Anda di halaman 1dari 175

FILSAFAT

ILMU PENGETAHUAN
Refleksi Kritis Terhadap
Realitas dan Objektivitas Ilmu Pengetahuan

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang No mor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
(I) Barang siapa dengan sengaj a dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (I) atau Pasal 49 ayat ( I) dan ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat I (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.l .OOO.OOO,OO (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.S.OOO.OOO.OOO,OO (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banya k
Rp.SOO .OOO.OOO,OO (lima ratus juta rupiah).

ii

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


FILSAFAT
ILMU PENGETAHUAN
Refleksi Kritis Terhadap
Realitas dan Objektivitas Ilmu Pengetahuan

Irmayanti Meliono

Yayasan Kota Kita


Jakarta
2009

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
Refleksi Kritis Terhadap Realitas dan Objektivitas
Ilmu Pengetahuan

Irmayanti Meliono

KK 006-09-2009

Hak Cipta © 2009


Oleh Penulis dan Penerbit Yayasan Kota Kita
Hak Cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang memperbanyak, mengutip
sebagian atau keseluruhan isi buku dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis
dari Penulis dan Penerbit.

Penyunting : Sofian Pumama


Tata Letak : Taefur Mustafa & Tim YKK
Desain Sampul : Erik Aditya
Ilustrasi : Irma Budianto

Meliono, Irmayanti
Filsafat Ilmu Pengetahuan: Refleksi Kritis Terhadap Realitas dan
Objektivitas Ilmu Pengetahuan I Irmayanti Meliono. -- Jakarta:
Yayasan Kota Kita, 2009.
ix + 158 him. ; 16 x 23 em
ISBN 978-979-98379-5-0

Oktober 2009
Diterbitkan oleh Yayasan Kota Kita
Jl. Albezia 61A, Jakarta Timur 13240
Telp: 021-472 2268 I Fax: 021 -470 2866 Ext. 805
e-mail : yaykotakita@yahoo.co.id.
KOTAKITA
www.yayasankotakita.b logspot. com

iv

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


PRAKATA

Buku Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan buku yang


mengkaji secara kritis mengenai ciri, cara kerja, paradigma, dan
tema filsafat yang terkait dengan aspek ontologis, epsitemologis,
serta aksiologis. Studi yang memerlukan pemahaman mengenai
kegiatan ilmiah, penelitian memerlukan pula pemahaman
mengenai cara kerja ilmiah yang mendalam dan kritis. Untuk
itulah buku mengenai cara kerja keilmiahan, metodologi
keilmuan yang memiliki kedalaman filosofis sangat bermanfaat
bagi yang memerlukannya. Refleksi kritis sangatlah diperlukan
bagi mahasiswa atau peneliti yang sedang mempersiapkan
penulisan ilmiah dalam tingkat sarjana, magister, ataupun doktor.
Kedalaman analisis akan membuahkan hasil penelitian yang baik
serta berkualitas. Di samping itu, sisi moralitas sangat mem-
butuhkan pertanggunganjawaban ilmiah bagi para ilmuwan atau
calon ilmuwan dan inilah yang dituntut bagi siapa saja yang
berkecimpung dalam kegiatan ilmiah, dialog keilmuan yang
menuntut kebenaran dan kejujuran ilmiah.
Pengalaman dan perjalanan panjang mengajar di
beberapa Program Pascasarjana di lingkungan Universitas
Indonesia maupun di luar Universitas Indonesia menyadarkan
bahwa dialog keilmuan dengan para mahasiswa (terutama yang
berlatar belakang non-filsafat) sangat penting ketika memasuki
problem epistemologis dalam kegiatan ilmiahnya di samping
problem ontologis dan aksiologis. Dalam konteks itulah buku
Filsafat Ilmu Pengetahuan ini dibuat. Beberapa tulisan yang
pernah dimuat dalam buku Realitas dan Objektivitas: Rejleksi
Kritis atas Cara Kerja Ilmiah menjadi bahan (dan dikoreksi)

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


dalam buku ini. Dengan demikian buku ini merupakan penyem-
purnaan dari buku Realitas dan Objektivitas: Rejleksi Kritis atas
Cara Kerja Ilmiah yang sebelumnya telah diterbitkan oleh
penerbit yang lain.
Semoga saja buku ini dapat bermanfaat kepada siapa saja
yang tertarik pada persoalan filsafat ilmu pengetahuan dan
melalui dialog kritis kita dapat menguak lebih dalam problem
ilmiah yang bersifat multi ataupun interdispliner. Sebagai akhir
kata, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu penyelesaian buku ini, terutama
Erik, Sofian dan Apung serta Yayasan Kota Kita sehingga buku
ini dapat diterbitkan.

Selamat Membaca.

A wal Agustus 2009


Penulis

vi

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


DAFTAR lSI

Prakata v
Daftar lsi Vll
Daftar Bagan, Tabel, Garnbar lX

BAB I Filsafat dan Pengetahuan 1


A. Filsafat dan Fenornena Pengetahuan 1
B. Filsafat Sebagai Cermin Realitas 7

BAB II Logika Berpikir dalam Pengetahuan 16


A. Pengetahuan dan Pengalarnan Manusia 17
B. Berpikir Kritis dalarn Pencarian Pengetahuan 20

BAB III Filsafat Ilrnu Pengetahuan 28


A. Pengertian Filsafat Ilmu Pengetahuan 28
B. Kegunaan Filsafat Ilrnu Pengetahuan 34
C. Perkernbangan Sejarah Filsafat Ilrnu Pengetahuan 36
D. Revolusi Ilrnu Pengetahuan 42
E. Tradisi Baru dalarn Filsafat Ilrnu Pengetahuan 46
F. Pernikiran Filsafat Ilrnu Konternporer Pasca Abad 20 56

BAB IV Episternologi dalarn Ilrnu Pengetahuan 62


A. Teori Kebenaran dalam Ilrnu Pengetahuan 62
B. Paradigrna Ilrnu Pengetahuan 72
C. Objektivitas Ilrnu Pengetahuan 77
D. Pengernbangan Model Paradigrna 83

vii

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


BAB V Metodologi Ilmu Pengetahuan 86
A. Pengertian Metodologi Ilmu Pengetahuann 86
B. Susunan Ilmu Pengetahuan 95
C. Cara Kerja Ilmu Empiris 102
D. Cara Kerja Ilmu Deduktif 104
E. Cara Kerja Ilmu-Ilmu Kemanusiaan 107

BAB VI. Bebas Nilai dan Etika Keilmuan 115


A. Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan 115
B. Etika Keilmuan dan Tanggung Jawab Ilmuwan 123
C. Etika Profesi Bagi Seorang Ilmuwan 130
D. Etika Profesi Sebagai Ilmu Praktis dan Ilmu Terapan 134
E. Peran Etika Profesi dalam Ilmu Pengetahuan 136

BAB VII. Filsafat Teknologi 138


A. Apa ltu Filsafat Teknologi ? 138
B. Hubungan Filsafat Teknologi dan Filsafat Ilmu 139
C. Dampak Teknologi Terhadap Masyarakat 144

BAB VIII. Penutup 14 7

Daftar Pustaka 151


Indeks 154

viii

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


DAFTAR
BAGAN, TABEL, GAMBAR

Bagan 1. Tema dalam Ilmu Filsafat 10


Bagan 2. Kesatuan tema dalam Ilmu Filsafat 11
Bagan 3. Metode dialektika ala Hegel 13
Bagan 4. Pengetahuan empiris dan pengetahuan konseptual 20
Bagan 5. Studi bebas (Artes Liberalis) 27
Bagan 6. Teori kebenaran 68
Bagan 7. Proses epistemologis ilmu pengetahuan 69
Bagan 8. Model paradigma limas/piramida 74
Bagan 9. Model piramida ganda dan terbalik 75
Bagan 10. Objektivitas ilmu 82
Bagan 11. Segitiga ilmu 88
Bagan 12. Kerangka metodologi ilmu 95
Bagan 13 . Skema hubungan subjek - objek 98
Bagan 14. Skema pemaknaan hermeneutik
pada kategori verbal 111
Bagan 15. Skema pemaknaan hermeneutik
pada kategori non-verbal 112
Bagan 16. Bebas nilai dan tidak bebas nilai
dalam penelitian ilmiah 128
Bagan 17. Hubungan teknologi dengan epistemologi,
estetika dan metafisika 143
Tabel 1. Dialog Paradigma 85
Gambar.1 . Tafsir Hermeneutik pada Candi Prambanan 114
(nilai keindahan dan nilai kesakralan)

ix

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


BAB I
FILSAFAT DAN PENGETAHUAN

A. Filsafat dan Fenomena Pengetahuan


Filsafat dan fenomena pengetahuan merupakan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan ketika orang akan bersikap kritis
terhadap sesuatu. Mengapa? Sikap kritis selalu dihubungkan
dengan bertanya, keinginan mencari tahu akan sesuatu, mencari
kebenaran, menemukan hakikat akan sesuatu bahkan bersikap
skeptis terhadap hal itu. Dengan kata lain, sikap kritis selalu
dikaitkan dengan berfilsafat. Berfilsafat tidak lain adalah
pencarian sikap kritis terhadap sesuatu hal. Dalam pencarian
sikap kritis itu, upaya manusia berwujud memahami persoalan
sampai seakar-akamya. Berfilsafat juga berarti perenungan yang
mendalam terhadap sesuatu, misalnya terhadap lingkungan,
kehidupan bermasyarakat, kehidupan beragama, relasi dengan
sesama, dan sebagainya. Jadi, apabila kita hendak merumuskan
filsafat dengan lugas, filsafat dapat diartikan sebagai proses
upaya berpikir kritis manusia terhadap sesuatu hal, baik yang
berada di sekitar manusia maupun yang lainnya. Dengan kata
lain, filsafat merupakan "gambaran realitas" atau a picture of
reality, sebuah "gambar" yang dapat kita ketahui, diuraikan
secara detil mengenai apa saja yang terjadi pada fenomena atau
realitas itu, dan kita dapat memahaminya dengan kritis .

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


"Gambar" itu adalah fenomena yang dialami oleh manusia,
pengalaman kehidupan sehari-hari seperti bercengkerama dengan
ternan, keluarga, mengikuti kegiatan keagamaan, belajar ke
jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Semuanya itu akan memperkaya pengalaman seseorang dalam
menjalani kehidupannya bersama orang lain dalam situasi atau
kondisi yang mungkin berbeda dengan dirinya.
Di sisi lain, filsafat dapat diarahkan tidak hanya pada
sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (misalnya
interaksi dengan sesama dalam menjaga hubungan yang baik
atau menjaga lingkungan alam dengan baik), tetapi juga pada
kegiatan ilmiah. Pada kegiatan ilmiah ini sikap kritis ditujukan
misalnya terhadap fenomena budaya, seni, politik, dan cara kerja
ilmiah, sehingga di dalam tradisi ilmu filsafat muncul berbagai
kajian filsafat. Contohnya adalah filsafat budaya, estetika,
filsafat seni, filsafat ilmu pengetahuan, filsafat teknologi, filsafat
politik, filsafat seni, dan sebagainya.
Upaya memahami filsafat pada tahap awal dapat dimulai
dengan penelusuran secara historis mengenai pencarian dan
penemuan pengetahuan secara kritis. Perkembangan filsafat atau
pencarian pengetahuan kritis telah dimulai sejak masa Yunani
Kuno . Pada masa Yunani Kuno (abad ke-4- 6 SM), berfilsafat
selalu diartikan sebagai upaya manusia dalam mencari kebijak-
sanaan. Upaya ini sejalan dengan arti filsafat secara etimologis,
yaitu philosophia, yang berarti senang atau suka (philos)
terhadap kebijaksanaan (sophia). Bagi orang Yunani, senang
terhadap kebijaksanaan selalu diarahkan pada kepandaian yang
bersifat teoritis dan praktis. Kepandaian bersifat teoretis adalah
upaya manusia mencari pengetahuan yang penuh dengan
gagasan-gagasan, ide-ide, atau pun konsep-konsep yang sejalan
dengan cara atau alam pikiran mereka. Pada mulanya, gagasan
atau pun ide-ide bangsa Yunani diarahkan untuk memahami
alam semesta dengan cara membuat mitologi atau menghadirkan
mitos. Di dalam mitos-mitos itulah kekuatan alam semesta

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


berada pada genggaman para penguasanya, yaitu para dewa.
Dengan demikian, manusia (bangsa Yunani) sangat tergantung
pada alam pikiran yang bersifat magis, bahkan tidak rasional,
karena hanya di tangan para dewalah dunia dengan segala isinya
hadir di antara mereka.
Adapun kepandaian yang bersifat praktis adalah upaya
mencari pengetahuan yang diarahkan untuk mencari kegunaan
dari pengetahuan. Apabila pengetahuan itu bermanfaat, maka
peran atau pun fungsi pengetahuan sangatlah berarti bagi
manusia atau pun orang banyak. Bagi orang Yunani, penge-
tahuan praktis adalah pengetahuan yang mendasarkan pada suatu
keterampilan dan memiliki tujuan tertentu. Keterampilan itu
misalnya keterampilan atau keahlian membuat suatu bangunan,
karya sastra, karya musik atau seni suara, dan keterampilan olah
tubuh atau olahraga. Sebenamya, di dalam pengetahuan praktis
tersebut terdapat upaya bangsa Yunani menemukan cara
bagaimana pengetahuan atau keterampilan praktis muncul,
berperan, berfungsi, dan berguna bagi kepentingan orang dengan
sesempuma mungkin.
Secara historis, bangsa Yunani mengalami perubahan
dalam cara berpikir atau cara untuk mendapatkan pengetahuan
yang berbeda dengan yang telah ada, dengan mengembangkan
daya penalaran yang lebih rasional dan logis. Penalaran tersebut
diaktualisasikan atau diwujudkan dengan bentuk mencari sebab
terdalam atau sebab pertama dari alam semesta ini. Perubahan
cara berpikir dari mitis ke logis (rasional) juga memunculkan
filsuf-filsuf yang berusaha menguak rahasia alam dengan
berbagai pendapat atau argumen tertentu. Thales, seorang filsuf
alam, misalnya, berpendapat bahwa azas pertama di dunia ini
adalah air, sedang Anaximandros mengatakan bahwa azas itu
adalah "yang tidak terbatas" (apeiron), dan Anaximenes
menyebut udara sebagai azas pertama. Beberapa filsuf lain yang
secara tidak langsung mewariskan pengetahuan pada umat di
dunia ini antara lain Plato (dengan dunia ide), Aristoteles (teori

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


materi bentuk - hilemorfisme ), Phytagoras (dasar perhitungan
aritmatika dan dalil Phytagoras), dan Hypocrates (dianggap
sebagai Bapak Kedokteran, ahli pengobatan).
Masa berikutnya adalah Abad Pertengahan. Masa ini
merupakan masa yang berlangsung sekitar sembilan abad sejak
awal abad Masehi, ditandai dengan munculnya para pujangga
Kristen yang mendasarkan pengetahuan keagamaan secara
teologis. Alam pemikiran manusia Eropa pada masa itu bersifat
teosentris dan imago dei. Bersifat teosentris berarti dasar
pengetahuan manusia diarahkan pada ajaran Tuhan atau pun
agama; sedang imago dei memiliki pengertian bahwa manusia
pada Abad Pertengahan dianggap sebagai citra Tuhan, manusia
dalam bertindak dan berperilaku haruslah sesuai dengan
keinginan Tuhan dan ajaran keagamaan. Oleh karenanya muncul
pengetahuan- yang bersifat keagamaan, religius, dan orang
menamakannya dengan teologi atau ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang persoalan keagamaan, Tuhan (Allah),
hubungan Allah dengan manusia, alam, dan dunia
Pada Abad Pertengahan terjadi pertukaran kebudayaan
antara bangsa-bangsa Timur dan bangsa-bangsa Barat.
Kebudayaan Arab mewarisi banyak karya Yunani Klasik.
Banyak filsuf Islam, seperti Ibnu Sina, sangat berminat terhadap
ajaran Aristoteles dan ia memberikan dasar ilmu pengetahuan
kedokteran di Barat. Karya-karya bangsa Yunani, khususnya
ajaran Aristoteles, banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
oleh para filsuf Arab seperti Ibnu Rushd dan dari sanalah para
filsuf Barat mempelajari dan mengembangkannya ke dalam
pemikiran-pemikiran para filsuf Barat.
Setelah Abad Pertengahan muncul Abad Renaisans (abad
ke-1 0 - 17 Masehi). Abad ini merupakan abad yang sangat
memperhatikan dan berpusat pada "kekuatan" manusia, tidak
hanya kekuatan yang bersifat fisik, melainkan juga kemampuan
akal budi manusia. Renaisans atau kelahiran kembali diartikan

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


sebagai lahimya atau dihidupkannya kebudayaan Yunani Kuno
dan Roma.
Pada awalnya, Abad Renaisans ditandai dengan gerakan
kesenian, yaitu suatu gerakan yang mencoba menghadirkan
karya-karya seni yang bemapaskan atau bergaya Yunani Kuno
dan Roma. Berbagai karya seni seperti seni pahat, seni lukis, seni
bangunan (arsitektur), dan kesusastraan sangat mewamai
kehidupan bangsa Eropa pada waktu itu. Gerakan kesenian itu
disebut juga sebagai "Gerakan Seni Humanisme" (memuncak
pada abad ke-14 M) yang bercirikan harmonisasi di setiap bidang
atau bagian, baik dari segi struktur, bentuk, ragam hias, maupun
estetikanya. Ciri lain adalah tampilnya nilai-nilai kemanusiaan.
Karya seni dan manusia dilihat secara alamiah atau natural serta
nilai kemegahan, yaitu menampilkan karya seni dalam
kemegahan dengan membangun bangunan atau pun patung,
lukisan yang berukuran besar, tinggi, dan penuh dengan ragam
hias yang sangat beragam dan rinci.
Dari gerakan seni humanisme inilah manusia renaisans
mulai mengadakan penyelidikan tentang pengetahuan yang
mengarah pada kekuatan alam semesta. Timbul minat untuk
menyelidiki ilmu pengetahuan alam dengan keinginan yang
sangat besar untuk menguak rahasia alam. Alam semesta
diamati, diselidiki dengan ketelitian yang sangat cermat, dan
didukung dengan pemikiran yang sangat rasional, bahkan sangat
kuantitatif. Inilah awal mula munculnya ilmu fisika, ilmu kimia,
ilmu kedokteran, dan biologi. Beberapa tokoh Abad Renaisans
- seperti Pertrarca, Bocasio, Erasmus, Michelangelo, Leonardo
da Vinci, Galileo Galilei, Copernicus, dan 1. Keppler - sangat
berperan dalam perkembangan seni dan ilmu pengetahuan alam
di dunia.
Abad berikutnya adalah Abad Aujklaerung yang disebut
juga sebagai Abad Pencerahan atau Fajar Budi (Abad ke-18).
Abad ini merupakan kelanjutan masa Renaisans, dan merupakan

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


puncak kejayaan bangsa-bangsa Barat. Abad Aujklaerung
dipenuhi dengan kemarnpuan akal budi manusia yang diaktuali-
sasikan melalui ilmu pengetahuan alam yang didukung dengan
berbagai percobaan atau eksperimentasi yang berlandaskan pola
akademis. Faktor akademis yang telah dirintis sejak Abad
Renaisans memunculkan kaum intelektual dari berbagai
universitas di Eropa, yang mencoba menggabungkan antara
unsur teoritis dan unsur praktis. Mereka menginginkan ilmu
pengetahuan hams memiliki peran dan berguna bagi orang
banyak.
Gerakan intelektual berkembang cepat di kawasan Eropa,
seperti di Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda. Salah satu
sumbangan bagi kemajuan khasanah ilmu pengetahuan adalah
munculnya kaum Ensiklopedis yang berusaha menyusun
pemikiran-pemikiran tentang ilmu pengetahuan dan kesenian
secara sistematis ke dalam sejumlah buku, yang kelak lebih
dikenal sebagai "ensiklopedi". Salah satu ensiklopedi yang tertua
adalah Ensiklopedi Britanica. Tokoh yang sangat terkenal dalam
bidang fisika adalah Newton. Tokoh-tokoh lain seperti David
Hume, seorang tokoh Empirisme dari Inggris, serta Voltaire,
Montesquieu, dan J.J. Rousseau yang berasal dari Perancis.
Setelah mas a A ujklaerung muncul suatu masa pasca
A ujklaerung yang mulai berlangsung abad ke-19 hingga
sekarang. Abad ini ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan
yang sangat pesat. Ilmu filsafat berkembang sebagai ilmu yang
otonom, artinya memiliki objek, metode, atau pendekatan yang
disesuaikan dengan perkembangan ilmu filsafat yang tetap
berbasis pada kekritisan dalam menganalisis objek kajian. Ilmu
pengetahuan berkembang menjadi tiga kelompok besar, yaitu
ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan budaya, dan ilmu
sosial. Ketiga cabang ilmu pengetahuan tersebut masing-masing
berkembang pula sehingga terdapat banyak cabang ilmu.

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Seiring dengan perkembangan dan kemajuan manusia,
pendekatan yang bersifat kajian lintas ilmu atau multidisipliner
menyebabkan ilmu pengetahuan satu dengan lainnya saling
bekerja sama dan saling melengkapi untuk menghadapi per-
kembangan kehidupan dan kebutuhan manusia di dunia yang
semakin kompleks ini. Untuk itulah para ilmuwan seakan-akan
berlomba menciptakan teknologi baru dalam mengantisipasi arus
globalisasi yang semakin cepat serta memanjakan manus1a
dengan keanekaragaman dan kecanggihan teknologi.

B. Filsafat Sebagai Cermin Realitas


Filsafat sebagai cara berpikir kritis dan sekaligus sebagai
sebuah ilmu yang memiliki objek, pendekatan, dan tujuan
merupakan langkah awal untuk memahami bab ini. Di dalam bab
ini, selain penelusuran secara historis yang membawa penjela-
jahan tentang keterkaitan filsafat dengan pengetahuan, akan
dibahas pula pengertian filsafat secara lebih cermat.
Untuk menjawab pertanyaan "Apa itu filsafat?" tidaklah
mudah. Lebih mudah menjawab apabila ada pertanyaan tentang
"Apa itu antropologi?" atau "Apa itu ilmu kedokteran?".
Menjawab pertanyaan seperti itu orang dengan mudah menga-
takan bahwa antropologi adalah ilmu yang mengkaji manusia
dari aspek budaya, sedangkan ilmu kedokteran adalah ilmu yang
mengkaji manusia dari aspek kesehatan. Pertanyaan "Apa itu
filsafat?" mengajak kita untuk menjawabnya secara panjang
lebar. Kita tidak dapat menjawabnya secara singkat. Mengapa?
Pertanyaan tersebut sebenamya telah mengajak kita berfilsafat.
Berfilsafat berarti berusaha mengajak orang untuk her-
tanya. Dalam bertanya, orang kadangkala menunjukkan sikap
heran, sikap skeptis, atau ragu-ragu terhadap sesuatu yang
hendak ditanyakan. Berfilsafat dapat diartikan sebagai upaya
mengetahui sesuatu dengan metode, cara, atau sikap tertentu.

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Upaya mengetahui sesuatu harus dianggap sebagai usaha
manusia yang terus-menerus, usaha manusia yang berusaha
menggali sesuatu sampai ke akar-akamya. Kecenderungan
manusia mempertanyakan sesuatu secara terus-menerus menye-
babkan manusia menjadi lebih kritis baik terhadap dirinya
sendiri maupun sesuatu yang ingin diketahuinya.
Secara historis, philosophia atau filsafat diartikan sebagai
pencarian pengetahuan yang berguna bagi manusia atau pun
mencoba mencari suatu kebenaran melalui proses berpikir
manusia. Mencari kebenaran melalui proses berpikir manusia
sudah lama dikenal oleh bangsa Yunani. Sebagai contoh, her-
dialog merupakan upaya mencari kebenaran dalam berkomuni-
kasi. Socrates mengajarkan bahwa dalam berdialog yang sifatnya
aktif dan sangat dialektis kita seperti seorang bidan yang
membantu persalinan seorang ibu (techne maieutike), membantu
mengeluarkan segala persoalan yang ada dan untuk itu "yang
benar" dan "yang baik" haruslah dijunjung tinggi.
Di sisi lain, seiring dengan perkembangan manusia dan
kemajuan ilmu pengetahuan, filsafat dapat dilihat dan dikaji
sebagai suatu ilmu, yaitu ilmu filsafat. Sebagai ilmu, filsafat
haruslah memiliki objek dan metode yang khas dan bahkan dapat
dirumuskan secara sistematis. Dengan demikian, berdasarkan
uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Ilmu filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji seluruh fenomena yang
dihadapi manusia secara kritis refleksif, integral, radikal, logis,
sistematis, dan universal (kesemestaan).
Lalu apa sebenamya fenomena manusia itu, apa saja gejala
yang terlihat atau pun berada di sekitar manusia? Fenomena
tersebut dapat kita sebut saja sebagai gambaran realitas (a
picture of reality), karena hal itu dialami secara faktual oleh
manusia. Lebih lanjut dengan hal itu, maka fenomena atau
cermin realitas dapat diarahkan dengan melihat tema besar pada
ilmu filsafat, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Tema pertama, yakni ontologi, mengkaji keberadaan
sesuatu, membahas tentang "ada" (onto), yang dapat dipahami
baik secara konkret, faktual, transendental, ataupun metafisis.
Yang berkaitan dengan "ada" antara lain wujud-wujud fisik
seperti alam, manusia, benda-benda, artefak, dan wujud yang
transendental, misalnya Tuhan, penyebab pertama, gagasan, atau
pun ide-ide.
Tema kedua, yaitu epistemologi, membahas pengetahuan
(episteme) yang akan dimiliki manusia apabila manusia itu
membutuhkannya. Pada dasamya manusia selalu ingin tahu
tentang sesuatu, dan untuk itulah ia mencari dan menemukannya
sebagai pengetahuan. Epistemologi beranjak pada beberapa
pertanyaan tentang "apa sebenamya batas-batas pengetahuan
itu?", "seperti apa?" , "struktur pengetahuan itu apa?" , dan
"kebenaran pengetahuan itu apa?" .
Tema ketiga, yaitu aksiologi, membahas kaidah norma dan
nilai yang ada pada manusia. Norma-norma berada pada perilaku
man usia, berkaitan dengan "yang baik" dan "yang buruk",
bagaimana seharusnya menjadi manusia yang baik, serta ukuran
atau norma-norma dan nilai-nilai apa yang mendasarinya.
Berbagai pertimbangan atas dasar moral dan etika diberlakukan
pada perilaku manusia tentang yang baik atau yang buruk,
sedang pengalaman tentang keindahan bagi seseorang menjadi
semacam "ukuran" estetika dalam melihat yang indah.
Jelaslah bahwa semua hal yang berkaitan dengan ontologi,
epistemologi, dan aksiologi sangat erat dan menjadi sesuatu yang
mengakar pada manusia sesuai dengan tingkat perkembangannya
secara intelektual.
Sebagai ilmu pengetahuan, filsafat memiliki sasaran atau
objek untuk dikaji. Bagi filsafat, objek suatu penelitian haruslah
dilihat dari dua aspek. Aspek pertama dari objek materi
(material), sedang aspek kedua dari sudut objek forma (formal).
Objek materi adalah bahan atau sesuatu yang menjadi kajian

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


penelitian. Materi atau bahan kajian dapat bersifat sangat umum,
atau sangat luas, sehingga kecenderungan orang belum dapat
memfokuskan penelitian secara lebih terperinci. Untuk itulah
aspek kedua, yaitu objek forma, berperan. Objek forma adalah
fokus perhatian seseorang terhadap objek materi yang dihadapi-
nya atau dengan kata lain salah satu aspek atau tema tertentu
dalam penelitiannya. Bagi ilmu filsafat, objek forma muncul
dalam bentuk disiplin tertentu atau cabang ilmu filsafat. Sebagai
contoh, filsafat manusia merupakan bentuk objek forma ilmu
filsafat. Mengapa? Karena manusia menjadi titik pusat atau
fokus perhatiannya, maka manusia akan dikaji dalam keterkaitan
antara tubuh dan jiwanya. Dalam lingkup tersebut, permasalahan
ilmu pengetahuan secara internal (cara kerja ilmiah) dan
ekstemal menjadi pusat perhatian ilmu filsafat dan akan dikaji
secara kritis dan filosofis.

Bagan 1. Tema dalam Ilmu Filsafat

0 n to log I

10

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Konsep ini menunjukkan adanya tiga tema besar dalam
studi ilmu filsafat, dan ketiga tema tersebut dapat terarah atau
berada pada fenomena (gambaran realitas) yang terkait dengan
pengalaman kehidupan manusia baik secara individual maupun
berinteraksi dengan orang lain. Di sisi lain, ketiga tema tersebut
dapat menjadi kesatuan yang bersifat holistik, ketika tiga tema
tersebut memiliki kesamaan pada elemen yang ada pada ketiga
tema tersebut. Sebagai contoh, seseorang yang mempelajari
lingkungan tata kota di Jakarta, akan terlihat bahwa lingkungan
tata kota memiliki aspek ontologis, yaitu adanya bangunan yang
tersebar di seluruh wilayah Jakarta, sedang aspek epistemologis
menunjukkan adanya konstruksi bangunan, bentuk bangunan
tertentu serta fungsinya. Sedang aspek aksiologis, terlihat bahwa
bangunan iti memiliki nilai tertentu, misalnya nilai keindahan
(estetis) yang ada pada bangunan tersebut. Untuk jelasnya dapat
dilihat pada Bagan 2

Bagan 2. Kesatuan tema dalam Ilmu Filsafat

Ketiga tema yang membentuk kesatuan (holistik)


dalam realitas pengetahuan.

11

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Bagi ilmu filsafat, metode atau pendekatan terhadap kajian
sangat penting. Dengan metode yang tepat dan khas, orang
diharapkan dapat memahami persoalan filsafat atau problem
filosofis dengan lebih baik. Berbagai metode yang sifatnya masih
sangat umum dapat membantu orang menjelaskan dan mema-
hami tema-tema filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi).
Metode-metode itu antara lain metode kritis refleksif, metode
dialektik-dialog dari Socrates, metode fenomenologis , dan
metode dialektika ala Hegel.
Metode kritis refleksif merupakan cara atau metode
memahami suatu objek atau permasalahan dengan melihatnya
secara mendalam dan mendasar untuk kemudian merenungkan
kembali mengenai sesuatu yang telah dilihatnya itu secara
mendalam. Metode ini membutuhkan proses pemikiran yang
terus-menerus sampai seseorang telah menemukan kebenaran
atau telah puas dengan apa yang dikajinya. Selama ia masih
meragukan dan ingin bertanya tentang sesuatu itu, metode kritis
refleksif tetap digunakannya.
Metode dialektik-dialog dari Socrates merupakan metode
atau cara memahami sesuatu atau objek kajian dengan melaku-
kan dialog. Dialog berarti berkomunikasi yang bersifat dua arah,
ada seseorang yang berbicara dan ada seseorang lain yang
mendengarkan. Dalam pembicaran yang terus-menerus dan men-
dalam diharapkan orang dapat menyelesaikan segala problem
yang ada. Dialektik berarti proses pemikiran seseorang yang
mengalami perkembangan karena mempertemukan antara ide
yang satu dengan ide lainnya. Tujuan metode dialektik-dialog ini
adalah mengembangkan cara berargumentasi agar posisi yang
bersifat dua arah itu dapat diketahui dan dihadapkan satu dengan
lainnya.
Metode fenomenologi - salah satu metode pada ilmu
filsafat yang dikemukakan oleh seorang filsuf bemama Edmund
Husserl - merupakan suatu metode yang digunakan orang

12

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


untuk mendapatkan persepsi (mengetahui dan memahami)
terhadap semua fenomena atau gejala yang berada di sekeliling
manusia untuk kemudian berusaha menemukan hakikat atau
eidos dari seluruh fenomena. Eidos diperoleh dengan cara
mereduksi atau menanggalkan semua fenomena yang dianggap-
nya tidak relevan dengan keinginannya (kesadaran/rasionalitas
seseorang), sehingga ditemukan fenomena mumi. Fenomena
mumi inilah yang disebut atau dikenal sebagai esensi dari
fenomena yang telah ada atau fenomena semula.
Metode dialektika ala Hegel adalah metode atau cara
memahami dan memecahkan persoalan atau problem dengan
berdasarkan tiga elemen, yaitu tesa, antitesa, dan sintesa. Tesa
adalah suatu persoalan atau problem tertentu, sedangkan antitesa
adalah suatu reaksi, tanggapan, atau pun komentar kritis terhadap
tesa (argumen dari tesa). Apabila kedua elemen itu saling
dihadapkan maka akan muncul sintesa, yaitu suatu kesimpulan.
Metode ini bertujuan untuk mengembangkan proses berpikir
yang dinamis dan memecahkan persoalan yang muncul karena
adanya argumen yang kontradiktif atau berhadapan sehingga
dicapai kesepakatan yang rasional.

Bagan 3. Metode dialektika ala Hegel

13

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk memahami
filsafat adalah sisi pragmatis atau kegunaannya. Banyak orang
bertanya "mengapa belajar filsafat?" . Pertanyaan yang meng-
gelitik semua orang adalah "apakah ada manfaat atau faedah
apabila orang belajar filsafat". Pertanyaan itu hendaknya dapat
dijawab dari berbagai sudut pandang.
Pertama, filsafat kita dudukkan sebagai sebuah sarana,
sebuah kata benda. Dengan melihat filsafat sebagai kata benda,
maka muncul suatu tindakan tertentu atau perilaku tertentu dari
seseorang yang di dalamnya termuat pandangan-pandangan
hidup atau keyakinannya atau pun ide-ide serta gagasan-gagasan.
Dalam bidang keilmuan, filsafat dapat dilihat sebagai sebuah
ilmu pengetahuan yang memiliki objek dan metode tertentu.
Semua orang dapat mempelajarinya.
Kedua, filsafat kita lihat sebagai sebuah action -
meaningful! action, sebagai sebuah kata kerja. Apabila sebagai
sebuah kata kerja, maka yang berperan adalah manusia yang
sangat aktif untuk mengisi tindakan atau perilakunya (yang telah
dipenuhi pandangan hidup atau ide tertentu) dengan bermakna.
Tindakan yang bermakna berarti seseorang harus bekerja keras
menyelesaikan segala masalah yang dihadapinya, baik secara
individual maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Ia dapat
mengaktualisasikan kehidupan bermaknanya dalam bentuk
tertentu, misalnya dengan memiliki pekerjaan tertentu, memiliki
keluarga, memiliki ternan, dan sebagainya. Di samping itu, ia
sanggup pula berhubungan atau berinteraksi dengan sesama
manusia, baik anggota keluarga, rekan kerja, maupun pihak lain
dengan baik, saling menghargai dan menghormati dengan segala
persamaan atau pun perbedaan masing-masing individu.
Dari penjelasan di atas dapat kita tarik suatu batasan bahwa
berfilsafat sangatlah erat dengan kehidupan sehari-hari, baik
dalam konteks kerja maupun yang lainnya. Untuk itulah kita

14

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


dapat menentukan kegunaan atau faedah apabila kita mem-
pelajari filsafat.
Kegunaan pertama: filsafat atau berfilsafat mengajak
manusia bersikap arif dan berwawasan luas terhadap berbagai
masalah yang dihadapi, dan manusia diharapkan mampu meme-
cahkan masalah tersebut dengan cara mengidentifikasinya agar
jawaban-jawaban dapat diperoleh dengan mudah.
Kegunaan kedua: berfilsafat dapat membentuk pengalaman
kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan
hidup dan atau ide-ide yang muncul karena keinginannya.
Kegunaan ketiga: filsafat dapat membentuk sikap kritis
seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun kehidupan lainnya (interaksi
dengan masyarakat, komunitas, agama, dan hal-hal lain di luar
dirinya) secara lebih rasional, lebih arif, dan tidak terjebak dalam
fanatisme yang berlebihan.
Kegunaan keempat: terutama bagi para ilmuwan ataupun
para mahasiswa dibutuhkan kemampuan menganalisis, analisis
kritis secara komprehensif dan sintesis atas berbagai perma-
salahan ilmiah yang dituangkan dalam suatu riset, penelitian,
atau pun kajian ilmiah lainnya. Dalam era globalisasi, ketika
berbagai kajian lintas ilmu atau multidisiplin tidak terelakkan
lagi dalam berbagai kegiatan ilmiah, diperlukan adanya suatu
wadah, yaitu sikap kritis dalam menghadapi kemajemukan cara
berpikir dari berbagai bidang ilmu berikut para ilmuwannya.

15

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


BAB II
LOGIKA BERPIKIR DALAM
PEN GETAHUAN

Pada dasamya manusia selalu ingin tahu dan keingin-


tahuannya itu dimunculkan melalui pencarian pengetahuan. Bagi
manusia, pencarian pengetahuan sama tuanya dengan usia
manusia. Betapa tidak? Rasa heran, rasa kagum, dan ragu-ragu
menimbulkan minat manusia untuk bertanya tentang sesuatu.
Ketika pertanyaannya terjawab, manusia telah mendapatkan
pengetahuan.
Dalam pencarian pengetahuan, mula-mula manusia men-
dasarkannya pada pengalaman, khususnya pengalaman yang
bersifat inderawi. Melalui persentuhan dengan dunia di sekitar,
manusia mulai memahami dan berpikir lebih lanjut tentang
pengetahuan yang diperolehnya itu.
Bab ini diawali dengan pembicaraan tentang pencarian
pengetahuan yang dilandasi dengan sikap kritis. Sikap kritis
berarti memahami sebuah persoalan atau sesuatu yang ingin
diketahui secara mendalam dan mendasar. Dengan sikap itulah
wawasan kita menjadi lebih berkembang, terbuka untuk
memasuki dunia dan wacana pengetahuan yang melibatkan
pengalaman manusia.

16

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


A. Pengetahuan dan Pengalaman Manusia
Sebuah ilustrasi: seorang anak kecil diajak ibunya pergi ke
sebuah pertokoan yang besar. Di sana ia, sebutlah namanya Erik,
terpesona oleh banyaknya orang atau mungkin terkagum-kagum
pada keindahan lampu yang beraneka ragam menghiasi area per-
tokoan tersebut. Kekagumannya itu diwujudkan dengan banyak
bertanya kepada ibunya tentang ini dan itu, bahkan ia berhenti
sejenak untuk melihat mobil-mobilan yang dipajang di toko
tersebut. Cukup lama Erik dengan ibunya berjalan-jalan di
pertokoan itu. Ketika sampai di rumah, Erik merasa sangat
bahagia karena ia mendapatkan semacam "pengalaman" berharga
bagi dirinya yang berusia enam tahun. Ilustrasi tersebut meng-
ajak kita untuk merenungkan bahwa sebuah pengalaman dapat
mengakibatkan munculnya pengetahuan, terutama melalui per-
sentuhan inderawi.
Melalui pengalaman inderawi, seseorang dapat menggam-
barkan atau melukiskan tentang apa yang dilihatnya dengan
teliti. la dapat melukiskan tentang segala sesuatu yang dilihatnya.
Batu, rumah, pohon pisang, atau penjual mie ayam merupakan
sesuatu yang benar nyata dan dapat dilihatnya. Bahkan tanpa
dilihat pun, melalui pemikiran kita, sebenamya benda-benda atau
orang itu ada, nyata, dan konkret. Hal-hal tersebut merupakan
sebuah kenyataan konkret yang dapat dirasakan juga oleh
kesadaran kita melalui persentuhan inderawi. Benda-benda itu
tidak hanya tampak oleh kita, tetapi tampak oleh setiap orang.
Melalui kesadaran setiap orang, benda-benda itu dapat dirasakan
kehadirannya, khususnya melalui sentuhan indera manusia.
Melalui pengalamannya, manusia dapat merasakan dan
meraba bahwa benda yang dilihatnya, misalnya sebuah meja,
memiliki permukaan kasar, halus, atau licin. Manusia pun dapat
melihat bahwa meja itu terbuat dari marmer putih, dan oleh
sebab itu, ia dapat mengatakan pula bahwa meja itu memiliki
permukaan yang halus dan licin. Dengan kata lain, sebuah benda

17

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


dapat memiliki substansi dan kualitas. Substansi dapat muncul,
misalnya pada air, batu, dan kayu; sedang substansi selalu
memiliki kualitas dan kuantitas. Sebagai contoh, sebuah batu
memiliki kualitas "kasar" dan "rapuh" . Ini berarti bahwa permu-
kaan batu itu kasar, dan ketika batu itu diangkat oleh seseorang
mudah pecah. Penjelasan kuantitas batu menunjukkan adanya
batu yang berjumlah dua, lima, enam, atau tujuh buah.
Pengalaman manusia - seperti yang diungkapkan di atas -
temyata menunjukkan bahwa pengalaman manusia berkaitan
dengan realitas atau kenyataan. Realitas itu sendiri berada di
sekeliling manusia, seperti cuaca, alam pegunungan, pesisir,
pertokoan, dan mobil. Semua itu sebenamya "hadir" di depan
manusia melalui sentuhan indera: penciuman, penglihatan, pen-
dengaran, peraba, dan pengecap. Melalui sentuhan inderawi, kita
dapat melihat pula bahwa realitas itu muncul secara alamiah atau
dimunculkan oleh manusia melalui sebuah proses kerja, misal-
nya teknologi (mobil, pesawat udara, televisi, dan telepon
seluler), karya sastra, seni lukis, dan seni bangun. Berkaitan
dengan realitas tersebut, yang terpenting adalah kualitas pengala-
man manusia dalam perjumpaannya dengan realitas itu sendiri.
Pengetahuan dan pengalaman setiap manusia tidak sama
dalam menentukan benda-benda atau objek atau realitas yang
dilihatnya. Setiap manusia memiliki keunikan dan kekhususan
tertentu dalam perjumpaannya dengan benda atau sesuatu lan-
taran persentuhan inderawi. Indera manusia, seperti penglihatan,
penciuman, peraba, pendengar, dan pengecap akan berbeda satu
sama lain ketika melihat sesuatu. "Mobil itu terlihat kokoh
karena terbuat dari bahan yang tidak mudah rapuh", kata Tono.
Namun, bagi Dodi, mobil itu jelek karena rangkanya mudah
rapuh dan tidak menunjukkan kualitas bahan yang kokoh.
Pertentangan semacam itu dianggap wajar karena setiap orang
memang memiliki cara pandang yang berbeda. Demikian pula
dengan indera-indera lainnya, pendengaran, peraba, penciuman,
dan pengecap yang dimiliki oleh manusia. Beberapa pribadi

18

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


mungkin melihat hal yang sama, misalnya melihat penyanyi
Agnes Monica dan mendengar suara merdunya. Meskipun
demikian masing-masing pribadi itu memiliki cara pandang yang
berbeda dalam melihat sosok dan mendengar suara Agnes
Monica. Perbedaan itu disebabkan adanya dua hal yang hams
kita perhatikan, yaitu sensation 'rasa' dan sense data 'data rasa'.
Sensation 'rasa' adalah peristiwa mental, lazim disebut dengan
kesadaran manusia, yakni suatu keadaan bagaimana seseorang
dapat berpikir melalui akal budinya, memiliki emosi/perasaan,
dan mengingat. Adapun sense data 'data rasa' adalah sesuatu
yang disadari seketika dan dialami manusia secara langsung,
misalnya suara, wama, dan bentuk. Dengan demikian apabila
dua orang atau lebih menilai suatu realitas, mereka akan merasa-
kan sense data 'data rasa' yang sama, namun pada tataran
sensation 'rasa' akan bersifat sangat khusus, dan pribadi.
Terkait dengan uraian di atas, manusia memperoleh
pengetahuan melalui dua hal, yaitu ketika dirinya bersentuhan
dengan pengalaman indrawi dan hasilnya adalah pengetahuan
empiris (konkret) dan melalui kesadarannya (akal budi), hasilnya
adalah pengetahuan konseptual (pemikiran manusia). Pengala-
man manusia terhadap lingkungan di sekitamya telah menimbul-
kan rasa ingin tahu tentang apa yang telah dilihatnya. Orang
terkagum-kagum ketika melihat kemegahan Candi Borobudur,
atau Taman Mini Indonesia Indah, sebuah miniatur tentang
kepulauan dan keragaman budaya Indonesia. Bagimana dengan
pengetahuan konseptual? Pengetahuan konseptual dijabarkan
melalui proses kesadaran (akal budi) manusia ketika ia mampu
memikirkan tentang sesuatu yang telah dilihatnya. Ketika
seseorang terkagum-kagum dengan keberadaan candi Borobudur
di daerah Jawa Tengah, maka akan ada orang lain (atau dirinya
sendiri) yang mulai bertanya tentang bagaimana caranya
membuat candi Borobudur itu, dan apakah pengetahuan yang
mendasari sehingga orang-orang di masa lalu mampu membuat
konstruksi candi yang demikian bagus. Pemikiran semacam

19

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


itulah yang disebut sebagai pengetahuan konseptual karena
pengetahuan konseptual juga memunculkan kemampuan orang
untuk melakukan imajinasi. Masing-masing orang memiliki
pengetahuan konseptual yang berbeda satu dengan yang lain,
tergantung latar sosial, budaya, dan pendidikannya.

Bagan 4. Pengetahuan empiris dan pengetahuan konseptual

Pengetahuan
konseptual, imajinasi

Pengetahuan empiris
(konkret)

B. Berpikir Kritis dalam Pencarian Pengetahuan


Apa yang dimaksud dengan berpikir kritis, terutama dalam
kaitan dengan pengetahuan? Berpikir kritis selalu berkaitan
dengan olah kegiatan akal budi manusia. Melalui akal budinya,
seseorang dilatih untuk mengingat dan memikirkan tentang
sesuatu. Sejak kecil manusia selalu diingatkan sesuatu, misalnya
nama ibu/bapak guru, nama ayah-ibu, mengingat nama jalan di
mana ia tinggal. Sejak memasuki usia sekolah dasar, seorang
anak dilatih mengingat/menghafalkan dan memikirkan pelajaran
di sekolah, seperti nama-nama tokoh sejarah Indonesia, nama

20

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


ibukota provinsi, dan tata-bahasa. Kegiatan mengingat dapat
diartikan sebagai kegiatan berpikir. Dengan berpikir, orang dapat
mengingat sekaligus mempelajari dan memikirkan tentang
sesuatu.
Melalui pikiran atau akal budi, manusia dapat mencari dan
menemukan pengetahuan, mulai pengetahuan yang sederhana
hingga pengetahuan ilmiah. Lalu, bagaimana caranya? Pada
dasamya kegiatan akal budi untuk mendapatkan pengetahuan
merupakan sesuatu yang sangat manusiawi. Mengapa?
Pengenalan sesuatu bagi manusia, dan sesuatu itu menjadikannya
sebuah pengetahuan, menandai bahwa manusia merupakan
makhluk hidup yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk lainnya.
Selain melalui persentuhan inderawi, manusia juga belajar
mengenal sesuatu melalui kegiatan berpikir. Dengan demikian, ia
telah "memanusia"-kan dirinya sendiri.
Di sisi lain, kegiatan berpikir merupakan sebuah proses
yang tidak pemah berhenti selama manusia masih hidup. Proses
berpikir yang terus-menerus dilakukan manusia menyebabkan-
nya semakin cermat dan teliti dalam pencarian pengetahuan.
Dengan kata lain, manusia memiliki sikap kritis terhadap
pengetahuan yang ada di sekelilingnya. Sikap kritis tidak lain
merupakan upaya manusia untuk mencari dan menggali penge-
tahuan yang ada secara mendalam sampai seakar-akamya.
Melalui pertanyaan-pertanyaan tentang sesuatu dapat menum-
buhkan sikap kritis pada diri seseorang. Sebagai contoh, seorang
mahasiswa sedang mengikuti kuliah "Logika". Mahasiswa
bersangkutan akan memiliki sikap kritis bila sering bertanya
tentang mata kuliah tersebut terhadap dosennya. Mengapa?
Dengan sering bertanya, ia mulai berpikir tentang mata kuliah
tersebut yang kadangkala kurang ia pahami. Sikap kritis itu
tumbuh ketika ia berdialog dengan dosennya dan saat ia
mempelajari mata kuliah tersebut, baik melalui ceramah maupun
bacaan-bacaan yang ada.

21

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Proses berpikir sangat terkait dengan penalaran manusia,
dan melalui penalaran inilah manusia mengungkapkannya
dengan berbagai pemyataan (ungkapan, kalimat). Pemyataan
tersebut juga sangat erat dengan bahasa dan logika, karena orang
dapat menilai apakah pemyataan kita dianggap benar, salah, atau
bahkan "menyesatkan". Untuk itulah struktur dasar pengalaman
manusia sangat penting dalam membentuk proses penalaran,
karena ia merasakan apa yang dialaminya dari dua aspek, yaitu
aspek konatif dan kognitif. Aspek konatif merupakan aspek yang
terkait dengan pengalaman langsung seseorang, ada kontak
langsung dari seseorang dengan apa yang dilihat atau dialami-
nya. Tohari pergi ke toko buku untuk membeli buku Kamus
Bahasa Inggris. Pengalaman Tohari adalah pengalaman konatif.
Sedang aspek kognitif akan terjadi apabila pengalaman manusia
telah dirumuskan dalam pola data indrawi seperti bunyi, tulisan,
tanda (sign) tertentu dan pengalaman ini membentuk abstraksi
(kemampuan rasio manusia untuk melakukan konstruksi ter-
hadap data indrawi).
Salah satu contoh bentuk dari abstraksi adalah abstraksi
model Aristoteles. Aristoteles membedakan bahwa pengetahuan
memiliki tiga tingkatan abstraksi, yaitu abstraksi fisika, abstraksi
matematis (matesis) dan abstraksi metafisika (Bagus, 1991:42-
43). Abstraksi fisika adalah pengalaman manusia tentang realitas
akan membentuk pengetahuan fisika (pengetahuan yang konkret
seperti pada misalnya ilmu pengetahuan alam), sedang abstraksi
matematis adalah pengetahuan yang terukur secara bilangan
(angka) karena manusia memiliki kemampuan berpikir untuk
berhitung, melihat bentuk tertentu secara kuantitatif dan terukur.
Pengetahuan metafisika bagi Aristoteles dianggap sebagai
kemampuan manusia untuk mencari substansi dari abstraksi
tahap pertama dan kedua (dalam pandangan Aristoteles, meng-
atasi sesuatu yang bersifat fisik, konkret).
Apabila kita menengok sejarah ilmu pengetahuan, maka
kita harus melihat adanya kurun waktu di Barat, yaitu masa

22

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Renaisans yang memberikan kontribusi penting bagi perkem-
bangan ilmu pengetahuan di dunia ini. Masa Renaisans di Barat
muncul sekitar abad ke-1 0 atau awal abad ke-11, ditandai dengan
munculnya berbagai faktor yang mendorong kemunculan masa
itu dan manusia Renaisans (the Renaissance Man) sebagai pe-
laku (aktomya). Beberapa faktor atau alasan yang mempengaruhi
munculnya Renaisans dapat di tinjau dari: (1) Faktor Manusia;
(2) Faktor Ilmu Pengetahuan; (3) Faktor Pendidikan. Faktor
manusia memperlihatkan bagaimana di masa Renaisans itu
sumber daya manusianya telah memperlihatkan kualitas yang
memadai. Manusia yang hidup di masa Renaisans sering disebut
sebagai manusia Renaisans atau The Renaissance Man (van
Doren, 1991: 141 ). Manusia Renaisans, yang ditandai dengan
hidup dalam wilayah pemukiman tertentu dan tersebar di
beberapa wilayah Eropa, pada mulanya tinggal di bagian wilayah
ltalia dan untuk selanjutnya setelah abad ke-19 tersebar di bagian
wilayah Eropa seperti Belanda, Jerman, Perancis dan sebagainya.
(Meliono, 2007: 8)
Manusia Renaisans memiliki cara berpikir atau persepsi yang
tertuju pada:
1) Antroposentris, yang artinya pusat kosmos adalah manusia.
Manusia dapat melakukan segala tindakan dengan berkarya
melalui dirinya, dapat membentuk dunianya melalui
kekuatan dirinya, dengan segala pemikirannya disertai tubuh-
nya (organ tubuh seperti tangan, kaki, mata, telinga dan
sebagainya). Persepsi yang lain;
2) Cara berpikir yang rasional, logis dan sistematis. Bagi
manusia Renaisanss kenyataan atau realitas atau alam yang
melingkupinya haruslah diamati secara empiris disertai akal
budi/rasio yang melandasinya. Segala sesuatu haruslah dapat
"diterjemahkan" melalui penalaran yang logis atau masuk
akal. Tidak ada pembuktian yang berlandaskan pemahaman
mistis (pemahaman yang didasari atas kekuatan magis,

23

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


ajaib ), yang ada hanyalah pembuktian secara rasional dan
tata urut atau alur pembuktian yang sistematis, hubungan
antara alur yang satu dengan yang lainnya jelas.
Kedua persepsi ini menandai bahwa manusia Renaisans
(manusia yang hidup di masa Renaisans dan mendapat pengaruh
atau terpengaruh oleh pembaharuan dalam gerakan budaya
humanisme) telah mulai meninggalkan persepsi yang muncul di
Abad Pertengahan, yaitu persepsi teosentris (terpusat pada
kekuatan Tuhan dan institusi agama Kristiani). Sisi yang lain
adalah:
3) Manusia Renaisans senang mempelajari pengetahuan yang
terinci (sangat detail). Pengetahuan yang terinci tersebut
diungkapkan melalui karya seni (seni patung, arsitektur,
lukis) dan penciptaan pengetahuan yang lebih memiliki
metode yang jelas dan eksperimentasi. Hal itulah yang
kemudian dikenal dengan sebutan "ilmu pengetahuan".
Manusia Renaisans telah belajar bahwa setiap benda
memiliki perspektif tertentu (sudut pandang tertentu). Dalam
bidang seni lukis, patung, terlihat bagaimana dahulunya
seniman-seniman Renaisans telah berubah cara pandangnya
dalam melihat objek seninya. Seni diimbangi dengan
pendekatan ilmiah, yaitu melihat objek dari perspektif yang
diikuti juga dengan pengamatan rinci. Perspektif serta relief
dalam karya seni menjadi semacam aliran realisme yang
dimunculkan oleh "Renaissance-looking" dengan tokoh
pembaharuannya seperti Dante dan Gioto. Selain mereka
muncul manusia-manusia Renaisans lainnya seperti Michael-
angelo, Petrarca, Boccacio, Leonardo da Vinci, dan Pico.
Semboyan manusia Renaisans dalam mengekspresikan karya
seninya adalah "saper vedere - to know how to see". Relief
serta perspektif objek seni sesuai dengan apa yang diamati-
nya, sesuai dengan pengamatan secara indrawi dan untuk itu
dibutuhkan pengamatan atau observasi yang sangat tajam,
terinci dengan baik, serta detil-detil yang rumit. Oleh

24

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


karenanya hasil karya manusia Renaisans tampil dengan
penuh pesona, baik dari ukuran (hampir seluruh karya seni
dan bangun dibuat dengan ukuran yang besar dan megah)
maupun ragam hias yang rumit dan detil yang sangat teliti.
Salah satu manusia Renaisans yang memberikan sumbangan
pemikiran tentang ilmu pengetahuan adalah Francis Bacon yang
lahir pada tahun 1561 di London. Sepanjang hidupnya ia bekerja
dan mengabdi pada Ratu Elizabeth dan Raja James I. Tulisannya
yang berjudul "Novum Organon" (1620) telah menggugah
banyak orang bahwa ilmu pengetahuan harus disertai dengan
penelitian ilmiah (scient(fic investigation) dengan menggunakan
metode induksi (pengamatan terhadap objek penelitian dirinci-
kan dan dimulai dari sesuatu yang memiliki sifat khusus untuk
kemudian mengambil kesimpulan yang berdasarkan pemyataan
yang sifatnya umum). Pemikiran dari Francis Bacon telah
mendorong muculnya ilmu pengetahuan di masa Renaisans,
kontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dengan
munculnya metode yang bersifat eksperimentatif (melalui
percobaan-percobaan) dan melalui metode kuantitatif (mate-
matis). Hasil dari inovasi ilmu pengetahuan berupa penemuan-
penemuan seperti kompas, mesin cetak, mesin pemintal benang
(tenun), mesin uap, teleskop, mikroskop, dan lain sebagainya.
Alat yang di tunjang oleh landasan ilmu pengetahuan alam itu
(fisika dan matematis) digunakan oleh manusia Renaisans untuk
memperluas cakrawala kehidupannya dan wawasan pengeta-
huannya.
Di sisi lain, masa Renaisans telah melahirkan berbagai
ilmuwan di zamannya untuk melakukan terobosan-terobosan
baru melalui penciptaan-penciptaan. Mereka seakan-akan
berlomba-lomba untuk membuat suatu karya, khususnya yang
berkaitan dengan teknologi. Ilmu pengetahuan harus memiliki
tujuan yang memiliki kegunaan yang praktis. Apa artinya itu?
Ilmu pengetahuan harus dapat membantu kehidupan manusia.
Selain diciptakan teknologi (sesuai dengan kebutuhan zaman-

25

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


nya), manusia Renaisans mencoba "penemuan baru" dengan
keberanian untuk pergi keluar dari daratan Eropa. Bagi sebagian
masyarakat Eropa (Spanyol, Italia, Belanda dan sebagainya)
kepandaian mengarungi lautan dengan kapal menjadikan salah
satu jalan untuk menjelajah lebih jauh lagi, keluar dari wilayah
mereka. Tokoh-tokoh seperti Colombus, Magelhaens, dan
Marcopolo telah melakukan ekspansi, menjelajah keluar Eropa
untuk menemukan benua baru, Amerika dan Benua Asia. Itulah
awal manusia Renaisans bertemu dengan manusia "Barbar"
(manusia yang hidup di luar Benua Eropa). Yang terjadi
kemudian adalah kontak kebudayaan, persentuhan dengan
masyarakat di luar budaya Eropa, dan tujuan kontak budaya
tersebut adalah untuk memahami dunia di luar dunia manusia
Renaisanss. Mereka memahami dan belajar kebudayaan asing
seperti misalnya kebudayaan dari Cina dengan mempelajari
pengetahuan tentang pembuatan kertas, bubuk mesiu, dan
sebagainya. Sekembalinya mereka dari perantauannya, penge-
tahuan yang diperolehnya dari bangsa asing di coba untuk
diterapkan dan dipergunakan bagi kepentingan mereka (Meliono,
2007: 8-10).
Selain itu ada faktor yang mendukung munculnya masa
Renaisans, yaitu faktor pendidikan. Faktor pendidikan dianggap
penting karena melalui faktor itu muncul manusia Renaisans
yang pandai sekaligus pencipta (creator) yang sangat kreatif.
Kegiatan pendidikan dipusatkan di Perguruan Tinggi
(Universitas). Sejak Abad Pertengahan Universitas-universitas di
Eropa (seperti di Paris, Oxford, Bologna) telah ada dan
Universitas-universitas itu menjadi pusat intelektual bagi
masyarakat Eropa. Tradisi pendidikan tinggi ditingkatkan di
masa Renaisans, melalui berbagai perguruan tinggi yang tersebar
di wilayah Eropa. Menjadi kecenderungan orang di masa itu
untuk mencari kebutuhan intelektual, yaitu dengan belajar di
universitas dan mempelajari Filsafat Klasik Aristotelian dan
bahasa Latin.

26

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Filsafat Klasik Aristotelian dan bahasa Latin. Filsafat
Klasik Aristotelian menjadi bahan atau materi yang hams
dipelajari terlebih dahulu. Melalui pemikiran Aristoteles, orang
belajar logika - teknik berpikir - penalaran tepat, belajar tentang
pengetahuan konkret (melalui fisika dan biologi), serta
metafisika. Bahasa Latin menjadi bahasa ilmiah dan wajib bagi
masyarakat ilmiah. Manusia Renaisan hams belajar pendidikan
umum, yaitu studi tentang Liberal Arts atau Artes Liberalis
(studi bebas), yang meliputi tujuh macam pengetahuan yang oleh
Martinus dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Quadrivium
dan Trivium . Quadrivum meliputi pengetahuan: aritmatika,
astronomi, geometri dan teori musik, sedangkan Trivium
meliputi: gramatika, retorika dan logika (The Liang Gie, dkk,
1980; Doren, 1992: 186). Di masa itu apabila seseorang telah
mempelajari hal itu, maka ia dapat memperdalam tentang ilmu
lainnya, seperti kedokteran dan hukum, agar wawasan ilmiahnya
menjadi lebih luas dan mendalam. Untuk jelasnya lihat bagan
No. 5

Bagan 5. Studi bebas (Artes liberalis)

Liberal Arts (Artes Liberalis)

Quadrivium Trivium
(Empat Pengetahuan) (Tiga Pengetahuan)

27

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


BAB Ill
FILSAFAT
ILMU PEN GETAHUAN

Persoalan Filsafat Ilmu Pengetahuan dapat ditelaah dari


dua sisi, yaitu sisi internal dan sisi eksternal. Sisi internal
membahas cara kerja dan persoalan kebenaran-kebenaran ilmiah
secara de jure. Sisi eksternal membawa pada gambaran bahwa
secara de facto penemuan-penemuan teknologi berasal dari
upaya kerja keras ilmuwan dalam mengembangkan ilmu penge-
tahuan. Di samping itu akan ditampilkan beberapa pemikiran
tokoh Filsafat Ilmu Pengetahuan yang mengkhususkan kebe-
naran ilmiah melalui proses yang khusus dan spesifik.
Penelusuran secara historis dapat memberikan gambaran atau
pemetaan mengenai perkembangan Filsafat Ilmu Pengetahuan
dengan lebih baik.

A. Pengertian Filsafat llmu Pengetahuan


Sebelum membahas pengertian Filsafat Ilmu Pengetahuan,
terlebih dahulu akan dibahas kedudukan Filsafat Ilmu Penge-
tahuan dalam ilmu filsafat. Pembahasan ini diperlukan untuk
memahami bahwa Filsafat Ilmu Pengetahuan memiliki ciri-ciri

28

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


keilmiahan yang bersumber pada ilmu filsafat, yaitu kritis
refleksif. Dengan demikian ada keterkaitan antara filsafat dan
Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Ilmu filsafat memiliki berbagai kajian yang lebih khusus
atau objek forma, seperti filsafat manusia, filsafat ilmu, logika,
filsafat politik, dan filsafat keindahan. Dalam keanekaragaman
objek formanya (pokok bahasan yang khusus), ilmu filsafat dapat
diteropong berdasarkan tema atau problema tertentu, yaitu
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Tema pertama, atau pembahasan yang mengkaji tentang
keberadaan sesuatu atau hal, lazim disebut sebagai ontologi,
yang dalam bahasa Yunani berarti ilmu atau pembahasan tentang
"ada". "Ada" atau " onto" berarti sesuatu yang dapat disentuh
atau dilihat melalui pengenalan inderawi, misalnya manusia,
benda-benda di sekeliling manusia, meja, gedung, dan gunung.
Secara ontologis, benda-benda itu hadir di tengah-tengah
manusia. Mengapa? Benda-benda itu memang ada secara
konkret dan faktual serta tersentuh oleh indera manusia.
Tema yang kedua adalah pembahasan tentang pengetahuan
yang dapat dimiliki oleh manusia, dan biasanya disebut sebagai
epistemologi (dalam bahasa Yunani, episteme disebut sebagai
kajian tentang pengetahuan). Dalam epistemologi, dikaji ber-
bagai sumber pengetahuan yang berasal dari akal budi dan
pengenalan inderawi, struktur pengetahuan yang berupa relasi,
atau pun interaksi antara subjek dengan objek. Kebenaran dalam
suatu pengetahuan apakah dimungkinkan (relatif/nisbi) ataukah
sesuatu yang sangat absolut? Epistemologi mencoba menjelas-
kan kebenaran melalui pertalian atau pun persesuaian dengan
sesuatu yang diamatinya. Hubungan atau pertalian itu akan
memunculkan relasi antara subjek dan objek. Unsur subjek
adalah seseorang yang berperan sebagai peneliti atau ilmuwan
yang bertugas mencari dan mengamati sesuatu yang berada di
luar dirinya, sedang unsur objek adalah sesuatu yang diamati

29

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


oleh subjek. Objek bagi seorang ilmuwan dapat berupa manusia,
benda-benda, penyakit, lingkungan, candi, peristiwa, dan
sebagainya.
Pembahasan tema ketiga adalah aksiologi yaitu kajian yang
membahas tentang value 'nilai'. "Value" atau "nilai" diartikan
sebagai suatu penilaian tentang hal-hal yang berkaitan dengan
problema etika atau norma moral yang menyangkut sesuatu
"yang baik" dan "yang buruk", dan hal itu berada pada perilaku
manusia yang menjalani kehidupannya. Sebagai contoh,
seseorang karena jabatannya sebagai seorang kasir di suatu bank
tertentu, tentu tidak akan menggunakan fasilitas jabatannya
untuk kepentingan pribadi. Ia tidak akan mengambil uang yang
bukan miliknya untuk membeli sebuah mobil baru.
Contoh di atas menunjukkan bahwa orang tersebut
memiliki perbuatan yang baik. Dari sisi etika, ia memiliki
kualitas etis (moral) yang baik. Penilaian lain yang berkaitan
dengan nilai-nilai manusia adalah pengalaman tentang keindahan
atau pengalaman estetis. Pengalaman keindahan merupakan
sesuatu yang sangat manusiawi dan setiap manusia memiliki hal
itu. Manusia dapat menilai sesuatu itu indah, cantik, atau jelek
atas dasar pengalaman estetisnya. Seorang gadis remaja akan
senang melihat keindahan bunga mawar merah yang ditanamnya
telah mekar. Seseorang akan menutup hidungnya apabila
melewati tempat pembuangan sampah yang berbau busuk.
Sebaliknya, seorang pria, misalnya, akan mencari-cari dari mana
"sumber" bau parfum yang menyegarkan ketika ia berpapasan
dengan seorang gadis.
Ketiga tema besar yang berada dalam ilmu filsafat
mengajak kita berpikir kritis untuk menempatkan persoalan
Filsafat Ilmu Pengetahuan ke dalarnnya. Apakah berbagai ciri
dan cara kerja ilmiah dapat dijelaskan oleh persoalan filososfis?
Apabila kita berbicara tentang keberadaan atau posisi Filsafat
Ilmu Pengetahuan mtmcul pertanyaan "berada di manakah

30

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


tempat atau kedudukan Filsafat Ilmu Pengetahuan dalam ilmu
filsafat?"
Apabila tetap merujuk bahwa tema besar ilmu filsafat
adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi, maka tempat yang
tepat bagi Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah pada bidang
epistemologi atau pada permasalahan epistemologis. Mengapa?
Bidang epistemologi mengkaji permasalahan yang berkaitan
dengan pengetahuan, mencoba menelusuri bagaimana penge-
tahuan itu terbentuk, dan apakah teori-teori kebenaran yang ada
itu dianggap sahih atau tidak sahih. Filsafat Ilmu Pengetahuan
mencari pemecahan tentang bagaimana sebenamya cara kerja
ilmiah yang benar, mempertanyakan kriteria kebenaran dalam
kegiatan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, dan bentuk-
bentuk penyelidikan ilmiah seperti apa yang digunakan dalam
menjawab persoalan-persoalan epistemologis.
Di dalam perkembangannya, Filsafat Ilmu Pengetahuan
tidak hanya berbicara tentang sisi epistemologis saja, tetapi dapat
juga berbicara mengenai sisi aksiologis (etika). Perjalanan atau
pun proses kegiatan ilmu pengetahuan secara filosofis temyata
menimbulkan suatu dampak tertentu ketika kegiatan ilmiah
diterapkan pada masyarakat. Dampak penerapan ilmu pada
masyarakat membawa implikasi tanggung jawab ilmuwan.
Tanggung jawab ilmuwan merupakan tanggung jawab etis
(tanggung jawab moral) yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan
atau peneliti ketika melakukan kegiatan penelitian. Seorang
ilmuwan mempertanggung-jawabkan kegiatan ilmiahnya baik
secara metodologis (epistemologis) maupun secara etis (moral).
Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan etika selalu
muncul dalam kegiatan ilmiah. Salah satu contoh, rekayasa
genetika (misalnya bayi tabung dan kloning manusia) selalu
mendapat reaksi keras ketika rekayasa genetika tersebut
dimunculkan ke tengah masyarakat. Berbagai tanggapan dari
lembaga keagamaan dan lembaga sosiallainnya pasti akan selalu

31

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


muncul karena rekayasa genetik dianggap melanggar kaidah-
kaidah kodrat manusia. Untuk itulah para ilmuwan (Filsafat Ilmu
Pengetahuan) mencoba menjelaskan sisi "yang baik dan yang
buruk" dari pelaku dan kegiatan ilmiah melalui berbagai
pertimbangan aksiologis (etis ).
Filsafat Ilmu Pengetahuan, atau sering dikatakan orang
sebagai filsafat ilmu, merupakan salah satu cabang Ilmu Filsafat
yang membahas refleksi ilmu pengetahuan. Upaya refleksi
diarahkan pada ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan. Ciri ilmu
pengetahuan ditandai dengan adanya unsur sistematis, logis, dan
intersubjektif. Adapun cara kerja ilmu pengetahuan diarahkan
pada upaya pembenaran metodologis dan paradigma ilmu. Ciri
dan cara kerja ilmu pengetahuan tersebut juga menandai keman-
dirian sebuah ilmu. Orang dapat mengatakan sesuatu hal sebagai
ilmu apabila pengetahuan yang diusahakannya menunjukkan
adanya ciri-ciri ilmiah dan cara-cara kerja yang diterapkannya
memenuhi sejumlah syarat atau kriteria tertentu.
Kata "ilmiah" yang melekat pada ungkapan "pengetahuan
serta cara kerja ilmiah" haruslah ditandai dengan tiga ciri
pengenalnya, yaitu (a) dasar pembenaran atas pemahaman, baik
bersifat apriori maupun bersifat empiris, sehingga orang dapat
melakukan verifikasi terhadap pembenaran tersebut (b) bersifat
sistematis, artinya sistem dalam susunan pengetahuan dan cara
memperolehnya terdapat hubungan-hubungan yang teratur dan
logis, sehingga sistem itu merupakan sistem yang utuh dan
terpadu (c) bersifat intersubjektif, artinya kepastian ilmu penge-
tahuan tidak melulu didasarkan pada intuisi dan pemahaman si
subjek, terapi dijamin oleh sistem ilmu pengetahuan itu sendiri.
Hal lain yang perlu dilihat atas penjelasan tentang kriteria
keilmiahan yang terkait dengan Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah
mencoba melihat dan memahami objek secara lebih kritis.
Refleksi terhadap Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah mengkaji
secara kritis ciri dan cara kerja ilmu. Pengkajian itu akan me-

32

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


nimbulkan dua aspek, yaitu aspek internal dan aspek eksternal.
Aspek internal lebih diarahkan pada kegiatan ilmiah yang
bersifat metodologis atau metodologi keilmuan. Di dalam aspek
internal inilah pembenaran atas kegiatan atau cara kerja ilmiah
sangat ditekankan.
Dalam upaya pembenaran (context of just(fication),
beberapa hal yang menyangkut masalah epistemologis - seperti
struktur, kesahihan, kebenaran, kepastian dalam pengetahuan,
serta landasan teoritis - atau pun paradigma yang digunakan
dalam kegiatan ilmiah menjadi pusat kajian utama. Suatu
kegiatan ilmiah atau kajian penelitian ilmiah menjadi sangat
mandiri dalam proses pembenarannya apabila memperhatikan
upaya pembenaran atau context of justification. Mengapa?
Secara de jure, kegiatan ilmah benar-benar harus ditunjang
dengan kemandirian secara sistematis dan inter-subjektif karena
dapat dipertanggungjawabkan secara teoritis, logis, dan reflektif.
Bagaimana dengan aspek eksternal? Aspek eksternal lebih
mengarah pada sejarah penemuan atau pun hasil percobaan-
percobaan dalam ilmu pengetahuan, seperti ilmu kedokteran,
ilmu alam, ilmu falak, ilmu teknik, dan ilmu empiris lainnya.
Dalam rangka sejarah penemuannya (context of discovery) secara
de facto hasil-hasil atau pun penemuan-penemuan ilmu empiris
(teknologi) diterima dan digunakan oleh manusia sesuai dengan
kebutuhan dan penemuan itu berkembang secara historis serta
sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Sejarah ilmu pengetahuan ditandai dengan munculnya
penemuan-penemuan yang berkaitan dengan kegiatan ilmu
pengetahuan, baik di masa lalu maupun masa kini. Dari
penemuan huruf oleh bangsa-bangsa Mesopotamia, Mesir, Cina,
dan Arab hingga peralatan perang yang mutakhir, misalnya
pesawat jet, menunjukkan bahwa secara de facto kehidupan
manusia selalu ditandai dan dilingkupi oleh beragam teknologi
yang sebenarnya dihasilkan oleh kerja keras manusia itu sendiri:

33

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


suatu kerja keras yang rnenarnpilkan dan rnenggabungkan unsur
pengetahuan (knowledge), ilrnu pengetahuan (science), kreativi-
tas, dan ketekunan rnanusia (ilrnuwan).
Pada kajian ini, context ofjust~fication atau aspek internal-
lah yang lebih banyak dikaji, terutarna yang berkaitan dengan
persoalan Filsafat Ilrnu Pengetahuan. Persoalan penernuan-
penernuan baru lebih tepat diserahkan pada para ilrnuwan
rnasing-rnasing bidang ilrnu. Filsafat Ilrnu Pengetahuan lebih
rnenyoroti bagairnana hakikat kegiatan ilrniah itu sebenarnya: di
balik (beyond) suatu penernuan atau teknologi baru sebenarnya
ada apa? Apa yang rnendasari seorang ilrnuwan rnarnpu rneng-
hasilkan suatu penernuan atau penelitian yang begitu hebat itu?
Apakah ia rnarnpu rnenciptakan suatu teori baru ataukah ia
rnencoba rnengernbangkan dan rnernbangun (rekonstruksi) teori
yang telah ada ataukah ia rnencoba "rnernbongkar" atau rnen-
dekonstruksi teori-teori lama untuk diperbaharui? Untuk itulah
kajian Filsafat Ilrnu Pengetahuan lebih terfokus pada aspek de
jure suatu ilrnu pengetahuan.

B. Kegunaan Filsafat llmu Pengetahuan


Banyak orang bertanya, bahkan dengan sedikit nada sinis,
apa gunanya belajar Filsafat dan Filsafat Ilrnu Pengetahuan.
Pertanyaan itu rnerupakan pertanyaan yang wajar. Selarna belurn
rnengenal Ilrnu Filsafat (suatu ilrnu yang cenderung tidak terlalu
aplikatif dan lebih cenderung kepada konternplasi atau pere-
nungan kritis ), seseorang tidak akan rnernaharninya dengan baik.
Ilrnu Filsafat dan Filsafat Ilrnu Pengetahuan rnengajak orang
(bagi yang rnernpelajarinya) bersikap kritis. Lalu, apakah
sebenarnya sikap kritis itu? Sikap kritis adalah sikap yang
dirniliki oleh seseorang dalarn usaha rnernaharni sebuah per-
soalan yang dihadapinya secara baik, dengan cermat, dan
rnerurnuskan serta rnernikirkan kernbali tentang persoalan
tersebut. Dengan sikap kritis, orang akan bersikap arif dalarn

34

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


melihat segala bentuk persoalan, pengetahuan, atau fenomena
yang dihadapinya, sehingga ia dapat menentukan mana yang
terbaik bagi dirinya. Sikap kritis pada seseorang harus ditumbuh-
kembangkan dengan cara belajar, baik secara formal (melalui
pendidikan tinggi jenjang S 1, S2, dan S3) maupun ketika ia
melakukan interaksi dengan orang lain, misalnya dengan her-
dialog, berargumentasi, atau pun berdiskusi. Sikap kritis dapat
menumbuhkan cara berpikir yang dewasa dan rasional, sehingga
orang tidak mudah terjebak dalam emosi yang berlebihan atau
cara pandang yang sempit, tidak terbuka terhadap kemajemukan
berbagai ilmu pengetahuan dan keragaman cara berpikir.
Bagaimana dengan belajar Filsafat Ilmu Pengetahuan?
Apakah ada kegunaannya? Belajar Filsafat Ilmu Pengetahuan
sangat berguna terutama bagi para mahasiswa (tingkat Sl, S2,
dan S3), para ilmuwan, peneliti, atau siapa pun yang bergelut
dalam bidang pendidikan dan penelitian. Kegunaan itu berupa
sikap kritis yang kelak dapat dikembangkan sebagai cara hidup.
Sikap kritis menumbuhkan sikap tidak begitu saja menerima
segala sesuatu, baik teori maupun pandangan-pandangan yang
ada, tanpa upaya pembuktian secara rasional melalui proses
belajar yang ketat.
Belajar Filsafat Ilmu Pengetahuan bagi para calon ilmuwan
- mahasiswa dan peneliti - dapat membangkitkan kegairahan
dalam penelitian ilmiah, terutama ketika harus menganalisis data
yang akan digunakan dan diolah dalam penelitian. Mereka akan
mampu menggunakan dan mengembangkan teori atau pun
paradigma yang diterapkan dalam kegiatan ilmiahnya. Hal
tersebut memungkinkan adanya sikap argumentatif yang logis
dalam menjawab berbagai persoalan atau problema yang
dihadapinya (kelak) dalam suatu penelitian ilmiah. Sikap kritis
dalam menganalisis penelitian akan membuahkan hasil pene-
litian yang baik. Begitu juga dengan kemampuan argumentatif
yang dipupuk dengan baik semasa belajar di perguruan tinggi

35

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


akan membuahkan sikap argumentatif yang baik dan logis ketika
berada di forum diskusi atau seminar ilmiah.
Dengan demikian, apabila seseorang belajar Filsafat Ilmu
Pengetahuan, ia dapat memperoleh beberapa manfaat. Pertama,
kemampuan mengamati fenomena di sekelilingnya dengan
cermat dan akan berguna bagi penelitiannya (pengamatan/
observasi) terhadap berbagai gejala atau peristiwa, menemukan
data, merumuskan hipotesis, dan pembuktian teori. Kedua,
kemampuan analisis secara kritis, baik secara sintetis, dialektis,
komparatif, maupun dialogis. Ketiga, dapat melihat, meramal-
kan, atau memprediksi hubungan antara gejala satu dan gejala
lainnya secara logis dan sistematis. Keempat, mampu memecah-
kan berbagai masalah atau problem, baik yang berkaitan dengan
dunia ilmiah maupun yang berkaitan dengan dunia pengetahuan
lainnya (dunia kerja) secara tuntas dan cermat atas dasar per-
timbangan rasional atau logis. Kelima, mampu mengembangkan
penalaran serta mampu melahirkan kreativitas dalam kegiatan
ilmiah (seperti menciptakan dan mengembangkan teori serta
teknologi yang tepat bagi masyarakat).

C. Perkembangan Sejarah Filsafat llmu


Pengetahuan
Filsafat Ilmu Pengetahuan berasal dan muncul dari tradisi
filsafat Barat sekitar abad ke-17. Pada masa itu, di Eropa, telah
terjadi suatu revolusi dalam bidang ilmu pengetahuan. Revolusi
ilmu pengetahuan menyebabkan adanya suatu perubahan perihal
cara berpikir manusia di Barat, yaitu cara berpikir yang semula
metafisis (menitik-beratkan pada keberadaan sesuatu hal secara
transenden) bergeser ke cara berpikir yang bersifat mekanistis-
matematis. Pengenalan empiris yang semata-mata hanya dilihat
secara fenomenologis serta merta diubah dengan semangat
keingintahuan: bahwa alam atau dunia nyata dengan segala

36

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


isinya sebenamya dapat diikuti dengan perubahan yang bergerak
secara teratur dan dapat dihitung secara matematis. Cara berpikir
demikian menunjang keingintahuan yang lebih besar dan men-
dorong orang menyempumakan pemikiran semacam itu.
Peninggalan atau warisan yang tidak temilai, khususnya
dalam pencarian pengetahuan, telah dirintis oleh Aristoteles
(384-322 SM), seorang filsuf masa Yunani Kuno. Aristoteles
memulai pandangannya tentang sesuatu yang bersifat konkret
atau nyata melalui pengamatan yang ia sebut sebagai
"pengamatan induktif'. Sebagai pencetus gagasan yang bersifat
empiristis (berlandaskan pengamatan inderawi), ia memulai
pengamatan terhadap benda-benda atau pun sesuatu yang
memiliki sifat-sifat khusus. Dari pengamatan yang khusus itulah
ia mencoba menarik sebuah kesimpulan yang bersifat umum.
Penalaran induktif diberlakukan pada benda atau sesuatu
yang dianggap konkret. Sebagai contoh, kucing pertama
memiliki kaki empat, kucing kedua memiliki kaki empat, kucing
ketiga memiliki kaki empat, kucing keempat memiliki kaki
empat. Dari keempat pemyataan itu, orang dapat menyimpulkan
bahwa semua kt1cing (dibaca keempat kucing) berkaki empat.
Lebih lanjut, penjelasannya mengenai benda konkret atau benda
yang sifatnya fisik disimpulkan memiliki bentuk dan materi.
Prinsip bentuk dan materi dari benda tidak hanya bersifat nyata
atau konkret, tetapi juga memiliki sifat dan prinsip metafisis,
artinya materi adalah prinsip yang "terbuka" untuk menerima
suatu bentuk tertentu. Adapun prinsip bentuk (morphe) adalah
prinsip yang menentukan, suatu potensi untuk mengubah materi
pertama (hyle prate) menjadi bentuk tertentu. Sebagai contoh,
sebongkah kayu jati adalah materi pertama, yang terbuka untuk
diolah dan dibentuk menjadi sebuah daun pintu yang berukir.
Daun pintu itu memiliki bentuk segi empat panjang dengan
ukuran tertentu pula. Teori materi bentuk tersebut disebut oleh
Aristoteles sebagai teori hilemorfisme.

37

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Penjelasan Aristoteles itu menyadarkan orang bahwa setiap
benda konkret memiliki bentuk tertentu dan dapat mengalami
perubahan substansial (perubahan dari satu substansi ke
substansi lain, misalnya dari kayu jati berubah menjadi daun
pintu berukir). Setiap perubahan selalu diiringi penyebab.
Aristoteles menyebut empat penyebab (causa), yaitu penyebab
efisien (efficient cause), penyebab final (final cause), penyebab
material (material cause), dan penyebab formal (formal cause).
Penyebab efisien menyebabkan adanya sumber kejadian atau
faktor penyebab munculnya suatu peristiwa atau kejadian.
Sebagai contoh, tukang kayu merupakan penyebab yang
memunculkan daun pintu, sebab ia yang membuatnya. Penyebab
final merupakan tujuan yang menjadi arah seluruh peristiwa atau
kejadian. Pintu dibuat agar orang dapat memasuki sebuah rumah.
Penyebab material adalah bahan atau sesuatu yang menyebabkan
benda itu dibuat, misalnya kayu jati sebagai bahan untuk
membuat pintu. Penyebab formal adalah bentuk tertentu yang
melekat pada bahan. Sebagai contoh, daun pintu berbentuk segi
empat melekat pada kayu jati, sehingga kayu jati itu memiliki
bentuk "pintu".
Penjelasan Aristoteles itu menyadarkan orang bahwa
pengamatan terhadap benda konkret secara cermat dapat
membuahkan berbagai analisis tentang kriteria tertentu, seperti
adanya bentuk, materi, penggolongan, atau klasifikasi terhadap
benda tertentu; dan hal itu sangat berguna dalam perkembangan
dunia ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu empiris (seperti
biologi, zoologi, botani, fisika, dan antropologi).
Setelah Aristoles pada masa Yunani kuno, pada masa
modem Eropa dikenal beberapa orang tokoh filsafat modem.
Salah satunya adalah Rene Descartes ( 1596-1650), seorang filsuf
dan ahli matematika yang dikenal sebagai "Bapak Filsafat
Modem". Descartes merintis upaya sistem filsafat berlandaskan
pada manusia yang berpikir, dan dalam berpikir itu manusia

38

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


memiliki kesadaran (rasio ). Melalui pemikirannya man usia
mengeluarkan suatu gagasan tentang upaya kegiatan ilmiah.
Menurut Descartes, suatu pemikiran ilmiah hendaknya
ditunjang oleh metode yang pasti. Metode Descartes dinamakan
"metode skeptis", yaitu metode yang diawali dengan meragukan
semua yang dilihatnya, bahkan meragukan segala-galanya.
"'Apabila saya meragukan semuanya, maka yang 'tersisa' adalah
pikiran saya. Tidak ada yang dapat meragukan pikiran saya,
karena saya dapat berpikir, dan kebenaran itu muncul karena
berlandaskan pikiran atau rasio saya". Semboyan yang diungkap-
kannya, Cogito Ergo Sum 'saya berpikir maka saya ada',
memiliki dampak penting dalam dunia ilmu pengetahuan, yaitu
perintisan cara berpikir yang logis dan munculnya sistem
pemikiran yang menitikberatkan pada kesadaran atau akal budi
manusia. Gagasan tersebut kelak akan dikenal sebagai rasio-
nalisme (suatu aliran atau gagasan yang bertitik tolak pada
kemampuan rasio, akal budi).
Salah satu sumbangan Descartes pada ilmu pengetahuan
adalah pemikirannya tentang realitas. Bagi Descartes, realitas
dapat dimunculkan dari sesuatu tubuh (body). Ia memberikan
contoh analogi dengan Jilin. Apabila kita membakar sebongkah
lilin segar yang berasal dari lebah madu, semuanya - baik
wamanya, baunya, maupun kekenyalan lilin - makin lama akan
berkurang, bahkan hanya tersisa sedikit Jilin. Contoh tersebut
membuat Descartes berpikir: seandainya tidak ada perubahan,
maka orang akan dapat mengukur panjang, luas, dan berat dari
bagian itu dan kemudian menentukan ukuran, figur, posisi, dan
gerak dari sesuatu (bagian) yang berasal dari tubuh. Hal itu
merupakan clearly and distincly 'jelas dan terpilah-pilah' yang
melekat pada tubuh. Gagasan tentang "gerakan" itu menjadi
landasan pada fisika dan geometri Cartesian (Toretti, 1999: 17).
Seorang filsuf Inggris yang hadir pada awal zaman
modem, Francis Bacon (1561-1626), dikenal dengan percobaan-

39

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


percobaannya dalam ilmu alam. Ia disebut sebagai penntls
Filsafat Ilmu Pengetahuan. Bagi Bacon, pengetahuan hanya
berarti jika tampak dalam kekuasaan manusia (human knowledge
is human power). Pengetahuan yang "benar" adalah pengetahuan
yang menghasilkan sesuatu yang mencari keuntungan, yang
memperbesar kemampuan dan kekuasaan manusia. Semboyan-
nya adalah "Knowledge is Power". Selain itu ia mengatakan
bahwa cara kerja ilmu empiris berbeda dengan ilmu yang lain
(ilmu klasik yang lebih mementingkan cara kerja logika deduktif
model Aristoteles dan berkembang sampai abad Pertengahan).
Bacon menandaskan bahwa ilmu-ilmu empiris tidak meng-
gunakan cara kerja deduktif, tetapi menggunakan atau bertitik
tolak pada pengamatan partikular dan untuk kemudian mencari
kesimpulan yang seluas-luasnya, bahkan melampaui luas premis
yang partikular. Cara berpikir demikian disebut Bacon sebagai
induksi atau logika induksi.
Dalam perjalanan tradisi filsafat Barat, pemikiran Bacon
banyak mendapat tanggapan dari berbagai pihak, di antaranya
David Hume, seorang filsuf lnggris. Hume mengatakan bahwa
logika induksi Bacon melanggar kaidah logika. Hume ber-
pendapat bahwa bahwa kesimpulan tidak boleh lebih luas dari-
pada premis partikular. Menurut Hume, ada dua macam
penalaran pada pengetahuan, yaitu pengetahuan empiris yang
berdasarkan pengamatan tanpa melampaui data pengamatan atau
penalaran induksi dan pengetahuan matematika dan logika yang
mendasarkan pada penalaran deduksi yang didukung secara
kuantitas atau matematis.
Perkembangan pemikiran tentang pengetahuan dilanjutkan
oleh pemikiran Immanuel Kant (1724-1804). Agaknya, pemi-
kiran Kant "dibangunkan" oleh kritik Hume terhadap Bacon.
Pemikiran filsafat Kant disebut sebagai "kritisisme", yaitu
gagasan pemikiran yang harus dimulai dengan terlebih dahulu
menyelidiki batas-batas dan kemampuan rasio manusia.
Pemikirannya tentang filsafat dianggap sebagai pembaharuan

40

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


dalam perkembangan filsafat. Ia mengupayakan semacam
"revolusi kopemikan", yaitu perubahan daiam menangkap
pengetahuan: pengetahuan manusia muncul karena berpusat pada
subjek dan bukan pada objek. Subjek menangkap pengetahuan
dimulai dengan taraf inderawi, sehingga terjadi pengenalan
inderawi yang berada pada ruang dan waktu. Adapun taraf kedua
adalah taraf akal budi (verstand), yang mengolah data inderawi
secara apriori dengan kategori-kategori tertentu seperti kualitas,
kuantitas, modalitas, dan relasi.
Sumbangan pemikiran Kant dalam ilmu pengetahuan
adalah usahanya mendamaikan unsur rasionalisme (apriori)
dengan unsur empirisme (aposteriori) . Unsur apriori lebih
mementingkan proses akal budi manusa, sedang unsur
empirisme atau aposteriori lebih merujuk pada pengenalan atau
pengetahuan karena adanya pengalaman inderawi manusia.
Menurut Kant, dalam ilmu pengetahuan, penalaran induksi dapat
dimasukkan ke dalam unsur teoretis. Proses penalaran induksi
hanya terjadi apabila subjek (peneliti) mengatur dan menerima,
sedang penerimaan kesan-kesan inderawi (objek penelitian)
melalui proses kategori-kategori akal budi. Dengan demikian,
pembenaran hasil pengetahuan inderawi didasarkan pada proses
induksi dengan merujuk pada kategori-kategori (kualitas,
kuantitas, substansi, dan relasi).
Tokoh lain, Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf
positivisme berasal dari Perancis, membedakan tahapan-tahapan
pengetahuan menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap
teologis, yang muncul adalah agama; tahap kedua adalah tahap
metafisis yang didukung oleh filsafat dan metafisika; sedang
tahap ketiga adalah tahap positif, yakni suatu taraf ilmu-ilmu
positif (ilmu-ilmu empiris) muncul karena sifatnya yang definitif
dan didukung oleh data positif dan dapat diukur secara
kuantitatif atau matematis. Ia membedakan pengetahuan positif
menjadi enam macam ilmu, yaitu matematika, ilmu falak, fisika,
kimia, ilmu hayat, dan sosiologi (fisika sosial).

41

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Perkembangan Filsafat Ilmu Pengetahuan pada abad ke-20
semakin pesat percabangannya. Yang terpenting untuk dicatat
adalah munculnya Lingkaran Wina atau Vienna Circle (dalam
bahasa lnggris) atau Wiener Kreis (dalam bahasa Jerman)
dengan pandangan "neo-positivisme" atau "positivisme logis"
pada tahun 1924 di kota Wina. Kemudian muncul tokoh-tokoh
dalam pembaharuan Filsafat Ilmu Pengetahuan seperti Thomas
Kuhn ( 1922-1996) dengan karyanya Struktur Revolusi Ilmiah
(1962); Paul Feyerabend (1924-1994) dengan pendekatan
"anarkistik" dalam karyanya Against Method (1975); Imre
Lakatos (1922-1974) dengan program riset ilmiah; Larry Laudan
(1941-... ) dengan karyanya Progress and its Problems (1977)
yang mencoba mengetengahkan rekonstruksi rasional atas
kemajuan ilmiah seperti yang telah dikemukakan oleh Kuhn dan
Lakatos. Penjelasan tentang Lingkaran Wina, pemikiran Karl
Popper, Thomas Kuhn, dan Feyerabend akan dibahas secara
tersendiri dalam bab berikutnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang dirintis oleh para
ilmuwan tersebut menandai pemikiran kritis, bahkan sangat
filosofis (upaya pencarian hakikat). Mereka memberikan sum-
bangan pemikiran filosofis terutama dalam menyampaikan cara
atau proses kerja ilmiah ilmu pengetahuan. Tak dapat dipungkiri
bahwa sesungguhnya tradisi Filsafat Ilmu Pengetahuan telah
dimulai dan dirintis oleh Aristoteles.

D. Revolusi llmu Pengetahuan


Revolusi ilmu pengetahuan muncul di Eropa sekitar abad
ke-17. Revolusi itu menandai bangkitnya kelompok intelektual
bangsa Eropa mengenai cara berpikir keilmiahan. Pada masa itu
Eropa dilanda krisis kehidupan yang cukup berat. Banyaknya
pengangguran, kehidupan perekonomian yang tidak meng-
untungkan sebagian rakyat jelata, dan kehidupan kenegaraan
feodalisme yang sangat materialistis-kapitalis menumbuhkan

42

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


berbagai gejolak pada bangsa-bangsa Eropa. Berbagai revolusi
terjadi dalam sejarah perjalanan bangsa-bangsa Eropa, seperti
revolusi industri, revolusi pertanian, revolusi Perancis, serta
revolusi ilmu pengetahuan.
Apakah yang dimaksud dengan revolusi ilmu pengetahuan
(scientific revolution) itu? Apakah sebuah revolusi yang mem-
buahkan suatu pergolakan atau perjuangan seperti layaknya
revolusi yang dicetuskan oleh rakyat untuk mendobrak tatanan
lama pada suatu negara? Ataukah bentuk revolusi yang sama
sekali berbeda dengan suatu pergolakan? Revolusi ilmu penge-
tahuan adalah perubahan cara berpikir masyarakat intelektual
Eropa dari cara berpikir yang ontologis ke cara berpikir mate-
matis-mekanistis. Cara berpikir ontologis merupakan warisan
yang ditinggalkan bangsa-bangsa Eropa Abad Pertengahan
(Middle Ages). Pada masa itu diberlakukan hukum agama untuk
segala-galanya, termasuk dalam dunia pengetahuan. Dunia harus
dilihat secara apa adanya, yang secara alamiah memang menjadi
milik manusia dan muncul karena adanya penciptaan Yang Maha
Kuasa.
Keadaan itu berlangsung cukup lama hingga muncul Abad
Renaisans (puncak kejayaannya sekitar abad ke-14 - 16) yang
mengubah segalanya. Manusia tidak lagi sekadar menjadi citra
Tuhan 'imago Dei' , tetapi memiliki rasio, kreativitas, dan
keinginan untuk maju dan mampu memperbaiki kebudayaan.
Dunia manusia dan pengetahuannya adalah dunia antroposentris,
dunia yang terpusat pada "kekuatan" akal budi manusia. Pada
masa Renaisans, kejayaan bangsa Eropa mulai terbangun, mulai
tumbuh minat masyarakat mempelaj ari pengetahuan yang
berlandaskan rasionalitas dan empiristis.
Berbagai peninggalan bangunan yang megah berikut karya
seni yang mutu estetisnya sangat tinggi (seni lukis, pahat, dan
arsitektur) di daratan Eropa menandai bangkitnya bangsa-bangsa
Eropa untuk menguasai dunia seni dan ilmu pengetahuan.

43

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Tokoh-tokoh pembaharu humanis Renaisans, seperti Leonardo
da Vinci, Michelangelo, N. Copernicus, J. Keppler, dan Galileo
Galilei sangat termashur dengan karya-karya dan penemuan
dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan. Fenomena alam dan
sosial budaya dipelajari serta diamati secara cermat untuk
kemudian dimanfaatkannya. Berkat upaya yang cukup lama dan
tak kenai lelah berkembanglah ilmu-ilmu pengetahuan alam,
seperti fisika, kimia, dan kedokteran, dan itu terjadi pada Abad
Aufklaerung (Abad Pencerahan), abad ke-18. Sir Isaac Newton,
perintis ilmu fisika, mendasarkan fisika klasik dalam bukunya,
Philosofhiae Natura/is Principia Mathematica 'Ilmu Pengeta-
huan Alam berdasarkan prinsip-prinsip matematis'.
Sesuatu yang penting muncul dalam pemikiran para
ilmuwan pada masa revolusi ilmu pengetahuan: adanya peru-
bahan terhadap cara pandang dalam melihat materi (matter,
materia, hyle). Materi dianggap sebagai sesuatu yang dapat
bersifat konstan atau pun mengalami perubahan karena adanya
gerakan tertentu (dilempar, dijatuhkan, dan sebagainya). Materi
dapat dikaji dengan menggunakan perhitungan matematika dan
sejak saat itu mulailah diterapkan suatu bidang ilmu pengetahuan
yang menggunakan percobaan (experiment) sekaligus disertai
model dan pengukuran tertentu (modelling and measuring).
Sejak itulah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan
alam (fisika), berkembang pesat dengan pendekatan matematis
yang diterapkan dalam penganalisisan.
Cara berpikir matematis-mekanistis dalam revolusi ilmu
pengetahuan yang dipelopori oleh Newton menjadi semacam
"gaya" para intelektual dalam mengkaji objek permasalahan
dalam penelitian. Alam sekeliling dilihat sebagai sesuatu yang
dapat diukur. Benda dianggap memiliki kriteria tertentu (berat,
luas, isi, dan sebagainya). Di samping itu ada anggapan bahwa
benda memiliki gerak tertentu apabila dij atuhkan dari ketinggian
tertentu.

44

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Dengan pengamatan semacam itulah maka berbagai
pendekatan terhadap cara kerja ilmu pengetahuan dikembangkan.
Pendekatan yang bersifat kausalitas (hukum sebab-akibat)
mewarnai cara kerja ilmu pengetahuan. Benda atau segala
sesuatu lantas dapat disimpulkan memiliki sifat tertentu, ter-
struktur. Alam semesta, misalnya, secara matematis terlihat
terstruktur, sehingga keteraturan hukum alam atau sifat
mekanistis itu hingga sekarang menjadi fokus dalam cara kerja
ilmu pengetahuan. Cara kerja ilmiah didukung dengan percobaan
atau eksperimen yang selalu berusaha menyempurnakan hasil
percobaan melalui usaha trial and error 'uji coba'. Dalam
laboratorium, percobaan itu juga didukung dengan sebuah
model, suatu timan objek yang sesungguhnya (objek yang
dijadikan sebagai objek penelitian). Dengan model itu para
peneliti dapat menganalisis bahkan mengembangkan pene-
litiannya dengan lebih sempurna.
Akibat dari "perjalanan" dan proses revolusi ilmu penge-
tahuan, memunculkan nilai-nilai dasar yang tampil pada peru-
bahan cara berpikir manusia. Nilai-nilai dasar itu ialah:
( 1) nilai alam. Alam semesta memiliki tata susun dan berada
pada hukum alam, serta kosmos merupakan sesuatu yang
dianggap memiliki struktur tertentu. Adanya nilai tersebut
menyebabkan orang melihat bahwa alam merupakan bagian
dari kehidupan manusia, sehingga keberadaan alam tidak
untuk dirusak, tetapi diakrabi, dicintai, dan dapat dimanfaat-
kan bagi kehidupan manusia.
(2) Nilai budaya; kemajuan manusia ditandai dengan penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan. Dengan kemajuan manusia,
terutama dalam cara berpikir yang antroposentris, manusia
mampu mengubah kebudayaan dan teknologi menjadi
sesuatu yang sangat berarti dan bermakna bagi kehidupan
manusia melalui proses belajar.

45

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


(3) Nilai ekonomi; nilai ini tercipta karena para pelaku revolusi
ilmu pengetahuan memiliki semangat kerja atau etos yang
tinggi. Para ilmuwan mulai menciptakan teknologi yang tepat
guna bagi kebutuhan masyarakat, misalnya diciptakan mesin
untuk "mengisi"- mula-mula kerja tahapan industri rumahan
hingga ke industri pabrikasi. Hasil atau benda kebutuhan
hidup dapat diciptakan berkat adanya mesin-mesin yang
mampu menghasilkan produk hingga menembus pasar
dengan daya jual tinggi. Dengan demikian terciptalah nilai
ekonomis yang menuntut kemandirian dan tanggung jawab
bagi para pelaku pasar agar nilai ekonomis dapat dimanfaat-
kan, tidak hanya bagi sekelompok orang saja tetapi seluruh
masyarakat.

E. Tradisi Baru dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan


Orientasi pengetahuan setelah masa modem telah berubah.
Ilmu pengetahuan hams mencari suatu "keuntungan", yaitu
memperkuat potensi sumber daya manusia di bumi ini.
Pengetahuan hanya akan bermanfaat apabila berada pada
"kekuasaan" manusia. Manusia dapat berkarya melalui proses
belajar dan penguasaan ilmu pengetahuan. Untuk itulah beberapa
pandangan tokoh yang sangat terlibat pada pemikiran baru
Filsafat Ilmu Pengetahuan diketengahkan dalam bab ini.

Tradisi baru tentang beberapa pandangan atau pemikiran


baru itu dikemukakan secara singkat dengan disertai pandangan-
pandangan pokoknya saja. Pandangan-pandangan yang ada,
seperti neo-positivisme, rasionalisme kritis Popper, dan
anarkisme dalam ilmu pengetahuan sangat mewarnai kepesatan
perkembangan Filsafat Ilmu Pengetahuan, khususnya dalam
melihat persoalan secara kritis cara kerja suatu pengetahuan dan
kebenarannya.

46

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


1). Positivisme Logis dari Lingkaran Wina
Lingkaran Wina - suatu kelompok ilmuwan yang didirikan
oleh Moritz Schlick pada tahun 1924 dengan anggota-anggota
ilmuwan dari ilmu pasti dan fisika yang berasal dari Universitas
Wina seperti Hans Hahn, Otto Neurath, Hans Reichenbach, dan
Victor Kraft - mencoba mengembangkan pandangan yang
disebut sebagai "neo-positivisme' atau disebut juga sebagai
"positivisme logis". Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh
pandangan Comte tentang pengetahuan yang bersifat positif
(ilmu pengetahuan yang berlandaskan pada pendekatan logis dan
pastil matematis).
Lingkaran Wina mencoba untuk menyatukan keaneka-
ragaman ilmu pengetahuan dengan bahasa dan cara kerja ilmu-
ilmu alam. Keterpaduan itu mereka sebut sebagai un(fied science
atau einheitswissenschaft 'ilmu yang terpadu'. Ilmu yang terpadu
dijabarkan dalam pandangan neo-positivisme yang mengatakan
bahwa (a) sumber pengalaman hanya satu, yaitu pengalaman
yang berasal dari data inderawi; (b) adanya dalil logika dan
matematika yang berguna untuk mengolah data inderawi; (c)
adanya demarkasi atau garis batas antara meaningful!
'pemyataan bermakna' dan meaningless 'pemyataan yang tidak
bermakna'; (d) menolak metafisika yang diungkapkan dengan
pemyataan bahasa yang tidak bermakna; dan (e) Filsafat Ilmu
Pengetahuan dipandang oleh Lingkaran Wina sebagai the logic
of science 'logika ilmu' . Oleh karena itu Filsafat Ilmu
Pengetahuan hams disusun berdasarkan analogi logika formal,
yang artinya lebih mengarah pada forma 'bentuk' proposisi dan
argumen-argumen logis, sehingga dengan demikian bentuk-
bentuk logis pemyataan ilmiah lebih menonjol dalam logika
ilmu. Dengan demikian, di dalam logika ilmu (neo-positivisme ),
yang dipentingkan adalah context of justification 'konteks
pengujian dan pembenaran' ilmu pengetahuan yang bersang-
kutan. Mereka lebih berkepentingan dengan pengujian susunan
logis pernyataan-pemyataan ilmiah yang digunakan dalam suatu

47

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


penelitian daripada context of discovery 'konteks penemuan' atau
pun perkembangan suatu ilmu.
Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan neo-
positivisme digantikan oleh pandangan yang disebut sebagai
empirisme logis. Lingkaran Wina, yang didukung oleh para
ilmuwan berbagai ilmu empiris (kelompok fisika), mendapat
pengaruh matematika dari Whitehead dan Wittgenstein.
Kelompok terse but mulai menyadari bahwa persoalan matematis
dalam kegiatan ilmiah, baik melalui pernyataan maupun secara
teoretis, dapat dibahas dalam logika matematis, sehingga tercipta
aksiomatisasi teori ilmiah dalam bahasa logika matematis.
Ungkapan-ungkapan aksiomatisasi logis dibedakan atas
ungkapan teoretis, ungkapan observasi, dan ungkapan logis
matematis. Dengan demikian, antara pengamatan dan teori dalam
suatu penelitian harus dipisahkan. Keduanya hams dihubungkan
dengan aturan yang disebut sebagai correspondence rules
'aturan-aturan persesuaian'.

2). Rasionalisme Kritis Karl Popper


Sir Karl Popper lahir di Kota Wina tahun 1902. Ia belajar
di Universitas Wina dan pada tahun 1928 meraih gelar doktor
filsafat dengan disertasi berjudul Methoden-frage der Denken-
psychologie 'Masalah Metode dalam Psikologi Pemikiran'.
Setelah Perang Dunia II usai, Popper bekerja sebagai dosen di
London School of Economics, sebuah institut yang berada di
bawah naungan Universitas London. Sebagai ilmuwan yang
terkemuka dan pengabdiannya pada ilmu pengetahuan alam
modern tidak pernah padam, kerajaan Inggris menganugerahkan
gelar kebangsawanan "Sir" pada Karl Popper pada tahun 1964.
Salah satu karyanya yang terkenal adalah The Logic of Scientific
Discovery (1959), sebuah buku yang menjelaskan dasar logis
cara kerja ilmu empiris. Pokok-pokok pemikirannya dapat
diringkas sebagai berikut.

48

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Pertama, ia menentang the principle of verification 'prinsip
verifikasi', yaitu prinsip pembedaan antara ungkapan yang
disebut bermakna (prinsip ilmu pengetahuan empiris) dan tidak
bermakna (prinsip dalam metafisika) Lingkaran Wina. Menurut
Popper, usaha Lingkaran Wina tentang prinsip verifikasi di-
anggapnya sangat terpusat pada pemahaman induksi pada ilmu
pengetahuan, padahal penekanan prinsip kebenaran atas dasar
induksi di dalam kegiatan ilmiah belum tentu mencapai ke-
benaran hukum-hukum umum, terutama dalam ilmu pengetahuan
empiris.
Selain itu munculnya ilmu pengetahuan empiris kadang-
kala berasal dari konsep atau gagasan metafisis. Lahimya
atomisme Demokritos atau hukum Archimedes berasal dari
gagasan metafisis, yakni konsep yang berasal dari pemikiran
seseorang. Bagaimanapun, prinsip atau pernyataan metafisis
tetap memiliki makna. Dengan kata lain, makna berada pada
pernyataan metafisis atau pada contoh tentang pernyataan yang
berasal dari Demokritos dan Archimedes. Karena alasan-alasan
itulah Popper menolak prinsip verifikasi. Pembedaan antara
ungkapan bermakna dan tidak bermakna diubahnya menjadi
garis batas atau the problem of demarcation 'problem demarkasi'
antara ungkapan ilmiah dan ungkapan tidak ilmiah. Pokok
demarkasi hams didasarkan ada tidaknya dasar empiris pada
kedua ungkapan tersebut.
Kedua, ia menolak pembenaran masalah induksi yang
ditawarkan oleh neo-positivisme. la mengajukan pembenaran
logis, yaitu membuktikan adanya "salah" pada hukum-hukum
ilmiah. Salah satu contoh termashur yang dikemukakan Popper
adalah pembuktian salah ketika orang mengobservasi adanya
sembilan angsa berwarna putih. Pembuktian tentang kesalahan
itu muncul ketika dalam observasi ternyata terdapat satu angsa
yang berwarna hitam. Dengan demikian, kesimpulan yang
menyatakan bahwa semua angsa berwarna putih telah gugur
karena adanya kesalahan atau falsifikasi (angsa berwarna hitam).

49

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Dengan cara mencari kesalahan pada suatu hipotesis, hipotesis
yang salah ditinggalkan dan digantikan oleh hipotesis yang baru.
Dengan cara seperti itulah maka dimungkinkan adanya kemajuan
pada ilmu pengetahuan.
Ketiga, Popper beranggapan bahwa suatu teori baru akan
muncul dan diterima apabila ada teori baru yang dapat
meruntuhkan teori lama yang telah ada sebelumnya. Pengujian
kedua teori itu dilakukan dengan pengujian tes empiris, yaitu tes
yang direncanakan untuk membuktikan kesalahan terhadap apa
yang diujinya (memfalsifikasi).
Keempat, apabila dalam sej arah ilmu, selama suatu
hipotesis (hukum dan teori) tahan terhadap falsifikasi, selama
upaya itulah hipotesis (hukum dan teori) tersebut diperkokoh
(koroborasi, is corroborated).
Kelima, epistemologi Popper disebut sebagai "epistemo-
logi pemecahan masalah". Bagi Popper, suatu pengetahuan atau
pun penelitian akan diawali dengan masalah. Untuk memecah-
kan masalah tersebut, diajukan sebuah teori yang tentatif
sifatnya. Apabila teori itu sesuai dan berdaya guna, maka teori
terse but dapat menyingkirkan kekeliruan dan kesalahan (error
elimination) yang menimbulkan masalah. Dengan terselesaikan-
nya masalah pertama, kemungkinan terbuka masalah baru, dan
berulanglah proses yang sama. Begitu seterusnya. Tak pelak lagi
Popper memasukkan unsur baru dalam Filsafat Ilmu Penge-
tahuan, khususnya dalam sejarah ilmu.
Selanjutnya Popper mengemukakan gagasan tentang
masyarakat ilmiah dan hubungannya dengan suatu ideologi.
Ideologi atau suatu gagasan yang berlaku dan hams ditaati oleh
masyarakatnya akan menimbulkan ketidakterbukaan terhadap
pemikiran lain. ldeologi semacam itu dapat bersifat sangat ter-
tutup, seakan-akan tidak ada lagi suatu gagasan atau pemikiran
lain selain gagasan atau ideologi yang telah ada. Masyarakat
menjadi tidak terbuka oleh gagasan dan/atau pemikiran lain

50

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


kecuali gagasannya sendiri. Kemunduran berpikir, terutama
dalam mengembangkan masyarakat, akan terjadi. ltulah hal yang
tidak diinginkan oleh Popper.
Menurut pendapatnya yang dikemukakan dalam bukunya
The Open Society and Its Enemies, tidak ada suatu teori,
hipotesis, atau pun ungkapan ilmiah bersifat mutlak, semuanya
bersifat sementara. Kesementaraan itu membuka peluang bahwa
hipotesis, teori, atau pun pengetahuan ilmiah bersifat sangat
terbuka untuk dibuktikan salah. Apabila ilmu pengetahuan tidak
terbuka oleh pembuktian falsifikasi, maka ilmu pengetahuan
menjadi tertutup, ilmu pengetahuan terjebak ke arah ideologi.
Apabila hal itu terjadi maka benar-benar merupakan suatu ke-
munduran bagi ilmu pengetahuan. Sikap kritis Popper terhadap
cara kerja ilmu melahirkan pandangannya yang terkenal, yaitu
"rasionalisme kritis".
Pendapat lain Popper yang terkenal adalah pandangannya
tentang "dunia 3". Pandangan dunia 3 adalah suatu pandangan
yang mencoba menyusun hubungan antara kenyataan inderawi
dan pemikiran subjektif manusia. Hubungan itu tercermin ketika
manusia mempelajari dan menemukan teori-teori dalam ilmu
pengetahuan.
Dunia 3 merupakan hasil kreativitas dan daya cipta
manusia melalui akal budinya dan hanya muncul apabila
seseorang telah menemukan teori-teori. Di dalam dunia 3
terdapat hubungan dengan dunia lainnya, yaitu dunia 1 (world 1)
dan dunia 2 (world 2). Dunia 1 merupakan semua fenomena
empiris, fenomena yang tampak oleh pancaindera manusia. Batu,
gunung, dan manusia merupakan fenomena bagi dunia 1. Dunia
2 merupakan segala isi pemikiran manusia yang bersifat
subjektif. Pemikiran Anto tentang rancang bangun sebuah
apartemen milik temannya, misalnya, merupakan dunia 2. Dunia
3 merupakan hubungan antara dunia 1 dan dunia 2. Hasil dari
dunia 3 merupakan teori-teori yang sangat erat kaitannya dengan

51

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


dunia ilmu pengetahuan. Teori yang dihasilkannya dapat saja
diterima atau ditolak atau pun diperbaharui, dan karenanya, ia
tidak mengenal waktu (timeless) .
Selain itu, hasil dari dunia 3 dapat saja berupa sesuatu yang
nyata dan bersifat otonom. Sebagai contoh, sebuah buku tentang
ilmu pengetahuan tertentu atau teknologi tentang komputer
bersifat otonom karena ia hadir sebagai hasil suatu proses
kegiatan ilmiah seorang penulis buku atau ilmuwan. la hadir
karena keterlibatan berbagai pihak, misalnya penyandang dana,
ilmuwan, penulis, laboratorium, dan bermacam-macam tekno-
logi. Oleh karena kehadirannya itulah buku dan teknologi
tersebut menjadi sangat otonom.
Berdasarkan hal tersebut, keberadaan hasil (objek-objek)
dunia 3 sangat berguna bagi kehidupan manusia. Semua itu
(hasil objek dunia 3) dapat menjadi penunjang atau penopang
kehidupan dan pencarian eksistensi manusia.

3). Struktur Revolusi Ilmiah Thomas Kuhn


Thomas Kuhn (1922-1996) mendapat gelar doktor dalam
bidang fisika dari Harvard Univesity. la menyenangi filsafat dan
menjadi Direktur Program Sejarah Ilmu dan Filsafat pada
Princeton University. Karyanya yang termashur adalah The
Structure of Scientific Revolutions (1962). Gagasan singkat
pemikirannya tentang Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah sebagai
berikut.
Pertama, Kuhn cenderung meletakkan pengetahuan dalam
konteks sejarah. Kemajuan ilmu pengetahuan bersifat revolu-
sioner. Dalam sejarah muncul pandangan-pandangan baru yang
tumbuh menjadi visi baru yang disebutnya sebagai paradigma.
Menurut Kuhn, paradigma baru timbul karena adanya proses
historis.

52

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Kedua, ia mengemukakan adanya siklus historis dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Siklus historis itu berjalan
melalui empat tahap, yaitu (a) tahap pra-paradigma, dalam tahap
ini akan muncul heuristik, yaitu cara untuk menemukan sesuatu
yang baru dalam kegiatan ilmu pengetahuan; (b) tahap para-
digmatis, yaitu tahap ketika paradigma membimbing kegiatan
ilmiah dalam ilmu normal (normal science), dengan kata lain
tahap paradigmatis menunjukkan bahwa ilmu berjalan secara
normal; (c) tahap krisis, yaitu adanya krisis dalam ilmu
pengetahuan: ilmuwan menjumpai beberapa kesulitan dalam
menjalankan risetnya, ia menjumpai berbagai fenomena yang
tidak dapat diterangkan dengan teorinya, itulah yang disebut
dengan anomali (kelainan); (d) tahap revolusi ilmiah, yaitu
ketika ilmuwan mulai mempertanyakan lagi paradigma yang
telah dipakainya, sehingga ilmuwan keluar dari ilmu normal.
Untuk mengatasi krisis, ilmuwan dapat kembali pada kegiatan
ilmiahnya dengan membawa paradigma tandingan yang dapat
memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya.

4). Anarkisme Epistemologis Menurut Paul Karl Feyerabend


Dalam perkembangan Filsafat Ilmu Pengetahuan men-
jelang abad ke-20, peran positivisme logis sangat mewamai
dunia filsafat ilmu, khususnya tentang penyelesaian persoalan
ilmiah yang harus dipecahkan melalui teknik logika matematika.
Filsafat Ilmu Pengetahuan sering disebut sebagai logika ilmu.
Pandangan tersebut banyak diterima secara luas oleh para tokoh
filsafat ilmu dan oleh Frederick Suppe pandangan tersebut
disebutnya sebagai the received view.
Berbagai pendapat seperti positivisme logis dan rasio-
nalisme kritis Popper mengubah pola berpikir baru dalam dunia
filsafat ilmu. Selain Thomas Kuhn, salah satu tokoh yang muncul
setelah generasi Popper adalah Feyerabend. Kelompok pem-
baharu tersebut umumnya mendasarkan pemikiran mereka pada

53

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


sejarah ilmu dan mereka berpendapat terdapat hubungan antara
sejarah ilmu dan Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Feyerabend dilahirkan pada tahun 1924 di Wina, Austria.
Pada masa remaja, ia belajar seni suara, teater, dan sejarah teater.
Kemudian ia belajar astronomi, matematika, sejarah, dan filsafat;
memperoleh gelar Doktor dalam bidang Fisika di Wina. Akhir
tahun 1950-an ia sangat tertarik pada filsafat dan berkenalan
dengan Karl Popper dan pada masa itu aktif mengikuti seminar-
seminar Karl Popper di London.
Feyerabend mengatakan bahwa antara sejarah ilmu dan
filsafat ilmu memiliki hubungan timbal balik. Para ilmuwan
tidak dapat melepaskan diri dari latar belakang historis, khusus-
nya mengenai hukum, teori, percobaan, dan perhitungan mate-
matis yang telah diterima sebelumnya. Hal yang penting dalam
pemikiran Feyerabend adalah kritiknya terhadap ilmu dan
pandangannya itu disebutnya sebagai "anarkisme epistemo-
logis". Menurutnya, kritik terhadap ilmu ditujukan pada metode
ilmu pengetahuan dan diberinya nama against method 'anti
metode' serta kritik terhadap fungsi, kedudukan, dan penerapan
ilmu pengetahuan dalam masyarakat. Hal itu disebutnya sebagai
against science 'anti ilmu pengetahuan'.
Pandangan Feyerabend condong ke arah kebebasan
individu. Dengan anti metode, sebenamya ia ingin mengkritik
hal yang lazim pada ilmu pengetahuan yang memiliki satu
metode baku, universal, serta bertahan cukup lama. Alasannya
menentang metode karena, menurutnya, dalam menjalankan
suatu penelitian sebaiknya seorang peneliti atau ilmuwan tidak
dibatasi oleh satu metode saja. Peneliti diberi kebebasan untuk
menjalankan suatu "prinsip apa saja boleh" (anything goes);
artinya peneliti diberi kebebasan untuk mengembangkan metode
atau teori yang ia gunakan dalam suatu penelitian.
Dalam pandangannya tentang "anti ilmu pengetahuan",
Feyerabend tidak bermaksud anti terhadap ilmu pengetahuan,

54

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


tetapi menolak atau anti terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan
yang acapkali melampaui tujuan utamanya. Ilmu pengetahuan
sering memiliki pandangan tentang kebenaran yang dianggap
mutlak tanpa mempedulikan bidang-bidang lain di luar ilmu
pengetahuan dan karenanya sering memonopoli kebenaran di
dalam kehidupan masyarakat. Pandangan semacam itu,
"scientism", menganggap ilmunya paling benar sehingga dapat
membawa ke arah semacam ideologi yang bersifat tertutup. Bagi
Feyerabend, ilmu pengetahuan bukanlah segala-galanya di
tengah kehidupan masyarakat. Ilmu pengetahuan merupakan
salah satu bentuk dari beragam ideologi yang berada di tengah
masyarakat. Ilmu pengetahuan haruslah menjadi "realisme
ilmiah" yang terwujud pada saat teori-teori, sistem pemikiran,
dan pengetahuan ilmiah lainnya diterapkan dalam bentuk sesuai
kodratnya, yaitu memahami dunia manusia melalui ilmu
pengetahuan.
Pandangan Feyerabend yang menitikberatkan pada
kebebasan individu dan kritiknya terhadap kemutlakan ilmu
pengetahuan tanpa mempedulikan ilmu pengetahuan lain
mengundang reaksi dari para ilmuwan lainnya. Agaknya
pandangan Feyerabend pada masa itu (awal abad ke-20) dirasa
sangat maju dan banyak yang menolak tentang pandangan
anarkisme epistemologis. Pandangan Feyerabend menjadi
semakin "tenggelam" karena tidak mendapat dukungan para
pemikir atau pakar dalam bidang Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Sebagai catatan dari penulis, pemikiran Feyerabend yang
sangat kontroversial itu justru mendapat tempat dan tampil lagi
setelah tradisi neo-positivistik usai. Mengapa? Setelah tradisi
neo-positivistik, muncul pemikiran kontemporer atau pemikiran
postmodern dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
menjadi semakin berkembang dan mengembangkan diri atau
terlebur dengan ilmu pengetahuan lainnya. Sebuah ilmu
pengetahuan akan lebih tampil dengan kemajuannya apabila ia
dapat bekerja sama dengan ilmu pengetahuan lain. Antara ilmu

55

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


pengetahuan satu dan lainnya saling membutuhkan dan
menunjang. lmplikasi dari pengembangan ilmu tersebut berasal
dari sisi metode. Metode bidang ilmu tertentu menjadi tidak
mutlak manakala bertemu dengan bidang lainnya. Para ilmuwan
dimungkinkan membangun, bahkan "bongkar pasang", metode
atau teori-teori agar penelitian dan ilmu pengetahuan lebih maju
dan berkembang lebih baik serta dapat berguna bagi masyarakat,
baik masyarakat ilmiah maupun masyarakat lainnya.

F. Pemikiran Filsafat Ilmu Kontemporer


Pasca Abad 20
Tradisi pemikiran positivistik yang melihat perkembangan
ilmu pengetahuan dengan landasan pembuktian verifikasi dan
falsifikasi matematis, atau kepastian yang sangat matematis pada
abad ke-20, menimbulkan berbagai gejolak dalam pemikiran-
pemikiran yang telah ada. Berbagai reaksi muncul, di antaranya
dari kelompok Mazhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule),
sekelompok sarjana yang bekerja pada Institut for Sozial-
forschung (Lembaga untuk Penelitian Sosial), seperti Max
Horkheimer (1895-1973), Theodor W. Adorno (1903-1969),
Herbert Marcuse (1898-1979), dan Jurgen Habermas (1929- ...)•
Pemikiran kelompok Mazhab Frankfurt dikenal sebagai "teori
kritis".
Teori kritis menolak tegas pandangan positivistik yang
mementingkan fakta-fakta serta menekankan falsifikasi dan
verifikasi. Fakta-fakta tersebut sebagian merupakan produk
masyarakat tertentu, yang oleh kelompok positivistik dapat
diverifikasi atau difalsifikasi. Bagi teori kritis, tatanan masya-
rakat tidak dapat diverifikasi atau pun difalsifikasi, sebab tatanan
masyarakat memiliki berbagai kemungkinan yang akan mengu-
bah tatanan masyarakat yang telah ada. Pandangan "teori kritis"
bertujuan untuk menganalisis fungsi ilmu pengetahuan dan

56

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


filsafat dalam masyarakat serta mengubah berbagai kemung-
kinan bagi suatu tatanan masyarakat baru. Tatanan masyarakat
baru akan diperoleh apabila ilmu pengetahuan mampu mewu-
judkannya dengan "praksis yang tepat", tindakan nyata yang
tepat dengan mengembangkan kekuatan-kekuatan yang ada di
masyarakat (misalnya, melawan kekuatan otoriter). Tindakan
praksis tersebut disebut oleh Habermas sebagai "kritis emansi-
patoris" karena ingin membuat dan mengembangkan serta
menyusun struktur masyarakat yang baru dengan menegasikan
unsur-unsur masyarakat yang represif.
Sebagai ahli filsafat sekaligus ahli ilmu sosial, Habermas
berpendapat bahwa para ahli ilmu sosial harus mengakui bahwa
dalam penelitian sosial terdapat erkenntnisleitende interesse
'kepentingan tertentu' yang muncul tanpa mereka sadari.
Kepentingan tersebut diarahkan pada masalah realitas sosial dan
alamiah, sedangkan dampaknya adalah munculnya teori-teori
empiris atas dasar kepentingan tersebut (Bertens, 1981: 218).
Di dalam bukunya yang berjudul The Theory of Communi-
cative Action Volume I Reason and the Rationalization of
Society, Habermas memberikan perhatian besar pada tiga hal.
Pertama, pengembangan konsep rasionalitas pada filsafat dan
teori sosial tidak dibatasi oleh premis subjektivitas dan premis
individualistik. Kedua, membangun suatu konstruksi tentang
konsep masyarakat yang terintegrasi pada kehidupan "dunia" dan
sistem paradigma-paradigma yang telah ada (misalnya dari para
pemikir seperti Marx, Weber, Durkheim, Horkheimer, dan
Adorno). Ketiga, memberikan semacam jalan keluar bagi analisis
kehidupan masyarakat kontemporer (modemitas) dengan teori
kritis (Habermas, 1997: viii).
Seluruh teori kritis Mazhab Frankfurt menjadi suatu
diskusi menarik karena mempersoalkan metode dalam ilmu
sosial, yang mencoba mencari hubungan antara teori dan praksis
serta antara gagasan dengan kegunaan yang aplikatif. Pokok

57

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


pemikiran kelompok tersebut telah meletakkan dasar bahwa
suatu teori dalam ilmu sosial tidak dapat dilepaskan dari sisi
praktis-pragmatisnya dan tidak satu pun ilmu pengetahuan bebas
nilai. Bahkan Habermas selalu mengingatkan bahwa suatu teori
harus diarahkan pada kepentingan masyarakat.
Pemikiran lain yang muncul setelah PD II berasal dari
Jacques Derrida (1930-2004), ilmuwan kelahiran Aljazair yang
sejak 1959 belajar filsafat di Ecole Normale Superieure di Paris
dan sejak saat itu ia menetap di Prancis. Pemikirannya disebut
sebagai filsafat deconstruction 'dekonstruksi, pembongkaran' .
Dekonstruksi yang ia jalankan dituliskan dalam bentuk
komentar-komentar terhadap tulisan-tulisan tokoh, filsuf, dan
sastrawan seperti Rousseau, Sigmund Freud, Ferdinand de
Saussure, dan Levi Strauss. Komentar tersebut ditulis dalam
bentuk unik karena sekaligus memperkenalkan pemikirannya,
menyajikan teks baru, menyusunnya kembali dengan
"membongkar" teks-teks lama.
Bagi Derrida, tradisi metafisika Barat penuh dengan
paradoks dan hukum-hukum logis, dan untuk itulah ia mela-
kukan dekonstruksi terhadap semboyan tradisi filsafat Barat yang
dipakai secara luas baik dari segi akademik maupun kehidupan
sehari-hari. Tradisi filsafat Barat agak melupakan pentingnya
tulisan, lebih bersifat phone (percakapan) atau dialog yang
bersifat logosentrisme (terpusat pada logos 'pemikiran').
Derrida, sebagai seorang gramatologis (ilmu tentang tentang
gramma, huruf, tulisan), sangat menekankan bahwa bahasa
sehari-hari bersifat tidak netral karena penuh dengan semboyan-
semboyan, pra-anggapan-pra-anggapan, dan asumsi budaya
suatu masyarakat. Bahasa penuh dengan "tanda-tanda" (huruf,
tulisan) yang sifatnya arbitrer, penuh dengan pemaknaan yang
dapat memberikan berbagai nuansa baru, differance 'pembedaan
arti' , bahkan bersifat keberulangan (Derrida, 1976: 142-145).
Pemikiran dekonstruksi Derrida memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan karena dapat memberikan sesuatu yang penting

58

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


bagi pemaknaan baru dan penataan ulang terhadap anggapan/
semboyan-semboyan tradisi budaya masyarakat yang telah ada,
dan turut mendorong lahirnya pemikiran kontemporer yang
timbul pada tahun 70-an di Barat, yaitu postmodernisme.
Postmodernisme merupakan gerakan yang mencoba
meninggalkan berbagai tatanan yang telah ada di masyarakat
untuk membuat tatanan yang lebih baru. Perubahan itu akan
membentuk masyarakat yang memiliki collective identity
'identitas tertentu' . Ada empat faktor lain yang memunculkan
postmodernisme. Pertama, faktor historis. Munculnya kebudaya-
an seni humanis renaisans (kebudayaan modernis) yang telah
menggoyahkan identitas masyarakat borjuis, mengakibatkan
munculnya bentuk kebudayaan baru, yaitu kebudayaan modern
menuju postrnodernis yang pada akhirnya rnernbentuk wajah
baru rnasyarakat borjuis tersebut. Kedua, faktor kondisi.
Munculnya kelornpok pekerja seni rnerupakan kondisi tirnbulnya
kebudayaan rnodemis, sedang kebudayaan postrnodernis
rnerupakan babak baru dari kelornpok pekerja seni yang rneng-
inginkan pernbaharuan. Ketiga, adanya faktor perubahan
(perubahan rnateri dan struktur budaya) yang dibawa oleh kedua
kelornpok (rnodemis dan postrnodernis), rnenyebabkan terben-
tuknya lingktmgan baru. Keernpat, rnunculnya pertirnbangan-
pertirnbangan politik dan ekonorni dalarn kebudayaan
postrnodemis (Lash, 1990: 15-16).
Pada awal postrnodernisrne yang di rnulai pada wilayah
seni, rnuncul berbagai kecenderungan yang khas pada bidang
seni, rnisalnya hilangnya batas budaya tinggi dengan budaya
pop, rnencarnpurkan (eklektis) berbagai gaya dalarn seni tertentu,
hilangnya batas orisinalitas. Kondisi itu sernua pada akhirnya
rnenarnpilkan suatu karya "baru" dalarn bidang seni. Gejolak
postrnodernisrne rnelanda sernua bidang, seperti arsitektur,
antropologi, ekonorni, sosial, politik, dan filsafat. Pada urnurnnya
gerakan postrnodemisrne rnernberikan warna baru, yakni wama
perubahan yang dirnulai dari rnengubah tatanan fisik hingga ke

59

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


visi, style ' gay a' , dan cara pandang atau persepsi dengan cara
dekontruksi terhadap bidang-bidang atau wilayah itu.
Tokoh filsafat yang sangat erat dengan postmodemisme
adalah Lyotard (1924 - 1998), seorang filsuf Prancis. Lyotard
melihat bahwa postmodemitas sangat erat hubungannya dengan
proses perkembangan dan transformasi tertentu dalam rangka
modemitas itu sendiri. Postmodemitas haruslah dilihat sebagai
gaya atau cara untuk menunjukkan modemitas melalui keadaan
tertentu atau semacam sikap/tugas tertentu. Lalu, apa sebenamya
modemitas itu? Modemitas menurut Lyotard adalah gerakan
intelektual dalam sejarah dan kebudayaan Barat - sebenamya
sudah dirintis sejak Abad Pencerahan - yang menginginkan
kemajuan. Pada Abad Pencerahan muncul suatu grand narrative
'gagasan-gagasan besar', yang menyebabkan orang berani
berpikir secara rasional dan mampu berkarya demi kemajuan
ilmu pengetahuan (Connor, 1992: 30). Manusia, pada masa itu,
sanggup membebaskan diri dari ikatan-ikatan dogmatis dan
mampu mengungkapkan jatidiri dan mempertahankan pendapat-
nya. Hal itu terlihat, misalnya, bagaimana seorang Newton
membuat "cerita besar" dengan memperkenalkan ilmu fisika di
tengah masyarakat Abad Pencerahan. "Cerita besar" itu
kemudian dilanjutkan dengan munculnya "cerita-cerita" lain,
yakni ilmu-ilmu empiris seperti kimia, geologi, kedokteran, dan
farmasi .
Postmodem juga dicirikan dengan adanya semacam grand
narrative yang berada di tengah masyarakat maju. Di dalam
"cerita-cerita besar" selalu ada metanarasi yang berisi cerita lain
tentang bagaimana perkembangan atau pertumbuhan individu
melalui pendidikan, emansipatoris, spekulatif, atau bahkan hal-
hal lain (Connor, 1992: 30-34). Salah satu contoh, kehidupan di
masa sekarang, abad kontemporer, membutuhkan segala sesuatu
serba cepat, termasuk penyajian makanan. Di kota-kota besar
Indonesia, seperti Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Jakarta, dan
Medan, masyarakat telah mengenal KFC (Kentucky Fried

60

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Chicken) yang berasal dari Amerika. Ayam goreng Amerika
tersebut telah melanda dunia: hampir di seluruh pelosok dunia
terdapat penjual KFC . Orang dewasa hingga anak-anak sangat
menyukainya. Penjualan KFC dapat dianggap sebagai "cerita
besar" yang di dalamnya terdapat metanarasi. Di balik "cerita
besar" itu termuat bagaimana Kolonel Sanders dengan susah
payah merintis penjualan ayam gorengnya hingga sukses ke
seluruh dunia. Penjualan tersebut juga melibatkan individu yang
bekerja, individu yang ingin meningkatkan harkat martabatnya
dengan etos kerja yang baik. Kepemilikan modal - kapitalisme
serta teknologi - muncul di dalam metanarasi KFC dan
semuanya menjadi sesuatu yang menarik dalam kehidupan
masyarakat kontemporer.
Pendapat Lyotard tentang masyarakat modem (maju) yang
ditandai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (teknologi
informasi) harus merujuk pada status pengetahuan itu sendiri.
Teknologi harus diterjemahkan tidak hanya sebagai produk ilmu
pengetahuan, namun juga dilihat dari segi pragmatiknya
sekaligus kegunaannya bagi masyarakat. Bagi Lyotard, masya-
rakat diarahkan pada sistem yang diatur oleh masukan dan
hasilnya saja, melihat in put dan out put, dengan berlandaskan
norma efisiensi. Pada akhimya, masyarakat akan menilai bahwa
teknologi informasi harus diterjemahkan secara kuantitas (bukan
kualitasnya), misalnya memunculkan pertanyaan-pertanyaan
"seberapa banyak memperoleh informasi?", "apakah teknologi
informasi memiliki nilai jual tinggi?", dan "apakah cara kerjanya
(sistem teknologi) efisien?" Heterogenitas yang muncul dari
teknologi informasi diterima sebagai cita-cita kesatuan dari
situasi modemitas (Bertens, 1996: 358)

61

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


BAB IV
EPISTEMOLOGI DALAM
ILMU PEN GETAHUAN

Pada bab ini akan diuraikan beberapa hal seperti: teori


kebenaran dalam ilmu pengetahuan, paradigma dan objektivitas
ilmu pengetahuan, serta pengembangan model paradigma dalam
kegiatan ilmu pengetahuan. Uraian tentang komponen itu terkait
dengan dasar epistemologis serta arah seseorang dalam menentu-
kan kegiatan penelitiannya. Dengan demikian epistemologi akan
menjadi pegangan dan dasar seorang ilmuwan dalam menentu-
kan arab model paradigma yang akan digunakan dalam peneli-
tian atau karya ilmiahnya.

A. Teori Kebenaran dalam Ilmu Pengetahuan


Teori kebenaran dalam ilmu pengetahuan bersumber pada
kebenaran epistemologi (yang berada pada kerangka filsafat
ilmu). Kebenaran secara epistemologis mengacu pada teori
pengetahuan atau teori kebenaran klasik yang terkait pada tradisi
filsafat Barat. Teori pengetahuan dipandang sebagai teori
kebenaran yang sifatnya universal dan berlaku umum untuk
berbagai bidang ilmu, baik bidang ilmu pengetahuan budaya,

62

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


ilmu pengetahuan sosial, maupun ilmu pengetahuan alam. Semua
itu bertujuan mencari objektivitas dan kebenaran ilmiah.
Berbicara tentang pengetahuan, terutama dalam mencer-
matinya secara kritis, analisis harus disesuaikan dengan maksud
dan tujuan pengetahuan itu sendiri, misalnya pengetahuan yang
berkaitan dengan sesuatu hal seperti sosial, politik, agama, dan
budaya. Untuk menjawab pertanyaan "apakah pengetahuan itu?",
haruslah diasumsikan bahwa pengetahuan merupakan penge-
tahuan yang tunggal atau pengetahuan jamak. Pengetahuan
tunggal dicirikan oleh adanya proposisi tunggal, sedangkan
pengetahuan jamak muncul karena adanya proposisi-proposisi
lainnya yang berisi penalaran-penalaran logis.
Mengapa pengetahuan selalu berkaitan dengan bahasal
proposisi? Bahasa selain dikenal sebagai alat untuk bertutur kata
dengan orang lain, di sisi lain harus dipahami sebagai ekspresi
atau ungkapan pengalaman manusia. Ada banyak ragam bahasa,
seperti bahasa dalam sastra, bahasa dalam linguistik, dan bahasa
yang dipakai dalam seni. Bahasa dalam media-media itu sebenar-
nya menunjukan adanya pengalaman kehidupan manusia yang
bersifat universal (kesemestaan). Dalam kesemestaan itulah
muncul salah satu bentuk pengalaman kehidupan manusia, yaitu
pencarian pengetahuan.
Untuk memahami pengetahuan dengan lebih baik, suatu
hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana proses penge-
tahuan dimulai. Pengetahuan akan muncul apabila ada konsep
tentang pengetahuan. Konsep pengetahuan terjadi karena adanya
beberapa variasi (ragam) cara pengungkapan (Locutions) yang
berbeda. Setiap manusia pada umumnya dapat mengungkapkan
pemikirannya melalui pertanyaan-pertanyaan yang muncul dan
sekaligus mengetahuinya. Sejalan dengan itu, konsep penge-
tahuan mengenal tiga macam tahu/kenal (knowing) , yakni (1)
tahu bagaimana (knowing how), (2) tahu mengenai/akan

63

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


(knowing who, where, which), dan (3) tahu tentang sesuatu
karena yang lainnya (Me Ginn, 2002: 7-9).
"Pengetahuan bagaimana" menyangkut bagaimana mela-
kukan sesuatu. Pengetahuan ini lebih diarahkan pada suatu
keterampilan dan keahlian teknis dalam melakukan sesuatu.
Seorang ahli pertanian tahu bagaimana mengolah tanah
pertaniannya agar dapat ditanami pohon apel. Pengetahuan yang
dimiliki sering disebut sebagai pengetahuan praktis, karena
pengetahuan tersebut diterapkan pada bidang tertentu dan meng-
hasilkan sesuatu.
"Pengetahuan mengenai/akan" mempakan jenis pengeta-
huan sangat khusus yang menyangkut pengetahuan mengenai
sesuatu atau mengenal seseorang melalui suatu relasi atau
pengalaman yang bersifat pribadi. Dalam pengetahuan jenis
tersebut, pengenalan pribadi sangat berkaitan dengan objeknya.
Sebagai contoh, ketika seorang ibu mengetahui bahwa yang
sedang berbicara dengan anak gadisnya adalah Bapak Suhandi,
seorang bankir Bank Kencana, maka ia menjadi lega hatinya.
Mengapa? Karena "siapa dia" telah terjawab dania mendapatkan
"pengetahuan mengenai" seorang bankir, bahkan ada penga-
laman secara langsung yang ia dapatkan karena bercakap-cakap
dengan bankir tersebut.
"Pengetahuan sesuatu karena yang lainnya" adalah konsep
pengetahuan yang didapat karena ada informasi lain yang
berkaitan dengan sebelumnya. Di dalam jenis pengetahuan akan
muncul hal yang sangat terkait dengannya, yaitu "tahu bahwa"
dan "tahu mengapa". "Tahu bahwa" sesuatu terjadi atau "tahu
bahwa" ini atau itu memang benar adanya karena adanya
informasi tertentu. Dengan kata lain, "tahu bahwa" P benar
karena memang P benar adanya; sedang "tahu mengapa"
berkaitan dengan penjelasan. Mengapa bila benda dijatuhkan
selalu meluncur ke bawah? Untuk menjawabnya, seseorang
hams memberikan penjelasan tentang hal itu, bahkan ia hams

64

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


"menggali" informasi lain yang berkaitan dengan hal itu agar
keingintahuannya terpuaskan dan dianggap benar.
Konsep pengetahuan yang mengacu pada ketiga jenis
"tahu" selalu berhubungan dengan unsur metodologis, yaitu
prinsip sebab-akibat (kausalitas). Di dalam kausalitas, "tahu"
dapat lebih dikembangkan sehingga konsep tentang penge-
tahuan menjadi lebih bervariasi dan beragam. Ungkapan-
ungkapan pemyataan (locutions) dalam pencarian pengetahuan
lebih variatif dan menarik sehingga dapat diterapkan pada segala
aspek kehidupan manusia atau kebudayaan manusia. Sejalan
dengan itu, hal yang paling utama adalah adanya kebenaran di
dalam pencarian pengetahuan. Oleh karenanya, di dalam
pengetahuan dikenal adanya teori pengetahuan yang menyangkut
kebenaran. Dalam teori kebenaran pengetahuan dikenal teori
kebenaran klasik, seperti (a) teori korespondensi, (b) teori
koherensi, (c) teori pragmatik dan teori kebenaran lain, (d) teori
performatif, (e) teori konsensus, dan (f) teori semantik.
Teori korespondensi adalah teori kebenaran yang meng-
khususkan pada adanya kepastian yang sesuai dengan objeknya.
Di dalam teori ini, peran subjek sangatlah penting. Subjek atau si
pengamat akan berhadapan dengan objek, sesuatu yang diamati-
nya, dan dengan persentuhan inderawi maka apa yang dilihatnya
memiliki persesuaian dengan objek tersebut. Hartati melihat dan
menghitung bahwa meja di ruang baca berjumlah sepuluh buah.
Persepsi Hartati tentang meja tersebut sesuai dengan teori kores-
pondensi, yakni pengujian kebenaran atas dasar fakta/realitas
yang objektif.
Teori koherensi adalah teori kebenaran yang member-
lakukan adanya persepsi-persepsi subjek yang konsisten
menerima kebenaran yang telah teruji. Di dalam teori koherensi
akan muncul pertimbangan yang benar apabila pertimbangan itu
bersifat konsisten, tidak goyah dalam menerima pertimbangan
lain yang telah diterima kebenarannya. Dengan kata lain, per-

65

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


timbangan yang benar adalah pertimbangan yang koheren (ada
persesuaian) menurut kaidah logika dan dengan pertimbangan-
pertimbangan lain yang relevan.
Teori kebenaran pragmatik adalah teori kebenaran ber-
dasarkan kegunaan atau manfaat dari sesuatu yang ditelitinya.
Teori kebenaran pragmatik bersumber pada pragmatisme, suatu
aliran yang mendasarkan pada manfaat (utility) dari suatu usaha
atau sesuatu yang dikerjakan (workability) dan hasilnya sangat
memuaskan. Sebuah contoh, seorang mahasiswa sedang menulis
skripsi. Saat disidang/diuji, ia harus menyampaikan kebenaran
pragmatis tentang penulisan skripsinya. Ia akan teruji secara
ilmiah apabila salah satu kebenarannya - misalnya, manfaat
penelitian atau penulisannya - ditampilkan dengan gamblang.
Kebenaran dalam teori performatif akan muncul apabila
pemyataan-pemyataan (statement) dapat menciptakan realitas.
Jadi, yang dianggap benar dalam teori performatif ialah apabila
pemyataan itu menciptakan suatu realitas sebagaimana
pemyataan yang dimunculkan. Contoh, "Dengan ini saya sahkan
anda berdua menjadi pasangan suami istri yang sah". Kata-kata
yang diucapkan oleh pejabat KUA kepada kedua orang itu telah
menciptakan sebuah realitas, yaitu sebuah pasangan suami istri.
Teori kebenaran performatif dipelopori oleh Frank Ramsey, John
Austin, dan banyak dianut oleh kelompok ahli bahasa. Pada
umumnya, mereka ingin menunjukkan bahwa kebenaran harus
dilandasi pada pemyataan bahasa yang benar, bukan hanya
sekadar deskripsi (pemerian) tentang sesuatu.
Teori kebenaran (teori korespondensi, koherensi, dan
pragmatik) yang ada pada epistemologi merupakan dasar untuk
menentukan dan mencari kriteria kebenaran dalam ilmu
pengetahuan. Struktur yang terdapat pada teori kebenaran ialah
adanya hubungan antara subjek (S) dan objek (0). Hubungan
antara S dan 0 adalah hubungan yang bersifat intensionalitas,
ada keterarahan yang dimunculkan oleh S ketika berhadapan

66

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


secara langsung dengan 0. Sifat hubungan intensionalitas dapat
bersifat empiris, tetapi dapat juga bersifat asumtif-argumentatif
(melibatkan semacam pengandaian dan pendapat-pendapat atau
konsep yang terjadi akibat keterhubungan tersebut). Dalam
pencarian kebenaran itu, berbagai perubahan gejala, pengem-
bangan, atau kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan sangat
dimungkinkan. Peran ketiga teori kebenaran itu sangat men-
dukung penerapan hasil ilmu pengetahuan atau teknologi, berupa
penerapan antara sisi teoritis dan sisi praktis.
Berkaitan dengan sisi teoritis dan sisi praktis, Habermas
mengemukakan teori kebenaran yang disebut sebagai teori
kebenaran konsensus. Teori kebenaran konsensus didasarkan
pada komunikasi secara dialogis atas dasar kepentingan-
kepentingan tertentu, tetapi bukan diorientasikan pada kekua-
saan. Habermas mendasarkan teori kebenaran konsensus pada
kepentingan ilmu pengetahuan sosial (secara praksis) yang
mengutamakan logika dalam berinteraksi. Model kebenaran
konsensus sering disebut juga sebagai model logika interaksi
atau logika hermeneutik (Bertens, 1981 : 220). Teori kebenaran
konsensus "diolah" lebih lanjut oleh Habermas sehingga
memiliki sifat praksis yang kritis emansipatoris. Teori praksis
kritis-emansipatoris ingin mengembangkan dan menyusun
struktur masyarakat secara bam atas dasar kepentingan tertentu
dan bertujuan untuk mewujudkan kemajuan (emansipasi) dan
pembebasan manusia.
Teori kebenaran bahasa atau semantik merujuk pada arti
kata yang ada pada suatu bahasa. Beberapa tokoh filsafat bahasa,
seperti Ayer, Wittgenstein, bahkan tokoh hermeneutika seperti
Gadamer dan Ricoeur, menekankan pentingnya pemahaman
tentang arti suatu kata. Secara logis, orang tidak dapat mema-
hami sesuatu, terutama persoalan ilmiah, tanpa memiliki unsur
"mengerti". "Mengerti" harus sejalan dengan bahasa, karena
"mengerti" diaktualisasikan dengan cara berinteraksi dengan
orang lain. Membaca suatu teks tidak hanya teks-teks di masa

67

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


lalu, tetapi teks-teks (wacana) baru yang menyangkut kehidupan
manusia. Pemahaman terhadap "mengerti" apa yang ditulis
orang mengarah pada pemahaman baik secara ontologis
(keberadaan manusia) maupun secara epistemologis (kebenaran
pengetahuan). Adanya persesuaian, bahkan atas dasar konsensus
tentang arti pemyataan-pemyataan (proposisi-proposisi), me-
munculkan kebenaran yang bersifat semantis. Bahasa tidak
hanya mengungkapkan perasaan subjek (manusia, peneliti),
tetapi mengungkapkanjuga realitas kebenaran objek.

Bagan 6. Teori kebenaran

Korespondensi
Koherensi
Pragmatik
Performatif
Konsensus
Semantik

Epistemologi dengan berlandaskan pada tiga pokok per-


hatian- yaitu sumber, watak, dan kebenaran - dapat menjadi
landasan bagi orang yang mencari pengetahuan secara rasional.
Rasionalitas diperlukan karena berkaitan dengan pengujian-
pengujian terhadap sesuatu yang ingin diketahui manusia.
Manusia membutuhkan pengalaman dalam mencari bentuk-

68

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


bentuk pengetahuan, baik yang bersifat deskriptif (knowledge by
description - knowledge about thing) maupun mengumpulkan
sejumlah pengetahuan melalui knowing 'perkenalan' (knowledge
by acquintance ). Sejauh pengetahuan itu teruji oleh teori
kebenaran yang ada (korespondensi, koherensi, pragmatik,
performatif, semantik, dan konsensus) maka di situlah epistemo-
logi tampil di dalam dunia kehidupan manusia. Untuk jelasnya
dapat dilihat pada bagan No.7

Bagan 7. Proses epistemologis ilmu pengetahuan

PENGETAHUAN c::::> Pengetahuan melalui


"perkenalan"
(knowledge by acquintance)

Sumber, watak,
kebenaran
pengetahuan

Hal lain yang kiranya patut dicermati adalah nilai kebe-


naran itu sendiri. Apakah kebenaran yang berdasarkan teori-teori
kebenaran (korespondensi, koherensi, performatif, konsensus,
dan semantik) memiliki nilai kemutlakan (absolut) yang tak
tergoyahkan? Kebenaran dalam kegiatan ilmiah dicapai berda-
sarkan suatu proses kerja ilmiah yang cukup panjang. Di dalam
proses kegiatan ilmiah berbagai benturan, hambatan, dan faktor
yang tak terduga dapat saja muncul. Kemunculan faktor-faktor
tersebut dapat menggoyahkan prinsip kebenaran yang diakui
sebelumya. Berbagai perdebatan tentang kebenaran selalu

69

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


muncul karena situasi dan kondisi yang berbeda. Prinsip
kebenaran Abad Pencerahan pada abad ke-18 (Aujklaerung) ,
misalnya, akan jauh berbeda dengan prinsip kebenaran pada abad
ke-21 , abad kontemporer-globalisasi.
Ada satu hal lain yang perlu diketengahkan oleh penulis,
yaitu munculnya kehidupan ilmiah pada abad kontemporer.
Kehidupan ilmiah abad ke-21 dapat berimplikasi munculnya
bentuk epistemologi baru, yaitu epistemologi kontemporer dalam
dunia ilmu filsafat. Epistemologi kontemporer muncul karena
ajang perdebatan para filsuf yang hidup pada abad ke-21 (abad
kontemporer) sangat gencar. Mereka berdebat mempersoalkan
bagaimana pengetahuan itu terwujud.
Para filsuf kontemporer seperti Habermas, Lyotard, Rorty,
dan filsuf feminis (Joan Hartman, Ellen Messer-Davidow's,
Helen Longino) mencoba memperjuangkan peletakan episte-
mologi pada suatu situasi dan kondisi sosial. Situasi dan kondisi
abad ke-21 sangat berbeda dengan situasi dan kondisi Abad
Pertengahan ataupun Renaisans. Epistemologi yang telah ada
kebanyakan muncul karena warisan para filsuf yang hidup pada
masa lampau, yang sangat mengagungkan norma metafisis dan
rasionalitas. Adapun kehidupan pada abad kontemporer sangat
kompleks, penuh dengan dinamika kehidupan sosial, penuh
dengan perjuangan untuk meningkatkan martabat manusia.
Epistemologi kontemporer berusaha mendobrak dan
bahkan mendekonstruksikan tatanan epistemologi yang telah
mapan berabad-abad lamanya. Para filsuf feminis mencoba
mengedapankan epistemologi menjadi epistemologi sosial (baca:
epistemologi sosial yang bercirikan feminis), artinya penge-
tahuan haruslah menjadi data sosiologis. Bagi epistemologi
sosial, hubungan sosial, kepentingan sosial, dan institusi sosial
dipandang sebagai faktor-faktor yang dapat menentukan dalam
proses atau pun cara memperoleh pengetahuan dan dapat
diterapkan secara pragmatis bagi kepentingan masyarakat luas.

70

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Richard Rorty, seorang filsuf Amerika, memiliki
pandangan bahwa filsafat haruslah memiliki sifat pragmatis dan
interpretatif. Kedua hal itu akan membuat seseorang menjadi
lebih kritis terhadap berbagai persoalan atau pun diskusi-diskusi
filosofis dan hasil refleksi kritis tersebut dapat memberikan
kontribusi pada masyarakat. Tentang pengetahuan, Rorty
menganggap bahwa pengetahuan haruslah dipahami sebagai
representasi realitas yang akurat. Menurut Rorty, gagasan
epistemologi adalah gagasan untuk berikhtiar membangun
landasan atau dasar pengetahuan secara rasional. Mengapa?
Melalui akal budi, pengetahuan harus dibasiskan pada refleksi
yang akurat dan menjadi strategi untuk mengisi pengetahuan
serta mampu mendekontruksikannya: membuat perubahan total
(Rorty, 1979: 131-137). Oleh karena itu, Rorty yang sangat
terpengaruh oleh Wittgenstein, tokoh filsafat analitik dan filsafat
bahasa, sangat menekankan pentingnya bahasa. Bahasa, menurut
Rorty, dapat menjadi media representasi yang akurat bagi
pengetahuan; bahkan dapat menjadi visi baru bagi sebuah
tatanan masyarakat dan memberikan sumbangan yang berarti
bagi masyarakat.
Dengan demikian, apabila kita berbicara tentang kebenaran
dalam ilmu pengetahuan di abad kontemporer, kebenaran itu
hendaknya diletakan pada tempat yang tepat. Keragaman data
dari berbagai fenomena budaya, sosial, politik, teknologi, dan
lainnya akan menjadi penentu dalam pencarian teori kebenaran.
Teori kebenaran dalam berbagai bentuk apa pun tetap ada dan
bersifat relatif. Tidak ada kemutlakan/absolutisme dalam
kebenaran sejauh teori kebenaran itu terbuka untuk dikritik,
didekonstruksi, atau dikontruksikan kembali demi tercapainya
tujuan ilmiah.

71

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


B. Paradigma llmu Pengetahuan
Paradigma ilmu haruslah dilihat sebagai sebuah model
penyelidikan ilmiah yang digunakan sebagai pola dasar untuk
berpikir, merencanakan usulan penelitian, atau berbagai kasus
penelitian seperti studi kasus pada ilmu-ilmu empiris, ilmu
filsafat, dan ilmu pengetahuan alam. Tujuan paradigma ilmu
adalah menemukan kebenaran. Kebenaran ilmu pengetahuan
pada hakikatnya tidak memiliki kemutlakan, tidak absolut. Setiap
kebenaran yang dimunculkan oleh paradigma tertentu terbuka
tmtuk difalsifikasi atau dikaji apabila kebenaran itu mulai
digoyahkan oleh pendapat-pendapat baru.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, paradigma yang
dianggap sebagai model atau pola berpikir bagi seorang peneliti
memiliki kriteria dasar, seperti nilai kualitas, nilai kuantitas, dan
nilai kebenaran. Nilai-nilai yang dimiliki paradigma akan
membentuk sebuah model paradigma. Atas dasar itulah, penulis
meletakkan model dasar pada paradigma. Paradigma ilmu
mengenal enam paradigma dasar, yaitu (1) paradigma kuantitatif,
(2) paradigma kualitatif, (3) paradigma induktif-deduktif, (4)
paradigma piramida atau limas ilmu, (5) paradigma siklus
empiris, dan (6) paradigma "rekonstruksi teori".
Paradigma kuantitatif adalah model penyelidikan ilmiah
yang bertitik tolak pada perhitungan matematis. Objek penelitian
yang menampilkan berbagai gejala atau fenomena empiris harus
dilihat sebagai "elemen" yang dapat dihitung dengan perhitungan
(besaran) tertentu dan untuk itu digunakan "alat" bantu per-
hitungan matematis. Gejala-gejala medis pada si pasien seperti
suhu tubuh dapat diukur dengan alat pengukur. Gejala gempa
dapat diukur besar tekanannya dengan skala Richter.
Paradigma kualitatif adalah model penyelidikan ilmiah
yang melihat kualitas-kualitas objek penelitiannya seperti
perasaan (emosi) manusia, pengalaman menghayati hal-hal

72

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


religius (sakral), keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah,
dan simbol-simbol ritual atau artefak tertentu. Kualitas-kualitas
itu haruslah dinilai atau diukur berdasarkan pendekatan tertentu
(misalnya menggunakan metode semiotik, metode hermeneutik,
atau teori sistem) yang sesuai dengan objek kajiannya.
Paradigma kualitatif menghindari perhitungan matematis, karena
yang dicari adalah value, 'nilai' yang muncul dari objek kajian
yang bersifat khusus, bahkan sangat spesifik, unik, dan selalu
mengandung meaningful! action.
Paradigma induktif-deduktif adalah model penyelidikan
ilmiah yang digunakan sebagai pola berpikir seorang peneliti
untuk memiliki penalaran yang induktif (mengambil kesimpulan
dari hal-hal yang khusus untuk sampai pada hal yang umum) dan
deduktif (mengambil kesimpulan dari penalaran yang bersifat
umum untuk sampai pada hal-hal yang khusus) . Paradigma
induktif-deduktif dapat digunakan seseorang secara bersamaan,
artinya ia dapat berpikir induktif dahulu untuk kemudian berpikir
secara deduktif, tetapi seseorang dalam proses kerja ilmiah dapat
pula menggunakan penalaran induktif atau deduktif saja. Tujuan
paradigma induktif-deduktif lebih bersifat aplikatif dalam
penalaran dan digunakan dalam suatu penelitian ilmiah agar
seseorang dapat memiliki penalaran yang logis dan konsep
berpikir yang runtut. Sebagai contoh, penalaran induktif-deduktif
dapat diterapkan ketika mencari data, mengkategorisasi data,
perumusan masalah, dan sebagainya.
Paradigma piramida atau Iimas ilmu adalah model penye-
lidikan ilmiah dengan menggunakan konsep yang bertujuan
mengkonstruksi tahapan-tahapan kegiatan ilmiah secara berlapis-
lapis seperti bentuk piramida. Bagian bawah piramida merupa-
kan bagian yang paling dasar dan paling luas, sedangkan makin
ke atas luas lapisan piramida makin berkurang. Lapisan teratas
merupakan kerucut piramida. Lapisan-lapisan itu dimaksudkan
sebagai gambaran proses penelitian yang mengacu tahapan-
tahapan observasi, data, hipotesis, pengujian hipotesis, dan basil

73

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


penelitian yang berupa teori baru. Pola pikir seorang ilmuwan
dibentuk seperti model piramida berlapis: semakin ke atas tujuan
penelitian makin tercapai, dan pada puncak kerucut merupakan
gambaran ditemukannya sebuah teori baru. Bentuk atau model
piramida lain adalah piramida ganda. Piramida ganda atau
bahkan menjadi piramida-piramida lain akan muncul apabila
seseorang mampu membuat piramida lain atas dasar landasan
piramida yang telah ada.

Bagan 8. Model paradigma limas/piramida

Puncak Piramida

Analisis

Pennasalahan, Hipotesa

Klasifikasi Data

Observasi & Pengumpulan data

74

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Bagan 9. Model piramida ganda dan terbalik

Piramida ganda

Piramida terbalik

Piramida terbalik adalah suatu kerangka berpikir atau


model piramida yang berlandaskan sebuah teori. Kegiatan
penelitian yang menggunakan model piramida terbalik memulai
proses kerjanya dari sebuah teori (teori yang telah dianggap
baku). Melalui teori, seorang peneliti akan memulai kegiatannya
dengan observasi terhadap teori tersebut. Observasi menentukan
langkah berikutnya, yaitu tahap-tahap penelitian atau lapisan
piramida seperti data, permasalahan (hipotesis), pembuktian-
pengujian hipotesis, dan hasil penelitian yang berupa teori baru.
Paradigma siklus empiris sangat akrab dengan ilmu-ilmu
empiris. Paradigma tersebut membutuhkan langkah awal, yaitu
observasi yang bersifat induktif. Beberapa tokoh seperti de Groot
dan Walter Wallace menampilkan siklus empiris yang beranjak
pada pengamatan faktual. Pada umumnya, paradigma siklus
empiris memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan
dan hubungan-hubungan yang sedemikian rupa tersebut dapat
dievaluasi secara siklus (periodik, berkala).

75

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Tahapan-tahapan dalam siklus empiris akan membentuk
pola berpikir bagi subjek (ilmuwan/peneliti) dalam melakukan
kegiatan ilmiahnya. Walter Wallace mencoba menjelaskan
paradigma siklus empiris secara rinci dengan memperhatikan
unsur metodologis. Paradigma siklus empiris adalah model
penyelidikan ilmiah yang sifatnya berkala, memiliki beberapa
elemen yang terdiri dari komponen informasi (data, konsep,
kategori) dan komponen kontrol metodologis (evaluasi,
pengujian, teori). Setiap komponen dapat terdiri dari beberapa
komponen dan disusun sedemikan rupa sehingga membentuk
hubungan yang nantinya digunakan dalam proses kegiatan
ilmiah. Kemampuan seseorang dalam mengolah data dan
pengujian hipotesis sangat menentukan hasil penelitiannya.
Paradigma "rekonstruksi teori" adalah model penyelidikan
ilmiah yang berusaha membangun (rekonstruksi) beberapa teori
atau metode yang digunakan dalam sebuah penelitian. Tujuan
digunakannya paradigma rekonstruksi teori adalah untuk
menunjang proses penelitian agar berjalan lebih sempuma
sehingga kebenaran ilmiahnya pun dapat terjaga sesuai dengan
proses metodologis yang berlaku. Untuk itu, apabila seseorang
ingin menggunakan paradigma "rekonstruksi teori" harus
memahami dengan benar teori-teori yang akan digunakannya dan
memastikan dengan benar bahwa teori-teori itu saling menunjang
dan berguna (dapat diterapkan) dalam penelitiannya. Berbagai
pertimbangan yang sifatnya rasional, misalnya penguasaan teori
dan kemampuan menerjemahkannya secara aplikatif, harus
menjadi pertimbangan utama apabila seseorang akan meng-
gunakan paradigma "rekonstruksi teori" .
Semua paradigma yang ada dapat digunakan oleh seorang
peneliti dalam penelitiannya. Sebagai konsep berpikir, model
penyelidikan ilmiah sangatlah abstrak. Paradigma digunakan
untuk tujuan menuntun pola pikir seseorang ke arah norma
metodologis sehingga secara de jure dapat dipertahankan secara
benar dan sahih. Paradigma ilmu dapat diperkaya apabila si

76

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


ilmuwan mampu merekonstruksikan berbagai teori yang telah
ada. Rekonstruksi tersebut harus disertai dengan sebuah catatan
bahwa berbagai teori yang akan direkonstruksi hams saling
menunjang dan sesuai dengan tujuan penelitian. Kemampuan
ilmuwan mengabstraksi sangat diperlukan agar rekonstruksi
terhadap sebuah paradigma menjadi lebih sahih dan menunjang
kebenaran ilmiah.

C. Objektivitas Ilmu Pengetahuan


Apa yang dimaksud dengan objektivitas dalam ilmu
pengetahuan? Objektivitas dalam ilmu pengetahuan sangat
berkait erat dengan kaidah-kaidah teori kebenaran atau teori
pengetahuan (koherensi, korespondensi, dan pragmatik). Teori
kebenaran yang dijadikan tolok ukur objektivitas mengacu pada
"isi" ilmu pengetahuan, di samping pula cara kerja ilmiahnya.
Dengan demikian, nilai kebenaran suatu ilmu sangat mendukung
objektivitas ilmu pengetahuan.
Di sisi lain, nilai kebenaran lain berasal dari pemyataan-
pemyataan ilmiah yang diungkapkan melalui bahasa. Bahasa
merupakan sesuatu yang bersifat universal/kesemestaan.
Mengapa? Setiap pengalaman kehidupan manusia selalu
dinyatakan melalui bahasa. Orang berbicara melalui kata-kata
yang kemudian didengar oleh lawan bicaranya: melalui bahasa
lisan, kemudian berusaha mengungkapkan melalui bahasa
tulisan. Kemampuan manusia menggunakan bahasa membeda-
kannya dari makhluk lain dan menunjuk pada keberadaannya
sebagai mahluk yang berpikir (animal rationale). Dalam
kegiatan ilmiah, bahasa selalu dibedakan antara bahasa sehari-
hari dan bahasa ilmiah. Begitu juga dengan bahasa yang
dituliskan. Gaya bahasa penulisan ilmiah tentu amat berbeda
dengan bahasa sehari-hari. Penulisan ilmiah lebih mengacu pada
kaidah logika, yaitu proposisi (pemyataan) yang dianggap benar
atau tidak benar.

77

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Kegiatan penelitian diawali dengan observasi atau penga-
matan yang terkait dengan realitas/kenyataan. Gejala-gejala
diamati untuk kemudian dicatat. Kegiatan itu merupakan langkah
dalam membuat proposisi. Seperti kata Wittgenstein, proposisi
mengarah pada realitas dan makna. Setiap proposisi harus
memiliki nama-nama yang kemudian tergabung dalam proposisi
elementer. Di dalam proposisi elementer itulah terdapat
kebenaran proposisi (truth proposition). Ada dua macam
proposisi, yaitu proposisi tautologis dan kontradiksi. Tautologis
adalah proposisi yang selalu benar untuk segala kemungkinan
kebenaran proposisi elementer, sedang kontradiksi selalu
dianggap salah untuk segala kemungkinan kebenaran proposisi
elementer (Irmayanti, 1997: 39, 40). Contoh proposisi tautologis,
misalnya Rana berada di Jakarta atau Rana tidak berada di
Jakarta. Contoh kontradiksi, misalnya Tati makan nasi goreng
dan ia tidak makan nasi goreng.
Setiap pemyataan ilmiah mengandung proposisi elementer,
sama halnya dengan setiap istilah dalam sebuah proposisi yang
sifatnya faktual atau deskriptif yang selalu berada pada bahasa
ilmiah. Proposisi-proposisi tersebut harus dapat diverifikasi
dengan pengamatan inderawi. Salah satu contoh betapa penting
bahasa ilmiah yang lugas berasal dari Lingkaran Wina yang
terkenal dengan gagasan "positivisme logis". Lingkaran Wina
menginginkan dasar intelektual yang kokoh bagi perkembangan
semua ilmu pengetahuan dengan memunculkan bahasa yang
terpadu. Bahasa terpadu adalah bahasa yang universal bagi ilmu
pengetahuan dan bersifat sangat tautologis. Pemyataan-
pemyataan yang tidak membuktikan pengalaman inderawi dan
tidak didukung dengan data inderawi dianggap non sense, 'tidak
berarti' dan hanya sebatas fungsi non kognitif.
Untuk menunjukkan keobjektivitasan ilmu pengetahuan
melalui kaidah bahasa, peran dan fungsi bahasa menjadi sangat
penting. Beberapa fungsi bahasa dapat disebutkan, misalnya
fungsi kognitif, fungsi ekspresif-emotif, fungsi evokatif, fungsi

78

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


imperatif, dan fungsi seremonial. Fungsi kognitif bahasa
menerangkan bahwa proposisi yang diperoleh dapat dicari
kebenarannya dengan menerima atau menolak proposisi itu.
Fungsi ekspresif-emotif menunjukkan bahwa di dalam bahasa
terdapat muatan perasaan seseorang untuk melukiskan keadaan
atau situasi tertentu. Fungsi evokatif bahasa lebih diarahkan pada
adanya respon emosional dari orang lain. Fungsi imperatif lebih
mengarahkan orang agar dapat memerintah atau mengontrol
tindakan orang lain, dan fungsi seremonial bahasa dipakai dalam
suatu kegiatan ritual atau untuk menghormati seseorang.
Di dalam kehidupan manusia, peran bahasa sangat penting
dan bahkan memiliki terminologi tersendiri sehingga ada banyak
ragam bahasa, seperti bahasa ilmiah, bahasa sastra, bahasa
estetika, dan bahasa gaul. Bagi ilmu pengetahuan, bahasa yang
lebih tepat adalah bahasa ilmiah yang memiliki fungsi seperti
kognitif dan ekspresif, yang kesemuanya hams memiliki
landasan berpikir yang logis, kritis, dan analitis. Kemampuan
seorang ilmuwan mengungkapkan pemyataan ilmiah tidak hanya
berupa pemyataan deskriptif saja, tetapi dituntut memiliki
kemampuan menganalisis pemyataan ilmiahnya. Pembuktian-
pembuktian pemyataan ilmiah secara runtut, logis, dan sistematis
sangat menunjang objektivitas ilmu pengetahuan.
Objektivitas ilmu pengetahuan dapat diperlihatkan melalui
konstruksi kesadaran subjek (ilmuwan) ketika mengetahui
sesuatu. Ada kecenderungan pada manusia mengkonstruksikan
kesadarannya dalam membentuk pengetahuan dengan menjelas-
kan apa dan bagaimana pengetahuan itu terbentuk. Konstruksi
kesadaran manusia dibangun dengan pemahaman bahwa (1)
pengetahuan itu adalah fakta, (2) pengetahuan itu merupakan
suatu proses pembentukan, dan (3) perlunya suatu bagan pem-
bentukan pengetahuan secara lebih menyeluruh (menggunakan
paradigma dasar: paradigma kualitatif dan kuantitatif).

79

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Melalui konstruksi, yang berarti membangun kesadaran
atau akal budi untuk membentuk pengetahuan, manusia mampu
berimajinasi dan berkreasi menciptakan suatu teori baru.
Arisroteles telah mengajak orang untuk mengkontruksikan akal
budi melalui abstraksi: fisika, matesis, dan metafisika. Abstraksi
fisika adalah kemampuan manusia mengamati fenomena faktual
atau konkret, sedang abstraksi matesis adalah kemampuan
manusia mengkonstruksikan fenomena fisik ke dalam besaran
atau muatan kuantitatif. Manusia mampu berpikir secara
matematis, mampu mengukur benda konkret secara matematis.
Dari abstraksi matesis manusia mampu melakukan abstraksi
metafisika, suatu kemampuan manusia mengkonstruksikan akal
budinya dalam mencari hakikat sesuatu.
Seperti telah dijelaskan pada bagian terdahulu, paradigma
dianggap sebagai model atau pola penyelidikan ilmiah. Hal itu
merujuk pada suatu pernyataan bahwa sebenarnya paradigma
juga sebagai skema untuk memahami dan menjelaskan aspek-
aspek atau "elemen" kenyataan kehidupan manusia. Kuhn
mengatakan bahwa seorang ilmuwan dalam konstruksi ber-
pikirnya harus juga belajar pada sejarah ilmu. Sebagai contoh,
teori Newton tentang gerak dengan konsep gravitasi dan gaya
telah digunakan orang selama berabad-abad dalam ilmu fisika.
Meskipun demikian, dalam perkembangan ilmu fisika, para-
digma Newton belum cukup menjelaskan tentang gerak dalam
lingkup atom dan elektron. Muncullah Einstein yang memberi-
kan warna baru dalam ilmu fisika dengan mengajukan paradigma
barunya, yakni teori relativitas. Paradigma Einstein adalah
sebuah kontruksi kesadaran manusia (Einstein) untuk mere-
konstruksikan pemikirannya sehingga mampu memecahkan
problem tentang persoalan lama (gerak benda besar) atau pun
persoalan baru (gerak pada benda mikro ).
Ada persoalan filosofis yang harus dikemukakan, yaitu
pandangan tentang konstruktivisme. Konstruktivisme merupa-
kan salah satu bentuk filsafat pengetahuan yang menekankan

80

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) manusia
sendiri. Hal itu menunjukkan bahwa pengetahuan selalu
merupakan akibat dari suatu kontruksi kegiatan kognitif tentang
fenomena realitas melalui kegiatan seseorang. Proses konstruksi
memerlukan kemampuan (1) mengingat dan mengungkapkan
kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan sekaligus
mengambil keputusan Gustifikasi) mengenai persamaan dan
perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai
pengalaman yang satu dengan pengalaman yang lain.
Itulah sebabnya seseorang dapat membentuk semacam
skema, konsep, kategori, dan struktur pengetahuan yang diper-
lukan bagi ilmu pengetahuan secara kognitif. Kemampuan
semacam itulah yang memperlihatkan pada kita bahwa manusia
memiliki kreativitas, imajinasi, dan daya cipta yang tinggi
sehingga mampu menggabungkan beberapa paradigma dalam
kegiatan penelitiannya. Piaget (1970) mengatakan ada dua aspek
berpikir, khususnya dalam membentuk pengetahuan, yaitu aspek
figuratif dan aspek operatif. Aspek figuratif adalah kemampuan
imajinasi yang mencakup persepsi, imajinasi, dan gambaran
mental seseorang terhadap suatu objek atau fenomena tertentu.
Adapun aspek operatif lebih berkaitan dengan transformasi
setiap tahap proses pemikiran manusia. Aspek operatif memung-
kinkan seseorang mengembangkan pengetahuannya dari tingkat
yang rendah sampai tingkat yang lebih tinggi.
Lalu di mana objektivitas itu berada ketika seseorang
mampu melakukan konstruksi paradigma atau beberapa para-
digma? Objektivitas kebenaran dalam konstruktivisme diletak-
kan pada viabilitas, yaitu kemampuan suatu konsep atau ilmu
pengetahuan dalam operasional (cara kerja) dan kebenaran
pragmatisnya (melihat kegunaan ilmu pengetahuan). Objektivitas
kebenaran akan tampil apabila seorang ilmuwan mampu melihat
kelemahan atau kekurangan paradigma yang ada dengan
melakukan rekontruksi terhadap paradigma yang telah ada.
Paradigama itu menjadi kokoh (Popper menyebutnya sebagai

81

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


koroborasi) karena dapat diterapkan dalarn suatu penelitian,
dapat rnengantisipasai berbagai fenornena yang dihadapi dalarn
suatu penelitian. Ilrnu pengetahuan harus dilihat sebagai sesuatu
yang berkernbang, tidak statis, atau absolut kebenarannya, dan
harus dilihat sebagai proses kerja ilrniah yang selalu terbuka
untuk berbagai kernungkinan, terbuka untuk dikritik dan
diperbaharui. Selarna ilrnu pengetahuan rnasih dapat diterapkan
pada kebutuhan fenornenanya, paradigrnanya rnasih kokoh dan
itulah letak objektivitas ilrnu pengetahuan. Objektivitas pada
konstruksi paradigrna dapat dilihat pada bagan No.1 0.

Bagan 10. Objektivitas ilrnu

Objektivitas

Konstruksi

Paradigrna atau beberapa paradigrna

Penerapan pada fenornena kehidupan rnanusia

Kebenaran pragrnatik
Kegunaan untuk rnasyarakat

82

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Hal yang patut dicermati mengenai konstruktivisme dari
penjelasan objektivitas ilmu di atas adalah adanya semacam
sistem penalaran (pola pikir) yang berada di dalamnya. Sistem
atau pola berpikir tersebut mengarah pada aspek ontologi, aspek
epistemologi, dan aspek metodologi (Guba, 1990: 25-26) Aspek
ontologi mengarahkan kita pada keberadaan sesuatu yang
bersifat empiris. Pengamatan empiris akan memunculkan teori-
teori yang bersumber pada fakta. Pengujian yang valid (hipotesis
dan permasalahan) akan membawa pengaruh pada pemyataan-
pemyataan teoritis yang otonom. Di samping itu, aspek
epistemologi mengarahkan kita pada teori yang tidak absolut
(mutlak).
Teori kebenaran menjadi relatif apabila melihat adanya
kesalahan pada problem induktif, misalnya tidak semua angsa
berwama putih apabila muncul angsa berwama hitam. Realitas
akan menjadi "jelas" apabila melalui sebuah bingkai teori, baik
itu secara implisit maupun eksplisit. Aspek metodologis
mengarahkan kita membangun terciptanya suatu identitas dari
beragam konstruksi yang ada untuk diarahkan pada suatu
kemungkinan seperti konsensus. Menurut Guba (1990: 26),
hermeneutik dan proses dialektika mampu membangun atau
mengkonstruksikan bentuk realitas individu atau masyarakat
yang baru.

D. Pengembangan Model Paradigma


Saat ini, konteks kekinian kegiatan penelitian dan ilmu
pengetahuan, memungkinkan seseorang atau ilmuwan melaku-
kan penelitian yang bersifat multidisiplin atau interdisiplin.
Untuk itulah diperlukan cara pandang tertentu, atau suatu model
kerangka penelitian untuk membantu dalam proses kegiatan
ilmiahnya. Cara pandang atau model kerangka tersebut dapat kita
sebut sebagai paradigma. Penelitian yang memiliki corak
beragam yang bersumber pada keragaman ilmu seperti ilmu

83

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


budaya, ilmu teknik, ilmu lingkungan, ilmu kedokteran, ilmu
hukum, kajian kewilayahan, sangatlah membutuhkan paradigma
yang tepat dan membantu kita mengatur sistem atau proses
penelitian agar keabsahan dan validitas tetap akurat. Melalui
paradigma tertentu atau beberapa paradigma seorang ilmuwan
dapat membuat pertanyaan dasar mengenai sesuatu atau hal-hal
yang terkait dengan fokus tentang sesuatu, ataupun pengem-
bangan dalam proses penelitian. Dialog tersebut dapat dimulai
dengan mencari atau menemukan karakteristik komponen atau
elemen melalui pertanyaan dasar yang bersumber pada per-
tanyaan yang bersifat ontologis, epistemologis dan metodologis
(Guba, 1990: 19-21).
Pertanyaan- pertanyaan itu dapat berupa, misalnya :
- Ontologis: Apakah yang disebut dengan realitas yang terkait
dengan lingkungan? Apakah Perpustakaan UI yang baru
memiliki j aringan IT?
- Epistemologis: Apakah yang menjadi dasar hubungan antara
pengguna j asa dengan pemilik transportasi kereta api?
- Metodologis: Bagaimana seharusnya seorang mahasiswa
menemukan cara yang tepat untuk memperoleh informasi
yang dibutuhkan untuk penelitiannya?
Jawaban atas pertanyaan tersebut akan diperoleh dengan
cara tertentu, misalnya melalui seperangkat sistem keyakinan
(belief systems)-kerangka berpikir dan dalam konteks ilmu
pengetahuan, hal itu dapat merujuk pada sebuah teori tertentu
atau seperangkat paradigma yang kita tentukan (dipilih) ketika
kita mengawali kegiatan penelitian. Melalui pertanyaan tersebut,
seorang ilmuwan dapat menguji apakah penelitian kita berada
pada jalur yang benar ataukah jalur yang salah dalam proses
keilmiahannya. Sebagai contoh, dalam tradisi ilmu pengetahuan
dikenal adanya aliran atau pandangan positivistik (dianggap
sebagai sistem keyakinan - kerangka berpikir). Pandangan

84

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


positivistik selalu akan bertitik tolak pada penelitian yang
memiliki aspek ontologis, karena dasar observasinya adalah
sesuatu yag bersifat konkret.
Hal ini pula akan memunculkan pertanyaan lain yang terkait
dengan persoalan epistemologis, seperti sumber atau struktur
pengetahuan yang mendasari objek tertentu. Sedang dalam aspek
metodologis akan muncul pertanyaan penelitian atau hipotesa
yang berada pada sebuah penelitian, atau pengujian terhadap
kondisi, subjektivitas, atau objektivitas dalam proses penelitian
seseorang. Ketiga pertanyaan (ontologis, epsitemologis dan
aksiologis) sebenamya dapat dikembangkan untuk memenuhi
kebutuhan tujuan penelitian kita, misalnya pertanyaan yag terkait
dengan aspek aksiologis. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel
dialog paradigma.
Tabel 1. Dialog Paradigma

Paradigma
Pertanyaan
Kuantitatif Positivistik Teori Kritis Konstruktivistik
Ontologis terukur realistis, realistis, relatif
konkret
konkret konkret
Epistemologis objektif objektif dialog dialog
interaktif, interaktif,
subjektif subjektif
Metodologis Pengukuran pengukuran Partisipatif, dialektis,
secara secara
Wawancara metode tertentu
matematika, matematika
mendalam,
dalil, (hermeneutik,
aksioma kuesioner semiotik,
statistik)

Aksiologis evaluasi evaluasi nilai nilai (Value)


(Value)

Sumber: Guba (1990:78) dan dikembangkan oleh penulis untuk kebutuhan penulisan buku ini

85

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


BAB V
METODOLOGI ILMU
PEN GETAHUAN

Uraian bab ini akan menjelaskan mengenai pemahaman


tentang metodologi ilmu pengetahuan, susunan ilmu pengeta-
huan, cara kerja ilmu empiris dan cara kerja ilmu deduktif.
Komponen atau unsur tersebut dapat menjadi pilar bagi kegiatan
ilmiah atau proses sebuah penelitian

A. Pengertian Metodologi Ilmu Pengetahuan


Pengertian metodologi harus dicermati sehingga kedu-
dukannya dapat menjadi lebih jelas dan terkait dengan Filsafat
Ilmu Pengetahuan. Seperti yang telah dikemukakan pada bagian
terdahulu, Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan refleksi dari ciri
dan cara kerja ilmu pengetahuan. Suatu refleksi berarti suatu
perenungan, pemahaman tentang sesuatu hal (dalam hal ini ilmu
pengetahuan) secara mendalam, cermat, dan tersistematisasi
dengan baik.
Ilmu pengetahuan selalu dilihat sebagai suatu rangkaian
proses dari kegiatan yang bersifat intelektual, kognitif, dan
mengarah pada kegiatan tertentu. Hal itu menunjukan bahwa

86

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


dalam ilmu pengetahuan terdapat suatu aktivitas. Aktivitas
intelektual berarti kegiatan yang menggunakan kemampuan akal
budi atau rasio (imajinasi dan kreativitas) sehingga seseorang
mampu memiliki kemampuan berpikir atau memiliki penalaran
yang berbeda dengan suatu aktivitas yang berdasarkan pada
perasaan atau naluri. Adapun aktivitas yang didasarkan pada
kegiatan kognitif bertalian dengan kemampuan mengetahui dan
memiliki pengetahuan. Kedua hal itu, baik kegiatan intelektual
maupun kognitif, memiliki arahan yang kemudian menjadi
arahan atau tujuan tertentu dalam ilmu pengetahuan, seperti
mencari kebenaran (truth), memperluas wilayah pengetahuan
(knowledge) atau mengembangkan ilmu (science) , pemahaman
(understanding), penjelasan (explanation), peramalan (prediction),
pengendalian (control), dan penerapan (application, invention,
production).
Lebih lanjut, ilmu pengetahuan selalu dicirikan sebagai
suatu metode. Sebagai suatu metode, ilmu pengetahuan haruslah
memiliki serangkaian proses cara kerja dan langkah-langkah
tertentu yang mewujudkan pola-pola atau model penyelidikan
ilmiah tertentu dan tetap. Rangkaian cara kerja tersebut dalam
prosedur keilmiahan disebut sebagai metode ilmiah (scientific
method) atau metodologi keilmuan.
Untuk memperjelas pengertian dan ciri atau wujud
cakupan metode ilmiah, apa arti metode bagi sebuah ilmu harus
diuraikan dengan benar. Selain sebagai sebuah proses kerja,
metode harus menjadi semacam pola berpikir atau penunjuk
jalan bagi seorang ilmuwan. Seorang ilmuwan akan bekerja
dengan hasil yang memuaskan dalam penelitiannya apabila telah
menentukan dengan tepat metode apa yang akan digunakannya.
Sebagai contoh, seseorang akan menggunakan perangkat
pengolahan statistik dalam menganalisis hasil penelitian karena
ia membutuhkannya dan untuk itulah ia harus menguasai metode
yang sifatnya kuantitatif. Sarna halnya jika seseorang yang
sedang meneliti suatu ritual yang dilakukan oleh masyarakat

87

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Tengger, ia harus menguasai metode dan teknik wawancara
secara mendalam (depth interview) agar mendapatkan data yang
sangat berguna bagi penelitiannya. Metode yang dilakukannya
itu merupakan salah satu bagian dari metode yang sifatnya
kualitatif.
Dengan demikian, kegiatan ilmiah tidak hanya ditandai
dengan aktivitas dan kreativitas seorang ilmuwan tetapi sekaligus
juga ditandai dengan ciri metode ilmiah atau metodologi ilmu.
Hal itu dapat dilihat pada bagan no.11.

Bagan 11 . Segitiga ilmu

Pengetahuan/F en omena/data

Aktivitas Metodologi (+ metode penelitian)


Kreativitas

Bagan tersebut memperlihatkan hubungan aktivitas atau


pengalaman seorang peneliti dengan pengetahuan-fenomena-data
dan metodologi. Ketiga elemen yang berhubungan satu sama lain
menunjukkan pada kita bahwa segitiga ilmu memiliki (1) makna
formal (yaitu hasil yang dicapai: ilmu); (2) makna metodologis
(sebagai proses kerja ilmiah), dan (3) makna kepengalaman
(kegiatan, aktivitas, dan kreativitas ilmuwan/peneliti).

88

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Metodologi ilmu sangat penting di dalam proses kegiatan
ilmiah. Tanpa metodologi proses kerja ilmu tidak dapat berfungsi
dengan baik. Untuk itulah pemahaman yang benar tentang
metodologi hams dikuasai dengan baik. Hal terpenting dalam
pembahasan ini adalah pemahaman mengenai istilah atau
pemmusan yang tepat mengenai metodologi ilmu dan metode
penelitian.
Metodologi atau ilmu tentang metode hamslah dilihat
sebagai "genus" yang lebih besar daripada metode penelitian
yang lebih memfokuskan pada teknik penelitian dalam suatu
penelitian atau riset tertentu. Kata metodologi sendiri berasal dari
kata Yunani: methodos dan logos (logi: ilmu). Methodos berasal
dari kata meta (melalui, sesudah) dan hodos (jalan, perjalanan,
arah, cara). Jadi secara harfiah metodologi dapat dimmuskan
sebagai "cara atau jalan untuk mencari atau menemukan ilmu
pengetahuan". Dalam arti yang lebih luas, metodologi dipahami
sebagai suatu analisis dan penyusunan asas-asas, cara, atau
proses yang mengatur penelitian ilmiah pada umumnya serta
pelaksanaannya dalam ilmu pengetahuan. Dalam kegiatan
analisis tersebut terdapat hubungan yang sangat erat antara
subjek (peneliti) dan objek yang ditelitinya.
Kegiatan ilmiah yang terencana dengan baik hams
berpayung pada metodologi ilmu dan metode penelitian yang
baik pula. Metodologi ilmu membekali pemahaman filosofis
tentang hakikat suatu ilmu (masalah kebenaran, objektivitas, dan
stmktur ilmu), sedangkan metode penelitian mengajak seorang
peneliti paham tentang teknik penelitian (menggunakan
instmmen tertentu, misalnya: wawancara, kuesioner, eksperimen,
dan sebagainya) dan langkah-langkah kerja (mampu melakukan
dengan baik dan cermat hal-hal yang berkaitan dengan observasi,
data, hipotesis, teori, dan sebagainya, serta sanggup membuat
suatu rancangan penelitian untuk kegiatan penelitiannya).

89

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Setiap metode penelitian yang diterapkan pada ilmu
pengetahuan tertentu (misalnya ilmu ekonomi, antropologi,
filsafat, sejarah, dan kedokteran) memiliki objek yang lebih
khusus. Oleh karena itu, cara kerja atau aktivitas dalam metode
tersebut juga memiliki sifat yang sangat khusus. Di bangku
kuliah, lazimnya akan dikenalkan mata kuliah metode penelitian
sesuai fakultas masing-masing, misalnya metode penelitian
hukum, metode penelitian susastra, dan metode penelitian
kedokteran.
Penyebutan metodologi ilmu atau metodologi ilmu
pengetahuan lebih diarahkan pada context of just(fication yang
sangat erat kaitannya dengan Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Mengapa? Sebab pembahasan kegiatan ilmu berkaitan dengan
konsep berpikir atau pola berpikir tentang asas-asas atau
paradigma yang memayungi suatu proses kegiatan ilmiah atau
struktur suatu pengetahuan yang sedang ditelitinya. Untuk itulah
mengapa pendidikan tinggi dalam setiap fakultas di Perguruan
Tinggi, mahasiswa (tingkat Sl, S2, dan S3) dibekali dengan mata
kuliah Filsafat Ilmu dan Metodologi Ilmu Pengetahuan yang
akan menunjang proses berpikir ilmiahnya.
Beberapa kriteria yang hams diperhatikan dalam metodo-
logi ilmu adalah (1) unsur umum yang dimiliki oleh subjek
(peneliti), (2) unsur-unsur metode penelitian atau teknik
penelitian yang telah dimiliki oleh seorang ilmuwan, dan (3)
kemampuan seorang peneliti atau subjek dalam melihat suatu
situasi ilmiah dengan benar.
Unsur-unsur umum berupa: (a) sikap seorang subjek yang
selalu mempertanyakan dan ragu-ragu (skeptis) tentang sesuatu
hal atau problem, (b) memiliki pemahaman dan penerapan
tentang asas-asas yang akan digunakan dalam penelitiannya, dan
(c) mampu mengadakan observasi, abstraksi, reduksi, intuisi,
atau pun analisis logis terhadap fenomena yang dihadapinya.

90

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Adapun unsur metode penelitian atau teknik penelitian
yang telah dimiliki oleh seorang ilmuwan berupa kemampuan
untuk: (a) melakukan identifikasi dan menentukan problem atau
hipotesis, (b) merumuskan (mampu membuat definisi) suatu
konsep, (c) mampu melakukan kategorisasi atau klasifikasi, serta
(d) mampu membuat suatu komparasi (perbandingan) dan dapat
memberikan pembuktian secara verifikasi atau pun falsifikasi .
Kemampuan seorang peneliti dalam melihat suatu situasi
ilmiah dengan benar didasari kenyataan bahwa situasi ilmiah
yang kadangkala berbeda, misalnya dalam bidang ilmu
pengetahuan budaya dan bidang ilmu kedokteran membutuhkan
kemampuan dan kejelian si subjek untuk menentukan metode
penelitiannya. Hal ini sangat penting terutama apabila subjek
atau peneliti berada dalam suatu kajian lintas ilmu. Selain
memahami metode penelitian yang sifatnya inventif, yaitu
metode yang mendasari dan mengembangkan pengetahuan
ilmiah, subjek juga harus memiliki metode penelitian yang
edukatif, artinya kemampuan mensosialisasikan dan mempelajari
teori-teori yang telah ada sebelumnya.
Suatu metode penelitian yang baik haruslah ditunjang
dengan pemahaman dan perencanaan yang matang dari ilmuwan-
nya. Bagi seorang ilmuwan, lingkup ilmiah sangat mendukung
proses penelitiannya. Lingkup ilmiah tersebut haruslah dikenal
dan diakrabi. Seorang ilmuwan harus mengenal langkah-langkah
berikut istilah teknis yang terdapat di dalam kegiatan penelitian-
nya. Ia harus mampu berpikir logis dan runtut dalam setiap
langkah atau tahapan penelitian. Tahapan penelitian tersebut
berupa:
1. Observasi, yakni pengamatan terhadap objek penelitian yang
bersifat kongkret, seperti manusia, tumbuh-tumbuhan, penya-
kit, serta berbagai gejala fenomena di sekeliling manusia yang
merupakan fenomena bagi penelitian seorang ilmuwan.
2. Fakta, merupakan suatu realitas yang dihadapi seorang pene-

91

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


liti, "sesuatu yang saya lihat" atau sesuatu apa pun yang ter-
jadi dan berkaitan dengan gejala dalam fenomena seseorang.
3. Data, merupakan hasil pengamatan atas fakta yang ditemukan
oleh si peneliti. Di dalam data inilah seorang peneliti
menemukan gejala yang lebih bersifat kuantitatif, kongkret,
dan faktual dari objek penelitiannya, misalnya universitas
swasta yang ada di DKI Jakarta berjumlah 50, tahun ajaran
2001 telah diwisuda sebanyak 2.429 lulusan S 1 dari
Universitas Indonesia, dan seterusnya.
4. Konsep, merupakan pengertian atau pemahaman tentang
sesuatu (yang berasal dari fakta) dan pemahaman itu berada
pada akal budi atau rasio manusia. Konsep selalu dipikirkan
oleh manusia, oleh karenanya menjadi pemikiran manusia.
Konsep yang telah memiliki oleh seorang peneliti harus
dituliskan agar dapat dipahami orang lain.
5. Klasifikasi, yakni pengelompokan data penelitian ke dalam
kelas-kelas atau golongan berdasarkan kriteria-kriteria ter-
tentu. Klasifikasi mensyaratkan adanya kesamaan ciri atau
sifat. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, klasifikasi
atas suatu gejala atau data penelitian dianggap tidak menun-
jukkan kadar ilmiah yang benar.
6. Definisi, yaitu merumuskan pengertian suatu konsep dengan
metode perumusan tertentu. Definisi dapat membantu seorang
peneliti untuk merumuskan pengertian suatu konsep agar
orang lain lebih mudah memahami konsep tersebut. Melalui
perumusan, seseorang dapat melanjutkan atau mengolah
kembali data penelitiannya dengan lebih baik. Untuk
merumuskan sesuatu dikenal beberapa jenis definisi, misalnya
definisi etimologis/harfiah atau literal, definisi stipulatif,
definisi deskriptif, definisi operasional, dan definisi persuasif.
Definisi etimologis ialah penjelasan sesuatu atas dasar asal
katanya, misalnya kata biologi berasal dari bahasa Yunani
(bios dan logos), yang berarti ilmu yang mempelajari
makhluk hidup. Definisi stipulatifialah perumusan istilah atau

92

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


konsep tertentu yang digunakan untuk masa mendatang.
Pengertian masa mendatang dalam hal ini mengacu pada
contoh-contoh tujuan kegiatan, seperti seminar, ceramah, dan
isi buku. Dalam kegiatan semacam itu istilah-istilah baru
lazim dimunculkan. Definisi deskript?f adalah perumusan
sesuatu atas dasar wujud, sifat, asal usul, dan kriteria-kriteria
lain yang terkait dengan objek bersangkutan. Definisi
operasional adalah penjelasan tentang cara kerja suatu alat
tertentu atau fungsi suatu peran tertentu. Definisi operasional
lazim digunakan dalam ilmu teknik dan ilmu pengetahuan
alam. Definisi persuasif adalah perumusan sesuatu dengan
tujuan agar rumusan tersebut dapat mempengaruhi pemikiran
seseorang. Definisi persuasif sering dipakai dalam kegiatan
periklanan yang ditayangkan dalam media elektronik atau pun
media cetak, kegiatan kampanye politik, dan sebagainya.
Definisi yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa di
dalam definisi terdapat perumusan melalui bahasa. Bagi ilmu
pengetahuan, bahasa memegang peran penting karena dapat
mengungkapkan segala hal yang berkaitan dengan kegiatan
penelitian seorang ilmuwan, baik secara lisan maupun tertulis.
Mengapa? Bahasa dapat merujuk pengalaman kehidupan
manusia. Segala pengalaman kehidupan dituangkan ketika ia
berbicara, berinteraksi dengan orang lain, dan menuliskan apa
yang dirasakannya melalui bahasa tulisan. Seperti kata
Wittgenstein dalam teorinya, picture theory, setiap bahasa
merujuk pada hakikat bahasa, yaitu pada proposisi-proposisi
yang terfokus ke state of affairs 'duduk perkara' yang
dijumpai pada realitas kehidupan manusia (Irmayanti, 1997:
101 ). Dari proposisi - terutama rag am tulis - dapat ditentu-
kan jenis proposisi apa yang dipakai seseorang saat ia meng-
ungkapkan pengalaman hidupnya. Melalui wahana tulisan,
seorang ilmuwan dapat menuangkan bahasa ilmiah, upaya
pembenaran metodologis, perumusan hipotesis, konsep,
definisi, dan sebagainya. Semua penjelasan itu terurai di

93

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


dalam proposisi-proposisi yang dipayungi oleh kaidah logika.
7. Hipotesis, yaitu ramalan atau prediksi dalam kegiatan
penelitian yang harus dibuktikan kebenarannya. Dalam
hipotesis, perumusan masalah sangatlah penting. Seorang
peneliti harus memiliki masalah (problem statement) dan
mampu merumuskannya dengan cermat dan teliti. Hipotesis
digunakan peneliti sebagai dasar analisis. Pada bidang ilmu
seperti antropologi, psikologi, dan ilmu sosial budaya lainnya,
hipotesis yang diketengahkan lazimnya berupa hipotesis
kerja. Hipotesis kerja merupakan hipotesis berdasarkan
pengandaian yang muncul ketika peneliti berada di lapangan.
Objek penelitian dimungkinkan mengalami perubahan karena
keunikannya atau sebab lain.
8. Teori, yakni hubungan sedemikian rupa antara satu gej ala dan
gejala lain yang telah terbukti kebenarannya. Semua teori
bermula dari hipotesis seorang peneliti, usaha yang tak kenal
lelah dan selalu melakukan trial dan error, serta uji coba,
sehingga pada akhirnya seorang peneliti mampu membuahkan
sebuah teori yang sahih.

Dengan demikian, dalam cara kerja ilmiah, antara metodo-


logi ilmu dan metode penelitian terdapat kaitan yang sangat erat.
Kesadaran peneliti terhadap keterkaitan yang erat itu akan
membuahkan suatu perencanaan yang matang ketika si peneliti
membuat rancangan penelitian. Keterkaitan itu diimplikasikan
ketika si peneliti mulai menentukan sasaran penelitian dengan
berpegang pada kesadaran bahwa ia berada pada lingkup atau
ilmu tertentu. Hal ini merupakan tahap awal yang sangat penting
karena terkait pula dengan penentuan metode yang tepat untuk
penelitiannya.
Sebagai contoh, Dudi, mahasiswa S2 Sejarah Program
Pascasarjana Universitas Indonesia, saat ini akan membuat
usulan penelitian tesisnya. Dudi harus menyadari bahwa studinya
berada pada lingkup bidang ilmu sejarah dan untuk itu ia harus

94

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


mempelajari metode penelitian serta mendalami teori-teori
sejarah yang mendukung penelitiannya. Meskipun demikian ia
harus mengenal pula metodologi ilmu. Ia pun hams memahami
hakikat ilmu, terutama hakikat objek penelitiannya (masalah
kebenaran, paradigma ilmu, dan sebagainya). Penjelasan
mengenai keeratan hubungan antara metodologi dan metode
penelitian tertuang pada bagan No.12.

Bagan 12. Kerangka metodologi ilmu

Metodologi Ilmu

l
Metode dan Teknik Penelitian

Rancang Penelitian

Hasil Penelitian

~
llmu Pengetahuan
Teknologi

B. Susunan Ilmu Pengetahuan


Apabila kita berbicara tentang ilmu pengetahuan, akan
bermunculan pertanyan-pertanyaan mendasar dalam pikiran kita:
"Apakah ilmu pengetahuan itu?", "Dari manakah ilmu penge-
tahuan berasal?", "Bagaimana dengan pengetahuan yang dimiliki

95

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


oleh manusia?" "Apakah ada perbedaan antara pengetahuan dan
ilmu pengetahuan?" Berbagai pertanyaan tersebut akan dijawab
dengan membahas tentang pengetahuan serta gejala pengetahuan
dari aspek filosofis.
Pada dasarnya, manusia memiliki pengetahuan yang
bersumber pada rasio atau akal budinya. Dengan akal budinya itu
manusia dapat berpikir tentang sesuatu, dan - pada akhirnya -
ia dapat memiliki sejumlah gagasan atau ide yang berasal dari
akal budinya itu. Keingintahuan menjadi alasan mengapa
manusia selalu haus pengetahuan. Dalam pembukaan Metafisika-
nya, Aristoteles menyatakan, "setiap manusia, kodratnya selalu
ingin tahu". Rasa ingin tahu atau kekaguman seseorang tentang
sesuatu mendorongnya mencari dan menemukan sesuatu.
Berfilsafat atau berpikir kritis pun dimulai dari rasa kagum pada
sesuatu.
Tiga pertanyaan yang dilontarkan Immanuel Kant, seorang
filsufbesar abad ke-18, memberikan semacam "angin segar" dan
mengubah wajah filsafat. Pertanyaan-pertanyaan itu sebagai
berikut:
Pertama, what can we know 'apa yang dapat kita ketahui'.
Pertanyaan ini berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki
manusia berikut cara memperolehnya. Kant mengingat-kan
bahwa dalam memperoleh pengetahuan haruslah melalui sebuah
proses yang cukup panjang, akal budi mengolah objek yang
dilihatnya melalui sebuah "konstruksi" rasio. Pertanyaan tersebut
sangat erat dengan ruang lingkup fllsafat, yaitu epistemologi
(filsafat pengerahuan), yang mencakup bahasan tentang logika,
filsafat ilmu, dan metodologi.
Kedua, what should we do 'apa yang seharusnya kita
lakukan'. Pertanyaan ini terkait dengan nilai atau norma yang
dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari dan juga sangat
erat dengan bidang filsafat yang berbicara tentang aksiologi.
Manusia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang

96

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


dihubungkan dengan penilaian tentang baik-buruk dan indah-
tidak indah.
Ketiga, what can we hope for 'apa yang dapat kita
harapkan'. Pertanyaan itu sangat melekat dengan problem being,
yang mempertanyakan tentang segala yang "ada", baik dari sisi
manusia maupun sisi religius, yakni Tuhan dalam keberadaaan
atau eksistensinya. Pertanyaan ketiga ini memiliki implikasi
problem ontologis dan metafisis, yaitu problem yang memper-
masalahkan keberadaan sesuatu yang nyata (kongkret) dan
problem yang berbicara tentang konsep atau pun gagasan-
gagasan yang bersifat transenden.
Pencarian pengetahuan pada akhimya akan memasuki
wilayah filsafat, yaitu wilayah epistemologi atau filsafat penge-
tahuan. Keinginan manusia mencari pengetahuan memunculkan
upaya melakukan pengamatan terhadap sesuatu yang dilihatnya.
Pada awalnya, pengamatan secara inderawi ditujukan pada
sesuatu untuk menangkap gejala-gejala di sekeliling manusia.
Gejala-gejala itu dapat berupa apa saja, misalnya bentuk daun,
aroma yang berasal dari penjual sate ayam yang sedang mem-
bakar satenya, atau aneka macam rasa makanan dan masakan.
Dengan demikian, fenomena yang dihadapi manusia dapat
menjadi objek bagi dirinya dan ini berarti pula terdapat semacam
struktur yang terbentuk dari si pengamat atau subjek (dalam hal
ini, ilmuwan, peneliti, mahasiswa, dan sebagainya) dengan
objek. Hubungan antara subjek dan objek merupakan hubungan
yang saling terarah satu sama lain. Dengan perkataan lain, di
dalam hubungan tersebut muncul intensionalitas, suatu keter-
arahan yang sifatnya timbal balik. Subjek mengarahkan subjek
ke objek, dan sebaliknya objek menampilkan diri ke subjek.
Hasil hubungan intensionalitas adalah pengetahuan yang didapat
manusta. Hal tersebut dapat diperjelas dengan melihat bagan
No.13 .

97

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Bagan 13 . Skema hubungan Subjek- Objek
(Meliono, 2002: 51)

Subjek Objek

Intensionalitas

Pengetahuan yang didapat manusia

Pertanyaan lain yang muncul adalah tentang pengetahuan


itu sendiri. Apakah selain struktur hubungan antara subjek dan
objek (seperti penjelasan di atas), pengetahuan memiliki dimensi
lain - misalnya batas-batas pengetahuan dan (atau) sifat
pengetahuan? Bidang yang berhak menjawab hal itu adalah
epistemologi. Epistemologi menggarisbawahi bahwa pengetahu-
an memiliki batas-batas yang berupa akal budi atau kesadaran
atau rasio manusia. Seorang filsuf Perancis, Descartes,
mengatakan cogito ergo sum 'saya berpikir maka saya ada'. Bagi
Descartes, hal yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun adalah
cogito 'kesadaran manusia'. Setiap manusia pada dasamya
memiliki kesadaran, sadar atas dirinya, sadar atas sesuatu, dan
mampu berpikir. Semua yang ada di sekeliling manusia dapat
diragukan, tetapi tidak bagi akal budi atau kesadarannya sendiri.
Oleh karenanya, dengan kesadaran dan akal budinya, manusia
dapat berpikir tentang sesuatu. Hal ini berarti pula manusia dapat
mendapatkan pengetahuan melalui akal budi atau kesadarannya.
Lalu, bagaimana dengan sumber pengetahuan? Salah satu
sumber pengetahuan dapat diperoleh melalui akal budi manusia.

98

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Pengalaman pribadi manusia yang berulangkali juga dapat
membentuk suatu pengetahuan baginya. Dengan demikian,
pemikiran manusia atau kesadaran manusia dapat dianggap juga
sebagai sumber pengetahuan. Dalam upaya mencari pengetahu-
an, selain pengamatan yang konkret atau empiris, kekuatan akal
budi sangat menunjang.
Kekuatan akal budi yang kemudian lebih dikenal sebagai
rasio (pada akhimya memunculkan rasionalisme, yaitu pan-
dangan yang bertitik tolak pada kekuatan akal budi) lebih
menekankan adanya pengetahuan yang bersifat apnon.
Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang berlandaskan pada
rasionalitas atau akal budi dan tidak menekankan pada
pengalaman manusia. Matematika dan logika merupakan hasil
dari akal budi, bukan dari pengalaman. Sebagai contoh, dalam
logika muncul pemyataan, "Jika benda A tidak ada, maka dalam
waktu yang bersamaan benda terse but tidak dapat hadir di sini";
di dalam matematika, perhitungan 2 + 2 = 4, penjumlahan itu
sebagai sesuatu yang pasti dan sangat logis.
Ada beberapa kaidah dalam logika atau hukum berpikir.
(1) Prinsip identitas: jika P benar, maka P benar. Jika Tono benar
ke sekolah pagi ini, maka Tono benar ke sekolah. (2) Prinsip non
kontradiksi: tidak benar jika P itu benar, sementara P tidak benar.
Tidak benar jika Adi pergi ke Museum Wayang, sementara Adi
tidak pergi ke museum Wayang. (3) Prinsip benar atau salah: P
itu benar atau P itu salah. Rudi itu mahasiswa FIB-UI atau Rudi
bukan mahasiswa FIB-UI (J. Hospers, 1953: 123)
Kaidah logika atau hukum berpikir itu menunjukkan
bahwa melalui akal budinya manusia dapat melakukan berbagai
pemyataan yang benar melalui bahasa. Di dalam pemahaman
yang lebih luas dan komprehensif, bahasa dapat disebut sebagai
pengungkapan pengalaman kehidupan manusia. Melalui ucapan
atau suara yang terdengar, mungkin dengan berteriak, seseorang
dapat memahami orang lain melalui perasaan yang terkandung di

99

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


dalamnya: apakah ada rasa kemarahan atau rasa senang. Dengan
demikian dapat dimengerti bahwa bahasa memegang peran
penting dalam penalaran manusia atau berlogika. Selain per-
nyataan yang benar dalam berlogika, pemyataan yang dianggap
salah atau kesesatan bahasa (fallacy) juga muncul dalam
penalaran manusia. Sebagai contoh, Subarkah senang membaca
buku filsafat, terutama pemikiran Karl Marx. Apakah kalau
Subarkah senang membaca buku tentang Karl Marx dengan
mudah dapat kita katakan bahwa Subarkah adalah komunis?
Contoh tersebut menunjukkan bahwa di dalam penalaran
manusia dapat memunculkan kesesatan berpikir.
Bagaimana dengan sifat atau watak pengetahuan?
Pengetahuan yang berasal dari pengamatan inderawi memiliki
sifat empiris. Mengapa? Dengan pengamatan inderawi terjadilah
sentuhan pengalaman (emperia) antara indera manusia dan objek
yang kongkret. Ada keterarahan (intensionalitas) yang terjadi
antara si subjek dan objek yang berada di hadapannya dan
sedang diamatinya. Pengetahuan semacam itu disebut sebagai
pengetahuan empiris. Adapun pengetahuan yang bukan berasal
dari pengamatan inderawi, yakni pengetahuan yang muncul atas
dasar pikiran dan gagasan manusia, disebut pengetahuan
deskriptif. Dengan pengetahuan deskriptif dan melalui akal
budinya, seseorang mampu melukiskan dan menggambarkan
berbagai ciri atau sifat tentang sesuatu, bahkan mampu mela-
kukan berbagai kategorisasi terhadap apa yang dilihatnya.
Pengetahuan yang telah dimiliki manusia harus
"ditingkatkan" apabila dikehendaki menjadi ilmu pengetahuan.
Bagaimana caranya dan apakah memunculkan perbedaan antar-
keduanya? Untuk menjawab hal itu diperlukan ulasan yang
cermat.
Ilmu pengetahuan muncul karena adanya pengalaman
manusia. Kisah Newton tentang bagaimana ia menemukan teori
gravitasi dalam ilmu fisika dapat digunakan sebagai contoh.

100

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Teori itu bermula ketika ia merasakan sesuatu, yaitu apel yang
jatuh dan menimpa kepalanya, saat ia sedang duduk di bawah
pohon apel. Pengalaman itulah yang menyebabkannya terdorong
untuk berpikir tentang sebab musabab peristiwa yang dialami-
nya. Berkat ketekunan, kesabaran, keingintahuan, serta didukung
dengan kepandaian dan intelegensia yang memadai serta daya
kreativitas yang tinggi, Newton dapat menciptakan suatu teori
atau dalil yang dapat diterapkan bagi kepentingan umat manusia.
Munculnya teknologi atau hasil ilmu pengetahuan (berupa
benda-benda di sekeliling manusia, seperti mobil, pesawat
terbang, kereta api, dan komputer) dari masa ke masa menun-
jukkan bahwa ilmu pengetahuan memang mengalami kemajuan
yang sangat pesat.
Pengalaman yang bersifat inderawi belumlah cukup untuk
menghasilkan ilmu pengetahuan. Pengalaman inderawi harus
mengalami suatu proses ilmiah lebih lanjut. Proses itu dikenal
sebagai proses metodologis. Proses metodologis merupakan
suatu proses kerja di dalam kegiatan ilmiah (misalnya berada
dalam suatu laboratorium) untuk mengolah gejala-gejala
pengetahuan dan bertujuan mendapatkan kebenaran dari gejala-
gejala. Untuk itulah, di dalam setiap proses metodologis atau
proses kegiatan ilmiah, observasi atau pengamatan yang cermat
terhadap objek penelitian haruslah diperhatikan dengan benar.
Pengamatan secara empiris atau inderawi yang didukung
dengan alat bantu tertentu, seperti mikroskop, tape recorder, atau
kuesioner, sangat membantu bagi seorang peneliti dalam mencari
dan menemukan fakta penelitiannya. Hasil ilmu pengetahuan
yang mendasarkan pada pengamatan inderawi dan faktual
disebut sebagai ilmu pengetahuan empiris. Hal ini berarti bahwa
ilmu empiris bergantung pada objek penelitian yang sangat
kongkret dan terlihat, tersentuh, terdengar, dan tercium oleh
pancaindera manusia.

101

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Di sisi iain, ilmu pengetahuan haruslah dapat dilukiskan,
digambarkan, dan diuraikan secara tertulis tentang segala ciri-
ciri, sifat, atau pun bentuk gejala-gejalanya. Ilmu pengetahuan
semacam itu disebut sebagai ilmu pengetahuan deskriptif.
Dengan demikian, ilmu empiris berhubungan sangat erat dengan
pencarian secara deskriptif. Yang teramati oleh inderawi dapat
digambarkan dan dilukiskan ciri-ciri atau sifat-sifatnya dengan
gamblang. Contoh ilmu empiris antara lain ilmu kedokteran,
antropologi, arkeologi, ilmu teknik, biologi, ilmu kimia, dan ilmu
fisika; sedangkan contoh ilmu deskriptif antara lain filsafat,
kesusastraan, sosiologi, dan ilmu politik. Penjelasan lebih lanjut
tentang metodologi akan dibahas pada sub-bab berikutnya.

C. Cara Kerja Ilmu Empiris


C.l . Pengertian Ilmu Empiris
Ilmu empiris adalah ilmu yang bertitik tolak pada
pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi diartikan sebagai
sentuhan, penglihatan, penciuman, dan pengecapan seseorang
terhadap sesuatu yang diamatinya. Biologi, kedokteran, ilmu
kimia, botani, dan geologi merupakan contoh ilmu empiris.
Pengalaman inderawi seorang ilmuwan berkaitan dengan objek
penelitian yang sifatnya sangat kongkret dan faktual. Dalam
pengamatan atau observasi terhadap objek, seorang peneliti,
ilmuwan, danlatau mahasiswa dapat menggunakan sarana
tertentu untuk menunjang pengamatannya. Sarana itu dapat
berupa alat-alat seperti mikroskop, teleskop, termometer, neraca,
atau pun alat-alat pengukur lainnya. Tujuan pengamatan adalah
untuk memperoleh atau menangkap semua gejala dari objek
penelitian serta untuk menjelaskannya dengan benar. Hasil
pengamatan itu berupa data awal yang harus dicatat dengan
cermat, yang kelak akan sangat berguna bagi analisis sebuah
penelitian.

102

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


....------- - -------- -

C.2. Objek Ilmu Empiris


Ilmu empiris memiliki objek yang dapat dibedakan dari
dua aspek, yaitu objek materi yang berupa alam semesta dan
objek forma yang berupa sasaran khusus atau pokok perhatian
seseorang terhadap sesuatu yang menjadi minatnya. Objek forma
dapat berupa minat yang sangat tinggi tentang kesehatan
manusia, tentang pertumbuhan dan perkembangan tumbuh-
tumbuhan dan/atau hewan, serta adat istiadat suatu bangsa/
masyarakat tertentu. Dari hasil pengamatan terhadap objek forma
yang beraneka ragam itu muncul ilmu-ilmu tertentu yang bersifat
empiris, misalnya ilmu kedokteran, biologi, ilmu teknik, botani,
zoologi, antropologi, dan ilmu sosial.

C.3. Pendekatan Ilmu Empiris


Pendekatan atau metode merupakan cara mendapatkan data
saat peneliti sedang melakukan pengamatan atau observasi.
Tujuan pengamatan atau observasi adalah memperoleh data yang
berasal dari objek penelitian. Ketika observasi berlangsung,
seorang peneliti harus memiliki ketajaman berpikir serta
penalaran yang logis. Untuk itulah dalam pengamatan pun
diperlukan suatu metode atau pendekatan dengan teknik tertentu.
Peneliti ilmu empiris lazimnya menggunakan pendekatan atau
metode induktif. Metode induktif adalah metode yang digunakan
untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari penalaran
yang bersifat khusus. Pada penalaran yang sifatnya khusus itu
seorang pengamat akan mengamati beberapa hal atau sesuatu
yang memiliki ciri-ciri khusus. Selain itu, metode eksplanasi
(metode erklaeren)-yakni metode yang bersifat menerangkan
hubungan antara gejala satu dan gejala lainnya -juga dapat
menjadi metode dasar pada ilmu empiris. Hubungan antargejala
dapat diamati berdasarkan sebab-akibat (kausalitas), fungsionali-
tas, atau pun sistemik.

103

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Sebagai contoh, saat melihat buah apel yang diletakkan di
dalam sebuah keranjang, Rani melihat dan menghitungnya satu
per satu hingga hitungan keduapuluh. Apel itu berwarna merah
dan berbentuk bulat. Berdasarkan pengamatannya, Rani
menyimpulkan bahwa apel berjumlah 20 buah yang berada di
dalam keranjang itu semuanya berwarna merah dan berbentuk
bulat. Ciri-ciri metode induktif adalah sebagai berikut.
a) Premis-premis (misalnya, apel I berwarna merah, dan seterus-
nya) atau proposisi empiris (disebut pula sebagai proposisi
dasar) langsung bersentuhan dengan pengamatan inderawi
dan menunjuk pada fakta.
b) Kedua, kesimpulan (misalnya, semua apel berwarna merah)
lebih luas daripada premis-premisnya.
c) Ketiga, kesimpulan metode induktif juga memiliki kredi-
bilitas rasional atau probabilitas. Probabilitas didukung oleh
pengalaman inderawi dan harus cocok dengan observasi
inderawi.
Metode induktif berguna bagi ilmu empiris karena didasarkan
pada pengamatan faktual dan dipakai sebagai landasan berpijak
pada ilmu empiris.

D. Cara Kerja Ilmu Deduktif


D.l . Pengertian Ilmu Deduktif
Ilmu deduktif adalah ilmu pengetahuan yang membuktikan
kebenaran ilmiahnya melalui penjabaran-penjabaran (deduksi).
Berbeda dengan ilmu empiris yang mendasarkan pada penga-
laman inderawi, penjabaran-penjabaran dalam ilmu deduktif
dilakukan melalui penalaran berdasarkan hukum-hukum atau
norma-norma yang bersifat logis. Dari norma-norma tersebut
muncul suatu penalaran atas dasar perhitungan secara pasti.
Dengan demikian, dalam ilmu deduktif terdapat suatu penalaran
bersifat khusus yang diperoleh dari kesimpulan bersifat umum.

104

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Ilmu-ilmu deduktif dikenal pula sebagai ilmu matematis,
artinya suatu pengetahuan yang menjelaskan atau menjabarkan
sesuatu atas dasar perhitungan yang pasti. Penalaran deduktif
diperoleh dari penjabaran dalil-dalil, atau rumus-rumus, yang
kebenarannya tidak dibuktikan melalui penyelidikan empiris
melainkan melalui penjabaran dalil-dalil yang telah ada
sebelumnya. Suatu dalil atau rumus matematika dibuktikan
kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang telah ada atau dalil
lain berdasarkan suatu hitungan, ukuran, dan timbangan, bukan
atas dasar observasi. Dalam membuktikan kebenaran tersebut
digunakan perangkat tertentu, seperti aritmatika, matematika,
goniometri, dan ilmu ukur. Asas matematika hanya mengenal
two value logic 'logika dua nilai', yaitu benar atau tidak benar
(salah). Contoh yang sederhana adalah tiga ditambah dua sama
dengan lima. Penjumlahan tersebut memiliki nilai benar. Apabila
kita mengatakan bahwa tiga dikalikan empat hasilnya limabelas,
maka hasil itu dikatakan tidak benar (salah).

D.2. Objek Ilmu Deduktif


Objek ilmu deduktif adalah angka atau bilangan yang
jumlahnya satu atau lebih dari satu yang kemudian dikenal
dengan himpunan. Objek tersebut merupakan lambang atau
simbol yang digunakan sebagai relasi antarobjek. Kita mengenal
angka romawi (1, II, III, IV, dan seterusnya) atau angka-angka
yang lazim dikenal sebagai 1, 2, 3, dan seterusnya merupakan
simbol atau lambang. Selain itu dikenal juga simbol dalam
bentuk lain, seperti +,-,>, <, Z, dan%. Pemakaian simbol-simbol
dalam ilmu deduktif dimaksudkan agar validitas atau keabsahan
pembuktian penjabaran-penjabaran dalil atau aksioma atau pun
rumus terbukti benar.

D.3. Pendekatan Ilmu-Ilmu Deduktif


Pendekatan yang tepat untuk ilmu-ilmu deduktif adalah
pendekatan yang bersifat pasti dan logis. Dalam ilmu-ilmu pasti,

105

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


pendekatan yang digunakan adalah cara kerja deduktif yang
menggunakan simbol-simbol dengan mendasarkan pada
keruntutan penalaran yang pasti. Dalam matematika, penalaran
diarahkan pada bagaimana sebuah rumus suatu perhitungan atau
aritmatika (dari rumus sederhana hingga rumus mutakhir) dapat
diterapkan secara deduktifke dalam suatu problem.
Pendekatan lain dalam cara kerja deduktif adalah asas
logika. Logika diartikan sebagai teknik berpikir dan diciptakan
untuk meneliti ketepatan penalaran. Untuk memahaminya orang
harus memiliki pengetahuan yang jelas tentang penalaran. Lalu
penalaran macam apa yang harus diketahui agar orang dapat
berpikir dengan tepat?
Penalaran adalah proses berpikir manusia yang runtut yang
hasilnya adalah pemikiran. Bentuk-bentuk sederhana dari
pemikiran berupa (1) konsep (conceptus, concept), (2) proposisi
atau pemyataan (propositio, statement), dan (3) penalaran
(ratiocinium, reasoning). Dalam logika, deduksi diberi batasan
sebagai "penalaran dengan kesimpulan yang wilayahnya lebih
sempit daripada wilayah premisnya". Beberapa asas dan hukum
logika sederhana selalu berkisar tentang penyimpulan (silogisme,
syllogism) berdasarkan putusan yang bersyarat (hipotetis,
hypothetical judgmenj). Sebuah bidang yang terbuat dari papan
akan berdiri tegak lurus apabila membentuk sudut 90° dengan
bidang lainnya. Pemyataan tersebut merupakan contoh penyim-
pulan dengan kaidah logika.
Pada beberapa ilmu empiris yang menggunakan asas
logika, diperlukan adanya hukum logika dalam suatu sistem
logika proposisi formal. Dalam logika formal, terdapat hukum
penyimpulan yang didasarkan pada premis-premis atau yang
dikenal sebagai silogisme. Silogisme tersusun atas dasar "premis
mayor" dan "premis minor".

106

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Hukum logika penyimpulan itu berupa:
(1) Apabila premisnya benar, kesimpulan penalaran benar,
contoh:
Setiap anak balita harus minum susu - Premis mayor
Siska adalah anak balita - Premis minor
Jadi Siska harus minum susu - Kesimpulan benar

(2) Apabila premisnya salah, maka kesimpulan penalaran juga


salah, contoh:
Meja itu benda bemyawa - Premis salah
Pensil itu meja - Premis salah
Jadi pensil itujuga bemyawa - Kesimpulan salah

(3) Apabila premisnya salah, kesimpulan penalaran dapat benar


dan dapat salah, contoh:
a). Bidadari itu benda nyata - Premis salah
Kursi itu bidadari - Premis salah
Jadi kursi itu benda nyata - Kesimpulan benar
b). Bidadari itu benda kongkret - Premis salah
Superman adalah mahluk
- Premis salah
hal us
Jadi superman adalah bidadari - Kesimpulan salah

(4) Apabila premis penalaran dapat benar dapat salah, maka


kesimpulan benar, contoh:
Semua laki-laki senang berolah - Premis benar/
raga tenis Premis salah
Tobias adalah laki-laki - Premis minor
Jadi Tobias senang berolahraga
Kesimpulan benar
tenis

107

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


E. Cara Kerja Ilmu-Ilmu Kemanusiaan
E.l. Pengertian Ilmu-ilmu Kemanusiaan (Humaniora)
Ilmu-ilmu kemanusiaan adalah ilmu yang mengkaji
masalah yang berkaitan dengan kehidupan manusia, seperti
masalah budaya, sosial, politik, dan ekonomi yang terdapat pada
masyarakat. Ilmu-ilmu kemanusiaan memiliki objek kajian yang
bersifat empiris. Objek tersebut diamati melalui pengamatan atau
observasi secara inderawi. Karena melalui persentuhan inderawi,
objek dianggap kongkret dan faktual. Contoh ilmu-ilmu kemanu-
siaan misalnya antropologi, ilmu susastra, ilmu arkeologi, ilmu
sejarah, dan ilmu sosial.

E.2. Sifat Ilmu-ilmu Kemanusiaan (Humaniora)


Sifat yang paling menonjol pada ilmu-ilmu kemanusian
adalah objeknya berkaitan dengan manusia yang memiliki
tindakan bermakna (meaningful! action). Selain tindakan ber-
makna, sifat ilmu-ilmu kemanusiaan memiliki keunikan dan
sang at spesifik. Di dalam tindakan (perilaku) bermakna, manusia
atau seseorang menghasilkan karya-karya tertentu, misalnya
Romeo dan Juliet karya William Shakespearre dari Inggris dan
lukisan Monalisa karya Michaelangelo. Dalam suatu peristiwa
sejarah, manusia juga mengukir hidupnya dengan bermakna,
misalnya saat Pangeran Diponegoro berjuang melawan penja-
jahan Belanda.
Simbol-simbol yang dimunculkan melalui suatu peristiwa
sosial budaya (ritual, upacara-seremonial, benda artefak, dan
sebagainya) pun dapat menjadi kajian bagi ilmu-ilmu ke-
manusiaan. Semua itu menunjukkan bahwa perilaku masyarakat
menjadi sangat bermakna. Bagi seorang peneliti, hal-hal tersebut
di atas berkaitan erat dengan objek penelitiannya. Dengan
demikan, apabila ingin mengkaji ilmu-ilmu kemanusiaan dengan
lebih mendalam, seorang peneliti hams menggunakan metode

108

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


yang tepat agar objektivitas dan kebenaran ilrniahnya terungkap
dengan benar sehingga pernaknaan objek rnenjadi lebih baik dan
tidak terjebak dalarn situasi ernosional.

E.3 . Metode Ilrnu-Ilrnu Kernanusiaan


Metode yang sangat rnendasar di dalarn ilrnu-ilrnu
kernanusiaan adalah rnetode verstehen 'rnetode pernaharnan'.
Metode pernaharnan digunakan untuk rnernaharni tindakan-
tindakan rnanusia ketika rnernbuat suatu karya seni atau pun
terlibat dalarn peristiwa sejarah, rnisalnya jatuhnya pernerintahan
Orde Baru di Indonesia pada tahun 1998. Salah satu contoh pada
rnetode pernaharnan adalah etnografi dan rnetode depth interview
'wawancara rnendalarn'. Kedua rnetode tersebut bertujuan untuk
rnernaharni dengan lebih baik dan rnendalarn tentang para pelaku
budaya yang terlibat, rnisalnya pada peristiwa sejarah atau
rnernbuat karya seni.
Metode yang lain adalah rnetode deskripsi, yaitu rnetode
yang digunakan oleh para peneliti untuk rnencatat, rnelukiskan,
dan rnenggarnbarkan seluruh sifat dan karakteristik objek
penelitian. Pada awalnya, ilrnu-ilrnu kernanusiaan hanya rneng-
gunakan rnetode kualitatif, yaitu rnetode yang bertitik tolak pada
kualitas rnanusia atau nilai-nilai kernanusiaan (nilai moral, nilai
budaya, nilai agarna, nilai estetis/keindahan, dan sebagainya)
dalarn rnenganalisis data penelitian. Berkat perkernbangan dan
derni kemajuan ilrnu, ilrnu-ilrnu kernanusiaan pada awal abad ke-
20 rnenggabungkan rnetode statistik ke dalarn penelitiannya.
Sebagai contoh, penelitian dalarn bidang ilrnu psikologi, ilrnu
sosial, serta ilrnu ekonorni telah rnenggunakan rnetode statistik
untuk mengolah data penelitian. Metode statistik digunakan
untuk menghitung secara kuantitatif tentang besaran-besaran
serta pengukuran-pengukuran pada gejala-gejala yang rnuncul
pada fenornena sosial budaya. Perhitungan statistik kadangkala
rnenggunakan sarnpel untuk pernbuktian kebenarannya. Sejauh

109

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


hal itu sangat bermanfaat bagi penelitian, metode statistik dapat
diterapkan pada penelitian itu.
Salah satu pilihan metode yang diterapkan pada ilmu
kemanusiaan adalah metode hermeneutik atau metode inter-
pretasi, yakni metode yang digunakan untuk menafsirkan
beragam gejala atau peristiwa yang muncul pada fenomena
manusia, khususnya yang berkaitan dengan kebudayaan manusia
atau karya-karya sastra, seni, dan simbol-simbol manusia, baik
berupa simbol verbal (bahasa) maupun simbol non-verbal
(bangunan candi, upacara keagamaanlritual, tari-tarian, dan
sebagainya).
Tujuan metode hermeneutik adalah mencari makna yang
berada pada objek penelitiannya melalui interpretasi. Cara kerja
hermeneutik memfokuskan pada objek yang berkaitan dengan
simbol-simbol atau pada teks-teks. Bagi seorang penafsir
(peneliti), fenomena objek penelitian harus dilihat sebagai
sesuatu wacana yang terbuka untuk ditafsirkan berdasarkan
"kategori" fenomena si peneliti sehingga si peneliti dapat
menafsirkan sesuai dengan konteksnya (setidaknya telah dapat
ditentukan, apakah objek penelitiannya berada pada lingkup
objek verbal ataukah objek nonverbal).
Lingkaran hermeneutik adalah semacam "pola" penyeli-
dikan ilmiah untuk proses interpretasi, karena di dalam lingkaran
itu terdapat kategori (bagian-bagian) yang telah dibuat si peneliti.
Hubungan antara kategori satu dan kategori lain merupakan
proses interpretasi. Setiap simbol yang ada pada kebudayaan
manusia selalu memiliki makna ganda, yakni makna literal atau
harfiah dan makna sesungguhnya. Makna yang pertama meng-
hasilkan pemaknaan literal (harfiah); sedangkan makna yang
berada "di balik" makna literal merupakan makna sesungguhnya,
makna yang harus dicari, "diterjemahkan", dan dipahami oleh
para peneliti.

110

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Bagan 14. Skema pemaknaan hermeneutik pada kategori verbal

Fenomena Sosial Budaya

Wacana

Teks

/
Penulis Pembaca-Peneliti
I
Distansiasi Aprosiasi

Otonom Horison baru

Pemaknaan

Sumber: Irmayanti Meliono-Budianto. 1998. Simbolisme dalam Wiwahan :


Suatu kajian Filosojis dalam Tradisi Jawa. Program Pascasarjana
Universitas Indonesia. Disertasi.

111

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Bagan 15. Skema pemaknaan hermeneutik pada kategori non-
verbal

Peneliti - . Fenomena Sosial Budaya --+ Gejala-gejala

I I
l
Tanda (sign)_. Simbol-simbol

~
Interpretasi

Pemaknaan Simbol Literal

Pemaknaan Simbol pada tahap refleksi fenomenologis

~
Pemaknaan Simbol pada tahap eksistensial

Sumber: Irmayanti Meliono-Budianto. 1998. Simbolisme dalam Wiwahan:


Suatu kajian Filosofis dalam Tradisi Jawa. Program Pascasarjana
Universitas Indonesia. Disertasi.

Di sisi lain, pada pemaknaan verbal, teks harus dilihat


sebagai hubungan antara si penulis dan si pembaca. Hubungan
antara si penulis dan si pembaca menyebabkan adanya dua
posisi, yaitu distansiasi dan apropriasi. Posisi si peneliti
sekaligus pembaca dapat berada pada dua kutub distansiasi dan
apropnas1.

112

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Terjadinya distansiasi dikarenakan si peneliti memiliki
"jarak" terhadap teks tersebut. la akan terfokus pada teks dan
konteksnya, sehingga interpretasi menjadi sangat terpengaruh
oleh gagasan si penulis. Adapun pada kutub apropriasi, teks
menjadi sangat terbuka oleh si penafsir. Teks dan konteksnya
seakan-akan menjadi "milik" si peneliti, sehingga interpretasi
teks menjadi diperkaya oleh kreativitas si peneliti. Pemaknaan
dengan melibatkan dua kutub tersebut akan membawa si penafsir
(peneliti) pada cara berpikir kritis dan imajinatif yang tidak
terjebak pada subjektivitas sendiri. Bagan No.14 dan Bagan
No.l5 dapat memperjelas uraian tersebut.
Pemaknaan atau model interpretasi hermeneutik bagan
No.15 menggunakan model hermeneutik Ricoeur yang telah
diperluas dan diaplikasikan pada suatu penelitian yang terpusat
pada simbol-simbol ritual yang dimiliki oleh masyarakat tertentu
(Irmayanti, 1998: 82-83 ). Interpretasi terse but menghasilkan
pemaknaan pertama yang berasal dari simbol yang bersifat
literal. Pemaknaan pertama menghasilkan pemaknaan kedua
yang bersifat refleksif fenomenologis, yaitu pemaknaan dengan
melihat secara kritis dan mendasar tentang fenomena yang
berasal dari pandangan hidup atau pemikiran masyarakat pemilik
simbol-simbol. Adapun pemaknaan ketiga ialah pemaknaan
eksistensial, yakni pemaknaan yang diperoleh ketika terjadi de-
subjektivasi atau de-konstruksi pemikiran subjektif masyarakat
pemilik simbol. Hasil pemaknaan itu adalah pemaknaan yang
hakiki dan filosofis yang berasal dari simbol-simbol milik
masyarakat. Hal terpenting dalam proses interpretasi herme-
neutik adalah munculnya sifat terbuka untuk diinterpretasi, baik
pada suatu fenomena maupun teks oleh si penafsir.

113

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Sumber: http ://img2. travelblog.org/Photos/ 1878/20541/f/94303-Candi-Brahma-1 jpg

Gambar 1.
Tafsir hermeneutik pada Candi Prambanan
(nilai keindahan dan nilai kesakralan)

114

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


BAB VI
BEBAS NILAI DAN
ETIKA KEILMUAN

Setiap ilmu pengetahuan menghasilkan teknologi yang


kemudian diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan
menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari peran ilmuwannya.
Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-
kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat, yang pada
akhimya akan membawa dampak persoalan etika keilmuan serta
masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang
ilmuwan baik secara akademis maupun profesi dan secara moral
hams "dipupuk" dan berada pada "tempat" yang tepat.

A. Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan


A. I. Pengertian Bebas Nilai
Bebas nilai dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu
masalah yang melibatkan persoalan sangat hakiki (filosofis),
yaitu persoalan aksiologi: nilai (value). Nilai yang dimaksud
adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai dan apa yang seharusnya

115

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


dinilai. Dalam filsafat, pengkajian tentang hal itu mengacu pada
permasalahan etika dan estetika. Penelitian etika lebih tertuju
pada nilai (value), yang selalu terkait dengan "apa yang baik"
dan "apa yang buruk" dilakukan manusia dalam perilakunya.
Adapun pengkajian estetika berkaitan dengan nilai tentang
pengalaman keindahan yang diperoleh manusia dalam ber-
interaksi dengan lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Pengalaman keindahan merupakan hasil pengalaman persepsi
yang sifatnya terlihat (visual), terdengar (auditory) , atau
sentuhan terhadap sesuatu yang melibatkan emosi atau perasaan.
Nilai etika dan nilai estetika merupakan "elemen" yang
dimiliki manusia dan bersifat sangat manusiawi. Setiap orang
memiliki kedua nilai tersebut, bahkan kedua nilai itu dapat
berbeda satu sama lain karena masing-masing individu memiliki
persepsi yang berbeda. Dalam kehidupan masyarakat, pertim-
bangan kedua nilai itu sangat berperan, terutama yang berkaitan
dengan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat, dan per-
timbangan nilai selalu disesuaikan dengan tolok ukur pandangan
hidup masyarakatnya. Sebagai contoh, Bapak Hadi menganggap
ketoprak humor telah melanggar pakem (semacam aturan dalam
seni pertunjukan tradisional Jawa: dalam hal ini ketoprak) dan
karenanya ia tidak menyukai seni pertunjukan tersebut. Berbeda
dengan Bapak Santo, yang justru menyukai ketoprak humor
karena mampu mengembangkan diri dan tidak terpaku pada
pakem tradisionalnya. Kedua contoh tersebut menyadarkan kita
bahwa masing-masing individu memiliki persepsi yang berbeda
tentang ketoprak humor dan mempunyai argumen tertentu untuk
menjelaskan tentang suka atau tidak suka terhadap seni
pertunjukan tersebut.
Di sisi lain, nilai etika dan nilai estetika dapat muncul pada
kehidupan ilmiah. Tentu saja bentuk kemunculannya berbeda
jika dibandingkan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Di
dalam kehidupan ilmiah (suatu penelitian) terdapat berbagai
pertimbangan nilai terhadap fenomena penelitiannya. Agar

116

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


pertimbangan nilai memiliki kadar rasionalitas yang baik,
masalah nilai (value) hams dikaji dari sudut ilmu filsafat atau
filsafat moral atau etika. Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu
empiris, selalu berkaitan dengan persentuhan inderawi, yaitu
kenyataan atau fakta empiris. Bagi ilmuwan, fenomena realitas
atau fakta akan dihadapi dengan pertimbangan yang menyangkut
fakta atau realitas an sich dan pertimbangan nilai. Mengapa?
Ilmuwan akan selalu berhadapan dengan kenyataan empiris dan
dihadapkan pula pada berbagai pertanyaan yang berkisar tentang
penelitian (hipotesa). Oleh karenanya diperlukan berbagai
pertimbangan apakah pertanyaan (hipotesa/asumsi) itu dapat
dijadikan titik awal sebuah penelitian. Untuk itulah, hal ter-
penting dalam uraian ini mengacu pada (a) pertimbangan fakta
dan pertimbangan nilai, (b) bagaimana nilai-nilai itu dibenarkan,
serta (c) nilai subjektif dan objektif.

A.2. Pertimbangan Fakta dan Pertimbangan Nilai


Pertimbangan fakta dalam sebuah kajian ilmiah menyang-
kut pertimbangan yang sangat deskriptif. Pertimbangan yang
bersifat deskriptif menyangkut pula pada pemyataan-pemyataan
deskriptif tentang kualitas empiris atau berbagai hubungan antara
gejala satu dan gejala lainnya. Penilaian tentang kualitas
pemyataan deskriptif ini akan berdampak pada munculnya
pandangan tentang hasil yang positif atau hasil negatif terhadap
pemyataan tersebut.
Sebagai contoh, apabila kita menyebutkan kata
"Indonesia", maka kata "Indonesia" akan memberikan penilaian
tentang kualitas kata itu. Pertama, Indonesia dapat dihubungkan
dengan keterangan tentang tempat, lokasi, wilayah, dan lain
sebagainya. Kedua, menyitir bait lagu "Indonesia Raya" ciptaan
W.R. Supratman, di situ terdapat kalimat "Indonesia tanah airku,
tanah tumpah darahku, .. .. " dan seterusnya. Kalimat itu
menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya sebatas wilayah saja,
tetapi tempat, tanah tempat Ali dilahirkan dan diberkati dan dia

117

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


hams berjuang mempertahankan tanah kelahirannya dari negara-
negara lain yang akan mencaploknya. Ketiga, dalam wacana
sekarang ini (abad ke-21), dan sering muncul di berbagai surat
kabar dalam negeri, sering diberitakan bahwa "Indonesia kini
sedang terpuruk". Pemyataan itu memjuk suatu pendapat bahwa
Indonesia diartikan sebagai kehidupan masyarakat Indonesia
yang sedang dilanda krisis ekonomi, moral, kepercayaan, serta
konflik antaretnis di beberapa wilayah yang tidak pemah selesai.
Kutipan-kutipan antara pemyataan pertama, kedua, dan ketiga
jelas sangat berbeda. Di situ terdapat pertentangan dan hal itu
jugalah yang menunjukkan bahwa dalarn pemyataan deskriptif
terdapat pertimbangan fakta yang bermuatan positif dan negatif.
Pertimbangan nilai mempakan suatu pertimbangan yang
berada pada dua kutub: kutub perasaan dan kutub pengetahuan.
Kedua kutub itu membuat seseorang hams mempertimbangkan-
nya secara benar. Tari Gambyong (Jawa) sangat indah, mencuri
itu tidak baik, perasaan iba terhadap anak terlantar adalah baik.
Pemyataan-pemyataan itu mengarahkan orang untuk memper-
hatikan dengan saksama: apakah pemyataan itu tentang benda-
benda konkret ataukah pemyataan tentang kebaikan dan
kebumkan dari sisi moral. Seseorang akan memberikan penilaian
tentang sesuatu dengan baik apabila ia telah dibekali dengan
sejumlah pengetahuan tentang kualitas persoalan dengan benar.
Oleh karenanya, dengan pikiran jemih, ia dapat memutuskan
penilaian yang dianggapnya baik.
Antara pertimbangan fakta dan pertimbangan nilai tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya saling berinteraksi
dan mempengamhi. Sebagai contoh, seorang mahasiswa
Fakultas Teknik diberi pertanyaan tentang apa yang hams ia
lakukan dengan waktu senggangnya. Apakah ia akan belajar
ataukah menggunakan waktu senggangnya dengan bermain bola
basket atau menonton film. Jawaban mahasiswa terse but tentu
akan mempertimbangkan keadaan dirinya, baik kondisi jasmani
maupun intelektualitasnya. Pengamatan terhadap keadaan

118

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


dirinya dengan cermat itulah yang diharapkan akan melahirkan
jawaban yang baik, meskipun akan terbuka segala kemungkinan
pertimbangan lain apabila ia telah melakukan relasi dengan
orang lain.

A.3. Bagaimana Nilai-nilai itu Dibenarkan


Judul anak sub-bab ini menggugah kita untuk berpikir
lebih lanjut dan memunculkan pertanyaan yang berkaitan dengan
pembenaran nilai: Apakah ada hubungan nilai dengan akal budi
manusia? Hubungan itu akan terjadi apabila manusia diposisikan
sebagai "penilai". Berkaitan dengan hal itu, muncul pertanyaan
lain: Apakah hanya akal budi manusia saja yang dapat menilai
sesuatu? Melalui akal budi dan kesadaran, seseorang mampu
berpikir tentang sesuatu, mampu memiliki imajinasi, dan mampu
berkreativitas. Apabila benar terjadi hubungan antara nilai dan
akal budi, maka yang menjadi persoalan adalah letak nilai itu
sendiri. Sebenamya nilai itu berada di mana? Apakah nilai itu
berada di dalam akal budi manusia ataukah berada di luar pikiran
manusia, berada pada benda-benda seperti kita menilai tentang
ukuran ruang dan bentuk? Ataukah nilai itu berada pada dua
kutub: kutub subjektif dan kutub objektif? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut hams dijelaskan nilai dasar dan
sifat nilai itu sendiri.
Pandangan tentang nilai-nilai memunculkan adanya nilai-
nilai dasar atau fundamental dan nilai-nilai yang bersifat
pragmatis: fungsional, eksperimental, dan dinamis. Di dalam
nilai dasar terdapat pembenaran yang sifatnya mutlak. Mengapa?
Nilai dasar muncul karena berasal dari agama, dari Tuhan
kepada manusia, atau nilai yang mengatasi "yang ada" di dunia
ini (transenden), serta nilai yang terdapat secara kodrat alamiah
di alam semesta.
Nilai yang lain adalah nilai yang mempertahankan sifat
pragmatis (nilai kegunaan, fungsi, dan eksperimental). Sifat

119

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


pragmatis suatu nilai diperlihatkan dengan jelas apabila memiliki
kegunaan bagi manusia. Nilai pragmatis dapat diarahkan pada
fenomena kehidupan manusia, alam, lingkungan, dan sebagai-
nya. Salah satu contoh adalah nilai pembenaran pragmatis
terhadap alam. Alam haruslah dilihat sebagai sesuatu yang
berubah, sesuatu yang dinamis dan tidak absolut. Alam akan
terbuka oleh kreativitas manusia melalui proses pencarian ilmu
pengetahuan dan teknologi. Di situlah manusia menilainya atas
dasar kesadaran atau intelektualitas dan kegunaannya bagi
manus1a.

A.4. Nilai Subjektif dan Nilai Objektif


Nilai subjektif dan nilai objektif merupakan hasil dari
pandangan yang muncul pada perkembangan filsafat, subjek-
tivisme, dan objektivisme. Subjektivisme menghasilkan gagasan
bahwa subjek berperan dalam segala hal, subjek atau kesadaran
manusia menjadi tolok ukur segalanya. Pandangan itu akan
menimbulkan penilaian yang disebut sebagai nilai subjektif.
Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan
berbagai "elemen" yang dimiliki akal budi manusia, seperti
perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu akan
mengarah pada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Contoh: seseorang mendengarkan lagu dangdut melalui radio
atau melihat matahari terbit di pagi hari. Perbuatan itu akan
menimbulkan rasa senang karena mendengar irama dangdut dan
rasa senang karena melihat betapa indahnya matahari terbit itu.
Tentu saja nilai subjektif seseorang dengan orang lain akan
memiliki kualitas berbeda, tergantung bagaimana "elemen" akal
budinya berperan.
Sarna dengan nilai subjektif, nilai objektif muncul karena
adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objek-
tivisme beranggapan bahwa tolok ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas
benar-benar ada. Objektivisme memunculkan nilai objektif.

120

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Banyak yang beranggapan bahwa nilai objektif terdapat di bumi
ini dan untuk itulah orang hams mencari dan menggalinya.
Sumber nilai objektif adalah fakta dan nilai-nilai fakta. Fakta
mengarahkan pada pengamatan yang deskriptif dan empiris,
sedangkan nilai fakta menampilkan kumpulan kualitas (seperti
bagus, cantik, indah, hamm, berbau busuk, dan sebagai-nya)
yang mengajak orang untuk mempertimbangkannya.
Bagaimanapun juga nilai subjektif dan nilai objektif hams
menjadi "pengimbang" bagi orang yang akan mempertimbang-
kan sesuatu dalam mengambil keputusan tentang penilaian.
Manusia, di mana pun dan kapan pun, selalu dihadapkan pada
berbagai pilihan untuk memutuskan sesuatu. Dengan penga-
laman hidup dan intelektualitas yang memadai, orang diharapkan
tidak terjebak dalam menilai sesuatu, tidak terjebak hanya pada
nilai subjektif atau nilai objektif saja. Oleh karenanya dalam
pengambilan setiap keputusan dibutuhkan berbagai pertim-
bangan berlandaskan rasionalitas.
Bagaimana dengan value, 'nilai', yang berada dalam ilmu
pengetahuan. Selain memperhatikan kriteria di atas, "nilai"
dalam ilmu pengetahuan juga hams memperhatikan "nilai lain"
yang ada pada manusia: kebebasan. Kebebasan mempakan
sesuatu yang sangat hakiki dan manusiawi, dan itu menjadi milik
manusia, siapa pun dia. Pada dasamya manusia mempakan
makhluk bebas: bebas berbuat apa saja, bebas menentukan
pilihan hidupnya, bebas memilih pasangan hidup, dan sebagai-
nya. Namun di dalam perjalanan hidup, manusia bersama-sama
dengan orang lain, bertemu dan berinteraksi dengan berbagai
pihak, bahkan bertemu dengan orang yang tidak disukainya. Di
dalam interaksi dengan berbagai elemen atau berbagai pihak,
manusia menjadi tidak bebas lagi. Ia terdeterminasi (terbatasi)
oleh lingkungan kerja, institusi, norma adat, hukum agama, alam,
dan sebagainya. Oleh karenanya manusia hams pandai dan
bijaksana menjaga interaksi dengan berbagai pihak agar
kebebasannya tidak menjadi "bumerang" baginya. Di dalam

121

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


kebebasannya itu, manusia mengisi hidup dengan unsur "nilai"
yang lain, yaitu tanggung jawab. Rasa tanggung jawab merupa-
kan implikasi atas "kebebasan" manusia yang ia wujudkan
dengan perilaku tertentu. Dengan demikian, kebebasan dan
tanggung jawab merupakan dua unsur hakiki manusia dalam
pencarian eksitensi jati dirinya.
Begitu juga dengan seorang ilmuwan. Sebagai manusia, ia
memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam melakukan
perbuatannya. Kebebasan yang dimiliki seorang ilmuwan adaiah
kebebasan ilmiah, misalnya kebebasan menentukan topik atau
tema tertentu dalam objek penelitiannya, bebas melakukan
eksperimen atau percobaan yang berkaitan dengan penelitiannya
di ruang kerja/laboratorium, atau bebas melakukan riset baik
secara individual maupun berkelompok. Kebebasan semacam
itulah yang dimiliki seorang ilmuwan, terutama dalam mengukur
kualitas kemampuannya.
Ketika seorang ilmuwan sedang melakukan penelitian, di
samping persepsinya tertuju pada proses kerja ilmiah, tujuan
penelitiannya pun diharapkan dapat berhasil dengan baik dan
sempuma. Semua itu merupakan harapan setiap ilmuwan. Ini
berarti nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya karena di
situlah nilai kebenaran, baik secara korespondensi maupun
koherensi, tampil dengan benar. Nilai subjektif terabaikan
terutama apabila ia tidak memperhatikan nilai-nilai yang muncul
akibat dampak hasil penelitiannya, misalnya nilai-nilai masya-
rakat, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Bagi seorang
ilmuwan, kegiatan ilmiah dan kebenaran ilmiahnya (teori
kebenaran) merupakan hal yang terpenting, tidak ada nilai lain
(nilai subjektif lain: nilai agama, nilai adat, nilai budaya, dan
sebagainya) yang dapat menghalangi kegiatan ilmiahnya. Ia
menjadi bebas nilai dalam sebuah penelitian, khususnya dalam
proses kegiatan ilmiah.

122

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


B. Etika Keilmuan dan Tanggung Jawab Ilmuwan
Etika merupakan suatu disiplin yang berada pada bidang
ilmu filsafat, lebih tepatnya pada bidang aksiologi. Secara
harfiah etika berasal dari kata Yunani, ethos, yang berarti cara
bertindak, adat, tempat tinggal, kebiasaan. Di sisi lain muncul
kata "moral" yang telah akrab bagi banyak orang. Orang sering
menggunakan kata-kata seperti "Orang itu tidak bermoral" atau
"Indonesia dilanda krisis moral". Lalu, sebenarnya moral itu apa?
Adakah kaitannya dengan etika?
Kata "moral" berasal dari bahasa Latin mos yang berarti
adat, cara bertindak, tempat tinggal. Dengan demikian, etika dan
moral memiliki arti yang hampir sama. Hanya, di dalam
perkembangan ilmu filsafat, dua kata itu dibedakan. Istilah etika
dipakai oleh filsuf besar Yunani, Aristoteles, untuk melihat
moral dari kaca mata filsafat; atau dengan kata lain, etika dapat
dikatakan sebagai berfilsafat tentang moral.
Di dalam berfilsafat tentang moral (etika), banyak hal atau
"elemen" yang dikaji secara kritis, dilandasi rasionalitas
manusia, seperti sifat hakiki manusia, prinsip kebaikan,
pertimbangan etis dalam pengambilan keputusan terhadap
sesuatu, dan sebagainya. Adapun moral lebih dilihat sebagai sifat
aplikatif, semacam wejangan atau nasihat tentang hal-hal yang
baik, bagaimana orang bersikap menjadi warga yang baik dalam
komunitas masyarakat tertentu. Itulah sebabnya di dalam
masyarakat muncul pemahaman moral yang bersumber dari
agama, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan suatu kelompok
atau sekte. Masyarakat Jawa, misalnya, memiliki kebiasaan yang
harus ditaati, yakni moralitas yang bersumber pada pandangan
hidup orang Jawa.
Dengan demikian, etika dapat dirumuskan sebagai "bagian
dari ilmu filsafat yang mempelajari berbagai value, 'nilai', yang

123

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


diarahkan pada perbuatan manusia, khususnya yang berkaitan
dengan kebaikan dan keburukan atas dasar hasil tindakannya" .
Etika keilmuan merupakan bagian dari etika normatif
berupa rumusan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung-
jawabkan secara rasional dan dapat digunakan atau diterapkan
dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar
ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral yang baik dan
menghindari yang buruk di dalam perilaku keilmiahannya,
sehingga mereka dapat menjadi ilmuwan yang dapat memper-
tanggungjawabkan perilaku ilmiahnya.
Seperti halnya etika dalam pengertian umum, etika
keilmuan juga memiliki prinsip-prinsip etis yang sesuai dengan
kaidah etika. Prinsip etika keilmuan berlandaskan pada apa yang
harus dilakukan di dalam ilmu pengetahuan dan apa yang secara
normatif harus dilakukan oleh seorang ilmuwan. Keharusan
moral (moral ought) merupakan subject mattter, ' pokok
persoalan', dalam etika keilmuan. Keharusan moral yang berada
pada etika keilmuan selalu mengacu pada "elemen-elemen"
kaidah moral (a) hati nurani, (b) kebebasan dan tanggung jawab,
dan (c) nilai, norma, serta sistem moral yang bersifat utilitaristik
(kegunaan) dan deontologis (maksud ilmuwan dalam melakukan
kegiatan penelitiannya).
Hati nurani merupakan fenomena moral yang sangat
hakiki. Hati nurani merupakan penghayatan tentang baik dan
buruk mengenai perilaku manusia. Hati nurani selalu dihubung-
kan dengan kesadaran manusia dan selalu terkait dengan situasi
yang konkret. Dengan hati nurani manusia akan sanggup
merefleksikan dirinya, terutama dalam mengenal diri sendiri atau
pun mengenal orang lain. Demikian pula seorang ilmuwan dalam
kegiatan ilmiah, terutama dalam menghayati mana yang baik dan
mana yang tidak, haruslah memiliki hati nurani yang dilandasi
dengan kesadaran.

124

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Kaidah moral yang lain adalah kebebasan dan tanggung
jawab. Bagi seorang ilmuwan, kebebasan mempakan sesuatu
yang sangat individual dan hakiki. Ilmuwan memiliki kebebasan
untuk menentukan topik penelitiannya, memiliki kebebasan
untuk menggunakan paradigma yang diinginkan, bebas untuk
menggunakan fasilitas laboratorium, dan seterusnya. Meskipun
demikian, dalam kebebasannya, ia akan berhadapan dengan
situasi tertentu yang berpotensi memunculkan keterbatasan-
keterbatasan. Ia berada pada suatu situasi yang dideterminasi
oleh faktor-faktor tertentu, misalnya institusi, sumber dana, dan
kemampuan intelektual. Untuk itulah seorang ilmuwan hams
menentukan pilihan agar kebebasannya memiliki makna yang
benar-benar berarti bagi dirinya.
Ada faktor lain yang berhadapan dengan kebebasan
manusia, yaitu tanggung jawab. Munculnya tanggung jawab
disebabkan oleh perilaku atau keinginan ilmuwan yang telah
memiliki kebebasan. Ilmuwan menjadi tidak bebas lagi ketika ia
telah bekerja di lembaga X, misalnya. la akan dideterminasi oleh
lingkup tertentu. Karena ia telah menyandang predikat sebagai
pegawai lembaga X dengan segala hak dan kewajibannya, maka
ia hams mempertanggungjawabkan apa yang telah ia lakukan
(dalam bekerja), baik terhadap diri sendiri, atasan, maupun
lembaganya.
Nilai dan norma lain yang hams berada pada etika
keilmuan adalah nilai dan norma moral. Apa yang menjadi
kriteria nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri
sendiri. Nilai moral akan muncul ketika berada pada atau
menjadi milik seseorang, dan karena itu nilai moral akan
bergabung dengan nilai-nilai lain seperti nilai agama, nilai
hukum, dan nilai budaya. Hal yang paling utama dalam nilai
moral adalah keterkaitannya dengan tanggung jawab seseorang.
Norma moral dapat menentukan apakah seseorang berperilaku
baik atau bumk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan

125

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia
sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Penerapan ilmu pengetahuan adalah hasil suatu ilmu
pengetahuan (dapat berupa teknologi, teori-teori yang men-
dukung emansipasi masyarakat, dan sebagainya) yang diterapkan
bagi kepentingan masyarakat. Ilmu pengetahuan akan menjadi
sesuatu yang tidak berguna apabila tidak memperhatikan pene-
rapannya di masyarakat. Apa yang menjadi kendala penerapan-
nya di tengah masyarakat? Apakah masyarakat menerima
ataukah menolak kehadiran ilmu pengetahuan itu? Selain itu, apa
yang kita peroleh apabila ilmu berada di tengah masyarakat?
Masyarakat akan menerima hasil suatu ilmu pengetahuan berupa
teknologi. Teknologi akan tercipta terus-menerus apabila ada
unsur penunjang berupa sarana dan prasarana yang memadai.
Siapa yang bertanggung jawab tentang kehadiran
teknologi? Apakah ada "sesuatu" yang seharusnya diberikan oleh
masyarakat atau pun lembaga tertentu pada ilmu pengetahuan?
Bagaimana dengan peran suatu departemen atau lembaga
negara? Kelompok ilmuwan pada umumnya mengidealkan
bahwa pemerintah atau lembaga-lembaga terkait mau berperan
dan peduli terhadap penelitian-penelitian. Diharapkan mereka
mau memberikan kontribusi dana untuk sarana dan prasarana
kegiatan penelitian.
Agak sulit dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Pemerintah atau lembaga lain tidak begitu mudah mengucurkan
dana bagi penelitian-penelitian. Banyak kendala yang dihadapi,
misalnya tema penelitian dianggap tidak sesuai dengan minat
pemberi dana, adanya persaingan antarpeneliti karena sedikitnya
penyandang dana dalam kegiatan ilmiah. Sementara itu tidak
banyak peneliti yang mau mandiri, mau mengeluarkan uang
sendiri untuk proyek penelitiannya. Terlepas dari masalah itu,
agaknya suatu penelitian akan selalu berkaitan dan berhadapan
dengan masalah nilai dan tanggung jawab si peneliti.

126

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Nilai dalam pengertian ini adalah suatu penilaian yang
dilakukan oleh orang dalam proses kegiatan ilmiahnya. Penilaian
dapat muncul dari orang lain, lembaga pendidikan, agama, dan
juga dari dalam diri si peneliti sendiri terhadap apa yang telah
dihasilkan dalam penelitiannya. Bagaimanapun juga, sifat teoritis
yang terdapat dalam suatu penelitian akan memunculkan sifat
lain, yaitu sifat terapan yang dihasilkan dari penelitian itu.
Atas dasar itulah maka "nilai" menjadi lebih berperan.
Bebas nilai atau tidak bebas nilaikah penelitian yang telah
dihasilkan oleh seseorang? Selama berada di dalam ruang
kegiatan ilmiahnya (misalnya di laboratorium), ia masih merasa-
kan adanya bebas nilai. Ia tetap dapat memusatkan perhatian
pada kegiatan ilmiahnya tanpa memproleh halangan dari
berbagai unsur luar. la tidak berhadapan dengan nilai-nilai yang
mencoba menghalangi kebebasannya dalam berkreativitas.
Apabila sifat teoretis penelitiannya telah berada di luar
laboratorium - yang berarti masyarakat luas telah menikmati,
membaca, dan menggunakan hasil penelitiannya - maka
penerapan ilmu pengetahuannya akan diuji oleh pandangan-
pandangan masyarakat, lembaga, atau pun agama: apakah hasil
penemuannya sejalan dengan apa yang dipikirkan lembaga itu
ataukah bertentangan dengan kebijakan peraturan pemerintah,
norma adat, dan sebagainya.
Di situlah peneliti berhadapan dengan nilai-nilai yang
berasal dari luar dirinya. Peneliti dengan hasil ilmu pengetahuan-
nya menjadi tidak bebas nilai. Di situlah juga tanggung jawab
ilmiah si peneliti dipertaruhkan: apakah ia akan menerima
penilaian masyarakat ataukah ia tetap bersikeras mempertahan-
kan idealismenya. Sebuah contoh yang menarik adalah penelitian
kloning. Kloning manusia akan menimbulkan kehebohan di
tengah masyarakat apabila benar-benar terjadi (dibandingkan
dengan kloning domba). Pro dan kontra akan timbul baik dari
pihak agama maupun masyarakat. Untuk memperjelas bagai-

127

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


mana hubungan antara nilai dengan penelitian, dapat dilihat pada
hagan No. 16.

Bagan 16. Bebas nilai dan tidak bebas nilai dalam penelitian
ilmiah

I Teoretis I----.. Hasil penelitian --+ I Be bas nilai

I
Penelitian

\
Penerapan Hasil Tidak bebas
di masyarakat
--+ penelitian Nilai

Nilai-nilai:
- Adat istiadat
- Agama
- Ideologi

Sumber: Irmayanti Meliono-Budianto, 2002: I 04

Bagaimanapun juga si peneliti hams selalu berhadapan


dengan pandangan-pandangan hidup yang terdapat di dalam
masyarakat, misalnya fanatisme berlebihan dari sekelompok
masyarakat yang tidak selalu bertumpu pada kebebasan ilmiah.
Hal-hal demikian seringkali memicu terjadinya benturan atau
konflik. Dalam keadaan yang demikian, pengetahuan ilmiah
hams dapat memberikan sumbangan besar untuk menampilkan

128

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


kesadaran yang lebih jelas tentang arti kebenaran ilmu penge-
tahuan. Dengan demikian kebebasan dalam mengemukakan
kebenaran ilmiah dapat dipahami dan diterima dengan lebih baik
oleh masyarakat.
Tanggung jawab ilmuwan memang selalu berkaitan dengan
apa yang telah ia hasilkan: teknologi (hasil ilmu pengetahuan).
Pada hakikatnya, teknologi merupakan penerapan akal budi
ilmuwan. Tanggung jawab ilmuwan ditunjukkan melalui sikap
terutama pada masalah akademis dan saat ilmu pengetahuannya
telah diterapkan pada masyarakat. Nilai dan norma moral men-
jadi tolok ukur bagi seorang ilmuwan dalam bidang akademis-
nya. Kejujuran akademis (menghindari predikat plagiator,
mengklaim karya orang lain menjadi karya sendiri, dan
seterusnya) sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan
ilmuwan. Kepekaan situasi dan mau belajar tentang mana yang
baik dan buruk dalam perilaku akademisnya akan membuat
seorang ilmuwan lambat laun menjadi ilmuwan yang bermoral
baik. Menjadi ilmuwan yang baik diperlukan suatu proses yang
cukup panjang. Dalam proses pematangan sikap perilaku etisnya
itu dengan sendirinya ia juga belajar menghargai karya ilmuwan
lain dan mampu berinteraksi guna membahas berbagai kebenaran
dalam penelitian ilmiah.
Tanggung jawab yang lain adalah berkaitan dengan
penerapan teknologi di masyarakat. Tidak setiap teknologi selalu
memiliki dampak positif ketika berada di tengah masyarakat.
Kadangkala terjadi dampak negatif: masyarakat menolak atau
menilai buruk terhadap teknologi yang telah ada. Apabila terjadi
semacam klaim atau kritikan terhadap ilmu, seorang ilmuwan
harus berjiwa besar, bersifat terbuka menerima kritik dari
masyarakat. Sifat kebenaran ilmu pengetahuan tidaklah absolut.
Begitu juga dengan ilmuwan. Ia tidak boleh menganggap ada
kemutlakan pada ilmunya, semacam scientisme (pandangan yang
mengatakan bahwa ilmunya paling benar).

129

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Ilmu pengetahuan sangat terbuka, terbuka oleh ide,
gagasan baru, inovasi baru, dan bahkan "melebur" dengan ilmu
lainnya (apabila memungkinkan). Justru itulah, dengan keadaan
yang demikian, ilmu pengetahuan akan semakin kaya dan kokoh
demi kepentingan umat manusia. Di tangan para ilmuwanlah
ilmu pengetahuan diharapkan dapat semakin bernilai, baik dari
segi metodologis maupun kepenting-an masyarakat. Dengan
demikian, di samping tertuju pada hasil penelitiannya, tanggung
jawab ilmuwan terkait pula dengan nilai dan norma moral yang
ada.

C. Etika Profesi Bagi Seorang Ilmuwan


Hal yang menarik dalam kajian ini adalah permasalahan
etika profesi. Ketika seseorang telah menyelesaikan studinya dan
menyandang gelar kesarjanaan, permasalahan berikutnya akan
selalu menyertai dirinya, terutama masalah etis. Bagaimana ia
hams bertindak dan berperilaku etis ketika ia telah bekerja atau
memiliki profesi tertentu. Apakah yang disebut dengan etika
profesi? Adakah kaitan antara etika profesi dan etika yang telah
ada?
Etika profesi merupakan bidang yang sangat diperlukan
bagi dunia kerja manusia, khususnya yang berkaitan dengan
kemajuan teknologi. Dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi,
dan arus globalisasi yang sedemikian pesat ini dibutuhkan
sumber daya manusia yang memiliki kecerdasan, keterampilan,
serta kepandaian dalam mengolah dan menguasai teknologi.
Selain menguasai pendidikan formal, sumber daya manusia
membutuhkan sarana untuk berpijak dalam bidang yang digeluti-
nya. Sarana itu adalah etika profesi. Mengapa etika profesi?
Etika profesi adalah etika yang berkaitan dengan profesi manusia
atau etika yang diterapkan di dalam dunia kerja. Di dalam dunia
kerja, manusia membutuhkan pegangan, membutuhkan berbagai
pertimbangan moral dan sikap yang bijak.

130

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Secara lebih khusus, etika profesi dapat dirumuskan
sebagai bagian dari etika yang membahas masalah etis tentang
bidang-bidang yang berkaitan dengan profesi tertentu, misalnya
dokter, insinyur, ahli ekonomi, psikolog, pustakawan, arsiparis
(kearsipan), profesional informasi, ahli hukum, dan pengacara.
Profesi (dalam bahasa Latin: professues) semula diartikan
sebagai suatu kegiatan manusia atau pekerjaan manusia yang
dikaitkan dengan sumpah suci. Atas dasar sumpah itulah
manusia harus bekerja dengan baik. Selain itu ada beberapa
istilah profesi yang harus dijelaskan. Profesi menyangkut tindak
kerja yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasil-
kan nafkah hidup serta mengandalkan keahlian tertentu.
Pengertian lain profesi adalah perbuatan seseorang yang
dilakukan untuk memperoleh nilai komersial. Selain itu terdapat
pengertian profesi sebagai moral community, 'komunitas moral',
yaitu adanya cita-cita dan nilai bersama yang dimiliki seseorang
ketika berada dalam lingkungan ternan sejawat dalam dunia
kerjanya.
Di sisi lain, seorang profesional hendaknya memiliki
sejumlah keahlian yang diperolehnya secara formal, misalnya
belajar di perguruan tinggi dan sekolah tinggi. Perolehan
keahlian secara formal sangat penting dan menjadi bagian
terpenting bagi seorang profesional ketika kelak di sumpah atas
dasar profesi tertentu. Tidaklah mungkin seorang dokter melaku-
kan sumpah jabatan (dokter) tanpa lebih dahulu menyelesaikan
studinya secara penuh. Dengan keahliannya, seorang profesional
(dokter) bekerja di suatu tempat, membuka praktek, dan mem-
berikan pelayanan kepada khalayak yang membutuhkannya.
Dalam kaitan dengan profesinya, seorang profesional
berhadapan dengan klien, pasien, atau pemakai jasa. Untuk itu
seorang profesional berhak menerima sejumlah honor atau
pembayaran atas dasar pelayanan yang telah diberikan.
Hubungan profesional tersebut terjalin berdasarkan semacam
kontrak kerja atau perjanjian yang telah disepakati bersama, dan

131

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


dengan kesepakatan itulah seorang profesional harus membela
kepentingan klien/pasien/pemakai jasanya dan kewajiban
seorang klien/pasien/pemakai jasa harus memberikan sejumlah
pembayaran yang juga telah disepakati bersama.
Dalam hubungan kerja antara profesional dengan klien
terdapat juga beberapa aspek moral atau pertimbangan-
pertimbangan etis. Aspek moral atau pertimbangan etis menjadi
landasan bagi kedua pihak untuk saling menjaga kepercayaan.
Segala bentuk pelayanan harus memiliki aspek pro bono publico
(segala bentuk pelayanan untuk kebaikan umum). Dalam
hubungan pelayanan itulah maka istilah "demi kebaikan umum"
dapat beraspek ganda. Pertama, adanya profesional yang
memiliki profesi khusus yang mementingkan pro lucro: demi
keuntungan maka pelayanan itu diberikan kepada klien. Kedua,
pro bono: demi kebaikan klien maka pelayanan yang diberikan si
profesional tidak semata-mata berdasarkan pembayaran. Aspek
pro bono dapat memunculkan profesional yang memiliki profesi
luhur, yaitu profesi yang tidak semata-mata mementingkan upah
melainkan berdasarkan pengabdian pada masyarakat, misalnya
seorang perawat, guru, dosen, dan rohaniwan.
Sesuatu yang tidak terpisahkan dari etika profesi adalah
kode etik profesi. Kode etik profesi merupakan "akibat" dari
hadimya etika profesi dan ia muncul karena etika profesi berada
pada komunitas tertentu yang memiliki keahlian sama. Kode etik
profesi merupakan aturan atau norma yang diberlakukan pada
profesi tertentu. Di dalam norma tersebut muncul beberapa
persyaratan atau kriteria yang bersifat etis dan harus ditaati oleh
para pemilik profesi. Di dalam masyarakat ilmiah - seperti
kedokteran, dunia ilmu perpustakaan, dan dunia ilmu sejarah -
akan muncul kode etik yang diberlakukan pada para dokter, para
pustakawan, para sejarawan yang tergabung dalam "wadah"
tertentu, yakni Ikatan Dokter Indonesia, Masyarakat Sejarah
Indonesia, dan sebagainya.

132

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Kode etik profesi tertua dimunculkan oleh Hippocrates,
bapak ilmu kedokteran, seorang dokter Yunani kuno yang hidup
pada abad ke-5 SM. Kode etik itu terkenal sebagai kode etik
profesi dan disebut dengan nama "Sumpah Hippocrates". Melalui
pemikiran-pemikiran etis, produk etika profesi itu muncul dalam
masyarakat moral (moral community) yang dianggapnya
memiliki cita-cita bersama dan disatukan dengan latar belakang
pendidikan dan keahlian yang sama. Refleksi etis muncul di
dalam kode etik profesi, karenanya kode etik dapat diubah atau
diperbaharui susunan aturannya atau dibuat baru demi situasi
atau kondisi yang baru akibat implikasi-implikasi yang muncul.
Perubahan kode etik tidak mengurangi nilai etis atau nilai moral
yang telah ada, tetapi justru menjadi nilai tambah bagi kode etik
profesi itu sendiri.
Selain itu, di dalam pernyataan-pernyataan atau kriteria
yang ada pada kode etik profesi termaktub pernyataan-
pernyataan yang berisi pesan moral dan rasa tanggung jawab
bagi mereka yang akan menjalankan profesi itu. Bila terjadi
pelanggaran kode etik profesi, pelaksana profesi tersebut akan
mendapatkan sanksi dari institusi atau lembaga profesi bersang-
kutan. Tujuan sanksi tersebut untuk menyadarkan betapa pen-
tingnya penegakkan tanggung jawab moral di dalam dunia kerja.
Sebagai sebuah kajian yang berkaitan dengan perilaku etis
manusia yang bekerja, etika terapan memiliki objek. Objek
tersebut disebut objek forma etika profesi. Objek forma atau
pokok perhatian etika profesi adalah perilaku manusia tentang
yang baik dan buruk yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Dalam kaitan dengan pekerjaannya itu, seseorang hendaknya
dapat memiliki kepekaan moral atau kepedulian etis untuk
bersikap baik terhadap sesama rekan kerja serta sesama manusia
yang berkaitan dengan profesinya tanpa merugikan pihak mana
pun.

133

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Etika profesi mempunyai tujuan: (1) memberikan penyu-
luhan tentang perilaku manusia yang baik, yang harus dilakukan
sesuai dengan profesinya; (2) adanya kepedulian etis yang
mendalam dan luas tentang problema manusia akibat kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya yang berkaitan
dengan ilmu-ilmu biomedis, ilmu-ilmu informasi, dan sebagai-
nya; serta (3) memperluas cakrawala para profesional agar dalam
pengambilan keputusan terhadap layanan profesinya memper-
timbangkan landasan etis dan kode etik profesi.

D. Etika Profesi sebagai Ilmu Praktis dan Ilmu


Terapan
Etika profesi hendaknya dilihat sebagai ilmu yang bersifat
praktis. Oleh karena itu kajiannya tidak meninggalkan segi atau
landasan teoritisnya. Sebagai ilmu praktis, etika profesi memiliki
sifat yang mementingkan tujuan perbuatan dan kegunaannya,
baik kegunaan secara pragmatis maupun secara utilitaristis dan
deontologis.
Memandang etika profesi secara pragmatis berarti melihat
bagaimana kegunaan itu memiliki makna bagi seorang
profesional melalui tindakan yang positif berupa pelayanan
terhadap klien, pasien, atau pemakai jasa. Sejalan dengan
kegunaan pragmatis, kegunaan yang bersifat utilitaristis akan
sangat bermanfaat apabila dapat menghasilkan perbuatan yang
baik. Seorang arsitek akan mendapatkan kebahagiaan apabila
rancang bangunnya dipakai dan diterapkan dalam pembuatan
sebuah gedung dan pada akhimya orang merasa puas atas
rancangannya.
Pada kegunaan etika profesi yang bersifat deontologis,
kegunaan akan dinilai baik apabila disertai kehendak baik.
Pelayanan kesehatan di rumah sakit "X" akan dinilai baik dan
sangat berguna bagi masyarakat umum apabila para doktemya

134

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


memiliki kehendak baik dalam menjalankan tugasnya. Kegunaan
secara deontologis tidak hanya memiliki unsur kehendak baik
saja tetapi disertai dengan kewajiban, yakni apa yang seharusnya
dilakukan. Menurur Kant, kewajiban moral mengandung
imperatif kategoris, artinya perintah (imperatif) yang mewajib-
kan begitu saja tanpa syarat. Seorang profesional menjalankan
tugas/kewajiban yang memang menjadi tanggung jawabnya
tanpa harus diperingatkan berulang kali oleh pimpinannya. Di
dalam penerapan profesi pada dunia kerja, seorang profesional
harus dibimbing oleh norma moral, yaitu norma yang mewajib-
kan tanpa syarat (begitu saja) dan tanpa disertai pertimbangan
lain.
Hal penting dalam etika profesi adalah kewenangan
seseorang dalam mengambil keputusan untuk melakukan
perbuatan tertentu sesuai profesinya. Untuk sampai pada
kewenangan yang seharusnya dilakukan dapat digunakan
semacam cara atau pendekatan tertentu. Pendekatan tersebut
tidak terlepas dari etika profesi dan kaidah filosofis . Mengapa?
Seseorang dengan kewenangan tertentu membutuhkan berbagai
pertimbangan yang arif agar putusan yang diambilnya tidak
merugikan kedua belah pihak (profesional-klien). Untuk itu,
pendekatan etika profesi sangat dibutuhkan dalam penanganan
suatu kasus dan pengambilan putusan.
Dalam mempelajari etika profesi, pendekatan yang harus
dipakai adalah pendekatan kritis-refleksif dan dialogis.
Pendekatan tersebut umumnya dipakai oleh seseorang yang
memiliki profesi tertentu (dokter, pustakawan, arsitek, dan
sebagainya) dalam menilai tentang apa yang telah ia lakukan
(perilaku kerja) terhadap bidang atau pekerjaan tertentu. Orang
perlu merenungkan dan mendialogkan segala sesuatu yang telah
ia lakukan selama bekerja, baik untuk saat itu maupun di masa
mendatang. Pendekatan itu bertujuan agar seseorang/seorang
profesional dapat bekerja dengan sebaik mungkin sehingga
tercapai tujuan yang diinginkan. Dalam berdialog, pertimbangan-

135

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


pertimbangan moral menjadi dasar bagi hubungan profesional
dengan klien. Pertimbangan-pertimbangan moral yang baik
membutuhkan sikap awal yang jernih dalam melihat kasus/
bentuk pelayanan, norma etis, cara berpikir yang logis dan
rasional, sekaligus informasi yang memadai tentang kasus atau
pun bentuk layanan yang akan ditanganinya. Melalui pendekatan
tersebut, seorang profesional bersikap aplikatif dalam menerap-
kan kaidah etika dan etika profesi terhadap sebuah kasus yang
ditanganinya.

E. Peran Etika Profesi dalam Ilmu Pengetahuan


Di mana etika profesi diletakkan? Milik siapa? Etika
profesi dapar diberlakukan pada (1) individu-individu yang
memiliki kewajiban-kewajiban tertentu, seperti kewajiban
seorang profesional informasi bagi seorang kliennya, atau
kewajiban seorang dokter bagi pasiennya, atau kewajiban
seorang pengacara terhadap kliennya; serta (2) etika profesi
dapat diterapkan pada kelompok-kelompok tertentu yang
memiliki profesi tertentu, misalnya kewajiban kelompok
wartawan atau jurnalis terhadap masyarakat pembacanya atau
kewajiban kelompok ilmuwan terhadap hasil temuan mereka
berupa teknologi.
Di sisi lain, bidang-bidang yang bersifat multidisipliner
atau kajian lintas-ilmu dapat menjadi media atau "lahan"
penerapan etika profesi. Dengan perkembangan dunia ilmu
pengetahuan dan kemajuan teknologi, etika profesi menjadi
semakin diperkaya karena adanya ilmu-ilmu tersebut.
Bagi seorang profesional yang bergerak dalam bidang
tertentu - seperti perpustakaan, kedokteran, disain interior, dan
pendidikan tinggi - etika profesi dapat berperan sebagai
"kompas" moral, penunjuk jalan bagi profesional berdasarkan
nilai-nilai etis (hati nurani, kebebasan - tanggungjawab,

136

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


kejujuran, kepercayaan, dan hak-kewajiban) dalam bentuk
pelayanan terhadap kliennya.
Peran yang kedua, etika profesi diharapkan dapat
menjamin kepercayaan masyarakat (klien) terhadap layanan
yang diberikan oleh profesional. Untuk itulah, harus diciptakan
semacam kode etik yang baik (kode etik pustakawan, kode etik
dokter, kode etik insinyur, kode etik dosen, dan sebagainya).

137

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


BAB VII
FILSAFAT TEKNOLOGI

Hasil kegiatan ilmiah adalah teknologi yang memiliki


tujuan dan berdampak pada munculnya masyarakat teknologi
dan kesadaran lingkungan, baik dari masyarakat teknologi
maupun masyarakat industrialis dan ilmiah. Melalui refleksi
kritis, orang akan memahami bahwa teknologi akan terkait
dengan proses epistemologi dan problem filsafat teknologi.

A. Apa Itu Filsafat Teknologi ?


Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan refleksi terhadap
ilmu pengetahuan, refleksi yang diarahkan pada proses cara kerja
ilmiah sekaligus pada hasil ilmu pengetahuan. Di sisi lain,
dampak pada ilmu pengetahuan di tengah kehidupan masyarakat
tidak hanya terbatas pada masalah bebas nilai maupun etika
keilmuan, tetapi juga pada teknologi.

Dalam kehidupan manusia pada abad ke-21, peran


teknologi sangat penting. Semua sektor kehidupan masyarakat
tidak terlepas dari penggunaan beragam teknologi, seperti mobil,
pesawat terbang, komputer, gedung pencakar langit, mesin
fotokopi, kamera digital, dan sebagainya. Teknologi seakan

138

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


menjadi cerminan kehidupan manusia. Persoalannya adalah,
apakah kita dapat melihat sisi lain dari teknologi. Ada apakah
sebenamya "di balik" teknologi itu? Pertanyaan tersebut
mengajak kita berfilsafat tentang teknologi.
Usaha menjawab pertanyaan di atas harus bertitik tolak
pada perumusan yang tepat tentang teknologi. Teknologi berasal
dari kata Yunani: techne (alat, keterampilan) dan logos (ilmu),
yang secara harfiah diartikan sebagai ilmu (seni) tentang
keterampilan (arts, skill). Oleh karena itu teknologi dapat
dirumuskan sebagai "studi tentang keterampilan atau membuat
sesuatu yang membutuhkan sejumlah materi tertentu (alamiah
atau buatan) disertai dengan aktivitas akal budi, dan keinginan
atau tujuan tertentu".
Filsafat teknologi merupakan studi untuk mengkaji
teknologi dari aspek filsafat. Dari sisi filsafat, teknologi dapat
ditempatkan pada tiga bidang utama, yaitu epistemologi,
aksiologi, dan metafisika. Hubungan teknologi dengan ketiga
bidang itu akan diuraikan secara lebih rinci pada sub-bab
berikutnya.

B. Hubungan Filsafat Teknologi dan Filsafat Ilmu


Dalam bidang epistemologi, pokok perhatian terletak pada
pengetahuan dan persoalan tentang kebenaran. Teknologi yang
canggih, terutama di era globalisasi ini, memiliki kriteria tertentu
sebagai sifat teoritis yang berasal dari ilmu pengetahuan. Antara
ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki hubungan timbal
balik. Keduanya membutuhkan instrumen untuk melakukan
observasi, "manipulasi", atau pun kalkulasi dalam cara kerjanya.

Teknologi diciptakan sebagai akibat dari adanya ilmu


pengetahuan yang semakin berkembang pesat. Sarna halnya
dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan muncul karena

139

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


proses kerja keras ilmuwan, dan kegiatan ilmiah berkembang
pesat karena adanya teknologi. Dengan kata lain, hasil ilmu
pengetahuan adalah teknologi, tetapi ilmu pengetahuan yang ada
akan maju serta berkembang apabila disertai dengan teknologi.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang begitu pesat dengan demikian
merupakan implikasi "sebab akibat" hubungan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Hubungan antara teknologi dan ilmu pengetahuan berlanjut
selama manusia masih mampu berkreativitas. Jadi benarlah yang
dikatakan orang, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan (modem)
pada abad ke-21 menjadi sebab bagi timbulnya teknologi
modem, begitu pun sebaliknya. Hal itu menunjukan bahwa sisi
epistemologi memegang kunci dalam kemajuan teknologi, kunci
pertanyaan epistemologis yang harus dijawab oleh ilmu penge-
tahuan. Ini berarti ada sisi pemikiran teori dan sisi pemikiran
praksis yang saling mengisi antar-keduanya. Lalu, siapa yang
harus melaksanakan itu semua? Masyarakat teknologilah yang
harus menjawabnya, karena masyarakat teknologi terdiri atas
para ilmuwan, penyandang dana/industri, dan masyarakat
pengguna teknologi.
Bagaimana hubungan teknologi dengan aksiologi? Dalam
membahas teknologi tentu tidak terlepas dari aspek value, 'nilai'.
Masyarakat teknologi, dalam hal ini masyarakat pengguna
teknologi, sangat berperan dalam melihat masalah nilai.
Mengapa? Anggota masyarakat sangat menginginkan (atau
mungkin tidak menginginkan) adanya teknologi. Keinginan
tersebut dapat dijadikan legitimasi keberadaan suatu teknologi.
Mereka dapat saja mengatakan dan menilai bahwa teknologi
(misalnya telpon genggam, komputer, mobil, dan senjata kimia)
dari sisi estetis dan sisi etis, misalnya, "indah dan tidak indah",
"bagus dan jelek", "menarik dan tidak menarik", "benar dan
salah", "baik dan buruk", sebenamya dapat dijadikan sebagai
potensi untuk menghadirkan teknologi. Bagi kelompok ilmuwan,
bahkan kelompok kapitalis (perusahaan-perusahaan raksasa di

140

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


balik teknologi), penilaian estetis dan etis (bebas atau tidak bebas
nilai) dari masyarakat luas akan menjadi semacam potensi dan
bahkan barometer untuk mawas diri. Apakah kehadiran
teknologi itu diterima ataukah ditolak oleh masyarakat?
Di sisi lain, teknologi tidak akan memiliki nilai estetis dan
nilai etis apabila tidak berada dan tidak digunakan oleh manusia.
Melalui manfaat dan kegunaannya, nilai estetis dan etis itu
muncul. Hal itu berarti sisi praksis teknologi adalah kegunaannya
(pragmatis) yang berkaitan juga dengan penerapan (aplikasi)
suatu ilmu pengetahuan. Melalui penerapan teknologi di tengah
masyarakat luas akan bermunculan pula values, 'nilai-nilai' yang
lain, seperti nilai agama, nilai sosial, dan nilai budaya. Sebagai
contoh, penerapan atau digunakannya senjata kimia oleh suatu
negara tertentu untuk mempertahankan negaranya, akan
mendapat kecaman dari negara-negara lain sebab senjata kimia
dapat berdampak buruk, terutama bagi kehidupan manusia secara
luas.
Bagaimana hubungan teknologi dengan metafisika?
Hubungan itu terlihat dalam upaya pencarian unsur hakiki pada
teknologi yang muncul melalui gagasan-gagasan manusia.
Berpikir secara metafisis berarti berpikir untuk mencari hakikat
sesuatu hal, baik secara ontologis maupun secara transenden.
Melalui analogi pernyataan tersebut di atas, berpikir metafisis
pun dapat diterapkan pada teknologi. Apabila dilihat secara
kritis, di balik teknologi terdapat konsep atau pemikiran
manusia; bahkan ada yang mengatakan bahwa teknologi tidak
lain identik dengan akal budi manusia atau perpanjangan tangan
manusia.
Melalui imajinasi, kreativitas, dan manipulasi, akal budi
manusia mampu menciptakan teknologi dari yang paling
sederhana hingga yang tercanggih. Itulah kehebatan akal budi
manusia. Ia mampu "memindahkan alam" ke dalam bentuk
tertentu, seperti sejuknya hawa pegunungan digantikan dengan

141

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


mesin pendingin (air conditioning), sinar matahari digantikan
dengan sinar lampu, dan sebagainya. Semakin canggih dan
mutakhir teknologi, semakin canggih dan mutakhir pula konsep
berpikir manusianya.
Bagaimanapun, teknologi (yang telah dinikmati oleh umat
manusia) selalu memunculkan pertanyaan atau problem
metodologi. Problem metodologi terkait dengan teori kebenaran
secara koherensi. Keterkaitan secara koherensi tidak hanya pada
ilmuwannya saja, tetapi juga pada masyarakat pengguna
teknologi. Bahkan mereka mempertimbangkan dan memutuskan
(melegitimasi) secara pro dan kontra tentang keberadaan
teknologi.
Ilmu pengetahuan sendiri sebenarnya tidak berkaitan
dengan berbagai value, 'nilai'. Mengapa? Sebab ilmu pengeta-
huan terkait dengan proses kerja ilmiah, proses metodologis yang
berada pada wilayah "teori". Adapun wilayah praksis merupakan
wilayah yang menerima hasil-hasil ilmu pengetahuan itu: apakah
berupa barang yang sudah siap pakai, ataukah hams merakit
suatu benda, dan sebagainya. Salah satu bentuk pengujian
teknologi (merupakan bagian dari cara metodologis) adalah
reaksi masyarakat dalam menerima dan menggunakan teknologi:
memunculkan reaksi positif, lantas menerima dengan baik
teknologi itu; ataukah reaksi negatif, yakni menolak kehadiran
tekologi. ltulah salah satu tolok ukur praktis untuk melihat dari
sisi metodologis teknologi. Untuk memperjelas hubungan antara
teknologi dengan epistemologi, estetika, dan metafisika dapat
dilihat pada bagan No. 17.
Berbagai hubungan dan fenomena yang terkait dengan
teknologi dan berbagai sisi epistemologis, aksiologis, metafisis,
dan metodologis dapat menjadi potensi bagi munculnya
teknologi modern, terutama ketika manusia memutuskan untuk
membuat teknologi baru. Pertanyaan etis dan estetetis dalam
filsafat teknologi telah menggugah kita untuk berpikir lebih

142

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


lanjut, bahwa dalam menentukan dan memutuskan teknologi
seperti apa yang akan dilahirkan terdapat pemikiran yang tidak
hanya berlandaskan segi kualitatif saja tetapi segi kuantitatifnya
juga.

Bagan 17. Hubungan teknologi dengan epistemologi, estetika,


dan metafisika

Epistemologi

Aspek praktis _ _.,.. Aspek teoretis


+---

Aksiologi Metafisika

i
Aspek kualitas dan kuantitas

Segi kualitatif menampilkan kualitas, keindahan suatu


benda; sedang segi kuantitatif menampilkan perhitungan
(semacam kalkulasi) matematis tentang kekuatan suatu benda
apabila benda itu dioperasionalkan. Di masa kini, abad
kontemporer teknologi harus dilihat dari berbagai aspek; aspek
kualitas dan aspek kuantitas. Sebagai contoh, sebuah mobil tidak
hanya dilihat dari segi praksis-pragmatisnya saja, misalnya

143

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


kekuatan mesin dan daya kecepatannya saja, tetapi juga hams
menampilkan segi estetisnya; keindahan tidak hanya dilihat dari
segi bentuk (model), tetapi dari beberapa aspek, misalnya warna,
atau nilai plus lainnya, seperti sarana audio, pendingin ruangan,
dan tempat duduk yang nyaman. Contoh tersebut menunjukkan
bahwa sisi kualitas dan kuantitas tidak boleh ditinggalkan,
bahkan menjadi pendukung utama bagi kehadiran teknologi.

C. Dampak Teknologi Terhadap Masyarakat


lmplikasi teknologi terhadap kehidupan masyarakat
merupakan suatu realitas yang menakjubkan. Alam semesta
seakan-akan diubah oleh teknologi. Pernyataan tersebut mem-
bawa kita pada persoalan ontologis dan metafisis. Alam di
sekeliling manusia menjadi realitas bagi manusia untuk diamati
dan dipikirkan lebih lanjut: apakah alam dapat berguna bagi
manusia.
Bagi manusia, alam dapat menjadi "ide" untuk dimani-
pulasi, sehingga diciptakan teknologi yang sebenarnya meniru
alam (sinar matahari, sejuknya udara pegunungan, kekuatan
angin, dan sebagainya). Ini berarti "model" representasi seluruh
kekuatan alam akan menjadi kunci bagi teknologi. Manusia
melihat elemen alam secara metafor untuk kemudian dimani-
pulasi melalui kekuatan teknologi. Konsep metafisis (gagasan,
konsep kekuatan alamiah) tentang mekanisme alam semesta
dipinjam oleh teknologi untuk kemudian diolah sehingga
menjadi teknologi yang sesuai dengan keinginan manusia.
Dampak teknologi pada masyarakat adalah terbentuknya
suatu masyarakat teknologi, terlebih pada era abad ke-21 ini.
Masyarakat teknologi terbentuk oleh kemunculan teknologi.
Masyarakat teknologi yang terdiri dari kelompok ilmuwan,
pemilik dana, dan masyarakat pengguna/industri ternyata
memiliki identitas tertentu. Identitas itu muncul antara lain

144

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


karena adanya (a) keinginan untuk hidup lebih nyaman, (b)
kebutuhan informasi dan berkomunikasi lebih cepat, (c) faktor
kerja, (d) faktor ekonomi, dan (e) faktor sosial budaya.
Beberapa faktor tersebut mempengaruhi sikap, gaya hidup,
dan persepsi seseorang terhadap alam lingkungannya, baik
secara positif maupun negatif. Secara positif, masyarakat tekno-
logi akan menghargai alam lingkungannya dengan memperhati-
kan bahwa tekonologi dibuat tidak untuk merusak atau meng-
hancurkan lingkungan, tidak merugikan umat manusia, dan tidak
untuk kepentingan (baik secara ekonomis, maupun politis)
sekelompok masyarakat tertentu. Secara negatif akan terlihat
bagaimana masyarakat teknologi berlomba-lomba menciptakan
teknologi dan digunakan hanya untuk kepentingan masyarakat
tertentu atau kelas tertentu, bahkan teknologi sengaja diciptakan
untuk merusak lingkungan.
Pada situasi (budaya, sosial, ekonomi, dan politik) tertentu,
peran masyarakat teknologi sangat dibutuhkan terutama untuk
menghindari implikasi negatif dari teknologi. Masyarakat tekno-
logi dapat berperan secara lebih bijaksana, khususnya dalam
menentukan atau melegitimasi pengambilan keputusan untuk
membuat teknologi. Bagaimanapun masyarakat teknologi selalu
terkait dengan masyarakat industri, sehingga dibutuhkan
kerjasama yang baik dengan berlandaskan nilai etis/moral dan
nilai estetis.
Peran lain masyarakat teknologi adalah sosialisasi tentang
pentingnya teknologi dalam kehidupan masyarakat, khususnya
bagi sebagian masyarakat yang belum memahami betapa
pentingnya teknologi pada abad kontemporer ini. Sosialisasi itu
dapat berupa pembelajaran tentang bagaimana mengenal,
mengoperasikan, dan menyayangi (merawat) teknologi, serta
pentingnya teknologi untuk meningkatkan kemajuan masyarakat.
Di sisi lain, alam lingkungan di sekitar manusia menya-
darkan kita bahwa manusia juga harus memiliki kesadaran

145

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


terhadap lingkungan dengan cara menyayangi, merawat, dan
menghormati semua organisme yang tumbuh dan berada
disekelilingnya. Upaya itu dapat dilakukan melalui kerjasama
antara masyarakat teknologi dengan kelompok industri dan
pemilik modal, agar menghasilkan teknologi yang ramah
lingkungan. Dengan demikian akan muncul pula kesadaran
lingkungan yang dibentuk dari persepsi masyarakat teknologi,
masyarakat industri, dan masyarakat ilmiah, melalui kerjasama
antarkelompok itu demi kemajuan kehidupan umat manusia yang
semakin dipermudah melalui berbagai teknologi yang
diciptakannya.

146

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


BAB VIII
PENUTUP

Mempelajari filsafat ilmu pengetahuan merupakan langkah


awal memasuki dunia ilmiah. Dunia ilmiah tidak hanya dibentuk
atau dibuat hanya sekejap, tetapi dibentuk melalui proses yang
amat panjang. Berbagai penemuan pengetahuan telah diawali
pada masa silam. Kejayaan Yunani, Eropa, Persia, dan Arab
pada masa lalu merupakan warisan/peninggalan pengetahuan
yang menjadi bukti bahwa dunia ilmu pengetahuan telah ada
sejak lama. Orang telah mengenal nama Aristoteles, Ibnu Sina,
hingga Einstein dan tokoh-tokoh penggagas serta penemu ilmu
pengetahuan lainnya melalui karya jenius mereka yang
diwariskan kepada anggota masyarakat dunia. Ilmu pengetahuan
tidak hanya menjadi milik sekelompok orang saja, tetapi menjadi
sesuatu yang universal, menjadi milik masyarakat dunia.
Landasan kegiatan ilmiah adalah pemahaman akan filsafat.
Ini berarti berfilsafat mengajak kita berpikir kritis, bertanya,
merasa heran, meragukan tentang sesuatu, serta berdialog dengan
orang yang mungkin saja berbeda cara pandangnya dengan kita.
Keadaan itu membuat manusia berkeinginan mengetahui tentang
sesuatu dan pada akhimya ia akan mendapat pengetahuan
tentang sesuatu itu. Itulah awal proses mendapatkan pengetahuan

147

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


yang sangat sederhana; ada hubungan antara subjek, pengenal,
dengan objek yang dikenalnya.
Dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan, pemahaman tentang ciri
dan cara kerja ilmu pengetahuan membawa pada persoalan yang
sangat mendasar, yaitu adanya perbedaan antara ilmu penge-
tahuan dan pengetahuan. Perbedaan itu tertuju pada bagaimana
masing-masing bidang tersebut memperoleh pembenarannya.
Dengan demikian, wilayah pengetahuan dalam kaitannya dengan
filsafat menjadi landasan dasar bagi filsafat ilmu pengetahuan.
Batas-batas, watak, dan struktur pengetahuan menjadi semacam
tolok ukur untuk memasuki filsafat ilmu pengetahuan.
Karena itulah, mengapa tokoh-tokoh atau kelompok pem-
baharuan dalam filsafat ilmu pengetahuan - seperti Lingkaran
Wina, Karl Popper, Thomas Kuhn, dan Feyerabend - saling
"berlomba" memperlihatkan bagaimana cara yang paling benar
dalam memperoleh ilmu pengetahuan secara de jure . Akhir
pemikiran positivistik dilanjutkan dengan munculnya pemikiran
yang anti positivistik dari kelompok Mazhab Frankfurt dengan
teori kritisnya yang emansipatoris. Setelah itu muncullah
gelombang pemikiran kontemporer, poststrukturalis, dan post-
modemisme dengan tokoh seperti Derrida dan Lyotard, yang
selalu mencari wajah baru dengan perubahan atau dekonstruksi
terhadap berbagai kemapanan tatanan yang ada di masyarakat
disertai suatu identitas anggota kelompok tersebut.
Pada bagian Metodologi Ilmu Pengetahuan, beberapa hal
yang harus dicermati ditujukan pada metodologi ilmu
pengetahuan. Kecermatan itu bertujuan untuk memahami bahwa
ilmu pengetahuan memiliki elemen-elemen yang dibentuk
sedemikian rupa sehingga menjadi susunan ilmu yang kokoh, di
mulai dengan observasi, mencermati fakta, mengidentifikasi
data, kategorisasi, merumuskan masalah, menerapkan teori, dan
menganalisis, sehingga hasil penelitian terbukti kebenarannya.
Susunan ilmu mirip seperti bangunan rumah yang memiliki

148

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


susunan batu bata yang tersusun rapi sehingga rumah itu menjadi
kuat dan kokoh. Analogi semacam itu diandaikan pada ilmu
pengetahuan, makin kuat landasannya, makin kuat pula
susunannya. Bangunan ilmu akan menjadikan susunan ilmu itu
menjadi ilmu pengetahuan yang kokoh sekaligus terbuka oleh
kreativitas atau kritikan ilmuwan berdasarkan paradigma yang
telah ada atau paradigma baru yang dibentuk oleh konstruksi
teori-teori yang ada.
Bebas nilai dan etika keilmuan membahas ilmu penge-
tahuan dan tanggung jawab ilmuwan dari segi aksiologi (nilai).
Nilai (value) tampil pada ilmu pengetahuan ketika timbul
pertanyaan "apakah ilmu itu bebas nilai ataukah tidak bebas
nilai". Untuk menjawabnya diperlukan berbagai pertimbangan,
di mulai dari pertimbangan fakta, pertimbangan nilai, dan
"berdiri" di atas dua kutub: kutub perasaan dan kutub penge-
tahuan. Begitu juga dengan nilai subjektif dan nilai objektif serta
etika keilmuan yang dimiliki oleh seorang ilmuwan dapat
menjadi landasan berpijak apakah ilmu itu bebas nilai ataukah
tidak bebas nilai.
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat digarisbawahi
bahwa filsafat ilmu pengetahuan merupakan refleksi kritis
terhadap ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan. Seseorang yang
mempelajarinya haruslah merenungkan bahwa sebenamya ia
sedang berfilsafat tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
tidak dilihat sebagai suatu hasil atau produk yang instan,
dikonsumsi begitu saja, melainkan sebuah aktivitas, sebagai
suatu proses ilmiah yang senantiasa berubah serta menumbuhkan
sesuatu yang baru, khususnya dalam sejarah penemuan ilmu
pengetahuan. Hal itu mungkin terjadi apabila ilmu dan si peneliti
berada dalam semangat dan sikap keterbukaan terus-menerus.
Kegairahan untuk semakin mendekati kebenaran menandai
seluruh usaha ilmu yang tidak pemah selesai.

149

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Terbukanya suatu hal dalam fenomena kehidupan manusia,
akan memperlihatkan berbagai hal yang masih perlu "dibuka"
lagi dalam proses kegiatan ilmiah. Meskipun berbagai dampak
negatif muncul dari ilmu pengetahuan dan teknologi, namun hal
itu tidak membuat ilmu pengetahuan menjadi terhenti. Justru di
sanalah orang akan menjumpai dinamika, baik dari segi etis,
masalah bebas nilai atau tidak bebas nilai dalam ilmu
pengetahuan, maupun dari teknologi melalui beragam bentuk
dan pencapaiannya.
Refleksi kritis terhadap teknologi merupakan bagian yang
penting bagi "perjalanan" filsafat ilmu pengetahuan khususnya
yang terkait dengan context of justification dan context of
discovery. Filsafat teknologi memiliki beberapa aspek seperti
aspek teoretis, praktis, kualitas, kuantitas pada proses kegiatan-
nya, maka hal itu akan menampilkan nilai kultural bagi
masyarakat yang menerima dan menggunakan teknologi. Nilai
kultural inilah yang akan berdampak pada masyarakat untuk
menerima dan menggunakan teknologi dengan arif untuk
kepentingan dan kebaikan kehidupan manusia.

150

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


DAFTAR PUSTAKA

Baggini, Julian & Peter S.Fost. 2004. The Philospher 's Toolkit,
A Compendium of Philosophical Concepts and
Methods, USA: Blackwell Publishing
Bagus, Lorens. 1991. Metafisika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama
Beerling, Kwee dan Mooij. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu .
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Bertens, Kees. 1981. Filsafat Barat Dalam Abad XX. Jakarta:
Gramedia .
- - -. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
_ _ _. 1996. Filsafat Barat Abad XX Jilid II Francis, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Couvalis, George. 1997. The Philosophy of Science, Science and
Objectivity. London: Sage Publications.
Creswell, John W. 1994. Reasearch Design, Qualitative &
Quantitative Approaches. London: Sage Publications.
Doren, Charles van. 1992. A History of Knowledge, Past,
Present, and Future. New York: Ballantine Books.
Ferre, Frederick. 1995. Philosophy ofTechnology. USA: The
University of Georgia Press.
Gjertsen, Derek. 1989. Science and Philosophy. London:
Penguin Books.
Goodman, Nelson & Catherine Z. Elgin. 1988. Reconceptions in
Philosophy & other Arts & Science. London: Routledge.
Guba, Egon G. 1990. The Paradigm Dialog. Newbury Park-
California: Sage Publications.

151

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Habermas, Jurgen. 1997. The Theory of Communicative Action,
Vol. I Reason and the Rationalization of Society,
translate By Thomas McCarthy, Cambridge: Polity
Press.
Hardiman, Budi F. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif.
Yogyakarta: Kanisius.
Harre, R .. 1988. The Philosophies of Science. Oxford; Oxford
University Press.
Hospers, J. 1953. An Introduction to Philosophical Analysis.
London: Prentice Hall.
Irmayanti, V. 1997. Permainan Bahasa Wittgenstein , Bogor:
Maharini Press.
Lash, Scott. 1990. Sociology of Postmodernism. New York:
Routledge.
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta:
Kanisius.
Losse, John. 1980. A Historical Introduction to the Philosophy of
Science . Oxford: Oxford University Press.
Meliono-Budianto, Irmayanti. 1998. Simbolisme dalam
Wiwahan, Suatu Kajian Filosojis dalam Tradisi Jawa,
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, disertasi.
_ _ _. 2002. Realitas dan Objektivitas Rejleksi Kritis Atas
Cara Kerja Ilmiah , Jakarta: Wedatama Widya Sastra
(cet.ke 2. 2004)
_ _ _. 2004. Ideologi Budaya, Jakarta: Kota Kita
_ _ _ . 2007. Simbolisme Perkawinan Jawa. Depok: Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Universias Indonesia.
McGinn, Colin. 1999. Knowledge and Reality. Oxford:
Clarendon Press.
Melsen, A.G.M. van. 1985. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung
Jawab Kita, diterjemahkan oleh Kees Bertens. Jakarta:
Gramedia.

152

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Nolt, John & Dennis Rohatyn.2006. Logic. USA:McGraw-Hill
Papineau, David (ed). 2001. The Philosophy of Science. Oxford:
Oxford University press.
Peursen, C.A. van. 1985. Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah
Pengantar Filsafat Ilmu. Jakarta: Gramedia.
Russell, Bertrand. 1986. The Problems of Philosophy. Oxford:
Oxford University Press.
Shah, A.B., 1986.Metodologi Ilmu Pengetahuan, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Soekadijo, R.G. 1985. Logika Dasar Tradisional, Simbolik, dan
Induktif. Jakarta: Gramedia.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Surajiyo, dkk. 2006. Dasar-Dasar Logika. Jakarta: Bumi Aksara
The Liang Gie, Suhartoyo Hardjosatoto, dan Endang Daruni
Asdi. 1980. Pengantar Logika Modern Jilid I
Yogyakarta: Karya Kencana
Titus, Nolan & Smith. 1984. Persoalan Persoalan Filsafat,
penerjemah HM Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
Torretti, Roberto. 1999. The Philosophy of Physics. Cambridge:
Cambridge University Press.
Verhaak, C & R. Haryono Imam. 1995. Filsafat Ilmu
Pengetahuan, Telaah atas cara kerja ilmu-ilmu. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Winch, Peter. 1977. The Idea of a Social Science and its relation
to philosophy. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
Gambar Candi Prambanan.
http://img2.travelblog.org/Photos/1878/20541/f/94303-
Candi-Brahma-l.jpg. <Akses tanggal 18 September
2009>.

153

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


INDEKS
buday~2 , 6 , 7 , 19, 24, 26, 44, 45,
A 58, 59, 62, 63 , 71 , 84, 91 , 94,
108, 109, 122, 125, 141 , 145
Abad Pertengahan, 4, 24, 26, 43 ,
70
absolut, 29, 69, 72, 82, 83 , 120,
c
129 causa, 38
action, 14, 73 , 108 Cogito Ergo Sum , 39
akademis, 6, 115, 129 context of discove1y, 33 , 48, 150
aksiologi, 8, 9, 12, 29, 30, 31 , 96, context ofjustification, 33 , 34, 47,
115, 123, 139, 140, 149 90, 150
analisis, 15 , 36, 38, 57, 63 , 89, 90,
94, 102 D
anarkistik, 42
antitesa, 13 de facto, 28, 33
antroposentris, 43 , 45 de jure, 28, 33 , 34, 76, 148
ap eiron, 3 deconstruction, 58
aposteriori, 41 deduktif, 40, 72, 73 , 86, I 04, I 05,
apriori, 32, 41, 99 106
Aristoteles, 3, 4, 22, 27, 37, 38, definisi, 91 , 92
40, 42, 96, 123,147 deontologis, 124, 134
aspek, 7, 9, 11 , 22, 33 , 34, 65, 80, Descartes, 38, 39, 98
81 , 83 , 85, 96, 103, 132, 139, deskriptif, 69, 78, 79, 92, 100,
140, 143, 150 102, 117, 118, 121
Aufklaerung, 5, 6, 44, 70 dialektika, 12, 13, 83
dialog paradigma, 85
B dialogis, 36, 67, 135

Barat, 4, 6, 22, 36, 40, 58, 60, 62, E


151
bebas nilai , 58, 115, 122, 127, Edmund Husser!, 12
128, 138, 141 , 149, 150 Eidos, 13
Biologi, I 02 ekspresif, 78, 79
Britanica, 6 eksternal, I 0, 28, 33
emansipatoris, 60, 67, 148

154

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


empiris, 19, 20, 23 , 32, 33 , 36, 38, fils a fat ilmu pengetahuan, 2, 14 7,
40, 41,48,49,50, 51, 57,60, 148, 149, 150
67, 72, 75 , 76, 83 , 86, 99, 100,
101, 102, 103, 104, 105, 106, G
108, 117, 121
episteme, 9, 29 gagasan,2,9, 14,37,39,40, 49,
epistemologis, II , 31 , 33 , 55, 62, 50,57, 60, 71 , 78, 96, 97, 100,
68,69, 84, 85 , 140,142 113, 120, 130, 141 , 144
estetika, 2, 9, 79, 116, 142, 143 geometri Cartesian, 39
ethos, 123 globalisasi, 7, 15, 70, 130, 139
etika, 9, 15, 30, 31 , 79,115,116,
123 , 124, 125, 130, 131, 132, H
133, 134, 135, 136, 137, 138,
149 hermeneutik, 67, 73 , 83, 85, 110,
etika keilmuan, 115, 124, 125, Ill, 112,113 , 114
138, 149 hilemorfisme, 4, 37
etikaprofesi, 130,131,132,133 , hipotesa, 85, 117
134, 135, 136, 137 hipotesis, 36, 50, 51 , 73 , 75, 76,
etis, 30, 31 , 32, 123 , 124, 125, 83, 89,91,93 , 94
130, 131, 132, 133, 134, 136, historis, 2, 3, 7, 8, 28, 33 , 52, 53,
140, 141 , 142, 145, 150 54,59
humanisme, 5, 24
hyle, 37, 44
F
falsifikasi , 49, 50, 51, 56, 91
fanatisme , 15 , 128
feminis , 70 ideologi, 50, 51 , 55
fenomena, 1, 2, 8, 11 , 13, 35, 36, ilmu deduktif, 86, I04, I 05
51 , 53 , 71 , 72, 80, 81, 82, 88, i1mu empiris, 33 , 38, 40, 41 , 48,
90, 91 , 92, 97, 109, 110,113, 60, 72, 75 , 86, 101 , 102, 103 ,
116, 120, 124, 142, 150 104, 106, 117
fenomenologi , 12 ilmu kemanusiaan, 108, 109, 110
fenomenologis, 12, 36, 113 ilmu pengetahuan, 2, 4, 5, 6, 7, 8,
Feyerabend,42,53 , 54,55, 148 9, 14, 22, 24, 25, 31, 32, 33,
filsafat, 1, 2, 6, 7, 8, 9, 11 , 12, 14, 34,35,36,38,39, 41,42,43 ,
15,28,29,30,31,32,36,38, 44,45,46,47,48,49,50, 51 ,
40,41,48,52, 53,54,57,58, 52,53,54,55,56,58,60,61,
59, 60, 62, 67, 70, 71, 72, 80, 62,66,67,69, 71, 72, 77, 78,
90,96,97, 100, 102,116,117, 79,81, 83, 84, 86, 87, 89,90,
120, 123 , 138, 139, 142, 147, 91, 93, 95, 100, 101 , 102, 104,
148, 149, 150 115, 120, 121, 124, 126, 127,
129, 130, 134, 136, 138, 139,

155

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


140, 141 , 142, 147, 148, 149, kreativitas, 36, 43 , 51 , 81 , 87, 88 ,
150 101 , 113, 120, 141 , 149
ilmuwan, 7, 15, 25 , 28, 29, 31 , 32, kritis, I , 2, 7, 8, 10, 12, 13 , 15, 16,
34, 35 , 42, 44, 46, 47, 48, 52, 20, 21 , 29, 30, 32, 34, 35, 36,
53 , 54, 55, 56, 58, 62, 74, 76, 42,46,51 , 53 , 56, 57,63,67,
77, 79, 80,81 , 83 , 84, 87, 88, 71, 79, 96, 113, 123, 135, 138,
90, 91 , 93,97, 102, 115, 117, 141, 147, 149, 150, 152
122, 124, 125, 126, 129, 130, kualitas, 18, 23 , 30, 41 , 72, 109,
136, 140, 144, 149 117, 118, 120, 121 , 122, 143,
imago dei, 4 150
imperatif, 79, 135 kualitatif, 72, 79, 88, 109, 143
inderawi, 16, 17, 18, 21 , 29, 37,
41 , 47, 51, 65, 78, 97, 100, L
101 , 102, 104, 108, 117
induktif, 37, 72, 73, 75, 83, 103, Liberal Arts, 27
104, 153 lingkungan, I, 2, II , 19, 30, 59,
intelektual, 6, 9, 26, 42, 43 , 44, 84, 116, 120, 121 , 131 , 138,
60, 78, 86, 125 145
internal, 10, 28, 33, 34 logika, 22, 27, 29, 40, 47, 48, 53 ,
interpretasi, II 0, 113 66, 67, 77, 94, 96, 99, 105,
intersubjektif, 32 106, 107
logis, 3, 8, 23 , 32, 33 , 35, 36, 39,
K 42, 47, 48,49, 53 , 54, 58, 63 ,
67, 73 , 78, 79, 90, 91 , 99, 103,
kapitalis, 42, 140 104, 105, 136
Karl Popper, 42, 48, 54, 148
kategori, 41 , 76,81 , 110, Ill , 112 M
klasifikasi, 38, 91 , 92
knowledge, 34,40, 69, 87 manusia Renaisans, 23 , 24, 25, 26
kodrat, 32, 119 masyarakat teknologi, 138, 140,
kognitif, 22, 78, 79, 81 , 86 144, 145, 146
koherensi, 65, 66, 69, 77, 122, 142 materi, 4, 9, 27, 37, 38, 44, 59,
konsensus, 65, 67, 68, 69, 83 103, 139
konsep,2,49, 57, 63,64,65, 67, meaningful/ , 14, 47, 73 , 108
73 , 76, 80,81 , 90, 91 , 92, 97, meaningless, 4 7
106, 141, 142, 144 metode, 6, 7, 8, 12, 13, 14, 24, 25,
konstruktivisme, 80, 81, 83 39,54,56,57, 73, 76,85, 87,
kontemporer, 55, 57, 59, 60, 70, 88, 89, 90, 91 , 92, 94, 95, 103,
71 , 143, 145, 148 104, 108, 109, 110
korespondensi, 65 , 66, 69, 77, 122 metodo1ogi, 33, 83 , 86, 87, 88, 89,
90, 95, 96, 102, 142, 148

156

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


moral, 9, 30, 31 , 109, 115, 117, pengetahuan, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8,
118, 123 , 124, 125, 129, 130, 9, 10, 11, 14, 16, 17, 19, 20,
131, 132, 133, 135, 136, 145 21 , 22,23,24,25 , 27,29,31,
mutlak, 51, 55, 56, 83, 119 32, 33,34,35,36, 37,38,39,
40, 41,42,43,44,45,46,47,
48, 49,50, 51 , 52, 53,54,55,
N 56, 57,58,60,61,62, 63,64,
neo-positivisme, 42, 46, 47, 48,49 65,67,68,69, 70, 71, 72, 77,
nilai, 5, 9, 11, 30, 45 , 46, 58, 61, 78, 79, 80, 81, 83, 84,85 , 86,
69, 72, 73, 77, 85, 96, 105, 87,88, 89,90,91,93,95, 96,
109, 115, 116, 118, 119, 120, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 104,
121, 122, 123, 124, 125, 126, 105,106, 115,117, 118, 120,
127, 128, 130, 131, 133, 136, 121 , 124, 126, 127, 128, 129,
138, 140, 141, 142, 144, 145, 130, 134, 136, 138, 139, 140,
149, 150 141, 142, 147, 148, 149, 150
ni1ai objektif, 120, 121, 122, 149 performatif, 65, 66, 69
nilaisubjektif, 117,120, 121 , 122, persepsi, 13, 23 , 24, 60, 65, 81 ,
149 116, 145, 146
norma, 9, 30, 61, 70, 76, 96, 104, perspektif, 24
121 , 124, 125, 127, 129, 130, persuasif, 92
132, 135, 136 philosophia, 2, 8
nurani, 124, 136 positivisme 1ogis, 42, 47, 53 , 78
positivistik, 55, 56, 84, 148
0 postmodemisme, 59, 60
potensi, 37, 46, 140, 142
objek forma, 9, 29, 103, 133 pragmatik, 65, 66, 69, 77
objek materi, 9, 103 pragmatis, 14, 66, 70, 71 , 119,
objektivitas, 62, 63 , 77, 79, 81, 83, 134, 141
85, 89, 109 praktis, 2, 3, 6, 25 , 58, 64, 67,
onto, 9, 29 134, 142, 150
ontologis, 11, 29, 43 , 68, 84, 85,
97, 141 , 144
operasional, 81, 92
R
rasa, 16, 19, 96, 97, 100,120, 133
p rasio, 22, 23, 39, 40, 43 , 53 , 87,
92,96,98,99
paradigma, 32, 33 , 35, 52, 53, 57, rasional, 3, 5, 13, 15, 23 , 35 , 36,
62, 72, 73 , 74, 75, 76, 79, 80, 42, 60, 68, 71, 76, 104, 124,
8 1' 83 , 84, 85 , 90, 95 , 125, 149 136
penalaran, 3, 22, 23, 27, 36, 40, rasionalisme kritis, 46, 51
41 , 63 , 73 , 83 , 87, 100, 103, refleksif, 8, 12, 29, 113, 135
104, 106, 107

157

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


renaisans, 5, 59
revolusi ilmiah, 53
u
revolusi ilmu pengetahuan, 43, 44, universal, 8, 54, 62, 63 , 77, 78,
46 147
utilitaristis, 134
utility, 66
5
scientisme, 129
semantik, 65, 67, 69
v
sensation, 19 value,30, 73,105,115,117,121,
sense data, 19 123, 140, 142, 149
simbo1, 73, 105, 106, 108, 110, verifikasi, 32, 49, 56, 91
113 verstand, 41
sintesa, 13 visual, 116
Socrates, 8, 12
subjek, 29, 32, 41, 65, 66, 68, 76,
79, 89, 90, 91, 97, 98, 100,
w
120, 148 wacana, 16,68, 110,118
wawasan, 16, 25, 27
Wiener Kreis, 42
T workability, 66
tanggungjawab,31,46, 115,122,
124, 125, 126, 127, 130, 133,
135, 149
teknologi, 2, 7, 18, 25, 28, 33, 34,
36, 45, 46, 52, 61, 67, 71, 101,
115, 120, 126, 129, 130, 134,
136, 138, 139, 140, 141, 142,
143, 144, 145, 146, 150
teori kebenaran, 31, 62, 65, 66,
67, 69, 71, 77, 122, 142
teori koherensi, 65
teori korespondensi, 65, 66
tesa, 13
The Renaissance Man, 23
Thomas Kuhn, 42, 52, 53, 148
tradisi, 2, 36, 40, 42, 55, 58, 62,
84
transendental, 9

158

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


IDEOLOGI BUDAYA
Irmayanti Meliono - Budianto

Refleksi kritis terhadap pemahaman


fenomena budaya pada akhirnya
membawa kita sampai pada ideologi
budaya . Ideologi budaya menampilkan
sisi metafisis dari fenomena
kebudayaan manusia yang sarat dengan
berbagai unsur budaya : religi, bahasa,
seni, ilmu pengetahuan, teknologi,
sistem sosial dan ekonomi. Di balik
kebudayaan material terdapat nilai
filosofis . Dengan kata lain, ideologi
budaya membawa kita ke penjelajahan
terhadap kesadaran manusia yang sarat
dengan gagasan, ide, pemikiran, serta
ideologi dan kita harus memaknainya
secara kritis dan arif. Dan itulah
sebenarnya yang hendak disampaikan
kepada para pembaca tentang kumpulan tulisan buku ini.

ISBN: 979-983 79-0-1


viii+ 157 him, 14 x 21 Cm

Penerbit:
Yayasan Kota Kita
Jl. Albezia VI A/22 Cipinang Kebembem, Jakarta Timur
Telp. 021 -472 2268, Fax. 021 - 470 2866 ext.805
e-mail : yaykotakita@yahoo.co.id
www.yayasankotakita.blogspot.com

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Kcbcsaral1 ~al1 Tragc~i

Kota Banten
Heriyanti Ongkodharma- Untoro

Peristiwa masa lalu merupakan


penggalan dari suatu rangkaian sejarah
yang dialami manusia. Banyak cara
dilakukan manusia untuk dapat
mengungkapkan kejadian di masa silam
tersebut. Perkembangan ilmu
pengetahuan yang semakin kompleks
serta pendekatan metodologi berbagai
disiplin ilmu ternyata mampu
mengetengahkan masalah pengelolaan
lingkungan yang dialami oleh
masyarakat di Kesultanan Banten pada
abad ke XV sampai XVII. Berpijak dari
data arkeologi di situs Banten Lama
dE serta pendekatan Antropologi-Ekologi,
maka bagaimana masyarakat Banten
dapat bertahan bahkan mampu
menjadikan daerahnya masyhur ke berbagai belahan dunia lainnya
dapat diungkapkan secara lebih jelas.

ISBN: 979-98379-2-8
xvi + 229 him, 14 x 21 Cm

Penerbit:
Yayasan Kota Kita
Jl. Albezia VI A/22 Cipinang Kebembem, Jakarta Timur
Telp. 021-472 2268, Fax. 021-470 2866 ext.805
e-mail : yaykotakita@yahoo.co.id
www.yayasankotakita.blogspot.com

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


Kebertubuhan Perempuan dalam

PORNOGRAFI
Syarifah

Buku "Kebertubuhan Perempuan


dalam Pornografi" ditulis secara
gamblang dengan pendekatan
humanitis, feminis, dan filosofis. Apa
itu dan ada apa di balik pornografi
dicoba digambarkan oleh penulis -
Syarifah- melalui berbagai pandangan
konseptual dari ilmuwan, tokoh
masyarakat terhadap berbagai
perdebatan yang tak kunjung usai, pro
dan kontra. Dari pandangannyalah, ia
menyatakan bahwa kebertubuhan
perempuan, yang diartikan sebagai
tubuh dan pikiran akan mencapai
eksistensi manusia secara total apabila
isu pornografi: isu kekerasan terhadap
perempuan mendapat tempat kajian
yang tepat, logis, arif, dan tidak mengada-ada (bukan sekedar menjadi
kebenaran seks yang "menjerat" konsumennya, ataupun kebenaran
binari).

ISBN: 979-98379-3-6
xxxi + 256 hlm, 14 x 21 Cm

Penerbit:
Yayasan Kota Kita
Jl. Albezia VI N22 Cipinang Kebembem, Jakarta Timur
Telp. 021-472 2268, Fax. 021 -470 2866 ext.805
e-mail: yaykotakita@yahoo.co.id
www.yayasankotakita.blogspot.com

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


ETIKA TERAPAN
Meneropong Masalah Kehidupan
Manusia Dewasa lni

Buku "Etika Terapan Meneropong


Masalah Kehidupan Manusia Dewasa
Ini" merupakan kumpulan tulisan terpilih
yang berasal dari para anggota yang
tergabung dalam "wadah" Himpunan
Dosen Etika Seluruh Indonesia (HIDES!).
Pemilihan tema etika terapan sengaja
dikemukakan agar persoalan yang ada
disekeliling kehidupan manusia dapat
dikaji lebih aplikatif. Tidak hanya
ditelusuri dari sisi etika yang bersifat
teoritis melainkan dari sisi terapannya.
Artinya, Bagaimana menerapkan dimensi
etika ke dalam persoalan yang
diungkapkan oleh para penulisnya, dan
itulah yang ingin disajikan dalam buku ini. Beberapa topik yang
didiskusikan dalam buku ini, antara lain: HAM, terorisme, hukum,
politik, budaya multikultural, bisnis dan koorporasi perusahaan, serta
kesehatan. Topik yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan
manusia digulirkan kepada para pembaca dari berbagai kalangan, para
praktisi, dan akademisi agar mereka lebih peduli, tajam, kritis dalam
melihat persoalan moral yang sebenarnya selalu hadir di tengah-tengah
kita.

ISBN: : 979-98379-6-0
xv + 267 him.; 16 x 23 em

Penerbit:
Yayasan Kota Kita
Jl. Albezia VI A/22 Cipinang Kebembem, Jakarta Timur
Telp. 021 - 472 2268, Fax. 021 -470 2866 ext.805
e-mail : yaykotakita@yahoo.co.id
www.yayasankotakita.blogspot.com

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


(;OLD W ABBIOBS
Eisenhower and Sukarno
1953- 1958

Retno Sukardan Mamoto

Cold Warriors: Eisenhower and


Sukarno 1953 - 1958, berkisah
mengenai 2 (dua) tokoh dunia masa
Perang Dingin pasca perang dunia
kedua, Presiden Eisenhower dan
Presiden Sukarno. Dalam episode ini,
terdapat pula sejarah Indonesia
berhubungan dengan Amerika dalam
menanggapi Perang Dingin, yaitu
masa persaingan Negara adikuasa,
Soviet dan Amerika, di wilayah
negara-negara dunia ketiga di Asia.
Teks yang dipakai adalah surat kabar
The New York Times, The Washington
Post, The Wall Street Journal, dan
majalah mingguan Time dari tahun
1953 hingga 1958.

ISBN: 979-98379-6-7
xi + 185 him. ; 14 x 21 em

Penerbit:
Yayasan Kota Kita
Jl. Albezia VI A/22 Cipinang Kebembem, Jakarta Timur
Telp. 021-472 2268, Fax. 021-470 2866 ext.805
e-mail : yaykotakita@yahoo.co .id
www. yayasankotakita.blogspot.com

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


SIMBOLISME WIWAHAN
Simbol Laki-Laki dan Perempuan Dalam Perkawinan )awa

Irmayanti Meliono-Budianto

Perkawinan Jawa merupakan salah


satu ritual yang dilakukan oleh
manusia Jawa. Sebagai bagian
kebudayaan Jawa, dan merupakan
salah satu bentuk ritual yang
mengedepankan siklus kehidupan
manusia, yaitu lahir (metu), menikah
(manten), dan meninggal (mati) maka
ritual tersebut sarat dengan berbagai
pernik, ragam dan simbol budaya.
Simbol budaya inilah yang hendak
dikaji dan direfleksikan secara kritis
untuk diperoleh pemaknaanya.
Simbolisme Perkawinan Jawa
menyingkap "Simbol kejahatan" dan
"simbol kebaikan", dua kutub yang
bertentangan tetapi sekaligus memiliki berbagai nilai, seperti harmoni,
kemurnian, rukun dan konflik, kebebasan dan tidak kebebasan,
semuanya itu berada pada nilai sentral pandangan dunia Jawa.

ISBN: 979-983 79-4-4


ix, 255 him.; 16 x 23 em

Penerbit:
Y ayasan Kota Kita
11. Albezia VI A/22 Cipinang Kebembem, Jakarta Timur
Telp. 021 -4 72 2268, Fax. 021 -470 2866 ext.805
e-mail : yaykotakita@yahoo.co.id
www.yayasankotakita.blogspot.com

"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"


"Only scanned for MIK, not for commercial purpose"

Anda mungkin juga menyukai