Anda di halaman 1dari 1

Daftar Isi

Meletakkan Sampah, 17 Des 2010

Meletakkan Sampah
KOMPAS, 17 Des 2010. Agus Tridiatno: Dosen di Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Peserta Program Doktor Studi Agama-agama di Indonesian Consortium for Religious
Studies, Yogyakarta.
Dalam wawancara Kompas dengan Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo
pada terbitan 31 Oktober 2010 tersua: “Untuk sampah, tidak lagi dipakai istilah
membuang sampah, tetapi meletakkan sampah pada tempatnya dan mengubah
sampah menjadi berkah.” Menyosialisasikan penggunaan ungkapan membuang
sampah menjadi meletakkan sampah sebagai upaya mengubah pandangan
masyarakat tentang sampah adalah sesuatu yang menarik.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta (1999), kata membuang
berarti ‘melemparkan, mencampakkan, melemparkan sesuatu karena tidak berguna
lagi, menghilangkan, menghapuskan, menyia-nyiakan, memboroskan, memberi
hukuman dengan mengasingkan ke tempat yang jauh atau terasing’. Dengan kata lain,
membuang selalu dikenakan pada obyek yang dianggap sudah tidak berguna lagi. Maka,
sangat tepatlah frasa membuang sampah karena sampah berarti ‘barang atau benda
yang dibuang karena tidak terpakai lagi’, ‘kotoran seperti daun, kertas, dan sebagainya’,
dan ‘hina’. Namun, pemahaman semacam ini menyebabkan perilaku negatif:
sembarangan membuang sampah.
Sebenarnya perlu dipertanyakan apakah di dalam kebersamaan manusia di dunia ini
ada sesuatu yang tidak terpakai lagi? Bukankah sesuatu yang tidak dipakai oleh
seseorang masih bisa dipakai oleh orang lain? Bahkan, kotoran sekalipun masih dapat
digunakan sebagai pupuk yang amat dibutuhkan oleh petani. Apalagi dengan pelbagai
rekayasa, saat ini sampah dapat didaur-ulang menjadi sesuatu yang bermanfaat
sehingga tidak sedikit orang yang menggantungkan hidupnya dari mengumpulkan
sampah dan mendaur-ulang sampah.
Maka, amatlah tepat mengubah penggunaan ungkapan membuang sampah dengan
meletakkan sampah, karena istilah meletakkan berarti ‘menempatkan’, ‘menaruh’ yang
selalu berkonotasi positif memberi penghargaan, pengakuan, dan hormat pada objek
yang diletakkan.
Oleh karena itu, pada hemat saya, sosialisasi penggunaan istilah meletakkan sampah
harus diperluas: bukan hanya di kalangan umat Keuskupan Agung Jakarta, tetapi
seluruh bangsa Indonesia. Dengan begitu, pandangan orang Indonesia terhadap
sampah akan berubah, bukan lagi sebagai sesuatu yang harus dibuang, tetapi sebagai
sesuatu yang berharga yang harus diletakkan pada tempat yang tepat sebab
kenyataannya, seburuk apa pun sampah itu dapat menjadi berkah bagi manusia.***

Anda mungkin juga menyukai