Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

PERKEMBANGAN RASM AL-QUR’AN DAN QIRA’AT AL-QUR’AN

Dosen Pengampu :
Dr. Saiful Bahri, MA

Oleh :
ACENG BADRUZZAMAN

MAGISTER STUDI ISLAM


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN ..............................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................................1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................................2

C. Tujuan Penulisan .....................................................................................................2

BAB II : PEMBAHASAN ..............................................................................................3

A. Rasm Al-Qur’an ......................................................................................................3

1. Pengertian Rasm Al-Qur’an ................................................................................3

2. Sejarah Pengumpulan dan Penulisan Al-Qur’an .................................................4

3. Pola Penulisan Al-Qur’an Dalam Mushaf ‘Utsmani ...........................................6

4. Pendapat Para Ulama Mengenai Status Rasm ‘Utsmani .....................................7

5. Proses Perbaikan Rasm ‘Utsmani .......................................................................8

6. Kelebihan Rasm Al-Qur’an ...............................................................................11

B. Qira’ah Al-Qur’an .................................................................................................13

1. Pengertian Qira’at ....................................................................................................... 13


2. Syarat-syarat Qira’at .................................................................................................. 16
3. Sejarah Perkembangan dan Pembukuan Ilmu Qira’at ........................................... 17
4. Macam-macam Qira’at .............................................................................................. 29
5. Perkembangan Qira’at Sab’ah di Indonesia ............................................................. 31
6. Faidah Keberagaman Qira’at yang Shahih............................................................... 32

BAB III : PENUTUP ....................................................................................................34

A. Kesimpulan ...........................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................37

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang abadi, dimana semakin maju ilmu pegetahuan,
semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah SWT menurunkannya kepada Nabi
Muhammad SAW demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju
cahaya Ilahi dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah SAW
menyampaikannya kepada para sahabatnya sebagai penduduk asli Arab yang sudah tentu
dapat memahami tabiat mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang
ayat-ayat yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah SAW.
Seiring dengan itu, para sahabat pun senantiasa bersungguh-sungguh mengamalkan
isi kandungan Al-Qur’an dan menegakkan hukum-hukumnya. Abu Abdirrahman As-Sulaimi
meriwayatkan, bahwa orang-orang yang biasa membacakan Al-Qur’an kepada kami seperti
Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud serta yang lainnya, apabila mereka belajar
sepuluh ayat dari Rasulullah SAW mereka enggan melewatinya sebelum memahami dan
mengamalkannya. Mereka mengatakan, “Kami mempelajari Al-Qur’an, ilmu dan amal
sekaligus”.
Ketika Rasulullah SAW telah wafat, Khalifah Utsman bin ‘Affan membuat suatu
terobosan ijtihad yang sangat mulia, yaitu demi menyatukan kaum muslimin dengan
pedoman satu mushaf yang kemudian diberi nama mushaf Al-Imam. Selanjutnya, mushaf
tersebut dikirim ke berbagai negeri di sepanjang jazirah Arab saat itu. Adapun tulisan huruf-
hurufnya disebut sebagai “Rasm Utsmani”, yang dikatikan dengan nama Khalifah Utsman.
Langkah ini adalah awal munculnya ilmu penulisan Rasm Al-Qur’an.
Ketika mushaf Al-Qur’an dikirim ke berbagai negeri di sekitar jazirah Arab, yang
ketika itu bangsa Arab merupakan suatu komunitas dari berbagai suku, yang setiap sukunya
memiliki format dialek yang berbeda-beda. Perbedaan dialek inilah yang pada akhirnya
membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (Qira’ah) dalam melafalkan Al-
Qur’an, tentunya didasarkan kepada sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan diatas, penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an ?
2. Bagaimana perkembangan Rasm Al-Qur’an ?
3. Apa saja kelebihan Rasm ‘Utsmani ?
4. Apakah yang dimaksud dengan Qira’at ?
5. Bagaimanakah perkembangan Qira’at Al-Qur’an ?
6. Apa saja syarat-syarat Qira’at Al-Qur’an serta apa saja macam-macamnya ?
7. Bagaimanakah perkembangan Qira’at Al-Qur’an di Indonesia ?
8. Apa saja faidah keberagaman Qira’at yang shahih ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulis dalam menyusun makalah ini, antara lain :
1. Untuk mengetahui proses perkembangan Rasm Al-Qur’an dan Qira’at Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui hubungan Rasm Al-Qur’an dan Qira’at Al-Qur’an.
3. Menjadi tambahan ilmu pengetahuan dalam studi Al-Qur’an khususnya dalam masalah
Rasm Al-Qur’an dan Qira’at Al-Qur’an.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Rasm Al-Qur’an
1. Pengertian Rasm Al-Qur’an
Rasm secara etimologi adalah gambar atau coretan,1 selain itu rasm juga dapat berarti
“‫( ”اﻻَﺛَﺮ اﻟﺒَﺎﻗِﻰ ِﻣ َﻦ اﻟﺪﱠا ِر ﺑـَ ْﻌ َﺪ أَن َﻋﻔَﺖ‬sisa-sisa dari rumah setelah direnovasi)2, selain itu terdapat

beberapa kata juga yang dinilai bersinonim dengan rasm, diantaranya : ‫ ﻛﺘﺎﺑﺔ‬,‫ ﺳﻄﺮ‬,‫ ﻧﺴﺦ‬,‫ﻂ‬
ّ ‫اﳋ‬

bermakna tulisan.3 Sedangkan rasm pada pembahasan ini adalah ‫( ﻛﻴﻔﻴﺔ اﻟﻜﺘﺎﺑﺔ‬cara menulis).

Rasm Al-Qur’an atau yang lebih dikenal dengan “Ar-Rasm Al-‘Utsmani lil Mushaf”
(penulisan mushaf Utsmani) adalah suatu metode khusus dalam penulisan Al-Qur’an yang
ditempuh oleh Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy (Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi
Thalib dan ‘Utsman bin ‘Affan) yang telah menempuh suatu metode khusus dalam penulisan
Al-Qur’an yang disetujui oleh ‘Utsman. 4
Didalam Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an syekh Az-Zarqani menjelaskan bahwa
Rasm Mushaf yang dimaksud disini adalah kaidah yang disepakati oleh ‘Utsman
radhiyallahu ‘anhu dalam penulisan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan hurufnya. Asal dari
tulisan tersebut adalah (idealnya) sesuai dengan apa yang diucapkan, tanpa tambahan dan
pengurangan, pergantian dan perubahan. Namun mushaf ‘Utsmani sudah menyepelekan
keaslian tersebut, banyak didapati disana huruf-huruf yang rasmnya itu bertentangan dengan
apa yang diucapkan. Hal tersebut disebabkan karena tujuan yang mulia yang dapat kita
saksikan disuatu hari nanti.5

1
Ibrahim Musthofa, et.al. al-Mu’jam al-Washit, (Kairo: Maktab asy-Syuruq ad-Dauliyah, 2004). Hal. 345
2
Ibid,. Hal. 345
3
Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim Arab Indonesia, (Jakarta: Ciputat
Press Group, 2009). Hal. 262
4
Syekh Manna Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998). Hal. 139
5
Syekh Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Kutub al-
‘Arabiy, Tanpa Tahun). Hal. 300

3
2. Sejarah Pengumpulan dan Penulisan Al-Qur’an Pada Masa ‘Utsman
Setelah wilayah kekuasaan Islam semakin luas dan para qurra’ pun tersebar di
berbagai wilayah penduduk di setiap wilayah itu biasanya mempelajari qira’at (bacaan) ayat
dari qari’ yang dikirim kepada mereka. Pembacaan Al-Qur’an yang mereka bawakan
berbeda-beda relevan dengan perbedaan huruf-huruf yang dengannya Al-Qur’an diturunkan.
Apabila mereka berkumpul di suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan, sebagian
mereka merasa heran akan adanya perbedaan qira’at ini. Terkadang sebagian dari mereka
merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan
kepada Rasulullah SAW. Tetapi keadaan demikian ternyata tidak dapat membendung adanya
keraguan di benak generasi yang tidak berjumpa Rasulullah SAW, sehingga terjadilah
pembicaraan tentang bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Akhirnya akan
menimbulkan pertentangan bila terus tersiar, bahkan hampir menimbulkan permusuhan dan
perbuatan dosa. Fitnah seperti ini tentu harus segera diselesaikan.
Ketika penyerbuan Armenia dan Azerbajian dari penduduk Irak, termasuk Hudzaifah
bin Al-Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian
bacaan itu bercampur dengan ketidakfasihan, masing-masing mempertahankan dan
berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan
puncaknya mereka saling mengafirkan. Melihat kenyataan demikian, Hudzaifah segera
menghadap ‘Utsman dan melaporkan kepadanya apa yang dilihatnya. ‘Utsman juga
berpendapat demikian bahwa sebagian perbedaan itu pun terjadi pada orang-orang yang
mengajarkan qira’at kepada anak-anak. Lalu anak-anak itu akan tumbuh sedang diantara
mereka terdapat perbedaan dalam qira’at. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini
karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan.
Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar
dan menyatukan umat Islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan-bacaan baku pada
satu huruf.
‘Utsman kemudian mengirim utusan kepada Hafshah (untuk meminjamkan mushaf
Abu Bakar yang ada padanya), dan Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu
kepadanya. Kemudian ‘Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari, Abdullah bin Zubair,
Said bin Al-‘Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam. Lalu ia memerintahkan mereka
agar menyalin dan memperbanyak mushaf, jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga

4
orang Quraisy itu, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Al-Qur’an turun dalam
dialek bahasa mereka.
Anas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Hudzaifah bin Al-Yaman datang
kepada ‘Utsman. Ia pernah ikut berperang melawan penduduk Syam bagian Armenia dan
Azerbajian bersama dengan penduduk Irak. Hudzaifah amat terkejut oleh perbedaan mereka
dalam qira’at. Lalu ia berkata kepada ‘Utsman “Selamatkanlah umat ini sebelum mereka
terlibat dalam perselisihan dalam masalah Al-Qur’an sebagaimana perselisihan orang Yahudi
dan Nasrani”. ‘Utsman kemudian mengirim surat kepada Hafshah, “Sudilah kiranya anda
kirimkan kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur’an itu, kami akan
menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya”. Hafshah
pun mengirimkan mushaf tersebut kepada ‘Utsman. Lalu, ‘Utsman memerintahkan Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-‘Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam
untuk menyalinnya. Mereka menyalinnya menjadi beberapa mushaf. ‘Utsman berkata kepada
ketiga orang Quraisy itu, “Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentang
sesuatu dari Al-Qur’an, maka tulislah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan
dalam bahasa Quraisy”.
Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, ‘Utsman
mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafshah. Selanjutnya ‘Utsman
mengirimkan mushaf baru tersebut ke setiap wilayah dan memerintahkan agar semua Al-
Qur’an atau mushaf lainnya dibakar. Zaid berkata, “Ketika kami menyalin mushaf, saya
teringat akan satu ayat dari surat Al-Ahzab yang pernah aku dengar dibacakan oleh
Rasulullah SAW. Maka kami mencarinya dan kami dapatkan ada pada Khuzaimah bin Tsabit
Al-Anshari. Ayat itu ialah :

                

   


di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada
(pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya). (QS. Al-Ahzab : 23)
Lalu, kami tempatkan ayat ini pada surat tersebut dalam mushaf.

5
Keterangan ini menunjukkan, apa yang dilakukan ‘Utsman telah disepakati oleh para
sahabat. Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Al-Qur’an
seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qira’at. ‘Utsman telah mengembalikan
lembaran-lembaran yang asli kepada Hafshah. Lalu, dikirimkan pula ke setiap wilayah
masing-masing satu mushaf dan ditahannya satu mushaf di Madinah, yaitu mushafnya sendiri
yang kemudian dikenal dengan nama “Mushaf Imam”. Penamaan mushaf imam itu sesuai
dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahulu dimana ‘Utsman mengatakan
“Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad dan tulislah untuk semua orang satu imam
(mushaf Al-Qur’an sebagai pedoman)”.6

3. Pola Penulisan Al-Qur’an Dalam Mushaf ‘Utsmani


Bangsa Arab sebelum Islam dalam hal tulis menulis menggunakan khat Hijri, setelah
datang Islam dinaamakan khat Kufi.7 Sejauh itu bahasa dapat terpelihara dari kerusakan-
kerusakan karena ada kemampuan berbahasa yang tertanam dalam jiwa mereka. Pada masa
khalifah ‘Utsman bin ‘Affan, umat Islam terlah tersebar ke berbagai penjuru dunia sehingga
pemeluk agama Islam bukan hanya orang-orang Arab saja. Pada saat itu muncul perdebatan
tentang bacaan Al-Qur’an yang masing-masing pihak mempunyai dialek yang berbeda.
Sangat disayangkan masing-masing pihak merasa bahwa bacaan yang digunakannya adalah
yang terbaik.8
Untuk mengantisipasi kesalahan dan kerusakan serta memudahkan membaca Al-
Qur’an bagi orang-orang awam, maka ‘Utsman bin ‘Affan membentuk panitia yang terdiri
dari 12 orng untuk menyusun penulisan dan memperbanyak naskah Al-Qur’an. Mereka itu
adalah: Sa’id bin Al-‘Ash, Nafi’ bin Zubair bin Amr bin Naufal, Zaid bin Tsabit, ‘Ubay bin
Ka’ab, Abdullah bin az-Zubair, Abdurrahman bin Hisyam, Khatir bin ‘Aflah, Anas bin
Malik, Abdullah bin Abbas, Malik bin Abi Amir, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin ‘Amr
bin Al-‘Ash.9 Mereka inilah yang menyusun mushaf Al-Qur’an yang kemudian dikenal
dengan mushaf ‘Utsmani, ada juga yang mengatakan bahwa panitia yang dibentuk oleh

6
Syekh Manna Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998). Hal. 139
7
Syekh Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Kutub al-
‘Arabiy, 1995). Hal. 330
8
As-Shalih, Subhi, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-‘Ilmi, 1988). Hal. 361-362
9
Musthofa Al-Azami, The History of Qur’anic Text, Terj. Sohirin Solihin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).
Hal. 99-100

6
‘Utsman ada empat orang, mereka itu adalah: Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin
Al-‘Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits,10 karena ditetapkan pada masa khalifah ‘Utsman
bin ‘Affan dan mushaf Al-Qur’an ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Para ulama
meringkas kaidah-kaidah itu menjadi 6 istilah, yaitu:
1. Al-Hadzf (membuang, menghilangkan atau meniadakan huruf), contohnya:
menghilangkan huruf alif pada ya’ nida dari tanbih.
2. Az-Ziyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang
mempunyai hukum jama’ dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang
terletak diatas tulisan wawu).
3. Al-Hamzah, salah satu kaidahnya berbunyi bahwa apabila hamzah berharakat sukun
ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya.
4. Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu.
5. Washal dan Fashl (penyambung dan pemisah), seperti kata ‫ ﻛُﻞ‬yang diiringi dengan kata

‫ ﻣﺎ‬ditulis dengan disabung (‫)ﻛُﻠﻤَﺎ‬.

6. Kata yang dapat dibaca dua bunyi. Penulisan kata yang dapat dibaca dua bunyi
disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Didalam mushaf ‘Utsmani penulisan kata
semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, misalnya “maliki yaumiddin” (ayat
tersebut boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), dan boleh juga
dibaca hanya menurut bunyi harakat, yakni dibaca satu alif). 11

4. Pendapat Para Ulama Mengenai Status Rasm ‘Utsmani


Para ulama berbeda pendapat mengenai status Rasm ‘Utsmani atau Rasm Al-Qur’an,
pendapat-pendapat tersebut diantaranya:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa Rasm ‘Utsmani untuk Al-Qur’an bersifat tauqifi
(yakni bukan produk manusia, tetapi merupakan sesuatu yang ditetapkan berdasarkan
wahyu Allah SWT yang Rasulullah SAW sendiri tidak memiliki otoritas untuk
menyangkalnya), yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an dan harus sungguh-
sungguh disucikan. Para ulama yang berpendapat ini menisbatkan tauqifi dalam

10
Rosihan Anwar, ‘Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2006). Hal. 50
11
Ibid,. Hal. 50-52

7
penulisan Al-Qur’an ini kepada Nabi SAW. Mereka pun menyebutkan, bahwa Nabi
SAW pernah mengatakan kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu salah seorang penulis
wahyu, “Goreskan tinta, tegakkan huruf ya, bedakan sin, jangan kamu miringkan mim,
baguskan tulisan lafadz Allah, panjangkan Ar-Rahman, baguskan Ar-Rahim dan
letakkanlah penamu pada telinga kirimu, karena yang demikian akan lebih dapat
mengingatkan kamu”.12
2. Banyak ulama berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani bukan tauqifi dari Nabi SAW, tetapi
hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui ‘Utsman dan diterima umat dengan
baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh
dilanggar. 13
3. Sebagian ulama berpendapat, rasm ‘Utsmani itu hanyalah sebuah istilah, metode dan
tidaklah mengapa berbeda dengannya jika orang telah menggunakan satu model rasm
tertentu untuk penulisan, kemudian rasm itu menjadi tersiar luas diantara mereka. 14
Diantara ketiga pendapat tersebut diatas, pendapat yang paling kuat adalah
bahwasannya rasm ‘Utsmani bukan tauqifi, karena itu merupakan suatu ijtihad para sahabat
radhiyallahu ‘anhum yang dalam hal itu apa yang diusahakan oleh para sahabat telah
disepakati oleh Allah SWT.15

5. Proses Perbaikan Rasm ‘Utsmani16


Mushaf ‘Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan harakat (nuqath al-i’rab)
didasarkan atas karakter pembacaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka
tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik. Ketika bahasa Arab mulai
mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran (dengan bahasa non-Arab), maka
para penguasa menganggap pentingnya ada formasi penulisan mushaf dengan harakat, titik
dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar.
Para ‘ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama ini. Banyak ulama berpendapat
bahwa orang yang pertama melakukan hal itu adalah Abul Aswad Ad-Duali. Dialah peletak

12
Syekh Manna Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998). Hal. 139
13
Ibid,. Hal. 140
14
Ibid,. Hal. 141
15
Dr. Muhammad Khazir Al-Majaliy, al-Wajiz fi ‘Ulum al-Kitab al-‘Ajiz, (Malaisya: Dar At-Tajdid, 2003). Hal. 123
16
Syekh Manna Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998). Hal. 143-145

8
dasar-dasar kaidah bahasa Arab pertama, atas permintaan Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan,
konon Abul Aswad mendengar seorang qari’ membaca firman Allah SWT:

              

                 

   


“dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia
pada hari haji akbar bahwa Sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-
orang musyrikin. kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, Maka bertaubat itu lebih
baik bagimu; dan jika kamu berpaling, Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya kamu tidak
dapat melemahkan Allah. dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih”. (QS. At-Taubah : 3)
Qari itu membacanya dengan kasrah pada kata “lam” dalam kata “wa rasulahu”. Hal ini
membuat terkejut Abul Aswad dan ia pun berkata: “Maha Tinggi Allah untuk meninggalkan
Rasul-Nya”, kemudian ia pergi menghadap Ziyad (Gubernur Bashrah) dan ia berkata: “Kini
aku penuhi apa yang pernah anda minta kepadaku”. Ziyad pernah memintanya untuk
membuatkan tanda-tanda baca supaya orang lebih dapat memahami Al-Qur’an. Tetapi Abul
Aswad tidak segera memenuhi permintaan itu. Baru setelah dikejutkan oleh peristiwa
tersebut ia memenuhinya. Disini ia mulai bekerja keras dan hasilnya sampai pada
pembuatan tanda fathah berupa satu titik diatas huruf, tanda kasrah berupa satu titik dibawah
huruf, tanda dhammah berupa satu titik disela-sela huruf dan tanda sukun berupa dua titik.
As-Suyuthi menyebutkan dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an bahwa Abul Aswad Ad-
Duali adalah orang yang pertama melakukan usaha itu atas perintah Abdul Malik bin
Marwan, bukan atas perintah Ziyad. Ketika itu orang telah membaca mushaf ‘Utsman
selama lebih dari empat puluh tahun hingga masa kekhalifahan Abdul Malik. Waktu itu
banyak orang yang membuat kesalahan, yang paling fatal di Irak. Maka para penguasa
memikirkan pembuatan tanda baca, titik dan harakat.
Perbaikan rasm mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal/harakat
berupa titik, kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf, dan
itulah yang dilakukan oleh Al-Khalil. Perubahan itu ialah fathah dengan tanda garis bujur

9
diatas huruf, kasrah berupa tanda garis bujur dibawah huruf, dhammah dengan wawu kecil
diatas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti
pada tempatnya dituliskan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa
hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba diberi
tanda iqlab berwarna merah. Dan sebelum huruf halqi diberi tanda sukun. Nun dan tanwin
tidak diberi tanda apa-apa ketika idgham dan ikhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun
(mati) diberi tanda sukun dan huruf yang diidghamkan tidak diberi tanda tetapi huruf yang
sesudahnya diberi tanda syiddah, kecuali huruf tha sebelum ta, maka sukun tetapi

dituliskan, misalnya kalimat ‫ْﺖ‬


ُ ‫ﻓَـ َﺮﻃ‬.17

Kemudian pada abad ketiga Hijriyah terjadi perbaikan dan penyempurnaan rasm
mushaf. Orang-orang pun berlomba memilih bentuk tulisan yang baik dan menemukan
tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan untuk huruf yang ditasydidkan sebuah tanda
seperti busur. Sedang untuk alif washal diberi lekuk diatasnya, dibawahnya atau
ditengahnya sesuai dengan harakat sebelumnya: fathah, kasrah atau dhammah.
Kemudian secara bertahap pula orang-orang mulai meletakkan nama-nama surat dan
bilangan ayat, simbol-simbol yang menunjukkan kepala ayat dan tanda-tanda waqaf. Tanda
waqaf Lazim adalah ( ‫) م‬, waqaf Mamnu’ ( ‫) ﻻ‬, waqaf Jaiz ( ‫) ج‬, yang boleh waqaf atau tidak,
waqaf Jaiz tetapi washalnya lebih utama ( ‫) ﺻﻠﻰ‬, waqaf Jaiz tetapi waqafnya lebih utama
( ‫) ﻗﻠﻰ‬, waqaf Mu’anaqah yang bila telah waqaf pada satu tempattidak dibenarkan waqaf
ditempat lain diberi tanda ( .۠۠. .۠۠. ), selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda hizb dan
penyempurnaan-penyempurnaan lainnya.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir
akan terjadi penambahan dalam Al-Qur’an, berdasarkan ucapan Ibnu Mas’ud,
“Bersihkanlah Al-Qur’an dan jangan dicampur-adukkan dengan apapun”. Sebagian dari
mereka membedakan antara pemberian titik yang diperbolehkan dengan pembuatan
perpuluhan (al-a’syar) dan pembukaan-pembukaan ayat yang tidak diperbolehkan. Al-
Hulaimi mengatakan, “Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan (al-akhmas), nama-
nama surat dan bilangan ayat dalam mushaf, berdasarkan ucapan Ibnu Mas’ud
‘Bersihkanlah Al-Qur’an’. Sedang pemberian titik diperbolehkan karena titik tidak

17
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Maktabah Al-‘Ashriyyah, 1988). Juz 2 Hal. 168

10
mempunyai bentuk yang mengacaukan antara yang Al-Qur’an dengan yang bukan
Al-Qur’an. Titik merupakan petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca sehingga
dibolehkan untuk orang yang memerlukannya”.
Kemudian hal itu sampai kepada masalah hukum boleh dan bahkan anjuran. Ibnu Abi
Dawud meriwayatkan dari Al-Hasan dan Ibnu Sirin bahwa keduanya mengatakan, “Tidak
ada salahnya memberikan titik pada mushaf”. Dan diriwayatkan pula Rabi’ah bin
Abdirrahman mengatakan, “Tidak mengapa memberi syakal pada mushaf”. An-Nawawi
mengatakan, “Pemberian titik dan pensyakalan itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat
menjaga mushaf dari kesalahan dan penyimpangan”. 18
Perhatian untuk menyempurnakan rasm mushaf, sekarang mencapai puncaknya
dalam bentuk tulisan Arab (al-khaththu al-‘arabi).

6. Kelebihan Rasm ‘Utsmani


Rasm ‘Utsmani memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:
1. Mengandung berbagai macam cara membaca dalam satu kalimat, misalanya: dalam surat

Thaha ayat 63 ada sebuah ayat yang berbunyi : { ‫َﺎﺣﺮَا ِن‬


ِ ‫} إِ ﱠن َﻫﺬَا ِن ﻟَﺴ‬ dalam ayat

tersebut bisa dibaca dengan 4 cara, yaitu:

a. Menurut Imam Nafi’ { ‫َﺎﺣﺮَا ِن‬


ِ ‫ } إِ ﱠن َﻫﺬَا ِن ﻟَﺴ‬mentasydidikan nun pada kalimat "‫"إن‬
dan mentakhfifkan kalimat "‫ "ﻫﺬان‬dengan alif.

b. Menurut Imam Ibnu Katsir { ‫َﺎﺣﺮَا ِن‬


ِ ‫ } إِ َن َﻫﺬَا ﱢن ﻟَﺴ‬mentakhfifkan nun pada kalimat
"‫ "إن‬dan mentasydidkan nun pada kalimat "‫"ﻫﺬان‬.
c. Menurut Imam Hafsh { ‫َﺎﺣﺮَا ِن‬
ِ ‫ } إِ َن َﻫﺬَا ِن ﻟَﺴ‬mentakhfifkan nun pada kalimat "‫"إن‬
dan mentakhfifkan kalimat "‫ "ﻫﺬان‬dengan alif.

18
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Maktabah Al-‘Ashriyyah, 1988). Juz 2 Hal. 171

11
d. Menurut Imam Abu ‘Amr { ‫َﺎﺣﺮَا ِن‬
ِ ‫ } إِ ﱠن َﻫ َﺬﻳْ ِﻦ ﻟَﺴ‬mentasydidikan nun pada kalimat
"‫ "إن‬dan mentakhfifkan kalimat "‫ "ﻫﺬان‬dengan ya. 19

2. Menunjukkan banyak arti dan makna. Seperti penulisan "‫ "أَ ْم‬dalam ayat yang berbeda,

yaitu {ً‫ }أَ ْم َﻣ ْﻦ ﻳَﻜ ُْﻮ ُن َﻋﻠَﻴ ِﻬ ْﻢ َوﻛِْﻴﻼ‬didalam surat Anl-Nisaa' ayat 109 yang berarti "tetapi"

dan {‫َاط ُﻣ ْﺴﺘَ ِﻘْﻴ ٍﻢ‬


ٍ ‫َْﺸ ْﻲ َﺳﻮِﻳﺎ َﻋﻠَﻰ ِﺻﺮ‬
ِ ‫}أَّﻣ ْﻦ ﳝ‬ didalam surat Al-Mulk ayat 22 yang berarti

"atau" atau "ataukah", dalam tulisan yang sama dengan tata-tulis yang berbeda, yang
pertama dipisahkan sedang yang kedua disambungkan.20
3. Menunjukkan makna yang sempit menjadi makna yang mendetail, seperti menambah
huruf “ya” pada kalimat "‫ "أﻳﺪ‬dalam surat Adz-Dzariyat ayat 47:

     


Untuk menunjukkan makna keagungan serta kekuatan Allah yang mampu menciptakan
langit tanpa ada satu makhluk pun yang mampu menyamai serta menandingi-Nya.21
4. Menunjukkan keaslian huruf dan tata bacanya, seperti dalam ayat

{‫ِﲔ‬
َ ْ ‫َﺎﺳﻘ‬
ِ ‫} َﺳﺎُوِرﻳْ ُﻜ ْﻢ دَا َر اﻟﻔ‬, adanya huruf wawu disana menunjukkan asal harakat dan

hurufnya.22
5. Merangkum beberapa lahjah arab, seperti penulisan ta al-marbuthah kepada ta al-
maftuhah pada beberapa kalimah tertentu yang menunjukkan bahasa Tayy’, atau

menghilangkan huruf ya’ setelah huruf ta’ pada kalimat ‫ﻳَﺄﺗِﻰ‬ dalam surat Hud ayat 105 :

{‫ﺲ إﱠِﻻ ﺑِِﺈ ْذﻧِﻪ‬


ٌ ‫َﺄت َﻻ ﺗَ َﻜﻠﱠ ُﻢ ﻧـَ ْﻔ‬
ِ ‫ }ﻳـ َْﻮَم ﻳ‬yang menunjukkan bahasa hudzail. 23

19
Syekh Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Kutub al-
‘Arabiy, 1995). Hal. 306-307
20
Ibid,. Hal. 307
21
Ibid,. Hal. 307
22
Ibid,. Hal. 307
23
Ibid,. Hal. 307

12
B. Qira’at Al-Qur’an
1. Pengertian Qira’at
Secara etimologi lafadz Qira’at merupakan bentuk jama’ dari Qira’ah yang berarti
bacaan, dan lafadz Qira’at merupakan masdar dari kata Qara’a. Dalam istilah keilmuan,
Qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan Al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang
imam Qurra sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab yang lainnya. 24
Imam Az-Zarkasy mengemukakan pengertian Qira’at sebagai berikut:

‫ْﻒ َوﺗَـﺜْ ِﻘﻴ ٍْﻞ‬


ٍ ‫ْف أ َْو َﻛْﻴ ِﻔﻴَﺘِﻬَﺎ ِﻣ ْﻦ ﲣَْ ِﻔﻴ‬
ِ ‫َﺎظ اﻟْ َﻮ ْﺣ ِﻲ اﻟْ َﻤ ْﺬﻛ ُْﻮِر ِﰲ ﻛِﺘَﺎﺑَِﺔ اﳊُْﺮُو‬
ِ ‫ف أَﻟْﻔ‬
ُ ‫َات ِﻫ َﻲ ا ْﺧﺘ َِﻼ‬
ُ ‫اﻟْ ِﻘﺮَاء‬
‫َوﻏَﲑِْﳘَِﺎ‬
“Qira'at yaitu perbedaan lafaz-lafaz wahyu (Al-Qur’an) dalam hal penulisan hurufnya maupun
cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfîf, tatsqîl, dan lain-lain”.25
Dalam rumusan definisi di atas, Az-Zarkasyi berpendapat bahwa qira’at sebagai sistem
penulisan huruf dan pengucapan huruf-huruf tersebut, tanpa menyebutkan sumber riwayat
qira’at. Adapun menurut Ad-Dimyathi, sebagaimana dikutip oleh ‘Abdul Hâdî al-Fadli,
mengemukakan definisi qira’at sebagai berikut:

‫ْﻚ‬
ِ ‫َﺎت وَاﻟﺘﱠـ ْﺤ ِﺮﻳ‬
ِ ‫َاﻹﺛْـﺒ‬
ِْ ‫ْف و‬
ِ ‫ف ﻓَـ ْﻬ ٍﻢ ِﰱ اﳊَْﺬ‬
ُ ‫َﺎﱃ وَا ْﺧﺘ َِﻼ‬
َ ‫َﺎب اﷲِ ﺗَﻌـ‬
ِ ‫ِﲔ ﻟِ ِﻜﺘ‬
َ ْ ‫َﺎق اﻟﻨﱠﺎﻗِـﻠ‬
ُ ‫ ِﻋ ْﻠ ٌﻢ ﻳـُ ْﻌﻠَ ُﻢ ِﻣْﻨﻪُ اﺗﱢـﻔ‬:‫َات‬
ُ ‫اﻟْ ِﻘﺮَاء‬

‫َﺎع‬
ِ ‫ْﺚ اﻟ ﱢﺴﻤ‬
ُ ‫َﲑﻩِ ِﻣ ْﻦ َﺣﻴ‬
ِْ ‫َال َوﻏ‬
ِ ‫َاﻹﺑْﺪ‬
ِْ ‫ِﻚ ِﻣ ْﻦ َﻫْﻴـﺌَ ِﺔ اﻟﻨﱡـﻄ ِْﻖ و‬
َ ‫َﲑ ذَﻟ‬
ِْ ‫ْﻞ َوﻏ‬
ِ ‫ْﻞ وَاﻟْ َﻮﺻ‬
ِ ‫ِﲔ وَاﻟْ َﻔﺼ‬
ِ ْ ‫وَاﻟﺘﱠـ ْﺴﻜ‬
“Qira'at yaitu suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an, baik yang
disepakati maupun yang di-ikhtilaf-kan oleh para ahli qira'at, sepertihadzf (membuang huruf),
itsbât (menetapkan huruf), tahrîk (memberi harakat), taskîn (memberi tanda sukun), fashl
(memisahkan huruf), washl (menyambungkan huruf), ibdâl (menggantikan huruf atau lafaz
tertentu), dan lain-lain yang diperoleh melalui indra pendengaran”.26

24
Syekh Manna Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998). Hal. 139
25
Badruddin Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasy, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid ke I. (Beirut: Dar al-
Fikri, 1988). Hal. 318
26
Dr. Abdul Hadi Al-Fadhli, Al-Qira’at Al-Qur’aniyah, (Beirut: Dar al-Qolam, 1985). Hal. 55

13
Imam Syihabuddîn al-Qusthullani mengemukakan pendapat yang senada dengan Ad-
Dimyathi sebagai berikut:

‫ْـﻞ‬
ِ ‫ وَاﻟْ َﻔﺼ‬،‫َﺎت‬
ِ ‫َاﻹﺛْـﺒ‬
ِْ ‫ْف و‬
ِ ‫ وَاﳊَْﺬ‬،‫َاب‬
ِ ‫َاﻻ ْﻋﺮ‬
ِْ ‫َف ِﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ اﺗﱢـﻔَﺎﻗُـ ُﻬ ْﻢ وَا ْﺧﺘِ َـﻼﻓُـ ُﻬ ْﻢ ِﰱ اﻟﱡﻠﻐَـ ِﺔ و‬
ُ ‫ ِﻋ ْﻠ ٌﻢ ﻳـُ ْﻌﺮ‬:‫َات‬
ُ ‫اﻟْ ِﻘﺮَاء‬

‫ْـﻞ‬
ِ ‫ْﺚ اﻟﻨﱠـﻘ‬
ُ ‫ ِﻣ ْﻦ َﺣﻴ‬،‫ْـﻞ‬
ِ ‫وَاﻟْ َﻮﺻ‬
“Qira'at yaitu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira'at (tentang
cara-cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an), seperti yang menyangkut aspek kebahasaan,
i’râb, hadzf, itsbât, fashl, washl, yang diperoleh dengan cara periwayatan”.27
Imam Ibnu al-Jazari memberikan definisi Ilmu Qira’at dalam kitabnya “Munjid al-
Muqri’in wa Mursyid At-Thalibin” adalah sebagai berikut :

‫َﺎظ اﻟْﻘ ُْﺮآ ِن وَا ْﺧﺘ َِﻼﻓُـﻬَﺎ َﻣ ْﻌﺰُوا ﻟِﻨَﺎﻗِﻠِ ِﻪ‬


ِ ‫َف ﺑِِﻪ َﻛْﻴ ِﻔﻴَﺔُ اﻟﻨﱡﻄ ِْﻖ ﺑِﺄَﻟْﻔ‬
ُ ‫ِﻋ ْﻠ ٌﻢ ﻳـُ ْﻌﺮ‬
“Ilmu Qira’at adalah satu cabang ilmu untuk mengetahui cara mengucapkan kalimat-kalimat
Al-Qur’an dan perbedaannya dengan menisbatkan bacaan-bacaan tersebut kepada para
perawinya”.28
Sedangkan Muhammad ‘Alî As-Shabuni mengemukakan definisi qira'at sebagai berikut:

ُ‫ﻒ َﻏْﻴـَﺮﻩ‬
ُ ِ‫اﻹ َﻣـﺎ ُم ِﻣ َﻦ ْاﻷَﺋِـ ﱠﻤ ِﺔ اﻟْ ُﻘﺮﱠا ِء َﻣ ْﺬ َﻫﺒًـﺎ ُﳜَـﺎﻟ‬
ِْ ‫َﺐ ﺑِـ ِﻪ‬
ُ ‫ِﺐ اﻟﻨﱡـﻄ ِْﻖ ِﻣ َﻦ اﻟْﻘُﺮْأ ِن ﻳَ ْﺬﻫ‬
ِ ‫َﺐ ِﻣ ْﻦ َﻣﺬَاﻫ‬
ٌ ‫ َﻣ ْﺬﻫ‬:‫َات‬
ُ ‫اﻟْ ِﻘﺮَاء‬

‫ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴـ ِﻪ َوﺳَـﻠﱠ َﻢ‬


َ ِ‫ِﰱ اﻟﻨﱡﻄْ ِـﻖ ﺑِﺎﻟْﻘُﺮْأ ِن اﻟْ َﻜ ِﺮﻳْـ ِﻢ َوِﻫ َﻲ ﺛَـﺎﺑِﺘَـﺔٌ ﺑِـﺄَﺳَﺎﻧِْﻴـ ِﺪﻫَﺎ ا َِﱃ َرﺳُﻮِْل اﷲ‬
“Qira'at ialah suatu mazhab/cara tertentu dalam cara pengucapan Al-Qur’an yang masing-
masing imam itu memilih satu cara yang berbeda dengan yang lainnya, berdasarkan sanad-
sanadnya yang bersambung sampai kepada Rasulullah saw”.29
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas, nampak
bahwa Qira'at Al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW. melalui as-sima’ dan an-naql.
Adapun yang dimaksud dengan as-sima’ adalah bahwa qira'at Al-Qur’an itu diperoleh melalui

27
Syihabuddin Al-Qusthullani, Lathaif al-Isyarat liFunun al-Qira’at, (Madinah: Maktabah Al-Malik Al-Fahd
Al-Wathaniyyah, 2001). Hal. 170
28
Ibnu Al-Jazary, Munjid Al-Muqri’in wa Mursyid At-Thalibin, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1980).
Hal. 3
29
Muhammad ‘Ali Al-Shabuni, At-Thibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Pakistan: Maktabah Al-Busyro, 2011). Hal.
57

14
cara langsung mendengar dari bacaan Nabi SAW, sedangkan yang dimaksud dengan an-
naql adalah diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa Qira'at Al-Qur’an itu dibacakan
di hadapan Nabi saw., lalu beliau membenarkannya. Definisi di atas juga memberikan tekanan
pada empat persoalan pokok yaitu:
1. Ilmu Qira’at adalah ilmu yang terkait dengan teks-teks Al-Qur’an dari segi cara
pengucapannya. Hal ini berbeda dengan ilmu tafsir yang menganalisa makna yang ada di
balik teks-teks Al-Qur’an. Ilmu Qira’at sangat mengandalkan oral (lisan) untuk
mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dalam semua seginya, seperti pengucapan huruf,
baik dari segi makhraj dan sifatnya, hukum-hukum tajwid seperti
idghâm, iqlâb, ikhfâ’, izhhâr dan lain sebagainya, sesuai dengan apa yang telah diajarkan
oleh nabi kepada para sahabatnya. Hal ini berbeda dengan membaca teks lain selain Al-
Qur’an, seperti membaca teks hadis nabi yang tidak mengharuskan cara-cara seperti
melafalkan Al-Qur’an. Dengan demikian Ilmu Qira’at sangat terkait
dengan tathbîq (praktik) membaca. Mungkin banyak orang yang mengerti teori Ilmu
Qira’at, tapi pada akhirnya dia harus juga pandai mempraktikkan teori tersebut dengan baik
dan benar.
2. Ilmu Qira’at sangat terkait dengan “Arabisme” . Hal ini tidak bisa disangkal lagi karena Al-
Qur’an diturunkan di Jazirah Arab, kepada nabi yang berbangsa Arab, dan kaum yang juga
berbangsa Arab. Bahasa yang digunakan juga berbahasa Arab. Maka cara pengucapan
kalimat-kalimat Al-Qur’an juga mengacu kepada cara orang Arab melafalkan kalimat-
kalimat Arab. Bagi bangsa yang non Arab, pada saat melafalkan Al-Qur’an harus
menyesuaikan diri dengan cara yang digunakan oleh orang Arab yang fasih membaca, lalu
dipadukan dengan cara yang diajarkan oleh nabi kepada para sahabat-sahabatnya. Seorang
qari’/qari’ah yang mahir adalah mereka yang mampu melafalkan Al-Qur’an secara tepat,
seakan-akan dia adalah orang Arab. Tidak kelihatan lagi “lahjah a’jamiyyah”nya atau
aksen ‘ajamnya. Sebaliknya ada dan mungkin banyak orang Arab yang mampu membaca
Al-Qur’an dengan aksen/lahjah mereka tapi bacaannya tidak sesuai dengan bacaan yang
diajarkan oleh rasul kepada para sahabat-sahabatnya yang akhirnya sampai kepada Syuyukh
al-Qurra’.

15
3. Ilmu Qira’at adalah termasuk dalam komponen ilmu riwayah yang sudah given (sudah jadi)
yaitu ilmu yang diperoleh melalui periwayatan dari satu syekh (pakar Ilmu Qira’at) ke
syekh yang lain secara berkesinambungan dan terus menerus sampai kepada Nabi
Muhammad saw. Hal ini berbeda dengan Ilmu Tafsiryang tugasnya menganalisa teks-
teks Al-Qur’an dari segi maknanya. Pada saat menganalisa teks-teks tersebut disamping
merujuk kepada hadis nabi, perkataan sahabat, juga melalui daya ijtihad, dan kreatifitas
seorang mufassir. Hasil ijtihad seorang mufassir jika berlandaskan kepada kriteria
penafsiran Al-Qur’anyang telah disepakati, walaupun berbeda dengan hasil ijtihad penafsir
yang lain, dan walaupun tidak berlandaskan satu periwayatan dari nabi, masih bisa ditolelir
dan bisa diterima. Hal ini berbeda dengan Ilmu Qira’at yang sama sekali tidak
menerimaadanya perbedaan karena berdasarkan ijtihad atau qiyas. Perbedaan bacaan bisa
diterima jika betul-betul berasal dari nabi. Imam As-Syathibi berkata dalam kitabnya “Hirz
al-Amany wa Wajh at-Tahany” :

‫ﱢﻼ‬
ً ‫ـﻚ ﻣَﺎ ﻓِْﻴ ِﻪ اﻟﱢﺮﺿَﺎ ُﻣﺘَ َﻜﻔ‬
َ َ‫َﺎس ِﰱ اﻟْ ِﻘﺮَاءَةِ َﻣ ْﺪ َﺧ ـ ـ ُﻞ ﻓَﺪ ُْوﻧ‬
ٍ ‫َوﻣَﺎ ﻟِِﻘﻴ‬
“Tidak ada tempat pijakan/pintu masuk bagi masuknya qiyas/ijtihad dalam ilmu qira’at.
Terimalah dengan lapang dada apa yang ada pada qira’at”. 30
Dengan adanya “silsilah sanad” dalam Ilmu Qira’at, maka Al-Qur’an masih tetap dalam
orisinilitas dan kemurniannya. Inilah sesungguhnya urgensi mempelajari Ilmu Qira’at.
4. Ilmu Qira’at sangat terkait dengan Rasm Mushaf Utsmani karena setiap bacaan harus selalu
mengacu kepada Mushaf Al-Qur’an yang telah mendapatkan persetujuan dan ijma’ para
sahabat Nabi pada masa penulisan mushaf pada zaman Utsmân bin ‘Affan atau mushaf yang
sesuai dengan rasm Utsmani.

2. Syarat-syarat Qira’at Al-Qur’an


Menurut para ulama, syarat-syarat Qira’at Al-Qur’an yang shahih adalah sebagai berikut:
1. Qira’at Al-Qur’an harus sesuai dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi,
baik fasih maupun lebih fasih. Sebab, Qira’at adalah Sunnah yang harus diikuti, diterima
apa adanya dan menjadi rujukan yang berdasarkan pada isnad bukan pada rasio.
2. Qira’at Al-Qur’an harus sesuai dengan salah satu mushaf ‘Utsmani, meskipun hanya
sekedar mendekati saja. Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat telah
30
Imam Asy-Syathiby, Hirz al-Amany wa Wajh at-Tahany, (Damaskus: Maktabah Ibnu Al-Jazary, 2004). Hal. 55

16
bersunguh-sungguh dalam membuat rasm yang sesuai dengan bermacam-macam dialek
Qira’at yang mereka ketahui.
3. Qira’at Al-Qur’an sanadnya harus shahih, sebab Qira’at merupakan Sunnah yang harus
diikuti yang didasarkan pada penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa
arab mengingkari suatu Qira’at hanya karena Qira’at itu dianggap menyimpang dari
aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam Qira’at
bertanggung jawab atas pengingkaran mereka itu.31

3. Sejarah Perkembangan dan Pembukuan Ilmu Qira’at


Sebagaimana di ketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang waktu mulai di
turunkannya qira’at, yaitu ada yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Mekah bersamaan
dengan turunnya Al-Qur’an. Ada juga yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Madinah
sesudah peristiwa Hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling
berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar
yang kuat, namun dua pendapat itu dapat kita kompromikan, bahwa qira’at memang mulai di
turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya Al-Qur’an, akan tetapi ketika di Mekah qira’at
belum begitu di butuhkan karena belum adanya perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah
yaitu Quraisy. Qira’at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad di Madinah, dimana mulai banyak
orang yang masuk Islam dari berbagai qabilah yang bermacam-macam dan dialek yang
berbeda.32
Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi ilmu qira’at berarti
membahas sejarah perjalanan ilmu qira’at. Untuk mengurai persoalan ini ada beberapa
pembahasan yang patut dikemukakan di sini yaitu :
a. Qira’at Pada Masa Nabi.
b. Qira’at Pada Masa Sahabat dan Tabi’in.
c. Munculnya Komunitas Ahli Qira’at.
d. Kodifikasi Ilmu Qira’at.
e. Terbentuknya Qira’at Sab’ah.
f. Penyederhanaan Perawi Imam Qira’at Sab’ah

31
Syekh Manna Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998). Hal. 167-168
32
Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân Al-Rûmi, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, (Riyâdh: t.p., 2004), cet.
XII,I Hal. 344

17
a. Qira’at Pada Masa Nabi
Perlu dikemukakan disini bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang mempunyai puak-puak
atau kabilah-kabilah yang terpencar di beberapa kawasan di semenanjung Arabia. Kabilah-
kabilah tersebut ada yang bertempat tinggal di perkampungan yaitu di sebelah Timur Jazirah
Arabiyah dan adapula yang bertempat tinggal di perkotaan seperti kawasan sebelah Barat Jazirah
Arabiyah yang meliputi Mekah, Madinah dan sekitarnya. Mereka yang tinggal di perkampungan
seperti suku Tamim, Qais, Sa’d dan lainnya mempunyai tradisi dan dialek tersendiri. Sementara
yang di perkotaan juga mempunyai tradisi dan dialek atau gaya bicara yang berbeda pula.
Dialek yang dianut suku pedalaman cukup beragam,seperti : Imâlah, atau mengucapkan
huruf ‘a menjadi huruf ‘ê’ seperti Satê. Orang dari suku Badui, karena ingin meringkas perkataan
kerap melipat huruf seperti mengucapkan dua huruf menjadi satu huruf yang dikenal dengan
sebutan “Idghâm”. Imam Ibnu Qutaibah al-Dînawari menjelaskan,sebagaimana dinukil oleh Ibnu
al-Jazari, tentang beragamnya dialek kabilah-kabilah Arab:
“Allah telah memberikan kemudahan bagi nabiNya dan memerintahkan kepadanya agar
memperbolehkan setiap suku Arab yang menjadi umatnya bisa membaca Al-Qur’an dengan
bahasa dan dialeknya masing-masing. Suku Hudzail hanya mampu membaca ‫) ﻋ ﱠَﱴ‬

(‫ﲔ‬
ٍ ْ ‫ ِﺣ‬semestinya : (‫ﲔ‬
ٍ ْ ‫َﱴ ِﺣ‬
‫)ﺣ ﱠ‬, orang dari suku Asad mengucapkan : ‫) ﺗِ ْﻌﻠَﻤ ُْﻮ َن َو ﺗِ ْﻌﻠَ ُﻢ و ﺗِ ْﺴ َﻮﱡد و أَﱂَْ إِ ْﻋ َﻬ ْﺪ إِﻟَﻴْ ُﻜ ْﻢ‬

( ,( dengan mengkasrahkan awal huruf darifi’il mudlâri’), orang dari suku Tamim akan membaca

hamzah dengan nada kuat, sementara orang Quraisy mengucapkannya dengan nada melemah,
satu kabilah mengucapkan lafazh :( ‫ْﺾ اﻟْﻤَﺎء‬
َ ‫ ) ﻗِﻴْ َﻞ ﳍَُ ْﻢ َو ِﻏﻴ‬dengan “isymâm” (yaitu men-dlammah-

kan Qaf dan Ghain terlebih dahulu kemudian dengan cepat meng-kasrah-kan keduanya, mereka
juga membaca :( ‫ﱠت‬
ْ ‫ ) ﺑِﻀَﺎ َﻋﺘُـﻨَﺎ ُرد‬dengan meng-isymam-kan Ro’nya yaitu mencampurkan

suara kasrah dengan dlammah”.33

Ibnu al-Jazari, An-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr, juz 1, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), Hal. 33
33

18
Demikianlah keadaan dialek suku-suku Arab pada saat Al-Qur’an diturunkan. Bisa
dibayangkan bagaimana Nabi Muhammad SAW, mensosialisasikan Al-Qur’an kepada
masyarakat Arab pada saat itu. Bukan itu saja, umat nabi Muhammad terdiri dari berbagai
macam kalangan dan status sosial yang beragam, ada orang awam yang tidak bisa membaca dan
menulis atau yang disebut “ummi”, ada orang tua yang tidak cakap lagi mengucapkan kata-kata
dengan tegas dan jelas, ada anak kecil dan lain sebagainya. Sementara nabi mempunyai beban
yang berat untuk mensosialisasikan Al-Qur’an kepada mereka. Al-Qur’an merupakan kitab suci
yang disamping bertujuan untuk memberikan hidayah atau petunjuk kepada segenap umat
manusia, terutama umat Islam, Al-Qur’an juga sebuah kitab bacaan yang perlu dibaca. Nama Al-
Qur’an diartikan sebagai bacaan atau sesuatu yang dibaca. Oleh karena itu pada saat malaikat
Jibril memerintahkan kepada nabi untuk membacakan Al-Qur’an dengan satu huruf atau satu
macam bacaan, nabi langsung naik banding kepada malaikat Jibril agar keharusan itu diperingan
lagi. Ternyata Allah melalui malaikat Jibril memberikan keringanan (rukhshah) kepada nabi
sampai tujuh huruf atau macam bacaan. Hadis berikut ini menjelaskan hal tersebut:

‫ ﻓَﺄَﺗَﺎﻩُ ِﺟﱪِْﻳ ُﻞ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ‬- ‫َﺎل‬


َ ‫ ﻗ‬- ‫ َﻛﺎ َن ِﻋْﻨ َﺪ أَﺿَﺎةِ ﺑ َِﲎ ِﻏﻔَﺎ ٍر‬-‫ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬- ‫ﱠﱮ‬
‫ْﺐ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬
ٍ ‫ُﰉ ﺑْ ِﻦ َﻛﻌ‬
‫َﻋ ْﻦ أ َﱢ‬

‫َﺎل » أَ ْﺳﺄ َُل اﻟﻠﱠﻪَ ُﻣﻌَﺎﻓَﺎﺗَﻪُ َوَﻣ ْﻐ ِﻔَﺮﺗَﻪُ َوإِ ﱠن‬


َ ‫ ﻓَـﻘ‬.‫ْف‬
ٍ ‫ُﻚ اﻟْﻘُﺮْآ َن َﻋﻠَﻰ ﺣَﺮ‬
َ ‫َﺎل إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻳَﺄْ ُﻣﺮَُك أَ ْن ﺗَـ ْﻘَﺮأَ أُﱠﻣﺘ‬
َ ‫اﻟ ﱠﺴﻼَ ُم ﻓَـﻘ‬

‫َﺎل » أَ ْﺳﺄ َُل‬


َ ‫َﲔ ﻓَـﻘ‬
ِ ْ ‫ُﻚ اﻟْﻘُﺮْآ َن َﻋﻠَﻰ ﺣ َْﺮﻓـ‬
َ ‫َﺎل إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻳَﺄْ ُﻣﺮَُك أَ ْن ﺗَـ ْﻘَﺮأَ أُﱠﻣﺘ‬
َ ‫ ﰒُﱠ أَﺗَﺎﻩُ اﻟﺜﱠﺎﻧِﻴَﺔَ ﻓَـﻘ‬.« ‫ِﻚ‬
َ ‫أُﻣ ِﱠﱴ ﻻَ ﺗُﻄِﻴ ُﻖ ذَﻟ‬

‫ُﻚ اﻟْﻘُﺮْآ َن‬


َ ‫َﺎل إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻳَﺄْ ُﻣﺮَُك أَ ْن ﺗَـ ْﻘَﺮأَ أُﱠﻣﺘ‬
َ ‫ ﰒُﱠ ﺟَﺎءَﻩُ اﻟﺜﱠﺎﻟِﺜَﺔَ ﻓَـﻘ‬.« ‫ِﻚ‬
َ ‫اﻟﻠﱠﻪَ ُﻣﻌَﺎﻓَﺎﺗَﻪُ َوَﻣ ْﻐ ِﻔَﺮﺗَﻪُ َوإِ ﱠن أُﻣ ِﱠﱴ ﻻَ ﺗُﻄِﻴ ُﻖ ذَﻟ‬

‫َﺎل‬
َ ‫ ﰒُﱠ ﺟَﺎءَﻩُ اﻟﺮﱠاﺑِ َﻌﺔَ ﻓَـﻘ‬.« ‫ِﻚ‬
َ ‫َﺎل » أَ ْﺳﺄ َُل اﻟﻠﱠﻪَ ُﻣﻌَﺎﻓَﺎﺗَﻪُ َوَﻣ ْﻐ ِﻔَﺮﺗَﻪُ َوإِ ﱠن أُﻣ ِﱠﱴ ﻻَ ﺗُﻄِﻴ ُﻖ ذَﻟ‬
َ ‫ ﻓَـﻘ‬.‫ُف‬
ٍ ‫َﻋﻠَﻰ ﺛَﻼَﺛَِﺔ أَ ْﺣﺮ‬

(‫ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬.‫ْف ﻗَـَﺮءُوا َﻋﻠَْﻴ ِﻪ ﻓَـ َﻘ ْﺪ أَﺻَﺎﺑُﻮا‬


ٍ ‫ُف ﻓَﺄَﳝﱡَﺎ ﺣَﺮ‬
ٍ ‫ُﻚ اﻟْﻘُﺮْآﻧـَ َﻌﻠَﻰ َﺳْﺒـ َﻌ ِﺔ أَ ْﺣﺮ‬
َ ‫إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻳَﺄْ ُﻣﺮَُك أَ ْن ﺗَـ ْﻘَﺮأَ أُﱠﻣﺘ‬
“Nabi Muhammad berada di genangan air milik Bani Ghifar. Datanglah malaikat Jibril dan
berkata:“Sesungguhnya Allah telah memerintahkanmu agar umatmu membaca Al-
Qur’an dengan satu huruf.” Nabi berkata : “aku meminta ampun dan pertolongan kepadaNya,
umatku tidak mampu untuk itu”. Kemudian malaikat Jibril datang kedua kali dan mengatakan
bahwa Allah memerintahkan seperti diatas dengan dua huruf. Lalu nabi menjawab seperti diatas

19
pula, bahwa umatnya tidak mampu untuk itu. Lalu malaikat Jibril datang ketiga kali, lalu
keempat kali, lalu pada akhirnya malaikat Jibril mengatakan bahwa Allah memberikan
keringanan sampai tujuh huruf. Huruf manapun yang mereka baca, mereka sudah benar”.34
Hadis tersebut sangat masyhur di kalangan ahli hadis karena diriwayatkan oleh lebih dari
20 sahabat. ‘Abd al-SHabûr Syahin dalam kitabnya “Tarikh Al-Qur’an” menyebutkan bahwa ada
25 sahabat yang meriwayatkan. Sedangkan jumlah sanad dari 25 sahabat yang meriwayatkan
hadis tersebut ada 46 sanad. Dari jumlah tersebut yang mempunyai kualitas dha’îf” berjumlah 8
sanad, selainnya yang berjumlah 38 sanad berkualitas shahîh. Syahin menggolongkan hadis ini
ke dalam hadis yang mutawâtir.35
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan “Sab’atu Ahruf” sebagaimana yang
tertera dalam hadis di atas. Mereka berbeda pendapat tentang arti huruf, arti bilangan tujuh,
apakah berarti bilangan yang pasti atau mempunyai arti banyak. Berikut ini pendapat para ulama
tentang makna Sab’atu Ahruf :
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam
bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Pendapat ini terbagi lagi menjadi dua
bagian:
1) Sebagian ulama mengatakan bahwa ketujuh bahasa itu tersebar di seluruh Al-Qur’an. Di
antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abû ‘Ubaid, Ahmad bin Yahyâ, Tsa’lab,
dan masih banyak yang lainnya.36 Menurut pendapat ini, Al-Qur’an diturunkan kepada
Rasulullah saw. dengan tujuh bahasa kabilah Arab dan ketujuh bahasa inilah yang
dianggap sebagai bahasa Arab paling fashih di antara sekian banyak bahasa kabilah Arab
lainnya, yaitu bahasa Quraisy, Hudzail, Tamîm, Tsaqîf, Hawâzin, Kinânah, dan
Yaman.37 Namun ada juga yang menyebutkan bahwa ketujuh bahasa kabilah yang
dimaksud adalah Quraisy, Hudzail, Tamîm, Azd, Hawâzin, Rabî’ah, dan Sa’ad bin
Bakr.38
2) Pendapat ulama yang menyebutkan bahwa perbedaan tujuh bahasa yang terdapat di
dalam Al-Qur’an terkumpul dalam sebuah lafal. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu
34
Muslim bin al-Hajjâj An-Naisâbûri, Shahîh Muslim, juz 2, (Beirut: Dâr al-Jîl, t.t), Bab Bayân Anna al-Qur’ân ‘alâ
Sab’ati Ahruf, hadits no. 1943, Hal. 203
35
‘Abd as-Shabur Syahin, Târikh Al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Ma’alim ats-Tsaqafiyyah, 1998). Hal. 56
36
Hasan Dhiyâ’ al-Dîn ‘Atar, Al-Ahruf al-Sab’ah wa Manzilah al-Qirâ’ât Minhâ, (Beirut: Dâr al-Basyâ’ir al-
Islâmiyyah, 1988). Hal. 170
37
Syekh Manna Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998). Hal. 158
38
Ibid,. Hal. 158

20
Jarîr al-Thabari. Al-Thabari menyandarkan pendapatnya pada sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya mengenai perselisihan yang
pernah terjadi antara ‘Umar bin al-Khaththâb dengan Hisyâm bin Hakîm tentang qira’at
Al-Qur’an. Adapun redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut:

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ اﻟﻴﻤﺎن أﺧﱪﻧﺎ ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ اﻟﺰﻫﺮي ﻗﺎل أﺧﱪﱐ ﻋﺮوة ﺑﻦ اﻟﺰﺑﲑ ﻋﻦ ﺣﺪﻳﺚ اﳌﺴﻮر ﺑﻦ‬
‫ ﲰﻌﺖ ﻫﺸﺎم ﺑﻦ ﺣﻜﻴﻢ‬:‫ﳐﺮﻣﺔ وﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻘﺎري أ ﻤﺎ ﲰﻌﺎ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ اﳋﻄﺎب ﻳﻘﻮل‬
‫ﺑﻦ ﺣﺰام ﻳﻘﺮأ ﺳﻮرة اﻟﻔﺮﻗﺎن ﰲ ﺣﻴﺎة رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻓﺎﺳﺘﻤﻌﺖ ﻟﻘﺮاءﺗﻪ ﻓﺈذا ﻫﻮ‬
‫ﻳﻘﺮؤﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﺣﺮوف ﻛﺜﲑة ﱂ ﻳﻘﺮﺋﻨﻴﻬﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻓﻜﺪت أﺳﺎورﻩ ﰲ اﻟﺼﻼة‬
‫ﻓﺎﻧﺘﻈﺮﺗﻪ ﺣﱴ ﺳﻠﻢ ﻓﻠﺒﺒﺘﻪ ﻓﻘﻠﺖ ﻣﻦ أﻗﺮأك ﻫﺬﻩ اﻟﺴﻮرة اﻟﱵ ﲰﻌﺘﻚ ﺗﻘﺮأ ؟ ﻗﺎل أﻗﺮأﻧﻴﻬﺎ رﺳﻮل اﷲ‬
‫ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻓﻘﻠﺖ ﻟﻪ ﻛﺬﺑﺖ ﻓﻮاﷲ إن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﳍﻮ أﻗﺮأﱐ ﻫﺬﻩ‬
‫اﻟﺴﻮرة اﻟﱵ ﲰﻌﺘﻚ ﻓﺎﻧﻄﻠﻘﺖ ﺑﻪ إﱃ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ أﻗﻮدﻩ ﻓﻘﻠﺖ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ‬
‫إﱐ ﲰﻌﺖ ﻫﺬا ﻳﻘﺮأ ﺳﻮرة اﻟﻔﺮﻗﺎن ﻋﻠﻰ ﺣﺮوف ﱂ ﺗﻘﺮﺋﻨﻴﻬﺎ وإﻧﻚ أﻗﺮأﺗﲏ ﺳﻮرة اﻟﻔﺮﻗﺎن ﻓﻘﺎل ) ﻳﺎ‬
‫ ﻓﻘﺮأﻫ ﺎ اﻟﻘﺮاءة اﻟﱵ ﲰﻌﺘﻪ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ) ﻫﻜﺬا أﻧﺰﻟﺖ‬. ( ‫ﻫﺸﺎم أﻗﺮأﻫﺎ‬
‫ ﻓﻘﺮأ ﺎ اﻟﱵ أﻗﺮأﻧﻴﻬﺎ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ) ﻫﻜﺬا‬. ( ‫ ﰒ ﻗﺎل ) اﻗﺮأ ﻳﺎ ﻋﻤﺮ‬. (
‫ ﰒ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ) إن اﻟﻘﺮآن أﻧﺰل ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻌﺔ ﺣﺮوف ﻓﺎﻗﺮؤوا‬. ( ‫أﻧﺰﻟﺖ‬
( ‫ﻣﺎ ﺗﻴﺴﺮ ﻣﻨﻪ‬
“Telah meriwayatkan kepada kami Abû al-Yamân, telah mengabarkan kepada kami
Syu’aib, dari al-Zuhrî ia berkata: telah mengabarkan kepada kami ‘Urwah bin al-
Zubair, dari riwayat al-Miswar bin Makhramah dan ‘Abdurrahmân bin ‘Abd al-Qâri
bahwa keduanya telah mendengar ‘Umar bin al-Khaththâb berkata: “Aku telah
mendengar Hisyâm bin Hakîm bin Hizâm membaca surah al-Furqân ketika Rasulullah
saw. masih hidup. Aku menyimak bacaannya, ternyata banyak sekali bacaan yang
berbeda dengan yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw. kepadaku. Hampir saja
aku memegang kepalanya untuk aku bunuh ketika dia sedang shalat. Namun aku
menunggunya sampai salam. Maka aku bertanya kepadanya: ‘Siapa yang mengajarkan

21
kepadamu surah yang aku dengar tadi?’ Hisyâm menjawab: ‘Rasulullah saw. yang
mengajarkannya kepadaku.’ Aku berkata: ‘Demi Allah, kamu berkata bohong karena
sesungguhnya Rasulullah saw. sendiri yang mengajarkan kepadaku surah yang aku
dengar darimu tadi.’ Kemudian aku pergi sambil menggandengnya ke hadapan
Rasulullah saw. Lalu aku berkata:’ Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah
mendengar lelaki ini membaca surah al-Furqân dengan versi yang tidak engkau ajarkan
kepadaku. Sungguh engkau telah mengajarkan surah al-Furqân kepadaku.’ Rasulullah
saw.pun bersabda: ‘Wahai Hisyâm, bacalah surah itu!’ maka Hisyâm membaca surah
tersebut seperti yang aku dengar tadi. Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Demikianlah
surah tersebut diturunkan.’ Kemudian Rasulullah saw. bersabda: ‘Bacalah wahai
‘Umar!’ Akupun membaca surah itu seperti yang beliau ajarkan kepadaku. Ternyata
Rasulullah saw. bersabda: ‘Demikianlah surah tersebut diturunkan.’ Kemudian
Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf.
Maka bacalah yang mudah menurut kalian”.39
b. Pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab’atu ahruf adalah tujuh wajah lafal
kalimat yang berbeda, namun memiliki makna yang hampir sama. Pendapat ini diungkapkan
oleh kebanyakan para ulama fiqih dan hadis, seperti Sufyan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin
Wahb, Ibnu ‘Abd al-Barr, dan al-Thahawi. Pendapat ini didasarkan pada beberapa riwayat
hadis, diantaranya adalah hadis berikut:40

‫ْﺐ أَﻧﱠﻪُ ﻛَﺎ َن ﻳـَ ْﻘَﺮأُ }ﻟِﻠﱠﺬِﻳ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا‬


ٍ ‫ﱠﺎس َﻋ ْﻦ أ َُﰊ ﺑْ ِﻦ َﻛﻌ‬
ٍ ‫ْﺢ َﻋ ْﻦ ﳎَُﺎ ِﻫ ٍﺪ َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ‬
ٍ ‫ورَوَى َوَرﻗَﺎء َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ أَِﰊ َِﳒﻴ‬

‫ ﻟِﻠﱠ ِﺬﻳْ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا أَْﻣ ِﻬﻠُﻮﻧَﺎ ﻟِﻠﱠ ِﺬﻳْ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا أَ ﱢﺧﺮُوﻧَﺎ ﻟِﻠﱠ ِﺬﻳْ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا ْارﻗُـﺒُﻮﻧَﺎ‬: {‫اﻧْﻈُﺮُوﻧَﺎ‬
“Waraqâ’ telah meriwayatkan dari Ibnu Abî Najîh, dari Mujâhid, dari Ibnu ‘Abbâs, dari Ubai
bin Ka’b bahwa dia telah membaca ayat lilladzîna âmanû unzhurûnâ (dengan beberapa versi
bacaan sebagai berikut): lilladzîna âmanû amhilûnâ, lilladzîna âmanû akhkhirûnâ, lilladzîna
âmanû urqubûnâ.”

39
Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, jilid IV, (Beirut: Dâr Ibnu Katsîr al-Yamâmah, 1987), Kitâb Fadhâil al-Qur’ân,
Bâb Man Lam Yara ba’sa an Yaqûl Sûrah al-Baqarah wa Sûrah Kadzâ wa Kadzâ, hadits No. 4754, Hal. 1923
40
Hasan Dhiyâ’ ad-Dîn ‘Atar, Al-Ahruf al-Sab’ah, (Beirut: Dar Al-Basyair Al-Islamiyah, 1988). Hal. 168-169;
Lihat juga Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, jilid I, (Beirut: Ar-Risalah, 2006).
Hal. 42

22
c. Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh
macam hal yang di dalamnya terdapat ikhtilaf (perbedaan), yaitu:41
1) Perbedaan kata benda dalam bentuk mufrad, mudzakkar dan cabang-cabangnya
seperti jama’, ta’nîts, dan tatsniyah. Contoh firman Allah ‫( وَاﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ُﻫ ْﻢ ﻷَِﻣَﺎﻧَﺎِِ ْﻢ َو َﻋ ْﻬ ِﺪ ِﻫ ْﻢ رَاﻋُﻮ َن‬Q.S. al-

Mu’minûn: 8), dibaca "‫ "ﻷَِﻣَﺎﻧَﺎِِ ْﻢ‬dengan bentuk jama’ dan dibaca pula "‫ "ﻷَِﻣَﺎﻧَﺘِ ِﻬ ْﻢ‬dengan bentuk

mufrad. Sedangkan rasamnya dalam mushaf adalah "‫ "ﻷََﻣﻨَﺘِ ِﻬ ْﻢ‬yang memungkinkan kedua qira’at

itu karena tidak adanya alif yang disukun. Namun kesimpulan akhir kedua macam qira’at itu
adalah sama karena bacaan dalam bentuk jama’ diartikan istighrâq (keseluruhan) yang
menunjukkan jenis-jenisnya, sedangkan bacaan dalam bentuk mufrad diartikan untuk jenis
yang menunjukkan makna banyak, yaitu semua jenis amanat yang mengandung bermacam-
macam amanat yang banayak jumlahnya.
2) Perbedaan dari segi i’rab (harakat akhir kata). Misalnya firman Allah swt. ‫( ﻣَﺎ َﻫﺬَا ﺑَ َﺸﺮًا‬Q.S.

Yûsuf: 31). Jumhur membacanya dengan nashab karena ‫ ﻣَﺎ‬berfungsi seperti ‫ ﻟﻴﺲ‬dan ini adalah

bahasa penduduk Hijaz yang dalam bahasa inilah Al-Qur’an diturunkan. Sedangkan Ibnu
Mas’ûd membacanya dengan rafa’"‫ "ﻣَﺎ َﻫﺬَا ﺑَ َﺸٌﺮ‬sesuai dengan bahasa Banî Tamîm karena

mereka tidak memfungsikan ‫ ﻣَﺎ‬seperti ‫ﻟﻴﺲ‬.

3) Perbedaan dalam tashrîf, seperti firman-Nya: ‫َﲔ أَ ْﺳﻔَﺎ ِرﻧَﺎ‬


َ ْ ‫( ﻓَـﻘَﺎﻟُﻮا َرﺑـﱠﻨَﺎ ﺑَﺎ ِﻋ ْﺪ ﺑـ‬Q.S. Saba’: 19) dibaca

dengan me-nashab-kan ‫ َرﺑـﱠﻨَﺎ‬karena menjadi munâdâ mudhâf dan ‫ ﺑَﺎ ِﻋ ْﺪ‬dibaca dengan bentuk fi’il

amr(perintah). Lafaz ‫ رﺑﱡﻨﺎ‬dibaca pula dengan rafa’ sebagai mubtada’dan ‫ ﺑﺎﻋَﺪ‬dengan membaca

fathah huruf ‘ain sebagai fi’il madhiyang kedudukannya menjadi khabar. Juga
dibaca ‫ ﺑﻌﱢﺪ‬dengan membaca fathah dan mentasydidkan huruf ‘ain dan me-rafa’-kan lafaz ‫رﺑﱡﻨﺎ‬.

4) Perbedaan dalam taqdîm (mendahulukan) dan ta’khîr (mengakhirkan), baik terjadi pada
huruf seperti dalam firman-Nya ‫َس‬
ِ ‫( أَﻓَـﻠَ ْﻢ ﻳـَﻴْﺄ‬Q.S. al-Ra’d: 31) dibaca juga ‫ أﻓﻠﻢ ﻳﺄﻳﺲ‬, maupun yang

terjadi pada kata seperti firman-Nya ‫( ﻓَـﻴَـ ْﻘﺘُـﻠُﻮ َن َوﻳـُ ْﻘﺘَـﻠُﻮ َن‬Q.S. al-Taubah: 111) di mana yang

pertama ‫ ﻓَـﻴَـ ْﻘﺘُـﻠُﻮ َن‬dimabni-fâ’ilkan (aktif) dan yang kedua ‫ َوﻳـُ ْﻘﺘَـﻠُﻮ َن‬dimabni-maf’ulkan (pasif) di

41
Syekh Manna Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998). Hal. 159-161

23
samping dibaca pula dengan sebaliknya, yang pertama dimabni-maf’ulkan dan yang kedua
dimabni-fâ’ilkan.
5) Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), seperti firman Allah swt. ‫ْﺸُﺰﻫَﺎ‬
ِ ‫ْﻒ ﻧـُﻨ‬
َ ‫َﺎم َﻛﻴ‬
ِ ‫( وَاﻧْﻈ ُْﺮ إ َِﱃ اﻟْﻌِﻈ‬Q.S.

ِ ‫ ﻧـُﻨ‬dibaca dengan huruf za’ dan mendhammahkan nûn di


al-Baqarah: 259) yang mana lafaz ‫ْﺸُﺰﻫَﺎ‬

samping dibaca pula dengan huruf ra’ dan memfathahkan nûn (‫ْﺸُﺮﻫَﺎ‬
ِ ‫)ﻧـَﻨ‬.

6) Perbedaan sebab adanya penambahan dan pengurangan, misalnya firman Allah swt. ‫وَأ َﻋ ﱠﺪ ﳍَُ ْﻢ‬

‫ﱠﺎت َْﲡﺮِي ﲢَْﺘَـﻬَﺎ ْاﻷَﻧْـﻬَﺎ ُر‬


ٍ ‫( َﺟﻨ‬Q.S. al-Taubah: 100) dibaca juga ‫ ِﻣ ْﻦ ﲢَْﺘِﻬَﺎ ْاﻷَﻧْـﻬَﺎ ُر‬dengan tambahan ‫ ِﻣ ْﻦ‬,

keduanya merupakan qira’at mutawâtir. Sedangkan mengenai perbedaan karena adanya


pengurangan, misalnya firman Allah ‫( ﻗَﺎﻟُﻮا اﲣﱠَ َﺬ اﷲُ َوﻟَﺪًا‬Q.S. al-Baqarah: 116) tanpa huruf wawu,

sementara jumhur ulama membacanya ‫ َوﻗَﺎﻟُﻮا اﲣﱠَ َﺬ اﻟﻠﱠﻪُ َوﻟَﺪًا‬dengan wawu.

7) Perbedaan lahjah seperti pembacaan tafkhim dan tarqîq, fathah dan imâlah,
izhhar dan idgham, dan lain-lain. Seperti membaca imâlah dan tidak mengimâlahkan dalam
firman-Nya ‫ِﻳﺚ ﻣُﻮﺳَﻰ‬
ُ ‫َﺎك َﺣﺪ‬
َ ‫( َوَﻫ ْﻞ أَﺗ‬Q.S. THâhâ: 9) dibaca dengan mengimâlahkan kata‫ أﺗﻰ‬dan ‫ ﻣُﻮﺳَﻰ‬.

Membaca tarqîq ra’ dalam firman-Nya ‫ﺼﲑًا‬


ِ َ‫ َﺧﺒِﲑًا ﺑ‬, dan membaca tafkhîm huruf lam dalam

kata ‫اﻟﻄ َﱠﻼ ُق‬.

d. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak dapat diartikan secara
harfiah, tetapi angka tujuh itu hanya sebagai simbol kesempurnaan menurut kebiasaan
masyarakat Arab.42
e. Pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut
adalah Qira’at Sab’ah.43

b. Qira’at Pada Masa Sahabat dan Tabi’in


Setelah Nabi Muhammad SAW meninggal, para sahabat Nabi melanjutkan tradisi yang
telah dirintis oleh Nabi yaitu mengajarkanAl-Qur’an kepada para murid-murid mereka. Ada
diantara mereka yang masih tetap di Madinah dan Mekah mengajarkan Al-Qur’an kepada murid-
murid mereka, seperti sahabat Ubay bin Ka’ab, Utsmân bin ‘Affân, Zaid bin Tsâbit, Abû

42
Syekh Manna Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998). Hal.161
43
Ibid,. Hal. 161

24
Hurairah, ‘Abdullâh bin ‘Ayyâsy, ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, ‘Abdullâh bin al-Saib al-Makhzumi.
Namun diantara sahabat Nabi ada yang keluar dari Madinah untuk berjuang bersama yang lain.
Dengan berkembangnya Islam ke negeri lain, terutama pada masa Abû Bakar dan ‘Umar bin
Khaththâb, dibutuhkan tenaga yang mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.
Diantara sahabat Nabi yang mempunyai peran dalam penyebaran Al-Qur’an di negeri
lain seperti negeri Iraq adalah‘Abdullah bin Mas’ûd yang diperintahkan oleh sahabat‘Umar bin
Khaththâb untuk mengajar Al-Qur’an di negeri Kufah. Di Iraq juga ada sahabat ‘Alî bin
Abî Thâlib, Abû Mûsâ al-Asy’ari yang ditempatkan di kota Basrah. Sementara sahabat
yang ditempatkan di Syria atau Syam adalah Mua’dz bin Jabal yang mengajarkan Al-Qur’an di
Palestina. ‘Ubadah bin Shamit al-Anshâri mengajarkan Al-Qur’an di kota Himsh di Syam, dan
sahabat Abû Darda’mengajarkan di Damaskus. Merekalah yang sangat berperan dalam
penyebaran qira’at di negeri-negeri tersebut diatas.44
Perlu disinggung disini bahwa pengajaran qira’at oleh para sahabat kepada murid-murid
mereka adalah berdasarkan cara bacaan yang mereka dapatkan dari nabi. Bacaan mereka berbeda
antara satu dengan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam pengajaran “al-Ahruf as-Sab’ah”
sebagaimana dijelaskan diatas.
Sepeninggal mereka muncul generasi ketiga di kalangan Tabi’in yang juga berperan
dalam penyebaran Ilmu Qira’at di negeri-negeri tersebut. Hasilnya adalah munculnya generasi
baru dalam bidang Qira’at.

c. Munculnya Komunitas Ahli Qira’at


Hasil yang didapatkan dari kegiatan pengajaran Al-Qur’an dari generasi sahabat dan
Tabi’in adalah munculnya komunitas ahli Qira’at pada setiap negeri Islam. Ibnu al-Jazari dalam
kitabnya “Al-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr” menyebutkan tentang komunitas tersebut. Ibnu al-
Jazari menyebut komunitas ahli Qira’at di negeri-negeri Islam tersebut sebagai berikut :
 Madinah : Ibnu al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, Sulaimân bin
Yasar, ‘Atha’ bin Yasar, Mu’adz bin al-Hârits, ‘Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibnu
Syihâb az-Zuhri, Muslim bin Jundab, Zaid bin Aslam.

44
Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân al-Rûmi, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, (Riyâdh: t.p., 2004), cet.
XIII, Hal. 344

25
 Mekkah : ‘Ubaid bin ‘Umair, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Thawus, Mujâhid bin Jabr, ‘Ikrimah
dan Ibnu Abî Mulaikah.
 Kufah : ‘Alqamah, al-Aswad bin Yazîd, Musruq bin al-Ajda’,‘Abidah, ‘Amr bin Syurahbil,
Al-HArits bin Qais, Amr bin Maimun, Abu Abdirrahman As-Sulami, Said bin Jubair, An-
Nakha’I dan Asy-Sya’bi.
 Basrah : Amir bin Abd al-Qais, Abu al-“Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Âshim, Nashr bin
‘Âshim, Yahya bin Ya’mar Al-Hasan, Ibnu Sirin dan Qatadah.
 Syam : Al-Mughirah bin Abi Syihab Al-Makhzumi (Murid ‘Utsman) dan Khalifah bin Sa’ad
(Murid Abu Darda).

d. Kodifikasi Ilmu Qira’at


Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan berbagai macam ilmu keislaman,
seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad kedua
Hijriyah. Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya dalam bidang qira’at.
Sebagian ulama muta’akhirîn berpendapat bahwa yang pertama kali menuliskan buku
tentang ilmu qira’at adalah Yahyâ bin Ya’mar, ahli qira’at dari Bashrah. Kemudian di susul oleh
beberapa imam qurrâ’, diantaranya yaitu :
1. ‘Abdullah bin ‘Âmir dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Mashâhif al-Syâm wa al-Hijâz wa al-
‘Irâq.
2. Abân bin Taghlib dari Kufah. Kitabnya Ma’ânî Al-Qur’an dan kitab Al Qirâ’ât.
3. Muqâtil bin Sulaimân
4. Abû ‘Amr bin al-‘Alâ’
5. Hamzah bin Habîb al-Ziyât
6. Zâidah bin Qadâmah al-Tsaqafi
7. Hârûn bin Mûsâ al-A’ûr
8. ‘Abdul Hamîd bin ‘Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr
9. ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i
10. Ya’qûb bin Ishâq al-Hadramî
11. Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Kitabnya Al-Qirâ’ât.45

Nabîl bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli Ismâ’îl, ‘Ilm al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Athwâruhu, Atsaruhu fî ‘Ulûm al-
45

Syar’iyyah, (Riyâdh: Maktabah al-Tawbah, 2000), Hal. 99-102.

26
Menurut Ibnu al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-
macam qira’at dalam satu kitab adalah Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia mengumpulkan dua
puluh lima orang ulama ahli qira’at, termasuk di dalamnya imam yang tujuh (imam-imam
Qira’at Sab’ah).46
Agaknya penulisan qira’at pada periode ini hanya menghimpun riwayat yang sampai
kepada mereka, tanpa menyeleksi perawi atau materi qira’at.
Kemudian pada abad ketiga Hijriyah kegiatan penulisan qira’at semakin marak. Diantara
mereka adalah : Ahmad bin Jubair al-Makki yang menghimpun bacaan Imam Lima, Ismâ’îl
bin Ishâq al-Maliki yang menghimpun 20 bacaan Imam, Ibnu Jarir At-Thabari yang
menghimpun bacaan lebih dari 20 Imam, dan lain lainnya. Setelah itu kegiatan penulisan Ilmu
Qira’at semakin meningkat dari tahun ke tahun dan dari abad ke abad.

e. Terbentuknya Qira’at Sab’ah


Banyaknya qira’at yang tersebar di banyak negeri Islam menyebabkan munculnya rasa
kegalauan pada banyak kalangan, terutama kalangan awam. Hal inilah yang menyebabkan
sebagian ahli qira’at membuat rambu-rambu yang bisa menyeleksi qira’at mana saja yang patut
bisa dianggap shahîh. Rambu-rambu yang dimaksud adalah pertama : harus mutawâtir, masyhur
dikalangan ahli qira’at. Kedua : harus sesuai denga rasm Utsmâni dan ketiga : harus sesuai
dengan kaidah bahasa Arab.
Dari sinilah lalu muncul prakarsa Abû Bakar Ahmad bin Mûsâ al-Baghdâdi Ibnu
Mujâhid (w 324 H) untuk menyederhanakan bacaan pada Imam–imam yang paling berpengaruh
pada setiap negeri Islam. Lalu dilipilihlah Tujuh Imam yang bisa mewakili bacaan pada setiap
negeri Islam. Mereka yang terpilih adalah :
1. Dari Madinah : Imam Nâfi’ bin Abî Nu’aim al-Ashfihâni
2. Dari Mekah : ‘Abdullâh bin Katsîr al-Makki
3. Dari Bashrah : Abû ‘Amr al-Bashri
4. Dari Syam : ‘Abdullâh bin ‘Amir al-Syâmi

46
Nabîl bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli Ismâ’îl, ‘Ilm al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Athwâruhu, Hal. 103; Abû al-Hasan ‘Alî
bin Fâris al-Khayyâth, Al-Tabshirah fî Qirâ’ât al-Aimmah al-‘Asyrah, (Riyâdh: Maktabah al-Rusyd, 2007), Hal.
19

27
5. Dari Kufah: terpilih tiga Imam yaitu; ‘Âshim bin Abî al-Najud, Hamzah bin Habib al-
Zayyat dan ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i.
Pemilihan ketujuh Imam tersebut berdasarkan kriteria yang sangat ketat. Kriteria tersebut
disebutkan sendiri oleh Ibnu Mujâhid dalam kitabnya “ al-Sab’ah” yaitu : harus ahli dalam
bidang qira’at, mengetahui qira’at yang masyhur dan yang syâdz, tahu tentang periwayatan, dan
tahu tentang seluk beluk bahasa Arab. Ibnu Mujâhid berkata : “Diantara para ahli Al-Qur’an
ada yang tahu tentang seluk beluk I’râb, qira’at, bahasa, mengerti tentang arti dari masing-
masing kalimat, tahu tentang qira’at yang syâdz, mampu memberikan penilaian kepada riwayat-
riwayat. Inilah Imam yang patut didatangi oleh para penghafal Al-Qur’an pada setiap negeri
kaum muslimin”.47
Bacaan imam-imam tersebut dikumpulkan oleh Ibnu Mujâhid pada kitabnya yang
terkenal yaitu “As-Sab’ah”. Sebagaimana setiap prakarsa yang baru ada yang pro dan ada yang
kontra. Mereka yang pro terhadap gagasan Ibnu Mujâhid mengikuti jejak Ibnu Mujâhid dengan
cara menghimpun bacaan Imam Tujuh dari berbagai riwayat dan memberikan penjelasan
(hujjah) terhadap setiap fenomena qira’at yang diriwayatkan dari tujuh imam
tersebut. Sedangkan para ulama yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan
bahwa Qira’at Sab’ah adalah sab’atu ahruf yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu
menurut Abû ‘Abbâs bin Ammar alangkah baiknya kalau yang di kumpulkan itu kurang dari
tujuh imam qira’at atau lebih dari tujuh. Di antara para ulama yang kontra adalah Abû ‘Alî al-
Fârisi, Ibnu Khawalaih, Ibnu Zanjalah, Makki Ibnu Abi Thâlib al-Qaisyi dan lain sebagainya.48

f. Penyederhanaan Perawi Imam Qira’at Sab’ah


Pada kitab “as-Sab’ah” Ibnu Mujâhid masih menyertakan banyak perawi dari setiap
Imam dari Imam Tujuh. Kemudian pada periode berikutnya, muncul seorang ahli qira’at
kenamaan dari Andalus yang bernama Utsmân bin Sa’id, Abû ‘Amr al-Dânî menyederhanakan
para perawi dari setiap Imam Qira’at Tujuh menjadi dua pada setiap Imam. Al-Dânî berpendapat
bahwa adanya dua rawi pada setiap Imam lebih memudahkan menghafal materi qira’at dari
masing-masing Imam. Dan dua rawi pada setiap Imam sudah bisa mewakili para rawi dari setiap

47
Ahmad bin Mûsâ bin Mujâhid Al-Baghdady, Al-Sab’ah fî al-Qirâ’ât, juz 1, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1400 H). Hal.
45
48
T. M. Hasby Al-Siddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993). Hal. 138

28
Imam. Penyederhanaan rawi menjadi dua rawi dari setiap Imam bisa kita lihat pada kitabnya
“al-Taisir”. Rawi-rawi yang disebut oleh al-Dânî untuk setiap Imam adalah sebagai berikut :
1. Qâlûn dan Warsy, meriwayatkan qira’at dari Imam Nâfi’
2. Qunbul dan Al-Bazzi, meriwayatkan qira’at dari Imam Ibnu Katsîr
3. Al-Dûrî dan Al-Sûsi, meriwayatkan qira’at dari Imam Abû ‘Amr
4. Hisyâm dan Ibnu Dzakwân, meriwayatkan qira’at dari Imam Ibnu ‘Âmir
5. Syu’bah dan Hafsh, meriwayatkan qira’at dari Imam ‘Âshim
6. Khalaf dan Khallâd, meriwayatkan qira’at dari Imam Hamzah
7. Abû al-Hârits dan Dûri al-Kisâ’i, meriwayatkan qira’at dari Imam Al-Kisâ’i.49

4. Macam-macam Qira’at

Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qira’at menjadi enam macam:


1. Mutawâtir, yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung
hingga penghabisannya, yakni Rasulullah SAW.50 Para ulama maupun para ahli hukum
Islam sepakat bahwa qira’at yang berkedudukan mutawâtir adalah qira’at yang sah dan
resmi sebagai qira’at Al-Qur’an.51 Ia sah dibaca di dalam maupun di luar shalat. Jumhur
ulama juga berpendapat bahwa qira’at yang tujuh itu mutawâtir.52
2. Masyhûr, yaitu qira’at yang shahîh sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawâtir,
sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm Utsmâni serta terkenal pula di kalangan para
ahli qira’at dan tidak terdapat cacat. 53 Para ulama menyebutkan bahwa qira’at semacam ini
boleh dipakai atau digunakan. Contoh qira’at masyhûr adalah qira’at yang dipopulerkan
oleh Abû Ja’far bin Qa’qa’ dan Ya’qûb Al-Hadhrami, yaitu

49
Syekh Manna Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998). Hal.182-184
Jalâluddîn ‘Abdurrahmân Al-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, juz IV, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah,
50

1988). Hal. 77
51
Ismail Masyhuri, Ilmu Qiraatul Quran: Sejarah dan Pokok Perbezaan Qiraat Tujuh, (Kuala Lumpur: Nurulhas,
t.t.). Hal. 42-43
52
Syekh Manna Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998). Hal. 179
Jalâluddîn ‘Abdurrahmân Al-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, juz IV, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah,
53

1988). Hal. 77

29
lafaz siqâyata dibaca suqâta dan lafaz‘imârata dibaca ‘amarata,54 yang kedua bacaan ini
terdapat dalam surat At-Taubah ayat 19.

 
     
          
        
         
    
 
 
        
               
   

             

3. Âhâd, yaitu qira’at yang shahîh sanadnya tetapi tidak sesuai atau menyalahi rasam
Utsmâni, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya dua qira’at yang
telah disebutkan. Qira’at semacam ini tidak termasuk qira’at yang dapat diamalkan
bacaannya. Contohnya seperti yang diriwayatkan dari Abû Bakrah bahwa Nabi membaca
rafârifa dan ‘abâqariya dalam surat al-Rahmân ayat 76.55
4. Syâdz, yaitu qira’at yang tidak shahîh sanadnya, seperti qira’at malaka yaumaddîn (al-
Fâtihah ayat 4), dengan bentuk fi’il mâdhi dan menasabkan yauma.56
5. Mawdhû’, yaitu qira’at yang tidak ada asalnya. Contohnya qira’at imam Muhammad bin
Ja’far al-Khuza’i dalam membaca firman Allah swt. dalam surat Fâthir ayat 28:
ُ‫إِﳕﱠَﺎ َﳜْـﺸَﻰ اﷲَ ِﻣ ْﻦ ِﻋﺒَـﺎ ِدﻩِ اﻟْﻌُـﻠَﻤَﺎء‬
Dia membaca dengan:
َ‫إِﳕﱠَﺎ َﳜْـﺸَﻰ اﷲُ ِﻣ ْﻦ ِﻋﺒَـﺎ ِدﻩِ اﻟْﻌُـﻠَﻤَﺎء‬
Yaitu dengan merafa’kan lafaz Allah dan menasabkan lafaz al-‘Ulamâ’.57
6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qira’at sebagai penafsiran, seperti qira’at Ibnu
‘Abbâs:
ٍ َ‫َاﺳ ِﻢ اﻟْ َﺤ ﱢﺞ ﻓَـِﺈذَا أَﻓَﻀْـﺘُ ْﻢ ِﻣ ْﻦ َﻋَﺮﻓ‬
‫ـﺎت‬ ِ ‫ْـﻼ ِﻣ ْﻦ َرﺑﱢ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻰ ﻣَﻮ‬
ً ‫ﺲ َﻋﻠَْﻴـ ُﻜ ْﻢ ُﺟﻨَـﺎ ٌح أَ ْن ﺗَـْﺒـﺘَـﻐُﻮا ﻓَﻀ‬
َ ‫ﻟَْﻴ‬
Kalimat ‫ﺞ‬
‫َاﺳ ِﻢ اﳊَْ ﱢ‬
ِ ‫ ِﰱ َﻣﻮ‬adalah penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat. 58

Keempat macam qira’at terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.


Demikianlah uraian ringkas tentang macam-macam qira’at, sehingga dengan demikian
seorang ahli qira’at di samping hafal bermacam-macam qira’at, dituntut juga agar mampu
membuktikan kebenaran qira’atnya.
54
Ismail Masyhuri, Ilmu Qiraatul Quran: Sejarah dan Pokok Perbezaan Qiraat Tujuh, (Kuala Lumpur: Nurulhas,
t.t.). Hal. 44
Jalâluddîn ‘Abdurrahmân Al-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, juz IV, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah,
55

1988). Hal. 77
56
Ibid,. Hal. 77
57
Op Cit,. Hal. 47
58
Ibid,. Hal. 47

30
Sedangkan klasifikasi qira’at berdasarkan jumlah perawi adalah sebagai berikut:
a. Al-Qirâ’ât As-Sab’a (Qirâ’ât Sab’ah): adalah Qirâ’ât yang diriwayatkan oleh Tujuh Imam
Qira’at yang sudah maklum.
b. Al-Qirâ’ât Al-‘Asyr (Qirâ’ât ‘Asyrah): adalah Qira’at Sab’ah yang dilengkapi dengan tiga
Imam Qira’at. Yakni, Qira’at Ya’qûb, Qira’at Khalaf, dan Qira’at Yazîd bin Qa’qa’ (Abu
Ja’far).
c. Al-Qirâ’ât Al-Arba’ ‘Asyr (Qirâ’ât Empat Belas): adalah Qira’at ‘Asyrah ditambah Qira’at
empat Imam Qira’at, yakni Qira’at Hasan Bashri, Qira’at Ibnu Muhaishin, Qira’at Yahyâ al-
Yazîudî, dan Qira’at al-Syanabudz.

5. Perkembangan Qira’at Sab’ah Di Indonesia


Tidak di ketahui secara persis kapan Qira’at Sab’ah mulai masuk ke Indonesia. Akan
tetapi ada sebagian yang berpendapat bahwa Qira’at Sab’ah masuk ke Indonesia baru pada
sekitar awal abad kedua puluh Hijriyah, yaitu setelah banyaknya pelajar indonesia yang
mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Ulama yang memprakasai masuknya ilmu Qiraat di
Indonesia salah satu diantaranya adalah Syaikh Muhammad Munawir bin Abdullah Rasyid dari
Krapyak Yogyakarta. Syaikh Munawir mempelajari ilmu qira’at dari Hijaz. Kemudian
sepulangnya dari sana beliau mendistribusikan ilmu qira’at ini kepada murid-muridnya. Salah
satu muridnya yaitu Syaikh Arwani Amin dari Kudus, yang kemudian menyusun buku tentang
qiraat sab’ah yaitu “Faidh al-Barâkât fî Sab’i Qirâ’ât”. Buku ini telah masyhur di kalangan
pesantren-pesantren Indonesia yang mempelajari Qira’at Sab’ah. 59
Kemudian para periode berikutnya, yaitu pada dekade tujuh puluhan muncul Institut
pendidikan di Jakarta yaitu PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) dan IIQ (Institut Ilmu Al-
Qur’an) yang khusus mengajarkan ‘Ulumul Qur’an, termasuk di dalamnya ilmu Qira’at. Ilmu
Qira’at semakin masyhur di Indonesia setelah komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam
sidangnya tanggal 2 Maret 1983 memutuskan bahwa:
1. Qiraat Sab’ah adalah sebagian ilmu dari ‘Ulumul Qur’an yang wajib di kembangkan dan di
pertahankan eksistensinya.

59
Makalah DR. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA, “Qira’ah Sab’ah di Indonesia”, Maret 2002

31
2. Pembacaan Qira’at Tujuh di lalukan pada tempat-tempat yang wajar oleh pembaca yang
berijazah (yang telah talaqqi dan musyâfahah dari ahli qira’at).60
Pada periode ini telah muncul juga buku tentang ilmu qira’at dalam bahasa Indonesia,
yaitu “Kaidah Qiraat Tujuh” yang di tulis pada tahun 1992 oleh salah satu dosen IIQ dan PTIQ,
yaitu DR. KH. Ahmad Fathoni, M.Ag. Kitab ini sangat membantu memudahkan masyarakat
Indonesia yang kurang menguasai bahasa Arab dalam belajar ilmu qira’at.
Barangkali mengingat Qira’at Sab’ah sudah mulai dikenal dan memasyarakat di
Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada tanggal 2 Maret 1983
merekomendasikan bahwa Qira’at Tujuh wajib dikembangkan eksistensinya. Pada tanggal 23
Mei 1983 MUI DKI Jakarta juga telah mengeluarkan fatwa mengenai keberadaan Qira’at Tujuh,
yang substansinya: menghimbau agar para pecinta pembaca Al-Qur’an tidak membiasakan
pembacaan Al-Qur’an yang suci itu di dalam upacara atau pertemuan keagamaan dan lainnya
dengan cara Qira’at Sab’ah atau mengulang-ulang satu ayat dengan cara bacaan yang berlainan
ejaannya. Fenomena ini menunjukkan bahwa termasuk para ulama masih banyak yang belum
begitu paham tentang hal-ihwal Qira’at Sab’ah.
Ibarat gayung bersambut, sejak tahun 2002, tepatnya pada Seleksi Tilawatil Qur’an
(STQ) di Mataram Nusa Tenggara Barat, Qira’at Al-Qur’an termasuk salah satu cabang yang
ikut dimusabaqahkan dan terus berjalan sampai sekarang.61

6. Faidah Keberagaman Qira’at Yang Shahih


Keberagaman Qira’at yang shahih ini mengandung banyak faedah, diantaranya:
1. Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan dan
penyimpangan, padahal Kitab Al-Qur’an mempunyai sekian banyak segi bacaan yang
berbeda-beda.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Qur’an.
3. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan makna i’jaznya, karena setiap Qira’at
menunjukkan suatu hukum syariat tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz. Misalnya dalam
surat Al-Maidah ayat 6

60
DR. H. Ahmad Fathoni, Kaidah Qira’at Tujuh, (Jakarta: ISIQ, 1992). Hal. 13
Makalah DR. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA, “Qira’ah Sab’ah di Indonesia”, Maret 2002
61

32
     

Dengan menashabkan dan mengkhafadhkan kata ( ‫) وأرﺟﻠﻜﻢ‬, dalam Qira’at yang

menashabkannya terdapat penjelasan tentang hukum membasuh kaki, karena ia di’athafkan


kepada ma’mul fi’il (obyek kata kerja) ghasala dalam ayat

    

Sedang Qira’at yang mengkhafadhkan kata ( ‫) وأرﺟﻠﻜﻢ‬, menjelaskan hukum membasuh


khuffain (dua pasang sepatu yang menutup rapat telapak kaki) ketika terdapat keadaan yang
menuntut untuk menggunakannya. Dengan alasan lafadz itu di’athafkan kepada ma’mul fi’il
kalimat “masaha” dalam ayat

     


Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan dua hukum tanpa berpanjang lebar kata. Inilah
sebagian makna kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam Qira’at lain. Misalnya, lafadz

( ‫ ) ﻳﻄﻬﺮن‬dalam surat Al-Baqarah ayat 222

    


yang bisa dibaca tasydid dan takhfif. Qira’at dengan tasydid menjelaskan makna Qira’at
yang takhfif, sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Karena itu istri yang haid tidak halal
dicampuri oleh suaminya sampai ia bersih dari haid atau telah berhenti darah haidnya
sebelum ia (istri) bersuci dengan air.62

62
Syekh Manna Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998). Hal. 170-171

33
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Rasm secara etimologi adalah gambar atau coretan, selain itu rasm juga dapat berarti
“‫( ”اﻻَﺛَﺮ اﻟﺒَﺎﻗِﻰ ِﻣ َﻦ اﻟﺪﱠا ِر ﺑـَ ْﻌ َﺪ أَن َﻋﻔَﺖ‬sisa-sisa dari rumah setelah direnovasi), selain itu terdapat

beberapa kata juga yang dinilai bersinonim dengan rasm, diantaranya : ‫ ﻛﺘﺎﺑﺔ‬,‫ ﺳﻄﺮ‬,‫ ﻧﺴﺦ‬,‫ﻂ‬
ّ ‫اﳋ‬

bermakna tulisan. Sedangkan rasm pada pembahasan ini adalah ‫( ﻛﻴﻔﻴﺔ اﻟﻜﺘﺎﺑﺔ‬cara menulis).

Rasm Al-Qur’an atau yang lebih dikenal dengan “Ar-Rasm Al-‘Utsmani lil Mushaf”
(penulisan mushaf Utsmani) adalah suatu metode khusus dalam penulisan Al-Qur’an yang
ditempuh oleh Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy (Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi
Thalib dan ‘Utsman bin ‘Affan) yang telah menempuh suatu metode khusus dalam penulisan
Al-Qur’an yang disetujui oleh ‘Utsman.
Mushaf Utsmani ditulis dengan qaidah tertentu, para ulama membagi kqaidah

tersebut menjadi 6 istilah yaitu;

a. Al-hadfu (menghilangkan atau meniadakan huruf)

b. Az-Ziyadah (penambahan)

c. Al-Hamzah

d. Badal (penggantian)

e. Washl dan Fashl ( menyambungkan dan memisahkan)

f. Kata yang dapat dibaca dua macam, penulisannya diatas salah satu bunyinya.

Rasm Utsmani pada awalnya tidak memiliki titik, harakat setelah ada perkembangan

zaman dan masuknya bahasa lain kedalam bahasa arab maka penulisannya disempurnakan

untuk memudahkan membacanya.

34
Para ulama berbeda pendapat mengenai status Rasm ‘Utsmani atau Rasm Al-Qur’an,
pendapat-pendapat tersebut diantaranya:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa Rasm ‘Utsmani untuk Al-Qur’an bersifat tauqifi
(yakni bukan produk manusia, tetapi merupakan sesuatu yang ditetapkan berdasarkan
wahyu Allah SWT yang Rasulullah SAW sendiri tidak memiliki otoritas untuk
menyangkalnya), yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an dan harus sungguh-
sungguh disucikan.
2. Banyak ulama berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani bukan tauqifi dari Nabi SAW, tetapi
hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui ‘Utsman dan diterima umat dengan
baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh
dilanggar.
3. Sebagian ulama berpendapat, rasm ‘Utsmani itu hanyalah sebuah istilah, metode dan
tidaklah mengapa berbeda dengannya jika orang telah menggunakan satu model rasm
tertentu untuk penulisan, kemudian rasm itu menjadi tersiar luas diantara mereka.
Diantara ketiga pendapat tersebut diatas, pendapat yang paling kuat adalah
bahwasannya rasm ‘Utsmani bukan tauqifi, karena itu merupakan suatu ijtihad para sahabat
radhiyallahu ‘anhum yang dalam hal itu apa yang diusahakan oleh para sahabat telah
disepakati oleh Allah SWT.
Rasm ‘Utsmani memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:
1. Mengandung berbagai macam cara membaca dalam satu kalimat
2. Menunjukkan banyak arti dan makna
3. Menunjukkan makna yang sempit menjadi makna yang mendetail
4. Menunjukkan keaslian huruf dan tata bacanya
5. Merangkum beberapa lahjah arab
Secara etimologi lafadz Qira’at merupakan bentuk jama’ dari Qira’ah yang berarti
bacaan, dan lafadz Qira’at merupakan masdar dari kata Qara’a. Dalam istilah keilmuan,
Qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan Al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang
imam Qurra sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab yang lainnya.

35
Imam Az-Zarkasy mengemukakan pengertian Qira’at sebagai berikut:

‫ْﻒ َوﺗَـﺜْ ِﻘﻴ ٍْﻞ‬


ٍ ‫ْف أ َْو َﻛْﻴ ِﻔﻴَﺘِﻬَﺎ ِﻣ ْﻦ ﲣَْ ِﻔﻴ‬
ِ ‫َﺎظ اﻟْ َﻮ ْﺣ ِﻲ اﻟْ َﻤ ْﺬﻛ ُْﻮِر ِﰲ ﻛِﺘَﺎﺑَِﺔ اﳊُْﺮُو‬
ِ ‫ف أَﻟْﻔ‬
ُ ‫َات ِﻫ َﻲ ا ْﺧﺘ َِﻼ‬
ُ ‫اﻟْ ِﻘﺮَاء‬
‫َوﻏَﲑِْﳘَِﺎ‬
“Qira'at yaitu perbedaan lafaz-lafaz wahyu (Al-Qur’an) dalam hal penulisan hurufnya
maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfîf, tatsqîl, dan lain-lain”.
Dalam rumusan definisi di atas, Az-Zarkasyi berpendapat bahwa qira’at sebagai
sistem penulisan huruf dan pengucapan huruf-huruf tersebut, tanpa menyebutkan sumber
riwayat qira’at.
Menurut para ulama, syarat-syarat Qira’at Al-Qur’an yang shahih adalah sebagai berikut:
1. Qira’at Al-Qur’an harus sesuai dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi,
baik fasih maupun lebih fasih.
2. Qira’at Al-Qur’an harus sesuai dengan salah satu mushaf ‘Utsmani, meskipun hanya
sekedar mendekati saja.
3. Qira’at Al-Qur’an sanadnya harus shahih, sebab Qira’at merupakan Sunnah yang harus
diikuti yang didasarkan pada penukilan dan keshahihan riwayat.

Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qira’at menjadi enam macam:


1. Mutawattir
2. Mahsyur
3. Ahad
4. Syadz
5. Mawdu’
6. Mudraj
Sedangkan klasifikasi qira’at berdasarkan jumlah perawi adalah sebagai berikut:
a. Al-Qirâ’ât As-Sab’a (Qirâ’ât Sab’ah): adalah Qirâ’ât yang diriwayatkan oleh Tujuh Imam
Qira’at yang sudah maklum.
b. Al-Qirâ’ât Al-‘Asyr (Qirâ’ât ‘Asyrah): adalah Qira’at Sab’ah yang dilengkapi dengan tiga
Imam Qira’at. Yakni, Qira’at Ya’qûb, Qira’at Khalaf, dan Qira’at Yazîd bin Qa’qa’ (Abu
Ja’far).
c. Al-Qirâ’ât Al-Arba’ ‘Asyr (Qirâ’ât Empat Belas): adalah Qira’at ‘Asyrah ditambah Qira’at
empat Imam Qira’at, yakni Qira’at Hasan Bashri, Qira’at Ibnu Muhaishin, Qira’at Yahyâ al-
Yazîudî, dan Qira’at al-Syanabudz.

36
DAFTAR PUSTAKA

Al-Azami, Musthofa. 2005. The History of Qur’anic Text, Terj. Sohirin Solihin dkk. Jakarta:
Gema Insani Press.

Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il. 1987. Shahih Bukhari. Beirut: Dar Ibnu
Katsir Al-Yamamah.

Al-Fadhli, Abdul Hadi. 1985. Al-Qira’at Al-Qur’aniyah. Beirut: Dar Al-Qolam.

Al-Jazary, Ibnu. An-Nasyr fi Al-Qira’at Al-‘Asyr. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.

____________,. 1980. Munjid Al-Muqri’in wa Mursyid At-Thalibin. Beirut: Dar Al-Kutub Al-
‘Ilmiyah.

Al-Khayyat, Abû al-Hasan ‘Ali bin Faris. 2007. Al-Tabsirah fî Qira’at al-Aimmah al-‘Asyrah.
Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd.

Al-Majali, Muhammad Khazir. 2003. Al-Wajiz fi ‘Ulum Kitab Al-‘Aziz. Malaysia: Dar At-Tajdid.

Al-Qaththan, Manna. 1998. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Mesir: Maktabah Wahbah.

Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad. 2006. Al-Jami’ lil Ahkam Al-Qur’an. Beirut: Ar-Risalah.

Al-Qusthullani, Syihabuddin. 2001. Lathaif al-Isyarat liFunun al-Qira’at. Madinah: Maktabah


Al-Malik Al-Fahd Al-Wathaniyyah.

An-Naisaburi, Muslim bin Al-Hajjaj. 1991. Shahih Muslim. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.

Anwar, Rosihan. 2006. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.

Ar-Rûmi, Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân. 2004. Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm,
cet. XIII. Riyâd

As-Shabuni, Muhammad Ali. 2011. At-Thibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Pakistan: Maktabah Al-
Busyro.

As-Siddieqy, T. M. Hasby. 1993. Ilmu-ilmu al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang.

37
As-Suyûtî, Jalâluddîn ‘Abdurrahmân. 1988. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an. Beirut: Maktabah al-
‘Asriyyah.

As-Syathibi, 2004. Hirz Al-Amani wa Wajh At-Thahany. Damaskus: Dar Ibnu Al-Jazary.

Az-Zarkasy, Badruddin Muhammad bin Abdullah. 1988. Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut:
Dar Al-Fikr.

Az-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim. 1995. Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Dar
Al-Kutub Al-‘Arabiy.

‘Atar, Hasan Dhiya Ad-Din. 1988. Al-Ahruf As-Sab’ah. Beirut: Dar Al-Basyair Al-Islamiyah.

Fathoni, Ahmad, DR. H. 1992. Kaidah Qira’at Tujuh. Jakarta: ISIQ.

Ismâ’îl, Nabîl bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli, DR. 2000. ‘Ilm al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Atwâruhu,
Atsaruhu fî ‘Ulûm al-Syar’iyyah. Riyâd: Maktabah al-Tawbah.

Makalah DR. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA, Qira’ah Sab’ah di Indonesia, Maret 2002.

Marjuni, Kamaluddin Nurdin. 2009. Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim Arab
Indonesia. Jakarta: Ciputat Press Group.

Masyhuri, Ismail, Al-Hafiz. Ilmu Qira’atul Qur’an: Sejarah dan Pokok Perbezaan Qiraat Tujuh.
Kuala Lumpur: Nurulhas.

Mujahid, Ibnu. Kitab As-Sab’ah fi Al-Qira’at. Kairo: Dar Al-Ma’arif.

Mushtofa, Ibrahim. 2004. Al-Mu’jam Al-Washit. Kairo: Maktab asy-Syuruq ad-Dauliyah.

Subhi, As-Shalih. 1988. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar Al-‘Ilmi.

Syahin, Abdus Shabur. 1998. Tarikh Al-Qur’an. Kairo: Dar Al-Ma’alim Ats-Tsaqafiyah.

38

Anda mungkin juga menyukai