Anda di halaman 1dari 20

FILSAFAT ILMU

“ ILMU-ILMU SOSIAL ”

Dosen Pengampuh Mata Kuliah:

Prof. Dr. Arismunandar, M.Pd.

Oleh Kelompok VI:

Muhammad Agus Irfansyah (230014301015)

Asmar (230014301011)

Zulfitri (230014301017)

Nurmila (230014301022)

PROGRAM STUDI S-2 ADMINISTRASI PENDIDIKAN

KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan sumbangan


terbentuknya wawasan keilmuan dan bermanfaat bagi para pembaca. Namun terlepas
dari itu, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan makalah
ini. Maka dari itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari
pembaca sekalian demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik. Akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.

Gowa, 28 Oktober 2023

Tim Penulis

i
ABSTRAK

Tiga pendekatan yang sama-sama mencoba mengatasi positivisme dalam ilmu


sosial yaitu fenomenologi, hermeneutika, dan teori kritis. Ketiga pendekatan tersebut
menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan subjek yang menafsirkan
objeknya sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses keilmuan. Tujuan penulisan
makalah ini untuk mengetahui pendekatan fenomenologi, hermeneutika dan teori
kritis dalam dalam ilmu- ilmu sosial.
Fenomenologi mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak.
Hermeneutika merupakan penafsiran atas dunia-kehidupan sosial ini. Konsep
penafsiran dan pemahaman ini sekali lagi merupakan usaha untuk mengatasi
objektivisme dari positivisme yang secara berat sebelah melenyapkan peranan subjek
dalam membentuk kenyataan sosial. Sedangkan teori kritis (critical theory) adalah
suatu pendekatan atau kerangka kerja analitis yang digunakan untuk menganalisis dan
memahami fenomena sosial dengan fokus pada kritik terhadap struktur kekuasaan,
ketidaksetaraan, dan bentuk-bentuk dominasi dalam masyarakat.

Kata kunci: fenomenologi, hermeneutika, teori kritis (critical theory)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR …………………………………………………………. i
ABSTRAK ……………………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… iii
BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..............................................................................................1


B. Rumusan Masalah .........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN

A. Fenomenologi................................................................................................3
B. Hermeneutika ................................................................................................8
C. Teori Kritis ....................................................................................................9
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................................15

B. Saran ...........................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Beberapa sumber menyebutkan, tidak kurang dari 400 tahun, dunia
keilmuan telah berada dalam dominasi dan otoritas paradigma positivisme,
tidak hanya terhadap ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu
humanities. Isu utama yang dibawa positivisme adalah problem metodologi,
yang memang dapat dikatakan bahwa refleksi filsafatnya sangat
menitikberatkan pada aspek metodologi. Kalau suatu metodologi berarti salah
satu cara untuk memperoleh pengetahuan yang sahih tentang kenyataan,
pergeseran tempat oleh positivisme dari problem pengetahuan (yakni
persoalan hubungan subjek dan objek, yang menjadi wilayah kajian
epistemologi) kepada problem metodologi pada dasarnya merupakan suatu
penyempitan atau reduksi pengetahuan itu sendiri. Reduksi ini sebenarnya
sudah terkandung dalam istilah positif itu sendiri, yang bisa dipahami sebagai:
apa yang berdasarkan fakta objektif.
Apa yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis
pengetahuan ini bukanlah pola pikir positivistis yang memang sesuai bila
diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu
sosial.
Persoalan serius yang selalu menarik perhatian dalam diskusi-diskusi
ilmu-ilmu sosial adalah soal objek observasinya yang berbeda dari objek
ilmu-ilmu alam, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.
Berbeda dari proses-proses alam yang dapat diprediksi dan dikuasai secara
teknis, prosesproses sosial terdiri dari tindakan-tindakan manusia yang tak
dapat begitu saja diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis. Masih banyak
pembedaan lain yang harus dilakukan agar masyarakat tidak begitu saja

1
2

diperlakukan sebagai alam. Dengan tanpa pembedaan radikal semacam itu,


berarti pada taraf metodologis positivisme telah merancang kontrol atas
masyarakat menurut kontrol alam.
Problematik positivisme ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peran
subjek semacam ini, sudah tentu tidak dapat dipecahkan dengan
menghidupkan kembali epistemologi kuno ala Kant, persoalan pengetahuan
dewasa ini telah beralih menjadi persoalan metodologi. Hal inilah yang
mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis
baru bagi ilmu sosial dengan mengembalikan peran subjek ke dalam proses
keilmuan itu sendiri. Setidaknya ada tiga pendekatan yang sama-sama
mencoba mengatasi positivisme dalam ilmu sosial dengan menawarkan
metodologi baru yang lebih memposisikan subjek yang menafsirkan objeknya
sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses keilmuan, yaitu fenomenologi,
hermeneutika, dan teori kritis yang akan menjadi fokus pembahasan dalam
makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendekatan fenomenologi dalam ilmu- ilmu sosial?
2. Bagaimana pendekatan hermeneutika dalam ilmu- ilmu sosial?
3. Bagaimana pendekatan teori kritis dalam ilmu-ilmu sosial?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pendekatan fenomenologi dalam ilmu- ilmu sosial.
2. Mengetahui pendekatan hermeneutika dalam ilmu- ilmu sosial.
3. Mengetahui pendekatan teori kritis dalam ilmu- ilmu sosial.

2
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: phainestai yang
berarti menunjukkan dan menampakkan diri sendiri. Sebagai aliran
epistemologi, fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl (1859-
1938), meski sebenarnya istilah tersebut telah digunakan oleh beberapa filsuf
sebelumnya. Secara umum pandangan fenomenologi ini bisa dilihat pada dua
posisi, yang pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme
sebagaimana digambarkan di atas, dan yang kedua, ia sebenarnya sebagai
kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant terutama konsepnya
tentang fenomenon-numenon.
Dari sini tampak bahwa Kant menggunakan kata fenomena untuk
menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena
adalah realitas yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant,
manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam
kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar berupa benda-benda atau
nampak tetap menjadi objek kesadaran kita yang kita kenal. Noumena yang
selalu tetap menjadi teka-teki dan tinggal sebagai “x” yang tidak dapat dikenal
karena ia terselubung dari kesadaran kita. Fenomena yang nampak dalam
kesadaran kita ketika berhadapan dengan realitas (noumena) itulah yang kita
kenal. Melihat warna biru, misalnya tidak lain adalah hasil cerapan indrawi
yang membentuk pengalaman batin yang diakibatkan oleh sesuatu dari luar.
Warna biru itu sendiri merupakan realitas yang tidak dikenal pada diri sendiri.
Ini berarti kesadaran kita tertutup dan terisolasi dari realitas. Demikianlah,
Kant sebenarnya mengakui adanya realitas eksernal yang berada di luar diri
manusia, yaitu sebuah realitas itu ia sebut das Ding an Sich (objek pada

3
4

dirinya sendiri) atau noumena, tetapi menurutnya, manusia tidak ada sarana
ilmiah untuk mengetahuinya.
Sebagai reaksi terhadap pemikiran sebelumnya, berikut ini akan
dibahas dua pandangan fenomenologi yang cukup penting, yaitu prinsip
epoche dan eidetic vision dan konsep dunia kehidupan (Lebenswelt).
Prinsip epoche dan eidetic vision
Seperti telah disinggung sebelumnya, Husserl mengajukan konsepsi
yang berbeda dengan para pendahulunya mengenai proses keilmuan. Tugas
utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia
dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan sesuatu yang berbeda pada
dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Husserl menggunakan istilah
fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita
dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan
kategori pikiran kita padanya.
Husserl mengajukan metode epoche. Kata epoche berasal dari bahasa
Yunani, yang berarti: menunda putusan atau mengosongkan diri dari
keyakinan tertentu. Epochè bisa juga berarti tanda kurung (breaketing)
terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari sesuatu fenomena yang tampil,
tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Dalam hal ini
Husserl mengatakan, bahwa epochè merupakan thesis of the natural
standpoint (tesis tentang pendirian yang natural), dalam arti bahwa fenomena
yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh
presupposisi pengamat.
Metode epoche merupakan langkah pertama untuk mencapai esensi
fenomena dengan menunda putusan lebih dahulu. Langkah kedua, Husserl
menyebutnya dengan eidetic vision atau membuat ide. Eidetic vision ini juga
disebut reduksi, yakni menyaring fenomena untuk sampai ke eideosnya,
sampai ke intisarinya atau yang sejatinya. Hasil dari proses reduksi ini disebut
wesenschau, artinya sampai pada hakikatnya.

4
5

Dari penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa fenomenologi berusaha


mengangkap fenomena sebagaimana adanya atau menurut penampakannya
sendiri. Husserl menggunakan istilah intensionalitas, yakni realitas yang
menampakkan diri dalam kesadaran individu atau kesadaran intensional
dalam menangkap fenomen apa adanya.
Menurut G. van der Leeuw, fenomenologi mencari atau mengamati
fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada tiga prinsip yang
tercakup di dalamnya: sesuatu itu berwujud, sesuatu itu tampak, karena
sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena. Penampakan
itu menunjukkan kesamaan antara yang tampak dengan yang diterima oleh si
pengamat, tanpa melakukan modifikasi.
Membiarkan fenomena itu berbicara sendiri, sehingga oleh kaum
fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang
ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan prinsip ilmu pengetahuan,
sebagaimana dinyatakan J.B Connant, bahwa: cara berpikir ilmiah menuntut
kebiasaan menghadapi kenyataan dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-
konsepsi mana pun sebelumnya. Pengamatan yang cermat dan ketergantungan
pada eksperimen adalah asas penuntun.
Konsep dunia-kehidupan (Lebenswelt)
Dalam kaitannya dengan ilmu sosial, memperbincangkan
fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep
Lebenswelt (yang biasanya diterjemahkan, dunia-kehidupan). Konsep ini
penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau
membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk
menyelamatkan subjek pengetahuan. Edmund Husserl, dalam bukunya yang
termasyhur, The Crisis of European Science and Transcendental
Phenomenology, menyatakan bahwa konsep dunia-kehidupan merupakan
konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang
tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik itu.

5
6

Katanya: dunia-kehidupan adalah dasar makna yang dilupakan bagi ilmu


pengetahuan.
Dunia-kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang
lebih, dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai
basis tindakan komunikasi antarsubjek. Dunia-kehidupan ini adalah unsur-
unsur sehari- hari yang membentuk kenyataan kita, yakni unsur dunia sehari-
hari yang kita libati dan hidupi sebelum kita menteorikannya atau
merefleksikannya secara filosofis. Dunia-kehidupan memuat segala orientasi
yang kita andaikan begitu saja dan kita hayati pada tahap-tahap yang paling
primer. Di dalam kehidupan praktis kita, entah yang sederhana entah yang
sangat rumit, kita bergerak di dalam dunia yang sudah diselubungi dengan
penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat dan juga
sedikit banyak penafsiran-penafsiran itu diwarnai oleh kepentingan-
kepentingan kita, situasi-situasi kehidupan kita, dan kebiasaan-kebiasaan kita.
Kita telah melupakan dunia apa adanya, yaitu dunia-kehidupan, tempat
berpijaknya segala bentuk penafsiran. Oleh karena itu, semboyan Husserl
Zuruck zu de Sachen selbt dimaksudkan sebagai usaha fenomenologis untuk
menemukan kembali dunia kehidupan itu.
Konsep dunia-kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat
kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia,
yaitu dunia sosial. Berbeda dengan ilmu alam, objek dari ilmu-ilmu sosial
meliputi segala sesuatu yang termasuk ke dalam dunia-kehidupan, yaitu segala
bentuk objek-objek simbolis yang dihasilkan dalam percakapan dan tindakan,
mulai dari ungkapanungkapan langsung, seperti pikiran, perasaan, dan
keinginan, maupun melalui endapan-endapannya, seperti dalam teks-teks
kuno, tradisi-tradisi, karya-karya seni, barang-barang kebudayaan, teknik-
teknik, dan seterusnya, sampai pada susunan-susunan yang dihasilkan secara
tak langsung yang sifatnya stabil dan tertata, seperti pranata-pranata, sistem
sosial, struktur kepribadian.

6
7

Wilayah operasi ilmu-ilmu sosial ini, yakni dunia kehidupan sosial,


dijumpai oleh subjek (ilmuwan sosial) sebagai objek-objek yang belum
terstruktur secara simbolis. Objek semacam itu merupakan pengetahuan pra-
teoretis yang dihasilkan para pelaku yang bertindak maupun berbicara.
Dengan kata lain, objek ilmu-ilmu sosial itu adalah pengalaman pra-ilmiah
sehari-hari dari subjek-subjek yang bertindak dan berbicara dalam suatu dunia
sosial. Bidang-bidang dunia-kehidupan sosial yang sekarang telah mendapat
status ilmunya antara lain sejarah, ekonomi, hukum, politik, studi agama,
kesusastraan, kesenian, puisi, musikologi, filsafat, dan psikologi.
Dunia-kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat
observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama
melalui pemahaman. Apa yang ingin ditemukan dalam dunia-sosial adalah
makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati
wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial,
dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu.
Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia-
kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat
menjelaskannya, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat
berpartisipasi ke dalam proses yang mengasilkan dunia-kehidupan itu.
Akhirnya, partisipasi itu mengandaikan bahwa ia sudah termasuk di dalam
dunia-kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas
sejarah lebenswelt tersebut untuk menemukan endapan makna yang
merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka, meskipun pemahaman terhadap
makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun akurasi
kebenarannya sangat ditentukan atau mungkin dijamin oleh aspek
intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana endapan makna yang ditemukan itu
benar-benar direkonstruksi dari duniakehidupan sosial, di mana banyak subjek
sama-sama melibati dan menghayati.

7
8

Demikianlah, dunia-kehidupan sosial merupakan sumbangan berharga


dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem
simbol, yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang
membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak
terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus
mendapatkan dukungan metodologisnya.

B. Hermeneutika
Istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneia
artinya tafsiran kemudian berkembang menjadi hermeneuein yang artinya
menafsirkan, Dalam tradisi Yunani kuno kata hermeneuein dipakai dalam tiga
makna, yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan
menerjemahkan (to translate). Dari tiga makna ini, kemudian dalam kata
Inggris diekspresikan dengan kata: to interpret. Dengan demikian perbuatan
interpretasi menunjuk pada tiga hal pokok yaitu pengucapan lisan (an oral
recitation), penjelasan yang masuk akal (a reasonable explanation), dan
terjemahan dari bahasa lain (a translation from another language), atau
mengekspresikan.
Jika dilihat dari sejarahnya istilah ini erat kaitannya dengan mitologi
Yunani yakni Hermes, seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan
menjelaskan pesan dari para dewa kepada manusia, sedangkan dalam versi
lainnya Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas menafsirkan
kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata manusia (Sidik &
Sulistyana, 2021:23).
Hermeneutika sebagai pendekatan ilmu-ilmu sosial
Fokus utama problem hermeneutika sosial adalah untuk menerobos
otoritas paradigma positivisme dalam ilmu-ilmu sosial dan humanities.
Seperti dalam fenomenologi sosial, dalam hermeneutika peranan subjek yang
menafsirkan juga sangat jelas. Dunia-kehidupan sosial bukan hanya dunia

8
9

yang hanya dihayati individu-individu dalam masyarakat, melainkan juga


merupakan objek penafsiran yang muncul karena penghayatan itu.
Dengan demikian, hermeneutika merupakan penafsiran atas dunia-
kehidupan sosial ini. Konsep penafsiran dan pemahaman ini sekali lagi
merupakan usaha untuk mengatasi objektivisme dari positivisme yang secara
berat sebelah melenyapkan peranan subjek dalam membentuk kenyataan
sosial.

C. Teori Kritis (Critical Theory)


Setelah fenomenologi dan hermeneutika, pendekatan yang ketiga
adalah teori kritis. Teori ini berusaha mengatasi positivisme dalam ilmu sosial
dan memberikan dasar metodologis untuk ilmu sosial. Ini membedakan ilmu
alam dari ilmu sosial.
Teori kritis (Critical Theory) dalam ilmu sosial adalah suatu
pendekatan atau kerangka kerja analitis yang digunakan untuk menganalisis
dan memahami fenomena sosial dengan fokus pada kritik terhadap struktur
kekuasaan, ketidaksetaraan, dan bentuk-bentuk dominasi dalam masyarakat.
Teori kritis mengakar dalam tradisi filsafat dan sosiologi, terutama
dikembangkan oleh para pemikir seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno,
Herbert Marcuse, dan Jürgen Habermas di Sekolah Frankfurt (Frankfurt
School) di Jerman pada abad ke-20.
McCarthy (Tjahyadi 2003) Teori Kritis yang dipahami sebagai teori
sosial yang dikonsepsikan dengan intensi praktis, merupakan buah pikiran
yang muncul dari refleksi yang luas tentang hakikat pengetahuan, struktur
penelitian sosial, dasar normatif interaksi sosial, dan tendensi-tendensi politis,
ekonomis, dan sosio-kultural dari jaman ini.
Teori Kritis merupakan paradigma keilmuan yang dilahirkan oleh para
filsuf yang tergabung dalam mazhab Frankfurt, di Jerman. Namun dalam
perjalanannya pemikiran mazhab Frankfurt menghadapi jalan buntu. Di saat

9
10

itulah Habermas tampil, yang secara tajam memperlihatkan bahwa semua


teori sosial positivistis dan semua teori Marxis, termasuk ahli warisnya, dalam
hal ini mazhab Frankfurt ternyata sama-sama dibangun atas dasar paradigma
kerja sehingga memperlakukan masyarakat sebagai objek alamiah.
Teori Kritis Mazhab Frankfurt dan Posisi Habermas
Miller (Tjahyadi 2003) Habermas adalah juru bicara yang paling kuat
dan berpengaruh sekarang ini dari tradisi Madzab Frankfurt. Menurut
Habermas suatu pola pikir keilmuan tidak hanya sebagai kerangka dalam
membangun ilmu, tetapi lebih jauh dari itu, pola pikir keilmuan itu memiliki
kedudukan yang signifikan dalam bangunan pola hidup, bahkan pengaruhnya
terlihat jelas sampai pada struktur bangunan masyarakat.
Keprihatinan Habermas terutama ditujukan terhadap struktur
masyarakat modern, yang berwujud pola liberalisme di bidang politik dan
kapitalisme di bidang ekonomi. Pola liberalisme-kapitalisme masyarakat
modern ini jelas sebagai akibat langsung dari rasionalisme Pencerahan, yang
mencapai puncaknya pada pola pikir positivisme di bidang ilmu dan
teknologi.
Endres (Tjahyadi 2003) berpijak dari pembacaan tentang masyarakat
modern yang berjangkar pada tradisi pencerahan, Habermas melihat beberapa
tendensi menindas dari tradisi Pencerahan sebagaimana secara terbuka telah
diserang oleh Postmodernisme, karenanya dia menolak pendekatan
transendental dan idealistik atas rasio. Habermas ingin menyajikan sebuah
konsep rasio yang akan dapat dijadikan pijakan evaluasi terhadap norma-
norma sosial.
Seluruh proyek Habermas mengarah pada pembebasan manusia atas
segala bentuk penindasan, termasuk sekalipun penindasan itu dilakukan dalam
dan atas nama rasionalitas modern (Tjahyadi 2003).
Untuk mengatasi problem determinisme ekonomi Marxisme ortodoks
tersebut, kemudian lahir pemikiran kritis yang kemudian dikenal dengan Teori

10
11

Kritis. Teori Kritis itu sendiri sebenarnya dirumuskan oleh Max Horkheimer
dan para filsuf yang tergabung dalam Mazhab Franfurt, sedang posisi
Habermas adalah sebagai pembaharu.
Dalam pandangan Habermas, Teori Kritis Mazhab Frankfurt
melakukan kesalahan ketika menerima begitu saja pemikiran Marx yang
mereduksikan manusia pada satu macam tindakan saja, yaitu pekerjaan,
termasuk ketika berinteraksi dengan orang lain.
Konstruksi Teori Kritis Habermas
Teori Kritis Habermas berakar pada tradisi Jerman, khususnya
transendentalisme Kant, Idealisme Fichte, Hegel, dan Materialisme Marx.
Secara khusus Habermas juga menggunakan sumber lain sebagai kerangka
dasar atas teori yang ditawarkannya. Mulai dari psikoanalisis Frued, tradisi
Anglo-Amerika, yaitu analisis linguistik dari Wittgenstein, John Searle dan
J.L. Austin, pemikiran Linguistik Noam Chomsky, teori-teori psikologi dan
perkembangan moral oleh Frued, Pieget dan Kohlberg sampai pada pemikiran
pragmatis Ame- rika, seperti Peirce, Mead, dan Dewey.
Teori Kritis Habermas mengerucut pada dua persoalan yaitu: Pertama
problem ilmu pengetahuan positivistik, dengan segala argumen atau logika
yang dibawa, terutama soal ilmu bebas nilai dan penyingkiran peran subjek
dari proses penemuan atau paling tidak memandang manusia dan
kemanusiaan hanya dari aspek material nya. Kedua menyangkut keterlibatan
ilmuwan dalam praktek sosial Masyarakat.
Menurut kontruksi teori Habermas, ideologi dan kepentingan manusia
juga memiliki hubungan yang erat antara teori dan praktik. Beberapa
karyanya, terutama Knowledge and Humam Interest (1971) dan terutama
Theory and Practice (1974), menunjukkan hal ini. Oleh sebab itu ilmu
pengetahuan (termasuk ilmu-ilmu sosial) tidak dapat dikelompokkan begitu
saja di dalam ilmu-ilmu teoritis dan ilmu praktis. Tugas ilmu-ilmu teoritis
adalah memberikan penjelasan tentang realitas sosial tanpa memihak atau

11
12

dipengaruhi oleh kepentingan atau hasrat tertentu. Menurut Habermas,


praktek memberikan sesuatu kepada teori, yang dapat dipelajari oleh para
teoritisi dan praktisi. Praktek juga memberikan sesuatu kepada teori sendiri
karena praktek adalah tahap penting dari pembentukan teori.
Rasio Instrumental dan Rasio Komunikasi
Kepentingan teknis bersangkut paut dengan pengendalian alam
melalui rasio instrumental. Rasio instrumental selalu berbicara dengan sarana
hukum-hukum rasional dan silogisme, bukan didasarkan pada pola hubungan
subjek- objek. Rasio inilah yang menggerakkan dan mengarahkan suatu
tindakan rasional. Tindakan rasional tersebut selalu memiliki sasaran tertentu,
yaitu kerja teknis. Sehingga, realitas dipahami sebagai sesuatu yang dapat
dimanipulasi. Sasaran yang ingin diketahui adalah hukum-hukum keteraturan,
continuity, kausalitas, dan semacamnya. Habermas melihat paradigma
positivisme, yang menurutnya, melahirkan ilmu-ilmu empiris analitis,
digerakkan oleh rasio instrumental ini.
Komunikasi tak akan terjadi tanpa kebebasan. Komunikasi selalu
terjadi antara pihak yang sama kedudukannya. Komunikasi justru bukan
hubungan kekuasan, melainkan hanya dapat terjadi apabila kedua belah pihak
saling mengakui kebebasan dan saling percaya. Sedangkan dalam pekerjaan,
hubungan antara manusia dan alam dan juga manusia dengan manusia tidak
simetris, menghegemoni dan saling menguasai. Komunikasi senantiasa
bersifat dialogis dan bukan monologis, bukan individualistik melainkan sosial.
Dalam komunikasi terjadi apa yang oleh G.H. Mead disebut sebagai ideal role
taking; masing- masing partisipan mengambil alih peran partisipan lain.
Dengan cara itu masing-masing dapat mengedepankan kepribadiannya sendiri
sekaligus mengambil alih peran orang lain. Sebuah komunikasi itu rasional
apabila saling pengertian tercapai.
Sebagai konsekuensi masyarakat komunikasi, emansipasi merupakan
kebutuhan manusia yang perlu mendapat dukungan metodologi. Maka jenis

12
13

ilmu pengetahuan yang ketiga menjadi penting, karena kebutuhan emansipasi


diri ini belum dipenuhi oleh kedua jenis ilmu pengetahuan lainnya.
Emansipasi di sini adalah sifat sesuatu, khususnya teori, yang bisa
membebaskan manusia dari segala belenggu yang menghambat pelaksanaan
dirinya sebagai manusia, demi kedaulatan dirinya Ilmu pengetahuan histories–
hermeneutis, menurut Habermas, memang telah memenuhi kebutuhan
komunikasi, namun dapat saja menjurus kepada hilangnya kesadaran kritis
dengan melalaikan fakta bahwa bahasa pada dasarnya tidak hanya sekedar
medium komunikasi. Di samping itu, tradisi dapat menjadi oppressive
(menindas) dan hegemonik kerena ia tidak terbuka terhadap interpretasi
ideologis.
Kritik Ideologi
Sebagai kerangka dalam membangun keilmuan emansipatif, yang
menyuarakan kesadaran (refleksi diri), sasaran Teori Kritis adalah kritik
terhadap segala bentuk statisme, baik yang digerakkan oleh rasionalitas
individu maupun ideologi masyarakat. Dalam persoalan kritik ideologi, Teori
Kritis mempunyai tiga pandangan. Pertama, kritik sacara radikal terhadap
masyarakat dan ideologi-ideologi dominan, tidak bisa dipisahkan, tujuan akhir
dari keseluruhan penelitian sosial tidak lain adalah elaborasi secara integral
dari bentuk kritik radikal ini. Kedua, kritik ideologi tidak dilakukan untuk
memberikan semacam justifikasi dalam bentuk kritik moral. Segala bentuk
ideologis dari sebuah kesadaran tidak akan diteliti apakah dia benar,
memuaskan, buruk dan sebagainya. Kritik ideologi mempermasalahkan
apakah sesuatu hal itu merupakan kesadaran palsu, khayalan atau lainnya.
Meski harus dipahami bahwa kritik ideologi sendiri masih berada dalam taraf
kognitif, ia merupakan bagian dari taraf pengetahuan, yaitu pengetahuan
sosial-kritis (bukan sebagai bentuk ideologi baru). Ketiga, sebagai jiwa dari
ilmu pengetahuan sosial-kritis, kritik ideologi secara khusus diletakkan dalam
menganalisa perubahan-perubahan penting dalam pandangan dan kerangka

13
14

epistimologis tradisional. Untuk ini, Habermas telah mencontohkannya


terhadap positivisme.
Dalam praktek dunia-kehidupan sosial, banyak sekali ide yang secara
terselubung siap dipakai untuk menjelaskan dan sekaligus membenarkan
tindakan sebagai pengganti motif yang sebenarnya dari tindakan itu. Jika
dihubungkan dengan pengetahuan, maka penting sekali untuk membuka
kembali motif-motif yang tersembunyi dan melihat seberapa jauh motif-motif
itu mempengaruhi pengetahuan manusia. Seberapa jauh peranan interest-
interest dalam proses kognitif manusia, dan lebih penting lagi seberapa jauh
interest praktis membimbing atau menyesatkan kesadaran manusia. Inilah
yang dianjurkan oleh pendekatan kritik ideologi dalam epistimologi modern,
yaitu semacam tugas psikoanalisis pada tingkat kolektif untuk melakukan
kritik terhadap objektifitas pengetahuan.

14
15

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Beberapa teori yang selalu terlibat dalam diskusi metodologi dengan
positivisme adalah fenomenologi, hermeneutika, dan teori kritis. Tiga
pendekatan ini sama-sama mencoba mengatasi positivisme dalam ilmu sosial
dengan menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan subjek yang
menafsirkan objeknya sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses keilmuan.
Fenomenologi mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang
tampak. Dalam hal ini ada tiga prinsip yang tercakup di dalamnya: sesuatu itu
berwujud, sesuatu itu tampak, karena sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia
merupakan fenomena. Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara yang
tampak dengan yang diterima oleh si pengamat, tanpa melakukan modifikasi.
Hermeneutika merupakan penafsiran atas dunia-kehidupan sosial ini.
Konsep penafsiran dan pemahaman ini sekali lagi merupakan usaha untuk
mengatasi objektivisme dari positivisme yang secara berat sebelah
melenyapkan peranan subjek dalam membentuk kenyataan sosial.
Sedangkan teori kritis (critical theory) adalah suatu pendekatan atau
kerangka kerja analitis yang digunakan untuk menganalisis dan memahami
fenomena sosial dengan fokus pada kritik terhadap struktur kekuasaan,
ketidaksetaraan, dan bentuk-bentuk dominasi dalam masyarakat.

B. Saran
Filsafat ilmu merupakan pemikiran reflektif, radikal dan mendasar atas
berbagai persoalan mengenai ilmu pengetahuan, landasan dan hubungannya
dengan segala segi kehidupan manusia, dengan demikian topik diskusi
mengenai ilmu-ilmu sosial sebagai bagian dari filsafat ilmu diharapkan dapat
menjadi tambahan pengetahuan dan ilmu yang bermanfaat bagi para pembaca.

15
16

DAFTAR PUSTAKA

Muslih, M. (2016). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Lesfi.

Sidik, H & Sulistyana, I. P. (2021). “Hermeneutika Sebuah Metode Interpretasi


Dalam Kajian Filsafat Sejarah.” Jurnal Agastya 11, no. 1: 19-34.

Tjahyadi, S. (2003). “Teori Kritik Jurgen Habermas Asumsi-Asumsi Dasar Menuju


Metodologi Kritik Sosial.” Jurnal Filsafat 13, no. 2: 180–197.

16

Anda mungkin juga menyukai