Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

AKSIOLOGI, KEBENARAN DAN TEORI KEBENARAN

Di Susun Oleh:

Kelompok 2

Ani Sintiawati (A20222008)

Yuni Masyita (A20222006)

Dosen Mata Kuliah : Prof. Mery Napitupulu, M.Sc., Ph.D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS PROGRAM MAGISTER

FAKULTAS PASCASARJANA

UNIVERSITAS TADULAKO

2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tentang Aksiologi , Pendekatan dan Teori Kebenaran.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini tentang Aksiologi ,
Pendekatan dan Teori Kebenaran ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

Palu, September 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
1.4 Metode Pemecahan Masalah 2
1.5 Sistematika Penulisan Makalah 3

BAB II PEMBAHASAN 4

2.1 Aksiologi 4
2.2 Pengertian Kebenaran 7
2.3 Teori Kebenaran 9
2.4 Macam-Macam Kebenaran 12
2.5 Tingkat Kebenaran 13

BAB III KESIMPULAN 15

3.1 Kesimpulan 15
3.2 Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kehidupan manusia pada dasarnya tidak pernah lepas dari nilai. Kita dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari tentunya menggunakan nilai seperti saat kita
bersosialisasi dengan masyarakat, tentu kita akan menggunakan tutur kata yang
pantas. Hal tersebut disebut dengan etika. Dalam hal ini manusia adalah makhluk
sosial dan budaya. Untuk itu manusia hidup bersama dan saling berinteraksi
sesamanya. Manusia saling membutuhkan sesamanya baik jasmani maupun rohani.
Selain itu, nilai perlu dikembangkan dalam bentuk institusi yang terbaik
yakni dengan pendidikan, karena pada hakikatnya pendidikan adalah proses
perubahan dan perkembangan nilai, proses pembiasaan nilai, dan proses-proses
penyesuaian terhadap nilai.
Pemikiran mengenai kebenaran sudah sejak awal ada dalam pemikiran
manusia termasuk pada ilmuwan filsafat ilmu yakni Aristoteles dan Plato, hal
demikian tentu saja berkaitan dengan manusia yang diciptakan sebagai mahluk
yang mampu berpikir secara kritis dan rasional selama menjalani kehidupannya
(Susanto, 2011). Teori mengenai kebenaran seringkali di analogi kan seperti
berikut, manusia adalah mahluk yang berpikir kemudian dalam berpikir tersebut
menimbulkan beberapa pertanyaan atas berbagai kejadian yang terjadi, lalu
pertanyaan nya akan menghasilkan sebuah jawaban dan jawaban yang
diharapkan adalah sebagai fakta yang terjadi yakni kebenaran (Amin, 2015).
Dengan demikian maka, mahluk yang berpikir secara rasional dalam
mencari jawaban sebagai upaya menemukan fakta –fakta atas kejadian yang terjadi
disekitarnya. Untuk mencari tau kebenaran tersebut tentu saja diperlukan
pengalaman dalam hal ini berupa teori yang dapat menguatkan dasar fakta
yang terjadi sebelum dirumuskan menjadi sebuah kebenaran.
Dalam hal ini peran filsafat sebagai ibu dari sains tentu sangat diperlukan
untuk mengungkapkan bagaimana prinsip dasar yang dapat ditemukan
dalam mencari kebenaran yang menjadi jawaban sebagaimana yang diharapkan.

1
Terlebih di masa yang berkembang saat ini memasuki era 5.0 bahwa segala
sesuatu dipandang lebih rasional jika melibatkan sains didalamnya, termasuk
dalam mengungkapkan kebenaran(Harisah, 2018).
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan menjelaskan mengenai Aksiologi
atau nilai-nilai yang ada dalam kehidupan manusia dan Pendekatan dan Teori
Kebenaran.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalahnya adalah sebagai


berikut :

1. Bagaimana pengertian Aksiologi ?

2. Bagaimana pengertian kebenaran ?

3. Bagaimana teori-teori kebenaran filsafat ilmu ?

4. Bagaimana macam-macam kebenaran ?

5. Bagaimana tingkat kebenaran ?

1.3 Tujuan
Adapun manfaat pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian aksiologi
2. Untuk mengetahui pengertian kebenaran
3. Untuk mengetahui teori-teori kebenaran
4. Untuk mengetahui macam-macam kebenaran
5. Untuk mengetahui tingkatan kebenaran

1.4 Metode Pemecaham Masalah

Metode pemecahan masalah yang dilakukan melalui metode kajian


pustaka, yakni dengan menggunakan beberapa referensi buku yang merujuk pada
permasalahan yang dibahas.

2
1.5 Sistematika Penulisan Makalah

Makalah ini ditulis dalam 3 bagian, meliputi :

Bab I, bagian pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah, perumusan
masalah, Tujuan , metode pemecahan masalah dan sistematika penulisan makalah;

Bab II, pembahasan;

Bab III, bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Aksiologi

Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai
dan logos yang berarti teori. Dengan demikian, maka aksiologi adalah “teori
tentang nilai” (Amsal Bakhtiar, 2004). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumantri, 2000).
Menurut Bramel dalam Amsal Bakhtiar (2004), aksiologi terbagi dalam tiga bagian:
pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan etika;
kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan; ketiga, sosiopolitical life,
yaitu kehidupan sosial politik yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik.
Aksiologi yang dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya
melahirkan sebuah polemik tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau
yang biasa disebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis
pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal
sebagai value bound. Terkait dengan pendekatan aksiologi dalam filsafat ilmu maka
muncullah dua penilaian yang sering digunakan yaitu etika dan estetika.
1. Etika
Istilah etika berasal dari bahasa yunani “ethos” yang berarti adat kebiasaan.
Dalam istilah lain dinamakan moral yang berasal dari bahasa latin “mores”, kata
jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Etika adalah cabang filsafat aksiologi
yang membahas masalah-masalah moral, perilaku, norma, dan adat istiadat yang
berlaku pada komunitas tertentu.

2. Estetika

Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai


keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat
unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam suatu hubungan yang
utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata

4
bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian
Ada beberapa beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teori nilai (the
theory of value), yaitu :

1. Nilai objektif atau subjektif.


Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan
validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian,
tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.
2. Nilai absolute atau relatif.
Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sejak
masa lampau dan akan berlaku sepanjang masa, berlaku bagi siapapun
tanpa memperhatikan ras, maupunkelas sosial. Untuk mengetahui
kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat
memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1). Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan
mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu
ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem
kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya
mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori
filsafat ilmu.
2). Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima
kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai
pandangan hidup gunanya ialah untukpetunjuk dalam menjalani
kehidupan.
3). Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Kehidupan akan dijalani
lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara
menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang
paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya

5
masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu
biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam
kehidupan manusia.

Pendidikan sering dipahami sebagai suatu hal yang sifatnya normatif atau
berorientasi pada nilai-nilai tertentu. Dengan kata lain, pada pendidikan melekat
hal-hal yang dipandang sebagai suatu hal yang berharga atau bernilai. Abdulhak
(2008), menyarakan aksiologi ilmu pendidikan sebagai nilai kegunaan teoritis dan
nilai kegunaan praktis.

1. Aksiologi sebagai Nilai Kegunaan Teoritis


Hasil ilmu pendidikan adalah konsep-konsep ilmiah tentang aspek dan dimensi
pendidikan sebagai salah satu gejala kehidupan manusia. Pemahaman tersebut
secara potensial dapat dipergunakan untuk lebih mengembangkan konsep-
konsep ilmiah pendidikan, baik dalam arti meningkatkan mutu (validitas dan
signifikan) konsepkonsep ilmiah pendidikan yang telah ada, maupun
melahirkan atau menciptakan konsep-konsep baru, yang secara langsung dan
tidak langsung bersumber pada konsepkonsep ilmiah pendidikan yang telah
ada. Rowntree dalam educational technologi in curuculum development antara
lain menyatakan: bahwa oleh karena teknologi pendidikan adalah seluas
pendidikan itu sendiri, maka teknologi pendidikan berkenaan dengan desain
dan evaluasi kurikulum dan pengalaman-pengalaman belajar, serta masalah-
masalah pelaksanaan dan perbaikannya. Pada dasarnya teknologi pendidikan
adalah suatu pendekatan pemecahan masalah pendidikan secara rasional, suatu
cara berpikir skeptis dan sistematis tentang belajar dan mengajar.
2. Aksiologi Sebagai Nilai Kegunaan Praktis
Pemahaman tenaga kependidikan secara konprehensif dan sistematis turut serta
dalam menumbuhkan rasa kepercayaan diri dalam melakukan tugas-tugas
profesionalnya. Hal ini terjadi karena konsep-konsep ilmiah pendidikan
menerangkan prinsip-prinsip bagaimana orang melakukan pendidikan.
Penguasaan yang mantap terhadap konsep-konsep ilmiah pendidikan
memberikan pencerahan tentang bagaimana melakukan tugas-tugas

6
profesional pendidikan. Apabila hal ini terjadi, maka seorang tenaga
pendidikan akan dapat bekerja konsisten dan efisien, karena dilandasi oleh
prinsip-prinsip pendidikan yang jelas terbaca dan kokoh.

2.2 Pengertian Kebenaran


Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-
nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha "memeluk" suatu
kebenaran.Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna
dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh
manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-
tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan
realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup
religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di
sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan
manusia dalam dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang
disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi
fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai
masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya,
yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek
sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa
mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil
temuannya diletakkan dalam satu kesatuan system.
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran
ini, Plato pernah berkata: "Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak
bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; "Kebenaran itu adalah
kenyataan", tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya
(dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran
(keburukan).

7
Dalam bahasan, makna "kebenaran" dibatasi pada kekhususan makna
"kebenaran keilmuan (ilmiah)". Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun
langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya
merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu
efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran
merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu
secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu
terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya
harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara
pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu
harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah
pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran
mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang
lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan
keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian
dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk
mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat
diluar jangkauan manusia.
Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral,
kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika,
ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan.
Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia
merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran
metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena
yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari
kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya.

8
2.3 Teori Kebenaran
Purwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, menerangkan bahwa
kebenaran itu adalah 1). Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan
hal atau keadaan yang sesungguhnya. Misalnya kebenaran berita ini masih saya
ragukan, kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2). Sesuatu yang benar
(sugguh-sugguh ada, betul-betul hal demikian halnya, dan sebagainya). Misalnya
kebenaran-kebenran yang diajarkan agama. 3). Kejujuran, kelurusan hati, misalnya
tidak ada seorangpun sanksi akan kebaikan dan kebenaran hatimu.
Sedang menurut Abbas Hamami, kata “kebenaran” bisa digunakan sebagai
suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan
kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna
yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Adanya kebenaran itu
selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subyek yang mengetahui)
mengenai obyek.Jadi, kebenaran ada pada seberapa jauh subjek mempunyai
pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan bersal mula dari banyak
sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran
kebenaran. Berikut ini adalah teori-teori kebenaran :
1. Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth)
Teori kebenaran korespondensi, Correspondence Theory of Truth yang kadang
disebut dengan accordance theory of truth, adalah teori yang berpandangan bahwa
pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau
pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran
atau keadaan benar itu apabila ada kesuaian (correspondence) antara yang
dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh
pernyaan atau pendapat tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar
jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta.
Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan
menyatakan apa adanya.
Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Di
antara pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, dan Ramsey. Teori ini

9
banyak dikembangkan oleh Bertrand Russell (1972-1970). Teori ini sering
diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran
korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat
digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal
(sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan
kenyataan atau realitas yang diketahuinya.
Kebenaran korespondesi adalah kebenaran yang bertumpu pada relitas objektif.
Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan
kepastian indrawi. Sesuatu dianggap benar apabila yang diungkapkan (pendapat,
kejadian, informasi) sesuai dengan fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.
Contohnya: ada seseorang yang mengatakan bahwa Provinsi Yogyakarta itu
berada di Pulau Jawa. Pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau
realita yang ada. Tidak mungkin Provinsi Yogyakarta di Pulau Kalimantan atau
bahkan Papua.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini.
Teori kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat
sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-
pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh
nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di
dalam tingkah lakunya.
2. Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth)
Teori ini disebut juga dengan konsistensi, karena mendasarkan diri pada kriteria
konsistensi suatu argumentasi. Makin konsisten suatu ide atau pernyataan yang
dikemukakan beberapa subjuk maka semakin benarlah ide atau pernyataan tersebut.
Paham koherensi tentang kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung
idealisme, seperti filusuf Britania F. H. Bradley (1846-1924).
Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan,
pendapat kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap benar apabila
memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga
sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika.
Sederhannya, pernyataan itu dianggap benar jika sesuai (koheren/konsisten) dengan

10
pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contohnya; Setiap manusia pasti
akan mati. Soleh adalah seorang manusia. Jadi, Soleh pasti akan mati.
3. Teori Pragmatisme (The pramagtic theory of truth.)
Pramagtisme berasal dari bahawa Yunan pragmai, artinya yang dikerjakan,
yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh
William James di Amerika Serikat. Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang
berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah,
personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada
berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya.
Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis
Dari pengertian diatas, teori ini (teori Pragmatik) berbeda dengan teori
koherensi dan korespondensi. Jika keduanya berhubungan dengan realita objektif,
sedangkan pragmamtik berusaha menguji kebenaran suatu pernyataan dengan cara
menguji melalui konsekuensi praktik dan pelaksanaannya.
Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima
pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa
akibat praktis yang bermanfaat.
Amsal (2012) menyatakan, menurut teori pragmatis, kebenaran suatu
pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional
dalam kehidupan praktis manusia. Dalam artian, suatu pernyataan adalah benar, jika
pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis
bagi kehidupan manusia. Teori, hepotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa
kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia
mempunyai nilai praktis.
4. Teori Performatif
Teori ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960)36 dan dianut oleh
filsuf lain seperti Frank Ramsey, dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau
menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya
menyatakan sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu
menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar. Demikian sebaliknya. Namun
justeru inilah yang ingin ditolak oleh para filsuf ini.

11
Teori performatif menjelaskan, suatu pernyataan dianggap benar jika ia
menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang
mengungkapkan realitas, tetapi justru dengan pernyataan itu tercipta realitas
sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Teori ini disebut juga “tindak
bahasa” mengaitkan kebenaran satu tindakan yang dihubungkan dengan satu
pernyataan. Misalnya, “Dengan ini saya mengangkat anda sebagai manager
perusahaan “Species S3”. Dengan pernyataan itu tercipta sebuah realitas baru yaitu
anda sebagai manager perusahaan “Species S3”, tentunya setelah SKnya turun. Di
sini ada perbuatan yang dilakukan bersamaan dengan pengucapan kata-kata itu.
Dengan pernyataan itu suatu penampilan atau perbuatan (performance) dilakukan.
5. Agama sebagai Teori Kebenaran
Pada hakekatnya, manusia hidup di dunia ini adalah sebagai makhluk yang suka
mencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah
agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala
persoalan asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun
tentang Tuhan. Dalam mendapatkan kebenaran menurut teori agama adalah wahyu
yang bersumber dari Tuhan.
Manusia dalam mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama
denngan cara mempertanyakan atau mencari jawaban berbagai masalah kepada
kitab Suci. Dengan demikian, sesuatu hal dianggap benar apabila sesuai dengan
ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.

2.4 Macam-macam Kebenaran


Kebenaran bermacam-macam, tergantung dari sudut mana orang berpijak untuk
membaginya. Dipandang dari segi “perantara” untuk mendapatkannya, kebenaran
dibagi dalam :
a. Kebenaran indrawi (empiris), yang ditemui dalam pengamatan pengalaman.
b. Kebenaran ilmiah ( rational), yang lewat konsepsi akal.
c. Kebenaran filosofis (reflective thinking), yang dicapai dengan perenungan
(murni)
d. Kiebenaran religius ( supernatural), yang diterima melalui wahyu Ilahi.

12
Dilihat dari segi “kekuasaan” untuk menekan orang menerimanya, kebenaran
dibagi dua :
a. Kebenaran Subyektif, yang hanya diterima oleh subyek pengamat sendiri.
b. Kebenaran obyektif, yang diakui tidak hanya oleh subyek pengamat, tatpi juga
oleh subyek-subyek yang lain.
Dari segi “luas berlakunya” kebenaran dibagi menjadi:
a. Kebenaran individual, yang berlaku bagi perorangan.
b. Kebenaran universal, yang berlaku bagi semua orang.
Dari segi “kualitasnya”, kebenaran dibagi dalam :
a. Kebenaran dasar, yaitu kebenaran yang paling rendah.
b. Kebenaran nisbi, yaitu kebenaran yang satu atau beberapa tingkat diatas
kebenaran dasar, namun belum sempurna.
c. Kebenaran mutlak, yaitu kebenaran yang sempurna, yang sejati, yang hakiki.

2.5 Tingkat Kebenaran


Ada beberapa wujud kebenaran, dan wujud ini berbeda – beda tingkatannya.
Perbedaan tingkat ini terutama ditentukan oleh potensi subjek yang menyadari atau
menangkap kebenaran itu. Baik panca indra, maupun rasio, bahkan juga budinurani
manusia adalah potensi subjek yang menangkap dan menghayati kebenaran itu.
Berdasarkan scope potensi subjek itu tadi, maka susunan tingkatan kebenaran itu
menjadi:
1) Tingkat kebenaan indra adalah tingkat yang paling sederhana dan pertama yang
dialami manusia. Indra adalah gerbang kesadaran manusia.
2) Tingakat ilmiah, pengalaman – pengalaman yang didasarkan disamping melalui
indera, diolah pula dengan rasio.
3) Tingkat filosofis, kedua tingkat di atas telah dilalui sebagai tahap pendahuluan.
Rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam, mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya.
4) Tingkat religius , kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan Yang Maha
Esa, dan dihayati dengan seluruh kepribadian, dengan integritas kepribadian,
dengan iman dan kepercayaan.

13
Keempat tingkat kebenaran ini berbeda-beda wujud sifat dan kualitasnya.
Bahkan juga proses dan cara terjadinya, di samping potensi subyek yang
menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud di sini ialah aspek kepribadian yang
menangkap kebenaran itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indra. Demikian
seterusnya, yaitu rasio, kebijaksanaan, dan budinurani atau consciencia yang
superrasional.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Aksiologi (nilai) pada hakikatnya adalah konsepsi-konsepsi abstrak di
dalam diri manusia atau masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap baik, benar
dan hal-hal yang dianggap buruk dan soleh.
Pendidikan pada tahap selanjutnya merupakan proses transfomasi nilai,
yang cenderung bersifat positif dan penuh makna kebaikan. Nilai selalu terserap
dalam lapangan pendidikan. Pendidikan akan dapat menguji dan
mengintegrasikan semua nilai di dalam kehidupan manusia dna membinanya di
dalam kepribadian anak.
Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam
kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam
kehidupan manusia Uraian dan ulasan mengenai berbagai teori kebenaran di atas
telah menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari berbagai teori kebenaran. Dari
beberapa Teori Tentang Kebenaran dapat disimpulkan :
a. Teori Korespondensi : "Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara
arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan
halnya/faktanya"
b. Teori Konsistensi: "Kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan
(judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas
hubungan antara putusan-putusan itu sendiri ".
c. Teori Pragmatis : "Suatu preposisi adalah benar sepanjang preposisi tersebut
berlaku (works), atau memuaskan (satisfied); berlaku dan memuaskannya itu
diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut teori tersebut ".
d. Teori performatif menjelaskan, suatu pernyataan dianggap benar jika ia
menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang
mengungkapkan realitas, tetapi justru dengan pernyataan itu tercipta realitas
sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu

15
e. Agama sebagai teori agama : dalam mendapatkan kebenaran menurut teori
agama adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan.

3.2 Saran-saran
Penulis menerima saran dari pembaca guna pembenahan dan perbaikan
makalah berikutnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdulhak, I. (2008). Filsafat ilmu pendidikan. Bandung:Remaja Rosdakarya.

Ahmad, Beni Saebani. 2009."FILSAFAT ILMU: Kontemplasi Filosofis tentang


Seluk-beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan". Bandung: Pustaka Setia.

Akinpelu, J.A..1988. An Introduction to Philosophy of Education.London and


Basingstoke: Macmillan Publishers Ltd.

Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam.


Jakarta: Bulan Bintang.

Amin, Alfauzan. (2015). Metode dan Pembelajaran Agama Islam (Vol. 1). IAIN
Bengkuu.

Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Barnadib, Imam.1996. Filsafat Pendidikan – Sistem dan Metode. Yogyakarta:
Andi Offset.
Harisah, Afifuddin. (2018). Filsafat Pendidikan Islam Prinsip dan Dasar
Pengembangan. Deepublish.

Kattsoff, Louis O. 2004."Pengantar Filsafat". Yogyakarta: Tiara Wacana.

Suriasumantri, Jujun S. 2007. "FILSAFAT ILMU: Sebuah Pengantar Populer".


Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

Susanto, A., Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis
dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

17

Anda mungkin juga menyukai