Anda di halaman 1dari 7

AL IJARAH

Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam hal mu’amalah ialah sewa menyewa, yang dalam
fiqh Islam disebut “ijarah”. Sewa adalah pengambilan manfaat suatu benda. Jadi dalam hal
ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan perkataan lain dengan terjadinya peristiwa
sewa menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut, dalam
hal ini dapat berupa manfaat barang seperti kendaraan, rumah, tanah juga dapat berupa karya
pribadi seperti pekerja.

Ada sebagian ulama yang melarang akad ijarah seperti, Abu Bakar al-Asham, Ismail bin
Ulayyah, Hasan al-Bashri, al-Qasyani, an-Nahrawani, dan Ibnu Kaisan dengan
alasan ijarah adalah akad yang menjual manfaat, padahal manfaaat itu tidak pernah ada
ketika akad, tapi hanya dengan berjalannya waktu akan terpenuhi sedikit demi
sedikit.[1] Maka sesuatu yang tidak ada tidak dapat dilakukan akad jual beli atasnya.
Sebagaimana menggantungkan jual beli pada masa yang akan datang. Tapi Ibnu Rusyd
kitabnya Bidayatul Mujtahid membantahnya, begitupun dengan mayoritas ulama
membolehkan akad ijarah dengan dalil dari al-Qur`an, Sunnah dan ijma’.

Pada dasarnya akad ijarah seperti akad jual-beli juga, termasuk al-uqud al-musammah yang
diperhatikan hukumnya oleh syari’at islam. Akad ijarah bersifat sementara, sedangkan akad
jual-beli bersifat permanen, karena yang berpindah adalah kepemilikan suatu barang bukan
hanya manfaatnya saja.

Sebagai salah satu bentuk tolong menolong antara sesama manusia adalah saling memberi
kemudahan, salah satu bentuknya adalah adanya akad ijarah atau sewa-menyewa. Banyak
lembaga kita temukan pada zaman ini yang memperaktekkan akad ijarah, tapi tidak semua
lembaga ini sesuai dengan perspektif islam, yang di dalam prakteknya masih ada pelanggaran
menurut agama islam. Maka perlu bagi setiap muslim untuk mengetahui fiqih ijarah sesuai
dengan pandangan islam.

Definisi Ijarah

Ijarah secara Etimologi adalah diambil dari kata al-ajru (‫)األجر‬, al-ajru memiliki dua makna
yaitu pertama (‫ )الكراء و األجرة على العمل‬sewa dan imbalan atas sebuah pekerjaan dan kedua
(‫ )الجبر‬upah. Al-ajru juga berarti iwadh (ganti) oleh sebab itu pahala (ats-tsawab) juga
dinamakan al-ajru (upah).
Para ulama empat madzhab juga memberi pengertian ijarah sendiri-sendiri.

 Menurut Hanafiyah adalah menjual suatu manfaat yang jelas dengan manfaat yang
jelas.
 Menurut Malikiyah adalah tukar menukar terhadap manfaat tertentu.
 Menurut Syafi’iyah adalah suatu akad yang bertujuan mendatangkan manfaat dan
mubah dengan imbalan yang jelas.
 Menurut Hanabilah adalah suatu akad yang mendatangkan manfaat yang jelas lagi
mubah berupa suatu dzat yang ditentukan ataupun yang disifati dalam sebuah
tanggungan, atau akad terhadap pekerjaan yang jelas dengan imbalan yang jelas serta
tempo waktu yang jelas.

Sayyid Sabiq mengatakan dalam kitab beliau, al-Ijarah berasal dari kata ‘al – Ajru’ yang
berarti ‘al-’Iwadhu’ berarti ganti. Dalam Bahasa Arab, al-Ijarah diartikan sebagai suatu jenis
akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang

Ijarah menurut terminology (istilah) adalah akad pengalihan hak penggunaan atas suatu
barang atau jasa untuk jangka waktu tertentu dengan kompensasi pembayaran uang sewa
tanpa diikuti oleh perubahan kepemilikan atas barang tertentu.

Jadi, dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu
dengan ada imbalannya atau didefinisikan pula sebagai menjual manfaat dan upa-mengupah
adalah menjual tenaga atau kekuatan.

Dasar Hukum Ijarah

Al-Qur`an

ُّ ‫ت ا ْست َأ ْ ِج ْرهُ ِإ َّن َخي َْر َم ِن ا ْست َأ ْ َج ْرتَ ْالقَ ِو‬


ُ‫ي ْاأل َ ِمين‬ ِ ‫ت ِإحْ دَا ُه َما َيا أ َ َب‬
ْ َ‫قَال‬

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata wahai bapakku ambillah ia sebagai orang
yang bekerja dengan kita karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (QS. AlQashas:26)

َّ ‫ّللاَ َوا ْعلَ ُموا أ َ َّن‬


‫ّللاَ بِ َما‬ ِ ‫سلَّ ْمت ُ ْم َما آت َ ْيت ُ ْم بِ ْال َم ْع ُر‬
َّ ‫وف َواتَّقُوا‬ َ ‫ضعُوا أ َ ْو ََلدَ ُك ْم فَ ََل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم إِذَا‬
ِ ‫َوإِ ْن أ َ َردْت ُ ْم أ َ ْن ت َ ْست َْر‬
ِ َ‫ت َ ْع َملُونَ ب‬
‫صير‬
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah:233)

Kedua ayat di atas telah melukiskan dua konteks dimana Si majikan telah menyewa tenaga
pekerjanya dengan bayaran berupa upah tertentu. Dan, yang menjadi dalil dari ayat tersebut
di atas adalah ungkapan “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan
tersebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah (fee)
secara patut. Dalam hal ini termasuk didalamnya jasa penyewaan atau leasing.

Al-Hadits

Hadits Nabi yang dapat dijadikan dasar hukum beroperasionalnya kegiatan ijarah, meliputi :

‫ أعطوا اَلجير أجره قبل أن يجف عرقه‬:‫عن ابن عنر قال رسول هللا‬

“Dari Ibnu Umar r.a. bersabda Rasullah Saw. Berikanlah upah (sewa) Buruh itu sebelum
kering keringatnya”. (HR. Ibnu Majah)

Dari Abi Said al-Hudry r.a. bahwa Rasullah Saw. Telah bersabda:

‫من استأجر اجيرا فليعلمه أجره‬

“Barang siapa memperkerjakan pekerja hendaklah menjelaskan upahnya”.[12]

Diriwatkan Dari Ibnu Abbas Bahwa Rasullah Saw. Bersabda:

‫ان النبي صلى هللا عليه و سلم احتجم و اعطى الحجام أجره‬

“Bahwasanya Rasulullah berbekam keudian meberikan upah pada tukang bekam itu”.(HR.
Bukhari dan Muslim)

Ijma

Ibnu Rusyd berkata dalam bukunya Bidayatul Mujtahid mengatakan: “Sunguh ijarah itu
diperbolehkan oleh semua fuqaha amshar (semua kota)”.

Sebagaimana perkataan Ibnu Qudamah bahwa :”Seluruh ahli ilmu disegala zaman dan semua
tempat telah bersepakat mengenai kebolehan sewa menyewa kecuali apa yang dikatakan
Abdurrahman bin Ashim “Bahwa tidak diperbolehkan (sewa menyewa) karena terdapat
ketidak jelasan/gharar yakni melakukan akad terhadap suatu manfaat yang belum ada”
pendapat ini keliru karena pendapatnya tidak dapat menolak kesepakatan ijma yang telah
terjadi dimasa-masa sebelumnya dan telah berlaku diberbagai negeri”.

Macam-macam ijarah

Dilihat dari segi objeknya, Ijarah dibagi menjadi 2 macam, yaitu Ijarah manfaat benda
(barang ) dan Ijarah pekerjaan (jasa).

1. Ijarah manfaat benda (barang) dibagi menjadi 3 macam, diantaranya:

 Ijarah benda yang tidak bergerak (‘iqar), yaitu mencakup benda-benda yang tidak
dapat dimanfaatkan kecuali dengan menggunakannya, seperti: sewa rumah untuk
ditempati atau sewa tanah untuk ditanami.
 Ijarah kendaraan (kendaraan tradisional maupun modern) seperti: unta, kuda dan
benda-benda yang memiliki fungsi sama seperti mobil, pesawat dll.
 Ijarah barang-barang yang bisa dipindah-pindahkan, seperti: baju, perabotan dan
tenda.

Konsukwensi dari ijarah manfaat menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah tercapainya
akad ijarah manfaat sedikit demi sedikit sesuai dengan munculnya manfaat (objek akad).
Sedangkan menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah akad ijarah manfaat itu tercapai pada saat
dilaksanakannya akad. Dari perbedaan ini berdampak pada hal-hal berikut:

Dampak pertama, upah tidak dapat dimiliki dengan akad saja, tapi terjadi sedikit demi sedikit
sesuai dengan manfaat yang diambil/digunakan. Maka pemilik barang tidak berhak menuntut
upah kecuali bertahap sehari demi sehari. Tapi sebaliknya menurut Syafi’iyyah dan
Hanabilah, upah langsung dimiliki pemilik barang dengan adanya akad, karena ijarah adalah
akad mu’awadhah, jika akad mu’awadhah tidak ada syarat maka mengharuskan hak
kepemilikan barang yang dipertukarkan (mabi’ dan tsaman) setelah akad. Seperti penjual
berhak menuntut harga setelah terjadi akad jual-beli.

Wajib langsung menyerahkan upah menurut Hanafiyah dan Malikiyah dengan tiga hal:

 Jika penyegeraan upah itu disyaratkan ketika akad


 Penyewa boleh langsung memberikan upah, meskipun tidak disyaratkan.
 Ketika barang yang disewa sudah diserahkan dan digunakan manfaatnya.
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat mengenai penyegeraan dan penundaan upah. Jika
ijarah tanggungan maka upah harus diserahkan ketika akad. Contohnya, saya mengupah
kamu lima puluh ribu sehari untuk memanen mangga. Maka upahnya harus diberikan ketika
akad. Tapi jika ijarah itu berupa ‘ain (barang) maka boleh menunda upahnya, tapi jika akad
itu mutlak maka wajib menyegerakannya.

Dampak perbedaan yang kedua adalah pemilik barang harus menyerahkan barangnya ketika
akad, ini menurut Hanafiyah dan Malikiyah. Dampak yang ketiga adalah boleh ijarah
disandarkan pada masa yang akan datang, ini menurut Hanafiyah dan Malikiyah, seperti saya
menyewakan rumah ini mulai bulan Ramadhan tahun depan dan akadnya terjadi pada bulan
syawal tahun ini.

Hukum ijarah manfaat ini juga berkonsekuensi pada penggunaan barang yang disewakan,
seperti menyewa rumah, maka boleh menggunakannya sesuai dengan keinginan penyewa
selagi tidak berlebihan dan dilarang oleh syar’i. Jika penyewa menggunakan barang sewaan
sesuai dengan prosedur/aturan pakai dan barang sewaan itu rusak maka yang bertanggung
jawab adalah yang memiliki barang (memberi sewa).

Dalam ijarah tanah, Hanafiyah mengharuskan keterangan untuk apa tanah tersebut disewa,
begitu juga dengan menyewa hewan tunggangan, harus ada keterangan waktu dan tempat.
Jika tidak ada keterangan ini maka hukumnya fasid.

Memperbaiki dan merawat barang yang disewa. Hanafiyah berpendapat yang memperbaiki
barang sewaan jika rusak adalah pemilik barang bukan penyewa, tapi penyewa tidak boleh
memaksa pemilik barang untuk memperbaikinya, adapaun kewajiban penyewa hanya
merawat saja.

Kewajiban penyewa setelah habis masa ijarah harus menyerahkan kunci rumah kepada orang
yang menyewakan, jika binatang tunggangan atau alat maka penyewa wajib mengembalikan
ketempat sewaan. Tapi jika penyewa membatasi jarak penggunaan, seperti saya hanya
menyewa kuda ini dari masjid kermah, atau membatasi waktu tertentu untuk menyelesaikan
urusannya, sperti saya hanya menyewa kuda ini satu jam, maka penyewa tidak harus
mengembalikan barang sewaan.

2. Ijarah yang berupa manfaat manusia merupakan Ijarah yang objeknya adalah
pekerjaan atau jasa seseorang, seperti: buruh bangunan, tukang jahit, dan buruh
pabrik. Ijarah jenis ini dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
 Ijarah manfaat manusia yang bersifat khusus (khas), yaitu seseorang yang disewa
tenaga atau keahliannya secara khusus oleh penyewa untuk waktu tertentu dan
hukumnya dia tidak boleh melakukan pekerjaan lain kecuali pekerjaan atau jasa untuk
penyewa tersebut, seperti pembantu rumah tangga yang hanya mengerjakan pekerjaan
untuk majikannya bukan pada yang lain.
 Ijarah manfaat manusia yang bersifat umum (musytarik), yaitu pekerjaan atau jasa
seseorang yang disewa atau diambil manfaatnya oleh banyak penyewa. Misal: tukang
besi, tukang laundry, dan tukang jahit.
AL IJARAH MENURUT ULAMA

SISKA ANGELIA
1606010175

UNIVERSITAS ISLAM SYEKH YUSUF TANGERANG


2019

Anda mungkin juga menyukai