Anda di halaman 1dari 9

MEMAHAMI PUISI MELALUI ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK

SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN


Oleh: Nyoto Harjono

1. Pendahuluan

Tidaklah mudah untuk menginterpretasikan karya sastra. Pemaknaan terhadap


karya sastra menuntut pemahaman terhadap sistem kode yang rumit, kompleks, dan
aneka ragam, lebih-lebih puisi (Teeuw, 1983: 12). Banyak orang suka membaca puisi,
tetapi tidak banyak yang mampu merebut maknanya. Demikian pun saya.
Berangkat dari keterbatasan ini, saya sengaja memilih puisi sebagai objek analisis
interpretasi dalam rangka memperdalam dan menambah wawasan apresiasi puisi-puisi
susastra Indonesia. Dengan harapan, hasil interpretasi ini akan diberi masukan dari
berbagai pihak sehingga dapat sedikit membuka mata saya dalam mengapresiasi puisi.
Sebagai pengampu bahasa Indonesia, saya akan malu terhadap siswa jika tidak mampu
memberi contoh dalam menafsir puisi.
Dalam kenyataan, banyak guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang jarang
menyentuh pembelajaran sastra. Alasan utamanya pasti bukan karena sastra tidak
penting. Bukanlah sastra tidak diminati siswa. Bukanlah sastra bukan bagian dari
Kurikulum. Bila jujur, guru kurang mampu membuat interpretasi dan kurang referensi.
Bukankah pembelajaran sastra menuntut pemahaman terhadap system kode yang
rumit, kompleks, dan aneka ragam? Bagaimana guru akan berbicara tentang ”Tragedi
Winka & Sihka”, ”Cintaku Jauh di Pulau”, ”Burung-burung Manyar”, atau ”Saman”,
jika membaca pun tetap tidak memahami dengan baik, bahkan tidak pernah membaca
sama sekali? Sapardi, dkk. pernah mengadakan penelitian tentang pembelajaran sastra
di berbagai negara di dunia pada tahun 2003 (Kompas, Maret 2003), hasilnya untuk
siswa SMA Indonesia tidak pernah ditugasi membaca 1 novel pun dalam 1 tahun.
Sementara, Amerika, Jerman, Belanda menugasi siswa untuk membaca 30-an novel, di
Jepang sekitar 15 novel.
Dari sisi kepentingan guru inilah saya mencoba membuat interpretasi. Dengan
harapan, sebagai guru, saya akan mampu menjadi pembaca yang mandiri dalam

Nyoto Harjono 1
membuat penafsiran susastra sebegai materi pembelajaran. Karena selama ini, guru
pada umumnya hanya memanfaatka penafsiran-penafsiran yang telah ada. Ini tentu
sangat terbatas dan kurang memiliki ruang bebas untuk memilih materi pembelajaran.

2. Puisi sebagai Materi Pembelajaran

Puisi sebagai maeteri pembelajaran sangat praktis dan mudah didapat. Hal ini
tentu saja bila dibandingkan dengan materi susastra lainnya, seperti cerpen, novel, dan
drama. Puisi pada umumnya berbentuk teks yang pendek karena hanya terdiri atas satu
atau dua halaman saja. Selain itu, puisi juga lebih mudah didapat karena banyak dimuat
di berbagai media cetak.
Kita dapat menemukan puisi di Kompas, Suara Merdeka, Gadis, Hai, Bobo, dan
berbagai media cetak lainnya baik yang harian, mingguan, maupun bulanan. Media
cetak untuk umum, orang dewasa, remaja, maupun anak-anak juga memuatnya. Buku-
buku mata pelajaran Bahasa Indonesia dari SD sampai SMA lebih banyak memuat
puisi daripada cerpen, apalagi drama atau novel. Dua yang terakhir ini seandainya
dicantumkan dalam buku pembelajaran bahasa pasti berbentuk penggalan pendek saja.
Demikianlah, puisi sangat merakyat di kalangan pelajar dan masyarakat umum.
Yang menjadi pertanyaan adalah ”Mengapa puisi yang begitu memasyarakat ,
tetapi justru tidak banyak orang yang mampu menafsirkan maknanya?” Lalu apa yang
mereka peroleh setelah membaca puisi? Pertanyaan ini akan terjawab melalui uraian
tentang hakekat puisi sebagai karya sastra berikut ini.

3. Puisi sebagai Karya Sastra


Puisi sebagai salah satu jenis karya sastra memiliki susun bahasa yang relatif lebih
padat dibandingkan dengan prosa. Pemilihan kata atau diksi dalam puisi sangat ketat.
Kehadiran kata-kata dan ungkapan dalam puisi diperhitungkan dari berbagai segi,
antara lain; makna, kekuatan citraan, rima, dan jangkauan simboliknya. Oleh karena
itu, kata-kata dalam puisi tidak semata-mata berfungsi sebagai alat penyampai gagasan
atau pengungkap rasa, tetapi juga berfungsi sebagai bahan.

Nyoto Harjono 2
Sebagai bahan, kata-kata (bahasa) telah memiliki arti, telah memiliki sistem dan
konvensi sendiri. Bahasa yang telah memiliki arti dan sistem sendiri ini disebut sistem
semiotik tingkat pertama, sedangkan sastra yang memiliki sistem dan konvensi sendiri
dalam menggunakan bahasa disebut sistem semiotik tingkat kedua (Pradopo, 2007:
121). Dalam hal ini, arti kata ditentukan oleh konvensi sastra atau disesuaikan dengan
konvensi sastra. Dengan demikian, dalam sastra, arti bahasa ditingkatkan menjadi arti
sastra atau makna meskipun tidak lepas sama sekali dari arti bahasannya.
Terlebih dalam puisi, konvensi sastra itu sangat jelas memberi makna tambahan
(konotatif) kepada arti bahasannya. Puisi Sutardji yang berjudul ”Tragedi Winka &
Sihka” dapat dipakai sebagai contoh. Tipografi puisi Sutardji yang berkelok-kelok itu
dari konvensi sastra memiliki makna tersendiri. Permainan rima dalam puisi-puisi
mantranya juga merupakan contoh penciptaan makna berdasarkan konvensi sastra,
bukan konvensi linguistiknya. Dengan demikian, puisi dibangun atas dua sistem, yakni
sistem linguistik (semiotik tingkat pertama) dan sistem konvensi sastra (semiotik
tingkat kedua).
Teeuw (1983:15) menyatakan bahwa untuk memahami sebuah karya sastra (puisi)
pembaca harus menguasai berbagai sistem kode, baik kode bahasa, kode budaya,
maupun kode bersastra yang khas. Pertama-tama yang dilakukan oleh semua pembaca
karya sastra termasuk puisi pasti membaca bahasanya. Bila langkah pertama ini saja
tidak dapat dilakukan, pemahaman pun tidaklah mungkin dapat dilaksanakan.
Pemahaman pertama terhadap puisi haruslah dengan membaca bahasanya, meskipun
mungkin ada puisi yang tidak menggunakan bahasa verbal, tetap saja pembaca harus
membaca bahasa nonverbalnya terlebih dahulu. Setelah berhasil membaca konvensi
linguistiknya sebagai sistem semiotik tingkat pertama (pengertian menurut aspek
paradigmatis dan sintagmatisnya), pembaca baru dapat masuk ke tingkat pemahaman
pada sistem kode berikutnya (semiotik tingkat kedua) yang menyangkut sistem budaya
maupun kode bersastra yang khas.
Kode budaya dalam puisi dapat dipahami dengan ilustrasi demikian. Sewktu saya
menyapa teman perempuan dari Amerika dengan kalimat ”Wah Anda gemuk
sekarang!”. Spontan teman itu mukanya memerah dan nampak tidak senang. Dia pun
menjawab ”Yah, saya memang makan apa saja.” Ternyata, telah terjadi salah paham di

Nyoto Harjono 3
antara kami karena sama-sama tidak memahami sistem budaya yang berbeda. Di
Amerika, perempuan dikatakan ’gemuk’ identik denga karakter malas dan rakus.
Sedangkan untuk budaya Indonesia, ’gemuk’ identik dengan kemakmuran dan
ketenteraman. Ini sama saja bila saya teringat pada puisi Chairil yang berbunyi ”Beta
Pattirajawane/ Yang dijaga datu datu/ Cuma satu”. Sebagai orang Jawa, saya tidak
akan mengerti makna larik puisi itu tanpa mengerti ”Pattirajawane”, dan ”datu”. Saya
dapat melihat arti datu lewat kamus, tetapi bila tidak mengetahui latar belakang
(budaya) ”datu” di daerah asalnya dapat terjadi salah paham.
Saya bingung juga saat membaca puisi Sutardji yang berjudul ”Amuk”. Larik
puisi seperti ini ”papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu/tutukaliba dekodega
zamzam lagotokoco/zukuzangga zegezegezege/zukuzangga ...” siapa dapat mengerti?
Ternyata untuk dapat memahaminya diperlukan pengetahuan tentang kode khas sastra.
Saya tidak mungkin memahami larik tersebut melalui kosa kata (aspek paradigmatis)
maupun susunan kalimatnya (aspek sintagmatisnya). Mau tidak mau saya harus
memahami kode bersastra yang digunakan oleh Sutardji.
Berdasarkan uraian di atas, puisi dapat digambarkan sebagai bangunan (struktur)
yang bertingkat. Bangunan pertama berupa bahasa sebagai sistem linguistik, bangunan
kedua adalah kode budaya dan kesastraan sebagai sistem simbul, dan bangunan ketiga
adalah sistem makna. Yang perlu diingat, ketiganya merupakan kesatuan struktur yang
takterpisahkan dalam mendukung makna. Oleh sebab itu, tidaklah mudah untuk
memahami puisi. Dengan demikian, wajar jika banyak pembaca puisi, tetapi tidak
sampai pada taraf penafsiran.

4. Analisis Struktural dan Semiotik

Analisis semiotik tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural, demikian


sebaliknya (Pradopo, 2007:141). Untuk memahami makna sistem tanda (semiotik) yang
terjalin melalui struktur linguistik, diperlukan analisis struktural. Analisis struktural
adalah pemahaman makna tingkat dasar (analisis semiotik tingkat pertama), yakni
pemahaman berdasarkan konvensi bahasanya (heruistik). Analisis semiotik tingkat

Nyoto Harjono 4
kedua (hermeneutik) baru tepat dilakukan setelah melwati tahap analisis strukturalnya
karena struktur puisi dibangun melalui bahasa.
Analisis struktural berarti analisis terhadap struktur puisi sebagai teks yang
otonom. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan objektif (Abrams, 1977: 27)
Struktur puisi terdiri atas unsur luar (surface structure) dan unsur dalam (deep
structure). Unsur luar puisi berupa diksi, majas, pengimajian, kata konkrit, ritma, rima,
dan tipografi. Unsur dalam puisi meliputi tema, rasa, nada, dan pesan. Kedua unsur ini
sering disebut sebagai unsur intrinsik puisi. Kedua pembagian ini mengikuti dasar
pembagian menurut I.A. Richard yang mengistilahkan unsur dalam sebagai hakekat
puisi dan unsur luar sebagai metode puisi (Tarigan, 1985 : 9).
Analisis struktural identik dengan pemahaman puisi berdasarkan unsur intrinsik
puisi. Dalam praktik analisis, pembaca dapat menganalisis puisi dari pilihan kata,
majas, imajinasi, tema, nada, rasa, maupun pesannya. Semuanya ini dianalisis
berdasarkan bahasa yang menjadi bahan pembangunnya.
Setelah melakukan analisis struktural, langkah berikutnya adalah analisis secara
semiotik. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda (Pradopo, 2007:119). Tanda
memiliki dua aspek, yakni penanda (signifier) dan petanda (signifzed). Penanda adalah
bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda
adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda, yakni artinya. Misalnya, kata ’kursi’
merupakan penanda dari ’alat yang dipakai untuk duduk’ sebagai petandanya.
Tanda dibedakan atas tiga macam, yakni ikon, indeks, dan simbul. Ikon adalah
tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan
petandanya. Hubungan ini merupakan hubungan persamaan, misalnya gambar bunga
sebagai penanda yang menandai ’bunga’ sebagai artinya. Indeks adalah tanda yang
menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya.
Misalnya, asap merupakan indikasi adanya api. Selanjutnya, simbol adalah tanda yang
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petandanya.
Hubungan tersebut bersifat arbitrer. Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. Misalnya,
kata ”Nenek” adalah simbul yang artinya ditentukan oleh konvensi mansyarakat
pemakai bahasa.

Nyoto Harjono 5
5. Praktik Analisis Puisi
Berdasarkan prinsip struktural dan semiotik, saya mencoba menganalisis salah
satu puisi Rendra yang berjudul EPISODE. Puisi ini saya pilih karena berstruktur
sederhana, indah, mudah dipahami, komunikatif, belum pernah saya temukan hasil
analisis dari orang lain, dan cocok untuk pelajar SMP maupun SMA karena puisi ini
memuat tema cinta dengan kemasan yang santun dan sarat nilai. Berikut ini
analisisnya.

EPISODE

Kami duduk berdua


di bangku halaman rumahnya
Pohon jambu di halaman itu
berbuah dengan lebatnya
dan kami senang memandangnya.
Angin yang lewat
memainkan daun yang berguguran.
Tiba-tiba ia bertanya :
”Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?”
Aku hanya tertawa
Lalu ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku.
Sementara itu
aku bersihkan guguran bunga jambu
yang mengotori rambutnya.

(Rendra, Empat Kumpulan Saj


ak)

Puisi di atas berjudul EPISODE. Kata episode menurut KBBI (1988) berarti
(bagian) riwayat atau peristiwa (yang seakan-akan berdiri sendiri). Sesuai dengan
judulnya, puisi itu pun berisi peristiwa. Bila dicermati, ada tiga sub peristiwa yang
digambarkan dalam puisi itu.

Nyoto Harjono 6
Peristiwa I
Aku lirik sedang duduk berdua di bangku halaman rumah seseorang. Di halaman rumah
itu ada pohon jambu yang sedang berbuah lebat yang membuat mereka berdua senang
memandangnya. Tambahan pula, ada daun-daun yang berguguran diterpa angin
sehingga semakin menambah keindahan.

Peristiwa II
Dalam suasana yang indah dan menyenangkan itu, tiba-tiba salah satu kancing baju
Aku lirik lepas dan bajunya terbuka. Teman duduknya mengetahui hal itu lalu bertanya
kepada aku lirik tentang kancing bajunya yang lepas terbuka.

Peristiwa III
Aku lirik hanya tertawa. Sementara itu, ia (teman duduknya) menyematkan peniti untuk
menutup baju aku lirik yang terbuka. Tengah pasangannya membetulkan bajunya yang
terbuka, dibersihkanlah guguran bunga jambu yang mengotori rambut pasangannya itu.

Bila dicermati, ketiga peristiwa yang tergambarkan dalam puisi di atas saling terjalin
secara kausalitas. Peristiwa I mengakibatkan peristiwa II, dan peristiwa II
mengakibatkan peristiwa III.
Ketiga sub peristiwa di atas membangun satu peristiwa utuh yang
menggambarkan sepasang kekasih yang sedang berpacaran. Hal ini dapat ditafsirkan
dari setting yang menggambarkan suasana yang romantis. Duduk berdua di halaman
rumah, memandang buah-buah jambu yang lebat, merasakan desir angin yang lewat,
semuanya menunjukkan bangunan suasana romantis dan menyenangkan. Peristiwa
berpacaran ini diperkuat oleh peristiwa penyematan peniti dengan mesra ”lalu ia
sematkan dengan mesra”, sementara aku lirik membalasnya dengan membersihkan
guguran bunga jambu di rambutnya.
Melalui puisi Rendra itu, kita dapat membayangkan sebuah peristiwa kecil,
fragmen kecil atau sepenggal kecil dari perjalanan sepasang kekasih yang sedang

Nyoto Harjono 7
berpacaran. Saya akan menganalisis makna keseluruhan puisi di atas melalui peristiwa
demi peristiwa yang terjalin secara kausalitas tersebut.
Peristiwa I melukiskan sepasang kekasih yang sedang berpacaran. Suasana yang
romantis, tenang, sepi, dapat membuat seseorang lupa diri karena dimabuk asmara.
Suasana romantis, tenang, dan sepi ini tergambar dari keindahan buah jambu
(bayangkan bila merah-merah) yang lebat, keindahan daun yang melayang jatuh, tiupan
angin yang semilir. Seseorang yang dapat menikmati indahnya daun jatuh dan
merasakan semilirnya angin pasti sedang dalam keadaan santai, tenang, dan juga sepi.
Kondisi yang demikian ditambah suasana romantis inilah yang membuat seseorang
sering lupa diri.
Lupa diri artinya bangkit nafsu birahinya, sehingga sering terjadi hubungan seks
sebelum nikah. Ini dilambangkan dengan tepat melalui ”kancing baju yang lepas
terbuka” pada peristiwa II. Dalam kondisi diam, wajar, secara normal kancing baju
tidak mungkin terlepas. Putusnya kancing baju merupakan penanda lupa diri karena
bangkitnya nafsu birahi. Ini sering terjadi di pihak lelaki (aku lirik identik dengan
penyairnya, yakni Rendra). Bila pihak lelaki lupa diri, sang wanita tidak boleh larut
oleh nafsu juga. Ia wajib mengingatkan pasangannya denagan halus dan tanpa
menyinggung perasaan agar tidak membuat jengkel maupun marah. Teguran dalam
bentuk pertanyaan adalah cara yang tepat karena merupakan teguran secara tidak
langsung. ”Mengapa sebuah kancing bajumu lepas terbuka?” Oleh sebab itu, aku hanya
tertawa tidak menunjukkan ketersinggungan, kejengkelan, apalagi kemarahan.
Kesadaran akan keberadaannya masing-masing ditunjukkan melalui peristiwa III
saat mereka saling memperhatikan dengan menyematkan peniti yang dibalas elusan
mesra pada rambut kekasihnya sambil membersihkan guguran bunga jambu. Kedua
peristiwa itu melambangkan kesadaran akan keharusan untuk menjaga kehormatan dan
kesucian dalam berpacaran. Kancing baju yang lepas akan memalukan (menghilangkan
kehormatan). Demikian pun rambut yang kotor. Bagi wanita rambut melambangkan
mahkota, kehormatan, kesucian, oleh karena itu tidak boleh terkotori, tercemar. Sang
lelaki wajib mnjaga kehormatan dan kesucian kekasihnya. ”Lalu aku bersihkan kotoran
bunga jambu yang mengotori rambutnya.” Demikianlah hakekat berpacaran!

Nyoto Harjono 8
6. Simpulan
Pemahaman atas metode struktural dan semiotik dalam analisis puisi
memungkinkan guru untuk semakin leluasa dan mandiri dalam mencari puisi sebagai
materi pembelajaran. Guru tidak akan kekeringan materi dengan hanya mengajarkan
materi yang telah disediakan oleh buku-buku pelajaran. Pembelajaran pun akan
semakin dinamis dan menarik. Guru tidak perlu merasa berkecil hati dan takut untuk
mengajak siswa-siswanya dalam praktik apresiasi.

Daftar Pustaka

Abram, M.H..1977. The Mirror and The Lamp, Romantic Theory and Critical
Tradition. London: Oxford University Press.

Djojosuroto, Kinayati. 2005. Puisi, Pendekatan dan Pembelajaran. Bandung: Penerbit


Nuansa.

Luxemberg, Jan van dan Willem G. Weststeijn. Terj. Dick Hartoko. 1984. Pengantar
Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Effendi, S. 1982. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.

Moody, H.L.B. 1981. Literary Apreciation. Longman Group Limited.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A.. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

_________. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Nyoto Harjono 9

Anda mungkin juga menyukai