Anda di halaman 1dari 163

PERAN GURU PAI DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

RELIGIUS ANAK TUNADAKSA


DI SLB D-D1 YAYASAN PEMBINAAN ANAK CACAT
JAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan


untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

Rahmi Fathiyas Syah


NIM. 11150110000061

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1441 H
ABSTRAK

Rahmi Fathiyas Syah (NIM. 11150110000061). Peran Guru PAI dalam


Pendidikan Karakter Religius Anak Tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan
Pembinaan Anak Cacat Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran guru PAI dalam
pendidikan karakter religius anak tunadaksa dan faktor pendukung serta faktor
penghambat yang dihadapi guru PAI dalam pendidikan karakter religius anak
tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan Pembinaan Anak Cacat Jakarta. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2019.
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif.
Prosedur pengumpulan data yang digunakan menggunakan observasi, wawancara,
dan dokumentasi. Pengecekan keabsahan data menggunakan teknik triangulasi
data, triangulasi data terbagi menjadi tiga tahap yaitu triangulasi teknik, waktu,
dan sumber. Analisis data dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan verifikasi kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran guru PAI dalam pendidikan
karakter religius anak tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan Pembinaan Anak Cacat
Jakarta, yaitu: pendidik, pengajar, pembimbing, model dan teladan, dan evaluator.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi guru PAI dalam pendidikan karakter
religius anak tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan Pembinaan Anak Cacat Jakarta, di
antaranya yaitu: a. Faktor pendukung: 1) Faktor keluarga; 2) Faktor lingkungan
sekolah; 3) Faktor sarana dan prasarana sekolah; 4) Faktor pendekatan guru
kepada anak tunadaksa dengan menggunakan beberapa metode dalam pendidikan
karakter religius, di antaranya metode hiwar atau percakapan, metode qishash
atau cerita, metode uswah atau keteladanan, metode ceramah, metode pendidikan
dengan nasihat, dan metode pembiasaan. b, Faktor penghambat: 1) Faktor
keterbatasan waktu; 2) Faktor lingkungan yang tidak mendukung; 3) Faktor
kondisi fisik mereka yang sulit bergerak, mudah merasa lelah, dan sulit untuk
menerima materi pembelajaran; 4) faktor sosial/emosional yang menimbulkan
problem emosi.

Kata Kunci: Peran Guru PAI, Pendidikan Karakter Religius, Anak Tunadaksa

i
KATA PENGANTAR

‫الر حيم‬
ّ ‫الر حمن‬
ّ ‫بسم اهلل‬

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dengan memuji-Nya


terbuka pintu segala ilmu, dengan mengingat-Nya keluar segala perkataan yang
baik, dengan mensyukuri-Nya semua orang beriman merasakan nikmat-Nya di
dunia dan akhirat serta dengan izin-Nya pula lah penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi yang berjudul “Peran Guru PAI Dalam Pendidikan Karakter
Religius Anak Tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan Pembinaan Anak Cacat
Jakarta”. Skripsi ini penulis ajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu syarat mendapatkan
gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd).
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, Lc, MA., selaku Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abdul Haris, M.Ag, selaku ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Drs. Rusdi Jamil, MA., selaku dosen pembimbing akademik dan sekretaris
Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Siti Khadijah, MA., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan
waktu dan dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan serta arahan yang
sangat bermanfaat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

ii
6. Ayahanda Moh. Syahri dan Ibunda Asniah, Kakanda Adi Okta Muafiq
Rahman Syah, Siti Munawaroh dan Dwiyana Syah Fitri, serta kedua
Keponakan Dicka Ryan Irhamsyah dan Alikha Laila Musyarofah yang telah
memberikan dukungan dan doa yang tidak pernah berhenti, motivasi yang
tidak pernah terkira, dan kasih sayang yang begitu besar.
7. Bapak Heru Heriawan, M.Pd., selaku Kepala Sekolah SLB D-D1 YPAC
Jakarta, yang telah mengizinkan saya dan membantu dalam penelitian ini,
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
8. Bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., selaku guru mata pelajaran Pendidikan Agama
Islam di SLB D-D1 YPAC Jakarta yang telah bersedia membantu peneliti
dalam memperoleh data, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
9. Teman-teman siswa di SLB D-D1 YPAC Jakarta, terima kasih atas sambutan,
keramahan, kehangatan, dan penerimaan kalian. Semangat kalian menuntut
ilmu menjadi sumber inspirasi bagi peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah selalu menjaga kalian dimanapun kalian berada.
10. Kamalia Istifadati, Vica Tanzia Farsyam, Dina Aryani, tiga sahabat yang
selalu menemani, membantu, dan memberikan semangat sejak semester awal
hingga kini. Terima kasih telah menemani dan mewarnai hari-hari di UIN
Jakarta selama ini.
11. Nurafifah Astria (Aci), Eva Dianidah (Eva), Septian Hadi (Mas Hadi), Asep
Kurniawan (Kaksep), Zezen Sukrillah (Abang Zen), dan Ibrahim Hanafi
(Ibam), terima kasih karena telah membantu dalam perjalanan panjang
penelitian ini. Semoga Allah selalu memudahkan segala urusan kalian.
12. Elmiani Rahmah Hayati (Kak El), Indini Rahmawati (Teh Indin), Tunjung
Magenta (Unjung), Husnul Khatimah (Unul), Farhatul Maftuhah (Atul),
terima kasih selaku senior selalu mau membantu dan menjadi teman
berdiskusi yang baik. Semoga Allah jaga silaturrahim kita sampai akhir hayat.
13. Teman-teman PHP, Agie Anditia Felangi, Rintan Puspita Reynaldi, Tiara
Nofiana, dan Siti Maslan Ritonga, sahabat sejak masa SMA yang selalu
menjadi tempat keluh kesah dan tempat untuk mencari hiburan. Terima kasih

iii
telah menemani sampai sejauh ini. Semoga Allah jaga tali persahabatan kita
sampai jannah-Nya.
14. Teman-teman AKSARA RT 003 RW 03 yang setia membantu,
menyemangati, memotivasi dan menemani penulis dalam penyusunan skripsi
ini.
15. Teman-teman seperjuangan Pendidikan Agama Islam kelas C (APACHE)
2015 yang telah menemani saya dari awal perkuliahan hingga saat ini dan
selalu memberikan dukungan kepada saya. Terima kasih untuk semua kisah
yang kita lalui selama ini.
16. Teman-teman Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2015.

Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, peneliti
ucapkan terima kasih atas dukungan, doa, dan bantuannya. Semoga semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini mendapat balasan kebaikan
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan seluruh
tenaga pendidik khususnya, serta masyarakat pada umumnya agar dapat lebih
memahami dalam mendidik anak berkebutuhan khusus.

Jakarta, 06 November 2019

Penulis

Rahmi Fathiyas Syah

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 9
C. Pembatasan Masalah ................................................................................. 9
D. Rumusan Masalah ................................................................................... 10
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................ 10
BAB II KAJIAN TEORI....................................................................................... 12
A. Guru Pendidikan Agama Islam ............................................................... 12
a. Pengertian Guru dalam Pandangan Agama Islam ........................... 12
b. Syarat-syarat Guru dalam Pendidikan Islam ................................... 13
c. Kompetensi Guru dalam Pendidikan Islam..................................... 14
d. Sifat Guru Pendidikan Agama Islam .............................................. 16
e. Tugas dan Tanggung Jawab Guru Pendidikan Agama Islam ......... 17
B. Pendidikan Karakter Religius ................................................................. 19
1. Pendidikan Karakter .........................................................................19
a. Pengertian Pendidikan Karakter................................................19
b. Faktor-faktor Pembentukan Karakter.......................................24
c. Strategi Pendidikan Karakter....................................................27
d. Metode Pendidikan Karakter....................................................30
e. Nilai-nilai Pendidikan Karakter................................................33
2. Karakter Religius..............................................................................37
a. Pengertian Karakter Religius....................................................37

v
b. Aspek Karakter Religius...........................................................37
c. Komponen Karakter Religius....................................................38
d. Dimensi Karakter Religius........................................................38
e. Domain Karakter Religius.........................................................39
f. Prinsip Pendidikan Karakter Religius........................................42
C. Anak Tunadaksa...................................................................................... 43
a. Pengertian Anak Tunadaksa.............................................................43
b. Faktor Penyebab Ketunadaksaan.....................................................44
c. Klasifikasi Anak Tunadaksa.............................................................45
d. Karakteristik Anak Tunadaksa.........................................................49
D. Peran Guru PAI dalam Pendidikan Karakter..........................................52
E. Penelitian yang Relevan..........................................................................61
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 64
A. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 64
B. Metode Penelitian ................................................................................... 64
C. Sumber Data............................................................................................ 65
D. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 66
E. Pemeriksaan Keabsahan Data ................................................................. 67
F. Analisis Data.............................................................................................68
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 69
A. Deskripsi Data ......................................................................................... 69
B. Pembahasan 98
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 107
A. Kesimpulan ........................................................................................... 107
B. Saran ..................................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 110
LAMPIRAN.........................................................................................................114

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1: Nilai-nilai dan deskripsi nilai pendidikan karakter............................34


Tabel 2.2: Domain Budi Pekerti Islami menurut al-Quran dan Hadis...............39
Tabel 4.1: Daftar YPAC di seluruh Indonesia.......................................................71
Tabel 4.2: Guru PAI di SLB D-D1 YPAC Jakarta................................................73

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1: Guru melakukan kegiatan pembelajaran anak tunadaksa.................84


Gambar 4.2: Guru melakukan kegiatan mengajar anak tunadaksa........................87
Gambar 4.3: Guru membimbing anak tunadaksa dalam membaca al-Quran........89
Gambar 4.4: Guru dan anak tunadaksa berdoa sebelum memulai pelajaran.........91
Gambar 4.5: Guru melakukan kegiatan refleksi kepada anak tunadaksa..............93

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Kisi-Kisi Wawancara dan Observasi


Lampiran 2: Instrumen Wawancara
Lampiran 3: Lembar Observasi
Lampiran 4: Hasil Wawancara
Lampiran 5: Hasil Observasi
Lampiran 6: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Lampiran 7: Uji Referensi
Lampiran 8: Biodata Penulis

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 1 Dari
definisi tersebut terlihat bahwa pendidikan merupakan suatu proses bimbingan
yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan untuk mengembangkan segala
potensi yang ada di dalam diri seseorang.
Proses pendidikan merupakan pewarisan nilai-nilai luhur suatu
bangsa yang bertujuan melahirkan generasi unggul secara intelektual dengan
tetap memelihara kepribadian dan identitasnya sebagai bangsa. Pendidikan
memiliki dua misi utama, yaitu “transfer of values” dan “transfer of
knowledge”.2 Oleh karena itu, pendidikan dikatakan sebagai agent of change
yang dapat membawa perubahan untuk menciptakan manusia yang cerdas dan
memiliki karakter.
Karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku
(behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter
meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan yang terbaik, kapasitas
intelektual, seperti berpikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan
bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi
penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang
memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan,
dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya.

1
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(http://kelembagaan.ristekdikti.go.id) dipublikasikan pada 22 Februari 2019
2
Sumarno, Peranan Guru Pendidikan Islam dalam Membangun Karakter Peserta Didik,
Jurnal Al Lubab Vo.1, 2016, h.123

1
2

Adapun landasan filosofis dalam pengembangan karakter di sini harus jelas,


yaitu nilai-nilai agama, etika, dan moral.3
Dalam pembentukan karakter diperlukan proses yang terus-menerus
tiada henti. Sebagai proses yang tiada berhenti, pembentukan karakter dibagi
menjadi empat tahap. Pertama, pada usia dini disebut tahap pembentukan
karakter. Kedua, pada usia remaja disebut tahap pengembangan. Ketiga, pada
usia dewasa disebut tahap pemantapan. Keempat, pada usia tua disebut tahap
pembijaksanaan.4 Proses pembentukan karakter yang berlangsung terus-
menerus sepanjang hidup manusia melibatkan semua pihak baik rumah tangga
dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan masyarakat luas. Oleh
karena itu perlu dibangun jaringan educational networks (jejaring kerja
pendidikan). Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama
antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.5
Orientasi pendidikan karakter yang dilembagakan melalui kurikulum
2013 diharapkan untuk melahirkan manusia yang berkepribadian utuh, bukan
kepribadian terbelah, kepribadian ganda atau yang dalam bahasa agama
disebut munafik. Kepribadian utuh merupakan orang yang bersatunya ucapan,
sikap dan perbuatan.6
Pendidikan agama Islam merupakan sebuah proses pembentukan
manusia seutuhnya, baik dari segi jasmani maupun rohaninya. Sejalan dengan
itu, pendidikan Islam memiliki tujuan, yaitu kepribadian seseorang yang
membuatnya menjadi insan kamil dengan pola takwa. Insan kamil artinya
manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar
dan normal karena takwanya kepada Allah Swt. Ini mengandung arti bahwa
pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi
dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan

3
Ngainun Naim, Character Building: Optimalisasi Peran Pendidikan dalam
Pengembangan Ilmu dan Pembentukan Karakter Bangsa, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2012), h.55
4
Ibid,.h.57
5
Hamka Abdul Aziz, Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati, (Jakarta: Al-Mawardi
Prima. 2012), h.198
6
Muhammad Jafar Anwar dan Muhammad A. Salam, Membumikan Pendidikan
Karakter, (Jakarta: CV Suri Tatu’uw. 2015), h.8
3

mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah dan dengan


sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam
semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia kini dan di akhirat nanti.7
Dalam Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa tujuan
pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.8 Rumusan tujuan
pendidikan nasional tersebut, walaupun secara eksplisit tidak menyebutkan
kata-kata Islam, namun substansinya memuat ajaran Islam. Dalam rumusan
tujuan pendidikan nasional tersebut mengandung nilai-nilai ajaran Islam yang
telah mentransformasi ke dalam nilai-nilai yang telah disepakati dalam
kehidupan nasional.9
Pendidikan Islam wajib diberikan kepada seluruh umat manusia
tanpa memandang adanya kesempurnaan fisik. Anak-anak yang memiliki
kelainan dan kekurangan fisik atau mental tetap mempunyai hak yang sama
dalam mendapatkan pendidikan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-
Nur ayat 61,

‫يض َحَر ٌج َوالَ َعلَى أَن ُف ِس ُك ْم أَن‬


ِ ‫لَّْيس َعلَى اْأل َْع َمى َحَر ٌج َوالَ َعلَى اْأل َْعَرِج َحَر ٌج َوالَ َعلَى الْ َم ِر‬
َ
ِ ِ
‫تَأْ ُكلُوا من بُيُوت ُك ْم‬
“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang
pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu
sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri.”

Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 disampaikan bahwa setiap warga


negara tanpa terkecuali apakah dia mengalami kelainan atau tidak memiliki
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.10 Selain itu, dalam Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan

7
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia. 1997), h.41
8
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(http://kelembagaan.ristekdikti.go.id) dipublikasikan pada 22 Februari 2019
9
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h.64
10
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1
4

bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu dan bagi warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus.11 Dengan kata lain, anak-anak yang memiliki kelainan dalam hal fisik
maupun mental tetap mendapatkan pelayanan pendidikan yang layak untuk
mengembangkan potensi dirinya.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan
pendidikan yang sesuai karena mereka memiliki hambatan perkembangan dan
hambatan belajar termasuk di dalamnya anak-anak penyandang cacat yang
memerlukan layanan yang bersifat khusus dalam pendidikannya, agar
hambatan belajarnya dapat berkurang bahkan dihilangkan. Adapun yang
termasuk ke dalam klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah
tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, anak
hiperaktif (ADHD), anak berbakat, tunaganda, dan autisme.12
Tunadaksa merupakan salah satu yang termasuk dalam klasifikasi
anak berkebutuhan khusus. Anak yang mengalami tunadaksa adalah anak
yang memiliki anggota tubuh yang tidak sempurna, dalam artian mereka
mengalami kelainan pada fisik dan bukan inderanya. Kelainan fisik ini
disebabkan dari luka, penyakit, atau pertumbuhan anggota tubuh yang tidak
sempurna sehingga menyebabkan ketidakmampuan anggota tubuh untuk
melaksanakan fungsinya dengan seharusnya. Anak tunadaksa memiliki
kelainan fisik pada tulang, sendi, dan otot. Mereka mengalami gangguan
gerakan akibat kelayuhan pada fungsi syaraf otak yang disebut cerebral palsy
(CP). Anak yang mengalami tunadaksa memiliki kesulitan dalam menjalankan
aktivitasnya sehari-hari. Selain itu, bagi anak-anak yang megalami kelainan
cerebral, mereka mengalami kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi
sehingga menyebabkan kesulitan dalam memahami sesuatu.13

11
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(http://kelembagaan.ristekdikti.go.id) dipublikasikan pada 22 Februari 2019
12
Asep Karyana dan Sri Widati, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunadaksa:
Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dengan Hambatan Gerak, (Jakarta: Luxima, 2013), h.7-8
13
Ibid., h.38
5

Di Indonesia berdasarkan data hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi


Nasional) tahun 2009 menyatakan bahwa jumlah penduduk penyandang
tunadaksa sebesar 33,75% dari 2,13 juta jiwa penyandang disabilitas.
Penyandang tunadaksa yang disebabkan oleh bawaan sejak lahir sebanyak
32,75%, kecelakaan 29,04%, kusta 0,91%, penyakit lainnya 36,23%, dan
kurang gizi sebanyak 1,08%.14 Angka tersebut menunjukkan tingginya tingkat
penyandang tunadaksa dengan berbagai sebab, baik dari faktor bawaan lahir,
kecelakaan, ataupun penyakit.
Penyandang disabilitas di Indonesia masih dipandang kurang
terfasilitasi bahkan mendapatkan perlakuan diskriminatif dan dianggap
merepotkan. Kondisi disabilitas seseorang berdampak pada kemampuan untuk
berpartisipasi di tengah masyarakat. Penyandang disabilitas mengalami
hambatan dalam mengakses layanan umum, seperti akses dalam layanan
pendidikan, kesehatan, maupun dalam hal ketenagakerjaan.15
Menjadi manusia yang berbeda tentu membuat seseorang memiliki
perasaan tertentu terhadap lingkungan, perasaan tersebut sering kali
menjadikan ABK tidak memiliki kepercayaan diri ketika berada di lingkungan
sekolah dan lingkungan masyarakat. Perbedaan perlakuan, cara berbicara,
kepedulian terhadap anak-anak difabel, diakui atau tidak, ada rasa yang
berbeda jika dibanding dengan manusia normal lainnya. Perlakuan berbeda
inilah yang kemudian mendorong seseorang melakukan sesuatu yang dapat
melukai anak difabel, baik secara fisik maupun psikis. Perlakuan melukai
secara psikis ini dapat terwujud dalam bentuk ujaran kebencian atau hate
speech dan bullying.16
Penyandang tunadaksa memiliki resiko yang tinggi mendapatkan
stres, karena mereka sangat peduli pada body image, penerimaan dari teman-
temannya, kebebasan dari orang tua, penerimaan diri sendiri dan pencapaian

14
Nurul Qomariyah dan Desi Nurwidawati, Perbedaan Resiliensi pada Tunadaksa
ditinjau dari Perbedaan Usia, Jurnal Psikologi Teori dan Terapan, Vol.7, 2017, h.131
15
Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Fiqh Penguatan Penyandang Disabilitas,
(Jakarta: Lembaga Bahtsul Masail, 2018), h.3
16
Muhammad Arfan Mu’ammar, Hate Speech dan Bullying pada Anak Berkebutuhan
Khusus, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.8, 2017, h.20
6

prestasi. Penyandang tunadaksa tidak jarang mengalami gangguan psikologis


terkait perasaan tidak berguna, tidak mampu, malu, minder, kecemasan dan
permasalahan psikologis lainnya.17
Dalam konteks pendidikan, pendidik merupakan faktor penting dari
sistem pendidikan yang sedang berlangsung. Pendidik merupakan orang
terdepan dalam peningkatan sumber daya manusia, sebab pendidik adalah
ujung tombak bagi keunggulan manusia.18 Sehingga, dapat dikatakan bahwa
pendidik memiliki peranan yang penting dalam pendidikan karakter dan
peningkatan sumber daya manusia.
Guru sebagai orang yang digugu dan ditiru memiliki peran
menanamkan, menumbuhkan, dan mendidik nilai-nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat. Guru sebagai raw model menjadi teladan dalam
bersikap dan berperilaku. Guru memiliki peran yang penting dalam
mengembangkan potensi siswa. Pengembangan potensi siswa tersebut dalam
bahasa sosio-religius sebagai upaya untuk melahirkan siswa yang bermoral
dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, dalam pendidikan modern peran guru
sebagai pelopor yang menampilkan contoh teladan dan pemimpin informal
untuk menciptakan suasana pembelajaran yang berorientasi pada materi yang
berisikan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.19
Dalam upaya mencapai pendidikan agama Islam berkualitas, harus
dimulai dengan guru pendidikan agama Islam yang berkualitas. Peranan guru
pendidikan agama Islam sangatlah penting untuk menanamkan pendidikan
karakter terutama karakter religius pada siswa. Guru sebagai suri tauladan atau
panutan bagi siswa-siswanya dengan memberikan contoh perilaku yang baik
sehingga bisa mencetak dan membentuk generasi yang memiliki kepribadian
yang baik pula. Oleh sebab itu di tangan gurulah akan dihasilkan peserta didik
yang berkualitas baik secara akademik, keahlian, kematangan emosional,
mental dan spiritual.

17
Nurul Qomariyah dan Desi Nurwidawati, Op.Cit, h.131
18
Anas Shalahudin dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter: Pendidikan
Berbasis Agama dan Budaya Bangsa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h.123
19
Muhammad Jafar Anwar dan Muhammad A. Salam, Op.Cit., h.84
7

Guru dalam Islam menurut Ahmad Tafsir adalah siapa saja yag
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik. Mereka harus dapat
mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik kognitif,
afektif, maupun psikomotorik. Potensi-potensi ini sedemikian rupa
dikembangkan secara seimbang sampai mencapai tingkat yang optimal
berdasarkan ajaran Islam.20
Dalam konsepsi Islam, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
merupakan al-mu‟allim al-awwal (pendidik pertama dan utama), yang telah
dididik oleh Rabb al-„Alamin. Pendidik teladan dan percontohan ada dalam
pribadi Rasulullah yang telah mencapai tingkatan pengetahuan yang tinggi,
akhlak yang luhur dan menggunakan metode dan alat yang tepat. Dalam QS.
Al-Qalam ayat 4 bahkan disebutkan bahwa Rasulullah memiliki akhlak yang
agung.21 Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah merupakan sebaik-baiknya
teladan sebagai seorang pendidik. Oleh karena itu, seorang pendidik dalam
konsepsi Islam harus memilki kompetensi personal-religius (kepribadian
berdasarkan Islam), kompetensi sosial-religius (kepedulian terhadap masalah-
masalah sosial yang selaras dengan Islam), dan kompetensi profesional-
religius (kemampuan menjalankan tuggasnya secara profesional yang
didasarkan atas ajaran Islam).22 Mengingat guru sebagai orang yang harus
menjadi teladan bagi peserta didiknya dalam bersikap dan berperilaku, maka
kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial merupakan pendukung penting
agar tugas yang dilaksanakan dapat mencapai hasil yang baik.
Dapat dikatakan bahwa guru agama mempunyai tugas yang cukup
berat, yaitu ikut membina pribadi anak disamping mengajarkan pengetahuan
agama kepada anak. Guru agama harus memperbaiki pribadi anak dan
membawa anak didik kepada arah pembinaan pribadi yang sehat dan baik.
Guru agama harus menyadari bahwa segala sesuatu pada dirinya merupakan
unsur pembinaan bagi anak didik. Di samping pendidikan dan pengajaran
yang dilaksanakan dengan sengaja oleh guru agama dalam pembinaan anak
20
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h.114
21
Ibid., h.114
22
Ibid., h.117
8

didik, yang sangat penting dan menentukan pula adalah kepribadian, sikap dan
cara hidup guru itu sendiri, bahkan cara berpakaian, cara bergaul, berbicara
dan menghadapi setiap masalah, yang secara langsung tidak tampak
hubungannya dengan pengajaran, namun dalam pendidikan atau pembinaan
pribadi si anak, hal-hal itu sangat berpengaruh.23
Salah satu sekolah luar biasa khusus yang menyelenggarakan
pendidikan bagi anak tunadaksa adalah Yayasan Pembinaan Anak Cacat
(YPAC) Jakarta. YPAC memberikan perhatian kepada anak-anak yang
memiliki cacat tubuh (tunadaksa). Anak-anak yang memiliki cacat tubuh
ketika pertama kali masuk ke yayasan ini tidak memiliki kemampuan untuk
melakukan ibadah, seperti salat, mengaji, dan berpuasa dikarenakan mereka
memiliki rasa rendah diri yang tinggi, rasa tidak percaya diri, rasa minder,
merasa dikucilkan dan dibedakan dari lingkungan sekitar, serta rendahnya
kemampuan orang tua dalam membimbing anak tunadaksa untuk melakukan
kegiatan ibadah. Hal ini tentu akan berdampak pada kondisi kejiwaan anak
tunadaksa tersebut.
Di YPAC Jakarta terdapat berbagai jenjang pendidikan bagi anak
tunadaksa, mulai dari pendidikan TKLB, SDLB, SMPLB sampai pada
SMALB. Adapun penelitian ini lebih difokuskan pada anak tunadaksa tingkat
SMPLB. Di dalam satu kelas anak tunadaksa terdiri dari 5 – 6 orang siswa.
Ketika proses pembelajaran PAI berlangsung, anak tunadaksa kadang
mengalami kesulitan dalam memahami materi yang guru sampaikan. Hal ini
dikarenakan anak tunadaksa terutama yang mengalami Cerebral Palsy (CP)
memiliki gangguan kognisi, persepsi, dan simbolisasi.
Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peranan yang penting
untuk membentuk karakter religius pada anak tunadaksa. Adapun kegiatan
yang dapat membentuk karakter religius anak tunadaksa dengan melakukan
kegiatan seperti berdoa sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran,
menghapal surat-surat pendek, kegiatan solat berjamaah, melaksanakan puasa,
dan belajar untuk saling berbagi. Hal ini melatarbelakangi penulis untuk

23
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2010), h.68
9

mengetahui lebih jauh mengenai bagaimana peran guru PAI dalam


membentuk karakter anak tunadaksa, sehingga para siswa memilki kemauan
dan kemampuan untuk menjalankan ibadah keagamaan yang telah diajarkan.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik
membahas hal tersebut dalam penelitian yang berjudul, “PERAN GURU
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
ANAK TUNADAKSA DI SLB D-D1 YAYASAN PEMBINAAN ANAK
CACAT JAKARTA.”

B. Identifikasi Masalah
Dari realita yang ada dan berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka diperoleh masalah yang teridentifikasi sebagai beikut.
1. Keterhambatan gerak membuat anak tunadaksa sulit melakukan kegiatan
secara mandiri
2. Rendahnya kemampuan dan pemahaman anak tunadaksa dalam
menjalankan kegiatan keagamaan
3. Rendahnya kepercayaan diri anak tunadaksa di YPAC Jakarta
4. Rendahnya penerimaan masyarakat terhadap anak tunadaksa
5. Rendahnya pemahaman orang tua dalam membangun karakter religius
anak tunadaksa

C. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan dalam penelitian ini tidak terlalu luas, maka
peneliti membatasi masalah sebagai berikut.
1. Anak berkebutuhan khusus yang akan diteliti adalah anak dengan
gangguan tunadaksa tingkat SMPLB.
2. Pembelajaran yang akan diteliti adalah peran guru pendidikan agama
Islam sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, model dan teladan, dan
evaluator dalam pendidikan karakter religius pada anak tunadaksa.
3. Faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi guru PAI dalam
pendidikan karakter religius anak tunadaksa.
10

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana peran guru PAI dalam pendidikan karakter religius anak
tunadaksa di YPAC Jakarta?
2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi guru PAI
dalam pendidikan karakter religius anak tunadaksa di YPAC Jakarta?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


a. Tujuan Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah di atas, maka tujuan dalam
penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan peran guru PAI dalam pendidikan karakter
religius anak tunadaksa di YPAC Jakarta
2. Untuk mendeskripsikan faktor pendukung dan faktor penghambat yang
dihadapi guru PAI dalam pendidikan karakter religius anak tunadaksa
di YPAC Jakarta
b. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini, di antaranya yaitu:
1. Kegunaan Teoritis
Hasil peneltian ini diharapkan dapat memberikan khazanah
keilmuan khususnya mengenai peranan Guru PAI dalam pendidikan
karakter religius pada anak tunadaksa di lembaga formal, nonformal,
maupun informal.
2. Kegunaan Praktis
a) Bagi Peneliti
Dengan penelitian ini diharapkan memberikan ilmu
pengetahuan yang baru kepada peneliti, serta dapat memberikan
pengalaman dan pembelajaran mengenai peranan guru PAI dalam
pendidikan karakter religius siswa bagi anak tunadaksa kepada
peneliti untuk masa yang akan datang.
11

b) Bagi Lembaga Pendidikan


Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi
dan sumbangan pemikiran bagi lembaga pendidikan khususnya
lembaga pendidikan agama Islam agar dapat mengembangkan dan
memperkaya khazanah keilmuan dalam rangka peningkatan mutu
dan kualitas pendidikan agama Islam.
c) Bagi Peneliti Lain
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam
penelitian yang dilakukan.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Guru Pendidikan Agama Islam


a. Pengertian Guru dalam Pandangan Agama Islam
Dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.1
Dalam konteks pendidikan Islam pendidik atau guru sering disebut
dengan ustaz, murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid.
Setiap sebutan tersebut memiliki karakteristik tugas pendidik yang
berbeda, seperti ustaz merupakan seorang guru yang dituntut untuk
komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya; Murabbi
merupakan orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar
mampu berkreasi serta mampu mengatur, dan memelihara hasil kreasinya
untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam
sekitar; Mu’allim yaitu orang yang menguasai ilmu dan mampu
mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan,
sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi serta
implementasi; Mu’addib yaitu orang yang mampu menyiapkan peserta
didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang
berkualitas di masa depan; Mudarris yaitu orang yang memiliki kepekaan
intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan
keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserra
didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; Mursyid adalah orang

1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
(www.jdih.kemenkeu.go.id), dipublikasikan pada 30 Desember 2005

12
13

yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi
pusat panutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.
Ahmad Tafsir yang dikutip Sukring mengatakan bahwa pendidik
dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh
potensi peserta didik, baik ptensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun
psikomotorik (karsa). Pendidik juga memiliki arti orang dewasa yang
bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan,
mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu
mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah
SWT., mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai
makhluk individu yang mandiri.2

b. Syarat-Syarat Guru dalam Pendidikan Islam


Syarat-syarat guru menurut Zakiyah Drajat yang dikutip Novan Ardy
Wahana dan Barnawi antara lain:
1. Syarat Kepribadian, yakni memiliki kepribadian yang terpadu
sehingga dapat menghadapi segala persoalan dengan wajar dan sehat.
Pengertian terpadu adalah segala unsur dalam pribadinya (pikiran,
perasaan, dan tingkah laku) bekerja secara seimbang dan serasi.
2. Syarat Profesional, yakni guru memilki pengetahuan yang cukup
memadai khususnya ilmu yang diajarkan.
3. Syarat teknis, yakni guru harus memilki kemampuan memilih dan
menggunakan metode mengajar yang tepat guna, artinya sesuai
dengan tujuan materi, anak didik yang dihadapi, situasi, dan alat-alat
yang tersedia.3

2
Sukring, Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013), h.80-81
3
Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016), h.109
14

Sedangkan, menurut Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa syarat guru


dalam pendidikan Islam, yaitu:
1. Tentang umur, harus sudah dewasa
2. Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani
3. Tentang kemampuan mengajar, harus ahli dalam bidangnya
4. Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi.4

c. Kompetensi Guru dalam Pendidikan Islam


Kompetensi menurut KBBI adalah kewenangan (kekuasaan) untuk
menentukan (memutuskan sesuatu).5 Sedangkan menurut Zakiah Daradjat
dikutip Sukring mengemukakan bahwa kompetensi adalah kewenangan
untuk menentukan pendidikan agama yang akan diajarkan pada jenjang
tertentu di sekolah di tempat guru itu mengajar.6
Berdasarkan pengertian kompetensi di atas, dapat dipahami bahwa
calon pendidik perlu mempersiapkan diri untuk menguasai ilmu
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang terkait dengan
profesinya. Berikut kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru
yaitu:
1. Kompetensi Pedagogik, adalah kemampuan mengelola pembelajaran
peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perancangan, dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar
dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya. Artinya, guru harus mampu mengelola
kegiatan pembelajaran, mulai dari merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Guru harus menguasai
manajemen kurikulum, mulai dari merencanakan perangkat
kurikulum, melaksanakan kurikulum, dan mengevaluasi kurikulum,

4
Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2014), h. 172
5
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (www.kbbi..web.id) diakses pada 15 Januari 2019
6
Sukring, Op.Cit., h. 88
15

serta memiliki pemahaman tentang psikologi pendidikan, terutama


terhadap kebutuhan dan perkembangan peserta didik agar kegiatan
pembelajaran lebih bermakna.
2. Kompetensi Personal, adalah kemampuan kepribadian yang mantap,
stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik,
dan berakhlak mulia. Artinya, guru memiliki sikap kepribadian yang
mantap, sehingga mampu menjadi sumber inspirasi bagi siswa.
Dengan kata lain, guru harus memiliki kepribadian yang patut
diteladani, sehingga mampu melaksanakan tri-pusat yang
dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu Ing Ngarso Sung
Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani (di depan
guru memberi teladan/contoh, di tengah memberikan karsa, dan di
belakang memberikan dorongan/motivasi).
3. Kompetensi Sosial, adalah kemampuan guru sebagai bagian dari
masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan
peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali
peserta didik, dan masyarakat sekitar. Artinya, ia menunjukkan
kemampuan berkomunikasi sosial, baik dengan murid-muridnya
maupun dengan sesama teman guru, dengan kepala sekolah, bahkan
dengan masyarakat luas.
4. Kompetensi Profesional, adalah kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan
membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang
ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Artinya, guru harus
memiliki pengetahuan yang luas berkenaan dengan bidang studi atau
subjek matter yang akan diajarkan serta penguasaan didaktik metodik
dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoritis, mampu memilih
model, strategi, dan metode yang tepat serta mampu menerapkannya
dalam kegiatan pembelajaran.7

7
Rusma, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalitas Guru, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2011), h.22-23
16

d. Sifat Guru Pendidikan Agama Islam


Menurut Abdurrahman al-Nahlawi, ada sepuluh sifat yang harus
dimiliki oleh guru Pendidikan Agama Islam dalam mengajarkan ilmu
kepada muridnya, di antaranya:
1. Tujuan hidup, tingkah laku, dan pola pikir pendidik hendaknya bersifat
rabbani, yakni bersandar kepada Allah, menaati Allah, mengabdi
kepada Allah, mengikuti syariat-Nya, dan mengenal sifat-sifat-Nya.
2. Menjalankan aktivitas pendidikan dengan penuh keikhlasan.
Pendidikan dengan keluasan ilmunya hendaknya menjalankan
profesinya hanya bermaksud mendapatkan keridhaan Allah dan
menegakkan kebenaran.
3. Menjalankan aktivitas pendidikan dengan penuh kesabaran, karena
tujuan pendidikan tidak akan tercapai dengan tergesa-gesa. Pendidik
tidak boleh menuruti hawa nafusnya, seperti ingin segera melihat hasil
kerjanya sebelum pengajaran itu terserap dalam jiwa anak.
4. Menyampaikan apa yang diserukan dengan penuh kejujuran. Apa yang
disampaikan terlebih dahulu sudah diamalkan pendidik, baik perkataan
maupun perbuatan, agar anak didik mudah mengikuti dan menirunya.
5. Senantiasi membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan terus-
menerus membiasakan diri untuk mempelajari dan mengkajinya.
Pendidik tidak boleh puas dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
6. Memiliki kemampuan pengelolaan belajar yang baik, tegas dalam
bertindak dan mampu meletakkan berbagai perkara secara
proporsionnal.
7. Memilki kemampuan untuk menggunakan berbagai metode mengajar
secara bervariasi, menguasainya dengan baik, dan pandai menentukan
pilihan metode yang digunakan sesuai suasana mengajar yang
dihadapinya.
8. Mampu memahami kondisi kejiawaan peserta didik yang selaras
dengan tahapan perkembangannya, agar dapat memperlakukan peserta
didik sesuai kemampuan akal dan perkembangan psikologisnya.
17

9. Memilki sikap yang tanggap dan responsif terhadap berbagai kondisi


dan perkembangan dunia, yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan,
dan pola pikir peserta didik.
10. Memperlakukan peserta didik dengan adil, tidak cenderung kepada
salah satu dari mereka, dan tidak melebihkan seseorang atas yang lain,
kecuali sesuai dengan kemampuan dan prestasinya.8

e. Tugas dan Tanggung Jawab Guru Pendidikan Agama Islam


Al-Qur‟an telah mengisyaratkan peran para nabi dalam pendidikan
dan fungsi fundamental mereka dalam mengikuti pengkajian ilmu-ilmu
ilahi serta implikasinya. Isyarat tersebut terdapat dalam firman Allah
dalam QS. al-Baqarah: 129
ِ ‫ْكتَابَوال‬
ِ َ ِ‫َءايَات‬ ِ ْ ‫ربََّنَاَواب ع‬
ََ‫ْح ْك َمة‬ َ َ ‫َويُ َعلِّ ُم ُه ُمَال‬
َ‫ك‬ َ ‫واَعلَْي ِه ْم‬
َ ُ‫َم ْن ُه ْمَيَ ْت ل‬ َ ‫ثَفي ِه ْم‬
ِّ ً‫َر ُسوال‬ َْ َ َ

َ‫يم‬ ِ ‫َنتَالْع ِزيزَال‬ َ َّ‫َويُ َزِّكي ِه ْمَإِن‬


ُ ‫ْحك‬
َ ُ َ َ ‫كَأ‬
Artinya:
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau,
dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al
Hikmah (as-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Pada ayat di atas, Allah mengisyaratkan bahwa tugas terpenting yang


diemban oleh Rasulullah adalah mengajarkan al-Qur‟an, hikmah, dan
penyucian diri. Keutamaan profesi pendidik sangatlah besar, sehingga
Allah menjadikannya sebagai tugas yang diemban Rasulullah. Demikian
juga tugas pendidik yang mewarisi tugas yang diemban Rasulullah.
Tugas pokok pendidik adalah mendidik dan mengajar. Selain itu,
tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan,
meyucikan hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah. Menurut al-
Ghazali ada empat tugas pendidik/pengajar, yaitu:

8
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h.92-93
18

1. Menunjukkan kasih sayang kepada peserta didik dan menganggapnya


seperti anak sendiri.
2. Mengikuti teladan Rasulullah SAW.
3. Tidak menunda memberi nasihat dan ilmu yang diperlukan oleh para
peserta didik.
4. Menasihati peserta didik dan melarang dari akhlak tercela.
Sedangkan, dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, Pasal 1, ayat 2 menyebutkan bahwa
“Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”
Uraian tersebut menggaris bawahi bahwa, tugas pendidik adalah
membimbing dan mengarahkan serta menyiapkan generasi penerus yang
akan hidup pada zamannya di masa depan, maka tanggung jawab pendidik
seperti yang dijelaskan Abdurrahman al-Nahlawi yakni mendidik individu
supaya beriman kepada Allah dan melaksanakan syariat-Nya, mendidik
diri supaya beramal salah dan mendidik masyarakat untuk saling berpesan-
pesan dalam melaksanakan kebenaran dan berpesan-pesan dalam
kesabaran ketika menghadapi kesusahan, beribadah kepada Allah, serta
menegakkan kebenaran. Jadi tanggung jawab pendidik bukan hanya
terhadap moril peserta didik dan masyarakat, akan tetapi lebih besar adalah
mempertanggungjawabkan segala aktivitas kependidikan kepada Allah.9

9
Sukring, Loc.Cit., h. 83-85
19

B. Pendidikan Karakter Religius


1. Pendidikan Karakter

a. Pengertian Pendidikan Karakter


Pendidikan berasal dari kata “didik”, yang selanjutnya
ditambahkan imbuhan menjadi pendidikan yang artinya proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan. Sedangkan dalam bahasa Inggris, education (pendidikan)
berasal dari kata educate (mendidik) yang berarti memberi
peningkatan dan mengembangkan. Dalam pengertian yang sempit,
education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan
untuk memperoleh pengetahuan.10
Berdasarakan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,
pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.11
Secara bahasa karakter berasal dari bahasa Latin, yaitu
kharakter, kharassaein, dan kharax. Sedangkan, dalam bahasa Yunani
karakter berasal dari kata charassein, yang berarti membuat tajam dan
membuat dalam.12 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter
adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dari yang lain. Karakter mengacu pada

10
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya. 2013), h.10
11
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(http://kelembagaan.ristekdikti.go.id), dipublikasikan pada 22 Februari 2019
12
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta,
2012), h. 1
20

serangkaian sikap (attitude), perilaku (behaviors), motivasi


13
(motivations), dan keterampilan (skills).
Karakter secara istilah menurut Zubaedi meliputi sikap seperti
keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual
seperti kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung
jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh
ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang
memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai
keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan
masyarakatnya.
Suyanto mendefinisikan karakter, yaitu
“Karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama,
baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan
negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang
bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan
setiap akibat dari keputusan yang ia buat.”

Sedangkan, Griek merumuskan definisi karakter sebagai


panduan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga
menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu
dengan yang lain. Batasan ini menunjukkan bahwa karakter sebagai
identitas yang dimiliki seseorang yang bersifat menetap sehingga
seseorang atau sesuatu itu berbeda dengan yang lain.14
Di pihak lain, Thomas Lickona yang dikenal sebagai “Bapak
Pendidikan Karakter” menjelaskan bahwa makna karakter adalah “A
reliable inner deposition to respond to situations in a morally good
way”. Selanjutnya dia menambahkkan, “Character so conceived has
three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and morang
behavior”. Menurut Thomas Lickona, karakter mulia (good character)

13
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (www.kbbi..web.id) diakses pada 15 Januari 2019
14
Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Implementasinya Secara
Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi, dan Masyarakat, (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2016), h.28-29
21

meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen


(niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan
kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian
pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi
(motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
Menurut Thomas Lickona, karakter berkaitan dengan konsep
moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku
moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat
dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan
tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan
perbuatan kebaikan.15
Dikutip dari Muchlis Samani dan Hariyanto, Thomas Lickona
mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya sungguh-sungguh
untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan bertindak dengan
landasan nilai-nilai etis.16 Secara sederhana, Lickona mendefinisikan
pendidikan karakter merupakan usaha secara sengaja untuk mengolah
kebaikan pada seseorang. 17
Dalam pendidikan terdapat dua tujuan utama, yaitu untuk
membantu siswa menjadi pintar dan baik. Para siswa memerlukan
karakter bagi kedua hal tersebut. Para siswa ini memerlukan kekuatan
dalam karakter, seperti etos kerja yang kuat, disiplin diri, dan
ketekunan untuk sukses di sekolah dan kehidupannya. Mereka
memerlukan kekuatan karakter seperti rasa hormat dan tanggung
jawab untuk memiliki hubungan dan kehidupan antarpribadi yang
positif dalam masyarakat.18

15
Dalmeri, Pendidikan untuk Pengembangan Karakter (Telaah terhadap Gagasan Thomas
Lickona dalam Educating for Character), Jurnal Al-Ulum, Vol.14, 2014, h.271-272
16
Thomas Lickona, Character Matters: Persoalan Karakter Bagaimana Membantu Anak
Mengembangkan Penilaian yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting Lainnya, terjemah dari
Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other
Essensial Virtues, (Jakarta: PTBumi Aksara. 2012), h.6
17
Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya. 2011), h.44
18
Thomas Lickona, Op.Cit., h.5
22

Thomas Lickona menyebutkan setidaknya ada tujuh unsur-


unsur karakter esensial dan utama yang harus ditanamkan kepada
peserta didik, yaitu ketulusan hati atau kejujuran; belas kasih;
kegagahberanian; kasih sayang; kontrol diri; kerja sama; dan kerja
keras. Tujuh karakter inilah yang paling penting dan mendasar untuk
dikembangkan pada peserta didik.19
Adapun pendapat menurut Siswanto pendidikan karakter
adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan
kamil.20
Di dalam Islam karakter dikenal dengan “akhlak”. Akhlak
berasal dari bahasa Arab bentuk jamak dari kata khuluq atau al-khulq,
yang secara etimologis berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku,
atau tabi‟at. Sedangkan secara istilah akhlak diartikan sebagai sikap
yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingkah laku) mungkin baik,
mungkin buruk.21
Imam Al-Ghozali berpendapat bahwa akhlak ialah sifat yang
tertanam dalam hati yang dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan
yang baik, dengan mudah dan tanpa menimbulkan pertimbangan-
pertimbangan dan pemikiran-pemikiran22. Sedangkan, Ibn Miskawaih
dalam bukunya Tahdzib al-Akhlaq, beliau mendefinisikan akhlak
adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan

19
Dalmeri, Op.Cit., h.273
20
Siswanto, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Religius, Jurnal Tadris, Vol. 8,
2013, h. 97
21
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005), h. 346
22
Maswardi Muhammad Amin, Pendidikan Karakter Anak Bangsa, (Jakarta: Baduesa
Media Jakarta, 2011), h. 7
23

perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan


terlebih dahulu.23
Menurut Abuddin Nata secara garis besar akhlak itu dibagi
menjadi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al akhlaq al-karimah)
atau (al akhlaq mahmudah), dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al
mazmumah).24 Yang dimaksud dengan akhlak mahmudah adalah
segala macam sikap dan tingkah laku yang baik (terpuji), sedangkan
akhlak mazmumah adalah segala macam sikap dan tingkah laku yang
buruk (tercela). Adapun yang termasuk dalam kategori akhlak
mahmudah jumlahnya cukup banyak, di antaranya adalah ikhlas
(berbuat sesuatu semata-mata karena Allah); syukur (berterima kasih
atas nikmat Allah); amanah (dapat dipercaya); „adl (adil); afw
(pemaaf); wafa (menepati janji); Sidq (benar/jujur); tawakkal
(berserah diri pada Allah); rahmah (kasih sayang); sakha (murah
hati); ta’awun (penolong). Adapun sifat-sifat yang termasuk dalam
kategori akhlak mazmumah diantaranya ananiyah (egoisme); bukhil
(kikir); gadab (pemarah); takabur (sombong); kufr (ingkar terhadap
nikmat Allah); tabdzir (boros); ghisysy (curang/culas); riya’ (ingin
dipuji); kasal (malas); hasad (dengki); zulm (zalim/berbuat aniaya),
dan lain sebagainya.25
Penggunaan istilah karakter pada pembahasan kali ini didasari
pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter. Penguatan Pendidikan Karakter yang
selanjutnya disingkat PPK adalah gerakan pendidikan di bawah
tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta
didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah
raga dengan pelibayan dan kerja sama antara satuan pendidikan,

23
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2006), h.151
24
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT. Raja Gradindo, 2015),
h.37
25
Didiek Ahmad Suoadie dan Sarjuni, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2012), h.204-205
24

keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional


Revolusi Mental (GNRM).26
Dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan karakter
merupakan cara yang dilakukan untuk merubah nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

b. Faktor-Faktor Pembentukan Karakter


Adapun faktor-faktor pembentukan karakter secara umum
digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu faktor intern dan faktor
ekstern.
1) Faktor Intern
a. Insting atau Naluri
Insting adalah suatu sifat yang dapat menumbuhkan
perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berpikir lebih
dahulu ke arah tujuan itu dan tidak didahului latihan perbuatan itu.
Naluri merupakan tabiat yang dibawa sejak lahir yang merupakan
suatu pembawaan yang asli.27
Naluri berfungsi sebagai motivator penggerak yang
mendorong lahirnya tingkah laku, seperti naluri makan, naluri
berjodoh, naluri keibu-bapakan, naluri berjuang, naluri ber-Tuhan.
Selain itu, terdapat insting lain yang dikemukakan oleh para ahli
Psikologi, misalnya insting ingin tahu dan memberi tahu, insting
takut, insting suka bergaul, dan insting meniru. Naluri dan insting
manusia tersebut sudah menjadi fitrah manusia sejak lahir dan akan

26
Perpres No.87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, diakses dari
(https://www.jogloabang.com/pendidikan/perpres-no-87-tahun-2017-tentang-penguatan-
pendidikan-karakter), dipublikasikan pada 27 Februari 2018
27
Heri Gunawan, Op.Cit., h. 20
25

memproduksi berbagai corak perilaku sesuai dengan corak


instingnya.
b. Adat atau Kebiasaan
Adat / kebiasaan adalah setiap tindakan dan perbuatan
seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk
yang sama sehingga menjadi kebiasaan, seperti berpakaian, makan,
tidur, dan olahraga. Faktor kebiasaan ini memegang peranan yang
sangat penting dalam membentuk dan membina karakter.
Sehubungan kebiasaan merupakan kegiatan yang diulang-ulang
sehingga mudah dikerjakan maka hendaknya manusia memaksakan
diri untuk mengulang-ulang perbuatan yang baik sehingga menjadi
kebiasaan dan akan terbentuk karakter yang baik pula28.
c. Kehendak / Kemauan (Iradah)
Salah satu kekuatan yang berlindung di balik tingkah laku
adalah kehendak atau kemauan keras.Itulah yang menggerakkan
dan merupakan kekuatan yang mendorong manusia dengan
sungguh-sungguh untuk berperilaku.
d. Suara Batin atau Suara Hati
Suara batin berfungsi memperingatkan bahayanya
perbuatan buruk dan berusaha untuk mencegahnya, di samping
dorongan untuk melakukan perbuatan baik. Suara hati dapat terus
didik dan dituntun akan menaiki jenjang kekuatan rohani.
e. Keturunan
Keturunan merupakan suatu faktor yang dapat
mempengaruhi perbuatan manusia. Sifat yang diturunkan pada garis
besarnya ada dua macam, yaitu sifat jasmaniyah dan sifat ruhaniyah.
Sifat jasmaniyah adalah kekuatan dan kelemahan otot-otot dan urat-
urat saraf orang tua yang dapat diwariskan kepada anaknya.
Sedangkan sifat ruhaniyah adalah lemah dan kuatnya suatu naluri

28
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan, (Jakarta: Kencana: 2012), h.178-179
26

dapat diturunkan pula oleh orang tua yang kelak mempengaruhi


perilaku anak cucunya.29
2) Faktor Ekstern
a. Pendidikan
Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan adalah usaha
meningkatkan diri dalam segala aspeknya. Pendidikan mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter, sehingga
baik dan buruknya karakter seseorang sangat tergantung pada
pendidikan. Pendidikan akan mematangkan kepribadian manusia
sehingga tingkah lakunya sesuai dengan pendidikan yang telah
diterima oleh seseorang baik pendidikan formal, informal, maupun
non formal.
b. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang menjadi bagian dari
kehidupan, seperti tumbuh-tumbuhan, keadaan tanah, udara, dan
pergaulan manusia. Manusia hidup selalu berhubungan dengan
manusia lainnya atau dengan alam sekitar. Itulah sebabnya manusia
harus bergaul dan dalam pergaulan itu saling mempengaruhi
pikiran, sifat dan tingkah laku.30
BagiPeter L Berger dan Luckmann , masyarakat merupakan
kenyataan objektif dan sekaligus kenyataan subjektif. Sebagai
kenyataan objektif, individu berada di luar diri manusia dan
berhadap-hadapan dengannya; sedangkan sebagai kenyataan
subjektif, individu berada di dalam masyarakat sebagai bagian yang
tidak terpisahkan. Individu adalah pembentuk masyarakat; dan
masyarakat adalah pembentuk individu. Maka itu, kenyataan sosial
bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu kenyataan objektif dan
sekaligus subjektif.

29
Heri Gunawan, Loc.Cit., .h. 20-21
30
Ibid., .h. 21-22
27

Adapun Berger dan Luckmann menyatakan bahwa


hubungan antara manusia dengan lingkungannya bercirikan
keterbukaan dunia sehingga memungkinkan manusia melakukan
berbagai aktivitas. Adanya keterhubungan manusia dengan
llingkungannya seperti itu, membuat ia mengembangkan dirinya
bukan berdasarkan naluri tetapi melalui banyak macam kegiatan
terus-menerus penuh variasi. Maka dari itu, dalam
mengembangkan dirinya manusia tidak hanya berhubungan secara
timbal-balik dengan lingkungan alam tertentu tetapi juga dengan
bantuan sosial dan budaya yang spesifik, yang dihubungkan
melalui perantaraan orang-orang yang berpengaruh. Perkembangan
manusia sejak kecil hingga dewasa memang sangat ditentukan
secara sosial.31
Dalam hal ini Berger dan Luckmann merumuskan teori
konstruksi sosial yang berpijak pada sosiologi pengetahuan.
Sosiologi pengetahuan, yang dikembangkan Berger dan Luckmann,
mendasarkan pengetahuannya dalam dunia kehidupan sehari-hari
masyarakat sebagai kenyataan. Dalam teori ini terkandung pemahaman
bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan dan
pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya.
Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-
fenomena yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga
tidak tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan
adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki
karakteristik yang spesifik.32

c. Strategi Pendidikan Karakter


Menurut Thomas Lickona, karakter terbentuk dari tiga macam
bagian yang saling berkaitan, yaitu pengetahuan moral, perasaan
moral, dan perilaku moral. Karakter yang baik terdiri atas mengetahui

31
I. B. Putera Manuaba, Memahami Teori Konstruksi Sosial, Jurnal: Masyarakat
Kebudayaan dan Politik, Vol. 21, 2008, h. 224
32
Ibid., h. 221
28

kebaikan, menginginkan kebaikan, dan melakukan kebaikan.


Ketiganya penting untuk menjalankan hidup yang bermoral; ketiganya
adalah faktor pembentuk kematangan moral.33
Dalam dinamikanya, pendidikan karakter tentu tidak dapat
mengabaikan kondisi peserta didik sebagai sasaran dari pendidikan
tersebut. Berbagai aspek psikis yang berpotensi memiliki peran dalam
memberi warna pada diri peserta didik tentu akan menjadi kontributor
yang sangat berpengaruh dalam pencapaian tujuan dalam
pembentukan karakter mereka. Salah satunya adalah aspek
perkembangan moral peserta didik, dimana dengan memahami aspek
moral tersebut mampu memberi support dalam pencapaian target dari
proses pendidikan karakter. Dalam pendidikan karakter memiliki tiga
komponen yang penting, yaitu moral knowing, moral feelings, dan
moral action/moral behaviour. Ketiga komponen dasar ini merupakan
satu kesatuan yang kontinyu dalam perkembangan moral anak.
Dengan demikian mempelajari perkembangan moral anak akan
bermanfaat juga sebagai dasar pengetahuan untuk melaksanakan
pendidikan karakter.34
Dalam pendidikan karakter menuju terbentuknya akhlak mulia
dalam diri setiap siswa ada tiga tahapan strategi yang harus dilalui,
diantaranya:
1. Moral Knowing / Learning to know
Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan
karakter.Dalam tahapan ini tujuan dorientasikan pada penguasaan
pengetahuan tentang nilai-nilai. Di antaranya siswa harus mampu
memiliki kemampuan: a) membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan
akhlak tercela serta nilai-nilai universal; b) memahami secara logis

33
Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi
Pintar dan Baik, Diterjemahkan dari Educating for Character, (Bandung: Nusa Media. 2013), h.
72
34
Fatma Laili Khoirun Nida, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg
dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, Vol. 8,
2013, h. 274
29

dan rasioal (bukan secara dogmatis dan doktriner) pentingnya


akhlak mulia dan bahaya akhlak tercela dalam kehidupan; c)
mengenal sosok Nabi Muhammad Saw. sebagai figur teladan
akhlak mulia melalui hadits-hadits dan sunahnya.
2. Moral Loving / Moral Feeling
Belajar mencintai dengan melayani orang lain. Belajar
mencintai dengan cinta tanpa syarat. Tahapan ini dimaksudkan
untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai
akhlak mulia. Dalam tahapan ini yang menjadi sasaran guru
adalah dimensi emosional siswa, hati, atau jiwa, bukan lagi akal,
rasio dan logika. Untuk mencapai tahapan ini guru bisa
memasukinya dengan kisah-kisah yang menyentuh hati,
modelling, atau kontempelasi. Melalui tahap ini pun siswa
diharapkan mampu menilai dirinya sendiri (muhasabah), semakin
tahu kekurangan-kekurangannya.35
3. Moral Doing / Learning to do
Inilah puncak keberhasilan mata pelajaran akhlak, siswa
mempraktikan nilai-nilai akhlak mulia itu dalam perilakunya
sehari-hari. Siswa menjadi semakin sopan, ramah, hormat,
penyayang, jujur, disiplin, cinta, kasih dan sayang, adil serta
murah hati dan seterusnya. Selama perubahan akhlak belum
terlihat dalam perilaku anak walaupun sedikit, selama itu pula
kita memiliki setumpuk pertanyaan yang harus selalu dicari
jawabannya. Contoh atau teladan adalah guru yang paling baik
dalam menanamkan nilai. Siapa kita dan apa yang kita berikan.
Tindakan selanjutnya adalah pembiasaan dan permotivasian.36

35
Nuraida dan Rihlah Nur Aulia, Pendidikan Karakter untuk Guru, (Ciputat: Islamic
Research Publishing, 2010), h. 26
36
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. 2011), h.112-113
30

Sedangkan menurut Indonesian Heritage Foundation (IHF)


menyebutkan beberapa strategi yang dapat digunakan dalam
pembentukan karakter, di antaranya yaitu:

1) Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif


murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid.
Karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan
diberikan materi pelajaran yang kongkrit, bermakna, serta
relevan dengan konteks kehidupanya.
2) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif sehingga anak
bisa belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan
rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberi
semangat.
3) Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis dan
berkesinambungan, dengan melibatkan aspek knowing the good,
loving the good, and acting the good.
4) Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-
masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga
9 aspek kecerdasan manusia.37

d. Metode Pendidikan Karakter


Dalam proses pembentukan karakter diperlukan metode-
metode pendidikan yang mampu menanamkan nilai-nilai karakter baik
kepada siswa, sehingga siswa bukan hanya tahu tentang moral (moral
knowing), tetapi juga mereka mampu melaksanakan moral (moral
action). Berikut metode-metode pembentukan karakter menurut
Abdurrahman An-Nahlawi dalam karyanya yang berjudul “Ushuul Al
Tarbiyah Al Islamiyyah Wa Salibuha” atau yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, yaitu “Prinsip-Prinsip dan Metode
Pendidikan Islam Dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat”, di
antaranya adalah:
37
Nuraida dan Rihlah Nur Aulia, Op.Cit., h.27
31

1) Metode Hiwar atau Percakapan


Metode hiwar (dialog) adalah percakapan silih berganti
antara dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai satu
topik dengan satu tujuan tertentu. Dalam proses pendidikan metode
hiwar mempunyai dampak yang sangat mendalam terhadap jiwa
pendengar atau pembaca yang mengikuti topik percakapan secara
seksama, karena permasalahan yang disajikan sangat dinamis,
pembaca atau pendengar tertarik untuk terus mengikuti jalannya
percakapan untuk mengetahui kesimpulan, dapat membangkitkan
berbagai perasaan dan kesan seseorang, serta sikap orang yang
yang terlibat akan mempengaruhi peserta sehingga akan
menimbulkan berbagai pengaruh yang baik.
2) Metode Qashash atau Cerita
Menurut kamus Ibn Manzur dikutip dari Heri Gunawan,
kisah berasal dari kata qashsha-yaqushshu-qishshatan yang berarti
potongan berita yang diikuti dan pelacak jejak. Menurut al-Razzi
kisah merupakan penelusuran terhadap kejadian masa lalu. Dalam
pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, kisah sebagai metode
pendukung pelaksanaan pendidikan memiliki peranan yang sangat
penting, karena dalam kisah terdapat berbagai keteladanan dan
edukasi.38
3) Metode Amtsal atau Perumpamaan
Dalam mendidik umat manusia, Allah banyak
menggunakan perumpamaan. Metode perumpaan ini juga baik
untuk digunakan oleh para guru dalam memberikan pendidikan
kepada peserta didiknya dalam menanamkan karakter kepada
mereka. Metode perumpamaan ini menurut An-Nahlawi memiliki
tujuan pedagogis, di antaranya mendekatkan makna pada
pemahaman, merangsang kesan dan pesan yang berkaitan dengan
makana yang tersirat, mendidik akal supaya berpikir logis, dan

38
Heri Gunawan, Op.Cit., .h. 88-90
32

menggerakkan perasaan dan menghidupkan naluri untuk


melakukan amal yang baik dan menjauhi segala yang buruk.
4) Metode Uswah atau Keteladanan
Dalam penanaman karakter kepada peserta didik,
keteladanan merupakan metode yang lebih efektif dan efisien. Hal
ini karena peserta didik pada umumnya cenderung meneladani
(meniru) guru atau pendidiknya. Oleh karena itu, pendidik maupun
tenaga kependidikan perlu memberikan keteladanan yang baik
kepada para peserta didiknya, agar penanaman karakter baik
sehingga dapat menjadi panutan dan dapat diteladani.39
5) Metode Pembiasaan
Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara
berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Metode
pembiasaan ini berintikan pengalaman. Karena yang dibiasakan
adalah sesuatu yang diamalkan dan inti kebiasaan adalah
pengulangan. Pembiasaan menempatkan manusia sebagai sesuatu
yang istimewa, yang dapat menghemat kekuatan, karena akan
menjadi kebiasaan yang melekat dan spontan, agar kegiatan itu
dapat dilakukan setiap saat. `Metode pembiasaan ini perlu
dilakukan oleh guru dalam rangka pembentukan karakter untuk
membiasakan peserta didik melakukan perilaku terpuji.
6) Metode „Ibrah dan Mau’idhoh
„Ibrah berarti suatu kondisi psikir yang menyampaikan
manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, dihadapkan
dengan menggunakan nalar yang menyebabkan hati mengakuinya.
Adapun mau’idhoh adalah nasihat yang lembut yang diterima oleh
hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya.
7) Metode Targhib dan Tarhib (Janji dan Ancaman)
Targhib adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan
akhirat yang disertai dengan bujukan. Tarhib adalah ancaman

39
Ibid., h. 91-94
33

karena dosa yang dilakukan. Targhib bertujuan agar manusia


melakukan kebaikan yang diperintahkan Allah, sedangkan tarhib
bertujuan agar manusia menjauhi perbuatan yang dilarang Allah.40

e. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter


Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di
Indonesia diidentifikasi berasal dari empat sumber. Pertama, agama.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat beragama. Oleh karena
itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada
ajaran agama dan kepercayaan. Karenanya, nilai-nilai pendidikan
karakter juga harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang
berasal dari agama.
Kedua, Pancasila. Negara Kesatuan Republik Indonesia
ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan
yang disebut pancasila. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik,
hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni.
Ketiga, budaya. Posisi budaya yang sedemikian penting dalam
kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai
dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Keempat, tujuan Pendidikan Nasioal UU RI Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan fungsi dan
tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam
mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Tujuan pendidikan
nsional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga
negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah
sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan
budaya dan karakter bangsa.

40
Ibid., .h. 95-96
34

Tabel 2.1: Nilai-nilai dan deskripsi nilai pendidikan


karakter berdasarkan Kementerian Pendidikan Nasional tahun
201041
No Nilai Deskripsi
1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanan ibadah agama lain,
dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan.
3 Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan
agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan
tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib
dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.
5 Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-
sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya.
6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu
yang telah dimiliki.
7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8 Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang

41
Syamsul Kurniawan, Op.Cit., h. 39-42
35

menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan


orang lain.
9 Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, atau
didengar.
10 Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11 Cinta Tanah Air Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas diri dan kelompoknya.
12 Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat dan mengauki serta menghormati
keberhasilan orang lain.
13 Bersahabat/Komunikatif Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan
orang lain.
14 Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan
aman atas kehadirannya.
15 Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
bagi dirinya.
16 Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di
sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi.
36

17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi


bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
18 Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, dan lingkungan (alam, sosial, dan
budaya), negara, dan Tuhan YME.

2. Karakter Religius

a. Pengertian Karakter Religius


Religi berasal dari bahasa latin, yakni religere yang
mengandung arti mengumpulkan, membaca. Adapula pendapat lain
yang mengatakan bahwa religi berasal dari kata religare yang berarti
mengikat.42 Sedangkan, kata religius menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah bersifat religi; bersifat keagamaan; yang bersangkut-
paut dengan religi.43 Sedangkan, karakter religius berarti sikap dan
perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain.44
Situasi dan kondisi tempat model serta penerapan nilai yang
menjadi dasar penanaman religius, yaitu: 1) Menciptakan budaya
religius (karakter religius) yang bersifat vertikal dapat diterapkan
melalui kegiatan peningkatkan hubungan dengan Allah SWT baik
secara kualitas atau kuantitasnya. Pelaksanaan kegiatan religius di
sekolah yang bersifat ibadah, diantaranya sholat berjamaah, membaca
ayat suci Al-Qur‟an, berdoa bersama dan lain sebagainya. 2)

42
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-press.
1985), h.2
43
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (www.kbbi..web.id) diakses pada 8 Oktober 2019
44
Syamsul Kurniawan, Loc.Cit., h. 39
37

Menciptakan budaya religius (karakter religius) yang bersifat


horizontal yaitu lebih menempatkan sekolah sebagai institusi sosial
yang berbasis religius dengan menciptakan hubungan antar sosial
yang baik. Jenis hubungan sosial antar manusia dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu: (a) hubungan antara atasan dan bawahan, (b)
hubungan profesional, (c) hubungan sederajat atau sukarela
berdasarkan nilai-nilai religius, seperti persaudaraan, kedermawanan,
kejujuran, saling menghormati dan sebagainya.45

b. Aspek Karakter Religius


Aspek religius menurut kementerian dan lingkungan hidup RI
tahun 1987 religius agama Islam terdiri dari:
a. Aspek iman, yakni yang mengyangkut dan hubungan manusia
dengan Tuhan, malaikat, para nabi, dan sebagainya.
b. Aspek Islam, yakni yang menyangkut frekuensi, intensitas
pelaksanaan ibadah yang telah ditetapkan, misalnya sholat, puasa,
dan zakat.
c. Aspek ihsan, yakni yang menyangkut pengalaman dan perasaan
tentang kehadiran Tuhan, takut melanggar larangan dan lain-lain.
d. Aspek ilmu, yakni yang menyangkut pengetahuan seseorang
tentang ajaran-ajaran agama.
e. Aspek amal, yakni yang menyangkut tingkah laku dalam
kehidupan bermasyarakat, misalnya menolong orang lain, membela
orang lemah, bekerja dan sebagainya.46

45
Eny Wahyu Suryanti dan Febi Dwi Widayanti, Penguatan Pendidikan Karakter
Berbasis Religius, Conference on Inovation and Application of Science and Technology
(CIASTECH 2018), Seminar Nasional Hasil Riset, 2018, h.257
46
Ahmad Thontowi. Hakekat Religiusitas, (http://www.sumsel.kemenag.go.id),
dipublikasikan pada 27 Juni 2011, h. 2-3
38

c. Komponen Karakter Religius


Ahmad Thontowi mengemukakan enam komponen religius
dan masing-masing komponen memiliki empat dimensi. Keenam
komponnen tersebut adalah:
a. Ritual, yaitu perilaku seremonial baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama.
b. Doctrin, yaitu penegasan tentang hubungan individu dengan
Tuhan.
c. Emotion, yaitu adanya perasaan seperti kagum, cinta, takut, dan
sebagainya.
d. Knowledge, yaitu pengetahuan tentang ayat-ayat dan prinsip-
prinsip suci.
e. Ethics, yaitu aturan-aturan untuk membimbing perilaku
interpersonal membedakan yang benar dan yang salah, yang baik
dan yang buruk.
f. Community, yaitu penegasan tentang hubungan manusia dengan
makhluk atau individu lainnya.47

d. Dimensi Karakter Religius


Menurut Glock ada lima dimensi religius, yaitu:
a. Dimensi ideologi atau keyakinan, yaitu dimensi dari keberagamaan
yang berkaitan dengan apa yang harus dipercayai, misalnya
kepercayaan adanya Tuhan, malaikat, surga, neraka, dan
sebagainya. Kepercayaan atau doktrin agama adalah dimensi yang
paling mendasar.
b. Dimensi Peribadatan, yaitu dimensi keberagaman yang berkaitan
dengan sejumlah perilaku, dimana perilaku tersebut sudah
ditetapakan oleh agama, seperti tata cara ibadah, pembaptisan,
pengakuan dosa, berpuasa, shalat atau menjalankan ritual-ritual
khusus pada hari-hari suci.

47
Ibid., h. 3
39

c. Dimensi Penghayatan, yaitu dimensi yang berkaitan dengan


perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama atau
seberapa jauh seseorang dapat menghayati pengalaman dalam ritual
agama yang dilakukannya, misalnya kekhusyukan ketika
melakukan sholat.
d. Dimensi Pengetahuan, yaitu berkaitan dengan pemahaman dan
pengetahuan seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang
dianutnya.
e. Dimensi Pengamalan, yaitu berkaitan dengan akibat dari ajaran-
ajaran agama yang dianutnya yang diaplikasikan melalui sikap dan
perilaku dalam kehidupan sehari-hari48.

e. Domain Karakter Religius


Direktorat Pendidikan LanjutanPertama Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dalam Bahan Pendampingan Guru Sekolah Swasta
Tradisional (Islam) telah menginventaris Domain Budi Pekerti Islaami
sebagai nilai-nilai karakter yang harus dimiliki dan ditampilkan dalam
kehidupan sehari-hari oleh warga sekolah Islami, sebagaimana yang
dikutip dari Muchlis Samani dan Hariyanto, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.2: Domain Budi Pekerti Islami menurut al-Quran dan
Hadis49:
No. Karakter Religius Cakupan
1. Terhadap Tuhan 1. Ikhlas
2. Sabar
3. Syukur
4. Tawakal
5. Disiplin
6. Amanah

48
Ibid., h. 4
49
Muchlas Samani dan Hariyanto, Op.Cit., h.48-49
40

7. Beradab
8. Iman dan takwa
2. Terhadap Diri Sendiri 1. Adil
2. Jujur
3. Bijaksana
4. Kerja keras
5. Kerja cerdas
6. Mawas diri
7. Kasih sayang
8. Bertanggung jawab
3. Terhadap Keluarga 1. Jujur
2. Sabar
3. Empati
4. Pemaaf
5. Disiplin
6. Rendah hati
7. Tenggang rasa
8. Sopan santun
4. Terhadap Orang Lain 1. Sportif
2. Amanah
3. Pemurah
4. Bela rasa
5. Lembut hati
6. Ramah tamah
7. Rela berkorban
8. Bertanggung jawab
5. Terhadap Masyarakat dan 1. Tertib
Bangsa 2. Setia/loyal
3. Berinisiatif
4. Sikap hormat
41

5. Tenggang rasa
6. Kerja keras
7. Menghargai kesehatan
8. Berpikir jauh ke depan
6. Terhadap Alam dan 1. Adil
Lingkungan 2. Amanah
3. Berinisiatif
4. Kasih sayang
5. Rela berkorban
6. Bertanggung jawab
7. Berpikir konstruktif
8. Menghargai kebersihan

Adapun pendapat lain yang mengatakan terdapat berbagai


karakter yang harus dimiliki oleh kaum Muslimin baik menurut al-
Quran maupun Hadis antara lain:
1. Menjaga harga diri
2. Rajin bekerja mencari rezeki
3. Bersilaturahmi, menyambung komunikasi
4. Berkomunikasi dengan baik dan menebar salam
5. Jujur, tidak curang, menepati janji dan amanah
6. Berkomunikasi dengan baik dan santun, gemar memberi salam
7. Berbuat adil, tolong menolong, saling mengasihi dan menyayangi
8. Sabar dan optimistis
9. Bekerja keras, bekerja apa saja asal halal
10. Kasih sayang dan hormat pada orang tua, tidak menipu
11. Pemaaf dan dermawan
12. Berempati, berbela rasa sebagai manifestasi kebaikan
13. Selalu bersyukur
14. Tidak sombong dan angkuh
15. Berbudi pekerti (akhlak) luhur
42

16. Berbuat baik dalam segala hal


17. Punya rasa malu dan iman
18. Berlaku hemat
19. Konsisten, istiqamah
20. Teguh hati, tidak berputus asa
21. Bertanggung jawab
22. Cinta damai50

f. Prinsip Pendidikan Karakter Religius


Menurut Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani bahwa
pendidikan karakter bertujuan membentuk insan kamil. Kurikulum
yang membangun karakter insan kamil dalam perspektif Islam
memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut:
1) Pembinaan anak didik untuk bertauhid
2) Kurikulum harus disesuaikan dengan fitrah manusia, sebagai
makhluk yang memiliki keyakinan kepada Tuhan
3) Kurikulum yang disajikan merupakan basil pengujian materi
dengan landasan al-Quran dan as-Sunnah
4) Mengarahkan minat dan bakat serta meningkatkan kemampuan
akidah anak didik serta keterampilan yang akan diterapkan dalam
kehidupan konkret
5) Pembinaan akhlak anak didik, sehingga pergaulannya tidak keluar
dan tuntunan Islam
6) Tidak ada kedaluwarsa kurikulum karena ciri khas kurikulum Islam
senantiasa relevan dengan perkembangan zaman, bahkan menjadi
filter kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
penerapannya dikehidupan masyarakat.
7) Pendidikan karakter mengisyaratkan tiga macam dimensi dalam
upaya mengembangkan kehidupan manusia, yaitu: dimensi
kehidupan duniawi yang mendorong manusia sebagai hamba Allah

50
Ibid., h.79-85
43

untuk mengembangkan dirinya dalam ilmu pengetahuan,


keterampilan, dan nilai-nilai Islam yang mendasari kehidupan,
dimensi kehidupan ukhrawi yang mendorong manusia untuk
mengembangkan dirinya dalam pola hubungan yang serasi dan
seimbang dengan Tuhan. Dimensi inilah yang melahirkan berbagai
usaha agar seluruh aktivitas manusia senantiasa sesuai dengan
nilai-nilai Islam dan dimensi hubungan antara kehidupan duniawi
dan ukhrawi yang mendorong manusia untuk berusaha menjadikan
dirinya sebagai hamba Allah yang utuh dan paripurna dalam bidang
ilmu pengetahuan dan keterampilan, serta menjadi pendukung dan
pelaksana ajaran Islam. Ketiga dimensi itu kemudian dituangkan
dan dijabarkan dalam program operasional pendidikan yang
bermuara pada tujuan yang telah ditetapkan.51

C. Anak Tunadaksa
a. Pengertian Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat
fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna yang
berarti rugi atau kurang dan daksa yang berarti tubuh.” Tunadaksa adalah
anak yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah cacat
tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada
anggota tubuhnya, bukan cacat inderanya. Selanjutnya istilah cacat
ortopedi merupakan terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically
handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan otot,
tulang dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi kelainannya
terletak pada otot, tulang dan persendian atau dapat juga akibat adanya
kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang dan
persendian.52

51
Agus Setiawan, Prinsip Pendidikan Karakter dalam Islam, Jurnal Dinamika ilmu,
Vol.14, 2014, h.7
52
Asep Karyana dan Sri Widati, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunadaksa:
Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dengan Hambatan Gerak, (Jakarta: Luxima, 2013)., h. 31
44

Dalam buku Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, Sutjihati


Somantri mengatakan,
“Tunadaksa merupakan suatu kondisi yang menghambat kegiatan
individu sebagai akibat kerusakan pada tulang atau otot, sehingga
mengurangi kapasitas individu untuk mengikuti pendidikan dan
untuk berdiri sendiri secara normal.”53

Dapat disimpulkan bahwa tunadaksa adalah bentuk kelainan atau


kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian yang mengakibatkan
gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan
perkembangan seseorang sehingga mereka membutuhkan pelayanan
khusus yang berbeda dari orang normal lainnya.

b. Faktor Penyebab Ketunadaksaan


Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya tunadaksa pada anak,
biasanya kerusakan tersebut ada yang terletak dijaringan otak, jaringan
sumsum tulang belakang, dan pada sistem musculus skeletal.
1. Sebelum lahir (fase prenatal), kerusakan disebabkan oleh:
a. Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung
sehingga menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya.
b. Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali
pusat tertekan, sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf
dalam otak.
c. Bayi dalam kandungan terkena radiasi.
d. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan)
yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem
syaraf pusat.
2. Sebab-sebab pada saat kelahiran (fase natal/peri natal), hal-hal yang
dapat menyebabkan kerusakan otak bayi pada saat dilahirkan antara
lain:

53
Tin Suharmini, Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, 2007), h. 79
45

a. Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang ibu


kecil sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen.
b. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang
mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak
pada bayi.
c. Pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan.
3. Sebab-sebab setelah proses kelahiran (fase post natal). Hal-hal yang
dapat menyebabkan kecacatan antara lain:
a. Faktor penyakit, seperti meningitis, encephalis, influenza,
diphteria, partusis, dan lain-lain.
b. Faktor kecelakaan.
c. Pertumbuhan tubuh/tulang yang tidak sempurna.54

c. Klasifikasi Anak Tunadaksa


Anak tunadaksa diklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu (1)
kelainan pada sistem cerebral (cerebral system) dan (2) kelainan pada
sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).
Penyandangan kelainan pada sistem cerebral, kelainannya terletak
pada sistem saraf pusat, seperti cerebral palsy (CP) atau kelumpuhan otak.
Cerebral palsy ditandai oleh adanya kelainan gerak, sikap atau bentuk
tubuh, gangguan koordinasi, kadang-kadang disertai gangguan psikologis
dan sensoris yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau kecacatan pada
masa perkembangan otak.
Selanjutnya, menurut tingkat keparahannya cerebral palsy
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (1) ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat
berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri; (2) sedang,
dengan ciri-ciri: membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan,
mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace; dan (3) berat, dengan

54
Ibid., h. 40-42
46

ciri-ciri, yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara, dan


menolong diri.55
Sedangkan menurut letak kelainan di otak dan fungsi geraknya
cerebral palsy dibedakan atas:
a. Spastik, dengan ciri terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh
ototnya; anak yang mengalami spastic ini menunjukkan kekejangan
pada otot-ototnya, yang disebabkan oleh gerakan-gerakan kaku dan
akan hilang dalam keadaan diam, misalnya waktu tidur. Pada
umumnya kekejangan ini akan menjadi hebat jika anak dalam
keadaan marah atau dalam keadaan tenang.
b. Dyskenisia Athetoid yang meliputi Athetosis (penderita
memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol).
c. Rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan),
anak cerebral palsy jenis ini mengalami kekakuan otot-otot.
Gerakan-gerakannya sangat lambat dan kasar. Kondisi-kondisi anak
seperti itu jelas memberi dampak pada aktifitas kehidupannya.
d. Tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan atau
pada kepala).
e. Athetoid, tidak mengalami kekejangan atau kekakuan. Otot-ototnya
dapat bergerak dengan mudah, malah sering terjadi gerakan-gerakan
yang tidak terkendali yang timbul di luar kemampuannya. Gerakan
ini terdapat pada tangan, kaki, lidah, bibir, dan mata.
f. Atoxia (adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi
mata dan tangan tidak berfungsi).
g. Tremor anak sering melakukan gerakan-gerakan kecil yang
berulang-ulang. Sering dijumpai anak yang salahsatu anggota
tubuhnya selalu bergerak.
h. Jenis campuran (seorang anak mempunyai kelainan dua atau lebih
tipe-tipe di atas).56

55
Asep Karyana dan Sri Widati, Op.Cit., h. 34
56
Ibid., h. 35-36
47

Sedangkan, untuk jenis-jenis kelainan sistem otot dan rangka antara


lain meliputi:
1) Poliomylitis: mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan
mengecil dan tenaganya melemah, peradangan akibat virus polio
yang menyerang sumsum tulang belakang pada anak usia 2 (dua)
tahun sampai 6 (enam) tahun.
2) Muscle Dystrophy: anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot.
Kelumpuhannya bersifat progressif, semakin hari semakin parah.
Kondisi kelumpuhannya bersifat simetris yaitu pada kedua tangan
atau kedua kaki saja, atau kedua tangan dan kedua kakinya. Tanda-
tandanya baru kelihatan setelah anak berusia 3 tahun melalui gejala
yang tampak yaitu gerakan-gerakan anak lambat, semakin hari
kedaaannya semakin mundur jika berjalan sering terjatuh tanpa
sebab terantuk benda, akhirnya anak tidak mampu berdiri dengan
kedua kakinya dan harus duduk diatas kursi roda.
Menurut Frances G. Koening, tunadaksa dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau karena keturunan, meliputi:
1. Club-foot (kaki seperti tongkat)
2. Club-hand (tangan seperti tongkat)
3. Polydactylism (jari lebih dari lima pada masing-masing
tangan/kaki)
4. Syndactylism (jari yang berselaput/menempel satu sama lain)
5. Torticolis (gangguan pada leher hingga kepala terkulai ke muka)
6. Spina-bifina (sebagaian dari sumsum tulang belakang tidak
tertutup)
7. Cretinism (kerdil)
8. Mycrocepalus (kepala yang kecil)
9. Hydrocepalus (kepala yang besar karena berisi cairan)
10. Clefpallats (langit-langit mulut yang berlobang)
11. Herelip (gangguan pada bibir dan mulut)
48

12. Congeital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha)


13. Congenital amputation (bayi yang lahir tanpa anggota tubuh
tertentu)
14. Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang)
15. Coxa valga (sendi paha terlalu besar)
16. Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis)57
b. Kerusakan pada waktu kelahiran
1. Erb’s Palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan/tertarik
waktu kelahiran)
2. Fragilitas Osium (tulang yang rapuh dan mudah patah)
c. Infeksi
1. Tuberkulosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi
kaku)
2. Osteomyelitis (radang di dalam dan sekeliling sumsum tulang
belakang karena bakteri)
3. Polimyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan
kelumpuhan)
4. Pott’s disease (tuberkulosis sumsum tulang belakang)
5. Still’s disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan
permanen pada tulang)
6. Tuberkulosis pada lutut atau sendi lain
d. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik:
1. Amputasi (anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan)
2. Kecelakaan akibat luka bakar
3. Patah tulang
e. Tumor
1. Oxostosis (tumor tulang)
2. Osteosis fibrosa cystica (kista/kantong berisi cairan dalam tulang)

57
Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h.111-112
49

f. Kondisi-kondisi lain:
1. Flatfeet (telapak kaki rata, tidak berteluk)
2. Kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang yang
cekung)
3. Lordosis (bagian muka sumsum tulang belakang yang cekung)
4. Perthe’s disese (sendi paha yang rusak/mengalami kelainan)
5. Rickets (tulang lunak karena nutrisi, menyebabkan kerusakan
tulang dan sendi)
6. Scilosis (tulang belakang yang berputar, bahu dan paha miring).58

d. Karakteristik Anak Tunadaksa


Karakteristik kelainan anak tunadaksa dikelompokkan menjadi dua,
yaitu anak tunadaksa ortopedi dan anak tunadaksa syaraf. Perbedaan
antara tunadaksa ortopedi dan tunadaksa syaraf tidak terlihat secara jelas
sebab secara fisik kedua jenis tunadaksa tersebut memiliki kesamaan,
terutama pada fungsi analogi anggota tubuh untuk melakukan gerak
aktifitas. Perbedaan pada keduanya terletak pada sumber ketidakmampuan
untuk memanfaatkan fungsi tubuhnya untuk beraktivitas.
1. Karakteristik Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang
mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal
sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak normal.
Sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem
cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari idiocy sampai
dengan gifted. Hardman dalam buku “Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus Tunadaksa: Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dengan
Hambatan Gerak” mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy
mengalami keterbelakangan mental (tunadaksa), 35% mempunyai
tingkat kecerdasan normal. Sisanya berkecerdasan sedikit di bawah
rata-rata. Selanjutnya P. Siebel di dalam buku yang sama

58
Ibid., h.113-114
50

mengemukakan bahwa tidak ditemukan hubungan langsung antara


tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya, anak cerebral
palsy yang kelainannya berat, tidak berarti kecerdasannya rendah.
Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy
juga mengalami kelainan persepsi, kognisi dan simbolisasi. Hal-hal
yang menyebabkan kelainan pada anak cerebral palsy, yaitu: pertama,
kelainan persepsi terjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf
ke otak mengalami kerusakan sehingga proses persepsi yang dimulai
dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak oleh saraf
sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan,
serta menganalisis) mengalami gangguan.
Kedua, kemampuan kognisi terbatas karena adanya kerusakan
otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan, penglihatan,
pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta akhirnya anak tersebut
tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi
terus menerus melalui persepsi dengan menggunakan media sensori
(indera). Ketiga, gangguan pada simbolisasi disebabkan oleh adanya
kesulitan dalam menerjemahkan apa yang didengar dan dilihat.
2. Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari
konsep diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna dan menjadi
beban bagi orang lain yang mengakibatkan mereka malas belajar,
bermain dan perilaku salah lainnya. Kehadiran anak cacat yang tidak
diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari masyarakat akan
merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak
dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya
problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri,
kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustasi. Problem
emosi itu, banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan
sistem cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak
51

memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosialnya.59
Anak penyandang tunadaksa sebenarnya dapat menjadi
individu yang tangguh apabila ia dapat bangkit dari masalah
keterbatasan fisiknya tersebut. Hal ini harus didasari oleh adanya rasa
optimis untuk dapat melanjutkan kehidupannya sehari-hari, mulai dari
pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan lingkungan sekitar, informasi
teknologi, untuk mencapai kemandirian, kesetaraan dan kesejahteraan.
Ada beberapa faktor yang mampu mempengaruhi anak tunadaksa
menjadi tangguh menurut Reivich dan Shatte, yaitu “regulasi emosi,
pengendalian impuls, optimisme, analisis kasual empati, efikasi diri,
serta reaching out”. Sedangkan, menurut Grotberg, “kualitas
ketangguhan anak tunadaksa tidak sama, sebab kualitas tangguh
seseorang sangat ditentukan oleh tingkat usia, taraf perkembangan,
intensitas seseorang dalam menghadapi situasi-situasi yang tidak
menyenangkan, serta seberapa besar dukungan sosial dalam
pembentukan jiwa tanggah seseorang.” Dapat ditarik kesimpulan
bahwa dalam pembentukan jiwa tangguh anak tunadaksa selain
dipengaruhi oleh dirinya sendiri, faktor lingkungan juga memiliki
peranan yang sangat penting.60
3. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain
mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan
lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan,
gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak
ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara
disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara (kaku atau lumpuh),
seperti lidah, bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan

59
Asep Karyana, Loc.Cit., h. 38-39
60
Nurul Qomariyah dan Desi Nurwidawati, Perbedaan Resiliensi Pada Tuna Daksa
Ditinjau Dari Perbedaan Usia, Jurnal Psikologi Teori dan Terapan, Vol.7, 2017, h. 131
52

artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami


orang lain.
Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya
dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan ketidakmampuan
tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam,
gerakan lamban, dan kurang merespons rangsangan yang diberikan;
dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan
kegiatan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis,
menggambar, dan menari.61

D. Peran Guru PAI dalam Pendidikan Karakter


Pierre Bourdieu melihat bahwa sistem pendidikan sangat besar
perannya dalam mereproduksi dan melestarikan relasi kekuasaan dan
hubungan kelas yang ada di masyarakat. Dalam hal ini Bourdieu
menekankan pentingnya habitus dan ranah. Bourdieu menolak untuk
memisahkan antara metodologi individualis dan metodologi menyeluruh.
Hubungan ini berperan dalam dua cara. Di satu pihak, ranah
mengkondisikan habitus; di pihak lain, habitus menyusun ranah sebagai
sesuatu yang bermakna dan mempunyai arti serta nilai.62
Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang
berhubungan dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan serangkaian
skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsi,
memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Melalui skema
ini, orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi dan mengevaluasi-
nya. Secara dialektif, habibus adalah “produk dari internalisasi struktur”
dunia sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di
dunia sosial dalam waktu yang panjang.
Kleden menarik tujuh elemen penting tentang habitus ini yakni: (1)
produk sejarah, sebagai perangkat disposisi yang bertahan lama dan di-

61
Asep Karyana dan Sri Widati, Loc.Cit., h. 38-40
62
Mohammad Adib, Agen dan Struktur dalam Pandangan Bourdieu, Jurnal Biokultur,
Vol. 1, 2012, h. 105
53

peroleh melalui latihan berulang kali (inculcation); (2) lahir dari kondisi
sosial tertentu dan karena itu menjadi struktur yang sudah diberi bentuk
terlebih dahulu oleh kondisi sosial di mana dia diproduk-sikan. Dengan
kata lain, ia merupakan struktur yang distrukturkan (structured -
structures); (3) disposisi yang terstruktur ini sekaligus berfungsi sebagai
kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi,
representasi, dan tindakan seseorang dan karena itu menjadi structuring
structures (struktur yang menstrukturkan); (4) sekalipun habitus lahir
dalam kondisi sosial tertentu, dia bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain
dan karena itu bersifat transposable; (5) besifat pra-sadar (preconcious)
karena ia tidak merupakan hasil dari refleksi atau pertimbangan rasional.
Dia lebih merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tak dikehendaki
dengan sengaja, tetapi juga bukanlah suatu gerakan mekanistis yang tanpa
latar belakang sejarah sama sekali; (6) bersifat teratur dan berpola, tetapi
bukan merupakan ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu.
Habitus tidak hanya merupakan a state of mind, tetapi juga a state of body
dan bahkan menjadi the site of incorporated history; (7) habitus dapat
terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu, tetapi tanpa ada maksud
secara sadar untuk mencapai hasil-hasil tersebut dan juga tanpa
penguasaan kepandaian yang ber-sifat khusus untuk mencapainya.63
Adapun ranah (field) lebih dipandang Bourdieu secara relasional
daripada secara struktural. Ranah adalah jaringan relasi antarposisi
objektif di dalamnya. Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran
dan kehendak individu. Ranah merupakan: (1) arena kekuatan sebagai
upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya atau modal dan juga
untuk memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hirarki kekuasaan; (2)
semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-
posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk
secara spontan.64

63
Ibid., h. 97
64
Ibid., h. 102
54

Dalam konteks sosialisasi nilai pendidikan karakter, habitus dapat


diartikan sebagai cara atau metode yang digunakan agen dalam
mensosialisasikan nilai pendidikan karakter pada anak. Cara atau metode
yang digunakan agen tidak terlepas dari penguasaan pengetahuan yang
dimiliki agen yang bersumber baik dari warisan keluarga ataupun dari
pendidikan formal yang ditempuh. Tindakan agen dalam melaksanakan
proses sosialisasi juga merupakan cerminan dari kebudayaan masyarakat
terkait sosialisasi pendidikan karakter terhadap anak. Habitus dapat dilihat
dari tindakan agen dalam kehidupan sehari-hari sebagai upaya
menginternalisasi nilai dan norma kepada anak.65
Dalam pandangan Bourdieu, habitus mendasari arena (field).
Dengan kata lain, habitus beroperasi dalam suatu arena. Arena tidak dapat
dipisahkan dari ruang sosial. Ruang sosial diperlukan aktor untuk
melakukan aktivitasnya, di dalam ruang sosial tersebut aktor dapat
mewujudkan habitus yang ia miliki dalam bentuk praktik tindakan sosial.
Praktik sosial tidak dapat dipisahkan dari ruang sosial, karena salah
satu karakteristik praktik sosial adalah terdapat dalam ruang dan waktu.
Demikian halnya dengan tindakan agen dalam mensosialisasikan
pendidikan karakter juga terjadi dalam ruang sosial tertentu. Tindakan
yang dilakukan tidak terbatas pada satu ranah saja, tetapi terdapat banyak
ranah yang dapat digunakan tergantung dengan bagaimana agen
mempergunakan peluang-peluang untuk mewujudkan habitus dalam
praktik sosialnya.
Bourdieu berpandangan bahwa modal merupakan hubungan sosial.
Modal merupakan suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan
hasil-hasil dalam ranah perjuangan di mana modal memproduksi dan
mereproduksi. Terdapat empat jenis modal yang dapat dimanfaatkan
dalam proses sosialisasi pendidikan karakter dalam keluarga. Pertama,
yaitu modal ekonomi, yaitu penguasaan dan pemanfaatan materi dalam

65
Yuli Surya Dewi dan Pambudi Handoyo, Pola Sosialisasi Pendidikan Karakter, Header
Halaman Gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal, Vol.1, 2012, h. 3
55

pelaksanaan proses sosialisasi. Modal ini dapat diterapkan dalam metode


pemberian reward (hadiah) kepada anak. Kedua, modal budaya yaitu
pengetahuan yang dimiliki oleh agen baik yang bersumber dari pendidikan
formal maupun warisan keluarga yang dimanfaatkan dalam proses
sosialisasi.
Ketiga, modal sosial yaitu jaringan sosial yang dibangun oleh agen
dengan individu lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam hal
ini tujuan yang ingin di capai adalah menginternalisasi nilai dan norma
pada anak. Keempat, modal simbolis mengacu kepada derajat akumulasi
prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas
dialektika pengetahuan (connaissance) dan pengenalan (reconnaissance).
Modal simbolis berhubungan dengan derajat prestise atau kehormatan
yang dimiliki agen dan dimanfaatkan dalam proses sosialisasi.
Praktik sosial dipahami Bourdieu sebagai hasil dinamika dialektis
antara internalisasi eksterior dan eksternalisasi interior. Eksterior adalah
struktur objektif yang ada di luar pelaku sosial, sedangkan interior
merupakan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial. Dengan
demikian, individu menginternalisasi segala apa yang dilihat, diamati, dan
dipahami dari dunia sosialnya untuk kemudian bergerak dinamis secara
dialektis dengan diinterpretasikan dari segala apa yang telah diinternalisasi
yang menjadi bagian dari pelaku sosial.
Praktik ini merupakan tindakan individu pada ranah sosial tertentu
dengan mengoptimalkan modal yang dimiliki dalam upaya
menginternalisasikan nilai dan norma pada anak. Tindakan tersebut
merupakan representasi dari habitus yang di miliki seseorang.66
Adapun peranan-peranan guru yang harus dimiliki dan sangat
penting dalam perkembangan peserta didik untuk membangun
karakternya. Peranan-peranan guru dalam pendidikan karakter adalah:
a. Guru sebagai Pendidik

66
Ibid., h. 3
56

Sebagai seorang pendidik guru harus memiliki cakupan ilmu


yang cukup luas. Guru merupakan pendidik yang menjadi tokoh,
panutan dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya.
Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas tertentu, yang
mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin. Dalam
kaitanya dengan rasa tanggung jawab seorang guru harus mengetahui
serta memahami nilai, norma moral, dan sosial, serta berusaha
berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Guru
juga harus bertanggung jawab terhadap segala tindakannya dalam
pembelajaran di sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam melaksanakan perannya sebagai pendidik, guru harus
memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai spiritual, emosional,
moral, sosial, dan intelektual dalam pribadinya. Selain itu guru juga
harus memiliki kelebihan dalam pemahaman ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni sesuai dengan bidang yang dikembangkan.
Guru sebagai pendidik juga harus mampu mengambil
keputusan secara mandiri (independent), terutama dalam berbagai hal
yang berkaitan dengan pembelajaran dan pemebentukan kopetensi,
serta dapat beradaptasi dengan kondisi peserta didik dan lingkungan. 67
b. Guru sebagai Pengajar
Kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan
guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman dan
keterampilan guru dalam berkomunikasi. Jika faktor-faktor di atas
dipenuhi, maka melalui pembelajaran peserta didik dapat belajar
dengan baik. Guru harus berusaha membuat sesuatu menjadi jelas bagi
peserta didik dan terampil dalam memecahkan masalah.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang guru
dalam pembelajaran, yaitu: membuat ilustrasi, mendefinisikan,

67
Sumarno, Peranan Guru Pendidikan Islam dalam Membangun Karakter Peserta Didik,
Jurnal Al Lubab Vo.1, 2016, h.129
57

menganalisis, mensintesis, bertanya, merespon, mendengarkan,


menciptakan kepercayaan, memberikan pandangan yang bervariasi,
menyediakan media untuk mengkaji materi standar, menyesuaikan
metode pembelajaran, dan memberikan nada perasaan.
c. Guru sebagai Pembimbing
Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan, yang
berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggungjawab atas
kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya
menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreatifitas,
moral dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks.68
d. Guru sebagai Model dan Teladan
Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik
dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Ada beberapa
hal yang harus diperhatikan oleh guru : sikap dasar, bicara dan gaya
bicara, kebiasaan bekerja, sikap melalui pengalaman dan kesalahan,
pakaian, hubungan kemanusiaan, proses berfikir, perilaku neurotis,
selera, keputusan, kesehatan, gaya hidup secara umum perilaku guru
sangat mempengaruhi peserta didik, tetapi peserta didik harus berani
mengembangkan gaya hidup pribadinya sendiri. Guru yang baik
adalah yang menyadari kesenjangan antara apa yang diinginkan
dengan apa yang ada pada dirinya, kemudian menyadari kesalahan
ketika memang bersalah. Kesalahan harus diikuti dengan sikap merasa
dan berusaha untuk tidak mengulanginya.
Keteladan merupakan kunci pokok dalam proses pembelajaran.
Semua tingkah laku yang dilakukan oleh guru di sekolah senantiasa
menjadi contoh bagi peserta didik. Apabila guru berbuat baik, maka
peserta didik akan meniru untuk berbuat baik, begitu pula sebaliknya
apabila guru memberikan contoh yang tidak baik, maka peserta didik
juga akan meniru yang tidak baik.69

68
Ibid., h.129-130
69
Ibid., h.132
58

e. Guru sebagai Evaluator


Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang
paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan
hubungan, serta variabel lain yang mempunyai arti apabila
berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat
dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Teknik apapun yang dipilih,
dalam penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang
meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut.
Penilaian harus adil dan objektif.
Dalam melaksanakan evaluasi guru harus bisa menerima
kekurangan pada dirinya dan bersedia untuk memperbaikinya sehingga
dengan evaluasi guru bisa mengetahui kekurangan dan kelebihan yang
dimilikinya dalam melaksanakan tugasnya.70

Dalam pandangan Lawrence Kohlberg peran pendidik dalam


mengupayakan pendidikan karakter di atas dapat didasarkan pada
pemahaman secara menyeluruh kondisi peserta didik mengenai tugas-
tugas perkembangan yang telah dicapai peserta didik khususnya dalam
aspek perkembangan moral. Pendidik harus memahami apa yang telah
dicapai serta apa yang mesti dicapai dalam tugas perkembangan moral
peserta didik.71
Dalam penelitiannya Lawrence Kohlberg berhasil memperlihatkan
6 tahap dalam seluruh proses berkembangnya pertimbangan moral anak
dan orang muda. Keenam tipe ideal itu diperoleh dengan mengubah tiga
tahap Piaget/Dewey dan menjadikannya tiga “tingkat” yang masing-
masing dibagi lagi atas dua “tahap”. Ketiga “tingkat” itu adalah tingkat
prakonvensional, konvensional dan pasca- konvensional.
Anak dalam tahap prakonvensional sering kali berperilaku “baik”
dan tanggap terhadap label-label budaya mengenai baik dan buruk, namun
ia menafsirkan semua label ini dari segi fisiknya (hukuman, ganjaran,
70
Ibid., h.137
71
Fatma Laili Khoirun Nida, Op.Cit., h. 286
59

kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik mereka yang mengadakan


peraturan dan menyebut label tentang yang baik dan yang buruk. Tingkat
ini biasanya ada pada anak-anak yang berusia empat hingga sepuluh tahun.
Pada tingkat ini akan dijumpai dua tahapan yakni: Tahap I, Orientasi
hukuman dan kepatuhan: Orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang
tak dipersoalkan terhadap kekuasan yang lebih tinggi. Akibat fisik
tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya, menentukan sifat baik dan
sifat buruk dari tindakan ini.
Dilanjutkan tahap 2: Orientasi relativis-intrumental: Perbuatan
yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan
kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain.
Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di tempat umum.
Terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan pembagian,
akan tetapi semuanya itu selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis, timbal
balik, dan bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan. Kedua
tahapan dalam tingkat awal ini ini disebut Hedonisme instrumental dimana
sifat timbal balik disini memegang peranan tapi dalam arti masih ”moral
balas dendam”.72
Tingkat kedua atau tingkat konvensional yang terjadi pada usia 10-
13 tahun, juga dapat digambarkan sebagai tingkat konformis, meskipun
istilah itu mungkin terlalu sempit. Pada tingkat ini, anak hanya menuruti
harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandangnya sebagai hal
yang bernilai dalam dirinya, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan
nyata. Individu tidak hanya berupaya menyesuaikan diri dengan tatanan
sosialnya, tetapi juga untuk mempertahankan, mendukung dan
membenarkan tatanan sosial itu.
Pada tingkat konvensional terdapat dua tahapan yang meliputi:
tahap 3, yakni orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak
manis”. Pada tahap ini, perilaku yang baik adalah perilaku yang menye-
nangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka.

72
Ibid., h. 283
60

Terdapat banyak konformitas dengan gambaran-gambaran stereotip


mengenai apa yang diangap tingkah laku mayoritas atau tingkah laku yang
„wajar‟. Perilaku kerap kali dinilai menurut niat, ungkapan “ia bermaksud
baik” untuk pertama kalinya menjadi penting dan digunakan secara
berlebih-lebihan. Orang mencari persetujuan dengan berperilaku “baik”.
Kemudian diikuti oleh tahap 4 yakni anak akan mematok orientasi
hukum dan ketertiban. Orientasi kepada otoritas, peraturan yang pasti dan
pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan
tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan
tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatan
rasa hormat dengan berperilaku menurut kewajibannya.73
Tingkat berikutnya adalah pasca-konvensional yang terjadi dalam
usia 13 tahun ke atas, yang dicirikan oleh dorongan utama menuju ke
prinsip-prinsip moral otonom, mandiri, yang memiliki validitas dan
penerapan, terlepas dari otoritas kelompok-kelompok atau pribadi-pribadi
yang memegangnya dan terlepas pula dari identifikasi si individu dengan
pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tersebut. Pada tingkat ini
terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral
yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas
kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu.
Pada tingkat pasca-konvensional kita melihat ada dua tahapan
yakni tahap 5; Orientasi kontrak sosial legalistis. Suatu orientasi kontrak
sosial, umumnya bernada dasar legalistis dan utilitarian. Perbuatan yang
benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-
ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh
masyarakat. Terdapat suatu kesadaran yang jelas mengenai relativisme
nilai-nilai dan pendapat-pedapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur
yang sesuai untuk mencapai kesepakatan. terlepas dari apa yang disepakati
secara konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah
merupakan soal nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah suatu tekanan

73
Ibid., h. 284
61

atas sudut pandangan legal, tetapi dengan menggarisbawahi kemungkinan


perubahan hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai kegunaan
sosial dan bukan membuatnya beku dalam kerangkahukum dan ketertiban
seperti pada gaya tahap 4. Di luar bidang legal, persetujuan dan kontrak
bebas merupakan unsur-unsur pengikat unsur-unsur kewajiban.
Dalam tingkat ini diakhiri oleh tahap 6 yang berisi Orientasi
Prinsip Etika Universal. Orientasi pada keputusan suara hati dan pada
prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemaham
logis, menyeluruh, universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini
bersifat abstrak dan etis (kaidah emas, kategoris imperatif).74
Lawrence Kohlberg menawarkan tahap-tahap perkembangan moral
pada individu yang dengan pemahaman kita terhadap pentahapan yang
terdapat dalam perkembangan moral tersebut akan membantu para
pendidik dalam mengaktualisasikan pendidikan karakter yang efektif
dengan dukungan teori perkembangan moral ini. Dengan menerapkan
pendidikan karakter yang sesuai dengan kondisi tahap perkembangan
moral individu merupakan upaya bijak yang dapat dilakukan pendidik
dalam dinamika pendidikan karakter.75

E. Penelitian yang Relevan


Untuk mendukung penelitian yang lebih komprehensif, maka
penulis melakukan kajian terhadap karya-karya yang memiliki relevansi
terhadap topik yang akan diteliti yang berkaitan dengan pembahasan
“Peran Guru PAI dalam Pembentukan Karakter Anak Tunadaksa di YPAC
Jakarta” di antaranya adalah:
1. Skripsi yang ditulis oleh Nurrotun Nangimah, mahasiswi Jurusan Ilmu
Pendidikan Agama Islam, UIN Walisongo Semarang tahun 2018,
dengan judul “Peran Guru PAI Dalam Pendidikan Karakter Religius
Siswa SMA N 1 Semarang.” Adapun penelitian ini menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode penelitian kualitatif
74
Ibid., h. 285
75
Ibid., h. 288
62

studi lapangan (field research). Hasil dari penelitian menunjukkan


bahwa peran guru PAI dalam pendidikan karakter religius siswa SMA
Negeri 1 Semarang di antaranya adalah sebagai pengajar, pendidik,
teladan, motivator, pembimbing, pemimpin, pendorong kesadaran
keimanan, pendorong akal siswa, sumber belajar, fasilitator, dan
pengelola. Dalam pendekatan terhadap anak, guru menggunakan
berbagai macam metode di antaranya adalah metode ceramah, metode
keteladanan, metode pendidikan dengan nasihat, metode hukuman
atau penghargaan, dan metode pembiasaan.76 Skripsi tersebut
mempunyai kesamaan yaitu peran guru PAI, namun yang
membedakan dengan penelitian yang dibuat yaitu mengenai objek
kajian.
2. Skripsi yang ditulis oleh Mila Intani, mahasiswi Jurusan Pendidikan
Agama Islam tahun, IAIN Surakarta tahun 2017 dengan judul, “Peran
Guru Pendidikan Agama Islam dalam Membentuk Akhlakul Karimah
pada Peserta Didik di SMK Negeri 1 Bulukerto Kabupaten Wonogiri
Tahun Pelajaran 2017/2018”. Adapun penelitian ini menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode penelitian kualitatif
studi lapangan (field research). Hasil dari penelitian menunjukkan
bahwa untuk membentuk akhlakul karimah pada siswa dilakukan
melalui kegiatan-kegiatan di dalam pembelajaran PAI, seperti
kegiatan pembelajaran diawali dengan berdoa bersama, membaca al-
Quran dan motivasi; shalat Dzuhur berjamaah, shalat Jumat dan infaq;
membaca al-Quran, melaksanakan Peringatan Hari Besar Islam
(PHBI); dan santunan kepada kaum dhuafa. Peran guru PAI dalam
membentuk akhlakul karimah pada pembelajaran PAI yaitu sebagai
sumber belajar, sebagai fasilitator, dan sebagai motivator, Sedangkan
pada kegiatan keagamaan peran guru PAI yaitu sebagai pembimbing,

76
Nurrotun Nangimah, Peran Guru PAI Dalam Pendidikan Karakter Religius Siswa SMA
N 1 Semarang, Skripsi, (Semarang: UIN Walisongo Semarang, 2018), h. 61
63

fasilitator dan demonstrator.77 Skripsi tersebut mempunyai kesamaan


yaitu peran guru PAI, namun yang membedakan dengan penelitian
yang dibuat yaitu mengenai fokus penelitian dan objek kajian.
3. Skripsi yang ditulis oleh Resna Leli Harahap, mahasiswi Jurusan
Pendidikan Agama Islam, UIN Sumatera Utara tahun 2018 dengan
judul, “Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Membina Akhlak
Siswa di MTs Swasta Al-Ulum Medan.” Metode penelitian yang
digunakan adalah metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran guru memiliki
pengaruh yang besar dalam membina akhlak siswa. Berbagai metode
yang diterapkan untuk menanamkan akhlak pada siswa di antaranya
yaitu metode contoh atau keteladanan; metode pembiasaan; metode
kisah; metode arahan, bimbingan atau nasihat; dan metode hukuman.
Selain itu, terdapat beberapa kegiatan di MTs. Swasta Al-Ulum
Medan yang mnjadi faktor pendukung dalam pembinaan akhlak siswa,
yaitu shalat dhuha, shalat Dzuhur berjamaah, shalat Ashar berjamaah,
membaca surah pendek dan berdoa sebelum belajar, pemeriksaan
rambut panjang dan kuku panjang ooleh guru piket sebelum masuk
kelas, kegiatan penurunan bendera di hari sabtu, pesantren kilat di
bulan Ramadhan, tadris al-Quran, dan tahfizh al-Quran.78 Skripsi
tersebut memiliki kesamaan yaitu peran guru PAI, namun yang
membedakan dengan penelitian adalah objek kajian dan subjek
penelitian.

77
Mila Intani, Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Membentuk Akhlakul
Karimah pada Peserta Didik di SMK Negeri 1 Bulukerto Kabupaten Wonogiri Tahun Pelajaran
2017/2018, Skripsi, (Surakarta: IAIN Surakarta, 2017). h. 64
78
Resna Leli Harahap, Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Membina Akhlak
Siswa di MTs Swasta Al-Ulum Medan, Skripsi, (Medan: UIN Sumatera Utara, 2017), h.63
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Yayasan Pembinaan Anak Cacat
(YPAC) Jakarta yang beralamat di Jalan Hang Lekiu III nomor 1, Gunung,
Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan-Jakarta. Adapun waktu
yang digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data yang berhubungan
dengan objek penelitian yaitu dimulai pada bulan 9 September - 2 Oktober
2019.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah suatu metode penelitian yang berlandaskan
pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi
obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci,
pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan
snowball, teknik pengumpulan dengan triangulasi, analisis data bersifat
induktif/kualitatif, dan hasil penelitiannya lebih menekankan makna
daripada generalisasi.1 Penelitian kualitatif juga memiliki arti sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.2 Jadi,
penelitian kualitatif merupakan penelitian yang lebih ditujukan pada
pembentukan teori berdasarkan data-data yang didapat secara empris.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analisis dengan
menyelidiki atau menggambarkan keadaan yang berhubungan dan data
akan ditunjang oleh data yang peneliti peroleh dari penelitian kepustakaan
maupun data yang peneliti peroleh dari lapangan, karena perhatian

1
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D), (Bandung: Alfabeta. 2015), h.15
2
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2012), h.4

64
65

penelitian kualitatif lebih banyak ditujukan pada teori substantif


berdasarkan konsep-konsep yang timbul dari data empiris.3 Dalam hal ini
gambaran dari kejadian yang ada tersebut merupakan gambaran kejadian
yang berkaitan dengan Peran Guru PAI dalam pendidikan karakter religius
anak tunadaksa di YPAC Jakarta jenjang SMPLB.
Penelitian kepustakaan digunakan untuk memperoleh data-data atau
teori dari berbagai sumber, seperti buku, jurnal, atau sumber-sumber lain
yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi
ini. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan dengan mendatangi
langsung ke objek penelitian, yaitu YPAC Jakarta jenjang SMPLB.

C. Sumber Data
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada kondisi
yang alamiah, sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih
banyak pada observasi berperan serta, wawancara mendalam, dan
dokumentasi.4 Dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan maka sumber data yang penulis gunakan terdiri dari dua
macam, yaitu data primer dan data sekunder.
1. Sumber Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data yang
diperoleh dari hasil wawancara di lapangan, antara peneliti dan subjek
bertemu secara langsung untuk menggali informasi yang diperlukan
untuk penelitian. Data yang diperoleh langsung dari YPAC Jakarta, di
antaranya Kepala YPAC Jakarta, Guru PAI SMPLB YPAC Jakarta,
dan siswa/i SMPLB YPAC Jakarta yang beragama Islam.

3
Margono, Metodologi Penelitian Pendidikani, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), h.35
4
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2016), h.63
66

2. Sumber Data Sekunder


Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang
diperoleh langsung dari pihak-pihak yang berkaitan berupa data-data
sekolah dan berbagai literatur yang relevan dengan penelitian. Data
sekunder diperoleh dengan dokumen-dokumen dari sekolah YPAC
Jakarta jenjang SMPLB, serta buku-buku perpustakaan, artikel, jurnal,
dan lain sebagainya untuk melengkapi data primer.

D. Teknik Pengumpulan Data


Adapun cara pengumpulan data yang digunakan adalah:
1. Pengamatan/Observasi
Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.5
Observasi ini dilakukan secara langsung di YPAC Jakarta untuk
mengamati Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam pendidikan
karakter religius siswa. Dalam hal ini, peneliti menggunakan
pengamatan terlibat karena peneliti mengikuti pembelajaran PAI anak
tunadaksa di YPAC Jakarta.
2. Wawancara
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan
makna dalam suatu topik tertentu.6 Jenis pertanyaan yang digunakan
merupakan jenis pertanyaan konfirmatif yaitu memastikan data yang
ada dalam teori dengan realita terkait dengan peran guru PAI. Metode
ini digunakan untuk menggali data yang berkaitan dengan peran guru
PAI dalam pendidikan karakter religius anak tunadaksa di YPAC
Jakarta.

5
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h.158
6
Sugiyono, Op.Cit., h.72
67

3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.7
Instrumen ini akan menjadi penunjang bagi peneliti untuk memperkuat
data yang sudah peneliti dapatkan. Dokumentasi dapat berupa foto-
foto kegiatan pembelajaran PAI, RPP yang digunakan, keadaan guru,
serta keadaan anak tunadaksa di YPAC Jakarta.

E. Pemeriksaan Keabsahan Data


Untuk melakukan pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini,
maka peneliti menggunakan uji kredibiltas. Uji kredibilitas ini digunakan
untuk membuktikan apa yang diamati oleh peneliti sesuai dengan apa yang
terjadi di lapangan. Adapun teknik yang digunakan, yaitu:
1. Triangulasi Data
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas adalah pengecekan data
dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu.
Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik, dan
triangulasi waktu.8
Proses analisis data dengan teknik ini dimaksudkan untuk
mendapatkan keabsahan data dengan cara mengecek dan
membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara
maupun dokumen terkait dengan peran guru PAI dalam pendidikan
karakter religius anak tunadaksa di SMPLB D-D1 YPAC Jakarta.
2. Referensi
Yang dimaksud dengan bahan referensi di sini adalah adanya
pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh
peneliti.9 Proses analisis data dengan teknik ini dengan cara membaca
dan menelaah referensi yang berkaitan dengan masalah yang diteliti,
yang berfungsi untuk mengecek kembali data yang diperoleh,
sehingga data yang diperolah valid.

7
Ibid., h.82
8
Ibid., h.125-127
9
Ibid., h.128
68

F. Analisis Data
Analisis data menurut Bogdan adalah proses mencari dan menyusun
secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami dan
temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.10
Penelitian ini menggunakan analisis data model Miles dan
Huberman, di mana aktivitas dalam analisis data dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga
datanya sudah jenuh. Adapun langkah-langkah dalam analisis data ini,
yaitu reduksi data, display data, dan kesimpulan/verifikasi.
a. Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan pola,
sehingga data yang diteliti memberikan gambaran yang lebih jelas dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data.
b. Data display (penyajian data) dapat dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan lain sebagainya. Melalui
penyajian data, maka akan memudahkan utuk memahami apa yang
terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah
dipahami.
c. Kesimpulan/verifikasi merupakan langkah ketiga dalam analisis data,
di mana kesimpulan ini dapat menjawab rumusan masalah yang
dirumuskan sejak awal. Namun, kesimpulan juga dapat menjadi tidak
tepat karena rumusan dalam penelitian kualitatif masih bersifat
sementara dan akan berkembang setelah peneliti di lapangan.11

10
Ibid., h.88
11
Ibid., h.91-99
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data
1. Gambaran Umum SLB D-D1 YPAC Jakarta
a. Letak Geografis SLB D-D1 YPAC Jakarta
Secara geografis, SLB D-D1 YPAC Jakarta terletak di Jl.
Hang Lekiu III No. 19 RT. 006 RW. 004 Kebayoran Baru -
Jakarta Selatan, Jakarta. SLB D-D1 YPAC Jakarta merupakan
salah satu lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan bagi
anak-anak yang mengalami kecacatan secara fisik atau disebut
dengan tunadaksa. Sekolah ini memiliki ciri-ciri fisik yaitu
dengan kondisi luas tanah seluas 8.084 m2 dan luas bangunan
sebesar 5.200 m2. Adapun jumlah ruang kelas yang terdapat di
SLB D-D1 YPAC Jakarta yaitu 22 kelas, dengan rincian sebagai
berikut1:
 Jenjang Pendidikan TKLB : 3 kelas
 Jenjang Pendidikan SDLB. D1 : 4 kelas
 Jenjang Pendidikan SDLB. D2 : 6 kelas
 Jenjang Pendidikan SMPLB. D1 : 6 kelas
 Jenjang Pendidikan SMALB. D1 : 3 kelas

b. Sejarah Berdirinya SLB D-D1 YPAC Jakarta


Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) didirikan oleh
almarhum Prof. Dr. Soeharso, seorang ahli bedah tulang yang
pertama kali merintis upaya rehabilitasi bagi penyandang cacat di
Indonesia.2

1
Dokumentasi Profil Sekolah SLB D-D1 YPAC Jakarta., dokumen tidak dipublikasikan
2
Sejarah YPAC, ( http://ypac-nasional.org/sejarah-ypac/ ) dipublikasikan pada 27 Maret
2013

69
70

Awalnya pada tahun 1952 beliau mendirikan Pusat


Rehabilitasi (Rehabilitasi Centrum) di Solo bagi korban revolusi
perang kemerdekaan Republik Indonesia. Pada saat itu beberapa
daerah terserang wabah poliomyelitis, maka anak-anak dengan
gejala post polio dibawa ke pusat rehabilitasi ini. Mula-mula
anak-anak tersebut tidak mendapatkan perhatian serius karena
tidak tersedia fasilitas yang memadai pada waktu itu. Namun
Prof. Dr. Soeharso tidak membiarkan hal tersebut berlarut-larut.
Setelah menghadiri International Study a Conference of
Child Welfare di Bombay dan The Sixth International Conference
on Social Work di Madras pada tahun 1952, maka Prof. Soeharso
mempunyai inisiatif untuk mendirikan yayasan bagi anak-anak
cacat. Maka pada tahun 1953 didirikan Yayasan Penderita Anak
Tjatjat (YPAT) di Surakarta dengan Akte Notaris No. 18 tanggal
17 Pebruari 1953. Ikut serta sebagai pendiri adalah Ny. Djohar
Soeharso (Istri Prof. Soeharso), Ny. Padmonagoro dan Ny.
Soendaroe. Itulah awal pengabdian YPAT yang diketuai oleh Ibu
Soeharso.
Rehabilitasi Centrum sangat besar bantuannya dengan
memberikan ruangan khusus untuk merintis pelayanan kepada
anak-anak yang dibawa ke YPAT. Prof. Dr. Soeharso meletakkan
prinsip-prinsip pekerjaan yayasan yang dalam garis besarnya
sama dengan apa yang dikerjakan di RC.3
Tahun 1954 YPAT mendapatkan bantuan sebuah gedung dari
Yayasan Dana Bantuan Departemen Sosial. Pada tanggal 5
Pebruari 1954 dilaksanakan peletakan batu pertama. Enam bulan
kemudian pada tanggal 8 Agustus 1954 gedung YPAT yang
terletak di Jalan Slamet Riyadi 316 secara resmi dibuka.

3
Sejarah YPAC, ( http://ypac-nasional.org/sejarah-ypac/ ) dipublikasikan pada 27 Maret
2013
71

Dalam perkembangannya Prof. Soeharso dan istri berhasil


menghimbau dan memotivasi lingkup profesi kedokteran untuk
mengikuti jejaknya. Beliau juga memotivasi perorangan maupun
organisasi wanita untuk mendirikan yayasan semacam YPAT
yang memberikan pelayanan rehabilitasi pada anak cacat fisik
(tunadaksa). Menyusullah kemudian berdiri YPAC di beberapa
daerah di Indonesia.
Kemudian YPAC Surakarta sebagai yang pertama berdiri
ditetapkan sebagai YPAC Pusat yang diketuai oleh Ibu Soeharso.
Adapun yang didirikan kemudian menjadi YPAC-YPAC cabang,
yaitu:
Tabel 4.1: Daftar YPAC di seluruh Indonesia4
1. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Aceh
2. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Bali
3. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Bandung
4. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta
5. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jember
6. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Makassar
7. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Malang
8. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Manado
9. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan
10. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Pangkalpinang
11. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Palembang
12. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Semarang
13. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Sumatra Barat
14. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Surabaya
15. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Surakarta
16. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Ternate

4
Sejarah YPAC, ( http://ypac-nasional.org/sejarah-ypac/ ) dipublikasikan pada 27 Maret
2013
72

Pada Munas YPAC tahun 1980 diputuskan bahwa YPAC


Pusat berdomisili di Ibu Kota RI, maka YPAC Pusat dipindah
dari Surakarta ke Jakarta. Kemudian namanya dirubah menjadi
Yayasan Pembinaan Anak Cacat.5

c. Visi, Misi dan Tujuan SLB D-D1 YPAC Jakarta


Visi
“Sekolah yang memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta
didik Tunadaksa, menjadi manusia yang mandiri sesuai
kemampuannya, beriman, bertaqwa, sehat, dan berhasil guna
dalam kehidupan sehari-hari.”
Misi
1. Menggali dan mengembangkan potensi peserta didik.
2. Meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dan keterampilan.
3. Mewujudkan lingkungan belajar yang kondusif.
4. Menumbuhkan sikap percaya diri melalui kegiatan
pembelajaran.
Tujuan Sekolah
1. Mengembangkan kemampuan menolong diri sendiri dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Mengembangkan berbagai kegiatan pembelajaran yang
memuat nilai-nilai budaya dan karakter bangsa.
3. Membekali peserta didik dengan pengetahuan dasar dan
keterampilan sebagai bekal kemandirian.
4. Mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.6

5
Sejarah YPAC, ( http://ypac-nasional.org/sejarah-ypac/ ) dipublikasikan pada 27 Maret
2013
6
Dokumentasi Profil Sekolah SLB D-D1 YPAC Jakarta., dokumen tidak dipublikasikan
73

d. Keadaan Guru dan Peserta Didik SLB D-D1 YPAC Jakarta


1) Keadaan Guru Agama di SLB D-D1 YPAC Jakarta
Guru Pendidikan Agama Islam di SLB D-D1 YPAC
Jakarta tahun ajaran 2019/2020, sebagai berikut:
Tabel 4.2: Guru PAI di SLB D-D1 YPAC Jakarta7
Nama M. Mudlofir, S.Pd.I
Tempat Tanggal Lahir Demak, 24 Juli 1973
Alamat Gariya Asri Serpong, Jl. Perkutut 1 Blok
A7 No.3 Bakti Jaya Setu Serpong,
Tanggerang Selatan
Riwayat Pendidikan MI Tarbiyatusysyib Yan Rejo Sari Demak
MTs Futuhiyyah 1 Mranggen Demak
MA Futuhiyyah 1 Mranggen Demak
STAI Al-Hikmah Jakarta
Riwayat Pekerjaan Guru SD–SMA SLB D-D1 YPAC Jakarta
(2012–sekarang)

Berdasarkan tabel 4.2, jumlah guru PAI di SLB D-D1


YPAC Jakarta pada tahun ajaran 2019/2020 berjumlah 1
orang. Guru PAI mengajar anak SLB D-D1 YPAC Jakarta
pada tingkatan SDLB, SMPLB, dan SMALB. Sesuai dengan
pembatasan masalah yang tercantum, penelitian hanya
dilakukan pada tingkatan SMPLB saja.

7
Dokumentasi Profil Sekolah SLB D-D1 YPAC Jakarta., dokumen tidak dipublikasikan
74

2) Keadaan Peserta Didik di SLB D-D1 YPAC Jakarta


Tabel 4.3: Jumlah Peserta Didik di SLB D-D1 YPAC Jakarta8
Jenjang
No. Kelas Jumlah
Pendidikan
TKLB. A1 5 siswa
1. TKLB TKLB. A2 5 siswa
TKLB. B 7 siswa
D1 – II 5 siswa
D2 – III 5 siswa
SDLB. D1
D1 – V 3 siswa
D1 – VI 4 siswa
D2 – II 4 siswa
2.
D2 – III 3 siswa
D2 – IV A 5 siswa
SDLB. D2
D2 – IV B 4 siswa
D2 – V 1 siswa
D2 – VI 4 siswa
D1 – VII 6 siswa
3. SMPLB. D1 D1 – VIII 6 siswa
D1 – IX 5 siswa
D1 - X 5 siswa
4. SMALB. D1 D1 – XI 3 siswa
D1 – XII 3 siswa
Berdasarkan tabel 4.3, penelitian hanya dilakukan pada
jenjang pendidikan SMPLB saja. Adapun kelas VII, VIII, dan
XI yang masing-masing terdiri dari satu rombel (rombongan
belajar). Penelitian dilakukan kepada + 17 orang siswa dalam
pembelajaran PAI.

8
Dokumentasi Profil Sekolah SLB D-D1 YPAC Jakarta., dokumen tidak dipublikasikan
75

e. Sarana dan Prasarana


Sarana prasarana yang ada di SLB D-D1 YPAC Jakarta, di
antaranya9:
1) Keadaan Sekolah
a) Luas Tanah : 8.084 m2
b) Luas Bangunan : 5.200 m2
2) Gedung
a) Ruang Guru : 1 ruang
b) Ruang Kepala Sekolah : 1 ruang
c) Ruang Tata Usaha : 1 ruang
d) Ruang Belajar : 21 ruang
e) Ruang Komputer : 1 ruang
f) Ruang Program Khusus : 1 ruang
g) Ruang Keterampilan : 3 ruang
h) Ruang Perpustakaan : 1 ruang
i) Ruang Laboratorium : 1 ruang
j) Ruang Dapur : 3 ruang
k) Ruang Gudang : 3 ruang
l) Ruang Kamar Mandi : 12 ruang
m) Ruang Balai Pertemuan : 1 ruang
n) Mushala : 1 ruang
o) Klinik : 1 ruang

Berdasarkan data yang telah didapatkan, sarana dan


prasarana yang mendukung dalam pembentukan karakter
religius anak tunadaksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta, di
antaranya yaitu ruang kelas, ruang guru, mushala, dan ruang
balai pertemuan. Adapun ruang kelas digunakan untuk
melakukan kegiatan belajar mengajar dalam pembelajaran
PAI. Ruang guru digunakan untuk melakukan kegiatan belajar

9
Dokumentasi Profil Sekolah SLB D-D1 YPAC Jakarta., dokumen tidak dipublikasikan
76

mengaji setelah jadwal pembelajaran di sekolah selesai.


Mushala digunakan untuk melakukan kegiatan sholat
berjamaah. Selain itu, terdapat ruang balai pertemuan yang
digunakan untuk kegiatan tertentu yang melibatkan seluruh
peserta didik dalam satu waktu, seperti pesantren kilat pada
bulan Ramadhan.

2. Peran Guru PAI Dalam Pembentukan Karakter Religius Anak


Tunadaksa di YPAC Jakarta
Di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta, selain
menerima anak-anak yang mengalami cacat tubuh sebagai akibat dari
penyakit poliomyelitis, YPAC Jakarta juga menangani anak-anak
cacat akibat Cerebral Palsy (CP), yakni anak-anak yang mengalami
kelainan pada otak dan mengakibatkan kerusakan pada fungsi
motorik. Kelainan yang diakibatkan oleh CP ini muncul secara dini
pada anak dan menetap seumur hidup, berupa gangguan fungsi gerak,
persepsi dan sering kali diperberat dengan penurunan aktivitas mental.
Anak-anak tersebut memerlukan penanganan serta bimbingan
khusus dari para ahli, baik di bidang pendidikan maupun terapinya.
Terutama untuk anak-anak CP yang mengalami kerusakan pada
sebagian dari otaknya, yang megakibatkan kebanyakan anak menjadi
spastis dan mungkin juga taraf belajarnya di bawah normal.10
Sehubungan dengan fungsinya sebagai seorang guru, maka
diperlukan adanya berbagai peranan pada diri guru. Peranan guru ini
akan senantiasa menggambarkan pola tingkah laku yang diharapkan
dalam berbagai interaksinya, baik dengan siswa, sesama guru, maupun
dengan staf lain.
Temuan peneliti di lapangan menunjukkan bahwa peran guru
PAI dalam pembentukan karakter religius anak tunadaksa di YPAC

10
Buku Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta, h.9-10., dokumen tidak
dipublikasikan
77

Jakarta oleh informan dari tempat tersebut yaitu berbagai macam


peran guru, di antaranya:
a. Peran Guru PAI sebagai Pendidik
Sebagai seorang pendidik, selain memberikan ilmu
pengetahuan guru juga dianjurkan mengetahui serta memahami
nilai, norma moral, dan sosial, serta berusaha berperilaku dan
berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Dalam hal ini
guru berusaha menanamkan akhlak baik kepada anak tunadaksa
dengan cara memberikan teladan yang baik. Selain itu, guru
mengontrol kegiatan anak dalam menjalankan ibadah dengan cara
selalu bertanya kepada peserta didik maupun orang tuanya.
Dalam mendidik, guru juga melibatkan orang tua agar anak
terbiasa menjalankan kewajiban beribadah dan berakhlak baik di
rumah11.
Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak M. Mudlofir,
S.Pd.I (guru PAI) terkait perannya sebagai pendidik:
“Mendidik itu kan mencakup hal keseluruhan dari peran
guru mba, artinya guru agama itu harus bisa membiasakan
akhlak yang baik karena kalau pemberian materi saja
nggak cukup. Makanya saya sering nanyain ke anak-anak
kalo di rumah ngaji atau engga? sholat atau engga? untuk
anak-anak berkebutuhan khusus seperti ini, selain dari
guru agama peran orang tua di rumah juga penting mba.
Karena kalau di rumah sudah dibiasakan untuk
berperilaku terpuji, sholat, dan mengaji, anak-anak akan
lebih mudah diarahkan oleh guru di sekolah untuk
memiliki akhlak yang baik”.12

11
Hasil observasi dan wawancara di SLB D-D1 YPAC Jakarta
12
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
78

Selain itu Bapak Heru Haerudin (Kepala Sekolah) juga


menyampaikan pendapatnya mengenai peran guru PAI sebagai
pendidik, yaitu:
“Setiap guru harus punya jiwa pendidik. Pendidik itu kan
mencakup secara keseluruhan, bukan hanya mengajar.
Mereka harus bersikap bijak, adil, memberikan contoh
yang baik kepada anak. Sejauh ini saya lihat semua guru
sudah menjalankan perannya sebagai pendidik, walaupun
memang tidak sempurna, karena memang tidak ada
manusia yang sempurna.”13

Dalam rangka mewujudkan pendidikan karakter religius


siswa, guru PAI melakukan pendekatan kepada siswa dengan
menggunakan beberapa metode, di antaranya yaitu metode hiwar
atau percakapan, metode qashash atau cerita, metode uswah atau
keteladanan, metode ceramah, metode pendidikan dengan nasihat,
dan metode pembiasaan. Berikut beberapa metode yang
digunakan guru PAI di SLB D-D1 YPAC Jakarta dalam rangka
membentuk karakter religius siswa, di antaranya yaitu:
 Metode Hiwar atau Percakapan
Metode hiwar (dialog) adalah percakapan silih berganti
antara dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai
satu topik dengan satu tujuan tertentu14. Metode hiwar atau
percakapan digunakan oleh guru PAI dalam rangka untuk
mengetahui tingkat pemahaman siswa tunadaksa; untuk
merangsang kemampuan berpikir siswa tunadaksa; memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengajukan masalah yang
belum dipahami15.

13
Wawancara dengan bapak Heru Heriawan, M.Pd., pada tanggal 24 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
14
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta,
2012), h.88
15
Hasil observasi dan wawancara di SLB D-D1 YPAC Jakarta
79

Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak M. Mudlofir,


S.Pd.I (guru PAI) terkait penggunaan metode hiwar atau
percakapan dalam rangka membentuk karakter religius siswa,
yaitu:
“Kalau di kelas saya juga sering menggunakan metode
tanya jawab, mba.. Tujuannya itu untuk mengetahui
sejauh mana pengetahuan anak tentang materi
pembelajaran. Kadang ada juga anak yang
menceritakan permasalahannya, kemudian anak
tersebut bertanya kira-kira bagaimana solusinya.
Kemudian ketika menjawab permasalahan anak
tersebut saya akan memberikan nasihat.”16
 Metode Qashash atau Cerita
Dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah,
kisah sebagai metode pendukung pelaksanaan pendidikan
memiliki peranan yang sangat penting, karena dalam kisah
terdapat berbagai keteladanan dan edukasi. Pemberian kisah
ini bertujuan agar dalam proses pembelajaran anak tunadaksa
merasa lebih tertarik dan mudah untuk memahami materi
pembelajaran. Selain itu, metode kisah ini juga bertujuan
untuk merangsang berpikir anak. Kisah yang diberikan guru
PAI kepada anak tunadaksa biasanya kisah para Nabi dan
Rasul atau kisah-kisah islami lainnya17.
Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak M. Mudlofir,
S.Pd.I (guru PAI) terkait penggunaan metode qashash atau
cerita dalam rangka membentuk karakter religius siswa,
yaitu:
“Dalam pendidikan karakter religius biasanya dapat
dilakukan melalui kisah-kisah nabi yang ditayangkan
16
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
17
Hasil observasi dan wawancara di SLB D-D1 YPAC Jakarta
80

melalui video, mba. Kalau menggunakan video anak


akan merasa lebih tertarik dibandingkan kalau saya
hanya menjelaskan saja. Nah, dari video tersebut anak
akan lebih mudah memahami hal-hal yang dapat
diteladani dari kisah para nabi. Selain kisah-kisah nabi,
saya juga kadang menceritakan tentang tokoh-tokoh
atau kisah-kisah islami yang menginspirasi dan
memberikan contoh kebaikan pada anak-anak.”18
 Metode Uswah atau Keteladanan
Penggunaan metode uswah atau keteladanan ini
digunakan guru PAI untuk memberikan contoh secara
langsung kepada anak tunadaksa terkait dengan kegiatan
yang dapat membentuk karakter religius. Penggunaan metode
ini juga dianggap efektif dalam membentuk karakter religius
anak tunadaksa, karena anak akan mengidentifikasi dan
meniru apa yang dilakukan oleh sang guru19.
Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak M. Mudlofir,
S.Pd.I (guru PAI) terkait penggunaan metode uswah atau
keteladanan dalam rangka membentuk karakter religius
siswa, yaitu
“Sebagai guru kita memberikan contoh langsung
kepada anak-anak, mba. Kalau kita hanya menyuruh
anak tapi diri sendiri tidak melakukannya maka
hasilnya tidak akan maksimal. Misalnya yang terkait
dengan pendidikan karakter religius itu sholat. Jadi
kalau kita menyuruh anak untuk sholat, ya kita juga
harus sholat. Dengan memberikan contoh teladan yang
baik, anak-anak juga akan lebih mudah untuk
menirunya. Selain itu, kalau di sini ada pendidikan
18
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
19
Hasil observasi dan wawancara di SLB D-D1 YPAC Jakarta
81

untuk mencuci piring, menjaga kebersihan lingkungan,


mengikat tali sepatu, kancingin baju, dan lain-lain
terkait hal-hal sederhana yang juga melatih kemampuan
kemandirian dan motorik mereka.”20
 Metode Ceramah
Metode ceramah sebagai suatu metode pembelajaran
merupakan cara yang digunakan dalam mengembangkan
proses pembelajaran melalui cara penuturan. Metode ini
merupakan metode yang sampai saat ini paling sering
digunakan oleh guru. Hal yang harus diperhatikan ketika
menggunakan metode ceramah adalah isi ceramah harus
mudah diterima dan dipahami oleh murid agar mereka
mengikuti dan melakukan apa yang terdapat di dalam isi
ceramah21.
Untuk anak tunadaksa yang merupakan anak-anak yang
mengalami hambatan dan kesulitan dalam kegiatan
motoriknya, metode ceramah menjadi hal yang efektif dalam
penyampaian materi pembelajaran dan penanaman nilai-nilai
karakter religius. Metode ceramah juga dapat dijadikan
sebagai cara guru untuk melakukan pendekatan yang intensif
kepada siswa terkait materi yang disampaikan22.
Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak M. Mudlofir,
S.Pd.I (guru PAI) terkait penggunaan metode ceramah dalam
rangka membentuk karakter religius siswa, yaitu:
“Metode yang paling sering saya gunakan itu metode
ceramah, mba. Untuk anak-anak berkebutuhan khusus
seperti mereka ini kan memang mengalami kesulitan
dalam hal motoriknya, jadi kalau disuruh menulis

20
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
21
Abdul Majid, Strategi Pembelajaran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2014), h.194
22
Hasil observasi dan wawancara di SLB D-D1 YPAC Jakarta
82

materi paling hanya sedikit aja karena mereka juga kan


ada yang bisa menulis ada juga yang belum bisa
menulis. Sehingga hal yang paling efektif dalam
penyampaian materi ya metode ceramah, mba. Karena
ketika penyampaian materi saya bisa sambil
memberikan nasihat kepada mereka.”23
 Metode Pendidikan dengan Nasihat
Nasihat adalah cara yang digunakan oleh seorang guru
untuk memberikan petunjuk, peringatan serta teguran kepada
siswa. Metode ini merupakan cara yang efektif dalam
mendidik karakter religius siswa. Nasihat yang tulus dari
seorang guru akan memberikan pengaruh positif terhadap
siswa, sehingga mereka akan menerima dengan terbuka dan
akan terjadi perubahan dalam diri anak ke arah yang lebih
positif24.
Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak M. Mudlofir,
S.Pd.I (guru PAI) terkait penggunaan metode pendidikan
dengan nasihat dalam rangka membentuk karakter religius
siswa, yaitu:
“Ketika di dalam kegiatan pembelajaran atau di luar
kegiatan pembelajaran ada saja siswa yang
menceritakan permasalahannya baik dengan orang
tuanya atau dengan lingkungan sekelilingnya. Disinilah
peran guru untuk memberikan nasihat yang baik, mba.
Kadang selain peserta didik wali murid juga sering
menceritakan permasalahan anaknya ketika di rumah.
Permasalahan yang paling sering biasanya ketika di
rumah anak tidak mau sholat dan mengaji. Jadi ketika
di kelas, selain saya menyampaikan materi saya juga
23
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
24
Hasil observasi dan wawancara di SLB D-D1 YPAC Jakarta
83

memberikan nasihat kepada peserta didik.


Alhamdulillah setelah diberikan nasihat anak ada
perubahan ke arah yang positif, mba. Mereka jadi lebih
sering sholat dan mau mengaji.”25
 Metode Pembiasaan
Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan
secara berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi
kebiasaan. Metode pembiasaan ini berintikan pengalaman.
Karena yang dibiasakan adalah sesuatu yang diamalkan dan
inti kebiasaan adalah pengulangan.26 Guru PAI membiasakan
anak-anak tunadaksa untuk berdoa sebelum memulai
pembelajaran, belajar membaca al-Quran sesudah kegiatan
pembelajaran, menjaga kebersihan kelas, dan kegiatan
lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan karakter religius
anak. Guru PAI juga selalu mengingatkan anak tunadaksa
agar mereka terbiasa untuk melaksanakan kewajiban dalam
hal ibadah dan berakhlak yang baik27.
Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak M. Mudlofir,
S.Pd.I (guru PAI) terkait penggunaan metode pembiasaan
dalam rangka membentuk karakter religius siswa, yaitu:
“Untuk menanamkan pendidikan religius pada anak-
anak, sebelum pembelajaran dimulai dan sesudah
pembelajaran biasanya kita berdoa terlebih dahulu.
Ketika di luar jam pelajaran ada kegiatan belajar
mengaji, ada anak yang masih iqro ada juga yang sudah
bisa membaca al-Quran. Selain itu kita biasakan
mereka untuk mau sholat, mau ngaji, mau belajar. Kita
selalu usahakan untuk mengingatkan mereka agar

25
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
26
Heri Gunawan, Op.Cit., h.93
27
Hasil observasi dan wawancara di SLB D-D1 YPAC Jakarta
84

mereka selalu ingat akan kewajiban mereka untuk


melaksanakan ibadah, dan selalu berakhlak baik.”28

Berdasarkan observasi peneliti telah menyaksikan peran


guru PAI menjalankan peran guru sebagai pendidik tersebut telah
terealisasikan.

Gambar 4.1: Guru melakukan proses pembelajaran anak


tunadaksa

b. Peran Guru PAI sebagai Pengajar


Dalam menjalankan peranannya sebagai pengajar, guru
PAI membuat perencanaan pembelajaran terlebih dahulu.
Perencanaan pembelajaran dibuat agar tujuan pembelajaran dapat
tercapai secara maksimal. Untuk anak tunadaksa, persiapan
materi pembelajaran yang akan disampaikan dibuat secara
sederhana hal ini karena materi yang disampaikan harus
disesuaikan dengan kemampuan anak terutama pada anak yang
mengalami Cerebral Palsy (CP)29.

28
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
29
Hasil observasi dan wawancara di SLB D-D1 YPAC Jakarta
85

Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak M. Mudlofir,


S.Pd.I (guru PAI) terkait perannya sebagai pengajar, yaitu:
“Kalau untuk mengajar biasanya saya sesuaikan dengan
materi mba. Materi yang digunakan juga sama saja dengan
anak-anak di sekolah umum. Tapi karena ini pendidikan
khusus, jadi untuk pemberian materi tidak sepenuhnya apa
yang ada di buku kita bahas, kadang saya harus
merangkum terlebih dahulu setelah itu baru disampaikan
kepada anak-anak. Materi yang diberikan juga disesuaikan
dengan kemampuan anak, jadi kadang materinya bisa
sesuai dengan apa yang ada di buku bahkan kadang bisa
mundur dari materi yang seharusnya dibahas. Jadi
misalnya anak SMP, kemudian mereka belajar materi SD.
Hal ini karena kemampuan koginitif anak tidak sama
dengan anak normal lainnya, seandainya kita paksakan
untuk mengikuti materi SMP, ya mereka nggak akan
nyambung mba.”30

Adapun materi yang disampaikan sesuai dengan buku


paket yang menjadi rujukan utama guru dalam menyampaikan
materi pembelajaran kepada peserta didik. Materi yang terkait
dengan pendidikan karakter religius, di antaranya yaitu tentang al-
Quran dan hadis, fiqh, aqidah, akhlak, dan sejarah. Hal ini sesuai
dengan pernyataan yang disampaikan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I
(guru PAI) mengatakan:
“Semua materi yang diajarkan pada dasarnya adalah untuk
pendidikan karakter religius anak. Misalnya materi tentang

30
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
86

iman kepada Allah, iman kepada hari akhir, akhlak terpuji,


kisah para nabi, dan sholat fardhu.”31

Dalam pelaksanaan pembelajaran PAI bagi anak


tunadaksa, guru menggunakan metode ceramah, metode hapalan,
dan metode tanya jawab. Sedangkan media yang digunakan agar
anak tunadaksa lebih mudah memahami dan merasa tertarik
dalam proses pembelajaran, guru menggunakan media video dan
media gambar. Penggunaan metode dan media yang digunakan
disesuaikan dengan dengan materi pembelajaran yang akan
disampaikan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak M. Mudlofir,
S.Pd.I (guru PAI) terkait penggunaan metode dan media yang
digunakan dalam proses pembelajaran PAI bagi anak tunadaksa,
yaitu:
“Sebenarnya metode yang digunakan tidak ada yang
khusus mba. Metode yang biasa dipakai itu metode
ceramah, metode hapalan, dan metode tanya jawab. Dalam
penyampaian materi perbedaan antara anak ini dengan
anak-anak normal lainnya adalah guru harus dapat lebih
sabar agar anak dapat memahami materi pembelajaran
dengan baik. Kalau untuk media yang digunakan, kadang
saya pakai media huruf abjad untuk materi mengenalkan
huruf hijaiyah, kadang saya menggunakan media video
untuk materi cerita-cerita nabi, kadang juga menggunakan
media gambar untuk materi gerakan wudhu dan sholat.”32

31
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
32
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
87

Evaluasi pembelajaran bagi anak tunadaksa dilakukan


melalui penilaian harian dan penilaian ujian semester. Evaluasi
koginitif dan psikomotorik siswa ini disesuaikan dengan tingkat
kemampuan siswa. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang
disampaikan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I (guru PAI) selaku
evaluator, yaitu:
“Untuk penilaian siswa, saya ambil dari ulangan harian
beberapa kali kemudian dijumlah dengan nilai ujian
tengah semester dan penilaian akhir semester. Penilaian ini
juga disesuaikan dengan kemampuan anak, mba. Jadi
walaupun mereka ada di dalam satu kelas, tapi indikator
penilaiannya beda. Sedangkan untuk pedoman secara
tertulisnya saya nggak bikin, mba.”33

Berdasarkan observasi peneliti telah menyaksikan peran


guru PAI menjalankan peran guru sebagai pengajar telah
terealisasikan namun belum maksimal.

Gambar 4.2: Guru melakukan kegiatan mengajar anak


tunadaksa
33
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
88

c. Peran Guru PAI sebagai Pembimbing


Dalam menjalankan perannya sebagai seorang
pembimbing, guru melakukan beberapa cara, di antaranya yaitu:
a) guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menceritakan permasalahan yang sedang dialami; b) guru
mengarahkan peserta didik dalam setiap permasalahan yang
dihadapinya; c) guru memberikan nasihat kepada peserta didik; d)
guru melakukan kegiatan kontrol kepada peserta didik setiap
minggu untuk melihat perubahan yang terjadi pada diri peserta
didik; e) guru melibatkan wali kelas dan orang tua dalam
membimbing pendidikan karakter religius peserta didik34.
Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak M. Mudlofir,
S.Pd.I (guru PAI) terkait perannya sebagai pembimbing:
“Dalam pembimbingan siswa, karena saya bukan dari
jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) mba, jadi
sebenarnya saya masih dalam proses belajar memahami
anak-anak luar biasa. Tetapi dalam hal-hal akhlak dan
keagamaan saya selalu berusaha untuk membimbing anak-
anak. Misalnya, ada anak yang memiliki masalah dengan
orang tua atau dengan orang-orang di sekitarnya, mereka
biasanya cerita kepada saya mba. Maka saya berusaha
membimbing dan mengarahkan anak tersebut agar dapat
menyelesaikan masalah dengan cara memberikan nasihat.
Alhamdulillah setelah diberikan bimbingan ada perubahan
ke arah yang lebih baik. Perubahan itu juga harus
dikontrol setiap minggunya, mba. Jadi kalau setiap
minggu saya tanyakan terus. Dalam proses pembimbingan
karakter religius ini diperlukan keterlibatan dari seluruh

34
Hasil observasi dan wawancara di SLB D-D1 YPAC Jakarta
89

pihak, terutama yang paling penting adalah guru agama,


wali kelas dan orang tua.”35

Selain itu Olivia (Siswa kelas VII) menyampaikan


pendapatnya terkait dengan peran guru PAI sebagai pembimbing:
“Saya kalau ada masalah di rumah biasanya ceritanya ke
pak Mudlof kak. Setelah saya cerita, pak Mudlof biasanya
akan memberikan bimbingan dan solusi bagaimana saya
harus menghadapi permasalahan tersebut.”36

Berdasarkan observasi peneliti telah menyaksikan peran


guru PAI menjalankan peran guru sebagai pembimbing tersebut
telah terealisasikan

Gambar 4.3: Guru membimbing anak tunadaksa dalam


kegiatan membaca al-Quran

35
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
36
Wawancara dengan Olivia, pada tanggal 10 September 2019 di SLB D-D1 YPAC
Jakarta
90

d. Peran Guru PAI sebagai Model dan Teladan


Keteladan merupakan kunci pokok dalam proses
pembelajaran. Semua tingkah laku yang dilakukan oleh guru di
sekolah senantiasa menjadi contoh bagi peserta didik. Dalam
menjalankan perannya sebagai model dan teladan, guru PAI
memberikan contoh langsung kepada anak tunadaksa mengenai
kegiatan-kegiatan yang dapat membentuk karakter religius,
seperti sholat tepat waktu, berdoa sebelum memulai pelajaran,
dan kegiatan membaca al-Quran setelah kegiatan mengajar di
dalam kelas. Jadi, apabila guru berbuat baik, maka peserta didik
akan meniru untuk berbuat baik, begitu pula sebaliknya apabila
guru memberikan contoh yang tidak baik, maka peserta didik juga
akan meniru yang tidak baik37.
Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak M. Mudlofir,
S.Pd.I (guru PAI) terkait perannya sebagai model dan teladan,
yaitu:
“Jadi sebagai guru kita memberikan contoh langsung
kepada anak-anak, mba. Kalau kita memberikan contoh
teladan yang baik, anak-anak juga akan lebih mudah untuk
menirunya. Misalnya, kalau waktunya sholat sambil
mengajak anak-anak untuk sholat saya juga harus
melaksanakan sholat. Kalau misalnya kita hanya nyuruh
tanpa memberikan contoh langsung kepada anak itu nggak
akan efektif, mba.”38

Selain itu Bapak Heru Haerudin (Kepala Sekolah) juga


menyampaikan pendapatnya mengenai peran guru PAI sebagai
pendidik, yaitu:

37
Hasil observasi dan wawancara di SLB D-D1 YPAC Jakarta
38
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
91

“Jika indikator model dan teladan adalah sholat tepat


waktu, saya lihat beliau sholat tepat waktu. Akan tetapi
kadang tuntutan seorang guru jika ada kegiatan-kegiatan
tertentu kan tidak bisa sholat tepat waktu. Selama ini saya
melihat guru agama ketika di sekolah sudah menjadi
teladan dengan memberikan contoh yang baik bagi anak-
anak.”39
Berdasarkan observasi peneliti telah menyaksikan peran
guru PAI menjalankan peran guru sebagai model dan teladan
tersebut telah terealisasikan.

Gambar 4.4: Guru dan anak tunadaksa berdoa sebelum


memulai pelajaran

e. Peran Guru PAI sebagai Evaluator


Sebagai evaluator, guru memiliki indikator tertentu untuk
menilai sejauh mana perubahan dalam diri peserta didik. Untuk
anak tunadaksa terutama yang mengalami Cerebral Palsy (CP)
tujuan akhir pendidikan tidak dituntut pada nilai pengetahuan,
akan tetapi tujuan akhir pendidikan adalah terjadinya perubahan

39
Wawancara dengan bapak Heru Heriawan, M.Pd., pada tanggal 24 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
92

perilaku dalam diri anak tunadaksa, seperti menjadi pribadi yang


mandiri, memilki akhlak yang baik, dan dapat menjadi anggota
masyarakat yang berguna40.
Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak M. Mudlofir,
S.Pd.I (guru PAI) terkait perannya sebagai evaluator:
“Kalau untuk menilai perubahan anak di sekolah ya kita
bisa lihat secara langsung, mbak. Apakah di sekolah
mereka mau untuk sholat, mengaji, menjaga kebersihan
lingkungan, membantu teman-temannya. Kalau untuk
mengetahui perubahan anak ketika di rumah, biasanya
saya menanyakan langsung ke orang tuanya atau orang
tuanya yang akan lapor ke saya.”41

Selain itu Bapak Heru Haerudin, M.Pd (Kepala Sekolah)


juga menyampaikan pendapatnya mengenai penilaian terhadap
peserta didik, yaitu:
“Kami tidak menilai perubahan itu hanya tentang anak
yang bisa baca tulis hitung. Apalagi untuk anak
berkebutuhan khusus yang memang kondisinya sudah
seperti itu. Maka perubahan yang kita tuju itu adalah
perubahan perilaku pada diri anak, artinya diharapkan
mereka itu memiliki kemandirian, akhlak yang baik, dan
dapat berguna di lingkungan masyarakat.”42
Berdasarkan observasi peneliti telah menyaksikan peran
guru PAI menjalankan peran guru sebagai evaluator tersebut telah
terealisasikan.

40
Hasil observasi dan wawancara di SLB D-D1 YPAC Jakarta
41
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
42
Wawancara dengan bapak Heru Heriawan M.Pd., pada tanggal 24 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
93

Gambar 4.5: Guru melakukan kegiatan refleksi kepada siswa

3. Faktor Pendukung dan Penghambat Guru PAI dalam Pendidikan


Karakter Religius Anak Tunadaksa di YPAC
Dalam menjalankan peran sebagai Guru PAI dalam pendidikan
karakter religius anak tunadakasa tidak terlepas dari faktor
pendukung dan penghambat.

a. Faktor Pendukung
Faktor pendukung pendidikan karakter religius sangat
penting untuk diketahui, karena dengan adanya faktor pendukung
pendidikan karakter religius oleh guru bisa ditanggulangi dan bisa
berjalan sesuai yang diharapkan. Temuan data dari penilitian
menunjukkan bahwa faktor pendukung pendidikan karakter
religius siswa tunadaksa seperti yang dikatakan oleh guru PAI
SLB D-D1 YPAC Jakarta, yaitu:
“Faktor yang sangat mempengaruhi dalam pembentukan
karakter religius itu orang tua, mba. Karena pendidikan
pertama bagi anak berawal dari orang tua dan
keluarganya. Selanjutnya, faktor yang mempengaruhi itu
lingkungan sekolah, terutama wali kelas dan teman-
temannya. Untuk anak-anak berkebutuhan khusus seperti
94

mereka ini jarang bergaul di lingkungan rumah, mba.


Mungkin mereka ada rasa malu, minder, atau merasa
kurang diterima di lingkungan masyarakat. Jadi
lingkungan sekolah merupakan salah satu faktor terpenting
dalam pembentukan karakter religius.”43

Adapun pendapat yang disampaikan oleh Bapak Heru


Heriawan (Kepala Sekolah) mengenai faktor pendukung dalam
pendidikan karakter religius bagi siswa tunadaksa di antaranya
adalah sarana dan prasarana yang ada di sekolah. Hal ini sesuai
dengan yang disampaikan, yaitu:
“Untuk sarana dan prasarana di sekolah ini dapat
dikatakan yang paling lengkap dan memenuhi standar
minimal untuk pendidikan khusus, mbak. Di sini terdapat
psikolog, terapis, klinik dan hal-hal lain yang menunjang
untuk proses pembelajaran anak. Untuk kebijakan
mengenai kegiatan-kegiatan keagamaan saya memberi
kebebasan kepada guru agama. Selama kegiatan tersebut
positif maka saya akan mendukung, seperti kegiatan
mengaji setelah proses pembelajaran, atau ketika bulan
Ramadhan dilaksanakan kegiatan pesantren kilat. Itu atas
dasar inisiatif guru untuk melakukan kegiatan keagamaan
dalam rangka pendidikan karakter religius anak, yang jelas
saya dan guru-guru lain akan bantu dan dukung
semaksimal mungkin.”44

Dalam rangka mewujudkan karakter religius siswa


dilakukan dengan pendekatan pada saat pembelajaran di dalam
kelas. Dalam hal ini guru PAI di SLB D-D1 YPAC Jakarta

43
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
44
Wawancara dengan bapak Heru Heriawan M.Pd., pada tanggal 24 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
95

mengoptimalkan pembelajaran di dalam kelas dengan


menggunakan beberapa metode di antaranya yaitu metode hiwar
atau percakapan, metode qashash atau cerita, metode uswah atau
keteladanan, metode ceramah, metode pendidikan dengan nasihat,
dan metode pembiasaan.
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan bapak M.
Mudlofir, S.Pd.I (guru PAI) terkait perannya sebagai evaluator
“Ketika pembelajaran PAI di dalam kelas, saya biasanya
menggunakan metode ceramah, mbak. Di dalam kegiatan
ceramah itu saya sambil memberikan nasihat kepada anak-
anak ketika mereka ada permasalahan-permasalahan yang
mereka alami. Ketika menjadi guru kita juga harus
memberikan contoh teladan yang baik bagi anak-anak.
Kadang saya juga menayangkan video cerita tentang hal-
hal yang dapat diteladani dari kisah para nabi. Kisah-kisah
yang biasanya ditayangkan itu kisah-kisah nabi dan rasul.
Agar perubahan yang terjadi dalam diri anak konsisten,
saya selalu mengingatkan anak-anak untuk sholat, mengai,
dan patuh kepada orang tua. Untuk mengontrol anak,
kadang saya bertanya langsung kepada orang tua, apakah
di rumah mereka mau sholat atau engga, mau ngaji atau
engga.”45

Hasil wawancara dari guru PAI tersebut dapat


disimpulkan faktor pendukung karakter religius anak tunadaksa di
SMP SLB D-D1 YPAC Jakarta, yaitu46:
1) Faktor keluarga.
2) Faktor lingkungan sekolah.
3) Faktor sarana dan prasarana sekolah.

45
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
46
Hasil observasi dan wawancara di SLB D-D1 YPAC Jakarta
96

4) Faktor pendekatan guru dalam rangka pendidikan karakter


religius anak tunadaksa dengan menggunakan beberapa
metode, di antaranya:
a. Metode hiwar atau percakapan
b. Metode qashash atau cerita
c. Metode uswah atau keteladanan
d. Metode ceramah
e. Metode pendidikan dengan nasihat
f. Metode pembiasaan
b. Faktor Penghambat
Temuan penelitian menunjukkan faktor penghambat guru
PAI dalam pendidikan karakter religius siswa SMP SLB D-D1
YPAC Jakarta seperti yang dijelaskan oleh guru PAI di SLB D-
D1 YPAC Jakarta, yaitu:
“Faktor penghambatnya pada awal masuk sekolah mereka
merasa rendah diri, minder, malu, tidak berani. Selain itu
mereka itu kondisi fisiknya tidak sama dengan anak
normal lainnya. Mereka itu gampang capek, mbak. Kalau
mereka sudah merasa capek, mereka biasanya ga akan
masuk sekolah. Mereka juga masih harus ikut terapi di
tengah-tengah jadwal jam pelajaran sekolah. Kondisi
kognitif mereka juga berbeda, mbak. Kadang satu materi
itu harus disampaikan 2 – 3 kali agar mereka mudah
memahaminya. Jadi guru juga harus memilki kesabaran
yang ekstra dalam membimbing dan mendidik anak-anak
seperti mereka. Faktor lain yang menjadi penghambat bagi
guru PAI yaitu waktu yang sangat terbatas hanya 2 jam
pelajaran setiap minggunya.”47

47
Wawancara dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., pada tanggal 16 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
97

Adapun pendapat yang disampaikan oleh Bapak Heru


Heriawan (Kepala Sekolah) mengenai faktor penghambat dalam
pendidikan karakter religius bagi siswa tunadaksa, yaitu :
“Ada mba anak yang kalau ketemu dengan laki-laki
bawaannya marah, ga mau salaman. Tapi kalau sama
perempuan manja sekali. Bahkan itu bukan hanya di
sekolah, tetapi di rumah juga. Dengan saya saja baru 2x
mau salaman. Alhamdulillah kalau sekarang sudah tidak
ngamuk lagi kalau ketemu laki-laki, sedikit demi sedikit
kita rubah perilaku anak tersebut melalui pendekatan
pendidikan.”48

Keterangan wawancara di atas dapat disimpulkan


beberapa faktor penghambat guru PAI dalam pendidikan karakter
religius siswa di SMP SLB D-D1 YPAC Jakarta, yaitu49:
1) Faktor waktu, yaitu terbatasnya waktu pembelajaran PAI
yang hanya 2 jam dalam seminggu.
2) Faktor lingkungan masyarakat yang tidak mendukung
sehingga muncul dalam diri mereka, seperti rasa minder,
rendah diri, malu, dan tidak berani.
3) Faktor kondisi fisik mereka yang sulit untuk bergerak,
mudah lelah, dan sulit untuk menerima materi pembelajaran.
Untuk anak-anak cerebral palsy khususnya, selain
mengalami kesulitan dalam belajar dan perkembangan
kognitifnya, mereka juga sering mengalami kesulita dalam
komunikasi, persepsi, dan mengontrol gerakannya.
4) Faktor sosial/emosional yang diakibatkan karena keterbatasan
kegiatan jasmani sehingga timbullah problem emosi, seperti
mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat

48
Wawancara dengan bapak Heru Heriawan M.Pd., pada tanggal 24 September 2019 di
SLB D-D1 YPAC Jakarta
49
Hasil observasi dan wawancara di SLB D-D1 YPAC Jakarta
98

bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustasi. Problem emosi itu,


banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan
cerebral palsy.

B. Pembahasan
1. Peran Guru PAI dalam Pendidikan Karakter Religius Anak
Tunadaksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta
a. Peran Guru PAI sebagai Pendidik
Sebagai seorang pendidik guru harus memiliki cakupan
ilmu yang cukup luas. Guru merupakan pendidik yang menjadi
tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik, dan
lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar
kualitas tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa,
mandiri dan disiplin. Dalam kaitannya dengan rasa tanggung
jawab seorang guru harus mengetahui serta memahami nilai,
norma moral, dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat
sesuai dengan nilai dan norma tersebut.50
Selain mengajarkan ilmu pengetahuan guru juga harus
mampu menanamkan akhlak yang baik agar anak terbiasa untuk
melakukan perilaku terpuji yang sesuai dengan nilai dan norma
yang berlaku dalam agama dan masyarakat. Dalam hal ini guru
harus dapat bersikap adil, bijak, dan dapat memberikan contoh
yang baik kepada peserta didik. Dalam rangka mewujudkan
pendidikan karakter religius anak tunadaksa, guru PAI melakukan
pendekatan kepada siswa dengan menggunakan beberapa metode,
di antaranya yaitu:
 Metode hiwar atau percakapan:
 Metode qashash atau cerita
 Metode uswah atau keteladanan

50
Sumarno, Peranan Guru Pendidikan Islam dalam Membangun Karakter Peserta Didik,
Jurnal Al Lubab Vo.1, 2016, h.129
99

 Metode ceramah
 Metode pendidikan dengan nasihat
 Metode pembiasaan

Metode-metode ini digunakan ketika pembelajaran di


dalam kelas. Metode hiwar atau percakapan dilakukan oleh guru
PAI dalam rangka untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa
tunadaksa; untuk merangsang kemampuan berpikir siswa
tunadaksa; memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan
masalah yang belum dipahami. Metode qashash atau cerita
digunakan guru PAI sebagai pendukung pelaksanaan pendidikan
karakter religius anak tunadaksa, hal ini karena di dalam kisah
terdapat berbagai keteladanan dan edukasi. Adapun penggunaan
metode uswah atau keteladanan digunakan guru PAI untuk
memberikan contoh secara langsung kepada anak tunadaksa terkait
dengan kegiatan yang dapat membentuk karakter religius, contoh
langsung yang diberikan oleh guru yaitu sholat. Untuk anak
tunadaksa yang merupakan anak-anak yang mengalami hambatan
dan kesulitan dalam kegiatan motoriknya, metode ceramah menjadi
hal yang efektif dalam penyampaian materi pembelajaran dan
penanaman nilai-nilai karakter religius. Metode nasihat merupakan
cara yang digunakan oleh seorang guru untuk memberikan
petunjuk, peringatan serta teguran kepada siswa. Metode ini salah
satu metode yg efektif dalam pendidikan karakter religius anak
tunadaksa, karena nasihat yang tulus dari seorang guru akan
memberikan pengaruh positif terhadap siswa. Metode selanjutnya
yaitu pembiasaan. Pembiasaan ini berintikan pengalaman yang
dialami oleh siswa. Adapun cara yang digunakan guru PAI agar
anak terbiasa memiliki karakter religius dengan cara selalu
mengingatkan dan selalu memberikan nasihat kepada siswa51.

51
Hasil Analisis pada tanggal 24 Oktober 2019
100

b. Peran Guru PAI sebagai Pengajar


Kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik
dengan guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman
dan keterampilan guru dalam berkomunikasi. Jika faktor-faktor di
atas dipenuhi, maka melalui pembelajaran peserta didik dapat
belajar dengan baik. Guru harus berusaha membuat sesuatu
menjadi jelas bagi peserta didik dan terampil dalam memecahkan
masalah.52
Dari hasil temuan yang telah dilakukan oleh peneliti
melalui wawancara dan observasi peranan guru sebagai seorang
pengajar memiliki peranannya dalam menanamkan nilai-nilai
karakter religius pada siswa dengan membuat rancangan
pembelajaran untuk kegiatan pelaksanaan belajar mengajar di
kelas. Dalam hal ini salah satunya sebelum pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar guru PAI menyiapkan terlebih dahulu materi
pembelajaran yang akan disampaikan. Adapun isi Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh guru PAI telah
berusaha menanamkan karakter religius pada anak tunadaksa.
Dengan analisis yang dilakukan peneliti bahwa dalam penulisan
isi RPP dari standar kompetensi dan kompetensi dasar karakter
yang muncul adalah religius dan saling tolong menolong, di mana
siswa terbiasa membaca al-Quran dengan baik dan benar serta
mempunyai perilaku suka menolong sebagai implementasi
pemahaman dari QS. an-Nashr ayat 1-3.
Penyampaian materi untuk anak tunadaksa dibuat secara
sederhana dengan menyesuaikan dengan kemampuan anak. Hal
ini disebabkan karena anak tunadaksa terutama yang mengalami
kelainan Cerebral Palsy (CP) memiliki kognitif di bawah rata-

52
Sumarno, Peranan Guru Pendidikan Islam dalam Membangun Karakter Peserta Didik,
Jurnal Al Lubab Vo.1, 2016, h.129
101

rata anak normal. Penggunaan metode yang biasa digunakan oleh


guru, yaitu ceramah, hapalan, dan tanya jawab. Sedangkan media
yang biasa digunakan yaitu video dan gambar. Penggunaan
metode dan media ini disesuaikan dengan materi yang akan
disampaikan. Hal ini agar anak mudah memahami dan
menginternalisasaikan nilai-nilai pendidikan karakter religius
sesuai dengan materi yang telah disampaikan. Evaluasi
pembelajaran anak tunadaksa dilakukan melalui penilaian harian
dan penilaian semester dan disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing anak. Sayangnya guru tidak membuat pedoman
penilaian secara tertulis.53
c. Peran Guru PAI sebagai Pembimbing
Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan,
yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggung
jawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah
perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan
mental, emosional, kreatifitas, moral dan spiritual yang lebih
dalam dan kompleks.54
Dalam menjalankan perannya sebagai seorang
pembimbing, guru melakukan beberapa cara, di antaranya yaitu:
a) guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menceritakan permasalahan yang sedang dialami; b) guru
mengarahkan peserta didik dalam setiap permasalahan yang
dihadapinya; c) guru memberikan nasihat kepada peserta didik; d)
guru melakukan kegiatan kontrol kepada peserta didik setiap
minggu untuk melihat perubahan yang terjadi pada diri peserta
didik; e) guru melibatkan wali kelas dan orang tua dalam
membimbing pendidikan karakter religius peserta didik.55

53
Hasil Analisis pada tanggal 24 Oktober 2019
54
Sumarno, Peranan Guru Pendidikan Islam dalam Membangun Karakter Peserta Didik,
Jurnal Al Lubab Vo.1, 2016, h.130
55
Hasil Analisis pada tanggal 24 Oktober 2019
102

d. Peran Guru PAI sebagai Model dan Teladan


Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta
didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru : sikap dasar,
bicara dan gaya bicara, kebiasaan bekerja, sikap melalui
pengalaman dan kesalahan, pakaian, hubungan kemanusiaan,
proses berfikir, perilaku neurotis, selera, keputusan, kesehatan,
gaya hidup secara umum perilaku guru sangat mempengaruhi
peserta didik, tetapi peserta didik harus berani mengembangkan
gaya hidup pribadinya sendiri.56
Sebagai seorang model dan teladan, guru PAI memberikan
contoh langsung kepada anak tunadaksa mengenai kegiatan-
kegiatan yang dapat membentuk karakter religius, seperti sholat
tepat waktu, berdoa sebelum memulai pelajaran, dan kegiatan
membaca al-Quran setelah kegiatan mengajar di dalam kelas.57
e. Peran Guru PAI sebagai Evaluator
Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran
yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang
dan hubungan, serta variabel lain yang mempunyai arti apabila
berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat
dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Teknik apapun yang
dipilih, dalam penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang
jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan
tindak lanjut. Penilaian harus adil dan objektif.58
Sebagai seorang evaluator, guru memiliki indikator
tertentu untuk menilai sejauh mana perubahan dalam diri peserta
didik. Namun, bagi anak tunadaksa penilaian tidak dituntut pada

56
Sumarno, Peranan Guru Pendidikan Islam dalam Membangun Karakter Peserta Didik,
Jurnal Al Lubab Vo.1, 2016, h.132
57
Hasil Analisis pada tanggal 24 Oktober 2019
58
Sumarno, Peranan Guru Pendidikan Islam dalam Membangun Karakter Peserta Didik,
Jurnal Al Lubab Vo.1, 2016, h.137
103

kemampuan anak dalam menulis, membaca, maupun berhitung.


Pendidikan di SLB D-D1 YPAC Jakarta ini lebih fokus pada
perubahan karakter dalam diri anak agar kelak mereka mampu
mandiri, percaya diri, peduli terhadap lingkungan, mampu
menjalankan kewajibannya dalam beragama, dan memilki akhlak
yang baik.59

Di antara kelima peran guru PAI dalam pendidikan karakter


religus anak tunadaksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta, peran guru
sebagai pendidik dan pengajar memiliki pengaruh yang paling besar
dalam pendidikan karakter religius anak tunadaksa di SLB D-D1
YPAC Jakarta. Hal ini karena dalam pendidikan karakter religus guru
menggunakan berbagai metode, seperti metode hiwar atau
percakapan, metode uswah atau teladan, metode qashash atau cerita,
metode ceramah, metode pendidikan dengan nasihat, dan metode
pembiasaan. Pendidikan karakter religius ini juga dilakukan di dalam
kelas ketika pembelajaran PAI sedang berlangsung. Selain
memberikan materi pembelajaran, guru juga memberikan pendidikan
akhlak bagi anak tunadaksa dalam rangka pendidikan karakter
religius.

2. Faktor Pendukung dan Penghambat Guru PAI dalam Pendidikan


Karakter Religius Anak Tunadaksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta
Hasil wawancara dan observasi dapat disimpulkan faktor
pendukung pendidikan karakter religius anak tunadaksa di SMPLB
D-D1 YPAC Jakarta, yaitu:
1) Faktor keluarga merupakan faktor terpenting dalam pendidikan
karakter religius, karena keluarga merupakan tempat pendidikan
pertama seorang anak dalam pembentukan karakter.
2) Faktor lingkungan sekolah merupakan faktor penting dalam
pendidikan karakter religius, hal ini karena ketika di sekolah anak

59
Hasil Analisis pada tanggal 24 Oktober 2019
104

akan dididik dan dibimbing untuk memilki akhlak yang baik. Di


sekolah, wali kelas, guru agama, dan teman memiliki pengaruh
yang besar dalam terbentuknya karakter religius anak tunadaksa.
3) Faktor sarana dan prasarana sekolah yang mendukung dalam
proses kegiatan belajar mengajar juga menjadi hal yang penting
dalam pendidikan karakter anak tunadaksa. Hal ini dikarenakan
mereka memiliki kebutuhan khusus dalam penyelenggaraan
kegiatan pembelajarannya. Selain itu, terdapat kebijakan-
kebijakan yang mendukung untuk pendidikan karakter religius, di
antaranya yaitu kegiatan mengaji seusai kegiatan belajar mengajar
dan kegiatan pesantren kilat ketika bulan Ramadhan.
4) Faktor pendekatan guru kepada anak tunadaksa dengan
menggunakan beberapa metode dalam pendidikan karakter
religius, di antaranya:
a. Metode hiwar atau percakapan: metode ini digunakan guru
PAI untuk mengetahui sejauh mana pemahaman anak
tunadaksa terhadap materi yang dibahas, merangsang
pengetahuan anak tunadaksa, memotivasi anak tunadaksa
dalam proses pembelajaran, dan memberi kesempatan kepada
anak tunadaksa untuk mengajukan masalah yang belum
dipahami.
b. Metode qashash atau cerita: metode ini sebagai pendukung
pelaksanaan pendidikan memiliki peranan yang sangat
penting, karena dalam kisah terdapat berbagai keteladanan
dan edukasi yang berpengaruh positif bagi anak tunadaksa.
Pemberian kisah ini bertujuan agar dalam proses
pembelajaran anak tunadaksa merasa lebih tertarik dan
mudah untuk memahami materi pembelajaran. Selain itu,
metode kisah ini juga bertujuan untuk merangsang berpikir
anak.
105

c. Metode uswah atau keteladanan: metode ini dilakukan


dengan cara memberikan contoh langsung kepada anak-anak
tunadaksa. Pemberian contoh atau keteladanan ini merupakan
salah satu cara yang paling efektif dalam mendidik karakter
religius anak tunadaksa karena dengan menggunakan metode
ini anak tunadaksa akan mengidentifikasi perilaku dan
kebiasaan guru kemudian mereka akan menirunya.
d. Metode ceramah: metode ini merupakan metode yang paling
sering digunakan dalam pendidikan karakter religius. Selain
guru dapat menyampaikan materi, guru juga dapat
memberikan nasihat sambil menanamkan nilai-nilai karakter
religius kepada anak tunadaksa agar mereka mudah
memahami dan dapat mengaplikasikannya pada kehidupan
sehari-hari.
e. Metode pendidikan dengan nasihat: metode ini digunakan
oleh guru untuk memberi petunjuk, peringatan, dan teguran
kepada anak. Pemberian nasihat kepada anak menjadi salah
satu metode yang efektif dalam menanamkan pendidikan
karakter religius, karena guru memberikan nasihat yang baik
sehingga anak mudah memahami dan menerimanya.
f. Metode pembiasaan: metode ini dilakukan dengan cara
melakukan secara terus menerus kegiatan-kegiatan yang
dapat membentuk karakter religius. Pembiasaan ini dilakukan
baik di dalam maupun di luar kelas. Guru PAI membiasakan
anak-anak tunadaksa untuk berdoa sebelum memulai
pembelajaran, belajar membaca al-Quran sesudah kegiatan
pembelajaran, menjaga kebersihan kelas, dan kegiatan
lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan karakter religius
anak. Guru PAI juga selalu mengingatkan anak tunadaksa
agar mereka terbiasa untuk melaksanakan kewajiban dalam
hal ibadah dan berakhlak yang baik.
106

Adapun faktor penghambat guru PAI dalam pendidikan karakter


religius anak tunadaksa di SMPLB D-D1 YPAC Jakarta berdasarkan
wawancara di atas, yaitu:

1) Faktor keterbatasan waktu, yaitu terbatasnya waktu pembelajaran


PAI yang hanya 2 jam pelajaran dalam seminggu sehingga dapat
dikatakan waktu tersebut tidak cukup untuk melakukan
pendidikan karakter religius siswa secara intensif.
2) Faktor lingkungan yang tidak mendukung sehingga muncul dalam
diri anak tunadaksa rasa minder, rendah diri, malu, dan tidak
berani. Hal ini menyebabkan anak tunadaksa menarik diri dan
tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya.
3) Faktor kondisi fisik mereka yang sulit untuk bergerak, mudah
lelah, dan sulit untuk menerima materi pembelajaran. Untuk anak-
anak tunadaksa cerebral palsy khususnya, selain mengalami
kesulitan dalam belajar dan perkembangan kognitifnya, mereka
juga sering mengalami kesulitan dalam komunikasi, persepsi, dan
mengontrol gerakannya.
4) Faktor sosial/emosional yang diakibatkan karena keterbatasan
kegiatan jasmani sehingga timbullah problem emosi, seperti
mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat
bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustasi. Problem emosi itu,
banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan
cerebral palsy. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak
memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosialnya.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan data yang dikumpulkan dan hasil analisis yang
dikemukakan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa anak
tunadaksa merupakan anak yang memiliki kebutuhan khusus karena anak
tunadaksa memiliki keterhambatan dalam motorik, persepsi, kognisi, dan
simbolisasi khususnya bagi anak tunadaksa yang mengalami kelainan
Cerebral Palsy (CP). Dalam hal ini guru PAI memiliki peranan yang
penting dalam mendidik karakter religius anak tunadaksa. Adapun terkait
peran guru PAI dalam pendidikan karakter religius anak tunadaksa di SLB
D-D1 Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta, yaitu:

1. Peran guru PAI dalam pendidikan karakter religius anak tunadaksa di


SLB D-D1 YPAC Jakarta, yaitu:
a. Pendidik, yaitu selain mengajarkan ilmu pengetahuan guru juga
diharpkan mampu menanamkan akhlak yang baik. Dalam rangka
mewujudkan pendidikan karakter religius anak tunadaksa, guru
menggunakan berbagai macam metode, di antaranya metode hiwar,
metode qashash, metode uswah, metode ceramah, metode
pendidikan dengan nasihat, dan metode pembiasaan.
b. Pengajar, yaitu guru menanamkan nilai-nilai karakter religius pada
siswa melalui Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang
dibuatnya. Materi, metode, dan media yang digunakan guru dalam
pelaksanaan pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan anak
tunadaksa dan tujuan yang akan dicapai.
c. Pembimbing, yaitu guru menempati posisi sebagai orang yang
bertanggung jawab dalam hal fisik, mental, emosional, kreatifitas,
moral, dan spiritual anak tunadaksa. Dalam hal ini guru
menggunakan beberapa cara seperti dengan memberikan nasihat

107
108

dan mengontrol perubahan anak tunadaksa setiap harinya. Guru


PAI juga melibatkan wali kelas dan orang tua dalam melakukan
pembimbingan karakter religius pada anak tunadaksa.
d. Model dan teladan, yaitu guru memberikan contoh secara langsung
kepada anak tunadaksa mengenai kegiatan-kegiatan yang dapat
menanamkan karakter religius. Guru memberikan kesempatan
kepada anak tunadaksa untuk mengidentifikasi kegiatan yang
dilakukan oleh guru agar kemudian anak tunadaksa dapat
menirunya.
e. Evaluator, yaitu guru menilai perubahan yang terjadi pada anak
tunadaksa terkait dengan karakter religius.
2. Faktor pendukung dan faktor penghambat guru dalam pendidikan
karakter religius anak tunadaksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta
Faktor pendukung dan penghambat guru PAI dalam pendidikan
karakter religius anak tunadaksa di SLB D-D1 YPAC Jakarta, yaitu:
a. Faktor Pendukung
1) Faktor keluarga
2) Faktor lingkungan sekolah
3) Faktor sarana dan prasarana
4) Faktor pendekatan guru kepada siswa dalam pendidikan
karakter religius siswa tunadaksa dengan menggunakan
beberapa metode, di antaranya:
- Metode hiwar atau percakapan
- Metode qashash atau cerita
- Metode uswah atau teladan
- Metode ceramah
- Metode pendidikan dengan nasihat
- Metode Pembiasaan
b. Faktor Penghambat
1) Faktor keterbatasan waktu
2) Faktor lingkungan yang tidak mendukung
109

3) Faktor kondisi fisik yang membuat mereka sulit untuk


bergerak, mudah lelah, dan sulit untuk menerima materi
pembelajaran.
4) Faktor sosial/emosional yaitu mereka memilki problem emosi,
seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang
dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustasi. Hal ini
menyebabkan mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan
tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang penulis uraikan di atas maka penulis
mengajukan saran yang sekiranya dapat menjadi pertimbangan dalam
membentuk karakter religius peserta didik di SLB D-D1 YPAC Jakarta
guna perkembangan selanjutnya ke arah yang lebih baik, yaitu:
1. Kepala sekolah selaku pimpinan hendaknya menjadi motivator dan
inovator dengan mengupayakan kualitas guru agama Islam dengan
mengadakan pelatihan atau penataran tentang pendidikan agama
Islam untuk anak-anak tunadaksa, serta memberi perhatian lebih
dengan menambah guru, khususnya guru pendidikan agama Islam.
2. Guru perlu adanya persiapan yang baik dalam pelaksanaan
pembelajaran serta diperlukan kedalaman dan keluasan pengetahuan
khususnya bagi anak tunadaksa, sehingga dapat memahami
karakteristiknya agar tujuan pembelajaran pendidikan agama Islam
dapat tercapai dengan baik.
3. Guru PAI perlu secara terus menerus memberikan motivasi kepada
peserta didik agar mereka terpacu untuk melaksanakan ibadah dan
selalu berakhlak yang baik.
4. Partisipasi aktif dari orang tua kepada anak tunadaksa sangat
diperlukan dalam membimbing pendidikan agama Islam pada anak
di rumah, sehingga pendidikan dalam keluarga dapat menunjang
keberhasilan pendidikan agama di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA

Agus Setiawan. Prinsip Pendidikan Karakter dalam Islam. Jurnal Dinamika ilmu.
Vol.14, 2014.
Agustyawati dan Solicha. Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.
Ahmad Suoadie, Didiek dan Sarjuni. Pengantar Studi Islam. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2012.
Alim, Muhammad. Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2006.
Anwar, Muhammad Jafar dan Muhammad A. Salam. Membumikan Pendidikan
Karakter. Jakarta: CV Suri Tatu’uw, 2015.
Aziz, Hamka Abdul. Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati. Jakarta: Al-Mawardi
Prima, 2012.
Dalmeri, Pendidikan untuk Pengembangan Karakter (Telaah terhadap Gagasan
Thomas Lickona dalam Educating for Character). Jurnal Al-Ulum, Vol.14,
2014.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Bulan Bintang, 2010.
Daud Ali, Muhammad. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005.
Eny Wahyu Suryanti dan Febi Dwi Widayanti, Penguatan Pendidikan Karakter
Berbasis Religius, Conference on Inovation and Application of Science and
Technology (CIASTECH 2018), Seminar Nasional Hasil Riset, 2018.
Fatma Laili Khoirun Nida, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence
Kohlberg dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Edukasia: Jurnal Penelitian
Pendidikan Islam, Vol. 8, 2013.
Gunawan, Heri. Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Gunawan, Heri. Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi. Bandung:
Alfabeta, 2012.
I. B. Putera Manuaba, Memahami Teori Konstruksi Sosial, Jurnal: Masyarakat
Kebudayaan dan Politik, Vol. 21, 2008.

110
111

Kamus Besar Bahasa Indonesia diakses dari www.kbbi.web.id


Karyana, Asep dan Sri Widati. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunadaksa:
Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dengan Hambatan Gerak. Jakarta:
Luxima, 2013.
Kurniawan, Syamsul. Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Implementasinya Secara
Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi, dan
Masyarakat. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.
Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU. Fiqh Penguatan Penyandang Disabilitas.
Jakarta: Lembaga Bahtsul Masail, 2018.
Lickona, Thomas. Character Matters: Persoalan Karakter Bagaimana Membantu
Anak Mengembangkan Penilaian yang Baik, Integritas, dan Kebajikan
Penting Lainnya, terjemah dari Character Matters: How to Help Our
Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essensial Virtues.
Jakarta: PTBumi Aksara, 2012.
Lickona, Thomas. Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi
Pintar dan Baik, Diterjemahkan dari Educating for Character. Bandung:
Nusa Media, 2013.
Majid, Abdul. Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Majid, Abdul dan Dian Andayani. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta, 2010.
__________. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012.
Muhammad Arfan Mu’ammar. Hate Speech dan Bullying pada Anak Berkebutuhan
Khusus. Jurnal Pendidikan Islam. Vol.8, 2017.
Muhammad Amin, Maswardi. Pendidikan Karakter Anak Bangsa. Jakarta: Baduesa
Media Jakarta, 2011.
Naim, Ngainun. Character Building: Optimalisasi Peran Pendidikan dalam
Pengembangan Ilmu dan Pembentukan Karakter Bangsa. Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2012.
112

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. Jakarta: UI-press,
1985.
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2010.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: PT. Raja Gradindo,
2015.
Nuraida dan Rihlah Nur Aulia. Pendidikan Karakter untuk Guru. Ciputat: Islamic
Research Publishing, 2010.
Nurul Qomariyah dan Desi Nurwidawati. Perbedaan Resiliensi Pada Tuna Daksa
Ditinjau Dari Perbedaan Usia. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan. Vol.7,
2017.
Perpres No.87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, diakses dari
(https://www.jogloabang.com/pendidikan/perpres-no-87-tahun-2017-tentang-
penguatan-pendidikan-karakter), dipublikasikan pada 27 Februari 2018
Rusma. Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalitas Guru.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
Samani, Muchlas dan Hariyanto. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Sejarah YPAC, diakses dari http://ypac-nasional.org/sejarah-ypac/
Shalahudin, Anas dan Irwanto Alkrienciehie. Pendidikan Karakter: Pendidikan
Berbasis Agama dan Budaya Bangsa. Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Siswanto. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Religius. Jurnal Tadris. Vol. 8,
2013.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D). Bandung: Alfabeta, 2015.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2016.
Suharmini, Tin. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, 2007.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.
Sumarno. Peranan Guru Pendidikan Islam dalam Membangun Karakter Peserta
Didik. Jurnal Al Lubab Vo.1, 2016.
Sukring. Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013.
113

Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan. Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2013.


Thontowi, Ahmad. Hakekat Religiusitas, (http://www.sumsel.kemenag.go.id),
dipublikasikan pada 27 Juni 2011
Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 1997.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, (www.jdih.kemenkeu.go.id), dipublikasikan pada 30 Desember 2005
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(http://kelembagaan.ristekdikti.go.id), dipublikasikan pada 22 Februari 2019
Wawancara pribadi dengan bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., selaku guru PAI SLB D-D1
YPAC Jakarta pada tanggal 16 September 2019
Wawancara pribadi dengan bapak Heru Heriawan, M.Pd., selaku kepala sekolah
SLB D-D1 YPAC Jakarta pada tanggal 24 September 2019
Wawancara pribadi dengan Olivia, selaku siswa di SLB D-D1 YPAC Jakarta pada
tanggal 16 September 2019
Wiyani, Novan Ardy dan Barnawi. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016.
Yuli Surya Dewi dan Pambudi Handoyo, Pola Sosialisasi Pendidikan Karakter,
Header Halaman Gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal, Vol.1, 2012.
Zubaedi. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2012.
Lampiran 1

Kisi-Kisi Wawancara dan Observasi

a. Kisi-Kisi Wawancara

No. Indikator Responden


1. Peran guru sebagai pendidik Kepala sekolah, guru
2. Peran guru sebagai pengajar Kepala Sekolah, guru, siswa
3. Peran guru sebagai Kepala sekolah, guru, siswa
pembimbing
4. Peran guru sebagai model dan Kepala sekolah, guru, siswa
teladan
5. Peran guru sebagai evaluator Kepala sekolah, guru
6. Faktor pendukung guru dalam Guru
pembentukan karakter religius
anak tunadaksa
7. Faktor penghambat guru dalam Guru
pembentukan karakter religius
anak tunadaksa

b. Kisi-kisi Observasi

No Objek Pengamatan Indikator


1. Peran Guru 1.1 Guru sebagai pendidik
1.2 Guru sebagai pengajar
1.3 Guru sebagai pembimbing
1.4 Guru sebagai model dan teladan
1.5 Guru sebagai evaluator
2. Peserta didik 1.1 Perubahan tingkah laku

114
115

Lampiran 2
INSTRUMEN WAWANCARA
WAWANCARA DENGAN KEPALA SEKOLAH
SLB D-D1 YPAC JAKARTA

Nama :
Tanggal Wawancara :

Pertanyaan
1. Sejak Kapan bapak memimpin yayasan ini?
Jawab: ...........................................................................................................
2. Bagaimana sejarah perkembangan YPAC Jakarta ini?
Jawab: .................................................................................................................
3. Sarana dan prasarana apa saja yang dimiliki oleh sekolah untuk menunjang
proses pembelajaran?
Jawab: ................................................................................................................
4. Ada berapa jumlah guru di YPAC Jakarta ini?
Jawab: ................................................................................................................
5. Adakah ketentuan khusus untuk mengajar di YPAC Jakarta ini?
Jawab: .................................................................................................................
6. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang kondisi Anak Tunadaksa di sekolah
ini?
Jawab: ...............................................................................................
7. Terkait dengan pendidikan karakter religius anak tunadaksa, kebijakan apa saja
yang sudah diterapkan untuk pembentukan karakter religius siswa Anak
Tunadaksa di sekolah ini?
Jawab: ..................................................................................................................
8. Apakah menurut Bapak, guru PAI sudah menjalankan perannya sebagai
pendidik?
Jawab: ...........................................................................................................
116

9. Apakah menurut Bapak/Ibu guru PAI sudah menjalankan perannya sebagai


pengajar?
Jawab: .....................................................................................................
10. Apakah menurut Bapak/Ibu guru PAI sudah menjalankan perannya sebagai
pembimbing?
Jawab: .....................................................................................................
11. Apakah menurut Bapak/Ibu guru PAI sudah menjalankan perannya sebagai
model dan teladan?
Jawab: ..................................................................................................................
12. Apakah menurut Bapak/Ibu guru PAI sudah menjalankan perannya sebagai
evaluator?
Jawab: ..................................................................................................................
13. Menurut Bapak/Ibu apakah terjadi perubahan yang terlihat pada diri siswa
setelah diajarkan oleh guru PAI?
Jawab: .............................................................................................................
117

INSTRUMEN WAWANCARA
WAWANCARA DENGAN GURU PAI
SLB D-D1 YPAC JAKARTA

Nama :
Tanggal Wawancara :

Pertanyaan
1. Sudah Berapa lama Bapak mengajar PAI di SLB D-D1 YPAC Jakarta:
Jawab: ...................................................................................................................
2. Berapa jumlah siswa dalam satu kelas di SMP SLB D-D1 YPAC Jakarta ini?
Jawab: ...................................................................................................................
3. Terkait peran guru sebagai pendidik:
a. Apa yang bapak/ibu lakukan dalam mendidik siswa untuk meningkatkan
karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: .............................................................................................................
b. Siapa saja yang terlibat dalam mendidik siswa untuk meningkatkan
karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: .............................................................................................................
c. Pendekatan apa yang bapak/ibu gunakan dalam mendidik siswa untuk
meningkatkan karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: .............................................................................................................
d. Metode apa saja yang bapak/ibu gunakan dalam mendidik siswa dalam
meningkatkan karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: .............................................................................................................
4. Terkait peran guru sebagai pengajar:
a. Apa yang bapak/ibu ajarkan untuk meningkatkan karakter religius pada
anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: ............................................................................................................
118

b. Adakah materi khusus yang bapak/ibu ajarkan untuk meningkatkan


karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: ............................................................................................................
c. Adakah metode khusus yang bapak/ibu gunakan dalam mengajarkan siswa
untuk meningkatkan karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC
Jakarta?
Jawab: ............................................................................................................
d. Adakah media khusus yang bapak/ibu gunakan dalam mengajarkan siswa
untuk meningkatkan karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC
Jakarta?
Jawab: ............................................................................................................
e. Bagaimana cara bapak/ibu mengevaluasi tingkat kognitif anak tunadaksa?
Jawab: .....................................................................................................
5. Terkait peran guru sebagai pembimbing:
a. Bagaimana cara bapak/ibu dalam membimbing karakter religius pada anak
tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: ............................................................................................................
b. Adakah yang membantu membimbing siswa selain guru PAI dalam
meningkatkan karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: ............................................................................................................
6. Terkait peran guru sebagai model dan teladan:
a. Apa yang bapak lakukan untuk menjadi model dan teladan yang baik bagi
siswa dalam rangka meningkatkan karakter religius pada anak tunadaksa?
Jawab: ............................................................................................................
b. Apakah bapak mencarikan model dan teladan lain bagi siswa dalam
rangka meningkatkan karakter religius pada anak tunadaksa?
Jawab: ............................................................................................................
c. Apakah bapak melibatkan seluruh guru dan staf sekolah untuk menjadi
model dan teladan yang baik bagi siswa dalam rangka meningkatkan
karakter religius pada anak tunadaksa?
Jawab: ............................................................................................................
119

7. Terkait peran guru sebagai evaluator:


a. Bagaimana bapak menilai perubahan karakter pada anak tunadaksa yang
telah bapak ajarkan?
Jawab: ............................................................................................................
b. Apakah perubahan karakter yang terjadi menunjukkan ke arah positif atau
negatif?
Jawab: ............................................................................................................
c. Apakah perubahan karakter yang terjadi bersifat tetap atau tidak?
Jawab: ............................................................................................................
d. Jika tidak terjadi perubahan karakter, adakah kebijakan atau cara terbaru
yang bapak terapkan pada anak tunadaksa?
Jawab: ............................................................................................................
8. Faktor apa saja yang mendukung guru PAI dalam membentuk karakter religius
pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: ...................................................................................................................
9. Faktor apa saja yang menghambat guru PAI dalam membentuk karakter
religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: ...................................................................................................................
120

INSTRUMEN WAWANCARA
WAWANCARA DENGAN SISWA
SLB D-D1 YPAC JAKARTA

Nama :
Tanggal Wawancara :

Pertanyaan
1. Apakah kamu menyukai pelajaran PAI? Alasannya?
Jawab: ..................................................................................................................
2. Sebelum pelajaran dimulai, kegiatan apa yang kalian lakukan?
Jawab: ..................................................................................................................
3. Materi apa saja yang pernah diberikan oleh guru PAI?
Jawab: ..................................................................................................................
4. Metode pembelajaran apa saja yang biasanya digunakan oleh guru PAI?
Jawab: ..................................................................................................................
5. Sikap apa yang dapat diteladani dari guru PAI?
Jawab: ..................................................................................................................
6. Apakah kamu pernah diberikan nasihat oleh guru PAI? Alasannya?
Jawab: ..................................................................................................................
7. Apakah kamu menerapkan nilai-nilai keislaman ketika dalam kehidupan
sehari-hari?
Jawab: ..................................................................................................................
121

Lampiran 3

Lembar Observasi

Aspek Pelaksanaan
No. Keterangan
Pengamatan B CB TB
1. Peran guru
sebagai pendidik
2. Peran guru
sebagai pengajar
3. Peran guru
sebagai
pembimbing
4. Peran guru
sebagai model
dan teladan
5. Peran guru
sebagai evaluator
6. Perubahan tingkah laku pada peserta didik:
a. sikap religius
peserta didik
b. kemandirian
peserta didik

Keterangan: B = Baik
CB = Cukup Baik
TB = Tidak Baik
122

Lampiran 4

HASIL WAWANCARA
WAWANCARA DENGAN KEPALA SEKOLAH
SLB D-D1 YPAC JAKARTA

Nama : Heru Haerudin, M.Pd


Tanggal Wawancara : 24 September 2019

Pertanyaan
1. Sejak Kapan bapak memimpin yayasan ini?
Jawab: Saya memimpin yayasan ini sejak tahun 2014 sampai sekarang.

2. Bagaimana sejarah perkembangan YPAC Jakarta ini?


Jawab: Zaman dulu itu pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus
seperti tunadaksa itu sangat jarang ya mbak. Selain itu dulu anak-anak yang
dikategorikan sebagai anak tunadaksa itu hanya anak-anak yang memiliki
kelainan secara fisik, mulai dari lemahnya fungsi otot, tulang dan persendian.
Akan tetapi kalau sekarang ini anak-anak yang sekolah di YPAC tidak hanya
anak yang memiliki kelainan fisik saja, mereka juga memiliki kelainan di
bagian saraf otaknya atau biasa disebut dengan Cerebral Palsy. Sehingga
dalam proses pembelajarannya mereka mengalami gangguan kognisi,
komunikasi, dan koordinasi.

3. Sarana dan prasarana apa saja yang dimiliki oleh sekolah untuk menunjang
proses pembelajaran?
Jawab: Untuk sarana dan prasarana di sekolah ini dapat dikatakan yang paling
lengkap dan memenuhi standar minimal untuk pendidikan khusus, mbak. Di
sini terdapat psikolog, terapis, klinik dan hal-hal lain yang menunjang untuk
proses pembelajaran anak.

4. Ada berapa jumlah guru PAI di YPAC Jakarta ini?


123

Jawab: Untuk guru PAI di YPAC ini hanya ada satu, mbak. Jadi untuk guru
PAI di SD, SMP, dan SMA diajarkan oleh satu guru.

5. Adakah ketentuan khusus untuk guru yang mengajar di YPAC Jakarta ini?
Jawab: Minimal mereka lulusan S1 Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang
memang mereka mengerti dan memahami betul tentang kebutuhan dan
kemampuan anak-anak luar biasa. Tetapi pada kenyataannya kan tidak bisa
seperti itu, mbak. Contohnya untuk mata pelajaran seperti PAI kita harus
menerima guru lulusan pendidikan agama, karena tidak mungkin kami
menerima lulusan PLB akan tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang agama.
Karena memang Pendidikan Luar Biasa itu kan dalam pembelajarannya
bersifat umum, sehingga kita membutuhkan guru-guru yang menguasai secara
khusus materi mata pelajaran tertentu. Ketentuan khusus lainnya, yaitu mereka
harus memiliki keterampilan tertentu, seperti tata boga, IT, bidang olahraga,
tata rias, dan lain sebagainya.

6. Bagaimana pendapat Bapak tentang kondisi Anak Tunadaksa di sekolah ini?


Jawab: Tunadaksa itu kan artinya anak yang mengalami cacat fisik saja,
mbak. Akan tetapi di sekolah kami ini anak-anak itu tidak hanya mengalami
cacat fisik saja, karena mereka itu kan memiliki gangguan seperti Cerebral
Palsy yang dimana syaraf bagian otak mereka pun terganggu. Sehingga kami
di sini harus berusaha lebih keras dalam memberikan pembelajaran bagi anak-
anak.

7. Terkait dengan pendidikan karakter religius anak tunadaksa, kebijakan apa saja
yang sudah diterapkan untuk pembentukan karakter religius siswa Anak
Tunadaksa di sekolah ini?
Jawab: Untuk kebijakan mengenai kegiatan-kegiatan keagamaan saya
memberi kebebasan kepada guru PAI. Selama kegiatan tersebut positif maka
saya akan mendukung. Seperti kegiatan mengaji setelah proses pembelajaran,
atau ketika bulan Ramadhan dilaksanakan kegiatan pesantren kilat. Itu kan atas
124

dasar inisiatif guru untuk melakukan kegiatan keagamaan dalam rangka


pendidikan karakter religius anak, yang jelas saya dan guru-guru lain akan
bantu dan dukung semaksimal mungkin.

8. Apakah menurut Bapak guru PAI sudah menjalankan perannya sebagai


pendidik?
Jawab: Setiap guru harus punya jiwa pendidik. Pendidik itu kan mencakup
secara keseluruhan, bukan hanya mengajar. Mereka harus bersikap bijak, adil,
memberikan contoh yang baik kepada anak dan sebagainya. Sejauh ini saya
lihat semua guru sudah menjalankan perannya sebagai pendidik, walaupun
memang tidak sempurna karena memang tidak ada manusia yang sempurna.

9. Apakah menurut Bapak guru PAI sudah menjalankan perannya sebagai


pengajar?
Jawab: Saya melihat bahwa guru PAI sudah menjalankan perannya sebagai
pengajar. Misalnya, saya pernah melihat beliau mengajarkan kepada anak-anak
tentang materi wudhu dan melatih anak-anak untuk mempraktikkan gerakan-
gerakan wudhu.

10. Apakah menurut Bapak guru PAI sudah menjalankan perannya sebagai
pembimbing?
Jawab: Sebagai seorang pendidik kita harus membimbing anak tentu ke arah
yang lebih baik. Misalnya, jika anak mengalami permasalahan-permasalahan
tertentu, guru harus bisa memberikan solusi dan memberikan arahan kepada
anak agar mereka dapat menyelesaikan permasalahannya. Sejauh ini
alhamdulillah tidak pernah ada permasalahan yang serius, mbak. Biasanya
hanya masalah kecil, seperti anak tidak mau sholat di rumah, nanti orang
tuanya akan lapor kepada guru agama. Kemudian nanti guru agama akan
memberikan nasihat kepada anak agar mau sholat.
125

11. Apakah menurut Bapak guru PAI sudah menjalankan perannya sebagai model
dan teladan?
Jawab: Jika indikator model dan teladan adalah sholat tepat waktu, saya lihat
beliau sholat tepat waktu. Akan tetapi kadang tuntutan seorang guru jika ada
kegiatan-kegiatan kan tidak bisa sholat tepat waktu. Tetapi selama ini saya
melihat guru agama ketika di sekolah sudah menjadi teladan yang baik bagi
anak-anak.

12. Apakah menurut Bapak guru PAI sudah menjalankan perannya sebagai
evaluator?
Jawab: Setiap guru jika ingin menilai sejauh mana perkembangan anak pasti
akan melakukan kegiatan evaluasi. Kalau penilaian kognitif anak misalnya
dilakukan ulangan harian, ujian tengah semester atau ujian akhir semester.
Penilaian afektif anak dapat dilihat dari perubahan tingkah laku anak, awalnya
suka mengamuk jadi lebih tenang dan mudah diajak komunikasi, awalnya
malu-malu jadi lebih berani, dan lain sebagainya. Penilaian psikomotorik bisa
dilihat dari sejauh mana anak mampu untuk melakukan sesuatu. Setiap guru
pasti punya indikator tertentu dalam melakukan evaluasi dan disini kami tidak
menuntut anak harus memiliki nilai yang tinggi, tetapi kami berusaha agar
anak memilki perubahan tingkah laku yang lebih baik dan dapat mandiri.

13. Menurut Bapak apakah terjadi perubahan yang terlihat pada diri siswa setelah
diajarkan oleh guru PAI?
Jawab: Kami tidak menilai perubahan itu hanya tentang anak yang bisa baca
tulis hitung. Apalagi untuk anak berkebutuhan khusus yang memang
kondisinya sudah seperti itu. Maka perubahan yang kita tuju itu adalah
perubahan perilaku pada diri anak, artinya diharapkan mereka itu memiliki
kemandirian, akhlak yang baik, dan dapat berguna di lingkungan masyarakat.
126

HASIL WAWANCARA
WAWANCARA DENGAN GURU PAI
SLB D-D1 YPAC JAKARTA

Nama : Bapak M. Mudlofir, S.Pd.I


Tanggal Wawancara : 16 September 2019

Pertanyaan
1. Sudah Berapa lama Bapak mengajar PAI di SLB D-D1 YPAC Jakarta:
Jawab: Saya mengajar di sini sejak tahun 2012, mbak

2. Berapa jumlah siswa dalam satu kelas di SMP SLB D-D1 YPAC Jakarta ini?
Jawab: Jumlah anak dalam satu kelas maksimal 6 siswa. Kelas VII ada 6
siswa, kelas VIII ada 6 siswa, kelas IX ada 5 siswa.

3. Terkait peran guru sebagai pendidik:


a. Apa yang bapak/ibu lakukan dalam mendidik siswa untuk meningkatkan
karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: Untuk karakter religius berarti yang berhubungan dengan
keagamaan ya. Pertama, biasanya sebelum memulai pembelajaran kita
ngaji dan membaca doa terlebih dahulu. Kedua, membiasakan akhlak
yang baik. Kalau sudah terbentuk akhlak yang baik, insya Allah anak
akan lebih mudah untuk diarahkannya, mbak.
b. Siapa saja yang terlibat dalam mendidik siswa untuk meningkatkan
karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: Semua berperan dalam mendidik karakter religius akan tetapi
yang paling berpengaruh siswa ketika di sekolah itu wali kelas, mbak.
Kalau wali kelasnya rajin untuk mengingatkan anak untuk disiplin
menjaga kebersihan, disiplin tepat waktu datang ke sekolah, rajin untuk
beribadah, anak-anaknya juga jadi rajin mbak. Kalau saya sebagai guru
agama kan ketemu anak-anak hanya satu kali dalam seminggu dalam
proses pembelajaran, jadi tidak terlalu berpengaruh besar.
127

c. Pendekatan apa yang bapak/ibu gunakan dalam mendidik siswa untuk


meningkatkan karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: Kalau di sini, pendekatan yang digunakan itu secara individu.
Tidak secara kelompok. Karena anak-anak seperti ini kan kadang ada
yang nggak masuk sekolah, entah karena sakit atau mereka ada jadwal
untuk melakukan terapi. Misalnya, si anak ga masuk ya saya tanyain ke
ibunya kenapa kemarin ga masuk sekolah. Kadang kalau ada masalah
misalnya si anak di rumah ga mau sholat, ibunya lapor ke saya sebagai
guru agama, ya nanti saya menasehati si anak secara personal ke anak
supaya mereka mau sholat.
d. Metode apa saja yang bapak/ibu gunakan dalam mendidik siswa dalam
meningkatkan karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: Ketika pembelajaran PAI di dalam kelas, saya biasanya
menggunakan metode ceramah, mbak. Di dalam kegiatan ceramah itu
saya sambil memberikan nasihat kepada anak-anak ketika mereka ada
permasalahan-permasalahan yang mereka alami. Ketika menjadi guru
kita juga harus memberikan contoh teladan yang baik bagi anak-anak.
Kadang saya juga menayangkan video cerita tentang hal-hal yang dapat
diteladani dari kisah para nabi. Kisah-kisah yang biasanya ditayangkan
itu kisah-kisah nabi dan rasul. Agar perubahan yang terjadi dalam diri
anak konsisten, saya selalu mengingatkan anak-anak untuk sholat,
mengai, dan patuh kepada orang tua. Untuk mengontrol anak, kadang
saya bertanya langsung kepada orang tua, apakah di rumah mereka mau
sholat atau engga, mau ngaji atau engga.

4. Terkait peran guru sebagai pengajar:


a. Apa yang bapak/ibu ajarkan untuk meningkatkan karakter religius pada
anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: Kalau untuk materi ajar itu saya ikutin aja dari buku paket yang
sudah ada, mba. Jadi saya hanya mengikuti materi yang sudah
disediakan.
128

b. Adakah materi khusus yang bapak/ibu ajarkan untuk meningkatkan


karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: Tidak ada, mbak. Materi anak berkebutuhan khusus dengan anak
normal pada umumnya sama aja. Perbedaannya itu hanya pada bagian
cara menyampaikan. Kalau anak berkebutuhan khusus seperti mereka ini
kan materinya harus dibuat secara ringkas supaya mereka mudah
mengerti. Ada anak yang bisa menulis dan cepat dalam memahami
pelajaran, tapi kan ada juga anak yang bahkan menulis masih belum bisa
dan lama dalam memahami pelajaran. Jadi kalau di sini itu kita harus
menyesuaikan kondisi dan kemampuan anak.
c. Adakah metode khusus yang bapak/ibu gunakan dalam mengajarkan
siswa untuk meningkatkan karakter religius pada anak tunadaksa di
YPAC Jakarta?
Jawab: Tidak ada metode khusus, mbak. Metode yang biasanya
digunakan paling metode ceramah, metode hapalan untuk surat-surat
pendek, doa sehari-hari, dan bacaan sholat, dan metode tanya jawab
tentang materi yang mereka belum paham.
d. Adakah media khusus yang bapak/ibu gunakan dalam mengajarkan siswa
untuk meningkatkan karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC
Jakarta?
Jawab: Sebenarnya tidak ada media khusus yang digunakan, mbak.
Akan tetapi kalau untuk materi-materi tertentu, seperti kisah tentang nabi
biasanya saya menggunakan media video supaya anak lebih tertarik
untuk mau belajar sejarah. Saya juga pernah menggunakan media puzzle
untuk mengajarkan tentang huruf hijaiyah, supaya anak lebih mudah
mengingat bentuk huruf-huruf hijaiyah. Kadang saya juga menggunakan
media gambar untuk materi wudhu supaya anak-anak tau gerakan dan
tata cara wudhunya.
e. Bagaimana cara bapak mengevaluasi anak tunadaksa?
Jawab: Untuk penilaian kognitif dan psikomotorik siswa, saya ambil dari
ulangan harian beberapa kali kemudian dijumlah dengan nilai ujian
129

tengah semester dan penilaian akhir semester. Penilaian ini juga


disesuaikan dengan kemampuan anak, mba. Jadi walaupun mereka ada di
dalam satu kelas, tapi indikator penilaiannya beda. Sedangkan untuk
pedoman secara tertulisnya saya nggak bikin, mba.

5. Terkait peran guru sebagai pembimbing:


a. Bagaimana cara bapak/ibu dalam membimbing karakter religius pada
anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: Dalam pembimbingan siswa, karena saya bukan dari jurusan
Pendidikan Luar Biasa (PLB) mba, jadi sebenarnya saya masih dalam
proses belajar memahami anak-anak luar biasa. Tetapi dalam hal-hal
akhlak dan keagamaan saya selalu berusaha untuk membimbing anak-
anak. Misalnya, ada anak yang memiliki masalah dengan orang tua atau
dengan orang-orang di sekitarnya, mereka biasanya cerita kepada saya
mba. Maka saya berusaha membimbing anak tersebut untuk
menyelesaikan masalah dengan cara memberikan nasihat. Kadang ada
juga mba orang tua yang menceritakan masalah anaknya kepada saya,
seperti tidak mau sholat dan mengaji. Kemudian saya coba untuk
memberikan nasihat kepada anak tersebut untuk mau sholat dan mengaji.
Alhamdulillah setelah diberikan bimbingan ada perubahan ke arah yang
lebih baik. Perubahan itu juga harus dikontrol setiap minggunya, mba.
b. Adakah yang membantu membimbing siswa selain guru PAI dalam
meningkatkan karakter religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: Dalam proses pembimbingan karakter religius diperlukan
keterlibatan dari seluruh pihak, terutama yang paling penting adalah guru
agama, wali kelas dan orang tua. Jadi tidak boleh hanya salah satu pihak
yang terlibat, semua harus terlibat dalam membantu membimbing siswa,
mbak.
130

6. Terkait peran guru sebagai model dan teladan:


a. Apa yang bapak lakukan untuk menjadi model dan teladan yang baik
bagi siswa dalam rangka meningkatkan karakter religius pada anak
tunadaksa?
Jawab: Jadi sebagai guru kita memberikan contoh langsung kepada
anak-anak, mba. Misalnya yang terkait dengan pendidikan karakter
religius itu sholat. Jadi kalau kita memberikan contoh teladan yang baik,
anak-anak juga akan lebih mudah untuk menirunya. Selain itu, kalau di
sini ada pendidikan untuk mencuci piring, menjaga kebersihan
lingkungan, mengikat tali sepatu, kancingin baju, dan lain-lain terkait
hal-hal sederhana yang juga melatih kemampuan kemandirian dan
motorik mereka.
b. Apakah bapak mencarikan model dan teladan lain bagi siswa dalam
rangka meningkatkan karakter religius pada anak tunadaksa?
Jawab: Contoh lain yang menjadi model dan teladan bagi anak biasanya
melalui kisah-kisah nabi yang ditayangkan melalui video, mba. Kalau
menggunakan video anak akan merasa lebih tertarik dibandingkan kalau
saya hanya menjelaskan saja. Nah, dari video tersebut anak akan lebih
mudah memahami hal-hal yang dapat diteladani dari kisah para nabi.
c. Apakah bapak melibatkan seluruh guru dan staf sekolah untuk menjadi
model dan teladan yang baik bagi siswa dalam rangka meningkatkan
karakter religius pada anak tunadaksa?
Jawab: Di sekolah ini kalau ada anak yang bermasalah pasti semua guru
tau, mbak. Jadi tingkat kepedulian antara guru dan murid itu sangat
tinggi. Sebelum mulai pelajaran biasanya ada pelaksanaan briefing semua
guru mata pelajaran, dan ketika disitu kita akan membahas mengenai
permasalahan-permasalahan yang terjadi pada siswa. Jadi yang
bertanggung jawab dalam memberikan model dan teladan yang baik itu
bukan hanya guru agama saja, akan tetapi semua guru dan staf sekolah
terlibat.
131

7. Terkait peran guru sebagai evaluator:


a. Bagaimana bapak menilai perubahan karakter pada anak tunadaksa yang
telah bapak ajarkan?
Jawab: Kalau untuk menilai perubahan anak di sekolah ya kita bisa lihat
secara langsung, mbak. Apakah di sekolah mereka mau untuk sholat,
mengaji, menjaga kebersihan lingkungan, membantu teman-temannya.
Kalau untuk mengetahui perubahan anak ketika di rumah, biasanya saya
menanyakan langsung ke orang tuanya atau orang tuanya yang akan
lapor ke saya.
b. Apakah perubahan karakter yang terjadi menunjukkan ke arah positif
atau negatif?
Jawab: Sejauh ini perubahan yang terjadi menunjukkan ke arah positif.
Ya yang awalnya susah disuruh sholat, mereka jadi mau sholat walaupun
masih bolong-bolong. Yang jarang-jarang sholat jadi lebih sering sholat.
c. Apakah perubahan karakter yang terjadi bersifat tetap atau tidak?
Jawab: Untuk usia ini kan bisa dibilang masih usia labil ya mbak. Jadi
kadang mereka rajin kadang mereka malas. Yang penting kita selalu
mengingatkan mereka untuk mau sholat, mau ngaji, mau belajar.
Tujuannya agar anak selalu ingat akan kewajiban mereka untuk
melaksanakan ibadah, dan selalu berakhlak baik.
d. Jika tidak terjadi perubahan karakter, adakah kebijakan atau cara terbaru
yang bapak terapkan pada anak tunadaksa ?
Jawab: Pendidikan karakter yang pertama itu kan dari orang tua dan
keluarga. Kalau di rumah si anak sudah terbiasa dengan sholat, mengaji,
mandiri, di sekolah anak biasanya lebih mudah untuk dinasehati,
diarahkan, dan dibimbing mbak. Tapi kalau ketika di rumah orang tuanya
bersikap cuek terhadap anaknya, ketika di sekolah anak juga lebih susah
untuk diaturnya. Ketika di sekolah anak pasti diarahkan kepada hal-hal
yang lebih baik, tapi kalau tidak ada perubahan yang terjadi pada diri
anak, maka yang terpenting saya selalu mengingatkan kepada anak-anak
agar mau rajin ibadah.
132

8. Faktor apa saja yang mendukung guru PAI dalam membentuk karakter
religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
Jawab: Faktor yang sangat mempengaruhi dalam pembentukan karakter itu
orang tua, mba. Karena pendidikan pertama bagi anak kan dari orang tuanya.
Kalau di rumah orang tua sudah membiasakan sholat, mengaji, disiplin,
mandiri, di sekolah anak lebih mudah diatur dan dibimbingnya. Selanjutnya,
faktor yang mempengaruhi itu lingkungan sekolah, terutama wali kelas dan
teman-temannya. Kalau wali kelas dan teman-temannya rajin untuk
mengingatkan dan mengajak untuk sholat, mengaji, menjaga kebersihan
kelas, maka anak akan lebih terkontrol dalam pembinaan karakter religiusnya.
Selain itu, kalau di sekolah ini sarana dan prasarananya sudah lengkap, mba.
Jadi mereka mudah untuk melaksanakan ibadah. Untuk anak-anak
berkebutuhan khusus seperti mereka kan jarang mba bergaul di lingkungan
rumah karena mungkin ada rasa malu, minder, atau kurang diterima di
lingkungan masyarakat, jadi lingkungan sekolah merupakan salah satu faktor
terpenting dalam pembentukan karakter religius.

9. Faktor apa saja yang menghambat guru PAI dalam membentuk karakter
religius pada anak tunadaksa di YPAC Jakarta
Jawab: Faktor penghambatnya pada awal masuk sekolah mereka merasa
rendah diri, minder, malu, tidak berani. Selain itu mereka itu kondisi fisiknya
tidak sama dengan anak normal lainnya. Mereka itu gampang capek, mbak.
Kalau mereka sudah merasa capek, mereka biasanya ga akan masuk sekolah.
Kadang ada juga anak yang masih harus melakukan terapi, jadi nggak bisa
ikut belajar. Kondisi kognitif mereka juga berbeda, mbak. Kadang satu materi
itu harus disampaikan 2 – 3 kali agar mereka mudah memahaminya. Jadi guru
juga harus memilki kesabaran yang ekstra dalam membimbing dan mendidik
anak-anak seperti mereka. Faktor lain yang menjadi penghambat bagi guru
PAI yaitu waktu yang sangat terbatas hanya 2 jam pelajaran setiap
minggunya.
133

HASIL WAWANCARA
WAWANCARA DENGAN SISWA
SLB D-D1 YPAC JAKARTA

Nama : Olivia
Tanggal Wawancara : 16 September

Pertanyaan
1. Apakah kamu menyukai pelajaran PAI? Alasannya?
Jawab: Iya, kak. Aku suka pelajaran PAI karena pak Mudlof ketika
menyampaikan materi itu santai, suka bercanda juga. Kadang kalau pas
belajar, aku juga suka cerita ke pak Mudlof tentang permasalahan yang aku
alami, dan alhamdulillah pak Mudlof mau memberikan solusi untuk masalah
yang aku alami itu.

2. Sebelum pelajaran dimulai, kegiatan apa yang kalian lakukan?


Jawab: Sebelum mulai pelajaran, biasanya kita berdoa dulu, kak. Membaca
surat al-Fatihah dan membaca doa sebelum belajar.

3. Materi apa saja yang pernah diberikan oleh guru PAI?


Jawab: Banyak kak, hehe. Materi yang pernah diberikan oleh pak Mudlof
itu, misalnya tentang nama-nama malaikat, wudhu, sholat, kisah-kisah nabi,
dan lain-lain.

4. Metode pembelajaran apa saja yang biasanya digunakan oleh guru PAI?
Jawab: Biasanya pak Mudlof itu ceramah kak kalau di kelas. Waktu itu pak
Mudlof juga pernah kasih video tentang kisah nabi Ibrahim. Terus kita
ditanya tentang hal-hal yang harus kita teladani. Kalau materi seperti surat-
surat pendek itu biasanya kita disuruh menghapal di rumah, kak. Nanti pas di
sekolah dites deh sama pak Mudlof .
134

5. Sikap apa yang dapat diteladani dari guru PAI?


Jawab: Pak Mudlof itu kalau sholat tepat waktu, kak. Terus pak Mudlof itu
selalu mengingatkan kita kalo kita melakukan kesalahan.

6. Apakah kamu pernah diberikan nasihat oleh guru PAI? Alasannya?


Jawab: Pernah, hehe. Biasanya pak Mudlof itu memberikan nasihat kalau
sama orang tua harus nurut, kalau di rumah harus sholat dan ngaji.

7. Apakah kamu menerapkan nilai-nilai keislaman ketika dalam kehidupan


sehari-hari?
Jawab: Alhamdulillah, kak hehe. Kalau di rumah aku sholat. Selain itu kita
juga diajarkan untuk bersikap mandiri, menjaga kebersihan diri dan
lingkungan, sayang terhadap sesama, saling tolong menolong.
Lampiran 5

Hasil Observasi

Aspek Pelaksanaan
No. Keterangan
Pengamatan B CB TB
1. Peran guru √ Dalam melaksanakan perannya
sebagai pendidik sebagai pendidik, guru
menggunakan metode-metode
tertentu untuk menunjang
pelaksanaan pendidikan, seperti
metode hiwar atau percakapan,
metode qishash atau cerita,
metode uswah atau keteladanan,
metode ceramah, metode
pendidikan dengan nasihat dan
metode pembiasaan.
2. Peran guru √ Guru membuat Rencana
sebagai pengajar Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP), guru menggunakan
metode dan media yang sesuai
dengan materi pembelajaran,
guru melakukan evaluasi akan
tetapi instrumen penilaian tidak
dimuat di dalam perencanaan
pembelajaran.
3. Peran guru √ Guru membimbing siswa dengan
sebagai baik, seperti ketika salah seorang
pembimbing siswa memiliki permasalahan di
rumah yang berdampak pada
sikap religius, kognitif dan
kemandirian siswa kemudian
guru memberikan bimbingan
seperti nasihat dan mengontrol
siswa untuk melihat perubahan
yang terjadi.
4. Peran guru √ Guru memberikan contoh secara
sebagai model langsung kepada peserta didik
dan teladan terkait kegiatan ibadah dan
akhlak sehingga peserta didik
dapat menganalisis dan meniru
guru dengan baik.
5. Peran guru √ Sebagai evaluator, guru tidak
sebagai evaluator menuntut kemampuan kognitif
anak, tetapi guru lebih
memfokuskan pada kemampuan
afektif anak, seperti anak
tunadaksa mampu memiliki
sikap mandiri, percaya diri,
peduli terhadap lingkungan,
mampu menjalankan
kewajibannya dalam beragama,
dan memilki akhlak yang baik.
6. Perubahan tingkah laku pada peserta didik:
c. sikap religius √ Setelah diberikan
peserta didik bimbingan oleh guru,
sikap religius siswa
berubah dengan baik.
Sebelum diberikan
bimbingan oleh guru,
siswa tidak mau
melaksanakan sholat.
Setelah diberikan
bimbingan oleh guru,
peserta didik mau untuk
melaksanakan sholat.
d. kemandirian √ Di SLB D-D1 YPAC
peserta didik Jakarta terdapat
pendidikan untuk
membentuk kemandirian
anak. Setelah diberikan
pengajaran oleh guru anak
mampu untuk melakukan
kegiatan-kegiatan
sederhana secara mandiri,
seperti mencuci piring,
melipat baju, mengikat tali
sepatu, dan berwudhu.

Keterangan: B = Baik
CB = Cukup Baik
TB = Tidak Baik
Lampiran 6

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Sekolah Menengah Pertama : SLB.D.D-I YPAC Jakarta

Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam

Kelas / Semester : VII / 1

Standar Kompetensi : Terbiasa membaca al-Quran dengan baik dan


benar

Kompetensi Dasar : 2.1 Menunjukkan perilaku suka menolong


sebagai implementasi pemahaman makna Q.S.
an-Nashr/110

Indikator : - Mengenal nama surat, arti nama surat jumlah


ayat dan tempat turunnya surat an-Nashr/110:
1-3.

- Melafalkan surat an-Nashr/110: 1-3 dengan


lancar
- Hafal surat an-Nashr/110: 1-3 dengan
lancar.
- Menunjukkan perilaku suka menolong
sebagai implementasi makna an-Nashr/110:
1-3.
Alokasi Waktu : 6 x 35 menit ( 3 x pertemuan )

Tujuan Pembelajaran : - Agar siswa gemar membaca Al Qur’an

- Agar siswa dapat melafalkan surat an-Nashr/110:


1-3 secara lancar.
- Agar siswa hafal surat an-Nashr/110: 1-3.
- Agar siswa suka tolong menolong antarsesama
sebagai bentuk implementasi Q.S. an-Nashr/110:
1-3
Materi Pembelajaran : Lafal surat an-Nashr/110: 1-3

Metode Pembelajaran : Ceramah, drill (Latihan), tanya jawab.

Langkah-langkah Pembelajaran

A. Pertemuan Pertama : ( 2 x 35 menit )


Kegiatan Awal : - Salam, Membaca do’a

- Membaca Al Qur’an surat pendek


Kegiatan Inti : - Melafalkan Al Qur’an surat an-Nashr/110: 1-3

- Melafalakan secara kelompok kemudian individu


tiap ayat
- Menirukan pembacaan surat Al Fatihah
Kegiatan Akhir : - Melafalkan kembali bersama-sama surat an-
Nashr/110: 1-3

- Membaca Do’a
- Salam

B. Pertemuan Kedua : ( 2 x 35 menit )


Kegiatan Awal : - Salam, Membaca do’a, membaca surat

pendek

- Apersepsi : Mengulang pelajaran yang lalu


- Melafalkan surat an-Nashr/110: 1-3
Kegiatan Inti : - Menghafalkan surat an-Nashr/110: 1-3

- Melafalakan secara kelompok kemudian individu


tiap ayat
- Penjelasan tentang surat an-Nashr/110: 1-3
- Mengamati hafalan surat an-Nashr/110: 1-3
- Mempraktekkan menghafal satu persatu
Kegiatan Akhir : - Menghafal kembali surat an-Nashr/110: 1-3
secara bersama
- Tanya jawab materi

- Berdoa akhir pelajaran

- Salam

C. Pertemuan ke tiga : ( 2 x 35 menit )


Kegiatan : - Salam, berdoa, membaca surat pilihan

- Apersepsi: Menanyakan kemampuan siswa


- Meneliti kembali kemampuan siswa dalam
bacaan surat an-Nashr/110: 1-3
- Memandu siswa mengerjakan aktifitas dan
kegiatan siswa
- Memberikan uji kompetensi
- Berdoa akhir pelajaran
- Salam

Mengetahui ………………………………..

Kep Sek SLBD.DI YPAC Guru Agama Islam


Jakarta

Drs.Heru Haerudin,M.Pd
Muhammad Mudlofir
NIP.195512291982032005
Rahmi Fathiyas Syah, lahir di Depok, 07 April 1998.
Penulis tinggal di Provinsi Jawa Barat tepatnya di Kota
Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Kelurahan
Rangkapan Jaya Baru. Penulis merupakan anak keempat
dari empat bersaudara. Ayah bernama Moh. Syahri dan
Ibu bernama Asniyah. Penulis memulai pendidikan di
tingkat dasar tepatnya di MI. Sirojul Athfal YKS.
Setelah lulus dari sekolah tingkat dasar, penulis melanjutkan pendidikannya pada
tingkat menengah pertama di SMP Gelora dan menengah atas di SMA Negeri 9
Depok. Setelah lulus SMA penulis memutuskan untuk melanjutkan S1 di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Motto hidupnya adalah,
“Hidup adalah amanah. Maka jalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Karena
tanggung jawabmu bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat.”

Anda mungkin juga menyukai