Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN MASA DINASTI


FATHIMIYAH (296-555H/908-1171M)

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah : Sejarah Pendidikan


Dosen Pengampu : Tuti Nuriyati, S.Pd.I., M.Pd

DISUSUN OLEH :

NADIALIANA
HALIM RUSDAN
UMMU ZULFA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


JURUSAN TARBIYAH DAN KEGURUAN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BENGKALIS
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas kehendak-Nyalah makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Adapun judul makalah ini adalah ”Kemajuan Ilmu Pengetahuan Masa
Dinasti Fathimiyah (296-555H/908-1171M)”. Penulisan makalah ini didasarkan
pada materi-materi yang penulis dapat dari berbagai sumber. Penulisan materi
penulis buat dengan langkah-langkah dan metode yang sistematis sehingga dapat
dengan mudah dipahami.
Dalam penyelesaian makalah, penulis banyak mengalami kesulitan,
terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan. Namun, berkat bimbingan
dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat diselesaikan, walaupun masih
banyak kekurangannya.
Penulis menyadari, sebagai seorang mahasiswa/i yang pengetahuannya
belum seberapa dan masih perlu banyak belajar dalam penulisan makalah, bahwa
makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini dapat
menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.

Bengkalis, 06 Desember 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .........................................................................................i


KATA PENGANTAR .......................................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................1
C. Tujuan Penulisan .........................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................3
A. Sekilas Tentang Dinasti Fathimiyah ............................................3
B. Kondisi Sosial Masa Dinasti Fathimiyah ....................................8
C. Politik Dalam Negeri Dinasti Fathimiyah ...................................8
D. Politik Luar Negeri Dinasti Fathimiyah ......................................10
E. Lembaga-lembaga Pendidikan Dinasti Fathimiyah di Mesir ......11
F. Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Fathimiyah ......................12
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................14
A. Kesimpulan ..................................................................................14
B. Saran ............................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dinasti Fathimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syi’ah dalam sejarah
Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M, sebagai tandingan
bagi penguasa dunia muslim saat itu yang berpusat di Baghdad, yaitu
Dinasti Abbasiyah. Dinasti Fathimiyah didirikan oleh Sa’id bin Husain.
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai
dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini
dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di
Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom).
Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah,
Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat,
muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fathimiyah, Ikhsidiyah,
dan Hamdaniyah.
Dinasti ini mengalami masa kejayaan pada pemerintahan Al-Aziz.
Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Dinasti Fathimiyah, yang
ditandai dengan berdirinya Masjid Al-Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai
pusat pengkajian islam dan ilmu pengetahuan. Dinasti ini berakhir setelah
Al-Adid sebagai Khalifah terakhir, jatuh sakit. Dinasti Fathimiyah
merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki andil
dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sekilas tentang dinasti fathimiyah?
2. Bagaimana kondisi sosial masa dinasti fathimiyah?
3. Bagaimana politik dalam negeri dinasti fathimiyah?
4. Bagaimana politik luar negeri dinasti fathimiyah?
5. Apa saja lembaga-lembaga pendidikan dinasti fathimiyah di Mesir?
6. Apa saja ilmu pengetahuan pada masa dinasti fathimiyah?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui sekilas tentang dinasti fathimiyah.
2. Mengetahui kondisi sosial masa dinasti fathimiyah.
3. Mengetahui politik dalam negeri masa dinasti fathimiyah.
4. Mengetahui politik luar negeri dinasti fathimiyah.
5. Mengetahui lembaga-lembaga pendidikan dinasti fathimiyah di Mesir.
6. Mengetahui ilmu pengetahuan pada masa dinasti fathimiyah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang Dinasti Fathimiyah


Pada tahun 850 Afrika Utara meliputi wilayah Ifriqiyah (Tunisia) dan
sebagian pulau Sisiliah yang merupakan bagian Daulah Abbasiyah masih
dikuasai oleh Bani Aglab. Wilayah disebelah baratnya berkuasa Bani
Rustamiyah di Aljazair dan bani Idris di Maroko dan Spanyol masih berada
dibawah kekuasaan Bani Umayah II. Semua dinasti ini berkuasa sampai
tahun 909. Namun sesudah tahun 909 muncul sebuah dinamika baru,
terbentuknya sebuah Dinasti Fathimiyah di Tunusia (909 M- 1171 M).
Wilayah kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah.
Berdirinya Dinasti Fathimiyah dilatarbelakangi oleh melemahnya
Dinasti Abbassiyah. Ubaidillah Al-Mahdi mendirikan Dinasti Fathimiyah
yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini mengalami puncak
kejayaan pada masa kepemimpinan Al-Aziz. Dinasti Fathimiyah berakhir
setelah Al-Adid, khalifah terakhir Dinasti Fathimiyah, jatuh sakit. Dinasti
ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi
Thalib dan Fathimiyah binti Rasulullah. Menurut mereka, Abdullah Al-
Mahdi sebagai pendiri Dinasti ini merupakan cucu Ismail bin Ja’far Ash-
Shadiq. Sedangkan Ismail merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh.
Setelah Imam Ja’far Ash-Shadiq wafat, Syi’ah terpecah menjadi dua
cabang. Cabang pertama meyakini Musa Al-Khazim sebagai imam ketujuh
pengganti Imam Ja’far, sedang sebuah cabang lainnya mempercayai Ismail
bin Muhammad Al-Maktum sebagai Imam Syi’ah ketujuh. Cabang Syi’ah
kedua ini dinamai Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Ismailiyah tidak menampakkan
gerakannya secara jelas, sehingga muncullah Abdullah bin Maimun yang
membentuk Syi’ah Ismailiyah sebagai sebuah sistem gerakan politik
keagamaan. Secara rahasia ia mengirimkan misionari ke segala penjuru
wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syi’ah Ismailiyah. Kegiatan ini
menjadi latar belakang berdirinya Dinasti Fathimiyah di Afrika dan

3
kemudian berpindah ke Mesir.
Sebelum Abdullah bin Maimun wafat pada tahun 874 M, ia menunjuk
pengikutnya yang paling bersemangat yakni Abdullah Al-Husain sebagai
pemimipin Syi’ah Ismailiyah. Ia menyeberang ke Afrika Utara, dan berkat
propagandanya yang bersemangat ia berhasil menarik simpatisan suku
Barbar, khususnya dari kalangan Khitamah menjadi pengikut setia gerakan
ahli bait ini. Pada saat itu penguasa Afrika Utara, yakni Ibrahim bin
Muhammad, berusaha menekan gerakan Ismailiyah ini, namun usahanya
sia-sia. Ziyadatullah putranya dan pengganti Ibrahim bin Muhammad tidak
berhasil menekan gerakan ini.
Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu
Abdullah Al-Husain menulis surat kepada Imam Ismailiyah, yakni Sa’id bin
Husain As-salamiyah agar segera berangkat ke Afrika Utara untuk
menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi gerakan
Ismailiyah. Setelah berhasil merebut kekuasaan Ziyadatullah, ia
memproklamirkan dirinya sebagai pemimpin tertinggi gerakan Ismailiyah.
Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki menduduki Tunis, pusat
pemerintahan Dinasti Aghlabiyah, pada tahun 909 M, dan sekaligus
mengusir penguasa Aghlabiyah yang terakhir, yakni Ziyadatullah. Sa’id
kemudian memproklamirkan diri sebagai imam dengan gelar “Ubaidullah
Al-Mahdi”. Dengan demikian, terbentuklah pemerintahan Dinasti
Fathimiyah di Afrika Utara dengan Al-Mahdi sebagai khalifah pertamanya.1
Adapun para penguasa Dinasti Fathimiyah secara keseluruhan ada
empat belas, tetapi yang berperan hanya delapan orang khalifah, yaitu:
1. Abu Muhammad Abdullah/ Ubaidullah Al-Mahdi (297-322 H/ 909-
934 H)
Dua tahun semenjak penobatannya, ia menghukum mati pimpinan
propa gandanya yakni Abu abdullah Al-Husein karena terbukti
bersekongkol dengan saudaranya yang bernama Abul Abbas untuk
melancarkan perebutan jabatan khalifah. Pada masa pemerintahannya,

1
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Amzah, Jakarta; 2010, hlm. 254-255.

4
ia berhasil memperluas daerah kekuasaannya dari perbatasan Mesir
sampai propinsi Fez di Maroko, selanjutnya pada tahun 914 M ia
berhasil menduduki Alexandria, Syria, Malta, Sardinia, Cosrisa, pulau
Betrix dan pulau lainnya. Kemudian pada tahun 920 H ia mendirikan
kota baru di pantai Tunisia yang dijadikannya sebagai ibukota
Fathimiyah yang diberi nama al-Mahdi.
2. Abu al-Qasim Muhammad Al-Qa’im ibn Amrullah ibn al-Mahdi
Ubaidullah (322-323 H/ 934-946 M)
Setelah Al-Mahdi meninggal pemerintahan digantikan putra tertuanya
yang bernama Abu al-Qasim dengan gelar al-Qa’im. Ia merupakan
khalifah Fathimiyah pertama yang berhasil menguasai lautan tengah.
Pada masa pemerintahannya mampu menaklukkan Genoa dan wilayah
Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke Mesir tetapi
gagal karena adanya penjegalan oleh Abu Yazid Makad.
3. Abu Tahir Isma’il Al-Manshur Billah (323-341 H/926-962 M)
Al-Manshur merupakan putra Al-Qa’im, ia adalah pemuda yang
sangat lincah. Al-Manshur berhasil menghancurkan Abu Yazid Makad,
meskipun putra Abu Yazid dan sejumlah pengikut setianya senantiasa
menimbulkan keributan, namun seluruh wilayah di Afrika pada masa
ini tunduk kepada ke khalifahan Dinasti Fathimiyah. Al-Manshur
membangun sebuah kota yang sangat mewah di wilayah diperbatasan
Susa’ yang diberi nama kota Al-Manshuriyah.
4. Abu Tamim Ma’add Al-Mu’izz Lidinillah (341-365 H/952-975 M)2
Khalifah ke empat ini diberi gelar Mu’izz Lidinillah. Banyak
keberhasilan yang dicapainya. Pertama kali ia menetapkan untuk
mengadakan peninjauan ke seluruh penjuru wilayah kekuasaannya
untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya ia
menetapkan langkah yang harus ditempuh demi tercapainya keadilan
dan kemakmuran. Ia menghadapi gerakan pemberontakan secara
tuntas, oleh sebab itu dalam tempo singkat masyarakat seluruh negeri

2
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah II, Bulan Bintang, Jakarta; 1977, hlm. 232-237.

5
mengenyam kehidupan yang damai dan makmur. Wilayah yang
berhasil ditaklukkannya meliputi: Maroko, Sycilia dan Mesir dengan
memasuki kota Kairo lama dan berhasil menyingkirkan Dinasti
Ikhsyidiyah. Ia memperluas kekuasaannya sampai Palestina, Suriah
dan mengambil penjagaan atas tempat suci di Hijaz.
5. Abu Manshur Nizar Al-‘Aziz Billah (365-386 H/975-996 M)
Al-Aziz termasuk khalifah yang paling bijaksana dan pemurah.
Kedamaian pada masanya ditandai dengan kesejahterahan warga baik
muslim maupun non muslim. Dalam pemerintahannya, al-‘Aziz
sangat liberal dan memberikan kebebasan agama untuk berkembang
dan terjaganya toleransi beragama. Kemajuan Imperium Fathimiyah
mencapai puncaknya pada masa pemerintahan ini. Luas kekuasaan
Imperium membentang dari wilayah Eufrat sampai Atlantik.
Imperium ini mengungguli kebesaran Abbasiyah di Baghdad yang
sedang dalam kemundurannya dibawah kekuasaan Buwaihiyyah.
Antara khalifah Al-Aziz dan Amin Buwaihiyyah, Aziz Ad-daulat,
menjalin hubungan persahabatan dengan saling mengirim duta
masing-masing. Pada masa ini banyak kemajuan dalam bidang
pembangunan fisik dan seni arsitektur. Banyak bangunan megah yang
didirikan dikota Kairo seperti The Golden Palace, the pear Pavillion
dan masjid Karafa. Ia berhasil menaklukkan Syria dan Mesopotamia.
Ia meninggal pada tahun 996 M dan bersamaan dengan berakhirnya
kejayaan dinasti Fathimiyah.
6. Abu ‘Ali Manshur Al-Hakim ibn Amrillah (386-411 H/996-1021 M)
Dia diangkat pada usia 11 tahun. Kekuasaannya ditandai dengan
berbagai kekejaman; membunuh beberapa wazir, merusak gereja
Kristen termasuk makam suci di Palestina. Peristiwa ini menjadi salah
satu pemicu berkobarnya perang salib. Ia juga memaksa orang Kristen
dan Yahudi untuk memakai jubbah hitam, mengendarai keledai dan
menunjukkan salib bagi orang Kristen, sedangkan orang yahudi
menaiki lembu dengan memakai bel. Kebijakan politik al-Hakim

6
menimbulkan rasa benci kaum dzimmi dan muslim non syi’ah. Pada
masa ini kemunduran dan keruntuhan dinasti Fathimiyah dimulai.
7. Abu al-Hasan Ali-Zhahir (411-428 H/ 1021-1035 M)
Al-Zhahir naik tahta pada usia 16 tahun, sehingga pusat kekuasaan
dipegang oleh bibinya yang bernama Sitt al-Mulk. Sepeninggal
bibinya, Al-Zhahir menjadi raja boneka ditangan menterinya. Pada
masa pemerintahan ini rakyat menderita kekurangan bahan makanan
dan harga barang tidak dapat terjangkau. Kondisi ini disebabkan
terjadinya musibah banjir terus menerus. Peristiwa yang paling
terkenang pada masa ini adalah penyelesaian persengketaan
keagamaan pada tahun 1025 dimana tokoh-tokoh Madzhab Malikiyah
diusir dari mesir meskipun demikian Al-Zhahir cukup toleran kepada
kaum Sunni. Ia bersedia membuat perjanjian dengan Kaisar Romawi
Constantine VIII dengan memberi ijin untuk membangun kembali
gereja Yerussalem yang roboh. Ia berhasil menarik simpatik kembali
kaum dzimmi. Akan tetapi, tak lama kemudian ia jatuh sakit karena
paceklik dan meninggal dunia.
8. Abu Tamim Ma’add Al-Mustanshir (428-487 H/ 1035-1094 M)
Terjadi pemberontakan di Palestina dan beberapa di antaranya
menyatakan bergabung kembali dengan Abbasiyah. Pada masa ini
Mesir dilanda wabah penyakit dan kemarau panjang. Hal ini
menimbulkan kekacauan dan perang saudara. Amir Makkah dan
Madinah melepaskan diri dan Maroko menyatakan diri bebas dari
kekuasaan Fathimiyah begitupun Yaman. Al-Muntashir merupakan
khalifah yang memerintah dalam kurun waktu yang sangat panjang
yakni selama 61 Tahun. Ia meninggal pada tahun 1095 M, Imperium
Fathimiyah dilanda konflik dan permusuhan. Tidak seorangpun
khalifah sesudah Al-Muntanshir mampu mengendalikan kemerosotan
Imperium ini.3

3
Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, Teras, Yogyakarta; 2012, hlm. 172-174.

7
B. Kondisi Sosial Masa Dinasti Fathimiyah
Mayoritas khalifah Fathimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian
kepada urusan agama nonmuslim. Selama masa ini pemeluk kristen Mesir
diperlakukan secara bijaksana, hanya Khalifah Al-Hakim yang bersikap
agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan Armenia ridak
pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintah
muslim. Pada masa Al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan daripada
umat Islam di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di
istana. Demikian pula pada masa Al-Mustansir dan seterusnya, mereka
hidup penuh kedamaian dan kemakmuran. Sebagian besar jabatan keuangan
dipegang oleh orang-orang kopti. Pada khalifah generasi akhir, gereja-gereja
Kristen banyak yang dipugar, pemeluk Kristen pula semakin banyak yang
diangkat sebagai pegawai pemerintah.
Mayoritas khalifah Fathimiyah berpola hidup mewah dan santai. Al-
Mustansir, menurut satu informasi, mendirikan semacam paviliun di
istananya sebagai tempat memuaskan kegemaran berfoya-foya bersama
sejumlah penari rupawan. 4 Nasir Al-Khusraw menulis catatan tentang
kehidupan kota Kairo bahwa ia menyaksikan sebuah khalifah pada sebuah
festival tampak sangat mempesona dengan pakaian kebesarannya. Istana
Khalifah dihuni 30.000 orang, diantara mereka terdapat 12.000 orang
pembantu dan 1.000 orang pengawal berkudadan pengawal jalan kaki. Kota
Kairo dihiasi dengan sejumlah masjid, perguruan, rumah sakit, dan
perkampungan khafilah. Tempat-tempat pemandian umum yang cukup
indah dapat dijumpai diberbagai penjuru kota, baik pemandian khusus untuk
laki-laki maupun untuk perempuan.

C. Politik Dalam Negeri Dinasti Fathimiyah


Pada masa pemerintahan Fathimiyah, kepala Negara dipimpin oleh
seorang imam atau khalifah, para imam bagi fathimiyah memang sesuatu
yang diwajibkan, karena merupakan penerapan kekuasaan yang turun

4
Samsul Munir Amin, Loc.Cit., hlm. 264-265.

8
temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, kemudian
selanjutnya di teruskan oleh para imam. Imamah ini diwariskan dari seorang
bapak kepada anak laki-laki yang paling tua dari keturunan mereka. Dan
menjadi syarat penting yang harus dipenuhi dalam pengangkatan seorang
imam adalah adanya nash atau wasiat khusus dari imam sebelumnya. Baik
wasiat yang di kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau hanya
diketahui oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja
Disamping itu daulat fathimiyah juga membentuk dewan-dewan
dalam pemerintahannya diantaranya, dewan majlis, dewan nazar, dewan
tahkik (sekretaris)dewan barid (pos), dewan tartib (keamanan), dewan
kharraj (pajak) dan lain-lainnya. Selanjutnya dari segi politik juga daulat
fathimiyah membentuk wazir-wazir (wazir tanfiz dan wazir tafwid). Wazir
ini dibentuk masa Aziz billah pada bulan Ramadhan tahun 367H/979 M.
Mentri-mentri Wazir kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu
kelompok Militer dan Sipil. Yang dibidangi oleh kelompok Militer
diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan
semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk
kelompok Sipil diantaranya:
1. Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
2. Ketua dakwah, yang memimpin Darul Hikmah
3. Inspektur pasar, membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan
4. Bendaharawan Negara, yang membidangi Baitul Mal
5. Wakil kepala urusan rumah tangga Khalifah
6. Qori, yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja dibutuhkan
Bentuk pemerintahan pada masa Fathimiyah merupakan bentuk
pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam
pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual.
Pengangkatan dan pemecatan penjabat tinggi berada di bawah kontrol
kekuasaan Khalifah.5

5
Sunanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Prenada Media.

9
D. Politik Luar Negeri Dinasti Fathimiyah
Dinasti Fatimiyah mempunyai kekuasaan yang sangat luas dan terbagi
menjadi dua periode. Yakni periode Afrika Utara (909-974 M) dan periode
Mesir (975-1171 M). Dinasti Fatimiyah berkuasa selama 2 abad yakni di
Afrika Utara selama 65 tahun dan di Mesir selama 196 tahun. Ketika
berkuasa di Afrika Utara Dinasti Fatimiyah membuat gebrakan yang luar
biasa yakni melakukan perluasan wilayah. Agar kekuasaannya semakin luas
khalifah al-Mahdi mengambil kebijakan untuk melakukan perluasan
wilayah dan pembangunan wilayah-wilayah dengan cara menekankan
kinerja politik.
Setelah pendeklarasian Ubaidillah al-Mahdi sebagai Khalifah pertama
Dinasti Fatimiyah, al-Mahdi dapat menguasai Dinasti Rustamiyah dan
menyerang Dinasti Idrisiyah yang pada saat itu sedang menguasai Maroko.
Pada tahun 914 M ia berhasil menguasai Iskandariah, tak berselang lama
pada tahun 916 M giliran Delta yang takluk oleh al-Mahdi. Masih ditahun
yang sama al-Mahdi mengirimkan delegasinya yakni seorang gubernur baru
dari suku Kitamah ke Sisilia untuk menjalin hubungan pertemanan dengan
seorang pemberontak yang bernama Ibn Hafshun di Spanyol. Tidak hanya
ke Spanyol, akan tetapi ke Malta, Sardania, Corsica, Balearic, dan wilayah
lain yang menjadi daerah bekas kekuasaan Dinasti Aghlabiyah.6
Setelah berhasil melakukan ekspansi dan berhasil menaklukan
beberapa daerah, pada tahun 920 M Ubaidillah al-Mahdi mendirikan sebuah
kota di pesisir pantai Tunisia yang diberi nama kota al-Mahdi. Upaya al-
Mahdi dalam melakukan perluasan wilayah tak hanya puas sampai di sini
saja, ia sangat ingin menaklukan Mesir namun upayanya mengalami
kegagalan.7
Ubaidillah al-Mahdi sangat berambisi untuk bisa menaklukan Spanyol
dari kekuasaan Dinasti Umayyah bahkan sampai melakukan ikatan

6
Philip K Hitti. History Of The Arab, Terj.Cecep Lukman Dan Dedi Slamet Riyadi.
(Jakarta : Serambi Ilmu Pustaka. 2008), hlm.789.
7
Abdul Syukur al-Azizi. Sejarah Terlengkap Peradaban Islam. (Depok : PT Huta
Parhapuran 2007), hlm.240.

10
persahabatan dengan pemimpin pemberontak di Spanyol. Namun sayang
usahanya gagal karena ia meninggal dunia pada tahun 934 M. Keinginannya
untuk memperluas daerah kekuasaan dan untuk menyebarkan paham pun
sirna, namun meskipun demikian ia telah membawa Dinasti Fatimiyah
menjadi dinasti yang mulai diperhitungkan dan menjadikan Dinasti
Fatimiyah sebuah dinasti yang mampu menciptakan peradaban Islam.

E. Lembaga-lembaga Pendidikan Dinasti Fathimiyah di Mesir


1. Masjid dan Istana
Pada masa dinasti ini, khalifah selaku pemimpin mengumpulkan para
penulis di istana untuk menyalin buku-buku seperti: Al-Qur’an,
Hadits, Fiqih, sastra hingga ilmu kedokteran. Ia juga memberikan
penghargaan khuss bagi para ilmuwan dan menugaskan mereka
menjadi imam di Masjid Istana. Tinggi perhatian pemerintah terhadap
ilmu pengetahuan, sehingga kebutuhan untuk penylinan naskah
tersebut pun tersedia semisal tinta dan kertas. Selain itu, Masjid juga
menjadi tempat berkumpulan ulama fiqih khususnya ulama yang
menganut mazhab Syi’ah Ismailiyah termasuk juga wajir dan hakim.
Mereka dikumpulkan oleh khalifah untuk membuat buku tentang
mazhab syi’ah ismailiyah yang akan diajarkan kepada masyarakat.8
2. Perpustakaan
Selain Masjid dan Istana, pada masa Dinasti Fathimiyah perpustakaan
juga memiliki peranan sebagai lembaga pengembangan pendidikan
dalam hal penyebaran akidah syi’ah dikalangan masyarakat. Untuk itu,
para khalifah dan wajir memperbanyak pengadaan berbagai buku dan
ilmu pengetahuan sehingga perpustakaan istana menjadi perpustakaan
yang terbesar pada masa itu. Perpustakaan yang terbesar yang dimiliki
Dinasti Fathimiyah dinamakan “Dar’al Ulum” yang masih
memiliki keterkaitannya dengan perpustakaan “Baitul Hikmah”.

8
Suwito, ed., Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008), 124-125.

11
Perpustakaan ini didirikan oleh Khalifah Fathimyah Al-Azis pada
tahun 975-996 M. Konon berisi tidak kurang dari 100.000 volume,
bahkan boleh jadi sebanyak 600.000 jilid buku.9
3. Dar al-‘Ilm
Di dalam perkembangan berikutnya, pemerintahan Dinasti Fathimiyah
tepanya pada bulan Jumadil Akhir sekitar tahun 1005 M., atas dasar
usulan perdana menterinya Ya’kub bin Khilis, Khalifah al-Hakim
mendirikan lembaga pendidikan dengan sebutan Jamiah Ilmiyah
Akademi (lembaga riset) seperti akademi-akademi lain yang ada di
Bagdad maupun belahan dunia lain. Lembaga ini kemudian diberi
nama Dar al Hikmah. Di lembaga inilah berkumpul para ahli fiqih,
astronomi, dokter, dan ahli nahwu dan bahasa untuk mengadakan
penelitian ilmiah. Para cendikawan tersebut, belajar Al-Qur’an,
astronomi, bahasa, leksikografi dan ilmu kedokteran dan lain
sebagainya. Sehingga pada tahun 403 H., Khalifah al-Hakim mulai
mengadakan majelis pertemuan rutin yang dihadiri oleh para ahli
kesehatan, mantik, kedokteran, dan bersama-sama untuk mengkaji
berbagai masalah.10

F. Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Fathimiyah


1. Bahasa dan Sastra
Di antara ulama yang terkenal tentang bahasa dan sastra adalah Abu
Tohir An-Nahwi, abu Ya’qub Yusuf bi Ya’qub, Abu Hasan Ali bin
Ibrahim yang telah mengarang beberapa buku sastra.11
2. Kedokteran
Dinasti Fathimiyah sangat memberikan perhatian yang besar pada
ilmu kedokteran. Dinasti ini menempatkan posisi dokter ditempat
yang tinggi dengan memberikan upah dan kedudukan yang terhormat.
Lazimnya para dokter ini pula menguasai ilmu filsafat serta

9
Suwito, ed., Sejarah Sosial Pendidikan Islam…126.
10
Suwito, ed., Sejarah Sosial Pendidikan Islam….,129-130.
11
Suwito, ed., Sejarah Sosial Pendidikan Islam…., 131-132.

12
bahasa asing khususnya bahasa Yunani. Tokoh kedokteran yang
sangat dikenal pada Dinasti Fathimiyah seperti; abu Abdullah
Muhammad bin Ahmad bin said An-Namimi yang bertempat
tinggal Di Baitul Maqdis. Ia banyak menimba ilmu di negara lain,
sehingga memiliki kemampuan untuk meracik obat sendiri.
3. Syair
Syair termasuk bidang pengetahuan yang cukup berkembang pada
masa Dinasti Fathimiyah. Para penyair melakukan puji-pujian
terhadap khalifah dengan menghina syair-syair ahli Sunnah, dengan
pekerjaanya ini para penyair seperti; Ibnu Hani banyak mendapat
imbalan dari khalifah yang berkuasa pada masa itu. Para penyair
bersama kalifah berusaha untuk menyebarkan doktrin Syi’ah
Ismailiyah melalui pantun dan syair.
4. Filsafat
Filsafat merupakan bidang pengetahuan yang berkembang pada
masa Dinasti Fathimiyah. Tokoh filsafat yang terkenal pada masa
dinasti ini disebut dengan Ikhwan al-Shafa. Tokoh lain, yang juga
berkecimpun dalam bidang filsafat di antaranya Abu Hatim al-Raji,
Abu Hanifah an-Nu’man al-Maghriby, dan Ja’far bin Mansyur al-
Yaman. Para tokoh tersebut, banyak melahirkan pemikiran dalam
bentuk pemikiran filsafat, seperti: Kitab al-Buyu’ dan Kitab Tharah
karya Abu Hanifah an-Nu’man al-Maghriby, atau kitab ta’wil al zakat
dan kitab Al-Jafru al-Aswad karya Ja’far bin Mansyur al-Yaman.12

12
Suwito, ed., Sejarah Sosial Pendidikan Islam…., 133.

13
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Adapun Kesimpulan yang bisa penulis tarik dari teori dan pembahasan
yang dijabarkan di atas, antara lain sebagai berikut ini:
1. Berdirinya Dinasti Fathimiyah dilatarbelakangi oleh melemahnya
Dinasti Abbassiyah. Ubaidillah Al-Mahdi mendirikan Dinasti
Fathimiyah yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini
mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Al-Aziz.
Dinasti Fathimiyah berakhir setelah Al-Adid, khalifah terakhir Dinasti
Fathimiyah, jatuh sakit. Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis
lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fathimiyah binti
Rasulullah. Menurut mereka, Abdullah Al-Mahdi sebagai pendiri
Dinasti ini merupakan cucu Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq. Sedangkan
Ismail merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh.
2. Istana Khalifah dihuni 30.000 orang, diantara mereka terdapat 12.000
orang pembantu dan 1.000 orang pengawal berkudadan pengawal
jalan kaki. Kota Kairo dihiasi dengan sejumlah masjid, perguruan,
rumah sakit, dan perkampungan khafilah. Tempat-tempat pemandian
umum yang cukup indah dapat dijumpai diberbagai penjuru kota, baik
pemandian khusus untuk laki-laki maupun untuk perempuan.
3. Bentuk pemerintahan pada masa Fathimiyah merupakan bentuk
pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir.
Dalam pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal
dan spiritual. Pengangkatan dan pemecatan penjabat tinggi berada di
bawah kontrol kekuasaan Khalifah
4. Dinasti Fatimiyah mempunyai kekuasaan yang sangat luas dan terbagi
menjadi dua periode. Yakni periode Afrika Utara (909-974 M) dan
periode Mesir (975-1171 M). Dinasti Fatimiyah berkuasa selama 2
abad yakni di Afrika Utara selama 65 tahun dan di Mesir selama 196

14
tahun. Ketika berkuasa di Afrika Utara Dinasti Fatimiyah membuat
gebrakan yang luar biasa yakni melakukan perluasan wilayah. Agar
kekuasaannya semakin luas khalifah al-Mahdi mengambil kebijakan
untuk melakukan perluasan wilayah dan pembangunan wilayah-
wilayah dengan cara menekankan kinerja politik.
5. Lembaga-lembaga pendidikan dinasti fathimiyah di Mesir antara lain,
yaitu: masjid dan istana, perpustakaan dan dar al-‘ilm.
6. Ilmu pengetahuan pada masa dinasti fathimiyah adalah bahasa dan
sastra, kedokteran, syair dan filsafat.

B. Saran
Berdasarkan uraian di atas, menyadari bahwa pentingnya kita
mengetahui pemahaman mengenai kemajuan ilmu pengetahuan masa dinasti
fathimiyah (296-555H/908-1171M), penulis menyarankan kepada pembaca
agar memahami teori tersebut sebelum melakukannya ke dalam kehidupan
sehari-hari kita. Penulis juga berharap kritikan dan saran yang bersifat
membangun dari setiap pembaca, sehingga penulis bisa melakukan yang
lebih baik lagi dalam membuat makalah.

15
DAFTAR PUSTAKA

Al-Azizi, Abdul Syukur. 2007. Sejarah Terlengkap Peradaban Islam. Depok: PT


Huta Parhapuran.
Amin, Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Hitti, K. Philip. 2008. History of the Arab. Terjemahan Cecep Lukman dan Dedi
Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka.
Khoiriyah. 2012. Reorientasi Wawasan Sejarah Islam. Yogyakarta: Teras.
Sou’yb, Joesoef. 1977. Sejarah Daulat Abbasiah II. Jakarta: Bulan Bintang.
Sunanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Prenada Media.
Suwito, ed. 2008. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. II. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.

16

Anda mungkin juga menyukai