Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM DI MESIR: ANALISIS KERUNTUHAN


DINASTI FATIMIYYAH DAN BERDIRINYA DINASTI AYYUBIYYAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampu:

Drs. H. M. Hadi Masruri, Lc., M.A

Oleh:

Abidlah Salfada Batoga

NIM: 200101220009

JURUSAN MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul ”Sejarah Peradaban Islam Di Mesir: Dinasti Fathimiyyah,
Ayyubiyyah, dan Mamluk” dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Kami berterima kasih pada Bapak Drs. H. M. Hadi Masruri, Lc., M.A. selaku dosen
mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan dan pengetahuan tentang sejarah peradaban Islam. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan
makalah yang kami buat di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat dengan mudah dipahami bagi pembaca.
Sekiranya makalah ini dapat berguna bagi kami dan juga para pembaca.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.

Malang, 31 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................ i

Daftar Isi .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3

A. Sejarah Keruntuhan Dinasti Fathimiyyah ............................................. 3

B. Peranan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Pendirian Dinasti Ayyubiyyah


…………………………………........................................................... 9

C. Kebijakan Pemerintahan Shalahuddin Yusuf al-Ayyubiyah………….. 14

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 18

A. Kesimpulan ........................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 19


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dinasti Ayyubiyah merupakan dinasti Islam di Mesir yang didirikan
oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1175 M. Nama Ayyubiyah
dinisbatkan kepada Najmuddin Ayyub ayah Shalahuddin al-Ayyubi. Saat
membangun Dinasti Ayyubiyah, Shalahuddin mengandalkan kecintaan
rakyat Mesir yang sebelum kedatangan Shalahuddin rakyat Mesir selalu
mengalami kedzaliman dari penguasa mereka Khalifah Dinasti Fatimiyah.
Shalahuddin menjadi pemimpin di Mesir selama kurang lebih 24 tahun,
yaitu dari tahun 1169 M sampai tahun 1193 M. Ia merupakan pemimpin
yang kuat dan bijaksana.1
Shalahuddin lahir di Tikrit pada 533 H/1138 M, anak seorang dari
suku Kurdi Hadzbani bernama Najmuddin Ayyub, ayahnya merupakan
kepercayaan penguasa Aleppo, Nuruddin Zanki. Ketika masih muda
Shalahuddin sudah menjadi bagian dari tentara Nuruddin Zanki. Ilmu
pedang, strategi perang, dan cara berpolitik dipelajari Shalahuddin dari
ayahnya sejak dia berusia muda. Sebagaimana Shalahuddin dididik oleh
orang tua dan pamannya dengan pendidikan yang terbaik, dan menjadi
penunggang kuda terbaik di usianya yang masih muda. Pada tahun 564
H/1168 M, pasukan Nuruddin Zanki yang dipimpin oleh Asaduddin
Syirkuh5 dibantu oleh Shalahuddin al-Ayyubi berperang melawan pasukan
Salib yang dipimpin oleh raja Almaric.2 Setelah pertempuran berlangsung,
pasukan yang dipimpin oleh Syirkuh berhasil mengalahkan sekaligus
mengusir pasukan Almaric keluar dari Mesir.
Tidak lama setelah itu, pada 564 H/1169 M setelah dua bulan lebih
ketika Khalifah al-Adhid mengangkatnya sebagai wazir di Dinasti

1
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia Cet ke-2 (Jakarta: Djambatan, 2002), 129.
2
Ibid., 129.
1
Fatimiyiah, Asaduddin Syirkuh meninggal, dan posisi Syirkuh sebagai
wazir dari Dinasti Fatimiyah digantikan oleh Shalahuddin yang waktu itu
berumur sekitar 32 tahun. Meskipun Shalahuddin telah diangkat sebagai
wazir dan berhasil menguasai Mesir, namun ia tetap tunduk kepada
Nuruddin Zanki dan mengakui kekhalifahan Fatimiyah. Setelah dinobatkan
sebagai penguasa tunggal di Mesir sepeninggal Khalifah al-Adhid8,
Shalahuddin mulai menghapuskan nama Khalifah Fatimiyah pada khutbah
Jum’at dan mengumandangkan nama khalifah Abbasiyah di Baghdad, yaitu
Khalifah al- Mustadhi.3
Shalahuddin al-Ayyubi pada awal pemerintahannya membuat
gebrakan dengan salah satu kebijakannya yaitu menetapkan madzhab Sunni
sebagai madzhab resmi negara menggantikan madzhab Syi’ah Ismailiyah
yang sebelumnya dianut oleh Dinasti Fatimiyah. Sebagai pemimpin yang
menerapkan kebijakan di bekas kekuasaan aliran Syi’ah Ismailiyah tentunya
tidak semudah membalikkan telapak tangan, banyak penduduk Mesir bekas
Dinasti Fatimiyah yang menganut madzhab Syi’ah Ismailiyah dan loyal
terhadap Dinasti Fatimiyah tidak menyukai kebijakan Shalahuddin tersebut.
Terbukti dengan adanya pemberontakan dari pengikut Fatimiyah yang
berada di Sudan, mereka berkeinginan untuk membunuh Shalahuddin al-
Ayyubi.4
Shalahuddin al-Ayyubi berkeinginan menghapus madzhab Syi’ah
Ismailiyah di Mesir dan menggantinya dengan madzhab Sunni. Keinginan
itu ia wujudkan dengan mendirikan Madrasah yang mengajarkan fiqih
Syafi’i di Mesir, seperti madrasah Nasriyah, Qamhiyah, Suyufiyah, dan
Salahiyah, di Yerussalem dan Damaskus. Keinginan Shalahuddin untuk
meghapuskan Syi’ah Ismailiyah dan menetapkan madzhab Sunni sebagai
madzhab resmi Negara menjadi pemicu konflik utama antara Sunni dan
Syi’ah pada masa itu.5

3
Hamka, Sejarah Umat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 186.
4
Mahmud Syalabi, Shalahuddin Al-Ayyubi Pahlawan Perang Salib (Solo: Pustaka Mantiq), 145.
5
Ibid., 376.
2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah kemunduran Dinasti Fathimiyyah?
2. Apa peranan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Pendirian Dinasti
Ayyubiyyah?
3. Apa saja kebijakan Shalahuddin Yusuf al-Ayyubiyah terkait
pemerintahannya?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah kumnduran Dinasti Fatimiyah.
2. Untuk memahami peranan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Pendirian
Dinasti Ayyubiyyah.
3. Untuk mengetahui kebijakan Shalahuddin Yusuf al-Ayyubiyah terkait
pemerintahannya.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kemunduran Dinasti Fathimiyyah


Kemunduran Dinasti Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah
kekuasaan al- Aziz. Pengganti al-Aziz, Abu Ali Manshur al-Hakim (996-
1021) baru berumur Sebelas tahun ketika naik tahta. Pemerintahannya di
tandai dengan tindakan- tindakan kejam yang menakutkan. Ia membunuh
beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja Kristen,
termasuk di dalamnya kuburan suci umat Kristen (1009). Dia memaksa
umat Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, dan mereka hanya
dibolehkan menunggangi keledai, setiap orang Kristen diharuskan
menunjukkan salib yang dikalungkan di leher ketika mandi, sedangkan
orang Yahudi diharuskan memasang semacam tenggala berlonceng. Al-
Hakim adalah Khalifah ketiga dalam Islam, setelah al-Mutawakil dan Umar
II, yang menetapkan aturan-aturan yang ketat kepada kalangan non Muslim.
Jika tidak, tentu saja kekuasaan Fatimiyah akan sangat nyaman bagi
kalangan Dzimmi. Maklumat untuk menghancurkan kuburan suci
ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdun, dan
tindakan itu merupakan salah satu sebab utama terjadinya Perang Salib.
Akhirnya, khalifah bermata biru ini mengikuti perkembangan ekstern ajaran
Syi’ah Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan tuhan.
Keyakinan itu diterima dan diakui oleh sekte keagamaan terbaru yang
disebut Druziyah. Nama sekte itu diambil dari nama pendakwa mereka yang
pertama, al-Darazi (1019) yang berasal dari Turki. Pada 13 Pebruari 1021,
al- Hakim terbunuh di Mukatam, kemungkinan oleh persekongkolan yang
dipimpin adik perempuannya Sitt al-Muluk yang telah diperlakukan tidak

4
hormat oleh Khalifah.6
Karena al-Hakim masih terlalu muda ketika diangkat menjadi
Khalifah, kekuasaan sesungguhnya berada di tangan wazir, yang kemudian
sering mendapat julukan kebangsawanan “al-Malik”. Anak dan pengganti
al-Hakim, yaitu al-Zhahir (1021-1035) berumur enam belas tahun ketika
naik tahta. Khalifah inilah yang mendapatkan izin dari Konstantian VIII
agar namanya disebutkan di masjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan
sang Kaisar. Ia juga mendapatkan izin untuk memperbaiki masjid di
Konstantinopel sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk
membangun kembali gereja yang di dalamnya terdapat kuburan Suci.
Pengganti al-Zhahir adalah anaknya yang sebelas tahun, Ma‟ad al-
Muntashir (1035- 1094), yang berkuasa selama hampir enam puluh tahun,
sebuah periode kekuasaan terpanjang dalam sejarah Islam. Pada periode
awal kekuasaannya, Ibunya seorang budak dari Sudan yang dibeli dari
seorang Yahudi, menikmati kekuasaan anaknya dengan leluasa. Sejak saat
itu, kekuasaan Dinasti Fatimiyah mulai menyusut sedikit demi sedikit,
bahkan lebih kecil dari Mesir. Pada 1043, kekuasaan Fatimiyah atas wilayah
Suriah, yang memiliki ikatan longgar pada Mesir, mulai terkoyak dengan
cepat.7 Di Palestina sering terjadi pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan
besar yang datang dari Timur, yaitu Bani Saljuq dari Turki, kini
membayang-bayangi wilayah Asia Barat. Pada waktu yang bersamaan,
provinsi-provinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat
kekuasaan, berhasrat untuk memerdekakan diri, atau kembali kepada sekutu
lama mereka, yaitu Dinasti Abbasiyah. Suku Arab yang sering
menyusahkan penguasa, yaitu Banu Hilal dan Banu Sulaim, yaitu berasal
dari kawasan Nejed dan sekarang mendiami dataran tinggi Mesir, pada 1052
memberontak, dan bergerak sendiri ke bagian Barat, kemudian menduduki
Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun. Pada 1071, sebagian Barat

6
Philip K. Hitti, History of The Arab, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), 792.
7
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik; perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Bogor:
Kencana, 2003), 145.
5
wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah setelah Aglabiyah,
dikuasai oleh bangsa Normandia, yang daerah kekuasaannya terus meluas
hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya kawasan semenanjung
Arab yang tetap mengakui kekuasaan Syiah. Disaat itu, hanya ada seberkas
cahaya terang dari kesuksesan sementara yang dicapai di Baghdad oleh
seorang panglima dan penakluk Turki yaitu Al-basasiri (1060). Kota Wasit
dan Bashrah menggikuti Baghdad. Kain surban Khalifah Abbasiyah, yaitu
al-Qa‟im (yang bahkan menyerahkan semua hak ke Khalifahannya kepada
lawannya dari Dinasti Fatimiyah) jubah Nabi, dan sebuah jendela yang
indah dari istananya, dibawa Ke Kairo sebagai hadiah. Surban, jubah dan
dokumen–dokumen penyerahan dikembalikan ke Bahgdad sekitar satu
Abad kemudian oleh Shalah Al-Din, tapi jendela rampasan itu digunakan
disalah satu istana hingga sultan Baybar al- Jasynakir dari Dinasti Mamluk
menggunakannya untuk menghiasi kuburan, tempat Ia di makamkan pada
1309.8
Sejak masa kekuasaaan Ma‟add Al-Muntashir kekacauan terjadi di
mana– mana. Kericuan dan pertikaian terjadi diantara orang–orang Turki,
suku Berber dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh. Kelaparan
yang terjadi selama Tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian Negara.
Ditenggah kerisauannya, pada 1073 Khalifah memangil seorang Armenia
Badr Al-Jamali, seorang bekas budak, dari pasukan kegubernuran Akka, dan
memberinya wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima
tertinggi. Amir al-Juyusyi (komandan pasukan) yang baru ini mengambil
komando dengan segenap kekuatan yang ia punya untuk memadamkan
berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada rezim Fatimiyah.
Tapi keadaan ini tidak berlangsung lama. Usaha Badr maupun anak dan
penerus al-Mustanshir yaitu al-Malik al-Afdhal, yang naik tahta setelah
ayahnya meningal pada 1094, tidak dapat menahan kemunduran dinasti itu.
Tahun–tahun terakhir kekuasaan Fatimiyah ditandai dengan

8
Muhammad Ash-Shayim, Shalahuddin al-Ayyubi: Sang pejuang Islam (Jakarta: Gema Insani
Press, 2003), 30.
6
munculnya perseteruan terus menerus antara para wazir yang didukung oleh
kelompok tentaranya masing–masing. Ketika al-Mustanshir mati, al-Malik
al-Afdhal menempatkan anak Khalifah paling muda sebagai Khalifah
dengan julukan al- Musta‟li dengan harapan bahwa ia akan memerintah di
bawah pengaruhnya. Setelah al-Musta‟li anaknya yang berumur lima tahun,
dinyatakan sebagai Khalifah oleh al-Afdhal, dan memberinya gelar
kehormatan al-Amir (1101–1130). Ketika al- Hafizh (1130-1149)
meninggal, kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan.
Anak dan penggantinya, al-Zhafir (1149-1154) masih sangat muda hingga
kemudian kekuasaannya direbut oleh seorang wazir dari Kurdistan Ibn al-
Sallar, yang menyebut dirinya sebagai al-Malik al-Adil. Catatan-catatan
Usamah, yang menghabiskan waktu antara 1144 dan 1154 di istana
Fatimiyah, menunjukkan bahwa tidak ada istana yang bersih dari tipu daya,
permusuhan dan kecemburuan.
Pembunuhan Ibn al-Sallar (1153) oleh istri cucunya Nashr ibn
Abbas, yang kemudian dihasut oleh khalifah untuk menghabisi nyawa
ayahnya, Ibn Abbas, pengganti Ibn al-Sallar sebagai wazir, juga pembunuh
misterius al-Zhafir sendiri oleh suatu persengkongkolan, menorehkan satu
bagian paling gelap dalam sejarah Mesir. Hari kedua setelah meninggalnya
Khalifah, Abbas mengumumkan anak al- Zhafir yang berusia empat tahun,
yakni al-Fa‟iz, sebagai khalifah (1154-1160). Khalifah kecil ini meninggal
pada usia sebelas tahun, dan digantikan oleh sepupunya, al-Adhid yang
berumur sembilan tahun. Ia menjadi khalifah yang ke empat belas dan yang
terakhir dalam garis Dinasti Fatimiyah yang berkuasa selama lebih dari dua
abad setengah.9
Al-Mu‟tadhid mengirim utusan dari Baghdad dan mengantar surat
kepada Nuruddin. Dalam surat itu ia meminta agar Nuruddin menarik
pasukan tentara Turki dari Mesir. Namun Nuruddin menolak permintaan
khalifah Fatimiyah itu. Ia juga memberitahu Fatimiyah bahwa saat ini Mesir

9
Hitti, History of The Arab, 794.
7
berada dalam kekuasaan kerajaannya.
Dengan penolakannya itu, makin jelas betapa lemahnya
kekhalifahan Fatimiyah. Bahkan, Shalahuddin al-Ayyubi kemudian
mendeklarasikan kemerdekaan Mesir dari Daulah Fatimiyah. Dengan
demikian, khalifah Fatimiyah tidak lagi memiliki kekuasaan atas Mesir. Hal
itu mendorong Shalahuddin al- Ayyubi untuk mendirikan Daulah
Ayyubiyah di Mesir.10
Raja Nuruddin di Syam bersepakat dengan Shalahuddin al-Ayyubi
untuk meruntuhkan kekhalifahan Fatimiyah. Namun, Shalahuddin masih
menunda-nunda rencana itu. Ia khawatir jika tindakannya akan
membangkitkan kemarahan rakyat Mesir terhadapnya.
Penundaannya itu membuat Nuruddin berkali-kali mengirim surat
untuk mengingatkan Shalahuddin. Akhirnya, ia mengirim peringatan tegas
kepada Shalahuddin pada musim panas pada tahun 566 H atau 1171 M,
untuk segera melaksanakan rencana mereka.
Shalahuddin akhirnya segera menjalankan rencana itu. Ia
menghilangkan penyebutan nama al-Adhid dan menggantinya dengan
Khalifah al-Mustadhi’ dari kekhalifahan Abbasiyah. Hal itu ia lakukan saat
ia menyampaikan khotbah Jum‟at. Tiga hari kemudian khalifah al-Adhid
meninggal dunia.
Dengan demikian, punahlah kekhalifahan Fatimiyah yang telah
memerintah negara Islam selama dua abad lamanya. Sebagai gantinya
tampillah kekhalifahan Abbasiyah. Namun, kondisi tersebut belum
membuat Shalahuddin al-Ayyubi tenang. Ia mengambil tindakan untuk
mendirikan Daulah Ayyubiyah.
Tindakannya itu membuat Nuruddin yang berada di Syam marah
besar. Namun Shalahuddin tidak memiliki pilihan lain. Hanya dua pilihan
baginya, yaitu terus menjadi bawahan Nuruddin, yang dapat kapan saja
memindahkan atau memberhentikannya, atau mendeklarasikan daulahnya

10
Moh. Nurhakim, Jatuhnya Sebuah Tamadun: Menyingkap Sejarah Kegemilangan dan
KehancuranImperium Khalifah Islam (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012), 121
8
sendiri. Dari kedua pilihan itu Shalahuddin memilih tindakan yang kedua.11
B. Peranan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Pendirian Dinasti Ayyubiyyah
Di Irak ada sekelompok orang, yaitu suku Kurdi yang beragama
Islam. Mereka memiliki adat dan tradisi tersendiri yang berlaku bagi
mereka. Mereka juga memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Kurdi. Namun
begitu, mereka lebih sering memakai bahasa Arab karena bahasa Arab
adalah bahasa agama dan bahasa al-Qur’an.
Di utara Irak ada sebuah benteng, yaitu benteng Terkrit yang
dipimpin oleh Najmuddin, ayah Shalahuddin al-Ayyubi. Di bawah
kepemimpinan Najmuddin, benteng itu begitu aman. Najmuddin adalah
seorang pemimpin yang mencintai rakyatnya. Mereka merasa bahagia
dengan kondisi seperti itu. Waktu itu terkenal jika rakyat benteng Tekrit
adalah orang-orang yang senang membaca al-Qur’an dan menjalani Sunnah
Rasulullah SAW,. Mereka melakukannya karena meneladani pemimpinnya,
seorang tokoh yang berakhlak mulia yaitu Najmuddin.
Pada tahun 532 H/1137 M lahirlah putra Najmuddin yang diberi
nama Abul Muzhaffar Yusuf bin Najmuddin bin Ayyub bin Syaadi. Ia
kemudian terkenal dengan nama Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi. Anak itu
kemudian besar dan diasuh oleh ayahnya di dalam benteng Tekrit yang
dikelilingi perkebunan, pepohonan, dan pohon kurma. Saat itu Najmuddin
adalah orang yang paling berbahagia dengan kelahiran anaknya.12
Shalahuddin dididik dengan baik dalam keluaraga yang terhormat.
Akibatnya ia dapat menghaffal al-Qur’an pada usianya yang kesepuluh. Ia
rajin hadir di majelis ilmu, Fikih, Hadits, dan tafsir. Karena itulah Ia dicintai
oleh guru-gurunya. Pada dirinya tampak tanda-tanda kecerdasan dan
kejeniusan. Selain itu ayah dan pamannya juga mengajarkannya ilmu
kesatriaan, berenang, bela diri, dan seni perang.
Ketika Imanuddin dapat menguasai kota Ba’labak dengan utuh pada
tahun 543 H/1139 M, ia menyerahkan kota itu kepada Najmuddin.

11
Ash-Shayim, Shalahuddin al-Ayyubi, 33.
12
Ibid., 17.
9
Najmuddin pun diangkat sebagai gubernur kota, sejak itulah Najmuddin dan
keluarganya pindah ke kota Ba’labak. Di sanalah kemuliaan mereka
kembali bersinar. Kehormatan keluarga Najmuddin kembali menyala,
padahal sebelumnya ia merasakan hari-hari yang menyedihkan setelah
diberhentikan dari kepemimpinan Benteng Tekrit.
Shalahuddin hidup di samping ayahnya. Ia belajar seni-seni
memerintah dan akhlak yang mulia. Ayahnya pun merasa bergembira
karena ia melihat Shalahuddin selalu menjadi anak yang lebih unggul
daripada teman-temannya. Di samping itu, pada diri Shalahuddin juga
tampak tanda- tanda kepemimpinan dan jiwa yang besar dan mulia.
Ketika Asadudin Syirkawah bergerak menghadapi pasukan Eropa
yang memerangi negara Islam, ia mengajak keponakannya, Shalahuddin,
untuk turut serta bersamanya dan terjun langsung dalam berbagai
peperangan.
Berbekal pengalaman itu akhirnya Asadudin mulai memberikan
beberapa tugas ketentaraan kepada Shalahuddin. Shalahuddin adalah
seorang yang cakap dan menjadi pemimpin pasukan yang berhasil.
Ketika berita itu sampai kepada ayahnya, Najmuddin, maka ia pun
merasa gembira. Ia menggantungkan harapan-harapan yang besar kepada
anaknya, Shalahuddin. Ia pun selalu berusaha mengajarkan pengalaman-
pengalaman perang dan teknik-teknik kepemimpinan kepadanya.13
Ketika Daulah Fatimiyah runtuh dan khalifah al-Adhid meninggal,
diikuti dengan dinaikkannya kembali khalifah Daulah Abassiyah, maka
Shalahuddin menolak untuk menjadi pemimpin pasukan tentara khalifah
Mustadhi yang berasal dari Daulah Abbasiyah. Karena hal itu, Nuruddin
mengkhatirkan kekuatan Shalahuddin di Mesir. Saat itu Nuruddin sudah
mengetahui kekuatan pasukan Shalahuddin. Hal itu bisa diketahui karena
sebelumnya Shalahuddin adalah pemimpin pasukan tentara khalifah
Fatimiyah di Mesir. Terjadilah perselisihan antara Nuruddin dan

13
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik; perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Bogor:
Kencana, 2003), 149.
10
Shalahuddin. Sebaliknya, Shalahuddin mulai memerintahkan para khatib di
mimbar untuk menyebut namanya setelah nama khalifah Abbasiyah. Saat
itu pula Shalahuddin mulai menyiapkan kekuatan karena takut mendapat
serangan dari Nuruddin yang akan menurunkannya dari kedudukannya
sebagai Sultan Mesir.14
Di sisi lain, Nuruddin juga melakukan hal yang sama. Ia mulai
mengkhawatirkan berkembangnya kekuatan Shalahuddin di Mesir.
Menghadapi keadaan itu, Shalahuddin mengadakan mushawarah yang
dihadiri oleh orangnya, Najmuddin, keponakannya, Taqiyuddin, dan
beberapa pemuda dari keluarga Ayyubiyah. Mereka bermusyawarah
tentang apa yang harus mereka perbuat menghadapi perkembangan saat itu.
Orang tua Shalahuddin, yaitu Syekh Najmuddin, juga pamannya
memberikan saran agar ia bersikap baik dengan Nuruddin dan tidak
membuat perselisihan dengannya. Karena Nuruddin yang telah memberikan
jabatan pemimpin Mesir kepada Shalahuddin. Selain itu juga telah banyak
berjasa kepadanya. Namun, di sisi lain para pemuda berkata bahwa mereka
harus menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan serangan apa pun
yang dilakukan oleh Nuruddin.
Waktu terus berjalan, dan Nuruddin telah meninggal. Dengan
demikian, Shalahuddin tidak lagi merasa khawatir atas ancaman Nuruddin.
Namun begitu, masih ada lawan-lawan bagi Shalahuddin. Mereka adalah
kekuatan jahat dari kalangan pengikut Nuruddin di Syam, juga kelompok
Syi’ah di Mesir yang menuntun dikembalikannya kekhalifahan Fatimiyah,
serta beberapa orang yang sakit hati yang menjalin hubungan dengan
pasukan Salib dan bekerja sama untuk melawan Shalahuddin.15
Setelah itu, mulailah Shalhuddin mengungkapkan sebagai
konspirasi yang di ciptakan oleh para musuhnya. Ia juga memadamkan
revolusi yang terjadi di Aswan serta berusaha mengamankan pemerintahan
dan negaranya di Mesir. Shalahuddin berpendapat bahwa ia harus

14
Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam (Bandung: Mizan, 1993), 86.
15
Hitti, History of The Arab, 834.
11
memerangi semua orang yang berusaha memecah belah negara Islam dan
mereka yang mengadakan kerja sama dengan pasukan Salib. Di samping
itu, ia juga membersihkan Mesir dari sisa-sisa agen Daulah Fatimiyah.
Selanjutnya, ia bergerak bersama pasukannya ke Syam. Ia
memadamkan revolusi di sana dan membentuk pasukan yang besar untuk
menghadapi serangan dari musuh-musuhnya. Dalam setiap gerakannya, ia
dibantu oleh orang tuanya, Najmuddin , dan dua orang saudaranya.
Untuk memperkuat pertahanannya, Shalahuddin mendirikan
benteng yang kuat di Kairo, juga beberapa benteng lainnya di penjuru Mesir.
Benteng- benteng itu berfungsi sebagai perangkat untuk menjaga
pemerintahan selain menjaga pintu-pintu masuk ke mesir, di Iskandariah
dan Dimyath. Hal ini ia lakukan karena khawatir akan mendapatkan
serangan dari pasukan Salib.16
Selanjutnya, Shalahuddin mulai menghadapi ancaman pasukan
Salib. Ia dibantu oleh saudaranya dan pamannya dalam memimpin pasukan
perang. Saat itu, negara-negara barat sudah bersepakat untuk menghadapi
Shalahuddin dan menghancurkan pasukannya yang kuat. Kesepakatan itu
diambil karena mereka takut jika suatu ketika pasukan Shalahuddin akan
mengancam mereka, juga dengan tujuan untuk menghancurkan kekuatan
Islam.
Di sisi lain, negara-negara Eropa khawatir dengan berkembangnya
kekuatan militer Shalahuddin. Mereka takut jika nantinya Shalahuddin akan
dapat mengalahkan mereka. Oleh karena itulah para pemimpin negara-
negara Eropa berkumpul dan membicarakan kemungkinan menyerang
kekuatan Shalahuddin di Mesir. Tujuan meraka adalah untuk
menghancurkan kekuatan Shalahuddin dan mengamankan negara mereka.
Negara-negara Eropa serta Romawi itupun kemudian bersepakat untuk
menyerang Mesir.
Ketika itu negara Fatimiyah dalam keadaan lemah dan tidak

16
Ibid., 836.
12
memiliki kekuasaan lagi. Hal itu memberikan kesempatan kepada
Shalahuddin al- Ayyubi untuk mendirikan negara Ayyubiyah. Tepatnya
diatas puing-puing reruntuhan Dinasti Fatimiyah.
Saat membangun negara Ayyubiyah, Shalahuddin mengandalkan
kecintaan rakyat Mesir yang sebelum kedatangan Shalahuddin selalu
mengalami kedzaliman dari penguasa mereka.
Karenanya Shalahuddin adalah pendiri Dinasti Ayyubiyah. Dia
menghapuskan jejak-jejak terakhir kekuasaan Fatimiyah di Mesir dan
mempromosikan di bekas wilayah kekuasaan Fatimiyah suatu
kebijaksanaan pendidikan dan keagamaan Sunni yang kuat. Kemenagan
Ayyubiyah di bekas wilayah Fatimiyah menyempurnakan arah reaksi Sunni
ortodok yang di bawah Sajuq telah menyebabkan tumbangnya Syi‟isme
politis di bekas wilayah Buwaihiyah. Aspek lain dari kebijaksanaan
Shalahuddin adalah melancarkan jihad terhadap tentara-tentara Salib, suatu
kebijaksanaan membuat antusiasme Islam bersatu dibelakangnya dan
membuat dirinya mampu mempersatukan tentara Turki, Kurdi dan Arab di
jalan yang sama. Dengan kemenangan Hathin pada tahun 583 H/1187 M,
kota Jerussalem sekali lagi menjadi Muslim setelah delapan puluh tahun,
dan orang-orang Frank tersingkirkan, meskipun hanya untuk sementara,
dari hampir semua milik mereka kecuali untuk beberapa kota pantai.
Sebelum ia meninggal pada tahun 589 H/1193 M, Shalahuddin
memberikan berbagai bagian dari kekaisarannya Ayyubiyah, termasuk
kota- kota di Suriah, al-Jazirah, dan Yaman, kepada pelbagai anggota
keluarganya. Sekalipun demikian, rasa solidaritas keluarga dan
pengendalian dari pusat tetap ada di bawah al-Adil dan al-Kamil sampai al-
Kamil meninggal. Di bawah kedua sultan ini, kebijaksanaan aktivis
Shalahuddin memberikan tempat bagi hubungan detente dan damai dengan
orang-orang Frank, khususnya ketika Ayyubiyah utara di Diyarbakr dan al-
Jazirah merasa mendapat tekanan dari Dinasti Saljuq Rum dan Dinasti
Khawarazm Syah. Puncak kebijaksanaan baru ini adalah dikembalikannya
Jerussalem oleh al- Kamil kepada Kaisar Frederick II, dan periode damai
13
membawa keuntungan ekonomi yang besar bagi Mesir dan Suriah, termasuk
hidupnya kembali perdagangan dengan kekuatan-kekuatan Kristen
Mediterrania.
C. Kebijakan Shalahuddin Yusuf al-Ayyubiyah
Salah satu usaha yang paling berharga yang dimiliki oleh
Shalahuddin adalah usahanya dan kemampuannya dalam mempertahankan
negara pada saat-saat genting (meskipun berjalan sangat singkat), yaitu
ketika moral politik sangat tidak baik. Pada saat itu dia dapat menunjukkan
teladan yang baik dalam semua perilakunya. Shalahuddin dapat membuat
“benteng- benteng persatuan” yang tangguh untuk menghadapi serangan
dari berbagai penjuru. Shalahuddin melihat dengan jelas bahwasannya
kelemahan bangunan politik Islam (kelemahan yang memudahkan negara-
negara salib memperluas wilayahnya dan mempertahankan diri) adalah
akibat dari keruntuhan moral politik Islam. Menurutnya, tidak ada satu jalan
pun untuk memperbaikinya kecuali menghidupkan kembali esensi politik
Islam di bawah naungan sebuah Daulah yang bersatu. Bahkan bukan di
bawah kepemimpinannya, tetapi di bawah pengawasan khalifah Bani
Abbasiyah.
Kekuatan politik dan militer tidak akan dapat memecahkan
problematika yang dihadapi oleh dunia Islam. Oleh karena itu, untuk
keberhasilan yang akan dicapai, Shalahuddin menyarankan untuk
mengembalikan kepercayaan politik ke tangan orang yang berhak
menerimanya dengan lapang dada dan jiwa besar. Keinginan Shalahuddin
untuk memperteguh dan memperkuat kesatuan negara Islam tersebut
menimbulkan keraguan sekaligus keheranan di kalangan kawan-kawannya
sendiri.17 Kecakapan dalam mengatur dan memimpin negara sangat
mengagumkan, setelah beratus-ratus tahun, ia berhasil dalam menyatukan
berbagai elemen-elemen umat Islam di bawah bendera jihad, dengan

17
Ahmad Husayn Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah (Bandung: Remaja Rosadakarya, 1995),
189.
14
membuat mereka melupakan permusuhan dan kecemburuan mereka demi
kepentingan Islam.18
Usaha dan perbuatan Shalahuddin dalam memperkuat persatuan
wilayahnya sedikit demi sedikit menemukan hasilnya. Politik yang
dijalankan Shalahuddin dalam memperkuat wilayahnya tersebut adalah
membentuk suatu kerajaan Islam di bawah satu komando. Shalahuddin
meneruskan perjuangan dengan pertempuran-pertempuran yang cukup
sengit. Namun akhirnya dengan kegigihan dia dapat menguasai daerah-
daerah di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Cita-citanya beliau adalah
mempersatukan Islam di bawah satu bendera. Berbagai kemenangan dan
keberhasilan pasukan yang dicapai telah memberikan sinar kecemerlangan
bagi kekuasaan itu. Usaha Shalahuddin dalam mempersatukan wilayah
Islam dia teruskan setelah menaklukkan Bairut, kemudian Eufrat, Mosul
Amid, Syam dan akhirnya kota Aleppo. Kemudian Shalahuddin
menyelesaikan segala urusan di kota tersebut.
Dengan semakin luasnya wilayah kekuasaannya maka semakin
banyaklah tentara baru yang berhasil direkrut oleh Shalahuddin. Tibalah
saatnya untuk melaksanakan segala cita-citanya. Cita-cita untuk
mempersatukan dunia Islam. Sultan Shalahuddin berpendapat bahwa untuk
menaklukan musuh (bangsa Eropa) tidak cukup hanya dengan menjatuhkan
satu kota tertentu, contohnya daerah Kark. Karena daerah Kark ternyata
mempunyai nilai yang strategis dimata Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Daerah ini sangat penting dan bermanfaat sekali bagi kaum muslimin.
Terutama gangguan terhadap orang-orang Islam yang akan menunaikan
Ibadah Haji. Dengan perhitungan seperti itulah dia tidak ingin berbuat
ceroboh dan sembarangan dalam menyatukan wilayah Islam.19 Jika
Shalahuddin dan pasukan-pasukannya mampu memaksa keluar musuh-
musuhnya, maka penting untuk menyatukan kekuatan kekuatan orang Islam
yang sangat besar. Untuk menciptakan satu kesatuan seperti yang dicita-

18
Abul Hasan Ali Nadwi, Islam dan Dunia (Bandung: Angkasa, 1987), 88.
19
Mahmud Syalabi, Shalahuddin Al-Ayyubi Pahlawan Perang Salib (Solo: Pustaka Mantiq), 61-65.
15
citakan umat Islam itu sangat penting sekali melibatkan siapapun untuk
mencoba melakukan satu ekspansi politik. Shalahuddin al-Ayyubi adalah
salah satu pemimpin yang mencoba untuk melakukannya, walaupun harus
membayarnya dengan peperangan terhadap orang-orang yang
menghalanginya. Dengan begitu mereka akan menyadari adanya pendirian
negara yang maju di bawah satu kesatuan dan kekuatan, seperti halnya di
Mesir, Syiria serta di Jazirah Arabiyah.
Keinginan Shalahudin untuk memperoleh dukungan yang lebih luas
dan kerja sama yang baik dalam memerintah serta menjadikan lingkungan
yang Agamis, adalah tema-tema yang menginformasikan persatuan dan
kesatuan di Baghdad dan tempat-tempat lainnya. Cara-cara di mana
idealnya berjihad telah dikembangkan, disebarkan keseluruh masyarakat di
bawah pemerintahan Shalahuddin, Shalahuddin menegaskan bahwa jihad
yang pokok merupakan tugas para pemimpin muslim untuk ikut
berpartisipasi.20 Penyatuan dunia Islam yang berjalan seiring dengan jihad
terus menerus yang dikumandangkan oleh Shalahuddin. Shalahuddin
bukanlah orang lemah yang membicarakan pemecahan tertentu sebagai
ganti jihad. Sebab, melalui peperangan yang menggoncang eksistensi
material, spiritual dan ideologi umat yang tidak mungkin mensukseskan
tujuan yang jauh dari tujuan pertama, sedangkan semua tujuan datang dari
sela-sela tujuan ini, karena masyarakat awam yakin, bahwa hal itu
merupakan proses yang sepele dan menipu, namun Shalahuddin mampu
menyatakan revolusi ekonomi dan kemasyarakatan, dan menarik perhatian
masyarakat untuk melihat hakekat ancaman kaum salib yang harus mereka
hadapi.
Shalahuddin bisa saja membicarakan perjanjian yang panas, dengan
lawan-lawannya, atau membahas penyelesaian damai dan mengalah,
sehingga fase pengukuhannya dalam panggung pemerintah berjalan lancar
dan baru kemudian mengarah kepersatuan dan kesatuan kekuatan Islam.21

20
Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, 87.
21
Abdul Halim Uwais, Analisa Runtuhnya Daulah-daulah Islam (Solo: Pustaka Mantiq, 1982), 198.
16
Musyawarah dan berunding merupakan tradisi dan kebiasaan yang
dilakukan oleh Shalahuddin. Baik dalam menentukan siasat politik atau
menyusun strategi menghadapi sesuatu peperangan atau kekaisaran.
Shalahuddin bukanlah seorang yang suka bertindak semaunya, tidak pernah
beliau memutuskan sesuatu tanpa musyawarah dengan para pembantunya,
padahal sebenarnya beliau dapat saja bahkan memutuskan sesuatu sesuai
keinginan sendiri. Shalahuddin terkenal pula sebagai orang yang cerdik,
selama masa pemerintahannya dia tidak pernah memanfaatkan
kecerdikannya untuk mempermainkan orang lain.22
Salah satu bukti kecerdikannya adalah ia mampu menyatukan
kekuatan muslim di daerah-daerah yang langsung berhadapan dengan
tentara Salib. Dengan keadaan seperti itu Shalahuddin mampu melindungi
putra Nuruddin dari pengaruh para pengasuhnya yang sudah mulai bekerja
sama dengan tentara Salib. Di samping itu daerah kekuasaan Shalahuddin
bukan hanya meliputi Mesir, Hijaz dan Yaman, tetapi telah meliputi daerah
Syiria dan daerah Mesopotamia. Selama 5 atau 6 tahun Shalahuddin hampir
terlihat dalam semua urusan di wilayah Mesopotamia tersebut. Hal itu
diakibatkan karena daerah tersebut mempunyai masalah yang besar dan
sangat sulit sekali untuk diatasi bahkan menjadi ancaman yang akan
melelahkan. Pada beberapa kesempatan Shalahuddin mampu untuk
membuat mereka mau diundang untuk turun tangan dalam permasalahan
wilayah tersebut. Pada saat itu pula Shalahuddin khawatir bahwa wilayah
Aleppo dan Mosul tidak seharusnya disatukan dalam wilayah yang saling
bermusuhan.23

22
Mahmud Syalabi, Shalahuddin Al-Ayyubi Pahlawan Perang Salib (Solo: Pustaka Mantiq), 147.
23
Ensiklopedia Islam di Indonesia (Jakarta: Perguruan Tinggi Agama. 1993), 1025.
17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada periode akhir Dinasti Fathimiyah persaingan memperebutkan
jabatan perdana menteri semakin luas. Syawar, misalnya, menteri
Fathimiyah yang dilengserkan petinggi militer bernama Dhargam pada
tahun 558 H, meminta bantuan Nuruddin Mahmud, penguasa Damaskus
untuk membantunya merebut kembali kekuasaannya dari tangan Dhargam.
Al-Adhid, khalifah Fathimiyah paling akhir meninggal dunia 10 Muharram
567 H/1171 M. Pada saat itulah Dinasti Fathimiyah hancur setelah berkuasa
sekitar 280 tahun lamanya, kemudian Salahuddin memegang kekhalifahan,
maka berakhirlah kekuasaan Syi‘ah Ismailiyah, Dinasti Fathimiyah dari
kawasan Mesir.
Salah satu kebijakan kontroversial Salahuddin adalah dengan
menjadikan madzhab Sunni sebagai madzhab resmi negara menggantikan
madzhab Syi’ah Ismailiyah yang sebelumnya dianut oleh Dinasti Fatimiyah.
Sebagai pemimpin yang menerapkan kebijakan di bekas kekuasaan aliran
Syi’ah Ismailiyah tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan,
banyak penduduk Mesir bekas Dinasti Fatimiyah yang menganut madzhab
Syi’ah Ismailiyah dan loyal terhadap Dinasti Fatimiyah tidak menyukai
kebijakan Shalahuddin tersebut. Terbukti dengan adanya pemberontakan
dari pengikut Fatimiyah yang berada di Sudan, mereka berkeinginan untuk
membunuh Shalahuddin al-Ayyubi.
Shalahuddin al-Ayyubi berkeinginan menghapus madzhab Syi’ah
Ismailiyah di Mesir dan menggantinya dengan madzhab Sunni. Keinginan
itu ia wujudkan dengan mendirikan Madrasah yang mengajarkan fiqih
Syafi’i di Mesir, seperti madrasah Nasriyah, Qamhiyah, Suyufiyah, dan
Salahiyah, di Yerussalem dan Damaskus.

18
Daftar Pustaka

Amin, Ahmad Husayn. 1995. Seratus Tokoh dalam Sejarah. Bandung: Remaja Rosadakarya.
Ash-Shayim, Muhammad. 2003. Shalahuddin al-Ayyubi: Sang pejuang Islam. Jakarta: Gema Insani
Press,
Bosworth. 1993. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan.
Ensiklopedia Islam di Indonesia. 1993. Jakarta: Perguruan Tinggi Agama.
Hamka. 1975. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hitti, Philip K. 2010. History of The Arab, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi . Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
IAIN Syarif Hidayatullah. 2002. Ensiklopedi Islam Indonesia Cet ke-2. Jakarta: Djambatan.
Nadwi, Abul Hasan Ali. 1987. Islam dan Dunia. Bandung: Angkasa.
Nurhakim, Mohammad. 2012. Jatuhnya Sebuah Tamadun: Menyingkap Sejarah Kegemilangan dan
Kehancuran Imperium Khalifah Islam. Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia.
Sunanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik; perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Bogor:
Kencana.
Syalabi, Mahmud. 2009. Shalahuddin Al-Ayyubi Pahlawan Perang Salib. Solo: Pustaka Mantiq
Sunanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik; perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Bogor:
Kencana.
Uwais, Abdul Halim. 1982. Analisa Runtuhnya Daulah-daulah Islam. Solo: Pustaka Mantiq.

19

Anda mungkin juga menyukai