Anda di halaman 1dari 374

SUKUBANGSA

DAN HUBUNGAN
ANTAR-SUKUBANGSA

PARSUDI SUPARLAN

Cetakan ke-2

YPKIK (Yayasn Pengembangan Kajian Ilmu Kepoilisian)


2005
YPKIK
Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
Jakarta, 2004
0

COVER (Dalam

Hubungan Antar-Sukubangsa
Oleh: Parsudi Suparlan
Copyright 2005 by YPKIK

Diterbitkan oleh
Penerbit KIK Press

Jakarta, Agustus 2005

2005 Cetakan ke-2

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Dilarang mengjutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit

Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa


Jakarta, Penerbit YPKIK, 2005
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

ISBN ……….
……………………………

Alamat Penerbut
Jl. Tirtayasa Raya No.6
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Phone: 021-7265414
Faximil……….
E-mail ……………….

0
1

Halaman Tersendiri
(Setelah Daftar Isi)

Pengantar
Cetakan ke-2

Cetakan ke-2 dari buku Hubngan Antar-Sukubangsa ini, diganti


judulnya menjadi Sukubangsa dan Hubungan antar-Sukubangsa.
Perubahan judul buku dilakukan karena setelah dilakukan perbaikan atas
salah cetak dan penjelasan konsep-konsep, isi buku ini sebenarnya adalah
mengenai sukubangsa dan hubungan antar-sukubangsa dalam masyarakat
majemuk Indonesia.
Sejumlah konsep yang salah cetak diperbaiki, sehingg terkesan ada
perbedaan dari kosep-konsep yang ada dalam buku cetakan ke-1. Walapun
demikian, isi dari buku cetakan ke-2 ini pada prinsipnya tidak berbeda dari isi
buku cetakan ke-1.

1
2

COVER (LUAR)
COVER (Dalam)

DAFTAR ISI

PENGANTAR CETAKAN KE-2

PENDAHULUAN: SUKUBANGSA DAN HUBUNGAN


ANTAR-SUKUBANGSA

BAGIAN I: KONSEP-KONSEP DAN TEORI


1. Masyarakat dan Kebudayaan
2. Sukubangsa Sebagai Golongan
3. Sukubangsa dan Masyarakat
4. Hubungan Antar-Sukubangsa
5. Stereotip, Atribut, dan Hubungan
Antar-Sukubangsa

2
3

6. Kesukubangsaan
7. Keluarga dan Kekerabatan
8. Kerjasama, Persaingan, dan Konflik
9. Masyarakat Majemuk dan Hubungan
Antar-Sukubangsa
10. Agama dan Sukubangsa
11. Politik Nasional, Politik Tingkat Lokal
12. Hukum Adat: Keadilan
13. Kehidupan Ekonomi
14. Mayoritas, Dominan, dan Minoritas
15. Multikulturalisme dan Kebudayaaan

BAGIAN II: KEBUDAYAAN, MASYARAKAT


MAJEMUK, DAN KONFLIK
ANTAR-SUKUBANGSA
1. Kemajemukan, Hipotesa Kerbudayaan Dominan,
dan Kesukubangsaan
2. Keanekaragaman Sukubangsa dan Kebudayaan
3. Kebudayaan dan Pembangunan
4. Mayarakat Majemuk dan Perawatannya
5. Konflik Sosdial dan Alternatif Pemecahannya
6. Konflik Antar-Sukubangsa dan Upaya
Mengatasinya
7. Konflik Antar Sukubangsa Melayu dan Dayak

3
4

dengan Madura di Kabupaten Sambas, Kalimantan


Barat
8. Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia
9. Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia
10. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural
11. Keyakinan Keagamaan dalam Konflik
Antar-Sukubangsa
12. Pembangunan Komuniti, Konflik,
dan Pemolisian Komuniti
13. Pola Hubungasn Patron-Klien: Model dan
Penerapannya
14. Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa
______________

4
5

PENDAHULUAN
SUKUBANGSA DAN
HUBUNGAN ANTAR-SUKUBANGSA
Sukubangsa

S
ukubangsa adalah kategori atau golongan sosial askriptif Sebagai
golongan sosial, sukubangsa terwujud sebagai perorangan atau
individu dan kelompok. Sebagai kelompok sukubangsa terwujud
sebagai keluarga, komuniti, masyarakat, atau juga berupa perkumpulan
sukubangsa, Sebagai kelompok, sukubangsa mempunyai ciri-ciri: (1)
Merupakan sebuah satuan kehidupan yang secara biologi mampu
berkembang biak dan lestari, yaitu dengan adanya keluarga yang dibentuk
melalui perkawinan. (2) Mempunyai kebudayaan yang mereka miliki
bersama, yang merupakan pedoman bagi kehidupan mereka, dan yang
secara umum berbeda coraknya daripada yang dimiliki oleh kelompok
sukubangsa lainnya. (3) Keanggotaan di dalam sukubangsa yang bercorak
askriptif, yaitu keanggotaan dalam sukubangsa tersebut yang didapat
bersama dengan kelahirannya, yang mengacu pada asal orangtua yang
melahirkannya dan asal daerah dimana seseorang itu dilahirkan.

Keanggotaan seseorang di dalam sebuah sukubangsa, yang bercorak


askriptif berbeda dari keanggotaan seseorang di dalam sebuah kelas sosial
atau kelompok profesi. Dalam kelas sosial, keanggotaan seseorang tidak
didapatkan begitu saja tetapi diperoleh melalui suatu pencapaian prestasi
ekonomi dalam kehidupan sosial. Begitu juga keanggotaan seseorang di
dalam kelompok profesi juga diperoleh melalui prestasi sesuai profesi atau
keahlian kerja yang dipunyainya. Lebih lanjut, keanggotaan seseorang di

5
6

dalam sesuatu sukubangsa adalah keanggotaan terus menerus atau untuk


selamanya, sedangkan keanggotaan dalam kelas sosial atau kelompok
profesi akan hilang pada waktu yang bersangkutan tidak lagi mampu
menunjukkan kemampuan ekonomi yang menjadi ciri-ciri dari kelas sosial
dimana dia tergolong di dalamnya atau pada waktu seseorang itu tidak lagi
mengerjakan profesi yang selama ini ditekuninya. Dengan demikian,
keanggotaan dalam sebuah sukubangsa yang merupakan golongan sosial
askriptif berbeda dari keanggotaan dalam golongan sosial lainnya yang
coraknya diperoleh melalui prestasi kerja atau usaha.

Sebagai mahluk sosial, setiap orang mempunyai lebih dari satu jatidiri
atau identitas diri. Semakin banyak posisi yang diduduki oleh seseorang dan
peranan dalam struktur-struktur kegiatan atau sosial yang dilakukannya
dalam kehidupan sosial di masyarakatnya, maka akan semakin banyak
jatidirinya. Dalam setiap interaksi hanya ada satu jatidiri utama yang
diaktifkan dan diakui oleh pelaku lainnya dalam struktur interaksi yang
berlaku, sedangkan sejumlah jatidiri lain yang dipunyainya ikut menempel
dan memperkuat jatidiri utama tersebut, dan karenanya memperkuat
posisinya dalam interaksi tersebut. Sedangkan sejumlah jatidiri lainnya
disimpan dan tidak digunakannya. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan
termasuk salah satu diantara jatidiri yang dapat menjadi jatidiri utama, atau
dapat juga menjadi yang menempel dan memperkuat jatidiri utama yang
diaktifkan, atau dapat juga disimpan untuk tidak diaktifkan.

Sukubangsa, sama dengan golongan sosial lainnya, muncul dan ada


di dalam interaksi. Bila sesuatu interaksi itu menuntut dilakukannya
penggolongan sukubangsa maka sukubangsa akan muncul didalam interaksi
tersebut. Kemunculan sukubangsa dalam interaksi akan menyebabkan para
pelaku yang berbeda sukubangsanya menunjukkan jatidiri sukubangsa atau
kesukubangsaan masing-masing. Kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa
itu muncul berdasarkan atas pengakuan oleh pelaku yang bersangkutan dan
diakui oleh pelaku lainnya dalam interaksi yang terjadi. Acuan bagi

6
7

pengakuan dan diakuinya jatidiri sukubangsa atau kesuku-bangsaan adalah


sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa yang besangkutan. Sebagai
acuan bagi kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa terwujud sebagai
atribut-atribut yang menjadi ciri-ciri dari kesukubangsaan masing-masing
pelaku dalam sesuatu interaksi.

Interaksi selalu terwujud dalam bentuk struktur, yaitu hubungan


diantara dua orang pelaku atau lebih yang masing-masing mempunyai status
atau peranan tertentu, sehingga dalam struktur tersebut yang nampak adalah
interaksi antar-status atau antar-peranan. Masing-masing struktur
mempunyai aturan-aturan atau norma-norma yang harus ditaati oleh para
pelaku yang ada dalam struktur tersebut, dan aturan-aturan tersebut
mempunyai corak sesuai dengan corak struktur interaksinya. Secara garis
besarnya corak dari struktur interaksi tergolong dalam corak struktur formal
dan tidak formal atau sosial dan personal. Interaksi antara dua orang atau
dua kelompok sukubangsa dapat bercorak formal dan dapat pula bercorak
tidak formal. Misalnya, interaksi yang terjadi dalam proses melamar yang
dilakukan oleh sebuah kelompok sukubangsa terhadap sebuah kelompok
sukubangsa lainnya mempunyai corak interaksi yang formal. Sedangkan
hubungan persahabatan antara dua orang dari sukubangsa yang berbeda,
corak dari struktur interaksinya adalah informal.

Hubungan Antar-Sukubangsa

Hubungan antar-sukubangsa adalah hubungan yang dihasilkan dari


adanya interaksi antara orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbeda
sukubangsanya. Dalam interaksi ini, masing-masing pelaku atau kelompok
saling diidentifikasi oleh dan mengidentifikasi diri mereka masing-masing
satu sama lainnya dengan mengacu pada sukubangsa dan kebudayaan
sukubangsanya. Interaksi terjadi karena berbagai kebutuhan yang harus
dipenuhi para pelaku sebagai mahluk sosial untuk pemenuhan berbagai

7
8

kebutuhan hidup mereka. Interaksi yang terjadi diantara mereka yang


berbeda sukubangsanya juga didasari oleh dorongan-dorongan untuk
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup.
Dalam kehidupan yang nyata, setiap sukubangsa, sebagai golongan
sosial askriptif yang dipunyai oleh individu maupun oleh kelompok atau
komuniti dan masyarakat, hidup dalam lingkungan sukubangsa yang
berbeda dari lingkungan sukubangsa lainnya. Lingkungan sukubangsa ini
mencakup ungkapan-ungkapan pengetahuan mengenai diri mereka dan
lingkungannya atau dunianya, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai budaya yang
terwujud sebagai atribut-atribut dan simbol-simbol yang penuh makna, dan
berbagai norma yang ada dalam pranata-pranata sosial, dan lingkungan fisik
serta lingkungan dimana kelompok sukubangsa itu hidup. Karena itu dalam
hubungan antar-sukubangsa ada batas-batas sukubangsa, dan hubungan
antar-sukubangsa yang terwujud melalui berbagai interaksi adalah jembatan
atau wadah yang menerobos batas-batas sukubangsa dan menjembatani
perbedaan-perbedaan sukubangsa. Atau, interaksi yang terjadi tersebut bisa
menjadi jembatan yang dapat digunakan untuk menerobos batas-batas
sukubangsa dengan tujuan untuk saling bekerjasama, atau untuk tujuan
mengalahkan sesuatu kelompok sukubangsa dan mendominasinya atau
untuk menghancurkannya. Batas-batas sukubangsa akan tetap ada dan
lestari, karena ciri sukubangsa sebagai golongan sosial yang askriptif yang
terwujud sebagai kesukubangsaan itu bersifat mendasar dan mendalam, dan
didapat oleh setiap anggota sukubangsa sejak masa kelahirannya, melalui
pembudayaan atau enkulturisasi dan sosialisasi. Oleh karena itu sifat atau
hakekat kesukubangsaan seringkali dinamakan primordialisme, yang artinya
adalah sesuatu keyakinan yang mendasar dan mendalam, yang utama dan
pertama dalam kehidupan manusia.

Dalam masyarakat-masyarakat yang heterogen yang menjadi corak


masyarakat-masyarakat setempat di Indonesia, hubungan antar-sukubangsa
terwujud sebagai hubungan antar-perorangan, antar-komuniti, antar-
kelompok atau antar-masyarakat sukubangsa yang satu dengan yang

8
9

lainnya, yang hidup bertetangga satu dengan lainnya. Corak hubungan


antar-sukubangsa seperti ini cenderung mantap, karena telah berlangsung
selama beberapa generasi sehingga mereka itu telah saling kenal mengenal
secara mendalam. Sehingga stereotip atau prasangka yang dipunyai oleh
masing-masing sukubangsa tersebut lebih mendekati kenyataan yang
sebenarnya. Sedangkan dalam hubungan antar-sukubangsa yang baru saja
terjadi diantara dua sukubangsa atau lebih, coraknya bisa berubah-ubah
atau belum mantap. Di satu saat bisa dalam keadaan saling mengerti dan
damai tetapi di saat yang lain bisa terjadi konflik dengan kekerasan yang
melibatkan keseluruhan anggota sukubangsa yang bersangkutan.

Dalam hubungan antar-sukubangsa yang mantap coraknya, di dalam


interaksi-interaksi yang berlaku, para pelaku dari masing-masing sukubangsa
yang bersangkutan mengambil posisi-posisi dalam struktur-struktur interaksi
yang telah mereka definisikan coraknya secara bersama-sama, dari waktu ke
waktu, secara terus menerus dan selama sekian generasi. Sehingga,
berbagai kesalahpahaman yang menyebabkan terjadinya konflik dapat
terhindari. Sedangkan dalam hubungan antar-sukubangsa yang belum
mantap coraknya, di dalam interaksi yang berlaku, para pelaku berusaha
saling menawar atau mempertahankan posisi-posisi yang lebih dominan atau
lebih tinggi dan lebih kuat dari pihak pelaku lawan sukubangsanya sehingga
terjadi berbagai bentuk konflik diantara mereka sebelum mereka itu akhirnya
saling menyetujui posisi masing-masing di dalam struktur-struktur interaksi
tersebut.

Perebutan posisi dominan atau lebih tinggi dan lebih kuasa dalam
struktur interaksi itu merupakan proses-proses penting dalam hubungan
antar-sukubangsa. Karena dalam setiap aksi dan interaksi terserap kekuatan
dan hubungan kekuatan, yaitu kekuatan untuk dapat menyuruh orang lain
melakukan sesuatu yang dikehendaki dan kekuatan untuk dapat menguasai
sumber-sumber daya dan pendistribusian atau alokasinya. Karena itu dalam
masyarakat-masyarakat di Indonesia yang belum mantap corak hubungan

9
10

antar-sukubangsanya, seringkali terjadi konflik antar-sukubangsa; dan konflik


antar-sukubangsa ini bila tidak dicegah sejak awal akan berupa konflik antar-
sukubangsa yang menggunakan kekerasan dan dan merupakan konflik yang
menyeluruh. Hubungan antar-sukubangsa bukanlah hubungan antar-budaya
sukubangsa, tetapi hubungan yang terjadi melalui interaksi-interaksi sosial
diantara pelaku yang berbeda sukubangsanya yang masing-masing
mengaktifkan kesukubangsaannya yaitu sukubangsa dan atribut-atribut
kebudayaannya, sebagai acuan dalam tawar menawar posisi atau
memantapkan posisi dalam struktur-struktur interaksi yang berlaku.

Buku ini adalah mengenai hubungan antar-sukubangsa. Isinya


mencakup konsep-konsep dan teori-teori mendasar mengenai sukubangsa
dan kesukubangsaan serta sejumlah konsep yang mendukung kemunculan
dan keberadaan serta proses-prosesnya. Isinya juga mencakup konsep-
konsep dan teori-teori mengenai hubungan antar-sukubangsa dan berbagai
corak serta faktor-faktor pendukung perwujudannya, konteks-konteks
kelompok, komuniti, serta masyarakat Indonesia yang bercorak masyarakat
majemuk Indonesia. Tercakup dalam isi buku ini adalah pemikiran mengenai
upaya mengganti corak masyarakat Indonesia yang majemuk menjadi
masyarakat multikultural mengingat rapuhnya fondasi kesatuan dan
persatuan dalam kebangsaan Indonesia dalam wadah negara yang bercorak
masyarakat majemuk.

Isi Buku ini terdiri atas dua bagian, yaitu Bagian Pertama berisikan
Bab-Bab tentang konsep-konsep dan teori-teori mengenai Sukubangsa dan
Hubungan Antar-Sukubangsa serta konsep-konsep pendukungnya. Bagian
Pertama ini terdiri atas 15 Bab. Sedangkan bagian Kedua merupakan
bacaan mengenai Masyarakat Majemuk, Kebudayaan, dan Konflik-Konflik
Antar-Sukubangsa, Bagian kedua ini terdiri atas 14 Bab.

Buku ini didesain untuk sebagai buku pokok atau buku pegangan bagi
pengajar dan mahasiswa dalam perkuliahan Hubungan Antar-Sukubangsa

10
11

yang berlangsung sebanyak 16 kali pertemuan dalam satu semester. Bagian


Pertama adalah substansi yang dapat diberikan kepada mahasiswa, dengan
cara mengharuskan mereka untuk mempelajari satu bab setiap perkuliahan
secara berturut-turut selama satu semester yang 16 X pertemuan kuliah,
untuk didiskusikan di kelas oleh pengajar. Sedangkan Bagian kedua dapat
digunakan sebagai acuan untuk memahami isi perkuliahan ataupun untuk
tugas-tugas membuat makalah kecil atau untuk dijadikan acuan bagi
sejumlah topik bahasan di kelas.

Buku ini telah disusun berdasarkan atas pengalaman mengajar mata


kuliah ini di FISIP-U.I., di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, dan di Program
Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Indonesia, Universitas Indonesia.

11
12

12
BAGIAN I

KONSEP-KONSEP

DAN TEORI
1 Masyarakat
dan Kebudayaan
Masyarakat

M
asyarakat adalah sekelompok individu yang secara langsung atau tidak
langsung saling berhubungan sehingga merupakan sebuah satuan
kehidupan yang mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dari
kebudayaan yang dipunyai oleh masyarakat lain. Sebagai satuan kehidupan, sebuah
masyarakat biasanya menempati sebuah wilayah yang menjadi tempatnya hidup dan
lestarinya masyarakat tersebut. Karena warga masyarakat tersebut hidup dan
memanfaatkan berbagai sumberdaya yang ada dalam wilayah tempat mereka itu
hidup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka sebagai manusia, maka
terdapat semacam keterikatan hubungan antara sebuah masyarakat dengan wilayah
tempat masyarakat itu hidup. Sebuah masyarakat merupakan sebuah struktur yang
terdiri atas saling hubungan peranan-peranan dan para warganya, yang peranan-
peranan tersebut dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Saling
hubungan diantara peranan-peranan ini mewujudkan struktur-struktur peranan-
peranan yang biasanya terwujud sebagai pranata-pranata. Pranata-pranata itu
terwujud dalam kehidupan manusia bermasyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan hidup sebagai manusia, yang dianggap penting oleh masyarakat yang
bersangkutan. Melalui pranata-pranata yang ada, sebuah masyarakat dapat tetap
lestari dan berkembang. Pranata-pranata yang ada dalam masyarakat, antara lain,
adalah pranata keluarga, pranata ekonomi, pranata politik, pranata keagamaan, dsb.
Norma-norma yang ada dalam pranata, yaitu norma-norma yang mengatur
hubungan antar peranan-peranan, berisikan patokan-patokan etika dan moral yang
harus ditaati dan dilakukan oleh para pemegang peranan dalam hubungan antara

2
satu dengan lainnya dalam kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan. Norma-norma
yang berlaku dalam sebuah masyarakat mengacu pada kebudayaan yang dipunyai
oleh masyarakat tersebut.

Kebudayaan

Profesor Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai wujudnya,


yang mencakup: gagasan atau ide, kelakuan, dan hasil kelakuan. Kebudayaan yang
dikemukan oleh Prof. Koentjaraningrat, lebih lanjut, dilihatnya dalam perspektif
taksonomik. Yaitu kebudayaan dilihat sebagai unsur-unsur universal, yang masing-
masing terdiri atas unsur-unsur yang lebih kecil dan yang lebih kecil lagi, yang
dinamakannya sebagai trais dan items. Dalam hal ini kebudayaan dilihat sebagai
sebuah satuan yang berdiri sendiri terlepas dari keberadaan pelakunya ataupun
terlepas dari fungsinya dalam struktur kehidupan manusia. Dalam upaya memahami
hubungan antara individu, masyarakat, dan kebudayaan, dan dalam upaya
memahami fungsi kebudayaan dalam struktur kehidupan manusia, definisi Profesor
Koentjaraningrat sebetulnya tidak relevan.

Dengan mengacu pada karya-karya Malinowski (1961, 1944) mengenai


kebutuhan-kebutuhan manusia dan pemenuhannya melalui fungsi dan pola-pola
kebudayaan, dan dengan mengacu pada karya Kluckhohn (1994) yang melihat
kebudayaan sebagai blueprint bagi kehidupan manusia, serta dari Geerts (1973)
yang melihat kebudayaan sebagai sistem-sistem makna, saya melihat kebudayaan
sebagai ‘pedoman bagi kehidupan manusia yang secara bersama dimiliki oleh para
warga sebuah masyarakat.’ Atau dengan kata lain, kebudayaan adalah sebuah
pedoman rnenyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat dan para warganya.

Dalam perspektif ini kebudayaan dilihat sebagai terdiri atas konsep-konsep,


teori-teori, dan metode-metode yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat
yang menjadi pemiliknya. Kebudayaan dengan demikian merupakan sistem-sistem
acuan yang ada pada berbagai tingkat pengetahuan dan kesadaran, dan bukan pada
tingkat gejala yaitu pada tingkat kelakuan atau hasil kelakuan sebagaimana
didefinisikan oleh Prof. Koentjaraningrat. Sebagai sistem-sistem acuan, konsep-
konsep, teori-teori, dan metode-metode digunakan secara selektif sebagai acuan

3
oleh para pemilik kebudayaan dalam menghadapi lingkungannya, yaitu digunakan
untuk menginterpretasi dan manfaatkan lingkungan beserta isinya bagi pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan hidupnya sebagai manusia. Pemilihan secara selektif tersebut
dilakukan berdasarkan pertimbangan oleh pelaku mengenai konsep atau metode
atau teori yang mana yang paling cocok atau yang terbaik yang dapat digunakan
sebagai acuan interpretasi dan mewujudkan tindakan-tindakan. Tindakan-tindakan
tersebut dapat dilihat sebagai dorongan-dorongan atau motivasi dari dalam diri
pelaku bagi pemenuhan kebutuhan maupun sebagai tanggapan-tanggapan
(responses) pelaku atas rangsangan-rangsangan (stimuli) yang berasal dari
lingkungannya.

Keberadaan kebudayaan dalam kehidupan manusia adalah fungsional dalam


struktur-struktur kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup sebagai
manusia. Yaitu sebagai acuan bagi manusia dalam berhubungan dengan dan
mengidentifikasi berbagai gejala sebagai kategori-kategori atau golongan-golongan
yang ada di dalam lingkungannya. Yaitu kategori-kategori yang dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya sebagai manusia. Kebutuhan-
kebutuhan hidup yang harus dipenuhi manusia agar dapat hidup sebagai manusia
mencakup tiga kategori. Ketiga kategori kebutuhan tersebut harus dipenuhi secara
bersama-sama dan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut diintegrasi oleh
kebutuhan adab, yang menjadikan pemenuhan kebutuhan hidup tersebut sebagai
tindakan-tindakan yang penuh adab, etika, dan moral. Adapun kebutuhan-kebutuhan
hidup manusia adalah sbb :

a. Kebutuhan biologi atau kebutuhan primer (makan, minum, menghirup oksigen,


buang air besar/kecil, istirahat, tidur,seksual, dsbnya.)
b. Kebutuhan sosial atau sekunder (berkomunikasi dengan sesama, pendidikan,
kontrol sosial, pamer, dsbnya).
c. Kebutuhan adab atau kemanusiaan, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang
mengintegrasikan berbagai kebutuhan yang tercakup dalam kebutuhan biologi
dan sosial. Kebutuhan adab atau kemanusiaan ini muncul dan terpancar dari
hakekat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang tertinggi derajatnya,
yang mempunyai kemampuan berpikir, berperasaan, dan bermoral. Sehingga,

4
pemenuhan-pemenuhan kebutuhan hidup manusia itu bercorak manusiawi
dan bukan hewani.

Kebutuhan-kebutuhan adab mencakup:


a. Kebutuhan untuk dapat membedakan yang benar dari yang salah, yang adil
dari yang tidak adil, yang suci dari yang kotor, yang berpahala dari yang
berdosa, dsbnya.
b. Kebutuhan untuk dapat mengungkapkan perasaan-perasaan dan sentimen-
sentimen perorangan atau kolektif atau kebersamaan.
c. Kebutuhan untuk dapat menunjukkan jatidiri dan keberadaan serta asal
muasalnya, dan kebutuhan untuk mempunyai keyakinan serta kehormatan
diri.
d. Kebutuhan untuk dapat menyampaikan ungkapan-ungkapan estetika, etika,
dan moral.
e. Kebutuhan akan rekreasi dan hiburan.
f. Kebutuhan akan rasa aman, tenteram, dan adanya keteraturan dalam
kehidupan.

Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia selalu dilakukan dalam dan


melalui pranata-pranata (Suparlan 1998, 1986). Setiap pranata, yaitu sebuah sistem
antar hubungan norma-norma dan peranan-peranan untuk pemenuhan kebutuhan
yang dianggap penting oleh masyarakat yang bersangkutan, menyajikan
seperangkat pedoman untuk bertindak sesuai dengan corak pranatanya. Kegiatan-
kegiatan pemenuhan kebutuhan melalui pranata-pranata biasanya terpola dan
berlangsung secara berulang dari waktu ke waktu. Dalam proses-proses tersebut
maka tradisi-tradisi berkenaan dengan sesuatu pemenuhan kebutuhan untuk hidup
itu menjadi baku.

*****

5
Kepustakaan

Geertz, C (1973), The Interpretation of Cultures. New York: Basic Book.


Kluckhohn, C. (1994). “Cermin Bagi Manusia” Dalam, Parsudi Suparlan, Editor,
Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya (Disadur oleh Parsudi
Suparlan dari buku Mirror for Man Oleh Clyde Kluchohn, New York:
MacGraw Hill, 1948). Jakarta: Grafindo Persada, Cetakan-2.
Malinowski, B. (1961), Argonauts of the Western Pacific. New York: Dutton.
Paperback.
—————, (1944), A Scientific Theory of Culture. Chappel Hill: Univ of North
Caroline Press.
Suparlan, P. (1998), ‘Model Sosial Budaya bagi penyelenggaraan Transmigrasi di
Irian Jaya’, Majalah Antropologi Indonesia, 57, 1998, hal. 23-47.
—————, (1986), ‘Kebudayaan dan Pembangunan’, Media IKA, vol.14, no.11, hal.
106-135. Jurusan Antropologi, U.I.

6
2 Sukubangsa
Sebagai Golongan
Sistem-Sistem Penggolongan

T
erdapat adanya kecenderungan yang universal yang menjadi ciri-ciri
manusia, dalam berpikir dan berkomunikasi dengan sesama sebagaimana
terwujud dalam penggunaan bahasa, untuk memilah-milah atau
menggolongkan atau mengkategorisasikan benda-benda, mahluk-mahluk, peristiwa-
peristiwa, dan gejala-gejala kedalam golongan-golongan atau kategori-kategori.
Pemilahan atau penggolongan dilakukan berdasarkan atas sesuatu ciri yang
menyolok yang digunakan sebagai pedomannya, yang berdasarkan atas ciri
menyolok tersebut sesuatu gejala dibedakan dari gejala lainnya. Ciri yang menyolok
yang digunakan untuk membedakan sesuatu gejala dari gejala lainnya tersebut,
dipilih dari sejumlah ciri-ciri yang ada dalam pengetahuan atau dalam kebudayaan
dari para pelaku yang bersangkutan. Penggolongan dilakukan untuk sesuatu maksud
tertentu atau tujuan tertentu, yaitu untuk kemudahan berkomunikasi, meniadakan
kekacauan dalam berkomunikasi, dan mempertajam makna yang terkandung di
dalam tujuan berkomunikasi. Golongan atau kategori dengan demikian, adalah
sebuah hasil dari penggolongan yang terwujud sebagai konsep yang berisikan
sesuatu ciri yang menyolok dalam kaitan dengan konteksnya. Dalam kehidupan
sehari-hari, setiap orang melakukan pengolongan terhadap segala isi yang ada
dalam kehidupannya. Baik dalam kehidupannya yang luas dan umum, maupun
dalam kehidupan yang terbatas dan khusus yang merupakan kegiatan-kegiatannya
sehari-hari.

Contoh: Seorang guru laki-laki yang sehari-harinya mengajar mempunyai


berbagai pedoman untuk menggolongkan murid-muridnya kedalam golongan: laki-
laki - perempuan, cantik - jelek, kaya - miskin, anak pejabat - anak pesuruh kantor,
rajin - malas, pandai - bodoh, rangking paling atas - rangking paling bawah, dsb.

7
Kalau guru tersebut seorang guru yang baik, dalam pengertian sesuai profesi
gurunya, dia akan membuat penggolongan berdasarkan atas ciri-ciri kebiasaan dan
prestasi belajarnya serta membuat penilaian dan perlakukan berdasarkan atas
pedoman penggolongan tersebut; yaitu: rajin - malas, pandai - bodoh, rangking atas
– rangking bawah. Jadi bukannya membuat penggolongan berdasarkan atas konteks
atau kepentingan-kepentingan di luar kepentingan pengajaran, seperti: cantik - jelek,
kaya - miskin, anak pejabat - anak orang biasa, dsb.
Pedoman penggolongan yang dibuat oleh guru tersebut, yang menjadi
pedoman dalam dia menilai dan memperlakukan murid-muridnya, membuat dia
dapat digolongan oleh para murid atau rekan sejawat gurunya sebagai guru yang
baik atau jelek. Dia sendiri, sebagai guru menjadi orang yang tergolong dalam
sesuatu golongan guru (yaitu: sebagai guru baik atau guru jelek, guru jujur atau guru
korup, guru bermoral atau guru mata keranjang) berdasarkan atas ciri-ciri kelakuan
yang ditunjukkannya. Dari contoh tersebut dapat kita ketahui bahwa sesuatu
penggolongan tidak berdiri sendiri dan tidak menghasilkan golongan yang terisolasi
dari golongan atau golongan-golongan lainnya. Setiap golongan mempunyai lawan
golongannya. yang dua golongan berlawanan tersebut tergolong dalam jenis
golongan yang lebih luas yang sama. Begitu juga setiap golongan selalu didukung
keberadaannya oleh golongan atau golongan-golongan lainnya, yang memperkuat
posisinya dalam hubungan antar golongan.

Penggolongan berdasarkan jenis kelamin, misalnya, tidak hanya


menghasilkan golongan laki-laki dan perempuan, tetapi bersamaan dengan itu juga
ditambah dengan atau diikuti oleh berbagai ciri-ciri lainnya yang membuat si laki-laki
dan si perempuan mempunyai posisi yang mantap sebagai dua golongan yang
berbeda atau berlawanan. Misalnya, laki-laki perkasa lawan dari perempuan yang
lemah lembut, laki-laki ganteng sedangkan perempuan cantik, laki-laki berperang di
medan peperangan sebaliknya perempuan di rumah merawat anak-anak dst. Karena
itu penggolongan yang dilakukan oleh manusia dinamakan sebagai sistem, karena
masing-masing penggolongan yang dilakukan itu saling terkait dan mendukung yang
merupakan sebuah satuan yang bulat dan menyeluruh yang menghasilkan sesuatu
makna sesuai dengan tujuan penggolongannya. Makna-makna yang dihasilkan
merupakan keluaran (output) dari sesuatu masukan (input), yaitu tujuan dari
dibuatnya sesuatu penggolongan oleh si pelaku atau sebuah masyarakat.

8
Penggolongan yang dibuat selalu menghasilkan adanya golongan-golongan
yang berbeda atau bertentangan ciri-cirinya, dan bersamaan dengan itu juga
menghasilkan adanya perbedaan atau pertentangan nilainya masing-masing
berdasarkan atas kwalitas atau kwantitasnya. Penilaian mengenai kwalitas ataupun
kwantitasnya terwujud sebagai sistem penggolongan yang vertikal, yang
menghasilkan golongan-golongan yang berada dalam jenjang dan dalam stratum
atau lapisan. Contohnya, pembedaan laki-laki dan perempuan adalah penggolongan
yang horizontal, jika tidak ada tambahan penggolongan lainnya yang tercakup dalam
laki-laki - perempuan tersebut. Laki-laki lebih kuat ototnya daripada perempuan,
maka kita berbicara mengenai jenjang berdasarkan atas kekuatan otot (kwalitas
otot). Laki-laki mampu menghasilkan uang lebih banyak daripada perempuan, maka
kita berbicara mengenai jenjang berdasarkan atas kwantitas yang dihasilkan.

Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar seseorang


menggunakan istilah pengelompokan sosial, padahal maksudnya adalah
penggolongan sosial (penggolongan berdasarkan atas ciri-ciri sosial dari warga
sesuatu masyarakat); atau kelompok perempuan, padahal maksudnya adalah
golongan perempuan. Kelompok adalah kumpulan individu-individu yang secara
bersama-sama merupakan sebuah satuan. Individu yang dimaksud dapat berupa
manusia, hewan, benda, peristiwa atau gejala-gejala. Jadi, berbeda dari golongan
yang terwujud sebagai konsep karena ciri-cirinya yang ada dalam sesuatu
kebudayaan, maka yang namanya kelompok adalah kenyataan yang dapat diamati
atau diraba. Sebuah kelompok biasanya juga diberi ciri-ciri berdasarkan
penggolongan yang dibuat. Contohnya: golongan mahasiswa menghasilkan adanya
kelompok mahasiswa, golongan perempuan menghasilkan adanya kelompok
perempuan, golongan preman - kelompok preman, golongan santri - kelompok santri,
dsb.nya.

Kehidupan manusia dapat diatur dengan secara lebih baik karena adanya
sistem penggolongan dan pengelompokan. Dengan kata lain, manusia dengan
menggunakan kebudayaan sebagai acuan untuk penggolongan, dapat saling
membedakan diri mereka antara yang satu dari yang lainnya, untuk sesuatu tujuan
tertentu. Tetapi manusia juga dapat mempersamakan diri mereka sebagai sebuah

9
golongan yang dibedakan dari golongan lainnya, yang terwujud sebagai kelompok-
kelompok dengan kegiatannya masing-masing.

(Bacaan anjuran: ‘Kebudayaan dan Pembangunan’ oleh Parsudi Suparlan. Media


IKA, No.11, Th.24, hal. 106-135)

10
3 Sukubangsa
dan Masyarakat
1. Sukubangsa: Konsep dan Pendefinisian

S
ukubangsa adalah kategori atau golongan sosial. Sebagai golongan sosial,
sukubangsa adalah golongan sosial yang khusus yaitu askriptif. Berbagai
golongan sosial yang ada dalam kehidupan manusia pada umumnya
diperoleh berdasarkan atas pencapaian atau prestasi sosial. Kecuali golongan umur
dan jenis kelamin yang sama coraknya dengan sukubangsa adalah golongan sosial
yang didapat begitu saja atau askriptif. Sama dengan golongan-golongan sosial
lainnya, maka sukubangsa itu ada dan dikenal karena adanya interaksi dengan
sukubangsa lainnya dan melalui adanya interaksi ini ada pengakuan mengenai
keberadaan dan ciri-cirinya yang saling berbeda. Diantara berbagai ciri-ciri
sukubangsa sebagai golongan sosial, yang terpenting yang membedakan
sukubangsa dan golongan sosial lainnya adalah ciri-cirinya yang askriptif yang
muncul dan lestari di dalam interaksi yang menghasilkan pengakuan,
atau saling mengakui dan diakui.

Pengakuan dan diakui ini muncul dalam interaksi, yaitu mengenai jatidiri
sukubangsa dan para pelaku dan bersamaan dengan itu juga mengenai sukubangsa
dan ciri-cirinya. Ciri-ciri sukubangsa masing-masing menjadi penting karena
berdasarkan ciri-ciri tersebut dua orang dari sukubangsa yang berbeda dapat saling
membedakan diri masing-masing di dalam interaksi yang berlangsung. Ciri-ciri
sukubangsa yang berbeda tersebut bukanlah ciri-ciri yang dilihat secara obyektif
dengan menggunakan sebuah tolok ukur obyektif, tetapi berdasarkan atas
pengakuan masing-masing para pelaku yang berbeda sukubangsanya. Ciri-ciri yang
diacu untuk jatidiri sukubangsa mencakup ciri-ciri fisik tubuh (ras), kebudayaan dan
ungkapan-ungkapan budayanya, bahasa dan dialek atau aksennya. dan kepribadian

11
dari para anggota-anggota sukubangsa yang bersangkutan. Ciri-ciri atau seringkali
juga dinamakan atribut-atribut tersebut secara keseluruhan dapat digolongkan
sebagai stereotip. Berbagai ciri-ciri subyektif yang membedakan dua sukubangsa
tersebut, secara obyektif atau dengan menggunakan patokan yang obyektif dapat
ditunjukkan penbedaannya. Patokan obyektif yang biasanya digunakan oleh para
ahli antropologi dan sosiologi untuk menunjukkan perbedaan dua sukubangsa
adalah: (1) Pengakuan masing-masing anggota dua sukubangsa mengenai identitas
atau jatidiri sukubangsa mereka. (2) Bahasa mereka. (3) Kebudayaan dan
perwujudan ungkapan-ungkapannya yang mereka akui sebagai milik mereka.

Sama dengan fungsi golongan sosial yang pada umumnya berlaku dalam
kehidupan manusia, dimana jatidiri digunakan untuk dan dalam interaksi, maka
sukubangsa juga berfungsi sebagai acuan bagi jatidiri yang digunakan dalam
interaksi sosial diantara anggota-anggota sukubangsa yang berbeda. Fungsi jatidiri
sukubangsa adalah sama dengan fungsi jatidiri yang pada umumnya berlaku dalam
kehidupan manusia, yaitu sesuatu jatidiri akan digunakan bila corak interaksi yang
berlangsung itu menuntut penggunaan sesuatu jatidiri tertentu dan bukan sembarang
jatidiri. Hanya jatidiri yang sesuai dengan corak interaksi tententu yang dapat
digunakan dalam interaksi tersebut, sedangkan berbagai jatidiri lainnya disimpan dan
hanya akan digunakan bila cocok dengan dan dituntut untuk digunakan sebagai
jatidirinya dalam sesuatu interaksi dengan corak tertentu. Sukubangsa atau yang
terwujud sebagai jatidiri sukubangsa yang melekat pada para pelaku, dengan
demikian hanya akan muncul dalam interaksi yang menuntut terwujudnya
sukubangsa atau jatidiri sukubangsa tersebut. Dalam perspektif ini sukubangsa
dapat dilihat sebagai variabel tergantung sedangkan interaksi adalah variabel
bebasnya.

Interaksi terwujud dalam struktur. Sesuatu interaksi selalu mewujudkan


adanya struktur. Dalam struktur terdapat saling hubungan diantara status-status, di
mana para pelaku menduduki masing-masing status menurut konvensi sosial atau
norma-norma yang berlaku. Berdasarkan status tersebut, pelaku menjalankan
peranan-peranan masing-masing sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang ingin
dicapai. Sehingga, seringkali peranan-peranan dari pelaku yang nampak menonjol
dan memberi corak pada strukur dibandingkan dengan status-status dari para

12
pelakunya. Sebagai catatan, interaksi selalu terwujud diantara para pelaku yang
berbeda jatidirinya. Dalam interaksi maka masing-masing pelaku, dengan masing-
masing jatidirinya, mempunyai status dan menjalankan peranan-peranan sesuai
dengan jatidiri yang dipunyai. Sebuah interaksi karena itu merupakan sebuah
struktur, yang dalam struktur tersebut berlaku aturan-aturan atau norma-norma
sesuai dengan corak interaksinya. Interaksi antara orang tua dengan anak berbeda
dengan interaksi antara suami istri, interaksi antara guru dan murid berbeda dengan
interaksi sukubangsa. Tidak semua interaksi terwujud sebagai interaksi sosial.
Interaksi bisa terwujud sebagai interaksi kerja, yang terwujud dalam hubungan kerja.
Interaksi kerja biasanya juga disebut sebagai interaksi formal, karena hubungan
yang ada bercorak formal diantara pelaku dengan status-status yang formal sesuai
dengan jabatan masing-masing. Interaksi sosial terwujud dalam kehidupan sosial, di
mana coraknya informal dan dimuati oleh unsur-unsur perasaan serta ungkapan-
ungkapan emosi dari para pelaku yang bersangkutan. Karena itu interaksi sosial
seringkali juga digolongkan sebagai interaksi informal.
Sebagai kelompok sosial atau masyarakat, sukubangsa mempunyai ciri-ciri:
(1) Sebuah satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak dan
lestari; (2) Mempunyai kebudayaan serta pranata-pranata yang mereka miliki
bersama, yang merupakan pedoman bagi kehidupan mereka , yang secara umum
berbeda dari yang dipunyai oelh kelompok atau masyarakat sukubangsa lainnya; (3)
Keanggotaan dalam sukubanga yang bercorak askriptif, yaitu keanggotaan yang
didapat oleh sseorang denagn begitu saja, bersamaan dengan kelahirannya, yang
mengacu pada kesukubangsaan orang tua yang melahirkannya dan/atau daerah
asal tempat kelahiran dan dibesarkannya hingga dewasa.

Dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia, sukubangsa didefinisikan secara tidak


tepat sebagai kelompok atau kolektiva. Profesor Koentjaraningrat dalam bukunya
Antropologi Sosial dengan jelas mendefinisikan sukubangsa sebagai kolektiva.
Begitu juga Profesor Selo Soemardjan, tokoh sosiologi Indonesia, dalam ‘Pengantar’
untuk buku Stereotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial (oleh Bambang Pranowo, dkk),
Pustaka Grafika Kita (1988), mengatakan bahwa sukubangsa adalah kolektiva, yang
menurut Prof. Selo Sumardjan mempunyai makna yang lebih luas daripada
pengertian kelompok atau grup.

13
Dampak dari mendifinisikan sukubangsa sebagai kelompok adalah bahwa
hubungan antar-sukubangsa tidak mungkin dapat dilihat secara empirik atau sesuai
kenyataan yang terjadi. Karena, hubungan yang terwujud sebagai kegiatan antar-
tindakan atau interaksi yang hanya mungkin dilakukan oleh orang-perorang atau
individu-individu warga sukubangsa yang berbeda tidak tercakup dalam definisi
sukubangsa sebagai kolektiva. Sedangkan hubungan antar-kolektiva yaitu dalam
bentuk antar-satuan individu atau sejumlah orang dengan sejumlah orang dan
sukubangsa yang berbeda, hanya mungkin terjadi dalam bentuk konflik kerumunan
atau amukan. Karena terjebak dalam definisi tersebut maka penelitian-penelitian
yang dilakukan, hanya mampu untuk memusatkan perhatian pada kajian stereotip
atau prasangka. Kajian mengenai stereotip inipun tidak dilakukan secara empirik
berdasarkan atas pengamatan, tetapi berdasarkan atas wawancara atau bahkan
wawancara dengan kwesioner.

Catatan:: Stereotip adalah pengetahuan mengenai ‘apa’ atau ‘siapa’ dan


‘mengapa’ yang merupakan pengetahuan yang dipunyai oleh sesuatu kelompok dari
sesuatu golongan sosial yang isinya adalah ciri-ciri utama yang dipunyai oleh
sesuatu kelompok atau golongan sosial lainnya. Pengetahuan yang tergolong
sebagai stereotip ini bercorak subyektif sesuai dengan penilaian dari dan menurut
kebudayaan si pembuat stereotip. Karena itu kebenaran dari isi sebuah stereotip
mengenai sesuatu sukubangsa selalu subyektif, karena dibuat dan dinilai sesuai
dengan patokan kebenaran yang ada dalam kebudayaan yang dipunyai oleh
kelompok sukubangsa pembuat stereotip tersebut.

Karena stereotip itu bercorak subyektif dan merupakan produk dari sistem
penggolongan yang ada dalam kebudayaan dan masyarakat pembuat stereotip
mengenai ciri-ciri utama atau corak sesuatu golongan sosial atau sukubangsa
tertentu lainnya, maka kajian-kajian hubungan antar-sukubangsa yang
memperlakukan sukubangsa sebagai kelompok sebetulnya tidak mengkaji hubungan
antarkelompok (sukubangsa) tetapi mengkaji sikap-sikap antar warga sukubangsa
yang berbeda mengenai ciri-ciri utama sukubangsa yang menjadi lawan dalam
berhubungan. Kalau sukubangsa diperlakukan sebagai golongan sosial, maka dalam
kajian hubungan antar-sukubangsa yang menjadi sasaran kajian atau unit analisa
adalah interaksi antar-individu yang masing-masing menggunakan sukubangsa

14
sebagai acuan bagi jatidiri sukubangsanya, dan bersamaan dengan itu
menggunakan secara selektif stereotip-stereotip mengenai ciri-ciri sukubangsa dalam
interaksi-interaksi yang berlaku. Hubungan antar-sukubangsa dengan demikian
dapat dikaji secara empirik dalam penelitian di lapangan.

2. Sukubangsa dan Masyarakat Luas

Sebagai sebuah kesatuan hidup atau masyarakat, sebuah sukubangsa


menempati dan hidup dalam sebuah wilayah. Wilayah tempat tinggalnya ini diakui
sebagai hak miliknya, dan juga diakui oleh sukubangsa atau sukubangsa-
sukubangsa lainnya yang hidup bertetangga dengan masyarakat sukubangsa
tersebut. Hak atas wilayah dan segala isinya, yang mencakup hak kepemilikan dan
penggunaannya beserta pengaturan dan sanksi-sanksinya, biasanya dinamakan
sebagai hak adat. Dinamakan hal adat karena hak tersebut telah dipunyai oleh
masyarakat sukubangsa yang bersangkutan yang diwarisinya dari generasi ke
generasi, sehingga hak kepemilikan dan pemanfaatan atas wilayah tersebut telah
teradatkan atau menjadi baku sesuai dengan tradisi yang berlaku dan berdasarkan
atas pengakuan dan diakui oleh para warga masyarakat sukubangsa yang
bersangkutan dan oleh mereka yang menjadi tetangganya.

Sebuah masyarakat sukubangsa biasanya hidup bertetangga dengan


masyarakat-masyarakat sukubangsa lainnya. Jarak antara satu masyarakat
sukubangsa dengan lainnya bisa sangat berjauhan sehingga hampir dapat dikatakan
bahwa tidak terjadi hubungan antara satu dengan lainnya. Tetapi bisa juga sangat
berdekatan jaraknya, sehinga terwujud interaksi diantara mereka yang berbeda
sukubangsanya adalah hal yang biasa. Interaksi diantara mereka yang berbeda
sukubangsanya biasanya terjadi melalui saling tukar menukar barang, uang, dan
jasa, atau perdagangan (lihat Frederik Barth) atau terwujud melalui saling tukar
menukar benda-benda sakral (lihat Malinowski dalam bukunya Argonauts of the
Western Pacific, khususnya dalam uraiannya mengenai Lingkaran kula). Dalam
interaksi-interaksi yang relatif stabil, karena berlaku terus menerus dan tetap,

15
hubungan antar-sukubangsa menjadi hubungan-hubungan peranan (sebagaimana
ditunjukkan dalam berbagai tulisan dalam buku yang diedit oleh Frederik Barth).

Dalam keadaan dimana hubungan antar-sukubangsa menjadi relatif stabil,


maka masing-masing masyarakat sukubangsa tersebut tidak mungkin dapat hidup
secara mandiri atau mengisolasi diri terlepas dari hubungan-hubungannya dengan
masyarakat-masyarakat sukubangsa yang menjadi tetangganya. Tanpa mereka
sadari masing-masing masyarakat sukubangsa tersebut menjadi saling tergantung
satu sama lainnya dalam beberapa aspek kehidupan. Mereka ini berbeda dari
masyarakat sukubangsa yang hidup terisolasi yang hanya dikenal namanya oleh
masyarakat luar tetapi tidak pernah terjadi interaksi-interaksi yang membuat mereka
itu saling mengenal satu sama lainnya. Bilapun terjadi kontak dengan dunia atau
masyarakat luar, mereka yang tergolong sebagai sukubangsa yang terisolasi ini
biasanya melakukannya dengan cara barter barang, dalam pengertian barter yang
sesungguhnya. Yaitu barang yang ingin ditukar diletakkan di pinggir hutan oleh
masing-masing pihak yang berkepentingan, tanpa pelakunya melakukan tawar
menawar atau saling bertatapan muka.

Masyarakat-masyarakat terisolasi atau terasing seperti ini pada masa


sekarang sudah tidak ada lagi. Hubungan antar-sukubangsa yang terwujud melalui
kegiatan-kegiatan tukar menukar dapat menghasilkan adanya pertemanan dan
perkawinan diantara para anggota sukubangsa yang berbeda, tetapi dapat juga
menghasilkan permusuhan. Hubungan perkawinan menghasilkan hubungan
kekerabatan diantara mereka yang sekerabat dengan yang kawin, dan hubungan
kekerabatan ini dapat memperkokoh hubungan antar-sukubangsa dalam kegiatan-
kegiatan ekonomi dan politik masing-masing. Bahkan, federasi sukubangsa dapat
terwujud dalam upaya memenangkan permusuhan yang terjadi diantara salah satu
anggota federasi dengan masyarakat sukubangsa lainnya.

Pada waktu sebuah masyarakat sukubangsa membentuk dirinya sebagai


sebuah satuan politik, di masa lampau berbentuk kerajaan dan pada masa sekarang
berbentuk republik, maka masyarakat sukubangsa menjadi sebuah bangsa atau
nasion (nation). Masyarakat Jepang yang pada dasarnya adalah sebuah masyarakat
sukubangsa, pada waktu menjadi sebuah kerajaan masyarakat sukubangsa ini

16
menjadi sebuah masyarakat bangsa atau masyarakat homogen. Pada waktu
sejumlah masyarakat sukubangsa ditaklukkan dan dipersatukan dan dikuasai
sebagai sebuah satuan politik atau negara, maka masyarakat-masyarakat
sukubangsa yang dipersatukan tersebut dinamakan sebagai masyarakat majemuk.
Masyarakat majemuk adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas sejumlah
masyarakat sukubangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sebuah sistem nasional.
Hindia Belanda adalah masyarakat majemuk, yang warga masyarakatnya terdiri atas
penjajah (Belanda dan golongan Eropah lainnya), Timur Asing (Cina dan Arab dan
Asia lainnya), dan Pribumi yang dijajah, yang dipersatukan dan dikuasai sebagai
bangsa Hindia Belanda oleh sistem nasional Belanda. Indonesia adalah sebuah
masyarakat majemuk yang masyarakatnya terdiri atas lebih dari 500 sukubangsa
yang dipersatukan sebagai bangsa Indonesia oleh sistem nasional Indonesia.

Dalam masyarakat majemuk sukubangsa merupakan golongan sosial untuk


jatidiri yang primordial disamping jatidiri sebagai golongan bangsa. Jadi seorang
Jawa juga seorang Indonesia, begitu juga seorang Batak adalah juga seorang
Indonesia. Golongan bangsa (Indonesia) adalah golongan yang lebih umum
sedangkan golongan sukubangsa adalah golongan yang lebih khusus. Ini berbeda
dengan Jepang, dimana seorang Jepang yang berbangsa Jepang juga
bersukubangsa Jepang.

17
4 Hubungan
Antar-Sukubangsa
Sukubangsa dan Kebudayaan

S
ukubangsa sebagai golongan sosial askriptif, yaitu golongan yang dihasilkan
dari ciri-cirinya yang berdasarkan keturunan dan asal, telah menghasilkan
pengelompokan yang menghasilkan satuan kehidupan terkecil. Satuan
kehidupan terkecil ini adalah keluarga yang menjadi pondasi terbentuknya
masyarakat. Untuk dapat tetap melangsungkan kehidupannya, anggota-anggota
keluarga atau masyarakat memanfaatkan berbagai sumberdaya yang ada dalam
lingkungan hidup mereka. Baik yang berupa lingkungan alam dan lingkungan fisik,
maupun lingkungan sosial dan budaya mereka.

Berbeda dengan hewan yang secara genetik telah dilengkapi dengan


kelengkapan tubuh untuk dapat memanfaatkan lingkungan hidup mereka yang
sesuai dengan ciri-ciri tubuh yang mereka punyai, maka manusia tidak mempunyai
kelengkapan tubuh seperti yang dipunyai hewan. Untuk itu manusia mempunyai
kemampuan fisik yang berbeda dari hewan, yaitu : berdiri tegak berdiri di atas dua
kaki, mata yang terfokus, dan tangan yang dapat digunakan untuk memegang
sesuatu, dan otak yang dengan sistem-sistem syaraf yang dipunyai mempunyai
kemampuan untuk mengontrol keinginan-kenginan atau motivasi dan gerakan-
gerakan tubuh (kecuali gerakan jantung dan denyut nadi) serta membuat respons-
respons menanggapi stimuli yang ada dalam lingkungan hidupnya.

Secara fisik, hewan telah dilengkapi dengan anggota-anggota tubuh untuk


dapat memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup
tertentu bagi kelangsungan hidupnya, sesuai dengan jenis hewan tersebut.
Sedangkan manusia memanfaatkan sumber-sumber daya dalam lingkungannya bagi

18
kelangsungan hidupnya dengan menggunakan kebudayaannya. Untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan primer atau biologi, manusia menggunakan unsur kebudayaan
yang dinamakan teknologi. Teknologi yang berasal dari kemampuan manusia
mempelajari alam dan mengidentifikasi hukum-hukum alam, untuk kemudian
pengetahuan mengenai hukum-hukum alam tersebut diwujudkan dalam berbagai
bentuk peralatan yang sesuai dengan tujuan pemanfaatan sumber-sumber daya
yang ada dalam lingkungan alamnya. Sesuatu teknologi yang berhasil akan
dibakukan sebagai tradisi yang tidak mudah untuk dapat diubah dengan begitu saja.
Karena sesuatu teknologi yang berhasil juga didukung oleh unsur-unsur kebudayaan
lainnya, yaitu ilmu pengetahuan, sistem ekonomi, organisasi sosial dan politik,
bahasa dan komunikasi, dan keyakinan keagamaan, secara holistik. Sebaliknya,
teknologi juga mendukung keberadaan dan kelestarian berbagai unsur kebudayaan
lainnya. Hubungan yang saling mendukung diantara unsur-unsur kebudayaan dalam
bentuk hubungan fungsional tersebut, biasanya terwujud dalam pranata-pranata
yang dipunyai oleh masyarakat yang bersangkutan.

Lingkungan alam dimana manusia itu hidup tidaklah seragam sumber-sumber


dayanya, sehingga teknologi yang dikembangkan oleh sesuatu masyarakat itu bisa
berbeda antara satu dengan lainnya. Begitu juga dengan sistem ekonomi, bahasa
dan komunikasi, organisasi sosial dan politik, dan keyakinan keagamaan. Masing-
masing kebudayaan dengan lingkungan alam yang berbeda, pada dasarnya akan
menghasilkan adanya kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Walaupun demikian
tidak berarti bahwa dua buah lingkungan yang sama corak dan isi surnber-sumber
dayanya akan menghasilkan dua kebudayaan yang sama. Begitu juga tidak berarti
bahwa dua lingkungan yang berbeda akan menghasilkan dua kebudayaan yang
berbeda. Berbagai faktor di luar lingkungan alam dan fisik turut menentukan corak
kebudayaan sesuatu masyarakat.

Keluarga yang merupakan sebuah satuan kehidupan yang terkecil dalam


masyarakat adalah juga sebuah kelompok sukubangsa yang terkecil. Dalam
masyarakat modern dan kompleks dimana warganya terdiri atas sejumlah warga
sukubangsa yang berbeda, sebuah keluarga yang suami isteri berbeda
sukubangsanya dapat saja terwujud. Keluarga yang sukubangsanya campuran ini
akan menghasilkan kekacauan dalam jatidiri anak-anak mereka. Anak-anak tersebut

19
dapat mengidentifikasi diri sebagai sukubangsa bapaknya atau ibunya, atau
keduanya, atau menapikan kedua identitas sukubangsa kedua orangtuanya dan
menggunakan lingkungan tempat mereka hidup dan dibesarkan (kota atau propinsi)
sebagai acuan bagi jatidiri mereka.

Sebagai sebuah satuan kehidupan terkecil, sebuah keluarga selalu ada dalam
hubungannya dengan keluarga-keluarga lainnya. Hubungan-hubungan ini
didasarkan atas hubungan-hubungan kekerabatan (melalui garis keturunan atau
hubungan perkawinan). Mereka yang terkait dalam hubungan kekerabatan biasanya
juga mengelompok dalam satu satuan kehidupan yang sama. Dalam masyarakat
manusia dikenal adanya tiga bentuk sistem kekerabatan yang utama, yaitu : (1)
Patrilineal, dimana garis keturunan ditentukan menurut garis bapak. (2) Matrilineal,
dimana garis keturunan ditentukan menurut garis ibu. (3) Bilateral atau Parental,
dimana garis keturunan ditentukan baik melalui garis bapak maupun garis ibu.
Pengelompokan dalam sistem kekerabatan patrilineal, mengikuti prinsip patrilineal,
begitu juga dengan pengelompokan dalam sistem kekerabatan matrilineal yang
mengikuti prinsip matrilineal. Sedangkan dalam sistem bilateral atau parental, tidak
ada keharusan untuk menetap mengikuti garis bapak atau garis ibu (ikut tinggal
dengan atau tinggal dalam kelompok kerabat mertua atau dengan orang tua),
bahkan seharusnya mampu tinggal sendiri atau membentuk keluarga sendiri.

Kebudayaan yang dipunyai oleh sebuah keluarga atau kelompok kerabat


pada dasarnya adalah kebudayaan sukubangsa. Sebuah masyarakat yang anggota-
anggotanya secara langsung atau tidak langsung berasal dari satu keturunan yang
sama atau yang selama bergenerasi menempati sebuah wilayah, adalah sebuah
masyarakat sukubangsa. Masyarakat sukubangsa ini, sama halnya dengan keluarga
atau kelompok kekerabatan adalah sebuah masyarakat sukubangsa dengan
kebudayaan sukubangsanya. Dalam masyarakat sukubangsa, kebudayaan
sukubangsa tersebut menjadi acuan utama dalam menghadapi lingkungan sosial
dan budaya dari masyarakat tersebut. Dalam masyarakat luas yang heterogen atau
majemuk sukubangsanya, kebudayaan masing-masing sukubangsa juga berisikan
pengetahuan mengenai berbagai sukubangsa tersebut, serta berisikan keyakinan-
keyakinan mengenai ciri-ciri sukubangsa-sukubangsa lainnya yang ada dalam
masyarakat tersebut. Pengetahuan mengenai sukubangsa-sukubangsa tersebut

20
mencakup juga pengetahuan mengenai diri atau sukubangsanya sendiri, yaitu
sebagai pertentangannya atau lawan perbedaannya dari sukubangsanya sendiri.
Pertentangan atau perbedaan dengan sukubangsa lainnya, telah secara sadar atau
tidak sadar memunculkan keberadaan jatidiri sukubangsanya dan jatidiri
sukubangsa-sukubangsa lainnya dalam masyarakat tersebut.

Pengetahuan mengenai sukubangsanya dan sukubangsa-sukubangsa lainnya


yang hidup bersama-sama dalam sebuah masyarakat adalah penuh berisikan
keyakinan-keyakinan mengenai kebenarannya yang subyektif. Yaitu pengetahuan
mengenai ciri-ciri sukubangsa-sukubangsa lainnya. Pengetahuan yang ada dalam
kebudayaan sesuatu sukubangsa mengenai sesuatu sukubangsa lain, berisikan
konsep-konsep yang seringkali digunakan sebagai acuan dalam menghadapi
anggota-anggota sukubangsa-sukubangsa lainnya tersebut. Konsep-konsep ini
dinamakan stereotip (stereotype), dan stereotip dapat berkembang menjadi apa yang
dianamakan sebagai prasangka (prejudice).

Sebuah stereotip mengenai sesuatu sukubangsa biasanya muncul dari


pengalaman seseorang atau sejumlah orang dalam berhubungan dengan para
pelaku dari sesuatu sukubangsa tersebut. Dari sejumlah pengalaman yang terbatas
tersebut, yang dipahami dengan mengacu pada kebudayaanya, pengalaman
tersebut menjadi pengetahuan yang diyakini kebenarannya dan menjadi bagian dari
kebudayaannya, yaitu pengetahuan mengenai ciri-ciri sesuatu sukubangsa tersebut.
Pengetahuan yang dipunyai oleh seorang atau sejumlah anggota masyarakat
sukubangsa mengenai sesuatu sukubangsa tersebut kemudian disebarluaskan
kepada sesama anggota masyarakatnya. sehingga pengetahuan yang sifatnya
terbatas mengenai ciri-ciri sesuatu sukubangsa tersebut menjadi sebuah
pengetahuan yang bersifat umum dan baku yang diyakini kebenarannya. Padahal,
sebenarnya, pengetahuan tersebut amat terbatas dan subyektif karena berisikan
interpretasi dari pengalaman si pelaku yang terbatas jumlah dan ruang lingkupnya
yang kemudian digeneralisasi sebagai ciri-ciri dari sesuatu sukubangsa tersebut.
Karena itu pengetahuan ini dinamakan stereotip. Sebuah stereotip yang berisikan
sangkaan-sangkaan mengenai sifat-sifat jelek yang dipunyai oleh anggota-anggota
sesuatu sukubangsa tersebut dinamakan prasangka. Dengan mengacu pada

21
prasangka inilah biasanya tindakan-tindakan diskriminasi itu dilakukan terhadap
anggota sesuatu sukubangsa tersebut.
Penggunaan kebudayaan sebagai jatidiri sukubangsa, dilakukan dengan
mengaktifkan satu atau sejumlah unsur kebudayaan yang dipunyai yang
dipertentangkan dengan satu atau sejumlah unsur kebudayaan sukubangsa lainnya.
Unsur atau unsur-unsur kebudayaan tersebut menjadi simbol-simbol (gejala-gejala
yang mempunyai makna menurut kebudayaan yang bersangkutan) yang digunakan
sebagai atribut-atribut atau tanda-tanda bagi menunjukkan jatidiri sukubangsanya.
Unsur-unsur kebudayaan yang biasanya diacu untuk jatidiri sukubangsa mencakup:
(1) Kebudayaan material atau benda-benda kebudayaan. (2) Bahasa dan ungkapan-
ungkapannya. (3) Mimik muka dan gerakan-gerakan tubuh. (4) Nilai-Nilai Budaya.
Tidak semua atribut tersebut nampak dengan jelas sebagai atribut. Sebagian dari
unsur-unsur kebudayaan tersebut tidak nampak jelas sebagai atribut tetapi tersirat
atau tersembunyi maknanya dalam atribut yang diaktifkan. Seorang Jawa misalnya,
yang mengalah dalam sesuatu pertentangan dengan seseorang dari sukubangsa
lain akan menyatakan bahwa kekalahannya yang disengaja tersebut tidaklah sama
dengan kalah tetapi sebagai ungkapan dari keluhuran budi dan adabnya sebagai
orang Jawa. Begitu juga halnya dengan Orang Toraja yang menyelenggarakan
upacara kematian dengan biaya besar tidaklah dapat disamakan dengan
pemborosan atau perbuatan non-ekonomis saja. Tetapi, harus juga dilihat dari
perspektif lain, yaitu sebagai penghormatan kepada si mati, dan penghormatan
kepada si mati adalah sama dengan mengukuhkan status sosial si mati, dan
mengukuhkan status si mati adalah sama dengan mengukuhkan status sosial
keturunan, keluarga, dan kelompok kerabat si mati yang masih hidup..

Di samping itu, atribut bagi jatidiri sukubangsa juga dapat diaktifkan dari ciri-
ciri fisik yang menyolok yang membedakan ciri-ciri fisik dari anggota sesuatu
sukubangsa dan anggota sukubangsa lainnya. Ciri-ciri fisik tersebut diseleksi dari
diberi makna sehingga menjadi atribut bagi jatidiri sukubangsa. Penggunaan ciri-ciri
fisik sebagai atribut sukubangsa biasanya berlaku dalam sebuah masyarakat di
mana anggota-anggota sukubangsa-sukubangsa yang berbeda itu telah hidup dalam
suatu hubungan yang cukup lama, sehingga masing-masing dapat saling
mengidentifikasi ciri-ciri fisik yang menonjol tersebut dan dapat menggunakannya
untuk saling mengidentifikasi sukubangsanya.

22
5 Stereotip, Atribut,
dan Hubungan
Antar-Sukubangsa

Stereotip

D
alam sebuah masyarakat yang bersukubangsa banyak, kebudayaan dari
masing-masing sukubangsa juga berisikan konsep-konsep mengenai
berbagai sukubangsa yang hidup bersama dalam masyarakat tersebut.
Yang tercakup dalam konsep-konsep kebudayaan tersebut adalah sifat-sifat atau
karakter dari masing-masing sukubangsa tersebut. Isi dari konsep-konsep atau
pengetahuan yang ada dalam kebudayaan dari masing-masing sukubangsa adalah
pengetahuan mengenai diri atau sukubangsa mereka masing-masing, sebagai
pertentangan atau lawan dari sukubangsa-sukubangsa lainnya. lni dilakukan untuk
memunculkan keberadaan sukubangsa atau kesukubangsaan dalam interaksi antar
anggota sukubangsa yang berbeda.

Konsep-konsep yang ada dalam kebudayaan mengenai sukubangsanya dan


mengenai sukubangsa-sukubangsa lainnya yang hidup bersama dalam sebuah
masyarakat adalah pengetahuan yang penuh dengan keyakinan-keyakinan
mengenai kebenarannya yang subyektif. Yaitu kebenaran subyektif mengenai ciri-ciri
sukubangsanya dan sukubangsa-sukubangsa lainnya. Pengetahuan mengenai

23
sesuatu sukubangsa lain yang ada dalam kebudayaan sesuatu sukubangsa tertentu
adalah konsep-konsep yang seringkali juga digunakan sebagai acuan bertindak
dalam menghadapi sukubangsa lain tersebut, walaupun tidak selalu demikian
adanya dalam perwujudan tindakan-tindakan dari para pelakunya. Konsep-konsep
yang subyektif yang ada dalam kebudayaan tersebut dinamakan stereotip, dan
stereotip dapat berkembang menjadi prasangka.

Sebuah stereotip mengenai sesuatu sukubangsa itu muncul dari pengalaman


seseorang atau sejumlah orang yang menjadi anggota sebuah sukubangsa dalam
berhubungan dengan para pelaku dari sesuatu sukubangsa tersebut. Dari sejumlah
pengalaman yang terbatas, yang dipahami dengan mengacu pada kebudayaannya,
maka pengalaman tersebut menjadi pengetahuan. Dan, sebagai pengetahuan yang
secara berulang diafirmasi atau dimantapkan melalui pengalaman-pengalaman yang
secara berulang terjadi dengan anggota-anggota sesuatu sukubangsa tersebut,
maka pengetahuan yang berisikan ciri-ciri sesuatu sukubangsa tersebut menjadi
konsep-konsep yang ada dalam kebudayaannya yang diyakini kebenarannya.
Melalui berbagai jaringan sosial yang dipunyai oleh seorang pelaku, pengetahuan
kebudayaan mengenai ciri-ciri sesuatu sukubangsa tersebut disebarluaskan kepada
sesama warga masyarakat sukubangsanya. Pengetahuan kebudayaan yang
bercorak stereotip, yaitu mengenai ciri-ciri sesuatu sukubangsa menjadi
pengetahuan yang berlaku umum dalam kebudayaan dari masyarakat tersebut dan
diyakini kebenarannya.

Atribut-Atribut Sukubangsa

Jatidiri

Identitas atau jatidiri adalah pengenalan atau pengakuan terhadap seseorang


sebagai termasuk dalam sesuatu golongan yang dilakukan berdasarkan atas
serangkaian ciri-cirinya yang merupakan satu satuan yang bulat dan menyeluruh,
yang menandainya sebagai termasuk dalam golongan tersebut. Contohnya: Tentara
atau TNI mempunyai ciri-ciri, yang ciri-ciri tersebut merupakan sebuah satuan yang

24
bulat dan menyeluruh yang menyebabkan seseorang dengan ciri-ciri tersebut
digolongkan sebagai tentara atau TNI. BiIa seseorang tersebut mempunyai atau
memakaikan ciri-ciri tentara pada tubuhnya, tetapi ciri-ciri tersebut tidak lengkap
sebagai ciri-ciri tentara maka jatidiri seseorang tersebut sebagai tentara diragukan
kebenarannya; dan biasanya orang tersebut diidentifikasi atau dikenal sebagai
tentara gadungan. Contoh lainnya: seorang perempuan diidentifikasi sebagai
perempuan karena mempunyai serangkaian ciri-ciri yang melekat atau dipakaikan
pada dirinya, yang merupakan serangkaian ciri-ciri yang bulat dan menyeluruh. Bila
seorang laki-laki melekatkan atau memakaikan ciri-ciri perempuan tersebut pada
tubuhnya, dan cara melekatkan atau memakaikan ciri-ciri perempuan tersebut tidak
sempurna maka laki-laki tersebut tidak akan dikenal atau diidentifikasi sebagai
perempuan tetapi sebagai banci.

Identitas atau jatidiri itu muncul dan ada dalam interaksi. lnteraksi adalah
kenyataan empirik yang berupa antar-tindakan para pelaku yang menandakan
adanya hubungan diantara para pelaku tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa
identitas atau jatidiri itu muncul dan ada dalam interaksi. Seseorang mempunyai
sesuatu jatidiri tertentu karena diakui keberadaannya oleh orang atau orang-orang
lain dalam sesuatu hubungan yang berlaku. Sedangkan dalam suatu hubungan yang
lain, yang melibatkan pelaku atau pelaku-pelaku yang lain yang berbeda dari pelaku-
pelaku yang semula, jatidirinya bisa berbeda dari yang semula; sesuai dengan corak
hubungan dan sesuai dengan saling pengakuan mengenai jatidirinya oleh para
pelaku dalam hubungan yang lain tersebut.

Penekanan pada pengakuan orang-orang lain dalam hal keberadaan dan


kelestarian sesuatu jatidiri yang dimiliki oleh seseorang itu menjadi penting untuk
diperhatikan, karena dalam kesendiriannya yang absolut seseorang tersebut tidak
mempunyai jatidiri. Orang-orang lain yang berada dalam interaksi dengan dirinya
adalah penentu dari jatidirinya, sehingga orang-orang lain tersebut dapat dilihat
sebagai cermin bagi dirinya. Karena hanya dengan melalui cermin itulah seseorang
itu dapat melihat dan mengenali seperti apa dirinya. Walaupun demikian, jatidiri
dapat juga muncul dan ada dalam sesuatu kesendirian, dimana si pelaku berada
dalam suatu hubungan dengan suatu satuan gaib yang dibayangkan sebagai suatu
kebenaran yang tidak dapat dibantah. Seseorang Islam yang sedang berhubungan

25
dengan Tuhannya melalui kegiatan sembahyang akan membayangkan dirinya
sebagai hamba Allah, sebagaimana terwujud dalam tindakan-tindakan
bersembahyangnya.

Untuk apakah seseorang itu memerlukan jatidiri? Jatidiri diperlukan untuk


digunakan dalam interaksi. Karena di dalam setiap interaksi setiap pelaku mengambil
sesuatu posisi dan berdasarkan atas posisi tersebut si pelaku menjalankan peranan-
peranannya sesuai dengan corak atau struktur interaksi yang berlangsung. Sebuah
interaksi mewujudkan adanya struktur dimana masing-masing pelaku yang terlibat
didalamnya berada dalam suatu hubungan peranan. Di lain pihak dan pada waktu
yang sama, corak peranan-peranan yang dijalankan oleh masing-masing pelaku
tersebut tergantung pada corak atau macam struktur interaksi yang berlaku. Contoh:
Seseorang dalam sebuah keluarga dipanggil sebagai bapak oleh anaknya. Dalam
keadaan tersebut maka hubungan yang ada antara anak dengan bapak adalah
hubungan peranan anak - bapak, yang masing-masing berperan sebagai anak dan
sebagai bapak. Hubungan peranan anak – bapak merupakan sebuah struktur
hubungan yang baku dengan berbagai norma dan nilai yang menjadi pedoman
bertindak bagi masing-masing pelaku, sehingga hubungan antara anak bapak adalah
sebuah hubungan peranan anak - bapak. Jadi berbeda dari dan bukan merupakan
hubungan peranan antara suami - istri. Begitu juga struktur hubungan anak - bapak
bisa berbeda coraknya antara satu keluarga dengan keluarga lain, dan berbeda
antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya.

Corak hubungan antara anak - bapak yang terwujud dalam interaksi anak -
bapak, adalah berbeda dari corak hubungan antara si bapak pada waktu dia harus
berperan sebagai suami dalam interaksinya dengan isterinya. Setiap orang, karena
itu mempunyai lebih dari satu jatidiri. Semakin banyak peranan-peranan yang
dijalankannya dalam kehidupan sosial dan masyarakatnya maka akan semakin
banyak pula jatidiri yang dipunyainya.

Atribut Jatidiri

Atribut adalah segala sesuatu yang terseleksi, baik disengaja maupun tidak,
yang dikaitkan dengan dan untuk kegunaannya bagi mengenali identitas atau jatidiri

26
seseorang atau sesuatu gejala. Atribut ini bisa berupa ciri-ciri yang menyolok dari
benda atau tubuh orang, sifat-sifat seseorang, pola-pola tindakan, atau bahasa yang
digunakan. Corak dari jatidiri seseorang ini ditentukan oleh atribut-atribut yang
digunakan, yaitu agar dilihat dan diakui ciri-cirinya oleh para pelaku yang dihadapi
dalam sesuatu interaksi, agar jatidiri dan peranan seseorang tersebut diakui dan
masuk akal bagi pelaku yang terlibat dalam interaksi tersebut. Ada jatidiri yang tidak
dapat diubah, walaupun dapat ditutupi untuk sementara, dan ada jatidiri yang dapat
dengan mudah diubah dengan cara memanipulasi atau mengaktifkan sejumlah
atribut yang diperlukan untuk tujuan tersebut.

Ada atribut-atribut yang dapat diatur dan dimanipulasi untuk sesuatu


kepentingan peranan yang dijalankannya dalam sesuatu interaksi, dan ada pula
atribut-atribut yang tidak dapat dengan begitu saja diatur atau dimanipulasi karena
didapatnya bersama dengan kelahirannya atau didapatnya sebagai sesuatu yang
primordial atau yang pertama dan utama melalui sosialisasi dan enkulturasi pada
tahap-tahap pertama dalam kehidupannya sebagai manusia. Upaya memanipulasi
sesuatu atribut yang primordial biasanya tidak mudah dilakukan oleh pelaku bila
perubahan tersebut bertentangan dengan keyakinan-keyakinan yang dipunyainya
mengenai konsep apa yang benar dan salah atau yang sepantasnya dan tidak
sepantasnya. Atribut-atribut diatur atau ditata dan dimanipulasi oleh seorang pelaku
untuk menciptakan suatu kesan yang dikenal dan diakui oleh pelaku lainnya dalam
interaksi sesuai dengan yang dikehendakinya. Seorang pengemis tradisional
misalnya, akan mematut dirinya sebagai pengemis yang patut dikasihani oleh
khalayak ramai yang akan menjadi pelaku-pelaku dalam interaksi dengannya
sebagai pengemis. Untuk itu dia akan memakai baju yang compang-camping dan
kumel, dan kalau perlu ditambahi dengan tangan atau kaki yang diperban dan diberi
warna merah seperti darah, sehingga dia memberikan kesan sebagai seseorang
yang patut dikasihani dan karena itu perlu diberi derma. Sedangkan seorang penyiar
TV misalnya, tidak akan memakai baju compang-camping pada waktu membacakan
warta berita atau membawakan sesuatu acara siaran TV. Peranan yang
dijalankannya sebagai pembaca siaran warta berita adalah peranan formal atau
resmi, oleh karena itu maka si penyiar tersebut baik laki-laki ataupun perempuan
akan berpakaian formal atau resmi. Contoh lainnya adalah para pejabat eselon
Indonesia. Untuk berbagai kegiatan sesuai dengan peranannya si pejabat tersebut

27
menyediakan sejumlah pakaian yang selalu siap pakai. Ada baju safari, jas dasi, baju
batik lengan panjang, baju korpri, atau baju seragam lainnya, dan baju kerja yang
sehari-hari dipakainya.

Diantara atribut-atribtut yang didapatnya secara askriptif bersama dengan


kelahirannya adalah atribut-atribut yang digunakan untuk menunjukkan ciri-cirinya
sebagai tergolong menurut jenis kelamin tertentu, umur tertentu, dan sukubangsa
tertentu. Atribut-atribut yang digunakan sebagai acuan bagi ciri-ciri seseorang
sebagai tergolong dalam sesuatu sukubangsa tertentu berasal dari ciri-ciri fisik atau
ras, kebudayaan material atau benda-benda kebudayaan, bahasa dan ungkapan-
ungkapannya, mimik muka dan gerakan-gerakan tubuh, dan nilai-nilai budaya.
Berdasarkan atribut-atribut tersebut maka dua orang pelaku dapat menentukan
bahwa sukubangsa mereka itu saling berbeda satu sama lainnya, yaitu keduanya
saling mengakui bahwa mereka itu berbeda sukubangsanya.

Hubungan Antar-Sukubangsa

Hubungan antar-sukubangsa terwujud melalui hubungan-hubungan yang


dilakukan oleh para pelaku yang rnenjadi warga dari sukubangsa-sukubangsa yang
berbeda. Sukubangsa-sukubangsa tersebut biasanya adalah sukubangsa-
sukubangsa yang saling hidup bertetangga atau yang secara bersama-sama
membentuk terwujudnya sebuah masyarakat yang lebih luas daripada masing-
masing masyarakat sukubangsanya. Kalimantan Barat, misalnya, adalah sebuah
masyarakat yang mencakup sejumlah sukubangsa, yang masing-masing
sukubangsa tersebut mewujudkan dirinya dalam sebuah masyarakat sukubangsa
yang berbeda satu dari yang lainnya. Masing-masing masyarakat sukubangsa
tersebut terbagi-bagi lagi dalam satuan-satuan kehidupan atau masyarakat yang
lebih kecil, dengan masing-masing pranata-pranatanya. Satuan kehidupan yang
terkecil yang dipunyai oleh seorang warga sukubangsa adalah keluarganya dan
kelompok kerabatnya.

28
Dalam hubungan antar-sukubangsa masing-masing sukubangsa tersebut
menciptakan dan memantapkan batas-batas sosial dan budaya, atau batas-batas
sukubangsa. Artinya, berdasarkan atas batas-batas sukubangsa tersebut mereka
membedakan diri sebagai saya dari dia yang berbeda, dan menggolongkan sejumlah
orang yang tergolong kami dari satu sukubangsa yang sama yang dibedakan dari
mereka yang tergolong bukan sukubangsa sama. Batas-batas sosial ini berguna
dalam menunjukkan perbedaan antara mereka yang tergolong dalam satu
sukubangsa yang sama dengan mereka yang tergolong dalam satu sukubangsa
yang lain, yaitu yang berbeda sukubangsanya. Melalui batas-batas sukubangsa ini
stereotip yang dipunyai oleh masing-masing sukubangsa mengenai satu sama
lainnya menjadi lestari, karena melalui dan di dalam stereotip inilah perbedaan-
perbedaan sukubangsa yang berbeda itu terwujudkan. Dalam interaksi yang terjadi
diantara warga yang berbeda sukubangsanya, tidak selamanya stereotip-stereotip
yang mereka punyai masing-masing itu digunakan sebagai acuan dalam saling
berhubungan. Interaksi antar-sukubangsa yang seperti ini biasanya terwujud dalam
suatu interaksi dimana masing-masing pihak saling membutuhkan, memperoleh
manfaat dan keuntungan, dan hubungan yang terwujud tersebut bersifat sebagai
hubungan komplementer atau hubungan yang simbiotik, yang saling melengkapi
kepentingan-kepentingan masing-masing.

Dalam hubungan diantara warga yang berbeda sukubangsanya, yang terjalin


sebagai hubungan yang saling menguntungkan, sebenarnya mereka ini telah
membuat jembatan penghubung di atas batas-batas sukubangsa tersebut. Jembatan
ini berupa hubungan pribadi yang terwujud sebagai persahabatan ataupun
perkawinan atau terwujud sebagai hubungan sosial, hubungan kerja atau ekonomi,
dan hubungan politik. Jembatan penghubung ini, yang terwujud sebagai situasi-
situasi dimana interaksi itu berlangsung, atau biasa disebut sebagai arena-arena
interaksi, sebenarnya telah menapikan perbedaan-perbedaan sukubangsa yang
berlaku. Di satu pihak arena-arena interaksi tersebut berisikan unsur-unsur
kebudayaan dari sukubangsa-sukubangsa yang berbeda dan saling berhubungan,
dan di lain pihak arena-arena interaksi tersebut berisikan hasil perpaduan antara
unsur-unsur kebudayaan sukubangsa-sukubangsa yang berbeda tersebut yang
terwujud sebagai kebudayaan yang baru. Melalui dan dengan menggunakan
perpaduan kebudayaan mereka atau hasil akulturasi budaya inilah interaksi diantara

29
warga yang berbeda sukubangsanya itu berlangsung, dan karena kebudayaan yang
digunakan tersebut tidak menciptakan batas-batas sukubangsa maka perbedaan
kesukubangsaan diantara mereka dalam dan melalui interaksi tersebut tidak berlaku.
Walaupun telah mereka ciptakan jembatan yang menghubungkan perbedaan-
perbedaan diantara dua sukubangsa yang berbeda atau lebih, tetapi tidak berarti
bahwa perbedaan sukubangsa tersebut lalu hilang dengan sendirinya. Perbedaan
sukubangsa yang mereka punyai, di dalam idan selama nteraksi tersebut sedang
berlangsung, disimpan oleh masing-masing pelakunya, tetapi akan tetap berlanjut
dan digunakan sebagai acuan dalam situasi-situasi atau arena-arena interaksi
lainnya.

Dalam kasus hubungan perkawinan antar-anggota sukubangsa yang berbeda,


masing-masing pelaku dari pasangan suami-istri tersebut tetap mempertahankan
jatidiri atau identitas sukubangsanya; dan begitu juga dalam kasus persahabatan
atau pengangkatan saudara, masing-masing pelaku tetap mempertahankan
kesukubangsaannya. Dalam keadaan demikian, yang terjadi adalah munculnya
golongan sosial baru yang mengkaburkan perbedaan sukubangsa, dan golongan
atau kategori baru tersebut dijadikan acuan bagi jatidiri mereka, yaitu ini “suami atau
istri saya” atau ini “saudara atau sahabat saya”, yang secara tersirat mengungkapkan
pernyataan bahwa pelaku lainnya yang disebutkan itu tercakup dalam pengertian
golongan sukubangsanya. Karena itu, kesukubangsaan dari si pelaku lainnya itu
secara implisit adalah sama dengan golongan sukubangsanya; walaupun secara
eksplisit bukan golongan sukubangsanya.

Dalam hubungan-hubungan sosial diantara mereka yang berbeda


sukubangsanya tanda-tanda dan simbol-simbol yang diseleksi dan diaktifkan oleh
masing-masing pelaku untuk menunjukkan perbedaan sukubangsa atau untuk
menapikan perbedaan kesukubangsaan tersebut tergantung pada tujuan interaksi
yang dilakukan dan pada situasi atau arena dimana interaksi tersebut berlangsung.
Karena pada dasarnya sukubangsa itu sama dengan kedudukan atau status, dan
karena dalam setiap interaksi sebetulnya adalah interaksi status dari pelaku, maka
hubungan antar-sukubangsa itu sebenarnya telah mewujudkan adanya struktur
interaksi yang coraknya tergantung pada sejarah hubungan diantara sukubangsa-
sukubangsa yang bersangkutan. Sebuah interaksi diantara mereka yang berbeda

30
sukubangsanya yang menapikan perbedaan status hubungan sukubangsa diantara
para pelakunya biasanya terwujud dalam bentuk persahabatan, pengangkatan
saudara, atau perkawinan. Sedangkan berbagai bentuk interaksi lainnya yang juga
menapikan perbedaan status dalam hubungan antar-sukubangsa adalah interaksi
yang terwujud dalam arena-arena interaksi dalam sistem nasional Indonesia. Sistem
nasional Indonesia berada di atas sistem-sistem sukubangsa maupun sistem-sistem
kehidupan di tempat umum, yang berlaku setempat-setempat di seluruh wilayah
Indonesia.

Sistem nasional menciptakan status-status yang bercorak horizontal maupun


vertikal yang mendominasi berbagai hubungan-hubungan status yang tercakup
dalam sistem tersebut. Status ini diduduki oleh pejabat atau petugas dari berbagai
sukubangsa, yang harus menanggalkan atau menyimpan kesukubangsaanmya
dalam interaksi-interaksi yang berlangsung dalam situasi-situasi nasional untuk
kepentingan nasional. Dalam situasi-situasi kesukubangsaan yang terwujud melalui
hubungan-hubungan pribadi atau untuk kepentingan pribadi dan sosial,
kesukubangsaan terwujud dengan mengaktifkan simbol-simbol kebudayaan
sukubangsa para pelaku yang bersangkutan. Situasi sukubangsa dan
kesukubangsaan bisa saja terwujud dalam sistem nasional pada saat kepentingan
pribadi atau sosial dari pelaku lebih penting daripada kepentingan dan tujuan
nasional. Ini bisa terwujud karena sukubangsa, secara universal, adalah golongan
sosial yang paling mendasar dan umum bagi jatidiri dalam kehidupan manusia.Ciri-
ciri ini seringkali dinamakan sifat-sifat primordial atau yang utama dan pertama, yang
universal dalam kehidupan manusia.

Karena itu tidaklah mengherankan bahwa sentimen kesukubangsaan dengan


mudah diaktifkan oleh para pelaku untuk menciptakan suatu solidaritas sosial yang
melibatkan warga sukubangsanya untuk dipertentangkan dengan sukubangsa
lainnya, pada saat terjadi persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber rezeki
dan pengalokasian pendistribusiannya, atau untuk mempertahankan serta
memperjuangkan kehormatan kesukubangsaannya. Dalam kehidupan masyarakat
dimana terjadi persaingan atas sumber-sumber daya atau pengalokasian
pendistribusiannya biasanya batas-batas sukubangsa menjadi jelas dan tajam,
terwujud dalam bentuk monopoli bidang-bidang kerja atau kegiatan ekonomi dan

31
politik oleh kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda. Pada saat perbedaan
penguasaan atas bidang-bidang kegiatan ekonomi dan politik tersebut mewujudkan
adanya saling ketergantungan atau saling menghidupi diantara kelompok-kelompok
sukubangsa yang berbeda yang hidup dalam masyarakat tersebut maka hubungan
baik diantara kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda akan tercipta, dan
arena-arena interaksi yang menjembatani hubungan antar-sukubangsa menjadi
mantap dan bahkan berkembang sehingga potensi-potensi konflik yang terjadi dapat
diredam.
Sebaliknya, bila penguasaan atas bidang-bidang ekonomi dan politik serta
pengalokasian pendistribusiannya oleh kelompok-kelompok sukubangsa itu terwujud
sebagai persaingan untuk bidang-bidang yang sama serta menghasilkan adanya
penguasaan atau dominasi oleh satu kelompok sukubangsa atau golongan sosial
tertentu terhadap sumber-sumber daya yang ada, yang dapat diartikan sama dengan
pendominasian oleh satu sukubangsa atau golongan sosial tertentu terhadap
sukubangsa lainnya, maka yang akan terwujud adalah adanya potensi-potensi
konflik di dalam kehidupan masyarakat tersebut, yang sewaktu-waktu dapat meledak
sebagai konflik antar-sukubangsa. Konflik antar-sukubangsa juga dapat meledak
sebagai suatu akibat dari rentetan perasaan-perasaan yang diderita oleh sebuah
kelompok sukubangsa yang merasa direndahkan atau yang berada dalam
kedudukan terhina oleh perbuatan-perbuatan dari warga sesuatu kelompok
sukubangsa lainnya. Penderitaan yang berkepanjangan ini dapat menyebabkan
adanya frustrasi sosial yang mendalam yang diderita oleh sukubangsa yang
kehidupan sosial, ekonomi, dan politiknya didominasi oleh sesuatu sukubangsa yang
lain. Konflik sukubangsa semacam ini biasanya dimulai oleh mereka yang merasa
kehilangan kehormatannya oleh perbuatan warga sesuatu sukubangsa lainnya, dan
perasaan kehilangan kehormatan kesukubangsaan ini biasanya dipicu oleh sesuatu
perbuatan yang dianggap oleh sukubangsa yang bersangkutan sebagai puncak dari
kehinaan serta ketidakadilan yang selama ini mereka derita.

Dalam teorinya mengenai ungkapan kesukubangsaan di Indonesia, Profesor


Bruner (‘The Expression of Ethnicity in Indonesia’, dalam Abner Cohen (Ed.), Urban
Ethnicity, 1974) mengatakan bahwa secara sukubangsa corak wilayah perkotaan di
Indonesia dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu wilayah perkotaan yang
secara kebudayaan didominasi oleh sesuatu sukubangsa, dengan contohnya kota

32
Bandung yang didominasi oleh sukubangsa dan kebudayaan Sunda dan wilayah
perkotaan yang tidak didominasi oleh sesuatu sukubangsa serta kebudayaannya,
dengan contohnya kota Medan. Di kota Bandung, yang penduduknya secara
demografi sosial adalah mayoritas dan dominan membuat bahwa para pendatang
dari berbagai asal sukubangsa di Indonesia harus mengadaptasi diri mereka dengan
struktur kehidupan kota Bandung yang didominasi oleh kebudayaan Sunda dan yang
secara sosial, ekonomi, dan politik pada umumnya juga didominasi oleh kelompok
sukubangsa Sunda. Sebaliknya, kota Medan yang secara kebudayaan tidak
didominasi oleh sesuatu sukubangsa menghasilkan adanya kehidupan masyarakat
kota Medan yang beranekaragam sukubangsa dan kebudayaannya, karena mereka
itu masing-masing, yaitu para pendatang yang hidup di Medan, hidup dalam
lingkungan permukiman kelompok sukubangsanya. Dan di tempat-tempat umum
mereka dapat menggunakan bahasa dan kebudayaan sukubangsanya masing-
masing dengan bebas dibandingkan dengan yang berlaku di kota Bandung.

Dengan mengacu pada penjelasan-penjelasan mengenai sukubangsa dan


hubungan antar-sukubangsa sebagaimana tersebut di atas serta dengan mengacu
pada teori kebudayaan dominan dari Bruner, mungkin kita dapat memahami konflik
antar-sukubangsa yang telah terjadi di Kalimantan Barat dan di Ambon. Dan
berdasarkan itu semua kita dapat memikirkan cara pencegahan konflik antar-
sukubangsa yang menelan korban yang tidak sedikit, yang secara sosial dan
ekonomi merugikan kita semua, dan yang secara nasional dapat mengancam
keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

33
6 Kesukubangsaan
Kesukubangsaan

D
alam kuliah ke-5 telah dijelaskan bahwa identitas atau jatidiri adalah
pengenalan mengenai atau pengakuan terhadap seseorang sebagai
termasuk dalam sesuatu golongan. Pengakuan tersebut dilakukan
berdasarkan atas ciri-cirinya yang merupakan sebuah satuan yang bulat dan
menyeluruh, yang menandainya sebagai termasuk dalam satu golongan yang
membedakannya dari orang lain yang termasuk golongan lainnya. Kesukubangsaan
adalah identitas atau jatidiri sukubangsa yang dipunyai oleh seseorang, yaitu karena
seseorang tersebut mengaku sebagai termasuk dalam sesuatu golongan
sukubangsa dan diakui oleh orang lain yang termasuk sebagai golongan sukubangsa
lainnya.

Setiap orang atau setiap warga masyarakat mempunyai lebih dari satu
identitas atau jatidiri. Sebagaimana telah dijelaskan dalam kuliah ke-5, identitas atau
jatidiri itu muncul, ada, dan berguna dalam interaksi bagi para pelaku. Bila seseorang
atau seorang anggota masyarakat itu berada dalam kesendirian yang absolut, maka
semua jatidiri yang dipunyainya itu disimpannya. Walaupun seseorang tersebut
dalam kesendirian yang absolut, tetapi di dalam pikirannya membayangkan dirinya
sedang mengelus-elus kucing atau anjingnya atau sedang memberi makan
ayamnya, maka dia dalam bayangan pikirannya tersebut mempunyai jatidiri sebagai
manusia yang menjadi lawan dari hewan, atau sebagai manusia yang menjadi tuan
yang berlawanan dari hewan yang menjadi peliharaannya. Dalam keadaan demikian,
semua jatidiri yang dipunyainya disimpannya karena tidak relevan atau tidak berguna
dalam interaksi antara dia dengan hewan yang bersangkutan, sdebagaimana yang
ada dalam imaji yang dibayangkannya. Dalam interaksinya dengan hewan
peliharaannya, dia berperan sebagai manusia yang menjadi tuan atau pemelihara si

34
hewan. Jadi, jatidiri itu dalam interaksi tersebut berfungsi sebagai pemberi atau
acuan corak dari peran yang harus dijalankannya.

Corak sebuah interaksi itu ditentukan oleh corak dan peran-peran yang
dijalankan oleh para pemeran yang bersangkutan, dan corak dari peran yang
dijalankan oleh para pemeran ditentukan oleh jatidiri para pemeran. Bila dua orang
mempunyai jatidiri yang sama dalam keadaan saling berinteraksi maka, masing-
masing atau salah satu dari dua orang tersebut akan menyimpan jatidirinya dan
digantikan oleh jatidiri lainnya sehingga memungkinkan dilakukannya interaksi.
Sebab, interaksi hanya terwujud dalam keadaan dimana dua orang pelaku tersebut
mempunyai jatidiri yang saling berbeda. Perbedaan jatidiri bisa terwujud sebagai
perbedaan yang saling melengkapi baik secara horizontal maupun secara vertikal,
maupun saling bertentangan atau saling dipertentangkan.

Dua orang polisi saling berinteraksi harus membedakan siapa saya dan siapa
kamu untuk dapat berperan. Sehingga jatidiri polisi sebagai golongan umum,
dipertajam menjadi jatidiri kapten polisi bagi yang satu dan sersan polisi bagi yang
lain. Jatidiri polisi disimpan, dan kalaupun digunakan hanya sebagai acuan umum
bagi jatidiri sebagai kapten atau sersan untuk membedakan mereka dari kapten TNI
atau sersan TNI. Dalam interaksi antar-warga yang sama sukubangsanya hal ini juga
berlaku. Dua orang Jawa yang dalam keadaan saling berinteraksi tidak akan
mengidentifikasi diri mereka masing-masing sebagai orang Jawa, tetapi masing-
masing sebagai orang Solo dan lainnya sebagai orang Tegal. Atau secara
tradisional, yang satu mengidentifikasi sebagai priyayi dan yang lainnya sebagai
petani.

Sebaliknya, bila dalam interaksi tersebut jatidiri yang sama digunakan, seperti
dalam contoh kapten polisi dengan sersan polisi, maka jatidiri tersebut
memperlihatkan pertentangan antara jatidiri polisi tertentu dengan jatidiri polisi
tertentu lainnya. Dalam kerusuhan Sambas, Kalimantan Barat, sebagai contoh
lainnya, konflik yang terjadi adalah antara orang Melayu lawan Madura dan orang
Dayak lawan Madura. Konflik antara orang Melayu dan orang Madura tidak dapat
diartikan sebagai konflik antar-Melayu lawan Madura secara umum, tetapi hanya
berlaku sebagai konflik antara orang Melayu Sambas dan orang Madura Sambas.

35
Diantara berbagai jatidiri yang dipunyai oleh seseorang, jatidiri sukubangsa
adalah jatidiri yang askriptif yang tidak bisa dibuang dan atau diganti begitu saja oleh
jatidiri lainnya, karena jatidiri tersebut menempel pada dirinya bersama dengan
kelahirannya yang didapatnya dengan mengacu pada asal muasal orang tua
dan/atau daerah asalnya. Walaupun tidak dapat dibuang dari dirinya atau diganti
begitu saja oleh jatidiri sukubangsa lainnya atau jatidiri lainnya, jatidiri sukubangsa
atau kesukubangsaan itu dapat disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi bila
jatidiri sukubangsa tersebut dianggap tidak perlu atau tidak relevan.

Dalam memahami tindakan manusia, diketahui bahwa manusia bertindak


karena adanya dorongan-dorongan (motivasi) untuk melakukan sesuatu guna
memenuhi kebutuhan yang ingin dicapainya. Tindakan-tindakan yang diwujudkannya
dipengaruhi oleh dan harus sesuai dengan kebudayaan atau pranata dari
masyarakatnya. Tindakan yang harus disesuaikan dengan kebudayaan dan pranata
ini masih harus lagi disesuaikan dengan corak interaksi yang berlaku agar tujuan
yang ingin dicapai tersebut dapat terpenuhi. Contohnya, seseorang oleh rasa lapar
yang dideritanya terdorong untuk memperoleh makanan pada saat itu juga agar
dapat memakannya guna menghindarkan rasa laparnya. Kebetulan dia membawa
roti isi di tasnya. Tetapi pada saat rasa lapar yang luar biasa itu menyerangnya, dia
sedang memberikan pengajaran di kelas. Pranata di kelas tidak memungkinkan dia
makan roti isinya sambil berbicara menyampaikan pengajarannya, atau dalam
interaksi belajar mengajar. Dicarinya akal, kelas pengajaran diubahnya menjadi
sebuah tes atau ujian kecil, sehingga dia dapat menikmati roti isinya sambil duduk
mengamati para pelajar yang sedang mengerjakan tesnya.

Interaksi yang berlaku tersebut dapat dilihat sebagai lingkungan atau arena
tempat terjadinya interaksi. Sebaliknya, sebuah lingkungan atau arena interaksi juga
dapat menstimuli atau merangsang kemunculan sesuatu dorongan atau motivasi dari
pelaku untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu, atau dapat meredam sesuatu tujuan
yang ingin dicapai oleh seseorang pelaku sehingga sipelaku tersebut melakukan
kegiatan yang lainnya yang berbeda dari tujuan semula tetapi sesuai dengan tujuan
baru yang dikondisikan oleh lingkungan atau corak interaksi dimana dia terlibat di
dalamnya. Contohnya, dalam kepustakaan kepolisian diketahui bahwa kejahatan

36
muncul dan terjadi dalam sebuah masyarakat karena kondisi sosial yang buruk dari
masyarakat tersebut. Kondisi sosial yang buruk dapat diartikan sebagai tidak adanya
kepastian hukurn yang dapat dipegang sebagai pedoman dalam menjaga hak dan
menjalankan kewajiban masing-masing anggota masyarakat tersebut, tidak adanya
polisi sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat yang diperlukan bila
terjadi kesewenang-wenangan oleh seseorang terhadap seseorang atau orang-
orang lainnya. Keadaan demikian menstimuli anggota-anggota masyarakat tersebut
untuk memperkuat dirinya dari serangan orang lain dan menggunakan kekuatan
yang dipunyai untuk menyerang dan merampas hak dan milik orang lainnya. Tidak
ada penegak hukum yang perlu ditakuti.

lnteraksi terwujud sebagai hubungan antar-jatidiri, dan interaksi tersebut


mewujudkan dirinya dalam struktur, yaitu sebagai sistem antar hubungan norma-
norma dan peranan-peranan yang diperankan oleh para pelaku. Jatidiri sukubangsa
atau kesukubangsaan terwujud dalam interaksi yang memungkinkan jatidiri
sukubangsa atau kesukubangsaan tersebut dapat diperankan oleh para pelakunya.
Interaksi tersebut menghasilkan apa yang dinamakan sebagai hubungan antar-
sukubangsa. Bila dalam interaksi yang berlangsung itu jatidiri sukubangsa tidak
dapat diaktifkan untuk diperankan oleh para pelakunya maka jatidiri sukubangsa
tersebut tidak akan muncul dan tidak akan ada dalam interaksi yang berlangsung.
Kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa itu diaktifkan oleh para pelakunya untuk
mempererat hubungan yang ada diantara sesama anggota sukubangsa yang sama
dalam pertentangannya dengan orang lain yang tergolong sebagai anggota
sukubangsa lainnya. Kesukubangsaan juga diaktifkan untuk membedakan siapa
saya sebagai lawan dari siapa kamu atau siapa kami sebagai lawan dari siapa
mereka.

Pengaktifan kesukubangsaan biasanya dilakukan dalam situasi persaingan


atau konflik diantara mereka yang berbeda sukubangsanya. Persaingan untuk
mernperebutkan sumber-sumberdaya yang berharga atau rezeki, atau juga
kehormatan. Konflik yang terjadi bisa dalam pengertian simbolik, seperti dalam
pertandingan olahraga, tetapi dapat juga dalam arti yang nyata atau dalam
kehidupan yang nyata, seperti konflik antara orang Madura dengan orang Melayu di
Kabupaten Sambas. Dalam kasus konflik antara Madura dan Melayu di Sambas,

37
kesukubangsaan diaktifkan oleh masing-masing pihak untuk dapat membedakan
siapa lawan dan siapa kawan, menggalang solidaritas diantara sesama golongan
sukubangsa dalam kelompok-kelompok sukubangsa yang siap tempur dan siap
bertahan dari serangan, dan mengidentifikasi siapa lawan dan untuk membuat
strategi menyerang atau bertahan terhadap serangan lawan.

Pengaktifan kesukubangsaan yang digunakan untuk persaingan, juga dapat


berupa persaingan dalam bisnis yang menekankan selera, terutama selera makan.
Bisnis restoran dan rumah makan sukubangsa pada dasarnya adalah bisnis yang
mengaktifkan kesukubangsaan untuk bersaing dengan pebisnis lainnya tanpa harus
bertentangan dengan pebisnis lainnya tersebut. Atau dengan kata lain, merupakan
bentuk persaingan tidak langsung. Bisnis restoran dan rumah makan sukubangsa
merupakan bisnis pengaktifan kesukubangsaan atau selera kesukubangsaan, yang
hanya akan dapat dinikmati oleh mereka yang berasal dari sukubangsa yang sama
atau yang pernah hidup dalam suasana kebudayaan dari sukubangsa tersebut.
Keaslian dari binis selera sukubangsa ini akan menjadi kunci keberhasilan dari
bisnisnya.

Dalam keadaan dimana bisnis selera sukubangsa tersebut diselenggarakan di


wilayah dari sukubangsa lainnya maka strategi yang biasanya dilakukan oleh si
pebisnis adalah dengan cara mengadopsi sejumlah unsur selera sukubangsa atau
kesukubangsaan setempat untuk dikombinasikan dengan selera sukubangsa yang
dibisniskan. Contohnya, rumah makan padang di Yogyakarta mengandung selera
manis yang menjadi ciri dari selera makan orang Yogyakarta. Tujuannya adalah agar
makanan padang yang dijualnya juga mencakup konsumen orang Yogyakarta.

Kesukubangsaan dapat tidak muncul dalam interaksi atau tidak relevan dalam
interaksi pada waktu interaksi tersebut tidak menuntut atau tidak membolehkan
kesukubangsaan itu dimunculkan oleh pelakunya sebagai peranan-peranan.
Interaksi yang demikian ini biasanya diatur norma-normanya oleh suatu hukum yang
lebih tinggi derajat kekuasaanya daripada norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Hukum tersebut haruslah mempunyai ciri yang mendasar, yaitu
meniadakan diaktifkannya kesukubangsaan agar keadilan dapat terwujud dalam
interaksi. Dalam kelas PTIK misalnya, kesukubangsaan tidak dapat diaktifkan dalam

38
hubungan antara dosen dengan mahasiswa karena bila interaksi antara dosen
dengan mahasiswa diaktifkan maka ketidakadilan berdasarkan atas diskriminasi
sukubangsa terjadi, dan prestasi mahasiswanya menjadi menurun karena bukan
dihasilkan oleh prestasi kerja obyektif dari mahasiswa tetapi berdasarkan atas
kesukubangsaan mahasiswa.

Agama yang dianut oleh sebuah masyarakat sukubangsa, akan terwujud


sebagai kebudayaan dari sukubangsa tersebut. Agama yang terwujud sebagai teks
suci sebagaimana yang ada dalam kitab-kitab suci, yang berisikan perintah-perintah,
petunjuk-petunjuk, dan larangan-larangan Tuhan, akan harus diinterpretasi untuk
dapat difahami agar dapat ditaati oleh para pemeluknya. Acuan dari interpretasi
untuk pemahaman tersebut adalah kebudayaan sukubangsa yang bersangkutan.
Sehingga agama, menjadi sama dengan kebudayaan, yaitu pedoman bagi
kehidupan yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat sukubangsa tersebut dan
warganya. Agama tersebut, yang sama fungsinya dengan kebudayaan dalam
pembahasan kesukubangsaan, akan menjadi acuan utama dalam kesukubangsaan
atau jatidiri sukubangsa.

Sehingga, yang semula pada dasarnya kesukubangsaan itu menggunakan


atribut-atribut kebudayaan sukubangsanya, dengan adanya agama yang dipeluk
masyarakat sukubangsa tersebut maka kini juga menggunakan atribut-atribut
keagamaan dalam memunculkan dan mengaktifkan kesukubangsaan atau jatidiri
sukubangsa dalam interaksi yang berlaku. Dalam hal ini kesukubangsaan diperkuat
oleh jatidiri keagamaan. Pentingnya atribut kebudayaan bagi jatidiri sukubangsa bisa
bergeser menjadi pentingnya atribut keagamaan. Bahkan atribut sukubangsa, yaitu
pengakuan dan diakui berdasarkan atas asal orang tua dan daerah, bisa bergeser
menjadi atribut keagamaan.

Sehingga dengan demikian juga terjadi pergeseran dalam hal penonjolannya,


yaitu dari jatidiri sukubangsa menjadi jatidiri keagamaan, walaupun pada hakekatnya
jatidiri keagamaan tersebut bukan jatidiri agama yang ada dalam kitab suci tetapi
jatidiri agama sebagai pedoman bagi kehidupan yang mereka yakini kebenarannya.
Kerusuhan Ambon, yang sampai sekarang masih berlangsung adalah salah satu
contohnya. Konflik yang semula berlangsung antara orang-orang Bugis, Buton,

39
Makasar yang beragama Islam yang pendatang di kota Ambon dengan orang-orang
Ambon yang beragama Kristen, bergeser menjadi konflik antara orang Islam
melawan orang Kristen yang sama-sama orang Ambon. Begitu juga konflik yang
semula hanya melibatkan orang Islam lawan orang Kristen Protestan, sekarang juga
melibatkan orang Katolik.

Karena jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan itu terwujud sebagai peran,


dan karena peran adalah perwujudan dari posisi atau kedudukan dari pelaku, dan
karena setiap posisi itu mengandung kekuatan yang dapat digunakan untuk
menyuruh orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maka sebenarnya
terkandung dalam kesukubangsaan adalah kekuatan sosial atau kekuatan politik.
Kandungan yang ada dalam jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan ini
menyebabkan bahwa kesukubangsaan sering dilihat sebagai faktor pemersatu atau
pemecah masyarakat majemuk.

Kepustakaan

Geertz, Clifford., 1980, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Terjemahan dari The Religion of Java (oleh: Aswab Mahasin). Jakarta:
Pustaka Jaya.
Suparlan, Parsudi, 1979, ‘Ethnic Groups of Indonesia’. The Indonesian Quarterly,
Vol.2. No.2, CSIS, hal. 53-75.
—————,1981/1982, “Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama”. Dalam Parsudi
Suparlan (Ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial, dan Pengkajian
Masalah-masalah Agama. Jakarta: Puslitbang Lektur Agama, Balitbang
Agama. Hal. 75-91.
—————,1986, ‘Kebudayaan dan Pembangunan, Media Ika, Vol.14. No.11.
Jurusan Antropologi, U.I. hal. 106-135
—————,1995 The Javanese in Surinam : Ethnicity in an ethnically plural society.
Tempe, Arizona : Center for Southeast Asian Studies, Arizona State
University.

40
7 Keluarga
dan Kekerabatan
Pendahuluan

S
eperti halnya dengan mahluk-mahluk lainnya, manusia juga harus
mengadakan hubungan kelamin dengan lawan jenisnya untuk dapat
memperoleh keturunan, Tetapi berbeda dengan sebagian besar mahluk-
mahluk lainnya tersebut, manusia mempunyai kecenderungan untuk membentuk
pasangan-pasangan yang permanen atau tetap. Pasangan-pasangan ini terwujud
oleh adanya hubungan yang dinamakan perkawinan. Perkawinan adalah hubungan
permanen antara laki-laki dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat yang
bersangkutan yang berdasarkan atas peraturan yang berlaku (peraturan negara,
agama, atau hukum adat atau ketiga-tiganya). Sebuah perkawinan mewujudkan
adanya keluarga dan memberikan keabsahan atas status anak-anak mereka.
Perkawinan tidak hanya mewujudkan adanya hubungan diantara mereka yang kawin
saja, tetapi juga melibatkan hubungan-hubungan diantara kerabat-kerabat dari
masing-masing pasangan tersebut. Walaupun landasan dasar dari mereka yang
kawin adalah untuk hubungan kelamin, tetapi hubungan tersebut juga melibatkan-
hubungan emosi dan perasaan kasih sayang, hubungan-hubungan ekonomi, politik,
dan sosial. Hubungan-hubungan yang tetap dan yang melibatkan berbagai aspek
dari hubungan sosial tersebut menyebabkan bahwa pasangan atau keluarga dapat
dilihat sebagai sebuah satuan sosial. Tulisan ini akan membahas apa itu keluarga,
kekerabatan, dan kaitannya dengan kesukubangsaaan dan hubungan antar-
sukubangsa.

41
Keluarga

Para ahli antropologi melihat keluarga sebagai satuan sosial terkecil yang
dipunyai oleh manusia sebagai mahluk sosial. Pendapat ini didasarkan atas
kenyataan bahwa sebuah keluarga adalah sebuah satuan kekerabatan yang juga
merupakan sebuah satuan tempat tinggal dan kehidupan yang ada dalam sebuah
komuniti atau masyarakat. Lebih lanjut, sebuah keluarga juga ditandai oleh cirinya
sebagai sebuah kerjasama ekonomi diantara anggota-anggotanya, mempunyai
fungsi untuk berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik anak, dan menolong
serta melindungi yang lemah khususnya merawat orang-orang tua mereka yang
sudah jompo.

Dalam bentuknya yang paling dasar, sebuah keluarga terdiri atas seorang
laki-laki dan seorang perempuan, ditambah dengan anak-anak mereka yang
biasanya tinggal dalam satu rumah yang sama, Satuan atau kelompok seperti ini
dalam antropologi dinamakan keluarga inti atau keluarga batih. Walaupun sebuah
keluarga inti secara resminya selalu terbentuk oleh adanya hubungan perkawinan
yang sah menurut peraturan negara dan agama, tetapi tidak selamanya keluarga inti
terwujud karena telah disahkan menurut peraturan tersebut di atas. Sebuah keluarga
inti dapat juga terwujud karena seorang laki-laki dan seorang perempuan
mengadakan hubungan kelamin secara permanen tanpa melalui sesuatu
pengesahan perkawinan menurut peraturan negara atau agama. Mereka hidup dan
tinggal bersama dalam satu rumah disertai anak-anak mereka sehingga merupakan
sebuah satuan sosial dan kehidupan terkecil yang diakui keberadaan mereka
sebagai sebuah keluarga oleh keluarga-keluarga lain dalam komuniti atau
masyarakatnya. Dengan demikian, sebuah keluarga dapat juga terwujud oleh
adanya hubungan kelamin yang permanen atau hubungan konkubinasi
(concubinage). Di beberapa tempat di Indonesia hubungan konkubinasi ini
dinamakan kawin baku piara (di Minahasa) kawin kumpul krbo (Jakarta dan
sekitamya), atau kawin gendakan (Jawa pada umumnya).

Walaupun secara garis besarnya keluarga inti itu dapat didefinisikan sebagai
terdiri atas suami, isteri, dan anak-anak mereka yang tinggal dalam satu rumah,
tetapi dalam hal-hal tertentu pendefinisian ini tidak dapat digunakan. Karena dalam
kenyataannya ada sejumlah masyarakat yang keluarga intinya tidak lengkap untuk
sesuatu jangka waktu tertentu yang cukup lama, karena tidak adanya suami di rumah

42
(pada masyarakat pelaut Bugis dari Sulawesi Selatan), buruh-buruh musiman di
Jakarta yang berasal dari sekitar kota Jakarta atau dari tempat-tempat lainnya, TKI
atau tenaga keja Indonesia (biasanya digunakan untuk menamai tenaga kerja laki-
laki) di luar negeri asal dari berbagai tempat di Indonesia, terutama dan pulau Jawa
dan Madura. Atau karena isteri tidak ada di rumah untuk jangka waktu yang lama
karena menjadi TKW atau tenaga kerja wanita di luar negeni. Mereka ini berasal dari
berbagai tempat di Indonesia terutama dari pulau Jawa.

Dalam berbagai masyarakat terdapat keluarga-keluarga yang tidak hanya


terdiri atas seorang suami dan seorang isteri, serta anak-anak mereka, tetapi terdiri
atas seorang suami dengan dua orang isteri atau lebih, atau terdiri atas seorang
isteri dengan dua orang suami atau lebih. Keluarga-keluarga semacam ini
dinamakan keluarga poligami. Perkawinan yang menghasilkan keluarga poligami
terwujud karena masyarakat yang bersangkutan mengizinkan dilakukannya
perkawinan poligami. Dalam masyarakat-masyarakat dengan kebudayaan Islam,
perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu perempuan atau
perkawinan poligini adalah sah; sedangkan perkawinan antara satu perempuan
dengan lebih dari satu laki-laki (poliandri) dilarang. Perkawinan poliandri berlaku
dalam masyarakat Kerala di India Selatan.

Sebuah keluarga inti dapat juga menjadi sebuah keluarga luas dengan
adanya tambahan dari sejumlah orang lain, baik yang sekerabat maupun yang tidak
sekerabat, yang secara bersama-sama hidup dalam sebuah rumah bersama dengan
keluarga inti, dan diperlakukan sebagai bagian dari rumah tangga keluarga inti
tersebut. Sebuah rumah tangga adalah sebuah keluarga yang dilihat sebagai sebuah
satuan ekonomi atau sebuah satuan dapur. Orang-orang yang sekerabat yang ikut
tinggal dalam keluarga inti tersebut bisa berasal dari pihak suami atau dari pihak
isteri. Sedangkan orang lain atau orang luar yang ikut dan menjadi bagian dari
keluarga adalah pembantu rumah tangga, atau anak orang lain yang diangkat anak
oleh keluarga tersebut. Dengan adanya poligami (poligini atau poliandri) dan adanya
orang lain yang ikut tinggal bersama dalam sebuah keluarga, maka keluarga inti
menjadi keluarga luas.

43
Kekerabatan

Seseorang atau ego dianggap sebagai kerabat oleh seseorang yang lain
karena seseorang atau ego tersebut dianggap masih seketurunan atau mempunyai
hubungan darah dengan si orang lain tersebut. Walaupun orang lain tersebut
tinggalnya amat jauh dari tempat tinggal ego, dan bahkan juga belum pernah
bertemu muka dengan ego tetap saja orang tersebut tergolong sebagai kerabatnya.
Ketentuan mengenai siapa-siapa yang tergolong sebagai kerabat dari ego dibuat
berdasarkan atas sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan, dimana ego adalah salah seorang warganya.

Sistem kekerabatan adalah serangkaian aturan-aturan yang mengatur


penggolongan orang-orang yang sekerabat, yang melibatkan adanya berbagai
tingkat hak dan kewajiban diantara orang-orang yang sekerabat, yang
membedakannya dari hubungan-hubungan mereka dengan orang-orang yang tidak
tergolong sebagai sekerabat. Hubungan-hubungan diantara orang-orang yang
sekerabat dan penggolongannya digambarkan dengan menggunakan simbol-simbol
sebagai berikut:

Laki-laki

Perempuan

Hubungan kelamin
atau perkawinan
Keturunan
Hub. Saudara kandung
Ego

Kematian

Batas lingkungan
tempat tinggal; bisa
berupa rumah tempat
mereka tinggal
bersama, atau desa,
atau wilayah yang
lebih luas

44
Peranan Kerabat dan Fungsi Kekerabatan

Setiap kerabat yang mempunyai identitas tertentu karena digolongkan dalam


suatu kedudukan tertentu menurut istilah kekerabatan yang berlaku, orang tersebut
diharapkan untuk menunjukkan tindakan-tindakan tertentu sesuai dengan
identitasnya. Misalnya tindakan-tindakan seorang ayah yang menunjukkan
peranannya sebagai ayah terhadap anak yang berbeda dari peranan ibu. Dalam
berbagai hubungan yang terwujud antara orang-orang yang sekerabat, dapat
terwujud sebagai hubungan-hubungan formal maupun hubungan-hubungan sosial
dan personal yang informal. Dalam hal ini tindakan-tindakan yang diharapkan untuk
diwujudkan oleh orang yang bersangkutan terhadap orang lainnya yang sekerabat itu
tidak boleh menyimpang dari yang seharusnya diwujudkan menurut aturan yang
berlaku dalam sistem kekerabatannya. Misalnya hubungan antara menantu
perempuan dengan mertua laki-laki tidak dapat dilakukan oleh keduanya sebagai
hubungan suami-isteri. Hubungan keduanya adalah hubungan sosial yang formal,
tetapi tidak dapat menjadi hubungan personal. Dalam masyarakat Champa yang
hidup di India berlaku aturan hubungan penghidaran, dimana menantu perempuan
harus menutupi mukanya dengan kain atau kerudungnya bila bertemu atau
berpapasan dijalan dengan mertuanya.

Kekerabatan juga mempunyai fungsi dalam proses terwujudnya kelompok-


kelompok atau satuan-satuan sosial. Orang-orang yang sekerabat cenderung untuk
membedakan diri antara orang-orang yang bukan kerabat dari mereka yang
sekerabat, dan kecenderungan ini dapat menjadi landasan bagi terwujudnya
kelompok-kelompok kekerabatan.

Kelompok-Kelompok Kekerabatan

Satuan kekerabatan yang terkecil adalah keluarga. Sebagai hasil perkawinan


terlahirlah anak-anak yang menjadi keturunan dari suami isteri. Keturunan adalah
sejumlah orang yang dapat dihubungkan satu sama lainnya melalui hubungan darah
yang bersumber pada orang tua atau leluhur yang sama. Orang-orang yang
seketurunan digolongkan sebagai sebuah satuan atau sebuah kelompok yang

45
dinamakan consanguinec yang dibedakan dari orang-orang sekerabat yang terwujud
karena adanya hubungan perkawinan yang dinamakan sebagai kelompok affine..
Aturan-aturan yang menggolongkan siapa-siapa yang seketurunan dan siapa-siapa
yang bukan adalah beranekaragam sesuai dengan corak sistem kekerabatan yang
dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Pada garis besarnya ada tiga corak
sistem kekerabatan yang masing-masing mempunyai aturan-aturan kekerabatan
yang berbeda dalam menentukan siapa-siapa yang seketurunan dan siapa-siapa
yang bukan. Tiga corak sistem kekerabatan yang mendasar ini adalah: (1) Bilateral;
(2) Patrilineal; dan (3) Matrilineal.

Dalam sistem bilateral orang-orang yang seketurunan adalah mereka yang


dilahirkan dari ayah atau ibu yang sama dan kerabat-kerabat ayah dan ibu beserta
leluhur dan keturunannya. Seberapa besar jumlah mereka yang tergolong sebagai
seketurunan dan seberapa besar anggota kelompok kerabat tergantung pada corak
kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, karena ada yang menekankan
pentingnya keturunan yang terpusat pada garis ayah atau garis ibu, atau keduanya.
Contoh dari masyarakat sukubangsa dengan sistem kekerabatan yang bercorak
bilateral adalah Jawa, Sunda, Melayu, atau lainnya. Pada umumnya masyarakat-
masayarakat sukubangsa di Indonesia mengikuti prinsip keturunan bilateral.

Dalam sistem patrilineal, orang-orang yang seketurunan adalah mereka yang


dilahirkan oleh ayah yang sama, dan seketurunan dari leluhur menurut garis laki-laki.
Contoh dari masyarakat-masyarakat sukubangsa dengan sistem kekerabatan
patrilineal adalah Batak dan hampir semua masyarakat sukubangsa yang ada di Irian
Jaya atau Papua. Dalam sistem kekerabatan yang patrilineal dikenal adanya marga
atau fam (clan atau klen dalam Bahasa Indonesianya), yang merupakan kelompok
keturunan menurut garis ayah atau laki-laki. Dalam sistem patrilineal hubungan-
hubungan diantara mereka yang seketurunan dan diantara mereka yang sekerabat
dekat, yang diatur dalam hak dan kewajiban yang mempunyai sanksi-sanksi ketat
menurut aturan-aturan kekerabatan yang berlaku. Mereka yang tergolong satu
marga atau klen tidak boleh saling kawin, yang sebetulnya kawin bukan hanya laki-
laki dan perempuan yang bersangkutan tetapi antara klen laki-laki dengan klen
perempuan oleh sebab itu maka perkawinan dalam klen atau marga tidak
dibenarkan. Karena itu bila seorang laki-laki atau perempuan yang bukan Batak dan

46
kawin dengan orang Batak maka yang bersangkutan harus diangkat dahulu sebagai
salah satu anggota marga Batak. Untuk memperdalam pengetahuan mengenai
orang Batak dan Kebudayaannya, lihat antara lain, J.C.Vergouwen (Masyarakat dan
Adat Batak Toba, Pustaka Azet 1985).

Dalam sistem matrilineal, keturunan ditelusuri dari leluhur berdasarkan atas


garis ibu dan menurut garis perempuan. Contoh klasik dari sistem matrilineal di
Indonesia adalah masyarakat Minangkabau. Seringkali orang awam mengkacaukan
makna antara matrilineal (keturunan menurut garis ibu) dengan matriarkhat
(kekuasaan perempuan), dimana matrilineal disamakan dengan matriarkhat. Dalam
kenyataannya, dalam sistem matrilineal perempuan mempunyai kedudukan sebagai
pemilik harta pusaka (sawah, ladang, kebun, rumah, dsb.) yang diwarisi dan
diwariskan secara turun temurun menurut garis ibu. Sedangkan laki-laki adalah yang
mengusahakannya, dan karena itu mempunyai peluang untuk menguasainya. Dalam
masyarakat Minangkabau yang mengusahakan atau yang mengolah sawah atau
kebun atau lainnya adalah saudara laki-laki perempuan atau anak laki-laki dari
seorang ibu. Begitu juga, dalam masyarakat Minangkabau yang menjadi kepala desa
atau penghulu Nagari adalah laki-laki dan bukannya perempuan. Secara tradisional,
dalam masyarakat Minangkabau hubungan antara paman (mamak) dan keponakan
(kemanakan) atau anak dari saudara perempuannya adalah hubungan yang khusus.
Si paman bertanggungjawab atas kesejahteraan hidup si kemanakannya.

Istilah Kekerabatan

Istilah kekerabatan adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan


identitas para kerabat, berkenaan dengan penggolongan kedudukan mereka dalam
hubungan kekerabatan masing-masing dengan ego. Dengan adanya istilah
kekerabatan dan hubungan-hubungan yang menyangkut kedudukan, dan hak dan
kewajiban antara ego dengan kerabat-kerabatnya dapat dilakukan secara mudah
dan tertib sesuai dengan aturan kekerabatan yang berlaku. Misalnya seorang anak
orang Jawa harus menyebut adik ayahnya atau adik ibunya dengan istilah paklik dan
bukannya dengan istilah bapak Tetapi bila si anak tersebut melakukan yang
sebaliknya, yaitu menyebut pakliknya dengan istilah bapak dan menyebut bapaknya

47
dengan istilah paklik tentu akan menimbulkan kekacauan dalam kaitannya dengan
hubungan-hubungan antara antara anak tersebut dengan ayah dan ibunya dan
dengan pamannya, serta kerabat-kerabatnya. Yang menjadi pertanyaan besar
adalah anak ini anak siapa? Seperti apa kedudukannya dalam sistem kekerabatan
yang berlaku? Seperti apakah hak warisnya dan mendapat warisan sebagai anak
dari ayahnya atau pamannya?

Kelompok Kekerabatan di Daerah Perkotaan atau Perantauan

Di kota-kota besar di Indonesia dewasa ini, kelompok-kelompok kekerabatan


mempunyai fungsi dalam upaya saling tolong menolong dan kerjasama mengatasi
berbagai masalah dan kesulitan hidup. Gejala seperti ini juga terwujud di tempat-
tempat yang asing bagi mereka atau di perantauan yang pada umumnya jauh
letaknya dari tanah asal tumpah darah mereka. Masyarakat-masyarakat yang
mempunyai sistem kekerabatan patrilineal dan matrilineal dengan klen atau marga,
biasanya mengaktifkan hubungan-hubungan klen atau marga untuk membentuk
kelompok-kelompok marga (pada orang Batak) atau kelompok-kelompok suku dan
asal tumpah darah (pada orang Minangkabau) di kota-kota besar dan di daerah
perantauan. Sedangkan masyarakat-masyarakat sukubangsa dengan sistem
kekerabatan yang bercorak bilateral membentuk kelompok-kelompok kekerabatan
berdasarkan atas asal keturunan dari satu leluhur, yang keanggotaannya dalam
kelompok tersebut bisa berdasarkan atas keturunan garis ayah maupun garis ibu.
Kelompok keturunan pada orang Jawa di Jakarta misalnya, menamakan diri sebagai
keluarga besar karena tidak ada konsep marga dalam kebudayaan Jawa. Dalam
keadaan dimana orang-orang Jawa di perantauan tersebut tidak mungkin untuk
menelusuri asal mereka sebagai satu keturunan maka yang diaktifkan adalah
persaudaran atau sedulur. Para pendatang pertama di perkebunan Deli sebagai kuli
kontrak asal pulau Jawa yang datang dalam satu kapal membentuk semacam
kelompok kekerabatan yang mereka namakan sedulur sa’kapal (saudara satu kapal).
Hal yang sama juga dilakukan oleh para kuli kontrak asal Jawa yang didatangkan ke
Suriname yang setibanya di Suriname membentuk kelompok kerabat fiktif yang
dinamakan sedulur sa’jaji.

48
Keluarga dan Kesukubangsaan

Keluarga adalah satuan terkecil yang ada dalam kelompok atau masyarakat
sukubangsa. Dalam keluarga setiap orang dilahirkan dan dirawat serta dibesarkan
oleh ayah ibunya, kakek dan neneknya, saudara-saudaranya, dan oleh kerabat-
kerabatnya yang lebih tua daripadanya. Bahkan pada waktu dia matipun dia dirawat
oleh keluarga dan kerabatnya untuk dapat dikuburkan sebagaimana layaknya,
sesuai dengan kebudayaan dan keyakinan keagamaannya. Dalam keluargalah
setiap anak yang dilahirkan itu dibesarkan untuk menjadi manusia sesuai dengan
kebudayaan dari orang tua dan masyarakatnya. Di daerah pedesaan dimana
kelompok atau masyarakat sukubangsa itu secara relatif bercorak
homogen,keluarga-keluarga yang merupakan unsur utama terbentuknya komuniti
atau masyarakat sukubangsa adalah satuan terkecil dari komuniti atau masyarakat
sukubangsa yang bersangkutan. Dengan demikian anak yang dilahirkan itu
dibesarkan menjadi orang sesuai dengan kesukubangsaan orang tua dan komuniti
atau masyarakat dimana dia itu dibesarkan.

Sesuai dengan penjelasan dalam bab-bab terdahulu, sebuah masyarakat


sukubangsa mempunyai kebudayaan sukubangsa yang bersangkutan. Kebudayaan
yang operasional melalui warga masyarakat sukubangsa dan pranata-pranata
masyarakat tersebut, yang juga operasional melalui keluarga. Dalam keluarga, anak
yang lahir dirawat dan dibesarkan dengan mengacu pada kebudayaan sukubangsa
yang bersangkutan. Anak dibesarkan menjadi manusia sesuai dengan konsep
kebudayaan sukubangsanya, dan dia menjadi anggota sukubangsa tersebut melalui
proses-proses sosialisasi dan pembudayaan oleh orang tua, kerabat, dan anggota-
anggota komuniti atau masyarakat sukubangsanya. Tanpa disadari si anak yang
kemudian menjadi dewasa mengembangkan dan mengaktifkan jatidiri sukubangsa
atau kesukubangsaannya dan memantapkan sebagai jatidirinya atau kesuku-
bangsaannya pada waktu berhadapan atau berhubungan dengan mereka yang
tergolong sukubangsa lainnya.

Di daerah perkotaan, dimana masyarakatnya secara heterogen terdiri atas


sejumlah sukubangsa, keluarga-keluarga sukubangsaa harus juga mengadopsi

49
kebudayaan yang umum berlaku dalam masyarakat perkotaan yang bersangkutan
atau mengadopsi sejumlah unsur-unsur kebudayaan sukubangsa lain yang dominan
dalam masyarakat perkotaan tersebut, dan masih juga mengadopsi kebudayaan
nasional Indonesia dan sejumlah unsur kebudayaan asing sebagai produk dari
intensifnya globalisasi yang berlaku di daerah perkotaan terutama di kota-kota besar
melalui berbagai jalur media massa dan elektronika. Di satu pihak keluarga-keluarga
ini mengadopsi berbagai unsur kebudayaan lain tetapi di lain pihak mereka ini justru
memperkuat kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsanya. Corak paradox ini
terutama terwujud sebagai akibat dari pragmatisme hidup di daerah perkotaan yang
harus mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan kota dalam keanekaragaman
kebudayaannya, tetapi di lain pihak mereka itu juga harus berkompetisi dengan
warga sukubagsa lainnya untuk memperebutkan berbagai sumberdaya dan sumber
rezeki yang ada di kota tempat mereka itu hidup. Satu-satunya yang paling
diandalkan dalam kompetisi atau bila terjadi konflik adalah keluarga dan kerabat
serta warga sukubangsa yang sama yang hidup dalam kota yang bersangkutan.
Dengan demikian, kesukubangsaan tidak akan hilang walaupun mereka itu telah
menjadi modern dan isi kebudayaan sukubangsa dalam keluarga mereka tidak lagi
asli sebagaimana yang terdapat dalam kehidupan sukubangsa di daerah pedesaan.

50
8 Kerjasama,
Persaingan,
dan Konflik
Pendahuluan

K
erjasama, persaingan, dan konflik adalah bagian dari kehidupan sosial
manusia. Berbagai kesulitan serta permasalahan yang dihadapi yang tidak
mungkin dapat diselesaikan secara perorangan akan dapat diselesaikan
melalui kerjasama dengan orang lain. Kerjasama adalah tindakan-tindakan bersama
dalam saling membantu antara dua orang atau dua kelompok untuk sesuatu tujuan
tertentu bersama. Kerjasama tersebut dapat dilakukan oleh sejumlah orang yang
melakukannya secara sukarela untuk membangun langgar atau surau di desa, atau
bergotong royong memperbaiki sepotong jalan yang rusak karena banjir. Disamping
itu, kerjasama dapat juga dilakukan oleh sejumlah orang yang secara sukarela
bekerjasama, walaupun tidak secara langsung saling bantu membantu; seperti
misalnya, sejumlah pemburu yang secara bersama-sama berburu babi hutan. Atau
sejumlah orang pergi memancing bersama di tempat yang sama. Dalam kasus-kasus
terakhir ini kerjasama bukan dalam berusaha untuk memperoleh hasil buruan atau
memperoleh ikan yang hasilnya akan dibagi rata diantara mereka, tetapi
kebersamaan untuk memantapkan perasaan dan emosi kelompok dalam kegiatan-
kegiatan mereka, karena masing-masing pemburu atau pemancing tersebut akan
menikmati hasil buruan atau pemancingan untuk masing-masing dan bukan untuk
dibagi bersama.

Berbagai kegiatan yang bila dikerjakan sendiri menurut perhitungan akan


merugikan maka dibuatlah kerjasama dengan sejumlah orang lain agar kegiatan
tersebut menguntungkan. Contoh dari kerjasama seperti ini, misalnya adalah
koperasi para produsen hasil pertanian yang menjual langsung kepada para

51
konsumen untuk melawan kekuatan kapitalisme yang memonopoli hasil-hasil
pertanian. Kerjasama dapat juga dilakukan untuk tujuan menghadapi lawan yang
menjadi musuh yang akan menghancurkan mereka, baik dalam bentuk kerjasama
antar-perorangan maupun kerjasama antar-kelompok sesuai dengan lawan yang
dihadapi. Disamping itu, kerjasama dapat juga terwujud sebagai kerjasama diantara
sesama anggota sukubangsa dalam melawan serangan atau menyerang musuh
yang tergolong sukubangsa lain dalam sebuah konflik antar-sukubangsa. Atau
bekerjasama diantara mereka yang sekerabat atau sesukubangsa dalam bersaing
memperebutkan pasar bagi sesuatu produk yang juga diproduksi oleh kelompok lain.

Dengan demikian, lawan yang dihadapi dapat berupa lawan yang menjadi
pesaing dalam sebuah persaingan untuk memperebutkan sesuatu yang berharga
yang terbatas jumlahnya yang berupa sesuatu sumber daya, sumber rezeki,
kehormatan, atau sesuatu yang sangat dihargai tinggi dan terbatas jumlahnya.
Lawan yang dihadapi dapat juga berupa musuh yang harus dihancurkan demi
kehormatan atau untuk menguasai sesuatu sumber daya yang berharga dan sumber
rezeki yang terbatas jumlahnya. Tulisan ini akan menguraikan dan membahas apa
itu persaingan dan konflik. Uraian dan pembahasan mengenai konflik akan terfokus
pada konflik sosial yang terwujud sebagai kerusuhan massal, tawuran antar-
kampung atau antar-desa, dan konflik antar-sukubangsa sebagaimana yang terjadi
di berbagai tempat di Indonesia, terutama di Sambas, Kalimantan Barat.

Persaingan

Persaingan atau kompetisi adalah sebuah proses perjuangan untuk


memperoleh sesuatu yang berharga dan terbatas jumlahnya. yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih, atau antara dua kelompok atau lebih. Dalam persaingan ada
peraturan atau aturan main yang disetujui bersama dan harus ditaati oleh mereka
yang bersaing. Peraturan tersebut mencakup ketentuan bahwa dalam setiap
persaingan tujuan utama adalah untuk memperoleh barang berharga tersebut dan
bukannya menghancurkan pihak lawan untuk memenangkan persaingan. Contoh
dari persaingan yang secara ketat mengikuti definisi seperti tersebut di atas adalah
pertandingan olahraga, misalnya pertandingan tinju, sepakbola, bolabasket, atau

52
bulutangkis, dsb & Semua petanding untuk pertandingan olahraga tersebut
memahami adanya peraturan atau aturan main yang harus mereka taati selama
bertanding. Bila aturan main tersebut mereka langgar maka mereka itu akan terkena
sanksi. Untuk itu maka ada wasit yang mengawasi dan memimpin jalannya
pertandingan, dan yang memberikan sanksi atas pelanggaran terhadap aturan main
yang berlaku. Sanksi atas pelanggaran yang ringan akan diberi peringatan,
pelanggaran yang berat akan diberi hukuman, dan pelanggaran yang lebih berat
akan dikeluarkan dari arena pertandingan. Pelanggaran yang lebih berat adalah
tindakan mencederai lawan sehingga menyebabkan lawan tidak mampu lagi untuk
bertanding sebagaimana seharusnya. Dalam pertandingan tinju seorang petinju
dilarang untuk memukul bagian bawah dari puser lawannya, dan terutama terlarang
untuk memukul kemaluan lawan dan bagian belakang kepala lawan, dan berbagai
larangan lainnya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi, dan bila pelanggaran tetap
dilakukan berturut-turut sampai tiga kali maka si pelanggar akan diberi sanksi oleh
wasit berupa pengurangan angka, atau bila mencederai lawan secara permanen si
pelanggar akan dinyatakan sebagai tidak memenuhi syarat atau didiskualifikasi
sebagai petinju. Dia dikeluarkan dari arena tinju, dan dinyatakaan kalah. Dalam
pertandingan tinju tidak hanya ada wasit tetapi juga ada juri, yang jumlahnya
biasanya tiga orang. Para juri inilah yang memberi nilai para petinju yang bertanding
dan menentukan petinju mana yang menang. Hal yang sama juga berlaku dalam
pertandingan sepakbola dan berbagai pertandingan olahraga lainnya. Hanya dalam
pertandingan berbagai jenis olahraga tersebut tidak ada juri; tetapi ada komite-
komite yang memberi penilaian atas jalannya pertandingan, kemampuan wasit dalam
memimpin pertandingan, dan kinerja para pemain yang mencakup juga sportivitas
mereka.

Persaingan dapat dilakukan oleh pesaing yang seimbang derajatnya. Bila


para pesaing tersebut tidak seimbang derajatnya, maka yang terjadi tidak dapat
dinamakan sebagai persaingan tetapi dominasi oleh yang lebih kuat terhadap yang
lebih lemah atau yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah derajatnya. Untuk
menghindari terjadinya dominasi tersebut maka dalam pertandingan tinju misalnya,
diberlakukan kelas-kelas berdasarkan berat badan petinju. Sedangkan dalam
pertandingan olah raga lain, seperti bolabasket, bulutangkis, sepakbola misalnya,
diberlakukan tahapan-tahapan pertandingan seleksi yang diakhiri dengan

53
pertandingan final yang dilaksanakan diantara para pemenang yang kira-kira sama
derajat kemampuan bertandingnya.
Dalam kehidupan sosial, persaingan biasanya terjadi dalam dalam bisnis
diantara pebisnis, atau di pasar diantara para penjual barang yang sama, atau dalam
kehidupan politik untuk memperebutkan jabatan-jabatan publik dan administrasi,
atau dalam kehidupan sosial untuk menunjukkan yang lebih kaya, lebih bergengsi,
lebih cantik, dsb., atau dalam kehidupan pribadi bersaing untuk memperoleh cinta
dari lawan jenis. Dalam struktur kegiatan yang formal seperti di kantor atau di kelas
juga terdapat persaingan diantara pegawai kantor untuk berprestasi lebih baik atau
untuk memperoleh kasih sayang dari atasan supaya cepat naik pangkat dan jabatan
yang lebih baik daripada yang dipunyainya sekarang. Di sekolah, terutama yang
nampak jelas adalah di kelas, murid-murid secara tidak mereka sadari berlomba-
lomba untuk memperoleh nilai yang lebih baik dari murid-murid lainnya dalam
pelajaran-pelajaran yang mereka ikuti, dalam upaya untuk memperoleh penghargaan
atau rangking teratas dalam kelas.

Persaingan-persaingan tersebut di atas adalah terbuka, dimana para pesaing


tidak secara langsung berhubungan satu dengan lainnya karena masing-masing
akan dinilai oleh pembeli (bagi pebisnis atau pedagang), oleh atasan (bagi pegawai
kantor), dan oleh guru (bagi para murid di kelas). Persaingan tersebut di atas tidak
mengenal adanya peraturan yang baku sebagaimana yang ada dalam pertandingan
olahraga, tetapi ada acuan yang harus mereka gunakan yaitu etika, yang mencakup
etika bisnis, berjualan, bekerja di kantor, atau belajar di sekolah. Persaingan tersebut
di atas terjadi tanpa para pesaing berhubungan langsung satu sama lainnya untuk
bertanding. Yang mereka lakukan adalah dengan menunjukkan hasil kerja masing-
masing, yang dinilai oleh pembeli atau konsumen atau oleh atasan di kantor atau
oleh guru di kelas, bahwa masing-masing adalah yang lebih baik dibandingkan dari
lawan yang menjadi saingannya.

Bila salah satu pihak dari pesaing itu melanggar peraturan atau aturan main
dengan cara melukai pedagang atau pebisnis yang menjadi lawannya atau
membakar usaha dagang atau bisnisnya, atau berbagai cara lain yang dapat
dilakukan untuk menghancurkan reputasi si pedagang atau pebisnis, maka yang
terjadi bukan lagi sebuah persaingan tetapi sebuah konflik. Hal yang sama bisa

54
terjadi pada persaingan diantara calon-calon pejabat publik atau administrasi
pemerintahan persaingan diantara pegawai kantor, atau diantara murid di kelas.
Dalam kasus pegawai kantor atau murid di kelas, yang terjadi bisa saja si pegawai
atau si murid memberikan upeti-upeti kepada atasannya atau kepada guru-gurunya
sehingga aturan main dalam persaingan tersebut menjadi berubah, yang akan
menguntungkan posisi si pemberi upeti dalam persaingan diantara sesama pegawai
atau sesama murid. Dapat juga si pegawai atau si murid mencederai secara fisik
atau secara mental dengan cara menerapkan kategori kambing hitam, seperti G30
S/PKI atau lainnya, pada lawan pesaingnya yang mempunyai potensi untuk
mengalahkannya dalam persaingan. Bila proses-proses ini yang terjadi maka proses-
proses tersebut tidak dapat lagi dinamakan sebagai persaingan tetapi sebagai
konflik.

Konflik dan Konflik Sosial

Konflik dapat didefinisikan sebagai tindakan permusuhan antara dua pihak


(antar-perorangan atau antar-kelompok) yang terwujud sebagai tindakan saling
menghancurkan untuk memenangkan sesuatu tujuan tertentu. Tujuan tertentu
tersebut bisa berupa sumber-sumber daya dan rezeki, kehormatan jatidiri atau
kelompok, atau kesemuanya itu. Seringkali pihak-pihak yang sedang berada dalam
semangat konflik sudah lupa akan tujuan utama yang ingin dicapai Karena, dalam
keadaan konflik, yang menjadi tujuan utama dari mereka adalah saling
menghancurkan pihak lawan.

Konflik dapat terwujud dalam bentuk konflik fisik atau dalam bentuk konflik
simbolik, Dalam konflik fisik, para pelaku bertindak saling menghancurkan orang
(membunuh atau setidak-tidaknya menciderai), dan menghancurkan harta benda
yang menjadi milik pihak lawan yang merupakan atribut-atribut dan jatidiri pihak
lawan. Kehancuran orang atau harta benda pihak lawan merupakan kemenangan
pihak yang satu terhadap yang lainnya, dan sebaliknya. Konflik flsik yang
menghasilkan kekalahan dari satu pihak, yang kemudian berhenti atau dihentikan
karena adanya aparat keamanan yang menghentikannya, akan menghasilkan
dendam yang berkepanjangan pada pihak yang kalah tersebut. Sesuatu tindakan

55
yang dianggap sebagai penghinaan oleh pihak yang pernah kalah yang dilakukan
oleh pihak yang pernah menang di masa lampau, dapat memicu sebuah konflik baru.
Konflik baru ini biasanya dimulai oleh pihak yang pernah kalah, yang merasa terhina
oleh tindakan yang dilakukan oleh pihak yang menang dalam konflik yang pernah
terjadi, walaupun peristiwa yang sekarang terjadi hanya sepele, seperti misalnya
saling memandang atau tersenggol tubuhnya waktu berjalan. Konflik baru dapat saja
dimulai oleh pihak yang menang dalam konflik pernah yang terjadi. Gara-garanya
juga sepele. Motifnya bukan untuk membalas dendam tetapi untuk menunjukkan
supremasi atau keunggulan mereka sebagai pihak pemenang atas pihak yang kalah
di masa lampau. Tindakan pihak pemenang ini dapat dilihat sebagai upaya
mempertahankan batas-batas antara pemenang dan pecundang, atau
mempertahankan supremasi mereka.

Dalam konflik baru, yang dilakukan dalam bentuk penyerangan oleh yang
dulunya kalah terhadap pihak yang dulunya menang, atau oleh pihak yang dulunya
menang terhadap yang kalah, biasanya dilakukan dengan mengaktifkan sesuatu
isyu. Yang mengaktifkan sesuatu isyu untuk memberi semangat menghancurkan
pihak lawan biasanya dinamakan provokator. Isyu ini biasanya dinamakan sebagai
isyu simbolik, karena yang diaktifkan adalah simbol-simbol yang berkaitan dengan
konflik yang pernah terjadi, dan maknanya mengacu pada kebudayaan yang
membuat isyu. Isi cerita atau berita yang menjadi isyu biasanya adalah, bahwa
mereka itu harus menegakkan kehormatan dengan cara harus mengalahkan pihak
yang pernah menang yang sekarang ini menghina dan mencoreng kehormatan
mereka. Atau nila dimulai oleh pihak yang menang, maka isinya adalah afirmasi dan
reafirmasi mengenai supremasi pihak mereka yang menang yang harus
dipertahankan karena pihak yang pernah kalah itu mulai menunjukkan gigi
menantang mereka.

Dalam konflik simbolik, masing-masing pihak yang konflik atau pernah konflik
di masa lalu, menciptakan simbol-simbol mengenai keperkasaan mereka, dan
bersama itu juga mengenai kehormatan dan jatidiri mereka yang berbeda dari dan
yang lebih unggul daripada jatidiri pihak lawan. Makna yang terkandung dalam isyu-
isyu simbolik terserap dalam kehidupan mereka dan mempengaruhi serta
mengarahkan orientasi kehidupan mereka yang tertuju pada adanya pihak lawan.

56
Tanpa disadari mereka itu saling menciptakan batas-batas sosial untuk menunjukkan
dengan”jelas perbadaan antara mereka dari pihak lawan. Bahkan melalui batas-
batas sosial tersebut, pertentangan antara mereka dengan pihak lawan dipertegas
melalui berbagai bentuk stereotip dan prasangka melalui berbagai isyu tentang
mereka yang terhormat dan perkasa dan tentang pihak lawan yang hina dan
pengecut. Dengan kata lain, berbagai isyu simbolik menghasilkan adanya stereotip
dan prasangka, menghasilkan adanya batas-batas sosial, dan menghasilkan saling
tindakan diskriminatif satu sama lainnya. Isyu-isyu simbolik yang biasanya diaktifkan
selama masa jedah, yaitu setelah konflik fisik berakhir atau dengan paksa diakhiri
dan sebelum munculnya konflik fisik yang baru, mencakup isyu-isyu moral, etika, dan
kehormatan jatidiri. Fungsi dari konflik simbolik ini adalah mempertahankan
berlangsungnya konflik yang pernah terjadi untuk disimpan dalam ingatan atau
memori dari para pelaku. Ingatan ini menjadi mantap karena didukung oleh
seperangkat pengetahuan yang stereotipik dan penuh prasangka mengenai masing-
masing, terciptanya batas-batas sosial diantara mereka, dan saling mendiskriminasi.
Konflik fisik antar-perorangan biasanya tidak berlangsung lama, walaupun ada yang
berlangsung lama yaitu dalam bentuk sebagai konflik simbolik.

Konflik fisik perorangan ini segera berubah menjadi konflik fisik antar-keluarga
atau antar-kelompok kerabat atau antar-kampung atau antar-kelompok sukubangsa.
Proses-proses ini dapat terjadi karena pihak yang kalah akan dibela oleh
keluarganya, dan pihak yang menang akan mempertahankan diri dengan dukungan
keluarganya untuk dapat mempertahankan kemenangan yang telah mereka peroleh.
Bila keluarga yang bersangkutan tidak cukup kuat maka kelompok kerabat masing-
masing akan membantu, dan bila inipun tidak cukup kuat maka komuniti kampung
atau desa akan terlibat di dalamnya. Keterlibatan kampung atau desa, sebagai
komuniti, dapat dipahami karena sebuah desa pada umumnya dihuni oleh warga
yang secara langsung atau tidak langsung berada dalam satu hubungan satu sama
lainnya dalam jaringan-jaringan kekerabatan dan sosial. Sebuah desa dengan
demikian merupakan sebuah komuniti yang warganya merupakan sebuah satuan
kehidupan yang menyeluruh dan utuh dalam kaitan hubungannya dengan komuniti
atau komuniti lainnya. Desa sebagai sebuah komuniti merupakan acuan jatidiri dan
kehormatan yang mendasar dan umum bagi warganya, atau yang primordial.

57
Sehingga apa yang terjadi pada seorang warganya akan dianggap sebagai terjadi
terhadap komuniti tersebut secara keseluruhan.

Para warga kampung di daerah perkotaan juga akan mengembangkan


komunitas, atau perasaan dan emosi kebersamaan sebagai sebuah komuniti dan
memperlakukan komuniti sebagai sebuah acuan utama dalam kehidupan mereka
dalam kaitannya dengan kampung-kampung lainnya. Sehingga pada waktu sebuah
warga kampung berada dalam konflik menghadapi warga kampung lainnya, maka
komunitas yang mereka punyai berkembang menjadi solidaritas untuk berjuang demi
keberadaan dan keberlanjutan kampung mereka, jatidiri, dan kehormatan kampung
mereka masing-masing. Komunitas bisa terwujud dan mantap terutama dalam
kehidupan kampung-kampung miskin di daerah perkotaan, karena sejarah kampung
mereka masing-masing mengafirmasi posisi mereka secara sosial dan budaya serta
secara politik dan ekonomi yang seperti mengisolasi kehidupan mereka sebagai
sebuah satuan komuniti kampung. Isolasi di tengah-tengah perkembangan dan
kemajuan ekonomi perkotaan membuat mereka itu mengembangkan semacam
kohesi sosial yang merupakan komunitas dalam batas-batas kampung masing-
masing dan menjadi landasan bagi terwujudnya solidaritas sosial dalam menghadapi
orang luar; termasuk menghadapi warga dari kampung lain. Sikap komunitas ini
dapat dikatakan sebagai sikap primordial (yang utama dan yang pertama) mengingat
bahwa mereka itu dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungn komuniti kampung
mereka, mereka itu hidup dalam kesamaan derajat sosial dan ekonomi, dan
disosialisasi oleh orang-orang tua mereka mengenai kebudayaan kampung-miskin,
dan mengenai pengalaman-pengalaman masa lampau yang penuh dengan kejayaan
dalam pertempuran melawan kampung atau kampung-kampung lain. Kesemuanya
ini telah menjadikan mereka itu melihat dan merasakan serta meyakini bahwa
kampung mereka itu adalah sama dengan diri mereka sendiri. Mereka yang terlibat
dalam konflik antar-kampung adalah orang-orang muda, yang secara langsung atau
tidak langsung tergabung dalam kelompok-kelompok pemuda. Para pemuda ini pada
umumnya adalah pengangguran atau setengah pengangguran, yang hidup di sektor
informal yang bersih maupun yang kotor. Sektor informal yang kotor mencakup
pemalakan, narkoba, dsb. Mereka mempunyai tokoh-tokoh yang menjadi panutan
mereka, yang mereka anggap gagah perkasa. Konflik antar-kampung biasanya

58
bersumber pada perebutan lahan pemalakan, peredaran narkoba, dan sejenis
dengan itu.

Sebuah konflik sosial terjadi karena diaktifkannya isyu-isyu sosial tertentu.


Isyu-isyu tersebut adalah produk dari konflik atau konflik-konflik sosial yang pernah
terjadi sebelumnya. Sebelum terjadinya konflik antar-sukubangsa Melayu-Madura di
Sambas, Kalimantan Barat, telah terjadi konflik-konflik fisik secara sporadis dari
waktu ke waktu antara orang-orang dari dua sukubangsa ini di daerah pedesaan
maupun perkotaan, Orang-orang Melayu selalu mengalah atau kalah dalam
menghadapi orang-orang Madura. Orang-orang Madura mengembangkan isyu yang
kemudian menjadi sebuah stereotip yang dikenakan pada orang Melayu, yaitu orang
Melayu penakut dan besar mulut tetapi keropos seperti kerupuk.”Sebaliknya orang-
orang Melayu mengembangkan isyu tentang orang-orang Madura sebagai preman,
bahkan bukan hanya orang Madura yang preman tetapi para haji dan kyainyapun
raja preman, dan yang karena itu patut dibasmi.

Konflik antara orang Melayu dan orang Madura di Sambas bukan hanya
berupa konflik antar-kampung atau antar-desa tetapi melibatkan semua desa dan
kampung yang ada di Sambas, Kalimantan Barat. Terwujud dalam bentuk
penyerangan antar-desa dan kampung,–antar sesama warga desa dan kampung
yang sukubangsa Melayu dan Madura, dalam bentuk saling membunuh atau
mengeroyok antar-orang Melayu dan Madura pada waktu bertemu di jalan atau di
tempat-tempat umum, dan terwujud sebagai bentuk pemburuan dan pembunuhan
terhadap orang-orang Madura yang bersembunyi di daerah rawa-rawa dan hutan
oleh kelompok-kelompok pemuda Melayu dari berbagai desa dan kampung. Karena
itu konflik berdarah antara orang Melayu-Madura tidak dapat dikatakan sebagai
konflik komunal atau konflik antar-komuniti, karena tidak terwujud sebagai konflik
antar komuniti kampung atau komuniti desa, tetapi konflik antar-sukubangsa yang
melibatkan keseluruhan orang Melayu dan Madura di Sambas. Kalau sebelum
terjadinya konflik antar-sukubangsa, konflik-konflik yang berlangsung secara
sporadis dari waktu ke waktu di Sambas antara orang-orang Melayu-Madura adalah
bersumber pada perebutan berbagai sumber daya dan rezeki yang ada setempat.
Sedangkan dalam konflik antar-sukubangsa yang meluas ke seluruh wilayah
Sambas, sumber konflik bukan lagi pada sumber daya dan rezeki tetapi pada isyu

59
moral dan etika dimana orang-orang Madura digolongkan sebagai tidak tahu adat
karena tidak mengikuti prinsip “dimana bumi dipijak langit dijunjung”, dan dianggap
sebagai sumber polusi sosial dan budaya karena perbuatan-perbuatan mereka yang
tidak etis dan tidak bermoral yang mencoreng harga diri dan kehormatan orang
Melayu.

Sebagai catatan terakhir, patut dinyatakan bahwa berbeda dari konflik antar-
perorangan maka dalam konflik sosial (antar-kelompok, antar-keluarga, antar-
kerabat, antar-kampung atau antar-desa, dan antar-sukubangsa) yang menjadi
pelaku konflik bukan lagi orang-perorang sebagai pribadi-pribadi, tetapi antar orang-
perorang yang saling mereka lihat sebagai golongan atau-kategori sosial sengan ciri-
ciri kesukubangsaan masing-masing. Dengan kata lain konflik sosial adalah konflik
antar-golongan atau konflik antar-kategori. Orang-orang yang dahulunya saling
mengenal secara pribadi dan bahkan bersahabat, dalam konflik sosial ini mereka itu
tidak lagi saling melihat masing-masing sebagai orang yang saling mengenal secara
pribadi atau bersahabat, tetapi saling melihat sebagai golongan atau kategori sosial
yang berlawanan atau saling bermusuhan. Mereka harus saling menghancurkan
golongan atau kategori sosial lawan, walaupun mereka saling mengenal dan dulunya
bersahabat. Bila mereka menekankan pentingnya persahabatan, maka masing-
masing pihak harus saling menyembunyikan sahabatnya tersebut dari pengetahuan
warga sukubangsanya, atau kalau ketahuan oleh kelompok sukubangsanya dia akan
digolongkan sama dengan golongan musuhnya dan karena itu harus dihancurkan.

60
9 Masyarakat Majemuk
dan Hubungan
Antar-sukubangsa
Masyarakat Indonesia Yang Majemuk

I
ndonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-masyarakat
sukubangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa
atau nasion (nation) yaitu bangsa Indonesia. Sebagai sebuah bangsa,
masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik yaitu sebuah negara
kesatuan yang bercorak republik yang menempati sebuah wilayah yang dinamakan
negara Indonesia. Sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas sejumlah
sukubangsa, hubungan-hubungan sosial diantara warga sukubangsa yang berbeda
yang lazim berlangsung di tempat-tempat umum (pasar, tempat-tempat hiburan,
kegiatan-kegiatan sosial bersama), menjadikan fungsi tempat-tempat umum tersebut
menjadi penting sebagai wadah untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan dan
sebagai perantara yang menjembatani hubungan antar-sukubangsa. Indonesia
adalah sebuah masyarakat majemuk karena mengenal adanya tiga sistem yang
digunakan sebagai acuan atau pedoman di dalam kehidupan warga masyarakatnya.
Sistem-sistem tersebut adalah : (1) Sistem Nasional; (2) Sistem Sukubangsa; dan (3)
Sistem Tempat-Tempat Umum.

Sistem-sistem tersebut berbeda satu dari lainnya serta operasional pada


bidang-bidang masing-masing. Masing-masing sistem tersebut saling mempengaruhi
satu sama lainnya dan saling melengkapi dalam berbagai kegiatan pemenuhan
kebutuhan kehidupan orang Indonesia, yaitu sebagai diri pribadi serta sebagai
anggota keluarga atau kerabat serta sukubangsa. sebagai warga masyarakat, dan
sebagai warga negara atau bangsa Indonesia. Diantara ketiga sistem tersebut,

61
sistem nasional adalah sistem yang berada diatas dari dan merupakan puncak yang
menaungi dua buah sistem lainnya.

Sistem Nasional

Sistem nasional adalah pedoman atau acuan yang seragam bagi dan berlaku
di dalam kehidupan sebuah masyarakat negara. Sistem nasional Indonesia adalah
pedoman atau acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara bagi warga
masyarakat Indonesia. Sistem nasional Indonesia dikenal keberadaan dan
berlakunya sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa Indonesia sejak proklamasi
17 Agustus 1945. Sebagai sebuah sistem, sistem nasional Indonesia, mempunyai
pedoman yang hakiki yang digunakan untuk menjabarkan dan memproses masukan-
masukan untuk menjadi keluaran-keluaran sesuai dengan diberadakan dan
difungsikannya sistem nasional tersebut. Dalam sistem nasional Indonesia, pedoman
hakiki dan menyeluruh bagi pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah
Pancasila dan UUD 1945. Kalau kita melihat kebudayaan sebagai pedoman
menyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat, maka Pancasila dan UUD 1945
dapat dilihat sebagai pedoman menyeluruh bagi sistem nasional dalam mengatur
kehidupan berbangsa serta bernegara dan oleh karenanya maka Pancasila dan UUD
1945 dapat dilihat dan diperlakukan sebagai kebudayaan nasional Indonesia oleh
bangsa Indonesia.

Sistem nasional Indonesia dijalankan oleh pemerintah Indonesia yang


menjalankan tugas-tugas kewenangannya untuk mengatur kehidupan rakyatnya
yang merupakan masyarakat Indonesia. Pengaturan tersebut dilakukan dengan
melalui berbagai lembaga-lembaga, badan-badan, dan kantor-kantor pemerintahan
yang melaksanakan kegiatan-kegiatannya secara berjenjang (dari tingkat Jakarta,
sebagai ibukota Negara Republik Indonesia sampai dengan ke tingkat dusun atau
dukuh di daerah pedesaan) serta secara meluas yang mencakup wilayah dari
Sabang sampai dengan Merauke. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia adalah
sebuah sistem administrasi yang mengatur tatanan kehidupan bangsa Indonesia,
yang masyarakatnya majemuk.

62
Hasil dari kegiatan-kegiatan pengaturan administrasi oleh pemerintah
Indonesia telah menghasilkan, antara lain, adanya pengetahuan serta keyakinan-
keyakinan yang dipunyai oleh warga masyarakat Indonesia mengenai kebangsaan
Indonesia serta atribut-atribut dan simbol-simbolnya. Pengetahuan mengenai sistem-
sistem penggolongan yang berlaku, baik yang ideal maupun yang aktual, mengenai
berbagai gejala-gejala, masalah-masalah, isyu-isyu, serta cara-cara dan teori-teori
untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan itu. Baik pengetahuan
mengenai gejala-gejala, masalah-masalah, dan isyu-isyu nasional mengenai
ekonomi, politik, sosial, dan budaya maupun mengenai isyu-isyu lokal dan
internasional. Bersamaan dengan itu juga tertanam paradigma-paradigma atau
keyakinan-keyakinan mengenai kebenaran-kebenarannya secara moral dan etika,
yang dilihat dalam perspektif nasional tersebut (Suparlan 1979, 1982).

Di lain pihak, kehidupan warga masyarakat Indonesia tidak hanya semata-


mata diatur oleh dan berpedoman pada aturan-aturan yang diberlakukan oleh
pemerintah Indonesia atau sesuai menurut sistem nasional Indonesia, tetapi juga
diatur oleh sistem-sistem lain yang telah ada serta hidup dalam masyarakat-
masyarakat Indonesia sebelum ada dan diberlakukannya sistem nasional Indonesia,
atau sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tgl. 17 Agustus 1945.
Sistem-sistem lainnya tersebut adalah sistem-sistem sukubangsa dan sistem-sistem
kehidupan di tempat-tempat umum setempat.

Sukubangsa

Sukubangsa adalah golongan sosial yang khusus, yang askriptif, yang sama
coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Kekhususan dari sukubangsa
sebagai sebuah golongan sosial ditandai oleh ciri-cirinya, yaitu: Diperoleh secara
askriptif atau didapat begitu saja bersama dengan kelahirannya, muncul dalam
interaksi berdasarkan atas adanya pengakuan oleh warga sukubangsa yang
bersangkutan dan diakui oleh warga sukubangsa lainnya. Merupakan ciri-ciri yang
umum dan mendasar berkenaan dengan asal muasal manusia, yang digunakan
sebagai acuan bagi identitas atau jatidiri pribadi atau kelompoknya, yang tidak dapat
dengan seenaknya dibuang atau ditiadakan, walaupun dapat disimpan atau tidak

63
digunakan dalam interaksi yang berlaku. Karena, ciri-ciri tersebut melekat seumur
hidup bersama dengan keberadaannya sejak kelahirannya (Barth 1969 : 9-38). Ciri-
cirinya yang umum dan mendasar berkenaan dengan asal muasalnya ini seringkali
dinamakan sebagai ciri-ciri yang primordial atau yang secara kognitif dan afektif
adalah yang utama dan pertama serta berlaku secara universal di dalam kehidupan
manusia.

Sistem sukubangsa adalah sebuah tatanan kehidupan yang digunakan


sebagai acuan atau sebagai pedoman untuk hidup sebagai warga sukubangsa yang
bersangkutan, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat. Sebagai
sebuah tatanan, sistem tersebut sebenarnya adalah pedoman atau kebudayaan dari
warga sukubangsa yang bersangkutan. Kebudayaan sukubangsa mencakup
pedoman-pedoman untuk menghadapi lingkungan-lingkungan alam dan fisik serta
cara-cara pemanfaatannya bagi kelangsungan hidup. Juga mencakup pedoman bagi
menghadapi serta mengatasi atau memanfaatkan berbagai gejala serta masalah
sosial, ekonomi, politik, budaya, dan hukum yang ada dalam lingkungan sosial dan
lingkungan budaya dari sukubangsa yang bersangkutan. Kebudayaan sukubangsa
menyajikan jawaban-jawaban berkenaan dengan keberadaan atau asal muasal
manusia dan mengenai alam semesta beserta isinya tempat kehidupannya,
menyajikan formula-formula yang dapat dipilih untuk digunakan dalam menghadapi
dunia gaib dan ketidak pastian kehidupan yang menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari dari warga sukubangsa yang bersangkutan. lntinya adalah patokan nilai-
nilai etika dan moral, baik yang tergolong sebagai yang ideal atau yang seharusnya
yang dinamakan worldview atau pandangan hidup maupun yang operasional dan
aktual di dalam kehidupan sehari-hari yang dinamakan ethos atau etos. Secara
operasional kebudayaan sukubangsa terwujud dalam bentuk pranata-pranata sosial
yang ada dalam masyarakat sukubangsa, seperti misalnya, keluarga, pasar,
pemerintahan desa, pesantren, atau lainnya, yang keberadaan dan fungsinya dalam
masyarakat sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan yang dianggap penting
oleh masyarakat sukubangsa yang bersangkutan.

Sebagai pedoman bagi kehidupan, kebudayaan tersebut dapat operasional


karena adanya sistem-sistem penggolongan yang berlaku dalam dunia kehidupan
sukubangsa tersebut. Melalui sistem-sistem penggolongan tersebut terwujud

64
golongan-golongan, yang sebenarnya adalah konsep-konsep. Penggolongan
manusia menurut jenis kelamin misalnya, menghasilkan konsep laki-laki sebagai
lawan dan konsep perempuan. Kebudayaan juga menyajikan cara-cara atau metode-
metode untuk bukan hanya memilah-milah atau menggolongkan sesuatu gejala
tetapi juga cara-cara untuk menseleksi konsep-konsep yang dihasilkan dari
penggolongan yang dibuat dan mengkombinasi konsep-konsep hasil seleksi tersebut
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Contohnya, dalam kehidupan tradisional di
hampir semua sukubangsa di Indonesia dikenal sebuah pedoman bagi kehidupan
berkeluarga yaitu: ‘banyak anak banyak rezeki’. Bagi keluarga petani tradisional di
daerah pedesaan, anak adalah tenaga kerja domestik yang secara fungsional
membantu keberhasilan kegiatan ekonomi rumah tangga. Semakin banyak anak
dengan demikian akan semakin terbantu kelancaran dan keberhasilan kegiatan
ekonomi rumah tangga. Pedoman tersebut merupakan hasil penggolongan,
penseleksian, dan penggabungan konsep-konsep hasil seleksi sesuai dengan
lingkungan yang dihadapi dan tujuan yang ingin dicapai, dan sesuai dengan
pengalaman-pengalaman mereka yang punya banyak anak dibandingkan dengan
yang sedikit atau tidak punya anak.

Sukubangsa-sukubangsa di Indonesia, sebagaimana dinyatakan terdahulu,


telah ada sebelum adanya proklamasi kemerdekaan Indonesia, yang menandai
keberadaan nasion atau bangsa Indonesia. Masing-masing sukubangsa menempati
wilayah-wilayah yang secara turun-temurun mereka akui sebagai wilayah tempat
sumber-sumber kehidupan mereka yang menjadi haknya dan yang hak tersebut
diakui oleh sukubangsa lainnya. Masing-masing sukubangsa mengembangkan
kebudayaannya sesuai dengan corak dan potensi-potensi sumber daya dalam
lingkungan hidup masing-masing dan sesuai dengan tema-tema budaya atau
pandangan hidup dan etos yang dipunyai. Oleh karena itu masing-masing
sukubangsa mempunyai corak kebudayaan yang berbeda satu dengan lainnya.

Perbedaan kebudayaan antara satu sukubangsa dengan sukubangsa lainnya


bukan hanya terwujud secara horizontal, yang artinya satu sama lain berbeda dan
tidak dapat saling memahami. Tetapi perbedaan kebudayaan sukubangsa tersebut
juga dapat dilihat secara vertikal, artinya ada yang masih hidup dengan sistem
konomi dan teknologi sederhana yang hidup dari mengumpulkan dan memanfaatkan

65
hasil hutan serta bertani ladang yang berpindah secara berotasi, di lain pihak, pada
ujung ekstrim yang lain, ada masyarakat-masyarakat sukubangsa yang telah
mengenal sistem feodal atau kerajaan yang terpusat kekuasaannya di daerah
perkotaan (Suparlan 1979), sedangkan diantara dua ujung ekstrim tersebut terdapat
beranekaragam corak kebudayaan. Sehingga, terdapat sukubangsa-sukubangsa
yang hidup terisolasi dalam kelompok-kelompok kecil dan dengan jumlah penduduk
yang kecil, seperti misalnya Orang Toala di Sulawesi (100 orang), atau Orang
Enggano dari pulau Enggano (300 orang) dibandingkan dengan Orang Jawa yang
berjumlah 27.000.000. orang yang sudah secara intensif hidup dalam kontak-kontak
dengan berbagai kebudayaan dari luar Jawa, sebagaimana yang tercatat dalam
Sensus Penduduk 1930.

Pengalaman kontak-kontak hubungan yang terjadi dengan dunia luar juga


berbeda-beda antara satu sukubangsa dengan sukubangsa lainnya. Sehingga ada
kebudayaan-kebudayaan sukubangsa yang tidak mengalami akulturasi budaya dan
sebaliknya ada yang kebudayaannya sebenarnya adalah hasil akulturasi dari
berbagai kebudayaan-kebudayaan dari luar. Kontak-kontak hubungan dengan
pedagang-pedagang dari Cina, Arab, India, dan Eropah di masa lampau maupun
pada masa sekarang, pada umumnya telah secara langsung atau tidak langsung
merubah dan mendorong perkembangan teknologi dan ekonomi dari kebudayaan
masyarakat-masyarakat sukubangsa yang bersangkutan, serta merubah berbagai
pedoman etika dan moral yang mereka punyai. Sukubangsa-sukubangsa yang hidup
terisolasi cenderung menjadi semakin tertinggal dalam perkembangan teknologi dan
ekonominya dibandingkan dengan sukubangsa-sukubangsa yang hidup dalam
pengaruh kontak-kontak kebudayaan tersebut.

Proses akulturasi sebenarnya telah terjadi bukan hanya dengan para


pedagang atau musafir asing dari luar wilayah Nusantara tetapi juga telah terjadi
diantara masyarakat-masyarakat sukubangsa yang hidup bertetangga atau
masyarakat-masyarakat yang juga menekankan pentingnya perdagangan antar
daerah atau antar pulau. Proses-proses akulturasi tersebut masih berlangsung
sampai dengan dewasa ini, yang biasanya terjadi di dalam kehidupan perkotaan, dan
di kota-kota perdagangan dan pelabuhan, yang merupakan tempat-tempat bertemu
dan hidupnya warga dari berbagai sukubangsa. Di samping terjadinya perpaduan

66
kebudayaan atau saling pinjam meminjam kebudayaan di daerah perkotaan atau di
kota-kota perdagangan dan pelabuhan juga berkembang bahasa lingua franca yang
berlaku di tempat-tempat umum dimana kegiatan pelayanan ekonomi dan sosial
serta budaya itu berlangsung.

Bahasa lingua franca yang umum berlaku di wilayah Nusantara adalah


bahasa Melayu Pasar. Bahasa Melayu Pasar ini tidak mengenal jenjang kedudukan
dari pelaku-pembicara. Ini berbeda dengan bahasa Melayu yang asli yang mengenal
jenjang bahasa sesuai dengan jenjang pengguna bahasanya, karena pada dasarnya
struktur kehidupan masyarakat Melayu bercorak feodalistik. Bahasa Melayu Pasar
ini, walaupun pada dasarnya mempunyai kausa kata yang sama dengan bahasa
Melayu, tetapi oleh karena adanya muatan-muatan lokal atau setempat maka kausa
katanya berbeda-beda sesuai dengan corak kebudayaan dimana Bahasa Melayu
Pasar itu hidup dan digunakan. Bahasa Melayu Menado, misalnya berbeda dengan
bahasa Melayu Jawa yang digunakan di kota Semarang atau Yogyakarta. Bahasa
Melayu yang biasanya digunakan di tempat-tempat umum, khususnya di pasar dan
tempat-tempat perdagangan, juga menghasilkan kebudayaan umum yang bercorak
khusus yang berlaku setempat. Kebudayaan yang bercorak khusus ini, dapat
dinamakan sebagai kebudayaan tempat-tempat umum.

Tempat-Tempat Umum

Tempat umum adalah sebuah ruang fisik yang digunakan bagi kegiatan-
kegiatan bersama untuk umum atau siapa saja untuk kepentingan-kepentingan
pribadi atau sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Ruang fisik tersebut dapat dilihat
sebagai ruang sosial, karena penekanan dari kegiatan-kegiatan para penggunanya
adalah pada interaksi-interaksi sosial untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial,
ekonomi, politik, dan budaya. Lebih lanjut ruang sosial bagi umum tersebut juga
dapat dilihat sebagai pranata sosial, karena ruang sosial tersebut merupakan sebuah
sistem antar hubungan norma-norma dan peranan-peranan untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan yang dianggap penting oleh masyarakat yang bersangkutan,
melalui interaksi-interaksi dari para pelakunya. Sehingga, dari satu segi, dalam
sesuatu tempat umum terdapat kebudayaan dari tempat umum tersebut, yaitu

67
pedoman bagi para pelaku untuk bertindak dan menempati posisi-posisi sosial
sesuai dengan peranan-peranan yang harus dijalaninya yang sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapainya. Tempat-tempat umum biasanya melayani kebutuhan-
kebutuhan hiburan dan rekreasi, pelayanan jasa dan perdagangan atau sosial, dan
interaksi-interaksi sosial.

Kebudayaan tempat-tempat umum tersebut terwujud dari berbagai kebiasaan


atau konvensi sosial yang berupa norma-norma sosial dan menjadi mantap karena
telah berlangsung cukup lama. Tercakup dalam norma-norma sosial tersebut adalah
patokan-patokan etika dan moral yang menandai corak tindakan-tindakan dan pola-
pola yang berlaku di tempat-tempat umum. Patokan-patokan etika dan moral
tersebut berbeda dari corak patokan-patokan yang berlaku di dalam suasana
kehidupan sukubangsa (keluarga dan kerabat, atau upacara-upacara lingkaran
hidup, atau upacara-upacara keagamaan), dan berbeda juga dari patokan-patokan
etika dan moral yang berlaku bagi kegiatan-kegiatan dan di dalam suasana-suasana
nasional.

Patokan etika dan moral yang berlaku dalam kebudayaan tempat-tempat


umum tersebut adalah prinsip-prinsip egalitarian (kesamaan derajat) dan
kemampuan tawar menawar barang, uang, jasa, dan kekuatan. Prinsip tawar
menawar ini dilakukan oleh para pelaku dengan menggunakan kekuatan, baik
kekuatan uang, kekuatan fisik, dan kekuatan sosial. Dalam prinsip tawar menawar
berlaku etika yang muncul dalam interaksi antar status-status dan peranan-peranan
dari para pelaku. Baik pelaku yang saling tidak mengenal atau yang asing sama
sekali maupun pelaku yang saling mengenal, yang corak tawar menawarnya
terwujud berdasarkan atas dan mengacu pada atribut-atribut sosial dan sukubangsa
yang mereka kenal. Dalam prinsip tawar menawar masing-masing pelaku
mengaktifkan simbol-simbol yang dipunyai untuk dapat saling menilai dan dinilai,
serta saling memperlakukan dan diperlakukan sesuai dengan atribut-atribut yang
diaktifkannya. Kalau seseorang ingin dinilai sebagai orang miskin, atau orang kaya,
atau orang Batak, atau Orang Jawa maka pihak lainnya akan memperlakukannya
sesuai dengan keinginan tersebut, sesuai dengan atribut-atribut yang dikenakannya
dan yang dikenal oleh pihak lainnya.

68
Dalam hubungan antar-sukubangsa tempat-tempat umum menjadi penting,
karena para warga sukubangsa yang berbeda biasanya selalu bertemu di tempat-
tempat umum. Di tempat-tempat umum tersebut warga sukubangsa yang berbeda
bertemu untuk bekerja, berbelanja atau berjualan, melakukan kegiatan hiburan,
kegiatan-kegiatan sosial dan rekreasi atau kegiatan politik. Di tempat-tempat umum
batas-batas sukubangsa dapat dipertajam atau diperlonggar sesuai dengan tujuan
kegiatan dan kepentingan masing-masing warga sukubangsa yang bersangkutan.
Melalui saling hubungan di tempat-tempat umum warga dari sukubangsa-
sukubangsa yang bersangkutan mengembangkan stereotip dan prasangka
mengenai satu sama lainnya, tetapi melalui tempat-tempat umum ini juga stereotip
dan prasangka dapat menjadi kabur karena pedoman bertindak di tempat-tempat
umum tersebut bercorak akulturatif yang menolak penonjolan atribut-atribut
sukubangsa dari para pelakunya.

Walaupun kebudayaan di tempat-tempat umum itu mengikuti prinsip-prinsip


yang sama yaitu egalitarian dan tawar menawar, tetapi ciri-ciri dari egalitarian dan
tawar menawar itu tidak sama coraknya antara yang satu dengan yang lainnya.
Sehingga kebudayaan tempat-tempat umum itu sebenarnya hanya berlaku
setempat-setempat atau lokal. Ada tempat-tempat umum yang corak tawar
menawarnya ditandai oleh kekuatan sosial, kekuatan uang, atau kekuatan fisik. Ada
juga tempat-tempat umum yang cara-cara melakukan penawaran harus
menggunakan pola-pola kebudayaan masyarakat setempat yang mendominasi
tempat-tempat umum tersebut. Atau ada juga yang justru menggunakan bahasa dan
kebudayaan Melayu Pasar, karena memang tidak ada kebudayaan sukubangsa
yang mendominasinya.

Profesor Bruner (1974) menunjukkan bahwa ungkapan kesukubangsaan di


Indonesia sebagai dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya kebudayaan sukubangsa
yang dominan dalam masyarakat perkotaan setempat. Dengan menggunakan
contoh dari Bandung dan Medan, dia memperlihatkan bahwa kota Bandung dengan
kebudayaan Sunda yang dominan menyebabkan bahwa ungkapan-ungkapan
kesukubangsaan di tempat-tempat umum diwarnai oleh ungkapan kebudayaan
Sunda. sebaliknya di Medan, dimana tidak ada sesuatu sukubangsa yang
kebudayaannya mendominasi kehidupan masyarakat kota tersebut, ungkapan-

69
ungkapan kesukubangsaan dari warga masyarakat Medan dapat terungkap sesuai
sukubangsanya.

Tempat-tempat umum sebagai bagian dari wilayah administrasi pemerintahan,


secara formal diatur corak keteraturan dan ketertibannya oleh undang-undang yang
diberlakukan oleh pemerintah. Terutama diatur oleh pemerintah daerah setempat.
Walaupun demikian, pengaturan secara formal tersebut tidak mencakup cara-cara
para pelaku yang berasal dari berbagai golongan sukubangsa itu saling
berhubungan dengan sesamanya ataupun berhubungan dengan pelaku asal
golongan sukubangsa lainnya. Sehingga, corak dari kebudayaan di tempat-tempat
umum tersebut berkembang dan mantap sesuai dengan kebudayaan dari para
pelaku yang dari generasi ke generasi yang telah menggunakannya sebagai wadah
bagi interaksi-interaksi mereka.

Hubungan Antar-Sukubangsa

Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia dimana perbedaan


sukubangsa juga saling bertindihan dengan perbedaan ras, maka ciri-ciri ras yang
sebetulnya adalah ciri-ciri biologi menjadi mempunyai makna sebagai ciri-ciri sosial di
dalam hubungan antar-sukubangsa. Ciri-ciri fisik yang bermakna sosial ini menjadi
atribut-atribut atau simbol-simbol sukubangsa. Di tempat-tempat umum, yang
biasanya ada di daerah perkotaan, setiap orang Indonesia akan tahu bahwa
seseorang yang sedang dihadapinya di tempat itu adalah orang Jawa, Cina, Arab,
Irian, atau lainnya, dari penampilan fisik, aau setidak-tidaknya dari cara atau logat
berbicaranya.

Bila kita melihat sukubangsa sebagai golongan dan bukan sebagai sebuah
satuan kelompok monolitik, maka hubungan antar-sukubangsa adalah sama dengan
hubungan diantara warga dari sukubangsa-sukubangsa yang berbeda yang para
pelakunya menggunakan sukubangsa dan kebudayaan masing-masing sebagai
acuan dalam menilai dan dinilai. Dalam hubungan antar-sukubangsa, masing-masing
sukubangsa menciptakan dan memantapkan batas-batas sosial. Batas-batas sosial
antara satu sukubangsa dengan sukubangsa lainnya, yang menjadi batas-batas

70
sukubangsa yang membedakan satu sukubangsa dengan sukubangsa lainnya,
diciptakan dengan mengacu pada masing-masing kebudayaan sukubangsa.
Kebudayaan tersebut digunakan untuk menginterpretasi berbagai gejala yang ada
dalam diri mereka menurut lingkungan hidup masing-masing, yang mereka jadikan
sebagai atribut-atribut untuk menunjukkan identitas mereka yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Mereka juga mengaktifkan seperangkat unsur dari kebudayaan
mereka, yang mereka anggap sebagai atribut dari sukubangsa mereka yang berbeda
dari yang dipunyai oleh sukubangsa lainnya. Batas-batas sukubangsa ini berguna
dalam menunjukkan perbedaan antara mereka yang tergolong dalam satu
sukubangsa yang sama dengan mereka yang tergolong dalam satu sukubangsa
yang lain. Melalui batas-batas sukubangsa tersebut stereotip yang dipunyai oleh
masing-masing sukubangsa mengenai diri mereka satu sama lainnya dapat tetap
lestari. Karena, melalui dan di dalam stereotip inilah perbedaan-perbedaan
sukubangsa yang berbeda itu dapat terwujudkan.

Stereotip muncul karena adanya sistem-sistem penggolongan dalam


kebudayaan dan karena di dalam hubungan antar-sukubangsa ada upaya untuk
saling memahami ‘apa’ dan ‘siapa’ serta ‘mengapa’ pelaku yang mereka hadapi di
dalam interaksi, yang dapat dicocokkan dengan penggolongan yang ada dalam
kebudayaan, untuk dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman dalam interaksi,
yang terwujud sebagai tindakan-tindakan yang tepat dan masuk akal. Ciri-ciri atau
sifat-sifat masing-masing para pelaku yang berinteraksi mereka pahami sebagai
kebudayaan sukubangsa pelaku masing-masing. Pengetahuan mengenai
kebudayaan masing-masing tersebut diperoleh melalui pengalaman-pengalaman
perorangan dari berbagai interaksi yang telah terjadi, dan juga dari berbagai
informasi yang disampaikan oleh orang-orang yang mereka percayai kebenarannya.
Pengalaman-pengalaman perorangan tersebut adalah pengalarnan subyektif dari
pribadi-pribadi, dan karena itu, pengetahuan mengenai ciri-ciri atau sifat-sifat sesuatu
sukubangsa dan kebudayaannya tersebut adalah juga subyektif.

Contohnya, dalam pengetahuan Orang Indonesia pada umumnya Orang Cina


itu menguasai kehidupan ekonomi atau mereka adalah konglomerat, padahal yang
konglomerat itu hanyalah mereka yang dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas
ekonomi dan bisnis yang diberikan oleh para pejabat pemerintah. Sejumlah stereotip

71
biasanya diikuti oleh sejumlah prasangka, atau dugaan mengenai sesuatu pola
tindakan berdasarkan stereotip yang telah ada dan yang diyakini kebenarannya.
Contohnya, ekonomi Indonesia rusak karena orang Cina. Prasangka ini sesuai
dengan dan mengacu pada stereotip yang telah ada mengenai Orang Cina.

Sukubangsa, jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan, dan batas-batas


sukubangsa dengan berbagai stereotip yang dipunyainya adalah sesuatu yang tidak
dapat begitu saja dibuang dari kehidupan manusia. Karena setiap manusia dilahirkan
dan dibesarkan oleh dan dalam keluarganya, dan dengan menggunakan
kebudayaan sukubangsanya dia dijadikan manusia. Kebudayaan sukubangsa yang
menjadi pedoman bagi kehidupannya, yang merupakan pengetahuan dan
keyakinan-keyakinannya, terwujud sebagai getaran-getaran dan rangsangan-
rangsangan syaraf pada tingkat perorangan. Sehingga ungkapan-ungkapan
kesukubangsaan seringkali terwujud sebagai sentimen-sentimen yang penuh dengan
muatan emosi dan perasaan, dan yang karena itu kebenarannya ada dalam
subyektivitasnya, dan bertahan lama di dalam kehidupan manusia. Ungkapan-
ungkapan kesukubangsaan biasanya muncul dalam interaksi yang melibatkan
anggota sukubangsa lain, bila dalam struktur kegiatan dimana interaksi itu
berlangsung tidak mempunyai norma-norma yang ketat sanksi-sanksinya berkenaan
dengan peranan-peranan yang harus dijalankan oleh para pelakunya. Semakin
longgar norma-norma berikut sanksi-sanksinya akan semakin menonjol
kesukubangsaan dari para pelaku di dalam interaksi yang terwujud.

Sentimen kesukubangsaan dapat diaktifkan untuk menciptakan suatu


solidaritas sosial yang melibatkan warga sukubangsa yang bersangkutan untuk
dipertentangkan dengan warga dari sukubangsa lainnya, pada saat terjadinya
persaingan untuk memperebutkan sesuatu sumber rezeki dan pengalokasian
pendistribusiannya. atau untuk mempertahankan serta memperjuangkan kehormatan
sukubangsanya yang dianggap telah dirusak oleh pihak lawannya. Isyu mengenai
dinodainya kehormatan sukubangsa oleh sukubangsa lain bisa diaktifkan pada waktu
warga sesuatu sukubangsa merasa bahwa mereka telah diperlakukan tidak adil
dalam sesuatu penyelesaian pertengkaran, atau ‘aturan main’ yang berlaku telah
dimanipulasi oleh sukubangsa pihak lawannya, tidak sesuai dengan tradisi yang
berlaku, atau tidak ketat sanksi-sanksinya. Dalam kehidupan masyarakat majemuk

72
yang corak ‘aturan-aturan main’ yang berlaku dalam berbagai bidang kehidupan itu
longgar, bila terjadi persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya serta
pengalokasian pendistribusiannya diantara warga berbagai kelompok sukubangsa
maka biasanya batas-batas sukubangsa biasanya menjadi jelas dan tajam dan dapat
dilihat sebagai potensi-potensi konflik antar-sukubangsa. Potensi-potensi konflik
antar-sukubangsa belum tentu terwujud sebagai konflik. Sebuah konflik baru
terwujud bila ada pemicunya, yang biasanya dimulai oleh pihak warga sukubangsa
yang merasa dirugikan oleh sesuatu perbuatan yang tidak adil yang dilakukan oleh
pihak lawannya. Perbuatan merugikan secara tidak adil tersebut kemudian dilihat
dalam suatu kerangka yang lebih bias yang mengacu pada stereotip dan prasangka
yang dipunyai oleh para pelaku yang dirugikan. Konflik antar-sukubangsa yang
memakan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit jumlahnya yang terjadi antara
orang Dayak dengan orang Madura di Kalimantan Barat pada bulan Desember 1996
sampai dengan Februari 1997, dapat dilihat sebagai contohnya (Suparlan 1998a).

Pada saat perbedaan penguasaan atas bidang-bidang kegiatan ekonomi dan


politik tersebut mewujudkan adanya saling ketergantungan atau saling menghidupi
diantara kelompok-kelompok sukubangsa yang bersangkutan, maka hubungan
antar-sukubangsa akan tercipta dan arena-arena interaksi yang menjembatani
hubungan antar-sukubangsa menjadi mantap dan bahkan berkembang, sehingga
potensi-potensi konflik antar-sukubangsa yang mungkin akan terjadi dapat diredam.
Sebaliknya bila penguasaan atas bidang-bidang ekonomi dan politik serta
pengalokasian pendistribusiannya oleh sukubangsa-sukubangsa yang terlibat di
dalamnya itu terwujud sebagai persaingan untuk bidang-bidang yang sama serta
menghasilkan adanya penguasaan atau pendominasian oleh sesuatu sukubangsa
maka yang terwujud adalah penguatan batas-batas sukubangsa, stereotip dan
prasangka, dan kesukubangsaan. Kesukubangsaan dari kelompok sukubangsa yang
merasa terjejas, yang merasa secara tidak adil telah dikalahkan dalam persaingan,
akan sewaktu-waktu dengan mudah diaktifkan dan digalang dalam sesuatu bentuk
solidaritas sosial untuk berhadapan dalam konflik dengan sukubangsa lainnya yang
dominan tersebut. Konflik antar-sukubangsa juga dapat meledak sebagai akibat dari
suatu rentetan perasaan-perasaan tertekan yang meluas dan merata yang dirasakan
oleh warga sebuah kelompok sukubangsa yang merasa direndahkan martabatnya
atau berada dalam kedudukan terhina oleh perbuatan-perbuatan dari anggota-

73
anggota sukubangsa lainnya. Konflik antar-sukubangsa semacam ini biasanya
dimulai oleh mereka yang merasa kehilangan kehormatannya oleh sesuatu tindakan
warga sukubangsa lainnya yang tergolong sebagai musuh dalam hubungan antar-
sukubangsa yang berlaku setempat. Perasaan kehilangan kehormatan tersebut
biasanya dikembangkan sebagai kehilangan kehormatan kesukubangsaan dari
pelaku, dan dianggap sebagai puncak dari berbagai bentuk kehinaan serta
ketidakadilan yang mereka derita selama ini sebagaimana yang ada dan
berkembang secara mantap dalam stereotip sukubangsa mereka. Konflik antar-
sukubangsa semacam ini biasanya terwujud sebagai konflik fisik, dengan tujuan
menghancurkan pihak lawan atau musuhnya.

Dalam perspektif ini hubungan antar-sukubangsa dapat dilihat sebagai


hubungan antar-peranan dalam struktur-struktur kegiatan yang berlaku, dan sebagai
hubungan antar-peranan maka hubungan antar-sukubangsa sebetulnya adalah
hubungan kekuatan, atau lebih tepatnya hubungan kekuatan sosial.

Hubungan-hubungan pribadi dan sosial yang baik diantara warga yang


berbeda sukubangsanya dapat terwujud. Hubungan-hubungan baik semacam ini,
persahabatan atau perkawinan, dapat menjembatani perbedaan-perbedaan yang
dikukuhkan melalui batas-batas sosial dan batas-batas sukubangsa. Dalam corak
hubungan seperti ini, masing-masing pelaku pada satu pihak tetap mempertahankan
jatidiri atau identitas sukubangsanya sedangkan pada pihak lainnya menapikan
jatidiri sukubangsanya dan menggantikannya dengan jatidiri sukubangsa pihak
sahabat atau pasangannya atau menampilkan jatidiri yang baru sesuai dengan
struktur interaksi yang berlaku, yaitu sahabat atau istri/suami atau lokalitas tempat
kehidupannya berlangsung. Konteks dari struktur interaksi memainkan peranan yang
penting dalam turut menentukan keputusan penggunaan jatidiri, karena konteks
tersebut merupakan wadah dari adanya peranan-peranan. Kalau seseorang
mengatakan bahwa si A sahabatnya dalam bermain bridge, atau si A itu adalah
pemain bridge dan bukan warga sukubangsa X, maka konteks bermain bridge tidak
relevan bagi ditumbuhkannya jatidiri sukubangsa dan perbedaan sukubangsa.

Dalam interaksi diantara warga yang berbeda sukubangsanya, tidak


selamanya kesukubangsaan atau stereotip-stereotip yang dipunyai masing-masing

74
itu digunakan sebagai acuan dalam interaksi. Warga yang berbeda sukubangsanya
yang menjalankan peranan-peranan dalam arena interaksi nasional, misalnya di
kelas sebagai dosen dan mahasiswa, dapat menapikan stereotip-stereotip yang ada
karena dalam interaksi di kelas antara dosen dan mahasiswa penggunaan konsep
sukubangsa tidak relevan. Dengan demikian, tidak hanya dalam hubungan-
hubungan pribadi dimana batas-batas sosial dan sukubangsa itu dapat hilang atau
tidak diberlakukan, seperti dalam kasus sahabat bermain bridge, tetapi juga dalam
hubungan-hubungan yang struktur kegiatan-kegiatannya formal seperti hubungan
antara dosen dan mahasiswa di kelas.

Konflik antar-sukubangsa biasanya dimulai dengan konflik fisik antar-


perorangan yang berbeda sukubangsanya. Konflik biasanya terjadi di tempat umum,
atau tempat bertemunya warga dari berbagai sukubangsa yang berbeda. Konflik
tidak terjadi karena mereka itu berbeda sukubangsanya tetapi karena persaingan
untuk sumber rezeki atau sumberdaya yang terbatas dan/atau oleh kehormatan
jatidiri yang tercemar oleh pihak lawan. Kehormatan adalah juga sumberdaya sosial
dan budaya, karena kehormatan adalah acuan yang digunakan untuk menempatkan
seseorang dalam sesuatu jenjang peranan yang ada di dalam struktur hubungan
antar-sukubangsa yang berlaku setempat. Sebuah konflik dapat hanya terwujud
sebagai konflik perorangan, tetapi dapat juga terwujud sebagai sebuah konflik
sukubangsa. Sebuah konflik antar-sukubangsa biasanya terwujud pada waktu warga
sukubangsa yang bersangkutan merasa kehormatan jatidiri mereka itu tercemar oleh
perbuatan para warga sukubangsa lainnya.

Sukubangsa sebagai golongan sosial yang askriptif serta mempunyai corak


yang mendasar dan umum berkenaan dengan asal muasal (Barth, 1969 : 12-38),
yang digunakan untuk acuan jatidiri atau kesukubangsaan mempunyai muatan
keyakinan dan kehormatan. Keyakinan dan kehormatan yang ada dalam muatan
konsep sukubangsa ini dimantapkan melalui tradisi-tradisi yang ada dalam pranata-
pranata sosialnya, dan dipertajam atau diperkuat melalui dan dalam hubungan antar-
sukubangsa yang terwujud, dimana perbedaan antara kami dan mereka menjadi
lebih dipertegas (Suparlan, 1995a). Perbedaan antara kami dan mereka yang
ditandai oleh ciri-ciri fisik, atribut-atribut dan simbol-simbol. Penggunaan atribut-
atribut dan simbol-simbol tersebut dibarengi dengan dan diselimuti oleh konsep-

75
konsep mengenai kebenaran dan keagungan kebudayaannya serta kehormatan bagi
sukubangsa pendukung kebudayaan tersebut sebagai lawan dari keasoran dari
kebudayaan dan jatidiri warga sukubangsa pihak lawannya (Suparlan, 1995a), dalam
pembahasannya mengenai penggunaan simbol-simbol wayang yang digunakan oleh
Orang Jawa di Suriname dalam mengidentifikasi diri sebagai pendawa sebagai
lawan dan jatidiri Orang Creole yang buto atau raksasa dan Orang Hidustan yang
anuman atau monyet. Ungkapan ini dapat dinamakan sebagai ungkapan
etnosentrisme.

Dalam kasus Orang Jawa di Suriname tersebut di atas, penggolongan Orang


Creole sebagai raksasa atau Orang Hindustan sebagai monyet tidak selalu mereka
gunakan sebagai acuan dalam interaksi-interaksi yang mereka lakukan dengan
warga dari dua sukubangsa tersebut. Ungkapan merendahkan tersebut baru
terwujud pada waktu mereka itu kalah di dalam bersaing dalam kehidupan sosial,
ekonomi, dan politik dengan Orang Creole atau Orang Hindustan. Dengan kata lain
ungkapan etnosentrisme tersebut terwujud pada waktu posisi mereka (orang Jawa
Suriname) tersebut terjejas sebagai akibat dari interaksi yang mereka lakukan
dengan warga dua sukubangsa tersebut. Gejala seperti ini berlaku umum dalam
hubungan antar-sukubangsa.

Karena ciri-ciri kesukubangsaan yang etnosentrik seperti tersebut di atas, solidaritas


diantara anggota sesama sukubangsa dalam menentang dan memusuhi atau dalam
mendukung sesuatu golongan atau perorangan dengan mudah dapat digalang dan
dimantapkan. Terutama bila isyu yang digunakan untuk penggalangan tersebut
adalah mengenai kehormatan sukubangsa yang bersangkutan atau mengenai
tindakan-tindakan warga sukubangsa lainnya yang rnerendahkan martabat atau
yang merugikan secara sosial, ekonomi, dan politik. Terlebih lagi bila golongan yang
akan dijadikan sasaran kebencian atau musuh adalah golongan sukubangsa yang
tergolong minoritas, dan yang disertai pula dengan mantapnya stereotip serta
prasangka mengenai golongan minoritas tersebut, lihat perlakuan oleh warga dari
berbagai sukubangsa terhadap Orang Sakai di Riau (Supanlan, 1995b).

Konflik kekerasan antar-sukubangsa di Indonesia telah berulang kali terjadi


selama zaman Orde Baru. Baik konflik yang terjadi diantara sesama warga

76
sukubangsa ‘pribumi’, maupun yang terjadi antara golongan ‘pribumi’ dengan
golongan Cina. Baik konflik yang terjadi dalam skala kecil maupun dalam skala besar
dan nasional. Sebagian dari konflik-konflik kekerasan tersebut berupa konflik fisik
yang seimbang, yaitu saling menyerang dan menghancurkan, tetapi sebagian
lainnya adalah berupa penyerangan-penyerangan oleh satu pihak terhadap pihak
lainnya tanpa pihak yang diserang tersebut mampu mempertahankan diri. Pihak
yang diserang, biasanya golongan sukubangsa yang minoritas, seperti Orang Cina,
yang kedudukan sosial, politik, dan hukumnya tidak mantap dalam struktur sosial
masyarakat Indonesia. Walaupun secara ekonomi sebagian dari mereka itu secara
nasional dominan.

Konflik antar-sukubangsa biasanya dimulai oleh adanya isyu, disusul dengan


adanya kumpulan orang atau warga sukubangsa yang termakan oleh isyu tersebut.
Kumpulan orang ini dengan didahului oleh satu atau dua orang, yang biasanya juga
si penyebar isyu, memulai melakukan pemukulan, pelemparan batu, perampokan
(penjarahan), atau pengrusakan terhadap pihak yang diserang. Tindakan satu dua
orang tersebut diikuti oleh kerumunan tersebut tanpa terkendali lagi. Tidak dapat
dipungkiri bahwa konflik kekerasan antar-sukubangsa tersebut merugikan secara
fisik dan kejiwaan dari warga sukubangsa yang bersangkutan, dan juga merugikan
secara sosial, ekonomi, dan politik baik dalam skala lokal maupun nasional.

Kesimpulan

Dalam tulisan ini telah saya uraikan secara panjang lebar apa itu masyarakat
Indonesia yang majemuk atau bhinneka tunggal ika dengan fokus penjelasan pada
uraian mengenai berbagai permasalahan yang berkaitan dengan sukubangsa,
kesukubangsaan, dan hubungan antar-sukubangsa. Uraian yang telah disajikan
menekankan pada tujuan yang ingin dicapai yaitu agar pemahaman mengenai
kemajemukan Indonesia, sukubangsa-sukubangsa, dan hubungan antar-sukubangsa
serta berbagai dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan politiknya, dapat dipahami
secara komprehensif. Bersamaan dengan itu, juga diharapkan agar pemahaman
yang telah dicapai dapat digunakan secara operasional dalam upaya menghindarkan
kemungkinan-kemungkinan munculnya konflik antar-sukubangsa yang merugikan

77
kita semua, baik sebagai pribadi, masyarakat, maupun sebagai bangsa dan negara.
Pemahaman yang komprehensif sebagai dasar bagi menghindari konflik antar-
sukubangsa tersebut dapat kita mulai dari diri kita sendiri, dengan cara memeriksa
dan menilai sendiri stereotip-stereotip serta prasangka-prasangka sukubangsa yang
kita punyai yang bermuatan kebencian pada sesuatu golongan sukubangsa, dan
berupaya untuk menghilangkan atau merubahnya.

Sesungguhnya permasalahan masyarakat majemuk dan dinamika


kesukubangsaan yang ada di dalamnya jauh lebih kompleks daripada apa yang telah
saya sajikan dalam tulisan ini. Berbagai permasalahan yang patut dibahas tetapi
tidak dalam kesempatan ini adalah yang berkenaan corak sistem nasionalnya yang
konsosiasional dalam sistem demokrasi, seperti yang ada dalam kemajemukan
Suriname sampai dengan pertengahan tahun tujuhpuluhan (Suparlan, 1995), yang
cenderung untuk menjadi otoriter, militeristik, dan feodalistik, di dalam selimut
dengan label demokrasi, dan pendominasian kehidupan bermasyarakat yang
lazimnya dilakukan pemeritahnya dengan menggunakan kebudayaan nasional
dengan semboyan-semboyan persatuan dan kesatuan, dan munculnva dominasi
oleh sesuatu golongan sukubangsa mayoritas atau dominasi kebudayaan dari
sukubangsa mayoritas tersebut. Begitu juga berbagai permasalahan lainnya yang
muncul berkenaan dengan pendominasian oleh sistem nasional yang patut
diperhatikan adalah, hilangnya hak-hak budaya dari komuniti-komuniti sukubangsa,
hilangnya hak-hak adat atas wilayah-wilayah alam dan fisik yang mereka miliki
secara tradisional, upaya-upaya penyeragaman corak kebudayaan berbagai
sukubangsa yang menjadi warga dari sebuah masyarakat majemuk dengan cara
mengikuti dan hidup dengan menggunakan kebudayaan mayoritas yang dominan,
intrusi kebudayaan nasional ke dalam kebudayaan sukubangsa melalui digantinya
kebudayaan sukubangsa di dalam kehidupan keluarga dengan pedoman etika dan
moral dari kebudayaan nasional yang terfragmentasi dan sesuai dengan interpretasi
dari kebudayaan mayoritas yang dominan, munculnya berbagai sukubangsa yang
menjadi tergolong minoritas, yang digolongan secara sosial, budaya, ekonomi, dan
politik oleh pemerintah, walaupun menurut hukum legal yang berlaku secara
nasional, masyarakat majemuk tersebut tidak mengenal adanya golongan minoritas.
dan adanya pendiskriminasian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warga

78
negaranya yang tergolong minoritas, yang tanpa disadari telah secara hukum
mempunyai implikasi sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang luas.

Contoh terakhir tersebut di atas juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia


terhadap mereka yang tergolong sebagai Orang Cina. Mereka yang tergolong
sebagai Orang Cina yang diberi nama WNI keturunan, diberi KTP (Kartu Tanda
Penduduk) oleh pemerintah Indonesia dengan kode penomoran yang khusus, yaitu
diberi spasi atau titik diantara digit-digit nomor KTP. Mereka yang tergolong sebagai
Cina adalah yang mempunyai hubungan darah dan keturunan Cina, walaupun sudah
beberapa generasi hidup di Indonesia, sudah mengganti nama Cina mereka dengan
nama ‘Indonesia’ bahkan sudah beragama Islam, atau menjadi pegawai negeri.
Ironisnya, pemerintah Indonesia menggalakkan upaya pembauran (asimilasi)
golongan Cina untuk menjadi Indonesia, yang sebenarnya bertentangan dengan
pendiskriminasian tersebut. Tidak seharusnya sebuah pemerintahan nasional
mendiskriminasi warga negaranya sendiri berdasarkan atas ciri-ciri askriptif warga
negaranya tersebut. Sudah tidak zamannya lagi. Karena perbuatan seperti ini adalah
sama dengan perbuatan rasisme atau diskriminasi ras, seperti yang telah dilakukan
oleh pemerintahan Nazi Jerman dibawah kekuasaan Hitler. Untungnya pemerintahan
presiden B.J. Habibie segera mencabutnya dengan mengeluarkan Inpres No.
26/1998 baru-baru ini.

Berbagai permasalahan yang muncul dari tanggapan-tanggapan warga


masyarakat sukubangsa-sukubangsa yang hidup dalam sebuah masyarakat
majemuk terhadap berbagai situasi sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang mereka
hadapi sehari-hari juga patut diperhatikan. Berbagai tulisan yang lebih akhir seperti
yang di-edit oleh Judith Toland (1993) memperlihatkan bahwa kesukubangsaan dan
coraknya merupakan bentuk tanggapan yang muncul dari hubungan antara
sukubangsa dengan corak pendominasian sistem nasional yang menaungi dan
mempunyai kekuasaan memaksakan yang tertinggi di dalam masyarakat majemuk.
Dalam perspektif antropologi politik dan antropologi hukum, tulisan-tulisan dalam
buku ini menunjukkan berbagai implikasi politik dan hukum dari kesukubangsaan.

Sebagai akhir kata, mungkin dalam kesempatan yang lain kajian-kajian


mengenai masyarakat majemuk, sistem nasional, dan kesukubangsaan, patut

79
dikembangkan lebih lanjut dalam upaya untuk memahami diri kita sendiri, sebagai
orang Indonesia, dan dalam upaya mencari alternatif terbaik dalam memajukan
bangsa kita demi persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan yang telah
enyemangati para pemuda terpelajar sukubangsa-sukubangsa pribumi yang hidup
dalam penjajahan Belanda untuk meredam semangat kesukubangsaannya dan
sebaliknya membangkitkan dan mengembangkan semangat persatuan dan kesatuan
Indonesia, yaitu Indonesia yang merdeka, dalam Sumpah Pemuda 1928 di Jakarta.

Kepustakaan
Barth, Fredrik, 1969. “Introduction”. Dalam Redrik Barth (Editor), Ethnic Groups and
Bpundaries. Hal. 9-38. Boston: Little, Brown & Company.
Bruner, Edward M.., 1974. “The Expression of Ethnicity in Indonesia”. Dalam
Abner Cohen (Editor), Urban Ethnicity. Hal. 151-150. London: .
Tavistock
Furnival, J.S., 1944a. Netherlands India: A Study of Plural Economy. London:
Cambridge University Press.
_______ 1944b. ‘”Some Problems of Tropical Economy”. Dalam R. Hinden
(Editor), Fabian Colonial Economy. Hal. 167-171. London: Allen &
Unwin.
_______ 1948 Colonial Policy and Practice: Acomparative Study of Burma and
Netherlandas India. New York: University Press..
Suparlan, Parsudi,1998a. “Keanekaragaman dan Keanekaragaman Kebudayaan
Sukubangsa”. Makalah disdampaikan dalam Forum Komunikaswi
Transmigrasi APPDT Pendatang di Kabupaten Sambas, Kalimantan
Barat, Ditjen Transmigrasi, Dep Transmigrasi dan PPH, R.I.
Singkawang, 26-28 Agustus 1998.
________ 1998b “Keanekaragaman Sukubangsa dan Kebudayaan: Untuk dan
Dalam Kehidupan Bersama”. Seminar Nasional Kerukunan
Kehidupan Bangsa. Yayasan Bina Bangsa, 5 September 1998.
________ 1995a The Javanese In Surinam: Ethnicity in an ethnically plural .
. society Tempe, Arizona: SEA Program, Arizona State University.
________ 1995b Orang Sakai di Riau: Masyarakat terasing dalam masyarakat
Indonesia. Jakarta: Yayasan OBOR.

80
________ 1986 “ Kebudayaan dan Pembangunan”. Media IKA, vol.14, no. 11,
hal. 106-135. Jurusan Antropologi, U.I.
________ 1982 “Pengembangan Kebudayaan Indonesia”. Makalah disampaikan
kepada Direktur Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, Dep. P. dan K.
________ 1979“Ethnic Groups of Indonesia”. The Indonesian Quarterly, vol.7, no.2,
hal.55-75. CSIS, Jakarta.
Toland, Judith D. (Ed.)
1993 Ethnicity and the State: Political and Legal Series, vol.9.
London: Transaction.

81
10 Agama,
Kebudayaan,
Dan Sukubangsa
Masyarakat Majemuk Indonesia dan Sukubangsa

D
alam kuliah-kuliah terdahulu telah dijelaskan bahwa Indonesia adalah
sebuah masyarakat majemuk, yang keberadaannya baru terwujud secara
de jure dan de facto pada waktu Indonesia diproklamasikan sebagai
sebuah negara pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan sukubangsa-sukubangsa
di Indonesia telah ada sebelum adanya Indonesia. Masing-masing sukubangsa
mempunyai kebudayaan masing-rnasing yang berbeda satu dari lainnya, dan
masing-masing sukubangsa tersebut juga mempunyai wilayah tempat mereka hidup
dan berkembang biak, yang secara adat saling mereka akui sebagai wilayah masing-
masing. Batas-batas fisik dan alam membatasi sukubangsa yang satu dari yang
lainnya, dan batas-batas tersebut diperkuat dengan perbedaan ciri-ciri fisik dan
kebudayaan yang mereka punyai.

Masing-masing sukubangsa mempunyai kebudayaan sebagai pedoman bagi


kehidupan warga sukubangsanya yang operasional dengan lingkungan alam, fisik,
dan sosial mereka masing-masing. Kebudayan dan sukubangsa masing-masing
menjadikan warga sukubangsa yang bersangkutan sebagai manusia menurut
konsep kebudayaan sukubangsanya. Kebudayaan dan sukubangsa merupakan
konsep yang primordial atau yang utama dan pertama dalam kehidupan warga
sukubangsa yang bersangkutan. Karena mereka itu dilahirkan, dibesarkan, hidup,
dan meninggal sebagai manusia menurut konsep kebudayaan sukubangsanya.
Agama-agama tradisi besar, Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, yang dipeluk oleh

82
warga sukubangsa biasanya juga dipeluk secara menyeluruh oleh sukubangsa yang
bersangkutan, dan menjadi agama sukubangsa tersebut. Agama yang dipeluk oleh
sukubangsa tersebut menjadi kebudayaan dari sukubangsa tersebut.

Agama Sebagai Kebudayaan Sukubangsa

Agama, terutama agama tradisi besar atau agama wahyu adalah agama
universal atau agama yang ajarannya dapat diterima secara universal dan karena itu
dipeluk umat manusia secara universal. Tetapi ciri universal dari agama wahyu
tersebut terbatas hanya pada tingkat tekstual, atau agama sebagai teks suci. Pada
tingkat ini agama sebagai teks suci berlaku seragam di seluruh penjuru dunia,
karena isi teks suci dari agama tersebut adalah ajaran-ajaran suci mengenai
keyakinan keagamaan. Semua penganut agama Islam mengaku Al Qur’an sebagai
acuan utama keyakinan keagamaannya, dan hanya ada satu Al Qur’an yang berlaku
bagi umat Islam dimanapun dan kapanpun. Hal yang sama juga berlaku untuk
agama-agama tradisi besar lainnya (Katolik, Protestan, Yahudi, Hindu, Budha).

Tetapi pada waktu agama tersebut menjadi operasional dalam kehidupan


manusia, teks suci tersebut tidak dapat begitu saja digunakan dalam kehidupan yang
nyata. Ajaran-ajaran dari teks suci tersebut harus diinterpretasi dan dipahami oleh
para pemeluk dan calon pemeluknya untuk kemudian dijadikan pedoman bagi
kehidupannya dalam menghadapi lingkungan tempatnya hidup. Atau dengan kata-
kata lain ajaran-ajaran dari teks suci tersebut diinterpretasi dan dipahami untuk
kemudian dijadikan kebudayaan atau unsur yang tidak terpisahkan dari kebudayaan
para pemeluknya. Mengapa bisa demikian? Karena acuan bagi menginterpretasi
ajaran-ajaran dari teks suci adalah kebudayaan dari pemeluk atau calon
pemeluknya, dan karena menggunakan kebudayaannya maka pemeluk atau calon
pemeluk agama tersebut dapat memahaminya dan karena itu dapat
mengoperasionalkannya dalam kehidupan yang nyata (lihat: Suparlan 1981/1982).
Pernyataan ini memerlukan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian
kebudayaan, supaya tidak terjadi kesimpangsiuran pengertiannya.

83
Saya tidak melihat kebudayaan sebagaimana Profesor Koentjaraningrat
mendefinisikan kebudayaan, yang mencakup gagasan, kelakuan, dan hasil
kelakuan, dimana dalam pengertian ini segala sesuatu adalah kebudayaan, sehingga
hubungan antara gagasan dengan kelakuan dan dengan hasil kelakuan tidak dapat
dianalisa karena masing-masing satuan tersebut tidak berdiri sendiri tetapi
merupakan sebuah satuan yang namanya kebudayaan. Saya juga tidak melihat
kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, dan karya, karena di dalam kenyataan
kehidupan kita sebetulnya kita tidak menciptakan kebudayaan kita tetapi sebaliknya
kita diajari oleh orang tua, tetangga, dan warga masyarakat kita untuk mengetahui
dan meyakini kebudayaan kita dan menggunakannya dalam dalam kehidupan kita
sehari-hari. Bila kebudayaan yang dipunyai tidak cocok dengan lingkungan yang
dihadapi sehari-hari maka dilakukan perbaikan-perbaikan atau direvisi sehingga
cocok dengan lingkungannya, atau lingkungannya dirubah.

Saya telah menggunakan konsep kebudayaan yang berbeda dari dua konsep
tersebut di atas. Saya melihat kebudayaan sebagai ‘pedoman bagi kehidupan kita
sebagai manusia, yang isinya adalah konsep-konsep, teori-teori, dan metode-
metode, yang merupakan pengetahuan dan keyakinan kita, yang kita gunakan
secara selektif dalam menghadapai dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya
guna pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kita sebagai manusia’ (Iihat Suparlan 1986).
Agama, sebagai teks suci yang berisikan ajaran-ajaran mengenai keyakinan atau
pedoman bagi kehidupan manusia, untuk dapat operasional bagi kehidupan
pemeluknya akan harus diinterpretasi dan dipahami serta disesuaikan dengan
berbagai konsep, teori, dan metode yang ada dalam kebudayaan yang dipunyai oleh
pemeluk agama tersebut.

Karena kebudayaan itu dimiliki bersama oleh warga sebuah masyarakat yang
lokal, yaitu masyarakat sukubangsa, maka pada waktu sesuatu agama tradisi besar
yang universal itu menjadi operasional dalam kehidupan masyarakat lokal atau
sukubangsa tersebut terjadilah sejumlah perubahan dalam sejumlah ajarannya
terutama yang tidak hakiki atau yang bukan aqidah. Perubahan-perubahan yang
terjadi itu bercorak lokal karena adaptasi atau penyesuaian dengan lingkungan dan
kebudayaan lokal setempat. Yaitu sesuai dengan corak kebudayaan dari masyarakat
sukubangsa setempat (lihat : Geertz 1980, Suparlan 1995).

84
Dengan kata lain, pada waktu agama yang coraknya universal menjadi lokal,
maka terjadilah perubahan-perubahan dalam isi ajarannya, yaitu menjadi berisikan
ajaran-ajaran mengenai keyakinan yang bukan hanya universal tetapi juga lokal.
Yaitu, mencakup juga keyakinan bersama yang dipunyai oleh masyarakat
sukubangsa tersebut mengenai kebenaran yang mengacu pada kebudayaannya,
sebelum diterimanya agama tradisi besar sebagai agama mereka. Di satu pihak
sejumlah kebenaran yang ada dalam kebudayaannya berubah dan bersamaan
dengan itu di pihak lain, sejumlah ajaran dalam agama universal yang dianut
tersebut juga mengalami perubahan. Ungkapan ‘adat bersendi sara dan sara
bersendi kitabullah’ adalah contoh dari hasil proses interpretasi dan pemahaman
Orang Minangakabau dan Aceh mengenai posisi agama dalam kebudayaan mereka
yang dilandasi oleh prinsip matrilineal. Ungkapan tersebut tidak dikenal dalam
kehidupan Orang Jawa atau Sunda, karena sistem kekerabatan Orang Jawa atau
Sunda adalah bilateral atau parental Tetapi tidak berarti bahwa prinsip tersebut tidak
dikenal oleh Orang Jawa ataupun Orang Sunda atau oleh sukubangsa-sukubangsa
lainnya yang beragama Islam.

Pada waktu sebuah agama tradisi besar yang universal itu menjadi lokal atau
menjadi agama sukubangsa, maka terdapat variasi mengenai posisi agama yang
dipeluk masyarakat tersebut, yaitu posisinya dalam kebudayaan dan fungsinya
sebagai kebudayaan atau pedoman bagi kehidupan masyarakat sukubangsa yang
bersangkutan. Sejumlah masyarakat menempatkan agama yang dipeluknya sebagai
inti atau puncak kebudayaannya, sehingga ajaran agama tersebut terserap di hampir
keseluruhan unsur-unsur kebudayaan yang dipunyai oleh dan yang dijadikan
pedoman bagi kehidupan masyarakat tersebut dalam menghadapi lingkungannya.
Istilah kebudayan Islam yang dipunyai oleh masyarakat Minangkabau atau
masyarakat Aceh, atau yang dipunyai oleh masyarakat kauman di Jawa adalah
contoh dari corak agama yang menjadi kebudayaan lokal. Kebudayaan Islam Aceh
adalah lokal Aceh yang berbeda dari kebudayaan Islam Minangkabau atau
kebudayaan Islam dari kauman Jawa, walaupun ketiga kebudayaan tersebut
mempunyai ciri-ciri kesamaan yang mendasar karena inti kebudayaannya adalah
Islam.

85
Sedangkan dalam sejumlah masyarakat lainnya, agama yang diyakini oleh
masyarakat tersebut hanya fungsional dalam sejumlah unsur kebudayaannya
sedangkan unsur-unsur lain dari kebudayaan yang dipunyai masyarakat tersebut
terbebas dari pengaruh agama tersebut. Contohnya, pada Orang Batak yang
menganut prinsip keturunan yang patrilineal, dua orang berlainan jenis yang
mempunyai marga yang sama tidak diizinkan menikah walaupun hubungan darah
yang nyata diantara keduanya sudah tidak dapat dilacak atau sudah terlalu jauh
hubungannya. Sedangkan menurut ajaran Islam bila keduanya mempunyai
hubungan darah yang jauh maka sah perkawinannya. Konsep kawin sumbang
antara ajaran agama dengan konsep kawin sumbang menurut sistem kekerabatan
Batak tidak cocok satu dengan lainnya.

Pada waktu sebuah agama diterima sebagai kebudayaan oleh sebuah


masyarakat sukubangsa, maka pada waktu itu agama tersebut berfungsi sebagai inti
dari kebudayaan dari masyarakat sukubangsa tersebut. Besar kecilnya pengaruh
agama serta kuat atau lemahnya posisi yang dipunyai agama dalam inti kebudayaan
tersebut tergantung pada hasil interpretasi atas agama tersebut oleh para warga
masyarakat yang bersangkutan. Inti kebudayaan yang dalam antropologi dinamakan
sebagai worldview (pandangan hidup) berisikan pedoman moral dan etika yang
menyelimuti berbagai unsur kebudayaan. Pedoman moral dan etika ini pada waktu
digunakan dalam kehidupan yang nyata oleh para pendukung kebudayaannya
dinamakan ethos (etos).

ita mengenal istilah etos kerja, etos belajar, dsb., yang mengungkapkan corak
moral dan etika yang melandasi atau menjadi inti dari kegiatan kerja atau belajar dari
si pelaku. Pandangan hidup dan etos dalam bahasa sehari-hari sering kali
dinamakan nilai-nilai budaya, atau pedoman penilaian secara moral dan etika
menurut kebudayaan yang bersangkutan. Pada waktu sebuah agama yang dipeluk
oleh sebuah masyarakat hanya menekankan upacara formal keagamaan yang
diwajibkannya saja, sedangkan dalam kehidupan sehari-harinya tidak terwujud
menjadi patokan moral dan etika maka sebenarnya agama tersebut belum betul-
betul digunakan sebagai pedoman atau kebudayaan dari masyarakat tersebut.

86
Dampak dari diterimanya sebuah agama menjadi pedoman bagi kehidupan
masyarakat sukubangsa adalah diperkuatnya batas-batas perbedaan antara yang
suci dari yang kotor atau berdosa, dan antara kami yang percaya dan beriman
dengan mereka yang tidak percaya dan tidak beriman sesuai dengan keyakinan
keagamaan kami. Dampak ini terutama nampak terwujud pada orang-perorang atau
individu warga masyarakat yang hidup dalam sebuah masyarakat yang warganya
berbeda keyakinan agamanya. Pada tingkat orang perorang atau individu, agama
yang diyakini menjadi berisikan keyakinan-keyakinan mengenai kebenaran ajaran-
ajaran agama yang dipeluknya, dan kebenaran tersebut bisa bervariasi dari satu
individu ke individu lain dan dari satu kelompok ke kelompok lainnya.

Variasi-variasi tersebut terwujud karena adanya variasi dalam pengalaman-


pengalaman individual, interpretasi dan penggunaan atas ajaran yang berbeda yang
diyakininya dalam kehidupan yang nyata, dan variasi dari lingkungan-lingkungan
yang dihadapi oleh masing-masing individu. Pada tingkat individual, keyakinan
keagamaan bukan hanya merupakan kebudayaan atau pedoman bagi kehidupannya
tetapi juga merupakan atribut yang dapat diacu bagi jatidirinya dalam interaksi sosial.
Agama menjadi golongan sosial, yaitu gejala sosial yang digolongkan menurut corak
keyakinannya. Sehingga dalam sebuah masyarakat ada golongan sosial: santri,
abangan, fundamentalis, modernis, fanatik, atau moderat misalnya.

Sebagai sebuah keyakinan yang bercorak primordial dalam kehidupan


sukubangsa, keyakinan keagamaan yang sama yang dipunyai oleh dua sukubangsa
yang berbeda dapat mengendorkan atau bahkan meniadakan perbedaan
kesukubangsaan mereka. Sebaliknya, batas-batas perbedaan antara sukubangsa
yang satu dengan sukubangsa lainnya juga dapat menjadi dipertegas pada waktu
sukubangsa-sukubangsa tersebut berbeda keyakinan keagamaannya. Keyakinan
keagamaan dalam hal ini menjadi sama fungsinya dengan sukubangsa yaitu sebagai
acuan bagi jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan dari warga masyarakat
sukubangsa-sukubangsa yang bersangkutan. Ini dimungkinkan terjadi karena ciri-ciri
keyakinan keagamaan yang primordial yang sama dengan ciri-ciri sukubangsa dalam
kehidupan para warga yang bersangkutan.

87
Agama Sebagai Gejala Sosial dalam Hubungan Antar-Sukubangsa

Dalam kehidupan sosial, agama yang berfungsi sebagai atribut bagi jatidiri
menghasilkan golongan-golongan sosial berdasarkan atas corak keyakinan
keagamaan dan tingkat keahlian atau kedalaman pengetahuan keagamaannya.
Sehingga dalam kehidupan sosial dikenal adanya golongan-golongan orang
beragama yang menjadi lawan dari golongan kafir (yang tidak mempunyai atribut
agama yang dapat digunakan sebagai acuan jatidiri), Islam, Kristen dsb., dan dikenal
juga golongan santri, abangan, priyayi, atau, tokoh Islam dan pengikutnya, dsb.

Agama dalam contoh-contoh tersebut dapat dilihat sebagai hasil


penggolongan berdasarkan ciri-ciri tertentu. Berdasarkan ciri-cirinya tersebut
dihasilkan adanya golongan, dan berdasarkan penggunaan golongan sebagai atribut
jatidiri maka dihasilkanlah golongan individu dengan jatidiri keagamaan tertentu yang
dibedakan dari golongan individu dengan jatidiri keagamaan yang lain. Sejumlah
individu dengan jatidiri yang sama akan mewujudkan adanya kelompok atau
masyarakat yang dibedakan dari kelompok dengan jatidiri keagamaan yang lain.
Diantara berbagai kelompok sosial, kelompok atau masyarakat sukubangsa adalah
yang paling langgeng atau lestari jatidiri keagamaannya. Karena, kebudayaan
sukubangsa operasional melalui pranata-pranatanya yang menyerap dalam
keseluruhan kehidupan warga sukubangsa yang bersangkutan.

Jatidiri keagamaan muncul dan digunakan dalam interaksi yang corak


interaksi tersebut adalah keagamaan. Yaitu, sebuah interaksi diantara para pelaku
yang peranan-peranan yang dijalankannya ditentukan oleh jatidiri keagamaan.
Dalam sebuah interaksi, pada waktu seorang pelaku mengaktifkan sesuatu jatidiri
sebagai acuan bagi peranannya maka pihak pelaku lawannya akan mengimbanginya
untuk juga menggunakan jatidiri yang tergolong sama dengan jatidiri pelaku pertama,
terkecuali bila pelaku lawannya ini merasa berada dalam peranan yang terpojok atau
terhina maka dia akan tidak menggunakan jatidiri yang tergolong sama dengan
jatidiri pelaku yang pertama.

88
Sebagai acuan, maka jatidiri keagamaan dapat disimpan atau diaktifkan
sesuai dengan motivasi pelaku dan motivasi tersebut disesuaikan dengan corak
interaksi atau kondisi sosial dari masyarakat yang dihadapinya. Dalam hal ini jatidiri
keagamaan dapat dilihat sebagai variabel tergantung sedangkan motivasi pelaku
dan kondisi sosial atau corak interaksi adalah variabel bebasnya.

Sebagai variabel tergantung jatidiri keagamaan juga merupakan variabel


tergantung dari berbagai variabel lainnya, seperti variabel ekonomi dan politik.
Sehingga, jatidiri keagamaan dapat diaktifkan atau disimpan dalam berbagai arena
kegiatan ekonomi atau politik sesuai dengan motivasi yang dipunyai oleh pelaku dan
sesuai dengan perhitungan apakah penggunaan jatidiri keagamaan itu
menguntungkan atau tidak. Kegunaan dari jatidiri keagamaan, yang penuh dengan
muatan keyakinan atau perasaan dan emosi, adalah untuk menggalang solidaritas
dan untuk memusuhi atau merendahkan martabat pelaku lawannya. Keyakinan
mengenai kebenaran ajaran agama yang dipeluknya menghasilkan jatidiri yang
isinya adalah kebenaran ajaran agamanya dan dirinya adalah kebenaran itu sendiri,
sebagai lawan dari diri orang lain yang tidak benar atau salah.

Berbagai arena interaksi yang ada dalam kehidupan manusia sebagian


terbesar terwujud dalam struktur-struktur yang dihasilkan oleh dan dalam pranata-
pranata (institutions), atau sistem antar hubungan norma-norma dan peranan-
peranan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang dianggap penting oleh
masyarakatnya. Norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku dalam pranata-
pranata biasanva menekankan pentingnya hubungan sebab-akibat yang adil dari
tindakan-tindakan pemenuhan kebutuhan para pelakunva. Acuan dari rasa adil dari
norma-norma dan keberadaan serta fungsi peranan-peranan dalam pranata
dilandasi oleh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.

Walaupun dalam setiap hubungan peranan dalam pranata itu ada yang
tergolong sebagai yang menyuruh dan tergolong sebagai yang disuruh, tetapi
hubungan tidak seimbang ini dianggap sebagai adil dan beradab sesuai dengan nilai
budaya yang mengacu pada kebudayaan yang menjadi pedoman bagi kehidupan
mereka. Pada waktu seorang pelaku menggunakan jatidiri yang berbeda dari yang
seharusnya dalam hubungan antar peranan dalam sebuah pranata, maka sebetulnya

89
dia merobah struktur hubungan peranan yang berlaku dalam pranata tersebut, atau
dia menciptakan sebuah pranata baru yang mengimbangi pranata yang berlaku.

Dalam pranata pasar, pada waktu para pedagang kecil yang mengidentifikasi
jatidiri mereka sebagai orang Islam atau pengecer yang biasa berada dalam
hubungan tergantung pada pedagang grosir yang Kristen, yaitu sebagai pedagang
atau wiraswastawan Islam maka para pedagang kecil tersebut telah menyatakan
adanya kekuatan sosial yang mengacu pada penggolongan keagamaan, yaitu
golongan Islam sebagai lawan dari agamanya si grosir. Tatanan yang berlaku dalam
pranata pasar akan menjadi berubah, karena para pedagang eceran Islam dapat
menggalang solidaritas untuk menentang atau mengalahkan si grosir yang Kristen,
dan akan dapat menentukan berbagai bentuk perjanjian dagang yang lebih
menguntungkan bagi mereka.

Kekuatan sosial dari keyakinan keagamaan adalah pada pengaktifan emosi


keagamaan yang menghasilkan solidaritas sosial. Kekuatan sosial ini dilandasi oleh
prinsip jatidiri yang mendasar, yaitu yang berkenaan dengan asal muasal dan muara
kehidupm yang sama, yang bahkan universal. Sehingga seringkali jatidiri keagamaan
dinamakan sebagai jatidiri yang bercorak primordial, karena jatidiri ini diperoleh
sebagai hasil dari sosialisasi dab enkulturisasi yang pertama pada masa kanak-
kanak dan pengetahuan serta keyakinan yang utama karena yang tercakup di
dalamnya adalah ajaran mengenai moral dan etika yang harus dilakukannya sebagai
manusia untuk mempertahankan keberadaan dan kelangsungan kehidupannya
sebagai manusia.

Pengaktifan jatidiri keagamaan yang dapat digunakan untuk menggalang


solidaritas sosial biasanya efektif bila dilakukan oleh tokoh atau guru agama. Karena
pada hakekatnya yang primordial itu juga mencakup penggolongan sosial menurut
prinsip primordial, dimana tokoh atau guru agama adalah golongan sosial yang
primordial. Solidaritas sosial biasanya dilakukan untuk memenangkan sesuatu
sumber daya atau sumber rezeki atau mempertahankan apa yang telah dikuasai
dalam sesuatu interaksi yang bercorak persaingan atau konflik. Penggalangan
solidaritas sosial biasanya dilakukan dengan mengaktifkan kebenaran dan
keagungan agama yang dianut yang dirasakan terancam oleh pemeluk agama lain,

90
atau tokoh agama yang menjadi panutan itu sedang dihina atau dicelakakan oleh
pemeluk agama lainnya.

Isyu-isyu tersebut di atas dapat efektif karena agama yang diyakini dan
dijadikan atribut bagi jatidirinya adalah kebenaran multak dan bersifat keagungan
dan dirinya sendiri menjadi kebenaran dan keagungan itu sendiri. Sehingga
ancaman atau penghinaan bagi agamanya adalah sama dengan ancaman dan
penghinaan bagi dirinya. Silahkan perhatikan kasus tabloid Monitor beberapa tahun
yang lalu, sebagai contohnya. Tokoh agama, yang mempunyai kekuatan sosial
secara primordial mempunyai kemampuan untuk memanipulasi para pengikut atau
umatnya untuk digalang sebagai sebuah kekuatan sosial berdasarkan atas isyu-isyu
keagamaan untuk sesuatu tujuan sosial, ekonomi, atau politik tertentu. Pengaktifan
jatidiri keagamaan untuk solidaritas sosial dengan sesuatu tujuan tertentu, dan tujuan
tertentu tersebut berada dalam pranata atau pranata-pranata sosial inilah yang
menjadikan kemunculan berbagai permasalahan yang kita hadapi sekarang.

Kerusuhan Ambon, yang rneletus pada bulan Januari 1999, yang dimulai
dengan konflik antara pendatang Buton-Bugis-Makasar (BBM) yang Islam dengan
Orang Ambon yang Kristen di kota Ambon, telah bergeser menjadi konflik antara
orang Ambon yang Islam melawan orang Ambon yang Kristen yang melibatkan
seluruh penduduk pulau Ambon dan pulau-pulau di sekitarnya. Ini bisa terjadi karena
adanya issue yang beredar pada tgl. 19 Januari 1999, yang mengatakan bahwa
mesjid Al Fatah di kota Ambon telah dibakar oleh orang Kristen. Issue ini telah
membangkitkan kemarahan orang-orang Ambon Islam yang merasa simbol suci bagi
jatidiri mereka sebagai orang Islam telah diinjak-injak oleh orang Kristen.

*****
Kepustakaan

91
Geertz, Clifford., 1980, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Terjemahan dari The Religion of Java (oleh : Aswab Mahasin). Jakarta:
Pustaka Jaya.
Suparlan, Parsudi, 1979, ‘Ethnic Groups of Indonesia’. The Indonesian Quarterly,
Vol.2. No.2, CSIS, hal. 53-75.
—————,1981/1982, “Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama”. Dalam Parsudi
Suparlan (Ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial, dan Pengkajian
Masalah-masalah Agama. Jakarta : Puslitbang Lektur Agama, Balitbang
Agama. Hal. 75-91.
—————,1986, ‘Kebudayaan dan Pembangunan, Media Ika, Vol.14. No.11.
Jurusan Antropologi, U.I. hal. 106-135
—————,1995 The Javanese in Surinam : Ethnicity in an ethnically plural society.
Tempe, Arizona: Center for Southeast Asian Studies, Arizona State
University.

92
11 Politik Nasional,
Politik Tingkat Lokal
Politik

B
ailey (dalam Suparlan, 1989) melihat politik sebagai upaya-upaya untuk
menguasai kekuasaan berkenaan dengan kepentingan umum. Upaya-
upaya untuk menguasai kekuasaan tersebut yang mencakup pengertian
memperebutkan maupun mempertahankannya dalam masyarakat yang demokratis
dilakukan dengan cara kompetisi dan dalam masyarakat yang otoriter atau diktator
dilakukan dengan cara konflik.

Kompetisi mencakup pengertian adanya persaingan antara dua pihak atau


lebih untuk memperebutkan sesuatu kekuasaan atau kebijaksanaan umum dan
alokasi pendistribusiannya dengan cara menunjukkan keunggulan masing-masing
melalui dukungan umum. Dalam kompetisi ada aturan-aturan, yang mencakup juga
peraturan dan perundangan, yang adil dan beradab mengenai cara-cara
berkompetisi atau pengaturan alokasi pendistribusian kekuasaan. Disamping adanya
aturan-aturan, dalam kompetisi juga ada wasit dan juri, yang menilai keabsahan dari
tindakan-tindakan berkompetisi para pelaku. Bila salah satu pelaku atau pihak yang
berkompetisi melanggar aturan-aturan yang berlaku maka pelaku atau pihak tersebut
dikenakan sanksi hukum sesuai dengan aturan-aturan tersebut.

Dalam masyarakat yang otoriter atau diktator, upaya-upaya menguasai


kekuasaan berkenaan dengan kepentingan umum dilakukan dengan cara konflik,
yaitu menghancurkan pelaku atau pihak lawan dengan cara kekerasan. Sehingga
pelaku atau pihak lawan yang menjadi pesaing atau kompetitor tersebut berada
dalam keadaan lemah atau bahkan hancur sehingga tidak seimbang
kedudukannyasebagai pesaing dalam upaya-upaya perebutan kekuasaan atau
dalam kebijaksanaan berkenaan dengan kepentingan umum.

93
Tulang punggung kekuasaan dalam masyarakat otoriter atau diktator adalah
militer dan polisi, yang juga turut berperan dalam politik, yang dalam upaya
memperebutkan ataupun mempertahankan kekuasaan dan kebijaksanaan umum
tersebut, digunakan oleh sesuatu pihak untuk menghancurkan secara fisik
kemampuan bersaing dari fihak lawan. Sedangkan dalam masyarakat demokratis,
militer dan polisi tidak turut berperan dalam politik. Artinya, mereka tidak berperan
dalam politik sebagai militer atau polisi, tetapi dapat berperan dalam politik sebagai
orang sipil dengan menanggalkan jatidiri militer dan polisi mereka. Karena, dalam
masyarakat demokrasi, militer dan polisi mempunyai peran-peran fungsional yang
melayani kepentingan masyarakat. Sedangkan dalam masyarakat otoriter atau
diktator, militer dan polisi adalah peran-peran fungsional untuk menguasai
masyarakat agar militer dan polisi dilayani oleh masyarakat.

Pengertian politik, seperti tersebut di atas, menuntut penjelasan mengenai


proses-prosesnya secara lebih akurat. Untuk itu Bailey telah mengembangkan
konsep-konsep operasional yang mencakup lapangan (field) dan arena (arena)
politik, kekuatan atau kekuasaan (power) dan kepemimpinan (leadership),
keabsahan (legitimacy), ancaman (threat) dan koersi (coersion), bujukan atau
suapan (bribery), dan dukungan (support) dari para pengikut dan umum. Sebuah
kegiatan politik selalu terwujud secara aktual sebagai proses-proses yang ada dalam
kehidupan sebuah masyarakat. Proses-proses yang aktual tersebut tersebut sebagai
sebuah bidang atau lapangan politik yang dapat dilihat sebagai merupakan sebuah
kegiatan tersendiri yang berbeda coraknya dari kegiatan-kegiatan lainnya dalam
kehidupan masyarakat tersebut.

Lapangan politik tersebut dapat dilihat sebagai sebuah arena politik atau
tempat pertarungan para pemain politik untuk memperebutkan hadiah-hadiahnya
bagi yang memenangkan pertarungan tersebut. Pertarungan politik mengikuti aturan-
aturan (main) yang dipimpin oleh wasit dan dinilai oleh juri dan disaksikan oleh para
penonton. Mirip dengan sebuah pertandingan olahraga, pertandingan sepakbola
misalnya. Masing-masing pemain politik dalam arena tersebut harus mampu
menunjukkan kekuatannya, yang untuk itu diperlukan berbagai program, rencana,

94
dan strategi serta pelaksanaan strategi-strategi untuk mengalahkan lawan dengan
cara memperoleh dukungan dari pengikut dan umum yang menjadi penonton.

Dalam strategi-strateginya, kepemimpinan dari tim yang bertanding atau


bertarung dalam arena politik harus mampu menunjukkan kelebihan-kelebihan
masing-masing. Baik kelebihan-kelebihan secara sosial dan budaya serta moral,
maupun kelebihan-kelebihan dalam menarik simpati penonton atau umum yang
terlibat dalam pertarungan di arena politik tersebut. Untuk mencapai keberhasilan
dalam menunjukkan kelebihan-kelebihan tersebut para pemimpin tim politik biasanya
mengaktifkan jargon-jargon mengenai keabsahan apa yang mereka lakukan,
walaupun di balik atau dibelakang jargon-jargon tersebut para pelaku atau pemain
politik tersebut melakukan berbagai bentuk ancaman dan bujukan serta suapan.
Kesemua tindakan tersebut merupakan sebuah skema besar dari strategi-strategi
untuk memperoleh dukungan dari penonton atau umum bagi kebijaksanaan-
kebijaksanaan politik tim yang bersangkutan.

Masyarakat Majemuk dan Politik

Sebagaimana telah dijelaskan dalam kuliah-kuliah terdahulu, Indonesia


adalah sebuah masyarakat majemuk. Yang keberadaan dan keberlangsungannya
sebagai masyarakat majemuk telah dilakukan oleh sistem nasional atau pemerintah.
Sama halnya dengan masyarakat-masyarakat majemuk lainnya. keberadaan
masyarakat negara Indonesia adalah karena sukubangsa-sukubangsa yang tercakup
dalam masyarakat Hindia Belanda telah dipersatukan secara sukarela atau secara
paksa oleh sistem nasional Indonesia. Begitu juga keberlangsungannya sebagai
masyarakat-negara dan sebagai bangsa, Indonesia juga menggunakan cara-cara
secara sukarela maupun secara paksa dalam memperoleh dukungan dari warga
masyarakatnya yang merupakan warga sukubangsa-sukubangsa dan masyarakat-
masyarakat lokal.

Setuju atau tidak setuju, sependapat atau tidak sependapat, warga


masyarakat sukubangsa-sukubangsa dan masyarakat-masyarakat lokal adalah
warga masyarakat dan negara Indonesia. Setuju atau tidak setuju, sependapat atau
tidak sependapat, mereka harus mengakui keabsahan dan keberadaan dan

95
kekuasaan politik yang dipunyai oleh pemerintah yang berada di atas kekuasaan
politik dari masyarakat-masyarakat sukubangsa dan lokal. Kekuasaan politik yang
didukung oleh aturan-aturan hukum dan pranata-pranata hukum yang mempunyai
kekuatan yang sah ataupun tidak sah untuk memberikan sanksi-sanksi bagi yang
bertentangan dengan atau melanggar ketentuan yang berlaku yang dibuat oleh
pemerintah.

Dalam masyarakat majemuk, seperti yang juga terjadi di Indonesia, ciri politik
yang utama dalam kehidupan masyarakatnya adalah persaingan dan pertentangan
antara sistem nasional (kepentingan pemerintah) dengan sistem sukubangsa
(kepentingan masyarakat sukubangsa) dalam memperebutkan sumber-sumber daya
yang berharga dan terbatas jumlahnya serta alokasi pendistribusiannya. Sumber-
sumber daya tersebut mencakup jabatan-jabatan pada tingkat nasional maupun lokal
berkenaan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum berkenaan dengan
kepentingan umum secara nasional maupun secara lokal atau sukubangsa.
Hubungan dinamik secara politik antara pemerintah (sistem nasional) dengan
sukubangsa (sistem lokal) dapat dilihat sebagai, kerjasama atau saling
ketergantungan, persaingan dan pertentangan antara politik nasional dengan politik
lokal. Hubungan antara politik nasional dengan politik lokal bertemu pada politik
tingkat lokal, yaitu proses-proses politik yang terwujud dalam arena-arena politik
pada masyarakat lokal: propinsi, kabupaten, kecamatan dan kelurahan atau desa.
Hubungan dinamik antara politik nasional dan politik lokal yang terwujud sebagai
politik tingkat lokal menunjukkan bahwa adanya adu kekuatan diantara dua pihak
tersebut untuk dapat mendominasi arena-arena politik pada masing-masing tingkat
lokal. Semakin kuat politik nasional dalam arena politik lokal akan semakin hilang
kekuatan politik lokal yang terwujud sebagai ciri-ciri kesukubangsaan dan jatidiri
masyarakat lokal yang ada setempat.

Politik Nasional

Dalam masyarakat majemuk, sistem nasional merupakan sebuah kekuatan


politik yang jabatan-jabatan dalam pranata-pranata yang ada dalam sistem nasional
tersebut berfungsi untuk menjamin kelestarian dan berkembangnya kekuatan posisi
sistem nasional dalam berhadapan dengan politik dan masyarakat sukubangsa-
sukubangsa setempat. Dalam kehidupan politik masyarakat majemuk, hubungan

96
sistem nasional dengan masyarakat sukubangsa-sukubangsa yang tercakup di
dalamnya adalah hubungan persaingan kekuatan. Semakin kuat sistem nasional
akan semakin lemah kekuatan politik masyarakat-masyarakat sukubangsa, dan
sebaliknya semakin lemah kekuatan politik sistem nasional akan semakin kuat posisi
masyarakat sukubangsa-sukubangsa yang tercakup dalam masyarakat majemuk
tersebut.

Politik nasional, sebagaimana dikenal dalam zaman pemerintahan presiden


Sukarno sejak kembali ke UUD 1945 pada tahun 1957 dan presiden Soeharto
dengan Orde Barunya selama 32 tahun, menunjukkan upaya-upaya memperkuat
sistem nasional atau pemerintah dengan menggunakan kekuatan militer dan polisi,
lebih-lebih dalam zaman kekuasaan pemerintahan presiden Soeharto. Polisi menjadi
bagian dari kesatuan ABRI atau militer Indonesia, dengan kebudayaan dan atribut-
atribut militer, dan ABRI mempunyai kewenangan yang sah sebagai kekuatan sosial
dan politik yang dibarengi dengan kekuatan hukum dalam berbagai masalah-
masalah sosial, ekonomi, dan politik.

Politik nasional, dalam masyarakat majemuk manapun, menekankan


berlakunya nilai-nilai dan aturan-aturan yang seragam yang meniadakan
keanekaragaman yang ada dalam masyararakatnya yang majemuk karena adanya
keanekaragaman kebudayaan dari sukubangsa-sukubangsanya. Penyeragaman
dilakukan untuk meniadakan perbedaan atau penentangan atas kebijaksanaan-
kebijaksanaanya, yang antara lain dilakukan dengan penyeragaman suara
pendukung di parlemen (DPR) dan menjadikan DPR tidak mempunyai kekuasaan
untuk rnenyuarakan oposisi terhadap pemerintah atau menentang pemerintah, dan
menekankan pentingnya kesepakatan sesuai kehendak pemerintah dengan melalui
proses musyawarah. Bila musyawarah tidak efektif ada mekanisme kontrol lainnya,
yaitu melalui sensor yang dikuasai oleh pemerintah melalui Departemen Penerangan
dan oleh ABRI. Pemerintah juga menjadikan kekuatan legislatif menjadi bagian dari
kekuatan eksekutif sehingga fungsi-fungsi kontrol dari kekuatan badan-badan
legislatif tersebut hilang, dan karena itu pemerintah dapat berbuat apapun untuk
memenangkan kebijaksanaan-kebijaksanaan politiknya berkenaan dengan
penguasaan atas sumber-sumber daya yang seharusnya untuk kepentingan umum

97
menjadi untuk kepentingan pemerintah atau oknum-oknumnya atas nama
pemerintah.

Politik nasional seperti tersebut di atas telah secara langsung atau tidak
langsung telah merugikan keberadaan dari keberlangsungan kehidupan sukubangsa
sebagai sebuah kategori sosial khusus, terutama keberlangsungan jatidiri
sukubangsanya. Keberlangsungan masyarakat-masyarakat sukubangsa terasa
menjadi nyata karena berbagai hak berkenaan dengan wilayah dan segala isinya
yang secara budaya adalah hak mereka masing-masing, sebagai hak adat telah
dikuasai oleh pemerintah. Berbagai jabatan politik pada tingkat lokal ditentukan oleh
pemerintah, sehingga politik pada tingkat lokal adalah pendukung dari politik
nasional pemerintah.

Secara ekonomi, yaitu penguasaan atas sumber-sumber daya berharga dan


alokasi pendistribusiannya secara politik tidak lagi dipunyai oleh masyarakat-
masyarakat lokal sukubangsa tetapi dipunyai oleh pemerintah nasional Indonesia.
Orientasi kehidupan dan nilai-nilai budaya tidak lagi mengacu pada dan bagi
kejayaan kebudayaan sukubangsa masing-masing tetapi menjadi memuja sistem
nasional dan kebudayaan nasionalnya. Golongan sukubangsa Jawa yang secara
mayoritas dan kebudayaan adalah dominan, telah sadar atau tidak sadar
mendominasi corak politik dan kebijaksanaan-kebijaksanaan dari pemerintah, dan
mewarnai corak pemerintahan atau sistem nasional sebagai bercorak Jawa. Corak
Jawa tersebut telah dimungkinkan terjadi karena adanya pemusatan kekuasaan
sistem nasional yang otoriter yang sadar atau tidak sadar telah mengembangkan
mekanisme kekuasaan politik berdasarkan atas prinsip kekerabatan (nepotisme) dan
kolusi. Kedua unsur tersebut telah menyebahkan berkembang biaknya korupsi, dan
korupsi memproduksi kolusi dan nepotisme.

Kekuatan sosial dan politik secara nasional yang dipunyai oleh sistem
nasional dikuatkan pembenaran dan pengesahannya melalui produk-produk hukum,
yang merupakan produksi monopoli pemerintah. Sehingga, kebijaksanaan-
kebijaksanaan politik dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan pada
umumnya yang sebenarnya tidak adil dan tidak beradab dibenarkan sebagai sesuatu
yang adil dan beradab menurut pemerintah melalui ketentuan-ketentuan hukum yang
dibuatnya.

98
12 Hukum dan Adat:
Keadilan

Masyarakat dan Keteraturan Sosial

M
asyarakat manusia dimanapun dan kapanpun, sebagai sebuah satuan
kehidupan harus mampu memanfaatkan berbagai sumberdaya yang
terdapat dalam lingkungannya. Untuk itu, masyarakat manusia
dimanapun dan kapanpun dengan melalui kebudayaan dan pranata-pranatanya
mendorong warga masyarakatnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang produktif
sehingga mereka itu dapat menghidupi diri mereka masing-masing dan keluarganya,
kelompoknya serta masyarakatnya.

Pranata-pranata yang mendorong kegiatan-kegiatan produktivitas untuk dapat


rnemenuhi kebutuhan-kebutuhan biologi didukung oleh pranata-pranata yang
memenuhi kebutuhan sosial, terutama keteraturan sosial. Keteraturan sosial
dibutuhkan untuk menjamin bahwa mereka yang memproduksi akan memperoleh
haknya atas hasil produksi sesuai dengan tenaga, pikiran dan modal yang telah
mereka keluarkan untuk menghasilkan produk-produk yang berguna.

Keteraturan sosial terwujud melalui adanya berbagai hubungan sosial diantara


warga masyarakat melalui kelompok-kelompok sosia, yang menghasilkan kebiasaan-
kebiasaan berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban individual dan sosial.
Kebiasaan yang berisikan aturan-aturan mengenai hak-hak dan kewajiban individual
dan sosial tersebut dapat dilihat sebagai merupakan serangkaian pedoman
berdasarkan atas persetujuan bersama mengenai tindakan-tindakan sosial yang

99
tidak merugikan orang lain, sehingga terwujud adanya keteraturan sosial dalam
masyarakat tersebut. Aturan-aturan sosial yang telah menjadi kebiasaan ini biasanya
dinamakan konvensi sosial atau adat.

Adat

Adat adalah kebiasaan-kebiasaan sosial yang secara tradisi berlaku dalam


sebuah masyarakat. Adat fungsional dalam masyarakat karena adat tersebut
berisikan ataran-aturan yang acuannya adalah pedoman etika dan moral, atau nilai-
nilai budaya, yang dipunyai oleh masyarakat tersebut. Adat yang berlaku dalam
sesuatu masyarakat tidak berubah atau lestari selama masyarakat tersebut masih
berpegang pada pedoman etika dan moral bagi kehidupan mereka. Karena itu, adat
yang berlaku dalam sebuah masyarakat biasanya telah ada selama beberapa
generasi dalam kehidupan masyarakat tersebut. Sebuah adat dapat lestari selama
beberapa generasi karena pedoman moral dan etika yang berlaku dalam masyarakat
tersebut tidak mengalami perubahan. Jadi, bila sebuah masyarakat berubah nilai-
nilai budaya atau pedoman etika dan moralnya, maka akan berubah pula isi dan
aturan-aturan yang ada dalam adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

Seringkali kata adat ditambah dengan kata lain, menjadi adat istiadat yang
artinya adalah sama dengan kata adat itu sendiri, yaitu adat yang teradatkan atau
adat yang sudah menjadi tradisi yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Adat
adalah sebuah konsep yang pengertiannya dan fungsinya berlaku umum, yaitu untuk
semua kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan
untuk adat yang berlaku khusus biasanya ditambahkan istilah khusus yang
rnencerminkan makna dan peristiwa khusus tersebut. Sehingga ada istilah-istilah
adat perkawinan, adat sabung ayam, atau hukum adat.

Hukum Adat

Hukum adat adalah suatu adat yang berisikan aturan-aturan berikut sanksi-
sanksinya berkenaan dengan pelarangan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang
melanggar atau mnengambil hak orang lain atau merugikan masyarakat yang

100
bersangkutan. Hukum adat, sebagai sebuah adat mengenai hukum, berfungsi untuk
menjaga keteraturan sosial dalam masyarakat dan kelestarian masyarakat tersebut
dari gangguan-gangguan yang merusakkannya dari perbuatan-perbuatan benalu
atau merugikan atas hak-hak warganya dan masyarakatnya. Hukum adat dapat
terwujud sebagai hukum yang berlaku lisan yaitu secara adat, ataupun terwujud
sebagai hukum tertulis karena telah dikodifikasi. Hukum Adat Indonesia, misalnya
adalah hasil kodifikasi dari hukum-hukum adat lisan yang berlaku dalam masyarakat-
masyarakat sukubangsa di Indonesia yang dikumpulkan dan dikodifikasi oleh
pemerintah jajahan Hindia Belanda.

Sebuah hukum adat yang telah dikodifikasi menyajikan sejumlah aturan-


aturan formal atau mengenai tindakan-tindakan yang tidak dibenarkan secara formal,
penegakan prosedur-prosedur dan aturan-aturan hukum tersebut, dan hukuman bagi
mereka yang melanggar aturan-aturan tersebut. Pada dasarnya hukum adat adalah
sama dengan hukum Anglo Saxon (common law) yang berbeda dari hukum Romawi
(seperti Hukum Nasional Indonesia). Hanya bedanya, hukum adat berdasarkan atas
adat istiadat yang ada sedangkan hukum Anglo Saxon dibuat berdasarkan atas
keadilan untuk memenuhi kebutuhan bagi terciptanya keteraturan sosial dalam
masyarakat umum.

Aturan-aturan yang ada dalam hukum adat dari sukubangsa-sukubangsa di


Indonesia utamanya berisikan hukuman dalam bentuk mengganti rugi atau
membayar denda oleh si pelanggar atas pelanggaran terhadap aturan-aturannya.
Pembayaran denda biasanya tidak hanya ditanggung oleh yang bersangkutan tetapi
juga oleh keluarga dan kelompok kerabatnya. Dalam keadaan dimana yang
bersangkutan didakwa melakukan pelanggaran berat, yaitu membunuh anggota
keluarga atau sesama warga masyarakatnya atau melakukan perbuatan yang
dianggap akan menghancurkan tatanan kehidupan masyarakatnya, maka hukuman
yang terberat adalah diusir dari masyarakatnya., dan bila masih terlihat dalam
lingkungan masyarakat tersebut dia harus dibunuh. Dengan cara ini, hukum adat
fungsional dalam menegakkan keteraturan moral, dan keteraturan moral mendorong
terwujudnya keteraturan sosial, dan keteraturan sosial mendorong produktivitas bagi
kesejahteraan hidup warga masyarakat tersebut.

101
Hukum

Hukum adalah sebuah sistem standarisasi norma-norma untuk mengatur


tindakan-tindakan warga masyarakat, yang dibakukan secara formal sebagai alat
untuk tujuan pengendalian sosial. Aturan-aturan dalam hukum harus diinterpretasi,
dan diberlakukan secara paksa melalui kekuatan resmi dalam masyarakat, yaitu
melalui kewenangan dari kekuatan pranata-pranata hukum dan penegakan hukum.
Jadi berbeda dengan hukum adat yang landasan kekuatan moral dan sanksi-
sanksinya adalah pada adat yang berlaku dalam masyarakat setempat.

Di dunia ini ada dua macam hukum, yaitu hukum Romawi yang landasan
pembuatannya adalah pemikiran filsafat mengenai hakekat manusia dan hukum
Anglo Saxon yang pembuatannya didasarkan atas konvensi-konvensi sosial
mengenai keadilan dan keteraturan sosial yang berlaku umum dalam masyarakat.
Keadilan adalah ukuran moral utama dalam kehidupan masyarakat. Keadilan dalam
aturan-aturan hukum adalah keadilan menurut perspektif pemerintah. Karena hukum,
berbeda dari adat, dibuat dan dibakukan oleh pemerintah untuk menjaga keteraturan
masyarakat negara yang bersangkutan, yang secara implisit mencakup juga
kepentingan pemerintah dan pejabat-pejabatnya. Keadilan dalam aturan-aturan
hukum terletak dalam kata-kata yang menuntut interpretasi dan menuntut
kemampuan menginterpretasi aturan-aturan hukum tersebut untuk memenangkan
sesuatu perkara.

Karena itu dalam penegakan keadilan secara hukum ada unsur-unsur proses
hukum yang wajar (due process), penuntut hukum atas kesalahan-kesalahan
terdakwa (jaksa), pembela atau pengacara bagi terdakwa, dan hakim yang
memimpin pengadilan untuk menentukan kesalahan, dan besar serta kecilnya
terdakwa akan dijatuhi hukuman sesuai dengan kesalahannya yang sesuai dengan
aturan-aturan hukum yang berlaku. Aturan-aturan yang ada dalam hukum berkenaan

102
dengan pelanggaran yang merugikan hak-hak warga dan masyarakat (termasuk
pemerintah) menekankan pada sanksi hukuman badan. Hukuman badan dalam
bentuk dipenjara, yang sebenarnya adalah pengasingan bagi orang yang merusak
tatanan kehidupan masyarakat dan kehidupan warga masyarakat, disamping
menyadarkan si terhukum untuk tidak melakukan ulang perbuatan kejahatannya.

Diantara perangkat hukum dalam upaya penegakan hukum dalam masyarakat


adalah polisi. Fungsi polisi adalah sebagai penegak hukum dan sebagai hukum itu
sendiri. Dalam posisinya sebagai penegak hukum, tugas polisi adalah mencegah
terjadinya kejahatan dan menangkap penjahat. Penjahat ditangkap untuk diperiksa
kejahatannya dan hasil pemeriksaan tersebut didokumentasi sesuai ketentuan
aturan hukum yang berlaku, untuk kemudian diserahkan kepada kantor kejaksaan
yang akan menunjuk petugas kejaksaan sebagai penuntut atas kejahatan-kejahatan
terdakwa. Dalam tugasnya polisi juga bertindak sebagai hukum, yaitu melakukan
kebijaksanaan hukum untuk kepentingan umum, sehingga kerugian material dan jiwa
raga warga masyarakat dapat dihindari. Dalam posisinya sebagai hukum, polisi
melakukan diskresi. Inti dari tujuan tindakan diskresi adalah upaya pencegahan
kejahatan atau perbuatan yang merugikan kepentingan umum. Pada waktu polisi
melakukan diskresi, dia dibenarkan untuk bertindak yang bertentangan dengan
aturan-aturan hukum yang berlaku.

Hukum Dalam Masyarakat Majemuk

Dalam masarakat majemuk dikenal adanya hukum nasional, yaitu aturan-


aturan hukum yang diberlakukan secara nasional bagi seluruh warga masyarakat
tanpa membedakan golongan sosial dan sukubangsa atau keyakinan agamanya.
Disamping itu, dalam masyarakat majemuk juga dikenal adanya hukum adat yang
berlaku dalam masyarakat sukubangsa yang bersangkutan. Dalam masyarakat
majemuk Indonesia, karena penguatan sistem nasional yang bertujuan terciptanya
kesatuan bangsa, maka yang ditekankan adalah diberlakukannya aturan-aturan
hukum. Sedangkan hukum adat diperlemah dengan cara tidak mengakuinya. atau
kalau pemerintah mengakui keberadaan dan fungsi hukum adat biasanya kalau
sudah dalam keadaan terpaksa. Keterpaksaan karena adanya kekuatan sosial dari

103
warga masyarakat sukubangsa yang bersangkutan untuk secara radikal menolak
diberlakukannya hukum nasional untuk sesuatu kasus yang dapat diselesaikan
secara hukum adat.
Dalam masyarakat majemuk pertentangan antara hukum nasional dan hukum
adat biasa terjadi. Pertentangan ini disebabkan oleh isi aturan-aturan yang ada
dalam hukum nasional, yang biasanya berorientasi pada dan untuk kepentingan
pemerintah sebagai kekuatan pemersatu, dan penekanannya pada hukum badan
bagi para pelanggarnya. Sedangkan hukum adat berorientasi pada dan untuk
kepentingan masyarakat sukubangsa yang bersangkutan, dan penekanan hukuman
bagi para pelanggarnya adalah denda. Kebanyakan warga masyarakat majemuk
tidak memahami isi aturan-aturan hukum yang berlaku, terkecuali untuk
pelanggaran-pelanggaran, tindakan kejahatan dengan kekerasan, karena aturan-
aturan hukum tersebut harus diinterpretasi. Kemampuan interpretasi secara benar
menuntut keahlian tersendiri, yang tidak semua warga mempunyai keahlian tersebut.
Disamping itu, pranata hukum nasional seringkali juga dilihat sebagai sesuatu yang
asing dan menakutkan oleh warga masyarakat setempat karena dilihat sebagai
pranata yang fungsinya mencari kesalahan-kesalahan warga, dan untuk menghukum
warga.

104
13 Kehidupan Ekonomi
Model Konflik: Dorongan Kekuatan Ekonomi

B
agi Furnivall (1939), masyarakat majemuk yang diketahui adalah
masyarakat jajahan yang ada di daerah tropik, termasuk negara jajahan
Hindia Belanda (Indonesia sekarang). Corak politik dalam masyarakat
majemuk tersebut memaksakan diberlakukannya superstruktur (penguasaan paling
tinggi) bisnis dan administrasi pemerintahan Dunia Barat pada kehidupan penduduk
pribumi, dan memaksakan terwujudnya sebuah satuan masyarakat yang mencakup
bagian-bagian atau segmen-segmen yang saling berbeda-beda yang terdiri dari
penduduk setempat. Kepentingan ekonomi Barat yang dipaksakan pada penduduk
pribumi untuk mendukungnya, dan kepentingan ekonomi yang dibarengi dengan
adanya perbedaan-perbedaan dengan batas-batas yang jelas diantara segmen-
segmen masyarakat telah menyebabkan bahwa landasan kehidupan dalam
masyarakat majemuk didasari oleh konflik-konflik. Yaitu konflik-konflik karena
memperebutkan sumber-sumber daya ekonomi yang terbatas. Konflik-konflik yang
terjadi diantara segmen-segmen masyarakat pribumi yang saling berbeda tersebut,
memperkokoh fungsi dari superstruktur Dunia Barat di negara jajahannya dalam hal
bisnis dan administrasi pemerintahannya. Kekuatan administrasi superstruktur
penjajah adalah karena pada adanya konflik-koniflik tersebut, yang penyelesaiannya
telah dilakukan dengan menggunakan kekuatan tentara yang memaksa dan
menaklukkan, yang secara langsung atau tidak langsung menghasilkan konsesi-
konsesi bisnis yang menguntungkan penguasa pemerintah jajahan.

Dalam model Furnivall tersebut, dunia bisnis yang digeluti oleh penguasa
pemerintah jajahan adalah bisnis internasional yang dipertentangkan dengan dan
yang menguasai secara mutlak bisnis lokal yang ada dalam kehidupan ekonomi
pribumi. Dalam model kemajemukan tersebut, dunia kehidupan penjajah dan
ekonomi bisnisnya berada di satu pihak yang terpisah dari kehidupan pribumi dan

105
kekuasaan penjajah terletak di atas kekuasan dunia kehidupan pribumi dengan
kehidupan ekonominya masing-masing. Masyarakat pribumi, dengan
kebudayaannya masing-masing, merupakan satuan-satuan kehidupan sosial dari
budaya yang berdiri sendiri tetapi yang secara bersama-sama merupakan sebuah
satuan kehidupan politik dibawah kekuasaan penjajah dan Dunia Barat. Para pribumi
ini, menurut Furnivall bercampur tetapi tidak menyatu sebagai sebuah satuan
kehidupan. Masing-masing tetap mempertahankan kebudayaan agama, bahasa, dan
nilai-nilai budayanya. Sebagai individu mereka itu saling bertemu tetapi hanya di
pasar, yaitu dalam berjual beli. Dorongan utama dari saling berhubungan diantara
pribumi yang berbeda masyarakat dan kebudayaannya adalah dorongan
kepentingan ekonomi, yang dapat dipenuhi melalui pasar. Sehingga, dalam
kehidupan pribumi terdapat simbiosis ekonomi tetapi secara sosial saling
menghindari diantara sesama mereka yang berbeda kebudayaan. Ini merupakan
dasar sosial yang menandai masyarakat majemuk.

Masyarakat majemuk berfungsi terutama karena adanya dorongan-dorongan


kepentingan ekonomi, yang secara relatif terbebas dari hambatan-hambatan sosial.
Menurut Furnivall, masyarakat majemuk muncul dimana dorongan kekuatan ekonomi
terbebas dari pengendalian dorongan sosial. Pendapatnya tersebut memperoleh
dukungan dari pendapat Boeke (1953), yang menyatakan bahwa dalam masyarakat
jajahan terdapat tujuan ekonomi yang lengkap dan absolut yang dikuasai oleh
pemerintah jajahan dibandingkan dengan yang terdapat dalam masyarakat-
masayarakat heterogen yang kapitalistik di dunia Barat. Dalam tujuan ekonomi
tersebut eksploitasi ekonomi terbadap penduduk pribumi telah dilakukan secara
absolut dan lengkap, dimana nilai-nilai budaya dan tatanan sosial dari masyarakat-
masyarakat pribumi diabaikan atau harus mendukung kepentingan ekonomi penjajah
tersebut.

Dorongan kekuatan-kekuatan ekonomi adalah penentu dalam mewujudkan


dan mempertahankan keberadaan masyarakat majemuk yang ditandai oleh adanya
situasi-situasi keanekaragaman sosial budaya di bawah kekuasaan pemerintahan
jajahan. Karena itu integrasi dalam masyarakat majemuk tidak berlangsung secara
sukarela tetapi dengan paksaan oleh kekuatan pemerintah jajahan dan oleh
dorongan kekuatan-kekuatan ekonomi yang dipunyai oleh pemerintah jajahan.

106
Furnivall menyatakan bahwa sebagai akibatnya maka dalam masyarakat jajahan
yang majemuk tersebut terdapat prevalensi (kecenderungan yang terus berlangsung)
dalam hal tidak adanya kesepakatan secara sosial dan budaya. Baik kesepakatan
diantara yang memerintah (pemerintah jajahan) dengan yang diperintah
(masyarakat-masyarakat pribumi), maupun diantara sesama masyarakat pribumi.
Kecenderungan yang ada adalah konflik atau pertentangan, karena masing-masing
mementingkan kepentingan ekonominya sendiri, yang orientasi kepentingan ini sadar
atau tidak sadar akan merugikan pihak-pihak lainya.

Masyarakat jajahan bersatu sebagai sebuah negara jajahan karena


dipersatukan oleh kekuatan penjajah yang berasal dari luar yang mempunyai
dorongan kekuatan-kekuatan ekonomi untuk pencapaian keuntungan yang sebesar-
besarnya. Kekuatan-kekuatan ekonomi tersebut telah menghasilkan konflik-konflik
sosial dan politik antara penguasa jajahan dengan masyarakat-masyarakat pribumi
dan diantara sesama masyarakat pribumi. Furnivall mengatakan lebih lanjut, bahwa
warga masyarakat jajahan yang tidak mempunyai keinginan sosial bersaing dan
karena itu mempunyai kehidupan sosial bersama cenderung mempunyai
kecenderungan sebagai orang yang tidak beradab. Mereka telah berubah menjadi
hewan ekonomi. Bilapun diantara sesama mereka itu harus bekerjasama maka
mereka hanya bekerjasama untuk sesuatu dorongan pencapaian tujuan ekonomi,
yaitu untuk keuntungan sendiri. Dan bila dalam kerjasama ekonomi yang normal,
bisnis yang dijalankan itu mengalami kebangkrutan maka hal itu dianggap sebagai
suatu malapetaka, tetapi di negara jajahan seperti di Hindia Belanda kebangkrutan
itu dianggap sebagai suatu kelegaan (karena telah terbebas dari tanggung jawab
untuk menggantinya setelah dia menikmati keuntungan sebelum dibangkrutkannya).
Tidak ada tanggungjawab sosial dan moral, karena ikatan-ikatan bisnis yang ada
adalah ikatan-ikatan ekonomi dan bukannya atau tidak mencakup ikatan-ikatan
sosial dan moral.

Ikatan-ikatan ekonomi yang berupa regulasi-regulasi adalah yang utama


dalam kehidupan masyarakat jajahan yang majemuk. Melalui regulasi-regulasi yang
dibuat oleh pemerintah jajahan maka masyarakat majemuk itu dapat dipersatukan
dan diatur. Regulasi-regulasi, yang kemudian menjadi berkekuatan hukum yang
memaksakan berlakunya sanksi-sanksi hukuman bagi pelanggarnya, tidak efektif

107
karena hukum tersebut tidak mempunyai landasan sosial budaya dari masyarakat-
masyarakat pribumi. Pada saat regulasi-regulasi yang menjadi tatanan hukum itu
tidak efektif karena korupsi dan penyelewengan atau KKN, maka pada saat ini juga
kekuasaan penjajah yang mengontrol keutuhan masyarakat majemuk menjadi
goyah.

Masyarakat Majemuk Indonesia: Kehidupan Ekonomi

Model kemajemukan Furnivall, seperti tersebut di atas, yang berlaku dalam


masyarakat Hindia Belanda, yang menekankan pada adanya corak ekonomi ganda
yang tidak seimbang, yaitu adanya ekonomi internasional yang mendominasi
ekonomi pribumi atau lokal, nampaknya tetap berlaku dalam kehidupan ekonomi
masyarakat Indonesia yang majemuk walaupun terdapat perbedaan yang cukup
menyolok. Perbedaan tersebut adalah pada ekonomi internasional yang tidak lagi
berada dibawah kekuasaan penjajah yang datang dari luar, dan adanya ekonomi
nasional sebagai sebuah sistem dan pranata ekonomi yang bercorak nasional yang
tidak ada dalam sistem penjajahan Belanda, dan adanya corak ekonomi pribumi
yang lokal yang variasi-variasinya tidak diperhitungkan oleh Furnivall ataupun oleh
Boeke.

Walaupun ada perbedaan-perbedaan tersebut, tetapi kebudayaan dan


pranata-pranata ekonomi dalam masyarakat majemuk Indonesia tetap mengikuti
pola-pola yang berlaku dalam masyarakat jajahan Hindia Belanda. Yaitu, pemerintah
nasional menekankan pemaksaan secara politik dan hukum dalam hal penguasaan
ekonomi atas sumber-sumber daya yang ada dalam wilayah sukubangsa-
sukubangsa sebagai aset ekonomi nasional. Gejala ini nampak jelas dan menyolok
dalam zaman pemerintahan Orde Baru. Disamping itu, terdapat perbedaan yang
menyolok antara besarnya kekuasaan yang dipunyai pemerintahan nasional (pusat)
dengan kekuasaan yang dipunyai oleh masyarakat-masyarakat sukubangsa
(daerah). Ini terjadi sejak kembalinya Indonesia ke UUD 1945 dibawah pimpinan
presiden Sukarno dan dilanjutkan serta diperkuat lagi dalam zaman pemerintahan
Orde Baru dibawah presiden Suharto yang secara penuh menggunakan kekuasaan
tentara dan polisi.

108
Besarnya kekuatan pemerintah nasional (pusat) disebabkan karena regulasi
atau aturan-aturan perundangan dan hukum yang berlaku, walaupun mengacu pada
UUD 1945, tetapi jiwa dan semangatnya adalah jiwa dan semangat hukum
penjajahan. Regulasi yang ada memihak kepada pemerintah dan oknum-oknum
pejabatnya dan bukannya memihak pada keadilan atau kebenaran untuk
kepentingan masyarakatnya. Pembuat regulasi adalah pemerintah dan bukannya
badan independen, sehingga keberpihakan regulasi yang ada pada kepentingan
pemerintah dan pejabatnya tidak dapat diragukan lagi. Termasuk dalam hal ini
adalah regulasi berkenaan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi dan
penguasaannya. Batas-batas yang jelas antara satu kelompok sukubangsa dengan
kelompok sukubangsa lainnya dipotong-potong dan dipecah-pecah oleh kepentingan
partai politik dan kepentingan-kepentingan pribadi.

Dalam keadaan dimana tidak ada kemauan sosial untuk hidup bersama,
sebagaimana dikatakan oleh Furnivall dalam masyarakat jajahan Hindia Belanda,
maka yang muncul adalah hubungan-hubungan pribadi diantara mereka yang dekat
dan akrab. Hubungan-hubungan pribadi yang feodalistik atau patrimonial yang
berkembang atau merupakan kelanjutan dan sistem feodalisme yang ada dalam
masyarakat sukubangsa-sukubangsa yang relatif maju pada zaman Hindia Belanda.
Hubungan-hubungan pribadi yang ada dalam hubungan-hubungan jabatan yang
vertikal ditekankan sebagai hubungan kesetiaan kepada atasan dan perlindungan
atasan kepada bawahan yang setia, sebagaimana yang terdapat dalam kehidupan
tentara.

Kehidupan ekonomi internasional dan nasional dikuasai oleh pemerintah yang


berkuasa, terutama nampak menyolok dalam pemerintahan Orde Baru dibawah
pimpinan presiden Suharto. Dan yang diartikan oleh pemerintah yang berkuasa
adalah oknum-oknum pejabatnya. Atau secara lebih tepat adalah, presiden Suharto
dan para kroninya.

Secara internasional, Indonesia dalam zaman Orde Baru hidup dari dan dalam
hutang. Hutang, yang dinamakan sebagai bantuan oleh para pejabat Orde Baru,
telah digunakan untuk membiayai upaya bagi bertahan dan lestarinya kekuasaan

109
Orde Baru (biaya APBN dan berbagai program pembangunan pemerintah) dan untuk
membiayai kehidupan konsumtif yang feodalistik dari para pejabat dan kroni-
kroninya. Hutang luar negeri yang dibayar dengan mengeksploitasi hasil hutan,
tambang dan mineral, serta berbagai konsesi yang menguntungkan penghutang.
Hutang yang dilakukan oleh pemerintahan presiden Suharto berbeda dengan hutang
yang dijalankan oleh pemerintahan presiden Sukarno. Dalam zaman pemerintahan
presiden Sukarno hutang-hutang luar negeri dilakukan untuk membiayai
persenjataan personil militer, dalam rangka menghadapi Belanda di Irian Jaya dan
kemudian menghadapi Malaysia.

Seperti dikemukakan oleh Furnivall terdahulu, masyarakat majemuk ada dan


lestari karena adanya regulasi-regulasi yang dijalankan secara ketat untuk menjamin
kestabilan kehidupan ekonomi yang menjadi tulang punggung keberadaan dan
kelestariannya. Apa yang telah terjadi dalam pemerintahan Orde Baru adalah
adanya dan diberlakukannya regulasi-regulasi yang menguntungkan pemerintah
nasional dan para pejabat serta kroni-kroninya, yang didukung oleh kekuatan militer
ABRI. Dari satu segi regulasi-regulasi tersebut memperkokoh kekuasaan pemerintah
nasional Orde Baru, tetapi dari segi lain regulasi-regulasi tersebut tidak adil dan
bertentangan dengan jiwa serta semangat UUD 1945. Ketiadaan regulasi yang adil
tersebut disebabkan oleh tidak adanya mekanisme kontrol bagi berlakunya regulasi-
regulasi tersebut secara adil dan bertanggung jawab beserta sanksi-sanksi hukum
yang impersonal yang dikenakan terhadap para pelanggarnya. Yang ada dalam
pemerintahan Orde Baru adalah hubungan-hubungan patron-klien yang bertingkat-
tingkat atau patrimonial. Hubungan-hubungan patron-klien dalam zaman Orde Baru,
yang didasarkan atas hubungan-hubungan pribadi, telah menjadi landasan bagi
berbagai kebijaksanaan politik dan ekonomi, pembuatan-pembuatan program dan
strategi-strategi serta perencanaan pembangunan dan penerapannya.

Akibat dari ini semua adalah munculnya tindakan-tindakan kolusi antara


pejabat dengan para pengusaha (yang juga sahabat atau kroninya), korupsi (dalam
bentuk manipulasi barang dan uang bagi biaya program-program pembangunan atau
‘order-order’ yang dibuat). Kepentingan-kepentingan individu pejabat ataupun
pebisnis dan kelompoknya masing-masing adalah yang utama, dan upaya-upaya
untuk menguasai sumber-sumber daya yang ada bagi masing-masing kepentingan

110
pejabat dan kelompok atau kroninya menyebabkan adanya konflik-konflik
tersembunyi diantara kelompok-kelompok pejabat elite pada tingkat pemerintahan
nasional atau pusat. Kesemrawutan dalam pemerintahan Orde Baru, yaitu tiadanya
regulasi yang adil berkenaan dengan penataan politik dan ekonomi secara nasional,
lebih dikacaukan lagi dengan turut sertanya putra-putri presiden Suharto dan
keluarganya serta militer dalam kancah politik dan ekonomi nasional. Mereka ini
mempunyai hak-hak prerogatif yang tidak dipunyai oleh pejabat ataupun warga
masyarakat sipil pada umumnya, sehingga langsung atau tidak langsung dapat
memaksakan kehendak bagi memenangkan kepentingan-kepentingan mereka
masing-masing secara ‘konstitusional’ dengan menggunakan berbagai Keputusan
Presiden yang dibuat untuk menjamin keberhasilan penguasaan mereka atas
sumber-sumber daya ekonomi yang mereka perjuangkan. Bilapun secara
‘konstitusional’ mereka itu mendapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaan
penguasaan mereka, mereka itu mempunyai kekuatan nyata yang dapat digunakan
untuk memaksakan kehendak mereka.

Politik ekonomi zaman Orde Baru tidak banyak bedanya dengan politik
ekonomi zaman penjajahan Belanda di Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh
Furnivall tersebut di atas. Yaitu pemusatan kekuasaan pada pemerintah nasional
atau pusat (sekarang) atau pemerintah jajahan (zaman Hindia Belanda) dengan
politik ekonomi sebagai panglimanya. Akibatnya, selama berkuasanya pemerintahan
Orde Baru warga masyarakat Indonesia dari sukubangsa manapun dan dari
golongan sosial apapun mempunyai orientasi nilai yang menekankan pada
pentingnya dorongan-dorongan untuk menguasai kehidupan ekonomi dan
mengabaikan nilai-nilai sosial dan moral yang seharusnya berlaku dalam kehidupan
mereka. Nilai-nilai sosial dan moral yang merupakan mekanisme yang dapat
mengendalikan dorongan-dorongan ‘hewan ekonomi’ yang rakus agar keteraturan
sosial dan moral dapat terwujud, tidak berlaku dalam zaman Orde Baru. Zaman Orde
Baru yang berkuasa selama 32 tahun dapat dikatakan sebagai zaman ‘hewan
ekonomi’ yang rakus, yang anti Ilmu pengetahuan dan intelektualitas, anti
kebebasan, kemanusiaan dan individualitas. Sebaliknya zaman Orde Baru menuntut
kesetiaan rakyat (masyarakat yang diperintah). Rakyat diperlakukan sebagai abdi
dari pemerintah. Keyakinan keagamaan yang sebetulnya dapat berfungsi sebagai
mekanisme kontrol tersebut menjadi tidak relevan, dan bahkan sebaliknya agama

111
telah digunakan untuk kepentingan politik ekonomi, sehingga agama menjadi
komoditi politik.

Perbedaan yang menyolok dalam zaman Orde baru antara yang berkuasa
dengan yang tidak berkuasa nampak dalam kemampuan ekonomi sebagaimana
yang terwujud dalam kehidupan ekonomi mereka, baik secara individual maupun
secara golongan sosial dan kelompok. Baik dilihat dalam perspektif daerah-pusat
dan daerah pinggiran, maupun dalam perspektif golongan atas sebagai lawan dari
golongan bawah, sipil - militer, dan dalam perspektif Cina sebagai lawan dari pribumi.

Dalam pemerintahan Orde Baru, berbeda dengan yang berlaku dalam


pemerintahan Orde Lama, Sejumlah orang Cina yang terbatas telah digunakan
sebagai kepanjangan tangan dari para pejabat sipil dan militer untuk menjalankan
uang mereka dalam bisnis. Orang-orang Cina ini memperoleh sejumlah fasilitas dan
keistimewaan-keistimewaan yang diberikan oleh para pejabat tersebut atas nama
pemerintah, sehingga bisnis mereka itu dapat menguntungkan. Fasilitas dan
keistimewaan tersebut telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para pebisnis Cina
yang terpercaya tersebut, untuk keuntungan mereka sendiri. Sadar atau tidak sadar
para pejabat sipil dan militer tersebut telah membangun dan menghasilkan orang-
orang Cina kaya, dan bahkan kaya sekali yang biasa dinamakan konglomerat,
melalui kegiatan-kegiatan menjalankan uang para pajabat tersebut. Kondisi ekonomi
kelompok Cina kaya dan konglomerat tersebut berbeda dari kondisi ekonomi pada
umumnya orang-orang Cina. Dan sangat berbeda dari kondisi ekonomi warga
masyarakat Indonesia pada umumnya yang hidupnya cukupan atau kekurangan.

Kehidupan Ekonomi Masyarakat Indonesia

Keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan sukubangsa-sukubangsa di


Indonesia tidak hanya dapat dilihat secara horizontal tetapi juga secara vertikal. Ada
sejumlah masyarakat sukubangsa yang hidupnya masih dalam taraf subsistensi,
yaitu dari meramu hasil hutan atau alam untuk dikonsumsi sendiri. Mereka ini hidup
dalam wilayah hutan atau rawa-rawa dan secara relatif terisolasi dari kehidupan
dunia luar.

112
Secara tradisional mereka itu tidak mengenal pasar dan karena itu tidak
mengenal uang. Disamping itu, ada masyarakat-masyarakat sukubangsa yang hidup
dari berladang berotasi (berpindah-pindah secara berkala dalam rotasi di wilayah
yang merupakan hak ulayat mereka). Mereka juga hidup dari mengumpulkan hasil
hutan. Sebagian dari mereka itu hidup dalam taraf subsitensi, sedangkan sebagian
lainnya telah mengenal surplus hasil produksi. Surplus produksi dari tanaman keras
yang ditanam di ladang-ladang mereka. Petani berladang berotasi telah mengenal
pasar tempat mereka menjual hasil hutan dan produksi dari tanaman keras.

Pasar yang terdekat bagi mereka adalah di kota kecamatan. Mereka juga
dapat menjual hasil hutan dan produksi tanaman keras di desa-desa yang ada di
sekitar kota kecamatan, dimana terdapat pedagang-pedagang yang membuka kios
kebutuhan sehari-hari yang juga menjadi pedagang penampung atau tengkulak hasil
hutan dan produksi tanaman keras. Pada masa sekarang tidak ada daerah
pedesaan di Indonesia yang tidak ada kios-kios yang berjualan kebutuhan sehari-
hari. Pedagang-pedagang kios tersebut dapat berasal dari desa yang bersangkutan
dan dapat juga berasal dari luar, yaitu warga pendatang yang menetap di desa yang
bersangkutan. Para pedagang kios biasanya menjual barang-barang kebutuhan
sehari-hari yang diperoleh dari pedagang grosir di kota kabupaten atau kota propinsi
dengan cara kredit atau consignment.

Pedagang-pedagang grosir di kota kabupaten pada umumnya adalah


kepanjangan tangan dari para pedagang grosir yang lebih besar lagi yang ada di ibu
kota propinsi atau di kota Jakarta. Ini sama dengan ketergantungan produsen dan
pedagang di daerah-daerah terhadap para pedagang grosir yang lebih besar di ibu
kota propinsi dan di Jakarta. Produsen dan pedagang di daerah-daerah sebenarnya
terpasung dalam suatu jaringan mata rantai yang bertingkat-tingkat. Yaitu dari
pedesaan atau daerah pinggiran tergantung kehidupannya pada kota atau pusat-
pusat kehidupan ekonomi. Ketergantungan itu merupakan pencerminan dari tidak
berdayanya daerah-daerah atau kelompk-kelompok dan masyarakat-masyarakat
sukubangsa dalam menghadapi pusat (pemerintah pusat atau nasional) yang
mempunyai kekuasaan dalam menentukan berbagai corak kebijaksanaan politik
ekonomi yang menguntungkan pemeritah pusat dan pejabat-pejabatnya..

113
14 Mayoritas, Dominan,
dan Minoritas

Mayoritas, Dominan, dan Minoritas

M
ayoritas, dominan, dan minoritas adalah konsep-konsep yang umum
digunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk menunjukkan ciri-ciri sesuatu
golongan sosial yang dapat diacu untuk menunjukkan jatidiri seseorang
atau sesuatu kelompok dalam hubungannya dengan jatidiri seseorang lainnya atau
sesuatu kelompok lainnya. Mayoritas mengacu pada pengertian sesuatu golongan
sosial dengan jumlah populasi yang besar dibandingkan dengan minoritas atau
sesuatu golongan sosial lainnya yang kecil jumlah populasinya. Jadi, pengertian
mayoritas dan minoritas mengacu pada ciri utamanya yang menunjukkan jumlah
populasi yang tercakup dalam masing-masing golongan sosial tersebut dan dalam
perbandingan antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain konsep mayoritas selalu
digunakan dalam kaitan perbandingannya dengan konsep minoritas. Konsep
mayoritas dan minoritas juga selalu digunakan sebagai acuan untuk mengidentifikasi
sesuatu kelompok dalam perbandingannya dengan kelompok lainnya, berdasarkan
pada jumlah populasi yang menjadi ciri utamanya.

Dominan adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya ciri utama dari
sesuatu golongan yang mempunyai kekuatan yang berlebih atau besar dibandingkan
dengan atau tidak terkalahkan oleh ciri utama dari sesuatu golongan lainnya yang
biasanya dinamakan sebagai golongan minoritas. Konsep dominan selalu ditandai
oleh ciri utamanya yaitu kekuatan berlebih atau besar dari atau tidak terkalahkan
oleh yang lainnya. Sebagai golongan, konsep dominan diacu untuk mengidentifikasi
corak jatidiri seseorang atau sesuatu kelompok dalam kaitan hubungannya dengan

114
corak jatidiri dari seseorang atau kelompok lainnya, dalam perspektif hubungan
kekuatan.

Dalam kajian-kajian mengenai hubungan sosial, interaksi-interaksi sosial


dilihat sebagai hubungan kekuatan sosial yang berlangsung antara pemeran yang
satu dengan pemeran lainnya dalam sebuah struktur hubungan kekuatan yang
mendefinisikan corak dan kekuatan sosial yang dipunyai oleh masing-masing
pemeran. Dalam interaksi-interaksi antara dosen dengan mahasiswa di kelas
misalnya, dalam struktur hubungan dosen - mahasiswa, si dosen mempunyai
kekuatan yang lebih besar dari muatan kekuatan yang dipunyai oleh mahasiswa.
Sehingga si dosen dapat menyuruh si mahasiswa mengerjakan tugas-tugas
pelajaran, yang dikerjakan oleh si mahasiswa dalam perannya sebagai mahasiswa.
Dan, sebaliknya si mahasiswa tidak dapat menyuruh si dosen mengerjakan tugas-
tugas yang diminta atau disuruh oleh si mahasiswa. Bahkan perbuatan si mahasiswa
menyuruh si dosen mengerjakan tugas-tuga pelajaran bukan hanya ditolak oleh si
dosen, tetapi juga dianggap tidak pantas atau kurang ajar dalam konsep yang
berlaku mengenai struktur hubungan kekuatan antara dosen – mahasiswa.

Dalam hubungan antara peran dosen dan mahasiswa di kelas, mahasiswa


tidak dapat digolongkan sebagai golongan minoritas walaupun muatan kekuatan
yang ada dalam peran sebagai mahasiswa lebih kecil dari muatan kekuatan dari
peran dosen. Pengertian golongan minoritas, sebagai sebuah golongan sosial yang
lemah kekuatan sosialnya, mencakup ciri-cirinya yang khusus yang berbeda dan ciri-
ciri golongan sosial lainnya yang lemah muatan kekuatan sosialnya. Louis Wirth
(1943 : 347-348), telah mendefinisikan ciri-ciri golongan minoritas sebagai sebuah
kelompok, sebagai berikut :

Sebagai sebuah kelompok yang diasingkan dari kehidupan dalam masyarakat


luas dan diperlakukan secara berbeda dan direndahkan derajatnya karena ciri-ciri
fisik tubuhnya atau ciri-ciri budayanya, dan mereka merasakannya sebagai sasaran-
sasaran diskriminasi kolektif dari masyarakat luas tersebut. Yang tergolong minoritas
bukan hanya orang asing tetapi juga kelompok sosial dari masyarakat setempat,
yang karena tergolong minoritas maka dianggap dan diperlakukan sebagai orang
luar. Keberadaan golongan minoritas selalu dalam kaitan hubungannya dengan

115
keberadaan dari kelompok dominan yang menikmati status sosial yang lebih tinggi
dan berbagai keistimewaan yang lebih besar.

Secara obyektif mereka yang tergolong sebagai minoritas mempunyai posisi


yang tidak menguntungkan dalam masyarakat. Berbeda dengan mereka yang
tergolong sebagai kelompok dominan, mereka yang minoritas tidak diberi
kesempatan-kesempatan ekonomi, sosial, dan politik. Anggota-anggota kelompok
minoritas digolongkan sebagai berderajat rendah, sasaran penghinaan, kebencian,
olok-olok, dan kekerasan. Secara sosial mereka itu terisolasi, dan secara spasial
mereka itu dipisahkan dalam ruang-ruang kehidupan mereka sendiri. Posisi
subordinasi mereka tercermin dalam akses yang terbatas dalam hal kesempatan
memperoleh pendidikan sekolah dan pembatasan-pembatasan dalam jenjang
pekerjaan dan profesi.

Seorang tokoh psikologi sosial Blumer (1961 : 217-218) melihat bahwa


individu-individu yang tergolong sebagai mayoritas (maksudnya golongan dominan)
mengembangkan perasaan-perasaan penuh prasangka terhadap mereka yang
tergolong sebagai minoritas. Prasangka-prasangka ini muncul dan berkembang
bersamaan dengan adanya individu-individu yang berasal dari kelompok-kelompok
dan posisi-posisi sosial yang berbeda saling berinteraksi satu dengan lainnya.
Prasangka-prasangka tersebut dapat berubah bila sistem hubungan-hubungan
antar-kekuatan sosial yang mengatur ketentuan-ketentuan interaksi-interaksi tersebut
berubah. Perasaan-perasaan penuh prasangka tersebut mencakup : (1) Perasaan
bahwa diri mereka superior, (2) Perasaan bahwa kelompok subordinasi pada
dasarnya adalah orang asing, (3) Perasaan bahwa adalah wajar bila diri mereka itu
mempunyai hak atas berbagai fasilitas dan keistimewaan sosial, dan (4)
Kekhawatiran bahwa kelompok subordinasi ingin mengambil alih fasilitas-fasilitas
dan keistimewaan-keistimewaan sosial yang mereka punyai sebagai kelompok
dominan.

Dalam melihat hubungan antara dominan - minoritas ada dua unsur yang
penting yang patut diperhatikan, yaitu : (1) Struktur kekuatan yang mendefinisikan
hubungan antara individu-individu dari berbagai sukubangsa dalam sebuah
lingkungan sosial tertentu, dan (2) Adanya struktur mental dari individu-individu

116
anggota berbagai sukubangsa dalam lingkungan sosial tertentu yang
menterjemahkan dan memberikan tanggapan terhadap sistem hubungan kekuatan
yang terdefinisikan dan sebagaimana mereka itu mengaktifkan dan menggunakan
kategori-kategori sukubangsa yang ada yang mereka gunakan sebagai sistem-
sistem acuan kesukubangsaan mereka.

Dalam pembahasan mengenai hubungan dominan-minoritas, konsep


mayoritas menjadi tidak relevan. Karena, jumlah populasi besar atau mayoritas bisa
dominan atau bisa juga menjadi minoritas dalam hubungannya dengan kelompok
lainnya dalam masyarakat setempat. Begitu juga kelompok minoritas bisa saja
tergolong dominan atau minoritas, tergantung pada posisinya dalam struktur
masyarakat setempat. Kelompok yang dominan dalam sebuah masyarakat biasanya
adalah kelompok minoritas atau kelompok yang jumlah populasinya kecil
dibandingkan dengan jumlah populasi dari kelompok atau kelompok-kelompok
lainnya dalam masyarakat setempat. Orang Belanda dalam zaman penjajahan
Hindia Belanda misalnya, adalah kelompok minoritas tetapi dominan dalam
masyarakat jajahan Hindia Belanda.

Masyarakat Majemuk Indonesia: Hubungan Dominan-Minoritas

Kemajemukan masyarakat Indonesia ditandai oleh keanekaragaman


sukubangsa yang tercakup di dalamnya. Keanekaragaman tersebut terwujud dalam
perbedaan-perbedaan secara horizontal maupun secara vertikal. Secara horizontal,
perbedaan antara satu sukubangsa dan sukubangsa lainnya dapat dilihat melalui
perbedaan-perbedaan berbagai unsur kebudayaan yang dipunyai oleh masing-
masing masyarakat-masyarakat sukubangsa yang hidup di Indonesia. Sedangkan
secara vertikal, perbedaan antara satu sukubangsa dan sukubangsa lainnya dapat
dilihat dalam perbedaan perkembangan ekonomi dan teknologi dari masyarakat-
masyarakat sukubangsa yang hidup di Indonesia. Perbedaan secara vertikal juga
bukan hanya terwujud sebagai perbedaan antara satu sukubangsa dengan
sukubangsa lainnya, tetapi juga terwujud dalam perbedaan-perbedaan yang ada
dalam masyarakat-masyarakat yang tergolong dalam satu sukubangsa.

117
Keberadaan corak hubungan dominan-minortas tidak harus selalu dilihat
secara seragam sebagai berlaku secara nasional di seluruh Indonesia. Hanya dalam
keadaan dimana pemerintah memutuskan bahwa sesuatu golongan itu sebagai
golongan minoritas, seperti contohnya terhadap mereka yang digolongkan sebagai
terlibat G 30 S/PKI, maka mereka yang digolongkan sebagai golongan G 30 S/PKI
adalah minoritas. Mereka yang digolongkan oleh pemerintah sebagai terlibat G 30
S/PKI bukan hanya mereka yang betul-betul ikut dalam kegiatan G 30 S/PKI tetapi
yang juga mereka yang bersimpati pada ideologi PKI, anak cucu mereka yang
anggota PKI atau simpatisan PKI, dan kerabat-kerabat mereka. PKI sebagai ideologi,
dalam kasus ini, telah berkembang sebagai kebudayaan dan sebagai warisan
genetika. Karena bukan hanya mereka yang berideologi PKI dan yang mendukung
G 30 S/PKI saja yang digolongkan sebagai pengkhianat dan musuh bangsa, tetapi
juga mereka yang dituduh sebagai mempunyai perasaan dan keyakinan yang
sejalan dengan ideologi PKI digolongkan sebagai terlibat G 30 S/PKI. Begitu juga,
mereka yang menjadi anak cucu dan kerabat dan orang perorang yang tergolong
terlibat G 30 S/PKI digolongkan juga sebagai terlibat G 30 S/PKI. Pemerintah
membuat anggapan bahwa ideologi diwariskan secara genetika kepada anak cucu
dan menular sebagai warisan genetika kepada para kerabatnya.

Penggolongan mereka yang terlibat G 30 S/PKI telah menghasilkan golongan


minoritas, karena ciri-ciri kebudayaannya (yaitu kebudayaan PKI dengan berbagai
ciri-cirinya yang dibuat oleh pemerintah) dan karena ciri-ciri kebudayaan PKI yang
diwariskan dan ditularkan secara genetika sehingga menghasilkan kemunculan
kelompok sosial dan budaya yang khusus PKI berdasarkan atas ciri-ciri genetika
tersebut. Kelompok mereka yang terlibat sebagai terlibat G 30 S/PKI mempunyai ciri-
ciri yang sama dengan kelompok sukubangsa dan kelompok rasial. Begitu juga
perlakuan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat secara nasional di
Indonesia terhadap mereka yang digolongkan sebagai terlibat G 30 S/PKI adalah
sama dengan tindakan-tindakan diskriminatif yang dilakukan pemerintah dan
masyarakat Kulit Putih yang rasialis di Afrika Selatan sebelum dipimpin oleh presiden
Mandela atau di Amerika Serikat sebelum tahun 1963 terhadap mereka yang
tegolong sebagai Orang Kulit Hitam, atau yang pernah dialami oleh para imigran kuli
kontrak Jawa di Suriname sampai dengan sebelum Perang Dunia ke-2.

118
Sedangkan hubungan dominan-minoritas yang umum terjadi dalam
masyarakat luas, termasuk di Indonesia, selalu terwujud secara setempat-setempat
atau dalam kehidupan masyarakat setempat. Mengapa bisa terjadi demikian?
Karena, setiap masyarakat setempat adalah sebuah satuan kehidupan yang
mewujudkan diri sebagai struktur sosial. Struktur sosial yang disatu pihak
mencerminkan hubungan-hubungan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat
setempat yang bersangkutan, dan di pihak lain struktur sosial tersebut berisikan
pedoman-pedoman menilai dan bertindak atau kebudayaan dari masyarakat
setempat tersebut.

Model hipotesa kebudayaan dominan yang dikemukakan oleh Profesor


Edward M. Burner menjadi relevan sebagai acuan bagi melihat dan memahami
berbagai bentuk dan corak hubungan-hubungan kekuatan yang ada dan hidup dalam
masyarakat-masyarakat setempat di Indonesia. Model tersebut, yang digunakan oleh
Profesor Burner untuk melihat dan memperbandingkan ekspresi atau ungkapan
kesukubangsaan di kota Bandung dan Medan dapat diacu untuk melihat dan
memahami corak hubungan kekuatan dalam masyarakat bukan perkotaan dan
melihat ungkapan-ungkapan tersebut dalam kesukubangsaan dan sistem-sistem
penggolongan yang berlaku dalam masyarakat setempat.

Dengan menggunakan model Bruner tersebut, berbagai corak hubungan antar


golongan sosial dan sukubangsa dapat dilihat dalam berbagai dinamika kehidupan
politik lokal dan tingkat lokal, dan dalam kehidupan ekonomi serta bisnis
perdagangan. Melalui penggunaan model ini juga dapat diidentifikasi keberadaan
kelompok-kelompok minoritas dalam kehidupan masyarakatmasyarakat setempat.
Orang Sakai di Riau misalnya, adalah masyarakat minoritas dalam hubungannya
dengan Orang Melayu yang dengan kebudayaan Melayunya mendominasi
kehidupan masyarakat Muara Basung dan sekitarnya. Begitu juga Orang Madura
dewasa ini di kabupaten Sambas, dimana mereka itu dilarang dan diusir dari
kehidupan di hampir semua wilayah kabupaten Sambas, kecuali di daerah Roban,
Singkawang.

Dalam keadaan dimana masyarakat minoritas didiskriminasi oleh masyarakat


dominan, maka proses-proses sosial yang terjadi dalam hubungan antara yang

119
dominan dengan yang minoritas adalah: (1) Mereka yang tergolong sebagai
minoritas akan mengasimilasi diri mereka menjadi seperti yang tergolong dominan,
dengan cara menghilangkan ciri-ciri yang merupakan atribut bagi jatidiri minoritas
dan menggantinya dengan ciri-ciri yang menjadi atribut bagi jatidiri dominan. (2)
Memisahkan diri dari masyarakat luas yang dominan dan yang mendiskriminasi
mereka, dengan cara membentuk kehidupan masyarakat dengan tatanannya sendiri.
Pemisahan atau pengasingan diri tersebut dapat dilakukan secara fisik (Orang Sakai
dan berbagai masyarakat terasing di Riau yang melarikan diri ke hutan karena
menolak untuk dimasyarakatkan oleh Dep. Sosial R.I., misalnya) maupun yang
dilakukan secara simbolik (seperti contohnya yang terjadi pada masyarakat-
masyarakat Orang Jawa di Suriname, yang memisahkan diri secara simbolik dari
masyarakat luas Suriname dengan cara mengaktifkan kebudayaan Jawa dan
pranata-pranatanya sebagai pedoman bagi kehidupan mereka yang satu-satunya,
atau masyarakat Orang Samin di kabupaten Blora, Jawa Tengah). (3) Melakukan
pemberontakan, seperti yang dilakukan oleh GAM di Aceh, atau OPM di Irian Jaya,
dan berbagai contoh lainnya yang ada dalam sejarah indonesia.

Kepustakaan
Bruner, Edward M., 1974. “The Expression of Ethnicity in Indonesia. Dalam Abner
Cohen (Editor), Urban Ethnicity, Hal. 251-288. London: Tavistock
Suparlan, Parsudi, 1972 The Javanese in Bandung: Ethnicity in a medium sized
Indonesian city. MA Thesis, University of Illinois..
________ 1999a Kerusuhan Ambon. Laporan disampaikan kepada Kapolri.
________ 1999b Kerusuhan Sambas. Laporan disampaikan kepada Kapolri.

120
15 Multikulturalisme
dan Kebudayaan

D
alam tulisan ini ingin saya tunjukkan bahwa multikulturalisme sebagai
sebuah ideologi tentang perbedaan dalam kesederajatan mempunyai
fondasi kebudayaan dalam masyarakat yang bersangkutan yang terwujud
sebagai sebuah mozaik dari kebudayaan-kebudayaan yang dipunyai oleh
masyarakat multikultural. Sebagai sebuah idiologi yang menekankan perbedaan
dalam kesederajatan multikulturalisme dan demokrasi adalah dua ideologi yang
saling dukung mendukung. Sebagai sebuah konsep multikulturalisme bertentangan
dengan konsep masyarakat majemuk (plural sociaty) dimana yang penting adalah
pada keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Multikulturalisme
dikembangkan dari konsep pluralisme budaya (cultural pluralism) dengan
menekankan kesederajatan-kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat.
Dalam tulisan ini akan saya tunjukkan mengapa kita harus merubah ideologi
keanekaragaman sukubangsa menjadi keanekaragaman kebudayaan bila kita setuju
untuk hidup berdasarkan ideologi demokrasi. Atau dengan kata lain kita harus
merubah corak masyarakat Indonesia yang majemuk menjadi masyarakat Indonesia
yang multikultural. Tulisan ini akan mencakup pembahasan mengenai masyarakat
majemuk Indonesia, sukubangsa dan kebudayaan, keanekaragaman kebudayaan,
multikulturalisme dan mozaik kebudayaan Indonesia yang ideal. Uraian akan ditutup
dengan diskusi scbagai kesimpulan.

Masyarakat Majemuk Indonesia

Furnivall (1948) adalah yang pertama kali mengintroduksi konsep masyarakat


majemuk (plural society) pada waktu dia membahas kebijakan dan praktek-praktek
pemerintah jajahan di Burma dan Indonesia. Dia menunjukkan bahwa sebuah
masyarakat majemuk ditandai oleh penduduknya yang secara sukubangsa dan rasial

121
saling berbeda yang hidup dalam satuan-satuan kelompoknya masing-masing, yang
hanya bertemu di pasar. Ciri-ciri ini ada pada masyarakat jajahan yang merupakan
produk dari politik ekonomi penjajah untuk menguasai sumber-sumber daya yang
ada setempat. Produk dan politik ekonomi ini adalah adanya golongan penjajah yang
mempersatukan secara paksa masyarakat-masyarakat pribumi kedalam sebuah
masyarakat jajahan untuk diatur dan diperintah guna kepentingan ekonomi penjajah.
Disamping golongan penjajah dan pribumi terdapat golongan pedagang perantara
yang biasanya adalah orang-orang asing yang secara sosial dan rasial tidak
tergolong sama dengan golongan penjajah ataupun golongan pribumi. Di Indonesia,
tiga golongan ini terwujud secara vertikal sebagai orang Belanda dan Kulit Putih
lainnya, orang Pribumi, dan orang Timur Asing (orang Cina dan Arab) yang masing-
masing hidup dalam kelompok-kelompok dan permukimannya sendiri menurut
kebudayaan dan pranata-pranata masing-masing, dan keteraturan serta ketertiban
kehidupan mereka diatur oleh hukum yang masing-masing berbeda satu dan lainnya.

Model masyarakat majemuk dari Furnivall ini dikembangkan lebih lanjut oleh
M.G.Smith (1965) dengan menggunakan Karibia sebagai kasusnya dan
mengembangkannya sebagai model struktural berdasarkan atas ciri-ciri pranata-
pranata yang ada dalam segmen-segmen masyarakat majemuk. Menurut Smith,
masyarakat-masyarakat Karibia adalah masyarakat majemuk karena masing-masing
masyarakat tersebut terdiri atas segmen-segmen masyarakat, yang merupakan
satuan masyarakat sukubangsa maupun rasial dengan pranata-pranata yang secara
struktural berbeda antara satu segmen dengan segmen lainnya. Lebih lanjut
M.G.Smith menyatakan bahwa masyarakat majemuk, seperti yang terdapat di
Karibia adalah kondisi struktural dari masyarakatnya dan bukan produk kebijakan
politik ekonomi pemerintah jajahan.

Dalam berbagai tulisan saya, antara lain (Suparlan 1979, 1982, 2000, 2001a,
2001b) telah saya tunjukkan bahwa Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk
atau bhinneka tunggal ika. Indonesia adalah sebuah masyarakat yang sistem
nasionalnya mempersatukan beraneka ragam masyarakat-masyarakat sukubangsa
dan kebudayaannya sebagai sebuah bangsa dalam wadah negara. Indonesia adalah
sebuah masyarakat majemuk, yang merupakan kelanjutan dari model masyarakat
majemuk zaman penjajahan Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang. Model

122
masyarakat majemuk Indonesia tersebut dicoba dilawan oleh pemerintahan presiden
Sukarno dengan melarang partai-partai dan kekuatan politik yang didasarkan atas
sukubangsa dan kesukubangsaan. Tetapi dia sendiri kemudian menjadi otoriter
dalam upaya mempersatukan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan yang
mulai retak karena adanya pemberontakan-pemberontakan bersenjata di daerah-
daerah. Model masyarakat majemuk yang otoriter tersebut dilanjutkan serta
dikembangkan oleh dan digunakan secara efektif dalam pemerintahan presiden
Suharto dengan sistem pemerintahannya yang otoriter-militeristik, pemanipulasian
SARA dan hukum nasional serta hukum adat, dan berbagai kebijakan sosial,
ekonomi, dan politik yang terpusat untuk kepentingan penguasa.

Masyarakat majemuk Indonesia menekankan keanekaragaman sukubangsa


dan kebudayaan sukubangsa masing-masing, yang dipersatukan dan diatur secara
administratif oleh sistern nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Masalah utama yang di hadapi oleh masyarakat majemuk adalah hubungan
antara pemerintahan nasional (pemerintah pusat) dengan masyarakat-masyarakat
sukubangsa yang tercakup di dalamnya. Masalah ini muncul pada waktu
masyarakat-masyarakat sukubangsa itu sadar akan posisinya dan berubah menjadi
kekuatan-kekuatan sosial politik berkenaan dengan upaya mempertahankan sumber-
sumber daya yang secara adat menjadi hak mereka dan yang secara hukum
nasional adalah hak pemerintahan nasional, sesuai UUD 1945.

Pemerintahan presiden Suharto menggunakan kekuatan militer dan politik


SARA untuk meredam berbagai gejolak dari masyarakat-masyarakat sukubangsa di
berbagai daerah. Sedangkan pemerintahan presiden Habibie yang mencoba untuk
bertindak demokratis dan memberi kesempatan kepada masyarakat-masyarakat
sukubangsa di daerah-daerah untuk dapat rnenampilkan dirinya dalam politik
nasional telah menghasilkan kemunculan berbagai konflik antar-sukubangsa dan
gerakan-gerakan separatisme yang dikhawatirkan akan menuju pada disintegrasi
bangsa Indonesia.

Ada berbagai faktor yang menjadi penyebab dari berbagai gejolak tersebut
(lihat Suparlan 2001c). Pertama sukubangsa-sukubangsa dan kebudayaan-
kebudayaan mereka di Indonesia tidaklah sederajat posisinya tetapi berada dalam

123
jenjang. Ada yang mayoritas serta dominan secara nasional, dan mayoritas dominan
secara lokal. Dalam situasi seperti ini stereotip dan prasangka antarsukubangsa
berkembang dan menjadi acuan bagi konflik antar-sukubangsa. Kedua selama
berada dibawah pemerintahan presiden Suharto orang Indonesia terbiasa untuk
menggunakan kekerasan dalam upaya memperoleh sesuatu. Yang menang dalam
konflik dengan kekerasan adalah yang dominan dan menjadi yang berkuasa, dan
dialah yang menguasai sumber-sumber daya yang ada setempat. Model kekerasan
inilah yang diacu dalam konflik-konflik yang terjadi akhir-akhir ini dengan cara
mengaktifkan kesukubangsaan masing-masing.

Ketiga konflik-konflik tersebut tidak terjadi karena perbedaan kebudayaan


tetapi karena adanya individu-individu dan kelompok-kelompok yang bersaing untuk
memperebutkan sumber-sumber daya yang ada setempat. Dalam persaingan
tersebut tidak ada aturan-aturan yang baku dan adil bagi semua pihak. Dalam
keadaan demikian maka kesukubangsaan diaktifkan dan dimanipulasi sebagai cara
untuk memperoleh kekuatan sosial dan politik melalui kohesi dan solidaritas
kelompok. Kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial politik tidak dapat dibendung
atau ditawar karena ciri-cirinya yang askriptif, primordial, dan sakral. Keempat, pada
waktu kesukubangsaan ditempeli atau diselimuti oleh keyakinan keagamaan, yang
juga bercorak primordial, maka kekuatan sosial politiknya menjadi lebih besar lagi.
Kelima, kesukubangsaan di Indonesia adalah sebuah ide dan kenyataan yang ada
dalam kehidupan sehari-hari. Kesukubangsaan tidak hanya terwujud dalarn
kehidupan masyarakat-masyarakat lokal, tetapi juga dalam kehidupan nasional, yaitu
dalam berbagai pranata yang ada dalam pemerintahan nasional Indonesia yang
terwujud dalam berbagai bentuk nepotisme yang ada dalam kebijakan-kebijakan
sosial, ekonomi, dan politik dari pemerintahan nasional maupun lokal. Kebudayaan
sukubangsa menjadi atribut bagi kesukubangsaan dan menunjukkan ciri
kesukubangsaan seseorang atau kelompok yang dibedakan dari seseorang lainnya
atau kelompok lainnya.

Sukubangsa dan Kebudayaan

Sukubangsa adalah golongan sosial askriptif, atau golongan sosial yang


didapat begitu saja oleh seseorang bersama dengan kelahirannya atau asal

124
muasalnya (Barth 1969). Sebagai golongan sosial askriptif sukubangsa mewujudkan
dirinya dalam kelompok atau masyarakat sukubangsa. Setiap masyarakat
mempunyai kebudayaan, dan masyarakat sukubangsa mempunyai kebudayaan
sukubangsa. Kebudayaan dipunyai manusia dengan cara belajar dan
mempraktekkannya. Setiap orang dapat mempelajari kebudayaan apapun. Tetapi
setiap anggota sukubangsa mempelajari dan mempunyai kebudayaannya sejak
kelahirannya, dimana dia ‘dipaksa’ untuk mempunyai kebudayaan sukubangsanya
karena kebudayaan sukubangsanya adalah ukuran kemanusiaannya. Dia menjadi
manusia menurut ukuran kebudayaan sukubangsanya, terutama menurut ukuran
nilai-nilai budayanya. Karena itu kebudayaan sukubangsa mernpunyai ciri yang
askriptif seperti kesukubangsaan. Dalam perspektif ini kebudayaan sukubangsa
bercorak primordial atau yang utama dan pertama dipunyai oleh manusia, sama
dengan keyakinan keagamaan yang dipunyai manusia yang telah didapatnya dan
diyakininya sejak masa kanak-kanaknya. Ciri kebudayaan sukubangsa yang askriptif
dan primordial inilah yang membedakannya dari kebudayaan lainnya yang dipunyai
oleh manusia.

Setiap kebudayaan berintikan pada nilai-nilai budaya, dan nilai-nilai budaya


inilah yang mengintegrasikan berbagai unsur kebudayaan sehingga operasional
sebagai acuan atau pedoman bagi tindakan-tindakan manusia, dalam pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Dalam perspektif ini saya melihat kebudayaan
sebagai blueprint atau pedoman bagi kehidupan manusia dalam menghadapi dan
memanfaatkan lingkungan beserta isinya. Kebudayaan berisikan perangkat-
perangkat sistem acuan atau model-model kognitif dan afektif yang beroperasi pada
berbagai tingkat perasaan dan kesadaran (Suparlan 1987, 1995).

Manusia menggunakan model-model tersebut secara selektif, sebagaimana


yang paling cocok dengan diri mereka masing-masing, untuk mendorong terciptanya
interpretasi-interpretasi yang penuh makna mengenai situasi-situasi yang dihadapi
dan mempedomani tindakan-tindakan mereka dalam lingkungan-lingkungan mereka,
melalui kegiatan-kegiatan mereka. Tindakan-tindakan tersebut dapat dilihat sebagai
dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan maupun sebagai tanggapan-
tanggapan terhadap struktur kekuatan yang ada dalam lingkungan-lingkungan
mereka. Kebudayaan dan golongan sosial, termasuk sukubangsa, dapat dinyatakan

125
sebagai sistem-sistem acuan dan interpretasi dan tanggapan-tanggapan. Dalam
pendekatan ini kekuatan sosial dari para pelaku diperhitungkan, yaitu dalam
tindakan-tindakan mereka dalam interaksi-interaksi dan dalam strukktur kekuatan
yang ada setempat. Keyakinan keagamaan (religiousity) selalu menempel pada
kesukubangsaan seseorang atau kelompok sukubangsa. Karena itu keyakinan
keagamaan memperkuat kesukubangsaan yang mempertegas batas-batas
kesukubangsaannya dengan kesukubangsaan dari orang atau kelompok
sukubangsa yang lainnya. Tetapi sesuatu keyakinan keagamaan yang sama dapat
juga dimiliki oleh orang atau kelompok atau kelompok-kelompok sukubangsa yang
lain. Sehingga di satu sisi keyakinan keagamaan ini dapat memperkuat
kesukubangsaan dari satu kelompok sukubangsa dalam hubungannya dengan
sukubangsa lain, tetapi dari sisi lainnya keyakinan keagamaan juga dapat
meredupkan kesukubangsaan dari kelompok-kelompok sukubangsa yang
mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Dalam keadaan demikian maka jati
diri atau identitas keagamaan menonjol dan sebaliknya pada saat yang sama
meredupkan kesukubangsaan dalam hubungan antar-sukubangsa tersebut.

Variasi dari kebudayaan yang dipunyai manusia tidak terbatas. Karena


kebudayaan adalah milik dari dan menjadi pedoman bagi kehidupan seorang
individu, kelompok sosial, komuniti, masyarakat, dan masyarakat luas seperti negara.
Pada tingkat individu kebudayaan yang dipunyainya dapat digunakan sebebas-
bebasnya dalam batas-batas ruang privasinya. Sedangkan dalam kehidupan sosial
dan kemasyarakatan kebudayaan yang dipunyai oleh seorang individu akan harus
dikompromikan dengan kebudayaan dari masyarakat dimana dia hidup, yaitu
disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku dan dengan pranata-pranata
yang dimiliki oleh masyarakat.

Pada tingkat kemasyarakatan kebudayaan operasional melalui pranata-


pranata (institutions). Pranata dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem
antarhubungan norma-norma, yang acuannya adalah nilai-nilai budaya dari
masyarakat yang bersangkutan, dengan peranan-peranan dalam upaya pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan hidup yang dianggap penting oleh masyarakat tersebut.
Melalui pranata-pranata ini berbagai corak dan tingkat perkembangan kebudayaan
dari sesuatu masyarakat dapat diidentifikasi. Dalam masyarakat majemuk

126
keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaanya dapat dilihat secara horizontal
maupun secara vertikal. Di satu pihak terdapat sejumlah masyarakat dengan
kebudayaan sukubangsanya yang secara ekonomi dan teknologi tergolong maju dan
modern sedangkan di pihak lain terdapat sejumlah masyarakat dengan kebudayaan
sukubangsanya yang secara teknologi dan ekonomi terbelakang.

Di tahun 1970-an sejumlah ahli antropologi menafikan model masyarakat


majemuk dan menonjolkan pentingnya keanekaragaman kebudayaan yang secara
vertikal mencolok dalam masyarakat. Mereka menekankan pentingnya
keanekaragaman kebudayaan, yang menjadi sebuah ideologi yang dinamakan
pluralisme budaya (cultural pluralisme) (lihat: Maybury Lewis 1984). Dalam konsep
pluralisme budaya peraturan atau perundangan yang dibuat oleh pemerintah yang
bersangkutan harus menghargai perbedaan-perbedaan budaya yang merupakan
produk-produk sejarah yang berlaku dalam masyarakat setempat dan pemerintah
harus secara nasional menjamin kesamaan derajat diantara mereka semua.
Pluralisme budaya merupakan ideologi yang secara langsung atau tidak langsung
mendasari kemunculan dan multikulturalisme.

Multikulturalisme

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan


dalam kesederajatan (Bennett 1995, Jary dan Jary 1991, Nieto 1992, Watson 2000).
Baik perbedaan individual maupun perbedaan kebudayaan. Multikulturalisme
menjadi acuan keyakinan untuk terwujudnya pluralisme budaya, dan terutama
memperjuangkan kesamaan hak dari berbagai golongan minoritas baik secara
hukum maupun secara sosial. Dalam perjuangan ini multikulturalisme merupakan
acuan yang paling dapat diterima dalam masyarakat yang demokratis karena yang
diperjuangkan oleh pendukung multikulturalisme adalah sejalan dengan perjuangan
para penganut demokrasi.

Bila masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup dalam sebuah


masyarakat majemuk ini berada dalam saling hubungan berjenjang baik pada tingkat
nasional maupun pada tingkat-tingkat lokal sehingga menghasilkan adanya golongan

127
minoritas maka multikulturalisme menjadi acuan bagi memperjuangkan kesamaan
hak-hak dari semua warga masyarakat majemuk tersebut, terutama hak-hak dari
golongan minoritas. Perjuangan ini dapat dilakukan melalui affirmative action seperti
yang telah dilakukan di Amerika Serikat secara efektif sejak akhir tahun 1960-an.
Dan, secara bersamaan dilakukan melalui perjuangan legal atau hukum dengan
merubah perundangan yang mendiskriminasi dan merugikan mereka yang tergolong
minoritas, serta secara sosial menciptakan kehidupan yang meniadakan berbagai
bentuk ungkapan pelecehan dan diskriminasi terhadap minoritas.

Model multikulturalisme juga menentang digunakannya kesukubangsaan,


etnosentrisme, rasisme, dan gender dalam kehidupan sehari-hari di tempat-tempat
umum dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Primordialisme yang
merupakan salah satu dari ciri-ciri dan kesukubangsaan dari kehidupan sukubangsa
sebaiknya hanya digunakan dalam ruang-ruang budaya dan sukubangsa itu dan
tidak dalam kehidupan antar-sukubangsa atau dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Bila pun harus digunakan di tempat-tempat umum atau dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara maka kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsa
harus menonjolkan ciri-cirinya yang menghangai perbedaan dan menekankan
kebersamaan untuk kepentingan kesejahteraan hidup bersama.

Hak-hak individu dan komuniti untuk berbeda harus dihormati dan berbagai
bentuk ungkapan dari stereotip dan prasangka karena perbedaan-perbedaan
individual dan komunal dalam kehidupan bersama ditentang dalam model
multikulturalisme. Hak-hak individu dan komuniti untuk berbeda sebenarnya dapat
dilihat sebagai perbedaan kebudayaan dan ungkapan-ungkapan budaya secara
individual maupun secara komunal. Model multikulturalisme mendorong warga
masrarakat-masyarakat sukubangsa dalam masyarakat majemuk untuk
melonggarkan batas-batas sukubangsa dan rasial yang dipagari oleh kebudayaan
masing-masing sukubangsa. Cara yang dapat dilakukan adalah untuk dapat saling
berhubungan dalam berbagai kegiatan sosial sehari-hari dan melalui pendidikan di
sekolah yang bertujuan untuk saling memahami kebudayaan-kebudayaan
sukubangsa mereka yang saling berbeda. Melalui pemahaman ini maka stereorip
dan prasangka dapat dihilangkan dari perasaan persaudaraan dalam kesederajatan
dapat dibangun dan dikembangkan.

128
Pada masa sekarang setiap masyarakat lokal tidak lagi homogen sebagai
sebuah masyarakat sukubangsa yang ‘asli’ setempat, tetapi merupakan sebuah
masyarakat yang heterogen secara sukubangsa. Dalam masyarakat heterogen yang
seperti ini terdapat penjenjangan berdasarkan kesukubangsaan, yaitu berdasarkan
patokan sukubangsa yang asli, yang setengah asli, dan yang asing. Penjenjangan ini
berbuntut pada adanya perbedaan posisi sosial dalam struktur kehidupan
masyarakat setempat dan terwujud juga dalam bentuk diskriminasi berkenaan
dengan hak dan kewajiban di dalam kehidupan sehari-hari.

Corak masyarakat lokal yang heterogen ini juga dibarengi oleh adanya
keanekaragaman kebudayaan. Melalui kegiatan-kegiatan antar-budaya untuk saling
memahami yang didorong oleh ide multikulturalisme dan yang didukung oleh upaya
secara hukum untuk kesamaan derajat, maka kemajemukan kebudayaan
masyarakat lokal akan terwujud sebagai sebuah mozaik budaya. Dalam mozaik
budaya tersebut masing-masing kebudayaan direpresentasikan sebagai puncak-
puncak kebudayaan atau nilai-nilai budaya yang menjadi ciri utama dan ditonjolkan
oleh masing-masing dan semua masyarakat sukubangsa dan sebuah masyarakat
lokal. Kebudayaan bangsa juga akan merupakan sebuah mozaik budaya yang
merupakan puncak-puncak kebudayaan di daerah, sebagaimana yang tertuang dan
dinyatakan dalam penjelasan Pasal 22 UUD 1945, yang merupakan buah pikiran
para pendiri bangsa Indonesia.

Penutup

Pluralisme budaya, multikulturalisme dan mozaik budaya tidak akan terwujud


dan hanya akan menjadi slogan atau buah bibir saja yang hanya menarik untuk
diomongkan bila tidak diupayakan untuk diwujudkan. Hal yang sama juga berlaku
untuk demokrasi dan supremasi keadilan berdasarkan hukum, ataupun dengan
kesejahteraan kehidupan ekonomi yang adil dan merata. Multikulturalisme,
demokrasi, dan kesejahteraan kehidupan ekonomi adalah saling berkaitan satu
dengan lainnya, dan seharusnya perjuangan untuk kesejahteraan hidup dan
kemajuan ekonomi harus dibarengi dengan perjuangan untuk menciptakan hukum

129
dan perundangan yang betul-betul adil, dan dibarengi juga dengan perjuangan untuk
menciptakan masyarakat Indonesia yang multikultural sebagai landasannya atau
wadahnya.

Kalau pembahasan mengenai multikulturalisme tersebut di atas diperhatikan


dengan sungguh-sungguh, maka landasan dari multikulturalisme adalah kebudayaan
dari masyarakat-masarakat setempat. Dan, kalau konsep kebudayaan diperhatikan
dengan sungguh-sungguh maka kebudayaan adalah kehormatan pemiliknya karena
kebudayaan menjadi acuan bagi jatidiri manusia dari golongan sosial atau
masyarakat manusia. Kebudayaan, terutama nilai-nilai budayanya atau patokan
penilaian berdasarkan kebudayaan yang bersangkutan mengenai yang baik yang
bertentangan dengan yang jelek, adalah acuan utama yang seharusnya digunakan
dalam membangun kembali kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia, dan hal ini
sebaiknya dilakukan dengan upaya merubah masyarakat kita yang majemuk, karena
berbagai dampak yang merugikan bangsa Indonesia, menjadi masyarakat yang
multikultural (Suparlan, 2002).

Selama ini, kita bangsa Indonesia, telah terbelenggu dalam paradigma


budaya yang dibangun dan dimantapkan oleh pemerintahaan Orde Baru di bawah
presiden Suharto. Dalam paradigma budaya tersebut ditonjolkan kekerasan,
kesewenang-wenangan, orientasi kepada atasan tetapi menindas dan memeras
bawahan, pemanipulasian nepotisme dan kesukubangsaan serta keyakinan
keagamaan yang primoldialistik sebagai kekuatan politik, merampok dan mencuri
dan bahkan dalam dunia akademik dan perguruan tinggi pencurian ide orang lain
atau plagiatisme di Indonesia dianggap sebagai hal biasa, kolusi, korupsi, hukum
dan perundangan yang menguntungkan atasan dan berbagai bentuk pelanggaran
HAM.

Selama pemerintahan Orde Baru tidak pernah ada pemikiran mengenai


ataupun upaya untuk pengembangan mutu dan peningkatan produktifitas. Yang ada
adalah meramu atau menimbah dan mengeksploitasi hutan dan sumber-sumber
daya alam dan menjualnya keluar negeri dalam keadaan mentah. Padahal
masyarakat dapat hidup dan tetap hidup berkelanjutan dan meningkat
kesejahteraannya karena produktivitasnya. Tanpa produksi yang mencukupi untuk

130
membiayai kehidupannya maka sebuah masyarakat akan punah. Kegiatan
produktivitas tanpa acuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tanpa patokan etika
tidak mungkin dapat berhasil untuk mensejahterakan kehidupan masyarakatnya.

Pedoman etika inilah yang tidak dipunyai oleh Indonesia. Yaitu sebuah
pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tidakan-tindakan pelaku
dalam sebuah profesi yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral
dan nilai-nilai yang mendukung data menjamin dilakukannya kegiatan profesi si
pelaku sebagaimana seharusnya sesuai dengan hak dan kewajibannya. Sehingga
peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses
masukan menjadi keluaran yang bermutu (lihat Bertens 2001, dan Magnis Suseno
1987).

Kalau kita perhatikan kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia,


dan kalau kita perhatikan lebih lanjut bahwa inti dari pedoman bagi kehidupan ini
adalah nilai-nilai budi luhur, adab, dan etika adalah adab atau prinsip-prinsip moral,
maka tanpa adanya pedoman etika dalam kehidupan kita sebagai orang Indonesia
sebenarnya kita tidak mempunyai etika atau tidak beradab terutama dalam kegiatan-
kegiatan kerja dan kehidupan sosial. Multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang
mengagungkan kesederajatan dalam perbedaan adalah sebuah ideologi yang
menekankan perjuangan budaya supaya manusia bisa beradab. Perjuangan ini tidak
akan berhasil bila tidak saling dukung mendukung dengan penjuangan menuju
masyarakat yang demokratis. Dengan hukum yang menekankan keadilan dan
kepentingan orang banyak, dan kehidupan yang menekankan pada kerja dan
produktivitas untuk kesejahteraan orang banyak atau masyarakat.

Kepustakaan
Barth, Fredrik
1969 “Introduction”. Dalam Fredrik Barth (Editor), Ethnic Groups and
Boundaries. Hal. 7-39. Boston: Little, Brown and Company.

Bennett, Charles, 1995. Comprehensive Multicultural Education: Theory and

131
Practice. Boston: Allyn and Bacon.
Bersten, C. 2001 Etika. Jakarta: Gramedia.
Furnivall, J.S. 1948 Colonial Policy and Practice: A comparative study of Burma
and Netherlands India. Cambridge: Cambridge University Press.
Jary, David and Julia Jary, 1991. “Multiculturalism”. Hal. 319. Dictionary of
Sociology. New York: Harper.
Magnis-Suseno,1987 Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Maybury-Lewis, D., 1982. The Prospec of Plural Societies. Washington: American
Ethnological Society.
Nieto, Sonia, 1991. Affirming Diversity: The sociopolitical context of multicultural
education. New York: Longman.
Smith, M.G., 1965. The Plural Society in the British Indies. Berkeley: Univerfsity of
California Press.
Suparlan, Parsudi,1982 Pokok-pokok pikiran mengenai strategi pengembangan
kebudayaan nasional. Makalah disampaikan kepada Direktur Sejarah
dan Nilai- Nilai Tradisional, Dep P. dan K.
________ “Ethnic Groups of Indonesia”. Indonesian Quarterly, vol.7, no.2,
hal. 52-75. CSIS.
________ 1985 “Kebudayaan dan Pembangunan”. Media IKA, vol.14, no.2,
hal. 106-135. Jurusan Antropologi, U.I.
________ 1995 The Javanese in Surinam: Ethnicity in an ethnically plural society.
Tempe, Arizona: SEA Program, Arizona State University Press.
________ 2000. “Masyarakat Majemuk dan Perawatannya”. Jurnal Antropologi
Indonesia, vol.63, hal. 1-14.

132
BAGIAN II

KEBUDAYAAN,

MASYARAKAT MAJEMUK,

DAN KONFLIK

ANTAR-SUKUBANGSA

133
1 Kemajemukan,
Hipotesis Kebudayaan
Dominan, dan
Kesukubangsaan

Pendahuluan: Hipotesis kebudayaan dominan

D
alam menganalisis perwujudan kesukubangsaan di antara para migran di
kota Bandung dan Medan, Bruner (1974) telah menunjukkan kegunaan
hipotesis kebudayaan dominan yang dibuatnya sebagai model analisis.
Hipotesis kebudayaan dominan adalah sebuah model substantif yang merefleksikan
kenyataan hubungan antar-sukubangsa dalam sebuah konteks struktur kekuatan
setempat. Produk dari hubungan antar-sukubangsa tersebut ditentukan oleh corak
hubungan di antara suku-suku bangsa setempat yang ada, dan oleh corak hubungan
antara masing-masing sukubangsa tersebut dengan struktur kekuatan setempat
yang ada.

Dalam hipotesis kebudayaan dominan tercakup tiga unsur yang masing-


masing berdiri sendiri, tetapi satu sama lainnya saling berhubungam, dan
menentukan corak kesukubangsaan atau produk dan hubungan antar-sukubangsa
yang terjadi. Unsur-unsur tersebut adalah:
Demografi sosial yang mencakup rasio populasi dan corak heterogenitas serta
tingkat percampuran hubungan di antara suku-suku bangsa yang ada dalam
sebuah konteks latar tertentu.
Kemantapan atau dominasi kebudayaan suku bangsa setempat, bila ada, dan
cara-cara yang biasanya dilakukan oleh anggota-anggota kelompok-kelompok
sukubangsa pendatang dalam berhubungan dengan suku-suku bangsa

134
setempat dan penggunaan kebudayaan masing-masing serta
pengartikulasiannya.
Keberadaan dari kekuatan sosial dan pendistribusiannya di antara berbagai
kelompok sukubangsa yang hidup dalam konteks latar tersebut.

Dengan menggunakan model ini Bruner memperbandingkan Bandung dan


Medan. Orang Sunda di Bandung adalah mayoritas dan dominan, yaitu mereka
menetapkan patokan-patokan bagi kelakuan yang layak yang harus ditunjukkan di
tempat-tempat umum, dan hampir semua pranata perkotaan Bandung dikendalikan
oleh orang Sunda dan beroperasi sesuai dengan pola-pola kebudayaan Sunda.
Mereka menduduki posisi-posisi kunci dalam struktur kekuasaan kota dari jabatan
gubernur, walikota. Rektor-rektor universitas setempat sampai dengan jabatan-
jabatan kepala-kepala kantor wilayah. Sebaliknya, di Medan tidak ada satu
sukubangsa pun yang dominan secara demografi sosial, dan tidak ada kebudayaan
dominan seperti yang terdapat di Bandung. Orang Jawa yang merupakan mayoritas
di Medan bukanlah kelompok dominan, karena mereka ini golongan kelas sosial
rendah yang tidak mempunyai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik. Karena itu,
kebudayaannya tidak merupakan model kebudayaan dominan bagi kelompok-
kelompok sukubangsa lainnya. Masing-masing suku bangsa mempertahankan
kebudayaan dan kesukubangsaannya, hidup mengelompok di antara sesama
sukubangsanya. Kesukubangsaan dan agama sukubangsa menjadi acuan utama
dalam penggolongan di antara warga penduduk Medan.

Bila para migran di Bandung mengambil posisi masing-masing dalam sistem


perkotaan yang mengacu pada kebudayaan dominan, maka para migran di Medan
mengelompok bersama dengan sesama warga sukubangsanya dan memperkuat
posisi kelompok sukubangsanya dalam hubungan antar-sukubangsa dan dalam
bersaing untuk posisi-posisi yang ada dalam struktur kekuasaan kota Medan. Bila
kehidupan sosial Bandung ditandai dengan adanya keteraturan karena para migran
yang bukan Sunda mengadaptasi diri dengan kebudayaan Sunda dan cenderung
menjadi seperti Sunda, sementara itu. di Medan, masing-masing kelompok
sukubangsa menciptakan keteraturan sosial dalam lingkungan kehidupan
masyarakat sukubangsanya. Di tempat-tempat umum mereka saling berkompetisi
dengan mengaktifkan masing-masing kesukubangsaannya. Tawar menawar

135
kekuatan dalam bentuk konflik atau kerja sama di antara kelompok-kelompok
sukubangsa dalam memenangkan persaingan menyebabkan corak kesukubangsaan
di Medan berbeda dengan yang terdapat di Bandung.

Apa yang terjadi dengan orang Jawa di Bandung dalam kerangka berpikir
yang menggunakan model kebudayaan dominan dapat diperbandingkan dengan
yang terjadi di Ambon dan Sambas. Tiga lokasi tersebut mempunyai ciri-ciri yang
sama, yaitu adanya kebudayaan dominan setempat, walaupun Sambas bukanlah
daerah perkotaan.

Model kebudayaan dominan dan kasus-kasus Bandung, Ambon,


dan Sambas.

Orang Jawa di Bandung

Salah satu ciri utama dan ada atau tidak adanya kebudayaan dominan dalam
sebuah masyarakat ialah adanya aturan-aturan main atau konvensi sosial dalam
saling berhubungan yang keberadaannya diakui dan digunakan oleh para pelaku dari
berbagai kelompok suku bangsa yang hidup bersama dalam sebuah masyarakat.
Dalam masyarakat dengan kebudayaan dominan, para pelaku dan kelompok-
kelompok suku bangsa yang tidak dominan menyesuaikan diri dengan dan tunduk
pada aturan-aturan main yang ditetapkan oleh masyarakat setempat yang dominan.
Dalam masyarakat yang tidak mengenal adanya kebudayaan dominan, aturan-
aturan main terwujud melalui tawar menawar kekuatan sosial yang dihasilkan dari
proses-proses interaksi sosial yang berlangsung dari waktu ke waktu dan dari
generasi ke generasi. Aturan main yang telah mantap yang menjadi acuan bagi
kelakuan yang layak dan harus ditunjukkan di tempat-tempat umum dikontrol dan
diwasiti oleh masyarakat setempat sebagai benar atau salah dari waktu ke waktu.

Dari penelitian saya mengenai orang Jawa di Bandung (1972) diketahui


bahwa para migran Jawa di kota tersebut cenderung untuk menjadi seperti orang
Bandung dalam upaya mereka untuk mentaati aturan yang berlaku di tempat-tempat

136
umum. Ini berlaku, terutama dalam kehidupan orang Jawa yang tergolong menengah
dan bawah. Mereka ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial di kampung tempat
mereka tinggal, sehingga terdapat kesan bahwa mereka itu berusaha untuk dapat
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat yang
berkebudayaan Sunda. Dalam kehidupan keluarga, mereka juga cenderung
menggunakan kebudayaan dan bahasa Sunda. Anak-anak mereka yang dilepaskan
oleh orang tua untuk dapat bergaul bebas dengan teman-teman di lingkungan
sekolah dan tetangga di kampung kota Bandung cenderung lebih fasih berbahasa
dan berkelakuan seperti orang Sunda daripada sebagai anak orang Jawa. Anak-
anak tersebut cenderung mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Bandung. Kalau
ditanya apakah orang tua mereka itu orang Bandung, baru mereka menjawab bahwa
mereka itu mempunyai orang tua asal Jawa.

Hubungan antara orang-orang Sunda dan orang-orang Jawa memperlihatkan


keteraturan sosial yang berlaku. Walaupun konflik juga terjadi di antara mereka yang
berasal dari Jawa dengan penduduk setempat, tetapi konflik tersebut tidak
menyebabkan diaktifkannya sukubangsa sebagai acuan bagi penggalangan
solidaritas sosial untuk saling memusuhi dan mengalahkan. Hal itu disebabkan
adanya aturan main yang ditetapkan dalam kehidupan sosial yang disetujui bersama
dan diikuti sebagaimana seharusnya. Begitu juga halnya dengan pelaku orang Jawa
yang terlibat dalam konflik yang lebih menonjolkan jatidirinya sebagai perorangan
(bila yang bersangkutan adalah pendatang Jawa) atau sebagai orang Bandung dari
kampung setempat (bila yang bersangkutan kelahiran Bandung). Sebaliknya, mereka
yang tergolong dalam golongan sosial atas atau golongan elite Jawa dan keluarga
perwira tinggi militer mempunyai kecenderungan untuk tetap mempertahankan jatidiri
mereka yang Jawa, disamping jatidiri kosmopolitan atau modern yang mereka
adopsi. Mereka dapat mempertahankan kesukubangsaan mereka yang Jawa,
karena kehidupan sehari-hari mereka dapat terbebas dari keharusan untuk tunduk
dan mengikuti aturan-aturan main yang berlaku menurut kebudayaan Sunda yang
dominan di tempat-tempat umum. Mereka mempunyai kekuatan sosial, karena pasisi
sosial, ekonomi, dan politik yang berada di luar jangkauan ruang lingkup kebudayaan
Sunda di Bandung.

137
Bahkan pada waktu tokoh-tokoh masyarakat Sunda di Bandung merasakan adanya
dominasi kebudayaan Jawa pada 1969-1970, mereka tidak memusuhi orang-orang
Jawa yang dalam kenyataannya telah menjadi seperti orang Bandung atau menjadi
orang Bandung. Yang mereka musuhi adalah kebudayaan Jawa, yaitu sebuah
kategori lawan yang abstrak yang mereka tentang secara abstrak pula. Yang mereka
lakukan adalah mendirikan perkumpulan-perkumpulan kesenian dan penggalian
nilai-nilai budaya Sunda. Mereka berusaha membangkitkan dan menghidupkan
kembali ide tentang ke-Sundaan melalui perkumpulan-perkumpulan yang jumlahnya
lebih dari seratus buah untuk menentang masuk dan digunakannya aturan-aturan
yang ada dalam kebudayaan.

Orang Buton, Bugis,Makassar di Ambon

Dari penelitian yang dilakukan oleh tim Universitas Indonesia (Suparlan


1999a), diketahui bahwa sebelum zaman Orde Baru, kondisi masyarakat kota
Ambon dan sekitarnya mirip dengan kondisi masyarakat Bandung. Ambon dan
daerah sekitarnya (Kota Madya Ambon) dihuni oleh penduduk setempat yang
mayoritas dalam jumlah dan dominan dalam kebudayaan, yaitu orang Ambon
dengan kebudayaan Ambon yang Kristen. Orang Ambon yang beragama Islam
adalah minoritas. Mereka tinggal di kampung Batu Merah, sebuah pemukiman di
kota Ambon. Migran dari luar Ambon yang telah datang sejak permulaan abad ke-20
dalah orang-orang Buton yang beragama Islam. Mereka tinggal di desa-desa yang
terletak di sekeliling kota Ambon. Secara tradisional, mereka memperoleh izin tinggal
dan hidup di desa-desa dari kepala-kepala desa adat yang dinamakan raka atau
latuputi - dari desa masing-masing tempat mereka menetap. Mereka hidup
mengelompok di antara sesamanya sebagai petani dan sebagian merangkap
sebagai pedagang kecil. Hubungan antara orang Buton dan orang Ambon dalam
masyarakat desa setempat rukun. Mereka berada dalam suatu hubungan simbiotis
yang secara ekonomi dan sosial saling menguntungkan. Orang Buton membangun
atau memperbaiki mereka yang Ambon. Penduduk setempat demikian pula
sebaliknya.

138
Pada zaman Orde Baru terutama dalam paruh pemerintahan kedua
pemerintahan Orde Baru dan setelah kejatuhannya, di mana semangat kebangkitan
Islam di Indonesia mengebu-gebu, struktur kekuatan masyarakat kota Ambon dan
sekitarnya menjadi berubah. Struktur kekuatan masyarakat kota Ambon yang Ambon
dan tambah menjadi Islam yang Ambon atau Islam yang Buton, Bugis, Makassar
(BBM). Jabatan-jabatan politik dan administrasi kunci seperti Gubernur, Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Wali Kota, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil),
Kepala Dinas (Kadis). Atau Kepala Direkorat (Kadit), didominasi oleh orang Islam
Ambon atau BBM. Penggeseran keberadaan kebudayaan dominan dan Ambon
Kristen menjadi Islam dibarengi dengan kedatangan migran dalam jumlah yang relatif
besar asal BBM dibandingkan dengan daya tampung kota Ambon. Pendatang BBM
ini mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang diabaikan oleh orang Ambon karena
dianggap sebagai pekerjaan kasar dan tidak bergengsi. Misalnya, tukang becak, kuli
pelabuhan, pedagang kaki lima, tukang pembersih dan pengangkut sampah. Dalam
waktu sekian tahun para pendatang BBM mengambil alih berbagai pekerjaan dan
jabatan melalui hubungan-hubungan kerabat dan kesukubangsaan dan keagamaan.
Tempat umum yang semula adalah tempat-tempat beroperasinya kebudayaan
Ambon yang Kristen, sekarang juga menjadi tempat-tempat beroperasinya
kebudayaan Islam yang BBM. Berbagai patokan aturan main di tempat-tempat umum
kota Ambon telah berubah. Orang-orang BBM menguasai tata kehidupan pasar
eceran, transportasi, perkulian dan kerja kasar serta hiburan, dan bahkan menguasai
pula suasana keagamaan kota Ambon yang semula adalah Kristen yang Ambon.
Mereka juga menguasai kehidupan dunia bawah tanah melalui kegiatan-kegiatan
para preman dan tukang palaknya.

Pendatang-pendatang baru BBM ini memiliki cara-cara hidup dan strategi


adaptasi yang berbeda dibandingkan dengan cara-cara hidup dan strategi yang
dilakukan oleh para pendatang Buton yang terdahulu. Bila para pendatang yang
terdahulu itu dianggap oleh orang Ambon sebagai orang yang tahu adat, maka para
pendatang baru BBM tersebut dianggap sebagai orang yang tidak tahu adat dan,
bahkan, menjadi sewenang-wenang dan mau menang sendiri. Bila para pendatang
Buton yang terdahulu serta keturunannya dianggap sebagai saudara atau kerabat
yang lebih muda atau lebih rendah derajatnya oleh warga desa setempat yang
Ambon, maka para pendatang BBM yang baru tersebut dianggap sebagai musuh

139
yang hanya merugikan dan merendahkan derajat orang Ambon. Bila agama Islam
yang dipeluk oleh pendatang Buton terdahulu dilihat sebagai agama Islam yang cinta
damai dan tidak mengganggu orang Kristen, maka agama Islam pendatang BBM
yang baru dianggap sebagai agama yang mau mendominasi kehidupan Kristen
mereka. Aturan-aturan main yang ada, menurut kebudayaan dominan Ambon yang
Kristen, telah diobrak-abrik dan diganti serta didominasi oleh aturan main BBM yang
Islam.

Jarak sosial antara orang Ambon yang Kristen dan BBM yang Islam menjadi
dipertegas, karena para pendatang BBM cenderung hidup mengelompok di antara
sesama mereka yang terpisah dari orang Ambon yang Kristen. Batas-batas sosial
antara ‘kami’ dan ‘mereka’ menjadi jelas, dan batas-batas sosial tersebut dipertegas
oleh simbol-simbol kebudayaan masing-masing sukubangsa. Batas-batas ini, yang
menjadi acuan bagi pembenaran konflik-konflik kecil sebelum terjadinya kerusuhan
Ambon, mengungkapkan sistem kognisi yang ada dalam hubungan antar-
sukubangsa (Ambon versus BBM) sebagai hubungan kategorial yang berisikan ciri-
ciri stereotip. Masing masing pihak tidak melihat satu sama lainnya sebagai manusia,
tetapi sebagai golongan atau ciri-ciri stereotip. Berdasarkan cara berpikir seperti itu,
maka juga tindakan-tindakan kekerasan dan kekejaman yang saling mereka lakukan
satu sama lainnya masuk akal menurut kebudayaan mereka, karena yang dikerasi
atau dikejami itu bukan lagi manusia. ‘Kamilah yang manusia mereka bukan
manusia. Kamilah yang suci, mereka itu kafir.’ Penusukan sopir angkutan kota
(angkot) Ambon oleh preman BBM yang menjadi pemicu kerusuhan dapat dilihat
dalam struktur berpikir seperti tersebut di atas dan, karena itu dapat memicu
solidaritas suku bangsa dan agama.

Orang Madura di Kabupaten Sambas

Walaupun model kebudayaan dominan sebagaimana yang semula diajukan


oleh Bruner hanya untuk daerah perkotaan, tetapi model ini juga relevan dengan
permasalahan hubungan antar-sukubangsa yang ada di daerah pedesaan dan
wilayah administrasi yang mencakup daerah perkotaan dan pedesaan sebagai
sebuah satuan konteks masyarakat. Dalam penelitian yang dilakukan di Kabupaten

140
Sambas (Suparlan 1999b) diketahui bahwa sesungguhnya masyarakat Kabupaten
Sambas pada dasarnya mencakup dua wilayah kebudayaan, yaitu wilayah
kebudayaan orang Melayu di daerah pantai dan wilayah kebudayaan orang Dayak di
daerah pedalaman. Secara tradisional, masing-masing suku bangsa ini mengakui
keberadaan dan dominasi masing-masing kebudayaan di wilayah masing-masing.
Walaupun dalam tradisi politik di Sambas, orang Melayu lebih dominan daripada
orang Dayak, melalui kekuasaan kerajaan-kerajaan Melayu, tetapi dominasi wiayah-
wilayah kebudayaan masing-masing tetap diakui, dan masing-masing saling
menghormatinya. Mereka hidup berdampingan dalam suatu hubungan simbiotis
yang saling menguntungkan: Banyak terjadi kawin-mawin di antara mereka. Seorang
Dayak yang masuk Islam tidak dikatakan sebagai masuk Islam, tetapi masuk Melayu.
Dengan masuk Islam. Si orang Dayak bukan hanya memeluk agama, melainkan juga
memeluk dan menjadikan kebudayaan Melayu sebagai pedoman bagi
kehidupannya. Kebudayaan Melayu adalah acuan bagi jatidiri suku bangsanya.
Tidak hanya orang Melayu dan Dayak yang hidup di Kabupaten Sambas, tetapi juga
orang-arang asal Bugis, Cina dan berbagai suku bangsa lainnya dalam jumlah yang
kecil. Orang-orang Bugis yang memahami adanya kebudayaan dominan Melayu di
daerah pantai Sambas cenderung menjadi seperti Melayu dan setelah sekian
generasi menjadi orang Melayu. Sebaliknya orang-orang Cina, yang karena
mempunyai keyakinan agama yang berbeda, cenderung mempentahankan jatidiri
kecinaannya. Hubungan antara penduduk setempat dan orang Cina berjalan dengan
baik, karena orang-orang Cina menghormati patokan-patokan aturan main yang
berlaku di tempat-tempat umum sesuai dengan kebudayaan dominan Melayu.

Para migran asal Madura yang datang ke Kabupaten Sambas sejak 1920-an
adalah buruh atau kuli pembuat jalan, buruh tani, petani, tukang becak, serta sopir
kendaraan umum. Mereka yang menetap di daerah pedesaan hidup sebagai petani
atau sebagai pekerja serabutan. Mereka hidup mengelompok dengan sesama
mereka yang satu kerabat atau yang berasal dari satu desa. Pengelompokan
pemukiman mereka biasanya ada di sekitar rumah seorang kyai atau guru mengaji
yang menjadi tokoh mereka, yang dibangun di dekat surau atau masjid dan
madrasah. Orang-orang Madura di Sambas tidak memperhatikan atau, bahkan,
boleh dikatakan tidak memandang sebelah mata berbagai adat istiadat orang Melayu
atau orang Dayak. Mereka hidup dalam lingkungan komuniti mereka sendiri yang

141
terpisah dari komuniti pedesaan orang Melayu. Dalam kehidupan sehari-harinya
mereka berbahasa Madura dan berpedoman pada kebudayaan Madura dan
Bangkalan. Mereka juga mempunyai keyakinan keagamaan Islam yang berbeda dari
yang dipeluk oleh orang Melayu, yang menurut keterangan adalah pengikut Tarekat
Naqsabandiyah Khalidiyah.

Mereka juga tidak mempunyai rasa hormat kepada orang Melayu yang
mereka anggap sebagai penakut dan orang Dayak sebagai orang kafir. Mereka
menganggap remeh berbagai ketentuan adat setempat dan hukum yang berlaku,
termasuk membawa senjata tajam di tempat-tempat umum. Oleh orang Melayu dan
orang Dayak di Sambas orang Madura dikenal sebagai orang yang dengan cepat
mencabut senjata dan melukai atau membunuh orang yang telah menyinggung
perasaan mereka. Sebagian dari orang Madura memanfaatkan situasi yang ada
dalam kehidupan orang Melayu tersebut untuk melakukan tindakan-tindakan
kriminal dengan cara kekerasan. Orang Melayu tidak berani atau tidak mau
melawannya. Berbeda dengan orang Dayak yang selalu memberikan perlawanan
bila darah telah tumpah karena perbuatan orang Madura. Konflik Melayu-Madura
telah berlangsung sebanyak sepuluh kali dan memakan korban yang tidak sedikit di
kedua belah pihak. Kebudayaan orang Melayu di Sambas dapat dikatakan
mempunyai kemiripan dengan kebudayaan Jawa atau Sunda, Mereka ini
menekankan pentingnya sopan santun, rukun dan saling memaafkan bila terjadi
kesalahan, menjunjung tinggi budi pekerti, lebih suka menghindari konflik dan taat
hukum. Banyak dari mereka yang menceritakan kepada saya tentang penderitaan
mereka sebagai korban pemerasan dan penipuan yang dilakukan oleh orang-orang
Madura yang kriminal. Bahkan, ada keluarga-keluarga Melayu yang terpaksa harus
melarikan diri dari Pemangkat dan Tebas ke Pontianak karena tidak berani melawan
ancaman-ancaman oknum-oknum preman. Namun dalam keadaan terpaksa mereka
bisa mengamuk.

Apa yang mereka alami dalam hubungan mereka dengan orang-orang


Madura di Kabupaten Sambas adalah pengalaman pahit atas kekalahan yang
mereka derita secara tidak adil dan sewenang-wenang dengan tipuan, paksaan dan
kekerasan yang beresiko korban nyawa mereka. Orang-orang Madura telah tidak
mengikuti aturan main yang berlaku dalam wilayah kebudayaan dominan mereka.

142
Bahkan orang-orang Madura, yang dilihat sebagai pendatang oleh orang-orang
Melayu, telah mengambil alih aturan-aturan main yang berlaku di tempat-tempat
umum dan menggantikannya dengan aturan main cara Madura yang penuh dengan
kekerasan. Karena orang-orang Madura itu hidup menyendiri dalam dunia mereka
sendiri, maka orang-orang Melayu ataupun orang-orang Dayak tidak mengenal
orang-orang Madura sebagai orang perorang. Mereka mengenal orang-orang
Madura sebagai golongan dengan ciri-ciri stereotipnya, ciri-ciri stereotip yang tidak
ada satu pun yang bagus dalam pandangan orang Melayu dan Dayak. Karena itu,
pada waktu terjadi kerusuhan antara orang Melayu dan Madura, orang-orang Melayu
hanya melihat orang-orang Madura sebagai ciri-ciri stereotip, sehingga perbuatan-
perbuatan kekerasan dan kekejaman yang mereka pelajari dari perlakuan orang
Madura terhadap mereka, mereka gunakan terhadap orang Madura. Dampak dari
hubungan antar-sukubangsa yang didasari oleh ciri-ciri stereotip adalah bahwa
hubungan di antara para pelaku tidak ada unsur hubungan kemanusiaannya.

Penutup: Kebudayaan Dominan dan Aturan Main

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa tidak semua wilayah di Indonesia ini
adalah wilayah tidak bertuan. Medan mungkin merupakan sebuah perkecualian.
Para migran dari berbagai suku bangsa di Medan dapat hidup untuk bersaing
menentukan aturan-aturan main yang menguntungkan masing-masing dan untuk
menguasai kebudayan yang berlaku setempat. Kasus orang Jawa di Bandung, bila
diperbandingkan dengan kasus Ambon dan Sambas, akan menampakkan dengan
jelas perbedaan dalam strategi adaptasi dari para pendatang Jawa di Bandung
dengan strategi adaptasi para pendatang BBM di Ambon dan Madura di Kabupaten
Sambas. Baik para pendatang BBM maupun Madura menerapkan prinsip menguasai
kebudayaan yang berlaku setempat dan memantapkan patokan-patokan aturan main
sesuai dengan kebudayaan mereka untuk diikuti oleh suku-suku bangsa lainnya,
termasuk suku bangsa setempat yang dominan.

Dalam tulisan ini peranan sistem nasional Indonesia tidak disinggung secara
mendalam. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa saya mengabaikannya. Apa
yang ingin saya tunjukkan adalah adanya kebudayaan dominan di suatu masyarakat,

143
dan bahwa kebudayaan dominan tersebut menetapkan patokan-patokan aturan main
yang harus diikuti oleh semua warga masyarakat yang tercakup di dalamnya. Dalam
kasus-kasus Ambon dan Sambas terkesan bahwa sistem nasional tidak berdaya
dalam berhadapan dengan para pendatang yang menggunakan cara-cara paksa dan
kekerasan atau cara-cara preman. Bahkan, dari informasi yang saya peroleh di
Ambon dan berbagai kota kecamatan di Kabupaten Sambas, terdapat kesan bahwa
para pendatang ini memperoleh beking dari sejumlah oknum, sehingga petugas
kepolisian setempat tidak berani serta tidak mampu menegakkan hukum yang
seharusnya menjadi acuan bagi aturan main yang adil dan beradab.

*****

Kepustakaan

Bruner. E.M, 1974, ‘The Expression of Ethnicity in Indonesia dalam Abner Cohen
(Editor.), Urban Ethnicity. London: Tavistock. Hal. 251-288.
Suparlan. P., 1972, The Javanese in Bandung: Ethnicity in a medium Indonesian
city. . M.A. Thesis, University of Illinois.
––––––––––, 1999a, Laporan Kerusuhan Ambon. Laporan Terbatas disampaikan
kepada Kapolri
––––––––––, 1999b, Laporan Kerusuhan Sambas. Laporan Terbatas disampaikan
kepada Kapolri.

144
Keanekaragaman
Sukubangsa
dan Kebudayaan

Sukubangsa dan Kebudayaannya

S
ukubangsa adalah golongan sosial yang khusus, yang sama dengan
golongan umat dan golongan jenis kelamin. Kekhususan sukubangsa
sebagai golongan sosial ditandai oleh ciri-cirinya, yaitu diperoleh secara
askriptif atau didapat begitu saja bersama dengan kelahirannya, merupakan ciri-ciri
yang umum dan mendasar bagi identitas atau jatidiri pribadi atau kelompoknya yang
tidak dapat dengan seenaknya dibuang atau ditiadakan. Ciri-cirinya yang umum dan
mendasar ini seringkali dinamakan sebagai ciri-ciri primordial atau yang utama dan
mendasar serta berlaku dalam kehidupan manusia.

Karena itu jatidiri atau identitas sukubangsa adalah identitas yang paling
mendasar dan umum berkenaan dengan asal muasal pelaku. Sebagai sebuah
golongan sosial, sama dengan berbagai jenis golongan sosial lainnya, sukubangsa
digunakan sebagai acuan oleh warga masyarakat untuk mengidentifikasi diri dan
kelompok sukubangsanya yang berbeda dari diri dan kelompok sukubangsa lainnya.
Identitas atau jatidiri sukubangsa, yang seringkali disebut sebagai kesukubangsaan,
sebenarnya muncul dan mantap melalui dan dalam interaksi-interaksi sosial yang
terwujud di dalam masyarakat tersebut. Semakin sering dan mendalam hubungan
yang berlangsung antara warga dari satu sukubangsa dengan warga dari
sukubangsa lainnya akan semakin jelas kesukubangsaan masing-masing, dan
sebaliknya, semakin jarang atau tidak ada kontak hubungan antara warga satu
sukubangsa dengan warga sukubangsa lainnya maka akan semakin samar-samar
atau bahkan tidak ada konsep kesukubangsaan dari warga lain sukubangsa
tersebut. Dengan demikian, dalam interaksi diantara warga yang berbeda golongan

145
sukubangsanya, kesukubangsaan mereka diidentifikasi oleh dirinya sendiri dan oleh
pihak lainnya di dalam interaksi-interaksi yang terwujud. Berbagai contoh dalam
kehidupan kita mengenai kesukubangsaan tersebut digambarkan sebagai berikut:

Bagi warga masyarakat Kalimantan, jatidiri Dayak yang berbeda dari jatidiri Madura,
Jawa, Cina, Melayu adalah jelas. Tetapi apakah jatidiri orang Scotlandia dapat
tergambarkan dalam sistem penggolongan sosial warga Kalimantan Barat? Belum,
tentu. Contoh dari pengalaman saya pada tahun 1978 di Yogyakarta, dimana pada
waktu itu saya mempunyai kenalan dekat seorang dalang, yang juga pembuat dan
penjual wayang kulit. Pada suatu hari dia bercerita bahwa ada “londo inggeris” yang
memesan banyak wayang kulit. “Londo” adalah bahasa Jawa untuk Belanda. Dalam
pengertian yang senyatanya, Belanda berbeda dari Inggris. Lebih lanjut lagi, setelah
saya diberitahu nama pemesan si “londo Inggeris” tersebut, ternyata dia itu orang
Scotlandia. Saya tidak mengerti apa itu orang Scotlandia dan apa perbedaannya
dengan orang Inggris, tidak dapat dibayangkannya dan hanya menyulitkan saja.

Bagi warga masyarakat yang tergolong sebagai satu sukubangsa,


kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsanya tidak muncul dalam interaksi yang
terwujud. Karena sesama sukubangsa tidak dapat dijadikan acuan bagi pembedaan
diri. Yang terjadi adalah mereka menggunakan kewilayahan tempat mereka hidup
sebagai acuan bagi jatidiri tersebut, sehingga mereka itu dapat saling membedakan
diri mereka satu sama lain. Sesama Orang Jawa, misalnya, akan memperbedakan
diri mereka dengan mengacu pada asal wilayah masing-masing yang mereka
anggap signifikan atau menyolok sehingga perbedaan tersebut masuk akal dan
mempunyai, makna bagi mereka. Orang Pesisir membedakan diri dan dibedakan
dari Orang Mataram. Atau Orang Solo membedakan diri dari Orang Yogya. Dan
sebaliknya. Hal yang sama juga berlaku dalam kehidupan Orang Madura di Madura.
Misalnya, Orang Madura asal Pamakasan akan membedakan diri dari dan dibedakan
oleh orang Sumenep, atau orang Bangkalan dari orang Sampang. Begitu juga Dayak
pada umumnya, termasuk Orang Dayak di Kalimantan Barat, saling membedakan
diri satu lainnya dengan mengacu pada aliran sungai atau bukit tempat kehidupan
mereka.

146
Masing-masing sukubangsa mempunyai kebudayaan yang dapat dibedakan
dari kebudayaan sukubangsa lainnya. Kalau kita melihat kebudayaan sebagai
blueprint atau pedoman bagi kehidupan warga dan masyarakatnya maka masing-
masing sukubangsa yang terwujud sebagai sebuah masyarakat atau kelompok
kehidupan di dalam kehidupan mereka sehari-harinya mempunyai sebuah blueprint
atau pedoman bagi kehidupan mereka dalam menghadapi dan memanfaatkan
lingkungannya bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka, baik secara
fisik dan biologi, secara sosial, dan secara adab atau moral dan etika. Dengan
demikian, kebudayaan adalah acuan bagi terwujudnya dan memedomani tindakan-
tindakan pemiliknya. Kebudayaan, sebagai sebuah pedoman dan keyakinan adalah
sebuah kebenaran bagi para pemilik sebuah kebudayaan tersebut. Karena itu,
kebudayaan tidak dengan mudah berubah begitu saja, dimana warga masyarakat
yang bersangkutan cenderung mempertahankan tradisi-tradisi yang ada dalam
kcbudayaannya, walaupun lingkungan yang dihadapi untuk dimanfaatkan tersebut
telah berubah. Kalaupun terjadi perubahan dalam kebudayaannya, maka biasanya
perubahan tersebut terwujud dalam teknologi dan ekonomi, sedangkan pedoman
adab dan moral serta berbagai bentuk pranata sosial tetap dipertahankan dan
bahkan melandasi tindakan-tindakan ekonomi dan penggunaan teknologi dalam
pemanfaatan lingkungannya.

Sebagai sebuah pedoman, maka isi dari sebuah kebudayaan adalah sistem-
sistem penggolongan, yang isi dari sistem-sistem penggolongan tersebut
adalah golongan-golongan, yang terwujud sebagai konsep-konsep. Contohnya
penggolongan mahluk hidup, menghasilkan konsep manusia, tergolong dalam jenis
kelamin atau golongan laki-laki dan perempuan, dan banci (bukan laki-laki dan bukan
perempuan). Disamping berisikan konsep-konsep, kebudayaan juga berisikan
metode-metode atau cara-cara membuat penggolongan atau penilaian, membuat
penseleksian dan penggabungan konsep-konsep sebagai sebuah satuan konsep
yang bermakna dan dapat dijadikan pedoman dalam menginterpretasi sesuatu gejala
yang ada dalam lingkungannya dan untuk bertindak, dan juga berisikan teori-teori
mengenai hakekat hubungan dari konsep-konsep yang digabungkan secara
terseleksi. Dengan isinya yang mencakup konsep-konsep, metode-metode, dan
teori-teori, kebudayaan juga berisikan petunjuk-petunjuk dan larangan-larangan,
resep-resep, dan pedoman-pedoman dalam menghadapi dan memanfaatkan

147
lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang mencakup
memahami dan menginterpretasi gejala-gejala yang dihadapi, mewujudkan tindakan-
tindakan, dan menginterpetasi dan memahami tindakan-tindakannya dalam
menghadapi lingkungannya yang dilihatnya sebagai pengelaman-pengalamannya
serta menyimpulkan pengalaman-pengalaman tersebut sebagai konsep-konsep,
metode-metode dan teori-teori yang disimpannya sebagai khazanah kebudayaannya
yaitu sebagai pengetahuan dan keyakinan-keyakinannya. Kebudayaan itu
berkembang dan mantap atau berubah melalui pengalaman-pengalaman dalam
menghadapi lingkungan kehidupan sehari-hari.

Kebudayaan bukan hanya menjadi milik sebuah masyarakat, termasuk


masyarakat sukubangsa, tetapi juga menjadi milik dari individu-individu warga
masyarakat tersebut. Kebudayaan yang menjadi milik individu tersebut saya
namakan pengetahuan kebudayaan, yang artinya adalah pengetahuan yang
dipunyai oleh undividu-individu mengenai kebudayaan masyarakatnya, sesuai
dengan pengalaman masing-masing, dan menjadi pedoman bagi kehidupannya.
Pengetahuan mengenai kebudayaan masyarakat yang dipunyai seorang individu
bisa mencakup bukan hanya mengenai kebudayaan dari masyarakat dimana dia
hidup, tetapi mencakup juga kebudayaan dari masyarakat-masyarakat lainnya
dimana dia pernah hidup atau mempunyai pengalaman dalam berhubungan dengan
warga masyarakat-masyarakat lainnya tersebut. Dengan pengetahuan
kebudayaannya tersebut para warga sebuah masyarakat dapat saling mengerti atau
memahami dalam berkomunikasi diantara sesama mereka.

Sebuah kebudayaan sebagai blueprint atau pedoman bagi kehidupan dari


sebuah masyarakat, secara operasional terwujud melalui pranata-pranata
(institutions) yang dipunyai oleh masyarakat tersebut. Pranata adalah sebuah sistem
antar-hubungan norma-norma dan peranan-peranan untuk pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan bagi kehidupan yang dianggap penting oleh masyarakat tersebut.
Keluarga misalnya, adalah sebuah pranata untuk melestarikan keberadaan sebuah
masyarakat, yang antara lain berfungsi mensahkan dan mensucikan hubungan
seksual laki-laki perempuan sebagai suami isteri untuk menghasilkan keturunan yang
sah, yang hubungan seksual tersebut bila dilakukan di luar pranata perkawinan
dianggap sebagai sesuatu perbuatan berdosa, terlarang, ataupun terkutuk dalam

148
hampir semua masyarakat manusia. Setiap masyarakat mempunyai pranata-pranata
yang secara universal hampir sama, tetapi corak dari isi kegiatan-kegiatannya
berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Perbedaan-
perbedaan ini disebabkan oleh kebudayaannya yang berbeda, yang disebabkan oleh
sejarah dan pengalaman-pengalaman yang berbeda, lingkungan alam/fisik, dan
sosial, budaya yang berbeda, dan oleh motivasi-motivasi serta kebutuhan-kebutuhan
hidup yang berbeda-beda.

Komunikasi antar-manusia yang terwujud sebagai gerakan-gerakan tubuh,


tindakan-tindakan dan kata-kata yang terucap dan tertulis hanya mungkin dimengerti
oleh para pelakunya kalau para pelaku tersebut mempunyai kebudayaan yang sama.
Dengan kebudayaan tersebut sebagai acuannya mereka menginterpretasi gejala-
gejala yang dihadapi, sehingga gejala-gejala tersebut mempunyai makna. Dalam
pengertian ini, gejala-gejala tersebut dinamakan simbol. Secara lebih luas simbol
juga mencakup segala sesuatu yang ada dalam lingkungan kehidupan mereka, yaitu
segala gejala yang mempunyai makna menurut kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan. Kebudayaan sebagai acuan bagi pemberian makna-makna atas
gejala-gejala tersebut biasanya dinamakan sebagai sistem-sistem makna. Melalui
dan dengan menggunakan simbol-simbol inilah para warga sebuah masyarakat yang
mempunyai kebudayaan yang sama itu berkomunikasi dan saling menyampaikan
keinginan atau pendapat serta saling memahami maksud masing-masing. Sehingga
mereka itu juga dapat saling memahami apa yang diinginkan atau meremehkan apa
yang akan ditindakkan oleh pelaku lainnya.

Dalam masyarakat sukubangsa, kebudayaan sukubangsa tersebut menjadi


acuan utama dalam menghadapi lingkungannya, termasuk menghadapi lingkungan
sosial dan budaya dari masyarakat sukubangsa tersebut. Dalam sebuah masyarakat
luas dan heterogen sukubangsa yang tercakup di dalamnya, kebudayaan masing-
masing sukubangsa tersebut juga berisikan pengetahuan mengenai berbagai
sukubangsa-sukubangsa yang dihadapi dalam lingkungan masyarakatnya serta
berisikan keyakinan-keyakinan berkenaan dengan pengetahuan mengenai
sukubangsa-sukubangsa lainnya tersebut. Pengetahuan mengenai sukubangsa-
sukubangsa tersebut mencakup juga pengetahuannya mengenai diri atau
sukubangsanya sendiri, sebagai pertentangannya atau lawan bagi perbedaannya

149
dengan sukubangsa lainnya untuk memunculkan keberadaan sukubangsa atau
kesukubangsaannya. Kebudayaan mengenai sukubangsanya dan sukubangsa-
sukubangsa lainnya yang hidup bersama-sama dalam sebuah masyarakat yang
lebih luas adalah pengetahuan yang penuh dengan keyakinan-keyakinan mengenai
keberadaan yang subyektif mengenai ciri-ciri sukubangsanya dan sukubangsa-
sukubangsa lainnya. Pengetahuan mengenai sesuatu sukubangsa lain yang ada
dalam kebudayaan sesuatu sukubangsa tertentu adalah konsep-konsep yang
seringkali juga digunakan sebagai acuan bertindak dalam menghadapi sukubangsa
lain tersebut, walau tidak selalu demikian perwujudan tindakan-tindakannya. Konsep-
konsep itu dinamakan stereotip (stereotype), dan stereotip ini dapat berkembang
menjadi prasangka (prejudice).

Sebuah stereotip mengenai sesuatu sukubangsa muncul dari pengalaman


seseorang atau sejumlah orang dalam berhubungan dengan para pelaku dari
sukubangsa tersebut. Dari sejumlah pengalaman yang terbatas, yang dipahami
dengan mengacu pada pengetahuan kebudayaannya, pengalaman tersebut menjadi
pengetahuannya dan menjadi bagian dari pengetahuan kebudayaannya, yaitu
pengetahuan mengenai ciri-ciri sukubangsa tersebut. Pengetahuan yang dipunyai
mengenai sesuatu sukubangsa tersebut disampaikan kepada sesama warga
masyarakatnya, sehingga pengetahuan yang terbatas mengenai ciri-ciri sukubangsa
tersebut menjadi sebuah pengetahuan yang bersifat umum dan yang diyakini
kebenarannya. Padahal, sebenarnya pengetahuan tersebut amat terbatas serta
subyektif karena berisikan interpretasi dari pengalaman pelaku yang terbatas
jumlahnya. Karena itu pengetahuan ini dinamakan stereorip. Sebuah stereotip yang
berisikan sangkaan-sangkaan mengenai sifat-sifat yang jelek yang dipunyai oleh
mereka yang tergolong dalam sukubangsa tersebut menurut ukuran-ukuran nilai
yang berlaku, dinamakan prasangka. Dengan mengacu pada prasangka inilah
biasanya tindakan-tindakan diskriminasi oleh warga sesuatu sukubangsa itu
dilakukan terhadap warga sukubangsa lainnya, dengan menggunakan prasangka
yang ada sebagai pembenaran untuk kerangka acuannya.

150
Hubungan Antar-Sukubangsa

Hubungan antar-sukubangsa terwujud melalui hubungan-hubungan yang


dilakukan oleh para pelaku yang menjadi warga dari sukubangsa-sukubangsa yang
berbeda. Sukubangsa-sukubangsa tersebut biasanya adalah sukubangsa-
sukubangsa yang saling hidup bertetangga atau yang secara bersama-sama
membentuk terwujudnya sebuah masyarakat yang lebih luas daripada masing-
masing masyarakat sukubangsanya. Kalimantan Barat, misalnya, adalah sebuah
masyarakat yang mencakup sejumlah sukubangsa, yang masing-masing
sukubangsa tersebut mewujudkan dirinya dalam sebuah masyarakat sukubangsa
yang berbeda satu dengan yang lainnya. Masing-masing masyarakat sukubangsa
tersebut terbagi-bagi lagi dalam satuan-satuan kehidupan atau masyarakat yang
lebih kecil, atau komuniti, dengan masing-masing pranatanya. Satuan kehidupan
yang terkecil dari seorang warga sukubangsa adalah keluarganya dan kelompok
kerabatnya.

Dalam hubungan antar-sukubangsa masing-masing sukubangsa tersebut


menciptakan dan memantapkan batas-batas sosial. Batas-batas sosial ini berguna
dalam menunjukkan perbedaan antara mereka yang tergolong dalam satu
sukubangsa yang sama dengan mereka yang tergolong dalam sukubangsa yang
lain, yang berbeda sukubangsanya. Melalui batas-batas sosial ini stereotip yang
dipunyai oleh masing-masing sukubangsa mengenai satu-sama lainnya tetap lestari,
karena melalui dan di dalam stereotip inilah perbedaan-perbedaan sukubangsa yang
berbeda itu terwujudkan. Dalam interaksi yang terjadi diantara warga yang berbeda
sukubangsanya tidak selamanya stereotip-stereotip yang mereka punyai masing-
masing itu digunakan sebagai acuan dalam saling berhubungan. Interaksi antar-
sukubangsa yang seperti ini biasanya terwujud dalam suatu interaksi dimana
masing-mnasing pihak saling membutuhkan, memperoleh manfaat dan keuntungan
dan hubungan yang terwujud tersebut bersifat sebagai hubungan komplementer atau
hubungan yang simbiotik.

Dalam hubungan diantara warga yang berbeda sukubangsanya, mereka ini


sebenarnya telah membuat jembatan di atas batas-batas sosial tersebut. Jembatan

151
ini berupa hubungan pribadi yang terwujud sebagai persahabatan atau pun
perkawinan, atau terwujud sebagai hubungan sosial, hubungan kerja atau ekonomi,
dan hubungan politik. Jembatan penghubung ini, yang terwujud sebagai situasi-
situasi dimana interaksi terjadi atau arena-arena interaksi, menapikan perbedaan
sukubangsa yang berlaku. Di satu pihak arena-arena interaksi ini berisikan unsur-
unsur kebudayaan dari sukubangsa-sukubangsa yang berbeda dan saling
berhubungan, dan di lain pihak juga berisikan hasil perpaduan antara unsur-unsur
kebudayaan sukubangsa-sukubangsa yang berbeda tersebut. Melalui dan dengan
menggunakan kebudayaan hasil akulturasi inilah interaksi antar warga yang berbeda
sukubangsanya itu berlangsung, dan karena kebudayaan yang digunakan tersebut
tidak menciptakan batas-batas sosial maka perbedaan kesukubangsaan diantara
mereka dalam interaksi tersebut tidak berlaku. Walaupun telah mereka ciptakan
jembatan yang menghubungkan perbedaan-perbedaan diantara dua sukubangsa
yang berbeda atan lebih, tetapi tidak berarti bahwa perbedaan sukubangsa tersebut
lalu hilang dengan sendirinya. Perbedaan sukubangsa tetap berlanjut dalam situasi-
situasi atau arena-arena interaksi lainnya.

Dalam kasus hubungan perkawinan masing-masing pelaku dari pasangan


suami istri tersebut tetap mempertahankan jatidiri atau identitas sukubangsanya, dan
begitu juga dalam kasus persahabatan atau pengangkatan saudara, masing-masing
pelaku tetap mempertahankan kesukubangsaannya. Yang terjadi adalah munculnya
golongan sosial baru yang mengaburkan perbedaan tersebut yang dijadikan acuan
bagi jatidiri mereka, yaitu ini “suami atau istri saya” atau ini “saudara atau sahabat
saya”. yang secara tersirat mengungkapkan kenyataan bahwa pelaku lainnya yang
disebutkan itu adalah tercakup dalam golongan sukubangsanya, dan karena itu
kesukubangsaannya secara implisit adalah sama dengan golongan sukubangsanya,
walaupun secara eksplisit bukan golongan sukubangsanya.

Dalam hubungan-hubungan sosial diantara mereka yang berbeda


sukubangsanya, tanda-tanda dan simbol-simbol yang diseleksi dan diaktifkan oleh
masing-masing pelaku untuk menunjukkan perbedaan sukubangsa atau untuk
menapikan perbedaan kesukubangsaan tersebut tergantung pada tujuan interaksi
yang dilakukan dan pada situasi atau arena dimana interaksi tersebut berlangsung.
Karena pada dasarnya sukubangsa itu sama dengan kedudukan atau status, dan

152
karena dalam setiap interaksi sebetulnya adalah interaksi status dari pelaku, maka
hubungan antar-sukubangsa sebenarnya mewujudkan adanya struktur interaksi yang
coraknya tergantung pada sejarah hubungan diantara sukubangsa-sukubangsa yang
bersangkutan. Sebuah interaksi diantara mereka yang berbeda sukubangsanya yang
menapikan perbedaan status hubungan sukubangsa diantara para pelakunya
biasanya terwujud dalam bentuk persahabatan, pengangkatan saudara, atau
perkawinan. Sedangkan berbagai bentuk interaksi lainnya yang juga menapikan
perbedaan status hubungan antar-sukubangsa adalah interaksi yang terwujud dalam
arena-arena interaksi dalam sistem nasional Indonesia. Sistem nasional Indonesia
berada di atas sistem-sistem sukubangsa maupun sistem-sistem kehidupan umum
yang berlaku setempat-setempat di seluruh wilayah Indonesia.

Sistem nasional menciptakan status-status yang bercorak horizontal maupun


vertikal yang mendominasi berbagai hubungan-hubungan status yang tercakup
dalam sistem tersebut. Status ini diduduki oleh pejabat atau petugas dari berbagai
sukubangsa, yang harus meninggalkan kesukubangsaannya dalam interaksi-
interaksi yang berlangsung dalam situasi-situasi nasional urtuk kepentingan nasional.
Dalam situasi-situasi kesukubangsaan yang terwujud melalui hubungan-hubungan
pribadi atau untuk kepentingan pribadi dan sosial, kesukubangsaan terwujud dengan
mengaktifkan simbol-simbol kebudayaan sukubangsa para pelaku yang
bersangkutan. Situasi sukubangsa dan kesukubangsaan bisa saja terwujud dalam
sistem nasional pada saat kepentingan pribadi dan/atau sosial dari pelaku lebih
penting daripada kepentingan dan tujuan nasional. Ini bisa terwujud karena
sukubangsa, secara universal, adalah golongan sosial yang paling mendasar,dan
dan umum bagi jatidiri kehidupan manusia. Ciri-ciri ini seringkali dinamakan sifat-sifat
primordial, atau yang utama dan universal.

Karena itu tidaklah mengherankan bahwa sentimen kesukubangsaan dengan


mudah diaktifkan oleh para pelaku untuk menciptakan suatu solidaritas sosial yang
melibatkan warga sukubangsanya untuk dipertentangkan dengan sukubangsa
lainnya, pada saat terjadi persaingan untuk mempertahankan serta memperjuangkan
kehormatan sukubangsanya. Dalam kehidupan masyarakat dimana terjadi
persaingan atas sumber-sumber daya atau pengalokasian pendistribusiannya,
biasanya batas-batas sukubangsa menjadi jelas dan tajam, terwujud dalam bentuk

153
monopoli bidang-bidang kerja atau untuk kegiatan ekonomi dan politik oleh
kelompok-kelompok sukubangsa-sukubangsa yang berbeda yang hidup dalam
masyarakat tersebut maka hubungan baik diantara sukubangsa-sukubangsa yang
berbeda akan tercipta, dan arena-arena interaksi yang menjembatani hubungan
antar-sukubangsa menjadi mantap dan bahkan berkembang sehingga potensi-
potensi konflik yang terjadi dapat diredam. Sebaliknya, bila penguasa atas bidang-
bidang ekonomi dan politik serta pengalokasian pendistribusiannya oleh
sukubangsa-sukubangsa itu terwujud sebagai persaingan untuk bidang-bidang yang
sama serta menghasilkan adanya penguasaan atau dominasi oleh satu kelompok
sukubangsa atau golongan sosial tertentu terhadap sumber-sumber daya yang ada,
yang dapat diartikan sama dengan pendominasian oleh satu sukubangsa atau
golongan sosial tertentu terhadap sukubangsa lainnya, maka yang akan terwujud
adalah adanya potensi-potensi konflik di dalam kehidupan masyarakat tersebut, yang
sewaktu-waktu dapat meledak sebagai akibat dari rentetan perasaan-perasaan yang
diderita oleh sebuah perbuatan-perbuatan dari warga sukubangsa yang merasa
direndahkan atau yang berada dalam kedudukan terhina oleh perbuatan-perbuatan
dari warga sukubangsa lainnya. Konflik sukubangsa semacam ini biasanya dimulai
oleh mereka yang merasa kehilangan kehormatannya oleh perbuatan warga
sukubangsa lainnya. Dan perasaan kehilangan kehormatan kesukubangsaan ini
biasanya dipicu oleh sesuatu perbuatan yang dianggap oleh sukubangsa yang
bersangkutan sebagai puncak dari kehinaan-kehinaan serta ketidakadilan yang
selama ini mereka derita.

Dalam teorinya mengenai ungkapan kesukubangsaan di Indonesia, Profesor


Bruner mengatakan bahwa secara sukubangsa wilayah perkotaan di Indonesia dapat
digolongkan menjadi dua golongan, yaitu wilayah perkotaan yang secara
kebudayaan didominasi oleh sesuatu sukubangsa, dengan contohnya kota Bandung
yang didominasi oleh sukubangsa Sunda dan kebudayaannya, dan wilayah
perkotaan yang tidak didominasi oleh sesuatu sukubangsa serta kebudayaannya,
dengan contohnya kota Medan. Di kota Bandung, yang penduduknya secara
demografi sosial dominan membuat bahwa para pendatang dari berbagai asal
sukubangsa di Indonesia harus mengadaptasi diri mereka terhadap struktur
kehidupan kota Bandung yang didominasi oleh kebudayaan Sunda dan yang secara
sosial, ekonomi, dan politik pada umumnya didominasi oleh sukubangsa Sunda.

154
Sebaliknya, kota Medan yang secara kebudayaan tidak didominasi oleh sesuatu
sukubangsa menghasilkan adanya kehidupan masyarakat kota Medan yang
beranekaragam sukubangsa dan kebudayaannya, karena mereka itu masing-masing
para pendatang yang hidup di Medan, hidup dalam lingkungan pemukiman kelompok
sukubangsanya. Dan di tempat-tempat umum mereka dapat menggunakan bahasa
dan kebudayaan sukubangsanya masing-masing dengan bebas dibandingkan
dengan yang berlaku di kota Bandung. Dengan mengacu pada penjelasan-
penjelasan mengenai sukubangsa dan hubungan antar-sukubangsa sebagaimana
tersebut di atas dengan mengacu pada teori kebudayaan dominan dari Bruner,
mungkin kita dapat memahami konflik antar-sukubangsa yang telah terjadi di
Kalimantan Barat. Dan berdasarkan itu semua, kita dapat memikirkan cara
pencegahan konflik antar-sukubangsa yang menelan korban yang tidak sedikit, yang
secara sosial dan ekonomi merugikan kita semua, dan yang secara nasional dapat
mengancam keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Orang Dayak dan Orang Madura di Kalimantan Barat.

Kepustakaan mengenai hubungan antar-sukubangsa di Kalimantan Barat


tidak ada. Uraian berikut ini adalah sebuah upaya untuk memahami hubungan antar-
sukubangsa Dayak dan Madura dengan menggunakan acuan yang sangat terbatas.

Orang Dayak di Kalimantan Barat adalah penduduk asli setempat. Mereka itu
menurut perkiraan berjumlah sekitar 40% dari jumlah penduduk. Sebagian besar dari
mereka itu hidup dari pertanian berladang padi dan tanaman-tanaman lainnya yang
dilakukan secara berotasi dan berkala. Di samping berladang secara berotasi,
mereka juga memanfaatkan berbagai hasil hutan yang mereka konsumsi maupun
mereka jual, termasuk buah durian, getah karet, dan resin. Mereka biasanya menjual
hasil hutan kepada Orang Cina atau kepada Orang Melayu dan dari mereka itulah
mereka memperoleh berbagai keperluan untuk pemenuhan kehidupan mereka,
sebagai gantinya. Pada umumnya mereka itu beragama Kristen. Gereja Katolik amat
penting dalam kehidupan mereka., karena melalui gereja inilah mereka memperoleh
berbagai bentuk pendidikan dan informasi mengenai dunia luar. Walaupun demikian,
mereka itu tetap mempertahankan sebagian besar tradisi-tradisi keagamaan mereka.

155
Orang Dayak di Kalimantan Barat hidup dalam desa-desa yang biasanya
dibangun di dekat sungai. Mereka tinggal di rumah-rumah panggung yang terdiri atas
ruang-ruang hunian untuk satuan rumah tangga. Sebuah desa biasanya terdiri atas
beberapa rumah panggung, tetapi menurut beberapa keterangan yang diperoleh,
ada juga desa-desa yang terdiri atas sebuh rumah panggung yang besar. Kehidupan
sehari-hari mereka tidaklah di desa tersebut, tetapi di masing-masing ladang yang
sedang mereka kerjakan. Di ladang tersebut biasanya mereka membangun rumah-
rumah sementara untuk menjaga padi atau tanaman-tanaman lainnya dari serangan
babi hutan serta hewan-hewan hama lainnya. Karena kehidupan mereka yang
berada dalam lingkungan liar, maka dalam kehidupan mereka sehari-hari mereka itu
selalu mempersenjatai diri masing-masing, baik untuk digunakan bagi mengusir
hewan-hewan hama di ladang ataupun untuk melindungi diri dari serangan hewan
buas dalam perjalanan di hutan.

Walaupun terbiasa dengan menggunakan senjata, tetapi Orang Dayak pada


umumnya tidak akan menggunakan senjata untuk membunuh orang lain bila tidak
karena terpaksa karena mereka menyadari bahwa begitu terjadi pertumpahan darah
maka anggota-anggota kerabat dari orang yang terbunuh berkewajiban untuk
membalas dendam. Nyawa dibayar nyawa. Dalam kebudayaan mereka, bila terjadi
sesuatu pelanggaran maka sanksi yang dijatuhkan terhadap pelanggar oleh kepala
desa atau oleh mereka yang dituakan dalam desa adalah hukuman denda, yang
besarnya sesuai dengan tingkat pelanggarannya.

Kehidupan mereka sehari-hari yang rutin di masa lampau, pada masa


sekarang menjadi berantakan karena tanah-tanah yang secara adat adalah tempat
mereka hidup tiba-tiba saja sudah menjadi tanah HPH, dimana mereka tidak lagi
dapat berladang atau memungut hasil hutannya. Mereka merasa tertekan dan
terkekang dan menjadi miskin di daerah yang secara adat mereka anggap sebagai
hak tempat mereka hidup. Perasaan tertekan dan menjadi lebih miskin daripada
sebelumnya semakin bertambah dengan banyaknya pekerja HPH atau subkontraktor
yang didatangkan dari luar, termasuk para pekerja Orang Madura. Mereka juga
merasa bahwa Orang Madura di Kalimantan Barat adalah golongan sosial penekan
karena keagresifan mereka dalam bekerja dan mengumpulkan uang, termasuk
berbagai kegiatan pemanfaatan hutan di hutan dan pertanian di daerah pedesaan.

156
Orang Madura di Kalimantan Barat telah ada sebelum Perang Dunia II, tetapi
jumlah mereka amat sedikit. Jumlah Orang Madura yang besar menurut keterangan
yang didapat baru dirasakan sejak akhir tahun 1970an. Dengan dibukanya hutan
oleh HPH secara luas dari ramainya perdagangan kayu serta hasil hutan lainnya.
Jumlah Orang Madura di Kalimantan Barat diperkirakan sekitar 2,75 % dari
keseluruhan jumlah penduduk Kalimantan Barat. Mereka ini hidup di daerah
perkotaan maupun pedesaan. Mereka yang hidup di kota sebagian besar hidup dari
bekerja sebagai tukang becak, pedagang kaki lima, pengemudi dan calo kendaraan
umum, atau berbagai pekerjaan jasa kasar lainnya. Sedangkan mereka yang hidup
di pedesaan dari bertani menetap dan beternak sapi. Orang Madura cenderung
mengelompok dalam lingkungan mereka sendiri, tetap mempertahankan tradisi-
tradisi yang ada dalam kebudayaan mereka. Tradisi-tradisi ini antara lain adalah
carok. Tradisi ini dapat dilihat sebagai perbuatan yang dengan mudah menggunakan
senjata tajam untuk membunuh lawan, yang bertentangan dengan tradisi yang
berlaku dalam kebudayaan Orang Dayak.

Mereka ini dikenal sebagai orang Islam taat, dan bahkan cenderung fanatik.
Saking taatnya mereka itu mempunyai masjid sendiri yang tidak bisa digunakan
beribadah oleh golongan Islam lainnya. Bahkan kuburan mereka itu di pemakaman
umum, juga harus dipisahkan dari kuburan-kuburan yang bukan Madura. Mereka
tunduk kepada ulama yang mereka anggap sebagai pelindung, begitu juga kepada
guru dan pemerintah. Di Kalimantan, para pendatang Madura bukan hanya petani
tetapi juga mencakup berandalan atau bromocorah, yang dikenal reputasinya
sebagai pemberani dan tega menyakiti lawan atau korbannya. Keberadaan
bromocorah ini, yang mendominasi berbagai kawasan pasar dan pelayanan umum,
yang dengan cara-cara mereka, dan tradisi carok yang tetap mereka pertahankan
telah membuat perasaan tidak aman warga sukubangsa-sukubangsa lainnya yang
hidup bersama dengan mereka termasuk orang Dayak.

Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa selama terjadi konflik antar-


sukubangsa Dayak - Madura di Kalimantan Barat yang berlangsung dari Desember
1996 s/d Februari 1997 tidak ada satu warga sukubangsa lainnya yang berdiri di
pihak orang Madura. Sebaliknya, dari laporan yang ada, warga sukubangsa-

157
sukubangsa lainnya berdiri dipihak orang Dayak atau setidak-tidaknya bersimpati
terhadap Orang Dayak dalam konflik tersebut.

Stereotip yang berkembang pada Orang Dayak mengenai Orang Madura


adalah berdarah panas yang dengan mudah mencabut parang untuk membunuh,
solidaritas diantara sesama mereka dalam menghadapi mereka yang bukan Orang
Madura, agresif dan mau menang-menangan sendiri. Sedangkan Orang Madura
mempunyai stereotip mengenai Orang Dayak sebagai mempunyai derajat sosial
yang rendah, kafir.

Penutup

Upaya menciptakan hubungan yang harmonis antara orang Dayak dan orang
Madura tidaklah mudah. Ketidakmudahan ini disebabkan: Adanya stereotip pada
kedua belah pihak yang mempertajam dan memperlebar batas-batas sukubangsa.
Orang Dayak dan Orang Madura bersaing dalam memperebutkan sumber-sumber
rezeki yang sama jenisnya, sehingga tidak memungkinkan terwujudnya kegiatan-
kegiatan yang saling melengkapi atau menghidupi dalam bidang-bidang sosial,
ekonomi, dan politik. Sebaliknya yang mantap adalah pendominasian Orang Madura
secara sosial, ekonomi, dan politik yang membuat perasaan tertekan dan semakin
tambah miskin menjadi semakin dirasakan oleh Orang Dayak, dan mereka merasa
bahwa kehormatan kesukubangsaan mereka semakin tercemar.

Untuk menciptakan terwujudnya hubungan antar-sukubangsa yang harmonis


dan penuh kedamaian dari bekas-bekas konflik yang menelan korban jiwa yang tidak
sedikit jumlahnya tidaklah mudah. Secara hipotetis, yang dapat dilakukan adalah:
Meniadakan penekan yang menyebabkan pemiskinan kehidupan Orang Dayak, yaitu
HPH. Atau setidak-tidaknya warga masyarakat pedesaan Dayak setempat diberi
semacam bagian keuntungan yang diperoleh HPH setiap tahunnya, secara
berkesinambungan.

Memberikan penjelasan mengenai ciri-ciri kebudayaan sukubangsa-


sukubangsa di Kalimantan Barat, terutama terhadap dan mengenai kebudayaan

158
Dayak dan Madura untuk mereka pahami dan digunakan sebagai acuan dalam
interaksi-interaksi antar-sukubangsa. Dengan penekanan pada mengikuti aturan-
aturan main yang berlaku dalam persaingan, menenggang rasa dan menghormati
satu sama lainnya. Mendorong terciptanya jembatan-jembatan budaya yang lebih
luas dan mantap yang dapat mengantarai batas-batas sukubangsa yang ada,
sehingga pada satu segi hubungan antar-sukubangsa dapat terwujud secara damai
dan harmonis, sedangkan pada segi lainnya kesukubangsaan masing-masing tetap
bertahan dan hidup dalam berbagai kegiatan dan suasana lainnya.

Untuk itu, mungkin pemerintah perlu mendorong terciptanya kegiatan-kegiatan


sosial, ekonomi, dan politik (termasuk politik keagamaan) yang menekankan
pentingnya saling ketergantungan atau saling menghidupi diantara berbagai tradisi
dan kesukubangsaan yang berlaku di Kalimantan Barat.

*****

Kepustakaan

Barth, Fredrik (Ed.),1969. Ethnic Groups and Boundaries. Boston : Littel, Brown,
& Company
Bruner, Edward M., 1974 “The Expression of Ethnicity in Indonesia”. Dalam Abner
Cohen (Editor), Urban Ethnicity. . London: Tavistock,. Hal. 251-280.
HRW Asia, 1997. “Communal Violence in West Kalimantan”. Indonesian Archives..
Suparlan, Parsudi, 1995. The Javanese in Surinam: Ethnicity in an ethnically plural
.society. Tempe, Arizona : SEA Program, , Arizona State University.
–––––––––––, 1985 “Kebudayaan dan Pembangunan”. Media IKA, Vol.14, no.11,
hal.106-135. Jurusan Antropologi, U.I.
–––––––––––, 1979 “Ethnic.Groups of lndonesia”, The Indonesian Quarterly, Vol.7,
No.2, hah.55-75. CSIS

159
2 Kebudayaan
dan Pembangunan

K
ebudayaan dan pembangunan adalah dua buah konsep yang bisa dilihat
saling kaitan hubungan fungsional relevan dan bisa juga kaitan hubungan
fungsional di antara keduanya dalam kehidupan nyata sebagai tidak
relevan. Relevan atau tidaknya tergantung pada cara mendefinisikannya. Kalau
kebudayaan dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri atas ide atau gagasan,
kelakuan sosial dan benda-benda kebudayaan, maka kaitan hubungan fungsional
antara pembangunan dan kebudayaan menjadi tidak relevan dalam kaitannya
dengan usaha-usaha operasional dalam mengidentifikasi dan memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi berkenaan dengan perubahan-perubahan yang
terjadi dan direncanakan sesuai dengan program pembangunan yang bersangkutan.
Karena itu kaitan hubungan antara kebudayaan dan pembangunan lalu dilihat
sebagai permasalahan mental atau orientasi nilai yang secara konseptual banyak
kelemahan-kelemahannya.

Dalam tulisan ini saya melihat kebudayaan sebagai pengetahuan manusia


sebagai makhluk sosial. Yang isinya adalah perangkat-perangkat pendukung/
pelakunya untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi dan
digunakan sebagai referensi atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan
dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Karena itu
seringkali para ahli antropologi menanamkan kebudayaan sebagai blueprint, disain
atau pedoman menyeluruh bagi kehidupan manusia. Kebudayaan adalah milik
masyarakat, sedangkan individu-individu yang menjadi warga masyarakat tersebut
mempunyai pengetahuan kebudayaan.

Dengan menggunakan pendefenisian seperti tersebut di atas, maka konsep


kebudayaan menjadi relevan dalam kaitannya dengan usaha untuk memahami

160
tindakan-tindakan para warga masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan
tersebut. Memahami kecenderungan dari tindakan manusia untuk selalu berpola dan
kecenderungan dari pola kelakuan untuk tidak berubah dari masa ke masa dan
kecenderungannya untuk selalu berubah. Dengan demikian juga, maka kaitan
hubungan fungsional antara kebudayaan dan pembangunan dalam usaha-usaha
pemenuhan kebutuhan manusia (yang universal) yang harus dipenuhi untuk dapat
tetap melangsungkan kehidupannya dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya
dapat dilihat dan dikaji. Hasil-hasil pengkajian secara konseptual maupun secara
empirik akan dapat mengungkapkan peranan faktor kebudayaan dalam turut
menghambat atau mensukseskan sesuatu program pembangunan yang
dilaksanakan pada tingkat masyarakat lokal. Dengan demikian maka masalah-
masalah yang muncul dari adanya program pembangunan itu dapat dihindarkan atau
setidak-tidaknya dapat dibatasi kuantitas maupun kualitas yang merugikannya.

Uraian dalam makalah ini akan mencakup pembahasan-pembahasan


mengenai kiat hubungan antara kebudayaan dan pemenuhan kebutuhan manusia:
perubahan kebudayaan, kebudayaan dan pembangunan: corak masyarakat
Indonesia yang majemuk yang menghasilkan berbagai permasalahan kebutuhan
yang dapat menghambat program-program pembangunan maupun mendukung
keberhasilan pelaksanaannya.

Kebudayaan dan Pemenuhan Kebutuhan Manusia

Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia


sebagai mahluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan
yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi
lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan
yang diperlukannya. Dalam pengertian ini, kebudayaan adalah suatu kumpulan
pedoman atau pegangan yang kegunaannya operasional dalam hal manusia
mengadaptasi diri dengan dan menghadapi lingkungan-lingkungan tertentu
(fisik/alam, sosial dan kebudayaan) untuk mereka itu dapat tetap melangsungkan
kehidupannya, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan untuk dapat hidup

161
lebih baik lagi. Karena itu seringkali kebudayaan juga dinamakan sebagai blueprint
atau disain menyeluruh dari kehidupan.
Penggunaan kebudayaan oleh para pendukungnya dalam kehidupan yang
nyata yaitu bagaimana terwujud dalam tindakan-tindakan sehari-hari dalam
kehidupannya sebagai warga masyarakat, hanya mungkin dapat terjadi karena
adanya pranata-pranata sosial yang dipunyai oleh masyarakat tersebut. Pranata
sosial adalah sistem antar hubungan peranan-peranan dan norma-norma yang
terwujud sebagai tradisi untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial
utama tertentu yang dirasakan perlunya oleh para warga masyarakat yang
bersangkutan. Sebuah kebudayaaan tidaklah diwariskan secara genetik, tetapi
diperoleh manusia setelah kelahirannya melalui proses belajar. Manusia dapat
mempelajari sesuatu karena mempunyai kesanggupan untuk membuat dan
memahami ide-ide yang abstrak, serta mewujudkan kelakuan simbolik. Landasan
terutama dari adanya kesanggupan tersebut adalah karena manusia mempunyai
bahasa.
Kebudayaan diperoleh manusia melalui kebudayaan baik secara formal
maupun tidak formal dengan melakukan peniruan-peniruan dan mengabsorsikannya
ke dalam pengetahuan mereka baik secara sadar ataupun tidak sadar. Proses ini
bersifat menyerap serta mencakup semua aspek kehidupan manusia dalam
kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, yang penyerapannya
berlangsung secara samar-samar dan lambat tetapi pasti dan tetap, sehingga
bahkan mempengaruhi bentuk-bentuk dan corak-corak kelakuan, sikap-sikap dan
keyakinan-keyakinan yang amat terperinci. Penyerapan atau penerimaan
kebudayaan yang bersifat mendalam dan menyeluruh terhadap pribadi-pribadi
pendukungnya, sebagaimana terwujud dalam cara berpikir, merasakan, berbicara
dan bertindak.

KEBUDAYAAN

PEMENUHAN SUMBER DAYA/


KEBUTUHAN ENERGI DARI
MANUSIA LINGKUNGAN

162
Kebudayaan adalah milik masyarakat dan bukan milik seorang individu.
Dengan kata lain, individu-individu yang menjadi warga masyarakat adalah para
pemilik dan pendukung kebudayaan masyarakat tersebut. Karena adanya
kebudayaan itu ada dalam pemikiran para individu warga masyarakat tersebut, yaitu
mereka yang memiliki dan menggunakan bersama suatu pedoman atau disain
kehidupan menyeluruh tertentu, maka pada tingkat individu bisa terjadi
penyimpangan-penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan dari apa yang secara
umum berlaku dalam masyarakat, yaitu yang dilakukan secara individual, merupakan
ciri-ciri kepribadian dari yang bersangkutan dan tidak dapat dinamakan kebudayaan.
Tetapi berbagai kekhususan dan berbagai alternatif dalam sistem bertindak yang
berlaku umum yang dilakukan secara individual dan yang diwariskan secara sosial
adalah kebudayaan.

Berbeda dengan hewan yang dalam tindakan-tindakan pemenuhan


kebutuhannya, yang diperolehnya dari lingkungan dilakukan dengan cara
menggunakan spesialisasi fisik/tubuh yang diwarisinya secara genetika, manusia
menggunakan kebudayaannya sebagai pedoman hidupnya dan sebagai alat untuk
memenuhi hampir semua kebutuhan-kebutuhannya dengan berbagai sumber daya/
energi yang ada di dalam lingkungannya.

Adapun kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya universal, yang harus dipenuhi


manusia untuk dapat melangsungkan kehidupannya dan untuk dapat hidup lebih
baik lagi dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1. Kebutuhan utama atau kebutuhan primer yang kemunculannya bersumber pada
aspek-aspek biologi/organisme tubuh manusia; yang mencakup kebutuhan-
kebutuhan akan:
a. Makanan/minuman/air, zat asam, dll
b. Buang air besar/kecil, berkeringat, dll
c. Perlindungan dari iklim/cuaca/suhu, dll
d. Istirahat/tidur, pelepasan dorongan seksual dan reproduksi, dll
e. Kesehatan yang baik.

2. Kebutuhan sosial atau Kebutuhan sekunder yang terwujud sebagai hasil akibat
dari usaha-usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tergolong

163
sebagai kebutuhan primer, yang harus dipenuhinya dengan cara melibatkan
orang/sejumlah orang lain, yang mencakup kebutuhan-kebutuhan akan :

a. Berkomunikasi dengan sesama


b. Kegiatan-kegiatan bersama
c. Kepuasan akan benda-benda material, kekayaan
d. Sistem-sistem pendidikan
e. Keteraturan sosial dan kontrol sosial

3. Kebutuhan Integratif, yang muncul dan terpencar dari hakekat manusia sebagai
makhluk pemikir dan bermoral (yang berbeda dari jenis-jenis makhluk lainnya).
Yang fungsinya adalah mengintegrasikan berbagai kebutuhan dan kebudayaan
menjadi suatu satuan sistem yang bulat dan menyeluruh serta masuk akal bagi
para pendukung kebudayaan tersebut, yakni mencakup kebutuhan-kebutuhan
akan :
a. Adanya perasaan bersalah, adil, tidak adil, dll.
b. Mengungkapkan perasaan-perasaan dan sentimen-sentimen kolektif/
kebersamaan.
c. Perasaan keyakinan diri (consistence) dan keberadaannya (exixtence)
d. Ungkapan-ungkapan estetika dan keindahan dan moral.
e. Rekreasi dan hiburan.

Beranekaragamnya kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhinya,


baik secara terpisah-pisah maupun secara bersama-sama sebagai suatu satuan
kegiatan telah menyebabkan juga terwujudnya beranekaragam model pengetahuan
yang menjadi pedoman hidup yang masing-masing berguna atau relevan untuk
usaha-usaha masing-masing kebutuhan manusia. Sehingga dalam pengkajian
mengenai peranan kebudayaan dalam kaitannya dengan usaha-usaha pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan manusia, kebudayaan dilihat sebagai terdiri atas unsur-unsur
yang masing-masing berdiri sendiri tetapi yang satu sama lainnya saling berkaitan.
Unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah: (1) Bahasa dan komunikasi, (2) Ilmu
pengetahuan, (3) Teknologi, (4) Ekonomi, (5) Organisasi sosial, (6) Agama, (7)
Kesenian.

164
Diantara unsur-unsur kebudayaan yang penting dalam hal penentuan tingkat
pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan kehidupan material manusia (yaitu dalam
hal macam kwantitas dan kwalitas adalah Teknologi dan ekonomi.
Walaupun sebenarnya tingkat pemenuhan kebutuhan manusia dan tingkat
kesejahteraan kehidupan materialnya itu ditentukan oleh tingkat teknologi dan
ekonomi dalam kebudayaannya tetapi dalam tindakan-tindakan pemenuhan selalu
melibatkan keseluruhan unsur-unsur kebudayaan (secara langsung ataupun tidak
langsung), aspek-aspek biologi dan emosi manusia yang bersangkutan dan juga
kualitas, kuantitas serta macam sumber daya/energi yang tersedia dan ada dalam
lingkungan. Dalam tindakan-tindakan pemenuhan kebutuhan tersebut salah satu
aspek penting yang sering dilupakan oleh kebanyakan orang adalah aspek yang
terwujud sebagai tradisi-tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku setempat.
Pentingnya peranan aspek sosial ini disebabkan oleh hakekat kemanusian dari
manusia itu sendiri yaitu sebagai makhluk sosial, yang dalam hal mana hampir
sebagian terbesar dari kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya itu
dicapai melalui dan dalam kehidupan sosial.

KEBUDAYAAN:
Teknologi dan
Ekonomi

Kesejahteraan hidup Pemanfaatan


Pribadi dan Masyarakat sumber-sumber daya/energi
dari lingkungan

KEBUDAYAAN

S
ASPEK-ASPEK BIOLOGIS
PROSES MENTAL P
ASPEK-ASPEK EMOSI
LINGKUNGAN
TINDAKAN FISIK/ALAM
SOSIAL BUDAYA

KEBUTUHAN-KEBUTUHAN MANUSIA P
S

P.S. Pranata-pranata KEBUDAYAAN

165
Adapun contoh saling berkaitan di antara unsur-unsur kebudayaan
dalam tindakan-tindakan manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah
sebagaimana dijelaskan dalam gambar berikut ini, yang terpusat pada model
pengetahuan mengenai pentingnya banyak anak dalam keluarga.

KEBUDAYAAN

SISTEM ILMU TEKNOLOGI


PRODUKSI

AGAMA ORGANISASI SOSIAL EKONOMI

SISTEM
POLITIK

MODEL-MODEL SISTEM
PENGETAHUAN TENTANG SISTEM PRODUKSI

SISTEM
POLA-POLA SISTEM
REPRODUKSI DAN
PERKAWINAN DISTRIBUSI
PEMUASAN

MODEL SISTEM
PENGETAHUAN KONSUMSI

KEBUDAYAAN

LINGKUNGAN:
PROSES MENTAL ALAM/FISIK
KEBUTUHAN TINDAKAN P+S SOSIAL
BUDAYA

Usaha-usaha pemenuhan kebutuhan manusia yang dilakukan oleh para


warga suatu masyarakat tidak selamanya dalam melaksanakannya dilakukan secara
seragam atau tanpa variasi-variasi. Pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-
penyimpangan secara individual dari pedoman yang berlaku umum sesuai dengan
tradisi-tradisi yang berlaku setempat selalu terjadi. Hal ini disebabkan karena variasi-
variasi dalam hal pengetahuan kebudayaan yang dipunyai oleh masing-masing
individu.

166
KEBUDAYAAN – X

- Perangkat model-model engetahuan


- Pedoman hidup aau
- Blueprint atau
- Digunakan untuk menghadapi lingkungan
dan mendorong terwujudnya tindakan
(menghasilkan kelakuan dan
benda/peralatan) sesuai dengan lingkungan
yang dihadapi dan motif-motif yang dipunyai
oleh pelaku

Pranata-pranata Sosial
Tradisi-tradisi yang ad dan berlaku dalam
struktur-struktur dalam masyarakat

Pengetahuan
Kebudayaan XI XII XIII XIV XV

Individu

MASYARAKAT

Dengan cara lain, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar berikut ini, salah
satu bentuk alternative tindakan pemenuhan kebutuhan manusia adalah X PX (Xi Z
Y), yang artinya adalah bahwa pelaku yang bersangkutan mewujudkan tindakan-
tindakan sesuai dengan dan berpedoman pada model-model pengetahuan, yang ada
di dalam kebudayaan yang relevan dengan lingkungan yang dihadapi dan berpegang
teguh pada tradisi-tradisi yang berlaku dengan menekan kemenonjolan dari
pengetahuan kebudayaannya, lingkungan yang dihadapi, dan nafsu-nafsu
pemenuhan kebutuhannya. Adapun alternatif-alternatif lainnya bias:
(1) XY (PX Xi Z); (2) XZ (Xi PX Y); (3) PXZ (X Xi Y); (4) PX Z Y (X Xi); (5) Xi Z (X PX
Y); (6) Xi Z Y (X PX); (7) Z (X PX Xi Y).
(2) Alternatif-alternatif tersebut di atas belum termasuk alternatif-alternatif yang
dihasilkan dari memperhitungkan penekanan salah satu model pengetahuan dari
salah satu unsur kebudayaan oleh pelaku yang bersangkutan. Kalau ini
diperhitungkan maka alternatif yang ada akan menjadi lebih kompleks lagi.

167
Kebudayaan - X Lingkungan - Y

Pranata-pranata sosial -FX

Pengetahuan kebudayaan - Xi

Tindakan-tindakan = X.PX.(Xi.Z.Y)

Kebutuhan-kebutuhan

*) Pelaku bertindak sesuai dengan kebudayaan dan tradisi-tradisi sesuai Pranata


Sosial.

1) Pelaku bertindak dengan menekankan pentingnya lingkungan sesuai


kebudayaannya.
2) Pelakui bertindak dengan menekankan pentingnya kebudayaan sesuai
pentingnya kebutuhan-kebutuhannya.
3) Pelaku bertindak menekankan tradisi-tradisi sesuai pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan (tanpa memahami model-model yang ada dalam kebudayaan).
4) Pelaku bertindak menekankan pentingnya tradisi-tradisi sesuai dengan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan lingkungan (tanpa memahami
kebudayaan).
5) Pelaku bertindak menekankan pentingnya pengetahuan kebudayaan dalam
rangka pemenuhan kebutuhannya (mengabaikan faktor-faktor lain)
6) Pelaku bertindak menekankan pentingnya pengetahuan kebudayaan dalam
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan lingkungan.
7) Pelaku bertindak menekankan pentingnya kepuasan pemenuhan-pemenuhan
kebutuhannya.

Perubahan Kebudayaan

168
Sebuah kebudayaan sebagai suatu sistem, berintegrasi secara struktural dan
secara kejiwaan. Secara struktural terintegrasi melalui fungsi-fungsi dari
unsurunsurnya, yaitu oleh adanya peranan dari setiap unsur kebudayaan yang
dimainkannya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya dari kebudayaan
tersebut, yang berlaku secara menyeluruh. Sedangkan secara kejiwaan, integrasi
kebudayaan terjadi melalui konfigurasi tertentu dari kebudayaan tersebut.
Konfigurasi sebuah kebudayaan dapat dikatakan sebagai nyawa atau jiwa dari
kebudayaan tersebut, dan konfigurasi tersebut biasanya terdiri atas seperangkat
kecenderungan-kecenderungan yang nampak ada dan berlaku terus menerus
(sebagaimana yang terwujud dalam dan merupakan abstraksi dari keseluruhan
aspek kehidupan dalam masyarakat tersebut) dan secara erat berkaitan antara satu
dengan lainnya dan yang memberi arah serta menghasilkan terwujudnya kesatuan
integratif dalam kebudayaan tersebut.
Konfigurasi kebudayaan dapat dilihat sebagai nilai-nilai pandangan hidup
worldview dan etos atau tujuan dan cita-cita yang ingin dicapai masyarakat atau juga
dorongan-dorongan yang bersifat umum dan mendasar untuk bertindak. Ruth
Benedict: (1946) telah memperlihatkan bahwa setiap kebudayaan mempunyai
konfigurasi tertentu sedangkan ahli-ahli antropologi yang lebih akhir cenderung untuk
melihat bahwa setiap kebudayaan sebenarnya mempunyai beberapa konfigurasi dan
yang oleh Opler (1945, 1946) dinamakannya sebagai tema-tema kebudayaan
(cultural themes). Karena setiap kebudayaan itu sebenarnya merupakan pedoman,
patokan atau disain menyeluruh bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan,
maka sebenarnya kebudayaan itu bersifat tradisional (artinya: cenderung menjadi
tradisi-tradisi yang tidak dapat mudah berubah). Kecenderungan dari sifat tradisional
kebudayaan tersebut disebabkan oleh kegunaannya sebagai pedoman kehidupan
yang menyeluruh, sebab kalau kebudayaan itu setiap saat dapat berubah maka juga
pedoman bagi kehidupan para warga masyarakat tersebut juga akan berubah setiap
saat dan akibatnya kehidupan masyarakat itu sendiri akan kacau karena pedoman
kehidupan tidak tetap. Tetapi karena gejala-gejala (sumber-sumber daya/energi)
yang ada dalam lingkungan yang dihadapi oleh manusia itu bukan hanya yang itu-itu
saja (cenderung untuk berubah dalam hal macam, kwantitas, dan kwalitasnya), maka
juga kebudayaan itu cenderung untuk selalu berubah dan menjadi dinamik mengikuti
perubahan-perubahan yang terjadi dalam unsur-unsur lingkungannya (alam/fisik,
sosial, dan budaya). Kaena itu di satu pihak kebudayaan itu tidak mau berubah tetapi

169
di lain pihak lainnya cenderung untuk selalu berubah secara cepat dibandingkan
dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya. Kebudayaan-kebudayaan yang integrasi
strukturalnya ataupun integrasi kejiwaannya kurang menyeluruh mempunyai
kecenderungan untuk lebih cepat berubah. Begitu juga kebudayaan-kebudayaan
yang kurang jelas konfigurasinya atau tema-tema kebudayaannya cenderung untuk
lebih cepat berubah. Tetapi yang jelas, semua kebudayaan itu mengalami
perubahan, baik berupa perubahan-perubahan kecil ataupun perubahan-perubahan
besar dan mendasar.

Pada dasarnya perubahan kebudayaan itu berupa suatu modifikasi yang


terjadi dalam perangkat-perangkat ide dan yang disetujui secara sosial oleh para
warga masyarakat yang bersangkutan perubahan kebudayaan itu dapat terjadi pada
isi struktur ataupun pada konfigurasi dan cara-cara hidup tertentu. Perubahan
kebudayaan tersebut dapat terjadi pada bentuk, fungsi atau nilai-nilai dari unsur
terkecil (trait), unsur yang lebih besar (complex), atau juga pada pranata-pranatanya
(institutions). Perubahan kebudayaan dapat terjadi melalui substitusi (penggantian
unsur yang lama oleh unsur yang baru yang secara fungsional dapat diterima oleh
unsur-unsur lainnya), atau kehilangan sebuah unsur atau juga seperangkat unsur-
unsur tanpa ada gantinya. Dapat juga terjadi melalui interpretasi atau penambahan
unsur-unsur baru dalam kebudayaan tanpa mengganti sesuatu unsur yang sudah
ada dalam kebudayaan tersebut.

Sebuah kebudayaan dapat juga berubah karena adanya unsur-unsur


kebudayaan dari luar yang diterima (difusi) atau karena adanya inovasi yang berasal
dari dalam lingkungnan pendukung kebudayaan itu sendiri. Banyak faktor-faktor
yang terlibat dalam proses terjadinya perubahan kebudayaan, dan faktor-faktor
tersebut menentukan apakah sebuah kebudayaan itu berubah atau tidak.

PERUBAHAN KEBUDAYAAN

I II III
KEBUDAYAAN Terintegrasi Disintegrasi Terintegrasi

III
Disintegrasi

170
Adapun tahap-tahap dari perubahan suatu kebudayaan biasanya mengikuti
proses seperti berikut ini :
1. tahap inovasi: yaitu suatu tahap dimana para inovator membuat ciptaan-ciptaan
baru (biasanya tahap penciptaan unsur-unsur baru tersebut terjadi setelah atau
bersamaan waktunya dengan terjadinya difusi dan mengkomunikasikannya
kepada para warga masyarakat tersebut.
2. tahap pengorganisasian inovasi dengan unsur-unsur atau bagian-bagian lainnya
dari kebudayaan tersebut. Suatu perubahan kebudayaan biasanya menghasilkan
suatu keadaan yang tidak seimbang dalam kebudayaan tersebut, yang para
pendukung kebudayaan yang bersangkutan dilakukan koreksi dengan cara
memodifikasi pola-pola tradisional atau pola-pola yang baru diterima atau
memodifikasi kedua-duanya. Pengintegrasian kembali sebuah kepercayaan
dapat dicapai khususnya dengan melalui tahap-tahap penginterpretasian kembali,
penyeleksian dan penjabaran unsur-unsur kebudayaan tersebut.
3. tahap terminal atau tahap berhenti sementara dari keseluruhan hasil akhir
perubahan yang sedang terjadi, yang dapat terwujud sebagai ekulibrium
kemantapan yang menyeluruh, dan konsistensi dalam kebudayaan terwujud,
begitu juga terdapatnya suatu perasaan berkedudukan atau berkepribadian
tinggi, dan mempunyai rasa harga diri atau keyakinan pada diri sendiri yang besar
pada para warga masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan dalam keadaan
disorganisasi yang ruang lingkupnya bisa amat kecil atau bisa juga amat besar
yang terwujud sebagai disintegrasi menyeluruh pada kebudayaan tersebut. Suatu
keadaan disorganisasi yang serius pada sebuah kebudayaan dapat terjadi karena
adanya perang atau penaklukan, adanya kontak hubungan diantara dua
kebudayaan yang sangat berbeda, begitu juga karena terjadinya urbanisasi,
industrialisasi, migrasi dan sebab-sebab lain yang mempengaruhi kebudayaan itu
sendiri atau para warga masyarakat yang menjadi para pendukung kebudayaan
tersebut.

Karena setiap perubahan yang terjadi pada salah satu unsur kebudayaan
akan menyebabkan perubahan-perubahan pada unsur-unsur lainnya itu berarti

171
terjadi perevisian atau pembuatan yang baru agar sesuai dengan perubahan yang
terjadi atas seperangkat model-model pengetahuan yang ada. Manusia cenderung
untuk tidak menyukai hidup dalam kekacauan atau selalu berubah pedoman-
pedoman hidupnya. Karena diantara terjadinya perubahan dan terwujudknya
pedoman hidup yang mapan yang baru terdapat suatu masa transisi yang tidak
menentu. Masa transisi ini ditandai oleh adanya tidak mapannya, tidak menentunya
pedoman-pedoman hidup mana yang sebenarnya berlaku dalam kehidupan yang
bersangkutan.

Walaupun kebudayaan itu cenderung untuk tidak berubah, tetapi perubahan


kebudayaan dan kehidupan sosial manusia itu selalu terjadi. Perubahan itu terjadi
karena gejala-gejala yang terdapat dalam lingkungan hidup manusia itu cenderung
untuk selalu berubah dari masa ke masa. Perubahan-perubahan yang terdapat alam
lingkungan hidup manusia terutama disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan
dalam: (1) jumlah dan komposisi (jenis kelamin dan umur) penduduk; (2) perubahan
lingkungan fisik yang disebabkan oleh (a) bencana alam, (b) perubahan dalam hal
macam, kwantitas dan kwalitas sumber-sumber daya atau energi yang ada dalam
lingkungan. Perubahan-perubahan itu juga dapat terjadi karena adanya penemuan-
penemuan baru dalam teknologi dan ekonomi; karena adanya inovasi/penyerangan/
penjajahan oleh masyarakat lain dan oleh karena adanya peperangan. Di samping
itu juga karena adanya kontak hubungan dengan masyarakat lain sehingga terjadi
pengambilalihan unsur-unsur kebudayaan lain yang dianggap berguna dan
menguntungkan masyarakat tersebut yang menyebabkan adanya perubahan sosial
dan kebudayaan.

Setiap perubahan sosial budaya selalu melalui tahapan disorganisasi (yaitu


bisa disorganisasi sosial dan bisa disorganisasi kebudayaan) dan setelah tahapan
disorganisasi ini kembali pada tahap integrasi. Kalau setelah tahapan disorganisasi
tidak mencapai tahan integrasi, maka yang terjadi adalah tahapan disintegrasi, yaitu
suatu keadaan dimana kebudayaan masyarakat yang bersangkutan tidak berfungsi
lagi sebagai perangkat pedoman hidup bagi para warga masyarakat yang
bersangkutan karena masing-masing unsur dan model-model kebudayaannya berdiri
sendiri sehingga mengacaukan kehidupan sosial, dan karena itu juga kehidupan
sosialnya mengalami disorganisasi dan tidak fungsional lagi sebagai pranata sosial.

172
Sejumlah perubahan-perubahan, sosial budaya berjalan dengan lambat dan
bertahap sehingga para warga masyarakat yang bersangkutan tidak merasakan
adanya tahapan disorganisasi sosial yang sedang berjalan. Perubahan seperti ini
biasanya terjadi dari sebab-sebab yang berasal dari dalam kehidupan masyarakat
dan kebudayaaan itu sendiri (yaitu: karena perubahan kependudukan ini
menyebabkan perubahan-perubahan dalam pengorganisasian kehidupan sosial,
teknologi, ekonomi, politik, kesenian, dan agama.

Sedangkan perubahan-perubahan budaya yang berjalan dengan cepat


biasanya disebabkan oleh adanya unsur-unsur dari luar masyarakat itu sendiri,
migrasi, peperangan, penjajahan, adopsi teknologi dan ekonomi baru yang
menekankan pemanfaatan energi dari lingkungan semaksimal mungkin dan kapital
beranak cucu kapital dan karena bencana alam. Dalam proses perubahan sosial
budaya yang berjalan cepat tersebut sebagian warga masyarakat mengadopsi
sebagian lainnya berada dalam kebingungan, dan masih sebagian lainnya
menggunakan cara hidup lama.

Sistem Kategorisasi dan Perubahan Sosial Budaya.

Setiap kebudayaan mempunyai sistem kategorisasi yang fungsinya adalah


memilah-milah berbagai unsur yang terkecil dalam kebudayaan dengan
menggunakan pedoman yang ada dalam ajaran agama, moral, nilai-nilai kosmologi
sehingga pilihan-pilihan atau kategori-kategori tersebut masuk akal atau logis dan
berguna dalam mengatur serta menjalani kehidupan. Sistem-sistem kategori yang
terdapat dalam kebudayaan yang masyarakatnya relatif kurang mempunyai
hubungan kontak dengan kebudayaan-kebudayaan luar cenderung untuk tetap utuh
dibandingkan dengan yang terdapat dalam kebudayaan-kebudayaan yang sering
berhubungan dengan kebudayaan-kebudayaan luar. Kalau kita mengambil contoh
mengenai salah satu pemenuhan kebutuhan manusia yang universal, yaitu buang air
besar dan contoh tersebut hendak kita lihat bagaimana kedudukannya dalam sistem
kategorisasi dan kaitannya dengan kategori-kategori lainnya dalam kebudayaan
yang bersangkutan, maka contoh yang terdapat dalam kebudayaan jawa di
pedesaan seperti disajikan di bawah ini akan memperlihatkan betapa tidak

173
gampangnya merubah kebiasaan membuang air besar tersebut, karena kaitan-
kaitannya dengan kategori-kategori lainnya yang ada dalam kebudayaan Jawa di
pedesaan.
Dengan contoh tersebut sebenarnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa
kebudayaan itu cenderung untuk tidak berubah. Karena setiap perubahan yang
terjadi pada salah satu unsurnya akan menyebabkan perubahan-perubahan pada
unsur-unsur yang lain. Itu berarti bahwa seperangkat model-model pengetahuan
yang ada dalam kebudayaan yang bersangkutan harus direvisi atau dibuat baru
sesuai dengan perubahan yang terjadi. Manusia cenderung untuk mempertahankan
tradisi-tradisi yang berlaku sebelum terjadinya perubahan sebagai pedoman hidup
mereka. Banyak contoh-contoh mengenai kecenderungan tindakan-tindakan
manusia yang mengikuti tradisi-tradisi sesuai kebudayannya.

Contoh :
Kebudayaan Buang air besar menurut kebudayaan Jawa (di pedesaan)

Penggolongan Dua
Bersih Pusat Dalam Rumah Rumah dan pekarangan Mahluk halus yang
baik
Kotor Pinggir Luar Pekarangan Jalan, sungai, sawah, Mahluk halus yang
tegalan jahat

Penggolongan Tiga
Bersih Bag muka Resmi Ruang tamu Makhluk halus yang Rumah
rumah baik dari baik
Bersih/ Bag tengah Pribadi/ Ruang Makhluk halus yang Pekarangan
Kotor rumah keluarga tengah baik dari jahat
Kotor Bag blk Pribadi/ Ruang dapur/ Makhluk halus yang Jalan, sawah,
rumah keluarga makan baik sungai, tegalan

Pranata-pranata sosialnya:
1. Bagian muka rumah harus bersih, sedangkan bagian tengah rumah bisa kurang
bersih, dan bagian belakang dari belakang rumah bisa kotor.
2. Rumah harus bersih, sedangkan pekarangan bisa kotor.

174
3. Bagian muka pekarangan harus bersih sedangkan bagian belakang dari
pekarangan bisa kotor.
4. Rumah dan pekarangan harus bersih, sedangkan jalan sungai, sawah, tegalan
bisa kotor.
Perwujudan dalam tindakan-tindakan kebersihan:
1. Kotoran dalam rumah harus dibuang ke pekarangan
2. Kotoran di pekarangan dibuang ke sudut/pinggir/bagian belakang dari
pekarangan.
3. Kotoran di pekarangan dapat dibuang ke jalan, sungai, tegalan, sawah, atau
dibakar.

Kotoran manusia digolongkan sebagai kotoran yang paling kotor oleh karena
itu kotoran manusia harus dibuang sejauh-jauhnya agar tidak mengotori tempat yang
digolongkan sebagai bersih. Karena itu yang terbaik adalah membuang air besar di
sungai karena langsung jauh dari “tempat bersih” dan mudah atau ditegalan, di
galengan (galang) sawah, dan terakhir di tepi jalan. Kakus dihindari pembuatannya,
karena menjadi tempat yang paling kotor dari ruang hunian (rumah pekarangan).
Pengertian kotor tersebut mencakup pengertian obyektif (yang disebabkan masih
rendahnya teknologi membuat dan merawat kakus) maupun dalam dalam pengertian
simbolik (sebagai tempat bermukimnya segala kekuatan gaib dan mahluk halus yang
kotor atau jahat). Kotoran tersebut dianggap sebagai dapat menganggu
kesejahteraan hidup manusia penghuninya.

Sistem kategorisasi dalam kebudayaan Jawa yang menjadi landasan bagi


adanya pedoman bertindak yang menjadi tradisi berkenaan dengan buang air besar,
tetap kukuh bertahan walaupun kampanye pembuatan kakus sudah lama masuk
desa. Ini disebabkan karena kemudahan murah, dan tidak ada model pengetahuan
lainnya yang dianggap oleh orang Jawa di desa sebagai lebih baik dan
menguntungkan dibandingkan dengan model buang air besar yang tradisional
tersebut.

Kebudayaan dan Pembangunan

175
Pembangunan secara sederhana dapat dilihat sebagai usaha terencana untuk
meningkatkan taraf kesejahteraan kehidupan para warga masyarakat. Dengan
demikian, secara sederhana pembangunan juga dapat dilihat sebagai usaha-usaha
terencana untuk merubah kebudayaan (yang menjadi pedoman kehidupan
menyeluruh untuk penemuan-penemuan kebutuhan-kebutuhan manusia) dari suatu
masyarakat dari yang semula kurang efektif dan kurang efisien dalam hal
kegunaannya untuk pemenuhan kebutuhan dan taraf kesejahteraan kehidupan para
penduduknya menjadi lebih efektif dan efisien dalam hal kegunaannya untuk
mengeksploitasi dan memanfaatkan sumber-sumber daya/energi yang ada dalam
lingkungan untuk peningkatan kesejahteraan kehidupan manusia.

Dengan menggunakan kerangka berpikir seperti tersebut di atas maka


sebenarnya sasaran pembangunan pada dasarnya adalah usaha-usaha terencana
untuk meningkatkan macam kwalitas dan kwantitas yang harus dipenuhi bagi
pemuasan kebutuhan-kebutuhan utama atau primer. Dalam usaha-usaha
meningkatkan kesejahteraan hidup tersebut unsur-unsur kebudayaan yang terutama
sangat penting kegunaannya adalah unsur-unsur ekonomi dan teknologi yang ada
dalam kebudayaan tersebut, sehingga langsung atau tidak langsung sasaran yang
terutama harus dirubah dan disesuaikan dengan usaha peningkatan taraf
kesejahteraan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sebenarnya adalah sistem
ekonomi dan teknologinya. Karena sasaran pembangunan itu pada dasarnya adalah
peningkatan kesejahteraan hidup, maka secara langsung ataupun tidak langsung
dapatlah dikatakan bahwa tujuan utama yang ingin dicapai pada dasarnya adalah
peningkatan dalam hal penggunaan dan peningkatan pengkonsumsian sumber-
sumber daya/energi yang ada dalam lingkungan (fisik/alam, sosial, dan
kebudayaan). Model-model pengetahuan yang ada dalam kebudayaan yang
terutama relevan dan berguna alam usaha-usaha tersebut, dengan demikian adalah
model-model pengetahuan yang menekankan pada pentingnya efisiensi dan
efektivitas dari usaha-usaha pengeksploitasian dan pemanfaatan sumber-sumber
daya/energi dari lingkungan.

Karena sasarannya adalah perubahan pada kebutuhan-kebutuhan utama atau


primer maka juga melibatkan perubahan-perubahan pada tingkat kebutuhan sosial
dan kebutuhan integratif dan begitu juga perubahan-perubahan dalam hal macam,

176
kwantitas dan kwalitas yang ada pada sumber-sumber daya/energi yang ada dalam
lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada
tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan utama atau primer, dengan demikian
menuntut adanya dukungan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial
dan integratif, yang dapat berupa peningkatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
tersebut atau dapat juga berupa penghapusan sesuatu model pengetahuan yang
tidak relevan. Dengan demikian, usaha-usaha peningkatan taraf pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan primer, menghasilkan perubahan-perubahan kebudayaan dan
tradisi-tradisi yang berlaku sebelumnya.

Dalam masyarakat-masyarakat yang sudah maju, perubahan-perubahan


kebudayaan berkenaan dengan usaha-usaha terencana dari pemerintah dan
masyarakatnya untuk meningkatkan taraf hidup para warga masyarakat dan
negaranya, tidak terjadi dan kalaupun terjadi perubahan kebudayaan, maka
perubahan-perubahan tersebut tidak bercorak fundamental. Hal ini disebabkan
karena integrasi kebudayaan dari masyarakat/negara maju itu secara struktural dan
secara kejiwaan mendukung usaha-usaha meningkatkan taraf kesejahteraan hidup
tersebut. Pencapaian tingkat integrasi tersebut telah menjadi lama, sejak dimulainya
revolusi, dan pada tahap sekarang setelah mengalami berbagai tahapan
disorganisasi kebudayaan dan menghasilkan berbagai bentuk korban kemajuan
yang telah dicapai masyarakat-masyarakat maju mempunyai kebudayaan yang
terintegrasi unsur-unsurnya dan relatif stabil dan begitu juga kestabilan ini terwujud
dalam hal keseimbangan hubungan antara usaha-usaha pemenuhan kebutuhan
manusia dengan kebudayaannya dan dengan daya dukung sumber-sumber
daya/energi yang ada dalam lingkungannya.

Kalau kebudayaan dari negara-negara maju itu ditelaah secara sungguh-


sungguh, maka yang nampak menyolok adalah fokus pada kebudayaan-kebudayaan
tersebut yang menekankan pada sistem teknologi yang secara efisien dan efektif
dapat secara maksimal mengeksloitasi sumber-sumber daya/energi dari lingkungan
dan sistem ekonomi yang mempunyai prinsip kapital beranak cucu kapital dan bukan
semata-mata anak kapital itu untuk konsumsi. Kedua unsur kebudayaan tersebut
dalam kegunaannya didukung oleh unsur-unsur lainnya dari kebudayaan tersebut,
dan terwujud sebagai pranata-pranata sosial yang berlaku pada berbagai tingkat

177
kehidupan sosial, ekonomi, politik, keagamaan, kesenian, hiburan, dan lain-lainnya;
yang berlaku pada tingkat individual, komuniti maupun masyarakat/negara.

EKONOMI SUMBER-SUMBER
KAPITAL/UANG DAYA DARI
TEKNOLOGI LINGKUNGAN

ILMU ORGANISASI BAHASA DAN


PENGETAHUAN SOSIAL AGAMA KOMUNIKASI KESENIAN

ILMU
PENGETAHUAN

EKONOMI BAHASA DAN


AGAMA KAPITAL/UANG KOMUNIKASI
TEKNOLOGI

ORGANISASI
SOSIAL KESENIAN

Bagi negara-negara yang sedang berkembang yang masyarakat-


masyarakatnya pada dasarnya mempunyai sistem ekonomi konsumsi dan sistem
teknologi rendah (dalam hal mengeksploitasi dan pemanfaatan sumber-sumber
daya/energi dari lingkungannya), program pengadopsian program-program
pembangunan tidak selamanya dapat berjalan dengan baik: (1) Adanya hambatan-
hambatan yang bersumber pada kebudayaan dan masyarakat setempat dan
tradisitradisi yang berlaku, yang menyebabkan program-program pembangunan
tersebut tidak berjalan sebagaimana seharusnya sehingga tujuan yang ingin dicapai
tidak pernah terlaksana, atau (2) Menghasilkan berbagai masalah yang terlahir dari
keberhasilan program pembangunan itu, yang justru ditangani dengan pembiayaan
yang lebih mahal, misalnya: (a) pengrusakan lingkungan, karena orientasi model-
model pengusahaan dalam kebudayaan telah menjadi “mengeksploitasi dan
memanfaatkan lingkungan secara maksimal sumber daya/energi dari lingkungan”
tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan dan kelestariannya dalam perspektif
jangka waktu panjang, (b) peningkatan jumlah penduduk, karena taraf kesehatan

178
dan konsumsi gizi makanan menjadi lebih baik angka kematian turun, persaingan
dan perebutan rezeki semakin keras dan landasan hubungan kekerabatan/keluarga
lebih penting daripada landasan hukum, dll, (c) urbanisasi dan migrasi yang tidak
terkontrol oleh berbagai sebab berasal dari faktor-faktor ekonomi, pendidikan, status
sosial, politik, dll. (d) peningkatan kejahatan (baik secara kwantitas, kwalitas dan
macamnya), ketidak jelasan antara milik umum/negara dengan hak pribadi yang
menyebabkan terwujudnya berbagai ketidaksesuaian/ketertiban sosial dan
sebagainya.

Munculnya masalah-masalah tersebut mungkin disebabkan karena: (1) Para


perencana pembangunan lebih menekankan dilaksanakannya pembangunan pada
tingkat makro sedangkan masalah-masalah mikro diasumsikan akan mengikuti dan
akan sejajar dengan perkembangan yang terjadi sebagai hasil pembangunan tingkat
makro, (2) Mungkin lebih menekankan pembangunan pada sektoral atau mungkin,
(3) Tidak memperhitungkan faktor-faktor kebudayaan dan tradisi-tradisi yang berlaku
dalam masyarakat setempat karena mungkin model pembangunan yang
digunakannya adalah model pembangunan yang biasa diaplikasikan untuk
masyarakat-masyarakat yang faktor-faktor kebudayaan dan tradisi-tradisinya tidak
menjadi penghambat bagi pelaksanaan program pembangunan tersebut atau
mungkin juga karena faktor-faktor kebudayaan dan tradisi-tradisi tersebut merupakan
faktor-faktor yang tidak mudah diperhitungkan peranannya dalam pembangunan,
sehingga pengkajian-pengkajian mengenai itu akan menjadi mahal (kalau
diperhitungkan berdasarkan kwalifikasi tenaga ahli dan jumlah waktu kerja yang
diperlukannya.atau mungkin, (4) Hambatan tersebut terletak pada pelaksanaan
program itu sendiri :

PROGRAM
PEMBANGUNAN - A Program Lingkungan Pemukiman Sehat

Yang menjadi sasaran, yang dihadapi dan harus

LINGKUNGAN SLP = Utama


KEBUDAYAAB - X PEMUKIMAN -XLP Kel A = Implikasi

Yang diharapkan berubah sebagai hasil dari pelaksanaan Program Pembangunan

LINGKUNGAN
KEBUDAYAAB - A
PEMUKIMAN -ALP

Pembangunan
fisik LP
179
Tindakan perawatan
yang diharapkan
Dalam kenyataan terjadi variasi-variasi tindakan para warga masyarakat,
sebagai berikut:
XnLP : atau AxnLP : atau XanLP : atau XLP.
XnLP = Pelaku bertindak sesuai pengetahuan kebudayaan X (lama)
AXnLP = Pelaku bertindak sesuai dengan gabungan kebudayaan A yang
diinterpretasi berdasarkan pengetahuan kebudayaan X mengenal LPA.
XanLP = Pelaku bertindak sesuai dengan gabungan kebudayaan X yang
diinterpretasi berdasarkan pengetahuan kebudayaan A mengenai LPA,
XLP = Pelaku bertindak sesuai dengan kebingungannya, atau sesuai dengan
kebutuhannya “semau gue”

Dalam kaitannya dengan terjadinya kontak antara kebudayaan dengan


ekonomi kapital dan teknologi tinggi dengan kebudayaan yang mempunyai unsur
ekonomi konsumsi dan teknologi rendah, kebudayaan yang tingkat ekonomi dan
teknologinya rendah tersebut secara cepat atau lambat akan terabsorsi ke dalam
kebudayaan dengan ekonomi dan teknologi tinggi, atau akan mengalami disintegrasi
dan punah. Banyak contoh-contoh di luar Indonesia mengenai hasil kontak
hubungan antara kebudayaan dengan ekonomi dan teknologi tinggi dengan
kebudayaan dengan ekonomi dan teknologi rendah tersebut, yang pada prinsipnya
memperlihatkan bahwa kepunahan dan terjadinya disintegrasi kebudayaan tersebut
disebabkan oleh karena para pendukung kebudayaan dengan ekonomi dan teknologi
rendah itu tidak siap untuk menerima kebudayaan dengan ekonomi dan teknologi
tinggi dan memanfaatkan kebudayaan tersebut untuk meningkatkan taraf hidup dan
memperkuat identitas sosial dan kebudayaan mereka.

Kebudayaan Indonesia dan Pembangunan

Sebenarnya tidak mudah untuk mengatakan apa itu kebudayaan Indonesia,


apa ciri-ciri kebudayaan Indonesia yang berbeda dari kebudayaan bangsa-bangsa

180
lainnya. Kesukaran dalam menunjukkan apa ciri-ciri kebudayaan Indonesia oleh
karena ciri-ciri yang menyolok dari sesuatu kebudayaan itu adalah hasil abstraksi
dari kenyataan-kenyataan empirik yang terwujud sebagai bentuk-bentuk kelakuan
yang menyolok dan terpola yang merupakan perwujudan dari kebudayaan yang
didukungnya yang menjadi pedoman menyeluruh dari kehidupannya. Kalau secara
ideal dan konfiguratif kita dengan mudah dapat mengatakan bahwa kebudayaan
Indonesia berlandaskan pada Pancasila, tetapi secara aktual kita mungkin
dihadapkan pada kenyatan-kenyataan empirik yang tidak sama dengan dan bahkan
mungkin bertentangan dengan kebudayaan yang ideal atau yang kita cita-citakan
sebagai kebudayaan Indonesia.

Kesukaran ini mungkin disebabkan adanya kenyataan bahwa masyarakat


negara Indonesia itu sebenarnya baru terbentuk pada 17 Agustus 1945 dan
disebabkan juga oleh corak masyarakat Indonesia yang majemuk. Kesukaran ini
tidak ada dalam menunjukkan apa itu kebudayaan Amerika (Amerika Serikat) atau
Jepang. Dengan mudah seseorang akan menunjukkan satu atau sejumlah ciri-ciri
yang menyolok yang merupakan abstraksi dari kenyataan kehidupan orang Amerika;
demokrasi, persamaan hak di muka umum, kebebasan dalam berbicara dan
bertindak selama tidak merugikan orang lain dan merugikan kepentingan umum/
masyarakat serta kepentingan negara, anti komunisme, anti bapakisme (patronase),
tanggung jawab dan ketekunan nilai kerja, nilai uang di atas derajat dan jenis
pekerjaan, hemat/pelit, pemuja keperkasaan laki-laki dan kecantikan tubuh, dan lain-
lain.
Kemudahan dalam menunjukkan ciri-ciri yang menyolok yang menunjukkan
apa itu sebenarnya corak kebudayaan Amerika, disebabkan telah mantapnya
kebudayaan dan tradisi-tradisinya. Kemantapan tersebut bukan terbentuk kemarin
saja tetapi telah lama dan dua ratus tahun lamanya sejak kemerdekaannya.
Masyarakatnya yang tadinya berkebudayaan majemuk secara bertahap berubah
menjadi masyarakat majemuk dan kemudian sampai sekarang bercorak heterogen.
Di samping itu ada kebudayaan WASP (White Anglo Saxon Protestant) yang menjadi
inti dari kebudayaan Amerika, dimana semua imigran yang tidak tergolong sebagai
WASP secara langsung atau tidak langsung terasimilasi dalam WASP; yang dengan
demikian maka para imigran tersebut secara langsung atau tidak langsung di
Amerikakan. Sedangkan golongan minoritas, yang tidak menjadi WASP, hanya

181
dapat tetap mempertahankan tradisi-tradisi kebudayaannya dalam kehidupan
keluarga dan keagamaan.

Kemantapan masyarakat dan kebudayaan Amerika disebabkan oleh kuatnya


sistem nasionalnya, yang telah menjadi buah bibir saja. Kemantapan sistem nasional
ini disebabkan oleh corak masyarakat - negaranya yang heterogen. Ini berbeda
dengan Indonesia yang masih tetap harus menjaga dan mempertahankan keutuhan
dan kekuatan sistem nasionalnya, karena kebudayaan nasionalnya belum menjadi
tradisi-tradisi, dan karena itu juga tidak mudah untuk menunjukkan apa sebenarnya
kebudayan Indonesia itu.

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau Bhineka Tunggal Ika,


yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atas sejumlah masyarakat sukubangsa,
yang perwujudannya sebagai sebuah masyarakat negara dapat terjadi karena
dipersatukan oleh kekuatan nasional. Kekuatan nasional yang terwujud sebagai
sistem nasional telah mempersatukan masyarakat-masyarakat sukubangsa menjadi
satu masyarakat negara dan mengintegrasikan mereka ke dalam satu nasion, yaitu
nasion Indonesia. Pemersatuan secara nasional berjalan melalui jaringan-jaringan
administrasi pemerintahan politik, ekonomi, dan sosial yang pusat-pusatnya terletak
di kota-kota yang tersusun dalam suatu sistem yang bertingkat-tingkat dengan
puncaknya di ibukota negara Indonesia: Jakarta.

Dengan kata lain kemajemukan masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya


kenyataan bahwa masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai golongan sukubangsa
dan etnik yang masing-masing mempunyai cara hidup atau kebudayaan yang
berlaku dalam lingkungan masyarakat atau sukubangsanya sendiri, tetapi yang
secara bersama-sama hidup dalam satu wadah masyarakat Indonesia dan berada di
bawah naungan sistem nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945.

Secara garis besarnya ada tiga macam kebudayaan dalam masyarakat


Indonesia yang majemuk tersebut, yaitu: (1) Kebudayaan Nasional Indonesia atau
kebudayaan Bangsa Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, yang berfungsi dan operasional kegunaannya dalam suasana-

182
suasana nasional dan arena interaksi yang terwujud dalam struktur-struktur dan
pranata-pranata yang diciptakan oleh dan yang menjadi unsur-unsur pendukung dari
sistem nasional; (2) Kebudayaan sukubangsa yang berfungsi dan operasional
kegunaannya dalam suasana-suasana sukubangsa dan arena-arena interaksi yang
ada dalam pranata-pranata dan struktur-struktur yang terwujud dari kebudayaan
suku dan yang menjadi unsur pendukung bagi lestarinya kebudayaan sukubangsa
tersebut dan (3) Kebudayaan umum-lokal yang berfungsi dan operasional
kegunaannya dalam berbagai lapis kehidupan dalam pergaulan umum (ekonomi,
politik, sosial dan emosional) yang berlaku dalam lokal-lokal di daerah, yang dalam
hal ini kedudukan dan kegunaannya sama dengan lingua pranca dalam bahasa,
yang arena-arena kegiatannya terletak di luar kegiatan operasional dari kebudayaan
negara maupun kebudayaan sukubangsa walaupun secara fisik tempat-tempat dari
arena-arena kegiatan kebudayaan umum-lokal itu bisa sama dengan tempat-tempat
bagi arena-arena kegiatan yang berlandaskan kebudayaan nasional atau
sukubangsa.

Berkenaan dengan adanya keanekaragaman kebudayaan suku-suku bangsa


di Indonesia dan adanya kebudayaan-kebudayaan umum-lokal yang patut dicatat
adalah: Bahwa walaupun puncak-puncak dari kebudayaan tersebut memperlihatkan
adanya prinsip-prinsip kesamaan dan saling persesuaian satu dengan lainnya
sehingga menjadi landasan bagi terciptanya kebudayaan nasional Indonesia tetapi
perbedaan-perbedaan tersebut tetap ada. Perbedaan-perbedaan tersebut pada
hakekatnya disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam sejarah
perkembangan kebudayaan masing-masing dan oleh adaptasi terhadap lingkungan-
lingkungan yang berbeda.

Hubungan-hubungan yang berlangsung lama dan tetap telah terjalin di antara


warga masyarakat sukubangsa dan etnik berbeda yang telah menghasilkan
terwujudnya kebudayaan-kebudayaan umum-lokal di berbagai wilayah di Indonesia,
baik yang berskala kecil (sebuah kota atau wilayah). Dari perspektif perubahan dan
kelestarian kebudayaan umum-lokal dapat dilihat sebagai sebuah wadah yang
mengakomodasi lestarinya perbedaan-perbedaan identitas sukubangsa dan etnik
serta identitas sosial budaya dari masyarakat-masyarakat yang saling berbeda

183
kebudayaannya yang hidup bersama dalam wilayah atau di sekeliling wilayah
kebudayaan umum-lokal tersebut.

Keanekaragaman di antara berbagai masyarakat dan kebudayaan di


Indonesia tidak hanya bersifat horizontal tetapi juga bersifat vertikal. Secara garis
besarnya dalam masyarakat Indonesia hidup msyarakat-masyarakat yang
berkebudayaan (1) Meramu hasil hutan dan alam; (2) Pertanian berladang
berpindah-pindah; (3) Pertanian dan penangkapan/budidaya ikan yang menetap; (4)
Perkotaan; (5) Metropolitan. Perbedaan-perbedaan diantara kebudayaan tersebut
terutama dilihat berdasarkan atas perbedaan tingkat ekonomi dan teknologi atau
tingkat kesanggupan pengeksploitasian dan pemanfaatan energi dari lingkungan
hidup masing-masing. Keanekaragaman kebudayaan dalam masyarakat Indonesia
lebih-lebih lagi terasa sangat menyolok disebabkan oleh adanya kepincangan dalam
hal persebaran dan konsentrasi penduduk. Konsentrasi penduduk terutama terdapat
di pulau Jawa dan kota-kota besar dan sebagai akibatnya maka juga tingkat
kehidupan ekonomi dan kesejahteraan hidup lebih terkonsentrasi di pulau Jawa dan
di kota-kota besar, tetapi sebaliknya juga kemiskinan dan kerusakan lingkungan lebih
banyak terdapat di tempat-tempat konsentrasi penduduk yang besar dibandingkan
dengan yang kurang jumlah penduduknya.

Masalah-masalah pembangunan berkenaan dengan corak masyarakat di


Indonesia yang majemuk sebenarnya dari satu segi dapat dilihat sebagai berikut:
Pada tingkat nasional, yang harus dilakukan adalah perubahan secara bertahap dari
coraknya yang majemuk menjadi heterogen. Ini berarti penguatan sistem nasional
secara menyeluruh yang berarti melemahkan kedudukan sukubangsa dan etnik
sebagai kekuatan sosial ekonomi, kebudayaan sukubangsa hanya fungsional dalam
kegiatan-kegiatan upacara dan berguna untuk mempertahankan tradisi-tradisi dalam
keluarga dan komuniti lokal dan dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Sebaliknya
kebudayaan umum baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Sebab
masalahnya yang dihadapi di Indonesia, antara lain sebagai dampak dari
berlangsungnya pembangunan yang berjalan dengan cepat, adalah tidak adanya
ruang-ruang umum dan tidak adanya pembedaan antara milik umum atau milik
negara dengan milik pribadi sehingga milik umum atau milik negara bisa dengan

184
begitu saja diklaim (contohnya: tidak adanya ketertiban lalulintas, pemukiman liar,
dsb).

Kegiatan-kegiatan pelaksanaan program-program pembangunan pada tingkat


lokal sebaiknya memperhatikan faktor-faktor sosial dan kebudayaan dari masyarakat
setempat dan metode untuk memperhitungkan faktor-faktor sosial dan kebudayaan
tersebut tidak hanya menggunakan perspektif yang menggunakan pengukuran-
pengukuran obyektif, tetapi juga dengan menggunakan perspektif yang melihat
gejala-gejala sosial dari kacamata kebudayaan yang bersangkutan.

****

Kepustakaan

Bachtiar H.W., 1982, “Cultural System in Indonesia : Consensus and Conflict” Ilmu
Sosial Dasar. Bahan Bacaan Pengajar. Jilid II, Hal. 211-226.
Benedict. R., 1946, Pattern of Culture. New York: Mentor, The American Library.
Badley, J.H., 1975, Victims of the Miracle : Development and the Indians of Brasil,
New York: Cambridge University Press.
Kluckhon. C, 1949, Mirror for Man : The Relation of Anthropology to Modern Life.
New York: Mac Graw-Hill. (Terjemahan yang diringkas dapat dibaca
dalam edisi bahasa Indonesia: “Cermin Manusia”, dalam Manusia,
Kebudayaan, dan Lingkungannya. (di-edit oleh Parsudi Suparlan),
Jakarta: Rajawali, 1984).
Koentjaraningrat, 1979, Pengatar Ilmu Antropologi, Jakarta : Aksara Baru
Kroeber., A.L, 1952, The Nature of Culture, Chicago : The University of Chicago
Press.
Opler, M.E., 1945, “Themes as Dynamic Forces in Culture”, American Journal of
Sociology No. 51. hal 198-206

185
1946, “An Application of the Theory of Themes in Culture”. Journal of the
Washington Academy of Science. No. 36. hal 137-165.
Piddington, R., 1950, An Introduction to Social Anthropology, Jilid I. London : Oliver
and Boyd Publishers.
Suparlan, P., 1982, Pokok-pokok Pikiran Strategi Pengembangan Kebudayaan
Nasional Indonesia, Makalah disampaikan kepada Direktur Sejarah dan
Nilai Tradisional, Ditjen Kebudayaan, Dep. P dan K.
Spradley, J.P., 1972, “Foundation of Cultural Knowledge”. Dalam James P. Spradley
(Editor), Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans, San Francisco:
Chandler, hal 3-34).

186
3 Masyarakat
Majemuk dan
Perawatannya

Pendahuluan

A
sal muasal dari konsep masyarakat majemuk (plural society) yang dikenal
dalam ilmu-ilmu sosial sebenarnya mengacu pada tulisan Furnivall (1948a),
yang mengidentifikasi masyarakat jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah
masyarakat majemuk. Yaitu, sebuah masyarakat yang terdiri atas kumpulan orang-
orang atau kelompok-kelompok, yang berbaur tetapi tidak menjadi satu. Masing-
masing kelompok mempunyai agama, kebudayaan dan bahasa, serta cita-cita dan
cara-cara hidup mereka masing-masing. Sebagai individu mereka itu saling bertemu,
tetapi hanya di pasar. Masyarakat seperti ini terdiri atas bagian-bagian yang
merupakan komuniti-komuniti yang hidup saling berdampingan dalam sebuah satuan
politik, tetapi saling terpisah atau tidak merupakan sebuah kesatuan. Mereka itu
merupakan sebuah masyarakat karena dipersatukan secara paksa, tidak karena
secara sukarela. Kekuasaan yang absolut berada di tangan sejumlah elite, yang
merupakan penguasa jajahan yang dominan, yang menuntut penyerahan absolut
dari warga masyarakat jajahan demi kepentingan penguasa jajahan tersebut.

Apa yang menarik dari uraian Furnivall (1948a) antara lain adalah, penguasa
masyarakat jajahan atau masyarakat majemuk itu sebenarnya hanya berkuasa untuk
memantapkan kepentingan ekonomi mereka. Kekuasaan dengan paksa atau
kekerasan, yang menggunakan tentara dan polisi, adalah untuk menegakkan
kekuasaan demi kepentingan ekonomi para penguasa, dan bukan untuk
menciptakan tertib hukum dan keteraturan sosial yang menjamin terwujudnya
kesejahteraan hidup warga masyarakat jajahan. Sebaliknya, warga masyarakat

187
jajahan untuk dapat tetap hidup dan melanjutkan kehidupannya, harus dapat
menyenangkan hati tuan-tuan penjajah dengan cara melayaninya, dan hidup dengan
cara meniru kebudayaan penjajah yang coraknya eksploitatif terhadap masyarakat
jajahan yang dikuasainya, dan terhadap lingkungan serta sumberdaya-
sumberdayanya yang dianggap sebagai miliknya. Atau, bila tidak, mereka itu harus
menjadi pemberontak yang siap untuk ditumpas oleh tentara dan polisi. Karena itu,
Furnivall mengatakan bahwa masyarakat jajahan seperti Hindia Belanda itu tidak
mempunyai ‘common will’ sebagaimana terdapat dalam kehidupan sesuatu bangsa,
yang dapat menyebabkan mereka - sebagai bangsa - dapat bertahan dari serangan
luar, maupun dari perpecahan dan kehancuran dari dalam bangsa itu sendiri.

Corak masyarakat majemuk sebenarnya bukan hanya seperti yang


digambarkan oleh Furnivall tersebut di atas, yang otoriter dan militeristik. Bila kita
melihat keanekaragaman corak masyarakat majemuk sebagai berada dalam suatu
garis berkesinambungan, maka pada kutub yang satu terdapat masyarakat majemuk
yang otoriter dan militeristik; sedangkan pada kutub lainnya adalah masyarakat
majemuk yang demokratis. Contoh dari masyarakat majemuk yang otoriter dan
militeristik ini kita temukan pada akhir abad ke-20 yang sekarang sudah runtuh, yaitu
Soviet Russia, Yugoslavia, Afrika Selatan, dan Indonesia di zaman Orde Baru.
Contoh masyarakat majemuk yang demokratis yang berada di kutub lainnya adalah
Amerika Serikat, yang dikenal sebagai masyarakat yang multikultural atau bercorak
budaya banyak, dan sebagian negara-negara Eropa Barat. Di antara masyarakat
majemuk yang otoriter dan masyarakat majemuk yang demokratis tersebut terdapat
corak masyarakat majemuk yang masih memperhitungkan keanekaragaman
kesukubangsaan masyarakatnya yang diwadahi dalam tatanan demokrasi.
Masyarakat majemuk seperti ini mempunyai corak demokratis yang konsosiasional
(Lijphart 1969). Contohnya adalah Belanda, dan Suriname sebelum
kemerdekaannya pada bulan Desember 1974 (Dew 1978; Suparlan 1995a), dan juga
Malaysia.

Masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik mempunyai ciri-ciri


kekejaman dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri (van den Berghe 1990).
Kekejaman dan kekerasan oleh negara atau pemerintah terhadap rakyatnya sendiri
tersebut dikarenakan penguasa negara atau oknum-oknumnya tidak menginginkan

188
adanya ketidakpatuhan dan penentangan terhadap tindakan-tindakan eksploitatif
yang rakus dan sewenang-wenang dari para penguasa tersebut. Dampak dari
kekerasan dan kekejaman terhadap warga masyarakat tersebut oleh negara adalah,
pada waktu rezim otoriter tersebut runtuh, maka berbagai bentuk kekerasan dan
kerusuhan yang dapat berpotensi disintegrasi masyarakat majemuk tersebut tidak
dapat dihindari. Merupakan pengecualian adalah Afrika Selatan yang tidak
mengalami kegoncangan-kegoncangan sosial, ekonomi, dan politik dan mengancam
integrasinya. Tishkov (1997) menggambarkan konflik-konflik yang terjadi di Soviet
Russia yang acuannya adalah solidaritas kesukubangsaan, baik semasa zaman
komunis maupun setelah runtuhnya rezim komunis, kesukubangsaan tersebut
menjadi landasan bagi pemunculan nasionalisme baru yang merupakan ancaman
disintegrasi Soviet Russia setelah runtuhnya rezim komunis. Soviet Russia telah
hancur berantakan, begitu juga dengan Yoguslavia. Indonesia sedang mengalami
disorganisasi, oleh adanya kerusuhan dan kekerasan berdarah antar-sukubangsa,
keyakinan keagamaan, dan asal daerah atau komuniti yang berbeda. Di samping itu,
ancaman disintegrasi tersebut juga berasal dari adanya tuntutan dari sejumlah
propinsi untuk merdeka, terlepas dari negara kesatuan Indonesia.

Pertanyaannya adalah apakah Indonesia akan mengalami nasib yang sama


dengan Soviet Russia dan Yoguslavia yang berkeping-keping menjadi negara-
negara baru, yang nasionalismenya dilandasi oleh kesukubangsaan dan keyakinan
keagamaan? Bila kita, mayoritas bangsa Indonesia, tidak menginginkan terpecah
belahnya Indonesia, apakah yang harus kita lakukan? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, akan dibahas mengenai masyarakat majemuk Indonesia, kerusuhan-
kerusuhan yang terjadi dalam era demokratisasi Indonesia, dan upaya-upaya yang
harus kita lakukan bersama sebagai bangsa dan warga masyarakat Indonesia yang
‘bhinneka tunggal ika’.

Indonesia: Masyarakat Majemuk

Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-


masyarakat sukubangsa yang secara bersama sama mewujudkan diri sebagai satu
bangsa atau nasion (nation), yaitu bangsa Indonesia. Sebagai sebuah bangsa,

189
masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik yaitu sebuah negara
kesatuan yang bercorak republik, yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi,
yang menempati sebuah wilayah yang berada di bawah kekuasaan negara
Indonesia. Dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, masalah-masalah yang
kritikal yang biasanya dihadapi adalah hubungan antara sistem nasional atau
pemerintahan negara, dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang menjadi
rakyat negara tersebut, hubungan di antara sukubangsa-sukubangsa yang berbeda
kebudayaannya (termasuk keyakinan-keyakinan keagamaannya), dan hubungan di
antara sesama warga masyarakat di tempat-tempat umum, terutama di pasar dan
berbagai pusat kegiatan pelayanan ekonomi.

Hubungan antara sistem nasional, yang terwujud sebagai pemerintah atau


negara, dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup di dalam
masyarakat majemuk adalah hubungan yang tidak seimbang. Sistem nasional lebih
kuasa atau dominan dibandingkan dengan sistem-sistem sukubangsa. Dalam
masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik, sistem nasional dikuasai oleh
oknum-oknum yang otoriter dan militer, atau militeristik yang mempunyai
kepentingan-kepentingan ekonomi melalui kekuasaan dan legitimasi penguasa yang
dipunyainya. Legitimasi biasanya dengan mengatasnamakan konstitusi atau undang-
undang dasar atau juga dilakukan dengan melakukan kebijakan-kebijakan politik
kebudayaan. Sebuah contoh dari politik kebudayaan seperti ini di zaman Orde Baru
misalnya, adalah, para pendiri bangsa ini yang berideologi demokrasi telah
mencantumkan dalam Penjelasan UUD 1945 bahwa ‘…kebudayaan Indonesia
adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah…’ Tetapi oleh rezim Orde
Baru, pernyataan itu dibuat menjadi ‘…kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak
kebudayaan daerah…’ Perhatikan kata ‘di’ telah dibuang. Konsep baru mengenai
kebudayaan daerah ini disebarluaskan dan dimantapkan sebagai sebuah kebijakan
politik. Kebudayaan-kebudayaan sukubangsa dianggap tidak ada. Yang ada adalah
kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah adalah sama dengan kebudayaan yang
ada dalam wilayah sebuah propinsi. Padahal, wilayah sebuah propinsi adalah produk
dari sistem nasional dan dibuat untuk kepentingan administrasi sistem nasional, dan
bukan produk sistem sukubangsa.

190
Implikasi lebih lanjut dari kebijakan politik kebudayaan ini adalah ‘hak budaya
dari komuniti atau masyarakat sukubangsa’ dipreteli atau ditiadakan, yaitu untuk
diseragamkan menjadi hak budaya masyarakat propinsi. Hak budaya komuniti
sukubangsa yang secara tradisional mencakup hak untuk hidup sesuai dengan dan
berpedoman pada kebudayaan masing-masing, hak-hak budaya atas tanah, hutan,
dan air (yang biasanya dinamakan sebagai hak ulayat sesuai dengan adat) dengan
demikian dianggap tidak ada. Hal itu memudahkan dan melegitimasi berbagai bentuk
penggusuran masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat (yang dinamakan
sebagai masyarakat terasing oleh Dep. Sosial, R.I. di masa Orde baru) dan aneksasi
serta penguasaan wilayah-wilayah tanah, hutan, dan air oleh oknum-oknum
penguasa sistem nasional dan kroni-kroninya. Padahal apa yang telah dilakukan
tersebut bertentangan dengan pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945. Penggusuran
masyarakat setempat dan perampasan hak ulayat tersebut telah dimungkinkan untuk
dilegitimasi karena tidak adanya mekanisme kontrol terhadap rezim yang otoriter.

Penyeragaman kebudayaan-kebudayaan sukubangsa di daerah-daerah telah


dilakukan antara lain dengan menyudutkan kebudayaan-kebudayaan tersebut
sebagai terbelakang dan harus di-Indonesia-kan. Peng-Indonesia-an dilakukan
dengan cara penataran P4 (lihat Suparlan 1995b) dalam PKMT (Pemukiman
Kesejahteraan Masyarakat Terasing), yang dilakukan oleh Dep. Sosial, R.I. Warga
masyarakat Sakai di Muara Basung dilokalisasi di PKMT Sialang Rimbun, dan tanah
serta hutan yang secara adat adalah milik dan merupakan sumber kehidupan
mereka dijual sewa kepada perusahaan perkebunan karet oleh pemerintah. Orang-
orang Sakai dapat menjadi pekerja atau kuli di perkebunan tersebut.

Kekayaan dari hasil eksploitasi sumber-sumber alam di ‘daerah-daerah’ telah


memperkaya ‘orang-orang pusat’ (Jakarta), yang sebenarnya adalah oknum-oknum
dan kroni-kroninya, dan membuat Jakarta menjadi pusat kegiatan ekonomi, bisnis,
dan peredaran uang. Konsep dikotomi ‘pusat’ dan ‘daerah’ menjadi mantap. ‘Pusat’
adalah tempat peradaban, kemajuan, kekayaan, kekuasaan, dan kenikmatan hidup.
‘Daerah’, sebagai lawannya, adalah alam, keterbelakangan, kekurangan dan
kemiskinan, ketidakberdayaan dan dikuasai, dan kesengsaraan hidup. Lebih lanjut,
‘pusat’ seringkali disamakan dengan Jawa, dan karena kebanyakan pejabat-pejabat
pemerintahan nasional itu adalah orang-orang Jawa. Muncul dan berkembangnya

191
anti ‘pusat’ yang eksploitatif tersebut seringkali berubah menjadi anti Jawa
(perhatikan kampanye anti ‘pusat’ yang dilakukan oleh tokoh-tokoh GAM yang
menyatakan ‘pusat’ sama dengan Jawa). Padahal mereka yang tinggal di Pulau
Jawa, dan bahkan di Jakarta, juga cukup banyak menderita karena ulah oknum-
oknum tersebut.
Seorang teman di Universitas Indonesia beberapa waktu yang lalu
mengatakan kepada saya:
“Kita semua telah menjalani hidup di zaman Orde baru, dan kita tahu
betapa besarnya kekuasaan pemerintah dan terutama kekuasaan
presiden Suharto dan keluarganya. Hampir dapat dikatakan tidak ada
batasnya. Di antara kita ada yang dapat memanfaatkan tantangan
kekuasaan yang tanpa batas tersebut sebagai peluang untuk menangguk
rezeki dan jabatan. Tetapi, lebih banyak di antara kita yang hidupnya
pas-pasan. Bahkan, ada di antara teman-teman kita yang menjadi
oknum dan korup, yang bisa memperkaya diri dengan cara
menyengsarakan orang lain, dengan alasan gaji kecil cuma cukup
untuk kebutuhan makan. Tetapi, ada juga di antara teman-teman kita
yang tidak sempat menjadi oknum, bahkan harus menjadi korban
oknum yang teman satu kantor”.

Hampir di semua masyarakat yang otoriter, gaji pegawai negeri sipil dan
militer amat kecil. Yang besar adalah fasilitas dan pendapatan tambahan atau
tunjangan yang diterima karena jabatan yang didudukinya. Sistem penggajian seperti
ini sebenarnya dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi kesetiaan para abdi
negara tersebut. Mereka yang setia akan mendapat jabatan dan fasilitas serta uang
tunjangan jabatan. Di samping itu, pejabat-pejabat juga mendapat komisi dari
proyek-proyek kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh kantornya. Semakin
tinggi jabatannya semakin besar prosentase dari komisi yang diterimanya, dan
semakin banyak proyeknya akan besar pula uang komisi yang akan diterimanya.

Mereka yang tidak menjadi pejabat atau yang tidak diikutsertakan dalam suatu
proyek oleh atasannya, akan hanya hidup dari gaji bulanannya saja. Mereka ini akan
dengan sadar atau tidak berupaya untuk melakukan tindakan-tindakan korupsi.
Bahkan, mereka yang sudah memperoleh komisi dari proyek pun, bila dapat

192
melakukan korupsi akan dilakukannya juga. Bisa dalam bentuk uang pelicin dari
perusahaan untuk memudahkan dan mempercepat perizinan, atau memberikan
suatu proyek pembangunan kepada anggota keluarga atau kerabatnya, dan
berbagai cara lain yang menguntungkannya. Bahkan, uang pelicin ini juga ditutut dari
mereka yang membutuhkan pelayanan yang memang sudah menjadi tugas
jabatannya, seperti pembuatan KTP, pembuatan SIM dan perpanjangannya,
pembuatan akte kelahiran, perizinan peruntukan bangunan, penerimaan mahasiswa
atau siswa baru, dan sebagainya.

Perbuatan oknum-oknum tersebut bukan hanya dalam hal pelayanan-


pelayanan resmi kantor-kantor pemerintah kepada umum, melainkan juga di tempat-
tempat umum. Misalnya, mereka memberi izin berjualan kepada pedagang kaki lima
di tempat-tempat umum yang dilarang untuk berjualan, dan sebagai imbalannya para
pedagang tersebut memberikan retribusi. Menjadi beking para preman atau
perjudian merupakan kegiatan yang menambah penghasilan. Para preman di
tempat-tempat umum atau pasar melakukan pengutipan uang keamanan atas
kegiatan ekonomi, bisnis besar dan kecil, dan atas berbagai jasa pelayanan
angkutan umum. Uang keamanan ditentukan besarnya oleh organisasi preman dan
wajib dibayar oleh pelaku bisnis atau sopir. Tetapi, dampak dari beking ini adalah
berkembang biaknya kegiatan-kegiatan preman, dan semakin berani dan brutalnya
mereka karena merasa ada yang menjadi beking mereka. Perang antarkelompok
preman di kota-kota besar di Indonesia bukan hal yang asing pada masa kini, yang
juga merugikan masyarakat umum.

Pemerintah yang otoriter, sadar atau tidak sadar, telah menghasilkan rasa
takut yang meluas dan mencekam karena adanya ancaman yang mereka bayangkan
atas diri serta keluarga dan harta benda mereka. Hak-hak individual atau harga diri
menjadi menciut atau menghilang, bukan semata-mata karena adanya ancaman
yang nyata, tetapi juga karena adanya ancaman mengerikan yang mereka
bayangkan. Rasa aman biasanya muncul pada waktu mereka merasa ada yang
melindungi atau yang menjadi patron, bisa oknum atau preman. Untuk itu, mereka
harus mengeluarkan biaya untuk jaminan rasa aman tersebut. Adanya kerabat yang
menjadi anggota ABRI atau pejabat, dapat pula menjadi pelindung rasa aman
mereka.

193
Rasa terpuruk karena ketidakadilan sosial, ekomoni, politik, dan budaya
menjadi meluas selama pemerintahan Orde baru, baik secara individual maupun
secara kolektif. Keterpurukan ini ditambah lagi dengan musibah ‘krismon’ yang
menjadi krisis ekonomi secara nasional. Keruntuhan rezim Orde Baru, dengan
lengsernya presiden Suharto, tidak terjadi semata-mata karena demonstrasi oleh
mahasiswa dan umum di Indonesia, tetapi juga karena negara-negara donor, yang
melihat investasi mereka di Indonesia menjadi sangat mahal karena praktek-praktek
korupsi dan kronisme. Besarnya biaya overhead yang harus mereka keluarkan
menyebabkan bahwa mereka juga menjadi pelanggar HAM, karena upah buruh
harus ditekan bila mereka itu masih ingin untung. Negara-negara donor ini juga
melihat bahwa perang dingin telah usai dengan runtuhnya tembok kota Berlin berikut
keruntuhan rezim-rezim komunis, sehingga politik pembendungan (the politics of
containment) terhadap komunisme tidak diperlukan lagi. Fungsi Suharto dalam politik
pembendungan ini tidak ada lagi, karena struktur kekuatan komunisme telah hancur
berantakan. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa pada masa pasca politik
pembendungan, negara-negara otoriter yang dulunya adalah rezim otoriter yang
didukung oleh negara-negara donor karena anti komunis, satu demi satu diruntuhkan
oleh kekuatan-kekuatan demokrasi. Di Asia Tenggara, mungkin hanya pemerintah
Myanmar dan Indonesia di bawah presiden Suharto yang masih otoriter dan
militeristik.

Kerusuhan dan Potensi Disintegrasi

Keruntuhan rezim Orde Baru membuka peluang bagi kemunculan demokrasi


di Indonesia yang terwujud sebagai masyarakat sipil. Transformasi dari rezim otoriter
yang militeristik ke rezim sipil yang demokratis bukanlah sebuah proses yang lembut.
Pada waktu sedang maraknya demonstrasi mahasiswa untuk menjatuhkan presiden
Suharto, seorang mahasiswa saya di Program S2 ilmu Politik, U.I., mengatakan
kepada saya:

“Mana mungkin tentara akan memihak kepada mahasiswa. Selama ini tentara kan
menikmati posisinya yang dominan yang secara sah mereka punyai. Mana mau

194
prajurit-prajurit disuruh kembali ke barak. Kalau kembali ke barak mana bisa mereka
itu hidup. Gajinya kan cuma cukup untuk hidup seminggu”.

Tiga minggu yang lalu si mahasiswa tersebut bertemu dengan saya. Dia
mengatakan kepada saya:
‘Lihat pak. Betul kan kata saya. Militer terlibat dalam kerusuhan,’ sambil
menunjukkan pernyataan Dr. Thamrin Tomagola di koran dan tabloid yang selama ini
disimpannya. Saya katakan bahwa saya melihat kerusuhan-kerusuhan di Indonesia,
di Kalimantan Barat, Ambon, Maluku, Aceh, dan di banyak tempat lainnya yang telah
terjadi karena dipicu oleh para preman (lihat Suparlan 1999a, 2000; Suparlan dkk.
1999). Kalau diperhatikan lebih lanjut, kerusuhan terjadi karena ketidakpuasan dari
masyarakat setempat atas perbuatan sewenang-wenang preman; dan, ditambah lagi
dengan adanya campur tangan politik pada tingkat lokal oleh oknum-oknum pusat,
sebagaimana dikemukakan oleh Boedhisantoso (Suparlan dkk. 1999).

Kerusuhan bisa dilihat sebagai produk dari ketidakpuasan atas kondisi


kehidupan mereka sebagai akibat dari situasi sosial dan ekonomi yang mereka
hadapi sehari-hari, yang menyebabkan mereka itu dengan mudah termakan oleh isu-
isu yang diedarkan oleh provokator. Isu-isu yang mudah diterima oleh warga
masyarakat adalah isu yang isinya dapat menunjukkan adanya ‘kambing hitam’
penyebab segala keterpurukan yang sedang mereka jalani. Isu ‘kambing hitam’ ini
dengan mudah diterima karena jawaban konkrit mengenai sebab-sebab kehidupan
mereka yang menderita itu tidak pernah dengan jelas ditunjukkan oleh pemerintah
yang berwenang untuk mengumumkannya. Karena ‘kambing hitamnya’ sudah jelas,
maka sumber malapetaka dalam kehidupan mereka yang menderita itu dengan jelas
dapat diidentifikasi untuk ditumpas. Kerusuhan di kota Ambon yang bermula dari
konflik antara preman asal Sulawesi Selatan dengan supir Angkot Ambon, telah
meluas melibatkan konflik antara orang-orang Ambon dengan orang-orang Bugis,
Buton, Makassar. Konflik ini berlanjut menjadi konflik antara orang-orang Kristen
dengan orang-orang Islam, yang mencakup juga konflik antara orang-orang Ambon
Kristen dengan orang-orang Ambon Islam (lihat Suparlan. 1999). Hal yang sama juga
terjadi di Maluku Utara, di mana konflik yang bermula dari dua kelompok sukubangsa
yang berbeda berubah menjadi konflik antara dua penganut agama yang berbeda,
penganut Kristen dengan penganut Islam. Kerusuhan di Kabupaten Sambas juga

195
bermula dari perbuatan kriminal yang dilakukan oleh preman Madura terhadap warga
sebuah desa di Kabupaten Sambas.

Konflik-konflik di Jakarta dan di beberapa wilayah di Jawa barat dan Jawa


Tengah, yang terwujud sebagai kerusuhan antarkampung atau antardesa, bermula
dari perebutan wilayah pemalakan atau pemerasan untuk memperoleh uang
keamanan antara dua kelompok preman yang saling bersaing. Kerusuhan yang
terjadi bukan hanya menyebabkan jatuhnya korban yang luka-luka dan meninggal
dari dua kelompok preman yang bertarung, melainkan juga menyebabkan jatuhnya
korban warga masyarakat biasa, dan hancurnya harta benda mereka yang bukan
preman. Dalam kerusuhan seperti ini, masing-masing melihat pihak lawan tidak lagi
sebagai manusia atau orang-perorang, tetapi sebagai kategori musuh atau
mempunyai jatidiri sebagai orang yang sama dengan kategori musuh adalah musuh.
Warga masyarakat biasa yang tidak tahu apa-apa mengenai sumber konflik secara
tidak mereka sadari menjadi terlibat dalam kerusuhan tersebut. Lebih lanjut, kategori
kampung atau desa bisa meluas menjadi kategori sukubangsa, sehingga kerusuhan
yang terjadi bisa melibatkan mereka yang tergolong sebagai dua sukubangsa atau
lebih. Konflik antarsukubangsa dapat berkembang menjadi konflik antara dua
penganut agama yang berbeda, pada waktu solidaritas keagamaan dikembangkan
oleh salah satu pihak yang bertarung atau oleh kedua belah pihak.

Agama tradisi besar atau agama wahyu di Indonesia pada dasarnya adalah
agama sukubangsa. Karena agama-agama tradisi besar tersebut (Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha) telah masuk dan diterima oleh masyarakat-masyarakat
sukubangsa di Indonesia sebelum adanya Indonesia pada tahun 1945. Agama-
agama tradisi besar yang berisikan petunjuk-petunjuk hidup di dunia dan akhirat bagi
pemeluknya masing-masing, pada dasarnya berisikan ajaran etika dan moral yang
mengangkat derajat kemanusiaan manusia. Agama-agama tradisi besar ini juga
membedakan secara tegas antara mereka yang percaya dan yang tidak percaya. Di
Indonesia, sejumlah agama tradisi besar dipeluk oleh warga sebuah masyarakat
sukubangsa, sehingga sebuah sukubangsa mempunyai warga yang berbeda-beda
keyakinan keagamaan mereka. Karena itu, di banyak sukubangsa di Indonesia,
antara lain sukubangsa-sukubangsa yang hidup di pulau Seram dan Ambon dan di
sejumlah pulau di Maluku Selatan, terdapat pranata pela gandong; yang arti

196
harafiahnya adalah satu saudara sekandung. Pela gandong mencakup hak dan
kewajiban diantara kelompok-kelompok kerabat (kampung-kampung) yang
beragama Kristen dan Islam, yang intinya menekankan kehidupan bersama yang
rukun walaupun berbeda agama. Bila dilanggar maka akan ada sanksi-sanksi gaib
yang menimpa si pelanggar. Hubungan pela gandong antara dua kelompok kerabat
dibakukan dengan diadakannya sebuah upacara sakral, yang paling lambat setiap
lima tahun sekali upacara tersebut dilakukan kembali. Konflik atau perang di antara
kampung-kampung yang berbeda agamanya dan tidak terikat dalam hubungan pela
gandong dapat terjadi, sedangkan konflik di antara kampung-kampung berbeda
agama yang terikat oleh hubungan pela gandong tidak mungkin terjadi.

Di samping berbagai kerusuhan yang dipicu oleh para preman, terdapat juga
potensi disintegrasi yang disebabkan oleh adanya perlakuan tidak adil yang
bersumber pada eksploitasi sumberdaya-sumberdaya alam secara rakus selama
pemerintahan Orde Baru, seperti yang terjadi di Irian Jaya (Papua) dan Riau yang
menuntut untuk merdeka dan bebas dari kedaulatan negara Republik Indonesia. Di
Riau tidak pernah ada bibit-bibit nasionalisme Riau atau nasionalisme Melayu;
sedangkan di Irian Jaya (Papua) terdapat bibit-bibit nasionalisme Papua, sebagai
peninggalan dari pemerintah jajahan Belanda di Papua. Bibit nasionalisme ini ada
dan berkembang di antara mereka yang terpelajar yang mengenyam pendidikan
Belanda, dan terorganisasi dalam apa yang dinamakan sebagai OPM (Organisasi
Papua Merdeka) yang bergerak di bawah tanah.

Mereka ini pada mulanya berjumlah sedikit, dan orientasi politik mereka
adalah pada Belanda. Pemerintah Orde Baru yang otoriter dan eksploitatif terhadap
sumberdaya-sumberdaya alam, termasuk di Papua, telah antara lain menyebabkan
popularitas OPM sebagai organisasi yang tetap berjuang menolak pemerintahan
Orde Baru di Papua. Kalau kita perhatikan lebih lanjut, di antara mereka yang
mendukung OPM juga banyak yang pada mulanya mendukung Republik Indonesia
di Papua. Tetapi mereka yang mendukung Republik Indonesia ini menjadi tergelincir
ke dalam OPM, karena berbagai bentuk kesewenang-wenangan dan eksploitasi
yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Inti permasalahannya adalah, bahwa
keberadaan dan berkembang biaknya OPM bukan karena kesadaran nasionalisme
Papua, melainkan karena respon mereka terhadap ketidakadilan dan kesewenang-

197
wenangan pemerintah Orde Baru sehingga perlawanan OPM menjadi juga
perlawanan warga masyarakat Papua terhadap Indonesia. Bentuk perluasan serta
pengembangan dari OPM ini dapat membangkitkan bibit-bibit nasionalisme baru
Papua, yang dapat merupakan potensi disintegrasi Indonesia.

Apa yang terjadi di Aceh juga pada dasarnya sama dengan apa yang terjadi di
Papua. Bila sekiranya tidak terjadi perbuatan sewenang-wenang oleh aparat
keamanan dan preman-preman terhadap warga masyarakat Aceh, dan bila
sekiranya tidak terdapat kerakusan yang berlebihan dalam penguasaan dan
eksploitasi sumber-sumber daya alam oleh oknum-oknum pemerintah dan kroni-
kroninya, barangkali GAM akan mati sendiri. Pada dasarnya lebih banyak
pendukung Republik Indonesia dibandingkan dengan pendukung GAM, sebelum
tejadinya kerusuhan Aceh sekarang ini.

Kerusuhan-kerusuhan yang terwujud dalam bentuk pelanggaran HAM


sekarang nampak transparan, dengan diaktifkannya konsep HAM sebagai sebuah
konsep yang sakral, yang harus dihargai dan dijunjung tinggi dalam era reformasi.
Konsep HAM dalam zaman pemerintahan presiden Suharto sama sekali tidak ada
harganya, kecuali HAM dari pejabat yang harus dilindungi oleh pemerintah.
Penghargaan dan penjunjungan tinggi HAM pada masa sekarang ini telah
dimungkinkan terwujud karena perjuangan dari LSM, mahasiswa, dan seluruh
bangsa Indonesia yang merasa terpuruk hak-hak individualnya di masa lampau.

Apa yang patut kita pikirkan bersama pada masa sekarang ini adalah ‘Hak
Budaya Komuniti’ atau masyarakat setempat. Berbagai bentuk penggusuran di masa
lampau telah dilakukan oleh pemerintahan presiden Suharto. Di masa kini,
penghancuran kampung-kampung, desa-desa, dan komuniti sedang dan terus
berlangsung dalam dan melalui kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Belum juga hak
hidup sebuah komuniti yang mempunyai corak kebudayaan yang berbeda dari
masyarakat setempat berada dalam ancaman untuk digusur oleh masyarakat
setempat yang merasa paling asli di wilayah tersebut, pada masa sekarang. Di Aceh
misalnya, mereka yang bukan orang Aceh, terutama orang Jawa, digusur dari Aceh.

198
Hal yang sama juga terjadi di Kalimantan Barat, yang telah dilakukan oleh
Orang Melayu Sambas terhadap Orang Madura. Padahal hampir sebagian besar
Orang Madura, yang tergusur dari desa-desa mereka di Sambas dan menjadi
pengungsi di Pontianak adalah generasi kedua atau lebih Orang Madura di Sambas.
Mereka sudah tidak punya tanah air lagi di Madura, dan merasa Sambaslah tanah air
mereka. Hal yang sama juga terjadi di Ambon, Maluku Utara, dan di beberapa
tempat lainnya di Indonesia. Kalau perjuangan HAM, atau hak individual, di masa
lampau dapat berhasil dan menjadi ketentuan hukum; apakah ‘ hak budaya komuniti’
itu tidak mungkin untuk diperjuangkan sebagai ketentuan hukum, sehingga secara
langsung atau tidak langsung akan meredam berbagai bentuk kerusuhan yang
mengancam disintegrasi bangsa dan negara Indonesia? Karena, kerusuhan-
kerusuhan yang terjadi selalu berupa penghancuran kampung atau desa yang
merupakan wadah kehidupan masyarakatnya.

Bhinneka Tunggal Ika: Masih Mungkinkah?

Saya akan menjawabnya: Mungkin! Tetapi jawaban saya tersebut hanya


mungkin dapat terlaksana bila syarat-syarat untuk melakukannya dipenuhi. Kalau
Amerika dapat merubah dirinya dari sebuah masyarakat rasialis yang berideologi
monokulturalisme menjadi multikulturalisme (lihat Suparlan 1999b), dan Afrika
Selatan yang semula merupakan masyarakat majemuk otoriter yang ditandai oleh
ideologi rasisme menjadi masyarakat yang demokratis, mengapa kita tidak dapat
melakukannya? Kita tentu saja dapat mereformasi atau merubah masyarakat
majemuk kita yang otoriter dan militeristik menjadi sebuah masyarakat sipil yang
demokratis dan bercorak ‘bhinneka tunggal ika’ dengan syarat-syarat bahwa:
• Kita betul-betul berupaya menjadikan masyarakat kita sebuah masyarakat
sipil;
• Betul-betul berpegang pada demokrasi sebagai pedoman utama dalam
menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara;
• Hak Individual atau Hak Azasi Manusia, Hak Budaya Komuniti atau
masyarakat, dan hak Negara atau Pemerintah harus diperlakukan sama
sakralnya atau sama posisinya dalam hubungan antara yang satu dengan
yang lainnya;

199
• Hukum harus ditegakkan untuk menjamin terwujudnya keteraturan di
dalam kehidupan masyarakat, sehingga warga masyarakat dapat
melakukan kegiatan-kegiatan berproduksi sesuai bidang masing-masing
untuk kesejahteraan demi kelangsungan hidup masyarakat.

Apa yang dimaksud dengan syarat-syarat di atas? Pertama, dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara di masyarakat mana pun di dunia ini yang menganut
faham bahwa masyarakatnya adalah masyarakat sipil, tidak ada dominasi militer,
atau peran sosial politik dari militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
tersebut. Militer adalah pasukan perang, dipersiapkan untuk menghadapi
peperangan yang dilakukan untuk mempertahankan negara dari serangan musuh
dari luar atau berperang melawan musuh di negara lain. Dalam kehidupan sehari-
hari di luar pangkalan militer, anggota militer harus menjadi orang sipil yang harus
tunduk pada hukum yang berlaku dalam masyarakat sipil yang bersangkutan. Untuk
menghindari kekhilafan sehingga mereka berperan dalam bidang sosial politik, maka
di berbagai negara, terutama di Amerika Serikat, militer dididik untuk menjadi ahli-ahli
teknik. Pada saat mereka dibebastugaskan dari dinas militer, mereka akan
mempunyai pekerjaan yang selalu diperlukan oleh masyarakat. Mantan militer ini
akan menjadi tenaga-tenaga produktif yang handal, yang berguna bagi terwujudnya
kesejahteraan hidup dan kelangsungan hidup masyarakat.

Bila syarat pertama tersebut dapat dipenuhi, maka syarat kedua akan
mencakup pemahaman yang benar mengenai konsep demokrasi dan penerapannya
dalam berbagai pranata nasional. Pemerintahan oleh rakyat dan untuk kepentingan
rakyat haruslah dipegang teguh. Prinsip yang berlaku dalam demokrasi adalah
konflik di antara unsur-unsur yang tercakup di dalamnya. Konflik bukan untuk saling
menghancurkan, melainkan untuk saling memeriksa guna terwujudnya
keseimbangan (checks and balances), terutama dalam kaitan hubungan antara
eksekutif, legislatif, dan judikatif. Prinsip ini mungkin tidak hanya berlaku pada tingkat
supra-nasional, tetapi juag pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, yaitu pada tingkat
propinsi, kabupaten, kotamadya, dan kecamatan.

Ketiga, dalam masyarakat yang demokratis, landasan demokrasi pada


hakekatnya terletak pada hubungan keseimbangan antara hak pemerintah untuk

200
mengatur individu dan komuniti atau masyarakat, dengan hak individu atau HAM,
dan dengan hak budaya komuniti atau masyarakat yang tercakup dalam sebuah
satuan politik. Tiga unsur tersebut sama-sama sakralnya, dan harus berada dalam
hubungan keseimbangan di antara konflik-konflik yang terjadi di antara ketiga unsur
tersebut. Pada satu saat, untuk sesuatu kepentingan tertentu, pemerintah atau
negaralah yang dimenangkan, sedangkan pada saat lainnya individu yang harus
diutamakan. Pada saat lainnya lagi, kepentingan komuniti atau masyarakat harus
dimenangkan dalam pertentangannya dengan kepentingan negara dan kepentingan
individu.

Di masa lampau, kepentingan pemerintahlah yang selalu dimenangkan


dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan individual (HAM) dan komuniti. Di
masa sekarang, kepentingan individual (HAM) sudah diperhitungkan dalam upaya
penegakan hukum yang menjamin tercapainya cita-cita masyarakat demokrasi.
Tetapi, kepentingan komuniti atau masyarakat diabaikan, barangkali karena belum
terpikirkan betapa penting posisi dan fungsinya dalam masyarakat demokratis.
Dalam masyarakat yang majemuk, seperti telah diuraikan di atas, posisi dari
masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup di dalamnya tidaklah dalam
posisi yang seimbang. Ada masyarakat yang kebudayaannya dominan dan ada yang
minoritas. Dalam masyarakat sipil yang demokratis, masyarakat-masyarakat
minoritas ini diberi hak lebih untuk hidup dibandingkan dengan yang dominan, agar
tidak hancur dalam kontak-kontak hubungan dengan masyarakat sukubangsa yang
dominan. Hak lebih tersebut adalah hak untuk dapat hidup menurut kebudayaannya,
diberi perlindungan terhadap hak ulayat atas tanah, hutan dan air yang secara adat
menjadi miliknya. Hak untuk dapat hidup sesuai dengan tradisi budayanya yang
mencakup juga hak untuk mempunyai keyakinan keagamaan yang berbeda dari
agama yang secara mayoritas diyakini oleh masyarakat setempat yang dominan.
Mereka harus diberi perlindungan dari kampanye-kampanye keagamaan yang
sistematik dan efektif dari penyebar-penyebar agama wahyu, atau upaya
penggusuran mereka dari wilayahnya, ataupun dari upaya-upaya penipuan
sistematik untuk menguasai tanah dan sumberdaya-sumberdayanya dari para
pebisnis, sehingga mereka itu tergusur dari wilayahnya.

201
Ideologi tentang pentingnya hak budaya komuniti harus mulai disebarluaskan
sejak sekarang dengan alasan bahwa hak budaya komuniti adalah salah satu tiang
penyangga tegaknya masyarakat sipil yang demokratis. Amerika Serikat sebagai
negara demokratis mempunyai kebudayaan yang nilai-nilai budayanya sakral
mencakup tiga unsur tersebut (lihat Suparlan 1991). Karena itu, masyarakat Amerika
tetap tegak dan berjaya dalam perang melawan otoritarianisme dan komunisme, dan
dalam menghadapi berbagai gejolak sosial dan politik sukubangsa dan rasial.

Yang terakhir atau keempat, tatanan hukum yang berlaku di Indonesia yang
berasal dari pemerintahan penjajah Belanda sudah waktunya untuk diubah menjadi
tatanan hukum yang mendukung cita-cita terwujudnya masyarakat sipil yang
demokratis, yang menghargai hak-hak individu dan hak-hak budaya komuniti dalam
kaitan hubungannya dengan hak-hak berkuasa dari pemerintah atau negara.
Permasalahan hak budaya komuniti ini menjadi kritikal, karena dalam peraturan
pemerintah mengenai otonomi daerah, hak budaya komuniti ataupun kebudayaan
masyarakat-masyarakat sukubangsa yang hidup dalam wilayah propinsi atau
kabupaten itu tidak diperhatikan. Yang dapat menjadi potensi bagi gagalnya upaya
pelaksanaan otonomi daerah, bisa antara lain disebabkan oleh adanya
pendominasian struktur politik lokal oleh golongan sukubangsa yang mayoritas dan
dominan. Sukubangsa-sukubangsa yang kecil jumlah warganya dan minoritas
posisinya akan terpuruk kehidupannya. Karena itu, ketentuan hukum mengenai hak
budaya komuniti juga seharusnya mencakup ketentuan hukum yang diberlakukan
pada tingkat propinsi dan kabupaten. Permasalahan lainnya yang bisa menjadi
potensi kegagalan pelaksanaan otonomi daerah adalah konsep mengenai warga
masyarakat setempat. Kecenderungannya ialah,adanya anggapan bahwa otonomi
daerah itu diperuntukan bagi masyarakat sukubangsa asli setempat. Orang-orang
asal pendatang yang tinggal dalam wilayah tersebut, walaupun lahir dan dibesarkan
di situ tetap dianggap sebagai ‘orang luar’ yang hak-haknya dibedakan dari yang asli.
Masalah ini patut dipikirkan secara sungguh-sungguh, mengingat pola-pola
kerusuhan yang terjadi sekarang di beberapa tempat di Indonesia adalah pengusiran
terhadap mereka yang dianggap sebagai ‘orang luar’ oleh mereka yang menganggap
dirinya asli setempat. Bila hal ini tidak kita pikirkan secara sungguh-sungguh, maka
politik sukubangsa dari masyarakat setempat yang merasa asli dan dominan akan

202
berakibat pada tidak mungkinnya membangun kembali masyarakat Indonesia yang
‘bhinneka tunggal ika’.

Yang terakhir, berkenaan dengan upaya penegakan hukum bagi


kesejahteraan hidup masyarakat ialah upaya pemberantasan preman dan oknum.
Mereka ini adalah benalu masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan hidup dan
potensi ekonomi serta potensi berproduksi warga, masyarakat, dan negara. Sudah
saatnya kini untuk memikirkan upaya mengubah cara hidup benalu ini menjadi cara
hidup produktif, sebagaimana yang seharusnya mereka lakukan sebagai warga
masyarakat dan negara. Atau, kalau mereka tidak mau atau tidak dapat, harus
diupayakan untuk menyingkirkan mereka dari kehidupan masyarakat sipil demokratis
yang bercorak ‘bhinneka tunggal ika’ yang kita cita-citakan.

*****

Kepustakaan

Barth, F., 1969, ‘Introduction’, dalam F. Barth (peny.) Ethnic Groups and Boundaries..
Boston: Little, Brown. Hal. 9 – 38
Berghe, P. van den, 1990 “Introduction”. Dalam Pierre. van den Berghe (Editor),
State Violence and Ethnicity. Hyal. 1-18. . London: Sage.
Dew, E., 1978 The Difficult Flowering of Surinam: Ethnicity and Politics in a Plural
Society. . The Hague: Martinus Nijhoff.
Furnivall, J.S., 1948a Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma
and the Netherlands India. . New York: New York University Press.
–––––––––, 1948b Netherlands India:: A Study of Plural Ecdonomy.. London:
Cambridge university Press.
Lijphart, A., 1969 ‘Consociational Democracy’. World Politicas, 21: 207 – 205
Suparlan, Parsudi., 1979 “EthnicGroups of Indonesia”. The Indonesian Quarterly,
7, 2 , hal.:55 – 73.

203
–––––––––, 1991 ‘Yang Sakral dalam Nilai-Nilai Budaya Amerika’, Jurnal Studi
Amerika, vol.I, no.2, hal. 4 – 11.
–––––––––, 1995a The Javanese in Surinam: Ethnicity in an ethnically plural
society.. Tempe, Arizona: Program for Southeast Asian Studies, Arizona
State University.
–––––––––, 1995b Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat
Indonesia. . Jakarta: Yayasan OBOR.
–––––––––, 1999a Laporan Kerusuhan Sambas. Laporan terbatas disampaikan
kepada Kapolri..
_________ 1998b. Laporan Kerusuhan Ambon. Laporan terbatas disampaikan
kepada Kapolri.
–––––––––, 1999b “Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke
Multikulturalisme”, Jurnal Studi Amerika, no. 5, hal 35 – 43.
–––––––––, 2000 Ethnic and Religious Conflict in Indonesia. Makalah disampaikan
sebagai ceramah khusus di Departement of Anthropoligy, University of
Illinois, Urbana, Illinois, 27 April 2000
Tishkov, V., 1997 Ethnicity and Nationalism in and after the Sovjet Union.
London: Sage.

204
4 Konflik Sosial
dan Alternatif
Pemecahannya
Pendahuluan

K
onflik dapat dilihat sebagai sebuah perjuangan antar individu atau kelompok
untuk memenangkan sesuatu tujuan yang sama-sama ingin mereka capai.
Kekalahan atau kehancuran pihak lawan dilihat oleh yang bersangkutan
sebagai sesuatu tujuan utama untuk memenangkan tujuan yang ingin dicapai.
Berbeda dengan persaingan atau kompetisi, dimana tujuan utama adalah
pencapaian kemenangan melalui keunggulan prestasi dari yang bersaing, maka
dalam konflik tujuannya adalah penghancuran pihak lawan sehingga seringkaIi
tujuan untuk memenangkan sesuatu yang ingin dicapai menjadi tidak sepenting
keinginan untuk menghancurkan pihak lawan. Konflik sosial yang merupakan
perluasan dari konflik individual, biasanya terwujud dalam bentuk konflik fisik atau
perang antar dua kelompok atau lebih, yang biasanya selalu terjadi dalam keadaan
berulang.

Sesuatu konflik fisik atau perang biasanya berhenti untuk sementara karena
harus istirahat supaya dapat melepaskan lelah atau bila jumlah korban pihak lawan
sudah seimbang dengan jumlah korban pihak sendiri. Setelah istirahat konflik
diteruskan atau diulang lagi pada waktu atau kesempatan yang lain setelah
itu.Contoh klasik dari proses-proses konflik tersebut dapat dilihat dalam kehidupan
orang Dani dan Orang Yale yang hidup di pegunungan Jayawijaya, lrian Jaya. Orang
Dani secara tradisional dari waktu ke waktu hidup dalam keadaan perang antar
kelompok kerabat atau klen atau moiety yang terwujud sebagai perang antar desa
atau federasi desa (lihat Heider 1970). Hal yang sama juga berlaku dalam kehidupan
Orang Yale, yang hidup di wilayah bagian timur dari Orang Dani (lihat Koch 1971:

205
359-365). Menurut Koch (1971: 360), sesuatu perang sebagai sebuah simptom,
pada umumnya terjadi karena ketidakadaan, tidak cukupnya, atau telah hancurnya
prosedur-prosedur yang dapat digunakan untuk menjembatani perbedaan-
perbedaan yang dapat memecahkan dan menghentikan perang atau konflik tersebut.

Dalam karya klasik tokoh sosiologi Talcott Parsons dan Edward Shills (1951),
dinyatakan bahwa proses-proses sosial yang terwujud sebagai tindakan-tindakan
sosial pada dasarnya adalah untuk dapat saling bekerjasama diantara para pelaku
yang warga masyarakat. Karena itu, proses-proses sosial mempunyai fungsi-fungsi
yang menekankan tujuan untuk terwujudnya kehidupan sosial dan kemasyarakatan
yang bercorak keseimbangan atau ekuilibrium diantara unsurunsurnya, sehingga
menghasilkan adanya integrasi sosial dan integrasi kemasyarakatan. Oleh Parsons
dan pengikutnya, tindakan-tindakan yang terwujud sebagai konflik dilihat sebagai
penyimpangan atau tidak fungsional dalam kehidupan manusia.

Sebaliknya, para ahli sosiologi konflik, melihat gejala-gejala sosial, termasuk


tindakan-tindakan sosial manusia, adalah sebagai hasil dari konflik. Menurut para
ahli sosiologi konflik, kepentingan-kepentingan yang dipunyai orang perorang atau
kelompok berada di atas norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan. Usaha-usaha pencapaian kepentingan-kepentingan itu didorong
oleh konflik-konflik antar individu dan kelompok sebagai aspek-aspek yang biasa ada
dalam kehidupan sosial manusia. Sedangkan model lain yang bertentangan tetapi
relevan dengan model konflik adalah model keteraturan yang digunakan untuk
melihat berbagai bentuk kompetisi dan konflik dalam olahraga dan politik sebagai
sebuah bentuk keteraturan. Dalam tulisan ini, akan saya coba untuk melihat konflik
sosial dalam perspektif model konflik dan model keteraturan, dalam upaya
memahami potensi-potensi dan eskalasinya, serta upaya-upaya untuk
pencegahannya.

Konflik dan Keteraturan

Dahrendorf (1959), salah seorang tokoh yang mengembangkan model konflik,


melihat bahwa kehidupan manusia dalam bermasyarakat didasari oleh konflik

206
kekuatan, yang bukan semata-mata dikarenakan oleh sebab-sebab ekonomi
sebagaimana dikemukakan oleh Karl Marx, tetapi karena berbagai aspek yang ada
dalam masyarakat. Yang dilihatnya sebagai organisasi sosial. Lebih lanjut
dikatakannya bahwa organisasi menyajikan pendistribusian kekuatan sosial kepada
warganya secara tidak merata. Oleh karena itu warga sebuah masyarakat akan
tergolong dalam mereka yang mempunyai dan yang miskin dalam kaitannya dengan
kekuatan sosial atau kekuasaan. Karena organisasi itu juga membatasi berbagai
tindakan manusia maka pembatasan-pembatasan tersebut juga hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan. Sedangkan mereka yang miskin
kekuasaan, yang terkena oleh pembatasan-pembatasan secara organisasi oleh yang
mempunyai kekuasaan, akan berada dalam konflik dengan mereka yang mempunyai
kekuasaan. Oleh Dahrendorf konflik dilihat sebagai sesuatu yang endemik atau yang
selalu ada dalam kehidupan manusia bermasyarakat.

Coakley (1986: 24-33), seorang ahli sosiologi olahraga, melihat kehidupan


manusia sebagai sebuah keteraturan, dan bahwa keteraturan tersebut terwujud
karena adanya berbagai dukungan yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri.
Dukungan yang dimaksud adalah pranata-pranata sosial dan norma-norma sosial
serta nilai-nilai budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Olahraga menurut
Coakley, adalah salah satu aspek dalam kehidupan masyarakat yang mendukung
lestarinya keteraturan. Model keteraturan tersebut sebenarnya adalah model dialektik
dari hakekat olahraga itu sendiri, yaitu kompetisi (konflik) yang terwujud sebagai
konflik antar individu atau antara sekelompok individu dengan sekelompok individu
lainnya (dimana individu-individu melalui individualitas masing-tnasing bekerjasama
dalam sebuah tim untuk mengalahkan individu-individu dari tim lainnya).

Jadi, sebenarnya keteraturan hanya mungkin terwujud kalau ada perbedaan


diantara unsur-unsurnya dan jika perbedaan tersebut berada dalam keadaan
kompetisi (konflik) yang dilakukan secara teratur karena mematuhi aturan-aturan
permainan yang bersifat adil dan jujur. Model keteraturan ini menuntut adanya nilai-
nilai budaya yang menjadi acuan bagi etika dan moral yang tercermin dalam aturan
permainan atau konflik, yang perwujudannya dalam tindakan-tindakan pelakunya
biasa kita namakan sebagai sportivitas. Sportivitas, hanya mungkin diwujudkan
dalam tindakan-tindakan para pelaku olahraga kompetitif bila ada aturan main

207
tersebut jujur dan adil dalam kompetisi tersebut, dan bila ada wasit dan/atau juri yang
menjaga keberlangsungan keadilan dan kejujuran selama kompetisi tersebut
berlangsung. Inipun masih harus didukung juga oleh adanya penonton yang
mengawasi bagaimana wasit dan/atau juri tersebut menjalankan peran-perannya.
Bila dirasa kurang, maka bila perlu, dibentuk komisi yang akan menilai keputusan-
keputusan wasit dan/atau juri dalam memimpin dan menilai kompetisi yang telah
berlangsung. Sehingga individu-individu dalam kompetisi tim seperti basket misalnya,
mau tidak mau akan harus bermain secara sportif atau mereka secara individu akan
merugikan tim atau kelompoknya karena berbagai bentuk hukuman yang dijatuhkan
oleh wasit dan/atau juri atas pelanggaran-pelanggaran mereka sebagai individu
anggota tim dalam kompetisi yang berlangsung.

Model Coakley tersebut telah dikemukakan sebelumnya oleh Bailey (1969)


dalam menjelaskan proses-proses politik. Bailey menyatakan bahwa proses-proses
politik pada dasarnya adalah persaingan antara dua kelompok atau lebih untuk
memperebutkan posisi atau kekuasaan penentu dalam kebijakan umum mengenai
penguasaan alokasi, dan pendistribusian dari sumber-sumberdaya yang terbatas.
Dalam persaingan tersebut harus ada aturan main yang adil dan jujur ada wasit, dan
ada juri sehingga aturan main tersebut dapat menjamin terlaksananya persaingan
yang adil dan beradab. Model Bailey tersebut seringkali juga dinamakan model zero
sum game, karena dalam model ini yang ada hanyalah persaingan diantara dua
pihak dimana satu pihak akan harus mengalahkan pihak yang lain untuk
memenangkan hadiah berupa posisi penentu kebijakan umum tersebut. Sedangkan,
dalam kenyataannya proses-proses politik yang berlaku, yang ada bukan hanya
antara yang kalah dan yang menang dalam kompetisi tetapi juga kompromi atau
kerjasama diantara pihak-pihak yang saling bertentangan (model non-zero sum
game).

Model keteraturan dari Coakley atau Bailey, seperti tersebut di atas, adalah
model yang berlaku dalam masyarakat yang menganut prinsip demokrasi. Model ini
bertentangan dengan model ekuilibrium dari Talcott Parsons dan Edward Shills yang
biasanya digunakan dalam sistem pemerintahan yang pseudi-demokrasi atau
otoriter. Disamping model Machiavelli, model ekuilibrium ini secara menyolok telah
digunakan dalam pemerintahan Orde Baru untuk menciptakan kestabilan, dan

208
karena itu diacu untuk meredam konflik-konflik dan perbedaan-perbedaan serta
individualitas (yang acuan dasarnya adalah individualisme) yang ada dalam
masyarakat Indonesia. Dalam paradigma ekuilibrium, konflik dan dinamika kehidupan
masyarakat yang anti kestabilan adalah bentuk-bentuk penyimpangan yang tidak
fungsional dalam kehidupan. Oleh karena itu, semua bentuk ungkapan yang berbeda
dalam kebijaksanaan pemerintah dilihat sebagai penyimpangan yang harus
ditiadakan. Penekanan dari kestabilan sosial dalam zaman Orde Baru adalah gotong
royong dan anti individualitas dan individualisme dan karena itu memuja
keseimbangan, dan keserasian. Ungkapan-ungkapan dan tindakan-tindakan
individualisme dan individualitas, dalam zaman Orde Baru , hanya mungkin dilakukan
oleh mereka yang mempunyai kekuasaan dan karena mereka itu yang berkuasa
maka tindakan-tindakan mereka tidak digolongkan sebagai penyimpangan oleh
pemerintah, sebagaimana dikemukakan oleh Dahrendorf tersebut di atas. Aturan
main yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Orde Baru adalah aturan main yang
ditentukan dari atas ke bawah (top down), yang tidak selamanya dapat diterima oleh
mereka yang di bawah tetapi harus diterima karena kalau tidak maka mereka
dianggap menyimpang atau tidak fungsional dalam kehidupan Orde Baru.

Model gotong royong dan anti individualisme atau anti individualitas dengan
aturan main yang datangnya dari atas selama pemerintahan Orde Baru, telah
menghasilkan berbagai bentuk konflik terselubung. Konflik tersebut tidak terwujud
sebagai konflik terbuka karena tidak seimbangnya hubungan kekuatan sosial yang
dipunyai oleh yang berkuasa dengan yang dipunyai oleh yang dikuasai atau rakyat,
sehingga rakyat tidak berani menentang kekuasaan pemerintah secara berterang-
terangan. Konflik terselubung tersebut terjadi antara mereka yang menikmati
berbagai bentuk kekuasaan dan fasilitas pemerintahan Orde Baru dengan mereka
yang tersingkirkan atau dimiskinkan kemampuan kekuatan sosialnya oleh
kemapanan kekuasaan Orde Baru, sebagaimana dikemukakan oleh Dahrendorf
tersebut di atas. Begitu juga kebencian yang mendalam terhadap kemapanan
kekuasaan sebagai akibat dari ketersingkiran atau pemiskinan kekuatan sosial yang
diderita oleh sebagian warga masyarakat, yang mereka anggap sebagai tidak adil
atau sewenang-wenang oleh mereka yang tersingkir, yang secara sadar atau tidak
sadar telah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru, yang kebencian tersebut baru
dapat meledak setelah keruntuhan pemerintahan Orde Baru. Karena, dengan

209
kekuatan ABRI (militer dan kepolisian) yang begitu besar, tidak ada sesuatu
kekuatan sipil apapun pada waktu itu yang berani untuk dan mampu berbeda
pendapat dengan pemerintah; apalagi bertentangan dengan kebijaksanaan-
kebijaksanaannya. Dalam masa reformasi sekarang ini, dimana proses-proses
demokratisasi menuju kematangannya, barulah berbagai bentuk ketidakadilan dan
penderitaan, karena kesewenang-wenangan yang diderita oleh masyarakat meledak
dalam berbagai bentuk konflik sosial; dan kerusuhan massa. Baik terhadap
pemerintahan Orde Baru sebagai pranata politik, dan terhadap tindakan-tindakan
pemerintahan Orde Baru dan oknum-oknumnya serta kronikroninya, maupun
terhadap ABRI yang menjadi tulang punggung kekuatan kekuasaan pemerintahan
Orde Baru.

Faksi-faksi politik, yang merupakan kekuatan-kekuatan sosial untuk berbeda


dari kebijaksanaan pemerintah Orde Baru, hanya mungkin terwujud diantara
golongan elite politik dan militer (yang juga merupakan kekuatan sosialpolitik). Model
konflik dari Dahrendorf dapat digunakan untuk melihat berbagai gejala sosial yang
berlaku dalam elite politik dan militer dalam zaman Orde Baru. Model keteraturan
dari Coakley tidak berlaku untuk memahami konflik-konflik sosial politik yang terbuka
maupun tertutup diantara faksi-faksi politik dan militer pada tingkat atas karena corak
aturan main ditentukan oleh yang berkuasa, yaitu penguasa tunggal Orde Baru pada
waktu itu dan para kroninya.

Potensi-Potensi Konflik
Bila kita mengikuti model Dahrendorf di atas, maka secara hipotetis kita
ketahui bahwa dalam setiap masyarakat terdapat potensi-potensi konflik karena
setiap warga masyarakat akan mempunyai kepentingan yang harus dipenuhi yang
dalam pemenuhannya akan harus mengorbankan kepentingan warga masyarakat
lainnya. Upaya pemenuhan kepentingan yang dilakukan oleh seseorang yang
mengorbankan kepentingan seseorang lainnya dapat merupakan potensi konflik, bila
dilakukan tanpa mengikuti aturan main (yang terwujud sebagai hukum, hukum adat,
adat, atau konvensi sosial yang berlaku setempat) yang dianggap adil dan beradab.
Sedangkan bila dalam masyarakat tersebut ada aturan-aturan main yang diakui
bersama oleh warga masayarakat tersebut sebagai adil dan beradab, maka potensi-

210
potensi konflik akan mentransformasikan diri dalam berbagai bentuk persaingan.
Jadi, potensi-potensi konflik tumbuh dan berkembang pada waktu dalam hubungan
antar individu muncul dan berkembang serta mantapnya perasaan-perasaan yang
dipunyai oleh salah seorangpelaku akan adanya perlakuan sewenang-wenang dan
tindakan-tindakan tidak adil serta biadab yang dideritanya yang diakibatkan oleh
perbuatan pihak lawannya.

Adanya potensi konflik dalam diri seseorang atau sekelompok orang ditandai
oleh adanya perasaan tertekan karena perbuatan pihak lawan, yang dalam keadaan
mana si pelaku tidak mampu untuk melawan atau menolaknya, dan bahkan tidak
mampu untuk menghindarinya. Dalam keadaan tersebut si pelaku mengembangkan
perasaan kebencian yang terpendam terhadap pihak lawan, yang perasaan
kebencian tersebut bersifat akumulatif oleh perbuatan-perbuatan lain yang
merugikan dari pihak lawannya. Kebencian yang mendalam dari si pelaku yang
selalu kalah biasanya terwujud dalam bentuk menghindar atau melarikan diri dari si
pelaku. Tetapi kebencian tersebut secara umum biasanya terungkap dalam bentuk
kemarahan atau amuk, yaitu pada waktu si pelaku yang selalu kalah tidak dapat
menghindar lagi dari pilihan harus melawan atau mati, yang dapat dilihat dalam
bentuk konflik fisik dan verbal diantara dua pelaku yang berlawanan tersebut.

Konflik fisik yang menyebabkan kekalahannya oleh lawan akan menghentikan


tindakan perlawanannya. Tidak berarti bahwa berhentinya perlawanan tersebut
menghentikan kebenciannya ataupun dorongannya untuk menghancurkan pihak
lawannya. Kebencian yang mendalam masih disimpan dalam hatinya, yang akan
merupakan landasan semangat untuk menghancurkan pihak lawan. Sewaktu-waktu
bila pihak lawan lengah atau situasi yang dihadapi memungkinkan maka dia akan
berusaha untuk menghancurkannya. Yaitu, agar merasa telah menang atau setidak-
tidaknya telah seimbang dengan kekalahan yang telah dideritanya dari pihak lawan
tersebut.

Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan biasanya dilihat oleh pelaku yang


bersangkutan dalam kaitannya dengan konsep hak yang dimiliki (harta, jatidiri,
kehormatan, keselamatan, dan nyawa) oleh diri pribadi, keluarga, kerabat, dan
komuniti atau masyarakatnya. Sesuatu pelanggaran atau perampasan atas hak milik

211
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang akan dapat diterima oleh
seseorang atau sekelompok orang tersebut bila sesuai menurut norma-norma dan
nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat setempat, atau memang
seharusnya demikian. Tetapi tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan bila
perbuatan tersebut tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang
berlaku. Dalam hubungan antar-sukubangsa, konsep hipotesa kebudayaan dominan
dari Bruner (lihat Suparlan 1999d : 13-20) menjadi relevan sebagai acuan untuk
memahami keberadaan aturan-aturan main atau konvensi-konvensi sosial yang
berlaku diantara dua sukubangsa atan lebih yang bersama-sama menempati sebuah
wilayah dan membentuk kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat setempat.

Bila dalam kehidupan masyarakat setempat ada sebuah sukubangsa yang


dominan, maka kebudayaan sukubangsa tersebut menjadi dominan dalam
kehidupan masyarakat setempat. Kebudayaan dominan tersebut menjadi acuan bagi
penilaian mengenai tindakan-tindakan yang layak dan tidak layak yang berlaku bagi
warga masyarakat setempat tersebut di tempat-tempat umum, termasuk warga dari
berbagai sukubangsa yang tidak tergolong sebagai sukubangsa yang dominan
dalam masyarakat tersebut. Kalau model hipotesa kebudayaan dominan dari Bruner
(1974) bercorak generalis, yang digunakannya untuk memperbandingkan corak
ungkapan-ungkapan kesukubangsaan di Medan, di Bandung, maka secara empirik
model hipotesa kebudayaan dominan tersebut menunjukkan varisasi-variasi dalam
corak dominasi kebudayaanya (lihat kritik Suparlan 1995). Variasi tersebut muncul
karena masyarakat sebagai sebuah satuan kehidupan tidak dibatasi oleh sebuah
satuan kehidupan kota ataupun dibatasi oleh sebuah satuan kategori masyarakat
sukubangsa tetapi oleh satuan kehidupan dari masyarakat itu sendiri, yang
menempati sebuah wilayah atau lingkungan tertentu. Apa yang menjadi corak
kehidupan dari sebuah masyarakat dalam sebuah satuan wilayah atau lingkungan
tertentu akan berbeda dari corak yang dipunyai oleh sebuah masyarakat yang hidup
dalam sebuah wilayah atau lingkungan tertentu. Walaupun dua buah masyarakat
tersebut tercakup dalam sebuah satuan kehidupan masyarakat sukubangsa.

Dengan demikian, dalam sebuah masyarakat dimana sukubangsa setempat


adalah dominan maka sukubangsa-sukubangsa lainnya yang hidup dalam
masyarakat tersebut akan tergolong sebagai minoritas. Sedangkan sukubangsa

212
minoritas dalam masyarakat tersebut akan menjadi dominan dalam lingkungan
masyarakatnya sendiri. Kalau dalam masyarakat luas sukubangsa, pedoman
penilaian dalam kehidupan bermasyarakat mengacu pada kebudayaan dominan
sukubangsa tersebut. Maka dalam masyarakat-masyarakat sukubangsa minoritas
pedoman penilaian yang berlaku adalah rnengacu pada kebudayaan sukubangsa
mayoritas yang bersangkutan yang berlaku setempat dan bukannya mengacu pada
kebudayaan dominan yang berlaku dalam masyarakat luas. Sehingga konsep benar
atau salah dan adil atau tidak adil, menjadi kontekstual atau tidak dapat diberlakukan
secara umum dan merata.

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, yang terdiri atas berbagai


sukubangsa dengan kebudayaan dan keyakinan keagamaan masing-masing yang
dipersatukan oleh sistem nasional Indonesia menjadi sebuah masyarakat negara
(Suparlan 1999a). Sebagai sebuah masyarakat majemuk, Indonesia mempunyai
potensi-potensi konflik yang tidak sedikit jumlahnya. Potensi-potensi konflik tersebut
dapat terwujud sebagai konflik-konflik antar individu, dan konflik-konflik antar individu
dapat rneledak menjadi konflik-konflik sosial yang terjadi sebagai konflik antar-
sukubangsa atau antara yang dikuasai dan yang berkuasa. Konflik antar individu
bisa mempunyai potensi untuk menjadi konflik sosial atau konflik antar-sukubangsa,
pada waktu konflik tersebut dirasakan sebagai suatu perwujudan ketidakadilan oleh
salah satu pihak terhadap lainnya, dimana ketidakadilan tersebut dirasakan sebagai
ketidakadilan yang bukan hanya menimpa individu yang bersangkutan tetapi
menimpa sukubangsanya dan kepentingan-kepentingannya (jatidiri, kehormatan,
kerugian material dan penderitaan atau ketidakpuasan secara umum karena
ketidakadilan yang merata yang diderita oleh warga sukubangsa tersebut).

Pihak yang menjadi lawan bisa saja sukubangsa lainnya (kasus Sambas,
kasus Ambon) atau pemerintah dan aparatnya (kasus Irian Jaya, kasus Aceh, kasus
Riau). Harus dicatat bahwa sesuatu potensi konflik sosial tidak akan terwujud bila
tidak ada tukang kipasnya atau provokatornya, yang biasanya mempunyai
kepentingan yang ingin dicapainya melalui kejayaan sukubangsa atau golongannya -
sukubangsa atau golongan sosialnya yang telah direndahkan martabatnya dalam
konflik antar individu. Begitu juga harus dicatat bahwa sesuatu potensi konflik sosial
tidak akan meledak menjadi konflik atau kerusuhan sosial bila kondisi kelompok yang

213
menginginkan adanya konflik sosial itu tidak berada dalam keadaan tidak ada pilihan
lain yang disebabkan oleh situasi yang dihasilkan oleh hubungan antar kelompok
sukubangsa tersebut dengan sukubangsa lainnya atau pemerintah sebagai pihak
lawan. Situasi yang dimaksud adalah tidak adanya jalur-jalur yang dapat
mengkomunikasikan secara memuaskan, yang dapat menjembatani untuk
mengakomodasi dan mengkompromikan perbedaan-perbedaan dan pertentangan-
pertentangan antara kelompok tersebut dengan pihak lawannya.

Dalam upaya untuk memperkokoh kesatuan dan menjalin persatuan


Indonesia, pemerintah Indonesia (dalam zaman pemerintahan presiden Sukarno dan
presiden Soeharto) memperkuat sistem nasional, antara lain, dengan memperkuat
tentara (zaman presiden Sukarno), dan memperkuat ABRI (Polisi dijadikan bagian
dari ABRI, dalam pemerintahan presiden Soeharto). Dan, dengan menggunakan
kekuatan nyata yang menakutkan, yang dapat memaksa ini, maka kesatuan
Indonesia dapat diperkokoh dan persatuan dapat dijalin secara semu. Secara semu,
karena kesatuan dan persatuan tersebut ‘dipaksakan’ dari atas ke bawah, dan
karena itu tidak mempunyai landasan atau dukungan dari bawah (bottom up); yaitu
masyarakat-masyarakat sukubangsa yang dirugikan oleh penguatan sistem nasional.
Dampak dari penguatan sistem nasional seperti tersebut di atas adalah
dilemahkannya sistem-sistem sukubangsa.

Pemerintahan Orde Baru yang menyandarkan kekuasaannya pada kekuatan


militer yang mempunyai kekuatan memaksa, telah sadar atau tidak sadar
menghasilkan pola-pola tindakan yang ‘sewenang-wenang’ yang dilakukan oleh
oknum-oknum yang berkuasa dan para aparatnya. Karena, tidak adanya mekanisme
kontrol yang efektif yang dapat menjadi rambu-rambu bagi tindakan-tindakan
penyimpangan para oknum-oknum penguasa tersebut. Seringkali tindakan-tindakan
sewenang-wenang tersebut dianggap sebagai hal yang biasa oleh umum, yaitu oleh
warga masyasrakat Indonesia. Dalam zaman pemerintahan Orde Baru tindakan-
tindakan yang ‘sewenang-wenang’ dari anggota tentara dan kepolisian, seperti naik
bis atau makan di warteg tidak membayar, dianggap bukan tindakan sewenang-
wenang. Bahkan saya pernah menyaksikan seorang anggota tentara yang
membayar biaya naik bis kota di Jakarta yang ditolak oleh kondektur bis tersebut.

214
Perlakuan sewenang-wenang oleh orang atau kelompok lain yang diderita oleh
seseorang atau sebuah kelompok atau masyarakat, bila tidak mampu diatasi dalam
bentuk perlawanan oleh yang diperlakukan sewenang-wenang akan membekas
dalam bentuk kebencian, dan kebencian tersebut pada waktu terjadinya peristiwa
tersebut akan disimpan atau terpendam dalam hati, karena tidak berani atau tidak
mampu untuk melawannya, atau karena tertutup oleh berbagai kesibukan dalam
suatu jangka waktu tertentu. Peristiwa kesewenang-wenangan yang terpendam
seperti ini akan muncul dan terungkap dalam bentuk stereotip dan prasangka.
tereotip atau prasangka tersebut akan terwujud dalam bentuk simbol-simbol yang
menjadi atribut dari keburukan atau kerendahan martabat pelaku yang sewenang-
wenang tersebut. Simbol-simbol tersebut bisa diacu dari pewayangan (sebagaimana
yang terjadi pada Orang Jawa di Suriname, dalam Suparlan 1995), atau hewan, atau
terwujud dalam bentuk ‘kirata basa’ atau penjabaran sebuah kata yang
menghasilkan berbagai corak atribut lawan dalam bentuk kalimat yang kata-katanya
penuh dengan ungkapan makna penghinaan karena kebencian.

Ungkapan ini seringkali terwujud dalam kalimat yang isinya adalah kata-kata
lucu sehingga menjadi lelucon yang menghibur bagi yang merasa terpuruk (Iihat
Douglas 1975 : 96-101). Pada tahun 1998 yang baru lalu, pada waktu menjelang dan
setelah beberapa lama kejatuhan Pak Harto sebagai presiden, yaitu pada waktu
gencar-gencarnya aksi anti pak Harto, di kampung-kampung di Jakarta anak-anak
menyanyikan lagu menunjuk hidung, yang pada tahun ini sudah hilang dari
peredaran permainan anak-anak, dengan cara memlesetkan liriknya, sehingga
berbunyi:

Dang dang tut


Akar kolang kaling
Bambang ama tutut
Anaknya raja maling

Sedangkan aslinya berbunyi:

Dang dang dut


Akar kolang kaling
Siapa yang kentut
Ditembak raja maling

215
Keberadaan potensi konflik sosial pada dasarnya juga mengikuti pola-pola
yang berlaku dalam terwujudnya potensi konflik antar individu. Potensi konflik yang
meledak menjadi konflik antar individu, bisa terbatas hanya pada dua orang individu
yang bersangkutan saja, tetapi dapat meluas yang melibatkan anggota-anggota
keluarga dan kerabatnya, dan komuniti atau masyarakat sukubangsa kedua belah
pihak. Keterlibatan keluarga atau kerabat, atau komuniti, atau juga masyarakat
sukubangsa kedua belah pihak dalam konflik yang terjadi menunjukkan bahwa
konflik antar individu telah mewujudkan dirinya dalam bentuk konflik sosial.

Konflik Sosial

Konflik sosial terjadi antara dua kelompok atau lebih, yang terwujud dalam
bentuk konflik fisik antara mereka yang tergolong sebagai anggota-anggota dari
kelompok-kelompok yang berlawanan. Dalam konfik sosial, jatidiri dari orang
perorang yang terlibat dalam konflik tersebut tidak lagi diakui keberadaannya. Jatidiri
orang perorang tersebut diganti oleh jatidiri golongan atau kelompok. Dengan kata-
kata lain, dalam konflik sosial yang ada bukanlah konflik antara orang perorang
dengan jatidiri masing-masing tetapi antara orang perorang yang mewakili jatidiri
golongan atau kelompoknya. Atribut-atribut yang menunjukkan ciri-ciri jatidiri orang
perorang tersebut berasal dari stereotip yang berlaku dalam kehidupan antar
golongan yang mewakili oleh kelompok-kelompok konflik. Dalam konflik sosial tidak
ada tindakan memilah-milah atau menyeleksi siapa-siapa pihak lawan yang harus
dihancurkan. Sasarannya adalah keseluruhan kelompok yang tergolong dalam
golongan yang menjadi musuh atau lawannya, sehingga penghancuran atas diri dan
harta milik orang perorang dari pihak lawan mereka lihat sama dengan
penghancuran kelompok pihak lawan.

Dalam konflik fisik yang terjadi, orang dan golongan sosial atau sukubangsa
yang berbeda yang semula adalah teman baik, akan menghapus ubungan
pertemanan yang baik tersebut menjadi hubungan permusuhan atau setidak-
tidaknya menjadi hubungan penghindaran. Hubungan mereka menjadi hubungan
golongan, yaitu masing-masing mewakili golongannya dalam hubungan konflik yang
terjadi. Orang-orang luar, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan

216
kelompok-kelompok yang sedang dalam konflik fisik tersebut bila mempunyai atribut-
atribut yang memperlihatkan kesamaan dengan ciri-ciri dari pihak lawan akan
digolongkan sebagai lawan dan tanpa permisi atau meminta penjelasan mengenai
jatidiri golongannya akan juga dihancurkan.

Diantara berbagai konflik sosial yang yang terwujud sebagai konflik fisik,
konflik antar-sukubangsa adalah konflik yang tidak dapat dengan mudah didamaikan.
Karena, konflik yang terjadi, yang disebabkan oleh rasa ketidakadilan atau
kesewenang-wenangan ataupun kekalahan telah dipahami sebagai dihancurkannya
harga diri dan kehorrnatan. Kehancuran harga diri yang kemudian dipahami sebagai
kehancuran eksistensi atau keberadaan sukubangsanya. Keberadaan suku-
angsanya adalah segala kehidupannya, karena dia dilahirkan dan dibesarkan dalam
lingkungan sukubangsanya. Dalam lingkungan kehidupan sukubangsanya dia
dibesarkan dan dijadikan manusia, dan memperoleh perlindungan. dari segala
gangguan yang berasal dari luar kehidupan sukubangsanya. Dan, pada waktu mati
dia juga akan dirawat dan dikebumikan sebagai manusia dan sebagai hamba Tuhan
atau Sang Pencipta oleh kerabat-kerabat dan handai taulan yang juga sesama
warga sukubangsanya. Sukubangsa adalah sesuatu acuan yang primordial (yang
utama dan pertama) dalam dan bagi kehidupannya. Sukubangsa bagi warga
sukubangsa yang bersangkutan adalah sama dengan dirinya sendiri. Penghinaan
terhadap dirinya adalah sama dengan penghinaan terhadap sukubangsanya, dan
penghinaan terhadap sukubangsanya adalah sama dengan penghinaan terhadap
dirinya.

Sukubangsa mewujudkan dirinya sebagai sebuah masyarakat, yang terwujud


sebagai kumpulan individu-individu, yang pemenuhan-pemenuhan kebutuhan hidup
dan keteraturan kehidupannya dipedomani oleh kebudayaannya. Dengan
menggunakan kebudayaannya, warga sukubangsa itu dijadikan orang atau
dimanusiakan oleh keluarga dan masyarakat sukubangsanya. Dengan
menggunakan kebudayaan yang berisikan pengetahuan yang diyakini kebenarannya
warga sukubangsa melihat diri mereka dan melihat mereka yang tergolong sebagai
sukubangsa lainnya berbeda dari mereka yang berbeda sukubangsanya. Dengan
dan berbagai golongan sosial lainnya yang ada dalam kehidupan mereka. Melalui
yang tergolong dalam sukubangsanya dan yang tergolong dalam sukubangsa

217
mereka (yang lain) ataupun yang tergolong dalam golongan sosial lainnya dapat
menjadi jelas. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk (Suparlan 1999a),
dimana sistem nasional Indonesia mempersatukan sukubangsa-sukubangsa yang
semula adalah masyarakat jajahan Hindia Belanda menjadi sebuah masyarakat
negara Indonesia, kedudukan sukubangsa berada di bawah kekuasaan sistem
nasional atau pemerintah Indonesia. Dalam posisi yang berada di bawah kekuasaan
pemerintah Indonesia, sukubangsa yang terwujud sebagai masyarakat sukubangsa
sadar atau tidak sadar merasakan dominasi kekuasaan pemerintah dalam berbagai
bentuk dominasi. Tanah dan segala isinya yang semula adalah hak mereka menurut
adat sekarang menjadi milik negara yang dikuasai oleh pemerintah, dan begitu juga
halnya dengan wilayah hutan dan air beserta segala isinya. Berbagai ketentuan yang
semula diatur oleh adat, sekarang harus diatur oleh hukum positif yang berlaku
secara nasional berikut sanksi-sanksinya, yang berbeda dengan sanksi-sanksi adat
yang semula berlaku. Wilayah-wilayah yang secara adat adalah wilayah mereka,
sekarang juga menjadi wilayah yang berhak untuk dihuni oleh mereka yang berasal
dari berbagai sukubangsa. Konflik-konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat
manapun di dunia ini, termasuk yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, dimulai
oleh perebutan sumber-sumber daya atau sumber-sumber rezeki. BiIa perebutan
yang terjadi berjalan sesuai aturan main yang mereka anggap adil maka tidak akan
terjadi konflik sosial diantara mereka. Dalam keadaan dimana aturan main yang
berlaku dirasakan sebagai tidak adil oleh satu dari dua atau lebih kelompok yang
bersaing memperebutkan sumber daya atau rezeki, tetapi bila penegak hukum dapat
bertindak adil dan bertindak sebagai pengayom maka konflik sosial tidak akan
terwujud. Tetapi bila penegak hukum tidak dapat bertindak adil maka aturan-aturan
main yang adil dan beradab tidak akan dapat diberlakukan, karena aturan-aturan
main tersebut tidak ada yang memaksakan untuk diberlakukan, sedangkan masing-
masing pihak yang bermusuhan akan menggunakan aturan-aturan mainnya sendiri
yang menguntungkan mereka untuk dapat memenangkan konflik yang berlaku.

Jadi, sebuah persyaratan penting bagi meredam atau menghentikan konflik


sosial yang mentransformasikan dirinya menjadi kerusuhan sosial yang ditandai oleh
menonjolnya konflik fisik yang saling menghancurkan, adalah adanya aturan main
yang adil dan adanya penegak hukum yang dapat bertindak adil dan bertindak
sebagai pengayom masyarakat. Bila petugas kepolisian sebagai penegak hukum

218
tidak dapat bertindak adil dan tidak dapat bertindak sebagai pengayom masyarakat,
maka kerusuhan yang terjadi tidak dapat dicegah. Ini pernah terjadi dalam kerusuhan
Sambas (Suparlan 1999b), dimana petugas kepolisian di Kecamatan Jauai yang
merupakan asal mulanya terjadinya kerusuhan Sambas tidak berani menahan
pencuri asal Madura yang tertangkap basah. Akibat dari dilepaskannya pencuri asal
Madura tersebut adalah adanya 200 warga Madura asal kecamatan lain, yang
merupakan teman dan kerabat si pencuri, yang datang dan membunuh tiga orang
Melayu di Kecamatan Jauai tempat ditangkapnya si pencuri. Keberanian orang-
orang Madura tersebut telah didorong, antara lain, oleh ketidak beranian petugas
kepolisian Jauai untuk menghadapi orang-orang Madura.

Kerusuhan sosial sebagai konflik antar-sukubangsa, yang terwujud sebagai


saling penghancuran oleh satu kelompok sukubangsa terhadap kelompok
sukubangsa lainnya, juga terwujud sebagai kegiatan ‘perang’ penaklukkan yang
tujuannya menguasai wilayah-wilayah untuk diakui sebagai wilayah sukubangsanya.
Yaitu untuk menciptakan kebudayaan dominan dalam wilayah yang telah
dikuasainya itu. Ini terjadi dalam Kerusuhan Sambas dan juga dalam Kerusuhan
Ambon (1999c), dan juga terjadi dalam kerusuhan Aceh.

Kepustakaan
Bailey, F.G., 1969. Stratagems and Spoils: A social anthropology of politics.
New York: Schocken.
Bruner, Edward M., 1974. “The Expression fo Ethnicity in Indonesia”. Dalam
Abner Cohen (Editor), Urban Ethnicity. Hal.251-284. London:
Tavistock.
Coakley, J.J., 1986. Sport and Society: Issues and Controversies. St.Louis:
Times Mirror Mosby.
Dahrendorf, R., 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford,
California: Stanford University Press.
Douglas, Mary, 1975. Implicit Meaning. Boston: Routledge & Kegan Paul
Heider, Karl G., 1970. The Dugun Dani: A Papuan Culture in the Highlands
of West New Guinea. Chicago: Aldine.

219
Koch, Klaus-Frederich, 1971. “Canibalistic Revenge in Jali Warfare”. Dalam
James P. Spradley dan D.W. MacCurdy (Editors), Conformity and
Conflict: Readings in Cultural Anthropology. Boston: Little, Brown
& Company .
Parsons, Talcott dan Edward A. Shills (Ed.), 1951. Toward A General Theory
of Action. New York: Harper.
Suparlan, Parsudi, 1995. The Javanese in Surinam: Ethnicity in an ethnically
plural society. Tempe, Arizona: SEA Program, Arizona State
University.
________ 1999a. “Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa”.
Dalam I. Wibowo (Editor), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi
Masalah Cina. Hal. 149-173. Jakarta: Gramedia.
________ 1999b. Laporan Kerusuhan Sambas. Laporan terbatas disampaikan
kepada Kapolri.
________ 1999c. Laporan Kerusuhan Ambon. Laporan terbatas disampaikan
kepada Kapolri.
________ 1999d. “Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan Kesuku-
bangsaan”. Jurnal Antropologi Indonesia, 22 (56): 13-20.

220
5 Konflik
Antar-Sukubangsa
dan Upaya
Mengatasinya
Konflik Antar-Sukubangsa

T
ulisan ini adalah mengenai konflik antar-sukubangsa dan upaya
mengatasinya. Konflik antar-sukubangsa terlahir dari dan ada dalam wadah
hubungan antar-sukubangsa. Konflik ini muncul dari kompetisi untuk
memperebutkan sumber-sumber daya antara individu-individu dan anggota-anggota
komuniti sukubangsa setempat dengan golongan-golongan sukubangsa lainnya.
Konflik tersebut melibatkan anggota-anggota sukubangsa dari masing-masing yang
konflik, karena dirasakan tidak adanya aturan main yang adil di dalam proses-proses
kompetisi. Sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak mencari bantuan dari
masing-masing kerabat dan anggota anggota sukubangsanya untuk memenangkan
kompetisi tersebut.

Konflik tersebut adalah produk dari saling hubungan antara individu-individu


dan kelompok-kelompok yang berkompetisi dalam memperebutkan sumber-sumber
daya dengan kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa yang muncul sebagai
kekuatan sosial. Saling keterkaitan ini mencakup proses-proses kesukubangsaan,
yaitu pengaktifan dan pemanipulasian kesukubangsaan sebagai cara untuk
memperoleh kekuatan sosial dan politik melalui kohesi dan solidaritas kelompok, dan
penggunaan kesukubangsaan dalam konflik untuk pencapaian sumber daya yang
sesuai struktur kekuatan yang ada dalam politik tingkat lokal.

221
Dalam pandangan ini kesukubangsaan adalah gejala individual yang muncul
dalam interaksi sosial, dan kesukubangsaan tersebut beranekaragam ungkapannya
tergantung pada keanekaragaman dari saling keterkaitan hubungan antara individu-
individu dan kelompok-kelompok dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam
setempat (Suparlan 1995). Pandangan ini mengikuti Fredrik Barth (1969), yang
menyatakan bahwa kemunculan kesukubangsaan menjadi meningkat pada waktu
ada peningkatan kontak-kontak dalam ruang geografis dan sosial diantara anggota
sukubangsa yang berbeda, terutama dalam kaitan hubungannya dengan
kepentingan ekonomi dan adanya kompetisi antar-sukubangsa.

Secara hipotetis konflik antar-sukubangsa dapat dicegah bila dalam kompetisi


untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang ada setempat, yang melibatkan
anggota-anggota sukubangsa yang berbeda itu, terdapat aturan-aturan main yang
adil dan beradab dan adanya penegak hukum sebagai pihak ketiga yang netral atau
tidak memihak serta yang dipercaya oleh warga masyarakat setempat betul-betul
menerapkan aturan-aturan main tersebut. Tetapi permasalahannya bukan hanya
terletak pada diterapkannya hukum atau aturan main yang adil dan beradab dalam
sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya berasal dari berbagai sukubangsa
yang berlainan. Permasalahan lain yang harus diperhatikan adalah dinamika sosial
dan politik yang ada di dalam masing-masing masyarakat sukubangsa dan yang
terwujud dalam hubungan antar-sukubangsa yang menyebabkan pola-pola
hubungan antar-sukubangsa berubah. Pola-pola hubungan yang merupakan jalinan-
jalinan kekuatan sosial dan politik serta ekonomi yang mencirikan struktur sosial dan
politik yang ada dalam masyarakat setempat, yaitu tempat hidupnya masyarakat-
masyarakat sukubangsa.

Dalam keadaan dimana sebuah konflik antar-sukubangsa belum terjadi tetapi


potensi untuk konflik tersebut telah muncul dan dengan mudah dapat dideteksi,
maka konflik tersebut dapat diredam (lihat Suparlan 2002). Konflik antar-sukubangsa
yang hampir terjadi di Pangkalan Bun ibukota kabupaten Kotawaringin Barat, Kalteng
pada bulan Maret 2001, antara orang-orang Madura di satu pihak dengan orang-
orang Melayu (Mendawai), orang Banjar, dan Dayak di lain pihak, yang merupakan
sebagian dari rangkaian penyerangan dan penghancuran terhadap orang Madura di
Kalimantan Tengah, telah dapat diredam. Cara peredaman adalah dengan

222
mengaktifkan peran pihak ketiga yang netral untuk mencari akar permasalahan yang
menyebabkan munculnya permusuhan antara orang-orang Madura dengan orang-
orang dari sukubangsa lainnya, dan membicarakannya secara terbuka dengan
semua anggota sukubangsa yang bermusuhan secara terpisah mengenai sebab-
sebab permusuhan dan persiapan ‘berperang’ untuk menghancurkan pihak lawan
masing-masing. Pihak ketiga juga berupaya memperoleh informasi apakah mereka
itu masih mau diajak saling berdamai.

Sebab-sebab dari permusuhan yang ditemukan oleh pihak ketiga lalu


dirundingkan dengan salah satu pihak yang menjadi penyebab. Ditanyakan apakah
pihak penyebab tersebut mau memperbaiki sikap-sikap dan cara-cara hidup mereka
yang merugikan orang lain. Karena hanya dengan cara itu perdamaian dapat
diwujudkan. Ketika pihak penyebab permusuhan tersebut bersedia memperbaiki
sikap-sikap dan cara-cara hidup yang merugikan orang-orang dari sukubangsa lain,
maka pihak ketiga meminta tokoh-tokohnya untuk menandatangani pernyataan sikap
mereka. Pernyataan sikap tersebut dibacakan dihadapan umum di Pangkalan Bun,
disaksikan oleh bupati dan muspida, dan muspika serta pejabat-pejabat lainnya.
Pimpinan polisi setempat dan militer secara bersama-sama mengawasi pelaksanaan
perubahan sikap dari anggota-anggota sukubangsa tersebut sesuai dengan
pernyataan sikap yang dibacakan oleh pimpinan mereka.

Konflik antar-sukubangsa adalah konflik berdarah, yang saling


menghancurkan. Bila sebuah konflik antara dua kelompok sukubangsa yang
berdarah ini telah terjadi dalam sebuah masyarakat, maka upaya-upaya untuk
mendamaikan dan mengembalikan pola-pola hubungan antara dua kelompok
sukubangsa tersebut sebagaimana yang berlaku sebelumnya menuntut suatu
kemauan dari kedua belah pihak untuk melakukannya dan harus mengikuti berbagai
persyaratan sosial, ekonomi, dan politik yang sangat terperinci. Karena dalam
proses-proses untuk mendamaikan dua kelompok sukubangsa tersebut sukubangsa
dan kesukubangsaan masing-masing harus didefinisikan kembali, dan berbagai
persyaratan berkenaan dengan posisi masing-masing dalam hubungan antar-
sukubangsa harus disetujui bersama dan diawasi oleh pihak ketiga yang netral dan
yang dihormati oleh kedua belah pihak agar persetujuan tersebut benar-benar

223
terlaksana. Upaya-upaya ini tidak mungkin hanya dilakukan secara ‘topdown’ tetapi
juga harus dibarengi dengan upaya-upaya yang ‘bottom-up’.

Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa

Dalam tulisan ini sukubangsa dilihat sebagai golongan askriptif, golongan


yang didapat begitu saja oleh seseorang, yaitu “yang mengklasifikasikan seseorang
berdasarkan atas identitasnya yang paling umum dan mendasar, yang berkaitan
dengan asal muasal dan latar belakangnya” (Barth 1969). Sebagai golongan sosial
askriptif, sukubangsa mewujudkan dirinya dalam kelompok dan masyarakat. Setiap
masyarakat mempunyai kebudayaan, dan masyarakat sukubangsa mempunyai
kebudayaan sukubangsa. Kebudayaan dilihat sebagai blueprint atau pedoman bagi
kehidupan, sebagai perangkat-perangkat sistem-sistem acuan atau model-model
kognitif dan afektif yang beroperasi pada bagai berbagai perasaan dan kesadaran.
Manusia menggunakan model-model tersebut secara selektif, sebagaimana yang
paling cocok dengan mereka masing-masing, untuk mendorong terciptanya
interpretasi-interpretasi yang penuh makna mengenai situasi-situasi yang dihadapi
dan mempedomani tindakan-tindakan mereka dalam lingkungan-lingkungan mereka,
melalui kegiatan-kegiatan mereka. Tindakan-tindakan tersebut dapat dilihat sebagai
dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan maupun sebagai tanggapan-
tanggapan terhadap struktur kekuatan yang ada di dalam lingkungan-lingkungan
mereka. Kebudayaan dan golongan sosial dapat dinyatakan sebagai sistem-sistem
acuan dari interpretasi-interpretasi dan tanggapan-tanggapan. Dalam pendekatan ini
diperhitungkan kekuatan sosial dari para pelaku, yaitu dalam tindakan-tindakan
mereka dalam interaksi-interaksi dan dalam struktur kekuatan yang ada setempat.

Keyakinan keagamaan selalu menempel pada dan ada dalam


kesukubangsaan seseorang individu dan kelompok sukubangsa. Karena itu
keyakinan keagamaan biasanya memperkuat kesukubangsaan yang mempertegas
batas-batas kesukubangsaannya dengan kesukubangsaan dari orang atau kelompok
sukubangsa yang lainnya. Tetapi suatu keyakinan keagamaan yang sama dapat juga
dimiliki oleh orang dan kelompok atau kelompok-kelompok sukubangsa yang lain.
Keyakinan keagamaan disatu sisi dapat memperkuat kesukubangsaan dari satu

224
kelompok sukubangsa dalam hubungannya dengan sukubangsa lain, tetapi dari sisi
lainnya keyakinan keagamaan juga dapat meredupkan kesukubangsaan dari
kelompok-kelompok sukubangsa yang mempinyai keyakinan keagamaan yang
sama. Dalam keadaan terakhir tersebut di atas, justru jatidiri keagamaan yang
menonjol dan meredupkan kesukubangsaan dalam hubungan antar-sukubangsa.

Dengan mengacu pada konsep-konsep tersebut di atas akan saya usahakan


untuk menjelaskan corak masyarakat Indonesia yang majemuk dan hubungan antar-
sukubangsa yang terjadi; sebuah masyarakat dimana kesukubangsaan adalah
sebuah ide dan sebuah kenyataan yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Lambang negara Bhinneka Tunggal Ika, atau berbeda-beda tetapi satu juga,
mencerminkan kenyataan aktual dari masyarakat Indonesia. Indonesia terdiri atas
lebih dari 500 sukubangsa, yang masing-masing mempinyai jatidiri sukubangsa dan
kebudayaan dan meng-haki wilayah tempat hidup mereka. Anggota-anggota dari
setiap masyarakat sukubangsa hidup dalam komuniti-komuniti yang pada dasarnya
homogen dengan masing-masing jatidiri sukubangsa dan jatidiri budayanya di dalam
batas-batas wilayahnya sendiri. Di tanah airnya sendiri masyarakat sukubangsa
setempat dengan kebudayaannya adalah yang dominan, yang berfungsi sebagai
seperangkat sistem-sistem acuan dalam mempedomani anggota-anggota komuniti di
dalam kegiatan-kegiatan setiap hari dan di dalam cara mereka melihat dan
memahami dunia di sekeliling mereka dimana mereka itu menjadi bagian dari dunia
tersebut.

Di masa lampau hanya di kota-kota dan pusat-pusat perkotaan terdapat


campuran dari berbagai kelompok sukubangsa. Pada masa sekarang hampir seluruh
wilayah Indonesia secara sukubangsa adalah heterogen, dimana anggota-anggota
dari berbagai sukubangsa yang berbeda hidup secara berdampingan dalam
komuniti-komuniti dari kelompok-kelompok sukubangsa setempat. Sehingga,
hubungan antar-sukubangsa telah menjadi lebih intensif daripada di masa lampau,
dan hal ini dapat menyebabkan munculnya masalah-masalah pengakomodasian
perbedaan-perbedaan budaya antara para pendatang dengan penduduk setempat
karena hampir semua pendatang yang hidup di komuniti-komuniti masyarakat
setempat mempunyai kebudayaan ekonomi yang lebih maju dan lebih agresif.

225
Permasalahan hubungan antara pendatang dengan masyarakat setempat terpusat
pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya, dan tingkat
agresifitas secara ekonomi dari para pendatang adalah masalah yang paling kritikal
dalam persaingan sumberdaya. Karena, masyarakat setempat melihat diri mereka
sebagai tuan rumah dan para pendatang sebagai tamunya.

Aturan yang mengatur tata hubungan antara tuan rumah dengan tamunya
tersirat dalam pepatah dan petitih yang berlaku di seluruh Indonesia, yang berbunyi
“dimana bumi dipijak langit dijunjung”. Pepatah ini digunakan untuk memantapkan
posisi masing-masing dalam hubungan antara pendatang sebagai tamu dengan
masyarakat setempat sebagai tuan rumah yang menggambarkan keharmonisan
hubungan tersebut. Pada waktu pendatang melanggar ketentuan tersebut tuan
rumah bisa saja mendiamkannya atau menegurnya, dan bila tindakan-tindakan
pelanggaran atas ketentuan tersebut terus menerus dilakukan dan para pendatang
mulai menguasai dan mendominasi sumber-sumber daya maka masyarakat
sukubangsa setempat yang merasa hak-hak dan kehormatannya telah diinjak-injak
akan memusuhi dan mengusir para pendatang tersebut. Konflik antarsukubangsa
yang terjadi di Sambas, Kalimatan Tengah, Ambon, dan bahkan di Poso dapat
dijelaskan dalam perspektif tersebut.

Rujuk Damai Antar-Sukubangsa

Rujuk damai antar-sukubangsa yang telah pernah konflik secara habis-


habisan tidaklah mudah. Dalam konflik antar-sukubangsa, yang terjadi adalah bahwa
konflik antar-perorangan menjadi konflik antar-golongan yaitu antar-golongan
sukubangsa. Dalam konflik antar-golongan yang saling dihancurkan adalah orang-
orang dari golongan lawan dan atribut-atribut dan simbol-simbol yang menandai
jatidiri golongan lawannya tersebut. Sehingga konflik antar-sukubangsa adalah
konflik saling menghancurkan golongan lawan masing-masing.

Pada waktu sesuatu konflik antar-sukubangsa tersebut telah berhenti,


anggota-anggota sukubangsa dari masing-masing pihak masih akan menyimpan
dendam, kebencian, sakit hati, atau juga euphoria kemenangan yang pernah dialami

226
selama konflik antar-sukubangsa berlangsung. Kesemuanya ini berpengaruh
terhadap cara masing-masing anggota sukubangsa yang berlawanan tersebut
melihat diri mereka dan lawan-lawan mereka masing-masing dan dunia tempat
mereka sekarang ini hidup.

Generasi muda yang ikut mengalami masa-masa konflik yang penuh dengan
kekerasan dan darah tersebut akan menyimpan beranekaragam persepsi mengenai
diri mereka dan pihak lawan. Sedangkan generasi muda yang tidak mengalami
konflik tersebut akan memperoleh informasi mengenai sukubangsa mereka dan
sukubangsa pihak lawan, dan berdasarkan itu mengembangkan stereotip dan
prasangka yang dapat menghambat terwujudnya kembali keharmonisan hubungan
mereka dengan anggota sukubangsa yang pernah menjadi pihak lawan. Apakah
hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi? Tentu saja dapat diatasi bila kedua
belah pihak mau saling memaafkan dan melupakan peristiwa-peristiwa di masa yang
lampau. Untuk itu hanya mungkin dilakukan bila ada pihak ketiga yang mau memulai
upaya perdamaian tersebut. Syaratnya adalah, bila pihak ketiga tersebut adalah
orang atau badan organisasi yang dihormati dan dipercaya kesungguhan hatinya
serta ketidak berpihakkannya oleh anggota-anggota dari dua sukubangsa yang
semula saling menghancurkan tersebut.

Kemauan untuk saling berdamai bukan hanya harus dilakukan oleh para
tokoh atau pemimpin dua masyarakat sukubangsa tersebut, tetapi harus oleh semua
anggota sukubangsa yang bersangkutan. Bila hanya para tokoh atau pemimpin dari
dua masyarakat sukubangsa tersebut yang berdamai, maka yang berdamai hanya
mereka itu saja sedangkan anggota-anggota sukubangsa yang bersangkutan belum
tentu terikat oleh adanya perdamaian tersebut. Patut dicatat bahwa perdamaian
tersebut hanya mungkin terlaksana bila masing-masing sukubangsa yang pernah
konflik tersebut merasa bahwa dengan adanya perdamaian tersebut mereka itu akan
memperoleh sesuatu keuntungan sosial, ekonomi, dan politik (Suparlan 1999: 7 -
19). Bila anggota-anggota dari sukubangsa tersebut tidak mempunyai bayangan
mengenai keuntungan tersebut maka perdamaian tidak akan tercapai, dan bilapun
ada maka perdamaian tersebut adalah perdamaian semu.

227
Setelah perdamaian secara formal dilakukan maka tahap berikutnya adalah:
(1) Menentukan kembalinya kelompok-kelompok sukubangsa yang terusir dalam
konflik antar-sukubangsa yang telah terjadi. Untuk itu patut dipikirkan secara
sungguh-sungguh mengenai penerimaan kembali dari individu-individu dan
kelompok-kelompok sukubangsa yang telah terusir tersebut di dalam
komuniti-komuniti sukubangsa setempat.
(2) Meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak.
Menghilangkan stereotip dan prasangka adalah dengan cara mengakui
bahwa masing-masing pihak adalah sederajat, dan melalui kesederajatan
tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling
memahami perbedaan-perbedaan yang mereka punyai, mentaati ketentuan-
ketentuan hukum atau aturan main dan keputusan-keputusan penegak
hukum dalam berbagai situasi kompetisi dan konflik yang terjadi.

Tetapi meniadakan stereotip dan prasangka tidaklah mudah bila memang


tidak ada keinginan untuk meniadakannya, terutama untuk generasi orang-orang tua.
Tetapi bagi anak-anak peniadaan ini masih dimungkinkan melalui pendidikan di
sekolah. Sekolah di daerah perkotaan biasanya mempunyai murid yang berasal dari
berbagai sukubnagsa. Murid-murid dididik untuk melihat dan memahami kesamaan
dan perbedaan diantara sesama kereka, perbedaan dalam kesederajatan yang
sama. Mereka dididik untuk saling memahami dan mengapresiasi perbedaan-
perbedaan diantara sesama mereka dengan mendengarkan lagu-lagu dan
ungkapan-ungkapan kesenian dari berbagai sukubangsa yang ada, mendengarkan
dongeng dan cerita-cerita sukubangsa yang berbeda-beda, bermain bersama dan
berolehraga, menikmati makanan dari berbagai sukubangsa yang ada (dalam batas-
batas yang tidak dilarang oleh keyakinan keagamaan mereka), dan saling belajar
bahasa sukubangsa lainnya.

Guru harus menunjukkan bahwa semua murid yang berasal dari sukubangsa
manapun dengan keyakinan keagamaan apapun diperlakukan sama derajatnya.
Guru juga harus menunjukkan penghargaannya pada berbagai ungkapan budaya
dan kesenian dari berbagai sukubangsa yang dipresentasikan oleh murid-muridnya.
Begitu juga guru harus dapat menunjukkan sikapnya yang tidak mendiskriminasi
murid perempuan dari murid laki-laki.

228
Pendidikan tersebut dapat dilakukan secara bertahap, yaitu tahap permainan
pada tingkat SD, tahap bermain dan berpikir pada tingkat SLTP, dan tahap berpikir
dan merasakan secara mendalam pada tingkat SLTA. Kalau dari tingkat SD sampai
dengan SLTA mereka dibiasakan untuk saling menggunakan kata-kata atau
ungkapan penghinaan terhadap anggota sukubangsa lainnya maka setelah dewasa
sebagai anggota masyarakat berbagai bentuk stereotip dan prasangka sukubangsa
akan tidak ada lagi. Amerika Serikat yang di masa lampau dikenal sebagai
masyarakat yang paling rasis di dunia, pada masa sekarang adalah masyarakat yang
paling menghargai perbedaan-perbedaan rasial, sukubangsa, dan kebudayaan.
Perubahan ini telah dimungkinkan karena masyarakat Amerika mempraktekkan
multikulturalisme dalam pendidikan sekolah sejak tahun 1970an.

*****

Kepustakaan

Barth, Fredrik (1969), “Introduction”. Dalam: Fredrik Barth (Editor), Ethnic Groups
and Boundaries, hal. 9 – 38. Boston, Mass.: Little, Brown, & Co.
Suparlan, Parsudi (1995), The Javanese in Surinam: Ethnicity in an ethnically plural
society.. Tempe, Arizona: SEA Program, Arizona State University.
__________, (1999), “Konflik Sosial dan Alternatif Penecahannya”. Jurnal
Antropologi Indonesia, vol. XXIII, no. 59, hal. 7 – 19.
__________, (2000), Ethnic and Religious Conflict in Indonesia and its Prevention..
Paper presented at Seminar “On Conflict Prevention and Peace Building
in Southeast Asia: Regional Mechanism, and Best Practices”. ASEAN-
UN Cooperation in the 21st Century.. Mandalong City, Filipina, 19 – 22
Februari 2002.

229
6 Konflik
Antar-Sukubangsa
Melayu dan Dayak
dengan Madura
di
Kabupaten Sambas,
Kalimantan Barat

Pendahuluan

T
ulisan ini adalah rnengenai konflik antar-sukubangsa yang telah terjadi di
Kabupaten Sambas antara sukubangsa atau orang Melayu dan orang Dayak
di satu pihak dengan orang Madura di pihak lain. Konflik antara orang
Melayu dengan orang Madura telah terjadi pada tahun 1999, yang merupakan
sebuah konflik yang pertama terjadi dan yang terakhir. Karena setelah konflik
tersebut berakhir orang-orang Madura terusir dari wilayah kabupaten Sambas.
Sedangkan konflik antara orang Dayak dan orang Madura telah berlangsung selama
11 kali sejak tahun 1962 yang berakhir pada tahun 1999. Konflik pada tahun 1999
terjadi pada saat sedang berlangsungnya konflik antara orang Melayu dan Madura.

Konflik antar-sukubangsa terlahir dari dan ada dalam wadah hubungan antar-
sukubangsa. Hakekat dan corak hubungan antar-sukubangsa yang bersangkutan
merupakan penentu dari terjadi atau tidak terjadinya konflik antar-sukubangsa. Dari
kasus-kasus konflik antar-sukubangsa di Ambon, Poso, Kalimantan Tengah dan di

230
berbagai tempat lainnya di Indonesia dapat disimpulkan bahwa konflik antar-
sukubangsa muncul dari kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya
setempat yang dilakukan oleh individu-individu yang merupakan anggota komuniti-
komuniti sukubangsa setempat dengan individu-individu yang rnenjadi anggota
komuniti-komuniti sukubangsa pendatang. Konflik antar individu tersebut
berkembang menjadi konflik antar-sukubangsa karena salah satu pihak
mengaktifkan kesukubangsaan untuk solidaritas kelompoknya guna mengalahkan
pihak lainnya, sehingga pihak lainnya tersebut mau tidak mau akan harus
mengimbanginya dengan mengaktifkan juga kesukubangsaannya.

Tulisan ini berusaha untuk menunjukkan bahwa konflik antar-sukubangsa


yang terjadi di kabupaten Sambas antara orang Melayu dan Dayak dengan orang
Madura adalah produk dari corak hubungan antar-sukubangsa Malayu dengan
Madura dan antar-sukubangsa Dayak dengan Madura. Melalui tulisan ini juga ingin
ditunjukkan bahwa konflik antar-sukubangsa adalah konflik antar-golongan sehingga
dalam konflik tersebut bukan hanya terdapat upaya saling rnenghancurkan orang-
orang yang ciri-cirinya tergolong sebagai pihak lawan tetapi juga penghancuran
terhadap segala sesuatu yang mempunyai ciri-ciri dari pihak lawan. Tulisan ini akan
menyajikan pembahasan mengenai hakekat masyarakat majemuk Indonesia dan
heterogenitas masyarakat setempat yang merupakan wadah yang menjadi konteks
dari konflik antar-sukubangsa, hakekat sukubangsa dan kesukubangsaan dalam
hubungan antar-sukubangsa dan konflik antar-sukubangsa. Tulisan ini akan diakhiri
dengan penyajian deskripsi konflik antara orang Melayu dengan Madura dan antara
orang Dayak dengan orang Madura di kabupaten Sambas.

Masyarakat Majemuk dan Heterogenitas Masyarakat Setempat

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society), yaitu sebuah


masyarakat yang terdiri atas masyarakat-masyarakat sukubangsa yang dipersatukan
oleh sistem nasional sebagai sebuah masyarakat negara dan sebagai bangsa atau
nasion (lihat Suparlan 1979, 1999a). Model masyarakat majemuk yang dikenal dalam
ilmu-ilmu sosial ini bermula dari Furnivall (1948) yang mengidentifikasi masyarakat
jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah masyarakat majemuk. Furnivall melihat

231
masyarakat jajahan Hindia Belanda ini sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas
kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbaur tetapi tidak menjadi
satu. Masing-masing kelompok mempunyai agama, kebudayaan, dan bahasa, serta
cita-cita dan cara-cara hidup mereka masing-masing (lihat Suparlan 2000:1).

Lebih lanjut dikatakan oleh Furnivall (Suparlan 2000:1) bahwa masyarakat


seperti ini terdiri atas bagian-bagian atau segmen-segmen yang merupakan
komuniti-komuniti yang hidup saling berdampingan dalam sebuah satuan politik,
tetapi yang terpisah atau tidak merupakan sebuah kesatuan. Mereka ini merupakan
sebuah masyarakat karena dipersatukan secara paksa oleh pemerintahan nasional,
yaitu pemerintah jajahan Hindia Belanda. Kekuasaan absolut berada di tangan
sejumlah kecil golongan elite, yang merupakan penguasa jajahan yang dominan,
yang menuntut penyerahan absolut dan masyarakat jajahan demi kepentingan
penguasa jajahan tersebut. Kepentingan penguasa jajahan tersebut adalah
penguasaan atas sumber-sumber daya ekonomi dan alam serta pendistribusiannya,
dan atas sumber-sumber daya manusia.

Masyarakat majemuk pada umumnya mempunyai ciri yang menyolok dalam


hal corak pemerintahannya, yaitu bercorak otoriter dan militeristik sebagaimana yang
menjadi corak dari semua pemerintahan di masyarakat jajahan. Coraknya yang
otoriter dan militeristik ini juga terdapat dalam masyarakat-masyarakat majemuk
yang bukan negara jajahan, sebelum dirombak oleh kekuatan reformasi, seperti Uni
Soviet Russia, Yugoslavia, Afrika Selatan, dan Indonesia di masa pemerintahan
Orde Baru. Ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik ini
terutama berbentuk kekejaman dan kekerasan terhadap rakyat atau warga
masyarakatnya sendiri (van den Berghe 1990). Kekejaman dan kekerasan terhadap
rakyatnya sendiri tersebut dilakukan dalam upaya menguasai secara absolut semua
sumber-sumber daya ekonomi dan alam oleh penguasa dan oknum-oknum serta
kroni-kroninya.

Masalah yang pada umumnya dihadapi oleh masyarakat majemuk, seperti


Indonesia, adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah pusat dengan
masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup dalam masyarakat tersebut.
Masyarakat-masyarakat sukubangsa telah ada sebelum adanya masyarakat

232
majemuk yang dikuasai oleh sistem nasional. Masyarakat-masyarakat tersebut hidup
di dan dari sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungan alam dan fisik yang
merupakan hak adat atau hak ulayat mereka. Permasalahan ini muncul pada waktu
rezim yang berkuasa itu berusaha untuk menguasai sumber-sumber daya alam yang
ada dalam wilayah hak ulayat masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat dengan
menggunakan acuan hukum nasional yang merapikan hukum adat atau hak ulayat
warga masyarakat setempat.

Pada waktu rezim penguasa tersebut masih berkuasa tidak ada satupun
warga masyarakat tersebut yang berani menentangnya, dan tidak juga kelompok-
kelompok atau masyarakat-masyarakat sukubangsa yang dieksploitasi hak ulayatnya
tersebut berani menghalanginya. Tetapi, begitu rezim otoriter itu jatuh maka berbagai
bentuk perambahan terhadap perusahaan-perusahaan dan oknum-oknum
pemerintah pusat dan kroni-kroninya bermunculan sebagai kerusuhan-kerusuhan
sosial dan konflik antar-sukubangsaa berrnunculan (Suparlan 2000a, 2000b, 2001).
Pendapat umum yang mengatakan bahwa kebangkitan dari mereka yang semula
tertekan oleh rezim otoriter dan militeristik tidaklah dapat disangkal. Tetapi pendapat
para pakar yang di tahun tahun 1999-2001 bermunculan di televisi yang mengatakan
bahwa konflik antar-sukubangsa disebabkan dari adanya kesenjangan sosial-
ekonomi antara kelompok sukubangsa pendatang yang makmur hidupnya dan
kelompok sukubangsa setempat yang hidupnya melarat tidaklah benar.

Di masa lampau masyarakat-masyarakat sukubangsa hidup dengan


berpedoman pada kebudayaan masing-masing yang berlaku di dalam wilayah
masyarakat sukubangsanya sendiri. Anggota-anggota dari setiap masyarakat
sukubangsa hidup dalam komuniti-komuniti sukubangsa yang pada dasarnya
bercorak homogen dengan masing-masing jatidiri sukubangsa dan jatidiri budayanya
dalam batas-batas wilayahnya sendiri. Di kampung halamannya sendiri, masyarakat-
masyarakat sukubangsa setempat dengan kebudayaannya masing adalah yang
dominan sebagai pedoman bagi kehidupan sehari-hari sebagairnana terwujud dalam
pranata-pranata sosial mereka masing-masing. Di masa lampau hanya di kota-kota
atau kota-kota pelabuhan dan pusat-pusat perkotaan terdapat masyarakat.
campuran dari berbagai kelompok sukubangsa. Sedangkan pada masa sekarang
hampir seluruh wilayah Indonesia secara sukubangsa telah menjadi masyarakat-

233
masyarakat yang heterogen, dimana anggota-anggota dari berbagai sukubangsa
hidup secara berdampingan dalam komuniti-komuniti pedesaan dan kelompok-
kelompok sukubangsa setempat. Karena itu, pada masa sekarang, hubungan antar-
sukubangsa telah menjadi lebih intensif daripada di masa lampau.

Hal ini dapat menyebabkan munculnya masalah-masalah berkenaan dengan


kesukubangsaan serta batas-batas sukubangsa dan perbedaan-perbedaan
kebudayaan ekonomi antara para pendatang dengan penduduk setempat karena
hampir semua pendatang yang hidup di komuniti-komuniti masyarakat setempat
mempunyai kebudayaan ekonomi yang lebih maju dan agresif. Akibatnya adalah
bahwa kebudayaan dari masyarakat sukubangsa setempat yang semula adalah
dominan menjadi ditantang dengan agresifitas para pendatang, yang tantangan
tersebut dapat dilihat sebagai tantangan atas kebudayaan sukubangsa setempat. Ini
terutama terwujud melalui hubungan antara pendatang dengan masyarakat setempat
yang terpusat pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya.
Permasalahan yang paling kritikal adalah tingkat agresifitas ekonomi para pendatang
dalam persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya dengan cara tidak
mengindahkan berbagai aturan yang berlaku setempat. Karena anggota-anggota
masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah dan para pendatang
sebagai tamu mereka, maka perbuatan para pendatang tersebut dilihat sebagai
melanggar aturan-aturan adat yang berlaku.

Aturan-aturan yang mengatur hubungan antara tuan rumah dengan tamunya


tersirat dalam pepatah yang berlaku dalam kehidupan semua masyarakat
sukubangsa di Indonesia, yang berbunyi “dimana bumi dipijak langit dijunjung”.
Artinya para pendatang yang hidup dalam komuniti sukubangsa setempat supaya
menghormati dan menjunjung adat dan tradisi budaya yang berlaku setempat
dengan cara mengikuti aturan-aturan adat dan tradisi-tradisi budayanya dalam
kehidupan sehari-hari. Pepatah ini digunakan oleh warga masyarakat setempat
untuk memantapkan posisi mereka dalam menghadapi agresifitas ekonomi dari para
pendatang dengan cara menekankan bahwa posisi mereka adalah tuan rumah yang
berhak atas segala sesuatu dalam rumahnya sedangkan para pendatang hanya
tamu yang harus tunduk pada aturan-aturan yang berlaku dalam rumah tersebut.
Dengan mengacu pada pepatah ini, secara halus dan tidak langsung, para

234
pendatang diberi peringatan untuk tidak mendominasi kehidupan mereka yang
menjadi tuan rumah. Konflik-konflik antar-sukubangsa yang telah terjadi di berbagai
daerah di Indonesia dapat dilihat sebagai pelanggaran dari prinsip yang ada dalam
pepatah tersebut.

Sukubangsa dan Kesukubangsaan

Sukubangsa dilihat sebagai golongan askriptif, golongan sosial yang didapat


begitu saja oleh seseorang, yaitu “yang rnengklasifikasikan seseorang berdasarkan
atas identitasnya yang paling umum dan mendasar, yang berkaitan dengan asal
muasal dan latar belakangnya” (Barth 1969). Sebagai golongan askriptif sukubangsa
mewujudkan dirinya dalam bentuk individu atau orang-perorang dan dalam bentuk
kelompok serta masyarakat. Setiap orang dan setiap masyarakat mempunyai
kebudayaan. Dan, setiap masyarakat sukubangsa mempunyai kebudayaan
sukubangsa. Kebudayaan dilihat sebagai blueprint atau pedoman bagi kehidupan,
sebagai perangkat sistem-sistem acuan atau model kognitif dan afektif yang
beroperasi pada berbagai tingkat perasaan dan kesadaran. Manusia menggunakan
model-model tersebut secara selektif, sebagaimana yang paling cocok dengan
mereka masing-masing, untuk mendorong terciptanya interpretasi-interpretasi yang
penuh makna bagi diri mereka mengenai situasi-situasi yang dihadapi dan
mempedomani tindakan-tindakan mereka dalam lingkungan-lingkungan mereka,
melalui kegiatan-kegiatan mereka. Tindakan-tindakan tersebut dapat dilihat sebagai
dorongan-dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup maupun sebagai
tanggapan-tanggapan terhadap struktur-struktur kekuatan yang ada dalam
lingkungan-lingkungan mereka. Kebudayaan dan golongan sosial dapat dinyatakan
sebagai sistem-sistem acuan dari interpretasi-interpretasi dan tanggapan-tanggapan.
Dalam pendekatan ini kekuatan sosial dari para pelaku diperhitungkan, yaitu dalam
tindakan-tindakan mereka di dalarn interaksi-interaksi dan dalam struktur-struktur
kekuatan yang berlaku setempat.

Keyakinan keagamaan selalu menempel pada dan ada dalam


kesukubangsaan seseorang dan dalam kelompok sukubangsa. Karena itu keyakinan
keagamaan biasanya memperkuat kesukubangsaan yang mempertegas batas-batas

235
kesukubangsaanya dengan kesukubangsaan dari orang atau kelompok sukubangsa
yang lainnya. Tetapi sesuatu keyakinan keagamaan yang sama dapat juga dimiliki
oleh orang dan kelompok atau kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda-beda.
Sehingga, keyakinan keagamaan di satu sisi dapat memperkuat kesukubangsaan
dari satu kelompok sukubangsa dalam hubungannya dengan sukubangsa lain, tetapi
dari sisi lainnya keyakinan keagamaan juga dapat meredupkan kesukubangsaan dari
kelompok-kelompok sukubangsa yang mempunyai keyakinan keagamaan yang
sama. Dalam keadaan terakhir tersebut di atas, justru jatidiri keagamaan yang
menonjol dan meredupkan jatidiri sukubangsa dalam hubungan antar-sukubangsa.
Walaupun demikian tidak berarti bahwa dua kelompok sukubangsa yang mempunyai
keyakinan keagamaan yang sama tetapi dalam keadaan konflik antar-sukubangsa
akan rnenghentikan konflik tersebut. Orang Melayu dan orang Madura di Sambas
sama-sama memeluk agama Islam, tetapi dalam konflik yang terjadi pada tahun
1999 keyakinan keagamaan yang sama tersebut tidak mempunyai makna apapun
dalam mendamaikan konflik ini.

Sukubangsa dan Hipotesa Kebudayaan Dominan

Sukubangsa sebagai golongan sosial yang askriptif mempunyai ciri primordial


atau golongan sosial askriptif dari kebudayaan yang pertama dan mendasar yang
didapat serta yang utama dalam kehidupan manusia. Seseorang tergolong dalam
sesuatu sukubangsa karena dilahirkan dan dibesarkan oleh orangtua yang tergolong
dalam sesuatu sukubangsa tersebut. Dia dibesarkan oleh orangtua dan dijadikan
manusia dengan menggunakan kebudayaan orangtuanya sebagai acuannya. Tanpa
disadari dan dikehendakinya dia menjadi anggota sesuatu masyarakat sukubangsa
dan menjadi pendukung serta pemilik kebudayaan sukubangsanya, karena
perbuatan orangtuanya, keluarga dan kerabatnya, serta warga masyarakat
sukubangsanya.

Sebagai golongan sosial yang askriptif dan primordial, sukubangsa terikat oleh
adanya hubungan darah atau kekerabatan dan asal daerah dari para pelakunya.
Sehingga secara nyata maka yang kita lihat dari mereka yang tergolong dalam
sesuatu sukubangsa adalah satuan biologi, yaitu keluarga, kelompok kerabat atau

236
klen, komuniti, dan masyarakat. Sebagai kelompok atau masyarakat maka sebuah
sukubangsa menempati sebuah wilayah yang menjadi tempat dari berbagai
sumberdaya yang dimanfaatkan oleh anggota-anggota masyarakat sukubangsa
setempat untuk kelangsungan hidup mereka. Cara-cara pemanfaatan sumberdaya-
sumberdaya yang ada dalam lingkungan mereka itu dilakukan dengan menggunakan
kebudayaan yang menjadi pedoman bagi kehidupan mereka. Masing-masing
masyarakat sukubangsa, dengan kata lain, mempunyai kebudayaan sendiri yang
berbeda dan kebudayaan yang dipunyai oleh masyarakat sukubangsa lainnya.
Masing-masing masyarakat sukubangsa tersebut juga mengembangkan pranata-
pranata sosial yang berbeda coraknya dan masyarakat sukubangsa yang lainnya.
Dalam masyarakat sukubangsa setempat maka kebudayaan sukubangsa dan
masyarakat tersebut adalah dominan. Dalam sebuah masyarakat yang anggota-
anggotanya mencakup lebih dari satu sukubangsa seperti yang terdapat di daerah
perkotaan atau di daerah pedesaan dewasa ini di Indonesia, maka ada atau tidak
adanya kebudayaan sukubangsa yang dominan dan hubungan antara kebudayaan
dari para pendatang dengan kebudayaan dominan mempengaruhi corak hubungan
antar-sukubangsa dan potensi konflik antar-sukubangsa.

Profesor Bruner (1974) dalam upaya menjelaskan corak ungkapan


kesukubangsaan di Bandung dan di Medan telah menggunakan sebuah model yang
dinamakannya sebagai “hipotesa kebudayaan dominan”. Inti dari hipotesa ini adalah
bahwa corak ungkapan kesukubangsaan di sesuatu masyarakat itu dipengaruhi oleh
ada atau tidak adanya dominasi oleh kebudayaan dan salah satu sukubangsa yang
hidup setempat. Di Bandung terdapat kebudayaan Sunda yang dominan, dimana
struktur kekuasaan pada tingkat atas sampai dengan tingkat bawah diperuntukkan
bagi dan dipegang oleh orang Sunda. Dalam kehidupan sehari-hari di tempat-tempat
umum kebudayaan Sunda adalah acuan utama bagi sopan santun dalam tindakan-
tindakan, dan bahasa Sunda adalah bahasa yang berlaku di tempat-tempat umum.
Para pendatang dari berbagai sukubangsa cenderung menjadi seperti Sunda atau
menjadi Sunda (Suparlan 1972, Bruner 1974). Sedangkan di kota Medan yang tidak
mengenal adanya kebudayaan sukubangsa dominan, telah menghasilkan adanya
masyarakat-masyarakat sukubangsa dengan masing-masing kebudayaannya yang
relatif otonom dan dominan dalam wilayah tempat tinggal mereka masing-masing.
Karena itu di kota Medan, kebudayaan dan bahasa yang digunakan di tempat-tempat

237
umum tergantung pada hasil tawar-menawar kekuatan diantara anggota-anggota
sukubangsa yang berbeda-beda. Hal yang sama juga berlaku dalam posisi-posisi
yang ada dalam struktur-struktur kekuasaan resmi nasional dan lokal yang ada di
kota Medan. Dalam keadaan demikian, kesukubangsaan masing-masing biasanya
diaktifkan oleh mereka yang menduduki posisi-posisi kunci, dan karenanya
solidaritas sukubangsa menjadi ciri yang menonjol dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan menggunakan model hipotesa kebudayaan dominan dari Bruner


seperti tersebut di atas, saya melihat bahwa pada dasarnya kebudayaan Melayu di
Pantai Barat Kalimantan, terutama di kabupaten Sambas (sekarang menjadi
kabupaten Sambas dan kabupaten Bengkayang), adalah kebudayaan dominan.
Masyarakat sukubangsa Melayu di Sambas telah mengembangkan pranata politik
yang berbentuk kerajaan atau kesultanan, sedangkan masyarakat sukubangsa
Dayak yang hidup di daerah pedalaman dan menjadi tetangganya tidak
mengembangkannya. Orang Melayu sebagai sukubangsa, mengadopsi agama Islam
sebagai agama mereka dan menjadikannya sebagai kebudayaan atau pedoman bagi
kehidupan mereka yang menyeluruh. Sebaliknya orang Dayak, adalah sukubangsa
yang menganut agama nenek morang mereka sebagai pedoman bagi kebidupan
mereka. Orang Dayak yang telah mengganti agama nenek moyangnya menjadi
beragama Islam biasanya dinamakan “masuk melayu”. Karena agama Islam bagi
orang Melayu bukan hanya sekedar pedoman bagi beribadah tetapi merupakan
keseluruhan kebudayaan Melayu atau pedoman menyeluruh bagi kehidupan mereka
sebagai orang Melayu. Pemantapan agama Islam sebagai inti dari kebudayaan
Melayu telah dimungkinkan oleh adanya kesultanan Melayu yang selama sekian
abad memantapkan ajaran-ajaran Islam sebagai bagian dari kebudayaan Melayu.
Orang Dayak yang “masuk melayu” menyadari bahwa mereka bukan hanya harus
meninggalkan keyakinan keagamaan asli mereka tetapi juga harus mengadopsi
kebudayaan Melayu secara menyeluruh sebagai pedoman bagi kehidupan mereka,
walaupun hubungan kekerabatan dengan saudara dan kerabatnya yang Dayak tetap
berlangsung. Sedangkan orang Dayak yang telah beragama Kristen atau Katolik dan
yang tinggal di daerah pedesaan masih tetap mempertahankan berbagai unsur
kebudayaan mereka yang asli, termasuk sebagian dari keyakinan keagamaan
mereka, yang secara praktikal berguna dalam menghadapi lingkungan yang
sebagian besar masih bercorak alami.

238
Dalam perspektif tersebut di atas, wilayah kabupaten Sambas dapat dilihat
sebagai dua wilayah kebudayaan yang berbeda. Di daerah Pantai barat terdapat
wilayah kebudayaan Melayu yang Islam, yang merupakan kebudayaan sukubangsa
dominan yang di masa lampau terpusat di kesultanan Sambas. Sedangkan di daerah
pedalaman (yang sekarang menjadi daerah kabupaten Bengkayang), yaitu di bagian
timur dari kabupaten Sambas, adalah wilayah dari kebudayaan Dayak yang bercorak
egaliter dan yang kebudayaan Dayak tersebut merupakan kebudayaan dominan di
wilayah tersebut. Baik orang Melayu maupun orang Dayak menyadari keberadaan
dan dominasi kebudayaan sukubangsa di wilayah mereka masing-masing, dan
saling menghormatinya. Karena itu hubungan antara dua sukubangsa tersebut
berada dalam suatu hubungan yang relatif harmonis dan bercorak simbiotik yang
saling menguntungkan. Berbagai sukubangsa pendatang yang menetap di
kabupaten Sambas menyadari adanya dua kebudayaan sukubangsa yang dominan
tersebut, dan mereka menghormatinya dengan cara hidup sesuai dengan berbagai
pedoman yang berlaku menurut kebudayaan dari pranata-pranatanya, sehingga
mereka itu cenderung menjadi seperti Melayu atau seperti Dayak, tergantung pada
dimana wilayah tempat kehidupan mereka sebagai pendatang. Orang Bugis
misalnya, cenderung menjadi seperti orang Melayu dan bahkan menjadi Melayu,
seperti orang Jawa di Bandung (Suparlan 1972). Kebiasaan orang Bugis untuk
menyelipkan badik di pinggang pada waktu berada di tempat-tempat umum dan
menggunakannya bila rasa harga diri mereka tersinggung telah tidak dilakukannya
lagi di Sambas. Karena mereka merasa bahwa hal itu bertentangan dengan adat
Melayu yang berlaku di Sambas. Mereka juga menjadi seperti orang Melayu yang
lebih senang menyelesaikan perkara dan persengkataan dengan cara
bermusyawarah dan berdamai, dan bila perlu meminta maaf.

Dengan mengacu pada kerangka berpikir seperti tersebut di atas dalam


tulisan ini akan saya coba untuk menjelaskan hakekat dari kerusuhan
antarsukubangsa yang berdarah yang terjadi di Sambas (lihat Suparlan 1999b dan
1999c) dan menunjukkan bahwa kekerasan yang terwujud adalah produk dari
hubungan antar-sukubangsa yang berlaku setempat. Berbagai sukubangsa
pendatang di Sambas telah memperlakukan diri mereka dan orang-orang Melayu
atau Dayak sebagai orang-perorang. Dan, oleh karena itu maka pada waktu konflik

239
terjadi diantara mereka yang pendatang dengan anggota masyarakat Melayu atau
Dayak maka yang terjadi adalah konflik antar perorangan. Sedangkan orang-orang
Madura di Sambas selalu menonjolkan kesukubangsaan Maduranya dan bukan
orang-perorangannya. Mereka selalu hidup dan bekerja dalam kelompok-kelompok
sebagai orang Madura, membangun solidaritas sosial diantara sesama mereka yang
Madura, dan bila terjadi persengketaan antara seorang Madura dengan seorang
Melayu atau Dayak maka persengketaan tersebut akan selalu diselesaikan oleh
kelompok Madura yang bersangkutan. Kesukubangsaan pada orang Madura di
Sambas, dalam bentuk kelompok dan solidaritas sosial orang Madura, adalah
merupakan acuan utama dari keberadaan dan kelangsungan hidup bagi mereka.
Disamping itu, orang-orang dan kelompok-kelompok Madura mempunyai
kecenderungan untuk menyelesaikan berbagai masalah dari persengketaan dengan
cara ancaman dan kekerasan. Tanpa disadari oleh semua anggota sukubangsa
yang ada di Sambas, dengan cara ancaman dan kekerasan inilah maka secara
bertahap kebudayaan dominan Malayu maupun Dayak di tempat-tempat umum di
Sambas digeser dan diganti oleh dominasi kekerasan dari kebudayaan Madura.

Corak hubungan antara orang Madura dengan orang Melayu dan Dayak di
Sambas diwarnai oleh kekerasan, dan kekerasan ini adalah kekerasan kategorikal
atau golongan. Sehingga pada waktu terjadi konflik antara Melayu lawan Madura dan
Dayak lawan Madura, yang ada adalah konflik antargolongan askriptif dengan segala
atributnya untuk secara kekerasan dihancurkan. Konflik-konflik berdarah yang terjadi
di Sambas, Ambon, Poso, atau Sampit adalah konflik antar-sukubangsa, dan
bukannya konflik komunal sebagaimana yang dinyatakan oleh Aragon (2001), van
Dijk (2002), Colombijn (2002). Atau dengan kata lain, kekerasan yang dilakukan oleh
orang-orang Melayu dan orang-orang Dayak terhadap semua orang Madura di
Sambas melalui kegiatan pembunuhan, mutilasi tubuh, dan penghancuran segala
atribut yang menernpel pada orang Madura adalah sebagai imbas balik dari upaya
pendominasian dengan cara-cara kekerasan oleh orang-orang Madura di Sambas
sebelum terjadinya konflik berdarah tersebut. Secara simbolik, pembunuhan, mutilasi
tubuh, pengusiran terhadap orang-orang Madura dari Sambas dan penghancuran
terhadap rumah-rumah dari segala harta benda orang-orang Madura oleh orang-
orang Melayu dan Dayak dapat dilihat sebagai sebuah upaya pembersihan atau
pencucian terhadap segala kekotoran yang telah menimpa kehidupan mereka di

240
wilayah Sambas yang dikarenakan oleh keberadaan dan perbuatan-perbuatan orang
Madura (lihat Douglas 1966).

Dalam hubungan antar-sukubangsa yang relatif tidak berlangsung secara


harmonis seperti yang terjadi antara orang Madura dengan orang Melayu dan
dengan orang Dayak di kabupaten Sambas, hubungan antar-pribadi atau perorangan
diantara mereka adalah sesuatu yang tidak umum berlaku. Yang ada adalah
hubungan antar stereotip orang Madura (lihat Douglas 1966).

Dalam hubungan antar-sukubangsa yang relatif tidak berlangsung secara


harmonis seperti yang terjadi antara orang Madura dengan orang Melayu dan
dengan orang Dayak di kabupaten Sambas, hubungan antar-pribadi atau antar-
perorangan diantara mereka yang harmonis tidaklah berkembang. Yang ada adalah
hubungan antar-stereotip yang berupa label yang dihasilkan dari hubungan antar-
golongan atau antar-kategori yang tidak menunjukkan adanya ciri-ciri kemanusiaan.
Dalam stereotipnya, orang Melayu melihat orang Madura sebagai sama dengan
golongan atau kategori hewan yang kotor, yaitu anjing, yang tidak bisa dipercayai,
yang pencuri, pemalak, perampok. Sebaliknya orang Madura melihat orang Melayu
sebagai penakut, kebanyakan ngomong, kelihatan besar tetapi keropos seperti
kerupuk. Sedangkan orang Dayak melihat orang Madura sebagai hewan hama dan
hewan buruan yang rakus, yaitu babi hutan. Dan, sebaliknya orang Madura melihat
orang Dayak sebagai kafir dan mahluk yang terbelakang (1998, 1999b). Konflik
antar-individu yang menghasilkan kerusuhan antar-sukubangsa dan yang terwujud
sebagai kekerasan berdarah sebenarnya dapat juga dipahami dengan mengacu
pada stereorip sukubangsa yang mereka punyai masing-masing dan yang mereka
gunakan untuk memperlakukan pihak lawan. Kekerasan telah terwujud karena pihak
lawan tidak lagi dilihat dan diperlukan sebagai kategori atau golongan manusia tetapi
sebagai kategori hewan atau benda yang memang sudah sewajarnya untuk
dihancurkan.

Sukubangsa-sukubangsa dengan kebudayaannya masing-masing sudah ada


selama berabad-abad dan hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya sebelum
adanya Indonesia. Indonesia baru ada secara dejure dan secara de facto karena
masyarakat-masyarakat sukubangsa yang ada dalam wilayah jajahan Belanda, yaitu

241
Hindia Belanda, dipersatukan oleh sistem nasional Indonesia melalui proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sistem nasional Indonesia
memantapkan keberadaannya dengan melalui berbagai pranata yang ada di dalam
dan melalui pemerintahan administrasinya. Secara umum sistem nasional Indonesia
telah di satu pihak melemahkan kesukubangsaan dan sebagian besar warga
masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh besarnya semangat kebangsaan ke-
Indonesiaan atau kebangsaan Indonesia dalam melawan penjajah Belanda dan
Jepang. Tetapi di lain pihak juga telah memperkuat kesukubangsaan masing-masing
warga masyarakat Indonesia karena berbagai pranata yang ada dalam sistem
nasional Indonesia telah gagal dalam menyajikan peranan-peranan dan aturan-
aturan yang secara adil dan beradab dapat menyelenggarakan upaya-upaya
pemenuhan-pemenuhan kebutuhan hidup yang dianggap penting oleh masyarakat
Indonesia pada umumnya dan masyarakat-masyarakat sukubangsa khususnya.

Pranata-pranata yang ada dalam sistem nasional tidak semuanya berjalan


secara sempurna dan efektif dalam memantapkan sistem nasional Indonesia di
wilayah-wilayah sukubangsa. Bahkan keberdayaan dan efektifitas dari pranata-
pranata yang ada dalam masyarakat-masyarakat sukubangsa telah dibuat tidak
berdaya oleh pengaktifan dari pranata-pranata nasional yang menekankan pada
penyeragaman. Disatu pihak pranata-pranata dari masyarakat-masyarakat
sukubangsa setempat dilemahkan dan di pihak lain pranata-pranata nasional yang
diberlakukan dalam masyarakat sukubangsa setempat tidak efektif karena para
pejabat atau fungsionaris yang menjalankan pranata-pranata tersebut tidak
melakukannya secara profesional, atau juga karena para pejabat tersebut melakukan
korupsi.

Diantara berbagai pranata yang dirasakan sebagai tidak efektif atau tidak
berfungsi sebagaimana seharusnya adalah pranata-pranata yang menjamin rasa
keadilan, perlindungan dari ancaman, dan penegakkan rasa aman dan keteraturan
sosial. Ini terutama dirasakan oleh warga masyarakat Melayu dan Dayak di Sambas,
dimana berbagai aturan yang berlaku di tempat-tempat umum yang semula
berdasarkan atas adat atau kebudayaan Melayu atau Dayak telah dilemahkan oleh
diberlakukannya pranata-pranata nasional, tetapi pranata-pranata nasional Indonesia
tersebut tidak mampu untuk melayani pemenuhan kebutuhan-kebutuhan untuk hidup

242
sejahtera secara adil dan beradab. Bersamaan dengan itu pranata-pranata nasional
dilemahkan dan ditunggangi oleh para oknum dan kronikroni pemerintahan Suharto
dengan menggunakan kekerasan dan KKN. Bersamaan dengan itu tempat-tempat
umum diambil alih kelompok-kelompok preman asal orang Madura.

Orang Madura di Kabupaten Sambas.

Orang Madura telah datang dan tinggal di Kalimantan Barat sejak tahun 1920-
an. Sebelum Perang Dunia II, keberadaan mereka secara sosial dan ekonomi di
Kalimantan Barat tidak mempunyai arti penting. Karena, jumlah mereka itu kecil dan
karena posisi sosial mereka yang rendah yang pada umumnya adalah buruh kasar.
Pada masa sekarang, sebelum terjadinya kerusuhan tahun 1999, orang-orang
Madura hidup di hampir seluruh pelosok wilayah kabupaten Sambas, yaitu di desa-
desa dan di dusun-dusun maupun di daerah perkotaan.

Orang Madura hidup mengelompok diantara sesama orang Madura. Baik


yang hidup dalam komuniti-komuniti yang berupa dusun yang secara homogen
dihuni oleh orang-orang Madura dan yang terpisah sama sekali dari kehidupan
orang-orang Melayu atau Dayak, maupun yang hidup dalam komuniti-komuniti yang
kesemua warganya minoritas maka multikulturalisme dapat menjadi acuan bagi
memperjuangkan kesamaan hak-hak dari semua warga masyarakat majemuk
tersebut, terutama hak-hak dari golongan minoritas. Perjuangan ini dapat dilakukan
melalui affirmative action seperti yang telah dilakukan di Amerika Serikat secara
efektif sejak akhir tahun 1960-an. Dan, secara bersamaan dilakukan melalui
perjuangan legal atau hukum dengan merubah perundangan yang mendiskriminasi
dan merugikan mereka yang tergolong minoritas, serta secara sosial menciptakan
kehidupan yang meniadakan berbagai bentuk ungkapan pelecehan dan diskriminasi
terhadap minonitas.

Model multikulturalisme juga menentang digunakannya kesukubangsaan,


etnosentrisme, rasisme, dan gender dalam kehidupan sehari-hari di tempat-tempat
umum dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Primordialisme yang
merupakan salah satu dari ciri-ciri dan kesukubangsaan dari kehidupan sukubangsa

243
sebaiknya hanya digunakan dalam ruang-ruang budaya dan sukubangsa itu dan
tidak dalam kehidupan antar-sukubangsa atau dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Bila pun harus digunakan di tempat-tempat umum atau dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara maka kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsa
harus menonjolkan ciri-cirinya yang menghargai perbedaan dan menekankan
kebersamaan untuk kepentingan kesejahteraan hidup bersama.

Hak-hak individu dan komuniti untuk berbeda harus dihormati dan berbagai
bentuk ungkapan dari stereotip dan prasangka karena perbedaanperbedaan
individual dan komunal dalam kehidupan bersama ditentang dalam model
multikulturalisme. Hak-hak individu dan komuniti untuk berbeda sebenarnya dapat
dilihat sebagai perbedaan kebudayaan dan ungkapan-ungkapan budaya secara
individual maupun secara komunal. Model multikulturalisme mendorong warga
masrarakat-masyarakat sukubangsa dalam masyarakat majemuk untuk
melonggarkan batas-batas sukubangsa dan rasial yang dipagari oleh kebudayaan
masing-masing sukubangsa. Cara yang dapat dilakukan adalah untuk dapat saling
berhubungan dalam berbagai kegiatan sosial sehari-hari dan melalui pendidikan di
sekolah yang bertujuan untuk saling memahami kebudayaan-kebudayaan
sukubangsa mereka yang saling berbeda. Melalui pemahaman ini maka stereorip
dan prasangka dapat dihilangkan dari perasaan persaudaraan dalam kesederajatan
dapat dibangun dan dikembangkan.

Pada masa sekarang setiap masyarakat lokal tidak lagi homogen sebagai
sebuah masyarakat sukubangsa yang ‘asli’ setempat, tetapi merupakan sebuah
masyarakat yang heterogen secara sukubangsa. Dalam masyarakat heterogen yang
seperti ini terdapat penjenjangan berdasarkan kesukubangsaan, yaitu berdasarkan
patokan sukubangsa yang asli, yang setengah asli, dan yang asing. Penjenjangan ini
berbuntut pada adanya perbedaan posisi sosial dalam struktur kehidupan
masyarakat setempat dan terwujud juga dalam bentuk diskriminasi berkenaan
dengan hak dan kewajiban di dalam kehidupan sehari-hari.

Corak masyarakat lokal yang heterogen ini juga dibarengi oleh adanya
keanekaragaman kebudayaan. Melalui kegiatan-kegiatan antar budaya untuk saling
memahami yang didorong oleh ide multikulturalisme dan yang didukung oleh upaya

244
secara hukum untuk kesamaan derajat, maka kemajemukan kebudayaan
masyarakat lokal akan terwujud sebagai sebuah mozaik budaya. Dalam mozaik
budaya tersebut masing-masing kebudayaan direpresentasikan sebagai puncak-
puncak kebudayaan atau nilai-nilai budaya yang menjadi ciri utama dan ditonjolkan
oleh masing-masing dan semua masyarakat sukubangsa dan sebuah masyarakat
lokal. Kebudayaan bangsa juga akan merupakan sebuah mozaik budaya yang
merupakan puncak-puncak kebudayaan di daerah, sebagaimana yang tertuang dan
dinyatakan dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang merupakan buah pikiran
para pendiri bangsa Indonesia.

Penutup

Pluralisme budaya, multikulturalisme dan mozaik budaya tidak akan terwujud


dan hanya akan menjadi slogan atau buah bibir saja yang hanya menarik untuk
diomongkan bila tidak diupayakan untuk diwujudkan. Hal yang sama juga berlaku
untuk demokrasi dan supremasi keadilan berdasarkan hukum, ataupun dengan
kesejahteraan kehidupan ekonomi yang adil dan merata. Multikulturalisme,
demokrasi, dan kesejahteraan kehidupan ekonomi adalah saling berkaitan satu
dengan lainnya, dan seharusnya perjuangan untuk kesejahteraan hidup dan
kemajuan ekonomi harus dibarengi dengan perjuangan untuk menciptakan hukum
dan perundangan yang betul-betul adil, dan dibarengi juga dengan perjuangan untuk
menciptakan masyarakat Indonesia yang multikultural sebagai landasannya atau
wadahnya.

Kalau pembahasan mengenai multikulturalisme tersebut di atas diperhatikan


dengan sungguh-sungguh, maka landasan dari multikulturalisme adalah kebudayaan
dari masyarakat-masarakat setempat. Dan, kalau konsep kebudayaan diperhatikan
dengan sungguh-sungguh maka kebudayaan adalah kehormatan pemiliknya karena
kebudayaan menjadi acuan bagi jatidiri manusia dari golongan sosial atau
masyarakat manusia. Kebudayaan, terutama nilai-nilai budayanya atau patokan
penilaian berdasarkan kebudayaan yang bersangkutan mengenai yang baik, yang
bertentangan dengan yang jelek, adalah acuan utama yang seharusnya digunakan
dalam membangun kembali kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia, dan hal ini

245
sebaiknya dilakukan dengan upaya merubah masyarakat kita yang majemuk, karena
berbagai dampak yang merugikan bangsa Indonesia, menjadi masyarakat yang
multikultural (Suparlan, 2002).

Selama ini, kita bangsa Indonesia, telah terbelenggu dalam paradigma


budaya yang dibangun dan dimantapkan oleh pemerintahaan Orde Baru di bawah
presiden Suharto. Dalam paradigma budaya tersebut ditonjolkan kekerasan,
kesewenang-wenangan, orientasi kepada atasan tetapi menindas dan memeras
bawahan, pemanipulasian nepotisme dan kesukubangsaan serta keyakinan
keagamaan yang primoldialistik sebagai kekuatan politik, merampok dan mencuri
dan bahkan dalam dunia akademik dan perguruan tinggi pencurian ide orang lain
atau plagiatisme di Indonesia dianggap sebagai hal biasa, kolusi, korupsi, hukum
dan perundangan yang menguntungkan atasan dan berbagai bentuk pelanggaran
HAM.

Selama pemerintahan Orde Baru tidak pernah ada pemikiran mengenai


ataupun upaya untuk pengembangan mutu dan peningkatan produktifitas. Yang ada
adalah meramu atau merambah dan mengeksploitasi hutan dan sumber-sumber
daya alam dan menjualnya keluar negeri dalam keadaan mentah. Padahal
masyarakat dapat hidup dan tetap hidup berkelanjutan dan meningkat
kesejahteraannya karena produktivitasnya. Tanpa produksi yang mencukupi untuk
membiayai kehidupannya maka sebuah masyarakat akan punah. Kegiatan
produktivitas tanpa acuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tanpa patokan etika
tidak mungkin dapat berhasil untuk mensejahterakan kehidupan masyarakatnya.

Pedoman etika inilah yang tidak dipunyai oleh Indonesia. Yaitu sebuah
pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tidakan-tindakan pelaku
dalam sebuah profesi yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral
dan nilai-nilai yang mendukung data menjamin dilakukannya kegiatan profesi si
pelaku sebagaimana seharusnya sesuai dengan hak dan kewajibannya. Sehingga
peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses
masukan menjadi keluaran yang bermutu (lihat Bertens 2001, dan Magnis Suseno
1987).

246
Kalau kita perhatikan kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia,
dan kalau kita perhatikan lebih lanjut bahwa inti dari pedoman bagi kehidupan ini
adalah nilai-nilai budi luhur, adab, dan etika adalah adab atau prinsip-prinsip moral,
maka tanpa adanya pedoman etika dalam kehidupan kita sebagai orang Indonesia
sebenarnya kita tidak mempunyai etika atau tidak beradab terutama dalam kegiatan-
kegiatan kerja dan kehidupan sosial. Multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang
mengagungkan kesederajatan dalam perbedaan adalah sebuah ideologi yang
menekankan perjuangan budaya supaya manusia bisa beradab. Perjuangan ini tidak
akan berhasil bila tidak saling dukung mendukung dengan penjuangan menuju
masyarakat yang demokratis. Dengan hukum yang menekankan keadilan dan
kepentingan orang banyak, dan kehidupan yang menekankan pada kerja dan
produktivitas untuk kesejahteraan orang banyak atau masyarakat.

*****

Kepustakaan

Aragon, V. Lorraine, 2001, “Communal Violence in Poso, Central Sulawesi: Where


People Eat Fish and Fish Eat People”. Indonesia, no. 2: 45 – 80. Cornell
Souitheast Asia Program.
Barth, Fredrik, 1969, “Introduction”. Dalam Fredrik Barth (Editor), Ethnic Groups. and
Boundaries. Boston: Little, Brown, and co. Hal. 9 – 38.
Bruner, Edward M., “The Expression of Ethnicity in Indonesia”. Dalam Abner Cohen
(Editor.), Urban Ethnicity. London: Tavistock. Hal. 251 – 288.
Colombijn, Freek dan J. Thomas Lindbald, 2002, “Introduction”. Dalam Freek
Colombijn dan J. Thomas Linblad (Editors.), Roots of Violence in
Indonesia.. Leiden: KITLV Press. Hal. 1 – 31.
Douglas, Mary, 1966, Purity and Danger: Analysis of cocepts of pollution and .
taboo. London: Routledge and Kegan Paul.
Suparlan, Parsudi, 1972, The Javanese in Bandung:: Ethnicity in a medium sized
Indonesian city. . MA Thesis. University of Illinois.

247
––––––––––, 1979, “Ethnic Groups in Indonesia”. The Indonesian Quarterly, vol. 2,
no. 7, 53 – 75. CSIS
––––––––––, 1986, “Kebudayaan dan Pembangunan”. Media IKA, vol. 14, no. 11,
106 – 135. Jurusan Antropologo, U.I.
––––––––––, 1995, The Javanese in Surinam: Ethnicity in an ethnically plural
society. . Tempe, Arizona: SEA Pr5ogram, Arizona State University.
––––––––––, 1998, “Konflik Antara Orang Dayak dan Orang Madura”. Wacana
Antropologi, vol. 2, no. 2, 7 – 9. Asosiasi Antropologi Indonesia.
––––––––––, 1999a, “Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa”.
Dalam I. Wibowo (ed.), Retropeksi dan Rekontekstualisasi Masalah
Cina. Jakarta: Gramedia. Hal. 149 – 173.
––––––––––, 1999b, Kerusuhan Sambas.. Laporan terbatas disampaikan kepada
Kapolri.
––––––––––, 1999c, “Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan
Kesukubangsaan”. Jurnal Antropologi Indonesia, no. 58, 13 – 20.
––––––––––, 2000a, “Kerusuhan Sambas”. Jurnal Polisi Indonesia, vol 2. 71 – 85.
––––––––––, 2000b, “Masyarakat Majemuk dan Perawatannya”. Jurnal Antropologi
Indonesia, no. 63: 1 – 13.
–––––––––-, 2000c, “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia, no. 66 :
1 – 12.
––––––––––, 2001, “Ethnic and Religious Conflict in Indonesia”. KULTUR, The
Iindonesian Journal for Muslim Culture, no. 2: 41 – 58.
Van den Berghe, Pierre J., 1990, “Introduction”. Dalam Pierre J. van den Berghe
(Editor.), State Violence and Ethnicity. University Press of Colorado.
Hal. 1 – 18.

248
7 Kesukubangsaan
dan Posisi
Orang Cina dalam
Masyarakat Majemuk
Indonesia

Pendahuluan

I
ndonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu
sebuah masyarakat negara yang terdiri dari atas masyarakat-masyarakat
sukubangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari masyarakat
negara tersebut. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, penekanan
keanekaragaman adalah pada sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Dalam
masyarakat Indonesia, setiap masyarakat sukubangsa secara turun temurun
mempunyai dan menempati wilayah tempat hidupnya yang diakui sebagai hak
ulayatnya yang merupakan tempat sumber-sumber daya dimana warga masyarakat
sukubangsa tersebut memanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka.

Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beranekaragam corak


kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsanya secara horizontal, tetapi juga
secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi
sosial-politiknya (Suparlan 1979). Tanpa disadari oleh banyak orang Indonesia,
sebenarnya dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan minoritas,

249
sebagaimana yang terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap
mereka dalam berbagai interaksi baik interaksi secara individual maupun secara
kategorikal baik pada tingkat nasional (seperti posisi orang Cina yang minoritas
dibandingkan dengan pribumi) maupun pada tingkat masyarakat lokal (seperti posisi
orang Sakai yang minoritas dibandingkan dengan posisi orang Melayu yang dominan
di Riau) (Suparlan 1995).

Penekanan dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, yaitu pada


keanekaragaman sukubangsa telah menghasilkan adanya potensi konflik
antarsukubangsa dan antara pemerintah dengan sesuatu masyarakat sukubangsa.
Potensi-potensi konflik tersebut memang sebuah permasalahan yang ada
bersamaan dengan keberadaan coraknya yang secara sukubangsa majemuk.
Sumber dari permasalahan ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling
berhak atas sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah-wilayah kedaulatan dan
kekuasaan sistem nasional atau pemerintah pusat.

Pertanyaan mengenai siapa yang paling berhak atas sumber-sumber daya


tersebut adalah karena sumber-sumber daya tersebut ada di dalam wilayah-wilayah
hak ulayat masing-masing masyarakat sukubangsa, dan bahwa Indonesia sebagai
sebuah masyarakat dan bangsa secara de jure dan de facto baru ada setelah
proklamasi 17 Agustus 1945 atau lebih muda dibandingkan dengan keberadaan
masyarakat-masyarakat sukubangsa dan wilayah-wilayah hak ulayat mereka.
Sehingga pemerintah nasional berada dalam posisi yang dipertanyakan mengenai
keabsahannya dalam turut meng-haki, atau bahkan mengambil alih dan memonopoli,
sumber-sumber daya yang ada dalam hak ulayat masyarakat-masyarakat
sukubangsa. Karena itu hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat-
masyarakat sukubangsa menjadi permasalahan yang kritikal dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dan dalam kehidupan
bermasyarakat pada tingkat nasional dan lokal berkenaan dengan konflik
kepentingan antara pemerintah nasional dan masyarakat-masyarakat sukubangsa
atas sumber-sumber daya tersebut.

Dampaknya adalah bahwa kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa sebagai


sebuah kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar, yang muncul dalam interaksi sosial,

250
menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas
diantara sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan perebutan sumber-
sumber daya yang secara adat menjadi hak mereka. Dampak lebih lanjut dari
pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa
setempat berkenaan dengan hak tersebut, yaitu siapa yang tergolong asli pribumi
setempat, siapa yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang, dan
siapa yang asing. Penggolongan kesukubangsaan ini mempunyai buntut perlakuan
sosial, politik, dan ekonomi oleh masyarakat sukubangsa setempat terhadap
berbagai golongan tersebut di atas berupa tindakan-tindakan diskriminasi dari yang
paling ringan (digolongkan sebagai pribumi tetapi tidak asli setempat dan karena itu
mempunyai posisi minoritas) sampai dengan yang terberat (orang Cina, yang
digolongkan sebagai asing).

Dampak lainnya dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan untuk


perebutan sumber-sumber daya adalah bahwa ideologi kesukubangsaan ini, secara
sadar atau tidak sadar, juga melandasi corak kegiatan dari sistem nasional. Ide
bahwa orang Cina itu secara kesukubangsaan adalah asing lebih dominan
dibandingkan dengan ide dan kenyataan bahwa orang Cina itu sudah menjadi
warganegara Indonesia tetapi tetap juga didiskriminasi secara hukum dan secara
nasional.

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa diskriminasi secara legal atau hukum
dan sosial terhadap orang Cina di Indonesia adalah produk dari interaksi antara
dominannya ideologi kesukubangsaan orang Indonesia pribumi pada tingkat nasional
dengan kesukubangsaan Cina sebagai asing, dalam konteks-konteks persaingan
dan perebutan sumberdaya. Uraian dalam tulisan ini akan mencakup pembahasan
mengenai hakekat masyarakat majemuk dan dominasinya ideologi kesukubangsaan,
kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial yang muncul dan digunakan dalam
interaksi, masalah pribumi asli sebagai lawan dari tidak asli dan asing dan berbagai
dampak diskriminatifnya.

Kesukubangsaan Dalam Masyarakat Majemuk

251
Gejala sosial yang tidak terlihat secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari
tetapi yang mendasar dan mendalam di dalam kehidupan anggota sukubangsa-
sukubangsa di Indonesia adalah jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan. Dapat
dikatakan bahwa dalam kehidupan orang Indonesia sukubangsa adalah sebuah ide
dan sebuah kenyataan, dan kesukubangsaan adalah sebuah ideologi yang
mempunyai kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar ataupun dibendung.

Kalau kita mendefinisikan sukubangsa sebagai sebuah kategori atau


golongan sosial askriptif, maka sukubangsa adalah sebuah pengorganisasian sosial
mengenai jatidiri yang askriptif dimana anggota sukubangsa mengaku sebagai
anggota sesuatu sukubangsa karena dilahirkan oleh orang tua dari sukubangsa
tertentu atau dilahirkan di dan berasal dari sesuatu daerah tertentu (Barth 1969).
Bherbeda dari berbagai jatidiri lainnya yang diperoleh seseorang sebagai status-
status yang diperoleh dalam berbagai struktur sosial yang sewaktu-waktu dapat
dibuang atau diganti, maka jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan tidak dapat
dibuang atau diganti. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan ini tetap melekat
dalam diri seseorang sejak kelahirannya, jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan
dapat disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi, tetapi tidak dapat dibuang atau
dihilangkan.

Dalam setiap interaksi, jatidiri akan nampak karena adanya atribut-atribut yang
digunakan oleh pelaku dalam mengekspresikan jatidirinya sesuai dengan hubungan
status atau posisi masing-masing (Suparlan 1999a). Dalam hubungan antar-
sukubangsa atribut dari jatidiri sukubangsa adalah ciri-ciri fisik atau rasial, gerakan-
gerakan tubuh atau muka, dan ungkapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai budaya
serta keyakinan keagamaan. Seseorang yang dilahirkan dalam keluarga sesuatu
sukubangsa maka sejak dilahirkannya mau tidak mau akan terpaksa harus hidup
dengan berpedoman pada kebudayaan sukubangsanya sebagaimana yang
digunakan oleh orangtuanya dan keluarganya dalam merawat dan mendidiknya
sehingga menjadi manusia sesuai dengan konsepsi kebudayaannya tersebut.

Sadar atau tidak sadar seseorang tersebut hidup berpedomankan pada


kebudayaan sukubangsanya, yang dalam proses-proses pembelajarannya dari masa
anak-anak sehingga dewasa dia tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus hidup

252
menurut kebudayaan sukubangsanya yang dipunyai oleh orangtuanya tersebut. Dia
harus tahu, memahami, dan meyakini, serta menggunakan kebudayaannya tersebut
sebagai pedoman bagi kehidupannya dalam menghadapi dan menginterpretasi
lingkungannya, dan untuk dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di
dalamnya bagi kelangsungan hidupnya. Dalam perspektif ini, dimana seseorang itu
mempunyai kebudayaan sukubangsanya seperti ‘’dipaksa’ mulai sejak kelahirannya,
maka kebudayaan sukubangsa juga bercorak askriptif seperti kesukubangsaannya.
Karena itu kebudayaan sukubangsa, bagi anggota-anggota sukubangsa yang
bersangkutan, adalah sebuah pedoman bagi kehidupan yang primordial atau yang
pertama dipelajari dan diyakini kebenarannya serta yang utama di dalam kehidupan
mereka, atau sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka.

Termasuk dalam kategori pembelajaran kebudayaan sukubangsa yang


diberikan oleh orangtua, keluarga, dan komuniti sukubangsanya yang juga bercorak
‘dipaksakan’ adalah pelajaran agama dari orangtua, keluarga, dan komuniti
sukubangsa tersebut. Agama sebagai teks suci yang berisikan petunjuk-petunjuk
Tuhan yang wajib diikuti, yang sebaiknya dihindari, dan yang wajib dihindari atau
dilarang untuk dilakukan menjadi operasional dalam kehidupan manusia melalui dan
ada dalam kebudayaan manusia dan pranata-pranata sosial masyarakatnya. Dengan
kata lain, petunjuk-petunjuk Tuhan tersebut diinterpretasikan dan dipahami dengan
menggunakan acuan kebudayaannya, untuk dijadikan sebagai pedoman bagi
kehidupan yang tidak bertentangan dengan kebudayaan yang sudah ada, atau
sebaliknya yaitu sebagian atau sebagian besar nilai-nilai budaya yang sudah ada itu
disesuaikan dengan nilai-nilai keagamaan yang diyakini kebenarannya. Agama
sebagai teks suci yang berisikan nilai-nilai sakral biasanya menggantikan sebagian
atau seluruh nilai-nilai budaya yang menjadi inti dan yang mengintegrasikan
keutuhan dari sesuatu kebudayaan sukubangsa. Dalam keadaan demikian nilai-nilai
budaya yang ada dalam sesuatu masyarakat sukubangsa menjadi diperkuat posisi
dan daya paksanya untuk terwujudnya keteraturan kehidupan yang adil dan beradab
di dalam kegiatan sehari-hari karena dimuati oleh berbagai sanksi sakral yang ada
dalam agama yang diyakini. Bagi setiap anggota sukubangsa, nilai-nilai budaya yang
sakral atau nilai-nilai keagamaan yang ada dalam keyakinan keagamaan mereka
adalah sesuatu yang primordial. Coraknya sama dengan corak primordial dari
kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsa.

253
Dalam masyarakat Indonesia sukubangsa dan kesukubangsaan adalah
sebuah ide dan sebuah kenyataan yang ada dalam kehidupan sehari-hari, dimana
anggota-anggota masyarakatnya dilahirkan, dididik dan dibesarkan dalam suasana
askriptif primordial kesukubangsaannya. Dalam suasana askriptif kesukubangsaan
tersebut pembedaan antara siapa ‘saya’ dan siapa ‘dia/kamu’ dan antara siapa ‘kami’
dan siapa ‘mereka’ jelas batas-batasnya, dan selalu diulang dan dipertegas, yaitu
batas-batas kesukubangsaan. Dalam ruang lingkup batas-batas kesukubangsaan ini
stereotip dan prasangka berkembang dan menjadi mantap dalam suatu kurun waktu
hubungan antar-sukubangsa yang tidak terbatas. Akibatnya banyak saling salah
pengertian di dalam komunikasi antar-sukubangsa, yang menyebabkan semakin
lebarnya jarak dan mantapnya batas-batas atau pagar-pagar yang membatasi
hubungan antara dua sukubangsa atau lebih. Akibat lebih lanjut dari stereotip dan
prasangka ini adalah terwujudnya tindakan-tindakan diskriminatif dalam hak dan
kewajiban oleh sukubangsa yang dominan terhadap mereka yang tergolong lemah
dan non-pribumi atau minoritas di dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Apa
yang dikemukakan oleh Thung Yu Lan (1999b) mungkin dapat dilihat sebagai
sebuah contoh tentang konflik antara pribumi setempat dengan orang Cina yang
tidak pernah dapat dituntaskan.

Corak yang penuh dengan stereotip dan prasangka terhadap yang minoritas
dan non-pribumi juga nampak dalam berbagai kebijaksanaan pemerintahan nasional.
Gejala ini dapat dipahami dengan memperhatikan bahwa para pejabat atau
penguasa dalam sistem nasional berasal dari berbagai sukubangsa yang dominan di
Indonesia yang telah secara sadar atau tidak sadar mengaktifkan kesukubangsaan
mereka masing-masing dalam berbagai kebijaksanaan dan keputusan-keputusan
sosial, ekonomi, dan politik untuk kepentingan-kepentingan mereka pada tingkat
nasional maupun lokal. Sehingga seringkali ideologi sukubangsa dari si pejabat atau
penguasa tersebut terwujud dalam berbagai kebijaksanaan sosial, ekonomi, dan
politik yang dibuatnya, baik secara sadar maupun secara intuitif yang primordial
untuk memperoleh dukungan sosial, ekonomi, dan politik dari masyarakat
sukubangsanya atau kelompok agamanya.

254
Dengan kata lain, sesungguhnya masyarakat Indonesia yang berdasarkan
atas kebangsaan tetapi yang majemuk mempunyai sistem nasional yang askriptif
dan primordial secara kesukubangsaan. Dalam perspektif ini tidak ada seorangpun
yang dapat menjadi orang Indonesia tanpa harus menjadi anggota dari salah satu
sukubangsa yang ada di Indonesia dan yang digolongkan sebagai pribumi. Karena
itu tidaklah mengherankan bahwa program asimilasi atau pembauran yang dilakukan
oleh pemerintahan Orde Baru menjadi gagal berantakan (Thung Yu Lan 1999a).
Karena walaupun orang Cina telah berganti nama menjadi nama Jawa, Sunda, atau
Batak, dsbnya, tetapi tetap saja orang-orang Cina ini digolongkan sebagai orang
Cina dan bukan sebagai orang Indonesia yang pribumi. Begitu juga dalam kasus
orang Cina yang telah berganti agama menjadi Islam, tetap saja digolongkan
sebagai orang Cina, dan bahkan ke-Islamannya dicurigai oleh sebagian orang
sebagai hanya sebuah strategi untuk dapat berbisnis secara lebih leluasa dan
menguntungkan di bawah label orang Islam. Disamping kenyataan seperti tersebut di
atas berkenaan dengan kegagalan program pembauran, konsep pembauran itu
sendiri juga tidak jelas. Orang Cina mau dibaurkan atau diasimilisasikan ke dalam
masyarakat Indonesia atau masyarakat sukubangsa? Apakah yang namanya
pembauran itu asal ganti nama atau ganti agama? Dalam kenyataannya, yang
kontradiktif dengan program asimilasi atau pembauran yang disponsori oleh
pemerintah Indonesia, pemerintah Indonesia sendiri sampai dengan beberapa waktu
yang lalu masih mendiskriminasi secara hukum orang-orang Cina yang warganegara
Indonesia atau WNI, yaitu dengan cara diberi kode khusus di KTP berdasarkan
identifikasi ke Cinaan tersebut. Ada dugaan bahwa berdasarkan kode tersebut
pejabat pemerintah setempat dapat melakukan berbagai tindakan diskriminatif dan
pemerasan. Begitu juga sampai dengan sekarang masih terdapat ketentuan hukum
yang mewajibkan seorang anak Cina, yang orangtuanya adalah warga negara
Indonesia, harus secara aktif memohon kewarganegaraan Indonesia kepada
pemerintah. Atau kalau hal itu tidak dilakukannya maka si anak Cina tersebut
digolongkan sebagai warga negara asing atau tidak berkewarganegaraan.

Kesukubangsaan Sebagai Kekuatan Sosial

255
Tidak dapat disangkal bahwa kesukubangsaan dapat dilihat sebagai kekuatan
sosial untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial diantara sesama anggota
sukubangsa, dan kohesi sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan sebagai solidaritas
sosial yang mempunyai kekuatan sosial yang memaksakan diberlakukannya sesuatu
kebijaksanaan politik atau ekonomi, memenangkan sesuatu persaingan untuk
memperebutkan sumber daya, atau untuk menghancurkan sesuatu kelompok
sukubangsa lain yang menjadi lawan. Kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial
tidak dapat ditawar atau diremehkan (non negotiable) pada saat kesukubangsaan
tersebut terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial.

Dari satu segi, kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial mirip dengan


keyakinan keagamaan. Karena keyakinan keagamaan pada waktu terwujud sebagai
sebuah solidaritas sosial juga tidak dapat ditawar atau diremehkan. Kedua-duanya
mempunyai potensi merusak yang sama besarnya di dalam konflik antar-sukubangsa
atau antar keyakinan keagamaan. Tetapi dari segi lain, kesukubangsaan dan
keyakinan keagamaan tidaklah sama. Karena kesukubangsaan mempunyai
efektifitas kekuatan sosial dalam batas-batas sesama anggota sukubangsa,
sedangkan keyakinan keagamaan mempunyai jangkauan solidaritas sosial hanya
dalam salah satu segmen masyarakat sukubangsa, dalam sesuatu masyarakat
sukubangsa, atau di luar batas-batas sesuatu masyarakat sukubangsa. Karena itu, di
satu sisi, keyakinan keagamaan dapat memperkuat atau memperlemah kekuatan
sosial dari kesukubangsaan, sedangkan di sisi lain kesukubangsaan dapat tunduk
dan berada di bawah bayang-bayang kekuatan keyakinan keagamaan.

Sebagai kekuatan sosial, kesukubangsaan beroperasi dalam batas-batas


wilayah sukubangsa tempat anggota-anggota sukubangsa itu hidup. Sedangkan
keyakinan keagamaan sebagai kekuatan sosial beroperasi dalam batas-batas
wilayah para penganut agama yang bersangkutan, yaitu dalam sebagian dari wilayah
kehidupan sukubangsa, atau keseluruhan wilayah kehidupan sukubangsa, atau
dalam sebuah wilayah yang mencakup dua atau lebih wilayah kehidupan
sukubangsa yang berbeda. Karena itu kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan
dapat saling memperkuat atau memperlemah jatidiri dan potensi kekuatan masing-
masing, dalam hubungan antar-sukubangsa ataupun dalam hubungan antar-
keyakinan keagamaan.

256
Bruner (1974) pada waktu membahas teorinya mengenai ‘hipotesa
kebudayaan dominan’ sebenarnya berbicara mengenai kesukubangsaan sebagai
sebuah kekuatan sosial politik (lihat Suparlan 1999). Salah satu kekuatan
kesukubangsaan yang dapat dilihat dan diamati sebagai bagian dari kehidupan
sehari-hari dari sebuah masyarakat sukubangsa adalah kemampuannya untuk
menentukan macam mata pencaharian yang dapat dikerjakan oleh pendatang dari
sukubangsa lain. Bila pelanggaran dilakukan maka konflik antar-sukubangsa dapat
terwujud, seperti dalam kasus Kalimantan Barat dan Ambon (Suparlan 2000a,
2000b, 2001).

Di masa lampau hanya di kota-kota besar terdapat kehidupan masyarakat


yang kesukubangsaannya beranekaragam. Tetapi pada masa sekarang hampir
seluruh wilayah Indonesia secara sukubangsa adalah heterogen, dimana anggota-
anggota sukubangsa dari berbagai sukubangsa dan daerah yang berbeda-beda
telah secara berdampingan hidup dalam komuniti-komuniti dari kelompok-kelompok
sukubangsa setempat. Sehingga hubungan antar-sukubangsa menjadi lebih intensif
daripada di masa lampau, dan hal ini dapat menyebabkan berbagai permasalahan
berkenaan dengan pengakomodasian perbedaan-perbedaan budaya antara
pendatang dengan penduduk setempat karena hampir semua pendatang yang hidup
di komuniti-komuniti setempat mempunyai kebudayaan ekonomi yang lebih maju dan
lebih agresif. Permasalahan hubungan antara pendatang dengan masyarakat
setempat terpusat pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber
daya. Tingkat agresifitas secara ekonomi dari para pendatang adalah masalah yang
paling kritikal dalam persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang
ada setempat. Karena, masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah
serta pemilik atas sumber-sumber daya alam yang ada di dalam wilayah hak ulayat
mereka sedangkan para pendatang dilihat sebagai tamu mereka.

Komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat yang mayoritas dan dominan


menekankan penggunaan prinsip “dimana bumi dipijak langit dijunjung” sebagai
acuan yang harus dijadikan pedoman oleh para pendatang. Secara langsung atau
tidak langsung komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat mendiskriminasi para
pendatang dalam hak dan kewajiban berkenaan dengan upaya eksploitasi dan

257
penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada setempat serta pendistribusiannya.
Dalam keadaan dimana prinsip tersebut tidak lagi ditaati oleh para pendatang
anggota masyarakat setempat dapat memberi peringatan atau melaporkannya
kepada polisi setempat. Tetapi dalam keadaan dimana pelanggaran yang dilakukan
oleh pendatang telah melampaui kelaziman hubungan ‘tamu’ dengan ‘tuan
rumah’nya, anggota-anggota komuniti dan masyarakat setempat mengaktifkan dan
menggunakan kesukubangsaan untuk mengorganisasi diri mereka sebagai satuan-
satuan perang, seperti yang telah terjadi di Kalimantan Barat, Ambon, dan
kalimantan Tengah.

Orang Cina yang telah datang ke Indonesia selama berabad-abad dan terus
berdatangan hingga sekarang ke berbagai tempat di Indonesia menempati posisi
sebagai tamu dalam prinsip “dimana bumi dipijak langit dijunjung” yang diberikan
oleh komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat. Karena itu di masa lampau
hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat sukubangsa setempat
dengan orang Cina. Hubungan kawin-kawin antara orang-orang Cina dengan
perempuan pribumi setempat telah memungkinkan berubahnya status ‘tamu’ menjadi
kerabat dari anggota-anggota masyarakat sukubangsa setempat. Perubahan status
ini telah memungkinkan berubahnya status ‘tamu’ menjadi orang sendiri yang dalam
batas-batas tertentu telah memungkinkan keturunan mereka itu juga mempunyai
hak-hak atas tanah dari kelompok kerabat setempat.

Diantara orang-orang Cina yang hidup di Indonesia yang secara relatif


terbebas dari posisinya sebagai tamu adalah komuniti orang Cina di Singkawang.
Orang Cina yang sekarang hidup di Singkawang adalah keturunan dari nenek
moyangnya yang telah datang ke tempat ini dan sekitarnya karena tertarik pada
adanya emas di Moterado dan Mandor. Mereka telah datang dan menetap di
Singkawang sebelum adanya orang Melayu atau Dayak yang menetap di daerah
tersebut. Di masa lampau mereka ini merupakan komuniti-komuniti yang masing-
masing berdiri sendiri berdasarkan atas kesukubangsaan dan asal daerah di Cina,
yang menjalin hubungan diantara sesama komuniti tersebut, disamping menjalin
hubungan baik dengan kesultanan Sambas dan dengan masyarakat Dayak yang ada
di sekeliling Singkawang. Pada masa sekarang, mereka ini diperlakukan oleh
pemerintah indonesia sebagai warga negara Indonesia keturunan asing, dan

258
bersamaan dengan itu berbagai peraturan mengenai kewarganegaraan tersebut
diberlakukan terhadap mereka, sama dengan yang diberlakukan terhadap orang-
orang Cina di Indonesia. Kalau di masa lampau posisi mereka di Singkawang seperti
pribumi, maka posisi mereka sekarang ini adalah seperti orang asing yang menjadi
tamu di wilayah orang Melayu dan Dayak.

Pribumi dan Non-Pribumi : Posisi Orang Cina

Konsep asli yang dibedakan dari non-asli, dan pribumi lawan dari nonpribumi
merupakan konsep-konsep penting dari kesukubangsaan yang ada dalam kehidupan
masyarakat-masyarakat sukubangsa di Indonesia. Dengan mengacu pada konsep-
konsep ini, berbagai bentuk keteraturan sosial diciptakan dan dimantapkan, dan di
dalam keteraturan sosial tersebut tercakup hubungan antara mereka yang dominan
dan yang minoritas. Dalam hubungan dominan-minoritas tersebut terdapat berbagai
bentuk diskriminasi oleh yang dominan terhadap yang minoritas.

Di masa lampau, para pendatang di sebuah masyarakat sukubangsa pada


umumnya cenderung hidup dan menetap di daerah perkotaan. Karena di daerah
perkotaan itulah mereka dapat menyesuaikan kehidupan mereka secara lebih baik
dengan cara hidup sebagai tenaga buruh atau pedagang, seperti yang dilakukan
oleh orang Cina dan Arab dalam sejarah migrasi mereka di kepulauan Nusantara,
yang tidak perlu harus berurusan dengan hak-hak ulayat atau adat berkenaan
dengan pengolahan dan pemilikan atas tanah dan hutan yang menjadi hak
prerogratif dari masyarakat sukubangsa setempat. Diantara orang Cina di Indonesia
ada yang datang dan menetap di daerah pedesaan atau perkebunan milik orang-
orang Belanda di jaman penjajahan Belanda, seperti yang terjadi di Depok,
Tangerang, atau daerah lainnya. Sebagian besar dari mereka ini telah melebur atau
terasimilasi menjadi orang setempat, karena meninggalkan ciri-ciri kesukubangsaan
Cinanya (berganti menjadi beragama Islam, saling kawin dan beranak pinak dengan
anggota masyarakat setempat, dan mengadopsi jatidiri sukubangsa setempat dan
kebudayaannya). Sebagian lainnya masih tetap mempertahankan kesukubangsaan
Cinanya, karena tetap mempertahankan keyakinan keagamaan Konghucu yang
menekankan pentingnya hubungan ritual dengan leluhur, penggunaan kebudayaan

259
dan terutama bahasa asalnya di Cina di dalam keluarga dan di dalam kehidupan
sehari-hari, dan hidup dalam lingkungan komuniti mereka sendiri yang menjadi
pendorong dan pen-stimuli dipertahankan dan dikembangkannya kebudayaan asal
Cina mereka yang askriptif dan primordial. Mereka ini di Jakarta dikenal dengan
nama Cina Benteng. Di daerah perkotaan di pulau Jawa mereka cenderung
mengelompok dalam komuniti mereka sendiri. Wilayah komuniti ini dikenal dengan
nama Pecinan, yang biasanya bukan hanya menjadi tempat tinggal tetapi juga
menjadi tempat bisnis grosir dan berbagai kegiatan perdagangan eceran serta
pelayanan jasa-jasa lainnya yang menjadi mata pencaharian spesialisasi mereka.

Di zaman pemerintahan Hindia Belanda orang Cina, bersama dengan orang


Arab, secara hukum digolongkan sebagai Orang Timur Asing dengan implikasi
bahwa hukum yang diberlakukan pada mereka bukan hukum Belanda atau hukum
adat dari pribumi. Dampaknya adalah bahwa mereka itu tidak tergolong sebagai
Belanda dan tidak tergolong pula sebagai pribumi. Mereka adalah Orang Asing dari
Timur. Mereka mempunyai hak untuk mengajukan diri menjadi warganegara
Belanda, sehingga hukum yang diberlakukan kepada mereka adalah sama dengan
yang diberlakukan terhadap orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Sebagian
dari mereka yang berhasil dalam bisnis, yang dapat membiayai sekolah anak-anak
mereka di sekolah Belanda, menghasilkan generasi orang Cina yang berpendidikan
Barat dan yang cenderung menjadi Kristen. Sebagian dari mereka inilah yang
kemudian memanfaatkan kesempatan untuk menjadi warga negara Belanda.

Di Kalimantan Barat, terutama di kota Pontianak dan Singkawang serta di


daerah-daerah sekitarnya terdapat komuniti-komuniti orang Cina. Mereka yang di
daerah perkotaan terutama hidup dari berdagang dan berbagai kegiatan jasa dan
buruh, sedangkan yang hidup di daerah pedesaan dari bertani, menangkap ikan,
disamping menjadi pedagang dan buruh. Mereka yang mengelompok dalam
komuniti-komuniti asal daerah mereka di Cina, mempertahankan kebudayaan dan
bahasa asal mereka, disamping mengadaptasi diri dengan kebudayaan Melayu
setempat. Mereka juga mempertahankan keyakinan keagamaan Konghucu dan
pemujaan ritual kepada nenek moyang, walaupun di masa Orde baru mereka itu
menyembunyikan keyakinan keagamaan ini dibawah label agama Budha.

260
Orang-orang Cina di Indonesia menikmati masa-masa yang relatif tenang
sampai dengan tahun 1960, yaitu sampai dengan ketika pemerintah Indonesia
memutuskan untuk membedakan antara yang warga negara Indonesia dan
warganegara asing, dan antara yang ingin tetap tinggal di Indonesia dan yang ingin
kembali ke negeri leluhurnya RRC. Secara sosial tidak jelas adanya diskriminasi
terhadap Cina sebagai golongan, walaupun secara individual hal itu bisa terjadi.
Pada waktu terjadinya peristiwa G 30S/PKI dimana orang-orang Cina dituduh
terlibat di dalam kup tersebut, karena keterlibatan organisasi Baperki dengan PKI,
maka banyak orang Cina yang ditangkap oleh militer, sebagian lainnya dibunuh oleh
massa, dan sebagian lainnya hilang atau melarikan diri ke luar Indonesia. Sebagian
dari orang-orang Cina di Kalimantan Barat adalah pendukung presiden Sukarno,
yang dituduh sebagai G 30S/PKI. Mereka melakukan perlawanan terhadap upaya
penangkapan atas diri mereka oleh militer, dan membentuk pasukan-pasukan
perlawanan di daerah perbatasan Kalimantan Barat. Pada tahun 1968 perlawanan
mereka dapat ditumpas oleh militer dengan menggunakan pasukan Dayak yang
mengaktifkan tradisi ‘mangkok merah’ yang telah dilarang di zaman penjajahan
Belanda. Saya mencatat dari seorang informan orang Dayak mengenai
digunakannya kembali kekuatan kamang tariu yang menggunakan mangkok merah
untuk solidaritas sosial diantara orang Dayak untuk menghancurkan dan
mengalahkan musuh (Suparlan 2000a).

Dalam zaman Orde Baru ini pemerintah memberlakukan berbagai peraturan


sebagai cara untuk mengontrol orang-orang Cina di Indonesia. Peraturan-peraturan
tersebut dapat dilihat sebagai sebuah diskriminasi secara hukum terhadap orang
Cina karena mereka itu dianggap asing dan kesetiaan mereka terhadap negara dan
bangsa Indonesia diragukan oleh pemerintah. Secara sosial, tindakan-tindakan yang
diskriminatif secara hukum itu diikuti oleh anggota-anggota masyarakat yang pribumi
yang berkepentingan untuk menguasai atau mengambil alih kekuasaan orang-orang
Cina dalam bidang bisnis dan perdagangan. Dampak dari tindakan-tindakan
diskriminatif tersebut adalah pemalakan, pemerasan, dan bahkan pembakaran dan
penghancuran rumah dan pertokoan mereka, tanpa orang-orang Cina ini dapat
memperoleh perlindungan sewajarnya secara hukum dan keamanan. Sebagai
golongan minoritas mereka ini menjadi kambing hitam atas berbagai kekacauan
ekonomi nasional Indonesia, dan dalam kehidupan masyarakat-masyarakat pada

261
tingkat lokal. Puncak dari kemarahan masyarakat Jakarta atas kebobrokan ekonomi
Indonesia terhadap orang Cina, si kambing hitam, adalah pada tanggal 13 - 14 Mei
1998 (lihat Suparlan 2000b).Tidak dapat disangkal bahwa dalam peristiwa ini terlibat
berbagai pihak sebagai provokator, tetapi bukti-bukti untuk itu tidak cukup untuk
mengungkapkannya.

Kalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, sebetulnya terdapat


kontradiksi antara kebijaksanaan diskriminasi dan kebijaksanaan asimilasi yang
dilakukan oleh presiden Suharto dan pejabat-pejabat sipil ABRI terhadap orang Cina
(lihat: Nuranto 1999, Wibowo 1999). Karena presiden Suharto dan penguasa Orde
baru telah menggunakan orang-orang Cina sebagai bankir dan pelaksana
perusahaan-perusahaan mereka. Dalam posisi tersebut orang-orang Cina telah
memperoleh berbagai keistimewaan dan fasilitas yang telah menyebabkan mereka
ini secara mencolok menjadi konglomerat bersamaan dengan posisi informal yang
mereka punyai dalam pemerintahan Orde baru. Mereka itu adalah individu-individu
dan bukannya kategori atau golongan. Tetapi bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya, yang mereka lihat bukanlah kemunculan individu-individu konglomerat
Cina pada tingkat pusat atau nasional dan pada tingkat lokal atau pemerintahan di
daerah-daerah dalam struktur Orde baru, tetapi kemunculan orang Cina sebagai
sebuah golongan askriptif menjadi konglomerat sebagai hasil kongkalikong dengan
para pejabat Orde baru. Sehingga yang disimpulkan oleh masyarakat Indonesia
pada umumnya adalah bahwa orang-orang Cina sebagai kategori adalah
konglomerat, dan bahwa kekayaan mereka yang berlimpah tersebut adalah hasil dari
korupsi dan pemanipulasian kekuasaan para pejabat yang mereka dorong untuk
dilakukan dan mereka nikmati, dan dengan cara memonopoli pengeksploitasian
sumber-sumber daya alam dan ekonomi yang ada di wilayah Indonesia.

Kambing hitam memang ciri-ciri kategorial, bukan ciri-ciri individual atau


perorangan. Sehingga semua orang yang bercirikan Cina, dengan segala atribut ke-
Cinaannya digolongkan sebagai kambing hitam yang konglomerat dan jahat. Karena
itu mereka ini harus dihancurkan supaya kehidupan ekonomi Indonesia menjadi lebih
baik. Secara sadar atau tidak sadar orang-orang Indonesia telah menggolongkan
orang-orang Cina di Indonesia sebagai sebuah sukubangsa, yaitu sebuah golongan
sosial yang askriptif berdasarkan prinsip pengakuan dan diakui secara sosial,

262
berdasarkan atas sejumlah atribut yang menjadi ciri-cirinya, dalam kasus
pengkambing hitaman terhadap mereka seperti tersebut di atas.

Sebagai sebuah sukubangsa, orang Cina dilihat sebagai mempunyai ciri-ciri


fisik tubuh yang berbeda dari sukubangsa-sukubangsa pribumi, terkecuali di
Minahasa atau di beberapa tempat di Kalimantan, dan Sulawesi Tengah. Secara
kebudayaan dan bahasa lisan dan tulisan, kebudayaan dan ungkapan-ungkapannya,
nilai-nilai budaya, dan keyakinan keagamaan yang menjadi atribut bagi ciri-ciri ke-
Cinaan mereka juga berbeda dari sukubangsa-sukubangsa pribumi. Dengan mudah
mereka dilihat sebagai orang ‘asing’ dan diperlakukan sebagai ‘asing’ dalam
kehidupan masyarakat sukubangsa setempat dengan mengacu pada diskriminasi
secara hukum yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Kegiatan kehidupan mereka
yang terpusat pada perdagangan, industri, dan berbagai pelayanan jasa yang
anggota-anggota masyarakat sukubangsa setempat kurang atau tidak
menggelutinya, telah membuat mereka itu menjadi sebuah sukubangsa nampak
berbeda dan dengan mudah diidentifikasi sebagai golongan sukubangsa yang
berbeda.

Sebaliknya, orang Cina juga menciptakan batas-batas sukubangsa yang


dilakukannya diantara mereka yang berasal dari golongan sukubangsa atau asal
daerah yang berbeda di Cina, dan yang berbeda secara strata sosial karena
perbedaan kemampuan ekonomi. Dan, menciptakan serta memantapkan batas-
batas sukubangsa dengan masyarakat sukubangsa setempat dimana mereka itu
hidup. Jarak sosial dan budaya dengan masyarakat sukubangsa setempat ini lebih
dipertegas pada waktu keyakinan keagamaan mereka mamperbolehkan memakan
daging babi dipertentangkan dengan keyakinan Islam dari masyarakat sukubangsa
setempat. Walaupun terjadi batas-batas sukubangsa antara orang Cina dengan
orang dari sukubangsa setempat, terkecuali yang mempunyai keyakinan keagamaan
yang sama, tetapi hubungan simbiotik secara individual dan kelompok antara orang
Cina dengan anggota-anggota masyarakat setempat telah terjadi selama adanya
orang Cina di masyarakat setempat. Yaitu hubungan simbiotik dalam kehidupan
ekonomi atau pasar, sesuai dengan tesis Furnivall (1948). Hubungan simbiotik
seperti ini sebenarnya rapuh karena tidak didukung oleh adanya hubungan-

263
hubungan sosial dan budaya yang dimantapkan melalui pranata-pranata sosial yang
ada dalam masyarakat setempat.

Kerapuhan ini, diperkuat oleh pemandangan kesukubangsaan dari pemerintah


yang melihat orang Cina sebagai satuan sukubangsa pendatang atau orang asing
walaupun mereka itu telah menjadi warganegara Indonesia. Pandangan
kesukubangsaan ini diwujudkan dalam bentuk perundangan yang diskriminatif
berkenaan dengan status mereka yang warganegara, yaitu seorang anak Cina dari
orangtua yang warganegara Indonesia masih harus secara aktif memohon
pemberian kewarganegaraan Indonesia kepada pemerintah. Sedangkan anak dari
orang Arab atau sukubangsa lainnya tidak diharuskan melakukan hal itu.

Posisi orang Cina yang digolongkan sebagai asing dan didiskriminasi seperti
tersebut di atas, pada masyarakat-masyarakat lokal sebenarnya tidak separah
diskriminasi yang dilakukan secara hukum oleh pemerintah. Karena, melalui
hubungan simbiotik seperti tersebut di atas, kategori Cina dikenal dan disyahkan
keberadaannya di dalam dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal yang
bersangkutan. Selama bergenerasi dikenal nama orang Cina atau Cine dalam
kehidupan orang Jakarta, orang Cino dalam kehidupan orang Melayu Riau, orang
Cine menurut orang Melayu Kalimantan Barat, wong Cino menurut kata orang Jawa.
Bahkan pada orang Jawa sebutan piyantun Cinten (priyayi Cina), dalam bahasa jawa
halus atau bahasa penghormatan, juga diberlakukan bagi orang Cina yang
berpenampilan sebagai terpelajar atau priyayi, seperti dokter dsb.

Apa yang menarik untuk diperhatikan adalah gejala kemunculan konsep


Tionghoa yang sekarang diaktifkan untuk digunakan oleh orang-orang yang
merupakan tokoh-tokoh Cina, terutama di Jakarta. Mereka dengan tegas menolak
disebut orang Cina, dan bersamaan dengan itu menuntut untuk dipanggil dengan
sebutan orang Tionghoa atau Chinese (dari bahasa asing yang artinya juga orang
Cina). Saya tanyakan mengapa mereka tidak mau disebut orang Cina, padahal dari
dulunya mereka itu juga disebut orang Cina. Jawabannya adalah kata Cina adalah
kata penghinaan, karena mereka itu sering disebut atau diteriaki “Cina, lu”. Lalu
mengapa mereka itu ingin disebut sebagai orang Tionghoa? Jawabannya adalah
karena kata Tionghoa berarti orang dari kerajaan tengah atau Pusat kerajaan di

264
Cina, atau dengan kata-kata lain mereka ini minta diperlakukan sebagai orang
kerajaan atau penguasa dari Cina yang datang dan hidup di Indonesia. Jadi, mereka
ini orang asing, bukan orang Cina yang sudah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat-masyarakat lokal. Ciri keasingan mereka itu juga ditegaskan kembali
dalam pengidentifikasian diri sebagai orang Chinese. Sebutan yang biasanya
ditujukan kepada orang Cina yang berasal dari luar Indonesia atau orang asing.

Sebagai catatan penutup patut dicatat bahwa orang-orang Cina di Indonesia,


yang warga negara Indonesia, ingin diperlakukan sebagai orang Indonesia baik
secara hukum maupun secara sosial dan budaya sama dengan perlakuan yang
diterima oleh setiap orang Indonesia dari sukubangsa manapun, tanpa ada
diskriminasi walaupun mereka ini keturunan asing yang bukan pribumi Indonesia.

Tetapi di lain pihak, mereka ini tidak mau disederajatkan secara sosial dan
budaya dengan sukubangsa-sukubangsa yang hidup di Indonesia. Mereka menuntut
diperlakukan sebagai orang asing yang terhormat dan dalam jenjang yang lebih
tinggi daripada orang-orang Indonesia lainnya, yaitu minta diperlakukan sebagai
orang dari pusat kerajaan Cina. Ada baiknya tokoh-tokoh dan cendekiawan Cina
memikirkan sungguh-sungguh tuntutan untuk disebut sebagai orang Tionghoa atau
orang Chinese bila mereka tidak ingin diperlakukan sebagai orang asing dan tidak
ingin didiskriminasi. Ada baiknya jika mereka belajar dari pengalaman orang-orang
Cina di Amerika (Suparlan 2002), yaitu bagaimana mereka itu dari kategori orang
Cina di Amerika yang didiskriminasi secara hukum dan sosial bisa menjadi orang
Cina Amerika yang semula secara sosial didiskriminasi tetapi secara bertahap
menjadi bagian dari masyarakat Amerika yang sama hak dan kewajibannya dengan
setiap orang Amerika lainnya. Jadi bukan mengaktifkan dan menunjukkan diri
sebagai Tionghoa atau Chinese yang orang asing, yang akan mengasingkan dan
mendiskriminasikan mereka secara hukum dan secara sosial.

Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang penekanannya pada pentingnya


kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang Cina sebagai orang asing
walaupun orang Cina tersebut berstatus sebagai WNI. Upaya-upaya secara sosial,
ekomoni, dan politik dari orang Cina di Indonesia dalam menunjukkan bahwa mereka
itu bagian dari masyarakat Indonesia dan yang menunjukkan bahwa mereka itu

265
orang Indonesia adalah yang utama. Masalah ini menuntut dilakukannya kajian-
kajian secara mendalam baik oleh para cendekiawan dan tokoh-tokoh Cina di
Indonesia maupun oleh ilmuwan sosial yang mempunyai perhatian mengenai hal ini.

Secara hipotesis mengingat corak masyarakat Indonesia yang menekankan


kesukubangsaan dan afiniti mungkin dua isyu dapat didiskusikan, yaitu: apakah
orang Cina di Indonesia harus diperlakukan sebagai sukubangsa, atau orang Cina di
Indonesia dilihat sebagai bagian dari sukubangsa-sukubangsa setempat dimana
mereka itu telah dan sedang hidup di dalam masyarakatnya.

*****

Kepustakaan

Bruner, Edward M., 1974, “The Expression of Ethnicity in Indonesia”. Dalam, Abner
Cohen (Editor), Urban Ethnicity. Hal. 251 – 288. London: Tavistock.
Furnivall, J.S., 1944, Netherlands India: A Study of plural economy. Cambridge :
Cambridge University Press.
Nuranto, N., 1999, “Kebijakan terhadap Bisnis Etnis Cina Di Masa Orde Baru”.
Dalam, I. Wibowo (Editor.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah
Cina. Hal. 50 – 74 Jakarta: Gramedia.
Suparlan, Parsudi, 1979, “Ethnic Groups of Indonesia”, The Indonesian Quarterly,.
Vol. 7, No. 2, hal. 55 – 75.
––––––––––, 1995, Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat
Indonesia yang Majemuk. . Jakarta: Yayasan OBOR.
––––––––––, 1999a, “Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa”.
Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah
Cina. Hal. 149 – 173. Jakarta: Gramedia.
––––––––––, 1999b, “Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan
Kesukubangsaan”. Jurnal Antropologi Indonesia. Vol. 23, No. 58, hal.
13 – 20.
––––––––––, 2000a, “Kerusuhan Sambas”. Jurnal Polisi Indonesia, No. 2, hal.
71 – 85.

266
––––––––––, 2000b, “Ethnic and Religious Conflicts in Indonesia”. Dalam, Michael
Leigh (Editor), Proceedings of the sixth Bienneal Borneo Research
Conferenca. Hal. 97 – 128. Kucing, Sarawak: Institute of East Asian
Studies, University of Malaysia.
––––––––––, 2001a, “Kerusuhan Ambon”. Jurnal Polisi Indonesia. No. 3, hal. 1 – 30.
––––––––––, 2001, Indonesia, Kesukubangsaan, dan Posisi Orang Cina. Makalah.
––––––––––. 2002, “Orang Cina Amerika”. Makalah untuk Seminar Orang Cina di
Amerika. Jakarta:. Kajian Wilayah Amerika, U.I., 6 Juni 2002.
__________ 2003, “Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat
Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia, No.71, hal.23-33.
Thung Ju Lan, 1999a, “Tinjauan Kepustakaan Tentang Etnis Cina di Indonesia”.
Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah
Cina. Hal. 3 – 23. Jakarta: Gramedia.
––––––––––, 1999b, “Masalah Cina: Konflik Etnis yang Tak Kunjung Padam”. Jurnal
Antropologi Indonesia, Vol. 23, No. 58, hal. 21 – 35.
Wibowo, I., 1999, “Pendahuluan”. Dalam I. Wibowo (Editor), Retrospeksi dan
Rekontekstualisasi Masalah. Cina. Hal. Ix – xxxi, Jakarta: Gramedia.

267
8 Kesetaraan Warga
dan Hak Budaya
Komuniti dalam
Masyarakat
Majemuk Indonesia

Pendahuluan

I
ndonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society), yaitu sebuah
masyarakat negara yang terdiri atas lebih dari 500 sukubangsa yang
dipersatukan oleh sebuah sistem nasional sebagai bangsa dalam wadah sebuah
negara kesatuan Indonesia. Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru dari Presiden
Suharto pada tahun 1998, Indonesia mengalami proses transisi dan coraknya yang
otoriter-militeristik menuju masyarakat sipil yang demokratis. Corak otoriter yang
menonjol adalah upaya peredaman atau pembungkaman kesukubangsaan dan
keyakinan-keyakinan keagamaan yang mempunyai potensi untuk menentang
kekuasaan pemerintahan Orde Baru. Sebaliknya, potensi-potensi kesukubangsaan
dan keyakinan-keyakinan keagamaan diperkuat dan diarahkan sebagai kekuatan-
kekuatan politik untuk mendukung, memperkuat, dan mensakralisasi kekuasaan
pemerintahan Orde Baru.

Kejatuhan pemerintahan Orde Baru telah membuyarkan penekanan ideologi


otoriter yang bersemboyan persatuan untuk kesatuan di bawah kekuasaan
pemerintah pusat, karena digantikan oleh pemerintahan sipil yang berazaskan pada
demokrasi. Ketidakjelasan prinsip demokrasi dan konsep masyarakat sipil yang
dijadikan ideologi dan operasionalisasinya dalam masyarakat Indonesia yang

268
majemuk, dan ke dalam pranata-pranata politik nasional serta pranata-pranata sosial
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, telah membuyarkan dan menyamarkan
prinsip demokrasi dan konsep masyarakat sipil itu sendiri, serta membuyarkan
ideologi dan integritas kebangsaan Indonesia. Kebuyaran dan kesamar-samaran ini
disebabkan oleh adanya anggapan bahwa prinsip demokrasi sudah digunakan
sebagai landasan ideologi bangsa, dan sudah berlaku dalam kehidupan masyarakat
sipil, karena sudah ada HAM dan pembedaan kewenangan antara badan-badan
eksekutif, legislatif, dan judikatif pada tingkat makro atau nasional.

Anggapan seperti tersebut di atas sebenarnya mengabaikan konsep


demokrasi sebagai sebuah sistem. Demokrasi bukan hanya sebuah ideologi yang
menonjolkan hak individual, dan terutama HAM, melainkan sebuah sistem yang
mengatur saling hubungan hak dan kewajiban antara individu dengan komuniti,
negara atau masyarakat luas yang diwakili oleh pemerintah. Lebih lanjut, demokrasi
adalah sebuah ideologi yang pada dasarnya rasional, yang pelaksanaannya harus
berpegang secara ketat pada aturan-aturan main yang adil dan beradab, yang
terwujud sebagai hukum formal, adat, dan berbagai konvensi sosial yang ada.

Tulisan ini mencoba menunjukkan bahwa proses demokratisasi yang


sekarang sedang dijalani Indonesia tidak akan mungkin mewujudkan adanya
masyarakat sipil yang demokratis, karena landasan sosial dan budaya masyarakat
Indonesia yang bercorak masyarakat majemuk (plural society) berisikan potensi-
potensi kekuatan primordial yang despotik dan otoriter. Untuk itu, ideologi
masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman sukubangsa harus
digeser menjadi ideologi keanekaragaman kebudayaan atau ideologi
multikulturalisme. Dalam ideologi ini, kelompok-kelompok budaya tersebut berada
dalam kesetaraan derajat, seperti yang diberlakukan dalam masyarakat-masyarakat
Amerika dan Eropa Barat. Ideologi yang harus ditekankan adalah keanekaragaman
kebudayaan. Kekuatan sosial dan politik dan keanekaragaman tersebut bukan
berlandaskan pada kekuatan primordial kesukubangsaan yang lokal. Secara
hipotetis, dalam wadah masyarakat ‘bhinneka tunggal ika’ Indonesia yang seperti
inilah maka proses-proses demokrasi akan dapat diwujudkan, dikembangkan, dan
dimantapkan Permasalahan ini menjadi kritikal karena UU No.22 tentang Otonomi

269
Daerah sama sekali tidak memperhitungkan berbagai dampak yang diakibatkan oleh
diberlakukannya UU ini.

Masyarakat majemuk Indonesia

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Yang menyolok dari ciri


kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya
kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komuniti-komuniti sukubangsa, dan
digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jatidiri. Berdasarkan ciri-
ciri fisik atau tubuh yang dipunyai oleh seseorang, gerakan gerakan tubuh yang
dibarengi dengan bahasa yang digunakan dan logat yang diucapkan, dan berbagai
simbol-simbol yang digunakan atau dikenakan pada dirinya, dia akan diidentifikasi
sebagai tergolong dalam sesuatu sukubangsa dan sesuatu daerah tertentu oleh
seseorang lainnya. Bila ciri-ciri tersebut di atas tidak dapat digunakan oleh
seseorang untuk mengidentifikasi kesukubangsaannya, maka seseorang tersebut
akan menanyakan dari mana asalnya untuk dapat mengetahui jatidiri
kesukubangsaannya (Bruner 1976; Suparlan 1972).

Hubungan kesukubangsaan adalah hubungan peran yang berlaku dalam


kehidupan sosial yang coraknya berlandaskan pada corak hubungan antar-
sukubangsa yang berlaku dalam masyarakat setempat. Hubungan antar-anggota
sukubangsa dari daerah atau komuniti yan berbeda juga mempunyai prinsip-prinsip
hubungan peran yang sama dengan hubungan antar-sukubangsa. Di samping itu,
kesukubangsaan dalam kehidupan orang Indonesia adalah sebuah dunia yang
primordial (yang utama dan yang pertama dikenal dalam proses sosialisasi dan
enkulturisasi). Karena itu, ia mempunyai fungsi menentukan posisi-posisi para pelaku
dari sukubangsa yang sama maupun pelaku dari sukubangsa-sukubangsa yang
berbeda, dalam suatu struktur hubungan peran yang berlaku dalam kehidupan sosial
masyarakat setempat. Kesadaran akan kesukubangsaan masing-masing dari pihak
lain muncul dan menjadi mantap karena kemajemukan sukubangsa bukan hanya
terwujud dalam corak masyarakat Indonesia secara nasional, melainkan juga
terwujud dalam kehidupan sehari-hari dari masyarakat setempat atau lokal. Pada
masa sekarang, hampir tidak ada lagi komuniti sukubangsa yang secara homagen

270
hidup sebagai sebuah komuniti sukubangsa, terutama di daerah perkotaan. Konsep
mengenai sukubangsa lain dalam pertentangannya dengan sukubangsanya sendiri
sebagai acuan dari jatidiri untuk berperan dalam hubungan antar-sukubangsa, bukan
hanya diperoleh dari pengalaman-pengalaman sebagai perorangan, melainkan juga
dari berbagai cerita orang lain, berita media massa cetak, dan elektronik. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa sukubangsa dan kesukubangsaan bagi orang
Indonesia bukan hanya sebuah dunia filosofi, melainkan juga sebuah dunia nyata
yang harus mereka hadapi sehari-hari dalam berbagai bentuk ekspresinya, secara
sadar maupun tidak sadar.

Dalam zaman pemerintahan Presiden Sukarno - atau yang dinamakan


sebagai Orde Lama oleh pemerintahan Presiden Suharto - kesukubangsaan sebagai
potensi kekuatan politik dilarang untuk digunakan; demi keutuhan bangsa Indonesia
dan memenangkan semangat nasionalisme. Termasuk di dalamnya pelarangan
kajian-kajian mengenai sukubangsa dan kesukubangsaan. Yang didorong untuk
diungkapkan adalah kesukubangsaan dalam ekspresi-ekspresi seni. Kebijakan politik
kesukubangsaan - demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia pada waktu itu -
adalah politik amalgasi, atau peleburan sukubangsa-sukubangsa menjadi sebuah
bangsa, yaitu Indonesia, melalui perkawinan antarwarga sukubangsa yang berbeda-
beda.

Dalam zaman pemerintahan Presiden Suharto, pelarangan penggunaan


sukubangsa sebagai acuan kepentingan politik ditambah dengan pelarangan
penggunaan potensi politik dan agama dan ras (sic!), yang dikenal dengan nama
SARA. Pelarangan yang dilakukan secara represif dengan menggunakan kekuatan
militer yang otoriter, sebetulnya hanya meredam berbagai gejolak primordial yang
dirasakan sebagai tantangan terhadap hegemoni kekuasaan pemerintahsn Presiden
Suharto. Tetapi, kebijakan SARA ini tidak mematikan potensi kekuatan sosial dan
politik dari kesukubangsaan dan keagamaan yang ada. Bahkan, pemerintahan
Presiden Suharto dalam kebijakan politik kesukubangsaan dan keagamaan justru
telah menggunakan Direktorat Jenderal Kebudayaan, terutama Direktorat Sejarah
dan Nilai-Nilai Tradisional untuk menghidupkan potensi-potensi sosial dan politik
kesukubangsaan. Hal itu ditujukan untuk mendukung kemantapan pemerintahan
Presiden Suharto (pembentukan lembaga-lembaga adat dan hampir semua

271
sukubangsa, dan pengangkatan serta pemberian berbagai fasilitas dan honor
kepada para tokoh adat dan pemangku adat). Hal yang sama juga dilakukan oleh
Departemen Agama, yang dengan menggunakan kekuatan birokrasinya membangun
pengembangan agama, terutama agama Islam, dan mengusung kekuatan sosial dan
politik yang primordial guna mendukung kemantapan pemerintahan Presiden
Suharto. Begitu juga yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri yang
melakukan berbagai kebijakan pengendalian sosial dan politik melalui Ditjen Sospol.
Demikan pula upaya menyeragamkan corak pemerintahan pada tingkat pedesaan
yang secara tradisional bercorak semi-otonomi, menjadi bercorak seperti
pemerintahan desa Jawa yang dikuasai dan dikendalikan oleh pemerintah yang
dilakukan oleh Ditjen PUOD.

Sadar atau tidak sadar, di satu pihak kebijakan-kebijakan tersebut telah


mengembangkan dan memantapkan kesadaran sukubangsa dan potensi-potensi
sosial dan politik kesukubangsaan. Di lain pihak, kebijakan itu telah mempertegas
batas-batas jenjang sosial dan politik secara jelas antara kyai dan santri, dan antara
ulama dengan umat atau orang Islam biasa. Batas-batas sosial dan politik yang
semakin tajam juga muncul dan mantap di antara para penganut keyakinan
keagamaan yang berbeda, antara pusat dan daerah. dan antara Jawa dengan
daerah, karena isu penyeragaman sistem pemerintahan desa.

Pemerintahan Presiden Suharto atau Orde Baru dikenal sebagai


pemerintahan yang otoriter dan militeristik. Pemerintahan itu telah dibangun dengan
mengorbankan lebih dan satu juta jiwa dan mereka yang digolongkan sebagai
komunis dan Orde Lama, dilanjutkan dengan pemburuan dan pengisolasian, serta
diskriminasi terhadap mereka yang tergolong sebagai G 30S/PKI atau tidak bersih
lingkungan. Pemerintahan yang otoriter dan militeristis ini memperkuat dan diperkuat
oleh corak kehidupan yang feodalistis dan paternalistis, atau bapakisme, yang
secara tradisional berlaku dalam masyaràkat Indonesia pada umumnya.
Kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan sebagai kekuatan sosial dan politik
yang dipelihara dan dikembangkan oleh pemerintahan Orde Baru untuk mendukung
kemantapan pemerintahan dan kekuasaannya, telah secara sadar atau tidak,
bergeser menjadi dukungan bagi kemantapan kekuasaan Presiden Suharto dan

272
kroni-kroninya. Hal itu kemudian berkembang sebagai kekuasaan-kekuasaan
perorangan yang absolut, yang terpusat di tangan Pak Harto dan keluarganya.

Kekuasaan yang absolut adalah kekuasaan yang korup, baik secara sosial,
ekonomi, politik, dan moral. Untuk itu, jastifikasi (justification) atau pembenarannya
dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol dan metafor-metafor keagamaan
yang relevan oleh pejabat-pejabat keagamaan dalam berbagai upacara keagamaan
dan upacara sosial. Bila pembenaran secara keagamaan masih dirasakan belum
mantap, berbagai tindakan represif akan dilakukan. Tindakan-tindakan represif dapat
dijastifikasi atau dibenarkan, karena telah diciptakan dan dimantapkannya musuh
bersama sebagai kambing hitam. Musuh bersama itu dinamakan PKI atau sisa-sisa
Orde Lama atau ekstrim kiri, atau ekstrim kanan, dan golongan separatis atau
pengacau keamanan. Dalam zaman Orde Baru tidak ada kesetaraan warga, yang
ada ialah hierarki atau jenjang sosial yang dimantapkan melalui berbagai bentuk
peraturan dan kebijakan politik, serta pemberian fasilitas dan keistimewaan kepada
golongan militer, pejabat dan birokrat, dan partai pendukung pemerintah. Akibatnya,
dengan jelas dapat dibedakan antara yang berkuasa (dengan berbagai
keistimewaannya) dengan yang tidak berkuasa, atau orang biasa (yang harus
mengabdi kepada yang berkuasa). Sebagai catatan, pegawai negeri pun
digolongkan sebagai abdi atau hamba sahaya. Pembedaan jenjang ini terwujud
sebagai perbedaan antara militer dan sipil; antara pejabat dan bukan pejabat;
pengusaha konglomerat yang kebanyakan adalah orang Cina yang menjadi kroni
presiden, dan yang bukan orang Cina atau pribumi; antara golongan Islam dan yang
bukan; antara warga masyarakat biasa dan yang tidak bersih lingkungan atau yang
berindikasi komunis; atau ekstrim kiri dan ekstnim kanan, serta separatis atau
pengacau keamanan. Dalam masa Orde Baru tidak ada kesetaraan warga, baik
secara sosial, legal atau hukum, dan budaya. Ketidaksetaraan ini terwujud terutama
dalam kehidupan politik dan ekonomi dan warga masyarakat Indonesia.

Walaupun Indonesia mengakui dirinya sebagai negara demokrasi, dunia Barat


dan sejumlah negara lainnya menggolongkan Indonesia sebagai negara dengan
pemerintahan totaliter, sama coraknya dengan negara-negara di Amerika Latin yang
juga dikuasai oleh militer. Walaupun Indonesia mengaku sebagai penganut azas
demokrasi, yaitu demokrasi Pancasila, dunia luar, terutama dunia Barat, tidak melihat

273
demokrasi Pancasila sebagai demokrasi. Prinsip demokrasi yang utama, yaitu
kesetaraan derajat secara individual dan kebebasan, dan pemerintahan atas
persetujuan rakyat, tidaklah terwujud selama pemerintahan Orde Baru. Selama masa
Orde Baru, yang ada ialah pemerintahan oleh militer, para patron atau bapak, dan
para kroni dan presiden. Mereka melihat corak kebudayaan Indonesia dalam zaman
Orde Baru sebagai sebuah kebudayaan yang feodalistik, otoriter-militeristik, dan
paternalistik yang didukung oleh sistem ekonomi kronisme.

Kejatuhan kekuasaan Presiden Suharto yang memorak-porandakan sistem


pemerintahan yang otoriter dan militeristis, diharapkan oleh banyak orang Indonesia
akan dapat mcmunculkan sebuah pemerintahan sipil yang demokratis dan bersih
dari korupsi. Tetapi, pemerintahan Habibie justru tidak mampu untuk melaksanakan
harapan orang banyak tersebut. Primordialisme kesukubangsaan dan keagamaan
justru berkembang. Feodalisme muncul dalam bentuk baru yang diselimuti oleh
primordialisme kesukubangsaan dan keagamaan Islam. Demikian pula halnya
dengan tatanan kehidupan paternalistik yang tetap bertahan. Demokrasi yang
terwujud dalam bentuk HAM atau hak individual ditonjolkan. Tetapi kesetaraan warga
yang terjadi ladasan filsafat dan pedoman bagi kehidupan demokrasi tidak
direncanakan untuk diwujudkan. Sistem kronisme dalam bentuk yang baru
menghasilkan berbagai bentuk korupsi atas nama rakyat dan kemiskinan.

Masyarakat majemuk dan demokrasi

Masyarakat majemuk atau plural society adalah sebuah masyarakat yang


terwujud karena komuniti-komuniti sukubangsa yang ada telah secara langsung atau
tidak langsung dipaksa untuk bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional.
Model yang digunakan sebagai acuan dari masyarakat majemuk adalah negara
jajahan Hindia Belanda, tempat kelompok-kelompok atau komuniti dan masyarakat
sukubangsa di Nusantara ini dipersatukan dan dikuasai oleh pemerintah jajahan
Hindia Belanda. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah pendudukan Jepang
di Indonesia. Dalam masyarakat majemuk seperti Hindia Belanda, tidak ada tatanan
kehidupan demokrasi. Dalam tatanan ini, dengan jelas dibedakan antara tuan yang
penguasa dan hamba yang pribumi. Pembedaan antara tuan dan hamba dilakukan

274
berdasarkan atas ciri-ciri fisik atau rasial, kesukubangsaan, keyakinan keagamaan,
dan jenjang sosial menurut patokan feodalisme yang secara tradisional berlaku.

Corak masyarakat majemuk yang anti demokrasi juga terwujud dalam


masyarakat Afrika Selatan yang didominasi oleh kekuasaan kulit putih sebelum
kejatuhannya, dan yang kemudian digantikan oleh pemerintahan Presiden Mandela.
Pembedaan warga masyarakat Afrika Selatan dalam jenjang sosial, ekonomi, dan
politik juga didasari oleh batas-batas rasial, keyakinan keagamaan, dan jenjang
sosial menurut patokan feodalisme yang secara tradisional berlaku.

Dalam sejarahnya, masyarakat majemuk karena kemajemukan


kesukubangsaan dan keagamaan yang merupakan landasan kekuatan politik, selalu
mengalami kesulitan untuk menerapkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Suriname misalnya, yang sampai dengan tahun 1975 dikenal sebagai
negara demokrasi yang corak masyarakatnya majemuk, hancur berantakan oleh
konflik politik antara dua sukubangsa yang dominan, sehingga harus berubah
menjadi negara totaliter di bawah kekuasaan rezim militer. Kesukaran
berkembangnya demokrasi dalam kehidupan masyarakat majemuk, seperti
Suriname tersebut, dikarenakan oleh mantapnya primordialitas yang diperkuat oleh
keyakinan keagamaan yang melandasinya. Selain itu, terdapat kemantapan batas-
batas kesukubangsaan, orientasi, dan loyalitas politik warga masyarakat pada
sukubangsanya masing-masing. Berkembang pula prinsip paternal atau bapakisme
dengan loyalitas primordial dari para pengikutnya, dan kemantapan jenjang sosial
yang primordial berdasarkan kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsa yang
bersangkutan (lihat Dew 1978; Suparlan 1995).

Demokrasi di Suriname sebelum tahun 1975 dapat digolongkan sebagai


demokrasi konsosiasional (consociational democracy). Dalam sistem demokrasi ini,
para pemimpin kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda menjadi jembatan
penghubung dan segmentasi oleh kesukubangsaan melalui berbagai bentuk aliansi
formal dan informal pada tingkat elit (lihat Dew 1972, 1974). Model demokrasi
konsosiasional ini juga berlaku di Indonesia di bawah label demokrasi Pancasila,
atau di Brazil dengan demokrasi rasial (racial democracy). Masyarakat Brazil juga
tersegmentasi oleh golongan-golongan rasial yang tersusun dalam urutan jenjang

275
sosial, ekonomi, dan politik. Dalam masyarakat yang paternalistik, otoriter, atau
militeristik seperti tersebut di atas, demokrasi dalam pengertian yang sebenarnya
tidaklah mudah ditegakkan.
Bila kita melihat Amerika sebagai sebuah negara yang demokratis, maka yang
kita lihat adalah bahwa demokrasi bukan hanya menjadi ideologi atau filsafat
kehidupan bangsa itu, melainkan juga menjadi pedoman bagi kehidupan warganya.
Amerika adalah sebuah bangsa dan kumpulan bangsa-bangsa yang sangat berbeda
secara rasial, asal etnis atau sukubangsa, kebudayaan dan keagamaannya, yang
telah dibangun dengan menggunakan prinsip demokrasi. Dan sebuah bangsa yang
pada awal berdirinya menekankan pada monokulturalisme yang didominasi oleh
golongan WASP (White Anglo Saxon Protestant), Amerika telah secara bertahap dan
pasti berubah coraknya secara mantap menjadi sebuah bangsa yang menekankan
pada keanekaragaman kebudayaan atau multikulturalisme. Multikulturalisme pada
bangsa Amerika ini menekankan kesetaraan derajat individu dan menoleransi
perbedaan-perbedaan kebudayaan. Di sinilah letak kebesaran kebudayaan bangsa
Amerika, yaitu kemampuannya untuk menampung berbagai perbedaan dan
keanekanagaman kebudayaan dalam sebuah kebangsaan dengan suatu ikatan
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi menjadi sebuah ideologi yang
menjadi pedoman hidup mendasar bagi kebersamaan yang sederajat, dan sebuah
pedoman yang praktikal dalam menghadapi kehidupan nyata sehari-hari. Dalam
prinsip demokrasi ini, penekanan hak ada pada individu dan bukannya pada
kelompok-kelompok etnis atau keagamaan, sehingga Amerika sekarang ini dapat
kita lihat sebagai sebuah bangsa yang dibangun atas kekuatan dan kemampuan
individu-individu, bukannya berdasarkan pada kekuasaan kelompok-kelompok
sukubangsa atau keyakinan keagamaan.

Prinsip demokrasi hanya mungkin dapat berkembang dan hidup secara


mantap dalam sebuah masyarakat sipil yang terbuka, yang warganya mempunyai
toleransi terhadap perbedaan-perbedaan dalam bentuk apa pun, karena adanya
kesetaraan dalam derajat kemanusiaan yang saling menghormati, yang diatur oleh
hukum yang adil dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin
kesejahteraan hidup warganya. Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan hanya
mungkin terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata-pranata sosial,
terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan

276
adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip-prinsip demokrasi dalam
kehidupan nyata. Diskriminasi secara rasial, politik, budaya, pendidikan, dan
ekonomi yang berlaku di masa lampau, secara bertahap maupun secara radikal
dikikis oleh kemauan untuk menegakkan demokrasi demi kesejajaran dalam derajat
kemanusiaan sebagai bangsa Amerika.

Pada masa sekarang, di Amerikalah terdapat berbagai macam kebudayaan


yang berasal dari hampir seluruh penjuru dunia yang hidup tanpa ada diskriminasi
formal dan negara. Hal itu hanya mungkin terwujud dalam masyarakat seperti
Amerika, yang hak untuk hidup berdampingan secara berbeda sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaan menurut kebudayaan masing-masing dijamin oleh
hukum, ditoleransi dan dihargai oleh masyarakat-masyarakat setempat, sepanjang
tidak mengganggu kepentingan umum atau kepentingan bersama.

Apa yang menjadi landasan bagi dan mengikat keberadaan kebudayaan yang
beranekaragam tersebut adalah nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan Amerika,
yang menjadi milik bersama bangsa Amerika. Nilai-nilai budaya itu merupakan
patokan penilaian, atau pedoman etika dan moral dalam bertindak yang benar dan
pantas bagi orang Amerika. Nilai-nilai budaya tersebut terserap dalam hampir semua
bidang kehidupan. Secara sadar atau tidak, nilai budaya itu digunakan sebagai
acuan bagi penjelasan yang masuk akal dan pembenaran atas suatu tindakan yang
dilakukan, baik tindakan-tindakan sosial, ekonomi, dan politik, maupun tindakan-
tindakan individual secara pribadi. Di antara serangkaian nilai budaya Amerika yang
mendasar, yang secara aktual diyakini sebagai acuan utama dalam kehidupan
mereka sebagai bangsa Amerika, adalah percaya pada diri sendiri atau self reliance.
Tercakup dalam pengertian self reliance adalah tahu hak dan kewajibannya, tahu
dan menghargai hak individu lainnya dan orang banyak, dapat dan berani menolak
atau melawan pada saat haknya dilanggar oleh yang lainnya. Pada prinsipnya,
dalam konsep self reliance juga tercakup pengertian percaya pada kemampuan diri
sendiri, dan dirinyalah yang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.

Demokrasi sebagai sebuah filsafat atau ideologi yang dimiliki bersama oleh
para warga sebuah masyarakat sipil yang bukan militeristik mencakup prinsipprinsip:

277
…... berdasarkan atas persetujuan dari rakyat yang diperintah, kekuasaan
mayoritas yang dibarengi dengan hak-hak minoritas, proses hukum
yang wajar, pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional,
kemajemukan sosial, ekonomi, budaya, nilai-nilai toleransi atas perbedaan-
perbedaan, pragmatisme, dan kerjasama serta mufakat (Lubis 1994;
USIS t.t.).

Akan tetapi, bila demokrasi hanya diperlakukan sebagai filsafat atau ideologi,
demokrasi sebagai sebuah konsep hanya akan ada dalam benak kepala. Di lain
pihak, sebuah masyarakat yang demokratis adalah sebuah masyarakat yang
menggunakan konsep demokrasi sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara, dan terwujud sebagai inti dan, serta didukung oleh pranata-pranata sosial
masyarakat tersebut. Demokrasi tidak mungkin hidup dalam sebuah masyarakat bila
demokrasi tidak terserap ke dalam, dan menjadi kebudayaan serta pranata-pranata
sosial dan masyarakat tersebut. Begitu pula halnya bila tidak didukung oleh nilai-nilai
budayanya yang merupakan patokan bagi pedoman etika dan moral, baik secara
sosial, legal, ekonomi, dan politik yang berlaku pada tingkat individual, maupun pada
tingkat kemasyarakatan.

Di antara prinsip-pnnsip mendasar dari demokrasi yang patut dikemukakan di


sini adalah: kesetaraan derajat individu, kebebasan, individualisme dan
individualitas, toleransi terhadap perbedaan-perbedaan, konflik dan konsensus,
hukum yang adil dan beradab, dan perikemanusiaan. Kesetaraan derajat individu
melihat individu sebagai manusia yang berderajat sama dengan meniadakan hierarki
atau jenjang sosial yang menempel pada dirinya berdasarkan atas asal rasial,
sukubangsa, kebangsawanan, atau pun kekayaan dan kekuasaan. Dalam proses
politik yang demokratis, yang terwujud sebagai perbedaan-perbedaan dan konflik-
konflik pendapat untuk memenangkan sesuatu kebijakan yang dicapai melalui
pemilihan suara konsensus, hak-hak dan individu yang terlibat di dalamnya adalah
setara derajatnya. Hal ini berbeda dari prinsip musyawarah yang kita kenal, dengan
individu yang berada pada jenjang kekuasaan tertinggi cenderung mendominasi dan
mengarahkan perbedaan-perbedaan yang ada menjadi sebuah permufakatan
pendapat, yang sesuai dengan kehendaknya.

278
Konflik-konflik yang terjadi dalam proses menurut prinsip demokrasi harus
mengikuti hukum atau aturan main yang adil dan beradab. Ketaatan atau kepatuhan
pada hukum yang berlaku adalah salah satu syarat mutlak bagi berlakunya
demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Tanpa adanya ketaatan pada hukum,
maka yang ada adalah kekacauan, karena tiap-tiap individu akan mau menang-
menangan sendiri. Melalui hukum inilah sebenarnya perikemanusiaan yang kita
kenal dengan nama HAM ini ditegakkan, yang menjamin terwujudnya kesetaraan
derajat individu demi kesejahteraan bersama.

Masyarakat majemuk, kesetaraan warga, dan hak budaya komuniti

Corak masyarakat majemuk (plural society) Indonesia yang ditandai oleh


penekanannya pada kesukubangsaan dan kelompok-kelompak sukubangsa yang
beranekaragamn kebudayaannya, mungkin harus dipelajari kembali mengingat
potensinya yang dapat dimanipulasi secara sosial dan politik untuk memecah belah
kebangsaan Indonesia dan anti demokrasi. Potensi yang destruktif tersebut
dikarenakan oleh :
• Masyarakat majemuk menghasilkan batas-batas sukubangsa yang didasari
oleh stereotip dan prasangka yang menghasilkan penjenjangan sosial secara
primordial yang subyektif, dan bila berkembang lebih lanjut dapat
menghasilkan stigma sosial dan pengambinghitaman yang dilakukan oleh
suatu sukubangsa yang ditujukan pada suatu sukubangsa lainnya.
• Setiap kelompok sukubangsa atau komuniti sukubangsa menempati sebuah
wilayah yang menjadi tempatnya hidup, yang secara tradisional diakhirinya
dan diakui oleh kelompok sukubangsa lain sebagai hak ulayatnya. Konsep
hak ulayat ini, secara politik hubungan antar-sukubangsa, dapat berkembang
menjadi pembedaan yang diskriminatif antara warga sukubangsa asli
setempat dengan warga sukubangsa pendatang. Berbagai bentuk diskriminasi
dapat terwujud antara yang asli dengan pendatang, dengan pihak yang asli
yang harus unggul, dan pendatang yang harus asor
• Berbagai konflik antar-sukubangsa yang memakan korban jiwa dan raga serta
harta benda yang telah terjadi sejak zaman pemerintahan Habibie sampai
saat ini, berintikan pada permasalahan hubungan antar-sukubangsa yang asli

279
setempat dengan yang pendatang. Dalam konflik sukubangsa ini seperti
kasus Sambas, Ambon, dan Kalimantan Tengah (Lihat Suparlan 2000),
kelompok sukubangsa setempat menuntut pengakuan atas keunggulan
kebudayaan mereka, dengan ungkapan: ...di mana bumi dipijak, langit
dijunjung’, atau ‘adat sukubangsa setempat harus diikuti. Dalam hal ini,
kebudayaan sukubangsa menjadi ideologi politik sukubangsa. Orang Melayu
di Sambas, setelah berakhirnya konflik dengan orang Madura dengan
keberhasilan orang Melayu mengusir mereka dari wilayah Sambas,
mengambil kebijakan politik kesukubangsaan yang memutuskan untuk tidak
menerima kedatangan kembali orang-orang Madura yang mengungsi untuk
hidup di wilayah Kabupaten Sambas. Sebuah kebijakan yang sebenarnya
bertentangan dengan UUD 1945 dan dengan prinsip kebangsaan Indonesia.
Apakah barangkali Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat merupakan sebuah
negara Melayu yang mempunyai peraturan keimigrasian tersendiri?
• Politik kebudayaan yang menekankan homogenitas, yang dilakukan melalui
penataran P4 dalam masa pemerintahan Orde Baru, yaitu yang
mengupayakan pemberlakuan prinsip Pancasila sampai ke dalam kehidupan
keluarga, sama dengan upaya mereduksi keanekaragaman kebudayaan di
Indonesia secara sewenang-wenang. Inilah sebuah upaya penyeragaman
kebudayaan yang akan dapat digunakan untuk mendukung corak
keseragaman pemerintahan Orde Baru yang otoriter-militeristis.

Masyarakat majemuk, termasuk Indonesia, tidak menghasilkan tatanan


kehidupan yang egalitarian dan demokratis, tetapi sebuah masyarakat yang
berpotensi otoriter dan despotik karena corak struktur sosial kelompok-kelompok
sukubangsanya yang beranekaragam dan feodalistik dan paternalistik sampai
dengan yang etnosentrik dan tribalistik. Coraknya yang feodalistik dan paternalistik
terserap dalam sistem nasional Indonesia yang bercorak otoriter militeristik yang
nampak jelas dalam pemerintahan Orde Baru. Corak ini digunakan untuk
mengimbangi dan meredam gejolak politik kesukubangsaan yang etnosentrik dan
tribalistik Dengan cara yang otoriter dan militeristik tersebut, maka potensi-potensi
perpecahan bangsa Indonesia berdasarkan politik kesukubangsaan dapat diredam.
Masalahnya adalah, pada waktu sistem nasional Indonesia menjadi lemah karena
coraknya yang otoriter dan militeristik itu diganti dengan sistem yang lebih

280
demokratis, seperti dalam zaman pemerintahan Habibie, maka gejolak etnosentrisme
dan tribalisme memunculkan dirinya ke permukaan arena politik Indonesia, yang
secara langsung atau tidak langsung mengancam integrasi sistem nasional dan
kebangsaan Indonesia.

Lambang negara dan bangsa Indonesia, ‘bhinneka tunggal ika’ atau


masyarakat majemuk yang menekankan keanekanagaman sukubangsa dan
kebudayaannya, sudah sepatutnya dikaji untuk diubah atau digeser penekanannya
pada keanekaragaman kebudayaannya. Bersamaan dengan itu, perlu diupayakan
untuk melemahkan atau mengesampingkan keanekaragaman sukubangsa dan
kesukubangsaanya. Penekanan pada keanekaragaman kebudayaan harus
mencakup bukan hanya kebudayaan-kebudayaan sukubangsa, melainkan juga
berbagai kebudayaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat-masyarakat
setempat di Indonesia, baik yang secara tradisional berlaku setempat maupun yang
berasal dari luar. Hal ini haruslah dibarengi dengan suatu kebijakan politik secara
nasional yang akan meletakkan posisi-posisi kebudayaan seperti apa pun coraknya
untuk berada dalam kesetaraan derajat, selama tindakan-tindakan para pelaku yang
mengacu pada kebudayaan tersebut tidak mengganggu, atau merugikan orang
banyak dalam kehidupan masyarakat setempat.

Bersamaan dengan ini, prinsip demokrasi dalam arti yang sebenarnya harus
dijadikan kebijakan politik nasional. Kebijakan itu harus terwujud dalam ketentuan-
ketentuan hukum yang operasional dalam berbagai pranata sosial, baik secara
nasional maupun lokal, yang akan menjamin terwujudnya individualisme dan
individualitas. Hal itu diharapkan mendorong terwujudnya nilai budaya percaya pada
diri sendiri (self reliance) dan berbagai nilai budaya yang mendukungnya. Hak-hak
individu untuk berbeda dari individu lain atau masyarakat harus dijamin ketentuan
hukum selama tindakan-tindakan individual tersebut tidak melanggar hukum yang
berlaku, atau kepentingan umum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
setempat.

Dengan kebijakan politik kebudayaan seperti tersebut di atas, maka


diharapkan tidak akan muncul dan berkembang lagi ideologi politik kesukubangsaan
yang menekankan pembedaan antara mereka yang asli dan lebih berhak, dengan

281
mereka yang pendatang dan karena itu harus didiskriminasi. Bukan kekuasaan
komuniti-komuniti atau kelompok-kelompok sukubangsa dan kesukubangsaanya
yang utama dalam upaya mewujudkan kehidupan demokrasi, melainkan individu-
individu dengan keanekaragaman kebudayaannya yang setara derajatnya yang
harus menjadi landasan bagi terwujudnya kehidupan demokrasi. Bukan kelompok-
kelompok sukubangsa atau komuniti-komuniti sukubangsa dengan kebudayaannya
yang secara tradisional mendominasi corak kehidupan masing-masing wilayahnya,
melainkan berbagai kebudayaan dari kelompok asal mana pun yang sama-sama
mempunyai hak untuk hidup dalam wilayah mana pun di Indonesia, sesuai dengan
ketentuan hukum dan adat atau konvensi sosial yang berlaku setempat.

Dengan demikian, hak budaya komuniti mana pun dan dalam wilayah
Indonesia mana pun harus dijamin keberadaan dan kehidupannya oleh sistem
nasional dengan mengacu pada ketentuan hukum yang dibuatnya. Dalam kehidupan
demokratis, yang digolongkan sebaga sakral atau sokoguru demokrasi bukan hanya
individu, melainkan juga masyarakat (yaitu negara yang diwakili oleh pemerintah),
dan komuniti atau masyarakat setempat. Komuniti atau masyaraka setempat ini
merupakan kumpulan dari individu-individu yang hidup secara bersama denga
berpedoman pada kebudayaan yang mereka miliki bersama (Suparlan 1991).
Hubungan antara individu, negara, dan komuniti atau masyarakat setempat adalah
hubungan konflik kepentingan yang saling tergantung satu sama lainnya, tempat
masing-masing akan berupaya mendominasi lainnya. Karena itu, berbagai ketentuan
politik dan hukum harus dibuat dan dibangun untuk menciptakan suatu
keseimbangan hubungan kepentingan yang akan menguntungkan ketiga unsur
sakral dalam kehidupan demokrasi tersebut.

Komuniti dapat dilihat sebagai sebuah satuan kehidupan berskala kecil yang
menempati suatu wilayah. Komuniti dapat juga dilihat sebagai perkumpulan profesi,
kepentingan, atau lainnya. Hak budaya komuniti dimaksudkan mencakup dua
pengertian tersebut, tetapi terutama ditujukan untuk pengertian komuniti sebagai
satuan kehidupan. Dalam kehidupan manusia sebagai individu, maka di dalam
kehidupan komuniti inilah dia hidup, dibesarkan, dan dijadikan manusia, sehingga
dapat berperan sebagai warga masyarakat dan warga negara yang berguna. Oleh
karena itu, ia dapat melestarikan dan mengembangkan kehidupan komunitinya,

282
masyarakat dan negaranya. Sebuah komuniti atau masyarakat-negara tidak mungkin
akan ada bila tidak berproduksi untuk menghidupi individri-individu yang menjadi
anggota atau warganya. Posisi komuniti dapat disetarakan dengan posisi
masyarakat-negara dalam fungsinya bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu hak
budaya komuniti berkenaan dengan keberadaan dan kehidupannya harus dilindungi
secara hukum. Dalam masyarakat yang demokratis, seperti Amerika dan negara-
negara di Eropa Barat, hak budaya komuniti ini dilindungi secara hukum dan politik,
karena prinsip demokrasi dalam kehidupan nyata tidak akan terwujud tanpa adanya
komuniti dan hak-hak hidupnya.

Mengapa hak budaya komuniti itu harus dilindungi secara hukum? Karena,
dalam berbagai konflik atau kerusuhan sosial, baik yang terwujud dalam bentuk
konflik antar-sukubangsa dan antar-penganut keyakinan keagamaan yang berbeda,
ataupun antar-desa atau tawuran, yang menjadi sasaran untuk dihancurkan bukan
hanya orang-orang yang dianggap sebagai musuh, melainkan juga rumah-rumah,
berbagai fasilitas umum dan tempat-tempat beribadat yang ada. Atau dengan
perkataan lain, yang dihancurkan dalam konflik atau kerusuhan tersebut mencakup
juga komunitinya. Dihancurkannya komuniti pihak lawan sama dengan
dihancurkannya kehidupan pihak lawan itu.

Penutup: kesetaraan warga, hak budaya komuniti,


dan multikulturalisme

Kesetaraan warga dan hak budaya komuniti adalah unsur-unsur mendasar


yang ada dalam prinsip demokrasi, yang menekankan pentingnya hak individu dan
kesetaraan individu atau warga, dan toleransi terhadap perbedaan dan
keanekaragaman. Pada hakekatnya, masyarakat majemuk yang secara sukubangsa
beraneka ragam mempunyai potensi menjadi sebuah masyarakat otoriter-militeristik
dengan corak paternalistik dan etnosentrik yang primordial. Primordialitas
kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat berpotensi menjadi pemecah
belah bangsa pada saat primordialitas tersebut diaktifkan sebagai kekuatan politik.
Potensi kekuatan primordialitas untuk pemecah belah bangsa disebabkan oleh
hakekat keberadaan masyarakat majemuk. Masyarakat majemuk itu dihasilkan dari

283
upaya sistem nasional untuk mempersatukan kelompok-kelompok sukubangsa
menjadi sebuah bangsa. Pemersatuan kelompok-kelompok sukubangsa itu
dilakukan secara paksa, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Masyarakat Amerika dikenal sebagai sebuah masyarakat multi-etnik atau


bersukubangsa banyak. Tetapi, masyarakat Amerika bukanlah sebuah masyarakat
majemuk, karena masyarakat tersebut terwujud sebagai bangsa tidak dengan cara
mempersatukan sukubangsa-sukubangsa yang dilakukan oleh sistem nasionalnya.
Pada masa kini, yang ditonjolkan di Amerika bukanlah coraknya yang multi-etnik atau
bersukubangsa banyak, melainkan beranekaragamnya kebudayaan yang dipunyai
oleh bangsa Amerika. Kebudayaan Amerika yang beranekaragam itu bisa dimiliki
oleh setiap individu atau komuniti, sehingga jatidiri sukubangsa atau rasial dan
individu menjadi tidak relevan. Seseorang atau sekelompok orang Kulit Putih yang
tergolong keturunan WASP bisa saja mempunyai kebudayaan yang merupakan
kombinasi kebudayaan WASP dengan unsur-unsur kebudayaan India, Cina, dan
Jepang, atau yang lain.

Kebijakan untuk secara nasional dan sosial meredam atau menyimpan jatidiri
rasial atau sukubangsa, dan sebaliknya, menonjolkan ide keanekaragaman
kebudayaan atau masyarakat multikulturalisme, dapat dilihat sebagai sebuah
kebijakan yang bertujuan untuk meredam potensi-potensi konflik rasial dan
sukubangsa. Sebaliknya, kebijakan tersebut menonjolkan kekayaan, potensi-potensi
pengembangan, dan kemajuan melalui ide keanekaragaman kebudayaan yang
memang sejalan dengan dan mendukung berlakunya prinsip demokrasi dalam
kehidupan masyarakat.

Model masyarakat multikultural atau beranekaragam kebudayaan ini yang


telah berhasil meredam potensi-potensi konflik rasial dan kesukubangsaan perlu kita
pelajari dengan seksama dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya majemuk,
dan yang akhir-akhir ini telah dilanda oleh berbagai bentuk konflik rasial,
kesukubangsaan, dan keagamaan. Konflik-konflik itu sangat merugikan dan dapat
mencabik-cabik integrasi bangsa dan kebangsaan Indonesia. Menggeser idiom
masyarakat majemuk menjadi masyarakat beranekaragam kebudayaan sebagai
sebuah kebijakan politik kebudayaan pada tingkat nasional maupun lokal, akan

284
memungkinkan diterapkannya prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi itu dilandasi oleh
kesetaraan derajat individu atau warga, serta muncul dan mantapnya hak budaya
komuniti dalam kaitan keseimbangannya dengan kekuasaan negara atau
masyarakat. Dalam masyarakat yang multikultural tersebut demokrasi dapat
berkembang. Sebaliknya, demokrasi dapat mengembangkan masyarakat yang
multikultural. Hal ini disebabkan berlakunya prinsip perbedaan dan saling
menghargai perbedaan. Konflik atau persaingan berdasarkan atas hukum atau
aturan main yang adil dan beradab, yang tidak dapat ditawar oleh seseorang yang
mempunyai posisi tinggi atau kekuasaan yang besar.

*****

Kepustakaan

Bruner, EM., 1974, ‘The Expression of Ethnicity in Indonesia’, dalam A. Cohen


(Editor.), Urban Ethnicity. London: Tavistock. Him. 251 – 280.
Dew, E., 1972 ‘The Test of Consotional Democracy’, Plural Societies (3): 25 – 56.
–––––––––, 1974, ‘The Struggle for Ethnic Balance and Identity’, Plural Societies
(5):3 – 17.
–––––––––, 1978, The Difficult Flowering of Suriname: Ethnicity and Politics in a
Plural Society. The Hague: Martinus Nijhoff.
Dijk, K. van, 2001, A Country in Despair: Indonesia between 1997 and 2000. Leiden:
KLTV Press.
Glazer, N., 1997, We are All Multiculturalists Now. Cambridge, Masaachusets:
Harvard University Press.
Lubis, M. (peny.), 1994 Demokrasi Klasik dan Modem. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Milikan, M.F., n.d., Keadilan Sosial dan Produktivitas dalani Pembangunan’, dalam
M.Weiner (peny.) Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan. Voice of
America Lecture Series. Him. 181-194.

285
Suparlan, P., 1972, The Javanese in Bandung: Ethnicity in a medium sized
Indonesian City. Tesis MA tidak dipublikasikan. University of Illinoi
_________, 1991 “Yang Sakral Dalam Nilai-Nilai Budaya Amerika”. Jurnal Studi
Amerika 1(2):4—11.
–––––––––, 1995, The Javanese in Suriname: Ethnicity in an Ethnically Plural
Society.Tempe, Arizona: Program for Southeast Asian Studies, Arizona
State University.
–––––––––, 1999, ‘Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke
Multikulturalisme’, Jurnal Studi Amerika (5):43—52.
–––––––––, 2000a ‘Masyarakat Majemuk dan Perawatannya’, Antropologi Indonesia
25 (63): 1-13.
–––––––––, 2000b ‘Kerusuhan Sambas’, Jurnal Polisi Indonesia (2):71—85.
Reed, I. (Ed.)), 1998 Multi America : Essays cultural wars and cultural peace,
Pingguin.
USIS, t.t. Apakah Demokrasi Itu? Brosur.

286
9 Menuju
Masyarakat Indonesia
yang Multikultural
Pendahuluan

D
alam tulisan saya (Suparlan 2001a, 2001b) telah saya bahas dan tunjukkan
bahwa cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus
dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap
keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari cita-cita
tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya
hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya
keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran
produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan
rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan
tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia”
dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat majemuk”
(plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika
bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi
keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural


adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan
(Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini,
sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat
sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat
tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua
kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk

287
terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang
seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model multikulturalisme ini
sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia
dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana
yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan
bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang


multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila: (1) Konsep multikulturalisme
menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya
keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi
dan menjadi pedoman hidupnya; (2) Kesamaan pemahaman diantara para ahli
mengenai makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang
mendukungnya, dan (3) Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat
mewujudkan cita-cita ini.

Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia


untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia tetapi pada umumnya bagi orang
Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah konsep asing. Saya kira
perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para ahli yang kompeten
mengenai multikulturalisme di media massa daripada yang sudah ada selama ini.
Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi
ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman
kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus
mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung
ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum,
kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas,
prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

288
Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negaranegara
Eropah Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat
tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih
yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat
tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang
dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat, berbagai gejolak untuk persamaan hak
bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir
tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan
diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna di
tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan
Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action
yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk
dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di
berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat
Suparlan 1999).

Di tahun 1970-an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam


perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit Putih
yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam,
orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan
sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto
(1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997). Yang dilakukan oleh para
cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti
rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep
multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di
tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan
sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya
di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer
(1997) mengatakan bahwa ‘we are all multiculturalists now’ dia menyatakan apa
yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala
tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme
yang dilakukan sejak tahun 1970an.

289
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang
harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi,
HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah
ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya, dan
multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan
bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan
mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami
multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-
konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus
dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama
tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling
mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan
dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-
nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa,
kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-
ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan
konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002).

Pemahaman Tentang Multikulturalisme

Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan


diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan
antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai
oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi
dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan
kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya
bagi kehidupan manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan
karena itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang
juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman
adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.

290
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai
interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang
tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan
politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam
berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan
sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan
multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi
Indonesia.

Salah satu isyu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam
kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak
dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan
korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen
sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini
akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya
dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaan
manajemen yang dikaji. Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan
mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur
kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put)
menjadi keluaran (out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap
struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika
itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang
betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya
disembunyikan dari pengamatan umum)?

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan


manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau
pranata yang ada dalam masyarakat. Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber
daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang berkualitas. tetapi
pada masa sekarang ini kita, bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang
paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang negaranya
paling korup. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai
pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman

291
etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang
dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan
mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang
berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan manajemen
sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu
memberikan pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya
digunakan menurut dan sesuai dengan konteks-konteks macam kegiatan dan
organisasi.

Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai ‘Pedoman yang
berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah
profesi, yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai
yang mendukung dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku
sebagaimana seharusnya, sesuai dengan hak dan kewajibannya. Sehingga
peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses
masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno 1987).
Dalam ruang lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya
etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan birokrasi, dan
sebagainya. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat berbagai
pedoman etika yang ada atau tidak ada dalam berbagai struktur kehidupan atau
pengelolaan sumber-sumberdaya yang lebih khusus, misalnya pembahasan
mengenai “Akbar Tanjung dan Etika Politik” sebagaimana yang telah
dikemukakanoleh Alfian M (2002).

Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat


Indonesia yang multikultural adalah sangat kompleks. Apakah kita para ahli
antropologi sudah siap untuk itu? Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di
Indonesia ini juga sudah siap untuk itu? Dalam kesempatan ini saya ingin
menghimbau bahwa mungkin ada baiknya bila kita semua memeriksa diri kita
masing-masing mengenai kesiapan tersebut. Pertama, apakah secara konseptual
dan teoritikal kita cukup mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-
gejala yang menjadi ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari
32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat semacam
blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak multikultural? Kalau kita belum

292
mampu, sebaiknya kita persiapkanlah diri kita melalui berbagai kegiatan diskusi,
seminar, atau lokakarya untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita dan
mempertajam konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai
ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural. Kalau merasa
diperlukan, sebaiknya pimpinan dan dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi
dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting berkenaan dengan
peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita reformasi.
Pembicaraan para pimpinan jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk
mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi yang sesuai
dengan itu.

Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu? Kajian-kajian
etnografi yang tradisional, yang bercorak butterfly collecting sebagaimana yang
selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan
dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan
antropologi dewasa ini dan sesuai dengan upaya pembangunan masyarakat
Indonesia menuju masyarakat yang multikultural. Penelitian etnografi yang bercorak
penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi
yang terfokus dan mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang
tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang
akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga
kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons
dari responden atas sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk
dan mengenai multikulturalisme ini. Karena, kajian seperti ini hanya akan mampu
menghasilkan informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat
superfisial, dan menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat
diungkapkan melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian. Pendekatan kualitatif
dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka
statistiknya, sebaiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku
sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit oleh Denzin dan Lincoln (2000),
karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-
konteks masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya. Untuk itu perlu
juga diperiksa tulisan Guba dan tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-editnya

293
(1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang menjadi landasan
utama dari metodologi kualitatif.

Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian


multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan oleh ahli-ahli
antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu
ekonomi dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari
berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat,
mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan
multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian
akademik masing-masing. Sehingga secara bersama-sama tetapi melalui dan
dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju
masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif
berhasil dilaksanakan.

Upaya-upaya tersebut di atas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi, atau


gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau sejumlah jurusan lainnya yang ada
dalam sebuah universitas atau sejumlah universitas dalam sebuah kota untuk
mengorganisasi kegiatan-kegiatan diskusi, seminar kecil, atau lokakarya. Kegiatan-
kegiatan ini akan dapat dijadikan landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau
lokakarya yang lebih luas ruang lingkupnya. Dengan cara ini maka konsep-konsep
dan teori-teori serta metodologi berkenaan dengan kajian mengenai
multikulturalisme, masyarakat multikultural, dan perubahan serta proses-prosesnya
dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan itu semua akan dapat
dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di lapangan.

Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme, ahli-
ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai
memikirkan untuk memberikan informasi mengenai multikulturalisme kepada
berbagai lembaga, badan, dan organisasi pemerintahan yang dalam kebijaksanaan
mereka langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah multikulturalisme.
Hal yang sama juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh
masyarakat atau partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi

294
pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar, dan
lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial yang akan
mendukung dan bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila
mereka memahami makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang
berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan
ide tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau
mereka merasa tidak berkepentingan untuk turut melakukan reformasi.

Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan

Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan


dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-
proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor,
yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat
majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indonesia.
Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat
yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang
multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat
nasional dan lokal.

Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya


masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah
mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang
tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata
sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-
kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan
dalam hukum dan penegakkan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus
dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan
yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan
berbagai corak dinamikanya. Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman
etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral
dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya

295
dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen. Pedoman etika ini akan
membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.

Upaya-upaya tersebut di atas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila


pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai
tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidakinginan merubah
tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan
yang diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan
atas sumber-sumber daya yang ada dan pendistribusiannya. Mungkin peraturan
yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan
gaji dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat
dibatasi atau ditiadakan.

Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut di atas, sebaiknya Depdiknas R.I.


mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan
sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya
termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai
pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah (khususnya
untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antar-sukubangsa, seperti di Poso,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah
diskusi dengan tokoh-tokoh Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru
ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang
diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di sekolah-sekolah dalam upaya
mencegah terulangnya kembali di masa yang akan datang konflik berdarah antar-
sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat Suparlan 2002).

Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah


multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung cita-cita demokrasi akan hanya
kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai sebuah tema utama
dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan sumbangan antropologi
Indonesia bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Semuanya terpulang pada
keputusan kita bersama.

*****

296
Kepustakaan

Alfian M., M. Alfian, 2002, “Akbar Tanjung dan Etika Politik”. Harian Media Indonesia,
19 Maret 2002.
Bertens, K., 2991, Etika. Jakarta: Gramedia.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincolns (eds), 2000, Handbook of Qualitative
Research. Second Edition. London: Sage.
Fay, Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multiculturak
Approach. Oxford: Blackwell
Glazer, Nathan, 1997, We are All Multiculturalist Now. Cambridge, Mass.:Harvard
University Press.
Guba, Egon G.(ed.), The Paradigm Dialog. London: Sage.
Jary, David dan Julia Jary, 1991, “Multiculturalism”. Hal.319. Dictionary of Sociology.
New York: Harper.
Magnis-Suseno, 1987, Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Nieto, Sonia, 1992. Affirming Diversity:: The Sociopolitical Context of Multicultural
Education. . New York: Longman.
Reed, Ishmed (ed.). 1999. Multi America: Essays on Culture Wars and Peace..
London: Pinguin.
Rex, John, 1985, “The Concept of Multicultural Society”. Occasional Paper in Ethnic
Relations, No. 3. Centre for Research in Ethnic Relations (CRER).
Suparlan, Parsudi, 1999, “Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke
Multikulturalisme”. Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus, hal. 35-42.
_________, 2001a, “Bhinneka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau
Kebudayaan? Makalah disampaikan dalam Seminar Menuju Indonesia
Baru. . Perhimpunan Indonesia Baru – Asosiasi Antropologi Indonesia.
Yogyakarta, 16 Agustus 2001.
_________, 2001b, “Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme”. Harian
Media Indonesia, 10 Desember 2001.
_________, 2002a, “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia, no. 6,
hal. 1-12.

297
_________, 2002b, Konflik Antar-Sukubangsa dan Upaya Mengatasinya. . Temu
Tokoh. “Dengan Keberagaman Etnis Kita Perkokoh Persatuan dan
Kesatuan Bangsa dalam Rangka Menuju Integrasi Bangsa”. Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian
dan Pengembangan Budaya - Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
(BKNST) Pontianak. Singkawang, 12-14 Juni 2002.
Watson, C.W., 2000, Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University
Press.

298
10 Keyakinan
Keagamaan
dalam Konflik
Antar-Sukubangsa

Pendahuluan

T
ulisan ini ingin menunjukkan bahwa dalam konflik antar-sukubangsa, corak
kesukubangsaan yang individual merupakan milik perorangan berubah
menjadi kategorikal. Yang menjadi sasaran untuk dihancurkan oleh masing-
masing anggota sukubangsa yang mengalami konflik bukan lagi orang-perorangan
dan bukan pula kelompok, melainkan kategori sukubangsa. Sukubangsa itu yang
menjadi musuh sesuai dengan ciri-ciri atau atribut-atribut yang menjadi acuan dan
kesukubangsaannya. Apa pun dan siapa pun yang mempunyai atau ditempeli
atribut-atribut kesukubangsaan yang menjadi musuh dalam konflik antar-sukubangsa
akan dihancurkan. Karena itu, penghancuran terhadap kategori berdasarkan ciri-ciri
kesukubangsaan tersebut tidak mengenal batasan umur, jenis kelamin, posisi sosial
atau keyakinan keagamaan, dan tidak pula mengenal batasan nilai uang dari barang
dan harta benda yang dihancurkan. Tulisan ini juga ingin menunjukkan bahwa dalam
setiap konflik antar-sukubangsa, terserap muatan emosi dan keyakinan keagamaan
para pelakunya. Karena itu, konflik antar-sukubangsa dapat digeser atau diubah dari
konflik antar-sukubangsa menjadi konflik antar-agama, atau lebih tepatnya, konflik
antara para penganut keyakinan keagamaan yang berbeda. Walaupun demikian,
tidaklah berarti bahwa setiap konflik antar-sukubangsa akan dapat berubah menjadi
konflik antar agama.

299
Di satu pihak, keyakinan keagamaan para pelakunya dilihat sebagai
memperkuat kesukubangsaan, dan menyemangati semangat penghancuran kategori
sukubangsa yang menjadi musuhnya. Di lain pihak, keyakinan keagamaan para
pelakunya dilihat sebagai mendominasi kesukubangsaan, dan mengambil alih fungsi
kesukubangsaan sebagai kategori yang menjadi sasaran penghancuran, sehingga
konflik antar-sukubangsa berubah menjadi konflik antar agama. Di samping itu,
persaudaraan umat di antara penganut agama yang sama, yaitu sesama penganut
agama Islam dan dua kategori sukubangsa yang bermusuhan, dapat tidak berfungsi
atau tidak bermakna dalam menjembatani perbedaan, dan mengurangi tingkat
konflik dalam konflik antar-sukubangsa. Karena itu, konflik antar-sukubangsa tidaklah
dapat secara semena-mena dinyatakan sebagai tergolong kategori primordial atau
yang mengakar, yang pemecahannya menggunakan rumus-rumus umum untuk
dapat didamaikan (Bloomfield dan Reilly 2000:11-30; dan Bloomfield, Ghai, dan
Reilly. 2000:33-50). Begitu pula konflik antar-sukubangsa tidak dapat dikatakan
sebagai akibat dan kesenjangan sosial, atau karena benturan dari kebudayaan yang
berbeda, sebagaimana dinyatakan oleh para pakar di Indonesia, seperti Nitibaskara
(2001). Konflik antar-sukubangsa sebetulnya adalah produk dari hubungan antar-
sukubangsa yang berlaku setempat. Karena itu, faktor-faktor penyebab dan coraknya
ada dalam konteks-konteks setempat.

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa konflik antar-sukubangsa adalah konflik


antara kelompok sukubangsa yang tergolong pribumi dengan kelompok sukubangsa
yang tergolong pendatang, yang diakibatkan oleh adanya perbuatan sejumlah warga
pendatang yang bertindak sebagai preman dan kriminal, yang telah mendominasi
hampir keseluruhan bidang kehidupan dengan cara-cara kekerasan dan teror.
Konflik antar-sukubangsa, dari satu perspektif, dapat dilihat sebagai sebuah gerakan
pembersihan, atau purifikasi terhadap berbagai bentuk polusi yang diakibatkan oleh
berbagai perbuatan golongan sukubangsa yang menjadi lawan. Kasus-kasus yang
akan digunakan dalam kajian ini adalah konflik tahap awal antara orang BBM (Buton,
Bugis, Makassar) dengan orang Ambon di Ambon; konflik Melayu-Madura di
Sambas, Kalimantan Barat; dan konflik Dayak-Madura di Kalimatan Tengah

Preman dan kriminal dalam pendominasian

300
Konflik antar-sukubangsa di Sambas, Ambon, dan Kalimantan Tengah selalu
bermula dari adanya perbuatan pendominasian tempat-tempat umum dari kehidupan
komuniti warga setempat oleh para preman dan kriminal. Pendominasian dilakukan
dengan berbagai cara preman dan kriminal: pemalakan, tuntutan uang keamanan,
penipuan, perampasan, pencurian, dan perampokan. Dengan kata lain,
pendominasian dilakukan dengan cara kekerasan dan ancaman atau teror.

Pasar dan tempat-tempat umum dapat dilihat sebagai pranata dengan norma-
norma dan nilai-nilai budaya yang dilandasi oleh prinsip tawar menawar secara
terbuka dan sukarela di antara para pelaku yang saling berkepentingan. Tawar
menawar yang terjadi terwujud sebagai interaksi kekuatan di antara para pelaku.
Siapa yang mempunyai kekuatan yang berlebih akan memperoleh apa yang
diinginkannya secara lebih murah daripada seharusnya, yakni diuntungkan.
Kekuatan tersebut berupa uang, jasa, atau benda berharga. Secara lebih khusus,
dalam tawar menawar, berlaku juga interaksi kekuatan yang mengaktifkan kekuatan
acuan yang askriptif (anak atau keluarga pejabat) maupun kekuatan yang diperoleh
(anak buah pejabat setempat) (lihat Suparlan 1996).

Pasar dan tempat-tempat umum, tempat-tempat berlakunya tawar menawar


jasa, benda berharga, dan uang, mempunyai aturan atau norma-norma yang
terwujud sebagai kovensi-konvensi sosial, atau adat kebiasaan yang isinya
menekankan prinsip-prinsip kesopanan dan keadilan bagi para pelakunya. Di
tempat-tempat umum ini, pendapat umum atau para pelakunya memainkan peranan
penting dalam proses terwujudnya keteraturan sosial setempat. Di samping itu, di
tempat-tempat umum tersebut terdapat pula petugas-petugas keamanan yang
peranannya adalah memberikan rasa aman bagi para pelaku, dan menegakkan
keteraturan sosial yang berlaku.

Apa yang dilakukan oleh para preman dan kriminal di pasar dan di tempat-
tempat umum sebenarnya menyalahi, atau bertentangan dengan prinsip tawar
menawar menurut adat kebiasaan yang berlaku. Tawar menawar yang berlaku bagi
para preman tidak lagi menggunakan uang, benda, dan jasa atau dengan
menekankan pada penggunaan prinsip-prinsip kesopanan dan keadilan. Para

301
preman tersebut menggunakan cara-cara paksa dengan menggunakan kekuatan
fisik, baik secara orang-perorang maupun kelompok. Mereka juga menggunakan
kekuatan senjata, dan acuan yang berintikan ancaman semi teror (‘Awas! Nanti
kamu akan disakiti! Awas! Nanti kamu, aku bunuh!’).

Pemaksaan yang dilakukan secara sepihak oleh preman dan kriminal ini telah
menciptakan suasana ketakutan dan ketidak berdayaan bagi para pelaku di pasar
dan di tempat-tempat umum. Mereka merasakan suatu ketidak-adilan yang
menakutkan, karena merasakannya sebagai teror. Adat kebiasaan yang menjadi
acuan bertindak di pasar dan di tempat-tempat umum yang semula dirasakan
sebagai sopan, adil dan terbuka, telah berubah menjadi sebuah aturan yang harus
ditaati, karena adanya ancaman keselamatan jiwa dan harta benda yang lebih besar
nilainya. Para pelaku tidak berani dan tidak mampu untuk melawan para preman ini
guna mengatasi suasana yang mencekam tersebut. Mereka tidak terbiasa untuk
menggunakan kekuatan fisik dan senjata sebagaimana dilakukan oleh para preman
dan kriminal dalam proses tawar-menawar di pasar dan tempat-tempat umum.
Dengan kata lain, para preman dan kriminal dari sebuah golongan kesukubangsa
telah menciptakan aturan-aturan baru di pasar dan tempat-tempat umum yang
merugikan para pelaku yang berasal dari sukubangsa setempat dan sukubangsa-
sukubangsa lainnya, sebagaimana yang terjadi di Sambas dan Ambon pada tahap
permulaan terjadinya konflik (lihat Suparlan 1999a,1999b, 2000).

Hal yang sama juga berlaku pada tingkat kehidupan komuniti-komuniti


setempat. Berbagai aturan dan nilai budaya yang merekankan pentingnya adab,
sopan santun, dan keadilan yang terwujud sebagai adat kebiasaan dalam hubungan
antar-perorangan, antar-tetangga dan antar-komuniti desa, dilanggar oleh para
pendatang yang preman. Pelanggaran terwujud dalam bentuk penipuan, pencurian
dengan ancaman kekerasan, dan perampasan, seperti yang terjadi di Sambas
(Suparlan 1999a, 2000), dan di Palangka Raya. Berbagai aturan dalam adat
kebiasaan komuniti desa menjadi berubah oleh adanya pendominasian secara
paksa. Perasaan was-was dan tidak aman dalam kehidupan sehari-hari menjadi
berkembang. Perasaan was-was dan takut itu terutama ditujukan terhadap mereka
yang tergolong dalam sukubangsa asal preman dan kriminal yang telah
mendominasi tatanan kehidupan mereka. Untuk melawan, mereka tidak berani,

302
karena tidak terbiasa untuk berinteraksi dengan sesamanya dengan cara paksa dan
mau menangnya sendiri.

Apa yang menarik dan yang terjadi di Ambon pada tahap permulaan konflik di
tahun 1999 dan di Sambas dalam konflik antara Orang Melayu dengan orang
Madura di tahun 1999? Sumber konflik yang terjadi di Sampit dan Kalimantan
Tengah yang dimulai akhir bulan Pebruari 2001 ternyata mempunyai acuan dasar
yang sama dengan yang terjadi di Sambas dan pada prinsipnya sama dengan yang
terjadi di Ambon. Konflik dimulai oleh perbuatan preman dan ada pendominasian
preman yang merupakan sukubangsa pendatang di pasar dan tempat-tempat umum.

Dampak dari pendominasian dengan kekerasan dan teror secara preman dan
kriminal telah menyebabkan: (1) kemunculan kesadaran dan kemantapan
kesukubangsaan pada mereka yang merasa ditidak adili, dan yang menjadi tidak
berdaya sebagai lawan dari kesukubangsaan para preman dan orang-orang yang
tergolong sebagai sukubangsa si preman; (2) kemunculan dan kemantapan stereotip
dan prasangka terhadap mereka yang tergolong sukubangsa si preman dan pelaku
kriminal yang didasari oleh kebencian yang mendalam; dan (3) kebencian yang
mendalam, yang dipicu oleh peristiwa kesewenang-wenangan preman dan pelaku
kriminal, telah memunculkan perlawanan secara orang per orang dan kelompok-
kelompok kecil dan orang-orang muda dan remaja terhadap dominasi preman dan
pelaku kriminal.

Perlawanan-perlawanan kecil inilah yang menjadi landasan bagi muncul dan


merebaknya konflik antar-sukubangsa, baik di Sambas dan Ambon, maupun di
Sampit dan wilayah lain di Kalimantan Tengah. Apa yang menarik untuk diperhatikan
dari dicermati adalah bahwa dalam konflik antar-sukubangsa terdapat proses-proses
yang bertahap dari konflik-konflik antar-perorangan dan antar-kelompok kecil sebagai
perlawanan terhadap para preman dan pelaku kriminal, yang kemudian berubah dan
bergeser menjadi konflik secara massal antar kategori sosial, yaitu kategori
sukubangsa. Apa yang saling dijadikan sasaran untuk dihancurkan dalam konflik
antar-sukubangsa bukan lagi hanya orang-perorang atau kelompok, melainkan
kategori sukubangsa dengan ciri-ciri stereotip yang menjadi atribut-atribut
kesukubangsaannya.

303
Hubungan dan Konflik Antar-Sukubangsa

Konflik antar-sukubangsa adalah produk dari ‘hubungan antar-sukubangsa’.


Jadi, hal itu berbeda dari pendapat para pakar Indonesia terkenal yang mengatakan
bahwa konflik antar-sukubangsa di Indonesia telah terjadi karena adanya
perbenturan kebudayaan dan kesenjangan sosial. Jika konflik antar-sukubangsa
dilihat sebagai benturan kebudayaan maka hubungan antar-sukubangsa harus dilihat
sebagai hubungan antar-kebudayaan. Karenanya, hal itu harus dilihat sebagai
masalah tidak terwujudnya atau terhambatnya akulturasi di antara dua sukubangsa
yang konflik. Akulturasi di antara dua kebudayaan sukubangsa bisa saja terwujud,
tetapi konflik di antara dua sukubangsa tersebut tetap berjalan. Hubungan antar-
sukubangsa adalah hubungan sosial di antara dua jatidiri atau lebih. Masing-masing
jatidiri tersebut adalah jatidiri yang mendasar dan umum berkenaan dengan asal
keturunan dan daerah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan (Barth 1969:9-39).
Jatidiri tersebut muncul dalam interaksi sosial dengan mengaktifkan simbol-simbol
yang bersumber pada ciri-ciri fisik dan kebudayaan mereka. Simbol-simbol itu
digunakan sebagai atribut-atribut yang saling diakui kedua belah pihak yang saling
berinteraksi. Jadi, dalam hubungan antar-sukubangsa yang berinteraksi adalah para
pelakunya, sedangkan kebudayaan para pelaku digunakan sebgai acuan untuk
kepentingan interaksi.

Sukubangsa sebagai kategori sosial yang askriptif dalam hubungan antar-


kebudayaan, dalam interaksi antar-sukubangsa berfungsi sebagai posisi-posisi
dalam struktur-struktur interaksi sebagaimana didefinisikan oleh para pelakunya
dengan mengacu pada sejarah pola-pola interaksi yang berlaku di antara mereka.
Pernyataan penggunaan simbol-simbal budaya sebagai acuan bagi jatidiri orang per
orang dan para pelaku yang berbeda sukubangsanya seperti tersebut di atas, harus
dipahami sebagai kenyataan obyektif yang bertolak dari pengakuan subyektif para
pelaku tersebut mengenai ciri-ciri yang benar dari masing-masing atribut jatidiri para
pelakunya. Oleh karena itu, pengakuan kesukubangsaan seseorang harus diakui
oleh pihak lainnya.

304
Pada waktu konflik antar-perorangan terjadi, maka konflik tersebut adalah
konflik antar-individu yang dapat melibatkan teman dan kelompok masing-masing.
Jatidiri perorangan dari masing-masing pihak yang terlibat konflik masih ada dan
dikenali. Tetapi, pada waktu konflik tersebut diaktifkan oleh masing-masing pihak
sebagai konflik antar-sukubangsa, sebagaimana yang terjadi di Sambas dan
Kalimantan Tengah, konflik tersebut berubah menjadi konflik antar-kategori
sukubangsa. Yang dimusuhi dan dihancurkan adalah atribut-atribut kesukubangsaan
pihak lawan yang terwujud dalam bentuk orang-perorang dan harta benda yang
dimilikinya.

Apa yang menarik dalam kasus-kasus konflik antar-sukubangsa di Sambas


(Melayu lawan Madura), Ambon (Ambon lawan Buton, Bugis, Makassar) pada tahap
permulaan, dan Kalimantan Tengah (Dayak lawan Madura) adalah bahwa konflik
tersebut telah terjadi antara warga pendatang dengan pribumi setempat. Dalam
konflik ini. penduduk pribumi atau sukubangsa setempat berusaha mengambil alih
kembali sumberdaya-sumberdaya yang mereka miliki yang telah diambil oleh
sukubangsa pendatang. Kelompok-kelompok sukubangsa setempat melakukannya
dengan cara-cara kekerasan dan teror yang sama, atau bahkan lebih mengerikan
daripada yang telah dilakukan oleh pendatang. Yang mereka lakukan adalah bagian
dari suatu upaya yang lebih luas lagi, yaitu mengembalikan pola-pola kehidupan
berdasarkan kebudayaan mereka sendiri yang terwujud sebagai adat atau tatanan
sosial yang sebelumnya berlaku, yang mereka anggap sebagai yang benar, adil, dan
beradab. Hal yang juga menarik untuk diperhatikan adalah bahwa konflik antar-
sukubangsa tersebut di atas bermula dari perbuatan para preman, tetapi yang
kemudian menjadi korban konflik bukanlah si preman. Setelah melihat gelagat
bahwa mereka akan kalah, dengan cepat para preman itu melarikan diri. Orang-
orang biasa yang tertinggal, yang bukan preman dan tidak terbiasa menggunakan
cara-cara kekerasan, tidak berdaya melawan serbuan anggota-anggota sukubangsa
setempat. Mereka inilah yang menjadi korban utama dalam konflik antar-
sukubangsa.

Upaya penghancuran yang dilakukan oleh orang-orang Melayu terhadap


orang-orang Madura di Sambas, oleh orang-orang Dayak terhadap arang-orang

305
Madura, dan oleh orang-orang Ambon terhadap orang-orang Buton, Bugis,
Makassar, dalam perspektif mereka sebagai anggota sukubangsa pribumi setempat,
adalah upaya pengusiran dan pembersihan unsur-unsur pihak sukubangsa
pendatang yang telah mengotori kehidupan mereka dan lingkungannya (lihat
Douglas 1966). Polusi yang telah dibuat oleh para anggota sukubangsa pendatang
tersebut hanya menghasilkan malapetaka. Oleh karena itu, harus dibersihkan dari
kehidupan dan dari bumi tempat sukubangsa pribumi hidup.

Konsep membersihksn polusi tersebut nampak jelas dalam konflik antara


Dayak dengan Madura di Sampit dan di wilayah-wilayah Kalimantan Tengah pada
umumnya. Untuk itu, orang-orang Dayak mengadu pada para dewa dan leluhurnya.
Oleh para dewa dan leluhunnya, mereka diberi petunjuk untuk melakukan upacara
mengundang nayau atau nayu yang sebenarnya adalah dewa petir atau dewa
perang. Nayau tersebut diundang untuk merasuk ke dalam tubuh orang-orang Dayak
tertentu, yang mau dan mampu berperang melawan orang-orang Madura untuk
mengusir dan membersihkan polusi atau kotoran dari wilayah kehidupan mereka.

Dalam konsep mereka, pada saat mengadukan nasib kepada para dewa dan
nayau, mereka sebenarnya menyerahkan nasib kehidupan dan lingkungan hidupnya
kepada para dewa dan nayau tersebut. Jawaban dari nayau untuk bersedia turun ke
dunia melalui tubuh-tubuh orang Dayak yang merupakan anak cucu keturunannya,
merupakan ungkapan kemarahan mereka kepada para pendatang yang telah
mengotori lingkungan kehidupan dan menyengsarakan si anak cucu. Cara-cara yang
sama juga dilakukan oleh orang-orang Dayak di Sambas, Kalimantan Barat.

Oleh orang-orang Dayak, kegiatan ini dilihat sebagai suatu kegiatan yang
sakral, yaitu untuk menyucikan tatanan hidup dari bumi tempat mereka hidup.
Apabila proses pembersihan dari polusi dianggap telah selesai, yaitu telah tidak ada
lagi orang-orang Madura di bumi mereka, maka para nayau tersebut dapat diminta
untuk kembali ke langit. Pada waktu nayau telah dikembalikan ke langit, orang-orang
Dayak akan dapat kembali lagi menjalani kehidupan yang normal, dan orang-orang
Madura yang semula disingkirkan atau diungsikan, dapat diterima kembali dalam
kehidupan mereka sebagai warga masyarakatnya. Syaratnya sebagaimana yang
mereka nyatakan adalah orang-orang Madura itu sebaiknya tidak menghasilkan

306
polusi baru. Dengan perkataan lain, sebaiknya yang datang ke Kalimantan Tengah
adalah mereka yang bukan preman atau pelaku kriminal, yaitu mereka yang jelas
jatidiri dan status pekerjaannya.

Sebaliknya, orang-orang Melayu di Sambas, Kalimantan Barat, tidak


mempunyai konsep pembersihan dari polusi. Apa yang mereka yakini adalah bahwa
perang terhadap orang-orang Madura adalah perang suci, yaitu melawan dan
menghancurkan kebatilan dan kejahatan yang selama ini telah menghantui
kehidupan mereka. Menurut mereka, orang-orang Madura itu berbekal ilmu yang
telah membuat mereka itu sakti dan kebal. Oleh karena itu, dalam persiapan perang
dengan orang-orang Madura mereka juga membekali diri dengan berbagai kekuatan
gaib, agar dapat mengalahkan orang-orang Madura.

Kelompok pemuda-pemuda Melayu yang pertama kali memelopori


penyerangan dan pembantaian terhadap tokoh-tokoh preman dan gerombolannya di
kota Tebas dan Pemangkat, adalah mereka yang kerasukan kamang tariu (sama
dengan nayau atau nayu di Kalimantan Tengah). Menurut keterangan yang saya
peroleh pada waktu melakukan penelitian di Sambas, mereka sebenarnya masih
keturunan orang Dayak, dan mengikuti upacara matok atau nyaru tariu untuk
meminta tolong agar dapat mengalahkan dan mengusir orang-orang Madura yang
telah merusak kehidupan mereka. Para pemuda lainnya yang kemudian juga ikut
menyerang dan mengusir orang-orang Madura menggunakan pula berbagai macam
jimat. Di antara jimat-jimat tersebut ada secarik kertas bergambar almarhum Sultan
Sambas dengan berbagai kutipan ayat-ayat Al Qur’an. Salah satu di antaranya
adalah secarik kertas dengan gambar Bung Karno yang dihiasi dengan surat Al
Fatihah, atau sepotong ayat dari surat Yassin, atau ayat-ayat lainnya. Di antara
pemuda-pemuda Melayu. ada juga yang mandi di kolam sin yang terdapat di
kompleks bangunan istana Sultan Sambas, karena mereka percaya bahwa air kolam
tersebut bertuah dan dapat rnembuatnya kebal dari senjata lawan.

Di Ambon, pada tahap permulaan konflik, bulan Februari-Maret 1999,


serangan pemuda-pemuda Ambon beragama Kristen terhadap orang-orang BBM
setelah selesai sholat Idul Fitri di mesjid Al Fatah, telah diinterpretasi oleh orang-
orang Islam sebagai penyerangan terhadap umat Islam. Pendapat ini juga

307
dikemukakan oleh beberapa tokoh masyarakat Islam di kampung Batu Merah,
Ambon, dalam wawancara yang saya lakukan. Sebaliknya, orang-orang Ambon
beragama Kristen menyatakan bahwa musuh mereka adalah BBM dan bukannya
umat Islam. Tetapi mereka mengatakan bahwa karena BBM itu Islam, maka
serangan terhadap BBM dapat dilihat sebagai serangan terhadap Islam. Dalam
wawacara saya dengan Kepala Desa atau Raja dari desa Soya yang terletak di
dataran tinggi di pinggir kota Ambon, saya memperoleh informasi bahwa di samping
berdoa di gereja sebelum menyerang BBM, mereka juga rnemanggil roh-roh nenek
moyang dan dewa-dewa untuk membantunya memenangkan peperangan melawan
BBM. Mereka percaya bahwa orang-orang BBM juga berbekal jimat dan kekuatan
magis.

Isu Perang Agama

Menarik untuk diperhatikan dan dikaji, adanya isu perang agama untuk
mengambarkan konflik antar-sukubangsa dalam penelitian saya mengenai konflik
antar-sukubangsa yang telah terjadi di Kabupaten Sambas pada tahun 1997 antara
Madura-Dayak, tahun 1999 antara Madura-Melayu yang diikuti konflik antara
Madura-Dayak, di Ambon pada tahun 1999 antara BBM-Ambon, dan di antara
Madura-Dayak di KalimantanTengah.

Isu bahwa konflik Madura-Dayak di Sanggo Ledo, Sambas, pada tahun 1997
sebagai perang agama muncul pada tahun 1997 - 1998. Dalam wawancara saya
dengan sejumlah warga Madura di kota Singkawang pada tahun 1997, isu ini
disampaikan kepada saya. Mereka mengatakan bahwa konflik Madura-Dayak adalah
konflik antara Kristen dengan Islam. Saya mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin
terjadi, karena orang-orang Dayak yang dengan ganas membunuh orang-orang
Madura dan menyantap mereka adalah orang-orang Dayak yang masih menganut
agama nenek moyangnya. Mereka adalah orang-orang dari desa Sungkung dan
sekitarnya, di daerah dekat perbatasan dengan Sarawak.

Pada tahun 1998, pada saat saya melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh
masyarakat di Kalimantan Barat, di kota Singkawang, dalam upaya agar konflik

308
Madura-Dayak tidak terulang lagi di masa datang, yang antara lain dihadiri oleh
tokoh Madura Haji Soleman, mereka menyatakan kembali bahwa konflik Madura-
Dayak adalah upaya orang-orang Kristen untuk meluaskan agamanya dengan cara
menghancurkan orang-orang Madura yang pembela Islam. Saya jelaskan kepada
para tokoh ini bahwa hal itu hanya isu saja, karena di lapangan tidak ada buktinya.
Bahkan, saya tunjukkan foto-foto di Sanggo Ledo dan sekitarnya, tempat pusat
konflik terjadi, yang tidak ada satu langgar (mushola) atau mesjid pun yang dibangun
oleh orang Madura dihancurkan atau dibakar. Bahkan, tidak ada satu madrasah pun
yang rusak.

Pada tahun 1999, pada saat terjadi konflik Madura-Melayu di Sambas, isu
perang agama tidak muncul. Begitu pula pada saat konflik Madura-Melayu ini
kemudian diikuti oleh konflik Madura-Dayak, isu sebagai perang agama juga tidak
muncul. Dalam wawancara saya di tahun 1999 dengan beberapa tokoh Madura di
kota Singkawang, antara lain dengan seorang tokoh muda anggota DPRD, saya
tanyakan pendapatnya mengenai dibakarnya langgar dan madrasah milik orang
Madura oleh orang-orang Melayu. Dia tidak dapat menjelaskan mengapa hal itu
sampai terjadi.

Dalam wawancara dengan tokoh-tokoh Melayu, beberapa orang di antaranya


menyatakan bahwa dihancurkannya langgar dan madrasah adalah karena
ketidaksengajaan. Api yang membakar rumah-rumah di sekelilingnya menjalar tanpa
kendali dan membakar langgar dan madrasah yang terletak di dekatnya. Dari
beberapa orang lainnya saya memperoleh keterangan bahwa langgar dan madrasah
tersebut dibakar, karena orang-orang Madura bukanlah orang Islam yang baik.
Mereka menyatakan bahwa orang-orang Madura itu eksklusif. Agama Islam mereka
itu berbeda dari agama Islam yang dianut oleh orang-orang Melayu. Mereka
mengatakan bahwa orang-orang Madura tidak pernah sholat berjamaah di mesjid
orang Melayu dan juga sebaliknya. Orang Madura, pada saat sholat berjamaah
menggunakan bahasa Madura dalam berkhotbah, karena itu hanya mereka yang
mengerti maknanya. Begitu pula pada saat sholat berjamaah lima waktu, tiba-tiba
saja ada yang meraung-raung menangis atau berteriak-teriak tanpa memperdulikan
jemaah lainnya, dan bersembahyang melebihi raka’at yang telah ditentukan. Saya
tanyakan kepada seorang tokoh Madura di Pontianak, dan menurut keterangannya,

309
si orang Madura tersebut telah melakukan perbuatan berdosa. Ia baru selesai
merampok, menyakiti. atau membunuh orang lain, dan untuk itu meminta ampun
kepada Tuhan.

Dalam konflik antara Madura-Dayak di Kalimantan Tengah, yang terjadi di


Sampit dan di Palangka Raya, orang-orang Dayak yang terutama memegang
peranan penting dalam mengundang nayau untuk berpartisipasi dalam perang
melawan orang-arang Madura adalah mereka yang menganut agama Hindu
Kahaningan (agama asli nenek moyang mereka). Berbagai upacara yang dilakukan
berkaitan dengan nayau dibantu pembiayaannya, dan upacaranya dihadiri oleh
orang-orang Dayak yang beragama Islam dan Kristen. Orang-orang Dayak di
Kalimantan Tengah yang memeluk agama Islam tetap menamakan diri, dan
dinamakan oleh lainnya sebagai Dayak. Kesukubangsaan Dayak adalah kategori
tertinggi dan paling umum bagi mereka. Kategori Dayak ini mencakup berbagai
kategori yang lebih rendah dan lebih khusus seperti agama dan asal sehingga di
Kalimantan Tengah ada kategori Dayak Islam, Dayak Kristen, atau Dayak
Kahaningan. Gejala ini berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan Barat. Seorang
Dayak yang masuk Islam akan menyatakan dirinya dan dinyatakan oleh orang lain
sebagai masuk Melayu, atau di Kalimantan Selatan sebagai masuk Banjar. Mungkin
hal itu disebabkan oleh tidak adanya kerajaan Islam di Kalimantan Tengah yang
menjadi pusat orientasi kesukubangsaan dan budaya dari orang-orang Dayak yang
hidup di sekelilingnya. Kalimantan Tengah berbeda dari Kalimantan Barat dengan
kesultanan Melayu dan di Kalimantan Selatan dengan kesultanan Banjar.

Bekas kerajaan Melayu di propinsi Kalimantan Tengah hanya terdapat di


Kabupaten Kotawaringin Barat, yang berjarak kira-kira 500 km dari Palangka Raya.
Karena itu, orang-orang Madura yang hidup di luar wilayah Kalimantan Tengah
menganggap bahwa orang Dayak di Kalimantan Tengah beragama Kristen atau
Kaharingan. Anggapan yang tidak benar tersebut menyebabkan mereka melihat
konflik Madura-Dayak di Kalimantan Tengah sebagai perang agama. Dalam upaya
untuk memahami dampak konflik Madura-Dayak di Kalimantan Tengah, dalam
kegiatan penelitian yang saya lakukan bulan Maret tahun 2001 yang lalu, saya dan
tim mengakhiri kegiatan penelitian dengan mengunjungi kota Banjarmasin. Di
Banjarmasin, atas bantuan dari Kapolda Kalsel dan Kapolwiltabes Banjarmasin, saya

310
dan tim berkesempatan untuk berdiskusi dengan tokoh-tokoh Madura dari kota
Banjarmasin. Salah seorang di antara tokoh tersebut, dosen Universitas Lambung
Mangkurat dan juga mubalig mengatakan bahwa :
...konflik Madura-Dayak di Kalimantan Tengah adalah perang agama. Agama
Islam hancur karena orang-orang Madura sebagai pendekar Islam
dihancurkan oleh orang-orang Dayak yang beragama Kristen dan Kaharingan.
Di kota Sampit dan tempat-tempat lainnya di Kalimantan Tengah sudah tidak
lagi terdengar suara adzan dan mesjid-mesjid mati karena sudah tidak ada
lagi umat Islam.

Saya jelaskan kepada yang besangkutan, bahwa apa yang dikatakannya itu
tidak benar. Melalui data kependudukan yang saya peroleh dari kantor gubernur
Kalimantan Tengah, saya ketahui bahwa jumlah penduduk Kalimantan Tengah yang
beragama Islam adalah sebanyak 60%. Sebagian besar di antaranya adalah orang
Dayak setempat.

Bagi saya, apa yang dikatakan oleh tokoh Madura di Banjarmasin, maupun
yang sebelumnya telah dikemukakan oleh tokoh-tokoh Madura di Kalimantan Barat,
menarik untuk diperhatikan. Terdapat kesan bahwa konflik Madura-Dayak ingin
diperluas skalanya dan digeser inti permasalahannya dari konflik antar-sukubangsa
menjadi konflik antar-penganut keyakinan keagamaan yang berbeda, sehingga
konflik yang terjadi adalah konflik antar-agama. Perluasan skala konflik dengan
mengaktifkan isu keagamaan, diperkirakan akan dapat menarik dukungan
berdasarkan semangat primordial persaudaraan umat Islam, sebagaimana terjadi di
Ambon dan Maluku Utara. Dengan memperluas skala konflik dan menggeser inti
permasalahannya, maka orang Madura akan terselamatkan, perbuatan keji dari para
preman akan terhapus, dan bahkan mereka dapat menjadi pahlawan jihad.

Upaya menggunakan isu perang agama yang diaktifkan oleh tokoh-tokoh


Madura dalam konflik antar-sukubangsa di Sambas, Kalimantan Barat, dan
Kalimantan Tengah tidak berhasil, karena secara logika tidak masuk akal, dan tidak
didukung oleh fakta. Konflik terbesar di Sambas tahun 1999 adalah konflik di antara
mereka dengan orang Melayu yang sama-sama merupakan umat Islam. Di Ambon,
konflik antar-sukubangsa berhasil digeser oleh tokoh-tokoh Islam menjadi konflik
antar agama, karena secara logika masuk akal, walaupun tidak didukung oleh fakta

311
yang benar. Fakta yang secara obyektif tidak benar, dapat menjadi benar secara
subyektif pada saat dilihat dalam perspektif logika yang lain. Salah satu di antara
acuan yang digunakan oleh tokoh-tokoh Islam di Ambon dalam melihat
permasalahan itu dengan perspektif lain adalah fakta mengenai penyerangan yang
dilakukan oleh orang-orang Ambon (yang Kristen) terhadap orang-orang BBM (yang
Islam) seusai menjalankan sholat Ied di mesjid Al Fatah. Isu itu menjadi penyerangan
oleh orang-orang Ambon yang Kristen terhadap orang-orang Islam (tidak disebutkan
bahwa mereka ini BBM) seusai menjalankan sholat Idul Fitri di mesjid Al Fatah. Isu
ini menjadi nampak benar dan menjadi bukti sahih tentang perbuatan orang-orang
Kristen yang memulai perang dengan orang-orang Islam. Berdasarkan isu itu, maka
semangat primordial solidaritas Islam berdasarkan persaudaraan Islam dapat
dibangun, termasuk dikirimkannya pasukan jihad ke Ambon yang direstui oleh Amien
Rais sebagai Ketua M.P.R. R.I, di Lapangan Monas Jakarta.

Upaya menggeser konflik antar-sukubangsa tahap permulaan di Ambon juga


dilakukan oleh provokator-provokator. Salah seorang warga Desa Hitu yang
berlokasi di bagian Utara-Barat Laut pulau Ambon, yang ditangkap dan ditahan di
Kantor Polda Maluku di kota Ambon, pernah saya wawancarai di kantor Polda pada
bulan April 1999. Menurut keterangan Wakil Kapolda, dia ditangkap karena telah
menghasut warga Desa Hitu untuk berbondong-bondong datang ke kota Ambon
untuk siap berperang menghadapi orang-orang Kristen. Dari hasil wawancara
dengan warga Desa Hitu tersebut, saya memperoleh keterangan bahwa dia
memperoleh berita dari kepala Desa Hitu yang ditelepon oleh seseorang yang tidak
dikenal, yang mengatakan bahwa mesjid Al Fatah diserang dan minta bantuan
segera. Menurutnya, sebagai orang Islam, dia wajib menjaga mesjid Al Fatah, dan
memerangi mereka (yaitu orang-orang Kristen) yang menyerang simbol keagungan
Islam tersebut (Suparlan 1999b).

Catatan

Konflik Madura-Dayak di Sambas dan di Kalimantan Tengah yang terwujud


dalam pembunuhan dan mutilasi tubuh, serta perbuatan kanibal (terutama dilakukan
oleh orang-orang Dayak di Sambas), menurut beberapa informan saya di Kalimantan
Barat, hanya mungkin terjadi karena pasukan TNI di perbatasan dengan Sarawak
yang berperang untuk menumpas gerilya Paraku, telah secara langsung atau tidak

312
langsung menggunakan orang-orang Dayak yang memanggil kamang tariu untuk
merasuk ke dalam tubuh-tubuh mereka guna menumpas anggota-anggota pasukan
Paraku, pada tahun 1969. Upacara pemanggilan kamang tariu, atau upacara matok
atau nyaru tariu (di Kalimantan Barat), dan upacara pemanggilan nayau di
Kalimantan Tengah sebetulnya adalah bagian utama dari rangkaian kegiatan
mengayau untuk mencari kepala orang. Kepala orang itu digunakan untuk
keperkasaan remaja dalam inisiasi, untuk mendampingi arwah bangsawan yang
akan dikubur kembali (tiwah), untuk membayar denda, untuk membalas dendam atas
kematian seorang kerabat, dan untuk berbagai keperluan perdukunan dan magi.

Kepustakaan

Barth, Fredrik, 1969. “introduction”. Dalam Fredrik Barth (Editor), Ethnic Groups and
Boundaries. Hal.9-38. Boston: Little, Brown & Company.
Bloomfield, D. B. Reilly, 2000. “Perubahan Sifat Konflik dan Pengelolaaan Konflik”.
Dalam P.Harris dan B.Reilly (Editors), Demokrasi dan Konflik yang
Mengakar: Sejumlah pilihan untuk negosiator. Hal. 9-30. Jakarta:
IDEA.
Bloomfield, D., Y.Chai, dan B.Reilly, 2000. “Menganalisa Konflik mYang Mengakar”.
Dalam P. Harris dan B.Reilly (Editors), Demokrasi dan Konflik Yang
Mengakar: Sejumlah pilihan untuk negosiator. Hal.32-52. Jakarta:
IDEA.
Douglas, Mary, 1966. Purity and Danger: An Analysis of the Conceots of Pollution
And Taboo. London: Routledge and Kegan Paul.
Nitibaskara, Rony R., 2001. “Mencegah Konflik Kekerasan Antar-Etnis”. Harian
Kompas, 3 April.
Riwut, Tjilik, 1993. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Suparlan, Parsudi, 1996. Antropologi Perkotaan. Jurusan Antropologi, FISIP-U..I.
____________ 1999a. Laporan Kerusuhan Sambas. Laporan terbatas
disampaikan kepada Kapolri
____________ 1999b. Laporan Kerusuhan Ambon. Laporan terbatas
disampaikan kepada Kapolri.
____________ 2000. “Kerusuhan Sambas”. Jurnal Polisi Indonesia (2), 71-85.

313
11 Pembangunan
Komuniti, Konflik,
dan Pemolisian
Komuniti

Pendahuluan

T
ujuan utama dari tulisan ini adalah menyajikan pembahasan mengenai
konflik dan cara-cara mengatasinya, yang dalam mengatasi konflik tersebut
peranan polisi setempat sebagai mediator dapat merupakan suatu bagian
penting dari program kebijaksanaan pemolisian komuniti. Konflik yang akan disajikan
dan dibahas adalah yang terlahir dari saling antar-hubungan perusahaan tambang
mineral dan MIGAS dengan anggota-anggota komuniti setempat dimana
penambangan dilakukan, dan diantara sesama anggota komuniti setempat. Pada
dasarnya konflik itu muncul dari kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber
daya alam, ekonomi, sosial, dan politik diantara individu-individu dan anggota-
anggota komuniti setempat (Dahrendorf 1959, Suparlan 1999). Konflik tersebut dapat
muncul antara komuniti setempat sebagai kumpulan atau kelompok individu dengan
pihak luar yang merupakan perusahaan tambang mineral atau MIGAS yang
diakibatkan oleh adanya klaim atas hak dari sumber daya yang dieksploitasi oleh
perusahaan tersebut. Konflik biasanya muncul karena dirasakan adanya aturan main
yang tidak adil di dalam proses-proses kompetisi untuk menguasai sumber-sumber
daya setempat (Suparlan 2000). Atau dalam kasus konflik antara komuniti setempat
dengan perusahaan tambang yang muncul dan berkembang sebagai dampak dari
perasaan ketidakadilan oleh komuniti setempat terhadap pelanggaran atas hak-hak
sumber daya yang secara adat ada dalam hak ulayat mereka tetapi yang sekarang
dieksploitasi dan dimiliki oleh perusahaan tambang tersebut. Konflik biasanya juga

314
muncul karena tidak adanya perantara (mediator) yang tidak memihak dan yang
dihormati dan dipercaya oleh kedua belah pihak yang konflik, atau tidak adanya
perunding (negosiator) dari salah satu pihak yang telah merugikan pihak lainnya
yang dapat bertindak adil terhadap kedua belah pihak yang konflik dan yang mampu
menjembatani perbedaan-perbedaan dan memberikan kompensasi-kompensasi
sebagai ganti rugi atas ketidakadilan yang telah dilakukan oleh pihak yang
merugikan. Pembahasan polisi setempat sebagai mediator akan mencakup uraian
mengenai fungsi polisi dalam komuniti atau masyarakat setempat yaitu sebagai
pengayom dan penegak hukum, dan polisi sebagai pranata serta pemeran yang
dipercayai oleh warga komuniti setempat maupun oleh pihak pertambangan dalam
memecahkan berbagai permasalahan kehidupan mereka. Melalui kebijaksanaan dan
program pemolisian komuniti (community Policing) inilah sebenarnya polisi akan
dapat berfungsi sebagai pengayom warga komuniti dari berbagai bentuk dan
ancaman kejahatan serta penegak hukum yang adil dan terpercaya sehingga dapat
berfungsi sebagai mediator ataupun sebagai negosiator secara efektif dan efisien
dalam berbagai konflik yang terwujud dalam komuniti setempat, seperti halnya dalam
kasus-kasus konflik di daerah pertambangan.

Tulisan ini berusaha untuk menjelaskan mengapa muncul perasaan tidak


diperlakukan adil dari komuniti-komuniti dimana perusahaan tambang itu masuk
serta beroperasi di dalam wilayah hak ulayat dari komuniti atau komuniti-komuniti
setempat, dengan cara menjelaskan perubahan-perubahan mendasar yang terjadi
dalam masyarakat majemuk Indonesia. Selanjutnya, dijelaskan bahwa komuniti
setempat bukanlah sebuah satuan kehidupan egaliter tetapi mengenal jenjang dan
bahkan stratifikasi sosial, dimana anggota-anggota komuniti tergolong dalam mereka
yang kaya serta mempunyai kekuatan sosial berlebih dan yang miskin serta tidak
mempunyai kekuatan sosial. Dua golongan sosial tersebut mampunyai ciri-ciri yang
saling berbeda. Yang tergolong sebagai kaya dan berkuasa hidup untuk
mengakumulasi sumber-sumber daya alam dan kekayaan untuk kepentingan sosial
dan politik bagi mempertahankan dan mengembangkan posisi sosial mereka,
sedangkan yang tergolong miskin hidup hanya hidup dan bekerja untuk dapat tetap
dapat mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Program-program
pembangunan komuniti (community development) seringkali tidak memperhatikan
struktur internal ini. Tulisan ini akan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai cara-

315
cara terbaik dalam mengatasi atau mengatasi konflik-konflik yang ada, dan cara yang
terbaik untuk mencegah terjadinya konflik. Selanjutnya akan ditunjukkan apa itu
pemolisian komuniti, yang sebetulnya tidak sama dengan program kamtibmas
sebagaimana yang dipahami dan diterjemahkan oleh Kunarto, dkk (1998), dan oleh
Turan (2002). Melalui landasan kebijaksanaan pemolisian komuniti ini polisi akan
dapat secara efektif dan efisien menangani secara tepat untuk dapat mendamaikan
konflik-konflik yang ada, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang secara langsung
atau tidak langsung turut meningkatkan kwalitas hidup komuniti.

Latar Belakang: Masyarakat majemuk Indonesia dan Pertambangan

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang terdiri dari lebih kurang
lima ratus sukubangsa dengan masing-masing kebudayaannya yang dipersatukan
sebagai sebuah bangsa oleh sistem nasional Indonesia. Masing-masing sukubangsa
mewujudkan dirinya dalam masyarakat atau komuniti sukubangsa yang menempati
dan hidup dalam wilayah masing-masing yang wilayah tersebut secara adat
merupakan hak ulayat masing-masing komuniti sukubangsa (Suparlan 1979, 1999).
Ciri-ciri yang mendasar dari masyarakat majemuk, seperti Indonesia, adalah:

(1) Kesukubangsaan dan batas-batas sukubangsa antara satu dengan lainnya


menjadi diperjelas dengan kedatangan dan bertempat tinggalnya para
pendatang dari berbagai sukubangsa sebagai pekerja perusahaan tambang
setempat;
(2) Dampaknya adalah kemunculan dan berkembangnya konsep sukubangsa
asli, yaitu warga komuniti dan masyarakat setempat, yang dipertentangkan
dengan sukubangsa pendatang atau asing yang berdampak pada sentimen
kesukubangsaan yang bercorak anti pendatang atau anti asing (lihat Suparlan
2001);
(3) Keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaannya di Indonesia tidak hanya
dapat dilihat secara horizontal tetapi juga secara vertikal, dan perbedaan
secara vertikal ini juga mewujudkan dirinya sebagai perbedaan antara pusat
(sistem nasional) dengan daerah (sistem-sistem sukubangsa) (Suparlan
1979);

316
(4) Adanya kecenderungan yang dilakukan oleh pemerintah nasional, untuk
memperkuat sistem nasional agar masyarakat Indonesia yang majemuk atau
bhinneka tunggal ika itu tidak terpecah belah dalam satuan-satuan
masyarakat atau negara sukubangsa. Dampak dari penguatan sistem
nasional, seperti yang telah kita lihat dan alami, adalah kuat dan dominannya
sistem nasional atau pemerintah pusat dan lemahnya masyarakat-masyarakat
dan komuniti-komuniti setempat yang ada di daerah-daerah masa
pemerintahan Orde Baru.

Pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah yang berkuasa beserta kroni-


kroninya menguasai sumber-sumber daya serta berbagai akses terhadap sistem-
sistem pelayanan sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Sedangkan warga masyarakat
dan terutama warga masyarakat dan komuniti setempat yang ada di daerah-daerah
yang jauh dari pusat pemerintahan cenderung berada dalam ketidakberdayaan, yang
pada umumnya miskin, kurang atau tidak berpendidikan, serta kurang atau tidak
mempunyai aset atas pelayanan sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Hampir seluruh
sumber daya alam yang ada di wilayah Indonesia pada masa Orde Baru telah dibagi-
bagi atau dikapling-kapling diantara pejabat pemerintah dan kroni-kroninya, ke dalam
wilayah-wilayah HPH, pertambangan, dan sebagainya. Padahal wilayah-wilayah
tersebut adalah wilayah-wilayah yang sebenarnya merupakan hak ulayat dari
masyarakat-masyarakat dan komuniti-komuniti sukubangsa setempat. Hak-hak
mereka atas sumber-sumber daya alam yang ada dalam wilayah hak ulayat mereka
itu hilang begitu saja karena diambil dan dikuasai oleh serta atas nama kepentingan
nasional. Dengan alasan bahwa kebijaksanaan tersebut adalah sesuai dengan UUD
1945, karena seluruh wilayah Indonesia adalah milik negara, termasuk tanah dan
segala isinya dan hutan serta kayu-kayunya. Melalui klaim sebagai milik negara
inilah pemerintah atau lebih tepat oknum yang mengatasnamakannya mengundang
investor asing dan domestik untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya alam,
termasuk mineral dan migas dan menciptakan golongan orang kaya dan kapitalis
baru, yang dikenal dengan nama konglomerat, yang terdiri atas para kroni pejabat
sebagai counterpart dari para investor tersebut.

Di masa Orde Baru, walau dalam suasana tertekan karena dominasi sistem
nasional yang kuat, masih ada juga tuntutan-tuntutan dari tokoh-tokoh masyarakat

317
atau komuniti setempat untuk dapat ikut menikmati keuntungan yang diperoleh oleh
perusahaan-perusahaan pertambangan, dan dalam batas-batas tertentu sebagian
dari mereka itu telah diberi amplop setiap bulannya. Tetapi, dengan jatuhnya
kekuasaan Orde Baru yang begitu dominan kekuasaannya, muncul pertanyaan-
pertanyaan berkenaan dengan berbagai peraturan pemerintah mengenai hak
penguasaan atas sumber-sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan domestik
dan asing, dan terutama berkenaan dengan hak eksploitasi pertambangan yang
pada hakekatnya adalah hak ulayat dari masyarakat atau komuniti setempat. Suara-
suara yang lebih lantang menuntut bagian yang lebih besar telah disuarakan oleh
warga setempat terhadap perusahaan-perusahaan yang ada di wilayah hak ulayat
mereka dalam masa reformasi ini, antara lain, yang secara mencolok dilakukan oleh
komuniti-komuniti sukubangsa setempat di Timika terhadap perusahaan PT Freeport
Indonesia.

Pembangunan Komuniti dan Konflik

Dari pengalaman saya di Sangata (Kalimantan Timur), di daerah Duri dan


sekitarnya (Riau), dan di Timika (Papua), saya melihat bahwa konsep
pengembangan komuniti sebagaimana yang dipunyai dan dijadikan acuan bertindak
oleh perusahaan-perusahaan tambang dan MIGAS telah terwujud sebagai:
(1) Memberikan sumbangan setiap bulan kepada tokoh-tokoh masyarakat, para
ulama/haji, mesjid. Dan memberi sumbangan pada hari-hari raya/ besar
agama Islam dan nasional, kegiatan-kegiatan seremonial, kesenian, dan
olahraga, sebagaimana yang saya ketahui telah dilakukan oleh perusahaan
batubara Australia, di Kaltim, Caltex-Pacific di Riau, PT Freeport Indonesia di
Timika pada tahun 1990an
(2) Program-program latihan kerja di bidang jahit menjahit dan bertanam anggrek,
melalui program inkubator, yang kemudian tutup sendiri karena superfisial
sifatnya seperti yang telah dilakukan oleh PT Freeport-Indonesia di Timika,
Irian Jaya. Program-program kegiatan ini kemudian diganti dengan kegiatan
pemberian bantuan untuk mengembangkan kesenian orang Komoro,
beasiswa untuk para pelajar dan mahasiswa, asrama untuk anak-anak

318
sekolah asal Amungme, pemberian dana keuntungan-bersih Freeport sebesar
1% yang disalurkan melalui proyek-proyek pembangunan sarana fisik.
(3) Pembangunan beberapa rumah di tepi jalan raya untuk orang Sakai di Riau,
seperti sebuah ‘window show’, yang dilakukan oleh PT Caltex-Pacific.

Mungkin masih ada segudang contoh-contoh model pengembangan komuniti


lainnya yang dilakukan oleh berbagai perusahaan tambang dan MIGAS yang tidak
saya ketahui.

Kalau itu yang dimaksud dengan pengertian pembangunan komuniti maka


sebetulnya pengertian pembangunan komuniti tersebut kurang tepat. Karena model-
model tersebut di atas adalah model “top-down”, kecuali model pemberian biaya
kepada proyek-proyek pembangunan yang dibuat oleh anggota-anggota masyarakat
setempat, pemberian beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa berprestasi yang
dilakukan oleh Freeport yang tidak dapat dikatakan sebagai model “top-down”, tetapi
dapat dilihat sebagai model kombinasi ‘top-down dan “bottom-up”.

Model pembangunan komuniti (community development) sebetulnya adalah


bercorak “bottom-up” yang di dalam pelaksanaan atau penerapannya bisa dibantu
oleh pemerintah atau badan-badan non-pemerintah, yang dalam hal ini adalah
perusahaan tambang atau MIGAS. Dalam perspektif ini pembangunan komuniti
adalah sebuah proses yang dalam mana anggota-anggota sebuah komuniti
mengorganisasi diri mereka dalam kelompok atau kumpulan individu yang secara
bersama merasakan kebutuhan-kebutuhan yang harus mereka penuhi dan masalah-
masalah yang harus mereka atasi. Kelompok ini membuat rencana-rencana kerja
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang harus mereka penuhi dan masalah-
masalah yang harus mereka atasi bersama, berdasarkan atas itu mereka
mengorganisasi diri dalam bentuk kelompok-kelompok atau kumpulan-kumpulan
untuk melaksanakannya. Dalam pelaksanaannya mereka itu tergantung pada
sumber-sumber daya yang ada dalam komuniti, dan bila, merasa kurang maka
mereka akan meminta bantuan dari pemerintah atau badan-badan pemerintah
(Blakely 1979, Hegeman dan Kooperman 1974).

319
Perbedaan antara model “bottom-up” dari “top-down” adalah bahwa dalam
model “bottom-up” ide, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan dari
anggota-anggota komuniti tersebut berasal dari mereka sendiri dan untuk
kepentingan dan keuntungan mereka bersama, sedangkan dalam model “topdown”
keuntungan hanya akan diraup dan dinikmati oleh sejumlah orang yang terbatas, dan
sejumlah orang tersebut biasanya adalah yang tergolong sebagai tokoh atau yang
berkuasa dan yang sudah ‘kaya’. Model “top-down” dapat dikatakan sebagai model
cariti atau pemberian hadiah atau sedekah dari yang kaya kepada yang lebih miskin.

Ada anggapan umum di Indonesia jika sebuah perusahaan sudah memberi


hadiah atau honor bulanan kepada yang dianggap tokoh masyarakat setempat maka
selesailah susah berbagai masalah sosial dan politik yang dapat muncul dari
komuniti setempat yang akan dihadapi oleh sebuah perusahaan. Karena tokoh-tokoh
ini dianggap sebagai yang menguasai masyarakat atau komuniti setempat.
Anggapan ini didasari oleh pandangan yang melihat seolah-olah sebuah komuniti
atau masyarakat setempat itu merupakan sebuah kesatuan yang bulat dan
menyeluruh dengan seorang pemimpin yang mutlak kekuasaannya atas anggota-
anggota komunitinya. Pandangan ini sebenarnya kurang benar, karena di dalam
komuniti ada sejumlah tokoh yang saling bersaing dan berada dalam keadaan konflik
untuk akumulasi kepemilikan sumber daya alam dan untuk posisi-posisi sosial kunci
yang terbatas di dalam komuniti yang bersangkutan.

Dalam tulisan ini masyarakat (society) dilihat sebagai sebuah satuan


kehidupan yang menempati sebuah wilayah tertentu dengan batas-batas yang jelas,
mempunyai sebuah kebudayaan dengan pranata-pranatanya sebagai pedoman
operasional dalam bertindak bagi kehidupan mereka sehari-hari, dan dapat hidup
secara mandiri di dalam wilayahnya. Anggota-anggota sebuah masyarakat bisa tidak
saling mengenal satu dengan lainnya, tetapi mereka itu terikat oleh adanya sebuah
ideologi mengenai kebersamaan dan jatidiri mereka. Sedangkan sebuah komuniti
(community) adalah sebuah satuan kehidupan yang lebih kecil daripada sebuah
masyarakat, hidup dalam sebuah wilayah tertentu dengan batas-batas yang kurang
jelas, yang anggota-anggotanya saling terkait satu sama lainnya melalui berbagai
jaringan sosial dan jaringan kekerabatan, karena keturunan dari satu nenek moyang
yang sama atau karena melalui hubungan perkawinan.

320
Anggota-anggota sebuah komuniti biasanya tergolong dalam satu
sukubangsa yang sama, walaupun pada masa sekarang anggota-anggota sebuah
komuniti dapat terdiri atas dua sukubangsa atau lebih karena adanya migrasi dari
luar. Anggota-anggota sebuah komuniti, karena tergolong dalam sebuah sukubangsa
seringkali juga dinamakan komuniti sukubangsa, mempunyai sebuah kebudayaan
sukubangsa berikut pranata-pranata sosialnya. Dalam kehidupan komuniti,
kebudayaan sukubangsanya adalah pedoman bagi kehidupan yang sudah menjadi
tradisi atau adat, merupakan kebutuhan dan keyakinan yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari dalam menginterpretasi dunia di sekeliling mereka dan diri
mereka sendiri dimana mereka itu menjadi bagian dari dunianya tersebut, dan secara
terseleksi digunakan sebagai acuan dalam mewujudkan tindakan-tindakan untuk
memanfaatkan lingkungan beserta isinya bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
hidup mereka (Suparlan 1986).

Sebuah komuniti mempunyai wilayah yang menjadi hak ulayat mereka, yang
diakui oleh komuniti lainnya, yang berupa hutan, tanah datar, sungai, rawa-rawa,
mata air, atau tepi pantai beserta segala isinya. Wilayah hak ulayat tersebut adalah
milik komuniti yang bisa dikonversikan menjadi hak milik kelompok-kelompok
kekerabatan atau milik perorangan yang kepemilikan dan hak penggunaannya diatur
menurut hukum adat atau adat yang berlaku setempat.

Sebuah masyarakat ataupun sebuah komuniti mengenal jenjang sosial


(berdasarkan atas keturunan atau askriptif dan prestise) dan stratifikasi sosial
(berdasarkan kemampuan ekonomi). Dalam sebuah masyarakat, jenjang dan
stratifikasi sosialnya lebih kompleks daripada yang terdapat dalam sebuah komuniti,
karena adanya berbagai struktur sosial yang mendefinisikan berbagai peranan yang
dipunyai seseorang yang bisa berbeda antara yang ada dalam satu struktur dengan
yang ada dalam struktur-struktur sosial lainnya. Sedangkan dalam sebuah komuniti
struktur-struktur sosialnya cenderung untuk saling berhimpitan satu sama lainnya,
sehingga antara jenjang dengan stratifikasi sosial bisa saling berhimpitan dan saling
mendukung satu sama lainnya.

Kehidupan komuniti di daerah, yaitu dimana kegiatan perusahaan


pertambangan itu beroperasi, masyarakat atau komuniti setempat hidup terutama

321
dari pemanfaatan sumber-sumber daya alam yang ada dalam wilayah hak ulayatnya.
Dalam pemanfaatan sumber-sumber daya alam ini ada individu dan kelompok
kekerabatan yang mampu menguasai dan mengeksploitasi alam secara lebih besar
sehingga mampu mengakumulasi lebih banyak lagi sumber-sumber daya alam.
Mereka inilah yang tergolong sebagai orang kaya, mempunyai kekuatan sosial
berlebih, dan merupakan golongan atas dari sistem sosial komuniti tersebut. Mereka
juga, melalui kekayaan dan kekuasaan serta tingkat pendidikan yang mereka punyai,
mampu untuk berhubungan dengan dunia di luar komuniti mereka dan mempunyai
akses terhadap berbagai fasilitas sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Kedudukan
mereka sebagai golongan atas di dalam komuniti setempat dimantapkan dalam
kehidupan sosial melalui berbagai tradisi adat dan upacara, yang melalui kegiatan-
kegiatan tersebut telah memantapkan pengakuan dari mereka yang hidup sebagai
golongan bawah terhadap posisi mereka sebagai golongan atas yang menjadi
gantungan dari mereka yang di bawah yang bekerja sebagai buruh atau sebagai
klien mereka. Golongan bawah ini adalah golongan orang miskin, dan mungkin hidup
di bawah garis kemiskinan, yang hidup hanya untuk dapat tetap hidup. Kelaparan
akan sumber-sumber daya alam tidak mungkin dapat dipenuhi oleh mereka yang
miskin secara memadai atau berlebihan sebagaimana yang dilakukan oleh golongan
kaya karena ketiadaan modal dan akses terhadap kredit modal, ketiadaan
pengetahuan, dan ketiadaan keterlibatan mereka di dalam jaringan-jaringan sosial
dan bisnis dengan dunia luar. Mereka yang tergolong kaya mempunyai semua akses
tersebut di atas. Di antara mereka yang tergolong kaya dan yang miskin ini terdapat
mereka yang hidupnya kecukupan. Mereka ini dapat bersaing dengan yang kaya
untuk memperebutkan sumber-sumber daya alam melalui berbagai penguasaan atas
sumber-sumber daya sosial dan politik.

Konflik yang terjadi dalam komuniti pada umumnya berkisar pada konflik
diantara sesama mereka yang tergolong kaya dan berkekuatan sosial berlebih, atau
antara golongan kaya dengan golongan menengah. Konflik diantara mereka yang
tergolong kaya adalah bertujuan untuk mengakumulasi kekayaan atau sumber-
sumber daya alam lebih banyak daripada saingan atau saingan-saingannya.
Sedangkan konflik antara yang kaya dengan yang menengah adalah konflik antara
yang berupaya mempertahankan sumber-sumber daya yang sudah dipunyai dan
mengakumulasikannya dengan yang ingin merebut dan menguasai sumber-sumber

322
daya tersebut. Golongan bawah adalah mereka yang biasanya menjadi alat dari para
tokoh golongan atas untuk melaksanakan upaya mengalahkan pihak lawan dengan
cara fisik atau kekerasan.

Sebuah program pembangunan komuniti yang “top-down” dapat menjadi


pemicu konflik diantara anggota-anggota komuniti yang tergolong menengah dan
atas. Karena dalam model “top-down” ini bantuan yang diberikan oleh perusahaan
dapat dilihat sebagai hadiah, seperti tersebut di atas, dan pilihan siapa yang akan
mendapat hadiah tidak jelas kriterianya bagi komuniti yang bersangkutan karena
tergantung pada si pemberi hadiah. Warga setempat dapat menduga bahwa kriteria
yang digunakan oleh si pemberi hadiah adalah karena seseorang yang menerima
hadiah itu dekat hubungannya dengan si pemberi hadiah, yaitu perusahaan
pertambangan yang bersangkutan. Konflik yang terjadi diantara para tokoh ini dapat
terwujud dalam bentuk persaingan yang saling menghancurkan antara si penerima
hadiah dengan tokoh lainnya, atau dalam bentuk saling bersaing dengan sesama
mereka dengan menggunakan berbagai cara untuk dapat lebih dekat dengan si
pemberi hadiah.

Konflik dan Mengatasinya

Konflik dapat dilihat sebagai sebuah perjuangan antar-individu atau antar-


kelompok untuk memenangkan sesuatu tujuan yang sama-sama ingin mereka capai.
Kekalahan atau kehancuran pihak lawan dilihat oleh yang bersangkutan sebagai
tujuan utama untuk memenangkan tujuan yang ingin dicapai (Suparlan 1999: 7).

Jika konflik yang terjadi adalah diantara sesama anggota komuniti


sebenarnya konflik tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup yang harus
diselesaikan oleh perusahaan pertambangan yang ada setempat. Tetapi konflik
internal di dalam komuniti yang berlarut-larut dapat secara langsung atau tidak
langsung melibatkan dan merugikan perusahaan tambang setempat. Tetapi bila
konflik tersebut terjadi antara anggota komuniti setempat dengan perusahaan
pertambangan setempat maka konflik tersebut merupakan permasalahan yang harus
diatasi dan diselesaikan oleh perusahaan tersebut. Konflik seperti ini dapat terkait

323
dengan masalah ketidakadilan dalam pendistribusian uang atau barang dari
perusahaan kepada komuniti yang bersangkutan, dapat juga muncul karena ada
anggota-anggota komuniti yang merasa tidak diperlakukan secara adil oleh
perusahaan dalam hal upah atau hadiah atau ganti rugi, atau juga dalam hal
perlakuan sewenang-wenang oleh personil perusahaan. Dan, dapat juga konflik
terjadi karena anggota komuniti setempat menganggap bahwa perusahaan setempat
telah mengambil hak ulayat yang menjadi miliknya atau milik kelompok kerabatnya
tanpa ganti rugi yang memadai.

Konflik yang berkaitan dengan pembangunan komuniti mungkin dapat terjadi


pada waktu beberapa proposal yang diajukan oleh sejumlah anggota komuniti untuk
memperoleh dana bagi pembangunan fisik ternyata yang menerima bantuan adalah
orang-orang yang dekat dengan staf perusahaan. Konflik ini bisa juga dipicu, oleh
mereka yang merasa dirugikan, yaitu bila yang mendapat dana pembangunan
adalah warga sukubangsa pendatang dan keturunannya sedangkan mereka yang
menganggap diri mereka sebagai warga sukubangsa asli dari komuniti setempat
justru tidak memperoleh dana tersebut. Konflik seperti ini biasanya dimulai dengan
disebarkannya isyu mengenai ketidakadilan, dan terutama ketidakadilan yang
diakibatkan oleh adanya KKN dan oleh adanya dominasi sukubangsa pendatang
yang diskriminatif terhadap mereka yang asli, sebagaimana yang muncul berkali-kali
di perusahaan PT Freeport-Indonesia di Timika.

Bila terjadi konflik antara perusahaan dengan anggota komuniti setempat


maka, cara mengatasinya adalah dengan meminta pihak ketiga yang dipercaya oleh
perusahaan dan oleh komuniti setempat, yang disetujui oleh kedua belah pihak, yang
tidak memihak, yang memahami kebudayaan dari komuniti setempat dan berbagai
hukum adatnya, dan yang dihormati serta dikenal kejujurannya untuk membantu
menyelesaikan masalah-masalah yang sejenis dengan masalah tersebut. Atau
dengan menggunakan salah seorang staf perusahaan yang memahami kebudayaan
dari komuniti setempat dengan berbagai hukum adatnya, dikenal baik karena
kejujurannya dan dihormati oleh anggota komuniti tersebut, dan mampu bernegosiasi
dengan anggota komuniti yang bermasalah dengan menggunakan bahasa dan
perspektif budaya mereka. Atau menggunakan polisi yang dipercaya oleh kedua
belah pihak. Konflik-konflik juga dapat dihindari bila perusahaan yang bersangkutan

324
mempunyai pengetahuan mengenai kebudayaan dari komuniti dimana perusahaan
tersebut beroperasi. Sebagai acuan pembanding untuk peranan negosiator dalam
konflik pada tingkat makro, lihat tulisan-tulisan yang diedit oleh Peter Harris dan Ben
Reilly dan diberi kata pengantar oleh Sekjen PBB Kofi Annan (2000).

Sebagian terbesar dari konflik-konflik yang terjadi antara perusahaan dengan


komuniti setempat adalah berkaitan dengan masalah tanah, air, hutan, dan segala
isinya yang merupakan sumber daya alam yang bermakna sosial, ekonomi, dan
politik bagi anggota-anggota komuniti tersebut. Masalah tersebut berkisar pada
masalah pembayaran ganti rugi yang tidak memadai atau ada anggota atau anggota-
anggota dari kelompok kerabat yang belum atau tidak menerima bagian dari ganti
rugi yang telah dibayarkan oleh perusahaan yang bersangkutan. Karena itu, dalam
pengambilalihan sesuatu wilayah untuk pertambangan oleh perusahaan haruslah
diperhitungkan betul-betul ganti rugi yang harus dibayarkan. Kalau sesuatu bidang
tanah tersebut milik perorangan maka masalah pengganti rugiannya mudah saja,
yaitu dibayarkan kepada orang tersebut. Tetapi bila sebidang tanah tersebut adalah
milik sebuah kelompok kekerabatan atau sejumlah kelompok kekerabatan, maka
pembayaran yang harus dibayarkan oleh perusahaan untuk mengganti kepemilikan
dan hak atas bidang tanah tersebut harus mencakup semua anggota kelompok
kekerabatan yang bersangkutan, dan bahkan harus mencakup semua keturunan dari
kelompok kekerabatan yang bersangkutan yang akan lahir di masa mendatang.
Disamping itu, dalam negosiasi juga harus ditegaskan bahwa sebidang tanah
tersebut telah dibayar ganti ruginya secara tuntas kepada semua yang berhak, dan
di masa mendatang tidak akan ada lagi yang meminta ganti rugi atas bidang tanah
tersebut. Dengan cara ini konflik yang akan terjadi di masa mendatang dapat
dicegah.

Cara lain yang juga efektif untuk meredam konflik antara perusahaan dengan
komuniti atau komuniti-komuniti setempat adalah dengan mempekerjakan anggota
komuniti setempat tersebut di dalam perusahaan, seperti yang dilakukan oleh PT
Freeport-Indonesia di Timika, Irja. Bersamaan dengan itu perusahaan juga
memberikan sejumlah beasiswa kepada pelajar yang berprestasi untuk dapat meraih
jenjang dan bidang pendidikan yang langsung atau tidak langsung sesuai dengan
kebutuhan perusahaan, yang setelah menamatkan pendidikan dapat dipekerjakan di

325
perusahaan tersebut atau di tempat lain. Dengan cara ini maka hubungan antara
perusahaan dan komuniti setempat dimantapkan, perusahaan tersebut bukan lagi
dianggap dan diperlakukan sebagai sesuatu yang asing tetapi sesuatu yang
merupakan bagian dari kehidupan komuniti. Dengan cara ini batas-batas sosial
antara perusahaan dan komuniti telah ditiadakan, dengan mengikat ketergantungan
komuniti atas akses untuk posisi sosial dan ekonomi bagi anggota-anggotanya dan
di pihak lain menciptakan ketergantungan dari perusahaan atas keamanan sosial
dan keberlanjutan produksinya secara murah. Disamping itu, ada baiknya sejumlah
fasilitas sosial, terutama kesehatan, dapat dibantu oleh perusahaan sebagaimana
yang juga telah dilakukan oleh PT Freeport-Indonesia di Timika.

Fungsi-Fungsi Polisi dan Pemolisian Komuniti

Proses reformasi Indonesia yang sedang berlangsung sebenarnya adalah


sebuah proses perjuangan menuju masyarakat sipil yang demokratis. Ada berbagai
pengertian mengenai masyarakat sipil, salah satu diantara yang saya kira tepat
untuk diacu, adalah konsep Gellner (1995: 32) yang menyatakan bahwa masyarakat
sipil adalah “sebuah masyarakat dengan pranata-pranata non-pemerintah yang
cukup kuat untuk menjadi penyeimbang dari kekuatan negara, yang pada saat yang
sama, kekuatan ini mendorong pemerintah untuk menjalankan peranannya sebagai
penjaga perdamaian dan penengah diantara berbagai kepentingan di dalam
masyarakat, serta mempunyai kemampuan untuk menghalangi atau mencegah
negara untuk mendominasi masyarakat dan mengecilkan peranan masyarakat dalam
berbagai aspek kehidupan”. Patut dicatat bahwa corak masyarakat sipil adalah
bertentangan dengan corak masyarakat yang despotik atau otoriter, karena di dalam
masyarakat yang otoriter atau despotik pemerintahannya akan menindas dan
mengeksploitasi kelompok-kelompok yang tergolong sebagai masyarakat bawah
yang lemah posisinya untuk kepentingan dan keuntungan pemerintah dan pejabat-
pejabatnya. Masyarakat sipil yang modern dibangun berlandaskan pada prinsip
demokrasi, yang mencakup prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, pemerintahan
berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, kekuasaan mayoritas yang disertai
dengan hak-hak minoritas, jaminan atas diberlakukannya hak-hak azasi manusia,
pemilihan umum yang bebas dan jujur, persamaan hak di hadapan hukum, proses-

326
proses hukum yang wajar, pembatasan dan pengendalian kekuasaan pemerintah
secara konstitusional, kemajemukan budaya, sosial, ekonomi, dan politik,
pragmatisme, kerjasama dan mufakat (lihat Lubis 1994, dan USIS n.d.). Dalam era
otonomi daerah yang sedang dalam proses kemantapannya di Indonesia dewasa ini,
UU No. 22, 1999 tentang pemerintah sipil yang demokratis di Indonesia. Undang-
Undang ini dapat dilihat sebagai sebuah upaya untuk memperbaiki kehidupan
masyarakat pada tingkat kabupaten dan propinsi yang selama berada di bawah
pemerintahan Orde Baru telah didominasi oleh pemerintah pusat dan oknum-oknum
pejabatnya beserta kronikroninya, sehingga menciptakan berbagai bentuk
ketidakadilan dan ketimpangan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bila dalam
masa pemerintahan Orde Baru polisi Indonesia (POLRI) adalah bagian dari ABRI
yang fungsinya adalah represif, seperti pada umumnya fungsi militer, maka dalam
masa reformasi ini fungsi polisi Indonesia (POLRI) akan harus berubah sesuai
dengan fungsi polisi yang universal. Karena keberadaan dan fungsi polisi di dalam
masyarakatnya adalah hasil interaksi dari corak masyarakat dan kepentingan
masyarakat tersebut untuk kepentingan warga masyarakat dan untuk kelestarian dari
masyarakat tersebut. Dalam masyarakat yang despotik dan otoriter maka polisi akan
menjadi despotik dan otoriter dan menjadi kakitangan yang setia yang melindungi
keamanan dan kesejahteraan hidup, serta memperkuat dan melestarikan kekuasaan
pemerintahannya yang despotik dan otoriter beserta oknum-oknum pejabatnya.
Sedangkan dalam masyarakat sipil yang demokratis fungsi polisi juga akan sesuai
dengan corak masyarakatnya yang sipil dan demokratis.

Richardson (1974: ix - x) menyatakan bahwa polisi adalah alat negara, atau


sebuah departemen pemerintahan yang didirikan untuk memelihara keteraturan
sosial dalam masyarakat, menegakkan hukum dan mendeteksi kejahatan serta
mencegah terjadinya kejahatan; dan memerangi kejahatan. Secara lebih khusus
dinyatakannya bahwa fungsi yang utama dan menjadi acuan dari berbagai fungsi
polisi lainnya adalah memelihara keteraturan serta ketertiban sosial dalam
masyarakat atau komuniti, terutama masyarakat perkotaan agar masyarakat tersebut
dapat hidup secara beradab. Secara khusus dinyatakannya bahwa “fungsi utama
dari polisi adalah memelihara keteraturan dan setiap saat siap untuk memberikan
pelayanan kepada warga masyarakat yang memerlukan, bukan semata-mata hanya
berfungsi untuk melawan kejahatan dan menegakkan hukum atau mengatur

327
moralitas politik dari masyarakat yang dilayaninya” (Richardson 1974: x). Penekanan
pada pentingnya pemeliharaan keteraturan dan ketertiban sosial sebagai fungsi
utama polisi berasal dari sejarah kepolisian di Amerika Serikat yang mengikuti tradisi
Inggeris, yang menekankan keberadaan dan fungsi polisi dalam masyarakat
perkotaan dan bukannya masyarakat pedesaan (Ennis 1970: 74 - 100). Dalam
fungsinya tersebut, tugas polisi mencakup menciptakan dan menjaga keteraturan,
atau mengembalikan keteraturan yang rusak karena hubungan-hubungan yang
bergejolak dalam berbagai permasalahan yang terwujud sebagai hasil hubungan
antar individu, antara individu dengan kelompok atau komuniti, antar komuniti, antara
komuniti dengan masyarakat, dan dengan negara atau pemerintah.

Dengan kata lain, fungsi utama polisi adalah memelihara keteraturan atau
mengembalikan keteraturan yang terganggu dalam hubungan antar-individu maupun
antar-kelompok dan antar-kategori yang tujuan akhirnya adalah menciptakan rasa
aman dan nyaman bagi warga komuniti dan masyarakat, sehingga proses-proses
produksi dapat berjalan dengan sebaik-baiknya dan produktifitas dapat dijamin akan
menghasilkan surplus yang memungkinkan tercapainya perkembangan ekonomi dan
kesejahteraan hidup warga dan masyarakatnya. Fungsi-fungsi lainnya, seperti
penegakan hukum, memerangi kejahatan, mengayomi warga masyarakat dan
ancaman kejahatan yang mengganggu dan merugikan masyarakat dapat dilihat
dalam perspektif menjaga keamanan dan kenyamanan warga masyarakat agar
dapat berproduksi secara maksimal, sebagai keluaran atau outputnya. Karena setiap
gangguan keamanan hanya akan mengakibatkan tidak dapat dicapainya sasaran
produktifitas yang diharapkan, dan hanya akan memerosotkan taraf kesejahteraan
hidup warga dan masyarakatnya. Karena itu keberadaan polisi adalah fungsional
dalam kehidupan manusia dalam bermasyarakat di daerah perkotaan dan dalam
bernegara, termasuk keberadaan dan fungsi polisi Indonesia dalam masyarakat
Indonesia sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Awaludin Djamin yang
melihatnya dalam perspektif sejarah (Djamin 1999: 1 – 35).

Fungsi polisi dalam memelihara keteraturan dan ketertiban komuniti dan


masyarakat menuntut petugas-petugas polisi, atau sejumlah petugas polisi, untuk
selalu berada dalam hubungan dekat dan selalu berinteraksi dengan komuniti dan
masyarakat yang dilayaninya. Dan, karena hubungan dekat dengan komuniti dan

328
masyarakat menuntut intensitas pengenalan oleh polisi setempat dengan warga,
yang karena jumlah petugas polisi setempat adalah terbatas, maka yang biasanya
terjadi adalah satuan polisi setempat untuk hanya mampu mengenal warga komuniti
yang berada dalam wilayah pelayanannya sedangkan warga masyarakat luas
menjadi kurang mampu untuk betul-betul dikenalinya. Bahkan untuk hubungan
petugas polisi setempat dengan warga komuniti yang dilayani belum tentu juga dapat
terjalin hubungan baik yang antara lain disebabkan oleh ketidakpercayaan warga
komuniti tersebut terhadap polisi. Friedmann (1992), mengelaborasi hubungan polisi
dengan komuniti setempat sebagai bagian dari kebijaksanaan dan strategi untuk
kepentingan polisi dalam memelihara keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan
komuniti, dalam sebuah model yang dinamakannya sebagai pemolisian komuniti
(community policing).

Menurut Friedmann (1992: 14 - 15), cara terbaik untuk memahami pemolisian


komuniti adalah dengan cara melihat hubungan kekuatan antara polisi dengan
komuniti sebagai secara relatif seimbang, dan diantara keduanya ada yang saling
bertumpuan atau tumpang tindih (overlapping). Sebab bila dua satuan ini tidak dapat
saling berhubungan dan tidak ada bagian-bagiannya yang overlapping maka upaya
pemolisian komuniti tidak akan berhasil. Begitu juga bila hubungan antara polisi
dengan komuniti berada dalam hubungan kekuatan yang tidak seimbang, dimana
polisi mendominasi kehidupan komuniti atau sebaliknya komuniti mendominasi
tugas-tugas polisi maka yang ada adalah kesewenang-wenangan dari satuan yang
mendominasi atau hubungan yang ada hanya bersifat superfisial atau pura-pura
saja, dan korup. Landasan utama yang ditekankan dalam pemolisian komuniti adalah
terwujud hubungan baik yang tulus antara polisi dengan warga komuniti, yang
dinyatakan oleh Friedmann (1992: 21), sebagai ‘grassroots cooperation’, atau
‘genuine’ atau ideal cooperation.

Berdasarkan itu Friedmann (1974: 4) menyatakan bahwa yang dinamakan


pemolisian komuniti adalah:
“Sebuah kebijaksanaan dan strategi yang bertujuan untuk memperoleh hasil yang
lebih efektif dan efisien dalam mengendalikan kejahatan, mengurangi rasa takut atas
ancaman kejahatan, memperbaiki kualitas kesejahteraan hidup, meningkatkan
perbaikan pelayanan polisi dan legitimasi polisi, melalui kemandirian proaktif

329
berlandaskan pada sumber-sumber daya komuniti yang mencari upaya untuk
merubah kondisi-kondisi yang menyebabkan adanya kejahatan. Pemolisian komuniti
mengakui adanya sebuah kebutuhan untuk akuntabilitas dari polisi, tuntutan yang
lebih besar dari publik dalam mengambil keputusan dan kepedulian yang lebih besar
terhadap hak-hak sipil dan kebebasan”

Pengertian pemolisian komuniti yang dikemukakan oleh Friedmann (1974:


3-4) tersebut di atas didasarkan pada tiga perspektif; yaitu: (1) Perspektif polisi, yang
merasakan adanya kebutuhan yang lebih besar untuk memperbaiki hubungan baik
dengan komuniti setempat dengan tujuan bahwa dalam mengendalikan kejahatan
dan mengirangi tingkat ketakutan terhadap kejahatan harus lebih berdasar pada
sumber-sumber daya dari komuniti setempat, untuk memperbaiki dan
menyempurnakan landasan-landasan pengumpulan data intelijen, dan untuk
meningkatkan legitimasi polisi dalam komuniti. (2) Perspektif komuniti, adanya
pengakuan yang semakin besar dari warga komuniti bahwa komuniti mereka itu
berhak untuk dan seharusnya mendapatkan pelayanan polisi dari yang lebih baik,
akuntabilitas polisi yang lebih besar, dan pembagian kekuatan yang lebih banyak
dalam berbagai keputusan polisi. (3) Dalam perspektif komuniti dan polisi pemolisian
komuniti, dapat ditarik kesimpulan bahwa kejahatan diproduksi secara
kemasyarakatan yang polisi sendiri tidak atau sedikit sekali mempunyai akses untuk
dapat mengendalikannya, pengendalian kejahatan perlu difokuskan pada faktor-
faktor kemasyarakatan yang menyebabkan munculnya kejahatan, upaya pemolisian
secara pro-aktif harus ditingkatkan dalam kehidupan komuniti dan dalam berbagai
hal pemolisian proaktif menggantikan model pemolisian reaktif, pemolisian komuniti
yang terdesentralisasi secara luas merupakan sebuah prasyarat yang tidak dapat
ditawar, fokus perhatian yang lebih besar terhadap pentingnya isyu-isyu ‘kualitas
kesejahteraan hidup’ yang melampaui batas-batas isyu kejahatan dan ketakutan
pada ancaman kejahatan perlu diperhatikan disamping isyu-isyu kejahatan
tradisional, dan pertimbangan-pertimbangan yang lebih besar untuk
mengembangkan hak-hak sipil dan kebebasan adalah merupakan dasar bagi
keberhasilan pemolisian yang demokratis.

Dalam prakteknya, pemolisian komuniti mencakup kegiatan-kegiatan patroli


jalan kaki polisi, patroli dengan sepeda, dengan sepeda motor, mobil, atau dengan

330
kuda bila diperlukan. Kegiatan ini juga mencakup sambang, ikut dalam pertemuan-
pertemuan kampung, kegiatan olahraga, kesenian, atau ikut dalam diskusi-diskusi
mengenai pembangunan dan pengembangan komuniti yang diselenggarakan oleh
kelurahan atau kelompok-kelompok sosial atau LSM yang ada dalam komuniti.
Petugas pemolisian komuniti juga harus mampu untuk memberikan penerangan atau
penyuluhan bila diminta oleh warga dalam berbagai permasalahan sosial yang
mereka hadapi, termasuk masalah narkoba, kenakalan anak-anak dan kejahatan
remaja. Disamping itu petugas pemolisian komuniti juga harus mampu meredam
potensi-potensi konflik untuk tidak muncul sebagai konflik sosial atau konflik
komunal, yang untuk itu dia harus mampu menjadi mediator atau negosiator, dan
bahkan harus mampu menjadi inisiator. Untuk keberhasilannya, petugas pemolisian
komuniti harus mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai sejumlah konsep
dan teori yang ada dalam ilmu-ilmu sosial, memahami komuniti atau komuniti-
komuniti yang tercakup dalam ruang lingkup tugasnya, terpercaya dan dihormati
secara tulus oleh warga komuniti yang bersangkutan. Untuk itu si petugas pemolisian
sebaiknya tidak melakukan sambang hanya kepada warga komuniti yang kaya, yang
biasanya memberikan amplop, tidak berbisnis di komuniti tersebut, dan seharusnya
memperoleh gaji yang cukup sesuai kebutuhan hidupnya dan keluarganya, serta
tersedianya biaya operasi yang cukup sesuai dengan tugasnya. Bila syarat-syarat ini
tidak dipenuhi maka jangan diharapkan pemolisian komuniti akan berhasil.

Pembangunan Komuniti dan Pemolisian Komuniti

Masyarakat-masyarakat pertambangan dan berbagai macam masyarakat


industri lainnya di daerah perkotaan selalu berada dalam proses konflik yang terus
menerus dengan komuniti setempat atau dengan buruh-buruh dan karyawan-
karyawannya, yang sewaktu-waktu muncul dalam bentuk amuk massa yang merusak
alat-alat produksi dan harta benda perusahaan atau pabrik, harta milik staf-staf
perusahaan atau pabrik, atau personil staf perusahaan atau pabrik. Bahkan
kemarahan ini bisa meluas menjadi amuk massa terhadap golongan sukubangsa
dari pemilik dan staf perusahaan atau pabrik. Perusahaan-perusahaan
pertambangan telah berupaya mengatasi masalah ini dengan cara menyajikan
program-program pembangunan komuniti, sebagaimana yang telah diuraikan

331
terdahulu dalam tulisan ini. Program-program tersebut tidak selamanya dapat
meredam ledakan-ledakan konflik yang merugikan perusahaan maupun pabrik-
pabrik yang menjadi sasaran kemarahan warga komuniti setempat. Sebab utama
dari kemarahan adalah adanya rasa ketidakadilan dalam hubungan komuniti dengan
perusahaan atau pabrik, dalam hubungan buruh-majikan, dan dalam program
pengembangan komuniti tersebut. Selama ini, bila terjadi gejolak sosial di daerah
industri pertambangan atau pabrik maka polisi (Polres dan/atau Polsek setempat
dengan dibantu pasukan BRIMOB) selalu bertindak reaktif dan represif dalam upaya
untuk meredamnya. Peredaman dilakukan dengan mengacu pada upaya
menegakkan hukum. Dalam keadaan seperti ini polisi dilihat warga komuniti yang
bersangkutan dan umum sebagai alat penguasa (pengusaha tambang atau pabrik)
dan simbol kekerasan untuk menekan dan menindas komuniti yang bersangkutan.
Dalam amuk massa tersebut polisi bisa menjadi sasaran kemarahan sehingga terjadi
pergeseran dari kemarahan terhadap perusahaan atau pabrik menjadi kemarahan
terhadap polisi, dan bahkan kantor Polres atau kantor Polsek juga bisa menjadi
sasaran kemarahan, yang biasanya dihancurkan atau dibakar. Kegiatan-kegiatan
pemolisian yang biasanya berpedoman pada fungsi polisi sebagai penegak hukum
mengabaikan hak-hak budaya komuniti yang mempunyai kebudayaan dan norma-
norma sendiri, termasuk norma-norma dan penanganan ketidakadilan dan kejahatan.
Kasus-kasus pembakaran dan pengrusakan kantor Polres biasanya juga terjadi
karena komuniti yang warganya ditangkap tidak setuju dengan penangkapan
tersebut.

Bila dalam struktur Polres dan Polsek ada satuan tugas pemolisian komuniti
maka ledakan-ledakan amuk massa tersebut kemungkinan besar dapat dicegah
sebelum gejala itu terwujud, sehingga kerugian yang dihasilkan dari kemarahan
massa tersebut dapat dihindari. Petugas pemolisian komuniti tidak bertugas pada
waktu ada kerusuhan, tetapi telah bertugas dalam suatu jangka waktu tertentu dan
dipercaya oleh warga komuniti yang bersangkutan sebagai pelindung dan pengayom
mereka dalam berbagai masalah sosial, dan sebagai mediator dengan penguasa
tambang atau pabrik, dan sebagai mediator antara komuniti dengan Polsek atau
Polres setempat dalam berbagai kebijaksanaan pengendalian kejahatan,
peningkatan kualitas hidup, dan dalam menciptakan proyek-proyek pembangunan
komuniti. Model pemolisian komuniti ini belum pernah dijalankan di Indonesia. Dalam

332
rangka mendukung upaya pemantapan Otonomi Daerah mungkin model pemolisian
komuniti dan fungsinya dalam pembangunan komuniti ini dapat dicoba diterapkan
melalui sejumlah pilot project.

*****

Kepustakaan

Blakely, Edward J., 1979, Community Development Research: Concepts, Issues, and
Strategies. New York, N.Y.: Human Sciences Press.
Dahrendorf, R., 1959, Class and Conflict in Industrial Society. Stanford, California:
Stanford University Press.
Ennis, Phillip H., 1970. “Cfrime, Victim, and the Police ”.Dalam Marvin E..Wolfgan,
Dkk (Editors.), The Sociology of Crime and Delinquency. New York:
John Wiley, edisi ke-2. Hal. 74 – 81.
Friedmann, Robert R., 1992, Community Policing: Comparative Perspectives and
Prospects. New York: Harvester Wheatsheaf.
Gellner, Ernest, 1995, “The Importance of Being Modular”. Dalam John Hall
(Editror.), Civil Society: Theory and Comparison. London: Polity Press
Harris, P. dan B. Reillly (Eds.), 2000, Demokrasi dan Konflik yang Mengakar:
Sejumlah pilihan untuk negosiator. Jakarta: IDEA. Terjemahan.
Hegeman, Elizabeth dan Leonard Kooperman, 1974, Anthropology and Community
Action. Garden City N.Y.: Doubleday/Anchor.
Kunarto dan Ardian Syamsudin (Penyadur), 1998, Robert Friedmann’s Community
Policing: Kegiatan Polisi dalam Pembinaan Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat. Jakarta: Cipta Manunggal.
Lubis, Mochtar (Ed.), 1994. Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan OBOR.
Reksodiputro, Mardjono, 1997, “Program Kajian Ilmu Kepolisian Pada Program
Pascasarjana, U.I.” – Suatu Refleksi Diskusi dengan Mahasiswa
Angkatan I. Jakarta: S2, KIK – UI. Makalah tidak diterbitkan.
Richardson, James F., 1974, Urban Police in the United States. Port Washington,
N.Y.: National University.

333
Suparlan, P., 1979, “Ethnic Groups of Indonesia”. The Indonesian Quarterly, 7,2,
55 – 73. CSIS.
–––––––––– 1986, “Kebudayaan dan Pembangunan”. Media IKA, 14,11,106 – 135.
––––––––––, 1999, “Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya”. Jurnal Antropologi
Indonesia , 59,: 7 – 19.
––––––––––, 2000, “Masyarakat Majemuk dan Perawatannya”. Jurnal Antropologi
Indonesias, 63, 1 – 14.
––––––––––, 2001, “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti”. Jurnal
Antropologi Indoinesia, 66, 1 – 12.
Turan, Ahmad, 2002, “Pemolisian Masyarakat”. Jurnal Polisi Indonesia, No. 4,
28 – 37.

334
14 Sukubangsa
dan Hubungan
Antar-Sukubangsa

Masyarakat Majemuk

M
asyarakat majemuk adalah sebuah masyarakat yang dibangun dari
mempersatukan kelompok-kelompok sukubangsa, bahasa, keagamaan,
dan/atau kelompok-kelompok ras. Sistem nasional mempersatukan
kelompok-kelompok tersebut sebagai sebuah bangsa atau nasion. Upaya
mempersatukan kelompok-kelompok tersebut sebagai sebuah bangsa biasanya
dilakukan dengan cara paksa, walaupun sebagian dengan dorongan secara sukarela
dari tokoh-tokoh yang mewakili kelompok-kelompok tersebut. Contoh dari
masyarakat majemuk yang dipersatukan secara paksa adalah masyarakat negara
jajahan, seperti Hindia Belanda, Suriname, Burma, dsb. Sedangkan yang
dipersatukan dengan paksa tetapi dengan dorongan secara sukarela dari tokoh-
tokoh yang mewakili kelompok-kelompok tersebut, antara lain, adalah Indonesia dan
Malaysia, dan berbagai negara bekas jajahan lainnya.

Dalam masyarakat majemuk, sistem nasional yang terwujud sebagai


pemerintah mempunyai posisi yang dominan. Atau, dengan kata lain, sistem nasional
mempunyai kekuasaan yang dominan dalam kehidupan kelompok-kelompok yang
tercakup dalam masyarakat yang dipersatukan tersebut. Gejala ini nampak secara
menonjol terutama dalam masyarakat-masyarakat negara jajahan. Sedangkan dalam
masyarakat-masyarakat bekas negara jajahan, corak dominasi ini masih nampak
walaupun telah diimbangi dengan sistem pemerintahan yang demokratis. Dominasi
pemerintah atau sistem nasional ini terutama terwujud dalam corak pemerintahannya
yang terpusat atau sentralistik, seperti yang terdapat di Indonesia dalam

335
pemerintahan Orde Baru. Dalam masyarakat bekas negara jajahan yang
pemerintahannya bercorak federal, seperti India atau Malaysia, corak pemusatan
kekuasaan pemerintah atau sistem nasionalnya bukan terletak di pusat
pemerintahan tetapi ada pada negara-negara bagian dari masyarakat negara
tersebut.

Dalam masyarakat negara jajahan, sistem nasional atau pemerintahannya


dipegang dan didominasi oleh bangsa atau sukubangsa penjajah. Golongan bangsa
penjajah ini menciptakan batas-batas sosial dan budaya yang membedakan mereka
dari golongan bangsa yang dijajah. Pembedaan dilakukan dengan memberlakukan
ketentuan-ketentuan hukum berkenaan dengan hak dan kewajiban beserta imbalan-
imbalan dan sanksi-sanksinya, yang dibedakan antara yang tergolong sebagai
penjajah dengan yang dijajah. Bersamaan dengan itu juga dilakukan pembedaan
atau diskriminasi dalam hal status dan posisi yang dapat diraih oleh yang menjajah
dan yang dijajah dalam struktur-struktur pemerintahan, ekonomi, politik, dan sosial.
Secara sosial, pembedaan antara yang menjajah dengan yang dijajah juga dilakukan
dengan cara menekankan ciri-ciri fisik sebagai atribut yang berbeda dari yang dijajah,
yang dibarengi dengan ciri-ciri budaya yang menjadi atribut-atribut bagi jatidiri.

Dalam masyarakat-masyarakat bekas negara jajahan, yang menguasai sistem


nasional atau pemerintahan bukan lagi bangsa penjajah, yang berbeda bangsa atau
sukubangsa dan ciri-ciri fisiknya, tetapi bangsa sendiri. Yaitu, salah satu kelompok
sukubangsa atau diwakili oleh semua sukubangsa yang tercakup dalam masyarakat
negara tersebut. Walaupun demikian, perkecualian atau penyimpangan dari apa
yang telah dijelaskan tersebut di atas dapat terjadi. Amerika Serikat misalnya, yang
telah memerdekakan dirinya dari penjajahan Inggeris pada tahun 1776,
pemerintahan dan masyarakat negaranya didominasi orang Kulit Putih Kristen asal
Anglo Sakson atau White Anglo Saxon Protestant disingkat WASP sampai dengan
1963, ketika Presiden John F. Kennedy mengundangkan hukum yang melarang
diskriminasi atas dasar warna kulit dan ciri-ciri ras, asal bangsa atau negara, dan
kebudayaan. Sejak itu berbagai golongan sukubangsa yang semula tergolong
sebagai minoritas secara bertahap mulai turut dalam sistem administrasi
pemerintahan. Contoh lainnya adalah Afrika Selatan. Sebagian besar masyarakat
majemuk terdiri atas paling banyak beberapa puluh sukubangsa atau kelompok
bahasa, seperti India. Atau hanya terdiri atas tiga sukubangsa seperti Malaysia,

336
yaitu: golongan sukubangsa Melayu, Cina, dan India. Sedangkan Indonesia,
mempunyai ratusan sukubangsa. Sayangnya pemerintah Indonesia tidak melakukan
sensus penduduk yang mencakup kesukubangsaan, dengan alasan SARA, yang
tidak masuk akal. Daftar sukubangsa-sukubangsa yang tercatat dalam Sensus 1930,
adalah sebagai berikut :

Sumatera dan Pulau-pulau sekitarnya 8.000.000


1. Aceh 750.000
2. Gayo-Alas 50.000
3. Batak (mencakup Karo, Mandailing, Toba, Pakpak, dsb) 1.000.000
4. Minangkabau 2.000.000
5. Melayu 3.500.000
6. Rejang-Lebong (mencakup Lampung, Lebong, Paemah, 500.000
Rawas, Rejang, Samendo)
7. Kelompok Kubu (mencakup Akit, Kubu, Benua, Lubu, 25.000
Mamak, Rawas, Sakai, Talang, Tapung, Ulu, Utan)
8. Nias 200.000
9. Mentawai 10.000
10. Enggano 300
11. Orang Laut 10.000

Kalimantan 2.500.000

1. Kelompok Bahau (mencakup Kayan, Kenya, Long Giat, 300.000


Long Wai, Kinjin, Pnihing, Saputan, Segai, Tring,
Uma Pagong, Uma Suling)
2. Kelompok Ngaju (mencakup Biaju, Bukit, Dusun, 400.000
Kahayan, Katingan, Kotawaringin, Lawangan, Maanyan,
Murung, Ot Danum, Patai, Saruyan, Siang, Siong, Tabuyan,
Taman Tamoan)
3. Dayak Daratan (mencakup Ayou, Bukar, Desa, Lundu, 200.000
Manyukei, Mualang, Sidin)
4. Kelompok Kelemantan-Murut-Kelabit (mencakup 300.000
Adang, Batu Belah, Bisaya, Dusun, Kadayan, Kelabit,
Kanowit, Long Kiput, Milanau, Murik, Murut, Saban,

337
Sebob, Tagal, Tidong, Tingalan, Treng)

5. Kelompok Iban 200.000


6. Kelompok Punan (mencakup Aput, Basap, Boh, Bukat, 50.000
Bukitan, Busang, Kelai, Lisum, Lugat, Ot, Penyabong)
7. Melayu, Bugis, Banjar, dsb-nya 1.000.000

Jawa dan Madura 40.000.000

1. Jawa 27.000.000
2. Sunda 8.500.000
3. Madura 4.500.000
4. Badui 1.200
5. Tengger 10.000

Sulawesi dan Pulau-pulau di sekitarnya 4.000.000


1. Makassar-Bugis 2.500.000
2. Toraja (mencakup Ampana, Bada Baku, Banasu, 200.000
Besoa, Buyu, Gimpu, Kadombuku, Kulawi, Lage, Lalaco,
Lampu, Leboni, Lindu, Muton, Napu, Onda’e, Pada, Pakambia,
Pakawa, Palu, Parigi, Pebato, Poso, Pu’umBoto, Rampi,
Rato, Salu Maoge, Sigi, Tawaelia, Tojo, Toli-Toli)
3. Kelompok Sadang (mencakup Mamasa, Mamaju, Mangki, 500.000
Masen-Rempulu, Pada, Rongkong, Sadang, Seko)
4. Kelompok Mori-Mori (mencakup Bela, Bungku, 200.000
Buton, Kabaena, Kinadu, Laki, Lambatu, Maronene,
Matano, Mekongga, Mori, Mowewe, Muna, Tambe’e,
Waji, Wawoni)
5. Kelompok Loinang (mencakup Belanta, Banggai, Bobongko, 100.000
Loinang, saluan, Wana)
6. Kelompok Minahasa (mencakup Bantik, 500.000
Bolaang-Mongondow, Bentanan, Bulang, Buol,
Gorontalo, Nanusa, Ponosokan, Sangir, Talaud,
Tolour, Tombulu, Tompakewa, Tondano, Tonsawang,
Tonsea, Tonsini, Tontemboan)

338
7. Toala 100

Nusa Tenggara 3.500.000


1. Bali (mencakup Bali dan Bali Angha) 1.200.000
2. Lombok (mencakup Bali, Bodha, Sasak) 600.000
3. Sumbawa (mencakup Bima, Do-Donggo, Dompu, 300.000
Sanggau, Sumbawa)
4. Sumba 100.000
5. Sawu 27.000
6. Timor (mencakup Atoni, Belu, Kupang) 700.000
7. Flores (mencakup Ende, Larantuka, Ngada, Manggarai, Sikka) 500.000
8. Alor-Solor (mencakup Adonara, Alor, Lomblem, Pantar, Solor) 150.000

Maluku 450.000
1. Kepulauan di Barat Daya (mencakup (Wetar, Kisar, 39.500
Leti-Lakor-Moa-Luang-Sermata, Roma-Damar)
2. Kepulauan di Tenggara (mencakup Babar, Nila-Teun, Serua) 13.000
3. Kepulauan Tanibar 25.000
4. Kepulauan Kei 30.000
5. Kepulauan Aru 20.000
6. Kepulauan Banda 6.000
7. Kepulauan Ambon 60.000
8. Seram (mencakup Bonfia, Pattalima, Pattasiwa Hitam, 60.000
Pattasiwa Putih, Seti)
9. Seramlaut-Goram-Wambola 14.500
10. Buru 20.000
11. Halmahera (mencakup Galela, Tobaru, Tobelo) 50.000
12. Ternate-Tidore 35.000
13. Kepulauan Bacan 10.000
14. Kepulauan OBI -
15. Kepulauan Sula 15.000

339
Sumber: Raymond Kennedy (1942) The Ageless Indies. New York: John Day. Hal 23-26.

Data Sensus 1930 tidak mencakup sensus terhadap masyarakat Irian Jaya,
yang pada waktu itu masih merupakan daerah yang belum terbuka bagi penjajahan
Belanda, walaupun sudah dilakukan ekspedisi-ekspedisi penelitian untuk
membukanya. Jumlah sukubangsa-sukubangsa yang ada di Irian Jaya diperkirakan
sekitar 200 sukubangsa.

Dari data Sensus 1930 tersebut di atas diketahui bahwa keanekaragaman


sukubangsa juga ditandai oleh keanekaragaman dalam jumlah penduduknya. Dari
data tersebut diketahui bahwa terdapat delapan sukubangsa besar atau mayoritas
dan selebihnya adalah sukubangsa-sukubangsa minoritas. Adapun sukubangsa-
sukubangsa yang besar jumlah penduduknya tersebut adalah sbb :

Jumlah Penduduk Persentase dari Seluruh


(Dalam ribuan) Jumlah Penduduk
1. Jawa 27.000 45,0
2. Sunda 8.500 14,2
3. Madura 4.500 7,5
4. Melayu 4.500 7,5
(Sumatra dan Kalimantan)
5. Makasar-Bugis 2.500 4,2
6. Minangkabau 2.000 3,3
7. Bali 1.200 2.0
8. Batak 1.000 1,7

Keanekaragaman sukubangsa di Indonesia juga dibarengi dengan


keanekaragaman keyakinan keagamaan. Keyakinan keagamaan tersebut memotong
sukubangsa-sukubangsa menjadi sejumlah golongan penganut agama, dan di lain
pihak menghubungkan golongan-golongan sukubangsa yang mempunyai keyakinan
agama sebagai sebuah golongan sosial. Dari data Sensus 1971 diketahui bahwa
Islam adalah agama yang paling besar penganutnya dibandingkan dengan agama-
agama lainnya.

340
Agama Jumlah Penduduk Persentase
Islam 103.580.000 87,5
Katolik 2.692.000 2,3
Kristen Protestan 5.152.000 4,4
Kristen Lainnya 893.000 0,8
Hindu 2.296.000 1,9
Budha 1.092.000 0,9
Kong Hu Cu 972.000 0,8
Lain-Lain 1.686.000 1,4
Jumlah 118.368.000 100,0

Diantara penduduk Indonesia dewasa ini terdapat mereka yang tergolong


sebagai Orang Cina, Orang Arab, dan India. Jumlah Orang India sangat kecil,
sehingga dalam Sensus 1930 Orang India tidak diperhitungkan. Begitu juga jumlah
mereka yang tergolong sebagai Orang Arab, menjadi tidak signifikan dalam Sensus
1930 karena sebagian terbesar dari mereka itu telah menyatu dengan penduduk
pribumi atau sukubangsa setempat melalui kesamaan dalam agama, yaitu Islam.
Sedangkan jumlah Orang Cina dalam Sensus 1930 cukup berarti, sebagai sebuah
golongan sukubangsa yang berbeda dari sukubangsa-sukubangsa pribumi dan dari
penjajah.

Jumlah Orang Cina Tahun 1930 dan 1951 (dalam ribuan)


Tahun Jawa Sumatra Kalimantan Barat Tempat-Tempat Lainnya Jumlah
1930 582 449 108 94 1.233
1961 1.230 690 315 215 2.450

Sumber : G.W. Skinner (1963) ‘The Chinese Minority in Indonesia’. Dalam, Ruth MacVey (Ed.),
Indonesia. New Haven : Yale University Press. Hal. 97-117.

Batas-batas sukubangsa antara Cina dan non-Cina terutama ditunjukkan oleh


(1) ciri-ciri fisik (walaupun banyak ciri-ciri fisik Orang Cina yang memperlihatkan
kesamaan dengan sukubangsa Minahasa, Sumatra Selatan, dan berbagai

341
sukubangsa lainnya, (2) bahasa dan kebudayaan, (3) keyakinan agama (Kong Hu
Cu dan Budha, walaupun banyak orang-orang Cina yang juga beragama Islam atau
Kristen dan Katolik), (4) kehidupan ekonomi yang menekankan pada bisnis dan
perdagangan (walaupun di Kalimantan Barat, di pedalaman Riau, dan di Pulau
Bangka sebagian besar Orang Cina hidup sebagai petani; dan, di kota-kota besar di
pulau Jawa hidup sebagai pegawai).

Ciri-ciri sebagai pebisnis dan sebagai pedagang mungkin merupakan atribut


yang menyolok bagi jatidiri Orang Cina, dalam hubungan antar-sukubangsa. Ciri-ciri
ini bukan mereka dapat pada dewasa ini, tetapi telah mantap dalam kehidupan
masyakat yang terwujud sebagai stereotip sejak dalam zaman penjajahan Belanda di
Indonesia. Oleh pemerintah jajahan Belanda Orang Cina bersama dengan Orang
Arab dibedakan dari golongan pribumi dan dari golongan Belanda dan Eropa yang
menjadi penguasa. Orang Cina dan Arab berada dalam posisi antara Belanda dan
pribumi, dan hukum yang diberlakukan dari mereka berbeda dari hukum yang
diberlakukan bagi pribumi dengan hak-hak yang lebih baik daripada hak-hak pribumi.
Mereka diberi fungsi sebagai pedagang perantara antara pemerintah jajahan dengan
pribumi. Sejumlah orang Cina juga dimanfaatkan oleh pemerintah jajahan dan oleh
sejumlah raja Jawa untuk menjadi penarik pajak dengan sistem borongan. Pemeritah
jajahan dan raja-raja Jawa tersebut menerima penghasilan bersih pajak sedangkan
kotornya termasuk keuntungan yang berlipat-lipat menjadi bagian orang-orang Cina
tersebut. Kemampuan bisnis dan berdagang Orang Cina ini nampaknya diwariskan
dari generasi ke generasi melalui kongsi-kongsi atau bisnis keluarga atau klen.

Dalam pemerintahan Orde Baru, sejumlah orang Cina dimanfaatkan oleh para
pejabat dan petinggi negara sebagai pebisnis dan cukong padahal sebagian terbesar
lainnya tidak memperoleh bagian keuntungan dari fungsi-fungsi sejumlah orang Cina
tersebut. Bahkan sebagian terbesar dari mereka itu didiskriminasi, karena mereka itu
Orang Cina. Yaitu didiskriminasi atau diisolasi dari berbagai kegiatan di bidang politik
dan pemerintahan, sosial, dan pendidikan. Mereka sebenarnya dapat digolongkan
sebagai minoritas dalam perbandingannya dengan orang-orang Indonesia yang
tergolong ‘pribumi’.

342
Pengertian minoritas ditujukan kepada sekelompok orang yang karena ciri-ciri
fisik, bahasa, dan kebudayaannya yang berbeda dari yang secara umum berlaku
dalam masyarakat luas ditiadakan atau dikurangi hak-haknya dalam berbagai bidang
kehidupan yang berlaku. Pengertian minoritas tidak selalu mengacu pada jumlah
banyaknya anggota kelompok tetapi lebih pada kekuatan sosial yang dipunyai.
Lawan dari pengertian minoritas adalah mayoritas (yang artinya jumlah banyak).
Pengertian mayoritas tidak selalu diartikan sebagai mempunyai kekuatan sosial atau
kekuasaan. Untuk pengertian kekuatan sosial atau kekuasaan lebih tepat digunakan
istilah dominan. Penguasa Kulit Putih, dengan politik aprtheidnya, adalah golongan
dominan walaupun jumlahnya dibandingkan dengan golongan Kulit Hitam amat kecil.
Dan, sebaliknya orang Kulit Hitam di Afrika Selatan adalah golongan minoritas
walaupun jumlahnya mayoritas dibandingkan dengan golongan Kulit Putih.

Catatan Penutup: Kesukubangsaan dalaqm Sensus 2004


Biro Pusat Statistik (BPS), R.I., pada tahun 2002 telah menyelenggarakan Sensus
Pendeuduk, yang dalam sensus tersebut tercakup juga kesukubangsaan dari
penduduk Indonesia. Tidak diketahui apa patokan yang digunakan untuk
mendefinisikan sukubangsa penduduk Indonesia, dan juga tidak ada pemberian
alasan oleh BPS mengapa hanya ada delapan kelompok sukubangsa yang tercatat
dalam Sensus 2002 tersebut. Delapan kelompok sukubangsa yang diidentifikasi
jumlah penduduknya dalam Sensus 20002 (Tabel 10.9) tersebut, adalah sbb.:
Jawa 83752852
Sunda, Priangan 38978404
Madura 8771727
Minangkabau 5475145
Betawi 5041688
Bugis,Ugi 5010423
Banten 4113162
Banjar, Melayu Banjar 3496273
Lainnya 56452563

Dari data Sensus 2002 tersebut diatas masih ratusan kelompok sukubangsa dan
anggota-anggota sukubangsa yang tidak tercatat dalam sensus tersebut, dan hanya

343
disebutkan sebagai “Lainnya”. Tidak diketahui alasan BPS mengapa melakukan hal
itu. Mungkin dalam sensus yang akan diselenggarakan di masa mendatang,
kesalahan ini tidak terulang lagi.
Dari data yang ada mengenai delapan sukubangsa tersebut, diketahui bahwa
anggota-anggota dari delapan sukubangsa tersebut bukan hanya hidup dalam
wilayah asal sukubangsanya tetapi tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama
di daerah perkotaan (lihat hasil Sensus 2004, di bawah). Kalau ini yang menjadi
alasan mengapa hanya delapan sukubangsa yang disensus, alasan inipun tidak
benar. Karena anggota-anggota hampir seluruh sukubangsa di Indonesia pada saat
ini bukan hanya tinggal dan hidup di wilayah asalnya tetapi tinggal dan hidup di
hampir seluruh wilayah Indonesia, di daerah perkotaan maupun pedesaan..

Sensus 2004: (Tabel 10.9)


Delapan Sukubangsa di Seluruh Propinsi di Indonesia

344
13 Hubungan
Patron-Klien:
Model dan
Penerapannya

Pendahuluan

M
odel hubungan patron-klien (patron-client relationship) tidak banyak
digunakan oleh para ahli ilmu-ilmu sosial Indonesia dalam pengkajian
mereka mengenai struktur-struktur sosial dan kekuatan yang terdapat
dalam masyarakat-masyarakat di Indonesia. Diantara yang tidak banyak tersebut,
antara lain adalah tulisan-tulisan dari Arifin (1985), Efendi (1983), dan Suparlan
(1974, 1980).

Keterasingan konsep ini dari dunia ilmu-ilmu sosial Indonesia, antara lain,
mungkin disebabkan oleh karena terlalu umumnya definisi yang telah digunakan.
Suparlan (1974:), misalnya dalam pembahasannya mengenai hubungan patron-klien
mengatakan bahwa pada masyarakat berpenghasilan rendah di Jakarta, termasuk

345
gelandangannya, terdapat sistem patron-klien, dimana patron bertindak sebagai
pelindung dari klien-kliennya. Selanjutnya dikatakannya (1974 : 14):
Ada berbagai macam pola hubungan patron-klien diantara golongan
berpenghasilan rendah. Diantaranya ada yang mempunyai hubungan sebagai
antara bapak dan anak, tetapi ada pula yang mempunyai hubungan antara
yang memeras dan yang diperas. Yang terbanyak adalah pola hubungan yang
berada diantara keduanya, ....
Pernyataan yang sama, yang sifatnya umum, juga dibuat oleh Effendi (1983 : 42 –
43), dimana dia mengatakan:
Pola ketergantungan dengan kelompok dan “bapak pelindung” (patron)
nampaknya adalah yang tak dapat dihindari. Bapak pelindung berperan
sebagai orang yang memberi perlindungan dan pertolongan bagi anggota
masyarakat.

Tulisan ini berusaha untuk menguraikan pengertian hubungan patron klien,


dan bagaimana sebagai sebuah model digunakan untuk mengkaji masalah-masalah
yang berkaitan dengan struktur-struktur sosial dan kekuatan yang terdapat dalam
komuniti gelandangan, dan bagaimana hubu8ngan patron-klien tersebut juga
terwujud dalam kehidupan sukubangsa terutama dalam khidupan para pendatang
atau ketyurunannya di daerah perkotaan atau tempatnya merantau. Pusat perhatian
adalah pada penerapannya sebagai sebuah alat konseptual dalam penelitian.

Hubungan Patron-Klien

James Scott (1977) mengatakan bahwa hubungan patron-klien itu mempunyai


ciri-ciri yang khusus yang berbeda dari corak hubungan-hubungan sosial lainnya,
yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur: (1) Interaksi tatap muka di antara para
pelaku yang bersangkutan; (2) Adanya pertukaran benda dan jasa yang relatif tetap
berlangsung di antara para pelaku; (3) Adanya ketidaksamaan dan
ketidakseimbangan dalam pertukaran benda dan jasa tersebut; dan (4)
Ketidakseimbangan tersebut menghasilkan kategori patron dan klien yang
memperlihatkan ciri-ciri ketergantungan dan ikatan yang bersifat meluas dan
melentur di antara patron dengan kliennya. Secara terperinci dikatakan oleh Scott

346
(1977 : 125); Seorang klien adalah seseorang yang menjalin hubungan saling tukar-
menukar benda dan Jasa secara tidak seimbang dengan patronnya, di mana dia
tidak mampu untuk membalasnya secara sepenuhnya. Dia terlibat dalam suatu
hutang budi yang telah mengikatnya pada patronnya.

Interaksi tatap muka menghasilkan adanya hubungan-hubungan sosial yang


bersifat pribadi, mendalam, den bersifat relatif langgeng, diantara para pelaku (yaitu
di antara patron dan klien). Adanya pertukaran benda dan jasa diantara pelaku, yang
bersifat pribadi, memperkuat hubungan-hubungan sosial tersebut di atas. Hubungan-
hubungan pertukaran benda dan jasa itu mempunyai suatu corak yang bebas dari
unsur-unsur paksaan, kekerasan, dan pertunjukan kekuasaan, serta manipulasi.
Sebab, pada saat hubungan tukar menukar itu telah didominasi oleh salah satu dari
unsur-unsur tersebut, maka hubungan sosial tersebut tidak lagi bersifat pribadi,
dan khususnya tidak lagi dapat digolongkan sebagai hubungan patron-klien (Legg,
1983 : 23).

Adanya ketidakseimbangan dalam hal tukar menukar benda dan jasa di


antara pelaku menyebabkan adanya ketidakseimbangan dan ketidaksamaan dalam
hal kekuatan sosial di antara para pelaku. Ketidakseimbangan dalam hal hubungan
sosial, yang melibatkan juga ketidakseimbangan dalam hal tukar menukar benda dan
jasa di antara para pelaku, menyebabkan adanya ketidaksamaan dalam kekuatan
sosial, yang diakui oleh para pelaku yang bersangkutan sebagai pedoman umum
dalam interaksi sosial di diantara mereka.

Ketidaksamaan dalam saling tukar menukar benda dan jasa tersebut telah
menyebabkan adanya ketidaksamaan dalam hal kedudukan sosial ekonomi antara
patron dan klien; dan karena itu juga hubungan diantara patron dan klien sebenarnya
bersifat vertikal. Patron, dalam hal ini, mempunyai kedudukan sosial-ekonomi yang
lebih tinggi dan kekuatan sosial yang lebih besar dibandingkan dengan kliennya.
Bersamaan dengan itu, ketidakseimbangan hubungan di antara patron dan kliennya
juga muncul dan menjadi baku, karena adanya ketidakseimbangan dalam hal saling
tukar menukar benda dan jasa tetapi yang dinilai sebagai seimbang oleh masing-
masing pelakunya. Hal ini disebabkan karena nilai barang dan jasa itu besar kecilnya
ditentukan oleh tingkat kebutuhan dari si penerima jasa dan benda.

347
Ketidakseimbangan muncul karena patron berada dalam posisi untuk
memberikan benda dan jasa secara sepihak, yang dibutuhkan oleh klien, untuk
kelangsungan hidupnya dan keluarganya. Adanya ketidakseimbangan ini
menciptakan suatu keadaan dimana klien nampaknya berada dalam keadaan
berhutang budi terus menerus pada patron, yang sewaktu-waktu hutang tersebut
secara halus dapat ditagih di masa-masa mendatang.

Walaupun nampaknya, dari uraian di atas klien berada pada pihak yang
dirugikan, tetapi sebenarnya dilihat dari pihak si klien itu sendiri tidaklah demikian.
Karena, adanya ikatan vertikal dengan patronnya itu dapat merupakan suatu
persekutuan adil yang paling berharga dibandingkan dengan hubungan-hubungan
sosial lainnya yang dimilikinya dengan orang-orang yang sama statusnya dengan
dirinya (Landee, 1977 : xxvii). Dengan mereka yang sama statusnya, si pelaku harus
mengimbangi pemberian yang didapatnya dengan cara memberikan yang jumlah
nilainya setidak-tidaknya sama dengan telah diterimanya; atau kalau tidak maka dia
akan dikucilkan dari kehidupan sosial masyarakatnya. sebenarnya, apa yang
diberikannya oleh klien kepada patronnya sebagai imbalan atas pemberian benda
dan jasa yang telah diterimanya sebagian besar besar bersifat jasa (pelayanan,
pengabdian, kesetiaan), sebagaimana ditunjukkan Wolf (1978 : 16-17) pemberiannya
ini sudah dapat dianggap seimbang dengan barang dan jasa (khususnya
perlindungan oleh patron) yang telah diberikan oleh patron.

Karena hubungan sosial antara patron dengan kliennya itu bersifat spontan
dan pribadi, maka juga ikatan-ikatan sosial yang terwujud melibatkan berbagai aspek
kehidupan dari para pelaku yang bersangkutaan. Karena itu hubungan sosial
diantara patron dengan kliennya bukan hanya melalui berbagai satu jalur hubungan
saja tetapi melalui berbagai bentuk hubungan yang dinamakan sebagai “multiplex”
(Mayer, 1978), atau “many stranded” (Wolf, 1983 : 139). Hubungan-hubungan yang
terjadi antara patron dengan kliennya bukan hanya mencakup hubungan ekonomi
saja misalnya, tetapi juga melibatkan aspek-aspek kehidupan lainnya (agama,
kekerabatan, ketetanggaan, politik, dan sebagainya). Hubungan-hubungan tersebut
tidak mudah diputuskan, karena itu bersifat lentur.

348
Patron-Klien dan Komuniti Gelandangan

Hubungan patron-klien sebenarnya baru ada dalam keadaan di mana norma-


norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan menuntut adanya
hubungan tawar menawar dan saling tukar benda dan jasa diantara patron dan klien.
Scott (1977 : 132) mengatakan bahwa ada kondisi-kondisi tertentu dimana hubungan
patron-klien itu dapat berkembang dan lestari, yaitu: (1) Adanya perbedaan yang
menyolok dalam hal kekayaan, status, dan kekuatan sosial, setidak-tidaknya menurut
pandangan para warga masyarakat yang bersangkutan, (2) Tidak adanya pranata-
pranata sosial yang dapat menjamin tetap dipertahankannya status, kekayaan,
kekuatan sosial, dan keamanan sejumlah warga masyarakat, dan (3) Tidak
mempunyai sistem kekerabatan yang berfungsi sebagai sarana bagi menjaga
keamanan dan ketertiban sosial serta kesejahteraan hidup pribadi para warga
masyarakat.

Dalam keadaan demikian itu, patron dapat mempertahankan eksistensinya


mengembangkan kekuatan sosialnya dengan cara menambah jumlah klien-kliennya.
Menurut Scott (1977 : 129) seorang patron dapat mempertahankan eksistensinya
atau bahkan mengembangkan kekuatan sosialnya, kalau dia mempunyai/menguasai
sumber-sumber daya, setidak-tidaknya tiga macam, yaitu: (1) Pengetahuan dan
Keahlian, (2) Pemilikan atas sumber-sumber daya ekonomi dan sosial; (3) Pemilikan
atau kekuasaan yang dipunyai terhadap orang lain yang dikontrolnya secara
langsung. Pada lapisan terbawah dari masyarakat perkotaan di Indonesia
nampaknya kondisi-kondisi khusus yang mendukung bertahan dan berkembangnya
hubungan patron-klien itu nampak, yaitu pada golongan penduduk berpenghasilan
rendah di berbagai pemukiman liar pada komuniti gelandangan. Mereka yang
tergolong sebagai penduduk berpenghasilan rendah yang tinggal di permukiman liar
biasanya terdiri atas orang yang datang dari desa (biasanya petani penggarap yang
miskin) untruk mencari nafkah di daerah perkotaan (Lihat Suparlan 1983).

Karena keterampilan dan keahlian yang mereka miliki (di luar bidang pertanian
yang menggunakan tenaga kasar mereka) itu terbatas, maka di daerah perkotaan
mereka itu memasuki sektor-sektor pekerjaan yang sebagian besar mengandalkan

349
tenaga dan sedikit keterampilan. Sebagian dari mereka itu tergolong dalam lapisan
sosial yang terendah dalam sistem pelapisan masyarakat perkotaan, yaitu sebagai
orang gelandangan.

Sebagai orang gelandangan, mereka itu sebenarnya telah terputus dari akar-
akar asal mula mereka dalam usaha mempertahankan kehidupan mereka. Karena
dalam kenyataannya mereka itu telah tidak dapat lagi mengaktifkan hubungan-
hubungan kekerabatan secara efektif untuk dapat meringankan beban hidup mereka
(lihat misalnya bagaimana Alkotsar (1980) melihat orang gelandangan itu sebagi
insan yang kesepian, karena terputusanya hubungan saudara), ditambah dengan
kedudukan mereka sebagai penghuni kota yang tidak sah, yang tinggal di wilayah-
wilayah kota yang sebenarnya terlarang untuk mereka tempati, maka juga ada
peraturan hukum yang resmi memberikan perlindungan terhadap keberadaan
mereka di kota.

Sebagai bagian dari masyarakat kota, orang gelandangan hidup secara


berdampingan dengan warga masyarakat lainnya dari kota tersebut yang
mempunyai kedudukan atau jauh lebih baik daripada mereka itu, yang
memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang nyata dalam hal kedudukan sosial dan
ekonomi/kekayaan yang ada dalam diantara sesama warga masyarakat kota yang
berbeda golongan sosialnya. Mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
dalam sistem pelapisan sosial kota (dan begitu juga yang mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi dalam komuniti gelandangan itu sendiri) dapat menjadi ancaman
bagi kehidupan orang gelandangan yang menjadi warga komuniti tetapi dapat juga
menjadi sumber daya dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan kota, yaitu
sebagai patron dari mereka yang miskin dan terjejas (Lihat Suparlan 1974, Spicer
1975, Effendi 1983).

Dilihat dari pola menetapnya,orang gelandangan sebenarnya dapat


digolongkan dalam: (1) hidup terpencar dan menyendiri atau dalam kelompok kecil,
dua s/d empat orang, dan berpindah-pindah. (2) hidup dalam kelompok yang lebih
besar, mencapai jumlah 50 orang, yang menempati wilayah-wilayah terlarang dan
sama sekali kurang tergantung pada adanya perlindungan dari pejabat administratif/
keamanan pemerintah setempat: dan (3) hidup mengelompok bisa mencapai lebih

350
dari 50 orang menempati wilayah terlarang tetapi mendapat perlindungan dari
pejabat administratif/keamanan pemerintah setempat.

Diantara 3 golongan tersebut di atas yang paling sedikit jumlahnya adalah


golongan pertama, sedangkan golongan yang kedua dan ketiga berimbang. Diantara
golongan yang terakhir ini, yang kestabilan komunitinya paling mantap adalah
golongan ketiga. Baik golongan yang kedua maupun golongan yang ketiga, kedua-
duanya secara relatif mempunyai sistem politik pada tingkat lokal yang bercorak
patron-klien yang fungsional untuk adaptasi dengan lingkungan kemiskinan yang
mereka hadapi, sehingga berbagai keserasian dan ketertiban sosial dapat mereka
ciptakan, walaupun secara relatif terbatas kepastiannya, untuk dapat hidup secara
layak sebagai warga masyarakat.

Ada berbagai corak patron-klien diantara komuniti-komuniti gelandangan. Dua


corak patron-klien, yang antara lain telah ditunjukkan, adalah: (1) Dalam komuniti
terdapat lebih dari satu patron yang seimbang kekuatan sosialnya sehingga terdapat
semacam persaingan untuk dapat menjadi satu-satunya patron; dan (2) Dalam
komuniti terdapat hanya satu patron, sehingga secara lebih mantap warga komuniti
gelandangan yang menjadi klien tersebut dapat diatur oleh patron tersebut. Karena
langsung atau tidak langsung setiap komuniti gelandangan itu behubungan dengan
komuniti bukan gelandangan yang ada setempat, maka juga secara langsung atau
tidak langsung terdapat pengaruh besar/kecil dalam hal corak patron-klien yang ada
dalam komuniti gelandangan (Lihat Suparlan 1975, dan arifin 1985).

Hubungan patron-klien dapat dilihat sebagai sebuah struktur yang terdiri atas
struktur-struktur yang lebih kecil. Struktur yang mendasari dari hubungan patron-klien
adalah cluster, yang terbentuk dari adanya seorang patron dengan satu atau
beberapa orang klien yang berada di sekelilingnya atau di bawah (dilihat secara
sosial-ekonomi). Beberapa buah cluster yang tergabung menjadi satu melalui
hubungan-hubungan hierakhi atau vertikal diantara patron-patronnya membentuk
sebuah struktur yang dinamakan piramida (Lihat Scott 1977). Sebuah komuniti
gelandangan dapat terdiri atas sebuah piramida atau lebih, atau dapat juga terdiri
atas sebuah cluster atau beberapa cluster yang masing-masing berdiri sendiri dari
bersaing untuk memperoleh kedudukan patron dari piramida komuniti tersebut.

351
Model dan Penerapannya

Melihat komuniti orang gelandangan sebagai sebuah atau beberapa buah


piramida, ataupun sebagai sebuah atau beberapa cluster sebenarnya sama dengan
melihat komuniti gelandangan itu sebagai sebuah struktur sosial atau struktur
kekuatan. Implikasi dari melihatnya sebagai struktur sosial atau struktur kekuatan
tersebut juga adalah sama dengan melihatnya sebagai sebuah jaringan sosial.
Dengan demikian juga, maka pengkajian mengenai komuni gelandangan yang
dimaksud tidak terhenti pada tingkat klasifikasi gejala-gejala sosial, tetapi mencakup
proses-proses yang terjadi di antara unsur-unsur yang terdapat dalam struktur.
Sehingga memungkinkan tercapainya usaha pemahaman mengenai hakekat
komuniti yang dimaksud.

Penggunaan model patron-klien atau model apapun, dalam setiap kajian atau
penelitian menghindarkan peneliti dari jeratan-jeratan yang menyukarkan dalam
penyeleksian data yang akan dikumpulkan. Model ini dapat dilihat sebagai sebuah
pedoman yang mendasar yang menjadi landasan bagi usaha pengumpulan data dan
pembuatan analisisnya. Sebuah model selalu diciptakan secara konseptual,
berdasarkan teori-teori yang terseleksi, dan karena itu juga operasional untuk
kegiatan pengkajian/penelitian. Sebab sebuah model sebenarnya berisikan
kumpulan teori-teori terseleksi yang relevan dengan masalah yang akan dikaji, model
yang tidak relevan dengan masalah yang dikaji, dengan sendirinya tidak operasional
untuk kegiatan pengajian/penelitian masalah tersebut.

Penggunaan model patron-klien juga relevan dalam kegunaan praktis


mengenai masalah gelandangan dan golongan berpenghasilan rendah. Karena
dalam kajian mengenai struktur sosial dan struktur kekuatan dari komuniti mencakup
juga kajian mengenai proses (proses tukar menukar benda dan jasa, dan tingkat
kualitas dari masing-masing yang dipertukarkan), maka dalam kajian juga akan
dihasilkan pemahaman mengenai hakekat tukar menukar kekuatan sosial.
Pemahaman mengenai hal ini menjadi penting, misalnya kalau dilihat dalam
kaitannya dengan usaha untuk membantu menaikkan taraf kehidupan sosial

352
ekonomi orang gelandangan dari usaha komuniti lokal tertentu. Ini ada kaitannya
dengan pertanyaan membantu seluruh warga komuniti gelandangan itu, atau
membantu memperkuat kedudukan patron atau patron-patron yang ada dalam
komuniti tersebut ? Atau, suatu pertanyaan lainnya: kalau saya membantu mereka
(orang gelandangan) tersebut, saya ini memang betul-betul mau membantu mereka
itu ataukah saya ini ingin menjadikan diri sebagai patron mereka?

Kelompok Sukubangsa, Kesukubangsaan,


dan Patron-Klien
Di dalam kehidupan sosial dari kelompok-kelompok sukubangsa di tempat
asalnya, sebagaimana yang terwujud dalam komuniti (dusun, dukuh, atau banjar,
kampung, RT atau RW), dan dalam masyarakat (desa, atau kota), anggota-anggota
dari satu sukubangsa hidup dalam suatu struktur sosial berdasarkan atas jenjang,
dan bahkan ada yang hidup dalam strutur sosial berdasarkan atas kelas sosial.
Dalam masyarakat sukubangsa yang hidup dalam sistem kerajaan atau kesultanan,
maka jenjang yang ada berdasarkan atas prinsip feodalisme. Melalui berbagai
bentuk hubungan tatap muka secara perorangan yang berlangsung dalam kehidupan
sosial diantara mereka yang berbeda jenjang sosialnya, dapat terwujud adanya
hubungan patron-klien. Yang menjadi patron biasanya adalah yang jenjang
sosialnya lebih tinggi daripada para kliennya. Dalam komuniti yang terbebas dari
pengaruh feodalisme, hubungan patron-klien adalah struktur sosialdari komuniti
tersebut. Dalam komuniti seperti itu tidak hanya ada satu orang yang menjadi
patron tetapi ada beberapa beberapa orang. Para patron ini biasanya dinamakan
tetua atau orang yang dituakan atau tokoh adat, atau berbagai sebutan lainnya.
Dalam masyarakat Indonesia dewasa ini dimana tingkat migrasi penduduk dari
berbagai sukubangsa ke berbagai tempat di Indonesia itu tinggi, terutama ke daerah
perkotaan, dan migrasi yang dilakukan bertujuan untuk memperbaiki taraf kehidupan
ekonomi dan sosial, menghasilkan adanya kecenderungan dari para migran atau
pendatang tersebut untuk hidup mengelompok diantara mereka yang seasal
sukubangsa atau seasal daerahnya (desa, kampung-kota, kota, kabupaten, atau
propinsi). Para migran ini pada umumnya adalah mereka yang di tempat asalnya
tergolong sebagai berpenghasilan rendah atau tidak mempunyai keahlian dalam
sesuatu bidang perkerjaan tertentu. Mefreka itu dapat tinggal dan hidup di
kampung-kampung kota, atau bahkan di kampung-kampung kota yang tergolong

353
sebagai permukiman liar. Sebagai pendatang baru mereka mencari perlindungan
bagi keselamatan diri mereka dan mencari pekerjaan dari orang-orang yang mereka
percayai akan dapat menolong mereka. Orang yang mereka percayai biasanya
adalah kerabatnya, yang sesama sukubangsa, atau yang berasal dari daerah asal
yang sama. Orang-orang inilah yang kemudian menjadi patron atau patron-patron
mereka. Para patron biasanya menguruskan izin tinggal, dan biasanya juga
mencarikan atau memberi pekerjaan kepada mereka. Pekerjaan yang dicarikan dan
diberikan kepada klien tergantung pada posisi patron dalam masyarakat kota
setempat, kemampuannya untuk mencarikan dan memberikan jenis perkerjaan, atau
tergantuing pada kemauannya untuk menolong dan melindunginya. Para patron
dapat memberikan pekerjaan di kantor, sebagai satpam atau sebagai pesuruh.
Tetapi pada umumnya para patron membrikan pekerjaan di sektor informal kota, baik
yang digolongkan sebagai yang tidak melanggar hukum (Seperti PKL, industri kecil
rumah tangga, berbagai usaha jasa palayanan konsumen) maupun yang
digolongkan sebagai kegiatan melanggar hukum (preman, jaringan perjudian,
jaringan peredaran narkoba, dan berbagai organisasi kejahatan dari yang ringan
sampai dengan yang berat).
Diantara berbagai kegiatan bisnis sektor informal maupun formal yang muncul
dan berkembang di daerah perkotaan adalah bisnis selera sukubangsa (warung dan
restoran Padang, Jawa, Sunda, Menado, Betawi, dsb.; ). Dalam bisnis seperti ini,
pemilik bisnis biasanya merekrut keponakan atau anggota kerabatnya, orang seasal
desa atau kampung kotanya, atau orang seasal sukubangsanya. Disamping bisnis
selera makanan sukubangsa, juga berbagai selera keindahan dan pakaian
sukubangsa berkembang di kota-kota besar walaupun dalam skala kecil. Di kota
besar seperti Jakarta, hampir semua jenis kegiatan bisnis perdagangan dan industri
(baik yang besar maupun yang kecil) masing-masing dikuasai oleh kelompok-
kelompok sukubangsa tertentru. Misalnya, bisnis toko-toko barang antik dikuasai
oleh orang Minanglkabau atau orang Padang, bisnis besi rongsokan oleh orang
Madura, bisnis sayur mayur dan buah lokal oleh orang Jawa, dsb.

Penutup

354
Telah saya usahakan untuk memperlihatkan pengertian patron-klien,
sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Scott (1977) dan oleh ahli-ahli lainnya,
dengan harapan bahwa pengertian hubungan patron-klien itu menjadi lebih jelas,
sehingga dapat operasional dalam penggunaannya bagi pengkajian-pengkajian yang
relevan dengan model tersebut. Sebuah model tidak hanya operasional untuk
kepentingan pengembangan teori ilmiah, tetapi juga dalam kegunaannya bagi
membantu memecahkan masalah-masalah praktis yang dihadapi. Contoh yang telah
dikemukakan dalam usaha untuk membantu meningkatkan taraf kehidupan sosial -
ekonomi orang gelandangan, mungkin juga relevan dengan usaha-usaha
peningkatan kehidupan sosial ekonomi golongan sosial lainnya, sepanjang model
tersebut relevan dengan masalah yang dikaji.
Sebagai akhir kata, mungkin perlu dijelaskan ulang bahwa hubungan patron-
klien muncul, ada, dan mantap dalam situasi-situasi sosial dimana hukum dan
penegak hukum tidak efektif dalam menjamin rasa aman dari warga sesuatu
kelompok sosial atau seseuatu komuniti. Sejumlah warga yang terbatas jumlahnya
dapat menjadi patron dan memanfaatkan posisi sebagai patron, yaitu orang-orang
yang dapat menjamin rasa aman warga yang menjadi kliennya, dan bersamaan
dengan itu dapat meraih keuntungan secara sosial, politik, dan ekonomi bagi diri
mereka masing-masing dan keluarganya..

*****

Kepuatakaan

Alkotsar, A., 1980. Insan-Insan Kesepian dalam Keramaian. Telaah tentang


gelandangan di Ujung Pandang. Yogyakarta: UII Pres. . .
Arifin, Haswinar, 1985, Hubungan patron-klien di kalangan gelandangan: proses
adaptasi terhadap lingkungan perkotaan. Skripsi Sarjana, Jurusan
Antropologi, FISIP – UI, tidak diterbitkan.
Effendi, Tadjuddin, 1983, Masyarakat hunian liar di kota: sebuah studi kasus di
Wonocito, kotamadya Yogyakarta. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan
Studi Kependudukan. UGM

355
Larde, Carl H., 1977, “Introduction the dyadic basis of clientelism” .Dalam Steffen W.
Schmidt, et al (Editors), Friends, Followers and Factions.. London:
University of California Press.
Logg, Keith R., 1983, Tuan, Hamba, dan Politisi. Jakarta: Sinar Harapan.
Mayer, Adiran, 1978, “The Significance of quasi groups in the study of complex
societies” dalam .Michael Banton (Editor), The Anthropolgy of
Complex Societies. London:Tavistock.
Scott, James C., 1977, “Patron-client, politics and political change in Southeast Asia”,
dalam Friends, Followers, aand Factions. London: University of
California Press.
Spicer, Edward H., 1975, “Patrons of the Poor”. Dalam John Friedl dan Noel
Chrisman (Editors), City Ways:: A selective reader in urban
anthropology. New York: Harper & Row.
Suparlan, Parsudi, 1974, “The gelandangan of Jakarta : politics among the poerest
people in the capital of Indonesia”. Indonesia No. 18 (Oktober). (Telah
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dalam Kemiskinan di
Perkotaan, di-edit oleh Parsudi Suparlan).
–––––––––, 1980, “Lapangan kerja bagi penduduk berpenghasilan rendah di kota”,
Widyapura, Vo. 2, No. 6.
–––––––––, 1983, “Gelandangan: sebuah konsekuensi perkembangan kota” dalam
Gelandangan, (Di-edit oleh ?). Jakarta, LP3ES.
Wolf, Eric, 1978, “Knship, Friendships, and Patron-client relations in Complex
Societies”. Dalam Michael Banton (Editor), The Anthropology of
Complex Societies.. London : Tavistock.,
–––––––––, 1983, Petani. Suatu Tinjauan Antropologis.. Jakarta, Yayasan Ilmu-ilmu
Sosial.

356
Prof. Dr. Parsudi Suparlan lahir di Jakarta Tgl. 3 April 1938.
Sekarang menjabat sebagai Guru Besar Antropologi FISIP-UI.
Pendidikan S1 Antropologi, Fakultas Sastra, U.I. diselesaikannya
pada tahun 1964. Pada tahun 1970 memperoleh kesempatan
belajar di University of Illinois, Amerika Serikat, yang kemudian
menyelesaikan MA pada tahun 1972 serta Ph.D dalam bidang
Antropologi pada tahun 1976.
Dari tahun 1970 - 1971 bekerja sebagai part time research
assistant di Department of Anthropology University of Illinois, dibantu dengan beasiswa
dariIIE/Fulbright, pada tahun1971 - 1972. Tahun 1972 - 1976 bekerja sebagai part time
teaching assistant di universitas yang sama. Dari tahun 1972 - 1975 memperoleh beasiswa
dari Ford Foundation, termasuk beasiswa untuk penelitian desertasinya di Suriname (1973 -
1974). Pada tahun 1978, ia diangkat sebagai anggota Sigma Xi (The Scientific Reserch
Society of Nort America). Setelah menyelesaikan studinya, pada Maret 1976, Parsudi
Suparlan kembali ke almaternya U.I.
Pada tahun 1961 diangkat sebagai Asisten Dosen dari Prof. Harsya W. Bachtiar di Fakultas
Sastra, U.I., dan sebagai dosen tetap sejak tahun 1963. Setamat dari U.I. pada bulan Maret
1964, atas rekomendasi Prof. Koencjaraningrat, mengajar di Univesitas Cenderawasih, Irian
Barat dan pernah juga menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Antropologi dari universitas
tersebut sampai tahun 1966. Pernah mengajar di IKIP, Universitas Sam Ratulangi, Manado
pada tahun 1968. Dosen terbang Jurusan Antropologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
dari tahun 1977 - 1979. Dosen Pacasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dari 1981 -
1998, Dan sebagai dosen Akademi Hukum Militer 1985 - 1994.
Kegiatan mengajar tetap dilakukan hingga sekarang pada program S1, S2, S3 Antropologi
FISIP-U.I.; di PTIK, Program S2 dan S3 Ilmu Kepolisian, U.I.; Program S2 Kajian Wilayah
Amerika, U.I., dan menjabat sebagai Ketua Program Kajian tersebut sejak 1998. Di samping
mengajar, Parsudi Suparlan juga aktif melakukan penelitian-penelitian dan mengikuti
berbagai seminar dan lokakarya di dalam dan di luar negeri. Sebagian besar dari karya-
karya tulisnya telah diterbitkan (lebih dari 200 tulisan, sejak tahun 1964), antara lain The
Javanese in Surinam: Ethnicity in an ethnically plural society (Arizona State University,
1995), Orang Sakai di Riau: Masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia (Yayasan
Obor, 1995). Pada tahun 1999, Parsudi Suparlan mendirikan Jurnal POLISI INDONESIA dan
menjadi Pimpinan Redaksinya sejak saat itu. Disamping kesibukannya sebagai pengajar, dia
juga menjadi anggota dan dewan (board) dari sejumlah organisasi profesi di Indonesia.`

357

Anda mungkin juga menyukai