Anda di halaman 1dari 13

TUGAS 3

DASAR DAN KAIDAH KEBANGSAAN BAHASA INDONESIA


DOSEN PENGAMPU: YERLINA SAKSI, S.Pd.,M.Pd

nn

NAMA: VIORA INJILICA DJUMOKO

SEMESTER: 1 (SATU)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKYAT

FAKULTAS SAINS TEKNOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS HEIN NAMOTEMO

TAHUN AJARAN 2023/2024


WENDISAJA https://wendisaja.wordpress.com/2014/02/18/kaidah-dasar-bahasa-indonesia/

DASAR DAN KAIDAH KEBANGSAAN BAHASA INDONESIA


A. Kaidah Bahasa
Ada beberapa hal yang perlu kita cermati. Pertama, tampaknya pengertian bahasa yang baik dan
benar itu belum dipahami oleh sebagian orang. Kedua, ada anggapan bahwa di mana dan kapan
saja berada, kita harus berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apakah memang
demikian?
Setiap suksesi kepemimpinan (era Soekarno dan era Soeharto) selalu diikuti oleh pergantian
idiom simbolis (akronim). Dalam memori masyarakat akronim lebih dikenal dan bertahan
daripada kepanjangannya; orang lebih ingat dan mengenal akronim Kopkamtib, Bakorstranas,
DPKSH, Ratih, tetapi tidak setiap orang ingat kepanjangannya. D. Jupriono: Akronim Birokrasi,
Militer, dan Masyarakat Sipil dalam KBBI
Komoditi sebagai penulisannya yang benar, yang standar atau baku. Sebaliknya penulisan
komoditas kita lupakan, kita tinggalkan karena salah, tidak bertaat asas pada kaidah EYD yang
wajib kita junjung tinggi dalam penegakan hukum dalam segala bidang kehidupan dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam acara yang serius, seperti tayangan berita, kata Remy, diperlukan bahasa Indonesia yang
tertib. “Kemudian dalam acara yang tergolong populer, menyangkut semua aspek
kemasyarakatan, kebudayaan dan kesenian seyogyanya tidak perlu ada pagar-pagar bahasa yang
membuat bahasa menjadi kering, tidak mengalir, tidak intuitif, tidak hidup, sejauh tentu saja itu
tidak merupakan bahasa yang kasar, tidak santun, dan tidak senonoh menurut kaidah moralitas
statistik,” katanya.
Kepatuhan setiap warga negara pada ketetapan yang digariskan oleh Pusat Bahasa seperti antara
lain pembakuan kosa kata, dapat dipandang sebagai partisipasi aktif yang positif dalam membina
terwujudnya bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Di pihak lain, pakar bahasa menyarankan pemakaian bahasa yang sesuai dengan kaidah, tetapi di
pihak lain masyarakat masih terbiasa berbahasa dengan mengabaikan kaidah bahasa Indonesia.
Namun, tidak berarti kesalahan itu kita biarkan berlarut-larut.
Akan tetapi, tampaknya dalam pemakaian bahasa Indonesia oleh masyarakat, baik bahasa formal
atau bahasa sehari-hari, lisan atau tulisan, selera “pasar” juga berlaku, terlepas dari baku atau
tidaknya.

B. Memaksimalkan Kaidah Bahasa


Pada zaman Orde Baru, kita sebagai pengguna bahasa Indonesia begitu patuh dengan prinsip
’gunakan Indonesia dengan baik dan benar’. Benar dan baik di sini didasarkan pada ukuran
kebahasaan para penguasa pada waktu itu di mana mereka nyaris menjadi satu-satunya pihak
yang menguasai ranah publik kebahasaan. Gaya bahasa penguasa pada waktu itu harus dipahami
sebagai ukuran masyarakat umum untuk berbahasa sehingga orang yang berbeda, seperti
almarhum Yus Badudu, pengajar bahasa Indonesia di TVRI, harus meninggalkan pekerjaannya
karena dianggap tidak tahu bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akibat penguasaan ini,
kreativitas berbahasa masyarakat menjadi miskin, daya nalar dan imajinasi menjadi tumpul.
Dalam kurun waktu tiga puluh lima tahun berkuasanya Orde Baru, masyarakat dicekoki kosa
kata para pejabat yang bercerita tentang keberhasilan pembangunan yang serba verbalistik-
formalistik.
Beberapa tahun belakangan, sejalan dengan reformasi, bahasa sekarang betul-betul menjadi
ranah publik di mana tak seorang pun dan tak sekelompok pun bisa mengklaim cara berbahasa
mereka lebih baik dan lebih benar dari yang lain. Perkembangan ini jelas positif karena memang
bahasa adalah milik segenap lapisan masyarakat. Kenyataan ini merangsang setiap kelompok
masyarakat baik para jurnalis, aktivis, politisi, ahli hukum, ekonom, seniman, agamawan, atau
masyarakat biasa, untuk mengembangkan gaya bahasa mereka masing-masing. Perkembangan
yang paling menarik adalah munculnya sekelompok orang yang menginginkan bahasa Indonesia
dapat berfungsi lebih maksimal. Aspek fungsional di sini adalah bahwa bahasa tidak sekedar alat
untuk berkomunikasi, namun bagaimana tata bahasa yang ada namun tidak pernah digunakan
difungsikan secara maksimal untuk mendapatkan kata-kata baru yang lebih simpel namun efisien
dan efektif.
Contoh yang sederhana saja adalah awalan ‘pe’. Sejak kecil kita tahu bahwa awalan pe yang
berada di depan kata kerja berarti pelaku atau orang yang melakukan. Pencuri artinya orang yang
mencuri, penulis artinya orang yang menulis, dan seterusnya. Namun awalan ini hanya
digunakan dengan kata-kata yang itu-itu saja, dan jarang digunakan dengan kata-kata lain yang
baru. Berapa banyak di antara kita yang menggunakan kata-kata: pesinetron, pebulutangkis,
pesepakbola, pebasket, pedangdut, pesepeda, pesepaturoda, pemobil, pemotor, pebecak, dan
banyak lagi kata-kata baru yang sebenarnya ada dalam struktur tata bahasa kita, namun karena
kita tidak kreatif, mereka nyaris tidak pernah meluncur. Pada umumnya kita menggunakan kata-
kata: pemain sinetron, pemain bulutangkis, pemain sepakbola, pemain basket, penyanyi dangdut,
pengendara sepeda, pemakai sepatu roda, pengendara mobil, pengendara motor, dan tukang
becak. Kelihatannya ini masalah sepele. Namun gejala ini merupakan cerminan dari daya
kreativitas yang rendah untuk membuat kata-kata yang sederhana namun efektif.

C. Berbahasa Yang Baik Dan Benar


Bangsa Indonesia beruntung memiliki bahasa Indonesia yang berkududukan sebagai bahasa
nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia digunakan sebagai
lambang idendtitas nasional, lambang kebanggaan nasional, alat pemersatu bangsa dan alat
komunikasi antarsuku bangsa. Sedangkan sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia digunakan
sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa administrasi negara, bahasa pengantar di lembaga
pendidikan dan sebagai alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya.
Keberhasilan bangsa Indonesia menjadikan bahasa Indonesia menjadikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional dan bahasa negara tak terlepas dari perjuangan pemuda generasi tahun
20-an melalui ikrar Sumpah Pemuda. Ikrar Sumpah Pemuda merupakan peristiwa penting sebab
melibatkan kepentingan kehidupan nasional dan generasi muda. Sumpah Pemuda juga
menyatakan kebulatan tekad sosial, budaya dan politik yamg menjiwai perjuangan generasi
Indonesia pada masa sekarang. Karena itu, Sumpah Pemuda merupakan tonggak sejarah yang
amat penting, baik pada masa itu dan lebih-lebih bagi pertumbuhan bangsa Indonesia di masa
sekarang dan mendatang.

D. Ciri-ciri umum Dan kaidah-kaidah pokok


Bahasa Indonesia mempunyai ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok tertentu yang
membedakannya dengan bahasa-bahasa lainnya di dunia ini, baik bahasa asing maupun bahasa
daerah. Dengan ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok ini pulalah dapat dibedakan mana
bahasa Indonesia dan mana bahasa asing ataupun bahasa daerah. Oleh karena itu, ciri-ciri umum
dan kaidah-kaidah pokok tersebut merupakan jati diri bahasa Indonesia. Ciri-ciri umum dan
kaidah-kaidah pokok yang dimaksud adalah antara lain sebagai berikut :

1. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan jenis kelamin.
Kalau kita ingin menyatakan jenis kelamin, cukup diberikan kata keterangan penunjuk jenis
kelamin, misalnya:
– Untuk manusia dipergunakan kata laki-laki atau pria dan perempuan atau wanita.
– Untuk hewan dipergunakan kata jantan dan betina.
Dalam bahasa asing (misalnya bahasa Ingris, bahasa Arab, dan bahasa Sanskerta) untuk
menyatakan jenis kelamin digunakan dengan cara perubahan bentuk.
Contoh: Bahasa Inggris: lion – lioness, host – hostess, steward -stewardness.
Bahasa Arab : muslimin – muslimat, mukminin – mukminat, hadirin – hadirat
Bahasa Sanskerta : siswa – siswi, putera – puteri, dewa – dewi.
Dari ketiga bahasa tersebut yang diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah beberapa kata yang
berasal dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta; sedangkan perubahan bentuk dalam bahasa
Inggris tidak pernah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Penyerapan dari bahasa Arab dan
bahasa Sanskerta pun dilakukan secara leksikal, bukan sistem perubahannya. Dengan demikian,
dalam bahasa Arab, selain kata muslim, diserap juga kata muslimin dan muslimat; selain
mukmin, diserap juga kata mukminin dan mukminat; selain hadir (yang bermakna ‘datang’,
bukan ‘orang yang datang’), diserap juga kata hadirin dan hadirat. Dalam bahasa Sanskerta,
selain dewa, diserap juga dewi; selain siswa diserap juga siswi. Karena sistem perubahan bentuk
dari kedua bahasa tersebut tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia, maka tidaklah mungkin kita
menyatakan kuda betina dengan bentuk kudi atau kudarat; domba betina dengan bentuk kata
dombi atau dombarat. Untuk menyatakan jenis kelamin tersebut dalam bahasa Indonesia, cukup
dengan penambahan jantan atau betina, yaitu kuda jantan, kuda betina, domba jantan, domba
betina. Oleh karena itu, kaidah yang berlaku dalam bahasa Arab dan bahasa Sanskerta, dan juga
bahasa Inggris tidan bisa diterapkan ke dalam kaidah bahasa Indonesia. Kalau dipaksakan, tentu
struktur bahasa Indonesia akan rusak, yang berarti jati diri bahasa Indonesia akan terganggu.
KESIMPULAN :
Pada zaman Orde Baru, kita sebagai pengguna bahasa Indonesia begitu patuh dengan prinsip
’gunakan Indonesia dengan baik dan benar’. Benar dan baik di sini didasarkan pada ukuran
kebahasaan para penguasa pada waktu itu di mana mereka nyaris menjadi satu-satunya pihak
yang menguasai ranah publik kebahasaan. Gaya bahasa penguasa pada waktu itu harus dipahami
sebagai ukuran masyarakat umum untuk berbahasa sehingga orang yang berbeda, seperti
almarhum Yus Badudu, pengajar bahasa Indonesia di TVRI, harus meninggalkan pekerjaannya
karena dianggap tidak tahu bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akibat penguasaan ini,
kreativitas berbahasa masyarakat menjadi miskin, daya nalar dan imajinasi menjadi tumpul.
Dalam kurun waktu tiga puluh lima tahun berkuasanya Orde Baru, masyarakat dicekoki kosa
kata para pejabat yang bercerita tentang keberhasilan pembangunan yang serba verbalistik-
formalistik.
Beberapa tahun belakangan, sejalan dengan reformasi, bahasa sekarang betul-betul menjadi
ranah publik di mana tak seorang pun dan tak sekelompok pun bisa mengklaim cara berbahasa
mereka lebih baik dan lebih benar dari yang lain. Perkembangan ini jelas positif karena memang
bahasa adalah milik segenap lapisan masyarakat. Kenyataan ini merangsang setiap kelompok
masyarakat baik para jurnalis, aktivis, politisi, ahli hukum, ekonom, seniman, agamawan, atau
masyarakat biasa, untuk mengembangkan gaya bahasa mereka masing-masing. Perkembangan
yang paling menarik adalah munculnya sekelompok orang yang menginginkan bahasa Indonesia
dapat berfungsi lebih maksimal. Aspek fungsional di sini adalah bahwa bahasa tidak sekedar alat
untuk berkomunikasi, namun bagaimana tata bahasa yang ada namun tidak pernah digunakan
difungsikan secara maksimal untuk mendapatkan kata-kata baru yang lebih simpel namun efisien
dan efektif.
IMAM SHOFIYUDDIN
www.academia.edu/9360640/BAB_I_makalah_kaidah_dasar_bhs_indonesia

A. Pengertian Kaidah Dasar Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia mempunyai beberapa kaidah dasar yang memberi ciri khas bahasa Indonesia.
Kaidah-kaidah dasar tersebut antara lain berkaitan dengan hukum Diterangkan – Menerangkan
(DM), perubahan kata benda akibat proses penjamakan, dan tingkatan pemakaian bahasa.
Hukum DM memberdakan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Frase “anak pandai” dalam
bahasa Indonesia akan diungkapkan dengan clever boy dalam bahasa Inggris, bukan boy clever.
Perubahan akibat proses penjamakan lazim ditemui dalam penggunaan bahasa Arab. Bahasa
Arab mengenal proses morfologis yang disebut sharf. Sharf merupakan pedoman untuk
membentuk kata dengan mengacu kepada perubahan-perubahan kata yang terjadi akibat
perubahan jumlah pelaku. Proses penjamakan dalam bahasa Arab dilakukan dengan mengubah
bentuk kata. Kata alim (orang pandai satu) berubah menjadi ulama (orang pandai banyak). Kata
kitab (buku satu) menjadi kutub (buku banyak). Kata muslim (satu orang Islam) menjadi
muslimin (orang Islam banyak).
Tingkatan pemakaian bahasa lazim ditemukan dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa
yang sangar memperhatikan tingkat pemakaian bahasa berdasarkan perbedaan status sosial.
bahasa yang digunakan untuk berbicara dengan orang tua atau pejabat berbeda dengan bahasa
yang digunakan untuk menyebut anak kecil atau orang kecil.
Contoh :

a. Bapak ngendika opo?


b. Le, matura marang Bapak!
c. Kula pun disanjangi Mas Hafidz bilih mangke wonten pertemuan.
Kata-kata ngendika, matur, dan sanjang memiliki arti yang sama, yaitu berbicara atau
memberitahu.
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang egaliter, praktis dan simpel. Bahasa Indonesia tidak
mengenal pemakaian bahasa berdasarkan tingkatan status sosial dan perubahan kata benda
berdasarkan jumlah benda. Bahasa Indonesia menekankan efisiensi kata dalam kalimat.
B. Kaidah Dasar Bahasa Indonesia mengenai kata yang penting disebutkan atau ditulis lebih dahulu,
sesudah itu baru keterangannya
Kata yang diterangkan berada di depan kata yang menerangkan. Dengan istilah lain, bahasa
Indoensia mengikuti hukum DM (Diterangkan-Menerangkan). Berdasarkan hukum tersebut,
susunan Borobudur Hotel, mini bus, ini hari, ini kali, ganteng aku dan sejenisnya, bukan susunan
yang benar. Susunan kata seperti itu, mendahulukan sesuatu yang menerangkan daripada yang
diterangkan, adalah susunan bahasa Indo-Jerman. Dalam susunan berbahasa Indonesia yang baik
dan benar, susunan seperti itu harus ditinggalkan. Dengan demikian kata-kata diatas harus kita
ubah menjadi Hotel Borobudur, bus mini, hari ini, kali ini, aku ganteng. Meskipun demikian,
seperti umumnya, kaidah bahasa tidak bersifat mutlak, dalam hal inipun susunan Diterangkan-
Menerangkan juga mempunyai kekecualian. Perkecualian hukum tersebut antara lain.
a. Kata depan, misalnya :
 Ia tinggal di Surabaya
 Ibu pergi ke Kantor
 Kakak datang dari Bogor
b. Kata bilangan
 Semua mahasiswa harus mengikuti penataran
 Ibu membeli dua ekor ayam
 Beberapa orang dosen mengikuti seminat di Jakarta

c. Kata keterangan
 Saya berangkat tadi malam
 Adik sedang belajar
 Anak itu sangat rajin

d. Kata kerja bantu


 Ia pasti datang kalau diundang
 Saya akan pergi sekarang
 Ia hendak makan, ambilkanlah!

e. kata majemuk yang mempunyai arti kiasan, misalnya :


 panjang tangan
 keras hati
 keras kepala
 tinggi hati
 tebal telinga
 ringan tangan

f. Kata majemuk dari bahasa asing


 Mahaguru
 Bumiputra
 Perdana mentari
 Binamarga
 Purbakala1[2]

3. Kaidah Dasar Bahasa Indonesia Tidak mengenal perubahan bentuk kata benda sebagai akibat
penjamanakan.
Untuk menyatakan jamak atau banyak, bahasa Indonesia menggunakan kata bilangan, baik
bilangan tertentu maupun tidak. Kata bilangan tertentu misalnya : dua, empat, seratus, seribu dan
sebagainya, sedangkan bilangan tidak tentu misalnya : sedikit, sejumlah, sekelompok, beberapa,
dan sebagainya.
Dengan demikian, yang ada dalam bahasa Indonesia ialah :
 Sekelompok mahasiswa
 Sejumlah peserta
 Dua ekor kerbau
 Seratus buah rumah
Dan bukan
 Sekelompok mahasiswa-mahasiswa
 Sejumlah peserta-peserta
 Dua ekor kerbau-kerbau

1
 Seratus buah rumah-rumah
Bentuk-bentuk diatas merupakan kerancuan di bidang reduplikasi yang diakibatkan oleh dua
bentuk yang masing-masing mempunyai makna jamak. Satu kata menganduung arti jamak dan
kata yang lain mengandung arti jamak lain pula akibat proses reduplikasi. Reduplikasi tersebut
banyak macamnya, salah satunya adalah yang mengandung makna “banyak yang tak tentu”
(Gorys Keraf 1984 : 121), yang biasanya merupakan reduplikasi penuh.
Berikut ini beberapa contoh kreancuan yang dimaksud :
Pemikiran frase banyak + bentuk ualng yang menyatakan banyak yang tak tentu.

a. Selama ini banyak hasil-hasil penelitian yang hanya disimpan saja.


b. Banyak anak-anak kecil bermain di jalan raya.
kata “banyak” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung makna “ tidak
sedikit” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 : 79). Itu berarti juga jamak (lebih dari
satu).
Sedang bantuk rekapitulasi hasil-hasil dan anak-anak mengandung makna ‘jamak yang tak
tentu’. Jadi, frase yang bergaris bawah pada kalimat I dan II tersebut mempunyai makna yang
berlebihan atau rancu. Kita dapat mengambil bentuk yang tepat seperti berikut :

1. a. Selama ini banyak hasil penelitian yang hanya dsimpan saja.


b. Selama ini hasil-hasil penelitian hanya disimpan saja.

2. a. Banyak anak kecil bermain di jalan raya.


b. Anak-anak kecil bermain di jalan raya.
Pemakaian frase sejumlah+bentuk ulang yang menyatakan jamak tak tentu.
3. dengan sebagian dari anugerah ini, saya bisa membantu sejumlah anak-anak itu.
Dalam KBBI kata “sejumlah” mengandung makna ‘banyaknya’ (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988 : 368) yang juga berarti menunjuk makna jamak atau lebih dari satu, sedang
bentuk ulang atau reduplikasi anak-anak juga mengandung makna jamak yang tak tentu. Jadi,
frase sejumlah merupakan bentuk yang rancu dan berlebihan.

4. Kaidah Dasar Bahasa Indonesia Tidak mengenal tingkatan dalam pemakaian.


Bahasa Indonesia adalah bahasa yang demokratis karena ia tidak mengenal tingkatan dalam
pemakaian dan tidak mengenal perubahan bentuk kata kerja sehubungan dengan orang yang
melakukan pekerjaan tersebut, berbeda dengan adat bahasa-bahasa daerah. Dalam bahasa
Jawa, ,isalnya, tingkatan bahasa itu ada. Hal tersebut dipahami benar oleh setiap pemakai bahasa
Jawa apabila ingin bahasanya dikatakan baik dan sopan. Bahasa Jawa mengenal kata-kata sopan
tersebut untuk lawan berbicaranya lebih tua atau lebih tinggi pangkat atau derajatnya. Sebagai
akibat pengaruh bahasa tersebut, banyak pemakai bahasa Indonesia dari suku Jawa menyelipkan
atau memakai kata-kata terhormat dari bahasa Jawa kepada orang yang dianggap lebih tua atau
lebih tinggi keududukannya. Sering kita dengar atau kita baca kalimat-kalimat sebagai berikut :
a. Atas kerawuhan Bapak-bapak, saya menghaturkan terima kasih.
b. Sebelum kondur, Bapak-bapak diaturi dahar dahulu.
c. Krena sedang gerah, Bapak tidak bisa sowan.
d. Sebelum tindak, silahkan tapak asma dahulu.
Jelaslah bahwa kalimat-kalimat tersebut bukan kalimat bahasa Indonesia yang baik dan
benar. Kalimat bahasa Indonesia adalah kalimat yang memakai unsur membangun bahasa
Indonesia, baik pilihan kata maupun susunannya.
Agar kalimat-kalimat tersebut benar-benar merupakan kalimat bahasa Indonesia, sebaiknya
diubah menjadi :

a. Atas kedatangan Bapak-bapak, saya ucapkan terima kasih.


b. Sebelum pulang, Bapak-bapak dipersilahkan makan dahulu.
c. Karena sedang sakit, Bapak tidak dapat datang.
d. Sebelum pergi, silahkan tanda tangan dahulu.
KESIMPULAN:
Dalam pembelajaran kaidah dasar bahasa Indonesia, dapat mendatangkan aspek fungsional.
Dimana Aspek fungsional adalah bahwa bahasa tidak sekedar alat untuk berkomunikasi, namun
bagaimana tata bahasa yang baik dan benar namun juga efisien dan efektif.
Dawin Channel https://www.academia.edu/42249574/BAHASA_INDONESIA_KAIDAH?sm=b

A. Kaidah Bahasa Indonesia


Kaidah bahasa, dalam hal ini kaidah bahasa Indonesia akan sangat pentingdalam penerapannya
pada penulisan ilmiah. Kaidah bahasa harus sesuai denganPanduan Umum Ejaaan Bahasa
Indonesia atau disebut sebagai PUEBI. Ada beberapa hal yang perlu kita cermati. Pertama,
tampaknya pengertian bahasa yang baik dan benar itu belum dipahami oleh sebagian orang.
Kedua, ada anggapan bahwa di mana dan kapan saja berada, kita harus berbicara dengan
bahasaIndonesia yang baik dan benar.Pakar bahasa menyarankan pemakaian bahasa yang sesuai
dengan kaidah,tetapi di pihak lain masyarakat masih terbiasa berbahasa dengan
mengabaikankaidah bahasa Indonesia. Namun, tidak berarti kesalahan itu kita biarkan berlarut-
larut. Akan tetapi, tampaknya dalam pemakaian bahasa Indonesia olehmasyarakat, baik bahasa
formal atau bahasa sehari-hari, lisan atau tulisan, selera“pasar” juga berlaku, terlepas dari baku
atau tidaknya.

B. Kaidah Ejaan Dalam Bahasa Indonesia


Yang dimaksud dengan kaidah ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimanamelambangkan
bunyi ujaran dan bagaimana hubungan antara lambang-lambangitu (pemisahan dan
penggabungannya dalam suatu bahasa). Secara tekhnis, yangdimaksud dengan ejaan adalah
penulisan huruf, penulisan kata, dan pemakaiantanda baca.

Anda mungkin juga menyukai