Disusun Oleh :
Assalamualaikum wr,wb. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa pula shalawat berangkairkan
salam kita hadiahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW semoga dengan
memperbanyak sholawat kita akan mendapat syaraat diyaumil mahsyar kelak. Aamin
Dalam penyelesaian makalah guna memenuhi tugas dari Bapak Zainul Fuad, Dr. Phil., MA
kami sudah berupaya semaksimal mungkin. Dan harapan kami semogamakalah ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca Mengenai. Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Dinasti
Fathimiah.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sehingga untuk kedepannya kami
dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Pemakalah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 3
BAB I .............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 4
BAB II ............................................................................................................................................ 5
PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 5
BAB III......................................................................................................................................... 27
PENUTUP.................................................................................................................................... 27
Dinasti Fatimiah adalah salah satu dari Dinasti Syi’ah dalam sejarah Islam. Dinasti ini
didirikan di Tunisia pada tahun 909 M, sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat
itu yang berpusat di Baghdad, yaitu Dinasti Abbasiyah. Dinasti Fatimiah didirikan oleh Sa’id
bin Husain. Berakhirnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai
dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini dikuasai,
menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk
daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti
Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di
bagian barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan
Hamdaniyah.
Dinasti ini mengalami masa kejayaan pada pemerintahan Al-Aziz. Kebudayaan Islam
berkembang pesat pada masa Dinasti Fatimiah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid
Al-Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai pusat pengkajian islam dan ilmu pengetahuan. Dinasti
ini berakhir setelah Al-Adid sebagai Khalifah terakhir, jatuh sakit. Dinasti Fatimiah
merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki andil dalam
memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam.
Pada tahun 850 Afrika Utara meliputi wilayah Ifriqiyah (Tunisia) dan sebagian pulau
Sisiliah yang merupakan bagian Daulah Abbasiyah masih dikuasai oleh Bani Aglab. Wilayah
disebelah baratnya berkuasa Bani Rustamiyah di Aljazair dan bani Idris di Maroko dan
Spanyol masih berada dibawah kekuasaan Bani Umayah II. Semua dinasti ini berkuasa
sampai tahun 909. Namun sesudah tahun 909 muncul sebuah dinamika baru, terbentuknya
sebuah Dinasti Fatimiah di Tunusia (909 M- 1171 M). Wilayah kekuasaannya meliputi
Afrika Utara, Mesir, dan Suriah.
Setelah Imam Ja’far Ash-Shadiq wafat, Syi’ah terpecah menjadi dua cabang. Cabang
pertama meyakini Musa Al-Khazim sebagai imam ketujuh pengganti Imam Ja’far, sedang
sebuah cabang lainnya mempercayai Ismail bin Muhammad Al-Maktum sebagai Imam Syi’ah
ketujuh. Cabang Syi’ah kedua ini dinamai Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Ismailiyah tidak
menampakkan gerakannya secara jelas, sehingga muncullah Abdullah bin Maimun yang
membentuk Syi’ah Ismailiyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan. Ia berjuang
mengorganisir propaganda Syi’ah Ismailiyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiah.
Secara rahasia ia mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk
menyebarkan ajaran Syi’ah Ismailiyah. Kegiatan ini menjadi latar belakang berdirinya Dinasti
Fatimiah di Afrika dan kemudian berpindah ke Mesir.
Sebelum Abdullah bin Maimun wafat pada tahun 874 M, ia menunjuk pengikutnya yang
paling bersemangat yakni Abdullah Al-Husain sebagai pemimipin Syi’ah Ismailiyah. Ia
menyeberang ke Afrika Utara, dan berkat propagandanya yang bersemangat ia berhasil
menarik simpatisan suku Barbar, khususnya dari kalangan Khitamah menjadi pengikut setia
gerakan ahli bait ini. Pada saat itu penguasa Afrika Utara, yakni Ibrahim bin Muhammad,
berusaha menekan gerakan Ismailiyah ini, namun usahanya sia-sia. Ziyadatullah putranya dan
pengganti Ibrahim bin Muhammad tidak berhasil menekan gerakan ini.
Adapun para penguasa Dinasti Fatimiah secara keseluruhan ada empat belas khalifah,
akan tetapi yang berperan hanya delapan orang khalifah yaitu sebagai berikut:
Dua tahun semenjak penobatannya, ia menghukum mati pimpinan propa gandanya yakni
Abu abdullah Al-Husein karena terbukti bersekongkol dengan saudaranya yang bernama Abul
Abbas untuk melancarkan perebutan jabatan khalifah. Pada masa pemerintahannya, ia
berhasil memperluas daerah kekuasaannya dari perbatasan Mesir sampai propinsi Fez di
Maroko, selanjutnya pada tahun 914 M ia berhasil menduduki Alexandria, Syria, Malta,
Sardinia, Cosrisa, pulau Betrix dan pulau lainnya. Kemudian pada tahun 920 H ia mendirikan
kota baru di pantai Tunisia yang dijadikannya sebagai ibukota Fatimiyah yang diberi nama
al-Mahdi.
2. Abu al-Qasim Muhammad Al-Qa’im ibn Amrullah ibn al-Mahdi Ubaidullah (322-323 H/
934-946 M)
Setelah Al-Mahdi meninggal pemerintahan digantikan putra tertuanya yang bernama Abu
al-Qasim dengan gelar al-Qa’im. Ia merupakan khalifah Fatimiah pertama yang berhasil
menguasai lautan tengah. Pada masa pemerintahannya mampu menaklukkan Genoa dan
wilayah Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke Mesir tetapi gagal karena
adanya penjegalan oleh Abu Yazid Makad.
Khalifah ke empat ini diberi gelar Mu’izz Lidinillah. Banyak keberhasilan yang
dicapainya. Pertama kali ia menetapkan untuk mengadakan peninjauan ke seluruh penjuru
wilayah kekuasaannya untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya ia
menetapkan langkah yang harus ditempuh demi tercapainya keadilan dan kemakmuran. Ia
menghadapi gerakan pemberontakan secara tuntas, oleh sebab itu dalam tempo singkat
masyarakat seluruh negeri mengenyam kehidupan yang damai dan makmur. Wilayah yang
berhasil ditaklukkannya meliputi: Maroko, Sycilia dan Mesir dengan memasuki kota Kairo
lama dan berhasil menyingkirkan Dinasti Ikhsyidiyah. Ia memperluas kekuasaannya sampai
Palestina, Suriah dan mengambil penjagaan atas tempat suci di Hijaz.
Al-Aziz termasuk khalifah yang paling bijaksana dan pemurah. Kedamaian pada
masanya ditandai dengan kesejahterahan warga baik muslim maupun non muslim. Dalam
pemerintahannya, al-‘Aziz sangat liberal dan memberikan kebebasan agama untuk
berkembang dan terjaganya toleransi beragama. Kemajuan Imperium Fatimiah mencapai
puncaknya pada masa pemerintahan ini.
Luas kekuasaan Imperium membentang dari wilayah Eufrat sampai Atlantik. Imperium
ini mengungguli kebesaran Abbasiyah di Baghdad yang sedang dalam kemundurannya
dibawah kekuasaan Buwaihiyyah. Antara khalifah Al-Aziz dan Amin Buwaihiyyah, Aziz
Ad-daulat, menjalin hubungan persahabatan dengan saling mengirim duta masing-masing.
Pada masa ini banyak kemajuan dalam bidang pembangunan fisik dan seni arsitektur. Banyak
bangunan megah yang didirikan dikota Kairo seperti The Golden Palace, the pear Pavillion
dan masjid Karafa. Ia berhasil menaklukkan Syria dan Mesopotamia. Ia meninggal pada tahun
996 M dan bersamaan dengan berakhirnya kejayaan dinasti Fatimiah.
Dia diangkat pada usia 11 tahun. Kekuasaannya ditandai dengan berbagai kekejaman;
membunuh beberapa wazir, merusak gereja Kristen termasuk makam suci di Palestina.
Peristiwa ini menjadi salah satu pemicu berkobarnya perang salib. Ia juga memaksa orang
Kristen dan Yahudi untuk memakai jubbah hitam, mengendarai keledai dan menunjukkan
salib bagi orang Kristen, sedangkan orang yahudi menaiki lembu dengan memakai bel.
Kebijakan politik al-Hakim menimbulkan rasa benci kaum dzimmi dan muslim non syi’ah.
Pada masa ini kemunduran dan keruntuhan dinasti Fatimiah dimulai.
Al-Zhahir naik tahta pada usia 16 tahun, sehingga pusat kekuasaan dipegang oleh bibinya
yang bernama Sitt al-Mulk. Sepeninggal bibinya, Al-Zhahir menjadi raja boneka ditangan
menterinya. Pada masa pemerintahan ini rakyat menderita kekurangan bahan makanan dan
harga barang tidak dapat terjangkau. Kondisi ini disebabkan terjadinya musibah banjir terus
menerus.
Peristiwa yang paling terkenang pada masa ini adalah penyelesaian persengketaan
keagamaan pada tahun 1025 dimana tokoh-tokoh Madzhab Malikiyah diusir dari mesir
meskipun demikian Al-Zhahir cukup toleran kepada kaum Sunni. Ia bersedia membuat
perjanjian dengan Kaisar Romawi Constantine VIII dengan memberi ijin untuk membangun
kembali gereja Yerussalem yang roboh. Ia berhasil menarik simpatik kembali kaum dzimmi.
Akan tetapi, tak lama kemudian ia jatuh sakit karena paceklik dan meninggal dunia.
Pada mulanya, Dinasti Fatimiah berdiri di Qairawan, Maroko pada tahun 909 M. Imam
yang pertama, yaitu Ubaidillah al-Mahdi yang memimpin dari tahun 909-934 M.[4]
Khalifahan Ubaidillah sangat menegakkan pemerintahan di istana Aglabiyah, yakni Raqqadah
yang terletak dipinggiran kota Qairawan. Ia membuktikan dirinya sebagai penguasa yang
paling mampu dan berbakat. Dua tahun setelah memegang kekuasaan tertinggi ia membunuh
panglima dainya al-Syi’i. Segera setelah itu, ia memperluas kekuasannya meliputi wilayah
Afrika dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah sampai perbatasan-perbatasan Mesir.
Pada tahun 935 M, al-Qaim bi Amrillah Abu al-Qasim Muhammad, putera sulung
Ubaidillah melanjutkan kepemimpinannya di dalam Dinasti Fatimiah. Ia mengirimkan
ekspedisi untuk menguasai Italia, Prancis, Andalusia, Genoa dan sepanjang pesisir Calabria
serta berhasil membawa para budak dan harta rampasan lainya. Sebagaimana orang tuanya, ia
tidak pernah putus asa untuk mengirimkan pasukan ke Mesir, kendatipun upaya tersebut
selalu berakhir dengan kegagalan. Kekuasaannya hanya berkutat di Afrika Utara.[6]
Di bawah pemerintah cucu al-Qa’im, Abu Tamim Ma’add al-Muiz (952-975) pasukan
Fatimiah menyerbu pantai Spayol yang khalifahannya pada saat itu adalah al-Nashir yang
agung. Tiga tahun kemudian tentara Fatimiah berhasil menuju Atlantik. Dari situlah komadan
pasukan mengirimkan ikan hidup dalam beberapa buah buli-buli kepada khalifahannya. Pada
tahun 969 M, Mesir telah terbebas dari penguasa Iksidiyah. Armada pasukan ini diperkuat
dengan tambahan sebuah unit baru yang dibangun di Maqs, sebelum Bulak sebagai pelabuhan
Kairo.
Pahlawan penting dalam gerakan penyerbuan yang mengagumkan ini adalah Jawhar
al-Shiqilli (orang Sisilia) atau al-Rumi (orang Yunani). Aslinya ia seorang Kristen yang lahir
di daerah Bizantium, mungkin Sisilia yang dari sana ia dibawa sebagai seorang budak ke
Kairawan. Segera setelah kemenangannya atas ibu kota Fusthat pada 969, Jahwar mulai
mendirikan markas baru yang diberi nama al-Qahirah. Kota ini Kairo modern yang menjadi
pusat kota Bani Fatimiah sejak 973. Setelah mendirikan ibu kota baru yang sekarang menjadi
kota paling ramai di Afrika. Pada 972 Jawhar mendirikan Mesjid Agung al-Azhar yang
kemudian oleh Khalifah al-Aziz dikembangkan menjadi Universitas besar.
Jahwar menjadi pendiri Dinasti Fatimiah yang kedua setelah al-Syi’i yang daerah
kekuasanya meliputi seluruh wilayah Afrika Utara. Arab sebagaian barat adalah warisan
dinasti Iksidiyah yang telah dipercayakan oleh penguasa Abbasiyah sebagai perlindungan
terhadap kota Suci. Setelah kedudukannya di Mesir kokoh, Jahwar mulai melirik negara
tetangganya Suriah dan mengirim seorang panglima perang yang berhasil menaklukan
Damaskus pada 969. Lawan utama Jahwar adalah sekte Qaramitah, yang pada saat itu
berkuasa di Suriah.[7]
2.3 Ideologi Keagamaan Yang Berkembang Pada Dinasti Fatimiyah
Ketika al-Muiz berhasil menguasai Mesir, di tempat ini berkembang empat madzhab
fikih; Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan al-Muiz menganut faham Syi’ah. Oleh
karena itu, al-Muiz mengayomi dua kenyataan ini dengan mengangkat hakim dari kalangan
sunni dan syi’ah. Akan tetapi, jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama’ syi’ah dan
sunni hanya menduduki jabatan-jabatan penting rendah.
Pada tahun 379 M, semua jabatan diberbagai bidang politik, agama dan militer dipegang
oleh Syi’ah. Oleh karena itu, sebagian pejabat Fatimiyah yang sunni beralih ke Syi’ah supaya
jabatannya meningkat.
Doktrin Imamah bagi Syi’ah yang dikembangkan oleh pemerintahan syi’ah tidak hanya
berkonotasi theologi, tetapi juga berdimensi politis. Para pengikut Syi’ah berpendirian bahwa
jabatan Imamah (Khilafah di kalangan Sunni) merupakan hanya Ahl al-Bait, yakni keturunan
Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Oleh karenanya, mereka tidak mau tunduk pada
pemerintahan para khalifah tersebut. Selain itu, mereka tidak pernah berhenti
memperjuangkan apa yang mereka anggap sebagai haknya itu melalui berbagai jalan
termasuk pemberontakan dan peperangan. Berdirinya Dinasti Bani Fathimiyah di Mesir ini
juga antara lain dilatarbelakangi oleh doktrin di atas.
Selain itu, menurut Nur Hakim, memuliakan terhadap Imam yang hidup disejajarkan
dengan memuliakan terhadap kalangan Svuhada’ dari keluarga Nabi. Fatimiyah membangun
sejumlah makam keluarga Ali, seperti makam Husein di Mesir, dalam rangka meningkatkan
peziarah serta memberi kesan mendalam kepada masyarakat atas tempat-tempat suci dan
keramat. Maka, pada 1153 M. kepala Husein, yang dipenggal dalam peperangan melawan
Yazid bin Muawivah, dipindahkan dari Ascalon ke Kairo, lalu di bangunlah makam
Sayyaidina Husein yang sekarang disebut perkampungan Husein.
Salah satu doktrin keimaman yang lain adalah bahwa Imam mesti dijaga oleh Allah dari
kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan oleh manusia biasa. Selanjutnya, doktrin ini bisa
dimanfaatkan oleh para khalifah untuk membuat legitimasi keagamaan pada dirinya.
Misalnva, Ubaidillah Al Mahdi, pendiri Fatimiyah, adalah gelar dari Said bin Husain
al-Salamiyah, sekaligus dengan gelar ini dia menyatakan diri sebagai Imam dari Syi’ah
Isma’iliyah. Dengan gelar ini, maka setidaknya akan menimbulkan kesan umum bahwa sang
kholifah adalah seorang imam yang terjaga dari kesalahan-kesalahan fatal.
Imam dalam doktrin Syiah juga bersifat messianistik (Mahdisme), yakni, ia dipahami
sebagai figur penyelamat di kala suatu bangsa yang mengalami keadaan konflik yang
berkepanjangan yang tak terselesaikan. Sebagai akibat dari doktrin-doktrin Syi’ah, maka
pemerintahan Fathimiyah mempunyai corak yang militan, khususnya di masa awal
kemunculannya. Usaha para pemimpin Syi’ah yang kemudian diwakili oleh Ubaidillah untuk
mewujudkan dinasti Fathimiyah dilakukan di bawah tanah dalam waktu yang panjang dengan
penuh militansi. Selanjutnya, pemerintahannya bercorak keagamaan, dalam arti penggunaan
simbol-simbol ritus maupun mitos dalam agama sangatlah kental. Untuk memperoleh
dukungan rakyat, make khalifah sering menggunakan simbol-simbol keagamaan. Hal yang
terakhir ini juga membawa pengaruh kepada corak kebudayaannya yang religius.[8]
Hasil peradaban yang pernah ditorehkan pada masa dinasti Fatimiah ini antara lain:[9]
1. Bidang Administrasi
Kekuasaan Pemerintahan Dinasti Fatimiyah mencakup wilayah yang sangat luas sekali
meliputi Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan
Hijaz. Periode Dinasti Fatimiyah menandai era baru sejarah bangsa Mesir. Sebagian
khalifah dinasti ini adalah pejuang dan penguasa besar yang berhasil menciptakan
kesejahteraan dan kemakmuran di Mesir. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik
dalam urusan keduniaan maupun spiritual. Khalifah berwenang mengangkat dan sekaligus
menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya.
Kementerian negara terbagi menjadi dua kelompok; pertama adalah para ahli pedang dan
kedua adalah para ahli pena. Kelompok pertama menduduki urusan militer dan keamanan
serta pengawal pribadi sang khalifah. Sedang kelompok kedua menduduki beberapa
jabatan kementerian sebagai berikut: (1) Hakim, (2) pejabat pendidikan sekaligus sebagai
pengelola lembaga ilmu pengetahuan atau Dar al-Hikmah, (3) inspektur pasar yang
bertugas menertibkan pasar dan jalan, (4) pejabat keuangan yang menangani segala urusan
keuangan negara, (5) regu pembantu istana, (6) petugas pembaca Al-Qur’an. Tingkat
terendah kelompok “ahli pena” terdiri atas kelompok pegawai negeri, yaitu petugas
penjaga dan juru tulis dalam berbagai departemen.
Adapun di luar jabatan istana diatas, terdapat berbagai jabatan tingkat daerah yang
meliputi tiga daerah, yaitu Mesir, Siria, dan daerah-daerah di Asia kecil. Khusus untuk
daerah Mesir terdiri atas empat provinsi, provinsi Mesir bagian atas, Mesir wilayah timur,
Mesir wilayah barat, dan wilayah Alexandria, segala urusan yang berkaitan dengan daerah
tersebut diserahkan kepada penguasa setempat.
Dalam bidang kemiliteran terdapat tiga jabatan pokok, yaitu (1) Amir yang terdiri
pejabat-pejabat tinggi militer dan pegawai khalifah, (2) petugas keamanan, dan (3)
berbagai resimen. Komando-komando resimen yang masing-masing menyandang nama
berbeda seperti hafiziyyah, Juyushiyyah dan sudaniyyah atau yang dinamai dengan nama
khalifah, wazir dan suku. Pusat-pusat armada laut dibangun di Alexandria, Damika,
Ascaton, dan di beberapa pelabuhan Syiria. Masing-masing dikepalai seorang Admiral
tinggi.
2. Bidang Sosial
Mayoritas khalifah Fathimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan
agama nonmuslim. Selama masa ini pemeluk kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana,
hanya Khalifah Al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen
Kopti dan Armenia ridak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap
pemerintah muslim. Pada masa Al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan daripada umat
Islam di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Demikian pula
pada masa Al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian dan kemakmuran.
Sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh orang-orang kopti. Pada khalifah generasi
akhir, gereja-gereja Kristen banyak yang dipugar, pemeluk Kristen pula semakin banyak
yang diangkat sebagai pegawai pemerintah.
Mayoritas khalifah Fathimiyah berpola hidup mewah dan santai. Al-Mustansir, menurut
satu informasi, mendirikan semacam paviliun di istananya sebagai tempat memuaskan
kegemaran berfoya-foya bersama sejumlah penari rupawan.[10] Nasir Al-Khusraw menulis
catatan tentang kehidupan kota Kairo bahwa ia menyaksikan sebuah khalifah pada sebuah
festival tampak sangat mempesona dengan pakaian kebesarannya. Istana Khalifah dihuni
30.000 orang, diantara mereka terdapat 12.000 orang pembantu dan 1.000 orang pengawal
berkudadan pengawal jalan kaki. Kota Kairo dihiasi dengan sejumlah masjid, perguruan,
rumah sakit, dan perkampungan khafilah. Tempat-tempat pemandian umum yang cukup
indah dapat dijumpai diberbagai penjuru kota, baik pemandian khusus untuk laki-laki
maupun untuk perempuan.
Perekonomian pemerintahan Fatimiah dapat dibilang cukup bagus. Kemajuan ini tidak
bisa dilepaskan dari luasnya wilayah dikuasai dan stabilitas politik yang mapan. Hal ini
menjadi mungkin karena pemerintahan Fatimiah menggunakan kekuasaan yang
sentralistik. Kondisi ini berdampak majunya bidang ekonomi, termasuk di dalamnya
kemajuan bidang perdagangan dan sektor industri. Tentu faktor ekonomi ini juga
mendorong lamanya eksistensi dinasti ini bertahan hingga dua setengah abad.
Ibnu Khilis merupakan salah seorang wazir Fatimiah yang sangat mempedulikan
pengajaran. Ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan dan memberinya subsidi besar
setiap bulan. Pada masa Ibnu Khilis ini di dalam istana Al-Aziz terdapat terdapat seorang
fisikawan besar bernama Muhammad At-Tamim. Al-Khindi sejarawan dan topografer
terbesar dan hidup di Fustat dan meninggal di tahun 961 M. Pakar terbesar pada awal
Fathimiyah adalah Qasdi An-Nu’man dan beberapa keturunannya yang menduduki jabatan
Qadhi dan keagamaan tertinggi selama 50 tahun semenjak penaklukan Mesir sampai pada
masa pemerintahan Al-Hakim.
Diantara para khalifah Fatimiah adalah tokoh pendidikan dan orang yang berperadaban
tinggi. Al-Aziz termasuk di antara khalifah yang mahir dalam bidang syair dan mencintai
kegiatan pengajaran. Ia telah mengubah masjid agung Al-Azhar menjadi sebuah lembaga
pendidikan tinggi. Kekayaan dan kemakmuran Dinasti Fatimiah dan besarnya perhatian
para khlifahnya merupakan faktor pendorong para ilmuwan berpindah ke Kairo. Istana
Al-Hakim dihiasi dengan kehadiran Ali bin Yunus, pakar terbesar dalam bidang astronomi,
dan Ibnu Ali Al-Hasan bin Al-Haitami, seorang fisikawan muslim terbesar dan juga ahli di
bidang optik.
Al-Hakim juga besar minatnya dalam penelitian astronomi. Oleh karena itu, ia
mendirikan lembaga observasi dibukit Al-Makattam. Ilmu astronomi banyak
dikembangkan oleh seorang astronomis yaitu Ali Ibnu Yunus kemudian Ali Al Hasan dan
Ibnu Haitam. Dalam masa ini kurang lebih seratus karyanya tentang matematika,
astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan. Penelitiannya ini telah mengilhami
para ilmuwan Barat, seperti Roger Bacon, Kepler, dan Leornado di bidang optik.[14]
5. Bidang Politik
Ada sejumlah hal penting yang ditempuh oleh para penguasa awal khilafah Fatimiah ini
untuk melancarkan stabilitas politik, yaitu antara lain al-Mahdi, khalifah pertama,
melakukan pembersihan figur-figur yang dicurigai atau dianggap sebagai penghalang
progamnya. Cara-cara ini dalam sejarah politik di Abbasiyah juga pernah terjadi. Selain itu
juga dilakukan pengembangan militer sebagai tulang punggung Pemerintahan.
Pengembangan kekuatan militer ini dapat dilihat dari tindakan al-Mahdi dalam
membangun kota Mahdiyah, sebelah selatan kota Qairawan. Kota Mahdiyah merupakan
pangkalan armada laut Khilafah Fatimiah. Langkah lain yang dilakukan juga adalah
pengembanag wilayah kekuasaan.
Dalam kenyataannya apa yang dilakukan para penguasa Fatimiah ini dapat berjalan
dengan baik, sehingga hampir seluruh Afrika Utara, terutama wilayah barat, berhasil
dikuasai. Khilafah Fatimiah berhasil menguasai seluruh wilayah bekas kekuasaan Bani
Aghlab yang berpusat di Tunisia, demikian juga menguasai Rustamiah Khariji di Tabart,
demikian juga kekuasaan oraang-orang Syi’ah yang lain, Indrisiah di Fez juga berhasil
dikuasai. Di luar wilayah tersebut juga tercatat bahwa pulau Sisilia yang sebelumnya
dikuasai dinasti Aghlab dapat dikuasai pula.
Pada puncak kejayaan pemerintahan Fatimiah ini daerah yang dikuasai mencakup seluruh
daerah-daerah Afrika Utara, Sisilia, Mesir, Syria, dan Arabia Barat. Pencapaian tersebut
tidak bisa dilepaskan dai penguasaan awal wilayah Mesir, yang cukup stategis tampaknya
untuk melakukan ekspansi-ekspansi berikutnya.[15]
6. Bidang Kebudayaan
Dinasti ini juga mencapai kemajuan pesat, terutama setelah didirikannya Masjid al-Azhar
sekitar tahun 972 M, dalam masa pemerintahan al Mu’iz. Kemudian menjadi madrasah
tingkat tinggi pada tahun 976 M dan sekarang dikenal dengan Jami’at al-Azhar (universitas
al-Azhar), yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu
pengetahuan. Bahkan selanjutnya Masjid al-Azhar ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh
kelompok Syiah maupun Sunni.
Salah satu bukti bahwa Dinasti Fatimiyah juga mempunyai prestasi gemilang dalam hal
arsitektur dan seni yaitu didirikannya masjid al-Azhar yang dibangun pada masa al-Mu’iz.
Mode dan model masjid ini dipengaruhi pola pembangunan masjid Ibnu Tulun di Mesir
dan juga terdapat pengaruh pola pembangunan Persia.
Sementara model menara yang pada akhirnya mengalami rekontruksi dengan gaya
menara yang berasal dari Irak Utara. Kemudian masjid al-Azhar mengalami perkembangan
menjadi sebuah Universitas yaitu pada masa Khalifah al- Aziz, yang sebenarnya
dibangunnya al-Azhar adalah untuk menyebarluaskan doktrin Syi’ah akan tetapi kemudian
Salahuddin al-Ayyubi mengubahnya menjadi pusat studi Sunni bahkan sampai sekarang.
Selain al-Azhar, pada tahun 990 M dibangun pula masjid al-Hakim yang dimungkinkan
selesai pada tahun 1012 M. kontruksi masjid al-Hakim tidak jauh beda dengan masjid
al-Azhar. Kemudian pada tahun 1125 M dibangun pula masjid al-Aqmar yang mana masjid
ini sangat kentara sekali khas arsitektur Islamnya yaitu ceruk (muqarnas) stalaktit. Masjid
ini mempunyai tiang dengan gaya kaligrafi Kufi yang kubus, yang mana model ini juga
mempunyai persamaan dengan masjid al-Shalih ibn Ruzzak.
Kemudian pada tahun 1125 M juga dibangun masjid al-Aqsa dan pada tahun 1160 M
dibangun masjid Salih ibn Ruski dengan gaya kufi. Guna memperlihatkan kegagahan
pemerintahan Dinasti Fatimiyah maka dibangunlah beberapa pintu gerbang besar yang
mana kelak menjadi simbol bahwa Dinasti ini pernah jaya diantaranya yang masih ada
sampai sekarang adalah : bab Zawilah, bab an-Nashr dan bab al-Futuh. Selain itu, di Mesir
juga dibangun bangunan megah seperti the Golden Palace, the Pear Pavillion, dan masjid
Karafa. Saat itu pula sudah banyak dikenal seni-seni keramik yang banyak mengikuti pola
dari Iran. Penjilidan buku juga sudah ada saat itu yang kemudain berkembang sampai pada
seni penghiasan sampul buku dan alat stempel.
Di samping itu terdapat gedung-gedung yang terkenal, seperti gedung emas, gedung
pembuat mata uang, gedung perpustakaan dan lain-lain. Bangunan itu dibuat bukan hanya
sangat megah, tetapi mempunyai nilai seni dan arsitektur yang tinggi yang tidak kalah
dengan nilai-nilai arsitektur Romawi maupun Bizantium. Perkembangan seni bukan
terbatas kepada bangunan dan gedung, seni ukir keramik atau tembikar juga sudah dikenal
pada saat itu.
Kemakmuran Mesir ini terjadi pada masa pemerintahan al-Azis yang memiliki sifat
dermawan dan tidak membedakan antara syi’ah dan sunni, Kristen dan agama lainnya,
sehingga banyak da’i sunni yang belajar ke al-Azhar. Walaupun dinasti ini
bersungguh-sungguh dalam mensyi’ahkan orang Mesir tapi tidak ada pemaksaan, inilah
salah satu bentuk kebijakan yang diambil oleh khalifah Fatimiyah yang imbasnya sangat
besar terhadap kemakmuran dan kehidupan sosial masyarakat Mesir.[16]
Pada masa Fatimiyah, Kota Kairo dipenuhi dengan bangunan yang memiliki gaya
arsitektur yang tinggi. Jenis keramik lustreware tersebar luas selama periode Fatimiyah.
Kaca dan logam juga populer saat itu. Masjid dan istana dihiasi dengan marmer dan granit.
Pilar, ukiran, dan patung yang bercorak Islam banyak digunakan. Panel dekoratif dan
lampu kandil dilapisi dengan batu pualam putih dalam berbagailapisan warna. Tekstil dan
bordir dari Kairo juga mampu menarik minat dunia, terutama para pedagang dari Eropa.
Jejak seni arsitektur Fatimiyah yang sampai saat ini masih bisa dilacak adalah bangunan
Masjid Al Azhar dan Masjid Al Al-Hakim serta kawasan Khan Al-Khalili.[17]
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah:
a) Abu Hatim Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyat yang pemikirannya lebih banyak
dalam masalah politik, Abu Hatim menulis beberapa buku diantaranya kitab Azzayinah
yang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh, filsafat
dan aliran-aliran dalam agama.
b) Abu Abdillah An-Nasafi, dia adalah seorang penulis kitab Almashul. Kitab ini lebih
banyak membahas masalah al-Ushul al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab
Unwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku tentang
falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan al-Kaunul Mujrof.
c) Abu Ya’qup as Sajazi, ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak
tulisannya
d) Abu Hanifah An-Nu’man Al-Magribi
e) Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani
f) Hamiduddin Al-Qirmani.[18]
Sebagaimana juga yang terjadi di beberapa kekuasaan lain, maka demikian juga yang
terjadi pada Dinasti Fatimiah. Setelah Dinasti ini mengalami kemajuan-kemajuan disana sini,
kemudian tiba waktu kemundurannya. Para sejarawan menyimpulkan kemunduran Dinasti
Fatimiah ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
Dalam sejarah Dinasti Fatimiah yang pernah mengalami kejayaaan di atas terdapat
beberapa khalifah yang diangga sebagai figur yang lemah. Kelemahan ini disebabkan oleh
beberapa hal. Diantaranya adalah diangkat dalam usia yang relatif masih muda. Ada pula
kelemahan itu karena khalifah terlena dengan kemewahan istana serta melakukan sikap
yang sewenang-wenang dan cenderung amoral, yang menyebabkan ketidaksukaan
masyarakat terhadap Dinasti Fatimiah khususnya kepada Khalifahnya.
Terdapat beberapa nama khalifah yang diangkat dalam usia muda, diantaranya adalah
Khalifah Al-Hakim yang diangkat dalam usia 11 tahun, usia yang masih belia untuk
ukuran seorang pemimpin negara. Demikian juga Al-Zahir yang menjadi khalifah dalam
usia 16 tahun, Al-Muntashir dalam usia 11 tahun, Al-Musta’li dalam usia 9 tahun, Al-Amir
dalam usia 5 tahun, Al-Zafir dalam usia 16 tahun, Al-Faiz dalam usia 4 tahun, dan
Al-Adhid, khalifah terakhir, diangkat dalam usia 9 tahun. Pengangkatan khalifah dalam
usia yang masih muda ini merupakan konsekuensi logis dari model pergantian khalifah
secara garis keturunan. Dan sebagai akibat dari pengangkatan khalifah di usia muda itu
menjadikan otoritas untuk menjalankan roda pemerintahan umumnya didominasi oleh para
wazir.
Karena faktor usia khalifah masih muda terkadang muncul sikap sewenang-wenang
khalifah, seperti yang dilakukan oleh khalifah al-Hakim, dia terkenal sebagai khalifah yang
keras dan sewenang-wenang. Sikapnya cenderung dipengaruhi oleh hawa nafsunya.
Al-Hakim memang punya prestasi monumental misalnya membangun perpustakaan besar
yang kemudian dinamai dengan Darul Hikmah pada tahun 1004 M, tetapi ia juga terkenal
sebagai khalifah yang kejam.
Sebagai akibat dari diangkatnya khalifah di usia muda mengakibatkan peranan wazir
menjadi sangat penting dan kompetitif, sehingga perebutan kekuasaan antar wazir tak
terhindarkan lagi. Ini terutama terjadi diantara para wazir yang sangat ambisius terhadap
jabatan dan mereka ingin mendapatkan pengaruh di Istana, terlebih lagi dengan melihat
kondisi khalifah yang sangat lemah. Ada juga wazir yang berusaha mengangkat khalifah
padahal khalifah terakhir sudah menunjuk pengganti dirinya.
Hal tersebut bisa dilihat misalnya yang terjadi pada pengganti khalifah khalifah
al-Muntashir, dimana setelah al-Muntashir meninggal dunia pada akhir tahun 1094,
tindakan setelah al-Afdal yang menjabat sebagai wazir kala itu mengatur penggantian
al-Muntashir, padahal al-Muntashir telah menunjuk putranya yang pertama, yaitu Nizar,
tetapi al-Afdal justru menunjuk putranya yang lebih muda, al-Musta’li, dan membujuk para
pejabat senior untuk menerima keputusannya itu.[19] Besar kemungkinan apa yang
dilakukan oleh al-Afdal dalam rangka agar ketika anaknya berkuas nanti akan dapat
dikendalikannya.
Apa yang dilakukan wazir al-Afdal yang memaksakan kehendaknya, menjadikan Nizar
yang mestinya mempunyai hak menjadi khalifah lari ke Iskandaria dan disana ia
menyatakan diri sebagai khalifah. Al-Afdal kemudian dengan membawa pasukan besar
bergerak untuk menyerang dan menangkap Nizar. Akhirnya Nizar menyerah. Walau
tadinya dijanjikan keselamatan. Tetapi dia lenyap tidak diketahui.
Hal ini membawa perpecahan di dalam pergerakan Ismailiah. Rakyat yang loyal kepada
al-Muntashir pecah menjadi dua golongan. Pertama, di Iran dan sebagian wilayah Syiria,
pengikut Madzhab Ismailiah mendukung anaknya yang paling tua yaitu Nizar dan Kedua,
di Mesir, Yaman dan Sind pengikut Ismailiah berkeyakinan bahwa adik Nizar yang
bernama al-Musta’li. Kedua kelompok Ismailiyah ini, sama-sama mewarisi Dinasti
Fatimiah, tetapi sejarah dan perkembangan mereka berjalan dalam arah yang berlainan.
Kenyataan ini tentu secara politis tidak menguntungkan.
Demikian juga terjadi pertentangan antara para wazir dan klik-klik militer terjadi pada
masa al-Hafid. Yaitu konflik antara Bahram dan Ridwan yang keduanya pernah menjabat
penguasa Armenia yang kemudian menjadi wazir. Konflik internal ini jelas semakin hari
semakin melemakan kekuasaan khilafah Fatimiah. Demikian juga pada masa al-Adhid juga
terjadi pertentangan yang serupa, terutama perebutan wazir antara Syawar dan Dirgham.
Pada saat Al-Aziz menjabat sebagai khalifah keempat, dia membuat kebijakan untuk
merekrut orang-orang Turki dan Negro. Kebijakan ini dilakukan untuk mengimbangi
kekuasaan para pengawal istana yang telah terlanjur membesar yang mereka ini sebagian
besar berasal dari suku Barbar yang terkenal keras. Ternyata, rekruitmen ini menimbulkan
kemelut di dalam tubuh militer dan antar mereka terus menerus terjadi perselisihan yang
melemahkan kekuasaan Fatimiah.
Demikian juga pada masa Khalifah Al-Muntashir, di masa ini kekuasaan Dinasti
Fatimiah mulai merosot tajam. Tentara profesional betul-betul tidak bisa dikendalikan sang
khalifah. Kelompok-kelompok militer yang terdiri dari orang-orang Turki, Sudan, Barbar
dan Armenia bersaing sengit, dan terkadang terjadi pertempuran diantara mereka. Bahkan
panglima tentara berkebangsaan Turki, Nasir mampu menguasai Kairo pada tahun 1068
sempat menjarah istana kekhalifahan. Sebuah peristiwa cukup membahayakan eksistensi
pemerintahan Fatimiah. Tentu saja kemelut di kalangan Militer ini berdampak pada
stabilitas pemerintahan yang tidak aman lagi.[20]
Pada masa Al-Muntashir, selama tujuh tahun, Mesir ditimpa musibah kelaparan akibat
kekeringan. Sungai Nil yang merupakan urat nadi wilayah Mesir saat itu mengalami
kekeringan yang menyebabkan pertanian mengalami kegagalan. Demikian juga penyakit
merajalela dimana-mana. Penguasa mengalami kesuitan mengatasi kondisi yang demikian.
Sehingga dalam waktu sembilan tahun pernah terjadi pergantian pejabat wazir sampai
empat puluh kali. Musibah ini, tentu mengganggu kondisi ekonomi di pemerintahan
Fatimiah.
Kemudian Khalifah al-Muntashir meminta bantuan kepada seorang jenderal dari suku
Armenia yang bernama Badr al-Jama, yang menjabat Gubernur Arce untuk mengatasi
bencana tersebut. Orang ini segera berlayar ke Mesir dengan pengawal Armenia dan
sepasukan bala tentara yang setia. Sebelum maksud pemanggilannya, oleh al-Muntashir
diketahui dia telah menangkap dan menghukum mati para jenderal Turki dan
pejabat-pejabat Mesir yang mungkin menimbulkan masalah. Dia berusaha semaksimal
mungkin memperbaiki keadaan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Fatimiah.
Di antara sekian banyak Khalifah Fatimiah yang terkenal memiliki andil dalam
memajukan Dinasti ini adalah Khalifah al-Aziz. Dia memberikan sumbangan yang sangat
besar bagi kemajuan Dinasti Fatimiah. Diantara kebijakan al-Aziz adalah al-Aziz sering
memberikan pos-pos penting dan strategis kepada orang-orang non-Islam. Tampaknya
kebijakan ini memang turut memajukan Fatimiah tetapi pada sisi yang lain justru menjadi
salah satu faktor yng mengakibatkan kemunduran dinasti ini, karena kebijakan ini ternyata
menimbulkan kecemburuan, kejengkelan dan bahkan kemarahan di kalangan kaum
muslimin. Benih-benih kejengkelan ini tentu membahayakan kehidupan sosial politik
Fatimiah.
Sebagian orang non-muslim tersebut ada yang dipercaya menjadi menteri, petugas pajak,
dan bahkan penasehat dalam bidang politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan, juga terdapat
para dokter dan para pejabat yang mengendalikan kerja operasional kekhalifahan.
Kenyataan seperti ini, secara berangsur-angsur dapat melemahkan dan menggerogoti
kondisi kekhalifahan Fatimiah.[21]
Setelah kekuasaan berjalan sekitar dua setengah abad, kemudian khilafah Fatimiah
mengalami kehancurannya. Kehancuran khilafah ini terjadi pada masa kekhalifahan
al-Adhid. Kehancuran khilafah ini selain dari akumulasi berbagai faktor yang
menyebabkan kemunduran diatas, juga disebabkan oleh adanya kekuatan Kaum Salajiqah
dan Pasukan Salib yang banyak terlibat dalam urusan-urusan kekhalifahan, juga karena
diminta oleh para wazir yang sedang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Sehingga konflik kerap muncul di masa khalifah al-Adhid.
Pertentangan tingkat istana itu memuncak saat seorang khalifah Fatimiah memerintahkan
untuk membunuh Ibnu Ruzzik, seorang wazir sejak masa al-Faiz. Kemudian Ibnu Ruzzik
digantuikan oleh anaknya sendiri yang bernama al-Adhil yang kemudian direbut oleh
Syawar yang berasal dari Arab yang juga teman dari Ibnu Ruzzik. Anak Syawar, Tayy,
kemudian membunuh al-Adil pada tahun 1163.
Pada saat itu, Syawar menyusun sebuah strategi dengan cara diam-diam meminta bantuan
kepada Nuruddin, enguasa Dmaskus di masa dinasti Saljuq, yang merupakan afiliasi
Abbasiyah di Baghdad. Syawar menjanjikan kepada Nuruddin akan membiayaiekspedisi
militer dan memberikan sepertiga pajak Mesir sebagai upeti tahunan jika negara itu dapat
dikuasai lagi.
Akhirnya Nuruddin mengirimkan ekspedisi militer dengan tentara asal Turki dibawah
pimpinan Panglima Syirkuh. Dirgham yang baru saja mengalami kekalahan dari Raja
Almaric, penguasa Yerussalem, tidak berkutik sampai dia meninggal dunia. Sehingga
kemenangan berada di pihak Nuruddin.
Setelah kemenangan terjadi, dan Syawar kemudian dapat kembali menjadi wazir di
Fatimiah pada tahun 1164 M, ternyata ia mengingkari janjinya dulu kepada Nuruddinm,
dan bukan itu saja, ia bahkan dengan bantuan pasukan salib yang berasal dari tentara
Perancis selanjutnya ia mengusir panglima Syirkuh dari Mesir, pasukan yang dulu
membantunya dalam mengalahkan Dirgham.
Setelah terusir dari Mesir kemudian panglima Syirkuh bersama Shalahuddin al-Ayyubi
dengan didukung pasukan tangguh kemudian berangkat lagi ke Mesir pada tahun 1166 M.
Pasukan ini bukan hanya membantu melawan pasukan Salib tetapi juga sekaigus untuk
menguasai Mesir. Dengan pertimbangan bahwa Mesir lebih baik mereka kuasai dari pada
dikuasai oleh pasukan salib. Disamping itu sebagai akibat dari pengkhianatan yang
dilakukan oleh wazir Syawar. Akhirnya mereka berhasil mengalahkan pasukan salib serta
sekaligus menguasai Mesir tahun 1169 M. Akhirnya atas perintah Khalifah, Syawar
dibunuh dan kemudian yang diangkat sebagai wazir pada tahun 1169 M adalah Syirkuh.
Syirkuh menjabat sebagai wazir hanya selama dua tahun, selanjutnya ia digantikan oleh
Salahuddin. Salahuddin adalah orang yang bertabiat ramah, ia cepat mendapat simpati
rakyat dan bahkan mengalahkan pengaruh Khalifah. Posisi ini tentu menjadi rawan bagai
possi khalifah Fatimiah.
Dalam keadaan seperti itu kemudian ada perintah dari istana untuk membunuh
Salahuddin di bawah pimpinan Najah. Salahuddin tidak terbunuh tetapi justru Najah yang
ditangkap dan akhirnya dibunuh. Kemudian terjadilah peperangan antara tentara asal
Sudan yang berada di pihak Khalifah berjumlah 50.000 orang melawan tentara asal Turki
dari pihak Salahuddin. Karena posisi Salahuddin dan pasukannya sudah kuat maka
kemenangan berada di pihak Salahuddin al-Ayyubi.
Setelah kemenangan Salahuddin tersebut kemudian disusul mengirim ekspedisi militer
melawan tentara Salib di Karak dan Syubik. Setelah meraih kemenangan, pada tahun 1170
M ia meminta kepada Nuruddin untuk mengirim orang tua dan kerabatnya ke Mesir.
Mayoritas rakyat Mesir baik Syi’ah maupun Sunni dari kalangan Turki menganggap
Salahuddin sebagai pelindung mereka menghadapi pasukan Salib. Kemudian Nuruddin
meminta kepada Salahuddin untuk menyebut nama Khalifah Abbasiyah dalam setiap
khutbah menggantikan nama Khalifah Fatimiah, tetapi Salahuddin tidak langsung
mengabulkannya.
Pada saat khalifah al-Adid sakit, kemudian Salahuddin mengadakan rapat pimpinan soal
permintaan Nuruddin itu. Tetapi rapat tersebut tidak membuahkan hasil mungkin karena
ada konsekuensi besar dari penyebutan nama Khalifah Abbasiyah tersebut. Pada saat
demikian dalam rapat itu tampil seorang keturunan Persia, al-Amir, yang mengusulkan
untuk melaksanakan keinginan Nuruddin.maka pada hari Jum’at pertama bulan Muharram,
sebelum khatib naik mimbar, ia mendahului naik dan menyebut nama Khalifah Abbasiyah,
al-Mustadli. Karena tidak ada reaksi negatif dari jamaah, Salahuddin menginstruksikan
agar para khatib menyebut nama Khalifah Abbasiyah pada hari-hari Jum’at.
Pada tahun 1171 M Khalifah al-Adhid meninggal dunia, dengan meninggalnya khalifah
al-adhid dan di khutbah-khutbah jumah disebut nama khalifah Abbasiyah maka dengan
demikian hancurnya sudah kekuasaan khilafah Fatimiah secara politis setelah berkuasa
sekitar 280 tahun. Jatuhnya kekuasaan Fatimiah ini kemudian kekuasaan dipimpin oleh
Salahuddin dengan dinasti keturunannya yaitu dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini tunduk dan
berada di bawah kekuasaan dinasti Abbasiyah.[22]
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
• Dinasti Fatimiah berkuasa tahun 297-567 H/909-1171 M di Afrika Utara tepatnya di Mesir
dan Syria. Dinamakan dinasti Fatimiah karena dinisbatkan nasabnya kepada keturunan Ali
Fatimah, putri Rasulullah, istri Ali ibn Abi Thalib dan Fatimiah dari Ismail anak Ja’far
Sidiq keturunan keenam dari Ali. Awalnya kelompok ini dibangun dan dibentuk menjadi
system agama dan politik oleh Abdullah ibn Maimun. Setelah itu berubah menjadi gerakan
kekuatan, dengan tokohnya Said ibn Husein. Kemudian sekte ini menyebar dan menjadi
landasan munculnya dinasti Fatimiah. Tokoh-tokohnya meliputi: Abu Muhammad
Abdullah/ Ubaidullah Al-Mahdi, Abu al-Qasim Muhammad Al-Qa’im ibn Amrullah ibn
al-Mahdi Ubaidullah, Abu Tahir Isma’il Al-Manshur Billah, Abu Tamim Ma’add
Al-Mu’izz Lidinillah, Abu Manshur Nizar Al-‘Aziz Billah, Abu ‘Ali Manshur Al-Hakim
ibn Amrillah, Abu al-Hasan Ali-Zhahir, Abu Tamim Ma’add Al-Mustanshir.
• Ekspansi yang dilakukan oleh dinasti Fatimiah diantaranya yaitu Khalifah Ubaidillah
memperluas kekuasannya meliputi wilayah Afrika dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah
sampai perbatasan-perbatasan Mesir. Tahun 914 M, ia menguasai Iskandariyah. Dua tahun
kemudian ia menundukkan wilayah Delta. Tahun 915 M, mereka berhasil menguasai
Mahdiyah, Tunisia, dan menjadikannya sebagai pusat kekuasaan. Tahun 935 M, al-Qaim bi
Amrillah Abu al-Qasim Muhammad mengirimkan ekspedisi untuk menguasai Italia,
Prancis, Andalusia, Genoa dan sepanjang pesisir Calabria. Di bawah pemerintah Abu
Tamim Ma’add al-Muiz pasukan Fatimiah menyerbu pantai Spayol. Tiga tahun kemudian
tentara Fatimiah berhasil menuju Atlantik. Pada tahun 969 M, Mesir telah terbebas dari
penguasa Iksidiyah. Kemudian Jahwar menjadi pendiri Dinasti Fatimiah yang kedua
setelah al-Syi’i yang daerah kekuasannya meliputi wilayah Afrika Utara. Arab sebagaian
barat adalah warisan dinasti Iksidiyah yang telah dipercayakan oleh penguasa Abbasiyah
sebagai perlindungan terhadap kota Suci. Setelah itu, Jahwar mulai melirik Suriah dan
mengirim seorang panglima perang yang berhasil menaklukan Damaskus pada 969 M.
• Ideologi keagamaan yang berkembang diantaranya berkembang empat madzhab fikih;
Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Selain itu ada juga yang menganut faham Syi’ah dan
Sunni.
• Kemajuan Dinasti Fatimiah meliputi berbagai bidang yaitu administrasi, sosial, ekonomi
dan perdagangan, ilmu pengetahuan dan kesusastraan, politik, kebudayaan, arsitektur dan
seni, pemikiran dan filsafat.
• Kemunduran Dinasti Fatimiah disebabkan beberapa faktor yaitu figur khalifah yang lemah,
perebutan kekuasaan di tingkat istana, konflik di tubuh militer, keterlibatan non-islam
dalam pemerintahan. Kemudian pada tahun 1171 M dengan meninggalnya khalifah
al-Adhid dan di khutbah-khutbah jum’at tidak disebut nama khalifah Fatimiah melainkan
disebut nama khalifah Abbasiyah, maka dengan demikian hancur kekuasaan khilafah
Fatimiah.
3.2 SARAN
Demikian Makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa masih terdapat
banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah II, Bulan Bintang, Jakarta; 1977
Philip K. Hitti, History of The Arabs; From the Earliest Times to the Present (Penerjemah: R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi), Serambi Ilmu Semesta, Jakarta; 2006
Zuhairi Misrawi, Al-Azhar (Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan), Kompas Media
Nusantara, Jakarta; 2010
Mohammad Kamilus Zaman, Fatimiyah dan Perannya dalam Pengembangan Peradaban Mesir,
http://kamiluszaman.blogspot.com/2014/12/fatimiyah-dan-perannya-dalam.html, diunduh
tanggal 26 April 2015 pukul 09.23 WIB
[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Amzah, Jakarta; 2010, hlm. 254-255
[2] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah II, Bulan Bintang, Jakarta; 1977, hlm. 232-237
[3] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, Teras, Yogyakarta; 2012, hlm. 172-174
[4] Zuhairi Misrawi, Al-Azhar (Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan), Kompas
Media Nusantara, Jakarta; 2010, hlm. 120
[5] Philip K. Hitti, History of The Arabs; From the Earliest Times to the Present (Penerjemah: R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi), Serambi Ilmu Semesta, Jakarta; 2006, hlm. 789
[8] Mohammad Kamilus Zaman, Fatimiyah dan Perannya dalam Pengembangan Peradaban
Mesir, http://kamiluszaman.blogspot.com/2014/12/fatimiyah-dan-perannya-dalam.html, diunduh
tanggal 26 April 2015 pukul 09.23 WIB
[14] Mohammad Kamilus Zaman, Fatimiyah dan Perannya dalam Pengembangan Peradaban
Mesir, http://kamiluszaman.blogspot.com/2014/12/fatimiyah-dan-perannya-dalam.html,
diunduh tanggal 26 April 2015 pukul 09.23 WIB