Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

PERTEMUAN 13

Kelompok 4
Pancasila 1

Nama Kelomp :

1. Veronica Issabela Naibaho 2443019149


2. Kusuma Arindiya 2443019157
3. Roisus Syarif 2443019160
4. Vicca Desti Indriani 2443019163
5. Ayu Janatun Fitri 2443019164
6. Jhessy Widiastika 2443019175
7. Salwa Damayanti 2443019177

Fakultas Farmasi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
2022
Korupsi merupakan masalah yang serius di Indonesia. Banyak usaha telah dilakukan oleh
pemerintah untuk memberantas korupsi namun tampak sia--sia. Dalam lima tahun belakangan, buku
buku yang membahas tentang korupsi banyak diterbitkan, misalnya: karya oleh Bubandt. Perbuatan
korupsi ini dianggap masih sulit untuk dihilangkan atau diberantas dengan adanya beberapa
permasalahan lain seperti seperti pencurian, perampokan atau perbuatan melawan hukum
lainnya membuat berbagai masalah tidak selesai dan merepotkan para aparat penegak hukum.
Tindakan antisipatif terhadap korupsi dititikberatkan pada upaya preventif, dan sanksi hukum
yang konsisten sehingga penerapan sanksi yang tidak dapat diubah hanya karena
mendapatkan bayaran
Korupsi sesungguhnya bukan persoalan baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Sebab sejak zaman Belanda menjajah Indonesia, korupsi sudah berkembang pesat sehingga
menyebabkan kongsi dagang Belanda bangkrut pada tahun 1602. Ketika Indonesia
memperoleh kemerdekaan, persoalan korupsi belum juga selesai mengingat karakter dasar
manusia yang tidak pernah puas. Sehingga meski sudah memperoleh kedudukan tinggi
sekalipun, ketika ada peluang melakukan korupsi ditambah sistem hukum yang lemah,
menyebabkan korupsi masih berkembang pesat. Indonesia pada saat masa Orde Baru, terlihat
korupsi semakin berjalan sistemik dan melibatkan para pejabat yang berkuasa dan
mendapatkan pembiaran dari penegak hukum. Koruptor dengan berbagai cara menguras
anggaran negara demi memperkaya kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kondisi ini masih
berlanjut sampai sekarang ketika nafas kebebasan di era reformasi sudah berhembus kencang.
Pasca reformasi tidak menyurutkan berbagai tindakan korupsi bahkan semakin terasa marak
korupsi yang terjadi. Melihat kondisi bangsa yang semakin terpuruk menghadapi korupsi di
Indonesia, tentunya menjadi penting untuk melihat sejauh mana korupsi berdampak kepada
kehidupan masyarakat. Sebab pada dasarnya korupsi menabrak fitrah manusia sebagai
makhluk yang memiliki etika dan akhlak mulia. Seorang koruptor secara nyata telah
merugikan kepentingan masyarakat, menghambat kemajuan ekonomi, merusak moralitas dan
memperlemah perekonomian nasional. Sehingga tepat kiranya jika disebut korupsi adalah
sarana yang dapat menghancurkan sebuah bangsa.
Utang Indonesia mengalami peningkatan karena pemerintah Indonesia terlalu boros
dalam menggunakan anggaran negara. Satu sisi pemborosan anggaran juga terjadi akibat
faktor korupsi yang merajalela. Akibat korupsi yang dilakukan oleh sejumlah pejabat negara
harus menutupi hasil korupsi tersebut. Korupsi menjadi salah satu penyebab tingginya utang
luar negeri Indonesia. Utang luar negeri membengkak karena dijadikan salah satu penutup
defisit, saat pengeluaran negara membengkak akibat dikorupsi. Sementara itu, di sisi
penerimaan, targetnya tidak tercapai. Korupsi menjadi salah satu penyebab tingginya utang
luar negeri Indonesia. Utang luar negeri membengkak karena dijadikan salah satu penutup
defisit, saat pengeluaran negara membengkak akibat dikorupsi. Sementara itu, di sisi
penerimaan, targetnya tidak tercapai.

Peran masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi tentunya bukan pada upaya
penindakan tindak pidana korupsi yang merupakan kewenangan penegak hukum. Peran
masyarakat lebih diarahkan pada upaya pencegahan korupsi dengan ikut membangun budaya
anti korupsi di masyarakat. Budaya anti korupsi di tataran masyarakat perlu ditanamkan sejak
dini melalui penanaman nilai-nilai anti korupsi kepada peserta didik yang dapat dimulai pada
jenjang pendidikan dasar. Pentingnya penanaman nilai anti korupsi sejak bangku pendidikan
dasar ini merupakan sebuah upaya internalisasi nilai dalam diri peserta didik sehingga nilai
ini nantinya akan dijadikan sebagai pandangan hidup (worldview) sejak dini bahwa dengan
menerapkan nilai-nilai anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari dia telah turut dalam upaya
mewujudkan tujuan pembangunan nasional dalam rangka mencapai masyarakat Indonesia
yang adil makmur dan sejahtera dan tidak dapat secara mudah terpengaruh oleh kebudayaan
asing yang bukan merupakan jati diri bangsa Indonesia. Penanaman nilai anti korupsi di
pendidikan dasar dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya melalui kegiatan
sosialisasi dengan harapan akan terwujud “Generasi Anti Korupsi” di Indonesia.

Beberapa teori sebagai penyebab terjadinya perilaku korupsi


- Teori Perilaku Korup
Teori Means-Ends Scheme :
Robert Merton. menyatakan bahwa korupsi merupakan suatu perilaku manusia yang
diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma.
- Teori Prilaku Korup Teori
Solidaritas SosialTeori lain yang menjabarkan terjadinya korupsi adalah teori Solidaritas
Sosial yang dikembangkan oleh Emile Durkheim. Teori ini memandang bahwa watak
manusia sebenarnya bersifat pasif dan dikendalikan oleh masyarakatnya
- Teori Prilaku Korup Gone Theory
Teori yang juga membahas mengenai prilaku korupsi, dengan baik di hadirkan oleh Jack
Bologne yang dikenal dengan teori GONE. Ilustrasi GONE Theory terkait dengan faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan atau korupsi yang meliputi Greeds
(keserakahan), Opportunities(kesempatan), Needs (kebutuhan) dan Exposure
(pengungkapan). Untuk itu maka dalam pamahaman terhadap nilai-nilai
Pancasila akan membentuk:
1. Rasa Kebangsaan
Rasa kebangsaan merupakan suatu perasaan rakyat, masyarakat dan bangsa terhadap kondisi
bangsa Indonesia dalam perjalanan hidupnya menuju cita-cita bangsa yaitu masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Rasa kebangsaan yang membara dapat dijadikan modal dasar bagi upaya untuk
membuat masyarakat bangsa dihormati dan disegani oleh bangsa lain di dunia
2. Paham KebangsaanPaham Kebangsaan merupakan pengertian yang mendalam tentang apa
dan bagaimana suatu bangsa mewujudkan masa depannya. Melalui peningkatan Paham
Kebangsaan pada seluruh komponen bangsa Indonesia, akan sangat berpengaruh positif
kepada visi warga negara tentang kemana bangsa ini harus dibawa ke masa depan.
3. Semangat Kebangsaan
Pengertian Semangat Kebangsaan atau nasionalisme, merupakan perpaduan atau sinergi dari
Rasa Kebangsaan dan Paham Kebangsaan. Dengan peningkatan Semangat Kebangsaan pada
seluruh komponen bangsa, akan semakin meningkatkan kemampuan bangsa untuk tetap
bertahan hidup menghadapi perkembangan lingkungan strategis yang serba cepat dan
dinamis.
4. Wawasan Kebangsaan yang
dimiliki oleh segenap komponen bangsa harus mampu menjaga jati diri, karakter, moral dan
kemampuan dalam menghadapi berbagai masalah nasional. Dengan pengalaman krisis
multidimensional yang berkepanjangan, agenda Wawasan Kebangsaan bagi bangsa Indonesia
harus diarahkan untuk membentuk serta memperkuat basis budaya agar mampu menjadi
tumpuan bagi usaha pembangunan di bidang lain.

Dalam Pancasila terdapat lima sila yang dimana setiap sila-sila itu memiliki arti yang
berbeda tetapi memiliki tujuan yang satu yaitu menciptakan dan mewujudkan cita-cita negara
Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan bahwa korupsi merupakan salah 1 penyelewangan
yang marak terjadi di Indonesia. Tindakan tersebut bukan hanya melanggar aturan negara
tetapi hal itu juga telah melanggar ideologi dan prinsip terhadap Pancasila. Dengan
menyelewengnya tindakan terhadap Pancasila hal tersebut akan membuat cita-cita yang
didambakan oleh negara dan bangsa lama kelamaan akan menjadi hancur. Maka dari itu
terdapat hal penting dalam tindakan korupsi terhadap Pancasila yaitu dengan kita melakukan
tindakan korupsi kita sama saja telah menghancurkan Pancasila yang telah susah payah
dibuat oleh pendiri bangsa kita yang berjuang dengan sungguh-sungguh.
Berikut adalah nilai-nilai dalam pancasila untuk menyikapi korupsi di Indonesia :
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menekankan bahwa manusia Indonesia memiliki
keimanan dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seperti yang diketahui,
Indonesia berkembang enam agama resmi (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu,
Buddha dan Konghucu) dan semuanya menolak korupsi. Penolakan hadir disebabkan
perilaku korupsi sangat berlawanan dengan semangat manusia yang memiliki Tuhan
dalam hidupnya. Secara nyata koruptor sudah menafikan adanya tindakan yang
merugikan orang lain dan perbuatan dosa yang kelak akan mendapatkan
pembalasannya. Tindakan pidana korupsi juga melupakan bahwa Tuhan Yang Maha
Esa itu Maha Melihat segala perbuatan hambanya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ini menegaskan tindakan korupsi
mengabaikan pengakuan persamaan derajat, saling mencintai, sikap tenggang rasa,
membela kebenaran dan keadilan. Seorang koruptor tidak memiliki rasa keadilan dan
keadaban, sebab hak yang seharusnya dimiliki rakyat diambil secara sepihak untuk
kepentingan pribadinya.
3. Persatuan Indonesia. Seorang koruptor mementingkan nafsu dan urusan pribadinya
saja, mengabaikan betapa kesalahan yang diperbuatnya merusak sendi kehidupan
perekonomian, pembangunan sosial, melemahkan budaya positif di masyarakat dan
melunturkan rasa kecintaan kepada bangsa dan negara. Dengan melakukan korupsi,
maka dirinya merusak persatuan nasional karena perbuatan yang dilakukannya
berdampak kepada seluruh masyarakat Indonesia yang tidak dapat merasakan
kenikmatan dan hasil pembangunan di Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan. Munculnya perilaku koruptif khususnya di kalangan
parlemen jelas menabrak sila keempat. Kepercayaan masyarakat kepada parlemen
luntur padahal amanah mereka dalam sistem demokrasi dititipkan kepada para wakil
rakyat. Ketika wakil rakyat justru sibuk menguras anggaran negara, maka pelanggaran
terhadap sila keempat sudah terjadi dan mengundang sinisme masyarakat bahwa
gedung wakil rakyat tak ubahnya tempat pertemuan para koruptor.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tak ada lagi keadilan ketika
kesenjangan sosial semakin lebar disebabkan anggaran negara tidak lagi pro rakyat.
Kepentingan umum terganggu akibat tidak selesainya pembangunan karena dana
pembangunan tertahan di tangan para koruptor. Kemajuan pembangunan yang merata
dan kesempatan menikmati keadilan sosial hilang sudah ketika banyak sekali agenda
pembangunan tidak berjalan sesuai harapan.

Beberapa upaya dalam penyelesaian korupsi


● Memperbaiki sistem dan memantau pengaduan masyarakat.
● Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu.
● Pelaporan harta pribadi pemegang kekuasaan dan fungsi publik.
● Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di kancah
internasional.
Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia telah dilakukan diantaranya melalui pembentukan
lembaga antikorupsi dan peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi.
Berdasarkan jurnal yang ditulis Badjuri (2011) dan artikel detik.com yang ditulis Sudrajat
(2017), terdapat beberapa lembaga antikorupsi yang pernah dibentuk di Indonesia, yaitu
sebagai berikut:
- Operasi Militer Khusus pada tahun 1957
- Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara dan Panitia Retooling Aparatur Negara
pada tahun 1959
- Operasi Budhi pada tahun 1963
- Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi pada tahun 1964
- Tim Pemberantasan Korupsi pada tahun 1967
- Tim Empat dan Komisi Anti Korupsi pada tahun 1970
- Pemsus Restitusi pada tahun 1987
- Operasi Penertiban pada tahun 1997
- Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Komisi Pemeriksa
Kekayaan Pejabat Negara pada tahun 1999
- Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2002.

Korupsi dan Karakter Allah


Sekalipun budaya korupsi dalam Per-janjian Lama paralel dengan budaya korupsi
bangsa-bangsa lain di sekitar Israel, bukan berarti nilai dari moralitas mereka memiliki bobot
yang sama. Ekspresi negatif tentang korupsi yang muncul dalam Perjanjian Lama bersumber
dari karakter Allah yang kudus yang mengikat umat-Nya dengan konse-kuensi dalam ikatan
perjanjian kekal. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di sekitar Israel.
Walaupun hukum dan peraturan dari bangsa-bangsa Timur Tengah Kuno banyak yang
melarang korupsi dan suap, namun demikian hukum tersebut inkonsisten de-ngan karakter
dewa-dewi yang diyakini. Hukum ini dipercaya diberikan kepada manusia oleh para dewa
untuk ditaati akan tetapi dewa-dewi itu sendiri tidak terikat kepada hukum.
Mitologi politeistis yang menggam- barkan para dewa yang rakus, saling me-nipu, mencuri,
memeras dan bahkan mem- bunuh untuk mendapatkan keuntungan atau kekuasaan membuat
masyarakat Mesir Ku-no tidak percaya kepada sistem peradilan yang ada. Praktik suap
merupakan hal yang biasa. Mereka bahkan diajarkan untuk me-nyuap para dewa melalui
sesajen dan kor-ban agar meredakan kemarahan para dewa sehingga mereka tidak dihukum.

Korupsi dalam pemerintahan


Tradisi kuno mencatat bahwa korupsi sudah terjadi sejak zaman Mesir Kuno. Administrasi
pemerintahan Firaun dipenuhi dengan praktik penyalahgunaan kekuasaan, pemerasan,
penindasan dan korupsi. Begitu juga dalam zaman pemerintahan Ramses yang sangat di-
dominasi oleh praktik pemerasan pajak, gaji para pegawai dan budak yang tidak di bayarkan
serta korupsi

Modus Korupsi
Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan bahwa modus atau cara korupsi yang
sering dilakukan antara lain melalui penyalahgunaan anggaran, penggelapan, mark-up,
penyalahgunaan wewenang, laporan fiktif, suap atau gratifikasi, pemerasan, mark-down,
pungli, dan anggaran ganda (Tashandra, 2016). Setiyono (2017: 39–40) menyatakan
umumnya modus korupsi yang sering ditemukan pada setiap kasus terdiri atas empat cara
(modus), yaitu:
Mark-up dan mark-down, pertanggungjawaban fiktif, abuse of power, dan penggelapan.
Mark-up dilakukan melalui cara menaikkan anggaran pada pembiayaan (pengeluaran)
anggaran yang tidak seharusnya agar menguntungkan kepentingan pribadi, dan keuangan
negara atau keuangan daerah dirugikan. Modus mark-down dengan cara menurunkan nilai
potensi pendapatan yang tidak berdasarkan fakta lapangan di mana ada peningkatan
pendapatan melebihi dari potensi yang ada. Laporan fiktif sering dilakukan dengan cara
melaporkan realisasi anggaran tidak berdasarkan kenyataannya. Modus ini paling banyak
terjadi di perjalanan dinas.
1. Redundant (menggandakan) dilakukan melalui menggandakan jenis anggaran yang
berbeda-beda tetapi untuk satu fungsi misalnya pos anggaran untuk jaminan kesehatan
tetapi pada pos anggaran lain dimunculkan item anggaran dengan nama tunjangan
asuransi kesehatan. Sebenarnya pos anggaran untuk jaminan kesehatan dan tunjangan
asuransi kesehatan merupakan fungsi yang sama yaitu anggaran bagi kesehatan
anggota legislatif. Contoh lain, menitipkan pos anggaran ke eksekutif atau pemerintah
daerah melalui item anggaran bantuan kelembagaan
2. Menciptakan pos mata anggaran baru yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan
Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Contoh: mengalokasikan pos anggaran
untuk purna bakti/pensiun, dan/atau rumah dinas yang hanya untuk pimpinan
DPR/DPRD tetapi diciptakan item anggaran rumah dinas untuk semua anggota
DPR/DPRD
3. Korupsi dalam keuangan program kegiatan, seperti pemalsuan tiket perjalan dinas,
surat perintah perjalanan dinas fiktif, dan laporan pertanggungjawaban fiktif. Modus
korupsi ini umumnya dilakukan melalui manipulasi dokumen keuangan dalam
realisasi APBD, pelaksanaan kegiatan fiktif untuk memperkaya diri sendiri atau
sekelompok orang sehingga merugikan keuangan daerah atau keuangan negara.

Modus korupsi satu sampai tiga merupakan tindakan korupsi sesuai kesepakatan antara
dua belah pihak seperti eksekutif dengan legislatif untuk mencari celah hukum dan
kewenangan yang terkadang tumpang tindih untuk kepentingan dua pihak. Korupsi jenis ini
dianggap korupsi legal karena dipayungi oleh peraturan perundangan. Pope (2000: 15)
menyatakan bahwa modus korupsi terjadi atas dua kategori, yaitu: (1) korupsi karena
dinamika yang didukung peraturan perundangan, dan (2) modus korupsi karena tindakan
korupsi yang melanggar peraturan perundang-undangan. Setiyono (2017: 37) menjelaskan
bahwa korupsi karena dinamika menguntungkan pihak yang melakukan korupsi karena
dipayungi peraturan perundangan, dan korupsi karena tindakan nyata korupsi karena terbukti
melanggar perundangan dan memperkaya diri sendiri. Dua modus korupsi tersebut ada pada
setiap hirarki kelembagaan pemerintah dan menyebabkan kerugian pada keuangan daerah dan
negara dari kecil sampai besar.

Faktor-Faktor Penyebab Korupsi


Ada dua penyebab seseorang melakukan korupsi, pertama, karena adanya kebutuhan
(corruption by need), yaitu tindakan untuk memeras (ada unsur paksaan) dalam melakukan
kegiatan- kegiatan pelayanan publik, seperti suap untuk kemudahan memperoleh administrasi
kependudukan, maupun menyogok untuk memperoleh pelayanan istimewa di rumah sakit.
Kedua, korupsi juga disebabkan karena adanya sikap serakah (corruption by greed), yaitu
kongkalikong (kerja sama) dalam mendapatkan keuntungan pribadi melalui kolusi yang
saling menguntungkan dan melibatkan sejumlah aktor, seperti kolusi proyek dan jabatan di
pemerintahan (Bauhr & Nasiritousi, 2011: 2–3). Corruption by greed lebih tersembunyi dan
sistematis dibandingkan corruption by need.
World Bank (2003: 5) menyatakan bahwa penyebab seseorang melakukan korupsi
karena adanya motivasi personal dan bekerja pada sistem yang buruk. Motivasi personal
dipengaruhi oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang paling tinggi dibandingkan
orang lain dengan cara yang cepat melalui penggelapan sejumlah uang untuk tujuan dan
kepentingan pribadinya. Setiyono (2017: 55) menyatakan korupsi yang dipengaruhi motivasi
personal disebabkan karena menghindari denda atau penalti dari pajak, atau pejabat (politisi)
yang takut jika disaat pensiunnya nanti tidak menerima pensiun atau dana talangan hari tua
dan/ atau uang jaminan standar hidup mereka, pembayaran kredit, biaya pendidikan, dan
sebagainya. Sistem yang buruk mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi karena
adanya kesempatan korupsi dari kewenangan yang dimiliki, seperti desentralisasi dan
otonomi daerah pada penggunaan APBD, pengelolaan perusahaan daerah, perizinan, dan lain
sebagainya. Sistem yang buruk ini tercipta karena pengelolaan anggaran publik yang tidak
akuntabel dan transparan, serta lemahnya penegakan hukum daerah setempat. Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (2002) menyatakan bahwa selain aspek individu dan
sistem (organisasi) yang buruk, yang juga sangat berbahaya adalah jika terjadi sikap permisif
dari lingkungan terhadap kesalahan personal dan organisasi.
Berdasarkan aspek individu, seseorang melakukan korupsi dipengaruhi sikap tamak
manusia, moral yang kurang kuat, penghasilan yang kurang mencukupi, kebutuhan hidup
yang mendesak, gaya hidup yang konsumtif, malas, dan ajaran agama yang kurang
diterapkan. Sistem yang buruk tercipta karena kurang adanya sikap keteladanan pimpinan,
tidak adanya kultur organisasi yang benar, kurang memadainya sistem akuntabilitas di
instansi pemerintah, kelemahan sistem pengendalian manajemen, dan manajemen yang
cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi. Kondisi ini akan semakin buruk jika
bertemu dengan nilai sosial kemasyarakatan yang kondusif untuk perilaku koruptif, seperti:
(1) Masyarakat yang menghargai seseorang hanya berdasarkan status sosial maupun
kekayaan. Hal ini membuat seseorang atau komunitas menjadi tidak peka terhadap sumber
kekayaan yang diperoleh dari seseorang/komunitas yang melakukan korupsi; (2) Masyarakat
yang menganggap bahwa yang dirugikan perilaku korupsi adalah negara, bukan masyarakat.
Masyarakat tidak menyadari bahwa korupsi yang menyebabkan anggaran pembangunan
berkurang; (3) Masyarakat menganggap bahwa pemberantasan korupsi merupakan urusan
penegak hukum atau pemerintah, tidak memerlukan partisipasi publik; dan (4) Masyarakat
yang lemah jika berkaitan dengan peraturan yang berdampak kepada kelompok mereka
sendiri, kualitas aturan perundangan yang lemah, aturan perundangan yang tidak tersosialisasi
dengan baik, sanksi hukum yang tumpul, implementasi sanksi yang berdasarkan kepentingan
dan pamrih, monitor dan evaluasi implementasi undang-undang yang lemah.

Anda mungkin juga menyukai