Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PARADIGMA ILMU : TEGAKNYA TEORI – TEORI


KEILMUAN POSITIVISME, POSTPOSITIVISME,
KONSTRUKTIVISME, dan CRITICAL THEORY

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Berfikir Kritis

Dosen Pengampu:

Sri Mulyati, S.ST.,M.Keb

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Annisa Andriani Farah Salsabila


Azizah Fitrah Maulana Sari Nurul Hidayah
Elga Nurmaisya Indri Octaviani Chakti
Findawati Intan Febri Ayu Santika
Fricy Aswan Ditiara Vivi Ardianti Putri
Ilfa Tiara Milsa Ketut Selpi Purwani

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
PROFESI BIDAN
2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
Paradigma Ilmu: tegaknya teori-teori keilmuan Positivisme, Postpositivisme,
Konstruktivisme, Critical theory ”.

Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka


menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai berfikir kritis. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat bermanfaat bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Bandung, November 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Contents

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 1
BAB II 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
1. Positivisme 15
2. Postpositivisme 18
3. Konstruktivisme 19
4. Chritical Teory
BAB III
PENUTUP 24
A. Kesimpulan 24
DAFTAR PUSTAKA 25

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masalah ilmu pengetahuan mungkin menjadi masalah terpenting
bagi kehidupan manusia. Hal ini menjadi ciri manusia karena manusia
senantiasa berkesistensi. Seorang ilmuwan selalu bekerja dengan
paradigma tertentu dan teori-teori ilmiah dibangun bersadarkan
paradigma dasar. Dalam proses keilmuan, paradigma ilmu memegang
peranan yang penting. Paradigma menggariskan apa yang harus dipelajari,
pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan dan kaidah-
kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang
diperoleh. Melalui sebuah paradigma ilmuwan dapat memecahkan
kesulitan-kesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul
begitu banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka
ilmunya sehingga menuntut adanya revolusi paradigmatik terhadap ilmu
tersebut.
Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara revolusioner bukan
secara kumulatif sehingga faktor sosiologis historis serta psikoligis ikut
berperan. Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi, ada empat
paradigma ilmu yang dikembangkan oleh para ilmuwan dalam
menemukan atau ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini.
Paradigma ilmu tersebut adalah : positivisme,post positivisme,
konstruktivisme, dan critical teory. Paradigma membantu seseorang
dalam merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang
harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam
menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana paradigma pengembangan ilmu pengetahuan?
2. Apa yang dimaksud dengan positivisme?
3. Apa yang dimaksud dengan post positivisme?
4. Apa yang dimaksud dengan konstruktivisme?
5. Apa yang dimaksud dengan critical teory?

1.3. Tujuan Pembahasan

4
1. Mengetahui dan memahami paradigma pengembangan ilmu
pengetahuan
2. Mengetahui dan memahami mengenai positivisme
3. Mengetahui dan memahami mengenai post positivisme
4. Mengetahui dan memahami mengenai konstruktivisme
5. Mengetahui dan memahami mengenai critical teory

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. POSITIVISME

Positivisme merupakan pradigma ilmu pengetahuan yang paling awal


muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar
dari paham ontologi yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam
kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya
penelitian dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas
yang ada dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme
muncul abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah
yang ada dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme
muncul abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah
karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The course of positive
philosophy (1830-1842).
Positivisme merupakan peruncingan tren pemikiran sejarah barat
modern yang telah mulai menyingsing sejak ambruknya tatanan dunia Abad
pertengahan, melalui rasionalisme dan empirisme. Positivisme adalah
sorotan yang khususnyaterhadap metodologi dalam refleksi filsafatnya.
Dalam positivisme kedudukan pengetahuan diganti metodologi, dan satu-
satunya metodologi yang berkambang secara menyakinkan sejak
renaissance, dan sumber pada masa Aufklarung adalah metodologi ilmu-ilmu
alam. Oleh karena itu, positivisme menempatkan metodologi ilmu alam pada
ruang yang dulunya menjadi wilayah refleksi epistemology, yaitu
pengetahuan manusia tentang kenyataan (Budi Hardiman, 2003 : 54).
Filsafat positivistik Comte tampil dalam studinya tentang sejarah
perkembangan alam fikiran manusia. Matematika bukan ilmu, melainkan alat
berfikir logik. Aguste Comte terkenal dengan penjenjangan sejarah
perkembangan alam fikir manusia, yaitu: teologik, metaphisik, dan positif.
Pada jenjang teologik, manusia memandang bahwa segala sesuatu itu hidup
dengan kemauan dan kehidupan seperti dirinya. Jenjang teologik ini
dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu (Muhadjir, 2001 : 70).
a. Animism atau fetishisme. Memandang bahwa setiap benda itu
memiliki kemauannya sendiri.
b. Polytheisme. Memandang sejumlah dewa memiliki menampilkan
kemauannya pada sejumlah obyek.
c. Monotheisme. Memandang bahwa ada satu Tuhan yang
menampilkan kemauannya pada beragam obyek
Meski Comte sendiri seorang ahli matematika, tetapi Comte
memandang bahwa matematika bukan ilmu, hanya alat berfikir logik, dan

6
matematika memang dapat digunakan untuk menjelaskan phenomena, tetapi
dalam praktik, phenomena memang lebih kompleks.

a. Kelebihan Positivisme.

1. Positivisme mengutamakan data kuantitatif berupa angka-angka


atau statistik. Data sangat penting dalam positivisme. Sebagai
contoh yang terjadi baru-baru ini adalah masalah pengungsi. Oleh
karena kurang atau tidak ada data atau angka yang jelas tentang
jumlah pengungsi korban Merapi yang tersebar di beberapa
wilayah, sehingga menyulitkan pendistribusian bantuan logistik.
Ada pengungsi yang memperoleh bantuan dan ada pula yang belum
atau tidak tersentuh bantuan. Untuk saat ini yang sangat positivistik
adalah Badan Pusat Statistik milik pemerintah yang menyediakan
bermacam data angka dari berbagai persoalan sosial, ekonomi dan
penduduk. Penulis sendiri merasa setengah positivistik, ketika
melakukan penelitian mengenai perkembangan lembaga perkreditan
pada masa kolonial. Sangat dibutuhkan data angka mengenai
jumlah pinjaman, jumlah peminjam, persentase pinjaman, rata-rata
jumlah pinjaman pada setiap tahun. Oleh karena datanya berupa
laporan per triwulan, sehingga harus dioleh menjadi data pertahun.
Namun untuk mengetahui alasan dan tujuan pinjaman, harus
menemukan data kualitatif.
2. Positivisme telah menyelesaikan sebagian persoalan, seperti dalam
bidang ekonomi. Dengan data ekonomi mampu memprediksi
keadaan ekonomi pada masa datang. Mampu menghasilkan hukum
ekonomi berdasarkan kejadian-kejadian yang telah terjadi.
3. Ilmu alam yang dianggap positif telah mempengaruhi ilmu-ilmu
sosial atau disebut ilmu-ilmu manusia (ilmu kemanusiaan). Ilmu-
ilmu manusia sama dengan ilmu-ilmu alam, karena sama-sama
berusaha menemukan secara khusus aspek-aspek yang dapat
diulangi dan berupaya bekerja sama dengan ilmu alam, misalnya
sosiologi bekerja sama dengan ekologi. Ilmu-ilmu manusia
dianggap memihak ilmu alam, sejauh perhatiannya pada aspek-
aspek realitas yang dapat diulangi, aspek-aspek yang menyangkut
tingkah laku manusia. Sebagai contoh, sosiologi menganalisa
realitas masyarakat dan berusaha merumuskan hukum-hukum,
walaupun hukum-hukum itu berlaku pada masyarakat yang
diselidiki. Hukum-hukum terikat dengan kebudayaan. Untuk
mampu bersifat universal, maka kebudayaan-kebudayaan dan

7
masyarakat- masyarakat yang berbeda dibandingkan dengan yang
lain. 28
4. Pengetahuan ilmiah harus bersifat obyektif, tidak dipengaruhi yang
berasal dari diri sendiri. Obyektivitas adalah satu-satunya jalan
untuk memperoleh atau mencapai kebenaran ilmiah. Ilmu
pengetahuan harus bersifat umum. Harus dapat dibuktikan dan
diujikan lebih dari satu orang dan atas dasar observasi. Ilmu
pengetahuan positif adalah intersubyektivitas (obyek pengetahuan
dalam keadaan bersih dari setiap pengaruh subyektif dari peneliti
yang muncul dalam hasilnya).29 Positivisme dalam ilmu alam
disebut bersifat obyektif, juga karena yang diteliti adalah fakta-
fakta yang dapat diteliti dengan panca indera. Tidak ada unsur
subyektif, karena ada jarak antara manusia sebagai peneliti dengan
obyek yang diteliti.
5. ilmu pengetahuan positivistis hanya berkaitan dengan hal-hal yang
berulangkali terjadi. Apabila ilmu-ilmu pengetahuan diarahkan
pada hal-hal yang unik dan hanya sekali terjadi, maka
pengetahuannya tidak membantu untuk meramalkan atau
memastikan hal-hal yang terjadi. Tehnologi modern diberbagai
bidang antara lain dalam bidang kedokteran, pertanian, industri,
didasarkan atas pengetahuan reaksi-reaksi yang berulang terjadi dan
telah diamati dalam kondisi tertentu. Dengan demikian reaksi yang
sama dapat diramalkan untuk masa datang. Alam tampak sebagai
susunan teratur yang pada dasarnya tidak berubah dalam kurun
waktu.30
6. ilmu pengetahuan positif menekankan pada alam dari segi saling
ketergantungan dan antar hubungannya. Semua kesatuan
berhubungan antara yang satu dengan yang lain dalam membentuk
sisitem. Kosentrasi pada relasi- relasi luar (eksternal), khususnya
relasi kausal antara benda-benda dan gejala- gejala. Unsur-unsur
alam tidak ditinjau dalam keadaan terpisah, misalnya tubuh
manusia dilihat oleh biologi sebagai sistem organ-organ yang saling
berhubungan dan ketergantungan serta memelihara keseimbangan
secara otomatis. Demikian juga dengan hutan sebagai sebuah
ekosistem dengan semua unsur flora fauna, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif akan membentuk suatu kesatuan lahiriah yang
keseimbangannya dipelihara dan dipertahankan melalui proses-
proses spontan.31
7. Ilmu pengetahuan dibangun oleh nalar dan observasi. Nalar yang
menjadi pembimbing dalam melakukan observasi.

8
8. Mampu menghasilkan hukum-hukum yang berlaku secara
universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebagai contoh yang
sederhana: air jika dipanaskan maka akan mendidih; zat cair jika
didinginkan akan membeku. Contoh hukum tersebut, sejak
ditemukan hingga kini dan sampai kapanpun akan berlaku mutlak.
9. Positivisme menghasilkan tehnologi dari yang tingkat sederhana
sampai yang modern. Tehnologi yang dihasilkan dapat bermanfaat
dan dinikmati oleh manusia dewasa ini. Berbagai macam produk
yang dihasilkan melalui tehnologi.
10 Cirinya adalah ilmiah. Dalam masyarakat ilmiah, segala macam
persoalan selalu diusahakan dipecahkan secara ilmiah. Dengan
demikian ilmu pengetahuan harus dinamis. Kebenaran ilmiah
berevolusi sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Tehnologi
adalah ilmu terapan. Tehnologi lebih dipengaruhi oleh lingkungan
fisik dan biotik dan tergantung pada lingkungan. Ilmu pengetahuan
dan tehnologi dipengaruhi oleh budaya, politik dan sosial budaya.
Dalam mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan juga
dipengaruhi oleh gaya pikir yang umum berlaku pada wilayah dan
jamannya. Gaya pikir dipengaruhi oleh jiwa jaman.32

b. Kelemahan Positivisme

Setiap ilmu pengetahuan memiliki kelebihan dan kekurangan, seperti


dua sisi mata uang yang selalu ada dan tidak bisa dihindarkan. Demikian
juga dengan ilmu pengetahuan. Positivisme memiliki beberapa kelemahan,
seperti berikut ini.
1. Positivisme pada hal-hal tertentu terlalu positivistik, karena terlalu
mengagung-agungkan ilmu alam serta menganggap ilmu
pengetahuan alam sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, hanya karena
obyek yang nyata dapat diteliti dan ditangkap dengan panca indera,
sehingga ilmu-ilmu di luar ilmu-ilmu alam dianggap ilmu metafisis.
Tidak mudah untuk menerapkan cara kerja ilmu-ilmu alam untuk
diterapkan dalam ilmu-ilmu yang lain, seperti dalam penelitian
sejarah, karena obyek yang diteliti adalah manusia yang telah lampau
yang memiliki, pikiran, perasaan yang diaktualkan dalam bentuk
tindakan. Hanya bisa diobservasi dari jejak yang ditinggalkan oleh
manusia, baik dalam bentuk tertulis maupun benda. Oleh karena itu
positivisme dalam ilmu-ilmu sosial berusaha untuk mengadopsi
beberapa metode yang dapat diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Hal

9
itu dikerjakan bukan bertujuan untuk menyamakan dengan ilmu
alam, paling tidak untuk mendekati keobjetivitas sebuah hasil
penelitian dan untuk menunjukkan bahwa bahwa hasil penelitian
ilmiah.
2. Positivisme selalu mengutamakan mengutamakan data statistik untuk
menunjukkan keilmiahan sebuah ilmu. Positivisme dalam ilmu-ilmu
sosial tidak hanya membutuhkan data kuantitatif, tapi juga data
kualitatif. Agar data kuantitatif mampu berbicara, maka dibutuhkan
data kualitatif. Saling ada hubungan timbal balik antara keduanya.
3. Pandangan mengenai penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu-
ilmu sosial dianggap sebagai saintisme. Dengan pengandaian-
pengandaian seperti netral, bebas nilai maka positivisme melestarikan
status quo konfigurasi masyarakat yang ada. Padahal penelitian harus
mendapatkan pengetahuan mengenai das Sein (apa yang ada) dan
bukan mengenai das Sollen (apa yang seharusnya ada). Pengetahuan
seperti itu akan digunakan untuk membuat rekayasa sosial,
menangani masyarakat sebagai perkara tehnis sama seperti
menangani alam.34
4. Jika ilmu pengetahuan positivisme digunakan untuk menghadapi
prilaku sosial, maka manusia menjadi obyek. Jika pranata dan
strukturnya dipandang sebagai obyek, maka bukannya pribadi-pribadi
melainkan peranan- peranan merupakan unit-unit struktur sosial.
Dengan demikian manusia eksistensinya akan mundur kebelakang
yang penampilannya hanya lahiriah. Penampilan, ketrampilan dan
prestasi akan diutamakan di atas kejujuran dan motivasi. Seperti
karya Rolf Dahrendonf “Homo Sociologius” menyebutkan bahwa
asosiasi sebagai yang berkaitan dan istilah peranan diartikan antara
lain peranan selalu diartikan sebagai sesuatu yang tersedia dari orang
yang menginginkannya yaitu pelaku. Peranan ada di luar orang yang
bersangkutan. Hal yang tersedia dapat dirumuskan dalam bentuk
sikap, gerak, tutur kata dan prilaku. Pola-pola prilaku sudah tersedia
sebelum dimainkan oleh pelaku. Dengan demikian peranan tidak
berhubungan dengan inti dari pelaku, tidak melibatkan kepribadian
atau batin. Jika suatu sosiologi yang harus mendekati dan mengenal
orang menurut fungsi dan peranan mereka, maka bagaikan sebuah
panggung atau layar. Masyarakat tidak hanya digerakkan oleh dalang,
tetapi pelaku harus diandaikan memutuskan sendiri tentang
peranannya. Bila demikian, masyarakat akan dilukiskan oleh sosiolog
menjadi gedung sandiwara.
5. Kelemahan yang lain adalah jika hanya mempelajari pola-pola

10
prilaku yang selalu tampak dalam situasi tertentu, maka kebebasan
manusia menjadi faktor yang tidak relevan. Prilaku diberi corak
hukum alam, walau disebut hukum sosial. Fredrichs memberi contoh
konsep-konsep kunci yang digunakan bila berpedoman pada
hukum tersebut, yaitu antara lain ‘relasi-relasi interpedensi yang
tentu’, ‘situasi-situasi dan pola-pola yang khas dan berulang’, ‘relasi-
relasi yang sama’, ‘keteraturan’, dan ‘hubungan kausal’. Sosiologi
membatasi hanya gejala yang tampak dari luar dan selalu susul
menyusul (relasi kausal) atau muncul bersamaan waktu (relasi
kovariasi). Seharusnya prilaku sosial manusia dilihat sebagai variabel
yang tergantung dari bermacam-bermacam variabel. Pendekatan ini
tidak melihat unsur kebebasan sehingga kita tidak akan mengerti
bagaimana manusia mampu mengendalikan perubahan-perubahan
yang besar dan radikal. Memang ada pengaruh dari luar, seperti
lingkungan yang menentukan prilaku sosial. Akan tetapi kebebasan
tetap unsur utama kelakuannya, sehingga hal itu yang membedakan
manusia dengan mahluk lainnya. Jika sosiologi sampai pada hal-hal
yang berulang-ulang, maka akan mengarah pada determinisme
(ditentukan oleh hukum).
6. Apabila realitas sosial sebagai suatu keseluruhan dan saling
ketergantungan, maka manusia individual tidak lagi menerima
martabatnya dari diri sendiri. Memang benar bahwa aspek
ketergantungan dan antar hubungan kehidupan sosial merupakan
aspek nyata yang dialami dan dimengerti oleh semua orang. Jika
relasi-relasi interaksi dipisahkan dari pribadi-pribadi, maka sistem
akan dimengerti oleh orang-orang tertentu, yang akan menentukan
tentang fungsional atau tidak, baik atau tidak pola-pola interaksi
tertentu. Bisa jadi unsur-unsur budaya dan pola-pola prilaku sosial
akan dibenarkan atau dicela atas dasar sumbangan atau kesucian bagi
kestabilan dan kemajuan sistem. Selain itu juga, bila sosiologi hanya
melihat relasi-relasi dan mengindahkan terhadap orang-orang yang
berelasi, maka akibatnya menjadi relativisme. Contoh yang diberikan
oleh Durkheim yang menyatakan bahwa agama identik dengan
sistem sosial. Masyarakat (kesadaran kolektif) menghasilkan
individu-individu menurut konsepnya masing-masing. Agama dinilai
sebagai faktor untuk memasyarakatkan orang. Jika agama dilihat
sebagai mekanisme sosial yang fungsional, maka orang-orang
tertentu khususnya yang lemah sebaiknya beragama. Kesimpulannya
adalah sosiologi mengobyektifkan kategori-kategori dan konsep-
konsep ilmu pengetahuan alam dalam mendekati manusia sosial,

11
sehingga menghasilkan gambaran manusia yang tidak sadar, tidak
bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan tidak bebas. Sosiologi
hanya terdiri atas konsep-konsep seperti peranan, internalisasi,
sistem, prasyarat fungsional dan pemeliharaan keseimbangan.
7. Kelompok positivisme seperti Comte menginginkan menerapkan
metode-medote ilmu alam digunakan untuk meneliti dan
menganalisis kenyataa- kenyataan sosial. Comte pula ingin
mensejajarkan ilmu-ilmu sosial dengan ilmu- ilmu alam. Akan tetapi
tidak semua metode ilmu alam dapat diterapkan pada ilmu sosial,
seperti observasi dan menguji yang dapat dilakukan berulang-ulang
terhadap obyek yang sama. Kalaupun mampu tidak sepenuhnya dapat
digunakan dalam observasi dan menguji kenyataan-kenyataan sosial.
Seperti contoh dalam penelitian sejarah memiliki metode sejarah
dalam menemukan, mengumpulkan sumber-sumber primer atau jejak
sejarah, kemudian melakukan kritik dari luar terhadap sumber
(ontensitas atau keaslian sebuah sumber) dan kritik dari dalam
(kredibelitas sebuah sumber), selanjutnya melakukan interpretasi
terhadap sumber dan terakhir menulis sejarah. Semua tersebut
dilakukan untuk mendapatkan rekontruksi sejarah mendekati
obyektif. Observasi dan menguji dilakukan terhadap sumber atau
jejak yang pasti ditinggalkan oleh peristiwa. Ada dan tidaknya jejak,
tergantung dari banyak faktor.
8. Apabila dikaitkan dengan sejarah, akan tampak bahwa sejarah hanya
berkutat atau berkisar pada masa lampau dan ingin mengembalikan
yang lampau pada masa kini. Sejarah adalah tentang apa yang terjadi,
tentang yang dikatakan telah terjadi. Contoh kasus di Bali,
sekelompok golongan ingin menemukan jati diri masa lalunya
dengan mencari asal usul leluhur, dan mengembalikan asal usul masa
lalu pada kehidupan masa kini. Ada sekelompok golongan yang
hidup pada masa kini ada pada tataran golongan sudra. Setelah
mencari dan menemukan asal usul keluarganya, ternyata dulu berasal
dari golongan weisya (diatas dari golongan sudra). Apa yang terjadi
setelah mengetahui hal itu. Mereka mengubah status golongannya
menjadi golongan weisya dengan mengubah nama dari nama depan si
menjadi i gusti. Mencari dan menemukan masa lalu bukan untuk
dihidupkan kembali pada masa sekarang, itu menjadi romantisisme.
Sebaliknya dari masa lalu dan berpijak dari masa kini, kita harus
mampu merancang masa depan.
9. Memang ilmu alam dapat menciptakan dan menghasilkan tehnologi

12
yang pada satu sisi mampu memberi manfaat dan nilai ekonomis
pada manusia, namun pada sisi lain tehnologi telah mengubah cara
pandang manusia terhadapalam, manusia dan lingkungannya.
10. Positivisme ilmu alam hanya mampu menjawab tantangan yang
berkaitan dengan alam atau gejala-gejala alam, namun tidak mampu
menjadi solusi bila berkaitan dengan gejala-gejala sosial. Harus
diakui bahwa ada kaitan timbal balik antara alam dan manusia. Ilmu
pengetahuan ilmiah tidak hanya tentang fisik alam atau fisik manusia
namun juga tentang ide, pikiran dan interaksi manusia dengan
manusia maupun interaksi manusia dengan alam lingkungan.
11. Positivisme tidak melihat bahwa manusia memiliki
kesadaran tentang sesuatu, karena hanya mengutamakan fisik
manusia. Padahal kesadaran yang mengendalikan prilaku. Ada kaitan
yang tidak dapat dipisahkan antara fisik dan mental atau jiwa
manusia.
12. Apabila dikaitkan masalah positivisme dalam penulisan
sejarah cenderung mengganggap sejarah adalah masa lalu yang
berkaitan dengan politik, kekuasaan, perang dan sejarahnya orang-
orang ‘besar’. Akan tetapi sejarah adalah sejarah masyarakat. Sartono
Kartodirdjo lewat karyanya Pemberontakan Petani Banten 1888
mengawali penulisan sejarah dari dimensi sosial atau dari sudut
pandang gejala sosial masyarakat.
13. Positivisme dalam sejarah, belum mampu menghasilkan
hukum- hukum sejarah, hanya mampu menghasilkan generalisasi dari
gejal-gejala sejarah yang telah muncul sebelumnya.

13
Kelebihan dan Kekurangan

Dari deskriptif ringkas di atas mengenai positivisme, maka


sebenarnya positivisme mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan,
yaitu antara lain :

a. Kelebihan Positivisme
1) Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar
dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.
2) Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan
menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu
menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary,
melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.
3) Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan
didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya
terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.
4) Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik
dan teknologi.
5) Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada
epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai
dasar pemikirannya.
b. Kelemahan Positivisme
1) Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial
dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-
nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam
pengertian fisik- biologik.

2) Akibat dari ketidak percayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat


diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya
manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan,
surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran agama
adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada
saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang

14
yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
3) Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga
manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada.
Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.
4) Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak
dapat menemukan pengetahuan yang valid.
5) Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang
nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut
adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa
panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga
kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal
yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6) Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai
teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincah-seakan setiap tahapan
sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan
berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan
sebagai masyarakat positivistic. Bias teoritik seperti itu tidak
memberikan ruang bagi realitas yang berkembang atas dasar siklus-
yakni realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik akhir
sebuah tujuan sejarah yang final.

15
2.POSTPOSITIVISME

Memasuki paruh kedua dari abad ke-20, muncul gugatan terhadap


positivisme dimulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-
positivisme”. Tokohnya yaitu Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab
Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme,
alasannya adalah tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia
dengan ilmu alam karena tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu
penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah. Postpositivisme
merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-
kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung
terhadap objek yang diteliti. Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan
netralitasnya, karena observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi
masing-masing orang. Proses dari positivisme ke postpositivisme melalui kritikan
dari tiga hal yaitu:
1. Observasi sebagai unsur utama metode penelitian. Positivisme menolak
penggunaan multisumber untuk memahami fenomena, pengalaman,
pemahaman, dan interpretasi yang dianggapnya bukan sebagai sumber
informasi yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis. Padahal semua data
empirik tersebut saling memengaruhi satu sama lain untuk membentuk
sebuah teori.
2. Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat memiliki sudut
pandang yang berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu.
Positivisme tidak memedulikan konteks sosial dan melakukan generalisasi
pada konteks sosial. Padahal konteks sosial dalam kehidupan manusia selalu
menjadi bagian integral dari aktivitas. Akan sangat tidak adil jika melakukan
generalisasi pada wilayah populasi sementara penelitian dilakukan pada
sampel.
3. Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis. Sangat sulit dalam
penelitian sosial untuk hanya membatasi pada kebenaran tunggal (sesuai yang
dirumuskan dalam hipotesis) karena setiap aktivitas manusia dalam

16
kehidupan sosial digerakkan oleh kemanusiannya dan antar satu manusia
dengan lainnya pasti berbeda antara perasaan, keinginan, dan cara berpikir.

Postpositivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan


memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang
membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses
verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah
diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-
kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical
realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai
dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat
secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis
pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus
menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode,
sumber data, peneliti dan teori.
Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek
atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh
aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai
atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut
terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat
dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus
bersifat senetral mungkin sehingga tingkat subjektifitas dapat dikurangi secara
minimal.
Paradigma ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi
memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang
membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses
verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.

17
Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah
diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang
menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan
atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari
pandangan postpositivisme. Postpositivisme mengakui bahwa paradigma
hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya,
relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis
hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar.
Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak
hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
Karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda maka tidak ada sesuatu
yang benar-benar pasti. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang
melandasi semua penyelidikan. Jika prinsip ini ditolak maka tidak ada
penyelidikan. Dengan demikian, objektivitas tidak menjamin untuk mencapai
kebenaran.
Asumsi dasar postpositivisme:

1. Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.


2. Falibilitas teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan
bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan
fakta anomali.
3. Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
4. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah
reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh
dengan persoalan dan senantiasa berubah.
5. Asumsi dasar postpositivisme tentang realitas adalah jamak individual.
6. Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan
hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang
bersangkutan.

18
7. Fokus kajian postpositivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia
sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.

Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada


positivisme. Pada satu sisi, postpositivisme sependapat dengan positivisme bahwa
realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain,
postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari
realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara
langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat
interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan
bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain.

3. KONSTRUKTIVISME

Paradigma Konstruktivisme, yaitu paradigm yang hamper merupakan


antithesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam
menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigm ini memandang ilmu
social sebagai analisis sistematis terhadap pelaku social yang bersangkutan
menciptakan dan memelihara/mengelola dunia social mereka (Hidayat, 2003:3).

Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita


yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi
kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruksivis, setiap individu
memiliki pengalaman yang unik. Paradigma konstruktivisme

Paradigm konstruktivisme dalam ilmu social merupakan kritik terhadap


paradigm positivism. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas social yang
diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa
dilakukan oleh kaum positivism. Paradigm konstruktivisme yang ditelusuri dari
pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan
perilakualam karena manusia bertindak sebagai agen yang mengonstruksi dalam
realitas social mereka, baik melalui pemberian makna maupun pemahaman
perilaku di kalangan mereka sendiri. Kajian paradigma konstruktivisme ini
menempatkan posisi peneliti setara dan sebisa mungkin masuk dengan subjeknya,
dan berusaha memahami dan mengonstruksikan sesuatu yang menjadi
pemahaman si subjek yang akan diteliti.

Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan


dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak
menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang
terhadap realitas tersebut. Teori konstruktivisme dibangun berdasarkan teori yang
ada sebelumnya, yaitu konstruksi pribadi atau konstruksi personal (personal

19
construct) oleh George Kelly. Ia menyatakan bahwa orang memahami
pengalamannya dengan cara mengelompokkan berbagai peristiwa menurut
kesamaannya dan membedakan berbagai hal melalui perbedaannya. Lebih jauh,
paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas
sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial
bersifat relatif.

Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme


(penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis
dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik
terhadap paradigma positivis. Menurut paradigm konstruktivisme realitas sosial
yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang,
seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai
konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L.Berger bersama
Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa
disebut berada diantara teori fakta social dan defenisi social.

4. CRITICAL THEORY

Aliran ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu


paradigma, tetapi lebih tepat disebut ideologically oriented inquiry, yaitu
suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai
orientasi idiologis terhadap paham tertentu. Idiologi ini meliputi: Neo-
Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme, Partisipatory inquiry,
dan paham-paham yang setara. Critical Theorymerupakan suatu aliran
pengembangan keilmuan yang didasarkan pada suatu konsepsi kritis
terhadap berbagai pemikiran dan pandangan yang sebelumnya
ditemukan sebagai paham keilmuan lainnya.
Dilihat dari segi ontologis, paradigma ini sama dengan
postpositivisme yang menilai objek atau realitas secara critical realism,
yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Karena
itu untuk mengatasi masalah ini, secara metodologis paham ini
mengajukan metode dialog dan komunikasi dengan transformasi untuk
menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara epistemologis,
hubungan antara pengamat dengan realitas yang menjadi objek
merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini
lebih menekankan pada konsep subjektivitas dalam menemukan ilmu

20
pengetahuan,karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat
ikut campur dalam menentukan kebenaran tentang suatu hal.
Paling sedikit ada enam tema pokok yang menjadi ciri paradigma
Critical Theory dalam praktik keilmuan. Pertama, problem prosedur,
metode dan metodologi keilmuan. Pada umumnya prosedur, metode dan
metodologi dalam penelitian suatu bidang keilmuan merupakan suatu hal
yang terpisah dan rigid dan cenderung untuk melupakan hal-hal yang
bersifat sosial dan historis. Dalam konsepsi Critical Theory, hal ini
merupakan satu hal yang tidak dibenarkan karena prosedur dan metode
bukan suatu hal yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari
kecurigaan, pertanyaan dan praktek yang sedang berlaku di masyarakat.
Kedua: perumusan kembali standar dan aturan keilmuan sebagai
logika dalam konteks historis. Dalam paradigma yang telah diterima
secara umum, logika ilmu biasanya diperoleh melalui proses yang valid
dan kontinyu dalam menjelaskan dan memformulasikan ilmu
pengetahuan sebagai pengembangan dan bersifat progresif dan
kumulatif. Formulasi ini dalam konteks Critical Theory tidak selamanya
benar. Dalam beberapa hal logika ilmu dapat berubah, tetapi tidak selalu
kumulatif dan progresif, tetapi dapat terjadi sebagai potongan-potongan
pengalaman dan praktik dalam transformasi sosial. Karena itu, standar
dan aturan keilmuan lebih banyak dipahami sebagai logika yang
berkembang dalam konteks sejarah yang terjadi dalam masyarakat.
Ketiga: dikotomi antara objek dan subjek. Dalam berbagai
penelitian ilmu, penekanan terhadap objektifitas merupakan suatu
keharusan agar temuan yang didapat lebih bisa bermakna. Sedangkan
hal-hal yang bersifat subjektif hendaknya sejauh mungkin dapat
dihindari. Pemisahan antara dua unsur ini, menurut pandangan Critical
Theory merupakan suatu hal yang dibuat-buat. Dalam prakteknya, hal-
hal yang bersifat hard data dalam bentuk angka, analisis kuantitatif tidak
dapat dipisahkan dengan soft data yaitu pikiran, perasaan, dan persepsi
orang yang menganalisis. Karena itu, dikotomi semacam itu tidak
mendapat tempat dalam paradigma ini.
Keempat: keberpihakan ilmu dalam interaksi sosial. Paradigma
lama selalu menyatakan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang netral

21
(science is a value free) dan ilmu tidak mengenal perbedaan-perbedaan
dalam masyarakat untuk mengungkap kebenaran realitas yang ada.
Pertanyaan-pertanyaan di atas menurut
Critical Theory tidak realistis dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu
itu diciptakan memang untuk memihak pada keadaan, kelompok atau
orang-orang tertentu, sesuai yang disukai oleh penggagasnya. Banyak
ilmu-ilmu murni yang dianggap netral yang diciptakan untuk digunakan
dalam mempertahankan suatu kelompok, idiologi dan paham-paham
tertentu. Sebagai contoh kaidah pasar bebas dalam sistem ekonomi
kapitalis walaupun dianggap netral dan natural, namun tetap digunakan
untuk melanggengkan paham liberalisme yang dijunjung tinggi oleh
dunia barat.
Kelima: pengembangan ilmu merupakan produksi nilai-nilai. Ilmu
yang dikembangkan selama ini, bukan semata-mata untuk mengungkap
realitas yang ada dan mencari kebenaran dari realitas tersebut. Namun
pengembangan ilmu juga diarahkan untuk memproduksi nilai-nilai yang
dapat dijadikan pegangan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai
contoh, ilmu statistik yang diciptakan sebagai alat untuk mengungkap
realitas tetapi juga menciptakan nilai-nilai pasti, kaku dan asosial dalam
masyarakat. Demikian pula dengan temuan-temuan lainnya dalam
berbagai bidang kehidupan, yang kesemuanya diarahkan
untukmemproduksi sejumlah nilai yang dapat digunakan oleh orang lain
dalam menjalani hidupnya.
Keenam, ilmu pengetahuan (khususnya ilmu sosial) merupakan
studi tentang masa lalu. Paradigma yang menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan merupakan hasil studi masa kini, merupakan pernyataan
yang kurang masuk akal. Hampir semua ilmu sosial pada dasarnya
merupakan studi tentang keteraturan sosial pada masa lampau. Hasilnya
memang digunakan untuk mempelajari atau menghindari hal-hal yang
dianggap kurang bermanfaat dalam berbagai aspek realitas kehidupan
masyarakat pada masa yang akan datang. Karena itu, ilmu merupakan
masa depan secara tidak langsung, namun bukan karena ilmu dapat
memprediksi dan mengontrol, melainkan ilmu dapat mengatur fenomena

22
yang dapat menuntun kita tentang berbagai kemungkinan, sementara di
pihak lain, ilmu dapat menyaring kemungkinan-kemungkinan yang lain.

Latar Belakang Lahirnya Teori Kritis


Filsafat merupakan induk dari pengetahuan dan landasan berpikir
keilmuan yang menentukan cara berpikir. Masyarakat sebagai mahluk sosial yang
mempunyai kebutuhan substansial, dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut
memerlukan suatu konsep dan metode berpikir ilmiah guna mencapai tujuan yang
diinginkan. Maka dari itu, filsafat sebagai induk dari beberapa jenis metode
berpikir, terus mengalami perkembangan dan transformasi untuk menyesuaikan
dengan kebutuhan zaman di mana filsafat itu dilahirkan. Secara epistemologi
filsafat merupakan padanan kata falsafah (bahasa Arab) dan philoshopy (bahasa
Inggris) yang diadaptasi dari bahasa Yunani philosophia,Kata philosophia sendiri
terdiri dari dua kata utama yaitu philo yang berarti sahabat atau kekasih dan shopi
yang berarti kebijaksanaan, kearifan atau dapat pula berarti pengetahuan ) Jan
Hendrik Rapar, 2015).
Filsafat sebagai ilmu memiliki sifat dinamis sehingga perkembangannya
akan berlangsung secara terus menurus. Salah satu aliran filsafat yang lahir dalam
sejarah adalah teori kritis. Teori kritis ini memiliki misi guna membuat filsafat
dan ilmu pengetahuan sebagai praksis terhadap emansipatoris (Iwan, 2014).
Pada awalnya teori kritis merujuk pada beberapa pemikiran tokoh-tokoh
filsafat yang tergabung dalam lembaga penelitian di Universitas Frankrut,
kemudian dikenal dengan nama Die Frankfurter Schule atau Frankrut School.
Teori kritis di Jerman lebih dikenal sebagai madzhab Frankrut. Bila ditinjau dari
latar belakang pendiriannya institut tersebut didirikan dikarenakan kemenangan
revolusi Bolshevick serta kegagalan-kegagalan Revolusi di Eropa Tengah
khususnya di Jerman. Teori ini dalam perkembangannya lebih banyak dipengaruhi
oleh tokoh-tokoh utama filosof pendahulunya yakni seperti George Hegel, Karl
Marx, Sigmund Freaud dan Imanuel Kant (A. Setyo Wibowo,2009).
Pengaruh tokoh-tokoh tersebut merupakan suatu hal yang wajar, karena
institusi tersebut pada awalnya didirikan bertujuan untuk melakukan penelitian-
penelitian mengenai masyarakat yang berdasarkan pada landasan Sosialisme dan
Marxisme. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam mazhab Frankurt adalah Max
Horkheimer (1985-1973) dia menjadi direktur institut Für Zosialforschung
(Lembaga Penelitian Sosial). tokoh yang kedua adalah Theodor Wiesengrund
Adorno (1903-1969), Tokoh ketiga, Herbert Marcuse (1989-1979), adalah figur

23
yang paling terkenal terutama karena ide-idenya memberikan inspirasi dan arah
kepada gerakan “kiri baru” pada tahun 1960-an (Suseno, Franz Magnis, 2005).
Freud Rush, Dkk Dalam bukunya yang berjudul The Cambridge
Companion to Critical Theory membagi perkembangan teori kritis menjadi tiga
generasi utama yakni Max Horkheimer, Friederich Pollack, Harbert Marcuse dan
Theodor Adorno sebagai fase pertama teori kritis, tokoh fase kedua dalam
perkembangan dari teori kritis yakni Jurgen Habermas yang kemudian dalam
perkembangannya menjadi toko sentral pemikiran sosial, politik dan filsafat di
Eropa, Fase ketiga dalam perkembangan teori kritis ini diteruskan oleh Axel
Honne (Fred Rush,2004).
Adanya tiga generasi dalam perkembangan teori kritis ini menunjukkan
bahwa teori berjalan bukan hanya dalam kerangka teori belaka, namun juga terjadi
dalam praktiknya yakni dalam mengkritik teori kritis yang dikemukakan oleh
generasi sebelumnya6 . Hal ini juga mengisyaratkan bahwa teori kritis tidak
dilahirkan berdasarkan sifat monopolistik. Sifat yang dinamis dari teori kritis
merupakan wujud dasar perkembangan filsafat yang akan terus mengalami
perubahan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi di mana
filsafat itu dilahirkan. Tujuan utama dari teori kritis adalah untuk mengubah arah
baru filsafat dan cara berpikir masyarakat modern. Menurut teori kritis, filsafat
bukan hanya harus menafsirkan dunia, namun juga harus mempunyai praksis yang
dapat berkontribusi dalam perubahan dunia kerah yang lebih baik. (Irvan Tasnur
dan Ayat Sudrajat, 2020)

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Paradigma ilmu pengetahuan adalah seperangkat kepercayaan


atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam
melakukan tindakan, dari berbagai sudut pandang untuk
mendapatkan kebenaran atau validitas. Jenis paradigma ilmu
atau tegaknya teori – teori keilmuan terbagi menjadi 3, yaitu
positivisme, postpositivisme, dan konstruktivisme. Critical
theory tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, namun
lebih tepat disebut ideologically oriented inquiry yaitu cara
pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi idiologis
terhadap paham tertentu.
2. Keempat paradigma memliki perbedaan satu sama lain. Tidak
ada satupun paradigma yang dapat mengungguli, mengingat
paham ini merupakan cara pandang seseorang terhadap suatu
realitas yang tergantung pada keadaan tertentu.

B. Saran
1. Dalam bidang-bidang ilmu eksak, paham positivisme dan
postpositivisme yang mungkin paling banyak digunakan,
sedangkan di bidang sosial paradigma yang digunakan adalah
critical theory dan kontruktivisme.

25
DAFTAR PUSTAKA

A. Setyo Wibowo, Para Pembunuh Tuhan, Yogyakarta: Kansius, 2009, hlm. 55.
Babbie, E. 1992. The Practical of Social Research. 6 th Edition, Wadsworth Publishing
Company. Belmont. California.
Fred Rush, The Cambridge Companion to Critical Theory: Cambridge companions to
philosophy, religion, and culture, Inggris: Cambridge University Press, 2004,
hlm.1

Hardiman, Budi, Melampaui Moderenitas dan Positivisme., Yogyakarta:


Penerbit Kanisius, 2012
Hidayat, Dedy N. 2003. Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik.
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. Jakarta.

Irvan Tasnur, Ayat Sudrajat. 2020. Jurnal Teori Kritis: Perkembangan Dan
Relevansinya Terhadap Problematika Di Era Disrupsi. Faculty of
Ushuluddin, Adab and Dakwah IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Indonesia.

Iwan, 2014, “Menelaah Teori Kritis Jurgen Habermas” dalam Jurnal Edueksos:
Jurnal Pendidikan Sosial dan Ekonomi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Vol III No. 2, 2014, hlm. 146.
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kansius, 2015, hlm.
14.
Mulyana, Deddy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Muslih, M. (2016). Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan
Kerangka Teori Keilmuan.
Neuman, William Lawrence. 2003. Social Research Methods: Qualitative and
quantitative Approaches. Pearson Education.
Patton, Michael Quinn. 2002. Qualitative Research and Evaluation Methods.
3rdEdition. Thousand Oaks. Sage Publications. Inc. California.
Rosyada, D. (2020). Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu Pendidikan. Prenada Media.

Suseno, Franz Magnis, Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan,


dari Adam Müller ke Postmodernisme, Yogyakarta: Kansius, 2005, hlm.

26
148.
Umanailo, M. (2019). Neo Positivisme – Positivisme – Postpositivisme.
https://doi.org/10.31219/osf.io/utgex.

27

Anda mungkin juga menyukai