Anda di halaman 1dari 13

FILSAFAT ILMU

“Hubungan Antara Ilmu dengan Akhlak (Moral)”

DOSEN PEMBIMBING :

Rizki Pristiandi Harahap, S.Sos,M.Pem.I

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :

FRISTI UTAMI

SITI RAHMANI

FAKULTAS TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SERDANG

LUBUK PAKAM

2019
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, penulis
memanjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan
hidayah nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Begitu pula shalawat serta
salam senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad saw beserta sahabat dan
pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Dalam penyusunan makalah ini,
penulis sedikit mengalami kesulitan dan rintangan, namun berkat bantuan yang
diberikan dari berbagai pihak, kesulitan tersebut bisa teratasi dengan baik. Dengan
demikian, lewat lembaran ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas bantuan nya dalam urusan penyelesaian makalah ini,
sehingga bernilai ibadah disisi Allah SWT. Amin.

Akhirnya, penyusun menyadari bahwa makalah ini bukanlah sebuah


proses akhir dari segalanya, melainkan langkah awal yang masih memerlukan
banyak koreksi. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk
penyempurnaan makalah ini. Amin.

Lubuk Pakam, 06, Februari, 2019

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A.Latar Belakang ............................................................................................. 1

B.Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

C.Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2

A. Pengertian Aksiologi, Ilmu, dan Akhlak (Moral) ....................................... 2

B. Hubungan Antara Ilmu dan Akhlak (Moral) ............................................... 2

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 8

A. Kesimpulan .................................................................................................. 8
B. Saran ............................................................................................................ 8

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, seiring banyaknya tuntutan


keperluan hidup manusia. Di sisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar
terhadap perkembangan ilmu itu, karena tidak ada seorang pun atau lembaga yang
memiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif dari perkembangan ilmu.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan
gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan hakikat kemanusiaan itu sendiri,
atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah
hakikat kemanusiaan itu sendiri.1

Tanggung jawab sosial ilmuwan adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan


untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan sosial
tersebut. Tanggung jawab merupakan hal yang ada pada setiap makhluk hidup.
Hal demikian dapat dilihat pada manusia yang menunjukkan tanggung jawabnya
dengan merawat dan mendidik anaknya sampai dewasa. Tanggung jawab terdapat
juga pada bidang yang ditekuni oleh manusia, seperti negarawan, budayawan, dan
ilmuwan. Tanggung jawab tidak hanya menyangkut subjek dari tanggung jawab
itu sendiri, seperti makhluk hidup atau bidang yang ditekuni oleh manusia akan
tetapi juga menyangkut objek dari tanggung jawab, misalnya sosial, mendidik
anak, memberi nafkah, dan sebagainya.

Ilmu dan moral, tanggung jawab sosial, serta revolusi genetika adalah hal
yang saling berhubungan. Terdapat beberapa pertanyaan yang menggelitik,
pertama benarkah makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran,
makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia dengan
penalaran tinggi lalu makin berbudi atau sebaliknya makin cerdas maka makin
pandai pula kita berdusta? Melalui makalah ini akan diuraikan mengenai ilmu dan
moral, tanggung jawab sosial ilmuwan.

1
Suriasumantri Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
2000.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagia


berikut:

1. Apa itu ilmu


2. Apa itu akhlak (Moral)
3. Bagaimana hubungan antara Ilmu dan Akhlak Moral

C. Tujuan Penulisan

Secara sederhana, tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:

Untuk mengetahui hubungan antara ilmu dengan akhlak (Moral).

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Aksiologi, Ilmu, dan Akhlak (Moral)

Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari perkataan axios yang


berarti nilai dan logos berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.
Menurut Suriasumantri dalam bukunya, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.2

Menurut kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu


pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya
etika.Dalam definisi yang hampir serupa bahwa aksiologi ilmu pengetahuan
membahas nilai-nilai yang memberi batas-batas bagi pengembangan ilmu.3

Dari definisi-definisi aksiologi di atas terlihat dengan jelas bahwa


permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika
dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan
bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat
dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi
baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi
yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang
pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya.

1. Pengertian ilmu

Kata ilmu dalam bahasa Arab “Ilm” yang berarti memahami, mengerti,
atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat
berarti memahami suatu pengetahuan.

Istilah ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang
berasal dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti
mempelajari , mengetahui. The Liang Gie (1987) memberikan pengertian
ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu

2
Suriasumantri Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
1998), hlm 234
3
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), hlm 231

3
metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai
dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis
yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.4

Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus


dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu
mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Dari aktivitas ilmiah dengan
metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah dihimpun
sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang
telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan pada umumnya terdapat kesepakatan
bahwa ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan yang sistematis.5

Menurut Bahm (dalam Koento Wibisono,1997) definisi ilmu pengetahuan


melibatkan enam macam komponen yaitu masalah (problem), sikap (attitude),
metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclusion), dan pengaruh
(effects).6

2. Pengertian Akhlak (Moral)

Moral berasal dari kata Latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau
cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari
ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang
sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.7

Kata moral juga dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang melahirkan
etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang
kritis dalam melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu,
sifat-sifat yang penting/berguna) dan moral tersebut serta permasalahan-
permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral itu.8

Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan


yang berwenang seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan
agama, serta tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran
moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan

4
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), hlm 108
5
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 2009), hlm
56,57
6
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), hlm 111, 112
7
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 2009), hlm
147
8
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), hlm 271

4
pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi,
etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama.9

Jadi, moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku


manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Manusia yang tidak
memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memilki
nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang
harus dimiliki oleh manusia. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah
dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya.
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi
dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai
rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta
menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai
mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.

B. Hubungan Antara Ilmu dan Akhlak (Moral)

Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban


manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam
bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat
dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang
seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi.10

Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan


sebuah kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau ada
keinginan manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang, sehingga
penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam melainkan untuk
tujuan perang, memerangi semua manusia dan untuk menguasai mereka. Di pihak
lain, perkembangan dan kemajuan ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor
manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk kepentingan manusia, jadi ilmu yang
menyesuaikan dengan kedudukan manusia, namun keadaan justru sebaliknya
yaitu manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan ilmu.

Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya


lebih merupakan masalah kebudayaan dari pada masalah moral. Artinya,
dihadapkan dengan ekses teknologi yang bersifat negatif, maka masyarakat harus

9
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 2009), hlm
147
10
Suriasumantri Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 2000), hlm 229

5
menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi mana
yang tidak. Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus
menetapkan strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai
budaya yang dijunjungnya.

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan


teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan
pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral
terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini
tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain
untuk mempergunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu
terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan
harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral
manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari bahwa kita
seyogyanya mengontrol pikiran kita.

Secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep


terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan
dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi
keilmuan. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari
obyek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

Setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah, mempunyai tiga dasar


yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Epistemologi membahas cara untuk
mendapatkan pengetahuan, yang dalam kegiatan keilmuan disebut metode ilmiah.

Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi


etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan
lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan
sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan


dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga
keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum,
kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh
eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.11

11
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010),hlm 280

6
Ilmu yang diusahakan dengan aktivitas manusia harus dilaksanakan
dengan metode tertentu sehingga mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati sesamanya. Untuk
menerapkan ilmu pengatahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan untuk proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih
lanjut.

Jadi jelaslah bahwa Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang sangat kuat.
Seperti yang telah diutarakan diatas bahwa ilmu bisa menjadi malapetaka
kemanusiaan jika seseorang memanfaatkannya tidak bermoral atau paling tidak
mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tetapi, sebaliknya ilmu akan menjadi
rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat serta
mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan ilmu ini mengharuskan
seorang ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat. Tanpa landasan dan
pemahaman terhadap nilai-nilai moral, seorang ilmuwan bisa menjadi “monster”
yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusian bisa setiap
saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih jahat
dan membahayakan dibandingkan dengan kejahatan orang yang tidak berilmu.

Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis


bagi seorang ilmuwan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral
yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Kegiatan intelektual yang
meninggikan kebenaran sebagai tujuan akhirnya mau tidak mau akan
mempengaruhi pandangan moral.12

Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh


jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk menegakkan kebenaran inilah
maka seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban sosialnya, bukan saja sebagai
penganalisis materi kebenaran tersebut namun juga sebagai prototipe moral yang
baik.

Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi


memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana
caranya bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain,
kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar dan berani mengakui kesalahan.
Semua sifat ini beserta sifat lainnya merupakan implikasi etis dari proses
penemuan kebenaran secara ilmiah.

Salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Inilah
merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan. Seorang ilmuwan secara

12
Suriasumantri Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 1998), hlm 244

7
moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas
bangsa lain meskipun yang mempergunakannya itu adalah bangsanya sendiri.
Seorang ilmuwan tidak boleh berpangku tangan, dia harus memilih sikap,
berpihak kepada kemanusiaan. Pilihan moral memang terkadang getir sebab tidak
bersifat hitam di atas putih. Seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil
penemuannya itu, apapun juga bentuknya dari masyarakat luas serta apapun juga
konsekuensi yang akan terjadi dari penemuannya itu. Seorang ilmuwan tidak
boleh memutar balikkan temuannya jika hipotesis yang dijunjung tinggi tersusun
atas kerangka pemikiran yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur
berantakan karena bertentangan dengan fakta-fakta pengujian.

Seorang ilmuwan juga mempunyai tanggung jawab sosial di bahunya.


Bukan saja karena ia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat
secara langsung dengan di masyarakat, yang lebih penting adalah karena dia
mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup manusia. Sampai ikut
bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses
penelaahan keilmuwan yang dilakukan. Sering dikatakan bahwa ilmu itu bebas
dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuannya sendiri yang
memberikan nilai.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas menyatakan sikap


menolak terhadap dijadikannya manusia sebagai obyek penelitian genetika. Secara
moral kita lakukan evaluasi etis terhadap suatu obyek yang tercakup dalam obyek
formal ilmu. Menghadapi Ilmu dan teknologi yang telah berkembang begitu pesat
yang sudah merupakan kenyataan maka moral hanya mampu memberikan
penilaian yang bersifat aksiologis, bagaimana sebaiknya kita mempergunakan
teknologi untuk keluhuran martabat manusia. Menghadapi revolusi genetika yang
baru di ambang pintu, dan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan dalam
menangani revolusi genetika. Aksiologi memandang permasalahan diatas dapat
dilihat dari baik buruknya seorang ilmuwan itu sendiri yang mempunyai ilmu dan
moral serta tanggung jawab sosial dalam menyikapi revolusi genetika.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penyajian makalah tentang ilmu dan moral, tanggung jawab sosial
ilmuwan dan revolusi genetika dapat kami tarik kesimpulan bahwa:

Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan
dalam alam manusia. Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi)
yang berupa ajaran (agama) dan paham (ideologi) sebagai pedoman untuk
bersikap dan bertindak baik yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.
Jadi hubungan antara ilmu dan moral adalah sangat erat bahwa setiap usaha
manusia untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari
berbagai segi harus berpedoman pada ajaran agama dan paham ideologi dalam
bersikap dan bertindak.

B. Saran

Dalam makalah ini penulis menyadari masih banyak kekurangan yang


terdapat didalamnya, baik dari segi penulisan, susunan kata, bahan referensi, dan
lainnya. Oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dari pihak pembaca
sebagai pengetahuan untuk mewujudkan perubahan yang lebih baik di masa yang
akan datang.

9
DAFTAR PUSTAKA

A.G.M, Ilmu van Melsen Pengetahuan dan Tnggung Jawab Kita, (Jakarta
Gramedia Pustaka Utama,

Hamid Farida, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Surabaya : Penerbit Apollo, 2002

Ihsan, Fuad, Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta, 2010.

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bum Aksara,


2009.

Jujun, S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 1998

Jujun, S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka


Sinar Harapa, 2000

10

Anda mungkin juga menyukai