Anda di halaman 1dari 13

INTEGRASI ILMU DALAM KONSEP BERPIKIR

Diajukan untuk melengkapi dan memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah IDI / Kependidikan Islam 1

Dosen Pengampu : Ika Rohilah, S.Ag., M.Si

Kelompok 1
Disusun Oleh:
Adryani Br Ginting 1901105113
Fathimah Nur Ikrom 1901109007
Mardhiyah Yunita 1801105132
Muhammad Rizky P 1901105030

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah tentang ” Integrasi Ilmu dalam Konsep Berpikir” dengan sebaik-
baiknya guna menyelesaikan tugas mata kuliah IDI / Kependidikan Islam 1. Penulis mengucapkan
terimakasih kepada berbagai pihak karena tanpa bantuan dari berbagai pihak, kami tidak dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan senang hati
kami menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kami. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat tidak hanya bagi penulis juga bagi para pembaca.

Jakarta, 24 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….………………… ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah 1
C. Tujuan penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Konsep dan Metode Berpikir 2
B. Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu 4
C. Integrasi Tauhid dalam Konsep Berpikir yang Sistematis dan Komprehensif 5
BAB III PENUTUP 8
A. Kesimpulan 8
DAFTAR PUSTAKA 9
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Ilmu atau ilmu pengetahuan dalam arti positif adalah pengetahuan yang ilmiah, yaitu
pengetahuan dengan sistem dan metode tertentu yang secara sadar menuntut kebenaran. Karl
Pearson mendeskripsikan ilmu pengetahuan sebagai sebuah kegiatan yang secara progresif
manusia lakukan dengan metode tertentu untuk menemukan jawaban-jawaban dari rahasia alam
semesta kemudian melukiskan lapangan yang seluas-luasnya dengan kata-kata secukupnya.
Segala wujud yang ada dengan segala bentuk dan karakternya pada hakikatnya adalah satu dan
sama. Hal yang membedakan hanyalah gradiasi yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensi
atau hal-hal yang pokok. Oleh karena itu tauhid dapat diintegrasikan dengan objek-objek ilmu,
sumber-sumber ilmu, metodologi ilmiah, klasifikasi ilmu, dan pengalaman manusia.

B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan Konsep dan Metode Berpikir ?
2. Apa yang dimaksud dengan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu ?
3. Apa yang dimaksud dengan Integrasi Tauhid dalam Konsep Berpikir yang Sistematis
dan Komprehensif ?

C. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah yaitu:
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Konsep dan Metode Berpikir ?
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu ?
3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Integrasi Tauhid dalam Konsep Berpikir yang
Sistematis dan Komprehensif ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep dan Metode Berpikir

Ilmu atau ilmu pengetahuan dalam arti positif adalah pengetahuan yang ilmiah,
yaitu pengetahuan dengan sistem dan metode tertentu yang secara sadar menuntut
kebenaran. Karl Pearson mendeskripsikan ilmu pengetahuan sebagai sebuah kegiatan
yang secara progresif manusia lakukan dengan metode tertentu untuk menemukan
jawaban-jawaban dari rahasia alam semesta kemudian melukiskan lapangan yang seluas-
luasnya dengan kata-kata secukupnya. Ilmu pengetahuan adalah hasil usaha manusia
dengan kekuatan akal budinya untuk memahami hal-hal berikut: (1) kenyataan alam
semesta; (2) struktur alam semesta; dan (3) hukum yang berlaku di alam semesta.
Filsafat merupakan ilmu khusus yang mencoba menjawab masalah-masalah yang
tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena masalah tersebut ada di luar
jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Tujuan dari ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama
adalah sama yaitu menemukan kebenaran. Perbedaan dari ketiganya adalah dasar dan
metode dalam mencapai atau menemukan kebenaran tersebut. Ilmu pengetahuan positif
mencari kebenaran dengan akal dan landasan empiris, eksperimen, maupun riset. Filsafat
mencapai kebenaran dengan cara menuangkan akal secara radikal dan integral dengan
tidak terikat oleh apa pun kecuali logika. Agama seperti yang kita ketahui berorientasi
pada kitab suci dan wahyu Allah Swt. yang merupakan firmanNya untuk seluruh
manusia.
Filsafat modern yang dibutuhkan dalam setiap ilmu pada masa kini awalnya
berasal dari filsafat ilmu yang diperkenalkan sekitar abad ke-19 oleh sekelompok ahli
ilmu pengetahuan Universitas Wina. Filsafat ilmu atau philosophy of science membahas
dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan
pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan menurut Lewis White Beck. Menurut
Yuyun dalam bukunya Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer filsafat ilmu merupakan
bagian dari epistemologi atau filsafat pengetahuan yang secara khusus mengkaji hakikat
ilmu, seperti:
a. Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut?
Bagaimana hubungan antara objek tersebut dengan daya tangkap manusia
sehingga menghasilkan suatu pengetahuan? (ontologis)
b. Bagaimana proses mendapatkan pengetahuan tersebut? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan sehingga pengetahuan yang
kita dapatkan benar? Apa saja kriterianya? Apakah yang disebut kebenaran
itu? Adakah kriteria dari suatu kebenaran tersebut? Cara, teknik, atau sarana
apa yang dapat membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa
ilmu? (epistemologis)
c. Apakah fungsi pengetahuan yang berupa ilmu tersebut? Bagaimana kaitan
antara cara penggunaan pengetahuan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan langkah
operasional dalam metode ilmiah dengan norma-norma moral ataupun
profesional? (aksiologis).
Secara historis, filsafat merupakan mother of science atau induk dari segala ilmu
yang sejalan dengan pendapat Descartes bahwa prinsip-prinsip dasar ilmu diambil dari
filsafat. Dalam perjalanannya sendiri, ilmu tidak dipandang sebagai sesuatu yang final.
Ilmu perlu dikritisi dan dikaji dengan tujuan menempatkan ilmu secara tepat dalam batas-
batasnya, membantu menghindarkan anggapan bahwa ilmu adalah sesuatu yang mutlak
dan satu-satunya kebenaran di muka bumi, serta menyertakan ilmu dalam peradaban
manusia. Filsafat ilmu selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar atau
radikal terhadap ilmu seperti tentang apa ciri-ciri spesifik yang menyebabkan sesuatu
disebut ilmu, apa perbedaan ilmu dengan pengetahuan biasa, bagaimana cara
memperoleh ilmu, serta pertanyaan lainnya yang bertujuan untuk membongkar serta
mengkaji asumsi-asumsi ilmu yang biasanya kita terima begitu saja (taken for granted).
Filsafat ilmu pada praktiknya adalah jembatan bagi filsafat dengan ilmu yang dapat
menjawab secara radikal dan holistik (melihat sesuatu dari berbagai segi) masalah yang
tidak bisa dijawab oleh ilmu.
Sebagai umat Muslim, dengan menggunakan pedoman hidup kita yaitu Al-
Qur’an, ada beberapa prinsip dasar berpikir dalam filsafat tersebut, yaitu:
1. Berpegang teguh pada etika ulul albab, yaitu orang-orang yang mampu
menggali segala potensi yang ada di alam ini kemudian menggunakan potensi
pikir dan potensi dzikir secara seimbang.
2. Memikirkan, memahami, menghayati, dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat
Allah Swt. sebagai objek pikir, baik ayat kauniyah dan segala hukumnya
(realitas alam dan hukum alam) maupun ayat Qur’aniyah. Langkah-langkah
dalam proses berpikir ini dapat kita rincikan sebagai berikut:
a. al-taharrur min quyudi al-‘urf wat-takholush ‘an aghlalit-taqlid, yaitu
membebaskan pemikiran dari belenggu taqlid (mengikuti pendapat
tertentu tanpa mengetahui kebenarannya) serta menggunakan kebebasan
berpikir sesuai dengan prinsip-prinsip pengetahuan atau dapat disebut
sebagai metode ilmiah praktis (QS. Al-Baqarah (2): 170).
b. al-ta’amul wa al-musyahadah, yaitu merenungkan dan mencari bukti atau
data empirik sehingga menunjukkan bahwa pendapat yang tidak
disertakan pembuktian praktis secara logis tidak akan diterima (QS. Al-
An’am (6): 64; QS. Az-Zukhruf (43): 19).
c. al-bahts wa al-muwajanah wa al-istiqra, yaitu menganalisis,
mempertimbangkan, dan menginduksi atau menalarkan sesuatu dengan
prinsip-prinsip tertentu dalam menemukan kebenaran filosofis dari data-
data empirik yang ditemukan (QS. Al-A’raaf (7): 185).
d. al-hukm mabni alad-dalil wa al-burhan, yaitu membuat keputusan ilmiah
yang berdasar pada argumen dan bukti ilmiah yang ditemukan, menolak
pemikiran yang berdasar pada hawa nafsu serta subjektivitas (QS. An-
Najm (53): 23; QS. Al-Qoshosh (28): 50).
e. langkah-langkah tersebut dilakukan secara terpadu dengan tiga potensi
instrumen yaitu: (1) ketajaman indera; (2) analisa penalaran yang
sistematis; dan (3) kejernihan nurani yang terilhami.
Agar terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir, Al-Qur'an juga
meletakkan kaidah-kaidah metodologis dalam menggunakan akal. Kaidah-kaidah itu
antara lain sebagai berikut:
a. 'adam tajawuz al-had (tidak melampau batas)  
b. al-taqdir wat-taqrir (membuat perkiraan dan penetapan)
c. takhsis qobl al-bahts (membatasi persoalan sebelum melakukan  penelitian)
d. 'adam al-mukabarah wa al-'inad (tidak sombong dan tidak menentang
kebenaran)
e. al-muraja'ah wa al-mu'awadah (melakukan check dan re-check)
f. al-istimsaq bi al-haq (berpegang teguh pada kebenaran)
g. al-bu'd 'an al-ghurur (menjauhkan diri dari tipu daya).
Selain itu, kita juga dapat menggunakan metode filsafat Islam yang sudah
dikembangkan oleh para filsuf Muslim, sebab filsafat dakwah merupakan bagian dari
filsafat dan di dalamnya terdapat empat macam metode yang dapat digunakan bagi
filsafat dakwah, yaitu sebagai  berikut:
a. metode deduktif, metode ini mengandalkan deduksi rasional dan demonstrasi
b. metode iluminasi, metode ini selain bersandar pada deduksi rasional dan
demonstrasi juga bersandar pada usaha penyucian jiwa (nafs) dalam
menemukan realitas yang mendasari alam semesta
c. metode pengembaraan, metode ini bersandar semata pada penyucian  jiwa
berdasarkan konsep menempuh jalan menuju Tuhan dan mendekati
kebenaran.
d. metode kalam, metode ini bersandar pada deduksi rasional disertai prinsip
kelembutan dan mendahulukan segala sesuatu yang lebih baik.
B. Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu

1. Ontologi
Ontologi adalah bagian filsafat yang paling umum. Ontologi berasal dari kata
"onthos" yang berarti berada dan "logos" yang berarti ilmu. Ontologi membahas tentang
yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat pada setiap kenyataan
yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Setelah menjelajahi segala bidang
utama dalam ilmu filsafat, seperti filsafat manusia, alam dunia, pengetahuan, kehutanan,
moral dan sosial, kemudian disusunlah uraian ontologi. Ontologi akan sangat sulit
dipahami jika terlepas dari bagian-bagian dan bidang filsafat lainnya. Jadi bisa
disimpulkan bahwa ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu yang
ada sehingga sesuatu tersebut bisa dipercaya masyarakat. Aspek ilmu pengetahuan dalam
hal ini ditentukan oleh metodis, sistematis (saling berkaitan), dan rasional (berdasarkan
fakta).

2. Epistemologi
Pengetahuan manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat
yang kukuh tentang semesta dan dunia. Salah satu perdebatan besar dalam perkembangan
pengetahuan adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan asal-usul
pengetahuan dengan meneliti, mempelajari, dan mencoba mengungkapkan prinsip-
prinsip kekuatan struktur pikiran yang dianugerahkan kepada manusia sehingga dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Bagaimana pengetahuan itu muncul dalam diri
manusia? Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran dan
konsep-konsep yang muncul sejak dini? Apa sumber yang memberikan kepada manusia
arus pemikiran dan pengetahuan ini?
Pengetahuan yang telah didapatkan dari aspek ontologi selanjutnya digiring ke
aspek epistemologi untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan ilmiah yang dimulai ketika
manusia mengamati sesuatu. Epistemologi berasal dari kata "episteme" yang berarti
pengetahuan dan "logos" yang berarti pemikiran. Persoalan utama yang dihadapi oleh
setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana cara mendapatkan
pengetahuan yang benar dengan mempertimbangkan aspek ontologi dan aksiologi
masing-masing ilmu. Epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan
ilmu pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan
pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran, dan apa saja kriterianya.
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang,
bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, sehingga
berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal.
Epistemologi dari metode keilmuan akan lebih mudah dibahas apabila mengarahkan
perhatian kita kepada sebuah rumus yang mengatur langkah-langkah proses berpikir yang
terurut yaitu: (1) sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah; (2) pengamatan
dan pengumpulan data yang relevan; (3) penyusunan atau klarifikasi data; (4) perumusan
hipotesis; (5) deduksi dari hipotesis; dan (6) tes pengujian kebenaran atau verifikasi.
Jadi, epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang membahas tentang ilmu
pengetahuan yang mengarah pada pengetahuan atau teori ilmu pengetahuan dengan
membahas unsur-unsur ilmu pengetahuan antara lain seperti mengetahui, diketahui, serta
kesadaran mengenai sesuatu yang diketahui. Dalam aspek pendidikan, epistemologi
berkaitan dengan metode yang diberikan oleh guru contohnya, kita harus tahu mengapa
pendidikan itu harus didirikan dan apa yang melatarbelakangi pendidikan di negara ini.

3. Aksiologi
Setelah pembahasan di atas, mungkin akan muncul pertanyaan: apakah kegunaan
ilmu tersebut untuk kita? Apakah jawabannya selalu memberikan keuntungan atau
menyelamatkan manusia? Saat mempelajari atom kita bisa memanfaatkan wujud tersebut
sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, tetapi untuk pihak lain hal ini bisa
juga dimanfaatkan sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom
yang dapat menimbulkan malapetaka. Jadi yang menjadi landasan dalam aksiologi adalah
pertanyaan-pertanyaan berikut: Untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana
hubungan penggunaan ilmiah dengan moral dan etika? Bagaimana penentuan objek yang
diteliti secara moral? Bagaimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan
kaidah moral?
Aksiologi berasal dari kata "axios" yang berarti nilai dan "logos" yang berarti
pemikiran. Masalah nilai dan moral dalam menghadapi perkembangan ilmu dan
teknologi yang bersifat destruktif dipandang ilmuwan dalam dua pendapat yang berbeda.
Golongan pertama menginginkan ilmu netral dari nilai-nilai baik secara ontologis,
epistemologis, maupun aksiologisnya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas
ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, namun dalam penggunaannya harus
berlandaskan pada nilai dan moral. Einstein pada akhir hayatnya bahkan tidak dapat
menemukan agama mana yang sanggup menyembuhkan ilmu dari kelumpuhannya dan
begitu pula moral universal manakah yang dapat mengendalikan ilmu. Untuk inilah kita
sebagai umat Muslim memiliki jawaban tersendiri, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Terdapat
dua hal yang merupakan inti dari aksiologi yaitu etika (yang bersumber dari Al-Qur'an
dan Hadits) dan estetika (yang doktrinnya berasal dari agama).

C. Integrasi Tauhid dalam Konsep Berpikir yang Sistematis dan Komprehensif

1. Integrasi di Bidang Sumber Ilmu


Integrasi di bidang objek-objek ilmu juga bisa berimplikasi pada integrasi di
bidang sumber ilmu. Objek ilmu tidak terbatas hanya pada objek-objek fisik yang bisa
ditangkap oleh indera-indera manusia, kita juga perlu mencari sumber atau alat lain yang
mampu membuka dunia-dunia non fisik yang indera-indera lahiriah manusia tidak bisa
berfungsi secara maksimal. Oleh karena itu, sejalan dengan integrasi di bidang objek-
objek ilmu, maka sumber ilmu juga harus diperluas meliputi akal, hati, dan wahyu.
Akal dapat menjadi sumber ilmu yang sah untuk hal-hal yang bersifat non fisik
karena kemampuannya untuk menangkap hal-hal yang bersifat abstrak yang disebut
ma’qulat (the intelligibles), sebagaimana indera mampu menangkap hal-hal yang bersifat
makhsusat (benda-benda inderawi/fisik). Akal bisa menjadi sumber ilmu yang kaya,
tetapi juga bersifat terbatas. Karna keterbatasan akal, kita juga memerlukan sumber ilmu
lain yang lebih langsung menyentuh jantung objeknya, yaitu intuisi atau hati, yang
perolehan tertingginya adalah wahyu. Wahyu tentunya harus kita jadikan sebagai sumber
yang kaya dan otoritatif bagi ilmu, khususnya yang berkaitan dengan hal-hal yang ghaib,
karena ia berasal dari Tuhan yang menciptakan alam-alam ghaib tersebut dan
memberitakan mereka lewat firman-firmanNya yang agung. Dengan demikian,
epistimologi Islam telah mencoba mengintegrasikan seluruh sumber ilmu yang bisa
dimiliki manusia dalam suatu kesatuan yang utuh dan holistik.
2. Integrasi di Bidang Metode Ilmiah
Pembatasan objek ilmu oleh sains modern pada benda-benda fisik membuat
metode utamanya adalah observasi melalui indera-indera manusia. Observasi ini bisa
dilakukan melalui alat bantu seperti teleskop atau mikroskop, tetapi jelas dasarnya bahwa
observasi indera melalui proses eksperimen. Namun seperti yang sudah kita bahas
sebelumnya bahwa objek ilmu tidak terbatas hanya pada dunia inderawi tetapi juga yang
non inderawi, metode ilmiah juga harus dikembangkan pada metode-metode yang bisa
digunakan untuk mengamati atau mempelajari entitas-entitas non inderawi sehingga
metode observasi tidak berfungsi.
Dengan demikian, para filsuf muslim mencoba metode demonstratif (burhani),
untuk bisa menangkap objek-objek non-fisik, seperti jiwa, Tuhan, dan malaikat serta
konsep universal yang ada pada dirinya yang bersifat immateriil (matematik dan
metafisik). Akibatnya, benda-benda yang bersifat non fisik juga bisa ditangkap oleh
metode rasional sehingga dapat terbentuk rangkaian metodologi ilmiah yang lebih
lengkap dan menyeluruh. Untuk melengkapi rangkaian metode ilmiah ini, para pemikir
muslim seperti Ibnu Khaldun dan Mulla Shadra, telah menambahkan metode lain di
samping metode eksperimen (tajribi) dan demonstrasi (burhani) yaitu metode irfani atau
yang dikenal juga sebagai pengetahuan melalui kehadiran (ilm hudhuri) mengingat
terbatasnya kemampuan kedua metode tersebut. Dengan ketiga metode di atas sebagai
sebuah kesatuan yang menyeluruh, maka manusia mungkin bisa menangkap semua
realitas atau wujud dari yang bersifat materi, imajinal, sampai pada wujud yang sama
sekali immateriil atau spiritual sehingga tercapainya integrasi ilmu di bidang
metodologis.

3. Integrasi di Bidang Klasifikasi Ilmu-ilmu Filosofis


Selain di bidang objek, sumber, dan metode, konsep tauhid juga dapat menjadi
basis klasifikasi ilmu-ilmu filosofis (rasional). Objek-objek ilmu yang beragam mulai
dari objek-objek yang bersifat fisik, matematik, dan metafisik, tentu memerlukan disiplin
ilmu tertentu yang cocok untuk berbagai jenis wujud. Misalnya, objek-objek fisik tertentu
memerlukan cabang-cabang ilmu tertentu yang cocok dengan objek-ojek tersebut, seperti
mineralogi untuk benda-benda mineral, zoologi untuk hewan-hewan, dan lain-lain.
Begitu juga dengan objek-objek yang non fisik, seperti konsep-konsep yang abstrak dari
benda-benda fisik juga memerlukan bidang-bidang ilmu khusus, yaitu matematika yang
terbagi dalam aritmatika, aljabar, kalkulus, geometri, trigonometri, dan lain-lain. Adapun
objek-objek immateriil memerlukan bidang ilmu khusus yang disebut metafisika,
meliputi kajian ilmu tentang wujud yang disebut ontologi, tentang struktur alam semesta
yang disebut kosmologi, tentang filsafat manusia yang disebut antropologi, dan ilmu
tentang nasib jiwa setelah kematian yang disebut eskatologi.
Dengan demikian, timbullah klasifikasi ilmu yang lebih komprehensif yang
meliputi berbagai tingkat wujud dari yang fisik hingga yang metafisik yang dikenal
sebagai kelompok ilmu-ilmu fisika, matematika, dan metafisika. Selain ilmu-ilmu teoritis
tersebut juga terdapat ilmu-ilmu yang bersifat lebih praktis, seperti etika, ekonomi, dan
politik, serta ilmu-ilmu sosial yang mengkaji pola hubungan interaksi manusia dengan
sesama, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, dan lain-lain dalam sebuah kesatuan yang
holistik dan komprehensif karena berdasar pada prinsip kesatuan wujud yang merupakan
ekspresi tauhid itu sendiri.
4. Integrasi Bagi Pengalaman Manusia
Penerimaan akan objektivitas dan validitas pengalaman manusia (dalam hal ini
pengalaman inderawi) oleh sains modern sebagai sumber ilmu, dan penolakan terhadap
pengalaman-pengalaman manusia lainnya dapat menjadi hambatan yang tidak hanya bagi
keutuhan pengalaman manusia yang multidimensional melainkan juga dalam kaitannya
dengan sumber yang beragam dari berbagai jenis pengalaman bagi integrasi sumber ilmu.
Jika hanya pengalaman inderawi yang diterima sebagai sumber ilmu, sistem kita akan
sangat timpang karena harus menolak pengalaman-pengalaman asli manusia di bidang
lain seperti mental, intelektual, dan spiritual yang juga sangat kaya ilmu. Dengan
demikian, untuk menjaga integrasi ilmu di bidang yang bermacam-macam ini, kita perlu
mengakui validitas dari beragam pengalaman manusia mulai yang sensual hingga yang
spiritual jika kita ingin memiliki gambar realitas yang lebih utuh.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Filsafat merupakan ilmu tertua yang juga menjadi induk ilmu pengetahuan lain atau
mother of science. Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa
pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan
implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Filsafat
ilmu sangat berkaitan erat dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Tauhid merupakan prinsip utama integrasi ilmu. Tauhid mendasari integrasi objek ilmu,
sumber ilmu, dan metodenya. Konsep tauhid diambil dari formula Islam “La Ilaaha Illallah”
yang artinya “tidak ada Tuhan selain Allah”.
Segala wujud yang ada dengan segala bentuk dan karakternya pada hakikatnya adalah
satu dan sama. Hal yang membedakan hanyalah gradiasi yang disebabkan oleh perbedaan dalam
esensi atau hal-hal yang pokok. Oleh karena itu tauhid dapat diintegrasikan dengan objek-objek
ilmu, sumber-sumber ilmu, metodologi ilmiah, klasifikasi ilmu, dan pengalaman manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Saifuddin. (2004). Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma
dan Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Arroisi, Jarman. (2013). Integrasi Tauhid dan Akhlak dalam Pandangan Fakhrudin Ar-Razi.
Jurnal Tsaqafah, 9 (2). Gontor: Institut Studi Darussalam Gontor.

Aulia, Rihlah Nur. (2015). Berfikir Filsafat: Sebagai Pembentukan Kerangka Berfikir Untuk
Bertindak. Jurnal Studi Al-Qur’an: Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani, 11 (). Jakarta:
Universitas Negeri Jakarta.

Bahrum, B. (2013). Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Sulesana: Jurnal Wawasan


Keislaman, 8(2), 35-45.

Herispon. (2015). Filsafat Ilmu. Padang: Universitas Andalas.

Anda mungkin juga menyukai