Anda di halaman 1dari 23

BAB 10

AKAD IJARAH
A. Definisi Ijarah
Ijarah secara etimologis adalah mashdar dari kata ‫ ياجر‬-‫( اجر‬ajara-ya’jiru)
Yaitu upah yang diberikan sebagai kompensasi sebuah pekerjaan. Menurut M. Rawas
Qal’aji, ijarah berasal dari kata ‫اجارة‬-‫ ياجر‬-‫ اجر‬jamaknya ‫ اجور‬yang berarti sesuatu
yang engkau berikan kepada orang lain berupa upah daam pekerjaan.
Kalimat ‫ االجر – االجارة‬maknanya sama sebagaimana telah disebutkan. Akan
tetapi, kalimat ‫ االجر‬maknanya dikenal dengan balasan yang berasal dari Allah SWT.
Kepada hamba-Nya yang beramal shalih. Sedangkan ‫ االجارة‬makananya dikenal
dengan balasan yang berasal dari manusia kepada sesamanya, yang disebut dengan
‫( االجية‬karyawan).
Sedangkan secara terminologi, sebagaimana teah dikemukaakan oleh para
fukaha dengan redaksi yang berbeda-beda sebagai berikut :

Hanafiyah :
‫عقد على المنافع بعوض‬
“Akad terhadap manfaat dengan adanya kompensasi/imbalan”

Makiyah berpendapat yang dimaksud Ijarah adalah :


‫غليك منافع شيء مباحة مدة معلومة بعوض‬
“kepemilikan terhadap manfaat sesuatu yang diperbolehkan pada waktu yang
diketahui disertai dengan adanya kompensasi/imbalan”

Menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud akad Ijarah adalah :


‫قد على منفعة مقصدة معلومة قابلة للبدل واالباحة بعوض معلوم‬
“Akad atas manfaat yang dituju serta diketahui yang membutuhkan tenaga
dandiperbolehkan oleh syara’ dengan imbalan tertentu”

Menurut Ulama Hanabilah, yang dimaksud dengan ijarah adalah :


‫وهي عقد على منفعة مباحة معلومة تؤخذ شيئا فشيئا مدة معلومة من‬
‫عين معلومة أموصوفة أو موصوفة في الذمة أو علم معلوم بعوض‬
‫معلوم‬
“Akad tehadap manfaat yang diperbolehkan oleh syara’, dapat diambil sewaktu-
waktu pada waktunya yang telah ditentukan, baik berupa benda tertentu maupun sifat
dalam tanggungan atau pekerjaan tertentu dengan adanya imbalan tertentu pula”.
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama-ulama fikih
tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahawa yang dimaksud dengan akad ijarah
adalah akad terhadap manfaat dengan waktu tertentu disertai imbalan atau pengganti
tertentu pula. Definisi tentang ijarah itu terkandung dua pengertian, yaitu bisa
bermakna jual-beli manfaat benda dan disebut dengan jual-beli tenaga manusia.

B. Landasan Yuridis Akad Ijarah


Para Ulama selain Abu Bakar Al-Asham, Ismail Ibn ‘Ulyah, al-Hasan, al-
Bashri, al-Qasyani, al-Nahrawani, dan Ibn Kaisan telah sepakat memperbolehkan
akad ijarah berdasarkan dalil-dalil hukum islam yang mana akad tersebut
dikemukakanberikut ini. Adapun mereka yang tidak memperbolehkan berargumen
karena ijarah itu merupakan jual-beli manfaat, sedangkan manfaat itu ketika
terjadinya akad termasuk sesuatu yang tidak diketahu atau dikuasai. Begitu juga
dengn lambat laun akan habis sesuai zaman. Menurut mereka sesuatu yang tidak bisa
dikuasai dan diketahui tidak memungkinkan bisa diperjual-belikan. Selain itu tidak
diperbolehkan penyadaran jual beli akan sesuatu pada masa yang akan datang.
Akan tetapi, alasan mereka dinbantah oleh para ulama yang memperbolehkan
bahwa manfaat itu sekaliput tidak bisa dikuasai ketika terjadinya akad, namun dapat
digunakan pada umumnya dan sangat dibutuhkan didalam masyarakat. Kebolehan
ijarah ini berlawanan denga qiya’ karena akad terhadap manfaat yang tidak diketahui.
Namun akan alasan kebutuhan maka ijarah ini diperbolehkan, hal ini sesuai dengan
kaidah fikih :
‫الحاجة تنزل منزل الضرورة عامة كانت او خاصة‬
“kebutuhan itu menempati posisi darurat, baik bersifat umum maupun khusus”

Dalil-dalil hukum Islam tentang landasan yuridis keabsahan akad ijarah adalah Al-
Quran, Hadist, dan Ijma’. Adapun dalil-dalil Al-Quran yang menunjukan keabsahan akad
ijarah adalah sebagai berikut :

َ ‫فَإِ ْن أ َ ْر‬
‫ض ْعنَ لَ ُك ْم فَآتُو ُهن‬
“.....kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada
mereka upahnya...” [QS. At-Thalaq : 6]

‫ت ْٱلقَ ِوى‬ ِ َ‫يۖأَب‬


َ ‫ت ٱ ْستَـْٔ ِج ْرهُ ۖ إِن َخي َْر َم ِن ٱ ْستَـْٔ َج ْر‬ ْ َ‫قَال‬
َ ٰ ‫ت إِ ْحدَ ٰى ُه َما‬
26 ‫ين‬ ُ ‫ْٱْل َ ِم‬
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
[QS. Al-Qashash : 26]
ْ َ‫طلَقَا َحت ٰىۖ ِإذَاۖ أَتَ َياۖ أَ ْه َل قَ ْر َية ٱ ْست‬
‫ط َع َماۖ أَ ْهلَ َها فَأ َ َب ْواۖ أَن‬ َ ‫فَٱن‬
َ ْ‫ارا يُ ِريدُ أَن يَنقَض فَأَقَا َم ۥهُ ۖ قَا َل لَ ْو ِشئ‬
‫ت‬ ً َ‫ضيِفُو ُه َما فَ َو َجدَا فِي َها ِجد‬
َ ُ‫ي‬
77 ‫علَ ْي ِه أَ ْج ًرا‬َ ‫ت‬ َ ‫لَت َخ ْذ‬
“Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu
negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu
tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu
dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa
berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".[QS. Al-
Kahfi : 77]

‫شت َ ُه ْم ِفى ْٱل َح َي ٰو ِة‬ َ َ‫ت َر ِب َك ۖ ن َْح ُن ق‬


َ ‫س ْمنَا َب ْينَ ُهم م ِعي‬ َ ‫اَ ُه ْم َي ْق ِس ُمونَ َر ْح َم‬
‫ضا‬ ُ ‫ض ُه ْم فَ ْوقَ بَ ْعض دَ َر ٰ َجت ِليَت ِخذَ بَ ْع‬
ً ‫ض ُهم بَ ْع‬ َ ‫ٱلد ْنيَا ۖ َو َرفَ ْعنَا بَ ْع‬
32 َ‫س ْخ ِريًّا ۖ َو َر ْح َمتُ َربِ َك َخيْر ِمما يَ ْج َمعُون‬ ُ
"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan
antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. "[QS. Az-Zukhruf : 32]

Adapun dalil-dalil tentang keabsahn akad ijarah dalam hadist Nabawi adalah
sebagai berikut :

‫ير أَ ْج َرهُ قَ ْب َل أ َ ْن‬ ُ ‫سل َم أَ ْع‬


َ ‫طوا اْل َ ِج‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫سو ُل هللا‬
َ ‫صلى هللا‬ ُ ‫قَا َل َر‬
ُ‫ع َرقُه‬
َ ‫يَ ِجف‬
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu
Majah, shahih).

َ‫سل َم قَا َل قَا َل هللا ﺛَﻼَﺛَة أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫صلى هللا‬َ ِ ‫ع ْن الن ِبي‬
َ
،ُ‫ وَرَجُل بَاﻉَ حُرًا فَأَكَلَ ﺛَمَنَه‬،َ‫ رَجُل أَعْطَى بِي ﺛُمَ غَدَر‬: ِ‫القِيَامَة‬
ُ‫وَرَجُل اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْﻂِ أَجْرَه‬

“Tiga orang, saya yang akan menjadi musuhnya pada hari kiamat: Orang yang
berjanji dengan menyebut nama-Ku lalu dia melanggar janji, Orang yang menjual
orang yang merdeka lalu dia menikmati hasil penjualannya tersebut, dan Orang
yang mempekerjakan orang lain, namun setelah orang tersebut bekerja dengan baik
upahnya tidak dibayarkan” (HR. Bukhari).
‫ع ِن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫سل َم نَ َهى‬ َ ‫صلى اللهم‬ َ ‫س ِعيد ْال ُخ ْد ِري ِ أَن الن ِبي‬ َ ‫ع ْن أَ ِبي‬ َ
ْ ُ‫ير َحتى يُبَينَ لَهُ أَ ْج ُره‬
ُ‫اخبَ َرنَاه‬ ِ ‫ار ْاْل َ ِج‬
ِ ‫ا ْستِئْ َج‬
"Sesungguhnya Nabi melarang mempekerjakan buruh sampai ia menjelaskan
besaran upahnya" (HR. Baihaqi)

َ ‫سل َم َوأَ ْع‬


َ‫ َولَ ْو َكان‬،ُ‫طى الذِي َح َج َمه‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلى هللا‬َ ‫احتَ َج َم النبِي‬ ْ
ِ ‫َح َرا ًما لَ ْم يُ ْع‬
ِۖ ‫طه‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan memberi upah kepada tukang
bekam. Andai itu haram, tentu beliau tidak akan memberi upah.” (HR. Bukhari).

‫وَاسْتَأْجَرَ رَسُولُ اللَهِ صَلَى اللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ وَأَبُو بَكْر رَجُلًا مِنْ بَنِي‬
‫الدِيلِ هَادِيًا خِرِيتًا وَهُوَ عَلَى دِينِ كُفَارِ قُرَيْﺶ فَدَفَعَا إِلَيْهِ رَاحِلَتَيْهِمَا‬
‫وَوَاعَدَاهُ غَارَ ﺛَوْر بَعْدَ ﺛَلَاﺙِ لَيَال بِرَاح َِلتَيْهِمَا صُبْﺢَ ﺛَلَاﺙ فَأَتَاهُمَا‬
ُ‫بِرَاحِلَتَيْهِمَا صَبِيحَةَ لَيَال ﺛَلَاﺙ فَارْتَحَﻼَ وَانْﻂَلَﻖَ مَعَهُمَا عَامِرُ بْن‬
‫فُهَيْرَةَ وَالدَلِيلُ الدِيلِيُ فَأَخَذَ بِهِمْ أَسْفَلَ مَكَةَ وَهُوَ ﻃَرِيﻖُ السَاحِل‬
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakar menyewa seorang dari suku Ad-
Dil kemudian dari suku 'Abdi bin 'Adiy sebagai petunjuk jalan dan yang mahir
menguasai seluk beluk perjalanan yang sebelumnya dia telah diambil sumpahnya
pada keluarga Al 'Ash bin Wa'il dan masih memeluk agama kafir Quraisy. Maka
keduanya mempercayakan kepadanya perjalanan keduanya lalu keduanya meminta
kepadanya untuk singgah di gua Tsur setelah perjalanan tiga malam. Lalu orang itu
meneruskan perjalanan keduanya waktu shubuh malam ketiga, maka keduanya
melanjutkan perjalanan dan berangkat pula bersama keduanya 'Amir bin Fuhairah
dan petunjuk jalan suku Ad-Diliy tersebut. Maka petunjuk jalan tersebut mengambil
jalan dari belakang kota Makkah yaitu menyusuri jalan laut. " (HR Bukhari)

» ‫عى ْالغَن ََم‬َ ‫ث َّللاُ نَبِيًّا إِال َر‬َ َ‫سل َم قَا َل َما بَع‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫صلى هللا‬ َ ِ ‫ع ْن النبِي‬ َ
‫ﻂ ْل َ ْه ِل‬
َ ‫علَى قَ َر ِاري‬َ ‫عاهَا‬ َ ‫ت فَقَا َل « نَ َع ْم ُك ْنتُ أَ ْر‬ َ ‫ص َحابُهُ َوأ َ ْن‬
ْ َ‫ فَقَا َل أ‬.
َۖ‫مكة‬ َ
“Tidak ada Nabi kecuali pernah menjadi penggembala kambing.” Mereka para
sahabat bertanya, “Apakah engkau juga wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Iya,
saya telah menggembala dengan imbalan beberapa qirath (mata uang dinar, pen.)
dari penduduk Mekah.” (HR. Bukhari)
َ‫سل َم فَقَ َرأ‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلى َّللا‬ ُ ‫عتْ َبةَ بْنَ الند ِر َيقُو ُل ُكنا ِع ْندَ َر‬
َ ِ‫سو ِل َّللا‬ ُ
‫سل َم‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫صلى َّللا‬ َ ‫سى‬ َ ‫سى قَا َل إِن ُمو‬ َ ‫طس َحتى ِإذَا بَلَ َغ قِصةَ ُمو‬
ْ َ‫طعَ ِام ب‬
‫طنِ ِه‬ َ ‫علَى ِعف ِة فَ ْر ِج ِه َو‬َ ‫ع ْش ًرا‬َ ‫ي ِسنِينَ أَ ْو‬ َ ‫آ َج َر نَ ْف‬
َ ِ‫سهُ ﺛ َ َمان‬
“Utbah bin An Nudar berkata, "Ketika kami berada di sisi Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam, beliau membaca surat Thaa Siin. Dan ketika bacaan beliau
sampai kisah Musa, beliau bersabda: "Sesungguhnya Musa memperkerjakan
dirinya selama delapan tahun atau sepuluh tahun demi menjaga kehormatan
kemaluannya dan makanan untuk ia makan." (HR. Ibn Majah)

‫سو ُل‬ ُ ‫َجلَبْتُ أَنَا َو َم ْخ َرفَةُ ْالعَ ْبدِي بَ ًّزا ِم ْن َه َج َر فَأَتَ ْينَا بِ ِه َمكةَ فَ َجا َءنَا َر‬
‫سل َم‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلى َّللا‬َ ِ‫س َرا ِوي َل فَبِ ْعنَاهُ َوﺛَم َر ُجل َّللا‬ َ َ‫ْمشِي ف‬
َ ِ‫س َاو َمنَا ب‬
‫سل َم ِز ْن َوأَ ْر ِج ْﺢ‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلى َّللا‬ َ ِ‫سو ُل َّللا‬ ُ ‫يَ ِز ُن ِب ْاْل َ ْج ِر فَقَا َل لَهُ َر‬

"Aku dan Makhramah menyambut jenis pakaian dari sutera yang datang dari Hajar
menuju Mekkah, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendatangi
kami dengan berjalan kaki kemudian beliau menawar beberapa celana panjang dari
kami kemudian kami menjualnya kepada beliau, dan disana terdapat tukang
penimbang yang melakukan penimbangan dengan diberi diupah. Kemudian beliau
berkata kepada tukang penimbang tersebut: "Timbanglah dan penuhilah
(sempurnakanlah) timbangan.." (HR. Abu Daud)

َ‫َا‬
‫ل‬ ‫َّاسِ ق‬ ‫َب‬ ْ‫ْ ا‬
‫بنِ ع‬ ‫َن‬‫ع‬
َ
‫لغ‬ََ
‫َب‬‫ٌ ف‬ ‫َة‬ ‫َا ص‬ ‫َص‬‫ِ خ‬ ‫ْه‬‫َلي‬ ّ ‫اَّلل‬
‫صلى هللا ع‬ َّ َّ‫ِي‬ ‫نب‬َ َ‫َاب‬ ‫َص‬‫أ‬
ِ
‫ِيه‬ ‫ُ ف‬ ‫ِيب‬ ‫يص‬ُ ً‫َال‬
‫َم‬‫ِسُ ع‬ ‫َم‬‫لت‬ ْ‫ي‬
َ َ‫َج‬‫َخَر‬ ‫َّا ف‬‫ِي‬ ‫ِكَ ع‬
‫َل‬ ‫َل‬‫ذ‬
ِ
‫ليه‬ ََ َّ ‫لى‬
‫اَّللُ ع‬ ََّ َّ ‫ل‬
‫اَّللِ ص‬ َ‫َسُو‬ ‫ِ ر‬‫ِه‬‫ُ ب‬ ‫ِيت‬ ‫ُق‬ ِ ً
‫لي‬ ‫ْأ‬ ‫شَي‬
ِ
‫هود‬ َُ ْ ْ
‫الي‬ ‫ِن‬‫ٍ م‬ ‫َج‬
‫ُل‬ ‫لر‬ِ ً ‫َانا‬‫بسْت‬ُ ‫تى‬ َ‫َأ‬‫َ ف‬‫لم‬ََّ‫َس‬‫و‬
‫دْلو‬
ٍ َ ُّ‫ُل‬
‫ًا ك‬ ‫دْلو‬
َ َ ‫َشَر‬ ‫ة ع‬ََ
‫ْع‬‫ه سَب‬ ُ‫َى َل‬ ‫َق‬‫َاسْت‬ ‫ف‬
َ
‫ْع‬‫ِ سَب‬ ‫ِه‬ ‫ْر‬
‫تم‬َ ْ ‫ِن‬‫ِيُّ م‬‫هود‬ َُ ْ ‫ه‬
‫الي‬ َُ ‫َخَي‬
‫َّر‬ ‫ٍ ف‬‫َة‬‫ْر‬‫َم‬ ‫ِت‬‫ب‬
ََّ
‫لى‬ َّ ِ
‫اَّللِ ص‬ ّ‫ِي‬
‫نب‬َ ‫َِلى‬ ‫ها إ‬ َِ ‫ء ب‬َ‫َا‬‫َج‬‫ة ف‬ ًَ ‫َج‬
‫ْو‬ ‫ة ع‬ََ‫َشَر‬ ‫ع‬
)‫َ (رواه ابن ماجه‬ ‫لم‬ََّ‫َس‬
‫ِ و‬ ‫ْه‬ ََ
‫لي‬ َّ
‫اَّللُ ع‬
“dari Ibnu Abbas ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertimpa
kekurangan dan sampailah berita itu kepada Ali. Kemudian Ali keluar mencari kerja
dan menghasilkan sesuatu hingga ia dapat memberi makanan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu ia datang ke sebuah kebun milik Yahudi, dia
menyiram tanamannya sebanyak tujuh belas ember dengan perhitungnan setiap
ember satu kurma. Orang Yahudi itu kemudian memilihkan tujuh belas kurma Ajwah
untuknya, setelah itu dia membawa kurma tersebut kepada Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam. “(HR. Ibn Majah)

Berdasarkan nash-nash tersebut, para ulama ijma’ tentang kebolehan akad ijarah
karena manusia senantiasa membutuhkan manfaat dari suatu barang atau tenaga orang
lain. Manfaat dalam konsep ijarah mempunyai pengertian yang sangat luas meliputi
imbalan manfaat atas manfaat suatu benda atau upah terhadap suatu pekerjaan
tertentu. Jadi, ijarah merupakan transaksi terhadap manfaat suatu barang dengan suatu
imbalan yang di sebut dengan sewa menyewa. Ijarah juga mencakup transaksi
terhadap suatu pekerjaan tertentu, yaitu adanya konpensasi atau imbalan yang di sebut
dengan upah mengupah.

Dilihat dari objek ijarah berupa manfaat suatu benda ataupun tenaga manusia,
ijarah itu terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:

a. Ijarah ‘ain, yakni ijarah yang berhubungan dengan penyewaan benda yang
bertujuan untuk mengambil manfaat dari benda tersebut tanpa memindahkan
kepemilikan benda tersebut, baik benda bergerak, seperti menyewa kendaraan
maupun benda tidak bergerak, seperti sewa rumah.
b. Ijarah amal, yakni ijarah terhadap perbuatan atau tenaga manusia yang di
istilahkan dengan upah mengupah. Ijarah ini di gunakan untuk memperoleh
jasa dari seseorang dengan membayar upah atau jasa dari pekerjaan yang di
lakukannya.1
C. Rukun dan Syarat Akad Ijarah
Agar transaksi akad ijarah menjadi sah harus terpenuhi rukun dan syarat sahnya
akad ijarah. Adapun yang menjadi rukun ijarah menurut ulama Hanafiyah adalah
ijab dan kabul dengan lafaz ijarah atau isti’raj. Rukun ijarah menurut jumhur udah
ada tiga, yaitu 1) aqidah yang terdiri dari muajir dan musta’jir, 2) ma’qud ‘alaih

1
Ali Haidar. Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-Ahkam. Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah. Beirut.t.th Juz.l.
hlm.382.
yang terdiri dari ujrah dan manfaat; dan 3) shighat yang terdiri dari ijab dan kabul.
Berikut ini akan diuraikan rukun dan syarat dari ijarah:2

a. Dua orang yang berakad (mu’ajir dan musta’jir) di syaratkan:


1) Berakal dan Mumayyiz
Namun, tidak di syaratkan baligh. Ini berarti para piahak yang melakukan
akad ijarah harus sudah cakap bertindak hukum sehingga semua
perbuatannya dapat di pertanggungjawabkan. Maka tidak di benarkan
mempekerjakan orang gila, anak-anak yang belum mumayyiz, dan orang
yang tidak berakal.
2) ‘An’taradin
‘An’taradin , artinya kedua belah pihak berbuat atas kemauan sendiri.
Sebaliknya, tidak di benarkan melakukan upah mengupah atau sewa
menyewa karena paksaan salah satu pihak ataupun dari pihak lain.
b. Sesuatu yang di akadkan (barang dan pekerjaan), disyaratkan:
1) Objek yang di sewakan dapat di serahterimakan, baik manfaat maupun
bendanya sehingga tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat
diserahterimakan. Ketentuan ini sama dengan di larang melakukan jual-
beli yang tidak dapat diserahterimakan.
2) Manfaat dari objek yang akan di-ijrah-kan harus sesuatu yang dibolehkan
agama (mutaqawwimah. Atas dasar itu, para fukaha sepakat menyatakan,
tidak boleh melakukan ijrah terhadap perbuatan maksiat, seperti
menyewakan rumah untuk prostitusi dan sebagainya yang mengarah pada
perbuatan maksiat kepada Allah.
3) Manfaat dari objek yang di-ijrah-kan harus di ketahui sehingga
perselisihan dapat dihindari.
4) Manfaat dari objek yang akan disewakan dapat dipenuhi secara hakiki
maka tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat dipenuhi secara
hakiki, seperti menyewa orang bisu untuk berbicara.
5) Jelas ukuran dan waktu ijarah agar terhindar dari perselisihan.

2
Rozalinda. Fikih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasinya pada Sektor Keuangan Syariah. PT
RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2016. Hlm. 133.
6) Perbuatan yang di upahkan bukan perbuatan yang fardhu atau diwajibkan
kepada muajir (penyewa), seperti shalat, puasa, haji, imam shalat, dan
sebagainya.
7) Manfaat yang disewakan menurut kebiasaan dapat disewakan, seperti
menyewa toko, dan sebagainya.
c. Upah/imbalan, disyaratkan:
1) Upah/imbalan berupa benda yang diketahui yang dibolehkan
memanfaatkannya(mal mutawaqawwin).
2) Sesuatu yang berharga atau dapat di hargai dengan uang sesuai dengan
adat kebiasaan setempat.
3) Upah/imbalan tidak disyaratkan dari jenis yang diakadkan, misalnya sewa
rumah dengan sebuah rumah, upah mengerjakan sawah dengan sebidang
sawah. Syarat seperti ini sama dengan riba.
d. Shighat , disyaratkan berkesesuaian dan menyatunya majelis akad, seperti
yang dipersyaratkan dalam akad jual-beli. Maka akad ijarah tidak sah, apabila
antara ijab dan kabul tidak berkesesuaian, seperti tidak berkesesuaian antara
objek akad atau batas waktu.
D. Sifat Akad Ijarah
Para ulama fikih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat
kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiyah berpendiria, bahwa akad ijarah itu
bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari
salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan cakap
dalam bertindak secara hukum. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan, bahwa akad
ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang tersebut tidak boleh
dimanfaatkan. Akibat perbedaan pendapat ini dalam kasus apabila salah seorang yang
berakad meninggal dunia, maka akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh
diwariskan. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh
diwariskan karena termasuk harta ( al-mal). Oleh sebab itu kematian dari salah satu
pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.3

E. Menyewakan Barang Sewaan

3
Nasrun Haroen. Fikih Muamalah. Gaya Mesia Pratama. Jakarta. 2007. Hlm. 238
Bolehkah penyewa menyewakan kembali barang sewaannya? Menurut Sayyid Sabiq,
penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan tersebut kepada orang lain,
dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan
ketika akad awal. Misalnya penyewaan seekor binatang, ketika akad awal dinyatakan
bahwa binatang binatang itu disewa untuk membajak sawah, kemudian binatang
tersebut disewakan lagi kepada penyewa kedua, maka binatang itu harus digunakan
untuk membajak pula. Penyewa pertama boleh menyewakan lagi dengan harga serupa
pada waktu ia menyewa atau kurang sedikit atau bahkan lebih mahal dari harga
penyewaan pertama. Hal ini boleh-boleh saja dilakukan. Menurut Sayyid Sabiq
kebiasaan seperti ini disebut al-khulwu.4 Hal ini berlaku juga untuk penyewaan ang
lainnya, seperti penyewaan rumah, kendaraan dan sebagainya.

Sementara itu, menurut Hendi Suhendi apabila ada kerusakan pada benda
yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah penyewa atau musta’jir itu
sendiri.5

Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 266 disebutkan


bahwa: “Penyewa dilarang menyewakan dan meminjamkan objek ijarah kepada
pihak lain, kecuali atas izin dari pihak yang menyewakan.”

F. Udzur yang Dapat Merusak Akad Ijarah


Menurut ulama Hanafiyah, akad ijarah bisa rusak dengan adanya udzur. Apabila ada
udzur, namun akad tetap dilanjutkan maka akad tidak mengikat kedua belah pihak
(ghair lazim).Ibn ‘Abidin salah seorang ulama Hanafiyah mengatakan, bahwa setiap
ada udzur yang mengakibatkan tidak terpenuhinya objek akad atau tetap dilanjutkan,
tetapi membahayakan maka akad menjadi rusak dan tidak mengikat. Sementara
jumhur ulama berpendapat, bahwa akad ijarah adalah akad yang mengikat
sebagaimana akad jual-beli, akadnya tidak rusak karena adanya udzur dari pihak yang
berakad atau karena adanya cacat pada objek akad.

Ulama Hanafiyah sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, menjelaskan tiga


unsur yang dapat merusak akad ijarah, yaitu:6

4
Sayyid Sabiq. Fiqh al-Sunnah. Dar al-Fikr. Beirut. 1983. Juz. Lll. Hlm. 194-195.
5
Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2005. Hlm.122.
6
Imam Mustofa. Fikih Mu’amalah Kontemporer. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2016. Hlm.113.
1. Udzur yang terjadi pada pihak penyewa, seperti penyewa pailit atau bangkrut
sehingga tidak mampu membayar biaya sewa atau upah jasa atau pekerjaan.
Apabila si penyewa tidak mampu melanjutkan akadsewa, kecuali dengan
sesuatu yang dapat membahayakan, maka ia berhak untuk menghentikan akad
ijarah.
2. Udzur yang terjadi pada pihak yang memberi sewa, misalnya adanya jatuh
tempo hutang yang tidak dapat terbayar, kecuali dengan menjual barang yang
ia sewakan, maka akad akan menjadi fasakh. Contoh lain, ternyata ada cacat
yang membuatnya tidak berfungsi maksimal, maka ia berhak mengurungkan
atau menghentikan akad ijarah.
3. Udzur yang terjadi pada barang yang disewakan, seperti orang yang menyewa
kamar mandi, ternyata didalam airnya habis karena suatu hal atau sebab
tertentu. Dalam kondisi seperti ini maka akad ijarah rusak dan tidak dapat
dilanjutkan.

G. Berakhirnya Akad Ijarah


Akad ijarah berakhir karena sebab-sebab sebagai berikut:

a. Menurut ulama Hanafiyah, akad ijarah berakhir dengan meninggalnya salah


seorang dari dua orang yang berakad. Ijarah hanya hak manfaat maka hak ini
tidak dapat diwariskan karena kewarisan berlaku untuk benda yang dimiliki.
Jumhur ulama berpendapat, sifat akad ijarah adalah akad lazim (mengikat para
pihak), seperti halnya akad jual-beli. Atas dasar ini, jumhur ulama berpendapat
bahwa akad ijarah tidak dapat dibatalkan dengan meninggalnya para pihak
yang berakad. Ijarah berakhir dengan berakhirnya waktu akad. Oleh karena
itu, manfaat dari ijarah dapat diwariskan sampai berakhirnya waktu akad.7
Jumhur ulama berpendapat, ijarah merupakan milk al-manfaat (kepemilikan
manfaat) sehingga dapat diwariskan. Inilah kiranya pendapat yang dapat
diterima dan mendatangkan masalah bagi semua pihak. Misalnya, seorang
kepala keluarga mengontrak rumah untuk tempat tinggal keluarganya,
kemudian pemilik rumah atau kepala keluarga meninggal dunia, maka kontrak
rumah masih bisa dilanjutkan sampai habis masa kontraknya.

7
Hasan Ayub. Fiqh Mu’amalat al-Maliyat fi al-islam. Dar al-Salam. Kairo. 2010. hlm. 246.
b. Akad ijarah berakhir dengan iqalah (menarik kembali). Ijarah adalah akad
mu’awadah (akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan/profit oriented).
Disini terjadi proses pemindahan benda dengan benda sehingga
memungkinkan untuk iqalah, seperti pada akad jua-beli.
c. Sesuatu yang disewakan hancur atau mati, misalnya hewan sewaan mati atau
rumah sewaan hancur.
d. Manfaat yang diharapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah sesuai, kecuali
ada udzur atau halangan.8

H. Pengembalian Barang Sewaan


Jika akad ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang
sewaan. Jika barang itu berbentuk barang yang dapat dipindahkan (barang bergerak),
seperti kendaraan, binatang dan sejenisnya, ia wajib menyerahkannya langsung
kepada pemiliknya. Dan jika berbentuk barang yang tidak dapat berpindah (barang
yang tidak bergerak), seperti rumah, tanah dan bangunan, ia berkewajiban
menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong, seperti keadaan semula.
Mazhab Hanbali berpendapat, bahwa ketika akad ijarah telah berakhir penyewa harus
melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerah-
terimakannya, seperti barang titipan. Selanjutnya mereka juga berpendapat, bahwa
setelah berakhirnya masa akad ijarah dan tidak terjadi kerusakan tanpa disengaja,
maka tidak ada kewajiban menanggung bagi penyewa.9

I. Implementasi Ijarah di Lembaga Keuangan Syariah


Dalam implementasinya, akad ijarah dalam teknis perbankan dapat
dijelaskan sebagai berikut:10
a. Transaksi ijarah ditandai dengan adanya pemindahan manfaat, jadi dasarnya
prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual-beli. Namun, perbedaannya
terletak pada objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek
transaksinya adalah jasa.

8
Rozalinda.op.cit. hlm. 140
9
Abdul Rahman Ghazly, dkk. Fikih Muamalah. Prenada Media Group. Jakarta. 2015. Hlm. 284
10
Heri Sudarsono. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi. Ekonosia.
Yogyakarta. 2012. Hlm. 75
b. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan
kepada nasabah. Karena itu dalam perbankansyariah di kenal al-ijarah
muntahinya bittamlik (sewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan).
c. Harga sewa dan harga jual di sepakati pada awal perjanjian antara bank
dengan nasabah.

Fatwa DSN-MUI Nomor 09/DSN-MUI/IV/200 menetapkan mengenai


ketentuan ijarah dalam LKS sebagai berikut:

1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:


a. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan;
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
2. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
a. Membayar sewa atauupah dan bertanggungjawab untuk menjaga
kebutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak);
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak
materiil);
c. Jika barang yang disewa rusak, bukan pelanggaran dari penggunaan yang
dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam
menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

Jenis barang/jasa yang dapat disewakan adalah sebagai berikut:

1. Barang modal; aset tetap, seperti bangunan, gedung, kantor dan ruko.
2. Barang produksi; mesin, alat-alatberat, dan lain-lain.
3. Barang kendaraan transportasi; darat, laut dan udara.
4. Jasa untuk membayar ongkos; uang sekolah/kuliah, tenaga kerja, hotel,
angkutan/transportasi, dan sebagainnya.

BAB 11
PERKEMBANGAN AKAD IJARAH
A. Ijarah Muntahiya Bi Al-Tamlik (IMBT)
1. Definisi Ijarah Muntahiya Bi Al-Tamlik
Makna Al-Tamlik secara bahasa berasal dari kata Al-Milk, yang memiliki
makna kuat dan sehat. Ijarah muntahiya bi al-tamlik merupakan salah satu
kegiatan muamalah kontemporer. Khalid Al-Kafi menyatakan bahwa Ijarah
Muntahiya Bi Al-Tamlik adalah suatu akad antara dua pihak dimana salah
satunya menyewa barang kepada pihak lainnya dengan pembayaran secara
angsur dalam jangka waktu tertentu, pada akhir masa sewa, kepemilikan
barang tersebut berpindah kepada pihak penyewa dengan akad baru. Ijarah
muntahiya al-tamlik (IMBT) adalah sejenis perpaduan antara kontak jual-beli
dan sewa, atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan
barangdi tangan pembeli.

2. Bentuk-Bentuk Ijarah Muntahiya Bi Al-Tamlik


Menurut imam mustofa, ijarah muntahiya bi al-tamlik memiliki lima bentuk
yaitu.
 Akad ijarah yang sejak awal akad di maksudkan untukmemindahkan
kepemilikan barang sewa kepada pihak penyewa
 Akad ijarah dari awal dimaksudkan hanya untuk sewa, tetapi si
penyewa di beri hak untuk memiliki barang sewaan dengan
memberikan uang pengganti dalam jumlah tertentu.
 Akad ijarah dimaksudkan untuk sewa suatu barang yaitu pada saat
akad pihak penyewa dan pemberi sewa membuat perjanjian yang
mengikat untuk melakukan akad jual-beli barang objek sewa.
 Akad ijarah dimaksud untuk sewa suatu barang yaitu pada saat akad
penyewa dan pemberi sewa membuat perjanjianyang mengikat untuk
menlakukan hibah barang objek sewa.
 Akad ijarah dimaksudkan untuk sewa suatu barang dalam jangka
waktu tertentu dengan pembayaran dalam jumlah tertentu.
3. Regulasi ijarah muntahiya bi al-tamlik dalam sistem hukum perbankan di
indonesia
IMTB dalam peraturan perbankan syariah termuat di beberapa pasal dalam
undang-undang no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dan di sejumlah
pasal pada PBI dan SEBI. Menurut undang-undang, IMBT adalh “akad
penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak gunaatau manfaat dari suatu
barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan
kepemiikan barang. Di samping ketentuan yang berlaku untuk ijarah. Untuk
kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar ijarah
muntahiya bi al-tamlik berlaku pula persyaratan paling kurang sebagai berikut.
a. Bank sebagai pemilik objek sewa bertindak sebagai pemberi janjio
(wa’ad) untuk memberikan opsi pengalihan kepemilikan dan/ atau hak
penguasaan objek sewa kepada nasabah penyewa sesuai kesepakatan
b. Bank hanya dapat memberi janji (wa’ad) untuk mengalihkan
kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa setelah objek sewa
secara prinsip dimiliki oleh bank.
c. Bank dan nasabah harus menuangkan kesepakan adanya opsi
pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa dalam
bentuk tertulis.
d. Pelaksanaan pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek
sewa dapat dilakukan setelah masa sewa disepakati setelah oleh bank
dan nasabah penyewa
e. Dalam hal nasabah penyewa mengambil opsi pengalihan kepemilikan
dan/atau hak penguasaan objek sewa, maka bank wajib mengalihkan
kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa kepada nasabah
yang dilakukan pada saat tertentu dalam periode atau akhir periode.
4. Implementasi ijarah muntahiya bi al-tamlik di lembaga keuangan syariah
Pada umumnya bank syariah lebih banyak menggunakan IMBT (ijarah
muntahiya bi al-tamlik) karena lebih sederhana dalam pembukuannya. Selain
itu, bank tidakdirepotkan untu mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat
leasing maupun sesudahnya. Dalam pelaksanan akad IMBT ada ketentuan
yang harus dipenuhi, yakni ketentuan yang bersifat umum dan ketentuan yang
bersifat khusus. Ketentuan yang bersifat umum yaitu :
 Rukun dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula dalam
akad IMBT
 Perjanjian untuk melakukan akad IMBT harus disepakati katika akad
ijarah ditanda tangani.
 Hak dan kewajiban setiap pihak di jelaskan dalam akad

Adapun ketentuan yang bersifat khusus Yaitu :


 Pihak yang melakukan IMBT harus melakukan akad ijarah terlebih
dahulu.
 Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah
adalah wa’ad (janji) yang hukumnya tidak mengikat.

Dalam kompilasi hukum ekonomi syariah (KHES), ketentuan mengenai ijarah


muntahiya bi al-tamlik di atur dalam bab kesembilan pasal 322-329. Rukun
dan syarat dalam ijarah dapat diterapkan dalam pelaksanaan ijarah muntahiya
bi al-tamlik.
Ijarah muntahiya bi al-tamlik dalam bank syariah umumnya melalui tahapan-
tahapan sebagai berikut :
1) Nasabah menjelaskan kepada bank, bahwa suatu saat di tengah atau di
akhir periode ijarah ia ingin memiliki
2) Setelah melakukan penelitian, bank setuju akan menyewahkan asetitu
kepada nasabah
3) Apabila bank setuju, bank terlebih dahulu memiliki aset tersebut
4) Bank membeli atau menyewa aset yang dibutuhkan nasabah
5) Bank membuat perjanjian ijarah dengan nasabah untuk jangka waktu
tertentu dan menyerahkan aset itu untuk dimanfaatkan
6) Nasabah membayar sewa setiap bulan yang jumlahnya sesuai dengan
kesepakatan
7) Bank melakukan penyusutan terhadap aset biaya penyusutan
dibebankan kepada laporan labarugi
8) Di tengah atau diakhir masa sewa, bank dan nasabah dapat melakukan
pemindahan kepemilikan aset tersebut secara jual-beli cicilan
9) Jika pemindahan kepemilikan di akhir masa sewa, akadnya dilakukan
secara hibah
Akhir periode sewa si penyewa diberikan pilihan untuk membeli atau tidak
membeli barang yang disewa. Namun dalam praktiknya, dalam finacial lease sudah
tidak ada lagi opsi untuk membeli atau tidak membeli karena pilihan itu sudah
ditentukan diawa periode.

Namun Ijarah muntahiya bi al-tamlik memiliki perbedaan dengan leasing


konvensional, seperti pada gambar berikut ini :

IMBT Leasing
Aset selama masa sea adalah milik Aset langsung dicatatkan atas nama
bank/mu’jir nasabah
Perjanjian menggunakan akad ijarah dan Sewa dan jua beli menjadi satu
wa’ad untuk jual-beli atau hibah yang kesatuan dalam satu penjanjian
akan ditandatangani setelah ijarah
berakhir (jika nasabah menghendaki)
Perpindahan kepemilikan menggunakan Pemindahan kepemilikan
jual-beli dan hibah, Perpindahan menggunakan jual-beli. Perpindahan
kepemilikan dilakukan setelah masa kepemilikan diakui setelah seluruh
ijarah selesai pembayaran sewa diselsaikan

B. Ijarah Maushufah Fi Dzimmah


1. Definisi Ijarah Maushufah Fi Dzimmah
Akad adalah akad baru (uqud mustahdatsah) dijelaskan oleh para ahli fikih
dlam ijarah maushufah fi adz-dzimmah yang belum ini kitb turats. Oleh karena
itu,akad ini dikategorikan akad ghoiri musamma’. Ijarah Maushufah Fi Dzimmah
adalah gabungan akad ijarah dengan akad salam. Tetapi yang paling dominan adalah
akad ijarah.

Ada beberapa karateristik Ijarah Maushufah Fi Dzimmah(IMFZ). Pertama ,


akad itu adalah akad ijarah dengan harga(upah) dibayar tunai. Sedangkan objek sewa
diserahkan pada waktu yang disepakati. Kedua, akad IMFZ itu dikombinasi dari dua
akad yaitu akad ijarah dan akad salam.

Disebut akad ijarah karena yang diperjualbelikan adalah jasa, dan disebut akad
salam adalah karena objekijarah diserahkan tidak tunai. Oleh karena itu akad IMFZ
sering disebut sebagai salam jasa atau forward jasa (salam fi al-manah). Ketiga,
maftaat barang atau jasa belum tersedia atau belum dimanfaakan pada saat akad.
Keempat, umumnya dalam praktik kontemporer, penyewa membayar upah secara
berangsur.

Para ualam mendefinisikan Ijarah Maushufah Fi Dzimmah sebagai berikut :

‫بيع المنافع مستبيلة بثمن حال‬


“jual beli manfaat yang akan datang dengan harga yang didahulukan”

Rukun dan syarat ijarah ada tiga yaitu pihak-pihak akad (penyewa dan pihak
yang menyewakan), shigat dan objek ijarah (upah dan jasa). Syarat ijarah yang
berkaitan erat dengan pembahasan Ijarah Maushufah Fi Dzimmah adalah syarat yang
berkaitan dengan manfaat dan upah, diantaranya objek ijarah (baik manfaat ataupun
layanan) itu harus tersedia saat akad, karena tujuan penyewa adalah mendapatkan
maftaat barang.

2. Hukum Akad Ijarah Maushufah Fi Dzimmah


Para ulama berbeda pendapat tentang hukum IMFZ. Mayoritas ulama fikih
berpendapat bahwa akad IMFZ itu boleh.Hanya mahdzab Hanafah yang berpendapat
bahwa itu tidak boleh. Perbedaan pendapat ini lahir karena pebedaan pendapat mereka
tentang hukum ijarah dan salam. Mayoritas ahli fikh berpendapat bahwa akad IMFZ
itu boleh karena memperbolehkan akad ijarah dan salam. Sedangkan mahzab Hanafah
berpendapat bahwa akad IMFZ tidak boleh karena tidak memperbolahkan ijarah dan
salam.

Menurut standar AAOIFI diatas, transaksi IMFZ, boleh jika memenuhi empat
syarat. Pertama , objek ijarah jelas diketahui spesifikasinya. Jika objek ijarah tidak
jelas, tidak bisa dituliskan spesisfikasinya, maka akad IMFZ nya tidak sah, karena
objek yang tidak jeas adalah salah satu unsur gharar.

Kedua, manfaat itu bisa dimilik mu’jir (pihak yang menyewakan) dan bisa
diserahterimakasihkan pada waktu yang disepakati. Walaupun objek ijarah nya belum
ada tapi bisa dipastikan bahwa mu’jir bisa memiliki barang tersebut, dan mu’jir bisa
menyerahkan kepada musta’jir (penyewa) pada waktu yang telah disepakati,. Maka
jika objek ijarah tidak atau sulit dimiliki, maka akad IMFZ menjadi tidak sah
karenaijarah terhadap barang tidak ada dan tidak akan ada.

Ketiga, sebagian barangnya harus wujud. Syarat ini adalah terjemahan dari
syarat pertama dan syarat kedua, maka sebagian dari yang signifikan dari objek ijarah
harus sudah ada ketika akad, karena jika objek ijarahnya tidak tersedia sama sekali,
maka tdiak bisa dijelaskan disepakati, dan sangat mungkin tidak bisa dimiliki dan
tidak bisa diserah terimakasihkan, ini adalah salah satu unsur gharar.

Keempat, ujrah boleh dibayar cicilan atau ditunda pembayarannya (tempo). Jika
objek ujrah tidak bisa disediakan tempo kecuali tersedia sebagiannya. Dalam bab
ujrah , syarat-syaratnya lebih ringan, para ulama membolehkan ujrah itu boleh
diserahkan kemudin (tempo). Menurut Hanabilah dan AAOIFI, ujrah boleh
diserahkan kemudian dengan syarat akadnya tidak dengan lafadz salam.

Selanjutnya kapan mu’jir memiliki ujrah/upah? Prinsip dasarnya mu’jir berhak


atas upah setelah mitranya berhak atau diberi kewenangan atas barangnya. Ujrah
berlaku efektif sejak akad ditanda-tangani karena sebagian objek ijarah sudah ada
sejak akad.

Dalam fikih islam, transaksi jual-beli termasuk akad yang melahirkan


perpindahan kepemilikan, seperti halnya akad hibah dan akad qardh. Oleh karena itu
keperpindahan kepemilikan ini menjadi sangat target (muqtadha) akad jual-beli.
Maksudnya barang yang dijual menjadi milik pembeli dengan harga sebagai
imbalannya secara dawam (at-tamaluk wat-tamlik)

Perpindahan kepemilikan yang dimaksud adalah penjual berhak dan mimilik


harga barang, dan pembeli berhak memiliki barang atau objek beli (at-tamaluk wat-
tamlik). Pihak pembeli memiliki fisik (raqabah) dan manfaat (manfaah) objek jual-
beli sekaligus. Berbeda dengan akad ijarah, dimana penyewa hanya memiliki mafaat
barang tetapi tidaak memiliki barang/objek sewa.
Menurut para ulama, perpindahan kepemilikan tersebut terjadi sejak pihak-
pihak akad menyepakati(menandatangani) akad. Tanpa harus menunggu barang/objek
jual-beli telah diterima oleh pembeli. Begitu juga tanpa harus menunggu harga
diterima oleh pembeli.

Oleh karena itu para ulama menjelaskan dalam nadzariyyatul ‘aqd , bahwa
dalam akad jual beli, taqabud(serah-terima) itu bukan menjadi syarat syah akad dan
bukan menjadi syarat perpindahan kepemilikan seperti halnya akad ijarah , wakalah,
wasiat, hiwalah.

Terjadinya kesepakatan dalam akad, pemebeli sudah berhak atas barang walau
belum terjadi hiyazah dan qabdh, begitu jual penjua sudah berhak atas haraga
walaupun belum terjadi hiyazah dan qabdh.

3. Hukum Akad IMFZ Menurut PendapatUlama Klasik dan


Kontemporer
Ulama Malikiyah sebagaimana terdapat dalam kitab HasyiyahAl-Dusuqi ‘ala al-
syarh al-kabir (12/136), Kitab Syarh Muntaha al-Iradat (2/252), kitab Asna al-
Mathalib (2), dan kitab Bidayah al-Mujtahid(2/182) karya Ibn Rusyd berpendapat,
bahwa ujrah dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah waji dibayar diawal
pada saat akad (majelis akad):agar terhindar dari jual beli piutang dengan piutang.
Ulama Syafi’iyyah sebagaimana dijelaskan dalam kitab Syarh Muntaha al-Iradat
(2/360), dan kitab Tuhfat al-Muntaj Syarh al-Minaj (6) berpendapat bahwa ujrah
dalam Ijarah Maushufah Fi Dzimmah wajib dibayar diawal pada saat akad (majelis
akad) sebagaimana wajibnya membayar harga (Isaman) dalam akad jual-beli salam.
Ulama Hanabilah sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Kafi fi Fiqh Ibn Hanbal
(2/169) karya Ibn Qudamah memiliki dua pendapat terkait waktu pembayaran ujrah
dalam akad Ijarah Maushufah Fi Dzimmah,yaitu :

1. Ujrah BOLEH dibayar diakhir akad (tidak mesti dibayar diawal dalam majelis
akad): sebagaimana dibolehkan mengakhirkan pembayaran ujrah dalam akad
ijarah atas barang atas dasar kesepakatan dan
2. Ujrah harus dibayar dimuka saat majelis akad, sebagaimana seharusnya
membayar harag (isaman0 diawal dalam akad jual-beli salam.

Badr al-Hasan al-Qasimi dalam Ijarah Maushufah Fi Dzimmah menjelaskan sebagai


berikut :

‫ضافَةً إِلَى ْال ُم ْستَ ْقبَ ِل‬َ ‫ي تَ ُك ْو ُن ُم‬ َ ‫ص ْوفَةُ فِي ال ِذم ِة فَ ِه‬ ُ ‫ارة ُ ْال َم ْو‬ ِ ْ ‫أَما‬
َ ‫اْل َج‬
‫ص ْوفَ ِة‬ ُ ‫طا فَيَتِم تَ ْس ِل ْي ُم ْالعَي ِْن ْال َم ْو‬
ً ِ‫ضب‬ َ ‫ف ُم ْن‬ ُ ‫ص‬ ْ ‫ي تَ ُج ْو ُز ِإذَا َكانَ ْال َو‬ َ ‫َو ِه‬
‫ان ْالعَ ْق ِد‬ َ ‫خ َﻼ َل َم ْو ِع ِد‬.
ِ ‫س َر َي‬ ِ
"Adapun al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah bersifat ke depan (forward ijarah),
boleh dilakukan dengan syarat kriteria obyeknya dapat digambarkan secara terukur
dan diserahkan pada waktu tertentu sesuai kesepakatan saat akad."

Ahmad Muhammad Mahmud Nashar dalam Fiqh al-Ijarah al-Maushufah fi al-


Dzimmah wa Tathbiqatuha fi al-Muntajat al-Maliyyah al-Islamiyyah li Tamwil al-
Khadamat (2009), menjelaskan sebagai berikut:

َ ‫ص ْوفَ ِة فِ ْي الذِم ِة فَذَه‬


‫َب‬ ُ ‫ارةِ ْال َم ْو‬َ ‫ف ْالفُقَ َها ُء فِ ْي َم ْش ُر ْو ِعي ِة ْاْل َج‬ َ َ‫اختَل‬ ْ
ُ ‫ان ْال َم ْو‬
‫ص ْوفَ ِة ِف ْي الذِم ِة‬ ِ ‫ار ِة ْال َمنَا ِفعِ ْاْل َ ْع َي‬
َ ‫ْال َحنَ ِف َيةُ ِإلَى َم ْنعِ ِإ َج‬
ِ ‫َب ُج ْم ُه ْو ُر ْالفُقَ َه‬
‫اء‬ َ ‫ط ْوا أ َ ْن تَ ُك ْونَ ْال َعي ُْن ْال ُمؤْ َج َرة ُ ُم َعينَةً؛ َوذَه‬ ُ ‫َوا ْشت َ َر‬
ُ ‫ارةِ ْالعَي ِْن ْال َم ْو‬
‫ص ْوفَ ِة‬ َ ‫ِمنَ ْال َما ِل ِكي ِة َوالشَافِ ِعي ِة َو ْال َحنَابِلَ ِة ِإلَى َج َو ِاز ِإ َج‬
ْ
ِ‫ب السلَ ِم فِ ْي ال َمنَافِع‬ ِ ‫عد ْوهَا ِم ْن بَا‬ َ ‫فِ ْي الذِم ِة َو‬.
"Ahli fikih berbeda pendapat tentang status hukum al-Ijarah al-Maushufah fi al-
Dzimmah; pertama, ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa akad ijarah atas manfaat
barang yang termasuk maushufah fi al-dzimmah adalah akad yang dilarang (baca:
tidak sah); mereka berpendapat bahwa bahwa barang sewa (mahall al-manfa'ah)
harus sudah ditentukan pada saat akad atau perjanjian dilakukan; dan kedua, jumhur
ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafi`iyyah, dan Hanabilah membolehkan akad
ijarah atas barang yang termasuk maushufah fi al-dzimmah; mereka menganggap
akad ijarah maushufah fi al-dzimmah ini bagian dari bentuk akad jual-beli salam
atas manfaat."

Al-Ma'ayir al-Syar'iyyah Nomor 9 tentang parameter (dhawabith) al-Ijarah wa


al-Ijarah al-Muntahiyyah bi al-Tamlik, yaitu dalam kitab tersebut ditetapkan hal-hal
berikut:

‫طا َولَ ْو‬ ً ِ‫ضب‬ َ ‫صفًا ُم ْن‬ ْ ‫ص ْوف فِي الذم ِة َو‬ ُ ‫علَى َم ْو‬ َ ُ ‫ارة‬
َ ‫اْل َج‬ِ ْ ‫َي ُج ْو ُز أ َ ْن تَقَ َع‬
‫ْث يَت ِف ُﻖ‬ ُ ‫ص ْوفَةُ فِ ْي الذِم ِة) َحي‬ ُ ‫ارة ُ ْال َم ْو‬ ِ ْ ‫لَ ْم يَ ُك ْن َم ْملُ ْو ًكا ِل ْل ُمؤْ ِج ِر‬
َ ‫(اْل َج‬
‫عى فِ ْي‬ َ ‫ َويُ َرا‬،ِ‫ان ْالعَ ْقد‬ ِ َ‫س َري‬َ ‫ص ْوفَ ِة فِ ْي َم ْو ِع ِد‬ ُ ‫علَى ت َ ْس ِلي ِْم ْالعَي ِْن ْال َم ْو‬ َ
‫ط ِف ْي َها تَ ْع ِج ْي ُل‬ َ ‫ان ت َ َمل ِك ْال ُمؤْ ِج ِر لَ َها أَ ْو‬
ُ ‫ َو َاليُ ْشتَ َر‬،‫ص ْن ِع َها‬ ُ ‫ذَ ِل َك ِإ ْم َك‬
‫غي َْر َما تَم‬ َ ‫سل َم ْال ُمؤْ ِج ُر‬ َ ‫ َو ِإذَا‬.‫ف‬ ِ َ‫سل‬ َ ‫ْاْل ُ ْج َرةِ َمالَ ْم ت َ ُك ْن ِبلَ ْف ِظ ال‬
َ ‫سلَ ِم أَ ْو ال‬
ُ‫صفَات‬ َ ‫ب َما تَتَ َحق ُﻖ فِ ْي ِه ْال ُم َوا‬ ُ َ‫طل‬
َ ‫ضهُ َو‬ ُ ‫صفُهُ فَ ِل ْل ُم ْستَأ ْ ِج ِر َر ْف‬
ْ ‫ َو‬.

"Akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah boleh dilakukan dengan syarat kriteria


barang sewa dapat terukur meskipun obyek tersebut belum menjadi milik pemberi
sewa (pada saat ijab-qabul dilakukan); waktu penyerahan barang sewa disepakati
pada saat akad, barang sewa tersebut harus diyakini dapat menjadi milik pemberi
sewa baik dengan cara memperolehnya dari pihak lain maupun membuatnya sendiri;
tidak disyaratkan pembayan ujrah didahulukan (dilakukan pada saat akad) selama
ijab-qabul yang dilakukan tidak menggunakan lafadz salam atau salaf; apabila
barang sewa diterima penyewa tidak sesuai dengan kriteria yang disepakati, pihak
penyewa berhak menolak dan meminta gantinya yang sesuai dengan kriteria yang
disepakati pada saat akad."

Pendapat ulama kontemporer terkait waktu pembayaran ujrah dalam akad


IMFZ. Muhammad Sa'id al-Buthi dalam paper yang berjudul "al-Ijarah al-Maushufah
fi al-Dzimmah" yang disampaikan dalam Muktamar Keuangan Bank di Bahrain pada
tahun 2007, berpendapat bahwa ujrah dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-
Dzimmah wajib dibayar di awal pada majelis akad sebagaimana dalam akad jual-beli
salam.

Abd al-Sattar Abu Ghuddah berpendapat bahwa pembayaran ujrah dalam


akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah boleh diakhirkan meskipun dalam
perjanjiannya menggunakan kata jual-beli salam.

Nazih Hammad berpendapat bahwa pembayaran ujrah dalam akad al-Ijarah al-
Maushufah fi al-Dzimmah boleh diakhirkan apabila menggunakan lafadz ijarah,
bukan lafadz salam.

Ali al-Qaradaghi dalam paper yang berjudul "al-Ijarah `ala Manafi` al-
Asykhash" yang disampaikan dalam acara Majelis Fatwa Eropa tahun 2008 di Paris
(Perancis), membolehkan pengakhiran pembayaran ujrah dalam akad akad al-Ijarah
al-Maushufah fi al-Dzimmah (baca: ujrah tidak mesti dibayar di muka atau dibayar
pada saat akad) apabila perjanjiannya menggunakan kata ijarah; dan wajib
mendahulukan pembayaran ujrah apabila menggunakan lafadz salam.

4. l-Ijarah Maushufah Fi al-Dzimmah dalam Fatwa DSN-MUI


Ketentuan Fatwa DSN MUI tentang akad IMFZ Dalam Fatwa DSN MUI No 101
Tahun 2016 tentang Akad Al Ijarah al Maushufah fial Dzimmah (IMFZ) diatur terkait
ketentuan -ketentuan akad IMFZ sebagai berikut :

Ketentuan Hukum

 Akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah boleh dilakukan dengan


mengikuti ketentuan dalam fatwa ini.
 Akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah berlaku secara efektif dan
menimbulkan akibat hukum, baik berupa akibat hukum khusus (tujuan akad)
maupun akibat hukum umum, yaitu lahirnya hak dan kewajiban, sejak akad
dilangsungkan.

Ketentuan terkait Manfaat Barang ('Ain) dan Pekerjaan ('Amal)


Manfaat barang ('ain) dan pekerjaan ('amal) dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-
Dzimmah, harus:

 Diketahui dengan jelas dan terukur spesifikasinya (ma'lum mundhabith)


supaya terhindar dari perselisihan dan sengketa (al-niza');
 Dapat diserah-terimakan baik secara hakiki maupun secara hukum; dan sesuai
dengan prinsip syariah.
Ketentuan terkait Barang Sewa

 Kriteria barang sewa yang dideskripsikan harus jelas dan terukur


spesifikasinya;
 Barang sewa yang dideskripsikan boleh belum menjadi milik pemberi sewa
pada saat akad dilakukan;
 Pemberi sewa harus memiliki kemampuan yang cukup untuk mewujudkan dan
menyerahkan barang sewa;
 Barang sewa diduga kuat dapat diwujudkan dan diserahkan pada waktu yang
disepakati;
 Para pihak harus sepakat terkait waktu serah-terima barang sewa; dan
 Apabila barang yang diterima penyewa tidak sesuai dengan kriteria pada saat
akad dilakukan, penyewa berhak menolaknya dan meminta ganti sesuai
kriteria atau spesifikasi yang disepakati.

Ketentuan terkait Ujrah

 Ujrah boleh dalam bentuk uang dan selain uang;


 Jumlah ujrah dan mekanisme perubahannya harus ditentukan berdasarkan
kesepakatan; dan
 Ujrah boleh dibayar secara tunai, tangguh, atau bertahap (angsur) sesuai
kesepakatan.

Ketentuan terkait Uang Muka dan Jaminan

Dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dibolehkan adanya uang muka


(uang kesungguhan [hamisy jiddiyah]) yang diserahkan oleh penyewa kepada pihak
yang menyewakan.
Uang muka dapat dijadikan ganti rugi (al-ta'widh) oleh pemberi sewa atas
biaya-biaya/kerugian yang timbul dari proses upaya mewujudkan barang sewa apabila
penyewa melakukan pembatalan sewa, dan menjadi pembayaran sewa (ujrah) apabila
akad al-ijarah al-maushufah fi al-dzimmah dilaksanakan sesuai kesepakatan.
Pemberi sewa dapat dikenakan sanksi apabila menyalahi substansi perjanjian
terkait spesifikasi barang sewa dan jangka waktu.
Apabila jumlah uang muka lebih besar dari jumlah kerugian, uang muka
tersebut harus dikembalikan kepada penyewa.
Dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dibolehkan adanya jaminan
(al-rahn) yang dikuasai oleh pemberi sewa baik secara hakiki (qabdh haqiqi)maupun
secara hukum (qabdh hukmi).

IMFZ pada Produk PPR Inden Syariah

Implementasi akad IMFZ dapat diterapkan pada produk Pembiayaan Pemilikan


Rumah (PPR) Inden Syariah. PPR Inden syariah merupakan produk pembiayaan bank
syariah dalam rangka pembelian rumah, ruko, rukan, rusun/apartemen secara inden
(atas dasar pesanan) menggunakan prinsip syariah dengan akad MMQ atau IMBT.

Dalam Fatwa DSN MUI No. 102 diatur ketentuan syariah terkait penerapan akad
IMFZ pada produk PPR Inden Syariah sebagai berikut :
 Ketentuan terkait Manfaat Barang (Manfaat 'Ain)
 Manfaat harus berupa manfaat yang dapat diketahui spesifikasinya (ma'lum)
supaya terhindar dari perselisihan dan sengketa (al-niza');
 Manfaat harus berupa manfaat yang dapat diserah-terimakan baik secara
hakiki maupun secara hukum;
 Jangka waktu penggunaan manfaat (masa ijarah) harus disepakati pada saat
akad;
 Manfaat harus berupa manfaat yang boleh berdasarkan syariah; dan
 Manfaat yang diharapkan adalah manfaat yang dimaksud dalam akad yang
dapat dicapai melalui akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah.

Ketentuan terkait Barang Sewa Inden (PPR-Inden)

 Kriteria barang sewa yang dideskripsikan harus terukur spesifikasinya;


 Barang sewa yang dideskripsikan boleh belum menjadi milik pemberi sewa
pada saat akad dilakukan;
 Ketersediaan barang sewa wajib diketahui dengan jelas serta sebagian barang
sewa sudah wujud pada saat akad dilakukan;
 Wujud barang sewa yang dimaksud pada angka 3, harus jelas, siap dibangun,
milik pemberi sewa atau pengembang yang bekerjasama dengan pemberi
sewa, dan bebas sengketa;
 Pemberi sewa harus memiliki kemampuan yang cukup untuk mewujudkan
barang sewa;
 Para pihak harus meyakini bahwa barang sewa dapat diwujudkan pada waktu
yang disepakati;
 Para pihak harus sepakat terkait waktu serah-terima barang sewa; dan
 Apabila pemberi sewa menyerahkan barang sewa namun tidak sesuai dengan
spesifikasi yang disepakati atau gagal serah pada waktu yang disepakati, maka
penyewa berhak:
 Melanjutkan akad dengan atau tanpa meminta kompensasi dari pemberi
sewa, atau
 Membatalkan akad dengan meminta pengembalian dana sesuai dengan
jumlah yang telah diserahkan.

Ketentuan terkait Ujrah

 Ujrah boleh dalam bentuk uang dan selain uang;


 Jumlah ujrah dan mekanisme perubahannya harus ditentukan berdasarkan
kesepakatan;
 Ujrah boleh dibayar secara tunai, tangguh, atau bertahap (angsur) sesuai
perjanjian sejak akad dilakukan; dan
 Ujrah yang dibayar oleh penyewa setelah akad, diakui sebagai milik pemberi
sewa.

Ketentuan terkait Uang Muka dan Jaminan


Dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dibolehkan adanya uang
muka (uang kesungguhan [hamisy jiddiyah]) yang diserahkan oleh penyewa kepada
pemberi sewa.
Uang muka dapat dijadikan ganti rugi (al-ta'widh) oleh pemberi sewa karena
proses upaya untuk mewujudkan barang sewa (apabila penyewa melakukan
pembatalan sewa), dan menjadi pembayaran sewa (ujrah) apabila akad al-Ijarah al-
Maushufah fi al-Dzimmah dilaksanakan sesuai kesepakatan.
Apabila jumlah uang muka lebih besar dari jumlah kerugian maka uang muka
tersebut harus dikembalikan kepada penyewa.
Dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dibolehkan adanya jaminan
(al-rahn) dari pemberi sewa baik secara hakiki (qabdh haqiqi)maupun secara
hukum (qabdh hukmi).

Anda mungkin juga menyukai