Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

"PERADABAN ISLAM MASA DINASTI-DINASTI KECIL"


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah : Sejarah Peradaban Islam
Dengan Dosen Pengampu : Ibu Sharfina Nur Amalina, M. Pd

OLEH KELOMPOK 6 :
1. Ana Nur Faizah (18130013)
2. Anisa Iftilah Rochmah (18130041)
3. Clarisa Catur Damayanti (18130114)
4. Supiani (18130149)

KELAS P. IPS - D
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang telah memberikan
rahmat dan karunia-nya kepada kita semua sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini.
Sholawat beserta salam selalu tercurahkan kepada nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi
Wasallam beserta keluarganya sahabat-sahabatnya dan kita selaku umatnya hingga akhir zaman.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Hal ini karena
kemampuan dan pengalaman kami yang masih ada dalam keterbatasan, untuk itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan dalam makalah ini
yang akan datang semoga makalah ini bermanfaat sebagai pengetahuan penulis untuk menambah
informasi terutama bagi pembaca dan penulis.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala senantiasa
meridhoi segala usaha kita . Aamiin.

Malang, November 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................2
1.3 Tujuan Makalah.............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................3
2.1 DINASTI FATIMMIYAH............................................................................................3
2.1.1 Sejarah Dinasti Fatimmiyah.......................................................................................5
2.1.2 Kondisi Dinasti Fatimmiyah.......................................................................................9
2.2 DINASTI AYYUBIYAH..............................................................................................10
2.2.1 Sejarah Dinasti Ayubbiyah.........................................................................................10
2.2.2 Kondisi Dinasti Ayubbiyah........................................................................................18
2.3 DINASTI SALJUK.......................................................................................................17
2.3.1 Sejarah Dinasti Saljuk................................................................................................17
2.3.2 Perkembangan Dinasti Saljuk.....................................................................................22
2.4 DINASTI BUWAIHI....................................................................................................23
2 4.1 Sejarah Dinasti Buwaihi.............................................................................................23
2.4.2 Kondisi Dinasti Buwaihi............................................................................................28
BAB III PENUTUP.............................................................................................................29
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................29
3.2 Saran..............................................................................................................................29

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Wilayah kekuasaan Abbbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat
luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Persia, Turki dan
India. Penyebab mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan
atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.
Dalam sejarah peradaban Islam, Bani Abbasiyah merupakan salah satu bukti sejarah
kemajuan peradaban Islam. Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan umat Islam yang
memperoleh masa kejayaan yang gemilang. Pada masa ini banyak kesuksesan yang diperoleh
Bani Abbasiyah, baik itu dibidang ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan.
Hal ini perlu diketahui sebagai acuan semangat bagi generasi ummat Islam bahwa
peradaban umat Islam pernah memperoleh masa keemasan yang melampaui kesuksesan Negara-
negara eropa. Dengan mengetahui bahwa dahulu peradapan umat Islam itu diakui oleh seluruh
dunia, maka akan memotivasi sekaligus menjadi ilmu pengetahuan tentang sejarah peradaban
umat Islam bahkan untuk mengulangi masa keemasan tersebut.
Daerah-daerah kecil dinasti Abbasiyah, banyak yang melepaskan dan memerdekakan diri
dari pemerintahan. Setelah memerdekakan diri dari kekuasaan Abbasiyah, kebanyak dari mereka
membangun dan menjadikan wilayah tersebut menjadi dinasti-dinasti kecil yang berdiri secara
independen dan berusaha untuk meluaskan wilayah kekuasaan dengan menaklukkan daerah-
daerah sekitarnya. Mereka melepaskan diri dengan cara, pertama, seoramg pemimpin lokal suatu
pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, kedua seorang yang ditunjuk oleh
khalifah dan kedudukannya semakin bertambah kuat, diantara dinasti-dinasti kecil tersebut
adalah dinasti Fathimiyah, Ayyubiyah, Saljuk, dan Buwaihi

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah peradaban Islam pada zaman Dinasti Fatimiyyah?
2. Bagaimanakah peradaban Islam pada zaman Dinasti Ayyubiyyah?
3. Bagaimanakah peradaban Islam pada zaman Dinasti Saljuk?
4. Bagaimanakah peradaban Islam pada zaman Dinasti Buwaihi?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui masa peradaban Islam pada zaman Dinasti Fatimiyyah
2. Untuk mengetahui masa peradaban Islam pada zaman Dinasti Ayyubiyyyah
3. Untuk mengetahui masa peradaban Islam pada zaman Dinasti Saljuk
4. Untuk mengetahui masa peradaban Islam pada zaman Dinasti Buwaihi

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dinasti Fatimiyyah
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyyah
Dinasti Fathimiyyah merupakan satu – satunya dinasti islam dengan faham syi’ah dimana
dinasti ini di bentuk memang dari kalangan Syi’ah tepatnya Syi’ah ismailiyyah. Sebelum
membahas secara jauh mengenai dinasti ini, alangkah lebih baiknya untuk mengetahui mengenai
faham syi’ah. Faham syiah muncul berkaitan dengan gejolak politik antara Ali bin Abi Tholib
dan Mu’awiyyah bin Abu Sufyan yang melahirkan dua faham islam yaitu faham Khawarij
(golongan yang keluar atau menolak kepemimpinan Ali bin Abi Tholib) dan faham Syi’ah atau
alawiyah (golongan yang setia dengan kepemimpinan Ali bin Abi Tholib). Faham Syi’ah sendiri
di bagi menjadi beberapa, tetapi sebagai cikal bakal Dinasti Fathimiyah maka akan di bahas 2
saja yaitu faham Syi’ah Imamiyah dan Faham Syiah Ismailiyah. Doktrin ajaran Syi’ah Imamiyah
yaitu dengan percaya terhadap Imam yang berjumlah 12 saja. Sedangkan Syi’ah Ismailiyah
awalnya merupakan bagian dari Syi’ah Imamiyah namun kemudian memisahkan diri sebab
berbeda pandangan mengenai Imam yang ke tujuh, dimana imam yang ketujuh adalah Putra
Ja’far yang bernama Musa al-Kazhim, sedangkan menurut Isma‟iliyah imam yang ketujuh
adalah Putra Ja’far yang bernama Ismail. Sehingga meskipun Ismail sudah meninggal, kaum
Isma‟iliyah tidak mau mengakui penobatan Musa al-Kazhim sebagai imam. Menurut mereka hak
atas Ismail sebagai imam tidak dapat dipindahkan kepada yang lain walaupun sudah meninggal.
Orang – orang Syi’ah yang modeerat merapat pada kubu putra – putra Fathimah dan konsisten
menjalankan As Sunnah secara hati – hati, sedangkan Orang Syi’ah yang ekstrem dan radikal
merapat pada kubu Muhammad bin Al – Hanifiyah bin Ali bin Abi Tholib.
Dinasti Fathimiyyah didirikan di Tunisia pada tahun 909 M oleh Sa’id ibn Husayn.
Kemunculan Sa’id penerus ibn Maymun yang sangat mencengangkan ini merupakan puncak dari
propaganda sekte Ismailiyah yang terampil dan terorganisir dengan baik. Kesuksesan mereka itu
sama dengan kesuksesan gerakan pertama sekte ini, yang pernah berhasil menggoyang
kekhalifahan Umayyah. Keberhasilan gerakan ini tidak bisa dilepaskan dari upaya personal dai
(propagandis) utama sekte ini, yaitu Abu Abdullah al-Husayn al-Syi’i. Ia adalah seorang
penduduk asli Shan’a Yaman, yang menjelang awal abad ke-9 memproklamirkan dirinya sebagai
pelopor Mahdi dan menyebarkan hasutan di tengah suku Barbar di Afrika Utara, khusunya suku

6
Kitamah. Perkenalannya dengan anggota suku ini terjadi pada musim haji di Mekah. Wilayah
Afrika kecil, Tunisi dan Afrika Utara ketika itu beraada di bawah kekuasaan Aglabiyah.
Sukses gemilang yang diraih oleh al-Syi’ih di wilayah asing mendorong Sa’id untuk
meninggalkan markas besar Ismailiyah di Salamiyah, dan pergi sambil menyamar sebagai
pedagang menuju laut Afrika. Ketika ia terlempar ke penjara bawah tanah di Sijilmasah atas
perintah penguasa Dinasti Aglabiyah, Ziyadatullah (903-909), Sa’id ditolong oleh al-Syi’i, yang
kemudian pada 909 menghancurkan Dinasti Aglabiyah yang telah berkuasa selama beberapa
abad, dan mengusir keturunan terakhir Ziyadatullah keluar dari negeri itu. Dinasti Aglabiyah
merupakan kubu terakhir kekuatan Islam-sunni di wilayah Afrika. Sa’id kemudian
memproklamirkan dirinya sebagai penguasa dengan julukan Imam ‘Ubaydullah alMahdi dan
mengklaim sebagai keturunan Fatimah melalui al-Husayn dan Ismail. Dinasti yang didirikannya
ini sering disebut sebagai Dinasti al-Ubaydiyah, khusunya bagi mereka yang tidak
memercayainya sebagai keturunan Fathimah.
Setelah menjadi khalifah Ubaydullah al-Mahdi mengadakan reformasi ke dalam yaitu
mengubah sistem perpajakan dan reformasi ke luar yakni memperkuat angkatan laut untuk
mengembangkan ekspedisi militer. Dari basis mereka di Afrika, mereka segera mengumpulkan
berbagai perlengkapan dan kekayaan untuk memperluas kekuasaannya dan perbatasan Mesir
sampai provinsi Fez di Maroko. Kemudian mereka bergerak ke arah timur dan berhasil
menaklukkan Alexandria, menguasai Syiria, Malta, Sardinia, Cosrica, Pulau Betrix dan pulau
lainnya. Selanjutnya pada tahun 920 M ia mendirikan Kota Baru di Pantai Tunisia yang
kemudian diberi nama al-Mahdiyah.
Nama – nama Khalifah pada masa Dinasti Fathimiyah:
Ubaidilah Al Mahdi (279 H/ 910 M – 322 H/934 M)
Abu Al Qasim Muhammad (322 H/934 M – 334 H/946 M)
Abu Thahir Ismail (334 H/ 946 M – 341 H/954 M)
Abu Tamim Mu’id (341 H/ 953 M – 365 H/975 M)
Abu Mansur Nizar Al Aziz (365 H/975 M – 386 H/ 996 M)
Al Hakim Bi Amrillah (368 H/996 M – 411 H/1021 M)
Abu Al Hasan Ali Az Zhahir (411 H/1021 M – 427 H/1036 M)
Abu Tamim Ma’ad (427 H/ 1036 M – 487 H/ 1094 M)
Abu Ali al-Mansur al-Amir (1101 M/495H – 1130 M/524 H)

7
Abu Al-Maemun Abdul al-Majid al-Hafiz (524-544 M)
Abu Mansur Ismail
Abul Qasim Isa
Abu Muhammad al-Adhib

B. Kondisi Dinasti Fathimiyah


1). Perkembangan Dinasti Fathimiyah
Setiap dinasti islam tentunya memberikan berbagai macam jejak kejayaan begitu juga pada
masa Dinasti Fathimiyah. Banyak pencapaian yang di peroleh pada masa Dinasti Fathimiyah dari
berbagai aspek seperti dalam bidang pemerintahan hingga bidang pendidikan. Masa kejayaan
Dinasti Fathimiyah dimulai sejak kepemimpinan Al – Muiz hingga masa Al – Aziz. Berikut
beberapa kemajuan yang dicapai oleh Dinasti Fathimiyah :
2.). Bidang Politik dan Pemerintahan
Bentuk pemerintahan pada masa Dinasti Fathimiyah di anggap sangat baru dimana
pengangkatan dan pemecatan para menteri berada dalam kekuasaan khalifah. Menteri di bagi
menjadi 2 kelompok yaitu kelompok militer dan kelompok sipil. Adapun menteri kelompok
militer menangani beberapa hal diantaranya:
Urusan tentara perang
Pegawai rumah tangga khalifah
Semua yang berhubungan dengan keamanan
Sedangkan menteri kelompok sipil menengani beberapa hal seperti:
Qodi’ yang berfungsi sebagai haim dan direktur percetakan uang
Ketua dakwah yang memimpin dalam bidang keilmuan
Inspektur pasar berfungsi sebagai badan pengawasan bazar, jalan juga timbangan dan ukuran
Bendaharawan negara yaitu memegang baitul mal
Wakil kepala urusan rumah tangga khalifah
Qori’ yang membacakan Al – qur’an bag khalifah kapan saja di butuhkan
Ketentaraan dibagi menjadi 3 yaitu kelompok pertama terdiri dari pejabat tinggi dan pegawai
khalifah, kedua pegawai biasa termasuk ilmuan dan yang ketiga berbagai resimen yang
bertugas sebagai hafidzah dll.
3). Pemikiran dan Filsafat

8
Dalam menyebarkan faham Syi’ah, Dinasti Fathimiyah banyak menggunakan filsafat
Yunani yang dikembangkan dari pendapat – pendapat Plato, Aristoteles dan ahli filsafat
lainnya. Kelompok ahli filsafat yang terkenal pada masa Dinasti Fathimiyah dalah Ikhwanu
Sofa. Kelompok ini cenderung membela Syi’ah Isma’iliyah dan mengembangkan pemikiran
– pemikiran yang berhubungan dengan ilmu agama, pengembangan syariah dan filsafat
Yunani. Tokoh filsuf yang uncul pada masa Dinasti Fathimiyah diantaranya Abu Hatim Ar –
Rozi, Abu Abdillah An Nasafi, Abu Ya’kub As – Sajazi dan lain sebagainya.
4). Keilmuan dan Kesusastraan
Ilmuan yang terkenal pada masa Dinasti Fathimiyah adalah Ya’kub ibnu Killis. Ia
berhasil membangun akademik keilmuan yang menghabiskan ribuan dinar perbulannya. Pada
masanya, Ibnu Ya’kub berhasil mencetak ilmuan ilmuan ternama lainnya seperti Muhammad
At Tamimi seorang ahli Fisika, muhammad Ibnu Yusuf Al Kindi seorang ahli Sejarah dan Al
Aziz seorang ahli Sastra yang erhasil membangun Masjid Al Azhar yang nantinya berfungsi
sebagai Universitas Al Azhar. Masjid Al Azhar juga melahirkan banyak dai yang nantinya
dikirim ke berbagai pelososk negeri untuk menyebarkan ajaran faham Syi’ah. Kemajuan
keilmuan paling fundamental pada tahun 1005 M yaitu dengan membangun sebuah lembaga
keilmuan yang biasa di sebut dengan Darul Hikam atau Darul Ilmi. Bangunan ini di bangun
khusus untuk menyebarkan doktrin Syi’ah. Kurikulum yang di kembangkan banyak
mengangkat masalah keislaman, astronomi dan kedokteran. Pada masa Al – Muntasir
terdapat sebuah perpustakaan yang didalmnya memuat 200.000 buku dan 240.000
illuminated Al – Qur’an.
5). Ekonomi dan perdagangan
Pada masa Dinasti Fathimiyah, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi yang mengungguli
berbagai daerah di sekitarnya seperti Irak. Hubungan dagang dengan negara non islam dibina
dengan baik termasuk dengan India dan negeri mediterania yang beragama Kristen.
Bukti kemakmuran Dinasti Fathimiyah lainnya yaitu pernah di akan sebuah festival pada
masa pemerintahan Al Mutashir yang ketika itu keluar dengan wajah ceria dan pakaian yang
indah. Istana khalifah yang dihuni 30.000 orang terdiri 12000 pelayan dan pengawal dan
10000 orang pengurus kuda. Masjid – masjid, perguruan tinggi juga rumah sakit dengan
bangunan yang sangat besar menghiasi kota Kairo Baru. Pemandian – pemandian baru
banyak di bangun di sisi kota. Pasar yang besar dengan jumlah 20.000 toko yang didalamnya

9
banyak berbagai produk baik lokal maupun luar negeri. Hal ini menunjukkan sisi
kemakmuran pada masa Dinasti Fathimiyah.
Walaupun Dinasti Fathimiyah bersungguh – sungguh dalam menyebarkan faham Syi’ah
serat men – Syiah kan orang Mesir, tetapi mereka memberikan keluasan atau toleransi
terhadap orang orang yang berfaham Sunni. Hal ini merupakan salah satu kebijakan yang
dilakukan untuk menjaga kemakmuran dan kesejahteraan.
6). Kemunduran Dinasti Fathimiyah
Kemunduran Dinasti Fathimiyah dimulai sejak berahirnya masa Khalifah Al Aziz. Keruntuhan
Dinasti ini diawali dengan adanya kebijakan untuk mengimpor tentara – tentara dari Turki dan
Negro seperti yang dilakukan oleh Dinasti Abbasiyah. Perselisihan dan ketidakpatuhan para
tentara juga serangan dari suku Barbar menjadi salah satu penyebab utamanya.
Khalifah al-Azis meninggal pada tahun 386 H/ 996 M, lalu digantikan oleh putranya Abu
Ali Manshur al-Hakim yang baru berusia 11 tahun. Masa pemerintahan Al – Hakim sangat
kejam ia tak segan membunuh para wazirnya, menghancurkan tempat ibadah orang Kristen atau
Gereja termasuk kuburan suci umat Kristen. Tidak hanya itu, Al – Hakim juga memaksa umat
Kristen dan Yahudi unuk menggunakan jubah hitam dan menaiki keleda serta mengenakan salib
bagi orang kristen juga menaiki lembu serta menggunakan bel bagi orang yahudi. Maklumat
untuk mengahncurkan kuburan Suci Umat Kristen di tanda tangani oleh sekretarisnya Ibnu Adun
yang beragama Kristen, ini adalah awal dari sebab terjadinya perang Salib.
Kesalahan paling fatal yang dilakukan oleh Al – Hakim ialah dengan menyebut dirinya
sebagai reinkarnasi Tuhan, yang kemudian diterima dengan baik oleh sekte Syiah baru yang
bernama Druz sesuai dengan nama pemimpinnya al-Daradzi yang berasal dari Turki. Pada tahun
1021 M, al-Hakim dibunuh di Muqattam oleh suatu konspirasi yang dipimpin oleh saudaranya
sendiri yang bernama Sita al-Muluk. Selanjutnya pemerintahan dilanjutkan oleh Abu Al Hasan
Ali Az Zhahir naik tahta menggantikan ayahnya ketika berumur 16 tahun. Karean cukup pawai
dalam memimpin ia mampu menarik kembali simpati para kaum Dzimmi. Namun masa
kepemimpinannya tidak berlangsung lama sebab Abu Al Hasan meninggal dikarenakan paceklik
yang terjadi pada masa itu. Kepemimpinan selanjutnya di gantikan oleh Al Mustanshir. Pada
masa ini kekhalifahan fathimiyah mulai goyah sebab Mesir di landa musim paceklik dimana
banyak tersebar wabah penyakit, kemarau panjang juga sungai Nil mengering. Di waktu yang

10
bersamaan serangan dari Palestina yang memberontak akan kepemimpinan Dinasti Fathimiyah
juga kekuasaan Saljuk yang mulai meluaskan Ekspedisinya.
Setelah Al – Musthasir meninggal kepemimpinan di gantikan oleh Al- Musta’li dimana
pada masa pemerintahannya Tentara Salib mulai bergerak menuju pantai negeri Syam dan
menguasai Antokia sampai Bait al-Maqdish. Setelah al-Musta’li wafat, ia digantikan oleh
anaknya Abu Ali al-Mansur al-Amir yang masih berusia lima. Kemudian al- Amir dibunuh oleh
kelompok Batinia. Al-Amir digantikan oleh Abu Al-Maemun Abdul al-Majid al-Hafiz. Al-Hafiz
meninggal dunia dan digantikan oleh Abu Mansur Ismail, yang merupakan anaknya. Pada waktu
itu Abu Mansur Ismail berusia tujuh belas tahun dengan gelar az-Zhafir. Ia seorang pemuda yang
tampan dan lebih senang memikirkan para gadis dan nyanyian daripada urusan militer dan
politik. Pada tahun 1054 M, az-Zhafir dibunuh oleh anaknya Abbas, kemudian digantikan oleh
anak laki-lakinya yang masih bayi bernama Abul Qasim Isa yang bergelar al-Faiz. Al-Faiz
meninggal dunia sebelum dewasa dan digantikan oleh sepupunya yang berusia sembilan tahun
yang bernama Abu Muhammad al-Adhib. Belum lagi al-Adhid memantapkan dirinya ke tahta
kerajaan, Raja Yerusalem menyerbu Mesir sampai ke pintu gerbang Kairo. Perebutan kekuasaan
terus terjadi sampai munculnya Salah al-Din yang menggantikan pamannya sebagai wazir. Salah
al-Din adalah orang yang sangat ramah sehingga dengan cepat mendapatkan simpati rakyat dan
bahkan mengalahkan pengaruh khalifah.
Al-Adhid adalah khalifah Fatimiyah yang paling akhir meninggal dunia pada 10 Muharram
576 H/1171 M. Pada saat itulah Dinasti Fatimiyah hancur setelah berkuasa sekitar dua setengah
abad (909H/1171 M).
Dari pembahasan keruntuhan Daulah Bani Fathimiyah di atas dapat disimpulkan
beberapa hal penyebab runtuhnya kekuasaan Dinasti Fathimiyah, diantaranya:
Pemerintahan Al Hakim yang begitu kejam merupakan awal keruntuhan Dinasti Fathimiyah
dimana Al Hakim tak segan untuk membunuh para wazirnya, merobohkan tempat ibadah kaum
Kristen juga menghancurkan kuburan – kuburan Suci umat Kristen tentunya hal ini berbanding
terbalik dengan masa pemerintahan Al Aziz dimana ia sangat toleransi terhadap perbedaan.
Konflik internal yang cukup dahsyat dan berkepanjangan. Konflik ini terjadi diantaranya
karena Khalifah yang di angkat masih dalam usia belia seperti Al-Hakim naik tahta pada usia 11
tahun, al-Zhahir berusia 16 tahun, Al-Mustansir naik tahta usia 11 tahun, Al-Amir usia 5 tahun,

11
Al-Faiz usia 4 tahun, dan Al-Adid usia 9 tahun. Akhirnya yang menjalankan pemerintahan para
wazir dan ini mejadi ajang perebutan poolitik.
Keberadaan 3 bangsa besar yang sama – sama berpengaruh dan menjadi pendukung
Dinasti Fathimiyah. Ketiga bangsa itu adalah bangsa Arab, bangsa Barbar dari Afrika Utara dan
Bangsa Turki. Ketika Khalifah pada masa Dinasti Fathimiyah kuat maaka ketiga bangsa tersebut
akan di belakangnya dan mendukung, sebaliknya ketika pengaruh khalifah pada masa Dinasti
Fathimiyah lemah maka mereka akan mencari cara untuk merebut simpatik masyarakat.
Faktor eksternal yaitu serangan dari berbagai kalangan yang menguasai beberapa wilayah
Dinasti Fathimiyah seperti Bani Saljuk, Bangsa Normandia, Bani Seulaem dari Najed dan masih
banyak lagi.
2.2. Dinasti Ayyubiyah
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Ayyubiyah
Setelah hampir 40 tahun kaum Salib menduduki Baitul Maqdis, Shalahuddin Al Ayyubi
baru lahir ke dunia dengan nama lengkapnya adalah al - Maliki al- Nashir al- Sultan Shalahuddin
Yusuf. 1Ia berasal dari suku Kurdi Hadzbani, Ia adalah putra Najmuddin Ayyub dan keponakan
Asaduddin Syirkuh. Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Syirkuh hijrah dari kampung halamannya
didekat danau Tikrit, Irak. Pada saat itu ayah dan pamannya mengabdi kepada Imanuddin Zenki,
seorang gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika Imanuddin berhasil merebut wilayah
Balbek, Libanon pada tahun 1131 M, Najmuddin Ayyub diangkat menjadi gubernur Balbek dan
menjadi abdi raja Syiria, yakni Nuruddin Mahmud. 2 Selama di Balbek inilah Shalahuddin
menekuni teknik dan strategi perang serta politik. Selanjutnya dia mempelajari teologi Sunni
selama sepuluh tahun di Damaskus dalam lingkungan istana Nuruddin.
Tahun 1154 M, panglima Asaduddin Syirkuh memimpin tentaranya merebut dan menguasai
Damaskus. Shalahuddin yang ketika itu baru berusia 16 tahun turut serta sebagai pejuang.
Shalahuddin muncul sebagai prajurit biasa di Mesir pada tahun 1164 M pada waktu usia
27 tahun. Pada waktu itu raja Nuruddin Zenki mengutus tentara yang terdiri dari suku Kurdi dan
Turkuman di bawah pimpinan Syirkuh yang dibantu oleh staf komandonya yang salah satunya
adalah Shalahuddin. Nuruddin bertekad untuk menyerang dan menundukkan Daulat Fatimiyah di

1
Philip K Hitti, History of the Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin, dan Dedi Slamet Riyadi, Sejatah Arab
(Jakarta : PT Serambi Ilmh Semsta, 2010), h. 824.
2
Jamil, Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, terj. Tim Penerjemah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) h. 301

12
Mesir yang diperintah oleh Aliran Syiah Ismailiyah yang semakin lemah. Usahanya berhasil.
Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah dipaksa oleh Asaduddin Syirkuh untuk
menandatangani perjanjian. Akan tetapi, Wazir besar Shawar merasa cemburu melihat Syirkuh
semakin populer di kalangan istana dan rakyat.
Secara diam-diam dia pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari pasukan Salib
untuk menghalau Syirkuh daripada berkuasa di Mesir.Maka terjadilah pertempuran antara
pasukan Asaduddin dengan King Almeric yang berakhir dengan kekalahan Asaduddin. Setelah
menerima syarat-syarat damai dari kaum Salib, panglima Asaduddin dan Shalahuddin dibiarkan
pulang ke Damaskus.Kerjasama Wazir besar Shawar dengan orang kafir itu telah menimbulkan
kemarahan Amir Nuruddin Zenki dan para pemimpin Islam lainnya termasuk Baghdad. Lalu
dipersiapkannya tentara yang besar yang tetap dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin
al-Ayyubi untuk menghukum pengkhianat Shawar. King Almeric segera menyiapkan
pasukannya untuk melindungi Wazir Shawar setelah mendengar kemarahan pasukan Islam.
Akan tetapi Panglima Syirkuh kali ini bertindak lebih baik dan berhasil membinasakan pasukan
King Almeric dan menghalaunya dari bumi Mesir dengan baik sekali. Almeric akhirnya menarik
mundur pasukannya ke Palestina, sementara Syirkuh memasuki kota Kairo dengan kemenangan.3
Khalifah al-Adid melantik panglima Asaduddin Syirkuh menjadi Wazir Besar
menggantikan Shawar. Wazir Baru itu segera melakukan perbaikan dan pembersihan pada setiap
institusi kerajaan secara berjenjang. Sementara anak saudaranya, panglima Shalahuddin al-
Ayyubi diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota sepanjang
sungai Nil hingga Assuan di sebelah Utara dan bandar-bandar lain termasuk bandar perdagangan
Iskandariyah. Pada tahun 1161 M, Syirkuh diangkat sebagai Wazir oleh Dinasti Fatimiyah. Tiga
bulan kemudian Syirkuh meninggal dan digantikan oleh keponakannya yakni Shalahuddin al-
Ayyubi.4 Pada tanggal 10 Muharram 561 H/1111 M, Khalifah terakhir Dinasti Fatimiyah yakni
al-Adid wafat. Pasca wafatnya al-Adid, Mesir mengalami krisis di segala bidang. Kekacauan
yang melanda Dinasti Fatimiyah dan keadaan politik yang tidak menentu telah menghancurkan
ekonomi rakyat di satu pihak, tetapi di lain pihak mereka masih dibebani pajak yang tinggi.

3
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam (Yogyakarta: Kota
Kembang,1988), h. 280
4
Philip K. Hitti,History of the Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin, dan Dedi Slamet Riyadi, Sejatah Arab
(Jakarta : PT Serambi Ilmh Semsta, 2010), h. 46

13
Dalam keadaan yang demikianlah tentara salib dan Yerussalem mengancam kota Kairo
pada tahun 1161 M. 5Akhirnya orang-orang Nasrani memproklamirkan perang Salib melawan
Islam, yang mana Mesir adalah salah satu Negara Islam yang diintai oleh Tentara
Salib.Shalahuddin al-Ayyubi seorang panglima tentara Islam tidak menghendaki Mesir jatuh ke
tangan tentara Salib, maka dengan sigapnya Shalahuddin mengadakan serangan ke Mesir untuk
segera mengambil alih Mesir dari kekuasaan Fatimiyah yang jelas tidak akan mampu
mempertahankan diri dari serangan Tentara Salib. Menyadari kelemahannya, Dinasti Fatimiyah
tidak banyak memberikan perlawanan, mereka lebih rela kekuasaannya diserahkan kepada
Shalahuddin daripada diperbudak oleh tentara Salib yang kafir, maka sejak saat itu berakhirlah
kekuasaan Dinasti Fatimiyah di Mesir, berpindah tangan ke Shalahuddin al-Ayyubi.
Nuruddin berkeinginan agar nama kekhalifahan Abassiyah menggantikan kekhalifahan
Fatimiyah. Maka dia mengutus Shalahuddin untuk mengumumkannya ketika khutbah jum’at.
Shalahuddin mengadakan musyawarah bersama tokoh-tokoh lain, akhirnya semua setuju atas
penggantian khalifah Fatimiyah. Pada tahun 1111 M, Shalahuddin menghapuskan Kekhalifahan
Fatimiyah.Bertepatan dengan wafatnya Nuruddin pada tahun 1114 M, Shalahuddin menyatakan
kemerdekaannya di Mesir. Dia menghapuskan jejak-jejak terakhir kekuasaan Fatimiyah di Mesir
dan mempromosikan suatu kebijaksanaan pendidikan dan keagamaan Sunni yang
kuat6menggantikan faham Syiah. Di saat itu juga, Shalahuddin al-Ayyubi mendirikan kerajaan
Dinasti Ayyubiyah sebagai pengganti dari Dinasti Fatimiyah.
Shalahuddin melebarkan sayap kekuasaannya ke Suriah dan utara Mesopotamia. Satu
persatu wilayah penting berhasil dikuasinya: Damaskus (pada tahun 1114 M), Aleppo atau Halb
(1131 M) dan Mosul (1116 M). Shalahuddin al- Ayyubi diakui sebagai khalifah Mesir oleh al-
Mustadhi, Dinasti Bani Abbas pada tahun 1115 M. Untuk mengantisipasi pemberontakan dari
pengikut Fatimiyah dan serangan dari Tentara Salib, Shalahuddin membangun benteng di bukit
Mukattam,sebagai pusat pemerintahan dan Militer untuk mengamankan kota-kota di Mesir
seperti Fushthath dan Kairo. 7
B. Kondisi Dinasti Ayyubiyah

5
Saleh Patuhena, Susmihara, dan Rahmat, Sejarah Islam Klasik (Makassar: Alauddin Press,2009), hal. 133
6
C. E Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan,1993), h. 86
7
Ibid

14
1. Sistem Pemerintahan
Pada tingkat ketika sebuah dinasti mampu memperkuat dirinya, maka ia akan mencoba
menunjuk gubernur dari kalangan keluarga penguasa, dengan berbagai tingkat kesuksesan, sifat
daerah pedesaan dan tradisi keluarga penguasa kemungkinan menjadi kendala yang mempersulit.
Di Suriah, Dinasti Ayyubiyah memerintah sebuah imperium yang luas dari daerah-daerah subur
yang dipisahkan oleh gunung dan gurun, serta mewarisi sebuah tradisi yang di dalamnya otoritas
dimiliki oleh sebuah keluarga, bukan oleh salah satu dari anggota keluarga itu. Karenanya alih-
alih sebagai sebuah negara terpusat, Dinasti Ayyubiyah lebih merupakan sebuah kelompok
kerajaan semi-otonom di bawah kekuasaan anggota keluarga yang berbeda-beda.8
2. Sistem Peralihan (pemilihan)Pemerintahan
Kemunculan Dinasti Ayyubiyah mempunyai pengaruh besar dalam reformasi sistem
administrasi pemerintahan. Hal ini berbeda dengan model administrasi pemerintahan Fatimiyah.
Dinasti Ayyubiyah ketika mewarisi pemerintahan Fatimiyah, telah mengambil langkah berbeda
dengannya. Pada sejumlah tata tertib kerajaan dan mengubah rambu-rambunya. Kedatangan
orang-orang Ayyubiyah dari dunia Islam Timur membawa spirit baru di bidang administrasi
pemerintahan yang sumber utamanya adalah aturan Dinasti Seljuk, Zanki dan Abbasiyah.
Beragam sisi perubahan yang mereka masukkan ke dalam bidang administrasi pemerintahan,
dimana yang paling menonjol di antaranya adalah lahirnya posisi jabatan baru, seperti wakil
kesultanan. Jabatan ini dibutuhkan karena situasi dan kondisi yang mendesak, misalnya saat
sultan keluar meninggalkan negeri untuk menjalani perang salib, saat itu dia membutuhkan dua
orang yang bisa mewakili Sultan di tengah-tengah ketidak- beradaannya.9
3. Situasi Politik
Keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi dalam perang Salib, membuat para tentara
mengakuinya sebagai pengganti dari pamannya, Syirkuh yang telah meninggal setelah
menguasai Mesir tahun 565 H/6661 M. Ia tetap mempertahankan lembaga–lembaga ilmiah yang
didirikan oleh Dinasti Fatimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi‟ah menjadi
Sunni. Penaklukan atas Mesir oleh Shalahuddin pada tahun 565 H/6656 M, membuka jalan
politik bagi pembentukan madzhab-madzhab hukum Sunni di Mesir. Madzhab Syafi‟i tetap

8
Ali Muhammad al-Shalabi, Shalahuddin al-Ayyubi : Pahlawan Islam Pembela Baitul Maqdis (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2013), h. 411.
9
Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim (Bandung:PT Mizan Pustaka, 2004) h. 213.

15
bertahan di bawah pemerintahan Fatimiyah, sebaliknya Shalahuddin memberlakukan madzhab-
madzhab Hanafi. Keberhasilannya di Mesir tersebut mendorongnya untuk menjadi penguasa
otonom di Mesir. Sebelumnya, Shalahuddin masih menghormati simbol-simbol Syi‟ah pada
pemerintahan al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Namun, setelah
al-Adil meninggal (565 H/6656 M), Shalahuddin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah
Abbasiyah (al-Mustadhi) di Baghdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah
di Kairo.10
Jatuhnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah, secara otomatis terhentilah fungsi madrasah
sebagai penyebaran faham Syi’ah. Salah satu penyebaran faham Syi‟ah pada saat itu adalah
melalui jalur pendidikan. Kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah yang menganut faham
Sunni. Belajar dari Politik Dinasti Fatimiyah yang memasukkan faham politik syi‟ah ke lembaga
pendidikan, Shalahuddin mengubah masjid al-Azhar menjadi madrasah agama yang
mengajarkan mazhab Sunni. Shalahuddin juga mendirikan sekolah-sekolah dan zawiyah-
zawiyah dan memberikan perhatian kepada mazhab Sunni. Selain itu, banyak pihak swasta yang
mendirikan madrasah-madrasah dengan maksud untuk menanamkan ide-idenya dalam rangka
mencari keridhaan Allah SWT, Serta menyebarkan faham keagamaan yang dianutnya, yang
tidak dapat disalurkan lewat masjid karena berorientasi pada kepentingan pemerintah atau
politik, yang semakin hari semakin bertambah banyak madrasah yang didirikan pada masa
pemerintahan Dinasti Ayyubiyah.
4.. Situasi Ekonomi
Pada masa pemerintahan Shalahuddin, Dinasti Ayyubiyah menikmati kelapangan
ekonomi dan kehidupan sejahtera, karena waktu itu pintu-pintu pemasukan banyak dan sumber-
sumber ekonomi beragam. Sumber-sumber tesebut antara lain sebagai berikut:
a. Menguasai seluruh simpanan kekayaan yang pernah dimiliki keluarga Dinasti Fatimiyah
setelah Mesir berada di bawah kekuasaannya.
b. Sumber Income dari Jizyah yang diberlakukan kepada golongan non Muslim.
c. Sumber income dari fidyah (tebusan) yang ditarik dari para tawanan.
d. Sumber-sumber yang berasal dari harta ghanimah (rampasan) yang dihasilkan melalui
peperangan.

10 I
AIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam (Universitas Michigan: Djambatan, 6111), h.931.

16
e. Sumber-sumber pemasukan dari kharaj (pajak) yang diambil dari para tuan tanah di daerah-
daerah yang berhasil ditaklukkan secara damai.
Shalahuddin bukanlah termasuk di antara para sultan yang sering membelanjakan harta benda
diluar peruntukannya atau menempatkannya pada bukan tempatnya. Akan tetapi dia
membelanjakannya di jalan Allah, mendirikan benteng-benteng, membangun pertahanan dan
merenovasi berbagai bangunan, serta membagun setiap proyek yang dapat mendatangkan
keuntungan bagi negara.11
5. Situasi Peradaban Islam
Setelah Dinasti Fatimiyah runtuh (565 H/6656 M), Shalahuddin al-Ayyubi segera
menghapuskan dinasti tersebut dan secara jelas dia menyatakan dirinya sebagai penguasa baru
atas Mesir, dengan nama Dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini lebih berorientasi ke Baghdad, yang
Sunni. Sebelum Shalahuddin al-Ayyubi memerintah di Mesir sebenarnya perkembangan agama
Islam sudah berkembang dengan baik. Terlebih lagi setelah adanya Universitas al-Azhar yang di
jadikan sebagai pusat pengajian sehingga memperlihatkan dinamika pemikiran–pemikiran dalam
masalah agama Islam.
Selama masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah di Mesir (6656-6151 M), perkembangan
aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak
bisa lepas dari kontrol penguasa yang beraliran Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa
berikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan ajaran Sunni.
Para penguasa Dinasti Ayyubiyah yang Sunni masih tetap menaruh hormat setia kepada
pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad. Oleh karena itu, di bawah payung khalifah
Abbasiyah mereka berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijaksanaan untuk kembali kepada
ajaran Sunni.12
Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi tidak hanya dikenal sebagai seorang panglima perang yang
gagah berani dan ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, dia adalah seorang yang sangat
memperhatikan kemajuan pendidikan. Salah satu karya monumental yang disumbangkannya
selama beliau menjabat sebagai sultan adalah bangunan sebuah benteng pertahanan yang diberi

11
Ali Muhammad al-Shalabi, Shalahuddin al-Ayyubi : Pahlawan Islam Pembela Baitul Maqdis (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2013), h. 411., h. 413-414
12
Athirah Safra,“Sejarah Dinasti al-Ayyubiyah,” http://asafra.blog spot.com /1199119/sejarah-dinasti-al-
ayyubiyah.html (6 September 1192).

17
nama Qal‟atul Jabal yang dibangun di Kairo pada tahun 6693 M. Shalahuddin al-Ayyubi selalu
mengambil pelajaran dari peperangan-peperangan yang ia alami saat melawan pasukan Salib.
Selain itu Shalahuddin juga merupakan salah seorang Sultan dari Dinasti Ayyubiyah yang
memiliki kemampuan memimpin. Hal ini diketahui dari cara Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi
dalam mengangkat para pembantunya (Wazir) yang terdiri dari orang-orang cerdas dan terdidik.
Mereka antara lain seperti al-Qadhi al- Fadhil dan al-Imad al-Asfahani.15 Sementara itu
sekretaris pribadinya bernama Bahruddin bin Syadad, yang kemudian dikenal sebagai penulis
Biografinya.
Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi tidak membuat suatu kekuasaan yang terpusat di Mesir.
Beliau justru membagi wilayah kekuasaannya kepada saudara-saudara dan keturunannya. Hal ini
mengakibatkan munculnya beberapa cabang Dinasti Ayyubiyah berikut ini:
a. Kesultanan Ayyubiyah di Mesir
b. Kesultanan Ayyubiyah di Damaskus
c. Keamiran Ayyubiyah di Aleppo
d. Kesultanan Ayyubiyah di Hamah
e. Kesultanan Ayyubiyah di Homs
f. Kesultanan Ayyubiyah di Mayyafaiqin
g. Kesultanan Ayyubiyah di Sinjar
h. Kesultanan Ayyubiyah di Hisn Kayfa
i. Kesultanan Ayyubiyah di Yaman
Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi dianggap sebagai pembaharu di Mesir karena dapat
mengembalikan Mazhab Sunni. Beberapa usaha yang dilakukan oleh Shalahuddin dalam
membangun pemerintahan antara lain adalah:
1. Mendirikan madrasah-madrasah yang menganut Mazhab Syafi‟i Dan Mazhab Maliki.
2.Mengganti kadi-kadi Syi‟ah dengan kadi-kadi Sunni.
3. Mengganti pegawai pemerintahan yang melakukan korupsi.
4. Memecat pegawai yang bersekongkol dengan penjahat dan perampok.
Melihat keberhasilannya itu Khalifah al-Mustadhi dari Bani Abbasiyah memberi gelar
kepadanya al-Mu‟izz li Amiiril mu‟miniin (penguasa yang mulia). Khalifah al-Mustadhi juga
memberikan Mesir, an-Naubah, Yaman, Tripoli, Suriah dan Maghrib sebagai wilayah kekuasaan
Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi pada tahun 6655 M. sejak saat itulah Shalahuddin dianggap

18
sebagai Sultanul Islam Wal Muslimiin (Pemimpin umat Islam dan kaum muslimin). Perang
melawan tentara salib yang pertama adalah melawan Amalric 6, raja Yerussalem, yang kedua
melawan Baldwin IV (putra Amalric 6), yang ketiga melawan Raynald de Chatillon (penguasa
benteng Karak di sebelah Timur Laut Mati), yang keempat melawan Raja Baldwin V, sehingga
kota-kota seperti Teberias, Nasirah, Samaria, Suweida, Beirut, Batrun, Akra, Ramleh, Gaza
Hebron dan Baitul Maqdis berhasil dikuasai oleh Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi. Selain Clement
III, para penguasa Eropa yang membantu dalam perang melawan Shalahuddin Yusuf al- Ayyubi
adalah:
a. Philip II, Raja Prancis
b. Richard I, The Lion Heart (Hati Singa), Raja Inggris
c. William, Raja Sisilia
d. Frederick Barbafossa, Kaisar Jerman

2.3 Dinasti Saljuk


A. Sejarah Dinasti Saljuk
Dinasti Saljuk merupakan kelompok bangsa Turki yang berasal darisuku Ghuzz. Dinasti
Saljuk dinisbatkan kepada nenek moyang mereka yang bernama Saljuk ibn Tuqaq (Dukak). Ia
merupakan salah seorang anggota suku Ghuzz yang berada di Klinik, dan akhirnya menjadi
kepala suku Ghuzz yang dihormati dan dipatuhi perintahnya. Negeri asal mereka terletak di
kawasan utara laut Kaspia dan laut Aral dan mereka memeluk agama Islam pada akhir abad ke 4
H/10M dan lebih kepada mazhab sunni. Pada mulanya Saljuk ibn Tuqaq mengabdi kepada Bequ,
raja daerah Turkoman yang meliputi wilayah sekitar laut Arab dan laut kaspia. Saljuk diangkat
sebagai pemimpin tentara. Pengaruh Saljuk sangat besar sehingga Raja Bequ khawatir
kedudukannya terancam. Raja Bequ bermaksud menyingkirkan Saljuk, namun sebelum rencana
itu terlaksana Saljuk mengetahuinya. Ia tidak mengambil sikap melawan atau memberontak
tetapi bersama dengan para pengikutnya ia berimigrasi ke daerah Jand atau disebut juga daerah
muslim di wilayah Transoxiana antara sungai Ummu Driya dan Syrdarya atau Jihun.
Bangsa Turki Saljuk adalah pemeluk Islam yang militan. Masyarakat Turki Saljuk memeluk
Islam diperkirakan jauh sebelum mereka memasuki daerah Jand, tetapi kemungkinan besar
mereka memeluk agama Islam setelah terjadinya interaksi sosial dengan Syafiq A Mughni,
Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, masyarakat Islam di Jand itu sendiri. Beberapa

19
sarjana berkebangsaan Rusia mengatakan bahwa masyarakat Turki Saljuk memeluk Islam
setelah mereka memeluk agama Kristen, dengan melihat nama anak-anak Saljuk yang memiliki
kemiripan dengan nama-nama yang ada di dalamkitab Injil, yaitu Mikail, Musa,Israil, dan
Yunus. Akan tetapi kemungkinan ini sulit diterima, terutama setelah melihat dan mempelajari
tradisi yang ada pada mereka.
Perkembangan Dinasti Saljuk dibantu oleh situasi politik di wilayah Transoksania. Pada
saat itu terjadi persaingan politik antara dinasti Samaniyah dengan dinasti Khaniyyah, dalam
persaingan ini Saljuk cenderung untuk membantu dinasti Samaniyah.4 Ketika dinasti Samaniyah
dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah, Saljuk menyatakan memerdekakan diri. Ia berhasil
mengusai wilayah yang tadi dikusai oleh Samaniyyah.5 Setelah Saljuk bin Tuqaq meninggal,
kepemimpinan bani Saljuk dipimpin oleh Israil ibn Saljuk yang juga dikenal dengan nama
Arslan. Setelah itu diteruskan oleh Mikail,sedangkan ketika itu dinasti Ghaznawiyah dipimpin
oleh Sultan Mahmud. Kareana kelicikan penguasa Ghaznawiyah, kedua pemimpin dinasti Saljuk
ini ditangkap dan dibunuh sehingga mengakibatkan lemahnya kekuasaan Saljuk.
Pada periode berikutnya Saljuk dipimpin oleh Thugrul Bek. Ia berhasil mengalahkan Mahmud
al-Ghaznawi, penguasa Ghaznawiyah pada tahun 429 H/1036 M dan memaksanya meninggalkan
daerah Khurasan, setelah ke-berhasilan tersebut, Thugrul memproklamirkan berdirinya dinasti
Saljuk. Pada tahun 432 H/1040 M dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di
Baghdad. Disaat kepemimpinan Thugrul Bek inilah, pada tahun 1055 M dinasti Saljuk memasuki
Baghdad menggantikan dinasti Buwaihi. Sebelumnya Thugrul berhasil merebut daerah Marwa
dan Naisabur dari kekuasaan Ghaznawi, Balkh, Jurjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray dan Isfahan.
Pada tahun ini juga Thugrul Bek mendapat gelar dari khalifah Abbasiyah dengan Rukh al
Daulah Yamin Amir al-Muminin. Meskipun Bagdad dapat dikuasai, namun tidak dijadikan pusat
pemerintahan. Thugrul Bek memilih kota Naisabur dan kemudian kota Ray sebagai pusat
pemerintahan. Dinasti-dinasti ini sebelumnya memisahkan diri, setelah ditaklukkan dinasti
Saljuk kembali mengakui kedudukan Bagdad. Bahkan mereka menjalin keutuhan dan keamanan
Abbasiyah.
Setelah pemerintahan Thugrul Bek (455 H), Daulah Saljuk berturut-turut diperintah oleh:
1. Alp Arselan (455-465 H/1063-1072 M)
2. Maliksyah (465-485 H/1072-1092 M)
3. Mahmud al-Ghazy (485-487 H/1092-1094 M)

20
4. Barkiyaruq (487-498 H/1094-1103 M)
5. Maliksyah II (498 H)
6. Abu Syuja’ Muhammad (498-511H/1103-1117 M)
7. Abu Harits Sanjar (511-522 H/1117-1128 M)
Pemerintahan Saljuk ini dikenal dengan nama al-Salajiqah al-Kubra (Saljuk Raya). Pada
masa pemerintahan Alp Arselan, ia mencoba melakukan konsolidasi dan ekspansi wilayah
kekuatan politik Saljuk. Ia menjadikan kota Ray sebagai ibu kota kesultanan Saljuk,
sebagaimana pada masa pemerintahan Thugrul Bek. Alp-Arselan melakukan ekspedisi militer
sampai ke pusat kebudayaan Romawi di Asia Kecil, yaitu Bizantium. Peristiwa penting dalam
gerakan ekspansi ini adalah apa yang dikenal dengan peristiwa Manzikart (1071 M). Tentara
Alp-Arselan berhasil mengalahkan tentara Romawi yang besar yang terdiri dari tentara Romawi,
Ghuz, al-Akhraj, al-Hajar, Perancis dan Armenia. Dengan dikuasainya ini maka kekuasaannya
telah meluas sampai ke Asia Kecil.10 Di samping itu Alp-Arselan juga berjaya melawan
kerajaan Fathimiyah hingga ke Damsyik.11 Maka dipandanglah Dinasti Saljuk sebagai dinasti
pertama yang memperoleh kekuasaan permanen kekaisaran Romawi. Dengan kemenangan itu
Ramailus Diogenus (pemimpin pasukan Byzantium) selama 50 tahun harus membayar jizyah
kepada kesultanan Saljuk.
Pada masa Maliksyah wilayah kekuasaan Dinasti Saljuk ini sangat luas, membentang dari
Kashgor sebuah daerah di ujung daerah Turki sampai ke Yerussalem. Wilayah yang luas itu
dibagi menjadi lima bagian.12 Yaitu :
1. Saljuk Besar, yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia dan Ahwaz. Ia merupakan
induk dari yang lain. Saljuk Kirman,berada dibawah kekuasaan keluarga Qowurt Bek ibn Dawud
ibn Mikail, ibn Saljuk.
3. Saljuk Irak dan Kurdistan, Pemimpin pertamanya adalah Mughirs al-Din Mahmud.
4. Saljuk Siria, diperintah oleh keluarga Tutush ibn Alp Arselan ibn Daud ibn Mikail ibn Saljuk.
5. Saljuk Rum, diperintah oleh keluarga Quthlumish ibn Israil ibnSaljuk.
Di samping membagi wilayah menjadi lima bagian, yang dipimpin oleh gubernur yang
bergelar Syaikh, penguasa Saljuk juga mengembalikan jabatan perdana menteri yang
sebelumnya dihapus oleh penguasa Bani Buwaih. Jabatan ini membawahi beberapa departemen.
Keberhasilan Bani Saljuq dalam mempertahankan kekuasaannya, tak lepas dari para wazir
(menteri) yang senantiasa loyal dan patuh terhadap sultan serta kecintaan mereka terhadap ilmu

21
pengetahuan. Di antara mereka yang telah berjasa dalam membangun dan mempertahankan
dinasti Bani saljuq adalah:
1. Abu Nasr Muhammad bin Manshur al-Kundari, wazir pada masa Sultan Tughrul Bek dan Alp
Arselan.
2. Tajuddin Abu al-Ghanayim, wazir pada masa Sultan Sanjar.
3. Ali bin al-Hasan al-Tughra, wazir pada masa Sultan Sanjar.
4. Sa’ad bin Ali bin Isa, wazir pada masa Sultan Mahmud.
5. Al-Ustadz al-Tughra’i, wazir pada masa Sultan Mas’ud bin Muhammad di Irak.
6. Nizam al-Mulk, wazir pada masa Sultan Malik Syah
B. Perkembangan Pengetahuan Pada Masa Dinasti Saljuk
Ilmu pengetahuan mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Malik
syah bersama perdana menterinya Nizam al-Mulk. Nizam al-Mulk inilah yang memprakarsai
berdirinya Madrasah (Universitas) Nizamiyah (1065 M) dan Madrasah Hanafiyah diBaghdad.
Nizamal-Mulkini adalah seorang yang ahli dalamberbagai disiplin ilmu,seperti ilmu agama,
pemerintahan dan ilmu pasti. Pada masa Maliksyah inilah lahir ilmuanilmuan muslim seperti
Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang theology, Farid al-Din al-Aththar dan Umar Kayam dalam
bidang sastra dan matematika.
1. Pendirian Madrasah Nizamiyah Madrasah Nizamiyah adalah sebuah lembaga pendidikan yang
didirikan tahun 457-459 H/1065-1067 M (abad VI) oleh Nizam alMulk dari dinasti Saljuk.
Nizam al-Mulk adalah pelopor berdirinya Madrasah Nizamiyah dan juga madrasah-madrasah
yang lain di bawah kekuasaan Dinasti Saljuk. Madrasah Nizamiyah di Baghdad merupakan
madrasah yang pertama kali didirikan oleh Nizam al-Mulk pada bulan Dzulhijjah tahun 457 H
yang diarsiteki oleh Abu Said al-Shafi.
Madrasah Nizamiyah di Bagdad adalah madrasah yang paling terpenting dan terkenal di antara
madrasah-madrasah lainnya (selain madrasah diBalkh, Naisabur,Jarat, Ashfahan, Basrah, Marw,
Mausul, dan lain-lainnya). Madrasah-madrasah itu dapat di samakan dengan fakultas-fakultas
atau perguruan tinggi masa sekarang, mengingat gurunya adalah ulama besar yang termashur.
Madrasah Nizamiyyah didirikan dengan tujuan: Pertama, menyebarkan pemikiran Sunni untuk
menghadapi pemikiran Syiah. Kedua, menyediakan guru-guru Sunni yang cukup untuk
mengajarkan mazhab Sunni dan menyebarkan ke tempat-tempat lain. Ke- tiga, Membentuk

22
kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintah, memimpin
kantornya, khususnya di bidang peradilan dan manajemennya.
Madrasah Nizamiyah merupakan lembaga pendidikan resmi dan pemerintah terlibat dalam
menetapkan tujuan-tujuannya, menggariskan kurikulum, memilih guru, dan memberikan dana
yang teratur kepada madrasah. Motif didirikannya madrasah ini karena dua hal, pertama motif
politik. Dengan adanya madrasah ini, dinasti Saljuq bisa mengontrol semua daerah dengan
mudah, karena sistem yang dipakai Nizhamiyyah adalah sentralistik dari pusat ke daerah atau
dari atas ke bawah. Motif kedua adalah agama (ideologi). Bahwa Dinasti Buwaihi yang
menganut Syi’ah serta sisa-sisa aliran Mu’tazilah telah ada sebelum Bani saljuq berdiri,
pendirian madrasah Nizhamiyyah juga karena motif untuk menyebarkan aliran Sunni dan juga
untuk melawan Syi’ah.
Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk di Bagdad dan madrasah-madrasah
lainnya dibawah kekuasaan bani Saljuk sudah mempunyai sistem manajemen yang cukup baik.
Dengan sistem sentralistik, semua kurikulum, metode pembelajaran, sistem belajar,
pengangkatan guru dan semua keperluan madrasah diatur oleh Pusat. Para pelajar Madrasah
Nizhamiyyah diberikan berbagai fasilitas dan kemudahan, terlebih bagimereka yang berprestasi.
Aliran beasiswa sangat besar dari pemerintah siap menjamin kesejahteraannya. Diantara fasilitas
yang disediakan di Nizhamiyyah adalah perpustakaan yang menyediakan buku sebanyak 6000
judul Para guru (Syekh)pun mendapat perhatian khusus. Di Madrasah Nizamiyah ini muncul
sejumlah ulama besar, di antaranya: Imam al-Haramain al-Juwaini, Imam al-Ghazali, Imam
Fakhr al-razi (ahli tafsir), Zamakhsyari, dan juga Imam al-Qusyairi. Dalam bidang ilmu eksaskta,
muncul sejumlah ulama. Di antara mereka adalah Umar ibn Khayam (ahli astronomi dan ilmu
pasti), AliYahya al-Haslah (ahliilmukedokteran), AbuHasanal-Mukhtar (ahli ilmu kedokteran),
Muhammad Ali al-Samarqandi (ahli ilmu kedokteran).
2. Pengaruh Madrasah Nizamiyah Madrasah Nizamiyah telah banyak memberikan pengaruh
terhadap masyarakat, baik bidang politik, ekonomi maupun bidang sosial keagamaan. Nizam al-
Mulk sebagai pejabat pemerintah memiliki andil besar dalam pendirian dan penyebaran
madrasah, kedudukan dan kepentingannya dalam pemerintah merupakan sesuatu yang sangat
menentukan. Dalam batas ini madrasah merupakan kebijakan religio-politik penguasa. Dalam
bidang ekonomi madrasah Nizhamiyah memang dimaksudkan untuk mempersiapkan pegawai
pemerintah, khususnya dilapangan hukum dan adminstrasi di samping lembaga untuk

23
mengajarkan syari’ah dalam rangka mengembangkan ajaran sunni. Madrasah Nizamiyah
diterima oleh masyarakat karena sesuai dengan lingkungan dan keyakinannya dilihat dari
segisosial keagamaan, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
a. Ajaran yang diberikan diMadrasah Nizamiyah adalah ajaran sunni, sesuai dengan ajaran yang
dianut oleh sebagian besar masyarakat pada saat itu.
b. Madarasah Nizamiyah diajar oleh ulama yang terkemuka.
c. Madrasah ini memfokuskan pada ajaran fiqh yang dianggap sesuai dengan kebutuhan
masyarakat umumnya dalam rangka hidup dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran dan
kehidupan mereka
2.4. Dinasti Buwaihi
A. Sejarah Dinasti Buwaihi
Berdirinya Dinasti Buwaihi dalam sejarah peradaban Islam sangat tidak terduga, karena
asal usulnya yang tidak populer dalam panggung sejarah Islam. Dinasti Buwaihi didirikan oleh
tiga putra Abu Syuja’ seorang nelayan dari daerah Dailam. Mereka adalah Ali, Hasan dan,
Ahmad. Tiga bersaudara ini memutuskan masuk dinas militer untuk membantu keluarga mereka
dari kemiskinan13.
Mereka memulai karirnya sebagai tentara biasa di Dailam dan mengabdi pada Bani
Samaniyah. Lalu bergabung dengan pasukan Mardawij bin Zayyar. Karena prestasinya Ali bin
Buwaihi diangkat menjadi gubernur wilayah Karaj, sebelah barat daya amdzan.
Ali seorang yang ambisius ,tidak merasa cukup dengan satu wilayah. Dia memperluas
wilayahnya sampai ke Asfahan, sedangkan kedua saudaranya, Hasan dan ahmad memperluas
wilayahnya sampai ke Karman, Rayy, dan Ahwaz. Mardawij takut kepada orang-orang
bersaudara tersebut. Mardawij dibunuh oleh orang-orang Turki pada tahun 323 H dan memberi
kekuasaan pada saudaranya Mardawij14. Bani Buwaih memanfaatkan keadaaan tersebut. Mereka
menguasai Persia, gunung Hamadzan, dan membentuk Negara Buwaih15.

13
Mohd Nasir. PERKEMBANGAN INTELEKTUAL PADA MASA DINASTI BUWAIHI. Jurnal At-Tafkir Vol. VII
No. 1 Juni 2014. Hal-183.
14
Badri yatim, Dirasah Islamiyah II mengutip Ibnu Maskawaih, Tajarub Al Umam, juz I, (Kairo: Mathba‟ah
Tamaddun, 1914),h. 277.
15
Ibid.h.198

24
Pada tahun 334/938 Ahmad bin Buwaihi diundang Khalifah al-Mukatafi ke Baghdad.
Khalifah merasa Ahmad bin Buwaihi akan menjadi penyelamat kondisi sosial kota Bagdad yang
saat itu sedang stabil. Ahmad bin Buwaihi disambut hangat oleh Khalifah Abbasiyah dan
diangkat menjadi Amir al-Umara dengan gelar Mu’iz ad-Daulah. Sementara dua saudaranya Ali
bin Buwaihi diberi gelar ‘Imad ad-Daulah dan Hasan bin Buwaihi diberi gelar Rukun ad-Daulah,
sehingga kedudukan khalifah sebagai amir al-‘Umara tidak berarti lagi bagi mereka.
Pada awalnya khalifah berharap diundangnya Bani Buwaihi akan memulihkan kekuasaan
politik khalifah dan menstabilkan situasi politik di kota Bagdad. Namun kenyataanya,
kepercayaan khalifah itu justru dibalas dengan pengkhianatan oleh 3 bersaudara ini. Mereka
menjadikan momentum tersebut untuk merebut kekuasaan politik dan mendirikan Dinasti
Buwaihi. Berbagai tindak kekerasan dilakukan untuk melumpuhkan kekuasaan khalifah. Sejak
saat itu, kekuasaan Dinasti Abbasiyah dikuasai oleh Dinasti Buwaihi.
Selama kekuasaan Dinasti Buwaihi ini tercatat penguasa yangmemerintah sebanyak 11
orang yaitu:
1.Ahmad Ibn Buwaihi (Mu’iz al-Daulah) tahun 334-356 H
2.Bakhtiar (’Izz al-Daulah) tahun 356-367 H
3.Abu Suja’ Khusru (‘Adhd al-Daulah) tahun 367-372 H
4.Abu Kalyajar al-Marzuban (’Sham-sham al-Daulah) tahun 372-376 H
5.Abu al-Fawaris (Syaraf al-Daulah) tahun 376-379 H
6.Abu Nash Fairuz (Baha’ al-Daulah) tahun 379-403 H
7.Abu Suja’ (Sultan al-Daulah) tahun 403-411 H
8.Musyrif al-Daulah tahun 411-416 H
9.Abu Thahîr (’Jalal al-Daulah) tahun 416-435 H
10.Abu Kalyajar al-Marzuban (Imad al-Daulah) tahun 435-440 H
11.Abu Nashr (’Kushr al-Malik al-Rahim ) tahun 440-447 H16
B. Kondisi Dinasti Buwaihi
1. Politik Pemerintahan
Pemerintahan Bani Buwaihi bukanlah kekhalifahan yang berdiri sendiri seperti halnya
Bani Abbasiyah atau Bani Umayyah. Mereka berkuasa sebagai Amir al-Umara’ di bawah
kekhalifahan Bani Abbasiyah. Tercatat selama Bani Buwaihi menjadi Amir al-Umara’ mereka

16
Abu su’ud. Islamologi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hal 72

25
berada di bawah pimpinan lima khalifah Abbasiyahyaitu: al-Mustakfiy (944-945 M), al-Mu’ti
(945-973 M), Al-Ta’i (973-991M), Al-Qadir (991-1031 M) dan al-Qha’im (1031-1074 M).
Meskipunmereka hanyalah Amir al-Umara’, namun mereka memegang kekuasaan secara defacto
pada dinasti Abbasiyah. Bahkan pada masa Adhdu al-Daulah, ia mulai meninggalkan istilah amir
al-Umara’ dan menggantinya dengan al-Malik (raja).
Selama Bani Buwaihi memasuki kota Baghdad dan mendapat posisi penting di
pemerintahan Abbasiyah, mereka menjadikan posisi khalifah tak ubahnya seperti boneka. Segala
kebijakan berada di tangan Amir .
Seperti disebutkan terdahulu bahwa dinasti Buwaihi mulai berkuasa sejak Mu’iz al-
Daulah (Ahmad bin Buwaihi ) diserahi memegang kekuasaan atas nama khalifah oleh al-
Mustakfiy pada tahun 334 H. Langkah pertama yang beliau lakukan adalah berusaha
menggantikan kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berpaham Sunni menjadi paham Syi’ah.
Namun hal ini tidak berhasil dikarenakan mendapat reaksi besar dari masyarakat.
Usaha lain yang beliau lakukan untuk menguatkan kekuasaan adalah dengan mengganti
khalifah Bani Abbasiyah Al-Mustakfiy, dan mengangkat khalifah Al-Mu’ti. Dengan diangkatnya
al-Mu’ti sebagai khalifah, Muiz a-Daulah dapat berkuasa dengan leluasa menjalankan
kekuasaannya. Karena ia yang mengangkat khalifah, maka ia dapat memperlakukan khalifah
sesuka hatinya.
Selama Mu’iz al-Daulah berkuasa, dinasti Buwaihi belum memperoleh kemajuan yang
berarti. Ia banyak disibukkan menghadapi pemberontakan dari kaum Sunni yang berbeda paham
dengan Dinasti Buwaihi yang berpaham Syi’ah.
Pengganti Mu’iz al-Daulah adalah puteranya Izz al-Daulah. Izz al-Daulah berusaha
menstabilkan kondisi politik waktu itu, namun ia malah mendapatkan kendala yang lebih besar.
Tidak hanya menghadapi kaum Sunni, melainkan ia harus menghadapi tantangan dari sepupunya
sendiri yaitu Abu Suja’ Khursu yang bergelar Adhdu al-Daulah yang berambisi merebut
kekuasaan dari tangannya. Perang saudara terjadi yang mengakibatkan Izz al-Daulah terbunuh
pada tahun 367 H.17
Setelah Izz al-Daulah terbunuh, Adhdu al-Daulah naik menggantikannya. Ia memegang
kekuasaan dari tahun 367-372 H. Pada masa inilah banyak kemajuan yang tampak pada masa

17
Taufik Abdullah dkk, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Khilafah. (Jakarta: Pt Ichtisar Baru Van Hoeve,
2002) hal 78

26
dinasti Buwaihi memimpin. Di antara keberhasilan yang beliau capai di bidang politik
pemerintahan yang tidak pernah berhasil dilakukan pemimpin Buwaihi yang lain- adalah:
a. Mengganti istilah penguasa Buwaihi dari amir al-umara’ menjadi Malik. Hal ini berhasil
beliau lakukan setelah ia menjalin hubungan dekat dengan khalifah al-Tha’i.
b.Mempersatukan seluruh penguasa Buwaihi yang berada di wilayah-wilayah yang luas.18
Satu hal yang mesti digaris bawahi, bahwa stabilitas politik dinasti Buwaihi cukup
terkendali hanya pada masa 3 anak Buwaihi dan Adhdu al-Daulah. Khusus setelah masa 3 anak
Buwaihi, kondisi politik banyak diwarnai pertikaian dan perebutan kekuasaan sesama keturunan
Buwaihi. Hal ini nantinya yang menyebabkan kehancuran Dinasti Buwaihi. Ketika Penguasa
Kuat seperti Mu’iz a-Daulah dan Adhdu al-Daulah maka semua dapat dikendalikan, namun
ketika penguasa lemah maka tampaklah tanda-tanda kehancuran Buwaihi. Faktor lain
yangmenyebabkan rumitnya situasi politik waktu itu adalah timbulnya pertentangan di tubuh
militer antara bangsa Dailam dan Turki, serta adanya serangan-serangan gencar dari Bizantium
ke Wilayah Islam. Hal ini menyebabkan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri
dari kekuasaan pusat di Baghdad. Di antara dinasti itu adalah: Iksidiah di Mesir dan Syria,
Hamdan di Aleppo dan Lembah Furat, Ghaznawiy di Ghazna dan dinasti Saljuk yang berhasil
merebut kekuasaan dari dinasti Buwaihi
2. Ekonomi
Untuk menopang perekonomian masyarakat pada masa dinasti Buwaihi dikembangkan
berbagai usaha yang meliputi : a.Perdagangan. b.Pertanian, untuk menopang pertanian pada
waktu itu telah dibangun kanal-kanal dan saluran irigasi. c. Industri, diantara bentuk industri
yang dikembangkan pada waktu itu,yang paling besar adalah industri permadani. Untuk
kesehatan masyarakat dibangun rumah sakit besar di Baghdad dan di Syiraj. d.Satu hal yang
mesti dicatat pada masa Adhdu al-Daulah berkuasa, kesejahteraan imam masjid diperhatikan,
para penulis dan tokoh agama serta ilmuan diberi honorarium yang cukup besar.19
3.Iptek dan Kesenian
Sebagaimana Para khalifah Abbasiyah pada periode awal, para penguasa Buwaihi
mencurahkan perhatian yang besar dan sungguh-sungguh terhadap ilmu pengetahuan dan
kesusastraan. Pada masa Bani Buwaihi ini banyak bermunculan ilmuan besar, di antaranya Al-

18
Misbah, Ma’ruf, dkk. Sejarah Kebudayaan Islam. (Semarang: CV. Wicaksana, 2002), hal 59
19
Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah,2013), hal 266

27
Farabiy(w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), Al-Farghani, Abd al-Rahman al-Shufiy (w.986 M),
Ibn Miskawaih (w.1030 M), Abu al-A’la al-Ma’ariy(973-1057 M), serta kelompok Ikhwan al-
Shafa. Kemajuan di masa Bani Buwaihi semakin tampak jelas dengan dibangunnya masjid-
masjid, rumah sakit, kanal-kanal, dan Dar- al-Mamlakah serta yang lainnya.20
Kemajuan ilmu pengetahuan juga berkembang pesat pada masa Dinasti Buwaihi, ada
beberapa hal yang mendorong majunya ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Buwaihi,
diantaranya:
a. Warisan tradisi dari Dinasti Abbasiyah yang mendorong para cendikiawan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, melakukan penterjemahan, penulisan karya ilmiah,
dll.
b. Perhatian khalifah yang besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan terutama pada
masa Adhdu al-Daulah yang memberikan honorarium yang besar kepada para fuqaha,
dokter, ahli hisab, sastrawan, ulama, arsitek, dan lain-lain.
4. Pemahaman keagamaan
Masalah keagamaan didominasi oleh perseteruan antara paham Syiah yang dianut oleh
dinasti Buwaihi dengan paham Sunni yang dianut oleh mayoritas masyrakat Abbasiyah. Sempat
terjadi pertentangan dari masyarakat pada masa Mu’iz al-Daulah yang berusaha merubah paham
kekhalifahan dari Sunni ke Syiah.
Namun pada masa Adhdu al-Daulah toleransi antara kedua paham dapat terwujud.
Sehingga baik Bani Abbas maupun Bani Buwaihi tidak memaksakan paham masing-masing dan
dapat hidup damai.
5. Kemunduran Dinasti Buwaihi
Kemunduran Dinasti Buwaihi dimulai pada masa pemerintahan Baha’ al-Daulah, dia
dikenal sebagai penguasa yang zalim dan hampir tidak pernah meninggalkan karya positif bagi
negara. Selain itu ada beberapa faktor yang memicu kemunduran Dinasti Buwaihi yaitu:
1. Terjadinya tragedi Bagdad antara kaum Syiah dan Sunni
2. Penunjukan putra mahkota yang menyebabkan perebutan kekuasaan oleh para penerus
setelahnya.

20 N
ur Ahmad Fadhil Lubis, Dinasti Abbasiyah dalam Ensiklopedi Tematis, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve,2002), hal 92

28
3. Pemberian jabatan penting kepada orang Turki (Saljuk) sehingga mengabaikan orang-
orang Dailam.
Konflik antara Baha’ Syaraf dengan saudara nya Shamsham al-Daulah, juga perebutan
posisi al-Malik oleh para putra mahkota ditambah dengan fakta bahwa masyarakat Bagdad yang
berpaham Sunni sangat membenci Dinasti Buwaihi yang berpaham Syiah menjadi penyebab
keruntuhan Dinasti Buwaihi. Pada tahun 1055, Raja Saljuk, Thugril Beg memasuki Bagdad dan
mengakhiri kekuasaan Buwaihi. Raja terakhir Dinasti Buwaihi, al-Malik al-Rahim (1048-1055),
harus mengakhiri hidupnya didalam penjara.

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Munculnya dinasti-dinasti kecil pada masa Dinasti Abbasiyah tidak terlepas dari luasnya
daerah kekuasaan dinasti Abbasiyah dan munculnya pemberontakan-pemberontakan di berbagai
wilayah yang ingin memisahkan diri dari dinasti Abbasiyah Dinasti-dinasti ini berdiri sekitar
abad 8-12 Masehi. Diantara dinasti-dinasti kecil itu adalah dinasti Fathimiyah, Ayyubiyah,
Saljuk, dan Buwaihi. Walaupun termasuk dinasti-dinasti kecil tetapi pengaruhnya cukup besar
bagi kemajuan peradaban Islam saat itu. Dengan berbagai aspek yang telah diraihnya, maka
dapat dijadikan tolak ukur menuju peradaban Islam pada masa sekarang dan yang akan datang
agar lebih baik
3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis selalu
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian, agar menjadi masukan dan perbaikan bagi
penulisan sehingga kedepannya makalah ini menjadi lebih baik.

30
Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik dkk. 2002. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Khilafah. Jakarta: Pt Ichtisar
Baru Van Hoeve.
Abu su’ud. 2003. Islamologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam. Kairo: Lajnah Ta’lif wa al-Nasyr, t.t. Dikutip dalam Ajid
Thohir. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar
Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Arifin, Zainal. Dinasti Fatimiah Di Mesir (Studi tentang Perkembangan, Kemajuan dan
Kemundurannya). Lentera, no. 20 (Juli, 2008), 8-14.
Lubis, Nur Ahmad Fadhil. 2002. Dinasti Abbasiyah dalam Ensiklopedi Tematis. Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve.
Misbah, Ma’ruf, dkk. 2002. Sejarah Kebudayaan Islam.Semarang: CV. Wicaksana
Nasir, Mohd. 2014. PERKEMBANGAN INTELEKTUAL PADA MASA DINASTI BUWAIHI.
Jurnal At-Tafkir Vol. VII No. 1 Juni 2014.
Samsul Munir. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah
Susmiraha. (2016). Dinasti Fathimiyah (muncul,Perkembangan dan Kemunduran). Jurnal Rihlah
Vol 2 No.2/2016, 54.
Thaqqusy, D. M. (2015). Bangkit dan Runtuhnya Daulah Fathimiyyah. Jakarta Timur: Pustaka
Al Kautsar
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi,
History of The Arabs. Cet. II; Jakarta: Serambi, 2010.
Yatim, Badri. Dirasah Islamiyah II mengutip Ibnu Maskawaih, Tajarub Al Umam, juz I, (Kairo:
Mathba‟ah Tamaddun, 1914)

31
32
33

Anda mungkin juga menyukai