang bisa dipersepsikan sebagai keadaruratan padahal
ia sudah di luar dari pagarnya:
a. Tidak dikatakan darurat untuk melakukan tindakan transplantasi dari orang
hidup atau mayat, jika telah tegas bahwa anggota tubuh buatan dapat
menggantikan anggota tubuh yang asli. Meskipun tindakan tersebut dalam
rangka menyelamatkan jiwa pasien, atau apabila kebutuhan terhadap
transplantasi itu bukanlah darurat, atau tindakan tranplantasi organ tersebut
menemui kesulitan.
b. Tidak dikatakan darurat, jika tindakan transplantasi justru menimbulkan kesia-
siaan dan kehilangan organ tubuh yang sangat bermakna bagi donor. Sedangkan
bagi resipien tidak sampai kepada peringkat kebutuhan darurat yang
mengharuskannya transplantasi.
c. Tidak dikatakan darurat, jika kemaslahatan atas hidupnya resipien bukanlah hal
yang mulia. Ini seperti pada orang yang murtad yang mempropagandakan umat
Islam untuk murtad dari agama mereka, maka orang seperti ini sepatutnya
dihukum mati. Atau seperti pada pezina muh}s}a>n yang telah divonis pengadilan
dengan hukuman rajam sampai mati.

Dengan demikian hanya dalam keadaan darurat, dibolehkan memanfaatkan


yang haram sebagai pencegahan terhadap kematiannya. Ini sebagaimana ayat Al-
Qur’a>n:

‚Maka bagi siapa saja yang dalam keadaan darurat (sangat terpaksa) dengan tanpa
(niat dan upaya) berbuat durhaka, dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya (memanfaatkan itu)‛ (QS al-Baqarah [2]:173)

Adapun orang yang dalam kondisi sangat memerlukan ( ) ialah


kondisi kesulitan dan kesempitan saja, seperti rasa lapar yang apabila tidak didapati
makanan maka tidak akan menyebabkannya meninggal, maka dalam kondisi
semacam ini tidak dibolehkan menggunakan atau memanfaatkan yang haram.
Meskipun dalam kondisi ini ”misalnya-- dibolehkan berbuka bagi musafir yang
berpuasa, berdasarkan ayat Al-Qur’a>n:

399
‚Maka siapa saja diantara kalian yang dalam keadaan sakit atau sedang bepergian
jauh (safar), maka (kalian dapat mengganti puasa yang ditinggalkan) pada hari-hari
yang lain‛ (QS al-Baqarah [2]:184)
Dengan demikian, kondisi darurat ( ) bukanlah pada peringkat
kondisi yang membutuhkan sesuatu ( ). Syariat bertujuan untuk melestarikan
hidup manusia dan menjauhkannya dari kebinasaan, sehingga dibolehkan apa-apa
yang dapat menuju kepadanya, meskipun ini membawa konsekuensi untuk
menggunakan apa yang diharamkan. Berpindahnya status hukum fikih atas suatu
tindakan dari haram kepada boleh (bahkan wajib), harus memenuhi syarat
kedaruratan pada peringkat yang tertinggi. Kaidah ini sebagaimana perkataan al-
Qara>fi>. Adapun perpindahan dari kebolehan kepada keharaman, maka cukuplah
dengan sebab-sebab yang lebih ringan.143
Berkenaan dengan kondisi darurat medik yang mengharuskan transplantasi,
maka Lajnah al-Ifta>’ di Jordania telah menghimpun materi tentang memanfaatkan
organ tubuh untuk tujuan memelihara kehidupan. Topik tersebut dibahas dan
diputuskan dalam Fatwa Lajnah, 20 Juma>di al-U<la> 1397 yang bertepatan dengan
tanggal 18 Mei 1977. Para ulama Lajnah yang memutuskan fatwa tersebut ialah
dari Shaykh Muh}ammad ‘Abduh Ha>shim, Shaykh Muh}ammad Abu> Sarda>nah, Dr.
‘Abd al-Sala>m al-‘Abba>di>>, Dr. Ibra>hi>m Za>yd al-Kayla>ni, Dr. Ya>si>n Dira>dakah,
Shaykh ‘Izz al-Di>n al-Khat}i>b, dan Shaykh As‘ad Buyu>d} al-Tami>mi>.

6. Prinsip Perbuatan Mulia Mendahulukan Keperluan Orang Lain ( )


Al-I<tha>r merupakan salah satu pilar akhlak yang mulia yang diajarkan
dalam agama Islam. Perbuatan mulia untuk kepentingan orang lain seraya
mengorbankan kepentingan diri sendiri disebut dengan al-i>tha>r ( ).
Para fuqaha>' anggota Majma‘ berpendapat bahwa prinsip i>tha>r tersebut
mempunyai korelasi positif dengan kesdiaan donasi organ untuk ditransplantasikan
kepada yang membutuhkan. Mereka melakukan reinterpretasi terhadap penafsiran
ulama dulu tentang firman Alla>h Ta‘a>la>:

‚Dan mereka mengutamakan (orang lain) daripada mereka sendiri, sekalipun


mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).‛ (QS al-H{ashr [59]:9)
Para ahli tafsir dari generasi terdahulu, menerangkan ayat tersebut
sebagaimana di bawah ini.
Al-Qurt}ubi> mengatakan: ‛Maksudnya adalah mengutamakan orang lain
dalam hal pemberian harta dan pemberian posisi sosial mereka, meskipun mereka
sendiri membutuhkan semua itu‛.144
Ibn Kathi>r berpendapat: ‛Yaitu mereka mendahulukan memenuhi
kebutuhan orang lain dibandingkan kebutuhan mereka sendiri. Mereka
memprioritaskan orang banyak dibandingkan kebutuhan mereka dalam suatu hal
tertentu‛. 145

143
Al-Qara>fi>, Al-Furu>q, farq 131, j.III, 73.
144
Al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, j.XVIII, 26.
145
Ibn Kathi>r, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, j.IV, 338.

400
Peringkat mu'thir ini lebih tinggi dibandingkan dengan posisi mereka yang
disebutkan di dalam Al-Qur’a>n:

‚Dan mereka memberikan makan dari apa-apa yang mereka sukai kepada orang
miskin, anak yatim, dan narapidana‛. (QS al-Insa>n [76]: 8)

‚Dan mereka (menginfakkan) harta yang mereka cintai…‛ (QS al-Baqarah [2]:
177)
Ibn Kathi>r menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah mereka bersedekah
dengan harta yang mereka pun menyukai harta yang disedekahkan itu. Namun
demikian mereka tidak memerlukan harta tersebut, tidak juga harus memiliki harta
tersebut. Oleh karena ini berbeda dengan mu'thir, dimana mereka mendahulukan
orang lain meskipun mereka memerlukan apa yang mereka infakkan tersebut.146
Al-T{abari> menjelaskan bahwa kaum Ans}a>r mengutamakan kaum Muha>jiri>n
dibandingkan mereka sendiri, yaitu dengan memberikan harta mereka kepada kaum
Muha>jiri>n, meskipun kaum Ans}a>r pun membutuhkan harta tersebut.147 Hal yang
hampir sama juga dikemukakan oleh al-Alu>si> dalam pendapatnya, yaitu bahwa
kaum Ans}a>r mendahulukan kaum Muha>jiri>n dalam setiap hal yang baik-baik,
hingga jika salah seorang diantara mereka memiliki dua orang istri, maka mereka
melepas satu istri untuk kemudian dinikahi oleh salah seorang dari Muha>jiri>n.148
Al-Khat}i>b al-Sharbi>ni> berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ayat di
atas ialah bahwa mereka bersungguh-sungguh mendahulukan orang lain dalam apa-
apa yang berada di tangan mereka. Sesungguhnya ialah mendahulukan orang
lain dibandingkan diri sendiri dan keuntungan duniawi, demi mengharap
keuntungan di akhirat kelak. Sikap ini dapat tumbuh dari kuatnya keyakinan,
keteguhan cinta, dan kesabaran dalam kesempitan. Disebutkan dalam ayat Al-
Qur'a>n dengan kata ‚ ‛ sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi, karena apabila
‚nafs‛ dibersihkan maka tentulah qalbu harus lebih dahulu dibersihkan.
Demikianlah para fuqaha>' anggota Majma‘mereinterpretasikan makna i>tha>r,
dari yang bersifat generik penafsiran para ulama terdahulu, kepada ekstensi makna
yang kontekstual. Dalam hal ini mereka menangkap visi ayat tersebut yang bersifat
futuristik, sehingga makna i>tha>r dapat diimplementasikan kepada donasi organ,
sebagai upaya positif untuk kepentingan darurat orang lain.

7. Prinsip Larangan Menjerumuskan Diri dalam Kebinasaan


Pilar berikutnya yang sangat penting ialah larangan untuk mencampakkan
diri sendiri ke dalam kebinasaan. Sikap mendahulukan kepentingan orang lain,
betapapun, harus mempertimbangkan kondisi diri sendiri, agar jangan sampai
terpuruk ke dalam kondisi yang membahayakan atau bahkan kritis.

146
Ayat tersebut menjelaskan tentang berinfak dengan harta yang dicintai dan
diinginkan untuk terus dimiliki, sebagaimana pendapat Ibn Mas‘u>d dan Sa‘i>d Ibn Jubayr,
serta hadis Nabi SAW yang diriwayatkan dari Abu> Hurayrah. Lihat: Al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-
Ta'wi>l, j.II, 37.
147
Al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta'wi>l, j.IX, 80.
148
Al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma‘a>ni>, j.XXVIII, 27.

401
Para ulama terdahulu telah menafsirkan sejumlah dalil tentang menjaga diri
dari kebinasaan ( ) ini sebagaimana di bawah ini.

‚Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Alla>h, dan janganlah kalian
campakkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. Dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Alla>h mencintai orang-orang yang berbuat baik‛. (QS al-Baqarah
[2]: 195)
Imam al-Bukha>ri> menyatakan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan
masalah nafkah. Demikian pula yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abba>s, Muja>hid,
‘Ikrimah, Sa‘i>d Ibn Jubayr, ‘At}a>’, al-D{ah}h}a>k, al-H{asan al-Bis}ri>, Qata>dah, al-Suddi>,
dan Muqa>til Ibn H{ayya>n.

149
.
Al-Layth Ibn Sa‘d berkata, diterima dari Yazi>d Ibn Abi> H{abi>b, dari Aslam Ibn Abi>
‘Imra>n yang berkata bahwa dalam perang membebaskan Konstatinopel, terdapat
seorang lelaki dari golongan Muha>jiri>n maju sendiri merangsek ke dalam barisan
musuh, hingga dia pun mati terkoyak ditikam musuh. Pasukan ketika itu dipimpin
oleh Abu> Ayyu>b al-Ans}a>ri>. Orang-orang pun berkata:‛Dia telah mencampakkan
dirinya sendiri ke dalam kebinasaan‛. Abu> Ayyu>b pun menjawab:‛Kami lebih tahu
tentang ayat ini. Ayat tersebut diturunkan tentang kami, dimana kami menyertai
Rasu>lulla>h SAW, kami bersamanya dalam berbagai peperangan, kami pun
menolong Beliau. Hingga tatkala Islam telah menang dan tersebar luas, golongan
Ans}a>r berbincang-bincang dengan penuh kasih sayang diantara mereka. Kami
mengatakan:‛Alla>h telah memuliakan kita melalui persahabatan dengan Nabi SAW
dan Dia telah menolong Beliau hingga Islam tersebar luas dan banyak pemeluknya.
Adapun kita telah mendahulukan orang lain dalam hal keluarga, harta, dan anak-
anak. Peperangan demi pepeerangan telah mengangkat dosa-dosa. Lalu kita
kembali kepada istri dan anak kita, dan tinggal bersama mereka, sehingga
kemudian turun ayat ( ). Oleh karenanya
maksud kebinasaan ialah dalam hal keluarga, harta dan meninggalkan jihad‛.‛
Apabila ditelaah antara sebab turunnya ayat dengan kandungan isinya,
maka makna ayat tersebut menjadi lebih luas. Ayat Al-Qur’a>n mencakup sebab
turunnya dan yang lainnya, sehingga terdapat sejumlah tafsir yang menjelaskan arti

149
Riwayat Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, al-Nasa>’i>, ‘Abd Ibn H{umayd dalam tafsirnya,
Ibn Abi> H{a>tim, Ibn Jari>r, Ibn Mardawayh, Abu> Ya‘la> dalam Musnad-nya, Ibn H{ibba>n dalam
S{ah}i>h}-nya, dan al-H{a>kim dalam al-Mustadrak. Al-Tirmidhi> berkata: hadis h{asan sah{i>h{
ghari>b. Al-H{a>kim berkata: sahih memenuhi kriteria al-Bukha>ri> dan Muslim, namun
keduanya tidak meriwayatkan hadis ini.

402
ayat di atas secara lebih luas lagi, khususnya makna ‚ ‚. Ayat
tersebut dapat ditafsirkan dengan, "jika kalian tidak berinfak di jalan Alla>h, maka
kalian telah durhaka kepada Alla>h, dan kalian pun binasa dengan sebab dosa yang
diperbuat". Atau dengan perkataan lain bahwa, "janganlah kalian meninggalkan
infak di jalan Alla>h, karena sesungguhnya Alla>h akan menggantinya untuk kalian
berupa pahala di akhirat dan Dia segera melimpahkan rezki kepada kalian". Ini
merupakan penafsiran Ibn ‘Abba>s dan H{udhayfah. Selanjutnya Ibn ‘Abba>s
berpendapat bahwa ayat tersebut bukan berkaitan dengan perang, melainkan
tentang nafkah.
Al-D{ah}h}a>k Ibn Abi> Jubayr berkata bahwa orang-orang Ans}a>r terbiasa
bersedekah dan berinfak, hingga pernah suatu tahun mengalami musibah, lalu
merekapun menahan diri tidak berinfak lagi, maka turunlah ayat tersebut.
Sementara itu Ibn ‘Abba>s berkata,‛Meskipun engkau tidak memiliki harta kecuali
hanya sebatang anak panah, maka berinfaklah‛.150>
Selain itu, Zayd Ibn Aslam berpendapat bahwa ayat di atas terkait dengan
jihad, sebagiaman perkataannya:‛Janganlah kalian pergi jihad tanpa perbekalan,
karena hal itu pernah dilakukan pada masa lampau oleh suatu suku bangsa sehingga
menyebabkan mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan, ataupun mereka menjadi
kelaparan dan kesusahan".
Sejumlah ulama lain menafsirkannya berkaitan dengan ampunan dan kasih
sayang Alla>h. Al-Barra>’ Ibn ‘A<zib berpendapat bahwa makna ayat di atas ialah,
‛Janganlah kalian berputus asa dari ampunan Allah ketika melakukan perbuatan
maksiat, maka kalianpun tidak bertaubat‛. Muh}ammad Ibn Si>ri>n dan ‘Ubaydah al-
Salma>ni> mengatakan bahwa makna ayat menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan
ialah putus asa ( ) dari rahmat Alla>h. Sedangkan Abu> Qila>bah mengatakan
bahwa ayat itu berkaitan dengan seseorang yang terjatuh ke dalam dosa, lalu dia
berkata:‛Celaka aku, tidak ada taubat bagiku‛, sehingga diapun berputus asa dari
rahmat Alla>h dan (tetap) menyibukkan diri dengan maksiat. Padahal Alla>h telah
melarang mereka dari perbuatan seperti itu, sebagaimana firman-Nya:

‚Sesungguhnya tidaklah berputus asa dari rahmat Alla>h kecuali orang-orang yang
kafir‛. (QS Yu>suf [12]: 87)
Abu> Ayyu>b al-Ans}a>ri> berpendapat bahwa makna ayat 195 surah al-Baqarah
ialah,‛Janganlah kalian meninggalkan medan jihad di jalan Alla>h, maka kalianpun
(akan) binasa‛.151 Sementara itu Abu> al-Qa>sim al-Balkhi> mengatakan bahwa
artinya ialah menceburkan diri dengan susah payah dalam peperangan dengan tanpa
mengalahkan musuh..152
Ibn al-‘Arabi> menerangkan bahwa makna ayat tersebut ialah, ‛Jangan
kalian masuk dalam ketentaraan, yang kalian tidak (akan) mampu untuk
memikulnya‛ ( ).

150
Al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m Al-Qur'a>n, j.I, 241.
151
Al-Jas}a>s}, Ah}ka>m Al-Qur’a>n, j.I, 327.
152
‘Ali> al-Ma>wardi>, Tafsi>r al-Ma>wardi> al-Nukat wa al-‘Uyu>n, j.I, 212.

403
Para ulama pun berselisih pendapat tentang seseorang yang menceburkan
diri ke dalam kancah peperangan dan dia seorang diri menghadapi musuh. Terhadap
hal ini terdapat perbedaan pendapat fikih, sebagaimana di bawah ini.153
Pertama. Pendapat al-Qa>sim Ibn Mukhaymarah, al-Qa>sim I>bn Muh}ammad,
dan ‘Abd al-Ma>lik dari kalangan Ma>liki>yah, ialah bahwa tidak mengapa seorang
diri menghadapi musuh yang tangguh sepanjang dia sendiri memiliki kekuatan
untuk itu, dan dia pun meniatkan ikhlas karena Alla>h. Apabila yang bersangkutan
tidak memiliki kekuatan, maka itu termasuk dalam kebinasaan.
Kedua. Ada yang berpendapat bahwa orang tersebut mara maju ke pasukan
musuh karena mencari syahid dengan niat yang ikhlas. Karena tujuannya ialah
menghadapi salah seorang dari tentara musuh. Ini sebagaimana diterangkan Alla>h
Ta‘a>la>:

‚Dan diantara manusia terdapat seseorang yang menjual dirinya demi untuk
mencari ridha Alla>h‛
Ketiga. Ibn Khuwayz Manda>d berkata bahwa bisa jadi yang dimaksud
adalah seseorang yang maju seorang diri menghadapi seratus orang musuh, atau
sejumlah tentara atau segerombolan pencuri. Dalam hal ini berlaku dua hal:154
a. Apabila orang tersebut mengetahui dan prediksinya dominan bahwa dia akan
berperang dan memperoleh kemenangan, maka itu baik baginya.
b. Demikian pula jika dia mengetahui dan berprediksi bahwa dia akan terbunuh,
akan tetapi dia akan dikalahkan atau akan terbunuh atau terdapat konsekuens
bencana, atau bisa pula meninggalkan jejak untuk dapat dimanfaatkan oleh
umat Islam, maka yang demikian ini boleh.

Dalam menjelaskan persoalan di atas, al-Qurt}u>bi> mengutip riwayat dari Nabi SAW:
155

Seorang sahabat bertanya kepada Nabi SAW: ‛Bagaimana pendapatmu jika saya
berperang di jalan Alla>h dengan ketabahan dan mengharap ganjaran dari Alla>h?‛
Nabi SAW menjawab: ‛Engkau akan memperoleh surga‛. Lalu sahabat itu pun
menyeruak maju ke dalam pasukan musuh hingga dia terbunuh.

156

153
Al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m Al-Qur'a>n, j.I, 242.
154
Al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m Al-Qur'a>n, j.I, 242. Meskipun al-Qurt}ubi> tidak
menyebutkan keseluruhan alternatif tersebut, yang inti ialah setiap upaya yang justru
mencelakan diri sendiri adalah termasuk mencampakkan diri dalam kebinasaan.
155
Riwayat Muslim, al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ah}mad, Ma>lik, al-Sha>fi‘i>, al-Da>rimi>,
Ibn H{ibba>n, Abu> ‘Awa>nah, Sa‘i>d Ibn Mans}u>r, al-Bayhaqi>, Abu> Da>wud al-T{aya>li>si>, al-
H{umaydi>, al-Bus}ayri>, ‘Abd Ibn H{umayd, al-H{asan Ibn ‘Ali> al-Jawhari>, Ibn Abi> Shaybah, al-
Khat}i>b al-Baghda>di>, al-T{ah}a>wi>, al-‘Ala>'i>, dan Ibn Abi> ‘A<s}im.

404
Dari Anas Ibn Ma>lik, bahwa Rasu>lulla>h SAW bersama dengan tujuh orang Ans}a>r
dan dua orang Quraysh pada perang Uh}ud. Tatkala pasukan musuh menyerang
mulai mendekatinya, Beliau bertanya: ‛Siapa yang dapat memukul mundur musuh
maka dia akan memperoleh surga?‛ atau ‚dia kelak akan menyertaiku di surga?‛.
Lalu seorang Ans}a>r maju berperang hingga dia terbunuh, demikian seterusnya
hingga ketujuh orang Ans}a>r tersebut terbunuh. Beliau pun bersabda,‛Alangkah
setianya para sahabat kami‛.

8. Kaidah-Kaidah Fikih yang Relevan dengan Transplantasi Organ Tubuh


Berkaitan dengan kondisi kedaruratan medik dan kebolehan melakukan
tindakan transplantasi dalam keadaan tersebut, para fuqaha>' telah menghimpun
sejumlah kaidah fikih yang dapat dijadikan sebagai pedoman. Kategorisasi kaidah-
kaidah ini dalam satu kelompok,157 adalah sangat penting, sehingga dapat dijadikan
acuan bagi para fuqaha>' dan para dokter dalam menjalankan profesi mereka.
Kaidah-kaidah tersebut berada di bawah kelompok kaidah "menolak kemadaratan
dan menghilangkan kesukaran" ( ) :158

1. Kemudaratan harus dihilangkan

2. Keadaan darurat (menyebabkan) dibolehkannya (hal-hal) yang terlarang

3. Mengambil (hal) yang lebih ringan madaratnya dari dua madarat untuk (dengan
alasan) menghindari madarat yang lebih besar

4. Mempertimbangkan madarat yang bersifat spesifik dengan alasan untuk


menghindari madarat yang global

5. Suatu kondisi darurat diperhitungkan hanya selama kondisi kedaruratan itu


terjadi

6. Kesempitan yang berat akan menimbulkan kemudahan

7. Suatu urusan, apabila sempit, maka (otomatis) menjadi luas

156
Riwayat Muslim, al-Nasa'i, Ah}mad, Ibn H{ibba>n, Abu> ‘Awa>nah, Abu> Ya‘la>, ‘Abd
Ibn H{umayd, al-Bayhaqi>, Ibn Abi> Shaybah, dan Ibn Abi> ‘A<s}im.
157
Ah}mad Ibn Muh}ammad al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 157-188.
158
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashbah wa al-Naz}a>'ir, 55-61.

405
Adapun kaidah ‚ ‛ (kemadaratan harus dihilangkan) merupakan
derivasi dari hadis Nabi SAW ‚ ‛ (tidak boleh ada kemadaratan dan
tidak boleh pula menimbulkan madarat). Kata ‚ ‛ berarti tidak boleh memulai
dengan kemadaratan, sehingga seseorang tidak boleh menjerumuskan orang lain ke
dalam kemadaratan. Kata ‚ ‛ berarti tidak boleh seseorang membalas
kemadaratan orang lain dengan kemadaratan lagi.
Ibn al-Subki> berpendapat bahwa makna dari kaidah tersebut ialah seperti
orang yang mendapat kembali ucapan mereka ‚ ‛
(kemadaratan itu harus dihilangkan, namun tidak boleh dihilangkan dengan
kemudaratan lagi).159 Oleh karenanya kaidah yang terakhir lebih khusus
dibandingkan dengan kaidah yang pertama di atas.
Akan tetapi Imam al-Suyu>t}i> dan Ibn Nujaym berpendapat bahwa kedua
kaidah di atas adalah setara, tidak ada yang lebih umum maupun yang lebih khusus.
Ini seperti ucapan para ulama yang dikutip oleh al-Suyu>t}i>:

160

‚Dan tidak boleh seseorang yang dalam kondisi darurat memakan makanan orang
lain yang dalam kondisi darurat pula, kecuali dia itu seorang Nabi. Ini karena dia
boleh mengambilnya dan diwajibkan bagi orang yang besertanya untuk berkorban
bagi Nabi tersebut. Tidak dibolehkan baginya memotong sekerat ( ) dari pahanya
sendiri, dan tidak pula membunuh anaknya atau hambanya. Tidak boleh pula
memotong sekerat ( ) dari tubuhnya, jika kekuatiran atas tindakan pemotongan
itu setara dengan kekuatiran meninggalkan makan atau bahkan lebih besar lagi. Hal
yang sama juga berlaku bagi memotong benda-benda lainnya.‛

Kemudian ketika terjadi kondisi darurat, maka kaidah yang digunakan ialah
kemudaratan harus dihilangkan, kondisi darurat membolehkan hal-hal yang (pada
asalnya) terlarang, dan bahwa kesukaran akan melahirkan kemudahan. Selain itu
didasarkan pula analisis para ulama terdahulu tentang berbagai masalah fikih
seputar makanan dan minuman ataupun obat-obatan dalam kondisi darurat, serta
hal-hal lain yang dipertimbangkan karena kedaruratan demi memelihara kehidupan.
Oleh karena itu para ulama tidak begitu saja tanpa batasan untuk
menetapkan ini dan itu. Juga tidak hanya berdasarkan perkara yang diputuskan saja,
meskipun sebagian besarnya memiliki hukum asal diperbolehkan (jawa>z) dan
sebagian lagi dengan kaidah ‘umu>m al-balwa>. Di antara mereka yang membahas hal
ini ialah:
a. ‘Izz al-Di>n Ibn ‘Abd al-Sala>m dalam kitabnya Qawa>‘id al-Ah}ka>m ketika
membahas tentang (Apa yang tidak

159
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashbah wa al-Naz}a>'ir, 61.
160
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashbah wa al-Naz}a>'ir, 61.

406
mungkin menimbulkan kemaslahatan kecuali dengan merusak sebagian dari hal
itu)161
b. Ibn Quda>mah dalam kitabnya al-Mughni>.162
c. Al-Ya‘qu>bi> dalam Shifa>’ al-Taba>ri>h} wa al-Adwa>’.

Kesemuanya kembali kepada pokok-pokok masalah yang diambil dari


sejumlah kasus. Antara lain adalah seperti kasus-kasus berikut ini:
a. Problematika tentang ibu hamil yang meninggal, sementara itu janinnya
bergerak-gerak sebagai tanda kehidupan, sehingga janin pun harus dikeluarkan
agar tetap hidup. Tindakan ini berpulang kepada teori maslahat163 yaitu bahwa
kemaslahatan lebih signifikan untuk didahulukan dibandingkan dengan
mafsadat yang terjadi pada mayat ibu janin tersebut,164 yaitu adanya larangan
merusak mayat165 demi meraup keuntungan.166 Pada kondisi ini bedah mayat
tetap dilakukan, meski harus merusak (membedah) mayat, demi memperoleh
bayi yang hidup.167 Pandangan ini juga disandingkan dengan keputusan untuk
melakukan sectio caesaria ketika terjadi kesulitan dalam persalinan.168 Oleh
karenanya apabila membedah perut ibu dalam keadaan hidup saja harus
dilakukan demi menyelamatkan bayi,169 apalagi ketika si ibu sudah meninggal
dalam keadaan mengandung.170
b. Problematika kebolehan menyerang tawanan muslim yang dijadikan perisai
oleh kaum kuffa>r, dengan tujuan untuk dapat terus merangsek masuk
memerangi orang-orang kafir.171
c. Kebolehan menyerang pasukan kuffa>r yang berlindung di benteng dengan
senjata jarak jauh (manjani>q)172, meskipun di dalam benteng tersebut terdapat
wanita dan anak-anak.173 Dalam penyerbuan tersebut kemungkinan besar
wanita dan anak-anak akan terbunuh. Padahal syariat Islam melarang
membunuh mereka.174

161
Ibn ‘Abd al-Sala>m, Qawa>‘id al-Ah}ka>m fi> Mas}a>lih} al-Ana>m, j.I, 86, 98.
162
Ibn Quda>mah, Al-Mughni>, j.IX, 417, 419 dan j.XI, 78, 80.
163
Al-Sharbi>ni>, Al-Iqna>‘ j.I, 235-236. Al-Nawawi>, Rawd}ah al-T{a>libi>n, j. II, 140.
164
Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, 88. Ibn H{azm, Al-Muh}alla>, j.V, 166-167.
165
Al-‘Izz Ibn ‘Abd al-Sala>m, Qawa>‘id al-Ah}ka>m, j.I, 79, 86, 98. Al- S{a>wi>,
H{a>shi>yah al-S{a>wi> ‘ala> al-Sharh} al-S{aghi>r, j.I, 192.
166
Ibn ‘A<bidi>n, H{a>shi>yah Ibn ‘A<bidi>n, j.I, 602, 628. Niz}a>m al-Di>n Al-Balkhi>, Al-
Fata>wa> al-Hindi>yah, j.V, 360.
167
Al-Nawawi>, Al-Majmu>‘ Sharh} al-Muhadhdhab, j.V, 301.
168
Al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.I, 207.
169
Ibn Quda>mah, Al-Mughni>, j.II, 413-415.
170
Ma>lik, Al-Mudawwamah al-Kubra>, .I, 190-191.
171
Al-Sha>fi‘i>, Al-Umm, j.IV, 287. Ibn Quda>mah, Al-Mughni>, j.IV, 276-277.
172
Manjani>q ialah senjata perang berupa batu besar atau bola api yang dilontarkan
dengan menggunakan alat pelontar. Pada masa kini dapat dianalogikan dengan senjata jarak
jauh seperti mortir, meriam, roket ataupun rudal.
173
Al-Sha>fi‘i>, Al-Umm, j.IV, 287.
174
Ibn Quda>mah, Al-Mughni>, j.IV, 276-277.

407
d. Seseorang yang dalam keadaan terpaksa memakan daging manusia,175 ketika
tidak dijumpai makanan lain.176 Perbuatan yang pada asalnya diharamkan177
tersebut dilakukan demi untuk mempertahankan hidup, dan mencegah
kematiannya. 178
e. Kasus pengundian penumpang kapal laut untuk dilemparkan sebagian diantara
mereka dari kapal laut, dengan tujuan mengurangi bobot kapal laut. Pada saat
itu mereka menghadapi kerusakan kapal yang dapat mengakibatkan
tenggelamnya kapal tersebut. 179
f. Kebolehan menyambung tulang pria dengan tulang wanita, atau sebaliknya.180
Imam ‘Abd al-H{ami>d al-Sharwa>ni> berpendapat dalam H{a>shi>yah-nya terhadap
kitab Tuh}fah al-Muh}ta>j sharh} al-Minha>j:‛…diperbolehkan untuk menyambung
tulang pria dengan tulang wanita atau sebaliknya….‛181
g. Sebagian ulama Sha>fi‘i>yah182 berpendapat bahwa bagi orang yang dalam
kondisi sangat terpaksa dibolehkan memakan bagian tubuhnya sendiri,183
karena seseorang harus memelihara keseluruhannya (hidupnya) walaupun hanya
bisa dilakukan dengan cara memotong bagian tubuhnya.184
h. Dibolehkan membongkar atau menggali kuburan atas dasar untuk meraih suatu
kemaslahatan.185 Hal ini dapat terjadi pada berbagai peristiwa yang berbeda
argumentasi kemaslahatannya.186
i. Kebolehan minum ASI dari mayat, sehingga menjadi mahram baginya.
Demikian antara lain pendapat para ulama Sha>fi‘i>yah dan H{anafi>yah.187
j. Kebolehan melakukan tindakan pembedahan,188 ketika probabilitas
kesembuhan dapat dicapai hanya dengan cara operasi.189

175
Al-‘Izz, Qawa>‘id al-Ah}ka>m, j.I, 89. Ibn Rushd, Bida>yah al-Mujtahid, j.II, 284.
Ibn H{azm, Al-Muh}alla>, j.V, 426.
176
Ibn Quda>mah, Al-Mughni>, j.XI, 79.
177
Al-Ba>ju>ri>, H{a>shi>yah al-Ba>ju>ri> ‘ala> Sharh} Ibn Qa>sim, j.II, 302. Abu> Yah}ya
Zakari>ya> al-Ans}a>ri>, Fath} al-Wahha>b Sharh} Manhaj al-T{ulla>b, j.II, 193.
178
Ibn Quda>mah, Al-Sharh} al-Kabi>r, j.XI, 106. Al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.I,
190-192. Al-Marda>wi>, al-Ins}a>f, j.X, 276. Al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.I, 359; j.IV, 282-
284.
179
Al-Nawawi>, Al-Majmu>‘, j.III, 138.
180
Niz}a>m Al-Balkhi>, Al-Fata>wa> al-Hindi>yah, j.V, 254.
181
Shiha>b al-Di>n Ibn H{ajar al-Haytami>, Tuh}fah al-Muh}ta>j, j.II, 125, 128.
182
Zakari>ya> al-Ans}a>ri>, Fath} al-Wahha>b Sharh} Manha>j al-T{ulla>b, j.II, 193-194
183
Al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.IV, 285.
184
Al-Nawawi>, Al-Majmu>‘, j.IX, 33. Mar'i> Ibn Yu>suf al-Maqdisi>, Gha>yah al-
Muntaha, j.III, 369. Ibn Quda>mah, Al-Mughni>, j.IX, 417.
185
Al-Haytami>, Tuh}fah al-Muh}ta>j, j.III, 205-206. Al-Ba>ju>ri>, H{a>shi>yah al-Ba>ju>ri>
‘ala> Sharh} Ibn Qa>sim, j.I, 268. Al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.I, 367.
186
Al-‘Izz, Qawa>‘id al-Ah}ka>m, j.I, 96. Al-Sharbi>ni>, Al-Iqna>‘, j.I, 235. Al-Ramali>,
Niha>yah al-Muh}ta>j, j.III, 40.
187
Ibn Quda>mah, Al-Mughni>, j.IX, 198.
188
Al-Balkhi>, Al-Fata>wa> al-Hindi>yah, j.V, 360.
189
Ibn ‘A>bidi>n, Radd al-Mukhta>r, j.V, 479.

408
Para fuqaha>' dalam mencari solusi atas kasus-kasus tersebut di atas, telah
menggunakan kaidah-kaidah kedaruratan. Oleh karena kaidah-kaidah tersebut
bersifat universal dan implementatif bagi uat islam di manapun dan kapanpun.

9. Transplantasi Organ yang Berasal dari Organ Tubuh Sendiri


Para fuqaha>' terdahulu telah membahas tentang pemanfaatan bagian tubuh
seseorang untuk menyelamatkan kehidupan dirinya sendiri. Hadis-hadis Nabi SAW
berikut pendapat para fuqaha>' tersebut dijadikan pedoman oleh para ulama anggota
Majma‘ dalam membahas transplantasi organ yang berasal dari tubuh sendiri
(autograft atau autotransplantation).
Dari kalangan Sha>fi‘i>yah, Imam al-Nawawi> memperkenankan seseorang
memotong anggota tubuhnya dan kemudian memakannya, apabila tindakan
tersebut merupakan bentuk perusakan terhadap sebagian tubuh untuk
menyelamatkan keseluruhan sisa tubuh. Abu> Ish}a>q berkata: ‚Perbuatan tersebut
diperbolehkan karena merupakan bentuk penyelamatan kehidupan dengan
(pengorbanan) sebagian anggota tubuh. Seperti halnya ia diperkenankan memotong
anggota tubuhnya yang terkena infeksi dalam rangka penyelamatan jiwanya‛.
Selanjutnya Imam al-Nawawi> berpendapat:

190

‚Sekiranya seseorang yang dalam kondisi darurat ingin memotong sebagian


tubuhnya, semisal paha atau selainnya, untuk kemudian memakannya, apabila
kekhawatirannya terhadap hal tersebut adalah sebagaimana halnya (setara dengan)
kekhawatirannya terhadap meninggalkan makanan, atau bahkan lebih parah, maka
pemotongan tersebut hukumnya haram tanpa ada khilaf. Imam al-H{aramayn dan
selainnya telah menegaskan hal tersebut. Namun jika kondisinya tidak demikian
(kekhawatiran dan mudarat tidak makan lebih tinggi dibandingkan memotong serta
memakan sebagian anggota tubuh), maka pada permasalahan tersebut terdapat dua
pendapat yang masyhur, sebagaimana telah disebutkan oleh penyusun yang disertai
argumentasinya.‛
Akan tetapi untuk memotong anggota tubuh orang lain, mereka
mensyaratkan bahwa ia harus telah menjadi bangkai, serta bahwa tingkat
kekhawatiran pada pemotongan organ tersebut lebih rendah dibandingkan apabila
ia tidak makan. Dalam hal ini Imam al-Nawawi> berkata:
191

‚Tidak diperbolehkan seseorang memotong anggota tubuhnya lalu kemudian


memberikan kepada orang lain yang sedang dalam kondisi darurat. Tidak ada
perselisihan dalam hal tersebut, sebagaimana telah ditegaskan oleh Imam al-
Haramayn dan para sahabatnya ” maksudnya ialah para ulama mazhab Sha>fi‘i>‛.

Imam al-Ramali> mengungkapkannya dengan lebih jelas:

190
Al-Nawawi>, Al-Majmu>‘, j.V, 301.
191
Al-Nawawi>, Al-Majmu>‘, j.V, 301.

409
192

‚Diharamkan memotong sebagian tubuhnya dan diberikan kepada orang lain,


meskipun dalam kondisi darurat, sepanjang orang lain tersebut bukan Nabi. Oleh
karena apabila dia adalah seorang Nabi, maka tindakan tersebut (bahkan) menjadi
wajib. Dengan demikian, seseorang tidak boleh berwasiat untuk memotong
sebagian tubuhnya dan kemudian diberikan kepada orang lain yang membutuhkan,
sementara orang yang berwasiat itu masih hidup. Jika semasa hidup tidak
diperkenankan, maka lebih tidak diperkenankan pelaksanaan wasiat tersebut
setelah wafatnya.‛
Berbicara mengenai tujuan transplantasi bagian atau organ tubuh manusia
untuk ditempatkan di tubuhnya sendiri, maka terdapat dua macam pemanfaatan:
Pertama. Transplantasi yang diperlukan untuk memperbaiki atau mengganti bagian
tubuh yang rusak atau hilang. Tujuannya ialah untuk menghilangkan aib secara
lahiriyah, seperti pada pasca luka bakar atau kecelakaan. Ini merupakan bagian dari
bedah kosmetik atau bedah plastik, berupa rekonstruksi yang dibolehkan.193 Secara
fikih dianalogikan dengan kebolehan dalam kondisi darurat untuk mengambil
sesuatu dari badannya untuk dimakannya sendiri. Ini sebagaimana pendapat
golongan Sha>fi‘i>yah dan Zaydi>yah.
Adapun dilarangya bedah kosmetik atau bedah plastik ialah yang menunjukkan
tindakan berlebihan, berupa usaha mempercantik diri, seperti memancungkan
hidung, rekonstruksi pinggul dan perut, meratakan gigi, dan lain-lain.194 Larangan
ini berdasarkan hadis Nabi SAW:

192
Al-Ramali>, Niha>yah al-Muh}ta>j ila> Sharh} al-Minha>j, j.VIII, 145.
193
Bedah kosmetik dan bedah plastik adalah dua hal yang berbeda:
a. Bedah kosmetik untuk meningkatan penampilan menuju serangkaian harapan estetika.
b. Bedah kosmetik dialkukan oleh dokter-dokter dari berbagai macam bidang medis,
termasuk dermatologis, ahli bedah plastic wajah, ahli bedah umum, ginekologis, ahli
bedah rahang dan mulut, ahli kesehatan mata, ahli THT, ahli bedah plastik, dll.
c. Tidak seperti bedah kosmetik, bedah plastik memfokuskan diri pada perbaikan
(repairing) dan rekonstruksi dari struktur abnormal akibat cacat sejak lahir,
pertumbuhan yang abnormal, trauma, infeksi, tumor, ataupun penyakit-penyakit lainnya.
http://www.americanboardcosmeticsurgery.org/How-We-Help/cosmetic-surgery-vs-plastic-
surgery.html. Diakses pada 25 Juli 014.
194
Meratakan gigi yang dilarang ialah berupa tindakan medis invasif, seperti
mengikis gigi-gigi ataupun cara lain yang termasuk kategori bedah mulut. Tidak termasuk
di dalamnya meratakan gigi dengan kawat gigi (behel).

410
195

Dari ‘Abdulla>h Ibn Mas‘u>d yang berkata: ‛Alla>h melaknat wanita yang bertatto
dan yang minta ditatto, wanita yang mencabut alisnya sendiri dan yang melakukan
pencabutan alis, serta wanita yang meratakan gigi agar (tampak) cantik. (Itulah
perbuatan) mengubah-ubah ciptaan Allah‛. Kemudian sampailah hadis tersebut
kepada Umm Ya‘qu>b dari Bani> Asad, seorang yang rajin membaca Al-Qur’a>n. Dia
pun mendatangi Ibn Mas‘u>d seraya berkata: ‛Apakah benar ada hadis yang telah
sampai kepadaku bahwa engkau melaknat wanita yang bertatto, yang minta ditatto,
yang mencabut alis, yang meratakan gigi demi kecantikan (yang itu berarti)
mengubah ciptaan Alla>h?‛ ‘Abdulla>h menjawab: ‛Apa hak aku untuk tidak turut
melaknat orang yang telah dilaknati oleh Rasu>lulla>h dan itu termaktub di dalam
Kitab Alla>h?‛ Wanita itu pun menjawab: ‛Aku telah membaca-baca dua naskah
mus}h}af dan aku tidak menemukannya‛. Kemudian Ibn Mas‘u>d menjawab lagi:
‛Apabila engkau membacanya dengan seksama maka (pasti) engkau dapat
menemukannya, yaitu pada firman Alla>h Ta‘a>la>: ’Apa yang datang kepadamu dari
Rasul, maka ambillah dia. Sedangkan apa yang dilarangnya, maka jauhilah dia‛>.

Kedua. Hendaklah apa yang dipenuhi seseorang itu adalah sekadar mencukupi
kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya pada saat itu. Para fuqaha>’
menggambarkannya sebagai suatu kondisi amat lapar dan tidak dijumpai apapun
yang dapat dimakan, maka diapun memotong bagian tubuhnya sendiri untuk
dimakannya. Ini dibolehkan sampai dengan yang bersangkutan menemukan jalan
keluar dari kedaruratannya itu. Untuk itu berikut ini sebagian dalil-dalil fiqhi>yah
tentang hal tersebut:

a. Golongan H{anafi>>yah.
Para fuqaha>’ H{anafi>yah tidak membolehkan seseorang memotong bagian tubuhnya
sendiri dengan alasan darurat. Ibn Nujaym menjelaskan penerapan kaidah berikut:
‚ ‛ (suatu kemadaratan tidak bisa dihilangkan dengan
kemadaratan lainnya) ialah bahwa seseorang yang dalam keadaan darurat tidak
boleh memakan makanan yang justru menimbulkan madarat lainnya, tidak juga
sesuatupun dari bagian tubuhnya sendiri.196
Ini menunjukkan bahwa para fuqaha>’ H{anafi>yah tidak membenarkan seseorang
untuk memanfaatkan sesuatupun dari tubuhnya sendiri dalam keadaan darurat.
Muh}ammad Ibn al-H{asan mengatakan bahwa tidak apa-apa berobat dengan tulang
binatang, yaitu tulang kambing, sapi, unta, kuda dll. Tidak boleh dengan tulang
babi atau tulang manusia, sama saja apakah tulang itu diambil dari yang hidup, atau
yang sudah mati, yang sudah kering atau tulang yang masih basah.197

195
Riwayat al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ibn Ma>jah,
Ah}mad, al-Da>rimi>, Ibn H{ibba>n, Ibn Khuzaymah, Abu> ‘Awa>nah, al-Bayhaqi>, Abu> Da>wud al-
T{aya>li>si>, al-H{umaydi>, Ibn Abi> Shaybah, al-Bazza>r, dan Abu> Ya‘la>.
196
Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, 87.
197
Al-Balkhi>, Al-Fatawa> al-Hindi>yah, j.V, 354.

411
b. Golongan Sha>fi‘i>yah.
Pendapat para fuqaha>’ Sha>fi‘i>yah yang lebih sahih ialah membolehkan seseorang
yang dalam keadaan darurat untuk memanfaatkan bagian tubuhnya sendiri, dengan
syarat memang tidak ada yang lain sama sekali. Juga bahwasanya kekuatiran akibat
memotong bagian tubuhnya sendiri adalah lebih ringan dibandingkan dengan
kekuatiran akibat tidak makan sama sekali. Maka apabila kondisi kekuatiran itu
adalah sama atau bahkan sebaliknya, maka ini benar-benar diharamkan, karena
perbuatan tersebut justru akan mengakibatkan kebinasaan.198
Sementara itu Imam al-Ra>fi‘i> menyatakan bahwa yang lebih sahih ialah bolehnya
menghilangkan sebagian organ tubuh, demi untuk melestarikan tubuh secara
keseluruhan. Syarat kebolehannya ialah:
1) sesudah diupayakan maksimal maka tidak didapati bangkai atau yang
sejenisnya.
2) hendaklah kekuatiran akibat dipotongnya bagian tubuh tersebut lebih kecil
dibandingkan kekuatiran akibat meninggalkan makan, dan sama sekali tidak
boleh terjadi hal sebaliknya.

c. Golongan H{ana>bilah.
Fuqaha>’ H{ana>bilah berpendapat bahwa apabila seseorang yang dalam kondisi
darurat tidak mendapati sesuatupun, maka dia tetap tidak boleh memakan bagian
tubuhnya sendiri.199 Mereka berpendapat bahwa memakan bagian tubuhnya sendiri
bisa jadi malah mengakibatkan kematiannya, sehingga ini berarti bunuh diri dengan
perbuatannya itu. Sementara itu tidak ada kepastian bahwa dia akan tetap hidup
dengan perbuatan tersebut.

d. Golongan Zaydi>yah.
Dalam masalah ini, kelompok Zaydi>yah mengaplikasikan kaidah fikih:
‚ ‚
"Didahulukan yang lebih ringan kemudian yang lebih ringan ketika dalam kondisi
darurat, dan tidak boleh berpindah kepada yang lebih berat keharamannya ketika
terdapat yang lebih ringan keharamannya".

10. Kesimpulan dari Perselisihan Fuqaha'


Dari bahasan di atas, tampak bahwa terdapat perbedaan pendapat ulama
dalam hal memanfaatkan bagian tubuh manusia itu sendiri yang bertujuan demi
kelangsungan hidupnya dalam keadaan darurat. Secara garis besar perbedaan
tersebut terbagi menjadi:
Para fuqaha>’ H{anafi>yah, H{ana>bilah, dan sebagian Sha>fi‘i>yah tidak
membolehkan seseorang memotong sesuatu dari tubuhnya sendiri untuk
dimakannya demi menyelamatkan nyawanya. Mereka berargumentasi bahwa boleh
jadi memotong bagian tubuh tersebut justru membinasakan diri sendiri, sedangkan
kemadaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemadaratan. Padahal bisa jadi itu

198
Al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.IV, 310.
199
Ibn Quda>mah, Al-Mughni> ma‘a al-Sharh} al-Kabi>r, j.XI, 79.

412
mengakibatkan kematiannya sehingga termasuk bunuh diri, sedangkan orang yang
bunuh diri dengan sengaja, kelak akan abadi di neraka jahanam.
Pendapat fuqaha>’ Zaydi>yah dan Sha>fi‘i>yah yang lebih sahih ialah
membolehkannya demi menyelamatkan nyawanya. Mereka pun berargumentasi
dengan dua hal:
a. Bahwasanya memotong sebagian anggota tubuhnya demi menyelamatkan
nyawanya tersebut adalah serupa dengan memotong sesuatu benda atau secuil
dari tangannya.
b. Kebolehannya itu adalah termasuk kategori menghilangkan sebagian untuk
menyelamatkan keseluruhan, atau mengorbankan sebagian demi keselamatan
semuanya. Kebolehan semacam ini telah ditetapkan dalam ijma>‘.

Pendapat-pendapat di atas, yang lebih kuat ialah pendapat kedua, dengan


alasan karena adanya dalil-dalil yang jelas tentangnya, juga apabila ditinjau dari
beberapa segi:
a. Bahwa bagian tubuh yang dipotongnya itu akan kembali kepadanya. Ini
diqiyaskan bagian tubuh yang terpotong kemudian disambungkan lagi
kepadanya, karena ia adalah pengembalian bagian tubuhnya kepada tubuhnya
sendiri, dan ini adalah penyempurnaan terhadap dirinya dan mengembalikan
kepadanya sebagaimana kondisinya yang alamiah. Maka bagaimana mungkin
ada kekuatiran akan membinasakan dirinya, apabila tidak diselamatkan dengan
potongan tubuh tersebut. Ini sebagaimana pasien membutuhkan jantung untuk
membawa saripati makanan melalui pembuluh darah di seluruh tubuh.
b. Apabila memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lainnya termasuk
pengobatan, maka sesungguhnya Rasu>lulla>h SAW menyuruh kita untuk
berobat. Dengan demikian apabila seorang dokter muslim yang terpercaya
mengatakan itu, maka dibolehkan mengambil bagian tubuh pasien untuk
ditempatkan atau dikembalikan kepada tubuhnya sebagai upaya penyelamatan
jiwa dan sebagai penanggulangan terhadap kemadaratan yang terjadi.
c. Apabila kekuatiran akan dipotong anggota tubuh itu lebih besar daripada
kekuatiran akan terus berlangsungnya hidup, maka pada kondisi ini tidak boleh
melakukan pembedahan tersebut, karena tindakan ini justru menjerumuskan
dan membinasakan. Oleh karena itu probabilitas keselamatan harus lebih
tinggi, demikian pula prediksi bahwa yang bersangkutan akan selamat itu harus
lebih kuat dibandingkan resiko pembedahan.

Sedangkan apabila kondisinya sama, maka yang lebih kuat ialah pendapat
Sha>fi‘i>yah, yaitu mengharamkan pembedahan itu.

11. Transplantasi Organ yang Berasal dari Benda Tiruan


Transplantasi organ tidak hanya berasal dari organ manusia. Akan tetapi
dapat pula berasal dari hewan, atau dari benda-benda lain yang sengaja diproduksi
untuk menggantikan fungsi organ tubuh yang rusak atau hilang. Benda-benda
tersebut disebut dengan protesa, misalnya gigi palsu, tangan palsu, atau katup
jantung buatan.

413
Diantara dasar yang dapat dijadikan bagi para dokter dalam hal ini ialah
hadis ‘Arjafah dari Nabi SAW:
200

‚Bahwasanya hidungnya terpotong, lalu dia memasang hidung palsu dari perak dan
ternyata menimbulkan bau tidak sedap. Kemudian Rasu>lulla>h SAW
memerintahkannya untuk memakai hidung palsu dari emas‛.
Oleh karena itu para fuqaha>' terdahulu bersepakat membolehkan prothesa
gigi atau ruas jari atau hidung yang terbuat dari emas, apabila memang kondisi
darurat. Namun mereka berselisih pendapat, apabila ternyata terdapat perak atau
bahan lain yang dapat menggantikannya. Kalangan Sha>fi‘i>yah201 dan Ma>liki>yah
membolehkan menggunakan prothesa emas dalam kondisi apapun, sedangkan
kalangan H{anafi>yah202 melarangnya ketika tidak dalam kondisi darurat.203
Dari pendapat al-Bu>t}i> di atas dapat diambil kesimpulan bahwa para ulama
melihat transplantasi organ ini dari sudut urgensinya. Yaitu apakah memang
kondisi darurat, atau sangat diperlukan, ataukah karena alasan lainnya. Perbedaan
ini akan membawa konsekuensi kepada kebolehan tindakan tersebut serta
kebolehan menggunakan bahan pengganti emas dan perak.
Adapun tentang anggota tubuh, seperti tangan dan kaki, atau seperti jari
jemarinya, maka pendapat yang lebih kuat dari mazhab Hanafiyah204 dan
Shafi‘iyah205 ialah tidak bolehnya menggunakan protesa dari emas dan perak.
Alasan pandangan tersebut adalah bahwa anggota tubuh tersebut bukanlah anggota
yang sangat dibutuhkan untuk melakukan sesuatu, bahkan itu untuk perhiasan
semata, maka tidak ada kedaruratan untuk melakukannya dan tidak juga
membolehkan hal yang terlarang.206
Hal itu sekaligus berarti para fuqaha>’ sepakat membolehkan menggunakan
protesa dari selain emas dan perak, sebagaimana dibolehkannya berobat dengan
cara menyambung anggota tubuh dengan tulang dari hewan yang suci. Namun
apabila menyambungnya dengan tulang hewan najis ketika terdapat tulang dari
hewan suci atau ketika tidak dalam kondisi darurat, maka ini tidak dibolehkan.
Jumhur ulama mewajibkan untuk melepaskannya, kecuali ketika
dikuatirkan akan menyebabkannya meninggal jika itu dilepaskan.
Para ulama memfatwakan bolehnya memindahkan organ dari manusia ke
manusia, dan pemindahan organ dari hewan ke manusia.207 Demikian pula jika yang

200
Riwayat Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, al-Nasa>'i>, Ah}mad, Abu> Da>wud al-T{aya>li>si>, al-
T{abra>ni>, al-Bayhaqi>, al-T{ah}a>wi>, al-H{a>kim, dan disahihkan oleh Ibn H{ibba>n.
201
Al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.I, 391.
202
Al-Marghi>na>ni>, Al-Hida>yah, j.IV, 61.
203
S{a>lih} ‘Abd al-Sami>‘ al-Uba>y al-Azhari>, Jawa>hir al-Ikli>l, j.I, 10.
204
Al-Marghina>ni>, Al-Hida>yah, j.IV, 61.
205
Al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.1, 391.
206
Al-Azhari>, Jawa>hir al-Ikli>l, j.I, 10.
207
Transplantasi organ dari hewan ke manusia, menjadi topik diskusi yang selalu
hangat di kalangan dokter dan ahli bioetika. Lihat: A Ravelingien, F Mortier, et al.,
"Proceeding with Cinical Trials of Animal to Human Organ Transplantation: A Way Out of
the Dilemma", Journal of Medical Ethics 30 (2004): 92”98.

414
tersedia hanya tulang dari binatang yang najis,208 maka tidak ada halangan untuk
memanfaatkannya ketika darurat.209 Kebolehan tersebut berlaku dengan sejumlah
syarat:
a. Pendonor organ adalah orang yang berakal, ba>ligh (dewasa), hidup, cakap
hukum (tidak idiot) yang mampu memutuskan segala sesuatunya, dapat
memahami tentang kemaslahatan pribadinya. 210
b. Pendonor organ tidak menjerumuskan dirinya ke dalam risiko besar yang pasti
terjadi dan yang membahayakan hidupnya. 211
c. Terdapat kondisi darurat untuk itu, yaitu terdapat pasien yang membutuhkan
organ tertentu untuk kelangsungan hidupnya.
d. Tidak ada solusi lain, atau terdapat solusi lain namun tidak membantu
menyelesaikan masalah.

12. Transplantasi Organ yang Berasal dari Organ Tubuh Mayat


Setelah menganalisa pendapat para ulama tentang pemanfaatan organ
tubuh diri sendiri dan tubuh orang lain yang masih hidup, maka terdapat problema
fikih yang lebih kompleks, yaitu memanfaatkan organ tubuh mayat dalam keadaan
terpaksa. Dalam hal ini pun para ulama berbeda pendapat, sebagaimana dirangkum
berikut ini:

a. Golongan H{anafi>yah.
Para fuqaha>' H{anafi>yah berpendapat bahwa seseorang yang dalam keadaan terpaksa
tidak boleh memakan makanan milik orang lain yang sedang dalam kondisi
terpaksa pula, juga tidak boleh memakan bagian dari tubuhnya.212 Sedangkan dalam
kitab Radd al-Mukhta>r disebutkan bahwa:
213

"Makan untuk menutupi lapar dan minum untuk menghilangkan dahaga, meskipun
itu dari yang haram atau bangkai atau diperoleh dengan harta orang lain, (maka)
harus dipertanggungjawabkan sebagai suatu kewajiban untuk memperoleh ganjaran
dari Allah". Pendapat tersebut berdasarkan hadis Nabi SAW:
214

‛Sesungguhnya Alla>h memberikan ganjaran pada setiap sesuatu, bahkan hingga


satu suapan seorang hamba ke dalam mulutnya‛.

208
Al-Nawawi>, Rawd}ah al-T{a>libi>n, j.I, 275.
209
Tentang memanfaatkan barang jnajis sketika darurat, lihat: Al-Balkhi>, Al-
Fata>wa> al-Hindiyah, j.V, 354. Al-Dardi>r, Al-Sharh} al-S{aghi>r, j.I, 58.
210
Tanda tangan inform consent>. Tindakan tersebut termasuk jenis kebijakan opt-in
dalam mekanisme pengambilan keputusan transplantasi organ.
211
Misalnya ginjal yang ada di tubuh donor sudah kurang baik fungsinya, sementara
itu ginjal yang masih sehatjustru didonorkan.
212
Ibn Nujaym, al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, 87.
213
Ibn ‘A<bidi>n, Radd al-Mukhta>r ‘ala> al-Durr al-Mukhta>r, j.V, 331.
214
Riwayat Ah}mad, al-Nasa>'i>, dan al-T{abra>ni>.

415
Namun demikian hal itu boleh dilakukan sekadar untuk mencegah dirinya binasa,
maka dia pun memperoleh ganjaran. Juga ukuran yang dimaksud ialah sekadar
seseorang mampu mendirikan shalat sambil berdiri. Kemudian Ibn ‘A<bidi>n
mengomentari pendapat tersebut dengan ungkapannya ‚meskipun dari yang
haram‛. Ibn ‘A<bidi>n menjelaskan, jika seseorang kehausan dan kuatir binasa karena
kehausan, sedangkan di sampingnya terdapat khamr, maka ia boleh meminumnya
sebatas untuk menghilangkan dahaga. Demikian pula (jika tersedia khamr dan
urin), maka khamr lebih didahulukan.
Hukum mubah itu tidak menghilangkan d}ama>n. Misalnya orang yang kelaparan dan
dikuatirkan dapat mati karena kelaparan, sedangkan teman di sampingnya memiliki
makanan, maka ia boleh mengambilnya sebatas untuk menghilangkan lapar, dan ia
wajib mengganti harganya (qi>mah).
Jika seseorang mengatakan:"Potong tangan saya dan makanlah", maka hukumnya
tidak boleh, karena tubuh manusia tidak boleh dimakan walaupun kondisi darurat.
Al-Kasha>ni>215 mengatakan bahwa, secara ijma>‘ dimakruhkan bagi orang yang
giginya tanggal, lalu mengambil gigi mayat untuk ditempatkan pada gigi yang
tanggal tersebut. Demikian pula makruh menurut Abu> H{ani>fah dan Muh}ammad,
apabila gigi yang tanggal tersebut dipasangkan kembali di tempat tanggalnya,
namun dia boleh menggunakan gigi palsu.216 Sedangkan Abu> Yu>suf berpendapat
bahwa secara istih}sa>n dibolehkan dengan giginya sendiri dan dimakruhkan dengan
gigi selainnya, karena tidak serupa antara giginya dengan gigi mayat..
Adapun mempergunakan bagian tubuh yang telah terpisah dari tubuh orang lain
merupakan penghinaan terhadapnya, karena seluruh bagian tubuh manusia adalah
mulia. Sedangkan apabila mengambil dari bagian tubuhnya sendiri yang telah
terpisah, maka ini tidak termasuk penghinaan.

b. Golongan Ma>liki>yah.
Imam al-Dasu>qi>217 berpendapat tidak bolehnya memanfaatkan organ manusia, baik
hidup maupun mayat, meskipun orang yang membutuhkan organ tersebut sampai
meninggal karena tidak mendapat organ pengganti. Ini merupakan pendapat para
fuqaha>’ Ma>liki>yah.
Akan tetapi ternyata sebagian mereka membenarkan seseorang yang dalam keadaan
sangat terpaksa untuk memakan daging mayat. Diantara fuqaha>' yang
membolehkan hal tersebut ialah Imam ‘Izz al-Di>n Ibn ‘Abd al-Sala>m.218

c. Golongan Sha>fi‘i>yah.
Dibolehkan bagi yang sangat terpaksa untuk memakan daging mayat, apabila
bahkan tidak ditemukan bangkai sekalipun. Ini karena kemuliaan (al-h}urmah)

215
Al-Kasha>ni>, Bada>’i‘ al-S{ana>’i‘, j.V, 132.
216
Ini merupakan penafsiran penulis, karena teks aslinya ialah ( ) yang
berarti gigi kambing yang telah dikikir agar pas dengan ukuran gusi manusia untuk
ditempatkan padanya. Dalam konteks sekarang tentu lebih tepat jika diterjemahkan dengan
gigi palsu (prothese).
217
Al-Dasu>qi>, al-Sharh} al-Kabi>r, j.II, 103.
218
Ibn ‘Abd al-Sala>m, Qawa>‘id al-Ah}ka>m, j.I, 345.

416
manusia yang hidup adalah lebih besar daripada kemuliaan mayat, kecuali jenazah
para Nabi yang memang tidak boleh diganggu sedikitpun, sebagaimana pendapat
Ibra>him al-Marwazi>. Sedangkan apabila mayat seorang muslim dan yang terpaksa
adalah orang kafir, maka orang kafir tersebut tidak boleh memakan daging jenazah
muslim. Ini atas dasar kemuliaan agama Islam. Bahkan bagi mazhab Shafi‘iyah
terdapat pula pendapat ulama yang tidak membolehkan memakan daging mayat
muslim, meskipun yang terpaksa adalah seorang muslim.219
Pada sisi lain, Imam al-Sha>fi‘i> dan sebagian ulama H{anafi>yah membolehkan
memakan jasad para Nabi, karena kemuliaan orang hidup adalah lebih utama. Imam
Abu> Bakr Ibn Da>wud membenarkan ucapan Imam al-Sha>fi‘i> tersebut, dan para
fuqaha>’ Sha>fi‘i>yah berargumentasi dengan sabda Nabi SAW bahwa memecah
tulang mayat adalah seperti memecahnya ketika dia masih hidup.220
Adapun Abu> al-Khat}t}a>b memilih pendapat boleh memakannya, dan tidak tepat
beragumentasi dengan hadis di atas, karena ini adalah persoalan memakan daging
dan bukan tulang.

d. Golongan H{ana>bilah.
Imam al-Qurt}ubi>221 ketika menafsirkan ayat ( ) mengatakan
bahwa apabila seseorang yang dalam keadaan darurat, lalu dia mendapati bangkai,
babi, dan daging manusia, maka hendaklah dia memakan bangkai, karena bangkai
itu halal dalam kondisi tertentu. Sedangkan babi dan jasad manusia tidak halal
dalam kondisi apapun juga. Sedangkan keharaman yang ringan adalah lebih
didahulukan daripada keharaman yang berat… Juga tidak dibolehkan memakan
daging manusia meskipun itu daging mayat. Demikian menurut para ulama mazhab
Shafi``‘i, serta ini pula yang menjadi pendapat Ah}mad dan Da>wud.
Imam Ah}mad berargumentasi dengan hadis Nabi SAW bahwa memecah tulang
mayat adalah laksana memecahnya ketika masih hidup. Imam al-Sha>fi‘i>
mengatakan,‛… Tidak boleh membunuh orang kafir dhimmi>, karena darahnya
harus dihormati. Juga tidak boleh membunuh orang muslim maupun tawanan.
Sedangkan apabila membunuh musuh dalam peperangan atau membunuh pezina
muh}s}an,222 maka itu dibolehkan dan dagingnya juga dapat dimakan.
Imam Ibn Quda>mah223 berkata bahwa, apabila didapati mayat yang berasal dari
orang yang memang darahnya boleh ditumpahkan, seperti musuh dalam peperangan
atau hukuman bagi yang murtad, maka tubuh mayat tersebut boleh dimakan. Ini
karena membunuhnya saja diperbolehkan, tidak ada keharaman untuknya. Manusia
yang sejenis itu hukumnya setara dengan binatang buas ( ). Oleh karena itu

219
Al-Khat}i>b al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.IV, 307.
220
Menurut para fuqaha>' dari kelompok ini, bahwa tidak ada perbedaan apakah itu
tulang mayat dari orang beriman ataukah bukan,
221
Al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, j.I, 147-156.
222
Muh}s}an ialah orang yang sudah pernah menikah. Hukuman bagi mereka yang
masuk kategori muh}s}an ialah dengan dirajam, dikubur setengah badan lalu dilempari batu
kerikil oleh masyarakat hingga yang bersangkutan meninggal.
223
Ibn Quda>mah, al-Mughni> ma‘a al-Sharh} al-Kabi>r, j.XI, 79.

417
apabila jenazah tersebut adalah jasad para Nabi, maka jelas tidak boleh
memakannya.

Dan yang dimaksud dengan hadis tersebut adalah menyamakan antara dua hal
tersebut dalam hukum haramnya, bukan dalam peringkat keharamannya. Dalilnya
adalah perbedaannya dalam masalah d}aman dan qis{a>s} serta kewajiban memelihara
orang hidup, dimana hal tersebut tidak wajib dilakukan pada mayat.
Yang dimaksud dengan hadis tersebut ialah keserupaan dalam pokok
keharamannya, bukan pada takarannya, dengan dalil perbedaan antara penjaminan
dan qis}a>s{, serta kewajiban memelihara hidup dengan apa yang tidak wajib untuk
memelihara mayat. Dari silang pendapat para fuqaha>' dalam masalah ini, ternyata
didapati bahwa pendapat yang lebih kuat ( ) dalam mazhab H{ana>bilah ialah
kebolehan memakan jasad Nabi ketika dalam keadaan sangat terpaksa. Namun
demikian, disepakati bolehnya memakan jasad manusia selain jasad Nabi.

e. Golongan Zaydi>yah.
Dibolehkan memakan bangkai ketika sangat terpaksa, bagi seseorang yang kuatir
akan binasa. Jadi tindakan tersebut adalah untuk mencegah kematian. Juga kaidah
bahwa harus didahulukan yang lebih ringan kemudian yang lebih ringan lagi ketika
dalam keadaan darurat, serta tidak boleh menyimpang kepada yang lebih berat. Hal
ini sebagai suatu keharaman ketika ada yang lebih ringan. Oleh karenanya bagi
seseorang yang dibolehkan baginya memakan bangkai, harus didahulukan:
1) memakan bangkai yang dapat dimakan,224
2) kemudian bangkai selainnya,
3) lalu bangkai anjing,
4) kemudian bangkai babi,
5) lalu bangkai beruang ( ),
6) kemudian " (jasad musuh
[ka>fir h}arbi>] yang masih hidup atau yang sudah mati (mukallaf dan laki-laki)
setelah dipenggal lehernya)
7) setelah itu "
" (boleh memakan harta orang lain dengan jaminan niat untuk
menggantinya di kemudian hari)
8) kemudian binatang hidup miliknya yang tidak dimakan sesudah disembelih, 225
9) lalu binatang orang lain dengan jaminan niat akan menggantinya.
Sesudah semua itu, barulah kemudian dibolehkan memakan bagian tubuhnya
sendiri tatkala dia tidak kuatir akan kematiannya jika anggota tubuhya dimakan.

224
Yaitu dari jenis binatang yang dibolehkan memakannya ketika binatang tersebut
halal dimakan, misalnya binatang tersebut mati karena diburu, atau disembelih, atau
bangkai hewan laut.
225
Maksud memakan harta orang lain ialah, mengambil atau meminta harta orang
untuk membeli makan sekedar keperluan, untuk kemudian akan mengganti harta tersebut
pada waktu mendatang.

418
f. Golongan Z{a>hiri>yah.
Da>wud al-Z{a>hiri> mencela al-Muzni> dengan perkataannya, ‛Anda membolehkan
memakan jasad para Nabi‛. Ibn Shurayh} pun membantahnya,‛Bagaimana bisa
Anda membolehkan membunuh para Nabi, namun pada sisi lain engkau melarang
untuk memakan jasad orang kafir". Kemudian Ibn al-‘Arabi> mengatakan:

‚Yang benar ialah tidak boleh memakan daging manusia, kecuali jika tegas bahwa
dengan melakukan itu akan menyelamatkan nyawanya". Walla>hu a‘lam>.

Para ulama anggota Majma‘, diantara mereka ialah Da>wud al-‘Abba>di>>,226


‘Abdulla>h ‘Ali>,227 ‘Ali> al-Sha>dhili>,> 228 dan Sa‘i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i>229} kemudian
membahas dan menapis pendapat para fuqaha>' di atas. Kesimpulan mereka ialah:
Pertama. Harus dibedakan antara memanfaatkan bagian tubuh manusia hidup
dengan bagian tubuh mayat.
Kedua. Bahwasanya memanfaatkan bagian tubuh mayat dalam keadaan darurat,
telah diperselisihkan oleh para fuqaha>’ tentang kebolehannya:
1) Pendapat pertama:
Mazhab H{anafi>yah, Ma>liki>yah (berbeda dengan Ibn ‘Abd al-Sala>m), dan
Z{a>hiri>yah tidak membolehkan memanfaatkan bagian tubuh mayat, karena itu
merupakan pelanggaran kehormatan manusia dan juga berdasarkan hadis Nabi
SAW tentang larangan memecah tulang mayat.
2) Pendapat kedua:
Jumhu>r al-fuqaha>’ ”yaitu sebagian H{anafi>yah, sebagian Ma>liki>yah, Sha>fi‘i>yah,
H{ana>bilah, Zaydi>yah„ membolehkan memanfaatkan bagian tubuh mayat.
Mereka beralasan bahwa kehormatan manusia hidup lebih agung daripada
kehormatan mayat.
Dalam hal ini yang lebih kuat ialah dibolehkannya memanfaatkan bagian
tubuh mayat pada saat darurat. Sama saja apakah itu jasad Nabi atau jasad manusia
biasa. Ini sebagai langkah untuk mempertahankan hidup manusia dan meneruskan
kehidupannya. Di samping itu pula bahwa jasad mayat khususnya, apabila tidak
dimanfaatkan tentu akan terurai dan menjadi tanah juga. Oleh karenanya
menyelamatkan manusia yang hidup dengan sesuatu dari jasad mayat, merupakan
langkah untuk memelihara hidup itu sendiri. Inilah tujuan syariat dan kemaslahatan
yang ditetapkan agama, dimana memelihara kemaslahatan orang hidup lebih utama
dari kemaslahatan mayat.

226
‘Abd al-Sala>m Da>wud al-‘Abba>di>, Intifa>‘ al-Insa>n bi A‘d}a>’ Jism Insa>n A<khar
H{ayyan aw Mayyitan, Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>, vol.IV, j.I, 409-410.
227
A<dam ‘Abdulla>h ‘Ali>, Intifa>‘ al-Insa>n bi A‘d}a>’ Jism Insa>n A<khar H{ayyan aw
Mayyitan, Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>, vol.IV, j.I, 423-425.
228
H{asan ‘Ali> al-Sha>dzili>, "Al-Tada>wi> bi al-Mayyitah", Intifa>‘ al-Insa>n bi A‘d}a>’
Jism Insa>n A<khar H{ayyan aw Mayyitan fi> al-Fiqh al-Isla>mi>, Majallah Majma‘ al-Fiqh al-
Isla>mi>, vol.IV, j.I, 255-264.
229
Muh}ammad Sa‘i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i>, Intifa>‘ al-Insa>n bi A‘d}a>’ Jism Insa>n A<khar
H{ayyan aw Mayyitan, Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>, vol.IV, j.I, 205-213.

419
Ketiga. Bahwasanya terhadap kebolehan memanfaatkan jasad mayat ketika darurat,
harus memenuhi sejumlah syarat:
1) Tidak terdapat bangkai makhluk lain selain mayat manusia. Jika didapati
bangkai makhluk lain, maka tidak halal memanfaatkan tubuh mayat manusia.
2) Orang yang dalam kondisi darurat tersebut adalah muslim (yaitu orang yang
harus dijaga kehormatan darahnya). Oleh karena kalau dia termasuk jenis orang
yang boleh dibunuh, berarti tidak ma‘s}u>m darahnya, serta kematiannya adalah
justru untuk melaksanakan ketentuan syariat. Dengan demikian tidak boleh
menurut Islam menyamakan sebab-sebab yang membuat seseorang melanjutkan
hidupnya ”pada saat Islam membolehkan untuk membunuhnya demi
menunaikan hak Allah-, maka hukumnya tidak boleh karena bertentangan
dengan syariat Islam. Dengan perkataan lain, orang yang dalam keadaan darurat
tersebut, adalah bukan orang yang berhak untuk dihukum mati menurut syariat
Islam.
3) Pemanfaatan jasad mayat tersebut harus untuk kondisi darurat semata.
4) Pemanfaatan jasad mayat tersebut hanya boleh dilakukan atas adanya izin. Izin
tersebut bisa didapatkan dari mayat tersebut sebelum kematiannya, atau dari
kesepakatan para ahli warisnya. Apabila penyebab kematian jenazah tersebut
ialah akibat hukum qis}a>s}, namun ada kesepakatan izin dari ahli waris, maka
mayat ini pun boleh dimanfaatkan. Akan tetapi jika terjadi perselisihan tentang
wasiat mayat kepada ahli warisnya, maka ini tidak membolehkan
memanfaatkan jasad tersebut.

Keempat. Apabila korban atau keluarga korban memaafkan sebelum terpidana


dihukum qis}a>s}, maka para fuqaha>’ H{anafi>yah bisa menerima permohonan maaf
tersebut dan qis}a>s} pun dibatalkan. Namun bila keluarga korban tidak memaafkan,
maka organ tubuh terpidana akan menjadi tabarru‘ (donasi) 230 organ sesuai
kesepakatan ahli waris terpidana. Jasad tersebut harus segera dimanfaatkan
sebelum terurai dan akhirnya akan menjadi tanah kembali. Dalam hal ini, wali
terpidana mati memiliki otoritas untuk memberi izin donasi organ tersebut. Inilah
pendapat yang dipegang oleh mazhab Z{a>hiri>yah, berdasarkan firman Alla>h Ta‘a>la>:

‚Maka barangsiapa yang dibunuh karena sebab kezaliman, maka kami jadikan
walinya memiliki otoritas (untuk mensikapi dan mengambil keputusan tentang si
pembunuh)‛. (QS al-Isra>’ [17]: 33)
Sementara itu, para ulama pun berbeda pendapat mengenai status hukum
atas pemanfaatan tulang belulang mayat dalam kondisi darurat. Apakah dapat
dimanfaatkan, ataukah dipersamakan hukumnya dengan daging mayat.

230
Tabarru‘ ialah suatu pemberian berupa benda berharga dari suatu pihak kepada
pihak lain yang dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang. Adapun si pemberi ( mutabarri‘)
tidak mengharapkan imbalan apapun atas pemeberiannya itu. Oleh karena itu yang masuk
dalam jenis tabarru‘ ialah hibah, hadiah, waqf, dan lain-lain. Lihat: Nazi>h H{amma>d, Mu‘jam
al-Mus}t}alah}a>t al-Iqtis}a>di>yah fi> Lughah al-Fuqaha>' (Al-Riya>d}: al-Da>r al-‘A<lami>yah li al-
Kita>b al-Isla>mi>, 1415H-1995M), 107.

420
Dalam kitab al-Fata>wa> al-Hindi>yah disebutkan tentang larangan
memanfaatkan tulang jenazah. Alasannya ialah karena benda tersebut termasuk
najis. Ada pula ulama lain yang sependapat, namun beralasan dengan kemuliaan
martabat manusia. Alasan terakhir inilah yang benar,231 seperti pernyataan al-
Khat}i>b al-Sharbi>ni>, bahwa diharamkan memanfaatkan jasad manusia dan seluruh
bagian-bagiannya, karena disebabkan oleh kemuliaan martabat manusia.232
Implementasinya dalam dunia medis ialah didahulukannya terapi non-
invasif dibandingan terapi invasif. Tindakan tersebut didahulukan karena memang
terkait juga dengan resiko tindakan itu sendiri. Oleh karena itu jika dua orang
dokter ahli233 berpendapat, bahwa nyawa seseorang bisa diselamatkan tanpa
tindakan operasi transplantasi, maka hal itu merupakan keputusan yang harus
dilaksanakan terlebih dahulu. Pertimbangan atas pilihan tindakan medis ini
berpangkal kepada beberapa kriteria dasar, yaitu:
1) Segala sesuatu yang menjadi hak manusia atau dominannya merupakan hak
manusia dibandingkan hak Alla>h, maka manusia boleh mengelolanya. Sama
saja apakah hak itu secara kepemilikan atau untuk menikmati manfaatnya saja.
Meskipun demikian, pada dasarnya semua hak tersebut merupakan milik Alla>h
‘Azza> wa Jalla>. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Imam al-Sha>t}ibi>:

234

‚Sesungguhnya setiap hukum shar‘i> tidaklah terlepas dari hak Alla>h Ta‘a>la>…
Setiap apa yang telah tetap di dalamnya termasuk bidang ibadah maka tidak
ada peluang (untuk mengubahnya). Sedangkan setiap apa yang telah tetap di
dalamnya termasuk bidang yang dapat dipahami maknanya dan bukan ibadah
vertikal maka tidak boleh dianggap sebagai persoalan ibadah‛.

2) Setiap apa yang telah tetap menjadi hak manusia untuk mengelolanya, maka
otomatis berhak pula memberikan kepada orang lain dengannya ( ).
Diantara penerapannya ialah mendonorkan darahnya atau bagian tubuh lainnya,
sepanjang tidak membinasakan yang bersangkutan. Dalam kaitan ini al-Shatibi
mengatakan:

--
--

231
Niz}a>m al-Balkhi>, Al-Fata>wa> al-Hindiyah, j.V, 354.
232
Al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.I, 191.
233
Al-Bu>t}i> berpendapat bahwa keputusan seorang dokter, sudah cukup untuk kasus-
kasus yang tidak melibatkan kemanfaatan jasad orang lain. Adapun untuk kasus-kasus
medis yang berat atau menyangkut pemanfaatan fisik orang lain, maka harus atas
pertimbangan dua orang dokter. Lihat: Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, 296.
234
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, j.II, 310, 317.

421
235

‚Sedangkan perbuatan i>tha>r atas diri sendiri ialah suatu pemberian yang sekaligus
berarti menggugurkan keberuntungan pribadi, yaitu meninggalkan keuntungan yang
dapat diraih demi untuk keuntungan orang lain, yang ditegakkan di atas keyakinan
yang benar dan senantiasa tulus dalam bertawakkal kepada Alla>h. Ini merupakan
realisasi berupa bantuan untuk turut memikul kesulitan saudaranya seiman atas
dasar cinta karena Alla>h, sebagai manifestasi akhlak yang mulia dan perbuatan
yang suci. Tindakan ini termasuk perbuatan Rasu>lulla>h SAW terhadap orang sakit‛.
Setelah al-Shatibi memperkuatnya dengan sejumlah hadis berikut
penjelasan batasan-batasan ‚itha>r‛, kemudian beliau berpendapat,‛Kesimpulannya
bahwa perbuatan itha>r itu kokoh di atas pengorbanan atas keuntungan pribadi
(yang sedianya) dapat segera diraihnya. Oleh karena itu bersabar atas kemadaratan
yang terjadi dengan sebab demikian itu, tidaklah sia-sia selama tidak kosong dari
tujuan syariat. Apabila kosong dari tujuan syariat, maka tidak akan ada
pengorbanan kebahagiaan dan bukan pula perbuatan terpuji‛.
Sementara itu Imam al-Suyu>t}i> berkata, setelah menjelaskan tentang kaidah
itha>r ini dengan memilah antara hak Alla>h dengan hak hamba, "Jika seseorang yang
dalam kondisi darurat kemudian berbuat baik (itha>r) kepada orang lain dengan
memberinya makanan agar pulih kesegaran fisiknya….‛236
Ternyata Ibn Nujaym pun memiliki pendapat yang sama dengan al-Suyu>t}i.> 237
Adapun tentang hukum memanfaatkan jasad mayat manusia pada keadaan
darurat, yaitu ketika tidak didapati solusi selain dengan cara itu, maka dalam hal ini
tidak sedikit ulama yang membolehkannya demi untuk mempertahankan hidup.
Juga mereka berargumentasi bahwasanya kemuliaan orang yang hidup adalah lebih
utama dibandingkan kemuliaan orang yang telah meninggal.238
Selanjutnya penulis uraikan secara kategoris di bawah ini, tentang beberapa
persoalan yang cukup krusial yang terkait dengan tranplantasi organ dari jenazah.

235
Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, j.II, 355-356.
236
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, 104-105.
237
Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, 182.
238
‘Abd al-Sala>m Da>wud al-‘Abba>di>, Intifa>‘ al-Insa>n bi A‘d}a>’ Jism Insa>n A<khar
H{ayyan aw Mayyitan, Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>, vol.IV, j.I, 409-410.

422
13. Kebolehan Melakukan Bedah Mayat untuk Keperluan Tertentu
Berikut ini adalah pendapat dari para fuqaha>’ tentang bedah mayat.239
Disebutkan dalam kitab Radd al-Mukhta>r ‘ala> al-Durr al-Mukhta>r, yang
merupakan salah satu kitab pegangan mazhab H{anafi>yah, bahwa wanita hamil yang
baru saja meninggal sedangkan janin yang dikandungnya masih hidup, maka dia
dipukul pada perutnya agar keluar bayinya. Ataupun sebaliknya, yaitu jika si ibu
masih hidup tapi dalam kondisi kesehatan yang sangat mengkuatirkan, maka boleh
digugurkan kandungannya, meskipun bayinya akan mati.240
Disebutkan dalam kitab Matn Khali>l, yang merupakan salah satu kitab
pegangan mazhab Ma>liki>yah, dalam pembahasan tentang jenazah, bahwa mayat itu
(boleh) dibedah karena adanya benda yang sangat berharga di dalam perutnya, baik
keberadaan benda tersebut diperoleh secara akurat, atau dengan adanya saksi yang
disumpah. Demikian pula pendapat al-Khurshi> dalam sharh}-nya di jilid ke-2 pada
akhir kitab jenazah, bahwa pembedahan (baqr) yang dimaksud ialah membedah
perut mayat, karena pada masa hidupnya dia menelan hartanya sendiri maupun
harta orang lain. Pembedahan perut itu dilakukan apabila harta yang ditelannya itu
mencapai nis}a>b zakat. Ada pula pendapat bahwa berharga itu setara nis}a>b hukum
qis}a>s} pada kasus pencurian, yaitu seperempat dinar atau tiga dirham. Kemudian
dibahas pula tentang membedah perut ibu hamil pada kasus tersebut, dimana
sebagian ulama Ma>liki>yah membolehkannya.
Di dalam kitab al-Muhadhdhab, salah satu kitab rujukan mazhab
Sha>fi‘i>yah, dalam topik Jana>’iz disebutkan bahwa apabila seseorang tertelan batu
permata, maka seorang dokter ahli dapat mengambilnya melalui operasi. Juga
pendapatnya bahwa jika ada wanita hamil yang meninggal dunia sedangkan dia
mengandung janin yang masih hidup, maka dibolehkan untuk membedahnya dan
mengeluarkan janinnya. Hal ini karena memenuhi kebutuhan orang hidup harus
lebih diutamakan, meskipun melalui pengrusakan sebagian dari tubuh mayat. Hal
ini sama dengan seseorang yang dalam keadaan sangat terpaksa harus
mempertahankan hidupnya, sehingga dia memakan sebagian dari tubuh mayat.
Imam Muwaffiq al-Di>n Ibn Quda>mah berkata:‛Jenazah seseorang yang
pernah menelan benda berharga ketika hidupnya, namun benda tersebut tidak
bernilai tinggi, maka biarkanlah. Akan tetapi apabila bernilai tinggi, maka perutnya
dioperasi untuk mengeluarkan benda berharga tersebut. Tindakan bedah dalam hal
ini merupakan bagian dari hifz} al-ma>l, yaitu mengambil barang yang hilang serta
memberikan manfaat kepada ahli waris yang berhak atas benda tersebut‛.241
Maksud para ulama dengan dinamika perbedaan pendapat di atas ialah,
bahwa menyelamatkan nyawa manusia ataupun keselamatan anggota tubuhnya,
adalah bertujuan untuk semata-mata memuliakan manusia dan bukan
menghinakannya. Atas dasar kesadaran akan pemahaman ini, maka para ulama
terdahulu membolehkan membedah jenazah untuk tujuan yang disyariatkan, seperti

239
‘Abd al-Sala>m Da>wud al-‘Abba>di>, Intifa>‘ al-Insa>n bi A‘d}a>’ Jism Insa>n A<khar
H{ayyan aw Mayyitan, Majallah Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi>, vol.IV, j.I, 411-412.
240
Ibn ‘A<bidi>n, Radd al-Mukhta>r ‘ala> al-Durr al-Mukhta>r, j.I, 602.
241
Ibn Quda>mah, al-Mughni>, j.II, 459.

423
mengeluarkan benda berharga yang tertelan atau mengeluarkan janin yang hidup
dari ibu yang sudah wafat.

14. Transplantasi Organ yang Berasal dari Jasad Orang yang Terpelihara Darahnya
Dalam kaitan pemanfaatan organ tubuh manusia, para ulama membedakan
antara yang berasal dari orang yang harus dijaga kehormatannya, dengan orang
yang memang berhak untuk dibunuh. Manusia terdiri dari dua kelompok. Kelompok
pertama ialah mereka yang diharamkan untuk dibunuh, dan kelompok kedua ialah
yang boleh dibunuh. Orang yang halal dibunuh ialah yang tetap tidak boleh dibunuh
kecuali karena salah satu dari tiga sebab: yaitu karena kekufurannya serta tidak
mau masuk Islam, atau karena hukum qis}a>s}, atau karena dia harus dibunuh demi
hukum ( ). Uraian di bawah ini menjelaskan perbedaan pendapat ulama
dalam hal memanfaatkan organ tubuh dari orang yang seharusnya tidak boleh
ditumpahkan darahnya.

a. Golongan H{anafi>yah.
Para fuqaha>’ H{anafi>yah tidak membenarkan bagi orang yang dalam keadaan darurat
untuk memanfaatkan bagian tubuh orang lain yang darahnya harus dipelihara (
). Ini sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Nujaym ketika menjelaskan aplikasi
kaidah ‚ ‛ (suatu kemadaratan tidak bisa dihilangkan dengan
kemadaratan lainnya). Yaitu bahwa seseorang yang dalam keadan darurat tidak
boleh memakan makanan yang justru akan menimbulkan madarat lainnya. Juga
tidak dibolehkan memakan suatu bagianpun dari tubuhnya sendiri. 242

b. Golongan Ma>liki>yah.
Daging manusia sama sekali tidak boleh diambil untuk dimanfaatkan. Sama saja
apakah daging tersebut diambil dari orang yang masih hidup atau yang sudah mati.
Meskipun dengan tidak memanfaatkannya itu akan menyebabkan kematian orang
yang dalam kondisi darurat tersebut. Yang dibolehkan dalam kondisi darurat ialah
memakan selain daging manusia dan minum selain khamr, kecuali khamr yang
diusap untuk menghilangkan kotoran243 ketika tidak didapati bahan lainnya.244
Akan tetapi Ibn ‘Abd al-Sala>m membenarkan pendapat yang membolehkan
memakan daging mayat pada kondisi darurat, sedangkan kalau daging dari orang
hidup maka tidak dibolehkan. Ini sesuai dengan kesepakatan ulama mazhab Sha>fi‘i>.

c. Golongan Sha>fi‘i>yah.
Para fuqaha>' Sha>fi‘i>yah secara tegas membolehkan bagi seseorang untuk memotong
bagian tubuhnya sendiri untuk diberikan kepada orang lain yang dalam kondisi
darurat. Perbuatan ini termasuk mengorbankan sebagian untuk kemaslahatan atau

242
Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, 87.
243
Pada saat ini lebih tepat disebut sebagai antiseptik yang dioleskan pada kulit
atau mukosa sebagai desinfektan atau untuk menghilangkan dan mencegah infeksi.
244
Ibn Quda>mah, Al-Sharh} al-Kabi>r, j.II, 103.

424
kelestarian keseluruhan. Ini apabila orang lain tersebut bukan Nabi. Apabila orang
lain itu adalah Nabi, maka hukumnya menjadi wajib.
Diharamkan pula menyambung rambut dengan rambut orang lain ataupun bagian
tubuh orang lain, demi untuk menjunjung tinggi kemuliaan status manusia, yang
antara lain berdasarkan hadis ‚sesungguhnya Alla>h melaknat wanita yang
menyambung rambut dan yang minta disambungkan rambutnya….‛245
Selain itu diharamkan bagi seseorang yang dalam kondisi darurat, memotong
bagian tubuh hewan yang harus dipelihara kehidupannya.246

d. Golongan H{ana>bilah.
Jika seseorang yang dalam kondisi darurat tidak mendapati kecuali orang yang
harus dipelihara darahnya, maka menurut ijma>‘, dia tidak boleh membunuhnya
ataupun menghilangkan bagian tubuh orang tersebut, sama saja apakah dia muslim
ataupun kafir. Oleh karenanya tidak boleh membiarkan seseorang kehilangan
sebagian dari tubuhnya. Hal ini tidak diperselisihkan tentang keharamannya.247

e. Golongan Z{a>hiri>yah.
Para ulama Z{a>hiri>yah berpendapat bahwa daging manusia hukumnya haram dan
haram pula memanfaatkannya. Mereka mengharamkan semua bagian tubuh
manusia, hingga air kencing dan muntahannya. Yang boleh diminum
(dimanfaatkan) hanyalah air susunya.248Adapun tentang keharaman daging
manusia, pendapat mereka tersebut dilandaskan kepada firman Alla>h Ta‘a>la>:

‚Dan janganlah sebagian kalian menjelek-jelekkan sebagian yang lain. Apakah


kalian suka untuk memakan bangkai daging saudaramu sendiri? Maka tentulah
kalian tidak menyukainya‛. (QS al-H{uju>ra>t :12)
Juga firman Alla>h Ta‘a>la> dalam surah al-Ma>’idah ayat 3,‛ ‚ (kecuali apa
yang diterkam oleh binatang buruan kalian). Oleh karenanya Alla>h mengharamkan
memakan bangkai dan hewan liar yang matinya tidak dengan cara diburu.
Selain itu pula berlandaskan kepada perintah Nabi SAW untuk menjaga
kehormatan jenazah muslim maupun kafir. Oleh karenanya siapa saja yang
memakannya, tentu berarti dia tidak menghormatinya. Siapa saja yang tidak
menghormatinya, maka sungguh dia telah durhaka kepada Alla>h.

f. Golongan Zaydi>yah.
Kebolehan memanfaatkan daging tubuh mayat yang seharusnya dihormatinya,
tidaklah membatalkan qis}a>s} bagi pembunuhnya. Maka apabila dikatakan kepada
orang lain:‛Bunuhlah aku, atau bunuhlah anakku, atau potonglah tanganku‛,

245
Al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.I, 191.
246
Al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, j.IV, 310.
247
Ibn Quda>mah, Al-Mughni> ma‘a Sharh} al-Kabi>r, j.XI, 79.
248
Ibn H{azm, Al-Muh}alla>, j.IV, 468.

425
kemudian orang tersebut melakukannya, maka dia akan dijatuhi hukuman qis}a>s},
karena tidak diakui hukum terhadap adanya izin tersebut.249

15. Transplantasi Organ yang Berasal dari Jasad Orang yang Tidak Terpelihara
Darahnya
Orang yang diasumsikan bahwa darahnya tidak terpelihara ( )
atau tidak harus dihormati, ialah pelaku tindak pidana yang oleh karenanya harus
dibunuh. Selain itu termasuk pula orang kafir h}arbi>, orang yang mengangkat senjata
melawan kaum muslimin, orang yang bunuh diri dengan sengaja, pembunuh yang
tidak dimaafkan oleh keluarga si terbunuh, pezina yang telah menikah, orang yang
murtad dari Isla>m, dan tentara musuh. Mereka itulah yang berhak untuk dibunuh
atas nama hukum. Dari sinilah kemudian timbul pertanyaan mengenai pandangan
hukum fikih tentang memanfaatkan sesuatu bagian dari jasad mereka, demi
kemaslahatan orang yang darahnya terpelihara yang dalam kondisi darurat. Dalam
persoalan ini, para fuqaha>’ berselisih pendapat sebagaimana paparan di bawah ini:

a. Golongan Ma>liki>yah.
Mazhab Ma>liki>yah melarang tindakan di atas secara mutlak. Ini seperti pernyataan
Imam al-Dardi>r: ‛…kecuali jasad manusia, maka tidak boleh memakannya dalam
kondisi darurat, karena bangkainya merupakan racun yang mematikan ( ).‛
Disamping itu, Imam al-S{a>wi> menambahkan bahwa yang diharamkan itu ialah
memanfaatkan daging manusia, baik ketika dia masih hidup maupun sesudah
matinya, bahkan meskipun orang yang dalam kondisi darurat itu akhirnya
meninggal dalam kelaparan. 250
Imam al-Dasu>qi> dalam sharh}-nya mengatakan:‛Adapun daging manusia, maka
tidak boleh digunakan, baik hidup maupun mati, meskipun itu kemudian
menyebabkan kematian orang yang dalam kondisi darurat. Nas}s} yang dapat
dijadikan pedoman ialah bahwa tidak boleh memakan jasad mayat manusia,
meskipun mayat itu orang kafir."
Dari sini dapat dipahami bahwa para fuqaha>’ Ma>liki>yah tidak membolehkan
memanfaatkan bagian tubuh seseorang untuk orang lain, meskipun yang mengalami
darurat itu seorang muslim dan dia kemudian meninggal karena tidak makan
sesuatu apapun. Menurut Ibn ‘A<bidi>n, pendapat mazhab Ma>liki>yah tersebut sama
dengan pendapat yang dikuatkan dalam mazhab H{anafi>yah.251

b. Golongan Sha>fi‘i>yah. 252


Orang-orang yang disebut dengan "darahnya tidak terpelihara", ialah mereka yang
layak dibunuh. Mereka yang termasuk dalam kriteria ini ialah orang murtad, orang
kafir h}arbi>, pezina muh}s}an, tentara musuh, orang yang meninggalkan shalat, orang
yang harus dihukum qis}a>s}. Bagi orang-orang tersebut tidak ada kehormatan darah

249
‘Abdulla>h Ibn Abi> al-Qa>sim Ibn Mifta>h}, Sharh} al-Azha>r, j.IV, 407.
250
Al-Dardi>r, Sharh} al-S{aghi>r ma‘a H{a>shi>yah al-S{a>wi>, j.II, 184.
251
Ibn ‘A<bidi>n, Al-H{a>shi>yah, j.V, 296.
252
Al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, Jakarta, j.IV, 307.

426
pada mereka. Mereka itu setara dengan binatang buas. Tatkala didapati mereka
telah menjadi mayat, maka jasad mereka boleh dimakan. Walaupun Pemerintah
tidak mengizinkan untuk membunuh mereka, namun sesungguhnya mereka berhak
untuk dibunuh. Izin Imam (Pemerintah) merupakan adab saja dan berlaku di luar
kondisi darurat. Adapun ketika kondisi darurat, maka tidak ada penjagaan terhadap
adab tersebut.
Pada sisi lain, Islam melarang untuk membunuh orang kafir dhimmi>, orang yang
memohon perlindungan perdamaian, orang kafir yang dalam perjanjian damai,
anak-anak dari musuh Islam, serta wanita dari kalangan musuh Islam. Pendapat
yang lebih sahih adalah meniadakan hukuman mati pada wanita dan anak-anak dari
kalangan musuh Islam.
Dengan demikian kalangan Sha>fi‘i>yah berpendapat bolehnya memanfaatkan jasad
orang yang selayaknya dihukum mati. Orang tersebut memang darahnya untuk
ditumpahkan dan tidak ada yang patut dimuliakan darinya ( ).
Tidak ada harganya dia hidup karena dia berstatus terpidana hukuman mati. Imam
‘Izz al-Di>n Ibn ‘Abd al-Sala>m mengatakan:

253

‚Apabila orang yang dalam kondisi darurat mendapati orang yang memang
halal untuk dibunuh, seperti pasukan musuh, pezina muh}s}an, perampok254 yang
telah divonis tetap hukuman mati, pelaku homoseksual, orang yang bersikukuh
meninggalkan shalat.. Maka dalam keadaan darurat tersebut, dibolehkan
menyembelih dan memakan jasad mereka, karena tidak ada kehormatan
(gunanya) diri mereka. Justru hidup mereka selayaknya dihapuskan, sehingga
mafsadat menghilangkan nyawa mereka adalah lebih ringan dibandingkan
mafsadat menghilangkan nyawa orang baik-baik.‛

c. Golongan H{ana>bilah.255
Mazhab ini berbeda pendapat dengan Sha>fi‘i>yah di atas, kecuali Ibn Quda>mah yang
sependapat dengan Imam al-Sha>fi‘i> dan para pengikutnya.256 Orang yang darahnya
boleh ditumpahkan, seperti musuh dalam perang dan orang yang murtad, maka al-
Qa>d}i> mengatakan bahwa dalam keadaan darurat, orang tersebut boleh dimakan
bagian tubuhnya, karena hukumnya boleh membunuh orang tersebut.

d. Golongan Z{a>hiri>yah.
Mazhab Z{a>hiri>yah mengharamkan memanfaatkan bagian tubuh manusia, apakah
dia muslim ataupun kafir, kecuali hanya boleh air susunya dan air liurnya.

253
‘Izz al-Di>n Ibn ‘Abd al-Sala>m, Qawa>‘id al-Ah}ka>m fi> Mas}a>lih} al-Ana>m, j.I, 81.
254
Asal arti ‚ ‛ ialah penghadang, pembegal, pembajak di jalan.
255
Ibn Quda>mah, Al-Mughni> ma‘a al-Sharh} al-Kabi>r, j.XI, 79.
256
Ibn Quda>mah, Al-Mughni>, j.IX, 419.

427
Al-Bu>t}i> menyimpulkan bahwa mazhab Sha>fi‘i>yah, H{ana>bilah, dan sebagian
H{anafi>yah membolehkan dalam kondisi darurat untuk memakan daging orang yang
terpidana mati. Sedangkan bagi Ma>liki>yah dan pendapat H{anafi>yah yang lebih kuat
ialah mengharamkannya. Kiranya mazhab dengan pendapat pertama adalah yang
sesuai dengan kaidah-kaidah fikih yang terkait dalam masalah ini. Diantara kaidah-
kaidah tersebut ialah:
257

"Mengambil kemadaratan yang lebih ringan untuk mencegah madarat yang lebih
berat."
258

"Apabila terdapat dua kemafsadatan saling bertentangan, maka dihindarkan


madarat yang lebih besar, (yaitu dengan memilih dan) melakukan mafsadat yang
lebih ringan".
Kedua kaidah di atas yang disepakati para fuqaha>’, merupakan cabang dari
kaidah ‚ ‛ (kemadaratan harus dihilangkan).
Menurut penulis, mazhab Sha>fi‘i>yah dan H{ana>bilah memiliki pendapat
yang lebih argumentatif tentang status seseorang yang memang berhak untuk
dibunuh atas dasar tindak pidana yang dilakukannya. Ini adalah hukum yang pasti,
dan tidak boleh ada jalan untuk menghindar dari hukuman tersebut, apakah dengan
taubat atau lainnya. Oleh karenanya dimungkinkan untuk memanfaatkan jasad
orang tersebut segera setelah hukuman dieksekusi, demi menyelamatkan orang lain
dari kebinasaan. Dengan syarat bahwa memanfaatkan jasad tersebut tidak boleh
dilakukan ketika terpidana masih hidup, karena termasuk perbuatan mutilasi
terhadap makhluk hidup, suatu perbuatan yang dilarang oleh Rasu>lulla>h SAW.
Pemanfaatan tersebut, hanya boleh dilakukan dalam kondisi darurat, dan
bukan merupakan langkah alternatif pilihan. Tindakan transplantasi tersebut hanya
boleh dilakukan di bawah pengawasan dokter-dokter muslim259 yang ahli dalam
bidangnya. Hal ini hendaknya masuk dalam peraturan perundangan yang berlaku.
Terkadang pihak Pemerintah mengaitkannya dengan izin ahli waris pihak
terpidana, sehingga apabila izin tidak segera diberikan, maka hilanglah kesempatan
untuk dapat memanfaatkan organ tubuh mayat tersebut dengan baik.260
Demikian pula bahwasanya pendapat tentang kebolehannya ketika darurat
itu tidak menjadikan izin tersebut memiliki peranan yang lebih besar dari sisi fikih,
maka darurat itu membolehkan hal-hal yang terlarang, dan dia memaafkan dengan
izin pada kondisi ini, sebagaimana jika dia tidak menjumpai selain harta orang lain
untuk menyelamatkan nyawanya, maka dia harus memakan atau meminum darinya

257
Ibn Nujaym, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, 98-99.
258
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, 79.
259
Kriteria bahwa yang dipercaya ialah harus dokter muslim, merupakan
persyaratan yang dibuat oleh para ulama masa dahulu hingga kini. Kiranya banyak dalil
yang membuat mereka berpendapat seperti itu.
260
Govert den Hartogh, "The Role of the Relatives in Opt-In Systems of
Postmortal Organ Procurement", Medical Health Care Philosophy Journal, vol. 15, issue 2
(May 2012): 195”205.

428
walaupun tanpa izin, kemudian baginya ada tanggungjawab atas harga ( qi>mah)
dalam hal tanggungan itu (d}aman).
Para fuqaha>' pun berpandangan, bahwa sebelum dilakukan transplantasi,
boleh dilakukan serangkaian pemeriksaan medis untuk memastikan kecocokan
organ tersebut dengan tubuh (obyek transplantasi) ataupun tidak.261

16. Seputar Masalah Izin Eksplantasi Organ Tubuh Mayat


Meskipun eksplantasi organ merupakan perbuatan yang mulia, namun
aspek perizinan adalah hal yang sangat penting, baik dari aspek hukum, UU
Kedokteran, kode etik, maupun dari segi fikih.
Transplantasi dari organ jenazah merupakan suatu tindakan untuk
menolong orang yang sangat membutuhkan, dan termasuk kewajiban menolong
jiwa yang dimuliakan dari kebinasaan. Ini juga bukan termasuk melanggar
kehormatan jenazah. Kemaslahatan untuk penyelamatan kehidupan harus lebih
dikedepankan. Para ulama Majma‘ al-Fiqh berpendapat bahwa permintaan izin
kepada keluarga jenazah, adalah lebih kepada transparansi, etika dan menjaga
kerelaan keluarga, serta sebagai upaya untuk mencegah terjadinya fitnah. Hal ini
karena keluarga jenazah pun bukanlah pihak yang berhak secara kepemilikan
terhadap jasad yang bersangkutan.
Oleh karena itu adalah tidak mengapa untuk menjaga jasad dan/atau organ-
organ untuk tetap hidup, agar dapat dilakukan transplantasi. Pengambilan organ
dilakukan pada saat seseorang telah wafat, kemudian organ tersebut dirawat, antara
lain dengan cara dibekukan. Dengan demikian organ tersebut dapat dipindahkan
dari satu daerah ke daerah lain tanpa merusaknya.
Jika fatwa-fatwa para ulama telah membolehkan untuk mendonor dengan
salah satu organ tubuh sementara pendonor masih hidup, maka apakah yang
mencegah seseorang untuk berwasiat agar mendonorkan organ tubuhnya setelah ia
meninggal dunia? jika ia tidak berwasiat, bolehkah bagi walinya untuk
mendonorkannya? Dan apakah hakim, masyarakat atau undang-undang dapat
menggantikan peran wali jika mayit tidak berwasiat untuk mendonorkan atau tidak
mendonorkan organnya?
Dalam hal tersebut, sejumlah negara menetapkan hukum bolehnya
transplantasi organ tubuh dari mayat selama mayat tidak berwasiat melarangnya.
Sebagian lainnya melarang hal itu selama mayat tidak berwasiat untuk mendonor,
dan ada pula negara yang mensyaratkan adanya kesepakatan wali dalam
melaksanakan wasiat.
Untuk itu, dalam mempertimbangkan dilakukan atau tidaknya tindakan
transplantasi, dapat ditinjau dari dua segi:
Pertama. Pertimbangan maslahat dan mafsadatnya, manfaat dan madaratnya.
Sesungguhnya memelihara kemaslahatan orang yang hidup adalah lebih mulia
dibandingkan orang mati. Akan tetapi tubuh mayat harus tetap dihormati. Atas

261
Pemeriksaan tersebut meliputi status kesehatan pendonor dan resipien, organ
atau jaringan yang akan ditransplantasikan, serta sejumlah tes reaksi imunologis. Hal
tersebut untuk mencegah reaksi antign-antibodi yang kan membahayakan resipien.

429
dasar pertimbangan ini, maka termasuk bagaimana hukumnya bayi yang dalam
keterpaksaannya dia minum air susu ibu yang telah meninggal. Juga bagaimana
hukumnya memakan daging manusia, membedah tubuh mayat wanita yang sedang
hamil untuk mengeluarkan janinnya yang masih hidup, membongkar kuburan demi
kemaslahatan orang yang hidup, dan lain-lain. Ini semua diputuskan dengan
mempertimbangkan tentang kaidah-kaidah situasi terpaksa (d}aru>rah).
Kedua. Disyaratkan harus ada izin dari yang bersangkutan semasa hidupnya, dan
ada pula izin dari para ahli warisnya. Apabila syarat ini tidak terpenuhi, maka tidak
diperbolehkan dilakukan eksplantasi. Adapun apabila dia tidak memiliki ahli waris,
dan dia meninggal di Negara Muslim yang melaksanakan hukum-hukum Islam,
maka penguasa atau pemimpin Negara tersebut dapat menjadi wali, berdasarkan
hadis Nabi SAW :
262

‚Maka penguasa suatu Negeri Muslim yang menjalankan syariat Islam, boleh
menjadi wali bagi warga masyarakat yang tidak punya wali‛.
Adapun tentang transplantasi dari mayat kepada orang hidup dapat ditinjau
dari sisi ada atau tidaknya izin untuk dilakukan eksplantasi organ tubuh yang
bersangkutan. Yaitu sebagai berikut:
a. Mayat yang telah memberi izin semasa hidupnya
b. Mayat yang tidak meninggalkan ahli waris sama sekali
c. Mayat yang meninggalkan ahli waris, dan ahli warisnya tidak mengizinkan
untuk dilakukan ekspantasi dari mayat tersebut
d. Mayat yang meninggalkan ahli waris, dan sebagian dari ahli warisnya
mengizinkan untuk dilakukan eksplantasi
e. Mayat yang meninggalkan ahli waris, dan seluruh ahli warisnya mengizinkan
untuk dilakukan eksplantasi.
Dengan demikian, memanfaatkan mayat bagaimanapun sebab dan
kondisinya, maka harus mendapatkan izin dari para pihak yang memiliki wewenang
untuk itu.

17. Asas Kemanusiaan dan Etika Profesi Dokter pada Tindakan Tranplantasi
Organ Tubuh
Hal pertama yang penting untuk dipahami ialah bahwa sesungguhnya tidak
ada seorang dokter pun, apalagi dokter muslim, yang lebih mementingkan
pengangkatan salah satu organ tubuh orang yang sedang sekarat untuk dipindahkan
kepada pasien lain.263 Setiap dokter harus berusaha tetap menjaga hidup manusia
sejak detik-detik awal penderitaan sampai terjadi kematian. Seorang muslim harus
selalu mencamkan firman Alla>h Ta‘a>la>: ‚Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati

262
Riwayat Abu> Da>wud, al-Tirmidhi>, Ibn Ma>jah, Ah}mad, al-Sha>fi‘i>, al-Da>rimi>, Ibn
Abi> Shaybah, Ibn al-Ja>ru>d, al-T{ah}a>wi>, Ibn H{ibba>n, al-Da>ruqut}ni>, al-H{a>kim, al-T{aya>li>si>, al-
Bayhaqi>, Ibn ‘Adi>, dan Ibn ‘Asa>kir.
263
Di sinilah letak pentingnya penentuan kematian, sehingga pengangkatan donor
dari mayat setelah donor dinyatakan telah meninggal secara medis dan hukum yang berlaku.
Lihat: I.H. Kerridge, P. Saul, et al., "Death, Dying and Donation: Organ Transplantation
and the Diagnosis of Death", Journal of Medical Ethics 28 (2002): 89”94.

430
kecuali dengan izin Allah‛,264 dan ia senantiasa sadar akan kehormatan hidup
seorang muslim dalam firman Alla>h: ‛Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu
hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena
orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia".265 Juga pada firman Alla>h
Ta‘a>la>: "Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan
dia telah memelihara kehidupan semua manusia".266 Ini berarti bahwa menjaga jiwa
agar tetap hidup, dapat dilakukan dengan cara menyelamatkannya dari kehancuran
atau kematian. Tentu saja pertimbangan ini berlaku untuk setiap metode dan
tindakan terapi, termasuk salah satunya ialah transplantasi organ tubuh.
Para dokter selalu menjunjung tinggi prinsip profesionalisme medis dalam
tindakan transplantasi organ. Yaitu kehati-hatian dalam proses pengambilan
keputusan, bahwa pasien benar-benar telah meninggal dunia sebelum diambil salah
satu organ tubuhnya. Di antara sikap kehati-hatian itu antara lain adalah:
a. Harus ada tanda-tanda yang jelas memenuhi syarat untuk menyatakan
kematian.
b. Pengambilan keputusan dilakukan oleh tim dokter.
c. Dalam kondisi menunggu pengambilan salah satu organ tubuh, tidak boleh bagi
seorang dokter (dari tim yang mengambil organ tubuh) tersebut memiliki
ikatan dengan tim dokter lain yang sedang menunggu organ-organ untuk
dicangkokkan.
d. Syarat-syarat dan pelaksanaan operasi merupakan satu kesatuan, baik akan
diambil organ dari mayit tersebut atau tidak.267

Secara medis, organ jantung sangat cepat rusak dan tidak ada manfaatnya
memindahkan jantung yang rusak kepada orang lain yang membutuhkan. Oleh
karenanya alat bantu hidup masih digunakan untuk beberapa jam kemudian, sampai
pengangkatan jantung (dan organ lain) selesai dengan sempurna. Dengan demikian
organ tersebut dalam kondisi baik ketika ditransplantasikan ke tubuh orang lain.
Adapun organ tubuh yang akan ditransplantasikan, setelah diangkat dari
jenazah, ditempatkan pada cairan dan suhu tertentu. Dengan demikian organ
tersebut tetap dalam kondisi baik, bahkan memungkinkannya untuk diterbangkan
dari satu Negara ke Negara lain, demi untuk menyelamatkan seseorang yang sangat
membutuhkan.
Patut digarisbawahi, adalah sama sekali tidak benar jika dikatakan bahwa
para dokter terburu-buru menghentikan pemakaian alat bantu hidup, dengan tujuan
untuk mengambil salah satu organ tubuh pasien pada kondisi organ paling baik
untuk kemudian dicangkokkan pada pasien lain.

264
QS A<lu ‘Imra>n [3] : 145.
265
QS al-Ma>'idah [5] : 23.
266
QS al-Ma>'idah [5] : 23.
267
Persetujuan inform consent dari keluarga pasien, sesuai UU Kesehatan yang
berlaku. Adapun terkait dengan pemanfaatn untuk transplantasi organ dari cadaver, maka
ini termasuk kategori opt-in.

431
Perkara berikutnya yang juga sangat penting untuk dicermati ialah, agar
jangan sampai terdapat motif berencana untuk mengambil sebagian organ jenazah,
apalagi tanpa adanya suatu keperluan mendesak untuk itu. Yaitu misalnya dengan
cara memperlambat, melalaikan, atau membiarkan seorang pasien hingga
meninggal dunia, atau terlalu gegabah memvonis pasien sebagai telah masuk fase
terminal yang irreversible, sehingga mempercepat kematiannya.
Hal selanjutnya yang menjadi pertanyaan besar ialah, apakah ada jaminan
bahwa di sana tidak terjadi pelanggaran. Yakni apakah hal ini tidak menjadi sarana
untuk kegiatan jual beli organ serta menciptakan pasar gelap untuk itu.268 Sejumlah
pelanggaran terdapat di beberapa Negara, di mana jaringan dan organ jenazah
diperjualbelikan untuk kepentingan mahasiswa, dan untuk selain mahasiswa, tanpa
memperhatikan ketentuan yang berlaku dan tanpa sanksi yang ketat. Hal tersebut
tidak mungkin terjadi dalam masyarakat yang menghormati jasad manusia dan
memuliakannya, terlebih lagi dalam masyarakat Islam yang menjadikan
kehormatan orang yang telah wafat sebagaimana orang yang hidup. ‘A<'ishah
meriwayatkan sabda Nabi SAW, sebagaimana dalam al-Muwat}t}a’ dan Sunan al-
Tirmidhi>, dengan sanad yang sahih:
269

‚Mematahkan tulang jenazah adalah seperti mematahkannya saat ia hidup.‛


Sebagaimana telah umum diketahui, larangan tersebut berlaku untuk
tindakan aniaya, penghinaan, keisengan atau tanpa adanya kebutuhan darurat yang
melatarbelakanginya. Adapun jika terdapat kebutuhan darurat dan kemaslahatan,
maka hukumnya adalah diperbolehkan.270

18. Dasar Pertimbangan Majma‘


Penulis telah meneliti pembahasan fikih secara panjang lebar di atas berikut
alasan dari keputusan Majma‘. Hal ini karena para anggota Majma‘ maupun
notulen mu'tamar tidak menyebutkan sama sekali metodologi us}u>l al-fiqh apa yang
mereka gunakan hingga sampai pada keputusan dalam masalah ini.
Menurut hasil penelitian penulis, para ulama Majma‘tidak mendapati dalil
Al-Qur'a>n, al-Sunnah, al-Ijma>‘, maupun al-Qiya>s yang secara langsung atau spesifik
dapat dijadikan sandaran dalil dalam memutuskan fatwa tentang transplantasi
organ. Oleh karena itu mereka pun beralih dari dalil-dalil yang disepakati (muttafaq
‘alayha>) kepada dalil-dalil pada peringkat selanjutnya, yaitu dalil-dalil atau
metodologi us}u>l al-fiqh yang tidak disepakati (mukhtalaf fi>ha>).
Tampak ada beberapa aspek yang menjadi perhatian ulama dalam proses
pengambilan keputusan Majma‘. Aspek-aspek tersebut penulis klasifikasikan dalam
empat butir berikut ini:

268
J. Harvey, "Paying Organ Donors", Journal of Medical Ethics 16 (1990): 117-
119.
269
Riwayat Abu> Da>wud, Ibn Ma>jah, Ah}mad, Ibn H{ibba>n, Ibn al-Ja>ru>d, al-
Da>ruqut}ni>, Ish}a>q Ibn Ra>hawayh, al-Bayhaqi>, ‘Abd al-Razza>q, Ibn Abi> ‘A<s}im, al-T{ah}a>wi>,
dan al-Khat}i>b al-Baghda>di>.
270
Ah}mad al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 185-186.

432
a. Urgensi tindakan transplantasi.
Secara medis tampak bahwa transplantasi organ merupakan tindakan terapi
yang sangat diperlukan ketika darurat. Bagi para dokter, pilihan terapi tranplantasi
termasuk jenis terapi invasif, sehingga merupakan alternatif terakhir apabila terapi
non invasif tidak dapat dilakukan. Pada sebagian besar kasus medis, terapi non
invasif adalah lebih ringan dari prosedur terapi, biaya, resiko prosedur, maupun efek
samping. Namun demikian, terapi invasif pada umumnya merupakan jenis terapi
kausatif,271 sehingga lebih dapat mengurangi tingkat recurrency (kekambuhan) atau
bahkan mengeliminirnya.
Hal ini tampak dipahami pula oleh para ulama anggota Majma‘ al-Fiqh,
sehingga mereka pun membolehkan tindakan transplantasi hanya pada kondisi
darurat. Pengertian darurat yang mereka maksud dalam kaitan ini ialah untuk
mempertahankan hidup dan untuk memelihara fungsi vital organ-organ tubuh,
contohnya kornea mata. Untuk itu mereka menggunakan kaidah-kaidah fikih yang
berkaitan dengan kedaruratan,272 yaitu dari kaidah pokok ‚ ‛ (kemadaratan
harus dihilangkan),273 sehingga kedaruratan tersebut dapat membolehkan274
perbuatan yang terlarang.275 Perbuatan yang pada asalnya terlarang itu, antara lain
mengambil organ tubuh orang lain, baik yang masih hidup maupun jenazah.
Kaidah di atas adalah derivasi dari hadis Nabi SAW:
276

"Tidak boleh ada kemadaratan dan tidak boleh pula menimbulkan


madarat".
Kata ‚ ‛ berarti tindakan transplantasi tersebut tidak boleh
menimbulkan efek kemadaratan bagi resipien. Kata ‚ ‛ berarti bahwa
tindakan eksplantasi, terutama dari orang hidup, tidak boleh mengakibatkan
kemadaratan baginya.
Berarti bahwa harus dipertimbangkan dengan seksama, apakah maslahat
yang diharapkan itu akan lebih besar dibandingkan dengan kemadaratan yang
terjadi dalam proses transplantasi. Selain itu dalam pengambilan keputusan
tindakan transplantasi tersebut agar tepat demi memenuhi tujuannya, harus pula
dipertimbangkan aspek kerusakan (madarat) yang terjadi kepada resipien dan
terutama kepada donor.277

271
Terapi kausatif ialah jenis terapi yang bertujuan untuk dapat menghilangkan
penyebab penyakit.
272
Ah}mad al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 179-183.
273
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>'ir, 59-60.
274
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>'ir, 60.
275
Ah}mad al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 185-186.
276
Ah}mad al-Zarqa>, Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah, 165-170.
277
Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa perbuatan atau ucapan yang berimplikasi
kerusakan itu terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Perbuatan atau ucapan yang berimplikasi kepada kerusakan, seperti zina yang
mengakibatkan tercampurnya nasab dan rusaknya fira>sh, dan lain sebagainya.
Perbuatan dan ucapan tersebut secara fungsional berimplikasi pada kerusakan, dan ia
tidak memiliki dampak nyata yang lain selain kerusakan.

433
Pertimbangan Majma‘ dalam kaitan ini terdiri dari dua faktor. Faktor
pertama ialah pertimbangan mana yang lebih maslahat antara tindakan
transplantasi ataukah tidak. Faktor kedua ialah pertimbangan tingkat keperluan
tindakan translantasi organ tubuh, apakah untuk mempertahankan hidup atau
menjaga kontinuitas fungsi vital tubuh. Dari faktor kedua dapat disimpulkan bahwa
kebutuhannya ialah pada tingkat krusial bagi kelangsungan hidup atau primer
(d}aru>ri>yah) dan pada tingkat memenuhi kebutuhan yang penting atau sekunder
(h}a>ji>yah).278 Oleh karenanya penulis berpandangan bahwa alur berpikir yang
digunakan para ulama dalam masalah tranplantasi ini ialah dengan metode
mas}lah}ah mursalah.
Patut pula dipahami, dalam sejumlah literatur (mara>ji‘) disebutkan bahwa
tingkat maslahat primer, sekunder dan tersier merupakan bagian dari mas}lah}ah
mu‘tabarah. Definisi al-Mas}a>lih} al-Mu‘tabarah ialah bentuk kemaslahatan yang
didukung oleh shara‘, yaitu dengan melaksanakan sebagian dalil-dalil tersebut
untuk menjaga kehidupan bagi kemaslahatan manusia.279
Namun demikian penulis memasukkannya ke dalam mas}lah}ah mursalah.
Hal ini dengan pertimbangan bahwa kemaslahatan dalam transplantasi organ ini
bersifat ijtiha>di> dan bukan nas}s}i>. Dalil-dalil dari Al-Qur'an maupun al-H{adi>th
menyatakannya secara global tentang pentingnya mememelihara kesehatan tubuh.
Selain itu, Sunnah Nabi SAW mencontohkan cara menjalani hidup, yang secara
implisit berarti pentingnya menjaga optimalisasi semua organ tubuh, baik organ
visceral maupun anggota tubuh luar, agar dapat berfungsi secara normal.
Al-mas}lah}ah al-mursalah yang dimaksud dalam dua tindakan di atas, ialah
sebagaimana yang dijelaskan oleh S{afi> al-Di>n al-Baghda>di>, yaitu mengambil

b. Perbuatan atau ucapan yang berimplikasi kepada perkara yang boleh atau mustah}ab,
namun ia dijadikan sarana kepada sesuatu yang diharamkan, baik dengan sengaja,
seperti orang yang melangsungkan akad nikah dengan tujuan untuk tah}li>l,* atau
melakukan khulu>‘** dengan maksud melanggar sumpah, dan semisalnya; atau dengan
tidak sengaja. Adapun implikasi perbuatan yang tidak disengaja ialah:
1) Maslahatnya lebih dominan daripada kerusakannya, seperti memandang wanita
yang akan dipinang, berkata benar di hadapan penguasa zalim, dan lain sebagainya.
2) Kerusakannya lebih dominan daripada maslahatnya, seperti mencaci berhala orang-
orang musyrik di hadapan mereka, dan lain sebagainya.
Lihat: Ibn al-Qayyim, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n, j. III, 172.
* Tah}li>l ialah nikah} muh}allil, yaitu istri yang telah ditalak tiga, akan tetapi mereka
ingin bersatu kembali dalam ikatan pernikahan. Untuk mencapai tujuan tersebut, mantan
suami mencarikan pria lain untuk dinikahkan dengan mantan istrinya sebagai formalitas
belaka, untuk kemudian secepatnya menceraikannya. Setelah itu mantan suami pertama
dapat menikahi janda dari pria kedua tadi.
** Khulu>‘ dalam istilah fikih ialah permintaan cerai yang diminta (gugat cerai)
oleh istri kepada suaminya dengan memberikan uang atau lain-lain kepada sang suami, agar
ia menceraikannya.
278
Lihat halaman 65.
279
Al-Ghaza>li>, Al-Mustas}fa>, j.I, 284. Al-Ba>h}usayn, Al-Mashaqqah Tajlib al-Taysi>r,
283.

434
manfaat atau menolak kemudaratan dengan tanpa melihat (menyandarkan kepada)
pokok syariatnya.280

b. Tinjauan dari sisi resipien transplantasi.


Pandangan us}u>l al-fiqh tentang urgensi transplantasi dari sisi resipien ialah,
bahwa operasi transplantasi merupakan solusi pada kondisi darurat, ataupun pada
keadaan yang diperlukan ( ) dimana kondisi itu disetarakan dengan kondisi
darurat. Dalam hal ini ada kebutuhan untuk meraih maslahat, yang bisa jadi pada
tingkat primer (d}aru>ri>ya>t) ataupun pada tingkat sekunder (h}a>ji>ya>t).
Contoh yang terakhir ini ialah seperti pemasangan kaki palsu atau gigi
palsu. Orang yang tidak memiliki satu atau dua kaki, masih dapat menjalani
kehidupannya, namun akan sangat membatasi mobilitasnya. Oleh karenanya
pemasangan kaki palsu akan sangat membantunya dalam menjalani kehidupan
selanjutnya. Demikian pula bagi orang yang tidak memiliki sebagian atau seluruh
gigi, masih dapat hidup, namun sangat membatasi kemampuannya mengunyah
makanan, oleh karenanya pemasangan gigi palsu akan sangat membantunya dalam
mengunyah makanan.
Dalam hal ini pun penulis berpandangan bahwa alur berpikir yang
digunakan para ulama dalam menelaah tranplantasi dari sisi resipien ialah dengan
metode mas}lah}ah mursalah.

c. Tinjauan dari sisi sumber transplantasi.


Adapun dari sisi sumber bahan transplantasi, maka pendapat para ulama
Majma‘ membolehkan dari bahan-bahan yang mengandung hal-hal yang pada
asalnya diharamkan, seperti barang-barang najis atau hewan najis. Kesimpulan
tersebut diambil mengingat kondisi kedaruratan dan manfaat yang dapat diraih
dengan operasi transplantasi tersebut.
Sumber transplantasi lainnya ialah tubuhnya sendiri, orang lain yang masih
hidup, orang mati, dan janin. Di dalam pembahasan di atas, para ulama panjang
lebar memperdebatkan eksplantasi dari orang mati. Kesimpulan umum yang dapat
ditarik ialah mereka membolehkannya dalam keadaan darurat dan ketika tidak ada
alternatif terapi lainnya.
Pendapat para fuqaha>' Majma‘ didasarkan kepada kaidah-kaidah fikih
tentang kedaruratan. Terkait dengan masalah tersebut dan yang semacamnya,
Imam Ibn al-Subki> menyatakan suatu prinsip fikih yang sangat penting:
281

"Kemadaratan itu harus dihilangkan, namun tidak boleh dihilangkan


dengan kemudaratan lagi".
Argumentasi Majma‘ yang juga cukup penting ialah bahwa pasca
eksplantasi dari orang hidup, tidak boleh mengakibatkan pendonor mengalami
kesulitan fungsi-sungsi vital tubuhnya, atau bahkan tidak boleh mengakibatkan
kematiannya. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa Majma‘ menggunakan

280
S{{afi> al-Di>n al-Baghda>di>, Qawa>‘id al-Us}u>l wa Mu‘a>qid al-Fus}u>l, 32.
281
Al-Suyu>t}i>, Al-Ashba>h wa al-Naz}a>'ir, 61.

435
metode al-istih}sa>n bi qa>‘idah raf‘ al-h}araj wa al-mashaqqah untuk pertimbangan
terhadap kondisi pendonor.

d. Masalah izin transplantasi.


Izin tindakan transplantasi meliputi izin dari pihak donor maupun pihak
resipien. Segala sesuatunya harus dijelaskan terlebih dahulu bagi kedua belah pihak,
menyangkut pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya
sebelum tindakan, prosedur operasi dan resikonya, hasil setelah operasi dan
kemungkinan efek samping yang ditimbulkannya, serta besaran biaya. Dari sisi
fikih, langkah ini merupakan bagian dari transparansi, sehingga tidak gharar282 bagi
para pihak. Tindakan menghindari gharar dipahami langsung dari hadis nabi SAW
tentang larangan gharar.
Apabila dalam bidang muamalah, ini bisa dikagorikan menggunakan
metode kebahasaan mafhu>m muwa>faqah atau muqayyad dalam suatu kasus serta
qiya>s dalam kasus lainnya. Akan tetapi dalam bidang kedokteran, prinsip
menghindari gharar dapat dipakai sebagai acuan melalui penalaran dengan metode
istih}sa>n.283
Masalah perizinan transplantasi dari organ tubuh mayat, juga mendapat
perhatian yang serius dari para ulama. Mereka menyatakan bahwa perizinan ini
merupakan syarat, dan bukan sekedar adab boleh dilakukannya eksplantasi dari
organ tubuh, baik manusia itu hidup ataupun yang baru saja meninggal dunia. Dari
sisi medis, proses ini masuk kategori ‘urf , dan merupakan SOP dari pihak rumah
sakit. Sedangkan masalah perizinan tersebut, baik dengan mekanisme opt-in
ataupun opt-out, merupakan hal yang baik bahkan diperlukan untuk terlaksananya
tindaka transplantasi yang membawa kebaikan bagi semua pihak.
Oleh karenanya jika dipandang dari sisi us}u>l al-fiqh, tindakan ini termasuk
istih}sa>n bi al-mas}lah}ah.284 Hal ini karena memilih pengambilan mas}lah}at adalah
karena lebih dekat kepada apa yang dikehendaki syariat, yaitu menetapkan
maslahat ataupun menolak mafsadat. Meskipun demikian, mas}lah}at tersebut secara
kategoris haruslah dibuktikan oleh nas}}s} untuk dapat diterima, sehingga dapat
diambil keputusan yang berbeda dengan qiya>s dan dapat men-tarjih-nya.285
Secara umum dapat disimpulkan bahwa, metode penetapan hukum yang
digunakan Majma‘ dalam masalah ini ialah tidak dilarang untuk melakukan suatu
tindakan medis atas pertimbangan keterpaksaan. Demikian pula suatu tindakan

282
Gharar ialah suatu kondisi ketidak jelasan atau konsekuensi yang tidak jelas dari
suatu tindakan.
283
Lihat halaman 61.
284
Al-istih}sa>n bi al-mas}lah}ah ialah mengambil mas}lah}ah parsial (juz’i>yah) dalam
suatu masalah yang padanya bisa digunakan qiya>s.
285
Diantara contoh al-istih}sa>n bi al-mas}lah}ah ialah pendapat Imam Abu> H{ani>fah
tentang kebolehan memberikan zakat kepada Bani> Ha>shim pada masa beliau, meskipun
Nabi SAW melarangnya. Pendapat Abu> H{ani>fah didasarkan kepada bahwa mas}lah}at adalah
lebih ra>jih}, yaitu memelihara mereka dari kekurangan. Lihat: Usa>mah al-H{amwi>, Naz}ari>yah
al-Istih}sa>n, 38-39.

436
medis itu diperbolehkan, sepanjang terdapat kemaslahatan yang lebih bisa
diharapkan, dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkannya.
Demikianlah hasil analisa penulis terhadap metodologi hukum Islam yang
digunakan oleh para fuqaha>’ anggota Majma‘, dalam mengambil kesimpulan
hukum tentang Transplantasi Organ Tubuh dari Orang Hidup maupun dari Jenazah
(Intifa<‘ Al-Insa<n bi A‘d}a<’ Jism Insa<n A<khar Hayyan Ka>na aw Mayyitan).

C. Kesimpulan Hukum Majma‘ al-Fiqh

Pembahasan tentang Transplantasi Organ ini merupakan salah satu perkara


yang paling pelik bagi Majma‘ al-Fiqh. Oleh karena itu Majma‘ membentuk Panitia
Khusus untuk menyusun keputusannya (mashru>‘ al-qara>r alladhi> wad}a‘athu al-
lajnah). Peneliti tidak mendapati siapa saja sebenarnya yang ditunjuk menjadi
anggota Panitia tersebut, namun dapat dilihat dari diskusi dan perdebatan
(muna>qashah) yang terjadi diantara mereka. Para pembicara dalam diskusi tersebut
ialah:286
1. Shaykh ‘Abd al-Sattar Abu Ghuddah
2. Shaykh Muh}ammad ‘Abd al-Lat}i>f al-Farfu>r
3. Shaykh Muh}ammad Sa>lim Ibn ‘Abd al-Wadu>d
4. Shaykh Muh}ammad al-Mukhta>r al-Sala>mi>
5. Shaykh Muh}ammad Yu>suf Ji>ri>
6. Shaykh ‘Abd al-Salam Dawud al-‘Abbadi
7. Shaykh al-S{iddi>q Muh}ammad al-Ami>n al-D{ari>r
8. Shyakh Ah}mad Ibn H{amd al-Khali>li>
9. Shaykh Muh}ammad Taqi> al-‘Uthma>ni>
10. Shaykh A<dam Shaykh ‘Abdulla>h ‘Ali>
11. Shaykh Muh}ammad ‘Ali> al-Taskhi>ri>

Dari pembahasan di atas, maka secara umum dapat diambil kesimpulan


bahwa tranplantasi organ diperbolehkan dalam keadaan darurat, yaitu kepada
pasien yang kelangsungan hidupnya terancam. Hal ini berdasarkan Firman Allah
Ta‘ālā:

‚Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)
orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan
dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan siapa saja yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya.‛ (QS al-Mā’idah [5]: 32)

Hukum kebolehan tersebut, juga berlaku pada kasus-kasus tertentu yang


tidak sampai kepada darurat, namun masuk dalam kategori sangat diperlukan

286
"Muna>qashah Mashru>‘ al-Qara>r", Majallah Majma‘ al-Fiqh, vol.IV, j.I, 491-503.

437
(h}a>jah). Contoh dalam hal ini ialah seperti skin graft pada luka bakar, tangan palsu,
ataupun kaki palsu. Dalam hal ini, hukum keperluan yang mendesak disetarakan
dengan darurat, sesuai dengan kaidah :

"(Peringkat) kondisi memerlukan (sesuatu) terkadang dapat setara dengan kondisi


darurat"

Keputusan Majma‘ al-Fiqh tentang Pemanfaatan Organ Tubuh Manusia287


Keputusan Majma‘ berisi pengantar serta definisi-definisi tentang organ
tubuh manusia, orang hidup, orang mati, dan janin. Organ yang dimaksud dalam
keputusan ini ialah anggota tubuh, organ tubuh, jaringan tubuh, sel, darah, dan lain-
lain. Setelah itu masuk ke dalam inti keputusannya.
Adapun keputusan Majma‘ al-Fiqh tentang transplantasi organ tubuh dari
segi hukum syariah Islam (al-ah}ka>m al-shar‘i>yah) ialah sebagai berikut:
a. Dibolehkan transplantasi organ dari dan ke tubuhnya sendiri, dan disertai
keyakinan bahwa manfaat yang dapat diraih dengan operasi tersebut adalah
lebih besar dibandingkan dengan madaratnya. Disyaratkan bahwa tindakan itu
adalah untuk mengganti bagian tubuh yang hilang, atau untuk memulihkan
fungsinya, atau untuk mengatasi kecacatan atau untuk memperbaiki deformitas
yang dapat menghambat secara psikis maupun fisik.288
b. Dibolehkan transplantasi organ tubuh antar manusia hidup, yaitu apabila organ
yang dieksplantasikan dapat memperbaharui diri kembali dalam tubuh
pendonor, seperti darah dan kulit. Harus diperhatikan dalam hal ini ialah dokter
yang melakukan operasi harus memenuhi kualifikasi untuk melakukan itu.
Demikian pula harus dipenuhi syarat-syarat dari segi fikih.
c. Boleh memanfaatkan bagian tubuh yang dilepas dari badan karena suatu
penyakit,289 untuk kemudian ditransplantasikan ke tubuh orang lain. Ini seperti

287
MUI telah mengeluarkan fatwa terkait transplantasi organ. Fatwa no.4 tahun
1970 tentang Wasiat Menghibahkan Kornea Mata, yang membolehkan seseorang
mewasiatkan kornea matanya untuk dimanfaatkan setelah wafatnya, dengan sepengetahuan
dan persetujuan ahli warisnya. Ftwa berikutnya ialah Fatwa MUI no.16 tahun 2000 tentang
Penggunaan Organ Tubuh, Ari-ari, dan Air Seni Manusia bagi Kepentingan Obat-obatan
dan Kosmetika. Hal-hal tersebut dihukumkan haram, kecuali dalam keadaan darurat sesuai
persyaratan yang tertentu.
288
Deformitas ialah kelainan bentuk dari suatu bagian tubuh manusia. Deformitas
ini dapat mengganggu secara psikis, yaitu membuatnya rendah diri atau menjadi bahan
ejekan orang lain, seperti tangan yang bengkok atau luka parut yang besar di wajah. Selain
itu juga dapat mengganggu secara psikis dan fisik, seperti bentuk kai yang berbeda antara
kiri dengan kanan.
289
Atau kelainan dan gangguan lainnya pada organ tubuh tersebut. Contohnya ialah
bagian tubuh yang diamputasi karena kecelakaan, dimana bagian distal dari anggota tubuh
yang dipotong tersebut masih ditransplantasikan untuk orang lain.

438
eksplantasi kornea mata dari satu bola mata yang sakit atau yang
penglihatannya tidak berfungsi lagi pada mata tersebut.290
d. Diharamkan transplantasi organ tubuh yang dapat mengakibatkan kematian
bagi pendonor. Ini seperti eksplantasi jantung dari orang yang hidup.
e. Diharamkan eksplantasi dari orang hidup yang dapat mengakibatkan pendonor
menjadi kehilangan fungsi utama atau fungsi dasar dalam hidupnya, meskipun
pendonor tersebut tidak meninggal dunia. Ini seperti eksplantasi kedua kornea
mata. Apabila eksplantasi tersebut menghilangkan sebagian dari fungsi utama
tubuh donor, maka ini masih menjadi bahan diskusi.
f. Dibolehkan eksplantasi organ dari tubuh mayat, manakala organ yang
ditransplantasikan tersebut merupakan organ penting untuk kelangsungan
hidup resipien atau kehidupan resipien tergantung dari fungsi-fungsi utama
organ yang ditransplantasikan tersebut. Tindakan transplantasi ini harus
didahului dengan izin dari pendonor sebelum meninggalnya, atau dari ahli waris
sepeninggalnya, atau atas persetujuan pemerintah jika yang meninggal tersebut
tidak diketahui identitasnya atau tidak memiliki ahli waris.
g. Patut diperhatikan, bahwa kesepakatan para ulama tentang dibolehkannya
transplantasi ialah pada kondisi-kondisi yang telah nyata (keperluannya). Juga
disyaratkan bahwa tidak boleh mendapatkan organ tubuh dengan cara jual beli,
karena jual beli organ tubuh manusia adalah dilarang dalam kondisi
bagaimanapun juga. Adapun jika pihak resipien memberikan imbalan atas
kesungguhan pendonor (atau keluarganya) dengan harapan memperoleh organ
tubuh ketika darurat atau jika imbalan tersebut sebagai pengganti jerih payah
dan penghormatan,291 maka ini menjadi bahan pertimbangan dan ijtihad para
ulama.
h. Setiap keadaan dan penggunaan organ yang selain dari yang telah disebutkan,
maka itu termasuk kepada perkara yang masih perlu diperbincangkan lebih
lanjut. Untuk itu harus dikaji dan ditelaah pada pertemuan yang akan datang.

290
Sementara itu donor tersebut masih mempunyai satu mata lagi yang mampu
untuk melihat. Kornea yang dieksplantasi tersebut masih berfungsi baik, meskipun organ-
organ di sekitarnya sudah tidak berfungsi, sehingga dilakukan tindakan eksplantasi tersebut.
291
Penghormatan kepada donor atau keluarga donor organ tubuh yang diperlukan.

439
Apabila dipandang dari sisi donor, keputusan Majma‘ tersebut di atas dapat
diringkas dalam bentuk tabel berikut:

Boleh 1. Donor hidup:


a. Diri sendiri (autograft)
b. Terjadi regenerasi sel di organ tubuh pendonor pasca
transplantasi
c. Organ yang sudah dilepas/terlepas sebelum transplantasi
2. Donor mayat:
a. Organ-organ untuk fungsi vital resipien
3. Alat buatan (artificial):
b. Benda-benda halal dan/atau non-najis
c. Benda-benda yang mengandung najis

Dilarang Donor hidup:


Dapat mengakibatkan kematian pendonor
Dapat mengakibatkan hilangnya fungsi-fungsi vital pendonor

Tabel 13. Kesimpulan Majma‘ tentang Transplantasi dari Sisi Pendonor

Pembahasan Terkait
Dalam mu'tamar-mu'tamar Majma' selama kurun waktu sampai dengan
2010, terdapat beberapa topik pembahasan terkait dengan topik-topik Transplantasi
Organ yang dibahas dalam Disertasi ini. Topik-topik tersebut merupakan derivasi
dan karenanya tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip yang telah dibahas pada
Topik Transplantasi Organ ini, sehingga dapat menjadi pembuka jalan bagi peneliti
selanjutnya untuk menganalisa t}ari>q al-istinba>t} Majma‘ al-Fiqh dalam topik-topik
terkait tersebut. Topik-topik pembahasan yang dimaksud ialah:
1. Transplantasi Otak dan Sumsum Tulang Belakang ( )
2. Penggunaan Janin untuk Transplantasi Organ
( )
3. Transplantasi Anggota Tubuh pada Orang Cacat Akibat Hukum Qis}a>s}
( )
4. Stem Cell ( )

440
BAB VIII
PENUTUP

Dari bab-bab terdahulu, tampak bahwa ijtihad dalam bidang kedokteran dan
kesehatan memerlukan pengetahuan dengan sumber-sumber hukum Islam, berikut
cara-cara penerapannya.

A. Kesimpulan
Hasil penelitian dalam disertasi ini menyimpulkan bahwa dalil yang
digunakan oleh Majma‘ al-Fiqh al-Isla>mi> al-Dawli> berikut urutan prioritasnya ialah
sadd al-dhari>‘ah, al-istih}sa>n, al-mas}lah}ah al-mursalah, al-‘urf, dan yang terakhir
ialah al-istis}h}a>b,. Al-Istih}sa>n yang dimaksud, khususnya ialah al-istih}sa>n bi qa>‘idah
raf‘ al-h}araj wa al-mashaqqah dan al-istih}sa>n bi al-mas}lah}ah.
Hal tersebut membuktikan bahwa semakin suatu tindakan medis membawa
kepada kerusakan (mafsadat) yang lebih besar, maka lebih cenderung digunakan
dalil yang bersifat preventif.
Alasan terhadap kesimpulan di atas ialah:
1. Topik bahasan Inseminasi Buatan dan Bayi Tabung; menggunakan metode al-
istis}h}a>b (yaitu al-bara>'ah al-as}li>yah), al-mas}lah}ah al-mursalah, sadd al-dhari>‘ah,
dan al-‘urf (yaitu ‘urf ‘amali>).
2. Topik bahasan Bank Sperma; menggunakan metode sadd al-dhari>‘ah.
3. Topik bahasan Rahim Titipan; menggunakan metode sadd al-dhari>‘ah, al-‘urf
(yaitu ‘urf qawli>), dan al-istih}sa>n bi qa>‘idah raf‘ al-h}araj wa al-mashaqqah.
4. Topik bahasan Bank Air Susu Ibu; menggunakan metode al-istih}sa>n bi al-nas}s}
dan sadd al-dhari>‘ah.
5. Topik bahasan Alat Bantu Hidup dan Penentuan Kematian; menggunakan
metode al-istis}h}a>b, al-istih}sa>n bi qa>‘idah raf‘ al-h}araj wa al-mashaqqah, sadd
al-dhari>‘ah, al-mas}lah}ah al-mursalah (yaitu mas}lah}ah d}aru>ri>yah), dan al-‘urf
(yaitu ‘urf qawli> yang menjadi mulzim).
6. Topik bahasan Transplantasi Organ; menggunakan metode al-mas}lah}ah al-
mursalah dan al-istih}sa>n bi al-mas}lah}ah.

Sadd al- Istih}sa>n Mas}lah}ah ‘Urf Istis}h}a>b


dhari>‘ah mursalah
Inseminasi buatan & bayi V VV V
tabung
Bank sperma V
Rahim titipan V V V
Bank ASI V V
Alat bantu hidup & V V V V V
penentuan kematian
Transplantasi Organ V V
Tabel 14. Kesimpulan Penggunaan Dalil dalam Masalah Kedokteran

441
Menurut penelitian penulis, para ulama Majma‘ tidak menggunakan dalil
Al-Qur'a>n, al-Sunnah, al-Ijma>‘, maupun al-Qiya>s secara langsung dalam
memutuskan fatwa-fatwa (qara>ra>t) yang dibahas dalam disertasi ini. Hal tersebut
karena tidak ada nas}s} yang spesifik untuk dapat dijadikan sandaran dalil dalam
masalah-masalah tersebut. Oleh karenanya mereka pun beralih dari dalil-dalil yang
disepakati (muttafaq ‘alayha>) kepada dalil-dalil pada peringkat selanjutnya, yaitu
dalil-dalil atau metodologi us}u>l al-fiqh yang tidak disepakati (mukhtalaf fi>ha>).
Adapun penarikan kesimpulan langsung dari dalil-dalil yang disepakati
hanya terdapat pada penentuan nasab kepada ibu yang mengandung dan pada
definisi kematian (yaitu lepasnya roh dari badan). Keduanya menggunakan
pendekatan kebahasaan mafhu>m muwa>faqah terhadap dalil-dalil Al-Qur'a>n dan al-
Sunnah. Demikian pula para ulama Majma‘ mendefinisikan susuan (rad}a>‘) dengan
cara al-jam‘ wa al-tawfi>q dari dalili-dalil Al-Qur'a>n dan al-Sunnah.
Selain itu, tidak didapati adanya dissenting opinion pada Keputusan
Majma‘, meskipun terdapat ulama Majma‘ yang berbeda pendapat.

B. Saran-saran

Topik-topik yang dibahas dalam penelitian adalah yang cukup krusial dan
menjadi pokok dari sejumlah topik berikutnya. Sebagai suatu saran teoritik, penulis
merekomendasikan bagi para peneliti berikutnya untuk meneliti pembahasan dan
keputusan Majma‘ mengenai:
1. Diagnosa dan Terapi oleh Dokter Pria pada Pasien Wanita ( )
2. Inseminasi In-Vitro Ketika Sangat Diperlukan ( )
3. Keluarga Berencana ( )
4. Transplantasi Organ Reproduksi ( )
5. Izin pada Tindakan Operasi Gawat Darurat ( )
6. Operasi Kecantikan dan Hukum-hukum Fikih Tentangnya
( )
7. Kloning Manusia ( )
8. Jenis-jenis Terapi yang Membatalkan Puasa ( )
9. Penyakit Diabetes dan Puasa pada Bulan Ramadhan
( )
10. Penyakit AIDS dan Hukum-hukum Fikih yang Terkait Dengannya
( )
11. Tanggungjawab Profesi Dokter ( )
12. Transplantasi Otak dan Sumsum Tulang Belakang ( )
13. Penggunaan Janin untuk Transplantasi Organ
( )
14. Transplantasi Anggota Tubuh pada Orang Cacat Akibat Hukum Qis}a>s}
( )
15. Stem Cell ( )

442
Menilik kepada kompleksitas problem kedokteran kontemporer, maka
keputusan-keputusan hukum Islam tentangnya disarankan dilakukan oleh himpunan
para ahli dari berbagai bidang yang relevan. Untuk itu penulis merekomendasikan
hal-hal berikut:
1. Dibutuhkan pengetahuan us}u>l al-fiqh yang mendalam bagi para fuqaha>',
khususnya tentang al-us}u>l mukhtalaf fi>ha> dan fikih perbandingan.
2. Diperlukan ijtihad kolektif, yang dalam proses ijtihad tersebut, juga melibatkan
para pakar dalam bidang yang akan diputuskan hukumnya tersebut.
3. Berdasarkan sejumlah keunggulan yang dimiliki Majma‘ al-Fiqh al-Dawli>
Munaz}z}amah al-Ta‘a>wun al-Isla>mi>, maka lembaga ini sangat baik dijadikan
acuan dan contoh (benchmark) bagi lembaga-lembaga fatwa di Indonesia.
4. Bagi Sekolah Pasca Sarjana UIN dan pendidikan pasca sarjana ilmu keislaman
lainnya, diperlukan materi kajian fikih dalam kategori topik-topik kontemporer.
5. Bagi Fakultas Kedokteran UIN dan Sentra Kajian Kedokteran Islam lainnya,
diperlukan komitmen dan kerjasama dengan profesi keilmuan Islam untuk
dapat menghasilkan kajian-kajian kedokteran dalam kerangka syariah islam.

Demikianlah kesimpulan dan saran dari penelitian ini. Semoga Alla>h


Taba>raka wa Ta‘a>la> menjadikan ini semua sebagai karya yang dilandasi keikhlasan
serta memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat luas.

443
444
DAFTAR PUSTAKA

A. JURNAL DAN BULETIN ILMIAH


"Adult Basic Life Support". Journal of American Medical Association, vol. 268, no.
16 (October 1992).
"Human Embryo ” A Biological Definition". Discussion Paper National Health and
Medical Research Council (Canberra: NHMRC Australian Government,
December 2005), 9-10.
"The State of the International Organ Trade: a Provisional Picture Based on
Integration of Available Information". WHO International Bulletin, vol. 85,
no. 12 (December 2007): 901-980.
Abdelgadir, Mohammed Abdelgafoor, Hussain Gadelkarim Ahmed. "A Successful
Treatment of Blocked Fallopian Tubes Following Short Wave Diathermy".
Management in Health, vol. 17, no. 1 (2013): 1-2.
Abrahams, Sheryl W., Miriam H Labbok. "Exploring the Impact of the Baby-
Friendly Hospital Initiative on Trends in Exclusive Breastfeeding".
International Breastfeeding Journal, vol. 4, issue11 (2009): 1-19.
Abyholm, et al. "In Vivo Fertilization Procedures in Infertile Women with Patent
Fallopian Tubes: A Comparison of Gamete Intrafallopian Transfer,
Combined Intrauterine and Intraperitoneal Insemination, and Controlled
Ovarian Hyperstimulation Alone". Journal Of Assisted Reproduction And
Genetics, vol. 9, issue1 (Feb, 1992): 19-23.
Ad Hoc Committee of the Harvard School of Medicine. "A Definition of
Irreversible Coma". Journal of American Medical Association 205 (1968):
85-88.
Akande, V., et al. "Impact of Chlamydia Trachomatis in the Reproductive Setting:
British Fertility Society Guidelines for Practice". Human Fertility (Cambridge),
13(3) (2010): 115-125.
Allamaneni, Shyam S.R., et al. "Comparative Study on Density Gradients and
Swim-Up Preparation Techniques Utilizing Neat and Cryopreserved
Spermatozoa". Asian Journal of Andrology, vol. 7, issue 1 (2005): 86-92.
Alper, Michael M., et al. "Is Your IVF Programme Good?" Human Reproduction,
vol.17, no.1 (2002): 8”10.
American Academy of Neurology. "Practice Parameters: Determining Brain Death
in Adults". Neurology 45 (1995): 1012-1014.
American Academy of Pediatrics. "Work Group on Breastfeeding: Breastfeeding
and the Use of Human Milk". Pediatrics 100 (1997): 1035-1039.

445
American Heart Association. "2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care
Science". Circulation, vol. 122, issue 18 (November 2010): suppl 3.
American Society For Reproductive Medicine. "Age and Fertility". A Guide for
Patients, Patient Information Series, Booklet revised 2012.
American Society for Reproductive Medicine/Society for Assisted Reproductive
Technology Registry (ASRM/SART). "Assisted Reproductive Technology
in the United States: 2000 Results Generated from the American Society
for Reproductive Medicine/Society for Assisted Reproductive Technology
Registry". Fertility and Sterility, vol. 81, no. 5 (2004): 1207”1220.
Anderson, James W., Bryan M. Johnstone, Daniel T. Remley. "Breast-Feeding and
Cognitive Development: a Meta-Analysis". American Journal of Clinicl
Nutrition, vol. 70, no. 4 (October 1999): 525-535.
ANZICS. The ANZICS Statement on Death and Organ Donation, edition 3.2
(2013): 17.
Archer, D.F., K. McIntyre-Seltman, W.W. Wilborn, et al. "Endometrial
Morphology in Asymptomatic Postmenopausal Women". American Journal
of Obstetrics and Gynecology 165 (1991): 317”322.
Arquhar, C.M., S.A. Harvey, et al. "A Prospective Study of 3 Years of Outcomes
After Hysterectomy with and without Oophorectomy". American Journal
of Obstetrics and Gynecology 194 (2006): 711”717.
Ashraf, C.M., et al. "Microdissection Testicular Sperm Extraction (Micro-TESE):
Results of a Large Series from India". Andrology, vol. 3, no. 1 (2014): 1-8.
Ashraf, Mohamed C., et al. "Micro-Dissection Testicular Sperm Extraction as an
Alternative for Sperm Acquisition in the Most Difficult Cases of
Azoospermia: Technique and Preliminary Results in India". Journal of
Human Reproductive Sciences, vol. 6, no. 2 (April-June 2013): 111-123.
Atcheson, S.G., H.L. Fred. "Letter: Complications of Cardiac Resuscitation".
American Heart Journal, vol. 89, issue 2 (1975): 263-265.
Auer, R.N., B.K. Siesjo. "Hypoglycaemia: Brain Neurochemistry and
Neuropathology". Baillière's Clinical Endocrinology and Metabolism, vol.
7, issue 3 (July 1993): 611”625.
Auersperg, N., I.A. MacLaren, P.A. Kruk. "Ovarian Surface Epithelium:
Autonomous Production of Connective Tissue-Type Extracellular Matrix".
Biology of Reproduction 44 (1991): 717”724.

Auwera, I.V., S. Debrock, C. Speissens, et al. "A Prospective Randomized Study:


Day 2 Versus Day 5 Embryo Transfer". Human Reproduction 17
(2002):1507-1512.

446
Bahadur, G. "Death and Conception". Human Reproduction, vol. 17, no. 10 (2002):
2769”2775.
Bajwa, S.S., R. Jindal. "Endocrine Emergencies in Critically Ill Patients:
Challenges in Diagnosis and Management. Indian Journal of Endocrinology
and Metabolism 16 (2012): 722”727.
Bangal, Vidyadhar B. et al. "Pregnancy Outcome Following Cervical Encerclage
Operation". International Journal of Biomedical Research, vol. 3, issue 04
(2012): 205‐208.
Banu, J., S.R. Begum, P. Fatima. "Association of Pelvic Tuberculosis with Tubal Factor
Infertility". Mymensingh Medical Journal 18 (1), (2009): 52-55.
Barlogie, B, S. Mattox, et al. "Total Therapy with Tandem Transplants for Newly
Diagnosed Multiple Myeloma". Blood Journal 93 (1999): 55”65.
Barratt, C.L.R., I.D. Cooke. "Sperm Transport in the Human Female Reproductive
Tract: a Dynamic Interaction". Internatioanl Journal of Andrology 14
(1991): 394.
Baylis, Francaoise. "Human Cloning: Three Mistakes and an Alternative". Journal
of Medicine and Philosophy, vol. 27, no. 3 (2002): 319-337.
Bechtel, William. "The Cell: Locus or Object of Inquiry?" Studies in History and
Philosophy of Biological and Biomedical Sciences 41 (2010): 172”182.
Belien, Paul. "Polygamy All Over the Place". The Brussel Journal ” The Voice of
Conservatism in Europe, http://www.brusselsjournal.com/node/480.
Diakses pada 1 Agustus 2014.
Berg, Robert A., Arthur B. Sanders. "Adverse Hemodynamic Effects of
Interrupting Chest Compressions for Rescue Breathing During
Cardiopulmonary Resuscitation for Ventricular Fibrillation Cardiac
Arrest". Circulation 104 (2001): 2465-2470.
Bernard, Luther Lee. "Instincts and the Psychoanalysts". Journal of Abnormal
Psychology and Social Psychology, XVII (1922): 350-366.
Beyer-Berjot, L., F. Joly. "Intestinal Transplantation: Indications and Prospects".
Journal of Visceral Surgery, vol. 149, issue 6 (December 2012): 380-384.
Boldt, Jeffrey, Donald Cline, David McLaughlin. "Human Oocyte Cryopreservation
as an Adjunct to IVF-Embryo Transfer Cycles". Human Reproduction, vol.
18, no. 6 (2003): 1250-1255.
Bonduelle, M., U. Wennerholm, A. Loft, et al. "A Multi-Centre Cohort Study of
the Physical Health of 5-Year-Old Children Conceived After
Intracytoplasmic Sperm Injection, In Vitro Fertilization and Natural
Conception". Human Reproduction, vol. 20, no. 2 (2005): 413”419.

447
Borges Jr., Edson. "Testicular Sperm Results in Elevated Miscarriage Rates
Compared to Epididymal Sperm in Azoospermic Patients". Sao Paulo
Medical Journal, vol. 120, issue 4 (2002): 122-126.
Bossaert, L. L. "Fibrillation and Defibrillation of the Heart". British Journal of
Anaesthesia 79 (1997): 204-206.
Braude, P., V. Bolton, S. Moore. "Human Gene Expression First Occurs between
the 4- and 8-Cell Stages of Preimplantation Development". Nature 332
(1988): 459”461.
Buckett, W., S. Tan. "Congenital Abnormalities in Children Born After Assisted
Reproductive Techniques: How Much is Associated with the Presence of
Infertility and How Much Wth its Treatment?" Fertility and Sterility, vol.
84. issue 5 (2005): 1318”1319.
Cahn, Naomi, Jennifer Collins. "Health Law - Fully Informed Consent for
Prospective Egg Donors". American Medical Association Journal of Ethics,
vol. 16, no. 1 (January 2014): 49-56.
Camarata, Samuel J. "Cardiac Arrest in the Critically Ill: I. A Study of Predisposing
Causes in 132 Patients". Circulation 44 (1971): 688-695.
Cand, Babichan K. "World Health Organization: Fact Sheet". Kuwait Journal, vol.
39, no. 2 (2007): 203-208.
Carabatsosa, Mary Jo, et al. "Characterization of Oocyte and Follicle Development
in Growth Differentiation", Journal of Developmental Biology, vol. 204,
issue 2 (15 December 1998): 373”384.
Carbone, Marco, James M. Neuberger. "Autoimmune Liver Disease, Autoimmunity
and Liver Transplantation". Journal of Hepatology, vol. 60 (2014): 210”
223.
Cardinal, Rudolf. Reproduction ” Fetal Development, Placenta And Maternal
Physiology 22/24 (November 1998): 1-4.
Cardwell, Michael S. "Locked-In Syndrome". The Journal of Texas Medicine, vol.
109, issue 2 (February 2013): e1.
Chaabani, Hassen. "A Theoretical Ovary Position in Link with the Global
Anatomical Structure of Each Human Female Body". International Journal
of Modern Anthropology 6 (2013): 78-84.
Chambers, Georgina M. "Assisted Reproductive Technology: Public Funding and
the Voluntary Shift to Single Embryo Transfer in Australia". Medical
Journal of Australia 195 (10) (November 2011): 594-599.
Chughtai, B., A. Sawas, R.L. O'malley, et al. "A Neglected Gland: A Review of
Cowper's Gland". International Journal of Andrology, vol. 28, issue 2 (April
2005): 74”77.

448
Cibelli, Jose B. "Somatic Cell Nuclear Transfer in Humans: Pronuclear and Early
Embryonic Development". The Journal of Regenerative Medicine, vol. 2
(November 2001): 25-31.
Clarke, G.N., H. Bourne, P. Hill. "Artificial Insemination and In-Vitro Fertilization
Using Donor Spermatozoa: A Report on 15 Years of Experience". Human
Reproduction, vol.12, no.4 (1997):.722”726.
Cohen, J., H. Jones. "Assisted Reproduction. Rules and Laws. International
Comparisons". Contraception Fertilité Sexualité 27 (1999): I-VII.
Conde, Jaime E. "Embryo Donation: The Government Adopts a Cause". William &
Mary Journal of Women and the Law, vol. 13, issue 1, article 7 (2006):
273-303.
Conference of Medical Royal Colleges in U.K. "Diagnosis of Death". British
Medical Journal (1976): 1187-1188, 3320.
Confino, E., E. Radwanska. "Tubal Factors in Infertility". Current Opinion in
Obstetrics and Gynecology, 4(2) (April 1992): 197-202.
Cooper, M.S., P.M. Stewart. "Adrenal Insufficiency in Critical Illness". Journal of
Intensive Care Medicine 22 (2007): 348”62.
Cooperstock, Michael S., et al. "Twin Birth Weight Discordance and Risk of
Preterm Birth". American Journal of Obstetrics & Gynecology, vol. 183,
issue 1 (July 2000): 63”67.
Cranford, R.E. "Minnesota Medical Association Criteria. Brain Death: Concept and
Criteria I". Missouri Medicine Journal 61 (1978): 561-563..
Cronin, Antonia J. "Directed and Conditional Deceased Donor Organ Donations:
Laws and Misconceptions". Medical Law Review 18 (Autumn 2010): 275”
301.
Cronin, Antonia J., D. Price. "Directed Organ Donation: Is the Donor the Owner?".
Clinical Ethics 3 (2008): 127 ” 131.
Davison, Alex M. "Commercialization in Organ Donation". Nephrology Dialysis
Transplantation Journal 9 (1994): 348-349.
De Kretser, D.M. "Spermatogenesis". Human Reproduction, vol. 13, supplement 1
(1998): 1-8.
De Sutter, Petra, Liv Veldeman, Pascale Kok. "Comparison of Outcome of
Pregnancy After Intra-Uterine Insemination (IUI) and IVF". Human
Reproduction, vol. 20, no. 6 (2005): 1642”1646.
Den Hartogh, Govert. "The Role of the Relatives in Opt-In Systems of Postmortal
Organ Procurement". Medical Health Care Philosophy Journal, vol. 15,
issue 2 (May 2012): 195”205.
Deogaonkar, K., K. Shokrollahi, W.A. Dickson. "Haemothorax: A Potentially Fatal
Complication of Subclavian Cannulation - A Case Report". Resuscitation
Journal, vol. 72, issue 1 (January 2007): 161-163.
449
Djahanbakhch, Ovrang, Ertan Saridogan, M. Ertan Kervancioglu, et al. "Secretory
Function of the Fallopian Tube Epithelial Cells In Vitro". Trophoblast
Research 13 (1999): 87-104.
Douglas, Thomas, Pieter Bonte. "Coercion, Incarceration, and Chemical Castration:
An Argument From Autonomy". Bioethical Inquiry Journal 10 (2013):
393”405.
Duke, G. J. "Cardiovascular Effects of Mechanical Ventilation". Critical Care and
Resuscitation, Journal of the Australasian Academy of Critical Care
Medicine 1 (1999): 388-399.
Dulioust, E., Busnel, M.C., Carlier, M., et al. "Embrio Cryopreservation and
Development: Facts, Questions and Responsibility". Human Reproduction,
vol. 14 (1999): 1141-1145.
Dwyer, R., F. Colreavy, D. Phelan. "Diagnosis of Brain Death & Medical
Management of the Organ Donor ” Guidelines for Adult Patients".
Intensive Care Society of Ireland (2010): 3.
Edibam, C. "Ventilator-Induced Lung Injury and Implications for Clinical
Management". Critical Care and Resuscitation, Journal of the Australasian
Academy of Critical Care Medicine 2 (2000): 269-277.
Edwards, R.G. "A Decade of In Vitro Fertilization". Research in Reproduction 22
(1990):1.
Edwards, R.G., H.K. Beard. "Blastocyst Stage Transfer: Pitfalls and Benefits".
Human Reproduction 14 (1999): 1-6.
Eisen, Howard, R. Heather. "Optimizing the Immunosuppressive Regimen in Heart
Transplantation". The Journal of Heart and Lung Transplantation, vol. 23,
issue 5 (May 2004): S207-S213.
Ella, E.E. et al. "Lactoferrin Levels in Human Breast Milk among Lactating
Mothers with Sick and Healthy Babies in Kaduna State, Nigeria".
International Journal of Medicine and Medical Science, vol. I, issue 11
(2009): 495-500.
Erin, C.A., J. Harris. "Presumed Consent or Contracting Out". Journal of Medical
Ethics 25 (1999): 365”366.
ESHRE Task Force on Ethics and Law. "The Cryopreservation of Human
Embryos". Human Reproduction, vol.16, no.5 (2001): 1049”1050.
ESHRE Task Force on Ethics and Law. "The Moral Status of the Pre-Implantation
Embrio". Human Reproduction, vol. 16 (2001): 1046-1048.
European Society of Human Reproduction and Embryology. "European IVF
Monitoring (EIM) Consortium". Focus on Reproduction (Sep 2010): 17.

450
Fadel, Hossam E. "The Islamic Viewpoint on New Assisted Reproductive
Technologies". Fordham Urban Law Journal, vol. 30, issue 1, Article 8
(2002): 147-157.
Feldman, H.A., I. Goldstein, D.G. Hatzichristou, et al. "Impotence and Its Medical
and Psychosocial Correlates: Results of the Massachusetts Male Aging
Study". Journal of Urology 151 (1994): 54”61.
Fitoussi, O., D. Simon, P. Brice, et al. "Tandem Transplant of Peripheral Blood
Stem Cells for Patients with Poor-Prognosis Hodgkin's Disease or Non-
Hodgkin's Lymphoma". Bone Marrow Transplant Journal 24 (1999): 747-
755.
Forti, Gianni, Csilla Krausz. "Clinical Review 100: Evaluation and Treatment of
the Infertile Couple". Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism,
vol. 83, no. 12 (1998): 4177-4188.
Fox, M., A. Snyder, et al. "The Human Brain is Intrinsically Organized into
Dynamic, Anticorrelated Functional Networks". Proceedings of the
National Academy of Sciences USA, vol. 102, issue 9673 (2005): 2.

Frutos-Vivar, Fernando, Andrés Esteban. "When to Wean From a Ventilator: An


Evidence-Based Strategy". Cleveland Clinic Journal of Medicine, vol. 70,
no. 5 (May 2003): 390-393.

Fung, Michelle, David Thompson, Garth Warnock. "Pancreatic Islet


Transplantation: A Review". British Columbia Medical Journal, vol. 46, no.
9 (November 2004): 457-460.
Gardner, D.K., W.B. Schoolcraft, L. Wagley, et al. "A Prospective Randomized
Trial of Blastocyst Culture and Transfer in In-Vitro Fertilization". Human
Reproduction, b, 13 (1998): 3434-3440.
Garrido, N., J.L. Zuzuarregui, M. Meseguer. "Sperm and Oocyte Donor Selection
and Management: Experience of a 10 Year Follow-Up of More Than 2100
Candidates". Human Reproduction, vol. 17, no. 12 (2002): 3142-3148.
Ghobashy, Alaa A. El-, Christopher R. West. "The Human Sperm Head: A Key for
Successful Fertilization". Journal of Andrology, vol. 24, no. 2 (March-April
2003): 232.
Gianaroli, Luca, Michelle Plachot, Roelof van Kooij, et al. "ESHRE Guidelines for
Good Practice in IVF Laboratories". Human Reproduction, vol.15 no.10
(2000): 2241”2246.
Ginter, Sotrel. "Is Surgical Repair of the Fallopian Tubes Ever Appropriate?" Review of
Obstetrics and Gynecology, vol. 2, no. 3 (2009): 176-185.
Gissler, M., R. Klemetti, et al. "Monitoring of IVF Birth Outcomes in Finland: A
Data Quality Study". BMC Medical Informatics and Decision Making, vol.
4 (2004): 3.

451
Gissler, Mika, et al. "Monitoring of IVF Birth Outcomes in Finland: A Data
Quality Study". BMC Medical Informatics and Decision Making, vol. 4,
no. 3 (2004): 1-9.
Gorgy, Amin, Barbara T. Podsiadly, Susan Bates, Ian L. Craft. "Testicular Sperm
Aspiration (TESA): The Appropriate Technique". Human Reproduction,
vol. 13, no. 4 (1998):.1111”1114.
Grimes, David A., Janie Benson, Susheela Singh, et al. "Unsafe Abortion: the
Preventable Pandemic". The Lancet Sexual and Reproductive Health
Series, vol. 368, issue 9550 (November 2006): 1908 ”1919.
Grow, D.R. "Metabolism of Endogenous and Exogenous Reproductive Hormones".
Obstetrics and Gynecology Clinics Of North America 2002, 29:425-436.
Grzeskowiak, M. "Knowing Potentially Reversible Causes of Cardiac Arrest Does
Not Influence Adequate Treatment in PEA (Pulseless Electrical Activity):
A‐814". Resuscitation and Emergency Medicine, European Journal of
Anaesthesiology, vol. 23, issue 2 (June 2006): 210”211.
Guariglia, L., et al. "Uterine Prolapse in Pregnancy". Gynecologic and Obstetric
Investigation 60 (2005): 192-194.
Guérit, J.M., M. Meulders. "Clinical Applications of the Quantification of the
Relationship between Body Temperature and Brain-stem Auditory Evoked
Potentials". Electroencephalogy Clinic Neurophysiology 52 (1981): S39”
40.
Gurmankin, Andrea D., Dominic Sisti, Arthur L. Caplan. "Embryo Disposal
Practices in IVF Clinics in the United States". Politics and the Life
Sciences, vol. 22, issue 2 (August 2004): 4-8.
Harris, J.B., P.G. Blain. "Neurotoxicology: What the Neurologist Needs to Know".
Journal of Neurology Neurosurgery Psychiatry, vol. 75, suppl. III (2004):
iii29”iii34.
Harvey, J. "Paying Organ Donors". Journal of Medical Ethics 16 (1990): 117-119.
Helgason, Cathy M. "Blood Glucose and Stroke". Stroke -The American Heart
Association Journal 19 (1988): 1049-1053.

Henkel, R.R., W.B. Schill. "Sperm Preparation for ART". Reproductive Biology
and Endocrinology 14 (2003): 108-130.

Henman, M., J.W. Catt, T. Wood T, et al. "Elective Transfer of Single Fresh
Blastocysts and Later Transfer of Cryostored Blastocysts Reduces the
Twin Pregnancy Rate and Can Improve the In Vitro Fertilization Live
Birth Rate in Younger Women". Fertility and Sterility 84 (2005): 1620-
1627.

452
Hertig, Arthur T., Eleanor C. Adams. "Ultrastructural and Histochemical
Observations on the Primordial Follicle Stage - Studies on the Human
Oocyte and Its Follicle". The Journai of Cell Biology, vol. 4 (1967): 647-
648.
Hiduja, I.N., A.K. Gupta, J.P. Shah. "Gamete Intra Fallopian Transfer: A
Preliminary Experience". The National Medical Journal of India, Vol.4,
No.2 (1991): 55-58.
Hilberman, Mark, Jean Kutner, et al. "Marginally Effective Medical Care: Ethical
Analysis of Issues in Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)". Journal of
Medical Ethics 23 (1997): 361-367.
Hirose, Keiko, Miki Enami, et al. "Basic Life Support Training for Single Rescuers
Efficiently Augments Their Willingness to Make Early Emergency Calls
with no Available Help: A Cross-over Questionnaire Survey". Journal of
Intensive Care 2 (2014): 28.
Hodson, Margaret E. "Transplantation Using Lung Lobes from Living Donors".
Journal of Medical Ethics 26 (2000): 419-421.
Holzmeister, Johannes, Christophe Leclercq. "Implantable Cardioverter
Defibrillators and Cardiac Resynchronisation Therapy". The Lancet, vol.
378, issue 9792 (August 2011): 722 ” 730.
Ilkka, Y., Jarvela, Aimo Ruokonen, Aydin Tekay. "Effect of Rising hCG Levels on
the Human Corpus Luteum During Early Pregnancy". Human
Reproduction, vol.23, no.12 (2008): 2775 ” 2781.
Ishihara, Osamu, Akira Kuwahara, Hidekazu Saitoh. "Frozen-Thawed Blastocyst
Transfer Reduces Ectopik Pregnancy Risk: An Analysis of Single Embryo
Transfer Cycles in Japan". Fertility and Sterility, vol. 95, Issue 6 (May
2011): 1966”1969.
Jacoby, Liva. "Solidarity: An Important Aspect of the ‚Opting In‛ Paradigm". The
American Journal of Bioethics, vol. 4, issue 4 (2004): 16-17.
Jones, G.R., W. Steketee, et al. "Bellagio Child Survival Study Group: How Many
Child Deaths Can We Prevent This Year?" The Lancet, vol. 362, issue 9377
(2003): 65-71.
Jonsen, Albert R. "History of Medicine: The Ethics of Organ Transplantation: A
Brief History". American Medical Association Journal of Ethics, vol. 14,
no. (3March 2012): 264-268.
Joynet, R.A. "New Look at Death". Journal of American Medical Association, vol.
252, issue 5 (1984): 680-682.
Jurewicz, W. Hanke, Radwan M, Bonde. "Environmental Factors and Semen
Quality". International Journal of Occupational Medicine & Environment
Health, vol. 22, issue 4 (2009): 305-329.

453
Kendirli, T., et al. "Mechanical Ventilation in Children". The Turkish Journal of
Pediatrics 48 (2006): 323-327.
Kennedy, M.C., J.L. Moran, et al. "Drugs and Brain Death". Medical Journal of
Australia 165 (1996):394”398.
Kerridge, I.H., P. Saul, et al. "Death, Dying and Donation: Organ Transplantation
and the Diagnosis of Death". Journal of Medical Ethics 28 (2002): 89”94.
Kezele, Phillip, Michael K. Skinner. "Regulation of Ovarian Primordial Follicle
Assembly and Development by Estrogen and Progesterone: Endocrine
Model of Follicle Assembly". Endocrinology, vol. 144, issue 8 (August
2003): 3329”3337.

Kimelman, Gerald. "Trends in Immunosuppression after Pancreas Transplantation:


What is in the Pipeline?". Current Opinion in Organ Transplantation, vol.
18, issue 1 (February 2013): 76”82.
Klevens, Edwards, Richards, et al. "Estimating Health Care Associated Infections
and Deaths in U.S. Hospitals 2002". Public Health Reports, Journal of U.S.
Government 122 (2007): 160-166.
Kliman, H., J. Nestler, et al. "Purification, Characterization, and In Vitro
Differentiation of Cytotrophoblasts from Human Term Placentae".
Endocrinology 118 (1996): 1567”1582.
Knoop, C., et al. "Immunosuppressive Therapy After Human Lung
Transplantation". European Respiratory Journal 23 (2004): 159”171.
Kobashigawa, Jon A. "Strategies in Immunosuppression After Heart
Transplantation: Is Less Better?" Circulation: Heart Failure 4 (2011): 111-
113.
Koenig, Álvaro. "Immunologic Factors in Human Milk: The Effects of Gestational
Age and Pasteurization". Journal of Human Lactation, vol. 21, issue 4
(2005): 439-443.
Koivurova, S., A.L. Hartikainen, M.R. Järvelin, et al. "Neonatal Outcome and
Congenital Malformations in Children Born after In-Vitro Fertilization".
Human Reproduction, vol. 17 (2002): 1391-1398.
Koli, Pramila. "Intrauterine Insemination: A Retrospective Review on
Determinants of Success". International Journal of Reproduction,
Contraception, Obstetrics and Gynecology, vol. 2, no. 3 (September 2013):
311-314.
Krischer, J.P., et al. "Complications of Cardiac Resuscitation". Chest Journal, vol.
92, issue 2 (1987): 287-291.
Lacey, Linda J. "The Law of Artificial Insemination and Surrogate Parenthood in
Oklahoma: Roadblocks to the Right to Procreate". Tulsa Law Journal, vol.
22, no. 3 (Spring 1987): 281-324.

454
Lammi-Keefe, Carol J., Robert G. Jensen. "Fat-Soluble Vitamins in Human Milk".
Nutrition Reviews, vol. 42, issue 11 (November 1984): 365”371.
Leger, Patrick, et al. "Clinical Indications for Noninvasive Positive Pressure
Ventilation in Chronic Respiratory Failure Due to Restrictive Lung
Disease, COPD, and Nocturnal Hypoventilation„A Consensus Conference
Report". Chest Journal, vol. 116, issue 2 (1999): 521-534.
Leridon, H., R. Slama. "The Impact of a Decline in Fecundity and of Pregnancy
Postponement on Final Number of Children and Demand for Assisted
Reproduction Technology". Oxford Journals of Medicine, Human
Reproduction, vol. 23, Issue 6 (2008): 1312-1319.

Leung, Jo Jo, Joel Fish. "Skin Grafts". University of Toronto Medical Journal, vol.
86, no. 2 (March 2009): 61-64.
Levit-Binnun, Nava, Michael Davidovitch, Yulia Golland. "Sensory and Motor
Secondary Symptoms as Indicators of Brain Vulnerability". Journal of
Neurodevelopmental Disorders 5 (2013): 26.
Lewis-Jones, D.I., M.R. Gazvani, R. Mountford. "Cystic Fibrosis in Infertility:
Screening Before Assisted Reproduction". Human Reproduction, vol. 15,
no. 11 (2000): 2415”2417.
Lim, Wai H., Robin M. Turner, et al. "Acute Rejection, T-Cell”Depleting
Antibodies, and Cancer After Transplantation". Transplantation Journal,
vol. 97, no. 8 (2014): 817-825.
Linden, P.K. "History of Solid Organ Transplantation and Organ Donation".
Critical Care Clinics Journal, vol. 25, issue 1 (2009): 165-184.
López-Fernández, Carmen. "Inter-Center Variation in the Efficiency of Sperm
DNA Damage Reduction Following Density Gradient Centrifugation".
Natural Science, vol. 5, no. 7A (2013): 15-20>
Loumaye, E., R. Campbell R, J. Salat-Baroux. " Human Follicle-Stimulating
Hormone Produced by Recombinant DNA Technology: A Review for
Clinicians". Human Reproduction Update, vol. 1, issue 2 (1995): 188-199.
Machado, Calixto. "Diagnosis of Brain Death". Neurology International, vol. 2, e. 2
(2010): 7-14.
Madden, B.P., K. Kamalvand. "The Medical Management of Patients with Cystic
Fibrosis Following Heart-Lung Transplantation". Europian Respiratory
Journal 6 (1993): 965-970.
Mangalraj, A.M., K. George, et al. "Blastocyst Stage Transfer vs Cleavage Stage
Embryo Transfer". Journal of Human Reproduction Science 2 (2009): 23-
26.
Mathew, J.L. "Effect of Maternal Antibiotics on Breast Feeding Infants".
Postgraduate Medical Journal 80 (2004): 196-200.

455
Maurer, J.R., J. Ryu, G. Beck, et al. "Lung Transplantation in the Management of
Patients with Lymphangioleiomyomatosis: Baseline Data from the NHLBI
LAM Registry". Journal of Heart Lung Transplantation, vol. 26, issue 12
(2007): 1293-1299.
Mazzaferro, V., E. Regalia, R. Doci, et al. "Liver Transplantation for the Treatment
of Small Hepatocellular Carcinomas in Patients with Cirrhosis". New
England Journal of Medicine 334 (1996): 69.
McMahon, Catherine A., Frances L.Gibson, Garth I. Leslie, et al. "Embryo
Donation for Medical Research: Attitudes and Concerns of Potential
Donors". Human Reproduction, vol.18, no.4 (2003): 871-877.
Meniru, Godwin I., Amin Gorgy, Safira Batha. "Studies of Percutaneous
Epididymal Sperm Aspiration (PESA) and Intracytoplasmic Sperm
Injection". Human Reproduction Update, vol. 4, no. 1 (1998): 57”71.
Mittwoch, Ursula. "Parthenogenesis". Journal of Medical Genetics, vol. 15, issue 3
(June 1978): 165”181.
Moberg, Uvnäs, D.K. Prime. "Oxytocin Effects in Mothers and Infants During
Breastfeeding". Infant, vol. 9, issue 6 (November 2013): 201-206.
Mohr, M., D. Kettler. "Ethical Aspects of Resuscitation". British Journal of
Anaesthesia 97 (1997): 253-259.
Mollaret, P., M. Goulon. "Le Coma de Passe". Review of Neurology 101 (1959): 3-
15.
Monchek, Ruth. "The Whole Truth About IUDs". American Journal of Nursing,
vol. 110, no. 6 (June 2010): 53-56.
Mondal, S.K., T.K. Dutta. "A Ten Year Clinicopathological Study of Female
Genital Tuberculosis and Impact on Fertility". Journal of Nepal Medical
Association, 48(173) (Jan-Mar 2009): 52-57.
Morrison, L.J. et al. "Part 3: Ethics: 2010 American Heart Association Guidelines
for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care".
Journal of American Heart Association, Circulation, vol. 122, no.18, suppl.
3 (2010): S665-675.
Mosher, W.D., et al. "Use of Contraception and Use of Family Planning Services in
the United States: 1982-2002". Advance Data United States Health
Resources Administration National Center for Health Statistics (US) 350
(2004):1-36.
Motto, Beth D., et al. "Embryo Donation/Adoption". National Embyo Donation
Academy Reference Manual (2011): 43.
Mulia, Erwin, Bambang B. Siswanto,"Cardiocerebral Resuscitation: Advances in
Cardiac Arrest Resuscitation", Medical Journal of Indonesia, vol. 20, no. 4
(November 2011): 306-309.

456
Murphy V.E., R.J. Fittock, P.K. Zarzycki, et al. " Metabolism of Synthetic Steroids
by the Human Placenta". Placenta, vol. 28, issue 1 (January 2007): 39-46.
Murphy, Donald J., David Burrows, et al. "The Influence of the Probability of
Survival on Patients' Preferences Regarding Cardiopulmonary
Resuscitation". The New England Journal of Medicine 330 (February
1994): 545-549.
Mutlu, et al. "Prevention and Treatment of Gastrointestinal Complications in
Patients on Mechanical Ventilation". American Journal of Respiratory
Medicine 2 (2003): 395-411.
Mutlu, G., E. Mutlu, P. Factor. "GI Complications in Patients Receiving
Mechanical Ventilation". Chest Journal 119 (2001): 1222-1241.
Muzii, L., M.I. Sereni, C. Battista, et al. "Tubo-Peritoneal Factor of Infertility:
Diagnosis and Treatment". La Clinica Terapeutica (English version),
161(1) (2010): 77-85.
Myerburg, Robert J., Agustin Castellanos. "Chapter 256: Cardiovascular Collapse,
Cardiac Arrest, And Sudden Cardiac Death". Harrison's Principles of
Internal Medicine, 1618.
National Institute of Health Consensus Development Panel on Impotence. "NIH
Consensus Conference: Impotence". Journal of American Medical
Associaton 270 (1993): 83-90.
Navarrete, T., et al. "The Relationship Between Fertility Potential Measurements
on Cryobanked Semen and Fecundity of Sperm Donors". Human
Reproduction, vol. 15, issue 2 (2000): 344-350.
Nesher, E., E. Island, P. Tryphonopoulos, et al. "Split Liver Transplantation".
Transplantation Proceedings 43 (2011): 1736-1741.
Noel-Weiss, Joy, et al. "Questioning Current Definitions for Breastfeeding
Research". International Breastfeeding Journal, vol. 7, no. 9 (2012); 1-4.
Norwitz, E.R., D.J. Schust, S.J. Fisher. "Implantation and the Survival of Early
Pregnancy". The New England Journal of Medicine 345 (2001): 1400-
1408.
O'Brien, M.D. "Criteria for Diagnosing Brain Stem Death". British Medical Journal
301 (July 1990): 108-109.
Orr, R.D., M. Siegler. "Is Posthumous Semen Retrieval Ethically Permissible?"
Journal of Medical Ethics 28 (2002): 299”303.
Ota, K. "Current Status of Organ Transplants in Asian Countries". Transplantation
Proceedings, vol. 36, issue 9 (2004): 2535-2538.
Palermo, G., H. Joris, P. Devroey, A. Van Steirteghem. "Pregnancies After
Intracytoplasmic Injection of Single Spermatozoon into an Oocyte". The
Lancet 340 (1992): 17”18.
457
Palermo, G., P. Devroey, M. Camus. "Zygote Intra-Fallopian Transfer as an
Alternative Treatment for Male Infertility". Human Reproduction, vol. 4,
issue 4 (1989): 412-415.
Pallis, C. "Diagnosis of Brain Stem Death II". British Medical Journal (1982);
1641-1644.
Pallis, C. "From Brain Death to Brain Stem Death". British Medical Journal 285
(1982): 1486-1490.
Pallis, Christopher. "Brainstem Death -- the Evolution of a Concept". Medico-
Legal Journal 55 (1987): 84-107.
Pallis, Cristopher. "ABC of Brain Stem Death". British Medical Journal 285
(1981): 1409-1412.
Pavletic, Z. Steven, James O. Armitage, et al. "Bone Marrow Transplantation for
Cancer „ An Update". The Oncologist, vol. 1 no. 3 (June 1996): 159-168.
Peter, J.V., A.T. Prabhakar, K. Pichamuthu. "In-Laws, Insecticide and a Mimic of
Brain Death", The Lancet 371 (2008):622.
Post, Stephen G. "Altruism, Happiness, and Health: It’s Good to Be Good".
International Journal of Behavioral Medicine, vol. 12, no. 2 (2005): 66”77.
Practice Committees of American Society for Reproductive Medicine, Society for
Assisted Reproductive Technology. "Mature Oocyte Cryopreservation: A
Guideline". Fertility and Sterility 99 (2013): 37”43.
Prakash, Prashant, Kavita Krishna, Deepansh Bhatia. "Complications of
Mechanical Ventilation". Journal, Indian Academy of Clinical Medicine,
vol. 7, no. 3 (July-September, 2006): 199-201.
Pundir, J., B.J. Auld. "A Review of the Management of Diseases of the Bartholin's
Gland". Journal of Obstetrics & Gynaecology, vol. 28, no. 2 (2008): 161-
165.
Raisler, J., C. Alexander, P. O'Campo. "Breast-feeding and Infant Illness: a Dose-
Response Relationship?" American Journal of Public Health January, vol.
89, no. 1 (1999): 25-30.
Rao, Panduranga S., Akinlolu Ojo. "The Alphabet Soup of Kidney Transplantation:
SCD, DCD, ECD„Fundamentals for the Practicing Nephrologist". Clinical
Journal of the American Society of Nephrology 4 (2009): 1827”1831.
Ravelingien, A., F. Mortier, et al. "Proceeding with Cinical Trials of Animal to
Human Organ Transplantation: A Way Out of the Dilemma". Journal of
Medical Ethics 30 (2004): 92”98.
Rea, Thomas D., Carol Fahrenbruch, et al. "CPR with Chest Compression Alone or
with Rescue Breathing" The New England Journal of Medicine 363 (July
2010): 423-433.

458
Rehman, Khurram S., et al. "Human Myometrial Adaptation to Pregnancy: cDNA
Microarray Gene Expression Profiling of Myometrium from Non-Pregnant
and Pregnant Women". Molecular Human Reproduction, vol. 9, no. 11
(2003): 681-700.
Renz, John F., Hasan Yersiz. "Split-Liver Transplantation: A Review". American
Journal of Transplantation 3 (200): 1323”1335.
Report of the Ad Hoc Committee of the Harvard Medical School to Examine the
Definition of Brain Death. "A Definition of Irreversible Coma". The
Journal of American Medical Association 205 (1968): 337”40.
Rice, Linda L. "Overview of Human Fertilization and Egg Activation". American
Medical Writers Association, vol. 27, no. 3 (2012): 107-109.
Ringold, Sarah. "Uterine Prolapse". Journal of the American Medical Association,
vol. 293, no. 16 (April 2005): 2054.
Ritz, M.A., R. Fraser, et al. "Impacts and Patterns of Disturbed Gastrointestinal
Function in Critically Ill Patients". American Journal of Gastroenterology
95 (2000): 3044-3052.
Ron-El, R., S. Strauss, S. Friedler, et al. "Serial Sonography and Colour Flow
Doppler Imaging Following Testicular and Epididymal Sperm Extraction".
Human Reproduction 13 (1998): 3390”3393.
Rosen, J., J.M. Tuchek, J.R. Hartmann. "Liver Laceration in the Haemodynamically
Unstable Post-Cardiac Massage Patient Early Recognition and
Management ” Case Report". Journal of Trauma 47 (1999): 408-409.
Rudge, C., R. Matesanz, F.L. Delmonico, J. Chapman. "International Practices of
Organ Donation". British Journal of Anaesthesia, vol. 108, suppl. 1 (2012):
i48-i55.
Sajjad, Yasmin. "Development of the Genital Ducts and External Genitalia in the
Early Human Embryo". The Journal of Obstetrics and Gynaecology
Research, vol. 36, issue 5 (2011): 929”937.
Salumets, Andres, Anne-Maria Suikkari, Sirpa Mäkinen, et al. "Frozen Embryo
Transfers: Implications of Clinical and Embryological Factors on the
Pregnancy Outcome". Human Reproduction, vol. 21, no. 9 (2006): 2368”
2374.
Sannoh, S., K. Demissie. "Risk Factors for Intrapair Birth Weight Discordance in
Twins". Journal of Maternal-Fetal and Neonatal Medicine, vol. 13, no. 4
(2003): 230-236.
Schippert, C., U. Hille, C. Bassler. "Organ-Preserving and Reconstructive Microsurgery
of the Fallopian Tubes in Tubal Infertility: Still an Alternative to In Vitro
Fertilization (IVF)". Journal of Reconstructive Microsurgery, vol. 26, no. 5
(2010): 317-323,

459
Schlegel, P.N., L.M. Su. "Physiological Consequences of Testicular Sperm
Extraction". Human Reproduction 12 (1997): 1688”1692.
Schmid, D., P. Blum, et al. "Plant Stem Cell Extract for Longevity of Skin and
Hair". International Journal for Applied Science, vol. 134, no. 5 (2008): 30-
35.
Schultz, Wolfram. "Review Dopamine Signals for Reward Value and Risk: Basic
and Recent Data". Behavioral and Brain Functions Journal 6 (2010): 24.
Serour, G.I., R. Mansour. "Reproduction Research in the Muslim World". Journal of
Islamic Medical Association of South Africa, vol. 2, no. 2 (August 1996):
1-16.
Serour, Gamal I. "Religious Perspectives of Ethical Issues in ART 1. Islamic
Perspectives of Ethical Issues in ART". Middle East Fertility Society
Journal, vol. 10, no. 3 (2005): 185-190.
Setchell, B.P., G.M.H. Waites. "Changes in the Permeability of Testicular
Capillaries and of 'Blood-Testis Barrier' After the Injection of Cadmium
Chloride in Rat". Journal of Endocrinology 47 (1970): 81-86.
Sforza, Chiarella, Laura Vizzotto, Virgilio F. Ferrario, Antonino Forabosc.
"Position of Follicles in Normal Human Ovary During Definitive
Histogenesis". Early Human Development, vol. 74, issue 1 (October 2003):
27”35.
Shetty, Shraddha K., Harish Shetty, Supriya Rai. "Laparoscopic Evaluation of
Tubal Factor in Cases of Infertility". International Journal of Reproduction,
Contraception, Obstetrics and Gynecology, vol 2, issue 3 (2013): 410-413.

Smith, J.M., S.W. Biggins, et al. "Kidney, Pancreas and Liver Allocation and
Distribution in the United States". American Journal of Transplantation 12
(2012): 3191.
Smith. "Brain Death: Time for an International Consensus". British Journal of
Anaesthesia, vol. 108, suppl. 1 (2012): i6”i9.
Snider, G.L. "The Do-Not-Resuscitate Order. Ethical and Legal Imperative or
Medical Decision?" American Review of Respiratory Disease 143 (1991):
665-674.
Soar, J., et al. "Immediate Life Support: Second Edition". Resuscitation Council
(UK), 2006.
Song, Hye-Won, Miles F. Wilkinson. "In Vitro Spermatogenesis". Landes
Bioscience Journal 2:4 (October/November/December 2012): 1.
SoRelle, Ruth. "Xenotransplantation". Circulation 97 (1998): 1431-1432.

460
Sovari, Ali A., Abraham G. Kocheril. "The Epidemiology, Incidence and
Prevention of Sudden Cardiac Death". Carle Selected Papers, vol..54, no.1
(2011): 17-22.
Spencer, Jeanne P., et al. "Medications in the Breast-Feeding Mother". American
Family Physician, vol. 64, issue 1 (July 2001): 119-127.
Squires, Jane, Paul Kaplan. "Developmental Outcomes of Children Born After
Assisted Reproductive Technologies". Infants & Young Children, vol. 20,
no. 1 (January-March 2007): 2”10.
Stadtfeld, M., M. Nagaya. "Induced Pluripotent Stem Cells Generated without
Viral Integration". Science, vol. 322, issue 5903 (2008): 945”949.
Steinbrook, Robert. "Egg Donation and Human Embryonic Stem-Cell Research".
New England Journal of Medicine 354 (January 2006): 324-326.
Stouffer, R.L. "Progesterone as a Mediator of Gonadotrophin Action in the Corpus
Luteum: Beyond Steroidogenesis". Human Reproduction Update, Vol.9,
No.2 (2003): 99-117.
Strange, Heather. "Non-Medical Sex Selectio: Ethical Issue". British Medical
Bulletin, vol. 94, no. 1 (2010): 7-20.
Strauss, Gregg. "Is Polygamy Inherently Unequal?" Ethics, vol. 122, no. 3 (April
2012): 516-544.
Subhi, Taimoora Al, Ruqaiya Naser Al Jashnmi, et al. "Prevalence of Tubal
Obstruction in the Hysterosalpingogram of Women with Primary and
Secondary Infertility". Journal of Reproduction and Infertility, vol.14, issue
4 (2013): 214-216.
Taylor, R.M.R. "Opting In or Out of Organ Donation". British Medical Journal 305
(December 1992): 1380.

Taylor, T. Nicole. "For New CPR Guidelines, Think 30". Nursing Journal, vol. 36
(Spring 2006): 21.
T{ayya>r, Musa>‘id Ibn Sulayma>n al-. Maqa>la>t fi> ‘Ulu>m Al-Qur'a>n wa Us}u>l al-Tafsi>r.
Al-Riya>d}: Da>r al-Muh}addith, 1425H.
Tea, N.T., M. Jondet, R. Schorell. "‘Migration-Gravity Sedimentation’ Method for
Collecting Motile Spermatozoa from Human Semen". In: R.F. Harrison, et
al. In Vitro Fertilizȧ tion, Embryo Studies in Fertility and Sterility, vol. 1
(1984): 117-120.
Templeton, A., J. Morris. "Reducing the Risk of Multiple Births by Transfer of
Two Embryos after In Vitro Fertilization". New England Journal of
Medicine 339 (1998): 573-577.
Terasaki, P.I. "Humoral Theory of Transplantation". American Journal of
Transplantation 3 (2003): 665-673.

461
The European Society of Human Reproduction and Embryology (ESHRE) Capri
Workshop Group. "Intrauterine Devices and Intrauterine Systems". Human
Reproduction Update, vol.14, no. 3 (2008): 197”208.
The Multi-Society Task Force on PVS. "Medical Aspects of the Persistent
Vegetative State". The New England Journal of Medicine 330 (May 1994):
1499-1508.
Thomas, E. Donnall. "Bone Marrow Transplantation". CA: A Cancer Journal for
Clinicians, vol. 37, issue 5 (September/October 1987): 291”301.
Thomas, Simon. "Poisons". Clinical Medicine Journal, vol. 8, no. 1 (February
2008): 86-88.
Toth, Patricia, Jerusha Knecht, et al. "Pacemakers". LPN Journal, vol. 5, no. 1
(February 2009): 40.
Tourtchaninoff, et al. "Brain Death Diagnosis in Misleading Conditions". QJM: An
International Journal of Medicine 92 (1999): 407”414.
Truog, Robert D., Franklin G. Miller. "The Dead Donor Rule and Organ
Transplantation". The New England Journal of Medicine 359 (August
2008): 674-675.
Tryggvadóttir, Laufey, et al. "Breastfeeding and Reduced Risk of Breast Cancer in
an Icelandic Cohort Study". American Journal of Epidemiology, vol. 154,
issue 1 (2001): 37-42.
Tzonou, Anastasia, et al. "Induced Abortions, Miscarriages, and Tobacco Smoking
as Risk Factors for Secondary Infertility". Journal of Epidemiology and
Community Health, vol. 47 (1993): 36.
Utian, W.H., L. Sheean, J.M. Goldfarb, et al. "Successful Pregnancy After In Vitro
Fertilization and Embryo Transfer from an Infertile Woman to a
Surrogate". New England Journal of Medicine 313 (1985): 1351-1352.
Valdes, G., et al. "Distribution of Angiotensin-(1”7) and ACE2 in Human Placentas
of Normal and Pathological Pregnancies". Placenta 27 (2006): 200”207.
Vasan, S.S. "Semen Analysis and Sperm Function Tests: How Much to Test?".
Indian Journal of Urology, vol. 27, issue 1 (January-March 2011): 41”48.
Veatch, Robert M. "Donating Hearts after Cardiac Death „ Reversing the
Irreversible". New England Journal of Medicine 359 (August 2008): 672-
673.
Veenhoven, Ruut. "Is There an Innate Need for Children?" European Journal of
Social Psychology, vol. 1 (1975): 495-501.
Vigano, P., S. Mangioni, et al. "Maternal-Conceptus Cross Talk ” A Review".
Placenta 24 (2003): S56-S61.

462
Walton, J., A.R. Mandara. "Burns and Smoke Inhalation". Anesthesia and
Intensive Care Medicine Journal 6 (2005): 317”321.
Wang, J.X., Y.Y. Yap, C.D. Matthews. "Frozen-Thawed Embryo Transfer:
Influence of Clinical Factors on Implantation Rate and Risk of Multiple
Conception". Human Reproduction, vol. 16, no.11 (2001): 2316-2319.
Wassarman, Paul M. "Zona Pellucida Glycoproteins". The Journal Of Biological
Chemistry, vol. 283, no. 36 (September 2008): 24285”24289.
Weisfeldt, M.L., et al. "Survival After Application of Automatic External
Defibrillators Before Arrival of the Emergency Medical System:
Evaluation in the Resuscitation Outcomes Consortium Population of 21
Million". The Journal of American College Cardiology, vol. 55, issue 16
(April 2010): 1713-1720.
Wells, Shirley A. "Health Disparities in Kidney Transplantation: An Equity
Analysis". Journal of Health Disparities Research and Practice, vol. 3, no. 2
(Fall 2009): 1-12.
Westlander, Goran, et al. "Sperm Retrieval, Fertilization, and Pregnancy Outcome
in Repeated Testicular Sperm Aspiration". Journal of Assisted
Reproduction and Genetics, vol. 18, no. 3 (2001): 171-177.
White, B.C., J.G. Wiegenstein. "Brain Ischemic Anoxia". Journal of American
Medical Association, vol. 251, issue 12 (1984): 1586-1589.
White, L., et al. "Dispatcher-Assisted Cardiopulmonary Resuscitation: Risks for
Patients Not in Cardiac Arrest". Journal of American Heart Association,
Circulation, vol. 121, issue 1 (2010): 91-7.
White, Steve A., James A. Shaw, David E.R. Sutherland. "Pancreas
Transplantation". The Lancet, vol. 373, issue 9677 (May 2009): 1808 ”
1817.
Wijdicks, E.F. "The Diagnosis of Brain Death". The New England Journal of
Medicine 344 (2001): 1215-1221.
Williams-Jones, Bryn. "Commercial Surrogacy and the Redefinition of
Motherhood". The Journal of Philosophy, Science & Law, vol. 2 (February
2002): 1-15.
Woessner Jr, J.F., N. Morioka, C. Zhu, et al. "Connective Tissue Breakdown in
Ovulation". Steroids 54 (1989): 491”499.
Xue, Fu Shan, Xu Liao, Yi Cheng. "Duration of Resuscitation Efforts and Survival
After In-Hospital Cardiac Arrest". The Lancet, vol. 381, issue 9865
(February 2013): 445 ” 446.
Younger, S., E. Barlette. "Human Death and High Technology: the Failure of the
Whole Brain Formulation". Annals of Internal Medicine 299 (1983): 252-
258.

463
Zafar, Naeem, Irma Bustamante-Gavino. "Breastfeeding and Working Full Time".
International Journal of Caring Sciences, vol. 1, issue 3 (Sept-Dec 2008):
132”139.
Zdenkowski, George. "Human Rights and Euthanasia". An Occasional Paper of the
Human Rights and Equal Opportunity Commission, December 1996.

B. BUKU-BUKU
‘Abd al-Ha>di>, ‘Abd al-Muhdi> Ibn ‘Abd al-Qa>dir Ibn. Al-Madkhal ila> al-Sunnah al-
Nabawi>yah (Da>r al-I‘tis}a>m, 1419H-1998M)
‘Abd al-Rah}ma>n. Jala>l al-Di>n. Gha>yah al-Wus}u>l ila> Daqa>’iq ‘Ilm al-Us}ul> . Al-
Qa>hirah: Matba‘ah al-Jabala>wi>, 1413H-1992M.
‘Ak, Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n al-. Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>‘iduh. Bayru>t: Da>r al-
Nafa>'is, 1406H-1986M.
‘Akbari, Al-H}usayn Ibn Muh}ammad al-. Duru>s al-Masa>’il al-Khila>fi>yah bayna
Jumhu>r al-Fuqaha>. Al-Riya>d}: Da>r Ishbili>ya, 2001.
‘Ali>, Muh}ammad Jama>l. Al-‘Urf wa Atharuh fi> al-Ah}ka>m. Al-Qa>hirah: Da>r Ibn
Luqma>n, 1418H-1998M.
‘A<lim, Yu>suf H{a>mid al-. Al-Maqa>s}id al-‘Ammah li al-Shari>‘ah al-Isla>mi>yah. Al-
Khurt}u>m: Al-Da>r al-Su>da>ni>yah li al-Kutub, 1417H-1997M.
‘Asqalla>ni>, Ah}mad Ibn ‘Ali> Ibn H{ajar al-. Fath} al-Ba>ri>. Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1411H-
1991M.
‘At}i>yah, Jama>l. Al-Tajdi>d al-Fiqh al-Manshu>d. Dimashq: Da>r al-Fikr, 1422H-
2002M.
‘Awwa>, Sali>m al-. Al-Fiqh al-Isla>mi> fi> T}ari>q al-Tajdi>d. Dimashq: al-Maktab al-
Isla>mi>, 1998.
‘Ays}, ‘Abdulla>h al-. Al-Tafsi>r al-Mawd}u>‘i>. Al-Riya>d}: Maktabah al-Rushd, 1426H-
2005M.
‘Umri>, Na>di>yah Shari>f al-. Al-Ijtiha>d fi> al-Isla>m. Bayru>t: Mu'assasah al-Risa>lah,
1406H-1986M.
‘Uthaymin, Muh}ammad al-S}a>lih al-. Al-Khila>f bayna al-ulama Asba>buhu wa
Mawqifuna> minhu. Bayru>t: al-Maktab al-Isla>mi>, 1985.
‘Uthma>n, Mah}mu>d H}a>mid. Qa>‘idah Sadd al-Dzara>’i‘ wa Atharuha> fi> al-Fiqh al-
Isla>mi>. Al-Qa>hirah: Da>r al-H}adi>th, 1996.
‘Uthma>ni>, Muh}ammad Taqi> al-. Buh}u>th fi> Qad}a>ya> Fiqhhi>yah al-Mu‘a>s}irah.
Dimashq: Da>r al-Qalam, 1419H-1998M.
A<midi>, Sayf al-Di>n Abu> al-H{asan al-. Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m. Bayru>t: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmi>yah, t.t.

464
A>lu Ibn ‘Ali>, Ah}mad Ibn H}ajar. Tat}hi>r al-Jina>n wa al-Arka>n. Dimashq: Da>r al-
Fayh}a>’, 1994.
Abu> H{ayya>n al-Andalu>si>. Tafsi>r al-Bah}r al-Muhi>t.} Bayru>t: Da>r Ih}ya>' al-Tura>th al-
‘Arabi>, t.t.
Abu> Sanah, Ah}mad Fahmi>. Al-‘Urf wa al-‘A<dah fi> Ra’y al-Fuqaha>’. --, 1992.
Abu> Sha>mah, Shiha>b al-Di>n. ‘Ilm al-Us}u>l fi>ma> Yata‘allaq bi Af‘a>l al-Rasu>l. Bayru>t:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2005.
Abu> Zahrah, Muh}ammad. Us}u>l al-Fiqh. Al-Qa>hirah: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1973.
Abu> Zahrah, Muhammad. Ma>lik ”Haya>tuh wa ‘As}ruh wa A<ra>’uh wa Fiqhuh„. Al-
Qa>hirah: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.t.
Ah}mad, Yu>suf al-. Ah}ka>m Naql A‘d}a>’ al-Insa>n fi> al-Fiqh al-Isla>mi>. Al-Riya>d}:
Kunu>z Ishbili>yah, 2006.
Ambari, Hasan Muarif, et.al. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1990.
Ansari, Ibrahim Abdulla al-. The Renewal of Islamic Legal Theory. London: School
of Oriental and African Studies, 2005.
Astiwara, Endy M. Pengobatan Alternatif. Makalah pada Ijtima’ ‘Ulama Komisi
Fatwa MUI se-Indonesia tahun 2006.
Astiwara, Endy M. Rahim Titipan. Makalah pada Ijtima’ ‘Ulama Komisi Fatwa
MUI se-Indonesia tahun 2006.
Avonina, Sthefanny. Perkembangan Bioteknologi dalam Inseminasi Buatan
Ditinjau dari Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: LKHT ” Fakultas Hukum
UI, t.t.
Azekamp, M.G., H.A. Huysmans. "Human Aortic and Pulmonary Homografts:
History, Procurement, Sterilization and Preservation, Cellular Viability and
Clinical Results". In A Piwnika, Westaby S: Surgery of Acquired Aortic
Disease. London: Isis Medica,1st ed, 1997.
Azha>ri>, ‘I>>sa> Mannu>n al-. Nibra>s al-‘Uqu>l fi> Tah}qi>q al-Qiya>s ‘inda ulama al-Us}u>l.
Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2003.
B. R. Mackenna, R. Callander. Illustrated Physiology. New York: Churchill
Livingstone, 6th ed., 1997.
Badwi>, Yu>suf Ah}mad al-. Maqa>s}id al-Shari>‘ah ‘inda Ibn Taymi>yah. Al-Urdun: Da>r
al-Nafa>’is, 2000.
Baghda>di>, S{{afi> al-Di>n al-. Qawa>‘id al-Us}u>l wa Mu‘a>qid al-Fus}u>l. ‘Alam al-Kutub,
1406H-1986M.
Ba>h}usayn, Ya‘qu>b al-. Qa>‘idah al-Mashaqqah Tajlib al-Taysi>r. Al-Riya>d}: Maktabah
al-Rushd, t.t.

465
Ba>h}usayn, Ya’qu>b al-. Raf‘ al-H}araj fi> al-Shari>‘ah al-Isla>mi>yah. Al-Riya>d}:
Maktabah al-Rushd, 2001.
Ba>ji>, Sulayma>n Ibn Khalaf al-Dhahabi al-. Al-Ih}ka>m al-Fus}u>l fi> Ah}ka>m al-Us}u>l.
Bayru>t: Mu’assasah al-Risa>lah, 1409H-1989M.
Ba>ji>, Sulayma>n Ibn Khalaf al-Dhahabi> al-. Al-Isha>rah fi> Us}u>l al-Fiqh.. Bayru>t: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1424H-2003m.
Ba>ju>ri>, al-. H{a>shi>yah al-Ba>ju>ri> ‘ala> Sharh} Ibn Qa>sim.
Bana>ni>, ‘Abd al-Rah}ma>n al-. H}a>shi>yah al-‘Alla>mah al-Bana>ni>. Bayru>t: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmi>yah, 1418H-1998M.Ba>rr, ‘Ali> al-. Al-Amra>dh al-Jinsi>yah
Asba>buha> wa ‘Ila>juha>. Da>r al-Mana>rah, 1985.
Ba>rr, ‘Ali> al-. Mushkila>t al-Ijha>d}. Al-Riya>d}: Da>r al-Su‘u>di>yah, t.t..
Barash, Paul, et al. Clinical Anaesthesy. Baltimore: Lippincott Williams &
Wilkins, 2006.
Bayhaqi>, Abu> Bakr Ah}mad Ibn al-H{usayn al-. Dala>’il al-Nubu>wah. Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.
Bazda>wi>, Abu> al-Yusr Muh}ammad al-. Us}u>l al-Di>n. Al-Qa>hirah: Al-Maktabah al-
Azhari>yah li al-Tura>th, 1424H-2003M.
Berek, Jonathan S., et al. Berek & Novak's Gynecology. New York: Lippincott
Williams & Wilkins, 14th ed., 2007.
Black, Jacobs. Medical Surgical Nursing Clinical Management for Continuity of
Care. Pensylvania: WB. Sauders Company, 4th ed., 1997.
Brunicardi, F. Charles, et al. Schwart's Manual Surgery. New York: McGraw-Hill,
8th ed., 2006.
Bu>t}i>, Muh}ammad Sa‘i>d Ramad}a>n al-. D}awa>bit} al-Mas}lah}ah fi> al-Shari>‘ah al-
Isla>mi>yah. Bayru>t: Mu’assasah al-Risa>lah, 1402H-1982M.
Budiman, Gregory. Basic Neuroanatomical Pathways. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2nd ed., 2009.
Bugha>, Mus}t}afa> Di>b al-. Athar al-Adillah al-Mukhtalaf fi>ha> fi> al-Fiqh al-Isla>mi>.
Dimashq: Da>r al-Qalam, 1993.
Carey, Joseph, et al. Brain Facts, a Primer on the Brain and Nervous System .
Washington: The Society for Neuroscience, 2002.
Chard, T., Grudzinskas, J.G., et al. The Uterus. Cambridge: Cambridge University
Press, 1994.
Corabian, P. In Vitro Fertilization and Embrio Transfer as a Treatment for
Infertility - Technology Assessment Report. Alberta Heritage Foundation
for Medical Research, 1997.

466
Costello, Sarah Mary. Hyperactivation Of Human Sperm By 4-Aminopyridine: Key
Role For Mobilisation Of Stored Ca 2+ In The Sperm Neck. Birmingham:
School of Biosciences, The University of Birmingham, 2010.
Coutts, Mary Carrington. " Ethical Issues in In Vitro Fertilization". In: Scope Note
10, National Reference Center for Bioethics Literature. Washington:, The
Joseph and Rose Kennedy Institute of Ethics, Georgetown University,
1988.
Crocket, Paula J., et al. Defibrillation What Should You Know. Washington:
Physio-Control Corporation, 1996.

Cunningham, Gary, et al. Williams Obstetrics. London: Mc.Graw Hill, , 23nd ed.,
2010.
Curtis, Michele G., et.al. Glass' Office Gynecology. Baltimore: Lippincott Williams
& Wilkins , 6th ed., 2006.
Dardi>r, al-. Sharh} al-S{aghi>r ma‘a H{a>shi>yah al-S{a>wi>.
De Blois, F.C. Al-Tughra'i, Encyclopaedia of Islam . Leiden: E.J. Brill, 2002.
De Spelder, L.A., Strickland. The Last Dance: Encountering Death and Dying. New
York: McGraw- Hill, 6th ed., 2005.
Dimya>ni>, Musfir ‘Azmulla>h al-. Maqa>yi>s Naqd Mutu>n al-Sunnah. Al-Riya>d}, 1984.
Ellia, Harold. Clinical Anatomy. Malden: Blackwell Publishing Ltd., 11th ed., 2006.
Faller, A., Schuenke, M. The Human Body . Stuttgart: Thieme, 2004.
Fayru>z A<ba>di>, Ma>j al-Di>n Muh}ammad Ibn Ya‘qu>b al-. Al-Qa>mu>s al-Muh}i>t.} Bayru>t:
Da>r al-Ji>l, t.t.
Fishman, Alfred P., et al. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. New York:
McGraw-Hill, 4th ed., 2008.
Gabbe, S.G., Niebyl, J.R., Simpson, J.L., et al. Obstetrics: Normal and Problem
Pregnancies. Philadelphia: Saunders Elsevier, 6th ed., 2012.
Ganong, William F., Lange, Jack D., et al. Pathophysiology of Disease. Stamford:
Appleton & Lange, 2nd ed., 1997.
Gharna>t}i>, Abu> al-Qa>sim Muh}ammad Ibn Ah}mad al-Kalbi> al-. Taqri>b al-Wus}u>l ila>
‘Ilm al-Us}u>l. Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1424H-2003M.
Ghaza>li>, Abu> H}a>mid Muh}ammad al-. Al-Mustas}}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l. Bayru>t: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmi>yah, t.t.
Ghaza>li>, Abu> H}a>mid Muh}ammad al-. Ih}ya>' ‘Ulu>m al-Di>n. Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t.
Graham, S. "Choosing Single Motherhood?: Single Women Negotiating the
Nuclear Family Ideal". In: D. Cutas, S. Chan, Science, Ethics and Society.
London: Bloomsbury Academic, 2012.

467
Greenstein, Ben, Greenstein, Adam. Color Atlas of Neuroscience. Stuttgrat:
Thieme, 2000.
Guyton, Arthur C., Hall, John E. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia:
Elsevier Saunders, 11th ed., 2006.
H{isa>n, H{usayn H{a>mid. Fiqh al-Mas}lah}ah wa Tat}bi>qa>tuh al-Mu‘a>s}irah. Jiddah: Al-
Ma‘had al-Isla>mi> li al-Buhu>th wa al-Tadri>b ” Al-Bank al-Isla>mi> li al-
Tanmi>yah, 1414H-1993M.
H}amwi>, Usa>mah al-. Naz}ari>yah al-Istih}sa>n. Dimashq: Da>r al-Khayr, 1992.
H}ud}a>ri>, Muh}ammad al-. Us}u>l al-Fiqh. Da>r al-Fikr, 1981.
H}us}ari>, Ah}mad al-. Ta>ri>kh al-Fiqh al-Isla>mi>.Bayru>t: Dâ>r al-Ji>l, 1991.
H}usayn, Wali>d Ibn ‘Ali> al-. Al-Qiya>s fi> al-Qur’a>n al-Kari>m wa al-Sunnah al-
Nabawi>yah. Al-Riya>d}: Maktabah al-Rushd, 2005.
Hadiwardoyo, A. P. Etika Medis. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Hallaq, Wael B. Authority, Continuity, and Change in Isla>mic Law. Cambridge:
Cambridge University Press, 2004.
Hallaq, Wael B. Can the Shari>’ah be Restored?, quoted in Yvonne Y. Haddad and
Barbara F. Stowasser eds., Isla>mic Law and the Challenges of Modernity.
Walnut Creek: Altamira Press, 2004.
Harrison, Wilson, Petersdorf, Fauci, Harrison's Principles of Internal Medicine.
New York: McGraw-Hill, 16th ed., 2005.
Haytami>, Ah}mad Ibn Muh}ammad Ibn ‘Ali> Ibn H{ajar al-. Tuh}fah al-Muh}ta>j.
Hila>li>, ‘Abdulla>h al-. Qa>‘idah La> D}arar wa La> D}ira>r ” Maqa>s}iduha> wa Tat}bi>qa>tuha>
al-Fiqhi>yah Qadi>man wa H}a>dithan. Dubay: Da>r al-Buh}u>th li al-Dira>sa>t al-
Isla>mi>yah wa Ihya>’ al-Tura>th, 2005.
Husni, GM. Hukum Kesehatan Ilmu Kedokteran Forensik, bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang: FK-UNAND,
2007.
Ibn ‘A<bidi>n, Muh}ammad Ami>n. Majmu>‘ah Rasa>’il Ibn ‘A<bidi>n. Bayru>t: Da>r Ihya>’
al-Tura>th al-‘Arabi>, t.t.
Ibn ‘Abd al-Sala>m, ‘Izz al-Di>n ‘Abd al-‘Azi>z. Qawa>‘id al-Ah}ka>m fi> Mas}a>lih} al-
Ana>m. Bayru>t: Da>r al-Ma‘rifah, t.t.
Ibn ‘Ashu>r, Muh}ammad al-T}a>hir. Maqa>s}id al-Shari>‘ah al-Isla>mi>yah. Al-Urdun: Da>r
al-Nafa>’is, 2001.
Ibn al-‘Arabi>, Muh}ammad Ibn ‘Abdilla>h. Ah}ka>m al-Qur’a>n. Bayru>t: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmi>yah, 1416H-1996M.
Ibn Badra>n, ‘Abd al-Qa>dir. Nuzhah al-Kha>t}ir al-‘A<t}ir Sharh} Rawd}ah al-Na>z}ir wa
Jannah al-Mana>z}ir. Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t..

468
Ibn Fa>ris, Abu> al-H{usayn Ah}mad. Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lughah. Bayru>t; Da>r Ih}ya>'
al-Tura>th al-‘Arabi>, 1422H-2001M.
Ibn H{azm, ‘Ali> Ibn Ah}mad. Mara>tib al-Ijma>‘. Bayru>t: Da>r Ibn H}azm, 1998.
Ibn Hisha>m, Abu> Muh}ammad ‘Abd al-Ma>lik. Si>rah al-Nabawi>yah. Bayru>t: Da>r al-
Fikr, t.t.
Ibn Huma>m, Kama>l. Fath} al-Qadi>r , Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t.
Ibn Jaza>, Muh}ammad Ibn Ah}mad al-Kalbi>. Taqri>b al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l. Jiddah:
Maktabah al-‘Ilm, 1414H.
Ibn Kathi>r, Abu> al-Fida>'. Al-Ba>‘ith al-H{athi>th. Al-Riya>d}: Maktabah Da>r al-Sala>m,
1414H-1994M.
Ibn Kathi>r, Abu> al-Fida>'. Tafsi>r Al-Qur'a>n al-‘Azhi>m. Bayru>t: Da>r al-Kutub al-
‘Arabi>, 1423H-2002M.
Ibn Manz}}u>r, Abu> al-Fad}l Muh}ammad Ibn Makram. Lisa>n al-‘Arab. Bayru>t: Da>r
S{a>dir, 2003M.
Ibn Mifta>h}, ‘Abdulla>h Ibn Abi> al-Qa>sim>. Sharh} al-Azha>r.
Ibn Muflih}, Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad. Al-Mubdi‘ fi> Sharh} al-Muqni‘, Bayru>t: al-
Maktab al-Isla>mi>, 1400H.
Ibn Muflih}}, Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad. Al-Furu>‘. Bayru>t: ‘A<lam al-Kutub, 1405H-
1985M.
Ibn Nujaym, Zayn al-Di>n Ibn Ibra>hi>m. Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir, sharh}: Ah}mad Ibn
Muh}ammad al-H}umawi>. Kara>tshi>: Ida>rah al-Qur’a>n wa al-‘Ulu>m al-
Isla>mi>yah, t.t.
Ibn Quda>mah, ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn Muh}ammad. Al-Sharh}} al-Kabi>r. Al-Riya>d}:
Wuza>rah al-Shu’u>n al-Isla>mi>yah bi al-Su‘u>di>yah, 1419H-1998M.
Ibn Quda>mah, Muwaffiq al-Di>n ‘Abdulla>h. Al-Mughni>. Al-Qa>hirah: Da>r al-Hadi>th,
1425H-2004M.
Ibn Quda>mah, Muwaffiq al-Di>n ‘Abdulla>h. Rawd}ah al-Na>z}ir wa Jannah al-Mana>z}ir
fi> Us}u>l al-Fiqh. Al-Riya>d}: Maktabah al-Rushd, 1425H-2004M.
Ibn Taymi>yah, ‘Abd al-H{ali>m Ibn ‘Abd al-Sala>m, Ah}mad Ibn ‘Abd al-H{ali>m, ‘Abd
al-Sala>m. Al-Muswaddah fi> Us}u>l al-Fiqh. Al-Riya>d}: Da>r al-Fad}i>lah, 1422H-
2001M.
Ibn Taymi>yah, Ah}mad Ibn ‘Abd al-H{ali>m. Al-H}asanah wa al-Sayyi’ah. Bayru>t: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmi>yah, t.t.
Ibn Taymi>yah, Ah}mad Ibn ‘Abd al-H{ali>m. Al-Ih}tija>j bi al-Qadr. Dimashq: al-
Maktab al-Isla>mi>, 2004.
Ibn Taymi>yah, Ah}mad Ibn ‘Abd al-H{ali>m. Majmu>‘ Fata>wa> Shaykh al-Isla>m Ibn
Taimi>yah. Al-Riya>d}: Majma‘ al-Malik Fahd li al-T{iba>‘ah, 1416H-1995M.

469
Ibn Taymi>yah, Ah}mad Ibn ‘Abd al-H{ali>m. Qa>‘idah al-Istih}sa>n. Makkah: Da>r al-
‘A>lam al-Fawa>’id, 1419.
Ibrahim, Johnny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia, 2006.
Jabbu>ri>, H}usayn Khalaf al-. Ah}ka>m al-Rukhas} fi> al-Shari>‘ah al-Isla>mi>yah. Makkah:
Maktabah al-Mana>rah, 1988.
Jas}a>s}, Abu> Bakr Ibn ‘Ali> al-Ra>zi> al-. Ah}ka>m al-Qur'a>n, Bayru>t: Da>r Ih}ya>' al-Tura>th
al-‘Arabi>, 1412H-1992M.
Jawzi>yah, Ibn al-Qayyim al-. Al-T}ibb al-Nabawi>. Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t.
Jawzi>yah, Ibn al-Qayyim al-. Fata>wa> Rasu>lulla>h SAW. Bayru>t: Da>r al-Arqam Ibn
Abi> Arqam, t.t.
Jawzi>yah, Ibn al-Qayyim al-. Za>d al-Ma‘a>d. Bayru>t: Mu’assasah al-Risa>lah, 1986.
Jawzi>yah, Ibn Qayyim al-. I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n. Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1977.
Jaza>'iri>, Abu> Bakr al-. Aysar al-Tafa>si>r. Al-Madi>nah al-Munawwarah: al-T{ab‘ah al-
Kha>s}s}ah bi al-Mu'allif, 1414H-1993M.
Ji>za>ni>, Muh}ammad Ibn H}usain al-. Fiqh al-Nawa>zil. Al-Dama>m: Da>r Ibn al-Jawzi>,
2006.
Jurja>ni>, ‘Ali> Ibn Muh}ammad al-. Al-Ta‘ri>fa>t. Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1992.
Jurja>wi>, ‘Ali> Ah}mad al-. H}ikmah al-Tashri>‘ wa Falsafatuh. Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t.
Juwayni>, Abu> al-Ma‘a>li> al-. Al-Burha>n fi> Us}u>l al-Fiqh. Bayru>t: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 1418H-1997M.
Kalwadha>ni>, Abu> al-Khit}a>b al-. Al-Tamhi>d fi> Us}u>l al-Fiqh. Makkah al-
Mukarramah: Ja>mi‘ah Umm al-Qura>, 1985.
Karnen, Garna, Rengganis, Iris. Imunologi Dasar . Jakarta: Badan Penerbit FKUI,
edisi 10, 2012.
Khali>fah, Ibra>hi>m ‘Abd al-Rah}ma>n. Dira>sa>t fi> Mana>hij al-Mufassiri>n.Al-Qa>hirah:
Ja>mi‘ah al-Azhar.
Khalla>f, ‘Abd al-Wahha>b. ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh. Da>r al-Kutub al-Isla>mi>yah, 1431H-
2010M.
Khalla>f, ‘Abd al-Wahha>b. Mas}a>dir al-Tashri>‘ fi>ma> La> Nas}s}s}a fi>h. Al-Kuwayt: Da>r
al-Qalam, 1390.
Khida>mi>, Nu>r al-Di>n al-. Al-Mas}lah}ah al-Mursalah. Bayru>t: Da>r Ibn H}azm, 2000.
Khinn, Must}afa> Sa‘i>d al-. Athar al-Ikhtila>f fi> al-Qawa>‘id al-Us}u>li>yah fi> Ikhtila>f al-
Fuqaha>’. Bayru>t: Mu’assasah al-Risa>lah, 1427H-2006M.
Khud}ari>, Muh}ammad al-. Us}u>l al-Fiqh. Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1389H-1969M.

470
Langman, et.al. Langman’s Medical Embryology. Montana: --, 9th ed., t.t.
Ma’lu>f, Louis. Al-Munjid fi> al-Lughah. Bayru>t: Da>r al-Mashriq, 1977.
Ma>wardi>, Abu> al-H{asan ‘Ali> Ibn Muh}ammad al-. Al-H{a>wi> al-Kabi>r. Bayru>t: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmi>yah, 1414H-1994M.
Madku>r, Muh}ammad Sala>m. Mana>hij al-Ijtiha>d fi> al-Isla>m. Al-Kuwayt: Ja>mi‘ah al-
Kuwayt, 1974.
Mahadevan, M., Baker, G. Assessment and Preparation of Semen for In Vitro
Fertilization. Dikutip dari C. Wood, A. Trounson, et al. Clinical In Vitro
Fertilization. Berlin: Springer, 1985.
Mahadevan, M., G. Baker. "Assessment and Preparation of Semen for In Vitro
Fertilization". In: C. Wood, A. Trounson, et al. Clinical In Vitro
Fertilization. Berlin: Springer, 1985.
Mans}u>}r, Sa>lih} Ibn ‘Abd al-‘Azi>z al-. Us}u>l al-Fiqh wa Ibn Taimi>yah. Al-Qa>hirah:
Da>r al-Nas}r, 1405H-1985M.
Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FKUI,
2005.
Maqdisi>, Mar'i> Ibn Yu>suf al-. Gha>yah al-Muntaha>.
Marda>wi>, ‘Ali> Ibn Sulayma>n al-. Al-Ins}a>f fi> Ma‘rifah al-Ra>jih} min al-Khila>f. Al-
Riya>d}: Wuza>rah al-Shu’u>n al-Isla>mi>yah bi al-Su‘u>di>yah, 1419H-1998M.
Meinke, Sue A. "Surrogate Motherhood: Ethical and Legal Issues", Scope Note 6,
National Reference Center for Bioethics Literature . Washington:, The
Joseph and Rose Kennedy Institute of Ethics, Georgetown University,
1984.
Muba>raki>, Ah}mad Ibn ‘Ali> al-. Al-‘Urf wa Atharuh fi> al-Shari>‘ah wa al-Qa>nu>n. --,
1992.
Najja>r, Mus}lih} Ibn ‘Abd al-Hayy al-. Al-Adillah al-Mukhtalaf fi>ha> ‘inda al-Us}u>li>yi>n
wa Tat}bi>qa>tuha> al-Mu‘a>s}irah. Al-Riya>d}: Maktabah al-Rushd, 1424H-
2003M.
Namlah, ‘Abd al-Kari>m al-. Al-Muhadhdhab fi> ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh al-Muqa>rin. Al-
Riya>d}: Maktabah al-Rushd, 2004.
Nawawi>, Abu> Zakari>ya> al-. Rawd}ah al-T{a>libi>n, Bayru>t: al-Maktab al-Isla>mi>,
1405H.
Numenthaler, Mark. Neurology. Stuttgart: Thieme, 4th ed., 2004.
O'Day, Danton. Formation of the Male Sex Cells: Male Anatomy and
Spermatogenesis. Toronto: Universty of Toronto, 2010.
O'Rahilly, Ronan, Muller, Fabiola. Developmental Stages in Human Embryos.
Connecticut: Carnegie Institution of Washington, 1987.

471
Osman, Salah. A Contemporary Reading of the Logic of Islamic Jurisprudential
Measurement. --, --.
Passarge, Eberhard. Color Atlas of Genetics. Stuttgart: Thieme, 3rd ed., 2007.
Permady, Rudy. Resusitasi Jantung Paru. Padang: Universitas Andalas, 2003.
Qa>simi>, Jama>l al-Di>n al-. Mah}a>sin al-Ta’wi>l. Al-Qa>hirah: Da>r al-Hadi>th, 1424H-
2003M.
Qa>simi>, Jama>l al-Di>n al-. Qawa>‘id al-Tah}di>th min Funu>n Mus}t}alah} al-H{adi>th. Al-Qa>hirah:
Da>r al-Kutub al-‘Arabi>yah, t.t.
Qara>fi>, Ah}mad Ibn Idri>s al-. Al-Furu>q aw Anwa>r al-Buru>q fi> Anwa>’ al-Furu>q.
Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1418H-1998M.
Qara>fi>, Ah}mad Ibn Idri>s al-. Sharh} Tanqi>h} al-Fus}u>l fi> Ikhtis}a>r al-Mah}s}u>l fi> al-Us}u>l.
Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1997.
Qarad}a>wi>, Yu>suf al-. Al-Ijtiha>d al-Mu‘a>s}ir bayn al-Ind}iba>t} wa al-Infira>t. Al-
Qa>hirah: Da>r al-Tawzi>‘ wa al-Nashr al-Isla>mi>yah, 1994.
Qarad}a>wi>, Yu>suf al-. Al-Ijtiha>d fi> al-Shari>‘ah al-Isla>mi>yah ma‘a Naz}ara>t al-
Tah}li>li>yah fi> al-Ijtiha>d al-Mu‘a>shir. Kuwayt: Da>r al-Qalam, 1999.
Qarad}a>wi>, Yu>suf al-. Al-Ijtiha>d wa al-Tajdi>d fi> al-Fiqh al-Isla>mi>. Bayru>t: al-
Mu’assasah al-Dawli>yah, 1419H-1999M.
Qarad}a>wi>, Yu>suf al-. Fata>wa> Mu‘a>s}irah. Kuwayt: Da>r al-Qalam, 2003.
Qasem, Leena aI-. Islamic Ethical Views on In Vitro Fertilization and Human
Reproductive Cloning. Montreal: Biomedical Ethics Unit, Faculty of
Medicine, McGill University, 2003.
Qat}t}a>n, Manna>‘ al-. Al-Tashri>‘ wa al-Fiqh fi al-Isla>m Ta>ri>khan wa Manhajan. t.p.,
t.t.
Qat}t}a>n, Mana>‘ al-. Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m Al-Qur'a>n. Manshu>ra>t al-‘As}r al-H{adi>th,
1393H-1972M.
Qu>tah, ‘A<dil ‘Abd al-Qa>dir. Al-‘Urf. Makkah al-Mukarramah: Al-Maktabah al-
Makki>yah, 1418H-1997M.
Quraysah, Hisha>m. Al-Istidla>l wa Atharuh fi> al-Khila>f al-Fiqhi>. Bayru>t: Da>r Ibn
H}azm, 2005.
Qurt}u>bi>, Muh}ammad Ibn Ah}mad al-. Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n. Bayru>t: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmi>yah, 1424H-2004M.
Ra>bit}ah al-‘A>lam al-Isla>mi>. Abh}}a>th fi> al-‘Adwa>’ wa al-T}ibb al-Wiqa>‘i>. Makkah:
Ra>bit}ah al-‘A>lam al-Isla>mi>, 1987.
Ra>zi>, Fakhr al-Di>n al-. Al-Mah}s}u>l fi> ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, tah}qi>q: T}a>ha> Ja>bir al-
‘Ulwa}>ni>. Al-Riya>d}: Ja>mi‘ah al-Ima>m Muh}ammad Ibn Su‘u>d al-Isla>mi>yah,
t.t.

472
Ra>zi>, Muh}ammad Ibn Abi> Bakr Ibn ‘Abd al-Qa>dir al-. Mukhta>r al-S{ih}a>h.} Al-
Maktabah al-‘As}ri>yah, 1420H-1999M.
Rabi>‘ah, ‘Abd al-‘Azi>z al-. Al-Sabab ‘inda al-Us}u>liyyi>n. Al-Riya>d}: Maktabah al-
Ma>lik Fahd al-Wat}ani>yah, 1997.
Ramali>, Shams al-Di>n Muh}ammad Ibn Abi> al-‘Abba>s al-. Niha>yah al-Muh}ta>j ila>
Sharh} al-Minha>j.
Rao, Nageshkumar G. Textbook of Forensic Medicine and Toxicology. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd., 2006.
Ratman, Desriza. Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah
Sewa Rahim di Indonesia? Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012.
Raysu>ni>, Ah}mad al-. Al-Ijtiha>d bayn al-Nas}s} wa al-Mas}lah}ah wa al-Wa>qi‘.
Dimashq: Da>r al-Fikr, 2002.
Rohkamm, Reinhard. Color Atlas of Neurology. Stuttgart: Thieme, 2004.
Ropper, Allan H., Brown, Robert H. Adams and Victor's Principles of Neurology.
New York: McGraw-Hill, 8th ed., 2005.
Ru>h}i> al-Ba‘labaki>. Al-Mawrid. Bayru>t: Da>r al-‘Ilm li al-Malayi>n, 1995.
Ru>mi>, Fahd Ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-. Buh}u>th fi> Us}u>l al-Tafsi>r wa Mana>hijuh. Al-Riya>d}:
Maktabah al-Ma>lik Fahd al-Wat}ani>yah, 1424H.
S{{afi> al-Di>n al-Baghda>di>. Qawa>‘id al-Us}u>l wa Mu‘a>qid al-Fus}u>l. ‘Alam al-Kutub,
1406H-1986M.
S{a>bu>ni>, Muh}ammad ‘Ali> al-. Al-Zawa>j al-Isla>mi> al-Mubakkir. Dimashq: Da>r al-
Qalam, 1991-1411.
S}a‘idi>, Muh}ammad Ibn H}amdi> al-. Asba>b Ikhtila>f al-Fuqaha>’ fi> al-Furu>‘ al-
Fiqhi>yah. Al-Madi>nah: Maktabah al-‘Ulu>m wa al-Hikam, 2004.
S}a>bu>ni>, Muh}ammad ‘Ali> al-. Al-Fiqh al-Sha>r‘i al-Muyassar. Bayru>t: Al-Maktabah
al-‘As}ri>yah, 2002.
Sa‘di>, ‘Abd al-H{aki>m al-. Maba>hith al-‘illat fi> al-Qiya>s ‘inda al-Us}u>li>yi>n. Bayru>t:
Da>r al-Basha>’ir al-Isla>mi>yah, 1421H-2000M.
Sa‘di>, ‘Abd al-Rah}ma>n al-. Al-Qawa>‘id al-H{isa>n al-Muta‘alliqah bi Tafsi>r Al-
Qur'a>n. Al-Dama>m: Da>r Ibn al-Jawzi>, 1421.
Sa‘i>d, Bust}a>mi> Muh}ammad. Mafhu>m Tajdi>d al-Di>n. Al-Kuwayt: Da>r al-Da‘wah,
1495H-1984M.
Saqar, Munqidh Ibn Mah}mu>d al-. Dala>’il al-Nubuwwah. Makkah: Ra>bit}ah al-‘A>lam
al-Isla>mi>, t.t.
Sarakhshi>, Abu> Bakr al-. Al-Mabsu>t}. Bayru>t: Da>r al-Ma‘rifah, t.t.

473
Sarakhsi>, Abu> Bakr al-. Al-Muh}arrar fi> Us}u>l al-Fiqh. Bayru>t: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 1417H-1996M.
Sayyid, al-T{ayyib Khud}ri> al-. Al-Ijtiha>d fi>ma> La> Nas}s} fi>>h. Al-Riya>d}: Maktabah al-
Haramayn, 1983.
Schaebler, Birgit and Leif Stenberg (ed.). Globalization and the Muslim World.
New York: Syracuse University Press, 2004.
Scherer, J., Simon, R. Euthanasia and the Right to Die: A Comparative View .
Lanham: Rowman & Littlefiled Publishers, 1999.
Sha>fi’i>, Muh}ammad Ibn Idri>s al-. Al-Risa>lah, sharh} wa tah}qi>q: Ah}mad Muh}ammad
Sha>kir. Bayru>t: Al-Maktabah al-‘Ilmi>yah, t.t.
Sha>fi’i>, Muh}ammad Ibn Idri>s al-. Ikhtila>f al-H}adi>th, tah}qi>q: Muh}ammad Ah}mad
‘Abd al-‘Azi>z. Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1986.
Sha>t}ibi>, Abu> Ish}aq al-. Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah. Tah}qi>q: ‘Abdulla>h
Darra>z, t.p, t.t.
Shalabi>, Muh}ammad Mus}t}afa>. Ta‘li>l al-Ah}ka>m. Bayru>t: Da>r al-Nahd}ah al-‘Arabi>,
1401H-1981M.
Sharbi>ni>, al-Khat}i>b al-. Mughni> al-Muh}ta>j. Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t..
Sharqa>wi>, Ah}mad Ibn Muh}ammad al-. Mana>hij al-Mufassiri>n. Al-Riya>d}: Maktabah
al-Rushd, 1425H-2004M.
Shashri>, Sa‘d Ibn Na>s}ir al-. Al-Mas}lah}ah ‘inda H{ana>bilah. Da>r al-Muslim, 1418H-
1997M.
Shawka>ni>, Muh}ammad Ibn ‘Ali> al-. Fath} al-Qadi>r al-Ja>mi‘ bayn Fannay al-Riwa>yah
wa al-Dira>yah min ‘Ilm al-Tafsi>r. Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t.
Shawka>ni>, Muh}ammad Ibn ‘Ali> al-. Nayl al-Awt}a>r. Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t.
Shayra>zi>, al-. Al-Tabs}{irah fi> Us}u>l al-Fiqh. Dimashq: Dar al-Fikr, t.t.
Sobotta. Atlas of Human Anatomy. Jakarta: EGC, 21st ed., 2003.
Soetjipto, Patricia. Naskah Akademik Transplantasi Organ. Jakarta: Program Pasca
Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, 2010.
Su>su>h. ‘Abd al-Maji>d al-. Dira>sa>t fi> al-Ijtiha>d wa Fahm al-Nas}s}. Bayru>t: Da>r al-
Basha>’ir al-Isla>mi>yah, 1423H-2003M.
Subki>, ‘Ali> Ibn ‘Abd al-Ka>fi>, Ta>j al-Di>n al-. Al-Ibha>j fi> Sharh} al-Minha>j. Bayru>t:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1404H-1984M.
Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n al-. Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir. Jakarta: Shirkah
Nu>r al-Thaqa>fah al-Isla>miyyah, t.t.
Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n al-. Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n. Bayru>t: Da>r al-Fikr,1399H-
1979M.

474
Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n al-. Taysi>r al-Ijtiha>d. Tah}qi>q: Fu’a>d ‘Abd al-
Mun‘im Ah}mad. Makkah al-Mukarramah: Al-Maktabah al-Tija>ri>yah, t.t.
T{ayya>r, Musa>‘id Ibn Sulayma>n Ibn Na>s}ir al-. Maqa>la>t fi> ‘Ulu>m Al-Qur'a>n wa Us}u>l
al-Tafsi>r. Al-Riya>d}: Da>r al-Muh}addith, 1425H.
Tamarkin, Dawn A. Neurons. Massachusetts: STCC Foundation Press, 2011.
Tamarkin, Dawn A. Oogenesis. Massachusetts: STCC Foundation Press, 2011.
Tarmasi>, Muh}ammad Mah}fu>z} al-. Manhaj Dhawi> al-Naz}ar. Da>r al-Fikr, 1401H-1981M.
Tim Penulis Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: FKUI, 1997.
Turki>, ‘Abdulla>h Muh}sin al-. Us}u>l Madhhab al-Ima>m Ah}mad. Bayru>t: Mu’assasah
al-Risa>lah, 1410H-1990M.
Wa>fi>, Al-Mahdi> al-. Fiqh al-Fuqaha>’ al-Sab‘ah. Al-Qa>hirah: Maktabah al-Tura>th al-
Isla>mi>, 1999.
Walker, A.E. Cerebral Death. Munich: Urban and Schwarzenberg, 2nd ed., 1981.
WHO. Unsafe Abortion: Global and Regional Estimates of the Incidence of Unsafe
Abortion and Associated Mortality in 2000. Geneva: World Health
Organization, 4th ed., 2004.
Yanagimachi, R. "Mammalian Fertilization", In: Knobil E, Neill J. The Physiology
of Reproduction. New York: Raven Press, 2nd ed., 1994.
Yawbi>, Muh}ammad Mas‘ad al-. Maqa>s}id al-Shari>‘ah al-Isla>mi>yah wa ‘Ala>qatuha> bi
al-Adillah al-Shar‘i>yah. Da>r al-Hijrah, 1418H-1998M.
Zakari>ya> al-Ans}a>ri>. Fath} al-Wahha>b Sharh} Manha>j al-T{ulla>b
Zamakhsha>ri>, Abu> al-Qa>sim Ja>r Alla>h Ibn Muh}ammad al-. Al-Kashsha>f. Bayru>t:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1424H-2003M.
Zarkashi>, Badr al-Di>n al-. Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n. Bayru>t: Da>r al-
Fikr, 1408H-1988M.
Zarqa>’, Ah}mad Ibn al-Shaykh Muh}ammad al-. Sharh} al-Qawa>‘id al-Fiqhi>yah.
Dimashq: Da>r al-Qalam, 1993.
Zurqa>ni>, Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-. Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n . Da>r
al-Fikr, t.t.
Zarqa>ni>, Muh}ammad Ibn ‘Abd al-Ba>qi> al-. Sharh} al-Zarqa>ni> ‘ala> al-Muwat}ta} ’. Al-
Qa>hirah: Al-Mat}ba‘ah al-Khayri>yah, t.t.
Zayd, Mus}t}afa>. Al-Mas}lah}ah fi> al-Tashri>‘ al-Isla>mi> wa Najm al-Di>n al-T{u>fi>. Al-
Qa>hirah: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1384H.
Zindani, Abdul-Majeed A., et al. Human Development as Described in the Qur’an
and Sunnah (Bridgeview: Islamic Academy for Scientific Research, 1992.

475
Zuh}ayli>, Wahbah al-. Naz}ari>yah al-D{aru>rah al-Shar‘i>yah: Muqa>ranah ma‘a al-
Qa>nu>n al-Wad}‘i>. Dimashq: Maktabah al-Fara>bi>, t.t.
Zuh}ayli>, Wahbah al-. Tajdi>d al-Fiqh al-Isla>mi>. Dimashq: Da>r al-Fikr, 2002.
Zuh}ayli>, Wahbah al-. Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>. Dimashq: Da>r al-Fikr, 1406H-1986M.

C. KEPUSTAKAAN DARI INTERNET

"About Cardiac Arrest". American Heart Association. http://www.heart.org/


HEARTORG/Conditions/More/CardiacArrest/About-Cardiac-
Arrest_UCM_307905_Article.jsp. Diakses pada 25 Mei 2014.
"Complications in a Multiples Pregnancy, 2014". http://americanpregnancy.org/
multiples/complications.htm. Diakses pada 26 Mei 2014.
"Foetus", reference article, http://www.sciencedaily.com/articles/f/fetus. Diakses
pada 27 Mei 2014.
"Frozen Blast Transfer Reduces Ectopik Pregnancy Risk". http://journal.
pomafertility.com/frozen. Diakses pada 27 Juli 2014.
"Health Encyclopaedia", University of Rochester Medical Centre. http://www.
urmc.rochester.edu/Encyclopedia/Content.aspx?ContentTypeID=85&Cont
entID=P08021. Diakses pada 26 Mei 2014.
"Implantable cardioverter defibrillator (ICD)". British Heart Foundation. http://
www.bhf.org.uk/heart-health/treatment/implantable-cardioverter-
defib.aspx. Diakses pada 31 Mei 2014.
"Inner Cell Mass (ICM)". Embryonic Development & Stem Cell Compendium -
LifeMap Discovery. http://discovery.lifemapsc.com/in-vivo-development/
inner-cell-mass/inner-cell-mass. Diakses pada 24 Juli 2014.
"Lactose Intolerance". http://raisingchildren.net.au/articles/lactose_intolerance.
html. Diakses pada 27 Juli 2014.
"New Guidelines for Screening of Sperm, Egg and Embryo Donors in the UK".
British Fertility Society. http://www.fertility.org.uk/news/pressrelease/
09_01-ScreeningGuidelines.html. Diaakses pada 29 Juli 2014.
"Options Available". Surrogate Mothers Inc., Indiana. http://www.
surrogatemothers.com/options.html. Diakses pda 2 Juni 2014.
"Ovum: Definition, Function & Structure". Education Portal. http://education-
portal.com/academy/lesson/ovum. Diakses pada 24 Juli 2014.
"Premature Babies Benefit from Breast Milk, Study Says". University of Toronto
(November 2003). http://www.sciencedaily.com/releases/2003/11/
031104063548.htm. Diakses pada 27 Juli 2014.

476
"Surrogate Mother Requirements". Surrogacy in Canada Online. http://www.
surrogacy.ca/resources/articles/93-surrogate-mother-requirements.html.
Diakses pada 5 Juni 2014.
"Surrogate Mother Requirements". The Surrogacy Source, New York. http://www.
thesurrogacysource.com/requirements_surrogate_mother.htm. Diakses
pada 2 Juni 2014.
"The After Effects of Abortion". http://www.abortionfacts.com/reardon/the-after-
effects-of-abortion. Diakses pada 26 Juli 2014.
"Typical Surrogate Mom Profile". Centre for Surrogate Parenting Inc., Annapolis,
Maryland. https://www.creatingfamilies.com/surrogate-mothers/default.
aspx?id=&type=131#. U7M_zCj_NjQ. Diakses pada 2 Juni 2014.
"What is Biotechnology?" (Washington: Biotechnology Industry Organization|,
2014). www.bio.org. Diakses pada 20 Juni 2014.
"What is Blastomere". http://www.britannica.com/EBchecked/topik/69084/
blastomere. Diakses pada 16 Juni 2014.
"What is Morula". http://www.britannica.com/EBchecked/topik/69084/morula.
Diakses pada 10 Juni 2014.
"What's in Breast Milk". http://americanpregnancy.org/firstyearoflife/whatsinbreast
milk.html. Diakses pada 22 April 2014.
- ,
http://www.nabulsi.com/blue/ar/art.php?art=9077&id=1249&sid=1251&ssi
d=1341&sssid=1342. Diakses pada 29 Juli 2014.
,

http://islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=3206. Diakses
pada 29 Juli 2014.
2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation &
Emergency Cardiovascular Care. www.heart.org. Diakses pada 28 Mei
2014.
Abadie, Alberto, Gay Sebastien. The Impact of Presumed Consent Legislation on
Cadaveric Organ Donation: A Cross Country Study. Harvard University
and NBER-” University of Chicago, December 2005. http://www.hks.
harvard.edu/fs/aabadie/pconsent.pdf. Diakses pada 11 Juli 2014.
About sertoli cells. http://www.histology.leeds.ac.uk/male/sertoli_cells.php.
Diakses pada 18 Juni 2014.
Altawjiri, Abdulaziz Othman. Ijtihad and Modernity in Islam, p.5. http://www.
isesco.org.ma/english/publications/Islamtoday/24/p1.php. Diakses pada 15
Nopember 2013.
American Academy of Hospice and Palliative Medicine. Position Statement on
Artificial Nutrition and Hydration Near the End of Life. Approved
477
December 2006. http://www.hpccr.org/about-resource-library.cfm. Diakses
pada 24 Juli 2014.
American AED/CPR Association. "Clinical Death vs. Biological Death", Online
CPR. Certification, http://www.aedcpr.com/bls_class_2102.asp. Diakses
pada 28 Mei 2014.
American Heart Association. About Cardiac Arrest. http://www.heart.org/
HEARTORG/Conditions/More/CardiacArrest/About-Cardiac-
Arrest_UCM_307905_Article.jsp. Diakses pada 27 Mei 2014.
American Heart Association. Cardiac Arrest vs Heart Attack, 2013. http://www.
heart.org/HEARTORG/General/Cardiac-Arrest-versus-Heart-Attack-
Infographic_UCM_450698_SubHomePage.jsp. Diakses pada 27 Mei 2014.
Argyriou, Anastasios. Hormonal Control of Gametogenesis. http://www.
biogenesis.ro/. Diakses pada 21 Juni 2014.
Asexual and Sexual Reproduction. http://www.biotopiks.co.uk/genes1/asexual_and
_sexual_reproduction.html. Diakses pada 5 Mei 2014.
Bailey, Regina> Mitochondria. http://biology.about.com/od/ cellanatomy/ss/
mitochondria.htm. Diakses pada 30 Mei 2014.
Basics of reproduction. http://www.shmoop.com/animal-reproduction/reproduction
-basics.html. Diakses pada 5 Mei 2014.
Basics of stem cell transplant. http://www.cancer.org/docroot/ETO/content/ETO
_1_4X_Stem_Cell_Transplant_Basics.asp?sitearea=ETO. Diakses pada 11
Juli 2014.
Belien, Paul. "Polygamy All Over the Place", The Brussel Journal ” The Voice of
Conservatism in Europe. http://www.brusselsjournal.com/node/480.
Diakses pada 1 Agustus 2014.
Benefits of breast feeding. http://www.breastmilk.com/benefits-of-breastfeeding.
php. Diakses pada 18 April 2014.
Blastocyst Transfer. http://www.hfea.gov.uk/blastocyst-transfer.html. Diakses pada
16 Januari 2014.
Breast feeding benefits. http://www.breastmilk.com/benefits-of-breastfeeding.
php#sthash.aoGg8Rtl.dpuf. Diakses pada 22 Maret 2014.
British Society for Cell Biology. Golgi Apparatus, http://bscb.org/learning-
resources/ softcell-e-learning/golgi. Diakses pada 30 Mei 2014.
Care Medical Equipment. "Defibrillator, External, Manual", World Health
Organization. http://www.who.int/medical_devices/innovation/defibrillator
_manual.pdf. Diakses pda 30 Mei 2014.
Cell division: meiosis. http://embryology.med.unsw.edu.au/embryology/index.php?
title=Cell_Division_-_Meiosis. Diakses 24 Juli 2014.

478
Cognitive Science Laboratory. "WordNet Search - 2.1.Death". Princeton
University. http://wordnet.princeton.edu/perl/webwn?s=death. Diakses
pada 27 Mei 2014.
Conditions that cause infertility. http://www.nhs.uk/Conditions/Infertility/Pages/
Causes.aspx. Diakses pada 1 Juni 2014.
Consequences of prematurity. http://learnpediatrics.com/body-systems/neonate/
consequences-of-prematurity/. Diakses pada 30 Juli 2014.
Cosmetic surgery vs. plastic surgery. http://www.americanboardcosmeticsurgery.
org/How-We-Help/cosmetic-surgery-vs-plastic-surgery.html. Diakses pada
25 Juli 014.
Definition of Leiomyoma, MedicineNet.com. http://www.medterms.com/script/
main/art.asp?articlekey=6238. Diakses pada 18 Mei 2014.
Delvin, David, Christine Webber. "Women's sexual response", Sex and
Relationship, Health Center. http://www.netdoctor.co.uk/sexrelationships/
facts/femalesexualresponse.htm. Diakses pada 25 Mei 2014.
Developmental stages of spermatogenesis. http://www.embryology.ch/ anglais/
cgametogen/spermato03.html. Diakses pada 18 Juni 2014.
Dewar, Gwen. "Nutrients and Calories in Breast Milk: A Guide for the Science-
Minded", Parenting Science. http://www.parentingscience.com/calories-in-
breast-milk.html. Diakses pada 27 Juli 2014.
Dozier, Tenille. "Why is Multiple Pregnancy a Concern?" Complications of
Multiple Pregnancy. http://www.urmc.rochester.edu/Encyclopedia/Content.
aspx?ContentTypeID=85&ContentID=P08021. Diakses pada 26 Mei 2014.

Eckman, Jim. "Donor Sperm and Parenthood: A Crisis in the Making". Issues in
Perspective, 15 October 2011. http://graceuniversity.edu/iip/2011/10/11-
10-15-1/. Diakses pada 2 Agustus 2014.
Edwards, Robert G., Christoph Hansis. "Initial Differentiation of Blastomeres in 4-
Cell Human Embryos and Its Significance for Early Embryogenesis and
Implantation". Reproductive BioMedicine Online, Vol. 11 (2005): 94-95.
http://edwards.elsevierresource.com/article/RB1794/fulltext. Diakses pada
24 Juli 2014.
Embryo transfer. http://www.hfea.gov.uk/ivf-embryo-transfer.html. Diakses pada
16 Januari 2014.
Exclusive breast feeding. http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey
=38691. Last Editorial Review: 9/20/2012. Diakses pada 12 April 2014.
Fader, Sonia. "Sperm Banking History", dikutip dari Sperm Banking: A
Reproductive Resource, California CryoBank. http://www.cryobank.com/
Learning-Center/Sperm-Banking-101/Sperm-Banking-History/. Diakses
pada 31 Juli 2014.

479
Freezing and storing embryos. http://www.hfea.gov.uk/45.html. Diakses pada 16
Januari 2014.
Freezing and storing sperm. http://www.hfea.gov.uk/74.html. Diakses pada 30 Mei
2014.
Gallimore, David. "The Diagnosis of Brainstem Death and Its Implications",
Nursing Times, vol. 102, no. 13 (March 2006). http://www.nursingtimes.
net/Journals/2013/04/02/b/n/b/060328The-diagnosis-of-brainstem. Diakses
pada 24 Juli 2014.
Gametogenesis. http://www. biogenscience.com/2014/03/gametogenesis-process-
spermatogenesis. Diakses pada 24 Juli 2014.
Gonal-F to recombinant DNA. http://www.seronofertility.com/to_ht_gonalF.jsp.
Diakses pada 18 Juni 2014.
Gulf News, Organ Transplant Law To Help Improve Lives; Wednesday, may 19,
2010. http://gulfnews.com/news/gulf/uae/health/organ-transplant-law-to-
help-improve-lives-1.628704. Diakses pada 11 Juli 2014.
Hall, Richard. The Neuron (1998), 1, http://web.mst.edu/~rhall/neuroscience/01_
fundamentals/neuron. pdf. Diakses pada 6 Juni 2014.
Hartford Hospital. Allograft vs Autograft. http://www.harthosp.org/tissuebank/
humantissuegraftinformation/allograftvsautograft/default.aspx. Diakses
pada 11 Juli 2014.
Health Library. "Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD) Insertion", John
Hopkins Medicine. http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_
procedures/cardiovascular/implantable_cardioverter_defibrillator_icd_inser
tion_92,P08774/. Diakses pada 31 Mei 2014.
Heart Transplantation. http://www.webmd.com/heart-disease/heart-transplant-
15646. Diakses pada 20 Mei 2014.
Henderson, M. Anthony, W. McGuire. "Formula Milk Versus Maternal Breast Milk
for Feeding Preterm or Low Birth Weight Infants", Coachrane Neonatal
Reviews, 2007. https://www.nichd.nih.gov/cochrane_data/hendersong_01/
hendersong_01.html. Diakses pada 27 Juli 2014.
HFEA (Human Fertilization & Embryology Authority). http://www.hfea.gov.Uk
/IVF. Diakses pada 30 Mei 2014.
Human Reproduction. http://scienceaid.co.uk/biology/genetics/reproduction.html.
Diakses pada 15 Mei 2014.
Hymowitz, Kay S. "A Growing Culture of Fatherlessness", Los Angeles Times, 16
April 2007. http://www.latimes.com/la-oe-hymowitz16apr16-story.html.
Diakses pada 2 Agustus 2014.
Injections to Induce IVF. http://www.medicinenet.com/follitropinalfa-injection/
article.htm.

480
Intensive Care Society of Ireland. "Diagnosis of Brain Death & Medical
Management of the Organ Donor", Guidelines for Adult Patients, 2010, 4.
http://www.hse.ie/eng/about/who/clinical/natclinprog/criticalcareprogramm
e/icsiguide.pdf. Diakses pada 28 Mei 2014.
International Institute for Islamic Thought. http://www.iiit.org/AboutUs/About
IIIT/tabid/66/Default.aspx. Diakses pada 15 Pebruari 2014.
Intra-Cytoplasmic Sperm Injection. http://www.hfea.gov.uk/ICSI.html. Diakses
pada 30 Mei 2014.
IVF Procedure. http://www.hfea.gov.uk/IVF.html. Diakses pada 16 Januari 2014.
IVF-Embryo Transfer. http://www.justeves.com/ipl/ivf_et.shtml. Diakses pada 24
Juni 2014.
Jacobs, Laurence A. "Tubal Disease and Infertility". Fertility Centers of Illinois.
http://fcidiagnosis.com/infertility-diagnosis/tubal-disease-and-infertility.
Diakses pada 29 Juli 2014.
Jensen, Jani R. "Why Does Secondary Infertility Happen?" http://www.mayoclinic.
org/diseases-conditions/infertility/expert-answers/secondary-infertility/faq-
20058272. Diakses pada 25 Juli 2014.
Johnson, Kristen. "The Female Hormonal Cycle and Mathematical Difference
Equations". http://itech.fgcu.edu/&/issues/vol1/issue2/hormone.htm.
Diakses pada 30 Juli 2014.
Karen Ann Quinlan (March 29, 1954 ” June 11, 1985), diazepam,
dextropropoxyphene, and alcohol. persistent vegetative state. ventilator,
http://www.karenannquinlanhospice.org/history/. Diakses pada 31 Mei
2014.
Kasule, Omar Hasan. "Islamic Perspective of Knowledge: Epistemology,
Methodology, and Islamization" Islamic Medical Education Resources, 4.
http://omarkasule-03.tripod. com/id828.html. Diakses pada 7 Nopember
2013.
Khudair, W.K. Al-, S.O. Huraib. Kidney Transplantation in Saudi Arabia: A
Unique Experience. http://www.springerlink.com/content/r363663207u
63j25/. Diakses pada 11 Juli 2014.
Knierim, James. "Cerebellum". Neuroscience Online, Department of Neurobiology
and Anatomy, The University of Texas Medical School at Houston.
http://neuroscience.uth.tmc.edu/s3/chapter05.html. Diakses pada 6 Juni
2014.
L'Hernault, S.W. Spermatogenesis (Research Community, WormBook 2006).
www.wormbook.org. Diakses pada 24 Juli 2014.
Luke, Barbara. "Cervical Incompetence and Abortion", A New Zealand Resource
for Life related Issues. http://www.life.org.nz/abortion/ abortionmedical

481
keyissues/riskcervicaldamage/. Diakses pada 30 Juli 2014.
Martin, William F., Marek Mentel. The Origin of Mitochondria. © 2010 Nature
Education. http://www.nature.com/scitable/topikpage/the-origin-of-
mitochondria-14232356. Diakses pada 30 Mei 2014.
Mayo Clinic. "Organ Donation", Transplant Programs at Mayo Clinic. http://www.
mayoclinic.org/transplant/organ-donation.html. diakses pada 25 Mei 2014.

MedicineNet.com, Definition of Jacksonian Seizure, http://www.medterms.com/


script/main/art.asp?articlekey=7453. Diakses pada 2 Juni 2014.
Merriam Webster Online Search, Online Dictionary. http://www.merriam-
webster.com/netdict/ transplant. Diakses pada 11 Juli 2014.
Merriam Wesbter, Medical Dictionary. http://www.medterms.com/script/main/art.
asp?articlekey=6290. Diakses pada 11 Juli 2014.
Namekata, Shiro, Ryoko Takeishi. "REPRODUCTIVE MEDICINE: China in
Quest for Genius Genes", The Asahi Shimbun Globe, 20 June 2014.
http://ajw.asahi.com/article/globe/feature/birth/AJ201406200008. Diakses
pada 2 Agustus 2014.
National Heart, Lung, and Blood Institute. "What Causes Respiratory Failure?"
Department of Health and Human Services, USA gov.
http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topiks/ topiks/ rf/ causes.html.
Diakses pada 30 Mei 2014.
National Heart, Lung, and Blood Institute. "Who Needs a Ventilator?" Department
of Health and Human Services, USA gov. https://www.nhlbi.nih.gov/
health/health-topiks/topiks/vent/links.html.
New York Organ Donor Network, "Which Organs Can Be Donated for
Transplantation? " http://www.donatelifeny.org/ transplant/organ_which.
html. Diakses pada 11 Juli 2014.
NHS Blood and Transplant, Transplant Activities in UK. http://www.uktransplant.
org.uk/ukt/statistics/transplant_activity_report/current_activity_reports/uk
t/2008_09/transplant_activity_uk_2008-09.pdf, 8-14. Diakses pada 11 Juli
2014.
Niranjan, Mike Duffy, "Brainstem Death". Anaesthesia Tutorial of the Week, no.
115, 6th October 2008, Plymouth, UK. http://www.frca.co.uk/Documents/
115%20Brainstem%20death.pdf. Diakses pada 28 Mei 2014.
Options for Donor Insemination. http://www.hfea.gov.uk/fertility-treatment-
options-donor. Diakses pada 30 Mei 2014.
Oram, John, Paul Murphy. "Diagnosis of Death". Continuing Education in
Anaesthesia, Critical Care & Pain, Vol. 11, No. 3, 2011. Published by
Oxford University Press on behalf of the British Journal of Anaesthesia,

482
http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/11/3/77.full. Diakses pada 27 Mei
2014.

Organ donation: "Don't Let these Myths Confuse You". http://www.mayoclinic.


org/healthy-living/consumer-health/in-depth/organ-donation/art-20047529.
Diakses pada 11 Juli 2014.
Organization of Islamic Conference. http://www.oic-un.org/about_oic.asp. Diakses
pada 15 Pebruari 2014.
Overgrazing."Grazing Management". http://beefmagazine.com/mag/beefvergrazing.
Diakses pada 27 Juli 2014.
Ovidrel for injection. http://www.webmd.com/drugs/mono-503-CHORIO
GONADOTROPIN+ALFA+INJECTION+-+PREFILLED+SYRINGE.
aspx?drugid=20307&drugname=Ovidrel. Diakses pada 18 Juni 2014.
Pamela L. Connerly, How Do Proteins Move Through the Golgi Apparatus?
© 2010 Nature Education. http://www.nature.com/scitable/topikpage/how-
do-proteins-move-through-the-golgi. Diakses pada 30 Mei 2014.
Paradoxal Breathing. http://www.oxfordreference.com/view/10.1093/oi/authority.
20110803100305151. Diakses pda 28 Mei 2014.
Perloe, Mark et al. "Fewer Risks, New Hope: The Reality of Blastocyst Transfers".
ObGyn.net (October 2011). http://www.obgyn.net/blogs/infertility/fewer-
risks-new-hope-reality-blastocyst. Diakses pada 27 Juli 2014.
Persistent Vegetative State. http://hnz11.wordpress.com/2009/06/04/mati-koma-
danvegetative-state/. Diakses pada 27 Mei 2014.
Picture of the Vagina. http://women.webmd.com/picture-of-the-vagina. Diakses
pada 25 mei 2014.
Segen's Medical Dictionary. © 2012 Farlex, Inc. http://medical-dictionary.
thefreedictionary.com /Breast+Milk. Diakses pada 18 April 2014.
Sexual Reproduction in Human at the First Stage. http://www.s-cool.co.uk/a-level/
biology/reproduction/revise-it/sexual-reproduction-in-humans-the-first-
stages. Diakses pada 21 Juni 2014.
Shaheen, F.A.M., M.Z. Souqiyyeh. "Increasing Organ Donation Rates from Muslim
Donors: Lessons from a Successful Model", Saudi Center for Organ
Transplantation, Riyadh, Saudi Arabia. Available online 27 October 2004.
http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&udi=B6VJ0-
4DN28PS-7&_user=10&_coverDate=09%2F01%2F2004&_rdoc=1&fmt=
high&_orig=browse&_sort=d&view=c&_acct=C000050221&_version=1&
_urlVersion=0&_userid=10&md5=4f8321b7e4e2b8b95ae84c39e141bd8b.
Diakses pada 11 Juli 2014.
Shetty, Aditya , Natalie Yang, et al. "Endometriosis". http://radiopaedia.org/
articles/endometriosis. Diakses pada 29 Juli 2014.

483
Smith, M.N. Susan. Immunologic Aspects of Organ Transplantation, June 17, 2002.
http://www.medscape.com/viewarticle/436533_2. Diakses pada 11 Juli
2014.
Status Hukum Anak Hasil Sewa Rahim. http://www.hukumonline.com/klinik/
detail/lt514dc6e223755/status-hukum-anak-hasil-sewa-rahim. Diakses pada
22 Juni 2014.
Stryker, Jeff. "Regulation or Free Markets? An Uncomfortable Question for Sperm
Banks". Bioethics ” Science Progress, 7 November 2007. http://
scienceprogress.org/2007/11/regulation-or-free-markets/. Diakses pada 2
Agustus 2014.
Sunatrio S, Penentuan Mati, Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM. http://www.
freewebs.com/penentuanmati/definisimati.htm. Diakses pada 27 Mei 2014.
Suyono, Handi, dr., MKed, Brain Death. 12 Juni 2010, dikutip dari www.
emedicine.medscape.com /article/1177999-overview;. Diakses pada 27 Mei
2014.
Swenson, Rand. "Chapter 8B: Cerebellar Systems". Review of Clinical and
Functional Neuroscience, Dartmouth Medical School, 2006. http://www.
dartmouth.edu/~rswenson/NeuroSci/chapter_8B.html. Diakses pada 6 Juni
2014.
Szalay, Jessie. Chromosomes: Definition & Structure. http://www.livescience.com/
27248-chromosomes.html. Diakses pada 24 Juli 2014. Diakses pada 15 Mei
2014
The Incidence of Mental Retardation, 1-3% from the population. http://www.
psychologytoday.com/conditions/mental-retardation. Diakses pada 28 Mei
2014.
The New Jersey Supreme Court on Karen Ann Quinlan. https://www.princeton.edu/
achaney/tmve/wiki100k/docs/Karen_Ann_Quinlan.html. Diakses pada 31
Mei 2014.
Transfer and Early Pregnancy.htm-blast-transfer-reduces-ectopik-pregnancy-risk/-
definition-function-structure.html#lesson-apparatus/-death-and-its-
implications.pdf. Diakses pada 20 Juli 2014.
U.S>. National Heart, Lung, and Blood Institute. "What is a Heart Attack",
December 17, 2013. http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topiks/topiks/
heartattack/. Diakses pada 27 Mei 2014.
WHO Guiding Princilples on Organ Transplantation. http://www.searo.who.int/
LinkFiles/BCT_WHO_guiding_principles_organ_transplantation.pdf.
Diakses pada 11 Juli 2014.
WHO Guiding Principles on Human Cell, Tissue and Organ Transplantation. World
Health Organization, Transplantation. http://www.who.int/topiks/
transplantation/en/. Diakses pada 11 Juli 2014.

484
Willacy, Hayley, Colin Tidy. "Small for Gestational Age Babies", Patient.co.uk
(May 2013). http://www.patient.co.uk/doctor/small-for-gestational-age-
babies. Diakses 28 Juli 2014.
Zadeh, Sophie. "New Conceptions: Single Mothers by Sperm Donation". Research,
University of Cambridge, 25 April 2013. http://www.cam.ac.uk/research/
discussion/new-conceptions-single-mothers-by-sperm-donation. Diakses
pada 2 Agustus 2014.
, http://www.dafatiri.com/vb/ showthread.
php?t=174401. Diakses pada 29 Juli 2014.
,
http://avb.s-oman.net/showthread.php?
t=1244961. Diakses pada 29 Juli 2014.
http://islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?
NewsItemID=3206. Diakses pada 29 Juli 2014.
, http://islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=
3206. Diakses pada 29 Juli 2014.
, http://www.sunnah.org/history/Scholars/mashaykh azhar.htm.
Diakses pada 15 Pebruari 2014.
, http://www.ahlalhdeeth.com/vbe/archive/index.php/t-1534.html.
Diakses pada 15 Pebruari 2014.
, http://www.zainealdeen.com/osra/nabeel%20up/
women/makalat/What%20mom.htm. Diakses pada 1 Agustus 2014.
, http://forum.z4ar.com/f8/t215087.html. Diakses pada
29 Juli 2014.
, http://www.almaany.com/home.
php?language=arabic&lang_name=%D8%B9%D8%B1%D8%A8%D9%8A
&word=%D9%82%D9%84%D8%A8. Diakses pada 27 Mei 2014.
, http://www.fiqhacademy.org.sa/.
Diakses pada 15 Pebruari 2014.

D. Rujukan Utama untuk Takhri>j al-H{adi>th

‘Asqalla>ni>, Ah}mad Ibn ‘Ali> Ibn H{ajar al-. Talkhi>s} al-H{abi>r fi> Takhri>j Ah}a>di>th al-
Ra>fi‘i> al-Kabi>r, Bayrut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1419H-1998M.
Alba>ni>, Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n, al-. Irwa>' al-Ghali>l fi> Takhri>j Ah}a>di>th Mana>r al-
Sabi>l. Dimashq: Al-Maktab al-Isla>mi>, 1407H-1987M.
Alba>ni>, Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n, al-. Silsilah al-Ah}a>di>th al-S{ah}i>h}ah. Al-Kuwayt:
Al-Da>r al-Salafi>yah, 1399H-1979M.

485
Zayla‘i>, Jama>l al-Di>n Ibn Yu>suf al-. Nas}b al-Ra>yah Takhri>j al-Ah}a>di>th al-Hida>yah.
Tah}qi>q: Ah}mad Shams al-Di>n. Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1422H-
2002M.
Haythami>, Nu>r al-Din ‘Ali> Ibn Abi> Bakr al-. Majma‘ al-Zawa>'id. Bayru>t: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmi>yah, 1408H-1988M.
Baghawi>, Abu> Muh}ammad al-H{usayn Ibn Mas‘u>d al-. Sharh} al-Sunnah. Tah}qi>q: al-
Shaykh ‘Ali> Muh}ammad Ma‘rad}, al-Shaykh ‘A<dil Ah}mad ‘Abd al-Mawju>d.
Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1412H-1992M.
Shawka>ni>, Muh}ammad Ibn ‘Ali> al-. Nayl al-Awt}a>r. Bayru>t: Da>r al-Fikr, t.t.
Mah}mu>d Muh}ammad Mah}mu>d H{asan Nas}s}a>r. Tah}qi>q Sunan Ibn Ma>jah. Bayru>t:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1419H-1998M.
Arna'u>t}, Shu‘ayb al-. Tah}qi>q al-Ih}sa>n fi> Taqri>b S{ah}i>h} Ibn H{ibba>n. Bayru>t:
Mu'assasah al-Risa>lah, 1408H-1988M.
‘At}a>', Mus}t}afa> ‘Abd al-Qa>dir. Tah}qi>q Musnad Abi> Ya‘la> al-Maws}u>li>. Bayru>t: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1418H-1998M.

486
GLOSARI

‘Aqli> : yang bersifat akal. Yaitu argumentasi yang bersumber dari nalar
manusia.
Benchmark : suatu patokan untuk dijadikan acuan contoh dalam suatu
tindakan atau hasil yang menunjukkan prestasi.
Bioetika : tata aturan moral dalam sains dan aplikasinya di bidang yang
terkait manusia. Bidang-bidang tersebut antara lain: kedokteran,
farmasi, psikologi, dan anthropologi.
D}ama>n : jaminan atas suatu tindakan yang tidak sebagaimana mestinya.
Dila>lah : apa-apa yang ditunjukkan makna atau hukumnya dari suatu teks.
Etiologi : penyebab suatu penyakit. Etiologi bisa berupa infeksi, keadaan
patologis, ataupun gejala-gejala psikis.
Idiopatik : diagnosa penyakit yang belum jelas atau belum diketahui
penyebabnya.
Ijma>‘ : kesepakatan seluruh ulama pada suatu masa setelah Rasu>lulla>h
SAW wafat atas suatu hukum syariat. Sebgian ulama
menyebutkan bahwa kesepakatan tersebut ialah kesepakatan
seluruh mujtahid.
‘Illat : secara etimologi berarti predikat bagi sesuatu yang
menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain disebabkan
keberadaan predikat tersebut. Secara terminologi berarti suatu
sifat yang nyata, yang terang, tidak berubah-ubah, yang
dijadikan sandaran suatu hukum yang terdapat keterkaitan
antaranya dengan hukum tersebut.
Immunologi : ilmu yang mempelajari semua aspek tentang sistem kekebalan
tubuh, baik terkait dengan infeksi, pengaruh lingkungan,
penyakit degeneratif, reaksi kekebalan tubuh, maupun lainnya.
Istis}h}a>b : secara etimologi berarti selalu menyertai, minta bersahabat,
membandingkan sesuatu dan mendekatkannya. Secara
terminologi berarti menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan
keadaan sebelumnya atau yang tetap pada masa lalu dan masih
tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan
perubahan atas keadaan tersebut.
‘Iwa>d} : penggantian material atas suatu kerusakan material.
Jumu>d : suatu pola berpikir dan sikap yang membeku dan statis, sehingga
merasa cukup nyaman dengan mengekor kepada pendapat-
pendapat para ulama terdahulu
Ma>ni‘ : secara etimologi berarti penghalang, pencegah, penolak. Secara
terminologi berarti sesuatu yang keberadaannya menetapkan
ketiadaan hokum atau batalnya sabab. Juga dapat berarti sebagai
suatu keadaan yang menghalangi suatu perintah atau tidak
dilaksanakannya suatu hukum yang telah ditetapkan.
Masa>lik al- : berbagai jalan untuk dapat mengetahui ‘illat. Sebagian ulama

487
‘llat menyebutkan bahwa secara garis besar terdi dari tiga cara, yaiu
nas}s}, ijma>‘, dan al-sabr al-taqsi>m.
Mufti> : pemebeeri fatwa, yaitu orang yang member penjelasan tentang
hukum syariat Islam yang harus diketahui dan diamalkan oleh
masyarakat.
Muh}s}an : orang yang sudah pernah menikah. Hukuman bagi mereka yang
masuk kategori muh}s}an ialah dengan dirajam, dikubur setengah
badan lalu dilempari batu kerikil oleh masyarakat hingga yang
bersangkutan meninggal.
Mus}tah}ab : ekuivalen dengan hukum sunnah, yaitu suatu perbuatan yang
berpahala apabila dilakukan dan tidak berdosa apabila
ditinggalkan.
Pellet : organel yang mengendap di dalam tabung, yang terbentuk
setelah dilakukan putaran sentrifuge.
Petri dish : sebuah wadah berbentuk bundar dangkal, terbuat dari plastik
atau kaca, dan menjadi kelengkapan vital di laboratorium. Biasa
digunakan untuk perkembangan kultur sel, bakteri, serta virus
yang hendak diteliti. Cawan Petri selalu berpasangan, yang
ukurannya agak kecil sebagai wadah dan yang lebih besar
merupakan tutupnya. Cawan Petri dinamai menurut nama
penemunya pada tahun 1877, yaitu Julius Richard Petri (1852”
1921), ahli bakteri berkebangsaan Jerman. Juga digunakan
sebagai wadah untuk penyelidikan tropi dan juga untuk
mengkultur bakteri, khamir, spora, atau biji-bijian. Cawan Petri
plastik dapat dimusnahkan setelah sekali pakai untuk kultur
bakteri.
Prolaps : keadaan tergelincirnya suatu organ tubuh dari posisinya yang
normal. Contohnya ialah prolaps uteri, yaitu bergesernya atau
turunnya rahim dari posisinya yang normal.
Qawa>‘id : kaidah-kaidah hokum yang bersifat umum (kulli>yah) yang
fiqhi>yah diambil dari dalil-dalil kulli> (pokok) dan dari maksud-maksud
syariat dalam meletakkan mukallaf (orang yang dibebani hukum)
dibawah beban takli>f (beban hukum), dari memahami rahasia-
rahasia tashri>‘ (pemberlakukan hukum Islam) beserta hikmah-
hikmahnya.
Qawl al- : ucapan dan pendapat sahabat-sahabat Nabi SAW.
s}ah}a>bah
Qiya>s : secara etimologi berarti mengukur, menyamakan, atau
membandingkan. Secara terminologi berarti upaya
menghubungkan suatu peristiwa yang tidak ada nas}s} tentang
hukumnya dengan peristiwa yang ada nas}s} hukum, karena
terdapatnya persamaan ‘illat.
Sentrifuge : instrumen yang digunakan untuk memisahkan organel
berdasarkan massa jenisnya melalui proses pengendapan. Dalam
prosesnya, sentrifus menggunakan prinsip rotasi atau perputaran

488
tabung yang berisi larutan agar dapat dipisahkan berdasarkan
massa jenisnya. Larutan akan terbagi menjadi dua fase
yaitu supernatant yang berupa cairan dan pellet atau organel
yang mengendap. Instrumen sentrifus terdiri dari sebuah rotor
atau tempat untuk meletakan larutan yang akan dipisahkan.
Rotor ini akan berputar dengan cepat, sehingga larutan akan
terpisah menjadi dua fase. Semakin cepat perputaran yang
dilakukan, semakin banyak pula organel sel yang dapat
diendapkan begitu juga sebaliknya.
Shar‘ man : syariat yang dibawa oleh para Rasul sebelum diutusnya Nabi
qablana> Muhammad SAW.
Supernatant : cairan yang terbentuk di dalam tabung setelah dilakukan putaran
sentrifuge.
Tarji>h} : menguatkan salah satu diantara dua dalil yang bertentangan,
berdasarkan beberapa indikasi yang dapat mendukungnya.
Tas}awwur : gambaran atau profil atau perihal tentang hal tertentu sehingga
hal tersebut menjadi jelas bagi pengamat atau pembahasnya.
Tawaqquf : suatu masa yang berarti dihentikannya pengambilan keputusan
fikih, sampai dengan dilakukan kajian atau bukti baru untuk
memutuskannya.
Zaman : para ahli historiografi Islam pada umumnya mendefinisikan
klasik periode klasik sebagai suatu era antara tahun 650 sampai 1250
Masehi. Periode ini merupakan masa perkembangan hingga
kemajuan filsafat dan ilmu pengetahuan.

489
490
INDEKS

‘A<’ishah ........ 163, 199, 324, 349, 350 aborsi .... 127, 128, 129, 130, 138, 139,
‘A<dil Qu>tah .................................. 357 158, 159, 160, 398
‘Abd al-Ba>sit} ........................ 229, 268 abortus.......... 124, 127, 158, 215, 216,
‘Abd al-H{a>fiz} al-H{ilmi> ................. 230 236, 239
‘Abd al-Razza>q.... 145, 152, 163, 166, Abu> ‘Awa>nah ....... 146, 152, 166, 197,
197, 198, 329, 349, 350, 388, 432 222, 233, 329, 383, 391, 397, 404,
‘Abd Ibn H{umayd.... 3, 339, 346, 391, 405, 411
392, 402, 404, 405 Abu> al-Darda>’ ....................... 388, 389
‘Abduh ‘Umar ... 87, 97, 99, 107, 241, Abu> Ayyu>b al-Ans}a>ri> ............ 402, 403
257, 263, 268 Abu> Bakr al-S{iddi>q .......................387
‘Abdulla>h al-Bassa>m ..... 89, 107, 147, Abu> Da>wud ...... 3, 146, 163, 164, 165,
149, 150, 153, 156, 160, 167, 172, 196, 197, 198, 222, 228, 231, 233,
241, 257, 263, 268 250, 252, 255, 257, 324, 329, 350,
‘Abdulla>h Ba>salamah ........... 107, 171 383, 384, 385, 386, 388, 389, 391,
‘Abdulla>h Ibn Zayd .... 107, 162, 163, 392, 402, 404, 411, 414, 430, 432
169, 231, 232, 233, 234 Abu> Ghuddah .............. 87, 90, 98, 100
‘alaqah . 151, 152, 164, 165, 166, 197, Abu> H{ani>fah.. ....... 144, 250, 253, 345,
198, 226, 231 416, 436
‘Ali> al-Ba>rr... 90, 107, 126, 127, 128, Abu> H{ayya>n… ..... 145, 288, 289, 326,
129, 157, 158, 159, 173, 179, 193, 327, 329, 331, 339, 340, 463
195, 199, 201, 223, 224, 225, 230, Abu> H{udhayfah .............................257
241, 258, 263, 267, 268, 299, 313, Abu> Hurayrah 386, 387, 388, 398, 401
314, 320, 321, 322, 352, 353, 356, Abu> Khuza>mah .............................386
363 Abu> Sanah .....................................463
‘Ali> al-Sa>lu>s ................................ 107 Abu> Ya‘la> ..... 152, 163, 166, 197, 198,
‘Ali> al-T{ant}a>wi> ............................. 227 233, 324, 329, 346, 350, 383, 386,
‘Ali> al-Taskhi>ri>.. 90, 96, 98, 107, 241, 388, 391, 397, 402, 405, 411
268, 437 Abu> Zahrah ...................................463
‘Arjafah ........................................ 414 Abu> Zayd87, 149, 177, 267, 326, 348,
‘iddah.... 167, 201, 233, 236, 348, 353 351, 363, 395
‘iffah ............................................. 145 Abu> Zur‘ah .................... 349, 385, 386
‘illat.. .... 1, 34, 41, 43, 44, 45, 46, 56, adopsi .................... 166, 168, 224, 234
63, 160, 161, 173, 174, 202, 203, AED ...................... 300, 310, 311, 476
228, 235, 236, 358, 389, 471 Ah}mad. ..... 3, 4, 13, 14, 88, 89, 90, 96,
‘Umar Ja>h ................... 89, 96, 98, 364 97, 98, 99, 100, 107, 145, 146, 152,
‘umu>m al-balwa> ........................... 406 163, 164, 165, 166, 167, 170, 175,
‘urf… ..... 17, 176, 229, 238, 286, 289, 196, 197, 198, 200, 228, 230, 231,
357, 436, 441 238, 250, 252, 254, 255, 257, 259,
A<dam Shaykh ‘Abdulla>h... 89, 331, 262, 263, 267, 268, 324, 329, 332,
332, 335, 363, 419, 437 333, 335, 337, 345, 346, 349, 350,
A<li ‘Imra>n ............................. 288, 338 351, 356, 357, 363, 364, 383, 384,
ABO ............................................. 369 385, 386, 387, 388, 389, 391, 392,
395, 396, 397, 398, 404, 405, 411,

491
414, 417, 430, 432, 433, 437, 462, al-Bugha> ........................................264
463, 464, 466, 467, 468, 469, 470, al-Bukha>ri> .... 152, 163, 164, 166, 197,
471, 472, 473, 483, 484 198, 200, 228, 250, 252, 255, 256,
Ah}mad Ibn H{amd al-Khali>li>..234, 437 329, 347, 350, 386, 387, 388, 389,
AICD ............................................ 311 391, 397, 402, 411
AIDS .................... 194, 361, 381, 442 al-D{ah}h}a>k ......................................403
AKDR........................... 127, 129, 159 al-D{iya>' al-Muqaddasi> ........... 385, 392
al-‘Abba>di> ... 86, 87, 97, 99, 107, 268, al-Da>rimi>…3, 166, 196, 197, 228,
363, 384, 385, 389, 397, 400, 419, 252, 255, 324, 329, 383, 388, 404,
422, 423 411, 430
al-‘Asqalla>ni> ................. 144, 163, 350 al-Da>ruqut}ni>.. ....... 165, 196, 200, 228,
al-‘Awwa>’............................... 98, 100 233, 250, 257, 349, 388, 392, 430,
al-‘Urf 11, 12, 357, 462, 463, 469, 470 432
al-A<midi> ....................................... 262 al-Dha>riya>t ....................................396
al-Ah}qa>f........................ 227, 229, 248 al-Fara>bi> ................................ 149, 474
al-Ah}za>b ....................... 153, 166, 288 al-Ghaza>li>.. ....... 2, 262, 287, 290, 331,
Al-Alu>si> ........................................ 401 332, 337, 350, 351, 352, 393, 434
al-An‘ām....................................... 330 al-H{a>kim ...... 145, 146, 222, 228, 250,
al-Anbiya>' ............................. 151, 349 324, 337, 344, 346, 349, 350, 383,
al-As}baha>ni> ..... …200, 222, 255, 329, 385, 386, 391, 402, 414, 430
346, 349, 350, 384, 391, 397 al-H{a>qqah ......................................349
al-Ashqar ...................................... 268 al-H{ajj ...........................................289
al-Awza>‘i> ...................................... 345 al-H{anafi>yah.................. 101, 411, 415
alba ............... 272, 274, 276, 277, 483 al-H{aramayn.......................... 393, 409
al-Ba>h}usayn .................................. 434 al-H{ashr .........................................400
al-Ba>ji> ................................... 103, 263 al-H{ijr ............................ 331, 332, 334
al-Baghawi> .. 166, 197, 233, 252, 329, al-H{uju>ra>t ......................................425
350, 388, 391, 397 al-H{umaydi>… ...... 152, 164, 231, 255,
al-Balkhi> ............... 348, 395, 403, 421 383, 385, 388, 404, 411
al-Bana>ni> ...... 2, 5, 336, 356, 394, 464 al-Hajj ................................... 164, 166
al-Baqarah ... 128, 146, 152, 163, 165, al-Hāqqah ......................................339
196, 198, 227, 228, 248, 255, 288, al-Haythami> ..................................397
330, 335, 342, 343, 346, 389, 399, al-I<tha>r ..........................................400
400, 401, 402, 403 al-Isra>’ ... 152, 331, 332, 335, 348, 420
al-Bayhaqi> ...... .3, 101, 146, 152, 196, al-Istih}sa>n... 11, 12, 17, 22, 61, 62, 91,
222, 228, 233, 250, 252, 255, 257, 237, 239, 358, 359, 435, 441, 466,
324, 329, 337, 344, 346, 349, 350, 468
383, 384, 385, 387, 388, 389, 391, al-Istis}h}a>b...... 11, 12, 22, 47, 172, 441
392, 397, 404, 405, 411, 414, 430, al-Jinn............................................153
432 al-Junayd .......................................332
al-Bazza>r ..... 163, 165, 166, 196, 197, al-Jurja>ni> .......................................161
198, 329, 337, 346, 350, 351, 383, al-Juwayni> ...... 20, 32, 45, 47, 66, 101,
385, 391, 397, 411 336, 393
al-Bis}ri> .......... 257, 334, 339, 340, 402 al-Kahf ..145, 288, 325, 326, 327, 328
al-Bu>t}i> .. 363, 393, 414, 419, 421, 428 Al-Kasha>ni> ....................................416

492
Al-Kayy ........................................ 387 al-Ra>zi> .. 288, 332, 333, 334, 340, 342,
al-Khat}i>b al-Baghda>di> ..... 3, 146, 255, 391, 468
347, 349, 351, 386, 397, 404, 432 al-Ramali> ....................... 408, 409, 410
al-Khinn............................ 64, 65, 176 al-Rūm................................... 144, 329
al-La>lika>'i> ............................. 233, 329 al-S{a>bu>ni> ............................... 144, 146
Allograft ............................... 368, 478 al-S{a>ffa>t ........................................341
al-Mā’idah ............ 335, 398, 425, 437 al-S{an‘a>ni> ......................................389
al-mafa>sid ..................................... 174 al-Sajdah .......................................150
al-Mah}a>mili> .......................... 146, 222 al-Sala>mi> ...... …89, 98, 100, 107, 241,
al-mas}a>lih} al-mursalah ........... 17, 264 267, 268, 333, 353, 354, 357, 358,
Al-Mas}lah}ah al-Mursalah.... …11, 12, 364, 437
22, 61, 91, 172, 176, 262, 358, 359, al-Sarakhshi> .......... 102, 162, 248, 345
434, 435, 441, 468 al-Sha‘ra>ni.....................................332
al-Muja>dilah ......................... 227, 229 al-Sha>dhili> ............. 102, 363, 396, 419
al-Mulk ......................................... 328 al-Sha>fi‘i> .... 26, 27, 55, 56, 62, 66, 73,
al-Mu'minu>n ......... 145, 151, 154, 341 84, 144, 152, 196, 250, 255, 345,
al-Mundhiri> .................. 388, 391, 392 404, 417, 427, 430
al-Mursala>t ................................... 151 al-Sha>t}ibi>...... 174, 203, 239, 358, 393,
al-Nah}l .................................. 145, 232 396, 421, 422
al-Najja>r…... 4, 12, 66, 68, 70, 71, 72, al-Sharbas}i> ....................................167
75, 76, 78, 83, 84, 172, 176, 229, al-Sharbi>ni>.... 162, 248, 267, 344, 356,
357, 359, 391 383, 394, 401, 407, 408, 412, 414,
al-Najm ......................................... 230 417, 421, 425, 426
al-Nasa>'i> 145, 152, 163, 164, 165, 196, al-Sharwa>ni> ...................................408
198, 222, 228, 231, 255, 324, 329, al-Shawka>ni>4, 19, 145, 163, 237, 238,
337, 344, 349, 350, 383, 384, 385, 262, 327, 339, 340, 386, 387, 389,
386, 388, 402, 404, 411, 414 390
al-Nawawi>. ...... 5, 162, 248, 256, 345, al-Shu‘ara>’ ............................ 288, 331
348, 351, 384, 408, 409 al-Shu>ra> ................................. 160, 331
al-Nisa>’ ..148, 227, 251, 252, 336, 382 al-Su>su>h .................................... 4, 263
al-Nu>r ....................... 97, 99, 145, 151 al-Subki> ....... .4, 5, 101, 386, 391, 406,
al-Qa>d}i> .. 101, 102, 103, 268, 356, 427 356, 435
al-Qa>simi> ...... .29, 33, 34, 35, 51, 146, al-Suyu>t}i>....... 5, 6, 101, 103, 262, 337,
147, 330, 340, 401 357, 405, 406, 421, 422, 428, 433,
al-Qad}a>‘i> ............................... 233, 384 435
al-Qamar ....................................... 339 al-T{a>riq ................. 151, 166, 167, 198
al-Qara>fi> ...... 101, 102, 103, 174, 203, al-T{abari> ........................ 164, 200, 401
396, 400 al-T{abra>ni> ....... ..3, 146, 152, 163, 164,
al-Qarad}a>wi> ..... 90, 98, 100, 168, 173, 165, 166, 196, 197, 198, 222, 252,
231, 232, 233, 234, 241, 250, 251, 255, 329, 337, 346, 349, 350, 351,
252, 253, 254, 255, 256, 262 384, 385, 387, 389, 391, 397, 414
al-Qiya>mah ........... 151, 161, 166, 198 al-T{ah}a>wi> ..... …3, 152, 166, 197, 228,
al-Qurt}ubi> .... 145, 162, 222, 249, 349, 255, 384, 386, 388, 397, 404, 414,
383, 400, 403, 404, 417 430, 432
al-Ra>fi‘i> .................... 5, 163, 412, 483

493
al-T{aya>li>si> ..... ..3, 165, 196, 233, 324, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263,
383, 385, 388, 391, 392, 404, 411, 264, 265, 408
414, 430 aterosklerosis ................................373
al-T{u>fi>................. 64, 69, 70, 172, 473 atrium .... 279, 280, 281, 282, 283, 312
al-Tirmidhi> ...... 3, 145, 152, 163, 164, Australia....... 130, 194, 224, 314, 317,
165, 196, 197, 198, 228, 231, 250, 446, 452
255, 324, 329, 337, 344, 346, 383, Australian.............. 116, 117, 292, 443
384, 385, 386, 387, 388, 391, 402, autograft................ 367, 370, 409, 478
404, 411, 414 autologus .......................................369
al-Tuwayjiri> ............................ 98, 100 Ayma>n S{a>fi> ........................... 363, 392
al-Wa>qi‘ah .................... 340, 341, 351 Badr al-Mutawalli> . 227, 229, 230, 268
Al-Ya‘qu>bi ................................... 407 bara>’ah al-as}li>yah ............ 49, 172, 490
al-Z{a>hiri>yah .. 101, 202, 250, 252, 419 barbiturat .............................. 314, 317
al-z}ann ...................................... 2, 348 Bartholini .............................. 179, 207
al-Zamakhsha>ri>............................. 290 bayi tabung ...... …107, 131, 142, 143,
al-Zarqa> ... 48, 49, 69, 77, 80, 81, 161, 144, 156, 157, 158, 161, 166, 168,
169, 170, 175, 238, 254, 262, 263, 170, 171, 172, 174, 177, 221, 224,
37, 356, 357, 405, 432, 433 225, 230
al-Zarqa>’ .. 88, 89, 107, 160, 169, 170, berkas His.............................. 281, 283
171, 172, 175, 225, 226, 238, 239, Bifidus factor ................................243
240, 241, 257, 263, 264, 268 biological death.............................291
al-Zayla‘i> ...................................... 252 blastocyst ..... 133, 139, 140, 186, 448,
Alzheimer ..................................... 381 449, 451, 453, 476, 481
al-Zuja>j ................................. 339, 340 blastomere ............. 116, 117, 118, 475
al-Zumar ............... 164, 230, 321, 330 blastula ..116, 118, 119, 120, 135, 210
American ..... 114, 129, 137, 141, 142, brain death ....................................292
155, 157, 159, 188, 209, 216, 244, brain stem death....... …315, 316, 352,
245, 246, 247, 260, 283, 285, 292, 354, 455, 456
296, 300, 301, 302, 303, 305, 306, brainstem...... 272, 275, 279, 293, 297,
309, 314, 315, 316, 319, 320, 321, 315, 316, 456, 478, 480
322, 353, 354, 365, 366, 367, 368, BUN ..............................................318
371, 372, 378, 443, 444, 446, 447, cairan serebrospinalis ............ 270, 271
450, 451, 454, 455, 456, 457, 458, cardiac arrest ....... .283, 284, 285, 286,
459, 460, 461, 474, 475, 476 290, 302, 304, 305, 338, 356, 445,
Amerika Serikat .... 88, 126, 129, 192, 446, 450, 454, 455, 461, 474, 476
194, 201, 205, 221, 225, 313, 323 cawan ... 135, 143, 156, 157, 169, 170,
anemia aplastik ............................ 374 186, 217, 218, 223, 224, 225, 226
apneu ............................................ 301 cerebellum ..................... 272, 274, 479
arakhnoid ...................................... 271 cerebrum ....................... 272, 273, 279
ART ..... 130, 131, 133, 182, 223, 450, cervix............. 125, 188, 208, 210, 269
458 Chlamydia ..................... 126, 189, 443
Arteri koroner............................... 281 clinical death ......................... 290, 291
ASI ...... 213, 233, 235, 236, 241, 242, CMV ..................................... 189, 190
243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, contusio cerebri.............................307
250, 251, 252, 253, 254, 255, 256, COPD ............................ 307, 308, 453

494
CT Scan ................................ 294, 295 embryo ..... …116, 117, 130, 133, 136,
cystic fibrosis ....... 143, 190, 368, 453 139, 140, 141, 142, 143, 183, 205,
d}aru>rah.................................. 262, 430 206, 219, 224, 443, 444, 445, 446,
d}aru>ri> ............................................ 222 447, 450, 451, 453, 454, 457, 459,
d}aru>ri>yah ...................................... 395 460, 461, 474, 477, 479
Da>wud ..... 3, 164, 165, 196, 233, 324, empisema ......................................309
363, 384, 385, 391, 397, 411, 414, encephalitis ...................................307
417, 419, 422, 423 endokardium .................................281
darurat . 159, 170, 171, 236, 239, 254, endokrin ................................ 294, 370
262, 284, 285, 297, 299, 310, 311, endometriosis ....... 124, 125, 128, 129,
322, 352, 358, 385, 389, 393, 398, 131, 160, 207, 239, 481
399, 400, 401, 405, 406, 409, 410, endometrium ....... .114, 117, 118, 124,
411, 412, 414, 415, 416, 417, 418, 151, 207, 208, 209, 211, 212, 213,
419, 420, 422, 424, 425, 426, 427, 226, 235
428, 432, 434, 437, 439 Endy .............................. 235, 463, 502
defibrillator . 299, 310, 311, 312, 476, ependimal .............................. 270, 272
478 epidural .........................................271
dermatome.................................... 387 Eropa ...... 90, 128, 133, 137, 139, 140,
diabetes ................................ 361, 442 142, 157, 191, 194, 205, 217, 225
diaphragma ................................... 279 ERS ....................................... 304, 305
dihasankan .................................... 392 ESHRE . 127, 132, 139, 141, 159, 448,
diya>t.............................. 324, 336, 398 449, 460
domino.................................. 368, 370 estrogen ......... 114, 155, 211, 212, 452
donor.... 129, 138, 156, 157, 170, 185, ethical... 138, 195, 223, 320, 350, 352,
186, 188, 189, 190, 191, 193, 194, 354, 451, 454, 458, 459, 465, 469,
203, 219, 224, 225, 227, 232, 251, 470
258, 364, 366, 367, 368, 369, 370, ethics .... 138, 139, 141, 142, 192, 194,
371, 373, 375, 376, 377, 378, 379, 225, 305, 350, 353, 365, 374, 378,
380, 381, 399, 415, 430, 433, 438, 380, 381, 395, 414, 430, 432, 446,
439, 480 447, 448, 450, 451, 452, 454, 455,
dread diseases ............................... 367 456, 459, 465, 469, 470
duramater ..................................... 271 etika ..... 132, 138, 141, 143, 144, 167,
ED................................................. 192 168, 171, 178, 205, 217, 225, 332,
Eksplantasi ........................... 365, 429 338, 380, 381, 382, 429, 502
ektopik.................. 124, 140, 160, 235 etis ......................... 138, 139, 141, 382
elektrolit ....................................... 295 euthanasia ..... 313, 358, 359, 462, 472
emboli lemak ................................ 306 fah}wa> al-khit}a>b .............................237
embrio ..... …116, 117, 118, 119, 120, fasakh ............................................148
122, 131, 132, 133, 134, 135, 136, fertilisasi ...... 108, 114, 115, 117, 122,
138, 139, 140, 141, 142, 143, 151, 130, 135, 136, 139, 141, 142, 154,
152, 156, 157, 164, 165, 166, 169, 163, 185, 186, 191, 193, 213, 218,
171, 179, 185, 186, 188, 189, 190, 219, 233
191, 197, 218, 219, 223, 224, 225, fertilitas....... .129, 133, 134, 142, 154,
226, 228, 229, 231, 232, 233, 235, 187, 190, 218
448, 464 fetus............... 112, 121, 122, 214, 474

495
fibrilasi ................. 284, 302, 310, 312 heart failure ...................................286
fira>sh .... 163, 164, 165, 166, 196, 197, hemisphere ....................................274
198, 199, 230, 238, 433 hemodialisa ................... 319, 371, 372
foetus .... 112, 120, 121, 123, 212, 213 hemothorax ...................................306
Follicle Stimulating Hormone .... 111, hepatitis ........ 185, 189, 190, 191, 372
113, 132, 134 herediter ................ 130, 195, 214, 236
fraktur ........................... 301, 305, 308 HFEA ............ 142, 143, 191, 218, 478
frozen.... 140, 178, 182, 184, 203, 474 hiperglikemik ................................319
frozen sperm ................. 178, 182, 203 hiperkapnia....................................302
FSH ...... 111, 113, 114, 132, 134, 179 hiperventilasi ........................ 296, 309
fundus ........................................... 208 hipoglikemik .................................319
Fus}s}ilat ......................................... 150 hipoksemia ....................................302
gametogenesis ..... 109, 110, 113, 114, hipotensi........................................309
476, 478 HIV ............... 185, 189, 190, 191, 369
gastrula ......................... 116, 119, 120 HLA ...................................... 370, 375
genitalia ................................ 121, 206 homolog ................................ 109, 179
ghars ..................................... 391, 392 hormon . 110, 111, 113, 114, 130, 132,
ginjal ............. 318, 369, 370, 371, 372 134, 136, 179, 181, 189, 190, 209,
glia ........................................ 270, 277 211, 212, 213, 214, 242, 246, 261,
golgi.............................. 180, 476, 481 276, 319
gonorrhoea.................... 143, 189, 190 host................................................369
gradient ........................................ 184 hypothalamus ................................214
grisea ............................................ 277 hypothermia ..................................318
grissea ................................... 272, 274 i>tha>r ............... 385, 394, 400, 401, 422
H{ana>bilah .... 412, 417, 418, 419, 425, Ibn ‘A<bidi>n ... 102, 348, 390, 407, 408,
427, 428, 472 416, 423, 426, 466
H{anafi>yah ... 101, 202, 237, 253, 262, Ibn ‘Abba>s .... 289, 326, 337, 339, 340,
408, 411, 412, 414, 415, 417, 419, 387, 397, 402, 403
420, 423, 424, 426, 428 Ibn ‘Abd al-Barr .... 102, 228, 257, 383
H{anbali>yah ........................... 103, 253 Ibn ‘Abd al-Sala>m 263, 416, 419, 424,
H{asan H{at}u>t} ................................. 234 427, 466, 467
H{isa>n Hat}u>t} .................................. 267 Ibn ‘Adi> ...... ..228, 233, 250, 390, 391,
H{usayn...... .96, 97, 99, 104, 149, 222, 430
267, 329, 464, 466, 467, 484 Ibn ‘Asa>kir. ...... 3, 166, 197, 346, 347,
h}a>jah ..................... 262, 395, 434, 437 384, 391, 430
h}a>ji>yah .................................. 176, 435 Ibn ‘At}i>yah ............................ 229, 326
h}add ...................................... 199, 230 Ibn Abi> ‘A<s}im ...... 145, 384, 387, 404,
h}asan ..................................... 386, 391 405, 432
haemorrhagic ................ 215, 347, 367 Ibn Abi> al-Dunya> .......... 338, 344, 384
haploid .................. 109, 110, 113, 180 Ibn Abi> H{a>tim ...... 164, 339, 349, 384,
Harvard ...... ..296, 314, 316, 321, 378, 402
443, 457, 475 Ibn Abi> Shaybah ...... 3, 152, 166, 197,
Hasan Kasule .................................... 6 324, 329, 346, 349, 383, 384, 385,
HCG ..................... 134, 213, 451, 213 397, 404, 405, 411, 430
heart attack................................... 285 Ibn al-‘Arabi> ..145, 222, 403, 419, 466

496
Ibn al-Huma>m .............................. 102 ICD........................ 311, 312, 474, 478
Ibn al-Ja>ru>d.. 152, 255, 324, 346, 388, ICSI ...... 130, 132, 142, 185, 186, 188,
430, 432 189, 193, 479
Ibn al-Jawzi> ..... …327, 339, 340, 344, ijma>‘ ....... 11, 163, 167, 325, 348, 395,
391, 468 413, 425, 467
Ibn al-Najja>r ..................... 4, 229, 391 ijtihad .............. 2, 5, 6, 7, 91, 104, 475
Ibn al-Qayyim . 4, 162, 332, 349, 433, immunoglobulin ............................243
434, 468 implantasi..... 117, 118, 136, 140, 141,
Ibn al-Sunni> .................. 329, 350, 389 151, 163, 164, 165, 196, 224, 226,
Ibn Badra>n .................................... 466 231, 232, 365
Ibn H{azm ..... 202, 251, 252, 257, 383, impoten ................................. 148, 192
398, 407, 408, 425, 467 infertilitas...... 107, 123,124, 125, 126,
Ibn H{ibba>n ... 145, 146, 152, 222, 233, 129, 130, 131, 132, 136, 138, 157,
255, 329, 337, 344, 346, 347, 350, 158, 159, 160, 161, 175, 176, 182,
383, 385, 386, 387, 388, 391, 402, 191, 192, 200
404, 405, 411, 414, 430, 432, 484 inform consent ...... 185, 352, 415, 431
Ibn Huma>m................... 162, 248, 467 informed consent .......... 142, 378, 446
Ibn Kathi>r .... 146, 289, 290, 326, 340, Inggris ...... …126, 137, 142, 144, 152,
342, 400, 401, 467 169, 190, 191, 192, 195, 205, 218,
Ibn Khaldu>n .................................. 149 223, 224, 287, 293, 310, 315, 316,
Ibn Khuzaymah ... 152, 255, 383, 392, 376, 394, 502
411 inkubator ....................... 133, 135, 139
Ibn Ma>jah .... 145, 152, 164, 166, 196, Inseminasi .... 149, 164, 167, 168, 178,
197, 228, 231, 233, 252, 255, 324, 188, 194, 195, 205, 217, 218, 219,
329, 337, 344, 346, 349, 350, 351, 240, 441, 442, 463
383, 384, 385, 386, 388, 392, 398, insemination....... ..132, 142, 188, 190,
411, 430, 432, 484 191, 217
Ibn Mandah ..... …164, 255, 329, 346, invasif.... 185, 390, 395, 410, 421, 432
386, 391, 397 in-vitro fertilization ..... 217, 219, 447,
Ibn Manz}u>r ........................... 287, 288 452
Ibn Mas‘u>d .. 152, 164, 250, 256, 268, irreversible ... 284, 291, 292, 313, 314,
383, 388, 401, 411, 484 321, 338, 347, 356, 360, 365, 432
Ibn Muflih} .................... 162, 248, 467 Ish}a>q Ibn Ra>hawayh..... 152, 165, 196,
Ibn Nujaym...... …169, 170, 172, 175, 432
262, 357, 406, 407, 411, 415, 422, Ish}a>q Ibn Yah}ya> .................... 165, 196
424, 428, 467 isna>d ..............................................391
Ibn Quda>mah ...... .103, 250, 251, 254, isograft ..........................................367
262, 398, 407, 408, 412, 417, 423, istibd}a>‘ .................................. 199, 200
424, 425, 427, 467 istidkha>l ........................................155
Ibn Rusla>n ............................ 388, 390 istidla>l ... 19, 61, 66, 83, 233, 237, 470
Ibn Si>na>'................................ 149, 332 istih}sa>n…174, 202, 203, 237, 262,
Ibn Taymi>yah ...... 103, 162, 248, 255, 416, 436
350, 360, 395, 463, 467, 468 istis}h}a>b .................. 262, 336, 356, 397
Ibn Umm Maktu>m ........................ 289 IUD ............................... 127, 129, 159
Ibra>hi>m al-Ghawi>l ........................ 268 IUI ......................... 132, 189, 190, 447

497
IVF ..... .130, 131, 132, 133, 134, 137, LH ......................... 111, 113, 114, 213
138, 139, 140, 141, 142, 143, 156, life support ... 284, 297, 301, 305, 311,
159, 186, 188, 189, 193, 217, 218, 443, 451, 458
219, 220, 443, 445, 447, 448, 449, limbik .................................... 272, 276
450, 457, 478, 479 limfoma .........................................374
Ja>bir… ..... 88, 97, 100, 364, 386, 391, luka bakar .... 308, 318, 367, 369, 375,
470, 505 410, 437
Jam‘ al-Jawa>mi‘ ................... 336, 356 Luqma>n ................. 229, 235, 248, 462
janin ..... 120, 121, 122, 133, 137, 139, Luteinizing Hormone ............ 111, 113
141, 143, 156, 157, 159, 161, 163, lysozyme .......................................243
166, 168, 195, 196, 198, 214, 215, Ma>lik ...... 89, 152, 165, 196, 228, 250,
216, 217, 220, 224, 228, 230, 231, 252, 333, 345, 404, 405, 407, 463,
232, 233, 235, 236, 238, 239, 249, 467, 471
336, 344, 356, 370, 393, 398, 407, Ma>liki>yah .... 102, 345, 358, 404, 414,
423, 424 416, 419, 423, 424, 426, 428
jasad..... 287, 321, 326, 327, 330, 331, madarat..405, 406, 411, 424, 428, 433
332, 333, 334, 335, 337, 339, 341, Madku>r ..........................................469
342, 343, 348, 350, 352, 356, 417, mafsadat.. ..... 174, 203, 264, 392, 407,
418, 419, 420, 421, 422, 426, 427, 427, 428, 436
428, 429, 432 mahram ...... ..170, 194, 230, 249, 251,
Jundab al-Bajli> ............................. 397 253, 257, 408
karbohidrat ................... 242, 243, 244 Makhlu>f ................................. 168, 175
Karen Ann Quinlan ..... 313, 323, 479, Mamdu>h} Jabr ................ 241, 256, 263
482 maqa>s}id ..................................... 5, 393
karsinoma ..................................... 244 Maryam ................................. 329, 339
katup ..... 279, 280, 281, 283, 377, 413 Mas}a>lih}.................. 407, 427, 434, 466
kembar ..... …133, 136, 137, 138, 140, mas}lah}ah.. .... 172, 176, 262, 359, 434,
141, 156, 174, 226, 238, 368 435, 436, 441
kencing unta ......................... 388, 389 mas}lah}ah.. .. 11, 12, 91, 441, 464, 466,
khabari>yah .................... 145, 146, 222 468, 471, 472, 473
Khalla>f .......... 4, 19, 20, 174, 203, 237 Mas}lah}ah al-Mursalah............. 91, 441
Khud}ri> al-Sayyid .............................. 2 mashaqqah............. 239, 358, 359, 441
koma ... 292, 294, 295, 313, 314, 318, maslahat ....... 104, 171, 176, 198, 254,
319, 321, 325, 326, 341, 348, 351, 255, 257, 333, 395, 407, 429, 433,
481 434
kongenital ..................... 160, 214, 236 MBO .... 292, 293, 294, 295, 296, 297,
korteks .......... 272, 274, 276, 294, 319 356, 357
kromosom .... 109, 110, 112, 130, 143, MBR..............................................137
144, 180, 188, 195, 369, 370 medulla oblongata .........................276
lah}n al-khit}a>b ............................... 237 medulla spinalis ............................277
lajnah .......................... 8, 89, 400, 503 meiosis .................................. 110, 476
Langerhans ................................... 370 mensahihkannya.................... 386, 388
laparoskopi ........................... 135, 143 MHC .............................................369
lesbian .......................................... 192 Minnesota ............. 314, 316, 381, 447
leukemia ....................... 318, 374, 381 minor tranquiliser .........................317

498
mitokondria .......................... 112, 180 oksigen ....... ..215, 279, 280, 281, 284,
mitosis .......... 109, 110, 112, 116, 180 286, 299, 300, 301, 302, 307, 309,
MO ....................................... 276, 292 316, 320, 347, 357, 374
morula........... 116, 117, 118, 143, 475 oogenesis ...... 110, 112, 113, 114, 122,
motorik 269, 270, 274, 278, 297, 325, 473
347 oosit .............. 109, 112, 113, 114, 188
Mu’tamar al-Isla>mi> ................ 8, 9, 85 ovarium…110, 112, 114, 115, 120,
mud}ghah 152, 164, 165, 166, 197, 226 124, 129, 131, 132, 133, 134, 136,
mudarat ................................ 393, 409 141, 142, 143, 154, 156, 186, 190,
Muh}ammad Ibn al-H{asan ............. 411 208, 209, 210, 211, 212, 214, 247
Muh}ammad Ibn Si>ri>n ................... 403 ovulasi ..113, 115, 124, 125, 130, 134,
Muh}yi> al-Di>n Qa>di> ....................... 107 143, 188, 190, 210, 211, 212, 218
MUI ...... 8, 13, 17, 217, 235, 463, 503 ovum. ... 110, 112, 113, 114, 115, 132,
mukallaf.................................... 5, 418 133, 134, 139, 140, 143, 151, 155,
multipara .............................. 208, 215 156, 157, 166, 167, 169, 172, 174,
muslim ... 85, 90, 91, 93, 94, 145, 152, 186, 190, 196, 198, 202, 210, 213,
163, 164, 166, 197, 198, 228, 231, 217, 218, 221, 223, 224, 226, 227,
233, 248, 252, 255, 256, 263, 264, 228, 230, 233, 474
329, 346, 347, 350, 377, 383, 384, oxytocin ........................ 242, 246, 260
385, 386, 387, 388, 389, 391, 397, pace maker ....................................299
402, 404, 405, 411, 430, 458, 472, pankreas ........................ 370, 374, 381
481, 503, 504 patogenesa.....................................108
mustah}ab .............................. 222, 433 pelvic inflammatory disease . 127, 128
muwa>faqah ........... 237, 356, 436, 441 pelvis ..... 129, 159, 206, 207, 210, 235
najis ..... 237, 388, 389, 398, 414, 415, perikardium ...................................281
421, 435 peritoneum .................... 207, 208, 210
narkotika ...................................... 308 pernyataan kematian .....................322
nasab. ... 147, 161, 162, 163, 165, 166, persistent vegetative state ...292, 296,
168, 169, 170, 174, 177, 194, 197, 313, 479
200, 201, 203, 226, 227, 228, 231, persusuan...... 228, 235, 236, 248, 251,
233, 234, 238, 252, 262, 264, 265, 252, 253, 254, 255, 256, 259, 261,
433 264, 265
neuron .. 268, 269, 270, 274, 277, 281, PESA ..................................... 187, 454
301, 478 piamater ........................................271
neurotransmitter ........................... 270 PID ................................ 126, 127, 159
NIH ....................................... 155, 455 pituitary ................ 111, 134, 213, 214
nodus AV...................................... 281 plasenta ................. 212, 214, 215, 236
Nodus SA ..................................... 283 pneumothorax ............... 305, 308, 309
non-invasif............................ 390, 421 poligami ................ 225, 445, 459, 476
Nu‘aym Ya>sin .............................. 230 pons ...............................................276
nullipara........................................ 208 progesteron ........... 114, 211, 212, 214
nut}fah .. 151, 152, 153, 164, 165, 166, prolaps uteri ..................................216
174, 197, 231 protein .. 114, 179, 180, 181, 241, 242,
oedema cerebral............................ 309 243, 272, 318, 369
psikofarmaka .................................317

499
pupil...................... 276, 297, 302, 316 ruqyah ................................... 386, 387
Purkinje ................................ 281, 283 S{afi> al-Di>n al-Baghda>di ........ 359, 434
pyramid ........................................ 276 s}adafah ..........................................156
qa>fah ............................................. 200 Sa‘d .... 3, 89, 163, 176, 250, 252, 257,
qalb ............... 286, 287, 288, 289, 290 402, 472
qalbu ............. 145, 287, 288, 290, 401 Sa‘i>d Ibn Mans}u>r ..... …146, 339, 387,
qara>r. 12, 85, 105, 122, 123, 154, 177, 389, 404
203, 225, 226, 227, 264, 437 sa‘u>t}....................................... 250, 252
qat}‘i> ...................................... 2, 5, 154 Saba>’ .............................................344
Qata>dah Ibn al-Nu‘ma>n................ 392 Sadd al-dhari>‘ah.. ....... 11, 12, 17, 174,
qis}a>s} ..... 324, 336, 385, 420, 423, 424, 203, 229, 238, 263, 264, 359, 441
425, 426, 440, 442 sahih ..... 104, 145, 146, 199, 202, 222,
Qiya>s ... 5, 11, 91, 174, 203, 228, 233, 250, 255, 262, 385, 389, 402, 412,
236, 237, 358, 436, 463, 466, 471 413, 427, 432
qiya>s khafi> .................................... 174 saki>nah ..........................................144
Ra>bit}ah .. 8, 85, 86, 89, 155, 225, 226, sanad ..................... 250, 388, 392, 432
470, 471 screening ....... 143, 184, 185, 189, 190
Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi> ... …8, 85, sedativa .........................................296
86, 89, 155, 225, 226 sekret ............................. 125, 181, 213
ra>jih} .............................................. 436 sel telur....... ..112, 113, 124, 130, 131,
rad}a>‘.............................. 235, 250, 251 132, 133, 134, 135, 138, 140, 142,
rad}a>‘ah .......................... 249, 252, 262 143, 151, 154, 156, 177, 180, 185,
rahim ... 113, 122, 124, 126, 127, 128, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 202,
130, 131, 132, 133, 135, 138, 139, 218, 219, 227, 235, 238
141, 142, 143, 149, 151, 154, 156, semen ... 135, 178, 180, 181, 182, 183,
157, 158, 159, 161, 164, 166, 167, 184, 190, 194, 200, 451, 455, 459,
168, 169, 174, 177, 185, 186, 188, 460, 469
190, 195, 197, 198, 205, 206, 207, sensorik ...... ..269, 270, 276, 278, 326,
208, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 327, 347
220, 221, 223, 224, 225, 226, 227, sentrifuge ......................................183
229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, sepersusuan ... 228, 249, 251, 252, 262
236, 238, 239, 240, 340, 482 Sha>fi‘i>....... …162, 175, 237, 407, 409,
Rajab al-Tami>mi> ... 88, 107, 198, 203, 417, 424
241, 364 Sha>fi‘i>yah. .... 101, 253, 345, 388, 389,
refleks .. 121, 245, 271, 275, 277, 278, 408, 409, 410, 412, 413, 414, 416,
279, 291, 292, 293, 295, 297, 302, 417, 419, 423, 424, 426, 427, 428
315, 316, 345, 354 Sha>ri‘....................... 4, 9, 86, 147, 251
resusitasi...... 290, 292, 299, 300, 301, Shalabi> ..........................................472
310, 352, 354, 367, 470 Shaltu>t ...........................................167
reversibel ...................... 294, 295, 300 Shawqi> Ibra>hi>m .... 267, 332, 333, 335,
roh 330, 331, 332, 334, 335, 336, 337, 337, 356
338, 339, 340, 342, 348, 349, 350, shubha>t ..........................................163
351, 352, 356 skin graft ............... 364, 367, 375, 437
ru>h}......................................... 331, 332 sperma ...... …108, 110, 111, 114, 115,
Rubella ......................................... 189 124, 125, 130, 131, 133, 134, 135,

500
138, 142, 143, 149, 151, 153, 154, TESA .................................... 187, 450
155, 156, 157, 161, 163, 164,165, TESE ..................................... 187, 444
166, 167, 168, 169, 172, 174, 177, testis .... .110, 111, 114, 120, 179, 181,
178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 182, 186, 187, 191
185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, testosterone ...................................111
192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, thiqah .................................... 257, 388
199, 200, 201, 202, 203, 204, 207, transplantasi ....... ..138, 158, 164, 166,
213, 217, 218, 219, 220, 221, 223, 240, 293, 312, 321, 322, 352, 353,
224, 226, 230, 231, 232, 235, 238, 364, 365, 366, 367, 368, 369, 370,
441 371, 372, 373, 374, 375, 376, 377,
spermatid .............................. 180, 181 378, 379, 380, 381, 382, 383, 384,
spermatogenesis .. 110, 111, 114, 122, 385, 390, 392, 393, 394, 395, 398,
180, 181, 447, 458, 469, 477, 478, 399, 400, 405, 409, 410, 413, 414,
479 415, 421, 424, 426, 428, 429, 430,
spermatogonium ........... 111, 114, 180 431, 432, 433, 434, 435, 436, 437,
spermatozoa 109, 110, 114, 115, 135, 438, 439, 440, 441, 442, 472
143, 156, 179, 181, 182, 183, 184, tuba falopii ... 115, 116, 124, 126, 127,
195, 199, 210, 223 128, 130, 136, 156, 157, 159, 188,
split ............................... 368, 455, 457 198, 208, 210, 213
stem cell ..... .143, 369, 370, 381, 382, tubulus seminiferus ...... 110, 111, 114,
476 179
sterilisasi ...................................... 128 ultrasonik ......................................135
Sufya>n al-Thawri>.......................... 256 ultrasound ............................. 132, 190
supernatant ................................... 183 umbilicus ....................... 120, 235, 236
surrogate mother… ..... 138, 205, 217, Umm Salamah....................... 152, 350
220, 221, 223, 224, 234 Usa>mah ................. 385, 387, 436, 466
swim-up ................ 135, 182, 183, 443 USG .............................. 132, 187, 249
syncope ................................. 317, 326 uterus.... 116, 117, 118, 119, 120, 122,
syncytiotrophoblast.............. 119, 120 125, 129, 134, 140, 207, 208, 209,
syngraft......................................... 367 210, 212, 213, 214, 215, 216, 247,
syphilis ......................... 143, 189, 190 260
T{a>ha> Ja>bir al-‘Ulwa>ni>..... 97, 100, 364 vasokonstriksi cerebral .................309
T{a>riq Ibn Suwayd ......................... 388 ventilator ...... 293, 294, 296, 298, 299,
t}ari>q al-istinba>t… } 12, 109, 172, 174, 306, 307, 308, 309, 313, 315, 316,
240, 241, 361, 364, 440 318, 320, 321, 322, 448, 449, 479,
ta‘zi>r ............................................. 230 480
tachycardia ................... 282, 299, 310 ventrikel ....... 270, 271, 279, 280, 281,
tah}si>ni>yah ..................................... 395 282, 283, 284, 302, 310, 312
tajdi>d .... 3, 6, 264, 462, 470, 471, 474 vesica urinaria ............... 207, 208, 345
tamaththul .................................... 397 Wa>’il Ibn H{ujr ...............................388
tamthil .......................................... 385 wa>jib kifa>'i> ................................ 3, 333
tamyīz ........................................... 325 Wahbah al-Zuh}ayli .. 3, 19, 20, 21, 22,
Taqi> ... .89, 96, 99, 241, 256, 437, 462 23, 24, 98, 100, 263, 264, 337, 363,
targhi>b .................................. 145, 222 474
tas}awwur .............................. 108, 122 waju>r .............................................250

501
WHA ............................................ 378 Z{a>hiri>yah.. ..... 257, 419, 420, 425, 427
xenograft .............................. 368, 370 Zakari>ya> al-Ba>rri> ...........................230
xenotransplantation.............. 368, 458 zar‘ ........................................ 391, 392
Ya>si>n .... 173, 268, 339, 341, 364, 400 Zaydi>yah410, 412, 413, 418, 419, 425
Yu>nus ................... 152, 251, 289, 352 zigot ..... 108, 115, 140, 143, 144, 151,
Yu>suf . 3, 4, 14, 88, 90, 96, 97, 98, 99, 154, 177, 213, 228, 340
100, 153, 168, 173, 222, 231, 232, zinc ................................................246
233, 234, 241, 250, 253, 254, 256, Zum’ah ..........................................163
258, 338, 350, 403, 408, 416, 437,
462, 463, 469, 470, 484

502
BIODATA

Nama : dr. Endy Muhammad Astiwara, MA, AAAIJ, CPLHI, ACS, FIIS
Tempat/tgl lahir : Surakarta, 10 Agustus 1963
Status pribadi : Pria. Menikah, dua anak
Pekerjaan : Ketua Bidang Bisnis dan Pariwisata, Dewan Syariah Nasional ”
Majelis Ulama Indonesia (DSN ” MUI)
Dosen tidak tetap Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah : Jl. Timbul IV F-7, Kavling DKI, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Kontak : HP : 0812.1919.6982

Kualifikasi Profesional

 Kemampuan dokter hiperkes & akupunktur dengan pengalaman kesehatan


masyarakat dan dokter perusahaan
 Memberikan pertimbangan fikih kedokteran dan etika medis
 Memberikan pertimbangan dalam bidang hukum Islam dan muamalah,
khususnya asuransi, pasar modal dan multifinance
 Memberikan pertimbangan manajemen strategi dan manajemen SDM
 Mampu berbahasa Arab dan Inggris dengan baik, lisan maupun tulisan
 Mampu berbahasa Jerman, Perancis, dan Spanyol, secara tulisan

Pendidikan
FIIS (Fellow of Islamic Insurance Society)
Gelar/brevet profesi Ahli Asuransi Syariah, diterbitkan oleh Islamic Insurance
Society (IIS).

ACS (Associate, Customer Service)


Gelar profesi bidang Financial Customer Service yang diakui di seluruh dunia,
diterbitkan oleh Life Office Management Association (LOMA), asosiasi
internasional bidang asuransi jiwa dan jasa keuangan.

CPLHI (Certified Professional of Life & Health Insurance)


Gelar profesi asuransi, diakui di seluruh dunia, diterbitkan oleh LOMA, USA.

Ajun Ahli Asuransi Indonesia ” Bidang Jiwa (AAAIJ)


Gelar profesi asuransi jiwa yang diakui di Indonesia, diterbitkan oleh Asosiasi Ahli
Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI).

Magister Studi Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta (akreditasi unggul).


Konsentrasi Ekonomi Islam, tesis ‚Investasi Islami di Pasar Modal‛ (1999)

Sertifikat Hiperkes (Higiene Perusahaan, Ergonomi, dan Kesehatan), diterbitkan


oleh Departemen Tenaga Kerja RI ” IDI ” FKUI.

Sertifikat Akupunktur Medis, diterbitkan oleh Pendidikan Akupunktur Medis


Dasar, P3T ” RSCM.

503
Dokter Umum, Universitas Negeri Padjadjaran (UNPAD), Bandung, Indonesia.

Kursus dan Seminar


2003 ” sekarang :
“ Mengikuti sejumlah forum kajian Komisi Fatwa MUI Pusat
“ Mengikuti Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia, yang diselenggarakan
setiap tiga tahun

1996 ” sekarang :
Berbagai kursus, seminar dan lokakarya bidang ekonomi syariah dan kedokteran,
baik di dalam maupun di luar negeri

1998 ” 2003 :
Sejumlah kursus manajemen strategi, HRD, dan bidang investasi

Juni-Juli 1999 :
Certificate in Corporate Leadership. School of Corporate Leadership (SCL)
Agustus - September 1994 :
6th International Seminar on Miracle of Al-Quran and Al-Sunnah on Science,
Rabithah al-‘Alam al-Islami (Muslim World League) & ICMI

1991 ” 1992 :
Bahasa Arab dan Studi Islam (I‘da>d al-Lughawi>, barna>maj Ghayr al-Mukaththaf),
lulus 1992, LIPIA, Univ. Islam Imam Muhammad Ibn Su’ud, Arab Saudi, cabang
Indonesia

September 1991 :
Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) Ke 5. LIPI

1985 ” 1990 :
“ Program takhas}s}us}, langsung mula>zamah kepada KH Hambali Ahmad, Pesantren
Muhammadiyah Bandung
“ Diskusi bulanan Bah}th al-Kutub, Lajnah Mut}a>la‘ah PERSIS Bandung
“ Mengikuti sejumlah Musyawarah dan Muktamar Majlis Tarjih Muhammadiyah
“ Mengikuti sejumlah Musyawarah Bah}th al-Masa>’il Nahdhatul ‘Ulama

504
Aktifitas
2009 ” sekarang :
Dewan Standar Akuntansi Syariah ” Ikatan Akuntan Indonesia (DSAS ” IAI),
anggota

2003 ” sekarang :
“ Dewan Syariah Nasional ” Majelis Ulama Indonesia (DSN„MUI), anggota
“ Islamic Insurance Society (IIS), komite fellow

2003 ” sekarang :
“ Anggota Tim Ahli pada sejumlah emisi obligasi syariah (sukuk) di Bursa Efek di
Indonesia
“ Konsultan manajemen dan keuangan syariah

1995 - sekarang :
Ikatan Dokter Indonesia (IDI), anggota

1996 ” 2003 :
“ PT Asuransi Takaful Keluarga, jabatan terakhir sebagai HR & Services General
Manager
“ PT Syarikat Takaful Indonesia (holding company bidang keuangan syariah).
Jabatan terakhir sebagai HRD Division Head

1992 - 1995 :
“ Pegawai Tidak Tetap (sebagai Wajib Kerja Sarjana) di Kalimantan Timur
“ Dokter perusahaan Asia Emergency Assistance (AEA), Long Iram, Kalimantan
Timur

1992 :
International of Islamic Relief Organization .
Kepala Urusan Kesehatan pada kantor perwakilan Indonesia.

1990 - 1992 :
Bekerja pada Rumah Sakit Al-Islam Bandung dan beberapa klinik swasta

1988 - 1991 :
Forum Shilaturrahim Ulama dan Cendekiawan Muslim Jawa Barat, sekretaris

Pengajaran
2011 ” sekarang :
“ Pengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, sebagai anggota
team teaching untuk Modul "Bioethics and Humanism Program III:
Neurobehaviour Special Senses System"
“ Pengajar Manajemen Resiko & Asuransi, program Certified Financial Planner
(CFP) PPA Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

505
2005 ” sekarang :
Pembicara pada sejumlah seminar dan konperensi bidang ekonomi syariah, baik di
dalam maupun di luar negeri
Pembicara pada sejumlah seminar dan konperensi bidang kedokteran Islami

2008 ” 2009 :
“ Pengajar Fiqh Muamalah dan Asuransi Syariah, Progam Magister Ekonomi
Islam, Universitas Islam Az-Zahra, Jakarta
“ Pengajar Ilmu Asuransi (Konvensional dan Syariah), Program Magister
Manajemen, Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah, Jakarta

2000 - 2002 :
“ Dosen Luar Biasa bidang Asuransi Syariah, Jurusan Mu’amalah Fakultas Syariah
IAIN Syarif Hidayatullah (Universitas Islam Negeri), Jakarta
“ Dosen Luar Biasa bidang Investasi di Pasar Modal dan Asuransi Islam, Program
Kajian Ekonomi Islam LPM Universitas Indonesia

Karya Tulis

Penulis sejumlah paper dalam bidang fikih, asuransi syariah, filsafat dan pemikiran
Islam, serta kedokteran Islam.
Editor, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional ” Majelis Ulama Indonesia,
2003.
Penulis & Ketua Tim Editor, Asuransi Syariah, Teori dan Praktek, Grup Takaful,
1998.
Penerjemah, Haji dan Umrah seperti Rasulullah SAW (karya Na>s}ir al-Din al-
Albani>: Hijjah al-Nabi> SAW kama> rawa>ha> Ja>bir Ibn ‘Abdilla>h), Gema
Insani Press, Jakarta, 1994 (beberapa kali cetak ulang).
Editor Penerjemah, Kedokteran Nabi SAW (karya Dr. ‘Ali> Mu'nis: Al-T{ibb al-
Nabawi>), Kalam Mulia, Jakarta, 1991(telah beberapa kali cetak ulang).
Penulis, Risalah Ramadhan, Bank BTN, Jakarta, 2006.
Penulis, Nahd}ah al-ulama: Majlis Syuriah Kini dan Esok,.
Penulis, Kedokteran Islam (Suatu Studi Pendahuluan), Unit Studi Kedokteran
Islam, Al-Syifaa , Fak. Kedokteran UNPAD, Bandung, 1989.

506

Anda mungkin juga menyukai