Anda di halaman 1dari 27

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/326033204

Filsafat Ilmu

Article · June 2018

CITATIONS READS

0 53,199

1 author:

Elihami Elihami
Universitas Muhammadiyah Enrekang, Indonesia
179 PUBLICATIONS   131 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Project View project

The project of STKIP Muhammadiyah Enrekang View project

All content following this page was uploaded by Elihami Elihami on 28 June 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


HUBUNGAN SAINS, AGAMA DAN FILSAFAT DALAM
PANDANGAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN
AKSIOLOGI

Makalah
diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah
Matrikulasi Filsafat Ilmu

Oleh
ELIHAMI
NIM. 212310002

Program Studi Pendidikan Agama Islam


Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Parepare
PPs – UMPAR
TGL 20 Juli
2012
KATA PENGANTAR

Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai hubungan


agama, filsafat dan sains dan pendekatan nilai ontologik, epistemelogi dan
Aksiologi yang ada didalamnya. Pada dasarnya filsafat adalah induk dari segala
ilmu. Dari filsafat muncul dan berkembang berbagai bentuk cabang ilmu
pengetahuan dan ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Dari kedua bidang
tersebut terbentuklah berbagai cabang ilmu lain yang saat ini menjadi disiplin
ilmu tersendiri dan mempunyai bidang garapan tersendiri.
Makalah hubungan Agama, Filsafat dan Sains ini sangat penting untuk dikaji,
karena didalamnya menyimpan berbagai hakikat ilmu yang didasarkan pada
potensi manusia itu sendiri. Pada saat ini, manusia cenderung tidak mempunyai
pengertian yang mendalam tentang hakikat ilmu yang sebenarnya sumber
utamnya adalah berasal dari filsafat. Potensi berfikir manusia yang sebenarnya
sangat mendalam begitu terabaikan dan tersia – siakan dalam sebuah kehidupan
praktis dan pragmatis serta instan. Akibatnya, kehidupan manusia menjadi kerdil
dan terkemaniskan oleh gelombang kehidupan yang sangat kaku mengurai makna
ekstensinya.
Oleh karena itu, berbagai pertanyaan yang ada sudah dipersiapkan
jawabannya dalam makalah ini walaupun masih kurang literatur yang dicoba
untuk dieksplore, Pertanyaan tentang, Apakah Agama itu? Apakah Filsafat itu?
Apakah Sains itu?nApakah Ontologi itu? Apakah Epistemolgi itu? Apakah
Aksiologi itu? Semunya dijawab dan dibahas secara sistematis dan menggugah
semangat untuk selalu berfikir dan berkehidupan yang rasional – empiris namun
etik – religius.
Karena itu, makalah ini tidak disusun secara kaku, namun mengalir apa
adanya dengan harapan bahwa semua yang menaruh minat terhadap ekstensi
filsafat dan ilmu pengetahuan masih dapat memahami dan menghayatinya dengan
baik. Selain itu, makalah ini disusun secara reflektif namun tidak mengurangi
keuniversalan bahasan ilmu dan filsafat sehingga hal itu menjadi sesuatu yang
membedakan dari berbagai rujukan lainnya.
2
Dunia filsafat adalah dunia berfikir, maka berfikirlah tentang segala sesuatu,
dan di situlah pembaca bisa mengurai makna kehidupan yang sebenarnya. Karena
itu, berkerutlah menembus relung – relung dunia filsafat yang tidak berkesudahan.

Corawali – SIDRAP, Juli 2012

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1
A.Latar Belakang ...........................................................................................1
B.Rumusan Masalah .....................................................................................6
C.Tujuan Penulisan .......................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................7
A.Nilai Ontologik dalam Agama .................................................................7
B.Nilai Epistemologi dalam Agama ..........................................................10
C.Hubungan Filsafat, Agama dan Sains .......................................................15
BAB III PENUTUP ..........................................................................................25
A.Kesimpulan ...............................................................................................25
B.Saran .........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................26

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Di dalam diri manusia pada masa kotemporer ini tidak dapat dipungkiri
perkembangan peradaban kehidupan manusia ini merupakan bentuk desakan
baik terkandung dalam potensi – potensi kejiwaan (spritual) yang sangat
menentukan bagi esensi (diri) dan ekstensi (keberadaan) manusia itu sendiri.
Hal ini dipengaruhi berkembangnya aspek – aspek kehidupan dimasa lalu.
Manusia dengan alam pikirannya selalu melahirkan inovasi baru yang pada
akhirnya memberikan efek saling tular serta membentuk sikap tertentu pada
lingkungannya. Fenomen ini akan membawa kita ke masa depan manusia
yang berbeda dan lebih kompleeks. Prediksi pada ilmuwan barat yang
menyatakan bahwa organized religion (agama formal) akan lenyap, atau
tidaknya akan menjadi urusan pribadi, ketika IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan
Tekonologi) dan filsafat semakin berkembang, ternyata hal ini tidak terbukti..
Sebaliknya, dewasa ini sedang terjadi proses artikulasi peran agama (formal)
dalam berbagai jalur sosial, politik, ekonomi, bahkan dalam teknologi.
Manusia yang berpikir filsafati, diharapkan bisa memahami filosofi
kehidupan, mendalami unsur-unsur pokok dari ilmu yang ditekuninya secara
menyeluruh sehingga lebih arif dalam memahami sumber, hakikat dan tujuan
dari ilmu yang ditekuninya, termasuk pemanfaatannya bagi masyarakat.
Adapun kecenderungan terhadap nilai ”kebenaran” perasaanya
berkecenderungan terhadap nilai” kebaikan”. Dengan kata lain, tri potensi
kejiawaan manusia itu mendorong suatu tingkah laku, yaitu” ingin tahu”
mengenai apa saja menurut nilai – nilai kebenaran, keindahan, dan kebaikan.
Nilai kebenaran memberikan pedoman dalam hal ketetapan tingkahlaku,
sehingga setiap perbuatan selalu diawali dengan perhitungan – perhitungan
logis. Sedangkan nilai keindahan memberikan suasana ketenangan dalam
perbuatan, sehingga setiap perbuatan selalu memiliki daya tarik tertentu.

5
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka penulis dapat


merumuskan beberapa permasalahan, terutama yang berkaitan erat dengan
hubungan Agama, filsafat, dan Sains. Adapun permasalahan yang dimaksud
dalam makalah ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pendekatan nilai Ontologi, Epistemologi dan Aksiogi dalam


memandang perfekstif Agama, filsafat dan sains?

2. Bagaimana contoh – contoh hubungan antara Agama, Filsafat dan Sains?

C. Tujuan Penulisan Makalah

Penyusunan makalah ini tentu dilandasi suatu harapan yang menjadi


tujuan yang akan dicapai oleh penulis. Tujuan dan harapan itu antara lain:

a. Untuk mendapatkan data secara aktual sebagai bahan kajian tentang


hubungan antara Agama, Filsafat dan Sains dengan pendekatan nilai
Ontologik, Epistemologi dan Aksiologi.

b. Untuk memberikan tambahan pengetahuan penulis, berupa pengalaman –


pengalaman yang bersifat praktis di dalam memahami konteks filsafat
ilmu yang bersifat ilmiah.

c. Penulisan makalah ini tidak lain juga adalah untuk memenuhi persyaratan
dalam menyelesaikan proses perkuliahan matrikulasi Pasca Sarjana
Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Parepare.

6
BAB II
TINJAUN PUSTAKA

A. Nilai Ontologik dalam Agama

Ontologi adalah suatu filsafat umum, yang sering disebut sebagai “


metafisika umum. Dengan demikian, ontologi ini dapat dipahami sebagai “
pohon” filsafat, atau filsafat itu sendiri. Sebagai pohon filsafat, ontologi
atau metafisika umum mempersoalkan apa yang ada dibalik “ yang ada”
(onto berarti yang ada). Yaitu, meliputi pertanyaan tentang hakikat Tuhan
sebagai sang Pencipta alam, baik secara terpisah – pisah maupun secara
terkait di dalam satu kesatua. Cakupun ilmu pengetahuan adalah ilmu
pengetahuan manusia dan masyarakatnya, ilmu pengetahuan, dan ilmu
pengetahuan ketuhanan. Adapun dalam agama menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan,
atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran
kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan
tersebut. Kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti
“tradisi”. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi
yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare
yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan berreligi, seseorang
mengikat Untuk memberikan batasan tentang makna agama memang agak
sulit dan sangat subyektif. Karena pandangan orang terhadap agama
berbeda-beda. Ada yang memandangnya sebagai suatu institusi yang
diwahyukan oleh Tuhan kepada orang yang dipilihnya sebagai nabi atau
rasulnya, dengan ketentuan-ketentuan yang telah pasti. Ada yang
memandangnya sebagai hasil kebudayaan, hasil pemikiran manusia, dan
ada pula yang memandangnya sebagai hasil dari pemikiran orang orang
yang jenius, tetapi ada pula yang menganggapnya sebagai hasil lamunan,
fantasi, ilustrasi (Syafa’at,1965).
7
Dalam memandang objek agama, misalnya nilai ontologik dalam
agama secara utuh dan menyeluruh. Artinya tidak membatasi segi – segi
tertentu dalam mengkaji agama yang fisis saja, melainkan menembus
sampai kepada apa yang ada dibaliknya. Tetapi ilmu pengetahuan agama
penyelidikannya berhenti pada fisis – fisis saja menurut jenis, bentuk, dan
susunan objek manusia itu. Karena segi fisik manusia itu aktual dalam
berbagai wujud dan keadaan, maka ilmu agama cenderung mempunyai
berbagai cabang.

Kecenderungan pluralitas ilmu pengetahuan agama tersebut, jika


terlepas dari ikatan filsafat, niscaya akan terjadi saling pemisah yang tajam
anatara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, didalam ikatan filsafat
justru pluralitas ilmu pengetahuan agama itu menggelarkan ekstensinya
yang semakin lengkap dan fungsional. Artinya, setiap cabang ilmu
pengetahuan agama saling berkolerasi secara kritis, kreatif, dan efektif
demi kukuhnya ilmu pengetahuan induk. Tetapi masing – masing cabang
pasti akan mudah terseret ke dalam wujud berbagai tuntunan praktis –
pragmatis yang semakin jauh dari nilai – nilai ilmiah. Hal ini sangat
membahayakan praktik pelaksanaan hidup manusia dan masyarakat sehari
– hari. Lihatlah jika misalnya agama islam memiliki cabang ilmu
pengetahuan terlalu menekankan segi intensitas dan efektifitas produksi
saja, maka akan merusak eksistensi ilmu pengetahuan agama non islam
yang kemudian pasti akan mengancam juga ekstensi ilmu pengetahuan
manusia dalam agama kristen, protestan, hindu dan ilmu pengetahuan
agama lainnya.

Memang setiap kebutuhan hidup manusia adalah awal tumbuh dan


berkembangnya suatu ilmu pengetahuan agama atau kepercayaan. Sebagai
salah satu objek yaitu agama islam. Bagaimana kebutuhan manusia
meyakini cara shalat yang baik dan benar sesuai tuntunan nabi? Muncullah
ilmu pengetahuan fiqih. Kebutuhan akan ekonomi dalam perdagangan,
muncullah ilmu muamalah. Selain itu, Menurut sejarah, agama tumbuh
8
bersamaan dengan berkembangnya kebutuhan manusia. Salah satu dari
kebutuhan itu adalah kepentingan manusia dalam memenuhi hajat rohani
yang bersifat spritual, yakni sesuatu yang dianggap mampu memberi
motivasi semangat dan dorongan dalam kehidupan manusia. Oleh karena
itu, unsur rohani yang dapat memberikan spirit dicari dan dikejar sampai
akhirnya mereka menemukan suatu zat yang dianggap suci, memiliki
kekuatan, maha tinggi dan maha kuasa. Sesuai dengan taraf perkembangan
cara berpikir mereka, manusia mulai menemukan apa yang dianggapnya
sebagai Tuhan. Dapatlah dimengerti bahwa hakikat agama merupakan
fitrah naluriah manusia yang tumbuh dan bekembang dari dalam dirinya
dan pada akhirnya mendapat pemupukan dari lingkungan alam sekitarnya.
Ada yang menganggap bahwa agama di dalam banyak aspeknya
mempunyai persamaan dengan ilmu kebatinan. Yang dimaksud ilmu
agama di sini pada umumnya adalah agama-agama yang bersifat universal.
Artinya para pengikutnya terdapat dalam masyarakat yang luas yang hidup
di berbagai daerah (Thalhas, 2006). Di samping itu ajarannya sudah tetap
dan ditetapkan (established) di dalam kaedahnya atau ketetapannya dan
semuanya hanya dapat berubah di dalam interpretasinya saja.
Ajaran agama yang universal mengandung kebenaran yang tidak dapat
dirubah meskipun masyarakat yang telah menerima itu berubah dalam
struktur dan cara berfikirnya. Maksud di sini adalah bahwa ajaran agama
itu dapat dijadikan pedoman hidup, bahkan dapat dijadikan dasar moral
dan norma-norma untuk menyusun masyarakat, baik masyarakat itu
bersifat industrial minded, agraris, buta aksara, maupun cerdik pandai
(cendikiawan). Karena ajaran agama itu universal dan telah estabilished,
maka agama itu dapat dijadikan pedoman yang kuat bagi masyarakat baik
di waktu kehidupan yang tenang maupun dalam waktu yang bergolak.
Selain itu, agama juga menjadi dasar struktur masyarakat dan member
pedoman untuk mengatur kehidupannya. Kemudian kita kembali kepada
arti harfiah dari agama itu.

9
Dengan demikian, setiap ilmu pengetahuan khususnya ilmu agama
akan memperoleh nilai ilmiah, universal dari filsafat, yaitu wawasan atau
pandangan yang menyeluruh, luas dan mendalam. Wawasan yang demikan
sangat berguna bagi setiap ilmu pengetahuan khususnya agama islam
untuk selalu bersikap kritis terhadap lingkungan studinya, sehingga tujuan
keilmuannya tetap menjadi pengarah (director) kegiatan penyelidikannya.
Oleh sebab itu, filsafat ilmu pengetahuan akan berkembang secara
metodologik, sistematik, sehingga mampu menemukan kebenaran ilmiah
objektif.

B. Nilai Epistemologi dalam Agama

Epistemolgi adalah bidang studi filsafat (menurut pandangan


filsafat yahudi) yang mempersoalkan hal – ihwal pengetahuan, yang
meliputi anatara lain bagaimana memperoleh pengetahuan, sifat hakikat
pengetahuan dan kebenaran. Dari persoalan – persoalan yang
dikemukakan dalam epsitemologi itu terkandung nilai, yaitu berupa jalan
atau metode penyelidikan ke arah tercapainya pengetahuan yang benar.

Adapun metode yang dimaksud adalah metode analisis dan sintetis


yang masing – masing dilengkapi dengan peralatan induktif dan dedukatif.
Keduanya adalah metode dasar yang berlaku bagi ilmu pengetahuan
apapun. Dengan demikian, dengan melalui kedua metode ini pun ilmu
pengetahuan beraneka ragam itu saling meningkatkan diri ke dalam satu
kesatuan yang utuh. Kecuali itu, melalui pengetahuan yang benar sebagai
hasil penyelidikan kedua metode tersebut, keanekaragaman ilmu
pengetahuan dan yang juga terpisah – pisah itu menjadi seragam dalam
satu kesatuan yang kohenren – idealistik, yang koresponden – realistik,
ataukah yang pragmatik, adalah bukan sifat kebanaran yang saling terpisah
antara yang satu dengan yang lain. Ketiga sifat kebenaran itu merupakan
unsur yang sama – sama membentuk pengetahuan yang benar mengenai

10
objek apa saja. Bagi setiap ilmu pengetahuan, kebenaran yang didambakan
bukan yang besifat rasional (koheren idealistik) saja, melainkan juga yang
mampu menunjuk faktanya secara tepat (koresponen-realistik) dan bahkan
kebenaran itu haruslah berguna baik bagi penelitian lanjutan maupun bagi
kehidupan manusia dan masyarakatnya.

Adapuan dalam konteks agama ditinjau dari nilai epistemologi


umumnya memberikan pedoman tentang metode penyelidikan yang tepat
dan ukuran kebanaran dalam mengaplikan kegiatan ritual dalam agama
baik dalam petunjuk wahyu mapun berdasarkan pengalaman.Pentingnya
pengetahuan agama yang menjadi landasan kepercayaan dalam melakukan
berbagai rutinitas. Setiap manusia harus menghargai berbagai perbedaan
pengertian dalam setiap agama dan kepercayaan tersebut. Agama dapat
dilihat sebagai kepercayaan dan pola perilaku yang dimiliki oleh manusia
untuk menangani masalah-masalah penting dan aspek-aspek alam semesta
yang tidak dapat dikendalikannya dengan teknologi maupun sistem
organisasi sosial yang dikenalnya. Pengertian agama yang lain yaitu
agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi melalui mitos
dan menggerakkan kekuatan-kekuatan supranatural dengan tujuan untuk
mencapai atau menghindari terjadunya perubahan keadaan pada manusia.
Agama memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi sosial dan fungsi
psikologis. Secara psikologis, agama dapat mengurangi kegelisahan
manusia dengan memberikan penerangan tentang hal-hal yang tidak
diketahui dan tidak dimengerti olehnya di dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga lebih mudah dimengerti, misalnya tentang kematian. Selain itu,
agama juga memberi ketenangan pada manusia karena dapat memberikan
sebuah harapan bahwa ada sebuah kekuatan supranatural yang dapat
menolong manusia pada saat menghadapi bahaya atau tertimpa suatu
musibah. Ditinjau secara sosial, agama mempunyai sanksi bagi seluruh
perilaku manusia yang beraneka ragam. Agama juga menanamkan
pengertian tentang kebaikan dan kejahatan dengan memberikan semacam

11
pedoman tentang perilaku hidup dan berinteraksi. Dalam hal ini, agama
dapat dikatakan sebagai pemelihara ketertiban sosial. Selain itu, agama
juga sebagai alat yang efektif untuk meneruskan tradisi lisan dalam sebuah
masyarakat (Sare, 2007).

Adapun batasan definisi nilai epistemologi agama yaitu:

1. Batasan atau definisi agama berasal dari dari kata ad-din dalam bahasa
Semit memiliki makna undang-undang atau hukum, kemudian dalam
bahasa Arab mempunyai arti menguasai, mendudukkan, patuh, hutang,
balasan, kebiasaan. Bila kata ad-din disebutkan dalam rangkaian
dinullah, maka hal ini dipandang bahwa agama tersebut berasal dari
Allah, sedangkan jika disebut din-nabi, maka hal ini dipandang nabi
lah yang melahirkan dan menyiarkannya, namun apabila disebut din-
ummah, maka hal ini dipandang bahwa manusialah yang diwajibkan
memeluk dan menjalankan.Ad-din bisa juga berarti syariah yaitu nama
bagi peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah disyariatkan
oleh Allah selengkapnya atau prinsipprinsipnya saja dan dibedakan
kepada kaum muslimin untuk melaksanakanya, dalam mengikat
hubungan eeka dengan Allah dan manusia(Syaltut, 1966). Apabila ad-
Din memiliki makna millah berarti mempunyai makna mengikat.
Maksud agama adalah untuk mempersatukan segala pemeluk-
pemeluknya dan mengikat mereka dalam suatu ikatan yang erat
sehingga menjadi pondasi yng kuat yang disebut dengan batu
pembangunan, atau mengingat bahwa hukum-hukum agama itu
dibukukan atau didewakan.

2. Batasan atau definisi agama berasal dari kata ”religi”


Kata religi berasal dari bahasa latin yang sering dieja dengan kata
religio. Di antara penulis Romawi, di antaranya Cicero berpendapat
bahwa religi itu berasal dari akar kata leg yang berarti mengambil,
mengumpulkan, menghitung, atau memperhatikan sebagai contoh,

12
memperhatikan tanda-tanda tentang suatu hubungan dengan
ketuhanan. Pendapat lain juga mengatakan, dalam hal ini diungkapkan
oleh Servius bahwa religi berasal dari kata lig yang mempunyai makna
mengikat. Sedangkan kata religion mempunyai makna suatu
perhubungan, yakni suatu perhubungan antara manusia dengan zat
yang di atas manusia (supra manusia). Sedangkan secara terminologi
kata religion menurut Edward Burnett Tylor (1832-1971), seorang
sarjana yang dianggap sebagai orang pertama yang memberikan
definisi tentang agama, menurutnya Religion is the bilief in the spritual
beings. Sedangkan menurut Emile Durkheim dari Perancis
memberikan definisi Religion is an interpendent whole composed of
beliefst and rites (faits and practices) related to sacred things, unites
adherents in a single community known as a church. Artinya : Agama
itu adalah suatu keseluruhan yang bagian-bagiannya saling bersandar
yang satu pada yang lain, terdiri dari akidah-akidah (kepercayaan) dan
ibadah-ibadah semua dihubungkan dengan hal-hal yang suci, dan
mengikat pengikutnya dalam suatu masyarakat yang disebut dengan
Gereja.(Rosyidi,1974).

3. Dilihat dari pengertian pentingnya agama bagi manusia, terdapat dua


konsep mendasar agama bagi kehidupan manusia, yaitu agama dalam
arti what religion does dan what is religion. Pengertian pertama
menunjuk pada apa kegunaan agama bagi kehidupan manusia,
sedangkan pengertian yang kedua menunjuk pada apa makna agama
bagi manusia, yaitu sebagai pedoman untuk bertindak di dalam
menjalankan seluruh aktivitas kehidupannya (Moesa, 2007)

4. Pentingnya Peran Manusia Terhadap Agama Selama ini kita banyak


membicarakan tentang peran agama dalam setiap lini kehidupan
manusia. Namun apakah pernah terpikirkan, seberapa pentingkah
peran agama itu sendiri? Bagi kebanyakan manusia, kerohanian dan
agama memainkan peran utama dalam kehidupan mereka. Sering
13
dalam konteks ini, manusia tersebut dianggap sebagai “orang manusia”
terdiri dari sebuah tubuh, pikiran, dan juga sebuah roh atau jiwa yang
kadang memiliki arti lebih daripada tubuh itu sendiri dan bahkan
kematian. Seperti juga sering dikatakan bahwa jiwa (bukan otak
ragawi) adalah letak sebenarnya dari kesadaran (meski tak ada
perdebatan bahwa otak memiliki pengaruh penting terhadap
kesadaran). Keberadaan jiwa manusia tak dibuktikan ataupun
ditegaskan; konsep tersebut disetujui oleh sebagian orang dan ditolak
oleh lainnya. Juga, adalah perdebatan di antara organisasi agama
mengenai benar/tidaknya hewan memiliki jiwa; beberapa percaya
mereka memilikinya, sementara lainnya percaya bahwa jiwa semata-
mata hanya milik manusia, serta ada juga yang percaya akan jiwa
kelompok yang diadakan oleh komunitas hewani dan bukanlah
individu.
Menurut Feuerbach, yang disebut Allah adalah kesadaran manusia itu
sendiri. Menurut pemikiran itu maka Feuerbach menyimpulkan bahwa
agama adalah kesadaran Nan tak terbatas. Maka agama berakar pada
jati diri manusia, yang bersifat memiliki kesadaran nan tak terbatas.
Agama adalah hubungan manusia dengan jati dirinya nan tak terbatas.
Agama palsu terjadi apabila manusia memproyeksikan Nan tak
terbatas tersebut keluar dan dalam oposisi terhadap dirinya. Dengan
demikian, manusia menciptakan Allah menurut citranya sendiri,
sehingga dapat dikatakan bahwa manusia jugalah yang menciptakan
agama. Manusia adalah awal, pusat , dan akhir agama. Menurut
Feuerbach, ini bukanlah ateisme, melainkan humanisme (Jacobs,
2002).
Pendapat lain mengatakan bahwa agama merupakan produk dan
alienasi dari manusia. Manusia tidak menciptakan agama, dan agama
tidak menciptakan manusia. maka agama adalah kesadaran diri dan
perasaan diri manusia (Leahy, 2008).

14
C. Hubungan Sains, Agama dan Filsafat

Dalam kehidupan ini kita tidak terlepas akan adanya Sains, Agama dan
Filsafat. Seperti apa kinerja sains, bagaimana hubungan antara sains dan
filsafat. Begitu pula agama yang kita pandang sebagai keyakinan yang
bersumberkan pada wahyu Tuhan, sejauh manakah kalau dikaitkan pada
pandangan filsafat, bagaimana hubungan agama dan filsafat. Pertanyaan-
pertanyaan semacam ini kiranya menarik sekali untuk kita bahas dalam
makalah ini, maka dari itu penulis akan mencoba mengulas sedikit tentang
Sains, Filsafat, dan agama beserta hubungan-hubungan atau keterkaitan yang
ada apa adanya. Maka sebelum membahas lebih rinci mengenai hubungan
antara Sains, Agama dan Filsafat, perlu kiranya terlebih dahulu kita membahas
sepintas apa yang dinamakan Sains, Agama maupun Filsafat. Yang lebih
jelasnya akan diterangkan dibawah ini.Sains merupakan pengetahuan yang
dikumpulkan manusia melalui penggunaan akalnya yang sistematis, obyektif
dan disusun menjadi bentuk pola yang teratur. Berangkat dari persoalan
tersebut, dalam mencoba menjelaskan hubungan filsafat dan Sains, terlebih
dahulu kita perlu mengenal relevansi dan perbedaan keduanya. Namun
sebelum masuk pada inti pembahasan, perlu kiranya kita mengetahui
bagaimana sejarah kuno dalam melahirkan peradapan yang tinggi, sehingga
membawa pertumbuhan dan perkembangan ilmu seperti sekarang ini.

Secara umum, orang mengakui bahwa di jaman kuno orang Yunani


adalah merupakan orang-orang yang terkemuka sebagai bangsa yang
ditakdirkan mempunyai akal yang jernih. Memang pada umumnya sejarah
kemanusiaan telah mencapai kebudayaan yang tinggi di beberapa tempat.
Misalnya, India, Tiongkok, Persia, Mesir dan lain sebagainya. Bangsa-bangsa
tersebut telah mengalami masa yang gemilang dimana kekayaan material dan
kekuasaan merupakan faktor yang menguntungkan untuk menanamkan
organisasi sosial dan politik, mengembangkan arsitek dan kesuasteraan yang
tinggi. Ternyata jiwa ilmiah pada bangsa Yunani mampu berkembang dan
melepaskan diri dengan bebas setelah mereka menemukan nilai kekuasaan dari
15
akal manusia. Keistimewaan orang Yunani inilah yang merupakan salah satu
dari pada peradaban dunia, karena disitu kemenangan jiwa telah ditetapkan.
Bagi orang Yunani, ilmu adalah keterangan akal rasional dari segala sesuatu.
Dunia sebenarnya adalah suatu kosmos kesatuaan yang teratur dan aturan ini
sifatnya dapat dipahami oleh akal manusia. Aturan ini adalah kausalitas,
sehingga keterangan dari semua kejadian itu dapat dicari pada asal usul
kejadian tersebut. Tiga dasar ini yaitu kosmos, rasional dan kausalitas telah
menguasai ilmu orang Yunani. Penyelidikan orang Yunani yang ilmiah ini,
didasarkan atas fakta-fakta dan atas usaha-usaha penyelidikan tentang urutan-
urutan sebab dan akibat sampai pada yang terahir. Dari hal tersebut di atas
maka ilmu menurut Ir. Poedjawijatna adalah pengetahuan yang sadar dan
menurut kebenaran yang bermetodhos, bersistem dan berlaku universil. Maka
dalam hal ini batas objek ilmu hanya sampai pada pengalaman. Di luar
pengalaman ilmu tidak mampu untuk menjangkaunya, karena memang bukan
wewenang ilmu untuk bertindak diluar pengalaman. Oleh karena, bisa jadi bagi
ilmu, menganggap tidak ada apa-apa (kosong) di luar alam semesta ini, tetapi
kenyataan yang sebenarnya tidaklah demikian. Inilah pengalaman-pengalaman
yang hanya bisa dijawab oleh filsafat.

Dari uraian di atas kita dapat mengetahui perbedaan ilmu dan filsafat
serta hubungan satu sama lainnya sebagai hubungan mutlak tunggal. Filsafat
nampak jelas pada bagian-bagian yang disebut ilmu. Sedangkan teori ilmu
tidak boleh disebut filsafat. Bagaimana kita bisa mengenal ilmu kalau kita tidak
mengenal filsafat dalam arti yang luas dan universal. Ilmu hanya bisa
dilahirkan dengan berfilsafat melalui penalaran yang mendalam dari
pengalaman-pengalaman yang ditemukannya.

Seperti obyek ilmu yang bersandar pada pengalaman, filsafatpun dalam


menjalankan tugasnya juga bersandarkan pula pada fakta pengalaman,
sehingga harus juga memelihara dan memperhitungkan dengan ilmu. Ini berarti
bahwa filsafat itu mengikuti perkembangan ilmu-ilmu. Untuk menjawab
persoalan seperti hal tersebut dibutuhkan penyelidikan oleh filsafat itu sendiri.
16
Dan tidak bisa tuntas dengan uraian yang singkat. Filsafat tidak secara mutak
tergantung pada ilmu, bahkan bisa mencari kejelasan sendiri tanpai memakai
hasil-hasil ilmu.

Dengan adanya kemajuan filsafat, ilmu juga mendapat keuntungan


yang sangat istimewa. Dapat diharapkan bahwa seorang ilmuan akan
memperlihatkan dan membedakannya antara kesimpulan-kesimpulan yang
diperoleh dari teknik dan logika ilmiah dengan kesimpulan-kesimpulan yang
diperoleh dari uraian filsafat. Kritik pada pengetahuan yang bersifat filosofis
juga menerangi kerja ilmuan dengan menunjukkan sifat batas serta arti segala
kemungkinan-kemungkinan.

Dalam hal hubungan antara filsafat dan ilmu seperti yang diuraikan di
atas, Ir poedjawijatna menyatakan bahwa filsafat dan ilmu bertemu pada objek
materia dan yang membedakan adalah objek formalnya. Batasnya jadi terang,
akan tetapi dalam praktek sering juga ada kekacauan. Hal ini tidak
mengherankan sebab yang diselidiki objeknya sama, sedang yang menyelidiki
juga sama yaitu manusia. Manusia yang ingin tau tidak selalu sadar akan batas
tugas dan batas bidang ilmu yang menjadi wilayahnya masing-masing.
Memang sebaliknya harus diakui, bahwa batas ini dalam teoripun tidak selalu
jelas, atau harus ada kesediaan dari pihak ilmu maupun filsafat untuk tidak
mencampurkan tugas dan wilayahnyamasing-masing.

Definisi Sains termasuk pengetahuan (knowledge). Yang dimaksud


dengan ilmu ialah pengetahuan yang diperoleh dengan cara tertentu yang
dinamakan metode ilmiah. Bidang yang ditelaah oleh ilmu itu tidak terbatas
kepada obyek atau kejadian yang bersifat empiris. Artinya, obyek atau kejadian
tersebut dapat ditangkap oleh panca indera manusia atau alat-alat pembantu
panca indera. Bidang-bidang di luar jangkauan pengalaman manusia tidak
termasuk dunia empiris, contohnya masalah tentang Tuhan, akhirat, surga dan
neraka, dan sebagainya. Dengan demikian terkandung makna bahwa bidang
ilmu itu terbatas (Tjokronegoro dan Sudarsono, 1999).

17
Adapun Hubungan antara filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang
dekat dan baik, dan kadang-kadang jauh dan buruk. Ada kalanya para
agamawan merintis perkembangan filsafat. Ada kalanya pula orang beragama
merasa terancam oleh pemikiran para filosof yang kritis dan tajam. Para filosof
sendiri kadang-kadang memberi kesan sombong, sok tahu, meremehkan wahyu
dan iman sederhana umat. Kadang-kadang juga terjadi bentrokan, di mana
filosof menjadi korban kepicikan dan kemunafikan orang-orang yang
mengatasnamakan agama. Adapun beberapa kasus yang dialami oleh beberapa
philosof sebagai berikut:

a. Socrates dipaksa minum racun atas tuduhan atheisme padahal ia justru


berusaha mengantar kaum muda kota Athena kepada penghayatan
keagamaan yang lebih mendalam.

b. Filsafat Ibn Rusyd dianggap menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, ia


ditangkap, diasingkan dan meninggal dalam pembuangan.

c. Abelard (1079-1142) yang mencoba mendamaikan iman dan pengetahuan


mengalami pelbagai penganiayaan.

d. Thomas Aquinas (1225-1274), filosof dan teolog terbesar Abad


Pertengahan, dituduh kafir karena memakai pendekatan Aristoteles (yang
diterima para filosof Abad Pertengahan dari Ibn Sina dan Ibn Rusyd).

e. Giordano Bruno dibakar pada tahun 1600 di tengah kota Roma. Sedangkan
di zaman moderen tidak jarang seluruh pemikiran filsafat sejak dari
Auflklarung dikutuk sebagai anti agama dan atheis.

Pada akhir abad ke-20, situasi mulai jauh berubah. Baik dari pihak filsafat
maupun dari pihak agama. Filsafat makin menyadari bahwa pertanyaan-
pertanyaan manusia paling dasar tentang asal-usul yang sebenarnya, tentang
makna kebahagiaan, tentang jalan kebahagiaan, tentang tanggungjawab dasar
manusia, tentang makna kehidupan, tentang apakah hidup ini berdasarkan
sebuah harapan fundamental atau sebenarnya tanpa arti, paling-paling dapat
18
dirumuskan serta dibersihkan dari kerancuan-kerancuan, tetapi tidak dapat
dijawab. Keterbukaan filsafat, termasuk banyak filosof Marxis, terhadap agama
belum pernah sebesar dewasa ini.

Sebaliknya agama, meskipun dengan lambat, mulai memahami bahwa


sekularisasi yang dirasakan sebagai ancaman malah membuka kesempatan
juga. Kalau sekularisasi berarti bahwa apa yang duniawi dibersihkan dari
segala kabut adiduniawi, jadi bahwa dunia adalah dunia dan Allah adalah
Allah, dan dua-duanya tidak tercampur, maka sekularisasi itu sebenarnya
hanya menegaskan apa yang selalu menjadi keyakinan dasar monotheisme.
Sekularisasi lantas hanya berarti bahwa agama tidak lagi dapat mengandalkan
kekuasaan duniawi dalam membawa pesannya, dan hal itu justru membantu
membersihkan agama dari kecurigaan bahwa agama sebenarnya hanyalah suatu
legitimasi bagi sekelompok orang untuk mencari kekuasaan di dunia. Agama
dibebaskan kepada hakekatnya yang rohani dan adiduniawi (agama, baru
menjadi saksi kekuasaan Allah yang adiduniawi apabila dalam mengamalkan
tugasnya tidak memakai sarana-sarana kekuasaan, paksaan dan tekanan
duniawi.) Selain itu aspek hubungan Agama dengan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi
memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia.
Berbagai sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya,
terbukti amat bermanfaat. Tapi di sisi lain, tidak jarang iptek berdampak
negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat
manusia.
Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting
untuk ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita
memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak
negatifnya semiminal mungkin pola hubungan pertama adalah pola hubungan
yang negatif, saling tolak. Apa yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak
benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula sebaliknya. Dalam
pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari

19
keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan
orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan.
Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama.
Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin
tidak dapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat
di hati, jalan satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan
anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda.
Pola ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini, kebenaran
ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi
juga tidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan
dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali.
mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung pengembangan
iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan demikian pula
sebaliknya. Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif.
Terjadinya pola hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan
antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang
tidak sekuler. Secara teori, pola hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud:
ajaran agama mendukung pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak
mendukung ajaran agama, pengembangan iptek.

Sementara itu, jika melirik kembali hubungan filsafat dan agama


seringakali diperdebatkan antara satu sama lainya, bahkan kadang-kadang
terjadi clash antara ahli filsafat dan ulama. Apabila kita mengetahui bahwa
kemampuan mengenal kita adalah bukan merupakan satu-satunya jalan untuk
mendapatkan kebenaran tetapi disamping itu ada kerja yang lain untuk
mendapatkan kebenaran. Orang islam dan juga yang beragama lain memegangi
kepercayaan yang kuat terhadap wahyu dari Tuhan yang disampaikan oleh
rasul-rasul-Nya. Dengan demikian, orang islam tidak hanya mempunyai
sumber alamiah saja tetapi juga sumber di luar alam bagi pengetahuannya.
Maka sejak dahulu kala, telah berabad-abad manusia mempersoalkan
hubungan yang mempertalikan kepercayaan dengan pengetahuan yang wajar.

20
Agama menamakan kepercayaan, keyakinan yang disebut aqidah (teologi)
dengan dasar kebenarannya adalah wahyu tuhan yang terkandung dalam kitab
suci-Nya. Tujuan teologi dengan uraian yang metodis berusaha mengolah isi
kepercayaan itu menjadi suatu kebulatan yang bersistematik ilmiah.

Di dalam menyusun sistem teologi ini, bermacam-macam ilmu alamiah


dipakai sebagai alat bantu seperti, sejarah, psikologi ,filsafat dan pengetahuan
lainnya, tetapi semua ini harus berjalan di bawah sorotan kepercayaan tanpa
merusak metafisis dari pada wahyu itu sendiri walaupun sedikit.
Dapatl dikatakan bahwa apa yang disebut iman dalam suatu agama tak lain
adalah kepercayaan tentang Tuhan atau yang disebut "ada". Di situlah letaknya
bahwa manusia harus beriman, tetapi di sisi lain manusia juga berfikir tentang
imannya. Iman sering disalah tafsirkan oleh sebagian manusia, baik di
kalangan ulama-ulama atau filosof-filosof sendiri. Kesalahan penafsiran ini
nampak pada adanya perbedaan antara agama dan filsafat. Bahwa agama pada
dasarnya adalah iman, sedang filsafat dasarnya adalah akal pikiran, atau agama
berangkat dari wahyu dan filsafat berangkat dari usaha manusia. Kekayaan
yang terkandung di dalam wahyu itu memuat kebenaran-kebenaran yang
terletak di luar akal manusia seperti sifat tuhan. Tentang kejadian alam yang
selalu merupakan sebuah misteri bagi manusia yang tidak paham agama.
Tatapi wahyu juga mengandung kebenaran-kebenaran yang intinya dapat
dicapai oleh akal pikiran manusia dengan kekuatannya sendiri, seperti hukum
alam, tentang kemungkinan adanya Tuhan dan sebagainya. Dalam
persinggungan filsafat dengan teologi (aqidah) dalam menyinggung kebenaran,
filsafat adalah pembantu pengungkap kekayaan wahyu. Dari hal inilah maka
muncul bagaimana persoalan antara filsafat dengan wahyu, Dalam hal
hubungan antara keduanyaa dalah: 1)Di dalam urut-urutan kedudukan dalam
humanitas maka teologi menduduki tempat yang leblh tinggi dari filsafat, baik
dikenakan obyek pembehasannya yang bersifat gaib atas alam, maupun kerena
dasar formal yang menjadi jaminan kebenarannya yaitu firman Tuhan yang
tidak mungkin salah. Berdasarkan hal tersebut maka kesimpulanya adalah

21
filsafat tidak pernah bertentangan dengan kebenaran yang di wahyukan atau
manentang kesimpulan yang didasarkan atas fundamental teologi. Kerena
sesuatu itu tidak bisa sekaligus benar atau salah. Jadi teologi merupakan
norma-norma negatif bagi filsafat dalam arti bahwa teologi tidak menerima
dalil-dalil yang mengandung kemungkinan terhadap kebenaran yang telah
dibuktikan secara teologis. Sementara itu, A hanafi, M.A dalam bukunya
pengantar filsafat islam menyatakan pandangan al-Farabi bahwa tujuan filsafat
dan agama bagi al-Farabi adalah sama. Yaitu mengetahui semua wujud. Hanya
saja filsafat memakai dalil-dalil yang diyakini dan ditunjukkan oleh golongan
tertentu, sedang agama memakai cara Iqna'i (pemuasan perasaan) dan kiasan-
kiasan serta gambaran yang ditujukan kepada semua orang, bangsa dan negara.
Prof Ir Poedjawijatna dalam membicarakan kebenaran mengatakan sebagai
berikut:
Kebenaran sesuatu dalam agama tergantung kepada diwahyukan atau
tidaknya. Yang diwahyukan Tuhan haruslah dipercayai, oleh karena itu agama
disebut kepercayaan. Alasan filsafat untuk menerima kebenaran bukanlah
kepercayaan, akan tetapi penyelidikan sendiri. Filsafat tidak mengingkari atau
mengurangi wahyu, tetapi tidak mendasarkan pennyelidikannya atas wahyu.
Mungkin ada beberapa hal yang masuk kewilayah agama yang juga diselidiki
filsafat. Selanjutnya dikatakan bahwa antara filsafat dan agama pada pada
prinsipnya tidak ada pertentangan, karena kalau kedua-duanya memang
mempunyai kebenaran, maka kebenaran itu tentulah satu dan tidak mungkin
berbeda. Tak mungkin sesuatu itu pada prinsipnya benar dan tidak benar. Pada
akhirnya secara tegas dikatakan bahwa lapangan agama dan filsafat dalam
beberapa hal mungkin sama, akan tetapi pada dasarnya amat berlainan. Filsafat
berdasarkan fikiran, sedangakan agama berdasarkan atas wahyu. 2) Kita tidak
dapat mengatakan bahwa kepercayaan agama itu telah memberi pengaruh yang
positif terhadap filsafat. Bukanlah filsafat telah mengalami perubahan dasar
sehingga benar-benar dinamakan agamis, dan dengan begitu dia bukan filsafat
yang sebenarnya lagi.bdi tinjau dari sejarah, agama islam, yahudi maupun
kristen yang mengajarkan tentang hidup telah memberi pengaruh yang dalam
22
pada pikiran-pikiran filsafat terutama terhadap pikiran-pikiran mereka yang
menganut agama tersebut. Memang kepercayaan agama dari luar dapat
memberi arah kepada seseorang filosof dengan mengemukakan suatu obyek
(tujuan) yang akan dicapai seperti menyusun suatu pembuktian tentang adanya
Tuhan, mencari perbedaan antar alam, pribadi dan sebagainya. Hendaknya kita
perhatikan bahwa suatu kebenaran baru masuk formal dalam pandangan
filsafat apabila dimengerti dengan segala realitas atau bila kita mampu
mencapai suatu proses discursive (berpisah dari satu objek ke objek yang lain)
Apabila kita umpamanya meyakinkan bahwa Tuhan itu ada maka dalil ini
hanya akan diambil dari filsafat dengan ukuran dimana kita membayangkan
akan membuktikannya dengan alat-alat ilmiah, jika tidak begini keadaannya
maka kebenaran dalil itu bagaimanapun juga dasarnya adalah tidak filosofis.
Karena itu, maka arah positif yang dapat diberikan oleh teologi pada filsafat
bagaimanapun harganya adalah tetap hanya merupakan suatu keadaan yang
membawa filsafat kedalam suatu suasana. Kepercayaan merupakan sesuatu
yang berjalan di muka filsafat tetapi bediri di luar apa yang merupakan aktifitas
filsafat yang sebenarnya. Seperti yang diberitahukan oleh agama-agama
samawi maka kita berada pada neveau (tingakatan) yang lebih tinggi dari
tingkatan akal murni. apabila teologi itu pada kenyataannya besifat agama
maka filsafat tidaklah demikian tetapi tetap bersifat rasional dan kemanusiaan
murni. Tetapi kebijaksanaan Tuhan tidaklah merusak aturan alam, bahkan
mengangkatnya.

Kebijaksanaan Tuhan berbeda dengan aturan alam tetapi ia menerima


aktivitas alam, bahkan memperkayanya. Perkembangan seorang muslim
umpamanya menghendaki agar dia menggunakan kekuatan alam secara formal
dan dalam kenyataannya memang berbeda dengan kekuasaan Tuhan.
Seseorang yang beragama islam akan dapat mengembangkan kemampuannya
secara wajar dan harmonis. Dengan begitu akan lebih sesuai dengan kehidupan
keagamaannya.

23
Demikinlah perbedaan atau relevansi sains dengan filsafat dan filsafat
dengan agama, yang kesemuanya mempunyai titik ketersinggungan satu sama
lainnya, bahkan kesemuanya saling memperkuat. Hanya saja kesalahpahaman
terhadap ketiganya disebabkan oleh adanya wawasan yang sempit di antara,
ilmuan, filosof dan ulama-ulama.

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun Persamaan Sains, filsafat dan agama mempunyai persamaan


tujuan, yaitu mencari kebenaran sedangkan perbedaan Sains, filsafat, dan
agama menpumyai perbedaan dalam sumber, cara memperoleh kebenaran,
dan sifat kebenarannya. Agama dapat dilihat sebagai kepercayaan dan pola
perilaku yang dimiliki oleh manusia untuk menangani masalah-masalah
penting dan aspek-aspek alam semesta yang tidak dapat dikendalikannya
dengan teknologi maupun system organisasi sosial yang dikenalnya.
Perkembangan Sains dapat mendorong manusia mendayagunakan sumber
daya alam lebih efektif dan efisien, perkembangan ilmu pengetahuan dan
sains bukan saja membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menaikkan
kualitas manusia dalam keterampilandan kecerdasannya untuk meningkatkan
kemakmuran serta inteligensi manusia. Budaya mempunyai peranan penting
dalam membentuk pola berpikir dan pola pergaulan dalam masyarakat, yang
berarti juga membentuk kepribadian dan pola pikir masyarakat tertentu. Di
dalam pengembangan kepribadian diperlukan kebudayaan dan seterusnya
kebudayaan akan dapat berkembang melalui kepribadian-kepribadian
tersebut. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi
berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Tapi di
sisi lain, tidak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan dan
membahayakan kehidupan dan martabat manusia.

B. Saran
Makalah ini tidak lepas dari kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran
yang sangat membangun dalam penulisan makalah ini sangat penulis
butuhkan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hakim Nasution, Pengantar Filsafat Sains, Jakarta: Litera Antar Nusantara,
1989.
A.Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Andi Hakim Nasution, Pengantar Filsafat Sains, Jakarta: Litera Antar Nusantara
1989.
Hamzah Abbas, PengantarFilsafatAlam, Surabaya: al-Ikhlas, 1981.

Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: PT Pembangunan,


1980.

Suhartono Suparlan, Dasar – dasar filsafat, Jogjakarta: Ar – Ruzz Media, 2007.

26

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai