Anda di halaman 1dari 7

Herbisida Herbisida merupakan suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan untuk menghambat

pertumbuhan atau mematikan tumbuhan gulma. Herbisida ini dapat mempengaruhi satu atau lebih
proses-proses (seperti pada proses pembelahan sel, perkembangan jaringan, pembentukan klorofil,
fotosintesis, respirasi, metabolisme nitrogen, aktivitas enzim dan sebagainya) yang sangat diperlukan
tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Herbisida bersifat racun terhadap gulma
atau tumbuhan penganggu juga terhadap tanaman yang dibudidayakan (Sukman, 2002).

Menurut (Nasaruddin, 2009) cara pengelompokan herbisida yang kini banyak digunakan dalam budidaya
tanaman, yaitu sebagai berikut:

1. Klasifikasi herbisida berdasarkan pada perbedaan derajat respon tumbuhan terhadap herbisida
(selektivitas). Herbisida selektif merupakan herbisida yang bersifat lebih beracun untuk tumbuhan
tertentu daripada tumbuhan lainnya. Contoh herbisida selektif adalah 2, 4- D, ametrin, diuron,
oksifluorfen, klomazon, dan karfentrazon. Sedangkan herbisida nonselektif merupakan herbisida yang
beracun bagi semua spesies tumbuhan yang ada.

2. Klasifikasi herbisida berdasarkan pada waktu aplikasinya. Ada dua tipe herbisida berdasarkan
aplikasinya yaitu herbisida pratumbuh (Soil Application herbicide) dan herbisida pascatumbuh (Foliar
Applications herbicide).

a.Soil Application Herbisida yang diaplikasikan melalui tanah, baik dilakukan dengan cara penyemprotan
pada permukaan tanah maupun dicampur dengan tanah. Herbisida yang diaplikasikan melalui tanah
diarahkan untuk mengendalikan gulma sebelum gulma tersebut tumbuh. Contoh Herbisida ini yaitu
diuron, bromacil, oksadiazon, oksifluorfen, ametrin, butaklor dan metil metsulfuron

b.Foliar Applications Herbisida yang diaplikasikan melalui daun atau tajuk gulma. Herbisida yang
termasuk dalam kelompok ini adalah herbisida pasca tumbuh. Herbisida ini diaplikasikan pada saat
gulma sudah tumbuh. Contoh herbisida pasca tumbuh adalah glifosat, paraquat, glufusinat dan propanil.

3. Klasifikasi berdasarkan tipe translokasi herbisida dalam tumbuhan. Secara umum herbisida dapat
dibagi dalam dua golongan, yaitu herbisida kontak (tidak ditranslokasikan) dan sistemik
(ditranslokasikan).

a. Herbisida kontak adalah herbisida yang langsung mematikan jaringan – jaringan atau bagian gulma
yang terkena larutan herbisida, terutama bagian gulma yang bewarna hijau. Herbisida jenis ini bereaksi
sangat cepat dan efektif jika digunakan untuk memberantas gulma yang masih muda dan, bewarna
hijau,serta gulma yang memiliki sistem perakaran tidak meluas. Di dalam jaringan tumbuhan, bahan
aktif herbisida kontak hampir tidak ada yang ditranslokasikan. Jika ada, bahan tersebut ditranlokasikan
melalui floem. Karena hanya mematikan gulma yang terkena, pertumbuhan gulma kembali dapat terjadi
sangat cepat. Dengan demikian, rotasi pengendalian menjadi lebih sikat. Herbisida kontak memerlukan
dosis dan air pelarut yag lebih besar agar bahan aktifnya merata keseluruh permukaan gulma dan
diperoleh efek pengendalian yang lebih baik. Dengan demikian, prestasi kerja yang dihasilkan pada
penyemprotan lebih kecil dan keutuhan tenaga kerja lebih banyak. Pengunaan CDA sprayer (mikron
herbi ) atau sprayer sistem ULV lainnya tidak direkomendasikan karena larutan herbisida yang kental
akan dapat merata keseluruh permukaan gulma sasaran dan dapat menyebabkan iritasi kulit bagi
pekerja ( penyemprot ) Contoh jenis herbisida kontak: Gramoxone, Herbatop dan Paracol.
b. Herbisida sistemik yaitu herbisida yang dapat diserap dan ditranslokasikan ke seluruh bagian atau
jaringan guma, mulai dari daun sampi keperakaran atau sebaliknya. Reaksi kematian gulma terjadi
sangat lambat karena proses kerja bahan aktif herbisida sistemik tidak langsung mematikan jaringan
tanaman yang terkena, namun bekerja dengan cara menganggu proses fiologis jaringan tersebut. Efek
kematian terjadi hampir merata keseluruh bagian gulma, mulai dari bagian daun sampai perakaran.
Dengan demikian proses pertumbuhan kembali juga terjadi sangat lambat sehingga rotasi pengendalian
dapat lebih lama (panjang). Pengunaan herbisida sistemik secara keseluruhan dapat menghemat waktu,
tenaga kerja, dan biaya aplikasi. Herbisida sistemik dapat digunakan pada semua jenis semprot.
Termasuk sistem ULV (mikron herbi), karena penyebaran bahan aktif keseluruh gulma memerlukan
sedikit pelarut. Contoh herbisida sistemik adalah sebagai berikut: Ally 20 WDG, Banvel, Basmilang, DMA
6, Kleenup, Polaris, Rhodiamine, Roundup, Starane, Sunup, Tordon, Touchdown. Pada praktikum kali ini
hebisida sistemik menggunakan Roundop bahan aktif; Isapropilamina glifosat 486 g/l, Roundop 486 SL
dengan teknologi biorsorb. Perubahan yang terjadi pada pemakaian herbisida sistematik pada gulma
adalah pemakaian herbisida sistemik yang dapat mematikan gulma oleh karena itu ada pengurangan
jenis gulma yang agak berkurang.

Mekanisme Kerja Herbisida Herbisida

Sebagai salah satu langkah pengendalian gulma untuk kegiatan penyiangan, pembersihan lahan, tahap
pertama sebelum penanaman, sampai pembukaan hutan dan pencetakan sawah baru. Saat ini, bahan
aktif untuk herbisida cukup beragam di pasaran diantaranya yang kita kenal adalah: glifosat, paraquat, 2,
4-D, metil metsulfuron dan sulfosat. Efektifitas herbisida tersebut harus diuji apakah herbisida yang ada
mampu menghambat pertumbuhan gulma (Taiz L., 2002). Dengan demikan kita harus lebih selektif
dalam memilih herbisida dengan melihat bagaimana cara kerjanya. Sebagai suatu proses cara kerja
suatu herbisida yang menuju pada pelukaan atau kematian gulma. Idealnya, suatu herbisida harus
mampu memberantas tanaman pengganggu baik itu secara langsung maupun melalui mekanisme
tertentu. Sebagai contoh, herbisida tersebut mematikan tanaman dengan cara menghambat proses
protein, nekrosis maupun proses respirasi pada tanaman dan fotosintesis sehingga dengan adanya
hambatan tersebut perkembangan tanaman menjadi tidak normal yang pada akhirnya akan
menyebabkan kematian. Pada umumnya herbisida bekerja dengan mengganggu proses anabolisme
senyawa penting seperti pati, asam lemak atau asam amino melalui kompetisi dengan senyawa yang
"normal" dalam proses tersebut. Herbisida menjadi kompetitor karena memiliki struktur yang mirip dan
menjadi kosubstrat yang dikenali oleh enzim yang menjadi sasarannya.

Cara kerja lain adalah dengan mengganggu keseimbangan produksi bahan-bahan kimia yang diperlukan
tumbuhan. Beberapa jenis herbisida yang banyak digunakan di lahan pertanian menggunakan bahan
aktif 1, 1′-dimetil-4, 4′-bipiridin (paraquat) yang digolongkan sebagai herbisida golongan piridin yang
bersifat kontak tak selektif dan dipergunakan secara purna tumbuh. Bahan aktif pada herbisida
merupakan senyawa toksik yang keberadaannya dalam tanah (20 ppm) mampu menghambat
pertumbuhan bakteri Azotobacter dan Rhizobium yang berperan dalam fiksasi nitrogen. Selain itu bahan
aktif yang terkandung dalam herbisida juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri E coli dan alga di
dalam tanah. Bahan aktif pada herbisida merupakan bagian dari kelompok senyawa bioresisten yang
sulit terdegradasi secara biologis. Bahan aktif pada herbisida relatif stabil pada suhu, tekanan serta pH
yang normal, sehingga memungkinkan untuk tinggal lebih lama di dalam tanah. Bahan aktif ini juga
mudah larut dalam air sehingga memungkinkan untuk tercuci oleh air hujan atau air irigasi sehingga
dapat mencemari lingkungan atau system perairan. Senyawa yang dalam jumlah amat kecil dapat
membunuh gulma ditanami herbisida. Jumlahnya ¼ liter – 10 liter per hektar. Cara kerjanya bukan
secara oksidasi atau plasmolisa. Ia bekerjasama dengan enzim dan membelokkan arah metabolisme ke
arah yang salah atau menghentikannya. Contohnya:

1. Asam 2, 4-D adalah herbisida yang bersifat selektif (tidak berbahaya untuk tanaman utama) dan
sistemik. Herbisida ini dapat digunakan untuk mengendalikan gulma pra dan purna tumbuh baik yang
berdaun lebar maupun tekian di sawah pada penanaman tanaman kacang-kacangan, jagung, sorgum,
padi di daerah berumput, tebu, karet, kakao, kelapa sawit dan teh. Di Indonesia 2, 4-D terutama
ditujukan pada penanaman jagung dan kakao. Cara Kerjanya menirukan auxin (hormon pertumbuhan).
Setelah terserap pada tanaman, selanjutnya akan terakumulasi pada titik tumbuh akar dan menghambat
pertumbuhan. Pada jaringan tumbuhan akan menyebabkan produksi etilen meningkat dan
perkembangan dinding sel tumbuhan menjadi abnormal (batang ikal-over, daun layu, dan akhirnya
menyebabkan kematian tanaman). Adapun beberapa jenis gulma yang dapat dikendalikan dengan
herbisida 2,4-D atau 2,4-dikloro fenoksi asetat misalnya Limnocharis flava (genjer), Monochoria vaginalis
(eceng), Salvinia natans, Spenochlea zeylanica, Cyperus iria (teki). Fimritys miliaceae, Scirpus juncoides di
lahan sawah, kangkung, keladi dan lain-lain (Anonymous, 2013).

2, 4-D merupakan golongan fenoksi, memiliki rantai yang mempunyai gugus karboksil dipisahkan oleh
karbon atau karbon dan oksigen sehingga memberikan aktivitas yang optimal. 2,4-D datang dalam
berbagai bentuk kimia, termasuk garam, ester, dan bentuk asam. Nama bahan aktifnya antara lain :
asam 2,4-D butil sihalofop; 2,4-D amina; 2,4-D butil ester; 2,4-D dimeti amina; 2,4-D IBE; 2,4-D iso propil
amina dan 2,4-D natrium.

2. Amitrole (aminotriazok) mencengah pembentukan carotenoids. Carotenoid/carotene harus dibentuk


untuk menggantikan yang rusak. Tanpa carotenoids, khlorofil terokdsidasi oleh oksigen dalam proses
fotosintesis. Khlorofil teroksidasi yang dipacu sinar matahari. Ratio carotene; khlorofil = 1: 8. Bila jumlah
carotene kurang dari 1/8, khlorofil teroksidasi.

3. Paraquat mengkatalisasi pembentukan H2O dari air, ½ O2, dan elektron. Elektron itu hasil samping
dari fotosintesis.

Pigmen Warna Pada Tumbuhan (Klorofil)


Warna daun berasal dari klorofil, pigmen warna hijau yang terdapat di dalam kloroplas. Energi cahaya
yang diserap klorofil inilah yang menggerakkan sitesis molekul makanan dalam kloroplas. Kloroplas
ditemukan terutama dalam sel mesofil, yaitu jaringan yang terdapat di bagian dalam daun. Karbon
dioksida masuk ke dalam daun, dan oksigen keluar, melalui pori mikroskopik yang di sebut stomata.
(Campbell, dkk, 2002). Hubungan klorofil dan aktivitas nitrat reduktase ini terlihat pada metabolisme
nitrogen dan jalur GS-GOGAT. Dimana metabolisme nitrogen diketahui mempunyai hubungan yang erat
dengan fotosintesis. Reaksi cahaya dari fotosintesis menyediakan energi untuk mereduksi nitrat menjadi
amonium yang salah satu tahapnya direduksi oleh enzim nitrat reduktase. Dalam proses fotosintesis
tumbuhan terdapat suatu pigmen yang memegang peranan penting. Pigmen tersebut adalah klorofil.
Fungsi klorofil dalam fotosintesis adalah sebagai penangkap cahaya matahari (Bidwell, 1979).

Cara Kerja Herbisida Dalam Menghambat Pigmen

Penghambat fotosintesis yang mencegah produksi pigmen daun disebut kartenoid. Umumnya dijumpai
sebagai warna musim gugur ketika klorofil hijau telah terdegradasi. Karotenoid memiliki peran dalam
melindungi klorofil dari kehancuran oleh energi yang lebih besar daripada yang bisa diproses. Herbisida
dalam kategori ini memiliki target yang berbeda, tetapi semua menyebabkan gulma yang diberi
perlakuan menjadi memutih (Moenandir, 1990). Herbisida yang menggangu proses fotosintesis paling
aman dipakai. Khloroplast yang telah menerima sinar memakai tenaga sinar itu untuk melancarkan 2
rangkai transport elektron:

1.H2O dipecah menjadi radikal H dan OH. Lewat serangkai reaksi kimia radikal H dipakai untuk
mereduksi zat-zat antara, sehingga akhirnya ADP dan H3PO4 direduksi menjadi ATP. Rantai pertama ini
dinamai PS2.

2. Pada rantai kedua terjadi beberapa reaksi, yang berakhir dengan reduksi NADP menjadi NADPH.
Rantai kedua dinamai PS1. Ada empat kelompok yang mempengaruhi fotosintesis, yaitu:

a. Senyawa amitrole mencengah pembentukan carotene. Caroten bertugas untuk melindungi khlorofil,
jangan sampai bereaksi dengan ½ O2 yang tereksitasi itu sangat glat bereaksi karena kelebihan tenaga
(excited).

b. Triazines, uracils, dan turunan ureas mencengah reaksi Hill, sehingga fotosintesis terhenti.

c. Ioxynil, mengganggu reaksi-reaksi diantara PS2 dan PS1.

d. Paraquat/diquat, yang membelokkan rantai transport elektron, sehingga terjadi reaksi ½ O2 + H2O
+e- H2O2. Senyawa H2O2 merupakan herbisida yang merusak membran sel (plasmalemma). Akibatnya
sel menjadi kering.

Chlorosis

Gangguan terhadap produksi chlorofil dan pemeliharaannya menyebabkan gejala chlorosis. Chlrosis
menyebabkan daun yang berwarna hijau menjadi putih atau merah muda, penyebabnya adalah
chloromatofora. Amitrole memutihkan seluruh tumbuhan. Herbisida lain menyebabkan memutihnya
jaringan intervenal atau sebagian dari daun. Chlorosis disebabkan oleh triazines, uracils, ureas, dan
amitrole. Pencengahan pembelahan sel menyebabkan apex pucuk maupun akar tidak tumbuh.
Pencegahan tumbuh akar tunggang adalah akibat karbamat dan amides. Trifluralin dan turunan
nitroaniline menyebabkan akar-akar lateral menjadi kerdil. Gejala pertama yang biasanya nampak pada
keracunan dichlobenil dan carbamates adalah tertahannya pertumbuhan pucuk. Gejala yang
ditimbulkan oleh thiocarbamates sama seperti dichlobenil dan carbamates (Dwijoseputro, D., 1980).

HPPD Inhibitors

Herbisida ini menyebabkan rusaknya klorofil sehingga tanpa klorofil tanaman tidak mampu melakukan
fotosintesa dan mati. Misalnya: Triketones, Mesotrione, dan Isoxaflutole (Lehninger, 1991).

Karakterisitik:

 Aktif baik lewat tanah maupun daun (Shoot-Root)

 Di absorbsi lewat tanah lalu ditranslokasi ke daun lewat xylem

 Mengendalikan gulma pada stadia awal (Daun Lebar dan Rumputan)

 Resiko resistensi rendah. Gejala:

 Gejala berupa Älbino” /Bleaching

 Daun lebih tua umumnya lebih dulu terlihat

 Jika Bleaching

Glifosat Herbisida

Glifosat herbisida merupakan bahan aktif glifosat yang bersifat sistemik bagi gulma sasaran. Selain
sifatnya sistemik yang membunuh tanaman hingga mati sampai ke akar-akarnya, juga mampu
mengendalikan banyak jenis gulma seperti Imperata cylindrica, Eulisine indinca, Axomophus comprsseus
(pahitan), Mimosa invisa (putri malu), Cyperus iria (teki), Echinocloa crussgali (jajagoan) dan lain-lain.
Herbisida glifosat yang disemprotkan ke daun efektif mengendalikan gulma rumputan tahunan dan
gulma berdaun lebar tahunan, gulma rumput setahun, dan gulma berdaun lebar. Senyawa glifosat
sangat mobil, ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman ketika diaplikasi pada daun, dan cepat terurai
dalam tanah. Gejala keracunan berkembang lambat dan terlihat 1-3 minggu setelah aplikasi (Tjionger’s,
2002). Residu glifosat dapat mengubah beberapa sifat tanah (sifat kimia, biologi). Semakin tinggi
penambahan dosis glifosat, residu glifosat berpengaruh meningkatkan P tersedia, dan menurunkan Fe
tersedia, total mikroorganisme, bakteri Rhizobium dan mikroorganisme pelarut P pada 16 ketiga jenis
tanah yaitu kelas tekstur tanah pasir, lempung dan liat pada kolom tanah di rumah kaca (Nurjanah,
2003). Rumus kimia glifosat adalah C3H8NO5P atau dapat ditulis sebagai bentuk ion COOH-CH2-NH2+ -
CH2-HPO3 (Wardoyo, 2008) dan mempunyai struktur kimia seperti Gambar 2, serta mempunyai bobot
molekul 169, 07. Bentuk fisiknya berupa bubuk (powder), berwarna putih, mempunyai bobot jenis 0, 5
g/cm3 dan kemampuan larut dalam air 1, 2 % (Nasaruddin, 2009). Glifosat merupakan herbisida non-
selektif berspektrum luas yang dapat mengendalikan gulma semusim maupun tahunan di daerah tropika
pada waktu pasca tumbuh (post emergence). Struktur dan rumus bangun glifosat dapat dilihat pada
Gambar 2 berikut.

Glifosat diserap oleh daun dan bagian-bagian tanaman lainnya, kemudian terangkut melalui floem

Anonymous, 2013, herbisida 2,4-D, http://pupukpestisida.com/herbisida-24-d.html, diakses 2 Mei 2014.

Bidwell, R.G.S., 1979. Plant Physiology. Mac Millan Publishing Co. Inc., New York.

Campbell, N. A. and J. B. Reece. 2002. Biology. Sixth Edition, Pearson Education. Inc. San Francisco. 802-
831

Dwijoseputro, D., 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia, Jakarta.

Lehninger, A.L. 1991. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 2. Erlangga. Jakarta

Nasaruddin, 2009. Kakao Budidaya dan Beberapa aspek Fisiologisnya. Yayasan Forest Indinesia dan
Fakultas Kehutanan Unhas. Depok Jakarta. P. 239.

Moenandir, J. 1988. Fisiologi Herbisida (Ilmu Gulma: Buku II). Rajawali Pers. Jakarta. 143 hal.

Sukman, Y dan Yakup. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Fakultas Pertanian Sriwijaya
Palembang. Raja Grafindo Persada Jakarta.

Taiz L., E. Zeiger, 2002. Plant Physiology. The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. New York.

Anda mungkin juga menyukai