Anda di halaman 1dari 7

TERDESAKNYA PERAN BAHASA INDONESIA DI RUANG PUBLIK

Penggunaan bahasa Indonesia secara nasional merupakan anugerah bagi bangsa Indonesia.
Bangsa ini tidak akan memiliki kesulitan dalam melakukan komunikasi dengan seluruh suku
bangsa yang ada di nusantara. Bahasa indonesia seolah-olah berperan sebagai alat perekat dan
pemersatu diantara rakyat Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan suatu simbol kebangsaan
yang menunjukkan identitas bangsa Indonesia.
Pasca tumbangnya Soeharto dari kursi presiden tahun 1998, terjadi perubahan yang luar biasa
terhadap bahasa Indonesia. Hal ini terlihat dari penggunaan bahasa daerah dan bahasa asing pada
ruang publik. Semasa pemerintahan Orde Baru di Indonesia seperti terdapat pembagian, yaitu
hanya bahasa Indonesia yang resmi digunakan untuk bahasa di ruang publik, sedangkan bahasa
asing hanya bahasa Inggris. Namun, sekarang di media massa, khususnya televisi, kita bisa
mendengar berita dalam bahasa Jawa, Sunda, juga bahasa Mandarin, padahal dulu pada masa
Orde Baru bahasa Mandarin tidak diperkenankan digunakan di ruang publik. Sementara untuk
bahasa daerah, pada masa Orde Baru penggunaan bahasa daerah terbatas pada wilayah "aman",
dalam arti tidak digunakan untuk bidang politik dan ideologi, melainkan hanya pada ranah
budaya, seperti untuk pertunjukkan kesenian daerah. Seiring dengan pertumbuhan otonomi
daerah, penggunaan bahasa daerah di ruang publik semakin meluas dan seolah-olah menjadi hal
yang wajar.
Kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai kegiatan seolah mulai surut.
Banyak kalangan mulai dari mahasiswa, artis, politisi, pegawai swasta maupun pejabat publik
lebih menyukai menggunakan bahasa asing. Menggunakan bahasa atau istilah-istilah asing terasa
lebih membanggakan dan terlihat intelektual daripada menggunakan bahasa Indonesia meskipun
susah dicerna orang lain.
Sejatinya fenomena berbahasa asing di pertemuan-pertemuan resmi, di media massa, dan di
tempat-tempat umum yang marak sekarang ini menunjukkan adanya perubahan perilaku
masyarakat kita dalam bertindak dan berbahasa. Memang kita tidak menolak perubahan selama
tidak mencederai falsafah hidup dan jati diri bangsa kita. Namun pada kenyataannya perilaku
berbahasa saat ini diikuti kecenderungan yang mengkhawatirkan dalam perilaku bertindak dan
identifikasi diri bangsa. Kecenderungan mengidentifikasikan diri pada budaya dan pola perilaku
asing yang belum tentu membawa kemajuan peradaban telah mengikis perlahan-lahan identitas
bangsa Indonesia dengan nilai-nilai budaya luhurnya.
Kecemasan itu semakin beralasan ketika semua itu menjadi kenyataan yang sebenarnya (realitas
aktual atau realitas objektif). Sebab realitas aktual sebuah masyarakat adalah realitas luar
(eksternal) yang padanya bahasa dan tanggapan (persepsi) kita merujuk. Ia adalah cerminan asli
(otentik) keadaan batin sebuah masyarakat; hasil dari hubungannya dengan nilai-nilai manusiawi
yang bersifat batiniah yang telah menjadi pola dasar, standar perbuatan yang harus dilakukan dan
telah menjadi keyakinan bersama.
Dengan sangat lugas realitas aktual tampil mewakili kondisi batin sebuah masyarakat; sebuah
kondisi yang menyangkut keyakinan akan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Oleh
sebab itu, kegemaran menggunakan bahasa asing yang begitu menjadi-jadi dan ketidakmampuan
bangsa Indonesia untuk menahan arus penyerbuan budaya, yang ditandai antara lain oleh
suramnya masa depan bahasa Indonesia, dapat dikatakan sebagai musibah budaya. Hal itu
sekaligus menggambarkan kondisi mental bangsa Indonesia yang merasa tidak memiliki identitas
dan kekayaan budaya yang berharga pada dirinya sehingga perlu mengadopsi milik bangsa lain
yang dianggap berharga. Bahkan bangsa ini merasa malu untuk menampilkan kekayaan
budayanya di hadapan bangsa-bangsa lain. Menganggap bahasa sendiri sebagai kampungan,
tidak menguntungkan, dan tidak memiliki nilai komersil. Hal demikian jelas menunjukkan
kondisi psikologis yang mencerminkan bangsa yang terserang krisis percaya diri dan rendah diri.

www.bahasakuonline.co.cc/.../terdesaknya-peran-bahasa-indonesia-di.html - Tembolok

Bahasa Asing di Ruang Publik Akan Dilarang


Jakarta - Para pelaku usaha siap-siap saja untuk mengganti nama merek dagangnya jika menggunakan
bahasa asing. Sebentar lagi, pemerintah akan melarang penggunaan bahasa asing di ruang publik. Baik
itu nama kompleks perumahan, iklan, nama gedung atau bangunan, petunjuk penggunaan barang,
merek dagang dan lain-lain.

Pelarangan ini tertuang dalam draf RUU Bahasa yang kini tengah dibahas oleh Balitbang Depdiknas.
Dalam waktu dekat, draf RUU ini akan didiskusikan antardepartemen dan ditargetkan segera dibawa ke
DPR dan disahkan tahun 2007 mendatang.

Dari draf yang diterima detikcom, Jumat (6/1/2006), RUU ini terdiri dari 10 bab dan 22 pasal.
Disebutkan, dalam RUU yang dibuat oleh Pusat Bahasa Depdiknas ini, pasal-pasal tentang penggunaan
bahasa. Termasuk sanksi hukuman penjara dan denda yang akan diterima pihak pengusaha atau
perusahaan jika tetap menggunakan bahasa asing untuk ruang publik.

Beberapa pasal yang menarik mengenai penggunaan bahasa mulai pasal 9. Dalam ayat 2 menyebutkan:
Pidato kenegaraan, termasuk naskah pidato, baik yang disampaikan di dalam negeri maupun di luar
negeri, harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Pasal 11 menyebutkan: Media massa, baik cetak maupun elektronik wajib menggunakan bahasa
Indonesia. Demikian juga film, sinetron, dan produk multimedia dari negara lain harus dialihbahasakan
ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sulih suara atau terjemahan.

Aturan yang menarik juga terdapat dalam pasal 12. Di pasal ini disebutkan: Merek dagang, iklan, nama
perusahaan, nama bangunan/gedung, dan petunjuk penggunaan barang harus menggunakan bahasa
Indonesia.

Nah, jika semua pasal di RUU ini lolos dan diundangkan, maka siap-siap saja para pengusaha untuk
segera mengubah berbagai produknya. Demikian juga penyajian film di televisi, wajib dialihbahasakan ke
dalam bahasa Indonesia. Jika melanggar, penjara atau denda. (jon)

source : http://www.detiknews.com/
Bahasa Indonesia pascakepemimpinan Presiden Soeharto mengalami perubahan yang luar biasa. Hal ini
terlihat dari pemakaian bahasa daerah dan bahasa asing non-Inggris pada ruang publik.

Prof. Dr. Mikihiro Moriyama, dosen bahasa Indonesia pada Nanzan University di Nagoya, Jepang,
mengemukakan pendapat tersebut dalam diskusi bertajuk "Bahasa Indonesia Pascasoeharto" yang
diselenggarakan Newseum Indonesia di Jakarta, Minggu (14/12) sore.

Menurut Prof. Moriyama, semasa pemerintahan Orde Baru di Indonesia seperti terdapat pembagian
yaitu hanya Bahasa Indonesia yang resmi digunakan untuk bahasa di ruang publik, sedangkan bahasa
asing hanya bahasa Inggris.

"Tapi sekarang di media massa khususnya televisi, kita bisa mendengar berita dalam bahasa Jawa, Sunda
juga bahasa Mandarin, padahal dulu semasa Orba bahasa Mandarin tidak diperkenankan digunakan di
ruang publik,"katanya.

Untuk bahasa daerah, pada masa Orba pemakaiannya terbatas pada wilayah "aman" dalam arti tidak
digunakan untuk pemakaian bahasa politik dan ideologi, melainkan hanya pada ranah budaya, seperti
untuk pertunjukkan kesenian daerah.

"Pergeseran munculnya bahasa daerah ke ruang publik secara lebih luas juga terjadi seiring dengan
pertumbuhan Otonomi Daerah," tegasnya.

Prof. Moriyama juga mengemukakan bahwa Bahasa Indonesia bukan saja mendapat tekanan dari
daerah dengan menguatnya pemakaian bahasa daerah belaka, tetapi juga menghadapi tekanan
globalisasi bahasa yang luar biasa khususnya dari Bahasa Inggris.

"Desakan bahasa Inggris ini bukan hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara lain sehingga
belakangan juga terjadi reaksi dari berbagai negara untuk ’melawan’ gejala tersebut," kata Moriyama
yang kemudian tergerak melakukan penelitian mengenai apa yang disebutnya sebagai "Imperialisme
Bahasa Inggris".

Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Newseum Indonesia itu tampil pula Taufik Rahzen dari
lembaga tersebut dan TD Asmadi, ketua Forum Bahasa Media Massa (FBMM).

Taufik Rahzen mengemukakan bahwa dalam perkembangan mendatang, bangsa Indonesia sebaiknya
lebih memperhatikan dan menampung pertumbuhan bahasa dari berbagai kelompok masyarakat,
ketimbang sibuk membahas kosa kata lama.

"Bahasa adalah sesuatu yang kita sendiri menciptakannya, tumbuh dari berbagai bidang, etnis dan
daerah, Pusat Bahasa seharusnya menampung munculnya kosa kata baru untuk memperkaya Bahasa
Indonesia,"tegasnya.
Sementara itu TD Asmadi antara lain memperhatikan pergeseran bahasa pascasoeharto yaitu dengan
dihapusnya sejumlah nama tempat dan ruang yang tadinya memakai bahasa Sansekerta menjadi bahasa
Indonesia. Selain itu juga kerancuan pemakaian bahasa Indonesia dan Inggris.

warungkopi.forumotion.net/t2095-bahasa-indonesia-pascasoeharto-terdesak-bahasa-lain - Tembolok

TALENTA PEMBELAJARAN UNTUK MEMPERBAIKI BAHASA INDONESIA DI


RUANG PUBLIK MENUJU KETAHANAN NASIONAL

Oleh : Soleh Amin (Guru Bahasa Indonesia SMA 3 Semarang)

Bahasa tidak hanya diajarkan secara turun temurun agar manusia dapat bertahan hidup, namun
lebih dalam dari itu, bahasa diajarkan agar generasi penerusnya mempunyai ciri, nilai-nilai dan
kebijakan sesuai dengan budaya masyarakat yang bersangkutan, sehingga mereka mempunyai
identitas jati diri yang jelas dan dapat berkomunikasi untuk menjadi satu warga. Bahasa adalah
refleksi dan identitas yang paling kokoh dari sebuah budaya. Bahasa menjadi alat pengikat yang
sangat kuat untuk mempertahankan eksistensi suatu budaya masyarakat. Pendidikan yang sukses
adalah pendidikan yang mampu mengantarkan anak menjadi: bertaqwa, berkepribadian matang,
berilmu mutakhir dan berprestasi juga mempunyai rasa kebangsaan serta berwawasan global.
Sedangkan proses pembelajaran menurut PP No. 19 Tahun 2005 terdefinisi sebagaip proses
pembelajaran diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terasa hidup, memotivasi, interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologisnya. Dalam proses pembelajaran, pendidik memberikan keteladanan

Pertanyaannya kemudian apa yang harus dimiliki terhadap tuntutan itu. Jawabannya adalah
sebagai berikut :

• Guru harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sesuai
dengan Standar Nasional Pendidikan.

• Kompetensi akademik adalah kompetensi keilmuan yang dibuktikan dengan ijazah atau
sertifikat keahlian yang relevan.

• Kompetensi sebagai agen pembelajaran meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi


kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial sesuai Standar Nasional Pendidikan.

Ada hal yang harus diperhatikan oleh guru di luar pembelajaran di kelas seperti kata Harimurti
Kridalaksana, bahwa undang-undang bahasa nantinya hanya mengatur penggunaan bahasa dalam
tingkat pemerintahan. Menurutnya, aturan bahasa di masyarakat tak akan berlaku efektif karena
masyarakat bisa mengatur sendiri penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

Kondisi ini memberi syarat bahwa, bahasa Indonesia di ruang publik akan kita nikmati apa
adanya, jika masyarakat tidak di beri pemahaman tentang begitu pentingnya mempertahankan
keutuhan bahasa Indonesia. Tiga jenis bahasa yang ada di Indonesia, yaitu bahasa Indonesia,
bahasa daerah dan bahasa asing saling memberi warna. Bahasa daerah mewarnai penggunaan
bahasa Indonesia dalam aspek budaya atau nilai rasa, sedangkan bahasa asing mewarnai
penggunaan bahasa Indonesia di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta di bidang
Ekonomi khususnya Perniagaan. Akan tetapi yang patut dipertegas lagi adalah bagaimana setiap
warna yang hadir itu tidak menenggelamkan eksistensi bahasa Indonesia.

Keprihatinan kita sebagai guru ketika melihat merek toko, kantor, dan hotel yang lebih
cenderung menggunakan bahasa asing, padahal padanannya sudah ada dalam bahasa Indonesia.
Istilah bahasa asing tetap dapat digunakan, namun, terjemahan Bahasa Indonesianya harus ditulis
dengan ukuran huruf yang lebih besar. Sedangkan istilah bahasa asing ditulis di bawahnya
dengan ukuran yang lebih kecil.

RUU Kebahasaan dan jika ada RAPERDA Kebahasaan harus memiliki ketegasan dalam
pemberian saksi terhadap pelanggaran penggunaan bahasa. Menurut Prof. Dr. Melani Budianta
dari segi pengawasan, pengaturan dan pemberian sanksi RUU Bahasa membangun suasana
represif. Sebaliknya, ketidakmampuan mengimplementasikan aturan akan membuat sia-sia. Jika
RUU Bahasa menjadi pilihan, orientasi sebaiknya pada pengembangan bahasa secara positif dan
proaktif (dari pada penekanan pada pemagaran). Pemberlakuan Undang-Undang Bahasa juga
perlu dibarengi pendidikan bahasa Indonesia yang lebih baik.

Dengan mengambil langkah strategik dalam penyelamatan bahasa, secara langsung kita juga
telah membantu meminimalisasi terjadinya pergeseran bahasa. Pergeseran yang disebabkan oleh
mulai ditinggalkannya bahasa oleh para anggota suatu masyarakat. Bukan tidak mungkin bahasa
Indonesia akan ditinggalkan penuturnya, jika tidak ada upaya penyelamatan. Bangsa ini adalah
bangsa yang cerdas, karena bangsa ini memiliki bahasa pemersatuan yaitu Bahasa Indonesia.

Masalah pemakaian bahasa di ruang public bias disikapi guru dengan mengangkat contoh-contoh
yang terjadi di sapnduk, toko, hotel dan sebaginya bahwa penggunaan istilah-istilah asing sudah
ada padanannya dalam bahasa Indonesia sehingga para siswa bias ikut memopulerkannya.

Sesungguhnya bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang akan menjadi salah satu pilar
ketahanan nasional kita. Bahasa Indonesia memang bukanlah faktor determinan bagi ketahanan
nasional Indonesia karena bahasa Indonesia hanyalah salah satu bagian dari gatra sosial budaya.
Sementara itu gatra sosial budaya itu sendiri hanyalah salah satu unsur atau gatra yang bersama-
sama dengan gatra-gatra lainnya saling hubungan dalam sebuah tatanan yang utuh, menyeluruh,
dan terpadu di dalam keseluruhan kehidupan nasional. Namun karena bahasa Indonesia menjadi
bahasa nasional yang mampu mempersatukan seluruh komponen bangsa dan menjadi bahasa
negara yang sangat penting untuk menyelenggarakan roda pemerintahan dan kegiatan lainnya,
maka bahasa Indonesia menjadi kunci bagi terbentuknya ketahanan nasional Indonesia yang
mantap. Hal ini berarti bahasa Indonesia memegang peranan penting sebagai alat penggerak atau
operator bagi terwujudnya ketahanan nasional Indonesia yang mantap.

Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang diikrarkan dalam Sumpah pemuda tanggal 28
Oktober 1928. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dapat juga disebut bahasa nasional
atau bahasa kebangsaan (Alwi, Hasan dan Dendy Sugono, 2003: 231). Penetapan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional pada 28 Oktober 1928 ini sangat menarik perhatian kita,
karena bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional lebih dahulu ada sebelum negara kita, yaitu
Negara Kesatuan Republik Indonesia ada. Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri baru
diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, 17 tahun sesudah Sumpah Pemuda 1928. Di dalam
kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang
kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai kelompok etnik
yang berbeda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antarbudaya
serta antardaerah (Alwi, Hasan dan Dendy Sugono, 2003: 233). Keempat fungsi bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional itu menunjukkan sangat pentingnya bahasa Indonesia sebagai
prasyarat keberlangsungan hidupnya bangsa Indonesia. Fungsi kedua menyadarkan kepada kita
bahwa keberadaan bangsa Indonesia ditandai oleh adanya bahasa Indonesia. Hal ini sejalan
dengan kenyataan bahwa wujud kongkrit ke-Indonesia-an kita adalah dalam bentuk bahasa
Indonesia. Sementara itu fungsi yang ketiga, yaitu sebagai alat pemersatu berbagai kelompok
etnik yang berbeda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, sangatlah penting pada saat ini
seiring dengan munculnya tuntutan dari beberapa daerah/kelompok etnik untuk memisahkan diri
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai contoh hingga saat ini masih kita dengan
adanya gerakan separatis di Aceh dan Papua yang masih terus menggalang kekuatan untuk
memisahkan diri dari negara Kesatuan Republik Indonesia. Kajian yang dilakukan oleh
LEMHANNAS (2008) terhadap gerakan separatis di Aceh menunjukkan adanya kekuatan baru
yang terus berjuang melalui jalur non-militer (terutama politik) untuk memisahkan diri dari
negara Kesatuan Republik Indonesia. Temuan ini harus menjadi kewaspadaan kita semua, karena
bangsa Indonesia telah mengikrarkan diri melalui Sumpah Pemuda 1928 dan kemerdekaan
Republik Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kita harus bersyukur karena bangsa Indonesia hingga saat ini telah dipersatukan oleh
bahasa Indonesia. Kita tidak dapat membayangkan apa jadinya kalau tidak ada bahasa Indonesia
sehingga berbagai etnik yang ada di Indonesia tidak dapat saling bertegur sapa atau
berkomunikasi karena berbeda bahasa. Memang dalam situasi seperti itu akan muncul bahasa
perantara agar berbagai kelompok etnik di Indonesia dapat saling berkomunikasi. Namun bahasa
perantara itu tidak dapat menyatukan mereka karena bersifat sementara dan cenderung akan
berganti-ganti sesuai kebutuhan dan hasil tawar-menawar berbagai etnik yang berkomunikasi..

Fungsi bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa telah berlangsung hingga saat ini.
Keberhasilan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa ditandai oleh kesedian seluruh
bangsa Indonesia berbahasa Indonesia terutama dalam berkomunikasi dengan warga bangsa yang
berbeda bahasa daerahnya. Kondisi ini harus terus diupayakan keberlangsungannya karena akan
menjadi indikasi keberhasilan kita mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
.Namun fungsi bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa Indonesia ke depan akan menghadapi
persoalan dengan kecenderungan semakin banyaknya orang Indonesia berbahasa asing,
khususnya Inggris, terutama di kota-kota besar dan di lingkungan tertentu, untuk mendukung
kegiatan-kegiatan tertentu dalam kehidupan mereka. Memang pada aspek tertentu
kecenderungan pemakaian bahasa asing akan mengantar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
modern melaui penyerapan nilai-nilai universal yang modern, terutama melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi dan nilai-nilai modern terutama kaitannya dengan demokrasi dan
HAM. Namun pada sisi yang lain kecenderungan ini akan mengendorkan semangat untuk
menggunakan bahasa Indonesia terutama dalam komunikasi dengan warga negara yang berbeda
bahasa daerahnya. Apabila penggunaan bahasa asing telah meluas dan dipakai dalam kehidupan
sehari-hari, maka bahasa asing itu akan menggeser kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa negara. Memang kecenderungan ini belum akan terjadi dalam beberapa
tahun mendatang mengingat heterogenitas bangsa Indonesia dalam hal pendidikan dan sosial
ekonominya sehingga belum memungkinkan bahasa asing dikuasai oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia. Namun jika kita tidak mengantisipasinya, maka kondisi seperti yang
terjadi di Singapura, Malaysia, atau Brunei Darusalam akan terjadi pula di Indonesia. Di
beberapa negara ASEAN itu bahasa Inggris telah menjadi ”bahasa nasional baru” yang siap
menggeser bahasa nasional mereka yang sebenarnya. Bahkan di Singapura bahasa Inggris telah
menjadi salah satu bahasa resmi mereka (Moeliono, Anton M, 1985: 46). Kita tidak menolak
penggunaan bahasa Inggris di Indonesia. Namun bahasa Inggris sebagai bahasa asing harus
ditempatkan sebagai bahasa yang berfungsi sebagai (1) alat perhubungan antarbangsa, dan (2)
sarana pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional, atau
(3) sumber pengembangan bahasa Indonesia terutama tata istilah keilmuan. Sesuai dengan butir
ketiga Sumpah Pemuda 1928 dan Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV Pasal 36 bahasa asing
tidak boleh menggeser kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau bahasa
nasional dan bahasa negara.

Kecenderungan lain yang harus mulai dipikirkan antisipasi dan solusinya adalah kebiasaan
sebagian masyarakat kita, khususnya cendekiawan/generasi muda, yang menggunakan campuran
bahasa Indonesia dan Inggris atau mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia dengan ucapan
bahasa Inggris. Memang kondisi ini belum dapat dikatakan sebagai gejala yang membahayakan
semangat persatuan bangsa. Pemakaian bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Inggris atau
pengucapan bahasa Indonesia dengan logat atau ucapan bahasa Inggris adalah gejala kebahasaan
yang lazim dalam masyarakat dwibahasa terutama dalam hubungan informal dan akrab. Namun
apabila kecenderungan itu berlanjut dan menjadi pola baru dalam berbahasa Indonesia, maka hal
itu akan mencerminkan kurangnya rasa tanggung jawab dalam berbahasa Indonesia. Padahal
tanggung jawab itu sangat penting karena siapa lagi kalau bukan kita yang harus menjaga agar
bahasa Indonesia tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai bahasa persatuan dan bahasa
Negara

solehamin.wordpress.com/tentang-kami/artikel-1/ - Tembolok

Anda mungkin juga menyukai