Anda di halaman 1dari 115

ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI

DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-DIN

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh :

FAIQOTUL HIMMAH

NIM: 111-13-035

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

2017

I
II
ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI

DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-DIN

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh :

FAIQOTUL HIMMAH

NIM: 111-13-035

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

2017

III
IV
V
VI
‫ع ِظ ٍيم ‪٤‬‬ ‫َوإِنَّ َك لَعَلَى ُخلُ ٍ‬
‫ق َ‬

‫‪VII‬‬
PERSEMBAHAN

Yang paling utama dari segalanya, rasa syukur kepada Allah SWT. Atas
segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan nikmat yang luar biasa
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Karya sederhana ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang tercinta
dan tersayang kepada:
1. Kedua orangtua-ku, Bapak M. Abdullah Faqih dan Ibu Muazzatul
Karimah yang tiada henti mendoakanku, memberikan semangat,
nasehat, dan kasih sayang serta banyak pengorbanan yang tak
tergantikan sehingga aku mampu menyelesaikan pendidikan dan
mendapatkan gelar sarjana.
2. Adikku Laila Nadhifah, Mbah Siti Khoiriyah tercinta, dan keluarga
Bulek Ana Mustafiah yang turut selalu mendoakanku, memberiku
semangat sehingga aku dapat menyelesaikan pendidikanku. Semoga
Allah senantiasa memberikan perlindungan serta Ridho dimanapun
mereka berada Aamiin .
3. Abah KH.Mahfudz Ridwan, Lc. (Alm), Ibu Hj. Nafisah, Gus
Muhammad Hanif, M.Hum. dan Bu Rosyidah, Lc. yang senantiasa
memberikan petuah dan doanya sehingga aku dapat menemukan makna
kehidupan yang nyata di Pondok Pesantren tercinta Edi Mancoro.
4. Keluargaku Para Dewan Asatidz Pondok Pesantren Edi Mancoro yang
selalu saya hormati dan saya banggakan, serta Keluarga Demisioner
Pengurus Organisasi Pondok Pesantren Edi Mancoro 2016/2017 yang
saya sayangi.

VIII
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Atas segala

limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada

Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikut setianya.

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar

sarjana dalam bidang Ilmu Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor Institut Agama Islam

Negeri Salatiga.

2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.

3. Ibu Hj. Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama

Islam.

4. Bapak Drs. Badwan, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang

telah membimbing penulis dalam memempuh studi di IAIN Salatiga.

5. Dr. M. Ghufron, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan

ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan waktunya

dalam upaya membimbing penulis skripsi ini.

6. Bapak Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak

membantu selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi.

IX
7. Keluarga besar Pondok Pesantren Edi Mancoro, terutama Romo K.H

Mahfudz Ridwan Lc (Alm) dan Kyai Gus Muhamad Hanif, M.Hum. yang

selalu mendoakan santrinya untuk meraih keberhasilan dalam menuntut

ilmu, baik dalam keadaan apapun maupun dimanapun..

8. Karyawan Perpustakaan IAIN Salatiga yang telah menyediakan

fasilitasnya.

9. Bapak dan Ibu serta saudara-saudaraku di rumah yang telah mendoakan dan

memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi di IAIN Salatiga dan

penyusunan skripsi dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.

10. Guru-guruku yang hebat dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi yang
saya hormati dalam memberikan ilmu dan membimbing dengan penuh
kesabaran.
11. Mas Muhamad Farid yang selalu menguatkan, memberikan motivasi, dan
selalu mendampingiku sehingga mendapatkan gelar sarjana.
12. Sahabat- sahabatku tercinta Siti Sirril Inayah, Nur Kholifah, Qisthi
Faradina, Zainab, Khoiriyatun Kholidiyah, Arfias Wirda Muftihah, Tri Puji
Lestari, Zulfa Adzkia, Dian Apriyani, Mar’atus Sholikhah, Ngatini,
Bastiatul Muawwanah, Wahyu Anggun yang telah menemani hari- hariku
dan selalu memberikan dukungan penuh dalam mencapai gelar S.Pd.
13. Dek Anida, Dek Ajeng, Dek Dewi, Dek Anisa, Dek Dinda, Dek Husna, Dek
Sri, Mas Munif, Fa’un Niam yang turut memberikan dukungan penuh dan
membantu menyelesaikan skripsiku.
14. Keluarga Besar Yaa Bismillah (Youth Assosiation Of Bidikmisi
Limardhotillah) IAIN Salatiga, Bidikmisi angkatan 2013 saudara
seperjuangan yang selalu memberikan semangat dan saling menguatkan
dalam berbagai hal.

X
XI
ABSTRAK

Himmah, Faiqotul. 2017. Adab Guru dan Murid Menurut Imam Al-Ghazali dalam
Kitab Al-Adab Fi Al-Din. Skripsi. Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu
Keguruan (FTIK). Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. M. Ghufron, M. Ag.

Kata Kunci : Adab, Guru dan Murid, Kitab al-Adab Fi al-Din, al-Ghazali

Dalam kehidupan nyata saat ini, dalam dunia pendidikan kasus asusila
banyak terjadi diakibatkan karena tidak diindahkannya adab sopan santun antara
guru dan murid sesuai dengan ajaran agama. Penelitian ini merupakan upaya untuk
mengetahui adab guru dan murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din karya Imam al-
Ghazali. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1)
Bagaimana adab guru dan murid Menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab al-Adab
Fi al-Din?, (2) Bagaimana relevansi adab guru dan murid dalam Kitab al-Adab Fi
al-Din dikaitkan dengan dengan proses pembelajaran dalam dunia pendidikan di
Indonesia saat ini?
Metode penelitian yang digunakan yaitu literature (kepustakaan). Data
primer dan sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan dengan alat
pengumpul data berupa metode dokumentasi. Setelah data terkumpul, selanjutnya
dilakukan analisis. Adapun analisisnya dengan menggunakan metode analisis isi
(content analysis).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa a) adab guru dan murid dalam kitab
al-Adab Fi al-Din adalah bahwasanya guru hendaknya tawadhu’, tidak bersikap
sombong, menjadi sosok suri tauladan, tidak berperilaku buruk, dapat
mempertimbangkan kemampuan intelektual muridnya, menjauhkan murid dari
perilaku buruk dan mendidik dengan penuh kasih sayang. Adapun diantara
kewajiban murid adalah tawadhu’, menerima pendapat guru dan tidak
menyalahkannya, selalu berfikir postif, konsentrasi ketika proses pembelajaran
berlangsung, meninggalkan perbuatan negatif, bersikap ramah, sopan terhadap guru
dan sesama teman serta mengulang kembali pelajaran yang telah didapatkan di
sekolah. b) adab guru dan murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din dengan konteks saat
ini dapat menjadi solusi dalam memperbaiki akhlak guru dan murid dalam proses
pembelajaran khususnya dalam menghadapi karakteristik zaman sekarang. Agar
tercermin adanya relasi yang harmonis yaitu relasi searah antara guru dan murid
untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara maksimal.

XII
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .....................................................................................................i


LEMBAR BERLOGO............................................................................................. ii
JUDUL ........................................................................................................................ iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................. iv
PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................................v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................................ vi
MOTTO ..................................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN .................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................................x
ABSTRAK ................................................................................................................ xiii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................1
B. Fokus Masalah..................................................................................................5
C. Tujuan Penelitian .............................................................................................5
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................................6
E. Metode Penelitian .............................................................................................6
F. Telaah Kepustakaan........................................................................................10
G. Penegasan Istilah ............................................................................................13
H. Sistematika Penulisan ....................................................................................17
BAB II BIOGRAFI NASKAH
A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali .................................................................19
1. Lahir ............................................................................................................19
2. Masa Muda .................................................................................................21
3. Masa Dewasa..............................................................................................24
4. Wafat...........................................................................................................28
B. Sistematika Kitab al-Adab Fi al-Din ............................................................29
C. Karya-Karya Imam Al-Ghazali .....................................................................31

BAB III ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI


DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-DIN
A. Pengertian Adab Guru dan Murid .................................................................45
1. Pengertian Adab ........................................................................................45
2. Pengertian Guru.........................................................................................45
3. Pengertian Murid .......................................................................................47
B. Adab Guru dan Murid Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Adab Fi
Al-Din ............................................................................................................48
1. Adab Ahli Ilmu..........................................................................................48
2. Adab Murid dengan Guru .........................................................................50
3. Adab Mengajar Al-Qur’an........................................................................52

XIII
4. Adab Membaca Al-Qur’an .......................................................................53
5. Adab Mendidik Anak Kecil......................................................................54
6. Adab Ahli Hadits.......................................................................................56
7. Adab Belajar Hadits ..................................................................................58
8. Adab Menulis ............................................................................................60
9. Adab Ceramah ...........................................................................................61
10. Adab Mendengar .......................................................................................62

BAB IV ANALISIS ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-


GHAZALI DAN RELEVANSINYA DENGAN DUNIA PENDIDIKAN SAAT
INI
A. Analisis Adab Guru dan Murid dalam Kitab Al-Adab Fi Al-Din................64
1. Adab Guru .................................................................................................64
a. Adab Ahli Ilmu .....................................................................................65
b. Adab Mengajar Al-Qur’an ...................................................................68
c. Adab Mendidik Anak Kecil .................................................................70
d. Adab Ahli Hadits ..................................................................................72
e. Adab Ceramah ......................................................................................76

2. Adab Murid ...............................................................................................78


a. Adab Murid dengan Guru ....................................................................78
b. Adab Membaca Al-Qur’an ..................................................................79
c. Adab Belajar Hadits .............................................................................80
d. Adab Menulis .......................................................................................83
e. Adab Mendengar ..................................................................................85
B. Relevansi Adab Guru dan Murid dalam Kitab Al-Adab Fi Al-Din dengan
proses pembelajaran dalam dunia pendidikan saat ini .................................86

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................................92
B. Saran ...............................................................................................................94

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................95


LAMPIRAN- LAMPIRAN

XIV
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dilahirkan Allah Swt dengan membawa potensi dapat

dididik dan dapat mendidik disertai dengan fitrah Allah Swt, yaitu berupa

pikiran dan perasaan dengan berbagai kecakapan dan ketrampilan yang

dapat berkembang sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang

mulia. Sesuai dengan firman Allah Swt :

ِ ِ‫الله ذَل‬ ِ ‫الله الَِّتي فَطَر النَّاس علَي ها الَتَب ِد‬


ِ ‫لدي ِن حنِي ًفا فِطْرت‬
ِ ِ‫فَأَقِم وجهك ل‬
‫ين‬ َ ِ ‫يل ل َخْل ِق‬
ُ ‫ك الد‬ َ ْ َْ َ َ َ ََ َ َ َْ َ ْ
ِ ‫الْ َقِي ُم َولَ ِك َّن أَ ْكثََر الن‬
‫َّاس الَيَ ْعلَ ُمو َن‬

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah,


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Ar-Ruum: 30)
Pada ayat di atas Allah telah menciptakan semua manusia

berdasarkan fitrahnya. Dengan dibekali akal dan pikiran serta kemauan

untuk belajar menjadikan pendidikan sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa

dipisahkan dari manusia. Manusia sendiri memiliki dua unsur yang menjadi

tujuan pendidikan yaitu unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan

jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu pengetahuan (kognitif).

Pembinaan jiwa manusia menghasilkan kesucian dan sopan santun (afektif),

sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan ketrampilan

(psikomotorik) dalam dirinya.

1
Banyak tokoh Islam yang memiliki kepedulian dan

menyumbangkan pemikirannya tentang aktivitas belajar dan pembelajaran,

di antaranya adalah imam al-Ghazali. Tokoh ini banyak mewarnai

pendidikan masyarakat Islam Indonesia, terutama pendidikan di kalangan

pesantren.

Imam al-Ghazali merupakan pemikir Islam yang terkemuka. Kitab-

kitab karangan beliau telah tersebar di seluruh penjuru dan banyak juga yang

telah menggunakan atas apa yang telah diijtihadkan beliau. Salah satu kitab

karangan beliau yang fenomenal adalah kitab Ihya Ulumuddin. Selain itu,

kitab karangan beliau yang merupakan kelanjutan dari kitab Ihya’

Ulumuddin adalah Kitab al-Adab Fi al-Din. Kitab ini membahas tentang

aturan-aturan mendekati Allah Swt guna merengkuh cinta-Nya.

Kitab al-Adab Fi al-Din berisi tentang penjelasan mengenai adab

atau budi pekerti dalam menjalani kehidupan sehari-hari guna mendekatkan

diri kepada Allah Swt dan mendapatkan Ridho-Nya. Salah satu adab yang

tercantum dalam kitab al-Adab Fi al-Din adalah adab seorang guru dan

murid yang sangat berpengaruh dalam menanamkan nilai moral pada

perilaku anak didik (murid) maupun guru khususnya dan pendidikan Islam

di Indonesia pada umumnya.

Dalam pendidikan Islam, interaksi atau hubungan timbal balik

antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya

proses belajar mengajar. Kegiatan proses belajar mengajar merupakan suatu

proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar

2
hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk

mencapai tujuan tertentu. Interaksi dalam peristiwa belajar mengajar

mempunyai arti yang lebih luas, tidak sekedar hubungan antara guru dengan

siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hal ini bukan hanya

penyampaian pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman sikap

dan nilai dari diri siswa yang sedang belajar (Usman, 1991: 1).

Salah satu di antara keseluruhan ciri-ciri guru yang professional

adalah adanya unsur moral dan etika yang harus dimiliki guru. Bahwasanya

seorang guru harus memiliki pemahaman, penghayatan dan penampilan

yang menjadikan dirinya sebagai teladan dan panutan bagi para siswanya.

Dalam konteks akhlak masa depan, visi pendidikan yang diberikan kepada

anak didik diharuskan untuk menyiapkan atau merencanakan perbaikan

akhlak yang telah mulai rapuh di masa sekarang.

Karena dalam kehidupan nyata saat ini, seringkali interaksi guru dan

murid yang kurang mendukung tercapainya tujuan pendidikan saat ini

disebabkan karena telah ditinggalkannya nilai-nilai etik spiritual yang

didasarkan pada agama dan diganti dengan nilai-nilai materialistik dalam

melakukan interaksi dunia pendidikan tersebut sehingga tidak

menghiraukan pendidikan kesusilaan atau adab.

Kasus asusila yang banyak terjadi diakibatkan karena tidak

dindahkannya adab sopan santun antara guru dan murid. Ada guru yang

berbuat tidak senonoh kepada muridnya, ada yang menyiksa hingga terluka,

disisi lain murid berkelahi di sekolah, di jalanan, senang tawuran, dan

3
sebagainya. Di antara contoh yang menunjukkan betapa buruknya hubungan

guru dan murid yang terjadi di sekitar kita di antaranya adalah hanya karena

tidak membersihkan ruang kelas, seorang guru bidang Ilmu Pengetahuan di

Sekolah Menengah Pertama, Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara melukai

siswa tersebut dengan melempar kursi mengenai kepala siswa. Karena

perbuatan guru tersebut, siswa mengalami luka robek di kepala

(Liputan6.com, Patroli Labuhanbatu Utara. 21/7/2017 14:43). Kemudian,

kasus murid dengan guru terjadi di SMP Negeri 2 Pasangkayu, Mamuju

Utara, Sulawesi Barat. Seorang siswa kelas 3 diamankan aparat kepolisian

setelah dilaporkan pihak sekolah karena memukul gurunya menggunakan

batang kayu sepanjang 50 cm secara tiba-tiba (Liputan6.com, Mamuju

Utara. 08/082017 01:01).

Berdasarkan kondisi riil yang terjadi di lapangan seperti yang telah

diuraikan di atas, maka perlu dilakukan kajian mendalam tentang adab

interaksi antara guru dan murid di sekolah untuk menunjang keberhasilan

proses pendidikan, dan menghindari hal-hal yang tidak dinginkan. Dengan

demikian, maka penulis mengkaji ulang pemikiran al-Ghazali dalam Kitab

al-Adab Fi al-Din mengenai adab yaitu tata cara atau sopan santun interaksi

seorang guru dan murid dalam pembelajaran agar selaras dalam

menjalankan hak dan tanggungjawabnya guna mencapai tujuan pendidikan.

Hal itu dikarenakan Mohd. Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa

pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah

4
menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak yang sempurna

adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan (Nata, 2013: 32).

Oleh karena itu, penulis akan berusaha melakukan penelitian guna

memberikan pencerahan kepada dunia pendidikan, dengan judul “ADAB

GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI DALAM

KITAB AL-ADAB FI AL-DIN”

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah peneliti paparkan di

atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam

bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana Adab Guru dan Murid Menurut Imam Al-Ghazali dalam

Kitab al-Adab Fi al-Din?

2. Bagaimana Relevansi Adab Guru dan Murid dalam Kitab al-Adab Fi al-

Din dikaitkan dengan proses pembelajaran dalam dunia pendidikan di

Indonesia saat ini?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi

mengenai adab guru dan murid perpektif Imam al-Ghazali dalam kitab al-

Adab Fi al-Din. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai adalah:

1. Mendeskripsikan Adab Guru dan Murid Menurut Imam al-Ghazali

dalam Kitab al-Adab Fi al-Din.

5
2. Menemukan relevansi Adab Guru dan Murid dalam Kitab al-Adab Fi

al-Din dikaitkan dengan proses pembelajaran dalam dunia pendidikan

di Indonesia saat ini.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

yang jelas bagi pembaca. Terdapat 2 manfaaat yakni manfaat teoretis dan

manfaat praksis.

1. Manfaat Teoretis

Dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan tentang studi

analisis tentang Adab Guru dan Murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din

serta aplikasinya dalam pendidikan Islam.

2. Manfaat Praksis

a. Bagi peneliti :

Untuk meningkatkan pengetahuan tentang pendidikan

khususnya dalam beradab yang baik bagi seorang guru dan murid.

b. Bagi masyarakat dan insan pendidikan :

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah

khasanah wacana pendidikan Islam khususnya yang berkaitan dalam

membangun karakter anak bangsa.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis lakukan termasuk dalam kategori

penelitian kepustakaan (library research), juga bisa disebut dengan

6
istilah studi pustaka yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan

pengumpulan pustaka, membaca, dan mencatat serta mengolah bahan

penelitian (Zed, 2004: 3).

2. Sumber Data

Sumber data yang dijadikan bahan-bahan dalam kajian ini

merupakan sumber data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan

yang dikategorikan sebagai berikut :

a. Sumber Data Primer

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library

research), maka data yang diperoleh bersumber dari literatur.

Adapun referensi yang menjadi sumber data primer yaitu data yang

diambil dari sumber utamanya, yaitu dari Kitab al-Adab Fi al-Din

karya Imam al-Ghazali .

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah buku-buku atau tulisan-tulisan

lainnya yang mempunyai pembahasan yang erat hubungannya

dengan sumber primer. Sumber data sekunder dalam penelitian ini

adalah buku-buku atau karya ilmiah lain yang isinya dapat

melengkapi data penelitian yang penulis teliti misalnya perspektif

Islam tentang pola hubungan guru-murid (Studi Pemikiran Tasawuf

al-Ghazali) karya Abuddin Nata (PT. RajaGrafindo Persada:

Jakarta), kitab ihya’ ulumuddin karya al-Ghazali diterjemahkan oleh

Moh Zuhri (Asy Syifa’: Semarang), terjemahan kitab Adabul ‘Aliim

7
Wal Muta’aliim (pendidikan akhlak untuk pelajar dan pengajar)

karya KH. Hasyim Asy’ari diterjemahkan oleh M. Ishom Hadziq

(Pustaka Tebuireng: Jawa Timur) dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data pustaka

yaitu membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian dari berbagai

buku dan karya ilmiah yang mendukung penelitian skripsi ini dengan

mengutamakan data primer. Adapun data pendukung tersebut

merupakan kajian dari pemikiran Imam al-Ghazali tentang sejarah

pendidikannya dan juga konsep pemikirannya tentang pendidikan

khususnya mengenai adab seorang guru dan murid.

4. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan adalah analisis isi (content

analysis), dengan menguraikan dan menganalisis serta

memberikan pemahaman atas teks-teks yang dideskripsikan.

Metode content analysis digunakan untuk memperoleh

keterangan dari sisi komunikasi, yang disampaikan dalam

bentuk lambang yang terdokumentasi atau didokumentasikan,

baik dalam bentuk artikel, jurnal, buku, maupun karya-karya

Imam al-Ghazali (Tobroni, 2001: 71).

Sebagaimana metode kualitatif, dasar pelaksanaan

metode analisis isi adalah penafsiran. Apabila proses penafsiran

dalam metode kualitatif memberikan perhatian pada situasi

8
ilmiah, maka dasar penafsiran dalam metode analisis ini

memberikan perhatian pada isi pesan. Oleh karena itulah,

metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang

padat isi. Peneliti menekankan bagaimana memaknakan isi

komunikasi, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi

dalam peristiwa komunikasi (Ratna, 2007:49).

Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji isi Kitab al-

Adab Fi al-Din yang mengandung penjelasan mengenai adab

seorang guru dan murid dengan langkah-langkah sebagai

berikut:

a. Langkah deskriptif, yaitu menguraikan teks-teks dalam

Kitab al-Adab Fi al-Din yang berhubungan dengan adab

seorang guru dan murid.

b. Langkah interpretasi, yaitu menjelaskan teks-teks dalam Kitab al-

Adab Fi al-Din yang berhubungan dengan adab seorang guru dan

murid.

c. Langkah analisis, yaitu menganalisis penjelasan dari Kitab al-Adab

Fi al-Din yang berhubungan dengan adab seorang guru dan murid.

9
d. Langkah mengambil kesimpulan, yaitu mengambil kesimpulan dari

Kitab al-Adab Fi al-Din yang berhubungan dengan adab seorang

guru dan murid.

F. Telaah Kepustakaan

Untuk mencapai hasil penelitian ilmiah diharapkan data-data yang

digunakan dalam penyusunan skripsi ini dan menghindari tumpang tindih

dari pembahasan penelitian. Dalam kajian pustaka yang telah dilakukan,

penulis menemukan beberapa hasil penelitian yang temanya hampir sama

dan dari pengarang yang sama dengan judul penelitian ini, yaitu tokoh

“Imam al-Ghazali”. Diantara hasil penelitian terdahulu adalah sebagai

berikut :

1) Skripsi Paryono, Jurusan Tarbiyah, Program Studi Agama Islam (PAI),

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Salatiga, 2014, yang

mengangkat tema pendidikan akhlak dengan judul “Konsep Pendidikan

Akhlak Imam al-Ghazali (Studi analisis kitab Ihya’ Ulumuddin)”

(Paryono, 2014). Kesimpulan dari skripsi konsep pendidikan akhlak

dalam kitab Ihya’ Ulumuddin antara lain: Pengajaran Keteladanan dan

Kognifistik, Mengolaborasi Behavioristik dengan pendekatan

Humanistik serta relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam dalam

membentuk akhlak yang mulia. Perbedaan skripsi tersebut dengan

skripsi yang akan dikaji penulis yaitu pada fokus penelitiannya. Paryono

dalam skripsinya fokus mengenai konsep pendidikan akhlak,

sedangankan skripsi penulis fokus kepada adab atau sopan santun

10
seorang guru dan murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din. Jadi, baik secara

tema, judul serta fokus pembahasan sangat berbeda.

2) Skripsi Putik Nur Rohmawati, Jurusan Tarbiyah, Program Studi Agama

Islam (PAI), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, 2017, yang

mengangkat tema pendidikan akhlak dengan judul “Konsep Pendidikan

Akhlak dalam Kitab Ayyuhal Al-Walad Karya Imam al-Ghazali ” (Putik

Nur Rahmawati, 2017). Kesimpulan dari skripsi konsep pendidikan

akhlak dalam kitab Ayyuhal Al-Walad antara lain: konsep pendidikan

anak berpangkal pada empat hal, yaitu pertama, pendidikan bertujuan

untuk menghilangkan sifat-sifat atau akhlak buruk. Kedua, syarat agar

seorang Syaikh dapat menjadi wakil Rasulullah SAW, Ia haruslah

seorang yang alim. Ketiga, inti ilmu adalah pengetahuan yang membuat

seseorang faham akan makna ketaatan dan ibadah. Keempat, metode

yang digunakan al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Al-Walad adalah

dengan metode keteladanan, metode cerita atau kisah dan metode

pembiasaan. Adapun perbedaan skripsi Putik Nur Rohmawati yang

fokus penelitiannya adalah konsep pendidikan akhlak, sedangkan fokus

penelitian saya adalah adab atau sopan santun seorang guru dan murid

dalam kitab al-Adab Fi al-Din.

3) Buku yang ditulis oleh H. Abuddin Nata, M. A. yang berjudul

“Menurut Islamtentang Pola Hubungan Guru-Murid”. Dalam buku

tersebut dapat disimpulkan bahwa Ia berusaha memberikan sumbangan

dalam upaya membangun moralitas guru dan murid dalam suatu pola

11
hubungan yang harmonis dengan meneliti pemikiran pendidikan Imam

al-Ghazali dilihat dari kacamata sufistik (tasawuf). Skripsi penulis

memiliki kesamaan dengan buku ini, yaitu sama-sama membahas

mengenai hubungan guru dan murid. Akan tetapi, perbedaan skripsi

penulis terletak pada pembahasan yang difokuskan pada adab mengenai

guru dan murid dalam kitab al-Adab Fi al-Din.

4) Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ghozali jurusan Pendidikan

Agama Islam fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan

judul “Etika Guru dan murid Menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab

Ihya’ Ulumuddin”. Dari skripsi ini dapat disimpulkan bahwa ada tiga

dimensi yang tersirat dalam Etika guru dan murid sebagaimana yang

dirumuskan al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, yaitu adanya

tujuan yang jelas ke arah ukhrawi dengan berniat ibadah kepada Allah

Swt, adanya nilai-nilai yang khas yakni nilai religiusitas, adanya upaya

optimalisasi relasi antara guru dan murid.

Sedangkan penelitian yang saya lakukan walau sama-sama

mengenai pola hubungan guru dan murid, namun saya memfokuskan

pada adab seorang guru dan murid yang terdapat dalam Kitab al-Adab

Fi al-Din.

Berdasarkan beberapa karya yang diilustrasikan di atas, maka

penelitian ini akan memfokuskan kajian terhadap “ADAB GURU DAN

MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI DALAM KITAB AL-

ADAB FI AL-DIN”. Tanpa sikap apriori penulis berkesimpulan selama

12
ini belum ada kajian yang secara khusus mengkaji topik yang akan

penulis angkat, terlebih penelitian pada kitab al-Adab Fi al-Din.

G. Penegasan Istilah

Agar tidak menimbulkan kesalahan pemahaman terhadap pokok

masalah yang dimaksud maka sebelumnya penulis menguraikan tentang

batasan pengertian yang dimaksud dalam judul “ADAB GURU DAN

MURID MENURUT AL-GHAZALI DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-

DIN “ adalah sebagai berikut :

1. Adab Guru

Adab guru terdiri dari dua kata yakni adab dan guru. Menurut

bahasa, Adab memiliki arti kesopanan, kehalusan, dan kebaikan budi

pekerti, akhlak (KBBI, 1976: 5). M. Sastra Praja menjelaskan bahwa,

adab yaitu tata cara hidup, penghalusan atau kemuliaan kebudayaan

manusia. Sedangkan menurut istilah, adab adalah suatu ibarat tentang

pengetahuan yang dapat menjaga diri dari segala sifat yang salah

(Rajasa, 2003: 309).

Adab ( ‫اب‬
ُ َ‫ (آد‬dalam Kamus Kontemporer Arab Indonesia

memiliki arti moral, etika dan adab (Ali, 1998 : 64). Adab juga

memiliki arti etika dan moral. Menurut Ahmad Amin, Etika adalah

ilmu yang menjelaskan baik dan buruk dan menerangkan apa yang

seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus

ditempuh oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan

13
jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia

itu sendiri ( Rahmaniyah, 2010: 59).

Sedangkan Moral adalah istilah manusia menyebut ke

manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai

positif. Moral sering didahului kata kesadaran, sehingga menurut

Ahmad Charris Zubair mengatakan bahwa kesadaran moral

merupakan faktor penting untuk memungkinkan tindakan manusia

selalu bermoral, berperilaku susila, dan perbuatannya selalu sesuai

dengan norma yang berlaku. Moral Menurut Istilah adalah suatu

istilah digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai,

kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan

benar atau buruk (Nata, 2013: 78- 79).

Adab, etika dan moral sama-sama mengacu kepada ajaran

tentang perbuatan, tingkah laku, dan merupakan prinsip atau aturan

hidup manusia untuk menakar martabat dan harkat kemanusiaannya

serta merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang dengan

membutuhkan pengembangan berupa pendidikan, pembiasaan dan

keteladanan secara terus-menerus.

Sedangkan yang menentukan perbuatan baik dan buruk dalam

moral dan etika adalah adat istiadat dan pikiran manusia dalam

masyarakat. Sedangkan adab berhubungan dengan kesopanan,

kehalusan dan kebaikan budi pekerti dan sopan santun sesuai dengan

norma-norma tata susila.

14
Dengan demikian, adab merupakan pedoman untuk

membimbing orang agar berjalan dengan baik juga berdasarkan pada

nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan mengacu kepada

sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat.

Sedangkan guru merupakan orang yang melakukan tugas

mengajar. Dalam istilah lain guru bisa disebut juga dengan pendidik

sesuai dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional Pasal 39 ayat (2) menyebutkan pendidik

merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan

melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,

melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian

dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada

perguruan tinggi ( Kudrat, 2009 : 25).

Jadi, adab guru adalah suatu aturan mengenai sopan santun

yang didasarkan atas aturan agama Islam, yang digunakan seorang

guru dalam menjalankan tanggungjawab kedua setelah orangtua

dalam hal merngajar, mendidik, membimbing dan mengarahkan anak

didik agar menjadi individu yang berkualitas untuk dirinya sendiri

maupun orang lain.

2. Adab Murid

Adab menurut bahasa adalah kebudayaan, sopan santun

(Ngafenan, 1990: 35).

15
Sedangkan murid bisa juga disebut dengan peserta didik.

Murid adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang

atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan

(Djamarah, 2000 : 51). Murid dalam UU Sisdiknas 2003 pasal 1

peserta didik atau murid didefinisikan sebagai anggota masyarakat

yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses

pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan

tertentu (Yasin, 2008 : 95).

Jadi, adab murid adalah suatu aturan mengenai sopan santun

yang didasarkan atas aturan agama Islam dan telah berlaku umum

dalam masyarakat yang dijadikan pedoman seorang murid dalam

kegiatan mengembangkan potensi diri yang dimilikinya baik dari segi

fisik maupun psikologis.

3. Imam Al-Ghazali

Nama lengkapnya Imam al-Ghazali adalah Muhammad bin

Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Imam besar Abu Hamid al-

Ghazali Hujjatul- Islam. Lahir pada tahun 450 H di Atthusyi dan wafat

tahun 505 H, dalam usia 55 tahun. (Syakur, 2008 : 33). Beliau adalah

seorang kutub tasawuf, pejuang spiritual dan tokoh pendidikan serta

tokoh dakwah kepada Allah Swt (al-Qardhawi,t.t : 9).

4. Kitab Al-Adab Fi Al-Din

Kitab al-Adab Fi al-Din yaitu suatu kitab yang berisi tentang

penjelasan adab dalam agama kaitannya dalam kehidupan sehari-hari.

16
Kitab ini dikarang oleh Imam al-Ghazali, beliau dilahirkan di Atthusyi

pada tahun 450 H. Kitab yang berisi sebanyak 54 halaman dan berisi

sebanyak 11 bab ini sangat ringkas dan mudah dipelajari. Kitab ini

sangat dibutuhkan dalam penyempurnaan akhlak manusia untuk

mencapai ketinggian sebagai hamba-Nya khususnya bagi guru dan

murid yaitu dengan mengetahui dan mengamalkan penjelasan

mengenai adab dalam dalam kitab ini.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga

pembaca nantinya dapat memahami tentang isi skripsi ini dengan mudah,

maka penulis memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara

garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling

berkaitanyaitu sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN. Dalam bab ini meliputi: Latar

Belakang, Fokus Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan

Penelitian, Metode Penelitian, Telaah Kepustakaan,

Penegasan Istilah, Sistematika Penulisan.

BAB II : BIOGRAFI NASKAH. Bab ini menjelaskan tentang

riwayat hidup Imam al-Ghazali , yang meliputi: kelahiran,

masa muda, masa dewasa, latar belakang pendidikan,

karyanya, dan gambaran umum kitab al-Adab Fi al-Din.

BAB III : ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-

GHAZALI DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-DIN. Bab

17
ini berisi tentang adab guru dan murid dalam kitab al-Adab

Fi al-Din karya Imam al-Ghazali .

BAB IV : ANALISIS ADAB GURU DAN MURID MENURUT

IMAM AL- GHAZALI DAN RELEVANSINYA

TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN SEKARANG INI.

BAB V : PENUTUP. Dalam bab ini memuat kesimpulan penulis dari

pembahasan skripsi ini, saran, daftar pustka, dan lampiran-

lampiran.

18
BAB II

BIOGRAFI NASKAH

A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali

1. Lahir

Nama lengkap al-Ghazali adalah Muhamad bin Muhamad

bin Muhamad bin Ahmad Atthusyi. Kunyahnya adalah Abu Hamid,

Laqobnya adalah Hujjatul Islam. Lahir pada tahun 450 H. Atthusy

adalah tanah kelahirannya, merupakan kota di tanah Khurasan

daerah yang masih dalam kekuasaan Negara Baghdad ibu kota Iraq,

berjarak 10 Parsakh dari kota Naisabur (Syakur, 2008: 33).

Imam al-Ghazali lahir dari keluarga yang cukup sederhana,

bahkan bisa dikatakan miskin. Ayah Imam al-Ghazali bernama

Muhamad adalah orang sholeh yang selalu menjaga hati dan

tangannya dari kemaksiatan, pekerjaannya penenun kain Woll dan

menjualnya di toko miliknya yang berada di kota Atthusyi. Ayah al-

Ghazali juga memiliki kecenderungan hidup sufistik, ia adalah

seorang tipe pecinta ilmu, sehingga di samping menekuni

pekerjaannya, selesai berdagang ayahnya seringkali mengunjungi

majlis- majlis pengajian dan mendengarkan sesuatu yang diajarkan

oleh ulama ahli Fiqih dan ahli nasihat serta berusaha mengamati dan

mengamalkan perilaku para Ulama tersebut (Ghafur, 2006: 26).

Dari sinilah, Ia (Muhamad) bercita-cita dan selalu berdo’a

agar dikaruniai putra yang suka duduk di majlisnya para Ulama, baik

19
Ulama Fuqoha atau Ulama Ahli Petuah, yang mana mereka mau

mengajarkan urusan- urusan Agama kepada umat manusia, dan

sebagai penunjuk jalan terbaik dunia akhirat. Allah mendengarkan

do’anya dan memberi karunia kepadanya dua orang putra yaitu, Abu

Hamid al-Ghazali dan adiknya bernama Imam Amad al-Ghazali

(Syakur. 2008: 33).

Dengan kesadaran bahwa pendidikan memerlukan biaya,

sedang Ia miskin, sementara cita-citanya harus dipenuhi, maka

menjelang wafatnya, Ia menitipkan al-Ghazali dan adiknya, Ahmad,

kepada sahabat dekatnya, seorang sufi agar harta yang

ditinggalkannya kelak digunakan untuk biaya pendidikan anaknya

tersebut. Ayah al-Ghazali sendiri meninggal ketika al-Ghazali

diduga berusia enam tahun. Jelas Ia tidak sempat menyaksikan

‘bintang’ al-Ghazali . Hal ini berbeda dengan Ibunya (Ghafur. 2006:

26-27).

Wasiat tersebut dilakukannya terhadap Imam al-Ghazali dan

Ahmad adiknya, keduanya diajarkan cara menulis dan dididik ilmu

adab sampai semua harta benda peninggalannya almarhum yang

tidak begitu banyak habis untuk membiayai keduanya. Hingga suatu

hari sang sufi yang melaksanakan wasiat orang tua Imam al-Ghazali

menyampaikan alasannya dalam hal mengajarkan keduanya dan

biaya hidup makan sehari-hari, Ia tidak menemukan jalan yang dapat

20
memenuhi kebutuhan hidup keduanya kecuali makanan pagi dan

pakaian untuk belajar di Madrasah tersebut (Syakur, 2008: 34).

Sang sufi melaksanakan wasiat orang tua kedua anak yatim

itu dengan baik, keduanya ditinggalkan dalam keadaan fakir dan

tidak memiliki harta yang dapat menunjang kebutuhan hidupnya.

Kemudian sang sufi mengirim Al-Ghazali dan Ahmad ke Madrasah

Nizamiyah Tus yang bisa memberi jaminan biaya pendidikan. Di

Madrasah tersebut Ia belajar Fiqh Syafi’i dan teologi Asy’ariyah di

samping belajar Nahwu-Sharaf pada Ahmad Ibnu Muhammad ar-

Razkani at-Tus. Pada waktu itu, usia al-Ghazali masih relatif kecil,

yaitu sekitar umur 10 tahun. Namun, sejak itulah terlihat ketinggian

derajat keduanya dan al-Ghazali memperlihatkan semangatnya yang

menggelora untuk mencari dan mendalami ilmu hingga ke jenjang

yang lebih tinggi (Ghafur, 2006: 28).

2. Masa Muda

Dari Tus, al-Ghazali pergi ke kota Jurjani yaitu kota besar

yang terletak diantara Thobrostan dan Khurrosan di Iraq. Imam al-

Ghozali pergi ke Jurjani berguru kepada Imam Abi Nasir al-Ismaily

mendalami Ilmu Fiqih dan ilmu-ilmu yang berkembang ketika itu

serta menulis keterangan-keterangannya. Tidak diketahui secara

pasti, berapa lama al-Ghazali menuntut ilmu di Jurjan. Namun, kira-

kira pada usia baligh, yakni 17 tahun, Ia kembali ke kampung

halamannya di Atthusyi (Ghafur. 2006: 28-29).

21
Dalam perjalanan kembali ke kampung halaman, al-Ghazali

mengalami peristiwa perampokan di jalan. Imam As’ad al-Maihani

berkata: “Aku mendengar Imam al-Ghazali berkata: Kami dirampok

di tengah perjalanan dan mereka mengambil semua barang yang

kami bawa kemudian mereka berlalu meninggalkan kami, mereka

aku ikuti terus dari belakang, kemudian pimpinan mereka menoleh

kepadaku sambil berkata: Kembalilah kalau kamu tak ingin mati !“

Segerombolan perampok itu mengambil barang bawaan al-

Ghazali yang diantaranya berisi adalah Ta’liqot (tulisan keterangan

guru) miliknya. Al-Ghazali meminta kepada perampok itu agar

mengembalikan catatan belajarnya itu. Akan tetapi, pimpinan

perampok itu tertawa terbahak-bahak dan mengejek al-Ghazali

bahwa al-Ghazali akan hidup tanpa ilmu, dan tidak mengetahui

pelajaran apa yang ada di dalam catatan itu. Kejadian itu menjadi

pelajaran positif untuk al-Ghazali bahwasanya ucapan perampok itu

adalah datangnya dari Allah yang mengingatkan kepada al-Ghazali

lantaran ucapan perampok itu. Ketika sampai di kampung

halamannya di Atthusyi, al-Ghazali menghabiskan waktunya selama

tiga tahun untuk belajar dan menghafal semua keterangan yang Ia

tulis agar sewaktu-waktu tulisan itu dirampok orang aku tidak

kehilangan ilmu. Hal ini menjadi pelajaran baik untuk kemajuan

bagi dunia pendidikan (Syakur, 2008: 35-36).

22
Selama tiga tahun di kampung halamannya Atthusyi, Ia

belajar sendiri meskipun pada saat- saat tertentu Ia juga belajar

tasawuf pada Yusuf an-Nassaj (w.487 H). Tokoh inilah yang kelak

juga berpengaruh pada diri al-Ghazali sehingga mengambil dan

memutuskan jalan sufi (Ghafur, 2006: 29).

Setelah kurang lebih tiga tahun berada di tempat

kelahirannya, dalam usia yang ke 20-an, al-Ghazali bersama

kelompok pemuda lainnya melanjutkan studi ke Naisapur, masih

wilayah Khurasan, ibu kota Turki Saljuk, salah satu daerah

terpenting sebagai pusat pemikiran pada dunia Islam ketika itu

setelah Baghdad, untuk berguru pada maha guru di tempat tersebut

al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain. Disinilah al-Ghazali

diperkenalkan dengan berbagai cabang ilmu yang berkembang

ketika itu, seperti teologi, Fiqih, logika, filsafat, metode berdiskusi

dan lain-lain, sehingga Ia dengan bakat kecerdasan dan

ketekunannya mampu menguasai ilmu-ilmu tersebut sampai paham

apa yang diungkapkan oleh masing-masing ahli ilmu itu dan

bagaimana menolak klaim-klaimnya (Ghafur, 2006: 30).

3. Masa Dewasa

Setelah Imam Haromain wafat, Imam al-Ghazali keluar

menuju ke sebuah markas prajurit dengan maksud bertemu dengan

seorang patih (Menteri) Nizam al-Mulk yang mengatur tentang

undang-undang kerjaan (peraturan Negara) karena berkaitan dengan

23
majlis ta’lim miliknya yang menjadi tempat berkumpulnya para

ulama. Di majelis inilah al-Ghazali berdebat dengan para tokoh

Ulama dan menundukkan lawan-lawan bicaranya, ucapannya yang

mampu mengalahkan mereka (Syakur, 2008: 36).

Al-Ghazali dalam mengikuti majelis Perdana Menteri

Nidzam al-Muluk sangat diterima dengan penghormatan luar biasa,

mengingat derajat intelektualnya di mata Perdana Menteri cukup

tinggi, dan pandangan-pandangannya yang bagus. Sementara

Nidzam al-Muluk sendiri merupakan seorang Perdana Menteri yang

sangat menghargai dan memberikan penghormatan yang

proposional kepada para Ulama dan orang-orang yang layak

dihormati hingga nama Imam al-Ghazali mencuat masyhur.

Akhirnya, Nidzam al-Muluk menugaskan al-Ghazali untuk pergi ke

Baghdad dalam rangka mengajar di Akademi Nidzamiyah. Seluruh

siswa dan para Ulama di sana sangat terkagum-kagum atas

penjelasan dan pandangan-pandangannya. Sejak saat itu Ia menjadi

Imam penduduk Irak, setelah melewati karir keimanannya di

Khurasan (al-Qardhawi, t.t.:187-188).

Al-Ghazali mengajar dan menjadi rektor di Universitas

Nidzamiyah kurang lebih selama 4,5 tahun. Ia disibukkan dengan

kegiatan mengajar, meneliti, mempelajari buku filsafat secara

otodidak, dan menulis buku. Dari tangan “dinginnya” lahir beberapa

karya dimulai dari Fiqih, logika, dialektika dan filsafat, sampai

24
tentang bathiniyah. Al-Ghazali dengan tuntas membaca karya-karya

filsafat dan aliran-alirannya serta tentang ta’limiyah sehingga lahir

beberapa karya mengenai tema tersebut yang bukan hanya bercorak

deskriptif tapi juga argumentative. Semua ilmu yang telah

dipelajarinya tidak ada yang memuaskan kegelisahan intelektual dan

spiritualnya. Menurutnya, tinggal satu jalan yang belum dilaluinya

secara serius-intensif dan praktis (pengalaman langsung), yaitu

tasawuf. Maka ia membaca beberapa literature tasawuf, melalui

tulisan para sufi seperti al-Muhasibi (w. 243 H/ 637 M), al-Junaid

(w. 298 H/854 M), as-Shibli (w. 334 H/495 M), al-Bustami (w. 262

H/875 M) dan lain-lain. Dari studinya tersebut ia berkesimpulan

bahwa yang penting bagi mereka adalah pengalaman dengan dzauq

dan suluk (dan ini belum dicapai al-Ghazali secara maksimal).

Sehingga al-Ghazali memastikan bahwa satu-satunya harapan

mencapai kepastian dan kenikmatan dalam kehidupan nanti terletak

pada jalan kaum sufi (Ghafur, 20006: 34).

Ketika nama dan posisinya semakin tinggi di mata para

pejabat, para menteri dan para tokoh serta keluarga kerajaan, tiba-

tiba al-Ghazali meninggalkan Baghdad terkait dengan sisi-sisi

kehidupan yang diwarnai popularitas, dan segala hal yang berbau

duniawi, untuk menempuh faktor-faktor menuju ketakwaan (al-

Qardhawi, t.t.:187-188).

25
Ketika Imam al-Ghozali menampakkan keinginannya untuk

pergi ke Makkah melakukan ibadah haji di Baitullah al-Harom,

beliau berangkat pada bulan Dzulqo’dah tahun 488 H dan meminta

adiknya yang bernama Ahmad untuk menggantikannya dalam

urusan mengajar. Setelah dari Makkah beliau pergi ke Damaskus di

Syam pada tahun 489 H, tetapi niatnya ke Syam ini tidak Ia

tampakkan takut diketahui Kholifah dan teman-temannya, kalau Ia

punya azzam untuk bermukim di Syam (Syakur, 2008: 37).

Pilihan al-Ghazali untuk ke Syam dikarenakan keberadaan

seorang guru sufi di Damaskus bernama Abu Al-Fath Nasr ibn

Ibrahim al-Magdisi an-Nabulisi (w. 490 H/1097 M) yang juga

merupakan sarjana terkemuka madzhab Syafi’i di Syiria. Tujuan

sebenarnya adalah ingin mencurahkan secara penuh pada jalan sufi.

Al-Ghazali tinggal selama dua tahun di tempat itu, dan selama itu

pula Ia melakukan uzlah, khalwat, riyadhah, dan mujahadah,

sebagaimana ajaran tasawuf yang diperolehnya. Perilakunya itu

didedikasikan untuk menjernihkan bathin agar mudah berdzikir

kepada Allah Swt (Ghafur, 20006: 37- 38).

Sewaktu di Syam, Imam al-Ghazali hanya beribadah di

menara masjid dengan mengunci diri di dalamnya, tidak ada

kegiatan kecuali hanya uzlah dan menyepi dari banyak orang dan

riyadhoh serta mujahadah dengan tujuan membersihkan nafsu dan

membersihkan akhlaqnya serta mengkonsentrasikan hatinya untuk

26
berdzikir kepada Allah Swt. Dari Syam kemudian ke Baitil Maqdis

dan kadang ke goa-goa untuk bertapa dan mengunci diri di

dalamnya. Beliau berkelana keluar dari tanah Iraq hanya membawa

perbekalan sekedar kecukupan dan makanan kekuatan untuk

mengganjal perut seorang anak kecil (Syakur, 2008:38). Ketika di

Baitul Maqdis, al-Ghazali mengarang kitab al-Ihya’, sekaligus

melakukan jihad terhadap nafsu, merubah akhlaknya selama ini,

memperbaiki dan menjernihkan kehidupannya (al-Qardhawi,

t.t.:188).

Kemudian setelah lama melalang buana, tergerak di dalam

hati al-Ghazali untuk melakukan haji dan ziaroh ke makam

Rasulullah agar mendapatkan barokah kota Makkah dan Madinah

(Syakur, 2008: 38). Sebelum kembali ke Yerussalam dari ibadah

haji, kerinduannya yang mendalam terahadap keluarganya tidak

terbendung sehingga untuk sementara ia pulang ke Baghdad. Akan

tetapi, karena melebarnya perang Salib, al-Ghazali meninggalkan

kota tersebut menuju Mesir hingga sampai Maroko (Ghafur,

2006:38).

Pengembaraan spiritualnya berakhir pada tahun 499 H/ 1106

M yang berarti ketika itu al-Ghazali berusia 49 tahun. Hasil

pengembaraannya menunjukkan bahwa kaum sufi adalah mereka

yang secara unik menempuh jalan menuju Tuhan, cara hidup mereka

27
adalah cara hidup yang terbaik dan paling tepat dari sisi etika dan

budi pekertinya (Ghafur, 2006: 39).

4. Wafat

Setelah selesai melakukan safari spriritual, al-Ghazali

menjumpai realitas masyarakat yang mengalami dekadensi moral

dan krisis iman. Faktor inilah yang menariknya kembali ke kancah

penyebaran ilmu dan melepas baju uzlahnya. Dorongan dari dalam

dengan nuansa baru dengan tanpa mengingkari janjinya dan ajakan

dari penguasa Saljuk yang baru, Fakhr al-Mulk, putra dari Nizam al-

Mulk, al-Ghazali mengajar kembali di madrasah tersebut selama tiga

tahun. Pada periode itulah ia menulis salah satu karyanya dalam

bentuk otobiografi, di samping karya-karya lain

(Ghafur. 2006: 39-40).

Sekitar tahun 503-4 H/ 1110 M, dengan alasan keagamaan

dan keduniawian, al-Ghazali kembali ke tanah kelahirannya. Tus

dan mendirikan madrasah bagi para pengkaji ilmu-ilmu agama dan

sebuah khanqah bagi para sufi. Di sini bersama sekitar seratus lima

puluh muridnya, ia habiskan sisa hidupnya sebagai pengajar dan

guru sufi. Ia juga terus mendalami al-Qur’an dan hadits, termasuk

Shahih Bukhari dan Abu Dawud serta kegiatan menulis, baik dalam

bentuk penyelesaian terhadap karyanya yang belum selesai maupun

karya yang baru, sehingga dalam waktu yang singkat lahir pula

karyanya yang lain (Ghafur, 2006: 40).

28
Ibnu Asakir mengatakan, “al-Ghazali r.a, pulang ke

Rahmatullah, pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505

H. ia dimakamkan di Dzahir, ibu Kota Thabran. Allah SWT telah

memberi keistimewaan pada pribadinya dengan berbagai karamah

di akhirat, sebagaimana Allah SWT memberikan anugerah

keistimewaan dengan diterimanya ilmu al-Ghazali di dunia. Ibnu al-

Jauzi dalam al-Muntadzim mengisahkan, menjelang wafatnya,

sebagian para muridnya meminta, “Berwasiatlah kepadaku wahai

guruku”, maka, Al-Ghazali menjawab, “Hendaknya Anda tetap

ikhlas”. Kata-kata ituterus terucap, hingga wafat menjemputnya (al-

Qardhawi, t.t.:199).

B. Sistematika Kitab Al-Adab Fi Al-Din

Diantara karya Imam al-Ghazali salah satunya adalah al-Adab Fi al-

Din yang merupakan sumber primer dan kajian utama dari penelitian ini

yang secara umum akan digambarkan tentang isi kitab al-Adab Fi al-Din

dengan tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya. Kitab al-Adab

Fi al-Din merupakan kitab yang mempunyai karakter tersendiri, yang

membahas tentang kaidah-kaidah mendekati Allah Swt dalam kaitannya

dengan kehidupan sehari-hari. Adapun pembahasan yang diambil peneliti

disini adalah bab mengenai adab seorang guru dan murid yang sangat

penting dan harus diketahui oleh seseorang yang sedang menuntut ilmu dan

berproses dalam pendidikan.

29
Kitab al-Adab Fi al-Din ini adalah karangan Imam Abu Khamid

Muhammad bin Muhammad al-Ghazali yang diterbitkan satu edisi dengan

kumpulan Risalah al-Ghazali (majmu’ul rasa’il) yang terbit di Kairo tahun

1328H/ 1910M, dari halaman 63- 94 (al-Qardhawi, t.t.: 190).

Kitab al-Adab Fi al-Din ditulis kembali oleh Pustaka Al Falah, Ploso

Jawa Timur sehingga menjadi kitab yang menjadi bahan ajar santri Pondok

Pesantren Poloso Kediri Jawa Timur. Kitab al-Adab Fi al-Din selain juga kitab

al-Qowaid al-Asyrah dan Kimiya al-Sa’adah ini sejatinya merupakan

kelanjutan dari kitab al-Munqidz Min a- Dhalaal dan Ihya’ Ulumuddin karya

dari Imam al-Ghazali khususnya yang membahas mengenai dunia tarekat.

Kitab al-Adab Fi al-Din dimulai dengan basmallah yang menjadi

pembukaan dari bagian pertama yaitu muqaddimah dan sebuah pengantar

yang menjelaskan sedikit mengenai isi kitab ini.

Secara garis besar penulisan kitab al-Adab Fi al-Din terbagi

menjadi beberapa bab yaitu:

BAB I : Adab Muslim.

BAB II : Ajar Mengajar.

BAB III: Adab dalam Sholat.

BAB IV: Adab Puasa-Haji.

BAB V: Adab Sehari-hari.

BAB VI: Adab Sedekah.

1. Adab memberi sedekah

2. Adab meminta sedekah

3. Adab pemberi hadiah

30
4. Adab penerima hadiah

5. Adab orang kaya

6. Adab fakir miskin

BAB VII: Adab jual beli.

BAB VIII: Adab pinang meminang.

BAB IX: Adab suami istri.

BAB X: Adab hubungan dengan kerabat dan masyarakat.

BAB XI: Adab jihad.

C. Karya- karya Imam Al-Ghazali

Karena luasnya pengetahuan al-Ghazali, maka sangat sulit sekali

untuk menentukan bidang dan spesialisasi apa yang digelutinya. Adapun

mata pelajaran yang pernah Imam al-Ghazali pelajari adalah bidang teologi,

hukum Islam, falsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang

dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan

ilmiahnya di kemudian hari (Nata, 1997: 159).

Al-Manawi berkata: Imam Nawawi menukil dari gurunya yang

bernama Attaghlisi dalam kitab Bustan karya Imam Nawawi sendiri,

gurunya menukil dari sebagian ulama dengan katanya: Aku menghitung

kitab-kitab yang disusun Imam al-Ghazali dan aku membagi dengan

umunya maka menghasilkan kesimpulan bahwa setiap hari ada empat kitab

yang dikarang olehnya. Padahal usianya mencapai 55 tahun. Hal ini

merupakan bagian dari Nasyru zaman (waktu yang diperpanjang) bagi para

31
ulama termasuk beliau, adalah merupakan karomah terbesar bagi siapa yang

memilikinya. (Syakur, 2008: 46)

Abdurrahman Badawi mengikutsertakan jumlah dan nama-nama

kitab Imam Al-Ghazali dalam bukunya, Muallifatul Ghazali, sebanyak 487

judul. Diantara karya-karya itu sebagai berikut :

1. Ihya’ Ulumuddin. Kitab ini diterbitkan ribuan kali, diantaranya

diterbitkan di Bulaq tahun 1269, 1279, 1282, 1289 H. Terbit pula

di Istanbul tahun 1321 H, di Teheran 1293 H dan diterbitkan

Darul Qalam Beirut tanpa tahun.

2. Al-Adab Fi al-Din. Diterbitkan satu edisi dengan kumpulan

Risalah Al-Ghazali (majmu’ul rasa’il) yang terbit di Kairo tahun

1328H/ 1910M, dari halaman 63- 94.

3. Kitabul Arba’in Fi Ushuluddin. Terbit di Kairo, tahun 1328 H/

1910 M, dan diterbitkan oleh al-Maktabah at-Tijariyah Kairo,

tanpa tahun. Edisi Indonesia berjudul Teosofia Al-Qur’an,

terjemahan Mohammad Luqman Hakiem dan Hosen Arjaz

Jamad, diterbitkan penerbit Risalah Gusti, Surabaya, 1996.

4. Asasul Qiyas. Al-Ghazali menyebutnya dalam al-Musthashfa,

Juz I/38, Juz II/238 dan Juz III/325, terbitan Mesir tahun 1324

H/ 1907 M. Tentang kitab ini, juga disebutkan oleh Muhammad

Ibnu Hasan al-Husaini al-Wasithy, dalam ath-Thabaqatul Aliyah

fi Manaqibisy Syafi’iyah. Naskahnya masih berupa manuskrip,

32
ada di Darul Kutub al-Mishriyah, No.7 dan ada pula di tempat

Abdurrahman Badawi, hlm 61.

5. Al-Istiaj. Pernah disebut oleh al-Ghazali dalam kitabnya, Ad-

Durratul Fakhirah, hlm 57 dari terbitan kami (Darul Fikr).

Adapula yang masih manuskrip Ashfiyah, No. 18 (Tasawuf

Arab).

6. Asraru Mu’amalatud-Din. Disebut oleh as-Subky dalam

Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra, Juz IV, hlm. 116, disebut

pula oleh Muhammad Ibnu Hasan dalam Ath-Thabaqqatul

Aliyah Fi Manaqibisy Syafi’iyah, lalu al-Ghazali juga

menyebutnya dalam kitab Minhajul ‘Abidin, hlm. 32, serta

Abdurrahman Badawi, hlm. 68.

7. Al-Iqtishad fil I’tiqad. Diterbitkan oleh Musthafa Al-Qabbany,

Kairo, tahun 1320 H. Adapula pada Hamisy (kitab pinggir) di

kitab al-Insanul Kamil, karya al-Jailany atau al-Jily, terbitan

Kairo 1328 H. dan satu edisi kumpulan bersama kitab al-

Munqidz, al-Madhnun, dan Tarbiyatul Aulad, terbitan Bombay,

tanpa tahun, dan diterjemahkan ke dalam bahasan Spanyol. As-

Subky dalam Thabaqat-nya (IV/116) juga menyebutnya, begitu

pula Az-Zubaidy dalam al-Ithaf, Juz I/ 41, dan disebut juga

dalam ath-Thabaqatul Aliyah.

8. Iljamul ‘Awam ‘an ‘Ilmil Kalam. Diterbitkan di Istanbul tahun

1278 H, di Kairo tahun 1303 H, 1309 H, dan 1350 H, atas jasa

33
Muhammad Ali Athiyah al-Katby, serta tahun 1351 H,

diterbitkan Idaratul Muniriyah, diterjemahkan pula ke dalam

Spanyol.

9. Al-Imla’ ‘ala Musykilil Ihya’. Diterbitkan di Fes tahun 1302,

dicetak juga dalam Hamisy kitab Ithafus Sadatil Muttaqin, karya

az-Zubaidy, dan menjadi Hamisy dari sejumlah terbitan al-

Ihya’.

10. Ayyuhal Walad. Terbit dalam satu kumpulan di Kairo, 1328

H.Tahun 1343 H tercantum dalam risalah-risalah Al-Ghazali

yang berjudul al-Jawahirul Ghawali min Rasaili Hujjatul Islam

al-Ghazaly. Di Istambul juga terbit pada tahun 1305 H, dan di

Qazan tahun 1905 M, dengan terjemah bahasa Turki, oleh

Muhammad Rasyid. Diterjemahkan pula ke dalam bahasa

Jerman oleh Hammer Y. di Wina tahun 1837 M. lantas Tufik

Shabagh menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dalam

publikasi edisi khusus UNESCO tahun 1951 M, dengan judul

Traite Disciple.

11. Albabul Muntahal Fi Ilmil Jadal. Karya ini disebut oleh Ibnu

Khalakan, iii/354, dan as-Subky, IV/116 dengan judul: Albabul

Muntahal fi Ilmil Jadal. Juga disebut oleh az-Zubaidy dalam

Ithafu Sadatil Muttaqin dengan judul Albabul Muntahal fi Jadal,

dalam Abdurrahman Badawi, hlm 7.

34
12. Bidayatul Hidayah. Berbagai penerbit menerbitkannya,

termasuk diantaranya terbitan Bulaq tahun 1287 H, Kairo, 1277

H dan 1303 H. Dalam terbitan yang disertai catatan-catatan

Muhammad an-Nawawi al-Jary, terbit di Kairo tahun 1308 H,

Bulaq 1309 H, Lucknow 1893 H, Kairo 1306, 1326 H, terbut di

Mabady 1326 H, Kairo 1353 H. Maktabatul Qur’an

menerbitkannya tahun 1985 M, editor Muhammad Usma al-

Khasyat. Kitab ini juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris

dan Jerman.

13. Al-Basith fil Furu’. Diantaranya berbentuk manuskrip dalam

Diwan al-Hindy tahun 1766 M dan Iskorial Cet.1, 1125 H, al-

Fatih di Istanbul No. 1500, di Sulaimaniyah No. 629, di College

Ali No. 327, Dimyath Umumiyah No. 44. Yang disebut pertama,

keempat, kelima dan keenam ada di Perpustakaan Dzahiriyyah

No. 174: 176- Fiqh Syafi’I, adapula di Darul Kutub al-Mishriyah

No. 27- Fiqh Syafi’I, namun kurang halamannya. Dan pada No.

223- Fiqh Syafi’i.

14. Ghayatul Ghaur fi Dirayatid Daur. Di antaranya ada di Mathaf

Britania No. 1203 (I), di Raghib Istambul No. 569 dalam 75

lembar, dan di Hamburg No. 59, Darul Kutub al-Mishriyah No.

3659 dan 3660 Tasawuf, dengan judul Mas’alatu Thalaqid

Daur.

35
15. At-Ta’wilaat. Disebut oleh Brockleman, I/747, No. 21.

Diantaranya masih berupa manuskrip di Perpustakaan Aya Sofia

Istambul, dalam satu kumpulan manuskrip, No. 2246.

16. At-Tabbarul Masbuk fi Nashaihi Muluk. Bahasa asli kitab ini

Persia, dengan judul “Nashihatul Muluk”, kemudian

diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ali Bin Mubarak bin

Mauhub, untuk Atabik Alb Qatlaj di Mosul (wafat 595 H).

kemudian diterbitkan di Kairo tahun 1277 H. dan diterbitkan

sebagai Hamisy kitabnya ath-Tharthusyi, Sirajul Muluk, di

Kairo tahun 1306 dan tahun 1319 H.

17. Tahsinul Maakhidz. Mengenai ilmu polemik. Disebut oleh as-

Subky, IV/130, serta dalam “Muallifatul Ghazali” oleh

Abdurrahman Badawi, hlm. 10.

18. Talbis Iblis. Disebut oleh as-Subky, IV/116, Thasy Kubra dalam

:”Miftahus Sa’adah”, II/208, Haji Khalifah juga menyebutkan,

namun dengan judul “Tadlis Iblis”, II/254.

19. At- Ta’liqat fi Furu’il Madzhab. Disebut oleh as-Subky, IV/103,

dan Abdurrahman Badawi, hlm.1.

20. Faishal at-Tafriqah bainal Islami waz-Zindiqiah. Al-Ghazali

sendiri menyebutkannya dalam al-Munqidz, hlm97, terbitan

Damaskus, 1934. Dicetak juga di Kairo tahun 1319 H, dan tahun

1325 H, dengan judul Risalat fil Wa’dz wal ‘Aqa’id. Di India

diterbitkan dalam satu kumpulan risalah, yang diterbitkan oleh

36
Qadhi Ibrahim Bombay, cetakan Hijr, tahun 1283 H, dari

halaman 3 hingga 24. Diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman

oleh A.I. Runge, Kiel, tahun 1938. Kemudian diikhtisarkan ke

dalam bahasa Spanyol oleh Asim Palacios, dalam El Justo

Medio en la Creenzia, Maid, tahun 1929.

21. Tafsirul Qur’anil Adzim. Disebut oleh Az-Zubaidy dalam Ithafu

Saadatil Muttaqin, I/34, dan Abdurrahman Badawi, hlm. 53.

22. Tahafutul Falasifah. Diterbitkan di Kairo, tahun 1302 H, 1320

H, 1321 H dan tahun 1955 M. di Boombay diterbitkan tahun

1304 H. diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh C.

Calonymus, dan dipublikasikan tahun 527 M. dengan judul

Destretio Philosophiac. Naskah tersebut diterbitkan dua kali

oleh al-Bunduqiya tahun 1527 M dan tahun 1562 M. terjemahan

naskah tersebut ditranskip dari terjemahan bahasa Yahudi.

Sementara terjemah ke bahasa Latin, dari bahasa Arab oleh

Augustinonivo, dan ia memberi penjelasan atas naskah tersebut,

terbut tahun 1497. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa

Perancis oleh Baron Carra de Voux, dalam majalah “Muzion”

yang terbit di Loupan tahun 1899.

23. Tahdzibul Ushul. Diterjemahkan oleh Muhammad ibnul Hasan

dalam ath-Thabaqatul Aliyah, disebut pula oleh al-Ghazali

dalam al-Mushtashfa, I/3, serta Abdurrahman Badawi, hlm. 59.

37
24. Jawabul Ghazaly ‘an Da’wati Mu’ayyidil Muluk lahu li

Mu’awadati at-Tais bin-Nidzamiyah fi Baghdad. Disebut oleh

Daulatsyah dalam at-Tadzkirah, terbitan Edward J. Brown,

Leiden tahun 1901, hlm. 99, dan Abdurrahman Badawi, hlm.

30.

25. Al-Jawahir al-Lali’y fi Mutsallatsil Ghazaly. Manuskrip di

Darul Kutub al-Mishriyah (No. 55- Huruf).

26. Jawahirul Qur’an wa Duraruh. Terbit di Mekkah tahun 1302 H,

di Bombay India tahun 1311 H, di Kairo tahun 1320 H oleh Farj

al-Kurdy, dan tahun 1352 H oleh Mathba’ah at-Tijariyah. Edisi

Indonesia diterbitkan Risalah Gusti Surabaya, tahun 1995,

dengan judul “Jawahirul Qur’an :Permata ayat- ayat suci”,

terjemahan Muhammad Luqman Hakiem.

27. Hujjatul Haq. Disebut oleh al-Ghazali dalam al-Muqidz, terbitan

Damaskus tahun 1934, hlm. 118, serta disebut oleh pengarang

Ath-Thabaqatul Aliyah. As-Subqy juga menyebut dalam

Thabaqat-nya, VI/116, al-Ghazali dalam Jawahirul Qur’an,

terbitan Kairo tahun 1933, hlm. 21, serta Abdurrahman Badawi,

hlm. 62.

28. Haqiqatul Qur’an. Disebut oleh al-Ghazali dalam al-

Mushtasyfa, I/67. Juga Abdurrahman Badawi, hlm. 62.

29. Haqiqatul Qaulayni. Disebut Ibnu Khaliqan, I/1587, Hj. Khalifa,

III/80, pengarang ath-Thabaqatul Aliyah, dan Brock Leman,

38
I/754. Naskah berbentuk manuskrip juga ditemukan di Bani

Jami’, 865, dan di Berlin, No. 4859, Spies BAD 21.

30. Al Hikmah fi Makhluqatillah ‘Azza wa jalla. Tercantum dalam

edisi Majmu’atul Rasailil Imam al-Ghazali , Darul Fikr, Bairut,

1996.

31. Khulasatul Mukhtasar wa Niqauhul Mukhtasar. As-Subky

menyebutkan, thabaqat, IV/116, sebuah kitab yang merupakan

ikhtisar al-Muzammi dan al-Ghazali sendiri menunjukkan pada

kitabnya, al-Ihya’ Ulumuddin, Juz I/ 35, juga dalam “Jawahirul

Qur’an: hlm. 22. Ia berkomentar bahwa kitab Khulasoh tersebut

adalah kitab paling kecil diantara karya-karyanya di bidang Fiqh.

Adapun pula naskah Ilustratif di akademi manuskrip, No. 174-

Fiqh. Asy- syafi’i, yang diperoleh dari naskah Sulaimaniyah,

No. 442 dalam 100 paper.

32. Ad-Durjul Marqum bil-Jadawil. Disebut dalam al-Muqidz,

terbitan Damaskus tahun 1934, hlm. 118. Mengarang ath-

Thabaqatul Aliyah menyebutnya dengan judul “Al-Jadwalul

Marqum, dan Abdurrahman Badawi. hlm. 41.

33. Ad-Durratul Faqirah fi Khasyfi ‘Ulumil Akhirah. Termaktub

dalam edisi dalam edisi Majmu’ul Rasail, terbitan Darul Fikr

Bairut, 1996, hlm. 509.

34. Ar-Risalatul wa’dziyah. Dinamakan pula dengan “al-Wadziyah”

dan “Mawa’izul Ghazali”, diterbitkan dalam edisi Risalah al-

39
Ghazali , al-Jawahirul Ghawali min Rasailil Ghazali, Kairo,

1343 H, hlm. 153-9. Dipublikasikan oleh Muhyiddin Sabir al-

Khurdi.

35. Dzat Aakhirat. Disebut dalam bukunya Abdurrahman Badawi,

hlm. 48, dan diantaranya berbentuk manuskrip di Leiden, No.

2148.

36. Tsiirul ‘Alamiin Wa Kasyifu MaAa Fid-Darain. Diterbitkan di

Bombay, 1314 H, Kairo tahun 1343 H. dan 1327 H, terbit pula

di Teheran tanpa tahun. Sedangkan Darul Fikr Bairut

menerbitkan dalam Majmu’ul Rasailil Imam al-Ghazali, hlm.

449.

37. Syifaul Ghalil fil Qiyas wat-Ta’lil. Disebut oleh as-Subky,

IV/116, Haji Khalifah, IV/54, Abdurrahman Badawi, hlm. 12,

dan berupa manuskrip di Darul Kutub al-Mishriyah, No. 154-

Ushul Fiqh, di al-Azhariyah, No. (107) 4183- Ushul Fiqh, dalam

181 paper, di Ambruziyana, No. 78 (119 VII).

38. Qawashimul Bathiniyah. Al-Ghazali menyebutnya dalam

Jawahirul Qur’an, hlm. 26, dan Abdurrahman Badawi, hlm. 24.

39. Al-Kasyf wat-Tabyin fi Ghururil Khalq Ajma’in. dicetak dalam

bentuk Hamisy kitab Tanbihul Maghrurin karya asy-Sya’rany,

Kairo, 1349 H, dan diterbitkan tersendiri di Kairo tahun 1960 M,

oleh Maktabah Mushthafa al-Halaby.

40
40. Kimiya’ as-Sa’adah. Terbit dalam teks Persia di Calcutta tanpa

tahun, dan diterbitkan oleh Hijr di Lucknow tahun 1279 H. dan

di Bombay tahun 1883 M.

Teks Persia diterjemahkan ke bahasa Turki oleh

Musthafa al-Wany. Wafat tahun 1591 M, dan belum sempat

dicetak. Adapula manuskripnya di Aya Sofia, No. 1719, 1720,

526. Dan diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris dari

bahasa Turki oleh H.A. Homes, dengan judul Alcemy of

Happiness, by Mohammed al-Chazzali, the Mohammedan

Philoshope-Albany, New York, 1873.

Sedangkan teks Arab, disebutkan oleh az-Zubaidy dalam

al-Ithaf, 1/42, dimana ia menemukannya di sebelah teks Persia

berukuran besar, ada teks Arab yang berukuran kecil dalam 4

kuras (bendel). Teks Arab ini masuk dalam kumpulan Risalah

al-Ghazali, yang diterbitkan oleh Musthafa Kurdy, Kairo, tahun

1328 dan 1343 H.

Teks Arab, diterjemahkan pula ke bahasa Turki oleh

Musthafa al-Wany, diterbitkan di Istambul tahun 1260.

Diterjemahkan pula ke dalam bahasa Urdu di Lucknow tahun

1313 H dan ke dalam bahasa Inggris serta Jerman.

41. Lubabun Nadzar. Disebut oleh al-Ghazali dalam Mi’yarul Ilmi,

1927 M. hlm. 27, dan disebut pula dalam karya Abdurrahman

Badawi, hlm. 9.

41
42. Mihakkun Nadzar fil Fiqh. Disebut oleh al-Ghazali dalam al-

Iqtishad fil I’tiqad, Penerbit al-Mahmudiyah, Kairo (tanpa

tahun), hlm. 11, Abdurrahman Badawi, hlm. 6. Ada juga

manuskripnya di Darul Kutub al-Mishriyah, Nomor (Majami’-

M. 227) dan Majami’ dibaca – 967.

43. Al-Mustashfa fi Ilmil Ushul. Diterbitkan di Bulaq tahun 1322,

dalam dua juz. Pada Hamisynya ada kitab, Faqatihur Rahmawt

karya al-Anshary. Diterbitkan juga oleh at-Tiraiyah tahun 1937

dalam dua juz, namun satu jilid.

44. Al-Mustadzhir fir-Radd ‘alal Bathiniyah. Disebut oleh as-

Subky, IV/116, dengan judul Al-Mustadzhir fir-Radd ‘alal

Bathiniyah. Al-Ghazali juga menyebutkannya dalam al-

Munqidz, hlm. 118. Ibnu Immad, IV/13. Asim Palacios

menerjemahkan potongan dari kitab tersebut. Abdurrahman

Badawi, juga menyebutkan pada hlm. 22.

45. Al-Munqidz minadh-Dhalal. Dicetak di Istambul, tahun 1286 H,

dan 1303 H, lantas di Kairo tahun 1309 H, serta pada Hamisy al-

Insanul Kamil. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa

Perancis sampai tiga kali, ke dalam bahasa Inggris dua kali, ke

bahasa Turki dan Belanda.

46. Al-Wajiz. Diterbitkan di Kairo oleh penerbit al-Muayyad, tahun

1317, dalam dua juz.

42
47. Al-Wasith. Disebut oleh Ibnu Khalikan, III/354, as-

Subky,IV/116, Ibnul Immad, IV/12. Ada manuskrip di Pustaka

Dimyath, Nomor (Umumiyah: 43- 124/31), dan di Darul Kutub

al-Mishriyah, No. 206- Fiqh Syafi’I dalam 4 jilid. Di Pustaka

adz-Dzahiriyah, No. 127: 129, 124: 126- Fiqh Syafi’i.

Buku ini diberi syarah oleh Utsman bin Abdurrahman

Ibnush Shalah. Syarahnya berjudul Syarhu Syaklil Wasith.

Syarah ini ada yang berbentuk manuskrip di Darul Kutub al-

Mishriyah dan yang lain di Dimyath, No. 43 (133/4).

Al-Baidhawi meringkas karya tersebut, dan memberi

judul dengan al-Ghayatul Qushwa, dan naskahnya ada di Darul

Kutub al-Mishriyah, dan Dimyath, No. 48 (312)- Umumiyah.

48. Raudhatuth Thalibin wa Umdatus-Salikin. Ditebitkan oleh Darul

Fikr Beirut dalam edisi Majmu’at Rasailil Imam al-Ghazaly,

tahun 1996, hlm. 92. Dalam edisi Indonesia diterjemahkan oleh

Mohammed Luqman Hakiem, dengan judul Raudhah: Taman

Jiwa Kaum Sufi, diterbitkan Risalah Gusti Surabaya, 1995.

49. Ar-Risalatul Laduniyah. Juga dalam edisi Majmu’ur Rasail,

Darul Fikr, Beirut, 1996, hlm. 222. ( al-Qardhawi, t.t.: 199- 199).

43
BAB III

ADAB GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL-GHAZALI DALAM

KITAB AL-ADAB FI AL-DIN

A. Pengertian Adab Guru dan Murid

1. Pengertian Adab

Istilah adab tidak bisa lepas dari dunia pendidikan. Menurut

Yasin (2008: 20), Kata ta’dib berasal dari kata aduba–ya’dubu, yang

berarti melatih atau mendisiplinkan diri. Atau juga berasal dari kata

addaba–yuaddibu–ta’diiban, yang berarti mendisiplinkan atau

menanamkan sopan santun.

Kata adab dapat disimpulkan sebagai upaya membimbing,

memandu, mengarahkan, membiasakan dan mempraktikkan sopan

santun (adab) kepada seseorang agar bertingkah laku yang baik dan

disiplin.

2. Pengertian Guru

Kata guru berasal dalam bahasa Indonesia yang berarti orang

yang mengajar. Kata teacher yang berarti pengajar. Selain itu, terdapat

dua tutor yang berarti guru pribadi yang mengajar di rumah, mengajar

ekstra, memberi les tambahan pelajaran, educator, pendidik, ahli didik,

lecturer, pemberi kuliah, penceramah. Istilah yang mengacu kepada

pengertian guru lebih banyak lagi seperti al-alim (jamaknya ulama) atau

al-mu’allim, yang berarti orang yang mengetahui dan banyak digunakan

para ulama atau ahli pendidikan untuk menunjuk pada hati guru.

44
Demikian juga dalam litetatur pendidikan Islam, seorang guru akrab

disebut dengan ustadz, yang diartikan ‘pengajar’ khusus bidang

pengetahuan agama Islam (Nata, 2001: 41- 42).

Posisi guru dalam dunia pengajaran sangat urgen. Bisa

dikatakan, guru adalah faktor penentu keberhasilan proses pembelajaran

yang berkualitas. Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan,

dan identifikasi bagi para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena

itu, guru harus memiliki standar kualitas tertentu, yang mencakup

tanggungjawab, wibawa, mandiri, dan disiplin (Putra, 2016: 26).

Menurut Yasin (2008: 89), dengan menyimpulkan dari berbagai

pendapat para ahli pendidikan dalam Islam, telah merumuskan bahwa

sifat- sifat yang harus melekat pada seorang pendidik itu dapat

disimpulkan sebagai berikut; 1). memiliki sifat kasih dan sayang

terhadap peserta didik; 2). lemah lembut; 3). rendah hati; 4).

menghormati ilmu yang bukan bidangnya; 5). adil ; 6). menyenangi

ijtihad; 7). konsekuen; dan 8). sederhana (Tafsir, 1994: 84).

Jadi, dalam perannya, guru tidak hanya tahu tentang materi yang

akan diajarkan. Akan tetapi, seorang guru harus memiliki kepribadian

yang kuat, yang menjadikannya sebagai panutan bagi para siswanya.

45
3. Pengertian Murid

Kata murid berasal dari bahasa Arab ‘arada, Yuridu iradatan,

muridan yang berarti orang yang menginginkan (the willer), dan

menjadi salah satu sifat Allah Swt yang berarti Maha Menghendaki.

Pengertian seperti ini dapat dimengerti karena seorang murid adalah

orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan,

ketrampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal

hidupnya agar berbahagia dunia dan akhirat dengan jalan yang sungguh-

sungguh (Nata, 2001: 49).

Menurut Yasin (2008: 100-101), istilah peserta didik atau murid

dimaknai sebagai orang (anak) yang sedang mengikuti proses kegiatan

pendidikan atau proses belajar- mengajar untuk menumbuh-

kembangkan potensinya, maka dalam literatur bahasa Arab yang sering

digunakan oleh para tokoh pendidikan dalam Islam, antara lain; 1).

Mutarabby, mengandung makna peserta didik yang sedang dijadikan

sebagai sasaran untuk dididik dalam arti diciptakan, diatur, diurus,

diperbaiki melalui kegiatan pendidikan yang dilakukan secara bersama-

sama dengan murabby (pendidik); 2). Muta’allim, mengandung makna

sebagai orang yang sedang belajar menerima atau mempelajari ilmu dari

seorang mu’allim melalui proses kegiatan belajar-mengajar; 3).

Muta’addib, adalah orang yang sedang belajar meniru, mencontoh sikap

dan perilaku yang sopan dan santun dari seorang mu’addib, sehingga

terbangun dalam dirinya tersebut sebagai orang yang berperadaban; 4).

Daaris, adalah orang yang sedang berusaha belajar melatih

46
intelektualnya melalui proses pembelajaran sehingga memiliki

kecerdasan intelektual dan ketrampilan; 5). Muriid, adalah orang yang

sedang berusaha belajar untuk mendalami ilmu agama dari seorang

mursyid melalui kegiatan pendidikan, sehingga memiliki pengetahuan,

pemahaman dan penghayatan spiritual yang mendalam terhadap nilai-

nilai keagamaan, memiliki ketaatan dalam menjalankan ibadah, serta

berakhlak mulia.

Pengertian di atas dapat penulis simpulkan bahwa murid yaitu

setiap orang yang memerlukan ilmu pengetahuan dan membutuhkan

bimbingan, pelatihan dari seorang pendidik untuk mengembangkan

potensi diri (fitrah) melalui proses pendidikan dan pembelajaran,

sehingga tercapai tujuan yang optimal.

B. Adab Guru dan Murid Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-

Adab Fi Al-Din

1. Adab Ahli Ilmu (al-‘Aliim)

Al-‘Aliim (jamaknya ulama) atau al-Mu’allim, yaitu orang yang

mengetahui. Dalam dunia pendidikan, seorang pendidik bertugas untuk

menumbuh-kembangkan potensi anak didik dengan cara menanamkan

pengetahuan (aspek kognitif), mengurus dan memelihara dengan cara

diberi contoh perilaku (aspek afektif), dan mengatur atau melatih

dengan cara memberi ketrampilan (aspek psikomotorik) agar anak didik

bertambah dan berkembang menjadi sempurna dalam segala aspeknya

(Yasin, 20008: 21).

47
Imam Al-Ghazali juga menjelaskan dalam kitab al-Adab Fi al-

Din:

‫ُّع ِاء بِِه َورف ُق بِالْ ُمتَ َعلِِم َوالتَأَنِي‬


َ ‫منع التكبُ ِر َوتَ ْرُك الد‬
ِ ِ ِ ِ
ُ ‫لَُزْوُم الْعْلِم َوالْ َع َم ُل باْلعْلِم َوَدَو ُام الوقَار َو‬
‫ص ََل ُح الْ َم ْسأَلَِة لِْلَبِلْي ِد َوتَ ْرُك ْاْلنَِف ِة ِم ْن قَ ْوِل ال ْأد ِر ْي َوتَ ُك ْو ُن ََ َمتُهُ ِعْن َد‬ ِ
ْ ِ‫بِالْ ُمَت َع ْج ِرف َوإ‬

ُ ‫الُ َّج ِة و‬ ِ ِ ِ ُّ‫ص السائِ ِل وتَرُك الت َكل‬ ِ ‫السؤ ِال خ ََلصةً ِمن‬
‫القبول‬ ُ ُ‫ا‬ُ ‫ف َو ا ْست َم‬ َ ْ َ َ ِ ‫السائ ِل ِإل ْخ ََل‬
َ ْ َ ُ َُ
‫صِم‬ ِ َ‫لَها و اِ ْن َكان‬
ْ ‫الخ‬
َ ‫ت من‬
ْ َ َ

Seorang ahli ilmu hendaknya senantiasa belajar atau


mendalami ilmu serta mengamalkannya. Selain itu, menjaga
kewibawaan dan menjauhkan diri dan meninggalkan dari berbagai hal
yang menjerumuskan kepada sikap takabbur termasuk kewajiban
seorang ahli ilmu. Ahli ilmu tentu harus memiliki sifat asih terhadap
anak didik, berperilaku bijak terhadap orang yang acuh tak acuh,
berperilaku baik terhadap orang yang memiliki potensi dibawah
standar (balid), meninggalkan sifat sombong tidak memberitahu ketika
ditanya murid, membantu menyelesaikan masalah murid dan
mendengarkan keluhan anak didik (al-Ghazali, t.t:4-5).

Jadi, tugas seorang guru tidak hanya mengajar dengan

memberikan ilmu pengetahuan, akan tetapi juga mendidik anak didik.

Dalam membangun jiwa dan watak anak didik, hendaklah seorang

pendidik memiliki kepribadian yang baik. Menjaga kewibawaan dalam

bertindak, akan menjadikan sosok guru dihormati anak didik terlebih

masyarakat sekitar. Seorang pendidik juga hendaklah bersikap lemah

lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat IQ-nya berbeda-

beda terutama pada peserta didik yang memiliki IQ rendah, dan

membina dengan penuh kasih sayang sampai tingkat yang maksimal.

48
Seorang pendidik hendaknya mendengarkan permasalahan serta

membantu mencari jalan keluar dari permasalahan yang dialami anak

didiknya. Dan jangan sombong dengan mengatakan tidak tahu jika

ditanya oleh anak didik.

2. Adab Murid dengan Guru

Imam al-Ghazali menyebut murid dengan sebutan kata

muta’allim. Secara kodrati, anak memerlukan pendidikan atau

bimbingan dari orang dewasa. Dasar kodrati ini dapat dimengerti dari

kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki anak yang hidup di dunia ini

(Yasin, 2008:102). Di samping itu dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat

78, dijelaskan :

َ َ ‫ص َار َواْْلَفِْئ َد‬ َّ ‫ون أ َُّم َهاتِ ُك ْم الَتَ ْعلَ ُمو َن َشْيًئا َو َج َع َل لَ ُك ُم‬
َ ‫الس ْم َع َواْْل َْب‬
ِ ُ‫والله أَخرج ُكم ِمن بط‬
ُ َ َْ ُ َ
‫لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو َن‬
“Dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (Q.S an-Nahl:78)ُ)ُYunus,
1973:391).
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan

status manusia sebagaimana mestinya adalah melalui proses pendidikan.

Agar pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang

dinginkan, maka peserta didik hendaknya senantiasa menyadari tugas

dan kewajibannya.

Al-Ghazali menyebutkan sifat terpenting yang harus dimiliki

seorang Muta’allim adalah bersifat tawadhu’ (rendah hati). Ketika

49
bertemu dengan guru, murid hendaklah membiasakan untuk

mengucapkan salam terlebih dahulu kepada gurunya.

‫خَلف‬
َ ‫ قَ َال فََُل ٌن‬: ُ‫الس ََلِم َو يَِق ُّل بَْي َن يَ َديِْه ال َك ََلِم َويَ َق ْوُم لَهُ إِذَا قَ َام َوَال يَ ُق ْوُل لَه‬
َّ ِ‫يَْب َد ُؤهُ ب‬

‫ َوَال يَ ْسأ َُل َجلِْي َسهُ فِي َم ْجلِ ِس ِه َوَالَ ْيب َت ِس ُم ِعْن َد ُم َخاطََبتِ ِه َوَال يُ ِشْي ُر َعلَْي ِه بِ ِخ ََِلف‬,‫لت‬
َ َ‫َما ق‬

‫أيه َوَالَ يأْ ُخ ُذ بثوبِِه إِذَا قَ َام َوَال يَ ْسَت ْف ِه ُمهُ َع ْن َم ْس أَلٍَة فِي طَِريِْق ِه َحتَّى يَْب لُ ُغ إِلَى َمْن ِزلِِه َوَال‬
ِ‫ر‬

‫يُ ْكثِ ُر َعلَْي ِه ِعْن َد َملَِل ِه‬


Murid mengucapkan salam terlebih dahulu kepada gurunya,
tidak banyak berbicara, bersikap rendah hati ketika berdiri di hadapan
guru dan tidak mengadu domba perilaku temannya kepada gurunya.
Ketika proses pembelajaran berlangsung, murid tidak boleh bertanya
kepadanya temannya, berbicara dengan tutur kata yang baik kepada
gurunya, tidak bersikap buruk apabila berbeda pendapat dengan guru
dan tidak menarik pakaian yang dikenakan gurunya. Apabila bertanya
sesuatu kepada guru, janganlah bertanya ketika di jalan dan ketika
bertanya janganlah dengan sikap yang malas (al-Ghazali, t.t.:5).
Di dalam kegiatan belajar-mengajar seorang murid harus

bersungguh-sungguh dan meninggalkan kegiatan yang tidak

bermanfaat. Pada waktu guru memberikan pelajaran hendaknya

seorang murid memperhatikan dengan saksama, tidak boleh bergurau

atau berbicara dengan teman lainnya.

Seorang murid tidak boleh membuat seorang guru marah

dengan sikap murid yang tidak sopan terhadapnya. Namun, apabila

guru memperingatkan atas suatu kesalahan yang telah diketahui

sebelumnya, maka murid tidak perlu terlebih dahulu menampakkan

bahwa dia sudah tahu kesalahannya tapi dia mengabaikannya.

Langsung saja berterimakasih atas nasihat guru dan perhatiannya.

50
Apabila berbicara dengan guru hendaknya berbicara dengan tutur kata

yang baik serta tidak boleh menarik pakaian yang dikenakan gurunya.

Ketika ingin menanyakan sesuatu hal, jangan bertanya kepada

guru ketika sedang berada di jalan, melainkan menemui guru dengan

mendatangi majlis keberadannya. Dan apabila guru sedang melakukan

suatu hal, murid hendaknya menunggu sampai guru selesai dalam

pekerjaannya.

3. Adab Mengajar Al-Qur’an

‫اإلصغاء إِلَى‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫الرحمة َو‬ ُ ‫ات ال َف ْهِم َو ا ْن‬
‫تظار‬ َ ‫اُ اْل َْم ِر و‬
ُ ‫إنص‬ ُ ‫الخ ْشَية َوا ْست َم‬
َ ‫س جلس َة‬
ُ ‫يَ ْجل‬
ِ ‫ف وتَع ِريف ا ِإلبتِ َداء وب يا ُن اْلهمز َِ وتَعليم الع َد ِد و تَج ِوي ُد‬
‫الُرف‬ ِ َُ ‫َّشابِِه وإِ َشار‬
ْ ْ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ ََ َ ْ ُ ْ ْ َ ‫الوْق‬ َ َ َ َ ‫المت‬
ِ ِ ِ ِِ َ َُ ‫َوفَائِ َد‬
َ ‫ث لَهُ إِ َذا َح‬
‫َض ٍر‬ ُّ ُ‫ال‬ َ ‫المَت َعلِم إِ َذا َغ‬
َ ‫اب َو‬ ُ ‫الس َؤ ُال َع ْن‬
ُ ‫الخاتم َوالرْف ُق بالباد ْي َو‬
. ُ‫تاج إِلَى أَ ْن يَ ُؤَّم َغْي َره‬ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ‫المتلق ِن ي ْل ِقنه ما ي‬
ِ ِ‫ث وي ب َدأُ ب‬
ِ ِ
َ ‫صل ْي به لَن ْفسه أ َْو ا ْح‬
َ ُ َ ُُ َ َْ َ ْ‫َوتَ ْرُك الْ َُدي‬
“Duduklah dalam keadaan takut, mendengarkan perintah ayat,
memahami, mengharap rahmat dari Allah, mendengarkan ayat yang
serupa, isyarat waqof, memberi pengertian di awal membaca,
menjelaskan hamzah, mengajarkan bilangan ayat, maupun dalam
makharijul huruf. Mengambil manfaat intisari Al Qur’an, berperilaku
asih kepada pemula, mengabsen siswa yang tidak hadir, memotivasi
pelajar yang hadir, meninggalkan mengobrol. Menuntun dalam hal
yang membutuhkan tuntunan seperti ketika sholat sendiri atau
berjama’ah” (al-Ghazali , t.t.:6).

Seorang guru dalam mengajarkan mengaji Al-Qur’an

hendaknya duduk dalam keadaan rendah diri di hadapan Allah dengan

mengharap rahmat dari Allah Swt. Hendaknya memahami dan

mendengarkan maksud ayat. Guru hendaknya memberikan pemahaman

51
kepada muridnya di awal membaca al-Qur’an, menjelaskan tanda

waqof, menjelaskan macam-macam hamzah serta makhrijul hurufnya.

Guru mengaji hendaknya memberikan kasih sayang kepada

muridnya, terlebih untuk para pemula. Memberikan perhatian kepada

anak didik berupa menanyakan kabar muridnya, mengabsen yang tidak

hadir dan memberikan motivasi murid akan menumbuhkan semangat

belajar anak didik. Guru hendaknya menjauhkan diri dari perilaku

mengobrol, dan hendaknya memberikan tuntunan yang bermanfaat bagi

muridnya khususnya menjelaskan tatacara sholat sendiri maupun

berjama’ah.

4. Adab Membaca Al-Qur’an

Adab membaca al-Qur’an adalah tatakrama yang harus

dilakukan seorang murid dalam mengaji atau belajar al-Qur’an. Dalam

membaca al-Qur’an, murid hendaknya duduk dengan sikap rendah hati

menundukkan kepala serta mengumpulkan kefahaman. Sebelum

membaca al-Qur’an hendaknya meminta izin kepada guru atau niat

beribadah kepada Allah Swt dengan mengawali dengan bacaan

ta’awudz, basmallah dan berdo’a setelah selesai membaca al-Qur’an

Selaras dengan yang disampaikan al-Ghazali dalam kitab al-

Adab Fi al-Din:

َ َِ‫اإل ْستِْئ َذا ُن قَْب َل الْ ِقَراء‬


ِْ ‫أس و‬ ُ ‫اض ِعَ و َج ْم ُع ال َف ْهِم َو َخ ْف‬
َ ِ ‫ض الر‬
ِ
ُ ‫س بَْي َن يَ َديْه جلس َة َالت َو‬
ِ
ُ ‫يَ ْجل‬
. ‫الد َعاءُ ِعْن َد ال َفَر ِاغ‬
ُ ‫اإل ْستِ َغاذَ َُ َوالتسميةُ َو‬
ِْ ‫ثَُّم‬

52
Duduk dalam sikap rendah diri, mengumpulkan kefahaman,
menundukkan kepala, meminta izin sebelum membaca kemudian
membaca ta’awudz, membaca basmallah, dan berdo’a setelah
membaca Al Qur’an” (al-Ghazali, t.t.:6). “
5. Adab Mendidik Anak Kecil

‫صغَِيةٌ ف َما اِ ْستِ ُْ َسَنهُ فَ ُه َو‬ ِ ِ ِ


ْ ‫بصَل ِح نَ ْف َسه فَِإ َّن أ َْعيَُن ُه ْم إِلَْيه نَاظَر ٌَ َو أ َذانَ ُه ْم إِلَْيه ُم‬
َ ُ‫يَْب َدأ‬

‫الش ْزَر‬ ِِ ِ ‫ِعْن َدَم الُسن وما اِست ْقبُهم فَ هو ِعْن َدَم ال َقِبيح و ي ْلزم الصم‬
َ ‫ت في َجلَ ْسته َو‬
َ ْ ُ َُ َ َ ُ ْ ْ ُ َ ُ ْ ُ َ ََ َ ُ َ ْ ُ
ِ ُ‫الرَب ِة وَالي ْكثِر الَضرب والت ع ِذيَ وَال ي‬ ِ ِ ِ
‫ادثُ ُه ْم فََي ْجَت ِرئُ ْوا‬ َ ُ َ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ ُ ُ َ َ ْ َّ ِ‫ف ْي نَظْ ِرهِ َويَ ُك ْو ُن ُم ْعظَ ُم تَأْديِْبه ب‬
‫يتنزُه‬ ً ‫َعلَْي ِه َوَال يَ َد ُع ُه ْم يتُدثُ ْو َن فََي ْنَب ِسطُْو َن بَْي َن يَ َديِْه َوَال يُ َما ِز ُح بَْي َن أَيْ ِديْ ِه ْم‬
َّ ‫أحدا َو‬

ِ ‫ُّه ْم ِم َن اْلَت ْفِتْي‬


ِ ِ ‫من َالت ْخ ِرْي‬
ُ ‫ِ َويَ ُكف‬
ِ
َ ‫ُ َع َّما بَْي َن يَ َديْه يَطَْر ُح ْونَهُ َويَ ْمَن ُع ُه ْم‬
ُ ‫َع َّمايُ ْعطُْونَهُ َويََت َوَّر‬

‫ب َو َالن ِمْي َم َة َوَال يَ ْسأَلُ ُه ْم َع ْن أ َْم ٍر ينُ ْوبُ ُه ْم‬ ِ ِ ‫الغي ب َة وي و ِح‬ ِ ِ
َ ‫ِ عْن َد َُ ْم ال َكذ‬
ُ ْ ُ َ َ َْ ‫َويُقْب ُح عْن َد َُ ْم‬

ُّ َِ َ‫الصَل‬
‫ويعرفُ ُه ْم بِ َما‬ َ ‫الطهار َِ َو‬ ِ ِ ِ ‫فَيُثَِقلُوهُ وَال يُ َكثر الطََل‬
ُ ‫َ م ْن اَ َْله ْم فََي ُملُّ ُوهُ َويُ َع‬
َ ‫لم ُه ْم َع ْن‬ َ ُ َ ْ
ِ
‫النجاسة‬ ‫يلُ ُق ُه ْم من‬
َ
Sikap utama dalam mendidik anak kecil adalah dengan
memberikan contoh atau suri tauladan kepada anak didik. Karena,
anak kecil cenderung memperhatikan tingkah laku dan mendengarkan
yang disampaikan guru baik hal positif maupun negatif. Seorang
pendidik hendaknya tenang ketika bersama anak kecil, yaitu dengan
sikap berwibawa sehingga dapat memperlihatkan sikap yang disegani
anak-anak. Tidak memukul dalam menghukum anak didik, tidak sering
bergurau, tidak menyampaikan cerita buruk dalam keseharian orang-
orang, menerima pemberian dari anak didik, menjaga kewibawaan di
hadapan anak didik. Mencegah perilaku menyakiti antar sesama,
mencegah anak didik dari hal perbuatan negatif seperti gosip,
berbohong, mengadu domba, dan jangan bertanya tentang hal yang
memberatkan. Tidak memberikan materi pelajaran melebihi
kemampuan anak didik, sehingga mereka merasa bosan. Pendidik juga
hendaklah mengajarkan tata cara bersuci, sholat dan cara mensucikan
najis (Al-Ghazali , 7-8).

53
Sebagaimana tugas kedua orangtua dalam memberikan contoh

perilaku yang baik kepada anaknya, pendidik juga memiliki tugas

memelihara, mengatur, memperbaiki suatu potensi yang dimiliki anak

didik agar tumbuh dan berkembang menjadi dewasa atau sempurna. Al-

Ghazali menyebutkan bahwa dalam mendidik anak kecil, seorang

pendidik hendaknya selalu memberikan contoh perilaku yang baik, agar

mampu menjadi teladan bagi anak didiknya . Karena, anak didik

terutama anak kecil cenderung akan memperhatikan, mendengarkan

dan akan meniru segala sikap gurunya.

Dalam menghadapi anak kecil, pendidik hendaklah menjaga

sikap kewibawaannya sehingga dapat disenangi anak-anak. Apabila

memberikan hukuman kepada anak didik, hendaklah tidak dengan

memukul. Meskipun hukuman yang diberikan kepada anak didik

adalah berupa pencegahan dan peringatan guru demi perbaikan diri

anak didik hendaknya diutarakan dengan tutur kata yang baik. Dengan

perlakuan yang sopan dan lemah lembut, murid akan lebih berani untuk

meminta maaf.

Mencegah diri dari perbuatan menyakiti antar sesama, berusaha

menjauhkan anak didik dari perilaku membicarakan gosip harian,

mendidik murid untuk tidak berberbohong dan mengadu domba

perilaku teman-temannya serta tidak memperbolehkan anak didik

dalam bertanya memberatkan pendidik. Pendidik hendaknya

memberikan pelajaran sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak

54
didik, serta memberikan pelajaran mengenai tata cara bersuci, sholat

dan menyucikan najis.

6. Adab Ahli Hadits

Sifat yang harus dimiliki seorang guru adalah amanah, yang

berarti dapat dipercaya. Dalam menyampaikan suatu hal, hendaklah

jujur dan tidak menyimpang dari hal yang sebenarnya terjadi. Jujur

dalam arti menerapkan sifat jujur dalam segala sesuatu yang

disampaikan kepada murid selalu diamalkan dalam kehidupan guru.

Dalam menyampaikan ilmu guru harus mengatakan yang benar itu

benar, dan yang salah itu salah. Sebagaimana Allah berfirman:

ِ
ُ ‫ول َوتَ ُخونُوا أ ََمانَاتِ ُك ْم َوأ‬
‫َنت ْم تَ ْعلَ ُمو َن‬ َ ‫الر ُس‬
َّ ‫الله َو‬ َ ‫يَاأَيُّ َها الَّذ‬
َ ‫ين َء َامنُوا الَتَ ُخونُوا‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah
kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui” (Q.S. Al-Anfal:27).

Al-Ghazali juga menjelaskan dalam kitab al-Adab Fi al-Din,

ِ ‫ات وي ْت رُك المَن‬


ِ ِ ِ ِ ُ ‫ب وي َُ ِد‬ ِ ِ ِ ِ
‫اكْي َر‬ َ ُ َ َ ‫ث باْل َم ْش ُه ْور َويَ ْرِو ْي َع ْن الث َق‬ ُ َ َ ‫َ ال َكذ‬
ُ ‫يَ ْقص ُد الص ْد َق َويَ ْجَتن‬
‫اللُ ِن‬ ِ ِ ‫ظ ِمن اْلزلَ ِل و َالت‬ َّ ِ ‫والَي ْذ ُكر ماجرى ب ين السَل‬
ُ ‫ف َويَ ْع ِر‬
ْ ‫صُْيف َو‬
ْ َ َ َ ُ ‫ويتُف‬ ‫الزَما َن‬
َ ‫ف‬ َ َ َْ َ َ َ ُ َ َ
‫ت إِ ْذ ُج ِع َل فِ ْي َد َر َج ِة الُّر ُس ْوِل‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫الم َد َاعَبة َويَق ُّل اْل ُم َشا َغَبة َويَ ْش ُك ُر الن ْع َم‬
ُ ُ‫د‬
ِ ‫و َالت ُْ ِري‬
ُ َ‫ف َوي‬ ْ َ
‫ض َع َويَ ُك ْو ُن ُم ْعظَ ُم َما يُدث بِِه َما يَْنَت ِف ُع اْل ُم ْسلِ ُم ْو َن‬ ِ
َ ‫صلَّى اللهُ َعَلْيه َو َسَل َم َويَْلَزُم الت‬
ُ ‫َّوا‬ َ
ِ َ ‫آدابِِهم فِي معانِي‬ ِ ِِ ِِ
.‫هم َعَّز َو َج َّل‬
ْ ‫كتاب َرب‬ َ َ ْ َ ‫بِه م ْن فَ َرائَض ِه ْم َو ُسَنن ِه ْم َو‬
Guru seharusnya bercerita tentang hal yang sebenarnya
terjadi, menjauhi perilaku berbohong, menceritakan hal yang terbukti
dari sumber terpercaya, tidak berperilaku fasik (bertentangan dengan

55
cerita), tidak membicarakan pertentangan ulama, memahami dan
menjaga dari kesalahan, tidak merubah cerita, menghindari dari tutur
kata yang menyimpang, tidak merubah lafadz yang sebenarnya,
menjauhkan dari sendau gurau, meninggalkan perbuatan negatif,
bersyukur atas nikmat karena diutusnya Rasulullah dengan meniru
sikap rendah hatinya, meriwayatkan cerita yang dapat diambil
hikmahnya, dalam hal hukum fardhu maupun sunnah serta memahami
tata cara dalam mendalami kitab Allah Swt (al-Ghazali, t.t:8).

Dalam proses menyampaikan bahan kajian, guru hendaknya

menyampaikan materi dari sumber yang terpercaya atau memiliki satu

pendapat pegangan dan juga tidak terlalu menyampaikan perbedaan di

kalangan ulama dan juga semua orang lainnya.

Seperti halnya Nabi Muhammad SAW yang menjadi sosok

teladan guru dengan rendah hatinya kepada murid dan siapapun,

hendaknya guru dapat mengikuti teladan ini. Karena, dengan bersikap

rendah hati, maka akan diangkat derajatnya oleh Allah Swt. Sesuai

dengan firman Allah Swt :

‫ين‬ ِِ ِ َ ‫ك لِم ِن اتَّب ع‬ ِ ‫و‬


َ ‫ك م َن الْ ُم ْؤمن‬ َ َ َ َ ‫اح‬ َ ‫ض َجَن‬
ْ ‫اخف‬
ْ َ
“ Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang beriman
yang mengikutimu”. (Q.S as-Syu’ara: 215) (Yunus. 1973: 553)

Selain harus mempunyai pegangan pendapat, dalam mengajar

guru hendaknya telah belajar atau berguru kepada ulama yang lebih tua

darinya yang memiliki bidang ilmu syari’at dan bukan mendapatkan

ilmu itu dari lembaran-lembaran kertas.

Ketika berada dalam suatu majlis, seorang guru dalam berbicara

hendaknya tidak terlalu banyak bercanda sehingga menyebabkan para

hadirin tertawa terbahak-bahak. Hal tersebut dikarenakan hal yang tidak

56
baik dan dengan perbuatan itu akan menggolongkan kita kepada

golongan orang-orang yang memiliki akhlak rendah dan tidak

bermoral. Dengan banyak bercanda juga dapat menghilangkan

kehormatan seorang guru.

Dengan demikian, guru harus mengedepankan tutur kata yang

baik agar terhindar dari perkataan dan juga perbuatan yang

menyimpang. Dalam menyampaikan segala sesuatu hendaknya dengan

tegasdan menyampaikan hal yang bermanfaat baik hal-hal hukum

fardhu maupun sunnahserta memahami bagimana cara mendalami kitab

Allah Swt yang benar.

7. Adab Belajar Hadits

‫ات َوَال يَ ْغِلبُ ُه‬


ِ ‫ي ْكتَُ الْم ْشهور والَ ي ْكتَُ الْ َغ ِريَ وَال ي ْكتَُ المَناكِي ر و ي ْكتَُ عن ِالث َق‬
ْ َ ُ َ َ َ ْ َ ُ َ َ َ ْ ُ َ َ َْ ُ َ ُ َ
‫ت‬ ِ ِ ِ
ِ ِِ ‫ث علَى قَ ِريِن ِه وَال ي ْشغُْله طْلبه عن مروءتِِه و‬
ُ ‫َ الْ َغْيَب َة َو يُْنص‬
ُ ‫ يَ ْجَتن‬.‫ص ََلته‬
َ َ َ ُْ ُ ْ َ ُ ُ ُ َ َ ْ َ ْ‫ُش ْه ُر َُ الْ َُدي‬
‫ص ََل ِح نَ ْس َختِ ِه َوَال يَ ُق ْوُل‬ ِ ‫لِلسم ِاُ و ي ْلزم الصمت ب ين يدي مُ ِدثِِه ويكثر َالت لَف‬
ْ ِ‫ُّت عْن َد إ‬
َ ُ َ ْ ُ َ َ َْ َ ْ ُ ُ َ َ َ َ َ
‫َ ِم ْن َغْي ِر ثَِق ٍة َويَْلَزُم أ ََْ َل الْ َم ْع ِرفَِة‬ ِ ِ ِ
ُ ُ‫العلُ ِو فََي ْكت‬
ُ َ‫ت َو َُ َو َما َسم َع َوَال ينشره لطل‬
ُ ‫َسم ْع‬

. ‫الصالِ ُِْي َن‬ ِ ِ ُ ‫الدي ِن وَال ي ْكتَ ع َّمن َالي ع ِر‬


َ ‫ف الْ َُديْث من‬
ِ ِ ِ ِ
ْ َ ْ َ ُ ُ َ َ ْ ‫بِالْ َُديْث م ْن أ ََْ ِل‬
Mencatat hal-hal penting dan tidak mencatat sumber yang yang
dinilai tidak penting. Mencatat hal-hal dari periwayat yang adil, tidak
mencari cerita yang dapat mengunggulkan diri sendiri, tidak
menyibukkan diri hingga meninggalkan ibadah, menjauhi dari hal
gosip, memperhatikan apa yang didengarkan, diam ketika dihadapan
orang yang sedang bercerita, memperbanyak dalam meneliti tulisan
dan tidak berkata: “saya sudah pernah mendengar”. Tidak
mempublikasikan sesuatu dengan tujuan untuk mendapatkan gelar.
Untuk menghindari ketika mencatat dari sumber yang kurang
dipercaya atau tidak adil adalah dengan menanyakan kepada tokoh

57
agama, dan tidak mencatat dari golongan orang yang tidak sholih (Al-
Ghazali, t.t :9-10).

Tatakrama yang harus diperhatikan murid dalam mencari hadits

atau mengaji adalah dengan belajar kepada guru atau masyayikh yang

terpercaya. Terpercaya dalam arti beliau adalah orang yang adil, tidak

pernah berbohong dan terkenal baik di kalangan banyak orang. Dalam

mencari guru yang terpercaya, murid bisa menanyakan kepada para ahli

agama dan yang lebih utama adalah meminta petunjuk Allah SWT. Hal

tersebut dikarenakan dalam menimba ilmu, murid juga akan mencontoh

budi pekerti atau tatakrama sang guru.

Al-Ghazali berpesan bahwa ketika murid mencari hadits atau

mengaji hendaknya tidak hanya mendengarkan satu pelajaran saja,

tetapi mencatat hal-hal yang sekiranya penting agar bisa dipelajari

kembali di esok hari. Karena dengan mencatat hal-hal penting tersebut

murid tidak merasa cukup dengan ilmu yang sedikit ia dapatkan selagi

masih ada kesempatan dapat mendapatkan ilmu yang lebih banyak lagi.

Sebab, menunda untuk memperoleh ilmu merupakan bencana dan

karena ilmu yang akan didapat murid pada masa yang akan datang tidak

sama dengan ilmu yang dia dapat sekarang.

Dalam mencatat apa yang didengar dari gurunya, murid

hendaknya fokus pada apa yang didengarkan dan selalu meneliti

tulisannya. Apabila guru dalam menjelaskan suatu permasalahan atau

dalam menjawab pertanyaan murid sudah tahu sebelumnya akan suatu

58
hal itu, hendaknya ia tidak menampakkan bahwa dia juga tahu akan hal

itu.

Dalam proses pembelajaran, apabila guru berbicara atau

menjawab pertanyaan sedangkan murid telah mengetahui sebelumnya,

maka ia tidak boleh berbangga diri dengan berkata “saya sudah pernah

mendengarnya sebelumnya” dan juga mencari perhatian kepada teman-

temannya agar mendapatkan pujian. Murid hendaknya mengucapkan

Alhamdulillah dan bersykur kepada Allah Swt agar ilmunya bertambah.

Murid hendaknya tidak membuat forum sendiri di dalam majlis

sehingga akan menimbulkan kegaduhan. Tidak mengalihkan

pembicaraan dengan sesama teman dan membicarakan kejelekan orang

lain.

8. Adab Menulis

ِ ‫اب وس َداد الرأْ ِي وحسن‬


ِ ِ ِ ِ
‫اللَبا ِس‬ ُ ‫ُح ْس ُن الْ َخط َو َج ْوَد َُ الَْب ْر ِي َوإِ ْعَر‬
ُ ْ ُ َ َ ُ َ َ ‫اب اللَ ْفظ َوَم ْع ِرفَةُ الُْ َس‬

ُ ‫ص ِرفِْي َن َوالتَ َخ ُّو‬


‫ف ِم َن‬ ِ ِ ِِ ِ ْ ‫و ِطْيَ الرانِ َُ ِة والْم ْع ِرفَةُ بِأ‬
َ ‫المَت‬
ُ ‫المتَ َقدمْي َن م َن اْل ُوَزَراء‬
ُ ‫َخَبار‬ َ َ َ ُ َ
ِ ِ ِ ِ ِ ‫الْمص‬
ُ ‫الس َدا َدات َوتَ ْرُك ا ِإلنْخَرام َو‬
‫التنزُه‬ َ ‫العلم بِأ َْم ِر‬
َ ‫الخَر ِاج َوالْ ُم َس َام َُةُ َوالْ َخَب َر َُ ف ْي‬ ُ ‫اد َرات َو‬
ََُ

‫ث فِي‬ ِ ‫ال الْمروء َِ وحسن الْعشر َِ والتُفظ عن‬


ِ َ‫الذَل ِة وتَرُك الرف‬ ِ ِ ِ
َ َْ َ ْ ُ ُ ْ ُ َ َ ُْ ُ ُ ‫َع ِن الْ ََُرام َوا ْست ْع َم‬
ِ ُ‫س ونفي الم َداعب ِة و اْلمُادثَِة واْلم َدارا َِ لِْل‬
. ‫اشَي ِة‬ ِ
َ َ ُ َ َ َ ُ َ ََ ُ ُ َ ِ ‫اْل َم َجال‬
Memperindah tulisan, meruncingkan ujung pena, mengetahui huruf
dan mengerti hitungan, berpikir positif, berpakaian rapi serta berbau
harum. Bertindak setelah mendapatkan perintah, takut akan adanya
tuntutan, memahami topik pembahasan, bersikap lapang dada, cermat,
tidak berperilaku buruk, meninggalkan hal haram, memberikan contoh
perilaku positif, santun dalam bergaul, menjaga diri dari hal negatif,

59
tidak berbicara buruk di dalam majlis, tidak mengalihkan
pembicaraan, akrab dengan sesama teman (al-Ghazali , t.t:10).

Keharusan murid apabila hendak belajar atau mengaji adalah

dengan membersihkan hatinya. Hal ini disebabkan karena belajar

adalah ibadah dan tidak sah ibadah kecuali dengan hati yang bersih dan

terhindar dari fikiran negatif. Dalam melaksanakan niat menuntut ilmu

dikarenakan mencari ridho Allah Swt hendaknya murid juga

memperhatikan pakaian yang dikenannya. Diharapkan berpakaian yang

bersih terhindar dari najis serta memakai wangi-wangian.

Dalam menulis materi yang disampaikan guru, hendaknya

murid mempersiapkan dengan meruncingkan pena serta menulis

dengan tulisan yang rapi dan indah. Murid juga harus berkonsentrasi

dengan seksama memperhatikan guru, karena apabila sewaktu-waktu

ada perintah dari guru, dapat segera melaksanakan tanpa mengulang

kembali perintah tersebut.

9. Adab Ceramah

‫شهو َُ الْ َمنف َع ِة الْ ُم ْسَت ِمعِ ِه‬ ِ ِِ ِِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ


َ ‫تَ ْرُك َالت َكبُّر َوَدَو ُام الْ ََُياء م ْن َسيده َوإظْ َه ُار الْ َفاقَة إلَى َخالقه َو‬
‫حس ُن‬ ِ ِِِ
َ ‫المستمعين إلَْيه ب َعْي ِن‬
ْ ‫الس ََل َمة َو‬ َ ‫اإل ْزَراءُ َعلَى نَ ْف ِس ِه لِ َم ْع ِرفَِة عيبِ ِه َوالنظُْر إِلَى‬
ِْ ‫و‬
َ
ِ ِ ِ ِ ِ ِِ
ِ ‫الديانَِة وا ِإلي‬
‫ف َعلَى‬
ُ ْ‫بالتأديَ َوالْ ُعط‬ ‫الرفق‬
ُ ‫طلبا للصيانة و‬ ُ َ َ َ ‫الظَ ِن به ْم بَباط ِن‬
ً ‫اس مْن ُه ْم‬

ْ ‫اد فِ ْع ِل َما يَ ُق ْوُل‬ ِِ ِ


. ‫فع الناس بِ َما يَ ُق ْوُل‬
َ ‫لينَت‬ ُ ‫الْ ُمْب َتد ِئ َوا ْعت َق‬
Menjauhi sifat sombong, bersikap rendah hati terhadap guru,
mengadukan kekurangan terhadap sang Kholiq, bersemangat dalam
memberikan manfaat kepada para pendengar, bersikap rendah diri
dengan menuturkan segala kekurangan, memandang para pendengar
dengan pandangan yang damai, berprasangka baik dalam hal agama,

60
lapang dada, bertahap dalam mengajarkan anak didik baru dengan
penuh kasih sayang, dan yakin bahwa yang disampaikan dapat
bermanfaat (al-Ghazali, t.t.:11).
Memberikan ceramah merupakan tugas seorang guru dalam

menyampaikan suatu materi kepada anak didiknya. Pendidik dalam

memberikan uraian atau penjelasan kepada anak didik hendaklah tidak

menyombongkan diri sendiri dan menuturkan segala kekurangan yang

dimilikinya. Seperti halnya Nabi Muhammad SAW yang memiliki sikap

tawadhu’ didasari oleh keimanan akan kebesaran Allah Swt, maka

pendidik hendaklah selalu bersikap rendah hati, memasrahkan semua

kekurangan yang dimilikinya kepada sang Kholiq. Menghormati kepada

guru yang lebih tua dan berprasangka baik dengan para pendengar yang

datang. Menghadapi berbagai macam perbedaan para hadirin dengan

pandangan yang damai. Menghadapi anak didik yang baru, hendaklah

menghadapinya dengan sabar, penuh kasih sayang dan secara bertahap.

Adapun materi yang disampaikan harus diyakini dapat bermanfaat oleh

para pendengar.

10. Adab Mendengar

Al-Ghazali menjelaskan dalam kitab al-Adab Fi al-Din,

‫اد الْ َق ْوِل َوَدَو ُام‬ ِِ ِ َ ُ‫َضوُِ وسَلمة‬ ِ


ُ ‫حسن الظَ ِن َوا ْعت َق‬
ُ ‫الص ْدر َو‬ َ ْ ُ ‫إظْ َه ُار الْ ُخ ُش ْوُِ َوَدَو ُام الْ ُخ‬
. ‫َ َو َج ْم ُع الهِم َوتَ ْرُك التُ ْه َم ِة‬
ِ ُّ‫الت َقل‬ ِ ِ
َ ُ‫الس ُك ْوت َوقَّلة‬
ُ
Khusyu’, bersikap rendah hati, lapang dada, berprasangka
baik, meyakini bahwa yang disampaikan adalah benar, berdiam diri
tidak berpindah-pindah tempat dalam merangkum materi, menjauhkan
dari sikap berprasangka buruk (al-Ghazali, t.t.:11).

61
Al-Ghazali berpesan dalam kitab al-Adab Fi al-Din bahwasanya

murid hendaknya bersikap khusyu’, tenang dalam mendengarkan

penjelasan dari gurunya. Selalu bersikap rendah hati, menghormati guru

agar mendapatkan ridho Allah Swt serta ridho guru dalam menuntut

ilmu. Dalam belajar, murid hendaknya istiqomah dalam satu tempat,

tidak berpindah-pindah karena akan menghilangkan konsentrasi dalam

mendengarkan materi. Hendaknya murid menjauhkan diri dari

berprasangka buruk terhadap sesama maupun kepada guru, dan

meyakini bahwa yang disampaikan gurunya adalah benar.

62
BAB IV

ANALISIS ADAB GURU DAN MURID DALAM KITAB AL-ADAB FI AL-

DIN DAN RELEVANSINYA DENGAN DUNIA PENDIDIKAN SAAT INI

A. Analisis Adab Guru dan Murid Dalam Kitab Al-Adab Fi Al-Din

1. Adab Guru

Dalam dunia pendidikan, tugas seorang guru tidak hanya sebatas

mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing, dan melatih anak

didiknya. Mendidik dalam hal ini adalah menyampaikan pengajaran

mengenai adab, aturan, dan nilai-nilai hidup yang baik dan benar.

Penanaman ketrampilan, sikap, dan mental anak didik akan lebih efektif

apabila diwujudkan dengan teladan yang baik dari gurunya yang akan

dijadikan contoh bagi anak didik.

Hal ini senada dengan penjelasan Imam al-Ghazali bahwasanya

pendidik hendaknya memberikan tauladan yang baik bagi anak

didiknya.

‫فما اِ ْستِ ُْ َسَنهُ فَ ُه َو‬ ِ ‫اظر ٌَ و أ َذانَهم إِلَي ِه م‬


َ ٌ‫صغَية‬
ِ ِ ِِ
ْ ُ ْ ْ ُ َ َ َ‫بصَل ِح نَ ْفسه فَِإ َّن أ َْعيَُن ُه ْم إِلَْيه ن‬
َ ُ‫يَْب َدأ‬

‫هم فَ ُه َو ِعْن َد َُ ْم ال َقبِْي ُح‬ ِ ِ


ْ ُُ ‫الُ ْس َن َوَما است ْقَب‬
ُ ‫عْن َد َُ ْم‬
Sikap utama dalam mendidik anak kecil adalah dengan
memberikan contoh atau suri tauladan kepada anak didik. Karena,
anak kecil cenderung memperhatikan tingkah laku dan
mendengarkan yang disampaikan guru baik dalam hal positif
maupun negatif (al-Ghazali, t.t.:7).

Oleh karena itu, kepribadian yang harus dimiliki seorang guru

sebenarnya adalah masalah yang abstrak, hanya dapat dilihat melalui

63
penampilan, tindakan, ucapan, cara berpaikan, dan dalam menghadapi

setiap persoalan. Sebagai teladan, guru harus memiliki kepribadian

yang dapat dijadikan idola dan bisa dinilai menjadi sosok yang ideal

untuk anak didiknya. Sedikit saja guru berbuat yang tidak atau kurang

baik, maka dapat mengurangi kewibawaannya.

Pendidik juga harus mempunyai tanggung jawab dalam

perkembangan jasmani dan rohani para peserta didik, agar mampu

mencapai tingkat kedewasaan dengan kemandiriannya dalam

memenuhi tugas sebagai hamba dan khalifah Allah Swt, serta mampu

melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu

yang bertaqwa.

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa adab guru

sebagaimana yang dimaksudkan dalam kitab al-Adab Fi al-Din sebagai

berikut:

a. Adab Ahli Ilmu (Al-‘Aalim)

Seorang pendidik dalam dunia pengajaran memiliki posisi

yang sangat penting karena guru adalah faktor penentu keberhasilan.

Oleh karena itu, usaha-usaha yang dilakukan dalam meningkatkan

mutu pendidikan hendaknya dimulai dari peningkatan kualitas guru.

Seorang guru hendaknya memelihara kehormatan ilmunya.

Sebagimana ulama salaf memeliharanya. K.H. M. Hasyim Asy’ari

menceritakan dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim bahwa

Imam Syihabbudin az-Zuhri berkata, “suatu hal yang membuat Ilmu

64
hina, yaitu bila guru mendatangi rumah murid dengan membawa

ilmu untuk diajarkan”. Jika terdapat suatu keadaan mendesak untuk

berbuat seperti itu, maka perbuatan tersebut diperbolehkan. Jadi bisa

disimpulkan bahwa siapa yang mengagungkan ilmu maka Allah Swt

akan mengagungkannya. Dan siapa yang menghina ilmu maka Allah

Swt akan menghinakannya.

Sebagaimana telah diketahui bahwa seorang pendidik atau

al-‘Aalim dalam arti orang yang beriman dan berilmu pengetahuan

luas atau disebut “ulama” adalah derajatnya diangkat lebih tinggi

dibanding orang yang beriman biasa. Dalam Q.S. al-Mujadilah ayat

11, Allah Swt berfirman :

ٍ ‫ي رفَ ِع الله الَّ ِذين ءامُنوا ِمن ُكم والَّ ِذين أُوتُوا الْعِْلم درج‬
‫ات َواللهُ بِ َما تَ ْع َملُو َن َخبِ ٌير‬ َ ََ َ َ َْ َ َ َ ُ َْ

“Niscaya Allah akan meninggikan derajat orang-orang


yang beriman diantar kamu, dan orang-orang (beriman) yang
memiliki ilmu dengan beberapa derajat” (Q.S. Al-Mujaadilah: 11)
(Yunus, 1973: 813-814).

Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa Allah Swt akan

mengangkat orang-orang yang berilmu (ulama) sebab apa yang telah

mereka kumpulkan dari ilmu dan amal. Al-Ghazali juga telah

menyebutkan bahwa seorang ahli ilmu hendaknya selalu menambah

pengetahuannya dengan mendalami ilmu lainnya serta dapat

mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dari penjelasan di atas bahwasanya jika seseorang

mempunyai ilmu, dia mempunyai kewajiban untuk mengamalkan

65
karena akan memberikan manfaat bagi orang lain juga. Dengan

mengamalkan ilmu yang didapati, maka ilmu tersebut akan

berkembang lebih luas, berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu

itu dapat bermanfaat jika ilmu tersebut diamalkan.

Al-Ghazali juga mengatakan bahwa seorang ahli ilmu harus

bisa istiqomah dalam arti menekan dorongan nafsunya pada

perbuatan buruk untuk diganti dengan menjalankan perintah Allah

Swt. Adapun perintah Allah Swt disini diantaranya adalah budi

pekerti yang baik terhadap manusia untuk menjadi sosok panutan

yang bisa berinteraksi baik dengan masyarakat. Selain itu juga

hendaknya istiqomah dalam menjalankan shalat berjamaah di

masjid, menebarkan salam kepada sesama, amar ma’ruf nahi

munkar serta selalu tabah dalam setiap cobaan dan memasrahkannya

kepada Allah Swt.

Mengingat guru adalah panutan bagi anak didiknya,

hendaknya pendidik selalu menjaga kewibawaan dan

kehormatannya dalam bertindak. Disamping itu, hal-hal yang perlu

dihindari oleh seorang pendidik antara lain adalah tidak boleh riya’

dan sombong. Apabila seorang guru dapat meninggalkan diri dari

sifat buruk tersebut, maka ia akan menjadi guru professional karena

keikhlasan yang murni dari dalam hati ketika menjadi pendidik.

Orang yang ikhlas mencari ridha Allah Swt dengan amalnya,

senantiasa melepaskan diri dari keuntungan pribadi.

66
Dalam proses pembelajaran, masing-masing siswa memiliki

kemampuan intelektual dan emosional yang berbeda-beda. Pendidik

hendaknya dapat memahami keadaan tersebut misalnya dengan

memperhatikan daya tangkap, kecerdasan, dan kemampuan, serta

hasil latihan mereka. Terutama pada anak didik yang memiliki IQ

rendah, guru diharapkan dapat membina sampai tingkat yang

maksimal dengan lembut dan penuh kasih sayang. Apabila dalam

menyelesaikan masalah yang dialami anak didik, hendaklah dengan

rasa sabar dan tidak memperhatikan gossip-gossip yang ada.

b. Adab Mengajar Al-Qur’an

Adab mengajar al-Qur’an termasuk bagian tugas dari

seorang guru dalam mengajarkan al-Qur’an kepada murdnya. Dalam

mengajarkan mengaji al-Qur’an hendaknya guru duduk dalam

keadaan tenang, rendah diri, tawadhu’ dan khusyu’ kepada Allah

Swt. Memahami makna ayat dan konsentrasi dalam mendengarkan

ayat yang serupa serta menjauhkan diri dari perilaku berbicara

dengan orang lain.

Selaras dengan yang disampaikan al-Ghazali dalam kitab

Ihya’ Ulumuddin, bahwasanya seorang guru harus memahami

makna ayat dimana apabila melewati ayat sajdah, maka hendaknya

bersujud. Demikian juga apabila ia mendengar ayat Sajdah dari

orang lain maka ia sujud, apabila pembaca al-Qur’an itu bersujud

dan ia tidak sujud, kecuali apabila ia dalam keadaan suci. Sedikit-

67
sedikitnya adalah ia bersujud dengan meletakkan dahinya di atas

tanah dan sempurnanya adalah ia bertakbir lalu ia sujud dan berdo’a

di dalam sujudnya dengan suatu yang layak dengan ayat yang

dibacanya (al-Ghazali, t.t.:268).

Guru hendaknya mengambil hikmah dari al-Qur’an dengan

mengajarkan hal-hal yang bermanfaat bagi agama murid dalam

beribadah kepada Allah Swt. Dalam mengaji, guru hendaknya

memberikan pemahaman kepada muridnya mengenai tanda waqof,

menjelaskan macam-macam hamzah, mengajarkan bilangan ayat,

maupun dalam makharijul huruf. Tidak lupa guru memberikan

penjelasan tata cara sholat sendiri maupun berjama’ah.

Adapun perilaku yang menunjukkan perhatian kepada murid

adalah dengan mengabsensi murid satu persatu. Jika salah satu

murid tidak hadir maka guru hendaknya menanyakan bagaimana

kondisinya, dan siapa saja teman dekatnya. Jika tidak mendapatkan

kabar murid tersebut, guru hendaknya mengirimkan surat atau lebih

baik mendatangi rumahnya langsung. Jika dalam keadaan sakit,

hendaknya menjenguk dan jika dalam keadaan kesusahan hendaklah

membantu meringankan bebannya walaupun dengan do’a.

Sikap guru hendaknya sering mendorong murid dengan

memberikan motivasi untuk mencintai ilmu dan bersungguh-

sungguh dalam mencarinya dengan menyebutkan keutamaan ilmu

yang akan diperolehnya. Guru hendaknya juga membimbing murid

68
secara perlahan dengan kasih sayang dalam memberikan kiat sukses

dalam belajar seperti memulai dari perkara yang mudah dan tidak

menimbun pikiran dengan urusan duniawi.

c. Adab Mendidik Anak Kecil

Adab yang harus dilakukan ketika seorang guru menghadapi

murid yang masih kecil adalah bahwa al-Ghazali berpendapat bahwa

guru yang baik adalah guru yang memiliki sifat-sifat umum, yaitu

cerdas dan sempurna akalnya, baik akhlaknya, dan kuat fisiknya.

Dengan kesempurnaan akal, guru dapat memiliki berbagai ilmu

pengetahuan secara mendalam. Dengan akhlak yang baik, guru bisa

menjadi contoh dan teladan bagi anak didik. Dengan kuat fisiknya,

ia dapat melaksanakan tugas mengajar atau mendidik, serta mampu

mengarahkan murid-muridnya dengan baik. Dengan menjaga

kewibawaan guru, akan lebih disenangi muridnya terlebih jika anak

kecil akan lebih bersemangat dalam belajar.

Seperti halnya Nabi Muhammad Swt, dalam menyampaikan

amanat dari Allah Swt, beliau benar-benar telah tampil sebagai

sosok guru yang sempurna, guru yang pantas menjadi teladan para

guru. Tidak ada perkataan beliau yang tidak sesuai dengan

perbuatannya. Beliau selalu memulai dari diri sendiri serta pandai

dalam menyeimbangi kecerdasannya dengan kejujuran,

keteladanan, keramahan, kebijaksanaan, keadilan, dan sifat-sifat

baik beliau lainnya.

69
Dalam dunia pendidikan, guru hendaknya memiliki rasa

kasih sayang terhadap murid-muridnya dalam melaksanakan praktik

mendidik dan mengajar, sehingga akan menimbulkan rasa tentram

dan rasa percaya diri pada diri murid terhadap gurunya. Ketika ingin

menghukum murid, guru hendaknya menggunakan cara yang

simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian

dan sebagainya dan jangan membicarakan kesalahan muridnya di

depan umum. Selain dengan cara yang halus, hukuman yang layak

untuk murid adalah hukuman yang mengandung unsur pendidikan,

bukan kekerasan menyakiti anak didik.

Seorang guru harus mengakui adanya perbedaan potensi

yang dimiliki murid secara individual. Oleh karena itu, guru harus

mampu mengetahui karakteristik murid, baik dalam tingkat

pemahamannya maupun tingkat akalnya, menjadi pembimbing bagi

pencarian kebenaran. Karena hal ini akan berimplikasi bagi

terbentuknya hubungan yang baik antara guru dan murid. Al-

Ghazali juga telah menasehatkan agar guru membatasi diri dalam

mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya.

Guru harus bisa memahami karakteristik setiap individu di kelas,

sehingga guru dapat mempersiapkan strategi yang tepat agar tercipta

pembelajaran yang nyaman dan aman tanpa memberatkan anak

didiknya.

70
Hal yang juga harus diperhatikan seorang guru adalah

mencegah dan mengontrol peserta didik dalam mempelajari ilmu

yang tidak bermanfaat dan dapat membahayakan anak didik seperti

halnya al-Ghibah (mengumpat), al-Namimah (adu domba), at-

Takabur (sombong) dan sebagainya. Karena pada dasarnya tujuan

pendidikan diantaranya adalah membentuk budi pekerti tertanam

dalam diri anak didik.

Keberadaan guru yang menjadi orang-tua kedua bagi anak

didik, hendaknya juga mengajar, mendidik, melatih secara bertahap

dengan penuh kasih sayang mengenai tata cara bersholat, tata cara

bersuci, dan tata cara menyucikan najis guna memperkuat ketaatan

kepada Allah Swt.

d. Adab Ahli Hadits

Ahli hadits merupakan seorang guru yang pandai mengenai

hadits dan disampaikan kepada muridnya. Tujuan murid dalam

menimba ilmu kepada seorang guru adalah mencari ridho Allah Swt

dengan meneladani budi pekerti serta ilmu yang disampaikan

gurunya. Oleh karena itu, hendaknya guru mempermudah murid

dengan bahasa penyampaian yang mudah difahami serta dengan

tutur bahasa yang baik dan tidak merubah isi materi yang selayaknya

diajarkan.

Salah satu syarat yang harus dilakukan guru agar bisa

menjaga hubungan dekat dengan anak didiknya adalah dengan

71
bersikap tawadhu’ atau rendah hati. Seperti halnya Nabi Muhammad

SAW yang sangat luar biasa patut dijadikan teladan dan contoh bagi

seorang guru dengan sikap tawadhu’ yang dimilikinya. Dalam

mengajar, hendaknya seorang guru memiliki sikap tawadhu’ tidak

akan pernah sombong, apalagi menyombongkan diri dalam

mengajar. Guru yang tawadhu’ menyadari ilmu yang dimilikinya

adalah titipa Allah Swt yang harus disebarkan kepada murid-

muridnya. Maka, dengan sikap tawadhu’ guru tidak akan pernah

sombong dengan ilmunya dan hal tersebut menjadikan seorang

murid lebih dekat dengan guru sehingga mampu menyerap ilmunya

dengan baik.

Pada proses pembelajaran, guru hendaknya berusaha untuk

tidak sibuk mempelajari dan menyampaikan materi mengenai

perbedaan di kalangan ulama baik dalam masalah yang bersifat

aqliyyat (berdasar penalaran) dan sam’iyyat (berdasar wahyu). Hal

tersebut bertujuan agar murid tidak kaget dan tidak bingung kecuali

memang anak didik sudah memasuki taraf mampu mengenal hal

tersebut.

Guru hendaknya mengetahui bahan kajian yang disampaikan

berasal dari periwayat yang terkenal adil serta dapat

dipertanggungjawabkan agar terhindar dari kesalahan. Oleh karena

itu, guru hendaknya memiliki satu pendapat (madhab) untuk

dijadikan pegangan. Menurut al-Ghazali, apabila guru tidak

72
memiliki satu pendapat yang dijadikan pegangan maka hendaknya

guru diwaspadai karena dinilai lebih banyak negatifnya daripada

positifnya.

Selain berpegang pada satu pendapat, guru hendaknya dalam

menyampaikan ilmunya ia dapatkan dari proses belajar kepada

ulama yang lebih tua yang memiliki keahlian dalam bidang syari’at.

Bukan mendapatkan ilmu dari lembaran-lembaran kertas buku dan

tidak pernah belajar langsung pada guru-guru ahli (masyayikh).

Imam Syafi’i berkata, “Siapa orang belajar fikih dari kitab atau

buku, dia telah menyia-nyiakan hukum”. Hal itu dikarenakan

apabila belajar suatu hukum tanpa melalui seorang ulama, maka ia

tidak akan mendapatkan kejelasan melainkan dengan pendapatnya

sendiri dan juga keraguan sehingga akan membingungkan para

muridnya. Oleh karena itu, al-Ghazali berkata bahwa guru

hendaknya berhati-hati dan memahami betul dalam hal mempelajari

dan menyampaikan hukum fardhu maupun sunnah kepada anak

didiknya serta memahami bagaimana tatakrama dalam mendalami

kitab Allah Swt.

Selaras dengan yang disampaikan K.H M. Hasyim Asy’ari

dalam kitab Adabul ‘Aliim wal Muta’allim, adapun pembelajaran

awal yang hendaknya disampaikan guru kepada muridnya adalah

pembelajaran terkait hal-hal yang hukumnya fardhu ‘ain yaitu

diantaranya empat macam pengetahuan; 1) pengetahuan tentang

73
Dzat Allah SWT, cukup dengan meyakini akan eksistensi-Nya yang

qodim, kekal, suci dari kekurangan dan memiliki sifat yang

sempurna; 2) pengetahuan tentang sifat Allah Swt, cukup dengan

meyakini bahwa Dzat Allah yang luhur bersifat Maha Kuasa, Maha

Berkehendak, Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Mendengar,

Maha Melihat, dan Maha Berbicara.; 3) pengetahuan tentang

hukum-hukum Islam (Fikih), cukup dengan mengetahui hal-hal

yang dapat memperkokoh ketaatan kepada Allah Swt seperti

bersuci, shalat, puasa dan kewajiban zakat; 4) pengetahuan tentang

macam-macam keadaan dan tingkatan (maqamat), sebagaimana

dalam ilmu tasawuf (Hadziq, 2016: 39-40).

Guna memperkuat ilmu-ilmu fardhu ‘ain, murid hendaknya

mempelajari al-Qur’an dengan bersungguh-sungguh dalam

memahami tafsir dan ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur’an.

Kemudian menghafal pokok-pokok pembahasan setiap disiplin ilmu

diantaranya Hadits, Ilmu Hadits, Nahwu dan Shorof, Ushul Fikih

dan Ushuluddin (teologi atau ilmu akidah) (Hadziq, 2016: 40).

Dalam mengajar, guru juga harus menjauhkan diri dari sikap

berbohong. Dengan demikian, seorang guru harus bersikap jujur.

Sikap jujur yang harus dimiliki guru dapat diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari baik di sekolah, di rumah dan di masyarakat.

Segala sesuatu yang disampaikan kepada siswa selalu diamalkan

dalam kehidupan seorang guru. Dalam menyampaikan ilmu juga

74
harus jujur dengan mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah

itu salah. Hal ini dikarenakan guru yang tidak jujur akan merugikan

siswanya dan juga lembaga pendidikan tempat ia mengajar.

e. Adab Ceramah

Dalam memberikan ceramah dalam suatu majlis, hendaknya

guru memulai dengan niat untuk memuliakan ilmu dan

mengagungkan syariat Allah Swt. Bersikap tenang, dan khusyu’

memasrahkan semua urusan kepada Allah Swt. Sesampainya di

suatu majlis, guru hendaknya mengucapkan salam kepada para

hadirin untuk memperlihatkan kedamaian dan kedekatan dengan

para jama’ah yang hadir.

Mengingat bahwasanya para hadirin berasal dari berbagai

golongan, guru hendaknya bisa bersikap toleransi terhadap berbagai

pendapat para jama’ah. Akan tetapi, guru juga harus mengingatkan

para hadirin mengenai keterangan-keterangan yang membuat sikap

tidak mau kalah dalam berdebat. Karena, tidaklah patut bagi orang

yang berilmu melakukan persaingan, sebab dapat mendatangkan

permusuhan dan kebencian.

Hendaknya guru menghormati hadirin yang lebih ‘alim,

lebih tua, lebih shalih, atau lebih mulia dan bersikap ta’dzim untuk

para ulama besar Islam. Guru hendaknya juga bersikap lemah

lembut penuh kasih sayang kepada para hadirin lainnya, terutama

kepada anak didik yang baru. Sebab setiap orang yang baru pasti

75
merasa kurang nyaman, maka tugas guru adalah bersikap santun dan

ramah agar orang itu merasa tentram. Guru tetap memuliakan siapa

saja yang hadir dalam majlisnya dengan tutur kata yang sopan, dan

sikap hormat yang baik serta menuturkan segala kekurangan yang

dimiliknya.

Guru hendaknya meninggalkan cara memaksa dalam

berdakwah. Jika berbicara tidak menggunakan bahasa yang dibuat-

buat atau dengan bahasa isyarah karena Allah Swt akan murka

terhadap orang yang memaksa jama’ahnya hingga melewati batas,

karena orang seperti ini menunjukkan kesombongan dirinya dan

kelalaian hatinya.

Dalam proses pembelajaran hendaknya guru berusaha untuk

kreatif dan inovatif serta semangat dan pandai menyaring

pengetahuan yang benar-benar bermanfaat untuk para muridnya

agar dapat dijadikan contoh dalam kehidupannya.

2. Adab Murid

a. Adab Murid dengan Guru

Jika murid berpapasan dengan guru secara kebetulan di jalan,

maka murid yang harus mengucapkan salam terlebih dahulu.

Apabila guru berada jauh, maka murid harus menghampiri beliau

dan jangan memanggil beliau dari kejauahan. Begitu juga ketika

mengucapkan salam, jangan dari kejuahan atau dari belakang beliau,

melainkan harus berada dalam jarak yang dekat.

76
Apabila ingin menanyakan suatu hal kepada guru, murid

tidak boleh bertanya apapun pada guru ketika berada di jalan.

Melainkan mendatangi tempat keberadaan guru, dan menunggu

guru hingga selesai pekerjaannya atau kegiatannya. Dalam bertanya

kepada guru, hendaknya murid berbicara dengan tutur kata yang

baik. Apabila guru diam tidak menjawab, murid tidak boleh

menuntut. Ketika jawaban guru keliru, murid tidak boleh langsung

memberi komentar. Dan apabila murid tidak faham, hendaknya ia

tidak malu untuk mengatakan ketidakfahamannya tersebut kepada

guru.

Ketika berada di hadapan guru, murid hendaknya bersikap

tenang, rendah hati dan tidak diperbolehkan mengatakan sesuatu

yang lucu yang ada unsur penghinaan, yang tidak pantas, dan tidak

sesuai dengan etika yang baik. Murid hendaknya menjaga sikap

sopan tidak menarik pakaian guru guna untuk menjahilinya.

Murid hendaknya patuh pada guru dalam berbagai hal dan

tidak menentang pendapat serta aturan guru. Murid hendaknya

meminta petunjuk guru dalam mendapatkan tujuannya belajar,

mencari ridho guru dalam setiap perbuatan, menghormatinya, dan

mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan patuh kepada guru.

Ketika guru mengucapkan suatu pendapat atau dalil yang tidak jelas,

atau bertentangan dengan kebenaran, karena lupa maka dalam

keadaan seperti itu murid harus berpikir positif. Murid harus bisa

77
menyadari bahwa keterjagaan dari kesalahan pada manusia

hanyalah milik Allah Swt dan para Nabi.

Dalam proses pembelajaran berlangsung, seorang murid

tidak boleh membuat seorang guru marah dengan sikap murid yang

tidak sopan terhadapnya. Pada waktu guru memberikan pelajaran

hendaknya seorang murid memperhatikan dengan saksama, tidak

boleh bergurau atau berbicara dengan teman lainnya dan tidak

menyibukkan pikiran dengan sesuatu yang lain berupa bisikan-

bisikan hati di tengan pelajaran. Apabila temannya berperilaku tidak

sopan, hendaknya menasehatinya tanpa harus mengadu kepada

gurunya.

b. Adab Membaca Al-Qur’an

Al-Ghazali menjelaskan dalam kitab al-Adab Fi al-Din

bahwa tatakrama seorang murid dalam belajar membaca al-Qur’an

adalah bersikap rendah hati niat ikhlas dalam mencari ridho Allah

Swt. Sebelum memulai membaca hendaknya meminta izin kepada

guru, mengawalinya dengan membaca ta’awudz dengan tujuan agar

terhindar dari godaan syaitan, menenangkan hati dan setelah

membaca ta’awudz disunnahkan membaca basmallah agar

mendapatkan keberkahan dalam membaca al-Qur’an.

Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, al-Ghazali juga menjelaskan

bahwa ketika membaca al-Qur’an hendaknya dalam keadaan

berwudhu, berhenti dalam keadaan sopan dan tenang baik ada

78
kalanya berdiri maupun adakalanya duduk, dengan menghadap

kiblat dan menundukkan kepala dengan tidak bersila dan tidak

duduk dalam keadaan sombong. Ketika duduk sendirian seperti

halnya duduk di hadapan guru (Al-Ghazali,t.t.:261).

Setelah selesai membaca al-Qur’an hendaknya murid tidak

lupa untuk berdo’a, hal itu dikarenakan membaca al-Qur’an adalah

salah satu amal sholeh, dan do’a atau harapan yang mustajab adalah

do’a yang dipanjatkan setelah melakukan amal shaleh.

c. Adab Belajar Hadits

Adab mencari hadits disini diartikan tatakrama seorang

murid dalam mencari hadits atau mengaji kepada seorang guru.

Murid hendaknya belajar mengaji atau mencari suatu hadits kepada

guru atau masyayikh yang telah dikenal terpercaya berupa adil, tidak

pernah berbohong dan dikenal baik oleh masyarakat. Adapun cara

murid dalam mencari guru yang terkenal tsiqah (terpercaya) adalah

dengan meminta petunjuk (istikhoroh) kepada Allah Swt atau

dengan bertanya kepada tokoh agama. Hal tersebut dikarenakan,

murid akan menimba ilmunya dan meneladani budi pekerti guru

yang telah diketahui memiliki keahlian, sifat asih, citra yang baik,

kepandaian menjaga kesucian diri serta kemampuan mengajar dan

memahamkan yang baik.

Dalam menghadiri suatu majlis, hendaknya murid tidak

terfokus kepada satu pelajaran saja, akan tetapi juga mencatat hal-

79
hal yang dianggap sulit serta keterangan penting yang terkait dengan

pelajaran itu. Adapun keterangan yang dianggap penting seperti

halnya suatu permasalahan, jawaban-jawaban atas masalah yang

ditemukan, dan perbedaan-perbedaan antara hukum-hukum yang

sama dalam suatu jenis disiplin ilmu. Hal tersebut dikarenakan

murid hendaknya tidak merasa cukup dengan mendapatkan ilmu

yang sedikit jika masih ada kesempatan mendapatkan ilmu yang

lebih banyak lagi.

Manfaat adanya catatan-catatan penting yang ditulis murid

adalah agar dapat dipelajari di lain hari. Murid hendaknya mengajak

teman-temannya untuk mengingat kembali materi serta

permasalahan-permasalahan yang mereka dapat dalam majlis karena

sangat bermanfaat bagi pengetahuan murid. Selaras yang

disampaikan K.H. M. Hasyim Asy’ari , Khotib al-Baghdadi berkata,

“Mengulang pelajaran yang paling baik adalah waktu malam”.

Beberapa ulama salaf mulai belajar pelajaran sejak isya’ sampai

mendengar adzan subuh. Apabila tidak ada teman yang bisa diajak

belajar bersama, maka bisa belajar sendiri dengan mengulang-ulang

di dalam hati makna dan lafadz yang telah didengar sebelumnya agar

melekat dalam benaknya. Sesungguhnya mengulang-ulang makna

dalam hati seperti halnya mengulang-ulang lafadz dengan lisan

(Hadziq, 2016: 45-46).

80
Apabila guru dalam mengajar menyampaikan suatu

permasalahan atau dalam menjawab pertanyaan sedangkan murid

telah mengetahui hal itu sebelumnya, murid hendaknya tidak

menampakkan bahwa dia juga tahu akan hal itu. Seperti halnya

ketika murid mendengar guru menyebutkan hukum suatu kasus atau

menceritakan suatu cerita, atau menembangkan sebuah syiir namun

murid telah menghafalkannya, maka murid tetap harus

mendengarkan dengan seksama, mengambil manfaat dan merasa

haus akan ilmu serta menunjukkan raut wajah gembira seolah-olah

murid belum pernah mendengar.

Murid hendaknya diam memperhatikan apa yang

disampaikan gurunya. Diam dalam arti juga tidak memotong apapun

pembicaraan guru, mendahului atau menyamai apa yang

disampaikan guru dengan tujuan mengunggulkan dirinya agar

mendapatkan perhatian serta sanjungan dari orang lain seperti

berkata “Saya sudah pernah mendengar sebelumnya”. Apabila

murid memang meminta penjelasan lebih dalam, sebaiknya

melakukannya dengan perkataan yang halus.

Ketika sedang berkumpul bersama teman dalam suatu

majlis, hendaknya murid berperilaku yang baik dengan

menghormati teman-temannya, memuliakan para senior dan teman-

temannya. Ketika proses pembelajaran berlangsung, murid tidak

boleh membuat forum sendiri, tidak boleh berbicara hal-hal yang

81
tidak berkaitan dengan pelajaran tersebut atau hal-hal yang dapat

menghentikan kegiatan belajar.

d. Adab Menulis

Tatakrama seorang murid ketika hendak menulis apa yang

disampaikan gurunya dalam mengaji hendaklah meruncingkan

ujung pena yang dimilikinya. Dengan meruncingkan penanya,

diharapkan tidak menghambat proses pembelajarannya karena ia

bisa lebih fokus mendengarkan materi dari gurunya. Pena yang telah

diruncingkan bertujuan untuk menuliskan materi yang ia dapat

dengan tulisan yang rapi, indah agar dapat dipelajari kembali di

kemudian hari.

Ketika mengaji atau menemui guru, murid hendaknya

berpenampilan baik, berpakaian bersih dan suci setelah memotong

kuku dan menghilangkan bau badan yang tidak sedap, terutama

apabila bertujuan mengaji. Hal ini dikarenakan tempat mengaji

adalah majlis untuk berdzikir, ibadah dan berkumpulnya orang-

orang.

Murid hendaknya juga mengerti mengenai huruf serta

hitungan. Hal tersebut bertujuan agar setiap menulis lafadz dengan

baik dan benar. K.H. M. Hasyim Asy’ari berkata dalam kitab Adabul

‘Alim Wal Muta’allim bahwa ketika menulis lafadz Allah Ta’ala

hendaknya diikuti dengan ungkapan pengagungan seperti ta’ala,

subhanahu wa ta’ala. ‘azza wa jalla, tabaroka wa ta’ala, jalla

82
dzikruhu, tabaroka ismuhu, jallat ‘adhomatuhu dan lain sebagainya.

Setiap menuliskan nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tulis

setelahnya secara bergandengan lafal-lafal shalawat dan salam

kepada beliau. Tujuannya adalah untuk melaksanakan perintah

Allah Swt dalam firman-Nya:

ِ ِ
ً ‫صلُّ ْوا عَليه و َسل ُموا تسل‬
‫يما‬

Jangan sampai penulisan shallallahu ‘alaihi wa sallam

disingkat, meski shalawat itu berulang kali disebutkan, menjadi

‫صلعم‬ atau ‫ ص ُم‬singkatan lainnya yang tidak pantas disematkan

kepada Rasulullah SAW (Hadziq, 2016: 107).

Tidak memotong pembicaraan guru, tetapi harus bersabar

sampai guru selesai berbicara, baru murid boleh berbicara. Tidak

berbincang-bincang dengan teman lainnya ketika guru sedang

berbicara dengan para jama’ah. Murid hendaknya selalu konsentrasi

pada guru sekiranya apabila guru memberikan perintah kepadanya,

tidak perlu mengulang perintah guru lagi dan segera melakukannya.

Murid juga harus menjaga setiap tutur katanya ketika di

dalam majlis agar terhindar dari perkataan buruk. Murid hendaknya

memberikan contoh perilaku positif seperti memulikan teman-

temannya dengan menebarkan salam, menampakkan sikap hormat,

menjaga hak-hak pertemanan dan persaudaraan segama

83
sebagaimana semuanya tergolong ahlul ‘ilmi, pembawa dan pencari

ilmu, melupakan dan memaafkan kesalahan sesama teman,

menutupi kejelekan mereka, berterimakasih kepada teman yang baik

dan berhati-hati kepada teman yang tidak baik.

e. Adab Mendengar

Sifat yang begitu ditekankan oleh Imam al-Ghazali bahwa

seorang murid yang baik hendaklah bersikap rendah hati atau

tawadlu. al-Ghazali juga menganjurkan agar jangan ada murid yang

merasa lebih besar daripada gurunya atau merasa lebih hebat

daripada ilmu gurunya. Murid yang baik hendaknya menyerahkan

persoalan ilmu kepada guru, mendengarkan nasehat dan arahannya.

Sebagaimana pasien yang mau mendengarkan nasehat dan

arahannya sebagaimana pasien yang mau mendengarkan nasehat

dokternya, serta selalu berprasangka baik bahwa yang disampaikan

gurunya benar guna dijadikan teladan budi pekertinya hidup dalam

sehari-hari.

Al-Ghazali dalam kitab al-Adab Fi al-Din menjelaskan

bahwa murid hendaknya bersikap baik meyakini bahwa yang

disampaikan gurunya adalah benar serta lapang dada. Murid

hendaknya menghormati gurunya lahir dan batin. Penghormatan

secara lahiriah yaitu dengan cara tidak mendebatnya, tidak

menyibukkannya dengan bantahan-bantahan dalam masalah

apapun, meskipun mengetahui kesalahan syeikhnya. Adapun

84
penghormatan secara bathiniyah yaitu si murid tidak mengingkari

dalam hatinya semua yang telah ia dengar dan sepakati secara

lahiriah, baik dengan perbuatan maupun perkataan, sehingga ia tidak

dianggap munafik.

Ketika berada di dalam majlis, murid hendaknya

mendengarkan materi yang disampaikan guru dengan seksama dan

tidak berpindah-pindah tempat sehingga akan menimbulkan

hilangnya konsentrasi dan kegaduhan.

B. Relevansi Adab Guru dan Murid Dalam Kitab Al-Adab Fi Al-Din

dengan Proses Pembelajaran Dalam Dunia Pendidikan di Indonesia

Saat Ini

Pada zaman sekarang tantangan globalisasi yang semakin tersebar

luas dalam segala aspek kehidupan. Tantangan globalisasi bukan saja

menjadi penyebab runtuhnya nilai-nilai luhur bangsa, melainkan akan

menghambat generasi penerus bangsa dengan kepemimpinan yang

berakhlak. Seperti yang kita ketahui, pendidikan di Indonesia sedikit

banyaknya masih bersifat intelektualitas dan materialistik. Dengan

mementingkan pendidikan intelektual dan kepentingan pribadi sehingga

tidak menghiraukan pendidikan-pendidikan yang lain, terutama pendidikan

adab, moral atau kesusilaan.

Melihat kondisi riil yang ada sekarang ini, seperti maraknya tawuran

pelajar, konsumsi dan pengedaran narkoba yang merajalela, dan pergaulan

bebas, membuat peran pendidikan khususnya sekolah dipertanyakan. Hal

85
ini berarti pendidikan belum mampu membentuk manusia ideal yang dapat

diandalkan masyarakat dan sekolahlah yang bertanggungjawab penuh

terhadap berbagai permasalahan yang menyelimuti generasi bangsa dan

masyarakat.

Guru dan murid adalah dua unsur yang serasi, seimbang karena

keduanya berada dalam hubungan yang saling membutuhkan. Namun

demikian, dalam proses interaksi guru dan murid dalam mencapai tujuan

pendidikan sering dipengaruhi oleh faktor eksternal diantaranya dalam

prinsip motivasi belajar, minat dan prinsip menjaga perbedaan setiap anak

didik. Demikian pula akibat faham materialistik, guru berlomba-lomba

mendapatkan uang dengan berbagai cara yang tidak terpuji. Sebaliknya,

murid tidak akan menghormati gurunya apabila tidak dapat memberikan

pelayanan sesuai dengan nilai uang yang murid berikan.

Dewasa ini tujuan bersekolah juga mengalami pergeseran yang

dulunya tujuan bersekolah agar mendapatkan ilmu bermanfaat untuk

dipergunakan teladan hidup sedangkan sekarang, belajar hanyalah untuk

mendapatkan nilai sekolah yang tinggi. Tujuan lembaga pendidikan dahulu

memiliki komitmen kuat dalam mengajarkan sopan santun, moral, saling

mengalah dan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan

pribadi. Sedangkan lembaga pendidikan yang ada saat ini, memiliki

orientasi bagaimana meningkatkan kecerdasan, prestasi, dan ketrampilan

menghadapi persaingan.

86
Dalam proses belajar mengajar, seringkali interaksi yang tidak

harmonis sehingga mengakibatkan terhambatnya dalam mencapai tujuan

belajar. Seringkali guru menganggap tugas menjadi guru hanya sekedar

menyampaikan materi pembelajaran kemudian pulang, dan murid

menganggap sekolah hanya tempat menjalankan rutinitas berangkat pagi

dan pulang sore hari. Ketika di dalam kelas, guru hanya memberikan

perhatian kepada muridnya ketika ada yang tidur, membuat keributan di

kelas dan tidak memperhatikan pelajaran. Hal tersebut mengakibatkan

murid hanya mengetahui cara mencari perhatian terhadap lingkungannya

adalah dengan cara yang buruk, bukan seperti pujian dan motivasi yang

disanpaikan gurunya. Dengan demikian, seringkali murid dapat berbuat

kenakalan di lingkungan sekitarnya.

Kondisi seperti di atas sebenarnya sudah lama tergambar pada masa

lalu, hal semacam ini pula yang melatarbelakangi terciptanya karangan

kitab al-Adab Fi al-Din. Pendidikan saat ini yang mengalami krisis etika

dan moral serta keagamaan harus dikuatkan kembali tujuan pendidikan

Islam dalam membentuk karakter anak didik dan guru serta membentuk

etika religius sesuai ajaran agama yang benar.

Dalam hal ini al-Ghazali mengatakan bahwa, seorang guru adalah

seorang yang diserahi menghilangkan akhlak yang buruk dan menggantinya

dengan akhlak yang baik agar para pelajar itu mudah menuju jalan ke akhirat

yang menyampaikannya kepada Allah (Nata, 2001: 101). Dalam Kitab al-

Adab Fi al-Din dijelaskan bagaimana cara mengoptimalisasi seorang guru

87
dan murid yaitu dengan membuat suasana keagamaan dalam proses

pendidikan. Karena, suasana religius dan membiasakan akhlak dalam setiap

kegiatan belajar mengajar merupakan langkah maju menuju cita-cita

keseimbangan dunia dan akhirat.

Pemikiran al-Ghazali berusaha membuat dasar bangunan

masyarakat moral religius melalui pembinaan moral. Adab merupakan salah

satu dari bentuk sifat yang harus diperhatikan dan dimiliki oleh siapapun,

khususnya guru dan murid dalam pendidikan, dimana antara sikap guru dan

murid sangatlah terkait satu sama lain dalam proses belajar mengajar. Sosok

guru yang ideal adalah guru yang memiliki motivasi mengajar dengan

ikhlas, tawadhu’, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang

kepada anaknya, dapat mengetahui karakteristik kemampuan anak

didiknya, mampu menggali kemampuan yang dimiliki siswa, dapat bekerja

sama dengan siswa dalam memecahkan masalah, mencegah murid tidak

berbuat meyimpang, dan guru menjadi tipe ideal untuk dijadikan teladan

anak didiknya.

Dalam konteks mengajar, sifat tawadhu’ dapat menghancurkan batas

yang menghalangi antara seorang guru dengan murid. Tawadhu’ dalam arti

tidak pernah sombong, apalagi menyombongkan diri. Sifat sombong dapat

menyebabkan para murid menjauhi guru, mereka akan menolak ilmu

darinya. Jika seorang murid dekat dengan gurunya, maka ia akan mampu

menyerap ilmu dengan baik. Dengan bersikap tawadhu’ dalam mengajar,

88
guru akan lebih dekat dengan murid, kenyamanan dalam belajar mengajar

dan disayangi murid.

Lebih lanjut tentang murid, disamping ia memiliki fitrah yang harus

dikembangkan, murid juga memiliki tugas dan kewajiban demi menunjang

keberhasilan dan kesuksesannya. Dalam hal ini al-Ghazali menjelaskan

bahwa seorang murid harus membersihkan diri, bersungguh-sungguh dalam

belajar, mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, bersikap tawadhu’ (rendah

hati), tidak sombong atas ilmunya, tidak menentang serta memberatkan

pendidik, tertib dalam menuntut ilmu, tidak menyakiti hati guru dan teman

lainnya. Murid harus membersihakan hatinya kembali agar mendapatkan

pancaran ilmu dengan mudah dari Allah Swt, berniat sungguh-sungguh

hanya semata-mata mencari ridho dan beribadah kepada Allah Swt.

Begitu juga dengan guru disiapkan bukan untuk mencari materi

maupun kehormatan tetapi untuk mengemban amanah yang dititipkan

Allah Swt kepadanya. Guru bukanlah petugas suruhan tetapi panggilan jiwa

untuk mengabdi dan mencari ridho Allah Swt. Dengan sikap yang tertanam

pada diri guru sebagai pemegang kesuksesan dan murid sebagai orang yang

butuh akan bimbingan serta orang tua yang berkepentingan akan kesuksesan

anak akan berdampak besar terhadap proses pendidikan khususnya

terbentuknya pola hubungan guru dan murid yang baik.

89
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari data-data beserta analisa sebagaimana yang telah

diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Adab Guru dan Murid Menurut Imam al-Ghazali dalam kitab al-Adab Fi

al-Din

Kitab al-Adab Fi al-Din merupakan karya al-Ghazali dengan

tujuan secara khusus membahas tentang tatakrama mendekati Allah Swt

guna mendapatkan ridho dan cinta-Nya. Adab guru dan murid yang ideal

menurut al-Ghazali diorientasikan pada adanya pengoptimalan dalam

bentuk proses pendidikan atau belajar-mengajar yaitu guru dan murid

harus memiliki sifat tawadhu’, mengedepankan sikap tidak sombong dan

menyombongkan diri, guru juga harus menjadi sosok yang patut diikuti

dan diteladani, guru harus memiliki motivasi yang tinggi dalam

pengajaran, dapat mempertimbangkan kemampuan intelektual muridnya,

mampu menggali potensi murid dan penuh kasih sayang. Begitu juga

murid harus memiliki sikap rendah hati dalam menuntut ilmu mencari

pancaran ilmu dari Allah Swt dengan cara menghormati guru, menerima

pendapat guru dan tidak menyalahkannya, selalu berfikir postif akan ilmu

yang guru berikan, konsentrasi ketika proses pembelajaran berlangsung,

meninggalkan perbuatan yang buruk dengan teman lainnya, dan

mengulang kembali pelajaran yang telah didapatkan di sekolah.

90
2. Relevansi Adab Guru dan Murid dalam Kitab al-Adab Fi al-Din dikaitkan

dengan konteks pendidikan saat ini

Melihat kondisi riil yang ada sekarang ini, seperti maraknya

tawuran pelajar, konsumsi dan pengedaran narkoba yang merajalela, dan

pergaulan bebas, membuat peran pendidikan khususnya sekolah

dipertanyakan. Hal ini berarti pendidikan belum mampu membentuk

manusia ideal yang dapat diandalkan masyarakat dan sekolahlah yang

bertanggungjawab penuh terhadap berbagai permasalahan yang

menyelimuti generasi bangsa dan masyarakat.

Pemikiran al-Ghazali berusaha membuat dasar bangunan

masyarakat moral religius melalui pembinaan moral dengan membiasakan

penanaman nilai dan akhlak dalam kegiatan belajar mengajar. Sosok guru

yang ideal adalah guru yang memiliki motivasi mengajar dengan ikhlas,

tawadhu’, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada

anaknya, dapat mengetahui karakteristik kemampuan anak didiknya,

mampu menggali kemampuan yang dimiliki siswa, dapat bekerja sama

dengan siswa dalam memecahkan masalah, mencegah murid tidak berbuat

meyimpang, dan guru menjadi tipe ideal untuk dijadikan teladan anak

didiknya.

Lebih lanjut tentang murid, disamping ia memiliki fitrah yang

harus dikembangkan, murid juga memiliki tugas dan kewajiban demi

menunjang keberhasilan dan kesuksesannya. Dalam hal ini al-Ghazali

menjelaskan bahwa seorang murid harus membersihkan diri, bersungguh-

91
sungguh dalam belajar, mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, bersikap

tawadhu’ (rendah hati), tidak sombong atas ilmunya, tidak menentang

serta memberatkan pendidik, tertib dalam menuntut ilmu, tidak menyakiti

hati guru dan teman lainnya. Murid harus membersihakan hatinya kembali

agar mendapatkan pancaran ilmu dengan mudah dari Allah Swt, berniat

sungguh-sungguh hanya semata-mata mencari ridho dan beribadah kepada

Allah Swt.

B. Saran-saran

Setelah penulis menyimpulkan dari data yang telah diperoleh,

selanjutnya penulis akan memberikan beberapa saran yang menurut penulis

sangat perlu untuk peningkatan kualitas mutu pendidikan dan proses

pendidikannya. Adapun saran-saran tersebut antara lain:

1. Adab guru dan murid sebagaimana yang telah dijelaskan Imam al-Ghazali

sangat perlu diterapkan dalam proses pembelajaran dalam dunia

pendidikan saat ini, mengingat semakin berkembangnya zaman, mental dan

moralitas manusia semakin menurun khususnya para anak bangsa sebagai

penerus bangsa bahkan nilai-nilai keagamaan semakin luntur diterpa arus

globalisasi.

2. Penelitian ini disarankan untuk kepentingan teoretis maupun praksis bagi

pengembangan pendidikan Islam umunya dan belajar mengajar pada

prakteknya, pengkajian secara kritis terhadap konsep-konsep yang berasal

dari ulama-ulama tradisional penting untuk terus dilakukan.

92
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali.t.t. Al-Adab Fi Al-Din. Ploso: Maktabah Al-Falah.

Al-Ghazali.t.t. Ihya’ Ulumuddin. Terjemahan oleh Moh Zuhri.t.t. Semarang: Asy


Syifa’.

Ali, Atabik & Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1998. Kamus Kontemporer Arab Indonesia.
Yogyakarta: Multi Karya Grafika.

Al-Qardhawi, Yusuf.t.t. Al-Imam al-Ghazaly baina Madihihi wa Naqidihi.


Terjemahan oleh Ahmad Satori Ismail (Pro Kontra Pemikiran Al-Ghozali).
Surabaya: Risalah Gusti.

Daradjat, Zakiah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif.
Jakarta: PT Rineka Cipta.

Ghafur, Waryono Abdul. 2006. Kristologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hadziq, Muhammad Ishom. 2016. Terjemah Adabul ‘Alim wal Muta’allim


(Pendidikan Akhlak ). Tebuireng: Pustaka Tebuireng.

Kudrat Umar, Masri. 2009. Mengelola Kecerdasan Dalam Pembelajaran. Jakarta :


Bumi Aksara.

Ngafenan, Mohamad. 1990. Kamus Etimologi Bahasa Indonesia. Semarang: Effhar


Offset.

Nata, Abuddin. 2001. Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru dan Murid.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

_____________ 2013. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: Rajawali Pers.

Poerwadarminta. 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Putra, Sitiatava Rizema. 2016. Metode Pengajaran Rasulullah SAW. Yogyakarta:


Diva Press.

Rahmaniyah, Istighfarotur. 2010. Pendidikan Etika. Malang: UIN Maliki Press.

Rajasa, Sutan. 2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Mitra Cendekia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

93
Syakur, Masyhudi. 2008. Biografi Ulama’ Pengarang Kitab Salaf. Jombang: Darul
Hikmah.

Tobroni, Suprayogo. 2001. Metodologi Penelitian Sosial- Agama. Bandung: PT.


Remaja Rosdakarya.

Usman, Moh Uzer. 1991. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.

Yasin, A. Fatah. 2008. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN-Malang


Press.

Yunus, Mahmud. 1973. Tafsir Qur’an Karim. Jakarta: CV. Al-Hidayah.

Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia.

94
95
96
DAFTAR NILAI

97
SURAT KETERANGAN KEGIATAN MAHASISWA

Nama : Faiqotul Himmah

NIM : 111-13-035

Jurusan : PAI

Dosen Pembimbing Akademik : Drs. Badwan, M.Ag.

No. Jenis Kegiatan Pelaksanaan Keterangan Skor

1. OPAK STAIN SALATIGA 2013 27 Agustus Peserta 3

“Rekonstruksi Paradigma 2013

Mahasiswa yang Cerdas, Peka dan

Peduli”

2. OPAK TARBIYAH 2013 29 Agustus Peserta 3

“Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai 2013

Kearifan Lokal Sebagai Identintas

Pendidikan Indonesia”

3. UPT PERPUSTAKAAN “Library 16 September Peserta 2

User Education” 2013

4. “Training Pembuatan Makalah” 18 September Peserta 2

2013

5. Seminar Nasional “ Upaya Menjaga 09 Oktober Peserta 8

Eksistensi dan Masa Depan 2013

Pembelajaran Bahasa Arab”

98
6. “ Training SIBA – SIBI Semester 08- 09 Peserta 2

Gasal 2013- 2014” November 2013

7. Penerimaan Anggota Baru JQH “ 23- 24 Peserta 2

Kristalisasi Nilai Qur’ani Menuju November 2013

Insan yang Penuh Hikmah”

8. “SIBA- SIBI Training UAS 10- 11 Januari Peserta 2

Semester Ganjil 2013- 2014” 2014

9. Ijazah Kursus Pembina Pramuka 03- 08 Maret Peserta 8

Mahir Tingkat Dasar (KMD) 2014

10. Sarasehan Akbar Bersama Tokoh 15 Maret 2014 Peserta 8

Nasional “Komitmen Politik Islam

dalam Menata Arah Masa Depan

Bangsa Indonesia”

11. “SIBA- SIBI Training UTS Semester 2- 3 Mei 2014 Peserta 2

Genap Tahun 2014”

12. “Konsep Pemimpin Ideal Menurut 17 Mei 2014 Peserta 2

Al Qur’an”

13. Sertifikat “ MA’HAD Peserta 2

MAHASISWA”

14. Akhirussanah Ma’had STAIN 21 Juni 2014 Panitia 2

Salatiga Periode 2013/2014

99
“Intelektualitas dan Akhlaqul

Karimah Mahasiswa”

15. Ijazah Kursus Pembina Pramuka 05- 10 Januari Peserta 8

Mahir Tingkat Lanjutan (KML) 2015

16. Certificate of Completion “Survival 13 Januari – 07 Peserta 4

English Program At Survival English Februari 2015

Course in Pare, Kediri, Jawa Timur”

17. Bedah Novel “Gus Dur & Sinta” 17 Mei 2015 Peserta 2

(Sebuah Romansa Tentang Buku,

Bunga, dan cinta)

18. Pelatihan Manajemen TPQ 04 Juli 2015 Peserta 2

“Mendongeng Cerita Islam dan

Membuat Alat Peraga Edukatif”

19. Seminar Nasional “Pemuda, 2 September Peserta 8

Peradaban Islam, dab Kemandirian” 2015

20. Talk Show “Be Scholarship Hunter 29 September Peserta 2

of Home Country (Indonesia) and 2015

Abroad University”

21 Seminar Nasional “ Jiwa Muda, 30 Oktober 2015 Peserta 8

Berani Berwirausaha”

100
. “Menumbuhkan Semangat 24 Desember Peserta 2

22. Berprestasi Sebagai Wujud 2015

Pengabdian Bangsa di Era Global”

23. Sertifikat Program Kilatan 04 Januari – 04 Peserta 4

Mempelajari Metode Amtsilati Februari 2016

24. Bedah Buku “Ulama- Ulama Aswaja 21 Februari Peserta 2

Nusantara yang Berpengaruh di 2016

Negeri Hijaz

25. Seminar Nasional “Pembangunan 09 April 2016 Peserta 8

Karakter Bangsa Upaya

Mewujudkan Generasi Muda yang

Berbudaya untuk Indonesia

Bermartabat”

26. Seminar Nasional “ Memperkuat 26 April 2016 Peserta 8

Peran Pemuda dalam Meningkatkan

Ekonomi Nasional Melalui

Kewirausahaan”

27. Ijazah “Kulliyatud Dirosah Al Peserta 2

Islamiyah

101

Anda mungkin juga menyukai