Anda di halaman 1dari 11

PERKEMBANGAN ISLAM DI MESIR

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Islam tidak hanya dimaksudkan sebagai sebuah ajaran (baca: pesan moril) yang
bersumber dari nas-nas teologis saja, tetapi juga merupakan ajaran yang bersumber dari
perjalanan sejarah penganutnya. Ajaran Islam model yang pertama ini bersifat sabit, tidak
mengalami perkembangan sehingga disebut ajaran pokok. Sedangkan model yang kedua bersifat
tatawwur, mengalami perkembangan seiring dengan pertumbuhan sejarah Islam itu sendiri,
sehingga dinamakan ajaran suplemen.1 Sejarah Islam sendiri dapat dibagi menjadi tiga periode,
yaitu: periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800) dan periode modern (1800
sampai sekarang).2 Masing-masing periode tidak bisa dilepaskan dari persepsi Islam sebagai
agama missionaris,

yang melakukan aktifitas penyebaran agama. Salah satu daerah yang

menjadi acuan sejarah Islam pada periode modern adalah Mesir. Selain merupakan satu tempat
yang sering disebut dalam Alquran dan Hadis,4 Mesir juga dikenal sebagai lokasi berawalnya
kebangkitan umat Islam dalam bidang pemikiran modern.

Oleh sebab itu, penelusuran

perkembangan Islam melalui wilayah ini sangat penting untuk dilakukan jika melihat Islam dari
"ajaran yang suplemen" tadi.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini
adalah: Bagaimana Perkembangan Islam di Mesir. Rumusan ini akan dibahas secara sistematis
melalui beberapa sub masalah, yaitu :
1. Bagaimana Riwayat Penamaan Mesir
2. Bagaimana proses "masuknya" Islam ke Mesir
3. Bagaimana Perkembangan Islam di Mesir

B. Riwayat Penamaan Mesir


Term Mesir, terambil dari Mis

r yang bisa dijumpai dalam beberapa ayat-ayat Alquran

maupun hadis Nabi Saw. Pada awalnya disebut dengan nama penduduknya yaitu, al-Aqbt
(plural dari qibt ). Orang-orang qibt

kemudian menyebut daerahnya dengan Kemy dan

Takemy, yang berarti hitam atau tanah yang hitam. Warna "Hitam" di sini menjadi simbol
kesuburan. Sedangkan dalam teks resmi pharaonic, Mesir kuno disebut dengan Tawey yang
berarti dua tanah. Karena secara geografis Mesir terbagi kepada dua, yaitu: Tasym' (dataran
tinggi), dan Tsameho (permukaan laut). Istilah ini pertama kali muncul pada tahun 4000 tahun
sebelum miladiyah. Sedangkan term Egypt (arab: al-Qahirah), dianggap berasal dari bahasa
Yunani yaitu Aigyptus, berarti bumi yang dicintai. Nama juga yang pernah digunakan sebagai
nama sebuah perguruan tinggi pertama yang dibangun pada masa Napoleon, Egypt University
(Universitas Kairo). 6

C. Proses "Masuknya" Islam ke Mesir


Islam pertama kali "masuk" ke wilayah Mesir, yaitu masa khilfah rsyidah yaitu pada
pemerintahan 'Umar bin al-Khattb (13 23 H/634 644 M), yang dikenal dengan prestasi
ekspansinya ke beberapa wilayah, seperti Syiria, Irak, Mesir, Persia, Palestina dan lain-lain,
sehingga digelari Amr al-Mukminn (pimpinan komandan orang-orang yang beriman).

Sebelum kedatangan umat Islam, Mesir telah dikuasai oleh Byzantium. Panglima perang Islam
saat itu yang dipegang oleh 'Amr bin al-'s

telah lama berniat untuk melakukan penaklukan

Mesir, namun karena beberapa pertimbangan masih urung dilakukan. Jaml 'Abd al-Hdi
mengemukakan beberapa alasan yang "mendesak" umat Islam pada masa Khalifah 'Umar bin alKhattab mengadakan ekspansi ke Mesir, di antaranya adalah semangat penyebaran Islam dan
penegakan Islam sebagai aturan hidup di bumi Tuhan, motivasi Nabi Saw. untuk menaklukkan
Mesir, serta adanya musyawarah yang dilakukan khalifah bersama para tentaranya (mu'tamar
'askari) dalam rangka memperluas wilayah ekspansi Islam. 8
Akhirnya setelah mendapat "restu" dari Amr al-Mukminn, 'Amr bin al-'s
melakukan ekspedisi ke Mesir dengan bantuan 4000 tentara. Ekspedisi dimulai dari 18 H dengan
mulai mendudukuti kota Aris serta Pelabuhan Pelusium (al-Farama) pada tahun 19 H/640 M.
Kota Babylon yang ditundukkan pada tahun 20 H. Iskandariah juga dapat dikuasai oleh pasukan
bantuan dibawah pimpinan Ubadah bin Samit. Perjanjian damai antara Cyrus (al-Muqauqis)
dengan pasukan 'Amru bin al-'s

dengan persyaratan, salah satu di antaranya adalah; Bangsa

Arab akan tinggal di markasnya selama gencatan senjata dan pasukan Yunani tidak akan
menyerang Iskandariah dan menjauhkan diri dari permusuhan; Umat Islam tidak akan
menghancurkan gereja-gereja dan tidak boleh mencampuri urusan umat Kristen;9 Umat Yahudi

harus tetap tinggal di Iskandariah.10 Akhirnya Mesir dapat takluk di tangan 'Amr bin al-'sh.
Pada perkembangan selanjutnya dibangunlah Fustat (Mis

r al-'Atqah) sebagai ibu kota

wilayah. Kota ini juga pada akhirnya menjadi ibu kota empire Fatimiyah.

D. Perkembangan Islam di Mesir


1. Era Pra-Modern
Masuknya Islam ke wilayah Mesir, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas,
merupakan fase ketiga dari sejarah Mesir menurut pengamatan para ahli sejarah. Mulai pada fase
inilah perkembangan Islam mulai dapat ditelusuri di negeri ini.

11

Pada fase ini bermacam-

macam empire Islam pernah berkuasa seperti Abbasiyah, Thuluniyah, Ikhsyidiyah, Fatimiyah,
Ayyubiyah dan yang terakhir adalah Usmaniyah. Namun di sini hanya empire yang terpenting
dan mengemuka saja yang akan dipaparkan.
Salah satu empire yang pernah berkuasa di Mesir adalah Fatimiyah yang didirikan oleh
'Abd al-Lh al-Mahdi bi al-Lh. Pada masa empire Fatimiyah inilah kota Kairo didirikan pada
tanggal 17 Sya'ban 358 H/969 M oleh panglima perang, Jawhar al-Siqli. Jawhar juga kemudian
mendirikan masjid al-Azhar pada tanggal 17 Ramadhan 359 H (970 M). Sebuah masjid yang
pada akhir berubah fungsi menjadi Universitas al-Azhar.12 Kota Mesir di masa empire
Fatimiyyah telah mulai memperlihatkan kemajuannya pada masa al-Mu'z dan puncaknya berada
pada masa pemerintahan anaknya, al-'Azz. Al-Mu'z melakukan tiga kebijakan besar saat itu,
yaitu melakukan pembaharuan dalam bidang administrasi, pertumbuhan ekonomi dan toleransi
beragama dan mazhab. 13
Empire selanjutnya adalah Ayyubiyah yang didirikan oleh S

alh al-Dn al-Ayybi,

seorang jenderal dan dan pejuang Kurdi dari Tikrit (Irak). Empire didirikannya bukan hanya di
Mesir, tetapi juga di Syiria, sebagian Yaman, Irak, wilayah Hijaz dan Diyar Bakr. S

alh al-

Dn dikenal di dunia umat Islam dan non-muslim (baca: Kristen) karena kepemimpinannya,
kekuatan militer, sikap pengampun kepada musuh ketika perang salib. Selain itu dia juga dikenal
sebagai seorang ulama yang memberi syarah kitab hadis Ab Dud.

14

Pada masa empire

Ayyubiyah, lembaga-lembaga ilmiah yang telah dipelopori oleh Fatimiyah tetap dipertahankan,
akan tetapi orientasi keagamaan yang pada awalnya berpaham syi'i dirubah menjadi paham
Sunni. Selain itu pada masa ini juga dibangun lembaga-lembaga ilmiah baru, terutama masjid
yang dilengkapi dengan tempat belajar teologi dan hukum. 15

Selanjutnya adalah empire Mamluk juga pernah berkuasa di Mesir. Sebuah empire - atas
prakarsa Baybars - yang pada awalnya didirikan oleh sekelompok budak yang telah menjadi
tentara karena bekal pengalaman dalam berbagai operasi militer pada masa empire Ayyubiyah.
Pada masa ini Mesir berada pada kondisi "terselamatkan" di tengah-tengah gencarnya seranganserangan dari bangsa Mongol. Sehingga Mesir tetapi menjadi pusat peradaban Islam saat itu.
Meskipun tidak banyak kemajuan Islam dicapai, akan tetapi kondisi yang aman ini dapat
menjaga kokohnya bangunan-bangunan peninggalan empire Ayyu-biyah.16
2. Era Modern
Era ini ditandai dengan ekspedisi yang dilakukan oleh pasukan Perancis di bawah
komando Napoleon Bonaparte terhadap Mesir, dengan tujuan ingin menumpas sisa-sisa empire
Mamluk yang masih ada di Mesir. Upaya Napoleon untuk dapat menguasai Mesir bukan hanya
dilakukan dengan persiapan strategi peperangan saja, tetapi dengan mengirimkan alat-alat
teknologi, yang pada akhirnya memberi kesadaranan bagi umat Islam (baca: orang Turki) untuk
mengenali kelemahan mereka setelah dikuasai Perancis. Salah seorang Turki yang dimaksud
adalah Muhammad Ali Pasya.
Muhammad Ali Pasya (1765-1849) yang menjadi penguasa diktator di Mesir setelah
ditinggalkan oleh Perancis pada tahun 1801, dan dikenal juga sebagai "pendiri Mesir modern".
Dalam menjalankan pemerintahannya, dia menyakini bahwa ada dua penyanggah utama
pemerintahan, yaitu kekuatan militer, yang didukung oleh kekuatan ekonomi. Dua kekuatan
inilah yang menjadi garis utama segala kebijakan yang diambilnya. Untuk memperkuat ekonomi,
dia melakukan berbagai perbaikan irigasi, penanaman kapas, serta pembukaan sekolah pertanian
pada 1836. Bahkan melakukan nasionalisasi pemilikan tanah untuk digunakan sepenuhnya bagi
tulangpunggung perekonomian Mesir. Pada bidang militer, dia merekrut tenaga-tenaga dari
Perancis sehingga terbentuklah Niz m al-Jadd sebuah model baru angkatan bersenjata
Muhammad Ali. Dia juga membuka sekolah militer pada 1815. Selain itu dibangun juga sekolah
penerjemah pada tahun 1836, guru-gurunya banyak yang didatangkan juga dari Barat. Dari hasil
sekolah ini banyak buku diterjemahkan seperti bidang filsafat Yunani dan tentang kebebasan
berfikir, yang pada akhirnya membuka mata penduduk Mesir untuk lebih mengenal Barat.
Bahkan dia juga mengirim 311 pelajar Mesir ke Italia, Perancis, Inggris dan Austria untuk
mempelajari ilmu-ilmu kemiliteran, arsitek, kedokteran dan obat-obatan. 17
Rifa'at Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873) adalah salah satu putra Mesir yang dikirim
Muhammad Ali ke Perancis, akan tetapi ditunjuk sebagai pemimpin (al-imm) bagi para pelajar
yang ada di sana selama lima tahun. Setelah mahir berbahasa Perancis dan menerjemahkan

buku-buku yang berbahasa Perancis, diapun diangkat menjadi guru bahasa Perancis dan
penerjemah bahasa Perancis. Tak pelak lagi banyak buku yang diterjemahkannya, dengan alasan
bahwa untuk mengetahui ilmu-ilmu yang membawa Barat kepada kemajuan perlu adanya usahausaha penterjemahan. Dari buku-buku yang diterjemahkannya, al-Tahtawi lebih cenderung
kepada filsafat politik. Al-Tahtawi juga aktif menulis untuk berbagai majalah dan buku, salah
satunya adalah Manhij al-Albb al-Mis

riyya fi Mabhij al-Adab al-As

riyya yaitu

tentang sosiologi Mesir. Pemikirannya dalam bidang pendidikan yang terkenal adalah
pencanangan Kecintaan terhadap Bangsa (h ubb al-wat an) yang menyempitkan makna watan
dari dunia Islam menjadi khusus Mesir, dengan menggalang rasa cinta kepada Mesir melalui
syair yang memuji Fir'aun. Gebrakan pembaharuan pendidikan yang dilakukannya juga ditandai
dengan pendapatnya bahwa para ulama harus mengetahui ilmu-ilmu modern agar dapat
menyesuaikan syari'at dengan kebutuhan zaman modern. 18
Pemikir modern lain, adalah Jaml al-Dn al-Afghni (1838-1897) yang pertama kali
datang ke Mesir pada tahun 1871. Di sini dia giat memberikan kuliah-kuliah dan mengadakan
diskusi-diskusi bersama orang-orang yang kelak akan menjadi pemikir-pemikir Islam modern
yang lain. Sebenarnya dia lebih aktif dalam aktifitas politik daripada pengembangan ilmu
pengetahuan di Mesir. Pada tahun 1879 didirikanlah Partai Nasional (H izb al-Wat an) atas
prakarsanya. Selama delapan tahun Al-Afghni membangkitkan gerakan berpikir di negara ini
agar mencapai kemajuan di bidang pemikiran. Ketika berada di Perancis, dia mendirikan al'Urqah al-Wusqa yang bertujuan untuk memperkuat rasa persaudaraan Islam, dan juga telah
berhasil mencetuskan gerakan pan-islam unity (persatuan Islam). 19 Di antara pemikiran modern
Islam-nya adalah bahwa Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan
keadaan. Kalau ada "kesan" pertentangan antara ajaran Islam dengan kondisi zaman,
penyesuaian dapat dilakukan dengan mengadakan interpretasi baru atas ajaran Islam yang
tercantum dalam Alquran dan Hadis, yaitu melalui ijtihad. Kemunduran umat Islam menurutnya
adalah karena pemahaman yang salah terhadap qada' dan qadhar sebagai paham fatalis.
Sehingga perlu menggiring kembali umat Islam kepada pemahaman yang sejati, yaitu qad a'
dan qadar yang diartikan untuk memupuk keberanian dan kesabaran. Al-Afghni menganjurkan
sistem politik yang bercorak otokrasi kepada demokrasi, dengan bentuk negara republik. Karena
otokrasi yang absolut akan memecah belah umat Islam, sedangkan republik bisa mempersatukan
umat, inilah yang menjadi muara dari gagasan pan-islam unity. 20
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, bahwa al-Afghni mengadakan diskusi
dengan orang-orang yang akan menjadi pemikir Islam modern, Muhammad Abduhlah orangnya.

Muhammad Abduh (1849-1905), putera kelahiran Mesir yang juga merupakan alumni dari
Universitas al-Azhar memiliki pemikiran-pemikiran keagamaan yang "tidak kalah modernnya"
dibandingkan pada pendahulunya. Meskipun ada titik temu dengan yang lain, ketika
mengumandangkan terus dibukanya pintu ijtihad, serta perlu penyesuaian ajaran Islam dengan
zaman modern. Selain itu juga dia sangat menekankan penggunaan akal dalam berijtihad.
Menurutnya Alquran bukan berbicara kepada hati manusia, tetapi kepada akal manusia. Dia
menambahkan bahwa tidak sempurna iman seseorang jika tidak berdasarkan akal. Demikian
penting peranan akal dalam pemikiran-pemikiran keagamaannya. Bahkan dalam menyikapi
hadis ahad dia berpendapat bahwa keimanan seseorang tidak akan diserang hanya karena dia
menolak hadis-hadis ahad yang tidak pernah didengarnya atau yang tak dapat dibuktikan
kesahihannya, meskipun pada abad pertengahan hadis-hadis seperti itu dinyatakan sahih.

21

Abduh juga menganjurkan untuk memasukkan ilmu-ilmu modern dalam kurikulum al-Azhar,
dan sebaliknya di pendidikan ilmu-ilmu umum perlu adanya pendalaman ilmu agama.
Pemikiran-pemikiran Abduh yang lain dituangkan dalam buku-bukunya ataupun beberapa orang
muridnya. 22
Di antaranya murid Abduh yang terkenal adalah Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935).
Pemikir - yang menguasai bahasa Arab, Turki dan Perancis ini juga mendapat pengaruh dari
Jaml al-Dn al-Afghni yang kemudian di dijalankannya pada waktu berada di Mesir.
Pendapatnya tentang faktor kemunduran umat Islam sama dengan yang dipersepsikan
pendahulunya, Muhammad Abduh, yaitu dengan adanya penyebaran takhayyul dan khurafat
pada masyarakat Muslim saat itu. Sehingga pandangan-pandangan seperti ini perlu diberantas.
Dalam bidang pembaharuan pendidikan, dia berpendapat agar tidak selalu diajarkan pendidikan
agama tapi juga perlu dimasukkan kurikulum pendidikan umum. Untuk menghilangkan sikap
kefanatikan yang umat saat itu, Rasyid Ridha menganjurkan sikap toleransi bermazhab. Karena
sikap kefanatikan hanya akan memelihara semakin lemahnya umat. 23

3. Era Pasca-Modern (Kontemporer)


Perkembangan Islam di Mesir khususnya dalam bidang pemikiran keagamaan di era
kontemporer, juga menjadi hal yang menarik untuk ditelusuri. Karena pada era ini bermunculan
pemikir-pemikir keagamaan yang juga berasal dari al-Azhar, tetapi dalam situasi dan kondisi
yang tentunya sangat jauh berbeda dengan masyarakat Mesir di Era Modern sebelumnya.

24

Walaupun demikian di sini hanya ada dua pemikir menurut penulis sangat refresentatif untuk
mewakili corak pemikiran Islam modern di era ini.
Salah satu tokoh yang pernah "mengukir" perdebatan pemikiran kewahyuan di Mesir
(sekitar tahun 1986) adalah Muhammad al-Ghazli yang merupakan alumni universitas al-Azhar
dari Fakultas Us

l al-Dn pada bagian Dakwah. Muhammad al-Ghazli adalah seorang

tenaga pengajar di berbagai perguruan tinggi, seperti di Qatar dan Pakistan. Dia juga aktif
menulis beberapa buku, salah satu buku yang mengandung kontroversi adalah al-Sunnah alNabawiyah: Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H ads. Buku ini berisikan beberapa kritikannya
terhadap hadis Nabi Saw. Salah satu pemikirannya di bidang hadis adalah menolak hadis yang
dinilainya bertentangan dengan ayat-ayat Alquran. Pendapatnya ini menimbulkan persepsi
sebagian orang bahwa Muhammad al-Ghazali mengingkari hadis. Contoh yang dikemukakannya
dalam buku tersebut adalah peristiwa 'Aisyah ra. (isteri Nabi saw.) yang menolak hadis yang
disampaikan Ab Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda sesungguhnya orang mati disiksa karena
tangisan keluarganya, dengan alasan bahwa kandungan hadis ini bertentangan dengan surah alAn'am (6) ayat 164. 25
Syaikh Muhammad Sayyid Tantawi adalah grand syekh di Universitas al-Azhar saat ini.
Dia adalah merupakan tokoh yang paling kontroversial bukan hanya di Mesir khususnya, tetapi
juga di dunia Islam pada umumnya. Salah satu isu yang paling mutakhkhir adalah larangan
penggunaan niqab (cadar) yang diusungnya. Menurut Sayyid Tantawi, niqab adalah suatu tradisi
yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Pelarangan ini hanya berlaku di kelas khusus
perempuan baik siswa maupun guru pada instansi pendidikan yang dipimpinnya. Bahkan
menurut kabarnya yang beredar, kebijakan ini menyusul akan berlaku di asrama universitas,
demikian juga beberapa sekolah yang berada di bawah naungan al-Azhar. Kebijakan Sayyid
Tantawi ini bersamaan dengan Peraturan dari Menteri Pendidikan Tinggi Mesir Hani Hilal yang
telah melarang cadar di lingkungan sekolah. 26
Kasus lain yang menjadi "atraksi" pemikiran keagamaan Sayyid Tantawi adalah sikapnya
yang melakukan jabat tangan dengan presiden Israel, Simon Shimon Peres dalam acara
konferensi antar agama yang digelar PBB bulan November kemarin. (2009). Karena jabat tangan
yang dilakukan oleh Sayyid Tantawi memberi kesan bahwa dia "menyetujui" apa yang dilakukan
Peres terhadap pembunuhan orang-orang Palestina baru-baru ini. Melalui kejadian ini Sayyid
Tantawi mendapat kecaman dari para anggota parlemen Mesir, kelompok oposisi bahkan dari

mass media untuk mengundurkan dari dari jabatan pimpinan tertinggi al-Azhar, dan meminta
maaf dari apa yang telah dilakukannya itu. 27
4. Corak Perkembangan Islam di Mesir: Sebuah Analisa
"Munculnya" Islam di Mesir, diawali dari penyebutan tokoh 'Umar bin

al-Khattb

sebagai khalifah kedua dari khilfah rsyidah, serta peranan dari yang besar 'Amr bin al-'s
sebagai panglima perang. "Islam suplemen" (baca: Islamic Teacing) yang diperankan oleh kedua
tokoh ini memberi kesan bahwa Islam yang dibawa oleh mereka adalah Islam yang toleran,
seperti yang dilihat pada perjanjian yang diajukan sebelum Mesir ditaklukkan, yaitu tidak
diperbolehkan-nya umat Islam menghancurkan gereja-gereja dan tidak boleh mencampuri urusan
umat Kristen. Bahkan lebih daripada itu Islam yang "dianut" oleh salah satu tokoh ini, berawal
dari Islam Rasional, contohnya pada kasus yang lain seperti yang dialami 'Umar bin alKhattb, ketika tidak membagi tanah pertanian sebagai bagian harta rampasan perang kepada
para tentara Islam pada saat itu, padahal berdasarkan ketentuan Q.S. al-Anfl (8) ayat 41,
seharusnya mereka mendapat bagian empat perlima dari harta tersebut, sedangkan yang lainnya
masuk ke dalam kas negara. Namun itu semua tidak dilakukan 'Umar, karena unsur maslahat
yang lebih penting dari urusan pembagian, yaitu keamanan daerah dari perebutan harta.
Pengalaman 'Umar ini menjadi contoh bagaimana 'Umar meninggalkan bunyi harfiah Alquran
beralih kepada rasionalitas pemahaman Alquran yang mengandung unsur mas

lah ah

(kepentingan umum) yang masih berada dibalik teks itu sendiri, dan ini adalah merupakan satu
bentuk pengalaman Islam Rasional. 28
Agenda-agenda toleransi beragama atau mazhab, baik yang dilakukan secara resmi
sebagai bagian dari kebijakan politik, maupun toleransi dalam tataran praktek yang bersifat
individual penguasa, semuanya itu telah berhasilkan dilakukan "orang-orang nomor satu" yang
pernah menguasai Mesir, yaitu seperti Al-Mu'z pada empire Fatimiyah, dan Salh al-Dn alAyybi dari empire Ayyubiyah. Bahkan praktek toleransi yang diterapkan penguasa yang
disebut terakhir ini terbilang sangat unik, karena penerapannya berada dalam situasi yang sangat
kritis saat perang Salib. Sikap toleransi ini juga yang pernah dianjurkan oleh Rasyid Ridha di era
modern.
Muhammad Ali Pasya, penguasa Mesir meskipun seorang diktator memiliki
kebijakan-kebijakan yang mungkin dianggap maju (progressive) saat itu. Usaha pengiriman
orang Mesir ke Perancis yang dilakukannya, demikian juga merekrut orang-orang Barat untuk
menjadi tenaga pendidik di negara Islam (baca: Islam) adalah merupakan pemikiran politis yang
progressive. Sehinga hal ini menjadi cerminan bahwa "Islam" yang dikembangkannya bersifat

progressive, atau disebut dengan Islam Progresif. Pada masa Muhammad Ali Pasya juga sudah
diperkenalkan wacana kebebasan berfikir melalui penerjemahan beberapa buku yang
dilakukannya. Hal ini juga semakin memperkuat pandangan keislaman yang dianutnya.
Rifa'at Badawi Rafi' al-Tahtawi melalui pandangan h ubb al-wat an, menunjukkan
bahwa paham nasionalisme yang digalinya berawal dari kondisi sosial masyarakat Mesir secara
khusus. Pandangan nasionalisme ini juga, nampaknya berbeda dengan pandangan yang dijalin
atas nama: "seakidah atau seagama" seperti yang dianut oleh mayoritas umat Islam pada saat.
"Temuan" al-Tahtawi ini juga merupakan pandangan politik sekaligus keagamaan bersifat
progresif.
Jaml al-Dn al-Afghni ikut menyuarakan kesesuaian ajaran Islam dengan kondisi
zaman. Bahkan dia berpandangan bahwa jika terjadi pertentangan ajaran Islam dengan kondisi
zaman, maka perlu adanya interpretasi baru atas ajaran Islam (baca: ijtihad baru). Pemikiran
keagamaan seperti ini, juga mengisyaratkan akan adanya "kemajuan" dalam memahami Islam.
Dengan kata lain, perlu adanya penafsiran-penafsiran baru terhadap konsep-konsep ajaran Islam
jikalau pada kenyatannya berdampak negatif bagi umat Islam. Contoh yang dikemukakan alAfghni di sini adalah persoalan qad a' dan qadar yang diartikan umat Islam pada saat itu
sebagai paham fatalis. Tapi seharusnya persoalan qad a' dan qadar ini diartikan sebagai sikap
untuk memupuk keberanian dan kesabaran.
Muhammad Abduh tampil dengan menggusung penggunaan akal dalam memahami
ajaran-ajaran Islam. Selain itu dari sikapnya yang progresif juga tampak pada waktu memberikan
penilaian terhadap orang yang menolak hadis ahad, dengan beranggapan bahwa hal itu bukan
termasuk bagian dari persoalan keimanan, sebagaimana yang dipahami umat Islam saat itu.
Sikap progresif terhadap hadis juga ditunjukkan oleh Muhammad al-Ghazali, ketika sikapnya
yang menolak hadis sahih yang bertentangan dengan Alquran, dianggap sebagai sikap
pengingkaran terhadap hadis Nabi Saw.
Muhammad Sayyid Tantawi, juga selalu menampilkan pemahaman-pemahaman terhadap
agama yang kontroversial. Fenomena semua ini membuktikan bahwa semakin "pesatnya"
pemikiran-pemikiran keagamaan yang dilakoni oleh para tokoh-tokoh agama di Mesir, sebagai
gambaran dari corak perkembangan Islam di Mesir.

E. Penutup
1. Kesimpulan
Dari dari apa yang telah dipaparkan pada bagian pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa:
a. Sesungguhnya penamaan yang digunakan untuk negara Mesir dapat ditelusuri melalui
berbagai teks-teks keagamaan (bahasa Arab). Bahkan juga telah dikenal dalam bahasa nonArab seperti Yunani. Nama-nama yang menunjukkan negara Mesir, di samping al-Mis
juga al-Qhirah, qibt

r,

dan Egypt.

b. Proses masuk Islam ke Mesir di awali ketika ekspansi yang dilakukan oleh khalifah 'Umar
bin al-Khattab (masa khilfah rsyidah) di bawah pimpinan militer 'Amru bin al-As

Selanjutnya perluasan wilayah Islam di daerah tersebut dilanjutkan pada masa-masa khilafah
Abbasiyah dan beberapa "empire mini"
c. Perkembangan Islam di Mesir, seperti yang dijalankan oleh beberapa tokoh politik yang
berkuasa, atau para pemikir Islam di Mesir mempunyai ciri khas tertentu. Pengutamaan
rasionalitas daripada teks Alquran, kebebasan berfikir atau penggalangan perlunya berijtihad,
toleransi beragama, berpandangan progresif, dan lain-lain sebagainya adalah merupakan ciriciri pengembangan Islam dengan corak yang liberal.

2. Implikasi
Secara umum perkembangan Islam di Mesir yang dilakukan oleh para tokoh politik
maupun keagamaan yang dianggap liberal, telah berhasil dilakukan. Oleh karena itu, untuk bisa
mengembangkan Islam di daerah lain yang "kualitasnya" menyerupai (untuk tidak mengatakan
sama) pesatnya dengan perkembangan Islam di Mesir, perlu dilakukan oleh orang-orang yang
"berhaluan" liberal.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'n al-Karm
'Abd al-Hdi, Jaml. Fath

Mis

r. t.t.: Dr al-Waf', 1999.

Adamec, Ludwig W. Historical Dictionary of Islam. Lanham, Md.: Scarecrow Press, 2001.
al-'mir, Muh ammad H usn Affand. Nuzhah al-Bb. Mesir: al-Hill, 1314 H.
Bosworth, C.E. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan, 1983.
al-Ghazali, Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyah: Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H ads. Terj.
Muhammad al-Baqir, Studi Kritis Atas Hadis: Pemahaman Tekstual dan Kontekstual.
Bandung: Mizan, 1998.
Ibn al-Jauzi, Ab al-Farj 'Abd al-Rah mn bin 'li bin Muh ammad. Manqib 'Umar bin alKhattb. Cet. III; Beirt: Dr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1987.
Juynball, G. H. A. The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Modern Egypt.
Terj. Ilyas Hasan, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960). Bandung: Mizan, 1999.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1997.
al-Naisbri, Ab al-H usain Muslim bin al-H ajjj bin Muslim al-Qusyairi.
S
ah h . Juz VII. Beirt: Dr al-Jail, t.th.

Al-Jmi' al-

Sewang, Ahmad M. Hubungan Antarumat Beragama di Masa Nabi Muhammad Saw.: Bahasan
Buku Srat Nabawiyah Ibn Hisyam. Makassar: Universitas Islam Alauddin Makassar,
2006.
Tafsir, Ahmad. "Pemikiran di Zaman Modern" dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, ed. Taufik Abdullah, et.al., jilid IV, Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, t.th.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. edited by J Milton Cowan. cet. III.
London: Wiesbaden, 1971.

Anda mungkin juga menyukai