nn
SEMESTER: 1 (SATU)
1. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan jenis kelamin.
Kalau kita ingin menyatakan jenis kelamin, cukup diberikan kata keterangan penunjuk jenis
kelamin, misalnya:
– Untuk manusia dipergunakan kata laki-laki atau pria dan perempuan atau wanita.
– Untuk hewan dipergunakan kata jantan dan betina.
Dalam bahasa asing (misalnya bahasa Ingris, bahasa Arab, dan bahasa Sanskerta) untuk
menyatakan jenis kelamin digunakan dengan cara perubahan bentuk.
Contoh: Bahasa Inggris: lion – lioness, host – hostess, steward -stewardness.
Bahasa Arab : muslimin – muslimat, mukminin – mukminat, hadirin – hadirat
Bahasa Sanskerta : siswa – siswi, putera – puteri, dewa – dewi.
Dari ketiga bahasa tersebut yang diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah beberapa kata yang
berasal dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta; sedangkan perubahan bentuk dalam bahasa
Inggris tidak pernah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Penyerapan dari bahasa Arab dan
bahasa Sanskerta pun dilakukan secara leksikal, bukan sistem perubahannya. Dengan demikian,
dalam bahasa Arab, selain kata muslim, diserap juga kata muslimin dan muslimat; selain
mukmin, diserap juga kata mukminin dan mukminat; selain hadir (yang bermakna ‘datang’,
bukan ‘orang yang datang’), diserap juga kata hadirin dan hadirat. Dalam bahasa Sanskerta,
selain dewa, diserap juga dewi; selain siswa diserap juga siswi. Karena sistem perubahan bentuk
dari kedua bahasa tersebut tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia, maka tidaklah mungkin kita
menyatakan kuda betina dengan bentuk kudi atau kudarat; domba betina dengan bentuk kata
dombi atau dombarat. Untuk menyatakan jenis kelamin tersebut dalam bahasa Indonesia, cukup
dengan penambahan jantan atau betina, yaitu kuda jantan, kuda betina, domba jantan, domba
betina. Oleh karena itu, kaidah yang berlaku dalam bahasa Arab dan bahasa Sanskerta, dan juga
bahasa Inggris tidan bisa diterapkan ke dalam kaidah bahasa Indonesia. Kalau dipaksakan, tentu
struktur bahasa Indonesia akan rusak, yang berarti jati diri bahasa Indonesia akan terganggu.
KESIMPULAN :
Pada zaman Orde Baru, kita sebagai pengguna bahasa Indonesia begitu patuh dengan prinsip
’gunakan Indonesia dengan baik dan benar’. Benar dan baik di sini didasarkan pada ukuran
kebahasaan para penguasa pada waktu itu di mana mereka nyaris menjadi satu-satunya pihak
yang menguasai ranah publik kebahasaan. Gaya bahasa penguasa pada waktu itu harus dipahami
sebagai ukuran masyarakat umum untuk berbahasa sehingga orang yang berbeda, seperti
almarhum Yus Badudu, pengajar bahasa Indonesia di TVRI, harus meninggalkan pekerjaannya
karena dianggap tidak tahu bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akibat penguasaan ini,
kreativitas berbahasa masyarakat menjadi miskin, daya nalar dan imajinasi menjadi tumpul.
Dalam kurun waktu tiga puluh lima tahun berkuasanya Orde Baru, masyarakat dicekoki kosa
kata para pejabat yang bercerita tentang keberhasilan pembangunan yang serba verbalistik-
formalistik.
Beberapa tahun belakangan, sejalan dengan reformasi, bahasa sekarang betul-betul menjadi
ranah publik di mana tak seorang pun dan tak sekelompok pun bisa mengklaim cara berbahasa
mereka lebih baik dan lebih benar dari yang lain. Perkembangan ini jelas positif karena memang
bahasa adalah milik segenap lapisan masyarakat. Kenyataan ini merangsang setiap kelompok
masyarakat baik para jurnalis, aktivis, politisi, ahli hukum, ekonom, seniman, agamawan, atau
masyarakat biasa, untuk mengembangkan gaya bahasa mereka masing-masing. Perkembangan
yang paling menarik adalah munculnya sekelompok orang yang menginginkan bahasa Indonesia
dapat berfungsi lebih maksimal. Aspek fungsional di sini adalah bahwa bahasa tidak sekedar alat
untuk berkomunikasi, namun bagaimana tata bahasa yang ada namun tidak pernah digunakan
difungsikan secara maksimal untuk mendapatkan kata-kata baru yang lebih simpel namun efisien
dan efektif.
IMAM SHOFIYUDDIN
www.academia.edu/9360640/BAB_I_makalah_kaidah_dasar_bhs_indonesia
c. Kata keterangan
Saya berangkat tadi malam
Adik sedang belajar
Anak itu sangat rajin
3. Kaidah Dasar Bahasa Indonesia Tidak mengenal perubahan bentuk kata benda sebagai akibat
penjamanakan.
Untuk menyatakan jamak atau banyak, bahasa Indonesia menggunakan kata bilangan, baik
bilangan tertentu maupun tidak. Kata bilangan tertentu misalnya : dua, empat, seratus, seribu dan
sebagainya, sedangkan bilangan tidak tentu misalnya : sedikit, sejumlah, sekelompok, beberapa,
dan sebagainya.
Dengan demikian, yang ada dalam bahasa Indonesia ialah :
Sekelompok mahasiswa
Sejumlah peserta
Dua ekor kerbau
Seratus buah rumah
Dan bukan
Sekelompok mahasiswa-mahasiswa
Sejumlah peserta-peserta
Dua ekor kerbau-kerbau
1
Seratus buah rumah-rumah
Bentuk-bentuk diatas merupakan kerancuan di bidang reduplikasi yang diakibatkan oleh dua
bentuk yang masing-masing mempunyai makna jamak. Satu kata menganduung arti jamak dan
kata yang lain mengandung arti jamak lain pula akibat proses reduplikasi. Reduplikasi tersebut
banyak macamnya, salah satunya adalah yang mengandung makna “banyak yang tak tentu”
(Gorys Keraf 1984 : 121), yang biasanya merupakan reduplikasi penuh.
Berikut ini beberapa contoh kreancuan yang dimaksud :
Pemikiran frase banyak + bentuk ualng yang menyatakan banyak yang tak tentu.