Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

FILSAFAT ILMU

“AKSIOLOGI: NILAI KEGUNAAN ILMU, ILMU DAN MORAL, TANGGUNG JAWAB


SOSIAL ILMUWAN, MANUSIA DAN KEBUDAYAAN”

Oleh :
KELOMPOK 1
1. DWI PUTRI AMILIA (19205044)
2. JAKA FANDRIFO (19205049)
3. RAHMADINA NASRI (19205028)
4. SILVIA FITRIANI (19205052)
5. SRI ETSA SAGITA (19205054)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Aksiologi: Nilai Kegunaan Ilmu, Ilmu dan Moral,
Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan, Manusia dan Kebudayaan”
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan
mata kuliah Filsafat Ilmu. Makalah ini disusun dengan tujuan dapat membantu mahasiswa dalam
memahami pengertian aksiologi nilai kegunaan ilmu.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca. Penulis menyadari bahwa
dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis menerima saran dan
kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan.
Akhir kata penulis sampaikan terima kasih.

Padang, 4 November 2020

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. i


DAFTAR ISI................................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 4
A. Makna Aksiologi .......................................................................................................................... 4
B. Aksiologi: Nilai kegunaan Ilmu ................................................................................................... 5
C. Ilmu dan Moral ............................................................................................................................ 6
D. Tanggung jawab sosial Ilmuwan.................................................................................................. 8
E. Manusia dan Dehumanisasi ........................................................................................................ 9
F. Ilmu dan Bahasa ......................................................................................................................... 10

BAB III PENUTUP ................................................................................................................................... 14


A. Kesimpulan ................................................................................................................................ 14
B. Saran .......................................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembeda manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa manusia memiliki akal. Dengan
akal itu kemudian manusia memiliki kecenderungan untuk berpikir. Dan kekshasan manusia
berada pada adanya hasrat untuk berpikir, begitu setidaknya kata Aristoteles. Berpikir tentang
kenyataan semesta, sosial dan kealaman, yang kompleks untuk dapat terlepas dari belenggu
kebodohan. Itu pula yang membangun eksistensi manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Cagito
ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Berpikir inilah yang merupakan poin inti dari filsafat.
Filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi rasional, kritis dan radikal mengenai hal-hal
mendasar dalam kehidupan. Refleksi rasional merupakan perenungan ilmiah yang bersandar
pada rasio atau akal dan penalaran. Filsafat merupakan seni bertanya, mempertanyakan apapun
tanpa tabu, mempertanyakan tentang apa yang ada maupun yang mungkin ada, sehingga filsafat
kerap juga disebut berpikir spekulatif.pertanyaan yang diajukan filsafat memiliki ciri khas yang
mendalam. Kedalaman pertanyaan inilah yang menjadi distingsi antara filsafat dengan ilmu
pengetahuan.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua
keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara cepat dan mudah. Dan merupakan
kenyataan yang tak dapat dimungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu.
Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan,
kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga
manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan,
komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia
dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat
manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat
menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk
memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif
yang menimbulkan malapetaka bagi umat manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Bali dan
Jakarta baru-baru ini. Disinilah ilmu harus di letakkan proporsional dan memihak pada nilai-

1
nilai kebaikan dan kemanusian. Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang
terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada
masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari si ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan
dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan
membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab
seorang ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab
akademis, dan tanggung jawab moral.
Pernyataan di sekitar batas wewenang penjelajahan sains, kaitan ilmu dengan moral, nilai
yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuan telah menempatkan
aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting. Karena itu, salah satu aspek pembahasan
integrasi keilmuan ialah aksiologi ilmu.
Untuk membahas lebih jauh tentang aksiologi, dalam makalah ini akan dibahas tentang nilai
kegunaan ilmu, ilmu dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan, dan revolusi genetika.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang
diangkat pada makalah ini adalah :
1. Apa makna Aksiologi?
2. Bagaimana nilai kegunaan ilmu?
3. Bagaimana ilmu dan moral?
4. Bagaimana tanggung jawab sosial ilmuwan?
5. Bagaimana Sains dan Dehumanisasi (manusia dan kebudayaan)?
6. Bagaimana Ilmu dan Bahasa?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang akan dicapai dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Mengetahui Apa makna Aksiologi?
2. Mengetahui bagaimana nilai kegunaan ilmu?
3. Mengetahui bagaimana ilmu dan moral?
4. Mengetahui bagaimana tanggung jawab sosial ilmuwan?

2
5. Mengetahui bagaimana Sains dan Dehumanisasi (manusia dan kebudayaan)?
6. Mengetahui bagaimana Ilmu dan Bahasa?

3
BAB II
Pembahasan

A. Makna Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori
atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi
aksiologi.
Menurut Suriasumantri (1990:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan
bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
Menurut Wibisono (dalam Surajiyo, 2009:152) aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan
ilmu.
Menurut Bramel (dalam Amsal 2009: 163) Aksiologi terbagi tiga bagian:
1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
3. Socio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat social politik.
Dalam Encyclopedia of Philosophy(dalam Amsal:164) dijelaskan aksiologi disamakan dengan
value and valuation :
1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti
baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai
tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-
nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau
nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.

Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah
mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan

4
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu
pada masalah etika dan estetika.

B. Aksiologi: Nilai Kegunaan Ilmu


Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika
dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan
mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk
membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya.
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif
jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu
gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran
tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta.
Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian;
kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang
akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia.
Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya
merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa
malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia
bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi
dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada penciptaan
bom atom yang menimbulkan malapetaka. Mengahadapi hal yang demikian, ilmu
pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai
dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? .
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat
bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh
Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu
merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi

5
malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu
merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk
mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal
baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.

C. Ilmu dan Moral


Perkembangan ilmu tidak pernah terlepas dari ketersinggungannya dengan berbagai
masalah moral. Baik atau buruknya ilmu, sangat dipengaruhi oleh kebaikan atau keburukan
moral yang para penggunanya. Peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh
Amerika Serikat, merupakan sebuah contoh penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sudah maju pada jamannya.
Pada dasarnya masalah moral, tidak bisa dilepaskan dari tekad manusia untuk
menemukan dan mempertahankan kebenaran. Moral sangat berkaitan dengan nilai-nilai,
serta cara terhadap suatu hal. Pada awal masa perkembangannya, ilmu seringkali
berbenturan dengan nilai moral yang diyakini oleh masyarakat. Oleh karena itu, sangat
banyak ilmuwan atau ahli filsafat yang dianggap gila atau bahkan dihukum mati oleh
penguasa pada saat itu. Nicholas Copernicus, Socrates, John Huss, dan Gallileo Gallilei
adalah beberapa contohnya. Selain itu ada pula beberapa kejadian dimana ilmu harus
didasarkan pada nilai moral yang berlaku pada saat itu, walaupun hal tersebut bersumber
dari pernyataan-pernyataan di luar bidang keilmuan (misalnya agama).
Karena berbagai sebab diatas, maka para ilmuwan berusaha untuk mendapatkan
otonomi dalam mengembangkan ilmu yang sesuai dengan kenyataan. Setelah pertarungan
ideologis selama kurun waktu 250 tahun, akhirnya para ilmuwan mendapatkan kebebasan
dalam mengembangkan ilmu tanpa dipengaruhi berbagai hal yang bersifat dogmatik.
Kebebasan tadi menyebabkan para ilmuwan mulai berani mengembangkan ilmu
secara luas. Pada akhirnya muncullah berbagai konsep ilmiah yang di-kongkretkan dalam
bentuk teknik. Yang dimaksud teknik disini adalah penerapan ilmu dalam berbagai
pemecahan masalah. Yang menjadi tujuan ialah bukan saja untuk mempelajari dan
memahami berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah-masalah manusia, tetapi juga
untuk mengontrol dan mengarahkannya. Hal ini menandai berakhirnya babak awal
ketersinggungan ilmu dengan moral.

6
Pada masa selanjutnya, ilmu kembali dikaitkan dengan masalah moral yang berbeda. Yaitu
berkaitan dengan penggunaan pengetahuan ilmiah. Maksudnya terdapat beberapa
penggunaan teknologi yang justru merusak kehidupan manusia itu sendiri. Dalam
menghadapi masalah ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua pandangan.
Kelompok pertama memandang bahwa ilmu harus bersifat netral dan terbebas dari
berbagai masalah yang dihadapi pengguna. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah meneliti dan
menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain akan menggunakan pengetahuan
tersebut atau tidak, atau digunakan untuk tujuan yang baik atau tidak.
Kelompok lainnya memandang bahwa netralitas ilmu hanya pada proses penemuan
ilmu saja, dan tidak pada hal penggunaannya. Bahkan pada pemilihan bahan penelitian,
seorang ilmuwan harus berlandaskan pada nilai-nilai moral. Kelompok ini mendasarkan
pandangannya pada beberapa hal, yakni:
1. Sejarah telah membuktikan bahwa ilmu dapat digunakan sebagai alat penghancur
peradaban, hal ini dibuktikan dengan banyaknya perang yang menggunakan teknologi-
teknologi keilmuan.
2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan para ilmuwan lebih mengetahui akibat-akibat
yang mungkin terjadi serta pemecahan-pemecahannya, bila terjadi penyalah gunaan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka kelompok kedua berpendapat
bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan
martabat atau mengubah hakikat manusia.
3. Berbicara masalah ilmu dan moral memang sudah sangat tidak asing lagi, keduanya
memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Ilmu bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika
seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau paling tidak mengindahkan
nilai-nilai moral yang ada. Tapi sebaliknya ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan
manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat, tentunya tetap mengindahkan aspek
moral. Dengan demikian kekuasaan ilmu ini mengharuskan seseorang ilmuan yang
memiliki landasan moral yangn kuat, ia harus tetap memegang idiologi dalam
mengembangkan dan memanfaatkan keilmuannya. Tanpa landasan dan pemahaman
terhadap nilai-nilai moral, maka seorang ilmuan bisa menjadi “monster” yang setiap saat
bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusiaan bisa setiap saat terjadi. Kejahatan
yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan

7
dibandingkan kejahatan orang yang tidak berilmu (boboh). Kita berharap semoga hal ini
bisa disadari oleh para ilmuan, pihak pemerintah, dan pendidik agar dalam proses
transformasi ilmu pengetahuan tetap mengindahkan aspek moral. Karena ketangguhan
suatu bangsa bukan hanya ditentukan oleh ketangguhkan ilmu pengetahuan tapi juga oleh
ketangguhan moral warga.

D. Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan


Ilmu merupakan hasil karya seseorang yang dikomunikasikan dan dikaji secara luas
oleh masyarakat. Jika hasil karyanya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka karya
ilmiah itu, akan menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas. Maka
jelaslah jika ilmuwan memiliki tanggung jawab yang besar, bukan saja karena ia adalah
warga masyarakat, tetapi karena ia juga memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat.
Fungsinya selaku ilmuwan, tidak hanya sebatas penelitian bidang keilmuan, tetapi juga
bertanggung jawab atas hasil penelitiannya agar dapat digunakan oleh masyarakat, serta
bertanggung jawab dalam mengawal hasil penelitiannya agar tidak disalah gunakan.
Selain itu pula, dalam masyarakat seringkali terdapat berbagai masalah yang belum
diketahui pemecahannya. Maka ilmuwan sebagai seorang yang terpandang, dengan daya
analisisnya diharapkan mampu mendapatkan pemecahan dari masalah tersebut. Seorang
ilmuwan dengan kemampuan berpikirnya mampu mempengaruhi opini masyarakat terhadap
suatu masalah. Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada
masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan
adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga
penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.
Tanggung jawab sosial lainnya dari seorang ilmuwan adalah dalam bidang etika.
Dalam bidang etika ilmuwan harus memposisikan dirinya sebagai pemberi contoh. Seorang
ilmuwan haruslah bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh
dalam pendiriannya, dan berani mengakui kesalahannya. Semua sifat ini beserta sifat-sifat
lainnya, merupakan implikasi etis dari berbagai proses penemuan ilmiah. Seorang ilmuwan
pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang
ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang
cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang

8
awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang
menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada
masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin
mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan
itu.Sudah seharusnya pula terdapat dalam diri seorang ilmuwan sebagai suri tauladan dalam
masyarakat.
Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi
opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini,
berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus
berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan
saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas
kepribadiannya.
Dibidang etika tanggungjawab sosial seseorang ilmuwan bukan lagi memberi
informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat
obyektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian
yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus
menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis
yang tepat.
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau
penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang memepergunakan
bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap
politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk
kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Untuk itulah tanggung
jawab ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab
akademis dan tanggung jawab moral.

E. Manusia dan kebudayaan


Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu secara mendalam mengenai
ketuhanan, alam manusia, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana hakikatnya ,sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai

9
pengetahuan. Bagian dari filsafat pengetahuan membicarakan tentang ontologis,
epistomologis, dan aksiologi. Dalam kajian aksiologi ilmu membicarakan untuk apa dan
untuk siapa. Tulisan ini membicarakan ilmu dan kebudayaan, perkembangan ilmu dan
kebudayaan.
Nilai-nilai budaya adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar segenap wujud
kebudayaan. Kegiatan manusia mencerminkan budaya yang dikandungnya. Pada dasarnya
tata hidup merupakan pencerminan kongkret dari nilai budaya yang bersifat abstrak. Pada
hakikatnya yaitu kegiatan manusia dapat ditangkap oleh pancaindera sedangkan nilai budaya
dan tata hidup manusia ditopang oleh perwujudan kebudayaan yang ketiga yaitu berupa
sarana kebudayaan. Sarana kebudayaan ini pada dasarnya merupakan perwujudan yang
bersifat fisik yang merupakan produk dari kebudayaan atau alat yang memberikan
kemudahan berkehidupan (Suriasumantri, 2005:262)
Ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan nilai moral suatu masyarakat.
Keseluruhan faset dari kebudayaan tersebut di atas sangat erat hubungannya dengan
pendidikan sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh manusia
secara sadar lewat proses belajar. Lewat proses pembelajaran inilah diteruskan kebudayaan
dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya. Kebudayaan diteruskan dari waktu ke
waktu; kebudayaan masa kini disampaikan ke masa yang akan datang.

F. Ilmu dan bahasa


Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat
dalam lapangan pemahaman manusia. Dan bahasa adalah media manusia berpikir secara
abstrak yang memungkinkan objek-objek ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak.
Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah
objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya
(Surya Sumantri, 1998).
Terkait dengan hal di atas, dikatakan sebenarnya manusia dapat berpikir tanpa
menggunakan bahasa, tetapi dengan ilmu menjadikan bahasa memudahkan dalam
kemampuan belajar dan mengingat, memecahkan persoalan dan menarik kesimpulan.
Dengan ilmu, bahasa mampu mengabstraksikan pengalamannya dan

10
mengkomunikasikannya pada orang lain karena bahasa merupakan sistem lambang yang
tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala pemikiran.
Sebagaimana dikemukakan oleh Kempen (tokoh psikolingustik) yang menjelaskan
studi mengenai manusia sebagai pemakai bahasa yang berhubungan dengan ilmu, yaitu
mengenai sistem-sistem bahasa yang ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara
manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-
idenya sendiri melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan.
Ilmu dan bahasa berhubungan antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi
dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang kita
pelajari. Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-
kata yang terbahasakan. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana
manusia berpikir dan berkata.
Contoh dalam perilaku manusia yang tampak dalam hubungan ilmu dan bahasa
adalah perilaku manusia ketika berbicara dan menulis atau ketika dia memproduksi bahasa,
sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami
yang disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses
sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya.
Ilmu dan bahasa merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Bahasa berperan penting
dalam upaya pengembangan dan penyebarluasan ilmu. Setiap penelitian ilmiah tidak dapat
dilaksanakan tanpa menggunakan bahasa, matematika (sarana berpikir deduktif) dan
statistika (sarana berpikir induktif) sebagai sarana berpikir (Sarwono, 2006: 13). Upaya-
upaya penyebarluasan ilmu juga tidak mungkin dilaksanakan tanpa bahasa sebagai media
komunikasi. Setiap forum ilmiah pasti menggunakan bahasa sebagai sarana utama.
Aktivitas-aktivitas yang diarahkan untuk memahami, mengeksplorasi, dan mendiskusikan
konsep-konsep ilmu tidak dapat diselenggarakan tanpa melibatkan bahasa sebagai sarana.
Peran bahasa dalam ilmu erat hubungannya dengan aspek fungsional bahasa sebagai
media berpikir dan media komunikasi. Sehubungan dengan itu, pembahasan tentang
permasalahan ini akan disoroti dalam dua bagian:
1. Hubungan Bahasa dan Pikiran
Berpikir merupakan aktivitas mental yang tersembunyi, yang bisa disadari hanya
oleh orang yang melakukan aktivitas itu. Dengan kemampuan berpikirnya, manusia bisa

11
membahas obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa yang tidak berada atau sedang berlangsung
disekitarnya. Kemampuan berpikir juga kadang-kadang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah tanpa mencoba berbagai alternatif solusi secara langsung (nyata).
Peran penting bahasa dalam inovasi ilmu terungkap jelas dari fungsi bahasa sebagai
media berpikir. Melalui kegiatan berpikir, manusia memperoleh dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan cara menghimpun dan memanipulasi ilmu dan pengetahuan melalui
aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, menalar, dan membayangkan.
Selama melakukan aktivitas berpikir, bahasa berperan sebagai simbol-simbol (representasi
mental) yang dibutuhkan untuk memikirkan hal-hal yang abstrak dan tidak diperoleh melalui
penginderaan. Setiap kali seseorang sedang memikirkan seekor harimau, misalnya, dia tidak
perlu menghadirkan seekor harimau dihadapannya. Makalah-makalah yang relevan, yang
berfungsi sebagai representasi mental tentang harimau, sudah dapat membantunya untuk
memikirkan hewan itu. Cassirer (dalam Suriasumantri, 1990: 71) mengatakan manusia
adalah Animal symbolicum, mahluk yang menggunakan simbol, yang secara generik
mempunyai cakupan lebih luas dari homo sapiens, mahluk yang berpikir. Tanpa kemampuan
menggunakan simbol ini, kemampuan berpikir secara sistmatis dan teratur tidak dapat
dilakukan.
Bahasa memang tidak selalu identik dengan berpikir. Jika seseorang ditanya apa
yang sedang dipikirkannya, dia akan menggambarkan pikirannya melalui bahasa. Meskipun
pikirannya tidak berbentuk simbol-simbol linguistik ketika dia ditanya, dia pasti
mengungkapkan pikiran itu dalam bentuk simbol-simbol linguistik agar proses komunikasi
dengan penanya berjalan dengan baik. Namun, meskipun bahasa tidak identik dengan
berpikir, berpikir tidak dapat dilakukan tanpa bahasa. Bahkan, karakteristik bahasa yang
dimiliki seseorang akan menentukan objek apa saja yang dapat dipikirkannya.
Berbagai filsuf menyatakan bahwa suku-suku primitif tidak dapat memikirkan hal-
hal yang„canggih‟ bukan karena mereka tidak dapat berpikir, tetapi karena bahasa mereka
tidakdapat memfasilitasi mereka untuk melakukannya (Miller, 1983: 176). Kenyataan ini
terungkap jelas dalam diri mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri. Dia akan berhasil
menyelesaikan studinya hanya jika dia menguasai bahasa yang digunakan dalam proses
pembelajaran. Mengingat betapa pentingnya peran bahasa dalam proses ini, tidaklah

12
berlebihan bila Tomasello (1999) menegaskan bahwa bahasa adalah fungsi kognisi tertinggi
dan tidak dimiliki oleh hewan.

2. Bahasa Sebagai Media Komunikasi


Komunikasi merupakan salah satu jantung pengembangan ilmu. Setiap ilmu dapat
berkembang jika temuan-temuan dalam ilmu itu disebarluaskan (dipublikasikan) melalui
tindakan berkomunikasi. Temuan-temuan itu kemudian didiskusikan, diteliti ulang,
dikembangkan, disintetiskan, diterapkan atau diperbaharui oleh ilmuwan lainnya. Hasil-hasil
diskusi, sintetis, penelitian ulang, penerapan, dan pengembangan itu kemudian
dipublikasikan lagi untuk ditindaklanjuti oleh ilmuwan lainnya. Selama dalam proses
penelitian, perumusan, dan publikasi temuan-temuan tersebut, bahasa memainkan peran
sentral, karena segala aktivitas tersebut menggunakan bahasa sebagai media.
Dalam penelitian dan komunikasi ilmiah, setiap ilmuwan perlu mengembangkan dan
memahami bahasa (terutama jargon-jargon akademis dan terminologi khusus)
yangdigunakan dalam bidang yang ditekuni. Tanpa bahasa yang mereka pahami bersama,
kesalahpahaman akan sulit dihindari dan mereka tidak dapat bersinergi untuk
mengembangkan ilmu.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai –
nilai khususnya etika. Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat.
Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga
bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus
diperhatikan sebaik – baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi meninjaunya dari segi
aksiologi keilmuan.
Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan
manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan seperti nuklir dan rekayasa genetika.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih auh dari sempurna, untuk itu saran yang
sifatnya membangun demi perbaikan dimasa datang kami harapkan. Atas perhatiannya penulis
sampaikan terimakasih.

14
DAFTAR PUSTAKA

Admojo,Wihadi, et.al. 1998. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.


Amsal, Bakhtiar. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali pers.
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia.Jakarta: Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun S.1990. Filsafat ilmu: Sebuah Pengantar Populer.Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Soetriono, & Hanafie,Rita.2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi.
http://komunitasmahasiswa.info/tag/aksiologi-ilmu, Diakses Oktober 2009.
Rahmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya.
Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Quantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Scribd. Apa Itu Bahasa. http://id.scribd.com/doc/46744017/APA-ITU-BAHASA. Diakses tanggal 20
November 2012.
Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
http://valensikautsar.blogspot.com//2009/03/sekilas-aksiologi- ilmu.hml. Diakses Oktober 2009

15

Anda mungkin juga menyukai