Anda di halaman 1dari 20

Mata Kuliah: Sejarah Pendidikan Islam

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA DINASTI

FATIMIYAH DAN BUWAIHI

Disusun Oleh

Kelompok 7 :

Anisa Rifqa (16 31 058)

Rudi Ali (16 31 054)

Budi Arja (16 31 040)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


DARUD DA’WAH WAL-IRSYAD
STAI DDI MAROS
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga makalah
ini dapat di selesaikan pada waktunya. Makalah ini ditulis demi untuk memenuhi
tugas mata kuliah sejarah pendidikan islam yang berjudul “Pendidikan Islam Pada
Masa Dinasti Fatimiyah Dan Buwaihi”.

Kami mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah banyak


memotivasi dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini bisa memberikan
informasi kepada para pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
perbaikan makalah kami selanjutnya.

Demikianlah, pengantar dengan iringan serta harapan semoga tulisan


sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca dan pendengar. Atas
semua ini kami mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga.

Maros, 29 Oktober 2018

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Dinasti Fatimiyah ........................................................................................ 3


B. Dinasti Buwaihi .......................................................................................... 9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................. 15
B. Saran ........................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah pendidikan merupakan bagian sejarah kebudayaan umat manusia,


karena mendidik berarti pula suatu usaha untuk menyerahkan atau mewariskan
kebudayaan. Proses pendidikan sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah
dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di bumi.
Proses pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang bersumber dan
berpedoman pada ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur`an dan
terjabar dalam Sunnah Rasul bermula sejak Nabi Muhammad SAW.
menyampaikan ajaran tersebut pada umatnya.
Sejarah pendidikan Islam pada hakikatnya tidak terlepas dari sejarah Islam,
oleh karena itu priodesasi sejarah pendidikan Islam terdapat dalam priode-priode
sejarah Islam itu sendiri, secara garis besar Harun Nasution membagi sejarah
Islam ke dalam tiga priode, yaitu: priode klasik, pertengahan dan modern,
kemudian perinciannya dapat dibagi menjadi 5 masa, yaitu:
1. Masa hidupnya nabi Muhammad SAW. (571-632 M)
2. Masa kholifah yang empat (Khulafaur Rosyidin/Abu Bakar Siddiq, Umar Bin
Kathab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib/
632-661 M)
3. Masa kekuasaan Ummayah di Damaskus (661-750 M)
4. Masa kekuasaan Abbasiyah di Baghdad (750-1250 M)
5. Masa dimana jatuhnya kekuasaan kholifah di Baghdad tahun 1250 M sampai
sekarang.
Dalam makalah Ini Akan Dibahas Tentang Dinasti Fatimiyah Dan Buwaihi
Terutama Dalam Bidang Pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pendidikan Di masa Dinasti Fatimiyah ?


2. Bagaimana Pendidikan Islam Di masa Dinasti Buwaihi?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dinasti Fatimiyah
1. Sejarah Dinasti Fatimiyah

Dinasti Fatimiyah berdiri menjelang abad ke-10 ketika kekuasaan Dinasti


Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya yang luas tidak
lagi terkoordinasikan. Kondisi ini telah membuka peluang bagi kemunculan
dinasti-dinasti kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur dan sultannya
memiliki tentara sendiri. Di antara dinasti kecil yanag memisahkan itu adalah
Dinasti Fatimiyah. Dinasti Fatimiyah sendiri mengambil nama dari Fatimah Az
Zahra, putri Rasulullah SAW. oleh karenanya para khalifah Fatimiyah
mengembalikan asal-usul mereka kepada Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti
Muhammad Rasulullah. Dinasti ini muncul di Afrika utara pada akhir abad ke 3 H
di bawah pimpinan Ubaidillah Al Mahdi yang memiliki mazhab Syi’ah
Ismailiyah. Mereka mengaku sebagai keturunan Nabi melalui Ali dan Fatimah
melalui garis Ismail putra Ja’far Al Shadiq.
Pada tahun 909 M kelompok Syi’ah Ismailiyah di Afrika utara ini dapat
mengonsolidasikan gerakannya, sehingga pemimpin gerakan ini Ubaidillah Al
Mahdi mengumumkan berdirinya Dinasti Fatimiyah yang terlepas dari kekuasaan
Dinasti Abbasiyah. Ia memperkuat dan mengonsolidasikan khalifahnya di Tunisia
dengan bantuan Abdullah Al-Syi’ii seorang dari Ismailiyah yang sangat besar
perannya dalam mendirikan Dinasti Fatimiyah tersebut.
Pada tahun 362 H (973 M), khalifah Mu’idz Lidinillah memindahkan ibu kota
Dinasti dari Khairawan di Tunisia ke Al Qahirah di Mesir. Pada tahun ini pula
diresmikannya Masjid Al-Azhar yang di dalamnya berdiri Universitas Al-Azhar,
yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu
pengetahuan dengan mendasarkan pada mazhab Syi’ah Ismailiyah.
2. Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Fatimiyah
Pada masa-masa awal, proses pendidikan Islam berlangsung di tempat-tempat
yang merupakan pusat ibadah (masjid). Namun karena banyaknya umat Islam
yang berminat untuk belajar sedangkan kapasitas masjid tidak lagi mencukupi,
juga meng-ganggu kegiatan orang-orang yang beribadah, institusi pendidikan
mulai mengada-kan pembenahan-pembenahan.
Ibnu Killis adalah salah seorang tokoh dan pelopor perkembangan pendidikan
pada kekhalifahan Fatimiyah di Mesir. Ia mendirikan sebuah universitas dan
meng-habiskan ribuan dinar per bulan untuk membiayainya. Di bawah
kekuasaannya, ter-sebutlah seorang dokter yang sangat terkenal bernama
Muhammad al-Tamim, yang lahir di Yerussalem dan pindah ke Mesir sekitar
tahun 970 M.11 Salah satu fondasi ter-penting yang dibangun pada masa
Fatimiyah adalah pembangunan Dar al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) atau Dar
al-‘Ilm (rumah ilmu) yang didirikan oleh al-Hakim pada tahun 1005 sebagai pusat
pembelajaran dan penyebaran ajaran Syi’ah ekstrim.
Perpustakaan Dar al-Hikmah di Kairo ini didirikan oleh al-Hakim Biamrillah.
Perpustakaan ini dibuka pada tanggal 10 Jumadil Akhir tahun 395 H, setelah
dileng-kapi perabotan dan hiasan. Pada semua pintu dan lorongnya dipasangi tirai.
Di per-pustakaan tersebut ditempatkan para penanggung jawab, karyawan, dan
petugas. Di-himpun pula buku-buku yang belum pernah dihimpun oleh seorang
raja pun. Per-pustakaan itu mempunyai 40 lemari. Salah satu lemari memuat
18.000 buku tentang ilmu-ilmu kuno. Semua orang boleh masuk ke situ. Di antara
mereka ada yang da-tang untuk membaca buku, menyalin, atau belajar. Di tempat
tersebut terdapat segala sesuatu yang diperlukan oleh pengunjung (tinta, pena,
kertas, dan tempat tinta).
Untuk mengembangkan institusi ini, al-Hakim mengeluarkan dana sebesar
257 dinar di antaranya digunakan untuk menyalin berbagai naskah, memperbaiki
buku, dan pemeliharaan umum lainnya. Gedung ini dibangun berdekatan dengan
istana ke-rajaan yang di dalamnya terdapat sebuah perpustakaan dan ruang-ruang
pertemuan. Kurikulumnya meliputi kajian tentang ilmu-ilmu keislaman,
astronomi, dan kedok-teran.
Pada masa al-Mustanshir, kegagalan atau kemunduran kerajaan yang meng-
akibatkan berkurangnya harta kekayaan, pada gilirannya menyebabkan
kemunduran lebih besar dengan banyaknya buku-buku yang hilang dari
perpustakaan kerajaan. Perpustakaan itu sendiri mulai didirikan pada masa al-
‘Aziz, ketika itu memiliki ku-rang lebih 200.000 buku dan 2.400 eksemplar al-
Quran yang dihiasi ornamen-or-namen indah. Salah satu koleksi langka
perpustakaan ini adalah naskah-naskah hasil karya Ibn Muqlah dan ahli-ahli
kaligrafi lainnya. Di perpustakaan ini pula al-‘Aziz menyimpan salinan tulisan
tangan untuk buku sejarah karya al-Thabari. Pengganti al-Mustanshir membangun
kembali sebuah perpustakaan. Ketika satu abad kemudian Shalah-al-Din
menguasai istana kerajaan, perpustakaan istana itu masih menyimpan sekitar
100.000 jilid buku, sebagian dari buku-buku itu disertai harta rampasan lain-nya
dibagikan kepada bawahannya. Bangunan tua yang masih bertahan hingga kini
adalah masjid al-Azhar yang didirikan oleh Jauhar as-Siqili. Meskipun sudah
pernah dipugar, keaslian bagian te-ngahnya yang merupakan pusat bangunan ini
tetap dipertahankan. Bagian ini diba-ngun dari batu bata, mengikuti model masjid
Ibnu Thulun, yang memiliki sudut mih-rab, dan secara umum berbeda jauh
dengan gaya Persia. Menara masjid ini berbentuk bundar konvensional.
Seni penjilidan buku di dunia Islam yang paling pertama dikenal datang dari
Mesir sekitar abad ke-8 atau 9. Teknik dan dekorasi yang mereka miliki
bersanding indah dengan daya tarik seni penjilidan koptik yang lebih dulu
muncul, dan yang nyata-yata menjadi patokan keahlian menjilid. Setelah mazhab
Mesir dalam seni pen-jilidan berkembang, teknik menghiasi sampul buku dengan
alat dan stempel menjadi teknik yang banyak dipakai oleh para perajin yang
menggunakan kulit.

Sejarah Lahirnya al-Azhar

Dari sekian universitas di dunia Islam, dua yang tertua dan hingga kini masih
ada, adalah Universitas al-Karaouiyinne di Fez, Maroko dan al-Azhar di Kairo.
Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan bertaraf internasional yang berpusat di
Kairo, Mesir. Kemampuannya menghadapi perubahan dan menjawab tantangan
telah ter-bukti. Al-Azhar mula-mula didirikan sebagai masjid oleh panglima
Fatimiyah,19 Jen-deral Jauhar as-Siqili pada tanggal 24 Jumadil Ula 359 H dan
selesai pembangunan-nya pada bulan Ramadhan 361 H, setelah Mesir pada tahun
969 (354 H) secara penuh dikuasainya. Menurut sumber yang dikutip Van Houve
dalam Ensiklopedi Islam menyebutkan bahwa al-Azhar berdiri pada tahun 359
H/970 M. Mahmud Yunus da-lam bukunya Sejarah Pendidikan Islam mengutip
berdirinya al-Azhar pada Tahun 358 H. Adapun waktu pembangunan al- Azhar
hingga selesai tidak ada perbedaan yaitu setahun.
Nama masjid al-Azhar merupakan nama yang dinisbatkan kepada putri Nabi
Muhammad Saw. Fatimah al-Zahrah. Sebelumnya nama masjid tersebut adalah al-
Qahirah yang berarti sama dengan nama kota, yaitu Cairo, dan dikaitkan dengan
ka-ta-kata al-Qohirah al-Zahirah yang berarti kota yang cemerlang.23 Baru
setelah 26 bulan berlalu, al-Azhar dibuka untuk umum, tepatnya pada bulan
Ramadhan 361 H dengan diawali kuliah agama perdana oleh al-Qodi Abu Hasan
al-Qoirowani pada masa pe-merintahan Malik al-Nasir.
Masjid al-Azhar adalah pusat ilmu pengetahuan, tempat diskusi bahasa dan ju-
ga mendengarkan kisah dari orang yang ahli bercerita. Masjid ini sebenarnya
diper-untukkan bagi Dinasti Fatimiyah yang sedang bersaing dengan kekhalifahan
di Bagh-dad. Usaha yang dilakukannya ialah dengan mengajarkan mazhab Syi’ah
kepada ka-der-kader mubaligh yang bertugas meyakinkan masyarakat akan
kebenaran mazhab yang dianutnya. Dia merupakan lembaga Fatimiyah sebagai
pusat latihan kader penyebar ideologi Syi’ah yang mengancam otoritas Abbasiyah
Sunni. Maka dinasti Saljuk Abbasiyah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
teologi ortodoks sebagai upaya mengimbangi upaya al-Azhar. Sebagai sebuah
gerakan politik dan keagamaan, Khalifah Fatimiyah menaruh perhatian khusus
atas penyebaran doktrin-doktrin tertentu (dakwah Fathimiyah) melalui para
“kader” (dai). Program yang dilontarkan kaum Fathimiyyin meliputi dua tahap:
tahap pertama, pelaksanaan pengajaran serta pemben-tukan undang-undang;
tahap kedua, dakwah secara rahasia.
Untuk memenuhi kebutuhan terhadap tenaga para dai inilah al-Azhar kemudi-
an ditingkatkan peranannya bukan hanya sebagai masjid melainkan juga sebagai
lembaga pendidikan yang terorganisir di bawah pengawasan khalifah. Al-Azhar
pada masa Dinasti Fathimiyah merupakan lembaga pendidikan yang menjadi
corong dan alat untuk propaganda kekuasaan kekhalifahan, sekaligus sebagai alat
penyeba-ran doktrin ajaran syi’ah.
Al-Azhar tampak berbeda dengan madrasah sebelumnya. Pada lembaga ini su-
dah dilengkapi dengan asrama untuk guru-guru dan para mahasiswa, juga aula
besar (iwan) yang dipergunakan untuk kuliah umum. Iwan merupakan bagian
yang sangat penting bagi al-Azhar. Pelaksanaan proses belajar mengajar di al-
Azhar mengacu kepa-da aturan-aturan yang ditetapkan oleh pengelola madrasah.
Peranan al-Azhar seba-gai madrasah yang menyelenggarakan pendidikan tingkat
tinggi, menurut Philip K. Hitti merupakan lembaga pendidikan tingkat tinggi
(institution of higher education) atau college (akademi menurut perbandingan
pendidikan sekarang).
Al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyah merupakan lembaga pendidikan yang
menjadi corong dan alat untuk propaganda kekuasaan kekhalifahan, sekaligus
sebagai alat penyebaran doktrin ajaran syi’ah. Pada masa itu, sistem pengajaran
terbagi menjadi empat kelas, yaitu: Pertama, kelas umum diperuntukkan bagi
orang yang datang ke al-Azhar untuk mempelajari al-Quran dan penafsirannya;
Kedua, kelas para mahasiswa Universitas al-Azhar kuliah dengan para dosen yang
ditandai dengan mengajukan pertanyaan dan mengkaji jawabannya; Ketiga, Kelas
Darul Hikam, kuliah formal ini diberikan oleh para mubaligh seminggu sekali
pada hari Senin yang dibuka untuk umum dan pada hari Kamis dibuka khusus
untuk mahasiswa pilihan. Keempat, kelas nonformal, yaitu kelas untuk pelajar
wanita.
Pada mulanya pengajaran di Universitas al-Azhar sama dengan institusi pen-
didikan yang lain, yaitu sistem halaqah (melingkar). Seorang pelajar bebas
memilih guru dan pindah sesuai dengan kemauannya. Umumnya guru atau syaikh
yang mengajar itu duduk bersama para pelajar, tetapi guru kadang-kadang duduk
di kursi ketika menerangkan kitab yang diajarkannya. Di samping itu, metode
diskusi sangat dikembangkan sebagai metode dalam proses pembelajaran
antarpelajar. Seorang guru hanya berperan sebagai fasilitator dan memberikan
penajaman dari materi yang didiskusikan.
Pada masa khalifah al-Aziz Billah, 387 H/988 M dengan usaha wazirnya,
Yakub Ibn Kills, al-Azhar dijadikan sebagai Universitas Islam yang mengajarkan
ilmu-ilmu agama, ilmu akal (logika) dan ilmu umum lainnya. Untuk menunjang
kegiatan pen-didikan dan pengajaran, al-Azhar dilengkapi dengan asrama untuk
para fuqaha (do-sen, tenaga pendidik) serta semua urusan dan kebutuhannya
ditanggung oleh khali-fah.
Al-Azhar mempunyai peranan penting dalam perkembangan pendidikan di
Eropa. Pemakaian seragam sekolah, pengembangan tradisi pembantahan,
penjurusan dua buah fakultas. Fakultas graduate dan undergraduate berasal dari
tradisi al-Azhar dan menunjukkan pengaruh kuat lembaga al-Azhar.
Perubahan orientasi al-Azhar terjadi menyusul ambruknya kekhalifahan Fati-
miyah di Kairo. Setelah hampir 200 tahun digunakan Bani Fatimiyah sebagai
basis pendidikan dan penyebaran doktrin-doktrin Syi’ah, al-Azhar diambil alih
Salahuddin al-Ayyubi untuk dijadikan madrasah-masjid yang berorientasi Sunni.
Berlainan de-ngan Bani Fatimiyah yang menekankan pengajaran filosofis dan
teologis, Dinasti Ay-yubi, sebagaimana penguasa dan pemuka Sunni yang lain,
lebih mementingkan pengajaran fikih dalam madrasah yang mereka kelola,
termasuk al-Azhar. Pengam-bilalihan ini, sebenarnya telah mereduksi posisi al-
Azhar yang berorientasi supralokal menjadi lembaga yang berwawasan sempit
dikarenakan lingkup politik Dinasti Ay-yubiyah yang bercorak lokal. Hanya
karena peranan Kairo yang strategis dalam per-jalanan sejarah Islam akhirnya bisa
diperoleh kembali dan dipertahankan, khususnya pada zaman modern. Setelah al-
Ayyub menaklukkan Mesir tahun 1171 M selama hampir satu abad dari tahun
1171-1267 M, al-Azhar dikosongkan. Pada abad kekosongan itu salat Jum-at di
masjid al-Azhar pun dilarang dan pindah ke masjid al-Hakim, karena mereka
berpemahaman tidak boleh ada dua khutbah di dalam satu kota. Semenjak itulah
Di-nasti Fatimiyah berakhir sehingga al-Azhar berubah menjadi universitas Sunni.
Ia te-lah mencapai prestasi yang gemilang dan reputasi sebagai otoritas bidang
keagamaan sampai sekarang tetap berlangsung. Tidak diketahui respons negatif
dari masyarakat sekitar al-Azhar tapi penulis berpendapat sekecil apapun respons
negatif itu pasti ada. Adapun respon positif telah diketahui dengan semakin
banyaknya umat Islam yang menuntut ilmu di al-Az-har, bukan saja dari Mesir,
melainkan dari seluruh dunia.

B. Dinasti Buwaihi
1. Sejarah Dinasti Buwaihi
Dinasti ini merupakan bagian dari sejarah peradaban Islam yang pernah
berkuasa di Irak. Keberadaan dan kekuasaannya akan memberikan citra terhadap
perkembangan peradaban Islam masa lalu dan memberikan inspirasi bagi generasi
berikutnya.
Ada beberapa riwayat tentang asal usul Bani Buwaihi diantaranya:
 Buwaihi berasal dari keturunan seorang pembesar yaitu Menteri
Mahr Nursi.
 Ada yang mengatakan Buwaihi adalah keturunan Dinasti Dibbat
suatu dinasti di Arab.
 Buwaihi adalah keturunan raja Persi.
 Buwaihi berasal dari nama seorang laki-laki miskin yang bernama
Abu Syuja’ yang hidup di negeri Dailam sebelah barat daya laut
Kaspia yang telah tunduk pada kekuasaan Islam pada masa
khalifah Umar Bin Khatab, Abu Syuja’ adalah seorang nelayan
yang kegiatan sehari-harinya memancing ikan.
Para ahli sejarah lebih mempercayai pendapat ke empat hal ini dibuktikan
oleh perkataan Ahmad Bin Buwaihi yang sering melontarkan kata-kata “Aku
pernah menjunjung kayu api di kepala ku” untuk mengenang masa-masa pahit
sebelum menjadi pembesar kala itu.
Masa pemerintahan Buwaihi yang merupakan periode ketiga dari
pemerintahan Bani Abbasiyah, dimana kekhilafahannya dikuasai oleh bani
Buwaihi sejak 334-447 H/945-1055 M. seperti yang lebih dipercayai oleh para
ahli sejarah, dibangun oleh tiga putra Abu Syuja’ Buwaihi, seorang nelayan di
wilayah Dailam, ketiganya adalah, Ali bin Buwaihi, Hasan dan Ahmad. Untuk
keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer yang
ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki. Dalam sejarahnya ketiga
bersaudara ini membangun karir militer mereka pada Dinasti Bani Saman. Tak
lama kemudian mereka bergabung dengan pasukan Mardawij Ad-Dailamy, karena
prestasi mereka yang menonjol panglima Mardawij mengangkat Ali sebagai
gubernur Al-Karaj, sedangkan Hasan dan Ahmad menduduki jabatan penting.
Di tengah menguatnya militer Bani Buwaihi, kekuatan dinasti Abbasiyah
malah semakin menurun dan dilanda kekacauan. Persaingan dan perebutan
jabatan Amir Umara di antara Wazir dan panglima militer yang dikuasai orang-
orang Turki. Maka fase yang paling gelap dalam sejarah kekhalifahan ini dimulai
ketika Khalifah Al-Mustakfi Billah terpaksa meminta bantuan kepada pemimpin
Buwaihi yaitu Ahmad untuk memasuki Baghdad untuk mengangkatnya sebagai
Amir Umara. Dari Shiraj Ahmad menyerang Baghdad pada tahun 945 M dan
berhasil mengusir militer Turki dari sana. Pasukan Buwaihi ini mendapat
sambutan dari Khalifah Al-Mustakfi salah satu khalifah Dinasti Abbasiyah,
Ahmad menerima gelar Mu’izz Daulah dan memerintah sebagai wazir utama dan
mengambil kekuasaan atas orang-orang Sunni. Sedangkan Ali dan Hasan
mendapat gelar masing-masing sebagai Imad Daulah dan Rukn Daulah.
Pemerintahan Bani Buwaihi membagi kekuasaannya kepada tiga
bersaudara, Ali menguasai wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan menguasai
wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan
Baghdad. Sejak saat itulah Kekhalifahan Abbasiyah dikendalikan para amir Bani
Buwaihi. Khalifah tidak lebih hanya sebagai simbol, tidak berdaya dan tidak
memiliki kekuatan politik dan militer. “Pada masa pemerintahan Bani Buwaihi
inilah, para Khalifah Abbasiyah hanya tinggal namanya saja,” tutur Prof. Badri
Yatim. Sebab, pelaksanaan pemerintahan berada dalam genggaman amir-amir
Buwaihi. Dinasti Buwaihi pun memindahkan pusat kekuasaannya dari Syiraz ke
Baghdad. Di kota itu mereka membangun istana-istana yang disebut Dar Al-
Mamlakah (rumah kerajaan). Meski begitu, pusat Dinasti Buwaihi yang
sebenarnya berada di Syiraz, tempat Ali bin Buwaihi (saudara tertua) bertahta.
Berkuasanya Bani Buwaihi di Baghdad ternyata mampu menyatukan kembali
dinasti-dinasti kecil yang sempat menyatakan keluar dari kekuasaan Dinasti
Abbasiyah.
Sebenarnya keturunan Bani Buwaihi adalah keturunan kaum Syi’ah, dan
bukan keturunan Bani Abbas secara langsung pada saat itu. Meskipun Khalifah
dan sebagian umat Islam sangat tertekan akibat paham yang dianut oleh dinasti
ini, akan tetapi banyak kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa dinasti ini
berkuasa. Masa kejayaan Bani Buwaihi merupakan era transisi berakhirnya
kekuasaan bangsa Arab di Kekhalifahan Abbasiyah. Selama mengendalikan
kekuasaannya di Baghdad,
Dinasti Buwaihi turut berjasa mengembangkan supremasi (kekuasaan
tertinggi) peradaban Islam di bidang ilmu pengetahuan dan sastra. Di zaman
Dinasti Buwaihi, terutama ketika kepemimpinan ‘Adud Al Dawlah, dalam
mendukung pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan sastra beliau
melakukan pengembangan antara lain memperindah Baghdad, memperbaiki
kanal-kanal yangs sudah usang dan di beberapa kota-kota lain, mendirikan
sejumlah masjid, rumah sakit dan gedung-gedung publik, observatorium (tempat
peneropongan bintang) yang terkenal dan lain-lain.
Setelah mengalami masa kemajuan, akhirnya Dinasti Buwaihi mengalami
kejatuhannya berawal setelah generasi pertama tiga bersaudara tersebut,
kekuasaan menjadi ajang pertikaian di antara anak-anak mereka. Masing-masing
merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Misalnya, pertikaian antara 'Izz al-
Daulah Bakhtiar, putera Mu'izz al-Daulah dan 'Adhad al-Daulah, putera Imad al-
Daulah, dalam perebutan jabatan amir al-umara. Perebutan kekuasaan di kalangan
keturunan Bani Buwaih ini merupakan salah satu faktor internal yang membawa
kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka. Faktor internal lainnya adalah
pertentangan dalam tubuh militer, antara golongan yang berasal dari Dailam
dengan keturunan Turki.
Ketika Amir al-Umara dijabat oleh Mu'izz al-Daulah persoalan itu dapat
diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang lemah,
masalah tersebut muncul ke permukaan, mengganggu stabilitas dan menjatuhkan
wibawa pemerintah. Sejalan dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani
Buwaihi, makin banyak pula gangguan dari luar yang membawa kepada
kemunduran dan kehancuran dinasti ini. Faktor-faktor eksternal tersebut di
antaranya adalah semakin gencarnya serangan-serangan Bizantium ke dunia
Islam, dan semakin banyaknya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari
kekuasaan pusat di Baghdad. Dinasti-dinasti itu, antara lain dinasti Fathimiyah
yang memproklamasikan dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir,
Ikhsyidiyah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghaznawi
di Ghazna dekat Kabul, dan dinasti Saljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari
tangan Bani Buwaihi.
Jatuhnya kekuasaan Bani Buwaihi ke tangan Saljuk bermula dari perebutan
kekuasaan di dalam negeri. Ketika al-Malik al- Rahim memegang jabatan Amir
al-Umara, kekuasaan itu dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan al-Basasiri.
Dengan kekuasaan yang ada di tangannya, al-Basasiri berbuat sewenang-wenang
terhadap Al-Malikal-Rahim dan Khalifah al-Qaim dari Bani Abbas; bahkan dia
mengundang khalifah Fathimiyah (al-Mustanshir), untuk menguasai Baghdad. Hal
ini mendorong khalifah meminta bantuan kepada Tughril Bek dari dinasti Saljuk
yang berpangkalan di negeri Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055 M/447 H.
pimpinan Saljuk itu memasuki Baghdad. Al-Malik al-Rahim, Amir al-Umara Bani
Buwaihi yang terakhir, dipenjarakan dan mengakhiri hidupnya dalam kurungan.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Buwaihi dan bermulailah
kekuasaan Dinasti Saljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal
periode keempat khilafah Abbasiyah.
2. Pendidikan Islam Di Masa Dinasti Buwaihi
Dinasti Buwaihi banyak terdapat kemajuan di berbagai aspek terutama
dalam bidang pendidikan, khususnya dibawah kepemimpinan ‘Addud Ad-Daulah
(949-983 M). Hal yang menarik yang bisa kita banggakan dalam pola dan tatanan
kehidupan masyarakat pada masa dinasti ini.
Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode pertama, para penguasa Bani
Buwaihi mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Para pangeran dan wazir
dinasti ini menjadi contoh dalam memberikan dukungan terhadap berbagai
disiplin ilmu pengetahuan. Pada masa tersebut, Baghdad sebagai tempat
berkembangnya dinasti tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat. Baghdad
menjadi pusat ilmu pengetahuan. Kedekatannya dengan para Ilmuwan menjadikan
loyalitas mereka terhadap pemerintahan sangat tinggi. Istana pemerintahan pernah
dijadikan sebagai tempat pertemuan ilmuwan saat itu. Bahkan saat itu dibangun
Rumah sakit besar (Bimaristan al-Adhudi) yang terdiri dari 24 orang dokter, dan
digunakan juga sebagai tempat praktek mahasiswa kedokteran saat itu.
Di bidang sastra, para penguasa saling berlomba-lomba dalam
mengumpulkan para sastrawan untuk menyampaikan syair-syair indahnya di
istana. Sehingga bukan sebuah keanehan jika sarjana dan penyair sering kali
melakukan pengembaraan dari satu istana menuju istana yang lain. Para
penguasapun sering mengumpulkan para kerabatnya dalam sebuah majlis atau
pertemuan untuk mempelajari disiplin ilmu pengetahuan seperti; ilmu kalam,
hadits, fikih, kesusastraan dan lain sebagainya dengan dipandu oleh para guru
yang diundang secara khusus ke dalam istana. Selain di istana, pertemuan dalam
membahas ilmu pengetahuan juga diselenggarakan di masjid-masjid, rumah-
rumah pribadi, kedai-kedai, alun-alun bahkan di taman-taman kota.
Pada masa Dinasti Buwaihi merupakan titik puncak dari apa yang disebut
"humanisme", karena betapa kosmopolitannya atmosfer budaya pada saat itu.
Percampuran pemikiran di antara orang-orang Islam, Kristen, Yahudi, Kaum
Pagan, kelompok-kelompok aliran Teologi dan kelompok Religius sangat
menghargai pluralitas. Titik tolak kesepakatan mereka adalah bahwa "ilmu-ilmu
kuno" adalah milik seluruh umat manusia dan tidak ada satu kelompok religius
atau kultural manapun yang dapat mengklaim kepemilikan eksklusif ilmu-ilmu
tersebut. Dimana semangat pluralitas itu mereka kembangkan atas prinsip
"shadaqah" yang diartikan "persahabatan" yaitu sebuah prinsip hubungan lintas
budaya dan religius yang mendasarkan hubungannya pada kemanusiaan. Ini
berarti hubungan mereka tidak didasarkan pada ras, suku atau agama, tetapi pada
kenyataan bahwa mereka adalah manusia.
Dan pada masa ini juga dilakukan penerjemahan terhadap ratusan karya-
ilmiah Yunani-Romawi ke bahasa Arab oleh Hunain Ibn Ishaq, penerjemah
Kristen Nestorian, Yuhanna ibn Hailan dan sebagainya. Yang bertempat di
Baghdad dan Iran sebagai pusat peradaban Islam dengan beragam istana, dibawah
kontrol dinasti Buwaihi yang dipimpinan oleh 'Adhud Al-Daulah.
Sumbangan ilmuwan dan intelektual yang berada dalam lindungan dan
dukungan para penguasa Buwaihi ini bagi pengembangan ilmu pengatahuan
sungguh sangat besar. Tidak cuma itu, Philip K Hitti dalam bukunya History of
Arab juga mencatat peran penting Bani Buwaihi dalam pembangunan di kota
Baghdad. Menurut Hitti, di era kekuasaannya, para penguasa Buwaihi berhasil
membangun masjid, rumah sakit, serta kanal-kanal. Pembangunan infrastruktur itu
turut membuat sektor ekonomi, pertanian, perdagangan dan industri menggeliat.
Menurut Ensiklopedi Britannica Online, penguasa Buwaihi sempat
membangun bendungan jembatan yang membelah Sungai Kur dengan Shiraz.
Jembatan itu mampu menyambungkan Dinasti Buwaihi dengan kerajaan lainnya
seperti Samanid, Hamdaniyah, Bizantium dan Fatimiyah. Penguasa Buwaihi pun
turut menopang geliat seni dan kesusasteraan.
Pada masa Bani Buwaihi ini banyak bermunculan ilmuwan
besar. Diantaranya :
 Al-Farabi (Filsafat) yang dikenal sebagai second teacher setelah Aristoteles,
dan juga Ibnu Miskawaih yang dikenal sebagai guru ketiga di bidang filsafat.
 Ibnu Sina yang dijuluki sebagai Syaikh Ar-Rois (Guru ketua) dalam bidang
kedokteran dengan karyanya yang termasyhur Qanun fi Thibb
 Al-farghani dan Abdurrahman As-shufi, dalam bidang Astronomi yang
banyak menghasilkan karya-karya penting dalam cabang ilmu tersebut.
 Ferdowsi, Umar Khayaam dan Mutanabbi adalah pujangga yang
termasyhur dengan karya sastra yang indah dan menawan. Begitu pula
dengan Abu A’la Al-Ma’arri yang dikenal sebagai penyair, penulis dan juga
Ahli Filsafat.
 Al-Mas’udi dalam bidang geografi dan sejarah. Karyanya yang terkenal
adalah kitab Akhbar Az-zaman.
 Abu Raihan Al-Biruni dalam bidang matematika, fisika dan juga Astronom
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Khilafah Bani Fatimiyah didirikan di Tunisia pada tahun 909 M oleh Ubaidillah
Al Mahdi yang memiliki mazhab Syi’ah Ismailiyah. Mereka mengaku sebagai
keturunan Nabi melalui Ali dan Fatimah melalui garis Ismail putra Ja’far Al
Shadiq. Dinasti ini muncul di Afrika utara pada akhir abad ke 3 Loyalitas terhadap
Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk
mengembangkan konsep Islamnya, yang pada akhirnya isu tersebut mengarah
kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada Khilafah Abbasiyah yang
terpusat di Baghdad.
2. Pada masa-masa awal, proses pendidikan Islam berlangsung di tempat-tempat
yang merupakan pusat ibadah (masjid). Namun karena banyaknya umat Islam
yang berminat untuk belajar sedangkan kapasitas masjid tidak lagi mencukupi,
juga mengganggu kegiatan orang-orang yang beribadah, institusi pendidikan
mulai mengadakan pembenahan-pembenahan.
3. Pada awalnya al-Azhar bukan sebagai perguruan tinggi, tetapi al-Azhar
merupakan sebuah masjid yang oleh Khalifah Fatimiyah dijadikan sebagai pusat
untuk menyebarkan dakwah mereka.
3. Banyak kemajuan-kemajaun yang terjadi di zaman Dianasti Buwaihi, terutama
ketika kepemimpinan ‘Adud Al Dawlah. Dalam dukungannya terhadap
pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan sastra beliau melakukan
pengembangan antara lain memperindah Baghdad, memperbaiki kanal-kanal yang
udah usang, dan di beberapa kota-kota lain, mendirikan sejumlah masjid, rumah
sakit dan gedung-gedung publik, observatorium terkenal dan lain-lain.
4. Dalam bidang pendidikan banyak bermunculan ilmuwan-ilmuwan di
antaranya: Ibn Sina, Ibn Maskawaih, Al-Farabi, Al-Biruni, Al-Mas`udi, Al-Karaji,
Abdurrahman bin Umar as-Sufi Abul Husayn, Abul Wafa Al-Buzjani, dll.
B. Saran

Saya hanyalah seorang manusia biasa yang tidak perna sirna dari
kekhilafan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Karena dalam
pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka selayaknya saya
mengharapkan kritik ataupun saran yang membangun kepada para pembaca agar
saya bias memeperbaiki dalam pembuatan makalah selanjutnya supaya bias
menjadi lebih baik di mas yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

http://mahasiswaveteran001.blogspot.com/2016/09/makalah-pendidikan-islam-
masa-dinasti.html

http://manorarjunes.blogspot.com/2016/11/makalah-sejarah-pendidikan-pada-
masa.html

http://lindaintang2.blogspot.com/2015/10/pendidikan-islam-pada-masa-
dinasti.html

http://bacabacamakalah.blogspot.com/2014/07/dinasti-buwaihi-dan-peranannya-
dalam.html

Anda mungkin juga menyukai