Anda di halaman 1dari 2

Daftar Isi

Ajaibnya Bahasa Indonesia, 23 Apr 2016

Ajaibnya Bahasa Indonesia


A. Windarto, Peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta. Kompas, 23 Apr
2016
Menarik bahwa di Indonesia penerjemahan terjadi dengan mudah, kata Jim Siegel
(antropologiman dari Universitas Cornell, Amerika Serikat), seakan-akan semua bahasa
dapat tampil dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya demikian pula, bahasa Indonesia
seakan-akan dapat ditangkap dengan tepat dalam semua bahasa. Pendapat tersebut
diperkuat oleh temuan yang mengungkap bahwa di sebuah toko buku besar di Jakarta,
hampir separuh atau malah lebih dari buku-buku yang diperjual-belikan adalah
terjemahan. Yang menjadi sumber dari buku-buku terjemahan itu adalah bahasa Inggris,
bahasa Jepang (dengan komik Manga), bahasa Arab, dan terakhir bahasa Perancis.
Dari kenyataan itu dapat dilihat betapa bahasa Indonesia telah menjadi semacam lingua franca
(=bahasa pengantar/bahasa pergaulan) yang memungkinkan beragam bahasa ibu–baik bahasa
asing maupun bahasa daerah–dibaca dan dipahami. Meski tak sepenuhnya mampu mewakili
keasliannya, lewat hasil terjemahan berbahasa Indonesia itu dapat diperoleh suatu pengetahuan
atau pengalaman yang sebelumnya tak dikenal. Itulah kebijakan berbahasa yang di tempat lain,
seperti di Aljazair, dapat menjadi persoalan hidup atau mati. Di sana orang dapat saling bunuh
hanya karena identitasnya, yang dibentuk oleh bahasa, dirasa dipermainkan.
Sejarah telah menunjukkan bagaimana bahasa Melayu pasar(an) pernah menjadi bahasa bersama
yang komunikatif dalam masyarakat Hindia Belanda yang plural. Bahasa Melayu itu mampu
menyediakan sebuah “panggung sandiwara” bagi masyarakat kolonial untuk bersaksi dan
mengakui kedaulatan serta keakraban dengan sesama yang lain. Salah seorang wartawan
ternama, yang punya nama samaran Tjamboek Berdoeri, dapat menjadi kawan sekaligus lawan
bagi sesamanya dengan berbahasa Melayu gaya Mas Marco atau Haji Misbach dalam 1910-an
dan 1920-an. Sebuah (gaya) bahasa yang, kata Benedict Anderson, terkesan enak-bebas dan
dekat dengan bahasa lisan. Dalam bahasa itu tak ada dinding antara fiksi dan raportasi. Itu
sebabnya tak sedikit pihak atau kalangan yang merasa terancam dengan tulisan para jagoan pers
itu sebab yang mereka tulis sesungguhnya suatu peristiwa yang biasa-biasa saja, hanya
dampaknya ibarat “mencuci kolor di halaman depan rumah sendiri” (Benedict Anderson, Kata
Pengantar dalam Tjamboek Berdoeri, Indonesia dalem Api dan Bara, Elkasa, 2004).
Bahasa Indonesia agaknya sempat mewarisi semangat seperti itu pula. Wajar bahwa dalam
berbahasa Indonesia tak ada masalah yang cukup beralasan menyatakan adanya salah kaprah,
bahkan salah komunikasi, dalam masyarakat. Justru ia membuat komunikasi jauh lebih mudah.
Maka, arti pentingnya bahasa yang mampu mengatasi bahasa-bahasa ibu itu adalah tak
menimbulkan rasa rikuh dan saling mencerminkan satu sama lain. Contohnya, seperti
dialami Siegel, jika di jalan (di Solo) ada orang asing yang disapa dengan teguran, “Hello,
Mister”, sesungguhnya tak ada risiko seandainya tak ada balasan terhadap tegur sapa itu. Paling-
paling mereka yang berupaya bertegur sapa itu berkomentar netral “Tidak bisa bahasa Jawa”.
Namun, jika dibalas dengan bahasa Jawa yang halus dan sopan, mereka pun akan mengatakan
orang asing itu dapat berbicara bahasa Indonesia dengan amat baik.
Itulah ajaibnya bahasa Indonesia. Selain bisa digunakan tanpa susah atau salah, bahasa itu dapat
juga menggantikan identitas yang amat ditentukan adanya bahasa ibu. Masuk akal jika di
Perancis, orang yang tidak menegur tetangganya dengan ujaran bonjour  akan dituduh melakukan
penghinaan tak terampuni. Tak heran banyak orang asing, Amerika khususnya, di Perancis yang
mengatakan betapa susah berbicara bahasa Perancis di Perancis. Apakah hal serupa terjadi pada
bahasa Indonesia ketika seseorang sedang berada di Madura, Flores, Nias, atau Papua?
Kemungkinan besar tidak, sebab dengan memakai perangkat bahasa yang berjarak seperti bahasa
Indonesia, tak ada lagi yang perlu dirisaukan. Bahasa tersebut, sebagaimana dicatat sejarawan
Rudolf MrÁzek, “seperti rasaloos, ‘tidak punya perasaan’, atau maloeloos, ‘tidak punya malu’”.
Sayangnya, ketika bahasa itu disatukan dalam Sumpah Pemuda pada 1928, tuturan trengginasnya
justru menjadi baku dan beku dalam kebijakan kolonial Belanda yang menempatkannya sebagai
“Melayu yang benar”, “Melayu Tinggi”, atau “Melayu Ophuijsen”. Syukurlah masih ada bahasa
Indonesia lain yang dipakai kalangan sastrawan muda, misalnya, untuk menggambarkan
kekuatan suatu peristiwa dari keadaan politik tempat kekerasan tumbuh.***

Anda mungkin juga menyukai