Anda di halaman 1dari 2

Buku ini merupakan antologi karya Berthold Damshozer, seorang Indonesia

di Universitas Bonn. Yang membuatnya terpesona dalam menulis buku ini


dimulai dengan esai singkatnya tentang bahasa (bahasa) khas Indonesia yang
penuh dengan penyesalan yang aneh. Semuanya ditulis dalam bahasa Indonesia,
yang tidak hanya baik dan benar, tetapi juga hidup dan terkadang bahkan puitis.

Fokus perhatian Barthold Damshozer dalam buku ini berfokus pada tiga
kelompok besar: bahasa, sastra, dan budaya. Dalam konteks ini, ada dua hal yang
sangat jelas. Pada awalnya, ia terutama mempertimbangkan aspek masalah dari
tiga bongkahan besar. Saya jarang memikirkan atau membahas aspek masalah ini,
tapi tentu sangat menarik. Kedua, dia juga sedang memikirkan bagaimana dia bisa
menghadirkan aspek-aspek problematik dari ketiga klaster tersebut. Artinya,
apakah dia serius, deskriptif, kontroversial, ironis, dll ketika menghadirkan sisi
yang bermasalah.

Menurut Barthold Damshozer cara menyajikannya bisa semenarik yang


disajikan dan bisa lebih menarik lagi. Aspek problematik dari ketiga klaster yang
menarik perhatian Barthold tentu saja adalah ruang lingkup atau topik yang
dibicarakannya. Terkait bahasa , ia mencontohkan detail bahasa Indonesia,
termasuk bahasa Pancasila, yaitu bahasa Pancasila Shirara, yang secara semantik
ambigu, ambigu, dan bahkan lebih membingungkan. “Memahami bahasa
Indonesia membutuhkan hermeneutika, interpretasi, interpretasi, dan keterampilan
berpikir asosiatif.” (Halaman 20) Jika berbicara tentang sastra, khususnya, ia
sebagian besar adalah pencar-pencar puisi Indonesia terkini. Ia merindukan puisi
itu karena ia "menyalahkan" kecenderungan. Contoh (Jendela Puisi Jokpins) yang
terdapat dalam puisi Indonesia modern ini sangat banyak sehingga timbul
pertanyaan apakah sebagian besar puisi Indonesia saat ini benar-benar berbentuk
prosa dan memberikan kesan bahwa puisi itu adalah puisi cetak saja, akan terjadi.
Dalam buku ini dan itu indonesia pandangan jerman Berthold juga memaparkan
mengenai perkebangan sastra Indonesia dimata dunia. Di lain sisi, perkembagan
sastra di Indonesia bisa dibilang belum berkembang masih bisa dikatakan sedikit.
Kebanyakan sastrawan Indonesia masih belum memperkanalkan ataupun
memamerkan ciptaannya kepada masyarakat secara menyeluruh. Contoh apabila
karya sastra yang berupa puisi, cerpen dan novel masih ditulis dengan bahasa
lokal yaitu bahasa Indonesia. Apabila sastrawan Indonesia membuat suatu karya
kemudian diterjemahkan ke bahasa global, contohnya bahasa Jerman
kemungkingan karya yang dibuat oleh sastrawan Indonesia bisa lebih dilirik oleh
masyarakat dunia. (Hal. 139) Di sisi lain, mengenai budaya, Barthold
mengemukakan bahwa ateisme dapat ditoleransi dalam Pancasila, apalagi jika
Indonesia memiliki toleransi seperti toleransi beragama. Karena toleransi
beragama merupakan suatu sikap untuk selalu saling menerima maupun rasa
terbuka terhadap adanya umat atau golongan agama yang beragam. Toleransi
beragama, tidak peduli terhadap agama apa yang akan di anut oleh suatu golongan
melaikan dengan toleransi beragama membuat suatu golongan saling menghargai
antar sesama manusia. Adapun tujuan dari toleransi beragama untuk membuat
keadaan menjadi harmonisserta menjadikan kerjasama antara satu golongan
dengangolongan yang lain. Ia juga mencontohkan bahwa Indonesia hanya akan
dikenal di luar negeri melalui seni tradisional, seperti yang sering terjadi melalui
pertukaran budaya dan diplomasi. Sebagian besar esai Barthold dalam buku ini
menggunakan ironi yang tertanam dalam cerita fiktif atau fiksi. Itu gaya esainya
sendiri. Saat menulis esai tentang bahasa, ia menggunakan cerita fiksi yang
membahas berbagai masalah bahasa di mana ide dan emosi berbenturan antara
guru dan siswa. Dalam buku ini, Barthold memiliki beberapa bahan yang menarik
dan bermasalah untuk dipertimbangkan. Kita didorong untuk tidak terburu-buru
menuju perdamaian dalam kepastian ketidakpastian mendasar. Barthold juga
mengundang kita untuk menarik kesimpulan dan sikap kita sendiri.

Anda mungkin juga menyukai