“ ILMU-ILMU SOSIAL ”
Asmar (230014301011)
Zulfitri (230014301017)
Nurmila (230014301022)
PROGRAM PASCASARJANA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Tim Penulis
i
ABSTRAK
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR …………………………………………………………. i
ABSTRAK ……………………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Fenomenologi................................................................................................3
B. Hermeneutika ................................................................................................8
C. Teori Kritis ....................................................................................................9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................15
B. Saran ...........................................................................................................15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa sumber menyebutkan, tidak kurang dari 400 tahun, dunia
keilmuan telah berada dalam dominasi dan otoritas paradigma positivisme,
tidak hanya terhadap ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu
humanities. Isu utama yang dibawa positivisme adalah problem metodologi,
yang memang dapat dikatakan bahwa refleksi filsafatnya sangat
menitikberatkan pada aspek metodologi. Kalau suatu metodologi berarti salah
satu cara untuk memperoleh pengetahuan yang sahih tentang kenyataan,
pergeseran tempat oleh positivisme dari problem pengetahuan (yakni
persoalan hubungan subjek dan objek, yang menjadi wilayah kajian
epistemologi) kepada problem metodologi pada dasarnya merupakan suatu
penyempitan atau reduksi pengetahuan itu sendiri. Reduksi ini sebenarnya
sudah terkandung dalam istilah positif itu sendiri, yang bisa dipahami sebagai:
apa yang berdasarkan fakta objektif.
Apa yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis
pengetahuan ini bukanlah pola pikir positivistis yang memang sesuai bila
diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu
sosial.
Persoalan serius yang selalu menarik perhatian dalam diskusi-diskusi
ilmu-ilmu sosial adalah soal objek observasinya yang berbeda dari objek
ilmu-ilmu alam, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.
Berbeda dari proses-proses alam yang dapat diprediksi dan dikuasai secara
teknis, prosesproses sosial terdiri dari tindakan-tindakan manusia yang tak
dapat begitu saja diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis. Masih banyak
pembedaan lain yang harus dilakukan agar masyarakat tidak begitu saja
1
2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendekatan fenomenologi dalam ilmu- ilmu sosial?
2. Bagaimana pendekatan hermeneutika dalam ilmu- ilmu sosial?
3. Bagaimana pendekatan teori kritis dalam ilmu-ilmu sosial?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pendekatan fenomenologi dalam ilmu- ilmu sosial.
2. Mengetahui pendekatan hermeneutika dalam ilmu- ilmu sosial.
3. Mengetahui pendekatan teori kritis dalam ilmu- ilmu sosial.
2
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: phainestai yang
berarti menunjukkan dan menampakkan diri sendiri. Sebagai aliran
epistemologi, fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl (1859-
1938), meski sebenarnya istilah tersebut telah digunakan oleh beberapa filsuf
sebelumnya. Secara umum pandangan fenomenologi ini bisa dilihat pada dua
posisi, yang pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme
sebagaimana digambarkan di atas, dan yang kedua, ia sebenarnya sebagai
kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant terutama konsepnya
tentang fenomenon-numenon.
Dari sini tampak bahwa Kant menggunakan kata fenomena untuk
menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena
adalah realitas yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant,
manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam
kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar berupa benda-benda atau
nampak tetap menjadi objek kesadaran kita yang kita kenal. Noumena yang
selalu tetap menjadi teka-teki dan tinggal sebagai “x” yang tidak dapat dikenal
karena ia terselubung dari kesadaran kita. Fenomena yang nampak dalam
kesadaran kita ketika berhadapan dengan realitas (noumena) itulah yang kita
kenal. Melihat warna biru, misalnya tidak lain adalah hasil cerapan indrawi
yang membentuk pengalaman batin yang diakibatkan oleh sesuatu dari luar.
Warna biru itu sendiri merupakan realitas yang tidak dikenal pada diri sendiri.
Ini berarti kesadaran kita tertutup dan terisolasi dari realitas. Demikianlah,
Kant sebenarnya mengakui adanya realitas eksernal yang berada di luar diri
manusia, yaitu sebuah realitas itu ia sebut das Ding an Sich (objek pada
3
4
dirinya sendiri) atau noumena, tetapi menurutnya, manusia tidak ada sarana
ilmiah untuk mengetahuinya.
Sebagai reaksi terhadap pemikiran sebelumnya, berikut ini akan
dibahas dua pandangan fenomenologi yang cukup penting, yaitu prinsip
epoche dan eidetic vision dan konsep dunia kehidupan (Lebenswelt).
Prinsip epoche dan eidetic vision
Seperti telah disinggung sebelumnya, Husserl mengajukan konsepsi
yang berbeda dengan para pendahulunya mengenai proses keilmuan. Tugas
utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia
dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan sesuatu yang berbeda pada
dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Husserl menggunakan istilah
fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita
dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan
kategori pikiran kita padanya.
Husserl mengajukan metode epoche. Kata epoche berasal dari bahasa
Yunani, yang berarti: menunda putusan atau mengosongkan diri dari
keyakinan tertentu. Epochè bisa juga berarti tanda kurung (breaketing)
terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari sesuatu fenomena yang tampil,
tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Dalam hal ini
Husserl mengatakan, bahwa epochè merupakan thesis of the natural
standpoint (tesis tentang pendirian yang natural), dalam arti bahwa fenomena
yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh
presupposisi pengamat.
Metode epoche merupakan langkah pertama untuk mencapai esensi
fenomena dengan menunda putusan lebih dahulu. Langkah kedua, Husserl
menyebutnya dengan eidetic vision atau membuat ide. Eidetic vision ini juga
disebut reduksi, yakni menyaring fenomena untuk sampai ke eideosnya,
sampai ke intisarinya atau yang sejatinya. Hasil dari proses reduksi ini disebut
wesenschau, artinya sampai pada hakikatnya.
4
5
5
6
6
7
7
8
B. Hermeneutika
Istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneia
artinya tafsiran kemudian berkembang menjadi hermeneuein yang artinya
menafsirkan, Dalam tradisi Yunani kuno kata hermeneuein dipakai dalam tiga
makna, yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan
menerjemahkan (to translate). Dari tiga makna ini, kemudian dalam kata
Inggris diekspresikan dengan kata: to interpret. Dengan demikian perbuatan
interpretasi menunjuk pada tiga hal pokok yaitu pengucapan lisan (an oral
recitation), penjelasan yang masuk akal (a reasonable explanation), dan
terjemahan dari bahasa lain (a translation from another language), atau
mengekspresikan.
Jika dilihat dari sejarahnya istilah ini erat kaitannya dengan mitologi
Yunani yakni Hermes, seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan
menjelaskan pesan dari para dewa kepada manusia, sedangkan dalam versi
lainnya Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas menafsirkan
kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata manusia (Sidik &
Sulistyana, 2021:23).
Hermeneutika sebagai pendekatan ilmu-ilmu sosial
Fokus utama problem hermeneutika sosial adalah untuk menerobos
otoritas paradigma positivisme dalam ilmu-ilmu sosial dan humanities.
Seperti dalam fenomenologi sosial, dalam hermeneutika peranan subjek yang
menafsirkan juga sangat jelas. Dunia-kehidupan sosial bukan hanya dunia
8
9
9
10
10
11
Kritis. Teori Kritis itu sendiri sebenarnya dirumuskan oleh Max Horkheimer
dan para filsuf yang tergabung dalam Mazhab Franfurt, sedang posisi
Habermas adalah sebagai pembaharu.
Dalam pandangan Habermas, Teori Kritis Mazhab Frankfurt
melakukan kesalahan ketika menerima begitu saja pemikiran Marx yang
mereduksikan manusia pada satu macam tindakan saja, yaitu pekerjaan,
termasuk ketika berinteraksi dengan orang lain.
Konstruksi Teori Kritis Habermas
Teori Kritis Habermas berakar pada tradisi Jerman, khususnya
transendentalisme Kant, Idealisme Fichte, Hegel, dan Materialisme Marx.
Secara khusus Habermas juga menggunakan sumber lain sebagai kerangka
dasar atas teori yang ditawarkannya. Mulai dari psikoanalisis Frued, tradisi
Anglo-Amerika, yaitu analisis linguistik dari Wittgenstein, John Searle dan
J.L. Austin, pemikiran Linguistik Noam Chomsky, teori-teori psikologi dan
perkembangan moral oleh Frued, Pieget dan Kohlberg sampai pada pemikiran
pragmatis Ame- rika, seperti Peirce, Mead, dan Dewey.
Teori Kritis Habermas mengerucut pada dua persoalan yaitu: Pertama
problem ilmu pengetahuan positivistik, dengan segala argumen atau logika
yang dibawa, terutama soal ilmu bebas nilai dan penyingkiran peran subjek
dari proses penemuan atau paling tidak memandang manusia dan
kemanusiaan hanya dari aspek material nya. Kedua menyangkut keterlibatan
ilmuwan dalam praktek sosial Masyarakat.
Menurut kontruksi teori Habermas, ideologi dan kepentingan manusia
juga memiliki hubungan yang erat antara teori dan praktik. Beberapa
karyanya, terutama Knowledge and Humam Interest (1971) dan terutama
Theory and Practice (1974), menunjukkan hal ini. Oleh sebab itu ilmu
pengetahuan (termasuk ilmu-ilmu sosial) tidak dapat dikelompokkan begitu
saja di dalam ilmu-ilmu teoritis dan ilmu praktis. Tugas ilmu-ilmu teoritis
adalah memberikan penjelasan tentang realitas sosial tanpa memihak atau
11
12
12
13
13
14
14
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beberapa teori yang selalu terlibat dalam diskusi metodologi dengan
positivisme adalah fenomenologi, hermeneutika, dan teori kritis. Tiga
pendekatan ini sama-sama mencoba mengatasi positivisme dalam ilmu sosial
dengan menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan subjek yang
menafsirkan objeknya sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses keilmuan.
Fenomenologi mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang
tampak. Dalam hal ini ada tiga prinsip yang tercakup di dalamnya: sesuatu itu
berwujud, sesuatu itu tampak, karena sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia
merupakan fenomena. Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara yang
tampak dengan yang diterima oleh si pengamat, tanpa melakukan modifikasi.
Hermeneutika merupakan penafsiran atas dunia-kehidupan sosial ini.
Konsep penafsiran dan pemahaman ini sekali lagi merupakan usaha untuk
mengatasi objektivisme dari positivisme yang secara berat sebelah
melenyapkan peranan subjek dalam membentuk kenyataan sosial.
Sedangkan teori kritis (critical theory) adalah suatu pendekatan atau
kerangka kerja analitis yang digunakan untuk menganalisis dan memahami
fenomena sosial dengan fokus pada kritik terhadap struktur kekuasaan,
ketidaksetaraan, dan bentuk-bentuk dominasi dalam masyarakat.
B. Saran
Filsafat ilmu merupakan pemikiran reflektif, radikal dan mendasar atas
berbagai persoalan mengenai ilmu pengetahuan, landasan dan hubungannya
dengan segala segi kehidupan manusia, dengan demikian topik diskusi
mengenai ilmu-ilmu sosial sebagai bagian dari filsafat ilmu diharapkan dapat
menjadi tambahan pengetahuan dan ilmu yang bermanfaat bagi para pembaca.
15
16
DAFTAR PUSTAKA
16