DAN HUBUNGAN
ANTAR-SUKUBANGSA
PARSUDI SUPARLAN
Cetakan ke-2
COVER (Dalam
Hubungan Antar-Sukubangsa
Oleh: Parsudi Suparlan
Copyright 2005 by YPKIK
Diterbitkan oleh
Penerbit KIK Press
ISBN ……….
……………………………
Alamat Penerbut
Jl. Tirtayasa Raya No.6
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Phone: 021-7265414
Faximil……….
E-mail ……………….
0
1
Halaman Tersendiri
(Setelah Daftar Isi)
Pengantar
Cetakan ke-2
1
2
COVER (LUAR)
COVER (Dalam)
DAFTAR ISI
2
3
6. Kesukubangsaan
7. Keluarga dan Kekerabatan
8. Kerjasama, Persaingan, dan Konflik
9. Masyarakat Majemuk dan Hubungan
Antar-Sukubangsa
10. Agama dan Sukubangsa
11. Politik Nasional, Politik Tingkat Lokal
12. Hukum Adat: Keadilan
13. Kehidupan Ekonomi
14. Mayoritas, Dominan, dan Minoritas
15. Multikulturalisme dan Kebudayaaan
3
4
4
5
PENDAHULUAN
SUKUBANGSA DAN
HUBUNGAN ANTAR-SUKUBANGSA
Sukubangsa
S
ukubangsa adalah kategori atau golongan sosial askriptif Sebagai
golongan sosial, sukubangsa terwujud sebagai perorangan atau
individu dan kelompok. Sebagai kelompok sukubangsa terwujud
sebagai keluarga, komuniti, masyarakat, atau juga berupa perkumpulan
sukubangsa, Sebagai kelompok, sukubangsa mempunyai ciri-ciri: (1)
Merupakan sebuah satuan kehidupan yang secara biologi mampu
berkembang biak dan lestari, yaitu dengan adanya keluarga yang dibentuk
melalui perkawinan. (2) Mempunyai kebudayaan yang mereka miliki
bersama, yang merupakan pedoman bagi kehidupan mereka, dan yang
secara umum berbeda coraknya daripada yang dimiliki oleh kelompok
sukubangsa lainnya. (3) Keanggotaan di dalam sukubangsa yang bercorak
askriptif, yaitu keanggotaan dalam sukubangsa tersebut yang didapat
bersama dengan kelahirannya, yang mengacu pada asal orangtua yang
melahirkannya dan asal daerah dimana seseorang itu dilahirkan.
5
6
Sebagai mahluk sosial, setiap orang mempunyai lebih dari satu jatidiri
atau identitas diri. Semakin banyak posisi yang diduduki oleh seseorang dan
peranan dalam struktur-struktur kegiatan atau sosial yang dilakukannya
dalam kehidupan sosial di masyarakatnya, maka akan semakin banyak
jatidirinya. Dalam setiap interaksi hanya ada satu jatidiri utama yang
diaktifkan dan diakui oleh pelaku lainnya dalam struktur interaksi yang
berlaku, sedangkan sejumlah jatidiri lain yang dipunyainya ikut menempel
dan memperkuat jatidiri utama tersebut, dan karenanya memperkuat
posisinya dalam interaksi tersebut. Sedangkan sejumlah jatidiri lainnya
disimpan dan tidak digunakannya. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan
termasuk salah satu diantara jatidiri yang dapat menjadi jatidiri utama, atau
dapat juga menjadi yang menempel dan memperkuat jatidiri utama yang
diaktifkan, atau dapat juga disimpan untuk tidak diaktifkan.
6
7
Hubungan Antar-Sukubangsa
7
8
8
9
Perebutan posisi dominan atau lebih tinggi dan lebih kuasa dalam
struktur interaksi itu merupakan proses-proses penting dalam hubungan
antar-sukubangsa. Karena dalam setiap aksi dan interaksi terserap kekuatan
dan hubungan kekuatan, yaitu kekuatan untuk dapat menyuruh orang lain
melakukan sesuatu yang dikehendaki dan kekuatan untuk dapat menguasai
sumber-sumber daya dan pendistribusian atau alokasinya. Karena itu dalam
masyarakat-masyarakat di Indonesia yang belum mantap corak hubungan
9
10
Isi Buku ini terdiri atas dua bagian, yaitu Bagian Pertama berisikan
Bab-Bab tentang konsep-konsep dan teori-teori mengenai Sukubangsa dan
Hubungan Antar-Sukubangsa serta konsep-konsep pendukungnya. Bagian
Pertama ini terdiri atas 15 Bab. Sedangkan bagian Kedua merupakan
bacaan mengenai Masyarakat Majemuk, Kebudayaan, dan Konflik-Konflik
Antar-Sukubangsa, Bagian kedua ini terdiri atas 14 Bab.
Buku ini didesain untuk sebagai buku pokok atau buku pegangan bagi
pengajar dan mahasiswa dalam perkuliahan Hubungan Antar-Sukubangsa
10
11
11
12
12
BAGIAN I
KONSEP-KONSEP
DAN TEORI
1 Masyarakat
dan Kebudayaan
Masyarakat
M
asyarakat adalah sekelompok individu yang secara langsung atau tidak
langsung saling berhubungan sehingga merupakan sebuah satuan
kehidupan yang mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dari
kebudayaan yang dipunyai oleh masyarakat lain. Sebagai satuan kehidupan, sebuah
masyarakat biasanya menempati sebuah wilayah yang menjadi tempatnya hidup dan
lestarinya masyarakat tersebut. Karena warga masyarakat tersebut hidup dan
memanfaatkan berbagai sumberdaya yang ada dalam wilayah tempat mereka itu
hidup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka sebagai manusia, maka
terdapat semacam keterikatan hubungan antara sebuah masyarakat dengan wilayah
tempat masyarakat itu hidup. Sebuah masyarakat merupakan sebuah struktur yang
terdiri atas saling hubungan peranan-peranan dan para warganya, yang peranan-
peranan tersebut dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Saling
hubungan diantara peranan-peranan ini mewujudkan struktur-struktur peranan-
peranan yang biasanya terwujud sebagai pranata-pranata. Pranata-pranata itu
terwujud dalam kehidupan manusia bermasyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan hidup sebagai manusia, yang dianggap penting oleh masyarakat yang
bersangkutan. Melalui pranata-pranata yang ada, sebuah masyarakat dapat tetap
lestari dan berkembang. Pranata-pranata yang ada dalam masyarakat, antara lain,
adalah pranata keluarga, pranata ekonomi, pranata politik, pranata keagamaan, dsb.
Norma-norma yang ada dalam pranata, yaitu norma-norma yang mengatur
hubungan antar peranan-peranan, berisikan patokan-patokan etika dan moral yang
harus ditaati dan dilakukan oleh para pemegang peranan dalam hubungan antara
2
satu dengan lainnya dalam kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan. Norma-norma
yang berlaku dalam sebuah masyarakat mengacu pada kebudayaan yang dipunyai
oleh masyarakat tersebut.
Kebudayaan
3
oleh para pemilik kebudayaan dalam menghadapi lingkungannya, yaitu digunakan
untuk menginterpretasi dan manfaatkan lingkungan beserta isinya bagi pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan hidupnya sebagai manusia. Pemilihan secara selektif tersebut
dilakukan berdasarkan pertimbangan oleh pelaku mengenai konsep atau metode
atau teori yang mana yang paling cocok atau yang terbaik yang dapat digunakan
sebagai acuan interpretasi dan mewujudkan tindakan-tindakan. Tindakan-tindakan
tersebut dapat dilihat sebagai dorongan-dorongan atau motivasi dari dalam diri
pelaku bagi pemenuhan kebutuhan maupun sebagai tanggapan-tanggapan
(responses) pelaku atas rangsangan-rangsangan (stimuli) yang berasal dari
lingkungannya.
4
pemenuhan-pemenuhan kebutuhan hidup manusia itu bercorak manusiawi
dan bukan hewani.
*****
5
Kepustakaan
6
2 Sukubangsa
Sebagai Golongan
Sistem-Sistem Penggolongan
T
erdapat adanya kecenderungan yang universal yang menjadi ciri-ciri
manusia, dalam berpikir dan berkomunikasi dengan sesama sebagaimana
terwujud dalam penggunaan bahasa, untuk memilah-milah atau
menggolongkan atau mengkategorisasikan benda-benda, mahluk-mahluk, peristiwa-
peristiwa, dan gejala-gejala kedalam golongan-golongan atau kategori-kategori.
Pemilahan atau penggolongan dilakukan berdasarkan atas sesuatu ciri yang
menyolok yang digunakan sebagai pedomannya, yang berdasarkan atas ciri
menyolok tersebut sesuatu gejala dibedakan dari gejala lainnya. Ciri yang menyolok
yang digunakan untuk membedakan sesuatu gejala dari gejala lainnya tersebut,
dipilih dari sejumlah ciri-ciri yang ada dalam pengetahuan atau dalam kebudayaan
dari para pelaku yang bersangkutan. Penggolongan dilakukan untuk sesuatu maksud
tertentu atau tujuan tertentu, yaitu untuk kemudahan berkomunikasi, meniadakan
kekacauan dalam berkomunikasi, dan mempertajam makna yang terkandung di
dalam tujuan berkomunikasi. Golongan atau kategori dengan demikian, adalah
sebuah hasil dari penggolongan yang terwujud sebagai konsep yang berisikan
sesuatu ciri yang menyolok dalam kaitan dengan konteksnya. Dalam kehidupan
sehari-hari, setiap orang melakukan pengolongan terhadap segala isi yang ada
dalam kehidupannya. Baik dalam kehidupannya yang luas dan umum, maupun
dalam kehidupan yang terbatas dan khusus yang merupakan kegiatan-kegiatannya
sehari-hari.
7
Kalau guru tersebut seorang guru yang baik, dalam pengertian sesuai profesi
gurunya, dia akan membuat penggolongan berdasarkan atas ciri-ciri kebiasaan dan
prestasi belajarnya serta membuat penilaian dan perlakukan berdasarkan atas
pedoman penggolongan tersebut; yaitu: rajin - malas, pandai - bodoh, rangking atas
– rangking bawah. Jadi bukannya membuat penggolongan berdasarkan atas konteks
atau kepentingan-kepentingan di luar kepentingan pengajaran, seperti: cantik - jelek,
kaya - miskin, anak pejabat - anak orang biasa, dsb.
Pedoman penggolongan yang dibuat oleh guru tersebut, yang menjadi
pedoman dalam dia menilai dan memperlakukan murid-muridnya, membuat dia
dapat digolongan oleh para murid atau rekan sejawat gurunya sebagai guru yang
baik atau jelek. Dia sendiri, sebagai guru menjadi orang yang tergolong dalam
sesuatu golongan guru (yaitu: sebagai guru baik atau guru jelek, guru jujur atau guru
korup, guru bermoral atau guru mata keranjang) berdasarkan atas ciri-ciri kelakuan
yang ditunjukkannya. Dari contoh tersebut dapat kita ketahui bahwa sesuatu
penggolongan tidak berdiri sendiri dan tidak menghasilkan golongan yang terisolasi
dari golongan atau golongan-golongan lainnya. Setiap golongan mempunyai lawan
golongannya. yang dua golongan berlawanan tersebut tergolong dalam jenis
golongan yang lebih luas yang sama. Begitu juga setiap golongan selalu didukung
keberadaannya oleh golongan atau golongan-golongan lainnya, yang memperkuat
posisinya dalam hubungan antar golongan.
8
Penggolongan yang dibuat selalu menghasilkan adanya golongan-golongan
yang berbeda atau bertentangan ciri-cirinya, dan bersamaan dengan itu juga
menghasilkan adanya perbedaan atau pertentangan nilainya masing-masing
berdasarkan atas kwalitas atau kwantitasnya. Penilaian mengenai kwalitas ataupun
kwantitasnya terwujud sebagai sistem penggolongan yang vertikal, yang
menghasilkan golongan-golongan yang berada dalam jenjang dan dalam stratum
atau lapisan. Contohnya, pembedaan laki-laki dan perempuan adalah penggolongan
yang horizontal, jika tidak ada tambahan penggolongan lainnya yang tercakup dalam
laki-laki - perempuan tersebut. Laki-laki lebih kuat ototnya daripada perempuan,
maka kita berbicara mengenai jenjang berdasarkan atas kekuatan otot (kwalitas
otot). Laki-laki mampu menghasilkan uang lebih banyak daripada perempuan, maka
kita berbicara mengenai jenjang berdasarkan atas kwantitas yang dihasilkan.
Kehidupan manusia dapat diatur dengan secara lebih baik karena adanya
sistem penggolongan dan pengelompokan. Dengan kata lain, manusia dengan
menggunakan kebudayaan sebagai acuan untuk penggolongan, dapat saling
membedakan diri mereka antara yang satu dari yang lainnya, untuk sesuatu tujuan
tertentu. Tetapi manusia juga dapat mempersamakan diri mereka sebagai sebuah
9
golongan yang dibedakan dari golongan lainnya, yang terwujud sebagai kelompok-
kelompok dengan kegiatannya masing-masing.
10
3 Sukubangsa
dan Masyarakat
1. Sukubangsa: Konsep dan Pendefinisian
S
ukubangsa adalah kategori atau golongan sosial. Sebagai golongan sosial,
sukubangsa adalah golongan sosial yang khusus yaitu askriptif. Berbagai
golongan sosial yang ada dalam kehidupan manusia pada umumnya
diperoleh berdasarkan atas pencapaian atau prestasi sosial. Kecuali golongan umur
dan jenis kelamin yang sama coraknya dengan sukubangsa adalah golongan sosial
yang didapat begitu saja atau askriptif. Sama dengan golongan-golongan sosial
lainnya, maka sukubangsa itu ada dan dikenal karena adanya interaksi dengan
sukubangsa lainnya dan melalui adanya interaksi ini ada pengakuan mengenai
keberadaan dan ciri-cirinya yang saling berbeda. Diantara berbagai ciri-ciri
sukubangsa sebagai golongan sosial, yang terpenting yang membedakan
sukubangsa dan golongan sosial lainnya adalah ciri-cirinya yang askriptif yang
muncul dan lestari di dalam interaksi yang menghasilkan pengakuan,
atau saling mengakui dan diakui.
Pengakuan dan diakui ini muncul dalam interaksi, yaitu mengenai jatidiri
sukubangsa dan para pelaku dan bersamaan dengan itu juga mengenai sukubangsa
dan ciri-cirinya. Ciri-ciri sukubangsa masing-masing menjadi penting karena
berdasarkan ciri-ciri tersebut dua orang dari sukubangsa yang berbeda dapat saling
membedakan diri masing-masing di dalam interaksi yang berlangsung. Ciri-ciri
sukubangsa yang berbeda tersebut bukanlah ciri-ciri yang dilihat secara obyektif
dengan menggunakan sebuah tolok ukur obyektif, tetapi berdasarkan atas
pengakuan masing-masing para pelaku yang berbeda sukubangsanya. Ciri-ciri yang
diacu untuk jatidiri sukubangsa mencakup ciri-ciri fisik tubuh (ras), kebudayaan dan
ungkapan-ungkapan budayanya, bahasa dan dialek atau aksennya. dan kepribadian
11
dari para anggota-anggota sukubangsa yang bersangkutan. Ciri-ciri atau seringkali
juga dinamakan atribut-atribut tersebut secara keseluruhan dapat digolongkan
sebagai stereotip. Berbagai ciri-ciri subyektif yang membedakan dua sukubangsa
tersebut, secara obyektif atau dengan menggunakan patokan yang obyektif dapat
ditunjukkan penbedaannya. Patokan obyektif yang biasanya digunakan oleh para
ahli antropologi dan sosiologi untuk menunjukkan perbedaan dua sukubangsa
adalah: (1) Pengakuan masing-masing anggota dua sukubangsa mengenai identitas
atau jatidiri sukubangsa mereka. (2) Bahasa mereka. (3) Kebudayaan dan
perwujudan ungkapan-ungkapannya yang mereka akui sebagai milik mereka.
Sama dengan fungsi golongan sosial yang pada umumnya berlaku dalam
kehidupan manusia, dimana jatidiri digunakan untuk dan dalam interaksi, maka
sukubangsa juga berfungsi sebagai acuan bagi jatidiri yang digunakan dalam
interaksi sosial diantara anggota-anggota sukubangsa yang berbeda. Fungsi jatidiri
sukubangsa adalah sama dengan fungsi jatidiri yang pada umumnya berlaku dalam
kehidupan manusia, yaitu sesuatu jatidiri akan digunakan bila corak interaksi yang
berlangsung itu menuntut penggunaan sesuatu jatidiri tertentu dan bukan sembarang
jatidiri. Hanya jatidiri yang sesuai dengan corak interaksi tententu yang dapat
digunakan dalam interaksi tersebut, sedangkan berbagai jatidiri lainnya disimpan dan
hanya akan digunakan bila cocok dengan dan dituntut untuk digunakan sebagai
jatidirinya dalam sesuatu interaksi dengan corak tertentu. Sukubangsa atau yang
terwujud sebagai jatidiri sukubangsa yang melekat pada para pelaku, dengan
demikian hanya akan muncul dalam interaksi yang menuntut terwujudnya
sukubangsa atau jatidiri sukubangsa tersebut. Dalam perspektif ini sukubangsa
dapat dilihat sebagai variabel tergantung sedangkan interaksi adalah variabel
bebasnya.
12
pelakunya. Sebagai catatan, interaksi selalu terwujud diantara para pelaku yang
berbeda jatidirinya. Dalam interaksi maka masing-masing pelaku, dengan masing-
masing jatidirinya, mempunyai status dan menjalankan peranan-peranan sesuai
dengan jatidiri yang dipunyai. Sebuah interaksi karena itu merupakan sebuah
struktur, yang dalam struktur tersebut berlaku aturan-aturan atau norma-norma
sesuai dengan corak interaksinya. Interaksi antara orang tua dengan anak berbeda
dengan interaksi antara suami istri, interaksi antara guru dan murid berbeda dengan
interaksi sukubangsa. Tidak semua interaksi terwujud sebagai interaksi sosial.
Interaksi bisa terwujud sebagai interaksi kerja, yang terwujud dalam hubungan kerja.
Interaksi kerja biasanya juga disebut sebagai interaksi formal, karena hubungan
yang ada bercorak formal diantara pelaku dengan status-status yang formal sesuai
dengan jabatan masing-masing. Interaksi sosial terwujud dalam kehidupan sosial, di
mana coraknya informal dan dimuati oleh unsur-unsur perasaan serta ungkapan-
ungkapan emosi dari para pelaku yang bersangkutan. Karena itu interaksi sosial
seringkali juga digolongkan sebagai interaksi informal.
Sebagai kelompok sosial atau masyarakat, sukubangsa mempunyai ciri-ciri:
(1) Sebuah satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak dan
lestari; (2) Mempunyai kebudayaan serta pranata-pranata yang mereka miliki
bersama, yang merupakan pedoman bagi kehidupan mereka , yang secara umum
berbeda dari yang dipunyai oelh kelompok atau masyarakat sukubangsa lainnya; (3)
Keanggotaan dalam sukubanga yang bercorak askriptif, yaitu keanggotaan yang
didapat oleh sseorang denagn begitu saja, bersamaan dengan kelahirannya, yang
mengacu pada kesukubangsaan orang tua yang melahirkannya dan/atau daerah
asal tempat kelahiran dan dibesarkannya hingga dewasa.
13
Dampak dari mendifinisikan sukubangsa sebagai kelompok adalah bahwa
hubungan antar-sukubangsa tidak mungkin dapat dilihat secara empirik atau sesuai
kenyataan yang terjadi. Karena, hubungan yang terwujud sebagai kegiatan antar-
tindakan atau interaksi yang hanya mungkin dilakukan oleh orang-perorang atau
individu-individu warga sukubangsa yang berbeda tidak tercakup dalam definisi
sukubangsa sebagai kolektiva. Sedangkan hubungan antar-kolektiva yaitu dalam
bentuk antar-satuan individu atau sejumlah orang dengan sejumlah orang dan
sukubangsa yang berbeda, hanya mungkin terjadi dalam bentuk konflik kerumunan
atau amukan. Karena terjebak dalam definisi tersebut maka penelitian-penelitian
yang dilakukan, hanya mampu untuk memusatkan perhatian pada kajian stereotip
atau prasangka. Kajian mengenai stereotip inipun tidak dilakukan secara empirik
berdasarkan atas pengamatan, tetapi berdasarkan atas wawancara atau bahkan
wawancara dengan kwesioner.
Karena stereotip itu bercorak subyektif dan merupakan produk dari sistem
penggolongan yang ada dalam kebudayaan dan masyarakat pembuat stereotip
mengenai ciri-ciri utama atau corak sesuatu golongan sosial atau sukubangsa
tertentu lainnya, maka kajian-kajian hubungan antar-sukubangsa yang
memperlakukan sukubangsa sebagai kelompok sebetulnya tidak mengkaji hubungan
antarkelompok (sukubangsa) tetapi mengkaji sikap-sikap antar warga sukubangsa
yang berbeda mengenai ciri-ciri utama sukubangsa yang menjadi lawan dalam
berhubungan. Kalau sukubangsa diperlakukan sebagai golongan sosial, maka dalam
kajian hubungan antar-sukubangsa yang menjadi sasaran kajian atau unit analisa
adalah interaksi antar-individu yang masing-masing menggunakan sukubangsa
14
sebagai acuan bagi jatidiri sukubangsanya, dan bersamaan dengan itu
menggunakan secara selektif stereotip-stereotip mengenai ciri-ciri sukubangsa dalam
interaksi-interaksi yang berlaku. Hubungan antar-sukubangsa dengan demikian
dapat dikaji secara empirik dalam penelitian di lapangan.
15
hubungan antar-sukubangsa menjadi hubungan-hubungan peranan (sebagaimana
ditunjukkan dalam berbagai tulisan dalam buku yang diedit oleh Frederik Barth).
16
menjadi sebuah masyarakat bangsa atau masyarakat homogen. Pada waktu
sejumlah masyarakat sukubangsa ditaklukkan dan dipersatukan dan dikuasai
sebagai sebuah satuan politik atau negara, maka masyarakat-masyarakat
sukubangsa yang dipersatukan tersebut dinamakan sebagai masyarakat majemuk.
Masyarakat majemuk adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas sejumlah
masyarakat sukubangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sebuah sistem nasional.
Hindia Belanda adalah masyarakat majemuk, yang warga masyarakatnya terdiri atas
penjajah (Belanda dan golongan Eropah lainnya), Timur Asing (Cina dan Arab dan
Asia lainnya), dan Pribumi yang dijajah, yang dipersatukan dan dikuasai sebagai
bangsa Hindia Belanda oleh sistem nasional Belanda. Indonesia adalah sebuah
masyarakat majemuk yang masyarakatnya terdiri atas lebih dari 500 sukubangsa
yang dipersatukan sebagai bangsa Indonesia oleh sistem nasional Indonesia.
17
4 Hubungan
Antar-Sukubangsa
Sukubangsa dan Kebudayaan
S
ukubangsa sebagai golongan sosial askriptif, yaitu golongan yang dihasilkan
dari ciri-cirinya yang berdasarkan keturunan dan asal, telah menghasilkan
pengelompokan yang menghasilkan satuan kehidupan terkecil. Satuan
kehidupan terkecil ini adalah keluarga yang menjadi pondasi terbentuknya
masyarakat. Untuk dapat tetap melangsungkan kehidupannya, anggota-anggota
keluarga atau masyarakat memanfaatkan berbagai sumberdaya yang ada dalam
lingkungan hidup mereka. Baik yang berupa lingkungan alam dan lingkungan fisik,
maupun lingkungan sosial dan budaya mereka.
18
kelangsungan hidupnya dengan menggunakan kebudayaannya. Untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan primer atau biologi, manusia menggunakan unsur kebudayaan
yang dinamakan teknologi. Teknologi yang berasal dari kemampuan manusia
mempelajari alam dan mengidentifikasi hukum-hukum alam, untuk kemudian
pengetahuan mengenai hukum-hukum alam tersebut diwujudkan dalam berbagai
bentuk peralatan yang sesuai dengan tujuan pemanfaatan sumber-sumber daya
yang ada dalam lingkungan alamnya. Sesuatu teknologi yang berhasil akan
dibakukan sebagai tradisi yang tidak mudah untuk dapat diubah dengan begitu saja.
Karena sesuatu teknologi yang berhasil juga didukung oleh unsur-unsur kebudayaan
lainnya, yaitu ilmu pengetahuan, sistem ekonomi, organisasi sosial dan politik,
bahasa dan komunikasi, dan keyakinan keagamaan, secara holistik. Sebaliknya,
teknologi juga mendukung keberadaan dan kelestarian berbagai unsur kebudayaan
lainnya. Hubungan yang saling mendukung diantara unsur-unsur kebudayaan dalam
bentuk hubungan fungsional tersebut, biasanya terwujud dalam pranata-pranata
yang dipunyai oleh masyarakat yang bersangkutan.
19
dapat mengidentifikasi diri sebagai sukubangsa bapaknya atau ibunya, atau
keduanya, atau menapikan kedua identitas sukubangsa kedua orangtuanya dan
menggunakan lingkungan tempat mereka hidup dan dibesarkan (kota atau propinsi)
sebagai acuan bagi jatidiri mereka.
Sebagai sebuah satuan kehidupan terkecil, sebuah keluarga selalu ada dalam
hubungannya dengan keluarga-keluarga lainnya. Hubungan-hubungan ini
didasarkan atas hubungan-hubungan kekerabatan (melalui garis keturunan atau
hubungan perkawinan). Mereka yang terkait dalam hubungan kekerabatan biasanya
juga mengelompok dalam satu satuan kehidupan yang sama. Dalam masyarakat
manusia dikenal adanya tiga bentuk sistem kekerabatan yang utama, yaitu : (1)
Patrilineal, dimana garis keturunan ditentukan menurut garis bapak. (2) Matrilineal,
dimana garis keturunan ditentukan menurut garis ibu. (3) Bilateral atau Parental,
dimana garis keturunan ditentukan baik melalui garis bapak maupun garis ibu.
Pengelompokan dalam sistem kekerabatan patrilineal, mengikuti prinsip patrilineal,
begitu juga dengan pengelompokan dalam sistem kekerabatan matrilineal yang
mengikuti prinsip matrilineal. Sedangkan dalam sistem bilateral atau parental, tidak
ada keharusan untuk menetap mengikuti garis bapak atau garis ibu (ikut tinggal
dengan atau tinggal dalam kelompok kerabat mertua atau dengan orang tua),
bahkan seharusnya mampu tinggal sendiri atau membentuk keluarga sendiri.
20
mencakup juga pengetahuan mengenai diri atau sukubangsanya sendiri, yaitu
sebagai pertentangannya atau lawan perbedaannya dari sukubangsanya sendiri.
Pertentangan atau perbedaan dengan sukubangsa lainnya, telah secara sadar atau
tidak sadar memunculkan keberadaan jatidiri sukubangsanya dan jatidiri
sukubangsa-sukubangsa lainnya dalam masyarakat tersebut.
21
prasangka inilah biasanya tindakan-tindakan diskriminasi itu dilakukan terhadap
anggota sesuatu sukubangsa tersebut.
Penggunaan kebudayaan sebagai jatidiri sukubangsa, dilakukan dengan
mengaktifkan satu atau sejumlah unsur kebudayaan yang dipunyai yang
dipertentangkan dengan satu atau sejumlah unsur kebudayaan sukubangsa lainnya.
Unsur atau unsur-unsur kebudayaan tersebut menjadi simbol-simbol (gejala-gejala
yang mempunyai makna menurut kebudayaan yang bersangkutan) yang digunakan
sebagai atribut-atribut atau tanda-tanda bagi menunjukkan jatidiri sukubangsanya.
Unsur-unsur kebudayaan yang biasanya diacu untuk jatidiri sukubangsa mencakup:
(1) Kebudayaan material atau benda-benda kebudayaan. (2) Bahasa dan ungkapan-
ungkapannya. (3) Mimik muka dan gerakan-gerakan tubuh. (4) Nilai-Nilai Budaya.
Tidak semua atribut tersebut nampak dengan jelas sebagai atribut. Sebagian dari
unsur-unsur kebudayaan tersebut tidak nampak jelas sebagai atribut tetapi tersirat
atau tersembunyi maknanya dalam atribut yang diaktifkan. Seorang Jawa misalnya,
yang mengalah dalam sesuatu pertentangan dengan seseorang dari sukubangsa
lain akan menyatakan bahwa kekalahannya yang disengaja tersebut tidaklah sama
dengan kalah tetapi sebagai ungkapan dari keluhuran budi dan adabnya sebagai
orang Jawa. Begitu juga halnya dengan Orang Toraja yang menyelenggarakan
upacara kematian dengan biaya besar tidaklah dapat disamakan dengan
pemborosan atau perbuatan non-ekonomis saja. Tetapi, harus juga dilihat dari
perspektif lain, yaitu sebagai penghormatan kepada si mati, dan penghormatan
kepada si mati adalah sama dengan mengukuhkan status sosial si mati, dan
mengukuhkan status si mati adalah sama dengan mengukuhkan status sosial
keturunan, keluarga, dan kelompok kerabat si mati yang masih hidup..
Di samping itu, atribut bagi jatidiri sukubangsa juga dapat diaktifkan dari ciri-
ciri fisik yang menyolok yang membedakan ciri-ciri fisik dari anggota sesuatu
sukubangsa dan anggota sukubangsa lainnya. Ciri-ciri fisik tersebut diseleksi dari
diberi makna sehingga menjadi atribut bagi jatidiri sukubangsa. Penggunaan ciri-ciri
fisik sebagai atribut sukubangsa biasanya berlaku dalam sebuah masyarakat di
mana anggota-anggota sukubangsa-sukubangsa yang berbeda itu telah hidup dalam
suatu hubungan yang cukup lama, sehingga masing-masing dapat saling
mengidentifikasi ciri-ciri fisik yang menonjol tersebut dan dapat menggunakannya
untuk saling mengidentifikasi sukubangsanya.
22
5 Stereotip, Atribut,
dan Hubungan
Antar-Sukubangsa
Stereotip
D
alam sebuah masyarakat yang bersukubangsa banyak, kebudayaan dari
masing-masing sukubangsa juga berisikan konsep-konsep mengenai
berbagai sukubangsa yang hidup bersama dalam masyarakat tersebut.
Yang tercakup dalam konsep-konsep kebudayaan tersebut adalah sifat-sifat atau
karakter dari masing-masing sukubangsa tersebut. Isi dari konsep-konsep atau
pengetahuan yang ada dalam kebudayaan dari masing-masing sukubangsa adalah
pengetahuan mengenai diri atau sukubangsa mereka masing-masing, sebagai
pertentangan atau lawan dari sukubangsa-sukubangsa lainnya. lni dilakukan untuk
memunculkan keberadaan sukubangsa atau kesukubangsaan dalam interaksi antar
anggota sukubangsa yang berbeda.
23
sesuatu sukubangsa lain yang ada dalam kebudayaan sesuatu sukubangsa tertentu
adalah konsep-konsep yang seringkali juga digunakan sebagai acuan bertindak
dalam menghadapi sukubangsa lain tersebut, walaupun tidak selalu demikian
adanya dalam perwujudan tindakan-tindakan dari para pelakunya. Konsep-konsep
yang subyektif yang ada dalam kebudayaan tersebut dinamakan stereotip, dan
stereotip dapat berkembang menjadi prasangka.
Atribut-Atribut Sukubangsa
Jatidiri
24
bulat dan menyeluruh yang menyebabkan seseorang dengan ciri-ciri tersebut
digolongkan sebagai tentara atau TNI. BiIa seseorang tersebut mempunyai atau
memakaikan ciri-ciri tentara pada tubuhnya, tetapi ciri-ciri tersebut tidak lengkap
sebagai ciri-ciri tentara maka jatidiri seseorang tersebut sebagai tentara diragukan
kebenarannya; dan biasanya orang tersebut diidentifikasi atau dikenal sebagai
tentara gadungan. Contoh lainnya: seorang perempuan diidentifikasi sebagai
perempuan karena mempunyai serangkaian ciri-ciri yang melekat atau dipakaikan
pada dirinya, yang merupakan serangkaian ciri-ciri yang bulat dan menyeluruh. Bila
seorang laki-laki melekatkan atau memakaikan ciri-ciri perempuan tersebut pada
tubuhnya, dan cara melekatkan atau memakaikan ciri-ciri perempuan tersebut tidak
sempurna maka laki-laki tersebut tidak akan dikenal atau diidentifikasi sebagai
perempuan tetapi sebagai banci.
Identitas atau jatidiri itu muncul dan ada dalam interaksi. lnteraksi adalah
kenyataan empirik yang berupa antar-tindakan para pelaku yang menandakan
adanya hubungan diantara para pelaku tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa
identitas atau jatidiri itu muncul dan ada dalam interaksi. Seseorang mempunyai
sesuatu jatidiri tertentu karena diakui keberadaannya oleh orang atau orang-orang
lain dalam sesuatu hubungan yang berlaku. Sedangkan dalam suatu hubungan yang
lain, yang melibatkan pelaku atau pelaku-pelaku yang lain yang berbeda dari pelaku-
pelaku yang semula, jatidirinya bisa berbeda dari yang semula; sesuai dengan corak
hubungan dan sesuai dengan saling pengakuan mengenai jatidirinya oleh para
pelaku dalam hubungan yang lain tersebut.
25
dengan Tuhannya melalui kegiatan sembahyang akan membayangkan dirinya
sebagai hamba Allah, sebagaimana terwujud dalam tindakan-tindakan
bersembahyangnya.
Corak hubungan antara anak - bapak yang terwujud dalam interaksi anak -
bapak, adalah berbeda dari corak hubungan antara si bapak pada waktu dia harus
berperan sebagai suami dalam interaksinya dengan isterinya. Setiap orang, karena
itu mempunyai lebih dari satu jatidiri. Semakin banyak peranan-peranan yang
dijalankannya dalam kehidupan sosial dan masyarakatnya maka akan semakin
banyak pula jatidiri yang dipunyainya.
Atribut Jatidiri
Atribut adalah segala sesuatu yang terseleksi, baik disengaja maupun tidak,
yang dikaitkan dengan dan untuk kegunaannya bagi mengenali identitas atau jatidiri
26
seseorang atau sesuatu gejala. Atribut ini bisa berupa ciri-ciri yang menyolok dari
benda atau tubuh orang, sifat-sifat seseorang, pola-pola tindakan, atau bahasa yang
digunakan. Corak dari jatidiri seseorang ini ditentukan oleh atribut-atribut yang
digunakan, yaitu agar dilihat dan diakui ciri-cirinya oleh para pelaku yang dihadapi
dalam sesuatu interaksi, agar jatidiri dan peranan seseorang tersebut diakui dan
masuk akal bagi pelaku yang terlibat dalam interaksi tersebut. Ada jatidiri yang tidak
dapat diubah, walaupun dapat ditutupi untuk sementara, dan ada jatidiri yang dapat
dengan mudah diubah dengan cara memanipulasi atau mengaktifkan sejumlah
atribut yang diperlukan untuk tujuan tersebut.
27
menyediakan sejumlah pakaian yang selalu siap pakai. Ada baju safari, jas dasi, baju
batik lengan panjang, baju korpri, atau baju seragam lainnya, dan baju kerja yang
sehari-hari dipakainya.
Hubungan Antar-Sukubangsa
28
Dalam hubungan antar-sukubangsa masing-masing sukubangsa tersebut
menciptakan dan memantapkan batas-batas sosial dan budaya, atau batas-batas
sukubangsa. Artinya, berdasarkan atas batas-batas sukubangsa tersebut mereka
membedakan diri sebagai saya dari dia yang berbeda, dan menggolongkan sejumlah
orang yang tergolong kami dari satu sukubangsa yang sama yang dibedakan dari
mereka yang tergolong bukan sukubangsa sama. Batas-batas sosial ini berguna
dalam menunjukkan perbedaan antara mereka yang tergolong dalam satu
sukubangsa yang sama dengan mereka yang tergolong dalam satu sukubangsa
yang lain, yaitu yang berbeda sukubangsanya. Melalui batas-batas sukubangsa ini
stereotip yang dipunyai oleh masing-masing sukubangsa mengenai satu sama
lainnya menjadi lestari, karena melalui dan di dalam stereotip inilah perbedaan-
perbedaan sukubangsa yang berbeda itu terwujudkan. Dalam interaksi yang terjadi
diantara warga yang berbeda sukubangsanya, tidak selamanya stereotip-stereotip
yang mereka punyai masing-masing itu digunakan sebagai acuan dalam saling
berhubungan. Interaksi antar-sukubangsa yang seperti ini biasanya terwujud dalam
suatu interaksi dimana masing-masing pihak saling membutuhkan, memperoleh
manfaat dan keuntungan, dan hubungan yang terwujud tersebut bersifat sebagai
hubungan komplementer atau hubungan yang simbiotik, yang saling melengkapi
kepentingan-kepentingan masing-masing.
29
warga yang berbeda sukubangsanya itu berlangsung, dan karena kebudayaan yang
digunakan tersebut tidak menciptakan batas-batas sukubangsa maka perbedaan
kesukubangsaan diantara mereka dalam dan melalui interaksi tersebut tidak berlaku.
Walaupun telah mereka ciptakan jembatan yang menghubungkan perbedaan-
perbedaan diantara dua sukubangsa yang berbeda atau lebih, tetapi tidak berarti
bahwa perbedaan sukubangsa tersebut lalu hilang dengan sendirinya. Perbedaan
sukubangsa yang mereka punyai, di dalam idan selama nteraksi tersebut sedang
berlangsung, disimpan oleh masing-masing pelakunya, tetapi akan tetap berlanjut
dan digunakan sebagai acuan dalam situasi-situasi atau arena-arena interaksi
lainnya.
30
sukubangsanya yang menapikan perbedaan status hubungan sukubangsa diantara
para pelakunya biasanya terwujud dalam bentuk persahabatan, pengangkatan
saudara, atau perkawinan. Sedangkan berbagai bentuk interaksi lainnya yang juga
menapikan perbedaan status dalam hubungan antar-sukubangsa adalah interaksi
yang terwujud dalam arena-arena interaksi dalam sistem nasional Indonesia. Sistem
nasional Indonesia berada di atas sistem-sistem sukubangsa maupun sistem-sistem
kehidupan di tempat umum, yang berlaku setempat-setempat di seluruh wilayah
Indonesia.
31
politik oleh kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda. Pada saat perbedaan
penguasaan atas bidang-bidang kegiatan ekonomi dan politik tersebut mewujudkan
adanya saling ketergantungan atau saling menghidupi diantara kelompok-kelompok
sukubangsa yang berbeda yang hidup dalam masyarakat tersebut maka hubungan
baik diantara kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda akan tercipta, dan
arena-arena interaksi yang menjembatani hubungan antar-sukubangsa menjadi
mantap dan bahkan berkembang sehingga potensi-potensi konflik yang terjadi dapat
diredam.
Sebaliknya, bila penguasaan atas bidang-bidang ekonomi dan politik serta
pengalokasian pendistribusiannya oleh kelompok-kelompok sukubangsa itu terwujud
sebagai persaingan untuk bidang-bidang yang sama serta menghasilkan adanya
penguasaan atau dominasi oleh satu kelompok sukubangsa atau golongan sosial
tertentu terhadap sumber-sumber daya yang ada, yang dapat diartikan sama dengan
pendominasian oleh satu sukubangsa atau golongan sosial tertentu terhadap
sukubangsa lainnya, maka yang akan terwujud adalah adanya potensi-potensi
konflik di dalam kehidupan masyarakat tersebut, yang sewaktu-waktu dapat meledak
sebagai konflik antar-sukubangsa. Konflik antar-sukubangsa juga dapat meledak
sebagai suatu akibat dari rentetan perasaan-perasaan yang diderita oleh sebuah
kelompok sukubangsa yang merasa direndahkan atau yang berada dalam
kedudukan terhina oleh perbuatan-perbuatan dari warga sesuatu kelompok
sukubangsa lainnya. Penderitaan yang berkepanjangan ini dapat menyebabkan
adanya frustrasi sosial yang mendalam yang diderita oleh sukubangsa yang
kehidupan sosial, ekonomi, dan politiknya didominasi oleh sesuatu sukubangsa yang
lain. Konflik sukubangsa semacam ini biasanya dimulai oleh mereka yang merasa
kehilangan kehormatannya oleh perbuatan warga sesuatu sukubangsa lainnya, dan
perasaan kehilangan kehormatan kesukubangsaan ini biasanya dipicu oleh sesuatu
perbuatan yang dianggap oleh sukubangsa yang bersangkutan sebagai puncak dari
kehinaan serta ketidakadilan yang selama ini mereka derita.
32
Bandung yang didominasi oleh sukubangsa dan kebudayaan Sunda dan wilayah
perkotaan yang tidak didominasi oleh sesuatu sukubangsa serta kebudayaannya,
dengan contohnya kota Medan. Di kota Bandung, yang penduduknya secara
demografi sosial adalah mayoritas dan dominan membuat bahwa para pendatang
dari berbagai asal sukubangsa di Indonesia harus mengadaptasi diri mereka dengan
struktur kehidupan kota Bandung yang didominasi oleh kebudayaan Sunda dan yang
secara sosial, ekonomi, dan politik pada umumnya juga didominasi oleh kelompok
sukubangsa Sunda. Sebaliknya, kota Medan yang secara kebudayaan tidak
didominasi oleh sesuatu sukubangsa menghasilkan adanya kehidupan masyarakat
kota Medan yang beranekaragam sukubangsa dan kebudayaannya, karena mereka
itu masing-masing, yaitu para pendatang yang hidup di Medan, hidup dalam
lingkungan permukiman kelompok sukubangsanya. Dan di tempat-tempat umum
mereka dapat menggunakan bahasa dan kebudayaan sukubangsanya masing-
masing dengan bebas dibandingkan dengan yang berlaku di kota Bandung.
33
6 Kesukubangsaan
Kesukubangsaan
D
alam kuliah ke-5 telah dijelaskan bahwa identitas atau jatidiri adalah
pengenalan mengenai atau pengakuan terhadap seseorang sebagai
termasuk dalam sesuatu golongan. Pengakuan tersebut dilakukan
berdasarkan atas ciri-cirinya yang merupakan sebuah satuan yang bulat dan
menyeluruh, yang menandainya sebagai termasuk dalam satu golongan yang
membedakannya dari orang lain yang termasuk golongan lainnya. Kesukubangsaan
adalah identitas atau jatidiri sukubangsa yang dipunyai oleh seseorang, yaitu karena
seseorang tersebut mengaku sebagai termasuk dalam sesuatu golongan
sukubangsa dan diakui oleh orang lain yang termasuk sebagai golongan sukubangsa
lainnya.
Setiap orang atau setiap warga masyarakat mempunyai lebih dari satu
identitas atau jatidiri. Sebagaimana telah dijelaskan dalam kuliah ke-5, identitas atau
jatidiri itu muncul, ada, dan berguna dalam interaksi bagi para pelaku. Bila seseorang
atau seorang anggota masyarakat itu berada dalam kesendirian yang absolut, maka
semua jatidiri yang dipunyainya itu disimpannya. Walaupun seseorang tersebut
dalam kesendirian yang absolut, tetapi di dalam pikirannya membayangkan dirinya
sedang mengelus-elus kucing atau anjingnya atau sedang memberi makan
ayamnya, maka dia dalam bayangan pikirannya tersebut mempunyai jatidiri sebagai
manusia yang menjadi lawan dari hewan, atau sebagai manusia yang menjadi tuan
yang berlawanan dari hewan yang menjadi peliharaannya. Dalam keadaan demikian,
semua jatidiri yang dipunyainya disimpannya karena tidak relevan atau tidak berguna
dalam interaksi antara dia dengan hewan yang bersangkutan, sdebagaimana yang
ada dalam imaji yang dibayangkannya. Dalam interaksinya dengan hewan
peliharaannya, dia berperan sebagai manusia yang menjadi tuan atau pemelihara si
34
hewan. Jadi, jatidiri itu dalam interaksi tersebut berfungsi sebagai pemberi atau
acuan corak dari peran yang harus dijalankannya.
Corak sebuah interaksi itu ditentukan oleh corak dan peran-peran yang
dijalankan oleh para pemeran yang bersangkutan, dan corak dari peran yang
dijalankan oleh para pemeran ditentukan oleh jatidiri para pemeran. Bila dua orang
mempunyai jatidiri yang sama dalam keadaan saling berinteraksi maka, masing-
masing atau salah satu dari dua orang tersebut akan menyimpan jatidirinya dan
digantikan oleh jatidiri lainnya sehingga memungkinkan dilakukannya interaksi.
Sebab, interaksi hanya terwujud dalam keadaan dimana dua orang pelaku tersebut
mempunyai jatidiri yang saling berbeda. Perbedaan jatidiri bisa terwujud sebagai
perbedaan yang saling melengkapi baik secara horizontal maupun secara vertikal,
maupun saling bertentangan atau saling dipertentangkan.
Dua orang polisi saling berinteraksi harus membedakan siapa saya dan siapa
kamu untuk dapat berperan. Sehingga jatidiri polisi sebagai golongan umum,
dipertajam menjadi jatidiri kapten polisi bagi yang satu dan sersan polisi bagi yang
lain. Jatidiri polisi disimpan, dan kalaupun digunakan hanya sebagai acuan umum
bagi jatidiri sebagai kapten atau sersan untuk membedakan mereka dari kapten TNI
atau sersan TNI. Dalam interaksi antar-warga yang sama sukubangsanya hal ini juga
berlaku. Dua orang Jawa yang dalam keadaan saling berinteraksi tidak akan
mengidentifikasi diri mereka masing-masing sebagai orang Jawa, tetapi masing-
masing sebagai orang Solo dan lainnya sebagai orang Tegal. Atau secara
tradisional, yang satu mengidentifikasi sebagai priyayi dan yang lainnya sebagai
petani.
Sebaliknya, bila dalam interaksi tersebut jatidiri yang sama digunakan, seperti
dalam contoh kapten polisi dengan sersan polisi, maka jatidiri tersebut
memperlihatkan pertentangan antara jatidiri polisi tertentu dengan jatidiri polisi
tertentu lainnya. Dalam kerusuhan Sambas, Kalimantan Barat, sebagai contoh
lainnya, konflik yang terjadi adalah antara orang Melayu lawan Madura dan orang
Dayak lawan Madura. Konflik antara orang Melayu dan orang Madura tidak dapat
diartikan sebagai konflik antar-Melayu lawan Madura secara umum, tetapi hanya
berlaku sebagai konflik antara orang Melayu Sambas dan orang Madura Sambas.
35
Diantara berbagai jatidiri yang dipunyai oleh seseorang, jatidiri sukubangsa
adalah jatidiri yang askriptif yang tidak bisa dibuang dan atau diganti begitu saja oleh
jatidiri lainnya, karena jatidiri tersebut menempel pada dirinya bersama dengan
kelahirannya yang didapatnya dengan mengacu pada asal muasal orang tua
dan/atau daerah asalnya. Walaupun tidak dapat dibuang dari dirinya atau diganti
begitu saja oleh jatidiri sukubangsa lainnya atau jatidiri lainnya, jatidiri sukubangsa
atau kesukubangsaan itu dapat disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi bila
jatidiri sukubangsa tersebut dianggap tidak perlu atau tidak relevan.
Interaksi yang berlaku tersebut dapat dilihat sebagai lingkungan atau arena
tempat terjadinya interaksi. Sebaliknya, sebuah lingkungan atau arena interaksi juga
dapat menstimuli atau merangsang kemunculan sesuatu dorongan atau motivasi dari
pelaku untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu, atau dapat meredam sesuatu tujuan
yang ingin dicapai oleh seseorang pelaku sehingga sipelaku tersebut melakukan
kegiatan yang lainnya yang berbeda dari tujuan semula tetapi sesuai dengan tujuan
baru yang dikondisikan oleh lingkungan atau corak interaksi dimana dia terlibat di
dalamnya. Contohnya, dalam kepustakaan kepolisian diketahui bahwa kejahatan
36
muncul dan terjadi dalam sebuah masyarakat karena kondisi sosial yang buruk dari
masyarakat tersebut. Kondisi sosial yang buruk dapat diartikan sebagai tidak adanya
kepastian hukurn yang dapat dipegang sebagai pedoman dalam menjaga hak dan
menjalankan kewajiban masing-masing anggota masyarakat tersebut, tidak adanya
polisi sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat yang diperlukan bila
terjadi kesewenang-wenangan oleh seseorang terhadap seseorang atau orang-
orang lainnya. Keadaan demikian menstimuli anggota-anggota masyarakat tersebut
untuk memperkuat dirinya dari serangan orang lain dan menggunakan kekuatan
yang dipunyai untuk menyerang dan merampas hak dan milik orang lainnya. Tidak
ada penegak hukum yang perlu ditakuti.
37
kesukubangsaan diaktifkan oleh masing-masing pihak untuk dapat membedakan
siapa lawan dan siapa kawan, menggalang solidaritas diantara sesama golongan
sukubangsa dalam kelompok-kelompok sukubangsa yang siap tempur dan siap
bertahan dari serangan, dan mengidentifikasi siapa lawan dan untuk membuat
strategi menyerang atau bertahan terhadap serangan lawan.
Kesukubangsaan dapat tidak muncul dalam interaksi atau tidak relevan dalam
interaksi pada waktu interaksi tersebut tidak menuntut atau tidak membolehkan
kesukubangsaan itu dimunculkan oleh pelakunya sebagai peranan-peranan.
Interaksi yang demikian ini biasanya diatur norma-normanya oleh suatu hukum yang
lebih tinggi derajat kekuasaanya daripada norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Hukum tersebut haruslah mempunyai ciri yang mendasar, yaitu
meniadakan diaktifkannya kesukubangsaan agar keadilan dapat terwujud dalam
interaksi. Dalam kelas PTIK misalnya, kesukubangsaan tidak dapat diaktifkan dalam
38
hubungan antara dosen dengan mahasiswa karena bila interaksi antara dosen
dengan mahasiswa diaktifkan maka ketidakadilan berdasarkan atas diskriminasi
sukubangsa terjadi, dan prestasi mahasiswanya menjadi menurun karena bukan
dihasilkan oleh prestasi kerja obyektif dari mahasiswa tetapi berdasarkan atas
kesukubangsaan mahasiswa.
39
Makasar yang beragama Islam yang pendatang di kota Ambon dengan orang-orang
Ambon yang beragama Kristen, bergeser menjadi konflik antara orang Islam
melawan orang Kristen yang sama-sama orang Ambon. Begitu juga konflik yang
semula hanya melibatkan orang Islam lawan orang Kristen Protestan, sekarang juga
melibatkan orang Katolik.
Kepustakaan
Geertz, Clifford., 1980, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Terjemahan dari The Religion of Java (oleh: Aswab Mahasin). Jakarta:
Pustaka Jaya.
Suparlan, Parsudi, 1979, ‘Ethnic Groups of Indonesia’. The Indonesian Quarterly,
Vol.2. No.2, CSIS, hal. 53-75.
—————,1981/1982, “Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama”. Dalam Parsudi
Suparlan (Ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial, dan Pengkajian
Masalah-masalah Agama. Jakarta: Puslitbang Lektur Agama, Balitbang
Agama. Hal. 75-91.
—————,1986, ‘Kebudayaan dan Pembangunan, Media Ika, Vol.14. No.11.
Jurusan Antropologi, U.I. hal. 106-135
—————,1995 The Javanese in Surinam : Ethnicity in an ethnically plural society.
Tempe, Arizona : Center for Southeast Asian Studies, Arizona State
University.
40
7 Keluarga
dan Kekerabatan
Pendahuluan
S
eperti halnya dengan mahluk-mahluk lainnya, manusia juga harus
mengadakan hubungan kelamin dengan lawan jenisnya untuk dapat
memperoleh keturunan, Tetapi berbeda dengan sebagian besar mahluk-
mahluk lainnya tersebut, manusia mempunyai kecenderungan untuk membentuk
pasangan-pasangan yang permanen atau tetap. Pasangan-pasangan ini terwujud
oleh adanya hubungan yang dinamakan perkawinan. Perkawinan adalah hubungan
permanen antara laki-laki dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat yang
bersangkutan yang berdasarkan atas peraturan yang berlaku (peraturan negara,
agama, atau hukum adat atau ketiga-tiganya). Sebuah perkawinan mewujudkan
adanya keluarga dan memberikan keabsahan atas status anak-anak mereka.
Perkawinan tidak hanya mewujudkan adanya hubungan diantara mereka yang kawin
saja, tetapi juga melibatkan hubungan-hubungan diantara kerabat-kerabat dari
masing-masing pasangan tersebut. Walaupun landasan dasar dari mereka yang
kawin adalah untuk hubungan kelamin, tetapi hubungan tersebut juga melibatkan-
hubungan emosi dan perasaan kasih sayang, hubungan-hubungan ekonomi, politik,
dan sosial. Hubungan-hubungan yang tetap dan yang melibatkan berbagai aspek
dari hubungan sosial tersebut menyebabkan bahwa pasangan atau keluarga dapat
dilihat sebagai sebuah satuan sosial. Tulisan ini akan membahas apa itu keluarga,
kekerabatan, dan kaitannya dengan kesukubangsaaan dan hubungan antar-
sukubangsa.
41
Keluarga
Para ahli antropologi melihat keluarga sebagai satuan sosial terkecil yang
dipunyai oleh manusia sebagai mahluk sosial. Pendapat ini didasarkan atas
kenyataan bahwa sebuah keluarga adalah sebuah satuan kekerabatan yang juga
merupakan sebuah satuan tempat tinggal dan kehidupan yang ada dalam sebuah
komuniti atau masyarakat. Lebih lanjut, sebuah keluarga juga ditandai oleh cirinya
sebagai sebuah kerjasama ekonomi diantara anggota-anggotanya, mempunyai
fungsi untuk berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik anak, dan menolong
serta melindungi yang lemah khususnya merawat orang-orang tua mereka yang
sudah jompo.
Dalam bentuknya yang paling dasar, sebuah keluarga terdiri atas seorang
laki-laki dan seorang perempuan, ditambah dengan anak-anak mereka yang
biasanya tinggal dalam satu rumah yang sama, Satuan atau kelompok seperti ini
dalam antropologi dinamakan keluarga inti atau keluarga batih. Walaupun sebuah
keluarga inti secara resminya selalu terbentuk oleh adanya hubungan perkawinan
yang sah menurut peraturan negara dan agama, tetapi tidak selamanya keluarga inti
terwujud karena telah disahkan menurut peraturan tersebut di atas. Sebuah keluarga
inti dapat juga terwujud karena seorang laki-laki dan seorang perempuan
mengadakan hubungan kelamin secara permanen tanpa melalui sesuatu
pengesahan perkawinan menurut peraturan negara atau agama. Mereka hidup dan
tinggal bersama dalam satu rumah disertai anak-anak mereka sehingga merupakan
sebuah satuan sosial dan kehidupan terkecil yang diakui keberadaan mereka
sebagai sebuah keluarga oleh keluarga-keluarga lain dalam komuniti atau
masyarakatnya. Dengan demikian, sebuah keluarga dapat juga terwujud oleh
adanya hubungan kelamin yang permanen atau hubungan konkubinasi
(concubinage). Di beberapa tempat di Indonesia hubungan konkubinasi ini
dinamakan kawin baku piara (di Minahasa) kawin kumpul krbo (Jakarta dan
sekitamya), atau kawin gendakan (Jawa pada umumnya).
Walaupun secara garis besarnya keluarga inti itu dapat didefinisikan sebagai
terdiri atas suami, isteri, dan anak-anak mereka yang tinggal dalam satu rumah,
tetapi dalam hal-hal tertentu pendefinisian ini tidak dapat digunakan. Karena dalam
kenyataannya ada sejumlah masyarakat yang keluarga intinya tidak lengkap untuk
sesuatu jangka waktu tertentu yang cukup lama, karena tidak adanya suami di rumah
42
(pada masyarakat pelaut Bugis dari Sulawesi Selatan), buruh-buruh musiman di
Jakarta yang berasal dari sekitar kota Jakarta atau dari tempat-tempat lainnya, TKI
atau tenaga keja Indonesia (biasanya digunakan untuk menamai tenaga kerja laki-
laki) di luar negeri asal dari berbagai tempat di Indonesia, terutama dan pulau Jawa
dan Madura. Atau karena isteri tidak ada di rumah untuk jangka waktu yang lama
karena menjadi TKW atau tenaga kerja wanita di luar negeni. Mereka ini berasal dari
berbagai tempat di Indonesia terutama dari pulau Jawa.
Sebuah keluarga inti dapat juga menjadi sebuah keluarga luas dengan
adanya tambahan dari sejumlah orang lain, baik yang sekerabat maupun yang tidak
sekerabat, yang secara bersama-sama hidup dalam sebuah rumah bersama dengan
keluarga inti, dan diperlakukan sebagai bagian dari rumah tangga keluarga inti
tersebut. Sebuah rumah tangga adalah sebuah keluarga yang dilihat sebagai sebuah
satuan ekonomi atau sebuah satuan dapur. Orang-orang yang sekerabat yang ikut
tinggal dalam keluarga inti tersebut bisa berasal dari pihak suami atau dari pihak
isteri. Sedangkan orang lain atau orang luar yang ikut dan menjadi bagian dari
keluarga adalah pembantu rumah tangga, atau anak orang lain yang diangkat anak
oleh keluarga tersebut. Dengan adanya poligami (poligini atau poliandri) dan adanya
orang lain yang ikut tinggal bersama dalam sebuah keluarga, maka keluarga inti
menjadi keluarga luas.
43
Kekerabatan
Seseorang atau ego dianggap sebagai kerabat oleh seseorang yang lain
karena seseorang atau ego tersebut dianggap masih seketurunan atau mempunyai
hubungan darah dengan si orang lain tersebut. Walaupun orang lain tersebut
tinggalnya amat jauh dari tempat tinggal ego, dan bahkan juga belum pernah
bertemu muka dengan ego tetap saja orang tersebut tergolong sebagai kerabatnya.
Ketentuan mengenai siapa-siapa yang tergolong sebagai kerabat dari ego dibuat
berdasarkan atas sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan, dimana ego adalah salah seorang warganya.
Laki-laki
Perempuan
Hubungan kelamin
atau perkawinan
Keturunan
Hub. Saudara kandung
Ego
Kematian
Batas lingkungan
tempat tinggal; bisa
berupa rumah tempat
mereka tinggal
bersama, atau desa,
atau wilayah yang
lebih luas
44
Peranan Kerabat dan Fungsi Kekerabatan
Kelompok-Kelompok Kekerabatan
45
dinamakan consanguinec yang dibedakan dari orang-orang sekerabat yang terwujud
karena adanya hubungan perkawinan yang dinamakan sebagai kelompok affine..
Aturan-aturan yang menggolongkan siapa-siapa yang seketurunan dan siapa-siapa
yang bukan adalah beranekaragam sesuai dengan corak sistem kekerabatan yang
dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Pada garis besarnya ada tiga corak
sistem kekerabatan yang masing-masing mempunyai aturan-aturan kekerabatan
yang berbeda dalam menentukan siapa-siapa yang seketurunan dan siapa-siapa
yang bukan. Tiga corak sistem kekerabatan yang mendasar ini adalah: (1) Bilateral;
(2) Patrilineal; dan (3) Matrilineal.
46
kawin dengan orang Batak maka yang bersangkutan harus diangkat dahulu sebagai
salah satu anggota marga Batak. Untuk memperdalam pengetahuan mengenai
orang Batak dan Kebudayaannya, lihat antara lain, J.C.Vergouwen (Masyarakat dan
Adat Batak Toba, Pustaka Azet 1985).
Istilah Kekerabatan
47
dengan istilah paklik tentu akan menimbulkan kekacauan dalam kaitannya dengan
hubungan-hubungan antara antara anak tersebut dengan ayah dan ibunya dan
dengan pamannya, serta kerabat-kerabatnya. Yang menjadi pertanyaan besar
adalah anak ini anak siapa? Seperti apa kedudukannya dalam sistem kekerabatan
yang berlaku? Seperti apakah hak warisnya dan mendapat warisan sebagai anak
dari ayahnya atau pamannya?
48
Keluarga dan Kesukubangsaan
Keluarga adalah satuan terkecil yang ada dalam kelompok atau masyarakat
sukubangsa. Dalam keluarga setiap orang dilahirkan dan dirawat serta dibesarkan
oleh ayah ibunya, kakek dan neneknya, saudara-saudaranya, dan oleh kerabat-
kerabatnya yang lebih tua daripadanya. Bahkan pada waktu dia matipun dia dirawat
oleh keluarga dan kerabatnya untuk dapat dikuburkan sebagaimana layaknya,
sesuai dengan kebudayaan dan keyakinan keagamaannya. Dalam keluargalah
setiap anak yang dilahirkan itu dibesarkan untuk menjadi manusia sesuai dengan
kebudayaan dari orang tua dan masyarakatnya. Di daerah pedesaan dimana
kelompok atau masyarakat sukubangsa itu secara relatif bercorak
homogen,keluarga-keluarga yang merupakan unsur utama terbentuknya komuniti
atau masyarakat sukubangsa adalah satuan terkecil dari komuniti atau masyarakat
sukubangsa yang bersangkutan. Dengan demikian anak yang dilahirkan itu
dibesarkan menjadi orang sesuai dengan kesukubangsaan orang tua dan komuniti
atau masyarakat dimana dia itu dibesarkan.
49
kebudayaan yang umum berlaku dalam masyarakat perkotaan yang bersangkutan
atau mengadopsi sejumlah unsur-unsur kebudayaan sukubangsa lain yang dominan
dalam masyarakat perkotaan tersebut, dan masih juga mengadopsi kebudayaan
nasional Indonesia dan sejumlah unsur kebudayaan asing sebagai produk dari
intensifnya globalisasi yang berlaku di daerah perkotaan terutama di kota-kota besar
melalui berbagai jalur media massa dan elektronika. Di satu pihak keluarga-keluarga
ini mengadopsi berbagai unsur kebudayaan lain tetapi di lain pihak mereka ini justru
memperkuat kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsanya. Corak paradox ini
terutama terwujud sebagai akibat dari pragmatisme hidup di daerah perkotaan yang
harus mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan kota dalam keanekaragaman
kebudayaannya, tetapi di lain pihak mereka itu juga harus berkompetisi dengan
warga sukubagsa lainnya untuk memperebutkan berbagai sumberdaya dan sumber
rezeki yang ada di kota tempat mereka itu hidup. Satu-satunya yang paling
diandalkan dalam kompetisi atau bila terjadi konflik adalah keluarga dan kerabat
serta warga sukubangsa yang sama yang hidup dalam kota yang bersangkutan.
Dengan demikian, kesukubangsaan tidak akan hilang walaupun mereka itu telah
menjadi modern dan isi kebudayaan sukubangsa dalam keluarga mereka tidak lagi
asli sebagaimana yang terdapat dalam kehidupan sukubangsa di daerah pedesaan.
50
8 Kerjasama,
Persaingan,
dan Konflik
Pendahuluan
K
erjasama, persaingan, dan konflik adalah bagian dari kehidupan sosial
manusia. Berbagai kesulitan serta permasalahan yang dihadapi yang tidak
mungkin dapat diselesaikan secara perorangan akan dapat diselesaikan
melalui kerjasama dengan orang lain. Kerjasama adalah tindakan-tindakan bersama
dalam saling membantu antara dua orang atau dua kelompok untuk sesuatu tujuan
tertentu bersama. Kerjasama tersebut dapat dilakukan oleh sejumlah orang yang
melakukannya secara sukarela untuk membangun langgar atau surau di desa, atau
bergotong royong memperbaiki sepotong jalan yang rusak karena banjir. Disamping
itu, kerjasama dapat juga dilakukan oleh sejumlah orang yang secara sukarela
bekerjasama, walaupun tidak secara langsung saling bantu membantu; seperti
misalnya, sejumlah pemburu yang secara bersama-sama berburu babi hutan. Atau
sejumlah orang pergi memancing bersama di tempat yang sama. Dalam kasus-kasus
terakhir ini kerjasama bukan dalam berusaha untuk memperoleh hasil buruan atau
memperoleh ikan yang hasilnya akan dibagi rata diantara mereka, tetapi
kebersamaan untuk memantapkan perasaan dan emosi kelompok dalam kegiatan-
kegiatan mereka, karena masing-masing pemburu atau pemancing tersebut akan
menikmati hasil buruan atau pemancingan untuk masing-masing dan bukan untuk
dibagi bersama.
51
konsumen untuk melawan kekuatan kapitalisme yang memonopoli hasil-hasil
pertanian. Kerjasama dapat juga dilakukan untuk tujuan menghadapi lawan yang
menjadi musuh yang akan menghancurkan mereka, baik dalam bentuk kerjasama
antar-perorangan maupun kerjasama antar-kelompok sesuai dengan lawan yang
dihadapi. Disamping itu, kerjasama dapat juga terwujud sebagai kerjasama diantara
sesama anggota sukubangsa dalam melawan serangan atau menyerang musuh
yang tergolong sukubangsa lain dalam sebuah konflik antar-sukubangsa. Atau
bekerjasama diantara mereka yang sekerabat atau sesukubangsa dalam bersaing
memperebutkan pasar bagi sesuatu produk yang juga diproduksi oleh kelompok lain.
Dengan demikian, lawan yang dihadapi dapat berupa lawan yang menjadi
pesaing dalam sebuah persaingan untuk memperebutkan sesuatu yang berharga
yang terbatas jumlahnya yang berupa sesuatu sumber daya, sumber rezeki,
kehormatan, atau sesuatu yang sangat dihargai tinggi dan terbatas jumlahnya.
Lawan yang dihadapi dapat juga berupa musuh yang harus dihancurkan demi
kehormatan atau untuk menguasai sesuatu sumber daya yang berharga dan sumber
rezeki yang terbatas jumlahnya. Tulisan ini akan menguraikan dan membahas apa
itu persaingan dan konflik. Uraian dan pembahasan mengenai konflik akan terfokus
pada konflik sosial yang terwujud sebagai kerusuhan massal, tawuran antar-
kampung atau antar-desa, dan konflik antar-sukubangsa sebagaimana yang terjadi
di berbagai tempat di Indonesia, terutama di Sambas, Kalimantan Barat.
Persaingan
52
bulutangkis, dsb & Semua petanding untuk pertandingan olahraga tersebut
memahami adanya peraturan atau aturan main yang harus mereka taati selama
bertanding. Bila aturan main tersebut mereka langgar maka mereka itu akan terkena
sanksi. Untuk itu maka ada wasit yang mengawasi dan memimpin jalannya
pertandingan, dan yang memberikan sanksi atas pelanggaran terhadap aturan main
yang berlaku. Sanksi atas pelanggaran yang ringan akan diberi peringatan,
pelanggaran yang berat akan diberi hukuman, dan pelanggaran yang lebih berat
akan dikeluarkan dari arena pertandingan. Pelanggaran yang lebih berat adalah
tindakan mencederai lawan sehingga menyebabkan lawan tidak mampu lagi untuk
bertanding sebagaimana seharusnya. Dalam pertandingan tinju seorang petinju
dilarang untuk memukul bagian bawah dari puser lawannya, dan terutama terlarang
untuk memukul kemaluan lawan dan bagian belakang kepala lawan, dan berbagai
larangan lainnya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi, dan bila pelanggaran tetap
dilakukan berturut-turut sampai tiga kali maka si pelanggar akan diberi sanksi oleh
wasit berupa pengurangan angka, atau bila mencederai lawan secara permanen si
pelanggar akan dinyatakan sebagai tidak memenuhi syarat atau didiskualifikasi
sebagai petinju. Dia dikeluarkan dari arena tinju, dan dinyatakaan kalah. Dalam
pertandingan tinju tidak hanya ada wasit tetapi juga ada juri, yang jumlahnya
biasanya tiga orang. Para juri inilah yang memberi nilai para petinju yang bertanding
dan menentukan petinju mana yang menang. Hal yang sama juga berlaku dalam
pertandingan sepakbola dan berbagai pertandingan olahraga lainnya. Hanya dalam
pertandingan berbagai jenis olahraga tersebut tidak ada juri; tetapi ada komite-
komite yang memberi penilaian atas jalannya pertandingan, kemampuan wasit dalam
memimpin pertandingan, dan kinerja para pemain yang mencakup juga sportivitas
mereka.
53
pertandingan final yang dilaksanakan diantara para pemenang yang kira-kira sama
derajat kemampuan bertandingnya.
Dalam kehidupan sosial, persaingan biasanya terjadi dalam dalam bisnis
diantara pebisnis, atau di pasar diantara para penjual barang yang sama, atau dalam
kehidupan politik untuk memperebutkan jabatan-jabatan publik dan administrasi,
atau dalam kehidupan sosial untuk menunjukkan yang lebih kaya, lebih bergengsi,
lebih cantik, dsb., atau dalam kehidupan pribadi bersaing untuk memperoleh cinta
dari lawan jenis. Dalam struktur kegiatan yang formal seperti di kantor atau di kelas
juga terdapat persaingan diantara pegawai kantor untuk berprestasi lebih baik atau
untuk memperoleh kasih sayang dari atasan supaya cepat naik pangkat dan jabatan
yang lebih baik daripada yang dipunyainya sekarang. Di sekolah, terutama yang
nampak jelas adalah di kelas, murid-murid secara tidak mereka sadari berlomba-
lomba untuk memperoleh nilai yang lebih baik dari murid-murid lainnya dalam
pelajaran-pelajaran yang mereka ikuti, dalam upaya untuk memperoleh penghargaan
atau rangking teratas dalam kelas.
Bila salah satu pihak dari pesaing itu melanggar peraturan atau aturan main
dengan cara melukai pedagang atau pebisnis yang menjadi lawannya atau
membakar usaha dagang atau bisnisnya, atau berbagai cara lain yang dapat
dilakukan untuk menghancurkan reputasi si pedagang atau pebisnis, maka yang
terjadi bukan lagi sebuah persaingan tetapi sebuah konflik. Hal yang sama bisa
54
terjadi pada persaingan diantara calon-calon pejabat publik atau administrasi
pemerintahan persaingan diantara pegawai kantor, atau diantara murid di kelas.
Dalam kasus pegawai kantor atau murid di kelas, yang terjadi bisa saja si pegawai
atau si murid memberikan upeti-upeti kepada atasannya atau kepada guru-gurunya
sehingga aturan main dalam persaingan tersebut menjadi berubah, yang akan
menguntungkan posisi si pemberi upeti dalam persaingan diantara sesama pegawai
atau sesama murid. Dapat juga si pegawai atau si murid mencederai secara fisik
atau secara mental dengan cara menerapkan kategori kambing hitam, seperti G30
S/PKI atau lainnya, pada lawan pesaingnya yang mempunyai potensi untuk
mengalahkannya dalam persaingan. Bila proses-proses ini yang terjadi maka proses-
proses tersebut tidak dapat lagi dinamakan sebagai persaingan tetapi sebagai
konflik.
Konflik dapat terwujud dalam bentuk konflik fisik atau dalam bentuk konflik
simbolik, Dalam konflik fisik, para pelaku bertindak saling menghancurkan orang
(membunuh atau setidak-tidaknya menciderai), dan menghancurkan harta benda
yang menjadi milik pihak lawan yang merupakan atribut-atribut dan jatidiri pihak
lawan. Kehancuran orang atau harta benda pihak lawan merupakan kemenangan
pihak yang satu terhadap yang lainnya, dan sebaliknya. Konflik flsik yang
menghasilkan kekalahan dari satu pihak, yang kemudian berhenti atau dihentikan
karena adanya aparat keamanan yang menghentikannya, akan menghasilkan
dendam yang berkepanjangan pada pihak yang kalah tersebut. Sesuatu tindakan
55
yang dianggap sebagai penghinaan oleh pihak yang pernah kalah yang dilakukan
oleh pihak yang pernah menang di masa lampau, dapat memicu sebuah konflik baru.
Konflik baru ini biasanya dimulai oleh pihak yang pernah kalah, yang merasa terhina
oleh tindakan yang dilakukan oleh pihak yang menang dalam konflik yang pernah
terjadi, walaupun peristiwa yang sekarang terjadi hanya sepele, seperti misalnya
saling memandang atau tersenggol tubuhnya waktu berjalan. Konflik baru dapat saja
dimulai oleh pihak yang menang dalam konflik pernah yang terjadi. Gara-garanya
juga sepele. Motifnya bukan untuk membalas dendam tetapi untuk menunjukkan
supremasi atau keunggulan mereka sebagai pihak pemenang atas pihak yang kalah
di masa lampau. Tindakan pihak pemenang ini dapat dilihat sebagai upaya
mempertahankan batas-batas antara pemenang dan pecundang, atau
mempertahankan supremasi mereka.
Dalam konflik baru, yang dilakukan dalam bentuk penyerangan oleh yang
dulunya kalah terhadap pihak yang dulunya menang, atau oleh pihak yang dulunya
menang terhadap yang kalah, biasanya dilakukan dengan mengaktifkan sesuatu
isyu. Yang mengaktifkan sesuatu isyu untuk memberi semangat menghancurkan
pihak lawan biasanya dinamakan provokator. Isyu ini biasanya dinamakan sebagai
isyu simbolik, karena yang diaktifkan adalah simbol-simbol yang berkaitan dengan
konflik yang pernah terjadi, dan maknanya mengacu pada kebudayaan yang
membuat isyu. Isi cerita atau berita yang menjadi isyu biasanya adalah, bahwa
mereka itu harus menegakkan kehormatan dengan cara harus mengalahkan pihak
yang pernah menang yang sekarang ini menghina dan mencoreng kehormatan
mereka. Atau nila dimulai oleh pihak yang menang, maka isinya adalah afirmasi dan
reafirmasi mengenai supremasi pihak mereka yang menang yang harus
dipertahankan karena pihak yang pernah kalah itu mulai menunjukkan gigi
menantang mereka.
Dalam konflik simbolik, masing-masing pihak yang konflik atau pernah konflik
di masa lalu, menciptakan simbol-simbol mengenai keperkasaan mereka, dan
bersama itu juga mengenai kehormatan dan jatidiri mereka yang berbeda dari dan
yang lebih unggul daripada jatidiri pihak lawan. Makna yang terkandung dalam isyu-
isyu simbolik terserap dalam kehidupan mereka dan mempengaruhi serta
mengarahkan orientasi kehidupan mereka yang tertuju pada adanya pihak lawan.
56
Tanpa disadari mereka itu saling menciptakan batas-batas sosial untuk menunjukkan
dengan”jelas perbadaan antara mereka dari pihak lawan. Bahkan melalui batas-
batas sosial tersebut, pertentangan antara mereka dengan pihak lawan dipertegas
melalui berbagai bentuk stereotip dan prasangka melalui berbagai isyu tentang
mereka yang terhormat dan perkasa dan tentang pihak lawan yang hina dan
pengecut. Dengan kata lain, berbagai isyu simbolik menghasilkan adanya stereotip
dan prasangka, menghasilkan adanya batas-batas sosial, dan menghasilkan saling
tindakan diskriminatif satu sama lainnya. Isyu-isyu simbolik yang biasanya diaktifkan
selama masa jedah, yaitu setelah konflik fisik berakhir atau dengan paksa diakhiri
dan sebelum munculnya konflik fisik yang baru, mencakup isyu-isyu moral, etika, dan
kehormatan jatidiri. Fungsi dari konflik simbolik ini adalah mempertahankan
berlangsungnya konflik yang pernah terjadi untuk disimpan dalam ingatan atau
memori dari para pelaku. Ingatan ini menjadi mantap karena didukung oleh
seperangkat pengetahuan yang stereotipik dan penuh prasangka mengenai masing-
masing, terciptanya batas-batas sosial diantara mereka, dan saling mendiskriminasi.
Konflik fisik antar-perorangan biasanya tidak berlangsung lama, walaupun ada yang
berlangsung lama yaitu dalam bentuk sebagai konflik simbolik.
Konflik fisik perorangan ini segera berubah menjadi konflik fisik antar-keluarga
atau antar-kelompok kerabat atau antar-kampung atau antar-kelompok sukubangsa.
Proses-proses ini dapat terjadi karena pihak yang kalah akan dibela oleh
keluarganya, dan pihak yang menang akan mempertahankan diri dengan dukungan
keluarganya untuk dapat mempertahankan kemenangan yang telah mereka peroleh.
Bila keluarga yang bersangkutan tidak cukup kuat maka kelompok kerabat masing-
masing akan membantu, dan bila inipun tidak cukup kuat maka komuniti kampung
atau desa akan terlibat di dalamnya. Keterlibatan kampung atau desa, sebagai
komuniti, dapat dipahami karena sebuah desa pada umumnya dihuni oleh warga
yang secara langsung atau tidak langsung berada dalam satu hubungan satu sama
lainnya dalam jaringan-jaringan kekerabatan dan sosial. Sebuah desa dengan
demikian merupakan sebuah komuniti yang warganya merupakan sebuah satuan
kehidupan yang menyeluruh dan utuh dalam kaitan hubungannya dengan komuniti
atau komuniti lainnya. Desa sebagai sebuah komuniti merupakan acuan jatidiri dan
kehormatan yang mendasar dan umum bagi warganya, atau yang primordial.
57
Sehingga apa yang terjadi pada seorang warganya akan dianggap sebagai terjadi
terhadap komuniti tersebut secara keseluruhan.
58
bersumber pada perebutan lahan pemalakan, peredaran narkoba, dan sejenis
dengan itu.
Konflik antara orang Melayu dan orang Madura di Sambas bukan hanya
berupa konflik antar-kampung atau antar-desa tetapi melibatkan semua desa dan
kampung yang ada di Sambas, Kalimantan Barat. Terwujud dalam bentuk
penyerangan antar-desa dan kampung,–antar sesama warga desa dan kampung
yang sukubangsa Melayu dan Madura, dalam bentuk saling membunuh atau
mengeroyok antar-orang Melayu dan Madura pada waktu bertemu di jalan atau di
tempat-tempat umum, dan terwujud sebagai bentuk pemburuan dan pembunuhan
terhadap orang-orang Madura yang bersembunyi di daerah rawa-rawa dan hutan
oleh kelompok-kelompok pemuda Melayu dari berbagai desa dan kampung. Karena
itu konflik berdarah antara orang Melayu-Madura tidak dapat dikatakan sebagai
konflik komunal atau konflik antar-komuniti, karena tidak terwujud sebagai konflik
antar komuniti kampung atau komuniti desa, tetapi konflik antar-sukubangsa yang
melibatkan keseluruhan orang Melayu dan Madura di Sambas. Kalau sebelum
terjadinya konflik antar-sukubangsa, konflik-konflik yang berlangsung secara
sporadis dari waktu ke waktu di Sambas antara orang-orang Melayu-Madura adalah
bersumber pada perebutan berbagai sumber daya dan rezeki yang ada setempat.
Sedangkan dalam konflik antar-sukubangsa yang meluas ke seluruh wilayah
Sambas, sumber konflik bukan lagi pada sumber daya dan rezeki tetapi pada isyu
59
moral dan etika dimana orang-orang Madura digolongkan sebagai tidak tahu adat
karena tidak mengikuti prinsip “dimana bumi dipijak langit dijunjung”, dan dianggap
sebagai sumber polusi sosial dan budaya karena perbuatan-perbuatan mereka yang
tidak etis dan tidak bermoral yang mencoreng harga diri dan kehormatan orang
Melayu.
Sebagai catatan terakhir, patut dinyatakan bahwa berbeda dari konflik antar-
perorangan maka dalam konflik sosial (antar-kelompok, antar-keluarga, antar-
kerabat, antar-kampung atau antar-desa, dan antar-sukubangsa) yang menjadi
pelaku konflik bukan lagi orang-perorang sebagai pribadi-pribadi, tetapi antar orang-
perorang yang saling mereka lihat sebagai golongan atau-kategori sosial sengan ciri-
ciri kesukubangsaan masing-masing. Dengan kata lain konflik sosial adalah konflik
antar-golongan atau konflik antar-kategori. Orang-orang yang dahulunya saling
mengenal secara pribadi dan bahkan bersahabat, dalam konflik sosial ini mereka itu
tidak lagi saling melihat masing-masing sebagai orang yang saling mengenal secara
pribadi atau bersahabat, tetapi saling melihat sebagai golongan atau kategori sosial
yang berlawanan atau saling bermusuhan. Mereka harus saling menghancurkan
golongan atau kategori sosial lawan, walaupun mereka saling mengenal dan dulunya
bersahabat. Bila mereka menekankan pentingnya persahabatan, maka masing-
masing pihak harus saling menyembunyikan sahabatnya tersebut dari pengetahuan
warga sukubangsanya, atau kalau ketahuan oleh kelompok sukubangsanya dia akan
digolongkan sama dengan golongan musuhnya dan karena itu harus dihancurkan.
60
9 Masyarakat Majemuk
dan Hubungan
Antar-sukubangsa
Masyarakat Indonesia Yang Majemuk
I
ndonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-masyarakat
sukubangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa
atau nasion (nation) yaitu bangsa Indonesia. Sebagai sebuah bangsa,
masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik yaitu sebuah negara
kesatuan yang bercorak republik yang menempati sebuah wilayah yang dinamakan
negara Indonesia. Sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas sejumlah
sukubangsa, hubungan-hubungan sosial diantara warga sukubangsa yang berbeda
yang lazim berlangsung di tempat-tempat umum (pasar, tempat-tempat hiburan,
kegiatan-kegiatan sosial bersama), menjadikan fungsi tempat-tempat umum tersebut
menjadi penting sebagai wadah untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan dan
sebagai perantara yang menjembatani hubungan antar-sukubangsa. Indonesia
adalah sebuah masyarakat majemuk karena mengenal adanya tiga sistem yang
digunakan sebagai acuan atau pedoman di dalam kehidupan warga masyarakatnya.
Sistem-sistem tersebut adalah : (1) Sistem Nasional; (2) Sistem Sukubangsa; dan (3)
Sistem Tempat-Tempat Umum.
61
sistem nasional adalah sistem yang berada diatas dari dan merupakan puncak yang
menaungi dua buah sistem lainnya.
Sistem Nasional
Sistem nasional adalah pedoman atau acuan yang seragam bagi dan berlaku
di dalam kehidupan sebuah masyarakat negara. Sistem nasional Indonesia adalah
pedoman atau acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara bagi warga
masyarakat Indonesia. Sistem nasional Indonesia dikenal keberadaan dan
berlakunya sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa Indonesia sejak proklamasi
17 Agustus 1945. Sebagai sebuah sistem, sistem nasional Indonesia, mempunyai
pedoman yang hakiki yang digunakan untuk menjabarkan dan memproses masukan-
masukan untuk menjadi keluaran-keluaran sesuai dengan diberadakan dan
difungsikannya sistem nasional tersebut. Dalam sistem nasional Indonesia, pedoman
hakiki dan menyeluruh bagi pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah
Pancasila dan UUD 1945. Kalau kita melihat kebudayaan sebagai pedoman
menyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat, maka Pancasila dan UUD 1945
dapat dilihat sebagai pedoman menyeluruh bagi sistem nasional dalam mengatur
kehidupan berbangsa serta bernegara dan oleh karenanya maka Pancasila dan UUD
1945 dapat dilihat dan diperlakukan sebagai kebudayaan nasional Indonesia oleh
bangsa Indonesia.
62
Hasil dari kegiatan-kegiatan pengaturan administrasi oleh pemerintah
Indonesia telah menghasilkan, antara lain, adanya pengetahuan serta keyakinan-
keyakinan yang dipunyai oleh warga masyarakat Indonesia mengenai kebangsaan
Indonesia serta atribut-atribut dan simbol-simbolnya. Pengetahuan mengenai sistem-
sistem penggolongan yang berlaku, baik yang ideal maupun yang aktual, mengenai
berbagai gejala-gejala, masalah-masalah, isyu-isyu, serta cara-cara dan teori-teori
untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan itu. Baik pengetahuan
mengenai gejala-gejala, masalah-masalah, dan isyu-isyu nasional mengenai
ekonomi, politik, sosial, dan budaya maupun mengenai isyu-isyu lokal dan
internasional. Bersamaan dengan itu juga tertanam paradigma-paradigma atau
keyakinan-keyakinan mengenai kebenaran-kebenarannya secara moral dan etika,
yang dilihat dalam perspektif nasional tersebut (Suparlan 1979, 1982).
Sukubangsa
Sukubangsa adalah golongan sosial yang khusus, yang askriptif, yang sama
coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Kekhususan dari sukubangsa
sebagai sebuah golongan sosial ditandai oleh ciri-cirinya, yaitu: Diperoleh secara
askriptif atau didapat begitu saja bersama dengan kelahirannya, muncul dalam
interaksi berdasarkan atas adanya pengakuan oleh warga sukubangsa yang
bersangkutan dan diakui oleh warga sukubangsa lainnya. Merupakan ciri-ciri yang
umum dan mendasar berkenaan dengan asal muasal manusia, yang digunakan
sebagai acuan bagi identitas atau jatidiri pribadi atau kelompoknya, yang tidak dapat
dengan seenaknya dibuang atau ditiadakan, walaupun dapat disimpan atau tidak
63
digunakan dalam interaksi yang berlaku. Karena, ciri-ciri tersebut melekat seumur
hidup bersama dengan keberadaannya sejak kelahirannya (Barth 1969 : 9-38). Ciri-
cirinya yang umum dan mendasar berkenaan dengan asal muasalnya ini seringkali
dinamakan sebagai ciri-ciri yang primordial atau yang secara kognitif dan afektif
adalah yang utama dan pertama serta berlaku secara universal di dalam kehidupan
manusia.
64
golongan-golongan, yang sebenarnya adalah konsep-konsep. Penggolongan
manusia menurut jenis kelamin misalnya, menghasilkan konsep laki-laki sebagai
lawan dan konsep perempuan. Kebudayaan juga menyajikan cara-cara atau metode-
metode untuk bukan hanya memilah-milah atau menggolongkan sesuatu gejala
tetapi juga cara-cara untuk menseleksi konsep-konsep yang dihasilkan dari
penggolongan yang dibuat dan mengkombinasi konsep-konsep hasil seleksi tersebut
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Contohnya, dalam kehidupan tradisional di
hampir semua sukubangsa di Indonesia dikenal sebuah pedoman bagi kehidupan
berkeluarga yaitu: ‘banyak anak banyak rezeki’. Bagi keluarga petani tradisional di
daerah pedesaan, anak adalah tenaga kerja domestik yang secara fungsional
membantu keberhasilan kegiatan ekonomi rumah tangga. Semakin banyak anak
dengan demikian akan semakin terbantu kelancaran dan keberhasilan kegiatan
ekonomi rumah tangga. Pedoman tersebut merupakan hasil penggolongan,
penseleksian, dan penggabungan konsep-konsep hasil seleksi sesuai dengan
lingkungan yang dihadapi dan tujuan yang ingin dicapai, dan sesuai dengan
pengalaman-pengalaman mereka yang punya banyak anak dibandingkan dengan
yang sedikit atau tidak punya anak.
65
hasil hutan serta bertani ladang yang berpindah secara berotasi, di lain pihak, pada
ujung ekstrim yang lain, ada masyarakat-masyarakat sukubangsa yang telah
mengenal sistem feodal atau kerajaan yang terpusat kekuasaannya di daerah
perkotaan (Suparlan 1979), sedangkan diantara dua ujung ekstrim tersebut terdapat
beranekaragam corak kebudayaan. Sehingga, terdapat sukubangsa-sukubangsa
yang hidup terisolasi dalam kelompok-kelompok kecil dan dengan jumlah penduduk
yang kecil, seperti misalnya Orang Toala di Sulawesi (100 orang), atau Orang
Enggano dari pulau Enggano (300 orang) dibandingkan dengan Orang Jawa yang
berjumlah 27.000.000. orang yang sudah secara intensif hidup dalam kontak-kontak
dengan berbagai kebudayaan dari luar Jawa, sebagaimana yang tercatat dalam
Sensus Penduduk 1930.
66
kebudayaan atau saling pinjam meminjam kebudayaan di daerah perkotaan atau di
kota-kota perdagangan dan pelabuhan juga berkembang bahasa lingua franca yang
berlaku di tempat-tempat umum dimana kegiatan pelayanan ekonomi dan sosial
serta budaya itu berlangsung.
Tempat-Tempat Umum
Tempat umum adalah sebuah ruang fisik yang digunakan bagi kegiatan-
kegiatan bersama untuk umum atau siapa saja untuk kepentingan-kepentingan
pribadi atau sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Ruang fisik tersebut dapat dilihat
sebagai ruang sosial, karena penekanan dari kegiatan-kegiatan para penggunanya
adalah pada interaksi-interaksi sosial untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial,
ekonomi, politik, dan budaya. Lebih lanjut ruang sosial bagi umum tersebut juga
dapat dilihat sebagai pranata sosial, karena ruang sosial tersebut merupakan sebuah
sistem antar hubungan norma-norma dan peranan-peranan untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan yang dianggap penting oleh masyarakat yang bersangkutan,
melalui interaksi-interaksi dari para pelakunya. Sehingga, dari satu segi, dalam
sesuatu tempat umum terdapat kebudayaan dari tempat umum tersebut, yaitu
67
pedoman bagi para pelaku untuk bertindak dan menempati posisi-posisi sosial
sesuai dengan peranan-peranan yang harus dijalaninya yang sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapainya. Tempat-tempat umum biasanya melayani kebutuhan-
kebutuhan hiburan dan rekreasi, pelayanan jasa dan perdagangan atau sosial, dan
interaksi-interaksi sosial.
68
Dalam hubungan antar-sukubangsa tempat-tempat umum menjadi penting,
karena para warga sukubangsa yang berbeda biasanya selalu bertemu di tempat-
tempat umum. Di tempat-tempat umum tersebut warga sukubangsa yang berbeda
bertemu untuk bekerja, berbelanja atau berjualan, melakukan kegiatan hiburan,
kegiatan-kegiatan sosial dan rekreasi atau kegiatan politik. Di tempat-tempat umum
batas-batas sukubangsa dapat dipertajam atau diperlonggar sesuai dengan tujuan
kegiatan dan kepentingan masing-masing warga sukubangsa yang bersangkutan.
Melalui saling hubungan di tempat-tempat umum warga dari sukubangsa-
sukubangsa yang bersangkutan mengembangkan stereotip dan prasangka
mengenai satu sama lainnya, tetapi melalui tempat-tempat umum ini juga stereotip
dan prasangka dapat menjadi kabur karena pedoman bertindak di tempat-tempat
umum tersebut bercorak akulturatif yang menolak penonjolan atribut-atribut
sukubangsa dari para pelakunya.
69
ungkapan kesukubangsaan dari warga masyarakat Medan dapat terungkap sesuai
sukubangsanya.
Hubungan Antar-Sukubangsa
Bila kita melihat sukubangsa sebagai golongan dan bukan sebagai sebuah
satuan kelompok monolitik, maka hubungan antar-sukubangsa adalah sama dengan
hubungan diantara warga dari sukubangsa-sukubangsa yang berbeda yang para
pelakunya menggunakan sukubangsa dan kebudayaan masing-masing sebagai
acuan dalam menilai dan dinilai. Dalam hubungan antar-sukubangsa, masing-masing
sukubangsa menciptakan dan memantapkan batas-batas sosial. Batas-batas sosial
antara satu sukubangsa dengan sukubangsa lainnya, yang menjadi batas-batas
70
sukubangsa yang membedakan satu sukubangsa dengan sukubangsa lainnya,
diciptakan dengan mengacu pada masing-masing kebudayaan sukubangsa.
Kebudayaan tersebut digunakan untuk menginterpretasi berbagai gejala yang ada
dalam diri mereka menurut lingkungan hidup masing-masing, yang mereka jadikan
sebagai atribut-atribut untuk menunjukkan identitas mereka yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Mereka juga mengaktifkan seperangkat unsur dari kebudayaan
mereka, yang mereka anggap sebagai atribut dari sukubangsa mereka yang berbeda
dari yang dipunyai oleh sukubangsa lainnya. Batas-batas sukubangsa ini berguna
dalam menunjukkan perbedaan antara mereka yang tergolong dalam satu
sukubangsa yang sama dengan mereka yang tergolong dalam satu sukubangsa
yang lain. Melalui batas-batas sukubangsa tersebut stereotip yang dipunyai oleh
masing-masing sukubangsa mengenai diri mereka satu sama lainnya dapat tetap
lestari. Karena, melalui dan di dalam stereotip inilah perbedaan-perbedaan
sukubangsa yang berbeda itu dapat terwujudkan.
71
biasanya diikuti oleh sejumlah prasangka, atau dugaan mengenai sesuatu pola
tindakan berdasarkan stereotip yang telah ada dan yang diyakini kebenarannya.
Contohnya, ekonomi Indonesia rusak karena orang Cina. Prasangka ini sesuai
dengan dan mengacu pada stereotip yang telah ada mengenai Orang Cina.
72
yang corak ‘aturan-aturan main’ yang berlaku dalam berbagai bidang kehidupan itu
longgar, bila terjadi persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya serta
pengalokasian pendistribusiannya diantara warga berbagai kelompok sukubangsa
maka biasanya batas-batas sukubangsa biasanya menjadi jelas dan tajam dan dapat
dilihat sebagai potensi-potensi konflik antar-sukubangsa. Potensi-potensi konflik
antar-sukubangsa belum tentu terwujud sebagai konflik. Sebuah konflik baru
terwujud bila ada pemicunya, yang biasanya dimulai oleh pihak warga sukubangsa
yang merasa dirugikan oleh sesuatu perbuatan yang tidak adil yang dilakukan oleh
pihak lawannya. Perbuatan merugikan secara tidak adil tersebut kemudian dilihat
dalam suatu kerangka yang lebih bias yang mengacu pada stereotip dan prasangka
yang dipunyai oleh para pelaku yang dirugikan. Konflik antar-sukubangsa yang
memakan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit jumlahnya yang terjadi antara
orang Dayak dengan orang Madura di Kalimantan Barat pada bulan Desember 1996
sampai dengan Februari 1997, dapat dilihat sebagai contohnya (Suparlan 1998a).
73
anggota sukubangsa lainnya. Konflik antar-sukubangsa semacam ini biasanya
dimulai oleh mereka yang merasa kehilangan kehormatannya oleh sesuatu tindakan
warga sukubangsa lainnya yang tergolong sebagai musuh dalam hubungan antar-
sukubangsa yang berlaku setempat. Perasaan kehilangan kehormatan tersebut
biasanya dikembangkan sebagai kehilangan kehormatan kesukubangsaan dari
pelaku, dan dianggap sebagai puncak dari berbagai bentuk kehinaan serta
ketidakadilan yang mereka derita selama ini sebagaimana yang ada dan
berkembang secara mantap dalam stereotip sukubangsa mereka. Konflik antar-
sukubangsa semacam ini biasanya terwujud sebagai konflik fisik, dengan tujuan
menghancurkan pihak lawan atau musuhnya.
74
itu digunakan sebagai acuan dalam interaksi. Warga yang berbeda sukubangsanya
yang menjalankan peranan-peranan dalam arena interaksi nasional, misalnya di
kelas sebagai dosen dan mahasiswa, dapat menapikan stereotip-stereotip yang ada
karena dalam interaksi di kelas antara dosen dan mahasiswa penggunaan konsep
sukubangsa tidak relevan. Dengan demikian, tidak hanya dalam hubungan-
hubungan pribadi dimana batas-batas sosial dan sukubangsa itu dapat hilang atau
tidak diberlakukan, seperti dalam kasus sahabat bermain bridge, tetapi juga dalam
hubungan-hubungan yang struktur kegiatan-kegiatannya formal seperti hubungan
antara dosen dan mahasiswa di kelas.
75
konsep mengenai kebenaran dan keagungan kebudayaannya serta kehormatan bagi
sukubangsa pendukung kebudayaan tersebut sebagai lawan dari keasoran dari
kebudayaan dan jatidiri warga sukubangsa pihak lawannya (Suparlan, 1995a), dalam
pembahasannya mengenai penggunaan simbol-simbol wayang yang digunakan oleh
Orang Jawa di Suriname dalam mengidentifikasi diri sebagai pendawa sebagai
lawan dan jatidiri Orang Creole yang buto atau raksasa dan Orang Hidustan yang
anuman atau monyet. Ungkapan ini dapat dinamakan sebagai ungkapan
etnosentrisme.
76
sukubangsa ‘pribumi’, maupun yang terjadi antara golongan ‘pribumi’ dengan
golongan Cina. Baik konflik yang terjadi dalam skala kecil maupun dalam skala besar
dan nasional. Sebagian dari konflik-konflik kekerasan tersebut berupa konflik fisik
yang seimbang, yaitu saling menyerang dan menghancurkan, tetapi sebagian
lainnya adalah berupa penyerangan-penyerangan oleh satu pihak terhadap pihak
lainnya tanpa pihak yang diserang tersebut mampu mempertahankan diri. Pihak
yang diserang, biasanya golongan sukubangsa yang minoritas, seperti Orang Cina,
yang kedudukan sosial, politik, dan hukumnya tidak mantap dalam struktur sosial
masyarakat Indonesia. Walaupun secara ekonomi sebagian dari mereka itu secara
nasional dominan.
Kesimpulan
Dalam tulisan ini telah saya uraikan secara panjang lebar apa itu masyarakat
Indonesia yang majemuk atau bhinneka tunggal ika dengan fokus penjelasan pada
uraian mengenai berbagai permasalahan yang berkaitan dengan sukubangsa,
kesukubangsaan, dan hubungan antar-sukubangsa. Uraian yang telah disajikan
menekankan pada tujuan yang ingin dicapai yaitu agar pemahaman mengenai
kemajemukan Indonesia, sukubangsa-sukubangsa, dan hubungan antar-sukubangsa
serta berbagai dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan politiknya, dapat dipahami
secara komprehensif. Bersamaan dengan itu, juga diharapkan agar pemahaman
yang telah dicapai dapat digunakan secara operasional dalam upaya menghindarkan
kemungkinan-kemungkinan munculnya konflik antar-sukubangsa yang merugikan
77
kita semua, baik sebagai pribadi, masyarakat, maupun sebagai bangsa dan negara.
Pemahaman yang komprehensif sebagai dasar bagi menghindari konflik antar-
sukubangsa tersebut dapat kita mulai dari diri kita sendiri, dengan cara memeriksa
dan menilai sendiri stereotip-stereotip serta prasangka-prasangka sukubangsa yang
kita punyai yang bermuatan kebencian pada sesuatu golongan sukubangsa, dan
berupaya untuk menghilangkan atau merubahnya.
78
negaranya yang tergolong minoritas, yang tanpa disadari telah secara hukum
mempunyai implikasi sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang luas.
79
dikembangkan lebih lanjut dalam upaya untuk memahami diri kita sendiri, sebagai
orang Indonesia, dan dalam upaya mencari alternatif terbaik dalam memajukan
bangsa kita demi persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan yang telah
enyemangati para pemuda terpelajar sukubangsa-sukubangsa pribumi yang hidup
dalam penjajahan Belanda untuk meredam semangat kesukubangsaannya dan
sebaliknya membangkitkan dan mengembangkan semangat persatuan dan kesatuan
Indonesia, yaitu Indonesia yang merdeka, dalam Sumpah Pemuda 1928 di Jakarta.
Kepustakaan
Barth, Fredrik, 1969. “Introduction”. Dalam Redrik Barth (Editor), Ethnic Groups and
Bpundaries. Hal. 9-38. Boston: Little, Brown & Company.
Bruner, Edward M.., 1974. “The Expression of Ethnicity in Indonesia”. Dalam
Abner Cohen (Editor), Urban Ethnicity. Hal. 151-150. London: .
Tavistock
Furnival, J.S., 1944a. Netherlands India: A Study of Plural Economy. London:
Cambridge University Press.
_______ 1944b. ‘”Some Problems of Tropical Economy”. Dalam R. Hinden
(Editor), Fabian Colonial Economy. Hal. 167-171. London: Allen &
Unwin.
_______ 1948 Colonial Policy and Practice: Acomparative Study of Burma and
Netherlandas India. New York: University Press..
Suparlan, Parsudi,1998a. “Keanekaragaman dan Keanekaragaman Kebudayaan
Sukubangsa”. Makalah disdampaikan dalam Forum Komunikaswi
Transmigrasi APPDT Pendatang di Kabupaten Sambas, Kalimantan
Barat, Ditjen Transmigrasi, Dep Transmigrasi dan PPH, R.I.
Singkawang, 26-28 Agustus 1998.
________ 1998b “Keanekaragaman Sukubangsa dan Kebudayaan: Untuk dan
Dalam Kehidupan Bersama”. Seminar Nasional Kerukunan
Kehidupan Bangsa. Yayasan Bina Bangsa, 5 September 1998.
________ 1995a The Javanese In Surinam: Ethnicity in an ethnically plural .
. society Tempe, Arizona: SEA Program, Arizona State University.
________ 1995b Orang Sakai di Riau: Masyarakat terasing dalam masyarakat
Indonesia. Jakarta: Yayasan OBOR.
80
________ 1986 “ Kebudayaan dan Pembangunan”. Media IKA, vol.14, no. 11,
hal. 106-135. Jurusan Antropologi, U.I.
________ 1982 “Pengembangan Kebudayaan Indonesia”. Makalah disampaikan
kepada Direktur Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, Dep. P. dan K.
________ 1979“Ethnic Groups of Indonesia”. The Indonesian Quarterly, vol.7, no.2,
hal.55-75. CSIS, Jakarta.
Toland, Judith D. (Ed.)
1993 Ethnicity and the State: Political and Legal Series, vol.9.
London: Transaction.
81
10 Agama,
Kebudayaan,
Dan Sukubangsa
Masyarakat Majemuk Indonesia dan Sukubangsa
D
alam kuliah-kuliah terdahulu telah dijelaskan bahwa Indonesia adalah
sebuah masyarakat majemuk, yang keberadaannya baru terwujud secara
de jure dan de facto pada waktu Indonesia diproklamasikan sebagai
sebuah negara pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan sukubangsa-sukubangsa
di Indonesia telah ada sebelum adanya Indonesia. Masing-masing sukubangsa
mempunyai kebudayaan masing-rnasing yang berbeda satu dari lainnya, dan
masing-masing sukubangsa tersebut juga mempunyai wilayah tempat mereka hidup
dan berkembang biak, yang secara adat saling mereka akui sebagai wilayah masing-
masing. Batas-batas fisik dan alam membatasi sukubangsa yang satu dari yang
lainnya, dan batas-batas tersebut diperkuat dengan perbedaan ciri-ciri fisik dan
kebudayaan yang mereka punyai.
82
warga sukubangsa biasanya juga dipeluk secara menyeluruh oleh sukubangsa yang
bersangkutan, dan menjadi agama sukubangsa tersebut. Agama yang dipeluk oleh
sukubangsa tersebut menjadi kebudayaan dari sukubangsa tersebut.
Agama, terutama agama tradisi besar atau agama wahyu adalah agama
universal atau agama yang ajarannya dapat diterima secara universal dan karena itu
dipeluk umat manusia secara universal. Tetapi ciri universal dari agama wahyu
tersebut terbatas hanya pada tingkat tekstual, atau agama sebagai teks suci. Pada
tingkat ini agama sebagai teks suci berlaku seragam di seluruh penjuru dunia,
karena isi teks suci dari agama tersebut adalah ajaran-ajaran suci mengenai
keyakinan keagamaan. Semua penganut agama Islam mengaku Al Qur’an sebagai
acuan utama keyakinan keagamaannya, dan hanya ada satu Al Qur’an yang berlaku
bagi umat Islam dimanapun dan kapanpun. Hal yang sama juga berlaku untuk
agama-agama tradisi besar lainnya (Katolik, Protestan, Yahudi, Hindu, Budha).
83
Saya tidak melihat kebudayaan sebagaimana Profesor Koentjaraningrat
mendefinisikan kebudayaan, yang mencakup gagasan, kelakuan, dan hasil
kelakuan, dimana dalam pengertian ini segala sesuatu adalah kebudayaan, sehingga
hubungan antara gagasan dengan kelakuan dan dengan hasil kelakuan tidak dapat
dianalisa karena masing-masing satuan tersebut tidak berdiri sendiri tetapi
merupakan sebuah satuan yang namanya kebudayaan. Saya juga tidak melihat
kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, dan karya, karena di dalam kenyataan
kehidupan kita sebetulnya kita tidak menciptakan kebudayaan kita tetapi sebaliknya
kita diajari oleh orang tua, tetangga, dan warga masyarakat kita untuk mengetahui
dan meyakini kebudayaan kita dan menggunakannya dalam dalam kehidupan kita
sehari-hari. Bila kebudayaan yang dipunyai tidak cocok dengan lingkungan yang
dihadapi sehari-hari maka dilakukan perbaikan-perbaikan atau direvisi sehingga
cocok dengan lingkungannya, atau lingkungannya dirubah.
Saya telah menggunakan konsep kebudayaan yang berbeda dari dua konsep
tersebut di atas. Saya melihat kebudayaan sebagai ‘pedoman bagi kehidupan kita
sebagai manusia, yang isinya adalah konsep-konsep, teori-teori, dan metode-
metode, yang merupakan pengetahuan dan keyakinan kita, yang kita gunakan
secara selektif dalam menghadapai dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya
guna pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kita sebagai manusia’ (Iihat Suparlan 1986).
Agama, sebagai teks suci yang berisikan ajaran-ajaran mengenai keyakinan atau
pedoman bagi kehidupan manusia, untuk dapat operasional bagi kehidupan
pemeluknya akan harus diinterpretasi dan dipahami serta disesuaikan dengan
berbagai konsep, teori, dan metode yang ada dalam kebudayaan yang dipunyai oleh
pemeluk agama tersebut.
Karena kebudayaan itu dimiliki bersama oleh warga sebuah masyarakat yang
lokal, yaitu masyarakat sukubangsa, maka pada waktu sesuatu agama tradisi besar
yang universal itu menjadi operasional dalam kehidupan masyarakat lokal atau
sukubangsa tersebut terjadilah sejumlah perubahan dalam sejumlah ajarannya
terutama yang tidak hakiki atau yang bukan aqidah. Perubahan-perubahan yang
terjadi itu bercorak lokal karena adaptasi atau penyesuaian dengan lingkungan dan
kebudayaan lokal setempat. Yaitu sesuai dengan corak kebudayaan dari masyarakat
sukubangsa setempat (lihat : Geertz 1980, Suparlan 1995).
84
Dengan kata lain, pada waktu agama yang coraknya universal menjadi lokal,
maka terjadilah perubahan-perubahan dalam isi ajarannya, yaitu menjadi berisikan
ajaran-ajaran mengenai keyakinan yang bukan hanya universal tetapi juga lokal.
Yaitu, mencakup juga keyakinan bersama yang dipunyai oleh masyarakat
sukubangsa tersebut mengenai kebenaran yang mengacu pada kebudayaannya,
sebelum diterimanya agama tradisi besar sebagai agama mereka. Di satu pihak
sejumlah kebenaran yang ada dalam kebudayaannya berubah dan bersamaan
dengan itu di pihak lain, sejumlah ajaran dalam agama universal yang dianut
tersebut juga mengalami perubahan. Ungkapan ‘adat bersendi sara dan sara
bersendi kitabullah’ adalah contoh dari hasil proses interpretasi dan pemahaman
Orang Minangakabau dan Aceh mengenai posisi agama dalam kebudayaan mereka
yang dilandasi oleh prinsip matrilineal. Ungkapan tersebut tidak dikenal dalam
kehidupan Orang Jawa atau Sunda, karena sistem kekerabatan Orang Jawa atau
Sunda adalah bilateral atau parental Tetapi tidak berarti bahwa prinsip tersebut tidak
dikenal oleh Orang Jawa ataupun Orang Sunda atau oleh sukubangsa-sukubangsa
lainnya yang beragama Islam.
Pada waktu sebuah agama tradisi besar yang universal itu menjadi lokal atau
menjadi agama sukubangsa, maka terdapat variasi mengenai posisi agama yang
dipeluk masyarakat tersebut, yaitu posisinya dalam kebudayaan dan fungsinya
sebagai kebudayaan atau pedoman bagi kehidupan masyarakat sukubangsa yang
bersangkutan. Sejumlah masyarakat menempatkan agama yang dipeluknya sebagai
inti atau puncak kebudayaannya, sehingga ajaran agama tersebut terserap di hampir
keseluruhan unsur-unsur kebudayaan yang dipunyai oleh dan yang dijadikan
pedoman bagi kehidupan masyarakat tersebut dalam menghadapi lingkungannya.
Istilah kebudayan Islam yang dipunyai oleh masyarakat Minangkabau atau
masyarakat Aceh, atau yang dipunyai oleh masyarakat kauman di Jawa adalah
contoh dari corak agama yang menjadi kebudayaan lokal. Kebudayaan Islam Aceh
adalah lokal Aceh yang berbeda dari kebudayaan Islam Minangkabau atau
kebudayaan Islam dari kauman Jawa, walaupun ketiga kebudayaan tersebut
mempunyai ciri-ciri kesamaan yang mendasar karena inti kebudayaannya adalah
Islam.
85
Sedangkan dalam sejumlah masyarakat lainnya, agama yang diyakini oleh
masyarakat tersebut hanya fungsional dalam sejumlah unsur kebudayaannya
sedangkan unsur-unsur lain dari kebudayaan yang dipunyai masyarakat tersebut
terbebas dari pengaruh agama tersebut. Contohnya, pada Orang Batak yang
menganut prinsip keturunan yang patrilineal, dua orang berlainan jenis yang
mempunyai marga yang sama tidak diizinkan menikah walaupun hubungan darah
yang nyata diantara keduanya sudah tidak dapat dilacak atau sudah terlalu jauh
hubungannya. Sedangkan menurut ajaran Islam bila keduanya mempunyai
hubungan darah yang jauh maka sah perkawinannya. Konsep kawin sumbang
antara ajaran agama dengan konsep kawin sumbang menurut sistem kekerabatan
Batak tidak cocok satu dengan lainnya.
ita mengenal istilah etos kerja, etos belajar, dsb., yang mengungkapkan corak
moral dan etika yang melandasi atau menjadi inti dari kegiatan kerja atau belajar dari
si pelaku. Pandangan hidup dan etos dalam bahasa sehari-hari sering kali
dinamakan nilai-nilai budaya, atau pedoman penilaian secara moral dan etika
menurut kebudayaan yang bersangkutan. Pada waktu sebuah agama yang dipeluk
oleh sebuah masyarakat hanya menekankan upacara formal keagamaan yang
diwajibkannya saja, sedangkan dalam kehidupan sehari-harinya tidak terwujud
menjadi patokan moral dan etika maka sebenarnya agama tersebut belum betul-
betul digunakan sebagai pedoman atau kebudayaan dari masyarakat tersebut.
86
Dampak dari diterimanya sebuah agama menjadi pedoman bagi kehidupan
masyarakat sukubangsa adalah diperkuatnya batas-batas perbedaan antara yang
suci dari yang kotor atau berdosa, dan antara kami yang percaya dan beriman
dengan mereka yang tidak percaya dan tidak beriman sesuai dengan keyakinan
keagamaan kami. Dampak ini terutama nampak terwujud pada orang-perorang atau
individu warga masyarakat yang hidup dalam sebuah masyarakat yang warganya
berbeda keyakinan agamanya. Pada tingkat orang perorang atau individu, agama
yang diyakini menjadi berisikan keyakinan-keyakinan mengenai kebenaran ajaran-
ajaran agama yang dipeluknya, dan kebenaran tersebut bisa bervariasi dari satu
individu ke individu lain dan dari satu kelompok ke kelompok lainnya.
87
Agama Sebagai Gejala Sosial dalam Hubungan Antar-Sukubangsa
Dalam kehidupan sosial, agama yang berfungsi sebagai atribut bagi jatidiri
menghasilkan golongan-golongan sosial berdasarkan atas corak keyakinan
keagamaan dan tingkat keahlian atau kedalaman pengetahuan keagamaannya.
Sehingga dalam kehidupan sosial dikenal adanya golongan-golongan orang
beragama yang menjadi lawan dari golongan kafir (yang tidak mempunyai atribut
agama yang dapat digunakan sebagai acuan jatidiri), Islam, Kristen dsb., dan dikenal
juga golongan santri, abangan, priyayi, atau, tokoh Islam dan pengikutnya, dsb.
88
Sebagai acuan, maka jatidiri keagamaan dapat disimpan atau diaktifkan
sesuai dengan motivasi pelaku dan motivasi tersebut disesuaikan dengan corak
interaksi atau kondisi sosial dari masyarakat yang dihadapinya. Dalam hal ini jatidiri
keagamaan dapat dilihat sebagai variabel tergantung sedangkan motivasi pelaku
dan kondisi sosial atau corak interaksi adalah variabel bebasnya.
Walaupun dalam setiap hubungan peranan dalam pranata itu ada yang
tergolong sebagai yang menyuruh dan tergolong sebagai yang disuruh, tetapi
hubungan tidak seimbang ini dianggap sebagai adil dan beradab sesuai dengan nilai
budaya yang mengacu pada kebudayaan yang menjadi pedoman bagi kehidupan
mereka. Pada waktu seorang pelaku menggunakan jatidiri yang berbeda dari yang
seharusnya dalam hubungan antar peranan dalam sebuah pranata, maka sebetulnya
89
dia merobah struktur hubungan peranan yang berlaku dalam pranata tersebut, atau
dia menciptakan sebuah pranata baru yang mengimbangi pranata yang berlaku.
Dalam pranata pasar, pada waktu para pedagang kecil yang mengidentifikasi
jatidiri mereka sebagai orang Islam atau pengecer yang biasa berada dalam
hubungan tergantung pada pedagang grosir yang Kristen, yaitu sebagai pedagang
atau wiraswastawan Islam maka para pedagang kecil tersebut telah menyatakan
adanya kekuatan sosial yang mengacu pada penggolongan keagamaan, yaitu
golongan Islam sebagai lawan dari agamanya si grosir. Tatanan yang berlaku dalam
pranata pasar akan menjadi berubah, karena para pedagang eceran Islam dapat
menggalang solidaritas untuk menentang atau mengalahkan si grosir yang Kristen,
dan akan dapat menentukan berbagai bentuk perjanjian dagang yang lebih
menguntungkan bagi mereka.
90
atau tokoh agama yang menjadi panutan itu sedang dihina atau dicelakakan oleh
pemeluk agama lainnya.
Isyu-isyu tersebut di atas dapat efektif karena agama yang diyakini dan
dijadikan atribut bagi jatidirinya adalah kebenaran multak dan bersifat keagungan
dan dirinya sendiri menjadi kebenaran dan keagungan itu sendiri. Sehingga
ancaman atau penghinaan bagi agamanya adalah sama dengan ancaman dan
penghinaan bagi dirinya. Silahkan perhatikan kasus tabloid Monitor beberapa tahun
yang lalu, sebagai contohnya. Tokoh agama, yang mempunyai kekuatan sosial
secara primordial mempunyai kemampuan untuk memanipulasi para pengikut atau
umatnya untuk digalang sebagai sebuah kekuatan sosial berdasarkan atas isyu-isyu
keagamaan untuk sesuatu tujuan sosial, ekonomi, atau politik tertentu. Pengaktifan
jatidiri keagamaan untuk solidaritas sosial dengan sesuatu tujuan tertentu, dan tujuan
tertentu tersebut berada dalam pranata atau pranata-pranata sosial inilah yang
menjadikan kemunculan berbagai permasalahan yang kita hadapi sekarang.
Kerusuhan Ambon, yang rneletus pada bulan Januari 1999, yang dimulai
dengan konflik antara pendatang Buton-Bugis-Makasar (BBM) yang Islam dengan
Orang Ambon yang Kristen di kota Ambon, telah bergeser menjadi konflik antara
orang Ambon yang Islam melawan orang Ambon yang Kristen yang melibatkan
seluruh penduduk pulau Ambon dan pulau-pulau di sekitarnya. Ini bisa terjadi karena
adanya issue yang beredar pada tgl. 19 Januari 1999, yang mengatakan bahwa
mesjid Al Fatah di kota Ambon telah dibakar oleh orang Kristen. Issue ini telah
membangkitkan kemarahan orang-orang Ambon Islam yang merasa simbol suci bagi
jatidiri mereka sebagai orang Islam telah diinjak-injak oleh orang Kristen.
*****
Kepustakaan
91
Geertz, Clifford., 1980, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Terjemahan dari The Religion of Java (oleh : Aswab Mahasin). Jakarta:
Pustaka Jaya.
Suparlan, Parsudi, 1979, ‘Ethnic Groups of Indonesia’. The Indonesian Quarterly,
Vol.2. No.2, CSIS, hal. 53-75.
—————,1981/1982, “Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama”. Dalam Parsudi
Suparlan (Ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial, dan Pengkajian
Masalah-masalah Agama. Jakarta : Puslitbang Lektur Agama, Balitbang
Agama. Hal. 75-91.
—————,1986, ‘Kebudayaan dan Pembangunan, Media Ika, Vol.14. No.11.
Jurusan Antropologi, U.I. hal. 106-135
—————,1995 The Javanese in Surinam : Ethnicity in an ethnically plural society.
Tempe, Arizona: Center for Southeast Asian Studies, Arizona State
University.
92
11 Politik Nasional,
Politik Tingkat Lokal
Politik
B
ailey (dalam Suparlan, 1989) melihat politik sebagai upaya-upaya untuk
menguasai kekuasaan berkenaan dengan kepentingan umum. Upaya-
upaya untuk menguasai kekuasaan tersebut yang mencakup pengertian
memperebutkan maupun mempertahankannya dalam masyarakat yang demokratis
dilakukan dengan cara kompetisi dan dalam masyarakat yang otoriter atau diktator
dilakukan dengan cara konflik.
93
Tulang punggung kekuasaan dalam masyarakat otoriter atau diktator adalah
militer dan polisi, yang juga turut berperan dalam politik, yang dalam upaya
memperebutkan ataupun mempertahankan kekuasaan dan kebijaksanaan umum
tersebut, digunakan oleh sesuatu pihak untuk menghancurkan secara fisik
kemampuan bersaing dari fihak lawan. Sedangkan dalam masyarakat demokratis,
militer dan polisi tidak turut berperan dalam politik. Artinya, mereka tidak berperan
dalam politik sebagai militer atau polisi, tetapi dapat berperan dalam politik sebagai
orang sipil dengan menanggalkan jatidiri militer dan polisi mereka. Karena, dalam
masyarakat demokrasi, militer dan polisi mempunyai peran-peran fungsional yang
melayani kepentingan masyarakat. Sedangkan dalam masyarakat otoriter atau
diktator, militer dan polisi adalah peran-peran fungsional untuk menguasai
masyarakat agar militer dan polisi dilayani oleh masyarakat.
Lapangan politik tersebut dapat dilihat sebagai sebuah arena politik atau
tempat pertarungan para pemain politik untuk memperebutkan hadiah-hadiahnya
bagi yang memenangkan pertarungan tersebut. Pertarungan politik mengikuti aturan-
aturan (main) yang dipimpin oleh wasit dan dinilai oleh juri dan disaksikan oleh para
penonton. Mirip dengan sebuah pertandingan olahraga, pertandingan sepakbola
misalnya. Masing-masing pemain politik dalam arena tersebut harus mampu
menunjukkan kekuatannya, yang untuk itu diperlukan berbagai program, rencana,
94
dan strategi serta pelaksanaan strategi-strategi untuk mengalahkan lawan dengan
cara memperoleh dukungan dari pengikut dan umum yang menjadi penonton.
95
kekuasaan politik yang dipunyai oleh pemerintah yang berada di atas kekuasaan
politik dari masyarakat-masyarakat sukubangsa dan lokal. Kekuasaan politik yang
didukung oleh aturan-aturan hukum dan pranata-pranata hukum yang mempunyai
kekuatan yang sah ataupun tidak sah untuk memberikan sanksi-sanksi bagi yang
bertentangan dengan atau melanggar ketentuan yang berlaku yang dibuat oleh
pemerintah.
Dalam masyarakat majemuk, seperti yang juga terjadi di Indonesia, ciri politik
yang utama dalam kehidupan masyarakatnya adalah persaingan dan pertentangan
antara sistem nasional (kepentingan pemerintah) dengan sistem sukubangsa
(kepentingan masyarakat sukubangsa) dalam memperebutkan sumber-sumber daya
yang berharga dan terbatas jumlahnya serta alokasi pendistribusiannya. Sumber-
sumber daya tersebut mencakup jabatan-jabatan pada tingkat nasional maupun lokal
berkenaan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum berkenaan dengan
kepentingan umum secara nasional maupun secara lokal atau sukubangsa.
Hubungan dinamik secara politik antara pemerintah (sistem nasional) dengan
sukubangsa (sistem lokal) dapat dilihat sebagai, kerjasama atau saling
ketergantungan, persaingan dan pertentangan antara politik nasional dengan politik
lokal. Hubungan antara politik nasional dengan politik lokal bertemu pada politik
tingkat lokal, yaitu proses-proses politik yang terwujud dalam arena-arena politik
pada masyarakat lokal: propinsi, kabupaten, kecamatan dan kelurahan atau desa.
Hubungan dinamik antara politik nasional dan politik lokal yang terwujud sebagai
politik tingkat lokal menunjukkan bahwa adanya adu kekuatan diantara dua pihak
tersebut untuk dapat mendominasi arena-arena politik pada masing-masing tingkat
lokal. Semakin kuat politik nasional dalam arena politik lokal akan semakin hilang
kekuatan politik lokal yang terwujud sebagai ciri-ciri kesukubangsaan dan jatidiri
masyarakat lokal yang ada setempat.
Politik Nasional
96
sistem nasional dengan masyarakat sukubangsa-sukubangsa yang tercakup di
dalamnya adalah hubungan persaingan kekuatan. Semakin kuat sistem nasional
akan semakin lemah kekuatan politik masyarakat-masyarakat sukubangsa, dan
sebaliknya semakin lemah kekuatan politik sistem nasional akan semakin kuat posisi
masyarakat sukubangsa-sukubangsa yang tercakup dalam masyarakat majemuk
tersebut.
97
menjadi untuk kepentingan pemerintah atau oknum-oknumnya atas nama
pemerintah.
Politik nasional seperti tersebut di atas telah secara langsung atau tidak
langsung telah merugikan keberadaan dari keberlangsungan kehidupan sukubangsa
sebagai sebuah kategori sosial khusus, terutama keberlangsungan jatidiri
sukubangsanya. Keberlangsungan masyarakat-masyarakat sukubangsa terasa
menjadi nyata karena berbagai hak berkenaan dengan wilayah dan segala isinya
yang secara budaya adalah hak mereka masing-masing, sebagai hak adat telah
dikuasai oleh pemerintah. Berbagai jabatan politik pada tingkat lokal ditentukan oleh
pemerintah, sehingga politik pada tingkat lokal adalah pendukung dari politik
nasional pemerintah.
Kekuatan sosial dan politik secara nasional yang dipunyai oleh sistem
nasional dikuatkan pembenaran dan pengesahannya melalui produk-produk hukum,
yang merupakan produksi monopoli pemerintah. Sehingga, kebijaksanaan-
kebijaksanaan politik dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan pada
umumnya yang sebenarnya tidak adil dan tidak beradab dibenarkan sebagai sesuatu
yang adil dan beradab menurut pemerintah melalui ketentuan-ketentuan hukum yang
dibuatnya.
98
12 Hukum dan Adat:
Keadilan
M
asyarakat manusia dimanapun dan kapanpun, sebagai sebuah satuan
kehidupan harus mampu memanfaatkan berbagai sumberdaya yang
terdapat dalam lingkungannya. Untuk itu, masyarakat manusia
dimanapun dan kapanpun dengan melalui kebudayaan dan pranata-pranatanya
mendorong warga masyarakatnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang produktif
sehingga mereka itu dapat menghidupi diri mereka masing-masing dan keluarganya,
kelompoknya serta masyarakatnya.
99
tidak merugikan orang lain, sehingga terwujud adanya keteraturan sosial dalam
masyarakat tersebut. Aturan-aturan sosial yang telah menjadi kebiasaan ini biasanya
dinamakan konvensi sosial atau adat.
Adat
Seringkali kata adat ditambah dengan kata lain, menjadi adat istiadat yang
artinya adalah sama dengan kata adat itu sendiri, yaitu adat yang teradatkan atau
adat yang sudah menjadi tradisi yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Adat
adalah sebuah konsep yang pengertiannya dan fungsinya berlaku umum, yaitu untuk
semua kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan
untuk adat yang berlaku khusus biasanya ditambahkan istilah khusus yang
rnencerminkan makna dan peristiwa khusus tersebut. Sehingga ada istilah-istilah
adat perkawinan, adat sabung ayam, atau hukum adat.
Hukum Adat
Hukum adat adalah suatu adat yang berisikan aturan-aturan berikut sanksi-
sanksinya berkenaan dengan pelarangan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang
melanggar atau mnengambil hak orang lain atau merugikan masyarakat yang
100
bersangkutan. Hukum adat, sebagai sebuah adat mengenai hukum, berfungsi untuk
menjaga keteraturan sosial dalam masyarakat dan kelestarian masyarakat tersebut
dari gangguan-gangguan yang merusakkannya dari perbuatan-perbuatan benalu
atau merugikan atas hak-hak warganya dan masyarakatnya. Hukum adat dapat
terwujud sebagai hukum yang berlaku lisan yaitu secara adat, ataupun terwujud
sebagai hukum tertulis karena telah dikodifikasi. Hukum Adat Indonesia, misalnya
adalah hasil kodifikasi dari hukum-hukum adat lisan yang berlaku dalam masyarakat-
masyarakat sukubangsa di Indonesia yang dikumpulkan dan dikodifikasi oleh
pemerintah jajahan Hindia Belanda.
101
Hukum
Di dunia ini ada dua macam hukum, yaitu hukum Romawi yang landasan
pembuatannya adalah pemikiran filsafat mengenai hakekat manusia dan hukum
Anglo Saxon yang pembuatannya didasarkan atas konvensi-konvensi sosial
mengenai keadilan dan keteraturan sosial yang berlaku umum dalam masyarakat.
Keadilan adalah ukuran moral utama dalam kehidupan masyarakat. Keadilan dalam
aturan-aturan hukum adalah keadilan menurut perspektif pemerintah. Karena hukum,
berbeda dari adat, dibuat dan dibakukan oleh pemerintah untuk menjaga keteraturan
masyarakat negara yang bersangkutan, yang secara implisit mencakup juga
kepentingan pemerintah dan pejabat-pejabatnya. Keadilan dalam aturan-aturan
hukum terletak dalam kata-kata yang menuntut interpretasi dan menuntut
kemampuan menginterpretasi aturan-aturan hukum tersebut untuk memenangkan
sesuatu perkara.
Karena itu dalam penegakan keadilan secara hukum ada unsur-unsur proses
hukum yang wajar (due process), penuntut hukum atas kesalahan-kesalahan
terdakwa (jaksa), pembela atau pengacara bagi terdakwa, dan hakim yang
memimpin pengadilan untuk menentukan kesalahan, dan besar serta kecilnya
terdakwa akan dijatuhi hukuman sesuai dengan kesalahannya yang sesuai dengan
aturan-aturan hukum yang berlaku. Aturan-aturan yang ada dalam hukum berkenaan
102
dengan pelanggaran yang merugikan hak-hak warga dan masyarakat (termasuk
pemerintah) menekankan pada sanksi hukuman badan. Hukuman badan dalam
bentuk dipenjara, yang sebenarnya adalah pengasingan bagi orang yang merusak
tatanan kehidupan masyarakat dan kehidupan warga masyarakat, disamping
menyadarkan si terhukum untuk tidak melakukan ulang perbuatan kejahatannya.
103
warga masyarakat sukubangsa yang bersangkutan untuk secara radikal menolak
diberlakukannya hukum nasional untuk sesuatu kasus yang dapat diselesaikan
secara hukum adat.
Dalam masyarakat majemuk pertentangan antara hukum nasional dan hukum
adat biasa terjadi. Pertentangan ini disebabkan oleh isi aturan-aturan yang ada
dalam hukum nasional, yang biasanya berorientasi pada dan untuk kepentingan
pemerintah sebagai kekuatan pemersatu, dan penekanannya pada hukum badan
bagi para pelanggarnya. Sedangkan hukum adat berorientasi pada dan untuk
kepentingan masyarakat sukubangsa yang bersangkutan, dan penekanan hukuman
bagi para pelanggarnya adalah denda. Kebanyakan warga masyarakat majemuk
tidak memahami isi aturan-aturan hukum yang berlaku, terkecuali untuk
pelanggaran-pelanggaran, tindakan kejahatan dengan kekerasan, karena aturan-
aturan hukum tersebut harus diinterpretasi. Kemampuan interpretasi secara benar
menuntut keahlian tersendiri, yang tidak semua warga mempunyai keahlian tersebut.
Disamping itu, pranata hukum nasional seringkali juga dilihat sebagai sesuatu yang
asing dan menakutkan oleh warga masyarakat setempat karena dilihat sebagai
pranata yang fungsinya mencari kesalahan-kesalahan warga, dan untuk menghukum
warga.
104
13 Kehidupan Ekonomi
Model Konflik: Dorongan Kekuatan Ekonomi
B
agi Furnivall (1939), masyarakat majemuk yang diketahui adalah
masyarakat jajahan yang ada di daerah tropik, termasuk negara jajahan
Hindia Belanda (Indonesia sekarang). Corak politik dalam masyarakat
majemuk tersebut memaksakan diberlakukannya superstruktur (penguasaan paling
tinggi) bisnis dan administrasi pemerintahan Dunia Barat pada kehidupan penduduk
pribumi, dan memaksakan terwujudnya sebuah satuan masyarakat yang mencakup
bagian-bagian atau segmen-segmen yang saling berbeda-beda yang terdiri dari
penduduk setempat. Kepentingan ekonomi Barat yang dipaksakan pada penduduk
pribumi untuk mendukungnya, dan kepentingan ekonomi yang dibarengi dengan
adanya perbedaan-perbedaan dengan batas-batas yang jelas diantara segmen-
segmen masyarakat telah menyebabkan bahwa landasan kehidupan dalam
masyarakat majemuk didasari oleh konflik-konflik. Yaitu konflik-konflik karena
memperebutkan sumber-sumber daya ekonomi yang terbatas. Konflik-konflik yang
terjadi diantara segmen-segmen masyarakat pribumi yang saling berbeda tersebut,
memperkokoh fungsi dari superstruktur Dunia Barat di negara jajahannya dalam hal
bisnis dan administrasi pemerintahannya. Kekuatan administrasi superstruktur
penjajah adalah karena pada adanya konflik-koniflik tersebut, yang penyelesaiannya
telah dilakukan dengan menggunakan kekuatan tentara yang memaksa dan
menaklukkan, yang secara langsung atau tidak langsung menghasilkan konsesi-
konsesi bisnis yang menguntungkan penguasa pemerintah jajahan.
Dalam model Furnivall tersebut, dunia bisnis yang digeluti oleh penguasa
pemerintah jajahan adalah bisnis internasional yang dipertentangkan dengan dan
yang menguasai secara mutlak bisnis lokal yang ada dalam kehidupan ekonomi
pribumi. Dalam model kemajemukan tersebut, dunia kehidupan penjajah dan
ekonomi bisnisnya berada di satu pihak yang terpisah dari kehidupan pribumi dan
105
kekuasaan penjajah terletak di atas kekuasan dunia kehidupan pribumi dengan
kehidupan ekonominya masing-masing. Masyarakat pribumi, dengan
kebudayaannya masing-masing, merupakan satuan-satuan kehidupan sosial dari
budaya yang berdiri sendiri tetapi yang secara bersama-sama merupakan sebuah
satuan kehidupan politik dibawah kekuasaan penjajah dan Dunia Barat. Para pribumi
ini, menurut Furnivall bercampur tetapi tidak menyatu sebagai sebuah satuan
kehidupan. Masing-masing tetap mempertahankan kebudayaan agama, bahasa, dan
nilai-nilai budayanya. Sebagai individu mereka itu saling bertemu tetapi hanya di
pasar, yaitu dalam berjual beli. Dorongan utama dari saling berhubungan diantara
pribumi yang berbeda masyarakat dan kebudayaannya adalah dorongan
kepentingan ekonomi, yang dapat dipenuhi melalui pasar. Sehingga, dalam
kehidupan pribumi terdapat simbiosis ekonomi tetapi secara sosial saling
menghindari diantara sesama mereka yang berbeda kebudayaan. Ini merupakan
dasar sosial yang menandai masyarakat majemuk.
106
Furnivall menyatakan bahwa sebagai akibatnya maka dalam masyarakat jajahan
yang majemuk tersebut terdapat prevalensi (kecenderungan yang terus berlangsung)
dalam hal tidak adanya kesepakatan secara sosial dan budaya. Baik kesepakatan
diantara yang memerintah (pemerintah jajahan) dengan yang diperintah
(masyarakat-masyarakat pribumi), maupun diantara sesama masyarakat pribumi.
Kecenderungan yang ada adalah konflik atau pertentangan, karena masing-masing
mementingkan kepentingan ekonominya sendiri, yang orientasi kepentingan ini sadar
atau tidak sadar akan merugikan pihak-pihak lainya.
107
karena hukum tersebut tidak mempunyai landasan sosial budaya dari masyarakat-
masyarakat pribumi. Pada saat regulasi-regulasi yang menjadi tatanan hukum itu
tidak efektif karena korupsi dan penyelewengan atau KKN, maka pada saat ini juga
kekuasaan penjajah yang mengontrol keutuhan masyarakat majemuk menjadi
goyah.
108
Besarnya kekuatan pemerintah nasional (pusat) disebabkan karena regulasi
atau aturan-aturan perundangan dan hukum yang berlaku, walaupun mengacu pada
UUD 1945, tetapi jiwa dan semangatnya adalah jiwa dan semangat hukum
penjajahan. Regulasi yang ada memihak kepada pemerintah dan oknum-oknum
pejabatnya dan bukannya memihak pada keadilan atau kebenaran untuk
kepentingan masyarakatnya. Pembuat regulasi adalah pemerintah dan bukannya
badan independen, sehingga keberpihakan regulasi yang ada pada kepentingan
pemerintah dan pejabatnya tidak dapat diragukan lagi. Termasuk dalam hal ini
adalah regulasi berkenaan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi dan
penguasaannya. Batas-batas yang jelas antara satu kelompok sukubangsa dengan
kelompok sukubangsa lainnya dipotong-potong dan dipecah-pecah oleh kepentingan
partai politik dan kepentingan-kepentingan pribadi.
Dalam keadaan dimana tidak ada kemauan sosial untuk hidup bersama,
sebagaimana dikatakan oleh Furnivall dalam masyarakat jajahan Hindia Belanda,
maka yang muncul adalah hubungan-hubungan pribadi diantara mereka yang dekat
dan akrab. Hubungan-hubungan pribadi yang feodalistik atau patrimonial yang
berkembang atau merupakan kelanjutan dan sistem feodalisme yang ada dalam
masyarakat sukubangsa-sukubangsa yang relatif maju pada zaman Hindia Belanda.
Hubungan-hubungan pribadi yang ada dalam hubungan-hubungan jabatan yang
vertikal ditekankan sebagai hubungan kesetiaan kepada atasan dan perlindungan
atasan kepada bawahan yang setia, sebagaimana yang terdapat dalam kehidupan
tentara.
Secara internasional, Indonesia dalam zaman Orde Baru hidup dari dan dalam
hutang. Hutang, yang dinamakan sebagai bantuan oleh para pejabat Orde Baru,
telah digunakan untuk membiayai upaya bagi bertahan dan lestarinya kekuasaan
109
Orde Baru (biaya APBN dan berbagai program pembangunan pemerintah) dan untuk
membiayai kehidupan konsumtif yang feodalistik dari para pejabat dan kroni-
kroninya. Hutang luar negeri yang dibayar dengan mengeksploitasi hasil hutan,
tambang dan mineral, serta berbagai konsesi yang menguntungkan penghutang.
Hutang yang dilakukan oleh pemerintahan presiden Suharto berbeda dengan hutang
yang dijalankan oleh pemerintahan presiden Sukarno. Dalam zaman pemerintahan
presiden Sukarno hutang-hutang luar negeri dilakukan untuk membiayai
persenjataan personil militer, dalam rangka menghadapi Belanda di Irian Jaya dan
kemudian menghadapi Malaysia.
110
pejabat dan kelompok atau kroninya menyebabkan adanya konflik-konflik
tersembunyi diantara kelompok-kelompok pejabat elite pada tingkat pemerintahan
nasional atau pusat. Kesemrawutan dalam pemerintahan Orde Baru, yaitu tiadanya
regulasi yang adil berkenaan dengan penataan politik dan ekonomi secara nasional,
lebih dikacaukan lagi dengan turut sertanya putra-putri presiden Suharto dan
keluarganya serta militer dalam kancah politik dan ekonomi nasional. Mereka ini
mempunyai hak-hak prerogatif yang tidak dipunyai oleh pejabat ataupun warga
masyarakat sipil pada umumnya, sehingga langsung atau tidak langsung dapat
memaksakan kehendak bagi memenangkan kepentingan-kepentingan mereka
masing-masing secara ‘konstitusional’ dengan menggunakan berbagai Keputusan
Presiden yang dibuat untuk menjamin keberhasilan penguasaan mereka atas
sumber-sumber daya ekonomi yang mereka perjuangkan. Bilapun secara
‘konstitusional’ mereka itu mendapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaan
penguasaan mereka, mereka itu mempunyai kekuatan nyata yang dapat digunakan
untuk memaksakan kehendak mereka.
Politik ekonomi zaman Orde Baru tidak banyak bedanya dengan politik
ekonomi zaman penjajahan Belanda di Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh
Furnivall tersebut di atas. Yaitu pemusatan kekuasaan pada pemerintah nasional
atau pusat (sekarang) atau pemerintah jajahan (zaman Hindia Belanda) dengan
politik ekonomi sebagai panglimanya. Akibatnya, selama berkuasanya pemerintahan
Orde Baru warga masyarakat Indonesia dari sukubangsa manapun dan dari
golongan sosial apapun mempunyai orientasi nilai yang menekankan pada
pentingnya dorongan-dorongan untuk menguasai kehidupan ekonomi dan
mengabaikan nilai-nilai sosial dan moral yang seharusnya berlaku dalam kehidupan
mereka. Nilai-nilai sosial dan moral yang merupakan mekanisme yang dapat
mengendalikan dorongan-dorongan ‘hewan ekonomi’ yang rakus agar keteraturan
sosial dan moral dapat terwujud, tidak berlaku dalam zaman Orde Baru. Zaman Orde
Baru yang berkuasa selama 32 tahun dapat dikatakan sebagai zaman ‘hewan
ekonomi’ yang rakus, yang anti Ilmu pengetahuan dan intelektualitas, anti
kebebasan, kemanusiaan dan individualitas. Sebaliknya zaman Orde Baru menuntut
kesetiaan rakyat (masyarakat yang diperintah). Rakyat diperlakukan sebagai abdi
dari pemerintah. Keyakinan keagamaan yang sebetulnya dapat berfungsi sebagai
mekanisme kontrol tersebut menjadi tidak relevan, dan bahkan sebaliknya agama
111
telah digunakan untuk kepentingan politik ekonomi, sehingga agama menjadi
komoditi politik.
Perbedaan yang menyolok dalam zaman Orde baru antara yang berkuasa
dengan yang tidak berkuasa nampak dalam kemampuan ekonomi sebagaimana
yang terwujud dalam kehidupan ekonomi mereka, baik secara individual maupun
secara golongan sosial dan kelompok. Baik dilihat dalam perspektif daerah-pusat
dan daerah pinggiran, maupun dalam perspektif golongan atas sebagai lawan dari
golongan bawah, sipil - militer, dan dalam perspektif Cina sebagai lawan dari pribumi.
112
Secara tradisional mereka itu tidak mengenal pasar dan karena itu tidak
mengenal uang. Disamping itu, ada masyarakat-masyarakat sukubangsa yang hidup
dari berladang berotasi (berpindah-pindah secara berkala dalam rotasi di wilayah
yang merupakan hak ulayat mereka). Mereka juga hidup dari mengumpulkan hasil
hutan. Sebagian dari mereka itu hidup dalam taraf subsitensi, sedangkan sebagian
lainnya telah mengenal surplus hasil produksi. Surplus produksi dari tanaman keras
yang ditanam di ladang-ladang mereka. Petani berladang berotasi telah mengenal
pasar tempat mereka menjual hasil hutan dan produksi dari tanaman keras.
Pasar yang terdekat bagi mereka adalah di kota kecamatan. Mereka juga
dapat menjual hasil hutan dan produksi tanaman keras di desa-desa yang ada di
sekitar kota kecamatan, dimana terdapat pedagang-pedagang yang membuka kios
kebutuhan sehari-hari yang juga menjadi pedagang penampung atau tengkulak hasil
hutan dan produksi tanaman keras. Pada masa sekarang tidak ada daerah
pedesaan di Indonesia yang tidak ada kios-kios yang berjualan kebutuhan sehari-
hari. Pedagang-pedagang kios tersebut dapat berasal dari desa yang bersangkutan
dan dapat juga berasal dari luar, yaitu warga pendatang yang menetap di desa yang
bersangkutan. Para pedagang kios biasanya menjual barang-barang kebutuhan
sehari-hari yang diperoleh dari pedagang grosir di kota kabupaten atau kota propinsi
dengan cara kredit atau consignment.
113
14 Mayoritas, Dominan,
dan Minoritas
M
ayoritas, dominan, dan minoritas adalah konsep-konsep yang umum
digunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk menunjukkan ciri-ciri sesuatu
golongan sosial yang dapat diacu untuk menunjukkan jatidiri seseorang
atau sesuatu kelompok dalam hubungannya dengan jatidiri seseorang lainnya atau
sesuatu kelompok lainnya. Mayoritas mengacu pada pengertian sesuatu golongan
sosial dengan jumlah populasi yang besar dibandingkan dengan minoritas atau
sesuatu golongan sosial lainnya yang kecil jumlah populasinya. Jadi, pengertian
mayoritas dan minoritas mengacu pada ciri utamanya yang menunjukkan jumlah
populasi yang tercakup dalam masing-masing golongan sosial tersebut dan dalam
perbandingan antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain konsep mayoritas selalu
digunakan dalam kaitan perbandingannya dengan konsep minoritas. Konsep
mayoritas dan minoritas juga selalu digunakan sebagai acuan untuk mengidentifikasi
sesuatu kelompok dalam perbandingannya dengan kelompok lainnya, berdasarkan
pada jumlah populasi yang menjadi ciri utamanya.
Dominan adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya ciri utama dari
sesuatu golongan yang mempunyai kekuatan yang berlebih atau besar dibandingkan
dengan atau tidak terkalahkan oleh ciri utama dari sesuatu golongan lainnya yang
biasanya dinamakan sebagai golongan minoritas. Konsep dominan selalu ditandai
oleh ciri utamanya yaitu kekuatan berlebih atau besar dari atau tidak terkalahkan
oleh yang lainnya. Sebagai golongan, konsep dominan diacu untuk mengidentifikasi
corak jatidiri seseorang atau sesuatu kelompok dalam kaitan hubungannya dengan
114
corak jatidiri dari seseorang atau kelompok lainnya, dalam perspektif hubungan
kekuatan.
115
keberadaan dari kelompok dominan yang menikmati status sosial yang lebih tinggi
dan berbagai keistimewaan yang lebih besar.
Dalam melihat hubungan antara dominan - minoritas ada dua unsur yang
penting yang patut diperhatikan, yaitu : (1) Struktur kekuatan yang mendefinisikan
hubungan antara individu-individu dari berbagai sukubangsa dalam sebuah
lingkungan sosial tertentu, dan (2) Adanya struktur mental dari individu-individu
116
anggota berbagai sukubangsa dalam lingkungan sosial tertentu yang
menterjemahkan dan memberikan tanggapan terhadap sistem hubungan kekuatan
yang terdefinisikan dan sebagaimana mereka itu mengaktifkan dan menggunakan
kategori-kategori sukubangsa yang ada yang mereka gunakan sebagai sistem-
sistem acuan kesukubangsaan mereka.
117
Keberadaan corak hubungan dominan-minortas tidak harus selalu dilihat
secara seragam sebagai berlaku secara nasional di seluruh Indonesia. Hanya dalam
keadaan dimana pemerintah memutuskan bahwa sesuatu golongan itu sebagai
golongan minoritas, seperti contohnya terhadap mereka yang digolongkan sebagai
terlibat G 30 S/PKI, maka mereka yang digolongkan sebagai golongan G 30 S/PKI
adalah minoritas. Mereka yang digolongkan oleh pemerintah sebagai terlibat G 30
S/PKI bukan hanya mereka yang betul-betul ikut dalam kegiatan G 30 S/PKI tetapi
yang juga mereka yang bersimpati pada ideologi PKI, anak cucu mereka yang
anggota PKI atau simpatisan PKI, dan kerabat-kerabat mereka. PKI sebagai ideologi,
dalam kasus ini, telah berkembang sebagai kebudayaan dan sebagai warisan
genetika. Karena bukan hanya mereka yang berideologi PKI dan yang mendukung
G 30 S/PKI saja yang digolongkan sebagai pengkhianat dan musuh bangsa, tetapi
juga mereka yang dituduh sebagai mempunyai perasaan dan keyakinan yang
sejalan dengan ideologi PKI digolongkan sebagai terlibat G 30 S/PKI. Begitu juga,
mereka yang menjadi anak cucu dan kerabat dan orang perorang yang tergolong
terlibat G 30 S/PKI digolongkan juga sebagai terlibat G 30 S/PKI. Pemerintah
membuat anggapan bahwa ideologi diwariskan secara genetika kepada anak cucu
dan menular sebagai warisan genetika kepada para kerabatnya.
118
Sedangkan hubungan dominan-minoritas yang umum terjadi dalam
masyarakat luas, termasuk di Indonesia, selalu terwujud secara setempat-setempat
atau dalam kehidupan masyarakat setempat. Mengapa bisa terjadi demikian?
Karena, setiap masyarakat setempat adalah sebuah satuan kehidupan yang
mewujudkan diri sebagai struktur sosial. Struktur sosial yang disatu pihak
mencerminkan hubungan-hubungan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat
setempat yang bersangkutan, dan di pihak lain struktur sosial tersebut berisikan
pedoman-pedoman menilai dan bertindak atau kebudayaan dari masyarakat
setempat tersebut.
119
dominan dengan yang minoritas adalah: (1) Mereka yang tergolong sebagai
minoritas akan mengasimilasi diri mereka menjadi seperti yang tergolong dominan,
dengan cara menghilangkan ciri-ciri yang merupakan atribut bagi jatidiri minoritas
dan menggantinya dengan ciri-ciri yang menjadi atribut bagi jatidiri dominan. (2)
Memisahkan diri dari masyarakat luas yang dominan dan yang mendiskriminasi
mereka, dengan cara membentuk kehidupan masyarakat dengan tatanannya sendiri.
Pemisahan atau pengasingan diri tersebut dapat dilakukan secara fisik (Orang Sakai
dan berbagai masyarakat terasing di Riau yang melarikan diri ke hutan karena
menolak untuk dimasyarakatkan oleh Dep. Sosial R.I., misalnya) maupun yang
dilakukan secara simbolik (seperti contohnya yang terjadi pada masyarakat-
masyarakat Orang Jawa di Suriname, yang memisahkan diri secara simbolik dari
masyarakat luas Suriname dengan cara mengaktifkan kebudayaan Jawa dan
pranata-pranatanya sebagai pedoman bagi kehidupan mereka yang satu-satunya,
atau masyarakat Orang Samin di kabupaten Blora, Jawa Tengah). (3) Melakukan
pemberontakan, seperti yang dilakukan oleh GAM di Aceh, atau OPM di Irian Jaya,
dan berbagai contoh lainnya yang ada dalam sejarah indonesia.
Kepustakaan
Bruner, Edward M., 1974. “The Expression of Ethnicity in Indonesia. Dalam Abner
Cohen (Editor), Urban Ethnicity, Hal. 251-288. London: Tavistock
Suparlan, Parsudi, 1972 The Javanese in Bandung: Ethnicity in a medium sized
Indonesian city. MA Thesis, University of Illinois..
________ 1999a Kerusuhan Ambon. Laporan disampaikan kepada Kapolri.
________ 1999b Kerusuhan Sambas. Laporan disampaikan kepada Kapolri.
120
15 Multikulturalisme
dan Kebudayaan
D
alam tulisan ini ingin saya tunjukkan bahwa multikulturalisme sebagai
sebuah ideologi tentang perbedaan dalam kesederajatan mempunyai
fondasi kebudayaan dalam masyarakat yang bersangkutan yang terwujud
sebagai sebuah mozaik dari kebudayaan-kebudayaan yang dipunyai oleh
masyarakat multikultural. Sebagai sebuah idiologi yang menekankan perbedaan
dalam kesederajatan multikulturalisme dan demokrasi adalah dua ideologi yang
saling dukung mendukung. Sebagai sebuah konsep multikulturalisme bertentangan
dengan konsep masyarakat majemuk (plural sociaty) dimana yang penting adalah
pada keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Multikulturalisme
dikembangkan dari konsep pluralisme budaya (cultural pluralism) dengan
menekankan kesederajatan-kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat.
Dalam tulisan ini akan saya tunjukkan mengapa kita harus merubah ideologi
keanekaragaman sukubangsa menjadi keanekaragaman kebudayaan bila kita setuju
untuk hidup berdasarkan ideologi demokrasi. Atau dengan kata lain kita harus
merubah corak masyarakat Indonesia yang majemuk menjadi masyarakat Indonesia
yang multikultural. Tulisan ini akan mencakup pembahasan mengenai masyarakat
majemuk Indonesia, sukubangsa dan kebudayaan, keanekaragaman kebudayaan,
multikulturalisme dan mozaik kebudayaan Indonesia yang ideal. Uraian akan ditutup
dengan diskusi scbagai kesimpulan.
121
saling berbeda yang hidup dalam satuan-satuan kelompoknya masing-masing, yang
hanya bertemu di pasar. Ciri-ciri ini ada pada masyarakat jajahan yang merupakan
produk dari politik ekonomi penjajah untuk menguasai sumber-sumber daya yang
ada setempat. Produk dan politik ekonomi ini adalah adanya golongan penjajah yang
mempersatukan secara paksa masyarakat-masyarakat pribumi kedalam sebuah
masyarakat jajahan untuk diatur dan diperintah guna kepentingan ekonomi penjajah.
Disamping golongan penjajah dan pribumi terdapat golongan pedagang perantara
yang biasanya adalah orang-orang asing yang secara sosial dan rasial tidak
tergolong sama dengan golongan penjajah ataupun golongan pribumi. Di Indonesia,
tiga golongan ini terwujud secara vertikal sebagai orang Belanda dan Kulit Putih
lainnya, orang Pribumi, dan orang Timur Asing (orang Cina dan Arab) yang masing-
masing hidup dalam kelompok-kelompok dan permukimannya sendiri menurut
kebudayaan dan pranata-pranata masing-masing, dan keteraturan serta ketertiban
kehidupan mereka diatur oleh hukum yang masing-masing berbeda satu dan lainnya.
Model masyarakat majemuk dari Furnivall ini dikembangkan lebih lanjut oleh
M.G.Smith (1965) dengan menggunakan Karibia sebagai kasusnya dan
mengembangkannya sebagai model struktural berdasarkan atas ciri-ciri pranata-
pranata yang ada dalam segmen-segmen masyarakat majemuk. Menurut Smith,
masyarakat-masyarakat Karibia adalah masyarakat majemuk karena masing-masing
masyarakat tersebut terdiri atas segmen-segmen masyarakat, yang merupakan
satuan masyarakat sukubangsa maupun rasial dengan pranata-pranata yang secara
struktural berbeda antara satu segmen dengan segmen lainnya. Lebih lanjut
M.G.Smith menyatakan bahwa masyarakat majemuk, seperti yang terdapat di
Karibia adalah kondisi struktural dari masyarakatnya dan bukan produk kebijakan
politik ekonomi pemerintah jajahan.
Dalam berbagai tulisan saya, antara lain (Suparlan 1979, 1982, 2000, 2001a,
2001b) telah saya tunjukkan bahwa Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk
atau bhinneka tunggal ika. Indonesia adalah sebuah masyarakat yang sistem
nasionalnya mempersatukan beraneka ragam masyarakat-masyarakat sukubangsa
dan kebudayaannya sebagai sebuah bangsa dalam wadah negara. Indonesia adalah
sebuah masyarakat majemuk, yang merupakan kelanjutan dari model masyarakat
majemuk zaman penjajahan Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang. Model
122
masyarakat majemuk Indonesia tersebut dicoba dilawan oleh pemerintahan presiden
Sukarno dengan melarang partai-partai dan kekuatan politik yang didasarkan atas
sukubangsa dan kesukubangsaan. Tetapi dia sendiri kemudian menjadi otoriter
dalam upaya mempersatukan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan yang
mulai retak karena adanya pemberontakan-pemberontakan bersenjata di daerah-
daerah. Model masyarakat majemuk yang otoriter tersebut dilanjutkan serta
dikembangkan oleh dan digunakan secara efektif dalam pemerintahan presiden
Suharto dengan sistem pemerintahannya yang otoriter-militeristik, pemanipulasian
SARA dan hukum nasional serta hukum adat, dan berbagai kebijakan sosial,
ekonomi, dan politik yang terpusat untuk kepentingan penguasa.
Ada berbagai faktor yang menjadi penyebab dari berbagai gejolak tersebut
(lihat Suparlan 2001c). Pertama sukubangsa-sukubangsa dan kebudayaan-
kebudayaan mereka di Indonesia tidaklah sederajat posisinya tetapi berada dalam
123
jenjang. Ada yang mayoritas serta dominan secara nasional, dan mayoritas dominan
secara lokal. Dalam situasi seperti ini stereotip dan prasangka antarsukubangsa
berkembang dan menjadi acuan bagi konflik antar-sukubangsa. Kedua selama
berada dibawah pemerintahan presiden Suharto orang Indonesia terbiasa untuk
menggunakan kekerasan dalam upaya memperoleh sesuatu. Yang menang dalam
konflik dengan kekerasan adalah yang dominan dan menjadi yang berkuasa, dan
dialah yang menguasai sumber-sumber daya yang ada setempat. Model kekerasan
inilah yang diacu dalam konflik-konflik yang terjadi akhir-akhir ini dengan cara
mengaktifkan kesukubangsaan masing-masing.
124
muasalnya (Barth 1969). Sebagai golongan sosial askriptif sukubangsa mewujudkan
dirinya dalam kelompok atau masyarakat sukubangsa. Setiap masyarakat
mempunyai kebudayaan, dan masyarakat sukubangsa mempunyai kebudayaan
sukubangsa. Kebudayaan dipunyai manusia dengan cara belajar dan
mempraktekkannya. Setiap orang dapat mempelajari kebudayaan apapun. Tetapi
setiap anggota sukubangsa mempelajari dan mempunyai kebudayaannya sejak
kelahirannya, dimana dia ‘dipaksa’ untuk mempunyai kebudayaan sukubangsanya
karena kebudayaan sukubangsanya adalah ukuran kemanusiaannya. Dia menjadi
manusia menurut ukuran kebudayaan sukubangsanya, terutama menurut ukuran
nilai-nilai budayanya. Karena itu kebudayaan sukubangsa mernpunyai ciri yang
askriptif seperti kesukubangsaan. Dalam perspektif ini kebudayaan sukubangsa
bercorak primordial atau yang utama dan pertama dipunyai oleh manusia, sama
dengan keyakinan keagamaan yang dipunyai manusia yang telah didapatnya dan
diyakininya sejak masa kanak-kanaknya. Ciri kebudayaan sukubangsa yang askriptif
dan primordial inilah yang membedakannya dari kebudayaan lainnya yang dipunyai
oleh manusia.
125
sebagai sistem-sistem acuan dan interpretasi dan tanggapan-tanggapan. Dalam
pendekatan ini kekuatan sosial dari para pelaku diperhitungkan, yaitu dalam
tindakan-tindakan mereka dalam interaksi-interaksi dan dalam strukktur kekuatan
yang ada setempat. Keyakinan keagamaan (religiousity) selalu menempel pada
kesukubangsaan seseorang atau kelompok sukubangsa. Karena itu keyakinan
keagamaan memperkuat kesukubangsaan yang mempertegas batas-batas
kesukubangsaannya dengan kesukubangsaan dari orang atau kelompok
sukubangsa yang lainnya. Tetapi sesuatu keyakinan keagamaan yang sama dapat
juga dimiliki oleh orang atau kelompok atau kelompok-kelompok sukubangsa yang
lain. Sehingga di satu sisi keyakinan keagamaan ini dapat memperkuat
kesukubangsaan dari satu kelompok sukubangsa dalam hubungannya dengan
sukubangsa lain, tetapi dari sisi lainnya keyakinan keagamaan juga dapat
meredupkan kesukubangsaan dari kelompok-kelompok sukubangsa yang
mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Dalam keadaan demikian maka jati
diri atau identitas keagamaan menonjol dan sebaliknya pada saat yang sama
meredupkan kesukubangsaan dalam hubungan antar-sukubangsa tersebut.
126
keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaanya dapat dilihat secara horizontal
maupun secara vertikal. Di satu pihak terdapat sejumlah masyarakat dengan
kebudayaan sukubangsanya yang secara ekonomi dan teknologi tergolong maju dan
modern sedangkan di pihak lain terdapat sejumlah masyarakat dengan kebudayaan
sukubangsanya yang secara teknologi dan ekonomi terbelakang.
Multikulturalisme
127
minoritas maka multikulturalisme menjadi acuan bagi memperjuangkan kesamaan
hak-hak dari semua warga masyarakat majemuk tersebut, terutama hak-hak dari
golongan minoritas. Perjuangan ini dapat dilakukan melalui affirmative action seperti
yang telah dilakukan di Amerika Serikat secara efektif sejak akhir tahun 1960-an.
Dan, secara bersamaan dilakukan melalui perjuangan legal atau hukum dengan
merubah perundangan yang mendiskriminasi dan merugikan mereka yang tergolong
minoritas, serta secara sosial menciptakan kehidupan yang meniadakan berbagai
bentuk ungkapan pelecehan dan diskriminasi terhadap minoritas.
Hak-hak individu dan komuniti untuk berbeda harus dihormati dan berbagai
bentuk ungkapan dari stereotip dan prasangka karena perbedaan-perbedaan
individual dan komunal dalam kehidupan bersama ditentang dalam model
multikulturalisme. Hak-hak individu dan komuniti untuk berbeda sebenarnya dapat
dilihat sebagai perbedaan kebudayaan dan ungkapan-ungkapan budaya secara
individual maupun secara komunal. Model multikulturalisme mendorong warga
masrarakat-masyarakat sukubangsa dalam masyarakat majemuk untuk
melonggarkan batas-batas sukubangsa dan rasial yang dipagari oleh kebudayaan
masing-masing sukubangsa. Cara yang dapat dilakukan adalah untuk dapat saling
berhubungan dalam berbagai kegiatan sosial sehari-hari dan melalui pendidikan di
sekolah yang bertujuan untuk saling memahami kebudayaan-kebudayaan
sukubangsa mereka yang saling berbeda. Melalui pemahaman ini maka stereorip
dan prasangka dapat dihilangkan dari perasaan persaudaraan dalam kesederajatan
dapat dibangun dan dikembangkan.
128
Pada masa sekarang setiap masyarakat lokal tidak lagi homogen sebagai
sebuah masyarakat sukubangsa yang ‘asli’ setempat, tetapi merupakan sebuah
masyarakat yang heterogen secara sukubangsa. Dalam masyarakat heterogen yang
seperti ini terdapat penjenjangan berdasarkan kesukubangsaan, yaitu berdasarkan
patokan sukubangsa yang asli, yang setengah asli, dan yang asing. Penjenjangan ini
berbuntut pada adanya perbedaan posisi sosial dalam struktur kehidupan
masyarakat setempat dan terwujud juga dalam bentuk diskriminasi berkenaan
dengan hak dan kewajiban di dalam kehidupan sehari-hari.
Corak masyarakat lokal yang heterogen ini juga dibarengi oleh adanya
keanekaragaman kebudayaan. Melalui kegiatan-kegiatan antar-budaya untuk saling
memahami yang didorong oleh ide multikulturalisme dan yang didukung oleh upaya
secara hukum untuk kesamaan derajat, maka kemajemukan kebudayaan
masyarakat lokal akan terwujud sebagai sebuah mozaik budaya. Dalam mozaik
budaya tersebut masing-masing kebudayaan direpresentasikan sebagai puncak-
puncak kebudayaan atau nilai-nilai budaya yang menjadi ciri utama dan ditonjolkan
oleh masing-masing dan semua masyarakat sukubangsa dan sebuah masyarakat
lokal. Kebudayaan bangsa juga akan merupakan sebuah mozaik budaya yang
merupakan puncak-puncak kebudayaan di daerah, sebagaimana yang tertuang dan
dinyatakan dalam penjelasan Pasal 22 UUD 1945, yang merupakan buah pikiran
para pendiri bangsa Indonesia.
Penutup
129
dan perundangan yang betul-betul adil, dan dibarengi juga dengan perjuangan untuk
menciptakan masyarakat Indonesia yang multikultural sebagai landasannya atau
wadahnya.
130
membiayai kehidupannya maka sebuah masyarakat akan punah. Kegiatan
produktivitas tanpa acuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tanpa patokan etika
tidak mungkin dapat berhasil untuk mensejahterakan kehidupan masyarakatnya.
Pedoman etika inilah yang tidak dipunyai oleh Indonesia. Yaitu sebuah
pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tidakan-tindakan pelaku
dalam sebuah profesi yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral
dan nilai-nilai yang mendukung data menjamin dilakukannya kegiatan profesi si
pelaku sebagaimana seharusnya sesuai dengan hak dan kewajibannya. Sehingga
peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses
masukan menjadi keluaran yang bermutu (lihat Bertens 2001, dan Magnis Suseno
1987).
Kepustakaan
Barth, Fredrik
1969 “Introduction”. Dalam Fredrik Barth (Editor), Ethnic Groups and
Boundaries. Hal. 7-39. Boston: Little, Brown and Company.
131
Practice. Boston: Allyn and Bacon.
Bersten, C. 2001 Etika. Jakarta: Gramedia.
Furnivall, J.S. 1948 Colonial Policy and Practice: A comparative study of Burma
and Netherlands India. Cambridge: Cambridge University Press.
Jary, David and Julia Jary, 1991. “Multiculturalism”. Hal. 319. Dictionary of
Sociology. New York: Harper.
Magnis-Suseno,1987 Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Maybury-Lewis, D., 1982. The Prospec of Plural Societies. Washington: American
Ethnological Society.
Nieto, Sonia, 1991. Affirming Diversity: The sociopolitical context of multicultural
education. New York: Longman.
Smith, M.G., 1965. The Plural Society in the British Indies. Berkeley: Univerfsity of
California Press.
Suparlan, Parsudi,1982 Pokok-pokok pikiran mengenai strategi pengembangan
kebudayaan nasional. Makalah disampaikan kepada Direktur Sejarah
dan Nilai- Nilai Tradisional, Dep P. dan K.
________ “Ethnic Groups of Indonesia”. Indonesian Quarterly, vol.7, no.2,
hal. 52-75. CSIS.
________ 1985 “Kebudayaan dan Pembangunan”. Media IKA, vol.14, no.2,
hal. 106-135. Jurusan Antropologi, U.I.
________ 1995 The Javanese in Surinam: Ethnicity in an ethnically plural society.
Tempe, Arizona: SEA Program, Arizona State University Press.
________ 2000. “Masyarakat Majemuk dan Perawatannya”. Jurnal Antropologi
Indonesia, vol.63, hal. 1-14.
132
BAGIAN II
KEBUDAYAAN,
MASYARAKAT MAJEMUK,
DAN KONFLIK
ANTAR-SUKUBANGSA
133
1 Kemajemukan,
Hipotesis Kebudayaan
Dominan, dan
Kesukubangsaan
D
alam menganalisis perwujudan kesukubangsaan di antara para migran di
kota Bandung dan Medan, Bruner (1974) telah menunjukkan kegunaan
hipotesis kebudayaan dominan yang dibuatnya sebagai model analisis.
Hipotesis kebudayaan dominan adalah sebuah model substantif yang merefleksikan
kenyataan hubungan antar-sukubangsa dalam sebuah konteks struktur kekuatan
setempat. Produk dari hubungan antar-sukubangsa tersebut ditentukan oleh corak
hubungan di antara suku-suku bangsa setempat yang ada, dan oleh corak hubungan
antara masing-masing sukubangsa tersebut dengan struktur kekuatan setempat
yang ada.
134
setempat dan penggunaan kebudayaan masing-masing serta
pengartikulasiannya.
Keberadaan dari kekuatan sosial dan pendistribusiannya di antara berbagai
kelompok sukubangsa yang hidup dalam konteks latar tersebut.
135
kekuatan dalam bentuk konflik atau kerja sama di antara kelompok-kelompok
sukubangsa dalam memenangkan persaingan menyebabkan corak kesukubangsaan
di Medan berbeda dengan yang terdapat di Bandung.
Apa yang terjadi dengan orang Jawa di Bandung dalam kerangka berpikir
yang menggunakan model kebudayaan dominan dapat diperbandingkan dengan
yang terjadi di Ambon dan Sambas. Tiga lokasi tersebut mempunyai ciri-ciri yang
sama, yaitu adanya kebudayaan dominan setempat, walaupun Sambas bukanlah
daerah perkotaan.
Salah satu ciri utama dan ada atau tidak adanya kebudayaan dominan dalam
sebuah masyarakat ialah adanya aturan-aturan main atau konvensi sosial dalam
saling berhubungan yang keberadaannya diakui dan digunakan oleh para pelaku dari
berbagai kelompok suku bangsa yang hidup bersama dalam sebuah masyarakat.
Dalam masyarakat dengan kebudayaan dominan, para pelaku dan kelompok-
kelompok suku bangsa yang tidak dominan menyesuaikan diri dengan dan tunduk
pada aturan-aturan main yang ditetapkan oleh masyarakat setempat yang dominan.
Dalam masyarakat yang tidak mengenal adanya kebudayaan dominan, aturan-
aturan main terwujud melalui tawar menawar kekuatan sosial yang dihasilkan dari
proses-proses interaksi sosial yang berlangsung dari waktu ke waktu dan dari
generasi ke generasi. Aturan main yang telah mantap yang menjadi acuan bagi
kelakuan yang layak dan harus ditunjukkan di tempat-tempat umum dikontrol dan
diwasiti oleh masyarakat setempat sebagai benar atau salah dari waktu ke waktu.
136
umum. Ini berlaku, terutama dalam kehidupan orang Jawa yang tergolong menengah
dan bawah. Mereka ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial di kampung tempat
mereka tinggal, sehingga terdapat kesan bahwa mereka itu berusaha untuk dapat
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat yang
berkebudayaan Sunda. Dalam kehidupan keluarga, mereka juga cenderung
menggunakan kebudayaan dan bahasa Sunda. Anak-anak mereka yang dilepaskan
oleh orang tua untuk dapat bergaul bebas dengan teman-teman di lingkungan
sekolah dan tetangga di kampung kota Bandung cenderung lebih fasih berbahasa
dan berkelakuan seperti orang Sunda daripada sebagai anak orang Jawa. Anak-
anak tersebut cenderung mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Bandung. Kalau
ditanya apakah orang tua mereka itu orang Bandung, baru mereka menjawab bahwa
mereka itu mempunyai orang tua asal Jawa.
137
Bahkan pada waktu tokoh-tokoh masyarakat Sunda di Bandung merasakan adanya
dominasi kebudayaan Jawa pada 1969-1970, mereka tidak memusuhi orang-orang
Jawa yang dalam kenyataannya telah menjadi seperti orang Bandung atau menjadi
orang Bandung. Yang mereka musuhi adalah kebudayaan Jawa, yaitu sebuah
kategori lawan yang abstrak yang mereka tentang secara abstrak pula. Yang mereka
lakukan adalah mendirikan perkumpulan-perkumpulan kesenian dan penggalian
nilai-nilai budaya Sunda. Mereka berusaha membangkitkan dan menghidupkan
kembali ide tentang ke-Sundaan melalui perkumpulan-perkumpulan yang jumlahnya
lebih dari seratus buah untuk menentang masuk dan digunakannya aturan-aturan
yang ada dalam kebudayaan.
138
Pada zaman Orde Baru terutama dalam paruh pemerintahan kedua
pemerintahan Orde Baru dan setelah kejatuhannya, di mana semangat kebangkitan
Islam di Indonesia mengebu-gebu, struktur kekuatan masyarakat kota Ambon dan
sekitarnya menjadi berubah. Struktur kekuatan masyarakat kota Ambon yang Ambon
dan tambah menjadi Islam yang Ambon atau Islam yang Buton, Bugis, Makassar
(BBM). Jabatan-jabatan politik dan administrasi kunci seperti Gubernur, Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Wali Kota, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil),
Kepala Dinas (Kadis). Atau Kepala Direkorat (Kadit), didominasi oleh orang Islam
Ambon atau BBM. Penggeseran keberadaan kebudayaan dominan dan Ambon
Kristen menjadi Islam dibarengi dengan kedatangan migran dalam jumlah yang relatif
besar asal BBM dibandingkan dengan daya tampung kota Ambon. Pendatang BBM
ini mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang diabaikan oleh orang Ambon karena
dianggap sebagai pekerjaan kasar dan tidak bergengsi. Misalnya, tukang becak, kuli
pelabuhan, pedagang kaki lima, tukang pembersih dan pengangkut sampah. Dalam
waktu sekian tahun para pendatang BBM mengambil alih berbagai pekerjaan dan
jabatan melalui hubungan-hubungan kerabat dan kesukubangsaan dan keagamaan.
Tempat umum yang semula adalah tempat-tempat beroperasinya kebudayaan
Ambon yang Kristen, sekarang juga menjadi tempat-tempat beroperasinya
kebudayaan Islam yang BBM. Berbagai patokan aturan main di tempat-tempat umum
kota Ambon telah berubah. Orang-orang BBM menguasai tata kehidupan pasar
eceran, transportasi, perkulian dan kerja kasar serta hiburan, dan bahkan menguasai
pula suasana keagamaan kota Ambon yang semula adalah Kristen yang Ambon.
Mereka juga menguasai kehidupan dunia bawah tanah melalui kegiatan-kegiatan
para preman dan tukang palaknya.
139
yang hanya merugikan dan merendahkan derajat orang Ambon. Bila agama Islam
yang dipeluk oleh pendatang Buton terdahulu dilihat sebagai agama Islam yang cinta
damai dan tidak mengganggu orang Kristen, maka agama Islam pendatang BBM
yang baru dianggap sebagai agama yang mau mendominasi kehidupan Kristen
mereka. Aturan-aturan main yang ada, menurut kebudayaan dominan Ambon yang
Kristen, telah diobrak-abrik dan diganti serta didominasi oleh aturan main BBM yang
Islam.
Jarak sosial antara orang Ambon yang Kristen dan BBM yang Islam menjadi
dipertegas, karena para pendatang BBM cenderung hidup mengelompok di antara
sesama mereka yang terpisah dari orang Ambon yang Kristen. Batas-batas sosial
antara ‘kami’ dan ‘mereka’ menjadi jelas, dan batas-batas sosial tersebut dipertegas
oleh simbol-simbol kebudayaan masing-masing sukubangsa. Batas-batas ini, yang
menjadi acuan bagi pembenaran konflik-konflik kecil sebelum terjadinya kerusuhan
Ambon, mengungkapkan sistem kognisi yang ada dalam hubungan antar-
sukubangsa (Ambon versus BBM) sebagai hubungan kategorial yang berisikan ciri-
ciri stereotip. Masing masing pihak tidak melihat satu sama lainnya sebagai manusia,
tetapi sebagai golongan atau ciri-ciri stereotip. Berdasarkan cara berpikir seperti itu,
maka juga tindakan-tindakan kekerasan dan kekejaman yang saling mereka lakukan
satu sama lainnya masuk akal menurut kebudayaan mereka, karena yang dikerasi
atau dikejami itu bukan lagi manusia. ‘Kamilah yang manusia mereka bukan
manusia. Kamilah yang suci, mereka itu kafir.’ Penusukan sopir angkutan kota
(angkot) Ambon oleh preman BBM yang menjadi pemicu kerusuhan dapat dilihat
dalam struktur berpikir seperti tersebut di atas dan, karena itu dapat memicu
solidaritas suku bangsa dan agama.
140
Sambas (Suparlan 1999b) diketahui bahwa sesungguhnya masyarakat Kabupaten
Sambas pada dasarnya mencakup dua wilayah kebudayaan, yaitu wilayah
kebudayaan orang Melayu di daerah pantai dan wilayah kebudayaan orang Dayak di
daerah pedalaman. Secara tradisional, masing-masing suku bangsa ini mengakui
keberadaan dan dominasi masing-masing kebudayaan di wilayah masing-masing.
Walaupun dalam tradisi politik di Sambas, orang Melayu lebih dominan daripada
orang Dayak, melalui kekuasaan kerajaan-kerajaan Melayu, tetapi dominasi wiayah-
wilayah kebudayaan masing-masing tetap diakui, dan masing-masing saling
menghormatinya. Mereka hidup berdampingan dalam suatu hubungan simbiotis
yang saling menguntungkan: Banyak terjadi kawin-mawin di antara mereka. Seorang
Dayak yang masuk Islam tidak dikatakan sebagai masuk Islam, tetapi masuk Melayu.
Dengan masuk Islam. Si orang Dayak bukan hanya memeluk agama, melainkan juga
memeluk dan menjadikan kebudayaan Melayu sebagai pedoman bagi
kehidupannya. Kebudayaan Melayu adalah acuan bagi jatidiri suku bangsanya.
Tidak hanya orang Melayu dan Dayak yang hidup di Kabupaten Sambas, tetapi juga
orang-arang asal Bugis, Cina dan berbagai suku bangsa lainnya dalam jumlah yang
kecil. Orang-orang Bugis yang memahami adanya kebudayaan dominan Melayu di
daerah pantai Sambas cenderung menjadi seperti Melayu dan setelah sekian
generasi menjadi orang Melayu. Sebaliknya orang-orang Cina, yang karena
mempunyai keyakinan agama yang berbeda, cenderung mempentahankan jatidiri
kecinaannya. Hubungan antara penduduk setempat dan orang Cina berjalan dengan
baik, karena orang-orang Cina menghormati patokan-patokan aturan main yang
berlaku di tempat-tempat umum sesuai dengan kebudayaan dominan Melayu.
Para migran asal Madura yang datang ke Kabupaten Sambas sejak 1920-an
adalah buruh atau kuli pembuat jalan, buruh tani, petani, tukang becak, serta sopir
kendaraan umum. Mereka yang menetap di daerah pedesaan hidup sebagai petani
atau sebagai pekerja serabutan. Mereka hidup mengelompok dengan sesama
mereka yang satu kerabat atau yang berasal dari satu desa. Pengelompokan
pemukiman mereka biasanya ada di sekitar rumah seorang kyai atau guru mengaji
yang menjadi tokoh mereka, yang dibangun di dekat surau atau masjid dan
madrasah. Orang-orang Madura di Sambas tidak memperhatikan atau, bahkan,
boleh dikatakan tidak memandang sebelah mata berbagai adat istiadat orang Melayu
atau orang Dayak. Mereka hidup dalam lingkungan komuniti mereka sendiri yang
141
terpisah dari komuniti pedesaan orang Melayu. Dalam kehidupan sehari-harinya
mereka berbahasa Madura dan berpedoman pada kebudayaan Madura dan
Bangkalan. Mereka juga mempunyai keyakinan keagamaan Islam yang berbeda dari
yang dipeluk oleh orang Melayu, yang menurut keterangan adalah pengikut Tarekat
Naqsabandiyah Khalidiyah.
Mereka juga tidak mempunyai rasa hormat kepada orang Melayu yang
mereka anggap sebagai penakut dan orang Dayak sebagai orang kafir. Mereka
menganggap remeh berbagai ketentuan adat setempat dan hukum yang berlaku,
termasuk membawa senjata tajam di tempat-tempat umum. Oleh orang Melayu dan
orang Dayak di Sambas orang Madura dikenal sebagai orang yang dengan cepat
mencabut senjata dan melukai atau membunuh orang yang telah menyinggung
perasaan mereka. Sebagian dari orang Madura memanfaatkan situasi yang ada
dalam kehidupan orang Melayu tersebut untuk melakukan tindakan-tindakan
kriminal dengan cara kekerasan. Orang Melayu tidak berani atau tidak mau
melawannya. Berbeda dengan orang Dayak yang selalu memberikan perlawanan
bila darah telah tumpah karena perbuatan orang Madura. Konflik Melayu-Madura
telah berlangsung sebanyak sepuluh kali dan memakan korban yang tidak sedikit di
kedua belah pihak. Kebudayaan orang Melayu di Sambas dapat dikatakan
mempunyai kemiripan dengan kebudayaan Jawa atau Sunda, Mereka ini
menekankan pentingnya sopan santun, rukun dan saling memaafkan bila terjadi
kesalahan, menjunjung tinggi budi pekerti, lebih suka menghindari konflik dan taat
hukum. Banyak dari mereka yang menceritakan kepada saya tentang penderitaan
mereka sebagai korban pemerasan dan penipuan yang dilakukan oleh orang-orang
Madura yang kriminal. Bahkan, ada keluarga-keluarga Melayu yang terpaksa harus
melarikan diri dari Pemangkat dan Tebas ke Pontianak karena tidak berani melawan
ancaman-ancaman oknum-oknum preman. Namun dalam keadaan terpaksa mereka
bisa mengamuk.
142
Bahkan orang-orang Madura, yang dilihat sebagai pendatang oleh orang-orang
Melayu, telah mengambil alih aturan-aturan main yang berlaku di tempat-tempat
umum dan menggantikannya dengan aturan main cara Madura yang penuh dengan
kekerasan. Karena orang-orang Madura itu hidup menyendiri dalam dunia mereka
sendiri, maka orang-orang Melayu ataupun orang-orang Dayak tidak mengenal
orang-orang Madura sebagai orang perorang. Mereka mengenal orang-orang
Madura sebagai golongan dengan ciri-ciri stereotipnya, ciri-ciri stereotip yang tidak
ada satu pun yang bagus dalam pandangan orang Melayu dan Dayak. Karena itu,
pada waktu terjadi kerusuhan antara orang Melayu dan Madura, orang-orang Melayu
hanya melihat orang-orang Madura sebagai ciri-ciri stereotip, sehingga perbuatan-
perbuatan kekerasan dan kekejaman yang mereka pelajari dari perlakuan orang
Madura terhadap mereka, mereka gunakan terhadap orang Madura. Dampak dari
hubungan antar-sukubangsa yang didasari oleh ciri-ciri stereotip adalah bahwa
hubungan di antara para pelaku tidak ada unsur hubungan kemanusiaannya.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa tidak semua wilayah di Indonesia ini
adalah wilayah tidak bertuan. Medan mungkin merupakan sebuah perkecualian.
Para migran dari berbagai suku bangsa di Medan dapat hidup untuk bersaing
menentukan aturan-aturan main yang menguntungkan masing-masing dan untuk
menguasai kebudayan yang berlaku setempat. Kasus orang Jawa di Bandung, bila
diperbandingkan dengan kasus Ambon dan Sambas, akan menampakkan dengan
jelas perbedaan dalam strategi adaptasi dari para pendatang Jawa di Bandung
dengan strategi adaptasi para pendatang BBM di Ambon dan Madura di Kabupaten
Sambas. Baik para pendatang BBM maupun Madura menerapkan prinsip menguasai
kebudayaan yang berlaku setempat dan memantapkan patokan-patokan aturan main
sesuai dengan kebudayaan mereka untuk diikuti oleh suku-suku bangsa lainnya,
termasuk suku bangsa setempat yang dominan.
Dalam tulisan ini peranan sistem nasional Indonesia tidak disinggung secara
mendalam. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa saya mengabaikannya. Apa
yang ingin saya tunjukkan adalah adanya kebudayaan dominan di suatu masyarakat,
143
dan bahwa kebudayaan dominan tersebut menetapkan patokan-patokan aturan main
yang harus diikuti oleh semua warga masyarakat yang tercakup di dalamnya. Dalam
kasus-kasus Ambon dan Sambas terkesan bahwa sistem nasional tidak berdaya
dalam berhadapan dengan para pendatang yang menggunakan cara-cara paksa dan
kekerasan atau cara-cara preman. Bahkan, dari informasi yang saya peroleh di
Ambon dan berbagai kota kecamatan di Kabupaten Sambas, terdapat kesan bahwa
para pendatang ini memperoleh beking dari sejumlah oknum, sehingga petugas
kepolisian setempat tidak berani serta tidak mampu menegakkan hukum yang
seharusnya menjadi acuan bagi aturan main yang adil dan beradab.
*****
Kepustakaan
Bruner. E.M, 1974, ‘The Expression of Ethnicity in Indonesia dalam Abner Cohen
(Editor.), Urban Ethnicity. London: Tavistock. Hal. 251-288.
Suparlan. P., 1972, The Javanese in Bandung: Ethnicity in a medium Indonesian
city. . M.A. Thesis, University of Illinois.
––––––––––, 1999a, Laporan Kerusuhan Ambon. Laporan Terbatas disampaikan
kepada Kapolri
––––––––––, 1999b, Laporan Kerusuhan Sambas. Laporan Terbatas disampaikan
kepada Kapolri.
144
Keanekaragaman
Sukubangsa
dan Kebudayaan
S
ukubangsa adalah golongan sosial yang khusus, yang sama dengan
golongan umat dan golongan jenis kelamin. Kekhususan sukubangsa
sebagai golongan sosial ditandai oleh ciri-cirinya, yaitu diperoleh secara
askriptif atau didapat begitu saja bersama dengan kelahirannya, merupakan ciri-ciri
yang umum dan mendasar bagi identitas atau jatidiri pribadi atau kelompoknya yang
tidak dapat dengan seenaknya dibuang atau ditiadakan. Ciri-cirinya yang umum dan
mendasar ini seringkali dinamakan sebagai ciri-ciri primordial atau yang utama dan
mendasar serta berlaku dalam kehidupan manusia.
Karena itu jatidiri atau identitas sukubangsa adalah identitas yang paling
mendasar dan umum berkenaan dengan asal muasal pelaku. Sebagai sebuah
golongan sosial, sama dengan berbagai jenis golongan sosial lainnya, sukubangsa
digunakan sebagai acuan oleh warga masyarakat untuk mengidentifikasi diri dan
kelompok sukubangsanya yang berbeda dari diri dan kelompok sukubangsa lainnya.
Identitas atau jatidiri sukubangsa, yang seringkali disebut sebagai kesukubangsaan,
sebenarnya muncul dan mantap melalui dan dalam interaksi-interaksi sosial yang
terwujud di dalam masyarakat tersebut. Semakin sering dan mendalam hubungan
yang berlangsung antara warga dari satu sukubangsa dengan warga dari
sukubangsa lainnya akan semakin jelas kesukubangsaan masing-masing, dan
sebaliknya, semakin jarang atau tidak ada kontak hubungan antara warga satu
sukubangsa dengan warga sukubangsa lainnya maka akan semakin samar-samar
atau bahkan tidak ada konsep kesukubangsaan dari warga lain sukubangsa
tersebut. Dengan demikian, dalam interaksi diantara warga yang berbeda golongan
145
sukubangsanya, kesukubangsaan mereka diidentifikasi oleh dirinya sendiri dan oleh
pihak lainnya di dalam interaksi-interaksi yang terwujud. Berbagai contoh dalam
kehidupan kita mengenai kesukubangsaan tersebut digambarkan sebagai berikut:
Bagi warga masyarakat Kalimantan, jatidiri Dayak yang berbeda dari jatidiri Madura,
Jawa, Cina, Melayu adalah jelas. Tetapi apakah jatidiri orang Scotlandia dapat
tergambarkan dalam sistem penggolongan sosial warga Kalimantan Barat? Belum,
tentu. Contoh dari pengalaman saya pada tahun 1978 di Yogyakarta, dimana pada
waktu itu saya mempunyai kenalan dekat seorang dalang, yang juga pembuat dan
penjual wayang kulit. Pada suatu hari dia bercerita bahwa ada “londo inggeris” yang
memesan banyak wayang kulit. “Londo” adalah bahasa Jawa untuk Belanda. Dalam
pengertian yang senyatanya, Belanda berbeda dari Inggris. Lebih lanjut lagi, setelah
saya diberitahu nama pemesan si “londo Inggeris” tersebut, ternyata dia itu orang
Scotlandia. Saya tidak mengerti apa itu orang Scotlandia dan apa perbedaannya
dengan orang Inggris, tidak dapat dibayangkannya dan hanya menyulitkan saja.
146
Masing-masing sukubangsa mempunyai kebudayaan yang dapat dibedakan
dari kebudayaan sukubangsa lainnya. Kalau kita melihat kebudayaan sebagai
blueprint atau pedoman bagi kehidupan warga dan masyarakatnya maka masing-
masing sukubangsa yang terwujud sebagai sebuah masyarakat atau kelompok
kehidupan di dalam kehidupan mereka sehari-harinya mempunyai sebuah blueprint
atau pedoman bagi kehidupan mereka dalam menghadapi dan memanfaatkan
lingkungannya bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka, baik secara
fisik dan biologi, secara sosial, dan secara adab atau moral dan etika. Dengan
demikian, kebudayaan adalah acuan bagi terwujudnya dan memedomani tindakan-
tindakan pemiliknya. Kebudayaan, sebagai sebuah pedoman dan keyakinan adalah
sebuah kebenaran bagi para pemilik sebuah kebudayaan tersebut. Karena itu,
kebudayaan tidak dengan mudah berubah begitu saja, dimana warga masyarakat
yang bersangkutan cenderung mempertahankan tradisi-tradisi yang ada dalam
kcbudayaannya, walaupun lingkungan yang dihadapi untuk dimanfaatkan tersebut
telah berubah. Kalaupun terjadi perubahan dalam kebudayaannya, maka biasanya
perubahan tersebut terwujud dalam teknologi dan ekonomi, sedangkan pedoman
adab dan moral serta berbagai bentuk pranata sosial tetap dipertahankan dan
bahkan melandasi tindakan-tindakan ekonomi dan penggunaan teknologi dalam
pemanfaatan lingkungannya.
Sebagai sebuah pedoman, maka isi dari sebuah kebudayaan adalah sistem-
sistem penggolongan, yang isi dari sistem-sistem penggolongan tersebut
adalah golongan-golongan, yang terwujud sebagai konsep-konsep. Contohnya
penggolongan mahluk hidup, menghasilkan konsep manusia, tergolong dalam jenis
kelamin atau golongan laki-laki dan perempuan, dan banci (bukan laki-laki dan bukan
perempuan). Disamping berisikan konsep-konsep, kebudayaan juga berisikan
metode-metode atau cara-cara membuat penggolongan atau penilaian, membuat
penseleksian dan penggabungan konsep-konsep sebagai sebuah satuan konsep
yang bermakna dan dapat dijadikan pedoman dalam menginterpretasi sesuatu gejala
yang ada dalam lingkungannya dan untuk bertindak, dan juga berisikan teori-teori
mengenai hakekat hubungan dari konsep-konsep yang digabungkan secara
terseleksi. Dengan isinya yang mencakup konsep-konsep, metode-metode, dan
teori-teori, kebudayaan juga berisikan petunjuk-petunjuk dan larangan-larangan,
resep-resep, dan pedoman-pedoman dalam menghadapi dan memanfaatkan
147
lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang mencakup
memahami dan menginterpretasi gejala-gejala yang dihadapi, mewujudkan tindakan-
tindakan, dan menginterpetasi dan memahami tindakan-tindakannya dalam
menghadapi lingkungannya yang dilihatnya sebagai pengelaman-pengalamannya
serta menyimpulkan pengalaman-pengalaman tersebut sebagai konsep-konsep,
metode-metode dan teori-teori yang disimpannya sebagai khazanah kebudayaannya
yaitu sebagai pengetahuan dan keyakinan-keyakinannya. Kebudayaan itu
berkembang dan mantap atau berubah melalui pengalaman-pengalaman dalam
menghadapi lingkungan kehidupan sehari-hari.
148
hampir semua masyarakat manusia. Setiap masyarakat mempunyai pranata-pranata
yang secara universal hampir sama, tetapi corak dari isi kegiatan-kegiatannya
berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Perbedaan-
perbedaan ini disebabkan oleh kebudayaannya yang berbeda, yang disebabkan oleh
sejarah dan pengalaman-pengalaman yang berbeda, lingkungan alam/fisik, dan
sosial, budaya yang berbeda, dan oleh motivasi-motivasi serta kebutuhan-kebutuhan
hidup yang berbeda-beda.
149
dengan sukubangsa lainnya untuk memunculkan keberadaan sukubangsa atau
kesukubangsaannya. Kebudayaan mengenai sukubangsanya dan sukubangsa-
sukubangsa lainnya yang hidup bersama-sama dalam sebuah masyarakat yang
lebih luas adalah pengetahuan yang penuh dengan keyakinan-keyakinan mengenai
keberadaan yang subyektif mengenai ciri-ciri sukubangsanya dan sukubangsa-
sukubangsa lainnya. Pengetahuan mengenai sesuatu sukubangsa lain yang ada
dalam kebudayaan sesuatu sukubangsa tertentu adalah konsep-konsep yang
seringkali juga digunakan sebagai acuan bertindak dalam menghadapi sukubangsa
lain tersebut, walau tidak selalu demikian perwujudan tindakan-tindakannya. Konsep-
konsep itu dinamakan stereotip (stereotype), dan stereotip ini dapat berkembang
menjadi prasangka (prejudice).
150
Hubungan Antar-Sukubangsa
151
ini berupa hubungan pribadi yang terwujud sebagai persahabatan atau pun
perkawinan, atau terwujud sebagai hubungan sosial, hubungan kerja atau ekonomi,
dan hubungan politik. Jembatan penghubung ini, yang terwujud sebagai situasi-
situasi dimana interaksi terjadi atau arena-arena interaksi, menapikan perbedaan
sukubangsa yang berlaku. Di satu pihak arena-arena interaksi ini berisikan unsur-
unsur kebudayaan dari sukubangsa-sukubangsa yang berbeda dan saling
berhubungan, dan di lain pihak juga berisikan hasil perpaduan antara unsur-unsur
kebudayaan sukubangsa-sukubangsa yang berbeda tersebut. Melalui dan dengan
menggunakan kebudayaan hasil akulturasi inilah interaksi antar warga yang berbeda
sukubangsanya itu berlangsung, dan karena kebudayaan yang digunakan tersebut
tidak menciptakan batas-batas sosial maka perbedaan kesukubangsaan diantara
mereka dalam interaksi tersebut tidak berlaku. Walaupun telah mereka ciptakan
jembatan yang menghubungkan perbedaan-perbedaan diantara dua sukubangsa
yang berbeda atan lebih, tetapi tidak berarti bahwa perbedaan sukubangsa tersebut
lalu hilang dengan sendirinya. Perbedaan sukubangsa tetap berlanjut dalam situasi-
situasi atau arena-arena interaksi lainnya.
152
karena dalam setiap interaksi sebetulnya adalah interaksi status dari pelaku, maka
hubungan antar-sukubangsa sebenarnya mewujudkan adanya struktur interaksi yang
coraknya tergantung pada sejarah hubungan diantara sukubangsa-sukubangsa yang
bersangkutan. Sebuah interaksi diantara mereka yang berbeda sukubangsanya yang
menapikan perbedaan status hubungan sukubangsa diantara para pelakunya
biasanya terwujud dalam bentuk persahabatan, pengangkatan saudara, atau
perkawinan. Sedangkan berbagai bentuk interaksi lainnya yang juga menapikan
perbedaan status hubungan antar-sukubangsa adalah interaksi yang terwujud dalam
arena-arena interaksi dalam sistem nasional Indonesia. Sistem nasional Indonesia
berada di atas sistem-sistem sukubangsa maupun sistem-sistem kehidupan umum
yang berlaku setempat-setempat di seluruh wilayah Indonesia.
153
monopoli bidang-bidang kerja atau untuk kegiatan ekonomi dan politik oleh
kelompok-kelompok sukubangsa-sukubangsa yang berbeda yang hidup dalam
masyarakat tersebut maka hubungan baik diantara sukubangsa-sukubangsa yang
berbeda akan tercipta, dan arena-arena interaksi yang menjembatani hubungan
antar-sukubangsa menjadi mantap dan bahkan berkembang sehingga potensi-
potensi konflik yang terjadi dapat diredam. Sebaliknya, bila penguasa atas bidang-
bidang ekonomi dan politik serta pengalokasian pendistribusiannya oleh
sukubangsa-sukubangsa itu terwujud sebagai persaingan untuk bidang-bidang yang
sama serta menghasilkan adanya penguasaan atau dominasi oleh satu kelompok
sukubangsa atau golongan sosial tertentu terhadap sumber-sumber daya yang ada,
yang dapat diartikan sama dengan pendominasian oleh satu sukubangsa atau
golongan sosial tertentu terhadap sukubangsa lainnya, maka yang akan terwujud
adalah adanya potensi-potensi konflik di dalam kehidupan masyarakat tersebut, yang
sewaktu-waktu dapat meledak sebagai akibat dari rentetan perasaan-perasaan yang
diderita oleh sebuah perbuatan-perbuatan dari warga sukubangsa yang merasa
direndahkan atau yang berada dalam kedudukan terhina oleh perbuatan-perbuatan
dari warga sukubangsa lainnya. Konflik sukubangsa semacam ini biasanya dimulai
oleh mereka yang merasa kehilangan kehormatannya oleh perbuatan warga
sukubangsa lainnya. Dan perasaan kehilangan kehormatan kesukubangsaan ini
biasanya dipicu oleh sesuatu perbuatan yang dianggap oleh sukubangsa yang
bersangkutan sebagai puncak dari kehinaan-kehinaan serta ketidakadilan yang
selama ini mereka derita.
154
Sebaliknya, kota Medan yang secara kebudayaan tidak didominasi oleh sesuatu
sukubangsa menghasilkan adanya kehidupan masyarakat kota Medan yang
beranekaragam sukubangsa dan kebudayaannya, karena mereka itu masing-masing
para pendatang yang hidup di Medan, hidup dalam lingkungan pemukiman kelompok
sukubangsanya. Dan di tempat-tempat umum mereka dapat menggunakan bahasa
dan kebudayaan sukubangsanya masing-masing dengan bebas dibandingkan
dengan yang berlaku di kota Bandung. Dengan mengacu pada penjelasan-
penjelasan mengenai sukubangsa dan hubungan antar-sukubangsa sebagaimana
tersebut di atas dengan mengacu pada teori kebudayaan dominan dari Bruner,
mungkin kita dapat memahami konflik antar-sukubangsa yang telah terjadi di
Kalimantan Barat. Dan berdasarkan itu semua, kita dapat memikirkan cara
pencegahan konflik antar-sukubangsa yang menelan korban yang tidak sedikit, yang
secara sosial dan ekonomi merugikan kita semua, dan yang secara nasional dapat
mengancam keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Orang Dayak di Kalimantan Barat adalah penduduk asli setempat. Mereka itu
menurut perkiraan berjumlah sekitar 40% dari jumlah penduduk. Sebagian besar dari
mereka itu hidup dari pertanian berladang padi dan tanaman-tanaman lainnya yang
dilakukan secara berotasi dan berkala. Di samping berladang secara berotasi,
mereka juga memanfaatkan berbagai hasil hutan yang mereka konsumsi maupun
mereka jual, termasuk buah durian, getah karet, dan resin. Mereka biasanya menjual
hasil hutan kepada Orang Cina atau kepada Orang Melayu dan dari mereka itulah
mereka memperoleh berbagai keperluan untuk pemenuhan kehidupan mereka,
sebagai gantinya. Pada umumnya mereka itu beragama Kristen. Gereja Katolik amat
penting dalam kehidupan mereka., karena melalui gereja inilah mereka memperoleh
berbagai bentuk pendidikan dan informasi mengenai dunia luar. Walaupun demikian,
mereka itu tetap mempertahankan sebagian besar tradisi-tradisi keagamaan mereka.
155
Orang Dayak di Kalimantan Barat hidup dalam desa-desa yang biasanya
dibangun di dekat sungai. Mereka tinggal di rumah-rumah panggung yang terdiri atas
ruang-ruang hunian untuk satuan rumah tangga. Sebuah desa biasanya terdiri atas
beberapa rumah panggung, tetapi menurut beberapa keterangan yang diperoleh,
ada juga desa-desa yang terdiri atas sebuh rumah panggung yang besar. Kehidupan
sehari-hari mereka tidaklah di desa tersebut, tetapi di masing-masing ladang yang
sedang mereka kerjakan. Di ladang tersebut biasanya mereka membangun rumah-
rumah sementara untuk menjaga padi atau tanaman-tanaman lainnya dari serangan
babi hutan serta hewan-hewan hama lainnya. Karena kehidupan mereka yang
berada dalam lingkungan liar, maka dalam kehidupan mereka sehari-hari mereka itu
selalu mempersenjatai diri masing-masing, baik untuk digunakan bagi mengusir
hewan-hewan hama di ladang ataupun untuk melindungi diri dari serangan hewan
buas dalam perjalanan di hutan.
156
Orang Madura di Kalimantan Barat telah ada sebelum Perang Dunia II, tetapi
jumlah mereka amat sedikit. Jumlah Orang Madura yang besar menurut keterangan
yang didapat baru dirasakan sejak akhir tahun 1970an. Dengan dibukanya hutan
oleh HPH secara luas dari ramainya perdagangan kayu serta hasil hutan lainnya.
Jumlah Orang Madura di Kalimantan Barat diperkirakan sekitar 2,75 % dari
keseluruhan jumlah penduduk Kalimantan Barat. Mereka ini hidup di daerah
perkotaan maupun pedesaan. Mereka yang hidup di kota sebagian besar hidup dari
bekerja sebagai tukang becak, pedagang kaki lima, pengemudi dan calo kendaraan
umum, atau berbagai pekerjaan jasa kasar lainnya. Sedangkan mereka yang hidup
di pedesaan dari bertani menetap dan beternak sapi. Orang Madura cenderung
mengelompok dalam lingkungan mereka sendiri, tetap mempertahankan tradisi-
tradisi yang ada dalam kebudayaan mereka. Tradisi-tradisi ini antara lain adalah
carok. Tradisi ini dapat dilihat sebagai perbuatan yang dengan mudah menggunakan
senjata tajam untuk membunuh lawan, yang bertentangan dengan tradisi yang
berlaku dalam kebudayaan Orang Dayak.
Mereka ini dikenal sebagai orang Islam taat, dan bahkan cenderung fanatik.
Saking taatnya mereka itu mempunyai masjid sendiri yang tidak bisa digunakan
beribadah oleh golongan Islam lainnya. Bahkan kuburan mereka itu di pemakaman
umum, juga harus dipisahkan dari kuburan-kuburan yang bukan Madura. Mereka
tunduk kepada ulama yang mereka anggap sebagai pelindung, begitu juga kepada
guru dan pemerintah. Di Kalimantan, para pendatang Madura bukan hanya petani
tetapi juga mencakup berandalan atau bromocorah, yang dikenal reputasinya
sebagai pemberani dan tega menyakiti lawan atau korbannya. Keberadaan
bromocorah ini, yang mendominasi berbagai kawasan pasar dan pelayanan umum,
yang dengan cara-cara mereka, dan tradisi carok yang tetap mereka pertahankan
telah membuat perasaan tidak aman warga sukubangsa-sukubangsa lainnya yang
hidup bersama dengan mereka termasuk orang Dayak.
157
sukubangsa lainnya berdiri dipihak orang Dayak atau setidak-tidaknya bersimpati
terhadap Orang Dayak dalam konflik tersebut.
Penutup
Upaya menciptakan hubungan yang harmonis antara orang Dayak dan orang
Madura tidaklah mudah. Ketidakmudahan ini disebabkan: Adanya stereotip pada
kedua belah pihak yang mempertajam dan memperlebar batas-batas sukubangsa.
Orang Dayak dan Orang Madura bersaing dalam memperebutkan sumber-sumber
rezeki yang sama jenisnya, sehingga tidak memungkinkan terwujudnya kegiatan-
kegiatan yang saling melengkapi atau menghidupi dalam bidang-bidang sosial,
ekonomi, dan politik. Sebaliknya yang mantap adalah pendominasian Orang Madura
secara sosial, ekonomi, dan politik yang membuat perasaan tertekan dan semakin
tambah miskin menjadi semakin dirasakan oleh Orang Dayak, dan mereka merasa
bahwa kehormatan kesukubangsaan mereka semakin tercemar.
158
Dayak dan Madura untuk mereka pahami dan digunakan sebagai acuan dalam
interaksi-interaksi antar-sukubangsa. Dengan penekanan pada mengikuti aturan-
aturan main yang berlaku dalam persaingan, menenggang rasa dan menghormati
satu sama lainnya. Mendorong terciptanya jembatan-jembatan budaya yang lebih
luas dan mantap yang dapat mengantarai batas-batas sukubangsa yang ada,
sehingga pada satu segi hubungan antar-sukubangsa dapat terwujud secara damai
dan harmonis, sedangkan pada segi lainnya kesukubangsaan masing-masing tetap
bertahan dan hidup dalam berbagai kegiatan dan suasana lainnya.
*****
Kepustakaan
Barth, Fredrik (Ed.),1969. Ethnic Groups and Boundaries. Boston : Littel, Brown,
& Company
Bruner, Edward M., 1974 “The Expression of Ethnicity in Indonesia”. Dalam Abner
Cohen (Editor), Urban Ethnicity. . London: Tavistock,. Hal. 251-280.
HRW Asia, 1997. “Communal Violence in West Kalimantan”. Indonesian Archives..
Suparlan, Parsudi, 1995. The Javanese in Surinam: Ethnicity in an ethnically plural
.society. Tempe, Arizona : SEA Program, , Arizona State University.
–––––––––––, 1985 “Kebudayaan dan Pembangunan”. Media IKA, Vol.14, no.11,
hal.106-135. Jurusan Antropologi, U.I.
–––––––––––, 1979 “Ethnic.Groups of lndonesia”, The Indonesian Quarterly, Vol.7,
No.2, hah.55-75. CSIS
159
2 Kebudayaan
dan Pembangunan
K
ebudayaan dan pembangunan adalah dua buah konsep yang bisa dilihat
saling kaitan hubungan fungsional relevan dan bisa juga kaitan hubungan
fungsional di antara keduanya dalam kehidupan nyata sebagai tidak
relevan. Relevan atau tidaknya tergantung pada cara mendefinisikannya. Kalau
kebudayaan dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri atas ide atau gagasan,
kelakuan sosial dan benda-benda kebudayaan, maka kaitan hubungan fungsional
antara pembangunan dan kebudayaan menjadi tidak relevan dalam kaitannya
dengan usaha-usaha operasional dalam mengidentifikasi dan memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi berkenaan dengan perubahan-perubahan yang
terjadi dan direncanakan sesuai dengan program pembangunan yang bersangkutan.
Karena itu kaitan hubungan antara kebudayaan dan pembangunan lalu dilihat
sebagai permasalahan mental atau orientasi nilai yang secara konseptual banyak
kelemahan-kelemahannya.
160
tindakan-tindakan para warga masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan
tersebut. Memahami kecenderungan dari tindakan manusia untuk selalu berpola dan
kecenderungan dari pola kelakuan untuk tidak berubah dari masa ke masa dan
kecenderungannya untuk selalu berubah. Dengan demikian juga, maka kaitan
hubungan fungsional antara kebudayaan dan pembangunan dalam usaha-usaha
pemenuhan kebutuhan manusia (yang universal) yang harus dipenuhi untuk dapat
tetap melangsungkan kehidupannya dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya
dapat dilihat dan dikaji. Hasil-hasil pengkajian secara konseptual maupun secara
empirik akan dapat mengungkapkan peranan faktor kebudayaan dalam turut
menghambat atau mensukseskan sesuatu program pembangunan yang
dilaksanakan pada tingkat masyarakat lokal. Dengan demikian maka masalah-
masalah yang muncul dari adanya program pembangunan itu dapat dihindarkan atau
setidak-tidaknya dapat dibatasi kuantitas maupun kualitas yang merugikannya.
161
lebih baik lagi. Karena itu seringkali kebudayaan juga dinamakan sebagai blueprint
atau disain menyeluruh dari kehidupan.
Penggunaan kebudayaan oleh para pendukungnya dalam kehidupan yang
nyata yaitu bagaimana terwujud dalam tindakan-tindakan sehari-hari dalam
kehidupannya sebagai warga masyarakat, hanya mungkin dapat terjadi karena
adanya pranata-pranata sosial yang dipunyai oleh masyarakat tersebut. Pranata
sosial adalah sistem antar hubungan peranan-peranan dan norma-norma yang
terwujud sebagai tradisi untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial
utama tertentu yang dirasakan perlunya oleh para warga masyarakat yang
bersangkutan. Sebuah kebudayaaan tidaklah diwariskan secara genetik, tetapi
diperoleh manusia setelah kelahirannya melalui proses belajar. Manusia dapat
mempelajari sesuatu karena mempunyai kesanggupan untuk membuat dan
memahami ide-ide yang abstrak, serta mewujudkan kelakuan simbolik. Landasan
terutama dari adanya kesanggupan tersebut adalah karena manusia mempunyai
bahasa.
Kebudayaan diperoleh manusia melalui kebudayaan baik secara formal
maupun tidak formal dengan melakukan peniruan-peniruan dan mengabsorsikannya
ke dalam pengetahuan mereka baik secara sadar ataupun tidak sadar. Proses ini
bersifat menyerap serta mencakup semua aspek kehidupan manusia dalam
kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, yang penyerapannya
berlangsung secara samar-samar dan lambat tetapi pasti dan tetap, sehingga
bahkan mempengaruhi bentuk-bentuk dan corak-corak kelakuan, sikap-sikap dan
keyakinan-keyakinan yang amat terperinci. Penyerapan atau penerimaan
kebudayaan yang bersifat mendalam dan menyeluruh terhadap pribadi-pribadi
pendukungnya, sebagaimana terwujud dalam cara berpikir, merasakan, berbicara
dan bertindak.
KEBUDAYAAN
162
Kebudayaan adalah milik masyarakat dan bukan milik seorang individu.
Dengan kata lain, individu-individu yang menjadi warga masyarakat adalah para
pemilik dan pendukung kebudayaan masyarakat tersebut. Karena adanya
kebudayaan itu ada dalam pemikiran para individu warga masyarakat tersebut, yaitu
mereka yang memiliki dan menggunakan bersama suatu pedoman atau disain
kehidupan menyeluruh tertentu, maka pada tingkat individu bisa terjadi
penyimpangan-penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan dari apa yang secara
umum berlaku dalam masyarakat, yaitu yang dilakukan secara individual, merupakan
ciri-ciri kepribadian dari yang bersangkutan dan tidak dapat dinamakan kebudayaan.
Tetapi berbagai kekhususan dan berbagai alternatif dalam sistem bertindak yang
berlaku umum yang dilakukan secara individual dan yang diwariskan secara sosial
adalah kebudayaan.
2. Kebutuhan sosial atau Kebutuhan sekunder yang terwujud sebagai hasil akibat
dari usaha-usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tergolong
163
sebagai kebutuhan primer, yang harus dipenuhinya dengan cara melibatkan
orang/sejumlah orang lain, yang mencakup kebutuhan-kebutuhan akan :
3. Kebutuhan Integratif, yang muncul dan terpencar dari hakekat manusia sebagai
makhluk pemikir dan bermoral (yang berbeda dari jenis-jenis makhluk lainnya).
Yang fungsinya adalah mengintegrasikan berbagai kebutuhan dan kebudayaan
menjadi suatu satuan sistem yang bulat dan menyeluruh serta masuk akal bagi
para pendukung kebudayaan tersebut, yakni mencakup kebutuhan-kebutuhan
akan :
a. Adanya perasaan bersalah, adil, tidak adil, dll.
b. Mengungkapkan perasaan-perasaan dan sentimen-sentimen kolektif/
kebersamaan.
c. Perasaan keyakinan diri (consistence) dan keberadaannya (exixtence)
d. Ungkapan-ungkapan estetika dan keindahan dan moral.
e. Rekreasi dan hiburan.
164
Diantara unsur-unsur kebudayaan yang penting dalam hal penentuan tingkat
pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan kehidupan material manusia (yaitu dalam
hal macam kwantitas dan kwalitas adalah Teknologi dan ekonomi.
Walaupun sebenarnya tingkat pemenuhan kebutuhan manusia dan tingkat
kesejahteraan kehidupan materialnya itu ditentukan oleh tingkat teknologi dan
ekonomi dalam kebudayaannya tetapi dalam tindakan-tindakan pemenuhan selalu
melibatkan keseluruhan unsur-unsur kebudayaan (secara langsung ataupun tidak
langsung), aspek-aspek biologi dan emosi manusia yang bersangkutan dan juga
kualitas, kuantitas serta macam sumber daya/energi yang tersedia dan ada dalam
lingkungan. Dalam tindakan-tindakan pemenuhan kebutuhan tersebut salah satu
aspek penting yang sering dilupakan oleh kebanyakan orang adalah aspek yang
terwujud sebagai tradisi-tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku setempat.
Pentingnya peranan aspek sosial ini disebabkan oleh hakekat kemanusian dari
manusia itu sendiri yaitu sebagai makhluk sosial, yang dalam hal mana hampir
sebagian terbesar dari kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya itu
dicapai melalui dan dalam kehidupan sosial.
KEBUDAYAAN:
Teknologi dan
Ekonomi
KEBUDAYAAN
S
ASPEK-ASPEK BIOLOGIS
PROSES MENTAL P
ASPEK-ASPEK EMOSI
LINGKUNGAN
TINDAKAN FISIK/ALAM
SOSIAL BUDAYA
KEBUTUHAN-KEBUTUHAN MANUSIA P
S
165
Adapun contoh saling berkaitan di antara unsur-unsur kebudayaan
dalam tindakan-tindakan manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah
sebagaimana dijelaskan dalam gambar berikut ini, yang terpusat pada model
pengetahuan mengenai pentingnya banyak anak dalam keluarga.
KEBUDAYAAN
SISTEM
POLITIK
MODEL-MODEL SISTEM
PENGETAHUAN TENTANG SISTEM PRODUKSI
SISTEM
POLA-POLA SISTEM
REPRODUKSI DAN
PERKAWINAN DISTRIBUSI
PEMUASAN
MODEL SISTEM
PENGETAHUAN KONSUMSI
KEBUDAYAAN
LINGKUNGAN:
PROSES MENTAL ALAM/FISIK
KEBUTUHAN TINDAKAN P+S SOSIAL
BUDAYA
166
KEBUDAYAAN – X
Pranata-pranata Sosial
Tradisi-tradisi yang ad dan berlaku dalam
struktur-struktur dalam masyarakat
Pengetahuan
Kebudayaan XI XII XIII XIV XV
Individu
MASYARAKAT
Dengan cara lain, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar berikut ini, salah
satu bentuk alternative tindakan pemenuhan kebutuhan manusia adalah X PX (Xi Z
Y), yang artinya adalah bahwa pelaku yang bersangkutan mewujudkan tindakan-
tindakan sesuai dengan dan berpedoman pada model-model pengetahuan, yang ada
di dalam kebudayaan yang relevan dengan lingkungan yang dihadapi dan berpegang
teguh pada tradisi-tradisi yang berlaku dengan menekan kemenonjolan dari
pengetahuan kebudayaannya, lingkungan yang dihadapi, dan nafsu-nafsu
pemenuhan kebutuhannya. Adapun alternatif-alternatif lainnya bias:
(1) XY (PX Xi Z); (2) XZ (Xi PX Y); (3) PXZ (X Xi Y); (4) PX Z Y (X Xi); (5) Xi Z (X PX
Y); (6) Xi Z Y (X PX); (7) Z (X PX Xi Y).
(2) Alternatif-alternatif tersebut di atas belum termasuk alternatif-alternatif yang
dihasilkan dari memperhitungkan penekanan salah satu model pengetahuan dari
salah satu unsur kebudayaan oleh pelaku yang bersangkutan. Kalau ini
diperhitungkan maka alternatif yang ada akan menjadi lebih kompleks lagi.
167
Kebudayaan - X Lingkungan - Y
Pengetahuan kebudayaan - Xi
Tindakan-tindakan = X.PX.(Xi.Z.Y)
Kebutuhan-kebutuhan
Perubahan Kebudayaan
168
Sebuah kebudayaan sebagai suatu sistem, berintegrasi secara struktural dan
secara kejiwaan. Secara struktural terintegrasi melalui fungsi-fungsi dari
unsurunsurnya, yaitu oleh adanya peranan dari setiap unsur kebudayaan yang
dimainkannya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya dari kebudayaan
tersebut, yang berlaku secara menyeluruh. Sedangkan secara kejiwaan, integrasi
kebudayaan terjadi melalui konfigurasi tertentu dari kebudayaan tersebut.
Konfigurasi sebuah kebudayaan dapat dikatakan sebagai nyawa atau jiwa dari
kebudayaan tersebut, dan konfigurasi tersebut biasanya terdiri atas seperangkat
kecenderungan-kecenderungan yang nampak ada dan berlaku terus menerus
(sebagaimana yang terwujud dalam dan merupakan abstraksi dari keseluruhan
aspek kehidupan dalam masyarakat tersebut) dan secara erat berkaitan antara satu
dengan lainnya dan yang memberi arah serta menghasilkan terwujudnya kesatuan
integratif dalam kebudayaan tersebut.
Konfigurasi kebudayaan dapat dilihat sebagai nilai-nilai pandangan hidup
worldview dan etos atau tujuan dan cita-cita yang ingin dicapai masyarakat atau juga
dorongan-dorongan yang bersifat umum dan mendasar untuk bertindak. Ruth
Benedict: (1946) telah memperlihatkan bahwa setiap kebudayaan mempunyai
konfigurasi tertentu sedangkan ahli-ahli antropologi yang lebih akhir cenderung untuk
melihat bahwa setiap kebudayaan sebenarnya mempunyai beberapa konfigurasi dan
yang oleh Opler (1945, 1946) dinamakannya sebagai tema-tema kebudayaan
(cultural themes). Karena setiap kebudayaan itu sebenarnya merupakan pedoman,
patokan atau disain menyeluruh bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan,
maka sebenarnya kebudayaan itu bersifat tradisional (artinya: cenderung menjadi
tradisi-tradisi yang tidak dapat mudah berubah). Kecenderungan dari sifat tradisional
kebudayaan tersebut disebabkan oleh kegunaannya sebagai pedoman kehidupan
yang menyeluruh, sebab kalau kebudayaan itu setiap saat dapat berubah maka juga
pedoman bagi kehidupan para warga masyarakat tersebut juga akan berubah setiap
saat dan akibatnya kehidupan masyarakat itu sendiri akan kacau karena pedoman
kehidupan tidak tetap. Tetapi karena gejala-gejala (sumber-sumber daya/energi)
yang ada dalam lingkungan yang dihadapi oleh manusia itu bukan hanya yang itu-itu
saja (cenderung untuk berubah dalam hal macam, kwantitas, dan kwalitasnya), maka
juga kebudayaan itu cenderung untuk selalu berubah dan menjadi dinamik mengikuti
perubahan-perubahan yang terjadi dalam unsur-unsur lingkungannya (alam/fisik,
sosial, dan budaya). Kaena itu di satu pihak kebudayaan itu tidak mau berubah tetapi
169
di lain pihak lainnya cenderung untuk selalu berubah secara cepat dibandingkan
dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya. Kebudayaan-kebudayaan yang integrasi
strukturalnya ataupun integrasi kejiwaannya kurang menyeluruh mempunyai
kecenderungan untuk lebih cepat berubah. Begitu juga kebudayaan-kebudayaan
yang kurang jelas konfigurasinya atau tema-tema kebudayaannya cenderung untuk
lebih cepat berubah. Tetapi yang jelas, semua kebudayaan itu mengalami
perubahan, baik berupa perubahan-perubahan kecil ataupun perubahan-perubahan
besar dan mendasar.
PERUBAHAN KEBUDAYAAN
I II III
KEBUDAYAAN Terintegrasi Disintegrasi Terintegrasi
III
Disintegrasi
170
Adapun tahap-tahap dari perubahan suatu kebudayaan biasanya mengikuti
proses seperti berikut ini :
1. tahap inovasi: yaitu suatu tahap dimana para inovator membuat ciptaan-ciptaan
baru (biasanya tahap penciptaan unsur-unsur baru tersebut terjadi setelah atau
bersamaan waktunya dengan terjadinya difusi dan mengkomunikasikannya
kepada para warga masyarakat tersebut.
2. tahap pengorganisasian inovasi dengan unsur-unsur atau bagian-bagian lainnya
dari kebudayaan tersebut. Suatu perubahan kebudayaan biasanya menghasilkan
suatu keadaan yang tidak seimbang dalam kebudayaan tersebut, yang para
pendukung kebudayaan yang bersangkutan dilakukan koreksi dengan cara
memodifikasi pola-pola tradisional atau pola-pola yang baru diterima atau
memodifikasi kedua-duanya. Pengintegrasian kembali sebuah kepercayaan
dapat dicapai khususnya dengan melalui tahap-tahap penginterpretasian kembali,
penyeleksian dan penjabaran unsur-unsur kebudayaan tersebut.
3. tahap terminal atau tahap berhenti sementara dari keseluruhan hasil akhir
perubahan yang sedang terjadi, yang dapat terwujud sebagai ekulibrium
kemantapan yang menyeluruh, dan konsistensi dalam kebudayaan terwujud,
begitu juga terdapatnya suatu perasaan berkedudukan atau berkepribadian
tinggi, dan mempunyai rasa harga diri atau keyakinan pada diri sendiri yang besar
pada para warga masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan dalam keadaan
disorganisasi yang ruang lingkupnya bisa amat kecil atau bisa juga amat besar
yang terwujud sebagai disintegrasi menyeluruh pada kebudayaan tersebut. Suatu
keadaan disorganisasi yang serius pada sebuah kebudayaan dapat terjadi karena
adanya perang atau penaklukan, adanya kontak hubungan diantara dua
kebudayaan yang sangat berbeda, begitu juga karena terjadinya urbanisasi,
industrialisasi, migrasi dan sebab-sebab lain yang mempengaruhi kebudayaan itu
sendiri atau para warga masyarakat yang menjadi para pendukung kebudayaan
tersebut.
Karena setiap perubahan yang terjadi pada salah satu unsur kebudayaan
akan menyebabkan perubahan-perubahan pada unsur-unsur lainnya itu berarti
171
terjadi perevisian atau pembuatan yang baru agar sesuai dengan perubahan yang
terjadi atas seperangkat model-model pengetahuan yang ada. Manusia cenderung
untuk tidak menyukai hidup dalam kekacauan atau selalu berubah pedoman-
pedoman hidupnya. Karena diantara terjadinya perubahan dan terwujudknya
pedoman hidup yang mapan yang baru terdapat suatu masa transisi yang tidak
menentu. Masa transisi ini ditandai oleh adanya tidak mapannya, tidak menentunya
pedoman-pedoman hidup mana yang sebenarnya berlaku dalam kehidupan yang
bersangkutan.
172
Sejumlah perubahan-perubahan, sosial budaya berjalan dengan lambat dan
bertahap sehingga para warga masyarakat yang bersangkutan tidak merasakan
adanya tahapan disorganisasi sosial yang sedang berjalan. Perubahan seperti ini
biasanya terjadi dari sebab-sebab yang berasal dari dalam kehidupan masyarakat
dan kebudayaaan itu sendiri (yaitu: karena perubahan kependudukan ini
menyebabkan perubahan-perubahan dalam pengorganisasian kehidupan sosial,
teknologi, ekonomi, politik, kesenian, dan agama.
173
gampangnya merubah kebiasaan membuang air besar tersebut, karena kaitan-
kaitannya dengan kategori-kategori lainnya yang ada dalam kebudayaan Jawa di
pedesaan.
Dengan contoh tersebut sebenarnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa
kebudayaan itu cenderung untuk tidak berubah. Karena setiap perubahan yang
terjadi pada salah satu unsurnya akan menyebabkan perubahan-perubahan pada
unsur-unsur yang lain. Itu berarti bahwa seperangkat model-model pengetahuan
yang ada dalam kebudayaan yang bersangkutan harus direvisi atau dibuat baru
sesuai dengan perubahan yang terjadi. Manusia cenderung untuk mempertahankan
tradisi-tradisi yang berlaku sebelum terjadinya perubahan sebagai pedoman hidup
mereka. Banyak contoh-contoh mengenai kecenderungan tindakan-tindakan
manusia yang mengikuti tradisi-tradisi sesuai kebudayannya.
Contoh :
Kebudayaan Buang air besar menurut kebudayaan Jawa (di pedesaan)
Penggolongan Dua
Bersih Pusat Dalam Rumah Rumah dan pekarangan Mahluk halus yang
baik
Kotor Pinggir Luar Pekarangan Jalan, sungai, sawah, Mahluk halus yang
tegalan jahat
Penggolongan Tiga
Bersih Bag muka Resmi Ruang tamu Makhluk halus yang Rumah
rumah baik dari baik
Bersih/ Bag tengah Pribadi/ Ruang Makhluk halus yang Pekarangan
Kotor rumah keluarga tengah baik dari jahat
Kotor Bag blk Pribadi/ Ruang dapur/ Makhluk halus yang Jalan, sawah,
rumah keluarga makan baik sungai, tegalan
Pranata-pranata sosialnya:
1. Bagian muka rumah harus bersih, sedangkan bagian tengah rumah bisa kurang
bersih, dan bagian belakang dari belakang rumah bisa kotor.
2. Rumah harus bersih, sedangkan pekarangan bisa kotor.
174
3. Bagian muka pekarangan harus bersih sedangkan bagian belakang dari
pekarangan bisa kotor.
4. Rumah dan pekarangan harus bersih, sedangkan jalan sungai, sawah, tegalan
bisa kotor.
Perwujudan dalam tindakan-tindakan kebersihan:
1. Kotoran dalam rumah harus dibuang ke pekarangan
2. Kotoran di pekarangan dibuang ke sudut/pinggir/bagian belakang dari
pekarangan.
3. Kotoran di pekarangan dapat dibuang ke jalan, sungai, tegalan, sawah, atau
dibakar.
Kotoran manusia digolongkan sebagai kotoran yang paling kotor oleh karena
itu kotoran manusia harus dibuang sejauh-jauhnya agar tidak mengotori tempat yang
digolongkan sebagai bersih. Karena itu yang terbaik adalah membuang air besar di
sungai karena langsung jauh dari “tempat bersih” dan mudah atau ditegalan, di
galengan (galang) sawah, dan terakhir di tepi jalan. Kakus dihindari pembuatannya,
karena menjadi tempat yang paling kotor dari ruang hunian (rumah pekarangan).
Pengertian kotor tersebut mencakup pengertian obyektif (yang disebabkan masih
rendahnya teknologi membuat dan merawat kakus) maupun dalam dalam pengertian
simbolik (sebagai tempat bermukimnya segala kekuatan gaib dan mahluk halus yang
kotor atau jahat). Kotoran tersebut dianggap sebagai dapat menganggu
kesejahteraan hidup manusia penghuninya.
175
Pembangunan secara sederhana dapat dilihat sebagai usaha terencana untuk
meningkatkan taraf kesejahteraan kehidupan para warga masyarakat. Dengan
demikian, secara sederhana pembangunan juga dapat dilihat sebagai usaha-usaha
terencana untuk merubah kebudayaan (yang menjadi pedoman kehidupan
menyeluruh untuk penemuan-penemuan kebutuhan-kebutuhan manusia) dari suatu
masyarakat dari yang semula kurang efektif dan kurang efisien dalam hal
kegunaannya untuk pemenuhan kebutuhan dan taraf kesejahteraan kehidupan para
penduduknya menjadi lebih efektif dan efisien dalam hal kegunaannya untuk
mengeksploitasi dan memanfaatkan sumber-sumber daya/energi yang ada dalam
lingkungan untuk peningkatan kesejahteraan kehidupan manusia.
176
kwantitas dan kwalitas yang ada pada sumber-sumber daya/energi yang ada dalam
lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada
tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan utama atau primer, dengan demikian
menuntut adanya dukungan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial
dan integratif, yang dapat berupa peningkatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
tersebut atau dapat juga berupa penghapusan sesuatu model pengetahuan yang
tidak relevan. Dengan demikian, usaha-usaha peningkatan taraf pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan primer, menghasilkan perubahan-perubahan kebudayaan dan
tradisi-tradisi yang berlaku sebelumnya.
177
kehidupan sosial, ekonomi, politik, keagamaan, kesenian, hiburan, dan lain-lainnya;
yang berlaku pada tingkat individual, komuniti maupun masyarakat/negara.
EKONOMI SUMBER-SUMBER
KAPITAL/UANG DAYA DARI
TEKNOLOGI LINGKUNGAN
ILMU
PENGETAHUAN
ORGANISASI
SOSIAL KESENIAN
178
dan konsumsi gizi makanan menjadi lebih baik angka kematian turun, persaingan
dan perebutan rezeki semakin keras dan landasan hubungan kekerabatan/keluarga
lebih penting daripada landasan hukum, dll, (c) urbanisasi dan migrasi yang tidak
terkontrol oleh berbagai sebab berasal dari faktor-faktor ekonomi, pendidikan, status
sosial, politik, dll. (d) peningkatan kejahatan (baik secara kwantitas, kwalitas dan
macamnya), ketidak jelasan antara milik umum/negara dengan hak pribadi yang
menyebabkan terwujudnya berbagai ketidaksesuaian/ketertiban sosial dan
sebagainya.
PROGRAM
PEMBANGUNAN - A Program Lingkungan Pemukiman Sehat
LINGKUNGAN
KEBUDAYAAB - A
PEMUKIMAN -ALP
Pembangunan
fisik LP
179
Tindakan perawatan
yang diharapkan
Dalam kenyataan terjadi variasi-variasi tindakan para warga masyarakat,
sebagai berikut:
XnLP : atau AxnLP : atau XanLP : atau XLP.
XnLP = Pelaku bertindak sesuai pengetahuan kebudayaan X (lama)
AXnLP = Pelaku bertindak sesuai dengan gabungan kebudayaan A yang
diinterpretasi berdasarkan pengetahuan kebudayaan X mengenal LPA.
XanLP = Pelaku bertindak sesuai dengan gabungan kebudayaan X yang
diinterpretasi berdasarkan pengetahuan kebudayaan A mengenai LPA,
XLP = Pelaku bertindak sesuai dengan kebingungannya, atau sesuai dengan
kebutuhannya “semau gue”
180
lainnya. Kesukaran dalam menunjukkan apa ciri-ciri kebudayaan Indonesia oleh
karena ciri-ciri yang menyolok dari sesuatu kebudayaan itu adalah hasil abstraksi
dari kenyataan-kenyataan empirik yang terwujud sebagai bentuk-bentuk kelakuan
yang menyolok dan terpola yang merupakan perwujudan dari kebudayaan yang
didukungnya yang menjadi pedoman menyeluruh dari kehidupannya. Kalau secara
ideal dan konfiguratif kita dengan mudah dapat mengatakan bahwa kebudayaan
Indonesia berlandaskan pada Pancasila, tetapi secara aktual kita mungkin
dihadapkan pada kenyatan-kenyataan empirik yang tidak sama dengan dan bahkan
mungkin bertentangan dengan kebudayaan yang ideal atau yang kita cita-citakan
sebagai kebudayaan Indonesia.
181
dapat tetap mempertahankan tradisi-tradisi kebudayaannya dalam kehidupan
keluarga dan keagamaan.
182
suasana nasional dan arena interaksi yang terwujud dalam struktur-struktur dan
pranata-pranata yang diciptakan oleh dan yang menjadi unsur-unsur pendukung dari
sistem nasional; (2) Kebudayaan sukubangsa yang berfungsi dan operasional
kegunaannya dalam suasana-suasana sukubangsa dan arena-arena interaksi yang
ada dalam pranata-pranata dan struktur-struktur yang terwujud dari kebudayaan
suku dan yang menjadi unsur pendukung bagi lestarinya kebudayaan sukubangsa
tersebut dan (3) Kebudayaan umum-lokal yang berfungsi dan operasional
kegunaannya dalam berbagai lapis kehidupan dalam pergaulan umum (ekonomi,
politik, sosial dan emosional) yang berlaku dalam lokal-lokal di daerah, yang dalam
hal ini kedudukan dan kegunaannya sama dengan lingua pranca dalam bahasa,
yang arena-arena kegiatannya terletak di luar kegiatan operasional dari kebudayaan
negara maupun kebudayaan sukubangsa walaupun secara fisik tempat-tempat dari
arena-arena kegiatan kebudayaan umum-lokal itu bisa sama dengan tempat-tempat
bagi arena-arena kegiatan yang berlandaskan kebudayaan nasional atau
sukubangsa.
183
kebudayaannya yang hidup bersama dalam wilayah atau di sekeliling wilayah
kebudayaan umum-lokal tersebut.
184
begitu saja diklaim (contohnya: tidak adanya ketertiban lalulintas, pemukiman liar,
dsb).
****
Kepustakaan
Bachtiar H.W., 1982, “Cultural System in Indonesia : Consensus and Conflict” Ilmu
Sosial Dasar. Bahan Bacaan Pengajar. Jilid II, Hal. 211-226.
Benedict. R., 1946, Pattern of Culture. New York: Mentor, The American Library.
Badley, J.H., 1975, Victims of the Miracle : Development and the Indians of Brasil,
New York: Cambridge University Press.
Kluckhon. C, 1949, Mirror for Man : The Relation of Anthropology to Modern Life.
New York: Mac Graw-Hill. (Terjemahan yang diringkas dapat dibaca
dalam edisi bahasa Indonesia: “Cermin Manusia”, dalam Manusia,
Kebudayaan, dan Lingkungannya. (di-edit oleh Parsudi Suparlan),
Jakarta: Rajawali, 1984).
Koentjaraningrat, 1979, Pengatar Ilmu Antropologi, Jakarta : Aksara Baru
Kroeber., A.L, 1952, The Nature of Culture, Chicago : The University of Chicago
Press.
Opler, M.E., 1945, “Themes as Dynamic Forces in Culture”, American Journal of
Sociology No. 51. hal 198-206
185
1946, “An Application of the Theory of Themes in Culture”. Journal of the
Washington Academy of Science. No. 36. hal 137-165.
Piddington, R., 1950, An Introduction to Social Anthropology, Jilid I. London : Oliver
and Boyd Publishers.
Suparlan, P., 1982, Pokok-pokok Pikiran Strategi Pengembangan Kebudayaan
Nasional Indonesia, Makalah disampaikan kepada Direktur Sejarah dan
Nilai Tradisional, Ditjen Kebudayaan, Dep. P dan K.
Spradley, J.P., 1972, “Foundation of Cultural Knowledge”. Dalam James P. Spradley
(Editor), Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans, San Francisco:
Chandler, hal 3-34).
186
3 Masyarakat
Majemuk dan
Perawatannya
Pendahuluan
A
sal muasal dari konsep masyarakat majemuk (plural society) yang dikenal
dalam ilmu-ilmu sosial sebenarnya mengacu pada tulisan Furnivall (1948a),
yang mengidentifikasi masyarakat jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah
masyarakat majemuk. Yaitu, sebuah masyarakat yang terdiri atas kumpulan orang-
orang atau kelompok-kelompok, yang berbaur tetapi tidak menjadi satu. Masing-
masing kelompok mempunyai agama, kebudayaan dan bahasa, serta cita-cita dan
cara-cara hidup mereka masing-masing. Sebagai individu mereka itu saling bertemu,
tetapi hanya di pasar. Masyarakat seperti ini terdiri atas bagian-bagian yang
merupakan komuniti-komuniti yang hidup saling berdampingan dalam sebuah satuan
politik, tetapi saling terpisah atau tidak merupakan sebuah kesatuan. Mereka itu
merupakan sebuah masyarakat karena dipersatukan secara paksa, tidak karena
secara sukarela. Kekuasaan yang absolut berada di tangan sejumlah elite, yang
merupakan penguasa jajahan yang dominan, yang menuntut penyerahan absolut
dari warga masyarakat jajahan demi kepentingan penguasa jajahan tersebut.
Apa yang menarik dari uraian Furnivall (1948a) antara lain adalah, penguasa
masyarakat jajahan atau masyarakat majemuk itu sebenarnya hanya berkuasa untuk
memantapkan kepentingan ekonomi mereka. Kekuasaan dengan paksa atau
kekerasan, yang menggunakan tentara dan polisi, adalah untuk menegakkan
kekuasaan demi kepentingan ekonomi para penguasa, dan bukan untuk
menciptakan tertib hukum dan keteraturan sosial yang menjamin terwujudnya
kesejahteraan hidup warga masyarakat jajahan. Sebaliknya, warga masyarakat
187
jajahan untuk dapat tetap hidup dan melanjutkan kehidupannya, harus dapat
menyenangkan hati tuan-tuan penjajah dengan cara melayaninya, dan hidup dengan
cara meniru kebudayaan penjajah yang coraknya eksploitatif terhadap masyarakat
jajahan yang dikuasainya, dan terhadap lingkungan serta sumberdaya-
sumberdayanya yang dianggap sebagai miliknya. Atau, bila tidak, mereka itu harus
menjadi pemberontak yang siap untuk ditumpas oleh tentara dan polisi. Karena itu,
Furnivall mengatakan bahwa masyarakat jajahan seperti Hindia Belanda itu tidak
mempunyai ‘common will’ sebagaimana terdapat dalam kehidupan sesuatu bangsa,
yang dapat menyebabkan mereka - sebagai bangsa - dapat bertahan dari serangan
luar, maupun dari perpecahan dan kehancuran dari dalam bangsa itu sendiri.
188
adanya ketidakpatuhan dan penentangan terhadap tindakan-tindakan eksploitatif
yang rakus dan sewenang-wenang dari para penguasa tersebut. Dampak dari
kekerasan dan kekejaman terhadap warga masyarakat tersebut oleh negara adalah,
pada waktu rezim otoriter tersebut runtuh, maka berbagai bentuk kekerasan dan
kerusuhan yang dapat berpotensi disintegrasi masyarakat majemuk tersebut tidak
dapat dihindari. Merupakan pengecualian adalah Afrika Selatan yang tidak
mengalami kegoncangan-kegoncangan sosial, ekonomi, dan politik dan mengancam
integrasinya. Tishkov (1997) menggambarkan konflik-konflik yang terjadi di Soviet
Russia yang acuannya adalah solidaritas kesukubangsaan, baik semasa zaman
komunis maupun setelah runtuhnya rezim komunis, kesukubangsaan tersebut
menjadi landasan bagi pemunculan nasionalisme baru yang merupakan ancaman
disintegrasi Soviet Russia setelah runtuhnya rezim komunis. Soviet Russia telah
hancur berantakan, begitu juga dengan Yoguslavia. Indonesia sedang mengalami
disorganisasi, oleh adanya kerusuhan dan kekerasan berdarah antar-sukubangsa,
keyakinan keagamaan, dan asal daerah atau komuniti yang berbeda. Di samping itu,
ancaman disintegrasi tersebut juga berasal dari adanya tuntutan dari sejumlah
propinsi untuk merdeka, terlepas dari negara kesatuan Indonesia.
189
masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik yaitu sebuah negara
kesatuan yang bercorak republik, yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi,
yang menempati sebuah wilayah yang berada di bawah kekuasaan negara
Indonesia. Dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, masalah-masalah yang
kritikal yang biasanya dihadapi adalah hubungan antara sistem nasional atau
pemerintahan negara, dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang menjadi
rakyat negara tersebut, hubungan di antara sukubangsa-sukubangsa yang berbeda
kebudayaannya (termasuk keyakinan-keyakinan keagamaannya), dan hubungan di
antara sesama warga masyarakat di tempat-tempat umum, terutama di pasar dan
berbagai pusat kegiatan pelayanan ekonomi.
190
Implikasi lebih lanjut dari kebijakan politik kebudayaan ini adalah ‘hak budaya
dari komuniti atau masyarakat sukubangsa’ dipreteli atau ditiadakan, yaitu untuk
diseragamkan menjadi hak budaya masyarakat propinsi. Hak budaya komuniti
sukubangsa yang secara tradisional mencakup hak untuk hidup sesuai dengan dan
berpedoman pada kebudayaan masing-masing, hak-hak budaya atas tanah, hutan,
dan air (yang biasanya dinamakan sebagai hak ulayat sesuai dengan adat) dengan
demikian dianggap tidak ada. Hal itu memudahkan dan melegitimasi berbagai bentuk
penggusuran masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat (yang dinamakan
sebagai masyarakat terasing oleh Dep. Sosial, R.I. di masa Orde baru) dan aneksasi
serta penguasaan wilayah-wilayah tanah, hutan, dan air oleh oknum-oknum
penguasa sistem nasional dan kroni-kroninya. Padahal apa yang telah dilakukan
tersebut bertentangan dengan pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945. Penggusuran
masyarakat setempat dan perampasan hak ulayat tersebut telah dimungkinkan untuk
dilegitimasi karena tidak adanya mekanisme kontrol terhadap rezim yang otoriter.
191
anti ‘pusat’ yang eksploitatif tersebut seringkali berubah menjadi anti Jawa
(perhatikan kampanye anti ‘pusat’ yang dilakukan oleh tokoh-tokoh GAM yang
menyatakan ‘pusat’ sama dengan Jawa). Padahal mereka yang tinggal di Pulau
Jawa, dan bahkan di Jakarta, juga cukup banyak menderita karena ulah oknum-
oknum tersebut.
Seorang teman di Universitas Indonesia beberapa waktu yang lalu
mengatakan kepada saya:
“Kita semua telah menjalani hidup di zaman Orde baru, dan kita tahu
betapa besarnya kekuasaan pemerintah dan terutama kekuasaan
presiden Suharto dan keluarganya. Hampir dapat dikatakan tidak ada
batasnya. Di antara kita ada yang dapat memanfaatkan tantangan
kekuasaan yang tanpa batas tersebut sebagai peluang untuk menangguk
rezeki dan jabatan. Tetapi, lebih banyak di antara kita yang hidupnya
pas-pasan. Bahkan, ada di antara teman-teman kita yang menjadi
oknum dan korup, yang bisa memperkaya diri dengan cara
menyengsarakan orang lain, dengan alasan gaji kecil cuma cukup
untuk kebutuhan makan. Tetapi, ada juga di antara teman-teman kita
yang tidak sempat menjadi oknum, bahkan harus menjadi korban
oknum yang teman satu kantor”.
Hampir di semua masyarakat yang otoriter, gaji pegawai negeri sipil dan
militer amat kecil. Yang besar adalah fasilitas dan pendapatan tambahan atau
tunjangan yang diterima karena jabatan yang didudukinya. Sistem penggajian seperti
ini sebenarnya dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi kesetiaan para abdi
negara tersebut. Mereka yang setia akan mendapat jabatan dan fasilitas serta uang
tunjangan jabatan. Di samping itu, pejabat-pejabat juga mendapat komisi dari
proyek-proyek kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh kantornya. Semakin
tinggi jabatannya semakin besar prosentase dari komisi yang diterimanya, dan
semakin banyak proyeknya akan besar pula uang komisi yang akan diterimanya.
Mereka yang tidak menjadi pejabat atau yang tidak diikutsertakan dalam suatu
proyek oleh atasannya, akan hanya hidup dari gaji bulanannya saja. Mereka ini akan
dengan sadar atau tidak berupaya untuk melakukan tindakan-tindakan korupsi.
Bahkan, mereka yang sudah memperoleh komisi dari proyek pun, bila dapat
192
melakukan korupsi akan dilakukannya juga. Bisa dalam bentuk uang pelicin dari
perusahaan untuk memudahkan dan mempercepat perizinan, atau memberikan
suatu proyek pembangunan kepada anggota keluarga atau kerabatnya, dan
berbagai cara lain yang menguntungkannya. Bahkan, uang pelicin ini juga ditutut dari
mereka yang membutuhkan pelayanan yang memang sudah menjadi tugas
jabatannya, seperti pembuatan KTP, pembuatan SIM dan perpanjangannya,
pembuatan akte kelahiran, perizinan peruntukan bangunan, penerimaan mahasiswa
atau siswa baru, dan sebagainya.
Pemerintah yang otoriter, sadar atau tidak sadar, telah menghasilkan rasa
takut yang meluas dan mencekam karena adanya ancaman yang mereka bayangkan
atas diri serta keluarga dan harta benda mereka. Hak-hak individual atau harga diri
menjadi menciut atau menghilang, bukan semata-mata karena adanya ancaman
yang nyata, tetapi juga karena adanya ancaman mengerikan yang mereka
bayangkan. Rasa aman biasanya muncul pada waktu mereka merasa ada yang
melindungi atau yang menjadi patron, bisa oknum atau preman. Untuk itu, mereka
harus mengeluarkan biaya untuk jaminan rasa aman tersebut. Adanya kerabat yang
menjadi anggota ABRI atau pejabat, dapat pula menjadi pelindung rasa aman
mereka.
193
Rasa terpuruk karena ketidakadilan sosial, ekomoni, politik, dan budaya
menjadi meluas selama pemerintahan Orde baru, baik secara individual maupun
secara kolektif. Keterpurukan ini ditambah lagi dengan musibah ‘krismon’ yang
menjadi krisis ekonomi secara nasional. Keruntuhan rezim Orde Baru, dengan
lengsernya presiden Suharto, tidak terjadi semata-mata karena demonstrasi oleh
mahasiswa dan umum di Indonesia, tetapi juga karena negara-negara donor, yang
melihat investasi mereka di Indonesia menjadi sangat mahal karena praktek-praktek
korupsi dan kronisme. Besarnya biaya overhead yang harus mereka keluarkan
menyebabkan bahwa mereka juga menjadi pelanggar HAM, karena upah buruh
harus ditekan bila mereka itu masih ingin untung. Negara-negara donor ini juga
melihat bahwa perang dingin telah usai dengan runtuhnya tembok kota Berlin berikut
keruntuhan rezim-rezim komunis, sehingga politik pembendungan (the politics of
containment) terhadap komunisme tidak diperlukan lagi. Fungsi Suharto dalam politik
pembendungan ini tidak ada lagi, karena struktur kekuatan komunisme telah hancur
berantakan. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa pada masa pasca politik
pembendungan, negara-negara otoriter yang dulunya adalah rezim otoriter yang
didukung oleh negara-negara donor karena anti komunis, satu demi satu diruntuhkan
oleh kekuatan-kekuatan demokrasi. Di Asia Tenggara, mungkin hanya pemerintah
Myanmar dan Indonesia di bawah presiden Suharto yang masih otoriter dan
militeristik.
“Mana mungkin tentara akan memihak kepada mahasiswa. Selama ini tentara kan
menikmati posisinya yang dominan yang secara sah mereka punyai. Mana mau
194
prajurit-prajurit disuruh kembali ke barak. Kalau kembali ke barak mana bisa mereka
itu hidup. Gajinya kan cuma cukup untuk hidup seminggu”.
Tiga minggu yang lalu si mahasiswa tersebut bertemu dengan saya. Dia
mengatakan kepada saya:
‘Lihat pak. Betul kan kata saya. Militer terlibat dalam kerusuhan,’ sambil
menunjukkan pernyataan Dr. Thamrin Tomagola di koran dan tabloid yang selama ini
disimpannya. Saya katakan bahwa saya melihat kerusuhan-kerusuhan di Indonesia,
di Kalimantan Barat, Ambon, Maluku, Aceh, dan di banyak tempat lainnya yang telah
terjadi karena dipicu oleh para preman (lihat Suparlan 1999a, 2000; Suparlan dkk.
1999). Kalau diperhatikan lebih lanjut, kerusuhan terjadi karena ketidakpuasan dari
masyarakat setempat atas perbuatan sewenang-wenang preman; dan, ditambah lagi
dengan adanya campur tangan politik pada tingkat lokal oleh oknum-oknum pusat,
sebagaimana dikemukakan oleh Boedhisantoso (Suparlan dkk. 1999).
195
bermula dari perbuatan kriminal yang dilakukan oleh preman Madura terhadap warga
sebuah desa di Kabupaten Sambas.
Agama tradisi besar atau agama wahyu di Indonesia pada dasarnya adalah
agama sukubangsa. Karena agama-agama tradisi besar tersebut (Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha) telah masuk dan diterima oleh masyarakat-masyarakat
sukubangsa di Indonesia sebelum adanya Indonesia pada tahun 1945. Agama-
agama tradisi besar yang berisikan petunjuk-petunjuk hidup di dunia dan akhirat bagi
pemeluknya masing-masing, pada dasarnya berisikan ajaran etika dan moral yang
mengangkat derajat kemanusiaan manusia. Agama-agama tradisi besar ini juga
membedakan secara tegas antara mereka yang percaya dan yang tidak percaya. Di
Indonesia, sejumlah agama tradisi besar dipeluk oleh warga sebuah masyarakat
sukubangsa, sehingga sebuah sukubangsa mempunyai warga yang berbeda-beda
keyakinan keagamaan mereka. Karena itu, di banyak sukubangsa di Indonesia,
antara lain sukubangsa-sukubangsa yang hidup di pulau Seram dan Ambon dan di
sejumlah pulau di Maluku Selatan, terdapat pranata pela gandong; yang arti
196
harafiahnya adalah satu saudara sekandung. Pela gandong mencakup hak dan
kewajiban diantara kelompok-kelompok kerabat (kampung-kampung) yang
beragama Kristen dan Islam, yang intinya menekankan kehidupan bersama yang
rukun walaupun berbeda agama. Bila dilanggar maka akan ada sanksi-sanksi gaib
yang menimpa si pelanggar. Hubungan pela gandong antara dua kelompok kerabat
dibakukan dengan diadakannya sebuah upacara sakral, yang paling lambat setiap
lima tahun sekali upacara tersebut dilakukan kembali. Konflik atau perang di antara
kampung-kampung yang berbeda agamanya dan tidak terikat dalam hubungan pela
gandong dapat terjadi, sedangkan konflik di antara kampung-kampung berbeda
agama yang terikat oleh hubungan pela gandong tidak mungkin terjadi.
Di samping berbagai kerusuhan yang dipicu oleh para preman, terdapat juga
potensi disintegrasi yang disebabkan oleh adanya perlakuan tidak adil yang
bersumber pada eksploitasi sumberdaya-sumberdaya alam secara rakus selama
pemerintahan Orde Baru, seperti yang terjadi di Irian Jaya (Papua) dan Riau yang
menuntut untuk merdeka dan bebas dari kedaulatan negara Republik Indonesia. Di
Riau tidak pernah ada bibit-bibit nasionalisme Riau atau nasionalisme Melayu;
sedangkan di Irian Jaya (Papua) terdapat bibit-bibit nasionalisme Papua, sebagai
peninggalan dari pemerintah jajahan Belanda di Papua. Bibit nasionalisme ini ada
dan berkembang di antara mereka yang terpelajar yang mengenyam pendidikan
Belanda, dan terorganisasi dalam apa yang dinamakan sebagai OPM (Organisasi
Papua Merdeka) yang bergerak di bawah tanah.
Mereka ini pada mulanya berjumlah sedikit, dan orientasi politik mereka
adalah pada Belanda. Pemerintah Orde Baru yang otoriter dan eksploitatif terhadap
sumberdaya-sumberdaya alam, termasuk di Papua, telah antara lain menyebabkan
popularitas OPM sebagai organisasi yang tetap berjuang menolak pemerintahan
Orde Baru di Papua. Kalau kita perhatikan lebih lanjut, di antara mereka yang
mendukung OPM juga banyak yang pada mulanya mendukung Republik Indonesia
di Papua. Tetapi mereka yang mendukung Republik Indonesia ini menjadi tergelincir
ke dalam OPM, karena berbagai bentuk kesewenang-wenangan dan eksploitasi
yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Inti permasalahannya adalah, bahwa
keberadaan dan berkembang biaknya OPM bukan karena kesadaran nasionalisme
Papua, melainkan karena respon mereka terhadap ketidakadilan dan kesewenang-
197
wenangan pemerintah Orde Baru sehingga perlawanan OPM menjadi juga
perlawanan warga masyarakat Papua terhadap Indonesia. Bentuk perluasan serta
pengembangan dari OPM ini dapat membangkitkan bibit-bibit nasionalisme baru
Papua, yang dapat merupakan potensi disintegrasi Indonesia.
Apa yang terjadi di Aceh juga pada dasarnya sama dengan apa yang terjadi di
Papua. Bila sekiranya tidak terjadi perbuatan sewenang-wenang oleh aparat
keamanan dan preman-preman terhadap warga masyarakat Aceh, dan bila
sekiranya tidak terdapat kerakusan yang berlebihan dalam penguasaan dan
eksploitasi sumber-sumber daya alam oleh oknum-oknum pemerintah dan kroni-
kroninya, barangkali GAM akan mati sendiri. Pada dasarnya lebih banyak
pendukung Republik Indonesia dibandingkan dengan pendukung GAM, sebelum
tejadinya kerusuhan Aceh sekarang ini.
Apa yang patut kita pikirkan bersama pada masa sekarang ini adalah ‘Hak
Budaya Komuniti’ atau masyarakat setempat. Berbagai bentuk penggusuran di masa
lampau telah dilakukan oleh pemerintahan presiden Suharto. Di masa kini,
penghancuran kampung-kampung, desa-desa, dan komuniti sedang dan terus
berlangsung dalam dan melalui kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Belum juga hak
hidup sebuah komuniti yang mempunyai corak kebudayaan yang berbeda dari
masyarakat setempat berada dalam ancaman untuk digusur oleh masyarakat
setempat yang merasa paling asli di wilayah tersebut, pada masa sekarang. Di Aceh
misalnya, mereka yang bukan orang Aceh, terutama orang Jawa, digusur dari Aceh.
198
Hal yang sama juga terjadi di Kalimantan Barat, yang telah dilakukan oleh
Orang Melayu Sambas terhadap Orang Madura. Padahal hampir sebagian besar
Orang Madura, yang tergusur dari desa-desa mereka di Sambas dan menjadi
pengungsi di Pontianak adalah generasi kedua atau lebih Orang Madura di Sambas.
Mereka sudah tidak punya tanah air lagi di Madura, dan merasa Sambaslah tanah air
mereka. Hal yang sama juga terjadi di Ambon, Maluku Utara, dan di beberapa
tempat lainnya di Indonesia. Kalau perjuangan HAM, atau hak individual, di masa
lampau dapat berhasil dan menjadi ketentuan hukum; apakah ‘ hak budaya komuniti’
itu tidak mungkin untuk diperjuangkan sebagai ketentuan hukum, sehingga secara
langsung atau tidak langsung akan meredam berbagai bentuk kerusuhan yang
mengancam disintegrasi bangsa dan negara Indonesia? Karena, kerusuhan-
kerusuhan yang terjadi selalu berupa penghancuran kampung atau desa yang
merupakan wadah kehidupan masyarakatnya.
199
• Hukum harus ditegakkan untuk menjamin terwujudnya keteraturan di
dalam kehidupan masyarakat, sehingga warga masyarakat dapat
melakukan kegiatan-kegiatan berproduksi sesuai bidang masing-masing
untuk kesejahteraan demi kelangsungan hidup masyarakat.
Bila syarat pertama tersebut dapat dipenuhi, maka syarat kedua akan
mencakup pemahaman yang benar mengenai konsep demokrasi dan penerapannya
dalam berbagai pranata nasional. Pemerintahan oleh rakyat dan untuk kepentingan
rakyat haruslah dipegang teguh. Prinsip yang berlaku dalam demokrasi adalah
konflik di antara unsur-unsur yang tercakup di dalamnya. Konflik bukan untuk saling
menghancurkan, melainkan untuk saling memeriksa guna terwujudnya
keseimbangan (checks and balances), terutama dalam kaitan hubungan antara
eksekutif, legislatif, dan judikatif. Prinsip ini mungkin tidak hanya berlaku pada tingkat
supra-nasional, tetapi juag pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, yaitu pada tingkat
propinsi, kabupaten, kotamadya, dan kecamatan.
200
mengatur individu dan komuniti atau masyarakat, dengan hak individu atau HAM,
dan dengan hak budaya komuniti atau masyarakat yang tercakup dalam sebuah
satuan politik. Tiga unsur tersebut sama-sama sakralnya, dan harus berada dalam
hubungan keseimbangan di antara konflik-konflik yang terjadi di antara ketiga unsur
tersebut. Pada satu saat, untuk sesuatu kepentingan tertentu, pemerintah atau
negaralah yang dimenangkan, sedangkan pada saat lainnya individu yang harus
diutamakan. Pada saat lainnya lagi, kepentingan komuniti atau masyarakat harus
dimenangkan dalam pertentangannya dengan kepentingan negara dan kepentingan
individu.
201
Ideologi tentang pentingnya hak budaya komuniti harus mulai disebarluaskan
sejak sekarang dengan alasan bahwa hak budaya komuniti adalah salah satu tiang
penyangga tegaknya masyarakat sipil yang demokratis. Amerika Serikat sebagai
negara demokratis mempunyai kebudayaan yang nilai-nilai budayanya sakral
mencakup tiga unsur tersebut (lihat Suparlan 1991). Karena itu, masyarakat Amerika
tetap tegak dan berjaya dalam perang melawan otoritarianisme dan komunisme, dan
dalam menghadapi berbagai gejolak sosial dan politik sukubangsa dan rasial.
Yang terakhir atau keempat, tatanan hukum yang berlaku di Indonesia yang
berasal dari pemerintahan penjajah Belanda sudah waktunya untuk diubah menjadi
tatanan hukum yang mendukung cita-cita terwujudnya masyarakat sipil yang
demokratis, yang menghargai hak-hak individu dan hak-hak budaya komuniti dalam
kaitan hubungannya dengan hak-hak berkuasa dari pemerintah atau negara.
Permasalahan hak budaya komuniti ini menjadi kritikal, karena dalam peraturan
pemerintah mengenai otonomi daerah, hak budaya komuniti ataupun kebudayaan
masyarakat-masyarakat sukubangsa yang hidup dalam wilayah propinsi atau
kabupaten itu tidak diperhatikan. Yang dapat menjadi potensi bagi gagalnya upaya
pelaksanaan otonomi daerah, bisa antara lain disebabkan oleh adanya
pendominasian struktur politik lokal oleh golongan sukubangsa yang mayoritas dan
dominan. Sukubangsa-sukubangsa yang kecil jumlah warganya dan minoritas
posisinya akan terpuruk kehidupannya. Karena itu, ketentuan hukum mengenai hak
budaya komuniti juga seharusnya mencakup ketentuan hukum yang diberlakukan
pada tingkat propinsi dan kabupaten. Permasalahan lainnya yang bisa menjadi
potensi kegagalan pelaksanaan otonomi daerah adalah konsep mengenai warga
masyarakat setempat. Kecenderungannya ialah,adanya anggapan bahwa otonomi
daerah itu diperuntukan bagi masyarakat sukubangsa asli setempat. Orang-orang
asal pendatang yang tinggal dalam wilayah tersebut, walaupun lahir dan dibesarkan
di situ tetap dianggap sebagai ‘orang luar’ yang hak-haknya dibedakan dari yang asli.
Masalah ini patut dipikirkan secara sungguh-sungguh, mengingat pola-pola
kerusuhan yang terjadi sekarang di beberapa tempat di Indonesia adalah pengusiran
terhadap mereka yang dianggap sebagai ‘orang luar’ oleh mereka yang menganggap
dirinya asli setempat. Bila hal ini tidak kita pikirkan secara sungguh-sungguh, maka
politik sukubangsa dari masyarakat setempat yang merasa asli dan dominan akan
202
berakibat pada tidak mungkinnya membangun kembali masyarakat Indonesia yang
‘bhinneka tunggal ika’.
*****
Kepustakaan
Barth, F., 1969, ‘Introduction’, dalam F. Barth (peny.) Ethnic Groups and Boundaries..
Boston: Little, Brown. Hal. 9 – 38
Berghe, P. van den, 1990 “Introduction”. Dalam Pierre. van den Berghe (Editor),
State Violence and Ethnicity. Hyal. 1-18. . London: Sage.
Dew, E., 1978 The Difficult Flowering of Surinam: Ethnicity and Politics in a Plural
Society. . The Hague: Martinus Nijhoff.
Furnivall, J.S., 1948a Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma
and the Netherlands India. . New York: New York University Press.
–––––––––, 1948b Netherlands India:: A Study of Plural Ecdonomy.. London:
Cambridge university Press.
Lijphart, A., 1969 ‘Consociational Democracy’. World Politicas, 21: 207 – 205
Suparlan, Parsudi., 1979 “EthnicGroups of Indonesia”. The Indonesian Quarterly,
7, 2 , hal.:55 – 73.
203
–––––––––, 1991 ‘Yang Sakral dalam Nilai-Nilai Budaya Amerika’, Jurnal Studi
Amerika, vol.I, no.2, hal. 4 – 11.
–––––––––, 1995a The Javanese in Surinam: Ethnicity in an ethnically plural
society.. Tempe, Arizona: Program for Southeast Asian Studies, Arizona
State University.
–––––––––, 1995b Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat
Indonesia. . Jakarta: Yayasan OBOR.
–––––––––, 1999a Laporan Kerusuhan Sambas. Laporan terbatas disampaikan
kepada Kapolri..
_________ 1998b. Laporan Kerusuhan Ambon. Laporan terbatas disampaikan
kepada Kapolri.
–––––––––, 1999b “Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke
Multikulturalisme”, Jurnal Studi Amerika, no. 5, hal 35 – 43.
–––––––––, 2000 Ethnic and Religious Conflict in Indonesia. Makalah disampaikan
sebagai ceramah khusus di Departement of Anthropoligy, University of
Illinois, Urbana, Illinois, 27 April 2000
Tishkov, V., 1997 Ethnicity and Nationalism in and after the Sovjet Union.
London: Sage.
204
4 Konflik Sosial
dan Alternatif
Pemecahannya
Pendahuluan
K
onflik dapat dilihat sebagai sebuah perjuangan antar individu atau kelompok
untuk memenangkan sesuatu tujuan yang sama-sama ingin mereka capai.
Kekalahan atau kehancuran pihak lawan dilihat oleh yang bersangkutan
sebagai sesuatu tujuan utama untuk memenangkan tujuan yang ingin dicapai.
Berbeda dengan persaingan atau kompetisi, dimana tujuan utama adalah
pencapaian kemenangan melalui keunggulan prestasi dari yang bersaing, maka
dalam konflik tujuannya adalah penghancuran pihak lawan sehingga seringkaIi
tujuan untuk memenangkan sesuatu yang ingin dicapai menjadi tidak sepenting
keinginan untuk menghancurkan pihak lawan. Konflik sosial yang merupakan
perluasan dari konflik individual, biasanya terwujud dalam bentuk konflik fisik atau
perang antar dua kelompok atau lebih, yang biasanya selalu terjadi dalam keadaan
berulang.
Sesuatu konflik fisik atau perang biasanya berhenti untuk sementara karena
harus istirahat supaya dapat melepaskan lelah atau bila jumlah korban pihak lawan
sudah seimbang dengan jumlah korban pihak sendiri. Setelah istirahat konflik
diteruskan atau diulang lagi pada waktu atau kesempatan yang lain setelah
itu.Contoh klasik dari proses-proses konflik tersebut dapat dilihat dalam kehidupan
orang Dani dan Orang Yale yang hidup di pegunungan Jayawijaya, lrian Jaya. Orang
Dani secara tradisional dari waktu ke waktu hidup dalam keadaan perang antar
kelompok kerabat atau klen atau moiety yang terwujud sebagai perang antar desa
atau federasi desa (lihat Heider 1970). Hal yang sama juga berlaku dalam kehidupan
Orang Yale, yang hidup di wilayah bagian timur dari Orang Dani (lihat Koch 1971:
205
359-365). Menurut Koch (1971: 360), sesuatu perang sebagai sebuah simptom,
pada umumnya terjadi karena ketidakadaan, tidak cukupnya, atau telah hancurnya
prosedur-prosedur yang dapat digunakan untuk menjembatani perbedaan-
perbedaan yang dapat memecahkan dan menghentikan perang atau konflik tersebut.
Dalam karya klasik tokoh sosiologi Talcott Parsons dan Edward Shills (1951),
dinyatakan bahwa proses-proses sosial yang terwujud sebagai tindakan-tindakan
sosial pada dasarnya adalah untuk dapat saling bekerjasama diantara para pelaku
yang warga masyarakat. Karena itu, proses-proses sosial mempunyai fungsi-fungsi
yang menekankan tujuan untuk terwujudnya kehidupan sosial dan kemasyarakatan
yang bercorak keseimbangan atau ekuilibrium diantara unsurunsurnya, sehingga
menghasilkan adanya integrasi sosial dan integrasi kemasyarakatan. Oleh Parsons
dan pengikutnya, tindakan-tindakan yang terwujud sebagai konflik dilihat sebagai
penyimpangan atau tidak fungsional dalam kehidupan manusia.
206
kekuatan, yang bukan semata-mata dikarenakan oleh sebab-sebab ekonomi
sebagaimana dikemukakan oleh Karl Marx, tetapi karena berbagai aspek yang ada
dalam masyarakat. Yang dilihatnya sebagai organisasi sosial. Lebih lanjut
dikatakannya bahwa organisasi menyajikan pendistribusian kekuatan sosial kepada
warganya secara tidak merata. Oleh karena itu warga sebuah masyarakat akan
tergolong dalam mereka yang mempunyai dan yang miskin dalam kaitannya dengan
kekuatan sosial atau kekuasaan. Karena organisasi itu juga membatasi berbagai
tindakan manusia maka pembatasan-pembatasan tersebut juga hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan. Sedangkan mereka yang miskin
kekuasaan, yang terkena oleh pembatasan-pembatasan secara organisasi oleh yang
mempunyai kekuasaan, akan berada dalam konflik dengan mereka yang mempunyai
kekuasaan. Oleh Dahrendorf konflik dilihat sebagai sesuatu yang endemik atau yang
selalu ada dalam kehidupan manusia bermasyarakat.
207
tersebut jujur dan adil dalam kompetisi tersebut, dan bila ada wasit dan/atau juri yang
menjaga keberlangsungan keadilan dan kejujuran selama kompetisi tersebut
berlangsung. Inipun masih harus didukung juga oleh adanya penonton yang
mengawasi bagaimana wasit dan/atau juri tersebut menjalankan peran-perannya.
Bila dirasa kurang, maka bila perlu, dibentuk komisi yang akan menilai keputusan-
keputusan wasit dan/atau juri dalam memimpin dan menilai kompetisi yang telah
berlangsung. Sehingga individu-individu dalam kompetisi tim seperti basket misalnya,
mau tidak mau akan harus bermain secara sportif atau mereka secara individu akan
merugikan tim atau kelompoknya karena berbagai bentuk hukuman yang dijatuhkan
oleh wasit dan/atau juri atas pelanggaran-pelanggaran mereka sebagai individu
anggota tim dalam kompetisi yang berlangsung.
Model keteraturan dari Coakley atau Bailey, seperti tersebut di atas, adalah
model yang berlaku dalam masyarakat yang menganut prinsip demokrasi. Model ini
bertentangan dengan model ekuilibrium dari Talcott Parsons dan Edward Shills yang
biasanya digunakan dalam sistem pemerintahan yang pseudi-demokrasi atau
otoriter. Disamping model Machiavelli, model ekuilibrium ini secara menyolok telah
digunakan dalam pemerintahan Orde Baru untuk menciptakan kestabilan, dan
208
karena itu diacu untuk meredam konflik-konflik dan perbedaan-perbedaan serta
individualitas (yang acuan dasarnya adalah individualisme) yang ada dalam
masyarakat Indonesia. Dalam paradigma ekuilibrium, konflik dan dinamika kehidupan
masyarakat yang anti kestabilan adalah bentuk-bentuk penyimpangan yang tidak
fungsional dalam kehidupan. Oleh karena itu, semua bentuk ungkapan yang berbeda
dalam kebijaksanaan pemerintah dilihat sebagai penyimpangan yang harus
ditiadakan. Penekanan dari kestabilan sosial dalam zaman Orde Baru adalah gotong
royong dan anti individualitas dan individualisme dan karena itu memuja
keseimbangan, dan keserasian. Ungkapan-ungkapan dan tindakan-tindakan
individualisme dan individualitas, dalam zaman Orde Baru , hanya mungkin dilakukan
oleh mereka yang mempunyai kekuasaan dan karena mereka itu yang berkuasa
maka tindakan-tindakan mereka tidak digolongkan sebagai penyimpangan oleh
pemerintah, sebagaimana dikemukakan oleh Dahrendorf tersebut di atas. Aturan
main yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Orde Baru adalah aturan main yang
ditentukan dari atas ke bawah (top down), yang tidak selamanya dapat diterima oleh
mereka yang di bawah tetapi harus diterima karena kalau tidak maka mereka
dianggap menyimpang atau tidak fungsional dalam kehidupan Orde Baru.
Model gotong royong dan anti individualisme atau anti individualitas dengan
aturan main yang datangnya dari atas selama pemerintahan Orde Baru, telah
menghasilkan berbagai bentuk konflik terselubung. Konflik tersebut tidak terwujud
sebagai konflik terbuka karena tidak seimbangnya hubungan kekuatan sosial yang
dipunyai oleh yang berkuasa dengan yang dipunyai oleh yang dikuasai atau rakyat,
sehingga rakyat tidak berani menentang kekuasaan pemerintah secara berterang-
terangan. Konflik terselubung tersebut terjadi antara mereka yang menikmati
berbagai bentuk kekuasaan dan fasilitas pemerintahan Orde Baru dengan mereka
yang tersingkirkan atau dimiskinkan kemampuan kekuatan sosialnya oleh
kemapanan kekuasaan Orde Baru, sebagaimana dikemukakan oleh Dahrendorf
tersebut di atas. Begitu juga kebencian yang mendalam terhadap kemapanan
kekuasaan sebagai akibat dari ketersingkiran atau pemiskinan kekuatan sosial yang
diderita oleh sebagian warga masyarakat, yang mereka anggap sebagai tidak adil
atau sewenang-wenang oleh mereka yang tersingkir, yang secara sadar atau tidak
sadar telah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru, yang kebencian tersebut baru
dapat meledak setelah keruntuhan pemerintahan Orde Baru. Karena, dengan
209
kekuatan ABRI (militer dan kepolisian) yang begitu besar, tidak ada sesuatu
kekuatan sipil apapun pada waktu itu yang berani untuk dan mampu berbeda
pendapat dengan pemerintah; apalagi bertentangan dengan kebijaksanaan-
kebijaksanaannya. Dalam masa reformasi sekarang ini, dimana proses-proses
demokratisasi menuju kematangannya, barulah berbagai bentuk ketidakadilan dan
penderitaan, karena kesewenang-wenangan yang diderita oleh masyarakat meledak
dalam berbagai bentuk konflik sosial; dan kerusuhan massa. Baik terhadap
pemerintahan Orde Baru sebagai pranata politik, dan terhadap tindakan-tindakan
pemerintahan Orde Baru dan oknum-oknumnya serta kronikroninya, maupun
terhadap ABRI yang menjadi tulang punggung kekuatan kekuasaan pemerintahan
Orde Baru.
Potensi-Potensi Konflik
Bila kita mengikuti model Dahrendorf di atas, maka secara hipotetis kita
ketahui bahwa dalam setiap masyarakat terdapat potensi-potensi konflik karena
setiap warga masyarakat akan mempunyai kepentingan yang harus dipenuhi yang
dalam pemenuhannya akan harus mengorbankan kepentingan warga masyarakat
lainnya. Upaya pemenuhan kepentingan yang dilakukan oleh seseorang yang
mengorbankan kepentingan seseorang lainnya dapat merupakan potensi konflik, bila
dilakukan tanpa mengikuti aturan main (yang terwujud sebagai hukum, hukum adat,
adat, atau konvensi sosial yang berlaku setempat) yang dianggap adil dan beradab.
Sedangkan bila dalam masyarakat tersebut ada aturan-aturan main yang diakui
bersama oleh warga masayarakat tersebut sebagai adil dan beradab, maka potensi-
210
potensi konflik akan mentransformasikan diri dalam berbagai bentuk persaingan.
Jadi, potensi-potensi konflik tumbuh dan berkembang pada waktu dalam hubungan
antar individu muncul dan berkembang serta mantapnya perasaan-perasaan yang
dipunyai oleh salah seorangpelaku akan adanya perlakuan sewenang-wenang dan
tindakan-tindakan tidak adil serta biadab yang dideritanya yang diakibatkan oleh
perbuatan pihak lawannya.
Adanya potensi konflik dalam diri seseorang atau sekelompok orang ditandai
oleh adanya perasaan tertekan karena perbuatan pihak lawan, yang dalam keadaan
mana si pelaku tidak mampu untuk melawan atau menolaknya, dan bahkan tidak
mampu untuk menghindarinya. Dalam keadaan tersebut si pelaku mengembangkan
perasaan kebencian yang terpendam terhadap pihak lawan, yang perasaan
kebencian tersebut bersifat akumulatif oleh perbuatan-perbuatan lain yang
merugikan dari pihak lawannya. Kebencian yang mendalam dari si pelaku yang
selalu kalah biasanya terwujud dalam bentuk menghindar atau melarikan diri dari si
pelaku. Tetapi kebencian tersebut secara umum biasanya terungkap dalam bentuk
kemarahan atau amuk, yaitu pada waktu si pelaku yang selalu kalah tidak dapat
menghindar lagi dari pilihan harus melawan atau mati, yang dapat dilihat dalam
bentuk konflik fisik dan verbal diantara dua pelaku yang berlawanan tersebut.
211
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang akan dapat diterima oleh
seseorang atau sekelompok orang tersebut bila sesuai menurut norma-norma dan
nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat setempat, atau memang
seharusnya demikian. Tetapi tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan bila
perbuatan tersebut tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang
berlaku. Dalam hubungan antar-sukubangsa, konsep hipotesa kebudayaan dominan
dari Bruner (lihat Suparlan 1999d : 13-20) menjadi relevan sebagai acuan untuk
memahami keberadaan aturan-aturan main atau konvensi-konvensi sosial yang
berlaku diantara dua sukubangsa atan lebih yang bersama-sama menempati sebuah
wilayah dan membentuk kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat setempat.
212
minoritas dalam masyarakat tersebut akan menjadi dominan dalam lingkungan
masyarakatnya sendiri. Kalau dalam masyarakat luas sukubangsa, pedoman
penilaian dalam kehidupan bermasyarakat mengacu pada kebudayaan dominan
sukubangsa tersebut. Maka dalam masyarakat-masyarakat sukubangsa minoritas
pedoman penilaian yang berlaku adalah rnengacu pada kebudayaan sukubangsa
mayoritas yang bersangkutan yang berlaku setempat dan bukannya mengacu pada
kebudayaan dominan yang berlaku dalam masyarakat luas. Sehingga konsep benar
atau salah dan adil atau tidak adil, menjadi kontekstual atau tidak dapat diberlakukan
secara umum dan merata.
Pihak yang menjadi lawan bisa saja sukubangsa lainnya (kasus Sambas,
kasus Ambon) atau pemerintah dan aparatnya (kasus Irian Jaya, kasus Aceh, kasus
Riau). Harus dicatat bahwa sesuatu potensi konflik sosial tidak akan terwujud bila
tidak ada tukang kipasnya atau provokatornya, yang biasanya mempunyai
kepentingan yang ingin dicapainya melalui kejayaan sukubangsa atau golongannya -
sukubangsa atau golongan sosialnya yang telah direndahkan martabatnya dalam
konflik antar individu. Begitu juga harus dicatat bahwa sesuatu potensi konflik sosial
tidak akan meledak menjadi konflik atau kerusuhan sosial bila kondisi kelompok yang
213
menginginkan adanya konflik sosial itu tidak berada dalam keadaan tidak ada pilihan
lain yang disebabkan oleh situasi yang dihasilkan oleh hubungan antar kelompok
sukubangsa tersebut dengan sukubangsa lainnya atau pemerintah sebagai pihak
lawan. Situasi yang dimaksud adalah tidak adanya jalur-jalur yang dapat
mengkomunikasikan secara memuaskan, yang dapat menjembatani untuk
mengakomodasi dan mengkompromikan perbedaan-perbedaan dan pertentangan-
pertentangan antara kelompok tersebut dengan pihak lawannya.
214
Perlakuan sewenang-wenang oleh orang atau kelompok lain yang diderita oleh
seseorang atau sebuah kelompok atau masyarakat, bila tidak mampu diatasi dalam
bentuk perlawanan oleh yang diperlakukan sewenang-wenang akan membekas
dalam bentuk kebencian, dan kebencian tersebut pada waktu terjadinya peristiwa
tersebut akan disimpan atau terpendam dalam hati, karena tidak berani atau tidak
mampu untuk melawannya, atau karena tertutup oleh berbagai kesibukan dalam
suatu jangka waktu tertentu. Peristiwa kesewenang-wenangan yang terpendam
seperti ini akan muncul dan terungkap dalam bentuk stereotip dan prasangka.
tereotip atau prasangka tersebut akan terwujud dalam bentuk simbol-simbol yang
menjadi atribut dari keburukan atau kerendahan martabat pelaku yang sewenang-
wenang tersebut. Simbol-simbol tersebut bisa diacu dari pewayangan (sebagaimana
yang terjadi pada Orang Jawa di Suriname, dalam Suparlan 1995), atau hewan, atau
terwujud dalam bentuk ‘kirata basa’ atau penjabaran sebuah kata yang
menghasilkan berbagai corak atribut lawan dalam bentuk kalimat yang kata-katanya
penuh dengan ungkapan makna penghinaan karena kebencian.
Ungkapan ini seringkali terwujud dalam kalimat yang isinya adalah kata-kata
lucu sehingga menjadi lelucon yang menghibur bagi yang merasa terpuruk (Iihat
Douglas 1975 : 96-101). Pada tahun 1998 yang baru lalu, pada waktu menjelang dan
setelah beberapa lama kejatuhan Pak Harto sebagai presiden, yaitu pada waktu
gencar-gencarnya aksi anti pak Harto, di kampung-kampung di Jakarta anak-anak
menyanyikan lagu menunjuk hidung, yang pada tahun ini sudah hilang dari
peredaran permainan anak-anak, dengan cara memlesetkan liriknya, sehingga
berbunyi:
215
Keberadaan potensi konflik sosial pada dasarnya juga mengikuti pola-pola
yang berlaku dalam terwujudnya potensi konflik antar individu. Potensi konflik yang
meledak menjadi konflik antar individu, bisa terbatas hanya pada dua orang individu
yang bersangkutan saja, tetapi dapat meluas yang melibatkan anggota-anggota
keluarga dan kerabatnya, dan komuniti atau masyarakat sukubangsa kedua belah
pihak. Keterlibatan keluarga atau kerabat, atau komuniti, atau juga masyarakat
sukubangsa kedua belah pihak dalam konflik yang terjadi menunjukkan bahwa
konflik antar individu telah mewujudkan dirinya dalam bentuk konflik sosial.
Konflik Sosial
Konflik sosial terjadi antara dua kelompok atau lebih, yang terwujud dalam
bentuk konflik fisik antara mereka yang tergolong sebagai anggota-anggota dari
kelompok-kelompok yang berlawanan. Dalam konfik sosial, jatidiri dari orang
perorang yang terlibat dalam konflik tersebut tidak lagi diakui keberadaannya. Jatidiri
orang perorang tersebut diganti oleh jatidiri golongan atau kelompok. Dengan kata-
kata lain, dalam konflik sosial yang ada bukanlah konflik antara orang perorang
dengan jatidiri masing-masing tetapi antara orang perorang yang mewakili jatidiri
golongan atau kelompoknya. Atribut-atribut yang menunjukkan ciri-ciri jatidiri orang
perorang tersebut berasal dari stereotip yang berlaku dalam kehidupan antar
golongan yang mewakili oleh kelompok-kelompok konflik. Dalam konflik sosial tidak
ada tindakan memilah-milah atau menyeleksi siapa-siapa pihak lawan yang harus
dihancurkan. Sasarannya adalah keseluruhan kelompok yang tergolong dalam
golongan yang menjadi musuh atau lawannya, sehingga penghancuran atas diri dan
harta milik orang perorang dari pihak lawan mereka lihat sama dengan
penghancuran kelompok pihak lawan.
Dalam konflik fisik yang terjadi, orang dan golongan sosial atau sukubangsa
yang berbeda yang semula adalah teman baik, akan menghapus ubungan
pertemanan yang baik tersebut menjadi hubungan permusuhan atau setidak-
tidaknya menjadi hubungan penghindaran. Hubungan mereka menjadi hubungan
golongan, yaitu masing-masing mewakili golongannya dalam hubungan konflik yang
terjadi. Orang-orang luar, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
216
kelompok-kelompok yang sedang dalam konflik fisik tersebut bila mempunyai atribut-
atribut yang memperlihatkan kesamaan dengan ciri-ciri dari pihak lawan akan
digolongkan sebagai lawan dan tanpa permisi atau meminta penjelasan mengenai
jatidiri golongannya akan juga dihancurkan.
Diantara berbagai konflik sosial yang yang terwujud sebagai konflik fisik,
konflik antar-sukubangsa adalah konflik yang tidak dapat dengan mudah didamaikan.
Karena, konflik yang terjadi, yang disebabkan oleh rasa ketidakadilan atau
kesewenang-wenangan ataupun kekalahan telah dipahami sebagai dihancurkannya
harga diri dan kehorrnatan. Kehancuran harga diri yang kemudian dipahami sebagai
kehancuran eksistensi atau keberadaan sukubangsanya. Keberadaan suku-
angsanya adalah segala kehidupannya, karena dia dilahirkan dan dibesarkan dalam
lingkungan sukubangsanya. Dalam lingkungan kehidupan sukubangsanya dia
dibesarkan dan dijadikan manusia, dan memperoleh perlindungan. dari segala
gangguan yang berasal dari luar kehidupan sukubangsanya. Dan, pada waktu mati
dia juga akan dirawat dan dikebumikan sebagai manusia dan sebagai hamba Tuhan
atau Sang Pencipta oleh kerabat-kerabat dan handai taulan yang juga sesama
warga sukubangsanya. Sukubangsa adalah sesuatu acuan yang primordial (yang
utama dan pertama) dalam dan bagi kehidupannya. Sukubangsa bagi warga
sukubangsa yang bersangkutan adalah sama dengan dirinya sendiri. Penghinaan
terhadap dirinya adalah sama dengan penghinaan terhadap sukubangsanya, dan
penghinaan terhadap sukubangsanya adalah sama dengan penghinaan terhadap
dirinya.
217
mereka (yang lain) ataupun yang tergolong dalam golongan sosial lainnya dapat
menjadi jelas. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk (Suparlan 1999a),
dimana sistem nasional Indonesia mempersatukan sukubangsa-sukubangsa yang
semula adalah masyarakat jajahan Hindia Belanda menjadi sebuah masyarakat
negara Indonesia, kedudukan sukubangsa berada di bawah kekuasaan sistem
nasional atau pemerintah Indonesia. Dalam posisi yang berada di bawah kekuasaan
pemerintah Indonesia, sukubangsa yang terwujud sebagai masyarakat sukubangsa
sadar atau tidak sadar merasakan dominasi kekuasaan pemerintah dalam berbagai
bentuk dominasi. Tanah dan segala isinya yang semula adalah hak mereka menurut
adat sekarang menjadi milik negara yang dikuasai oleh pemerintah, dan begitu juga
halnya dengan wilayah hutan dan air beserta segala isinya. Berbagai ketentuan yang
semula diatur oleh adat, sekarang harus diatur oleh hukum positif yang berlaku
secara nasional berikut sanksi-sanksinya, yang berbeda dengan sanksi-sanksi adat
yang semula berlaku. Wilayah-wilayah yang secara adat adalah wilayah mereka,
sekarang juga menjadi wilayah yang berhak untuk dihuni oleh mereka yang berasal
dari berbagai sukubangsa. Konflik-konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat
manapun di dunia ini, termasuk yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, dimulai
oleh perebutan sumber-sumber daya atau sumber-sumber rezeki. BiIa perebutan
yang terjadi berjalan sesuai aturan main yang mereka anggap adil maka tidak akan
terjadi konflik sosial diantara mereka. Dalam keadaan dimana aturan main yang
berlaku dirasakan sebagai tidak adil oleh satu dari dua atau lebih kelompok yang
bersaing memperebutkan sumber daya atau rezeki, tetapi bila penegak hukum dapat
bertindak adil dan bertindak sebagai pengayom maka konflik sosial tidak akan
terwujud. Tetapi bila penegak hukum tidak dapat bertindak adil maka aturan-aturan
main yang adil dan beradab tidak akan dapat diberlakukan, karena aturan-aturan
main tersebut tidak ada yang memaksakan untuk diberlakukan, sedangkan masing-
masing pihak yang bermusuhan akan menggunakan aturan-aturan mainnya sendiri
yang menguntungkan mereka untuk dapat memenangkan konflik yang berlaku.
218
tidak dapat bertindak adil dan tidak dapat bertindak sebagai pengayom masyarakat,
maka kerusuhan yang terjadi tidak dapat dicegah. Ini pernah terjadi dalam kerusuhan
Sambas (Suparlan 1999b), dimana petugas kepolisian di Kecamatan Jauai yang
merupakan asal mulanya terjadinya kerusuhan Sambas tidak berani menahan
pencuri asal Madura yang tertangkap basah. Akibat dari dilepaskannya pencuri asal
Madura tersebut adalah adanya 200 warga Madura asal kecamatan lain, yang
merupakan teman dan kerabat si pencuri, yang datang dan membunuh tiga orang
Melayu di Kecamatan Jauai tempat ditangkapnya si pencuri. Keberanian orang-
orang Madura tersebut telah didorong, antara lain, oleh ketidak beranian petugas
kepolisian Jauai untuk menghadapi orang-orang Madura.
Kepustakaan
Bailey, F.G., 1969. Stratagems and Spoils: A social anthropology of politics.
New York: Schocken.
Bruner, Edward M., 1974. “The Expression fo Ethnicity in Indonesia”. Dalam
Abner Cohen (Editor), Urban Ethnicity. Hal.251-284. London:
Tavistock.
Coakley, J.J., 1986. Sport and Society: Issues and Controversies. St.Louis:
Times Mirror Mosby.
Dahrendorf, R., 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford,
California: Stanford University Press.
Douglas, Mary, 1975. Implicit Meaning. Boston: Routledge & Kegan Paul
Heider, Karl G., 1970. The Dugun Dani: A Papuan Culture in the Highlands
of West New Guinea. Chicago: Aldine.
219
Koch, Klaus-Frederich, 1971. “Canibalistic Revenge in Jali Warfare”. Dalam
James P. Spradley dan D.W. MacCurdy (Editors), Conformity and
Conflict: Readings in Cultural Anthropology. Boston: Little, Brown
& Company .
Parsons, Talcott dan Edward A. Shills (Ed.), 1951. Toward A General Theory
of Action. New York: Harper.
Suparlan, Parsudi, 1995. The Javanese in Surinam: Ethnicity in an ethnically
plural society. Tempe, Arizona: SEA Program, Arizona State
University.
________ 1999a. “Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa”.
Dalam I. Wibowo (Editor), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi
Masalah Cina. Hal. 149-173. Jakarta: Gramedia.
________ 1999b. Laporan Kerusuhan Sambas. Laporan terbatas disampaikan
kepada Kapolri.
________ 1999c. Laporan Kerusuhan Ambon. Laporan terbatas disampaikan
kepada Kapolri.
________ 1999d. “Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan Kesuku-
bangsaan”. Jurnal Antropologi Indonesia, 22 (56): 13-20.
220
5 Konflik
Antar-Sukubangsa
dan Upaya
Mengatasinya
Konflik Antar-Sukubangsa
T
ulisan ini adalah mengenai konflik antar-sukubangsa dan upaya
mengatasinya. Konflik antar-sukubangsa terlahir dari dan ada dalam wadah
hubungan antar-sukubangsa. Konflik ini muncul dari kompetisi untuk
memperebutkan sumber-sumber daya antara individu-individu dan anggota-anggota
komuniti sukubangsa setempat dengan golongan-golongan sukubangsa lainnya.
Konflik tersebut melibatkan anggota-anggota sukubangsa dari masing-masing yang
konflik, karena dirasakan tidak adanya aturan main yang adil di dalam proses-proses
kompetisi. Sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak mencari bantuan dari
masing-masing kerabat dan anggota anggota sukubangsanya untuk memenangkan
kompetisi tersebut.
221
Dalam pandangan ini kesukubangsaan adalah gejala individual yang muncul
dalam interaksi sosial, dan kesukubangsaan tersebut beranekaragam ungkapannya
tergantung pada keanekaragaman dari saling keterkaitan hubungan antara individu-
individu dan kelompok-kelompok dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam
setempat (Suparlan 1995). Pandangan ini mengikuti Fredrik Barth (1969), yang
menyatakan bahwa kemunculan kesukubangsaan menjadi meningkat pada waktu
ada peningkatan kontak-kontak dalam ruang geografis dan sosial diantara anggota
sukubangsa yang berbeda, terutama dalam kaitan hubungannya dengan
kepentingan ekonomi dan adanya kompetisi antar-sukubangsa.
222
mengaktifkan peran pihak ketiga yang netral untuk mencari akar permasalahan yang
menyebabkan munculnya permusuhan antara orang-orang Madura dengan orang-
orang dari sukubangsa lainnya, dan membicarakannya secara terbuka dengan
semua anggota sukubangsa yang bermusuhan secara terpisah mengenai sebab-
sebab permusuhan dan persiapan ‘berperang’ untuk menghancurkan pihak lawan
masing-masing. Pihak ketiga juga berupaya memperoleh informasi apakah mereka
itu masih mau diajak saling berdamai.
223
terlaksana. Upaya-upaya ini tidak mungkin hanya dilakukan secara ‘topdown’ tetapi
juga harus dibarengi dengan upaya-upaya yang ‘bottom-up’.
224
kelompok sukubangsa dalam hubungannya dengan sukubangsa lain, tetapi dari sisi
lainnya keyakinan keagamaan juga dapat meredupkan kesukubangsaan dari
kelompok-kelompok sukubangsa yang mempinyai keyakinan keagamaan yang
sama. Dalam keadaan terakhir tersebut di atas, justru jatidiri keagamaan yang
menonjol dan meredupkan kesukubangsaan dalam hubungan antar-sukubangsa.
Lambang negara Bhinneka Tunggal Ika, atau berbeda-beda tetapi satu juga,
mencerminkan kenyataan aktual dari masyarakat Indonesia. Indonesia terdiri atas
lebih dari 500 sukubangsa, yang masing-masing mempinyai jatidiri sukubangsa dan
kebudayaan dan meng-haki wilayah tempat hidup mereka. Anggota-anggota dari
setiap masyarakat sukubangsa hidup dalam komuniti-komuniti yang pada dasarnya
homogen dengan masing-masing jatidiri sukubangsa dan jatidiri budayanya di dalam
batas-batas wilayahnya sendiri. Di tanah airnya sendiri masyarakat sukubangsa
setempat dengan kebudayaannya adalah yang dominan, yang berfungsi sebagai
seperangkat sistem-sistem acuan dalam mempedomani anggota-anggota komuniti di
dalam kegiatan-kegiatan setiap hari dan di dalam cara mereka melihat dan
memahami dunia di sekeliling mereka dimana mereka itu menjadi bagian dari dunia
tersebut.
225
Permasalahan hubungan antara pendatang dengan masyarakat setempat terpusat
pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya, dan tingkat
agresifitas secara ekonomi dari para pendatang adalah masalah yang paling kritikal
dalam persaingan sumberdaya. Karena, masyarakat setempat melihat diri mereka
sebagai tuan rumah dan para pendatang sebagai tamunya.
Aturan yang mengatur tata hubungan antara tuan rumah dengan tamunya
tersirat dalam pepatah dan petitih yang berlaku di seluruh Indonesia, yang berbunyi
“dimana bumi dipijak langit dijunjung”. Pepatah ini digunakan untuk memantapkan
posisi masing-masing dalam hubungan antara pendatang sebagai tamu dengan
masyarakat setempat sebagai tuan rumah yang menggambarkan keharmonisan
hubungan tersebut. Pada waktu pendatang melanggar ketentuan tersebut tuan
rumah bisa saja mendiamkannya atau menegurnya, dan bila tindakan-tindakan
pelanggaran atas ketentuan tersebut terus menerus dilakukan dan para pendatang
mulai menguasai dan mendominasi sumber-sumber daya maka masyarakat
sukubangsa setempat yang merasa hak-hak dan kehormatannya telah diinjak-injak
akan memusuhi dan mengusir para pendatang tersebut. Konflik antarsukubangsa
yang terjadi di Sambas, Kalimatan Tengah, Ambon, dan bahkan di Poso dapat
dijelaskan dalam perspektif tersebut.
226
selama konflik antar-sukubangsa berlangsung. Kesemuanya ini berpengaruh
terhadap cara masing-masing anggota sukubangsa yang berlawanan tersebut
melihat diri mereka dan lawan-lawan mereka masing-masing dan dunia tempat
mereka sekarang ini hidup.
Generasi muda yang ikut mengalami masa-masa konflik yang penuh dengan
kekerasan dan darah tersebut akan menyimpan beranekaragam persepsi mengenai
diri mereka dan pihak lawan. Sedangkan generasi muda yang tidak mengalami
konflik tersebut akan memperoleh informasi mengenai sukubangsa mereka dan
sukubangsa pihak lawan, dan berdasarkan itu mengembangkan stereotip dan
prasangka yang dapat menghambat terwujudnya kembali keharmonisan hubungan
mereka dengan anggota sukubangsa yang pernah menjadi pihak lawan. Apakah
hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi? Tentu saja dapat diatasi bila kedua
belah pihak mau saling memaafkan dan melupakan peristiwa-peristiwa di masa yang
lampau. Untuk itu hanya mungkin dilakukan bila ada pihak ketiga yang mau memulai
upaya perdamaian tersebut. Syaratnya adalah, bila pihak ketiga tersebut adalah
orang atau badan organisasi yang dihormati dan dipercaya kesungguhan hatinya
serta ketidak berpihakkannya oleh anggota-anggota dari dua sukubangsa yang
semula saling menghancurkan tersebut.
Kemauan untuk saling berdamai bukan hanya harus dilakukan oleh para
tokoh atau pemimpin dua masyarakat sukubangsa tersebut, tetapi harus oleh semua
anggota sukubangsa yang bersangkutan. Bila hanya para tokoh atau pemimpin dari
dua masyarakat sukubangsa tersebut yang berdamai, maka yang berdamai hanya
mereka itu saja sedangkan anggota-anggota sukubangsa yang bersangkutan belum
tentu terikat oleh adanya perdamaian tersebut. Patut dicatat bahwa perdamaian
tersebut hanya mungkin terlaksana bila masing-masing sukubangsa yang pernah
konflik tersebut merasa bahwa dengan adanya perdamaian tersebut mereka itu akan
memperoleh sesuatu keuntungan sosial, ekonomi, dan politik (Suparlan 1999: 7 -
19). Bila anggota-anggota dari sukubangsa tersebut tidak mempunyai bayangan
mengenai keuntungan tersebut maka perdamaian tidak akan tercapai, dan bilapun
ada maka perdamaian tersebut adalah perdamaian semu.
227
Setelah perdamaian secara formal dilakukan maka tahap berikutnya adalah:
(1) Menentukan kembalinya kelompok-kelompok sukubangsa yang terusir dalam
konflik antar-sukubangsa yang telah terjadi. Untuk itu patut dipikirkan secara
sungguh-sungguh mengenai penerimaan kembali dari individu-individu dan
kelompok-kelompok sukubangsa yang telah terusir tersebut di dalam
komuniti-komuniti sukubangsa setempat.
(2) Meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak.
Menghilangkan stereotip dan prasangka adalah dengan cara mengakui
bahwa masing-masing pihak adalah sederajat, dan melalui kesederajatan
tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling
memahami perbedaan-perbedaan yang mereka punyai, mentaati ketentuan-
ketentuan hukum atau aturan main dan keputusan-keputusan penegak
hukum dalam berbagai situasi kompetisi dan konflik yang terjadi.
Guru harus menunjukkan bahwa semua murid yang berasal dari sukubangsa
manapun dengan keyakinan keagamaan apapun diperlakukan sama derajatnya.
Guru juga harus menunjukkan penghargaannya pada berbagai ungkapan budaya
dan kesenian dari berbagai sukubangsa yang dipresentasikan oleh murid-muridnya.
Begitu juga guru harus dapat menunjukkan sikapnya yang tidak mendiskriminasi
murid perempuan dari murid laki-laki.
228
Pendidikan tersebut dapat dilakukan secara bertahap, yaitu tahap permainan
pada tingkat SD, tahap bermain dan berpikir pada tingkat SLTP, dan tahap berpikir
dan merasakan secara mendalam pada tingkat SLTA. Kalau dari tingkat SD sampai
dengan SLTA mereka dibiasakan untuk saling menggunakan kata-kata atau
ungkapan penghinaan terhadap anggota sukubangsa lainnya maka setelah dewasa
sebagai anggota masyarakat berbagai bentuk stereotip dan prasangka sukubangsa
akan tidak ada lagi. Amerika Serikat yang di masa lampau dikenal sebagai
masyarakat yang paling rasis di dunia, pada masa sekarang adalah masyarakat yang
paling menghargai perbedaan-perbedaan rasial, sukubangsa, dan kebudayaan.
Perubahan ini telah dimungkinkan karena masyarakat Amerika mempraktekkan
multikulturalisme dalam pendidikan sekolah sejak tahun 1970an.
*****
Kepustakaan
Barth, Fredrik (1969), “Introduction”. Dalam: Fredrik Barth (Editor), Ethnic Groups
and Boundaries, hal. 9 – 38. Boston, Mass.: Little, Brown, & Co.
Suparlan, Parsudi (1995), The Javanese in Surinam: Ethnicity in an ethnically plural
society.. Tempe, Arizona: SEA Program, Arizona State University.
__________, (1999), “Konflik Sosial dan Alternatif Penecahannya”. Jurnal
Antropologi Indonesia, vol. XXIII, no. 59, hal. 7 – 19.
__________, (2000), Ethnic and Religious Conflict in Indonesia and its Prevention..
Paper presented at Seminar “On Conflict Prevention and Peace Building
in Southeast Asia: Regional Mechanism, and Best Practices”. ASEAN-
UN Cooperation in the 21st Century.. Mandalong City, Filipina, 19 – 22
Februari 2002.
229
6 Konflik
Antar-Sukubangsa
Melayu dan Dayak
dengan Madura
di
Kabupaten Sambas,
Kalimantan Barat
Pendahuluan
T
ulisan ini adalah rnengenai konflik antar-sukubangsa yang telah terjadi di
Kabupaten Sambas antara sukubangsa atau orang Melayu dan orang Dayak
di satu pihak dengan orang Madura di pihak lain. Konflik antara orang
Melayu dengan orang Madura telah terjadi pada tahun 1999, yang merupakan
sebuah konflik yang pertama terjadi dan yang terakhir. Karena setelah konflik
tersebut berakhir orang-orang Madura terusir dari wilayah kabupaten Sambas.
Sedangkan konflik antara orang Dayak dan orang Madura telah berlangsung selama
11 kali sejak tahun 1962 yang berakhir pada tahun 1999. Konflik pada tahun 1999
terjadi pada saat sedang berlangsungnya konflik antara orang Melayu dan Madura.
Konflik antar-sukubangsa terlahir dari dan ada dalam wadah hubungan antar-
sukubangsa. Hakekat dan corak hubungan antar-sukubangsa yang bersangkutan
merupakan penentu dari terjadi atau tidak terjadinya konflik antar-sukubangsa. Dari
kasus-kasus konflik antar-sukubangsa di Ambon, Poso, Kalimantan Tengah dan di
230
berbagai tempat lainnya di Indonesia dapat disimpulkan bahwa konflik antar-
sukubangsa muncul dari kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya
setempat yang dilakukan oleh individu-individu yang merupakan anggota komuniti-
komuniti sukubangsa setempat dengan individu-individu yang rnenjadi anggota
komuniti-komuniti sukubangsa pendatang. Konflik antar individu tersebut
berkembang menjadi konflik antar-sukubangsa karena salah satu pihak
mengaktifkan kesukubangsaan untuk solidaritas kelompoknya guna mengalahkan
pihak lainnya, sehingga pihak lainnya tersebut mau tidak mau akan harus
mengimbanginya dengan mengaktifkan juga kesukubangsaannya.
231
masyarakat jajahan Hindia Belanda ini sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas
kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbaur tetapi tidak menjadi
satu. Masing-masing kelompok mempunyai agama, kebudayaan, dan bahasa, serta
cita-cita dan cara-cara hidup mereka masing-masing (lihat Suparlan 2000:1).
232
majemuk yang dikuasai oleh sistem nasional. Masyarakat-masyarakat tersebut hidup
di dan dari sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungan alam dan fisik yang
merupakan hak adat atau hak ulayat mereka. Permasalahan ini muncul pada waktu
rezim yang berkuasa itu berusaha untuk menguasai sumber-sumber daya alam yang
ada dalam wilayah hak ulayat masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat dengan
menggunakan acuan hukum nasional yang merapikan hukum adat atau hak ulayat
warga masyarakat setempat.
Pada waktu rezim penguasa tersebut masih berkuasa tidak ada satupun
warga masyarakat tersebut yang berani menentangnya, dan tidak juga kelompok-
kelompok atau masyarakat-masyarakat sukubangsa yang dieksploitasi hak ulayatnya
tersebut berani menghalanginya. Tetapi, begitu rezim otoriter itu jatuh maka berbagai
bentuk perambahan terhadap perusahaan-perusahaan dan oknum-oknum
pemerintah pusat dan kroni-kroninya bermunculan sebagai kerusuhan-kerusuhan
sosial dan konflik antar-sukubangsaa berrnunculan (Suparlan 2000a, 2000b, 2001).
Pendapat umum yang mengatakan bahwa kebangkitan dari mereka yang semula
tertekan oleh rezim otoriter dan militeristik tidaklah dapat disangkal. Tetapi pendapat
para pakar yang di tahun tahun 1999-2001 bermunculan di televisi yang mengatakan
bahwa konflik antar-sukubangsa disebabkan dari adanya kesenjangan sosial-
ekonomi antara kelompok sukubangsa pendatang yang makmur hidupnya dan
kelompok sukubangsa setempat yang hidupnya melarat tidaklah benar.
233
masyarakat yang heterogen, dimana anggota-anggota dari berbagai sukubangsa
hidup secara berdampingan dalam komuniti-komuniti pedesaan dan kelompok-
kelompok sukubangsa setempat. Karena itu, pada masa sekarang, hubungan antar-
sukubangsa telah menjadi lebih intensif daripada di masa lampau.
234
pendatang diberi peringatan untuk tidak mendominasi kehidupan mereka yang
menjadi tuan rumah. Konflik-konflik antar-sukubangsa yang telah terjadi di berbagai
daerah di Indonesia dapat dilihat sebagai pelanggaran dari prinsip yang ada dalam
pepatah tersebut.
235
kesukubangsaanya dengan kesukubangsaan dari orang atau kelompok sukubangsa
yang lainnya. Tetapi sesuatu keyakinan keagamaan yang sama dapat juga dimiliki
oleh orang dan kelompok atau kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda-beda.
Sehingga, keyakinan keagamaan di satu sisi dapat memperkuat kesukubangsaan
dari satu kelompok sukubangsa dalam hubungannya dengan sukubangsa lain, tetapi
dari sisi lainnya keyakinan keagamaan juga dapat meredupkan kesukubangsaan dari
kelompok-kelompok sukubangsa yang mempunyai keyakinan keagamaan yang
sama. Dalam keadaan terakhir tersebut di atas, justru jatidiri keagamaan yang
menonjol dan meredupkan jatidiri sukubangsa dalam hubungan antar-sukubangsa.
Walaupun demikian tidak berarti bahwa dua kelompok sukubangsa yang mempunyai
keyakinan keagamaan yang sama tetapi dalam keadaan konflik antar-sukubangsa
akan rnenghentikan konflik tersebut. Orang Melayu dan orang Madura di Sambas
sama-sama memeluk agama Islam, tetapi dalam konflik yang terjadi pada tahun
1999 keyakinan keagamaan yang sama tersebut tidak mempunyai makna apapun
dalam mendamaikan konflik ini.
Sebagai golongan sosial yang askriptif dan primordial, sukubangsa terikat oleh
adanya hubungan darah atau kekerabatan dan asal daerah dari para pelakunya.
Sehingga secara nyata maka yang kita lihat dari mereka yang tergolong dalam
sesuatu sukubangsa adalah satuan biologi, yaitu keluarga, kelompok kerabat atau
236
klen, komuniti, dan masyarakat. Sebagai kelompok atau masyarakat maka sebuah
sukubangsa menempati sebuah wilayah yang menjadi tempat dari berbagai
sumberdaya yang dimanfaatkan oleh anggota-anggota masyarakat sukubangsa
setempat untuk kelangsungan hidup mereka. Cara-cara pemanfaatan sumberdaya-
sumberdaya yang ada dalam lingkungan mereka itu dilakukan dengan menggunakan
kebudayaan yang menjadi pedoman bagi kehidupan mereka. Masing-masing
masyarakat sukubangsa, dengan kata lain, mempunyai kebudayaan sendiri yang
berbeda dan kebudayaan yang dipunyai oleh masyarakat sukubangsa lainnya.
Masing-masing masyarakat sukubangsa tersebut juga mengembangkan pranata-
pranata sosial yang berbeda coraknya dan masyarakat sukubangsa yang lainnya.
Dalam masyarakat sukubangsa setempat maka kebudayaan sukubangsa dan
masyarakat tersebut adalah dominan. Dalam sebuah masyarakat yang anggota-
anggotanya mencakup lebih dari satu sukubangsa seperti yang terdapat di daerah
perkotaan atau di daerah pedesaan dewasa ini di Indonesia, maka ada atau tidak
adanya kebudayaan sukubangsa yang dominan dan hubungan antara kebudayaan
dari para pendatang dengan kebudayaan dominan mempengaruhi corak hubungan
antar-sukubangsa dan potensi konflik antar-sukubangsa.
237
umum tergantung pada hasil tawar-menawar kekuatan diantara anggota-anggota
sukubangsa yang berbeda-beda. Hal yang sama juga berlaku dalam posisi-posisi
yang ada dalam struktur-struktur kekuasaan resmi nasional dan lokal yang ada di
kota Medan. Dalam keadaan demikian, kesukubangsaan masing-masing biasanya
diaktifkan oleh mereka yang menduduki posisi-posisi kunci, dan karenanya
solidaritas sukubangsa menjadi ciri yang menonjol dalam kehidupan sehari-hari.
238
Dalam perspektif tersebut di atas, wilayah kabupaten Sambas dapat dilihat
sebagai dua wilayah kebudayaan yang berbeda. Di daerah Pantai barat terdapat
wilayah kebudayaan Melayu yang Islam, yang merupakan kebudayaan sukubangsa
dominan yang di masa lampau terpusat di kesultanan Sambas. Sedangkan di daerah
pedalaman (yang sekarang menjadi daerah kabupaten Bengkayang), yaitu di bagian
timur dari kabupaten Sambas, adalah wilayah dari kebudayaan Dayak yang bercorak
egaliter dan yang kebudayaan Dayak tersebut merupakan kebudayaan dominan di
wilayah tersebut. Baik orang Melayu maupun orang Dayak menyadari keberadaan
dan dominasi kebudayaan sukubangsa di wilayah mereka masing-masing, dan
saling menghormatinya. Karena itu hubungan antara dua sukubangsa tersebut
berada dalam suatu hubungan yang relatif harmonis dan bercorak simbiotik yang
saling menguntungkan. Berbagai sukubangsa pendatang yang menetap di
kabupaten Sambas menyadari adanya dua kebudayaan sukubangsa yang dominan
tersebut, dan mereka menghormatinya dengan cara hidup sesuai dengan berbagai
pedoman yang berlaku menurut kebudayaan dari pranata-pranatanya, sehingga
mereka itu cenderung menjadi seperti Melayu atau seperti Dayak, tergantung pada
dimana wilayah tempat kehidupan mereka sebagai pendatang. Orang Bugis
misalnya, cenderung menjadi seperti orang Melayu dan bahkan menjadi Melayu,
seperti orang Jawa di Bandung (Suparlan 1972). Kebiasaan orang Bugis untuk
menyelipkan badik di pinggang pada waktu berada di tempat-tempat umum dan
menggunakannya bila rasa harga diri mereka tersinggung telah tidak dilakukannya
lagi di Sambas. Karena mereka merasa bahwa hal itu bertentangan dengan adat
Melayu yang berlaku di Sambas. Mereka juga menjadi seperti orang Melayu yang
lebih senang menyelesaikan perkara dan persengkataan dengan cara
bermusyawarah dan berdamai, dan bila perlu meminta maaf.
239
terjadi diantara mereka yang pendatang dengan anggota masyarakat Melayu atau
Dayak maka yang terjadi adalah konflik antar perorangan. Sedangkan orang-orang
Madura di Sambas selalu menonjolkan kesukubangsaan Maduranya dan bukan
orang-perorangannya. Mereka selalu hidup dan bekerja dalam kelompok-kelompok
sebagai orang Madura, membangun solidaritas sosial diantara sesama mereka yang
Madura, dan bila terjadi persengketaan antara seorang Madura dengan seorang
Melayu atau Dayak maka persengketaan tersebut akan selalu diselesaikan oleh
kelompok Madura yang bersangkutan. Kesukubangsaan pada orang Madura di
Sambas, dalam bentuk kelompok dan solidaritas sosial orang Madura, adalah
merupakan acuan utama dari keberadaan dan kelangsungan hidup bagi mereka.
Disamping itu, orang-orang dan kelompok-kelompok Madura mempunyai
kecenderungan untuk menyelesaikan berbagai masalah dari persengketaan dengan
cara ancaman dan kekerasan. Tanpa disadari oleh semua anggota sukubangsa
yang ada di Sambas, dengan cara ancaman dan kekerasan inilah maka secara
bertahap kebudayaan dominan Malayu maupun Dayak di tempat-tempat umum di
Sambas digeser dan diganti oleh dominasi kekerasan dari kebudayaan Madura.
Corak hubungan antara orang Madura dengan orang Melayu dan Dayak di
Sambas diwarnai oleh kekerasan, dan kekerasan ini adalah kekerasan kategorikal
atau golongan. Sehingga pada waktu terjadi konflik antara Melayu lawan Madura dan
Dayak lawan Madura, yang ada adalah konflik antargolongan askriptif dengan segala
atributnya untuk secara kekerasan dihancurkan. Konflik-konflik berdarah yang terjadi
di Sambas, Ambon, Poso, atau Sampit adalah konflik antar-sukubangsa, dan
bukannya konflik komunal sebagaimana yang dinyatakan oleh Aragon (2001), van
Dijk (2002), Colombijn (2002). Atau dengan kata lain, kekerasan yang dilakukan oleh
orang-orang Melayu dan orang-orang Dayak terhadap semua orang Madura di
Sambas melalui kegiatan pembunuhan, mutilasi tubuh, dan penghancuran segala
atribut yang menernpel pada orang Madura adalah sebagai imbas balik dari upaya
pendominasian dengan cara-cara kekerasan oleh orang-orang Madura di Sambas
sebelum terjadinya konflik berdarah tersebut. Secara simbolik, pembunuhan, mutilasi
tubuh, pengusiran terhadap orang-orang Madura dari Sambas dan penghancuran
terhadap rumah-rumah dari segala harta benda orang-orang Madura oleh orang-
orang Melayu dan Dayak dapat dilihat sebagai sebuah upaya pembersihan atau
pencucian terhadap segala kekotoran yang telah menimpa kehidupan mereka di
240
wilayah Sambas yang dikarenakan oleh keberadaan dan perbuatan-perbuatan orang
Madura (lihat Douglas 1966).
241
Hindia Belanda, dipersatukan oleh sistem nasional Indonesia melalui proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sistem nasional Indonesia
memantapkan keberadaannya dengan melalui berbagai pranata yang ada di dalam
dan melalui pemerintahan administrasinya. Secara umum sistem nasional Indonesia
telah di satu pihak melemahkan kesukubangsaan dan sebagian besar warga
masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh besarnya semangat kebangsaan ke-
Indonesiaan atau kebangsaan Indonesia dalam melawan penjajah Belanda dan
Jepang. Tetapi di lain pihak juga telah memperkuat kesukubangsaan masing-masing
warga masyarakat Indonesia karena berbagai pranata yang ada dalam sistem
nasional Indonesia telah gagal dalam menyajikan peranan-peranan dan aturan-
aturan yang secara adil dan beradab dapat menyelenggarakan upaya-upaya
pemenuhan-pemenuhan kebutuhan hidup yang dianggap penting oleh masyarakat
Indonesia pada umumnya dan masyarakat-masyarakat sukubangsa khususnya.
Diantara berbagai pranata yang dirasakan sebagai tidak efektif atau tidak
berfungsi sebagaimana seharusnya adalah pranata-pranata yang menjamin rasa
keadilan, perlindungan dari ancaman, dan penegakkan rasa aman dan keteraturan
sosial. Ini terutama dirasakan oleh warga masyarakat Melayu dan Dayak di Sambas,
dimana berbagai aturan yang berlaku di tempat-tempat umum yang semula
berdasarkan atas adat atau kebudayaan Melayu atau Dayak telah dilemahkan oleh
diberlakukannya pranata-pranata nasional, tetapi pranata-pranata nasional Indonesia
tersebut tidak mampu untuk melayani pemenuhan kebutuhan-kebutuhan untuk hidup
242
sejahtera secara adil dan beradab. Bersamaan dengan itu pranata-pranata nasional
dilemahkan dan ditunggangi oleh para oknum dan kronikroni pemerintahan Suharto
dengan menggunakan kekerasan dan KKN. Bersamaan dengan itu tempat-tempat
umum diambil alih kelompok-kelompok preman asal orang Madura.
Orang Madura telah datang dan tinggal di Kalimantan Barat sejak tahun 1920-
an. Sebelum Perang Dunia II, keberadaan mereka secara sosial dan ekonomi di
Kalimantan Barat tidak mempunyai arti penting. Karena, jumlah mereka itu kecil dan
karena posisi sosial mereka yang rendah yang pada umumnya adalah buruh kasar.
Pada masa sekarang, sebelum terjadinya kerusuhan tahun 1999, orang-orang
Madura hidup di hampir seluruh pelosok wilayah kabupaten Sambas, yaitu di desa-
desa dan di dusun-dusun maupun di daerah perkotaan.
243
sebaiknya hanya digunakan dalam ruang-ruang budaya dan sukubangsa itu dan
tidak dalam kehidupan antar-sukubangsa atau dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Bila pun harus digunakan di tempat-tempat umum atau dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara maka kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsa
harus menonjolkan ciri-cirinya yang menghargai perbedaan dan menekankan
kebersamaan untuk kepentingan kesejahteraan hidup bersama.
Hak-hak individu dan komuniti untuk berbeda harus dihormati dan berbagai
bentuk ungkapan dari stereotip dan prasangka karena perbedaanperbedaan
individual dan komunal dalam kehidupan bersama ditentang dalam model
multikulturalisme. Hak-hak individu dan komuniti untuk berbeda sebenarnya dapat
dilihat sebagai perbedaan kebudayaan dan ungkapan-ungkapan budaya secara
individual maupun secara komunal. Model multikulturalisme mendorong warga
masrarakat-masyarakat sukubangsa dalam masyarakat majemuk untuk
melonggarkan batas-batas sukubangsa dan rasial yang dipagari oleh kebudayaan
masing-masing sukubangsa. Cara yang dapat dilakukan adalah untuk dapat saling
berhubungan dalam berbagai kegiatan sosial sehari-hari dan melalui pendidikan di
sekolah yang bertujuan untuk saling memahami kebudayaan-kebudayaan
sukubangsa mereka yang saling berbeda. Melalui pemahaman ini maka stereorip
dan prasangka dapat dihilangkan dari perasaan persaudaraan dalam kesederajatan
dapat dibangun dan dikembangkan.
Pada masa sekarang setiap masyarakat lokal tidak lagi homogen sebagai
sebuah masyarakat sukubangsa yang ‘asli’ setempat, tetapi merupakan sebuah
masyarakat yang heterogen secara sukubangsa. Dalam masyarakat heterogen yang
seperti ini terdapat penjenjangan berdasarkan kesukubangsaan, yaitu berdasarkan
patokan sukubangsa yang asli, yang setengah asli, dan yang asing. Penjenjangan ini
berbuntut pada adanya perbedaan posisi sosial dalam struktur kehidupan
masyarakat setempat dan terwujud juga dalam bentuk diskriminasi berkenaan
dengan hak dan kewajiban di dalam kehidupan sehari-hari.
Corak masyarakat lokal yang heterogen ini juga dibarengi oleh adanya
keanekaragaman kebudayaan. Melalui kegiatan-kegiatan antar budaya untuk saling
memahami yang didorong oleh ide multikulturalisme dan yang didukung oleh upaya
244
secara hukum untuk kesamaan derajat, maka kemajemukan kebudayaan
masyarakat lokal akan terwujud sebagai sebuah mozaik budaya. Dalam mozaik
budaya tersebut masing-masing kebudayaan direpresentasikan sebagai puncak-
puncak kebudayaan atau nilai-nilai budaya yang menjadi ciri utama dan ditonjolkan
oleh masing-masing dan semua masyarakat sukubangsa dan sebuah masyarakat
lokal. Kebudayaan bangsa juga akan merupakan sebuah mozaik budaya yang
merupakan puncak-puncak kebudayaan di daerah, sebagaimana yang tertuang dan
dinyatakan dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang merupakan buah pikiran
para pendiri bangsa Indonesia.
Penutup
245
sebaiknya dilakukan dengan upaya merubah masyarakat kita yang majemuk, karena
berbagai dampak yang merugikan bangsa Indonesia, menjadi masyarakat yang
multikultural (Suparlan, 2002).
Pedoman etika inilah yang tidak dipunyai oleh Indonesia. Yaitu sebuah
pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tidakan-tindakan pelaku
dalam sebuah profesi yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral
dan nilai-nilai yang mendukung data menjamin dilakukannya kegiatan profesi si
pelaku sebagaimana seharusnya sesuai dengan hak dan kewajibannya. Sehingga
peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses
masukan menjadi keluaran yang bermutu (lihat Bertens 2001, dan Magnis Suseno
1987).
246
Kalau kita perhatikan kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia,
dan kalau kita perhatikan lebih lanjut bahwa inti dari pedoman bagi kehidupan ini
adalah nilai-nilai budi luhur, adab, dan etika adalah adab atau prinsip-prinsip moral,
maka tanpa adanya pedoman etika dalam kehidupan kita sebagai orang Indonesia
sebenarnya kita tidak mempunyai etika atau tidak beradab terutama dalam kegiatan-
kegiatan kerja dan kehidupan sosial. Multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang
mengagungkan kesederajatan dalam perbedaan adalah sebuah ideologi yang
menekankan perjuangan budaya supaya manusia bisa beradab. Perjuangan ini tidak
akan berhasil bila tidak saling dukung mendukung dengan penjuangan menuju
masyarakat yang demokratis. Dengan hukum yang menekankan keadilan dan
kepentingan orang banyak, dan kehidupan yang menekankan pada kerja dan
produktivitas untuk kesejahteraan orang banyak atau masyarakat.
*****
Kepustakaan
247
––––––––––, 1979, “Ethnic Groups in Indonesia”. The Indonesian Quarterly, vol. 2,
no. 7, 53 – 75. CSIS
––––––––––, 1986, “Kebudayaan dan Pembangunan”. Media IKA, vol. 14, no. 11,
106 – 135. Jurusan Antropologo, U.I.
––––––––––, 1995, The Javanese in Surinam: Ethnicity in an ethnically plural
society. . Tempe, Arizona: SEA Pr5ogram, Arizona State University.
––––––––––, 1998, “Konflik Antara Orang Dayak dan Orang Madura”. Wacana
Antropologi, vol. 2, no. 2, 7 – 9. Asosiasi Antropologi Indonesia.
––––––––––, 1999a, “Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa”.
Dalam I. Wibowo (ed.), Retropeksi dan Rekontekstualisasi Masalah
Cina. Jakarta: Gramedia. Hal. 149 – 173.
––––––––––, 1999b, Kerusuhan Sambas.. Laporan terbatas disampaikan kepada
Kapolri.
––––––––––, 1999c, “Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan
Kesukubangsaan”. Jurnal Antropologi Indonesia, no. 58, 13 – 20.
––––––––––, 2000a, “Kerusuhan Sambas”. Jurnal Polisi Indonesia, vol 2. 71 – 85.
––––––––––, 2000b, “Masyarakat Majemuk dan Perawatannya”. Jurnal Antropologi
Indonesia, no. 63: 1 – 13.
–––––––––-, 2000c, “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia, no. 66 :
1 – 12.
––––––––––, 2001, “Ethnic and Religious Conflict in Indonesia”. KULTUR, The
Iindonesian Journal for Muslim Culture, no. 2: 41 – 58.
Van den Berghe, Pierre J., 1990, “Introduction”. Dalam Pierre J. van den Berghe
(Editor.), State Violence and Ethnicity. University Press of Colorado.
Hal. 1 – 18.
248
7 Kesukubangsaan
dan Posisi
Orang Cina dalam
Masyarakat Majemuk
Indonesia
Pendahuluan
I
ndonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu
sebuah masyarakat negara yang terdiri dari atas masyarakat-masyarakat
sukubangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari masyarakat
negara tersebut. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, penekanan
keanekaragaman adalah pada sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Dalam
masyarakat Indonesia, setiap masyarakat sukubangsa secara turun temurun
mempunyai dan menempati wilayah tempat hidupnya yang diakui sebagai hak
ulayatnya yang merupakan tempat sumber-sumber daya dimana warga masyarakat
sukubangsa tersebut memanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka.
249
sebagaimana yang terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap
mereka dalam berbagai interaksi baik interaksi secara individual maupun secara
kategorikal baik pada tingkat nasional (seperti posisi orang Cina yang minoritas
dibandingkan dengan pribumi) maupun pada tingkat masyarakat lokal (seperti posisi
orang Sakai yang minoritas dibandingkan dengan posisi orang Melayu yang dominan
di Riau) (Suparlan 1995).
250
menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas
diantara sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan perebutan sumber-
sumber daya yang secara adat menjadi hak mereka. Dampak lebih lanjut dari
pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa
setempat berkenaan dengan hak tersebut, yaitu siapa yang tergolong asli pribumi
setempat, siapa yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang, dan
siapa yang asing. Penggolongan kesukubangsaan ini mempunyai buntut perlakuan
sosial, politik, dan ekonomi oleh masyarakat sukubangsa setempat terhadap
berbagai golongan tersebut di atas berupa tindakan-tindakan diskriminasi dari yang
paling ringan (digolongkan sebagai pribumi tetapi tidak asli setempat dan karena itu
mempunyai posisi minoritas) sampai dengan yang terberat (orang Cina, yang
digolongkan sebagai asing).
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa diskriminasi secara legal atau hukum
dan sosial terhadap orang Cina di Indonesia adalah produk dari interaksi antara
dominannya ideologi kesukubangsaan orang Indonesia pribumi pada tingkat nasional
dengan kesukubangsaan Cina sebagai asing, dalam konteks-konteks persaingan
dan perebutan sumberdaya. Uraian dalam tulisan ini akan mencakup pembahasan
mengenai hakekat masyarakat majemuk dan dominasinya ideologi kesukubangsaan,
kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial yang muncul dan digunakan dalam
interaksi, masalah pribumi asli sebagai lawan dari tidak asli dan asing dan berbagai
dampak diskriminatifnya.
251
Gejala sosial yang tidak terlihat secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari
tetapi yang mendasar dan mendalam di dalam kehidupan anggota sukubangsa-
sukubangsa di Indonesia adalah jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan. Dapat
dikatakan bahwa dalam kehidupan orang Indonesia sukubangsa adalah sebuah ide
dan sebuah kenyataan, dan kesukubangsaan adalah sebuah ideologi yang
mempunyai kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar ataupun dibendung.
Dalam setiap interaksi, jatidiri akan nampak karena adanya atribut-atribut yang
digunakan oleh pelaku dalam mengekspresikan jatidirinya sesuai dengan hubungan
status atau posisi masing-masing (Suparlan 1999a). Dalam hubungan antar-
sukubangsa atribut dari jatidiri sukubangsa adalah ciri-ciri fisik atau rasial, gerakan-
gerakan tubuh atau muka, dan ungkapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai budaya
serta keyakinan keagamaan. Seseorang yang dilahirkan dalam keluarga sesuatu
sukubangsa maka sejak dilahirkannya mau tidak mau akan terpaksa harus hidup
dengan berpedoman pada kebudayaan sukubangsanya sebagaimana yang
digunakan oleh orangtuanya dan keluarganya dalam merawat dan mendidiknya
sehingga menjadi manusia sesuai dengan konsepsi kebudayaannya tersebut.
252
menurut kebudayaan sukubangsanya yang dipunyai oleh orangtuanya tersebut. Dia
harus tahu, memahami, dan meyakini, serta menggunakan kebudayaannya tersebut
sebagai pedoman bagi kehidupannya dalam menghadapi dan menginterpretasi
lingkungannya, dan untuk dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di
dalamnya bagi kelangsungan hidupnya. Dalam perspektif ini, dimana seseorang itu
mempunyai kebudayaan sukubangsanya seperti ‘’dipaksa’ mulai sejak kelahirannya,
maka kebudayaan sukubangsa juga bercorak askriptif seperti kesukubangsaannya.
Karena itu kebudayaan sukubangsa, bagi anggota-anggota sukubangsa yang
bersangkutan, adalah sebuah pedoman bagi kehidupan yang primordial atau yang
pertama dipelajari dan diyakini kebenarannya serta yang utama di dalam kehidupan
mereka, atau sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka.
253
Dalam masyarakat Indonesia sukubangsa dan kesukubangsaan adalah
sebuah ide dan sebuah kenyataan yang ada dalam kehidupan sehari-hari, dimana
anggota-anggota masyarakatnya dilahirkan, dididik dan dibesarkan dalam suasana
askriptif primordial kesukubangsaannya. Dalam suasana askriptif kesukubangsaan
tersebut pembedaan antara siapa ‘saya’ dan siapa ‘dia/kamu’ dan antara siapa ‘kami’
dan siapa ‘mereka’ jelas batas-batasnya, dan selalu diulang dan dipertegas, yaitu
batas-batas kesukubangsaan. Dalam ruang lingkup batas-batas kesukubangsaan ini
stereotip dan prasangka berkembang dan menjadi mantap dalam suatu kurun waktu
hubungan antar-sukubangsa yang tidak terbatas. Akibatnya banyak saling salah
pengertian di dalam komunikasi antar-sukubangsa, yang menyebabkan semakin
lebarnya jarak dan mantapnya batas-batas atau pagar-pagar yang membatasi
hubungan antara dua sukubangsa atau lebih. Akibat lebih lanjut dari stereotip dan
prasangka ini adalah terwujudnya tindakan-tindakan diskriminatif dalam hak dan
kewajiban oleh sukubangsa yang dominan terhadap mereka yang tergolong lemah
dan non-pribumi atau minoritas di dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Apa
yang dikemukakan oleh Thung Yu Lan (1999b) mungkin dapat dilihat sebagai
sebuah contoh tentang konflik antara pribumi setempat dengan orang Cina yang
tidak pernah dapat dituntaskan.
Corak yang penuh dengan stereotip dan prasangka terhadap yang minoritas
dan non-pribumi juga nampak dalam berbagai kebijaksanaan pemerintahan nasional.
Gejala ini dapat dipahami dengan memperhatikan bahwa para pejabat atau
penguasa dalam sistem nasional berasal dari berbagai sukubangsa yang dominan di
Indonesia yang telah secara sadar atau tidak sadar mengaktifkan kesukubangsaan
mereka masing-masing dalam berbagai kebijaksanaan dan keputusan-keputusan
sosial, ekonomi, dan politik untuk kepentingan-kepentingan mereka pada tingkat
nasional maupun lokal. Sehingga seringkali ideologi sukubangsa dari si pejabat atau
penguasa tersebut terwujud dalam berbagai kebijaksanaan sosial, ekonomi, dan
politik yang dibuatnya, baik secara sadar maupun secara intuitif yang primordial
untuk memperoleh dukungan sosial, ekonomi, dan politik dari masyarakat
sukubangsanya atau kelompok agamanya.
254
Dengan kata lain, sesungguhnya masyarakat Indonesia yang berdasarkan
atas kebangsaan tetapi yang majemuk mempunyai sistem nasional yang askriptif
dan primordial secara kesukubangsaan. Dalam perspektif ini tidak ada seorangpun
yang dapat menjadi orang Indonesia tanpa harus menjadi anggota dari salah satu
sukubangsa yang ada di Indonesia dan yang digolongkan sebagai pribumi. Karena
itu tidaklah mengherankan bahwa program asimilasi atau pembauran yang dilakukan
oleh pemerintahan Orde Baru menjadi gagal berantakan (Thung Yu Lan 1999a).
Karena walaupun orang Cina telah berganti nama menjadi nama Jawa, Sunda, atau
Batak, dsbnya, tetapi tetap saja orang-orang Cina ini digolongkan sebagai orang
Cina dan bukan sebagai orang Indonesia yang pribumi. Begitu juga dalam kasus
orang Cina yang telah berganti agama menjadi Islam, tetap saja digolongkan
sebagai orang Cina, dan bahkan ke-Islamannya dicurigai oleh sebagian orang
sebagai hanya sebuah strategi untuk dapat berbisnis secara lebih leluasa dan
menguntungkan di bawah label orang Islam. Disamping kenyataan seperti tersebut di
atas berkenaan dengan kegagalan program pembauran, konsep pembauran itu
sendiri juga tidak jelas. Orang Cina mau dibaurkan atau diasimilisasikan ke dalam
masyarakat Indonesia atau masyarakat sukubangsa? Apakah yang namanya
pembauran itu asal ganti nama atau ganti agama? Dalam kenyataannya, yang
kontradiktif dengan program asimilasi atau pembauran yang disponsori oleh
pemerintah Indonesia, pemerintah Indonesia sendiri sampai dengan beberapa waktu
yang lalu masih mendiskriminasi secara hukum orang-orang Cina yang warganegara
Indonesia atau WNI, yaitu dengan cara diberi kode khusus di KTP berdasarkan
identifikasi ke Cinaan tersebut. Ada dugaan bahwa berdasarkan kode tersebut
pejabat pemerintah setempat dapat melakukan berbagai tindakan diskriminatif dan
pemerasan. Begitu juga sampai dengan sekarang masih terdapat ketentuan hukum
yang mewajibkan seorang anak Cina, yang orangtuanya adalah warga negara
Indonesia, harus secara aktif memohon kewarganegaraan Indonesia kepada
pemerintah. Atau kalau hal itu tidak dilakukannya maka si anak Cina tersebut
digolongkan sebagai warga negara asing atau tidak berkewarganegaraan.
255
Tidak dapat disangkal bahwa kesukubangsaan dapat dilihat sebagai kekuatan
sosial untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial diantara sesama anggota
sukubangsa, dan kohesi sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan sebagai solidaritas
sosial yang mempunyai kekuatan sosial yang memaksakan diberlakukannya sesuatu
kebijaksanaan politik atau ekonomi, memenangkan sesuatu persaingan untuk
memperebutkan sumber daya, atau untuk menghancurkan sesuatu kelompok
sukubangsa lain yang menjadi lawan. Kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial
tidak dapat ditawar atau diremehkan (non negotiable) pada saat kesukubangsaan
tersebut terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial.
256
Bruner (1974) pada waktu membahas teorinya mengenai ‘hipotesa
kebudayaan dominan’ sebenarnya berbicara mengenai kesukubangsaan sebagai
sebuah kekuatan sosial politik (lihat Suparlan 1999). Salah satu kekuatan
kesukubangsaan yang dapat dilihat dan diamati sebagai bagian dari kehidupan
sehari-hari dari sebuah masyarakat sukubangsa adalah kemampuannya untuk
menentukan macam mata pencaharian yang dapat dikerjakan oleh pendatang dari
sukubangsa lain. Bila pelanggaran dilakukan maka konflik antar-sukubangsa dapat
terwujud, seperti dalam kasus Kalimantan Barat dan Ambon (Suparlan 2000a,
2000b, 2001).
257
penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada setempat serta pendistribusiannya.
Dalam keadaan dimana prinsip tersebut tidak lagi ditaati oleh para pendatang
anggota masyarakat setempat dapat memberi peringatan atau melaporkannya
kepada polisi setempat. Tetapi dalam keadaan dimana pelanggaran yang dilakukan
oleh pendatang telah melampaui kelaziman hubungan ‘tamu’ dengan ‘tuan
rumah’nya, anggota-anggota komuniti dan masyarakat setempat mengaktifkan dan
menggunakan kesukubangsaan untuk mengorganisasi diri mereka sebagai satuan-
satuan perang, seperti yang telah terjadi di Kalimantan Barat, Ambon, dan
kalimantan Tengah.
Orang Cina yang telah datang ke Indonesia selama berabad-abad dan terus
berdatangan hingga sekarang ke berbagai tempat di Indonesia menempati posisi
sebagai tamu dalam prinsip “dimana bumi dipijak langit dijunjung” yang diberikan
oleh komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat. Karena itu di masa lampau
hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat sukubangsa setempat
dengan orang Cina. Hubungan kawin-kawin antara orang-orang Cina dengan
perempuan pribumi setempat telah memungkinkan berubahnya status ‘tamu’ menjadi
kerabat dari anggota-anggota masyarakat sukubangsa setempat. Perubahan status
ini telah memungkinkan berubahnya status ‘tamu’ menjadi orang sendiri yang dalam
batas-batas tertentu telah memungkinkan keturunan mereka itu juga mempunyai
hak-hak atas tanah dari kelompok kerabat setempat.
258
bersamaan dengan itu berbagai peraturan mengenai kewarganegaraan tersebut
diberlakukan terhadap mereka, sama dengan yang diberlakukan terhadap orang-
orang Cina di Indonesia. Kalau di masa lampau posisi mereka di Singkawang seperti
pribumi, maka posisi mereka sekarang ini adalah seperti orang asing yang menjadi
tamu di wilayah orang Melayu dan Dayak.
Konsep asli yang dibedakan dari non-asli, dan pribumi lawan dari nonpribumi
merupakan konsep-konsep penting dari kesukubangsaan yang ada dalam kehidupan
masyarakat-masyarakat sukubangsa di Indonesia. Dengan mengacu pada konsep-
konsep ini, berbagai bentuk keteraturan sosial diciptakan dan dimantapkan, dan di
dalam keteraturan sosial tersebut tercakup hubungan antara mereka yang dominan
dan yang minoritas. Dalam hubungan dominan-minoritas tersebut terdapat berbagai
bentuk diskriminasi oleh yang dominan terhadap yang minoritas.
259
dan terutama bahasa asalnya di Cina di dalam keluarga dan di dalam kehidupan
sehari-hari, dan hidup dalam lingkungan komuniti mereka sendiri yang menjadi
pendorong dan pen-stimuli dipertahankan dan dikembangkannya kebudayaan asal
Cina mereka yang askriptif dan primordial. Mereka ini di Jakarta dikenal dengan
nama Cina Benteng. Di daerah perkotaan di pulau Jawa mereka cenderung
mengelompok dalam komuniti mereka sendiri. Wilayah komuniti ini dikenal dengan
nama Pecinan, yang biasanya bukan hanya menjadi tempat tinggal tetapi juga
menjadi tempat bisnis grosir dan berbagai kegiatan perdagangan eceran serta
pelayanan jasa-jasa lainnya yang menjadi mata pencaharian spesialisasi mereka.
260
Orang-orang Cina di Indonesia menikmati masa-masa yang relatif tenang
sampai dengan tahun 1960, yaitu sampai dengan ketika pemerintah Indonesia
memutuskan untuk membedakan antara yang warga negara Indonesia dan
warganegara asing, dan antara yang ingin tetap tinggal di Indonesia dan yang ingin
kembali ke negeri leluhurnya RRC. Secara sosial tidak jelas adanya diskriminasi
terhadap Cina sebagai golongan, walaupun secara individual hal itu bisa terjadi.
Pada waktu terjadinya peristiwa G 30S/PKI dimana orang-orang Cina dituduh
terlibat di dalam kup tersebut, karena keterlibatan organisasi Baperki dengan PKI,
maka banyak orang Cina yang ditangkap oleh militer, sebagian lainnya dibunuh oleh
massa, dan sebagian lainnya hilang atau melarikan diri ke luar Indonesia. Sebagian
dari orang-orang Cina di Kalimantan Barat adalah pendukung presiden Sukarno,
yang dituduh sebagai G 30S/PKI. Mereka melakukan perlawanan terhadap upaya
penangkapan atas diri mereka oleh militer, dan membentuk pasukan-pasukan
perlawanan di daerah perbatasan Kalimantan Barat. Pada tahun 1968 perlawanan
mereka dapat ditumpas oleh militer dengan menggunakan pasukan Dayak yang
mengaktifkan tradisi ‘mangkok merah’ yang telah dilarang di zaman penjajahan
Belanda. Saya mencatat dari seorang informan orang Dayak mengenai
digunakannya kembali kekuatan kamang tariu yang menggunakan mangkok merah
untuk solidaritas sosial diantara orang Dayak untuk menghancurkan dan
mengalahkan musuh (Suparlan 2000a).
261
tingkat lokal. Puncak dari kemarahan masyarakat Jakarta atas kebobrokan ekonomi
Indonesia terhadap orang Cina, si kambing hitam, adalah pada tanggal 13 - 14 Mei
1998 (lihat Suparlan 2000b).Tidak dapat disangkal bahwa dalam peristiwa ini terlibat
berbagai pihak sebagai provokator, tetapi bukti-bukti untuk itu tidak cukup untuk
mengungkapkannya.
262
berdasarkan atas sejumlah atribut yang menjadi ciri-cirinya, dalam kasus
pengkambing hitaman terhadap mereka seperti tersebut di atas.
263
hubungan sosial dan budaya yang dimantapkan melalui pranata-pranata sosial yang
ada dalam masyarakat setempat.
Posisi orang Cina yang digolongkan sebagai asing dan didiskriminasi seperti
tersebut di atas, pada masyarakat-masyarakat lokal sebenarnya tidak separah
diskriminasi yang dilakukan secara hukum oleh pemerintah. Karena, melalui
hubungan simbiotik seperti tersebut di atas, kategori Cina dikenal dan disyahkan
keberadaannya di dalam dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal yang
bersangkutan. Selama bergenerasi dikenal nama orang Cina atau Cine dalam
kehidupan orang Jakarta, orang Cino dalam kehidupan orang Melayu Riau, orang
Cine menurut orang Melayu Kalimantan Barat, wong Cino menurut kata orang Jawa.
Bahkan pada orang Jawa sebutan piyantun Cinten (priyayi Cina), dalam bahasa jawa
halus atau bahasa penghormatan, juga diberlakukan bagi orang Cina yang
berpenampilan sebagai terpelajar atau priyayi, seperti dokter dsb.
264
Cina, atau dengan kata-kata lain mereka ini minta diperlakukan sebagai orang
kerajaan atau penguasa dari Cina yang datang dan hidup di Indonesia. Jadi, mereka
ini orang asing, bukan orang Cina yang sudah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat-masyarakat lokal. Ciri keasingan mereka itu juga ditegaskan kembali
dalam pengidentifikasian diri sebagai orang Chinese. Sebutan yang biasanya
ditujukan kepada orang Cina yang berasal dari luar Indonesia atau orang asing.
Tetapi di lain pihak, mereka ini tidak mau disederajatkan secara sosial dan
budaya dengan sukubangsa-sukubangsa yang hidup di Indonesia. Mereka menuntut
diperlakukan sebagai orang asing yang terhormat dan dalam jenjang yang lebih
tinggi daripada orang-orang Indonesia lainnya, yaitu minta diperlakukan sebagai
orang dari pusat kerajaan Cina. Ada baiknya tokoh-tokoh dan cendekiawan Cina
memikirkan sungguh-sungguh tuntutan untuk disebut sebagai orang Tionghoa atau
orang Chinese bila mereka tidak ingin diperlakukan sebagai orang asing dan tidak
ingin didiskriminasi. Ada baiknya jika mereka belajar dari pengalaman orang-orang
Cina di Amerika (Suparlan 2002), yaitu bagaimana mereka itu dari kategori orang
Cina di Amerika yang didiskriminasi secara hukum dan sosial bisa menjadi orang
Cina Amerika yang semula secara sosial didiskriminasi tetapi secara bertahap
menjadi bagian dari masyarakat Amerika yang sama hak dan kewajibannya dengan
setiap orang Amerika lainnya. Jadi bukan mengaktifkan dan menunjukkan diri
sebagai Tionghoa atau Chinese yang orang asing, yang akan mengasingkan dan
mendiskriminasikan mereka secara hukum dan secara sosial.
265
orang Indonesia adalah yang utama. Masalah ini menuntut dilakukannya kajian-
kajian secara mendalam baik oleh para cendekiawan dan tokoh-tokoh Cina di
Indonesia maupun oleh ilmuwan sosial yang mempunyai perhatian mengenai hal ini.
*****
Kepustakaan
Bruner, Edward M., 1974, “The Expression of Ethnicity in Indonesia”. Dalam, Abner
Cohen (Editor), Urban Ethnicity. Hal. 251 – 288. London: Tavistock.
Furnivall, J.S., 1944, Netherlands India: A Study of plural economy. Cambridge :
Cambridge University Press.
Nuranto, N., 1999, “Kebijakan terhadap Bisnis Etnis Cina Di Masa Orde Baru”.
Dalam, I. Wibowo (Editor.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah
Cina. Hal. 50 – 74 Jakarta: Gramedia.
Suparlan, Parsudi, 1979, “Ethnic Groups of Indonesia”, The Indonesian Quarterly,.
Vol. 7, No. 2, hal. 55 – 75.
––––––––––, 1995, Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat
Indonesia yang Majemuk. . Jakarta: Yayasan OBOR.
––––––––––, 1999a, “Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa”.
Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah
Cina. Hal. 149 – 173. Jakarta: Gramedia.
––––––––––, 1999b, “Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan
Kesukubangsaan”. Jurnal Antropologi Indonesia. Vol. 23, No. 58, hal.
13 – 20.
––––––––––, 2000a, “Kerusuhan Sambas”. Jurnal Polisi Indonesia, No. 2, hal.
71 – 85.
266
––––––––––, 2000b, “Ethnic and Religious Conflicts in Indonesia”. Dalam, Michael
Leigh (Editor), Proceedings of the sixth Bienneal Borneo Research
Conferenca. Hal. 97 – 128. Kucing, Sarawak: Institute of East Asian
Studies, University of Malaysia.
––––––––––, 2001a, “Kerusuhan Ambon”. Jurnal Polisi Indonesia. No. 3, hal. 1 – 30.
––––––––––, 2001, Indonesia, Kesukubangsaan, dan Posisi Orang Cina. Makalah.
––––––––––. 2002, “Orang Cina Amerika”. Makalah untuk Seminar Orang Cina di
Amerika. Jakarta:. Kajian Wilayah Amerika, U.I., 6 Juni 2002.
__________ 2003, “Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat
Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia, No.71, hal.23-33.
Thung Ju Lan, 1999a, “Tinjauan Kepustakaan Tentang Etnis Cina di Indonesia”.
Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah
Cina. Hal. 3 – 23. Jakarta: Gramedia.
––––––––––, 1999b, “Masalah Cina: Konflik Etnis yang Tak Kunjung Padam”. Jurnal
Antropologi Indonesia, Vol. 23, No. 58, hal. 21 – 35.
Wibowo, I., 1999, “Pendahuluan”. Dalam I. Wibowo (Editor), Retrospeksi dan
Rekontekstualisasi Masalah. Cina. Hal. Ix – xxxi, Jakarta: Gramedia.
267
8 Kesetaraan Warga
dan Hak Budaya
Komuniti dalam
Masyarakat
Majemuk Indonesia
Pendahuluan
I
ndonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society), yaitu sebuah
masyarakat negara yang terdiri atas lebih dari 500 sukubangsa yang
dipersatukan oleh sebuah sistem nasional sebagai bangsa dalam wadah sebuah
negara kesatuan Indonesia. Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru dari Presiden
Suharto pada tahun 1998, Indonesia mengalami proses transisi dan coraknya yang
otoriter-militeristik menuju masyarakat sipil yang demokratis. Corak otoriter yang
menonjol adalah upaya peredaman atau pembungkaman kesukubangsaan dan
keyakinan-keyakinan keagamaan yang mempunyai potensi untuk menentang
kekuasaan pemerintahan Orde Baru. Sebaliknya, potensi-potensi kesukubangsaan
dan keyakinan-keyakinan keagamaan diperkuat dan diarahkan sebagai kekuatan-
kekuatan politik untuk mendukung, memperkuat, dan mensakralisasi kekuasaan
pemerintahan Orde Baru.
268
majemuk, dan ke dalam pranata-pranata politik nasional serta pranata-pranata sosial
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, telah membuyarkan dan menyamarkan
prinsip demokrasi dan konsep masyarakat sipil itu sendiri, serta membuyarkan
ideologi dan integritas kebangsaan Indonesia. Kebuyaran dan kesamar-samaran ini
disebabkan oleh adanya anggapan bahwa prinsip demokrasi sudah digunakan
sebagai landasan ideologi bangsa, dan sudah berlaku dalam kehidupan masyarakat
sipil, karena sudah ada HAM dan pembedaan kewenangan antara badan-badan
eksekutif, legislatif, dan judikatif pada tingkat makro atau nasional.
269
Daerah sama sekali tidak memperhitungkan berbagai dampak yang diakibatkan oleh
diberlakukannya UU ini.
270
hidup sebagai sebuah komuniti sukubangsa, terutama di daerah perkotaan. Konsep
mengenai sukubangsa lain dalam pertentangannya dengan sukubangsanya sendiri
sebagai acuan dari jatidiri untuk berperan dalam hubungan antar-sukubangsa, bukan
hanya diperoleh dari pengalaman-pengalaman sebagai perorangan, melainkan juga
dari berbagai cerita orang lain, berita media massa cetak, dan elektronik. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa sukubangsa dan kesukubangsaan bagi orang
Indonesia bukan hanya sebuah dunia filosofi, melainkan juga sebuah dunia nyata
yang harus mereka hadapi sehari-hari dalam berbagai bentuk ekspresinya, secara
sadar maupun tidak sadar.
271
sukubangsa, dan pengangkatan serta pemberian berbagai fasilitas dan honor
kepada para tokoh adat dan pemangku adat). Hal yang sama juga dilakukan oleh
Departemen Agama, yang dengan menggunakan kekuatan birokrasinya membangun
pengembangan agama, terutama agama Islam, dan mengusung kekuatan sosial dan
politik yang primordial guna mendukung kemantapan pemerintahan Presiden
Suharto. Begitu juga yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri yang
melakukan berbagai kebijakan pengendalian sosial dan politik melalui Ditjen Sospol.
Demikan pula upaya menyeragamkan corak pemerintahan pada tingkat pedesaan
yang secara tradisional bercorak semi-otonomi, menjadi bercorak seperti
pemerintahan desa Jawa yang dikuasai dan dikendalikan oleh pemerintah yang
dilakukan oleh Ditjen PUOD.
272
kroni-kroninya. Hal itu kemudian berkembang sebagai kekuasaan-kekuasaan
perorangan yang absolut, yang terpusat di tangan Pak Harto dan keluarganya.
Kekuasaan yang absolut adalah kekuasaan yang korup, baik secara sosial,
ekonomi, politik, dan moral. Untuk itu, jastifikasi (justification) atau pembenarannya
dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol dan metafor-metafor keagamaan
yang relevan oleh pejabat-pejabat keagamaan dalam berbagai upacara keagamaan
dan upacara sosial. Bila pembenaran secara keagamaan masih dirasakan belum
mantap, berbagai tindakan represif akan dilakukan. Tindakan-tindakan represif dapat
dijastifikasi atau dibenarkan, karena telah diciptakan dan dimantapkannya musuh
bersama sebagai kambing hitam. Musuh bersama itu dinamakan PKI atau sisa-sisa
Orde Lama atau ekstrim kiri, atau ekstrim kanan, dan golongan separatis atau
pengacau keamanan. Dalam zaman Orde Baru tidak ada kesetaraan warga, yang
ada ialah hierarki atau jenjang sosial yang dimantapkan melalui berbagai bentuk
peraturan dan kebijakan politik, serta pemberian fasilitas dan keistimewaan kepada
golongan militer, pejabat dan birokrat, dan partai pendukung pemerintah. Akibatnya,
dengan jelas dapat dibedakan antara yang berkuasa (dengan berbagai
keistimewaannya) dengan yang tidak berkuasa, atau orang biasa (yang harus
mengabdi kepada yang berkuasa). Sebagai catatan, pegawai negeri pun
digolongkan sebagai abdi atau hamba sahaya. Pembedaan jenjang ini terwujud
sebagai perbedaan antara militer dan sipil; antara pejabat dan bukan pejabat;
pengusaha konglomerat yang kebanyakan adalah orang Cina yang menjadi kroni
presiden, dan yang bukan orang Cina atau pribumi; antara golongan Islam dan yang
bukan; antara warga masyarakat biasa dan yang tidak bersih lingkungan atau yang
berindikasi komunis; atau ekstrim kiri dan ekstnim kanan, serta separatis atau
pengacau keamanan. Dalam masa Orde Baru tidak ada kesetaraan warga, baik
secara sosial, legal atau hukum, dan budaya. Ketidaksetaraan ini terwujud terutama
dalam kehidupan politik dan ekonomi dan warga masyarakat Indonesia.
273
demokrasi Pancasila sebagai demokrasi. Prinsip demokrasi yang utama, yaitu
kesetaraan derajat secara individual dan kebebasan, dan pemerintahan atas
persetujuan rakyat, tidaklah terwujud selama pemerintahan Orde Baru. Selama masa
Orde Baru, yang ada ialah pemerintahan oleh militer, para patron atau bapak, dan
para kroni dan presiden. Mereka melihat corak kebudayaan Indonesia dalam zaman
Orde Baru sebagai sebuah kebudayaan yang feodalistik, otoriter-militeristik, dan
paternalistik yang didukung oleh sistem ekonomi kronisme.
274
berdasarkan atas ciri-ciri fisik atau rasial, kesukubangsaan, keyakinan keagamaan,
dan jenjang sosial menurut patokan feodalisme yang secara tradisional berlaku.
275
sosial, ekonomi, dan politik. Dalam masyarakat yang paternalistik, otoriter, atau
militeristik seperti tersebut di atas, demokrasi dalam pengertian yang sebenarnya
tidaklah mudah ditegakkan.
Bila kita melihat Amerika sebagai sebuah negara yang demokratis, maka yang
kita lihat adalah bahwa demokrasi bukan hanya menjadi ideologi atau filsafat
kehidupan bangsa itu, melainkan juga menjadi pedoman bagi kehidupan warganya.
Amerika adalah sebuah bangsa dan kumpulan bangsa-bangsa yang sangat berbeda
secara rasial, asal etnis atau sukubangsa, kebudayaan dan keagamaannya, yang
telah dibangun dengan menggunakan prinsip demokrasi. Dan sebuah bangsa yang
pada awal berdirinya menekankan pada monokulturalisme yang didominasi oleh
golongan WASP (White Anglo Saxon Protestant), Amerika telah secara bertahap dan
pasti berubah coraknya secara mantap menjadi sebuah bangsa yang menekankan
pada keanekaragaman kebudayaan atau multikulturalisme. Multikulturalisme pada
bangsa Amerika ini menekankan kesetaraan derajat individu dan menoleransi
perbedaan-perbedaan kebudayaan. Di sinilah letak kebesaran kebudayaan bangsa
Amerika, yaitu kemampuannya untuk menampung berbagai perbedaan dan
keanekanagaman kebudayaan dalam sebuah kebangsaan dengan suatu ikatan
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi menjadi sebuah ideologi yang
menjadi pedoman hidup mendasar bagi kebersamaan yang sederajat, dan sebuah
pedoman yang praktikal dalam menghadapi kehidupan nyata sehari-hari. Dalam
prinsip demokrasi ini, penekanan hak ada pada individu dan bukannya pada
kelompok-kelompok etnis atau keagamaan, sehingga Amerika sekarang ini dapat
kita lihat sebagai sebuah bangsa yang dibangun atas kekuatan dan kemampuan
individu-individu, bukannya berdasarkan pada kekuasaan kelompok-kelompok
sukubangsa atau keyakinan keagamaan.
276
adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip-prinsip demokrasi dalam
kehidupan nyata. Diskriminasi secara rasial, politik, budaya, pendidikan, dan
ekonomi yang berlaku di masa lampau, secara bertahap maupun secara radikal
dikikis oleh kemauan untuk menegakkan demokrasi demi kesejajaran dalam derajat
kemanusiaan sebagai bangsa Amerika.
Apa yang menjadi landasan bagi dan mengikat keberadaan kebudayaan yang
beranekaragam tersebut adalah nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan Amerika,
yang menjadi milik bersama bangsa Amerika. Nilai-nilai budaya itu merupakan
patokan penilaian, atau pedoman etika dan moral dalam bertindak yang benar dan
pantas bagi orang Amerika. Nilai-nilai budaya tersebut terserap dalam hampir semua
bidang kehidupan. Secara sadar atau tidak, nilai budaya itu digunakan sebagai
acuan bagi penjelasan yang masuk akal dan pembenaran atas suatu tindakan yang
dilakukan, baik tindakan-tindakan sosial, ekonomi, dan politik, maupun tindakan-
tindakan individual secara pribadi. Di antara serangkaian nilai budaya Amerika yang
mendasar, yang secara aktual diyakini sebagai acuan utama dalam kehidupan
mereka sebagai bangsa Amerika, adalah percaya pada diri sendiri atau self reliance.
Tercakup dalam pengertian self reliance adalah tahu hak dan kewajibannya, tahu
dan menghargai hak individu lainnya dan orang banyak, dapat dan berani menolak
atau melawan pada saat haknya dilanggar oleh yang lainnya. Pada prinsipnya,
dalam konsep self reliance juga tercakup pengertian percaya pada kemampuan diri
sendiri, dan dirinyalah yang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.
Demokrasi sebagai sebuah filsafat atau ideologi yang dimiliki bersama oleh
para warga sebuah masyarakat sipil yang bukan militeristik mencakup prinsipprinsip:
277
…... berdasarkan atas persetujuan dari rakyat yang diperintah, kekuasaan
mayoritas yang dibarengi dengan hak-hak minoritas, proses hukum
yang wajar, pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional,
kemajemukan sosial, ekonomi, budaya, nilai-nilai toleransi atas perbedaan-
perbedaan, pragmatisme, dan kerjasama serta mufakat (Lubis 1994;
USIS t.t.).
Akan tetapi, bila demokrasi hanya diperlakukan sebagai filsafat atau ideologi,
demokrasi sebagai sebuah konsep hanya akan ada dalam benak kepala. Di lain
pihak, sebuah masyarakat yang demokratis adalah sebuah masyarakat yang
menggunakan konsep demokrasi sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara, dan terwujud sebagai inti dan, serta didukung oleh pranata-pranata sosial
masyarakat tersebut. Demokrasi tidak mungkin hidup dalam sebuah masyarakat bila
demokrasi tidak terserap ke dalam, dan menjadi kebudayaan serta pranata-pranata
sosial dan masyarakat tersebut. Begitu pula halnya bila tidak didukung oleh nilai-nilai
budayanya yang merupakan patokan bagi pedoman etika dan moral, baik secara
sosial, legal, ekonomi, dan politik yang berlaku pada tingkat individual, maupun pada
tingkat kemasyarakatan.
278
Konflik-konflik yang terjadi dalam proses menurut prinsip demokrasi harus
mengikuti hukum atau aturan main yang adil dan beradab. Ketaatan atau kepatuhan
pada hukum yang berlaku adalah salah satu syarat mutlak bagi berlakunya
demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Tanpa adanya ketaatan pada hukum,
maka yang ada adalah kekacauan, karena tiap-tiap individu akan mau menang-
menangan sendiri. Melalui hukum inilah sebenarnya perikemanusiaan yang kita
kenal dengan nama HAM ini ditegakkan, yang menjamin terwujudnya kesetaraan
derajat individu demi kesejahteraan bersama.
279
setempat dengan yang pendatang. Dalam konflik sukubangsa ini seperti
kasus Sambas, Ambon, dan Kalimantan Tengah (Lihat Suparlan 2000),
kelompok sukubangsa setempat menuntut pengakuan atas keunggulan
kebudayaan mereka, dengan ungkapan: ...di mana bumi dipijak, langit
dijunjung’, atau ‘adat sukubangsa setempat harus diikuti. Dalam hal ini,
kebudayaan sukubangsa menjadi ideologi politik sukubangsa. Orang Melayu
di Sambas, setelah berakhirnya konflik dengan orang Madura dengan
keberhasilan orang Melayu mengusir mereka dari wilayah Sambas,
mengambil kebijakan politik kesukubangsaan yang memutuskan untuk tidak
menerima kedatangan kembali orang-orang Madura yang mengungsi untuk
hidup di wilayah Kabupaten Sambas. Sebuah kebijakan yang sebenarnya
bertentangan dengan UUD 1945 dan dengan prinsip kebangsaan Indonesia.
Apakah barangkali Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat merupakan sebuah
negara Melayu yang mempunyai peraturan keimigrasian tersendiri?
• Politik kebudayaan yang menekankan homogenitas, yang dilakukan melalui
penataran P4 dalam masa pemerintahan Orde Baru, yaitu yang
mengupayakan pemberlakuan prinsip Pancasila sampai ke dalam kehidupan
keluarga, sama dengan upaya mereduksi keanekaragaman kebudayaan di
Indonesia secara sewenang-wenang. Inilah sebuah upaya penyeragaman
kebudayaan yang akan dapat digunakan untuk mendukung corak
keseragaman pemerintahan Orde Baru yang otoriter-militeristis.
280
demokratis, seperti dalam zaman pemerintahan Habibie, maka gejolak etnosentrisme
dan tribalisme memunculkan dirinya ke permukaan arena politik Indonesia, yang
secara langsung atau tidak langsung mengancam integrasi sistem nasional dan
kebangsaan Indonesia.
Bersamaan dengan ini, prinsip demokrasi dalam arti yang sebenarnya harus
dijadikan kebijakan politik nasional. Kebijakan itu harus terwujud dalam ketentuan-
ketentuan hukum yang operasional dalam berbagai pranata sosial, baik secara
nasional maupun lokal, yang akan menjamin terwujudnya individualisme dan
individualitas. Hal itu diharapkan mendorong terwujudnya nilai budaya percaya pada
diri sendiri (self reliance) dan berbagai nilai budaya yang mendukungnya. Hak-hak
individu untuk berbeda dari individu lain atau masyarakat harus dijamin ketentuan
hukum selama tindakan-tindakan individual tersebut tidak melanggar hukum yang
berlaku, atau kepentingan umum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
setempat.
281
mereka yang pendatang dan karena itu harus didiskriminasi. Bukan kekuasaan
komuniti-komuniti atau kelompok-kelompok sukubangsa dan kesukubangsaanya
yang utama dalam upaya mewujudkan kehidupan demokrasi, melainkan individu-
individu dengan keanekaragaman kebudayaannya yang setara derajatnya yang
harus menjadi landasan bagi terwujudnya kehidupan demokrasi. Bukan kelompok-
kelompok sukubangsa atau komuniti-komuniti sukubangsa dengan kebudayaannya
yang secara tradisional mendominasi corak kehidupan masing-masing wilayahnya,
melainkan berbagai kebudayaan dari kelompok asal mana pun yang sama-sama
mempunyai hak untuk hidup dalam wilayah mana pun di Indonesia, sesuai dengan
ketentuan hukum dan adat atau konvensi sosial yang berlaku setempat.
Dengan demikian, hak budaya komuniti mana pun dan dalam wilayah
Indonesia mana pun harus dijamin keberadaan dan kehidupannya oleh sistem
nasional dengan mengacu pada ketentuan hukum yang dibuatnya. Dalam kehidupan
demokratis, yang digolongkan sebaga sakral atau sokoguru demokrasi bukan hanya
individu, melainkan juga masyarakat (yaitu negara yang diwakili oleh pemerintah),
dan komuniti atau masyarakat setempat. Komuniti atau masyaraka setempat ini
merupakan kumpulan dari individu-individu yang hidup secara bersama denga
berpedoman pada kebudayaan yang mereka miliki bersama (Suparlan 1991).
Hubungan antara individu, negara, dan komuniti atau masyarakat setempat adalah
hubungan konflik kepentingan yang saling tergantung satu sama lainnya, tempat
masing-masing akan berupaya mendominasi lainnya. Karena itu, berbagai ketentuan
politik dan hukum harus dibuat dan dibangun untuk menciptakan suatu
keseimbangan hubungan kepentingan yang akan menguntungkan ketiga unsur
sakral dalam kehidupan demokrasi tersebut.
Komuniti dapat dilihat sebagai sebuah satuan kehidupan berskala kecil yang
menempati suatu wilayah. Komuniti dapat juga dilihat sebagai perkumpulan profesi,
kepentingan, atau lainnya. Hak budaya komuniti dimaksudkan mencakup dua
pengertian tersebut, tetapi terutama ditujukan untuk pengertian komuniti sebagai
satuan kehidupan. Dalam kehidupan manusia sebagai individu, maka di dalam
kehidupan komuniti inilah dia hidup, dibesarkan, dan dijadikan manusia, sehingga
dapat berperan sebagai warga masyarakat dan warga negara yang berguna. Oleh
karena itu, ia dapat melestarikan dan mengembangkan kehidupan komunitinya,
282
masyarakat dan negaranya. Sebuah komuniti atau masyarakat-negara tidak mungkin
akan ada bila tidak berproduksi untuk menghidupi individri-individu yang menjadi
anggota atau warganya. Posisi komuniti dapat disetarakan dengan posisi
masyarakat-negara dalam fungsinya bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu hak
budaya komuniti berkenaan dengan keberadaan dan kehidupannya harus dilindungi
secara hukum. Dalam masyarakat yang demokratis, seperti Amerika dan negara-
negara di Eropa Barat, hak budaya komuniti ini dilindungi secara hukum dan politik,
karena prinsip demokrasi dalam kehidupan nyata tidak akan terwujud tanpa adanya
komuniti dan hak-hak hidupnya.
Mengapa hak budaya komuniti itu harus dilindungi secara hukum? Karena,
dalam berbagai konflik atau kerusuhan sosial, baik yang terwujud dalam bentuk
konflik antar-sukubangsa dan antar-penganut keyakinan keagamaan yang berbeda,
ataupun antar-desa atau tawuran, yang menjadi sasaran untuk dihancurkan bukan
hanya orang-orang yang dianggap sebagai musuh, melainkan juga rumah-rumah,
berbagai fasilitas umum dan tempat-tempat beribadat yang ada. Atau dengan
perkataan lain, yang dihancurkan dalam konflik atau kerusuhan tersebut mencakup
juga komunitinya. Dihancurkannya komuniti pihak lawan sama dengan
dihancurkannya kehidupan pihak lawan itu.
283
upaya sistem nasional untuk mempersatukan kelompok-kelompok sukubangsa
menjadi sebuah bangsa. Pemersatuan kelompok-kelompok sukubangsa itu
dilakukan secara paksa, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kebijakan untuk secara nasional dan sosial meredam atau menyimpan jatidiri
rasial atau sukubangsa, dan sebaliknya, menonjolkan ide keanekaragaman
kebudayaan atau masyarakat multikulturalisme, dapat dilihat sebagai sebuah
kebijakan yang bertujuan untuk meredam potensi-potensi konflik rasial dan
sukubangsa. Sebaliknya, kebijakan tersebut menonjolkan kekayaan, potensi-potensi
pengembangan, dan kemajuan melalui ide keanekaragaman kebudayaan yang
memang sejalan dengan dan mendukung berlakunya prinsip demokrasi dalam
kehidupan masyarakat.
284
memungkinkan diterapkannya prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi itu dilandasi oleh
kesetaraan derajat individu atau warga, serta muncul dan mantapnya hak budaya
komuniti dalam kaitan keseimbangannya dengan kekuasaan negara atau
masyarakat. Dalam masyarakat yang multikultural tersebut demokrasi dapat
berkembang. Sebaliknya, demokrasi dapat mengembangkan masyarakat yang
multikultural. Hal ini disebabkan berlakunya prinsip perbedaan dan saling
menghargai perbedaan. Konflik atau persaingan berdasarkan atas hukum atau
aturan main yang adil dan beradab, yang tidak dapat ditawar oleh seseorang yang
mempunyai posisi tinggi atau kekuasaan yang besar.
*****
Kepustakaan
285
Suparlan, P., 1972, The Javanese in Bandung: Ethnicity in a medium sized
Indonesian City. Tesis MA tidak dipublikasikan. University of Illinoi
_________, 1991 “Yang Sakral Dalam Nilai-Nilai Budaya Amerika”. Jurnal Studi
Amerika 1(2):4—11.
–––––––––, 1995, The Javanese in Suriname: Ethnicity in an Ethnically Plural
Society.Tempe, Arizona: Program for Southeast Asian Studies, Arizona
State University.
–––––––––, 1999, ‘Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke
Multikulturalisme’, Jurnal Studi Amerika (5):43—52.
–––––––––, 2000a ‘Masyarakat Majemuk dan Perawatannya’, Antropologi Indonesia
25 (63): 1-13.
–––––––––, 2000b ‘Kerusuhan Sambas’, Jurnal Polisi Indonesia (2):71—85.
Reed, I. (Ed.)), 1998 Multi America : Essays cultural wars and cultural peace,
Pingguin.
USIS, t.t. Apakah Demokrasi Itu? Brosur.
286
9 Menuju
Masyarakat Indonesia
yang Multikultural
Pendahuluan
D
alam tulisan saya (Suparlan 2001a, 2001b) telah saya bahas dan tunjukkan
bahwa cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus
dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap
keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari cita-cita
tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya
hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya
keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran
produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan
rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan
tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia”
dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat majemuk”
(plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika
bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi
keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
287
terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang
seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model multikulturalisme ini
sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia
dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana
yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan
bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
288
Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negaranegara
Eropah Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat
tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih
yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat
tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang
dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat, berbagai gejolak untuk persamaan hak
bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir
tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan
diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna di
tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan
Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action
yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk
dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di
berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat
Suparlan 1999).
289
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang
harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi,
HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah
ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya, dan
multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan
bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan
mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami
multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-
konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus
dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama
tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling
mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan
dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-
nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa,
kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-
ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan
konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002).
290
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai
interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang
tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan
politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam
berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan
sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan
multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi
Indonesia.
Salah satu isyu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam
kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak
dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan
korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen
sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini
akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya
dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaan
manajemen yang dikaji. Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan
mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur
kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put)
menjadi keluaran (out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap
struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika
itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang
betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya
disembunyikan dari pengamatan umum)?
291
etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang
dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan
mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang
berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan manajemen
sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu
memberikan pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya
digunakan menurut dan sesuai dengan konteks-konteks macam kegiatan dan
organisasi.
Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai ‘Pedoman yang
berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah
profesi, yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai
yang mendukung dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku
sebagaimana seharusnya, sesuai dengan hak dan kewajibannya. Sehingga
peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses
masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno 1987).
Dalam ruang lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya
etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan birokrasi, dan
sebagainya. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat berbagai
pedoman etika yang ada atau tidak ada dalam berbagai struktur kehidupan atau
pengelolaan sumber-sumberdaya yang lebih khusus, misalnya pembahasan
mengenai “Akbar Tanjung dan Etika Politik” sebagaimana yang telah
dikemukakanoleh Alfian M (2002).
292
mampu, sebaiknya kita persiapkanlah diri kita melalui berbagai kegiatan diskusi,
seminar, atau lokakarya untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita dan
mempertajam konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai
ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural. Kalau merasa
diperlukan, sebaiknya pimpinan dan dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi
dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting berkenaan dengan
peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita reformasi.
Pembicaraan para pimpinan jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk
mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi yang sesuai
dengan itu.
Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu? Kajian-kajian
etnografi yang tradisional, yang bercorak butterfly collecting sebagaimana yang
selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan
dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan
antropologi dewasa ini dan sesuai dengan upaya pembangunan masyarakat
Indonesia menuju masyarakat yang multikultural. Penelitian etnografi yang bercorak
penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi
yang terfokus dan mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang
tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang
akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga
kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons
dari responden atas sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk
dan mengenai multikulturalisme ini. Karena, kajian seperti ini hanya akan mampu
menghasilkan informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat
superfisial, dan menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat
diungkapkan melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian. Pendekatan kualitatif
dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka
statistiknya, sebaiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku
sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit oleh Denzin dan Lincoln (2000),
karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-
konteks masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya. Untuk itu perlu
juga diperiksa tulisan Guba dan tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-editnya
293
(1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang menjadi landasan
utama dari metodologi kualitatif.
Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme, ahli-
ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai
memikirkan untuk memberikan informasi mengenai multikulturalisme kepada
berbagai lembaga, badan, dan organisasi pemerintahan yang dalam kebijaksanaan
mereka langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah multikulturalisme.
Hal yang sama juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh
masyarakat atau partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi
294
pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar, dan
lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial yang akan
mendukung dan bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila
mereka memahami makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang
berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan
ide tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau
mereka merasa tidak berkepentingan untuk turut melakukan reformasi.
295
dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen. Pedoman etika ini akan
membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.
*****
296
Kepustakaan
Alfian M., M. Alfian, 2002, “Akbar Tanjung dan Etika Politik”. Harian Media Indonesia,
19 Maret 2002.
Bertens, K., 2991, Etika. Jakarta: Gramedia.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincolns (eds), 2000, Handbook of Qualitative
Research. Second Edition. London: Sage.
Fay, Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multiculturak
Approach. Oxford: Blackwell
Glazer, Nathan, 1997, We are All Multiculturalist Now. Cambridge, Mass.:Harvard
University Press.
Guba, Egon G.(ed.), The Paradigm Dialog. London: Sage.
Jary, David dan Julia Jary, 1991, “Multiculturalism”. Hal.319. Dictionary of Sociology.
New York: Harper.
Magnis-Suseno, 1987, Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Nieto, Sonia, 1992. Affirming Diversity:: The Sociopolitical Context of Multicultural
Education. . New York: Longman.
Reed, Ishmed (ed.). 1999. Multi America: Essays on Culture Wars and Peace..
London: Pinguin.
Rex, John, 1985, “The Concept of Multicultural Society”. Occasional Paper in Ethnic
Relations, No. 3. Centre for Research in Ethnic Relations (CRER).
Suparlan, Parsudi, 1999, “Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke
Multikulturalisme”. Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus, hal. 35-42.
_________, 2001a, “Bhinneka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau
Kebudayaan? Makalah disampaikan dalam Seminar Menuju Indonesia
Baru. . Perhimpunan Indonesia Baru – Asosiasi Antropologi Indonesia.
Yogyakarta, 16 Agustus 2001.
_________, 2001b, “Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme”. Harian
Media Indonesia, 10 Desember 2001.
_________, 2002a, “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia, no. 6,
hal. 1-12.
297
_________, 2002b, Konflik Antar-Sukubangsa dan Upaya Mengatasinya. . Temu
Tokoh. “Dengan Keberagaman Etnis Kita Perkokoh Persatuan dan
Kesatuan Bangsa dalam Rangka Menuju Integrasi Bangsa”. Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian
dan Pengembangan Budaya - Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
(BKNST) Pontianak. Singkawang, 12-14 Juni 2002.
Watson, C.W., 2000, Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University
Press.
298
10 Keyakinan
Keagamaan
dalam Konflik
Antar-Sukubangsa
Pendahuluan
T
ulisan ini ingin menunjukkan bahwa dalam konflik antar-sukubangsa, corak
kesukubangsaan yang individual merupakan milik perorangan berubah
menjadi kategorikal. Yang menjadi sasaran untuk dihancurkan oleh masing-
masing anggota sukubangsa yang mengalami konflik bukan lagi orang-perorangan
dan bukan pula kelompok, melainkan kategori sukubangsa. Sukubangsa itu yang
menjadi musuh sesuai dengan ciri-ciri atau atribut-atribut yang menjadi acuan dan
kesukubangsaannya. Apa pun dan siapa pun yang mempunyai atau ditempeli
atribut-atribut kesukubangsaan yang menjadi musuh dalam konflik antar-sukubangsa
akan dihancurkan. Karena itu, penghancuran terhadap kategori berdasarkan ciri-ciri
kesukubangsaan tersebut tidak mengenal batasan umur, jenis kelamin, posisi sosial
atau keyakinan keagamaan, dan tidak pula mengenal batasan nilai uang dari barang
dan harta benda yang dihancurkan. Tulisan ini juga ingin menunjukkan bahwa dalam
setiap konflik antar-sukubangsa, terserap muatan emosi dan keyakinan keagamaan
para pelakunya. Karena itu, konflik antar-sukubangsa dapat digeser atau diubah dari
konflik antar-sukubangsa menjadi konflik antar-agama, atau lebih tepatnya, konflik
antara para penganut keyakinan keagamaan yang berbeda. Walaupun demikian,
tidaklah berarti bahwa setiap konflik antar-sukubangsa akan dapat berubah menjadi
konflik antar agama.
299
Di satu pihak, keyakinan keagamaan para pelakunya dilihat sebagai
memperkuat kesukubangsaan, dan menyemangati semangat penghancuran kategori
sukubangsa yang menjadi musuhnya. Di lain pihak, keyakinan keagamaan para
pelakunya dilihat sebagai mendominasi kesukubangsaan, dan mengambil alih fungsi
kesukubangsaan sebagai kategori yang menjadi sasaran penghancuran, sehingga
konflik antar-sukubangsa berubah menjadi konflik antar agama. Di samping itu,
persaudaraan umat di antara penganut agama yang sama, yaitu sesama penganut
agama Islam dan dua kategori sukubangsa yang bermusuhan, dapat tidak berfungsi
atau tidak bermakna dalam menjembatani perbedaan, dan mengurangi tingkat
konflik dalam konflik antar-sukubangsa. Karena itu, konflik antar-sukubangsa tidaklah
dapat secara semena-mena dinyatakan sebagai tergolong kategori primordial atau
yang mengakar, yang pemecahannya menggunakan rumus-rumus umum untuk
dapat didamaikan (Bloomfield dan Reilly 2000:11-30; dan Bloomfield, Ghai, dan
Reilly. 2000:33-50). Begitu pula konflik antar-sukubangsa tidak dapat dikatakan
sebagai akibat dan kesenjangan sosial, atau karena benturan dari kebudayaan yang
berbeda, sebagaimana dinyatakan oleh para pakar di Indonesia, seperti Nitibaskara
(2001). Konflik antar-sukubangsa sebetulnya adalah produk dari hubungan antar-
sukubangsa yang berlaku setempat. Karena itu, faktor-faktor penyebab dan coraknya
ada dalam konteks-konteks setempat.
300
Konflik antar-sukubangsa di Sambas, Ambon, dan Kalimantan Tengah selalu
bermula dari adanya perbuatan pendominasian tempat-tempat umum dari kehidupan
komuniti warga setempat oleh para preman dan kriminal. Pendominasian dilakukan
dengan berbagai cara preman dan kriminal: pemalakan, tuntutan uang keamanan,
penipuan, perampasan, pencurian, dan perampokan. Dengan kata lain,
pendominasian dilakukan dengan cara kekerasan dan ancaman atau teror.
Pasar dan tempat-tempat umum dapat dilihat sebagai pranata dengan norma-
norma dan nilai-nilai budaya yang dilandasi oleh prinsip tawar menawar secara
terbuka dan sukarela di antara para pelaku yang saling berkepentingan. Tawar
menawar yang terjadi terwujud sebagai interaksi kekuatan di antara para pelaku.
Siapa yang mempunyai kekuatan yang berlebih akan memperoleh apa yang
diinginkannya secara lebih murah daripada seharusnya, yakni diuntungkan.
Kekuatan tersebut berupa uang, jasa, atau benda berharga. Secara lebih khusus,
dalam tawar menawar, berlaku juga interaksi kekuatan yang mengaktifkan kekuatan
acuan yang askriptif (anak atau keluarga pejabat) maupun kekuatan yang diperoleh
(anak buah pejabat setempat) (lihat Suparlan 1996).
Apa yang dilakukan oleh para preman dan kriminal di pasar dan di tempat-
tempat umum sebenarnya menyalahi, atau bertentangan dengan prinsip tawar
menawar menurut adat kebiasaan yang berlaku. Tawar menawar yang berlaku bagi
para preman tidak lagi menggunakan uang, benda, dan jasa atau dengan
menekankan pada penggunaan prinsip-prinsip kesopanan dan keadilan. Para
301
preman tersebut menggunakan cara-cara paksa dengan menggunakan kekuatan
fisik, baik secara orang-perorang maupun kelompok. Mereka juga menggunakan
kekuatan senjata, dan acuan yang berintikan ancaman semi teror (‘Awas! Nanti
kamu akan disakiti! Awas! Nanti kamu, aku bunuh!’).
Pemaksaan yang dilakukan secara sepihak oleh preman dan kriminal ini telah
menciptakan suasana ketakutan dan ketidak berdayaan bagi para pelaku di pasar
dan di tempat-tempat umum. Mereka merasakan suatu ketidak-adilan yang
menakutkan, karena merasakannya sebagai teror. Adat kebiasaan yang menjadi
acuan bertindak di pasar dan di tempat-tempat umum yang semula dirasakan
sebagai sopan, adil dan terbuka, telah berubah menjadi sebuah aturan yang harus
ditaati, karena adanya ancaman keselamatan jiwa dan harta benda yang lebih besar
nilainya. Para pelaku tidak berani dan tidak mampu untuk melawan para preman ini
guna mengatasi suasana yang mencekam tersebut. Mereka tidak terbiasa untuk
menggunakan kekuatan fisik dan senjata sebagaimana dilakukan oleh para preman
dan kriminal dalam proses tawar-menawar di pasar dan tempat-tempat umum.
Dengan kata lain, para preman dan kriminal dari sebuah golongan kesukubangsa
telah menciptakan aturan-aturan baru di pasar dan tempat-tempat umum yang
merugikan para pelaku yang berasal dari sukubangsa setempat dan sukubangsa-
sukubangsa lainnya, sebagaimana yang terjadi di Sambas dan Ambon pada tahap
permulaan terjadinya konflik (lihat Suparlan 1999a,1999b, 2000).
302
karena tidak terbiasa untuk berinteraksi dengan sesamanya dengan cara paksa dan
mau menangnya sendiri.
Apa yang menarik dan yang terjadi di Ambon pada tahap permulaan konflik di
tahun 1999 dan di Sambas dalam konflik antara Orang Melayu dengan orang
Madura di tahun 1999? Sumber konflik yang terjadi di Sampit dan Kalimantan
Tengah yang dimulai akhir bulan Pebruari 2001 ternyata mempunyai acuan dasar
yang sama dengan yang terjadi di Sambas dan pada prinsipnya sama dengan yang
terjadi di Ambon. Konflik dimulai oleh perbuatan preman dan ada pendominasian
preman yang merupakan sukubangsa pendatang di pasar dan tempat-tempat umum.
Dampak dari pendominasian dengan kekerasan dan teror secara preman dan
kriminal telah menyebabkan: (1) kemunculan kesadaran dan kemantapan
kesukubangsaan pada mereka yang merasa ditidak adili, dan yang menjadi tidak
berdaya sebagai lawan dari kesukubangsaan para preman dan orang-orang yang
tergolong sebagai sukubangsa si preman; (2) kemunculan dan kemantapan stereotip
dan prasangka terhadap mereka yang tergolong sukubangsa si preman dan pelaku
kriminal yang didasari oleh kebencian yang mendalam; dan (3) kebencian yang
mendalam, yang dipicu oleh peristiwa kesewenang-wenangan preman dan pelaku
kriminal, telah memunculkan perlawanan secara orang per orang dan kelompok-
kelompok kecil dan orang-orang muda dan remaja terhadap dominasi preman dan
pelaku kriminal.
303
Hubungan dan Konflik Antar-Sukubangsa
304
Pada waktu konflik antar-perorangan terjadi, maka konflik tersebut adalah
konflik antar-individu yang dapat melibatkan teman dan kelompok masing-masing.
Jatidiri perorangan dari masing-masing pihak yang terlibat konflik masih ada dan
dikenali. Tetapi, pada waktu konflik tersebut diaktifkan oleh masing-masing pihak
sebagai konflik antar-sukubangsa, sebagaimana yang terjadi di Sambas dan
Kalimantan Tengah, konflik tersebut berubah menjadi konflik antar-kategori
sukubangsa. Yang dimusuhi dan dihancurkan adalah atribut-atribut kesukubangsaan
pihak lawan yang terwujud dalam bentuk orang-perorang dan harta benda yang
dimilikinya.
305
Madura, dan oleh orang-orang Ambon terhadap orang-orang Buton, Bugis,
Makassar, dalam perspektif mereka sebagai anggota sukubangsa pribumi setempat,
adalah upaya pengusiran dan pembersihan unsur-unsur pihak sukubangsa
pendatang yang telah mengotori kehidupan mereka dan lingkungannya (lihat
Douglas 1966). Polusi yang telah dibuat oleh para anggota sukubangsa pendatang
tersebut hanya menghasilkan malapetaka. Oleh karena itu, harus dibersihkan dari
kehidupan dan dari bumi tempat sukubangsa pribumi hidup.
Dalam konsep mereka, pada saat mengadukan nasib kepada para dewa dan
nayau, mereka sebenarnya menyerahkan nasib kehidupan dan lingkungan hidupnya
kepada para dewa dan nayau tersebut. Jawaban dari nayau untuk bersedia turun ke
dunia melalui tubuh-tubuh orang Dayak yang merupakan anak cucu keturunannya,
merupakan ungkapan kemarahan mereka kepada para pendatang yang telah
mengotori lingkungan kehidupan dan menyengsarakan si anak cucu. Cara-cara yang
sama juga dilakukan oleh orang-orang Dayak di Sambas, Kalimantan Barat.
Oleh orang-orang Dayak, kegiatan ini dilihat sebagai suatu kegiatan yang
sakral, yaitu untuk menyucikan tatanan hidup dari bumi tempat mereka hidup.
Apabila proses pembersihan dari polusi dianggap telah selesai, yaitu telah tidak ada
lagi orang-orang Madura di bumi mereka, maka para nayau tersebut dapat diminta
untuk kembali ke langit. Pada waktu nayau telah dikembalikan ke langit, orang-orang
Dayak akan dapat kembali lagi menjalani kehidupan yang normal, dan orang-orang
Madura yang semula disingkirkan atau diungsikan, dapat diterima kembali dalam
kehidupan mereka sebagai warga masyarakatnya. Syaratnya sebagaimana yang
mereka nyatakan adalah orang-orang Madura itu sebaiknya tidak menghasilkan
306
polusi baru. Dengan perkataan lain, sebaiknya yang datang ke Kalimantan Tengah
adalah mereka yang bukan preman atau pelaku kriminal, yaitu mereka yang jelas
jatidiri dan status pekerjaannya.
307
dikemukakan oleh beberapa tokoh masyarakat Islam di kampung Batu Merah,
Ambon, dalam wawancara yang saya lakukan. Sebaliknya, orang-orang Ambon
beragama Kristen menyatakan bahwa musuh mereka adalah BBM dan bukannya
umat Islam. Tetapi mereka mengatakan bahwa karena BBM itu Islam, maka
serangan terhadap BBM dapat dilihat sebagai serangan terhadap Islam. Dalam
wawacara saya dengan Kepala Desa atau Raja dari desa Soya yang terletak di
dataran tinggi di pinggir kota Ambon, saya memperoleh informasi bahwa di samping
berdoa di gereja sebelum menyerang BBM, mereka juga rnemanggil roh-roh nenek
moyang dan dewa-dewa untuk membantunya memenangkan peperangan melawan
BBM. Mereka percaya bahwa orang-orang BBM juga berbekal jimat dan kekuatan
magis.
Menarik untuk diperhatikan dan dikaji, adanya isu perang agama untuk
mengambarkan konflik antar-sukubangsa dalam penelitian saya mengenai konflik
antar-sukubangsa yang telah terjadi di Kabupaten Sambas pada tahun 1997 antara
Madura-Dayak, tahun 1999 antara Madura-Melayu yang diikuti konflik antara
Madura-Dayak, di Ambon pada tahun 1999 antara BBM-Ambon, dan di antara
Madura-Dayak di KalimantanTengah.
Isu bahwa konflik Madura-Dayak di Sanggo Ledo, Sambas, pada tahun 1997
sebagai perang agama muncul pada tahun 1997 - 1998. Dalam wawancara saya
dengan sejumlah warga Madura di kota Singkawang pada tahun 1997, isu ini
disampaikan kepada saya. Mereka mengatakan bahwa konflik Madura-Dayak adalah
konflik antara Kristen dengan Islam. Saya mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin
terjadi, karena orang-orang Dayak yang dengan ganas membunuh orang-orang
Madura dan menyantap mereka adalah orang-orang Dayak yang masih menganut
agama nenek moyangnya. Mereka adalah orang-orang dari desa Sungkung dan
sekitarnya, di daerah dekat perbatasan dengan Sarawak.
Pada tahun 1998, pada saat saya melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh
masyarakat di Kalimantan Barat, di kota Singkawang, dalam upaya agar konflik
308
Madura-Dayak tidak terulang lagi di masa datang, yang antara lain dihadiri oleh
tokoh Madura Haji Soleman, mereka menyatakan kembali bahwa konflik Madura-
Dayak adalah upaya orang-orang Kristen untuk meluaskan agamanya dengan cara
menghancurkan orang-orang Madura yang pembela Islam. Saya jelaskan kepada
para tokoh ini bahwa hal itu hanya isu saja, karena di lapangan tidak ada buktinya.
Bahkan, saya tunjukkan foto-foto di Sanggo Ledo dan sekitarnya, tempat pusat
konflik terjadi, yang tidak ada satu langgar (mushola) atau mesjid pun yang dibangun
oleh orang Madura dihancurkan atau dibakar. Bahkan, tidak ada satu madrasah pun
yang rusak.
Pada tahun 1999, pada saat terjadi konflik Madura-Melayu di Sambas, isu
perang agama tidak muncul. Begitu pula pada saat konflik Madura-Melayu ini
kemudian diikuti oleh konflik Madura-Dayak, isu sebagai perang agama juga tidak
muncul. Dalam wawancara saya di tahun 1999 dengan beberapa tokoh Madura di
kota Singkawang, antara lain dengan seorang tokoh muda anggota DPRD, saya
tanyakan pendapatnya mengenai dibakarnya langgar dan madrasah milik orang
Madura oleh orang-orang Melayu. Dia tidak dapat menjelaskan mengapa hal itu
sampai terjadi.
309
si orang Madura tersebut telah melakukan perbuatan berdosa. Ia baru selesai
merampok, menyakiti. atau membunuh orang lain, dan untuk itu meminta ampun
kepada Tuhan.
310
dan tim berkesempatan untuk berdiskusi dengan tokoh-tokoh Madura dari kota
Banjarmasin. Salah seorang di antara tokoh tersebut, dosen Universitas Lambung
Mangkurat dan juga mubalig mengatakan bahwa :
...konflik Madura-Dayak di Kalimantan Tengah adalah perang agama. Agama
Islam hancur karena orang-orang Madura sebagai pendekar Islam
dihancurkan oleh orang-orang Dayak yang beragama Kristen dan Kaharingan.
Di kota Sampit dan tempat-tempat lainnya di Kalimantan Tengah sudah tidak
lagi terdengar suara adzan dan mesjid-mesjid mati karena sudah tidak ada
lagi umat Islam.
Saya jelaskan kepada yang besangkutan, bahwa apa yang dikatakannya itu
tidak benar. Melalui data kependudukan yang saya peroleh dari kantor gubernur
Kalimantan Tengah, saya ketahui bahwa jumlah penduduk Kalimantan Tengah yang
beragama Islam adalah sebanyak 60%. Sebagian besar di antaranya adalah orang
Dayak setempat.
Bagi saya, apa yang dikatakan oleh tokoh Madura di Banjarmasin, maupun
yang sebelumnya telah dikemukakan oleh tokoh-tokoh Madura di Kalimantan Barat,
menarik untuk diperhatikan. Terdapat kesan bahwa konflik Madura-Dayak ingin
diperluas skalanya dan digeser inti permasalahannya dari konflik antar-sukubangsa
menjadi konflik antar-penganut keyakinan keagamaan yang berbeda, sehingga
konflik yang terjadi adalah konflik antar-agama. Perluasan skala konflik dengan
mengaktifkan isu keagamaan, diperkirakan akan dapat menarik dukungan
berdasarkan semangat primordial persaudaraan umat Islam, sebagaimana terjadi di
Ambon dan Maluku Utara. Dengan memperluas skala konflik dan menggeser inti
permasalahannya, maka orang Madura akan terselamatkan, perbuatan keji dari para
preman akan terhapus, dan bahkan mereka dapat menjadi pahlawan jihad.
311
yang benar. Fakta yang secara obyektif tidak benar, dapat menjadi benar secara
subyektif pada saat dilihat dalam perspektif logika yang lain. Salah satu di antara
acuan yang digunakan oleh tokoh-tokoh Islam di Ambon dalam melihat
permasalahan itu dengan perspektif lain adalah fakta mengenai penyerangan yang
dilakukan oleh orang-orang Ambon (yang Kristen) terhadap orang-orang BBM (yang
Islam) seusai menjalankan sholat Ied di mesjid Al Fatah. Isu itu menjadi penyerangan
oleh orang-orang Ambon yang Kristen terhadap orang-orang Islam (tidak disebutkan
bahwa mereka ini BBM) seusai menjalankan sholat Idul Fitri di mesjid Al Fatah. Isu
ini menjadi nampak benar dan menjadi bukti sahih tentang perbuatan orang-orang
Kristen yang memulai perang dengan orang-orang Islam. Berdasarkan isu itu, maka
semangat primordial solidaritas Islam berdasarkan persaudaraan Islam dapat
dibangun, termasuk dikirimkannya pasukan jihad ke Ambon yang direstui oleh Amien
Rais sebagai Ketua M.P.R. R.I, di Lapangan Monas Jakarta.
Catatan
312
langsung menggunakan orang-orang Dayak yang memanggil kamang tariu untuk
merasuk ke dalam tubuh-tubuh mereka guna menumpas anggota-anggota pasukan
Paraku, pada tahun 1969. Upacara pemanggilan kamang tariu, atau upacara matok
atau nyaru tariu (di Kalimantan Barat), dan upacara pemanggilan nayau di
Kalimantan Tengah sebetulnya adalah bagian utama dari rangkaian kegiatan
mengayau untuk mencari kepala orang. Kepala orang itu digunakan untuk
keperkasaan remaja dalam inisiasi, untuk mendampingi arwah bangsawan yang
akan dikubur kembali (tiwah), untuk membayar denda, untuk membalas dendam atas
kematian seorang kerabat, dan untuk berbagai keperluan perdukunan dan magi.
Kepustakaan
Barth, Fredrik, 1969. “introduction”. Dalam Fredrik Barth (Editor), Ethnic Groups and
Boundaries. Hal.9-38. Boston: Little, Brown & Company.
Bloomfield, D. B. Reilly, 2000. “Perubahan Sifat Konflik dan Pengelolaaan Konflik”.
Dalam P.Harris dan B.Reilly (Editors), Demokrasi dan Konflik yang
Mengakar: Sejumlah pilihan untuk negosiator. Hal. 9-30. Jakarta:
IDEA.
Bloomfield, D., Y.Chai, dan B.Reilly, 2000. “Menganalisa Konflik mYang Mengakar”.
Dalam P. Harris dan B.Reilly (Editors), Demokrasi dan Konflik Yang
Mengakar: Sejumlah pilihan untuk negosiator. Hal.32-52. Jakarta:
IDEA.
Douglas, Mary, 1966. Purity and Danger: An Analysis of the Conceots of Pollution
And Taboo. London: Routledge and Kegan Paul.
Nitibaskara, Rony R., 2001. “Mencegah Konflik Kekerasan Antar-Etnis”. Harian
Kompas, 3 April.
Riwut, Tjilik, 1993. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Suparlan, Parsudi, 1996. Antropologi Perkotaan. Jurusan Antropologi, FISIP-U..I.
____________ 1999a. Laporan Kerusuhan Sambas. Laporan terbatas
disampaikan kepada Kapolri
____________ 1999b. Laporan Kerusuhan Ambon. Laporan terbatas
disampaikan kepada Kapolri.
____________ 2000. “Kerusuhan Sambas”. Jurnal Polisi Indonesia (2), 71-85.
313
11 Pembangunan
Komuniti, Konflik,
dan Pemolisian
Komuniti
Pendahuluan
T
ujuan utama dari tulisan ini adalah menyajikan pembahasan mengenai
konflik dan cara-cara mengatasinya, yang dalam mengatasi konflik tersebut
peranan polisi setempat sebagai mediator dapat merupakan suatu bagian
penting dari program kebijaksanaan pemolisian komuniti. Konflik yang akan disajikan
dan dibahas adalah yang terlahir dari saling antar-hubungan perusahaan tambang
mineral dan MIGAS dengan anggota-anggota komuniti setempat dimana
penambangan dilakukan, dan diantara sesama anggota komuniti setempat. Pada
dasarnya konflik itu muncul dari kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber
daya alam, ekonomi, sosial, dan politik diantara individu-individu dan anggota-
anggota komuniti setempat (Dahrendorf 1959, Suparlan 1999). Konflik tersebut dapat
muncul antara komuniti setempat sebagai kumpulan atau kelompok individu dengan
pihak luar yang merupakan perusahaan tambang mineral atau MIGAS yang
diakibatkan oleh adanya klaim atas hak dari sumber daya yang dieksploitasi oleh
perusahaan tersebut. Konflik biasanya muncul karena dirasakan adanya aturan main
yang tidak adil di dalam proses-proses kompetisi untuk menguasai sumber-sumber
daya setempat (Suparlan 2000). Atau dalam kasus konflik antara komuniti setempat
dengan perusahaan tambang yang muncul dan berkembang sebagai dampak dari
perasaan ketidakadilan oleh komuniti setempat terhadap pelanggaran atas hak-hak
sumber daya yang secara adat ada dalam hak ulayat mereka tetapi yang sekarang
dieksploitasi dan dimiliki oleh perusahaan tambang tersebut. Konflik biasanya juga
314
muncul karena tidak adanya perantara (mediator) yang tidak memihak dan yang
dihormati dan dipercaya oleh kedua belah pihak yang konflik, atau tidak adanya
perunding (negosiator) dari salah satu pihak yang telah merugikan pihak lainnya
yang dapat bertindak adil terhadap kedua belah pihak yang konflik dan yang mampu
menjembatani perbedaan-perbedaan dan memberikan kompensasi-kompensasi
sebagai ganti rugi atas ketidakadilan yang telah dilakukan oleh pihak yang
merugikan. Pembahasan polisi setempat sebagai mediator akan mencakup uraian
mengenai fungsi polisi dalam komuniti atau masyarakat setempat yaitu sebagai
pengayom dan penegak hukum, dan polisi sebagai pranata serta pemeran yang
dipercayai oleh warga komuniti setempat maupun oleh pihak pertambangan dalam
memecahkan berbagai permasalahan kehidupan mereka. Melalui kebijaksanaan dan
program pemolisian komuniti (community Policing) inilah sebenarnya polisi akan
dapat berfungsi sebagai pengayom warga komuniti dari berbagai bentuk dan
ancaman kejahatan serta penegak hukum yang adil dan terpercaya sehingga dapat
berfungsi sebagai mediator ataupun sebagai negosiator secara efektif dan efisien
dalam berbagai konflik yang terwujud dalam komuniti setempat, seperti halnya dalam
kasus-kasus konflik di daerah pertambangan.
315
cara terbaik dalam mengatasi atau mengatasi konflik-konflik yang ada, dan cara yang
terbaik untuk mencegah terjadinya konflik. Selanjutnya akan ditunjukkan apa itu
pemolisian komuniti, yang sebetulnya tidak sama dengan program kamtibmas
sebagaimana yang dipahami dan diterjemahkan oleh Kunarto, dkk (1998), dan oleh
Turan (2002). Melalui landasan kebijaksanaan pemolisian komuniti ini polisi akan
dapat secara efektif dan efisien menangani secara tepat untuk dapat mendamaikan
konflik-konflik yang ada, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang secara langsung
atau tidak langsung turut meningkatkan kwalitas hidup komuniti.
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang terdiri dari lebih kurang
lima ratus sukubangsa dengan masing-masing kebudayaannya yang dipersatukan
sebagai sebuah bangsa oleh sistem nasional Indonesia. Masing-masing sukubangsa
mewujudkan dirinya dalam masyarakat atau komuniti sukubangsa yang menempati
dan hidup dalam wilayah masing-masing yang wilayah tersebut secara adat
merupakan hak ulayat masing-masing komuniti sukubangsa (Suparlan 1979, 1999).
Ciri-ciri yang mendasar dari masyarakat majemuk, seperti Indonesia, adalah:
316
(4) Adanya kecenderungan yang dilakukan oleh pemerintah nasional, untuk
memperkuat sistem nasional agar masyarakat Indonesia yang majemuk atau
bhinneka tunggal ika itu tidak terpecah belah dalam satuan-satuan
masyarakat atau negara sukubangsa. Dampak dari penguatan sistem
nasional, seperti yang telah kita lihat dan alami, adalah kuat dan dominannya
sistem nasional atau pemerintah pusat dan lemahnya masyarakat-masyarakat
dan komuniti-komuniti setempat yang ada di daerah-daerah masa
pemerintahan Orde Baru.
Di masa Orde Baru, walau dalam suasana tertekan karena dominasi sistem
nasional yang kuat, masih ada juga tuntutan-tuntutan dari tokoh-tokoh masyarakat
317
atau komuniti setempat untuk dapat ikut menikmati keuntungan yang diperoleh oleh
perusahaan-perusahaan pertambangan, dan dalam batas-batas tertentu sebagian
dari mereka itu telah diberi amplop setiap bulannya. Tetapi, dengan jatuhnya
kekuasaan Orde Baru yang begitu dominan kekuasaannya, muncul pertanyaan-
pertanyaan berkenaan dengan berbagai peraturan pemerintah mengenai hak
penguasaan atas sumber-sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan domestik
dan asing, dan terutama berkenaan dengan hak eksploitasi pertambangan yang
pada hakekatnya adalah hak ulayat dari masyarakat atau komuniti setempat. Suara-
suara yang lebih lantang menuntut bagian yang lebih besar telah disuarakan oleh
warga setempat terhadap perusahaan-perusahaan yang ada di wilayah hak ulayat
mereka dalam masa reformasi ini, antara lain, yang secara mencolok dilakukan oleh
komuniti-komuniti sukubangsa setempat di Timika terhadap perusahaan PT Freeport
Indonesia.
318
sekolah asal Amungme, pemberian dana keuntungan-bersih Freeport sebesar
1% yang disalurkan melalui proyek-proyek pembangunan sarana fisik.
(3) Pembangunan beberapa rumah di tepi jalan raya untuk orang Sakai di Riau,
seperti sebuah ‘window show’, yang dilakukan oleh PT Caltex-Pacific.
319
Perbedaan antara model “bottom-up” dari “top-down” adalah bahwa dalam
model “bottom-up” ide, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan dari
anggota-anggota komuniti tersebut berasal dari mereka sendiri dan untuk
kepentingan dan keuntungan mereka bersama, sedangkan dalam model “topdown”
keuntungan hanya akan diraup dan dinikmati oleh sejumlah orang yang terbatas, dan
sejumlah orang tersebut biasanya adalah yang tergolong sebagai tokoh atau yang
berkuasa dan yang sudah ‘kaya’. Model “top-down” dapat dikatakan sebagai model
cariti atau pemberian hadiah atau sedekah dari yang kaya kepada yang lebih miskin.
320
Anggota-anggota sebuah komuniti biasanya tergolong dalam satu
sukubangsa yang sama, walaupun pada masa sekarang anggota-anggota sebuah
komuniti dapat terdiri atas dua sukubangsa atau lebih karena adanya migrasi dari
luar. Anggota-anggota sebuah komuniti, karena tergolong dalam sebuah sukubangsa
seringkali juga dinamakan komuniti sukubangsa, mempunyai sebuah kebudayaan
sukubangsa berikut pranata-pranata sosialnya. Dalam kehidupan komuniti,
kebudayaan sukubangsanya adalah pedoman bagi kehidupan yang sudah menjadi
tradisi atau adat, merupakan kebutuhan dan keyakinan yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari dalam menginterpretasi dunia di sekeliling mereka dan diri
mereka sendiri dimana mereka itu menjadi bagian dari dunianya tersebut, dan secara
terseleksi digunakan sebagai acuan dalam mewujudkan tindakan-tindakan untuk
memanfaatkan lingkungan beserta isinya bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
hidup mereka (Suparlan 1986).
Sebuah komuniti mempunyai wilayah yang menjadi hak ulayat mereka, yang
diakui oleh komuniti lainnya, yang berupa hutan, tanah datar, sungai, rawa-rawa,
mata air, atau tepi pantai beserta segala isinya. Wilayah hak ulayat tersebut adalah
milik komuniti yang bisa dikonversikan menjadi hak milik kelompok-kelompok
kekerabatan atau milik perorangan yang kepemilikan dan hak penggunaannya diatur
menurut hukum adat atau adat yang berlaku setempat.
321
dari pemanfaatan sumber-sumber daya alam yang ada dalam wilayah hak ulayatnya.
Dalam pemanfaatan sumber-sumber daya alam ini ada individu dan kelompok
kekerabatan yang mampu menguasai dan mengeksploitasi alam secara lebih besar
sehingga mampu mengakumulasi lebih banyak lagi sumber-sumber daya alam.
Mereka inilah yang tergolong sebagai orang kaya, mempunyai kekuatan sosial
berlebih, dan merupakan golongan atas dari sistem sosial komuniti tersebut. Mereka
juga, melalui kekayaan dan kekuasaan serta tingkat pendidikan yang mereka punyai,
mampu untuk berhubungan dengan dunia di luar komuniti mereka dan mempunyai
akses terhadap berbagai fasilitas sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Kedudukan
mereka sebagai golongan atas di dalam komuniti setempat dimantapkan dalam
kehidupan sosial melalui berbagai tradisi adat dan upacara, yang melalui kegiatan-
kegiatan tersebut telah memantapkan pengakuan dari mereka yang hidup sebagai
golongan bawah terhadap posisi mereka sebagai golongan atas yang menjadi
gantungan dari mereka yang di bawah yang bekerja sebagai buruh atau sebagai
klien mereka. Golongan bawah ini adalah golongan orang miskin, dan mungkin hidup
di bawah garis kemiskinan, yang hidup hanya untuk dapat tetap hidup. Kelaparan
akan sumber-sumber daya alam tidak mungkin dapat dipenuhi oleh mereka yang
miskin secara memadai atau berlebihan sebagaimana yang dilakukan oleh golongan
kaya karena ketiadaan modal dan akses terhadap kredit modal, ketiadaan
pengetahuan, dan ketiadaan keterlibatan mereka di dalam jaringan-jaringan sosial
dan bisnis dengan dunia luar. Mereka yang tergolong kaya mempunyai semua akses
tersebut di atas. Di antara mereka yang tergolong kaya dan yang miskin ini terdapat
mereka yang hidupnya kecukupan. Mereka ini dapat bersaing dengan yang kaya
untuk memperebutkan sumber-sumber daya alam melalui berbagai penguasaan atas
sumber-sumber daya sosial dan politik.
Konflik yang terjadi dalam komuniti pada umumnya berkisar pada konflik
diantara sesama mereka yang tergolong kaya dan berkekuatan sosial berlebih, atau
antara golongan kaya dengan golongan menengah. Konflik diantara mereka yang
tergolong kaya adalah bertujuan untuk mengakumulasi kekayaan atau sumber-
sumber daya alam lebih banyak daripada saingan atau saingan-saingannya.
Sedangkan konflik antara yang kaya dengan yang menengah adalah konflik antara
yang berupaya mempertahankan sumber-sumber daya yang sudah dipunyai dan
mengakumulasikannya dengan yang ingin merebut dan menguasai sumber-sumber
322
daya tersebut. Golongan bawah adalah mereka yang biasanya menjadi alat dari para
tokoh golongan atas untuk melaksanakan upaya mengalahkan pihak lawan dengan
cara fisik atau kekerasan.
323
dengan masalah ketidakadilan dalam pendistribusian uang atau barang dari
perusahaan kepada komuniti yang bersangkutan, dapat juga muncul karena ada
anggota-anggota komuniti yang merasa tidak diperlakukan secara adil oleh
perusahaan dalam hal upah atau hadiah atau ganti rugi, atau juga dalam hal
perlakuan sewenang-wenang oleh personil perusahaan. Dan, dapat juga konflik
terjadi karena anggota komuniti setempat menganggap bahwa perusahaan setempat
telah mengambil hak ulayat yang menjadi miliknya atau milik kelompok kerabatnya
tanpa ganti rugi yang memadai.
324
mempunyai pengetahuan mengenai kebudayaan dari komuniti dimana perusahaan
tersebut beroperasi. Sebagai acuan pembanding untuk peranan negosiator dalam
konflik pada tingkat makro, lihat tulisan-tulisan yang diedit oleh Peter Harris dan Ben
Reilly dan diberi kata pengantar oleh Sekjen PBB Kofi Annan (2000).
Cara lain yang juga efektif untuk meredam konflik antara perusahaan dengan
komuniti atau komuniti-komuniti setempat adalah dengan mempekerjakan anggota
komuniti setempat tersebut di dalam perusahaan, seperti yang dilakukan oleh PT
Freeport-Indonesia di Timika, Irja. Bersamaan dengan itu perusahaan juga
memberikan sejumlah beasiswa kepada pelajar yang berprestasi untuk dapat meraih
jenjang dan bidang pendidikan yang langsung atau tidak langsung sesuai dengan
kebutuhan perusahaan, yang setelah menamatkan pendidikan dapat dipekerjakan di
325
perusahaan tersebut atau di tempat lain. Dengan cara ini maka hubungan antara
perusahaan dan komuniti setempat dimantapkan, perusahaan tersebut bukan lagi
dianggap dan diperlakukan sebagai sesuatu yang asing tetapi sesuatu yang
merupakan bagian dari kehidupan komuniti. Dengan cara ini batas-batas sosial
antara perusahaan dan komuniti telah ditiadakan, dengan mengikat ketergantungan
komuniti atas akses untuk posisi sosial dan ekonomi bagi anggota-anggotanya dan
di pihak lain menciptakan ketergantungan dari perusahaan atas keamanan sosial
dan keberlanjutan produksinya secara murah. Disamping itu, ada baiknya sejumlah
fasilitas sosial, terutama kesehatan, dapat dibantu oleh perusahaan sebagaimana
yang juga telah dilakukan oleh PT Freeport-Indonesia di Timika.
326
proses hukum yang wajar, pembatasan dan pengendalian kekuasaan pemerintah
secara konstitusional, kemajemukan budaya, sosial, ekonomi, dan politik,
pragmatisme, kerjasama dan mufakat (lihat Lubis 1994, dan USIS n.d.). Dalam era
otonomi daerah yang sedang dalam proses kemantapannya di Indonesia dewasa ini,
UU No. 22, 1999 tentang pemerintah sipil yang demokratis di Indonesia. Undang-
Undang ini dapat dilihat sebagai sebuah upaya untuk memperbaiki kehidupan
masyarakat pada tingkat kabupaten dan propinsi yang selama berada di bawah
pemerintahan Orde Baru telah didominasi oleh pemerintah pusat dan oknum-oknum
pejabatnya beserta kronikroninya, sehingga menciptakan berbagai bentuk
ketidakadilan dan ketimpangan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bila dalam
masa pemerintahan Orde Baru polisi Indonesia (POLRI) adalah bagian dari ABRI
yang fungsinya adalah represif, seperti pada umumnya fungsi militer, maka dalam
masa reformasi ini fungsi polisi Indonesia (POLRI) akan harus berubah sesuai
dengan fungsi polisi yang universal. Karena keberadaan dan fungsi polisi di dalam
masyarakatnya adalah hasil interaksi dari corak masyarakat dan kepentingan
masyarakat tersebut untuk kepentingan warga masyarakat dan untuk kelestarian dari
masyarakat tersebut. Dalam masyarakat yang despotik dan otoriter maka polisi akan
menjadi despotik dan otoriter dan menjadi kakitangan yang setia yang melindungi
keamanan dan kesejahteraan hidup, serta memperkuat dan melestarikan kekuasaan
pemerintahannya yang despotik dan otoriter beserta oknum-oknum pejabatnya.
Sedangkan dalam masyarakat sipil yang demokratis fungsi polisi juga akan sesuai
dengan corak masyarakatnya yang sipil dan demokratis.
327
moralitas politik dari masyarakat yang dilayaninya” (Richardson 1974: x). Penekanan
pada pentingnya pemeliharaan keteraturan dan ketertiban sosial sebagai fungsi
utama polisi berasal dari sejarah kepolisian di Amerika Serikat yang mengikuti tradisi
Inggeris, yang menekankan keberadaan dan fungsi polisi dalam masyarakat
perkotaan dan bukannya masyarakat pedesaan (Ennis 1970: 74 - 100). Dalam
fungsinya tersebut, tugas polisi mencakup menciptakan dan menjaga keteraturan,
atau mengembalikan keteraturan yang rusak karena hubungan-hubungan yang
bergejolak dalam berbagai permasalahan yang terwujud sebagai hasil hubungan
antar individu, antara individu dengan kelompok atau komuniti, antar komuniti, antara
komuniti dengan masyarakat, dan dengan negara atau pemerintah.
Dengan kata lain, fungsi utama polisi adalah memelihara keteraturan atau
mengembalikan keteraturan yang terganggu dalam hubungan antar-individu maupun
antar-kelompok dan antar-kategori yang tujuan akhirnya adalah menciptakan rasa
aman dan nyaman bagi warga komuniti dan masyarakat, sehingga proses-proses
produksi dapat berjalan dengan sebaik-baiknya dan produktifitas dapat dijamin akan
menghasilkan surplus yang memungkinkan tercapainya perkembangan ekonomi dan
kesejahteraan hidup warga dan masyarakatnya. Fungsi-fungsi lainnya, seperti
penegakan hukum, memerangi kejahatan, mengayomi warga masyarakat dan
ancaman kejahatan yang mengganggu dan merugikan masyarakat dapat dilihat
dalam perspektif menjaga keamanan dan kenyamanan warga masyarakat agar
dapat berproduksi secara maksimal, sebagai keluaran atau outputnya. Karena setiap
gangguan keamanan hanya akan mengakibatkan tidak dapat dicapainya sasaran
produktifitas yang diharapkan, dan hanya akan memerosotkan taraf kesejahteraan
hidup warga dan masyarakatnya. Karena itu keberadaan polisi adalah fungsional
dalam kehidupan manusia dalam bermasyarakat di daerah perkotaan dan dalam
bernegara, termasuk keberadaan dan fungsi polisi Indonesia dalam masyarakat
Indonesia sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Awaludin Djamin yang
melihatnya dalam perspektif sejarah (Djamin 1999: 1 – 35).
328
masyarakat menuntut intensitas pengenalan oleh polisi setempat dengan warga,
yang karena jumlah petugas polisi setempat adalah terbatas, maka yang biasanya
terjadi adalah satuan polisi setempat untuk hanya mampu mengenal warga komuniti
yang berada dalam wilayah pelayanannya sedangkan warga masyarakat luas
menjadi kurang mampu untuk betul-betul dikenalinya. Bahkan untuk hubungan
petugas polisi setempat dengan warga komuniti yang dilayani belum tentu juga dapat
terjalin hubungan baik yang antara lain disebabkan oleh ketidakpercayaan warga
komuniti tersebut terhadap polisi. Friedmann (1992), mengelaborasi hubungan polisi
dengan komuniti setempat sebagai bagian dari kebijaksanaan dan strategi untuk
kepentingan polisi dalam memelihara keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan
komuniti, dalam sebuah model yang dinamakannya sebagai pemolisian komuniti
(community policing).
329
berlandaskan pada sumber-sumber daya komuniti yang mencari upaya untuk
merubah kondisi-kondisi yang menyebabkan adanya kejahatan. Pemolisian komuniti
mengakui adanya sebuah kebutuhan untuk akuntabilitas dari polisi, tuntutan yang
lebih besar dari publik dalam mengambil keputusan dan kepedulian yang lebih besar
terhadap hak-hak sipil dan kebebasan”
330
kuda bila diperlukan. Kegiatan ini juga mencakup sambang, ikut dalam pertemuan-
pertemuan kampung, kegiatan olahraga, kesenian, atau ikut dalam diskusi-diskusi
mengenai pembangunan dan pengembangan komuniti yang diselenggarakan oleh
kelurahan atau kelompok-kelompok sosial atau LSM yang ada dalam komuniti.
Petugas pemolisian komuniti juga harus mampu untuk memberikan penerangan atau
penyuluhan bila diminta oleh warga dalam berbagai permasalahan sosial yang
mereka hadapi, termasuk masalah narkoba, kenakalan anak-anak dan kejahatan
remaja. Disamping itu petugas pemolisian komuniti juga harus mampu meredam
potensi-potensi konflik untuk tidak muncul sebagai konflik sosial atau konflik
komunal, yang untuk itu dia harus mampu menjadi mediator atau negosiator, dan
bahkan harus mampu menjadi inisiator. Untuk keberhasilannya, petugas pemolisian
komuniti harus mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai sejumlah konsep
dan teori yang ada dalam ilmu-ilmu sosial, memahami komuniti atau komuniti-
komuniti yang tercakup dalam ruang lingkup tugasnya, terpercaya dan dihormati
secara tulus oleh warga komuniti yang bersangkutan. Untuk itu si petugas pemolisian
sebaiknya tidak melakukan sambang hanya kepada warga komuniti yang kaya, yang
biasanya memberikan amplop, tidak berbisnis di komuniti tersebut, dan seharusnya
memperoleh gaji yang cukup sesuai kebutuhan hidupnya dan keluarganya, serta
tersedianya biaya operasi yang cukup sesuai dengan tugasnya. Bila syarat-syarat ini
tidak dipenuhi maka jangan diharapkan pemolisian komuniti akan berhasil.
331
terdahulu dalam tulisan ini. Program-program tersebut tidak selamanya dapat
meredam ledakan-ledakan konflik yang merugikan perusahaan maupun pabrik-
pabrik yang menjadi sasaran kemarahan warga komuniti setempat. Sebab utama
dari kemarahan adalah adanya rasa ketidakadilan dalam hubungan komuniti dengan
perusahaan atau pabrik, dalam hubungan buruh-majikan, dan dalam program
pengembangan komuniti tersebut. Selama ini, bila terjadi gejolak sosial di daerah
industri pertambangan atau pabrik maka polisi (Polres dan/atau Polsek setempat
dengan dibantu pasukan BRIMOB) selalu bertindak reaktif dan represif dalam upaya
untuk meredamnya. Peredaman dilakukan dengan mengacu pada upaya
menegakkan hukum. Dalam keadaan seperti ini polisi dilihat warga komuniti yang
bersangkutan dan umum sebagai alat penguasa (pengusaha tambang atau pabrik)
dan simbol kekerasan untuk menekan dan menindas komuniti yang bersangkutan.
Dalam amuk massa tersebut polisi bisa menjadi sasaran kemarahan sehingga terjadi
pergeseran dari kemarahan terhadap perusahaan atau pabrik menjadi kemarahan
terhadap polisi, dan bahkan kantor Polres atau kantor Polsek juga bisa menjadi
sasaran kemarahan, yang biasanya dihancurkan atau dibakar. Kegiatan-kegiatan
pemolisian yang biasanya berpedoman pada fungsi polisi sebagai penegak hukum
mengabaikan hak-hak budaya komuniti yang mempunyai kebudayaan dan norma-
norma sendiri, termasuk norma-norma dan penanganan ketidakadilan dan kejahatan.
Kasus-kasus pembakaran dan pengrusakan kantor Polres biasanya juga terjadi
karena komuniti yang warganya ditangkap tidak setuju dengan penangkapan
tersebut.
Bila dalam struktur Polres dan Polsek ada satuan tugas pemolisian komuniti
maka ledakan-ledakan amuk massa tersebut kemungkinan besar dapat dicegah
sebelum gejala itu terwujud, sehingga kerugian yang dihasilkan dari kemarahan
massa tersebut dapat dihindari. Petugas pemolisian komuniti tidak bertugas pada
waktu ada kerusuhan, tetapi telah bertugas dalam suatu jangka waktu tertentu dan
dipercaya oleh warga komuniti yang bersangkutan sebagai pelindung dan pengayom
mereka dalam berbagai masalah sosial, dan sebagai mediator dengan penguasa
tambang atau pabrik, dan sebagai mediator antara komuniti dengan Polsek atau
Polres setempat dalam berbagai kebijaksanaan pengendalian kejahatan,
peningkatan kualitas hidup, dan dalam menciptakan proyek-proyek pembangunan
komuniti. Model pemolisian komuniti ini belum pernah dijalankan di Indonesia. Dalam
332
rangka mendukung upaya pemantapan Otonomi Daerah mungkin model pemolisian
komuniti dan fungsinya dalam pembangunan komuniti ini dapat dicoba diterapkan
melalui sejumlah pilot project.
*****
Kepustakaan
Blakely, Edward J., 1979, Community Development Research: Concepts, Issues, and
Strategies. New York, N.Y.: Human Sciences Press.
Dahrendorf, R., 1959, Class and Conflict in Industrial Society. Stanford, California:
Stanford University Press.
Ennis, Phillip H., 1970. “Cfrime, Victim, and the Police ”.Dalam Marvin E..Wolfgan,
Dkk (Editors.), The Sociology of Crime and Delinquency. New York:
John Wiley, edisi ke-2. Hal. 74 – 81.
Friedmann, Robert R., 1992, Community Policing: Comparative Perspectives and
Prospects. New York: Harvester Wheatsheaf.
Gellner, Ernest, 1995, “The Importance of Being Modular”. Dalam John Hall
(Editror.), Civil Society: Theory and Comparison. London: Polity Press
Harris, P. dan B. Reillly (Eds.), 2000, Demokrasi dan Konflik yang Mengakar:
Sejumlah pilihan untuk negosiator. Jakarta: IDEA. Terjemahan.
Hegeman, Elizabeth dan Leonard Kooperman, 1974, Anthropology and Community
Action. Garden City N.Y.: Doubleday/Anchor.
Kunarto dan Ardian Syamsudin (Penyadur), 1998, Robert Friedmann’s Community
Policing: Kegiatan Polisi dalam Pembinaan Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat. Jakarta: Cipta Manunggal.
Lubis, Mochtar (Ed.), 1994. Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan OBOR.
Reksodiputro, Mardjono, 1997, “Program Kajian Ilmu Kepolisian Pada Program
Pascasarjana, U.I.” – Suatu Refleksi Diskusi dengan Mahasiswa
Angkatan I. Jakarta: S2, KIK – UI. Makalah tidak diterbitkan.
Richardson, James F., 1974, Urban Police in the United States. Port Washington,
N.Y.: National University.
333
Suparlan, P., 1979, “Ethnic Groups of Indonesia”. The Indonesian Quarterly, 7,2,
55 – 73. CSIS.
–––––––––– 1986, “Kebudayaan dan Pembangunan”. Media IKA, 14,11,106 – 135.
––––––––––, 1999, “Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya”. Jurnal Antropologi
Indonesia , 59,: 7 – 19.
––––––––––, 2000, “Masyarakat Majemuk dan Perawatannya”. Jurnal Antropologi
Indonesias, 63, 1 – 14.
––––––––––, 2001, “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti”. Jurnal
Antropologi Indoinesia, 66, 1 – 12.
Turan, Ahmad, 2002, “Pemolisian Masyarakat”. Jurnal Polisi Indonesia, No. 4,
28 – 37.
334
14 Sukubangsa
dan Hubungan
Antar-Sukubangsa
Masyarakat Majemuk
M
asyarakat majemuk adalah sebuah masyarakat yang dibangun dari
mempersatukan kelompok-kelompok sukubangsa, bahasa, keagamaan,
dan/atau kelompok-kelompok ras. Sistem nasional mempersatukan
kelompok-kelompok tersebut sebagai sebuah bangsa atau nasion. Upaya
mempersatukan kelompok-kelompok tersebut sebagai sebuah bangsa biasanya
dilakukan dengan cara paksa, walaupun sebagian dengan dorongan secara sukarela
dari tokoh-tokoh yang mewakili kelompok-kelompok tersebut. Contoh dari
masyarakat majemuk yang dipersatukan secara paksa adalah masyarakat negara
jajahan, seperti Hindia Belanda, Suriname, Burma, dsb. Sedangkan yang
dipersatukan dengan paksa tetapi dengan dorongan secara sukarela dari tokoh-
tokoh yang mewakili kelompok-kelompok tersebut, antara lain, adalah Indonesia dan
Malaysia, dan berbagai negara bekas jajahan lainnya.
335
pemerintahan Orde Baru. Dalam masyarakat bekas negara jajahan yang
pemerintahannya bercorak federal, seperti India atau Malaysia, corak pemusatan
kekuasaan pemerintah atau sistem nasionalnya bukan terletak di pusat
pemerintahan tetapi ada pada negara-negara bagian dari masyarakat negara
tersebut.
336
yaitu: golongan sukubangsa Melayu, Cina, dan India. Sedangkan Indonesia,
mempunyai ratusan sukubangsa. Sayangnya pemerintah Indonesia tidak melakukan
sensus penduduk yang mencakup kesukubangsaan, dengan alasan SARA, yang
tidak masuk akal. Daftar sukubangsa-sukubangsa yang tercatat dalam Sensus 1930,
adalah sebagai berikut :
Kalimantan 2.500.000
337
Sebob, Tagal, Tidong, Tingalan, Treng)
1. Jawa 27.000.000
2. Sunda 8.500.000
3. Madura 4.500.000
4. Badui 1.200
5. Tengger 10.000
338
7. Toala 100
Maluku 450.000
1. Kepulauan di Barat Daya (mencakup (Wetar, Kisar, 39.500
Leti-Lakor-Moa-Luang-Sermata, Roma-Damar)
2. Kepulauan di Tenggara (mencakup Babar, Nila-Teun, Serua) 13.000
3. Kepulauan Tanibar 25.000
4. Kepulauan Kei 30.000
5. Kepulauan Aru 20.000
6. Kepulauan Banda 6.000
7. Kepulauan Ambon 60.000
8. Seram (mencakup Bonfia, Pattalima, Pattasiwa Hitam, 60.000
Pattasiwa Putih, Seti)
9. Seramlaut-Goram-Wambola 14.500
10. Buru 20.000
11. Halmahera (mencakup Galela, Tobaru, Tobelo) 50.000
12. Ternate-Tidore 35.000
13. Kepulauan Bacan 10.000
14. Kepulauan OBI -
15. Kepulauan Sula 15.000
339
Sumber: Raymond Kennedy (1942) The Ageless Indies. New York: John Day. Hal 23-26.
Data Sensus 1930 tidak mencakup sensus terhadap masyarakat Irian Jaya,
yang pada waktu itu masih merupakan daerah yang belum terbuka bagi penjajahan
Belanda, walaupun sudah dilakukan ekspedisi-ekspedisi penelitian untuk
membukanya. Jumlah sukubangsa-sukubangsa yang ada di Irian Jaya diperkirakan
sekitar 200 sukubangsa.
340
Agama Jumlah Penduduk Persentase
Islam 103.580.000 87,5
Katolik 2.692.000 2,3
Kristen Protestan 5.152.000 4,4
Kristen Lainnya 893.000 0,8
Hindu 2.296.000 1,9
Budha 1.092.000 0,9
Kong Hu Cu 972.000 0,8
Lain-Lain 1.686.000 1,4
Jumlah 118.368.000 100,0
Sumber : G.W. Skinner (1963) ‘The Chinese Minority in Indonesia’. Dalam, Ruth MacVey (Ed.),
Indonesia. New Haven : Yale University Press. Hal. 97-117.
341
sukubangsa lainnya, (2) bahasa dan kebudayaan, (3) keyakinan agama (Kong Hu
Cu dan Budha, walaupun banyak orang-orang Cina yang juga beragama Islam atau
Kristen dan Katolik), (4) kehidupan ekonomi yang menekankan pada bisnis dan
perdagangan (walaupun di Kalimantan Barat, di pedalaman Riau, dan di Pulau
Bangka sebagian besar Orang Cina hidup sebagai petani; dan, di kota-kota besar di
pulau Jawa hidup sebagai pegawai).
Dalam pemerintahan Orde Baru, sejumlah orang Cina dimanfaatkan oleh para
pejabat dan petinggi negara sebagai pebisnis dan cukong padahal sebagian terbesar
lainnya tidak memperoleh bagian keuntungan dari fungsi-fungsi sejumlah orang Cina
tersebut. Bahkan sebagian terbesar dari mereka itu didiskriminasi, karena mereka itu
Orang Cina. Yaitu didiskriminasi atau diisolasi dari berbagai kegiatan di bidang politik
dan pemerintahan, sosial, dan pendidikan. Mereka sebenarnya dapat digolongkan
sebagai minoritas dalam perbandingannya dengan orang-orang Indonesia yang
tergolong ‘pribumi’.
342
Pengertian minoritas ditujukan kepada sekelompok orang yang karena ciri-ciri
fisik, bahasa, dan kebudayaannya yang berbeda dari yang secara umum berlaku
dalam masyarakat luas ditiadakan atau dikurangi hak-haknya dalam berbagai bidang
kehidupan yang berlaku. Pengertian minoritas tidak selalu mengacu pada jumlah
banyaknya anggota kelompok tetapi lebih pada kekuatan sosial yang dipunyai.
Lawan dari pengertian minoritas adalah mayoritas (yang artinya jumlah banyak).
Pengertian mayoritas tidak selalu diartikan sebagai mempunyai kekuatan sosial atau
kekuasaan. Untuk pengertian kekuatan sosial atau kekuasaan lebih tepat digunakan
istilah dominan. Penguasa Kulit Putih, dengan politik aprtheidnya, adalah golongan
dominan walaupun jumlahnya dibandingkan dengan golongan Kulit Hitam amat kecil.
Dan, sebaliknya orang Kulit Hitam di Afrika Selatan adalah golongan minoritas
walaupun jumlahnya mayoritas dibandingkan dengan golongan Kulit Putih.
Dari data Sensus 2002 tersebut diatas masih ratusan kelompok sukubangsa dan
anggota-anggota sukubangsa yang tidak tercatat dalam sensus tersebut, dan hanya
343
disebutkan sebagai “Lainnya”. Tidak diketahui alasan BPS mengapa melakukan hal
itu. Mungkin dalam sensus yang akan diselenggarakan di masa mendatang,
kesalahan ini tidak terulang lagi.
Dari data yang ada mengenai delapan sukubangsa tersebut, diketahui bahwa
anggota-anggota dari delapan sukubangsa tersebut bukan hanya hidup dalam
wilayah asal sukubangsanya tetapi tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama
di daerah perkotaan (lihat hasil Sensus 2004, di bawah). Kalau ini yang menjadi
alasan mengapa hanya delapan sukubangsa yang disensus, alasan inipun tidak
benar. Karena anggota-anggota hampir seluruh sukubangsa di Indonesia pada saat
ini bukan hanya tinggal dan hidup di wilayah asalnya tetapi tinggal dan hidup di
hampir seluruh wilayah Indonesia, di daerah perkotaan maupun pedesaan..
344
13 Hubungan
Patron-Klien:
Model dan
Penerapannya
Pendahuluan
M
odel hubungan patron-klien (patron-client relationship) tidak banyak
digunakan oleh para ahli ilmu-ilmu sosial Indonesia dalam pengkajian
mereka mengenai struktur-struktur sosial dan kekuatan yang terdapat
dalam masyarakat-masyarakat di Indonesia. Diantara yang tidak banyak tersebut,
antara lain adalah tulisan-tulisan dari Arifin (1985), Efendi (1983), dan Suparlan
(1974, 1980).
Keterasingan konsep ini dari dunia ilmu-ilmu sosial Indonesia, antara lain,
mungkin disebabkan oleh karena terlalu umumnya definisi yang telah digunakan.
Suparlan (1974:), misalnya dalam pembahasannya mengenai hubungan patron-klien
mengatakan bahwa pada masyarakat berpenghasilan rendah di Jakarta, termasuk
345
gelandangannya, terdapat sistem patron-klien, dimana patron bertindak sebagai
pelindung dari klien-kliennya. Selanjutnya dikatakannya (1974 : 14):
Ada berbagai macam pola hubungan patron-klien diantara golongan
berpenghasilan rendah. Diantaranya ada yang mempunyai hubungan sebagai
antara bapak dan anak, tetapi ada pula yang mempunyai hubungan antara
yang memeras dan yang diperas. Yang terbanyak adalah pola hubungan yang
berada diantara keduanya, ....
Pernyataan yang sama, yang sifatnya umum, juga dibuat oleh Effendi (1983 : 42 –
43), dimana dia mengatakan:
Pola ketergantungan dengan kelompok dan “bapak pelindung” (patron)
nampaknya adalah yang tak dapat dihindari. Bapak pelindung berperan
sebagai orang yang memberi perlindungan dan pertolongan bagi anggota
masyarakat.
Hubungan Patron-Klien
346
(1977 : 125); Seorang klien adalah seseorang yang menjalin hubungan saling tukar-
menukar benda dan Jasa secara tidak seimbang dengan patronnya, di mana dia
tidak mampu untuk membalasnya secara sepenuhnya. Dia terlibat dalam suatu
hutang budi yang telah mengikatnya pada patronnya.
Ketidaksamaan dalam saling tukar menukar benda dan jasa tersebut telah
menyebabkan adanya ketidaksamaan dalam hal kedudukan sosial ekonomi antara
patron dan klien; dan karena itu juga hubungan diantara patron dan klien sebenarnya
bersifat vertikal. Patron, dalam hal ini, mempunyai kedudukan sosial-ekonomi yang
lebih tinggi dan kekuatan sosial yang lebih besar dibandingkan dengan kliennya.
Bersamaan dengan itu, ketidakseimbangan hubungan di antara patron dan kliennya
juga muncul dan menjadi baku, karena adanya ketidakseimbangan dalam hal saling
tukar menukar benda dan jasa tetapi yang dinilai sebagai seimbang oleh masing-
masing pelakunya. Hal ini disebabkan karena nilai barang dan jasa itu besar kecilnya
ditentukan oleh tingkat kebutuhan dari si penerima jasa dan benda.
347
Ketidakseimbangan muncul karena patron berada dalam posisi untuk
memberikan benda dan jasa secara sepihak, yang dibutuhkan oleh klien, untuk
kelangsungan hidupnya dan keluarganya. Adanya ketidakseimbangan ini
menciptakan suatu keadaan dimana klien nampaknya berada dalam keadaan
berhutang budi terus menerus pada patron, yang sewaktu-waktu hutang tersebut
secara halus dapat ditagih di masa-masa mendatang.
Walaupun nampaknya, dari uraian di atas klien berada pada pihak yang
dirugikan, tetapi sebenarnya dilihat dari pihak si klien itu sendiri tidaklah demikian.
Karena, adanya ikatan vertikal dengan patronnya itu dapat merupakan suatu
persekutuan adil yang paling berharga dibandingkan dengan hubungan-hubungan
sosial lainnya yang dimilikinya dengan orang-orang yang sama statusnya dengan
dirinya (Landee, 1977 : xxvii). Dengan mereka yang sama statusnya, si pelaku harus
mengimbangi pemberian yang didapatnya dengan cara memberikan yang jumlah
nilainya setidak-tidaknya sama dengan telah diterimanya; atau kalau tidak maka dia
akan dikucilkan dari kehidupan sosial masyarakatnya. sebenarnya, apa yang
diberikannya oleh klien kepada patronnya sebagai imbalan atas pemberian benda
dan jasa yang telah diterimanya sebagian besar besar bersifat jasa (pelayanan,
pengabdian, kesetiaan), sebagaimana ditunjukkan Wolf (1978 : 16-17) pemberiannya
ini sudah dapat dianggap seimbang dengan barang dan jasa (khususnya
perlindungan oleh patron) yang telah diberikan oleh patron.
Karena hubungan sosial antara patron dengan kliennya itu bersifat spontan
dan pribadi, maka juga ikatan-ikatan sosial yang terwujud melibatkan berbagai aspek
kehidupan dari para pelaku yang bersangkutaan. Karena itu hubungan sosial
diantara patron dengan kliennya bukan hanya melalui berbagai satu jalur hubungan
saja tetapi melalui berbagai bentuk hubungan yang dinamakan sebagai “multiplex”
(Mayer, 1978), atau “many stranded” (Wolf, 1983 : 139). Hubungan-hubungan yang
terjadi antara patron dengan kliennya bukan hanya mencakup hubungan ekonomi
saja misalnya, tetapi juga melibatkan aspek-aspek kehidupan lainnya (agama,
kekerabatan, ketetanggaan, politik, dan sebagainya). Hubungan-hubungan tersebut
tidak mudah diputuskan, karena itu bersifat lentur.
348
Patron-Klien dan Komuniti Gelandangan
Karena keterampilan dan keahlian yang mereka miliki (di luar bidang pertanian
yang menggunakan tenaga kasar mereka) itu terbatas, maka di daerah perkotaan
mereka itu memasuki sektor-sektor pekerjaan yang sebagian besar mengandalkan
349
tenaga dan sedikit keterampilan. Sebagian dari mereka itu tergolong dalam lapisan
sosial yang terendah dalam sistem pelapisan masyarakat perkotaan, yaitu sebagai
orang gelandangan.
Sebagai orang gelandangan, mereka itu sebenarnya telah terputus dari akar-
akar asal mula mereka dalam usaha mempertahankan kehidupan mereka. Karena
dalam kenyataannya mereka itu telah tidak dapat lagi mengaktifkan hubungan-
hubungan kekerabatan secara efektif untuk dapat meringankan beban hidup mereka
(lihat misalnya bagaimana Alkotsar (1980) melihat orang gelandangan itu sebagi
insan yang kesepian, karena terputusanya hubungan saudara), ditambah dengan
kedudukan mereka sebagai penghuni kota yang tidak sah, yang tinggal di wilayah-
wilayah kota yang sebenarnya terlarang untuk mereka tempati, maka juga ada
peraturan hukum yang resmi memberikan perlindungan terhadap keberadaan
mereka di kota.
350
dari 50 orang menempati wilayah terlarang tetapi mendapat perlindungan dari
pejabat administratif/keamanan pemerintah setempat.
Hubungan patron-klien dapat dilihat sebagai sebuah struktur yang terdiri atas
struktur-struktur yang lebih kecil. Struktur yang mendasari dari hubungan patron-klien
adalah cluster, yang terbentuk dari adanya seorang patron dengan satu atau
beberapa orang klien yang berada di sekelilingnya atau di bawah (dilihat secara
sosial-ekonomi). Beberapa buah cluster yang tergabung menjadi satu melalui
hubungan-hubungan hierakhi atau vertikal diantara patron-patronnya membentuk
sebuah struktur yang dinamakan piramida (Lihat Scott 1977). Sebuah komuniti
gelandangan dapat terdiri atas sebuah piramida atau lebih, atau dapat juga terdiri
atas sebuah cluster atau beberapa cluster yang masing-masing berdiri sendiri dari
bersaing untuk memperoleh kedudukan patron dari piramida komuniti tersebut.
351
Model dan Penerapannya
Penggunaan model patron-klien atau model apapun, dalam setiap kajian atau
penelitian menghindarkan peneliti dari jeratan-jeratan yang menyukarkan dalam
penyeleksian data yang akan dikumpulkan. Model ini dapat dilihat sebagai sebuah
pedoman yang mendasar yang menjadi landasan bagi usaha pengumpulan data dan
pembuatan analisisnya. Sebuah model selalu diciptakan secara konseptual,
berdasarkan teori-teori yang terseleksi, dan karena itu juga operasional untuk
kegiatan pengkajian/penelitian. Sebab sebuah model sebenarnya berisikan
kumpulan teori-teori terseleksi yang relevan dengan masalah yang akan dikaji, model
yang tidak relevan dengan masalah yang dikaji, dengan sendirinya tidak operasional
untuk kegiatan pengajian/penelitian masalah tersebut.
352
ekonomi orang gelandangan dari usaha komuniti lokal tertentu. Ini ada kaitannya
dengan pertanyaan membantu seluruh warga komuniti gelandangan itu, atau
membantu memperkuat kedudukan patron atau patron-patron yang ada dalam
komuniti tersebut ? Atau, suatu pertanyaan lainnya: kalau saya membantu mereka
(orang gelandangan) tersebut, saya ini memang betul-betul mau membantu mereka
itu ataukah saya ini ingin menjadikan diri sebagai patron mereka?
353
sebagai permukiman liar. Sebagai pendatang baru mereka mencari perlindungan
bagi keselamatan diri mereka dan mencari pekerjaan dari orang-orang yang mereka
percayai akan dapat menolong mereka. Orang yang mereka percayai biasanya
adalah kerabatnya, yang sesama sukubangsa, atau yang berasal dari daerah asal
yang sama. Orang-orang inilah yang kemudian menjadi patron atau patron-patron
mereka. Para patron biasanya menguruskan izin tinggal, dan biasanya juga
mencarikan atau memberi pekerjaan kepada mereka. Pekerjaan yang dicarikan dan
diberikan kepada klien tergantung pada posisi patron dalam masyarakat kota
setempat, kemampuannya untuk mencarikan dan memberikan jenis perkerjaan, atau
tergantuing pada kemauannya untuk menolong dan melindunginya. Para patron
dapat memberikan pekerjaan di kantor, sebagai satpam atau sebagai pesuruh.
Tetapi pada umumnya para patron membrikan pekerjaan di sektor informal kota, baik
yang digolongkan sebagai yang tidak melanggar hukum (Seperti PKL, industri kecil
rumah tangga, berbagai usaha jasa palayanan konsumen) maupun yang
digolongkan sebagai kegiatan melanggar hukum (preman, jaringan perjudian,
jaringan peredaran narkoba, dan berbagai organisasi kejahatan dari yang ringan
sampai dengan yang berat).
Diantara berbagai kegiatan bisnis sektor informal maupun formal yang muncul
dan berkembang di daerah perkotaan adalah bisnis selera sukubangsa (warung dan
restoran Padang, Jawa, Sunda, Menado, Betawi, dsb.; ). Dalam bisnis seperti ini,
pemilik bisnis biasanya merekrut keponakan atau anggota kerabatnya, orang seasal
desa atau kampung kotanya, atau orang seasal sukubangsanya. Disamping bisnis
selera makanan sukubangsa, juga berbagai selera keindahan dan pakaian
sukubangsa berkembang di kota-kota besar walaupun dalam skala kecil. Di kota
besar seperti Jakarta, hampir semua jenis kegiatan bisnis perdagangan dan industri
(baik yang besar maupun yang kecil) masing-masing dikuasai oleh kelompok-
kelompok sukubangsa tertentru. Misalnya, bisnis toko-toko barang antik dikuasai
oleh orang Minanglkabau atau orang Padang, bisnis besi rongsokan oleh orang
Madura, bisnis sayur mayur dan buah lokal oleh orang Jawa, dsb.
Penutup
354
Telah saya usahakan untuk memperlihatkan pengertian patron-klien,
sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Scott (1977) dan oleh ahli-ahli lainnya,
dengan harapan bahwa pengertian hubungan patron-klien itu menjadi lebih jelas,
sehingga dapat operasional dalam penggunaannya bagi pengkajian-pengkajian yang
relevan dengan model tersebut. Sebuah model tidak hanya operasional untuk
kepentingan pengembangan teori ilmiah, tetapi juga dalam kegunaannya bagi
membantu memecahkan masalah-masalah praktis yang dihadapi. Contoh yang telah
dikemukakan dalam usaha untuk membantu meningkatkan taraf kehidupan sosial -
ekonomi orang gelandangan, mungkin juga relevan dengan usaha-usaha
peningkatan kehidupan sosial ekonomi golongan sosial lainnya, sepanjang model
tersebut relevan dengan masalah yang dikaji.
Sebagai akhir kata, mungkin perlu dijelaskan ulang bahwa hubungan patron-
klien muncul, ada, dan mantap dalam situasi-situasi sosial dimana hukum dan
penegak hukum tidak efektif dalam menjamin rasa aman dari warga sesuatu
kelompok sosial atau seseuatu komuniti. Sejumlah warga yang terbatas jumlahnya
dapat menjadi patron dan memanfaatkan posisi sebagai patron, yaitu orang-orang
yang dapat menjamin rasa aman warga yang menjadi kliennya, dan bersamaan
dengan itu dapat meraih keuntungan secara sosial, politik, dan ekonomi bagi diri
mereka masing-masing dan keluarganya..
*****
Kepuatakaan
355
Larde, Carl H., 1977, “Introduction the dyadic basis of clientelism” .Dalam Steffen W.
Schmidt, et al (Editors), Friends, Followers and Factions.. London:
University of California Press.
Logg, Keith R., 1983, Tuan, Hamba, dan Politisi. Jakarta: Sinar Harapan.
Mayer, Adiran, 1978, “The Significance of quasi groups in the study of complex
societies” dalam .Michael Banton (Editor), The Anthropolgy of
Complex Societies. London:Tavistock.
Scott, James C., 1977, “Patron-client, politics and political change in Southeast Asia”,
dalam Friends, Followers, aand Factions. London: University of
California Press.
Spicer, Edward H., 1975, “Patrons of the Poor”. Dalam John Friedl dan Noel
Chrisman (Editors), City Ways:: A selective reader in urban
anthropology. New York: Harper & Row.
Suparlan, Parsudi, 1974, “The gelandangan of Jakarta : politics among the poerest
people in the capital of Indonesia”. Indonesia No. 18 (Oktober). (Telah
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dalam Kemiskinan di
Perkotaan, di-edit oleh Parsudi Suparlan).
–––––––––, 1980, “Lapangan kerja bagi penduduk berpenghasilan rendah di kota”,
Widyapura, Vo. 2, No. 6.
–––––––––, 1983, “Gelandangan: sebuah konsekuensi perkembangan kota” dalam
Gelandangan, (Di-edit oleh ?). Jakarta, LP3ES.
Wolf, Eric, 1978, “Knship, Friendships, and Patron-client relations in Complex
Societies”. Dalam Michael Banton (Editor), The Anthropology of
Complex Societies.. London : Tavistock.,
–––––––––, 1983, Petani. Suatu Tinjauan Antropologis.. Jakarta, Yayasan Ilmu-ilmu
Sosial.
356
Prof. Dr. Parsudi Suparlan lahir di Jakarta Tgl. 3 April 1938.
Sekarang menjabat sebagai Guru Besar Antropologi FISIP-UI.
Pendidikan S1 Antropologi, Fakultas Sastra, U.I. diselesaikannya
pada tahun 1964. Pada tahun 1970 memperoleh kesempatan
belajar di University of Illinois, Amerika Serikat, yang kemudian
menyelesaikan MA pada tahun 1972 serta Ph.D dalam bidang
Antropologi pada tahun 1976.
Dari tahun 1970 - 1971 bekerja sebagai part time research
assistant di Department of Anthropology University of Illinois, dibantu dengan beasiswa
dariIIE/Fulbright, pada tahun1971 - 1972. Tahun 1972 - 1976 bekerja sebagai part time
teaching assistant di universitas yang sama. Dari tahun 1972 - 1975 memperoleh beasiswa
dari Ford Foundation, termasuk beasiswa untuk penelitian desertasinya di Suriname (1973 -
1974). Pada tahun 1978, ia diangkat sebagai anggota Sigma Xi (The Scientific Reserch
Society of Nort America). Setelah menyelesaikan studinya, pada Maret 1976, Parsudi
Suparlan kembali ke almaternya U.I.
Pada tahun 1961 diangkat sebagai Asisten Dosen dari Prof. Harsya W. Bachtiar di Fakultas
Sastra, U.I., dan sebagai dosen tetap sejak tahun 1963. Setamat dari U.I. pada bulan Maret
1964, atas rekomendasi Prof. Koencjaraningrat, mengajar di Univesitas Cenderawasih, Irian
Barat dan pernah juga menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Antropologi dari universitas
tersebut sampai tahun 1966. Pernah mengajar di IKIP, Universitas Sam Ratulangi, Manado
pada tahun 1968. Dosen terbang Jurusan Antropologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
dari tahun 1977 - 1979. Dosen Pacasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dari 1981 -
1998, Dan sebagai dosen Akademi Hukum Militer 1985 - 1994.
Kegiatan mengajar tetap dilakukan hingga sekarang pada program S1, S2, S3 Antropologi
FISIP-U.I.; di PTIK, Program S2 dan S3 Ilmu Kepolisian, U.I.; Program S2 Kajian Wilayah
Amerika, U.I., dan menjabat sebagai Ketua Program Kajian tersebut sejak 1998. Di samping
mengajar, Parsudi Suparlan juga aktif melakukan penelitian-penelitian dan mengikuti
berbagai seminar dan lokakarya di dalam dan di luar negeri. Sebagian besar dari karya-
karya tulisnya telah diterbitkan (lebih dari 200 tulisan, sejak tahun 1964), antara lain The
Javanese in Surinam: Ethnicity in an ethnically plural society (Arizona State University,
1995), Orang Sakai di Riau: Masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia (Yayasan
Obor, 1995). Pada tahun 1999, Parsudi Suparlan mendirikan Jurnal POLISI INDONESIA dan
menjadi Pimpinan Redaksinya sejak saat itu. Disamping kesibukannya sebagai pengajar, dia
juga menjadi anggota dan dewan (board) dari sejumlah organisasi profesi di Indonesia.`
357