Anda di halaman 1dari 8

Carut-marut yang Melelahkan

Oleh : Riki Nasrullah1

Bahasa Indonesia, secara politis, mempunyai posisi dan kedudukan

terpenting di kawasan Republik Indonesia. Dalam rentang perjalanan sejarah

Indonesia, bahasa Indonesia telah diikrarkan sebagai bahasa negara dan bahasa

resmi di negara Indonesia. Hal ini bisa kita saksikan sejak ikrar Sumpah Pemuda

1928 yang secara eksplisit menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa

persatuan di negara Indonesia. Selain itu, pentingnya bahasa Indonesia kian

dipertegas dengan klausul khusus yang tercantum pada salah satu pasal dalam

Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “bahasa Indonesia adalah

bahasa negara”.

Hal lain yang menjadi alasan mengapa bahasa Indonesia dianggap sebagai

bahasa terpenting di Republik Indonesia adalah kedudukannya yang telah mampu

mengalahkan bahasa-bahasa nusantara yang notabene sebagai bahasa pertama dan

bahasa ibu bagi penduduk Indonesia. Secara komposisi jumlah penutur, bahasa

Indonesia sebagai bahasa ibu nampaknya masih kalah banyak jika dibandingkan

dengan bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Akan tetapi, jika posisi bahasa Indonesia

pada penutur dwibahasawan, nampaknya telah memiliki jumlah penutur terbanyak

di Indonesia. Hal ini pulalah yang menjadi salah satu alasan lain mengapa bahasa

Indonesia mempunyai kedudukan terpenting di Republik Indonesia.

1
Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.
NPM.180110120009
Bagi sebagian besar bangsa Indonesia, bahasa Indonesia merupakan

bahasa kedua setelah bahasa ibu (bahasa Nusantara). Sehingga dalam proses

komunikasi di antara masyarakat Indonesia yang sepenutur, bahasa Indonesia

kadang tidak dipakai. Mereka lebih sering menggunakan bahasa pertamanya

sebagai alat komunikasi, dan hanya menggunakan bahasa Indonesia di beberapa

momen percakapan tertentu saja. Kondisi ini tentu akan berakibat pada adanya

fenomena campur unsur antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah. Kondisi

ini berakibat pula pada penggunaan bahasa Indonesia yang cenderung tidak sesuai

dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar karena sudah terpengaruh

oleh unsur-unsur bahasa daerah.

Seiring perkembangan kebahasaan, bahasa Indonesia kian hari kian

memprihatinkan. Bagaimana tidak, kondisi faktual hari ini telah menampilkan

kondisi bahasa Indonesia yang seakan-akan tidak mempunyai posisi strategis lagi.

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar nampaknya menjadi kondisi

yang sulit terwujud. Dan yang paling memprihantinkan, kekeliruan-kekeliruan

penggunaan bahasa Indonesia pun sudah menjamur di kalangan masyarakat,

bahkan di kalangan akademisi dan intelektual sekalipun. Padahal kemampuan

berpikir dan bernalar seseorang akan tampak pada penggunaan bahasa, baik

bahasa tulis maupun lisan. Seandainya para akademisi dan intelektual saja sudah

banyak menyalahai kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka masih

layakkah mereka dikatakan sebagai insan intelektual?

Kekeliruan-kekeliruan penggunaan bahasa Indonesia setidaknya

dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni : pertama, munculnya fenomena

simplifikasi persoalan kebahasaan di kalangan masyarakat. Fenomena ini begitu


jelas terlihat dari menjamurnya ungkapan-ungkapan, seperti “Ah, masa bodoh soal

kaidah bahasa. Itu kan urusan ahli bahasa”, dan “Ah, salah ejaan tak mengapa lah.

Yang penting bisa komunikatif dan asal dimengerti”. Ungkapan-ungkapan seperti

itu bukan saja keluar dari mulut orang awam saja melainkan dari mulut seorang

akademisi sekalipun. Akibat dari fenomena ini, muncullah sebuah kondisi dimana

masyarakat enggan memahami dan mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan

benar. Sehingga kita akan mudah menemui kekeliruan-kekeliruan penggunaan

bahasa Indonesia, baik dari segi kekeliruan pembentukan kata, kekeliruan

pemilihan kata, kekeliruan penyusunan kalimat, kekeliruan penataan penalaran,

dan kekeliruan penerapan kaidah ejaan.

Beberapa kekeliruan penggunaan bahasa Indonesia akan mudah kita

jumpai. Sebagai contoh, kita sering mendengar ungkapan dosen kepada

mahasiswa di dalam perkuliahan, seperti kalimat “masing-masing kelompok

terdiri atas sepuluh orang” atau “masing-masing anggota kelompok mesti

memberikan kontribusi aktif untuk kelompoknya”. Kebanyakan orang mungkin

tidak menyadari bahwa apa yang diungkapkan dosen tadi adalah sebuah

kekeliruan dalam berbahasa. Kata masing-masing dan tiap-tiap tidak sama

pemakaiannya karena keduanya mempunyai kategori yang berbeda, yang pertama

tergolong nomina, sedangkan yang kedua tergolong numeralia walaupun

keduanya bersinonim. Kata tiap-tiap harus diikuti oleh kata benda, sedangkan

kata masing-masing tidak diikuti oleh kata benda karena kata bendanya sudah

disebutkan lebih dahulu. (Arifin, 2009 : 88). Kita bisa menilai bahwa ungkapan

“masing-masing kelompok terdiri atas sepuluh orang” adalah ungkapan yang


keliru. Seharusnya ungkapan itu diubah menjadi “Tiap-tiap kelompok terdiri atas

sepuluh orang” atau “kelompok itu masing-masing terdiri atas sepuluh orang”.

Kedua, minimnya teladan bahasa. sebagai warga negara Indonesia,

selayaknya kita mesti membina diri dalam pemakaian bahasa Indonesia agar

bahasa itu berkembang sesuai dengan kaidah yang berlaku. Namun kondisi ini

nampaknya musykil terwujud karena pada praktiknya banyak warga negara

Indonesia yang enggan untuk mempelajari dan memahami kaidah bahasa

Indonesia yang baik dan benar. Kondisi ini berakibat buruk terhadap penggunaan

bahasa Indonesia sehari-hari. Bahkan kondisi ini kian diperparah dengan

minimnya teladan penggunaan bahasa di kalangan masyarakat.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi pihak terpenting dalam

pengajaran dan pembinaan bahasa di Indonesia. Meskipun demikian, proses

pembinaan bahasa akan musykil terwujud jika tidak ada sumbangsih dan

dukungan dari masyarakat umum. Sehingga tugas membina dan menjaga bahasa

Indonesia agar sesuai dengan kaidah yang berlaku mesti menjadi perhatian semua

kalangan, bukan hanya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saja. Yang

paling penting dalam kasus ini adalah mesti adanya teladan dalam berbahasa yang

ditampilkan oleh para pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat.

Di dalam bukunya, Arifin (2009 : 3) mengungkapkan bahwa setidaknya

ada 7 komponen yang mesti menjadi teladan dalam berbahasa, yaitu :

a. Presiden dan Wakil Presiden

Seorang pimpinan negara mesti menjadi teladan terbaik dalam penggunaan

bahasa. Tutur kata yang dikeluarkan oleh seorang pimpinan negara akan
berbekas di benak masyarakat umum. Kata dan ungkapan yang diucapkan

oleh presiden dan wakil presiden akan dijadikan pola dan ditiru oleh para

pejabat yang lain dan oleh masyarakat luas. Sebagai contoh, tatkala Presiden

Soeharto berkuasa, ucapan dan ungkapannya sering ditiru dan dicontoh. Kata-

kata memperhatiken dan melaporken sering ditiru oleh pejabat lainnya,

bahkan diikuti oleh pejabat yang bukan etnis Jawa.

b. Para menteri negara

c. Pimpinan lembaga tertinggi negara

d. Pemimpin Abri dan Kepolisian

e. Guru dan dosen

f. Wartawan dan penerbit

g. Sekretaris dan pengonsep pidato, dan

h. Pemuka agama.

Menilik fenomena-fenomena kebahasaan yang terjadi di kalangan

masyarakat, sudah semestinya kita mengembalikan posisi bahasa Indonesia

sebagai bahasa terpenting di kawasan Republik Indonesia. Sehingga menjadi

tanggung jawab moril bagi saya, selaku orang yang berkecimpung di dunia

bahasa, untuk terus menyadarkan kembali masyarakat agar mau menggunakan

bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah yang berlaku. Namun demikian, tugas ini

bukan saja milik orang yang bergelut di dunia bahasa, melainkan menjadi

tanggung jawab bersama untuk menjaga dan melestarikan bahasa Indonesia agar

tetap sesuai dengan kaidah yang berlaku.

Si kecil yang sering terlupakan adalah kaidah bahasa yang kian hari kian

terkikis. Kekeliruan-kekeliruan yang melelahkan banyak kalangan, khususnya


para ahli bahasa. Kesalahan-kesalahan klasik dan berulang sudah semestinya

dihindari. Bahkan sudah semestinya kita mau untuk belajar dan memahami

kaidah-kaidah bahasa Indonesia agar mampu menggunakannya sesuai dengan

kaidah yang berlaku.

Revitalisasi Menuju Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar

Setelah kita mengamati fenomena yang terjadi pada penggunaan bahasa

Indonesia, sudah saatnya kita merevitalisasi penggunaan bahasa Indonesia agar

kembali kepada kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa Indonesia

yang baik adalah bahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi tuturan dan lebih

jauh lagi, sesuai dengan kaidah norma yang berlaku di masyarakat. Dengan kata

lain, bahasa Indonesia yang baik secara penggunaannya sangat mengedepankan

unsur proporsionalitas. Pada saat situasi santai dan akrab, hendaklah kita

menggunakan bahasa Indonesia yang santai dan akrab, begitupun sebaliknya.

Sedangkan bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang

sesuai dengan kaidah dan aturan bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa

Indonesia itu meliputi kaidah ejaan, pembentukan kata, penyusunan kalimat,

penyusunan paragraf, dan penataan penalaran. Jika kaidah ejaan digunakan

dengan cermat, kaidah pembentukan kata diperhatikan dengan seksama, dan

penataan penalaran ditaati dengan konsisten, pemakaian bahasa Indonesia

dikatakan benar. Sebaliknya, jika kaidah-kaidah bahasa itu kurang ditaati,

pemakaian bahasa tersebut dianggap tidak benar/tidak baku. (Arifin, 2009 : 12).
Oleh karena itu, bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa

Indonesia yang mengedepankan unsur proporsionalitas dan sesuai dengan norma

masyarakat yang ada serta menaati kaidah dan aturan bahasa Indonesia yang

berlaku. Apabila kedua komponen itu terpenuhi, penggunan bahasa Indonesia bisa

dikatakan sudah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Usaha ke arah revitalisasi dan pemulihan kembali penggunaan bahasa

Indonesia agar sesuai dengan kaidah yang berlaku, memang begitu sulit. Perlu ada

sinergitas antara pihak yang secara langsung membidangi pembinaan bahasa

Indonesia dengan unsur pemerintah lainnya serta masyarakat umum secara

keseluruhan. Selain itu, mesti ada kesadaran bersama akan pentingnya

penggunaan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar di dalam percakapan

sehari-hari.

Penting kiranya untuk terus menanamkan kesadaran di tengah masyarakat

agar mau menjaga bahasa Indonesia yang baik dan benar. Orang yang

bertanggung jawab adalah orang yang mau menggunakan bahasa Indonesia sesuai

dengan kaidah yang berlaku. Yang paling penting, bahwa penggunaan bahasa

Indonesia yang baik dan benar adalah usaha untuk menampilkan karakter bangsa

yang berpendidikan.
Daftar Rujukan :

Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia ; Edisi Ketiga.

Jakarta : Balai Pustaka.

Arifin, Zaenal dan Farid Hadi. 2009. 1001 Kesalahan Berbahasa. Jakarta :

Akademika Pressindo.

Chaer, Abdul. 2011. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka

Cipta.

M, Abdullah. 2011. Kamus Pintar EYD : Ejaan Yang DIsempurnakan

Terlengkap. Surabaya : Indah.

Muslich, Masnur. 2010. Garis-Garis Besar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.

Malang : Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai