Bahasa Dan Realitas
Bahasa Dan Realitas
Tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa adalah unsure yang sangat penting bagi manusia. Tak
terbayangkan oleh kita bila tidak ada bahasa. Bahasa tidak hanya alat komunikasi yang
digunakan oleh manusia untuk berhubungan dengan manusia lain. Tetapi bahasa juga media yang
menghubungkan antara manusia dengan Tuhan. Ketika Tuhan menurunkan wahyu kepada Nabi-
nabi pilihannya Tuhan menggunakan bahasa yang bisa dipahami oleh mereka. Contohnya, Tuhan
menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab karena Nabi
Muhammad memang berasal dari Arab. Dalam berkomunikasi atau berdo’a kepada Tuhan pun
kita menggunakan bahasa. Karena sangat begitu pentingnya bahasa bagi manusia untuk
berkomunikasi dengan sesama manusia dan manusia dengan Tuhan, maka sangatlah tepat ketika
Tuhan menurunkan wahyu yang pertama yang memerintahkan agar Nabi Muhammad membaca.
Secara umum fungsi bahasa ada dua (Gillian Brown dan George Yule, 1983 : 1). Pertama,
bahasa berfungsi untuk menyampaikan informasi (transaksional). Kedua, bahasa berfungsi untuk
menjalin hubungan sosial (interaksional) manusia dengan manusia lain di masyarakat. Dalam
tulisan singkat ini penulis akan membahas hubungan antara fungsi bahasa sebagai pemberi
informasi dengan realitas. Dalam penyampaian informasi tentu melibatkan dua unsur, yaitu
adanya pemberi informasi dan adanya penerima informasi. Ketika dua unsur ini akan
berkomunikasi tentu mereka akan mencari media yang akan membantu proses komunikasi
mereka agar informasi yang disampaikan dapat dipahami oleh kedua pihak. Media yang paling
tepat adalah media bahasa, baik itu bahasa lisan maupun tulisan. Bahasa akan menghubungkan
ide yang ada di dalam otak atau pikiran pemberi informasi dengan penerima informasi. Jadi
ketika pemberi informasi ingin menyampaikan idea tau informasi kepada orang lain, dalam
pikirannya akan terjadi proses pemilihan kata-kata yang tepat yang kemudian bisa disusun
menjadi kalimat-sebelum ia menyatakan idea tau informasi tersebut ke dalam bentuk ucapan atau
tulisan.
Proses pemindahan ide dari alam pikiran menjadi kata-kata (baca bahasa) ini terjadi dalam
waktu yang sangat singkat sehingga kita sering tidak menyadarinya karena kita telah sangat
terbiasa menggunakan bahasa. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana ketepatan hubungan
antara bahasa dengan realitas yang diacunya. Apakah bahasa benar-benar bertujuan untuk
Menurut pendapat penulis, di satu sisi bahasa memang bisa menyampaikan informasi tentang
suatu realitas, tetapi di sisi lain bahasa juga bisa menyembunyikan realitas itu sendiri.
Contohnya, ada suatu artikel di suatu Koran yang menulis berita tentang kunjungan Presiden ke
Cina. Artikel itu menjelaskan waktu kedatanagn Presiden dan hasil kesepakatan yang diperoleh
dari kunjungan itu. Tampaknya uraian yang tertulis dalam artikel itu telah lengkap. Tetapi apakah
artikel itu benar-benar telah mengungkapkan semua hal yang berhubungan dengan Presiden?
Tentu saja tidak. Pasti ada bagian-bagian tertentu yang tidak terungkapkan dalam artikel itu.
Contohnya, artikel itu tidak menulis tentang sepatu presiden, jumlah kancing baju presiden, gaya
rambut presiden, merek baju presiden dan tentu pasti lebih banyak lagi bagian yang tidak
terungkapkan. Jadi dalam hal ini kita dapat melihat bahwa tampak lebih banyak hal-hal yang
tidak diungkapkan atau yang dilukiskan daripada hal-hal yang bisa diungkapkan oleh media
bahasa.
Ini menunjukkan bahwa di satu sisi bahasa memang bisaa berfungsi untuk menunjukkan
atau menjelaskan realitas, tetapi di sisi lain ternyata bahasa bisa menyembunyikan realitas. Kita
dapat melihat betapa sangat terbatasnya peran bahasa dalam mengungkapkan realitas. Analisa
penulis terhadap contoh artikel itu tentu saja terlepas dari penting atau tidak pentingnya
informasi yang berhubungan dengan presiden yang diungkapkan dalam Koran itu. Penulis hanya
ingin menunjukkan bahwa bahasa bersifat ambiguitas; di satu sisi berfungsi untuk menunjukkan
(to show) tapi di sisi lain ternyata berfungsi untuk menyembunyikan (to hide).
Jadi bagaimanakah kita bisa mempercayai bahasa bila bahasa juga menyembunyikan
realitas? Jawabannya memang sulit bila kita telah mengetahui bahwaa fungsi bahasa yang
bersifat ambiguitas terhadap realitas. Pembahasan ini sama sekali tidak bertujuan membuat kita
bersifat pesimis terhadap bahasa atau tidak percaya terhadap perkataan atau tulisan orang lain.
Dengan memahami fungsi bahasa yang bersifat ambiguitas itu, penulis hanya ingin mengajak
kita agar lebih bersifat kritis terhadap perkataan, tulisan dan juga wacana yang ada disekitar kita.
Kita tidak boleh langsung percaya dengan arti atau maksud suatu ujaran dan tulisan. Karena
dibalik makna yang kita lihat atau kita dengar ada banyak informasi atau realitas yang belum
atau tidak terungkapkan. Jadi kita harus selalu berusaha untuk menemukan realitas-realitas yang
belum terungkapkan itu dengan cara mengkritisinya dengan menggunakan rasio dan akan lebih
bila kita berusaha mencari informasi lain yang berhubungan dengan teks yang kita hadapi.
Fungsi bahasa yang bersifat ambiguitas ini akan lebih menarik kita lihat dalam dunia
politik karena dalam dunia politi selalu terjadi persaingan untuk menjatuhkan dan mengangkat.
Tampaknya dalam dunia politik orang memanfaatkan fungsi bahasa yang bersifat ambiguitas
terhadap realitas. Asumsi ini tentu saja terlepas apakah mereka mengerti atau tidak dengan fungsi
bahasa seperti itu. Mungkin saja itu memang sifat manifulatif (atau lebih tepat disebut sifat
penipu) mereka yang bertujuan untuk mengungkapkan hal yang baik tentang mereka dan
Contohnya pada masa kampanye kita sering melihat tokoh-tokoh partai berbicara dengan
berapi-api untuk menyampaikan informasi dan janji yang baik yang akan bisa mendukung
partainya. Hal ini bertujuan agar massa yang mendengar tertarik untuk memilih partainya pada
waktu pemilu dilaksanakan. Sebenarnya kalau kita piker lebih lanjut tentu akan lebih banyak
informasi yang disembunyikan oleh tokoh politik tersebut dalam kampanyenya itu.
Tetapi apakah penyembunyian realitas ini benar-benar efektif ? Pada zaman sebelum
reformasi mungkin sangat efektif karena yang mempunyai kekuasaan untuk “berbicara”
hanyalah pemerintah sedangkan di luar dari pemerintah dipaksa untuk menerima segala
informasi. Dan tentu saja pemerintah pada saat itu hanya mengeluarkan pernyataan yang
mendukung peran pemerintah, seperti keberhasilan pembangunan dan hal-hal yang berhubungan
dengan jasa pemerintah. Sedangkan ketidak berhasilan dan kejelekkan pemerintah akan dianggap
subversive. Setelah reformasi digulirkan semua orang tampak bebas berbicara dan semua orang
bebas untuk mengkritik orang lain, termasuk juga pemerintah. Metode pengungkapan yang baik
dan penyembunyian yang tidak baik mulai tidak efektif lagi karena semua orang dapat menilai
mana perkataan yang mendekati dengan realitas dan mana perkataan yang benar-benar jauh dari
realitas. Bangsa Indonesia mulai kritis setelah krisis memaksa mereka untuk bergerak atau
berfikir. Namun demikian keterbatasan bahasa untuk mengungkapkan semua realitas harus kita
akui dan sadari. Yang peru kita pahami adalah bagaimana bahasa yang kita gunakan bisa
mendekati realitas kalau memang bahasa tidak akan pernah bisa mengungkapkan realitas yang
sebenarnya dan mari kita hindari penyembunyian realitas secara sengaja dengan bahasa karena