net/publication/326033204
Filsafat Ilmu
CITATIONS READS
0 53,199
1 author:
Elihami Elihami
Universitas Muhammadiyah Enrekang, Indonesia
179 PUBLICATIONS 131 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Elihami Elihami on 28 June 2018.
Makalah
diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah
Matrikulasi Filsafat Ilmu
Oleh
ELIHAMI
NIM. 212310002
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Di dalam diri manusia pada masa kotemporer ini tidak dapat dipungkiri
perkembangan peradaban kehidupan manusia ini merupakan bentuk desakan
baik terkandung dalam potensi – potensi kejiwaan (spritual) yang sangat
menentukan bagi esensi (diri) dan ekstensi (keberadaan) manusia itu sendiri.
Hal ini dipengaruhi berkembangnya aspek – aspek kehidupan dimasa lalu.
Manusia dengan alam pikirannya selalu melahirkan inovasi baru yang pada
akhirnya memberikan efek saling tular serta membentuk sikap tertentu pada
lingkungannya. Fenomen ini akan membawa kita ke masa depan manusia
yang berbeda dan lebih kompleeks. Prediksi pada ilmuwan barat yang
menyatakan bahwa organized religion (agama formal) akan lenyap, atau
tidaknya akan menjadi urusan pribadi, ketika IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan
Tekonologi) dan filsafat semakin berkembang, ternyata hal ini tidak terbukti..
Sebaliknya, dewasa ini sedang terjadi proses artikulasi peran agama (formal)
dalam berbagai jalur sosial, politik, ekonomi, bahkan dalam teknologi.
Manusia yang berpikir filsafati, diharapkan bisa memahami filosofi
kehidupan, mendalami unsur-unsur pokok dari ilmu yang ditekuninya secara
menyeluruh sehingga lebih arif dalam memahami sumber, hakikat dan tujuan
dari ilmu yang ditekuninya, termasuk pemanfaatannya bagi masyarakat.
Adapun kecenderungan terhadap nilai ”kebenaran” perasaanya
berkecenderungan terhadap nilai” kebaikan”. Dengan kata lain, tri potensi
kejiawaan manusia itu mendorong suatu tingkah laku, yaitu” ingin tahu”
mengenai apa saja menurut nilai – nilai kebenaran, keindahan, dan kebaikan.
Nilai kebenaran memberikan pedoman dalam hal ketetapan tingkahlaku,
sehingga setiap perbuatan selalu diawali dengan perhitungan – perhitungan
logis. Sedangkan nilai keindahan memberikan suasana ketenangan dalam
perbuatan, sehingga setiap perbuatan selalu memiliki daya tarik tertentu.
5
B. Rumusan Masalah
c. Penulisan makalah ini tidak lain juga adalah untuk memenuhi persyaratan
dalam menyelesaikan proses perkuliahan matrikulasi Pasca Sarjana
Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Parepare.
6
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
9
Dengan demikian, setiap ilmu pengetahuan khususnya ilmu agama
akan memperoleh nilai ilmiah, universal dari filsafat, yaitu wawasan atau
pandangan yang menyeluruh, luas dan mendalam. Wawasan yang demikan
sangat berguna bagi setiap ilmu pengetahuan khususnya agama islam
untuk selalu bersikap kritis terhadap lingkungan studinya, sehingga tujuan
keilmuannya tetap menjadi pengarah (director) kegiatan penyelidikannya.
Oleh sebab itu, filsafat ilmu pengetahuan akan berkembang secara
metodologik, sistematik, sehingga mampu menemukan kebenaran ilmiah
objektif.
10
objek apa saja. Bagi setiap ilmu pengetahuan, kebenaran yang didambakan
bukan yang besifat rasional (koheren idealistik) saja, melainkan juga yang
mampu menunjuk faktanya secara tepat (koresponen-realistik) dan bahkan
kebenaran itu haruslah berguna baik bagi penelitian lanjutan maupun bagi
kehidupan manusia dan masyarakatnya.
11
pedoman tentang perilaku hidup dan berinteraksi. Dalam hal ini, agama
dapat dikatakan sebagai pemelihara ketertiban sosial. Selain itu, agama
juga sebagai alat yang efektif untuk meneruskan tradisi lisan dalam sebuah
masyarakat (Sare, 2007).
1. Batasan atau definisi agama berasal dari dari kata ad-din dalam bahasa
Semit memiliki makna undang-undang atau hukum, kemudian dalam
bahasa Arab mempunyai arti menguasai, mendudukkan, patuh, hutang,
balasan, kebiasaan. Bila kata ad-din disebutkan dalam rangkaian
dinullah, maka hal ini dipandang bahwa agama tersebut berasal dari
Allah, sedangkan jika disebut din-nabi, maka hal ini dipandang nabi
lah yang melahirkan dan menyiarkannya, namun apabila disebut din-
ummah, maka hal ini dipandang bahwa manusialah yang diwajibkan
memeluk dan menjalankan.Ad-din bisa juga berarti syariah yaitu nama
bagi peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah disyariatkan
oleh Allah selengkapnya atau prinsipprinsipnya saja dan dibedakan
kepada kaum muslimin untuk melaksanakanya, dalam mengikat
hubungan eeka dengan Allah dan manusia(Syaltut, 1966). Apabila ad-
Din memiliki makna millah berarti mempunyai makna mengikat.
Maksud agama adalah untuk mempersatukan segala pemeluk-
pemeluknya dan mengikat mereka dalam suatu ikatan yang erat
sehingga menjadi pondasi yng kuat yang disebut dengan batu
pembangunan, atau mengingat bahwa hukum-hukum agama itu
dibukukan atau didewakan.
12
memperhatikan tanda-tanda tentang suatu hubungan dengan
ketuhanan. Pendapat lain juga mengatakan, dalam hal ini diungkapkan
oleh Servius bahwa religi berasal dari kata lig yang mempunyai makna
mengikat. Sedangkan kata religion mempunyai makna suatu
perhubungan, yakni suatu perhubungan antara manusia dengan zat
yang di atas manusia (supra manusia). Sedangkan secara terminologi
kata religion menurut Edward Burnett Tylor (1832-1971), seorang
sarjana yang dianggap sebagai orang pertama yang memberikan
definisi tentang agama, menurutnya Religion is the bilief in the spritual
beings. Sedangkan menurut Emile Durkheim dari Perancis
memberikan definisi Religion is an interpendent whole composed of
beliefst and rites (faits and practices) related to sacred things, unites
adherents in a single community known as a church. Artinya : Agama
itu adalah suatu keseluruhan yang bagian-bagiannya saling bersandar
yang satu pada yang lain, terdiri dari akidah-akidah (kepercayaan) dan
ibadah-ibadah semua dihubungkan dengan hal-hal yang suci, dan
mengikat pengikutnya dalam suatu masyarakat yang disebut dengan
Gereja.(Rosyidi,1974).
14
C. Hubungan Sains, Agama dan Filsafat
Dalam kehidupan ini kita tidak terlepas akan adanya Sains, Agama dan
Filsafat. Seperti apa kinerja sains, bagaimana hubungan antara sains dan
filsafat. Begitu pula agama yang kita pandang sebagai keyakinan yang
bersumberkan pada wahyu Tuhan, sejauh manakah kalau dikaitkan pada
pandangan filsafat, bagaimana hubungan agama dan filsafat. Pertanyaan-
pertanyaan semacam ini kiranya menarik sekali untuk kita bahas dalam
makalah ini, maka dari itu penulis akan mencoba mengulas sedikit tentang
Sains, Filsafat, dan agama beserta hubungan-hubungan atau keterkaitan yang
ada apa adanya. Maka sebelum membahas lebih rinci mengenai hubungan
antara Sains, Agama dan Filsafat, perlu kiranya terlebih dahulu kita membahas
sepintas apa yang dinamakan Sains, Agama maupun Filsafat. Yang lebih
jelasnya akan diterangkan dibawah ini.Sains merupakan pengetahuan yang
dikumpulkan manusia melalui penggunaan akalnya yang sistematis, obyektif
dan disusun menjadi bentuk pola yang teratur. Berangkat dari persoalan
tersebut, dalam mencoba menjelaskan hubungan filsafat dan Sains, terlebih
dahulu kita perlu mengenal relevansi dan perbedaan keduanya. Namun
sebelum masuk pada inti pembahasan, perlu kiranya kita mengetahui
bagaimana sejarah kuno dalam melahirkan peradapan yang tinggi, sehingga
membawa pertumbuhan dan perkembangan ilmu seperti sekarang ini.
Dari uraian di atas kita dapat mengetahui perbedaan ilmu dan filsafat
serta hubungan satu sama lainnya sebagai hubungan mutlak tunggal. Filsafat
nampak jelas pada bagian-bagian yang disebut ilmu. Sedangkan teori ilmu
tidak boleh disebut filsafat. Bagaimana kita bisa mengenal ilmu kalau kita tidak
mengenal filsafat dalam arti yang luas dan universal. Ilmu hanya bisa
dilahirkan dengan berfilsafat melalui penalaran yang mendalam dari
pengalaman-pengalaman yang ditemukannya.
Dalam hal hubungan antara filsafat dan ilmu seperti yang diuraikan di
atas, Ir poedjawijatna menyatakan bahwa filsafat dan ilmu bertemu pada objek
materia dan yang membedakan adalah objek formalnya. Batasnya jadi terang,
akan tetapi dalam praktek sering juga ada kekacauan. Hal ini tidak
mengherankan sebab yang diselidiki objeknya sama, sedang yang menyelidiki
juga sama yaitu manusia. Manusia yang ingin tau tidak selalu sadar akan batas
tugas dan batas bidang ilmu yang menjadi wilayahnya masing-masing.
Memang sebaliknya harus diakui, bahwa batas ini dalam teoripun tidak selalu
jelas, atau harus ada kesediaan dari pihak ilmu maupun filsafat untuk tidak
mencampurkan tugas dan wilayahnyamasing-masing.
17
Adapun Hubungan antara filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang
dekat dan baik, dan kadang-kadang jauh dan buruk. Ada kalanya para
agamawan merintis perkembangan filsafat. Ada kalanya pula orang beragama
merasa terancam oleh pemikiran para filosof yang kritis dan tajam. Para filosof
sendiri kadang-kadang memberi kesan sombong, sok tahu, meremehkan wahyu
dan iman sederhana umat. Kadang-kadang juga terjadi bentrokan, di mana
filosof menjadi korban kepicikan dan kemunafikan orang-orang yang
mengatasnamakan agama. Adapun beberapa kasus yang dialami oleh beberapa
philosof sebagai berikut:
e. Giordano Bruno dibakar pada tahun 1600 di tengah kota Roma. Sedangkan
di zaman moderen tidak jarang seluruh pemikiran filsafat sejak dari
Auflklarung dikutuk sebagai anti agama dan atheis.
Pada akhir abad ke-20, situasi mulai jauh berubah. Baik dari pihak filsafat
maupun dari pihak agama. Filsafat makin menyadari bahwa pertanyaan-
pertanyaan manusia paling dasar tentang asal-usul yang sebenarnya, tentang
makna kebahagiaan, tentang jalan kebahagiaan, tentang tanggungjawab dasar
manusia, tentang makna kehidupan, tentang apakah hidup ini berdasarkan
sebuah harapan fundamental atau sebenarnya tanpa arti, paling-paling dapat
18
dirumuskan serta dibersihkan dari kerancuan-kerancuan, tetapi tidak dapat
dijawab. Keterbukaan filsafat, termasuk banyak filosof Marxis, terhadap agama
belum pernah sebesar dewasa ini.
19
keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan
orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan.
Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama.
Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin
tidak dapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat
di hati, jalan satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan
anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda.
Pola ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini, kebenaran
ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi
juga tidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan
dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali.
mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung pengembangan
iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan demikian pula
sebaliknya. Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif.
Terjadinya pola hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan
antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang
tidak sekuler. Secara teori, pola hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud:
ajaran agama mendukung pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak
mendukung ajaran agama, pengembangan iptek.
20
Agama menamakan kepercayaan, keyakinan yang disebut aqidah (teologi)
dengan dasar kebenarannya adalah wahyu tuhan yang terkandung dalam kitab
suci-Nya. Tujuan teologi dengan uraian yang metodis berusaha mengolah isi
kepercayaan itu menjadi suatu kebulatan yang bersistematik ilmiah.
21
filsafat tidak pernah bertentangan dengan kebenaran yang di wahyukan atau
manentang kesimpulan yang didasarkan atas fundamental teologi. Kerena
sesuatu itu tidak bisa sekaligus benar atau salah. Jadi teologi merupakan
norma-norma negatif bagi filsafat dalam arti bahwa teologi tidak menerima
dalil-dalil yang mengandung kemungkinan terhadap kebenaran yang telah
dibuktikan secara teologis. Sementara itu, A hanafi, M.A dalam bukunya
pengantar filsafat islam menyatakan pandangan al-Farabi bahwa tujuan filsafat
dan agama bagi al-Farabi adalah sama. Yaitu mengetahui semua wujud. Hanya
saja filsafat memakai dalil-dalil yang diyakini dan ditunjukkan oleh golongan
tertentu, sedang agama memakai cara Iqna'i (pemuasan perasaan) dan kiasan-
kiasan serta gambaran yang ditujukan kepada semua orang, bangsa dan negara.
Prof Ir Poedjawijatna dalam membicarakan kebenaran mengatakan sebagai
berikut:
Kebenaran sesuatu dalam agama tergantung kepada diwahyukan atau
tidaknya. Yang diwahyukan Tuhan haruslah dipercayai, oleh karena itu agama
disebut kepercayaan. Alasan filsafat untuk menerima kebenaran bukanlah
kepercayaan, akan tetapi penyelidikan sendiri. Filsafat tidak mengingkari atau
mengurangi wahyu, tetapi tidak mendasarkan pennyelidikannya atas wahyu.
Mungkin ada beberapa hal yang masuk kewilayah agama yang juga diselidiki
filsafat. Selanjutnya dikatakan bahwa antara filsafat dan agama pada pada
prinsipnya tidak ada pertentangan, karena kalau kedua-duanya memang
mempunyai kebenaran, maka kebenaran itu tentulah satu dan tidak mungkin
berbeda. Tak mungkin sesuatu itu pada prinsipnya benar dan tidak benar. Pada
akhirnya secara tegas dikatakan bahwa lapangan agama dan filsafat dalam
beberapa hal mungkin sama, akan tetapi pada dasarnya amat berlainan. Filsafat
berdasarkan fikiran, sedangakan agama berdasarkan atas wahyu. 2) Kita tidak
dapat mengatakan bahwa kepercayaan agama itu telah memberi pengaruh yang
positif terhadap filsafat. Bukanlah filsafat telah mengalami perubahan dasar
sehingga benar-benar dinamakan agamis, dan dengan begitu dia bukan filsafat
yang sebenarnya lagi.bdi tinjau dari sejarah, agama islam, yahudi maupun
kristen yang mengajarkan tentang hidup telah memberi pengaruh yang dalam
22
pada pikiran-pikiran filsafat terutama terhadap pikiran-pikiran mereka yang
menganut agama tersebut. Memang kepercayaan agama dari luar dapat
memberi arah kepada seseorang filosof dengan mengemukakan suatu obyek
(tujuan) yang akan dicapai seperti menyusun suatu pembuktian tentang adanya
Tuhan, mencari perbedaan antar alam, pribadi dan sebagainya. Hendaknya kita
perhatikan bahwa suatu kebenaran baru masuk formal dalam pandangan
filsafat apabila dimengerti dengan segala realitas atau bila kita mampu
mencapai suatu proses discursive (berpisah dari satu objek ke objek yang lain)
Apabila kita umpamanya meyakinkan bahwa Tuhan itu ada maka dalil ini
hanya akan diambil dari filsafat dengan ukuran dimana kita membayangkan
akan membuktikannya dengan alat-alat ilmiah, jika tidak begini keadaannya
maka kebenaran dalil itu bagaimanapun juga dasarnya adalah tidak filosofis.
Karena itu, maka arah positif yang dapat diberikan oleh teologi pada filsafat
bagaimanapun harganya adalah tetap hanya merupakan suatu keadaan yang
membawa filsafat kedalam suatu suasana. Kepercayaan merupakan sesuatu
yang berjalan di muka filsafat tetapi bediri di luar apa yang merupakan aktifitas
filsafat yang sebenarnya. Seperti yang diberitahukan oleh agama-agama
samawi maka kita berada pada neveau (tingakatan) yang lebih tinggi dari
tingkatan akal murni. apabila teologi itu pada kenyataannya besifat agama
maka filsafat tidaklah demikian tetapi tetap bersifat rasional dan kemanusiaan
murni. Tetapi kebijaksanaan Tuhan tidaklah merusak aturan alam, bahkan
mengangkatnya.
23
Demikinlah perbedaan atau relevansi sains dengan filsafat dan filsafat
dengan agama, yang kesemuanya mempunyai titik ketersinggungan satu sama
lainnya, bahkan kesemuanya saling memperkuat. Hanya saja kesalahpahaman
terhadap ketiganya disebabkan oleh adanya wawasan yang sempit di antara,
ilmuan, filosof dan ulama-ulama.
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Makalah ini tidak lepas dari kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran
yang sangat membangun dalam penulisan makalah ini sangat penulis
butuhkan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hakim Nasution, Pengantar Filsafat Sains, Jakarta: Litera Antar Nusantara,
1989.
A.Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Andi Hakim Nasution, Pengantar Filsafat Sains, Jakarta: Litera Antar Nusantara
1989.
Hamzah Abbas, PengantarFilsafatAlam, Surabaya: al-Ikhlas, 1981.
26