Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM


“Pendidikan Islam Masa Dinasti Fatimiyah”

Oleh :
ITA NURFAJRIN HEHANUSSA
IRMA RERY LATUCONSSINA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
AMBON
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat dan hidayah-

Nya kami diberi kemampuan, kesempatan waktu dan kesehatan jasmani dan rohani

Sehingga kami dapat menyelesaikan Karya Ilmiah, dengan judul PENDIDIKAN

ISLAM MASA DINASTI FATHIMIYAH yang menjadi tugas mata kuliah Pmikiran

Pendidikan Islam.Tak lupa pula solawat dan salam kita haturkan kepada junjungan

kita Nabi besar kita, Nabi Allah Muhammad SAW. beserta keluarga,dan para

sahabatnya, dan pera pengikutnya yang telah berjuang membela islam, hingga dapat

kita nikmati sampai saat ini.

selain untuk memenuhi tugas mata kuliah tersebut, juga untuk memberikan

pengetahuan tentang Pendidikan pada masa Dinasti Fathimiyah. yang akan

dipaparkan dalam pembahasan makalah ini.

Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat dan memberi gambaran

ataupun menjadi referensi dalam mengetahui dan mempelajari tentang Pendidikan

pada masa Dinasti Fathimiyah. Dalam makalah ini penulis menyadari masih jauh dari

kesempurnaan, untuk itu segala saran dan kritik guna perbaikan dan kesempurnaan

sangat kami nantikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis

dan para pembaca pada umumnya.

Penulis,Ambon, 19 April 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................. 3

BAB I : PENDAHULUAN....................................................................................... 4

A. Latar Belakang........................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah................................................................................... 5

BAB II : PEMBAHASAN........................................................................................ 6

A. Asal Usul Dinasti Fatimiyah.................................................................... 6

B. Kondisi Sosial Masa Dinasti Fathimiyah................................................. 7

C. Lembaga Pendidikan Pada Masa Dinasti Fatimiyah................................ 10

BAB III : PENUTUP................................................................................................ 19

A. Kesimpulan.............................................................................................. 19

B. Analisis Kritis........................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 22
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dinasti Fatimiyah berdiri menjelang abad ke-10 ketika kekuasaan Dinasti

Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaanya yang luas tidak lagi

terkoordinasikan. Kondisi ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinast-dinasti

kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur dan sultannya memiliki tentara

sendiri.Di antara dinasti kecil ini yang memisahkan itu adalah Dinasti Fatimiyah.

Dinasti Fatimiyah sendiri mengambil nama dari Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah

SAW, oleh karenanya para Khalifah Fatimiyah mengembalikan asal usul mereka

kepada Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad Rasulullah.

Tidak dapat dipungkiri sesungguhnya perkembangan intelektual yang

berkembang dan berjaya sekarang di barat berasal dari ilmuwan-ilmuwan muslim

melalui sarana penerjemahan pengetahuan dari bahasa arab ke bahasa latin yang

kemudian tersebar ke Eropa. Dengan demikian selama ini para sejarawan memang

menutupi usaha pengembangan intelektual yang telah dilakukan para ilmuwan

muslim pada masa kejayaan dan keemasan kebudayaan kerajaan Islam. Di antara

kerajaan Islam yang banyak menghasilkan Ilmuwan Muslim adalah Dinasti

Fathimiyah (296-555 H/ 908-1171 M) seperti yang diungkapkan oleh Syed Ameer


Ali bahwa “di bawah kaum Fathimiyah di Mesir, Kairo telah menjadi pusat

intelektual dan ilmiah baru”.

Pada masa inilah yang disebut Harun Nasution sebagai periode Klasik (650-

1250 M) yang merupakan zaman kemajuan. Di masa inilah berkembang ilmu

pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun non-agama dan kebudayaan Islam.

Pada zaman ini dihasilkan ulama-ulama besar seperti tokoh-tokoh imam mazhab,

tasawuf, dan filsafat.1

Dalam makalah ini selanjutnya akan dipaparkan kemajuan intelektual yang

berkembang pada masa kejayaan Islam khususnya pada masa Dinasti Fathimiyah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana asal asul Dinasti Fatimiyah?

2. Bagaimana kondisi masyarakat pada masa Dinasti Fatimiyah?

3. Apa saja lembaga yang didirakan pada masa Dinasti Fatimiyah?

1
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam ( Cet: I, Jakarta: Gustiar Azmi, 2005), hlm 121-
122.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asal Usul Dinasti Fatimiyah

Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali Ibnu

Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah. Menurut mereka, Abdullah Al Mahdi

sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu Ismail Ibnu Djafar Al-Sadiq. Sedang

Ismail merupakan imam syi’ah yang ketujuh.

Setelah kematian Imam Jafah al-Sadiq Syi’ah terpecah menjadi dua cabang.

Cabang pertama meyakini Musa Al-Qadim sebagai imam ketujuh pengganti Imam

Jafar, sedang sebuah cabang lainnya mempercayai Ismail Ibnu Muhammad AL-

Makhtum sebagai Imam Syi’ah ketujuh. Cabang Syi’ah kedua ini dinamakan Syi’ah

ismailiah. Syi’ah ismailiah tidak menampakkan gerakannya secara jelas hingga

muncullah Abdullah ibnu Maimun yang membentuk syi’ah Ismailiah sebagai sebuah

sistem gerakan politik keagamaan. Ia berjuang mengorganisir propaganda Syi’ah

Ismailiah dengan tujuan menyebarkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia

mengirimkan mesionary, ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan

ajaran Islam Ismailiah.

Sebelum kematian Abdullah Ibnu Maimun pada tahun 874 M, ia menunjuk

pengikutnya yang paling bersemangat yakni Abu Abdullah Al-Husein sebagai

pemimpin gerakan Syi’ah Ismailiah. Ia adalah orang Yaman asli, dan sampai dengan
abad ke sembilan ia mengklaim sebagai wakil almahdi. Ia menyeberang ke Afrika

Utara,dan berkat propogandanya yang bersemangat ia berhasil menarik simpatisan

suku Berber, khususnya dari kalangan suku khitamah menjadi pengikut setia gerakan

ahli baiu ini. Pada saat ini penguasa Afrika Utara yakni Ibrahim Ibnu Muhammad,

berusaha menekan gerakan Islamiah ini, namun usahanya sia-sia. Jiyadatullah putra

dan sekaligus pengganti Ibrahim Ibnu Muhammad tidak berhasil menekan gerakan

ini. Dengan demikian terbentulah pemerintahan dinasti Fatimiah di Afrika Utara

dengan Al- Mahdi sebagai khalifah pertamanya.2

B. Kondisi Sosial Masa Dinasti Fathimiyah

Masyarakat mesir pada masa Dinasti Fathimiyah terdiri dari kelompok ahli

sunnah dan Syi’ah. Kelompok ahli sunnah merupakan kelompok mayoritas yang

tinggal di Mesir sejak masa Dinasti Thulun. Kelak banyak pengikut Sunni beralih ke

mazhab Fathimi dikarenakan banyaknya kedudukan dan jabatan yang ditawarkan

oleh Dinasti Fathimiyah ini.

Kelompok kedua adalah orang-orang Afrika yang dalam Dinasti Fathimiyah

ini memiliki kedudukan sebagai tentara-tentara. Mereka tidak pernah menimbulkan

permusuhan terhadap pengikut mazhab Sunni ataupun Syi’ah selama masa

pemerintah Dinasti Fathimiyah.

2
Ridwan Latuapo, Sejarah Peradaban Islam (Cet: I, Jakarta: Hiliana Pres, 2016), hlm. 119-
120.
Kelompok masyarakat ketiga adalah Ahl-Dzimmah; yang terdiri dari orang

Yahudi dan Nasrani. Kelompok ini banyak menempati posisi jabatan dan kedudukan

dalam diansti ini sehingga banyak pula di antara mereka yang masuk Islam dan

mengikuti Mazhab Ismailiyah. Hubungan sosial orang Fathimiyah terhadap orang

Nasrani dan Yahudi terjalin dengan penuh damai dan diwarnai dengan toleransi

keberagaman yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan diizinkannya mereka mendirikan

gereja oleh para wazir dinasti ini.

Kelompok masyarakat keempat adalah orang-orang Turki yang telah menetap

di Mesir sejak masa Dinasti Thuluniyah hingga masa Khalifah al-Hakim kelak.

Masyarakat kelima adalah orang-orang sudan yang telah menetap di Mesir

sejak masa Dinasti Ikhsyidiyah hingga masa Khalifah al-Hakim yang menyelamatkan

mereka dari tentara Turki. Pada akhirnya mereka aman berada dalam Dinasti ini

ketika Khalifah al-Zhahir menikahi Ratu Sudan.

a. Politik dalam Negeri Dinasti Fathimiyah

Politik dalam negeri dinasti ini hanya memiliki satu tujuan yaitu berusaha

mengajak masyarakat untuk memeluk mazhab Syi’ah Ismailiyah, dan menjadikan

mazhab ini sebagai mazhab utama di negara Mesir dan wilayah negeri yang berada di

bawahnya. Untuk hal ini Khalifah al-Aziz sangat menunjukan sikap yang baik

terhadap orang Yahudi dan Nasrani sebagaimana ayahnya. Ia juga menikahi

perempuan Nasrani dan untuk itu Ia bertoleransi dalam pendirian gereja di


wilayahnya. Al-Aziz juga mengangkat Isa bin Nestoris ke dalam pemerintahannya.

Sementara itu beliau juga menjadikan Minassa al-Yahudi sebagai wali di Syam.

Adapun politik Fathimiyah kepada kelompok ahli sunnah antara lain dengan

apa yang dilakukan Khalifah al-Aziz pada bulan Safar tahun 357 H/995 M. Ia

memerintahkan menuliskan kalimat penghinaan kepada sahabat (Abu Bakar, Umar,

dan Utsman) di sepanjang tembok Masjid Atiq dan kantin-kantin serta kuburan.

Fanatisme Mazhab Fathimiyah ini meningkat pada masa Khalifah al-Hakim.

b. Politik Luar Negeri Dinasti Fathimiyah

Tidak diragukan berdirinya Dinasti Fathimiyah di Afrika memberikan nuansa

kekhawatiran pada Dinasti Abbasiyah dikarenakan penguasaan mereka atas wilayah

ini akan menaikan derajat Fathimiyah di wilayah Mesir, Syam, Palestina, dan Hejaz.

Penguasaan atas wilayah ini pula akan sangat memudahkan dalam menguasai wilayah

Baghdad pada masa itu. Karena itu Khalifah Abbasiyah memancing Dinasti Buwaihi

untuk memerangi Dinasti Fathimiyah yang pada akhirnya terjadi peperangan antara

buwaihi dan Fathimiyah.3

3
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, hlm. 125.
C. Lembaga Pendidikan Pada Masa Dinasti Fatimiyah

Pada masa dinasti ini masjid juga menjadi tempat berkumpulnya ulama fiqih

khususnya ulama yang menganut mazhab Syi’ah Islamiyah dan juga para wazir dan

Hakim.Mereka berkumpul menulis buku tentang mazhab Syi’ah Islamiyah yang akan

diajarkan masyarakat. Diantara tokoh yang membuat buku itu antara lain Ya’qub ibn

Killis.

a. Masjid

Pada masa Dinasti ini masjid juga menjadi tempat berkumpulnya ulama fiqih

khususnya ulama yang menganut mazhab Syi’ah Ismailiyah dan juga para wazir dan

hakim. Mereka berkumpul menulis buku tentang mazhab Syi’ah Ismailiyah yang

akan diajarkan kepada masyarakat. Di antara tokoh yang membuat buku itu antara

lain Ya’qub ibn Killis. Buku ini menjadi pedoman para Hakim dalam perkumpulan

ini dalam rangka memutuskan perkara yang timbul dalam proses pembelajaran

mazhab Syi’ah tersebut.

b. Istana

Khalifah menjadikan Istana sebagai tempat berkumpulnya buku-buku ilmiah,

seperti Al-Qur’an, Hadist, Fiqh, sastra hingga ilmu kedokteran. Ia memberikan

penghargaan khusus bagi para ilmuwan ini dan menugaskan mereka untuk menjadi

imam di masjid istana. Begitu tingginya perhatian pemerintah terhadap ilmu


pengetahuan sehingga seluruh kebutuhan untuk penyalinan naskah tersebut pun

tersedia di Istana.

c. Perpustakaan

Perpustakaan juga memiliki peran yang tidak kecil dibandingkan masjid

dalam penyebaran akidah Syi’ah Ismailiyah di masyarakat. Untuk itu para khalifah

dan wazir memperbanyak pengadaan berbagai buku ilmu pengetahuan sehingga

perpustakaan Istana menjadi perpustakaan yang terbesar pada masa itu. Perpustakaan

terbesar yang dimiliki Dinasti Fathimiyah ini diberi nama “Dar al ‘Ulum” yang

masih memiliki keterkaitan dengan perpustakaan “Baitul Hikmah”

Begitu besarnya pengaruh buku-buku yang diterjemahkan terhadap

penyebaran mazhab dinasti ini, maka Ya’qub ibn Yusuf ibn Killis salah seorang yang

berjasa pada masa Dinasti Fathimiyah di Kairo. Atas dorongan Cendekiawan Muslim,

Wazir mempekerjakan banyak penyalin buku untuk membuat salinan buku-buku

tentang undang-undang, kedokteran, dan pengetahuan ilmiah. Ia menghabiskan 1.000

dinar emas setiap bulan untuk honor para cendekiawan dan para penyalin, serta

tukang jilid.

Dukungan bagi perkembangan penerjemahan tidak hanya dilakukan oleh

pemerintah tetapi juga toko buku milik orang kaya dapat menyediakan tinta, kertas,

dan meja-meja serta ruangan bagi para ilmuwan untuk belajar. Pada masa ini

ilmuwan yang kekurangan biaya menerima living cost untuk kehidupannya selama
studi. Dalam kondisi yang sangat kondusif ini maka bukan suatu kemustahilan bagi

berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa ini.

Begitu giatnya usaha penerjemahan buku ilmiah dan propaganda mazhab yang

didukung oleh pemerintah, Al-Magrizi meriwayatkan bahwa sesungguhnya di istana

terdapat 40 lemari di mana setiap lemari memiliki 18.000 volume buku. Dan

perpustakaan ini sebagaimana dikatakan Abi Syamah sebagai salah satu keajaiban

dunia di dalamnya juga dinyatakan terdapat sebanyak 1.220 naskah dari Tarikh

Thabari.

d. Dar al-Ilm

Pada bulan jumadil Akhir tahun 395 H/1005 M, atas saran perdana menteri

Ya’qub ibn Killis, khalifah al-Hakim mendirikan Jamiah Ilmiyah berupa akademi

(lembaga riset) seperti akademi-akademi lain yang ada di baghdad dan di belahan

dunia lain. Lembaga ini kemudian diberi nama Dar al-Hakim. Di sinilah berkumpul

para ahli fiqh, astronom, dokter, dan ahli nahwu dan bahasa untuk mengadakan

penelitian ilmiah. Al-Maqrizy memberikan komentar tentang hal sebagai berikut:

Pada hari kedelapan pada saat Jumadil Tsani 399 H, bangunan yang disebut

Bait al-Hikmah telah dibuka. Para mahasiswa mengambil tempat mereka belajar di

sana. Buku-buku dipinjamkan untuk mereka dari perpustakaan-perpustakaan di istana

yang sekaligus tempat tinggal khalifah Fathimiyah; dan masyarakat pun diizinkan

juga memasukinya. Siapa pun bebas menyalin bebrapa buku yang diinginkan, atau
siapa pun yang ingin membaca buku tertentu dapat dilakukan di perpustakaan itu. Di

perpustakaan ini para pelajar dapat mempelajari Fiqh Syi’ah, Ilmu Bahasa, Ilmu

Falak, kedokteran, matematika, falsafah, serta mantik.

Para cendekiawan belajar al-Qur’an, Astronomi, Tata Bahasa, Leksikografi

dan Ilmu Kedokteran. Gedung perpustakaan tersebut juga diperindah dengan karpet,

dan pada semua pintu dan koridor terdapat tirai. Untuk perawatannya ditugaskan

manajer, pelayan, penjaga, dan pekerja kasar lainnya. Al-Hakim memberikan hak

masuk bagi setiap orang tanpa perbedaan tingkat, siapa yang ingin membaca dan

menyalin buku.

Pada tahun 403 H Khalifah al-Hakim mulai mengadakan Majelis Ilmu yang

dihadiri oleh para ahli Kesehatan, Mantik, Fiqh, Kedokteran, dan mereka bersama-

sama mengkaji berbagai masalah, di majlis ini.

e. Al-Azhar

Setelah selesai membangunan kota Al-Qahirah (Kairo) lengkap dengan

istananya, panglima Jawhar al-Sigilli mendirikan Masjid al-Azhar pada tanggal 17

Ramadhan tahun 359 H (970 M). Di kemudian hari masjid ini berkembang menjadi

sebuah Universitas besar diakhir jabatan al-Muidz li Din illah al-Fatimi sebagai

perdana Menteri yaitu pada bulan Shafar 365 H (Oktober 975 M), dan sampai

sekarang Universitas ini masih berdiri megah. Nama Al-Azhar diambil dari al-Zahra,

julukan Fatimah, putri Nabi muhammad SAW. Dan istri Ali ibn Abi Thalib, imam
pertama Syi’ah. Masjid al-Azhar selesai dibangun pada tahun 361 H (972 M),

merupakan masjid pertama di Kairo dan masjid keempat di Mesir, setelah masjid

Amr ibn Ash, Masjid Askar, dan Masjid Ahmad ibn Thulun.

Memang pada awalnya Al-Azhar bukanlah sebuah perguruan tinggi atau

sebagai lembaga pendidikan formal, melainkan hanya sebagai masjid yang oleh

Khalifah Fatimiyah dijasikan sebagai pusat untuk menyebarkan dakwah mereka

namun kemudian berkembang menjadi Universitas. Pada waktu yang sama dibangun

pula istana Khalifah sebagai tempat untuk mengkoordinasi dakwah dan membantu

cara-cara penyebarannya. Pada masa ini intervensi pemerintah terhadap al-Azhar

sangat besar, seperti seorang guru tidak boleh mengajar, sebelum mendapat izin dari

Khalifah. Karena seorang guru yang mengajar di al-Azhar, biasanya diangkat oleh

Khalifah.

Pada masa ini muncul pula Ya’qub ibn Kallas, seorang menteri Khalifah al-

Aziz bi Allah, Ia termasuk ulama daulah Fatimiyah yang mempunyai pengaruh cukup

besar dalam membangkitkan pemikiran masyarakat di Mesir. Ia juga memiliki

kelebihan atau prestasi dalam studi Fiqh aliran Fatimiyah dan telah mengarang

beberapa kitab, diantaranya kitab dalam ilmu Fiqh (kitab Fi al-Fiqh). Kitab ini

mencakup apa yang pernah Ia dapatkan dari al-Muiz li Din Allah dan al-Aziz, di

dalamnya juga telah mencakup Fiqh Ismailiyah.

Ya’qub ibn kallas pernah pula mengajukan kepada Khalifah al-Aziz, bahwa

jami al-Azhar tidak haya terbatas untuk mendirikan shalat dan penyebaran dakwah
Fatimiyah, tetapi dijadikan sebagai lembag pendidikan. Tidak lama kemudian

akhirnya muncul pemikiraan tentang studi di jami al-Azhar pada akhir masa al-Muiz

li Din Allah al-Fatimi pada bulan syafar 360 H (oktober 975 M)

Ketika itu duduk sebagai pengajar Abu Hasan Ali ibn Nu’man al-Maghribi di

jami al-Azhar Ia mengajarkan sebuah kitab al-Ikhtishar karya ayahnya sendiri, kitab

ini berisi masalah-masalah fikihhiyyah yang berpegang kepada imam ahl-Baith. Ini

merupakan kelompok studi pertama di jami al-Azhar. Selain Abu hasan Ali ibn

Nu’man al-maghbribi, sodara kandungnya yang bernama Abu Abdillah Muhammad

ibn Nu’man pada tahun 385 H turut pula mebantu mengajarkan ilmu-ilmu ahl-Baith.

Pada masa dinasti Fathimiyah, materi pelajaran yang diberikan di al-Azhar,

disamping tentang keFathimiyahan, juga dipelajari ilmu-ilmu nakhiliyah dan akhliyah

antara lain : fikih, Hadist, Tafsir, Nahwu, ilmu Tafsir, ilmu Qiro’at, ilmu Hadist, dan

ilmu Kalam diantara ulama yang turut belajar di al-Azhar pada masa ini adalah:

1. Hasan ibn Ibrahim, yang lebih dikenal dengan ibn Zulaq (wafat tahun 387 H).

Karena kecerdasannya, diberi penghargaan untuk menjadi tenaga pengajar di

al-Azhar. Diantara karya-karyanya adalah kitab Fadhaihlu Mishr, kitab

Qudhatu Mishr, kitab al-uyun al-da’j.

2. Al-Amir al-Mukhtar izzul Mulk Muhammad ibn Abdullah (wafat tahun 450

H). Dia seorang pakar dalam bidang politik, Administrasi, dan sejarah.

Diantara karyanya adalah Kitab al-Tarikh al-Kabir yang dikenal dengan

Tarikh li-Mish.
3. Abu Abdillah al-Kudha’i (wafat tahun 454 H).

4. Abu Ali Muhammad ibn al-Hasan ibn al-Haidsam. Ia ilmuwan dalam bidang

tekhnik, filsafat, dan matematika. Ia wafat di Kairo pada tahun 436 H.

Menurut jamaluddin surur, bahwa al-Azhar telah menduduki posisi untuk

membangkitkan kehidupan peradaban Mesir terutama hal-hal yang berkaitan dengan

dakwah Fathimiyah sejak masa Khalifah al-Aziz billah. Pada masa itu umat manusia

mulai bangkit semangatnya untuk mempelajari ilmu-ilmu munadzharah dan mengkaji

fikih Syi’ah. Jami al-Azhar saat itu telah menjadi pusat ilmu pengetahuan dengan

membawa misi menyebarluaskan dakwah Fathimiyah sampai dibangunnya jama’ah

al-hakim bi amirillah. Sistem Halaqah-halaqah yang ada saat itu merupakan dasar

studi di al-Azhar.4

Tahun 945 bani Fatimiyah sudah berhasil memantapkan diri dari Tunisia dan

menguasai beberapa daerah sekeliling dan sisilia. Kemajuan-kemajuan yang paling

penting terjadi selam pemerintahan al-Muiz (953-75), yang mempunyai seorang

jenderal yang cemerlang, Jauhar. Dalam bagian awal pemerintahan, Jauhar

memimpin suatu pasukan penakluk ke Atlantik, dan keunggulan Fatimiyah ditegakan

atas seluruh Afrika Utara. Kemudian al-Muizz mengalihkan perhatiannya ke Timur.

Jelas tersirat dalam pendirian bani Fatimiyah bahwa mereka harus mencoba untuk

menguasai pusat dunia Islam; dan dua pendahulunya telah melakukan perjalanan

penaklukan yang tidak berhasil terhadap Mesir. Seorang pangeran Ikhsidiyah sudah
4
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam (Cet: I, Jakarta: Kalam Mulia, 2011),
hlm. 118-122.
tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawana pada Jauhar. Nama, Khalifah

Abbasiyah serta merta dihilangkan dari doa Ibadah Jumat, walau cara-cara Ibadah

Ismailiyah hanya dimasukkan secara bertahap. Tahun 973 Kairo menjadi kediaman

imam atau Khalifah Fatimiyah dan pusat pemerintahan.

Dari antara daerah-daerah yang semula mengakui kekuasaan Ikshidiyah,

Mekah dan Medinah dengan cepat beralih mengakui Fatimiyah, tetapi terdapat

kesulitan-kesulitan di Suriah. Seorang jenderal Fatimiyah berhasl memasuki

Damaskus,tetapi terlepas lagi dan tidak direbut kmbali oleh bani Fatimiyah.

Di Mesir sendiri era Fatimiyah berlangsung selama sedikit lebih dari dua abad

dan merupakan jaman kemakmuran. Mesir tidak mengalami kerusuhan yang

merongrong kehidupan sehari-hari seperti di Irak dan Suriah.5

Kota yang terletak di tepi sungai Nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan,

yaitu pada masa dinasti Fatimiyah, di masa Shala Al-Din Al-Ayyubi dan dibawah

Baybars dan Al-Nashir pada masa dinasti Mamalik. Periode Fatimiyah dimulai

dengan Al-Muizz dan puncaknya terjadi pada masa pemerintahan anaknya, Al-Aziz.

Al-Muizz Lidinillah dan ‘Aziz (975-996 M) di Mesir dapat disejajarkan dengan

Harun Al- Rasyid dan Al-Ma’mun di Baghdad. Selama pemerintahan Muizz dan tiga

orang pengganti pertamanya, seni dan ilmu mengalami kemajuan besar.

5
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis (Cet: I,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hlm. 215-216.
Al-Muizz melaksanakan tiga kebijaksaan besar yaitu pembaharuan dalam

bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama(juga

aliran).Dalam bidang administrasi, ia mengangkat seorang wazir(menteri) untuk

melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Dalam bidang ekonomi, ia memberi gaji

khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Dalam

bidang agama, di Mesir diadakan empat lembaga peradilan, dua untuk mazhab Syi’ah

dan dua untuk mazhb Sunni.

Dinasti Fatimiyah ditumbankan oleh dinasti Ayyubiah yang didirikan oleh

Shalah Al-Din, seorang pahlawan Islam terkenal dalam perang salib. Ia tetap

mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan oleh dinasti Fatimiyah

tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi’ah kepada Sunni,. Ia juga

mendirikan lembaga-lembaga ilmiah baru, terutama masjid yang dilengkapi dengan

tempat belajar yeologi dan hukum.Karya-karya ilmiah yang muncul pada masanya

dan sesudahny adalah kamus-kamus biografi, kompendium sejarah, manual hukum,

dan komentar-komentar teologi. Ilmu kedokteran diajarkan dirumah-rumah sakit

Prestasinya yang lain adalah didirikannya sebuah rumah sakit bagi orang sakit.6

6
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah (Cet: 1, Jakarta: Rajawali Pers,
2015), hlm. 281-283.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dinasti ini mengklaim sebagai garis lurus keturunan dari pasangan Ali ibnu

Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah. Menurut mereka, Abdulah Al-Mahdi

sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu Ismail Ibnu Djafar Al-Sadiq. Sedang

Ismail merupakan imam Syi’ah yang ketujuh.

Masyarakat mesir pada masa Dinasti Fathimiyah terdiri dari kelompok ahli

sunnah dan Syi’ah. Kelompok ahli sunnah merupakan kelompok mayoritas yang

tinggal di Mesir sejak masa Dinasti Thulun, Kelompok kedua adalah orang-orang

Afrika yang dalam Dinasti Fathimiyah ini memiliki kedudukan sebagai tentara-

tentara, Kelompok masyarakat ketiga adalah Ahl-Dzimmah; yang terdiri dari orang

Yahudi dan Nasrani, Kelompok masyarakat keempat adalah orang-orang Turki yang

telah menetap di Mesir sejak masa Dinasti Thuluniyah hingga masa Khalifah al-

Hakim kelak.

Pada masa dinasti ini masjid juga menjadi tempat berkumpulnya ulama fiqih

khususnya ulama yang menganut mazhab Syi’ah Islamiyah dan juga para wazir dan

Hakim.Mereka berkumpul menulis buku tentang mazhab Syi’ah Islamiyah yang akan

diajarkan masyarakat. Diantara tokoh yang membuat buku itu antara lain Ya’qub ibn

Killis.
Lembaga pendidikan yang dibangun pada masa Dinasti Fathimiyah ini adalah:

Masjid, Istana, Perpustakaan, Dar al-Ilm, dan Al-Azhar, bahkan banyak ilmuwan-

ilmuwan yang lahir dari dinasti Fathimiyah.

B. Analisis Kritis

Pergantian pemerintahan dan ketidak stabilan politik dan ekonomi juga

berpengaruh langsung, sebab kebanyakan perpustakaan dan lembaga keilmiahan

dibiayai oleh pemerintah. Dengan hancurnya pusat dan sumber-sumber ilmu

pengetahuan ini, maka semakin kurang pengembaraan intelektual. Sementara itu

keruntuhan kreativitas dan ilmu pengetahuan muslim, bertepatan dengan fase-fase

awal kebangkitan intelektual Eropa. Maka tibalah perguliran kejayaan ilmu

pngetahuan.

Perang, mengakibatkan hancurnya parpustakaan-perpustakaan.Serbuan

mongol, perang salib, dan pengusiran Muslim dari Spanyol meminta korban sejumlah

perpustakaan dikota-kota semacam Baghdad, dan lain-lain.

Dari pemaparan yang telah di jelaskan di atas maka jelas diketahui bahwa

sekolah-sekolah yang ada pada masa klasik bisa disebut sekolah yang bercirikan

teologis karena tidak hanya berlandaskan motif sosial dan budaya tetapi juga ada

politik dan agama

dalam hal ini menjaga kesinambungan ilmu pengetahuan yang berhubungan

pertumbuhan serta perkembangan pemikiran pendidikan Islam, baik dari segi ide dan
konsep maupun segi Institusi dan operasionalisasi sejak zaman Nabi Muhammad

SAW sampai sekarang.

Khalifah Fatimiyah pada umumnya juga mencintai berbagai berbagai seni

bangunan (arsitektur). Mereka mempercantik ibu kota dan kota-kota lainnya dengan

berbagai bangunan megah.Semua ini merupakan sebagian dari peninggalansejarah

pemerintahan syi’ah di Mesir.

Politik dalam negeri yang dijalankan oleh Khalifah al-Aziz sangatlah strategis,

dalam mengajak dan menyeru masyarakat untuk memeluk satu mazhab saja yaitu

Syi’ah Ismailiyah dan yang utama di negara Mesir. Bahkan untuk memancing

perhatian masyarakat dan Khalifahal-Aziz sangat bertoleran terhadap masyarakat

walau memiliki anut Nasrani dengan membantu membuat gereja di daerah

wilayahnya.

Lembaga pendidikan yang dibangun pada masa Dinasti Fathimiyah ini adalah:

Masjid, Istana, Perpustakaan, Dar al-Ilm, dan Al-Azhar, bahkan banyak ilmuwan-

ilmuwan yang lahir dari dinasti Fathimiyah. Sehingga pada masanya, Dinasti

Fathimiyah menjadi tempat pusat Pendidikan Islam Dunia hingga sekarang.


DAFTAR PUSTAKA

Latuapo, Ridwan. Sejarah Pendidikan Islam. Cet: I, Jakarta: Hiliana Press,

2016.

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam. Cet: I, Jakarta: Kalam Mulia, 2012.

Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam Cet: I, Jakarta: Gustiar Azmi, 2005.

W. Montgomery Watt, Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis. Cet: I,

Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah. Cet: 1, Jakarta:

Rajawali Pers, 2015.

Anda mungkin juga menyukai