Anda di halaman 1dari 14

Bilingualisme dalam Perkembangan Bahasa Indonesia

pada Masyarakat Modern

Oleh :

Budianto

Abstrak

Bahasa memang suatu alat komunikasi yang sangat


penting bagi semua orang diseluruh Negara. Bagi bangsa
Indonesia bahasa Indonesia tidak hanya merupakan alat
komunikasi untuk berkomunikasi antara satu orang dengan
orang lain, namun juga sebagai alat pemersatu bangsa.
Bilingualism di Indonesia tidak hanya terjadi antara
bahasa Indonesia dengan bahasa asing, namun juga antara
bahasa Indonesia dengan bahasa daerah yang terdapat
disuatu wilayah. Semakin populernya bahasa asing
terutama bahasa Inggris dirasa semakin memudarkan
kecintaan masyarakat Indonesia terhadap bahasa
Indonesia. Sebagian masyarakat lebih memilih
menggunakan \bahasa Asing daripada bahasa Indonesia
dikarenakan mereka lebih merasa prestige, lebih keren dan
lebih waaw.

Kata kunci: Bahasa, Bahasa Indonesia, Bahasa Asing,


Bilingual.

PENDAHULUAN

Bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk


oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap, dan
dapat dikaidahkan. Ciri dari hakikat bahasa adalah, bahwa
bahasa itu adalah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat
arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.
Dengan sistematis maksudnya, bahasa itu tersusun
menurut suatu pola tertentu, tidak tersusun secara acak
atau sembarangan.

Sistem bahasa yang digunakan berupa lambang-lambang


dalam bentuk bunyi. Setiap lambang bahasa menggunakan
lambang bahasa yang berbunyi [kuda], melambangkan
konsep atau makna. Dalam bahasa Indonesia satuan bunyi
[air], [kuda], dan [meja] adalah lambang ujaran karena
memiliki makna, tetapi bunyi-bumyi [rai], [akud], [ajem]
bukanlah lambang ujaran karena tidak memiliki makna.
Lambang bahasa itu bersifat arbiter, artinya hubungan
antara lambang dengan yang dilambangkannya, tidak
bersifat wajib, bisa berubah, dan tidak dapat dijelaskan
mengapa lambang itu mengonsepi makna tertentu.

Mackey (1962: 12) mengatakan dengan tegas bahwa


bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa dengan
bergantian, dari bahasa satu ke bahasa lain oleh seorang
penutur, menurutnya, penguasaan kedua bahasa tersebut
harus sama tingkatnya. Pernyataannya hampir mirip
dengan yang dikatakan oleh Weinreich (1986: 1) bahwa
praktik pemakaian dua bahasa berganti-ganti disebut
dengan bilingualisme, sedangkan orang-orang yang
memakainya disebut dengan bilingual.

Dari pernyataan tersebut dapat ditangkap bahwa tidak


mudah mendefinisikan konsep bilingualisme. Dari definisi
tersebut dapat dikatakan bahwa masih ada kekurangan di
sana-sini. Bilingualisme pada intinya harus dapat
menjelaskan keberadaan sekurang-kurangnya dua bahasa
dalam penutur yang sama, dengan mengingat bahwa
kemampuan dalam bahasa ini dapat sama atau tidak, dan
bahwa cara bahasa ini dipakai memainkan peranan
penting.

TINJAUAN PUSTAKA

Bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua


bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian. Orang yang dapat
menggunakan kedua bahasa disebut orang yang bilingual
(dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk
menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas
(kedwibahasawanan). Istilah bilingualisme (Inggris:
bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga
kedwibahasaan. Secara harfiah sudah dapat dipahami apa
yang dimaksud bilingualisme itu, yakni berkenaan dengan
penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa.

Bilingualisme terjadi karena adanya kontak bahasa


antara dua kelompok bahasa yang berbeda, ada dalam
setiap negara di dunia, dalam semua kelas masyarakat, dan
dalam semua kelompok usia. Oleh karena itu, sulit
sekarang ini menemukan masyarakat yang benar-benar
monolingual karena tidak ada kelompok bahasa yang
terpisah dari kelompok bahasa yang lain (Grosjean, 1982:
1). Pengertian bilingualisme antara satu ahli dengan yang
lain masih memiliki kekurangan di sana-sini. Oleh
karenanya menurut Grosjean tidak ada definisi
bilingualisme yang dapat diterima secara umum.
PEMBAHASAN

Bahasa menunjukkan kepribadian bangsa, dan sebagai


anak bangsa yang bangga terhadap bangsanya Jati diri atau
yang lazim juga disebut identitasmerupakan ciri khas yang
menandai seseorang, sekelompok orang, atau suatu
bangsa. Jika ciri khas itu menjadi milik bersama suatu
bangsa, hal itu tentu menjadi penanda jati diri bangsa
tersebut. Seperti halnya bangsa lain, bangsa Indonesia juga
memiliki jati diri yang membedakannya dari bangsa yang
lain di dunia. Jati diri itu sekaligus juga menunjukkan
keberadaan bangsa Indonesia di antara bangsa lain. Salah
satu simbol jati diri bangsa Indonesia itu adalah bahasa,
dalam hal ini tentu bahasa Indonesia. Hal itu sejalan
dengan semboyan yang selama ini kita kenal, yaitu
“bahasa menunjukkan bangsa”.

Namun, bagaimana kondisi kebahasaan kita sebagai jati


diri bangsa saat ini? Kalau kita lihat secara cermat, kondisi
kebahasaan di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan,
terutama penggunaan bahasa Indonesia di tempat umum,
seperti pada nama bangunan, pusat perbelanjaan, hotel dan
restoran, serta kompleks perumahan, sudah mulai tergeser
oleh bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Tempat yang
seharusnya menggunakan bahasa Indonesia itu mulai
banyak yang menggunakan bahasa yang tidak lagi
menunjukkan jati diri keindonesiaan. Akibatnya, wajah
Indonesia menjadi tampak asing di mata masyarakatnya
sendiri. Kondisi seperti itu harus kita sikapi dengan bijak
agar kita tidak menjadi asing di negeri sendiri. Nilai rasa
bahasa Indonesia yang berkurang akibat adanya
pencampuran bahasa seorang penutur yang tidak tepat
kapan menggunakan Bahasa pertama (Bahasa
Indonesia/B1) dan Bahasa keduanya (Bahasa Asing/B2).

Masalah-masalahnya yaitu:

1. Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2


sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
2. Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu
secara bergantian? Kapan pula di dapat secara bebas untuk
dapat menggunakan B1-nya atau B-2 nya?
3. Apakah bilingualisme berlaku pada satu kelompok
masyarakat tutur?

Pertanyaan pertama, seseorang harus dapat menguasai B1


dan B2 dengan derajat yang sama baiknya, barulah
dikatakan bilingual, bukan setengah-setengah yang justru
menurunkan nilai rasa bahasa Indonesia dibandingkan
bahasa asing. Sebagai contoh kasus, kita dapat melihat
sikap sebagian masyarakat yang tampaknya merasa lebih
hebat, lebih bergengsi, jika dapat menyelipkan beberapa
kata asing dalam berbahasa Indonesia, padahal kosakata
asing yang digunakannya itu ada padanannya dalam
bahasa Indonesia. Misalnya, sebagian masyarakat lebih
suka menggunakan kata di-follow up-i, di-
pending, meeting, dan on the way. Padahal, kita memiliki
kata ditindaklanjuti untuk di-follow up-i,
kata ditunda untuk di-pending, pertemuan atau
rapat untuk meeting, dan sedang di jalan untuk on the
way.
Pertanyaan mengenai kapan kapan seorang penutur
bilingual menggunakan satu bahasa tertentu, B1 nya
atau B2 nya, atau satu ragam bahasa tertentu adalah
menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam
bahasa tertentu di dalam masyarakat tuturnya sehubungan
dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau
ragam bahasa tersebut. Kapan hatus digunakan B1
dan kapan pula harus digunakan B2 tergantung pada lawan
bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosisal pembicaraan.
Jadi penggunaan B1 dan B2 ini tidaklah bebas. Tidak
seharusnya kita membiarkan bahasa Indonesia larut dalam
arus komunikasi global yang menggunakan media bahasa
asing seperti itu. Jika hal seperti itu kita biarkan, tidak
tertutup kemungkinan jati diri keindonesiaan kita sebagai
suatu bangsa pun akan pudar, bahkan tidak tertutup
kemungkinan terancam larut dalam arus budaya global.
Jika hal itu terjadi, jangankan berperan di tengah
kehidupan global, menunjukkan jati diri keindonesiaan
kita sebagai suatu bangsa pun kita tidak mampu. Kondisi
seperti itu tentu tidak akan kita biarkan terjadi. Oleh
karena itu, diperlukan berbagai upaya agar jati diri bangsa
kita tetap hidup di antara bangsa lain di dunia. Dalam
konteks kehidupan global seperti itu, bahasa Indonesia
sesungguhnya selain merupakan jati diri bangsa, sekaligus
juga merupakan simbol kedaulatan bangsa.

Pertanyaan ketiga mengenai bilingualisme berlaku pada


satu kelompok masyarakat tutur menyangkut hakikat
bahasa dalam kaitannya dengan penggunaannya di dalam
masyarakat tutur bilingual. Bilingualisme bukan gejala
bahasa, meliankan sifat penggunaan bahasa yang
dilakukan penutur bilingual secara berganti-ganti. Mackey
juga mengatakn kalau bahasa itu milik kelompok atau
milik bersama suatu masyarakat tutur, maka bilingualisme
adalah milik individu-individu para penutur, sebab
penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang
penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat
tutur berbeda, misalnya masyarakat tutur B1 dan
masyarakat tutur B2. Artinya setiap bahasa di dalam
masyarakat bilingual itu tidak dapat secara bebas
digunakan, melainkan harus diperhatikan fungsinya
masing-masing. Jika sebagai suatu bangsa, salah satu
simbol jati diri kita adalah bahasa dan sastra Indonesia;
sebagai anggota suatu komunitas etnis di Indonesia,
simbol jati diri kita adalah bahasa dan sastra daerah. Oleh
karena itu, sebagai suatu simbol jati diri kedaerahan,
bahasa dan sastra daerah juga harus kita jaga dan kita
pelihara untuk menunjukkan jati diri dan kebanggaan kita
sebagai anggota masyarakat daerah.

Sebagai simbol jati diri bangsa, bahasa Indonesia harus


terus dikembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya
sebagai sarana komunikasi yang modern dalam berbagai
bidang kehidupan. Di samping itu, mutu penggunaannya
pun harus terus ditingkatkan agar bahasa Indonesia dapat
menjadi sarana komunikasi yang efektif dan efisien untuk
berbagai keperluan. Upaya ke arah itu kini telah
memperoleh landasan hukum yang kuat, yakni dengan
telah disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan. Undang-undang tersebut merupakan
amanat dari Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan sekaligus merupakan
realisasi dari tekad para pemuda Indonesia sebagaimana
diikrarkan dalam Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober
1928, yakni menjunjung bahasa persatuan bahasa
Indonesia. Setiap bahasa pada dasarnya merupakan simbol
jati diri penuturnya, begitu pula halnya dengan bahasa
Indonesia juga merupakan simbol jati diri bangsa. Oleh
karena itu, bahasa Indonesia harus senantiasa kita jaga,
kita lestarikan, dan secara terus-menerus harus kita bina
dan kita kembangkan agar tetap dapat memenuhi
fungsinya sebagai sarana komunikasi modern yang
mampu membedakan bangsa kita dari bangsa-bangsa lain
di dunia. Lebih-lebih dalam era global seperti sekarang ini,
jati diri suatu bangsa menjadi suatu hal yang amat penting
untuk dipertahankan agar bangsa kita tetap dapat
menunjukkan keberadaannya di antara bangsa lain di
dunia. Untuk memperkuat jati diri itu, baik yang lokal
maupun nasional, diperlukan peran serta berbagai pihak
dan dukungan aturan serta sumber daya yang memadai.
Peran serta masyarakat juga sangat diperlukan dalam
memperkuat jati diri bangsa itu. Dengan jati diri yang
kuat, bangsa kita akan makin bermartabat sehingga
mampu berperan, bahkan juga bersaing dalam kancah
kehidupan global.

Dilain pihak munculnya fenomena RSBI (Rintisan


Sekolah Bertaraf Internasional) dan juga SBI (Sekolah
Bertaraf Internasional) yang keduanya menggunakan
metode pembelajaran bilingual sehingga lebih dikenal
dengan sekolah bilingual. Sekolah bilingual merupakan
sekolah yang saat ini cukup digemari oleh masyarakat
Indonesia. Para orang tua berlomba-lomba memasukkan
anak mereka di sekolah bilingual dengan alasan bahwa
sekolah bilingual lebih bermutu atau hanya sekadar
alasan prestige. Begitu pula anak-anak mereka, rajin
mengikuti bimbingan belajar untuk dapat diterima di
sekolah bilingual, yang bisa dibilang sebagai sekolah
unggulan.

Mengapa bahasa Inggris begitu gencar digalakkan di


Indonesia? Hal ini tentu saja karena tantangan pengaruh
globalisasi. Bahasa Inggris sudah menjadi bahasa
internasional, jika kita tidak menguasainya kita akan
kesulitan bersosialisasi dengan masyarakat dunia atau
internasional.

Sebagai contoh, siswa yang mengikuti lomba tingkat


internasional tidak bisa banyak berkata menjawab soal.
Bukan karena mereka tak kompeten dalam bidangnya,
namun karena penguasaan bahasa Inggris yang minim.
Tentu saja kondisi ini amat disayangkan.

Kondisi seperti ini tentunya jangan sampai terjadi lagi.


Seperti halnya bahasa Indonesia yang mempersatukan
ratusan etnis di kepulauan nusantara, begitu pula bahasa
Inggris yang mempersatukan ratusan negara di dunia.
Dunia sudah masuk ke lingkungan pergaulan global. Jadi
tidak ada salahnya bangsa Indonesia menggalakkan
pemakaian bahasa Inggris, karena menutup diri berarti
menghalangi kemajuan bangsa kita sendiri.
Lalu bila kita belajar dan menggalakkan pemakaian bahasa
Inggris, apakah kita jadi tidak mencintai bahasa
Indonesia?

Berkenaan dengan hal itu, yang terpenting adalah bahwa


bila kita ingin melestarikan bahasa Indonesia kita harus
‘memampukan’ pengguna bahasanya. Jangan sampai
upaya untuk melestarikan bahasa Indonesia justru
‘mengerdilkan’ pengguna bahasa itu sendiri. Bahasa tidak
akan berkembang tanpa dukungan dari pengguna bahasa
itu, dan sebaliknya pengguna bahasa itu juga takkan dapat
berbuat banyak bila mereka ada dalam keadaan
terpinggirkan.

Mackey (dalam Chaedar dan Agustina 2004:84)


mengelompokkan empat aspek untuk mempermudah
pembicaraan mengenai bilingual, yaitu sebagai berikut :

1. Tingkat kemampuan

Kemampuan berbahasa akan nampak pada empat


keterampilan, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan
menulis. Keempat keterampilan ini mencakup level
fonologi, gramatik, leksis, semantic,dan stylistic.

1. Fungsi

Tingkat kefasihan berbahasa tergantung pada fungsi atau


pemakaian bahasa itu. Dapat dikatakan bahwa semakin
sering bahasa itu dipakai, semakin fasihlah penuturnya.
Adapun factor yang mempengaruhi yaitu factor internal
dan eksternal.
Faktor internal mencakup antara lain :

1. Pemakain internal seperti menghitung, perkiraan, berdoa,


menyumpah,mimpi,menulis catatan harian, dan mencatat
2. Atitude : bakat atau kecerdasan, dan ini dipengaruhi oleh
antara lain : 1. Sex 2. Usia 3. Intelegensi 4. Ingatan 5.
Sikap bahas 6. Motivasi

Faktor eksternal di pengaruhi oleh :

1. Kontak, artrinya kontak penutur dengan bahasa di rumah,


bahasa dalam masyarakat, bahasa disekolah, bahasa media
masa, dan korespondensi.
2. Variabel artinya variable dari kontak penutur tadi dan
ditentukan oleh 1. Lamanya kontak, 2 seringnya kontak, 3.
Tekanan, artinya bidang yang mempengaruhi penutur
dalam pemakaian bahasa, seperti ekonomi, administrative,
cultural, politik, militer, historis, agama, dan demograf.
1. Pergantian antar bahasa ( alternation)

Pergantian antar bahasa ini bergantung pada kefasihan dan


juga fungsi eksternal dan internal. Kondisi-kondisi penutur
berganti bahasa diciptakan paling tidak oleh tiga hal , yang
pertama topic pembicaraan, yang kedua orang yang
terlibat dan ketegangan ( tension)

1. Interfensi ( interference)

Interfensi adalah kekeliruan yang disebabkan terbawanya


kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau dialeg ibu
kedalam bahasa dialeg kedua. Interfensi bias terjadi pada
pengucapan, tata bahasa, kosa kata dan makna bahkan
budaya. Diskripsi interfensi dengan demikian bersifat
individual, jadi bersifat idiosinkrasi dan parole penutur.

Selain empat aspek yang telah dikemukakan oleh Meckey,


Alwasilah menambahkan dua aspek lainnya, yaitu:

1. Pergeseran bahasa (Language shift)

Bila suatu kelompok baru dating ke tempat lain dan


bercampur dengan kelompok setempat maka akan
terjadilah pergeseran bahasa ( language shift)

1. Konvergensi ( convergence) dan Indonesianisasi

Konvergensi adalah kegiatan bertemu dan terutama


bergerak menuju kesatuan dan keseragaman.

Kedwibahasaan yang ada di Indonesia, yaitu :

Bahasa daerah dan bahasa Indonesia

Kedwibahasaan di Indonesia (bahasa Daerah dan bahasa


Indonesia).

Penggunaan kedwibahasaan ini dapat terjadi karena:

1. Dalam sumpah pemuda tahun 1928 menggunakan bahasa


Indonesia (pada waktu itu disebut Maleis)dikaitka dengan
perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme.
2. Bahasa – bahasa daerah mempunyai tempat yang wajar
disamping pembinaan dan pengembangan bahasa dan
kebudayaan Indonesia.
3. Perkawinan campur antar suku
4. Perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain
disebabkan urbanisasi, transmigrasi, mutasi karyawan atau
pegawai, dan sebagainya.
5. Interaksi antar suku: yakni dalam perdagangan, sosialisasi
dan urusan kantor atau sekolah.
6. Motivasi yang banyak didorong oleh kepentingan profesi
dan kepentingan hidup.

Namun, sering para penutur bahasa daerah yang juga


penutur bahasa Indonesia menggunakan bahasa daerahnya
yang bersifat informal disebabkan oleh beberapa factor
antara lain:

1. Pada upacara adat yang mengharuskan penggunaan bahasa


daerah akan lebih mengesankan dan lebih sesuai dengan
suasana yang diharapkan.
2. Untuk menciptakan suasana khas; umpamanya, antara
anggota- anggota keluarga, teman akrab dan sebagaianya.
3. Untuk kepentingan sastra dan menikmati budaya.

SIMPULAN

Kondisi kebahasaan di Indonesia saat ini cukup


memprihatinkan, terutama penggunaan bahasa Indonesia
di tempat umum, seperti pada nama bangunan, pusat
perbelanjaan, hotel dan restoran, serta kompleks
perumahan, sudah mulai tergeser oleh bahasa asing,
terutama bahasa Inggris. Tempat yang seharusnya
menggunakan bahasa Indonesia itu mulai banyak yang
menggunakan bahasa yang tidak lagi menunjukkan jati diri
keindonesiaan. Akibatnya, wajah Indonesia menjadi
tampak asing di mata masyarakatnya sendiri.
Bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa
oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang
lain secara bergantian. Orang yang dapat menggunakan
kedua bahasa disebut orang yang bilingual
(dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk
menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas
(kedwibahasawanan). Masalah-masalahnya yaitu:

1. Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2


sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
2. Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu
secara bergantian? Kapan pula di dapat secara bebas untuk
dapat menggunakan B1-nya atau B-2 nya?
3. Apakah bilingualisme berlaku pada satu kelompok
masyarakat tutur?

Daftar Pustaka

Abdul Chaer & Leonie Agustina, Sosiolinguistik Suatu


Pengantar, Jakarta, Rineka Cipta, cet-1,1995

Anggita , Agatha Gisela Jenni . 2012. Bilingualisme.


Diunduh dari
http://atasenita.blogspot.com/2012/06/bilingualisme.html

Khusnul. 2012. Bilingualism. Diunduh dari


http://motivasipendidikancunul.blogspot.com/2012/01/ma
kalah-bilingualisme.html

Anda mungkin juga menyukai