Anda di halaman 1dari 13

TUGAS PAPER PANCASILA

“Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menyikapi Korupsi di Indonesia”


Dosen: Dr. Agustinus Wisnu Dewantara, S.S., M.Hum

Nama: ANGELINA Dina


NIM: 162874

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


WIDYA YUWANA MADIUN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam segi bahasa, kata korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio. Kata ini
sendiri memiliki kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalikkan atau menyogok. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara, perusahaan,
dsb, untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Beberapa negara di Asia memiliki
beragam istilah korupsi yang pengertiannya mendekati definisi korupsi. Di China,
Hongkong dan Taiwan, korupsi dikenal dengan nama yum cha, atau di India korupsi
diistilahkan bakhesh, di Filiphina dengan istilah lagay dan di Thailand dengan istilah
gin muong. (Badjuri, 2011)
Korupsi bukan menjadi persoalan baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Sebab sejak zaman Belanda menjajah Indonesia, korupsi sudah berkembang pesat
sehingga menyebabkan kongsi dagang Belanda bangkrut pada tahun 1602. Ketika
Indonesia memperoleh kemerdekaan, persoalan korupsi belum juga selesai mengingat
karakter dasar manusia yang tidak pernah puas. Sehingga meski sudah memperoleh
kedudukan tinggi sekalipun, ketika ada peluang melakukan korupsi ditambah system
hukum yang lemah, menyebabkan korupsi masih berkembang pesat. (Saputra, 2017)
Pada saat Indonesia mengalami masa Orde Baru, korupsi semakin berjalan
sistemik dan melibatkan para pejabat yang berkuasa dan mendapatkan pembiaran dari
penegak hukum. Koruptor dengan berbagai cara menguras anggaran negara demi
memperkaya kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kondisi ini masih berlanjut
sampai sekarang ketika nafas kebebasan di era reformasi sudah berhembus kencang.
Pasca reformasi tidak menyurutkan berbagai tindakan korupsi bahkan semakin terasa
marak korupsi yang terjadi.
Melihat kondisi bangsa yang semakin terpuruk menghadapi korupsi di Indonesia,
tentunya menjadi penting untuk melihat sejauh mana korupsi menabrak fitrah manusia
sebagai makhluk yang memiliki etika dan akhlak mulia, Seorang koruptor secara nyata
telah merugikan kepentingan masyarakat, menghambat kemajuan ekonomi, merusak
moralitas dan memperlemah perekonomian nasional. Sehingga sangat tepat jika disebut
korupsi adalah sarana yang dapat menghancurkan sebuah bangsa.
Korupsi adalah realitas tindakan penyimpangan norma sosial dan hukum yang
idak dikehendaki masyarakat dan diancam sanksi oleh negara. Korupsi sebagai bentuk
penyalahgunaan kedudukan (jabatan), kekuasaan, kesempatan untuk memenuhi
kepentingan diri sendiri dan atau kelompoknya yang melawan kepentingan bersama
(masyarakat). (Yustisia, 2014)
Korupsi merupakan penyakit sosial yang menggerogoti sendi-sendi bangsa dan
merusak tatanan hidup bernegara. Korupsi di Indonesia sudah tergolong extra ordinary
crime karena telah merusak, tidak saja keuangan negara dan potensi ekonomi negara,
tetapi juga telah meluluhlantakan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan
hukum dan keamanan nasional. Oleh karena itu, pola pemberantasannya tidak bisa
hanya oleh instansi tertentu dan tidak bisa juga dengan pendekatan parsial. Hal tersebut
harus dilaksanakan secara komperehensif dan bersama-sama, oleh lembaga penegak
hukum, lembaga permasyarakatan, dan setiap individu sebagai anggota masyarakat.
(Suroto, 2015)
Bentuk korupsi di negara ini juga bermacam-macam, dimulai dari pungli di jalan-
jalan, mark up proyek, mafia peradilan, illegal loging sampai kredit macet yang
merugikan negara triliunan rupiah. Maka tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa
penyakit korupsi di negeri ini telah berkembang dalam tiga tahap, yaitu elitis, endemic,
dan sistemik. Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi sosial yang khas di
lingkungan para elit atau pejabat. Pada tahap endemic, korupsi mewabah menjangkau
lapisan masyarakat luas. Lalu taham yang kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap
individu di dalam system terjangkit korupsi di bangsa ini telah sampai pada tahap
sistemik. Praktek korupsi terjadi karena individu tidak mempunyai nilai-nilai moral
yang dapat mencega korupsi yang akan dilakukannya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa arti Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia?
2. Bagaimana Korupsi di Indonesia?
3. Bagaimana Peran Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Anti Korupsi di
Indonesia?
4. Bagaimana Implementasi Nilai Pancasila dalam Menyikapi Korupsi di Indonesia?
1.3. Tujuan
1. Menjelaskan arti Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia.
2. Menjelaskan Korupsi di Indonesia.
3. Menjelaskan Peran Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Anti Korupsi
di Indonesia.
4. Menjelaskan Implementasi Nilai Pancasila dalam Menyikapi Korupsi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia


Negara Indonesia terdiri dari berbagai macam pulau, suku, bahasa daerah, agama,
ras dan kebudayaan atau adat istiadat. Keanekaragaman ini yang menjadi latar belakang
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang multicultural. Kekayaan yang dimiliki oleh
negara Indonesia akan diwariskan kepada para generasi penerus bangsa untuk dijaga,
dilestarikan dan dipelihara dengan baik. Negara Indonesia yang terdiri dari berbagai
pulau, suku, bahasa daerah, agama, ras dan kebudaayaan, tetap bisa bersatu dengan
dasar negara yang sama yaitu Pancasila. Perbedaan yang ada dalam bangsa Indonesia,
dan tetap dapat hidup bersama dan berdampingan sehingga muncul semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika”, yakni berbeda-beda tetapi tetap satu.
Pancasila ditawarkan Soekarno sebagai philosofische Grondslag (dasar, filsafat,
atau jiwa) dari Indonesia merdeka. Soekarno mau mengatakan bahwa niat dan
keinginan merdeka itu haruslah bulat, akan tetapi dasar yang akan dipakai bagi
Indonesia merdeka haruslah sesuatu yang sudah mendarah daging dan ada dalam semua
sanubari rakyat Indonsia. Dalam kerangka inilah Soekarno menyebut bahwa dasar
negara Indonesia yang ia pikirkan sudah ada dalam renungannya sejak 1918. Soekarno
menguraikan dasar-dasar apa saja yang perlu dimiliki bagi bangunan Indonesia
merdeka. Dasar-dasar yang ia sebutkan adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisme
(kemanusiaan), mufakat/permusyawaratan, kesejahteraan (keadilan sosial), dan
akhirnya Ketuhanan. Kelima prinsip itulah yang dia namakan Pancasila dan diusulkan
sebagai dasar negara Indonesia merdeka. (Dewantara, 2017)
Pertama, Kebangsaan yang dimaksud Soekarno adalah Nationale Staat dan
nasionalisme Indonesia. Setiap warga negara Indonesia harus merasa diri mempunyai
satu bangsa dan tumpah darah yang sama, yakni Indonesia. Kedua, untuk menjaga sila
pertama adalah perikemanusiaan (internasionalisme). Hal ini penting agar bangsa
Indonesia merasa diri menjadi bagian dari seluruh umat manusia di dunia. Ketiga,
permusyawaratan yang dimaksud Soekarno adalah perjuangan ide dari seluruh rakyat
Indonesia lewat wakil-wakilnya demi mewujudkan kesejahteraan umum. Keempat,
kesejahteraan sosial yang dimaksud Soekarno adalah kemakmuran yang harus bisa
dinikmati oleh segenap warga Indonesia, karena untuk kepentingan inilah suatu bangsa
terbentuk. Kelima, Ketuhanan yang dimaksud oleh Soekarnoo adalah Ketuhanan yang
berkebudayaan. Artinya bangsa Indonesia mengharai pengakuan setiap manusia
Indoneisa akan peran Tuhan dalam pencapaian kemerdekaan ini. Bangsa Indonesia
mengakui keberadaan agama-agama, dan hendaknya ada rasa saling menghargai di
antara mereka, kerena dengan demikian bangsa Indonesia bisa disebut bangsa yang
berbudaya. (Dewantara, 2017)

2.2. Korupsi di Indonesia


Korupsi berasal dari Bahasa latin “corruption” atau “corruptus” yang berarti
kerusakan atau kebobrokan. Secara harafiah korupsi adalah kebusukan, keburukan,
kebejatan korupsi adalah perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
dan sebagainya. Korupsi dapat pula dijelaskan sebagai korup, artinya busuk, suka
menerima suap, memakai kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan sebagainya.
Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi. (Saputra, 2017)
Korupsi bukanlah merupakan sesuatu yang baru dalam sejarah peradaban
manusia. Fenomena ini telah dikenal dan menjadi bahan diskusi bahkan sejak 2000
tahun yang lalu ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India bernama Kautilya
menulis buku berjudul Arthashastra. Demikian pula dengan Dante yang pada tujuh
abad silam juga menulis tentang korupsi (penyuapan) sebagai tindak kejahatan. Bahkan
seorang Shakespeare juga menyinggung korupsi sebagai bentuk kejahatan. Sebuah
ungkapan terkenal pada tahun 1887 mengenai korupsi dari sejarawan Inggris, Lord
Acton, yaitu ”power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”, hal ini
menegaskan bahwa korupsi berpotensi muncul di mana saja tanpa memandang ras,
geografi maupun kapasitas ekonomi. (Badjuri, 2011)
Korupsi merupakan penyakit sosial yang menggerogoti sendi-sendi bangsa dan
merusak tatanan hidup bernegara. Korupsi di Indonesia sudah tergolong extra ordinary
crime karena telah merusak, tidak hanya keuangan negara dan juga potensi ekonomi
suatu negara, namun juga sudah merusak pilar-pilar sosial budaya, moral, politik, dan
tatanan hukum dan keamanan nasional negara. Oleh karena itu, pemberantasannya
tidak bisa hanya oleh instansi tertentu saja dan tidak bisa dengan pendekatan parsial.
Hal itu harus dilakukan secara komprehensif dan bersama-sama, oleh lembaga penegak
hukum, lembaga pemasyarakatan, dan setiap individu sebagai anggota masyarakat.
(Suroto, 2015)
Banyak komentar negatif bahkan sampai umpatan-umpatan terhadap perilaku dan
pelaku tindak pidana korupsi. Muak, jengkel, putus asa, marah, dan hal-hal negatif lain
atas langgeng dan menjamurnya perilaku korupsi. Terlebih dalam tayangan televisi,
tersangka, terdakwa, dan bahkan terpidana seakan-akan menunjukkan show force
maupun berperilaku sebagai celebrity. (Waluyo, 2014)
Menjamurnya tindak pidana korupsi tentu membuat segenap bangsa Indonesia
gundah gulana. Ternyata korupsi terjadi pada pelbagai sektor dan juga kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta sektor swasta (private sector). Oleh karena itu
pemberantasan korupsi merupakan salah satu fokus utama Pemerintah dan Bangsa
Indonesia. Upaya-upaya telah ditempuh, baik untuk mencegah maupun memberantas
korupsi secara serentak, mengingat tindak pidana korupsi sebagai white collar crime
serta sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Upaya-upaya itu sebenarnya
telah dilakukan dan diupayakan agar membuahkan hasil berupa tumbuhnya itikad
pemberantasan korupsi hingga ke pelosok Indonesia. Pada masa reformasi, selain
Kepolisian dan Kejaksaan sejumlah instansi pelaksanaan dan pendukung
pemberantasan korupsi juga dibentuk, antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), juga telah dibentuk pengadilan khusus tindak
pidana korupsi. Semua itu dilakukan dalam rangka mengoptimalkan upaya
pemberantasan korupsi. (Waluyo, 2014)

2.3. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Anti Korupsi di Indonesia


Upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya dimulai sejak
tahun 1957. Dalam perjalanannya, upaya tersebut merupakan sebuah proses
pelembagaan yang cukup lama dalam penanganan korupsi. Upaya-upaya tersebut
adalah:
1. Operasi militer khusus dilakukan pada tahun 1957 untuk memberantas
korupsi di bidang logistik.
2. Dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) pada tahun 1967 dengan
tujuan melaksanakan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
3. Pada tahun 1970 dibentik tim advokasi yang lebih dikenal dengan nama Tim
Empat yang bertugas memberikan rekomendasi penindakan korupsi kepada
pemerintah.
4. Operasi Penertiban (Opstib) dibentuk pada tahun 1977 untuk memberantas
korupsi melalui aksi pendisplinan administrasi dan operasional.
5. Pada tahun 1987 dibentuk Pemsus Restitusi yang khusus menangani
pemberantasan korupsi di bidang pajak.
6. Pada tahun 1999 di bentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TGPTPK) di bawah naungan Kejaksaan Agung. Pada tahun yang
sama juga dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN).
7. Pada tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedangkan
KPKPN melebur dan bergabung didalamnya.

Pemberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya sudah dilakukan sejak empat


decade silam. Sejumlah perangkat hukum sebagai instrument legal yang menjadi dasar
proses pemberantasan korupsi di Indonesia juga telah disusun sejak lama. Namun
efektifitas hukum dan pranata hukum yang belum cukup memadai menyebabkan iklim
korupsi di Indonesia tidak kunjuk membaik. Berdasarkan hasil survey di kalangan
pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political dan Economic Risk
Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong, Indonesia masih dinilai sebagai
negara paling korup diantara 12 negara Asia tujuan investasi dunia. (Badjuri, 2011)
Strategi pemberantasan korupsi harus dibangun dan didahului oleh adanya itikad
kolektif, yaitu semacam kemauan dan kesungguhan (willingness) dari semua pihak
untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi.
Oleh karena itu, dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif memberantas korupsi,
dibutuhkan pemenuhan prasyarat sebagai berikut:
 Didorong oleh keinginan politik serta komitmen yang kuat dan muncul
dari kesadaran sendiri
 Menyeluruh dan seimbang
 Sesuai dengan kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan
 Berdasarkan pada sumber daya dan kapasitas yang tersedia
 Terukur dan transparan dan bebas dari konflik kepentingan

Sejak tahun 2002, KPK secara formal merupakan lembaga anti korupsi yang
dimiliki Indonesia. Pembentukan KPK didasari oleh UU No.30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi. Sesuai dengan UU tersebut, KPK memiliki tugas
melakukan tugas kordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi; supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi; melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak
pidana korupsi; dan melakukan pemantauan (monitoring) penyelenggaraan
pemerintahan negara. (Badjuri, 2011)
Badjuri mengatakan bahwa, kewenangan yang dimiliki KPK adalah
mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi; meletakkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi terkait; melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, meminta
laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Dengan demikian
tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh KPK, maka KPK merupakan ujung tombak
pemberantasan korupsi di Indonesia. (Badjuri, 2011)

2.4. Implementasi Nilai Pancasila dalam Menyikapi Korupsi di Indonesia


Pancasila merupakan cerminan kepribadian rakyat Indonesia sejatinya adalah
nilai ideal yang digariskan secara baik oleh pendiri bangsa. Ketika merumuskan
Pancasila, terdapat perdebatan yang mengarah kepada bagaimana model terbaik
manusia Indonesia di masa mendatang. Melalui diskusi intensif dan perdebatan
intelektualitas, lahir konsepsi Pancasila yang agung dan memiliki cita-cita luhur. Untuk
itu, segala bentuk penyimpangan dalam masyarakat Indonesia selayaknya dapat
dikembalikan kepada lemahnya pemahaman dan pengalaaman masyarakat Indonesia
atas Pancasila. (Saputra, 2017)
Seseorang yang berjiwa Pancasilais juga menyadari bahwa Indonesia adalah
negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945), maka penting sekali menjunjung tinggi
hukum dengan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum. Sebagai makhluk
beragama, juga tak ada satupun agama yang mengajarkan untuk merugikan kepentingan
orang lain. Setiap membela Pancasila adalah membela negara, dimana salah satu wujud
bela negara dengan melawan perbuatan korupsi yang merugikan masa depan bangsa.
Korupsi sebagai bentuk penyimpangan sosial jelas bertentangan dengan butir nilai
dalam Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menekankan bahwa manusia
Indonesia memiliki keimanan dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seperti yang
diketahui, Indonesia berkembang enam agama resmi (Islam, Kristen Protestan, Katolik,
Hindu, Buddha dan Konghucu) dan semuanya menolak korupsi. Penolakan hadir
disebabkan perilaku korupsi sangat berlawanan dengan semangat manusia yang memiliki
Tuhan dalam hidupnya. Secara nyata koruptor sudah menafikan adanya tindakan yang
merugikan orang lain dan perbuatan dosa yang kelak akan mendapatkan pembalasannya.
Tindakan pidana korupsi juga melupakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu Maha Melihat
segala perbuatan hambanya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ini menegaskan tindakan korupsi
mengabaikan pengakuan persamaan derajat, saling mencintai, sikap tenggang rasa,
membela kebenaran dan keadilan. Seorang koruptor tidak memiliki rasa keadilan dan
keadaban, sebab hak yang seharusnya dimiliki rakyat diambil secara sepihak untuk
kepentingan pribadinya.
Persatuan Indonesia. Seorang koruptor mementingkan nafsu dan urusan pribadinya
saja, mengabaikan betapa kesalahan yang diperbuatnya merusak sendi kehidupan
perekonomian, pembangunan sosial, melemahkan budaya positif di masyarakat dan
melunturkan rasa kecintaan kepada bangsa dan negara. Dengan melakukan korupsi, maka
dirinya merusak persatuan nasional karena perbuatan yang dilakukannya berdampak
kepada seluruh masyarakat Indonesia yang tidak dapat merasakan kenikmatan dan hasil
pembangunan di Indonesia.
Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan. Munculnya perilaku koruptif khususnya di kalangan
parlemen jelas menabrak sila keempat. Kepercayaan masyarakat kepada parlemen luntur
padahal amanah mereka dalam sistem demokrasi dititipkan kepada para wakil rakyat.
Ketika wakil rakyat justru sibuk menguras anggaran negara, maka pelanggaran terhadap
sila keempat sudah terjadi dan mengundang sinisme masyarakat bahwa gedung wakil
rakyat tak ubahnya tempat pertemuan para koruptor.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tak ada lagi keadilan ketika
kesenjangan sosial semakin lebar disebabkan anggaran negara tidak lagi pro rakyat.
Kepentingan umum terganggu akibat tidak selesainya pembangunan karena dana
pembangunan tertahan di tangan para koruptor. Kemajuan pembangunan yang merata dan
kesempatan menikmati keadilan sosial hilang sudah ketika banyak sekali agenda
pembangunan tidak berjalan sesuai harapan. (Saputra, 2017)
Pancasila bukan sebuah bentuk aturan yang kaku dan bersifat terbuka. Sehingga
dalam implementasiannya dapat dikembangkan dalam berbagai dimensi kehidupan dan
melibatkan banyak pihak yang memiliki kepentingan sama menjaga dan mengamalkan nilai
Pancasila. Konteks mengatasi persoalan korupsi, implementasi nilai Pancasila dapat
dimulai dari kehidupan keluarga dengan membiasakan kewajiban menjalankan ajaran
agama sehingga mampu menjadi banteng moralitas dan garda terdepan dalam menilai
sebuah perbuatan baik-buruk maupun benar-salah kelak di mata Tuhan Yang Maha Esa.
Bagaimanapun korupsi bagaikan kata pepatah nila setitik, rusak susu sebelanga. Satu
orang manusia Indonesia melakukan korupsi maka dampaknya dirasakan seluruh
masyarakat Indonesia. Perbuatan korupsi akan merusak persatuan nasional karena
mengakibatkan pembangunan nasional terhenti disebabkan dana pembangunan dikorupsi
oknum tertentu. Seorang koruptor juga menjadi teladan buruk bagi generasi penerus,
karena menciptakan nilai negatif bahwa jika ingin kaya maka korupsilah. (Saputra, 2017)
Implementasi sila pertama sampai kelima dapat menggunakan banyak unsur
kehidupan seperti keluarga, masyarakat, pemerintah atau negara dan institusi pendidikan.
Semua ini bersinergi dalam mencegah dan menindak tegas perilaku korup di berbagai
bidang kehidupan. Selain itu perlu ditampilkan pula apresiasi terhadap personal maupun
lembaga sehingga dapat menjadi teladan bagi manusia Indonesia lainnya.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Korupsi adalah salah satu tindakan atau penyakit berbahaya dalam kehidupan masyarakat
Indonesia karena sudah masuk ke dalam berbagai sendi kehidupan bangsa Indonesia baik
masyarakat atas maupun bawah, masuk ke dalam struktur pemerintahan baik eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Dengan adanya korupsi dapat menghambat pembangunan sosial, ekonomi,
memperlemah karakter bangsa dan menghasilkan banyak dampak negatif lainnya.
Usaha untuk menghadapi korupsi, rakyat Indonesia harus kembali memperkuat dan
menginternalisasikan nilai Pancasila dalam kepribadian dan sikap kesehariannya. Setiap orang
beragama pasti menolak perbuatan korupsi karena merusak nilai keadilan dan keadaban sebagai
makhluk Tuhan yang memiliki nilai kemanusiaan untuk tidak mudah merampas hak orang lain.
Korupsi juga membuat rakyat tidak percaya kepada pemimpinnya sehingga jelas melanggar
sila keempat. Dengan adanya korupsi pula sisi keadilan sosial masyarakat Indonesia terusik
karena menciptakan kesenjangan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjauhkan kita dari
cita-cita negara adil dan Makmur sebagaimana mimpi para pendiri bangsa ketika
mendeklarasikan negara Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Badjuri, A. (2011). PERANAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) SEBAGAI
LEMBAGA ANTI KORUPSI DI INDONESIA (The Role of Indonesian Corruption
Exterminate Commission in Indonesia). Jurnal Bisnis Dan Ekonomi (JBE), 18(1), 84–
96. Retrieved from http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=7671&val=548&title=PERANAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
(KPK) SEBAGAI LEMBAGA ANTI KORUPSI DI INDONESIA
Dewantara, A. W. (2017). Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam
Kacamata Soekarno). 102. https://doi.org/10.31227/OSF.IO/E7CQK
Saputra, I. (2017). Implementasi Nilai Pancasila dalam Mengatasi Korupsi di Indonesia.
PPKn, 2(1), 9–17.
Suroto. (2015). Terapi Penyakit Korupsi : Peran Pkn. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan,
5(10), 766–772.
Waluyo, B. (2014). OPTIMALISASI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
Bambang Waluyo Kejaksaan Agung Republik Indonesia Email. Jurnal Yuridis, 1(2),
169–182.
Yustisia. (2014). Pemahaman Masyarakat Tentang Korupsi. Yustisia Jurnal Hukum, 3(1), 80–
88. https://doi.org/10.20961/yustisia.v3i1.10124

Anda mungkin juga menyukai