Anda di halaman 1dari 15

FUNGISIDA

1. Pengertian Fungisida

Fungisida adalah jenis pestisida yang secara khusus dibuat dan digunakan untuk
mengendalikan (membunuh, menghambat atau mencegah) jamur atau cendawan patogen
penyebab penyakit.

Bentuk fungisida bermacam-macam, ada yang berbentuk tepung, cair, gas dan butiran.
Fungisida yang berbentuk tepung dan cair adalah yang paling banyak digunakan. Fungisida
dalam bidang pertanian digunakan untuk mengendalikan cendawan pada benih, bibit, batang,
akar, daun, bunga dan buah. Aplikasinya dilakukan dengan penyemprotan langsung ketanaman,
injeksi batang, pengocoran pada akar, perendaman benih dan pengasapan (fumigan).

Fungisida dapat diklasifikasikan menjadi bermacam-macam jenis dan golongan.


Berdasarkan bahan yang digunakan, secara garis besar fungisida digolongkan menjadi dua
golongan, yaitu fungisida sintetis/kimia dan fungisida alami/organik. Fungisida juga dapat
digolongkan dalam beberapa jenis berdasarkan bentuknya, sifatnya,cara kerjanya dan fungsi
kerjanya.

Kebanyakan fungisida berbahan dasar sulfur dalam konsentrasi yang rendah antara 0.08
sampai 0.5% (jika dalam bentuk cair) hingga 90% (dalam wujud bubuk). Residu fungisida telah
ditemukan di makanan manusia, kebanyakan dari aktivitas pascapanen untuk memperpanjang
usia simpan hasil pertanian. Fungisida seperti vinclozolin diketahui sangat berbahaya dan saat ini
telah dilarang penggunaannya. Sejumlah fungisida pun telah diatur penggunaannya.

Fungisida adalah bahan kimia pembunuh jamur. Pembunuhan jamur juga dapat dengan
cara lain, seperti pemanasan, penyinaran dan sebagainya, tetapi ini tidak termasuk fungisida.
Suatu fungisida hanya dapat di pakai jika dosis kurativa lebih rendah daripada dosis toksika.
Media pencampur fungisida secara garis besar dapat di bedakan menjadi 3, antara lain :

1. Dalam bentuk cair untuk penyemprotan

Untuk penyemprotan, media yang mula – mula di pakai sebagai pencampur adalah air.
Fungisida semprot ini di gunakan sebagai larutan apabila zat yang aktif larut dalam air secara
homogen, sedang di gunakan sebagaiemulsi atau suspense apabila zat yang aktif tidak larut
dalam air.

2. Dalam bentuk padat untuk penyerbukan

Untuk penyerbukan, tidak di perlukan air, serbuk dapat di beli yang siap untuk di pakai
dan lebih mudah melakukannya daripada penyemprotan. Penyerbukan lebih hemat waktu dan
tenaga daripada penyemprotan, tapi juga mempunyai keberatan misalnya serbuk terhambur
bebas, kadang – kadang menggumpal dan menyumbat alat serbuk.

3. Dalam bentuk gas untuk fumigasi

Untuk fumigasi di gunakan gas beracun untuk membunuh pathogen maupun serangga,
sedangkan gas racun itu sendiri di sebut fumigan. Toksisitas gas tergantung pada konsentrasi dan
lamanya waktu perlakuan.

Pengelompokan ditujukan untuk mempermudah pemahaman terhadap beberapa


perbedaan antara kelompok fungisida yang satu dengan yang lainnya. Dengan
demikian,  pengelompokan fungisida akan berubah dan berkembang mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan manusianya.

Fungisida sistemik dapat di aplikasikan ke satu bagian tanaman, dan dapat di


translokasikan ke bagian – bagian tanaman yang lain. Pada umumnya fungisida yang ada di
pasaran baik fungisida sistemik maupun fungisida non sistemik, banyak yang dalam bentuk
Wettable Powder ( WP ) yaitu tepung yang dapat terbasahkan, sehingga pengaplikasiannya dapat
di lakukan dengan penyemprotan.

Untuk keperluan aplikasi di lapang, perlu di perhatikan dosis dan konsentrasi yang di
perlukan. Dosis adalah banyaknya fungisida atau bahan aktif yang di gunakan per satu satuan
luas lahan. Konsentrasi adalah banyaknya fungisida atau bahan aktif yang di gunakan pada
satuan volume tertentu.

Berikut ini sedikit penjelasan tentang klasifikasi dan jenis-jenis fungisida :

2. klasifikasi Fungisida

1. Klasifikasi Fungisida Berdasarkan Bahannya


Berdasarkan bahan yang digunakan, fungisida digolongkan menjadi 2 golongan, yaitu ;

a. Fungisida Sintetis / Kimia, fungisida sintetis atau fungisida kimia adalah fungisida
yang dibuat dari bahan-bahan kimia sintetis. Fungisida ini memiliki efek negatif
dan berbahaya bagi manusia, hewan dan lingkungan, terlebih jika digunakan dalam
jangka panjang.
b. Fungisida Alami / Organik / Nabati, fungisida alami atau fungisida organik adalah
fungisida yang terbuat dari bahan-bahan alami yang banyak tersedia di alam.
Fungisida ini relatif lebih aman digunakan karena tidak mengandung bahan kimia
berbahaya. Beberapa senyawa alami / organik yang dapat digunakan sebagai
fungisida antara lain ; kulit randu, minyak rosemary, minyak cengkeh, minyak
pohon teh, minyak oregano, minyak jojoba dan lain sebagainya.

2. Klasifikasi Fungisida Berdasarkan Bentuknya

Berdasarkan bentuknya fungisida dibedakan menjadi 4 golongan yaitu ;

a. Fungisida Berbentuk Tepung


b. Fungisida Berbentuk Cair
c. Fungisida Berbentuk Gas
d. Fungisida Berbentuk Butiran

3. Klasifikasi Fungisida Berdasarkan Sifatnya

Berdasarkan sifatnya fungisida dibedakan menjadi 2 golongan yaitu ;

a. Fungisida Selektif, yaitu fungisida yang bersifat selektif, yaitu fungisida yang hanya
dapat membunuh jenis cendawan tertentu namun tidak mengganggu cendawan jenis
lainnya.
b. Fungisida Non Selektif, yaitu fungisida yang bersifat tidak selektif yang dapat
membunuh semua jenis cendawan, baik cendawan yang merugikan maupun
cendawan yang menguntungkan.

4. Klasifikasi Fungisida Berdasarkan Cara Kerjanya

Berdasarkan cara kerjanya, fungisida dibedakan menjadi 4 golongan yaitu ;


a. Fungisida Kontak, fungisida kontak adalah fungisida yang hanya bekerja pada
bagian yang terkena semprotan saja atau hanya pada bagian yang kontak langsung
dengan larutan fungisida. Fungisida kontak tidak dapat menembus jaringan tanaman
dan tidak dapat didistribusikan didalam jaringan tanaman.
b. Fungisida Translaminar, fungisida translaminar adalah jenis fungisida yang dapat
menembus jaringan tanaman namun tidak dapat didistribusikan didalam jaringan
tanaman.
c. Fungisida Sistemik, fungisida sistemik adalah jenis fungisida yang apabila
disemprotkan ketanaman akan diserap dan didistribusikan keseluruh bagian
tanaman melalui jaringan tanaman.
d. Fungisida Kontak dan Sistemik, yaitu fungisida yang bekerja secara ganda, yaitu
bekerja secara kontak sekaligus bekerja secara sistemik.

5. Klasifikasi Fungisida Berdasarkan Fungsinya

Berdasarkan fungsinya atau fungsi kerjanya, fungisida dibedakan menjadi 3 golongan


yaitu ;

a. Fungisidal adalah fungisida yang dapat membunuh cendawan dan menghambat


pertumbuhan cendawan.
b. Fungistatik adalah fungisida yang hanya dapat menghambat pertumbuhan
cendawan.
c. Genestatik adalah fungisida yang dapat mencegah terjadinya sporulasi.

3 Sifat-sifat Fungisida

a. Meracuni pathogen sasarn


b. Tidak bersifat fitotoksit
c. Efek residunya minimal, agar tidak polusi
d. Tidak mudah terbakan
e. Tidak merusak alat
f. Dapat merata dan melekat pada daun
g. Aktif dalam waktu yang tidak terlalu lama

4. Macam-maca Fungisida
Berdasarkan fungsinya, yaitu:

a. Protektan (sebagai pelindung), pemakaiannya sebelum infeksi dan fungisidanya


bersifat kontak
b. Eradikan (menghilangkan), untuk menghilangkan sumber inokulum
c. Khemoterapetan (menyembuhkan), fungisida sintemik dan dapat menyembuhkan
tanaman sakit

Fungisida sistemik adalah senyawa kimia yang bila diaplikasikan pada tanaman akan
bertranslokasi ke bagian lain. Aplikasi dapat melalui penetrasi daun, melalui tanah untuk
selanjutnya diabsorbsi oleh aka, atau injeksi melalui batang. Karena fungisida sistemik ini masuk
ke jaringan tanaman, maka harus memenuhi syarat ideal sebagi berikut:
1. Dalam tanaman inang bekerja sebagai toksikan.
2. Mengganggu metabolisme inang dan mengimbas ketahanan fisik maupun kimia
terhadap pathogen dan tidak mengurangi kuantitas maupun kuantitas tanaman.
3. Dapat diabsorbsi scara baik dan ditranslokasikan ke tmpat patogn serta stabil dalam
tanaman inang.
4. Terhadap mamalia bertoksisitas cukup renah.
5. Mampu meningkatkan ketahanan inang
Fungisida Sistemik Untuk Mengatasi Pencegahan Infeksi Jamur
Seperti halnya insektisida, menurut cara kerjanya fungisida pun dapat dikelompokkan menjadi
kelompok fungisida sistemik dan kelompok fungisida kontak.
Jika fungisida kontak bekerja melalui paparan langsung pada cendawan sasaran, fungisida
sistemik bekerja dengan cara masuk ke dalam sistem pembuluh tanaman sehingga akan
menyebabkan seluruh bagian tanaman beracun bagi cendawan.
Keuntungan dari fungisida sistemik ini adalah efek residu dapat bertahan cukup lama di
dalam tubuh tanaman, berkisar 1 minggu hingga 1 bulan tergantung dengan jenis bahan aktifnya.
Selain lebih toleran terhadap pengaruh cuaca seperti hujan yang dapat membasuh residu
fungisida pada permukaan tubuh tanaman, fungisida sistemik juga tidak memerlukan pemberian
yang mensyaratkan terjadinya kontak langsung dengan cendawan pada saat pengaplikasiannya.
Fungisida sistemik bekerja secara spesifik melalui perusakan kimia enzim jamur seperti seperti
merusak "akar", mengganggu pembentukan tabung kecambah, dan ada juga yang mengganggu
pembentukan spora.
Hampir semua fungisida sistemik dilengkapi dengan bahan aktif fungisida kontak.
Fungisida kontak akan membunuh cendawan yang terkena paparan bahan aktif, sedangkan yang
terhindar dari paparan akan "teracuni" oleh bahan aktif sistemik yang diserap tanaman inang
yang kemudian diserap kembali oleh cendawan terebut.
Kemampuan sistemik dan kontak inilah yang membuat harga fungisida sistemik yang
cukup mahal di pasaran, hal ini membuat banyak orang mengaplikasikannya sebagai senjata
terakhir pada saat serangan cendawan pada tanaman sudah menjadi parah. Sebenarnya cara Ini
adalah cara yang tidak tepat, karena cendawan dewasa memiliki daya tahan hidup lebih kuat,
sehingga cendawan yang tidak mati karena terkena paparan bahan aktif kontak dan dosis bahan
aktif sistemik yang kurang, dapat menjadi resisten terhadap bahan aktif yang terkandung di
dalam fungisida. Jika perlakuan diaplikasikan pada saat cendawan baru tumbuh dengan kondisi
yang masih lemah, kecil kemungkinanan cendawan bisa bertahan ketika menyerap zat aktif
sistemik.
Bahan Aktif
Bahan-bahan aktif yang dapat ditemui terkandung di dalam fungisida sistemik adalah:
Benomyl, Thiram, Carbendazim, Mancozeb, Oksadisil, Propineb, dan Metalaksil.
1. Benomyl (dipasarkan sebagai Benlate) adalah fungisida yang diperkenalkan pada
tahun 1968 oleh DuPont. Benomyl adalah fungisida sistemik benzimidazole yang
bersifat racun selektif bagi mikroorganisme dan invertebrata, khususnya cacing tanah.
Benomyl mengikat mikrotubulus , mengganggu fungsi sel seperti meiosis dan
transportasi intraseluler. Toksisitas selektif benomyl sebagai fungisida adalah efeknya
tinggi terhadap jamur daripada mikrotubulus mamalia.
2. Thiram adalah Senyawa dithiocarbamate dimetil yang digunakan sebagai suatu
fungisida untuk mencegah penyakit jamur pada biji dan tanaman selain berfungsi juga
sebagai bakterisida.
3. Carbendazim  adalah Fungisida benzimidazole dengan spektrum luas yang banyak
digunakan.
Penggunaan
1. Carbendazim diusulkan dilarang oleh Badan Kimia Swedia dan disetujui oleh
Parlemen Eropa pada tanggal 13 Januari 2009, namun fungisida kontroversial ini
secara luas digunakan di Queensland, Australia pada perkebunan macadamia.
2. Mancozeb adalah fungisida bisdithiocarbamate etilen tidak beracun yang banyak
diaplikasikan. Mancozep efektif terhadap penyakit tanaman yang disebabkan
Phytophthora, Anthracnose, Botrytis, Fusarium, Pythium, Alternaria, Early and Late
Blight, Powdery and Downy Mildew, Bacterial Spot, Verticillium, Angular Leaf
Spot, Trichoderma, dan lain-lain.
3. Oksadisil adalah fungisida yang bekerja dengan cara menghambat salah satu proses
metabolisme cendawan. Sifat oksadisil yang hanya bekerja pada spectrum sempit ini
beresiko menyebabkan timbulnya resistensi dari candawan.
Seperti halnya Thiram dan Mancozeb, Bahan aktif propineb bekerja dengan cara
menghambat beberapa proses metabolisme cendawan. Sifatnya yang multisite
inhibitor ini membuat fungisida tersebut tidak mudah menimbulkan resistensi
cendawan. Fungisida yang bersifat multisite inhibitor (merusak di banyak proses
metabolisme) umumnya berspektrum luas.
4. Metalaksil adalah bahan aktif yang juga tergabung dalam kelompok fungisida yang
bekerja dengan cara menghambat salah satu proses metabolisme cendawan. Beberapa
Merek Fungisida Sistemik di Pasaran.
Nama Bahan Aktif
1) Benlate T 20/20 WP Benomyl 20% + Tiram 20%
2) Delsene MX 80WP Carbendazim 6.2% + Mancozeb 73.8%
3) Saaf 75 WP Mancozeb 63% + Carbendazim 12%
4) Makaliette 35/35 WP Alumunium Fosetil 36.9% + Mancozeb 36.9%
5) Pruvit PR 10/56 WP Oksadisil 10% + Propineb 56%
6) Ridomil MZ 8/64 WPMetalaksil 8% + Mancozeb 64%
7) Unilax 72 WP Mancozeb 64% + Metalaxil 8%
8) Sandovan MZ 10/56 WP Oksadisil 10% + Mancozeb 56%
Jadi gunakanlah selalu fungisida sistemik sebagai pencegahan serangan cendawan
RODENTISIDA

1. Pengertian Rodentisida

Tikus juga merupakan organisme penggangu yang bnayak merugikan manusia. Di bidang
pertanian, tikus sering menyerang tanaman pangan, hortikltura, dan tanaman perkebunan dalam
waktu yang singkat dengan tingkat kerugian yang besar. Berbagai stadia umur tanaman
diserangnya, mulai dari pembibitan, masa pertumbuhan sampai hasil panen yang tersimpan di
guadang. Di peternakan, tikus sering mengambil pakan ternak.Selain itu, tikus dapat menjadi
sarana bagi beberapa pathogen yang dapat menimbulkan penyakit bagi manusia dan hewan
piaraan.

Tikus sawah dapat berkembang biak mulai umur 1,5-5 bulan. Setelah kawin, masa
bunting memerlukan waktu 21 hari. Seekor tikus betina melahirkan rata-rata 8 ekor anak setiap
kali melahirkan, dan mampu kawin lagi dalam tempo 48 jam setelah melahirkan serta mampu
hamil sambil menyusui dalam waktu yang bersamaan. Selama satu tahun seekor betina dapat
melahirkan 4 kali, sehingga dalam satu tahun dapat dilahirkan 32 ekor anak, dan populasi dari
satu pasang tikus tersebut dapat mencapai + 1200 ekor turunan. Hal ini menyebabkan
penyerangan besar-  besaran di persawahan utamanya. Ada beberapa cara untuk memberantas
tikus tersebut salah satunya dengan menggunakan bahan kimia yang disebut dengan rodentisida.

Rodentisida merupakan jenis pestisida yang digunakan untuk membunuh hewan


pengerat, seperti tikus dan musang, masyarakat awam sering menyebut sebagai racun tikus.
Hewan pengerat, manusia, anjing dan kucing merupakan kelompok mamalia sehingga tubuhnya
bekerja dengan cara yang sama. Rodentisida memberikan efek yang sama ketika mamalia
menelan suatu produk rodentisida.

Rodentisida atau yang lebih dikenal sebagai racun tikus dapat diperoleh dalam berbagai
merk dagang dan sediaan dan umumnya dapat ditemukan di rumah dalam bentuk serbuk, butiran,
atau pellet .

Rodentisida diformulasikan sebagai umpan yang dibentuk sedemikian rupa untuk


menarik perhatian hewan pengerat, seringkali ditambahkan penambah rasa (flavoring) seperti
minyak ikan, mentega, dan lain-lain. Selain itu, bentuk dan warnanya juga diformulasikan seperti
makanan sehingga dapat menarik perhatian anak-anak dan binatang peliharaan. Untuk itu perlu
perhatian dan kewaspadaan dalam menggunakan rodentisida untuk meracuni tikus atau binatang
pengerat lainnya.

Berdasarkan cara penggunaannya rodentisida terdiri dari dua jenis yaitu rodentisida yang
harus dicampurkan dengan umpan yang disenangi tikus (seperti; beras, jagung, ketela pohon dan
ubi jalar) dan rodentisida siap pakai yaitu umpan yang telah mengandung racun.
Penggunaan rodentisida didasarkan atas adanya aktivitas tikus yaitu dengan adanya
pengamatan atas jejak tikus, kotoran tikus atau gejala serangan tikus.Masalahnya tikus sangat
terampil menghindar terhadap setiap tindakan pengendalian. Oleh karena itu rodentisida yang
efektif biasanya dalam bentuk umpan beracun.

Sifat-sifat Rodentisida Antikoagulan

1. Tidak berbau dan tidak berasa


2. Slowing acting, artinya membunuh tikus secara perlahan-lahan, tikus baru mati setelah
makan beberapa kali
3. Tidak menyebabkan tikus jera umpan
4. Mematikan tikus dengan merusak mekanisme pembekuan darah

Klasifikasi Rodentisida

Berdasarkan kecepatan kerja :

a. Racun akut (bekerja cepat)

- Jenis racun yang menyebabkan kematian setelah mencapai dosis letal dalam waktu 24
jam atau kurang
- Contoh bahan aktif rodentisida yang tergolong racun akut adalah seng fosfida,
btometalin, crimidine, dan arsenic trioksida
- Racun akut bekerja dengan cara merusak jaringan saluran pencernaan, masuk ke
aliran darah dan menghancurkan liver

b. Racun kronis

- Racun yang bekerja secara lambat dengan cara menggangggu metabolism vitamin K
serta mengganggu proses pembekuan darah
- Bahan aktif yang tergolong racun kronis kumatetralil, wafrin, fumarin, dan pival yang
termasuk racun antikoagulan generasi I, serta brodifakum, bromadiolon, dan
flokumfen yang termasuk racin antikoagulan generasi II

Keuntungan racun kronis

- Tingkat efektifitas pengendalian tinggi


- Tidak terjadi jera umpan
- Bersifat spesifik sehingga mengurangi bahaya bagi jasad bukan sasaran
- Tersedia zat penawar racun

Berdasarkan kelompok kimia bahan aktif

a. Anorganik

a) Belerang

- Digunakan untuk mengendalikan tikus-tikus terutana untuk fumigasi lubang-lubang


tikus

b) Seng fosfida

- Mengandung toksisitas yang didasarkan pada terbentuknya gas fosfin


- Suatu gas yang sangat toksik jika bereaksi dengan asam (misalnya asam lambung)
- Seng fosfit akan menimbulkan keracunan ketika tertelan sehingga fosfi yang
terbentuk masuk ke dalam aliran darah dan selanjutnya merusak hati, ginjal dan
jantung
- Sedangkan gas fosfit yang terbentuk bias terisap lewat saluran pernapasan

b. Antikoagulan

Terdapat dua kelas rodentisida antikoagulan:

- Coumarin anticoagulant

Contohnya brodifakum, bromodiolon, kumatetralil, difenakum, difetialon,


flokumafen, dan wafrin

- Indandione anticoagulant

Contohnya klorofasionon, difasionon, dan pindon

Bahan Aktif Rodentisida

a. Brometalin

Brometalin mulai berkembang dan digunakan pada tahun 1985 untuk mengatasi masalah
resistensi hewan pengerat terhadap rodentisida antikoagulan generasi I yaitu wafrin. Brometalin
tidak termasuk sebagai rodentisida antikoagulan, tetapi termasuk sebagai rodentisida akut yang
dapat menyebabkan kematian terhadap hewan pengerat dalam satu kali pemberian umpan.
Kematian terjadi antara 24 jam sampai 36 jam setelah racun dicerna. Racun ini efektif terhadap
hewan pengerat yang resisten terhadap rodentisida antikoagula. Brometalin pada tubuh dapat
terdeteksi didalam hati, lapisan lemak, ginjal dan otak. Tidak ada antidote yang khusus untuk
racun ini. Rodentisida ini dapat diterima dengan baik oleh tikus dan juga tidak menimbulkan jera
umpan. Bentuk fisik racin ini adalah pellet berwarna hijau terang.

b. Seng fosfida Zn3P2

Seng fosfida berbentuk tepung yang berwarna hitam keabu-abuan, dengan bau seperti
bawang putih. Diproduksi dengan cara mengkombinasikan antara seng dengan fosfor. Bau
bawang putih tersebut menarik bagi tikus, tetapi tidak menarik bagi manusia dan hewan
peliharaan. Seng fosfida telah dikenal sejak dulu sebagai racun tikus yang efektif, dan tidak dapat
larut dalam alcohol dan air. Racun ini termasuk sebagai racun akut yang efektif. Lama kematian
tikus setelah mengkonsumsi rodentisida ini adalah antara 17 menit sampai dengan beberapa jam.
Tikus yang mati karena mengkonsumsi rodentisida ini akan mengalami kerusakan pada bagian
hati dan seperti mengalami gagal ginjal.

c. Kumatetralil C19H16O3

Kumatetralil adalah suatu bubuk kristalin berwarna putih kekuningnan. Kumatetralil


tidak dapat larut dalam air, tetapi dapat larut dalam aseton dan etanol. Rodentisida ini diproduksi
dalam bentuk tepung dan umpan siap pakai. Kumatetralil efektif terhadapa sepsis tikus (R.
norvegicus) yang resisten terhadap racun antikoagulan. Rodentisida ini merupakan suatu
antikoagulan yang tidak menyebabkan jera umpan. Antidote dari racun ini adalah vitamin K.
racun ini digunakan dengan kandungan bahan aktif yang rendah. Resiko keracunan terhadap
organisme bukan sasarna, termasuk manusia dangat kecil.

d. Brodifakum

Brodifakum merupakan salah satu rodentisida antikoagulan generasi II yang potensial.


Efektif terhadap spesies tikus yang resisten terg=hadap rodentisida jenis wafrin. Brodifakum juga
merupakan produk yang hamper tidak larut dalam air. Bentuk fisik racun ini adalah blok dengan
warna hijau dan biru, sedangkan bentuk asli racun ini berupa bubuk putih. Brodifakum bekerja
sebagai antikoagulan yang tidak langsung mematikan tikus, termasuk juga terhadap strain tikus
yang tahan terhadapa racun antikoagulan jenis lainnya. Cara racun ini adalah dengan
mengganggu kerja vitamin K dalam proses pembekuan.

e. Bromodiolon

Bromodiolon merupakan jenis rodentisida yang digunakan untuk mengendalikan hewan


pengerat pada bidang pertanian dan bekerja dengan cara mengganggu peredaran darah normal.
Bromodiolon termasuk racun antikoagulan generasi II yang efektif terhadap tikus dan hewan
pengerat lainnya. Racun ini juga diproduksi dalam bentuk tepung atau bubuk. Bentuk fisik racun
ini adalah seperti balok berwarna merah. Bromodiolon tidak mudah larut dalam air.

f. Flokumafen

Flokumafen secara kimiawai berhubungan dengan brodifakum. Tidak dapat larut dalam
air, sedikit larut dalam alcohol dan larut dalam aseton. Bentuk fisik racun ini adalah berbentuk
padatan seperti buah petai berwarna biru. Flokumafen merupakan rodentisida antikoagulan
generasi II yang modern. Racun ini tergolong sebagai racun antikoagulan urutan kedua yang
paling efektif setelah brodifakum.

Rodentisida digolongan menajdi dua berdasarkan cara kerjanya, yaitu rodentisida akut
(kontak) dan rodentisida kronis (antikoagulan/sistemik).

a. Rodentisida akut

Menyebabkan kematian secara cepat, kematian biasanya terjadi 3-14 jam setelah
peracunan. Sedangkan rodentisida kronis menyebabkan kematian secara lambat, kematian terjadi
beberapa hari kemudian setelah memakan umpan racun kronis tersebut. Kelebihan rodentisida
akut yang cepat membunuh tikus juga memiliki kelemahan rodentisida akut yaitu dapat
menimbulkan jera umpan, ketika satu atau beberapa tikus mati karena memakan umpan tikus
maka gerombolan tikus sudah saling mengkode sehingga tikus tidak akan memakan umpan racun
tersebut lagi.

b. Rodentisida kronis

Menyerang secara sistemik sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama, namun
rodentisida kronis memiliki beberapa keunggulan dibandingkan rodentisida akut. Rodentisida
kronis tidak menyebabkan jera umpan karena serangan yang lambat sehingga tikus tidak
menyadari penyebab kematiannya dan saat diberi umpan racun tersebut tidak akan memiliki efek
jera. Tingkat efektifitas pengendalian rodentisida kronis cukup tinggi dan bersifat spesifik
sehingga mengurangi  bahaya bagi jasad bukan sasaran. Jadi, penggunaan rodentisida yang
bersifat sistemik lebih baik dibandingkan dengan rodentisida kontak (akut) karena tidak
menimbulkan efek jera umpan.

Rodentisida Antikoagulan Tingkat keparahan keracunan rodentisida/racun tikus


tergantung dari kandungan bahan aktifnya dan jumlah bahan yang masuk ke dalam tubuh.
Kandungan bahan aktif (bahan kimia) dalam sediaan racun tikus terdapat dalam berbagai jenis.
Bahan aktif tersebut dikelompokkan menurut cara kerjanya. Beberapa rodentisida akan
menghentikan pembekuan darah atau sering disebut sebagai antikoagulan dan ada beberapa yang
tidak termasuk dalam kelompok antikoagulan dengan cara kerja yang berbeda, seperti misalnya
zinc fosfida, brometalin, cholecalciferol dan strikhnin.

Rodentisida yang mengandung antikoagulan merupakan kelompok terbesar pestisida


yang digunakan untuk mengendalikan hewan pengerat. Antikoagulan ditemukan pada awal abad
20 setelah ternak memakan semanggi manis “Sweet Clover” yang terkontaminasi dengan
bishydroxicoumarin dan mengalami kematian setelah perdarahan.

Warfarin merupakan rodentisida antikoagulan generasi pertama, kandungan warfarin


dalam racun tikus sekitar 0,025% atau sebanyak 25 mg warfarin dalam 100 gram produk racun
tikus. Warfarin memiliki dosis fatal lebih besar dari 5 sampai 20 mg/hari untuk lebih dari 5 hari.
Dapat mengakibatkan perdarahan dan memiliki onset antara 12 sampai 48 jam5 . Senyawa
generasi pertama memerlukan pemberian umpan yang terus-menerus untuk mengendalikan
hewan pengerat yang berakibat berkembangnya hewan pengerat yang resisten terhadap warfarin.

Untuk mengatasi hal tersebut maka dikembangkan struktur kimia baru untuk rodentisida
antikoagulan yang dikenal sebagai generasi kedua (superwarfarin), lebih toksik daripada generasi
pertama, umumnya LD50 nya 0,2-3,9 mg/Kg BB dan sifatnya lebih lama (Long Acting).
Senyawa yang termasuk ke dalam superwarfarin adalah golongan indandione (chlorophacinone,
diphacinone, pindone) dan beberapa senyawa 4-Hydroxycoumarin (brodifacoum, difenacoum,
bromadiolone)4 . Sebagian besar senyawa yang termasuk superwarfarin dapat mengakibatkan
perdarahan yang lebih serius dan dapat berlangsung berbulan-bulan jika tertelan pada manusia7 .
Tanda dan gejala keracunannya akan muncul setelah beberapa hari.
Superwarfarin diabsorbsi utamanya melalui saluran gastrointestinal. Hampir 90%
superwarfarin diabsorbsi oleh tubuh dengan kosentrasi paling tinggi dalam plasma darah terjadi
pada 12 jam setelah tertelan. Eliminasi superwarfarin dengan rute paparan tertelan, terutama
melalui feses. Sedangkan yang paling sedikit adalah melalui urin.

Rodentisida antikoagulan baik generasi pertama maupun kedua memiliki mekanisme aksi
menghambat vitamin K 2,3-epoksida reduktase dan vitamin K quinine reduktase, yaitu 2 enzim
yang bertanggungjawab untuk merubah vitamin K menjadi bentuk aktifnya, yang diperlukan
dalam proses pembekuan darah (koagulasi). Akibat penghambatan dalam pembekuan darah
dapat menyebabkan timbulnya perdarahan.

Tanda dan gejala klinis dari keracunan rodentisida antikoagulan secara umum dapat
dibagi menjadi 2 jenis yaitu perdarahan ringan dan berat. Perdarahan ringan dapat
mengakibatkan perdarahan pada hidung atau gusi, mimisan, darah pada feses, nyeri pada bagian
perut. Perdarahan berat atau serius dapat mengakibatkan hematoma (lebam), hematemesis,
hematuria, sampai terjadinya shok dan kematian. Perdarahan internal dan eksternal adalah gejala
klinis yang paling sering terjadi yang diikuti oleh takikardia dan hipotensi, serta kerusakan
beberapa organ yang disebabkan kehilangan darah yang banyak.

Anda mungkin juga menyukai