Anda di halaman 1dari 31

Tugas Kelompok

KRITERIA KEBENARAN DAN PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Dosen : Dr. H. Sarmidi, M.Ag.

Disusun oleh
Kelompok 2:
Rizki Hasanah (2111120208)
Aulia Rahmi (2111120209)
Umi Maisarah (2111120212)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN BAHASA
PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INGGRIS
TAHUN 2021/1443 H.
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kepada Allah SWT karena atas berkah dan rahmatnya,
sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “kriteria kebenaran dan
perkembangan ilmu pengetahuan”

Selanjutnya, penulisan makalah ini juga tidak lepas dari bimbingan dan dukungan
berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya untuk dosen pengampu mata kuliah filsafat ilmu dan juga
teman-teman.

Kami sadar bahwa makalah ini belum sempurna, sehingga kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan. Kepada Allah SWT kami serahkan segalanya. Kami
mengharapkan semoga karya tulis ilmiah ini berguna bagi semua pihak.

Kelompok 2

Palangka Raya, Oktober 2021

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Pembahasan 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kriteria Kebenaran Ilmu Pengetahuan 4


1. Teori Korespondensi
(Correspondence Theory of Truth) 5
2. Teori Koherensi
(Coherence Theory of Truth) 6
3. Teori Pragmatisme
(The pramagtic theory of truth) 7
4. Teori Performatif 7
5. Agama sebagai Teori Kebenaran 8
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan 9
1. Masa Yunani Klasik (750 - 323 S.M.) 10
2. Masa Hellenisme (323 - 30 S.M.) 12
3. Masa Hellenisme Roma (30 - 476 M) 13
4. Masa Abad Pertengahan (476 -1350 M)……………………...….14
5. Masa Renaissan (1350 -1600 M.) ………………………………..16

2
6. Masa Modern (1600 -1900 M.) 17
7. Masa Post Modern (1900 M. - sekarang)…………………..…….17

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 18
B. Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 22

3
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kata ilmu dalam bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau
mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti
memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui
masalah-masalah sosial, dan sebagainya.1 Ilmu pengetahuan dalah usaha-usaha
sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan
rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi
lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.2

Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum


sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara
sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.
Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berpikir lebih
jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk
dari epistemologi, dengan kata lain ilmu terbentuk dari 3 cabang filsafat yakni
ontologi, epistemologi dan aksiologi, jika ketiga cabang itu terpenuhi berarti sah dan
diakui sebagai sebuah ilmu.3

Ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan


mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu.4 Sifat ilmiah

1
Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qu'ran, Grafindo, Jakarta, 1996, hal. 7.
2
Prof. Dr. C.A. van Peursen: Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya. Dikutip dari buku B. Arief Sidharta.
Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu?, Pustaka Sutra, Bandung 2008. Hal 7-11
3
https://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu
4
Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Halaman 8.

1
sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah
ada lebih dahulu.

1. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu
golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar
maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau
mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam
mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian
antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif;
bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang
penelitian.
2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi
kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran.
Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian
kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang
berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu
yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan
menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam
hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem
yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu
menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya.
Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab
akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran
universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh:
semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat
ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar
ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan
ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena
itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus
tersedia konteks dan tertentu pula.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai


berikut :
1. Apa saja kriteria kebenaran ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu pengetahuan?

C. Tujuan Pembahasan

Dari rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apa saja kriteria ilmu pengetahuan


2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan ilmu pengetahuan
BAB II

Landasan Teori

A. Kriteria Kebenaran Ilmu Pengetahuan

Pada dasarnya awal dari pemikiran filsafat adalah pengetahuan, pengetahuan


dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat
dimulai dengan keduaduanya. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang
dipelajari untuk bisa mengetahui segala sesuatu di dalam kehidupan. Sering kali
seseorang mempunyai keinginan untuk mengetahui sesuatu. Sesuatu yang ingin
diketahui itu ada dalam kehidupan sehari-hari. Ada kalanya, rasa ingin tahu itu hanya
sekedar keingintahuan yang sebentar.

Di sisi lain, terkadang ada juga seseorang yang ingin mengetahui suatu hal
karena memang benar-benar ingin tahu. Sehingga dia akan mencari apa yang ingin
diketahuinya itu sampai dia mendapatkannya. Setelah hal yang dicari itu didapatkan,
itulah yang dinamakan ilmu pengetahuan. Ada lagi saat-saat ketika seseorang ingin
mendapatkan suatu pengetahuan, orang itu akan menemui keraguan dalam
mengambil keputusan. Rasa ragu-ragu inilah yang nantinya akan menghasilkan suatu
kepastian. Pada saat rasa ingin tahu sesorang muncul dan menemui keraguan dalam
membuat keputusan itulah yang memulai adanya filsafat..

Purwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, menerangkan bahwa


kebenaran itu adalah 5
1. Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan
yang sesungguhnya. Misalnya kebenaran berita ini masih saya ragukan, kita harus
berani membela kebenaran dan keadilan.

5
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Referensi, 2012), hlm. 96.

5
2. Sesuatu yang benar (sugguh-sugguh ada, betul-betul hal demikian halnya,
dan sebagainya). Misalnya kebenaran-kebenran yang diajarkan agama.
3. Kejujuran, kelurusan hati, misalnya tidak ada seorangpun sanksi akan
kebaikan dan kebenaran hatimu.

Sedang menurut Abbas Hamami, kata “kebenaran” bisa digunakan sebagai


suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak.6 Jika subyek hendak menuturkan
kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna
yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Adanya kebenaran itu
selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subyek yang mengetahui)
mengenai obyek. Jadi, kebenaran ada pada seberapa jauh subjek mempunyai
pengetahuan mengenai objek.7 Sedangkan pengetahuan bersal mula dari banyak
sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran
kebenaran.
Beberapa ini adalah teori-teori kebenaran:
1. Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth)
Teori kebenaran korespondensi, Correspondence Theory of Truth yang
kadang disebut dengan accordance theory of truth, adalah teori yang berpandangan
bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta
atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut.
Kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesuaian (correspondence) antara rti
yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh
pernyaan atau pendapat tersebut.8 Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar
jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta.

6
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Liberti, 2003), cet-3. Hlm.
7
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 85.
8
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2000, cet. ke 13), hlm. 57.
Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan
menyatakan apa adanya.9
Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme.
Di antara pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, dan Ramsey. Teori ini
banyak dikembangkan oleh Bertrand Russell (1972-1970).10 Teori ini sering
diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran
korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan
ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad
Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan atau
realitas yang diketahuinya.11
2. Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth)
Teori kebenaran koherensi atau konsistensi adalah teori kebenaran yang
didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar
bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang
berhubungan secara logis. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas
hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi
atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri.12
Teori ini berpendapat bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu
pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu
diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu
berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan
tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya
yang dianggap benar.13

9
Amsal Bakhtiar, Op.Cit., hlm.112.
10
Jujun S., Filsafat Ilmu..., hlm. 54.
11
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme, (Yogyakarta:
Rakesarasin, 2001, Edisi-2), hlm. 20.
12
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu., hlm. 116.
13
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu… hlm. 55.
Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat
penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah
diketahui,diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini mengenal
tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar koherensi merupakan ukuran bagi derajat
kebenaran.14
Kalau ditimbang dan dibandingkan dengan teori korespondensi, teori
koherensi, pada kenyataannya kurang diterima secara luas dibandingkan teori
pertama tadi. Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya,
astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap
astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau
realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan
kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan
pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui
kebenarannya.15

3. Teori Pragmatisme (The pramagtic theory of truth.)


Pramagtisme berasal dari bahawa Yunan pragmai, artinya yang dikerjakan, yang
dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh
William James di Amerika Serikat16
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari
ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar
tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori
tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.17

14
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu… hlm. 56.
15
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 51.
16
A Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam dimensi Ontologis,............ hlm. 86
17
Jujun S. Suriasumantri, Filsfat Ilmu… hlm. 58.
4. Teori Performatif
Teori ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960) 18dan dianut oleh
filsuf lain seperti Frank Ramsey, dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau menentang
teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan
sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu
yang memang dianggap benar. Demikian sebaliknya. Namun justru inilah yang ingin
ditolak oleh para filsuf ini.19
Teori performatif menjelaskan, suatu pernyataan dianggap benar jika ia
menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang
mengungkapkan realitas, tetapi justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas
sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Teori ini disebut juga “tindak
bahasa” mengaitkan kebenaran satu tindakan yang dihubungkan dengan satu
pernyataan.20

5. Agama sebagai Teori Kebenaran


Pada hakekatnya, manusia hidup di dunia ini adalah sebagai makhluk yang
suka mencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah
agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala
persoalan asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun
tentang Tuhan. Dalam mendapatkan kebenaran menurut teori agama adalah wahyu
yang bersumber dari Tuhan.21Manusia dalam mencari dan menentukan kebenaran
sesuatu dalam agama denngan cara mempertanyakan atau mencari jawaban
berbagai masalah kepada kitab Suci. Dengan demikian, sesuatu hal dianggap benar

18
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu…, hlm. 54.
19
Jujun S. Susiasumantri, Filsafat Ilmu.., hlm. 59.
20
Ahyar Lubis, Filsafat Ilmu, hlm., 55.
21
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu… 121.
apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentuk kebenaran
mutlak.22
Beberapa teori pendekatan mengenai kebenaran, berikut ini contoh tiga
kriteria kebenaran:
1. Teori Koherensi yaitu suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar. Misalnya bila kita menganggap bahwa, "semua manusia pasti akan
mati" adalah suatu pernyataan benar maka pernyataan bahwa, "si polan adalah
seorang manusia dan si polan pasti akan mati" adalah benar pula karena kedua
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama
2. Teori Korespondensi yang ditemukan oleh Bertrand Russell (1872-1970).
Suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan
itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut. Misalnya jika seseorang mengatakan bahwa ibukota republik Indonesia
adalah Jakarta maka pernyataan tersebut adalah benar sebab pernyataan itu dengan
obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta yang memang menjadi ibukota republik
Indonesia.
3. Teori Pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914). Suatu
pernyataan adalah benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.Misalnya jika orang
menyatakan sebuah teori X dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut
dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X itu
dianggap benar sebab teori X ini fungsional dan mempunyai kegunaan.23

B. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan

22
Ibid, 121.
23
Sudirdja, E. R. 2010. Rangkuman Buku Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Bandung: Fakultas
Hukum Universitas Pasundan
Sebelum menemukan ilmu pengetahuan, manusia sudah memiliki
pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki pada saat itu bersumber dari mitologi.
Salah satu pengetahuan yang didasarkan pada mitologi. Adanya fenomena pelangi di
langit. Dalam mitologi Yunani bahwa pelangi adalah merupakan cermin dari bidadari
di surge. Atau ketika terjadi bencana alam seperti gunung meletus, diasumsikan
dengan adanya kemarahan “penunggu” alam. Masa ini dicirikan dengan beberapa
ciri sebagai berikut: Pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada
pengalaman. Kedua Pengetahuan diterima sebagai fakta dengan sikap selalu
menghubungkan dengan kekuatan magis. Ketiga, kemampuan menemukan abjad
dan sistem bilangan alam sudah menampakkan perkembangan pemikiran manusia
ke tingkat abstraksi. Terakhir, keempat, Kemampuan meramalkan suatu peristiwa
atas dasar peristiwaperistiwa sebelumnya yang pernah terjadi24
Selanjutnya lahirlah orang-orang yang sekeptis atas berbagai pengetahuan
yang ada. Mereka mempertanyakan segala sesuatu terkait mitologi. Dari nalar kritis
inilah maka lahirlah ilmu pengetahuan. Pada awalnya perkembangan ilmu
pengetahuan tentu sangat sederhana. Para perintis ilmu pengetahuan pada awalnya
mereka melakukan refleksi atau perenungan terhadap alam semesta. Mereka
mendapati hal-hal yang tidak relevan antara mitologi dengan fakta dan fenomena
alam. Dari respon kritis semacam inilah maka ilmu pengetahuan lahir. Dengan
demikian menggunakan nalar dengan cara berpikir kritis atas segala apa yang kita
lihat, kita dengar, dan kita rasakan menjadi penting untuk kehidupan kita. Ilmu
pengetahuan tidak akan pernah ditemukan dan berkembang jika kita stagnan dalam
berpikir. Oleh klarena itu, bersikap skeptis (meragukan) apa pun yang kita dapati
dalam kehidupan adalah kunci untuk menguak tabir, sehingga terbuka ilmu
pengetahuan.

24
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, (Bogor: IPB Press, 2016), hal. 26.
Agar pembahasan terkait sejarah perkembangan ilmu ini sistematis, maka
pembahasannya akan diurutkan sebagai berikut:
1. Masa Yunani Klasik (750 - 323 S.M.)
Masa ini ditandai dengan adanya respon kritis dari orang-orang yang
kemudian dikenal dengan filosof. Pemikiran filsafat mereka pada masa-masa awal
lebih ditekankan pada fenomena alam, sehingga masa ini disebut juga dengan masa
filsafat alam. Masa ini disebut dengan filsafat alam karena pemikiran yang
berkembang pada saat itu adalah tentang arche (inti alam). Pertanyaan mendasar di
era ini adalah :”Dari manakah asalnya alam raya ini?”. Pemikiran terhadap alam ini
merupaka sesuatu yang wajar, mengingat dari zaman primitif, ketika manusia belum
menggunakan potensi akalnya untuk berpikir, mereka sudah meyakini akan adanya
“Sang Penguasa Alam”. Sang penguasa alamlah yang mendatangkan hujan, banjir,
badai, bahkan gunung yang meletus. Merespon fenomena yang terjadi di alam ini,
manusia primitive dengan cara memberikan sesaji. Maka dalam sejarah agama, kita
mendapati fase animism dan dinamisme dalam kehidupan manusia. Bahkan
menurut Buya Hamka, ketika manusia mulai menggunakan akalnya, justru ia
kemudian berimajinasi tentang “Yang Maha Kuasa” tersebut dengan disimbolkan
sesuai perasaan yang dimilikinya. Dari sinilah ,muncul simbol dan lambang
dewa-dewa yang diabadikan dalam bentuk patung dan lainnya25
Thales (625-545 S.M.) adalah filosof pertama yang ajarannya sampai dengan
saat ini. Kendatipun pada masa ia hidup ajaran-ajaran filsafatnya tidak pernah ditulis,
tetapi ajaran-ajarannya tetap terjaga karena diwariskan secara turun temurun secara
lisan. Baru pada masa Aristoteleslah ajaran Thales ditulis, dan akhirnya sampai pada
masa kita sekarang ini. Thales beraendapat bahwa alam ini berasal dari Air. Bagi
Thales air adalah sebab yang pertama dari segala yang ada dan yang jadi. Ia juga
akhir dari segala yang ada dan yang jadi. Selain Thales pada masa ini juga ada

25
Falsafah Ketuhanan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2017), hal. 2.
Anximandros (610-547 S.M.), seorang filosof yang juga mencurahkan perhatiannya
kepada alam raya. Berbeda dengan Thales yang mengatakan bahwa asal segala
sesuatu air Anaximandros berpendapat bahwa asal segala sesuatu adalah Apeiron.
Apeiron dimaknai oleh Anaximandros Zat yang satu, ia tidak berhingga dan tidak
berkeputusan. Selain anximandros ada juga anximenes (585-528 S.M.). Anaximenes
berpendapat bahwa asal segala sesuatu dalam raya adalah udara. Udaralah asal dan
akhir segala yang wujud dalam alam raya.26
Berbeda dengan pendapat para filosof sebelumnya, Pythagoras (lahir tahun
580 S.M.), adalah filosof yang mengatakan bahwa asal segala sesuatu adalah angka
dan pokok segala angka ialah satu.27
Ia juga berpendapat bahwa asal manusia adalah Tuhan. Lebih lanjut
Pythagoras berpendapat, bahwa jiwa manusia adalah penjelmaan dari Tuhan yang
jatuh ke bumi karena dosa. Ia akan kembali ke langit ke lingkungan Tuhan,jika
dosanya sudah dicuci.28
Periode selanjutnya orang-orang Yunani tidak lagi mempertanyakan tentang
arche, yang merupakan pembahasan tentang makrokosmos. Setelah memandang
langit dan bumi kemudian mereka memfokuskan perhatiannya pada diri mereka
sendiri, sebagai manuisa (mikrokosmos). Socrates (470-399 S.M.) adalah filosof
pertama yang mulai mempertanyakan tentang esensi manusia. Dengan
memfokuskan diri pada esensi manusia, maka lahirlah ilmu jiwa (psikologi), politik
dan etika. Upaya Sokrates kemudian disempurnakan oleh muridnya Plato (427-347
S.M.). konsep-konsep pemikiran gurunya baik terkait psiokolgi, etika maupun politik
dilengkapi dengan konsep-konsep yang lebih subtantif. Sebagai contoh dalam

26
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 5-12.
27
Hamka, Falsafah Ketuhanan…, hal. 11.
28
Mohammad Hatta, Alam Pikiran…, hal. 29.
pandangan Plato bahwa politik kenegaraan memiliki peran yang penting untuk
mewujudkan etika sebagai instrument penting dalam mencapai kebahagiaan hidup.29
2. Masa Hellenisme (323 - 30 S.M.)
J.G. Droysen ahli sejarah asal Jerman adalah orang yang pertama kali
memperkenalkan term “Hellenisme”. Biasanya zaman Hellenik yang disebut-sebut
sebagai peralihan itu adalah masa sejak tahun 323 sampai 30 S.M. atau dari
kematian Iskandar Agung sampai penggabungan Mesir (setelah ditakluknya
Kleopatra) ke dalam kekaisaran Romawi. Sebab dalam periode itu muncul banyak
kerajaan di sekitar Laut Tengah, khususnya di pasisir timur dan selatan, seperti Syiria
dan Mesir yang diperintah oleh bangsa Mecedonia dari Yunani. Akibatnya, mereka
ini membawa berbagai perubahan besar dalam banyak bidang di kawasan itu, antara
lain bahasa (daerah-daerah itu didominasi oleh bahasa Yunani) dan pemikirannya
(ilmu pengetahuan, terutama filsafat), diserap oleh daerah-daerah itu melalui
berbagai cara.30
Masa ini ditandai dengan dua hal, pertama, penggabungan beberapa Negara
yang ditaklukkan oleh Iskandar Yang Agung (The Great Alexander), menyebabkan
terjadinya percampuran antarbudaya dari beberapa belahan dunia. Hal ini terjadi,
karena Iskandar menaklukkan wilayah yang begitu luas, termasuk Negara-negara
yang memiliki peradaban tinggi seperti Persia (Irak dan Iran), Mesir, Arab, dan India.
Dengan penaklukkan wilayah-wilayah tersebut tidak hanya merobohkan pagar batas
Negara yang begitu luas, tetapi juga percampuran budaya, termasuk menyebarnya
gagasan filsafat Yunani, yang selama ini hanya berada di Yunani, kini menyebar dan
bertemu dengan peradaban dunia lain. Tentu bisa kita prediksi dengan persebaran
yang begitu massif, maka terjadi dialog antarperadaban. Dialektika peradaban
tersebut akhirnya mewujudkan jenis kebudayaan baru dalam dunia filsafat. Menurut

29
K. Bertens, sejarah Filsafat Yunani, (Jakarta: Kanisius, 1992), hal.116.
30
https://www.google.com/search?q=hellenisme+jurnal&oq=he&aqs=chrome.0.69i59l2j69i57j0j46j0j
46j0
Mohammad Hatta, banyak ahli-ahli pikir oriental datang ke Atena dan mempelajari
filsafat di sana. Namaun demikian menurut Hatta, bahwa Yunani sebagai wilayah
yang telah memiliki peradaban tinggi tetap dapat memelihara warisan intelektual
mereka, dan mewarnai intelektual Eropa. Hatta menyebut Yunani menjadi guru bagi
orang-orang Eropa pada saat itu..31
Tidak hanya gagasan filsafat yang digunakan oleh bangsa-bangsa lain, tetapi
juga bahasa Yunani digunakan sebagai bahasa administrasi. Hal ini misalnya terjadi di
Mesir dan Syria, sampai Islam datang ke wilayah tersebut.32
3. Masa Hellenisme Roma (30 - 476 M)
Seperti yang telah disinggung, bahwa pengetahuan filsafat yang melahirkan
berbagai ilmu pengetahuan pada masa ini tidak hanya terkonsentrasi di Yunani,
tetapi telah menyebar ke beberapa wilayah yang sangat luas. Pada masa ini
pertemuan budaya dimungkinkan karena kekuasaan disatukan oleh kekuatan baru
raksasa Raja Alexander yang agung, Raja Macedonia. Alexander sendiri tipe raja yang
begitu ambisius dalam penaklukan wilayah. Namun demikian ia juga raja yang sangat
cinta pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Hal itu dimungkinkan karena ia merupakan
murid dari filosf besar Aristoteles. Ketika Aristoteles mengembara ke luar Yunani, ia
diminta oleh ayah Alexander, Raja Philipos yang saat itu sebagai raja Macedonia,
untuk mengajari Alexander tentang filsafat dan ilmu pengetahuan. Pada Hellenisme
Romawi, semua pemikiran filsafat baik Timur maupun Barat disatukan. Penyatuan ini
terjadi karena adanya penyatuan wilayah oleh Iskandar Agung. Hellenisme Romawi
berkembang dalam tiga fase. Fase pertama, diwarnai oleh aliran Stoa, Epicure,
Skeptik, dan Elektika pertama. Fase kedua, diwarnai oleh Paripatetik terakhir, Stoa

31
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani…, hal. 140-141
32
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 10
baru, Epicure baru, dan filsafat Yunani. Fase ketiga, diwarnai oleh Neo-Platonisme,
Iskandariah, dan aliran filsafat Asia Kecil.33
4. Masa Abad Pertengahan (476 -1350 M.)
Pada masa ini digambarkan sebagai masa kegelapan dalam perkembangan
ilmu pengetahuan. Masa ini berlangsung dari tahun 476-1350 M. ada beberapa
faktor mengapa pada masa ini ilmu pengetahuana mengalami kemuduran
dibandingkan masa-masa sebelumnya. Penyebab pertama, adalah bahwa
kemakmuran yang diraih terutama oleh Romawi telah menyebabkan abai terhadap
kecintaan pada ilmu pengetahuan, terutama oleh generasi mudanya. Ketika
mentalitas telah berubah menjadi abai terhadap ilmu pengetahua, maka sikap kritis
dan nalar pun akhirnya melambat dan berhenti. Tentu, akibatnya dapat diduga
perkembangan ilmu menjadi stagnan dan bahkan mundur. Maka pada periode
hamper 900 tahun dunia, terutama Barat menjadi mundur. Faktor berikutnya adanya
pembatasan kebebasan berpikir dan berpendapat oleh ahli-ahli agama (Katolik).34
Kondisi demikian ini tidak terjadi di dunia Timur. Di Timur, terutama pada
abad ke 8 sampai dengan 13 justru tradisi nalar kritsis dan kerja-kerja ilmu
pengetahuan begitu tampak sangat par-excellent. Perkembangan ilmu-ilmu Yunani
yang begitu dinamis di dunia Timur disebabakan persentuhan orang-orang Arab yang
tercerahkan dengan agama mereka, Islam, dengan kebudauaan dan ilmu
pengetahuan Yunani yang sudah berkembang di wilayah-wilayah yang dikuasai Islam
seperti Mesir, dan Persia. Kedua wilayah tesebut sebagaimana telah dijelaskan
secara administrative menggunakan bahasa Yunani, ketika Islam datang ke kedua
wilayah tersebut. Perubahan dari bahasa Yunani ke bahasa Arab baru terjadi pada
abad ke 7 dibawah Dinasti Umayyah, pada masa khalifah Abdul malik bin Marwan

33
Ghozali Munir, “Akulturasi Pemikiran dan Sains Romawi dalam Dunia Islam”, Jurnal At-Taqaddum,
vol.3, No.1, Juli 2011.
34
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajiana dasar atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal 12.
(685 – 705 M.). Pada masa selanjutnya wilayah-wilayah tersebut menjadi episentrum
transmisi ilmu pengetahuan ke dalam dunia Islam. Proses transmisi tersebut di awali
dengan kegiatan penerjemahan karya-karya para filosof Yunani ke dalam bahasa
Arab, kemudian mengkaji karya-karya tersebut secara kritis, dan
menyempurnakannya. Umat islam ketika berinteraksi dengan filsafat Yunani tetap
bersikap kritis. Apa yang sesuai dengan ajaran dasar Islam, akan diterima, tetapi jika
bertentangan, maka tidak segan untuk mengoreksinya.35 C.A. Qadir lebih lanjut
menjelaskan, bahwa para saintis Muslim di masa klasik, meyakini dengan sepenuh
hati bahwa tidak ada pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan wahyu.
Menurutnya apa yang ada di dalam alam semesta, termasuk manusia obyek ilmu
pengetahuan adalah merupakan tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu, jika
secara tekstual seakan terlihat ada pertentangan, para santis Muslim akan
senantiasa mencari makna di balik tersurat, dam ketika makna yang tersirat
ditemukan maka pertentangan itu pun sirna.36
Persentuhan umat Islam dengan wilayah-wilayah bekas kekuasaan Iskandar
Agung pada akhirnya melahirkan Begawan-begawan ilmu dalam berbagai bidang. Di
antara bidang-bidang keilmuan (sains) yang dikembangkan oleh umat Islam adalah
kimia, fisika, minerologi, botani, zoology, anatomi, kedokteran, astronomi, geologi,
geografi, meteorology dan lain sebagainya. Mulyadhi Kartanegara, memberikan
gambaran yang konkret tentang kemajuan Islam dengan baik. Ia mengelaborasi
kepiawaian konsep kimia Jabir bin Hayyan, yang telah berhasil mengubah kimia dari
yang sifatnya spekulatif, menjadi kajian ilmiah. Demikian juga dalam bidang
kedokteran, dunia Islam telah banyak melahirkan banyak sekali ahli-ahli kedokteran
dan bereputasi internasional pada masanya. Di antara mereka ada al-Razi, ibn Sina,
dan Ibn Nafis. Al-Razi telah mengahsilkan kitab al Hawi sebanyak 20 jilid. Sementarai

35
Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Lentera Hati,
2006), hal. 20-22
36
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor, 1991), hal ix.
Ibn Sina dengan karyanya al Qanun fi al Thib, telah diterjemahkan ke bernbagai
bahsa Eropa, dan telah dijadikan sebagai rujukan dalam pembelajaran fakultas
kedokteran selama lebih dari 500 tahun di universitas-universitas Eropa. Demikian
juga dalam bidang-bidang yang lainnya. Bahkan dalam bidang astronomi, ternyata
Kopernikus menjiplak karya ibn Syathir tentang bagan atau model planeter. Tidak
hanya itu, ternyata teori heleosentris, juga milik Ibn Syathir, bukan Kopernikus. Masih
banyak bukti-bukti kemajuan Islam dalam pengembangan sains dan filsafat.37
5. Masa Renaissan (1350 -1600 M.)
Harry Hamersma, menyebut masa ini sebagai jembatan antara abad
pertengahan dan jaman modern. Secara literal renaissan, berarti “kelahiran
kembali”. Kata ini berasal dari bahasa Perancis renaissance, yang merupakan
terjemahan kata dari bahasa Itali, rinascimento. Pada masa ini seakan-akan manusia
di daratan Eropa merasa terlahir kembali. Masih menurut Hamersma, ada tiga faktor
yang mempercepat perkembangan baru dalam masa ini, yaitu pertama,
ditemukannya mesiu. Dengan ditemukannya mesiu, maka kekuasaan tidak hanya
berada pada kaum feodal dalam benteng-benteng feodalisme, bahkan pada periode
ini ditandainya kematian feodalisme. Kedua, ditemukannya mesin cetak. Penemuan
mesin cetak menjadikan ilmu pengetahuan tersebar luas, dan karenanya tidak hanya
monopoli para elite. Ketiga, ditemukannya kompas. Penemuan kompas
memungkinkan orang untuk menjelajah dunia.38

6. Masa Modern (1600 -1900 M.)


Masa modern ditandai dengan kelahiran pemikiran yang membebaskan ilmu
pengetahuan dan filsafat dari agama (Katolik). Masa ini ditandai dengan
antroposentrisme. Paham yang mengajarkan bahwa manusialah pusat perhatian. Ia

37
Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan…, 167-173
38
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1992), hal. 3.
sebagai pusat dunia. Pandangan ini berbeda dengan pada masa-masa sebelumnya,
yaitu pada masa Yunani yang menjadi pusat adalah “arche”. Pada masa abad
pertengahan Tuhanlah yang menjadi pusat perhatian. Konsekuensi dari pandangan
dunia yang berbeda ini telah melahirkan suatu prinsip manusia adalah sebagai pusat
pemikiran, pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat kehendak dan pusat
perasaan.39
7. Masa Post Modern (1900 M. - sekarang)
Post Modern adalah kritik terhadap modern. Fase modern yang begitu
positivistic (hanya berdasarkan pada rasio dan bersifat empiris dalam menentukan
kebenaran ilmu), dengan mengenyampingkan intuisi dan spritualitas, telah
menjadikan peradaban Barat jauh dari nilai-nilai kemanusiaan sejati. Peradaban
Barat hanya melahirkan kapitalisme yang bersumber pada materi yang merupakan
hasil dari paradigm positivistic. Dengan demikian dunia moderen telah gagal
menjadikan masyarakat dunia mencapai kebahagiaan secara komprehensif. Manusia
cenderung hanya diukur dari keberhasilannya secara material. Berdasarkan
kesadaran seperti inilah maka kritik terhadap epistemologi keilmuan modern
menggeliat. Kelompok ini dalam sejarah perkembangan ilmu kemudian disebut
dengan Post Modernisme.
Di antara tokoh yang sangat terkenal adalah Albert Enstein, yang
mengutarakan bahwa ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah pincang.
Maka masa ini masa tumbuh kembali pemikiran-pemikiran relitvitas kebenaran ilmu.

39
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern…, hal. 4.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth) Teori kebenaran
korespondensi, Correspondence Theory of Truth yang kadang disebut dengan
accordance theory of truth, adalah teori yang berpandangan bahwa
pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta
atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan
tersebut.
Kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesuaian (correspondence)
antar arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek
yang dituju oleh pernyaan atau pendapat tersebut.
Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara
arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta.
Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal,
sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena
Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran
pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan atau realitas yang diketahuinya.
Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth) Teori kebenaran koherensi atau
konsistensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren
atau konsistensi.
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan
dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan
antara putusan-putusan itu sendiri.
Teori ini berpendapat bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu
pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu
diketahui, diterima dan diakui sebagai benar.
Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan
proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren
atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar.
Pramagtisme berasal dari bahawa Yunan pragmai, artinya yang dikerjakan,
yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang
dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat Teori kebenaran
pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh
referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial.
Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan
realitas, tetapi justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana
yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Teori Koherensi yaitu suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya
yang dianggap benar.
Misalnya bila kita menganggap bahwa, "semua manusia pasti akan mati"
adalah suatu pernyataan benar maka pernyataan bahwa, "si polan adalah
seorang manusia dan si polan pasti akan mati" adalah benar pula karena
kedua pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama
Suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung
pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju
oleh pernyataan tersebut.
Misalnya jika seseorang mengatakan bahwa ibukota republik Indonesia
adalah Jakarta maka pernyataan tersebut adalah benar sebab pernyataan itu
dengan obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta yang memang menjadi
ibukota republik Indonesia.
Suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan
manusia.Misalnya jika orang menyatakan sebuah teori X dalam pendidikan,
dan dengan teori X tersebut dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan
kemampuan belajar, maka teori X itu dianggap benar sebab teori X ini
fungsional dan mempunyai kegunaan.
2. sejarah perkembangan ilmu pengetahuan terbagi menjadi beberapa masa
yaitu:

i. masa Yunani klasik


Masa ini ditandai dengan adanya respon kritis dari orang-orang yang
kemudian dikenal dengan filosof. Pemikiran filsafat mereka pada masa-masa
awal lebih ditekankan pada fenomena alam, sehingga masa ini disebut juga
dengan masa filsafat alam.
ii. Masa Hellenisme
Masa ini ditandai dengan dua hal, pertama, penggabungan beberapa Negara
yang ditaklukkan oleh Iskandar Yang Agung (The Great Alexander),
menyebabkan terjadinya percampuran antarbudaya dari beberapa belahan
dunia. Hal ini terjadi, karena Iskandar menaklukkan wilayah yang begitu luas,
termasuk Negara-negara yang memiliki peradaban tinggi seperti Persia (Irak
dan Iran), Mesir, Arab, dan India. Dengan penaklukkan wilayah-wilayah
tersebut tidak hanya merobohkan pagar batas Negara yang begitu luas, tetapi
juga percampuran budaya, termasuk menyebarnya gagasan filsafat Yunani,
yang selama ini hanya berada di Yunani, kini menyebar dan bertemu dengan
peradaban dunia lain. Tentu bisa kita prediksi dengan persebaran yang begitu
massif, maka terjadi dialog antarperadaban. Dialektika peradaban tersebut
akhirnya mewujudkan jenis kebudayaan baru dalam dunia filsafat. Menurut
Mohammad Hatta, banyak ahli-ahli pikir oriental datang ke Atena dan
mempelajari filsafat di sana. Namaun demikian menurut Hatta, bahwa Yunani
sebagai wilayah yang telah memiliki peradaban tinggi tetap dapat
memelihara warisan intelektual mereka, dan mewarnai intelektual Eropa.
Hatta menyebut Yunani menjadi guru bagi orang-orang Eropa pada saat itu.

iii. Masa Hellenisme Roma


Seperti yang telah disinggung, bahwa pengetahuan filsafat yang melahirkan
berbagai ilmu pengetahuan pada masa ini tidak hanya terkonsentrasi di
Yunani, tetapi telah menyebar ke beberapa wilayah yang sangat luas.
iv. Masa Abad Pertengahan
Pada masa ini digambarkan sebagai masa kegelapan dalam perkembangan
ilmu pengetahuan. Masa ini berlangsung dari tahun 476-1350 M.
Penyebabnya, adalah bahwa kemakmuran yang diraih terutama oleh Romawi
telah menyebabkan abai terhadap kecintaan pada ilmu pengetahuan,
terutama oleh generasi mudanya
v. Masa Renaissan
masa ini sebagai jembatan antara abad pertengahan dan jaman modern. ada
tiga faktor yang mempercepat perkembangan baru dalam masa ini, yaitu
pertama, ditemukannya mesiu. Dengan ditemukannya mesiu, maka
kekuasaan tidak hanya berada pada kaum feodal dalam benteng-benteng
feodalisme, bahkan pada periode ini ditandainya kematian feodalisme.
Kedua, ditemukannya mesin cetak. Penemuan mesin cetak menjadikan ilmu
pengetahuan tersebar luas, dan karenanya tidak hanya monopoli para elite.
Ketiga, ditemukannya kompas. Penemuan kompas memungkinkan orang
untuk menjelajah dunia.
vi. . Masa Modern
Masa modern ditandai dengan kelahiran pemikiran yang membebaskan ilmu
pengetahuan dan filsafat dari agama (Katolik). Masa ini ditandai dengan
antroposentrisme. Paham yang mengajarkan bahwa manusialah pusat
perhatian.
vii. Masa Post Modern
Post Modern adalah kritik terhadap modern. Fase modern yang
begitu positivistic (hanya berdasarkan pada rasio dan bersifat empiris dalam
menentukan kebenaran ilmu), dengan mengenyampingkan intuisi dan
spritualitas, telah menjadikan peradaban Barat jauh dari nilai-nilai
kemanusiaan sejati.
B. Saran

Hasil penelitian ini, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
sangat jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan para
pecinta ilmu khususnya filsafat ilmu untuk mengembangkan atau mengkaji ulang
dengan tema yang berkaitan dengan kriteria kebenaran dan perkembangan ilmu
pengetahuan, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat ilmu dapat
bermanfaat bagi banyak orang.
DAFTAR PUSTAKA

A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 85.
A Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam dimensi Ontologis,............ hlm. 86
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers,
2014), hlm. 51.
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu…, hlm. 54.
Ahyar Lubis, Filsafat Ilmu, hlm., 55.
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu., hlm. 116.
Amsal Bakhtiar, Op.Cit., hlm.112.
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu… 121.
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor, 1991),
hal ix.
Falsafah Ketuhanan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2017), hal. 2.
Ghozali Munir, “Akulturasi Pemikiran dan Sains Romawi dalam Dunia Islam”, Jurnal
At-Taqaddum, vol.3, No.1, Juli 2011.
Hamka, Falsafah Ketuhanan…, hal. 11.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
hal. 10
https://www.google.com/search?q=hellenisme+jurnal&oq=he&aqs=chrome.0.69i59l
2j69i57j0j46j0j46j0
https://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1992), hal.
3.
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern…, hal. 4.
Ibid, 121.
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Referensi, 2012), hlm. 96.

26
Jujun S., Filsafat Ilmu..., hlm. 54.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu… hlm. 55.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu… hlm. 56.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13), hlm. 57.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu… hlm. 58.
Jujun S. Susiasumantri, Filsafat Ilmu.., hlm. 59.
K. Bertens, sejarah Filsafat Yunani, (Jakarta: Kanisius, 1992), hal.116.
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 5-12.
Mohammad Hatta, Alam Pikiran…, hal. 29.
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani…, hal. 140-141
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajiana dasar atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal 12.
Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), hal. 20-22
Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan…, 167-173
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme,
(Yogyakarta: Rakesarasin, 2001, Edisi-2), hlm. 20.
Prof. Dr. C.A. van Peursen: Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya. Dikutip dari buku B.
Arief Sidharta. Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu?, Pustaka Sutra, Bandung
2008. Hal 7-11
Sudirdja, E. R. 2010. Rangkuman Buku Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.
Bandung: Fakultas Hukum Universitas Pasundan
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, (Bogor: IPB Press, 2016), hal. 26.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberti, 2003), cet-3. Hlm.
Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008.
Halaman 8.
Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qu'ran, Grafindo, Jakarta, 1996, hal. 7.

Anda mungkin juga menyukai