Anda di halaman 1dari 2

Daftar Isi

Bahasa dan Korupsi, 4 Jan 2014

Bahasa dan Korupsi


Andang Subaharianto, Pengajar pada FS Univ Jember. (KOMPAS, 4 Jan 2014)
Makin lihai saja orang menyembunyikan perbuatannya mencuri uang negara.
Bahasa pun tak luput dimanfaatkan demi tujuan itu. Simaklah jargon suap yang
muncul belakangan ini. Dari kasus Rudi Rubiandini, mantan kepala Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, muncul
tunjangan hari raya. Apa urusan kepala SKK Migas memberi tunjangan hari
raya kepada anggota Komisi VII DPR?
Sebelumnya marak dua macam apel versi Angelina Sondakh ketika menjadi anggota
DPR dari Fraksi Partai Demokrat: apel malang ‘uang rupiah’ dan apel washington
‘uang dollar AS’. Oh, ya, ada satu lagi, pelumas, yang dikira entah apa, ternyata
maksudnya ‘uang’.
Sandi-sandi kebahasaan itu dengan jelas menyembunyikan suap yang mereka lakukan.
Pola komunikasi yang cenderung implisit seperti itu dapat dengan mudah diperalat
untuk penyamaran atau penyembunyian korupsi.
Seperti kata Bourdieu, bahasa dapat menjadi sarana perwujudan kuasa simbolik .
Mereka yang merasa lebih punya kuasa akan menguasai ruang komunikasi. Mereka
dapat memproduksi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingan mereka. Mereka bisa
memproduksi kekerasan verbal melalui, misalnya, kata-kata yang merendahkan,
menghina, mengancam, atau menyudutkan. Melalui bahasa, realitas buruk juga bisa
disembunyikan lalu dicitrakan baik.
Kepentingan jahat dan niat busuk bisa dibungkus dengan bahasa yang santun dan
indah.
Sementara itu, pihak yang merasa lebih lemah harus tanggap terhadap simbol-simbol
kebahasaan dan kode-kode komunikasi lain yang dibuat pihak lebih punya kuasa.
Mereka harus pintar menafsirkan pesan tersembunyi baik di balik simbol verbal
maupun nonverbal. Pada masa Orde Baru para pejabat sering ribut menafsirkan
senyuman (Presiden) Soeharto.
Pemanfaatan bahasa untuk korupsi makin membahayakan ketika memasuki wilayah
kebijakan/peraturan. Dasar penyelenggaraan negara adalah kebijakan/peraturan. Sejak
Reformasi banyak bahasa kebijakan/peraturan yang berkesan lembut, merakyat, dan
bervisi keadilan sosial. Beragam kebijakan/peraturan diintroduksi dengan kata-kata
kunci populis seperti bantuan, penyesuaian, pemberdayaan, rehabilitasi, revitalisasi,
percepatan, penguatan, dan penyelamatan. Dengan kata-kata populis itu, rezim pasca-
Orde Baru seolah-olah telah bekerja untuk kepentingan rakyat atas nama keadilan
sosial.
Namun, kenyataannya, tak sedikit kebijakan/peraturan dengan kata-kata kunci yang
populis justru menjadi bancakan para penyelenggara negara. Sudah cukup banyak dari
kalangan ini masuk penjara gara-gara korupsi program bantuan sosial. Jangan pula
lupa pada kebijakan bantuan superheboh, bantuan likuiditas Bank Indonesia, yang
dibajak kalangan elite.
Kebijakan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah juga makan korban. Seorang
anggota DPR, Wa Ode Nurhayati, dan seorang pemimpin sebuah ormas, Fahd El
Fouz, divonis bersalah oleh pengadilan.
Potensi korupsi melalui siasat bahasa sangatlah besar.
Tidak ada kebijakan/peraturan yang berlangsung di luar bahasa. Tentu ini bukan
pekerjaan sembarangan yang bisa dilakukan awam. Menyusun bahasa
kebijakan/peraturan hanya bisa dilakukan para elite: kalangan eksekutif, legislatif,
yudikatif; kaum cerdik pandai; pemodal; dan golongan lain yang berkepentingan.
Mereka bisa bekerja sama untuk satu tujuan, rumusan bahasa kebijakan/peraturan,
yang memberi mereka peluang menggarong uang negara sekaligus menyembunyikan
kepentingan tersebut. Inilah korupsi yang sangat berbahaya, korupsi yang menyandera
negara.***

Anda mungkin juga menyukai